kondisi terumbu karang di perairan laut pulau...

15
KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU TULAI KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS Yandi Putra, Mahaiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Arief Pratomo, ST, M.Si Dosen Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Andi Zulfikar, S.Pi, MP Dossen Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH ABSTRAK Adapun waktu dan tempat pelaksaan penelitian di Pulau Tulai Kecamatan Jemaja Waktu penelitian pada November Desember 2015. Diperoleh hasil pada stasiun I, III, dan IV tergolong dengan penutupan karang hidup dengan kriteria “BAIK” dengan tingkat persentase antara 50,0 - 74,9 %. Sedangkan pada stasiun II termasuk pada tingkat tutupan karang hidup dengan kategori “MEMUASKAN”. Untuk kedalaman 3 meter dan 8 meter persentase tutupan tergolong pada kriteria tutupan karang hidup yang “MEMUASKAN” namun persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman 8 meter. Selanjutnya pada kedalaman 3 meter persentase karang mati sebesar 7,35 %, dan pada kedalaman 8 meter persentase tutupan karang mati sebesar 10,2 %. Persentase karang mati yang tertinggi terjadi pada stasiun II dan pada kedalaman 8 meter. Dengan demikian, persentase penutupan karang Acropora tertinggi terdapat pada stasiun IV dan terendah pada stasiun I. Untuk kedalaman 3 meter persentase penutupan karang Acropora lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman 8 meter. Penutupan karang Non-Acropora tertinggi pada stasiun I. Sedangkan pada kedalaman 3 meter persentase rata - rata penutupan karang Non-Acropora sebesar 17,20 %, dan pada kedalaman 8 meter sebesar 20,87 %. Dapat dilihat bahwa persentase rata rata karang Non-Acropora lebih tinggi pada kedalaman 8 meter. Kata Kunci: Tutupan , Terumbu Karang, Pulau Tulai, Anambas

Upload: phungnguyet

Post on 08-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU TULAI

KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS

Yandi Putra,

Mahaiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH

Arief Pratomo, ST, M.Si

Dosen Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH

Andi Zulfikar, S.Pi, MP

Dossen Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH

ABSTRAK

Adapun waktu dan tempat pelaksaan penelitian di Pulau Tulai Kecamatan Jemaja

Waktu penelitian pada November – Desember 2015. Diperoleh hasil pada stasiun I, III, dan IV

tergolong dengan penutupan karang hidup dengan kriteria “BAIK” dengan tingkat persentase

antara 50,0 - 74,9 %. Sedangkan pada stasiun II termasuk pada tingkat tutupan karang hidup

dengan kategori “MEMUASKAN”. Untuk kedalaman 3 meter dan 8 meter persentase tutupan

tergolong pada kriteria tutupan karang hidup yang “MEMUASKAN” namun persentase tutupan

karang hidup pada kedalaman 3 meter lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman 8 meter.

Selanjutnya pada kedalaman 3 meter persentase karang mati sebesar 7,35 %, dan pada

kedalaman 8 meter persentase tutupan karang mati sebesar 10,2 %. Persentase karang mati yang

tertinggi terjadi pada stasiun II dan pada kedalaman 8 meter. Dengan demikian, persentase

penutupan karang Acropora tertinggi terdapat pada stasiun IV dan terendah pada stasiun I.

Untuk kedalaman 3 meter persentase penutupan karang Acropora lebih tinggi dibandingkan

dengan kedalaman 8 meter. Penutupan karang Non-Acropora tertinggi pada stasiun I.

Sedangkan pada kedalaman 3 meter persentase rata - rata penutupan karang Non-Acropora

sebesar 17,20 %, dan pada kedalaman 8 meter sebesar 20,87 %. Dapat dilihat bahwa persentase

rata – rata karang Non-Acropora lebih tinggi pada kedalaman 8 meter.

Kata Kunci: Tutupan , Terumbu Karang, Pulau Tulai, Anambas

Page 2: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

CORAL REEF CONDITION IN TULAI ISLAND JEMAJA

DISTRICT OF KEPULAUAN ANAMBAS

Yandi Putra,

Mahaiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH

Arief Pratomo, ST, M.Si

Dosen Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH

Andi Zulfikar, S.Pi, MP

Dossen Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH

ABSTRACT

The time and place of implementation research on the island Tulai District of Jemaja When the

study in November-December 2015. The results obtained indicate the station I, III, and IV classified by

live coral cover by the criterion of "GOOD" at the level of percentages between 50.0 to 74.9 %. While

at the station II, including at the level of live coral cover in the category "SATISFACTORY". To a depth

of 3 meters and 8 meters belonging to the cover percentage live coral cover criteria are

"SATISFACTORY" but the percentage of live coral cover at a depth of 3 meters higher than at a depth

of 8 meters. Furthermore, at a depth of 3 meters of dead coral percentage by 7.35%, and at a depth of 8

meters of dead coral cover percentage of 10.2%. The highest percentage of dead coral which occurs at

station II and at a depth of 8 meters. Thus, the percentage of Acropora coral cover is highest at station

IV and the lowest at station I. To a depth of 3 meters Acropora coral cover is higher than the depth of 8

meters. Non-Acropora coral cover was highest at station I. While the percentage of average depth of 3

meters - Average Non-Acropora coral cover by 17,20%, and at a depth of 8 meters at 20.87%. It can be

seen that the average percentage - Non-Acropora corals average higher at a depth of 8 meters.

Keywords: Cover, Coral Reef, Tulai Island, Anambas

Page 3: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terumbu karang merupakan ekosistem

yang khas yang terdapat di perairan dangkal

daerah teropis. Dengan produktivitas primer

serta keanekaragaman yang tinggi. Meskipun

terumbu karang dapat di temukan di berbagai

tempat di perairan dunia. Tetapi hanya pada

daerah teropis terumbu karang dapat tumbuh

dan berkembang dengan baik. Sehingga

menjadikan sebagai spawning ground dan

nursery ground bagi berbagai biota laut

(Nybakken, 1998).

Kondisi terumbu karang Dikabupaten

Kepulauan Anambas umumnya masih termasuk

kategori kondisi baik, berdasarkan persentase

tutupan komunitas terumbu karang hidup yang

berkisar antara 70-80% dengan perbandingan

luas lautan 46.033,81 km (Dinas Kelautan Dan

Perikanan Kabupaten Kepulauan Anambas

Tahun 2013). Kecamatan jemaja merupakan

salah satu kecamatan yang ada di kabupaten

kepulauan anamabas. Kecamatan jemaja

mempunyai beberapa gugusan pulau-pulau

yang kecil yang kaya akan sumber daya

kelautan perikanannya. Dengan tinnginya

potensi di bidang sumberdaya perikanannya hal

itu tidak lepas dari peranan ekosistem terumbu

karangnnya.

Pulau Tulai merupakan pulau yang masih

termasuk dalam kawasan administrasi

kelurahan jemaja di mana pulau ini merupakan

pulau yang terletak di bagian utara kelurahan

jemaja. Pulau Tulai di lihat secara deskriptif

merupakan sebagai pulau penghias di laut

kecamatan jemaja dengan keindahan perairan

dan terumbu karangnya sekaligus tempat wisata

bagi masyarakat Pulau Jemaja, namun pada saat

ini belum adanya data untuk mengetahui

kondisi terumbu karang di perairan Pulau Tulai.

Maka dengan di adakan penelitian tersebut bisa

membantu masayarakat atau stakeholder yang

terkait dalam menjaga kelestarian terumbu

karang di perairan pulau tulai.

B. Rumusan Masalah

Pulau Tulai pada saat ini sering di jadikan

sebagai kawasn pariwisata masayarakat lokal

Pulau Jemaja. Selain di jadikan sebagai

kawasan wisata perairan Pulau Tulai juga di

manfaatkan sebagai tempat para nelayan

mencari ikan, namun pada saat ini kondisi

terumbu karang di perairan Pulau Tulai sangat

mengkhawatirkan di lihat secara deskriptif

karena banyaknya aktivitas penangkapan ikan

yang tidak ramah lingkungan seperti

penangkapan menggunakan jaring yang tidak

layak, potasium dll. Dengan itu peneliti

melakukan penelitian di kawasan pulau tulai

agar bisa di jadikan rekumendasi kepada

instansi terkait untuk menjaga ekosistem

terumbu karangnya.

C. Tujuan

1. Mengetahui kondisi terumbu karang di

perairan Pulau Tulai

2. Mengetahui kondisi tingkat tutupan

terumbu karang di perairan Pulau Tulai

D. Manfaat

Dari hasil penelitian yang di lakukan,

penelti berharap data yang di dapatkan bisa di

jadikan acuan dan referensi bagi pihak-pihak

yang membutuhkannya hal ini dilakukan guna

untuk memberikan informasi secara ilmiah

kepada pihak-pihak terkait

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Terumbu Karang

Terumbu karang adalah

sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis

dengan sejenis tumbuhan alga yang

disebut zooxanhellae. Hewan karang bentuknya

aneh, menyerupai batu dan mempunyai warna

dan bentuk beraneka rupa. Hewan ini disebut

polip, merupakan hewan pembentuk utama

terumbu karang yang menghasilkan zat kapur.

Polip-polip ini selama ribuan tahun membentuk

terumbu karang. Zooxanthellae adalah suatu

jenis algae yang bersimbiosis dalam jaringan

karang (Nybakken 1992)

Zooxanthella adalah alga dari kelompok

Dinoflagellata yang bersimbiosi pada hewan,

seperti karang, anemon, moluska dan lainnya.

Sebagian besar zooxanthellae berasal dari genus

Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae pada

karang diperkirakan > 1 juta sel/cm2

permukaan karang, ada yang mengatakan antara

1-5 juta sel/cm2. Meski dapat hidup tidak terikat

induk, sebagian besar zooxanthellae melakukan

simbiosis dalam asosiasi ini, karang

mendapatkan sejumlah keuntungan berupa: 1)

Page 4: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

hasil fotosintesis, seperti gula, asam amino dan

oksigen, 2) mempercepat proses kalsifikasi

melalui skema: fotosintesis akan menaikkan pH

dan menyediakan ion karbonat lebih banyak

kemudian dengan pengambilan ion P untuk

fotosintesis, berarti zooxanthellae telah

menyingkirkan inhibitor kalsifikasi. Bagi

zooxanthellae, karang adalah habitat yang baik

karena merupakan pensuplai terbesar zat

anorganik untuk fotosintesis. Sebagai contoh

Bytell menemukan bahwa untuk zooxanthellae

dalam Acropora palmata suplai nitrogen

anorganik 70% didapat dari karang

(Nybakken,1992). Anorganik itu merupakan

sisa metabolisme karang dan hanya sebagian

kecil anorganik diambil dari perairan.

B. Ekologi Terumbu Karang

Welly (1997) mengemukakan bahwa

terumbu karang adalah komunitas yang

memiliki produktifitas hayati yang tinggi.

Besarnya produktifitas yang dimiliki terumbu

karang disebabkan karena adanya dua faktor

utama yaitu mengalirnya air dan efesiensi

pendaur ulang zat-zat hara lewat proses hayati.

Ada 2 tipe karang, yaitu karang yang

membentuk bangunan kapur (hermatypic

corals) dan yang tidak membentuk bangunan

karang. Hermatypic corals adalah koloni karang

yang dapat membentuk bangunan atau terumbu

dari kalsium karbonat (CaCO3), sehingga

sering disebut pula reef building corals.

Sedangkan ahermatypic corals adalah koloni

karang yang tidak dapat membentuk terumbu.

(Supriharyono 2007). Karang hermatypic

ditemukan di daerah intertidal sampai

kedalaman 70 m akan tetapi pada umumnya

ditemukan pada kedalaman 50 m sebagian besar

hidup subur sampai kedalaman 20 m dan lebih

rinci memiliki keanekaragaman spesies dan

tumbuh secara baik pada kedalaman 3-10 m.

Sedangkan karang Ahermatypic ditemukan

hampir semua kedalaman mulai daerah

intertidal hingga kedalaman 500m (Thamrin,

2006).

C. Faktor Pembatas Ekosistem Terumbu

Karang

Ekosistem terumbu karang sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan laut

seperti tingkat kejernihan air, arus, salinitas dan

suhu. Tingkat kejernihan air dipengaruhi oleh

partikel tersuspensi antara lain akibat dari

pelumpuran dan ini akan berpengaruh terhadap

jumlah cahaya yang masuk ke dalam laut,

sementara cahaya sangat diperlukan oleh

zooxanthella yang fotosintetik dan hidup di

dalam jaringan tubuh binatang pembentuk

terumbu karang (Coremap, 2010).

Suhu air merupakan faktor penting yang

menentukan kehidupan karang. Suhu yang baik

untuk pertumbuhan karang adalah berkisar

antara 25-29 oC. (Supriharyono, 2007). Salinitas

diketahui juga merupakan faktor pembatas

kehidupan binatang karang. Salinitas air laut

rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35 ‰,

dan binatang karang hidup subur pada kisaran

salinitas sekitar 34-36 ‰. (Supriharyono,

2007). Karang batu mempunyai toleransi

terhadap salinitas tinggi, 27-40 ‰. Adanya

aliran air tawar akan menyebabkan kematian

karang batu. Juga membatasi sebaran karang

karang secara lokal (Lembaga Oseanologi

Nasional LIPI, 1983). Ditambahkan

pertumbuhan terbaik karang berkisar antara 34

‰ sampai 36 ‰ (Thamrin, 2006).

D. Pengaruh Kegiatan Manusia

Terhadap Kelestarian Ekosistem

Terumbu Karang

Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-

bentuk kerusakan/dampak negatif dari

kegiatan manusia bisa berupa antara lain :

1. Berbagai bentuk pencemaran perairan

karena peningkatan suhu, logam berat,

minyak bumi bisa mengakibatkan kematian

terumbu karang.

2. Membuang saung/jangkar di lokasi terumbu

(anchoraging). Jangkar perahu yang

diturunkan di lokasi terumbu bisa berakibat

karang menjadi retak atau patah karena

tertimpa besi jangkar.

3. Rusak karena terinjak oleh wisatawan

(trampling).

4. Pencungkilan karang.

5. Penangkapan ikan karang dengan dinamit.

6. Over eksploitasi produksi karang.

7. Pembangunan di wilayah pesisir tanpa

kearifan lingkungan.

Menurut Supriharyono (2007) untuk

mencegah semakin rusaknya sumberdaya laut,

khususnya ekosistem terumbu karang, di

samping menerapkan peraturan dan

perundangan, pemerintah Republik Indonesia,

melalui Departemen Kehutanan, juga telah

menetapkan kawasan konservasi lautan. Inti

dari kosevasi terumbu karang tersebut ada tiga,

yaitu :

Page 5: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

1. Perlindungan terhadap kelangsungan proses

ekologis beserta sistem-sistem

penyangga kehidupan.

2. Pengawetan keanekaragaman sumber

plasma nutfah, yang dilakukan di dalam dan

di luar kawasan, serta pengaturan tingkat

pemanfaatan jenisjenis yang terancam punah

dengan memberikan status perlindungan ;

dan

3. Pelestarian pemanfaatan jenis dan

ekosistemnya, melalui:

a. Pengendalian eksploitasi/pemanfaatan

sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian.

b. Memajukan usaha-usaha penelitian,

pendidikan dan pariwisata dan

c. Pengaturan perdagangan flora dan fauna.

E. Metode Monitoring Terumbu Karang

1. LIT ( Line Intercpt Transect )

Metode Transek garis (Line Intercept

Transect/LIT) merupakan metode yang

digunakan untuk mengestimasi penutupan

karang dan penutupan komunitas bentos yang

hidup bersama karang. Metode ini cukup

praktis, cepat dan sangat sesuai untuk wilayah

terumbu karang di daerah tropis. Pengambilan

data dilakukan pada umumnya di kedalaman 3

meter dan 10 meter, sehingga bagi tim kerja

yang terlibat dalam metode ini sebaiknya

memiliki keterampilan menyelam yang baik.

( Amrullah Saleh, 2000 )

2. Pembagian Kerja Dalam LIT

Pengamatan dengan menggunakan

metode Transek garis (LIT) membutuhkan

paling sedikit 3 orang anggota tim dengan

masing‐masing orang mengetahui tugas dan

fungsinya, sebagai berikut ( Amrullah Saleh,

2000 ) :

1 orang bertugas memasang patok,

membentangkan meteran dan

menggulungnya kembali.

1 orang bertugas sebagai pengamat

(observer).

1 orang bertugas mengemudikan perahu

motor yang digunakan menuju lokasi

pengambilan data. Selain itu, bertugas

untuk merekam posisi pengambilan

sampel dengan GPS.

Seluruh anggota tim harus mengetahui

metode ini dengan benar serta

Melaksanakannya dengan penuh tanggung

jawab dan sesuai dengan prosedur yang

ada

3. Peralatan Yang Dibutuhkan Dalam

(LIT)

Untuk melakukan pengamatan terumbu

karang dengan menggunakan metode LIT ini

diperlukan peralatan sebagai berikut

( Amrullah Saleh, 2000 ) :

1. Kaca mata selam (masker)

2. Alat bantu pernapasan di permukaan air

(snorkel)

3. Alat bantu renang di kaki (fins)

4. Perahu bermotor (minimal 5 PK)

5. SCUBA

6. Meteran gulung 70 meter.

7. Patok besi

8. Papan plastik putih yang permukaannya telah

dikasarkan dengan kertas pasir

9. Pensil

10. Tas peralatan

11. Tali nilon sepanjang paling sedikit 70 meter

12. Global Positioning System (GPS)

III. METODOLOGI

A. Waktu Dan Tempat

Adapun waktu dan tempat pelaksaan penelitian

sebagai berikut :

Lokasi : Pulau Tulai

Kecamatan Jemaja

Waktu penelitian : November –

Desember 2015

Di mana Pulau Tulai ini merupakan kawasan

hamparan terumbu karang yang landai dan

sering di jadikan kawasan wisata bahari

masyarakat Kecamatan Jemaja seperti spot

snorkeling dan diving bagi masyarakat lokal.

Adapun gambaran lokasi penelitian sebagai

berikut.

Utara : laut cina selatan Selatan : kelurahan

jemaja

Timur : desa berapit

dan desa mampuk Barat : desa rewak

Page 6: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Sumber LIPI digitasi Arview 2015

Adapun batas wilayah administrasi sebagai

berikut :

B. Alat Dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang di gunakan dalam

penelitian dapat di lihat sebagai berikut : No Alat Bahan

1 Kaca Mata Selam (

Masker ) Patok Besi

2 Snorkel + fins Tali Nilon

3 Sampan Muatan 3

Orang Papan Tulis

4 Scuba Pensil

5 GPS Buku Tulis

6 Meteran Gulung /

Roll Meter Buku Identifikasi

7 Camera Under Water Tas Peralatan

Tabel 1. Alat dan bahan

C. Metodologi

Penelitian menggunakan metode survey,

yakni dengan memakai Line Intercept Transect

(LIT) dari suharsono (1998) dalam Try

Febrianto. Sebelum LIT digunakan, terlebih

dahulu dilakukan pemantauan dengan

snorkeling. Pada penelitian ini, snorkelling

digunakan untuk menentukan peletakan garis

transek.

Metode yang digunakan memonitor

tutupan karang adalah metode transek garis

yang dilakukan sejajar garis pantai, mengikuti

kontur kedalaman. Pada prinsipnya metode

transek garis menggunakan suatu garis transek

yang diletakkan diatas koloni karang (Gambar

3). Penggunaan metode ini untuk melihat

presentase tutupan karang hidup dan mati dan

bentuk pertumbahan (lifeform). Adapun metode

ini mengacu pada penelitian LIPI (2006). Sumber : Amrullah Saleh

Gambar 2. Contoh pengukuran metode LIT

Dalam melakukan pencatatan data LIT

sistem pendataan data dilakukan dengan

menggunakan kategori bentik lifeform versi

English1994, adapun data di koreksi sebelum

diadakan pengentrian data. Berikut

D. Prosedur Penelitian

1. Penentuan lokasi penelitian

Penentuan lokasi penelitian atau titik

stasiun ini ditentukan dengan menggunakan

metode purposive sampling. Adapun jumlah

stasiun pengamatan berjumlah 4 stasiun,

dimana masing-masing stasiun mempunyai 2

titik / 2 LIT pengamatan sepanjang bibir pantai.

Dalam pengamatan penarikan LIT atau garis

transek memanjang sesuai dengan topograpi

bibir pantai. Dimana setiap stasiun penarikan

garis LIT sejajar dengan bibir pantai dengan

kedalaman berbeda pada satiap stasiun, Adapun

kedalaman yang dilakukan pengamatan adalah

pada kedalaman 3-10 m.

2. Prosedur Pembuatan Garisn Transek

Garis transek dibuat dengan

menggunakan roll meter dengan panjang 50

meter serta diletakkan sejajar dengan garis

pantai. Untuk masing-masing lokasi dilakukan

pengamatan pada kedalaman 3 meter sampai 10

meter karena cenderung dekat tubir yang

dijadikan tempat snorkeling dan diving.

Kedalaman 3 meter untuk mewakili biota

karang yang hidup pada kedalaman 3-6 meter,

sedangkan pada kedalaman 10 meter untuk

mewakili biota karang yang hidup dibawahnya

hingga mencapai kedalaman 15 meter atau

lebih.

Gambar 3.Contoh Pemasangan Transek Garis

Sumber : Saleh (2005)

3. Teknik Pengambilan Data

Data presentase tutupan terumbu karang

hidup dengan menggunakan penerapan LIT.

Panjang garis transek 100 meter yang

Page 7: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

penempatannya sejajar dengan garis pantai

(mengikuti pola kedalaman dan garis kontur).

Dimana dari 100 meter pada LIT tersebut

diukur tiap 10 meternya dengan spasi atau jeda

perhitungan 20 meter. Pengambilan data

dilakukan dengan menghitung sentimeter

terakhir dan setiap pertukaran jenis karang.

Biota asosiasi, maupun bahan anorganik

dengan kode yang ditentukan.

Selain data pertumbuhan karang, pada

penelitian ini juga dilakukan pengukuran data

oceanografi yang meliputi suhu, salinitas,

kecerahan dan kecepatan arus (tabel 3).

Pengukuran dilakukan pada siang hari antara

jam 11.00-13.00 setiap titik stasiun

pengukurannya sebanyak tiga kali ulangan pada

masing-masing stasiun, kemudian di rata-

ratakan. Tabel 3. Pengukuran Data Oseanografi

4. Pengukuran Data Oseanografi

a. kecerahan

Pengukuran kecerahan dilakukan dengan

menggunakan secchi disk dengan cara secchi

disk dimasukkan kedalam perairan sampai

untuk pertama kalinya tidak tampak lagi (jarak

hilang), kemudian ditarik secara berlahan

sehinnga untuk pertama kalinya secchi disk

nampak (jarak tampak). Untuk mengukur

kecerahan digunakan rumus berikut ( SNI 06-

2412-1991) : Kecerahan = jarak hilang (m) + jarak tampak (m)

2

Keterangan : dimana jarak hilang merupakan

ketika lempengan secchi disk dimasukkan

kedalam perairan sampai untuk pertama kalinya

tidak tampak lagi (jarak hilang), sedangkan

jarak tampak merupakan ketika lempengan

sechi disk ditarik secara berlahan sehinnga

untuk pertama kalinya secchi disk nampak

(jarak tampak).

b. Kecepatan Arus

Kecepatan arus diukur dengan

menggunakan pelampung yang dikait tali

sepanjang 2 meter stopwach. Kemudian

pelampung diletakkan pada perairan titik yang

telah ditentukan dan dibiarkan tali menegang

kemudian diukur jarak tempuh pelampung

tersebut dalam satuan waktu yaitu meter per

detik (m / detik) dari jarak awal diletakkan.

Pengukuran kecepatan arus dilakaukan tiga kali

pengulangan di setiap titik stasiun. Waktu

pengukuran arus ini dilakukan ketika pasang

dan surut. Nilai kesepakatan arus di proleh

dengan rumus :

V= S / t Keterangan : V : Kecepatan Arus ( m/detik )

S : Jarak Tali Menegang ( m ) T : Waktu Tali Sampai Menegang ( detik )

c. Suhu

suhu diukur menggunakan thermometer

dengan cara mencelupkan beberapa saat

thermometer kedalaman perairan. Nilai suhu

diperoleh setelah thermometer direndam

didalam air selama 5 menit. Pengukuran suhu

dilakukan sebanyak tiga kali pengulanagan

disetiap titik stasiun. Waktu pengukuran suhu

ini dilakukan pada pagi dan sore.

d. Salinitas

Mengukur salinitas dengan

menggunakan Saltmeter. Pengukuran

menggunakan saltmeter ini, hal yang dilakukan

utama adalah dengan mengkalibrasi saltmeter

tersebut dengan menggunakan aquades. Setelah

itu dikeringkan tissue lembut, kemudian

lakukan pengukuran tersebut. Pengukuran

dilakukan pada tiga kali pengulangan pada

waktu pagi dan sore pada setiap titik stasiun.

5. Analisis Data

Besar persentase tutupan karang mati,

karang hidup, dan jenis lifeform lainnya

dihitung dengan rumus (English Et Al., 1997

Dalam Lalamentik). C = a x 100 % A

Keterangan :

C = Presentase Penutupan Lifeform i a = panjang transek lifeformi

A = Panjang Total Transek

Data presentase tutupan karang yang

diperoleh dikategorikan berdasarkan tutupan

karang hidup yang terdiri dari acropora /AC,

Non Acroporal /Non ACdan karang lunak ( soft

coral / SC). tabel 4. kriteria penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan

presentase tutupan karang hidup

Sumber : Gomez Dan Yap, Yap 1988 Dalam Lalamentik 1999

No Parameter Alat Pengukuran

1 Suhu (0C) Thermometer Insitu

2 Salinitas (0/00) Saltmeter Insitu

3 Kecepatan arus

(m/dtk)

Tali, pelampung

dan stopwatch

Insitu

4 Kecerahan (m) Secchi disc Insitu

Page 8: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Tulai merupakan salah satu

gugusan pulau yang secara administratif

terletak di Kelurahan Letung, Kecamatan

Jemaja, Kabupaten Kepulauan Anambas,

Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini dikenal

dengan hamparan terumbu karangnya yang luas

sekeliling pulaunya dan merupakan pulau

tersendiri dan terpisah dari pulau induknya

yaitu pulau Letung. Secara geografis letak

Kelurahan Letung berbatasan dengan: Sebelah Utara : Desa Landak

Sebelah Selatan : Laut Cina Selatan Sebelah Barat : Desa Batu Berapit

Sebelah Timur : Laut Cina Selatan

Beberapa aktifitas pesisir yang ada di

perairan Pulau Tulai meliputi aktifitas daratan

dan kelautan. Aktifitas daratan yang ada

meliputi perkebunan yaitu perkebunan cengkeh.

Sedangkan aktifitas kelautan meliputi

penangkapan ikan, kerang kima,

teripang/gamat, serta pengambilan batu karang

untuk bahan bangunan. Pulau Tulai juga

dimanfaatkan oleh masyarakat atau wisatawan

sebagai area memancing ikan. Secara umum,

jarak Pulau Tulai menuju ke pusat

pemerintahan Kelurahan Letung ± 200 meter

(0,2 Km). Transportasi yang digunakan menuju

Pulau Tulai dengan menggunakan kapal kayu

mesin (pompong) dengan jarak tempuh antara 5

hingga 10 menit.

B. Kondisi Umum Oseanografi

Perairan Pulau Tulai

Ekosistem terumbu karang sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan laut

seperti tingkat kejernihan air, arus, salinitas dan

suhu. Parameter oseanografi yang diukur

meliputi Suhu, Salinitas, Kecepatan Arus, serta

Kecerahan perairan. Hasil pengukuran

parameter oseanografi perairan Pulau Tulai

secara lengkap dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Hasil pengukuran parameter oseanografi Pulau

Tulai

Sumber: Data Primer (2015)

1. Suhu

Suhu sangat berpengaruh terhadap

keberlangsungan hidup terumbu karang,

penurunan ataupun kenaikan suhu secara drastis

akan mengakibatkan kematian pada polip

karang, bahkan dapat membuat warna pada

karang menjadi putih (bleaching ) yang

menandakan karang mati (Burke, 2012). Rata

– rata Suhu permukaan perairan Pulau Tulai

untuk masing – masing stasiun secara lengkap

dapat dilihat pada grafik seperti gambar 4.

Gambar 4. Rata – rata suhu permukaan perairan Pulau Tulai

Sumber: Data Primer (2015)

Dari hasil pengukuran suhu di perairan

Pulau Tulai berkisar antara 30,2 0C – 33,4 0C

dengan rata – rata suhu perairan 30,17 0C.

Untuk setiap stasiun penelitian, kondisi suhu

pada stasiun I sebesar 33, 3 0C, pada stasiun II

mencapai 33,4 0C, pada stasiun III mencapai

30,4 0C, dan pada stasiun IV sebesar 30,2 0C.

Dengan demikian, suhu tertinggi terdapat pada

stasiun II sedangkan suhu terendah terdapat

pada stasiun IV. Menurut KEPMEN LH (2004)

baku mutu kondisi suhu yang baik bagi

kehidupan terumbu karang adalah pada kisaran

28 – 30 0C.

2. Salinitas

Salinitas menggambarkan kadar garam

di suatu perairan yang dapat mempengaruhi

sistem metabolisme dan adaptasi berbagai jenis

biota perairan salah satunya terumbu karang.

Secara lengkap hasil pengukuran salinitas untuk

masing – masing stasiun dapat dilihat pada

grafik seperti gambar 5.

I II III IV

Series1 33,3 33,4 30,4 30,2

20,030,040,0

Suh

u (

0 C) Rata - rata Suhu Perairan P. Tulai

No Presentase

tutupan (%)

Kriteria

1 0-24,9 Rusak

2 25,0-49,9 Sedang

3 50,0-74,9 Bagus

4 75,0-100,0 Memuaskan

Stasiun

Parameter

Suhu

(0C)

Salinitas

(0/00)

Arus

(m/detik)

Kecerahan

(Meter)

I 33,3 37,1 0,135

100% II 33,4 36,6 0,182

III 30,4 38,6 0,183

IV 30,2 38,5 0,144

Rata -

Rata 30,17 38,50 0,144 100%

Page 9: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

Gambar 5. Rata – rata salinitas perairan Pulau Tulai

Sumber: Data Primer (2015)

Hasil pengukuran salinitas menunjukkan

bahwa salinitas di stasiun I sebesar 37,1 0/00,

pada stasiun II nilai salinitas sebesar 36,6 0/00,

pada stasiun III nilai salinitas sebesar 38,6 0/00,

pada stasiun IV sebesar 38,5 0/00. Dengan

demikian, kisaran nilai salinitas di Pulau Tulai

antara 36,6 0/00 – 38,6 0/00, dengan rata – rata

salinitas mencapai 38,5 0/00. Menurut pendapat

KEPMEN LH (2004) mengenai kondisi

salinitas yang optimal bagi pertumbuhan karang

adalah pada kisaran 33 – 34 0/00. Namun dapat

dilihat bahwa kondisi salinitas melewati

ambang batas optimal yang ditentukan, hal ini

juga dipengaruhi oleh kondisi suhu perairan

yang juga tinggi menyebabkan pengaruh

terhadap salinitas. Intensitas cahaya yang tinggi

menjadi faktor pengaruh tingginya salinitas

pada lokasi penelitian. Namun dari sumber lain

menyebutkan bahwa beberapa kelompok

karang Karang mempunyai tingkat toleransi

terhadap salinitas tinggi hingga mencapai 40 ‰.

3. Kecepatan Arus

Arus perairan menggambarkan

kecepatan aliran arus yang dipengaruhi oleh

gelombang dan angin. Kecepatan arus di

perairan Pulau Tulai secara lengkap dapat

dilihat pada grafik seperti gambar 6.

Gambar 6. Rata – rata Kecepatan Arus perairan Pulau Tulai

Sumber: Data Primer (2015)

Kecepatan arus permukaan perairan

Pulau Tulai berkisar antara 0,135 m/detik –

0,183 m/detik dengan rata – rata arus perairan

mencapai 0,144 m/detik. Kecepatan arus pada

stasiun I mencapai 0,135 m/detik, stasiun II

mencapai 0,182 m/detik, stasiun III mencapai

0,183 m/detik, dan pada stasiun IV mencapai

0,144 m/detik. Dengan demikian dapat dilihat

bahwa arus tercepat terjadi pada stasiun III,

sementara itu terlambat terjadi pada stasiun I.

Kecepatan arus yang tinggi pada lokasi stasiun

III dipengaruhi oleh morfologi kawasan yang

secara langsung berhadapan langsung dengan

laut lepas pada bagian depan Pulau Tulai

sehingga pengaruhu dari angin dan gelombang

yang membentuk arus lebih cepat di lokasi ini,

sedangkan pada lokasi lain lebih terlindung

karena terletak dibagian belakang pulau.

4. Kecerahan

Kecerahan perairan Pulau Tulai pada

titik pengambilan data kondisi terumbu karang

baik pada kedalaman 3 meter hingga 8 meter

kondisinya cerah 100%, artinya kecerahannya

tembus dasar. Menurut Marsuki (2012) tingkat

kecerahan sangat penting bagi pertumbuhan

organisme karang, karena cahaya adalah salah

satu faktor yang paling penting yang membatasi

terumbu karang sehubungan dengan laju

fotosintesis oleh zooxanthellae yang

bersimbiosis pada jaringan karang.

C. Persentase Total Tutupan Terumbu

Karang Pulau Tulai

Persentase tutupan terumbu karang di

perairan Pulau Tulai, Kepulauan Anambas

diambil pada dua kedalaman yang berbeda,

yaitu pada kedalaman 3 meter dan kedalaman 8

meter. Pengamatan kondisi tutupan terumbu

karang mengacu pada Bhentik lifeform karang.

Pengamatan terumbu karang dilakukan pada 4

stasiun yang tersebar disekeliling Pulau Tulai.

1. Persentase Tutupan Terumbu

Karang Stasiun I

Persentese tutupan karang stasiun I di

Perairan Pulai Tulai di analisis berdasarkan

kedalaman. Secara lengkap hasil analisis

tutupan terumbu karang dapat dilihat pada

gambar 7.

Gambar 7. Persentase Tutupan Terumbu Karang Stasiun I Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan diagram pada gambar..

diatas, pada kedalaman 3 meter penutupan

karang Acropora brancing (ACB) didapatkan

I II III IV

Series1 37,1 36,6 38,6 38,5

34,036,038,040,0

Salin

itas

(0

0 /0)

Rata - rata Salinitas Perairan P. Tulai

I II III IV

Series1 0,135 0,182 0,183 0,144

0,000

0,100

0,200

Aru

s (m

/s)

Rata - rata Arus Perairan P. Tulai

24

%

24

%5%

27

%

1%6%

13

%

Persentase Tutupan Terumbu

Karang Kedalaman 3 MeterACB

CM

DC

F

OT

R

S

16

% 1%

1%20

%2%7%2%

2%

44

%

5%

Persentase Tutupan Terumbu

Karang Kedalaman 8 MeterACB

ACD

ACT

CB

CM

DC

DCA

F

R

S

Page 10: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

hasil sebesar 24 %, tutupan Coral massive (CM)

sebesar 24 %, tutupan Dead coral (DC) sebesar

5 %, tutupan Coral foliose (F) sebesar 27 %,

tutupan Other sebesar 1 %, Rubble dengan

persentase 6 %, dan Sand dengan persentase 13

%. Persentase tutupan karang yang tertinggi

pada stasiun I kedalaman 3 meter yaitu Coral

foliose.

Sementara itu, pada kedalaman 8 meter

persentase tutupan karang Acropora brancing

(ACB) sebesar 16 %, persentase tutpan karang

Acropora digitate (ACD) sebesar 1 %, tutupan

karang Acropora tabulate (ACT) sebesar 1 %

penutupan lifeform karang Coral branching

(CB) dengan persentase 20 %, tutpan karang

Coral Massive (CM) sebesar 2 %, tutupan

karang Dead coral (DC) sebesar 7 %, tutupan

karang Dead coral algae (DCA) dengan

persentase 2 %, tutupan karang Coral foliose

(F) 2 %, persentase Rubble (R) dengan nilai 44

%, dan persentase Sand (S) sebesar 5 %. Dengan

demikian pada stasiun 1 di kedalaman 8 Meter

lebih didominasi oleh pasir dengan persentase

44 %.

Secara keseluruhan, kondisi tutupan

karang pada kedalaman 3 meter lebih baik

dibandingkan dengan kedalaman 8 meter.

Kondisi ini dipengaruhi oleh intensitas cahaya

yang masuk ke perairan, pada kedalaman 3

meter intensitas cahaya lebih optimal

dibandingkan pada kedalaman 8 meter sehingga

fotosintesis oleh zooxhantellae (polip karang)

lebih optimal pada kedalaman 3 meter.

Didukung oleh pendapat Supriharyono (2007)

yang menyebutkan bahwa cayaha menjadi

faktor penting untuk pertumbuhan karang,

tanpa cahaya yang cukup yang masuk kedalam

badan air, maka laju fotosintesis oleh

zooxhantellae akan berkurang. Di kedalaman 3

meter kondisi karang masih didominansi

dengan karang hidup yaitu Coral foliose (F).

Sedangkan pada kedalaman 8 meter lebih

didominasi oleh kelompok Abiotik (Rubble)

mencirikan sudah terjadinya kerusakan terumbu

karang. Kerusakan ini dipengaruhi oleh aktifitas

yang terjadi di area terumbu karang antara lain

penangkapan ikan dengan menggunakan racun

potassium, pengambilan batu karang sebagai

bahan bangunan, serta pencemaran dari

pemukiman penduduk dan aktifitas kapal

berupa tumpahan minyak dan oli.

2. Persentase Tutupan Terumbu

Karang Stasiun II

Persentase tutupan terumbu karang pada

stasiun II secara lengkap digambarkan dalam

grafik seperti gambar 8.

Gambar 8. Persentase Tutupan Terumbu Karang Stasiun II Sumber: Data Primer (2015)

Dari hasil grafik diatas persentase

karang di kedalaman 3 meter Acropora

branching (ACB) sebesar 85 %, persentase

Acropora digitade (ACD) dengan persentase

sebesar 2%, persentase karang Acropora

tabulate (ACT) memiliki persentase sebesar

1%, karang Coral branching (CB) memiliki

persentase sebesar 0,35%, karang Coral

massive (CM) memiliki persentase 7 %, karang

foliose sebesar 0,3%, persentase Rubble dan

Sand masing – masing memiliki persentase nilai

2% dan 3%. Secara keseluruhan persentase

karang tertinggi pada kedalaman 3 meter di

stasiun II adalah Acropora branching (ACB).

Pada kedalaman 8 meter Acropora

brancing (ACB) sebesar 31 %, tutupan karang

Acropora tabulate (ACT) sebesar 6 %

penutupan lifeform karang Coral branching

(CB) dengan persentase 3 %, tutpan karang

Coral Massive (CM) sebesar 30 %, tutupan

karang Dead coral (DC) sebesar 26 %,

persentase Rubble (R) dengan nilai 3 %, dan

persentase Sand (S) sebesar 1 %. Dengan

demikian pada stasiun 1 di kedalaman 8 Meter

lebih didominasi oleh Acropora brancing

(ACB) dengan persentase 31%.

Secara keseluruhan kondisi penutupan

karang di stasiun II didominasi oleh jenis

Acropora yaitu Acropora brancing (ACB).

Menurut English, et al (1994) dalam

Syarifuddin (2011) Bentuk bercabang

(branching) memiliki cabang lebih panjang

daripada diameter yang dimiliki, banyak

terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian

atas lereng, terutama yang terlindungi atau

setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan

tempat perlindungan bagi ikan dan avertebrata

tertentu.

3. Persentase Tutupan Terumbu Karang

Stasiun III

Persentase nilai penutupan terumbu

karang di stasiun III pada kedalaman 3 meter

85

%

2%1%0%

7% 0%2%3%

Persentase Tutupan Terumbu

Karang Kedalaman 3 Meter

ACB

ACD

ACT

CB

CM

F

R

S

31

%6%

3%

30

%

26

%

3%1%

Persentase Tutupan Terumbu

Karang Kedalaman 8 MeterACB

ACT

CB

CM

DC

R

S

Page 11: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

30

%

23

%13

%

4%

23

%

8%

Persentase Tutupan Terumbu

Karang Kedalaman 3 Meter

ACB

ACE

ACT

CB

DC

S

maupun pada kedalaman 8 meter secara

lengkap dapat dilihat pada grafik seperti pada

gambar 9.

Gambar 9. Persentase Tutupan Terumbu Karang Stasiun III Sumber: Data Primer (2015)

Persentase tutupan karang pada

kedalaman 3 meter Acropora brancing (ACB)

sebesar 30 %, persentase tutupan karang

Acropora encrusting (ACE) sebesar 23 %,

tutupan karang Acropora tabulate (ACT)

sebesar 13 % penutupan lifeform karang Coral

branching (CB) dengan persentase 4 %, tutupan

karang Dead coral (DC) sebesar 23 %, dan

persentase Sand (S) sebesar 8 %. Dengan

demikian pada stasiun III di kedalaman 3 Meter

lebih didominasi oleh jenis karang Acropora

dengan lifeform Acropora brancing (ACB)

dengan persentase 30 %.

Dari hasil grafik diatas persentase

karang di kedalaman 8 meter Acropora

branching (ACB) sebesar 14 %, persentase

Acropora encrusting (ACE) dengan persentase

sebesar 2%, persentase karang Acropora

tabulate (ACT) memiliki persentase sebesar 8

%, karang Coral branching (CB) memiliki

persentase sebesar 24 %, karang Coral massive

(CM) memiliki persentase 2 %, persentase

Rubble dan Sand masing – masing memiliki

persentase nilai 48 % dan 2 %. Secara

keseluruhan persentase karang tertinggi pada

kedalaman 8 meter di stasiun III adalah Rubble

(R) sehingga pada kedalaman 8 meter

didominasi oleh pecahan karang.

Dapat disimpulkan bahwa kondisi

karang pada kedalaman 3 meter lebih baik dari

kedalaman 8 meter. Pada kedalaman 8 meter

lebih banyak didominansi oleh kelompok

abiotik khususnya pecahan karang (Rubble).

Dengan demikian pada kedalam 8 meter

mencirikan telah terjadinya ancaman kerusakan

karang akibat dari penangkapan ikan yang tidak

ramah lingkungan.

4. Persentase Tutupan Terumbu

Karang Stasiun IV

Persentase tutupan terumbu karang pada

stasiun IV di kedalaman 3 meter dan 8 meter

secara rinci digambarkan pada grafik seperti

gambar 10.

Gambar 10. Persentase Tutupan Terumbu Karang Stasiun IV

Sumber: Data Primer (2015)

Persentase tutupan karang pada kedalaman 3

meter Acropora brancing (ACB) sebesar 9 %,

tutupan karang Acropora tabulate (ACT)

sebesar 37 % penutupan lifeform karang Coral

massive (CM) dengan persentase 2 %, tutupan

karang Dead coral (DC) sebesar 2 %,

persentase Other (OT) meliputi mega bhentos

(kerang kima) sebesar 2 %, persentase Rubble

(R) sebesar 1 % dan persentase Sand (S) sebesar

47 %. Pada kedalaman 3 meter di stasiun IV ini

lebih didominasi oleh pasir.

Pada kedalaman 8 meter Persentase

tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter

Acropora brancing (ACB) sebesar 28 %,

persentase tutupan karang Acropora tabulate

(ACT) sebesar 55 %, penutupan lifeform karang

Coral branching (CB) dengan persentase 1 %,

tutupan Coral massive (CM) sebesar 2 %,

tutupan karang Dead coral (DC) sebesar 6 %,

persentase pecahan karang Rubble (R) dan

persentase Sand (S) masing – masing sebesar 4

%. Dengan demikian, kondisi tutupan karang

tertinggi adalah Acropora tabulate (ACT) pada

kedalaman 8 meter di stasiun IV ini.

D. Kondisi Karang Mati, Karang

Hidup, Biotik dan Abiotik Pulau

Tulai

Kondisi tutupan karang mati, karang

hidup, kelompok biotik serta abiotik di perairan

Pulau Tulai disajikan untuk setiap kedalaman 3

meter dan 8 meter pada masing – masing stasiun

penelitian.

1. Kondisi Karang Hidup

Kondisi tutupan karang hidup pada

kedalaman 3 meter dan 8 meter secara lebih

rinci dapat dilihat pada tabel 6 dan gambar 11.

14%2%8%

24%2%

48%

2%

Persentase Tutupan Terumbu

Karang Kedalaman 8 Meter

ACB

ACE

ACT

CB

CM

R

S

9%

37%

2%

2%2%1%

47%

Persentase Tutupan Terumbu

Karang Kedalaman 3 Meter

ACB

ACT

CM

DC

OT

R

S

28%

55%

1%2%6%4%4%

Persentase Tutupan Terumbu

Karang Kedalaman 8 Meter

ACB

ACT

CB

CM

DC

R

S

Page 12: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

Tabel 6. Persentase Karang Hidup di perairan Pulau Tulai

Stasiun

Persentase Karang Hidup Rata-

rata Kedalaman 3

Meter

Kedalaman 8

Meter

I 74,85 41,92 58,39

II 95,22 70 82,61

III 69,13 49,93 59,53

IV 47,65 85,23 66,44

Rata -

rata 71,71 61,77 66,74

Sumber: Data Primer (2015)

gambar 11. persentase tutupan terumbu karang hidup

sumber: data primer (2015)

Dari tabel diatas, Persentase karang

hidup pada stasiun I dengan rata – rata 58,39 %,

penutupan karang pada stasiun II dengan nilai

82,61 %, penutupan karang hidup pada stasiun

III dengan persentase 59,53 %, pada stasiun IV

persentase tutupan karang hidup dengan nilai

66,44 %, dengan rata – rata keseluruhan

penutupan karang hidup di perairan Pulau Tulai

sebesar 66,74 %. Persentase karang hidup pada

kedalaman 3 meter sebesar 71,71 % dan pada

kedalaman 8 meter sebesar 61,77 %.

Berdasarkan keterangan diatas, pada

stasiun I, III, dan IV tergolong dengan

penutupan karang dengan kriteria “BAIK”

dengan tingkat persentase antara 50,0 - 74,9 %.

Sedangkan pada stasiun II termasuk pada

tingkat tutupan dengan kategori

“MEMUASKAN”. Untuk kedalaman 3 meter

dan 8 meter persentase tutupan tergolong pada

kriteria tutupan yang “MEMUASKAN” namun

persentase tutupan karang hidup pada

kedalaman 3 meter lebih tinggi dibandingkan

pada kedalaman 8 meter.

Namun jika dilihat pada setiap titik

sampling di stasiun I kedalaman 8 meter, stasiun

III kedalaman 8 meter dan stasiun IV

kedalaman 3 meter, persentase karang hidupnya

tergolong kategori sedang dengan tutupan <

50%. Pada stasiun I kedalaman 8 meter

dominan oleh Rubble (R) dengan persentase

sebesar 44 %, sedangkan pada stasiun III

kedalaman 8 meter juga didominasi oleh

pecahan karang (Rubble) dengan persentase 48

%, yang mecirikan terjadinya kerusakan karang

karena didominasi oleh pecahan karang. Hal ini

akibat dari pengaruh beberapa kegiatan

penangkapan yang tidak ramah lingkungan

yang berupa racun ikan. Penangkapan ikan pada

wilayah ini lebih sering dilakukan karena pada

wilayah ini berhadapan langsung dengan laut

lepas serta memiliki kelimpahan ikan yang

lebih tinggi, yang sangat disayangkan adalah

penangkapan yang dilakukan tidak ramah

lingkungan. Kemudian pada stasiun IV

kedalaman 3 meter lebih didominasi oleh pasir

(sand) dengan persentase sebesar 47 %.

Berdasarkan hasil pengamatan dilokasi

penelitian, wilayah ini kerap kali dijadikan

sebagai area pengambilan batu karang untuk

dimanfaatkan sebagai material bangunan

pemukiman oleh masyarakat.

2. Kondisi Karang Mati

Kondisi karang mati pada stasiun

penelitian pada kedalaman 3 meter dan

kedalaman 8 meter secara lengkap dapat dilihat

pada tabel 7 dan gambar 12. Tabel 7. Persentase Karang Mati di perairan Pulau Tulai

Stasiun

Persentase Karang Mati Rata-

rata Kedalaman 3

Meter

Kedalaman 8

Meter

I 4,9 8,69 6,80

II 0 26 13,00

III 22,6 0 11,30

IV 1,9 6,1 4,00

Rata -

rata 7,35 10,20 8,77

Sumber: Data Primer (2015)

Gambar 12. Persentase Tutupan Karang Mati

Sumber: Data Primer (2015)

Persentase Karang Mati pada stasiun I

memiliki rata – rata 6,80 %, persentase karang

mati pada stasiun II memiliki rata – rata 13 %,

pada stasiun III persentase karang mati sebesar

11,3 %, dan pada stasiun IV persentase karang

mati sebesar 4 %, dengan rata – rata persentase

karang mati di perairan Pulau Tulai sebesar 8,77

%. Selanjutnya pada kedalaman 3 meter

persentase karang mati sebesar 7,35 %, dan

pada kedalaman 8 meter persentase tutupan

karang mati sebesar 10,2 %. Persentase karang

mati yang tertinggi terjadi pada stasiun II dan

pada kedalaman 8 meter.

Dari pengukuran tutupan karang,

diketahui bahwa pada stasiun II kedalaman 8

meter persentase karang matinya lebih tinggi

I II III IV

Kedalaman 3 M 74,85 95,22 69,13 47,65

Kedalaman 8 M 41,92 70 49,93 85,23

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Per

sen

tase

(%)

Persentase Tutupan Karang Hidup

4,9

0

22,6

1,9

8,69

26

0

6,1

0 5 10 15 20 25 30

I

II

III

IV

persentase karang Mati Kedalaman 8 Meter

persentase karang Mati Kedalaman 3 Meter

Persentase Tutupan Karang Mati

Page 13: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

karena persentase karang mati (Dead coral/DC)

mencapai 26 %. Persentase tutupan karang mati

pada stasiun II yang tinggi disebabkan karena

pada lokasi ini banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar sebagai area pengambilan

batu karang sebagai bahan bangunan dan

penggunaan racun ikan pottasiun yang dapat

mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan

menyebabkan kematian pada karang.

Persentase karang mati (Dead

coral/DC) yang tinggi pada stasiun II juga dapat

dipengaruhi oleh kondisi suhu perairan.

Berdasarkan hasil pengukuran parameter

oseanografi, suhu pada stasiun II lebih tinggi

dibandingkan dengan stasiun lainnya, tingginya

suhu yang melewati baku mutu optimal juga

akan mempengaruhi perkembangan karang

terutama perkembangan polip karang

(zooxhantellae) mengalami perlambatan

pertumbuhan bahkan akan mengalami kematian

dan pemutihan karang. Burke, dkk (2012)

kerusakan terumbu karang semakin

mengkawatirkan disebabkan oleh kenaikan

suhu udara akibat dari efek rumah kaca serta

global warming yang menyebabkan kematian

karang dan pemutihan karang (bleaching) pada

area segitiga terumbu karang dunia.

3. Kondisi Biotik dan Abiotik

Persentase kelompok Biotik dan

Abiotik secara lengkap dapat dijelaskan pada

tabel 8 dan gambar 13. Tabel 8. Persentase Biotik dan Abiotik di perairan Pulau Tulai

Stasiun

Biotik Rata-

Rata

Abiotik Rata-

Rata 3

Meter

8

Meter

3

Meter

8

Meter

I 1,43 0 0,71 18,82 49,39 34,11

II 0 0 0 4,78 4 4,39

III 0 0 0 8,27 50,07 29,17

IV 2,5 0 1,25 47,95 8,67 28,31

Rata –

Rata 0,98 0 0,49 19,96 28,03 23,99

Sumber: Data Primer (2015) Persentase biotik pada stasiun I

memiliki rata – rata sebesar 0,71 % dan pada

stasiun IV persentase abiotik sebesar 1,25 %,

sementara pada stasiun II dan III tidak dijumpai

kelompok biotik. Kemudian pada kedalaman 3

meter memiliki persentase biotik sebesar 0,98

% dan pada kedalaman 8 meter tidak dijumpai

kelompok abiotik. Kelompok biotik yang

dijumpai di perairan Pulau Tulai antara lain

meliputi Anemon serta Giant clams (Kerang

Kima). Pada kedalaman 3 meter lebih banyak

dijumpai kelompok biotik dibandingkan pada

kedalaman 8 yang tidak dijumpai biotik

dikarenakan kondisi intensitas cahaya tergolong

baik. Pada kedalaman 3 meter juga masih

banyak ditemukan karang hidup dibandingkan

pada kedalaman 8 meter.

Rata – rata persentase abiotik pada

stasiun I sebesar 34,11 %, pada stasiun II

sebesar 4,39 %, pada stasiun III sebesar 29,17

%, dan pada stasiun IV sebesar 28,31 %, dengan

rata – rata persentase abiotik sebesar 23,99 %.

Persentase abiotik pada kedalaman 3 meter

sebesar 19,96 %, lebih rendah dibandingkan

dengan kedalaman 8 meter dengan persentase

28,03 %. Persentase abiotik tertinggi

didapatkan pada stasiun III kedalaman 8 meter,

dari data yang telah diambil, pada lokasi ini

didominasi oleh kelompok pecahan karang

(Rubble/R) dengan persentase 48 %, dan pasir

(Sand/S) dengan persentase 2 %.

E. Persentase Karang Acropora dan

Non Acropora Pulau Tulai

Kelompok karang yang termasuk

kedalam Acropora melipurti Acropora

branching (ACB), Acropora encrusting (ACE),

Acropora submassive (ACS), Acropora digitate

(ACD), serta Acropora tabulate (ACT).

Sedangkan kelompok karang Non-Acropora

meliputi : Coral branching (CB), Coral

encrusting (CE), Coral foliose (CF), Coral

massive (CM), serta Coral submassive (CS).

1. Persentase Karang Acropora

Persentase karang kelompok Acropora

di perairan Pulau Tulai untuk masing masing

kedalaman dan titik stasiun secara lengkap

dapat dilihat pada tabel 9 dan gambar 14. Tabel 9. Persentase Acropora di perairan Pulau Tulai

Stasiun

Acropora Rata-

rata Kedalaman 3

Meter

Kedalaman 8

Meter

I 23,9 18,01 20,955

II 88,07 37,1 62,585

III 64,93 24,17 44,55

IV 46,05 82,43 64,24

Rata -

rata 55,74 40,43 48,08

Sumber: Data Primer (2015)

Gambar 13. Persentase Tutupan Acropora

Sumber: Data Primer (2015)

I II III IV

Kedalaman 3 M 23,9 88,07 64,93 46,05

Kedalaman 8 M 18,01 37,1 24,17 82,43

020406080

100

Pe

rsen

tase

(%

)

Persentase Tutupan Acropora

Page 14: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

Persentase tutupan karang Acropora di

stasiun I didapatkan rata – rata sebesar 20,95 %,

pada stasiun II sebesar 62,59 %, pada stasiun III

sebesar 44,55 %, dan pada stasiun IV sebesar

64,24 %, dengan rata – rata persentase tutupan

karang Acropora sebesar 48,08 %. Pada

kedalaman 3 meter persentase karang Acropora

sebesar 55,74 % dan pada kedalaman 8 meter

persentase karang Acropora memiliki tutupan

sebesar 40,43 %. Dengan demikian, persentase

penutupan karang Acropora tertinggi terdapat

pada stasiun IV dan terendah pada stasiun I.

Untuk kedalaman 3 meter persentase penutupan

karang Acropora lebih tinggi dibandingkan

dengan kedalaman 8 meter.

2. Persentase Karang Non – Acropora

Persentase karang kelompok Non-

Acropora di perairan Pulau Tulai untuk masing

masing kedalaman dan titik stasiun secara

lengkap dapat dilihat pada tabel 10 dan gambar

15. Tabel 10. Persentase Non-Acropora di perairan Pulau Tulai

Stasiun

Non – Acropora Rata-

rata Kedalaman 3

Meter

Kedalaman 8

Meter

I 55,85 22,01 38,93

II 7,15 32,9 20,025

III 4,2 25,76 14,98

IV 1,6 2,8 2,2

Rata -

rata 17,20 20,87 19,03

Sumber: Data Primer (2015)

Gambar 14. Persentase Tutupan Non-Acropora Sumber: Data Primer (2015)

Persentase tutupan karang Non-

Acropora pada stasiun I memiliki rata rata 38,93

%, pada stasiun II rata – rata penutupan jenis

Non-Acropora sebesar 20,02 %, pada stasiun III

sebesar 14,98 %, dan pada stasiun IV penutupan

jenis karang Non-Acropora sebesar 2,2 %

dengan rata – rat keseluruhan penutupan karang

Non-Acropora di perairan Pulau Tulai sebesar

19,03 %. Dapat dilihat bahwa penutupan karang

Non-Acropora tertinggi pada stasiun I.

Sedangkan pada kedalaman 3 meter

persentase rata - rata penutupan karang Non-

Acropora sebesar 17,20 %, dan pada kedalaman

8 meter sebesar 20,87 %. Dapat dilihat bahwa

persentase rata – rata karang Non-Acropora

lebih tinggi pada kedalaman 8 meter.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pada stasiun I, III, dan IV tergolong dengan

penutupan karang hidup dengan kriteria

“BAIK” dengan tingkat persentase antara

50,0 - 74,9 %. Sedangkan pada stasiun II

termasuk pada tingkat tutupan karang hidup

dengan kategori “MEMUASKAN”. Untuk

kedalaman 3 meter dan 8 meter persentase

tutupan tergolong pada kriteria tutupan

karang hidup yang “MEMUASKAN”

namun persentase tutupan karang hidup pada

kedalaman 3 meter lebih tinggi

dibandingkan pada kedalaman 8 meter.

2. Selanjutnya pada kedalaman 3 meter

persentase karang mati sebesar 7,35 %, dan

pada kedalaman 8 meter persentase tutupan

karang mati sebesar 10,2 %. Persentase

karang mati yang tertinggi terjadi pada

stasiun II dan pada kedalaman 8 meter.

3. Kelompok biotik yang dijumpai di perairan

Pulau Tulai antara lain meliputi Anemon

serta Giant clams (Kerang Kima). Pada

kedalaman 3 meter lebih banyak dijumpai

kelompok biotik dibandingkan pada

kedalaman 8 yang tidak dijumpai biotik

dikarenakan kondisi intensitas cahaya

tergolong baik. Pada kedalaman 3 meter juga

masih banyak ditemukan karang hidup

dibandingkan pada kedalaman 8 meter.

4. Dengan demikian, persentase penutupan

karang Acropora tertinggi terdapat pada

stasiun IV dan terendah pada stasiun I.

Untuk kedalaman 3 meter persentase

penutupan karang Acropora lebih tinggi

dibandingkan dengan kedalaman 8 meter.

5. Penutupan karang Non-Acropora tertinggi

pada stasiun I. Sedangkan pada kedalaman 3

meter persentase rata - rata penutupan

karang Non-Acropora sebesar 17,20 %, dan

pada kedalaman 8 meter sebesar 20,87 %.

Dapat dilihat bahwa persentase rata – rata

karang Non-Acropora lebih tinggi pada

kedalaman 8 meter.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan

mengenai pertumbuhan karang Acropora di

Pulau Tulai, Kabupaten Anambas.

2. Perlu dianalisis lebih lanjut mengenai

kelompok biotik berupa jenis – jenis

Bhentos yang terdapat di terumbu karang

Pulau Tulai,

I II III IV

Kedalaman 3 M 55,85 7,15 4,2 1,6

Kedalaman 8 M 22,01 32,9 25,76 2,8

0204060

Pe

rsen

tase

(%

) Persentase Tutupan Non - Acropora

Page 15: KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN LAUT PULAU …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Menurut Wibisono (2005) bahwa bentuk-bentuk kerusakan/dampak

3. Perlu dianalisis lebih lanjut mengenai jenis

kerusakan karang serta penyebabnya di

Pulau Tulai,

4. Perlu pemantauan oleh instansi terkait

mengenai kondisi terumbu karang dan

sosialisasi kepada masyarakat mengenai

penangkapan ikan yang ramah lingkungan,

5. Perlu sosialisasi kepada masyarakat serta

larangan dan sanksi tegas bagi pengambilan

batu karang di Pulau Tulai sebagai bahan

bangunan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Strategi Konservasi dan

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.

Menteri Negara Kependudukan dan

Lingkungan Hidup, Enviromental Management

Development in Indonesia (EMDI), World

Wide Fund For Nature (WWF).

Anonim. 2010.

https://dhamadharma.wordpress.com/2010/05/

04/ekosistem-terumbu-karang-di-indonesia/.

Diakses 8 Januari 2015

Anonim. 2011.

https://himapikaniku.wordpress.com/2011/05/2

8/fungsi-dan-manfaat-terumbu-karang-bagi-

umat-manusia/. Diakses 12 Januari 2015

Babcock, R. & P. Davis. 1991. Effects of

sedimentation on settlement of Acropora

millepora. Coral Reefs 9: 205-208. Dalam Try

Febrianto

CRITC-COREMAPII-LIPI. 2006. Bintan

Baseline Ekologi. CRITIC-LIPI. Jakarta. Dalam

Try Febrianto

Nuraini. 2013.

http://nurainii13057.blog.teknikindustri.ft.merc

ubuana.ac.id. Diakses 12 Januari 2015

Nybakken, J.W.1992. Biologi Laut Suatu

Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta Dalam Try Febrianto

Sudirman Sultan. 2012.

http://pengamananhutan.blogspot.com/2012/0

5/tata-cara-pencegahan-penanggulangan-

dan.html. Diakses 11 Januari 2015

Steffen. HUhttp://www.iucn.orgUH. 15 Januari

2007. Dalam Try Febrianto

Sukarno, 1984. A Review of Coral Reef Survey

and Assesment Methods Currenthly in Use in

Indonesia. Comparing Coral Reef Survey

Methods. Dalam Try Febrianto

Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem

Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. 118 hal

Dalam Try Febrianto

Tika. 3 desember 2010.

http://kvp2131tika.wordpress.com/. Diakses 8

Januari 2015

Westmacott, S., Teleki, K., Wells, S., West, J.

2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang

Telah Memutih dan Rusak Kritis.

Diterjemahkan oleh Jan Henning

Yuki. 2013.

http://yukiberbagisehat.blogspot.com/2013/05/

manfaat-kerumbu-karang-bagi-biota-laut.html.

Diakses 12 Januari 2015