konflik agraria, perempuan dan kemiskinan di desa

18
37 Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa Pendahuluan Upaya pemerintah untuk mewujudkan desa mandiri, sangat terkait pula dengan adanya kapasitas dan kewenangan yang dimiliki desa. Kapasitas dan kewenangan desa menjadi tolak ukur seberapa besar dapat digunakan untuk mengelola aset dan sumber daya alam yang berada di lingkungan desa. Jika desa-desa yang selama ini memiliki sejarah asal usul sosial, sebagai bagian dari entitas masyarakat hukum adat, dapat mengklaim kembali tanah-tanah ulayat yang pernah lepas sebagai bagian penting dari aset desa, maka masyarakat desa akan dapat terbantu mengatasi keterbatasan lahan dalam mengembangkan keberlanjutan sumber penghidupannya. Kapasitas desa untuk menjadi mandiri dalam membangun kesejahteraan warganya akan lebih terberdayakan dengan kembalinya aset desa berdasarkan hak asal usul, sebagaimana semangat yang diusung melalui terbitnya UU No. 6 tahun 2014, tentang Desa. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwasannya sejak zaman kolonial sampai dengan Indonesia merdeka, terjadi klaim kepemilikan aset desa, terutama tanah ulayat yang selama ini melekat dalam kesatuan masyarakat hukum adat. Aset desa berupa tanah ulayat mengalami marginalisasi melalui reklaiming KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA Abdur Rozaki UIN Sunan Kalijaga [email protected] Abstract This article examines the agrarian conflict which caused the misery of farming families, particularly women in developing a livelihood in the village. Agrarian conflicts, as a result of customary land conversion to state land (negaranisasi tanah adat), should be solvable through the agrarian reform policies which is supported by the political momentum of decentralization and the issuance of the Village Act which gives village more opportunities to regain control of land assets. However, the practice in East Lombok showed that local government tends to give land occupation permits to private investors rather than implement agrarian reform policy that gives more justice to develop a more independent and prosperous. rural economy. Keywords: Agrarian conflict, human rights, family and women sepihak rezim politik yang ada. Tanah-tanah ulayat yang selama ini eksistensinya hanya sebatas pengakuan kultural, dengan luasan dan batasan kepemilikan lahan yang tidak pernah terigister ke dalam dokumen formal pemerintahan, menjadi pintu masuk pemerintahan kolonial dan juga pemerintahan baru pasca kemerdekaan melakukan reklaiming sepihak yang merugikan masyarakat adat. Potret peristiwa semacam ini di sepanjang sejarah menjadi arena konflik yang hampir tak berkesudahan antara warga masyarakat adat dengan rezim pemerintahan yang ada. Dengan terbitnya UU Desa, yang di dalamnya memuat asas pengakuan (rekognisi) dan aset desa, terutama pasal 76 yang di dalamnya menyatakan bahwa aset desa dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, hutan desa dan aset lainnya milik desa. Melalui pasal ini muncul pertanyaan, seperti apakah substansi UU Desa ini diterjemahkan oleh pemerintah daerah dan juga pemerintahan desa? Dapatkah desa memiliki jalan kembali untuk menelusuri jejak aset berupa tanah ulayat yang lepas kembali kepangkuannya? Pertanyaan ini memiliki relevansi strategis karena adanya perbaikan kesejahteraan di desa, sangat terkait pula dengan adanya akses kepemilikan dan pengelolaan lahan berupa Tersedia online di: http://ejournal.uin-suka.ac.id/jurnal/volume/MSW Musawa,15(1), 2016 Copyright 2016, MUSAWA, p-ISSN 1412-3460, e-ISSN: 2503-4596

Upload: others

Post on 29-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

37

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

PendahuluanUpaya pemerintah untuk mewujudkan desa

mandiri, sangat terkait pula dengan adanyakapasitas dan kewenangan yang dimiliki desa.Kapasitas dan kewenangan desa menjadi tolakukur seberapa besar dapat digunakan untukmengelola aset dan sumber daya alam yangberada di lingkungan desa. Jika desa-desa yangselama ini memiliki sejarah asal usul sosial,sebagai bagian dari entitas masyarakat hukumadat, dapat mengklaim kembali tanah-tanahulayat yang pernah lepas sebagai bagian pentingdari aset desa, maka masyarakat desa akan dapatterbantu mengatasi keterbatasan lahan dalammengembangkan keberlanjutan sumberpenghidupannya. Kapasitas desa untuk menjadimandiri dalam membangun kesejahteraanwarganya akan lebih terberdayakan dengankembalinya aset desa berdasarkan hak asal usul,sebagaimana semangat yang diusung melaluiterbitnya UU No. 6 tahun 2014, tentang Desa.

Sudah menjadi pengetahuan umum,bahwasannya sejak zaman kolonial sampaidengan Indonesia merdeka, terjadi klaimkepemilikan aset desa, terutama tanah ulayat yangselama ini melekat dalam kesatuan masyarakathukum adat. Aset desa berupa tanah ulayatmengalami marginalisasi melalui reklaiming

KONFLIK AGRARIA, PEREMPUANDAN KEMISKINAN DI DESA

Abdur RozakiUIN Sunan [email protected]

Abstract

This article examines the agrarian conflict which caused the misery of farming families, particularly womenin developing a livelihood in the village. Agrarian conflicts, as a result of customary land conversion to stateland (negaranisasi tanah adat), should be solvable through the agrarian reform policies which is supportedby the political momentum of decentralization and the issuance of the Village Act which gives village moreopportunities to regain control of land assets. However, the practice in East Lombok showed that localgovernment tends to give land occupation permits to private investors rather than implement agrarian reformpolicy that gives more justice to develop a more independent and prosperous. rural economy.

Keywords: Agrarian conflict, human rights, family and women

sepihak rezim politik yang ada. Tanah-tanahulayat yang selama ini eksistensinya hanyasebatas pengakuan kultural, dengan luasan danbatasan kepemilikan lahan yang tidak pernahterigister ke dalam dokumen formal pemerintahan,menjadi pintu masuk pemerintahan kolonialdan juga pemerintahan baru pasca kemerdekaanmelakukan reklaiming sepihak yang merugikanmasyarakat adat. Potret peristiwa semacam inidi sepanjang sejarah menjadi arena konflik yanghampir tak berkesudahan antara wargamasyarakat adat dengan rezim pemerintahanyang ada.

Dengan terbitnya UU Desa, yang didalamnya memuat asas pengakuan (rekognisi)dan aset desa, terutama pasal 76 yang di dalamnyamenyatakan bahwa aset desa dapat berupatanah kas desa, tanah ulayat, hutan desa danaset lainnya milik desa. Melalui pasal ini munculpertanyaan, seperti apakah substansi UU Desaini diterjemahkan oleh pemerintah daerah danjuga pemerintahan desa? Dapatkah desa memilikijalan kembali untuk menelusuri jejak aset berupatanah ulayat yang lepas kembali kepangkuannya?Pertanyaan ini memiliki relevansi strategiskarena adanya perbaikan kesejahteraan di desa,sangat terkait pula dengan adanya akseskepemilikan dan pengelolaan lahan berupa

Tersedia online di: http://ejournal.uin-suka.ac.id/jurnal/volume/MSWMusawa,15(1), 2016

Copyright 2016, MUSAWA, p-ISSN 1412-3460, e-ISSN: 2503-4596

Page 2: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

38

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

tanah, sebagai sumber penghidupan utama,baik itu untuk lahan pertanian, perkebunandan untuk fasilitas umum sebagai penopangkesejahteraan hidup lainnya.

Beberapa pertanyaan penting di atas,ditelusuri melalui field work atau riset lapanganselama delapan hari, yakni dari tanggal 13 sampaidengan 20 Desember 2015. Selama riset lapangan,selain melakukan observasi, juga melakukanwawancara dengan para informan di lingkunganpemerintahan daerah, pemerintahan desa,organisasi masyarakat sipil dan wargaperempuan sebagai bagian dari kelompokrentan di desa Lendang Nangka KecamatanMasbagik Lombok Timur. Sebelum dansesudah field work untuk mempertajam temuanstudi, juga melakukan studi pustaka, collectingdan analisis dokumen pemerintahan dan beritamedia yang relevan dengan topik studi.

Kabupaten Lombok Timur dipilih sebagailokasi riset ini karena asal usul sosial desa-desanyamemiliki kaitan dengan desa adat masyarakatsuku sasak. Masyarakat suku sasak sebagai penghuniasli di kepulauan Lombok memiliki sejarahyang panjang dalam pengelolaan tanah ulayatsebagai bagian dari aset desa. Sebagaimanakonflik-konflik tanah ulayat lainnya di banyaktempat di Indonesia, kabupaten ini juga memilikisejarah yang cukup panjang terkait dengankonflik agraria. Hal inilah yang membuat lokasiriset ini memiliki relevansi untuk ‘menguji’seberapa dalam pemaknaan atas sejumlahsubstansi pasal-pasal di dalam UU Desa,khususnya menyangkut aset desa, terkaitdengan respon kebijakan pemerintah daerahdan pemerintahan desa. Pasca UU Desa,pemerintah desa sendiri dituntut untukmelakukan berbagai terobosan, terutama untukmengatasi problem kemiskinan, memberiperhatian secara serius terhadap kelompokrentan, seperti kaum perempuan dalammengembangkan sumber pengidupan di desa.

Desa Lendang Nangka dipilih sebagai casestudy dalam riset ini karena desa ini memilikisejarah panjang sebagai desa adat, meski kinimengalami transformasi sosial sebagai desamodern. Hal ini terlihat dari pengaturan atasdesa tak lagi banyak bersandar pada pranata adatterkait urusan tata kelola pemerintahan desa.

Pada era reformasi, desa memiliki inovasi dalammendorong tata kelola pemerintahan desademokratis dan komitmen mengembangkanperekonomian desa melalui BUMDes. PascaUU Desa, Desa Lendang Nangka melakukanmusyawarah desa (Musdes) memilih BUMDessebagai institusi dalam mengelola urusan air dansimpan pinjam sebagai permodalan warga desa.

Sekilas Profil WilayahKabupaten Lombok Timur adalah salah

satu kabupaten dari sepuluh kabupaten/kotayang terdapat di Propinsi Nusa Tenggara Barat(NTB). Kabupaten ini memiliki luas wilayah2.679,88 km2, dengan rincian luas daratan1.605, 55 km2 (59,91%) dan luas lautaanmencapai 1.074,33 km2 (40,09 %). Wilayahuntuk kawasan utara berbatasan dengan lautJawa, sebelah selatan berbatasan denganSamudera Indonesia, sebelah barat berbatasandengan Kabupaten Lombok Tengah danKabupaten Lombok Utara dan sebelah timurberbatasan dengan dengan Selat Alas.1

Potensi kewilayahannya sangat kaya akankandungan sumber daya alam, misalnya untukkawasan daerah lautnya, dapat dikembangkanpembudiyaan rumput laut dan kerang mutiara.Kerang mutiara yang selama ini sebagai ikonproduk lokal NTB yang level nasional bahkansampai ke manca negara, salah satupembudiyaannya berada di Lombok Timur.Panorama pasir putih pantai yang indahberjejeran mengelilingi bibir laut wilayah ini,seperti Pantai Kaliantan. Kawasan pantaiwilayah ini dapat menarik magnet kunjunganpariwisata, seperti ikon-ikon wisata pantai yanglebih dulu berkembang pesat di wilayah SenggigiKabupaten Lombok Barat.

Begitu juga dengan potensi perekonominandi wilayah daratannya, karena wilayah ini jugaberada di daerah lereng kaki Gunung Rinjani,khususnya di Kecamatan Sembalun, sudah sejakzaman kolonial menjadi pusat agro industriuntuk tanaman pertanian seperti kopi, stroberi,tomat, wortel, kentang dan jenis tanaman

1Pada bagian profil wilayah ini sebagian besar didasarkanpada dokumen RPJMD Kabupaten Lombok Timur, Tahun2013-2018.

Page 3: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

39

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

lainnya yang dapat tumbuh subur di datarantinggi. Begitu juga dengan daerah selatan,dengan curah hujan yang rendah sangat cocokuntuk tanaman tembakau jenis virginia yangdalam beberapa tahun terakhir ini sudah adainvestor yang membangun pabrik rokok darijenis tembakau virginia.

Gambar 1:Peta Lombok Timur dan Kawasan NTB

Sumber : RPJMD Lombok Timur, Tahun 2013-2018.

Untuk pembagian dan jumlah administratifpemerintahan, Kabupaten Lombok Timurmemiliki 20 Kecamatan, 254 desa/keluruhandengan rincian sebanyak 239 desa dan 15kelurahan. Jumlah penduduk terus meningkatdari tahun ke tahun, seperti pada data BPStahun 2010 jumlah penduduk sebesar 1.105.582jiwa dan kepadatan 688,6 jiwa/km2, dan padatahun 2012 jumlah penduduk melonjak tajammencapai 1. 123.488 jiwa, dengan komposisi laki-laki: 519.898 (46.55%) jiwa dan perempuan:596.847 (53,45%) jiwa, dan tingkat kepadatanpenduduk sebesar 695,55 jiwa/km2. Denganmemperhatikan jumlah penduduk dan tingkatkepadatan, maka dari tahun ke tahun ketersediaanruang warga untuk pemukiman dan akses lahansebagai sumber penghidupan semakin terbatas.

Secara umum lapangan pekerjaan sebagaisumber pendapatan utama terbagi ke dalamempat kategori, yakni mereka yang bekerja disektor pertanian, industri pengolahan,perdagangan dan jasa lainnya. Komposisi darijenis kelamin laki-laki dan perempuan yangbekerja di keempat sektor tersebut jumlahnya

cukup dinamis. Sebagaimana tabel berikut inimenunjukkan jumlah warga yang bekerja diempat bidang pekerjaan dan prosentase jeniskelaminnya.

Tabel 1:Lapangan Pekerjaan

Sumber: RPJMD Lombok Timur, Tahun 2013-2018.

Dengan memperhatikan tabel di atas,komposisi penduduk yang bekerja di sektorpertanian paling besar, yakni 39,60 persen,dengan rincian laki-laki lebih besar, yakni 43,16 persen dibandingkan perempuan sebesar 33,21 persen. Urutan setelah sektor pertanian,yakni perdagangan sebesar 22,21 persen,dengan rincian perempuan lebih dominanprosentasenya yakni sebesar 33,52 persendibandingkan laki-laki hanya 13,06 persen.Prosentase ini mengindikasikan bahwaperempuan lebih pandai berdagang dan laki-laki lebih kuat bertani. Urutan berikutnya,yakni jasa-jasa sebesar 17, 80 persen, denganrincian laki-laki sebesar 20,16 persen danperempuan 14, 76 persen dan terakhir industripengolahan sebesar 11,60 persen, dengankomposisi perempuan lebih banyak, yaknisebesar 15,17 persen dan laki-laki sebesar 8,77persen. Secara umum dapat disimpulkan bahwakaum perempuan di Lombok Timur lebihpandai dalam berdagang dan bekerja di industriolahan, dibandingkan dengan laki-laki yangumumnya bekerja di sektor pertanian dan jasa.

Luas lahan pertanian (sawah) 45.317 hektaratau 25,1 % dari luas wilayah Lombok Timur,dengan kepemilikan lahan warga rata-ratahanya 0,2 hektar sampai 0,5 hektar. Denganluas kepemilikan lahan ini tergolong kecilsehingga warga harus menyambung kebutuhanhidup dari sektor lainnya, seperti perdagangandan jasa lainnya. Luas kepemilikan lahan yangsempit dan ketergantungan input pertanianpada produk pasar (koorporasi pertanian),

No Lapangan PekerjaanUtama

Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Pertanian 43,16 35,21 39,602 Industri pengolahan 8,77 15,17 11,603 Perdagangan 13,06 33,52 22,214 Jasa-jasa 20,16 14,76 17,80

Page 4: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

40

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

seperti bibit, pupuk dan pestisida pembunuhhama membuat sektor pertanian sangat tidakkompetitif untuk membuat warga desa berdayadan pada akhirnya kesulitan pula memandirikandesa, ketika pembangunan desa masih identikdengan sektor pertanian.

Kecilnya kepemilikan lahan pertanian wargayang tidak mencapai rata-rata 1 hektar dapatditelusuri juga dari adanya konflik agraria yangmuncul sejak zaman kolonial Belanda dankegagalan pemerintahan baru pasca kemerdekaandalam menerapkan Undang-Undang reformasiagraria. Kondisi tata kelola agraria semakinrusak dan merugikan warga desa saat Orde Barumembuat kebijakan tidak lagi menerapkanreformasi agraria dan penyeragaman strukturpemerintahan desa melalui UU No. 5 tahun1979 yang berimplikasi pada proses mengalienasistruktur hukum adat di dalam masyarakat. AsetDesa yang sebagian besar dalam perlindunganhukum adat, banyak mengalami pelepasan olehotorisasi negara yang mengabaikan peranhukum adat terkait irisannya dengan aset desa.Lombok Timur juga terkena dampak pemberlaku-an kebijakan tersebut sehingga banyak asettanah ulayat yang lepas kepemilikannya daritangan komunitas masyarakat adat.

Kebijakan Agraria dan Krisis Aset DesaKebijakan agraria yang berimplikasi terhadap

kondisi krisis aset desa berupa tanah sebagailahan garap untuk sumber penghidupan diLombok Timur, dapat dibagi ke dalam tiga fasedengan beragam aktor yang di dalamnyaterlimbat konflik. Fase pertama, pada erakolonialisme, disertai adanya konflik lahanantara masyarakat adat Sasak di Sembalunkawasan kaki lereng Gunung Rinjani denganpemerintah Hindia Belanda. Kedua, marginalisasiadat dan konflik lahan antara warga masyarakatdengan pemerintah Orde Baru. Ketiga, padaera reformasi, kondisinya menjadi lebihkompleks karena melibatkan lebih beragamaktor, baik warga masyarakat, pemerintah pusat,daerah dan investor atau perusahaan swasta.Pola konfliknya, ada yang memperhadapkanantara warga masyarakat dengan pemerintah,warga masyarakat dengan investor-koorporasi,antara pemerintah pusat dan daerah, serta

antara pemerintah daerah dengan investor-koorporasi. Ketiga pendulum fase konflikagraria ini akan dipaparkan untuk memperjelaspeta permasalahan terkait dengan kebijakanagraria yang berimplikasi terhadap krisis asetdesa.

Pertama, fase kolonialisme Belanda.kebijakan agraria melalui negaranisasi tanahadat terjadi di kawasan Desa Sembalun LawangKecamatan Sembalun Lombok Timur. Masyarakatadat kemangkuan tanag Sembahulun yangberada di kawasan desa di lereng kaki GunungRinjani ini memiliki luas wilayah kemangkuan13.633 hektar, yang dirinci dalam ketegorilahan basah seluas 458 hektar, lahan keringseluas 960 hektar dan untuk pemukiman, seluas97 hektar yang dihuni oleh penduduk sekitar12.000 jiwa. Warga desa mayoritas matapencahariannya 70 % sebagai petani, buruhtani sebanyak 20%, pedagang sebanyak 5%,pegawai sebanyak 5%.

Masyarakat adat Sembahulun mulaimembangun pemukiman pertama di lerengkaki Gunung Rinjani, sejak abad ke-13 yangdikenal sebagai desa Baleg. Mereka dikenalmemiliki kepercayaan adat yang sangat kuatdalam mengatur struktur harmoni antaramanusia, alam dan sang pencipta melalui sistemadat kepercayaan wetu telu. Pemerintah HindiaBelanda melakukan intervensi pengelolaanlahan masyarakat adat, membatasi aktivitas wargadi daerah lereng Gunung Rinjani. PemerintahHindia Belanda mengklaim secara sepihakpenguasaan tanah ulayat dengan mengeluarkansurat keputusan Nomor 15 Staastblad/Nomor77, Tanggal 12 Maret 1941 dengan menjadikanhutan di kawasan Gunung Rinjani sebagaikawasan Suaka Marga Satwa.2

Kedua, fase Pemerintah Orde Baru. OrdeBaru meyakini kebijakan ekonomi melaluistrategi industrialisasi mampu mendorongpertumbuhan ekonomi dan memberi kesempatanbaru bagi warga desa terserap di sektor industri

2 Yamni, Taman Suaka Marga Satwa Rinjani, TanamPaksa Kopi, Taman Nasional Gunung Rinjani dan HGUNegara(isasi) Tanah Masyarakat Adat Sembahulun dariMasa ke Masa, Working Paper Sajogyo Institute, No. 3 Tahun2015.

Page 5: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

41

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

yang tumbuh. Disinilah kemudian rezim OrdeBaru mengabaikan redistribusi aset untukmensejahterakan warga desa melalui land reform,sebagaimana amanah UUPA Tahun 1960.3 OrdeBaru memandang masyarakat hukum adatsebagai penghalang kebijakan pembangunan yangdijalankannya. Oleh sebab itu, pembangunanyang dijalankan dengan pendekatan stabilitaskeamanan yang represif dan koorporatis untukmenaklukkan aspek politik kritis desa denganmenerbitkan UU No. 5 Tahun 1979 tentangpemerintahan desa. Disinilah, awal mulaberlangsungnya penyeragamaan strukturpemerintahan desa di Indonesia. UU inimenghilangkan aspek keragaman budaya danlokalitas lainnya di dalam masyarakat.

Melalui UU di atas, Orde Baru secarasistematis meminggirkan pengaruh kepemimpinanadat dan menghadirkan secara lebih kuatkepemimpinan birokrasi desa. Birokrasipemerintah mulai terus menerus melakukanintervensi dan merecoki otoritas adat di desa,seperti menyita lahan-lahan komunal yangselama berabad-abad diatur di bawah yuridiksiadat. Di banyak tempat di Lombok, konflik-konflik antara tokoh adat informal-tradisionaldengan pejabat pemerintah sebagian besarberkisar pada pengambil alihan tanah komunal,tanah ulayat penduduk asli.4

Pengaruh dan kontrol birokrasi yangsemakin kuat atas masyarakat, membuatOrde Baru melanjutkan proyek kebijakankolonialisme, yakni melakukan negaranisasidan penghancuran memori historis masyarakatadat. Di Lombok Timur, secara khusus rezimOrde Baru melalui Surat Pernyataan MENHUTRI Tahun 1990 menyatakan secara sepihakbahwa kawasan Gunung Rinjani dinyatakansebagai Taman Nasional Gunung Rinjani(TNGR). Dampak kebijakan diberlakukannyaTNGR atas hutan adat masyarakat Sembalun,dari sisi spiritual, makin mengalienasikanhubungan mistis antara warga dengan hutan.

Sedangkan secara ekonomi, adanya pembatasanakses ke hutan, membuat 1.600 KK masyarakattak lagi bisa mengakses pengelolaan lahan untukbertanam cengkeh, kakao, kopi, durian, panili,kayu. Jika warga tetap menanam, tanamannyadirusak dan mereka juga diusir oleh petugasTNGR.

Praktek negaranisasi tanah adat membuatOrde Baru begitu mudahnya merubah statustanah adat menjadi tanah negara dandikonsesikan pada perusahaan melalui HakGuna Usaha (HGU). Sebagaimana yang dialamioleh PT. Sembalun Kusuma Emas (SKE), dibawahpimpinan Ibu Tien Soeharto, pada tahun 1988memperoleh konsesi HGU di atas lahan hakulayat masyarakat seluas 155,6 hektar. Padatahun 1989 kembali memperoleh konsesi lahanHGU di atas pemukiman penduduk seluas 183hektar. Penguasaan lahan PT. SKE terusbertambah sampai dengan luasan 555 hektar.

Tidak semua lahan dikuasai oleh PT. SKEdiolah menjadi lahan produktif, terdapat 185hektar lahan itu pada tahun 1999 HGU nyaberalih pada PT. Sampoerna Agro yangdigunakan sebagai areal pembangunan GreenHouse Hortikultura untuk pasar ekspor, meskiprakteknya juga untuk pasar lokal. Sisa lahanlainnya menjadi lahan PT. SKE lainnya menjadilahan tidur. Sejak tahun 1995, warga empatdesa di Kecamatan Sembalun menggarap lahantidur seluas 225 hektar PT. SKE itu untuk bercocoktanam, sampai kemudian muncul keributanpada tahun 2013, saat perusahaan melakukanpematokan kembali lahan yang digarap wargadan meminta warga untuk tidak lagi mengaraplahan tersebut. Warga yang menggantungkanhidupnya pada lahan tersebut menjadi marahdan melakukan demonstrasi di Kantor KecamatanSebalun (4/11).

Selain itu, kasus lainya yang menimpasekitar 200 warga Sembalun Lawang adalahadanya proyek penanaman kopi DinasPerkebunan dan Kehutanan (Dishutbun)Lombok Timur yang melibatkan kerjasamadengan warga. Proyek yang berlangsung padatahun 1980 itu berakhir tragis, yakni ditandai olehpengambil alihan lahan milik warga, karenadianggap berhutang atas kegagalan panen kopiyang ditanam. Tanah seluas tiga hektar milik

3 Sediono Tjondronegoro, Negara Agraris IngkariAgraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia(Bandung: Akatiga, 2008), 44.

4 Erni Budianti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Wetul Lima(Yogyakarta: LKiS, 2000), 242.

Page 6: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

42

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

Bapak Mulyono dan rekan-rekannya yang lainjuga diambil oleh pihak Dishutbun. Akibatkasus ini, banyak warga menjadi miskinsehingga mengirimkan anak perempuannyamenjadi TKI di luar negeri untuk menopangkeberlangsungan hidup keluarganya.5

Pada akhir tahun 2014, KOMNAS memediasikasus dengan dengan cara mengadakanpertemuan antara warga dengan pihakPemerintah Daerah, terutama Dishutbun.Berdasarkan atas temuan awal keteranganumum inkuiri nasional tentang masyarakathukum adat dan wilayahnya di kawasan hutanIndonesia, dalam kasus yang dialami wargaSembalun ini, KOMNAS HAM meminta pihakpemerintah daerah untuk mengembalikantanah warga dan segera mengeluarkan Perdayang terkait dengan masyarakat hukum adatdan tanah ulayatnya.6

Ketiga, fase pemerintahan reformasi .Hampir secara keseluruhan para kepala daerahdi Lombok Timur tidak memiliki visi dalammenyelesaikan konflik agraria di masa sebelumnyayang terus menggantung hingga kini. Bahkanpara kepala daerah di era reformasi ini makingencar melakukan komersialisasi lahan untukinvestasi yang kadang saling beradu kepentingansatu sama lain sehingga memunculkan pulaketidakpastian iklim investasi di daerah, sepertidalam kasus yang dialami PT. Eco SolutionLombok (ESL).

Pada tahun 2013, di era kepemimpinanBupati Sukiman Azmi, PT ESL, perusahaanyang dimiliki investor asal Swedia inimemperoleh izin investasi di kawasan hutanTanjung Ringgit seluas 339 hektar, dengan nilaiinvestasi sebesar Rp. 5 triliun. Di lokasi itu, PT.ESL berencana untuk membangun hotelberwawasan lingkungan. Saat terjadi pergantianBupati, dari Sukiman kepada Ali Bin Dahlan,pada Oktober 2014, Bupati Ali Bin Dahlanmencabut izin tersebut dan memberikan izin

kepada empat perusahaan baru, yakni PT.Palamarta Persada, PT. Lombok Saka, PT.Tanah Hufadan PT. Ocean Blue di atas lahanizin prinsip dan izin usaha pengelolaan jasalingkungan yang sebelumnya dimiliki oleh PT.ESL.7 Kontan saja konflik muncul di publik yangmelibatkan PT. ESL, pemerintah pusat denganBupati Lombok Timur, Ali Bin Dahlan.

Lahan kawasan PT ESL yang juga berada disekitar hutan sekaroh ini juga sebelumnya telahmemunculkan konflik lahan antara wargadengan PT. ESL, juga antara BPN dan pihakDinas Kehutanan dan Perkebunan LombokTimur karena 7 orang yang memiliki sertifikatmilik pribadi yang terdapat di kawasan hutanlindung Sekaroh atas nama; 1. Mashur, SE, 2.L. Maspuashari, 3. L. Musafa, 4. L. SupirmanSH, 5. Amaq Sandri, 6. H. Husin Afandi dan7. Nyonya Indra Wahyu, dengan luas ketujuhsertifikat itu mencapai lebih dari 20 ha yangdikeluarkan Badan Pertanahan Negara (BPN)Lombok Timur pada tahun 2001 dan awaltahun 2002, sebenarnya adalah tanah negara.Pihak Dinas Kehutanan dan PerkebunanLombok Timur juga kaget dengan temuan inidan meminta pihak BPN untuk mencabutkepemilikan lahan atas 7 orang yang memilikisertifikat di lahan negara tersebut.8

Pada tanggal, 24 Oktober 2015 juga munculketegangan baru di masyarakat, yakni seusaiterjadi kebakaran di kawasan TNGR, sebulanberikutnya Warga masyarakat dan Kepala DesaJurang Koak Desa Bedidas Kecamatan WanasabaLombok Timur melakukan klaim lahan sebagaihutan adat dan berdemonstrasi di Balai TamanNasional Gunung Rinjani (BTNGR) yangmenimbulkan konflik dengan petugas BTNGR.Polisi terlibat melakukan pencegahan konflik yanglebih parah, meski akan membuat kebijakanuntuk menjadikan aktor penggerak demonstrasiwarga sebagai tersangka.9 Kasus ini hingga kini

5 http://www.mongabay.co.id/2014/12/05/ada-apa-dengan-adat-sajang-di-lereng-rinjani-bagian-ii/, diaksestanggal, 18 Januari 2016.

6 http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/d o k u m e n / t e m u a n % 2 0 a w a l % 2 0 i n k u i r i %20adat_lombok.pdf, diakses tanggal, 19 Januari 2016

7 http://www.kpk-news.com/tidak-lanjut-kasus/bupati-lotim-syaratkan-setor-miliaran-rupiah-dengan-dalih-dana-keseriusan-investasi/, diakses tanggal,18 Januari 2016.

8 http://dutaselaparang.com/?p=197, diakses tanggal,18 Januari 2016.

9 http://mandalikanews.com/index.php/2015/12/15/polda-segera-tetapkan-tersangka/diakses tanggal, 18Januari 2016., http://lomboktoday.co.id/20151024/

Page 7: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

43

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

terus berlangsung dan belum menemukan titiktemu. Pihak TNGM mulai melunak dengantawaran kemitraan pengelolaan lahan, namunwarga masyarakat tetap bersikeras mengatakanbahwa lahan yang dikuasai TNGR itu tanah milikadat dan tetap ingin menggarap lahan tersebutuntuk bercocok tanam. Konflik semacam ini tentuseperti bara api dalam sekam, yang sewaktu-waktudapat meledak kembali jika momentumnyatiba.

Dengan memperhatikan kebijakan agrariayang menciptakan praktek negaranisasi tanahadat, desa mengalami krisis aset berupa lahanuntuk pertanian, perkebunan dan untuk fasilitaspublik lainnya. Sumber penghidupan wargayang sangat tergantung pada lahan yang cukupuntuk bercocok tanam semakin hari tak dapatdiandalkan sebagai sumber penghidupan utama.Tingkat kepadatan penduduk yang semakintinggi dari tahun ke tahun, lahan untuk bercocoktanam yang semakin menipis dari tahun ketahun, hadirnya era baru kebebasan politik diera reformasi kembali memunculkan memorilama tentang hak asal muasal tanah adat yanglepas oleh praktek negaranisasi tanah adat.Konteks semacam ini memungkinkan adanyake kembali kesadaran dan gerakan untukmelakukan klaim lahan di sekitar kawasanTNGR, baik dengan cara demosntrasi ataupunberupa pendudukan lahan.

Tarik menarik antara kekuatan yangmemberikan kembali ruang sosial atas eksistensimasyarakat hukum adat dengan mereka yangingin mengubur entitas adat sebagai bagian darimasa lalu masih terus bergemuruh. Adanyakrisis politik pada tahun 1998, yang mengakhirirezim Orde Baru memberi jalan pada kekuatanpolitik yang selama ini bersimpati padapengabaikan hak-hak politik dan budayamasyarakat adat kembali membicangkanrumusan konstitusi negara untuk tidak lagimengintervensi kepemilikan aset adat dengancara sewenang-wenang. Kekuatan politik yangbersimpati pada adat ini terlihat denganmunculnya dua produk hukum yang lahir diawal pemerintahan reformasi.

Pertama, Amandemen kedua UUD 45 Tahun2000 pasal 18b mengakui keberadaan masyarakathukum adat. Kedua, UU No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, terutama pasal 6,di dalamnya menyebut bahwa hak ulayatsebagai bagian dari identitas budaya masyarakatadat, layak diakui dan dilindungi. Disisi yanglain, munculnya era reformasi juga hukummendorong munculnya kekuatan baru di tingkatmasyarakat sipil yang peduli terhadap hak-hakmasyarakat adat dengan mendeklarasikanAliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),melalui Kongresnya pertama yang diadakan diJakarta, pada 15-22 Maret 1999 dan Kongreskedua yang berlangsung pada bulan September2003 di Nusa Tenggara Barat. Kongres keduaini merupakan puncak yang menegaskan posisimasyarakat hukum adat terhadap negara melaluislogan, “jika negara tidak mengakui kami(masyarakat hukum adat), maka sebaliknyakami (masyarakat hukum adat) juga tidakmengakui negara”. Kongres AMAN memunculkankembali memori lama yang seolah ingindilupakan atas praktek negaranisasi tanah adat.

Namun sayangnya, praktek pencaplokanlahan atas tanah-tanah adat di era reformasimasih terus saja berlangsung. Konflik lahanyang melibatkan masyarakat adat denganperusahaan swasta yang memperoleh izin lahandari pemerintah masih terus berlangsung tanpadapat dihentikan. Kasus lama belum mendapatkanpenyelesaian, kasus baru datang silih berganti.Daniel Fitz Patrick, memberi penjelasanmengapa dua produk hukum yang bersimpatipada hak-hak masyarakat hukum adat ini seolahmati suri dan sulit untuk diimplementasikan.Menurut Patrick10 karena adanya faktorsubordinasi dan pengabaian, baik itu karenawarisan produk kolonial, yakni UU Agraria th1870, terutama pasal 1 yang menganggap semuatanah yang tidak bisa dibuktikan sebegai tanaheigendom berada dalam kekuasaan domainnegara. Hampir semua tanah ulayat tidak bisadibuktikan secara tertulis, terigister dalamdokumen sehingga pemerintah kolonial

pejuang-tanah-adat-tolak-tawaran-tngr.html, diaksestanggal, 18 Januari 2016.

10 Daniel Fitz Patrick, Tanah, Adat dan Negara diIndonesia Pasca Soeharto, dalam Adat dalam PolitikIndonesia (Jakarta: Yayasan Obor & KITLV, 2009), 144-147.

Page 8: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

44

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

banyak melakukan klaim sepihak atas tanahadat. Kebijakan subordinasi tanah ulayat jugadilakukan oleh UU PA tahun 1960, pasal 3 didalamnya menyebutkan bahwa hak ulayat/ hakyang tanpa diakui sepanjang kenyataannya masihada, tetapi harus sesuai dengan kepentingannasional. Kalimat atas nama kepentingannasional inilah yang kemudian menjadilegitimasi pengabaian hak-hak yang dimilikimasyarakat adat.

Era desentralisasi dan otonomi daerah, yangmemberikan beberapa kewenangan daerahyang mestinya digunakan sebagai kekuatan olehpara kepala daerah untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terdapa di wilayahnya,justru kebanyakan kepala daerah tidak memilikivisi populis untuk menyelesaikan konflikagraria. Malahan, dengan kewenangan yangdimiliki atas pemberian izin pembukaan lahan,pemberian izin lokasi pembangunan, mengaturpengadaan lahan untuk pembangunan makinmenciptakan komersialisasi lahan untukinvestasi yang memunculkan konflik baru ditengah masyarakat, sebagaimana kasus-kasusyang terurai di atas sebelumnya. Para kepaladaerah sibuk memperkaya diri denganmemanfaatkan kewenangan yang dimiliki,melakukan komersialisasi lahan dan aset daerahlainnya dengan mengabaikan penanganankonflik agraria yang berkembang di masyarakat.

Spirit desentralisasi dengan adanyakewenangan daerah, sebenarnya mengusungmakna kepemimpinan lokal yang responsifuntuk mengatasi berbagai permasalahan warga,sehingga negara lebih aktif hadir dalammemberi perlindungan dan pelayanan ke arahpeningkatan kualitas kesejahteraan masyaraka.11

Justru yang terjadi sebaliknya, wargamenghadapi beban baru karena pemimpindaerah lebih sibuk memberikan pelayanan danperlindungan pada investor atau koorporasimelalui pemberian izin penguasaan lahan tanpabatas, di tengah makin lemahnya akses

penguasaan warga untuk bertani atau berkebunlainnya. Kondisi semacam ini sepertinyamenjadi trend nasional, jika melihat data BadanPertanahan Nasional (BPN), sebanyak 56 persenaset berupa properti, tanah dan perkebunandikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia.Hal ini diperkuat pula oleh hasil sensuspertanian 2013, sekitar 14, 25 juta rumahtangga tani hanya menguasai lahan kurang dari0,5 hektar perkeluarga. Sedangkan skalaekonomi keluarga tani dapat hidup layak, jikamemiliki penguasahan lahan seluas 2 hektar.

Kebijakan Kabupaten Pasca UU DesaKebijakan pemerintah Orde Baru yang

secara sistematis melakukan pengalihan tanahadat menjadi tanah negara, hanya menyisakantanah pecatu sebagai bagian dari aset desa.Tanah pecatu memiliki fungsi yang melekat didalam jabatan kepala desa atau perangkat desa.Meski sifat kepemilikannya hanya sementaradan tidak dapat diperjual belikan. Misalnya, jikaseseorang sudah tidak lagi menjabat sebagaikelapa desa maka tanah pecatu tidak lagi dapatdikuasai fungsi penggunaannya, dan beralihtangan kepada kepala desa yang barumenggantikannya. Tanah pecatu atau namalain tanah lungguh dalam masyarakat Jawa,merupakan bentuk imbalan penghasilan kepaladesa.

Pada pemerintahan era reformasi, diLombok Timur tanah pecatu ini sempat ditarikkepemilikannya oleh kabupaten. Namun,seiring dengan lahirnya UU No.6 tahun 2014tentang desa, yang di dalamnya terdapat pasalyang menyatakan bahwa aset yang dimiliki desayang sebelumnya diambil alih oleh kabupatenharus dapat diserahkan kembali kepemilikannyakepada desa, kecuali di atas tanah tersebut sudahdibangun fasilitas umum seperti gedung sekolahatau puskesmas. Berdasarkan amanah undang-undang desa ini, Kabupaten Lombok Timurmembuat keputusan Bupati No. 188.45/319/PPKA/2014, yang di dalamnya berisi tiga halpenting, yakni:

Pertama, mengembalikan tanah pecatu desayang tercantum dalam neraca PemerintahKabupaten Lombok Timur kepada PemerintahDesa. Kedua, setelah tanah tersebut dikembalikan

11 Adanya devolution of power melalui beberapakewenangan daerah merupakan substansi utamadesentralisasi. Lihat, B. Smith, Decentralization: the territorialdimension of the state (London: Asia Publishing House,1985).

Page 9: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

45

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

pada desa, selanjutnya pemerintah desaberkewajiban menetapkan tanah pecatu desamenjadi kekayaan desa dan dikelola sesuaiketentuan peraturan perundang-undangan.Ketiga, pengembalian tanah pecatu dimaksuddikecualikan terhadap tanah pecatu yangsebelumnya telah dilakukan pemindah-tanganan sesuai peraturan perundang-undangan dan tanah pecatu yang telah menjadifasilitas umum. Keputusan Bupati Moch Ali BinDachlan ini berlaku setelah ditetapkan padatanggal 1 Juli 2014 sebagai respon ataspemberlakuan UU Desa 12 dan disusul kemudiandengan SK Bupati Lombok Timur Nomor:188.45/442/PPKA/2014 tentang penghapusantanah-tanah pecatu desa dari daftar barang milikdaerah.

Tidak banyak terobosan yang dilakukanoleh Kepala Daerah Lombok Timur dalammemaknai substansi pasal-pasal di dalam UUDesa. Padahal, jalan untuk membicarakankembali secara lebih adil dan empati ataskonflik agraria yang merugikan masyarakat,seperti yang berada di kawasan lereng kakiGunung Rinjani dapat memungkinkan melaluipengujian adanya asas pengakuan (rekognisi) didalam UU Desa. Asas rekognisi ini sangat terkaitatas pengakuan hak asal usul masyarakat yangdi masa lalunya memiliki historis denganeksistensi adat dan tanah yang melekat didalamnya. Asas rekognisi juga diperkaya didalam UU Desa melalui pasal 76 tentang asetdesa, di dalamnya menyatakan bahwa aset desadapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, hutandesa dan aset lainnya milik desa.

Syahdan, melalui asas rekognisi dan pasal76 UU Desa, masyarakat adat yang selama inimengalami konflik agraria berupa pengambilalihan lahan atau pembatasan akses terhadap

hutan melalui kebijakan undang-undang sektoralseperti adanya status TNGM, dapat memulaiperundingan kembali agar masyarakat dapatmenaruh harapan penyelesaian dan tidakmenggunakan aksi klaim pendudukan lahansecara sepihak yang menjurus pada ketegangandan konflik. Sayangnya, sejauh ini PemerintahDaerah Lombok Timur lebih memilih membuatkebijakan yang lunak (soft policy), sebataspengembalian tanah pecatu kepada desa,dibandingkan memilih kebijakan yang visioner,yakni mendorong kebijakan reformasi agraria,baik melalui proses menyelesaikan konflikagraria ataupun melakukan distribusi aset, agarpetani miskin yang tidak memiliki tanah,kembali dapat memiliki lahan untuk bercocoktanam sehingga lebih ada jaminan kesejahteraandibandingkan dengan memperoleh modelkebijakan charity, seperti program raskin.

Saat terjadi proses pengembalian tanahpecatu kepada pemerintah desa, juga munculpermasalahan baru, disebabkan pengembaliantanah pecatu oleh kabupaten kepada desainduk, padahal desa induk sudah banyak yangmengalami pemekaran desa. Desa yangmengalami pemekaran dari desa induknyaprotes karena sama-sama ingin memiliki aksesterhadap kepemilikan penguasaan tanahpecatu. Apalagi tak sedikit pula lokasi tanahpecatu posisinya berada di desa pemekaran daridesa induknya, seperti yang yang dialami desaSepit (desa Induk) yang mengalami konflikdengan Desa Setungkeplingsar (desa pemekaran),sementara kabupaten menyerahkan pengembaliantanah pecatu kepada desa induk tanpamelakukan musyawarah mufakat antara desainduk dengan desa pemekarannya. SaatPemkab melakukan pertemuan dengan paraKades pada tanggal 8 Desember 2014, tak sedikitdiantara para Kepala Desa yang protes danmenolak keputusan tersebut karena dianggapmemberikan beban pada Desa Induk. SepertiKades Pringgabaya, Lalu Sapri yang mengkritisidua hal dari SK Bupati terkait pengembaliantanah pecatu, yakni Pertama; memberi bebanpada desa induk karena harus bermusyawarahdengan desa pemekaran, sementara Pemkabcenderung lepas tangan. Kedua, luasan daritanah pencatu yang dikembalikan pada desa itu

12 Menurut Mursyidul AM SE, Kepala Bidang AssetDinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan AssetDaerah, adanya kebijakan Bupati ini diadasarkan atasaspirasi masyarakat agar tanah pecatu dikembalikan padapemerintahan desa sesuai dengan amanah UU Desa danjuga temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilanNTB saat melakukan audit keuangan Pemkab Lotim tahun2013 menemukan masih mencatumkan tanah pecatusebagai aset daerah. Wawancara dengan Mursyidul AMdilakukan pada tanggal, 18 November 2015.

Page 10: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

46

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

banyak bermasalah sehingga Bupati tidakmemaksakan diri untuk menandatangani SKterkait pengembalian tanah pecatu itu kepadadesa sebelumnya, sebelum semuanya menjaditerang benderang.13

Memang di era reformasi, terjadi duagelombang pemekaran desa yang begitu semarakdi Kabupaten Lombok Timur, gelombangpertama didasarkan pada Perda No. 15 tahun2010 tentang pembentukan sebanyak 49 desapemekaran dan gelombang kedua berdasarkanPerda No. 7 tahun 2011 tentang pembentukandesa sebanyak 66 desa pemekaran. Denganbanyaknya desa pemekaran ini seperti bola panasbagi desa terkait dengan pengembalian tanahpecatu kepada desa induk yang harus berbagidengan desa pemekaran. Kabupaten dituntutdengan pendekatan yang bijak agar konflik initidak terus memanas yang dapat menggangguketentraman dan kenyamanan masyarakatdalam menjalani aktivitas keseharian.

Selain kedua SK tentang pengembaliantanah pecatu dan penghapusan tanah pecatudari daftar barang daerah sebaimana di atas,Pemkab Lombok Timur juga mengeluarkandua peraturan Bupati sebagai tindak lanjut dariimplementasi UU Desa, yakni, Peraturan Bupati(Perbub) Nomor: 36 tahun 2014 tentang pedomanpengelolaan keuangan desa, Keputusan BupatiNomor: 188.45/509/PMPD/20014 tentangpenetapan besaran penghasilan tetap, alokasidana desa dan bagi hasil pajak daerah sertaretribusi daerah tahun anggaran 2015, danPeraturan Bupati Nomor: 5 tahun 2014 tentangtata cara pengadaan barang dan jasa di desa.Peraturan Bupati tentang kewenangan desauntuk menindaklanjuti Permendesa No: 1 tahun2015 tentang 4 kewenangan desa dibidangpemerintahan, pembangunan, kemasyaratandan pemberdayaan masih belum dibuat.

Dampak dari belum adanya PeraturanBupati terkait dengan kewenangan desa inimembuat pemerintahan desa dalam menyusunprogram kegiatan dan belanja barang dan jasasangat tergantung pada persetujuan Kabupaten,

dalam hal ini Badan Pemerintahan danPemberdayaan Masyarakat Desa (BPPMD).Dalam salah satu FGD dengan bebarapa kepaladesa, salah seorang kepala desa mengatakan,saat desanya ingin membelanjakan pembeliansebidang tanah untuk lapangan sepak bola yangsudah tercantum dalam APBDEs tidakdiperkenankan oleh pihak BPMPD, sedangkandesa lain sepengetahuannya di KabupatenBIMA, pihak kabupaten memperbolehkannya.Potret semacam ini menunjukkan adanyakeragaman interpretasi atas UU Desa yangdidasarkan oleh motif dan kepentingan yangberbeda di masing-masing kabupaten. Tentukomitmen dan visi kepemimpinan di tingkatkabupaten sangat mewarnai pula keberhasilanpembangunan di desa.14

HAM, Nestapa Keluarga dan PerempuanBagi masyarakat petani yang memperoleh

sumber kehidupan dari tanah, antara tanah danmasyarakat, bumi dan rakyatnya merupakaninterkoneksi yang intim. Tanah telah menjadilingkungan dan rumah spiritual bagi kebanyakanbudaya masyarakat. Tanah bukan sekedarkepemilikan ruang fisik jasmani belaka, lebihdari sekedar itu adalah sumber segala-galanya,dari ruang spiritual sampai ruang ekonomi danbudaya. Di atas tanah, para petani dankeluarganya bercocok tanam dan melangsungkanhubungan sosial kemasyaratan dalam ikatanberkomunitas. Tanpa tanah, petani kehilanganidentitas sosialnya. Berbagai upaya untukmemisahkan atau mengasingkan petani dengantanah yang selama ini menjadi sumberpenghidupan merupakan praktek nyata daripelanggaran Hak Sipil dan Politik (civil andpolitical rights) serta hak-hak ekonomi, sosial danbudaya (economic, social and cultural rights)sebagaimana diatur dalam Konvenan Internasionaldan telah diratifikasi pada tahun 2005 olehpemerintah Indonesia.

Seharusnya pemerintah Indonesia, dalamhal ini pemerintah daerah harus lebih sensitifuntuk memperhatikan akses keadilan (access to

13 http://www.kancantaradio.com/sejumlah-kades-menolak-menandatangani-sk-pengembalian-tanah-pecatu,diakses tanggal, 19 Januari 2016.

14 Abdur Rozaki, Mendorong Demokratisasi DesaMensejahterakan Warga, dalam Jurnal Analisis CSIS, Vol.44, No. 1, Kuartal Pertama 2015., 64-70.

Page 11: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

47

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

justice) masyarakat dalam mengembangkansumber penghidupannya. Ketika para keluargapetani semakin kehilangan kontrol atas tanahsebagai basis produksinya, berimplikasi padaadanya daya tahan hidupnya melemah dankeluarganya pun mengalami guncangan spritual,sosial dan ekonomi dalam ikatan berkomunitas.15

Potret semacam ini terlihat dari pusaran konflikagraria yang mendera keluarga-keluarga petanidi pedesaan. Hampir tak ada penolong atasketerpurukan nasib yang mereka alami, kecualibangkit melalui lingkungan keluarga sendiriuntuk sekedar bertahan hidup dalam problemaagraria ini.16

Hal inilah yang dialami oleh kebanyakananggota keluarga petani di Kecamatan Sembalunsaat mengalami konflik agraria yang menahun,baik ketika zaman kolonial aksesnya dibatasiuntuk memasuki kawasan hutan di lereng kakiGunung Rinjani, tanahnya dirampas secarasepihak melalui kebijakan TNGM, dan berlanjutadanya penyitaan lahan oleh Dishutbun yangsecara sepihak membebankan kepada parapetani yang mengalami gagal panen kopi, darirangkaian proyek kerjasama petani denganDishutbun. Sebagaimana yang dialami olehMulyono dan keluarga desa lainnya, ia harusbanting setir tak lagi mengandalkan lahanpertanian, yakni dengan cara mengirim anakperempuannya menjadi Tenaga Kerja Indonesia(TKI) ke negeri jiran Malaysia untuk menopang

keberlangsungan kehidupan keluarganya didesa.17

Perempuan kerapkali menjadi penolonghidup ekonomi keluarga, menjadi ujung tombaksaat keluarga mengalami krisis kesejahteraan.Pilihan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW)di luar negeri sesaat memang dapat menjadi arenapelepasan problem sosial di lingkungan desanya,meski demikian tetap saja memangkul pundaktangung jawab keluarga, mengemban misiekonomi agar membawa keberhasilan ekonomisaat menjadi TKW di negeri orang. Sebagaimanalaporan LSM Koslata, mayoritas TKI yang berasaldari NTB yang ada di luar negeri adalah kaumperempuan. Meski pemerintah sudah melakukanmoratorium penghentian pengiriman TKI keluar negeri, jumlah pemberangkatan TKI terusbertambah. Data yang dimiliki Koslatamenunjukkan bahwa, jumlah TKI pada 2010sebanyak 82.534 orang di luar negeri, sedangkan2011 meningkat menjadi 94.214 orang dan2012 sebesar 62.358 orang. Dari jumlah TKItersebut, terbesar berasal dari Lombok Timur,yaitu 18.450 orang atau 61 persen dari jumlahkeseluruhan TKI NTB.

Para TKI/TKW yang bekerja menghasilkanuang remitensi. Uang yang berasal dari remitensipara TKI inilah yang mengalir menggerakanperekonomian desa. Uang remitensi menjadipenolong kehidupan ekonomi keluarga TKWdan modal berharga mendokrak peruntungannasib meraih masa depan yang lebih baik. Saataset keluarga di desa tak lagi dapat diandalkan,kebijakan pembangunan pemerintah tidak berpihakpada perbaikan ekonomi keluarga petani, hanyaaliran uang remitansi itulah yang membuatnafas kehidupan di desa membuat sedikit lebihlonggar dari beban hidup akibat kemiskinan. Padatahun 2010, remitensi dari TKI asal Lombok Timursebesar Rp. 1,1 Milyar, tahun 2011 sebesar Rp.1,4 Milyar dan tahun 2012 mengalami penurunanhanya Rp. 1,1 Milyar, sedangkan tahun 2013mengalami kenaikan menjadi Rp. 2,2 Milyar.18

15 Melemahnya kontrol petani atas tanahnya dimulaidari adanya hegemoni dalam pengetahuan bertani olehpara ilmuwan barat yang ditopang oleh mesin koorporasiyang telah menggeser pengetahuan dan kearifan lokal carabertani masyarakat tradisional. Lihat, Vandana Shiva, BebasDari pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidupdi India (Jakarta: Yayasan Obor, 1997), 6-13.

16 Kelompok intermediary sebagai penghubung antaramasyarakat dengan pengambil kebijakan terlihat belumbegitu kuat pula dalam mempengaruhi kebijakan ataskonflik agraria semacam ini, padahal di era demokratisasiperan kelompok semacam ini sangat penting, lihat, HeruNugroho, Struktur-Struktur Mediasi sebagai Sarana untukMemberdayakan Rakyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),192.

17 http://www.mongabay.co.id/2014/12/05/ada-apa-dengan-adat-sajang-di-lereng-rinjani-bagian-ii/diaksestanggal, 18 Januari 2016.

18https://berugaqelen2010.wordpress.com/2013/12/05/gerakan-maju-perempuan-lombok-timur/,diaksestanggal, 19 Januari 2016.

Page 12: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

48

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

Tak sedikit diantara para TKI/TKW ini yangberhasil memperbaiki kondisi ekonomi keluargasehingga memancing daya tarik warga lainnya,banyak pula yang mangalami kegagalan, meskitak membuat surut warga lainnya untuk tetapmengadu nasib di negeri orang. Kebanyakanwarga melihat sisi keberhasilan TKI/TKWdalam memulangkan uang ringgit atau dollardibandingkan dengan resikonya mengadu nasibmenjadi TKI/TKW, seperti adanya praktekperdagangan manusia (human trafficking) yangmenyusup melalui kedok tukang jasa pengirimanTKW ke luar negeri. Di samping itu, adanyakasus-kasus kekerasan lainnya yang dilakukanoleh majikan terhadap para TKI/TKW yangnyaris tanpa perlindungan negara.

Fenomena terus membanjirnya TKI/TKWmasyarakat pedesaan, merupakan wajah buramkemiskinan di desa. Ia lahir dari reproduksikebijakan struktural pemerintahan yang lebihberkiblat pada mazhab neoliberalisme. Pemerintahlebih memilih sebagai centeng koorporasi19,dengan cara mendorong kebijakan ekonomikonglomerasi untuk melakukan ekspansipembangunan sampai pelosok pedesaan.Contohnya, pemerintah daerah lebih memilihmemfasilitasi kepentingan pengusaha swastayang berkoneksi dengan orang kuat lokal dilingkungan pemerintahan, terutama dalampenguasaahan lahan terkait urusan pariwisatadan pertanian. Dalam urusan kebijakanpariwisata, terlihat dari maraknya jual beli asetdan izin usaha kepada para investor-koorporasiuntuk pengembangan pariwisata, khususnya dilahan yang berada di kawasan pantai. 20

Sedangkan untuk input pertanian, seperti bibit,pupuk, pestisida yang dipasarkan kepada petaniadalah produk asing yang didistribusikanmelalui perusahaan milik orang kuat lokal dipemerintahan daerah.

Petani di Lombok Timur tidak hanyamengalami problem keterbatasan aset tanah,

yang rata-rata petani memiliki lahan seluas 0,2hektar sampai 0,5 hektar, juga kesalahan carabercocok tanam yang serba un-organik sehinggamengalami ketergatungan yang tinggi padamekanisme pasar. Padahal, setiap siklus pertanianselalu ada mafianya, dari soal input pertaniansampai pada perdagangan distribusi produkpertanian yang hampir tidak pernah berpihakpada petani.21 Sebagaimana yang dialami IbuMun’ah22, buruh tani di Desa Lendang Nangka,yang selalu membeli bibit, pupuk pestisidauntuk membasmi hama di lahan seluas 20 areyang digarapnya. Bagian hasil untuknya, untukjenis padi selalu ia tidak pernah menjualnyakarena untuk kebutuhan hidup keseharian,sedangkan untuk jenis palawija, ia menjualnyakepada pedagang perantara yang mendataginya.Potret menjual pada tengkulak, hampir semuadilakukan oleh petani untuk mengurangi biayaangkut ke pasar, namun para tengkulak produkpertanian ini lebih menentukan permainanharga di pasar dibandingkan petani sendiri.

Input pertanian dan distribusi produkpertanian yang dikontrol dan dikendalikan olehmekanisme pasar yang ditopang oleh kekuatandalam birokrasi pemerintahan daerah membuatdaya saing produk pertanian sangat tidakkompetitif dan menjamin kesejahteraan petani.Para aktor pengendali pemerintahan LombokTimur lebih memprioritaskan investasi danproyek yang mendatangkan keuntunganekonomi, dibandingkan memilih bekerja kerasuntuk mengatasi konflik agraria dan ketimpangankepemilikan aset lainnya yang terdapat dilingkungan pedesaan. Para keluarga petanisemakin kehilangan kontrol atas tanah dan asetsumber penghidupan lainnya sehingga membuatmereka secara berlahan lari dari dunia pertaniandan mencari alternatif sumber penghidupan

19 I Wibowo, Negara Centeng: Negara dan Saudagar diEra Globalisasi (Yogyakarta : Penerbit Kanisus, 2010), 52-53., I Wibowo dan Francis Wahono (eds), Neoliberalisme(Yogyakarta : Penerbit Cindelaras, 2003), 188-193.

20 Wawancara dengan Putrawan Habibie, Ketua ForumMasyarakat Lotim Menggugat (FMLM) tanggal, 18November 2015.

21 Wawancara dengan Maharani, Direktur LombokResearch Centre tanggal, 15 November 2015.

22 Ibu dengan 3 orang anak, anak pertama dankeduanya sudah menikah dan mandiri, anak ketiganyamasih kuliah D3 di Mataram. Selain menjadi buruh tanibersama suaminya, ia juga membesarkan 3 ekor sapi milikorang dengan sistem bagi hasil, dan juga berternak ikan leleyang digunakan sekedar untuk konsumsi sendiri.Wawancara dan observasi di lingkungan keluarga danpekerjaannya dilakukan pada tanggal, 16 November 2015.

Page 13: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

49

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

lainnya di sektor jasa, salah satunya denganmengadu nasib sebagai TKI/TKW.

Tingginya jumlah TKW di Lombok Timurjuga menandai praktek pembangunan yang biasgender, hal ini ditandai oleh lemahnya aksesdan partisipasi kaum perempuan dalam prosespengambilan keputusan diberbagai level, mulaidari lingkungan keluarga sampai institusipemerintahan. Lingkungan keluarga danmasyarakat sangat diwarnai oleh adat danbudaya keagamaan, yang meletakkan posisi laki-laki lebih dominan dalam kepemilikan danpenguasaan aset harta kekayaan. Sekalipunperempuan lebih produktif dalam bekerjasehingga menghasilkan banyak harta, budayayang berkembang, harta yang dihasilkan olehkaum perempuan tetap diatas namakankepemilikannya pada sang suami.23 Perempuandalam budaya Sasak pedesaan, harus rela makanempit (kerak) dan sabiyek masak (cabe merah) darisisa makan suaminya dan anak-anaknya karenaperempuan tidak memiliki hak menentukanmakanannya sendiri. Inilah potret nestapakaum perempuan, yang menurut saudari Atik,aktivis LSM Santai, betapa perempuan beradapada posisi paling akhir dalam mata rantaidistribusi makanan dalam keluarga, terlebih diruang publik lainnya.24

Fenomena perempuan bekerja sebagaiTKW, selain keterbatasan aset tanah parakeluarga petani di desa, adat budaya keagamaanjuga turut mempengaruhi pula. Seperti adanyapraktek pernikahan dini yang cukup tinggi diLombok Timur, yang akarnya dapat dirunutpada budaya merariq yang masih berkembangdi lingkungan masyarakat. Budaya merariq, praktekmelarikan perempuan sebelum dinikahinya,dalam banyak hal sangat merugikan kaumperempuan. Budaya ini sangat kental nilai-nilaimaskulinitasnya, kuasa perempuan sangatlemah dibandingkan otoritas kuasa lelaki,sebagaimana terlihat dari tidak adanya batasanumur untuk perempuan saat dilarik (dilarikan)

oleh laki-laki. Tak heran banyak terjadi praktekpenyalahgunaan budaya ini masih cukup tinggi,semisal tradisi pacaran di kalangan anak usiaremaja yang masih dini, terkadang berlanjut padapraktek pernikahan dini dengan menggunakanlegitimasi budaya merariq.25

Praktek pernikahan dini, dengan sumberdaya perempuan yang belum matang, dalammembina lingkungan rumah tangga, tak jarangmenimbulkan konflik dan berakhir denganpenceraian. Dalam praktek perceraian ketikaperempuan memiliki anak dari hasil pernikahannya,maka beban untuk merawat dan membesarkananak sampai dewasa adalah ibunya, sang bapaktidak memperoleh beban tanggung jawab.Disinilah perempuan mengalami beban hidupyang bertambah pasca perceraian. Beban hidupsecara ekonomi karena harus menanggungkehidupan anaknya dan beban sosial, berupaadanya perasaan malu pasca perceraian dilingkungannya sehingga tak jarang untukmelepaskan berbagai beban, dengan cara memilihjalan alternatif menjadi TKW.

Melalui uraian di atas, memperlihatkanbetapa perempuan mengalami dua bentukkekerasan sekaligus, yakni kekerasan strukturalakibat dari konflik agraria dan kekerasan kulturaldalam bentuk kebiasaan di dalam keluarga danmasyarakat yang tidak memberdayakan kaumperempuan. Di tengah badai prahara konflikagraria, sudah semestinya tanggung jawab untukmembangun kehidupan ekonomi keluargadilakukan secara kolektif-kolegial, bukannyamenjadikan perempuan satu-satunya sebagaiujung tombak penanggung beban utama ekonomikeluarga. Memang opsi keterpurukan keluargapetani dalam konflik agraria di Lombok Timur,belum seradikal para perempuan di ChiapasMexico, para keluarga tani baik perempuan danlaki-laki melakukan gerakan sosial, sampai

23 Makinuddin, Kemiskinan dan ‘Janji Surga’ BagiPerempuan Sasak, dalam Jurnal Perempuan, Edisi 42, No:42, 2005, hal.70.

24 Hasil Focus Group Discussion (FGD) para aktivis NGOdi Nusa Tenggara Barat pada tanggal, 16 November 2016.

25 Budaya merariq sebenarnya mengandung unsurkejantanan, keberanian dan rasa tanggung jawab laki-lakiyang ingin menikahi perempuan. Dalam tradisi budayamasyarakat sasak, laki-laki yang menikah dengan caramelariq lebih memperoleh apresiasi yang tinggi dibandingkanmenikah dengan cara melamar. Lihat, Amin Mudzakir,Gender dan Politik Etnisitas dalam Masyarakat Muslim:Studi Kasus Perempuan Sasak Lombok, dalam Jurnal IlmuSyari’ah, Volume 10, Nomor : 1 Maret 2012, hal. 280.

Page 14: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

50

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

angkat senjata untuk melindungi tanahnya daripara tangan koorporasi. Seperti KomandanteRamona, perempuan yang bergabungdalamgerakan Tentara Pembebasan Nasional Zapatistadi Mexico yang membela hak kaum perempuanmiskin dari praktek diskriminasi dan kekerasanstruktural pembangunan terhadap pendudukpribumi.26

Inovasi di Tengah KeterbatasanTanah, hutan dan air adalah tiga aset yang

menjadi tumpuan utama sumber penghidupandi desa. Di dalam masyarakat yang masihmemelihara unsur kearifan lokal, ketiga aset desaini layaknya makhluk hidup yang lain, sepertimemiliki ikatan darah yang mempersatukansebuah keluarga. Sebuah keluarga tidak akandapat bertahan hidup, jika dari ketiga aset inimengalami guncangan yang menyebabkankehancuran ekosistem alam.

Terdapat perbedaan signifikan di dalammemandang alam, bumi antara manusia moderndengan masyarakat tradisional yang masihmenghayati kearifan lokal. Masyarakat modernmenganggap bumi, yang di dalamnya terdapatunsur yang saling menyatu antara tanah, hutan,dan air adalah milik manusia, masyarakattradisional memandang sebaliknya, manusiaadalah milik bumi. Dalam perkembangandinamika kemasyaratan, kini cara pandangbahwa bumi adalah milik manusia makindominan, hal ini berimplikasi pada adanyaproses eksploitasi unsur-unsur di dalam bumi,berupa pengerukan lahan untuk tambang dansejenisnya, penebangan hutan secara liar,komersialisasi air yang merusak hubungan intimmanusia dengan alam secara ekologis. Potretsemacam ini makin terlihat di kawasan kakiGunung Rinjani di Lombok Timur.

Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dariadanya penghancuran yang sistematis terhadapinstitusi masyarakat adat, proses kapitalisasi yangsangat liberalistik berupa komersialisasi lahanoleh negara melalui pemberian izin penguasaan

dan eksploitasi lahan kepada koorporasi, telahmenciptakan degradasi dan deforestasi yangmengalami peningkatan dari tahun ke tahun.Bahkan di tengah angka kemiskinan yang cukuptinggi dari warga di sekitar kawasan karena tidakmemiliki akses lahan yang cukup untuk bercocoktanam, melakukan praktek illigal logging untukmemenuhi sumber penghidupannya. KawasanGunung Rinjani yang mempesona dan eksotispemandangan alamnnya, terancam mengalamikerusakan yang hebat. Kondisi semacam ini jugamulai memunculkan keprihatinan organisasimasyarakat sipil, seperti Santiri Foudation,Samdhana Institute yang mengajak pemerintahdan warga masyarakat untuk memiliki keprihatinandan berupaya menyembuhkan luka-luka yangterus menggerus kawasan hutan GunungRinjani.27

Salah satu desa yang berada di kawasan luarkaki Gunung Rinjani, yang memiliki keterkaitandengan bentang lahan hutan adalah DesaLendang Nangka Lombok Timur. Desa iniberdiri sejak tahun 1770, Lalu Acak menjadipemimpin pertama yang memimpin desa iniselama 50 tahun dan roda kepemimpin terusberlanjut sampai sekarang, yakni kepada LaluMuhammad Isnaini yang menjabat sebagaiKepala Desa sejak tahun 2013. Desa ini memilikisebanyak 8 titik sumber mata air. Mata air yangpaling besar adalah mata air tojang dan berikutnyamata air tigasa. Masyarakat dalam memenuhisumber kehidupannya, seperti untuk mengairisawah, dan kebutuhan harian rumat tanggalainnya, sangat tergantung pada lokasi keduasumber mata air ini.28

Pada sekitar tahun 70 an, terjadi pengalihanaset desa, yakni penyerahan lokasi sumber mataair tigasa yang terbesar di Desa Lendang Nangkakepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).Sumber mata air tigasa oleh PDAM digunakanuntuk menyalurkan kebutuhan air bersih pada5 kecamatan di Lombok Timur, khususnyaKecamatan Selong, kecamatan yang berada di

26 Lihat, Neil Harvey, Rebellion in Chiapas: RuralReforms and Popular Struggle, Third World Quarterly(Published by: Taylor & Francis, Ltd), Vol. 16, No. 1 (Mar.,1995), pp. 39-73.

27 T. Kukuh S, Rinjani Terluka!: Jejak PergulatanMengembalikan Makna (Mataram: Santiri Foundation danWWF, 2011), 53-73.

28 Dokumen RPJMDes Lendang Nangka, tahun 2013-2019 dan Dokumen Profil BUMDes Lentera, tahun 2015.

Page 15: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

51

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

kota Kabupaten Lombok Timur. Desa LendangNangka sendiri tidak memiliki akses terhadappasca pengambil alihan oleh PDAM danbahkan sampai dengan saat ini menurut BapakKades, tidak pernah memberikan kontribusidana seperti CSR nya untuk desa.29 Warga DesaLendang Nangka lebih banyak mengantungkebutuhan air pada sumber mata air tigasa.

Dari waktu ke waktu, terjadi proses yanginovatif dalam pengelolaan sumber mata air tigasauntuk memenuhi kebutuhan warga desa. Darisemula dikelola secara komunitas denganpendekatan kepemimpinan konsensus paratokoh desa, untuk merawat dan memberi aksesair bersih untuk kebutuhan keseharian warga,sampai pada proses pelembagaan keorganisasiandalam tata kelolanya, yakni pada tahun 2002dalam bentuk Perusahaan Air Minum Desayang diberi nama PAMDES Asih Tigasa, danpada tahun 2015, dengan inspirasi lahirnya UUDesa, melalui keputusan musyawarah desa(Musdes) yang partisipatif dan demokratis,bertransformasi tata kelolanya dalam bentukBadan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan diberinama baru menjadi BUMDes Lentera.

Sejak manajemen tata kelola akses air bersihwarga bentuk PAMDES, sudah mulai munculbanyak inovasi, berupa perbaikan infrastrukturseperti adanya pemasangan alat water meter padasetiap rumah pelanggan agar terjadi pemerataanakses penggunaan air bersih secara adil. Wargayang tidak mendaftar memasang water meter jugatetap dapat akses air bersih dengan cara bergabungdengan pemilik water meter di tetangga dekatnya.Tata Kelolanya terkait hak, kewajiban dan sangsijuga diatur secara rapi dalam AD/ART PAMDES.Seperti kewajiban pembayaran sebesar Rp. 100,-air permeter kubik pada pelanggan. Biaya bebanuntuk perbaikan sebesar Rp. 1.000,- perbulansetiap water meter.

Besaran dana retribusi air PUMDEs dalamaturan main yang disepakati oleh para tokohdesa dan pengurus diperuntukkan untukbeberapa hal; (1) pembangunan Masjid Desasebesar 45% (2) APPKD Lendang Nangkasebesar 20%, (3) BPD Desa Lendang Nangka

sebesar 5%, (4) administrasi pengelolaan sebesar5% dan insentif pengelola sebesar 25%. Sedangkanterkait mekanisme sangsi untuk pelanggar,diantaranya yakni: adanya sangsi bagi paraperusak meter air, menimbun dan merubahkedudukan dikenakan denda Rp.100,000,-.Untuk keterlambatan pembayaran selama tigabulan berturut-turut akan dilakukan pemutusansambungan tanpa pemberitahuan sampai yangbersangkutan melunasi kewajibannya dalamkurun waktu 15 hari ke depan.

Banyak warisan positif dari adanya pelem-bagaan tata kelola yang demokratis PUMDesyang sudah berjalan secara baik. Bahkan terkaitdengan program air bersih, berhasil mengurangiderajat konflik warga atas akses sumber dayaair. Akses masyakat untuk memperoleh airbersih juga semakin merata dan membaiksehingga kesehatan masyarakat semakin terjagakarena tidak lagi terjangkit penyakit kulit yangdisebabkan air yang kotor. Begitu juga dengankondisi sanitasi dan MCK warga jauh lebih baikdibandingkan sebelumnya. Bahkan tidaksedikit pula yang memanfaatkan akses terhadapair bersih untuk fungsi ekonomi, seperti usahacuci motor atau mobil, ada pula pembuatan esbatu usaha rumah tangga.

Tantangan yang cukup kompleks keber-lanjutan warga untuk menikmati akses airbersih adalah adanya penambangan galian Cdi lahan milik warga yang berbatasan denganlahan milik desa yang menjadi pusat sumbermata air. Menurut pengurus BUMDes Lentara,tanah kas desa hanya 25 are yang menjadi pusatsumber mata air. Di luar luasan itu, kepemilikanlahan adalah milik warga. Sudah sekitar duatahun terakhir ini warga yang memiliki lahandengan jarak sekitar 500 meter dari lokasisumber mata air BUMDEs itu digali, bebatuanbesar di bawah tanah digali, dan batu ditu dipecahdengan ukuran tertentu untuk bahan bangunan,terutama untuk pondasi bangunan rumah. Jikapenambangan galian C ini tidak dihentikan,menurut pengurus BUMDEs tidak menutupkemungkinan, dalam 5 sampai 10 tahun kedepan, endapan air di bawah tanah makintergerus dan mengurangi debit sumber mataair BUMDes. Sangat dilematis, satu sisi wargayang memiliki tanah butuh penghasilan, namun

29 Wawancara dengan Kades Lendang Nangka, LaluMuhammad Isnaini, 17 November 2015.

Page 16: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

52

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

implikasi ke depanya akses kebutuhan air bersihwarga menjadi terganggu. Saat konfirmasi ke Kadesatas kasus ini, dijawab masih belum menemukansolusi yang tepat.

Ketika isu impelementasi UU Desa makinsanter di tingkat pemerintahan dan masyarakat,proses transformasi PUMDES menjadi BUMDEstidak menimbulkan permasalahan karena rosestransformasi ini untuk menjawab tantanganbaru yang lebih kompleks dalam mewadahiberbagai aspirasi kebutuhan warga desa. Sejakmenjadi BUMDes Lentera, juga ada perbaikanperumusan AD/ART dengan struktur dan peranmanajemen yang lebih baik lagi, dan penambahanjasa-jasa layanan. Jika saat berbentuk PUMDEshanya berupa air bersih, kini setelah menjadiBUMDEs selain melayani jasa air bersih, jugajasa keuangan simpan pinjam keuangan mikro.Jasa unit perdagangan dan lumbung panganserta unit pengelolaan sampah.

Sejauh ini, dari beberapa unit jasa layananusaha, baru dua unit yang sudah tumbuh danberkembang secara baik, yakni air bersih dansimpan pinjam. Secara teknis ada sebanyak 3orang yang mengurus jasa layanan air bersih,yakni 2 orang untuk urusan teknis dan1 oranlagi manager. Sedangkan untuk simpan pinjamyang menangani 6 orang. Untuk urusan sampahpada tahun-tahun sebelumnya 6 orang, kini yangmengurusnya hanya satu yang bernama Suprat.Suprat mengelola sampah ini secara organik,yakni dengan cara memilah antara sampah dapur,plastik, besi dan lainnya. Sampah dapur yangsifatnya basah seperti dedaunan, sisa sayurandiolah menjadi pupuk organik (kompos). Untuksampah kering seperti plastik, besi dikumpulkandan dijual kembali. Suprat mengambil sampahrumah tangga, seminggu sekali dengan imbalanberupa dua gelas beras perbulannya.

Untuk program pengelolaan sampah, semakinmenjadi perhatian pemerintah desa karenasampah rumah tangga masyarakat semakinmengkhawatirkan dan jika tidak diurus secarabaik, ke depan akan dapat mengganggu kesehatanmasyarakat. Masih banyak warga masyarakatyang membuang sampah sembarangan, sepertimembuang di tepian jalan pojok desa. Hal inimemunculkan keperihatinan tersendiri bagipemerintah desa. Desa membuat kebijakan

membangun tempat pembuangan akhir (TPA)sampah di tanah kas desa seluas 5 are (1 are luasnyasama dengan 10 x10) dengan visi pengelolaansampah organik, pembuatan kompos. Pem-bangunan TPA sudah hampir selesai bangunan-nya, menelan anggaran dana desa dan BantuanDinas PU sebesar Rp. 500 juta.30

Di tengah keterbatasan lahan yang dimilikipara keluarga petani untuk melangsungkansumber penghidupan berkelanjutan, duakelompok perempuan yang tergabung di KWTPade Girang dan KWT Minahorti denganjumlah anggota 15 orang melakukan inovasimemproduksi makanan olahan dari hasilpertanian. KWT Pade Girang berdiri sejaktahun 2011 dengan jumlah keanggotaan 11orang, memproduksi makanan olahan berupadodol nanas, dodol tomat dan kue keong sertastik rumput. Untuk permodalan usaha, selaindengan cara swadaya, iuran anggota setiap orang-nya sebesar Rp. 100 ribu, juga memperolehpinjaman dari UP2K dan bantuan peralatan danbahan dari Balai Pelatihan Terpadu (BPTP)Provinsi NTB seusai memperoleh pembinaanselama tiga bulan.

Menurut Ibu Malsum31, dalam memproduksikeempat jenis makanan olahan di atas,kelompoknya membutuhkan biaya produksisebesar kurang lebih Rp. 10 juta perbulan. Prosesproduksi dilakukan dalam waktu dua minggu.Masing-masing kue dan jajan memilki klasifikasikebutuhan biaya yang berbeda-beda, tergantungpada situasi harga bahan pokok di pasaran, jugamembutuhkan alokasi waktu produksi yangberbeda-beda, tegantung jenis kue atau jajanyang diproduksi. Besaran modal Rp. 10 juta,sudah termasuk ongkos produksi yang meliputipengolahan, biaya kemasan dan transportasi,dimana tenaga pekerjanya diambil dari anggotaKWT Pade Girang, perhari 7–8 orang danperorang memperoleh gaji sebesar Rp 20.000perhari. Dengan modal produksi sebesar Rp. 10juta, keuntungan yang diperoleh sebesar

30 Wawancara dengan Kades Lendang Nangka, LaluMuhammad Isnaini dan Suprat, tanggal 17 November2015.

31 Wawancara dengan Ibu Malsum, tanggal 19November 2015.

Page 17: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

53

Abdur Rozaki: Konflik Agraria, Perempuan dan Kemiskinan di Desa

Rp.600,000,- perbulan. Jika dikalkulasikeuntungan kelompok KWT Pade Girang,pertahunnya antara Rp. 7.200,000,- sampaidengan Rp. 8.000,000,- Kini pemasarannyatidak hanya di wilayah Lombok Timur saja,sudah menyebar ke Lombok Tengah, LombokBarat dan bahkan dibawa sebagai oleh-oleh kemanca negara melalui TKI.

SimpulanKonflik agraria yang selama ini dialami oleh

masyarakat desa di sekitar Taman NasionalGunung Rinjani sebagai akibat prakteknegaranisasi tanah adat sejak zaman kolonialyang diperkuat sejak rezim Orde Baru berkuasa,tak mampu diatasi oleh berbagai perubahanpolitik di era reformasi. Era desentralisasi danotonomi daerah, serta munculnya UU Desayang memberi peluang terhadap kembalinyaaset yang dimiliki desa, tidak membuka kontakPandora konflik agraria ini ke arah prosesdialogis antara kekuatan masyarakat sipil denganpemangku kebijakan dalam mendorong prosesreforma agrarian di desa.

Visi politik dan konfigurasi politik lokalyang berlangsung masih lebih mengedepankanakses yang lebih besar pada investor swasta dalammemperoleh izin penguasaahan lahan diban-dingkan dengan mendorong reforma agrarian,memberi akses yang lebih baik pada wargamasyarakat dalam membangun sumber peng-hidupan melalui penguasahaan lahan untukpertanian dan perkebunan. Visi politik pemerintahdaerah masih lebih condong mendorongpertumbuhan ekonomi melalui pendekatanelistisme dengan mendatang modal besar swastadaripada mendorong pertumbuhan ekonomidari bawah, yakni ekonomi pedesaan berbasispertanian.

Padahal, potret yang terjadi sebagai akibatdari konflik agraria yang telah berlangsungpuluhan tahun ini, akses keadilan (access to justice)masyarakat untuk mengembangkan diri melaluiekonomi desa yang mandiri makin terabaikan.Dampaknya keluarga petani mengalamikemiskinan. Realitas kemiskinan keluargapetani di desa ini pada akhirnya juga berujungmenjadikan perempuan sebagai ujung tombakmengatasi beban perekonomian keluarga.

Misalnya, dengan cara menjadi TKW di luarnegeri. Political will pemerintah sangat diharap-kan untuk membuat terobosan kebijakandaerah yang lebih memperhatikan sensitifitasatas persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalamkonteks konflik agraria semacam ini, sudahsepantasnya kepala daerah yang dipilih olehwarga memanfaatkan peluang yang diberikanoleh UU Desa ini untuk melakukan perlindunganaset, pengembalian dan distribusi aset melaluiskema kebijakan reforma agraria untuk memenuhirasa keadilan masyarakat dan juga sebagaibentuk realisasi pelaksanaan Hak Sipil dan Politik(civil and political rights) serta hak-hak ekonomi,sosial dan budaya (economic, social and culturalrights) sebagaimana diatur dalam KonvenanInternasional yang telah diratifikasi pada tahun2005 oleh pemerintah Indonesia. ***

Daftar PustakaBudianti, Erni. Islam Sasak: Wetu Telu versus

Wetul Lima. Yogyakarta: PenerbitLKiS, 2000.

Harvey, Neil. Rebellion in Chiapas: RuralReforms and Popular Struggle, ThirdWorld Quarterly (Published by: Taylor& Francis, Ltd), Vol. 16, No. 1, Mar,1995.

Kukuh S,T. Rinjani Terluka!: Jejak PergulatanMengembalikan Makna, Mataram:Penerbit Santiri Foundation danWWF, 2011.

Kasim, Ifdhal (ed). Hak Sipil dan Politik: Esai-EsaiPilihan. Jakarta : Penerbit Elsam, 2001.

Makinuddin. Kemiskinan dan ‘Janji Surga’ BagiPerempuan Sasak, dalam JurnalPerempuan, Edisi 42, No: 42, 2005.

Mudzakir, Amin. Gender dan Politik Etnisitasdalam Masyarakat Muslim: StudiKasus Perempuan Sasak Lombok,dalam Jurnal Ilmu Syari’ah, Volume 10,Nomor: 1 Maret 2012.

Nugroho, Heru. Struktur-Struktur Mediasi sebagaiSarana untuk Memberdayakan Rakyat.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Patrick, Daniel Fitz. Tanah, Adat dan Negaradi Indonesia Pasca Soeharto, dalam

Page 18: KONFLIK AGRARIA, PEREMPUAN DAN KEMISKINAN DI DESA

54

Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016

Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta:Penerbit Yayasan Obor & KITLV,2009.

Rozaki, Abdur. Mendorong Demokratisasi DesaMensejahterakan Warga, dalam JurnalAnalisis CSIS, Vol. 44, No. 1, KuartalPertama 2015.

Shiva, Vandana. Bebas Dari pembangunan:Perempuan, Ekologi dan PerjuanganHidup di India. Jakarta: Yayasan Obor,1997.

Shiva, Vandana dan Maria Mies. Ecofeminism:Perspektif Gerakan Perempuan danLingkungan. Yogyakarta: IRE Press,2005.

Smith, B. Decentralization: the territorial dimensionof the state. London: Asia PublishingHouse, 1985.

Tjondronegoro, Sediono. Negara Agraris IngkariAgraria: Pembangunan Desa danKemiskinan di Indonesia. Bandung:Penerbit Akatiga, 2008.

Wibowo, I. Negara Centeng: Negara danSaudagar di Era Globalisasi, Yogyakarta:Penerbit Kanisus, 2010.

Wibowo, I. Francis Wahono (eds). Neoliberalisme.Yogyakarta: Cindelaras, 2003.

Yamni. Taman Suaka Marga Satwa Rinjani,Tanam Paksa Kopi, Taman NasionalGunung Rinjani dan HGUNegara(isasi) Tanah Masyarakat AdatSembahulun dari Masa ke Masa,Working Paper Sajogyo Institute, No. 3Tahun 2015.