kompetensi hakim agama dalam penyelesaian...
TRANSCRIPT
KOMPETENSI HAKIM AGAMA DALAM PENYELESAIANSENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN
Oleh :
IRPAN
NIM : 109044100034
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
i
KOMPETENSI HAKIM AGAMA DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
IRPAN
NIM : 109044100034
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
v
ABSTRAK
IRPAN. NIM: 109044100034. Kompetensi Hakim Agama dalamPenyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas IslamNegeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2017 M. xii + 87 halaman + lampiran.
Kompetensi yang dimiliki oleh Hakim Agama dalam penyelesaian sengketaekonomi syariah di Pengadilan Agama masih sering diragukan oleh masyarakat,karena sebelum munculnya kewenangan baru ekonomi syariah, para Hakim diPengadilan Agama hanya terfokus pada perkara-perkara yang berkaitan denganhukum keluarga, seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, dan selainnya. SementaraHakim dalam kedudukannya sebagai aktor utama Pengadilan tidak boleh menolakperkara-perkara yang menjadi kewenangannya dengan alasan hukum tidak ada atautidak jelas. Regulasi yang mengatur terkait ekonomi syariah masih sangat terbatas,sehingga para Hakim Agama dituntut harus memiliki kompetensi khusus agar dapatmenyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tentang kompetensi yang harusdimiliki oleh Hakim Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah diPengadilan Agama Jakarta Selatan, sehingga dapat merubah paradigma yang selamaini masih meragukan tentang kualitas dan kapabilitas para Hakim Agama dalampenyelesaian sengketa ekonomi syariah. Penelitian ini merupakan jenis penelitianlapangan (field research) dengan pendekatan yuridis normatif. Data-data yangdigunakan meliputi data primer dan skunder yang dikumpulkan melalui metodeinterview dan studi dokumentasi. Data-data tersebut diidentifikasi dan dianalisamelalui analisa data kualitatif, kemudian menguraikan hasil analisa dengan penyajianyang menggunakan metode deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian, kompetensi yang harus dimiliki oleh HakimAgama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama, palingtidak harus mampu memahami norma-norma hukum ekonomi syariah, harus mampumenerapkan hukum sebagai instrumen dalam mengadili perkara ekonomi syariah, danmampu melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mewujudkan keadilan,serta harus mampu menerapkan pedoman beracara dalam mengadili perkara ekonomisyariah. Sedangkan sebelum aturan mengenai kompetensi tersebut, Hakim Agamaharus memahami tentang dasar-dasar fiqh muamalah dan mampu menyesuaikannyadengan perkembangan ekonomi syariah itu sendiri agar dapat dinyatakan telahberkompeten untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama.
Kata Kunci : Kompetensi Hakim dan Penyelesaian Sengketa Ekonomi SyariahPembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.A.Daftar Pustaka: 1989 s.d 2013
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحيموعلى الھ واصحابھ اجمعینء والمرسلینالة والسالم على اشرف اال نبیاوالصرب العالمینالحمد
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia serta kenikmatan yang sangat besar kepada semua hambaNya, khususnya
nikmat kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada Penulis sehingga dapat
menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, mulai dari mengikuti aktivitas
perkuliahan dan aktivitas lainnya, sampai menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Sang kekasih Allah, Baginda
Nabi Muhammad SAW, yang telah bersusah payah mereformasi kehidupan manusia
dari zaman kebodohan sampai zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti
saat sekarang ini. Allohumma shalli ‘ala sayyidina muhammad, wa’ala alihi wa
shohbihi ajma’in. Semoga kita selalu mendapatkan syafa’at Beliau, mulai sekarang
dalam kehidupan di Dunia sampai saat hari penghakiman kelak. Amiin !
Alhamdulillah, penelitian ini dapat terselesaikan dengan izin Yang Maha Esa
(YME), dan tentunya tidak terlepas dari kontribusi serta motivasi berbagai pihak,
khususnya kedua Orang Tua dan saudara-saudari Penulis yang senantiasa membantu
dan mendo’akan Penulis, serta selalu menyemangati dalam menghadapi segala
kesulitan dan tantangan dalam menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, Penulis juga
tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada para pihak lainnya yang juga turut
serta berperan dalam membantu dan meningkatkan kedewasaan pemikiran Penulis
serta turut memberikan motivasi kepada Penulis semasa studi sampai menyelesaikan
skripsi ini. Oleh sebab itu, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
vii
2. Dr. H. Abdul Halim, MA., dan Arif Purqon, MA., selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga turut membantu
memberikan pelayanan akademik serta selalu memotivasi Penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
3. Dr. H. Abdul Halim, MA., selaku pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu serta memberikan masukan dan arahan kepada
Penulis dalam proses penyusunan skripsi dari awal sampai selesai;
4. Dewi Sukarti, MA., selaku Pembimbing Akademik yang selalu
memberikan arahan dan motivasi bagi Penulis selama masa studi;
5. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan
seluruh staff yang telah banyak membantu dan memberikan pencerahan
serta memberikan fasilitas bagi Penulis selama menjalani studi di
Kampus yang luar biasa ini;
6. Para Pustakawan di Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan referensi
bagi Penulis, mulai dalam pemenuhan tugas-tugas perkuliahan sampai
pada proses penulisan skripsi ini;
7. Kawan-kawan di Konsentrasi Peradilan Agama dan Administrasi
Keperdataan Islam angkatan 2009, konsentrasi Double Degree angkatan
2011, dan kawan-kawan satu kelas di Program Studi Ilmu Hukum
angkatan 2008 s.d 2010, serta teman-teman KKN GARUDA 2012, yang
berjuang bersama dalam memperluas wawasan keilmuan, berdiskusi
bersama dan menambah pengalaman;
8. Keluarga Besar HMI Cab. Ciputat, LKBHMI Ciputat, dan HMI
Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah banyak memberikan
ilmu-ilmu dan kematangan dalam berorganisasi, serta memperluas
viii
wawasan di bidang hukum dan bidang-bidang keilmuan lainnya bagi
Penulis;
9. Seluruh teman-teman seperjuangan Penulis tanpa terkecuali yang banyak
membantu dan menyemangati Penulis sejak pertama masuk kuliah
sampai dapat menyelesaikan studi di kampus hijau ini.
Akhirnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
serta berperan memberikan kontribusi, dukungan dan motivasi bagi Penulis dalam
menjalani masa-masa studi sampai dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang
tentunya tidak dapat Penulis tuliskan semua nama-namanya disini. Semoga Tuhan
YME membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang berlipat ganda dan senantiasa
memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat kepada kita semua. Amiin !
Jakarta, 11 April 2017
Penulis
Irpan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. iPERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... iiLEMBAR PENGESAAN PENGUJI.................................................................. iiiLEMBAR PERNYATAAN................................................................................. ivABSTRAK............................................................................................................ vKATA PENGANTAR.......................................................................................... viDAFTAR ISI......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah............................................................... 1B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah.......................................... 9C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.................................................... 10D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu............................................ 12E. Kerangka Teori dan Konseptual................................................... 13F. Metode Penelitian......................................................................... 15G. Sistematika Penulisan................................................................... 20
BAB II KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA TERKAIT DENGANEKONOMI SYARIAHA. Kompetensi Peradilan Agama dan Landasannya Di Indonesia.... 22
1. Kompetensi Absolut Peradilan Agama..................................... 242. Kompetensi Relatif Peradilan Agama....................................... 29
B. Teori Umum tentang Ekonomi Syariah.......................................... 321. Pengertian Ekonomi Syariah..................................................... 322. Karakteristik Ekonomi Syariah Di Indonesia........................... 35
C. Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah..................... 39D. Ekonomi Syariah Sebagai Kewenangan Baru Peradilan Agama.. 44
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATANA. Deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan............................... 46
1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Selatan................. 492. Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.................... 523. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan........... 53
B. Kebijakan Pengadilan Agama Jakarta Selatan DalamPenyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah..................................... 57
x
1. Kesiapan SDM Pengadilan Agama Jakarta Selatan................. 572. Beberapa Contoh Kasus Ekonomi Syariah yang Dihadapkan.. 593. Hambatan dan Kendala yang Dihadapi..................................... 59
BAB IV KOMPETENSI HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETAEKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTASELATANA. Kompetensi Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama............... 62B. Kompetensi Yang Harus Dimiliki Oleh Hakim Dalam
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah................................... 68C. Kompetensi Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan............................ 71
BAB V PENUTUPA. Kesimpulan................................................................................... 80B. Saran............................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 83LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan bisnis ekonomi syariah di seluruh penjuru Dunia masih
tetap stabil dan tetap menujukkan tren positif. Bahkan dalam beberapa tahun
terakhir ini, industri keuangan syariah tersebut telah mampu menarik perhatian
global seiring pesatnya perkembangan aset dan produk-produk yang ditawarkan.
Tidak cukup sampai disitu saja, industri keuangan syariah juga dijadikan sebagai
salah satu foktor penentu dalam kedudukannya sebagai sumber utama untuk
mencapai tujuan pembanguan ekonomi berkelanjutan di seluruh penjuru Dunia.1
Indonesia sebagai salah satu Negara dengan penduduk muslim terbesar di
Dunia juga tidak lepas dari pesatnya perkembangan industri keuangan syariah
yang dipaparkan. Mulai dari transaksi atau kegiatan bisnis syariah di lingkungan
investasi, perbankan, asuransi, obligasi, pasar modal, sampai pada lingkungan
lembaga keuangan syariah serta unit-unit usaha syariah lainnya. Meskipun
perkembangan di salah satu sektor lebih mendominasi dari pada di sektor lainnya,
namun perkembangan tersebut semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Sebagian pendapat justru melihat bahwa perkembangan ekonomi syariah
yang terjadi tidak hanya disebabkan karena kemampuan untuk mempertahankan
1 Hal tersebut secara langsung dipaparkan oleh Presiden Islamic Develovment Bank (IDB)Ahmed Mohamed Ali, sebagaimana dimuat dalam media Koran Bisnis. Lihat Muhammad Avisena,“Prospek Ekonomi Syariah: Menuju Pusat Sayariah Dunia”, dikutip dari Bisnis.com pada tanggal 05April 2017, dari: http://koran.bisnis.com/read/20160517/446/548119/prospek-ekonomi-syariah-menuju-pusat-syariah-dunia
2
stabilitas ekonomi di sektor riil, namun juga tidak terlepas dari faktor ketaatan
terhadap agama, sehingga konsep ekonomi syariah tersebut akan terus berkembang
seiring perkembangan Islam itu sendiri sebagai salah satu jawaban dari bagaimana
visi Islam direalisasikan.2 Hal yang demikian tergambar dari sejarah perjalanan
ekonomi syariah yang dulunya telah dikenal sejak masuknya Islam ke Indonesia.
Awalnya konsep ekonomi syariah yang ditawarkan belum terlalu diminati
secara khusus oleh masyarakat, namun perubahan yang signifikan mulai terlihat
sejak konsep ekonomi syariah tersebut mulai diperkenalkan dalam bentuk formal
di akhir abad ke-19. Perubahan peminatan terhadap ekonomi syariah tersebut
semakin mendapat tempat di kalangan masyarakat, baik di Indonesia maupun di
seluruh penjuru Dunia sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, sehingga
perubahan tersebut juga akan mempengaruhi sistem hukum yang ada.
Sistem hukum yang mengatur secara otomatis dipengaruhi oleh perubahan
kondisi sosial masyarakat, baik yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi maupun
selainnya. Hal tersebut disebabkan karena hubungan perubahan antara hukum dan
masyarakat selalu beriringan dan tidak saling mendominasi, bahkan keduanya
saling membentuk.3 Selain itu, ada juga sebagian kalangan yang berpendapat
bahwa perkembangan hukum tidak terlepaskan dari sejarah kehidupan masyarakat,
2 Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Pengadilan Agama danMahkamah Syari’ah, Ed.1, Cet.I, (Jakarta: Kencana, 2009), h.33.
3 Ratno lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalamSistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustakan Alvabet, 2008), h.2. Mengutip langsung dari Sally EngleMarry, “Anthropology, Law, and Transnational Processes”, Annual Review of Anthropology, h.357-358.
3
sehingga hukum dibentuk dari sejarah yang terus berubah sesuai dengan zaman
dan letak geografis suatu Negara.4 Berdasarkan hal tersebut, perkembangan hukum
dalam suatu Negara secara tidak langsung menggambarkan kondisi masyarakat di
Negara tersebut. Misalnya dalam perkembangan aktivitas ekonomi masyarakat,
perkembangan hukum diwujudkan dalam berbagai regulasi yang mengatur terkait
dengan kegiatan ekonomi dalam suatu Negara tertentu.
Demikian juga dengan perkembangan ekonomi syariah secara khusus,
berbagai regulasi yang dibuat oleh Negara untuk mengatur kegiatan atau aktivitas
ekonomi syariah yang sedang berkembang di masyarakat. Mulai dari regulasi yang
mengatur terhadap lingkungan sekelompok kecil masyarakat, sampai pada skala
terbesar pada lembaga-lembaga keuangan syariah atau perusahaan-perusahaan dan
unit-unit usaha syariah lainnya. Bahkan regulasi yang dibuat juga telah
mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi ke depannya.
Salah satunya terlihat dari regulasi yang mengatur terkait dengan sengketa
ekonomi syariah sebagai salah satu kemungkinan yang wajar dan tidak akan bisa
dihindari dalam kehidupan sosial masyarakat. Sengketa itu sendiri umumnya
diartikan dengan terjadinya bentrok (pertentangan/perselisihan) kepentingan antara
dua orang atau lebih,5 sehingga sengketa biasanya akan terjadi ketika ada pihak
yang berkedudukan sebagai lawan dalam bersengketa (lawan berselisih), baik
4 Sebagaimana yang diutarakan oleh Molinowski, Hoebel, Gluckman, Savigni, dan lain-lainyang berasal dari aliran Antropoligi dan Historis. Lihat Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah,Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan Bermartabat,(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.114-117.
5 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, ed.II, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h.235.
4
hanya satu orang maupun lebih. Demikian juga dengan sengketa ekonomi syariah,
secara tidak langsung dipahami bahwa sengketa akan muncul jika dalam kegiatan
ekonomi syariah yang dilakukan terjadi bentrok atau perselisihan, baik antara dua
pihak maupun lebih, dan terlepas antara perorangan maupun selainnya.
Dalam menyikapi kemungkinan sengketa ekonomi syariah yang muncul,
regulasi yang dibuat juga telah menawarkan berbagai macam metode yang dapat
digunakan sebagai upaya penyelesaiannya. Di Indonesia secara khusus, metode
penyelesaian yang ditawarkan hampir sama dengan metode-metode penyelesaian
sengketa bisnis pada umumnya, bahkan juga tidak berbeda jauh dengan konsep
penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang ditawarkan dalam tradisi Islam
klasik, yaitu melalui metode perdamaian (Sulhu), Arbitrase Syariah (Tahkim), dan
melalui lembaga Peradilan Syariah (Qadha).6
Ketiga metode di atas diakomodir juga dalam hukum positif di Indonesia,
meskipun istilah yang digunakan tidak sama persis dan telah banyak mengalami
perkembangan seiring proses pelaksanaannya. Sedangkan jika dilihat dari aspek
prosesnya, metode-metode penyelesaian sengketa ekonomi syariah tersebut sama-
sama dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu melalui proses nonlitigasi di luar
lembaga Peradilan,7 dan sebaliknya melalui litigasi di lembaga-lembaga Peradilan.
6 Burhanuddin, Hukum Bisnis Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h.243.
7 Metode ini lebih dikenal dengan istilah penyelesaian sengketa alternatif atau AlternativeDispute Resolution (ADR) yang dapat dilakukan melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, danpenilaian ahli. Lihat Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif KewenanganPeradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), h.437. Dan lihat juga Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
5
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan metode
yang pertama (nonlitigasi) dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
(Basyarnas). Sedangkan untuk metode yang kedua (melalui litigasi di Peradilan)
merupakan yurisdiksi (kewenangan) absolut Peradilan Agama, sesuai dengan
ketentuan yang diamanatkan oleh Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yaitu sebagai berikut:
“Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, danmenyelesaian perkara di tingkat pertama antara orang-orang yangberagama Islam di bidang: a) perkawinan; b) waris; c) wasiat; d) hibah;e) wakaf; f) zakat; g) infak; h) sedekah; dan i) ekonomi syariah”.8
Ketentuan Pasal 49 di atas dianggap sebagai babak baru bagi lembaga
Peradilan Agama dengan perluasan kewenangannya dalam perkara ekonomi
syariah. Bahkan sebagian kalangan menganggap bahwa aturan Pasal 49
amandemen pertama Undang-Undang tentang Peradilan Agama di atas sebagai
momentum paling bersejarah bagi perkembangan Peradilan Agama.9 Hal tersebut
disebabkan karena sebelumnya yurisdiksi Peradilan Agama hanya difokuskan
pada kasus-kasus dalam bidang hukum keluarga, seperti pemutusan perkawinan,
sengketa waris dan wasiat, permasalahan tentang wakaf, dan selainnya.
Perluasan kewenangan/ kompetensi Peradilan Agama dalam bidang
ekonomi syariah secara otomatis menuntut para Sumber Daya Manusia (SDM) di
8 Amandemen Undang-undang Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.62.
9 Muhammad Faisol, Problem Pelaksanaan Kompetensi Pengadilan Agama Jember diBidang Ekonomi Syariah, Jurnal Fenomena, Vol.15, No.1, April 2016, h.165.
6
Peradilan Agama agar memiliki kapabilitas dalam menangani perkara-perkara
ekonomi syariah yang terjadi, khususnya bagi para Hakim yang memiliki peran
yang sangat besar dalam menentukan atau menghasilkan suatu keputusan yang
berdasarkan keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum bagi para pencari
keadilan di Pengadilan Agama.
Dalam logika sederhana, perluasan kompetensi tersebut akan menuntut
pemecahan masalah yang harus dilakukan melalui penemuan-penemuan hukum
(rechtvinding) oleh para Hakim, sehingga secara tidak langsung akan menambah
wawasan dan kualitas mereka dalam menangani perkara-perkara ekonomi syariah
yang terjadi.10 Namun seiring perjalanan dan perkembangannya, masih banyak
problem dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan kewenangan baru Peradilan
Agama yang dipaparkan .
Salah satu problem yang muncul adalah terkait dengan kepercayaan
masyarakat terhadap Peradilan Agama untuk menangani perkara ekonomi syariah
yang relatif baru tersebut. Opini-opini yang muncul dikalangan masyarakat masih
banyak yang meragukan tentang kualitas dan kapabilitas para Hakim di Peradilan
Agama dalam menangani dan menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah
yang dihadapkan, baik yang berkaitan dengan sengketa maupun selainnya.
Selain karena masih relatif baru bagi Peradilan Agama dalam hal ekonomi
syariah, opini-opini tersebut juga disebabkan karena munculnya Undang-Undang
10 Hasil Penelitian Asep Ridwan H, SHI (Hakim PA Kalianda) tentang “Pengaruh PerluasanKompetensi Peradilan Agama terhadap Peningkatan Kualitas Hakim: Studi Penelitian di PengadilanAgama Se-Jawa Barat”, t.h.
7
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang juga membuka peluang
untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah melalui Pengadilan Negeri, hal
tersebut terus berlanjut sampai akhirnya perkara ekonomi syariah diserahkan
kembali kepada Peradilan Agama berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-X/2012, yang melakukan judicial review (pengujian perundang-
undangan) terhadap aturan Undang-Undang Perbankan Syariah yang membuka
peluang penyelesaian melalui Pengadilan Negeri tersebut.
Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mempertegas kewenangan Peradilan
Agama tersebut, berbagai upaya tetap dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga Peradilan Agama dalam menangani perkara
ekonomi syariah yang disebutkan. Mulai dari pembentukan berbagai regulasi
yang secara spesifik mengatur tentang prosedur penyelesaian perkara ekonomi
syariah, sampai pada upaya peningkatan kualitas dan kapabilitas para Hakim yang
dilakukan melalui pembekalan secara khusus dengan pendidikan dan pelatihan-
pelatihan ekonomi syariah secara mendalam.
Pelatihan-pelatihan tersebut tidak saja dilakukan oleh internal Peradilan
Agama sendiri, namun juga oleh lembaga-lembaga lainnya seperti oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), dan
selainnya yang turut serta mengupayakan peningkatan kualitas para Hakim
Peradilan Agama dalam hal ekonomi syariah tersebut. Bahkan tidak sebatas itu
saja, para Hakim Pengadilan Agama juga di seleksi dan dilakukan pengujian
terhadap kualitas dan kapabilitasnya dalam memahami perkara-perkara ekonomi
8
syariah, sehingga hanya para Hakim yang lulus seleksi saja yang diperkenankan
untuk menangani dan menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah yang
dihadapkan kepada Peradilan Agama. Hal tersebut terlihat dari ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor
Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah.
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa para Hakim ekonomi syariah
memiliki kompetensi yang khusus di antara para Hakim-Hakim lainnya, baik di
lingkungan Peradilan Agama maupun lembaga-lembaga Peradilan lainnya. Oleh
sebab itu perlu dilakukan penelitian terkait dengan kompetensi Hakim Agama
dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Peradilan Agama dalam
menangani dan menyelesaiakan perkara-perkara ekonomi syariah, khususnya
yang berkaitan dengan sengketa, dan juga sebagai upaya untuk mensosialisakan
aturan terkait dengan sertifikasi Hakim ekonomi syariah yang telah dipaparkan.
Dalam menjawab keterbatasan penelitian yang sudah ada, maka penulis
akan melakukan penelitian secara khusus pada Hakim Agama di lingkungan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sehingga nantinya dapat dipahami secara jelas
tentang standarisasi atau kompetensi para Hakim Agama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa-sengketa
ekonomi syariah yang dihadapkan kepada lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Agama.
9
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami permasalahan
yang akan di teliti, penelitian ini perlu diadakan pembatasan sesuai dengan
judul yang di maksud. Maka penulis membatasi masalah dalam penelitian ini
hanya terfokus pada kompetensi hakim di Pengadilan Agama secara khusus
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, dan juga secara khusus di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Tidak menguraikan tentang kompetensi
hakim di lingkungan Peradilan Umum atau selainnya, dan juga tidak meluas
pada sengketa-sengketa ekonomi secara menyeluruh.
2. Perumusan Masalah
Sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan baru yang menjadi
kompetensi absolut Peradilan Agama seiring dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi penyelesaian sengketa
ekonomi syariah tersebut menuntut kesiapan sumber daya yang memahami
secara mendalam terkait dengan ekonomi syariah tersebut. Secara khusus bagi
para Hakim di lingkungan Peradilan Agama yang memiliki peran yang sangat
besar dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang dihadapakan ke
lembaga Peradilan, sehingga para hakim dituntut agar memiliki kompetensi
secara khusus dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang terjadi.
10
Agar lebih terarah dan terfokus pada tema permasalahan, maka penulis
merumuskan permasalahan dalam pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana kompetensi Hakim Agama dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
b. Kompetensi apa saja yang harus dimiliki oleh para Hakim di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:
a. Untuk memahami kompetensi Hakim Agama dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan; dan
b. Untuk memahami kompetensi para Hakim secara umum di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Bagi Penulis
Bagi penulis bermanfaat untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Hukum Keluarga, juga
menambah khazanah pengetahuan di bidang hukum keluarga yang terkait
dengan ekonomi syariah serta kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang
11
Hakim dalam beracara dan juga dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah di lingkungan Peradilan Agama.
b. Bagi Akademisi
Sebagai aset pustaka serta memperkaya khazanah keilmuan yang
diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh kalangan akademisi, baik
dosen maupun mahasiswa, dan akademisi lainnya khususnya di lingkungan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Bagi Praktisi
Bagi para penegak hukum di Lingkungan Peradilan Agama, secara
khusus bagi para Hakim Agama, untuk memberikan informasi terkait
dengan kompetensi yang harus mereka miliki demi perbaikan penegakan
atau pelaksanaan hukum di Indonesia dalam menghadapi permasalahan
baru yang muncul di bidang hukum keluarga, khususnya dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
d. Bagi masyarakat umum
Bagi masyarakat secara umum, penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat serta sumbangsih pemikiran terkait dengan kompetensi
Hakim Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di
lingkungan Peradilan Agama, sehingga semakin mengkuatkan masyarakat
umum untuk mempercayakan kepada Peradilan Agama sebagai tempat dan
solusi dalam penyelesaian sengketa-sengketa ekonomi syariah yang terjadi
dikalangan mereka.
12
D. Kajian Terdahulu
Untuk memperjelas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini,
maka perlu ada tinjauan terhadap penelitian-penelitian yang sudah ada agar tidak
mengulang penelitian sebelumnya. Tema mengenai penyelesaian sengketa
ekonomi syariah telah banyak dibahas dan diteliti, namun setelah menelusuri
terkait kompetensi Hakim Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah
tersebut masih sangat jarang ditemukan. Demikian juga yang secara khusus diteliti
di lingkungan Peradilan Agama Jakarta Selatan, nyaris belum ada yang membahas.
Adapun penelitian-penelitian yang hampir mendekati antara lain:
1. Skripsi dari Salwa Kayati, Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2010
tentang Kompetensi Hakim Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Perkara
Ekonomi Syariah: Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta. Skripsi ini
membahas tentang pelaksanaan kompetensi absolut Peradilan Agama yang
terkait dengan penyelesaian perkara ekonomi syariah yang secara khusus
dihadapkan kepada Pengadilan Agama Surakarta, kemudian melihat pada
kendala serta upaya-upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan perkara
ekonomi syariah tersebut. Skripsi tersebut sangat berbeda dengan penelitian
penulis, meskipun ada kedekatan dalam judul yang dimaksud. Dalam hal ini
penelitian penulis lebih difokuskan pada kompetensi yang harus dimiliki oleh
para Hakim di lingkungan Peradilan Agama Jakarta Selatan secara khusus, dan
juga dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang menjadi kompetensi
Peradilan Agama tersebut.
13
2. Tesis dari Listyo Budi Santoso, Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009
tentang Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa
Ekonomi Syariah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tesis
ini membahas terkait dengan kompetensi Pengadilan Agama secara umum
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, baik yang terkait dengan
prosedur dan hambatan-hambatan dalam penyerahannya kepada lingkungan
Peradilan Agama. Penelitian penulis tentu sangat berbeda karena lebih spesifik
dan lebih dikhususkan pada kompetensi para Hakim Peradilan Agama dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syaria, bukan meluas pada kompetensi
Peradilan Agama itu sendiri.
Meskipun telah banyak penelitian yang membahas terkait dengan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di lingkungan Peradilan Agama, namun
sesuai penelusuran penulis hingga saat ini belum ada yang meneliti tentang
kompetensi Hakim Agam dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan secara khusus. Oleh sebab itu, penulis sangat
yakin bahwa tema yang dimaksud dalam skripsi ini sangat penting untuk
menjawab keterbatasan penelitian-penelitian sebelumnya.
E. Konseptual Penelitian
Kerangka konseptual merupakan konsep yang dijadikan sebagai acuan
kerangka berfikir dalam penelitian. Maka konsep-konsep yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
14
1. Hakim
Hakim adalah pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-
undang untuk mengadili.11 Dalam hal ini, istilah hakim diartikan sebagai orang
yang mengadili perkara dalam suatu pengadilan atau Mahkamah. Sedangkan
istilah “Hakim Agama” dalam penelitian ini menunjukkan pada orang-orang
yang mengadili di lingkungan Peradilan Agama.
2. Sengketa
Sengketa adalah konsep yang mendiskripsikan situasi dan kondisi
dimana orang-orang sedang mengalami perselisihan yang bersifat faktual
maupun perselisihan yang ada pada presepsi mereka saja.12
3. Ekonomi Syariah
Ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi: a) bank syariah; b) asuransi
syariah; c) reasuransi syariah; d) reksadana syariah; e) obligasi syariah dan
surat berharga berjangka menengah syariah; f) sekuritas syariah; g)
pembiayaan syariah; h) pegadaian syariah; i) dana pensiun lembaga keuangan
syariah; j) bisnis syariah; dan k) lembaga keuangan syariah.13
4. Pengadilan Agama
11 Pasal 1 butir (8) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
12 Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), h.1.
13 Penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang PerubahanAtas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
15
Pengadilan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama di lingkungan peradilan agama. Sedangkan
Peradilan Agama sendiri dipahami sebagai Peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam. Selain itu Peradilan Agama juga diartikan sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah kompetensi Hakim
dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Beranjak dari objek kajian Penelitian tersebut, maka metode yang
digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu jenis
data dan analisa data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan
yang menggunakan penalaran.14 Sedangkan metode pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan normatif yaitu
14 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: Buku Ajar Fakultas Syariah danHukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.26.
16
penelitian yang pada umumnya menganalisis fakta-fakta yang relevan dengan
norma-norma hukum,15 baik secara umum maupun norma-norma yang
terkandung dalam hukum Islam yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti.16 Sedangkan pendekatan yuridis adalah metode pendekatan yang
mendasarkan pada peraturan perundang-undangan tertulis (law in books) serta
pada hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang dianggap
pantas sebagai patokan berprilaku manusia.17
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan
mengambil objek penelitian terkait dengan kompetensi para Hakim Agama di
Pengadilan Agama Jakarta selatan. Sedangkan sifat dari penelitian ini bersifat
deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan dan
menyusun data, yang kemudian dianalisis dan di interpretasikan sesuai dengan
data-data yang di dapatkan terkait dengan kompetensi Hakim di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Kemudian mengambil kesimpulan dari hasil analisa
terhadap data-data yang berkaitan dengan kompetensi Hakim dalam proses
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama tersebut.
3. Sumber Data Penelitian
15 Bambang Sunggono, Metodologi Peneltian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h.114.
16 Sutrisno Hadi, Metode Research II, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), h.142.
17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 2006), h.118.
17
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data dapat
diperoleh.18 Oleh sebab itu, sumber-sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari:
a. Sumber Primer, yaitu hasil observasi dan wawancara terhadap Hakim di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
b. Sumber Skunder, mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan perilaku hakim seperti kode etik hakim dan selainnya. Selain itu
juga mencakup hasil penelitian yang dapat menguatkan dan memberikan
penjelasan terhadap data primer, baik berupa skripsi, tesis, dan desertasi,
maupun pendapat para pakar hukum, serta semua karya tulis seperti buku,
jurnal, buletin, majalah, serta dokumen-dokumen lainnya.
c. Sumber Tersier, mencakup data-data yang memberikan petunjuk serta
penjelasan terhadap sumber primer dan sumber skunder, antara lain
mencakup kamus hukum, ensiklopedi, dan selainnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian di atas, maka untuk memperoleh data-
data yang akurat akan dilakukan pengumpulan data melalui beberapa metode-
metode berikut:
a. Observasi dan Interview
18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, cet.XII, (Jakarta:PT Asdi Mahasatya, 2002), h.107.
18
Observasi adalah kegiatan penunjang yang dilakukan di lokasi
penelitian dengan pencatatan, pemotretan dan perekaman tentang situasi
dan kondisi serta peristiwa hukum yang terkait dengan tema penelitian.19
Sedangkan interview atau wawancara merupakan suatu teknik
pengumpulan data primer dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara peneliti/ pewanwancara dengan informan.20 Wawancara bisa juga
dinyatakan sebagai teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
memperoleh informasi tentang hal-hal yang tidak diperoleh melalui metode
pengamatan. Dalam penelitian ini interview dilakukan kepada beberapa
Hakim yang ditentukan sesuai kebijakan Ketua Pengadilan terkait, yaitu
Hakim di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, agenda dan media lainnya yang terkait dengan tema
penelitian.
c. Tringulasi
Tringulasi merupakan teknik atau metode pengumpulan data yang
bersifat menggabungkan dari berbagai teknik dan sumber data yang telah
19 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 2004), h.62.
20 Burhan Mungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan IlmuSosial Lainnya, (Jakarta: Pustaka Grafika, 2008), h.108.
19
ada.21 Dalam hal ini penulis akan menggabungkan data-data yang
diperoleh, baik data primer melalui interview atau wawancara maupun
melalui studi dokumentasi yang berkaitan dengan tema penelitian,
sehingga sumber-sumber data yang didapatkan dengan suatu metode akan
semakin dikuatkan dengan data-data yang didapatkan melalui metode
lainnya.
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka
pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menelusuri seluruh data yang
sudah tersedia dari sumber primer, skunder dan tersier, kemudian melakukan
identifikasi dan analisis menggunakan analisa data kualitatif dengan metode
deskriptif-normatif, kemudian menguraikan dan menjabarkan hasil analisa
secara logis dan sistematis melalui metode induktif-deduktif. Yaitu
menganalisis hal-hal yang bersifat khusus dengan menguraikan fakta-fakta di
lapangan terkait dengan kompetensi Hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, kemudian
menggenaralisasikan pada kesimpulan umum terkait kompetensi para Hakim
di lingkungan Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
6. Teknik Penulisan
21 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D,(Bandung: Alfabeta, 2006), h.330.
20
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Tahun 2012 yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.22
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan dalam penelitian ini, maka penulis
menguraikannya dengan sistematika penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab, dan
masing-masing bab berisikan sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I tentang Pendahuluan. Dalam bab ini dibahas Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II tentang Kompetensi Pengadilan Agama Terkait Dengan Ekonomi
Syariah. Bab ini akan menguraikan tentang pengertian kompetensi absolut dan
relative Peradilan Agama di Indonesia, kemudian menguraikan tentang teori
umum ekonomi syariah yang dimulai dari pengertian, karakteristik, dan sengketa
ekonomi syariah serta potret lembaga-lembaga penyelesaian sengketa ekonomi
syariah di Indonesia sampai menjadi suatu kewenangan baru bagi Peradilan
Agama.
22 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariahdan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).
21
Bab III tentang Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Bab ini akan
menguraikan tentang deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang dimulai
dari sejarah singkat, visi misi dan struktur organisasinya. Kemudian menjelaskan
tentang kebijakan Peradilan Agama Jakarta Selatan dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah yang dimulai dari kesiapan sumber daya dan beberapa contoh
kasus sengketa ekonomi syariah yang sudah pernah diselesaikan, sampai pada
kendala atau hambatan yang muncul pada penyelesaian sengketa ekonomi syariah
tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Bab IV tentang Kompetensi Hakim dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Bab ini akan menguraikan tentang
kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang hakim di lingkungan
Peradilan Agama secara umum, dan mengkhususkannya pada kompetensi yang
harus dimiliki oleh Hakim dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Kemudian menguraikan hasil analisis penulis tentang kompetensi yang harus
dimiliki oleh hakim agama dalam penyelesaian ekonomi syariah di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
Bab V Penutup. Bab ini memuat tentang kesimpulan penulis dan kritik dan
saran yang terkait dengan analisa penelitian.
22
BAB II
KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA TERKAIT EKONOMI SYARIAH
A. Kompetensi Peradilan Agama Landasannya Di Indonesia
Peradilan Agama memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagaimana
lembaga-lembaga peradilan lainnya di Indonesia. Posisi tersebut terlihat dari
kedudukannya dalam tatanan kekuasaan kehakiman yang dinyatakan sebagai salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman, dan dianggap sebagai salah satu peradilan
Negara Indonesia yang sah dan memiliki sifat khusus, serta berwenang dalam jenis
perkara perdata Islam tertentu bagi orang-orang beragama Islam di Indonesia.1
Kedudukan di atas sesuai dengan pernyataan Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah mengalami 2
(dua) kali amandemen, yaitu pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, dan kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Pasal tersebut menyatakan bahwa: “yang dimaksud dengan Peradilan Agama
adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 2 (dua) aturan Undang-Undang
Peradilan Agama tersebut dipaparkan lebih jelas dengan pernyataan bahwa:
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana KekuasaanKehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenaiperkara perdata tertentu yang di atur dalam undang-undang ini”.2
1 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet-14, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),h.6. Dan lihat juga, Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), h.332.
2 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.86.
23
Paparan kedua pasal di atas secara tidak langsung menggambarkan bahwa
lembaga Peradilan Agama memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga-
lembaga peradilan lainnya (Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata
Usaha Negara, dan Mahkamah Konstitusi) dalam tatanan kekuasaan kehakiman
(judicial power) di Indonesia. Posisi yang sama sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman tersebut juga jelas diakomodir dalam Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.3
Kekuasaan kehakiman (judicial power) itu sendiri secara umum dipahami
sebagai suatu kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan (rule of law) dalam Negara hukum Republik
Indonesia.4 Paparan tersebut semakna dengan defenisi kekuasaan kehakiman yang
diakomodir dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
tersebut, Peradilan Agama dengan lembaga-lembaga peradilan lainnya dibedakan
dengan yurisdiksi (kompetensi) dan wilayah hukumnya masing-masing. Istilah
3 Aturan Kekuasaan Kehakiman pertama kali adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 14Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian mengalami beberapa kaliperubahan. Yaitu dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun2004, sampai akhirnya kemudian diganti menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman yang sampai saat ini dijadikan sebagai dasar pemberlakukan kekuasaankehakiman di Indonesia. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman menyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung danbadan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilanagama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuahMahkamah Konstitusi.
4 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7 Tahun1989, Ed.II, Cet.5. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.98.
24
“kompetensi” itu sendiri berasal dari kata “Competentie” (bahasa Belanda), yang
kadang-kadang diterjemahkan dengan “kewenangan” dan terkadang juga dengan
“kekuasaan” untuk mengadili.5 Selain itu sering juga dipakai istilah yurisdiksi
untuk menggambarkan makna yang sama dengan kekuasaan mengadili tersebut.
Kompetensi atau kekuasaan di atas jika dikaitkan dengan hukum acara
perdata, maka umumnya akan berkaitan dengan 2 (dua) hal, yaitu terkait dengan
kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Demikian juga dalam Peradilan Agama
sebagai salah satu Peradilan yang menangani perkara perdata, kedua kompetensi
tersebut telah diatur secara spesifik dengan landasan yang berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Kompetensi absolut Pengadilan berkenaan dengan jenis perkara dan
sengketa kekuasaan pengadilan,6 dan biasa juga disebut dengan “atribusi
kekuasaan”, yaitu ketentuan tentang apa yang termasuk ke dalam kekuasaan
atau kompetensi atau wewenang suatu lembaga peradilan. Kompetensi ini
biasanya diatur dalam undang-undang yang mengatur susanan dan kekuasaan
lembaga peradilan yang bersangkutan.
Susunan dan kekuasaan badan-badan dalam lingkungan Peradilan
Agama didasarkan pada ketentuan Undang-undang Peradilan Agama, mulai
5 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Cet.10, (Jakarta: Kencana, 2010), h.145.
6 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Cet.4, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2003), h.220.
25
dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sampai
dengan amandemen keduanya. Dan sebagaimana telah dipaparkan dalam
pendahuluan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjadi babak
baru bagi Peradilan Agama dengan perluasan kompetensi yang diamanatkan,
maka kompetensi absolut Peradilan Agama didasarkan pada ketentuan Bab III
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tepatnya terdiri dari Pasal 49 sampai
dengan Pasal 53.
Pasal 49 menyatakan bahwa:
“Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, danmenyelesaian perkara di tingkat pertama antara orang-orang yangberagama Islam di bidang: a) perkawinan; b) waris; c) wasiat; d)hibah; e) wakaf; f) zakat; g) infak; h) sedekah; dan i) ekonomisyariah”.
Dalam penjelasan Pasal di atas, dinyatakan bahwa jangkauan ruang
lingkup kompetensi Peradilan Agama tidak hanya sebatas kepada orang-orang
yang beragama Islam saja, namun juga mencakup orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum
Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama tersebut.
Selain itu, masing-masing kesembilan kompetensi absolut Peradilan
Agama yang dipaparkan telah diuraikan secara terperinci dalam Penjelasan
Pasal 49 huruf (a) sampai dengan huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Bidang Perkawinan
26
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang di aturdalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yangberlaku yang dilakukan menurut syariah,7 antara lain:1) Izin beristri lebih dari seorang;2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluargadalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3) Dispensasi kawin;4) Pencegahan perkawinan;5) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;6) Pembatalan perkawinan;7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;8) Perceraian karena talak;9) Gugatan perceraian;10) Penyelesaian harta bersama;11) Penguasaan anak;12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;16) Pencabutan kekuasaan wali;17) Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;18) Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;19) Pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada
di bawah kekuasaannya;20) Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankanmenurut peraturan yang lain.
b. Bidang WarisYang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
7 Yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan juga Instruksi PresidenNomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
27
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian hartapeniggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonanseseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuanbagian masing-masing ahli waris.
c. Bidang WasiatYang dimaksud dengan “wasiat” adalah Perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain ataulembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebutmeniggal dunia.
d. Bidang HibahYang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seorang atau badan hukum kepadaorang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
e. Bidang WakafYang dimaksud dengan “wakaf” adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakil) untuk memisahkan dan/ atau menyerahkansebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untukjangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluanibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syariah.
f. Bidang ZakatYang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslimsesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhakmenerimanya.
g. Bidang InfaqYang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baikberupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia),atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dankarena Allah Subhanahu Wata’ala.
h. Bidang Sedekah;Yang dimaksud dengan “sedekah” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum secaraspontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu denganmengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
i. Bidang Ekonomi Syariah
28
Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan ataukegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi: a.Bank syariah; b. Asuransi syariah; c. Reasuransi syariah; d. Reksadanasyariah; e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengahsyariah, f. Sekuritas syariah; g. Pembiyaan syariah; h. Pegadaian syariah; i.Dana pensiun lembaga keuangan syariah; j. Bisnis syariah; dan k. Lembagakeuangan mikro syariah”.
Selain pengertian masing-masing kompetensi absolut Peradilan Agama
yang diuraikan oleh Penjelasan Pasal 49 huruf (a) sampai (i) di atas, ada juga
beberapa ketentuan yang diperkuat secara spesifik dalam suatu bentuk
Peraturan-Perundang-undangan yang lain, misalnya tentang wakaf yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan selainnya.
Demikian juga dalam perkara ekonomi syariah yang merupakan suatu
kewenangan baru bagi Peradilan Agama, selain berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Peradilan Agama tersebut, aturan terkait dengan ekonomi
syariah juga diperteguh dengan aturan lain, salah satunya melalui Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,8 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dan banyak
juga berbagai aturan lainnya yang secara spesifik menjelaskan terkait dengan
kegiatan-kegiatan yang termasuk sebagai perkara ekonomi syariah yang
menjadi salah satu kewenangan Peradilan Agama yang telah dipaparkan, baik
melalui Undang-Undang, Peraturan Mahkamah Agung, dan selainnya.
8 Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah,(Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h.127.
29
Sedangkan perkara-perkara perdata lainnya selain kesembilan bidang
yang dipaparkan Pasal 49 di atas berada di luar kekuasaan absolut Peradilan
Agama. Salah satu contohnya digambarkan melalui ketentuan Pasal 50 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yaitu:
Ayat (1),“Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik ataukeperdataan lain dalam perkar-perkara sebagaimana yang dimaksuddalam 49, khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebutharus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkunganPeradilan Umum”.
Dan pada Ayat (2),“Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimanadimaksud pada pasal 50 ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus olehPengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksuddalam pasal 49”.
Selain itu banyak juga contoh perkara-perkara perdata lainnya yang
merupakan kewenangan absolut Peradilan Umum, atau yang bukan termasuk
sebagai kewenangan absolut yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-
undangan kepada lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama, namun
tidak dijelaskan secara terperinci dalam pembahasan penelitian ini.
2. Kompetensi Relatif Peradilan Agama
Kompetensi relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu
pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding. Artinya,
cakupan dan batasan kekuasaan relatif Pengadilan ialah meliputi daerah
hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.9 Yang menimbulkan
terjadinya pembatasan kewenangan relatif masing-masing pengadilan pada
9 Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, h.218.
30
setiap lingkungan peradilan adalah faktor “wilayah hukum”.10 Hal tersebut
dapat dilihat pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) amandemen pertama
Undang-Undang Peradilan Agama, yaitu sebagai berikut:
Ayat (1), “Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kotakabupaten/kotadan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota”.
Dan Ayat (2), “Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukotaprovinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi”.
Pasal di atas jelas memberikan batasan kepada Peradilan Agama untuk
mewilayahi Kabupaten atau Kota Madya saja, sehingga wilayah hukum setiap
Peradilan Agama identik dengan daerah hukum pemerintah Kotamadya atau
Kabupaten tempat lembaga tersebut berada. Dalam hal ini, setiap Peradilan
Agama hanya berwenang mengadili dan melayani perkara-perkara yang
termasuk dalam kewenangan relatifnya saja.
Dengan demikian, meskipun secara materil kasus perkara tertentu yang
diajukan substansinya merupakan kompetensi absolut Peradilan Agama,
namun bisa saja terhalang karena aturan kompetensi relatif Peradilan Agama
wilayah lain, sehingga mengakibatkan Peradilan Agama yang menerima
perkara itu menjadi tidak berwenang untuk mengadili dan menyelesaikannya.
Aturan terkait dengan kompetensi relatif Peradilan Agama secara
umum berpedoman kepada ketentuan undang-undang Hukum Acara Peradilan
Agama, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
serta kedua amandemennya, akan tetapi jika dalam Undang-Undang tersebut
10 Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.202.
31
belum diatur secara khusus, maka kompetensi relatif Peradilan Agama merujuk
kepada ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan
Peradilan Umum.11 Yaitu merujuk pada ketentuan Pasal-Pasal dalam Herziene
Indonesisch Regglement (HIR) dan dalam Reglement Voor de Buitengewesten
(RBG), tepatnya sebagaimana yang diatur dalam pasal 118 HIR atau pasal 142
RBG.12
Berdasarkan ketentuan HIR dan RBG di atas, ada beberapa faktor yang
dijadikan sebagai patokan dalam menentukan kompetensi relatif Pengadilan
secara umum, diantaranya adalah: faktor tempat tinggal tergugat ( asas actor
sequitor farum rei), faktor jumlah tergugat dikaitkan dengan tempat tinggal
para tergugat, faktor tempat tinggal tergugat tidak diketahui, faktor objek
gugatan terdiri dari benda yang tidak bergerak, dan faktor pemilihan domisili.13
Selain faktor-faktor tersebut, ada juga beberapa faktor lainnya yang
telah ditentukan sesuai jenis perkara atau gugatannya oleh Undang-Undang
Peradilan Agama, diantaranya terkait dengan kompetensi relatif mengenai
perkara permohonan cerai talak (perceraian yang datang dari pihak suami) dan
cerai gugat (perceraian yang diajukan oleh pihak isteri), mengenai perkara
yang berhubungan dengan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan
harta bersama suami istri. Bahkan juga dalam menentukan kompetensi relatif
11 Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
12 Sulaikin Lubis, et-al, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Cet.3, (Jakarta:Kencana, 2008), h.108.
13 Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.202-205.
32
mengenai perkara yang berdiri sendiri dan juga yang diperbolehkan untuk
digabungkan sesuai aturan Pasal 86 Ayat (1) Undang-Undang Peradilan
Agama. Lebih lanjut terkait dengan patokan-patokan dalam menentukan
kompetensi relatif Peradilan Agama mengenai perkara-perkara yang telah
ditentukan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 66 sampai Pasal 73 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan amandemennya.
B. Teori Umum tentang Ekonomi Syariah
1. Pengertian Ekonomi Syariah
Istilah ekonomi syariah merupakan istilah yang relatif baru untuk
menyebutkan konsep ekonomi Islam yang sedang mengalami perkembangan
sangat pesat dalam tatanan global. Untuk memahami defenisi tentang ekonomi
syariah atau ekonomi Islam tersebut, terlebih dahulu disampaikan defenisi
ekonomi agar lebih mudah nantinya dalam memahami terkait dengan ekonomi
syariah secara khusus.
Menurut sebagian ahli, ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang
mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran
(kemakmuran suatu keadaan dimana manusia dapat memenuhi kebutuhannya,
baik barang-barang maupun jasa).14 Dan ada juga beberapa defenisi lainnya
yang tidak terlalu jauh berbeda maksud dan tujuannya. Namun umumnya
14 Elsi Kartika Sari, dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi, Ed.II, Cet.5, (Jakarta:PT. Grasindo, 2008), h.4.
33
ketika disebutkan kata “ekonomi”, maka sebagian besar pasti akan memahami
maksudnya meskipun tidak bisa untuk mendefinisikannya.
Tidak berbeda jauh dengan paparan di atas, ekonomi syariah atau
ekonomi Islam juga disampaikan dalam defenisi yang sangat beragam,
meskipun defenisi-defenisi yang disebutkan terlihat bermuara pada hal yang
sama, yaitu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau,
meneliti, dan akhirnya menyelesaikan segala permasalahan ekonomi secara apa
yang telah disyariatkan oleh Allah SWT. Beberapa defenisi ekonomi Islam
yang disampaikan para ahli antara lain sebagaimana kutipan berikut:15
- Muhammad Abdul Manan mendefenisikannya sebagai ilmu pengetahuansosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang di ilhamioleh nilai-nilai Islam;
- M. Umar Chapra menggambarkannya sebagai sebuah pengetahuan yangmembantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dandistribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yangmengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individuatau tanpa perilaku makroekonomi yang berkesinambungan dan tanpaketidakseimbangan lingkungan;
- Hasanuz Zaman mendefenisikannya sebagai pengetahuan dan penerapanhukum syariah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatandan pengembangan sumber-sumber material dengan tujuan untukmemberikan kepuasan kepada manusia, dan melakukannya sebagaikewajiban kepada Allah dan masyarakat; dan beberapa defenisi lainnya.
Dari defenisi-defenisi yang disampaikan di atas, jelas bahwa ekonomi
Islam merupakan aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia berdasarkan nilai-
nilai dan aturan-aturan hukum Islam itu sendiri. Dan ekonomi Islam itulah
15 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,(Jakarta: Kencana, 2012), h.6.
34
yang kemudian lebih dikenal di beberapa Negara dengan istilah “ekonomi
syariah”, termasuk salah satunya di Negara Indonesia sebagaimana telah
dipaparkan dalam pendahuluan penelitian. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal
49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang juga
telah dipaparkan sebelumnya, istilah ekonomi syariah diartikan sebagai:
“Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsipsyariah, meliputi: a. Bank syariah; b. Asuransi syariah; c. Reasuransisyariah; d. Reksadana syariah; e. Obligasi syariah dan surat berhargaberjangka menengah syariah, f. Sekuritas syariah; g. Pembiyaansyariah; h. Pegadaian syariah; i. Dana pensiun lembaga keuangansyariah; j. Bisnis syariah; dan k. Lembaga keuangan mikro syariah”.
Perbedaan yang paling mendasar antara ekonomi syariah dengan
ekonomi konvensional terlihat pada karakteristik dan prinsip-prinsipnya,
dimana ekonomi syariah merupakan aktivitas-aktivitas perekonomian yang
pelaksanaannya didasarkan pada ketentuan hukum Islam, sedangkan hal itu
tidak dipersyaratkan dalam konsep ekonomi konvensional. Bahkan juga
banyak perbedaan-perbedaan lainnya antara kedua konsep tersebut, terlebih
ketika dihadapkan pada teori dan praktek pada masing-masing lembaga-
lembaga keuangan syariah dan unit usaha-usaha syariah lainnya.
Salah satu contohnya terlihat dalam penyaluran dana antara di lembaga
perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Konsep yang ditawarkan
dalam penyaluran dana di bank konvensional disebut dengan istilah “kredit”
atau dengan istilah “pinjaman”, sementara kedua hal tersebut tidak dikenal di
35
perbankan syariah, karena konsep yang ditawarkan terkait dengan penyaluran
dana tersebut di perbankan syariah dikenal dengan istilah “pembiayaan”.16
Selain itu, perbedaan juga terlihat daari produk-produknya, misalnya produk-
produk perbankan syariah yang telah ditetapkan dalam buku Kodifikasi Produk
Perbankan Syariah (KPPS), yaitu mencakup: Penghimpunan dana (giro,
tabungan, dan deposito), Pembiayaan atas dasar akad (Mudharabah,
Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, dan Qardh), Pembiyaan
Multi Jasa, Letter Of Credit (L/C) infor syariah, Bank garansi syariah, dan
Penukaran Valuta Asing.17
Meskipun ada beberapa konsep yang sama digunakan, namun dalam
prakteknya akan banyak ditemukan perbedaan antara perbankan syariah
dengan perbankan konvensional. Demikian juga dengan lembaga-lembaga
ekonomi syariah lainnya, seperti di Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah,
Reksadana Syariah, maupun di unit-unit usaha syariah lainnya, yang secara
otomatis akan memiliki perbedaan berdasarkan karakterisitik dari ekonomi
syariah itu sendiri.
2. Karakteristik Ekonomi Syariah Di Indonesia
Ekonomi syariah memiliki karakteristik tersendiri yang didasarkan
pada aturan-aturan hukum Islam, baik yang telah diformalkan dalam bentuk
16 Kasmir, Bank dan Keuangan Lainnya, Ed.Rev, Cet.9, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.193.
17 Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem HukumNasional di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h.276.
36
regulasi-regulasi yang dibuat oleh suatu Negara tertentu, maupun yang masih
dalam bentuk panduan atau petunjuk pelaksanaannya seperti Instruksi
Presiden, Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) atau Majelis Ulama Indonesia
(MUI), atau selainnya. Karakteristik ekonomi syariah tentunya tidak lepas dari
konsep awalnya sebagai ekonomi Islam yang direalisasikan dalam bentuk yang
berwujud teori dan praktik.18
Karakteristik ekonomi syariah salah satunya terlihat dari aspek prinsip-
prinsipnya yang mendasarkan pada ketentuan dan dasar-dasar prinsip hukum
Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, yaitu sebagai berikut:
- Mengesakan Tuhan/ Tauhid (QS. Al-Imran: 64);- Manusia berhubungan langsung dengan Allah (QS. Al-Ghafir: 60, dan Al-
Baqarah: 186);- Keadilan (QS. Al-Maidah; 8, An-Nisa’: 135, Al-An’am: 152, dan Al-
Hujurat: 9);- Persamaan/al-Musawah (QS. Al-Hujurat: 13, Al-Isra’: 70, dan beberapa
landasan dari hadits);- Kemerdekaan atau kebebasan/Al-Hurriyah (QS. Al-Baqarah: 256, Al-
Kafirun: 5, Al-Kahfi: 29);- Menyuruh yang baik dan mencegah yang munkar/Amar Ma’ruf nahi
Munkar (QS. Al-Imran:10);- Tolong-menolong (QS. Al-Maidah: 2, Al-Mujadalah: 9);- Toleransi (QS. Al-Mumtahanah: 8 & 9);- Musyawarah (QS. Al-Imran: 159, As-Syura’: 38);- Mengambil jalan tengah (ausath) dalam segala hal (QS. Al-Baqarah: 143);- Menghadapkan Pembebanan/Taklif (QS. Al-Hasyr: 2, Al-Baqarah: 75, Al-
An’am: 32 &118)”.19
18 Tim Penulis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (MSI UII), MenjawabKeraguan Berekonomi Syari’ah, cet.I.(T. Tp: Safitria Insania Press, 2008), h.3.
19 Kuat Ismanto, Asuransi Syari’ah: Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2009), h.133-134.
37
Prinsip-prinsip bisnis (mu’amalah) dalam islam yang secara otomatis
menjadi prinsip-prinsip yang diterapkan dalam ekonomi syariah tidak meluas
dari prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang dipaparkan di atas, yaitu
mencakup beberapa aspek berikut:
a. Kesatuan/Tauhid (unity);
b. Kebolehan (ibahah); 3) Keadilan (al’adalah/ justice);
c. Kehendak bebas (al-Hurriyah/ free will);
d. Pertanggung jawaban (responsibility);
e. Kebenaran (kebajikan dan kejujuran);
f. Kerelaan (an taradhin);
g. Kemanfaatan (al manfa’at); dan
h. Tanpa riba (haram riba).20
Selain prinsip-prinsip tersebut, ada juga yang memaparkan lebih
spesifik dalam prinsip bisnis/ kegiatan ekonomi (mu’amalah) dalam islam,
yaitu dengan menambahkan beberapa hal berikut dari prinsip-prinsip di atas: a)
siap menerima resiko; b) tidak melakukan penimbunan harta; c) tidak
monopoli; d) pelarangan riba; dan e) harus ada solidaritas sosial.21
Selain beberapa prinsip ekonomi syariah yang secara otomatis menjadi
karakteristik dari ekonomi syariah tersebut ada juga prinsip-prinsip lainnya
20 Ismanto, Asuransi Syari’ah : Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam, h.153.
21 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar grafika, 2008), h.7-9.
38
yang secara khusus diberlakukan dalam praktek ekonomi syariah yang sudah
di lembagakan, misalnya menjadi prinsip perbankan syariah, prinsip asuransi
syariah, prinsip pasar modal syariah, dan prinsip lembaga-lembaga keuangan
syariah serta unit-unit usaha syariah lainnya. Sekalipun demikian, prinsip-
prinsip yang dibuat tetap saja bermuara pada prinsip-prinsip ekonomi Islam
yang telah dipaparkan. Misalnya, pendapat yang menggambarkan prinsip-
prinsip Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang meliputi:
- Bebas MAGHRIB, yaitu tidak terdapat unsur-unsur Maysir (spekulasi),
Gharar (penipuan), Haram (larangan Tuhan), Riba (penambahan yang
tidak sah), dan Bathil (batal atau dengan cara yang tidak sah/batil);
- Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada
perolehan keuntungan yang sah menurut syari’ah;
- LKS sebagai badan usaha, yaitu berfungsi sebagai manajer investasi,
investor, dan jasa pelayanan; dan
- LKS sebagai Badan social, yaitu berfungsi sebagai pengelola dana social
untuk penghimpunan dan penyaluran dana zakat, infak, dan shadaqah
(ZIS).22
Dengan demikian, prinsip-prinsip yang diterapkan dalam ekonomi
syariah menjadi salah satu karakteristik yang membedakannya dengan
ekonomi konvensional. Selain itu, karakteristik ekonomi syariah juga ditandai
22 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ed.1, Cet.2, (Jakarta: Kencana,2010), h. 36.
39
dengan akad yang harus ada dalam setiap transaksi atau kegiatan ekopnomi
syariah yang dilaksanakan, baik dalam skala kecil antara perorangan maupun
dalam skala besar yang melibatkan lembaga ekonomi syariah dan selainnya.
C. Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Sengketa umumnya diartikan sebagai bentrok (pertentangan) kepentingan
antara 2 (dua) orang atau lebih.23 Selain itu, dipahami juga sebagai hal-hal yang
mendiskripsikan tentang situasi dan kondisi orang-orang yang sedang mengalami
perselisihan, baik yang bersifat faktual maupun perselisihan yang hanya ada pada
presepsi mereka saja.24 Dengan demikian, sengketa akan terjadi apabila ada pihak-
pihak yang posisinya dijadikan sebagai lawan dalam berselisih (bertentangan),
terlepas itu hanya satu orang maupun lebih.
Sementara jika sengketa tersebut dikaitkan dengan kegiatan ekonomi, maka
dapat dipahami bahwa perselisihan yang terjadi adalah dalam kegiatan atau dalam
transaksi ekonomi yang berlangsung. Sengketa ekonomi sering juga diistilahkan
dengan sengketa bisnis, yang menurut sebagian pendapat dipahami sebagai sesuatu
perselisihan yang muncul selama berlangsungnya proses transaksi yang berpusat
pada ekonomi pasar.25
Sedangkan jika secara khusus dikaitkan dengan ekonomi syariah, maka
akan dipahami bahwa pertentangan atau perselisihan antara dua orang atau lebih
23 Ali, Menguak Tabir Hukum, h.235.
24 Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, h.1.
25 Arus Akbar Silondae, dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, (Jakarta: SalembaEmpat, 2011), h.179.
40
tersebut muncul dalam kegiatan ekonomi syariah. Bahkan dalam ekonomi syariah
tersebut masih banyak sengketa-sengketa yang lebih khusus digunakan sesuai
kategori ekonomi syariahnya masing-masing, misalnya sengketa perbankan
syariah dan selainnya. Sekalipun demikian, konsep sengketa ekonomi syariah
tersbut menggambarkan bahwa perselisihan atau pertentangan yang terjadi itu
muncul dari salah satu kegiatan ekonomi syariah yang sangat beragam, atau
bahkan bisa juga disebabkan karena perselisihan dalam akad, atau karena sebab-
sebab lainnya yang intinya menitikberatkan pada terjadinya pertentangan (conflict
of interest) di antara para pihak yang sedang melakukan kegiatan dalam ekonomi
atau bisnis syariah.
Munculnya sengketa ekonomi syariah tentunya membutuhkan suatu upaya
penyelesaian yang tidak memihak kepada salah satu pihak, sehingga sengketa-
sengketa yang muncul tersebut dapat diselesaikan berdasarkan keadilan terhadap
semua pihak-pihak yang bersengketa. Oleh sebab itu, sejak dahulu dalam tradisi
Islam klasik telah dikenal beberapa metode yang dapat ditempuh sebagai upaya
untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang terjadi, bahkan metode-
metode yang ditawarkan tersebut juga tidak terlalu berbeda jauh dengan metode
penyelesaian sengketa ekonomi atau sengketa bisnis pada umumnya.
Metode penyelesaian sengketa yang ditawarkan dalam ekonomi syariah
dapat ditempuh melalui 3 (tiga) macam cara, yaitu melalui metode perdamaian
(Sulhu), Arbitrase Syariah (Tahkim), dan melalui lembaga Peradilan Syariah
41
(Qadha).26 Ketiga metode ini jika dilihat dari aspek prosesnya, maka metode-
metode penyelesaian tersebut dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu pertama dapat
dilakukan melalui proses nonlitigasi di luar lembaga Peradilan atau yang lebih
dikenal dengan istilah “penyelesaian sengketa alternatif” atau dengan istilah
Alternative Disputes Resolution (ADR) yang umumnya didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbirase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dan proses kedua dapat dilakukan melalui cara yang sebaliknya, yaitu
melalui litigasi di lembaga-lembaga Peradilan yang didasarkan pada ketentuan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, dan beberapa regulasi lainnya yang mengatur
terkait dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
1. Melalui Perdamaian (Sulhu)
Metode perdamaian (as-Sulhu) ini dianggap sebagai langkah pertama
yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan apapun,
baik yang terkait dengan ekonomi syariah maupun selainnya. Dalam metode
ini, diperlukan adanya suatu upaya untuk mencapai hakekat perdamaian,
sehingga prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak
untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul_Nya (Al-Sunnah) dalam
proses penyelesaian atas segala persoalan.
26 Burhanuddin, Hukum Bisnis Syari’ah, h.243.
42
Upaya damai tersebut biasannya ditempuh melalui cara musyawarah
(syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih, namun
harus tetap pada koridor atau prinsip utamanya yang mengedepankan prinsip-
prinsip syari’at, sehingga persoalan-persoalan yang muncul di antara para
pihak yang bersengketa dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
2. Melalui Arbitrase Syariah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal
keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak
seperti dalam metode pertama, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak
ketiga dengan menjadikannya sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya
akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak
mampu mencapai kesepakatan damai, sedangkan institusi formal yang khusus
dibentuk untuk menangani sengketa yang terjadi disebut dengan “arbitrase”.
Dalam istilah ekonomi Islam, metode ini dikenal dengan istilah
“tahkim”, dan menyebut pihak ketiga atau penengahnya dengan istilah
“hakam”. Sedangkan intitusi formalnya juga menggunakan istilah yang sama,
yaitu “arbitrase”, hanya saja dalam ekonomi Islam diikutsertakan juga kata
“syariah”, sehingga disebut dengan lembaga Arbitrase Syariah.
Di Indonesia secara khusus, lembaga ini telah dibentuk oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan diresmikan pada Tanggal 21 Oktober 1993, yaitu
dengan nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Kemudian
dalam perkembangan selanjutnya, institusi tersebut telah berganti nama
43
menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (basyarnas) sesuai kesepakatan
dalam Rakernas MUI tahun 2002, dimana perubahan dalam bentuk dan
kepengurusannya dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003.27
3. Melalui lembaga Peradilan Syariah (Qadha)
Selain kedua metode yang dipaparkan, ada juga metode penyelesaian
sengketa ekonomi syariah yang dilakukan melalui litigasi di lembaga-
lembaga peradilan syariah (Qadha). Metode ini juga dianggap sebagai pilihan
metode terakhir dalam penyelesaian sengketa, sehingga pada umumnya
sengketa yang tidak juga mendapatkan perdamaian akan berujung pada
penyelesaian melalui lembaga Peradilan tersebut.
Lembaga Peradilan Syariah yang memiliki kewenangan penyelesaian
sengketa ekonomi syariah di Indonesia adalah Peradilan Agama. Hal tersebut
sesuai dengan kompetensi absolut Peradilan Agama yang ditentukan dalam
Pasal 49 hurf (i) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 49 tersebut menyatakan bahwa: “Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaian perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a) perkawinan;
b) waris; c) wasiat; d) hibah; e) wakaf; f) zakat; g) infak; h) sedekah; dan i)
ekonomi syariah”.
27 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (T.tp: GhaliaIndonesia, 2009), h.171.
44
Selain paparan di atas, pembahasan sebelumnya tentang kompetensi
absolut Peradilan Agama juga telah menguraikan secara terperinci terkait
dengan maksud ekonomi syariah dan kewenangan penyelesaiannya yang
secara absolut merupakan kewenangan Peradilan dalam lingkungan Peradilan
Agama, bukan di lingkungan peradilan lainnya.
D. Ekonomi Syariah Sebagai Kewenangan Baru Peradilan Agama
Sebelumnya telah berulang-ulang dipaparkan bahwa munculnya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (amandemen pertama Undang-Undang
Peradilan Agama) menambahkan kompetensi absolut Peradilan Agama dalam
perkara ekonomi syariah, bahkan tidak hanya terbatas pada perkara yang terjadi di
antara orang-orang sesama muslim, namun juga mencakup kepada orang-orang
atau lembaga/ badan hukum yang menundukkan diri pada ketentuan hukum Islam
dalam hal ekonomi syariah tersebut.
Paparan tersebut menunjukkan bahwa munculnya amandemen pertama
Undang-undang Peradilan Agama yang memberikan perluasan kompetensi dari
yang sebelumnya hanya terfokus pada kasus-kasus dalam bidang hukum keluarga,
seperti pemutusan perkawinan, sengketa waris dan wasiat, permasalahan tentang
wakaf, dan selainnya, menjadi berwenang juga untuk menangani permasalahan
seputar ekonomi atau bisnis yang dilakukan secara Islam atau syariah, yang sama
sekali masih baru bagi Peradilan Agama.
45
Oleh sebab itu, wajar jika banyak yang beranggapan bahwa ekonomi
syariah tersebut menjadi suatu babak baru bagi lembaga Peradilan Agama.
Artinya, permasalahan-permasalahan yang sama sekali tidak pernah dihadapkan
kepada Peradilan Agama akan mulai dihadapkan saat berlakunya amandemen
Undang-undang Peradilan Agama yang dipaparkan. Bahkan tidak cukup sampai di
situ saja, aturan yang memberikan perluasan kompetensi dalam perkara ekonomi
syariah tersebut juga dijadikan sebagai momentum paling bersejarah bagi
perkembangan Peradilan Agama.28 Tentunya dengan alasan yang sama seperti
yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian, sejak berlakunya aturan yang
menjadi babak baru atau momentum bersejarah tersebut, maka lembaga Peradilan
Agama mendapat tantangan besar agar mampu memahami hal-hal yang menjadi
kewenangan barunya tersebut.
Para penegak hukum di Pengadilan Agama secara khusus, baik para Hakim
ataupun selainnya dituntut agar memiliki kualitas dan kapabilitas dalam hal-hal
yang berkaitang dengan kompetensi baru Peradilan Agama, sehingga unsur-unsur
keadilan dan kemanfaatan serta kepastian hukum terkait dengan perkara ekonomi
syariah dapat diwujudkan melalui putusan-putusan kasus ekonomi syariah yang
dihadapkan kepada lembaga-lembaga Peradilan Agama di Indonesia.
28 Faisol, Problem Pelaksanaan Kompetensi Pengadilan Agama Jember di Bidang EkonomiSyariah, h.165.
46
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan salah satu instansi yang
melaksanakan tugas dan fungsi serta kewenangan di wilayah Kabupaten/ Kota
sesuai dengan yurisdiksi yang dimanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur terkait dengan Peradilan Agama di Indonesia secara umum.
Sebagaimana instansi Pengadilan di wilayah lainnya, Pengadilan Agama
Jakarta Selatan juga memiliki dasar hukum dan landasan kerja tertentu, yaitu:
- Pasal 24, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945;
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975;
- Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963
tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
- Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan Wewenang
Pengadilan Agama.1
1 “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: Dikutip pada Tanggal 9 April 2017, dari:http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/sejarah
47
Kedudukan Peradilan Agama Jakarta Selatan merujuk pada regulasi yang
mengatur terkait dengan kedudukan Peradilan Agama di Indonesia, yaitu sebagai
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power), sebagaimana yang
diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD
1945), Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang telah
diamandemen untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Sedangkan kewenangan Peradilan Agama Jakarta Selatan juga merujuk
pada aturan-aturan Perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kompetensi
atau kewenangan Peradilan Agama sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab
kedua penelitian ini. Misalnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 Undang-
Undang Peradilan Agama dalam kompetensi Absolut, serta Pasal 66 Undang-
Undang Peradilan Agama dan HIR, serta RBG tentang kewenangan relatifnya.
Selain sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dan tugas pokoknya dalam
kewenangan absolut di atas, Pengadilan Agama Jakarta Selatan juga memiliki
fungsi, antara lain sebagai berikut:
a. Fungsi mengadili (judicial power), menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
(Vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
48
b. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, petunjuk
kepada pejabat sturuktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik
menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi
umum/ perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (Vide: Pasal
53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006;
c. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,. Panitera Pengganti,
Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. (Vide: Pasal 53 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan
administrasi umum kesektariatan serta pembangunan. (Vide: KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006);
d. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (Vide:
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
e. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan adminitrasi peradilan (teknis
dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan,dan umum/
perlengkapan). (Vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006); dan
f. Fungsi lainnya, yaitu: 1) melaksanakan koordinasi dalam pelaksanaan tugas
hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI,
Ormas Islam, dan lain-lain. (Vide: Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun
49
2006); dan 2) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/ penelitian dan
sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam
era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan).2
1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Dan
pada awalnya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat 3
(tiga) kantor yang dinamakan dengan “Kantor Cabang”, yaitu:
- Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara;
- Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah; dan
- Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk.3
Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976, semua
Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang
berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum
2 “Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/
3 “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/
50
Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya
istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 61 Tahun 1985,
Pengadilan Tinggi Agama Surakata dipindah ke Jakarta, akan tetapi
realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987, dan secara otomatis
Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi
Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun
1967 merupakan cabang di Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang
berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu adalah
cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan
bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan
yang wilayahnya cukup luas. Keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan
darurat yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu di
suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama
Pasar Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. Polana. 4
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian, kalaupun ada
tentang warisan, masuk kepada komparisi. Itu pun dimulai pada tahun 1969,
kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bismar
4 “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/
51
Siregar, S.H. Sebelum tahun 1969, pernah pula membuat fatwa waris, akan
tetapi hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan
kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Hasan Mughni
ditahan karena Penetapan Fatwa Waris. Oleh karenanya, sejak saat itu Fatwa
Waris ditambah dengan kalimat "jika ada harta peninggalan".
Pada tahun 1976, gedung kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati
serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan kantor cabang pun
dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kemudian diangkat
pula beberapa hakim honorer yang di antaranya adalah H. Ichtijanto, S.A., S.H.
Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat pula oleh Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring dengan
perkembangan tersebut, diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas-
tugas kepaniteraan yaitu, Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi, Saimin,
Tuwon Haryanto, Fathullah AN., Hasan Mughni, dan Imron. Keadaan
penempatan kantor di serambi Masjid tersebut, bertahan hingga tahun 1979.5
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama
Jakarta Selatan diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung . Kemudian pada
awal Mei 2010, diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas
perkantoran di gedung baru tersebut. Pada saat itu Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H. Ahsin A. Hamid, S.H.
5 “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/
52
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam
segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam
hal peningkatan TI (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih disertai
dengan aplikasi-aplikasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti
aplikasi SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama)
yang sudah berjalan, sistem informasi mandiri dengan layar sentuh
(touchscreen), serta situs web "http://www.pa-jakartaselatan.go.id".6
2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Visi Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah untuk “Mewujudkan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang Agung”. Sedangkan Misinya adalah:
- Meningkatkan profesionalisme Hakim dan seluruh aparat Pengadilan
Agama Jakarta Selatan;
- Mewujudkan manajemen perkara yang modern;
- Meningkatkan kualitas sistem pemberkasan, minutasi, banding, kasasi, dan
peninjauan kembali;
- Meningkatkan kajian syari’ah hukum acara dan materil yang berkenaan
dengan kewenangan Peradilan Agama;
- Mewujudkan pelayan prima bagi para pencari keadilan.7
6 “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/
7 “Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/
53
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada
aturan-aturan berikut:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
b. Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor KMA/004/II/92 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama;
c. KMA Nomor 5 Tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan; dan
d. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan.8
Sedangkan untuk Bagan struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tersebut mengacu pada ketentuan PERMA Nomor 7 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesektariatan Peradilan,
baik bagan yang terkait dengan struktur organisasi dalam kepaniteraan,
maupun dalam kesekretariatannya.
Bagan struktur organisasi dalam kepaniteraan dan kesekretariatan yang
diatur dalam PERMA Nomor 7 Tahun 2015 tersebut jika dikaitkan dengan
instansi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan kedudukannya sebagai
Pengadilan Kelas 1 A, maka akan dapat digambarkan dengan acuan dalam
lampiran I dan Lampiran II PERMA tersebut, yaitu sebagai berikut:
8 “Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/
54
Bagan Struktur Organisasi Kepaniteraan Pengadilan Agama Kelas 1A
PANITERA
PANITERA MUDA
PERMOHONAN
PANITERA MUDA
GUGATAN
PANITERA MUDA
GUGATAN
KELOMPOK JABATANFUNGSIONAL
- Panitera Pengganti- Jurusita/ Jurusita
Pengganti- Pranata Peradilan
55
Bagan Struktur Organisasi Sekretariat Pengadilan Agama Kelas 1A
SEKRETARIAT
SUBBAGIANPERENCANAANTEKONOLOGIINFORMASI,
DANPELAPORAN
SUBBAGIANKEPEGAWAIAN,
ORGANISASI,DAN
TATA LAKSANA
SUBBAGIANUMUM
DANKEUANGAN
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL1. Fungsional Arsiparis2. Fungsional Pustakawan3. Fungsional Pranata Computer4. Fungsional Bendahara
56
Dalam struktur organisasi tata kerja pelaksanaan peradilan di instansi
Pengadilan Agama Jakarta Selatan secara khusus, terlihat beberapa jabatan
yang digunakan, yaitu sebagai berikut:
- Ketua Pengadilan;
- Wakil Ketua Pengadilan;
- Hakim Madya Utama;
- Hakim Madya Muda;
- Hakim Utama Muda;
- Panitera;
- Sekretaris;
- Kasubag Umum dan Keuangan;
- Kasubag Perencanaan, Teknologi Informasi, dan Pelaporan;
- Kasubag Kepegawaian, Organisasi, dan Tata Laksana;
- Wakil Panitera;
- Panmud Gugatan;
- Panmud Hukum; dan
- Panmud Permohonan.9
Untuk mengetahui secara lengkap mengenai nama-nama masing-masing yang
mengisi jabatan yang disebutkan dalam struktur organisasi di atas, dapat dilihat
di website resmi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
9 “Daftar Nama Pejabat dan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/
57
B. Kebijakan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dalam Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagai salah satu wujud perkara
ekonomi syariah yang menjadi kompetensi baru Peradilan Agama di Indonesia
masih menimbulkan berbagai opini-opini yang mengarah pada keraguan
masyarakat terhadap lembaga Peradilan Agama dalam hal kompetensi barunya
tersebut. Baik yang secara khusus pada kualitas dan kapabilitas para Hakim dalam
menangani sengketa ekonomi syariah sebagaimana telah berulang-ulang kali
disampaikan, maupun pada kualitas para SDM Pengadilan Agama secara umum.
Dalam perjalanan dan perkembangan kewenangan Peradilan Agama dalam
sengketa ekonomi syariah tersebut, secara umum telah bisa dilakukan penilaian
tersendiri terkait dengan opini-opini yang masih sering muncul tersebut. Demikian
juga dengan Peradilan Agama Jakarta Selatan, penilaian-penilaian secara umum
tentang kualitas para SDM nya akan terlihat dari beberapa aspek, diantaranya dari
kesiapan para SDM Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam menghadapi kasus
sengketa ekonomi syariah, dari beberapa contoh-contoh kasus ekonomi syariah
yang telah diselesaikan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan hambatan atau
kendala-kendala yang muncul dalam proses penyelesaian sengketa ekonomi
syariah yang dihadapkan, serta aspek-aspek lainnya.
1. Kesiapan SDM Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dalam Menghadapi Kasus
Sengketa Ekonomi Syariah
58
Secara garis besar sebenarnya telah dipahami bahwa pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan
kompetensi penyelesaian perkara ekonomi syariah kepada Lembaga Peradilan
Agama, maka semua SDM di instansi Peradilan Agama di Indonesia yang
termasuk juga SDM Pengadilan Agama Jakarta Selatan harus siap untuk
menghadapi perkara-perkara ekonomi syariah yang dihadapkan kepada
mereka, terlepas itu berbentuk sengketa maupun jenis perkara-perkara ekonomi
syariah lainnya.
Dalam beberapa hasil penelitian yang telah ada menyebutkan bahwa
instansi Peradilan Agama secara umum telah memiliki kesiapan untuk
menghadapi kewenangan baru dalam hal ekonomi syariah, baik dari para SDM
nya secara umum maupun para Hakim-Hakimnya.10 Selain itu, dengan
dibuatnya berbagai regulasi yang secara khusus berkaitan dengan penyelesaian
sengketa dan perkara-perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama, dan juga
dilaksanakannya pendidikan serta pelatihan-pelatihan khusus bagi para SDM
Pengadilan Agama, maka yang demikian itu juga akan semakin membuktikan
kesiapan mereka dalam menghadapi sengketa dan perkara ekonomi syariah
yang disebutkan.
10 Akhyar Ari Gayo, Kesiapan Pengadilan Agama Menerima, Memeriksa, dan MenyelesaikanPerkara Ekonomi Syariah, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional dan HAM, 2009), h.141. Lihatjuga, La Suriadi, Hasil penelitian tentang “Sengketa Ekonomi Syariah dan Kesiapan Peradilan Agama”.Dikutip pada Tanggal 09 April 2017, dari: www.pta-ambon.go.id/
59
2. Beberapa Contoh Kasus Ekonomi Syariah Yang Diselesaikan Di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
Dari data-data yang ditemukan dalam berbagai sumber, ada beberapa
kasus tentang perkara ekonomi syariah yang telah dihadapkan kepada lembaga
Peradilan Agama Jakarta Selatan, diantaranya yang berkaitan dengan sita
jaminan seperti Putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1901/Pdt.G/2016/PA.JS
Tahun 2016, yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum seperti Putusan
PA Jakarta Selatan Nomor 2400/Pdt.G/2013/PA.JS Tahun 2013, yang
berkaitan dengan sengketa asuransi syariah seperti Putusan PA Jakarta Selatan
Nomor 1221/Pdt.G/2009/PA.JS Tahun 2009, dan yang berkaitan dengan jenis-
jenis perkara lainnya yang sebagian sudah memiliki status berkekuatan hukum
tetap atau belum berkekuatan hukum tetap, dan sebagian lainnya tidak dapat
diterima atau ditolak dengan beberapa alasan tertentu maupun selainnya.11
3. Hambatan Yang Dihadapi Oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan Secara
Khusus dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Dalam perjalanan proses penyelesaian perkara-perkara ekonomi syariah
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan secara khusus, tidak ditemukan kendala
dan hambatan dalam melaksanakannya. Artinya, penyelesaian sengketa dan
perkara-perkara ekonomi syariah yang dihadapkan kepada instansi Pengadilan
11 Direktori Putusan Mahkamah Agung, diakses pada Tanggal 09 April 2017, dari:https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-jakarta-selatan/direktori/perdata-agama/-/index-2.html
60
Agama Jakarta Selatan berjalan dengan baik dalam proses sampai
penyelesaiannya. Hal yang demikian disebabkan para Hakim secara umum
telah memiliki basic keilmuan tentang fiqh muamalah dalam Islam, sehingga
perkara-perkara ekonomi syariah yang merupakan wujud pengaplikasian dan
pengembangan dari dasar-dasar yang telah diatur dalam fiqh muamalah bukan
menjadi suatu hal yang baru bagi sebagian besar para Hakim di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, bahkan para Hakim Peradilan Agama secara umum di
seluruh Indonesia.12 Memang kewenangan baru yang dianggap strategis13
tersebut menjadi momentum bersejarah bagi Peradilan Agama sejak
amandemen pertama Undang-Undang Peradilan Agama (Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006), namun sebagian besar para Hakim telah memiliki basic
keilmuan terkait dengan muamalah yang merupakan dasar-dasar tentang
ekonomi syariah yang dikenal saat ini. Meskipun konsep ekonomi syariah yang
dikembangkan saat ini telah memperkenalkan berbagai istilah-istilah baru yang
belum dikenal dalam tradisi Islam klasik.
Pengaplikasian konsep muamalah dalam perkembangan ekonomi
syariah sebagaimana dipaparkan di atas, secara tidak langsung menunjukkan
bahwa kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah akan tetap menjadi
12 Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. H. Jarkasih, M.H., (salah satu Hakim di PengadilanAgama Jakarta Selatan), pada Tanggal 31 Maret 2017 di Gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
13 Mengadili sengketa ekonomi syariah menurut sebagian kalangan, dianggap sebagaitambahan kewenangan yang strategis. Lihat Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.65.
61
tantangan bagi Peradilan Agama di Indonesia, karena jelas terlihat bahwa
Pengadilan Agama belum memiliki pengalaman apapun dalam menyelesaikan
sengketa di bidang ekonomi syariah saat diamanatkannya kewenangan baru
tersebut.14 Dengan demikian, Peradilan Agama harus tetap mencari dan
mempersiapkan diri dalam menghadapi perkembangan-perkembangan yang
akan terjadi nantinya dalam perkara-perkara ekonomi syariah.
14 Afdol, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Pres, 2006),h.114.
62
BAB IV
KOMPETENSI HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Kompetensi Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan
kekuasaan kehakiman (judicial power).1 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengartikan Hakim dan Hakim
Konstitusi sebagai “pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam Undang-undang”. Sementara kekuasaan kehakiman itu sendiri
menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang tersebut diartikan sebagai:
“Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilanguna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demiterselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Penegakan hukum dan keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh
aturan Perundang-undangan terhadap kekuasaan kehakiman di atas dicerminkan
melalui lembaga-lembaga Peradilan (yudicial). Hal yang demikian juga secara
jelas diakomodir oleh Pasal 18 Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
melalui pernyataan sebagai berikut:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung danbadan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkunganPeradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
1 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan KekuasaanKehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h.125.
63
Paparan Pasal 18 yang memposisikan lembaga-lembaga peradilan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka, sehingga jelas bahwa Pengadilan
dianggap sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan sebagaimana
tujuan utama dari kekuasaan kehakiman tersebut. Bahkan juga dianggap sebagai
pilar utama dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan
keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi
prasyarat tegaknya martabat dan integritas Negara.2
Kedudukan pengadilan sebagai pilar utama tersebut tentunya tidak terlepas
dari peran Hakim yang diposisikan sebagai aktor utama (figure sentral) dalam
proses peradilan. Yaitu dicerminkan melalui suatu putusan yang diberikan pada
saat menyelesaikan dan mengakhiri suatu perkara di pengadilan. Oleh sebab itulah
seorang Hakim di Pengadilan harus memperhatikan 3 (tiga) hal yang sangat
esensial dalam memutuskan suatu perkara, yaitu: 1) keadilan (gerechtigheit); 2)
kemanfaatan (zwachmatigheit); dan 3) kepastian hukum (rechsecherheit).3
Keadilan (gerechtigheit) tentunya merupakan tujuan utama yang hendak
dicapai oleh masyarakat atau siapapun yang melimpahkan suatu perkara kepada
lembaga Pengadilan. Umumnya keadilan itu sendiri dipahami sebagai kondisi
kebenaran ideal secara moral mengenai suatu hal, baik menyangkut benda maupun
2 Lihat Alinea pertama Pembukaan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RepublikIndonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, (Jakarta; Tp, 2013), h.1.
3 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Cet-5,(Jakarta: Kencana, 2008), h. 291. Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, ed.Revisi.(Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), h.23.
64
orang.4 Sementara manfaat/ kemanfaatan (zwachmatigheit) menjadi suatu hal yang
harus didapatkan oleh masyarakat/ warga Negara dalam pelaksanaan atau
penegakan suatu hukum, karena pada dasarnya hukum memang diciptakan untuk
mengatur masyarakat itu sendiri.5
Sedangkan kepastian hukum (rechsecherheit) menjadi nilai yang pada
prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap masyarakat/ warga
Negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, baik antara warga
Negara dengan Negara maupun oleh sekelompok lain selain Negara, sehingga
hukum memberikan tanggung jawab pada Negara untuk menjalankan kepastian
hukum tersebut.6
Dalam alinea pertama Pembukaan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (selanjutnya disingkat dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim) juga disebutkan bahwa “Kepastian hukum dan keadilan merupakan
conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah Negara yang
berdasarkan hukum”. Disinilah kemudian seorang Hakim di instansi Pengadilan
dituntut agar melaksanakan wewenang dan tugas-tugas yang diamanatkan kepada
4 Umar Sholehuddin, Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif Kajian Sosiologi Hukum,(Malang: Setara Pres, 2010), h.124.
5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet.II, (Yogyakarta: Liberty, 2005), h.160.
6 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat danAntinomi Nilai, cet.II, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2007), h.95.
65
mereka harus senantiasa bertujuan untuk menegakkan hukum, kebenaran dan
keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang atau siapapun
yang menghadapkan dan menyerahkan permasalahan yang sedang dihadapinya
kepada lembaga Peradilan.
Tujuan tersebut hanya akan tercapai jika para Hakim di instansi-instansi
Pengadilan telah dianggap mampu (berkompeten) dan memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk menyelesaikan permasalahan apapun yang dihadapkan kepada
mereka. Penilaian terhadap kompetensi para Hakim dan pemenuhan syarat-syarat
yang dimaksud tentunya disesuaikan dengan regulasi-regulasi yang secara khusus
mengatur tentang hal tersebut, baik yang ditentukan melalui Undang-Undang,
Peraturan Mahkamah Agung, maupun selainnya seperti Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, atau lain sebagainya.
Dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim misalnya, seorang Hakim dituntut
harus memenuhi prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku Hakim
yang diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku, yaitu: (1) Berperilaku
Adil; (2) Berperilaku Jujur; (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana; (4) Bersikap
Mandiri; (5) Berintegritas Tiinggi; (6) Bertanggung Jawab; (7) Menjunjung
Tinggi Harga Diri; (8) Berdisiplin Tinggi; (9) Berperilaku Rendah Hati; dan (10)
Bersikap Profesional.7 Yang tentunya masing-masing aturan perilaku tersebut
telah didasarkan pada syarat-syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam regulasi
7 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, h.9.
66
yang ada. Terlepas regulasi yang mengatur tersebut telah secara umum mengatur
bagi keseluruhan lembaga-lembaga Peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang dipaparkan sebelumnya, atau bahkan regulasi yang secara khusus
mengatur syarat dan ketentuan bagi para Hakim di suatu lembaga Peradilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan
Militer, dan lingkungan Peradilan lainnya. Pastinya berbagai regulasi yang dibuat
akan menentukan syarat dan ketentuan yang memposisikan para Hakim agar
memiliki kualitas dan kapabilitas yang sesuai dengan wewenang yang
diamanatkan kepada masing-masing lingkungan Peradilan yang disampaikan.
Di lingkungan Peradilan Agama secara khusus, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi agar dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Agama, yaitu
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yaitu sebagai berikut:
“Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Agama, seseorangharus memenuhi syarat sebagai berikut:a. Warga Negara Indonesia;b. Beragama Islam;c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;d. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;e. Sarjana Syariah, Sarjana Hukum Islam atau Sarjana Hukum yang
menguasai hukum Islam;f. Lulus pendidikan Hakim;g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban;h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;i. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40
(empat puluh) tahun; dan
67
j. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatanberdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum tetap.
Sedangkan untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang
disebutkan oleh Pasal 13 di atas diamanatkan oleh Pasal 13A Undang-Undang
tersebut kepada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melalui wewenang untuk
melakukan proses pengangkatan Hakim Pengadilan Agama melalui seleksi yang
transparan, akuntabel dan partisipatif. Bahkan Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial tersebut juga diberikan kewenangan untuk membuat ketentuan lebih
lanjut mengenai proses seleksi Hakim Pengadilan Agama.
Dengan demikian, para Hakim Pengadilan Agama secara khusus yang
telah lulus seleksi dianggap telah memiliki kualitas dan kapabilitas atau dianggap
telah berkompeten untuk melaksanakan tugas dan wewenang Peradilan Agama,
yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang-bidang yang menjadi yurisidiksi
absolut (kewenangan absolut) Peradilan Agama sesuai amanat Pasal 49 Undang-
Undang Peradilan Agama yang telah diuraikan spesifik di bab sebelumnya.
Sekalipun demikian, kompetensi Hakim Pengadilan Agama masih
dikecualikan dalam Perkara di bidang ekonomi syariah, tentunya dengan alasan
karena perkara ekonomi syariah masih dianggap sebagai kewenangan baru bagi
Peradilan Agama, sehingga diperlukan seleksi secara khusus untuk menentukan
kompetensi Hakim Pengadilan Agama dalam kewenangan barunya tersebut.
68
B. Kompetensi Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Sesuai dengan paparan sebelumnya, dalam perkara ekonomi syariah
diperlukan seleksi khusus untuk menentukan kompetensi seorang Hakim di
Pengadilan Agama. Selain karena masih dianggap sebagai kewenangan baru,
bidang ekonomi syariah yang merupakan pengaplikasian dari konsep-konsep yang
dikenal dalam fiqh muamalah di masa tradisi Islam klasik, telah banyak yang
mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan ekonomi global saat ini.
Selain itu, keinginan masyarakat (secara khusus di Indonesia) semakin
meningkat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pranata ekonomi
syariah, yang tentu saja dapat berpotensi menimbulkan sengketa di antara warga
masyarakat. Sementara Pengadilan Agama sebagai salah satu instrumen penegak
hukum memiliki tanggung jawab untuk menjamin penegakan hukum ekonomi
syariah di Indonesia berjalan dengan baik, sehingga dalam perkara ekonomi
syariah yang disebutkan perlu ditangani secara khusus oleh Hakim Peradilan
Agama yang memahami teori maupun praktik bisnis berdasarkan prinsip syariah.8
Beberapa paparan tersebut diposisikan sebagai landasan sosiologis
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi
Hakim Ekonomi Syariah, sehingga kemudian dilakukan seleksi kembali oleh
Mahkamah Agung untuk menentukan Hakim-Hakim yang dianggap telah
berkompeten dalam menangani dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
8 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2016 tentang SertifikasiHakim Ekonomi Syariah, halaman Konsideran huruf (b), huruf (c), dan huruf (d).
69
Hakim-Hakim yang dianggap telah berkompeten tersebutlah yang kemudian lulus
seleksi dan diberikan sertifikasi sebagai Hakim ekonomi syariah, bahkan itulah
yang kemudian disebut dengan “Hakim Ekonomi Syariah”. Hal yang demikian
dinyatakan dalam Pasal 1 angka (2) PERMA Nomor 5 Tahun 2016, yaitu sebagai
berikut:
“Hakim Ekonomi Syariah adalah Hakim Peradilan Agama yang telahbersertifikat dan diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung RepublikIndonesia”.
Kemudian dalam Pasal 2 PERMA tersebut dinyatakan bahwa:
“Perkara ekonomi syariah harus diadili oleh Hakim Ekonomi Syariahyang bersertifikat dan diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung RepublikIndonesia”.
Sedangkan tujuan dari sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah menurut Pasal 3
PERMA Nomor 5 Tahun 2016 adalah “untuk meningkatkan efektifitas
penanganan perkara-perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah sebagai bagian dari upaya penegakan hukum ekonomi syariah yang
memenuhi rasa keadilan”. Dalam hal ini, jelas terlihat bahwa pengkhususan
Hakim Pengadilan Agama dalam perkara ekonomi syariah memiliki alasan yang
kuat dalam upaya menegakkan keadilan dan efektivitas dalam penyelesaian
perkara ekonomi syariah secara umum, baik yang berkaitan dengan sengketa
maupun perkara-perkara ekonomi syariah jenis lainnya.
Selanjutnya dalam Bab IV Pasal 6 PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang
Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah dinyatakan secara jelas mengenai kriteria
yang harus terpenuhi untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ekonomi Syariah,
70
yaitu: a) persyaratan administrasi; b) persyaratan kompetensi; c) persyaratan
integritas; d) mengikuti pelatihan; dan e) dinyatakan lulus seleksi oleh Tim
Seleksi.9 Dalam persyaratan kompetensi secara khusus, paling sedikit harus
memenuhi 4 (empat) hal berikut, yaitu:
1. Mampu memahami norma-norma hukum ekonomi syariah;
2. Mampu menerapkan hukum sebagai instrumen dalam mengadili perkara
ekonomi syariah;
3. Mampu melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mewujudkan
keadilan; dan
4. Mampu menerapkan pedoman beracara dalam mengadili perkara ekonomi
syariah.10
Paparan tersebut menunjukkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang Hakim dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan
Agama paling tidak harus memenuhi keempat persyaratan kompetensi yang
diakomodir dalam PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim
Ekonomi Syariah, dan tentunya harus dinyatakan lulus oleh Tim Seleksi Hakim
Ekonomi Syariah. Bahkan tidak cukup sampai di situ saja, setelah lulus seleksi
pun para Hakim Ekonomi Syariah masih diberikan pelatihan, yang tentunya
ditujukan untuk mencapai tujuan sertifikasi Hakim ekonomi syariah yang
dipaparkan sebelumnya.
9 Pasal 6 ayat (1) PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah.
10Pasal 6 ayat (3) PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah.
71
C. Kompetensi Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Kompetensi Hakim di peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama telah
dipaparkan sebelumnya, sehingga secara otomatis dapat dinyatakan bahwa para
Hakim Peradilan Agama atau yang biasa juga disebut dengan istilah “Hakim
Agama” harus memiliki kompetensi dalam bidang-bidang yang menjadi
kewenangan absolut Peradilan Agama.
Jika dikaitkan dengan kewenangan absolut Peradilan Agama yang
dinyatakan dalam Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama, tentunya para
Hakim Agama harus memiliki pemahaman yang mendalam terkait dengan
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan juga terkait
ekonomi syariah, baik hal tersebut yang berkaitan dengan teori masing-masing,
maupun dalam praktik, serta hal-hal lainnya yang mungkin saja memiliki
keterkaitan karena disebabkan oleh suatu hal yang belum secara jelas ditentukan
dalam regulasi yang sudah ada.
Hal yang demikian berlaku bagi semua Hakim di lingkungan Peradilan
Agama tanpa terkecuali, baik yang memiliki wilayah yurisdiksi di Daerah,
maupun sebaliknya di wilayah perkotaan. Sekalipun demikian, tetap tidak
mengesampingkan pengkhususan bagi Hakim Ekonomi Syariah yang telah
diuraikan pada pembahasan sebelumnya berdasarkan persyaratan-persyaratan
yang disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun
2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah.
72
Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan secara khusus, ketentuan mengenai
sertifikasi Hakim ekonomi syariah yang diatur dalam PERMA Nomor 5 Tahun
2016 tersebut telah diterapkan, sehingga dalam perkara-perkara ekonomi syariah
yang dihadapkan kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan akan ditangani dan
diadili oleh Hakim yang sudah memiliki sertifikat dan diangkat oleh Ketua
Mahkamah Agung sebagai Hakim Eonomi Syariah. Bahkan menurut fakta-fakta
di lapangan, seleksi Hakim Ekonomi Syariah tersebut dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung bagi Hakim-Hakim Peradilan Agama di seluruh wilayah
yurisdiksi Pengadilan Agama se-Indonesia, sehingga fakta-fakta dalam proses
seleksi Hakim Ekonomi Syariah akan secara otomatis menyatakan bahwa aturan
PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang Ekonomi Syariah telah diterapkan bagi
seluruh Hakim-Hakim Peradilan Agama di Indonesia.11
Dengan diterapkannya aturan PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang
Ekonomi Syariah, tentu kompetensi para Hakim di Pengadilan Agama pun akan
dipersyaratkan agar memenuhi 4 (empat) kriteria yang telah dipaparkan
sebelumnya dalam Pasal 6 ayat (3), yaitu sebagai berikut:
1. Mampu memahami norma-norma hukum ekonomi syariah;
2. Mampu menerapkan hukum sebagai instrumen dalam mengadili perkara
ekonomi syariah;
11 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak, Jarkasih, M.H., di Gedung Pengadilan AgamaJakarta Selatan Kelas 1A pada hari Jum’at, Tanggal 31 Maret 2017, Jam 13.30-15.30 WIB.
73
3. Mampu melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mewujudkan
keadilan; dan
4. Mampu menerapkan pedoman beracara dalam mengadili perkara ekonomi
syariah.
Keempat kriteria yang disebutkan merupakan syarat mutlak bagi para
Hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di lingkungan Peradilan
Agama, baik di Pengadilan Agama secara khusus maupun di wilayah lainnya. Hal
ini karena keempat kriteria tersebut dinyatakan sebagai persyaratan kompetensi,
dan persyaratan kompetensi itu sendiri merupakan salah satu prasyarat agar
seorang Hakim bisa lolos seleksi untuk mendapatkan sertifikasi dan diangkat
sebagai Hakim Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama sebagaimana telah
dipaparkan pada pembahasan sebelumnya pada kompetensi hakim dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Sedangkan dalam regulasi-regulasi
lainnya belum ditemukan aturan yang melihat secara spesifik pada standar atau
patokan yang dijadikan untuk menilai kompeten atau tidaknya Hakim Peradilan
Agama dalam penyelesaian ekonomi syariah.
Terlepas dari bentuk aturan yang mengakomodir hal-hal yang berkaitan
dengan kompetensi Hakim Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah
seperti Perma Nomor 5 Tahun 2016, para Hakim di lingkungan Peradilan Agama
secara khusus dan Sumber Daya Manusia (SDM) di lingkungan Peradilan Agama
telah menyatakan kesiapan mereka untuk menangani dan mengadili perkara-
perkara ekonomi syariah yang akan dihadapkan kepada mereka, baik yang
74
berbentuk sengketa seperti sengketa perbankan syariah maupun selainnya.12
Bahkan kesiapan tersebut telah dinyatakan dan dibuktikan sejak kewenangan
penyelesaian perkara ekonomi syariah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama kepada lembaga peradilan di lingkungan Peradilan
Agama.13
Salah satu bentuk kesiapan para Hakim dan SDM Pengadilan Agama di
atas diwujudkan melalui pembenahan di lingkungan Peradilan Agama dalam
menerima tugas baru di bidang ekonomi syariah, mulai dari pembentukan Tim
Ekonomi Syariah pada setiap Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan-pelatihan ekonomi syariah yang secara
khusus diberikan untuk meningkatkan kualitas dan kapabilitas para Hakim terkait
dengan kewenangan perkara ekonomi syariah tersebut, bahkan pelatihan-pelatihan
serta pendidikan khusus mengenai ekonomi syariah tersebut tidak hanya
dilakukan oleh internal Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan
lainnya, namun juga oleh beberapa lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan
dengan ekonomi syariah tersebut, salah satu contohnya adalah pelatihan ekonomi
syariah yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Tahun 2014
kepada para Hakim di beberapa wilayah Peradilan Agama dalam rangka
12 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak, Jarkasih, M.H., di Gedung Pengadilan AgamaJakarta Selatan Kelas 1A pada hari Jum’at, Tanggal 31 Maret 2017, Jam 13.30-15.30 WIB.
13 Gayo, Kesiapan Pengadilan Agama Menerima, Memeriksa, dan Menyelesaikan PerkaraEkonomi Syariah, h.141.
75
menambah perbendaharaan hukum ekonomi syariah kepada Hakim-Hakim
Agama tersebut.14 Demikian juga yang dilakukan oleh internal Pengadilan Agama
sendiri, mulai dari Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Direktorat
Jendral Badan Peradilan Agama (Badilag), sampai saat sekarang ini sejak
diterapkannya aturan sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah melalui seleksi yang
dilakukan secara ketat oleh Tim Seleksi yang dibentuk oleh Mahkamah Agung
sendiri, bahkan bagi para Hakim Agama yang telah lulus seleksi Hakim Ekonomi
Syariah itu sendiri pun masih diberikan pelatihan yang diselenggarakan selama 12
(dua belas) hari dengan menggunakan kurikulum, materi ajar, serta metode yang
disiapkan oleh Tim Khusus dan Pusdiklat Teknis Mahkamah Agung Republik
Indonesia.15
Pembuktian kesiapan para Hakim Agama yang dibuktikan dengan upaya-
upaya untuk meningkatkan kualitas dan kapabilitas para Hakim dalam menerima
dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah merupakan salah satu upaya yang
ditujukan untuk mencapai efektivitas penegakan hukum ekonomi syariah menuju
pelaksanaan hukum ekonomi syariah yang berkeadilan sebagaimana tujuan
dilakukannya sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah bagi para Hakim Agama.
Paparan tersebut bukan berarti meniadakan upaya-upaya yang dilakukan
sebelum munculnya aturan terkait dengan sertifikasi Hakim ekonomi syariah yang
14 Siti Nurhayati, Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama dalam Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Jurnal Pemikirandan Penelitian Sosial Keagamaan, Yudisia,vol.VII, No.2/Desember-2012, h.328.
15 Pasal 12 PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah.
76
telah dipaparkan. Artinya, upaya-upaya peningkatan kualitas dan kapabelitas para
Hakim Agama sebelum aturan sertifikasi Hakim ekonomi syariah juga telah
dibuktikan melalui kesiapan mereka dalam menerima wewenang baru yang
diamanatkan oleh Undang-Undang kepada lembaga Peradilan Agama, meskipun
menurut sebagian kalangan melihat pada keterbatasan-keterbatasan para Hakim
Agama untuk menguasai hal-hal yang berkaitan dengan perkara ekonomi syaraiah
yang diamanatkan.
Memang pada dasarnya, sebelum Perma Nomor 5 Tahun 2016 belum ada
aturan yang secara spesifik membahas terkait dengan kompetensi para Hakim
Agama dalam penyelesaian sengketa dan perkara ekonomi syariah, namun para
Hakim Agama secara khusus telah memiliki basic keilmuan di bidang syariah,
termasuk dalam permasalahan ekonomi yang diatur dalam fiqh muamalah dalam
ajaran Islam klasik, sehingga para Hakim hanya perlu untuk menggali dan
memperluas wawasan mereka terkait dengan pengaplikasian dasar-dasar keilmuan
di bidang fiqh muamalah tersebut ke dalam permasalahan-permasalahan ekonomi
syariah yang berkembang dewasa ini.16
Hal tersebut menjadi suatu tuntutan yang harus dipahami secara lugas oleh
para Hakim Agama dalam menangani perkara-perkara ekonomi syariah yang
dihadapkan kepada lembaga Peradilan Agama, meskipun belum ditemukan aturan
spesifik yang mengatur terkait dengan perkara-perkara yang dihadapkan kepada
16 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak, Jarkasih, M.H., di Gedung Pengadilan AgamaJakarta Selatan Kelas 1A pada hari Jum’at, Tanggal 31 Maret 2017, Jam 13.30-15.30 WIB.
77
mereka. Tuntutan atas keharusan untuk memahami perkara-perkara yang menjadi
kompetensi para Hakim ini disebabkan karena para Hakim dianggap tau hukum,
sehingga para Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih
hukumnya tidak ada atau kurang jelas (adagium ius curia novit). Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga
mengakomodir ketentuan adagium tersebut melalui pernyataan sebagai berikut:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutussuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukium tidak ada ataukurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Paparan Pasal 10 ayat (1) di atas secara tidak langsung menunjukkan
bahwa Hakim Agama yang berkedudukan sebagai aktor utama (figure sentral)
dalam instansi Pengadilan Agama tidak boleh menolak perkara-perkara ekonomi
syariah yang dihadapkan dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas,
sehingga sejak kewenangan penyelesaian perkara ekonomi syariah diamanatkan
kepada lembaga Peradilan Agama, maka Hakim Agama secara khusus telah
dinyatakan memiliki kompetensi/ kemampuan untuk menangani perkara-perkara
ekonomi syariah apapun yang dihadapkan kepada lembaga Peradilan Agama.
Salah satu perwujudan dari adagium ius curia novit yang diakomodir
dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di atas terlihat
pada perjalanan penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Sesuai dengan data yang didapatkan langsung dari Hakim
Ekonomi Syariah di lingkungan Pengadilan Agama Kelas 1A tersebut,
penyelesaian sengketa ekonomi syariah dan perkara-perkara ekonomi syariah
78
lainnya di Pengadilan Agama berjalan dengan baik sejak perkara di bidang
ekonomi syariah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
(Amandemen Pertama Undang-Undang Peradilan Agama) kepada lembaga
Peradilan Agama. Dan secara formal, tidak ada kendala atau hambatan yang
muncul dalam pelaksanaan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah
tersebut di instansi Pengadilan Agama. Meskipun regulasi-regulasi yang mengatur
secara spesifik terkait dengan ekonomi syariah pada saat itu masih sangat jarang
ditemukan.17
Paparan tersebut menunjukkan bahwa Hakim Agama di lingkungan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan secara khusus telah memiliki kompetensi
untuk menangani perkara-perkara ekonomi syariah yang dihadapkan kepada
instansi pengadilan tersebut. Kompetensi Hakim dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah itu sendiri memang tidak dirumuskan secara khusus sebelum
munculnya Perma tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah, namun para
Hakim Agama di Pengadilan Agama yang pada dasarnya telah memiliki basic
keilmuan syariah di bidang muamalah sebagaimana telah dipaparkan juga
sebelumnya, dan juga telah memiliki basic kesarjanaan bidang syariah atau
sarjana hukum Islam, atau bahkan basic sarjana hukum yang memahami keilmuan
bidang syariah secara otomatis telah mengetahui dan memahami norma-norma
dasar yang diatur dalam Islam, baik yang berkaitan dengan muamalah maupun
17 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak, Jarkasih, M.H., di Gedung Pengadilan AgamaJakarta Selatan Kelas 1A pada hari Jum’at, Tanggal 31 Maret 2017, Jam 13.30-15.30 WIB.
79
selainnya, sehingga mereka (para Hakim) hanya perlu menggali dan memperluas
wawasan mereka kembali dalam dasar-dasar yang diatur dalam muamalah serta
pengaplikasiannya dalam ekonomi syariah yang dikembangkan saat ini, sehingga
secara tidak langsung dapat juga dinyatakan bahwa para Hakim Agama telah
dianggap mampu atau telah memiliki kompetensi untuk memahami norma-norma
hukum ekonomi syariah, menerapkan hukum sebagai instrumen dalam mengadili
perkara ekonomi syariah, melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk
mewujudkan keadilan; dan telah memiliki kompetensi untuk menerapkan
pedoman beracara dalam mengadili perkara ekonomi syariah di Pengadilan
Agama.18
Dengan demikian, kompetensi para Hakim Agama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan secara khusus sebelum munculnya aturan Perma Nomor 5 Tahun
2016 tentang sertifikasi Hakim ekonomi syariah juga esensinya sama saja dengan
kompetensi yang diperjelas dalam Perma tersebut, sehingga munculnya penegasan
tentang persyaratan kompetensi yang harus terpenuhi oleh Hakim ekonomi
syariah diharapkan akan menciptakan efektivitas dalam penanganan perkara-
perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama sebagai bagian dari upaya
penegakan hukum ekonomi syariah yang memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan
serta kepastian hukum bagi seluruh warga Negara.
18 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak, Jarkasih, M.H., di Gedung Pengadilan AgamaJakarta Selatan Kelas 1A pada hari Jum’at, Tanggal 31 Maret 2017, Jam 13.30-15.30 WIB.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan analisis penulis yang telah dipaparkan pada
bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil sekaligus sebagai
jawaban terhadap rumusan permasalahan yang telah disampaikan adalah sebagai
berikut:
1. Kompetensi Hakim Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan setelah munculnya Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi
Syariah adalah harus telah bersertifikat dan diangkat sebagai Hakim
Ekonomi Syariah oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam
hal tersebut, seorang Hakim Ekonomi Syariah akan lulus seleksi jika telah
memenuhi beberapa persyaratan yang salah satunya dikategorikan sebagai
“persyaratan kompetensi”. Persyaratan kompetensi yang dimaksud tersebut
menurut Pasal 6 ayat (3) PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi
Hakim Ekonomi Syariah, paling sedikit meliputi 4 (empat) hal:
a. Mampu memahami norma-norma hukum ekonomi syariah;
b. Mampu menerapkan hukum sebagai instrumen dalam mengadili perkara
ekonomi syariah;
c. Mampu melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mewujudkan
keadilan; dan
81
d. Mampu menerapkan pedoman beracara dalam mengadili perkara ekonomi
syariah.
Sedangkan sebelum munculnya PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tersebut,
kompetensi Hakim Agama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah tidak ditentukan secara khusus,
namun basic keilmuan para Hakim Agama dalam bidang ilmu syariah,
dalam bidang fiqh muamalah dianggap telah berkompeten untuk
menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, meskipun para Hakim Agama tersebut diharuskan untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan-pelatihan yang ditujukan untuk
meningkatkan kualitas dan kapabilitas para Hakim Agama tersebut dalam
bidang ekonomi syariah yang semakin berkembang.
2. Kompetensi yang harus dimiliki oleh Hakim Agama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan secara umum adalah harus mampu memahami norma-norma
hukum yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan absolut Peradilan
Agama (dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syariah), dan mampu menerapkan hukum sebagai
instrumen dalam mengadili masing-masing perkara tersebut, serta mampu
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mewujudkan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum yang diposisikan sebagai unsur-unsur
yang harus terpenuhi dalam suatu putusan Hakim di Pengadilan. Sedangkan
untuk kompetensi yang menjadi standarisasi bagi para Hakim di Pengadilan
82
Agama tidak ditemukan regulasi yang mengaturnya secara khusus, selain
standar kompetensi Hakim Agama dalam penyelesaian perkara ekonomi
syariah yang telah disebutkan sebelumnya.
B. Saran
Dari uraian kesimpulan di atas, maka penulis merasa perlu untuk
mengemukakan beberapa saran berikut:
1. Kepada Lembaga Yudicial, agar memaksimalkan pendidikan dan pelatihan-
pelatihan tentang ekonomi syariah bagi para Hakim Peradilan Agama demi
meningkatkan kualitas para Hakim tersebut dalam bidang ekonomi syariah,
sehingga semua Hakim di lingkungan Peradilan Agama nantinya memiliki
kualitas yang mapan dalam menangani dan menyelesaiak perkara-perkara
ekonomi syariah tanpa perlu dilakukan seleksi dan sertifikasi;
2. Kepada badan Legislatif (Pembuat Undang-Undang), agar melihat pada
perkembangan-perkembangan ekonomi syariah dalam tataran praktek,
sehingga nantinya tidak menimbulkan terjadinya kekosongan hukum yang
disebabkan tidak ada regulasi yang secara khusus mengaturnya;
3. Kepada masyarakat secara umum, agar meningkatkan kepercayaan terhadap
lembaga Peradilan Agama, karena Hakim dan SDM di Pengadilan Agama
telah siap menerima dan menghadapi perkara-perkara ekonomi syariah yang
terjadi, dan para Hakim di Pengadilan Agama telah berkompeten untuk
menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah yang dihadapkan.
83
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Afdol. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Pres,2006.
Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum, ed.II. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Ali, Zainuddin. Hukum Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Sinar grafika, 2008.
Amandemen Undang-undang Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.III.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, cet.XII.Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2002.
Barlinti, Yeni Salma. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam SistemHukum Nasional di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan DiklatKementrian Agama RI, 2010.
Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Pengadilan Agama danMahkamah Syari’ah. Ed.1, Cet.I. Jakarta: Kencana, 2009.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia, cet.IV. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Burhanuddin. Hukum Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: UII Press, 2011.
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, cetX. Jakarta: Kencana, 2010.
Gayo, Akhyar Ari. Kesiapan Pengadilan Agama Menerima, Memeriksa, danMenyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah. Jakarta: Badan PembinaanHukum Nasional dan HAM, 2009.
Hadi, Sutrisno. Metode Research II. Yogyakarta: Andi Offset, 1989.
84
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UUNo. 7 Tahun 1989, ed.II, cet.V. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Hasan, Hasbi. Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian PerkaraEkonomi Syariah, Jakarta: Gramata Publishing, 2010.
Ismanto, Kuat. Asuransi Syari’ah: Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Kasmir, Bank dan Keuangan Lainnya, ed.Rev, cet.IX. Jakarta: Rajawali Pers,2009.
Lubis, Suhawardi K. Ekonomi Islam, Jakarta: Sinargrafika, 2000.
Lubis, Sulaikin dkk. Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, cet.III.Jakarta: Kencana, 2008.
Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi Tentang Konflik danResolusi dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Pustakan Alvabet,2008.
Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif KewenanganPeradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2012.
..........., ............. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan PeradilanAgama. Jakarta: Kencana, 2008.
Manullang, E. Fernando M. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan HukumKodrat dan Antinomi Nilai, cet.II. Jakarta: PT. Kompas MediaNusantara, 2007.
Mardani. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, cet.II. Yogyakarta: Liberty, 2005.
....................., ............ Teori Hukum, ed.Revisi. Yogyakarta: Cahaya AtmaPustaka, 2012.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 2004.
Mungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Pustaka Grafika, 2008.
85
Prasetyo, Teguh dan Halim Barkatullah, Abdul. Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan Bermartabat.Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Rahmadi, Takdir. Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama, cet.XIV. Jakarta: RajawaliPers, 2010.
Sari, Elsi Kartika. dan Simanunsong, Advendi. Hukum Dalam Ekonomi, ed.II.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008.
Sholehuddin, Umar. Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif KajianSosiologi HukumMalang: Setara Pres, 2010.
Silondae, Arus Akbar dan Ilyas, Wirawan B. Pokok-Pokok Hukum Bisnis. Jakarta:Salemba Empat, 2011.
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, ed.1, cet.II. Jakarta:Kencana, 2010.
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, danR & D. Bandung: Alfabeta, 2006.
Sunggono, Bambang. Metodologi Peneltian Hukum: Suatu Pengantar. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Sutedi, Adrian. Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. T.tp:Ghalia Indonesia, 2009.
Sutiyoso, Bambang dan Puspitasari, Sri Hastuti. Aspek-Aspek PerkembanganKekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Tim Penulis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (MSI UII),Menjawab Keraguan Berekonomi Syari’ah, cet.I. T. Tp: Safitria InsaniaPress, 2008.
86
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2016 tentangSertifikasi Hakim Ekonomi Syariah.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentangCara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.
Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi YudisialRepublik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/200902/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
C. Internet, Jurnal dan Media Lainnya
Avisena, Muhammad. “Prospek Ekonomi Syariah: Menuju Pusat SayariahDunia”, dikutip pada tanggal 05 April 2017, dari:http://koran.bisnis.com/read/20160517/446/548119/prospek-ekonomi-syariah-menuju-pusat-syariah-dunia
Faisol, Muhammad. Problem Pelaksanaan Kompetensi Pengadilan AgamaJember di Bidang Ekonomi Syariah. Jurnal Fenomena. Vol.15, No.1,April 2016.
Nurhayati, Siti. Penguatan Peran Hakim Pengadilan Agama dalam PenyelesaianSengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
87
Nomor 93/PUU-X/2012. Jurnal Pemikiran dan Penelitian SosialKeagamaan. Yudisia, vol.VII. No.2/Desember-2012.
Ridwan H, Asep. Pengaruh Perluasan Kompetensi Peradilan Agama terhadapPeningkatan Kualitas Hakim: Studi Penelitian di Pengadilan Agama Se-Jawa Barat. Hasil Penelitian. T. Th.
Suriadi, La. Sengketa Ekonomi Syariah dan Kesiapan Peradilan Agama. Dikutippada Tanggal 09 April 2017, dari: www.pta-ambon.go.id/
Website Resmi, Direktori Putusan Mahkamah Agung. Diakses pada Tanggal 09April 2017, dari: https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pa-jakarta-selatan/direktori/perdata-agama/-/index-2.html
Website Resmi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Diakses pada Tanggal 09April 2017, dari: http://pa-jakartaselatan.go.id/en/
Hasil wawancara Penulis dengan Bapak, Jarkasih, M.H., di Gedung PengadilanAgama Jakarta Selatan Kelas 1A pada hari Jum’at, Tanggal 31 Maret2017, Jam 13.30-15.30 WIB.