kisah tentang "ayam dan telor: "proses kepemimpinan yang mengubah"

30
Kisah Tentang Ayam dan Telor “Proses Kepemimpinan Yang Mengubah”: Upaya Praksis Kepemimpinan Dalam Kerja Pemberdayaan Jakarta - April 2013

Upload: emil-e-elip

Post on 13-Dec-2014

64 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Paper ini merupakan kritik reflektif atas makna leadership dalam proses pemberdayaan, khususnya di program PNPM. Leadership di sana, terjerumus dalam makna instrumentalis. Apa sebabnya, bagaimana merubahnya, leadership capacity building yg bagaimana yg dibutuhkan, tersaji di dalam paper ini

TRANSCRIPT

Page 1: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor “Proses Kepemimpinan Yang Mengubah”: Upaya Praksis Kepemimpinan Dalam Kerja Pemberdayaan

Jakarta - April 2013

Page 2: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 1

Kisah Tentang Ayam dan Telor “Proses Kepemimpinan Yang Mengubah”: Upaya Praksis Kepemimpinan Dalam Kerja Pemberdayaan

Oleh: Emil. E. Elip1

Latar Belakang Kepemimpinan (leadership) telah menjadi semacam pengetahuan yang diadopsi dan diterapkan ke berbagai segi kegiatan di dalam kehidupan. Dalam bidang sosial-kemasyarakat, bidang bisnis, perusahaan-perusahaan, organisasi kepartaian dan organisasi swadaya masyarakat, wilayah-wilayah sistem pemerintahan dari monarki sampai sistem negara republik, bidang organisasi keagamaan, dan lain sebagainya, membutuhkan “kepemimpinan”. Bahkan di dalam sebuah keluarga, dibutuhkan praktik-praktik kepemimpinan. Tidak terkecuali juga, program-program pemberdayaan masyarakat telah mengolah dan menerapkan praksis kepemimpinan tersebut. Praktik kepemimpinan dimasing-masing institusi, kelembagaan, bidang-bidang pengorganisasian kerja tentu saja nampak berbeda-beda satu sama lain, yang sangat dipengaruhi roh visi, misi, dan tujuan lembaga/institusi tersebut dibentuk. Dalam perjalanannya masing-masing lembaga tersebut, bukan tidak mungkin bahwa praktik kepemimpinan yang dikembangkan menjadi amat tidak jelas arahnya, tidak efektif dalam membimbing gerak lembaga, oleh karena tekanan-tekanan target atau tuntutan-tuntutan birokratis-administratif-prosedural yang terus menerus menekan. Meskipun lembaga-lembaga tersebut --yang gagal menjaga kepemimpinannya yang efektif dan mengayomi-- tetap menunjukkan keuntungan atau performa capaian kelembagaan sesuai target yang sudah ditetapkan, namun banyak bukti bahwa tidak lama dikemudian para lembaga/instusi atau perusahaan-perusahaan tersebut mengalami penurunan yang tajam kearah “bubarnya” lembaga. Atau kenyataan lain, jika lembaga tersebut tetap mampu berjalan dan hidup, lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki lagi atau tidak mampu lagi menghidupi idealismenya yang agung seperti tertera di dalam visi dan misinya. Kepemimpinan dalam dunia kerja-kerja pemberdayaan dan penguatan masyarakat juga menarik untuk dipelajari dan dicermati secara kritis praksis. Menarik! Sebab konsepsi kemepimpinan telah dipercaya dan diakui sebagai salah satu “roh energi” terpenting yang melandasi idealisme-idealisme substansi pemberdayaan itu sendiri. Itu sebabnya mengapa di dalam materi-materi pelatihan didalam kerja-kerja pemberdayaan, ada

1 Penulis adalah alumnus Antropologi UGM. Pendiri dan Board of Advisory di Lembaga Nawakamal

(Yogyakarta), sebuah LSM yang bergerak di penguatan livelihood perdesaan, sejak 1993. Sering terlibat dalam berbagai penelitian sosial dan budaya. Pernah bekerja di Program Pemberdayaan Masyarakat Adat (IRE, Yogyakarta: 2004-2006); Capacity Building-Aceh Local Government Program (GTZ, 2007-2010), Tenaga Ahli Monev di National Management Consultant (NMC)-P2DTK (2011), dan Tenaga Ahli Monev & Analisa Program di Sekretariat Project Implementing Unit (PIU) KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), 2012-2013. Kontak: [email protected]

Page 3: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 2

materi yang berkaitan dengan leadership (kepemimpinan). Proses kerja pemberdayaan masyarakat, yang berharap masyarakat berani mengubah diri ke arah lebih baik, membutuhkan tehnik dan jiwa kepemimpinan yang baik dari para fasilitatornya. Para fasilitator ini, yang dalam proses kerjanya adalah proses yang sedang memimpin, sesungguhnya di sisi lain mereka juga sedang mempersiapkan orang lain dari masyarakat dampingannya untuk menjadi para “pemimpin” dikelompoknya, di dalam masyarakatnya, atau di antara jaringan-jaringan masyarakat tersebut. Jika sebuah program pemberdayaan masih mempunyai kewilayahan dan target mitra dampingan yang relatif kecil, dimana intensitas pendampingan fasilitator dengan para mitranya masih cukup tinggi, kemungkinan besar energi kepemimpinan itu bisa digerakkan dengan cukup dalam dan intens. Namun bagaimana dengan proyek dan program yang telah menjadi sangat besar dari sudut jumlah mitra kerja, jangkauan yang semakin jauh, target wilayah yang sangat luas dengan karakteristik masyarakat yang berbeda, dengan target luncuran keuangan yang tidak sedikit? Bagaimana mempertahankan idealisme kepemimpinan diantara para fasilitator-fasilitator dan men-sharing-kannya kepada masyarakat di dalam program yang besar semacam itu? Bentuk kepemimpinan yang seperti apa yang dibutuhkan dalam proses development (pemberdayaan) dan empowerment (penguatan) itu? Tepatnya kepemimpinan seperti apa yang mampu menumbuhkan pemberdayaan dan penguatan di dalam masyarakat? Kepemimpinan bukanlah sesuatu yang datang dari langit yang diberikan kepada seseorang, dan tiba-tiba seorang tersebut menjadi pemimpin. Pemimpin dan yang kemudian dalam praksis kerjanya disebut kepemimpinan, adalah sebuah proses belajar yang berkelanjutan. Oleh karena merupakan sebuah proses belajar, maka kepemimpinan dan menjadi pemimpin, adalah sesuatu yang terbuka untuk dipelajari, diajarkan, disharingkan, ditularkan. Dalam suatu proses belajar yang lebih teknis, maka kepemimpinan itu bisa ditumbuhkan melalui proses pelatihan berkelanjutan, tidak hanya di dalam kelas tetapi juga melalui praktik-praktik keseharian. Paper ini hendak mendalami substansi-substansi dasar apa saja yang diperlukan dalam sebuah proses pelatihan kepemimpinan (training for leadership capacity building). Juga ingin dipaparkan pula bagaimana seyogyanya daur belajar pelatihan kepemimpinan, khususnya kepemimpinan dalam konteks pemberdayaan masyarakat, harus dirancang. Agar konsepsi mengenai training for leadership capacity building ini mencapai daya guna, arah, serta memberikan dampak sikap yang kuat, maka perlu dilakukan terlebih dahulu telaah tentang hakikat, falsafah, ataupun konsep mengenai apa itu leadership.

Tinjauan Definisi Kepemimpinan Sebelum membahas lebih jauh soal kepemimpinan ada baiknya ditinjau bagaimana dan sejauh apa “rimba” definisi mengenai kepemimpinan ini. Tinjauan ini diharapkan bisa memberikan peta kerangka berpikir yang pernah ada mengenai apa itu kepemimpinan, serta untuk memahami seperti apa pokok pikiran di dalam definisi-definisi kepemimpinan tersebut. Definisi-definisi yang terpapar di sini, tidak berarti bahwa paper ini akan menganut definisi tertentu mengenai pengertian kepemimpimpinan. Ia hanya ingin memberikan konteks sejauh mana rimba pengertian kepemimpinan itu sudah berjalan dan berkembang.

Page 4: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 3

Sang Pemimpin dan Yang Terpimpin Definisi yang umum berkembang dan sifatnya relatif moderat adalah definisi yang secara mendasar ingin mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah “sang pemimpin dan yang dipimpin”. Seperti di tulis Warren Bennis2 leadership is a process by which a person influences others to accomplish an objective and directs the organization in a way that makes it more cohesive and coherent. Definisi ini mirip dengan definisi yang dibuat oleh Northouse (2007)3 yaitu …leadership is a process whereby an individual influences a group of individuals to achieve a common goal. Dua definisi ini, dan masih banyak definisi yang sejenis, pada dasarnya menterjemahkan kepemimpinan sebagai proses mengubah orang lain (influences others, individual or groups) agar mencapai tujuan tertentu. Dalam level individual, yaitu si pemimpin, dia adalah orang yang influences, berpengaruh, dan karena itu lebih punya kuasa (power), dibanding yang dipimpin karena yang dipimpin menunggu perintah, melaksanakan petunjuk-petunjuk, agar menuju tujuan yang sudah ditetapkan. Model-model kepemimpinan semacam ini biasanya berlaku pada institusi-institusi bernuansa otoritrianis seperti kerajan/kekaisaran abad pertengahan, institusi-institusi militer, atau bisa juga terjadi pada lembaga-lembaga modern yang pemimpinnya otorier.

Semua Orang Adalah Pemimpin Sebuah definisi yang cukup unik, dan yang memiliki dasar pijakan berpikir sangat berbeda dengan definisi sebelumnya, yaitu sebuah definisi kepemimpinan yang mengasumsikan bahwa “semua orang adalah (calon) pemimpin”. Seorang pemimpin pada dasarnya, menurut definisi ini, sedang mengorganisir dan “mencetak” calon-calon pemimpin. Jika demikian halnya maka strategi dasar yang harus dipakai dalam konteks kepemimpinan yang memimpin calon pemimpin adalah “sharing”, dan bukan “instruksi”. Saya ingin menyebut model kepemimpinan yang dimaksud ini sebagai opend mind leadership (kepemimpinan terbuka). Sharing yang dimaksud disini menyangkut aspek yang sangat luas bentuk dan jenisnya. Sharing tersebut termasuk sharing idea (ide), sharing visi, sharing tanggungjawab (pendelegasian), sharing visi, sharing kepercayaan dan bahkan kewenangan. Secara lebih mendalam, seseorang dengan kemampuan dan kemauan melakukan sharing secara sungguh-sungguh, memerlukan keberpihakan sikap dan nilai, yaitu sikap yang sungguh terbuka atas segala sesuatu di luar dirinya. Open mind leadership tidak (mau) terjebak pada praktik tindakan teknis-instruksional. Open mind leadership berbeda dengan leadership yang terjebak pada mekanisme manajerial. Sebuah artikel yang cukup baik dalam mengupas perbedaan prinsip antara model open mind leadership dibanding managerial leadership (influencing others) adalah yang ditulis oleh Witzgall dalam “What Leadership Is Not” (19..). Salah satu refleksi atau katakanlah kritik Witzgall mengenai konteks kepemimpinan, seperti berikut:

2 Lihat Warren Bennis, Conceps of Leadership (www.nwlink.com/~donclark/leader/leadcon.html).

3 Leadership Theory and Practices (2007): Thousand Oak London, New Delhe, Sage Publication, Inc. (www.nwlink.com/~donclark/leader/leadcon.html).

Page 5: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 4

“A leader is not the same thing as a manager/supervisor. Many people in corporate America and law enforcement confuse this point. Law enforcement does not, as a rule, use the term ‘manager’; however, we do use the word ‘supervisor’ in its place. There is a vast difference between a leader and a manager/supervisor. A person manages an office (and its assets) and supervises people in an administrative manner. A crisis situation where people are dying and bullets are flying requires swift and dynamic leadership in the field – not managers or supervisors sitting behind a desk. Law enforcement spends far too much time developing supervisors and far too little time developing leaders”.

Yang ingin disampaikan oleh Witzgall adalah suatu perbedaan sangat tajam antara leader dan manager. Lebih dari itu, lanjut Witzgall, banyak lembaga telah salah mengartikan leader hanya sekedar manager. Atau sebaliknya, seseorang yang diberi peran tanggungjawab sebagai leader, tetapi yang dia lakukan sehari-hari dalam kerjanya tidak ubahnya hanya manager yang sangat administratif dan instrumentalis. Argumen-argumen Witzgall tentu tidak hendak mengatakan bahwa manager atau seseorang dengan kemampuan manager tidak ada gunanya. Argumen-argumen Witzgall, seseorang yang sudah lebih 30 tahun belajar dan terjun di bidang kepemimpinan, ingin menegaskan adanya salah kaprah pemahaman dan praktik dari masing-masing peran yang seharusnya dilakukan seorang leader. Sebuah ulasan contoh yang mengeksplorasi secara mendalam tentang leader dan leadership, dan yang berprinsip pada model open mind leadership, dipaparkan oleh Chris Lowney (2005) dalam “Heroic Leadership”. Buku Lowney dalam sub bab tentang “Semua Orang Adalah Pemimpin”, mengupas konsep kepemimpinan yang telah dipraktikkan oleh Ordo Yesuit selama 450 tahun, dan yang telah jatuh bangun menerjang jaman dan membuktikan sebagai sebuah organisasi (katakan juga sebagai lembaga atau institusi) yang terkemuka dan eksis sampai saat ini. Ordo Yesuit mengelola berbagai pendidikan terkemuka didunia diberbagai benua, dimana pengalamannya pengelolaan institusi pendidikan tersebut hampir 400 tahun, belum lagi berbagai organisasi dan institusi dibawah naungannya. Pertanyaan mendasar dan sangat menarik diajukan oleh Lowney adalah: “Model leadership seperti apa yang telah dikembangkan Yesuit!”. Dengan mengambil artikel ini sebagai salah satu acuan paper ini, tentu saya tidak bermaksud mengajak sidang pembaca menjadi “peminat” Katolik. Dilihat dari sisi praksis kelembagaannya, Yesuit tidak ubahnya juga sebuah institusi, sebuah lembaga, atau sebuah organisasi seperti umumnya lembaga lain yang kita kenal. Oleh sebab itu saya kira tidak ada salahnya kita mengambil best-practics yang bagus dari institusi Yesuit tersebut. Filosofi model kepemeimpinan di dalam instutusi Yesuit, kata Lowney, adalah open mind leadership yang berprinsip teguh pada 3 hal: (a) Kesadaran (self-awareness) diri yang tinggi; (b) Berani mengambil resiko berubah dan beradaptasi dalam dunia (keadaan) yang terus berubah (changing world); (c) Menjunjung sikap respek, positif, berdasarkan “energi” untuk memberdayaan orang lain (empowering others); dan (d) Membangun diri dan orang lain dalam mimpi yang ambisius-heroik (share heroic-ambition). Ringkasnya, bukanlah hal-hal yang amat teknis seperti para manager yang perlu dititik beratkan di dalam praktik kepemimpinan ataupun pembelajaran (training) kepemimpinan. Seperti saya katakan sebelumnya, tidak berarti manager itu tidak dibutuhkan dan penting. Banyak Yesuit juga adalah manager yang sangat handal, atau merekrut seorang manager awam yang sangat berpengalaman. Yang dibangun oleh

Page 6: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 5

Yesuit adalah sikap dan visi dasar menjadi leader sesuai keempat prinsip tersebut kepada anggotanya. Dan para anggota tersebut men-share prinsip tersebut kepada siapapun dalam bidang kerja masing-masing. Itulah sebabnya Yesuit mampu adaptif terhadap dunia yang terus berubah sebab mereka “tidak takut perubahan”. Mereka tidak keder dengan calon-calon pemimpin yang handal atau orang-orang pintar lainnya, karena mereka telah membagi visi besar yang sama dan “heroisme-mimpi” yang dipahami bersama. Dan terhadap kesemuanya itu para Yesuit disiplin melakukan “refleksi” atas kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, dan dampaknya bagi dunia dan masyarakat (serta keagungan Tuhan). Apa yang telah ditulis oleh Witzgall dan Lowney, sangat memberikan inspirasi kepada kita untuk merefleksikan “kadar kepemimpinan” terhadap kerja-kerja pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sejauh pengamatan saya “sangat miskin” kadar dan sikap leadership yang terbangun kepada para fasilitator (yang termasuk disini adalah juga para konsultan) PNPM. Dengan mengikuti pikiran Witzgall, maka bias dikatakan bahwa sebagian besar dari fasilitator tersebut terjebak pada sekedar praktik-praktik manajerial. Manager sangat mudah terjebak pada mengejar low-inforcement demi tercapainya target kerja semata. Akibatnya mereka kehilangan kesempatan membangun leadership yang utuh di dalam masyarakat. Bahkan mungkin juga mereka tidak mencapai pada kesadaran leadership towards empowerment (leader dari proses pemberdayaan). Untuk mengingatkan kembali perbedaan peran dan filosofi antara pemimpin (leader) dan manajer (manager), maka ditampilan tabel berikut:

Tabel Perbedaan Kepemimpinan v.s Manajerial

Pemimpin Manajer

Fokus pada manusia Mengerjakan sesuatu yg benar Menginspirasi Mempengaruhi Memotivasi Medukung (encouraging)

Fokus pada tindakan kerja Mengerjakan sesuatu yg benar Merencanakan Mengorganisasikan Memerintah Mengontrol

Concern pada strategi Merumuskan arah Membangun visi

Berbasis perencanaan Budgeting Merumuskan target Ditail langkah/tahap Mengelola, mengatur staff/SDM

Mencari kader Berkomunikasi Membangun jejaring

Merumuskan struktur Kejelasan hirarki Merumuskan job description Pendelegasian wewenang

Memberdayakan orang Memotivasi Memberikan kepercayaan

Menyelesaian masalah Bernegosiasi untuk konsensus Melaksanakan sistem

pengawasan Mengukur kinerja Mengidentikasi perubahan

Dikompilasi dari “Leadership” (www.calstatela.edu/faculty/jpark/Leadership) Catatan: Coba renungkan di arena mana (kiri atau kanan) sebagian besar tindakan pro- ses fasilitasi Anda di dalam kerja-kerja pemberdayaan.

Page 7: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 6

Pendidikan-Kepemimpinan-Pemberdayaan Sekarang mari kita menelusuri lebih jauh dan agak lebih mendalam, adakah relasi-relasi maknawi maupun relasi-relasi yang lebih membumi dalam praktik antara “pendidikan” (education), “kepemimpinan” (leadership), dan “pemberdayaan” (empowerment). Pertama-tama akan dibahas apa makna dasar dari masing-masing konsep tersebut, kemudian ditinjau pengaruhnya atau relasinya antar konsep yang satu dengan yang lain.

Pendidikan: Pengertian Dasar

Seperti juga pengertian tentang kepemimpinan yang mengalamai pergeseran jauh dalam maknanya, demikian juga yang terjadi dalam pendidikan baik yang dimaknai sebagai substansi pendidikan maupun institusi pendidikan. Pola pendidikan pada Abad Pertengahan jauh berbeda dengan pendidikan era dewasa ini. Pendidikan di akademi militer, tentu berbeda dengan pendidikan di universitas-universitas umum. Pendidikan yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan besar, tentu berbeda dengan pendidikan-pendidikan di institusi-institusi agama, dsb. Pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga atau program-program pemberdayaan masyarakat tentu juga menempati arah dan hasil yang mau dicapai, yang berbeda dengan instusi pendidikan lain.

Wit Visadavet, seorang rohaniawan Budha, dalam artikel refleksinya “The Budhist Phylosophy of Education: Approaches and Problems” tentang pendidikan dunia modern dan masyarakat Thailand, membedakan bahwa pendidikan pada abad-abad awal adalah proses untuk menciptakan manusia (murid) lebih dekat dengan Tuhan-nya (trancendental), tetapi tidak dengan arah pendidikan di era millenium ini yang lebih cenderung untuk mencetak manusia yang mempunyai keterampilan (skill). Sejalan dengan Wit Visadavet, David Orr (1991)4 mengkritisi bahwa pendidikan saat ini adalah untuk meraih mobilitas sukses. Dunia pendidikan berupaya sebanyak-banyaknya --mass production-- mampu mencetak manusia sukses.

Gambaran di atas hanyalah sekedar menghadirkan contoh keprihatinan sekaligus upaya kritis dua orang ahli mengenai kondisi pendidikan dewasa ini. Masih banyak daftar panjang contoh-contoh pengamatan kritis seperti ini. Namun lepas dari upaya menilai “hasil cetakan” dari berbagai institusi/lembaga pendidikan dalam konteks lintas waktu dan sejarah, maupun dalam berbagai sektor, mari kita menengok apa sesungguhnya makna pendidikan itu.

Akar kata dalam bahasa Latin dari eduation adalah ex-ducare. Ex diterjemahkan sebagai “keluar”, atau upaya mengeluarkan, upaya “memanggil”. Sementara ducare diterjemahkan sebagai “nilai” (value). Jadi secara terjemahan harafiah education (pendidikan) adalah upaya untuk memanggil, mengeluarkan nilai-nilai. Proses pendidikan dengan demikian adalah sebuah proses agar seseorang (peserta didik) mampu mengeluarkan atau mengungkapkan pandangan, pendapat dan argumen, bahkan nilai-nilai yang dimilikinya sebagai buah dari relasi dan intepretasi-intepretasinya menjani kehidupan, dalam segi apapun yang tentu begitu kaya. Setiap orang bisa jadi mempunyai pengalaman dan intepretasi yang berbeda-beda satu sama lain. Dengan demikian seorang guru atau

4 David Orr dalam “What Is Education For: Six myths about the foundations of modern education, and six new

principles to replace them” (http://www.context.org/iclib/ic27/orr/))

Page 8: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 7

pendidik, berperan hanya memfasilitasi agar seorang peserta didik dengan jiwa merdeka mampu mengungkapkan nilai-nilai yang dimilikinya.

Sejarah praktik-praktik pelaksanaan pendidikan membuat nilai-nilai mengenai proses pendidikan seperti tergambar di atas, berubah dan berbeda satu sama lain. Namun secara umum pembedaan praktik pendidikan itu bisa dipilah menjadi dua besar, yaitu “pendidikan konvensional” dan “pendidikan kesetaraan”. Apa maksudnya?

Pendidikan Konvensional

Jika dijelaskan secara ringkas, pendidikan konvensional adalah pendidikan model lama yang menggunakan pendekatan monolog, satu arah. Yang satu berperan sebagai guru yang lain berperan sebagai murid. Guru adalah satu-satunya sumber belajar atau sumber pengetahuan, dan karena itu otoritas kebenaran hanyalah ada pada guru. Guru memberi, murid menerima. Guru menjadi superior murid inferior. Guru dalam pendidikan ala konvensional merasa paling benar dan pintar, dia menentukan, dan oleh karena itu pendapat baru dari murid dianggap “menggangu”. Contoh penggambaran visual model pendidikan konvensional ini misalnya adalah banking education approach (“pendidikan ala pom-bensin”) yang diperkenalkan oleh Paulo Freire, berikut ini.

Banking education (pom-bensin)

Banyak para ahli pendidikan mengkritisi bahwa pendidikan dewasa ini sudah sangat bersifat bussiness oriented. Lembaga-lembaga pendidikan mengarahkan energinya untuk mendapatkan murid sebanyak-banyak, dan alhasil dikemudian hari tercetak sarjana sebanyak-banyaknya. Permintaan akan sekolah dan kesempatan bersekolah apalagi menjadi sarjana, dipandang merupakan satu-satunya cara paling ampuh membawa mobilitas status sosial. Dunia pendidikan akhirnya terjebak kepada “putaran bisnis”, harga pendidikan menjadi mahal, hanya orang-orang berduit yang dapat dengan mudah mencetak anak-anaknya menjadi sarja. Sementara orang

miskin sebagian besar berhenti setelah menamatkan wajib pendidikan dasar. Lebih jauh dari itu, dunia pendidikan ternyata sangat sedikit sumbangannya pada perubahan ketidakadilan hampir disemua segi kehidupan. Pendidikan disinyalir hanya mencetak oknum-oknum yang pro status-quo, mengestabliskan gap antara yang kaya dan miskin, antara yang berkuasa dengan yang tertindas, dan

berbagai permasalahan sosial yang bersumber dari kondisi ketidakadilan. Kondisi semacam itu tidak terkecuali terjadi pula di Amerika Latin, yang kemudian menjadi keprihatinan sangat mendalam bagi Paulo Freire.

Gambar Karakter Banking Education

Page 9: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 8

Mengapa pendidikan hanya melanggengkan “ketertindasan dan ketidakadilan”? Mengapa pendidikan tidak mampu atau sangat sedikit menghasilkan pemberdayaan (development), penguatan (empowerment), dan perubahan yang setara dan lebih baik dalam relasi-relasi sosial. Analisa Paulo Freire sampai pada kesimpulan bahwa praktik-praktik pendidikan tidak lain terjebak pada banking ecutaion approach, pendidikan ala pom bensin. Atau bisa disebut juga deposit banking approach. Intinya, menurut Freire, pendidikan dewasa ini hanya mengucurkan, monolog, menabung (deposit), memasukkan seperangkat pengtahuan kepada murid. Secepat-cepatnya memasukkan itu lebih baik, karena ada target, batas waktu, dan cepat selesai. Murid tak perlu terlalu kritis, bisa jadi malah menghambat dirinya sendiri, karena guru/dosen pun sibuk mengais rejeki di temapt lain demi beban hidup yang semakin berat. Tidak ada proses dialog mempertanyakan “kebebaran” dan “memposisikan kebenaran”, kata Freire.

Kepemimpinan dominatif Kepemimpinan yang dominatif adalah proses kepemimpinan yang sifatnya otoriter dimana sang pemimpin mendominasi apa yang disebut proses menuju tujuan bersama atau misi bersama, yang sudah ditetapkan oleh sebuah lembaga, organisasi,maupun institusi. Kepemimpinan tersebut, jika dikaitkan dengan definisi kepemimpin yang sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya, masuk di dalam model “Pemimpin dan Yang Terpimpin”. Model atau arus kepemimpinan yang semacam ini kiranya sangat dekat, dan yang terinspirasi, melalui pendekatan pendidikan yang konvensional bak “pom-pensin” (banking education approach). Kepemimpinan dominatif bagaikan model seorang guru yang merasa paling benar, dan karena merasa paling benar maka dia merasa paling berkuasa dan memiliki kewenangan utama menjejalkan seperangkat pengetahuan kepada anak didik (murid). Tentu saja dalam model kepemimpinan yang semacam ini, partisipasi menjadi sesuatu yang langka terjadi, dalam arti partisipasi yang sesungguh-sungguhnya. Kalaupun terjadi partisipasi di dalam dunia kepemimpinan yang dominatif ini, itu hanyalah “partisipasi semua” (shadow of participation). Seseorang atau sekelompok masyarakat berpartisipasi karena dalam pengaruh ketakutan ataupun kekhawatiran “agar demi bapak senang”, supaya diberikan bantuan lagi, supaya sebuah usulan tidak dicoret dari daftar usulan, atau macam-macam lain.

Pengaruhnya Pada Pemberdayaan

Pembangunan yang memberdayakan saya kira sudah tidak perlu dijelaskan lagi mengapa pendekatan pemberdayaan dewasa ini menjadi wacana yang penting dalam proses pembangunan. Kunci jawabannya adalah karena pembangunan itu bukan persoalan fisik semata, tetapi pembangunan itu juga menyangkut “manusia”. Bahkan pembangunan fisik pun, misalnya pembangunan jalan, jembatan, irigasi, dan lain-lain adalah untuk manusia, dan karena itu dalam pembangunan fisik sekalipun kini harus mempertimbangkan dari sudut manusianya. Manusia yang akan memanfaatkan pembangunan fisik tersebut, atau menjaga dan me-maintenance hasil fisik tersebut.

Page 10: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 9

Di luar pembangunan fisik, yaitu pembangunan yang mengarah pada “kualitas hidup” manusia, seperti pengembangan ekonomi, pengembangan kualitas kesehatan, kualitas pendidikan, kualitas pelayanan publik, bahkan dibidang-bidang seperti demokratisasi, pemenuhan hak-hak kesetaraan hukum, dan lain sebagainya, pertimbangan untuk “melihat manusia”-nya menjadi kunci utama. Persoalannya adalah: mengapa demikian, mengapa “people oriented”? Jawabannya adalah karena pembangunan itu juga sebuah education process (pendidikan). Pembangunan yang menganut pendekatan top-down, mengasumsikan bahwa si pengambil kebijakan pembangunan merasa “tahu” apa yang dibutuhkan manusia sasarannya, merasa tidak perlu berdialog dengan masyarakat, merasa bahwa masyarakat itu “penerima” saja pembangunan, dll. Hal ini bisa diasosiasikan bahwa pengambil kebiajakn pembangunan itu adalah “pendidik/guru”, guru yang monolog, guru yang serupa dengan pom-bensin, guru yang sedang menjejalkan pengetahuan (banking education) kepada murid (masyarakat), guru yang bersikap bahwa pendapat masyarakat (murid) itu hanya perlu didengarkan saja dan tidak perlu dipertimbangkan sebagai fakta baru yang mengandung pengetahuan, dll. Pembangunan yang top-down, diikuti atau bersamaan dengan model pendidikan yang konvensional di dalam masyarakat, akan menciptakan masyarakat yang “tidak kritis” di satu sisi serta menciptakan masyarakat yang hanya menerima saja pembangunan. Masyarakat yang pasif di dalam pembangunan. Masyarakat yang merasa tidak memiliki pembangunan itu. Masyarakat yang tidak mencapai participatory awareness (kesadaran partisipatif) dalam pembangunan. Dalam diskusi mengenai politik pembangunan, masa (masyarakat) yang mengambang, tidak kritis, menerima saja semacam itu memang sengaja diciptkan. Mengapa demikian? Karena untuk melanggengkan status-quo, melenggangkan dominasi politik pembangunan, menekan sekecil mungkin perubahan apalagi perubahan yang bisa mengancam posisi “enak”.

Pendidikan Kesetaraan

Berbeda dengan model pendidikan yang sudah dipaparkan sebelumnya, “pendidikan kesetaraan” adalah proses pendidikan yang menempatkan guru dan murid (fasilitator-masyarakat, pemimpin-yang dipimpin) pada posisi yang setara. Masih dalam kaitannya dengan model pendidikan Paulo Freire, dalam pendidikan yang setara atau education for liberation, guru bukan satu-satunya sumber belajar. Guru, kata Freire, perlu dan harus belajar dari sang murid juga. Untuk apa? Karena guru perlu belajar sejauh mana pandangan sang murid mengenai sebuah “narasi pengetahuan”. Guru perlu belajar mengapa seorang murid memiliki pendapat tertentu, apa latar belakang kehidupan yang dimiliki sang murid, dll. Ini semua berkaitan dengan filosofi pengetahuan (knowledge) dan filosofi pembelajaran (learning).

Dialogical Education

Bagi Paulo Freire (dalam Fatima, dkk., 2007) pengetahuan is not a set commodity that is passed from the teachers to the students. Seorang murid, atau sebuah masyarakat, harus menyusun atau mengkonstruksi sendiri pengetahuannya berdasarkan nilai-nilai, pengalaman, pembelajaran yang telah dia miliki. Tugas guru, dengan demikian juga

Page 11: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 10

tugas seorang fasilitator/leader pemberdayaan, adalah memahami/belajar bagaimana murid/masyarakat memahami dunia kehidupannya dan dengan demikian sang guru kemudian mampu lebih tepat menularkan pengetahuan baru. Murid tidak dicabut, dicerabut, dilepaskan dari dunianya. Masyarakat yang (tidak) tercerabut dalam proses pembangunan, masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan, adalah sejalan dengan hal-hal tersebut dalam pengertiannya yang oposite. Pendidikan yang membebaskan dan setara dengan demikian hanya bisa terjadi dalam pendekatan yang dialogical. Peran guru dan murid sama-sama berpartisipasi. Tidak ada domininasi dalam pengertian “mematikan” potensi pihak lain, apalagi di pihak murid (masyarakat). Dalam konteks pengertian yang lebih makro, katakanlah antara pemerintah (yang bisa diasosiasikan sebagai guru) dengan masyarakat (yang diasosiasikan sebagai murid), dalam media pembangunan, maka local wisdom, modal sosial (social-capital), kebiasaan lokal, dll tidak pertama-tama dipandang sebagai pengetahuan yang menghambat proses pembangunan. Justru potensi-potensi tersebut bisa dipakai sebagai pendukung berkembangnya sebuah proses pemberdayaan. Untuk mewujudkan proses pendidikan yang menumbuhkan “kesataran”, maka kita memerlukan sebuah sikap tertentu. Artinya bahwa pendidikan itu tidak bisa “bebas nilai”. Harus ada nilai-nilai tertentu yang dianut dan menjadikan visi ke arah mana pendidikan itu akan bermuara. Jika sebuah proses pendidikan hanya ingin mencetak masyarakat yang “mem-bebek”, masyarakat yang berjiwa “asal bapak/atasan senang”, dan lain sebagainya, maka tidak perlu prinsip pendidikan setara yang membebaskan. Namun berlawanan dengan itu, jika pendidikan ingin merubah masyarakat secara adil, maka hanya nilai-nilai pendidikan setara yang membebaskan yang harus dianut.

Kepemimpinan Terbuka Sikap kepemimpinan apa yang perlu dimiliki oleh seorang guru dalam pendidikan yang membebaskan? Peran seperti apa yang perlu dilakukan oleh fasilitator ataupun pemerintah dalam pembangunan masyarakat jika dia menganut pendekatan pemberdayaan yang membebaskan? Sikap yang dibutuhkan adalah open-mind leadership, sikap mempercayai dan tidak takut perubahan. Apa maksudnya?

Kepemimpinan yang terbuka5 (open-mind leadership) adalah tipe kepemimpinan yang dilandasi oleh dua karakter dasar utama dimana, Pertama, memiliki kesadaran bahwa dia sedang memproses para calon pemimpin setidak-tidaknya bagi dirinya sendiri atau keluarganya. Di luar sana ada banyak orang yang, sangat mungkin, memiliki potensi besar menjadi leader yang baik. Bahwa di luar sana ada banyak orang-orang pandai yang tidak untuk dibungkam dan ditekan, tetapi justru di

5 Tentang model open-mind leadership ini mohon dibaca referensi yang sangat bagus dari “Heroic Leadership:

Praktik Terbaik Perusahaan Berumur 450 Tahun Yang Mengubah Dinia”, oleh Chris Lowney, Gramedia Pustaka Utama, 2005. Lowney mengulas dan menganalisa dengan tajam sebuah lessons leraned yang sangat baik mengenai kepemimpinan yang dikembangkan dalam Ordo Yesuit, yang telah menembus batas waktu 450 tahun dan yang telah menginspirasi perubahan masyarakat di berbagai belahan dunia. Lowney juga menganalisis bagaimana model kepemimpinan tersebut sangat baik diterapkan dalam berbagai hal seperti perusahaan, lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, dan bukan tidak mungkin sangat cocok dengan kerja-kerja yang memberdayakan masyarakat.

Page 12: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 11

dorong (difasilitasi) agar mampun berperan lebih besar di dalam masyarakat. Karakter Kedua, yaitu mencapai kesadaran bahwa kepercayaan (trust) dan delegasi wewenang merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kepemimpinan, apalagi jika didudukkan dalam konteks bahwa kepemimpinan adalah proses memfasilitasi calon pemimpin-pemimpin yang lain.

Open-mind leadership tidak takut akan munculnya orang-orang pintar lain disekitarnya, orang-orang berbakat menjadi leader di lingkungannya, orang-orang yang kritis yang mungkin amat berbeda pendapat, dan tidak takut pula dengan ide-ide baru yang berbeda dengan pemikiran maupun apa yang telah dilakukannya. Leader yang was-was kasarnya takut terhadap kemungkinan-kemungkinan tergambar di atas, pasti tidak akan mampu menerapkan “pendelegasian wewenang” dalam konteks yang sesungguhnya dilandasi dengan trust. Adakah pengaruhnya kepemimpinan open-mind ini terhadap kerja-kerja pemberdayaan masyarakat?

Pemberdayaan Yang Partisipatif

Sekarang mari kita analisa adakah hubungan antara domination leadership disatu sisi dan open-mind leadership di sisi yang lain, dengan partisipasi dan pemberdayaan? Untuk itu akan disanding-paparkan karakter dari dua jenis kepemimpinan tersebut sekaligus digambarkan orientasi model pendidikan yang menjadi dasar tumbuhnya kedua model kepemimpinan tersebut.

Tabel Kesejajaran Pengaruh Model Pendidikan Dengan Kepemimpinan

Pendidikan Kesetaraan Pendidikan Konvensional Posisi guru-murid relatif setara Guru bukan satu-satunya sumber

pengetahuan Menekankan proses dialog Murid adalah juga subyek belajar/sumber

pengetahuan

Posisi guru memberi, murid menerima Guru merasa menjadi sumber utama

pengetahuan Cenderung monolog Murid adalah obyek dalamproses belajar

Open-Mind Leadership Domination Leadership Memimpin calon pemimpin Pedoman, yang disepakati bersama Berientasi pada trust Cenderung akomodatif pada ide baru dan

kemungkinan perubahan

Memimpin bawahan Memberikan instruksi, petunjuk (Juknis) Berorientasi pada bukti hasil kinerja Ide baru dimungkinkan sejauh tidak

berbeda dengan putusan pimpinan

Bagaimana alur pikirnya kedua model di atas, yaitu model pendidikan kesetaraan-open-mind leadership dan pendidikan konvensional-domination leadership tersebut berpengaruh kepada apa yang disebut pemberdayaan (empowerment). Ijinkan untuk memulainya, saya menyinggung sedikit dasar dari konsep education. Edukasi adalah proses untuk “memampukan murid/masyarakat mengeluarkan pandangan dan nilai-nilai yang dimiliki” (ex-open/membuka dan ducare-value/nilai). Hanya kepemimpinan dengan model karakter open-mind leadership saja yang kiranya mampu melapangkan jalan bagi terwujudnya edukasi yang benar, dalam hal ini berarti pendidikan kesetaraan. Partisipasi adalah “keterlibatan”. Prasyarat dimana masyarakat mampu terlibat hanyalah dengan perasaan yang bebas, perasaan yang tidak tertekan, perasaan yang memahamibahwa keterbukaannya untuk terlibat itu akan mampu mengembangkan

Page 13: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 12

diri dan kelompoknya. Jadi education for liberation akan menumbuhkan open-mind leadership, dan open-mind leadership akan melapangkan jalan munculnya partisipasi serta dengan partisipasi tersebut development akan mewujud dalam maknanya yang tepat.

Makna Pemberdayaan (Empowerment) Sebelum dipaparkan apa makna dari empowermen, ada baiknya diulas secara ringkat apa kaitan antara education, development, envelop, empowerment. Ketiga konsep ini memiliki kaitan filosofis satu sama lain, yang merupakan daur logic yang saling berpengaruh. Bagaimana merangkai alur pikirnya model-model yang sudah dipaparkan di atas, yaitu model pendidikan kesetaraan-open-mind leadership dan pendidikan konvensional-domination leadership tersebut berpengaruh kepada apa yang disebut pemberdayaan (empowerment). Ijinkan untuk memulainya, saya menyinggung sedikit dasar dari konsep education. Edukasi adalah proses untuk “memampukan murid/masyarakat mengeluarkan pandangan dan nilai-nilai yang dimiliki” (ex-open/membuka dan ducare-value/nilai). Sementara di sisi lain ada konsep development, envelop, empowerment. Apa kaitan ketiga konsep yang disebutkan terakhir dengan education.

Development berawal dari akar kata de/ex-envelopt, arti harafiahnya mengeluarkan dari amplop. Arti maknawinya atau filofisnya adalah bahwa development (pembangunan) itu proses mengeluarkan/mengungkapkan dari hal-hal yang tertutup, dari sesuatu yang selama ini membelenggu, mengekang, dan menutupi. Berlawanan dengan itu ada konsep envelop (amplop), sesuatu yang menutup, memasukkan ke dalam kantong agar tidak keluar. Jadi education itu sejalan dengan proses development. Education yang salah (conventional ecutaion) hanya akan menumbuhkan masyarakat yang berjiwa envelop (tertutup), dan tentu tidak sejalan dengan visi dari development maupun empowerment (berdaya). Lantas apa makna empowerment itu sendiri? Empowerment berasal dari akar kata ex-power-ment, yang secara harafiah berarti mengeluarkan power (kekuatan). Jadi secara filosofis empowerment adalah sebuah proses, lebih tepatnya proses fasilitasi, untuk memampukan masyarakat mengeluarkan, menyatakan, menunjukkan kekuatannya (power). Anehnya, mengapa masyarakat yang biasanya dikonotasikan tidak berdaya itu mempunyai power? Apakah benar mereka mempunyai power? Hal ini tergantung dari konsep dasar yang dipahami atau dipakai oleh pemerintah, masyarakat, atau lembaga yang sedang melakukan pemberdayaan dalam strategi pembangunannya. Kalau pembangunan dimaknai sebagai memberi, instruksi, dan karena itu top-down, maka pembangunan model ini tentu menganggap –sadar atau tidak— bahwa masyarakat tidak memiliki power. Sementara itu di sisi lain, kalau para pelaku pembangunan memaknai pembangunan sebagai partisipasi, bahwa masyarakat mempunyai sumber daya, mempunyai potensi, dan oleh karena itu “suara” mereka harus didengar, maka pembangunan dengan model ini pasti menganggap bahwa masyaratat memiliki power. Pendapat masyarakat, cara

Page 14: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 13

berpikir masyarakat, cara mereka memandang dunia disekitarnya, dan bagaimana mereka menyelesaikan masalah-masalah yang sudah dilakukannya selama ini, semuanya adalah power, jika memakai pandangan dasar participatory.

Gambar … Visualisasi Model Pemberdayaan Berprinsip pada Education-Devlopment-Empoerment6

Saya mencoba menggambarkan proses kondisi masyarakat-fasilitasi-edukasi-leadership-pemberdayaan/empowerment-kemandiri melalui gambar Visualisasi Model Pemberdayaan di atas. Telor menggambarkan sebuah kondisi masyarakat, yang didalamnya sesungguhnya memiliki energi dan potensi untuk berubah, tetapi masih terkurung dalam envelop (amplop), yang tervisualisasi oleh kulit telur. Proses fasilitasi pemberdayaan, bukanlah kemudian si induk ayam menjatuhkan telur itu atau membenturkannya kepada benda keras agar telur menjadi pecah. Proses pemberdayaan, yang dilakukan oleh induk ayam, ternyata mengerami, memberinya energi kehangatan, mempersiapkan dengan sedemikian ruma supaya isi telur (masyarakat) sungguh-sungguh siap pada waktunya untuk keluar, dan yang dilakukan terakhir oleh induk ayam adalah “menandai” dengan mencucuk kulit telur agar retak sedikit saja. Yang menarik disini untuk dicermati ditail dan diambil lessons learned-nya adalah pertanyaan: Siapa berinisiatif mendorong energi agar keluar dari cangkang telor, Siapa yang seharusnya berkehendak lebih besar untuk membebaskan diri dari kungkungan cangkang telor? Jawabanya adalah jelas, yaitu si anak ayam (masyarakat) sendiri yang berkehendak untuk berubah, dengan fasilitasi dari sang induk sampai pada batas-batas tertentu. Apa batasan tersebut? Batasannya adalah bahwa sang induk (mungkin) hanya akan membuat sebuah titik patok memakai paruhnya pada sebuah tempat di telur. Patok-an sanga induk tentu tidak terlalu dalam, sebab kalau terlalu dalam justru bisa

6 Disarikan dan diadaptasi oleh penulis dari materi dan modul Leadership Training for Development Worker,

Asian Health Institute (AHI), Aichi, Nagoya, Japan.

Page 15: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 14

membuat si calon anak ayam malah cedera dan mati. Si induk hanya akan membuat setitik retakan pada telur, dan dengan energinya yang sudah matang, siap, serta memiliki kehendak untuk berubah, maka si anak ayam akan mendorong keluar dirinya sendiri terbebas dari cangkang telurnya yang membelenggu. Belajar: “Feed-Back and Listening” Ketika anak ayam mencapai kesadaran untuk berubah dengan bukti mau keluar dengan sendirinya dari cangkah terlur, lalu sang induk (fasilitator) pergi dan selesai tugasnya? Ternyata tidak. Sang induk harus mendidiknya dengan tingkat sikap kepemimpinan tertentu, agar si anak ayam berkekuatan penuh (memiliki power) yang matang untuk mandiri (empowerment). Pertama, si induk harus mencarikan makan sebelum anak ayam mampu berjalan. Makanan seperti apa, dan harus dibagaimanakan agar makanan itu menyehatkan si anak ayam. Sang induk ternyata “harus belajar”, dimana tidak semua jenis makanan cocok dengan si anak, besar kecil keras lembutnya makanan harus disesuaikan dengan kondisi si anak? Dari mana sang induk belajar tentang hal itu? Jawabannya adalah Feed-Back. Sebelum dikupas lebih lanjut hubungan antara feed-back, proses belajar, serta kisah si induk dan anak ayam, mari kita mengupas serba sedikitapa makna Feed-Back. Konsep istilah feed-back berasal dari kata feeding-back, terjemahan harafiahnya “umpan yang kembali” atau “diumpankan kembali kepada kita”. Jadi pendapat ataupun pemikiran yang sudah kita lontarkan (feeding to) kepada orang lain, bisa jadi kembali lagi kepada kita (feeding-back/feed-back) dalam bentuk pendapat baru, usulan, saran, bahkan kritikan, agar kita pada selanjutnya mampu feeding to others secara lebih baik lagi. Banyak orang, pemimpin, bahkan para fasilitator pemberdayaan memandang sinis terhadap feed-back yang diterimanya. Feed-back dianggapnya kritikan, ancaman status-quo, serta mengusik eksistensi kompetensinya sebagai fasilitator. Makna filosofis feed-back tidak mengajarkan seperti itu. Feed-back merupakan lessons-learned atau proses belajar yang sangat berharga bagi kita yang menerimanya, sebab feed-back itu adalah makanan atau umpan yang sudah kita berikan kepada orang lain, dan kemudian ternyata diberikan kembali kepada kita (feeding-back) dalam format-format yang akan membuat makanan kita itu lebih enak, lebih baik, dan lebih bermutu. Lantas apakah prasyarat dasar agar kita bisa menjadi penerima feed-back yang baik atau pembelajar yang baik? Syaratnya adalah listening: “menjadi pendengar yang baik” (to be good listener) dan, tentu open-mind attitude (sikap yang terbuka). Ingin saya katakan disini, bahwa seorang edukator, leader, dan fasilitator yang sesungguhnya, hanya akan bisa mewujud jika mereka adalah penerima feed-back dan good listener yang baik. Hanya orang-orang yang telah mencapai kesadaran akan open-mind leadership yang bisa melakukan itu. Seseorang yang dalam kerja pemberdayaannya lebih cenderung menerapkan domination-leadership, tidak pernah akan mencapai edukator, leader, maupun fasilitator yang “memberdayakan”, sebab dia pasti akan menjadi canggung dalam “listen to the feed-back”. Fasilitator pemberdayaan, sekali lagi, adalah sebuah pilihan sikap.

Page 16: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 15

Kembali ke perkara si induk ayam memberikan makanan kepada anak ayam, sang induk pasti akan “belajar” (reflecting and learning) dari kesalahan-kesalahan. Sebab demikian yang terjadi, ketika si anak ayam merasa makanan (food) yang diberikan terlalu keras atau terlalu besar, dia akan memuntahkan atau memberikannya kembali (food-back/feeding back) ke pada si induk. Si induk sangat paham akan feed-back dari anaknya itu. Si induk mau tidak mau harus belajar, dan untuk bisa belajar harus mau mendengar (listening) kritik dan keluhan anaknya, dan selanjutnya membuat (doing action) makanan menjadi lebih lembut dan atau mengubah ukurannya menjadi kecil-kecil agar mudah ditelan dan dicerna oleh si anak. Sampai pada tahap ini, makna yang ingin disampaikan adalah bahwa semuanya itu mengandung “proses pembelaran” (learning process) yang sangat alami antara guru dan murid, induk dan anak, fasilitator dan masyarakat. Leadership Melalui Problem Possing Education Proses leadership dan edukasi si induk dan si anak belum berhenti, ketika si anak-anak ayam mulai bisa berjalan ke luar sarangnya. Si induk tetap akan memberikan pedoman-pedoman (guiding) dimana secara bersamaan juga melakukan action dengan menunjukkan bahan-bahan seperti apa yang bisa dimakan, dimana biasanya sumber-sumber makanan berada, dimana saja bahaya akan bisa datang dan bagaimana melindungi diri, berlatih bertarung, dll. Proses pembelajaran dengan bersama-sama langsung menghadapi masalah-masalah di dalam kehidupan inilah yang disebut problem possing education (Pendidikan Hadap Masalah). Pedoman-pedoman awal memang diperlukan di dalam problem possing education ini, tetapi teori yang lebih matang menuju pemberdayaan akan mewujud melalui edukasi, leadership, fasilitasi, feed-back and listening, learning and reflecting, serta langsung menghadapi masalah yang ditemui (problem possing). Ketika si anak-anak ayam merasa berdaya (have a power) dia –secara alamiah— akan melepaskan diri dari sang induk, dan akan membentuk dan mengejar kondisi empowerment oleh dirinya sendiri. Jadi belajar dari kisah ini, yang diasosiakan dengan kehidupan ayam, sesungguhnya seorang fasilitator pemberdayaan tidak pernah akan sampai pada kondisi empowerment masyarakat seperti yang dicita-citakan secara ideal. Fasilitator pemberdayaan hanya bisa, dan seyogyanya begitu, sampai kepada tanda-tanda atau ukuran dimana masyarakt telah memiliki benih-benih power dan energi semangat. Biarkan dan lepaskan si anak-anak ayam atau masyarakat, agar mereka kemudian mengejar, memperjuangkan, dan menggenapi benih-benih power yang sudah dimiliki menuju kondisi empowerment yang dicita-citakan. Problematiknya adalah bahwa fasilitator pemberdayaan –pada kondisi atau situasi tekanan tertentu—sering tidak melapaskan anak-anak ayam yang sesungguhnya telah memiliki tanda-tanda power pada mereka. Atau, pada situasi-situasi lain, si anak-anak ayam (masyarakat) mungkin terlanjur nikmat difasilitasi terus menerus, sehingga mereka tidak mengenali tanda-tanda power yang sudah ada didiri mereka, dan bahkan tidak sampai kepada kesadaran bahwa tanga-tanda power itu yang seharusnya mereka kembangkan menuju kondisi empowerment oleh diri mereka sendiri. Mengapa ini bisa terjadi?! Kita akan membahasnya dalam sub bab berikutnya.

Page 17: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 16

Perangkap-Perangkap Kepemimpinan Perangkap kepemimpinan adalah gambaran dari berbagai situasi, kondisi, dan pemikiran yang menyebabkan seorang pemimpin (dalam hal ini fasilitator pemberdayaan masyarakat), terjebak kedalam tindakan-tindakan atau strategi pemberdayaan yang membuat masyarakat tidak menemukan “power”, atau ragu-ragu melangkah menuju empowerment yang harus diraihnya7. Seperti si induk ayam, para fasilitator pemberdayaan masyarakat seharusnya berperan “mengerami”, mempersiapkan masyarakat melalui bentuk penyadaran dan dukungan teknis agar tumbuh dan menyadari potensi power-nya, dan kemudian membuka jalan agar masyarakat mengejar empowerment-nya. Kalau kita boleh mengikuti rambu-rambu Witzgall tentang What Leadership Is Not (Apa saja yang bukan ranah kepemimpinan), maka terdapat beberapa saran mengenai leadership, yaitu: (1) Leader berbeda dengan Manager meskipun manajer secara posisi teknis adalah “pimpinan”; (2) Pendidikan akademis tidak serta merta menghasilkan leader; (3) Leadership bukan sesuatu yang “terberi” begitu saja, tetapi merupakan sebuah proses; (4) Leadership bukan sesuatu yang dapat dirangking begitu saja seperti birokrasi; (5) Leadership membutuhkan pemahaman tentang demokrasi, tetapi leadership tidak selamanya harus bersifat demokratis. Kadang-kadang leadership membutuhkan tindakan keputusan yang sangat cepat, dan hanya pada kesadaran diri tentang demi kepentingan baik yang luas saja keputusan disandarkan. Berikut ini ingin dipaparkan mengenai jebakan-jebakan yang membuat nilai sebuah kepemimpinan yang visioner jatuh kepada hal-hal yang sifatnya jangka pendek dan kontraproduktif terhadap proses empowerment masyarakat.

Kepemimpinan Melanggengkan Ketergantungan Jenis dan sifat kepemimpinan yang terlalu dominan akan membuat masyarakat tunduk saja dan “mengekor” kepada arah dan kebijakan fasilitator pemberdayaan. Fasilitator terjebak pada peran guru yang menerapkan banking education, yang merasa paling tahu atas narasi kehidupan masyarakat dampingannya. Dalam konteks kepemimpinan yang semacam ini, kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat dan kecenderungan perubahan di dalamnya akan sangat sulit dipantau apakah ia mengarah kepada ketergantungan atau kepada pemberdayaan. Memberdayakan tidak hanya berarti “memintarkan” (capacity building) masyarakat keluar dari belenggu kemiskinan. Memberdayakan berarti juga harus “memahamkan” kepada masyarakat untuk kritis atas ketidakadilan yang membuat mereka terus menerus terbelenggu kemiskinan. Ketika pemimpin (sang fasilitator pemberdayaan) pergi, dan tak lama kemudian masyarakat “melempem atau mati”: itulah ketergantungan!

7 Studi yang mendalam didunia pemberdayaan, dimana yang ingin saya tekankan disini adalah dunia PNPM,

sangat perlu dilakukan mengenai sejauh mana empowerment masyarakat ini telah tumbuh. Selama lebih dari 15 tahun PNPM, studi-studi yang dilakukan bersifat sangat teknis terkait dengan output program saja, seperti misalnya: Sejauh mana kapasitas perencanaan, Sejauh mana kemampuan kelompok membuat pembukuan, Sejauh mana dana bergulir telah berkembang dan berapa hasilnya, Sejauhmana kegiatan bidang kesehatan dan pendidikan sudah dilakukan, dll. Sampai setelah 15 tahun kita kesulitan menjawab, mana masyarakat yang telah dalam trek menuju empowerment, dan mana yang sudah saatnya dilepas.

Page 18: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 17

Struktur/Sistem Yang Menekan Para fasilitator pemberdaya masyarakat, khususnya dalam program PNPM atau juga program lain, sangat jelas bahwa mereka dibawah sebuah struktur yaitu struktur Jasa Konsultan yang merekrutnya dan struktur pemerintah (baik di tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten) dimana sebuah program pemberdayaan tersebut bernaung. Setiap struktur dan organisasi tersebut bersifat menekan. Maka ada dua hal yang perlu dikritisi lebih jauh, yaitu Pertama, sejauh mana struktur-struktur tersebut bisa adaptif terhadap proses pemberdayaan. Kedua, sejauh mana sikap yang bisa “dimainkan” oleh sang fasilitator pemberdayaan di dalam struktur yang menekan tersebut dengan tetap mempertahankan kepemimpinannya yang idealis yang memberdayakan masyarakat secara sungguh-sungguh. Sejak hampir 20 tahun silam, dimana PNPM masih bernama asli PPK (Program Pemberdayaan Kecamatan), tentang struktur pemerintah yang amat kaku dalam program pemberdayaan ini sudah dikupas dan selalu dijanjikan akan dibuat mekanisme yang lebih adaptif, sehingga akomodatif terhadap segala ide baik mengenai proses pemberdayaan di masyarakat. Melihat dari sejarahnya ini maka sudah pasti struktur birokrasi dalam program pemberdayaan pemerintah tetap akan menjadi ancaman proses idealisme empowerment terhadap program pemberdayaan yang digadang-gadang oleh pemerintah sendiri. Administrasi birokrasi menjadi “panglima” di atas visi substansi pemberdayaan. Fasilitator pemberdayaan bagaimana bersikap? Jelas, fasilitator yang project oriented, berbasis pada kinerja sebagai ukuran mati-hidup, administratif-manajer oriented, akan tunduk pada prosedur operasional birokrasi proyek. Proses transformative education dan open-mind leadership kepada masyarakat direduksi secara teknis sedemikian rupa menjadi kerja kinerja manajerial semata: (a) Target pemanfaatan dana dipa tepat waktu dan selesai; (b) Semua tahap proyek telah terlampaui; (c) Semua laporan sudah dibuat; (d) Seminimal mungkin menekan kasus kebocoran uang; (e) Jangan terlalu banyak konsultan mangkir bolos; (f) Jatah kunjungan lapangan terpenuhi; Dll. Mereka semua ini tidak salah, dan tidak mau ditunjukkan kelemahannya secara kritis karena semua tahap sudah dilalui dan raportnya cukup baik. Apa dampak mendasar dari semuanya ini di dalam masyarakat?, yaitu: (a) Masyarakat dan para kelompok juga terjebak mengikuti target proyek, karena

para fasilitator mendorong (mungkin juga berharap dengan sangat) segera semuanya terselesaikan agar kinerja baik. Kalau kinerja baik diharapkan desanya, kecamatannya, kabupatennya dapat lagi dana.

(b) Masyarakat dan kelompok, juga mungkin pemerintah daerah yang sudah lebih 5 tahun didampingi dan telah menunjukkan tanda-tanda mampu “lepas landas” menapaki empowerment-nya sendiri, tahu-tahu terpilih lagi menjadi lokasi PNPM dan dikucurkan dana yang lebih-lebih besar lagi. Mereka menjadi tergantung lagi.

(c) Masyarakat/kelompok, tim fasilitator/konsultan daerah, serta pemerintah daerah, dibawah suasana struktur organisasi proyek administratif prosedural, kemudian “semacam bersekongkol” untuk menyelesaikan segala urusan administratif proyek supaya mendongkrak kinerja proyek baik. Kinerja baik

Page 19: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 18

menjanjikan tahun depan dapat Dipa lagi dan tidak dikeluarkan dari daftar daerah yang mendapat PNPM. Tiga serangkai itu tidak satupun yang kritis dan berani, mengkaji kebutuhannya sendiri apakah mereka sudah “ingin mulai dilepas”. Jangan-jangan Pemda yang memiliki alasan kuat bahwa mereka sudah belajar banyak dan merasa cukup siap mengejar empowerment-nya sendiri, malah dianggap sombong dan berkinerja jelek. Wah...runyam kalau sudah begini.

Self-Intrumentalis Kepemimpinan yang melanggengkan perubahan dan sikap nrimo terhadap organisasi yang menekan, seperti di atas, menumbuhkan jiwa self-instrumentalis. Jiawa instrumentalis adalah sikap yang merasa bahwa “saya” ini cuma bagian dari proyek. Saya hanya menjalankan perintah seperti tertulis dalam petunjuk operasional (PTO), meski saya ini seorang fasilitator pemberdaya, konsultan pemberdaya, koordinator kabupaten/propinsi dari sebuah program yang memberdayakan masyarakat. Kulo sak dermi nglampahi (Jw), saya sekedar menjalankan saja. Coba jika PNPM, kalau boleh disebut sebagai gerakan besar sekolah capacity building, melakukan evaluasi sikap para fasilitatornya yang puluhan ribu jumlahnya: berapa banyak yang berjiwa self-instrumentalis? Jika boleh memperkirakan maka 70% berjiwa self-instrumentalis. Dalam jumlah self-instrumentalis sebesar itu, ditimpali dengan struktur birokrasi proyek yang menekan (tidak adaptif), dan duit yang sangat melimpah, maka bisa diperkirakan berapa masyarakat setelah 15 tahun PNPM ini yang mengarah kepada empowerment. Anehnya, kajian-kajian exit-strategi tidak untuk benar-benar merelakan sebuah kabupaten exit dari program, tetapi untuk menumbuhkan (mencari alasan pembenaran) program baru yang serupa ditempat yang sama. Takut Berubah-Menikmati Status Quo

Bagi mereka yang sudah “merasa menikmati” dalam posisi tertentu di dalam jabatan birokrasi, organisasi sosial, atau posisi sosial tertentu di dalam masyarakat, maka sesuatu yang sering muncul adalah mereka umumnya takut berubah, takut akan adanya perubahan di sekitarnya. Hal ini terjadi karena mereka menganggap perubahan itu merupakan potensi yang bisa mencabut atau menggoyahkan posisinya yang terlanjur memberikan kenikmatan, kenikmatan finansial mungkin, kenikmatan rasa dihormati, dan lain-lain. Kondisi semacam ini identik dengan situasi pada sistem pemerintahan yang otoriter, seperti pada jaman Orde Lama. Setiap pemikiran dan gerakan kritis yang mengancam pasti akan disikat habis. Mereka terlanjur sangat nikmat dengan status-quo yang dimilikinya. Mereka yang berkuasa atau merasakan nikmat posisi status-quo, dengan demikian, cenderung akan “menghendaki” bawahannya, anggotanya, jaringannya, para under-bow, dan masyarakat tidak usah nek-neko, tunduk pada garis komando, dan tinggal bekerja saja dengan baik. Jelaslah bahwa segala macam model kepemimpinan kemudian terjangkiti model kepemimpinan-konvensional. Filosofi pendidikan dan pemberdayaan memakai filosofi banking-education. Bukan tidak mungkin bahwa kondisi status-quo ini menjangkiti pula para fasilitator pemberdaya masyarakat. Bisa jadi mereka terlanjur nikmat dihormati oleh masyarakat, apa katanya diikuti

Page 20: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 19

oleh masyarakat, mendapatkan gaji rutin, kalau evaluasi kinerjanya baik ada harapan terpromosikan naik posisi atau dikontrak lebih lama, dll. Takut berubah tidak mesti hanya bermakna untuk mempertahankan posisi. Filosofi yang ada di dalamnya sangat mungkin mempengaruhi “sikap”, yaitu sikap yang kemudian tertutup dengan pendapat orang lain, ide-ide baru, pemikiran baru, dan lain-lain. Fasilitator pemberdayaan yang terjangkiti sikap semacam ini umumnya membikin “block”, mekanisme menghindar atau menolak, menolak ide baru maupun kritik-kritik kritis karena selalu akan dianggapnya sebagai hal-hal buruk dalam pekerjaannya. Inilah jiwa kepemimpinan yang takut akan perubahan dan bernafsu mempertahankan status-quo.

Beberapa Pokok Pikiran: “Ide Dasar Leadership Capacity Building Dalam Proses Pemberdayaan”

Dari paparan-paparan tentang kepemimpinan di atas, maka rasa-rasanya kepemimpinan –khususnya kepemimpinan dalam konteks kerja-kerja pemberdayaan masyarakat--bukanlah proses yang “tidak bebas nilai”. Artinya setiap tindakan kerja dalam proses yang disebut pemberdayaan masyarakat, harus dilandasi dengan misi yang kuat “for liberation” (untuk pembebasan masyarakat) demi pemberdayaan. Pintar berbicara dan memimpin forum, menjadi fasilitator training yang handal, terampil berkoordinasi dan melobi, memiliki manajemen data yang sopisticated, dll belum bisa dengan serta-merta dikatakan sebagai seorang fasilitator pemberdayaan yang bervisi kepemimpinan yang membebaskan, jika semua kerjanya itu hanya melanggengkan status-quo, begini sajalah tidak usah sok aneh-aneh dan idealis, demi wilayah aman, demi target oriented, agar cepat selesai, agar “bapak” senang, agar tim kerjanya aman dari evaluasi kinerja negatif, dsb. Lantas materi substansi apa dan bagaimana memproses seorang fasilitator agar mempunyai visi kepemimpinan yang membebaskan, yang secara sadar selalu menjadi refleksi pribadi sebelum, sedang, dan setelah melaksanakan tindakan-tindakan kegiatan pemberdayaan. Nampaknya bukan melulu materi-materi teknis tentang tehnik pemberdayaan yang diperlukan untuk, katakanlah, “mencetak” fasilitator bervisi kepemimpinan yang kuat. Substansi yang diperlukan secara garis besar lebih bersifat: Pertama, “reflektif” (self-reflection) seperti Menemukan Diri, Menganalisa Diri, Menilik Diri. Kedua, “analisa diri dalam relasi dengan dunia/masyarakat”: dimana ingin menemukan siapa aku, apa peranku (positioning), apa yang sudah kukerjakan (partisipasiku) di dalam masyarakat/dunia yang terus berkembang. Ketiga, recommitment, menemukan nilai-nilai baru sebagai bahan rekomitmen dalam tindakan (action) pemberdayaan ke depan.

Materi Dasar Pelatihan

Arah Subtansi Pelatihan Leadership:

Arah substansi pelatihan leadership capacity building harus dan sangat berbeda dengan substansi technical facilitation capacity building. Menyimak dari paparan-paparan sebelumnya maka leadership lebih menekankan pada membangun atitude and value (sikap dan nilai-nilai) sebagai mayor pembelajaran, dan technical skills facilitation adalah minor. Sementara pelatihan yang sifatnya peningkatan kemampuan fasilitasi (pendampingan) lebih menekankan aspek technical skills improvement sebagai mayor

Page 21: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 20

pembelajaran, dan membangun sikap serta nilai-nilai menjadi minor atau setiaknya sama proporsinya dengan skills improvement. Jadi ringkasnya, seperti juga sudah disinggung dalam sub-sub bab sebelumnya, jika kita terjebak pada pelatihan leadership capacity building yang penuh dengan substansi technicak skills improvement, maka tidak ubahnya kita tengah melaksanakan pelatihan manajerial (manajer program/proyek, manajer kantor, manajer koprasi, dll). Kurikulum dasar pelatihan leadership di bawah ini, oleh karena basis substansi materinya adalah pada membangun dan mengembangkan “sikap dan nilai-nilai” dalam leadership, maka kurikulum ini ideal untuk: (1) Dilatih/dipandu oleh orang yang lebih berpengalaman panjang di bidang pemberdayaan masyarakat dibanding para pesertanya; dan (2) Kurikulum ini dirancang pula bisa sebagai “panduan” bersama dimana pelatih dan peserta pelatihan memiliki tingkat pengalaman yang sama di dalam pemberdayaan masyarakat. Apa alasannya yang ke-2 tersebut secara teoritis dimungkinkan terjadi? Alasannya adalah bahwa attitude and value bisa merupakan produk dari sebuah refleksi dan komitmen secara pribadi maupun dilakukan bersama, asalkan aga “guiding” yang memandu cara mereka melakukannya. Jadi di dalam model yang ke-2 ini, meskipun ada pemandu/fasilitator pelatihan, dia sangat setara dengan para peserta bahkan bisa terlibat menjadi bagian dari proses pelatihan itu sendiri. Who and Where I Am in This Changing Community

Materi pertama dan sebagai awalan adalah “Who and Where I Am in This Changing Community” (Siapa dan dimana Aku di dalam masyarakat yang terus berubah ini?). Dalam teori-teori tentang munculnya kesadaran, kesadaran bisa tumbuh oleh karena adanya pemahaman atas sesuatu. Pemahaman atas sesuatu bisa terjadi oleh karena dua hal: pertama, “menyimak” pengalaman orang lain dari membaca, mendengar cerita/berita, kursus, tutorial, dll; kedua, menganalisa dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya atau dihadapinya dalam pengalaman hidupnya. Ingat teori tahap kesadaran, seperti: “Jika aku mendengar, aku lupa/Jika aku membaca, aku ingat/ /Jika aku berbuat, aku paham”. Mengkaitkan, lebih tepatnya mengeksplorasi –sebab eksplorasi mengadung proses analisis—antara diri (self) dengan dunianya (kondisi masyarakat), merupakan awal yang penting untuk tumbuhnya kesadaran partisipatif (participatory awareness) pada seseorang atau kelompok masyarakat. Proses yang semacam ini pula yang membedakan seseorang (fasilitator pemberdayaan), sampai tingkat atau memiliki pengetahuan saja (knowledge) atau sampai tingkat knowledge dan pemahaman nilai-nilai baru (new values awareness). Paulo Freire membedakannya antara knowledge dan consciousness8 (kesadaran akan realitas). Memiliki pengatahuan saja atas kondisi sebuah masyarakat tidak cukup sebagai medium untuk pemberdayaan. Selain memiliki pengetahuan seorang fasilitator harus mencapai consciousness atas kondisi masyarakat, agar dalam dirinya tersedia energi dan dorongan yang kuat dalam memfasilitasi perubahan di dalam masyarakat.

8 Consciousness, menurut Freire, adalah sebuah kesadaran yang tumbuh akibat dari proses belajar (learning)

memaknai realitas kontradiksi sosial, politik, ekonomi dan yang kemudian memberikan aksi “perlawanan” terhadap ketidak adilan realitas tersebut.

Page 22: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 21

Tabel Kurikulum Dasar Pelatihan Leadership Untuk Pegiat Pemberdayaan Masyarakat

Materi Bahasan Tujuan Pembelajaran Sub Materi Bahasan

Materi Utama:

Berikut ini adalah materi-materi pokok atau materi dasar tentang pelatihan kepemimpinan yang telah dirancang khusus terkait dengan gagasan-gagasan di dalam pemberdayaan masyarakat. Sebab banyak materi kepemimpinan yang dipakai dalam pelatihan untuk perusahaan dan institusi militer, yang tentu sangat berbeda arahnya.

Analisa Peran (Who and Where I am in this changing community)

Membangun pemahaman bersama atas situasi marginalisasi di masyarakat

Membangun kesadaran “partisipasi”: dimana peran diri/ lembaga/ organisasi dalam masyarakat yg terus berubah dan termarginalkan ini

Analisa sosial Pembangunan dan pemberdayaan semu,

serta ketergantungan

Self-reflection for awareness (Penemuan Diri)

Membangun analisa diri/lembaga/ organisasi tentang perannya di dalam masyarakat yg terus berubah dan termarginalkan ini

Analisa SWOT on self reflection and awareness

Antara Charity Based; Development Based; Reformist Base; dan Transformist Based.

Leadership (Apa, kemana, mengapa, dan bagaimana)

Menggali pengetahuan dan pemahaman perbedaan leadership dengan bentuk leadership yg lain Menggali pemahaman bagaimana menjadi leader yang dibutuhkan dalam proses kepemimpinan masyarakat menuju pemberdayaannya.

Perbedaan leadership dengan bentuk kepemimpinan lain

Pendidikan demi pembebasan Problem Possing Education Pembelajaran feed-back Komunikasi: Menjadi pendengar yg baik

(listening) Kisah tentang induk ayam dan telor Kepemimpinan dan empowerment

Developing new Vision and (re)-Commitment (Membangun visi dan nilai baru)

Merumuskan visi dan nilai baru kepemimpinan yang memberdayakan di dalam diri/kelompok/organisasi, dengan merefleksi ulang kaitan Who I am-Self Awareness-and Leadership di pemberdayaan dalam masyarakat

Analisa Peran Diri, Self-Reflection, dan What leadership is

Membangun Visi dan Komitmen Baru untuk Diri dan Kelompok/Organisasi/Lembaga

Materi Tambahan:

Materi-materi tambahan ini bisa diberikan untuk memperdalam atau memperluas materi pokok di atas. Materi ini bisa diberikan jika waktu pelatihan tersedia lebih longgar. Jika tidak tersedia waktu yang longgar, lebih baik tidak diberikan sebab hindari upaya pemampatan materi pokok. Pemampatan hanya akan melahirkan kedangkalan pembelajaran.

Antara pemimpin dan manajer

Menginternalisasi perbedaan peran antara Manajer dan Pemimpin, sebagai pertimbangan memperkuat kualitas visi kepemimpinan

Brainstorming peran dan tindakan manajer

Brainstorming peran dan tindakan leader

Penyimpulan peran-tindakan dalam leadership

Perangkap-perangkap kepemimpinan

Menggali dan memahami kecenderungan negarif apa saja yang dapat menghalangi visi besar kepemimpinan

Meninjau kendala/halangan eksternal: masyarakat, rekan kerja, organisasi/lembaga/sistem.

Meninjau kendala/halangan internal diri: kekhawatiran, tambahan kapasitas, ketidak-percayaan diri, dll

Kepemimpinan dan 4 tahap pembangunan-pemberdayaan

Memahami perbedaan jenis kepemimpinan di dalam konteks empat tahap pembangunan-pemberdayaan: Charity Based | Developmentalism | Reformism | Transformism

Empat tahap pembangunan-pemberdayaan

Analisa peran, kelemahan, dan kekuatan kepemimpinan dalam empat tahap pembangunan-pemberdayaan

Catatan: Kurikulum ini didesain bisa diberikan kepada para pegiat pemberdayaan yang berpengalaman minimal 3 tahun, dan sebaiknya dibawakan oleh para pelatih yang telah berpengalaman dalam pemberdayaan masyarakat minimal 6 tahun. Mengapa kurikulum ini diberikan kepada mereka yang sudah berpengalaman 3 tahun? Sebab 3 tahun adalah waktu yang cukup tepat bagi seorang pemberdaya masyarakat memiliki arah yang lebih benar dalam melaksanakan empowerment kepada masyarakat, dengan komitmen dan nilai yang baru mengenai leadership-nya. Banyak hal yang bisa direfleksikan (terutama dalam ranah sikap diri) di tingkat pribadi dan masyarakat.

Page 23: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 22

Untuk mencapai knowledge maupun consciousness harus melalui proses learning (pembelajaran) tidak hanya sekedar berpikir (thingking). Learning yang dimaksud yaitu proses “menghadapkan diri” terhadap semua realitas sosial baik ekonomi, politik, sistem sosial, marginalisasi, ketidakadilan, dll. Semua fasilitator pemberdayaan masyarakat tentu sudah “menghadapi” semua ketidakadilan realitas sosial tersebut, dimana berarti tahap awal learning sudah dimulai. Sang fasilitator sudah memiliki “analisa sosial”, tetapi masih terbatas hanya sebagai “pengetahuan” (knowledge). Maka saat kini untuk mengkritisi semua realitas yang sudah dihadapi itu menjadi tahap lebih dalam sebagai biji-biji nilai baru, dimana dirinya ikut terlibat, dengan posisi peran diri dengan segala macam ciri keterbatasannya sebagai manusia. Yang dimaksud “posisi peran diri” disini bukan posisi secara teknis dirinya sebagai Fasilitator Kecamatan, Infrastruktur Spesialist, Education Specialist, atau lainnya, tetapi diri (self) sebagai manusia yang memiliki pengatahuan, memiliki emosi, memiliki keterbatasan emosional, memiliki idealisme, memiliki semua elemen tekanan-tekanan diri, dll. Inilah tahap yang mirip atau berprinsip sama dengan problem possing education, dimana seseorang (fasilitator pemberdayaan masyarakat) telah berhadapan langsung dengan realitas dan sekaligus kemudian mempertanyakan “dirinya” di dalam realitas tersebut. Jika sang fasilitator dianggap sebagai penggambaran seorang murid, maka saatnya dia menarik diri dan memandang kritis terhadap naration (gambar besar kehidupan). Dalam sesi mengenai Who and Where I Am in This Changing Community si fasilitator (peserta pelatihan ini) diajak mempertanyakan sejauh mana peran diri di dalam masyarakat dampingannya, dihadapan struktur di luar dirinya baik struktur pemerintah maupun struktur organisasi keprograman yang mempekerjakan dirinya. Bukan pengetahuan mengenai baik dan buruk atau kekuatan dan kelemahan dari semua itu, tetapi ingin diajak sejauh mana si murid mengambil sikap terhadap semuanya itu. Sekali lagi dimana posisi “sikap”-nya, nilai-nilai seperti apa yang (akan) dianutnya atau dipertahankannya. Banyak fasilitator tidak mencapai awal atau benih-benih conscientiation (kesadaran nilai baru), meski dia telah melakukan pemberdayaan selama dua atau tiga tahun. Yang dia kerjakan tidaklah salah sebagai seorang fasilitator, tetapi yang dia kerjakan bisa saja hanya mengikuti, menuruti, memenuhi prosedur operasional program/proyek dengan segala macam petunjuk tenis, pedoman teknis, dan arah menuju key performance indicator. Dia terjebak pada peran manajer teknis. Penemuan diri/Self-reflection Materi dasar kedua ini secara teoritis mirip dengan materi dasar pertama. Bahan dasar dari materi ini adalah hasil dari materi dasar pertama tentang Who and Where I am In This Changing Community, hanya saja di dalam materi kedua ini lebih menukik kepada diri pribadi aebagai self-reflection. Di samping strategi dan kemampuan teknis pemberdayaan, seorang fasilitator pemberdayaan membutuhkan kemampuan leadership, yaitu sebuah sikap yang berbasis nilai-nilai kesadaran baru tentang perlunya memfasilitasi menuju perubahan. Kesadaran akan sikap baru, yang oleh Freire diistilahkan sebagai consciousness, akan dicapai dana butuh selalu dijaga dengan cara merefleksikan secara kritis antara keberadaan dirinya dengan kondisi

Page 24: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 23

realitas yang penuh ketidakadilan. Dalam banyak pelatihan biasanya disebut dengan sesi “Menilik Diri”. Sesi-sesi pelatihan dalam tema Menilik Diri, biasanya jatuh kepada hal-hal yang teknis dan masih verbal. Misalnya dengan permainan Jouhari Window ingin ditilik diri mengenai “apakah diriku tertutup” atau “apakah diriku terbuka”. Itu saja. Lalu diikuti dengan langkah hal-hal yang perlu aku lakukan agar lebih baik ke depan. Sementara self-reflektion yang dimaksud dalam pelatihan leadership ini adalah apakah diri kita, saat ini, cenderung seorang conventional-leader atau open-mind leader, leader yang mempertahankan status-quo atau leader yang membawa empowerment. Hasil-hasil analisa sosial dan analisa peran diri di materi pertama, akan dibenturkan dengan empat karakter kepemimpinan di dalam empat teori perkembangan pemberdayaan. Empat tiper pemberdayaan itu adalah: Charity Based | Developmentalism Based | Reformism Based | atau Tranformism Based. Keempat tipe tersebut mempunyai ciri karakter kepemimpinan yang berbeda yang dipengaruhi oleh visi yang dibangun oleh masing-masing tipe pemberdayaan. Dimanakah diri Anda di dalam empat karakter pemberdayaan dan kepemimpinan tersebut. Mengapa Anda berada di karakter tertentu. Apakah karakter tersebut sesuai dengan visi penguatan (empowering) masyarakat yang seharusnya dibangun? Apakah diri Anda sudah cukup puas “berdiri” disitu, atau masih ada yang Anda resahkan dan ingin Anda raih lebih lanjut? Jika ingin sampai kepada idealisme pemberdayaan lebih lanjut, apa yang ingin dan seharusnya Anda lakukan? Self-reflection ini, yang dalam metode kepemimpinan Yesuit disebut self-awareness, ternyata sejalan dengan pemikiran Freire mengenai conscientiation atau disebut kesadaran atas perubahan. Dengan proses yang semacam itu, dan dengan refleksi yang dimiliki, membuat seseorang merasa harus terlibat (participatory) untuk memberikan perubahan terhadap arus besar narasi kehidupan dimana dirinya sendiri juga sadar dan siap untuk berubah. Banyak pemimpin meminta orang lain untuk berubah, lebih maju, lebih menambah wawasan, berdisiplin, tetapi dirinya sendiri takut akan perubahan yang terjadi. Rekomitmen dan Membangun Visi Setelah materi dasar pertama dan kedua, kemudian dilanjutkan dengan serangkaian materi yang bersifat teknis penambah wawasan seperti banking edutaion, problem possing education, menjadi pendengar yang baik (listening), kisah “ayam dan telor”, feed-back, dll. Baru kemudian dilanjutkan dengan materi dasar ke-empat yaitu Rekomitmen dan Membangun Visi. Rekomitmen sebenarnya cukup sederhana, yaitu setelah mempertimbangkan dan belajar dari semua materi sebelumnya, komitmen apa yang ingin dirumuskan oleh seorang fasilitator dalam memerankan peran leadership di dalam masyarakat pada masa selanjutnya. Sementara sesi Membangun Visi, sebetulnya merupakan proses konsolidasi rekomitmen (visi) individual antara individu yang satu dengan individu yang lain. Mengapa perlu itu? Persoalannya sederhana bahwa narasi besar empowerment sebagai tandingan dari narasi besar realitas yang membelenggu ini tidak

Page 25: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 24

bisa dikerjakan “hanya sendiri”. Seorang fasilitator pemberdayaan tidak bisa sombong dan emosional melejit sendiri sebagai pahlawan pemberdayaan, bagaikan seorang manajer baru yang baru saja dipromosikan sebagai pucuk pimpinan tertinggi di perusahaan. Membangun Visi bersama juga bukan merupakan proses pertandingan atau kontes konsep leadership yang terbaik. Membangun visi bersama yang dimaksud adalah konsolidasi “sikap dan nilai-nilai”. Sikap dan nilai-nilai baru ini relatif harus sama dengan yang lain antar fasilitator pemberdayaan, dan dipegang dengan sama kuatnya, kalau perlu saling mendukung satu sama lain (encouragement). Terkadang agak ironis juga bahwa fasilitator ini bertugas memberi encouragement kepada masyarakat, tetapi antar sesama dibawah tim kecil maupun tim besar organisasi program/proyek, sering kali saling jegal karena berebut posisi. Visi bersama sebagai visi besar tersebut harus dijaga bersama antar fasilitator pemberdaya masyarakat. Dialah yang akan memberikan inspirasi dan kekuatan antar satu sama lain. Dalam pengalaman model kepemimpinan Yesuit, visi besar bersama ini disebut magic-ambition. Sebuah keinginan besar demi kemaslahatan kebaikan umat manusia, yang ruh-nya bagaikan inspirasi magis yang suci, selalu membuat kuat jiwa dan batin para fasilitator pemberdaya meski dalam tekanan-tekanan begitu rupa. Setelah visi besar yang dibangun bersama ini selesai, apakah training leadership ini selesai di sini? Jawabannya adalah: Tidak!

Daur Proses Belajar Kepemimpinan Kepemimpinan (leadership), khususnya jika diletakkan dalam konteks maksud penulisan paper ini, tidak bisa hanya mencapai atau berhenti setelah seseorang fasilitator pemberdaya masyarakat mendapatkan leadership training. Sebelum seseorang tersebut mengikuti training yang dirancang ini –yang nota bene telah mempunyai pengalaman mempraktikkan kepemimpinan di dalam masyarakat – dan sesudah mengikuti training ini dia harus dan akan terus “praktik dan belajar kepemimpinan”. Problem possing education dengan cara mempraktikkan (mengalami) dan merefleksikan (self-reflection) harus terus menerus dilanjutkan, sebagai sebuah daur belajar.

Aksi, Refleksi, Komitmen Kesadaran Pendidikan hadap masalah (brolem possing education) seperti dianjurkan oleh Paulo Freire, sesungguhnya bisa diterapkan dalam seluruh daur hidup kitra sebagai pribadi. Model pendidikan tersebut mengandung beberapa prinsip utama yaitu: (1) Melakukan (acting); (2) Mengambil pembelajaran (evaluating, reflecting); dan (3) Komitmen kesadaran baru (re-commitmen, consientiation). Mengapa point tentang refleksi dan rekomitmen itu diajurkan di sini? Jawabannya adalah bahwa didalam proses implementing, implementing di bidang apapun, sering kali kita terbawa kepada kecenderungan-kecenderungan realitas yang membawa praktik agak meleset dari komitmen yang telah dibangun. Kondisi ini sangat wajar, dan sangat mungkin terjadi, dan merupakan bagian dari apa yang sering disebut fleksibilitas dalam implementasi.

Page 26: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 25

Persoalannya kemudian bagaimana kita akan memperbaiki sebuah realitas implementasi yang sudah dilakukan. Sejauh mana kecenderungan yang ada pada saat berproses itu, termasuk fleksibilitas yang dilakukan didalamnya, kemudian mendapatkan analisa yang mendalam. Analisa tersebut tidak hanya dari sudut teknis, tetapi juga dari sudut-sudut yang lebih dalam seperti misalnya nilai-nilai, visi, ideologi, dll. Itu sebabnya pada saat “analisa” ini, yang sering disebut reflection, amat melelahkan karena terjadi tarik menarik antara kerja teknis dan “tuntutan hati” atas nama nilai dan ideologi. Jadi jika refleksi ini terjebak teknis belaka seperti analisa SWOT9 (strength, weakness, opportunity, treat) semata, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa tindakan yang akan kita lakukan pasti tindakan yang melancarkan saja tuntutan kemudahan-kemudahan yang bisa diambil dari realitas implementasi sebelumnya. “Pelatihan Penyegaran” di PNPM sangat dangkal sampai pada membangun consientitaion, kebanyakan terjebak teknis saja tidak lebih dari metodelogi SWOT.

Daur Pembelajaran dan Penguatan Kepemimpinan (Leadership)

Rekoleksi: recycling values and commitment Setelah para fasilitator pemberdayaan ini diajak berproses refleksi dan rekomitmen kesadaran seperti dijelaskan di dalam sub bab di atas, maka nilai-nilai pembelajaran yang diperoleh baik nilai-nilai yang bersifat positif maupun nilai-nilai yang bersifat negative (kendala atau hambatan) harus di “daur ulang” untuk mencari jawaban mengapa kita semua mengalami, menemukan, atau sampai kepada masing-masing nilai tersebut. Inilah proses yang mungkin bias disebut “rekoleksi”, yaitu proses mengumpulkan kembali nilai-nilai yang telah dialami sebagai lessons learned, serta

9 Jika tidak salah metode SWOT dipakai pertama kali di dalam kalangan militer, untuk melengkapai analisa

dalam penyusunsn “rencana strategis” penyerangan atau dalam rangka melumpuhkan musuh. Dengan demikian SWOT yang baik harus berlandaskan pada perhitungan teknis yang sangat terukur secara kuantitatif. SWOT sesungguhnya sebuah perangkat yang masih amat lemah jika dipakai untuk menggali dan menumbuhkan komitmen berkaitan dengan nilai-nilai dan ideologi kemanusiaan yang sangat terletak dalam pengertian yang kualitatif.

Aksi Aksi Aksi

Refleksi

Refleksi

Rekoleksi

Rekoleksi

Rekomitmen

Rekomitmen

Page 27: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 26

sekaligus dipasang sebagai rambu-rambu dalam proses pendampingan kepada masyarakat pada tahap selanjutnya. Penyusunan kesepakatan tentang nilai-nilai lessons learned tersebut, selain terjadi sampai pada tingkat individu, harus juga dilakukan sampai pada level corps (sekumpulan, sekelompok) para fasilitator pada lokasi tertentu, wilayah tertentu, atau regional tertentu. Nilai-nilai baru tingkat individu yang terumuskan pada proses rekoleksi tadi, harus disharingkan bersama antar para fasilitator pelaku pemberdayaan untuk dicapai kesepakatan atau rumusan-rumusan bersama mengenai komitmen nilai-nilai baru dalam leadership. Rekomitmen bersama ini, atau bisa kita sebut the new testament (janji bersama) membangun mutu dan kualitas baru pendampingan leadership pada praksis pemberdayaan tahap selanjutnya. Banyak even-even pelatihan penyegaran yang maunya memupuk komitmen kesadaran baru tentang langkah pendampingan pemberdayaan tahap berikutnya, terjebak pada hanya sekedar plan of action atau agenda kegiatan baru yang amat teknis intrumentalis. Tidak lebih hanya semacam low-inforcement target-target capaian baru yang teknis programatis dan lepas dari benang merah consientiation. Proses refleksi, rekoleksi nilai dan rekomitmen nilai-nilai baru kepemimpinan seperti dipaparkan di atas, bisa menggunakan metode workshop leadership secara berkala yang dirancang khusus sebagai workshop penyegaran tentang kepemimpinan. Self encouragement network Selanjutnya apa yang mesti dilakukan setelah workshop penyegaran kepemimpinan tersebut dilakukan? Jika sebuah workshop penyegaran atau training penyegaran yang maunya untuk menumbuhkan kesadaran baru mengenai tindak-tindak pemberdayaan terjebak pada substansi teknis mejerial proyek, maka hasil dari workshop tersebut sebagian besar akan mengarah pada “persaingan” memenuhi target-target pencapaian tahapan proyek. Mengapa begitu?! Karena biasanya lantas ditemukan ternyata begitu banyak target teknis belum tercapai atau belum terselesaikan, diketahui banyak temuan kasus penyimpangan, masih menumpuk pekerjaan laporan belum digarap, lalu muncul rasa “memasuki wilayah tidak aman” dalam hal kinerja individual, keberlangsungan kesempatan kerja bias terancam, kemudian secara individu para fasilitator cenderung bersaing menyelesaikan target-target proyek dan lupa (atau mengesampingkan) idealism pemberdayaan dan kepemimpinan. Jika demikian halnya yang terjadi maka proses transmisi nilai-nilai pemberdayaan kepemimpinan tidak pernah akan mencapai makna yang seperti diharapkan. Kepemimpinan serta nilai-nilai baru yang ditemukan melalui proses aksi, refleksi, rekoleksi, dan rekomitmen, memerlukan dukungan (respek) antar pribadi ke pribadi, antar kelompok fasilitator yang satu kepada kelompok fasilitator yang lainnya, baik dilokasi yang sama maupun di lokasi serta wilayah yang terpisah. Proses membangun dan mempertahankan semangat nilai-nilai baru kepemimpinan ini membutuhkan apa yang disebut encouragement, sebuah proses transmisi dukungan, kepedulian, dan respek.

Page 28: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 27

Chris Lowney dalam Heroic Leadership, menggambarkan dengan sangat hidup bagaimana para Yesuit yang dikirim ke berbagai tempat dibelahan dunia ini, yang berbeda satu dengan yang lain, dengan target pekerjaan yang berbeda-beda, yang tidak jarang mereka terancam pada ganasnya alam, ketidakstabilan politik dan keamanan, para Yesuit saling berkirim surat (dulu ketika telekomunikasi belum secanggih dewasa ini) satu sama lain. Surat menyurat itu berisi berbagai hal baik kisah sukses maupun kegagalan, kebanggan maupun keputusasaan, dan mereka saling memberikan dukungan, penghiburan, tentu juga saran-saran serta informasi-informasi yang berguna. Tentu saja tidak lupa juga alinea-alinea yang berisi dukungan doa-doa. Tetapi yang menarik ditemukan oleh Lowney adalah bahwa para anggota Yesuit diujung-ujung belahan dunia itu, sangat respek untuk berkirim surat kepada sesama Yesuit yang lain dan disisi lain para Yesuit tersebut menemukan “pemompa” semangat berjuang yang luar biasa ketika menerima kabar surat dari sesamanya di belahan dunia lain. Transmisi semangat kepemimpinan tumbuh subur di antara mereka, dan secara katakanlah “mistis” mampu memompa perjuangan-perjuangan “memimpin” (to be a leader) di dunia pekerjaan dan bidang garapan masing-masing meski tidak sedikit dari mereka harus mengorbankan nyawa dan jauh dari para sahabat dan sanak saudara. Apa yang ingin saya anjurkan dan tekankan disini tidak lain adalah bahwa self encouragement network sangat perlu dibangun di antara para fasilitator pemberdayaan masyarakat, dengan berbagai cara, tema-tema encouragement, dan lain-lain. Media-media yang dapat dipakai untuk maksud menumbuhkan semangat encouragement tersebut antara lain seperti: (a) outbond yang dirancang khusus bukan untuk maksud menumbuhkan team building secara organisatoris, tetapi outbound yang mampu menggerakkan nilai-nilai pribadi mengenai leadership maupun nilai-nilai kebersamaan perjuangan melalui leadership antar para fasilitator; (b) workshop refreshing dengan tema leadership; (c) rethreath tentang leadership; Dll.

Penutup: “Aku, Engkau, Masyarakat” Ada sebuah motto yang sudah berlaku umum di dunia pemberdayaan, bahwa perubahan masyarakat kearah yang lebih baik dimulai dari diri sendiri. Semangat yang cukup filosofis ini mau mengatakan bahwa jika setiap individu di dalam masyarakat mau dan mampu berubah kearah yang lebih baik, entah itu dalam hal penghargaan atas orang lain, penghargaan atas hak-hak kesataraan, kesempatan-kesempatan pengembangan ekonomi, dll, maka seluruh masyarakat bahwa Negara akan mengalami perubahan yang baik. Perubahan di dalam diri sendiri secara invidual memerlukan apa yang sering disebut self-leadership, memimpin diri sendiri menuju hal-hal yang lebih baik. Agar mampu membawakan diri dalam mengorganisir, memimpin, atau memberdayakan masyarakat secara benar, dengan demikian seorang fasilitatorpun harus mengalami self-leadership. Tidak mungkin menginginkan orang lain berubah, tetapi para fasilitatornya tidak mau

Page 29: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 28

membuka diri, defensive terhadap masukan orang lain, merasa diri paling tahu dan benar, tidak fleksibel, selalu memberikan instruksi. Mereka yang sudah lebih dari 5 tahun terlibat dalam kerja-kerja pemberdayaan, apalagi di dalam atmosfir pendekatan proyek yang sama, sangat mudah terperangkap dalam jiwa instrumentalis, hanya menjadi mesin proyek, dan sangat riskan untuk mereduksi –secara sadar atau tidak-- nilai empowerment leadership ke dalam instructional leadership. Sebuah upaya untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai leadership (kepemimpinan) yang ideal seperti dipaparkan dalam sub-sub bab di atas di dalam dunia pemberdayaan masyarakat, kiranya perlu untuk dipikirkan kembali, dirumuskan kembali, dan di proses kembali bagi para aktivis-aktivis pemberdayaan. Saya ingin mengatakan bahwa PNPM, yang dimulai dari program PPK, yang telah hampir 20 tahun diimplementasikan, merupakan “pendidikan” yang amat berarti. Sangat disayangkan jika “investasi sosial” yang begitu besar dan luar biasa itu ujung-ujung hanya terperangkap dalam gerakan pengembangan masyarakat yang amat teknis sekedar menjalankan proyek saja. Leadership untuk pemberdayaan masyarakat adalah sebuah nilai ideologi. Nilai ideologi hanya akan “hidup dan bermakna” jika dipilih dengan sebuah sikap pilihan yang disadari. Jika tidak, lebih baik berlalu saja dari pilihan-pilihan semacam itu! []

Bahan Bacaan

Anne Hope and Sally Timmel, 1994. Training for Transformation: A Handbook for Community Workers. Gweru, Zimbabwe: Mambo Press.

Asian Health Institute (AHI), 1995. Leadership Training for Development Worker (Training Module). Aichi, Nagoya, Japan.

Chris Lowney, 2005. Heroic Leadership: Praktik Terbaik Perusahaan Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia. PT Gramedia Pustaka Utama.

David Orr dalam “What Is Education For: Six myths about the foundations of modern education, and six new principles to replace them”: dalam http://www.context.org/iclib/ic27/orr/

Fatima C. Fortaliza, Vol. 18, No. 2 October 2007. Paulo Freire: in His Views on Education. KINAADMAN: An Interdisciplinary Research Journal: Holy Name University, Tagbilaran City, Bohol.

John Jacob Gardiner, 2002. Transactional, Transformational, And Transcendent Leadership: Metaphors Mapping The Evolution Of The Theory And Practice Of Governance. Seattle University.

Leadership Theory and Practices (2007): Thousand Oak London, New Delhe, Sage Publication, Inc. (www.nwlink.com/~donclark/leader/leadcon.html).

“Leadership”: dalam www.calstatela.edu/faculty/jpark/Leadership.

Michael E. Witzgall, 1988. What Leadership Is Not. Tactical Training Consultant Charlie-Mike Enterprises, Inc. ( www.CMESWAT.com)

Pulo Freire, 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES: Jakarta.

Page 30: Kisah Tentang "Ayam dan Telor: "Proses Kepemimpinan yang Mengubah"

Kisah Tentang Ayam dan Telor

Kepemimpinan Yang Mengubah | Halaman 29

Teresa Olson, 2011. Leadership Philosophy. Dalam www.terriolson.efoliomn.com.

Warren Bennis. Conceps of Leadership. Dalam www.nwlink.com/~donclark/leader/ leadcon.html.