komunikasi dan adaptasi antar budaya studi kasus pada

21
Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada Panitia Lokal dan Warga Negara Jepang di Lingkungan Internal Panitia Festival Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016 Fauzi Jundullah Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, FISIP UI Gedung B Lantai Dasar, Kota Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Tulisan ini membahas mengenai upaya adaptasi dan komunikasi antar budaya antara panitia lokal dan asing di lingkungan panitia festival Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016. Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif dengan pendekatan etnografi, dengan menggunakan konsep adaptasi antarbudaya dan komunikasi antarbudaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adaptasi dan komunikasi antar kelompok panitia berjalan tanpa adanya hambatan besar, terlebih memicu konflik terbuka, dimana masing-masing anggota kelompok mampu mengakomodasi sikap dari masing-masing pihak yang berhubungan dengan mereka selama persiapan dan pelaksanaan acara. Kata kunci:adaptasi, antar-budaya, ennichisai, festival, komunikasi, panitia Cross-Cultural Adaptation and Communication : Case Study on Local Staffs and Japanese Staffs in Internal Stuctures at Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016 Festival Abstract This study is researching about adaptation and communication attempts between local staffs and Japanese staffs at Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016 Festival. This research is using qualitative methods with ethnographical approach, using cross-cultural adaptation and cross-cultural communication. The result of this research shows that adaptations and communication between those groups going well without any open conflict. They can accomodate their attitude and characters each other during the event. Keywords: adaptation, communication, cross-cultural, ennichisai, festival, staffs Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada Panitia Lokal dan Warga Negara Jepang

di Lingkungan Internal Panitia Festival Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016

 

Fauzi Jundullah

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, FISIP UI Gedung B

Lantai Dasar, Kota Depok, 16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai upaya adaptasi dan komunikasi antar budaya antara panitia lokal dan asing di lingkungan panitia festival Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016. Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif dengan pendekatan etnografi, dengan menggunakan konsep adaptasi antarbudaya dan komunikasi antarbudaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adaptasi dan komunikasi antar kelompok panitia berjalan tanpa adanya hambatan besar, terlebih memicu konflik terbuka, dimana masing-masing anggota kelompok mampu mengakomodasi sikap dari masing-masing pihak yang berhubungan dengan mereka selama persiapan dan pelaksanaan acara. Kata kunci:adaptasi, antar-budaya, ennichisai, festival, komunikasi, panitia

Cross-Cultural Adaptation and Communication : Case Study on Local Staffs and

Japanese Staffs in Internal Stuctures at Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016 Festival

Abstract This study is researching about adaptation and communication attempts between local staffs and Japanese staffs at Ennichisai Little Tokyo Blok M 2016 Festival. This research is using qualitative methods with ethnographical approach, using cross-cultural adaptation and cross-cultural communication. The result of this research shows that adaptations and communication between those groups going well without any open conflict. They can accomodate their attitude and characters each other during the event. Keywords: adaptation, communication, cross-cultural, ennichisai, festival, staffs

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 2: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

Pendahuluan

Dalam hidupnya, manusia sebagai makhluk sosial pasti akan melakukan komunikasi

antara satu dengan yang lainnya. Dengan berkomunikasi, bukan hanya terbatas pada

pertukaran pesan dan informasi, melainkan juga membangun dan mempertahankan

hubungan sosial. Dalam kehidupan sosial, perbedaan adalah hal yang amat lumrah. Setiap

manusia mempunyai latar belakang dan identitas sendiri yang membedakannya dengan

individu / kelompok lainnya. Hal-hal tersebut dapat memengaruhi bagaimana orang

tersebut berkomunikasi dengan orang lain, seperti pergaulan, pendidikan, kepercayaan,

nilai-nilai moral, dan juga karakteristik kebudayaan.

Banyak hal yang dapat menentukan apakah proses komunikasi dapat berjalan dengan

baik ataupun tidak. Salah satunya adalah latar belakang budaya atau suku bangsa. Smith

(1987) mengemukakan, kelompok atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang

anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan

garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai dengan pengakuan dari

orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama,

perilaku, atau ciri-ciri biologis. Sedangkan Koentjaraningrat (1990) berpendapat bahwa

suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan

kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh

kesatuan bahasa. Lebih lanjut lagi, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa di Indonesia

terdapat 195 suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut Badan Pusat

Statistik (2011), terdapat 1340 suku bangsa di seluruh Indonesia. Masing-masing suku

bangsa tersebut memiliki bahasa dan dialeknya masing-masing. Artinya ada paling tidak

ratusan variasi bahasa dan dialek untuk menggambarkan suatu benda atau keadaan di

Indonesia dalam proses komunikasi masyarakatnya.

Dengan adanya globalisasi di era ini, semakin memungkinkan masyarakat untuk

melintasi batas negara, mengunjungi atau menetap di negara lainnya. Globalisasi secara

sederhananya dapat diartikan sebagai seluruh proses kontemporer yang membuat jarak

menjadi tidak relevan lagi. Eriksen (2007) menuliskan bahwa globalisasi memungkinkan

perpindahan-perpindahan orang, barang, gagasan dan wawasan, uang, dan pemikiran

melewati batas negara, tidak terbatas pada seberapa jauh negara-negara tersebut. Dalam hal

ini, terdapat arus perpindahan orang dari suatu negara ke negara lainnya, sehingga dalam

satu tempat beberapa orang dengan berbagai kewarganegaraan berkumpul dalam suatu

tempat, misalkan di tempat kerja, lingkungan instansi, dan tempat-tempat lainnya. Di sana

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 3: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

mereka saling berbaur dengan orang lain dari negara lain, yang mana pastinya suku bangsa

mereka juga berbeda, konsepsi dan budaya mereka juga berbeda, sehingga komunikasi

yang berjalan juga sedikit terkendala karena faktor bahasa dan budaya, disebabkan budaya

antarnegara umumnya saling kontras, sehingga proses komunikasi akan lebih sulit.

Untuk menghadapi kendala tersebut, dibutuhkan proses adaptasi budaya. Sebelum

melakukan komunikasi, khususnya dengan orang dengan perbedaan latar belakang budaya,

hal tersebut perlu dilakukan agar proses komunikasi berjalan dengan baik. Adaptasi budaya

jika diartikan per kata, berasal dari kata adaptasi dan budaya. Adaptasi berarti kemampuan

makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup

dengan baik. Adaptasi juga dapat diartikan sebagai cara-cara yang digunakan oleh perantau

untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan memperoleh keseimbangan

positif dengan latar belakang mereka. Sedangkan budaya sendiri menurut Parsudi

Soeparlan (1978:2), kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai

makhluk sosial, yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan

dan pengalaman manusia, serta menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan atau

mendorong terwujudnya perilaku sesorang. Lebih lanjut, Suparlan menjelaskan

kebudayaan terdiri dari unsur-unsur yang universal, mencakup struktur sosial, sistem

politik, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem agama, dan sistem bahasa, serta sistem

komunikasi.

Sebelum melakukan proses komunikasi dengan pihak yang berbeda latar belakang

budaya, terlebih dengan warga negara asing, dibutuhkan adaptasi untuk mengenali seluk-

beluk budaya negara tersebut. Tak jarang ditemui berbagai perbedaan yang cukup kontras

diantara satu budaya dengan yang lainnya, yang terpisahkan oleh batas negara, semisalkan

antara Indonesia dan Jepang. Budaya Jepang sangat menjunjung tinggi profesionalitas,

kesopanan, dan etika, yang mana bila orang Indonesia melihatnya terlalu kaku. Begitupun

bagi orang Jepang, mereka kerap memandang orang Indonesia umumnya sebagai

masyarakat yang lebih fleksibel, tidak kaku, dan tidak begitu serius dalam suatu hal,

semisal pekerjaan. Dalam hal pekerjaan, jika kedua kelompok tersebut saling bekerjasama,

tentu dibutuhkan komunikasi yang intens diantara keduanya. Maka dari itu, adaptasi

dibutuhkan agar saling memahami karakter dan latar belakang antara satu dengan yang

lainnya agar tidak terjadi miskomunikasi dan hal-hal yang tidak mengenakkan.

Karena itu, saya tertarik untuk meneliti mengenai hal tersebut. Saya mengambil latar

penelitian di sebuah festival bernuansa budaya tradisional Jepang di Jakarta, Ennichisai.

Festival tahunan ini bertempat di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Acara ini menyajikan

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 4: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

berbagai konten budaya Jepang, baik budaya tradisional maupun populer. Yang menarik

bagi saya, mengetahui ada dua kelompok yang bekerjasama dalam satu kepanitiaan dalam

menyelenggarakan acara ini, yaitu lokal dan asing, dalam hal ini Warga Negara Jepang,

saya ingin mengetahui bagaimana komunikasi yang terbentuk antara keduanya, bagaimana

para panitia lokal beradaptasi dengan panitia lain yang merupakan WN Jepang, dan juga

sebaliknya. Kemudian, dalam bekerjasama dalam satu tim, bagaimana satu kelompok ini

saling beradaptasi dengan yang lainnya.  Dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda,

mereka bekerja sama dalam satu tim. Awalnya, ketika mereka mulai bekerjasama untuk

pertama kalinya, tentu mereka akan menemui beberapa hambatan dikarenakan adanya

perbedaan latar belakang antara kedua kelompok tersebut. Disini, masing-masing anggota

kelompok tersebut melakukan tindakan adaptasi budaya dalam menghadapi kelompok

lainnya di kepanitiaan. Dengan berbagai faktor dan hal-hal lain yang menjadi pembeda

diantara kedua kelompok ini, bagaimanakah cara dari masing-masing anggota kelompok

ini berusaha beradaptasi dengan kelompok diluar kelompok mereka? Setiap orang tentunya

memiliki caranya masing-masing, dan tindakan tiap-tiap orang tersebut juga akan

dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam ataupun dari luar dirinya. Oleh karena

itu, langkah apa yang dilakukan oleh masing-masing anggota kedua kelompok ini ketika

saling bekerjasama dalam satu tim? Kemudian, Bagaimana proses adaptasi yang dialami

oleh individu-individu dari kedua kelompok tersebut ketika berinteraksi dengan anggota

lain yang berasal dari kelompok yang berbeda, bahkan berbeda kewarganegaraan yang

sekilas akan sulit untuk saling berbaur.

Kesimpulannya, poin-poin yang akan diangkat saya dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana cara kedua kelompok ini berkomunikasi?

2. Bagaimana cara panitia dari kedua kelompok ini (panitia lokal dan WN Jepang) secara

individual saling beradaptasi satu dengan yang lainnya?

3. Bagaimana cara mengatasi masalah komunikasi antara kedua kelompok ini baik secara

individual maupun kolektif?

Tinjauan Teoritis

Komunikasi antar budaya secara harfiah dapat diartikan sebagai komunikasi yang

dilakukan oleh dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Liliweri

(2004: 9-15) mengemukakan bahwa komunikasi antar budaya adalah pernyataan diri antar

pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 5: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

Komunikasi antar budaya terjadi jika sebuah pesan yang harus dipahami, dihasilkan dari

budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar dan Porter, 1994:

19).

Asumsi dari komunikasi antar budaya adalah sebagai berikut :

1. Komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan antara

komunikator dan komunikan

2. Dalam komunikasi antar budaya terkandung isi dan relasi antar pribadi

3. Gaya personal memengaruhi komunikasi antar budaya

4. Komunikasi antar budaya bertujuan mengurangi ketidakpastian

5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan dari komunikasi antar budaya.

Mengutip Habermas (1985) dalam Liliweri (2004:48), bahwa setiap dalam proses

komunikasi, apapun bentuknya, selalu ada fakta dari semua situasi tersembunyi dibalik para

partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat ditunjukkan oleh

karakteristik diantaranya suasana yang menggambarkan derajat kebebasan, suasana dimana

tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta komunikasi, prinsip keterbukaan bagi

semua, suasana yang mampu memberikan komunikator dan komunikan untuk dapat

memberdakan mana minat pribadi dan kelompok. Maka dapat disimpulkan bahwa iklim

komunikasi antar budaya bergantung pada tiga dimensi, yaitu perasaan positif, pengetahuan

mengenai komunikan, dan perilaku komunikator.

Sanovar dan Porter (1994, dalam Liliweri, 2001:160) menyatakan, untuk mengkaji

komunikasi antar budaya perlu dipahami antara hubungan antara kebudayaan dengan

komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar komunikasi, dan memandang dunia

mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan oleh

kebudayaan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip

pula terhadap suatu peristiwa atau objek sosial. Cara manusia berkomunikasi, keadaan

berkomunikasi, bahkan gaya dan tata bahasa yang digunakan, perilaku verbal dan non-verbal

merupakan respons terhadap dan fungsi budaya. Gudykunst dan Kim (2003: 269-270)

berpendapat bahwa komunikasi yang berjalan baik menjadi tantangan dalam berlangsungnya

komunikasi antar budaya. Ketika makna dan pemahaman sama sekali berbeda, maka pesan

yang disampaikan bisa saja tidak sampai atau menjadi berbeda maksudnya. Fisher (1978)

berpendapat, untuk mengatakan bahwa makna dalam komunikasi tidak pernah secara total

sama untuk semua komunikator, adalah dengan tidak mengatakan bahwa komunikasi adakah

sesuatu yang tak mungkin atau bahkan sulit tapi karena komunikasi tidak sempurna. Jadi

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 6: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus

meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim (pesan diinterpretasikan sama).

Sedangkan komunikasi yang tidak efektif dapat terjadi dengan berbagai alasan.

Charney dan Martin (2004:11) berpendapat jika hambatan dalam komunikasi antar budaya

merupakan segala sesuatu yang menjadi penghalang terjadinya komunikasi yang efektif.

Contohnya adalah perbedaan makna sebuah isyarat, misalkan di mayoritas negara di dunia

menganggap anggukan merupakan tanda setuju atau mengiyakan, di Jepang hanya dianggap

sebagai tanda mendengarkan, belum tentu setuju atau mengiyakan.

Hambatan dalam komunikasi antar budaya diibaratkan seperti gunung es, yang besar,

namun sebagian besar tidak terlihat karena berada di bawah permukaan air. Faktor yang

tersembunyi tersebut adalah hal-hal yang membentuk perilaku seseorang, yang mana hal-hal

tersebut sulit untuk dilihat, diantaranya adalah norma (norms), stereotip (stereotypes), aturan

(rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup subbudaya (subculture group). Kemudian

ada sembilan jenis hambatan komunikasi antar budaya yang dapat terlihat, karena berbentuk

fisik. Oleh Chaney dan Martin (2004: 11-12), kesembilan jenis hambatan tersebut adalah :

1. Fisik (physical). Hambatan ini berasal dari dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan

pribadi, dan media fisik lainnya.

2. Budaya (cultural). Hambatan ini terdiri dari diantaranya perbedaan etnis, ras, suku, agama,

dan sosial antara dua budaya atau lebih.

3. Persepsi (perceptual). Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu hal,

sehingga untuk mengartikan suatu budaya akan melahirkan pandangan yang berbeda pula.

4. Motivasi (motivational). Terkait dengan tingkat motivasi pembicara dan pendengar. Jika

salah satunya sedang malas atau kurang tertarik, maka hambatan ini akan muncul.

5. Pengalaman (experiental). Setiap individu mempunyai pengalaman yang saling berbeda

satu sama lain, yang mengakibatkan setiap individu mempunyai pandangan yang berbeda

akan suatu hal.

6. Emosi (emotional). Ini terkait dengan kondisi emosional si pembicara atau pendengar. Jika

salah satu dari mereka kondisi emosinya sedang buruk, komunikasi juga tidak akan

berjalan baik.

7. Bahasa (linguistic). Hambatan akan terjadi jika proses komunikasi menggunakan bahasa

yang berbeda atau menggunakan kata-kata yang salah satunya tidak memahami artinya.

8. Non-verbal. Hambatan ini bukan berbentuk verbal (kata-kata), misalkan dari ekspresi

wajah atau bahasa tubuh.

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 7: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

9. Kompetisi (competition) .Hambatan ini terjadi jika salah satu dari pembicara/pendengar

melakukan hal lain ketika berkomunikasi, misalkan bermain ponsel atau bermain game

sambil berbicara.

Kim (1988) dalam Sunarwinadi (1993:30) menyatakan apabila seorang individu mampu

mengakomodasi tuntutan-tuntatan dari lingkungannya berarti individu itu mampu beradaptasi.

Dalam pertemuan antarbudaya, kemampuan beradaptasi adalah kapasitas individu untuk

bertahan atau memodifikasi beberaa cara dari budayanya yang lama, dan mempelajari serta

mengakomodasikan beberapa cara dari budaya yang baru, kemudian secara kreatif

menemukan cara untuk mengelola dinamika dari perbedaan budaya yang ada dan perasaan

stress yang dialaminya. Kim (2001) dalam Ruben dan Stewart (2006:342) menguraikan dan

menggambarkan langkah-langkah dalam proses adptasi suatu budaya. Secara umum ada

empat fase ditambah dengan fase perencanaan.

a. Fase perencanaan, dimana seseorang masih berada di negeri asalnya menyiapkan segala

sesuatu, mulai dari ketahanan fisik sampai kepada mental, termasuk kemampuan

komunikasi yang dimiliki untuk dipersiapkan yang nantinya akan digunakan di tempat

baru.

b. Fase 1, periode bulan madu, dimana seseorang sampai dan berada di lingkungannya yang

baru, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya yang baru. Dalam fase ini,

seseorang mengalami kegembiraan sebagai reaksi awal dari sebuah kekaguman, penuh

semangat akan hal-hal baru, antusias, ramah, mempunyai hubungan baik dengan orang

disekitarnya.

c. Fase 2 adalah periode dimana daya tarik akan hal-hal baru dari seseorang perlahan mulai

berubah menjadi rasa frustasi hingga permusuhan, ketika terjadi perbedaan awal dalam hal

bahasa, konsep, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang familiar.

d. Fase 3 adalah fase recovery, dimana seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami

pada fase 2. Penyelesaian ini ditandai dengan proses penyesuaian ulang dari seseorang dari

seseorang untuk mulai mencari cara dengan berbagai cara, seperti mempelajari bahasa,

simbol-simbol yang dipakai dan budaya dari penduduk setempat.

e. Fase 4 adalah fase dimana penyesuaian ulang terus berlanjut. Sepanjang periode ini, ada

beberapa individu yang memperoleh kembali keseimbangan antara budaya yang mereka

anut dengan budaya baru yang dihadapi. Mereka mencoba untuk mengembangkan

hubungan-hubungan baru. Proses inilah yang disebut dengan full participation. Sedangkan

ada individu lainnya yang tidak mampu menerima secara penuh budaya baru karena merih

terbawa cara-cara lama yang dianutnya di negeri asalnya. Ini dinamakan accomodation.

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 8: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

Seiring dengan proses peyesuaian diri seseorang, maka tak jarang ia tetap mengalami rasa

frustasi akan keadaan yang baru, sehingga ia tetap berusaha untuk bertahan dengan caranya

sendiri. Proses ini disebut dengan fight. Kemudian ada beberapa individu lainnya yang

tidak dapat bertahan dengan lingkungan barunya, sehingga pada akhirnya memutuskan

untuk kembali ke tempat asalnya, yang mana hal ini disebut dengan flight.

Dalam komunikasi antar budaya, terdapat kemungkinan adanya natural discourse. Dalam

natural discourse, setiap orang yang berkomunikasi seringkali akan merasa pembicaraan atau

komunikasinya lebih enak atau lancar jika hanya ada mereka di tempat itu saat itu, atau

dengan kata lain, tidak ada pihak lain yang ikut memperhatikan proses komunikasi mereka.

Biasanya orang akan mengubah gaya komunikasi mereka seperti pemilihan kata, nada bicara,

ekspresi, dan gaya bicara mereka jika ada orang lain yang memperhatikan atau jika mereka

belum begitu percaya kepada orang tersebut. Natural discourse baru akan muncul kembali

jika orang ketiga tersebut meninggalkan lokasi si pelaku komunikasi atau para pelaku

komunikasi tersebut sudah mempercayai pihak ketiga ini, sehingga tidak perlu ragu lagi untuk

mengeluarkan image mereka masing-masing. Kemudian, dalam komunikasi antar budaya

juga ada kemungkinan masing-masing kelompok menciptakan batasan-batasan tertentu yang

menjadi pedoman bagi kelompok lainnya. Fredrik Barth (1969) mengungkapkan jika suatu

kelompok etnik mencoba mempertahankan identitasnya ketika berinteraksi dengan anggota

dari kelompok lain dengan cara membuat seperangkat aturan yang menjadi batasan interaksi

mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga identitas serta nilai-nilai yang ada didalam

kelompok itu. Contohnya, ketika si A dari satu kelompok yang berinteraksi dengan kelompok

lainnya, si A akan menerapkan beberapa aturan yang berlaku untuk lawannya itu, begitu juga

sebaliknya. Ada kalanya hal ini terlihat misalnya dengan aturan seperti tidak boleh berbicara

terlalu keras, bertutur kata sopan,

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode Kualitatif, Menurut Creswell (2003 : 18),

pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan

berdasarkan perspektif konstruktif yaitu berdasarkan makna-makna yang bersumber dari

pengalaman individu, nilai-nilai, sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori

atau pola pengetahuan tertentu atau berdasarkan perspektif partisipatori yang berdasarkan

orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan, atau keduanya.Objek penelitian

kualitatif ini adalah seluruh bidang atau aspek kehidupan manusia. Prosedur penelitian ini

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 9: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari narasumber yang

adalah orang-orang ada di lokasi penelitian, dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk

menggambarkan kejadian yang tengah berlangsung pada saat studi lapangan. Pengumpulan

data ini juga dilakukan dengan metode wawancara mendalam atau metode interview. Metode

wawancara atau metode interview, mencakup cara yang digunakan oleh seseorang untuk

tujuan tertentu dengan mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari

responden bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan responden tersebut

(Koentjaraningrat, 1977 :164).

Pada metode observasi, saya turut serta dalam kepanitiaan acara sebagai volunteer atau

sukarelawan yang tergabung dalam divisi yang didalamnya terdapat panitia lokal dan asing

sebagai anggota tim, sehingga saya dapat menyaksikan langsung proses interaksi dan adaptasi

yang terjadi pada kedua kelompok tersebut dalam divisi atau bidang yang sama.

Kriteria pemilihan narasumber adalah sebagai berikut :

1. Orang yang sudah lama berada di kepanitiaan,

2. Orang yang mempunyai kedudukan cukup tinggi, yang dinilai paling paham dengan

kondisi internal panitia yang mereka bawahi,

3. Orang yang berada pada level staff atau yang bukan memiliki posisi besar dalam struktur

untuk mengetahui kondisi yang langsung mereka alami.

Sesuai dengan kesepakatan dengan pihak internal panitia sebelum acara, saya hanya

diperkenankan untuk melakukan wawancara setelah acara selesai. Oleh karena itu, selama

persiapan dan saat berlangsungnya acara, saya hanya melakukan observasi. Barulah setelah

acara selesai, selama sepekan (16-21 Mei 2016), saya mulai mewawacarai narasumber yang

dirujuk oleh beberapa staff di pop-stage.

Berdasarkan informasi dan rekomendasi dari beberapa staff di pop-stage, saya memilih

dua orang panitia asing dan dua orang panitia lokal sebagai narasumber. Keempat orang

tersebut adalah :

1. Aiko, WN Jepang yang merupakan sekretaris umum acara sekaligus direktur umum pop-

stage. Beliau juga merupakan salah satu dari pendiri dari festival Ennichisai,

2. Taka, juga merupakan WN Jepang yang bertugas sebagai staff tata panggung di pop-stage,

3. Ricky, panitia lokal, General Affair acara

4. Liza, panitia lokal, kepala divisi Media Partner

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 10: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

Hasil Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada hari-H acara dengan cara observasi, dimana penulis menjadi

sukarelawan sekaligus mengamati situasi yang ada di dalam lingkungan ini ketika acara

sedang berlangsung, dan dilanjutkan dengan beberapa wawancara yang baru dilakukan

beberapa hari setelah acara selesai. Dari hasil pengamatan dan beberapa wawancara singkat

dengan beberapa staff di pop-culture stage, menunjukkan bahwa baik panitia asing (WN

Jepang) maupun panitia lokal disini saling dapat memahami satu sama lain. Ada kalanya

mereka terkendala pada latar belakang bahasa dan budaya yang membuat interaksi mereka

menjadi sedikit kaku, yang terlihat seolah sangat menjaga sikap satu sama lain.

Berpindah ke narasumber. Dimulai dari Aiko. Ia merupakan seorang WN Jepang yang lahir

dan justru sudah lama tinggal di Jakarta Sebagai salah satu pendiri acara sekaligus sebagai

sekretaris umum acara pada tahun ini, ia dianggap paling mengertimengenai situasi yang

terjadi di lingkungan panitia selama ini. Beliau mengungkapkan, selama ini tidak begitu

sering ada masalah terbuka yang melibatkan kedua kelompok ini (lokal dan asing). Baginya,

orang lokal kebanyakan adalah orang yang mudah bergaul, tidak mudah stress dan gampang

untuk berkomunikasi. Ia sendiri walaupun bersatus sebagai WNA, selain menguasai bahsa

Indonesia dengan lancar, pembawaannya yang santai dan mudah dekat dengan banyak orang

menjadikannya semakin luwes dalam berinteraksi.

Kemudian adalah narasumber asing lainnya, Taka, staff di pop-stage. Dari pengakuannya, ia

sendiri masih mengalami guncangan budaya ketika berhadapan dengan panitia lokal.

Menurutnya, ia sendiri agak kesulitan jika harus berinteraksi dengan mereka, karena ia

mengakui masih memegang erat budayanya. Terkadang, ada beberapa momen yang baginya

kurang mengenakkan ketika berinteraksi dengan orang lokal, yang mengakibatkan dirinya

cukup sulit untuk berinteraksi. Pembawaan dan karakternya yang terlihat kaku juga

mengakibatkan ia sulit berkomunikasi, meskipun ia dapat berbahasa Indonesia namun belum

cukup fasih.

Berpindah ke narasumber lokal. Dimulai dari Ricky. Sebagai orang lokal paling senior di

acara ini, dan juga posisinya sebagai General Affair membuatnya mengenal banyak orang,

baik orang lokal maupun asing di lingkungan panitia. Ia menuturkan bahwa orang Jepang

yang selama ini ia temui di kepanitiaan ini tergolong pekerja keras, berbeda dengan orang

Indonesia umumnya. Proses adaptasi yang ia hadaou akan berbeda tergantung siapa yang

akan ia hadapi. Biasanya, untuk para panitia asing yang sudah lama tinggal di Indonesia akan

lebih mudah menanganinya dibanding orang asing yang terbilang "baru", yang belum paham

akan kondisi budaya lokal. Kemudian, selama ini ia tidak pernah menghadapi atau melihat

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 11: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

adanya konflik terbuka antara kedua kelompok ini di kepanitiaan, karena masing-masing

kelompok saling menjaga sikap satu sama lain.

Terakhir, ada narasumber lokal lainnya Liza. Ia baru setahun terakhir bergabung dengan tim

kepanitiaan, dan saat ini berperan sebagai kepala divisi hubungan media. Senada dengan

Ricky, menurutnya para panitia asing yang ia temui disini adalah karakter yang pekerja keras.

Selama ini, adaptasinya hanya terbatas soal etos kerja dan ketepatan waktu, karena

menyesuaikan dengan budaya panitia asing tersebut yang sangat tepat waktu menurutnya.

Kemudian, ia sendiri mengakui bahwa proses komunikasinya dengan panitia asing disini

sangat terkendala pada bahasa. Karenyanya, ia masih bergantung pada beberapa penerjemah,

salah satunya Aiko, yang mana juga seringkali berperan sebagai mediator untuk kedua

kelompok panitia ini.

Dari keterangan keempat narasumber diatas, setiap narasumber tersebut masing-masing

mempunyai cara yang relatif berbeda dalam beradaptasi dan berkomunikasi dengan kelompok

lain diluar kelompok mereka. Pernyataan mereka merefleksikan apa yang selama ini mereka

lakukan dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal yang

tentunya ikut berperan dalam proses komunikasi mereka ketika persiapan dan berlangsungnya

acara. Dari latar belakang yang saling berbeda satu sama lain turut membuat sikap dan

karakter mereka turut memengaruhi tindakan dan cara mereka dalam berkomunikasi, seperti

yang dapat dilihat dari pengakuan masing-masing narasumber diatas.  

Pembahasan

Dari empat orang narasumber yang sudah diwawancarai menunjukkan bahwa setiap orang

memiliki pemahaman masing-masing mengenai apa yang sudah mereka pahami tentang

anggota kelompok lainnya. Namun dari masing-masing narasumber tersebut, berdasarkan

hasil dari fase adaptasinya saling berbeda. Dari penjelasan Kim (1992) mengenai fase akhir

dari adaptasi antarbudaya, ada empat fase, yaitu full participation, accomodation, flight, dan

fight. Keempat narasumber terkategorikan ke tipe fase yang masing-masing berbeda.

Dimulai dari narasumber Aiko, beliau termasuk ke tipe full participation. Mengapa?

Karena ia sudah tinggal sangat lama di Indonesia dan ia sudah sangat mudah bergaul dan

berinteraksi dengan orang lokal sehari-harinya. Tingkah laku dan sikapnya yang mudah

bergaul dengan banyak orang membuatnya semakin mudah dalam berinteraksi. Disamping itu,

ia juga sangat dekat dengan semua kalangan di lingkungan panitia. Banyak pula panitia lokal

yang mengandalkan beliau untuk berbagai keperluan, khususnya dalam hal komunikasi

karena kedekatan beliau dengan panitia lokal. Di bagian pop-stage misalnya ia seringkali

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 12: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

datang mengobrol atau menghabiskan waktu bersama panitia-panitia lokal di pop-stage,

menunjukkan kedekatannya dengan banyak orang, khususnya di pop-stage.

Lain Aiko, lain pula dengan narasumber Taka. ia masih sangat terlihat canggung dengan

orang-orang disekitatrnya. Pembawaan karakternya yang kaku juga terlihat baik saat bekerja

ataupun ketika sedang bertemu untuk wawancara. Pengalamannya yang tidak begitu baik

ketika berinteraksi dengan beberapa orang menjadikannya termasuk ke tipe fight. Ini dapat

dibuktikan dengan masih adanya nilai-nilai dan pemahaman beliau dari negara asalnya yang

masih melekat kuat pada dirinya, yang membuatnya kaku dalam bersikap. Keterangan beliau

tentang dirinya yang masih sulit untuk memahami lawan bicara dan sikap orang lain, terutama

jika orang tersebut adalah orang lokal, menunjukkan bahwa ia sendiri masih sangat sulit

menghadapi orang lokal, khususnya secara sikap yang menunjukkan bahwa ia masih

mengalami guncangan budaya. Meskipun ia sudah tinggal dan bekerja di Indonesia selama 17

tahun, yang tentu merupakan rentang waktu yang lama, membuat narasumber Taka menjadi

menarik, karena dalam waktu sepanjang itu beliau masih mengalami guncangan dan masalah

baik dalam hal adaptasi maupun interaksinya. Ini masih belum dapat dipastikan dengan

bagaimana beliau bersikap sehari-harinya, karena mungkin saja karakternya yang seperti ini

tidak terlihat diluar acara.

Keterangannya kepada saya sedikit berbeda dengan yang saya pahami ketika hari-H acara,

baik dari pengamatan maupun dari keterangan panitia lain yang menyatakan jika Taka adalah

salah satu panitia asing yang lebih mudah diajak berkomunikasi dibanding yang lainnya,

mengingat ia juga ditempatkan di pop-stage. Namun bersama seorang rekannya di pop-stage,

Satoshi, mereka adalah orang yang paling dianggap dekat dengan panitia-panitia lokal di pop-

stage, setelah Aiko.

Berpindah ke narasumber lokal. Dimulai dari Ricky. Sebagai orang lokal paling senior di

pop-stage, ditambah dengan posisinya yang vital dalam tim, ia tentunya mengenal banyak

orang baik di pop-stage maupun di main-stage, yang tentunya membuat ia sering berinteraksi

dengan banyak orang. Dalam fase adaptasi Kim, narasumber Ricky sendiri termasuk dalam

kategori full participation, seperti halnya Aiko. Dari pengakuannya sendiri, ia terbilang sudah

terbiasa menghadapi panitia asing, walaupun ia sendiri masih harus memahami terlebih

dahulu siapa yang akan ia hadapi. Ia harus memahami dahulu seperti apa orangnya,

bagaimana sifatnya, dan apakah orang itu sudah lama tinggal di Indonesia atau belum. Itulah

yang menjadi pertimbangannya sebelum bertindak, karena baginya untuk menghadapi

seseorang, ia harus memahami terlebih dahulu karakter dan latar belakang orang tersebut.

Namun sejauh ini, selama ia menangani acara baik di CLAS:H maupun di pop-stage

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 13: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

ennichisai, ia belum pernah mengalami kendala yang berarti dalam interaksi, hanya sebatas

menghadapi panitia asing yang masih “baru”, yang belum paham mengenai kondisi budaya

lokal. Terakhir, ada panitia lokal lainnya, Liza. Karena ia baru setahun bergabung di

ennichisai, ia mengaku bahwa ia hanya melakukan penyesuaian sebatas dalam urusan

pekerjaan saja, khususnya dalam hal etos kerja, menyesuaikan dengan orang Jepang jika harus

berurusan dengan mereka. Dalam hal ini, narasumber Liza sedikit berbeda dengan ketiga

narasumber sebelumnya, dimana ia masih berfokus pada beberapa penyesuaian, sehingga ia

termasuk ke fase recovery.

Setiap orang dapat mengalami keempat fase tersebut, dan bisa juga tidak. Bisa jadi

seseorang melewatkan satu fase, misalnya fase konflik, karena alasan tertentu. Jika dilihat

dari pernyataan ini, dari keempat narasumber tersebut, tidak dapat dikatakan jika mereka

melewati keempat fase tersebut. Narasumber Aiko, melewatkan fase konflik, karena

karakternya yang mudah bergaul sehingga membuatnya tidak menemukan hambatan yang

begitu berarti, sehingga proses adaptasi yang beliau alami tidak begitu sulit dijalankan,

terlepas dari latar belakangnya yang berdarah separuh Indonesia dan sudah lama pula tinggal

di Jakarta. Ketiga narasumber sisanya – Taka, Ricky, dan Liza, melewati keempat fase

tersebut dengan hasil akhir yang berbeda-beda satu sama lain, seperti yang sudah dijelaskan

diatas.

Bagaimana dengan anggota panitia lain?

Dari seluruh keterangan narasumber yang ada, ini tentunya terkait dengan stereotip dan

pengetahuan mereka mengenai kelompok lain yang mereka hadapi, dalam hal ini, stereotip

dan pengetahuan orang lokal terhadap orang Jepang dan sebaliknya. Bagi para panitia lokal

khususnya, termasuk saya sendiri ketika sebelum memasuki lingkungan panitia, juga

memiliki pandangan yang sama mengenai orang Jepang mengenai etos kerja mereka.

Semuanya sependapat jika mereka adalah tipikal orang yang pekerja keras, disiplin, dan tepat

waktu dalam bekerja. Sebaliknya, orang Jepang seperti Aiko dan Taka menilai orang lokal

sebagai orang yang mudah bergaul, bersahabat, dan tidak gampang terbawa stress. Dari

stereotip mereka itulah mereka akhirnya menentukan bagaimana cara mereka menyesuaikan

diri terhadap kelompok tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh keempat narasumber tersebut.

Kemudian mengenai komunikasi yang terjadi, berdasarkan penuturan seluruh narasumber

dan beberapa anggota panitia lainnya, faktor bahasa dan latar belakang budaya menjadi

hambatan utama dalam berkomunikasi, disusul oleh faktor-faktor personal seperti pengalaman,

motivasi, konsepsi, dan emosi. Untuk persoalan bahasa, ada beberapa cara yang dilakukan

pantia, yang bisa berbeda satu sama lainya. Karena cukup banyak panitia asing yang sudah

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 14: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

bisa menggunakan Indonesia, tentunya tidak ada kendala berarti lagi dalam komunikasi

mereka. Namun bagi panitia lokal, tidak banyak yang menguasai bahasa Jepang. Sebagian

dari mereka masih ada yang menggunakan penerjemah, seperti halnya Liza yang dibantu oleh

Aiko. Beberapa lainnya berusaha menggunakan bahasa Inggris daripada menggunakan bahasa

Jepang atau bahasa Indonesia, seperti halnya beberapa panitia di main-stage.

Kemudian mengenai faktor personal berupa motivasi, konsepsi dan emosi, narasumber

Taka yang paling merasakannya. Ini tampak dari penuturan beliau ketika bekerja dalam tim

yang seringkali membuat emosinya kurang stabil, karena berkaitan dengan latar belakang

budaya di negara asalnya dan juga pengalamannya sejauh ini tinggal dan bekerja di Jakarta

dalam waktu yang lama, sehingga memengaruhi responnya dalam berkomunikasi. Kemudian

dalam hal yang sama, narasumber Ricky juga senada. Sebagai anggota panitia lokal yang

dinilai paling sering berurusan dengan panitia asing, ia dianggap berpengalaman menghadapi

panitia asing. Sedangkan narasumber Liza masih berada dalam fase penyesuaian karena ia

masih terbilang baru di kepanitiaan, sehingga ia sendiri mengakui masih harus belajar banyak

mengenai panitia-panitia asing tersebut. Terakhir, lain halnya dengan Aiko. Karena

pengalamannya yang cukup lama berada di Indonesia dan karakternya yang terbuka

menjadikannya cukup luwes dan terbuka dalam berkomunikasi.

Dari model komunikasi linear yang dijelaskan pada bab pertama, apakah komunikasi yang

terjadi disini termasuk didalamnya? Komunikasi linear yang hanya melihat proses komunikasi

yang berjalan searah dengan melihat umpan balik yang dikembalikan dari penerima ke

pemberi pesan, itulah yang terjadi. Ada banyak sekali umpan-umpan balik yang melahirkan

berbagai pandangan dan pengetahuan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya,

didukung oleh stereotip yang sudah ada dalam pengetahuan mereka sebelumnya. Umpan-

umpan balik inilah yang pada akhirnya menentukan bagaimana orang tersebut harus bersikap

dan berkomunikasi terhadap anggota dari kelompok lain diluar kelompoknya itu. Apakah ia

harus menyesuaikan diri, sikap, atau perkataan, tergantung dari umpan balik tersebut.

Contohnya narasumber Taka dan Ricky, yang sikapnya terbentuk dari umpan-umpan balik

dari komunikasi yang pernal mereka lakukan sebelumnya, sehingga turut memengaruhi

tindakan mereka dalam berkomunikasi.

Apakah dalam interaksi yang terjadi pada saat itu setiap kelompok menciptakan batasan-

batasannya sendiri? Ada kemungkinan hal tersebut benar adanya. Berdasarkan batasan etnis

yang dikemukakan Barth (1969), dimana setiap kelompok saling menerapkan batasan tertentu

terhadap kelompok lainnya ketika berinteraksi, hal tersebut juga berlaku dalam kasus ini.

Pengakuan narasumber Ricky yang menyatakan bahwa kedua kelompok saling menjaga sikap,

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 15: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

menunjukkan adanya batasan tertentu yang mengiringi proses interaksi mereka sehari-harinya.

Bentuk batasan itu secara konkrit misalnya sesuai dengan pernyataan narasumber Taka,

dimana ia sendiri mengakui jika ia sendiri hanya akan berinteraksi jika dibutuhkan saja.

Mengenai natural discourse, apakah juga terjadi disini? Bagi para panitia-panitia lama yang

sudah berkali-kali mengikuti acara, tentu hal ini sudah biasa. Namun kadangkala ada hal yang

membuat natural discourse ini menjadi hilang sementara bagi sebagian orang, misalnya ketika

ada banyak rombongan sukarelawan yang masuk ke lingkungan panitia, sehingga ada

beberapa panitia inti yang berbicara sedikit lebih kaku dibandingkan biasanya. Natural

discourse ini juga kelihatannya tidak begitu hilang didalam interaksi sehari-hari panitia, tanpa

harus terganggu oleh pihak ketiga atau pihak lain yang kebetulan sedang berada di tempat,

karena sepengamatan saya ketika observasi, baik sebelum, saat, dan setelah acara, antara

panitia tidak saling mengubah gaya interaksinya, sehingga dapat dikatakan tanpa adanya

pihak ketiga atau luar sekalipun, gaya interaksi antar panitia yang ada tidak berubah, yang

berarti mempertahankan natural discourse-nya.

Dari keterangan keempat narasumber dan beberapa narasumber pendukug lainnya,

ditambah dengan hasil pengamatan saya, setiap orang di kepanitiaan ini mampu

mengakomodir proses komunikasinya masing-masing, baik secara individu maupun

kelompok. Salah satu caranya adalah dengan keterangan keempat narasumber masing-masing

yang sudah dijelaskan diatas. Komunikasi antar budaya yang terjadi di lingkungan panitia

seolah berlangsung dengan cukup lancar tanpa adanya hambatan yang cukup mengganggu.

Walaupun begitu, sehari-harinya ketika persiapan dan saat pelaksanaan acara sekalipun nyaris

tidak pernah terjadi konflik terbuka antara kedua kelompok tersebut. Seperti yang dinyatakan

oleh Aiko, ia sendiri sempat ragu mengapa hal ini dapat terjadi. Hambatan yang terjadi hanya

didasari faktor personal dan non-personal lain yang umum dialami hampir setiap orang dalam

komunikasi antar budaya, seperti bahasa, konsepsi, pandangan, budaya, dan lain sebagainya.

Meskipun dengan berbagai hambatan komunikasi yang ada, ternyata kedua kelompok ini

mampu bekerjasama dengan baik demi kelangsungan acara. Keberhasilan acara ini, dengan

berlangsungnya acara ini hingga selesai menjadi pertanda bahwa komunikasi dan adaptasi

antar budaya yang terjadi di lingkungan panitia ennichisai ini berlangsung dengan baik, yang

juga menandakan komunikasi dan adaptasi antar kelompok panitia ini berhasil dilaksanakan,

mengingat tidak ada konflik terbuka yang terjadi antara kedua kelompok ini, bahkan pada

pergelaran di tahun-tahun sebelumnya sekalipun.

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 16: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

Kesimpulan

Kedua kelompok panitia di dalam penelitian ini – panitia lokal dan asing – masing-

masing mempunyai cara yang dapat dikatakan relatif sama. Misalkan bagaimana anggota

panitia asing bersikap pada panitia lokal, dan begitupun sebaliknya. Secara individu, masing-

masing individu memiliki caranya sendiri untuk saling berinteraksi khususnya terhadap

anggota panitia dari kelompok lain. Keterangan dari beberapa narasumber dan hasil

pengamatan saya ketika observasi berlangsung mununjukkan jika diantara kedua kelompok

ini, proses komunikasi berjalan dengan relatif baik, dikarenakan koordinasi antar tim bekerja

dengan baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan berlangsungnya acara tanpa adanya hambatan

dan konflik terbuka. Dalam tim, koordinasi menjadi kunci utama keberhasilan, dengan

komunikasi sebagai pemeran utamanya. Meskipun berbagai hambatan terjadi, terutama

mengenai latar belakang budaya dan bahasa, ternyata kedua kelompok ini dapat saling bahu-

membahu menjalankan tugasnya di acara tersebut. Meskipun bagaimana cara yang digunakan

oleh masing-masing individu akan kembali ke diri mereka masing-masing, karena ada

beberapa faktor yang memengaruhinya, yang didominasi oleh faktor budaya dan personal

seperti bahasan, budaya, konsepsi, pengalaman, motivasi, dan emosi, sehingga setiap orang

akan memiliki cara tersendiri untuk saling memahami satu sama lain, yang tentunya akan

berakhir pada sikap yang mereka tunjukkan ketika berhadapan dengan kelompok diluar

kelompok mereka.

Proses komunikasi yang ada seakan tidak menunjukkan bahwa interaksi antara kedua

kelompok ini tidak begitu terasa di level staf. Hal tersebut disebabkan oleh kedua kelompok

yang terpisah oleh divisi panggung dan setiap divisi panggung yang saling berdiri sendiri

membuat komunikasi tidak begitu kuat bagi para staff di divisi tersebut, walaupun dalam satu

tim pasti masih berisikan anggota dari kelompok berbeda. Tentu saja walaupun antara panitia

di main-stage dan pop-stage tidak begitu sering berinteraksi, komunikasi tetap harus berjalan.

Sebagai sebuah tim, anggota-anggotanya harus tetap menjalin hubungan, tidak hanya sebagai

rekan kerja, namun juga lebih dari itu sebagai upaya dari perluasan hubungan sosial.

Saya menilai, penelitian ini masih terbatas pada realita yang terjadi di lingkup divisi pop-

stage, yang membuat kenyataan yang terjadi di main-stage bisa saja sama atau berbeda,

dimana main-stage lebih banyak berisikan panitia asing. Pandangan panitia lokal dan asing

tentunya berbeda, sehingga menjadi menarik jika turut mencari tahu mengenai realita yang

terjadi di main-stage tersebut. Terakhir, saya melihat keserasian antara kedua kelompok ini

selama penyelenggaraan acara, baik di main-stage dan pop-stage. Ini dibuktikan dengan

bagaimana masing-masing anggota kelompok saling menjaga dan menghargai satu sama lain,

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 17: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

bekerja bersama, dan terlebih ketika acara berakhir, dimana seluruh panitia merayakan hasil

jerih payah bersama.

Daftar Pustaka

Alasuutari, P.

1995. Researching Culture: Qualitative Method and Cultural Studies, London : Sage

Allen, J.

2002. Festival and Special Event Management. Sydney : Wiley

Anderson, J.A.

1987. Communication Research : Issues and Methods. New York : Mac- Graw Hill

Barth, F.

1969. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference.

Waveland Press.

Carey, J. W.

2009. A Cultural Approach to Communication. Communication as Culture. New York:

Routledge.

Chaney & Martin.

2004. Intercultural business communication. New Jersey: Pearson Education. Inc.

Creswell, J,W,

2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches.

Thousand Oaks, Calif : Sage Publications

Daphne, J.A,

2007. Reconceptualizing Cultural Identity and its Role in Intercultural Business

Communication. 281-285

Devito, J.A.

1997. Human Communication. New York: Harper Collinc. Colege Publisher.

Eriksen, T.H.

2007. Globalization: The Key Concepts. London : Bloomsbury

Falassi, A.

1987. Time Out of Time: Essays on the Festival. Front Cover. University of New

Mexico Press.

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 18: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

Fisher, B.A.

1968. Decision emergence: A process model of verbal task behavior for decision-

making groups. University of Minnesota

Getz, D.

1997. Event Management and Event Tourism. New York : Cognizant Communication

Corp.

Hidayah, Z.

1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pustaka Obor

Kim, Y.Y.

2005. Adapting to a New Culture: An Integrative Communication Theory.” In

Theorizing about Intercultural Communication, ed. William B. Gudykunst. pp.

375-400. Thousand Oaks, CA: Sage.

2001. Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and Cross-

Cultural Adaptation. Thousand Oaks, CA: Sage.

1988. Communication and Cross-cultural Adaptation: An Integrative Theory.

Clevedon, United Kingdom: Multilingual Matters.

Kealey, D.J.

1978. Review on Literature on Stages of Adaptation Presented Inadaptation to A New

Environment. Ottawa, Canada : Canadian International Agency, briefing centre.

Koentjaraningrat.

1990. Sejarah Teori Antropologi I. Depok: Universitas Indonesia Pers

Kunio, Yanagita.

1980. The Legends of Tono. (Ronald A. Morse, Penerjemah). Lexington Books

Lasswell, H.

1948. The Structure and Function of Communication in Society. The Communication

of Ideas. New York: Institute for Religious and Social Studies.

Liliweri, A.

2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lippmann, W.

1922. Public Opinion. New York : Macmillan

Littlejohn, S.W; Foss, K.A

1983. Theories of Human Communication. Wadsworth

Mulyana, D. Rakhmat, J,

2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung : Remaja Rosda Karya

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 19: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

Poerwadarminta, W.J.S.

1978. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Ruben, B.D. dan Lea P.S,

1998. Communication and Human. Behavior, USA: Allyn & Bacon

Samovar, L.A., Porter, Richard E. & Jain, N.

1981. Understanding Intercultural Communication. Belmont, CA : Wadsworth.

Smith, A.D,

1987. The Ethnic Origins of Nations. Oxford: B. Blackwell.

Soekanto, Soerjono.

1993. Kamus Sosiologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Spitzberg, B.M.

1994. A model of Intercultural Communication Competence. dalam L. A. Samovar &

R. E. Porter (Eds.), Intercultural communication: A reader. Belmont, CA:

Wadsworth.

1984. Interpersonal Communication Competence. Beverly Hills, CA: Sage.

Sunarwinadi, I.

1993. Komunikasi Antarbudaya. . Jakarta : Universitas Indonesia.

PUBLIKASI

Badan Pusat Statistik.

2011. Kewarganegaraan, Suku bangsa, Agama, Bahasa Sehari-hari Penduduk

Indonesia : Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta : Badan Pusat Statistik

SKRIPSI DAN KARYA ILMIAH YANG TIDAK DITERBITKAN

Effrem, Yuvantius,

2010. Proses Adaptasi Budaya Mahasiswa Perantau (Studi kualitatif pada Mahasiswa

Asal Kupang, Palu, Pringsewu, dan Singkawang di FISIP UI). Skripsi, Tidak

Diterbitkan. Depok : Universitas Indonesia

Kevinzky, M.H.

2011. Proses Dinamika Komunikasi dalam Menghadapi Culture Shock pada Adaptasi

Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD

Bandung). Skripsi, Tidak Diterbitkan. Depok : Universitas Indonesia.

JURNAL

Ling, S. Wang, L.

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 20: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

2013, “The Culture Shock and Cross-Cultural Adaptation of Chinese Expatriates in

International Business Contexts”. International Business Research Canadian

Center of Science and Education. 23-30. Vol. 7 No. 1.

Sanjaya, A.

2013. “Hambatan Komunikasi Antar Budaya Antara Staf Marketing dengan Penghuni

Berkewarganegaraan Australia dan Korea Selatan di Apartemen X Surabaya.”

Jurnal E-Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen

Petra, Surabaya., 252-263. Vol 1 no. 3.

Savitri, L.S.S

2015. “Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya “Jurnal Komunikasi Universitas

Tarumanegara. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta

152-167. Vol. 7 No. 2

WEBSITE DAN MEDIA ONLINE

http://www.ennichisaiblokm.com/

http://www.icgp.net

http://clashcosplay.com

http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/16/04/04/o53ar7280-festival-budaya-

jepang-terbesar-ennichisai-2016-siap-digelar

https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/49487/ada-apa-di-ennichisai-2016

https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/53824/ennichisai-2016-harmoni-festival-jepang-

di-selatan-jakarta

https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/52332/menuju-grand-final-clash-di-ennichisai-

2016-2

http://news.detik.com/video/160515016/ennichisaifestival-kekerabatan-indonesia-dan-jepang

http://travel.kompas.com/read/2016/05/15/100000927/10.Kuliner.Jepang.Wajib.Coba.di.Festi

val.Ennichisai.Jakarta

http://www.thejakartapost.com/life/2016/05/15/ennichisai-festival-haven-for-japanese-

culture-enthusiasts.html

http://id.animepo.com/2016/05/gelaran-budaya-musik-hibur-pengunjung-ennichisai-2016/

http://id.animepo.com/2016/05/gwicosmo-frea-dan-rian-pemenang-icgp-dan-wakil-indonesia-

untuk-world-cosplay-summit-2016/

http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/16/japan-shares-culture-and-traditions-

ennichisai-blok-m.html

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016

Page 21: Komunikasi dan Adaptasi Antar Budaya Studi Kasus pada

https://japanesestation.com/gelaran-budaya-musik-hibur-pengunjung-ennichisai-2016/

https://japanesestation.com/ennichisai-2016-jalan-jalan-kuliner-dan-semua-yang-serba-

jepang/

https://japanesestation.com/serunya-musisi-jepang-hibur-pengunjung-di-pop-stage-ennichisai-

2016/

https://foodrooter.blogspot.co.id/2016/05/ennichisai-miracle-power-of-love.html

http://www.kotakgame.com/berita/detail/35814/Kemeriahan-Malam-Minggu-di-Ennichisai-

2014-Little-Tokyo-Blok-M

https://www.flickr.com/photos/razgriz2520/27040642416/in/photostream/ (Fireworks! Oleh

Abraham Arthemius)

https://www.flickr.com/photos/razgriz2520/26986070911/in/photostream/ (Ennichisai Pop-

Stage oleh Abraham Arthemius)

https://www.flickr.com/photos/razgriz2520/26468983933 (Ennichisai 2016 Main Stage oleh

Abraham Arthemius)

https://www.youtube.com/watch?v=fFan29RkBmk (ICGP 2016 performance by Crusnik

team)

http://www.communicationstudies.com/communication-process

http://www.us.emb-japan.go.jp/jicc/spotfestivals

https://www.japantoday.com/category/lifestyle/view/the-top-10-words-to-describe-japanese-

people-according-to-foreigners

http://www.maps.google.com (Peta Kawasan Blok M, Jakarta Selatan)

Komunikasi dan ..., Fauzi Jundullah, FISIP UI, 2016