kompol makalah global political communication

Upload: lelilynn

Post on 20-Jul-2015

109 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Informasi merupakan suatu kebutuhan yang diperlukan manusia dalam hidupnya. Tanpa adanya suatu informasi, manusia di dunia ini akan bingung untuk mencapai tujuan, karena untuk tercapainya tujuan juga diperlukan sebuah informasi yang mendukung. Sistem politik suatu negara sangat mempengaruhi susah mudahnya masyarakat mendapatkan informasi yang diperlukan karena jika sistem politik negara tersebut menganut sistem demokrasi maka masyarakat akan cenderung lebih mudah mendapatkannya melalui saluran media massa karena adanya suatu kebebasan pers dan aksesnyas. Suatu kadar informasi yang masyarakat terima bergantung kepada sistem politik negara tersebut, jika ada batasan penyampaian informasi maka kadar informasi yang diterima masyarakat tidak terlalu banyak, tetapi sebaliknya jika negara tidak membatasi penyampaian informasi maka masyarakat akan mendapatkan informasi apa saja, bahkan informasi yang sangat penting seperti permasalahan negara di mana informasi tersebut tidak perlu masyarakat tahu, bisa saja bocor tanpa adanya batasan informasi, masyarakat akan cepat tahu karena hal tersebut. Biar bagaimanapun, hal yang berlebihan dan kekurangan tidaklah baik.masyarakat sendirilah yang mengetahui batas penerimaan informasi bagi dirinya Permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah bukti yang menunjukkan bahwa saluran komunikasi massa yang sistematis memegang peranan penting dalam membentuk pemerintahan yang baik dan pada pengembangan masyarakatnya.

B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana peran saluran media dalam membentuk pemerintahan dengan sistem demokrasi yang baik dan mempengaruhi perkembangan masyarakatnya?

C. Tujuan Makalah ini disusun dengan tujuan untuk: 1. Memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Komunikasi Politik. 2. Mengetahui peran saluran media dalam membentuk pemerintahan dengan sistem demokrasi yang baik dan pengaruhnya pada perkembangan masyarakatnya.

BAB II: LANDASAN TEORI

Teori Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan (Uses and Gratification Theory) kami pilih karena dianggap paling sesuai dengan tema dan judul makalah ini, yaitu Korelasi antara Demokrasi, Saluran Komunikas Massa dan Pembangunan Masyarakat. Selain itu ada Teori Kekuasaan Hukum, yang coba kami sangkut pautkan pembahasannya dengan teori sebelumnya. Teori ini dominan mengutarakan kegiatan-kegiatan penguasa yang harus berdasarkan hukum yang disebut Rule of Law. Perkembangan teori kekuasaan hukum ini melibatkan beberapa ahli seperti Thomas Aquiras, John Locke, Krabe, dan Krenen Berg. Inti dari teori ini adalah antara lain meliputi: 1. Penguasa menjalankan kekuasaan sesuai UUD 2. Penguasa berkuasa sesuai hukum 3. Penguasa berupaya menerapkan open manajemen 4. Pers yang bebas sesuai dengan UUD Negara 5. Adanya kepastian hukum dalam sistem demokrasi 6. Pemilu yang bebas dan rahasia 7. Setiap warga negara diikutkan dalam mekanisme politik 8. Setiap warga negara sama di depan hukum 9. Diperlukan pengawasan masyarakat

Berikut ini adalah penjelasan mengenai teori Uses and gratifications: 1. Pencetus dan Latar Belakang Teori Uses and gratifications untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974 dalam buku The Uses of Mass Communications: Current Perspektives on Gratifications Research. Penelitiannya diarahkan kepada jawaban terhadap pernyataan apa yang dilakukan media untuk khalayak (what do the media do to people?) Diawal dekade 1940-an dan 1950-an sebenarnya para pakar telah meneliti alasan mengapa khalayak terlibat dalam berbagai jenis perilaku komunikasi. Salah seorang ilmuwan yang terlibat adalah Karl Erik Rosengren dengan karyanya yang berjudul Uses and Gratifications: A Paradigm Outlined yang dimuat dalam The Uses of Mass Communication. (Effendy,2003) Lahirnya teori ini juga merupakan kritik terhadap teori peluru (the bullet theory of communication) atau teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory) dari Wilbur

Schramm, walaupun pada akhirnya Schramm sendiri yang meminta pencabutan atas teori ini dengan dukungan Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Dalam teori peluru ini dikatakan bahwa media sangat aktif dan powerfull, sedangkan audien pasif. Sehingga media akan mudah mengenai atau menembus sasaran (audiens). Ini jelas sangan bertolak belakang dengan teori uses and grafitications yang mengatakan bahwa audience itu aktif untuk memilih media mana yang harus dipilih untuk memuaskan kebutuhannya, sehingga audien bisa saja menolak informasi yang diberikan oleh media, jika dia merasa bahwa media tersebut tidak diperlukannya. Denis McQuail (1981) menyebutkan ada dua hal dibalik kebangkitan pendekatan uses and gratifications. Pertama adanya oposisi terhadap asumsi yang deterministik mengenai efek media yang merupakan bagian dari dominannya peran individu yang dikenal dalam model komunikasi dua tahap. Kedua, adanya keinginan untuk lepas dari perdebatan yang kering dan terasa steril mengenai penggunaan media massa yang hanya didasarkan atas selera individu. Artinya pendekatan uses and gratifications memberikan suatu cara alternatif untuk memandang hubungan antara isi mdeia dan audien, serta pengkategorian isi media menurut fungsinya daripada sekedar tingkat selera individu. 2. Asumsi Teori Uses and Gratifications merupakan salah satu teori yang paling terkenal pada bidang komunikasi massa. Teori ini menunjukan bahwa permasalahan utamanya bukan pada bagaimana cara media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi lebih kepada bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Sehingga sasarannya pada khalayak yang aktif yang memang menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus. Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Blumer dan Katz mengatakan bahwa penggunaan media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media (Nuruddin, 2004). Artinya audience (pengguna media) adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi dan berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik dalam usaha selektifitas media berdasarkan suasana hati seseorang. John Fiske (2005) menyatakan bahwa teori uses and gratifications secara tak langsung menyatakan bahwa peran adalah apa yang dibutuhkan oleh khalayak, bukan yang dimaksudkan oleh pengirim. Menurutnya, pendekatan atau teori uses and gratifications adalah suatu teori yang menyatakan bahwa para anggota khalayak memiliki kebutuhan atau dorongan tertentu yang bisa dipenuhi dengan menggunakan sumber-sumber media dan nonmedia atau berpendapat bahwa khalayak berpaling ke

media untuk kepuasan tertentu, menggunakan media massa daripada digunakan oleh media massa, atau suatu studi tentang motif-motif penggunaan media dan ganjaran yang dicari. Dalam melihat media, teori uses and gratifications lebih menekankan pada pendekatan manusiawi. Artinya manusia itu punya otonomi dan wewenang dalam memperlakukan media. Karena khalayak mempunyai banyak alasan untuk

menggunakan media. Selain itu, konsumen mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana mereka menggunakan media (lewat media mana) dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. Karena menurut teori ini mungkin saja media dapat mempunyai pengaruh jahat dalam kehidupan mereka. Seperti diulas Nuruddin (2004), teori uses and gratifications beroperasi dalam beberapa cara sepeti yang akan kita lihat pada bagan dibawah ini: Sumber perumusan kebutuhan yang berhubungan dengan nonmedia : 1. Keluarga, teman-teman 2. Komunikasi interpersonal 3. Hobi 4. tidur Penggunaan media massa : 1. Jenis-jenis media SK, majalah, radio, TV dan film 2. Isi media 3. Terpaan media 4. Konteks sosial dan terpaan media

Lingkungan Sosial : 1. Ciri-ciri demografis 2. Afiliasi kelompok 3. Ciri-ciri kepribadian

Kebutuhan khalayak : 1. Kognitif 2. Afektif 3. Integratif pesonal 4. Integratif sosial 5. Pelepasan ketegangan/mel arikan diri dari kenyataan

Pemuasan media (fungsi): 1. Pengamat lingkungan 2. Diversi/hibur an 3. Identitas personal 4. Hubungan sosial

Bagan tersebut menjelaskan bahwa kebutuhan kognitif adalah kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan informasi, pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan. Kebutuhan afektif, berkaitan dengan peneguhan pengalaman-pengalaman yang estetis, menyenangkan dan emosional. Kebutuhan pribadi secara integratif berkaitan dengan peneguhan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas dan status individual. Kebutuhan sosial secara integratif berkaitan dengan peneguhan kontak dengan keluarga,

teman, dan dunia. Dan kebutuhan pelepasan berkaitan dengan upaya menghindarkan tekanan, ketegangan dan hasrat akan keanekaragaman. Berbicara tentang kebutuhan, biasanya orang akan merujuk kepada hirarki kebutuhan (need hierarchi) Abraham Maslow (1954) dalam Teori Humanisme, yaitu: a. Physiological needs (kebutuhan fisiologis) b. Safety needs (kebutuhan keamanan) c. Love needs (kebutuhan cinta) d. Esteem needs (kebutuhan penghargaan) e. Self-actualization needs (kebutuhan aktualisasi diri) Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan komunikasi massa ini berlandaskan keyakinan bahwa khlayak memiliki sekumpulan kebutuhan yang dicari pemuasannya melalui media massa. Sehingga pengguna mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Fiske (2005) meringkas asumsi teori uses and gratifications sebagai berikut : a. Khalayak itu aktif, bukanlah penerima yang pasif atas apapun yang media siarkan. Khalayak memilih dan menggunakan isi program b. Para anggota khalayak secara bebas menyeleksi media dan program-programnya yang terbaik yang bisa mereka gunakan untuk memuaskan kebutuhannya. Produser media mungkin tak menyadari penggunaan oleh khalayak yang menjadi sasaran program dan anggota khalayak yang berbeda mengkin memanfaatkan program yang sama untuk memuaskan kebutuhannya yang berbeda c. Media bukan satu-satunya sumber pemuasan. Pergi berlibur, olahraga, menari, dan lain-lain digunakan sebagaimana media yang digunakan d. Orang bisa, tahu dibuat bisa, menyadari kepentingan dan motifnya dalam kasuskasus tertentu. (Bagi pengkritik metode ini adalah asumsi yang terlemah. Kritik ini seperti menyatakan bahwa motif yang bisa diartikulasikan seringkali kurang penting dan bahwa menghubungkan khalayak dengan isi program hanya lewat mata rantai kebutuhan-kebutuhan yang rasional dan pemuasan adalah pemaknaan terbatas yang tak bisa diterima). e. Pertimbangan nilai tentang signifikansi kultural dari media massa harus dicegah 3. Aplikasi Teori a. Pemilihan musik sesuai selera. Saat memilih musik kita tidak hanya mengandalkan perasaan tertentu, namun juga berusaha untuk menunjukkan jati diri dan kesadaran sosial lainnya. Banyak jenis musik yang dapat dipilih dan pilihan kita menunjukkan kebutuhan tertentu yang spesifik.

b. Penerimaan akan media-media baru (seperti internet) dan penggunaan media-media lama, bahkan dengan adanya media baru pengganti. Inovasi diadopsi saat media baru pengganti memiliki dan dapat menggantikan fungsi-fungsi media lama tradisional. Contohnya alat komunikasi pager yang tergantikan dengan telepon selular. Atau media TV yang tetap tidak tergantikan oleh telepon selular walaupun telepon selular kini dapat berfungsi seperti TV. Di lain pihak pengguna lama mulai menggunakan internet dan terpaksa mempelajarinya saat ada informasi-informasi yang disalurkan hanya dapat dilihat melalui internet. Contohnya seperti detik.com saat kerusuhan 1998. Koran jelas kurang cepat dan TV terlalu seragam penayangannya, sementara detik.com menawarkan berita yang lebih spesifik, dituangkan tertulis dan dapat diulang. 4. Kritik Terhadap Teori Pada derajat tertentu laporan penggunaan media oleh para pemirsanya memiliki keterbatasan-keterbatasan. Banyak orang tidak benar-benar tahu alasan mengapa mereka memilih media atau saluran tertentu, contohnya anak-anak hanya tahu bahwa mereka menghindari menonton saluran yang menayangkan bincang-bincang orang dewasa, atau film berbahasa asing karena mereka tidak mengerti, tetapi anak-anak tersebut tidak benar-benar sadar mereka berakhir di saluran mana. Walaupun teori ini menekankan pemilihan media oleh para pemirsanya, namun ada penelitian-penelitian lain yang mengungkapkan bahwa penggunaan media sebenarnya terkait dengan kebiasaan, ritual, dan tidak benar-benar diseleksi [4]. Teori ini mengesampingkan kemungkinan bahwa media bisa jadi memiliki pengaruh yang tidak disadari pada kehidupan pemirsanya dan mendikte bagaimana seharusnya dunia dilihat dari kacamata para perancang kandungan isi dalam media. Namun sebuah teori yang menyatakan bahwa pemirsa media sebenarnya hanya menggunakan media untuk menyalurkan pemenuhan akan kepuasannya sejujurnya tidak secara penuh dapat menilai kekuatan media dalam lingkup sosial di masa kini. Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dikatakan tidak sempurna saat digunakan untuk menilai media yang telah digunakan secara ritual (kebiasaan). Namun teori ini tetap tepat untuk digunakan untuk menilai hal-hal spesifik tertentu yang menyangkut pemilihan pribadi saat menggunakan media.

BAB III: PEMBAHASAN

A. Pemerintahan Demokratis Pertumbuhan demokrasi di pemilihan memberikan peluang bagi berbagai potensi pembangunan manusia. Pada kuartal terakhir diakhir abad lalu menjadi saksi hak-hak ekspansi politik dan kebebasan warga negara di seluruh dunia. Sejak awal gelombang ketiga dari demokratisasi tahun 1974, menyebutkan bahwa jumlah pemerintah yang menganut aliran demokratis di seluruh dunia telah berlipat tiga. Di berbagai negara seperti Ceko, Meksiko, dan Afrika Selatan telah mengalami perubahan radikal dari sistem politik mereka melalui pembentukan partai-partai politik yang lebih efektif, penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, dan pers yang lebih mandiri dan majemuk. Banyak harapan perkembangan ini akan membawa perubahan yang baik seperti misalnya bagi pembuat kebijakan, sehingga lebih memperhatikan kebutuhan rakyatnya, dan pergantian kekuasaan pemerintah dapat dilakukan dengan proses pemungutan suara, jika warga tidak puas dengan kinerja mereka. Tapi dalam prakteknya, banyak pemilu dengan sistem demokratis ini tetap rapuh dan buruk, sering dicampurkan dengan masalah konflik etnis dan terganggu oleh kesenjangan ekonomi, dengan kekuasaan eksekutif yang berlebihan di tangan satu partai utama dan bakan oleh tokoh tertentu. Kunci permasalahan yang akan dibahas di sini adalah apakah ada bukti yang menunjukan bahwa saluran komunikasi massa yang sistematis memegang sebuah peranan penting dalam membentuk pemerintahan yang baik dan pembangunan akhlak manusia, seperti yang ahli teori liberal telah lama mengklaim.

B. Keterlibatan Saluran Komunikasi Massa Apa peran media massa dalam membangun pemerintah yang baik, bertanggung jawab dan membangun masyarakat yang sadar informasi? Pencetus teori liberal sejak dari Milton, Locke dan Madison, lalu John Stuart Mill berargumen bahwa jurnalistik (media) yang yang bebas dan mandiri teori liberal dari Milton, Locke dan Madison, sampai John Stuart Mill beragumentasi bahwa pers yang bebas dan mandiri disetiap negaradapat memaninkan peran yang penting dalam proses demokrasi dengan berkontribusi pada gerakan yang menyuarakan kebeasan berekspresi, berpikir, dan berkumpul, menguatkan kemampuan memberi responnya pemerintah bagi semua rakyatnya, juga menyediakan sebuah wadah untuk politik berekpresi. Bukan hanya untuk pemerintah, hal ini juga berlaku bagi pembangunan manusia. Prespektif ini dijadikan patokan bagi pendapat Amartya Sen bahwa: poltik yang merdeka juga dapat

berpengaruh bagi perkembangan dan pembangunan ekonomi, tingkat pendapatan per kapita, melalui nilai-nilai intrinsiknya, keberpihakan pada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, dan berdampak pada penyebaran informasi masalah kebutuhan ekonomi. Jaminan kebebasan berekspresi dianggap sebagai hak dasar sebagai manusia yang dicantumkan pada Universal Declaration of Human Rights (diadopsi oleh United Nations tahun 1948). Contoh mudahnya, dalam ekonomi pasar, konsumen perlu informasi yang akurat dan dapat diandalkan untuk membandingkan dan mengevaluasi produk dan jasa. Di pasar politik, pemilih membutuhkan informasi untuk menilai catatan pemerintah dan untuk memilih diantara kandidat alternatif maupun kandidat dari partai. Jika warga negara kurang diinformasikan, jika mereka tidak memiliki pengetahuan praktis, mereka mungkin salah dalam memberikan suara dan tidak sesuai dalam mencerminkan kepentingan mereka (Lupia dan McCubbins 1998). Selain itu, para pembuat kebijakan memerlukan informasi yang akurat tentang warga, menanggapi keprihatinan umum, untuk memberikan layanan yang efektif memenuhi kebutuhan manusia nyata, dan juga, dalam demokrasi, untuk memaksimalkan dukungan pemilihan dikembalikan ke kantor. Informasi dalam pasar politik berasal dari dua sumber utama. Interaksi pribadi umumnya (termasuk politik informal, face-to-face) percakapan dengan teman, keluarga dan kolega; kampanye tradisional, rapat umum; forum komunitas; dan pertemuan terbuka. Tapi saluran ini telah dilengkapi dalam kampanye modern oleh media massa, termasuk media cetak (surat kabar dan majalah), siaran elektronik (berita radio dan televisi), dan juga lebih baru-baru ini ada teknologi terkait dengan internet (termasuk situs web politik). Munculnya internet merupakan pendukung perkembangan yang sangat penting untuk proses demokratisasi, karena untuk potensi interaktif, hubungan horisontal yang dibentuk internet ini mendobrak batas-batas ruang dan waktu, dan memfasilitasi suara oposisi, meskipun distribusi yang belum merata, teknologi ini berkembang di seluruh dunia (Norris 2001 bab 1). Teori-teori liberal klasik menyarankan bahwa pers bebas berfungsi untuk menguatkan proses demokratisasi dan pembangunan manusia dalam peran serta mereka, di mana saluran komunikasi massa berfungsi untuk mempromosikan transparansi pemerintah dan pengawas publik yang berwenang, menyoroti kegagalan kebijakan pemerintahan oleh pejabat publik, korupsi dalam peradilan, dan skandal di sektor korporasi (investigasi dapat membuka catatan pemerintah untuk pengawasan eksternal dan evaluasi kritis, dan memegang otoritas yang bertanggung jawab atas tindakan

mereka, apakah itu sektor publik lembaga-lembaga, organisasi nirlaba, atau perusahaan swasta. Saluran komunikasi mencerminkan keadaan sosial dan budaya dalam setiap masyarakat, dalam keseimbangan yang adil dan tidak memihak, kemudian dalam beberapa kepentingan dan suara-suara yang terdengar di musyawarah publik. Peran ini sangat penting selama kampanye politik. Akses penyiaran berita di televisi dengan adil oleh kandidat partai oposisi, dan kelompok sangat penting bagi pemilu yang kompetitif, bebas, dan adil. Hal ini penting terutama untuk stasiun televisi milik negara atau swasta harus terbuka untuk pluralitas sudut pandang politik dan sudut pandang selama kampanye. Tanpa memihak pemerintah. Apa bukti empiris untuk mendukung klaim yang dibuat dalam teori-teori liberal? Diasumsikan cukup sederhana dan langsung keintinya. Media membuat mudah hubungan antara penyebaran bentuk modern komunikasi massa, pembangunan sosial-ekonomi dan proses itu diambil dari demokratisasi. Studi awal akhir 1950-an dan awal 1960-an oleh Lerner, Lipset, Pye dan Cutright, antara lain; menyarankan bahwa penyebaran dari komunikasi massa mempunyai langkah yang berurutan dalam proses pembangunan. Dalam perspektif ini, urbanisasi dan penyebaran masyarakat melek huruf menyebabkan meningkatnya penggunaan teknologi modern seperti telepon, surat kabar, radio dan televisi, dan difusi media massa meletakkan dasar bagi warga melek huruf yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan demokratis (Lerner 1958; Lipset 1959; Pye 1963; McCroned dan Cnuded 1967). Berdasarkan analisis sederhana korelasi, menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara penyebaran komunikasi dan perkembangan politik, Daniel Lerner berteori: kapasitas untuk membaca, pada awalnya diakuisisi oleh orangorang yang relatif sedikit, membekali mereka untuk melakukan tugas-tugas bervariasi yang diperlukan dalam masyarakat modern. Bukan sampai tahap ketiga, ketika teknologi rumit perkembangan industri cukup baik maju, masyarakat mulai menghasilkan surat kabar, jaringan radio, dan motion pictures pada skala besar. Ini mempercepat penyebaran pemberantasan buta aksara. Namun pada akhir 1960-an dan awal 1970-an asumsi bahwa modernisasi terlibat dalam proses serangkaian langkah-langkah yang berurutan secara bertahap, jatuh dan sudah dianggap kuno, keluar dari mode. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pandangan yang lebih skeptis dari janjijanji modernisasi termasuk (1) kompleksitas pembangunan manusia yang jelas di berbagai belahan dunia, (2) kemunduran besar untuk demokrasi dengan second reverse wave yang dialami oleh Amerika latin, Afrika sub-Sahara, dan Asia, dan (3) pengakuan

pertumbuhan yang mengontrol surat kabar dan televisi penyiaran dapat digunakan secara efektif untuk rezim otoriter dan memperkuat kekuatan perusahaan multinasional.

C. Pembatasan Pers Dalam teori liberal, kekuatan demokrasi dalam praktek saluran komunikasi dapat dan sering gagal karena berbagai alasan seperti usaha eksplisit propaganda pemerintah, sensor resmi, pembatasan hukum kebebasan berekspresi dan publikasi undang-undang tentang pencemaran nama baik. Ada dua contoh dibawah ini : 1. Kontrol negara terhadap infromasi, khususnya melalui peraturan negara dan kepemilikan radio dan siaran televisi, dapat memperkuat ideologis hegemoni untuk rezim yang otokratis, dan ini mungkin memiliki konsekuensi negatif guna pembangunan sosial ( Djankov al.2011). 2. Berdasarkan data statistik yang dikumpulkan oleh organisasi kebebasan media, menunjukkan bahwa setiap tahun wartawan profesional tewas atau cedera dalam pelatihan pekerjaan mereka. Di banyak dunia, wartawan akan menghadapi ancaman harian dari bahaya perang, seperti; konflik internal, kudeta, dan terorisme. Dalam prakteknya, kelompok dengan suara yang terpinggirkan, merasa dirugikan, dan berusaha menuntut pertanggungjawaban pemerintah kepada warganegara. Yang pada akhirnya media massa berfungsi untuk memperkuat kontrol kepentingan pemerintah. Bahaya panjang dari praktek ini adalah rasa kecewa dari perwakilannya dengan lembaga, menghambat proses demokratisasi dan pembangunan manusia.

D. Perbandingan Sistem Media Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memahami bagaimana peran sistem media dalam pembangunannya dengan membandingkan dengan sistem media di banyak negara. Ada masalah, bisa dibilang, merupakan masalah besar dalam upaya untuk menggeneralisasi dari satu atau dua negara dan untuk memetakkan hubungan yang lebih luas. Lipset telah lama menekankan, khususnya Amerika, dalam sistem politik yang aptikal banyak negara (Lipset 1990; Lipset 1996). Nilai-nilai individualistis dan struktur konstitusional tertentu diciptakan pada berdirinya negara-negara tertentu yang menetapkan lingkungan budaya tertentu, seperti warisan sejarah dan struktur institusional. Penelitian ini dicontohkan oleh kelompok Euromedia dengan membandingkan komunikasi-komunikasi politik dalam demokrasi Eropa Barat. Di Eropa Barat sendiri sistem media secara bertahap berkembang pada awal abad 19 dan awal abad 20,

mengikuti proses jangka panjang dari industrialisasi. Tidak seperti beberapa bidangbidang perbandingan politik, seperti studi partai, sistem pemilihan, atau konstitusi, komunikasi politik tidak memiliki tipologi konseptual yang kuat dan mapan. Klasifikasi yang paling terkenal di media sistem, Siebert, Peterson, dan Schramm dengan Empat Teori Pers yang dikembangkan di puncak era Perang Dingin. Perbandingan untuk memahami peran sistem media ini mencakup beberapa negara yang paling makmur di dunia seperti Swedia, Jerman, dan Amerika Serikat; yang ditandai dengan tingkat menengah pembangunan manusia, dan ekonomi transisi ditandai oleh negara-negara seperti Taiwan, Brasil, dan Afrika Selatan, serta sebagai masyarakat miskin pedesaan, seperti India dan Cina. Beberapa negara bagian diatur oleh rezim otoriter sementara yang lain telah mengalami konsolidasi cepat demokrasi dalam dekade terakhir. Republik Ceko, Latvia, dan Argentina dalam peringkat sama-sama "bebas" sebagai negara Eropa Barat dengan tradisi panjang demokrasi, seperti Belgia, Perancis, dan Belanda (Freedom House 2000). Dalam sistem media tertentu, media dapat memperkuat tata pemerintahan yang baik dan mempromosikan hasil pembangunan yang positif dengan hasil yang paling efektif di bawah dua kondisi: dalam masyarakat dimana didirikan saluran dari komunikasi massa yang bebas dan independen dari kepentingan; dan disamping itu ada kemudahan mengakses informasi secara meluas oleh masyarakatnya. Alasannya adalah bahwa kebebasan pers dengan sendirinya tidak cukup untuk menjamin hasil pembangunan yang positif jika kelompok yang kurang beruntung dan terpinggirkan oleh masyarakat dikucilkan dari sumber informasi yang diberikan oleh media massa. Sebagai contoh, dampak internet pada demokrasi dan kemajuan sosial akan terus dibatasi jika tidak ada penutupan kesenjangan digital, dan jika sumber daya politik online, serta akses terhadap informasi dasar tentang pekerjaan, kesempatan pendidikan, berita, dan jaringan sosial, tidak tersedia bagi penduduk miskin banyak di sebagian besar wilayah Sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin (Norris 2001), jika media cetak tetap tunduk kepada kepentingan, jika berita televisi tidak melaporkan kegagalan kebijakan pemerintah, dan jika hanya ada sedikit situs Web yang mencerminkan kekhawatiran dari kelompok lokal dan bahasa minoritas dalam masyarakat miskin. Untuk saluran komunikasi berfungsi secara efektif sesuai dengan harapan teori liberal, kita dapat berteori bahwa akses luas dan independensilah yang diperlukan, Tingkat pengaruh saluran komunikasi dipengaruhi oleh seberapa luas politisi dapat menjangkau publik melalui pers, serta seberapa jauh warga dapat menggunakan saluran ini untuk belajar tentang urusan publik. Semakin luas tingkat akses ke berita dari koran

harian, radio, televisi dan internet, maka semakin besar potensi dampak media bagi mengaksesnya. Akses ke komunikasi massa yang paling umum adalah pers cetak (koran dan majalah), media penyiaran tradisional elektronik (radio dan televisi), dan teknologi baru yang berhubungan dengan internet (termasuk email, dan World Wide Web). Kebebasan pers dapat diharapkan mempengaruhi kebebasan berpendapat dan akuntabilitas pemerintah. Seberapa jauh ia berfungsi untuk memperkuat kekuatan dan kontrol negara, diukur dengan berapa banyak keragaman isi berita dipengaruhi oleh struktur industri berita, keputusan hukum dan administrasi; tingkat pengaruh politik atau kontrol, tidak terpengaruh ekonomi yang diberikan oleh pemerintah atau pengusaha swasta, dan insiden yang sebenarnya melanggar otonomi pers, termasuk bagian sensor, pelecehan dan ancaman fisik untuk wartawan. Penilaian kebebasan pers membedakan antara siaran dan media cetak, dan peringkat yang dihasilkan dinyatakan sebagai skala 100 poin untuk setiap negara di bawah perbandingan.

E. Peta Sistem Media

Gambar di atas memperlihatkan distribusi 17 dari 135 negara yang diteliti dalam studi ini. Tersebarnya masyarakat di sudut kanan atas menunjukkan didalamnya banyak demokrasi yang sudah tua, serta beberapa negara demokrasi baru seperti Thailand, dan Venezuela, pola liberal kebebasan pers berkaitan erat dengan akses media yang luas. Sebaliknya dalam masyarakat yang terletak di sudut kiri atas peta, dicontohkan oleh Singapura, Mesir, Arab Saudi, dan Rusia, ada akses yang relative luas untuk media massa seperti televisi, namun kebebasan persnya terbatas, menunjukkan potensi terbesar untuk saluran berita dalam negeri hanya digunakan oleh pemerintah, lembaga resmi, atau bahkan sebagai propaganda negara, dengan lingkup yang luas. Sistem media seperti di India, Filipina, Boswana, Namibia, berlokasi disudut kanan bawah gambar plot, ditandai dengan pers independen berkembang dan belum ada akses

publik pada koran, televisi, dan internet, karena masalah melek huruf dan kemiskinan. Di negara-negara seperti ini, media diharapkan memiliki dampak positif pada pluralisme dan akuntabilitas pemerintah. Terakhir adalah negara-negara yang tersebar di sudut kiri bawah, seprti Angola, Rwanda, Kamboja, dan Banglades, dimana ada pembatasan besar pada kebebasan pers karena ditakutkan kekuatan ini mampu menentang pemerintahan yang berwenang, namun peran media juga terbatas sebagai saluran propaganda negara karena tingkat terbatas akses massa untuk surat kabar, televisi, dan internet. Di negaranegara ini, bentuk-bentuk komunikasi tradisional seperti kampanye, rapat umum lokal, poster dan pertemuan masyarakat, kemungkinan besar akan lebih penting dalam mendukung kegiatan politik di sana.

F. Dampak Sistem Media Pada Tata Pemerintahan Yang Baik dan Pembangunan Manusia Apa dampak dari pola sistem media pada pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia? Kita dapat menarik kesimpulan dampaknya pada studi yang mengembangkan persepsi subjektif dari indikator pemerintahan yang baik, berdasarkan kriteria stabilitas politik, penegakan hukum, efisiensi pemerintahan dan tingkat korupsi. Stabilitas politik penting karena hal ini mencerminkan rotasi pemerintahan, kontinyuitas dalam praktek konstitusional, dan kurangnya kekerasan politik akibat aksi terorisme. Aturan hukum menyangkut independensi dan efektifitas peradilan dan pengadilan, dan persepsi kejahatan kekerasan atau tanpa kekerasan. Efisiensi pemerintahan diukur dengan persepsi kualitas pelayanan publik dan independensi pelayanan sipil dari tekanan politik. Terakhir, persepsi dari cerminan tingkat korupsi memperlihatkan keberhasilan masyarakat dalam mengembangkan aturan yang adil, tansparan, dan dapat diprediksi untuk interaksi sosial dan ekonomi. Teori-teori liberal mengklaim bahwa mempromosikan proses kebijakan publik yang lebih efisien jika dengan mempublikasikan masalah sosial dan mengartikulasi keprihatinan di umum, komunikasi massa juga berfungsi untuk membuat pemerintahan lebih responsif terhadap kebutuhan dasar manusia. Hasil konfirmasi bahwa kebebasan pers, dan akses ke media masa, sangat terkait dengan hasil pembangunan yang positif, diukur dengan pendapatan, pemerataan ekonomi, kematian bayi yang rendah, harapan hidup besar, pengeluaran yang lebih tinggi dalam kesehatan masyarakat dan pendidikan, dan melek huruf.

Sangat kontras sekali, Negara-negara yang kurang memiliki pers yang independen dan akses publik terhadap komunikasi massa, mencetak konsistensi buruk disemua indikator ini. Media adalah sesuatu yang penting, baik untuk murni kepentingannya sendiri maupun untuk sebuah pembangunan.

G. Bagaimana dengan Indonesia? Tidak kurang dari 25 kabinet yang memerintah indonesia mengalami kegagalan, hanya 7 kabinet yang berhasil memerintah selama 12 sampai 23 bulan. Lalu terdapat 12 kabinetyang berumur antara 6 sampai 11 bulan. Dan 6 buah kabinet yang hanya bisa bertahan selama 1 sampai 4 bulan. Salah satu gambaran ketidakstabilan politik Indonesia, yakni dilihat dari kesempatan yang tersedia bagi setiap pemerintah (kabinet) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dalam masa itu terdapat 45 buah protes melalui demonstrasi, 83 huru-hara dan 615.000 kematian yang disebabkan kekerasan politikdiantara tahun 1948 dan 1967. Memperlihatkan betapa rapuhnya kestabilan politk Indonesia.1 Kalau ketidakstabilan yang terdahulu lebih bersumber pada kelemahan elit untuk bekerjasama satu sama lain, maka yang terakhir ini lebih disebabkan belum melembaganya struktur dan prosedur politik yang mampu memberi tempat kepada masyarakat luas untuk mengambil bagian di dalam proses politik. Ketidakstabilan politik yang dialami oleh indonesia memperkecil keleluasaan bagi negara ini untuk mengadakan perbaikan-perbaikan ekonomi, sosial dan politik. Oleh karena itu adalah logis program politik orde baru pada awal kekuasaannya untuk menegakkan kestabilan politik untuk memberi landasan kepada pembangunan. Akan tetapi perlu pula dipersoalkan apa sifatsifat stabilitas politik yang mungkin ditegakkan di Indonesia dan bagaimana yang memungkinkan terlaksananya pembangunan luasnya. Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/ pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Hal ini terjadi di Indonesia, dimana kekuasaan di satu tangan yang dominan terkadang membuat jalur komunikasi antara pemerintah dan1

pembangunandalam arti yang seluas-

Arbi Sanit. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta

rakyatnya tersendat, dan peran media mass (baca: pers) dihambat oleh sejumlah peraturan. Sebagian mengatakan bahwa peraturan seperti ini sangat diperlukan bagi pelaksaan sebuah negara. Namun di sisi lain, peraturan ini semacam mengekang kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, juga mendapatkan informasi, seperti tertera dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 28 ayat 1. Robert E. Lana & Ralph L. Rosnow dalam bukunya Media, Politics and Democracy menyatakan bahwa: there is an obvious need for a new conceptual approach whereby goals are set fro the media. Without limitation of the freedom to discuss or present anything acceptable to reasonable people, the media should be judged on how well they systematically attempt to cover essential stories, that is, on how adequately subject connected to poverty, children, health, education, religion, the environment, research, and so forth, are covered on a continuing basis in some systematic fashion. No less important is the consideration of how well the media resist the tempation to glorify actions which, by any reasonable interpretation, are and have been considered undesirable and threatening to personal liberty and national cohesion. Media massa, baik dari sisi positif maupun negatifnya, adalah agen perubahan yang paling dinamis pendidikan sosial dan politik adalah dasar yang mempengaruhi paling kuat dari apa yang media harus gambarakan dan hargai sebagai elemen dalam komunikasi yang paling penting.2 Di Indonesia, peran media pun dirasakan sangat kuat. Melalui media, pemerintah dapat mempublikasikan program-programnya. Melalui media, lembaga-lembaga, baik dari pemerintah maupun swasta, ditunjang kegiatannya. Melalui media yang dapat diakses, rakyat dapat mengetahui kondisi negara dan lingkungannya untuk mempertimbangkan tindakannya. Perlu ditekankan di sini bahwa media yang sedari bab awal dimaksud bukan hanya media dalam arti sempit, seperti berupa media cetak dan elektronik (televisi, koran, radio). Tapi media, saluran apapun yang dapat mendukung pelaksanaan berbangsa dan bernegara. Bisa berupa penyuluhan, seminar, selebaran atau bahkan pesan singkat. Indonesia yang menganut paham demokrasi untuk kenegaraannya saat ini telah sedikit banyak mengalami apa yang telah pembahasan sebelumnya singgung. Saat pemerintahan Presiden Soeharto, informasi dari pemerintah sangatlah banyak, namun karena taraf melek huruf saat itu masih tergolong rendah, maka masyarakat yang dapat mengakses infomasi itu sangatlah minim. Kecuali saat ada tindakan jemput bola dari pemerintah, memberikan penyuluhan dan datang ke lokasi. Karena pada tindakan pemerintah saat itu sangat terprogram, dengan adanya REPELITA, masyarakat cenderung merasakan dampak positifnya ketimbang mengetahui bahwa ternyata kabinet pada waktu2

Robert E. Lana & Ralph L. Rosnow. Media, Politics and Democracy. 1976. Philadelphia.

itu banyak melakukan korupsi, seperti yang diketahui belakangan ini. Namun pers masih sangat terkekang, karena adanya peraturan bahwa tidak doperbolehkan memberitakan hal yang buruk tentang pemerintah. Kalau ada yang seperti itu pada jaman saya, saya tangkap, seperti yang Alm. Sudomo katakan, salah satu anggota kabinet Soeharto hpada saat kejayaannya, hal ini merujuk pada oknum-oknum yang menentang pemerintah. Mari kita bandingkan dengan pemerintahan Presiden Susilo saat ini, dimana pers sudah bebas, akses informasi tersedia dimana-mana, masyarakat yang melek huruf sudah lebih banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Namun justru hal ini membuat kondisi politik dipemerintahan seringkali kacau. Sesuai teori uses & gratification, dimana khalayak berhak memilih informasi mana yang ingin mereka konsumsi, masyarakat saat ini cenderung mengkonsumsi informasi yang tersedia di lingkungannya tanpa ada filter. Sehingga isu-isu tidak benar mengenai pemerintahpun ditelan bulat-bulat dan menimbulkan ketidakstabilan kondisi negara, terutama politik.

BAB IV: PENUTUP

Kesimpulan Inti dari makalah ini adalah, pertama: Bahwa media massa akan memiliki dampak positif pada demokratisasi dan pembangunan manusia jika ia berfungsi efektif sebagai pengawas pemerintah dan sebagai forum umum yang memfasilitasi aspirasi masarakat dalam perdebatan publik. Namun dalam prakteknya, pers ini sering terbatas dalam peran-perannya, dan di banyak rezim yang otoriter, jauh dari melayani kebutuhan masyarakat. Studi menunjukkan bahwa hal ini (peran media) diperlukan tapi masih jauh dari kata cukup. Media memperkuat sistem pemerintahan yang baik dan mempromosikan hasil perkembangan positif pemerintah yang paling efektif di bawah dua kondisi: (1) saluran komunikasi massa harus independen dan bebas dari kepentingan-kepentingan satu atau beberapa pihak, (2) informasi disebarkan dengan luas dan masyarakat dapat dengan mudah mengaksesnya. Kedua, masyarakat tidak serta merta menerima informasi yang ada di sekitarnya. Seperti yang teori uses and gratifications ungkapkan, khalayak (dalam konteks ini adalah masyarakat) bukanlah sesuatu yang pasif melainkan aktif. Mereka berhak memilah-milah berita mana yang pantas dan sesuai ia konsumsi. Dengan demikian, yang diperlukan di sini adalah akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk meraih informasi. Tapi tetap dengan catatan, filter atau penjaringan informasi perlu dilakukan sebelum informasi disebarkan dan akhirnya diterima khalayak. Tentunya kita tidak ingin, rahasia negara diketahui masyarakat, karena hal ini akan menimbulkan goncangnya stabilitas politik dan berdampak pada setiap aspek berbangsa dan bernegara seperti: ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Ketiga, makalah ini memang memfokuskan diri pada sistem pemerintahan demokratis. Namun tidak berarti pada sistem pemerintahan yang lain, media massa tidak dapat mempengaruhi kadar pembangunan pemerintahan dan masyarakat yang baik. Pada negara berpaham otoriter, misalnya. Saluran komunikasi massa akan dipakai secara maksimal oleh pemerintah untuk menyebarluaskan program dan pengumuman. Hal senada akan terjadi pada sistem pemerintahan komunis, dimana jargon satu rasa dan sama rata selalu dikedepankan. Apalagi paham liberalisme yang identik dengan kebebasan. Informasi ada dimana-mana, akses untuk mendapatkannya sangat mudah, saluran komunikasi massa tak hanay diakai oleh pemerintah ke rakyatnya namun juga dari rakyat ke pemerintah sebagai aksi timbal balik dan pertisipasi, juga antar rakyat sebagai warga negara yang memiliki hak untuk membuat infromasi. Darimana masyarakat tetap memiliki rasa cinta tanah air jika bukan dari perbuatan pemerintahnya sendiri yang membuat mereka kerasan tinggal di negara itu.

Keempat, studi menegaskan bahwa negara-negara dengan sistem media yang dicirikan oleh sistem akses kemasyarakat yang luas dapat menekan tindakan korupsi dan tentu saja menekan biaya administrasi yang besar. Selain itu, stabilitas politik terjaga, aturan hukum terwujud dengan lebih efektif, serta kehidupan sosial lebih terjamin, seperti; pendapatan per kapita lebih tinggi, angka buta huruf berkurang, kesenjangan ekonomi yang lebih rendah, tingkat kematian bayi yang lebih rendah, dan penggunaan anggaran pemerintah untuk pos kesehatan dan pendidikan lebih besar. Kelima, sesuai dengan Rule of Law kebebasan merupakan hal yang penting, meski bukan berarti untuk didewakan. Bebas yang bertanggung jawab. Bebas dengan peraturan. Bebas tapi sopan, seperti peraturan yang sering kita temui dalam melakukan perkunjungan atau aktifitas sehari-hari. Itulah yang ideal terjadi dalam sebuah pemerintahan. Peraturan tetap dibuat dengan mempertimbangan semua aspek kenegaraan, tanpa melupakan hakikat manusia, yang membangun pemerintahan itu. Yaitu aktualisasi diri. Manusia itu sendirilah yang paling memahami kebutuhannya dan akan berusaha untuk memenuhinya. Pemerintahan sebagai wadah pengaturan sebuah negara merupakan objek yang tepat bagi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Mereka yang butuh informasi dapat mengaksesnya sesuai peraturan yang ditetapkan pemerintah (seperti adanya UU Pornografi), mereka yang ingin berpartisipasi dalam pemerintah dapat menyampaikan aspirasinya melalui wakil rakyat atau secara langsung lewat media-media massa, mereka yang membutuhkan pembelaan atau perlindungan juga dapat meminta layanan pemerintah karena setiap warga negara sama di depan hukum. Semua hal tersebut dapat terlaksana baik, dengan catatan semua faktor yang terlibat dalam suatu negara dapat dengan baik pula memahami keberadaannya sebagai faktor penentu, apakah negara akan berjalan baik atau tidak. selanjutnya bergantung pada pribadi masing-masing, akan bertindak seperti apa.

DAFTAR PUSTAKA

Rakhmat, Jalaluddin. 2001, Psikologi Komunikasi, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung Richard West & Lynn Turner. 2008, Pengantar Ilmu Komunikasi, Analisis dan Aplikasi, Edisi 3, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta (Terjemahan dari: Introducing Communication Theory : Analisys and Aplication, tahun 2007) Robert E. Lana & Ralph L. Rosnow. 1976, Media, Politics and Democracy, Philadelphia Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, PT Raja Grafindo Perkasa, Jakarta