konsentrasi pendidikan dokter spesialis terpadu …
TRANSCRIPT
TESIS
IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO MORTALITAS SEPSIS PADA ANAK
IDENTIFICATION OF RISK FACTORS FOR SEPSIS MORTALITY INCHILDREN
RAHMAWATIP1507212140
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADUPROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2017
IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO MORTALITAS SEPSIS PADA ANAK
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Biomedik
Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Disusun dan diajukan oleh
RAHMAWATI
Kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : RAHMAWATI
No. Stambuk : P1507212140
Program Studi : Biomedik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, September 2017
Yang menyatakan
Rahmawati
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hasil penelitian ini.
Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka
penyelesaian Program Pendidikan Dokter Spesialis di IPDSA (Institusi
Pendidikan Dokter Spesialis Anak) pada Pascasarjana Kedokteran Program
Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hasil penelitian ini
tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus
kepada Dr. dr. Idham Jaya Ganda SpA(K) sebagai pembimbing materi yang
dengan penuh perhatian dan kesabaran senantiasa membimbing dan
memberikan dorongan kepada penulis sejak awal penelitian hingga penulisan
hasil penelitian ini.
Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Prof.
Dr. dr. H.Dasril Daud,SpA (K) sebagai pembimbing metodologi yang di tengah
kesibukannya telah memberikan waktu dan pikiran beliau untuk membantu
penulis dalam menyelesaikan penulisan hasil penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada para penguji yang telah
memberikan banyak masukan dan perbaikan untuk tesis ini, yaitu dr.
Burhanuddin Iskandar, SpA(K), Dr. dr. Martira Maddeppungeng, SpA(K),
dan dr. St. Aisyah Lawang, M.Kes, SpA(K).
ii
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Ibu Rektor, Direktur Program Pascasarjana dan Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin atas kesediaannya menerima penulis
sebagai peserta pendidikan di Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
2. Ibu Koordinator Program Pendidikan Dokter Spesialis I Universitas
Hasanuddin yang senantiasa memantau dan membantu kelancaran
pendidikan penulis.
3. Ibu Ketua Bagian dan Ibu/Bapak Ketua serta sekertaris Program Studi Ilmu
Kesehatan Anak beserta seluruh staf pengajar (supervisor) atas bimbingan
dan asuhannya selama penulis menjalani pendidikan.
4. Bapak Direktur Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo atas kesediaannya
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani pendidikan di
rumah sakit tersebut.
5. Semua teman sejawat peserta Pendidikan Pascasarjana di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak atas bantuan, kebersamaan dan kerjasama yang baik
selama penulis menjalani pendidikan.
6. Semua paramedis di RS dr. Wahidin Sudirohusodo dan rumah sakit satelit
yang lain atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menjalani
pendidikan.
7. Semua staf administrasi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, bagian
PPDS dan Program Pascasarjana FK UNHAS atas bantuan dan
kerjasamanya selama masa pendidikan penulis.
iii
8. Orang tua tercinta, H. Hanafing dan Hj. Hajerah yang senantiasa
mendukung dalam doa, memberikan dorongan dan semangat yang sangat
berarti bagi penulis selama mengikuti pendidikan.
9. Teman – teman satu angkatan Januari 2013, Adriana susanti, Zaidatul
Amalia, Merry Sabir, Fitrya Idrus, Nurhudayah, Indra, Raedy ruwanda,
Meisy Grania, Anugrah santikala, Akima ramadhani, Milda, Nur ayu lestari
yang bersama-sama melalui pendidikan dan berbagi suka-duka di DIKA
tercinta ini.
10. Akhirnya dari lubuk hati yang dalam penulis ucapkan terima kasih yang
tulus untuk suami tercinta, Rahmat Nurdin SH, atas pengertian,
pengorbanan, dukungan dan kesabaran yang tak ternilai kepada penulis
saat menjalani pendidikan ini serta ananda tercinta Azizah Almahyra
Rahmat sebagai pemacu semangat penulis agar dapat menyelesaikan hasil
penelitian ini.
11. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan hasil penelitian ini.
Dan akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan Ilmu Kesehatan Anak di masa mendatang.
Tak lupa penulis mohon maaf untuk hal-hal yang tidak berkenan dalam
penulisan ini karena penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hasil
penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan
Makassar, September 2017
Rahmawati
iv
v
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… i
ABSTRAK……………………………………………………………………………… iv
ABSTRACT……………………………………………………………………………. v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. vi
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….. xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………….. xii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………………… xiii
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang masalah…………………………………………………. 1
I.2. Rumusan Masalah……………………………………………………….. 6
I.3. Tujuan Penelitian…………………………………………………………. 6
I.3.1. Tujuan Umum…………………………………………………………… 6
I.3.2. Tujuan Khusus…………………………………………………………. 6
I.4. Hipotesis…………………………………………………………………… 7
I.5. Manfaat Penelitian……………………………………………………….. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Sepsis………………… ……………………………………….. 10
II.2. Insiden…………………………………………………………………… 12
II.3. Etiologi……………………………………………………………………. 14
II.4. Patofisiologi……………………………………………………………… 15
II.4.1 Cedera seluler yang diinduksi oleh mediator inflamasi…………… 18
II.4.2 Kelaianan hemostasis koagulasi dan fibrinolysis pada sepsis…… 26
vii
II.4.3 Nitrat oksida dan efek potensial terhadap respirasi sel
pada sepsis…………………………………………………............... 28
II.5. Disfungsi organ pada sepsis………………………………………….. 29
II.6. Diagnosis………………………………………………………………… 35
II.7. Penatalaksanaan………………………………………………………. 38
II.8. Evaluasi disfungsi organ dan prognosis……………………………… 41
II.9 Faktor risiko mortalitas sepsis…………………………………………. 41
II.8. KERANGKA TEORI……………………………………………………. 47
BAB IV. KERANGKA KONSEP…………………………………………………… 48
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………… 49
IV.1. Desain penelitian………………………………………………………. 49
IV.2. Tempat dan Waktu penelitian………………………………………… 49
IV.3. Populasi penelitian……………………………………………………. 49
IV.4. Sampel dan cara pengambilan sampel……………………………… 49
IV.5. Perkiraan besar sampel……………………………………………….. 50
IV.6. Kriteria inklusi dan eksklusi…………………………………………… 51
IV.6.1. Kriteria inklusi………………………………………………………… 51
IV.6.2. Kriteria eksklusi……………………………………………………… 51
IV.7. Izin penelitian dan ethial clearance…………………………………. 51
IV.8. Cara kerja……………………………………………………………. 52
IV.8.1. Alokasi subjek……………………………………………………… 52
IV.8.2. Cara penelitian……………………………………………………… 52
IV.8.2.1. Prosedur penelitian……………………………………………… 52
IV.8.2.2. Skema alur penelitian…………………………………………… 53
IV.8.2.3. Prosedur pemeriksaan…………………………………………… 53
IV.9. Identifikasi dan klasifikasi variabel…………………………………… 56
viii
IV.9.1. Identifikasi variabel………………………………………………… 56
IV.9.2. Klasifikasi variabel…………………………………………………. 56
IV.10. Definisi operasional dan kriteria objektif………………………… 57
IV.10.1. Definisi operasional………………………………………………. 57
IV.10.1. Kriteria objektif…………………………………………………… 59
IV.11. Pengolahan dan analisis data……………………………………… 62
IV.11.1. Analisis univariat………………………………………………… 63
IV.11.2. Analisis bivariat………………………………………………….. 63
IV.11.3. Analisis multivariat………………………………………………. 64
BAB V. HASIL PENELITIAN
V.1. Jumlah sampel………………………………………………………… 66
V.2 Karakteristik sampel……………………………………………………. 66
V.3. Penjaringan Faktor-Faktor risiko mortalitas sepsis………………… 68
V.4. Identifikasi Faktor-faktor Risiko sepsis pada anak…………………. 78
V.4.1. Analisis Bivariat……………………………………………………… 78
V.4.2. Analisis Multivariat…………………………………………………… 78
BAB VI. PEMBAHASAN……………………………………………………………. 82
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………. 95
VII.1. Kesimpulan…………………………………………………………….. 95
VII.2. Saran…………………………………………………………………… 95
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………… 97
LAMPIRAN………………………………………………………………………….. 105
ix
DAFTAR TABEL
NOMOR HALAMAN
1. Tabel 1. Tanda vital dan laboratorium pasien sepsis 11
2. Tabel 2. Penilaian skor PELOD 2 37
3. Tabel 3 Karakteristik sampel penelitian 66
4. Tabel 4 Hubungan antara jenis kelamin dengan outcome
penderita sepsis pada anak dapat 68
5. Tabel 5 Hubungan usia dengan outcome
penderita sepsis pada anak berdasarkan kelompok umur 69
6. Tabel 6 Hubungan antara status gizi dengan outcome
penderita sepsis pada anak 70
7. Tabel 7 Hubungan gangguan tingkat kesadaran dengan outcome
penderita sepsis pada anak 71
8. Tabel 8 Hubungan antara hipotensi dengan outcome
penderita sepsis pada anak 72
9. Tabel 9 Hubungan antara pemakaian ventilator mekanik
dengan outcome penderita sepsis pada anak 73
10.Tabel 10 Hubungan antara kadar trombosit dengan outcome
penderita sepsis pada anak 74
11.Tabel 11 Hubungan antara kadar kreatinin dengan outcome
penderita sepsis pada anak 75
12.Tabel 12 Hubungan antara kadar ANC dengan outcome
penderita sepsis pada anak 76
x
13.Tabel 13 Hubungan antara kadar prokalsitonin dengan outcome
penderita sepsis pada anak 77
14.Tabel 14 Hasil analisis regresi ganda logistik faktor risiko
mortalitas sepsis pada anak. 78
15.Tabel 15 Probabilitas mortalitas berdasarkan faktor risiko yang ada 80
xi
DAFTAR GAMBAR
NOMOR HALAMAN
1. Gambar 1. Mekanisme pengenalan Tool like Receptor 16
2. Gambar 2. Mekanisme kerja imunitas adatif 18
3. Gambar 3. Patogenesis sepsis yang disebabkan gram positif 19
dan gram negatif
4. Gambar 4. Keterlibatan komplemen dan sitokin proinflamasi 20
5. Gambar 5. Aktivasi neutrophil terhadap infeksi 23
6. Gambar 6. Aktivasi faktor koagulasi pada sepsis 26
7. Gambar 7. Cedera alveolus pada fase akut ALI dan ARDS 30
8. Gambar 8. Acute kidney injury pada sepsis 33
9. Gambar 9. Disfungsi neurologis pada sepsis 34
10.Gambar 10. Alur penegakan diagnosis sepsis 38
xii
DAFTAR LAMPIRAN
NOMOR HALAMAN
1. Naskah penjelasan pada orang tua/keluarga 105
2. Formulir persetujuan mengikuti penelitian 107
3. Rekomendasi etik 108
4. Persetujuan izin penelitian 109
5. Data dasar penelitian 110
xiii
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Arti dan keterangan
µl : mikroliter
ALI : Acute lung injury
ANC : Absolute neutrophil count
APC : Antigen presenting cell
ARDS : Acute respiratory distress syndrome
CI : Confidenct Interval
CNS : Central nervous system
COR : Crude Odds Ratio
DIC : Disseminated intravascular coagulation
EGDT : Early goal directed therapy
GCS : Glascow Coma Scale
g : gram
IFN : Interferon
Kg : Kilogram
L : Liter
LBP : Lipopolysaccharide binding protein
LPS : Lipopolisakarda
MAP : Mean arteria pressure
mg : miligram
ml : mililiter
mmHg : millimeter merkuri
mmol : milimol
MODS : Muti organ disyfunction syndrome
NF-KB : Nuclear factor kappa B
NO : Nitrit okside
OR : Odds Ratio
PCR : polymerase chain reaction
xiv
PCT : Prokalsitoin
pH : potential of hydrogen
PICU : Pediatric Intensive Care Unit
ROS : Reactive Oxygen Spesies
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
RSWS : Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo
SIRS : Systemic inflammatory response syndrome
TLR : Toll Like receptor
TNF : Tumor necrosis factor
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Sepsis adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi
tubuh yang berlebihan dalam melawan infeksi. Sepsis merupakan salah satu
penyebab morbiditas dan mortalitas (50-60%) anak yang dirawat di ruang
rawat inap dan ruang rawat intensif. Sepsis berat lebih sering dialami anak
dengan komorbiditas yang mengakibatkan penurunan sistem imunitas.
Kematian pada pasien sakit kritis berhubungan erat dengan sindrom disfungsi
organ multipel (Papadakos PJ, Szalados JE, 2005).
Studi epidemiologi pada tujuh negara bagian (24% populasi total) di
Amerika Serikat, menunjukkan angka kejadian sepsis berat 0,56 kasus per-
1000 populasi pertahun. Insiden tertinggi ditemukan pada kelompok usia bayi
(5,16 kasus per-1000 populasi) dan menurun dengan tajam pada kelompok
usia 10-14 tahun (0,2 kasus per-1000 populasi). Studi tersebut juga
menemukan lebih dari 4383 kematian per tahun atau 10,3% dari total
kematian pada anak yang disebabkan oleh sepsis berat (Mayr FB, 2014).
Di Indonesia belum didapatkan data yang akurat tentang sepsis.
Insidens sepsis di beberapa rumah sakit rujukan berkisar 15–37,2%,
sedangkan mortalitas 37-80%. Di RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta,
2
19,3% dari 502 pasien anak yang dirawat mengalami sepsis dengan angka
mortalitas 54%, lebih banyak pada anak usia kurang dari satu tahun dan laki-
laki memiliki risiko lebih tinggi dibanding perempuan (Yuniar et al., 2010). Di
RS Dr. Sardjito Yogyakarta, rerata jumlah kasus tiga tahun terakhir sekitar 275
pertahun (25,8%) dan angka mortalitas 72,9% (Hendra et al.,, 2010). Di S.
Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan Januari-Desember 2015
didapatkan insiden sepsis 46% dengan angka mortalitas 36% dari total 596
pasien (Rekam medik RSWS, 2015).
Beberapa faktor yang berperan terhadap mortalitas sepsis pada anak
meliputi faktor pejamu, mikroorganisme penyebab serta tata laksana yang
diberikan. Respons pejamu terhadap sepsis bergantung pula terhadap
kematangan sistem imunitas. Tahap perkembangan sistem imun menunjukkan
bahwa semakin muda usia, semakin sedikit tingkat kematangan sistem imun
yang telah dicapai (Rismawati D, 2014). Beberapa penelitian tidak melaporkan
usia sebagai faktor risiko yang berperan terhadap mortalitas sepsis pada
anak. Namun, beberapa studi epidemiologi menemukan risiko mortalitas yang
lebih tinggi pada anak dibawah usia 3 tahun (Matt et al., 2007).
Malnutrisi terutama gizi buruk juga merupakan salah satu penyulit yang
cukup banyak ditemukan pada pasien anak dengan sepsis. Kondisi malnutrisi
pada anak dengan sepsis dapat mengenai seluruh sistem, seperti
menurunkan respon imun, atrofi, dan mempermudah terjadinya translokasi
3
bakteri saluran cerna. Beberapa studi menemukan anak dengan gizi buruk
lebih banyak pada kelompok pasien sepsis yang meninggal (tidak survive)
atau mengalami kerusakan sistem organ lebih banyak. Faktor risiko jenis
kelamin dalam hal mortalitas sepsis masih beragam. Schroeder et al (2001)
menemukan pada pasien dewasa bahwa jenis kelamin perempuan
mempunyai prognosis yang lebih baik dalam menghadapai komplikasi sepsis.
Hal ini disebabkan karena hormon progesteron berfungsi sebagai
immunomodulator (Anthony et al., 2010). Pada penilitian lain, insiden sepsis
terdapat pada perempuan yang memiliki risiko lebih tinggi dibanding laki-laki
(61% : 39%) Namun, pada beberapa penelitian didapatkan tidak ada
perbedaan bermakna pada jenis kelamin dalam hal mortalitas sepsis.
Neutrofil merupakan fagosit terbanyak dalam tubuh dan memiliki
respon yang cepat bila terjadi infeksi. Neutrofil menghasilkan enzim proteolitik,
oksigen metabolit toksik dan produk metabolisme asam arakidonat. Bila
jumlah neutrofil berkurang, maka proses fagositosis bakteri akan terhambat
sehingga pertumbuhan mikroba meningkat. Trombositopenia pada sepsis
dapat terjadi akibat adanya aktivasi trombosit, secara langsung oleh
endotoksin atau sitokin proinflamasi. Keadaan ini mengakibatkan peningkatan
konsumsi trombosit dan polipeptida faktor koagulasi serta meluasnya
trombosis dan deposit fibrin pada mikrovaskular. Trombosis mikrovaskular dan
4
iskemik akan memberikan kontribusi terjadinya cedera jaringan dan sindrom
disfungsi organ multipel (Fouz F, 2013).
Adanya induksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi
sistemik serta pelepasan sitokin TNFα dan IL6 merangsang pelepasan
prokalsitonin (PCT). PCT berfungsi menghambat prostaglandin dan sintesis
tromboksan pada limfosit in vitro dan mengurangi hubungan stimulasi LPS
terhadap produksi TNF. Konsentrasi prokalsitonin juga berkorelasi dengan
derajat disfungsi organ. Serum prokalsitonin yang meningkat berkaitan
dengan keparahan respon sistemik dan dapat memprediksi prognosis pada
pasien penyakit kritis (Fioretto JR, 2005).
Organ tersering yang merupakan infeksi primer adalah paru, otak,
saluran kemih, kulit dan abdomen. Kegagalan respirasi merupakan jenis
disfungsi yang paling sering (74,4%) dan menyebabkan mortalitas yang tinggi
(65,6%) dengan jumlah pasien yang memakai alat ventilasi mekanik 32 dari
120 pasien (26,7%) (Marlina L et al., 2008). Peran sitokin pro inflamasi yang
disertai adanya apoptosis mempunyai peran penting dalam menentukan
derajat kerusakan jaringan dan kegagalan multi organ. Pada sepsis, NO (nitric
oxide) dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan
bersama dengan TNF-α dan IL-1β, berperan mendepresi fungsi miokardium.
Buruknya perfusi dengan sendirinya akan berpengaruh pada sistem organ
lain. Disfungsi kardiovaskuler memberikan manifestasi hipotensi, aritmia,
5
perubahan frekuensi jantung dan henti jantung (Bochud PY et al., 2003).
Organ ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan yang diperantarai leukosit
melalui produksi protease dan ROS. Kerusakan ginjal dapat diketahui dengan
adanya peningkatan kreatinin serum, dan penurunan volume urin
(oliguria/anuria). Berdasarkan uraian diatas mengenai sepsis yang dapat
menyebabkan kerusakan organ multipel, maka penelitian ini penting
dilakukan untuk mengetahui faktor risiko mortalitas sepsis pada anak.
Pencegahan menjadi langkah yang utama dan terpenting pada sepsis.
Manajemen pasien MODS bersifat suportif, sedangkan terapi spesifik
diarahkan untuk mengidentifikasi dan tatalaksana penyakit dasar. Saat ini
tatalaksana yang makin baik telah menurunkan mortalitas akibat MODS.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, perlu dilakukan penelitian tentang
faktor risiko mortalitas pada anak. Hasil penelitian diharapkan dapat
mengidentifikasi faktor risiko mortalitas sepsis, sehingga apabila kita dapat
memprediksi luaran penderita sepsis sejak awal, maka penderita dapat
diterapi lebih progresif sehingga dapat menurunkan angka kematian pada
sepsis.
Penelitian ini belum pernah dilakukan terutama di Sulawesi Selatan.
Meskipun telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui faktor
risiko mortalitas sepsis, namun pada penelitian ini kami menggunakan
berbagai parameter baik dari segi faktor penjamu, keadaan klinis maupun
6
laboratorium. Sehingga diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan
pengetahuan dan gambaran mortalitas sepsis yang ada di Sulawesi Selatan.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Faktor-faktor risiko apakah yang berpengaruh terhadap mortalitas sepsis
pada anak?
2. Seberapa besar pengaruh faktor-faktor risiko terhadap mortalitas sepsis
pada anak?
I. 3. Tujuan penelitian
I. 3. 1. Tujuan umum
Mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berperan terhadap mortalitas
sepsis pada anak.
I. 3. 2. Tujuan khusus
1. Menentukan angka kejadian mortalitas sepsis pada anak.
2. Membandingkan distribusi usia penderita sepsis yang tidak survive dan
penderita sepsis yang survive
3. Membandingkan distribusi status gizi pada penderita sepsis yang tidak
survive dan penderita sepsis survive
4. Membandingkan distribusi jenis kelamin pada penderita sepsis yang tidak
survive dan penderita sepsis yang survive
7
5. Membandingkan frekuensi penurunan tingkat kesadaran pada penderita
sepsis yang tidak survive dan penderita sepsis yang survive
6. Membandingkan frekuensi hipotensi pada penderita sepsis yang tidak
survive dan penderita sepsis yang survive
7. Membandingkan frekuensi penggunaan ventilator mekanik pada penderita
sepsis yang tidak survive dan penderita sepsis yang survive
8. Membandingkan frekuensi trombositopenia pada penderita sepsis yang
tidak survive dan penderita sepsis yang survive
9. Membandingkan frekuensi peningkatan kadar kreatinin pada penderita
sepsis yang tidak survive dan penderita sepsis yang survive
10.Membandingkan frekuensi neutropenia pada penderita sepsis yang tidak
survive dan penderita sepsis yang survive
11.Membandingkan frekuensi peningkatan kadar prokalsitonin ≥ 10 mg/dl
pada penderita sepsis yang tidak survive dan penderita sepsis yang
survive
12.Menentukan besarnya pengaruh masing-masing faktor tersebut dengan
terjadinya mortalitas sepsis pada anak.
I. 4 HIPOTESIS
1. Frekuensi usia kurang dari 5 tahun lebih tinggi pada penderita sepsis
yang tidak survive dibandingkan dengan penderita sepsis yang survive
8
2. Frekuensi gizi buruk lebih tinggi pada penderita sepsis yang tidak survive
dibandingkan dengan penderita sepsis yang survive
3. Frekuensi anak laki-laki lebih tinggi pada penderita sepsis yang tidak
survive dibandingkan dengan penderita sepsis yang survive
4. Frekuensi gangguan kesadaran berat (Glasgow Coma Scale 3 – 8) lebih
tinggi pada pada penderita sepsis yang tidak survive dibandingkan
dengan penderita sepsis yang survive
5. Frekuensi hipotensi lebih tinggi pada penderita sepsis yang tidak survive
dibandingkan dengan penderita sepsis yang tidak survive
6. Frekuensi penggunaan ventilator mekanik lebih tinggi pada penderita
sepsis yang tidak survive dibandingkan dengan penderita sepsis yang
survive.
7. Frekuensi trombositopenia berat lebih tinggi pada penderita sepsis yang
tidak survive dibandingkan dengan penderita sepsis yang survive
8. Frekuensi kadar kreatinin yang meningkat lebih tinggi pada penderita
sepsis yang tidak survive dibandingkan dengan penderita sepsis yang
survive
9. Frekuensi neutropenia lebih tinggi pada penderita sepsis yang tidak
survive dibandingkan dengan penderita sepsis yang survive
9
10.Frekuensi kadar prokalsitonin ≥10 ng/ml lebih tinggi pada penderita
sepsis yang tidak survive dibandingkan dengan penderita sepsis yang
survive
I.5 MANFAAT PENELITIAN
1. Memberikan informasi ilmiah tentang faktor-faktor risiko terjadinya
mortalitas sepsis pada anak.
2. Sebagai bahan pertimbangan terhadap kasus anak dengan sepsis agar
dapat dideteksi dan ditangani secepatnya secara komprehensif sehingga
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian lebih lanjut,
terutama dalam bidang patomekanisme genetik, mikro-organisme
penyebab sepsis dan tata laksana yang berperan terhadap mortalitas
sepsis pada anak.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.2.1. DEFINISI SEPSIS
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan (life-
threatening organ dysfunction) yang disebabkan oleh disregulasi imun
terhadap infeksi (Vincent JL, 2013).
Sepsis diawali oleh proses infeksi. Hal ini yang membedakan dengan
inflamasi sistemik steril akibat trauma, luka bakar, atau pankreatitis. Infeksi
dapat menimbulkan sepsis yang ditandai dengan disfungsi organ akibat
disregulasi respon imun (Zhao H, 2012).
Sepsis berat merupakan keadaan sepsis yang disertai dengan disfungsi
organ, hipoperfusi atau hipotensi. Gangguan perfusi ini mungkin juga disertai
dengan asidosis laktat, oliguri, atau penurunan status mental secara
mendadak. Syok sepsis yaitu adanya sepsis yang menyebabkan kondisi syok
dengan hipotensi walaupun telah dilakukan resusitasi cairan. Bila keadaan
syok septik tidak segera ditangani dengan baik maka dapat berlanjut menjadi
kondisi klinis yang lebih parah yaitu MODS yang berarti munculnya penurunan
fungsi sejumlah organ.
11
Tabel1. Tanda vital dan laboratorium spesifik menurut umur pada pasien
sepsis (Denyut jantung, pernafasan, tekanan darah sistole persentil 5th,
jumlah leukosit)
Disfungsi kardiovaskular adalah walaupun diberikan bolus cairan
isotonik intravena ≥ 40 ml/kgBB dalam 1 jam
- Penurunan tekanan darah (hipotensi) < 5 th persentil menurut umur atau
tekanan darah sistolik <2SD dibawah normal menurut umur atau,
- Membutuhkan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah
agar tetap dalam rentang normal (dopamin >5 µg/kgBB/menit atau
dobutamin, epinefrin atau norepinefrin pada dosis berapa saja) atau,
- Terdapat 2 dari:
Asidosis metabolik yang tidak diketahui penyebabnya: base deficit> 5,0
mEq/L
Peningkatan kadar laktat darah arteri > 2 kali batas atas nilai normal
Oligouria: urine output < 0,5 ml/kgBB/jam
Pemanjangan Capillary Refill time > 5 detik
12
Perbedaan core temperatur dengan peripheral temperature > 3 oC
(Goldstein, 2005)
Berikut nilai diastol normal menurut umur:
1 bulan-1 tahun : 53-66 mmHg
2-5 tahun : 53-66 mmHg
6-12 tahun : 57-71 mmHg
>12 tahun : 66-80 mmHg
Syok bermanifestasi sebagai nadi cepat dan lemah, perfusi jaringan
yang jelek (CRT> 3 detik), penyempitan tekanan nadi (≤ 20mmHg) atau
hipotensi (WHO, 2011).
II.2 INSIDEN
Insiden sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi <1 tahun
dibandingkan usia >1-18 tahun. Pasien sepsis berat, sebagian besar berasal
dari infeksi infeksi saluran nafas (36-42%), bakteremia dan infeksi saluran
kemih (Randolph AG, 2014).
Penelitian Sepsis Prevalence Outcomes and Therapies (SPROUT)
pada tahun 2015 mengumpulkan data PICU dari 26 negara, memperoleh data
penurunan prevalensi global sepsis berat dari 10,3% menjadi 8,9%. Usia
rerata penderita sepsis berat 3 tahun (0,7-11,0), infeksi terbanyak pada sistem
respirasi (40%) dan 67% kasus mengalami disfungsi multi organ (Weiss SL,
2015).
13
Risiko terjadinya sepsis berbanding terbalik dengan umur. Penelitian
yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo pada periode April-Agustus 2011,
insiden sepsis terbanyak pada kelompok usia 1 bulan – 1 tahun sebesar 62%,
Sebagian besar subjek memiliki status gizi kurang sebanyak 57,61%.
(Saraswati et al, 2014). Insiden kematian pada sepsis ditemukan lebih banyak
pada anak laki-laki, sebanyak 58% dan 42% pada anak perempuan, dengan
perbandingan 1,3 : 1 (Daniela LM 2010), sedangkan penelitian yang
dilakukan di Prancis ditemukan predominan pada anak perempuan (Tattevin
P., Michelet C, 2004).
Penelitian di Amerika Serikat dengan mengumpulkan data selama 4
tahun (2006-2009) angka kejadian sepsis ditemukan 3% bayi baru lahir, 34%
pada usia 1-12 bulan, 30% usia 1-3 tahun , 21% usia pra sekolah, 8% usia 7-
12 tahun dan 4% usia 12-16 tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin dalam
terjadinya sepsis, kecuali urospesis, yang sering terjadi pada wanita dan laki-
laki yang tidak sirkumsisi (Daniela LM, 2010).
Pada populasi anak dibawah usia 16 tahun di Amerika Serikat, pada
tahun 2000 didapatkan kasus sebanyak 42.999, sebanyak 4.400 kasus
(sekitar 10%) meninggal karena sepsis (Angus D,2001).
14
II.3 ETIOLOGI
Sepsis disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh infeksi. Mayoritas
kasus sepsis disebabkan oleh infeksi bakteri, beberapa disebabkan oleh
infeksi jamur, dan sangat jarang disebabkan oleh penyebab lain (virus dan
protozoa). Mikroorganisme penyebab sepsis sangat berhubungan dengan
umur dan status imunitas anak. Anak dengan gangguan imunitas dapat
mengalami sepsis yang disebabkan oleh berbagai kuman, bahkan oleh kuman
yang tidak biasa (IDAI, 2010).
Pola mikroorganisme penyebab sepsis berbeda setiap negara dan
tempat perawatan, selain itu juga sangat berhubungan dengan umur dan
imunitas anak. Pada anak yang lebih besar sepsis banyak disebabkan oleh
kuman staphylococcus pneumonia, Haemophilus influenza tipe B, Neisseria
meningitidis, salmonella dan streptococcus spp. hal ini berbeda dengan
penelitian lain yang mengatakan bahwa sepsis pada anak umumnya
disebabkan oleh adanya infeksi bakteri yang terdiri dari 19% infeksi
nosocomial dan bakteremi pada 49% penderita yaitu gram negatif sebanyak
52% dan gram positif 48% (Morgan BL, 2001). Penelitian di PICU RSCM
menunjukkan kuman penyebab sepsis terbanyak adalah klebsiella pneumonia
(26%), serratia marcesnens (14%) dan Burkholderia cepacia (14%), sebagian
besar kuman yang ditemukan adalah kuman gram negatif. Ditemukan pula
hasil kultur jamur termasuk candida sp. Selain infeksi bakteri dan jamur,
15
marshall dan taneeja menyebutkan bahwa virus pernah diisolasikan dari
penderita sepsis dengan gejala mirip dengan sepsis yang disebabkan oleh
infeksi kuman gram negatif (Trzeciak, 2005).
II. 4 PATOFISIOLOGI
Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan
dan eradikasi organisme penyebab. Aktivasi respon inflamasi sistemik pada
sepsis dibutuhkan tubuh sebagai pertahanan tubuh terhadap agen infeksi.
Berbagai jalur inflamasi diaktifkan pada awal sepsis dengan tujuan untuk
menghambat invasi bakteri. Mekanisme ini termasuk pengeluaran sitokin,
aktivasi neutrofil, monosit, makrofag dan perubahan sel endothel, serta
aktivasi sistem komplemen, koagulasi, fibrinolisis dan sistem kontak (Morgan
BL, 2001).
Respon host pada sepsis terdiri dari beragam mekanisme imunitas.
Sebagian besar berasal dari sitem imunitas bawaan dan imunitas adatif.
Komponen dari imunitas bawaan termasuk sel fagositik, seperti neutrofil dan
makrofag yang dapat menelan dan menghilangkan patogen sedangkan
imunitas adatif merupakan imunitas yang spesifiik tehadap patogen dan
mempunyai memori imunologik untuk mencegah infeksi ulangan (Hotchkiss R
and Karl L, 2003).
16
Imunitas bawaan (innate immunity)
Sistem imunitas bawaan merupakan respon awal tubuh terhadap bakteri
patogen dengan aktivasi cepat. Sel neutrophil dan makrofag yang
berperan dalam fase ini memiliki Pattern Recognition Receptors (PRRs)
yang segera mengenali Pathogen-Associated Molecular patterns (PAMPs)
yang terdapat pada bakteri gram positif. Mekanisme pengenalan ini
memicu sekresi berbagai sitokin yang salah satunya adalah TNF-α. TLRs
dilibatkan dalam pertahanan penjamu terhadap invasi patogen, berfungsi
sebagai sensor utama dari produk mikrobial dan mengaktifkan jalur
signaling yang menginduksi ekspresi gen imun dan proinflamasi ( Russel J,
2006; Rudringer et al., 2009).
Gambar 1. Mekanisme pengenalan Tool like Receptor mengenali berbagaiPAMPs (Russel J, 2006)
17
Selain mekanisme pengenalan PAMPs, monosit juga akan
mengaktivasi faktor transkripsi seperti PPRs intraseluler, NOD1 dan NOD2
yang akan mengaktivasi sistem imunitas tubuh melalui NF-KB ketika
berikatan dengan molekul patogen yang difagositnya (Paterson, 2000).
Imunitas adatif (Adaptiv immunity)
Sistem imunitas adatif berfungsi menghasilkan respon yang spesifik
terhadap patogen dan menghasilkan protektif terhadap re-infeksi oleh
organisme yang sama. Makrofag yang memfagosit patogen asing (bakteri
dan virus) akan memunculkan protein permukaan dari mikroorganisme
tersebut pada tempat pengikatan major histocompatibility complex (MHC),
MHC ini selanjutnya akan menampilkan protein untuk menarik sel T
spesifik yang berperan dalam akivasi sitokin serta antibodi yang sesuai
(Abbas, A. K dan Lichtman, A. H, 2015).
Limfosit B (sel B) menghasilkan berbagai macam antibodi dan
pengenalan antigen oleh reseptor atau menginduksi survival dari sel T
yang terlibat sehingga dapat menimbulkan memori imunologik. Sel T-
Helper (Th) yang terbagi menjadi 2 tipe (Th1 dan Th2) berfungsi untuk
melawan infeksi, produksi antibodi (terutama pada respon IgE) dan
patogenesis reaksi hipersensitivitas (Abbas, A. K dan Lichtman, A. H,
2015).
18
Pada kondisi syok sepsis, ditemukan adanya peningkatan sel T
regulator yang berfungsi memodulasi pematangan sel imun untk
membatasi respon adatuf serta apoptosis limfosit dan sel dendritik.
Hilangnya sel-sel ini (limfosit dan dendritik) menyebabkan kerusakan pada
imunitas adatif. Pada fase awal respon imunitas tubuh, Th1 mendominasi
karena berkaitan dengan infeksi patogen, selanjutnya terjadi pergeseran
menuju Th2 ketika makrofag dan sel dendritik memfagosit produk
apoptosis sel imun dan kemudian menghasilkan berbagai sitokin
.Pergeseran Th1 menjadi Th2 berdampak pada terjadinya imunoparesis.
Gambar 2. Mekanisme kerja imunitas adatif. (Russel J, 2006)
II.4.1 Cedera seluler yang diinduksi oleh mediator inflamasi
Pada sepsis terjadi respon inflamasi pejamu yang meningkat dan
menyimpang. Sitokin yang bersifat proinflamasi (TNF α, IL-1, IFN-γ) maupun
19
anti inflamasi (IL-1ra, IL-4, IL-10) terlibat pada sepsis. Ketidakseimbangan
antara kedua jenis sitokin tersebut akan memberikan efek yang merugikan
bagi tubuh (Elena dkk, 2006, Guntur., 2006).
Mediator inflamasi berperan penting dalam patogenesis renjatan septik.
Bakteri gram positif dan gram negatif menyebabkan pelepasan berbagai
mediator proinflamasi, termasuk sitokin. Sitokin berperan penting dalam
memulai sepsis dan renjatan yang dapat mengakibatkan kematian (Guntur,
2006).
Gambar 3. Patogenesis sepsis yang disebabkan gram positif dan gram negatif(Russel J,2006)
Pada sepsis, aktivasi dari imunitas tubuh alami, khususnya sel fagosit
mononuklear, bereaksi terhadap endotoksin yang dinamakan lipopolisakarida
20
(LPS). LPS adalah komponen dari dinding sel bakteri gram negatif. Pada
sirkulasi, LPS berikatan dengan lipopolysaccharide binding protein (LBP)
(Paterson, 2000).
Gambar 4. Keterlibatan komplemen dan sitokin proinflamasi ( Russel J,2006)
Sebagai respon terhadap LPS terjadi aktivasi sel imun non spesifik
(innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. Pada
sirkulasi, LPS terikat pada protein pengikat lipopolisakarida. Kompleks ini
dapat mengikat reseptor CD14 makrofag dan monosit yang bersirkulasi.
Eksotoksin dari bakteri gram positif maupun produk aktivasi sistem
komplemen seperti C5α juga dapat merangsang proses yang sama seperti di
atas. Molekul CD14 harus berikatan lagi dengan kelompok molekul yang
disebut Toll Like Reseptor (TLR). Kini telah diketahui bahwa molekul TLR2
21
lekosit berperan terhadap pengenalan bakteri gram positif dan TLR4 untuk
pengenalan endotoksin bakteri gram negatif (Hotchkiss dkk, 2003). Kemudian
reseptor TLR menerjemahkan sinyal ke dalam sel dan terjadi aktivasi regulasi
protein (Nuclear Factor Kappa B/NFkB). NFkB mengontrol ekspresi sitokin
inflamasi dari masing – masing gen.Kadar yang tinggi pada pasien sepsis
dikaitkan dengan keluaran yang buruk. Setelah pengenalan ikatan tersebut
akan terjadi aktivasi produksi sitokin (Short, 2004).
Respon tubuh terhadap sepsis yaitu melalui limfosit T yang
mengeluarkan substansi dari Th1 yang mengeluarkan sitokin proinflamatori,
sementara Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL5, IL9 IL10 IL13. IFN γ akan
merangsang makrofag mengeluarkan IL1 dan TNF α. IFN γ, IL1 dan TNF α
merupakan sitokin proinflamatori, maka pada sepsis terjadi peningkatan kadar
sitokin tersebut. Selain itu, peningkatan kadar prokalsitonin (PCT) pada
sirkulasi sistemik dirangsang oleh paparan dari material dinding sel bakteri
baik bakteri gram positif (proteoglikan) maupun bakteri gram negatif
(endotoksin) dan juga rangsangan dari sitokin proinflamasi (TNF α maupun
IL1).
Bila sampai 24 jam paparan mikroorganisme, produksi sitokin kurang
diimbangi oleh sitokin antiinflamasi maka akan terjadi ketidakseimbangan.
Pada situasi ini, infeksi menyebar keseluruh tubuh, muncul inflamasi sistemik
dan penderita mengalami sepsis. Dalam 24-48 jam dari paparan
22
mikroorganisme, karena pengaruh berbagai mediator dan sitokin, serta ROS,
menyebabkan endotel semakin tertekan, dinding vaskuler kehilangan fungsi
dan elastisitasnya, jantung mengalami disfungsi miokard, secara klinis akan
muncul pertanda syok septik (Nasronuddin, 2011).
Perubahan fungsi kardiovaskular akibat pemberian endotoksin sama
dengan yang diakibatkan sepsis, ditandai dengan depresi miokard yang
reversible dan dilatasi ventrikel. Depresi miokard berhubungan dengan jumlah
mikroorganisme. Bakteri gram positif menyebabkan kelainan yang sama
dengan gram negatif. TNF menyebabkan pemendekan sel miokard yang
dimulai setelah 10 menit pemberiannya, depresi miokard yang terjadi
berhubungan dengan konsentrasi TNF. Pada penelitian oleh parillo, terjadi
pemendekan sel miokard pada pasien sepsis dengan fase akut syok sepsis
jika dibandingkan dengan fase recovery atau pasien tanpa sepsis (p<0,001).
(Parillo,1993).
Sejumlah besar abnormalitas vascular telah dideskripsikan pada
pasien dengan syok sepsis. Agregasi platelet dan neutrofil dapat menurunkan
aliran darah. Migrasi neutrofil melepaskan banyak mediator dan migrasi
neutrofil ke jaringan. Neutrofil dapat menyebabkan active oxygen spesies
yang akan merusak sel. Vasodilatasi yang disebabkan oleh TNF berhubungan
produksi nitrit oxide oleh endotel, yang merupakan vasodilator kuat.
23
Pada keadaan normal, endotel sangat sedikit berinteraksi dengan
leukosit, tetapi bila distimulasi oleh TNF α atau IL1 atau endotoksin, akan
terjadi inflamasi luas dan memicu adhesi neutrofil. Neutrofil ini kemudian
mengalami migrasi melalui endotel, terjadi agregasi jaringan yang mengalami
kerusakan, serta terjadi perluasan inflamasi. Sel endotel semakin teraktivasi,
meningkatkan produksi nitrit oxide/ radikal oksigen di endothelium, yang akan
menyebabkan vasodilatasi, penurunan tonus vaskuler. Kerusakan endotel ini
memicu pelebaran celah sehingga menjadi semakin permeabel dan
menyebabkan kebocoran vaskuler. Peningkatan permeabilitas pembuluh
darah akan menyebabkan perembesan plasma (plasma leackage) dari ruang
intravaskuler keruang interstitial sehingga terjadi renjatan (Abbas, A. K. dan
Lichtman, A.H, 2005; Nasronuddin, 2011) .
Gambar 5. Aktivasi neutrophil terhadap infeksi (Rudinger A., Statz M.,andSinger M, 2008)
24
Pada disfungsi endotel dan dampak sekresi mediator, melibatkan 4
kaskade: komplemen, kalikrein-kinin, koagulasi dan fibrinolitik. Komponen
komplemen, terutama anafilaktoksin C3a dan C5a menyebabkan vasodilatasi
akibat dilepaskannya histamine dari sel mast. (Nasronuddin, 2011). C5a dan
produk lain hasil aktivasi komplemen akan meningkatkan aktivasi reaksi
neutrofil misalnya kemotaksis, agregasi, degranulasi dan produksi oksigen
radikal. C5a terbukti menginduksi terjadinya pulmonary vasoconstriction,
neutropenia dan kebocoran vaskuler karena kerusanan endotel (Suharto,
2011). Aktivasi sistem kinin mengasilkan bradkikin sebagai vasodilator yang
sangat kuat. Mekanisme koagulasi berakibat terbentuknya trombosis
mikrovaskuler (Angus, 2013; Nasronuddin, 2011). Pada tingkat lokal, dengan
adanya proses tersebut infeksi diharapkan dapat terlokalisasi ditempat
tersebut dengan terbentuknya trombus lokal, sehingga invasi kuman dapat
dicegah (Suharto, 2011). Namun, apabila berlangsung terus menerus
akibatnya terjadi gangguan pada mikrosirkulasi dan iskemia organ.
Mekanisme fibrinolitik teraktifasi sehingga terjadi kecenderungan pembekuan
dan akhirnya terjadi DIC (Angus, 2013; Nasronuddin, 2011).
TNF α meningkatkan ekspresi olekul adhesi pada permukaan endotel
pembuluh darah yaitu intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-I), vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-I) selectin dan integrin ligand, dan pada
permukaan leukosit yairtu selectin ligand dan integrin (Abbas, A.K. dan
25
Lichtman, A. H., 2015). Adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil mudah
mengalami adhesi. Neutrofil yang mengalami adhesi di endotel akan
mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis, sehingga
endotel terbuka. Neutrofil juga membawa superoksidan atau radikal bebas
dan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMP akibat
proses ini endotel mengalami kerusakan, sehingga terjadi gangguan vaskuler,
kerusakan organ multiple dan syok sepsis. (Nasronuddin, 2011) kenaikan
ICAM-1 Berkorelasi dengan intensitas dan beratnya syok, demikian juga
dengan kegagalan organ dan outcome penyakit. Mediator TNF dan IL6 juga
dapat menstimulasi peningkatan kadar prokakalsitonin (PCT) dalam darah.
PCT berfungsi menghambat prostaglandin dan sintesis tromboksan pada
limfosit invitro dan mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi
TNF (Suharto, 2011).
Banyak alat tubuh yang mengalami kerusakan akibat sepsis.
Mekanisme yang mendasari sangat mungkin adalah terjadinya vascular
endothelial injury yang sangat luas, disamping ekstravasasi cairan dan
mikrotrombi yang akan menurunkan utilisasi oksigen dan bahan lain oleh
jaringan yang bersangkutan (Suharto, 2011).
26
II.4.2 Kelainan homeostasis koagulasi dan fibrinolisis pada sepsis
Ketidakseikmbangan mekanisme homeostasis menyebabkan
disseminated intravascular coagulation (DIC) dan trombosis mikrovaskular
sehingga dapat terjadi disfungsi organ dan kematian. Mediator inflamasi
menyebabkan cedera langsung pada endotel pembuluh darah. Sel endotel
melepaskan tissue factor (TF), memicu kaskade koagulasi ekstrinsik dan
mempercepat produksi trombin. Produk akhir dari jalur koagulasi adelah
produksi thrombin yang mengubah fibrinogen larut menjadi fibrin. Fibrin
terlarut bersama dengan agregasi trombosit membentuk bekuan intravaskular
(Herwanto, 2009).
Gambar 6. Aktivasi faktor koagulasi pada sepsis (Rudringer A., StatzM., and Singer M, 2008)
27
Sitokin inflamasi, seperti IL-1 a, IL-1 b, dan TNF-α memulai koagulasi
dengan aktifasi TF, yang merupakan penggerak utama koagulasi. TF
berinteraksi dengan faktor VIIa, membentuk faktor kompleks VIIa-TF, yang
mengaktifkan faktor X dan IX. Aktivasi koagulasi sepsis telah dikonfirmasi oleh
peningkatan yang ditandai dalam kompleks thrombin antitrombin dan adanya
D-dimer dalam plasma, yang menunjukkan aktivasi sistem pembekuan darah
dan fibribolisis. Tissue plasminogen activator (t-PA) memfasilitasi konversi
plasminogen menjadi plasmin (Abbas, A. K. dan Lichtman, A. H., 2015).
Endotoksin meningkatkan aktivitas inhibitor fibrinolisis yaitu
plasminogen activator inhibitor (PAI-1) dan thrombin activatable fibrinolysis
inhibitor (TAFI). Selain itu, tingkat protein C dan endogenous activated protein
C juga menurun pada sepsis. Endogenous activated protein C penghambat
proteolitik yang penting dari koagulasi kofaktor Va dan VIIa. Trombin melalui
thrombomodulin actvated mengaktifkan protein C berfungsi sebagai
antitrombosis di microvascular tersebut. Endogenous activated protein C juga
meningkatkan fibrinolisis dengan menetralkan PAI-1 dan dengan
mempercepat lisis bekuan t-PA-dependen (Abbas, A. K. dan Lichtman, A. H.,
2015).
Ketidakseimbangan antara inflamasi, koagulasi, dan hasil fibrinolisis
menghasilkan koagulopati sistemik, trombosis mikrovaskular dan penekanan
fibrinolisis sehingga menyebabkan disfungsi beberapa organ dan kematian.
28
II.4.3.Nitrat oksida dan efek potensial terhadap respirasi sel pada sepsis.
Dominasi sitokin proinflamatori akan menyebabkan munculnya
manifestasi klinis panas atau hipotermi, peningkatan neutrofil imatur. Respon
imun yang berlebihan tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan kapiler,
iskemia jaringan, hipoksia jaringan, hipoksia seluler, dan akhirnya kerusakan
organ. Ditingkat sel, hipoksia seluler akan memicu mitokondria untuk
memproduksi radikal bebas, serta kerusakan DNA melalui apoptosis. Hipoksia
pada sepsis memicu terbentuknya reactive oxygen species (ROS). NO secara
normal dihasilkan dari eNOS dan nNOS dalam jumlah kecil. Namun dengan
paparan sitokin proinflamasi (misalnya, interleukin-1, tumor necrosis factor)
dan lipopolisakarida (LPS), akan menginduksi iNOS untuk menghasilkan NO
dalam jumlah besar. NO dapat beraksi dengan O2- untuk membentuk ONOO-
(peroxynitrat) yang dapat bertindak sebagai oksidan kuat. NO pada
konsentrasi tinggi mudah bergabung dengan oksidan lain untuk membentuk
reaktif nitrogen spesies, yang dapat merusak berbagai target seluler seperti
DNA dan protein. Hal ini akhirnya dapat menyebabkan apoptosis.
Pembentukan ROS / RNI memainkan peran penting dalam sistem kekebalan
tubuh. Fagosit, termasuk makrofag dan neutrofil, mampu menghasilkan
sejumlah besar ROS dan RNI. Radikal bebas ini penting untuk fagosit,
antimikroba dan tumoricidal, juga telah diketahui bahwa penambahan ROS
atau RNI dapat menyebabkan kematian sel baik oleh apoptosis atau nekrosis.
29
Pada sepsis terjadi aktivasi dari iNOS pada makrofag, otot polos vascular,
hepatosit, dan miosit jantung. Mekanisme NO pada apoptosis termasuk
aktivasi Fas melalui regulasi ekspresi Fas-ligan, produksi peroxynitrite,
penghambatan sintesis ATP mitokondria dan inaktivasi beberapa enzim
antioksidan (Gautam P dan Jain SK, 2007).
Ekspresi iNOS pada sel endotel akan menghasilkan NO yang
berimplikasi pada manifestasi renjatan sepsis seperti vasoplegia, kehilangan
kontraktilitas miokardium, kerusakan hepar, dan hiperpermeabilitas vascular
dan intestinal (Bochud PY dan Calandra, 2003). Maka peran sitokin
proinflamatori yang disertai adanya apoptosis mempunyai peran penting
dalam menentukan derajat kerusakan jaringan dan kegagalan multi organ,
serta cepat lambatnya menjadi syok septik (Nasronuddin 2011).
II.5 Disfungsi organ pada sespis
Sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati, hematologi, dan neurologi
merupakan 6 sistem organ yang paling sering dievaluasi pada Sindrom
disfungsi organ multipel.
Disfungsi respirasi sering terjadi pada pasien SIRS. Kira – kira 35%
pasien sepsis akan mengalami Acute Lung Injury (ALI) dan 25% mengalami
komplikasi penuh menjadi Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS).
Disfungsi respirasi bermanifestasi sebagai takipnea, perubahan status
30
oksigenasi yang terlihat dari hipoksemia, penurunan rasio PaO2/FiO2 atau
kebutuhan suplementasi oksigen. Disfungsi respirasi juga ditunjukkan dengan
jumlah positive end-expiratory pressure (PEEP) dan/atau penggunaan
ventilasi mekanik. Jika disfungsinya berat, dapat berkembang menjadi acute
lung injury (ALI) dengan komplikasi ARDS pada 60% kasus syok sepsis.
Diagnosis ARDS ditegakkan bila rasio PaO2/FiO2 <200 mmHg dan bentuk
yang lebih ringan yaitu ALI didiagnosis bila rasio PaO2/FiO2 <300 mmHg
(Gautam P, 2007).
Gambar 7. Cedera alveolus pada fase akut ALI dan ARDS (sisi kanan).(Brealey D and Singer M, 2000)
31
Pada fase akut (sisi kanan), terdapat peluruhan sel epitel bronkial dan
alveolar dengan disertai pembentukan membran hialin kaya ptotein pada
membran basalis terdenudasi. Neutrofil ditunjukkan menempel pada endotel
kapiler yang cedera dan bergerak melalui interstitium ke rongga udara, yang
dipenuhi oleh cairan edema kaya protein. Pada rongga udara, makrofag
alveolar mengeluarkan sitokin, IL 1, 6 ,8, dan 10 dan TNF yang bekerja lokal
untuk merangsang kemotaksis dan mengaktivasi neutrofil. Makrofag juga
mensekresi sitokin lainnya, termasuk interleukin 1, 6 dan 10. IL 1 juga dapat
menstimulasi produksi matriks ekstraselular melalui fibroblast. Neutrofil dapat
melepaskan oksidan, protease, leukotriens dan molekul proinflamatorik
lainnya seperti faktor aktivasi trombosit (PAF). Beberapa mediator anti
inflamatorik juga terdapat pada milieu alveolar, termasuk antagonis reseptor
interleukin-1, reseptor faktor nekrosis tumor soluble, autoantibodi terhadap
interleukin 8 dan sitokin-sitokin seperti interleukin 10 dan 11. Masuknya cairan
edema kaya protein ke dalam alveolus telah menyebabkan terjadinya
inaktivasi surfaktan ( Brealey D and Singer M, 2000).
NO (nitric oxide) berperan menyebabkan disfungsi kardiovaskuler. NO
berperan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik pada MODS
dan bersama dengan TNF-α dan IL-1β, berperan mendepresi fungsi
miokardium. Buruknya perfusi dengan sendirinya akan berpengaruh pada
sistem organ lain. Selain itu, kerusakan endotel menyebabkan hilangnya
32
fungsi barier endotel sehingga terjadi edema dan redistribusi cairan. Disfungsi
kardiovaskuler memberikan manifestasi hipotensi, aritmia, perubahan
frekuensi jantung, henti jantung, perlunya dukungan inotropik atau
vasopressor, serta meningkatnya tekanan vena sentral atau tekanan kapiler
pulmonal (Rudringer A., Statz M., and Singer M, 2008).
Seperti jaringan lainnya, ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan
yang diperantarai leukosit melalui produksi protease dan ROS. Hipovolemia,
curah jantung yang rendah, obat-obatan nefrotoksik, peningkatan tekanan
intra abdomen dan rabdomiolisis semuanya berperan menyebabkan disfungsi
ginjal. Peningkatan kreatinin serum, penurunan volume urin (oliguria/anuria),
atau adanya penggunaan terapi pengganti ginjal (seperti dialisis) dapat
digunakan untuk memantau adanya disfungsi ginjal (Leclerc F, Leteutre S,
2005).
33
Gambar 8. Acute kidney injury pada sepsis (Rudringer A., Statz M., andSinger M. 2008)
Disfungsi hati didiagnosis dengan adanya ikterus atau
hiperbilirubinemia, peningkatan transaminase serum, laktat dehidrogenase,
atau fosfatase alkali, hipoalbuminemia, dan perpanjangan waktu protrombin.
Adanya trombositopenia, leukositosis atau leukopenia, manifestasi
koagulopati dengan perpanjangan waktu protrombin, waktu tromboplastin
parsial, produk degradasi fibrin, atau tanda koagulasi intravaskuler diseminata
lain, perdarahan yang banyak, serta ekimosis merupakan petunjuk adanya
disfungsi hematologi (Leclerc F, Leteurtre, 2005).
34
Gambar 9. Disfungsi neurologis pada sepsis (Rudringer A., Statz M.,and Singer M. 2008)
Sedangkan disfungsi neurologis terutama ditandai dengan gangguan
kesadaran dan fungsi serebral. Tanda perubahan fungsi sistem saraf pusat
meliputi penurunan Glasgow Coma Scale (GCS), obtundasi, confusion, dan
psikosis. Polineuropati dan polimiopati dapat terjadi pada kondisi MODS.
Patofisiologi polineuropati melibatkan degenerasi aksonal primer akibat
mediator proinflamasi. Dibutuhkan 3-6 bulan untuk perbaikan akson. Fakta ini
dapat menjelaskan ketergantungan ventilator yang lama pada pasien-pasien
sakit berat (Herwanto, 2009).
35
II.6 DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya :
1. Infeksi, meliputi (a) Faktor predisposisi infeksi, (b) Tanda atau bukti
infeksi yang sedang berlangsung, (c) Respon inflamasi
2. Tanda disfungsi/gagal organ
Faktor-faktor predisposisi infeksi, meliputi faktor genetik, usia,
status nutrisi, status imunitas, komorbiditas ( asplenia, penyakit kronis,
transplantasi, keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat terapi ( steroid,
antibiotik, tindakan invasiv)
Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Secara klinis ditandai oleh demam atau hipotermi, atau adanya fokus
infeksi. Secara laboratorium digunakan penanda infeksi yaitu
pemeriksaaan tepi ( leukosit, trombosit, rasio neutrofil : limfosit, shift to the
left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granulasi toksik, dohles body dan
vakuola dalam sitoplasma memiliki sensitivitas 80% untuk memprediksi
infeksi). C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin, dengan pemeriksan
berkala/berulang sesuai dengan keputusan klinisi dan ketersediaan
fasilitas pelayanan di tiap rumah sakit. Sepsis memerlukan pembuktian
adanya mikroorganisme yang dapat dilakukan melalui pemeriksaan
apusan garam, hasil kultur (biakan) atau polymerase chain reaction (PCR).
36
Pencarian fokus infeksi lebih lanjut dilakukan dengan pemeriksan analisis
urin, feses rutin, lumbal punksi, dan pencitraan sesuai indikasi.
Secara klinis respon inflamasi terdiri dari :
1. Demam (suhu inti > 38 atau suhu aksila > 37 atau hipotermia (suhu inti
< 36)
2. Takikardia : rerata denyut jantung di atas normal sesuai usia tanpa
terdapat stimulus eksternal, obat kronis dan nyeri. Atau peningkatan
denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4 jam
3. Bradikardia (pada anak < 1 tahun) : rerata denyut jantung kurang dari
normal sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta bloker,
dan penyakit jantung kongenital, atau penurunan denyut jantung yang
tidak dapat dijelaskan lebih dari 0,5 jam
4. Takipneu : rerata frekuensi nafas diatas normal
37
Tabel 2. Penilaian skor PELOD-2
Tanda disfungsi organ meliputi disfungsi sistem kardiovaskular,
respirasi, hematologi, sistem saraf pusat dan hepatik. Disfungsi organ
ditegakkan berdasarkan skor PELOD 2. Diagnosis sepsis ditegakkan bila skor
≥ 11 (atau ≥ 7)
38
Gambar 10. Alur penegakan diagnosis sepsis
II.7. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana sepsis ditujukan ada penanggulangan infeksi dan disfungsi
organ.
1. Tatalaksana infeksi
a. Antibiotik
Pemilihan antibiotik empirik sesuai dengan dugaan etiologi infeksi,
diagnosis kerja yang telah ditegakkan, usia dan predisposisi penyakit.
Apabila penyebab belum jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama
sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan kultur
darah. Upaya awal terapi sepsis adalah dengan menggunakan antibiotik
39
tunggal spektrum luas. Setelah bakteri penyebab diketahui, terapi
antibotik definitif diberikan sesuai pola kepekaan kuman.
Apabila antibiotik diberikan kombinasi, harus dipertimbangkan kondisi
klinis, usia, kemungkinan etiologi dan tempat terjadinya infeksi,
mikroorganisme penyebab, pola kuman di RS, predisposisi pasien dan
efek farmakologi dinamik serta kinetik obat.
b. Anti jamur
Pasien dengan predisposisi infeksi jamur sistemik memerlukan terapi anti
jamur. Penggunaan anti jamur pada sepsis disesuaikan dengan data
sensitivitas lokal. Bila tidak ada data, dapat diberikan lini pertama berupa
amphotericin B atau fluconazole, sedangkan lini kedua adalah micafungin.
2. Tatalaksanan disfungsi organ
a. Pernafasan, meliputi pembebasan jalan nafas (non invasiv dan invasiv
dan pemberian suplementasi oksigen)
b. Resusuitasi cairan dan tatalaksana hemodinamik, meliputi akses
vascular secara cepat, resusitasi cairan dan pemberian obat-obatan
vasoaktif. Resusitasi cairan harus memperhatikan aspek fluid
responsiviness dan mengiindari kelebihan cairan > 15% per hari
40
c. Transfusi darah
- Transfusi packed red cell, diberikan bila sturasi vena cava superior
ScvO2 <70% atau Hb <7 gr/dl)
- Transfusi konsentrat trombosit, profilaksis pada kadar trombosit
<10.000/mm3 tanpa perdarahan aktif atau <20.000/mm3 dengan risiko
bermakna perdarahan aktif, bila pasien akan menjalani pembedahan
atau prosedur invasiv, kadar trombosit dianjurkan >50.000/mm3. Terapi
diberikan pada kadar trombosit <100.000/mm3 dengan perdarahan aktif.
- Transfusi plasma
d. Kortikosteroid
Hidrokortison suksinat 50 mg/m2/hari diindikasikan untuk pasien syok
refrakter katekolamin atau terdapat tanda-tanda insufisiensi adrenal
e. Kontrol glikemik
Gula darah dipertahankan 50-180 mg/dl. Apabila gula darah >180
mg/dl, glucose infusion rate (GIR) diturunkan sampai 5 mg/kgbb/menit.
Bila gula darah >180 mg/dl, dengan GIR 5 mg/kgbb/menit, GIR
dipertahankan dan titrasi rapid acting insulin 0,05-0,1 IU/kg
41
f. Nutrisi
Nutrisi diberikan setelah respirasi dan hemodinamik stabil, diutamakan
secara enteral dengan kebutuhan fase akut 65 kcal/kg/hari
g. Mengilangkan sumber infeksi
Melakukan debridement, mengeluarkan abses dan pus, membuka alat
dan kateter yang berada dalam tubuh merupakan bagian dari eradikasi
sumber infeksi.
II.8 EVALUASI DISFUNGSI ORGAN DAN ROGNOSIS
Perbaikan disfungsi organ dan prognosis dinilai dengan skor pelod 2
dan prokalsitonin (PCT) menggunakan panduan derajat keparahan
penyakit
a. Derajat ringan : Skor PELOD 2 nilai 0-3 dan kadar PCT 0,5-1,99
ng/ml
b. Derajat sedang : Skor PELOD 2 nilai > 3-9 dan kadar PCT 2,0-0,99
ng/ml
c. Derajat berat : Skor PELOD 2 nilai > 9 dan kadar PCT 10 ng/ml
II.8. FAKTOR RISIKO MORTALITAS SEPSIS1. Usia
Respons pejamu terhadap sepsis bergantung pula terhadap
kematangan sistem imunitas. Tahap perkembangan sistem imun
menunjukkan bahwa semakin muda usia, semakin sedikit tingkat
42
kematangan sistem imun yang telah dicapai, sehingga semakin rendah
pula kemampuan membunuh patogen. Hal tersebut dapat meningkatkan
risiko kematian pada anak dengan usia muda yang mengalami sepsis
(wyatt, 2010).
Penelitian oleh desy D et al (2014) membagi variabel usia menjadi
kelompok kurang dari 5 tahun dan lebih sama dengan 5 tahun, didapatkan
kedua kelompok usia tidak mempunyai perbedaan sebagai faktor risiko
yang berperan terhadap mortalitas sepsis pada anak. Penelitian lain oleh
Maat et al (2007) menemukan risiko mortalitas yang lebih tinggi pada anak
di bawah usia 3 tahun.
2. Status gizi
Keadaan malnutrisi terutama gizi buruk dapat meningkatkan
kerentanan pejamu terhadap penyakit terutama pada anak, serta
menimbulkan imunodefisiensi sekunder. Ditambah lagi, infeksi sendiri
dapat menimbulkan malnutrisi terutama gizi buruk pada pejamu akibat
meningkatnya metabolisme (khan et al., 2012).
Komplikasi malnutrisi pada anak dengan sepsis dapat mengenai
seluruh sistem, seperti menurunkan respon imun, atrofi, dan
mempermudah terjadinya translokasi bakteri saluran cerna akibat
peningkatan permeabilitas barier intestinal. Pada akhirnya, anak akan
43
mengalami masa penyembuhan luka yang lebih lama, infeksi lain atau
reinfeksi, dan meningkatkan angka kematian.
3. Jenis kelamin
Faktor risiko jenis kelamin dalam hal mortalitas sepsis masih
kontroversial. Penelitian oleh Hendra melaporkan dari 37 anak, sekitar 20
(54,1%) laki-laki dan tidak ditemukan perbedaan bermakna pada kedua
jenis kelamin. Penelitian kohort, perempuan dengan sepsis berat atau syok
sepsis lebih tinggi angka mortalitasnya (Anthony P, 2010). Penelitian oleh
martin GS, didapatkan jenis kelamin laki-laki merupakan prediktor
independent kematian sepsis.
Beberapa literatur menyebutkan jenis kelamin perempuan mempunyai
prognosis yang lebih baik dalam menghadapi komplikasi sepsis. Hal ini
disebabkan karena hormon progesteron berfungsi sebagai
imunomodulator (Schroeder dkk, 2001).
4. Hipotensi
Hipotensi yang diinduksi sepsis dihasilkan dari maldistribusi
menyeluruh dari aliran darah dan volume darah. Hipovolume yang terjadi
menyebabkan kebocoran kapiler difus dari cairan intravaskular. Pada awal
syok septik, tahanan vaskuler sistemik biasanya meningkat dan cardiac
output kemungkinan rendah (Morgan B.L, 2001).
44
5. Penurunan kesadaran
Perubahan status mental mungkin mencerminkan perfusi ke otak.
perubahan status mental dapat berhubungan dengan hipoksik iskemik
susunan saraf pusat. Status mental yang normal dapat dipertahankan
pada pasien syok jika tekanan darah di susunan saraf pusat tersebut
cukup, meskipun dengan cara mengurangi perfusi di perifer. Gangguan
mikrosirkulasi berperan pada cedera organ yang terjadi pada sindrom
sepsis. Penurunan jumlah fungsional kapiler menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengambil oksigen secara maksimal, kompresi
intrinsik dan ekstrinsik kapiler dapat menyebabkan permeabilitas endotel
kapiler. Peningkatan permeabilitas endotel menyebabkan edema jaringan
luas disebabkan oleh perpindahan kaya protein ke jaringan. Jika hal ini
terjadi, dapat menyebabkan perubahan status mental. Gejala dapat
bervariasi mula dari agitasi, confussion, delirium dan koma (Brealey D and
Singer M, 2000).
6. Pemakaian ventilator mekanik
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi
pada sepsis berat, kejadiannya hampir 85% kasus. Disfungsi endotel yang
disebabkan oleh infiltrasi neutrofil pada paru adalah proses utama yang
mengarah ke peningkatan protein dan ekstravasasi cairan ke dalam
interstitium paru dan ruang alveolar. IL-8 diproduksi oleh makrofag alveolar
45
meningkat berhubungan dengan cedera paru pada pasien sepsis.
Disfungsi respirasi bermanifestasi sebagai takipnea, perubahan status
oksigenasi yang terlihat dari hipoksemia, penurunan rasio PaO2/FiO2 atau
kebutuhan suplementasi oksigen misalnya ventilator mekanik (Herwanto V,
Zulkifli. 2009).
7. Peningkatan kreatinin
Sepsis diketahui sebagai faktor risiko berkembangnya gagal ginjal akut.
Ginjal hipoperfusi pada sepsis terutama disebabkan oleh vasodilatasi
sistemik dan hipovolemik relatif. Peningkatan kreatinin >0,3 mg/dl dari nilai
sebelumnya atau peningkatan >50%, serta oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih
dari 6 jam menandakan gangguan gagal ginjal akut.
8. Trombositopenia
Pada sepsis dapat terjadi aktivasi trombosit, yang dapat secara
langsung oleh endotoksin atau sitokin proinflamasi. Trombosit juga dapat
teraktivasi oleh faktor koagulasi seperti trombin, aktivasi ini terjadi akibat
sekresi protein proinflamasi (Trzeciak S, 2005). Pada sepsis berat endotel
mikrovaskuler dapat mengalami kerusakan oleh berbagai faktor, termasuk
perfusi jaringan yang buruk, hipoksia, dan asidosis. Hal ini menyebabkan
perlekatan trombosit pada kolagen, peningkatan aktivasi, agregasi dan
konsumsi trombosit. Sehingga pada sepsis rangkaian interaksi yang
komplek tersebut seringkali pada akhirnya meningkatkan terjadinya
46
trombositopenia. Trombosis mikrovaskular dan iskemik akan memberikan
kontribusi terjadinya cidera jaringan dan sindrom disfungsi organ multipel.
9. Kadar absolute neutrophil count (ANC)
Neutrofil merupakan fagosit terbanyak dalam tubuh dan memiliki
respon yang cepat bila terjadi infeksi. Bila jumlah neutrofil berkurang maka
proses fagositosis bakteri akan terhambat sehingga pertumbuhan mikroba
meningkat dan akan merangsang fagosit lain seperti makrofag. Respon
yang terjadi adalah produksi zat yang akan menghancurkan bakteri dan
sitokin proinflamasi. Jumlah ANC yang rendah memiliki peningkatan risiko
infeksi. Sedangkan jumlah ANC lebih dari normal menandakan terjadinya
infeksi akut (Al-Gwaiz, L.A., Babay, H.H. 2007).
10.Kadar prokalsitonin (PCT)
Pada sepsis PCT berfungsi menghambat prostaglandin dan sintesis
tromboksan pada limfosit in vitro dan mengurangi hubungan stimulasi LPS
terhadap produksi TNF. Kadar prokalsitonin dalam serum yang ditemukan
sangat berhubungan dengan keparahan infeksi bakteri dan SIRS. Infeksi
yang terjadi terbatas di organ tunggal tanpa ada tanggap sistemik reaksi
inflamasi, kadar prokalsitonin rendah atau sedang (Hatheril M, 1999).
Sepsis memiliki nilai PCT > 2 μg/l dan < 10 μg/l, severe sepsis/syok sepsis
> 10 μg/l. Marker ini dapat digunakan untuk membedakan sepsis yang
disebabkan oleh bakteri (Ari L Runtunuwu, 2008).
47
II.8 KERANGKA TEORI
DIC
ARF
Gram(+),gram (-),virus ,jamur
TLR
Aktivasimakrofag/monosit,PMN,NK cell
fagositosis
ANC
Aktivasikomplemen
antibodi Limfosit B
C3a,C5a
Sistemkinin
Aktivasis sistemkoagulasi
bradikinin
PCTHipotalamusprostaglandin
vasodilatasiAdhesi neutrofil
LisosimLisisendotel
Aktivasi selendotel
Th1 :TNFa,IFNγ,IL1,IL3,IL6,IL8,IL12
Limfosit T APC
Th2:IL4,IL5,IL9,IL10,IL13
Disfungsi endotel
Plasma leackage
NO
Pemendekan miosit
Disfungsimiokard
Syokagregasitrombosit
Depositfibrin
Thrombosismikrovaskular Kerusakan
sel nefron
Ggn. Fungsi ginjal
Hipoperfusisinusoidal
Iskemia selhepar
Kegagalanhepatoseluler
Ekstravasasicairan r.intersalveoler
Kolaps alveoli
ALI/ARDS
Penurunanperfusi serebral
ensefalopati
apoptosis
Hipoperfusi jaringan
MODS
SURVIVE TIDAK SURVIVE
Ventilator mekanikGangguan tingkat
kesadaranPeningkatan Kreatinin
HipotensiTrombositopenia
Gizi,usia,jeniskelamin
DisfungsiBBB