kode/nama bidang ilmu: 113/ biologi dan bioteknologi umum
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN MUDA
POTENSI ANTIOKSIDAN PAKAN YANG MENGANDUNG TANIN DAN PROTEASE UNTUK MEMPERBAIKI FUNGSI HATI DAN GINJAL
TIKUS SELAMA PERIODE GESTASI
TIM PENGUSUL:
Iriani Setyawati S.Si., M.Si. (Ketua) NIDN. 0017097401
I Gusti Ngurah Agung Dewantara Putra, S.Farm., Apt., M.Sc (Anggota) NIDN. 0023038205
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2014
Kode/Nama Bidang Ilmu: 113/ Biologi dan Bioteknologi Umum
iii
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, atas
rahmat-Nya, penulis berhasil melakukan penelitian dan menyelesaikan laporan akhir hasil
penelitian yang berjudul “Potensi Antioksidan Pakan yang Mengandung Tanin dan Protease
untuk Memperbaiki Fungsi Hati dan Ginjal Tikus selama Periode Gestasi”.
Keberhasilan penulis menyelesaikan penelitian ini karena adanya keterlibatan
berbagai pihak yang telah rela meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya, oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas
Udayana yang telah mendanai penelitian ini melalui Dana DIPA Tahun Anggaran
2014.
2. Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Udayana.
3. Laboratorium Patologi FKH Universitas Udayana (Pak Dewa).
4. Haryo Seto Wicaksono, S.Si. dan Nur Assiam, S.Si. atas segala bantuan yang
diberikan dalam penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa laporan akhir hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Denpasar, 26 November 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Lembar Identitas dan Pengesahan ………………………………………… ii Kata Pengantar ……………………………………………………………. iii Daftar Isi ………………………………………………………………….. iv Daftar Tabel ………………………………………………………………. v Daftar Gambar ……………………………………………………………. v Ringkasan …………………………………………………………………. vi BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3
2.1. Potensi Antioksidan Daun Kaliandra ............................................... 3
2.2. Penambahan Protease untuk Mengurangi Sifat Antinutrisi Tanin… 4
2.3. Nutrisi Hewan Gestasi …………………………………………….. 4
2.4. Fungsi Hati dan Ginjal sebagai Indikator Status Kesehatan………. 5
BAB III. METODE PENELITIAN ……………………………………... 7
3.1. Bahan Penelitian……………………………………………………. 7
3.2. Persiapan dan Penentuan Dosis Penyusun Ransum………………… 7
3.3. Pembuatan Ransum………………………………………………… 7
3.4. Penentuan Kadar Tanin Ransum…………………………………… 8
3.5. Analisis Aktivitas Antioksidan DPPH Scavenging Ransum in Vitro 9
3.6. Penelitian dengan Tikus Percobaan………………………………… 9
3.7. Preparasi Sediaan Histologi Hati dan Ginjal……………………….. 10
3.8. Penentuan Kadar SGOT- SGPT dan Kreatinin Plasma……………... 11
3.9. Analisis Data………………………………………………………… 11
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………. 12
4.1. Nilai IC 50% dan Kapasitas Antioksidan Ransum…………………. 12
4.2. Kadar SGPT, SGOT, dan Kreatinin dalam Darah Tikus…………… 14
4.3. Histopatologi Hati Tikus…………………………………………… 16
4.3. Histopatologi Ginjal Tikus…………………………………………. 18
BAB V. KESIMPULAN…………………………………………………… 22
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 23
LAMPIRAN………………………………………………………………… 25
v
Daftar Tabel
Tabel 1. Level dosis perlakuan ………………………….………………… 7
Tabel 2. Level Ransum Perlakuan ………………………………………… 8
Tabel 3. Nilai IC 50% dan kapasitas antioksidan ransum ………………… 13
Tabel 4. Rataan kadar SGOT, SGPT, dan Kreatinin darah tikus bunting…. 14
Tabel 5-6. Histopatologi Hati Tikus …………………………………………. 16
Tabel 7-8. Histopatologi Ginjal Tikus ………………………………………. 19
Daftar Gambar
Gambar 1. Gambaran histologi hati tikus yang diberi perlakuan ransum
selama gestasi …………………………………………………… 17
Gambar 2. Gambaran histologi ginjal tikus yang diberi perlakuan ransum
selama gestasi …………………………………………………… 20
vi
RINGKASAN
Daun kaliandra adalah legum tinggi protein (20-25%) yang mudah beradaptasi, tahan
hama dan mudah berkembang pada berbagai kondisi tanah dan lingkungan. Pemanfaatan
kaliandra di Bali masih terbatas untuk sapi, walaupun tersedia cukup melimpah di dataran
tinggi Tabanan dan Singaraja. Disana banyak dipelihara ternak non ruminansia (kelinci, babi
dan ayam) yang belum memanfaatkan kaliandra. Kendala pemanfaatan kaliandra untuk pakan
ternak non ruminansia adalah tingginya kadar tanin terkondensasi.
Tanin merupakan senyawa polifenol yang umumnya banyak mengandung
antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen
reaktif dan radikal bebas sehingga mampu mencegah kerusakan sel normal, protein (enzim,
reseptor, antibodi, dan pembentuk matriks serta sitoskeleton), DNA serta asam lemak tak
jenuh jamak yaitu komponen penting fosfolipid penyusun membran sel (Halliwell dan
Gutteridge, 1999). Namun, pakan yang kaya tanin dapat menurunkan digestibilitas protein
karena tanin dapat menghambat aktivitas tripsin dan enzim digestif lainnya dalam usus tikus
dan ayam (Los dan Podsedek, 2004).
Efek antinutrisi tanin dapat dikurangi dengan penambahan protease (enzim bromelin)
yang terkandung dalam limbah kulit nanas. Limbah ini banyak dihasilkan pasar/pedagang
buah di Bali, selama ini hanya dibuang. Kombinasi daun kaliandra, limbah kulit nanas dan
konsentrat diharapkan dapat mengurangi penggunaan pakan komersial, dan mengurangi biaya
produksi melalui pemanfaatan tanaman atau limbah.
Nutrisi sangat vital perannya untuk induk bunting. Nutrisi yang kurang baik dapat
mengurangi tingkat ovulasi, rendahnya angka konsepsi, tingginya kehilangan embrio dan
fetus, panjangnya anestrus pasca melahirkan, kurangnya air susu, tingginya kematian
perinatal dan rendahnya performans anak yang baru lahir. Potensi antioksidan alami daun
kaliandra diharapkan meningkatkan imunitas dan kesehatan induk bunting, diantaranya
tercermin dari perbaikan fungsi hati dan ginjal, tanpa efek merugikan bagi fetus dalam
kandungan.
Dibuat 16 kombinasi ransum dari konsentrat (pakan standar tikus), tepung daun
kaliandra dan kulit nanas. Pakan diproses dengan mesin pelleting, pelet dikeringkan dengan
freeze dryer lalu disimpan dalam refrigerator untuk menjaga kadar tanin dan protease.
Kapasitas antioksidan ransum diukur secara in vitro dengan metode DPPH Radical
Scavenging juga diukur kemampuan antioksidan menangkap radikal bebas DPPH (Okawa et
al., 2001). Tikus bunting 32 ekor dibagi 16 kelompok dan diberi perlakuan ransum selama
vii
gestasi. Bobot tubuh dan jumlah konsumsi pakan ditimbang setiap hari. Setelah kelahiran,
induk dikorbankan untuk koleksi sampel darah dan organ. Serum darah dianalisa kadar
SGPT, SGOT dan kreatinin. Organ hati dan ginjal induk dibuat sediaan histologi dengan
(metode parafin, pewarnaan HE) untuk pengamatan histopatologi. Data dianalisa secara
statistik dengan program SPSS.
Berdasarkan nilai IC 50% dan kapasitas antioksidan, ransum dengan potensi
antioksidan yang tertinggi adalah ransum B2T3 dari kombinasi 25% daun kaliandra dan
13,05 g/kg bb dalam ransum. Level daun kaliandra maupun protease nanas (bromelin) dalam
ransum tidak nyata meningkatkan kadar SGOT, SGPT dan kreatinin darah dibandingkan
kontrol. Sementara itu, derajat kerusakan sel pada gambaran histopatologi hati dan ginjal
tikus cenderung meningkat seiring peningkatan level kaliandra dan kulit nanas dalam ransum
yang diberikan selama gestasi, walaupun peningkatan nyata baru terjadi pada level tertinggi
yaitu 25% kaliandra dalam ransum, sebaliknya dosis protease nanas tidak nyata pengaruhnya.
Pakan yang mengandung kombinasi tanin dan protease dapat digunakan untuk
mempertahankan fungsi hati dan ginjal tikus selama periode gestasi karena potensial sebagai
antioksidan dan penangkap radikal bebas, juga tidak nyata pengaruhnya terhadap fungsi hati
dan ginjal yang dibuktikan melalui kadar SGPT, SGOT dan kreatinin darah serta gambaran
histopatologi hati dan ginjal.
1
BAB I. PENDAHULUAN
Hijauan legum kaliandra (Calliandra calothyrus) digunakan sebagai pakan ternak
karena kandungan proteinnya cukup tinggi 20-25%. Kaliandra segar yang diberikan pada
induk domba bunting dan laktasi dapat meningkatkan bobot badan induk saat melahirkan dan
penyapihan, pertumbuhan anak dan bobot sapih, dan menurunkan tingkat kematian anak
domba. Hal yang sama terjadi pada induk dan anak sapi yang sedang menyusui yang diberi
pakan campuran kaliandra dan legum lain (Wina dan Tangendaja, 2000).
Keunggulan kaliandra dibandingkan legum lain adalah memiliki banyak fungsi,
mudah beradaptasi, tahan hama dan mudah berkembang pada berbagai kondisi tanah dan
lingkungan. Namun demikian, pemanfaatan tanaman kaliandra di Bali masih terbatas untuk
ternak ruminansia sapi, padahal ketersediaan tanaman ini cukup melimpah di kawasan
dataran tinggi Kab. Tabanan dan Singaraja. Sementara itu, di daerah tersebut juga banyak
dipelihara ternak non r uminansia seperti kelinci, babi dan ayam yang belum tersentuh
pemanfaatan tanaman kaliandra.
Kendala yang membatasi pemanfaatan daun kaliandra sebagai sumber pakan bagi
ternak non ruminansia adalah kadar tanin terkondensasi 11,07% (Ahn et al., 1989) yang
tinggi dibandingkan legum lain. Tanin terkondensasi merupakan golongan senyawa polifenol.
Golongan senyawa polifenol dapat berupa asam-asam fenolat, polimer fenolat, dan flavonoid.
Polimer fenolat tersusun dari senyawa yang memiliki berat molekul besar seperti tanin, yang
terbagi menjadi dua jenis tanin yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Pada
umumnya tanaman golongan senyawa polifenol banyak mengandung senyawa aktif yang
berfungsi sebagai antioksidan.
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen reaktif dan
radikal bebas sehingga mampu mencegah kerusakan yang ditimbulkan terhadap sel normal,
protein (enzim, reseptor, antibodi, dan pembentuk matriks serta sitoskeleton), DNA (piranti
genetik dari sel) dan asam lemak tak jenuh jamak atau PUFA, yang merupakan komponen
penting fosfolipid penyusun membran sel. Senyawa ini memiliki struktur molekul yang dapat
memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas (donor elektron) tanpa terganggu
sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
Di balik keunggulan sebagai sumber protein dan tingginya potensi antioksidan dengan
adanya senyawa tanin, tingginya kadar tanin juga merupakan kelemahan kaliandra. Selain
menurunkan palatabilitas akibat rasa sepat (astrigency), tanin dapat berinteraksi dengan
protein sehingga menurunkan kecernaan protein pakan. Pakan kaya tanin dapat menyebabkan
2
penurunan digestibilitas protein dan bahan kering akibat efek penghambatan tanin terhadap
aktivitas tripsin dan enzim digestif lain di dalam usus tikus dan ayam (Los dan Podsedek,
2004). Pengaruh utama inhibitor tripsin adalah sekresi zymogen berlebihan dari pankreas,
sehingga menyebabkan hipertropi dan hiperplasia pankreas.
Efek antinutrisi tanin tersebut dapat dikurangi antara lain dengan penambahan
protease eksogen yaitu enzim bromelin yang terkandung dalam limbah kulit nanas. Limbah
kulit nanas cukup banyak dihasilkan setiap hari di pasar dan pedagang buah di Bali dan hanya
dibuang percuma, belum ada yang mengolah atau memanfaatkannya sebagai pakan ternak.
Padahal kombinasi limbah kulit nanas dengan tanaman tinggi protein seperti kaliandra dan
konsentrat diharapkan dapat mengurangi penggunaan pakan komersial yang mahal harganya
sehingga dapat mengurangi bahkan menekan biaya produksi ternak non ruminansia.
Penambahan protease eksogen alami dari limbah kulit nanas terhadap ransum yang
mengandung tanin dari daun kaliandra diharapkan akan dapat mencegah efek antinutrisi tanin
terhadap protein pakan sehingga dapat meningkatkan kualitas protein ransum. Potensi
antioksidan alami dari senyawa polifenol (tanin) diharapkan juga dapat meningkatkan status
kesehatan ternak itu sendiri, diantaranya tercermin dari pengingkatan fungsi hati dan ginjal,
tanpa perlu adanya penambahan antioksidan sintetis ke dalam ransum.
Dalam bidang peternakan, peran nutrisi dalam pakan atau ransum sangatlah vital
terhadap reproduksi ternak. Pengaruh nutrisi tidak hanya ditemukan pada performans
reproduksi ternak yang bersangkutan tetapi juga bisa berlanjut ke performans reproduksi
keturunan ternak tersebut. Nutrisi yang kurang baik yang disebabkan tidak cukup, kelebihan
atau ketidakseimbangan konsumsi nutrisi, dapat mempengaruhi berbagai tahapan proses
reproduksi antara lain mengurangi tingkat ovulasi dan rendahnya angka konsepsi, tingginya
kehilangan embrio dan fetus, panjangnya lama anestrus pasca melahirkan, kurangnya air
susu, tingginya kematian perinatal dan rendahnya performans anak yang baru lahir.
Potensi antioksidan alami senyawa fenolik (tanin) dalam daun kaliandra diharapkan
mampu membantu pertahanan tubuh induk bunting akibat stres atau turunnya status
kesehatan selama gestasi. Disamping itu sifat antinutrisi tanin terhadap protein pakan dapat
dikurangi dengan penambahan protease alami dari limbah kulit nanas, tanpa efek yang
merugikan fetus di dalam kandungan.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi Antioksidan Daun Kaliandra
Kandungan tanin dalam daun kaliandra merupakan salah satu yang tertinggi
dibandingkan dengan daun legum lain (Wina dan Tangendjaja, 2000). Tanin tergolong
senyawa polifenol dengan karakteristiknya yang dapat membentuk senyawa kompleks
dengan makromolekul lainnya. Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin yang mudah
terhidrolisis dan tanin terkondensasi (Waghorn dan McNabb, 2003; Westendarp, 2006).
Tanin umumnya terrdapat di dalam buah-buahan, teh, coklat, hijauan dan pohon-pohon
leguminosa serta rumput (sorgum, jagung, dan lain-lain).
Pada umumnya senyawa aktif yang berfungsi sebagai antioksidan pada tanaman
merupakan golongan senyawa polifenol. Senyawa polifenol dapat berupa golongan asam-
asam fenolat, polimer fenolat, dan flavonoid. Polimer fenolat tersusun dari senyawa yang
memiliki berat molekul besar seperti tanin. Tanin dapat dikelompokkan menjadi tanin
terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis adalah senyawa tanin yang dapat
dihidrolisis oleh asam, alkali atau enzim menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana
seperti gula dan asam tanat (asam galat dan elagat). Tanin terkondensasi juga disebut
proanthosianidin, merupakan tanin yang tersusun dari flavonoid seperti katekin atau
epikatekin (Hagerman, 2002).
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen reaktif atau
spesies nitrogen reaktif dan radikal bebas sehingga mampu mencegah kerusakan yang
ditimbulkan terhadap sel normal, protein (enzim, reseptor, antibodi, dan pembentuk matriks
serta sitoskeleton), DNA (piranti genetik dari sel) dan asam lemak tak jenuh jamak atau
PUFA, yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. Senyawa ini
memiliki struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas
(donor elektron) tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai.
(Halliwell dan Gutteridge, 1999).
Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol
yang mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus
–OH dan –OR (Okawa et al., 2001). Senyawa antioksidan alami polifenol adalah
multifungsional dan dapat beraksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c)
pengkelat logam, dan (d) peredam terbentuknya singlet oksigen.
Senyawa fenolik memberikan kontribusi yang signifikan pada kapasitas antioksidan
tanaman obat (Cai et al., 2004). Penentuan kapasitas antioksidan yang terdapat dalam
4
tumbuhan pada umumnya menggunakan spektrofotometer. Salah satu metode pengukuran
kapasitas antioksidan secara in vitro yang digunakan dewasa ini adalah metode 1,1-Diphenyl-
2-Picrylhydrazyl atau DPPH Radical Scavenging Method.
2.2. Penambahan Protease untuk Mengurangi Sifat Antinutrisi Tanin
Tanin dapat berkombinasi dengan protein menyebabkan tahan terhadap enzim
proteolitik. Interaksi tanin dengan protein tergantung pada karakteristik protein (berat
molekul tinggi, struktur terbuka dan fleksibel, kaya prolin) serta karakteristik tanin itu sendiri
(berat molekul dan mobilitas konformasi tinggi). Dalam penelitian in vivo, kecernaan protein
sangat berkurang jika pakan yang diberikan mengandung tanin (Cannas, 2008). Aksi tanin
tidak hanya terhadap protein pakan namun juga terhadap enzim-enzim pada dinding usus dan
protein dalam saliva (Norton, 1998).
Berlawanan dengan aksi tanin sebagai inhibitor protease, bromelin merupakan enzim
protease sistein yang terkandung dalam seluruh bagian tanaman nanas termasuk kulitnya.
Bromelin mampu menghidrolisis ikatan peptida pada protein atau polipeptida menjadi
molekul yang lebih kecil atau asam amino (proteolitik eksogen) sehingga sangat bermanfaat
membantu pencernaan protein. Enzim bromelin yang diisolasi dari kulit buah nanas berkisar
0,05-0,075% (Gunawan, 2000) atau 0,075% (Suhermiyati dan Setyawati, 2008).
Pada prinsipnya penambahan enzim dalam pakan bertujuan untuk menyingkirkan
faktor anti nutrisi yang lazim terdapat dalam bahan baku asal tanaman, serta meningkatkan
daya cerna bahan dan membuat nutrisi-nutrisi tertentu secara biologis lebih tersedia. Enzim
adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang berfungsi sebagai katalis (senyawa
yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia. Enzim
adalah senyawa yang umum digunakan dalam proses produksi. Penggunaan enzim dalam
proses produksi dapat meningkatkan efisiensi yang akan meningkatkan jumlah produksi.
2.3. Nutrisi Hewan Gestasi
Pakan adalah makanan atau asupan yang diberikan kepada hewan atau ternak
peliharaan, zat yang terpenting di dalamnya adalah protein. Pakan berkualitas adalah pakan
yang kandungan protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitaminnya seimbang (Anonim,
2010). Ransum adalah pakan jadi yang siap diberikan pada ternak yang diberikan pada ternak
yang disusun dari berbagai jenis bahan pakan yang sudah dihitung (dikalkulasi) sebelumnya
berdasarkan kebutuhan nutrisi dan energi yang diperlukan (Hartadi et al., 1997).
Nutrisi memiliki peran yang penting bagi ternak, baik bagi pemenuhan kebutuhan
5
hidup pokok, bunting, laktasi, produksi (telur, daging dan susu), maupun untuk kepentingan
kesehatan ternak yang bersangkutan. Karena ternak jika salah diberi pakan juga dapat
menimbulkan penyakit yang merugikan bagi ternak dan peternak. Kebutuhan ternak terhadap
pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi.
Jumlah kebutuhan nutrisi tergantung pada jenis hewan ternak, umur, fase
pertumbuhan dewasa, gestasi atau bunting, menyusui, kondisi tubuh (normal atau sakit),
temperatur, kelembaban nisbi udara serta bobot badannya. Tujuan utama pemberian pakan
pada hewan bunting adalah meningkatkan daya hidup dari embrio atau fetus yang akhirnya
meningkatkan litter size. Fetus dalam kandungan yang dilindungi oleh plasenta dan selaput
ketuban tidaklah terlepas dari pengaruh buruk zat yang dikonsumsi induk. Kecepatan zat
menembus barier plasenta tergantung besarnya molekul, kelarutan dalam lemak, dan derajat
ionisasinya.
2.4. Fungsi Hati dan Ginjal sebagai Indikator Status Kesehatan
a. Hati
Hati adalah organ kelenjar yang terletak di dalam rongga perut sebelah kanan. Fungsi
hati diantaranya sebagai organ detoksifikasi karena hati memecah beberapa senyawa
racun menjadi urea, amonia dan asam urat. Berbagai jenis fungsi hati dijalankan oleh sel
hati yang disebut dengan sel hepatosit. Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-
parenkimal. Sel parenkimal pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar 80%
volume hati dan melakukan berbagai fungsi utama hati (Kmiec, 2001). Hati menghasilkan
empedu yang berasal dari sel darah merah yang telah rusak atau mati. Empedu
mengandung garam empedu, bilirubin dan biliverdin, sekresi empedu i n i berguna untuk
pencernaan lemak. Selain empedu, hati juga menghasilkan sebagian besar asam amino,
faktor koagulan (pembeku darah), albumin, angiotensinogen, IGF-1 dan banyak enzim
lainnya (Delarea et. al. 2010).
Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh organ lain
di dalam tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-dimensional, hati
menjadi sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati akan merespon berbagai
penyakit tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis. Seringkali hepatitis dimulai
dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut fibrosis hati (Sebastiani, 2009). Untuk
mengetahui adanya kerusakan hati dilakukan beberapa tes darah sederhana seperti uji kadar
aspartate aminotransferase (AST atau SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT atau
SGPT). Enzim-enzim ini biasanya terkandung dalam sel-sel hati. Jika hati terluka, sel-sel
6
hati menumpahkan enzim-enzim ke dalam darah, menaikkan tingkat-tingkat enzim dalam
darah dan menandai kerusakan hati (Ashoka et al., 2012).
b. Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal
bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial.
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta
buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air
dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan
lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme
pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang lalu diekskresikan disebut urin.
Ginjal termasuk organ penting yang memiliki fungsi yaitu menyaring dan
mengeluarkan racun maupun kelebihan mineral dari dalam tubuh melalui urin. Jika fungsi
ginjal terganggu akibat peradangan atau karena penyakit batu ginjal maka dengan
sendirinya tubuh akan mengalami keracunan (Multaram, 2013). Selain itu, indikasi adanya
kerusakan atau penurunan fungsi ginjal bisa dilihat dari kadar kreatinin plasma yang
meningkat. Hal ini sebagai akibat ketidakmampuan ginjal mengeluarkan kreatinin ke
dalam urin dan dalam jumlah besar kreatinin masuk kembali ke dalam darah hingga
kadarnya dalam plasma meningkat di atas batas normal (Soesanti dan Darmawan, 2009).
7
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah daun kaliandra (Caliandra calothyrsus) diameter <5
mm dipetik tangan di daerah Mekarsari, Baturiti, Kab. Tabanan, dikering-anginkan hingga
berat konstan (6 hari pelayuan) lalu diblender dan diayak menjadi tepung. Limbah kulit nanas
(Ananas comosus) segar dikoleksi dari pedagang di Pasar Badung, dihaluskan dan disimpan
dalam refrigerator agar kandungan enzim bromelin (protease) tidak hilang. Konsentrat yang
digunakan berupa pakan komplit butiran standar babi CP 551 ( PT Charoen Pokphand
Indonesia, protein 18-20%), biasa digunakan sebagai pakan tikus, dihaluskan menjadi tepung.
3.2. Persiapan dan Penentuan Dosis Penyusun Ransum
Berdasarkan pengujian awal, tepung daun kaliandra dari hasil sampling memiliki
kandungan tanin terkondensasi 7,43 g /100 g dan kadar protein 23,24 g/100 g. Pemberian
tepung daun kaliandra dalam penelitian ini terdiri dari empat level. Setelah melalui uji
pendahuluan, kulit nanas segar hasil sampling memiliki kadar enzim bromelin 0,058 g/100 g
atau setara dengan 58 mg/100 g kulit segar. Dari riset terdahulu (Maurer, 2001) diketahui
LD50 enzim bromelin pada tikus (intravena) adalah 85 mg/kg BB atau setara 17 mg/ekor (BB
tikus 200 g). Pada penelitian ini, dengan kadar bromelin 58 mg/100 g kulit segar diperoleh
LD50 sebesar 29 gram, kemudian ditetapkan empat level kulit nanas segar.
Tabel 1. Level dosis perlakuan
Level % tepung
daun kaliandra
Setara tanin terkondensasi
(g/100 g) Level
Kulit nanas segar
(g/ekor/hari)
Setara bromelin
(mg) T0 0% (kontrol) 0 B0 0 (kontrol) 0
T1 10% 0,743 B1 4,35 2,5
T2 17,5% 1,30 B2 8,70 5
T3 25% 1,858 B3 13,05 7,5
3.3. Pembuatan Ransum
Prosentase tepung daun kaliandra dalam ransum diperhitungkan sebagai substitusi
dari tepung PK dan CMC (carboxymetyl cellulose, pengikat) karena ketiganya berbentuk
tepung (DW, Dry Weight). Tepung CMC ditambahkan sebanyak 2% dari gabungan PK dan
tepung daun kaliandra. Perhitungan dikonversi dari bentuk DW agar diperoleh berat riil (As
8
Fed). Kulit nanas diberikan segar (dihaluskan tanpa ditambah air), dijaga dalam kondisi 40C
agar enzim bromelin tidak berkurang atau hilang. Pakan dicampur dengan mixer hingga
homogen, lalu dimasukkan ke mesin pelleting. Pelet yang dihasilkan dikeringkan dengan
freeze dryer hingga kering (6-8 jam), lalu dibungkus kantong plastik berlabel nomor ransum.
Stok ransum disimpan dalam refrigerator untuk menjaga kadar tanin terkondensasi dan
enzim bromelin.
Tabel 2. Level Ransum Perlakuan
Ransum 0 PK, T0, B0
Ransum 1 PK, T1, B0
Ransum 2 PK, T2, B0
Ransum 3 PK, T3, B0
Ransum 4 PK, T0, B1
Ransum 5 PK, T0, B2
Ransum 6 PK, T0, B3
Ransum 7 PK, T1, B1
Ransum 8 PK, T2, B1
Ransum 9 PK, T3, B1
Ransum 10 PK, T1, B2
Ransum 11 PK, T2, B2
Ransum 12 PK, T3, B2
Ransum 13 PK, T1, B3
Ransum 14 PK, T2, B3
Ransum 15 PK, T3, B3
Keterangan: PK= pakan komersial, T= tepung daun kaliandra, B= jus kulit nanas.
3.4. Penentuan Kadar Tanin Ransum
a. Persiapan pereaksi
Pereaksi Follin Dennis disiapkan dengan cara menambahkan 100 gram natrium tungstat
(Na2WO4.2H2O), 29 gram asam fosfomolibdat dan 50 ml asam fosfat (H3PO3) ke dalam 750
ml air suling. Pereaksi Folin Dennis diaduk selama 2 jam, didinginkan dan ditepatkan hingga
1 liter dengan air suling. Larutan jenuh natrium karbonat (Na2CO3) dibuat dengan cara
menambahkan 3,5 gram Na2CO3 anhidrad ke dalam 100 m l air suling pada suhu 70-800C.
Larutan jenuh natrium karbonat didinginkan selama saatu malam. Larutan standar asam tanat
dibuat dengan cara melarutkan 100 m g asam tanat ke dalam 100 ml air suling, larutan ini
diencerkan 100 kali sebelum analisis dan dibuat dalam keadaan segar setiap kali analisis.
b. Persiapan kurva standar
Pereaksi Folin Dennis sebanyak 2 ml ditambahkan ke dalam labu takar 100 ml yang
telah diisi 5075 m l air suling. Larutan standar asam tanat dimasukkan ke dalam masing-
masing tabung dengan ukuran 0,1, 0,2, 0,3, 0,4 dan 0,5 m l dengan 5 m l natrium karbonat
jenuh, hingga tanda tera dengan air suling, dikocok dan dibiarkan selama 35 menit. Serapan
dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm.
9
c. Analisis sampel dan perhitungan
Sampel kering (BK) sebanyak 200 mg yang telah dihaluskan (sekitar 80 mesh atau 1
mm), dimasukkan ke dalam tabung. Sampel ditambahkan 10 m l aseton 70%, diletakkan
dalam waterbath 90 menit pada suhu 300C dengan sesekali digojog. Supernatant dipindahkan
ke tabung lain sebanyak mungkin tanpa mengganggu endapannya. Supernatant disimpan di
refrigerator 40C pada botol warna gelap atau terlindung dari cahaya langsung. Supernatant
sebanyak 0,05 ml dimasukkan ke dalam tabung, ditambahkan 0,95 ml akuades diikuti 0,5 ml
reagent Folin, kemudian digojog. Ditambahkan 2,5 m l Na2CO3 dan digojog lagi, lalu
dibiarkan 35 menit. Serapan warna yang terbentuk diukur pada panjang gelombang 725 nm.
Tanin dihitung sebagai asam tanat dengan menggunakan rumus :
Tanin (mg/ 100 mg) = konsentrasi x fp x k x 10
1000 B
(B = bobot sampel, fp = faktor pengencer, k = berat standar) (Daryatmo, 2010).
3.5. Analisis Aktivitas Antioksidan DPPH Scavenging Ransum in Vitro
Sampel ransum dengan konsentrasi 1000 ppm diambil sebanyak 1 m l kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Dibuat larutan DPPH 7,5765 10-5 mol/L dalam etanol
kemudian diambil satu ml dan ditambahkan tiga ml a ir suling ditera absorbansinya dengan
panjang gelombang 516 nm akan diperoleh absorbansi 0,8. Untuk menera sampel diambil
satu ml sampel antioksidan ditambahkan tiga ml larutan DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil),
kemudian tabung reaksi divortex dan dibiarkan di udara terbuka selama 20 menit. Campuran
ditera dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 516 nm.
Penentuan nilai IC-50 atau kemampuan antioksidan menangkap radikal bebas DPPH
menggunakan kurva larutan standar dengan konsentrasi asam galat masing-masing sebanyak
0, 50, 100, 150, 200, 2 50, dan 300 ppm . Setelah hasil absorbansi didapat, maka untuk
mendapatkan konsentrasi sampel dicari dengan menghubungkan absorbansi sampel dengan
menggunakan kurva standar (Okawa et al., 2001).
3.6. Penelitian dengan Tikus Percobaan
Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus sp) betina dewasa, berumur 3 bulan,
dan bobot badan 170-200 gram. Tikus betina yang memenuhi kriteria inklusi, diaklimatisasi
di dalam laboratorium, dikandangkan serta diberi pakan pellet selama satu minggu dan air
minum secara ad libitum. Hewan dipelihara di lingkungan dengan suhu dan kelembaban
relatif yang dipertahankan konstan serta pencahayaan 12 jam terang dan 12 jam gelap.
´
10
Siklus estrus ditentukan dengan melihat hasil apus vagina dan pewarnaan Giemsa,
sesuai dengan metode Brancroft dan Steven (1996) disitasi Sitasiwi (2008). Sampel apus
vagina diambil setiap hari sekitar jam 10 pa gi. Penentuan fase penyusun siklus estrus
dilakukan dengan melihat perbandingan sel epitel berinti, sel epitel menanduk (kornifikasi),
leukosit dan lendir, pada hasil apus vagina (Sitasiwi, 2008). Tikus betina yang sedang dalam
masa estrus dikandangkan bersama mencit jantan dalam bak perkawinan pada sore hari agar
terjadi perkawinan. Jika keesokan harinya ditemukan sumbat vagina (vaginal plug) atau sisa
sperma dalam vagina, maka keesokan harinya ditentukan sebagai hari ke-1 gestasi
(Kaufmann, 1992).
Tiga puluh dua ekor tikus betina yang sudah diaklimatisasi kemudian dibagi secara
acak menjadi 16 kelompok dengan pemberian ransum yang berbeda. Pemberian perlakuan
dibagi menjadi tiga tahap yaitu tujuh hari selama masa adaptasi pakan, saat pengawinan, dan
sejak tikus dinyatakan bunting hingga sehari setelah kelahiran fetus atau selama gestasi.
3.7. Preparasi Sediaan Histologi Hati dan Ginjal
Di akhir perlakuan, induk tikus dikorbankan dengan injeksi ketamine secara
intramuskuler pada bagian paha belakang dan dibedah. Pembuatan preparat sayatan histologi
hati dan ginjal dilakukan dengan metode parafin (Siolin dkk., 1984) . Organ dibersihkan
dengan larutan NaCl 0,9% dan dikeringkan dengan kertas tissue. Fiksasi organ dilakukan
dengan larutan Bouin.
Organ yang telah difiksasi dicuci ke dalam alkohol 50%, lalu didehidrasi dengan
alkohol 70, 80, 95 dan 100% masing-masing 1,5 jam. Sediaan dipindahkan ke campuran
alkohol absolut : xilol (perbandingan 3:1, 1:1 dan 1:3, masing-masing 1 jam), dilanjutkan ke
dalam campuran xilol : parafin (1:1) selama 30 menit lalu ke parafin murni I, parafin murni II
dan parafin murni III masing-masing 1 jam. Setelah itu dilakukan penanaman jaringan dalam
blok parafin.
Penyayatan pankreas dilakukan secara melintang (ketebalan 5 mikrometer), lalu pita
parafin ditempelkan pada gelas benda dengan Meyers Albumin. Setelah kering, preparat
dimasukkan ke dalam xilol murni (15 menit), campuran xilol : alkohol (3:1, 1:1 dan 1:3,
masing-masing 2 menit) kemudian ke dalam alkohol 95, 80, 70, 50 m asing-masing 1 menit.
Sebelum perwarnaan, preparat dimasukkan ke aquadest (1 menit), lalu direndam dalam
larutan pewarna hematoxylin (10 menit).
Preparat dicuci dengan air mengalir dan aquadest (10 menit), lalu dimasukkan ke
dalam alkohol 30, 50 da n 70% masing-masing 1 menit. Setelah itu dimasukkan ke larutan
11
pewarna Eosin 0,5% selama 10 de tik, dilanjutkan ke dalam alkohol 70, 80, 95 da n 100%
(masing-masing 1 m enit). Berikutnya dimasukkan ke dalam campuran xilol : alkohol
(perbandingan 1:3, 1:1, 3:1, masing-masing 2 menit) dan direndam dalam xilol murni (5
menit). Terakhir preparat ditutup dengan gelas penutup dengan bantuan canada balsam.
Pemeriksaan histopatologi organ hati dan ginjal mengunakan mikroskop listrik dengan
perbesaran 400 kali.
3.8. Penentuan Kadar SGOT- SGPT dan Kreatinin Plasma
Pada keadaan terbius, darah diambil dari jantung dengan jarum 1 ml k emudian
darah dimasukkan dalam tabung b e r i si heparin untuk mencegah pembekuan darah. Darah
disentrifuge untuk mendapatkan plasma darah dengan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit.
Plasma yang didapat dipipet ke dalam tabung ependorf dan dimasukkan ke dalam
refrigerator sampai siap untuk diuji.
Kadar Serum Glutamate Oxalloacetate Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamate
Pyruvate Transaminase (SGPT) plasma ditentukan sesuai prosedur kit standar (Ashoka et
al., 2012). Kadar kreatinin plasma diukur dengan spektrofotometer sistem fotometrik
menurut metode Daffe (Susanti dan Darmawan, 2009).
3.9. Analisis Data
Data dianalisis dengan program SPSS for Windows versi 20. Jika data berdistribusi
normal dengan varians homogen, dianalisa menggunakan One Way Anova (p=0.05) dan jika
ada perbedaan bermakna maka dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test. Jika varians
tidak homogen, dilanjutkan dengan uji Dunnet T3. Apabila data tidak berdistribusi normal,
maka akan dianalisa non parametrik dengan uji Kruskal Wallis, dan jika terdapat perbedaan
bermakna akan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney U.
12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Nilai IC (Inhibition Concentration) 50% dan Kapasitas Antioksidan Ransum
Penangkapan radikal bebas DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) merupakan salah satu
metode untuk menentukan aktivitas antioksidan (Gulcin, 2012). DPPH merupakan radikal
nitrogen organik yang berwarna ungu dan memiliki λ maks 515 nm. Adanya antioksidan akan
terjadi penurunan intensitas warna ungu (Alam et al., 2013) menjadi berwarna kuning (Lu et
al., 2010).
Metode DPPH merupakan metode yang mudah, cepat, sederhana dan sensitive serta
secara luas dapat diterapkan untuk mengukur kemampuan suatu sampel sebagai agen
penangkap radikal bebas atau pendonor radikal hidrogen. DPPH juga dapat bereaksi dengan
sampel yang memiliki aktivitas antioksidan sangat lemah dalam rentang waktu tertentu
(Kedare and Singh, 2011);(Koleva et al., 2002).
DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil dan dapat diukur intensitasnya pada
panjang gelombang 516 nm dan diketahui hanya dapat terlarut pada pelarut organik serta
bekerja baik dengan pelarut metanol atau etanol, sehingga pada penelitian ini DPPH
dilarutkan menggunakan metanol. Konsentrasi larutan DPPH dalam metanol yang digunakan
sebesar 0,1 mM, mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Kikuzaki et al. (2002).
Sampel yang mengandung senyawa penangkap radikal bebas DPPH akan membuat
perubahan warna pada larutan DPPH, dimana yang awalnya berwarna ungu menjadi
memudar dan dapat pula menjadi berwarna kuning jika sampel yang diuji mempunyai
aktivitas penangkap radikal DPPH yang kuat. Hal ini disebabkan oleh senyawa penangkap
radikal mendonorkan atom hidrogen atau elektronnya yang menjadikan larutan DPPH
berubah warna sehingga terjadi penurunan absorbansi (Amarowicz et al., 2004).
Parameter yang digunakan untuk aktivitas antioksidan dengan metode penangkapan
radikal DPPH ini adalah IC50, yaitu konsentrasi senyawa uji yang dibutuhkan untuk
menangkap radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Nilai IC50 diperoleh dengan membuat suatu
persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan konsentrasi senyawa uji dengan persen
aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH. Semakin kecil nilai dari IC50, maka semakin kuat
senyawa uji tersebut sebagai penangkap radikal DPPH.
Hasil pengukuran aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH dari 5 fraksi gabungan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai IC 50% atau Inhibition Concentration 50% pada
ransum B0T1 sebesar 53,75 mg/mL berarti bahwa dalam konsentrasi ekstrak pada ransum
B0T1 sebanyak 53,75 mg/mL mampu mereduksi radikal bebas DPPH 0,1 mM sebesar 50%.
13
Sementara itu nilai IC 50% yang tertinggi adalah pada ransum B2T0 sebesar 129,70 mg/mL
yang berarti bahwa dalam konsentrasi ekstrak pada ransum B2T0 sebanyak 129,70 mg/mL
mampu mereduksi radikal bebas DPPH 0,1 mM sebesar 50%.
Tabel 3. Nilai IC 50% dan kapasitas antioksidan ransum
Kode Ransum Kombinasi Ransum IC 50% (mg/mL) ppm GAEAC 0 B0T0 (Kontrol) 0 0 1 B0T1 53,75 154,550 2 B0T2 17,06 293,344 3 B0T3 21,11 269,079 4 B1T0 122,30 62,829 5 B2T0 129,70 58,624 6 B3T0 123,26 61,212 7 B1T1 29,40 270,050 8 B1T2 28,18 285,579 9 B1T3 16,67 299,168
10 B2T1 33,82 243,197 11 B2T2 19,22 308,388 12 B2T3 14,32 314,859 13 B3T1 32,02 252,579 14 B3T2 19,27 310,168 15 B3T3 15,00 312,918
GAEAC = Gallic Acids Equivalent Antioxidant Capacity
Dari Tabel 3 tampak bahwa pada ransum 0 atau B0T0 (kontrol atau tanpa tanin dan
tanpa protease bromelin), nilai IC 50% tidak dapat terdeteksi. Nilai IC 50% terkecil adalah
pada ransum B2T3 sebesar 14,32 mg/mL yang berarti bahwa dalam konsentrasi ekstrak pada
ransum B2T3 sebanyak 14,32 mg/mL mampu mereduksi radikal bebas DPPH 0,1 m M
sebesar 50%.
Kapasitas antioksidan ditunjukkan dengan nilai GAEAC (Gallic Acids Equivalent
Antioxidant Capacity) dalam ppm, dimana pada ransum 0 t idak terdeteksi. Selain pada
kontrol nilai kapasitas antioksidan terendah pada ransum B2T0 sebesar 58,624 ppm.
Sementara nilai kapasitas antioksidan tertinggi pada ransum B2T3 sebesar 314,859 ppm.
Berdasarkan nilai IC 50% dan kapasitas antioksidan yang diperoleh dari ke-16 ransum
yang dianalisis, lima ransum dengan potensi antioksidan yang tertinggi adalah ransum dengan
kombinasi kulit nanas mengandung bromelin (B) dan tepung daun kaliandra (T) berturut-
turut yaitu ransum B2T3, B3T3, B3T2 dan B2T2. Daun kaliandra yang tinggi kandungan
senyawa fenoliknya, memberikan kontribusi yang terbesar terhadap antioksidan yang terdapat
di dalam ransum, selain itu kulit nanas juga mengandung antioksidan walaupun dalam jumlah
14
yang lebih sedikit. Sebaliknya ransum kontrol (B0T0) yang digunakan dalam penelitian ini
tidak mengandung antioksidan dimana kadarnya tidak terdeteksi oleh spektrofotometer.
4.2. Kadar SGPT, SGOT, dan Kreatinin dalam Darah Tikus
Semua kelompok perlakuan ransum menunjukkan tidak ada interaksi antara tanin
dengan bromelin terhadap kadar SGOT, SGPT dan kreatinin dalam plasma darah induk.
Level tanin maupun bromelin dalam ransum tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar
SGOT, SGPT dan kreatinin darah. Walaupun tidak nyata secara statistik, peningkatan level
tanin maupun protease bromelin dalam ransum cenderung meningkatkan kadar SGOT dan
SGPT dalam darah (Tabel 4).
Tabel 4. Rataan kadar SGOT, SGPT, dan Kreatinin darah tikus bunting yang diberi ransum
Tanin Kadar dalam Darah
SGOT SGPT Kreatinin T0 97,63 a 34,50 a 0,34 a T1 115,13 a 42,88 ab 0,40 a T2 117,38 a 50,00 b 0,34 a T3 153,88 a 67,75 c 0,35 a
Bromelin B0 105,38 a 45,13 a 0,34 a
B1 112,13 a 46,00 a 0,35 a B2 114,63 a 47,63 a 0,38 a B3 151,88 a 56,38 a 0,36 a
Interaksi Tanin*Bromelin tidak nyata
Kerusakan sel hati akan mempengaruhi kadar enzim-enzim hati, bilirubin, dan protein
dalam serum. Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) merupakan enzim yang
berfungsi sebagai katalis berbagai fungsi tubuh. Enzim ini ditemukan paling dominan di sel
hati, selain dalam konsentrasi kecil juga ditemukan di jantung, ginjal dan otot. Variasi level
serum ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit atau kerusakan organ hati. Serum
Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) adalah enzim yang ditemukan di jaringan atau
sel yang mempunyai aktivitas metabolik tinggi misalnya di jantung, hati dan otot lurik.
Enzim ini dikeluarkan ke aliran darah karena adanya jejas atau kematian sel.
Kerusakan yang relatif kecil pada sel hati akan meningkatkan kadar enzim SGPT dan
SGOT di dalam darah. Namun, pada tingkat kerusakan yang luas dan parah, ketersediaan
enzim SGPT dan SGOT di dalam sel hati sudah sangat rendah akibat kemampuan sel hati
dalam mensintesis enzim tersebut sudah berkurang atau hilang sama sekali. Peningkatan
kadar SGPT dalam darah terutama disebabkan oleh kerusakan sel hati dan sel otot rangka.
15
Kerusakan hepatosit diawali perubahan permeabilitas membran yang diikuti dengan kematian
sel. Peningkatan kadar SGOT dalam darah disebabkan oleh kerusakan hati yang parah dan
disertai nekrosis, sehingga enzim dari mitokondria ikut keluar sel (Panjaitan, 2007).
Peningkatan kadar SGPT dapat digunakan sebagai alat diagnostik dalam menentukan
kerusakan hepar secara umum. Kenaikan kadar enzim SGPT maupun SGOT di dalam darah
disebabkan oleh sel-sel yang mengandung enzim ini mengalami nekrosis atau hancur. Enzim
yang dikeluarkan sel kemudian masuk ke dalam peredaran darah (Noer, 2002). Dalam
penelitian ini, peningkatan kadar SGPT dan SGOT dalam darah disebabkan pengaruh tanin
dalam daun kaliandra. Masuknya tanin melalui jalur saluran pencernaan akan bermuara pada
vena porta yang ada pada hepar. Dalam hepar, pemberian ransum mengandung tanin selama
perlakuan akan menyebabkan akumulasi kandungan senyawa xenobiotik ini di dalam sel-sel
hepatosit hati sehingga sel tidak mampu lagi mendetoksifikasinya. Akibatnya hepar akan
mengalami kerusakan atau nekrosis dan mengeluarkan kandungan enzimnya ke peredaran
darah.
Semakin tinggi pemberian kaliandra mengandung tanin dalam ransum dalam
penelitian ini, cenderung meningkatkan kadar SGPT dan SGOT dalam darah tikus. Walaupun
demikian, peningkatan tersebut tidak berbeda nyata dengan kontrol maupun dengan ransum
yang tidak mengadung tepung daun kaliandra. Walaupun kandungan tanin dalam daun
kaliandra dapat memicu kerusakan sel-sel hati, namun daun kaliandra juga mengandung
senyawa fenolat yang berperan sebagai antioksidan yang melindungi sel dari serangan radikal
bebas dan sebagai senyawa yang mengkonjugasi senyawa xenobiotik agar lebih larut dalam
air sehingga mudah diekskresikan melalui urin atau empedu.
Dari hasil analisis ransum, daun kaliandra terbukti dapat menjadi scavenger radikal
bebas, diduga sebagai golongan antioksidan pemutus rantai, yang dapat memutuskan reaksi
berantai peroksidasi lipid. Selain itu tanin dalam daun kaliandra merupakan senyawa
polifenol yang merupakan salah satu golongan antioksidan, suatu senyawa kimia yang dapat
menghambat terjadinya proses oksidasi yang dipicu oleh radikal bebas.
Walaupun tidak nyata secara statistik, peningkatan level tanin maupun protease
bromelin dalam ransum dalam penelitian ini juga cenderung meningkatkan kadar kreatinin
dalam darah (Tabel 4). Sintesis kreatinin melibatkan secara langsung arginin yang merupakan
protein dari asam amino esensial dan diproduksi di ginjal. Tanin dikenal karena
kemampuannya mengikat protein atau asam amino maupun enzim. Diduga terjadinya
pengikatan protein mitokondria glomerulus oleh senyawa tanin akan menyebabkan
perubahan enzim proteolitik (glisin amidinotransferase di dalam ginjal) dalam menjaga
16
keseimbangan proteolitik-antiproteolitik. Selain itu, interaksi dengan tanin diduga
mengganggu kerja metabolisme dalam sintesis arginin menjadi kreatinin. Kreatinin yang
dihasilkan kadarnya menjadi lebih tinggi atau mengalami peningkatan dari keadaan
normalnya. Tingginya kadar kreatinin serum menyebabkan kemampuan filtrasi glomerulus
berkurang dan proses reabsorbsi tubulus kontortus proksimalis terganggu.
Aliran kadar kreatinin serum yang tinggi menuju ren dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah dan membran glomerulus untuk filtrasi, serta nekrosis pada tubulus untuk
reabsorbsi (Tosetti et al., 2001). Kadar kreatinin serum normal, menunjukkan kerja dari ginjal
untuk menghasilkan produk yang dialirkan ke darah dan ke urin. Kadar kreatinin yang rendah
dapat menunjukkan status nutrisi yang rendah, karena protein yang dikonsumsi sangat
sedikit. Kadar kreatinin serum yang tinggi sangat berguna untuk mengetahui kerusakan ren
pada nekrosis tubulus, glomerulonefritis, serta dapat menentukan kemampuan filtrasi
glomerulus (Yuan et al., 2004; Stevens and Levey, 2004).
4.3.1. Histopatologi Hati Tikus
Tabel 5. Histopatologi Hati Tikus
B0 B1 B2 B3 Rataan
Kongesti Sinusoid
T0 5,0 a 10,3 ab 21,5 c 5,5 a 10,58 a
T1 6,6 a 20,0 c 20,0 c 6,5 a 13,28 ab
T2 4,5 a 18,3 bc 9,8 ab 8,5 a 10,28 a T3 21,5 c 5,7 a 20,8 c 20,5 c 17,13 b
Rataan 9,40 a 13,58 a 18,03 b 10,25 a
B0 B1 B2 B3 Rataan
Inti Piknotik
T0 2,4 ab 1,6 ab 7,2 d 4,2 bc 3,85 a T1 2,1 ab 4,1 bc 0,4 a 2,2 ab 2,20 b T2 0,8 a 6,0 cd 0,5 a 2,8 ab 2,53 b T3 1,5 ab 1,1 a 1,8 ab 2,3 ab 1,68 b
Rataan 1,70 a 3,20 b 2,48 ab 2,88 ab
Interaksi Tanin*Bromelin nyata
Tabel 6. Histopatologi Hati Tikus
Degenerasi Lemak Infiltrasi Sel Radang Nekrosis
Tanin
T0 3,00 ab 7,15 a 2,58 a T1 2,38 a 7,03 a 2,58 a T2 3,38 b 7,35 a 2,85 a T3 2,50 ab 8,73 a 2,63 a
Bromelin
B0 3,15 a 8,75 a 2,58 a B1 2,30 a 5,68 a 2,78 a B2 2,83 a 8,23 a 2,63 a B3 2,98 a 7,60 a 2,65 a
Interaksi Tanin*Bromelin tidak nyata
17
Pada tabel 5 dan 6, derajat kerusakan organ hati akibat perlakuan ransum
mengandung condensed tannin dari daun kaliandra (T) dan enzim protease bromelin dari
kulit nanas (B), menunjukkan terdapat interaksi antara tanin kaliandra dengan bromelin kulit
nanas terhadap kerusakan berupa kongesti pada sinusoid hati dan inti piknotik sel-sel
hepatosit (Tabel 5), namun tidak terdapat interaksi terhadap kerusakan berupa degenerasi
lemak dan nekrosis sel-sel hati serta infiltrasi sel radang (Tabel 6).
Gambar 1. Gambaran histologi hati tikus yang diberi perlakuan ransum selama gestasi.
Keterangan: A. Sel hati (hepatosit), B. Sinusoid, C. Vena sentralis. Histopatologi: a. Inti piknotik sel hepatosit, b. Kongesti pembuluh darah dan sinusoid, c. Infiltrasi sel radang.
Kontrol (B0T0)
B0T2
B3T0
B1T3 B3T2
B0T3
A
B C
a
b
b
c
c
c
a
18
Di dalam hati terjadi proses-proses penting, yaitu proses penyimpanan energi,
pembentukan protein, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun/obat yang
masuk dalam tubuh. Apabila bahan-bahan mengandung toksin atau racun, hati akan bekerja
sangat keras untuk menetralisasinya. Cara kerja ini menyebabkan hati mudah terkena racun,
sehingga hati gampang rusak. Kerusakan hati dapat meliputi kerusakan struktur maupun
gangguan fungsi hati (Susanto, 2006).
Preparat hati menunjukkan gambaran normal pada sediaan histologi hati pada
kelompok kontrol (ransum B0T0). Pada perlakuan ransum yang lain ditemukan beberapa
jenis kerusakan seperti kerusakan sel hati (hepatosit) yang memiliki inti piknotik yaitu inti
terpulas gelap karena pemadatan kromatin. Jika piknosis semakin parah maka sel akan
mengalami kematian atau nekrosis. Kerusakan lain adalah adanya kongesti atau penyumbatan
pada pembuluh darah (arteri atau vena) serta kongesti pada sinusoid. Selain itu pada beberapa
lokasi pada beberapa preparat ditemukan adanya infiltrasi sel radang yang menandakan
adanya inflamasi pada wilayah tersebut.
Masuknya suatu substansi toksik dalam waktu yang lama akan menyebabkan nekrosis
yang diawali dengan perubahan morfologi inti sel yaitu piknosis.Tahap berikutnya inti pecah
(karioheksis) dan inti menghilang (kariolisis). Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan
di dalam sel antara lain kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan
aparatus golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida sehingga
tertimbun dalam sitoplasma sel (Robbins, 1992).
4.3.2. Histopatologi Ginjal Tikus
Pada tabel 7 dan 8 d isajikan analisis statistik faktorial histopatologi ginjal yang
menunjukkan derajat kerusakan organ ginjal akibat perlakuan ransum yang mengandung
condensed tannin dari daun kaliandra (T) dan enzim protease bromelin dari limbah kulit
nanas (B), masing-masing dengan empat level dosis.
Histopatologi ginjal menunjukkan terdapat interaksi antara tanin kaliandra dengan
bromelin kulit nanas terhadap kerusakan berupa endapan protein dalam tubulus, hemoragi
jaringan ginjal dan degenerasi lemak pada sel-sel tubulus ginjal (Tabel 7). Sebaliknya tidak
terdapat interaksi terhadap kerusakan berupa inti piknotik dan nekrosis sel-sel hati,
penyempitan dan kongesti pada glomerulus ginjal, serta infiltrasi sel radang (Tabel 8).
Preparat ginjal (Gambar 2) menunjukkan gambaran normal pada kontrol (ransum
B0T0). Pada perlakuan ransum lain ditemukan beberapa jenis kerusakan berupa kontriksi
atau pengerutan glomerulus dibandingkan glomerulus pada kontrol yang menyebabkan ruang
19
kapsula Bowman tampak melebar; tampak adanya endapan protein dalam lumen tubulus;
terdapat hemoragi atau perdarahan pada jaringan ginjal, serta infiltrasi sel radang pada
beberapa lokasi yang menandakan terjadi inflamasi pada wilayah tersebut.
Tabel 7. Histopatologi Ginjal Tikus
B0 B1 B2 B3 Rataan
Endapan Protein
T0 0,2 a 2,0 abc 3,7 abcd 0,5 a 1,60 a T1 0,9 ab 2,0 abc 3,8 abcd 3,0 abcd 2,43 ab T2 4,4 bcd 2,4 abc 2,0 abc 3,5 abcd 3,08 ab T3 0,9 ab 2,7 abcd 5,1 cd 6,1 d 3,70 b
Rataan 1,60 a 2,28 ab 3,28 b 3,65 b
B0 B1 B2 B3 Rataan
Hemoragi
T0 2,8 a 18,1 abcd 33,0 cd 16,2 abcd 17,53 a T1 31,7 cd 32,7 cd 32,9 cd 15,1 abc 28,10 b T2 10,5 ab 34,2 d 11,6 ab 6,9 ab 15,80 a T3 8,1 ab 16,1 abcd 23,9 bcd 30,0 cd 19,53 a
Rataan 13,28 a 25,28 b 25,35 b 17,05 a
B0 B1 B2 B3 Rataan
Degenerasi Lemak
T0 0 1,8 abcd 0,7 ab 1,4 abc 0,98 a T1 3,5 d 0,8 ab 1,3 abc 1,0 abc 1,65 ab T2 0,8 ab 1,8 abcd 0,4 a 0,7 ab 0,93 a T3 2,9 cd 1,4 abc 1,1 abc 2,5 bcd 1,98 b
Rataan 1,80 a 1,45 ab 0,88 b 1,40 ab
Interaksi Tanin*Bromelin nyata
Tabel 8. Histopatologi Ginjal Tikus
Inti Piknotik
Penyempitan Glomerulus
Kongesti Glomerulus
Infiltrasi Sel Radang
Nekrosis
Tanin
T0 6,60 a 0,75 a 1,40 a 4,33 a 3,03 a T1 3,80 c 1,83 b 1,95 ab 7,75 a 3,23 a T2 4,68 bc 1,58 b 1,63 a 6,55 a 3,95 b T3 5,38 ab 1,78 b 2,53 b 5,23 a 4,93 c
Bromelin
B0 4,20 a 1,35 a 1,20 a 4,10 a 3,23 a B1 5,08 ab 1,65 a 2,25 b 6,25 a 3,98 b B2 5,78 b 1,30 a 2,03 b 8,38 a 3,65 ab B3 5,40 ab 1,63 a 2,03 b 5,13 a 4,28 b
Interaksi Tanin*Bromelin tidak nyata
Degenerasi dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur
dan fungsi normal sel (Confer dan Panciera 1995). Degenerasi juga dapat diartikan sebagai
gangguan mekanisme pemompaan natrium sehingga terjadi penimbunan cairan intraseluler.
20
Degenerasi menunjukkan gangguan biokimiawi sel yang dapat disebabkan oleh iskhemi,
metabolisme abnormal dan zat kimia.
Gambar 2. G ambaran histologi ginjal tikus yang diberi perlakuan ransum selama gestasi.
Keterangan: A. Glomerulus, B. Kapsula Bowman, C. Tubulus. Histopatologi: a. Kontriksi glomerulus, b. Endapan protein dalam lumen tubulus, c. Hemoragi, d. Infiltrasi sel radang, e. Degenerasi lemak
Degenerasi yang berlangsung terus-menerus akan menyebabkan kematian sel.
Kematian sel merupakan kerusakan yang bersifat irreversible (menetap), sehingga hepatosit
tidak dapat kembali kebentuk normal. Kematian sel dapat terjadi melalui proses apoptosis
B3T0 B1T2
a
b
T3B2 T3B3
b
d
e
Kontrol (B0T0)
B0T3
B1T2
A
B
C
c d
c
c
c
21
dan nekrosa sel. Apoptosis merupakan proses kematian sel yang terprogram yang dipicu oleh
fragmen DNA, sedangkan nekrosa sel dicirikan dengan adanya sel radang. Nekrosa dapat
bersifat lokal atau difus, yang disebabkan oleh keadaan iskemia, anemia, kekurangan
oksigen, bahan-bahan radikal bebas, gangguan sintetis DNA dan peptida (Lu, 1995).
Inflamasi atau reaksi peradangan merupakan mekanisme penting yang diperlukan
tubuh untuk mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan
juga memperbaiki struktur serta gangguan fungsi jaringan yang ditimbulkan bahaya tersebut
(Baratawidjaya, 2002).
Masuknya suatu substansi toksik dalam waktu yang lama akan menyebabkan nekrosis
pada lobulusnya. Nekrosis diawali dengan perubahan morfologi inti sel yaitu piknosis.Tahap
berikutnya inti pecah (karioheksis) dan inti menghilang (kariolisis). Piknosis dapat terjadi
karena adanya kerusakan di dalam sel antara lain kerusakan membran yang diikuti oleh
kerusakan mitokondria dan aparatus golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan
trigliserida sehingga tertimbun dalam sitoplasma sel (Robbins, 1992).
Degenerasi melemak ditandai dengan adanya vakuola yang besarnya bervariasi dan
pada kasus berat mendesak nukleus ke tepi. Lemak dalam sitoplasma sel dapat mendesak inti
sel ke pinggir yang tampak pada pemeriksaan mikroskopis. Menurut Corwin (2001), adanya
endapan protein di tubulus disebabkan peningkatan tekanan osmotik koloid cairan
interstitium sehingga mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorbsi tubulus. Menurut
Carlton dalam McGavine (1995), protein yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap
dengan sempurna oleh epitel-epitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen
tubulus (Adikara, 2013).
22
BAB V. KESIMPULAN
1. Berdasarkan nilai IC 50% dan kapasitas antioksidan, ransum dengan potensi antioksidan
yang tertinggi adalah ransum B2T3 dari kombinasi 25% daun kaliandra dan 13,05 g/kg bb
dalam ransum.
2. Level tanin maupun bromelin dalam ransum tidak nyata meningkatkan kadar SGOT,
SGPT dan kreatinin darah.
3. Terdapat interaksi antara pemberian kaliandra mengandung tanin dan kulit nanas
mengandung protease (bromelin) terhadap kerusakan berupa kongesti sinusoid dan inti
piknotik pada hati, serta endapan protein dalam tubulus, hemoragi jaringan dan
degenerasi lemak pada ginjal.
4. Derajat kerusakan sel pada gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus cenderung
meningkat seiring peningkatan level kaliandra dan kulit nanas dalam ransum yang
diberikan selama gestasi. Peningkatan nyata dimulai pada level 25% kaliandra sedangkan
dosis kulit nanas (protease) tidak nyata pengaruhnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Adikara, I.P.A., I.B.O. Winaya dan I.W. Sudira. 2013. Studi Histopatologi Hati Tikus Putih
(Rattus norvegicus) yang Diberi Ekstrak Etanol Daun Kedondong (Spondias dulcis G.Forst) secara Oral, Buletin Veteriner Udayana 5(2): 107-113.
Ahn, J.H., B.M. Robertson, R. Elliot, R.C. Gutteridge, C.W. Ford. 1989. Q uality
Assessment of Tropical Browse Legumes: Tannin Content and Protein Degradation, Animal Feed Science and Technology 27: 147-156.
Ashoka, B.V.L., G. Arunachalam, K. Narasimha, Jayaveera, Varadharajan, M.S Banu. 2012.
Hepatoprotective activity of methalonic extract of Ecrobolium viride (FOR SSK) alston roots against carbon tetrachloride induce hepatocity. IRJP. 3(8)
Baratawidjaya, K.G. 2002. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Cai, Y., Q. Luo, M. Sun and H. Corke. 20 04. A ntioxidant Activity and Phenolic
Compounds of 112 T raditional Chinese Medicinal Plants Associated with Anticancer. Life Science 74 : 2157 – 2184
Cannas A. 2008. T annins: Fascinating but Sometimes Dangerous Molecules, USA:
Department of Animal Science - Cornell University. Confer AW dan Panciera RJ. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edisi ke-2. Edited
by: Carlton WW dan McGavin MD. Mosby. Corwin EJ. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. Delaere, F.Magnan, C.Mathieuk, G. 2010. Hypothalamic integration of portal glucose signals
and control of food intake and insulin sensitivity. Diabetes Metab.36(4): 257-62 Gunawan. 2000. K eempukan, pH dan Daya Mengikat Air Otot Semitendinosus Sapi
Peranakan Ongole pada Berbagai Taraf Suhu dan Konsentrasi Perendaman Sari Hati Nanas Muda [Skripsi], Bogor: IPB.
Hagerman, A.E. 2002. Condensed Tannin Structural Chemistry. Dept. Of Chemistry and
Biochemistry, Miami University, Oxford, OH 45056. Halliwell, B and J.M.C.Gutteridge 1999. Free Radical in Biology and Medicine. Oxford
University Press, New York. Kmiec Z. 2001. Cooperation of liver cells in health and disease. Anat Embriol Cell Biol. 161
(3):1- 151 Los, J., A. Podsedek. 2004. Tannins from Different Foodstuff as Trypsin Inhibitors, Pol. J.
Food Nutr. Sci. Vol.13/54, No.1: 51-55. Lu, F.C. 1995. Toksikologi dasar (diterjemahkan oleh Edi Nugroho). UI Press. Jakarta.
24
Multaram, Al. 2013. Batu Ginjal. Available at : http://www.metris- community.com/ gejalabatuginjal-penyebab-penyakitbatuginjal/
Norton, B.W. 1998. Anti-Nutritive and Toxic Factors in Forage Tree Legumes, In: Forage
Tree Legumes in Tropical Agriculture, Queensland. Okawa, M., Kinjo, J., Nohara, T., Ono, M., 2001. DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl)
Radical Scavenging Activity of Flavonoids Obtained from Some Medicinal Plants, Biol. Pharm. Bull. 24 (10), 1202-1205.
Panjaitan, R.G.P., Handharyani, E., Chairul, Masriani, Zakiah, Z., dan Manalu, W. 2007.
Pengaruh Pemberian Karbon Tetraklorida terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Tikus, Makara Kesehatan 11(1):11-16.
Robbins, S. L dan Kumar V.1992. Buku Ajar Patologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Santoso G. 2002. P engaruh pemberian dua varietas Acacia villosa (Lamtoro Merah) terhadap
pertumbuhan histopatologi organ ayam. [skripsi]. FKH-IPB. Bogor. Sebastiani, G. 2009.Non-invasive assessment of liver fibrosis in chronic liver diseases:
Implementation in clinical practice and decisional algorithms. J Gastroenterol. 15(18): 2190–2203.
Soesanti, N. H., R. Darmawan. 2009. Pengaruh VCO terhadap Hitung Jenis Leukosit, Kadar
Glukosa dan Kreatinin Darah Mus musculus Balb/c Hiperglikemi dan Tersensitisasi Ovalbumin. Bioteknologi 6 (1): 1-10.
Stevens, L.A. and Levey, A.S. 2004. C linical Implications for Estimating Equations for
Glomerular Filtration Rate. Ann. Intern. Med. 141: 959-961. Suhermiyati, S., S.J. Setyawati. 2008. P otensi Limbah Nanas untuk Peningkatan Kualitas
Limbah Ikan Tongkol sebagai Bahan Pakan Unggas, Animal Production Vol. 10 No.3: 174-178.
Tosetti, M., Fornai, F., and Cioni, G. 2001. Arginine: Glicine Amidinotransferase
Deficiency: the Third Inbor Error of Creatin Metabolism in Human. Am. J. Hum. Genet. 69: 1127-1133.
Waghorn, G.C.. W.C. McNabb. 2003. C onsequences of Plant Phenolic Compounds for
Productivity and Health of Ruminants, Proc. Nutr. Soc. 62 : 383-392. Westendarp, H. 2006. Effects of Tannins in Animal Nutrition, Dtsch. Tierarztl. Wochenschr.
113: 264-268. Wina, E., B.Tangendaja. 2000. P emanfaatan Kaliandra (Calliandra calothyrsus) sebagai
Hijauan Pakan Ruminansia di Indonesia, Prosiding Lokakarya Produksi Benih dan Pemanfaatan Kaliandra 14-16 November 2000, Bogor, hal. 13-20.
Yuan, P.S.T., Dunn, S.R., Miyaji, T., Yasuda, H., Sharma, K., and Star, R.A. 2004. A
Simplified Method for HPLC Determination of Creatinine in Mouse Serum. Am. J. Physiol. 286: F1116-F1119.
25
Lampiran 1. Analisa Statistik Kadar SGOT, SGPT dan Kreatinin dalam Plasma Darah TWO WAY ANOVA COMPLETELY RANDOMIZED Variable: SGOT Source SS df MS F P ------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Main Effects Brom 10534,5 3 3511,5 1,0879516672 ,3826 ns Tann 13398,5 3 4466,1666667 1,383731588 ,2838 ns Interaction Brom x Tann 19511 9 2167,8888889 0,6716669033 ,7231 ns Error 51642 16 3227,625 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Total 95086 31 Duncan's Multiple Range Test Factor: Brom Error mean square = 3227,625 Degrees of freedom = 16 Significance level = 5% LSD .05 = 60,218231949 Rank Trt# Mean n Non-significant ranges --------------------------------------------------- 1 4 151,875 8 a 2 3 114,625 8 a 3 2 112,125 8 a 4 1 105,375 8 a
Duncan's Multiple Range Test Factor: Tann Error mean square = 3227,625 Degrees of freedom = 16 Significance level = 5% LSD .05 = 60,218231949 Rank Trt# Mean n Non-significant ranges --------------------------------------------------- 1 4 153,875 8 a 2 3 117,375 8 a 3 2 115,125 8 a 4 1 97,625 8 a
TWO WAY ANOVA COMPLETELY RANDOMIZED Variable: SGPT Source SS df MS F P -------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Main Effects Brom 640,84375 3 213,61458333 1,3976010359 ,2798 ns Tann 4801,09375 3 1600,3645833 10,470592244 ,0005 *** Interaction Brom x Tann 378,03125 9 42,003472222 0,2748131489 ,9726 ns Error 2445,5 16 152,84375 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Total 8265,46875 31 Duncan's Multiple Range Test Factor: Brom Error mean square = 152,84375 Degrees of freedom = 16 Significance level = 5% LSD .05 = 13,104193793 Rank Trt# Mean n Non-significant ranges -------------------------------------------------------- 1 4 56,375 8 a 2 3 47,625 8 a 3 2 46 8 a 4 1 45,125 8 a
Duncan's Multiple Range Test Factor: Tann Error mean square = 152,84375 Degrees of freedom = 16 Significance level = 5% LSD .05 = 13,104193793 Rank Trt# Mean n Non-significant ranges -------------------------------------------------------- 1 4 67,75 8 a 2 3 50 8 b 3 2 42,875 8 bc 4 1 34,5 8 c
26
TWO WAY ANOVA COMPLETELY RANDOMIZED Variable: Kreatinin Source SS df MS F P ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Main Effects Brom 0,00625 3 0,0020833333 0,6666666667 ,5847 ns Tann 0,02125 3 0,0070833333 2,2666666667 ,1200 ns Interaction Brom x Tann 0,06125 9 0,0068055556 2,1777777778 ,0836 ns Error 0,05 16 0,003125 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Total 0,13875 31 Duncan's Multiple Range Test Factor: Brom Error mean square = 0,003125 Degrees of freedom = 16 Significance level = 5% LSD .05 = 0,0592531544 Rank Trt# Mean n Non-significant ranges ------------------------------------------------------- 1 3 0,375 8 a 2 4 0,3625 8 a 3 2 0,35 8 a 4 1 0,3375 8 a
Duncan's Multiple Range Test Factor: Tann Error mean square = 0,003125 Degrees of freedom = 16 Significance level = 5% LSD .05 = 0,0592531544 Rank Trt# Mean n Non-significant ranges ------------------------------------------------------- 1 2 0,4 8 a 2 4 0,35 8 a 3 3 0,3375 8 a 4 1 0,3375 8 a
Lampiran 2. Analisis Statistik Histopatologi Hati
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kongesti_Sinusoid Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 7538.975a 15 502.598 5.953 .000 Intercept 26265.625 1 26265.625 311.107 .000 Tanin 1210.275 3 403.425 4.778 .003 Bromelin 1838.525 3 612.842 7.259 .000 Tanin * Bromelin 4490.175 9 498.908 5.909 .000 Error 12157.400 144 84.426 Total 45962.000 160 Corrected Total 19696.375 159 a. R Squared = .383 (Adjusted R Squared = .318)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Inti_Piknotik Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 556.775a 15 37.118 4.728 .000 Intercept 1050.625 1 1050.625 133.814 .000 Tanin 103.125 3 34.375 4.378 .006 Bromelin 50.225 3 16.742 2.132 .099 Tanin * Bromelin 403.425 9 44.825 5.709 .000 Error 1130.600 144 7.851 Total 2738.000 160 Corrected Total 1687.375 159 a. R Squared = .330 (Adjusted R Squared = .260)
27
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Degenerasi_Lemak Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 95.975a 15 6.398 1.674 .062 Intercept 1265.625 1 1265.625 331.123 .000 Tanin 25.625 3 8.542 2.235 .087 Bromelin 16.125 3 5.375 1.406 .243 Tanin * Bromelin 54.225 9 6.025 1.576 .128 Error 550.400 144 3.822 Total 1912.000 160 Corrected Total 646.375 159 a. R Squared = .148 (Adjusted R Squared = .060)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Infiltrasi_Sel_Radang Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 986.775a 15 65.785 1.104 .358 Intercept 9150.625 1 9150.625 153.566 .000 Tanin 74.225 3 24.742 .415 .742 Bromelin 216.525 3 72.175 1.211 .308 Tanin * Bromelin 696.025 9 77.336 1.298 .243 Error 8580.600 144 59.587 Total 18718.000 160 Corrected Total 9567.375 159 a. R Squared = .103 (Adjusted R Squared = .010)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Nekrosis Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 12.394a 15 .826 1.326 .194 Intercept 1128.906 1 1128.906 1812.291 .000 Tanin 2.069 3 .690 1.107 .348 Bromelin .869 3 .290 .465 .707 Tanin * Bromelin 9.456 9 1.051 1.687 .097 Error 89.700 144 .623 Total 1231.000 160 Corrected Total 102.094 159 a. R Squared = .121 (Adjusted R Squared = .030)
Lampiran 3. Analisis Statistik Histopatologi Ginjal
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Inti_Piknotik Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 295.975a 15 19.732 2.519 .002 Intercept 4182.025 1 4182.025 533.876 .000 Tanin 167.825 3 55.942 7.141 .000 Bromelin 54.225 3 18.075 2.307 .079 Tanin * Bromelin 73.925 9 8.214 1.049 .405 Error 1128.000 144 7.833 Total 5606.000 160 Corrected Total 1423.975 159 a. R Squared = .208 (Adjusted R Squared = .125)
28
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Endapan_Protein Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 422.800a 15 28.187 2.313 .006 Intercept 1166.400 1 1166.400 95.716 .000 Tanin 97.050 3 32.350 2.655 .051 Bromelin 104.950 3 34.983 2.871 .039 Tanin * Bromelin 220.800 9 24.533 2.013 .042 Error 1754.800 144 12.186 Total 3344.000 160 Corrected Total 2177.600 159 a. R Squared = .194 (Adjusted R Squared = .110)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Hemoragi Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 17766.775a 15 1184.452 3.952 .000 Intercept 65529.025 1 65529.025 218.652 .000 Tanin 3575.025 3 1191.675 3.976 .009 Bromelin 4406.025 3 1468.675 4.901 .003 Tanin * Bromelin 9785.725 9 1087.303 3.628 .000 Error 43156.200 144 299.696 Total 126452.000 160 Corrected Total 60922.975 159 a. R Squared = .292 (Adjusted R Squared = .218)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Penyempitan_Glomerulus Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 61.244a 15 4.083 1.757 .047 Intercept 351.056 1 351.056 151.037 .000 Tanin 29.919 3 9.973 4.291 .006 Bromelin 3.969 3 1.323 .569 .636 Tanin * Bromelin 27.356 9 3.040 1.308 .238 Error 334.700 144 2.324 Total 747.000 160 Corrected Total 395.944 159 a. R Squared = .155 (Adjusted R Squared = .067)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kongesti_Glomerulus Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 99.500a 15 6.633 2.341 .005 Intercept 562.500 1 562.500 198.529 .000 Tanin 28.650 3 9.550 3.371 .020 Bromelin 25.650 3 8.550 3.018 .032 Tanin * Bromelin 45.200 9 5.022 1.773 .078 Error 408.000 144 2.833 Total 1070.000 160 Corrected Total 507.500 159 a. R Squared = .196 (Adjusted R Squared = .112)
29
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Degenerasi_Lemak Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 131.044a 15 8.736 2.533 .002 Intercept 305.256 1 305.256 88.498 .000 Tanin 31.919 3 10.640 3.085 .029 Bromelin 17.469 3 5.823 1.688 .172 Tanin * Bromelin 81.656 9 9.073 2.630 .008 Error 496.700 144 3.449 Total 933.000 160 Corrected Total 627.744 159 a. R Squared = .209 (Adjusted R Squared = .126)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Infiltrasi_Sel_Radang Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1632.775a 15 108.852 1.278 .223 Intercept 5688.225 1 5688.225 66.795 .000 Tanin 270.625 3 90.208 1.059 .368 Bromelin 402.925 3 134.308 1.577 .198 Tanin * Bromelin 959.225 9 106.581 1.252 .269 Error 12263.000 144 85.160 Total 19584.000 160 Corrected Total 13895.775 159 a. R Squared = .118 (Adjusted R Squared = .026)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Nekrosis Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 130.044a 15 8.670 3.768 .000 Intercept 2287.656 1 2287.656 994.333 .000 Tanin 88.719 3 29.573 12.854 .000 Bromelin 24.319 3 8.106 3.523 .017 Tanin * Bromelin 17.006 9 1.890 .821 .597 Error 331.300 144 2.301 Total 2749.000 160 Corrected Total 461.344 159 a. R Squared = .282 (Adjusted R Squared = .207)
30
Lampiran 4. Dokumentasi Jalannya Penelitian
Tanaman Calliandra calothyrsus (kaliandra bunga merah) di daerah Baturiti, Tabanan
Ransum: Kontrol (R0), Dosis tepung daun kaliandra 10% (R1), 17,5% (R2) dan 25% (R3)
Kandang perlakuan individual Induk bunting Kandang saat perkawinan
Timbangan berat badan Organ dalam fiksatif sebelum preparasi histologi
31
Laporan Penggunaan Dana Penelitian Dosen Muda (PNBP) 2014
Judul Penelitian : Potensi Antioksidan Pakan yang Mengandung Tanin dan Protease untuk
Memperbaiki Fungsi Hati dan Ginjal Tikus selama Periode Gestasi Tim Peneliti : Iriani Setyawati, S.Si., M.Si. (Ketua)
: I Gusti Ngurah Agung Dewantara Putra, S.Farm., Apt., M.Sc (Anggota) No Aktivitas Pembiayaan 1 Terima dana penelitian Rekening 5.950.000 (Tahap I), 2.550.000 (Tahap II) Kontrak 10.000.000 Bahan habis pakai Unit Harga/ Unit Harga (Rp) 2 Botol minum tikus 16 10000 160000 3 Botol vial kaca 30 4000 120000 4 Tikus betina (dgn cadangan) 35 30000 1050000 5 Tikus pejantan 8 30000 240000 6 Sekam 2 15000 30000 7 NaCl 0,9% 2 botol 10000 20000 8 Blood Tube 40 3000 120000 9 Ketamine 25 ml 75000 75000 10 Giemsa 10 ml 70000 70000 11 Bouin 100 ml 100000 100000 12 Xylol (Merck) 100 ml 200000 200000 13 Parafin (PA) 0,5 kg 150000 150000 14 Hematoxylin (Sigma) 100 ml 425000 425000 15 Eosin Y, Sigma 50 g 200000 200000 16 Canada balsam 50 ml 150000 150000 17 Object glass 1 box 50000 50000 18 Cover glass 1 box 50000 50000
19 Pakan standar tikus dari PT. Charoen Pokphand kode 551 1 sak 250000 250000
20 DPPH Radical Scaveging Kit ½ paket 500000 500000 21 Kit SGOT-SGPT 1 lot 650000 650000 22 Kit Kreatinin 1 lot 500000 500000 23 Sarung tangan 1 box 50000 50000 24 Kertas label 3 set 15000 45000 25 Tissue 5 pak 10000 50000 26 Aquades 5 L 10000 50000 27 Carboxymetyl Cellulose (Teknis) 1 kg 50000 50000 28 Pereaksi Folin Dennis ½ paket 400000 400000 29 Etanol 96% 500 ml 100000 100000 30 Na2CO3 50 g 155000 155000 Sub total 6010000
32
Unit Harga/ Unit Harga (Rp) Perjalanan
31 Denpasar – Bedugul dan lokal Denpasar 2x perjalanan 50 100000
32 Denpasar – Gondol – Denpasar 1x perjalanan 150 150000 Sub total 250000 Peralatan penunjang
33 Sewa kandang 16 buah 5000 80000 34 Sewa spektrofotometer 1 set 100000 100000 35 Sewa sentrifuge 1 set 100000 100000 36 Sewa freeze dryer 1 set 100000 100000 37 Sewa mesin pelleting 1 set 100000 100000 Sub total 480000 Gaji dan upah
38 Honor ketua 19 minggu 10 jam/ mgg @ 4000
760000 39 Honor anggota 10 minggu 400000
Sub total 1160000
Lain-lain 40 Laporan lot 100000 100000
41 Publikasi di Jurnal Terakreditasi lot 500000 500000
Sub total 600000
Total anggaran yang digunakan 8500000