konsentrasi bilirubin, aktivitas aspartat … · konsentrasi bilirubin, aktivitas aspartat...
TRANSCRIPT
KONSENTRASI BILIRUBIN, AKTIVITAS ASPARTAT
AMINOTRANSFERASE DAN ALANIN
AMINOTRANSFERASE PADA ANJING
YANG TERINFEKSI Babesia sp. KRONIS
CINTHYARINDI TIFFANI LESTARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konsentrasi Bilirubin,
Aktivitas Aspartat Aminotransferase dan Alanin Aminotranferase pada Anjing
yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Cinthyarindi Tiffani Lestari
NIM B04090059
iv
ABSTRAK
CINTHYARINDI TIFFANI LESTARI. Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat
Transferase dan Alanin Transferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia sp.
Kronis. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan LENI MAYLINA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi bilirubin, aktivitas
enzim aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) pada
anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Sebanyak 12 ekor anjing yang terinfeksi
Babesia sp. kronis dengan tingkat parasitemia <1% digunakan dalam penelitian ini
tanpa memperhatikan umur, ras, dan jenis kelamin. Sampel darah diambil melalui
vena Cephalica antibrachii untuk dianalisis terhadap konsentrasi total bilirubin,
bilirubin conjugated, bilirubin unconjugated, aktivitas enzim AST dan ALT.
Pemeriksaan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, aktivitas AST dan
ALT dilakukan menggunakan instrumen Dialab Photometer DTN-410®
. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi bilirubin total, bilirubin
conjugated, bilirubin unconjugated, aktivitas AST, dan ALT berturut-turut
0.63±0.19 mg/dL, 0.39±0.19 mg/dL, 0.24±0.16 mg/dL, 55.58±15.39 IU/L, dan
60.75±26.58 IU/L. Dapat disimpulkan, dari 12 ekor anjing penderita babesiosis
kronis, diperoleh gambaran kimia darah yang bervariasi berupa hiperbilirubinemia
conjugated (11 ekor), peningkatan aktivitas enzim AST (9 ekor), dan peningkatan
aktivitas enzim ALT (2 ekor).
Kata kunci: Babesia sp., bilirubin, AST, ALT
ABSTRACT
CINTHYARINDI TIFFANI LESTARI. Concentration of Bilirubin, Aspartate
Transferase and Alanine Transferase Activity on Dogs with Chronic Babesia sp.
Infection. Supervised by ANITA ESFANDIARI and LENI MAYLINA.
The aim of this experiment was to obtain the profile of bilirubin
concentration, activity of aspartate aminotransferase (AST) and alanine
aminotransferase (ALT) enzymes on dogs with chronic Babesia sp. infection.
Twelve dogs which are chronically positive of babesiosis were used in this
experiment, regardless of breed, age, and sex. Blood samples were taken through
the Chephalic antibrachii vein for the examination of concentration of total
bilirubin, conjugated bilirubin, unconjugated bilirubin, activity of AST and ALT.
The blood examination was delivered by Dialab Photometer DTN-410®
instrument. Results of this study showed that the concentration of total bilirubin,
conjugated bilirubin, unconjugated bilirubin, activity of AST and ALT were
0.63±0.19 mg/dL, 0.39±0.19 mg/dL, 0.24±0.16 mg/dL, 55.58±15.39 IU/L,
60.75±26.58 IU/L respectively. In conclusion, out of twelve dogs with chronic
Babesia sp infection showed various blood chemistry profile, i.e. conjugated hyperbilirubinaemia (11 dogs), increased of AST activity (9 dogs), and increased of
ALT activity (2 dogs)
Keywords: Babesia sp., bilirubin, AST, ALT
vi
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
KONSENTRASI BILIRUBIN, AKTIVITAS ASPARTAT
AMINOTRANSFERASE DAN ALANIN
AMINOTRANSFERASE PADA ANJING
YANG TERINFEKSI Babesia sp. KRONIS
CINTHYARINDI TIFFANI LESTARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
viii
Judul Proposal : Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat Aminotransferase dan
Alanin Aminotransferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia
sp. Kronis
Nama : Cinthyarindi Tiffani Lestari
NIM : B04090059
Disetujui oleh
Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi
Pembimbing I
Drh. Leni Maylina, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Drh. Agus Setiyono MS, PhD, APVet
Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian
ini adalah “Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat Aminotransferase dan
Alanin Aminotransferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi
dan Drh. Leni Maylina, MSi selaku pembimbing skripsi atas segala ilmu dan
waktu yang telah diberikan dalam membimbing selama penelitian dan penulisan
tugas akhir ini. Terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Eva Harlina, MSi, APVet selaku
dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis
menjalankan studi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan beserta
tim medis dan pasukan yang tergabung dalam K-9 Direktorat Polisi Satwa Kepolisian
Republik Indonesia Kelapa Dua, Depok dan pimpinan beserta staf Laboratorium
Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi, FKH IPB yang telah membantu penulis selama penelitian. Rasa terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kedua
orang tua penulis, Dr. Ir. H. Ma’mun Sarma, MS, MEc dan Dr. Ir. Hj. Herien
Puspitawati, MSc, MSc beserta keluarga dan Ibu Yani Nuraeni yang telah
senantiasa memberikan doa, nasehat, dan dukungan selama masa studi sampai
penulisan tugas akhir. Terima kasih kepada teman-teman penulis Geochelone 46
dan Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik atas doa dan
dukungan yang telah diberikan tanpa henti. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada rekan penelitian Yusti Maulida dan Chanifatus Sholihah atas
bantuan dan kerja sama yang tak terlupakan. Penulis juga tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada rekan-rekan dekat yang selalu memberi dukungan dan doa,
yaitu Ganita Kurniasih Suryaman, Geanisa Vianda, Noer Herlina Hanum,
Karenditta Maulida Cahyaningtyas, ST Nurul Muslinah, Septiana Eka Sari, Siti
Nurjanah, Suannisa Nur Utami, Srimita Kristiani Sembiring, dan Wulandari
Utami.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, Februari 2014
Cinthyarindi Tiffani Lestari
x
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Babesiosis pada Anjing 2
Bilirubin conjugated dan bilirubin unconjugated 3
Enzim Aspartat Aminotransferase dan Alanin Aminotransferase 5
METODE 6
Waktu dan Tempat 6
Alat dan Bahan 6
Prosedur Penelitian 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Konsentrasi Bilirubin dalam Darah 8
Aktivitas Enzim Aspartat Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase 11
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 15
RIWAYAT HIDUP 17
xii
DAFTAR TABEL
1 Komposisi normal bilirubin dalam darah pada anjing 5 2 Aktivitas ALT dan AST normal pada anjing 6 3 Rataan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin
unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis 8
4 Rataan aktivitas enzim AST dan ALT pada anjing yang terinfeksi
Babesia sp. kronis 12
DAFTAR GAMBAR
1 Babesia gibsoni pada sel darah merah anjing 2 2 Metabolisme normal bilirubin 4 3 Konsentrasi bilirubin total pada anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis 9
4 Konsentrasi bilirubin conjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis 9 5 Konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia
sp. kronis 11 6 Aktivitas enzim AST pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis 12
7 Aktivitas enzim ALT pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis 13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia telah membangun hubungan erat dengan anjing liar (Canis lupus)
lebih dari 10.000 tahun lalu sampai Canis lupus mengalami perubahan morfologi,
perkembangan, dan perilaku hingga terdomestikasi menjadi Canis familiaris yang
sekarang kita kenal sebagai anjing (Case 2005). Sifat anjing yang cerdas dan
ramah menjadi alasan manusia untuk menjadikannya sebagai hewan peliharaan.
Kemampuan penglihatan dan penciuman yang sangat baik membuat anjing
dimanfaatkan sebagai hewan pekerja seperti anjing pelacak, anjing pemburu,
anjing penggembala, dan anjing penjaga (Beck 2007).
Kemampuan anjing sebagai hewan pekerja dimanfaatkan oleh kepolisian
dalam menangani permasalahan kriminalitas dan keamanan. Unit K-9 merupakan
tim kepolisian yang terdiri atas dua petugas dimana salah satu petugas merupakan
anjing yang telah dilatih. Kriteria anjing kepolisian antara lain harus cerdas, kuat,
dan mampu menuruti perintah. Ras anjing yang sering digunakan kepolisian
adalah German shepherd karena memiliki ukuran tubuh yang besar, otot yang
kuat, ketahanan kerja yang tinggi, dan penciuman yang sangat baik untuk melacak
narkoba dan bahan peledak (Beck 2007). Beberapa ras anjing lain yang digunakan
sebagai anjing pelacak antara lain Rotweiller, Beagle, Labrador retriever,
Doberman, dan Belgian malinois (POLRI 1996).
Anjing pelacak kepolisian diharapkan dapat bekerja secara optimal. Oleh
karena itu, kesehatan anjing merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan.
Gangguan kesehatan yang sering dialami oleh anjing adalah infestasi parasit kulit,
seperti caplak. Spesies caplak yang paling banyak ditemukan di tempat praktek di
Indonesia adalah Rhipicephalus sanguineus (Subronto 2006). Caplak yang juga
dikenal sebagai brown dog tick atau kennel tick ini merupakan bagian dari familia
Ixodidae sebagai caplak keras. Infestasi caplak menyebabkan rasa gatal dan sakit
pada kulit sehingga menyebabkan ketidaknyamanan pada anjing. Namun
demikian, akibat yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya transmisi penyakit
oleh parasit darah. Rhipicephalus sp. merupakan parasit yang umum pada anjing
dan merupakan vektor dari transmisi Babesia sp. (Taylor et al. 2007).
Penyakit babesiosis (piroplasmosis) pada anjing disebabkan oleh parasit
darah Babesia sp., yang termasuk dalam famili Babesiidae (Subronto 2006).
Babesia sp. merupakan organisme yang menginvasi, merusak, dan membelah diri
secara biner dalam eritrosit. Hal ini menyebabkan eritrosit ruptur sehingga
melepas merozoit-merozoit yang dapat menginvasi eritrosit lainnya dan dapat
mengakibatkan anemia hemolitik pada anjing. Apabila anemia berlanjut kronis,
dapat menyebabkan terjadinya disfungsi pada organ-organ, termasuk organ hati.
Mortalitas akibat babesiosis dapat mencapai 80 persen (Taylor et al. 2007).
Babesia canis merupakan protozoa endemik di Eropa, Amerika, Afrika Selatan,
dan Asia sehingga babesiosis merupakan tantangan bagi dokter hewan (Macintire
2003).
Profil biokimia darah berupa bilirubin, enzim Alanin aminotransferase
(ALT), dan Aspartat aminotransferase (AST) dapat memberikan gambaran status
fungsi hati. Parameter bilirubin dapat digunakan untuk melihat fungsi ekskresi
2
organ hati. Alanin Aminotransferase merupakan enzim spesifik hati pada anjing.
Peningkatan aktivitas ALT dapat menunjukkan adanya kerusakan hepatoseluler.
Aspartat Aminotransferase bukan enzim spesifik hati pada anjing, namun
demikian dapat digunakan sebagai indikator adanya kerusakan sel otot dan hati
(Kaneko 2008).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi bilirubin, aktivitas
enzim ALT dan AST pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang konsentrasi
bilirubin, aktivitas enzim ALT dan AST pada anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis. Informasi yang diperoleh dapat menjadi landasan ilmiah dalam
penanganan kasus babesiosis pada anjing.
TINJAUAN PUSTAKA
Babesiosis pada Anjing
Babesia sp. merupakan protozoa penyebab babesiosis pada anjing atau yang
biasa disebut dengan canine piroplasmosis. Spesies babesia yang dapat
menginfeksi anjing antara lain Babesia canis (B. canis), Babesia gibsoni (B.
gibsoni), dan Babesia vogeli (B. vogeli). Organisme B. canis tersebar luas di
Benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Protozoa ini termasuk dalam Kelas
Sporozoasida dan Famili Babesiidae. Panjang Babesia sp. berkisar antara 4-5 µ
dengan diameter 2-4µ (Taylor et al. 2007). Bentuk Babesia sp. runcing pada satu
ujung dan bulat pada ujung lainnya seperti buah pir atau pyriform (Gambar 1).
Sering juga terlihat adanya vakuol dalam sitoplasmanya. Pleomorfisme atau
perubahan bentuk terjadi dari bentuk seperti amoeba sampai berbentuk cincin. Sel
darah merah dapat mengandung lebih dari 10 organisme Babesia sp. dalam
keadaan multiinfeksi (Subronto 2006).
Gambar 1 Babesia gibsoni di dalam sel darah merah anjing (French et al. 1996)
Babesia sp. memiliki perkembangan secara aseksual yaitu dengan
pembelahan biner dan secara schizogonis dengan pembentukan tropozoid di
dalam sel darah merah. Rhipicephalus sanguineus (R. Sanguineus) merupakan
3
caplak pada anjing yang menjadi vektor dari transmisi protozoa ini (Subronto
2006).
Menurut Taylor et al. (2007), sporozoit Babesia sp. yang infektif
terkandung dalam air liur caplak. Babesia canis masuk ke dalam pencernaan R.
Sanguineus menuju rongga tubuh dan berkumpul di ovarium pada awal siklus
penyebarannya. Babesia canis kemudian melakukan penetrasi menuju ovum dan
memperbanyak diri menjadi bentuk bulat dan kecil sehingga dapat melakukan
penyebaran secara transovarium. Telur caplak akan menetas dan pada saat larva
caplak tumbuh menjadi nimfa, B. canis akan masuk ke dalam kelenjar saliva
caplak. Setelah itu, B. canis membelah diri secara biner dan melakukan penetrasi
ke setiap sel kelenjar saliva. Saat caplak mengisap darah, protozoa akan turut
terinjeksi ke dalam tubuh inang mamalia pada saat mencapai lumen saliva.
Babesia sp. memasuki eritrosit dan memperbanyak diri di dalamnya secara
biner (Barriga 1981). Jumlah Babesia sp. yang ditemukan pada setiap eritrosit
anjing berupa kelipatan 1, 2, 4 atau 8. Organisme B.canis dapat menginduksi
molekul adhesi pada permukaan eritrosit yang mengikat sel endotelial. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya kerusakan eritrosit (Stockham dan Scott 2008).
Menurut Widodo et al. (2011), babesiosis merupakan penyakit akibat parasit
darah yang merusak eritrosit secara mekanis.
Stockham dan Scott (2008) juga menyatakan bahwa babesiosis dalam
bentuk akut ditandai dengan ditemukannya Babesia sp. dalam eritrosit, anemia
akut sampai kronis, peningkatan polikromasia, makrositosis, hiperbilirubinemia,
dan kadang-kadang hemoglobinuria (kondisi dimana ditemukannya hemoglobin
dalam urin). Sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium pada babesiosis kronis
adalah ditemukannya Babesia sp. dalam eritrosit dalam jumlah sedikit,
limfositosis ringan, dan hasil Polymerase Chain Reaction positif terhadap Babesia
sp.. Menurut Tarello (2003), diagnosa babesiosis secara umum dilakukan
menggunakan metode ulas darah, yang hingga kini masih dianggap sebagai
metode terbaik karena mudah dan biaya yang tidak mahal.
Bilirubin Conjugated dan Bilirubin Unconjugated
Bilirubin berasal dari metabolisme hemoglobin dan merupakan produk akhir
dari degradasi heme (Kaneko 2008). Menurut Cunningham (2002), bilirubin
memiliki karakteristik warna hijau, namun di dalam lumen usus bilirubin akan
diubah oleh bakteri menjadi senyawa sekunder yang karakteristik warnanya
berubah menjadi coklat. Menurut Cotran et al. (1999), bilirubin sebagian besar
dihasilkan dari perombakan eritrosit dalam sistem fagosit mononuklear terutama
pada organ limpa, hati, dan sumsum tulang (Gambar 2).
Proses pembentukan bilirubin (Gambar 2) pada sistem fagosit mononuklear
diawali dengan destruksi eritrosit dalam makrofag pada organ limpa, hati, dan
sumsum tulang yang kemudian berlanjut ke degradasi heme. Heme dioksidasi
oleh heme oksigenase menjadi biliverdin, yang kemudian direduksi oleh
biliverdin reduktase menjadi bilirubin unconjugated. Bilirubin unconjugated
kemudian keluar dari makrofag dan membentuk ikatan nonkovalen dengan
albumin dalam pembuluh darah sampai mencapai hepatosit. Ketika memasuki
hepatosit, bilirubiin unconjugated melepas ikatannya dengan albumin dan
4
berkonjugasi dengan glukuronid menjadi bilirubin conjugated. Setelah itu,
bilirubin conjugated ditranspor ke kanalikuli menuju usus. Bilirubin conjugated
masuk ke dalam usus dan didegradasi menjadi urobilinogen. Sebagian kecil
urobilinogen diserap kembali masuk ke dalam sirkulasi darah dan diekskresikan
melalui urin, dan sebagian besar diekskresikan melalui feses (Stockham dan Scott
2008).
Bilirubin conjugated
Albumin
Masuk ke hati
Destruksi eritrosit di makrofag
(sel kupffer di hati, sel makrofag perivaskular sinusoidal di
limpa dan sumsum tulang)
Heme oksigenase
Heme
Biliverdin
Bilirubin unconjugated
Albumin Bilirubin unconjugated
Biliverdin reduktase
Glukuronid Bilirubin unconjugated
Keluar makrofag
Diserap kembali
Usus
Kanalikuli
Ekskresi
Bilirubin conjugated
Urobilinogen
Globulin
Gambar 2 Metabolisme normal bilirubin (Stockham dan Scott 2008)
5
Pembentukan bilirubin conjugated meliputi penyerapan di membran
sinusoidal, konjugasi asam glukoronat oleh bilirubin uridin difosfat-glukuronosil
transferase dalam retikulum plasma, dan ekskresi bilirubin glukuronid ke kantung
empedu. Sebagian besar bilirubin glukuronid didekonjugasi oleh bakteri β-
glucuronidases dan didegradasi menjadi urobilinogen yang tidak berwarna
(Cotran et al. 1999). Sebagian kecil urobilinogen diserap kembali masuk ke dalam
sirkulasi darah, dan diekskresikan melalui urin. Sebagian besar diekskresikan
melalui feses bersama residu pigmen (Stockham dan Scott 2008). Nilai acuan
komposisi normal bilirubin dalam darah pada anjing dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi normal bilirubin dalam darah pada anjing (Morgan 2008)
Parameter Kisaran normal (mg/dl)
Bilirubin total 0.1-0.6
Bilirubin conjugated 0.0-0.14
Bilirubin unconjugated 0.07-0.6
Hiperbilirubinemia merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan
konsentrasi bilirubin dalam sirkulasi darah. Hiperbilirubinemia terjadi apabila
tingkat produksi bilirubin unconjugated melebihi tingkat penyerapan bilirubin
unconjugated oleh hepatosit, atau apabila tingkat pembentukan bilirubin
conjugated di hepatosit melebihi tingkat ekskresi bilirubin conjugated menuju
kantung empedu (Stockham dan Scott 2008).
Menurut Stockham dan Scott (2008), beberapa kondisi patologis dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, antara lain peningkatan bilirubin unconjugted
karena hemolitik, penurunan pengambilan bilirubin unconjugated oleh hepatosit
karena penurunan fungsi hati, penurunan konjugasi bilirubin unconjugated karena
penurunan fungsi hati, dan penurunan ekskresi bilirubin conjugated menuju
kantung empedu karena kolestasis obstruktif dan kolestatis fungsional. Kolestasis
obstruktif merupakan kondisi patologis dimana aliran keluar bilirubin conjugated
terhambat akibat penyempitan kanalikuli atau saluran empedu yang dapat
disebabkan karena kebengkakan hepatoseluler, lesio periportal, batu empedu pada
saluran, atau neoplasma. Kolestasis fungsional merupakan gangguan ekskresi
bilirubin conjugated yang tidak disebabkan akibat adanya obstruksi saluran
empedu.
Enzim Alanin Aminotransferase dan Aspartat Aminotransferase
Alanine aminotransferase (ALT) merupakan enzim sitoplasmik yang
mengkatalitasis reaksi reversible yang melibatkan deaminasi alanin untuk
pembentukan piruvat, dimana piruvat akan mengikuti proses glukoneogenesis atau
siklus Krebs (Stockham dan Scott 2008). Fungsi ALT pada hati anjing adalah
sebagai enzim spesifik organ hati. Oleh karena itu, peningkatan aktivitas ALT
dalam darah anjing dikaitkan dengan adanya kerusakan hepatoseluler. Kelainan
hati dalam keadaan akut menyebabkan kerusakan membran atau nekrosa sel
sehingga aktivitas ALT dalam serum meningkat (Kaneko 2008).
Faktor utama yang mempengaruhi aktivitas ALT serum adalah keberadaan
kofaktor P-5-P. Kofaktor P-5-P merupakan kofaktor nonprotein yang membantu
6
katalisis enzim ALT (Stockham dan Scott 2008). Selain kerusakan hepatosit,
peningkatan ALT juga dapat dihubungkan dengan glucocorticoid-induced
hepatopathy akibat pemberian terapi glukokortikoid. Alanin aminotransferase
dalam serum anjing dapat juga meningkat akibat pemberian fenobarbital
(Stockham dan Scott 2008).
Aspartat aminotransferase (AST) merupakan enzim yang terdapat dalam
mitokondria dan sitosol pada hampir seluruh sel dan plasma. Fungsi AST adalah
untuk mengkatalisis reaksi yang melibatkan transaminasi aspartat menjadi
oksaloasetat, dimana oksaloasetat akan mengikuti siklus Krebs. Keberadaan AST
dalam banyak jaringan membuat enzim ini menjadi enzim non spesifik hati.
Namun demikian, apabila dihubungkan dengan enzim lain, seperti ALT, dapat
digunakan sebagai indikator adanya kerusakan sel hati dan otot (Kaneko 2008).
Aktivitas enzim ALT dan AST dalam serum mengalami peningkatan ketika
sel parenkim hati rusak atau adanya peningkatan permeabilitas membran sel.
Menurut Kaneko (2008), aktivitas enzim ALT dan AST tidak dapat memberikan
gambaran tentang tingkat keparahan suatu penyakit, tipe lesio, maupun status
fungsional organ hati. Namun demikian dapat digunakan untuk mengestimasi
tingkat nekrosis hati. Aktivitas ALT dan AST normal pada anjing dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Aktivitas ALT dan AST normal pada anjing (Morgan 2008)
Parameter Kisaran normal (IU/L)
ALT 15-70
AST 11-50
Terdapat dua jenis enzim yang aktivitasnya meningkat dalam darah seiring
dengan terjadinya nekrosis hati, yaitu enzim spesifik hati dan non spesifik hati.
Enzim spesifik hati pada anjing adalah ALT. Pengukuran aktivitas enzim spesifik
hati merupakan tes yang paling sensitif dan dapat diandalkan untuk kasus nekrosis
hati ringan sampai berat. Aspartat Aminotransferase merupakan enzim non
spesifik hati yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat nekrosis hati apabila
jaringan organ lain selain hati dipastikan bebas dari adanya gangguan.
Peningkatan aktivitas AST dihubungkan dengan adanya nekrosa sel dari berbagai
jenis jaringan, seperti otot jantung, jaringan skeletal, dan parenkim hati (Kaneko
2008).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2012-Januari 2013 di Klinik
Veteriner Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua Depok dan Laboratorium
Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
7
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain instrumen Dialab
Photometer DTN-410®, syringe 3 ml dan vacutainer berisi antikoagulan Kalium-
Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (K3EDTA). Bahan dan reagen yang
dipergunakan adalah kit khusus instrumen Dialab Photometer DTN-410® untuk
pemeriksaan Aspartat aminotransferase (AST), Alanine aminotranferase (ALT),
bilirubin total, bilirubin conjugated, kapas dan alkohol 70%.
Prosedur Penelitian
Persiapan Hewan
Hewan yang digunakan pada penelitian ini berupa 12 ekor anjing (umur
berkisar antara 3-5 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin) yang positif
terinfeksi Babesia sp kronis dengan tingkat parasitemia <1%. Ras anjing terdiri
atas Rotweiler, Belgian malinois, Beagle, German sheperd, dan Labrador
retriever.
Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah diambil melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak 2 ml
dengan menggunakan syiringe. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam
vacutainer berantikoagulan K3EDTA untuk dianalisis terhadap beberapa
parameter kimia darah.
Pemeriksaan Kimia Darah
Pemeriksaan kimia darah meliputi parameter aktivitas enzim ALT dan AST,
konsentrasi bilirubin total, dan bilirubin conjugated menggunakan instrumen
Dialab Photometer DTN-410® (Maylina 2013). Bilirubin unconjugated diperoleh
dari hasil pengurangan konsentrasi bilirubin total dengan bilirubin conjugated.
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah secara deskriptif meliputi nilai rata-rata, nilai
maksimum, nilai minimum, dan standar deviasi. Software yang digunakan untuk
menganalisis data adalah SPSS 16.0 for windows dan MS Office Excell 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Infeksi oleh Babesia sp akan menyebabkan terjadinya parasitemia pada
anjing yang terinfeksi. Parasitemia merupakan kondisi dimana ditemukan adanya
parasit dalam darah. Derajat atau tingkat infeksi Babesia sp. dapat dilihat melalui
derajat parasitemia atau persentase parasitemia (persentase eritrosit ber”parasit”
Babesia sp.). Menurut Ndungu et al. (2005), derajat infeksi atau tingkat
parasitemia diklasifikasikan berdasarkan persentase eritrosit berparasit yang
8
diperoleh, yaitu derajat infeksi ringan (persentase parasitemia <1%), derajat
infeksi sedang (parasitemia 1-5%), dan derajat infeksi berat (parasitemia >5%).
Tingkat parasitemia pada penelitian ini termasuk rendah, dimana
persentase eritrosit berparasit Babesia sp. <1% (Solihah 2013). Tingkat
parasitemia yang besarnya <1% menunjukkan bahwa anjing-anjing ras pada
penelitian ini mengalami infeksi dalam tingkat atau derajat ringan. Stockham dan
Scott (2008) menyatakan bahwa Babesia sp. ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit pada infeksi kronis. Hal ini menunjukkan bahwa 12 ekor anjing yang
digunakan pada penelitian ini mengalami infeksi Babesia sp. pada tahap kronis.
Menurut Barriga (1981), faktor-faktor yang mempengaruhi derajat parasitemia
adalah spesies hewan, imunitas hewan, periode infeksi parasit, resistensi hewan
terhadap vektor, dan periode infestasi vektor. Berdasarkan penelitian Solihah
(2013), anjing yang terinfeksi Babesia sp. secara kronis cenderung mengalami
anemia normositik normokromik.
Kosentrasi Bilirubin dalam Darah
Tabel 3 memperlihatkan rataan konsentrasi bilirubin total, bilirubin
conjugated, dan bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis. Menurut laporan Furlanello et al. (2005), sebagian besar kasus anjing yang
terinfeksi Babesia sp. mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin total dalam
darah (hiperbilirubinemia).
Tabel 3. Rataan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin
unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis
Parameter Hasil pengamatan (mg/dL) Kisaran normal (mg/dL)
*
Bilirubin total 0.63 ± 0.19 (0.44-0.82) 0.1-0.6
Bilirubin conjugated 0.39 ± 0.19 (0.2-0.58) 0.0-0.14
Bilirubin unconjugated 0.24 ± 0.16 (0.08-0.40) 0.07-0.6 *Morgan (2008)
Rataan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin
unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis dapat dilihat pada
Tabel 3. Hasil pengamatan menunjukan bahwa rataan konsentrasi bilirubin total
sebesar 0.63 ± 0.19 mg/dL (kisaran 0.44 – 0.82 mg/dL). Konsentrasi bilirubin
total pada anjing normal menurut Morgan (2008) berkisar antara 0.1 – 0.6 mg/dL.
Secara umum, dari 12 ekor anjing yang diamati, 7 ekor diantaranya memiliki
konsentrasi bilirubin total yang berada dalam interval normal. Sebanyak lima ekor
anjing memiliki konsentrasi bilirubin total diatas nilai interval normal (Gambar 3).
Peningkatan konsentrasi bilirubin total diatas nilai interval normal pada
lima ekor anjing penelitian sebesar 33.33% menunjukkan bahwa anjing tersebut
mengalami hiperbilirubinemia. Menurut Boozer dan Macintire (2005),
hiperbilirubinemia sering terjadi pada anjing yang mengalami infeksi Babesia sp.
kronis.
9
Gambar 3. Konsentrasi bilirubin total pada anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis (daerah yang ditandai menunjukkan konsentrasi total bilirubin dalam
kisaran normal menurut Morgan (2008))
Menurut Stockham dan Scott (2008), beberapa kondisi dapat
menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia, antara lain peningkatan konsentrasi
bilirubin unconjugated akibat hemolitik, penurunan pengambilan unconjugated
oleh hepatosit karena penurunan fungsi hati, penurunan konjugasi bilirubin
unconjugated akibat penurunan fungsi hati, dan penurunan ekskresi bilirubin
conjugated menuju kantung empedu oleh karena kolestasis obstruktif dan
kolestatis fungsional.
Gambar 4. Konsentrasi bilirubin conjugated pada anjing yang terinfeksi
Babesia sp. kronis (daerah yang ditandai menunjukkan konsentrasi bilirubin
conjugated dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))
0.6
0.9
0.46
0.9
0.6
0.5
0.6
0.7
0.24
0.8
0.55
0.7
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bilirubin total
0.4
0.5
0.1
0.5
0,16
0.3
0.2
0.64
0.22
0.6
0.5
0.61
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0.55
0.6
0.65
0.7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bilirubin conjugatedNomor anjing
0.00 mg/dL
0.6 mg/dL
0.1 mg/dL
0.14 mg/dL
Ko
nse
ntr
asi
bil
iru
bin
(m
g/d
L)
Nomor anjing
Ko
nse
ntr
asi
bil
iru
bin
(m
g/d
L)
10
Gambar 4 menunjukkan hampir semua anjing penelitian (11 ekor) memiliki
konsentrasi bilirubin conjugated diatas nilai interval normal menurut Morgan
(2008). Konsentrasi bilirubin conjugated yang berada dalam nilai interval normal
ditemukan hanya pada satu ekor anjing (0.10 mg/dL). Rata-rata peningkatan
konsentrasi bilirubin conjugated pada 11 ekor anjing sebesar 200% dari batas atas
nilai interval normal menurut Morgan (2008) (Tabel 3). Secara umum, hasil
penelitian ini mirip dengan penelitian Maylina (2013), dimana terdapat
peningkatan bilirubin conjugated pada anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia
sp. dan Haemobartonella sp. kronis.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Rothuizen dan van den Brom
(1987) yang melaporkan bahwa babesiosis pada anjing ditandai dengan adanya
peningkatan konsentrasi bilirubin unconjugated. Perbedaan ini disebabkan anjing-
anjing yang digunakan pada penelitian ini mengalami infeksi Babesia sp. tahap
kronis, sedangkan penelitian yang dilakukan Rothuizen dan van den Brom (1987)
menggunakan anjing-anjing yang terinfeksi Babesia sp. tahap akut.
Bilirubin conjugated merupakan hasil konjugasi dari bilirubin unconjugated
oleh asam glukuronid dalam hati. Tujuan dari proses konjugasi ini adalah untuk
meningkatkan kelarutan bilirubin dan membatasi akses billirubin ke dalam sel.
Kedua tujuan tersebut memungkinkan proses ekskresi bilirubin dari tubuh.
Bilirubin conjugated diekskresikan melalui saluran empedu menuju kantung
empedu, kemudian dilepaskan ke saluran intestinal (Ettinger 2010). Peningkatan
bilirubin conjugated dalam peneltian ini diduga disebabkan karena adanya
gangguan pada ekskresi bilirubin conjugated.
Menurut Stockham dan Scott (2008), salah satu penyebab terjadinya
hiperbilirubinemia adalah karena terjadinya penurunan ekskresi bilirubin
conjugated. Penurunan ekskresi dapat disebabkan oleh kholestasis obstruktif atau
kolestasis fungsional. Kolestasis obstruktif merupakan kondisi patologis dimana
terjadi obstruksi atau penyumbatan aliran bilirubin dalam saluran empedu, baik
secara intrahepatik maupun ekstrahepatik. Hal ini dapat disebabkan adanya
pembengkakan hepatoseluler, lesio periportal, infeksi, dan penyumbatan saluran
empedu karena batu empedu, parasit, dan neoplasma.
Bilirubin unconjugated merupakan hasil dari proses oksidasi heme oleh
heme oksigenase menjadi biliverdin, yang kemudian direduksi oleh biliverdin
reduktase sehingga menjadi bilirubin unconjugated. Bilirubin yang dibentuk di
luar hati kemudian dilepaskan dan berikatan dengan albumin serum (Cotran et al.
1999). Menurut Stockham dan Scott (2008), bilirubin unconjugated merupakan
bilirubin yang beredar di dalam sirkulasi darah sebelum dikonjugasi oleh organ
hati.
11
Gambar 5. Konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi
Babesia sp. kronis (daerah yang ditandai menunjukkan konsentrasi bilirubin
unconjugated dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))
Gambar 5 menunjukkan konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing
yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Rata-rata konsentrasi bilirubin unconjugated
anjing penderita babesiosis pada penelitian ini sebesar 0.24±0.16 mg/dL (dengan
kisaran 0.08-0.40 mg/dL). Kisaran normal konsentrasi bilirubin unconjugated
menurut Morgan (2008) berkisar antara 0.07-0.6 mg/dL. Hasil ini menunjukkan,
secara umum anjing pada penelitian ini memiliki konsentrasi bilirubin unconjugated
yang berada dalam kisaran nilai interval normal.
Penelitian Rothuizen dan van den Brom (1987) menunjukkan bahwa
hiperbilirubinemia ditemukan pada kelainan hepatobilier dan hemolisis.
Hiperbilirubinemia unconjugated mengindikasikan adanya hemolisis, sedangkan
hiperbilirubinemia conjugated mengindikasikan adanya kelainan hepatobilier. Hal
ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan bilirubin unconjugated merupakan
karakteristik dari babesiosis anjing.
Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian Maylina (2013), dimana
konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia
sp. dan Haemobartonella sp kronis. berada dalam kisaran nilai interval normal.
Menurut Stockham dan Scott (2008), bentuk kronis dari anemia hemolitik akibat
babesiosis ditandai dengan rendahnya persentase organisme (Babesia sp.) dalam
darah. Rendahnya presentase organisme dalam darah menyebabkan menurunnya
tingkat hemolisis yang terjadi. Diduga hal ini menyebabkan konsentrasi bilirubin
unconjugated berada dalam kisaran nilai interval normal.
Aktivitas Enzim Aspartat Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase
Aktivitas enzim AST dan ALT pada anjing yang terinfeksi Babesia sp
kronis dapat dilihat pada Tabel 4. Aktivitas enzim AST dan ALT merupakan
parameter biokimia darah yang digunakan sebagai penunjang diagnosa klinis yang
0.2
0.4
0.36
0.4
0.44
0.2
0.4
0.06
0.02
0.2
0.05
0.09
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0.55
0.6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bilirubin unconjugated
0.07 mg/dL
0.6 mg/dL K
on
sen
tras
i b
ilir
ub
in (
mg
/dL
)
Nomor anjing
12
memiliki korelasi dengan disfungsi hati (Gitnick 1991). Hasil penelitian
Furlanello et al. (2005) menunjukkan bahwa sebagian besar anjing yang terinfeksi
Babesia sp. memperlihatkan adanya peningkatan aktivitas AST dan ALT dalam
darah.
Tabel 4. Rataan aktivitas enzim AST dan ALT pada anjing yang terinfeksi
Babesia sp. kronis
Parameter Hasil pengamatan (IU/L) Kisaran normal (IU/L) *
AST 55.58 ± 15.39 (40.19-70.97) 10-50
ALT 60.75 ± 26.58 (34.17-87.33) 15-70 *Morgan (2008)
Stockham dan Scott (2008) menyatakan bahwa AST bukan enzim spesifik
hati, karena terdapat dalam mitokondria dan sitosol pada hampir semua sel.
Menurut Kaneko (2008), AST dapat dijadikan indikator adanya kerusakan sel hati
dan otot. Karena AST bukan merupakan enzim spesifik hati, AST hanya dapat
digunakan untuk membantu mendiagnosis adanya kerusakan hati apabila jaringan
organ lain dipastikan tidak mengalami kerusakan. Beberapa kemungkinan
penyebab peningkatan aktivitas enzim AST menurut Stockham dan Scott (2008)
antara lain kerusakan hepatosit pada fase perbaikan hati, kerusakan otot, dan
hemolisis.
Gambar 6. Aktivitas enzim AST pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis
(AST: aspartate aminotransferase; daerah yang ditandai menunjukkan
aktivitas enzim AST dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))
Gambar 6 menunjukkan bahwa hampir semua anjing (9 ekor) yang
terinfeksi babesiosis kronis pada penelitian ini memiliki aktivitas enzim AST
diatas kisaran nilai interval normal. Tiga ekor anjing merupakan anjing dengan
aktivitas enzim AST berada dalam kisaran nilai interval normal menurut Morgan
(2008). Satu ekor anjing memiliki aktivitas enzim AST tertinggi yaitu sebesar 98
IU/L atau mengalami peningkatan sebesar 96% dari kisaran nilai interval normal.
59 60
98
57 52
35
51 56 53
39
57 50
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
AST
Ak
tiv
itas
en
zim
AS
T (
IU/L
)
Nomor anjing
10 IU/L
50 IU/L
13
Rata-rata aktivitas enzim AST pada penelitian ini sebesar 55.58±15.39 IU/L,
meningkat 11.16% diatas kisaran nilai interval normal (Tabel 4).
Terdapat lima mekanisme yang dapat menyebabkan peningkatan aktivitas
enzim menurut Stockham dan Scott (2008), yaitu adanya pelepasan enzim karena
kerusakan sel, induksi enzim sintetis, proliferasi sel, menurunnya pembuangan
enzim, dan absorpsi. Menurut Kaneko (2008) dan Stockham dan Scott (2008),
adanya kerusakan sel hati atau otot akan menyebabkan terjadinya peningkatan
aktivitas enzim AST. Enzim AST akan bocor dari sel yang rusak karena
perubahan permeabilitas membran sel, sehingga enzim di dalam sirkulasi darah
akan meningkat (Stockham dan Scott 2008). Aktivitas enzim AST pada anjing
meningkat saat terdapat kelainan terhadap hati, jantung, dan periodontal
(Chambers 1984).
Enzim ALT merupakan enzim spesifik organ hati pada anjing. Oleh karena
itu, adanya peningkatan aktivitas enzim ALT dalam plasma anjing biasanya
dikaitkan dengan adanya kerusakan hepatoseluler. Kelainan hati dalam keadaan
akut menyebabkan kerusakan membran atau nekrosa sel sehingga aktivitas enzim
ALT dalam plasma meningkat (Kaneko 2008). Sesuai dengan Stockham dan Scott
(2008), aktivitas enzim ALT meningkat pada tahap kerusakan atau nekrosa
hepatosit karena enzim sitoplasmik akan dilepaskan saat terjadi perubahan
permeabilitas sel.
Gambar 7. Aktivitas enzim ALT pada anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis (ALT: alanine aminotransferase; daerah yang ditandai menunjukkan
aktivitas enzim ALT dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))
Gambar 7 memperlihatkan aktivitas enzim ALT pada anjing penelitian,
yang sebagian besar (10 ekor) berada dalam kisaran nilai interval normal menurut
Morgan (2008). Rata-rata aktivitas enzim ALT pada penelitian ini sebesar
60.75±26.58 IU/L (Tabel 5). Peningkatan aktivitas enzim ALT diatas kisaran nilai
interval normal ditemukan pada dua ekor anjing, masing-masing sebesar 136 IU/L
dan 71 IU/L. Satu ekor anjing memperlihatkan peningkatan aktivitas enzim ALT
tertinggi yaitu sebesar 94.28% dari batas atas kisaran nilai interval normal
(Gambar 7).
62 70
136
52 43
30
50 60 60
40
71
55
0
20
40
60
80
100
120
140
160
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
ALT
70 IU/L
15 IU/L
Ak
tiv
itas
en
zim
AL
T (
IU/L
)
Nomor anjing
14
Kaneko (2008) melaporkan bahwa peningkatan aktivitas enzim ALT pada
umumnya terjadi pada gangguan hati yang akut. Menurut Webster (2005),
aktivitas enzim transaminase meningkat pada kerusakan hepatosit, kelainan
gastrointestinal dan pankreas, pemberian phenobarbital dan kortikosteroid,
diabetes mellitus, hiperadrenokotisisme, hipoksia, hipotensi, dan infeksi sistemik.
Mekanisme terjadinya penyimpangan beberapa parameter kimia darah pada
beberapa ekor anjing penderita babesiosis kronis pada penelitian ini berupa hiperbilirubinemia, hiperbilirubinemia conjugated dan peningkatan aktivitas enzim
AST belum bisa diterangkan secara jelas. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi gambaran parameter kimia darah. Sehubungan dengan hal tersebut,
diperlukan pemeriksaan yang lebih detail meliputi anamnese, pemeriksaan klinis
dan beberapa pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya untuk menyimpulkan
penyebab terjadinya penyimpangan parameter kimia darah tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada 12 ekor anjing penderita
babesiosis kronis diperoleh gambaran kimia darah yang bervariasi berupa
hiperbilirubinemia conjugated (11 ekor), peningkatan aktivitas enzim AST (9 ekor)
dan ALT (2 ekor).
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang infeksi Babesia sp. kronis
pada anjing dengan jumlah yang memadai dan kondisi anjing yang seragam (ras,
umur, berat badan, jenis kelamin), disertai dengan anamnese, pemeriksaan klinis,
dan beberapa pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya agar mendapatkan
informasi yang lebih lengkap.
15
DAFTAR PUSTAKA
Barriga, OO. 1981. The Immunology of Parasitic Infections. Baltimore (USA):
Maple Press Company.
Beck P. 2007. Uncover A Dog. San Diego (USA): Silver Dolphin.
Boozer L, Macintire D. 2005. Babesia gibsoni: An emerging pathogen in dogs.
Compendium Vet. 2: 33-41
Case LP. 2005. The Dog: Its Behavior, Nutrition, and Health. Ames (USA):
Balckwell Publishing.
Chambers DA, Crawford JM, Mukherjee S, Cohen RL. 1984. Aspartate
aminotransferase increases in crevicular fluid during experimental
periodontitis in beagle dogs. J of Periodont. 55 (9): 526-530
Cotran RS, Kumar V, Collins T. 1999. Robbins Pathologic Basis of Disease.
Philadelphia (USA): W.B. Saunders Company.
Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Philadelphia (USA):
W.B. Saunders Company.
Ettinger SJ. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine. Volume 7.
Philadhelpia (USA): W.B. Saunders Company.
French TW, Blue JT, Stokol T. 1996. Clinical Pathology Resource Modules.
Ithaca (USA): Cornell University.
Furlanello T, Fiorio F, Caldin M, Lubas G, Solano-Gallego L. 2005.
Clinicopathological findings in naturally occurring cases of babesiosis
caused by large form Babesia from dogs of northeastern Italy. Vet. Par.
134 (1): 77-85.
Gitnick G. 1991. Current Hepatology Volume 11. St. Louis (USA): Mosby-Year
Book.
Kaneko JJ. 2008. Clinical Biochemistry of Domestic Animals. London (UK):
Academic Press, Inc.
Macintire DK. 2003. Clinicopathological findings in dogs naturally infected dogs
with Babesia. ProQuest Agric. J. 6:7-11.
Maylina L. 2013. Profil Hematologi dan Kimia darah Anjing yang terinfeksi
kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Morgan RV. 2008. Handbook of Small Animal Practice. Ed ke-5. Vol 2.
Philadelphia (USA): Saunders.
Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility
between Bos indicus and Bos Taurus cattle types to Theileria parva
infection. Onderstepoort J Vet Res (72):13–22
[POLRI] Kepolisian Republik Indonesia. 1996. Hut Satwa POLRI ke 37. Jakarta:
Direktorat Samapta POLRI Sub Direktorat Satwa.
Rothuizen J, van den Brom WE. 1987. Bilirubin metabolism in canine
hepatobiliary and haemolytic disease. The Veterinary Quarterly. 9(3): 235-
240.
Solihah. 2013. Profil eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.
Ames (USA): Balckwell Publishing.
16
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Tarello, W. 2003. Concurrent cutaneous lesions in dogs with Babesia gibsoni
infection in Italy. Revue Méd. Vét. 154 (4): 281-287.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ames (USA):
Blackwell Publishing.
Webster CRL. 2005. Interpretation of serum transaminase levels in dogs and cats.
NAVC Clinical Brief. 11: 13-19.
Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2011.
Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press.
Zygner W, Gójska-Zygner O, Norbury LJ, Wędrychowicz H. 2012. Increased
AST/ALT ratio in azotaemic dogs infected with Babesia canis. Polish J
Vet Sci.15(3): 483-486.
17
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ames, Iowa USA pada tanggal 19 Januari 1991. Penulis
merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Dr. Ma’mun Sarma dan Ibu Dr. Herien
Puspitawati.
Penulis menempuh pendidikan dasar di Sawyer Elementary School Ames Iowa
sampai 1998 dan SD Bina Insani Bogor sampai 2003. Setelah itu, penulis
melanjutkan pendidikan SMP Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2006. Pendidikan
selanjutnya penulis tempuh di SMA Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2009.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI). Sebagai
mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa lembaga kemahasiswaan diantaranya
menjadi wakil ketua Himpunan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik
Eksotik 2011-2012, anggota dan sekertaris departemen Human Resources
Department di IAAS IPB (International Association of Students
in Agricultural and Related Sciences) 2009-2013, dan staf dana usaha Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan FKH IPB. Penulis juga pernah menerima beasiswa
Generasi Bank Indonesia 2011-2013.