kinerja tata pemerintahan provinsi riau

33
Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau A. Pendahuluan Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi paling kaya akan sumber daya alam di Indonesia. Namun, ditilik dari sumber mata pencaharian hidup penduduknya terdapat tiga strata, yang menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan, yaitu strata ekonomi modern (industri minyak, kehutanan, dan perkebunan), strata ekonomi desa (komoditas tradisional karet dan perikanan), dan strata ekonomi masyarakat terasing (suku Sakai, Talang Mamak, Akit, Bonai, suku Laut, dan lain-lain). Pada masa sebelum implementasi kebijakan otonomi daerah, seorang ahli ekonomi menggambarkan Riau sebagai wilayah dimana masyarakatnya sedang berada dalam keadaan “turbulensi”, yaitu berlangsungnya berbagai macam perubahan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mencakup modernisasi, komersialisasi, dan “globalisasi” (Mubyarto, 1992). Kini, pada era otonomi daerah Riau tetap dinilai sebagai salah satu provinsi kaya di Indonesia. Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam di satu sisi, dan kekuasaan yang besar yang digenggam oleh para “penguasa daerah” di sisi lain, dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kalangan elit dan masyarakat Riau untuk mewujudkan kesejahteraan hidup rakyat yang semakin meningkat dan merata. Paling tidak ada tiga tantangan besar yang dihadapi oleh pemerintah provinsi Riau untuk mewujudkan visi pembangunan daerahnya, yaitu : tingginya angka kemiskinan, rendahnya kualitas SDM, dan keterbatasan infrastruktur. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau tahun 2004, jumlah penduduk miskin di Riau adalah 1.008.144 jiwa (22,19 persen), tersebar di 9 kabupaten dan 2 kota, dengan proporsi paling rendah di Kota Pekanbaru (10,91 persen, sama dengan 76.841 jiwa), sedangkan tertinggi di Kabupaten Indragiri Hilir (31, 95 persen, sama dengan 199.497 jiwa). Dari segi kualitas sumber daya manusia, di Riau pada tahun 2005 masih terdapat penduduk buta aksara (usia 10-45 tahun) sejumlah 150.364 jiwa. Dari sisi pembangunan infrastruktur, problem yang dihadapi pemerintah provinsi Riau antara lain ialah belum mampu membuka keterisolasian wilayah, terutama wilayah kantong-kantong kemiskinan serta yang memiliki potensi sumber daya alam yang belum diolah. Selain itu, tingkat kerusakan jalan tergolong tinggi akibat beban lalu lintas yang berlebihan (overloading). Keadaan Geografis dan Demografis Secara administratif, wilayah provinsi Riau terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota, dengan luas wilayah + 108 ribu km 2 . Pada tahun 2005 jumlah penduduk mencapai 4.614.532 jiwa, dan rata-rata kepadatan penduduknya 42 jiwa per km 2 . Jumlah penduduk terbanyak pada kelompok usia 15-64 tahun (67,89 persen), disusul kelompok usia 0-14 tahun (30,27 persen), dan di atas 65 tahun (1,84 persen). Sebagian besar kawasan dataran rendah di Riau berupa rawa dan tanah bergambut tebal, yang dialiri empat sungai besar yaitu Rokan, Siak, Kampar, dan Kuantan-Indragiri. Secara geografis, wilayah provinsi 77

Upload: pasapanam

Post on 15-Jun-2015

398 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau A. Pendahuluan

Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi paling kaya akan sumber daya alam di Indonesia. Namun, ditilik dari sumber mata pencaharian hidup penduduknya terdapat tiga strata, yang menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan, yaitu strata ekonomi modern (industri minyak, kehutanan, dan perkebunan), strata ekonomi desa (komoditas tradisional karet dan perikanan), dan strata ekonomi masyarakat terasing (suku Sakai, Talang Mamak, Akit, Bonai, suku Laut, dan lain-lain). Pada masa sebelum implementasi kebijakan otonomi daerah, seorang ahli ekonomi menggambarkan Riau sebagai wilayah dimana masyarakatnya sedang berada dalam keadaan “turbulensi”, yaitu berlangsungnya berbagai macam perubahan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mencakup modernisasi, komersialisasi, dan “globalisasi” (Mubyarto, 1992).

Kini, pada era otonomi daerah Riau tetap dinilai sebagai salah satu provinsi kaya

di Indonesia. Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam di satu sisi, dan kekuasaan yang besar yang digenggam oleh para “penguasa daerah” di sisi lain, dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kalangan elit dan masyarakat Riau untuk mewujudkan kesejahteraan hidup rakyat yang semakin meningkat dan merata. Paling tidak ada tiga tantangan besar yang dihadapi oleh pemerintah provinsi Riau untuk mewujudkan visi pembangunan daerahnya, yaitu : tingginya angka kemiskinan, rendahnya kualitas SDM, dan keterbatasan infrastruktur.

Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau

tahun 2004, jumlah penduduk miskin di Riau adalah 1.008.144 jiwa (22,19 persen), tersebar di 9 kabupaten dan 2 kota, dengan proporsi paling rendah di Kota Pekanbaru (10,91 persen, sama dengan 76.841 jiwa), sedangkan tertinggi di Kabupaten Indragiri Hilir (31, 95 persen, sama dengan 199.497 jiwa). Dari segi kualitas sumber daya manusia, di Riau pada tahun 2005 masih terdapat penduduk buta aksara (usia 10-45 tahun) sejumlah 150.364 jiwa. Dari sisi pembangunan infrastruktur, problem yang dihadapi pemerintah provinsi Riau antara lain ialah belum mampu membuka keterisolasian wilayah, terutama wilayah kantong-kantong kemiskinan serta yang memiliki potensi sumber daya alam yang belum diolah. Selain itu, tingkat kerusakan jalan tergolong tinggi akibat beban lalu lintas yang berlebihan (overloading). Keadaan Geografis dan Demografis

Secara administratif, wilayah provinsi Riau terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota, dengan luas wilayah + 108 ribu km2. Pada tahun 2005 jumlah penduduk mencapai 4.614.532 jiwa, dan rata-rata kepadatan penduduknya 42 jiwa per km2. Jumlah penduduk terbanyak pada kelompok usia 15-64 tahun (67,89 persen), disusul kelompok usia 0-14 tahun (30,27 persen), dan di atas 65 tahun (1,84 persen). Sebagian besar kawasan dataran rendah di Riau berupa rawa dan tanah bergambut tebal, yang dialiri empat sungai besar yaitu Rokan, Siak, Kampar, dan Kuantan-Indragiri. Secara geografis, wilayah provinsi

77

Page 2: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Riau berbatasan dengan Malaysia, dan berada pada jalur lalu lintas laut internasional terpadat. Struktur Ekonomi

Provinsi Riau merupakan penghasil devisa utama minyak bumi bagi Indonesia, dengan produksi lebih dari 600.000 barrel per hari (sekitar 60 persen dari total produksi minyak dan gas nasional). Selain migas, Riau juga kaya akan potensi sumber daya alam berupa hasil hutan, pertanian, perkebunan, aneka tambang dan mineral, dan hasil laut (perikanan). Semenjak pemekaran wilayah dan pembentukan provinsi Kepulauan Riau (pada pertengahan 2004), terjadi pergeseran komoditi unggulan ekspor provinsi Riau. Sebelumnya, komoditi unggulan Riau adalah produk-produk teknologi tinggi seperti elektronik, peralatan komputer, mesin-mesin, aneka produk baja, plastik, tekstil, bahan kimia, dan lain-lain. Pada umumnya produk-produk itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan modal asing (PMA) di pulau Batam dan Bintan. Pada saat ini komoditi ekspor unggulan provinsi Riau ialah produk-produk primer berupa bahan baku dan setengah jadi, seperti minyak mentah sawit (CPO), pulp dan kertas, karet (crumb rubber), kayu lapis (triplex), kayu olahan, produk kelapa, ikan dan udang segar, batu bara, dan lain-lain. Dalam struktur ekonomi Riau, terdapat tiga sektor yang memberikan kontribusi tertinggi yaitu : pertanian, industri, dan perdagangan. Sumbangan ketiga sektor itu pada pertumbuhan ekonomi Riau mencapai 80,93 persen (2005), diperkirakan meningkat mencapai 81,41 persen (2006), dan akan naik lagi menjadi sekitar 81,62 (2007). Pertumbuhan ekonomi Riau tanpa migas tahun 2005, berdasarkan harga konstan tahun 2000, sebesar 8 persen. Nilai ekspor non migas tahun 2005 sekitar US $ 6.5 milyar, naik 6,5 persen dari tahun 2004 (US $ 6.1 milyar). Pada tahun 2005, APBD Riau sebesar Rp 2,489 triliun (bandingkan dengan APBD Kaltim pada tahun yang sama sejumlah Rp 2,233 triliun). Berpijak pada visi pembangunan Riau 2020, yaitu : “terwujudnya provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan batin di Asia Tenggara tahun 2020” (Perda No.1/ 2004 tentang Renstra Provinsi Riau 2004-2008 dan Master Plan Riau 2020), Riau tengah gencar melancarkan gerakan penanggulangan K2I (kemiskinan, kebodohan, dan infrastruktur). Gerakan K2I dijalankan, antara lain, dengan membangun berbagai kawasan industri (Pelintung, Lubuk Gaung, Buton, Kuala Enok, dan Tenayan), dan menjadikan Kota Dumai sebagai kawasan free trade zone (FTZ). Kota Dumai dirancang menjadi sebuah kota multifungsi menggantikan peran dan fungsi Batam.1 1 Keunggulan Kota Dumai adalah letaknya yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga menjadikannya sebagai kota pelabuhan terdekat dengan Malaysia dan Singapura, setelah Batam. Baca Policy Brief, ”Agenda Mendesak Kota Dumai : Peningkatan Partisipasi Warga dan Perbaikan Infrastruktur.”

78

Page 3: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Kondisi Sosial Budaya

Dari segi sosial budaya, Riau termasuk daerah dengan tingkat heterogenitas etnis yang tinggi. Selain penduduk asli (orang Melayu Riau), maka suku bangsa lain yang cukup dominan di Riau ialah Minangkabau, Jawa, Batak, dan Cina.2 Pada tahun 2003, migrasi penduduk yang masuk ke wilayah provinsi Riau tercatat sejumlah 240.729 orang (5,45 persen). Hal ini menyebabkan tingginya laju pertumbuhan penduduk Riau yaitu 3,65 persen3 (2000-2004). Meski tingkat migrasi penduduk cukup tinggi, namun soliditas masyarakat tampak kuat. Setidaknya ada dua faktor yang mengikat masyarakat Riau menjadi relatif solid, yaitu kesamaan agama dan kekompakan di antara tokoh-tokoh masyarakat. Pernyataan visi Riau sebagai ”pusat kebudayaan Melayu” dapat dibaca sebagai : ”Riau adalah wilayah dengan penduduk yang nyaris seluruhnya beragama Islam”. Kesamaan agama ini merupakan faktor pengikat utama masyarakat secara sosial budaya. Faktor kedua adalah adanya kesamaan pandangan di antara tokoh-tokoh masyarakat Riau (3 pilar) dalam merespon aktivitas pemerintahan sehari-hari. Ketiga pilar tokoh masyarakat Riau itu ialah tokoh adat (lembaga adat), tokoh agama (MUI), dan tokoh cendekiawan (antara lain yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau). Tingkat Kesejahteraan Rakyat

Bagaimana keadaan kesejahteraan rakyat Riau pada saat ini ?. Berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat 2004 (BPS, 2005), angka harapan hidup penduduk Riau rata-rata adalah 68,1 tahun. Angka ini adalah tertinggi di Sumatera, di atas rata-rata angka nasional (66,2). Bahkan, lebih baik dari beberapa provinsi di Jawa, seperti Jatim (66,0), Jabar (64,5), dan Banten (62,4). Rata-rata lama sekolah penduduk Riau juga tergolong tinggi, yaitu 8,2 tahun. Angka ini jauh di atas angka nasional (7,2 tahun), bahkan sama dengan D.I.Yogyakarta, dan berada pada urutan ke-2 tertinggi di Sumatera (setelah Aceh dan Sumatera Utara). Meski persentase penduduk miskin di Riau berada pada urutan keempat paling kecil di Sumatera (13,12 persen),4 namun angka itu tetap lebih rendah dari angka nasional (16,7 persen), bahkan juga lebih rendah dari angka kemiskinan di beberapa provinsi di Jawa (Yogya, Jatim, Jabar). Dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM), Riau menempati urutan tertinggi di Sumatera, dengan angka 69,1. IPM Riau juga berada di atas angka nasional (65,8), pada peringkat ke-5. Jika dibandingkan dengan Bali dan beberapa provinsi di Jawa (Banten, Jateng, Jabar, dan Jatim), IPM Riau 2 Suku-suku seperti Sakai, Talang Mamak, Akit, Bonai, dan suku Laut yang dianggap sebagai penduduk

asli Riau sebenarnya adalah termasuk kaum pendatang gelombang pertama yang berasal dari datran tinggi Yunan, Indocina, bertempat tinggal di pedalaman Riau. Gelombang pendatang kedua masuk ke Riau sekitar abad XIV-XV terdiri dari orang Melayu, Minang, Bugis, Banjar, dan Nusa Tenggara, tinggal di sekitar aliran sungai dan pantai (Djatmiko, 1992).

3 Angka ini tercatat sebagai yang tertinggi di Sumatera. Bandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang hanya 1,43 persen (2000-2004).

4 Ada perbedaan perhitungan persentase penduduk miskin di Riau antara BPS Jakarta dan Balitbang Pemprov Riau. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau tahun 2004, jumlah penduduk miskin di Riau adalah 22,19 persen; sedangkan menurut BPS sebesar 13,12 persen. Perbedaan ini dapat terjadi kemungkinan karena perbedaan dalam penggunaan ukuran/ kriteria penduduk miskin, sedangkan kemungkinan yang lain adalah perhitungan BPS belum memisahkan wilayah/ penduduk provinsi Riau dengan provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

79

Page 4: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

ternyata lebih baik. Setidaknya dilihat dari tiga indikator (angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan IPM), secara umum tampak bahwa kesejahteraan rakyat Riau termasuk cukup baik. Gambaran secara rinci keadaan kesejahteraan rakyat Riau dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Tingkat Kesejahteraan Rakyat Riau

(dibandingkan dengan provinsi di Sumatera, Jawa dan Bali, dan Indonesia)

Indikator

RIAU

SUMATERA

JAWA & BALI

INDONESIA

Angka

Harapan Hidup (2002)

68,1 tahun [tertinggi di

Sumatera, di atas angka

nasional, lebih baik dari Jatim,

Jabar, dan Banten]

- N. A. Darussalam (67,7 tahun) - Sumatera Utara (67,3 tahun) - Jambi (66,9 tahun) - Sumatera Barat (66,1 tahun) - Lampung (66,1 tahun) - Sumatera Selatan (65,7 tahun) - Bangka Belitung (65,6 tahun) - Bengkulu (65,4 tahun)

- D.I.Yogyakarta (72,4 tahun) - DKI Jakarta (72,3 tahun) - Bali (70 tahun) - Jawa Tengah (68,9 tahun) - Jawa Timur (66,0 tahun) - Jawa Barat (64,5 tahun) - Banten (62,4 tahun)

66,2 tahun

Rata-rata Lamanya Sekolah (2004)

8,2 tahun

[urutan ke-2 terbaik di

Sumatera, jauh di atas angka

nasional, sejajar dengan Yogya]

- N. A. Darussalam (8,4 tahun) - Sumatera Utara (8,4 tahun) - Sumatera Barat (8,0 tahun) - Bengkulu (7,8 tahun) - Jambi (7,4 tahun) - Sumatera Selatan (7,4 tahun) - Lampung (7,0 tahun) - Bangka Belitung (6,5 tahun)

- DKI Jakarta (10,1 tahun) - D. I. Yogyakarta (8,2 tahun) - Banten (7,7 tahun) - Bali (7,3 tahun) - Jawa Barat (7,2 tahun) - Jawa Tengah (6,6 tahun) - Jawa Timur (6,6 tahun)

7,2 tahun

Proporsi

Penduduk Miskin (2004)

13,12 %

(urutan ke-4 tersedikit di

Sumatera, lebih rendah dari

angka nasional)

- Bangka Belitung : 9,07 % - Sumatera Barat : 10,46 % - Jambi : 12,45 % - Sumatera Utara : 14,93 % - Sumatera Selatan : 20,92 % - Lampung : 22,22 % - Bengkulu : 22,39 % - N. A. Darussalam : 28,47 %

- DKI Jakarta : 3,18 % - Bali : 6,85 % - Banten : 8,58 % - Jawa Barat : 12,10 % - D. I. Yogyakarta : 19,14 % - Jawa Timur : 20,08 % - Jawa Tengah : 21,11 %

16,7 %

Catatan : - tertinggi : Papua (38,69 %) - terrendah : DKI Jakarta

Indeks Pembang

unan Manusia (2002)

69,1

[tertinggi di Sumatera, di atas angka nasional]

- Sumatera Utara : 68,8 - Sumatera Barat : 67,5 - Jambi : 67,1 - Bengkulu : 66,2 - N. A. Darussalam : 66,0 - Sumatera Selatan : 66,0 - Lampung : 65,8 Bangka Belitung : 65,4

- DKI Jakarta : 75,6 - D. I. Yogyakarta : 70,8 - Bali : 67,5 - Banten : 66,6 - Jawa Tengah : 66,3 - Jawa Barat : 65,8 - Jawa Timur : 64,1

65,8

Sumber : Diolah dari Indikator Kesejahteraan Rakyat 2004. BPS, 2005.

80

Page 5: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Rapor Buruk Kesejahteraan Rakyat Riau

Disamping capaian yang menggembirakan dalam beberapa aspek dari kesejahteraan rakyat (lihat Tabel 1), ada beberapa indikator lain yang memperlihatkan buruknya tingkat kesejahteraan rakyat di provinsi Riau. Oleh karena itu, beberapa indikator patut mendapat perhatian serius dari pemprov Riau. Dalam bidang kesehatan ialah : balita dengan gizi buruk, angka kematian bayi, penolong kelahiran balita melalui dukun, penduduk berobat jalan ke puskesmas/ pustu. Dalam bidang infrastruktur: kecilnya proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding, dan rumah tangga pemakai listrik (lihat Tabel 2).

Tabel 2 Indikator Kesejahteraan Rakyat Riau yang Patut Diperhatikan

(dibandingkan dengan provinsi di Sumatera, Jawa dan Bali, dan Indonesia)

Indikator

RIAU

SUMATERA

JAWA & BALI

INDONESIA

Angka

Kematian Bayi

(SDKI 2002- 2003)

43

(urutan ke-4 terbanyak di

Sumatera, di atas angka nasional)

- Sumatera Selatan (30) - Jambi (41) - Sumatera Utara (42) - Bangka Belitung (43) - Sumatera Barat (48) - Bengkulu (53) - Lampung (55)

- Bali (14) - D. I. Yogyakarta (20) - DKI Jakarta (35) - Jawa Tengah (36) - Banten (38) - Jatim (43) - Jawa Barat (44)

35

Persentase Balita Gizi

Buruk (2003)

10,76 %

(urutan ke-2 terburuk di

Sumatera, di atas angka nasional)

- Jambi (3,07 %) - Sumatera Barat (7,29 %) - Bengkulu (7,77 %) - Lampung (8,19 %) - Bangka Belitung (9,32 %) - Sumatera Selatan (10,28 %) - Sumatera Utara (12,76 %)

- Bali (3,59 %) - D. I. Yogyakarta (4,07 %) - Jawa Barat (5,56 %) - Jawa Timur (5,95 %) - Jawa Tengah (6,03 %) - DKI Jakarta (6,36 %) - Banten (8,25 %)

8,55 %

Persentase Penolong Kelahiran

Balita Terakhir melalui Dukun (2004)

17,91 %

(urutan ke-4 terkecil di

Sumatera, tapi di bawah angka

nasional)

- Sumatera Utara (11,43 %) - Sumatera Barat (11,48 %) - N. A. Darussalam (15,95 %) - Bangka Belitung (18,60 %) - Bengkulu (22,30 %) - Jambi (26,85 %) - Lampung (28,22 %) - Sumatera Selatan (28,69 %)

- DKI Jakarta (2,21 %) - Bali (5,21 %) - D. I. Yogyakarta (10,25 %) - Jawa Tengah (21,13 %) - Jawa Timur (21,45 %) - Jawa Barat (37,82 %) - Banten (39,94 %)

26,28 %

Persentase Penduduk Berobat

Jalan Selama Sebulan

46,28 %

(urutan ke-4 terbesar di

Sumatera, di atas angka nasional)

- N. A. Darussalam (62,92 %) - Sumatera Selatan (48,77 %) - Jambi (46,65 %) - Bangka Belitung (41,01 %) - Sumatera Barat (39,02 %) - Bengkulu (37,86 %)

- Jawa Barat (36,44 %) - Jawa Tengah (33,55 %) - Banten (31,49 %) - Jawa Timur (29,67 %) - DKI Jakarta (29,18 %) - Bali (27,83 %)

37,26 %

81

Page 6: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

yang Lalu di

Puskesmas/Pustu (2004)

- Lampung (34,41 %) - Sumatera Utara (27,62 %)

- D. I. Yogyakarta (24,08 %)

Rumah tangga dengan

Sumber Air Minum Leding (2004)

13,9 %

(urutan ke-4 terburuk di

Sumatera, dibawah angka nasional)

- Sumatera Utara : 23,4 % - Sumatera Barat : 20,6 % - Sumatera Selatan : 17,8 % - Jambi : 17,2 % - N. A. Darussalam : 15,8 % - Bengkulu : 12,5 % - Lampung : 7,1 % - Bangka Belitung : 5,9 %

- DKI Jakarta : 59,8 % - Bali : 51,5 % - Jawa Timur : 22,4 % - Banten : 19,9 % - D. I. Yogyakarta : 16,3 % - Jawa Tengah : 15,2 % - Jawa Barat : 14,2 %

20,4 %

Rumah tangga

Pemakai Listrik (2004)

78,7 %

(sedang, urutan ke-5 di Sumatera, dibawah angka

nasional)

- N. A. Darussalam : 88,8 % - Bangka Belitung : 88,6 % - Sumatera Utara : 88,0 % - Sumatera Barat : 80,3 % - Jambi : 72,2 % - Bengkulu : 71,2 % - Sumatera Selatan : 69,5 % - Lampung : 61,4 %

- DKI Jakarta : 99,6 % - D. I. Yogyakarta : 98,4 % - Jawa Barat : 97,8 % - Jawa Tengah : 97,1 % - Jawa Timur : 96,9 % - Bali : 96,8 % - Banten : 93,8 %

89,0 %

Sumber : Diolah dari Indikator Kesejahteraan Rakyat 2004. BPS, 2005.

Tentang buruknya beberapa indikator sosial ekonomi masyarakat Riau ini, seorang tokoh masyarakat mengungkapkan kegundahannya :

”Riau adalah daerah yang memberi sumbangan terbesar pada pendapatan nasional (APBN), melalui eksploatasi migas dan non migas. Nilainya kira-kira 60 % dari APBN. Akan tetapi, mengapa masyarakatnya masih terbelakang dalam bidang sosial dan ekonomi ?. Meski nilai APBD Kabupaten mencapai sekitar 2 trilyun dan provinsi Riau 3 trilyun (tahun 2006), namun nasib masyarakat belum berubah. Kesalahannya karena kebablasan dalam melaksanakan era reformasi. Akibatnya terjadi salah kaprah atau salah urus. Misalnya, pembangunan rumah sakit dengan kualitas seperti di Jakarta. Pembangunan pelabuhan, tetapi tidak ada kapalnya”.

(Wawancara mendalam pada 31 Mei 2006, di Pekanbaru) B. Kinerja Tata Pemerintahan

Kinerja pemerintah provinsi Riau dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik akan dikaji dari enam indikator, yaitu :

1. Kemampuan memenuhi hak-hak politik warga 2. Kemampuan menegakkan hukum 3. Kemampuan mewujudkan stabilitas politik 4. Kemampuan mengendalikan korupsi 5. Kemampuan membuat regulasi

82

Page 7: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

6. Kemampuan birokrasi melaksanakan kebijakan dan meneyelenggarakan pelayanan publik

1. Kemampuan Memenuhi Hak-hak Politik Warga

Kemampuan pemerintah provinsi memenuhi hak-hak politik warga merupakan kriteria penting untuk menilai kinerja tata pemerintahan. Terlebih lagi dalam masa pergeseran menuju terbentuknya sebuah ”negara demokrasi”, maka penghormatan atas hak-hak politik dan HAM warga negara merupakan dimensi yang sangat esensial. Dalam Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, secara tegas dinyatakan bahwa salah satu agenda pembangunan nasional 2004-2009 ialah ”mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis”. Meski dalam kenyataan tonggak-tonggak menuju negara demokratis telah ditancapkan; seperti adanya pers yang bebas, kebebasan untuk membentuk partai politik, penghapusan dwifungsi tentara, pemisahan polisi dari tubuh TNI, dihapuskannya fraksi TNI/ Polri di DPRD dan DPR, masuknya klausul HAM dalam UUD ’45 hasil amandemen, namun dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik prinsip penghargaan terhadap hak-hak politik warga ini perlu kita periksa implementasinya.

Sementara itu, sasaran ketiga dari agenda ”mewujudkan Indonesia yang Adil dan

Demokratis” dari dokumen RPJMN ialah meningkatnya pelayanan kepada masyarakat dengan menyelenggarakan otonomi daerah dan tata pemerintahan yang baik. Adapun sasaran keempat ialah meningkatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat yang tercermin dari : 1). Berkurangnya praktik korupsi di birokrasi, 2). Terciptanya sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien, dan berwibawa, 3). Hapusnya aturan, peraturan, dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, dan 4). Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.

Pemenuhan hak-hak politik warga diukur dari indikator diterapkannya prinsip-

prinsip transparansi, partisipasi, dan kesediaan pemerintah mendengarkan dan merespon keluhan, ketidakpuasan, usul dan saran dari warga (terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan publik) dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Hasil studi Governance Assessment Survey (GAS) 2006 di provinsi Riau menunjukkan bahwa, sebagian besar warga masyarakat Riau merasa kesulitan untuk memperoleh informasi penyelenggaraan pemerintahan seperti : APBD, program dan proyek pembangunan, dan perda (Grafik 1). Menurut penilaian para pemangku kepentingan, informasi yang paling sulit diperoleh ialah APBD, selanjutnya program dan proyek pembangunan, perda, dan pelayanan publik. Informasi dalam bidang pelayanan publik dinilai lebih mudah untuk didapat ketimbang informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan lainnya. Hal ini tentu amat memprihatinkan, karena di satu sisi berbagai rencana pembangunan pada dasarnya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat, sehingga wajar jika rakyat bisa dengan mudah mengetahui rencana yang disusun oleh pemerintah. Pada sisi lain, adalah hak rakyat (publik) untuk mengetahui berbagai informasi tentang penyelenggaraan

83

Page 8: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

pemerintahan, sehingga rakyat dapat mengontrol kinerja pemerintahan.5 Kesulitan masyarakat untuk dapat mengakses informasi penyelenggaraan pemerintahan ini semakin lengkap oleh proses pengambilan keputusan dalam berbagai tender proyek (dalam pengadaan obat-obatan, pembangunan prasarana pendidikan, pembangunan infrastruktur kesehatan, serta pembangunan dan perbaikan jalan dan jembatan), yang oleh sebagian besar pemangku kepentingan di Riau dinilai cenderung tertutup. Dengan demikian dari segi penegakan prinsip transparansi, kinerja pemerintah provinsi Riau dinilai buruk oleh sebagian besar pemangku kepentingan.

Grafik 1

62.22

8.89

47.78

20.00

56.67

7.78

35.56

25.56

0

10

20

30

40

50

60

70

PERSENTASE

APBD PERDA program dan proyekpembangunan

pelayanan publik

N=90

AKSES MASYARAKAT TERHADAP INFORMASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

sulit mudah

Dari aspek penghormatan prinsip partisipasi, pemerintah provinsi Riau tampaknya ”kurang berminat” untuk melibatkan unsur-unsur non-pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan, dan dalam proses penyusunan anggaran di DPRD. Menurut penilaian sebagian besar pemangku kepentingan pemerintah daerah jarang melibatkan/ mengundang unsur-unsur non-pemerintah dalam pembuatan kebijakan, seperti : perumusan perda, penentuan prioritas pembangunan, dan penyusunan APBD (Grafik 2). Demikian pula yang terjadi dalam proses penyusunan anggaran di DPRD. Hanya

5 Pasal 9 ayat 1, huruf a UU No.28/ 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menegaskan bahwa adalah hak masyarakat untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara, namun hak tersebut tetap harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan batasan untuk masalah-masalah tertentu dijamin kerahasiaannya, antara lain yang dijamin oleh Undang-undang tentang Pos dan Unang-undang tentang Perbankan. Secara lebih luas UUD 1945 Hasil Amandemen, pasal 28F, sesungguhnya telah menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

84

Page 9: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

kalangan birokrasi yang dinilai tinggi tingkat keterlibatannya dalam proses penganggaran di DPRD. Sementara itu, keterlibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan aktivis LSM dalam proses penganggaran di DPRD (yang sesungguhnya merupakan representasi kepentingan publik) justru rendah (Grafik 3). Jika keterlibatan kalangan birokrasi dalam proses penganggaran di DPRD tinggi adalah hal yang wajar, karena secara konstitusional eksekutif dan legislatif adalah mitra kerja dalam menjalankan tugas pemerintahan daerah (UU No.32/ 2004).6 Namun, rendahnya keterlibatan unsur-unsur non-pemerintah dalam proses perumusan kebijakan pemerintahan daerah (baik di birokrasi maupun di lembaga legislatif) menunjukkan bahwa keberadaan rakyat masih dipandang ”setengah hati” oleh elit daerah. Pimpinan daerah hanya merasa berkepentingan terhadap ”suara rakyat” ketika dalam proses pilkada saja, sementara dalam pelaksanaan pemerintahan sehar-hari aspirasi rakyat dianggap ”tidak dibutuhkan” lagi. Jika kesan seperti dinyatakan di atas benar, tentu proses ini justru mencederai proses pelembagaan demokrasi di tanah air, oleh karena kita terjebak pada praktik demokrasi yang bersifat prosedural, tetapi menafikan prakrik demokrasi yang berifat substansial. Keterlibatan warga masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik merupakan bagian dari proses pelembagaan praktik demokrasi secara substansial,7 yang pada gilirannya akan menjamin legitimasi pemerintahan daerah dan pelembagaan proses demokrasi yang sehat dan matang.

Grafik 2

57.78

10.00

58.89

5.56

58.89

8.89

0

10

20

30

40

50

60

70

PERSENTASE

penyusunan APBD penentuan prioritas pembangunan pembuatan perda

INTENSITAS PEMDA MENGUNDANG UNSUR NON PEMERINTAH DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

jarang sering

6 Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD (pasal 19, ayat 1). Tugas dan

Wewenang serta Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah ialah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD (pasal 25, butir a). DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah (pasal 40).

7 Proses perumusan kebijakan yang partisipatif dijamin oleh UU No.10/ 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bab X, pasal 53 undang-undang itu menyebutkan bahwa : “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”. Pada bagian penjelasan diuraikan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan tata tertib DPR/ DPRD (Zen, 2005).

85

Page 10: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 3

65.56

10.00

18.89

55.56

45.56

20.00

58.89

14.44

0

10

20

30

40

50

60

70

80

PERSENTASE

LSM BIROKRASI WARTAWAN TOMAS/TOGA

TINGKAT KETERLIBATAN DALAM PROSES PENGANGGARAN DI DPRD

rendah tinggi Sebagai kosekuensi dari rendahnya keterlibatan unsur non-pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan publik, khususnya dalam proses penyusunan anggaran di DPRD, maka orientasi APBD lebih mengedepankan kepentingan kalangan elit daerah (pejabat birokrasi dan anggota DPRD), ketimbang kepentingan masyarakat secara luas (Grafik 4). Menurut penilaian sebagian besar pemangku kepentingan (72,22 persen), APBD Riau lebih mengedepankan kepentingan kalangan pejabat birokrasi dan anggota DPRD, daripada kepentingan publik. Temuan ini amat kontradiktif dengan misi yang hendak diperjuangkan oleh pemerintah provinsi Riau yaitu : menanggulangi kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan memperbaiki infrastruktur. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, sangat boleh jadi tingkat kesejahteraan penduduk Riau secara umum juga akan semakin merosot.

Grafik 4

72.22

16.67

0

10

20

30

40

50

60

70

80

PERSENTASE

KEPENTINGAN DPRD DAN BIROKRASI KEPENTINGAN PUBLIK

ORIENTASI KEPENTINGAN APBD

86

Page 11: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Meski telah tersedia berbagai sarana untuk menyampaikan keluhan, ketidakpuasan, usul dan saran terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan publik, namun ternyata hanya koran yang dinilai sebagai sarana paling efektif oleh sebagian besar pemangku kepentingan. Sebaliknya kotak saran, surat, radio, dan telepon dinilai tidak efektif untuk menyampaikan aspirasi mereka (Grafik 5). Memang pertumbuhan media massa di Riau tergolong pesat, terutama setelah proses reformasi 1998. Pada saat penelitian dilakukan setidaknya terdapat empat koran di Riau yaitu : ”Riau Pos”, ”Riau Mandiri”, ”Metro Riau”, dan ”Riau Tribun”. Bahkan di Riau juga telah beroperasi ”Riau teve”. Perkembangan ini mungkin yang menyebabkan mengapa warga masyarakat tidak tertarik lagi untuk menyampaikan aspirasinya melalui surat, kotak saran, telepon, dan radio. Meskipun dalam kasus radio, sebenarnya ada kecenderungan memilih segmen tertentu yang ingin dituju oleh program siarannya. Oleh karena itu, kemungkinan besar pada segmen yang dituju oleh masing-masing stasiun radio proses diskusi dan intermediasi aspirasi publik berjalan efektif. Keunggulan koran kemungkinan besar karena cukup tingginya porsi pemberitaan dalam masalah pelayanan publik (Grafik 6). Tentu saja perkembangan ini merupakan berita baik bagi pemerintah provinsi Riau dan warga, karena itu harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan. Pers yang konon disebut sebagai salah satu pilar demokrasi diharapkan dapat mendorong gerak demokratisasi di Riau, setidaknya melalui kontrol terhadap kualitas pelayanan publik.

Meski koran dinilai oleh sebagian besar pemangku kepentingan paling efektif

untuk menampung keluhan dan berbagai aspirasi warga, dan telah memberi porsi yang tinggi dalam pemberitaan masalah pelayanan publik, namun ternyata pemanfaatannya untuk perbaikan kualitas pelayanan publik dinilai rendah. Hal ini tentu amat disayangkan, karena memberi kesan seolah-olah instansi penyelenggara pelayanan publik abai terhadap suara atau aspirasi masyarakat. Gejala ini juga dapat ditafsirkan sebagai lemahnya komitmen aparat penyelenggara pelayanan publik kepada kepentingan warga.

Grafik 5

73.33

11.11

36.67

33.33

45.56

25.56

14.44

43.33

45.56

15.56

62.22

12.22

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

PERSENTASE

kotak saran SMS telepon koran radio surat

EFEKTIFITAS SARANA PENYAMPAIAN KELUHAN DALAM PELAYANAN PUBLIK

tidak efektif efektif

87

Page 12: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 6

28.89

35.56

0

5

10

15

20

25

30

35

40

PERSENTASE

rendah tinggi

PORSI PEMBERITAAN MEDIA MASSA UNTUK MASALAH PELAYANAN PUBLIK

Temuan-temuan dalam aspek transparani, partisipasi, dan tersedianya berbagai sarana untuk menjaring aspirasi publik ini menunjukkan bahwa secara umum pemerintah provinsi Riau belum menyadari pentingnya memenuhi hak-hak politik warga, setidaknya dalam perspektif penyelengaraan pemerintahan di daerah. Meski proses pemilihan kepala daerah secara langsung telah berjalan di Riau (baik pemilihan walikota, bupati, maupun gubernur), namun tampaknya kesadaran pentingnya penghargaan atas hak-hak politik warga baru sebatas pada momentum pilkada saja. Ada kesan perhatian elit pemerintahan daerah tersedot habis pada persoalan ekonomi, seperti pengembangan kawasan industri, peningkatan kinerja BUMD, pemanfaatan potensi sumber daya alam diluar migas – yang kesemuanya bukannya tidak penting, namun akhirnya cenderung mengabaikan peran rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari, dengan kata lain menafikan hak-hak politik warga. 2. Kemampuan Menegakkan Hukum

Dalam sebuah negara hukum yang berwatak demokratis, mengandaikan dijalankannya asas kedudukan dan perlakuan yang sama bagi semua warga negara di muka hukum (equality before the law). Secara teoritis fungsi pokok hukum ialah mengatur hubungan antar manusia dan antara individu dengan negara agar segala sesuatu berjalan dengan tertib, sehingga kedamaian karena tegaknya kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat dapat tercapai (Soekanto, 1976 : 49). Dalam kenyataannya, hukum adalah produk dari proses politik. Produk hukum merupakan kristalisasi dan kompromi atas kepentingan-kepentingan politik dari berbagai kekuatan dalam masyarakat. Sebaliknya, konfigurasi politik yang ada dalam masyarakat mempengaruhi secara kuat atau menentukan watak produk hukum dan praktik penegakan hukum (Mahfud, 1998). Dengan demikian, proses penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh siapa yang sedang berkuasa dan bagaimana watak atau sistem kekuasaan yang berkembang atau dikembangkan di suatu wilayah. Oleh karena itu, wajar jika dalam era transisi menuju negara demokrasi seperti saat ini praktik penegakan hukum di Indonesia masih ”amburadul”.

88

Page 13: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada para pemangku kepentingan dalam GAS 2006 ialah berapa banyak kasus pelanggaran hukum yang dibawa ke pengadilan. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil kasus pelanggaran hukum yang diproses di pengadilan (Grafik 7). Temuan ini tentu amat memprihatinkan, karena menjadi pertanda betapa tidak seriusnya aparat hukum di Riau dalam menegakkan hukum. Selain itu dapat diduga ada kendala-kendala yang cukup besar yang menghambat proses penegakan hukum di Riau. Dalam perspektif politik hukum, dapat diartikan bahwa kekuatan-kekuatan politik di Riau tidak cukup kuat untuk mendorong tegaknya proses hukum, dan/ atau tidak cukup kuat menyingkirkan hambatan-hambatan tertentu demi tegaknya hukum. Dalam era transisi menuju demokrasi kenyataan seperti ini mudah dipahami. Terjadinya kongkalikong di antara pihak-pihak yang berperkara (terutama di kalangan elit politik dan ekonomi), masih mengguritanya mafia pengadilan, jelas semakin mempersulit memangkas praktik jual beli hukum. Namun, dalam konteks implementasi kebijakan otonomi daerah, setiap daerah (termasuk Riau) sesungguhnya dapat ”mengukir sejarah” dalam proses penegakan hukum, yaitu menciptakan preseden dalam penegakan asas ”persamaan dimuka hukum”.

Jika dari aspek penanganan kasus pelanggaran hukum, aparat hukum dinilai tidak

serius karena hanya sebagian kecil yang diproses ke pengadilan, maka bagaimana akses masyarakat untuk memperoleh perlindungan hukum ?. Baik buruknya akses terhadap perlindungan hukum menggambarkan dua hal. Pertama, kesiapan dan kesungguhan aparat untuk menegakkan hukum ”tanpa pandang bulu”. Kedua, adanya kepercayaan dari warga kepada aparat penegak hukum. Studi GAS 2006 menunjukkan bahwa sebagian besar pemangku kepentingan menilai akses untuk memperoleh perlindungan hukum tidak adil. Proporsi responden yang menjawab ”tidak adil” 42,22 persen, sedangkan yang menjawab ”sangat tidak adil” 27,78 persen (Grafik 8). Oleh sebab akses yang tidak adil, maka wajar jika sebagian besar pemangku kepentingan juga menilai proses peradilan di Riau berlangsung tidak jujur dan tidak adil. Responden yang menjawab bahwa proses peradilan berlangsung tidak jujur 76,67 persen, sedangkan responden yang menjawab penegakan hukum berlangsung tidak adil ada 60 persen.

Grafik 7

51.11

35.56

13.33

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

PERSENTASE

kecil sedang besar

JUMLAH PELANGGARAN HUKUM YANG DIPROSES DI PENGADILAN

89

Page 14: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 8

27.78

42.22

23.33

3.33 3.33

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

PERSENTASE

sangat tidak adil tidak adil cukup adil adil sangat adil

PEMERATAAN AKSES MEMPEROLEH PERLINDUNGAN HUKUM

3. Kemampuan Mewujudkan Stabilitas Politik

Untuk menilai stabilitas politik di provinsi Riau dapat dilakukan dengan mempelajari peta konflik yang terjadi di provinsi ini. Berdasarkan hasil studi GAS 2006 secara umum dapat digambarkan pola-pola atau jenis konflik yang kerap terjadi di Riau (lihat Grafik 9). Yang pertama ialah konflik antara buruh dengan perusahaan, yang dapat disebut sebagai konflik vertikal yang bersifat ekonomis. Artinya, konflik terjadi antara pekerja/ buruh dengan pengelola perusahaan/ pemilik modal (atasan para buruh), yang pada umumnya bersumber dari tarik menarik antara hak dan kewajiban dan pembagian rezeki/ upah yang oleh buruh dianggap tidak adil. Konflik jenis pertama ini dalam penilaian para pemangku kepentingan adalah yang paling kerap terjadi di Riau. Tingginya frekuensi konflik antara buruh dengan perusahaan adalah sesuatu yang wajar terjadi di Riau, mengingat Riau adalah daerah dengan potensi alam yang amat kaya, dan sedang terus mengembangkan berbagai pembangunan industri. Yang patut dicermati adalah efek lanjutan dari konflik, karena konflik ini menyangkut hajat hidup atau nasib ”orang kecil”, yaitu buruh di satu sisi, sementara di sisi lain pada umumnya mereka adalah kaum pendatang. Jika konflik jenis pertama ini terus terjadi tanpa ada penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak, sangat boleh jadi akan membangkitkan solidaritas di antara buruh dan kaum pendatang, sehingga menimbulkan gejolak sosial yang lebih besar dan rawan terhadap meletusnya tindak kekerasan. Pada skenario yang terburuk, munculnya gelombang protes dari para buruh akan menimbulkan kekacauan, tindak kekerasan, dan itu berarti terganggunga aktivitas produksi dari perusahaan-perusahaan. Lebih jauh lagi tentu akan mempengaruhi minat para calon penanam modal untuk masuk ke wilayah Riau. Secara singkat dapat dikatakan, upaya penciptaan iklim usaha yang dengan susah payah ingin dibangun di Riau dapat hancur dengan ”seketika”, hanya lantaran (diawali) dari soal-soal kecil di sekitar pemenuhan hak/ tuntutan buruh.

90

Page 15: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Jenis konflik kedua ialah konflik horizontal yang bersifat politis, yaitu antar pendukung partai politik (parpol). Konflik jenis kedua ini biasanya berlangsung musiman ketika jadual pemilihan umum menjelang. Namun, dengan dijalankannya UU No.32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka peluang terjadinya benturan antar massa parpol pendukung calon kepala daerah tertentu dengan calon yang lain dalam pilkada akan lebih sering terjadi. Oleh karena itu, perlu dicermati kegiatan mobilisasi massa terutama pada saat kampanye. Akan tetapi, baik peristiwa pilkada maupun pemilu sesungguhnya dapat dilihat sebagai wahana efektif bagi publik untuk menjalani pendidikan politik, sehingga seiring dengan perkembangan zaman tentu warga dalam waktu yang tidak terlalu lama akan mencapai kematangan politik. Hikmahnya ialah parpol yang lebih mengedepankan pada kekuatan massa dan otot, tanpa dibarengi rumusan program yang rasional dan teladan konkrit dari tokoh-tokohnya, pasti lambat laun akan ditinggalkan oleh para konstituennya.

Ketiga, konflik horizontal yang bersifat politis antara eksekutif dengan legislatif.

Keempat, konflik vertikal yang bersifat politis antara rakyat dengan pejabat. Jenis konflik ketiga dan keempat adalah hal yang wajar terjadi dalam sebuah negara demokrasi, bahkan dalam batas-batas tertentu malah ”wajib” dilakukan. Misalnya, ketika eksekutif dianggap melakukan penyelewengan, atau ketika anggota legislatif dinilai telah mengingkari/ mengkhianati mandat yang diberikan oleh rakyat. Konflik jenis ketiga dapat dikatakan mencerminkan adanya kesungguhan antara pihak pelaksana kebijakan (pejabat eksekutif) dengan pengawas kebijakan (pejabat legislatif), dalam rangka memenuhi amanah rakyat. Adapun konflik keempat dapat dibaca sebagai ekstra kontrol dari warga, yang pada suatu titik mungkin menilai upaya yang dilakukan baik oleh anggota legislatif maupun eksekutif terlalu lamban atau tidak sungguh-sungguh dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.

Kelima, konflik horizontal yang dapat bersifat baik politis atau ekonomis, atau

gabungan dari kedua unsur, yaitu konflik antar kelompok masyarakat. Jenis konflik kelima bisa merupakan muara atau dipicu oleh keempat jenis konflik di atas. Namun, konflik kelima ini dapat pula muncul karena sebab-sebab tersendiri. Pada kasus pertama (merupakan muara), konflik horizontal antar warga merupakan ekor atau efek ikutan dari konflik-konflik yang telah terjadi sebelumnya. Oleh karena secara obyektif telah muncul konflik dalam masyarakat, maka di antara pihak-pihak yang bertikai dapat mengundang simpati atau solidaritas sosial dan komunal setiap komunitasnya, sehingga merembetkan konflik pada tingkat akar rumput. Konflik pada kasus pertama ini juga amat rawan terhadap masuknya pihak ketiga yang dengan sengaja merekayasa konflik dengan memanfaatkan ”bara” konflik sebelumnya, demi keuntungan/ kepentingan kelompok tertentu. Konflik di Poso yang tak kunjung selesai, mungkin dapat dimasukkan sebagai konflik horizontal jenis pertama ini. Pada kasus kedua (karena sebab-sebab tertentu), timbulnya konflik horizontal umumnya disebabkan karena terjadinya perselisihan paham dalam hal-hal yang sepele, seperti pertengkaran dalam pertandingan olah raga yang merembet menjadi konflik atar desa, dan lain-lain.

91

Page 16: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 9

36.67 34.44

10.00 70.00

7.78 87.78

10.00 68.89

14.44 48.89

15.56 60.00

21.11 55.56

14.44 57.78

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

PERSENTASE

buruh-perusahaan

antar etnis

antar agama

pendatang-penduduk asli

rakyat-pejabat

eksekutif-legislatif

antar pendukung partai

antar kelompok masyarakat

FREKUENSI TERJADI KONFLIK DI RIAU

sering jarang

Adalah suatu berita gembira bahwa konflik yang bersifat primordial, seperti

konflik antar agama, antar suku bangsa, dan antara penduduk pendatang dengan penduduk asli adalah tergolong konflik yang jarang terjadi di Riau. Di satu pihak, temuan ini memperlihatkan kematangan dan kekompakan di antara tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan di Riau, terutama dalam memfasilitasi dialog dan interaksi positif di antara pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan warga pada umumnya. Sebagaimana diketahui, di Riau terdapat tiga pilar tokoh masyarakat yaitu : tokoh adat (lembaga adat), tokoh agama (MUI), dan tokoh cendekiawan (antara lain yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau). Ketiga pilar tokoh masyarakat ini aktif melakukan dialog dan merespon dinamika pemerintahan sehari-hari; misalnya mengeluarkan maklumat bersama mendukung kesuksesan pelaksanaan Pemilu demi menghindari terjadinya konflik horizontal, tuntutan pembagian yang lebih adil dari hasil eksplorasi SDA (antara pusat dan Riau), kasus penyelewengan/ korupsi pejabat, dampak negatif program-program pemerintah seperti transmigrasi, pembukaan/ pengelolaan perkebunan dan kehutanan, dan lain-lain. Pada pihak lain, temuan ini konsisten dengan temuan lain dari studi GAS 2006 yaitu tingginya tingkat kepercayaan para pemangku kepentingan di Riau kepada tokoh-tokoh dari lembaga-lembaga non-pemerintah seperti : majelis ulama, perguruan tinggi/ universitas, organisasi keagamaan, dan lembaga adat (Grafik 10).

92

Page 17: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 10

30.00

57.78

44.44

4.44

73.33

80.00

58.89

15.56

74.44

25.56

10.00

0 10 20 30 40 50 60 70 80

PERSENTASE

LSM

surat kabar

radio

parpol

organisasi keagamaan

majelis ulama/PGI/WWG

lembaga adat

organisasi kemasyarakatan

perguruan tinggi/universitas

asosiasi pengusaha

ombudsman

lainnya

KEPERCAYAAN TERHADAP LEMBAGA-LEMBAGA NON PEMERINTAH

Dalam penyelesaian konflik, sayangnya, menurut sebagian besar pemangku kepentingan lebih sering dilakukan dengan cara mengerahkan aparat penegak hukum ketimbang dengan cara-cara musyawarah (Grafik 11). Penyelesaian konflik dengan lebih mengandalkan pengerahan aparat penegak hukum pada umumnya mudah memancing meletusnya tindak kekerasan, bahkan bisa membangkitkan kerusuhan, jatuhnya korban, dan timbul suasana ”balas dendam” dari pihak yang merasa lebih banyak jatuh korban. Oleh karena itu, kecenderungan pengerahan aparat keamanan dalam penyelesaian konflik menunjukkan bahwa pemerintah provinsi belum menyadari implikasi politik dan ekonomi dari pengerahan aparat keamanan, terutama dalam upaya penciptaan iklim investasi yang baik. Selain itu, terkesan cara penyelesaian konflik secara damai belum dianggap penting. Namun, selain aparat kepolisian ada anggota DPRD, satpol PP, dan aparat pemprov (dari kalangan pemerintahan) yang biasanya turut menyelesaikan konflik secara damai. Temuan ini menegaskan bahwa keterlibatan anggota DPRD dalam “membela” atau menyelesaikan kepentingan warga sangat didukung oleh masyarakat luas. Penilaian warga terhadap keterlibatan anggota DPRD dalam penyelesaian konflik secara dialogis merupakan kredit poin bagi lembaga dan anggota DPRD, oleh karenanya patut ditingkatkan. Sementara itu, dari institusi non-pemerintrah; LSM, lembaga adat, dan tokoh masyarakat adalah lembaga yang dinilai oleh para pemangku kepentingan kerap berperan dalam penyelesaian konflik secara damai.

93

Page 18: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 11

56.67

21.1122.22

0

10

20

30

40

50

60

PERSENTASE

sering sedang jarang

PENGERAHAN APARAT PENEGAK HUKUM DIGUNAKAN DALAM MENANGANI KONFLIK DI RIAU

Disamping kelima jenis konflik yang telah diuraikan di atas, ada potensi konflik yang bersifat laten tapi tidak tertangkap dalam survei ini, yaitu tuntutan peningkatan proporsi bagi hasil dari eksplorasi minyak bumi di Riau. Sejak kebijakan pemerintah pusat yang menegaskan bahwa masalah minyak tidak boleh dibicarakan daerah dan Riau tidak berhak mendapatkan jatah minyak, dikeluarkan pada tahun 1960, perlawanan tokoh-tokoh masyarakat Riau terhadap pemerintah pusat dimulai. Kini pada 2004, tokoh-tokoh masyarakat Riau kembali menuntut hak-hak ekonominya yaitu berupa pembagian dana bagi hasil (DBH) minyak bumi dan gas yang diproduksi dari Riau dengan proporsi 40 persen untuk Riau : 60 persen untuk pusat. Namun, tuntutan ini ditolak oleh DPR, dan hanya dinaikkan 0,5 persen (dari ketentuan dalam UU No.33/ 2004) yaitu menjadi 15,5 : 84,5 persen. Namun, ketentuan ini baru akan berlaku efektif mulai tahun 2009. Keputusan DPR ini oleh tokoh-tokoh masyarakat Riau, setidaknya yang tergabung di dalam Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), dinilai sebagai ”penghinaan paling mutakhir dari pemerintah pusat terhadap Riau”. 4. Kemampuan Mengendalikan Korupsi

Kemampuan pemerintah mengendalikan korupsi merupakan kriteria mendasar untuk menilai kinerja tata pemerintahan. Hasil studi Bank Dunia menunjukkan bahwa antara tahun 1996-2002 beberapa indikator tata pemerintahan di Indonesia mengalami kemerosotan, yang paling menyolok ialah kemampuan dalam mengendalikan korupsi, yaitu dari posisi di angka 36 pada 1996, menjadi 7 pada 2002 (World Bank, 2004). Sementara itu pada tingkat internasional Indonesia tetap berada pada peringkat ke-5 negara terkorup di dunia, baik pada tahun 2005 maupun 2006 (Tempo, 29 Oktober 2006). Hasil penelitian Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia tahun 2001 menunjukkan bahwa korupsi tidak saja memakan sebagian besar penghasilan orang miskin, tetapi orang miskin juga membayar suap lebih banyak ketika berobat di rumah

94

Page 19: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

sakit pemerintah, kantor catatan sipil, dan kantor Badan Pertanahan Nasional (Malik, 2006).8

Menurut pendapat Prof. M. Amien Rais praktik korupsi dapat diibaratkan seperti

”orang merokok sambil buang air besar”. Mula-mula terasa risih tetapi lama kelamaan menjadi suatu kenikmatan tersendiri, bahkan jika saat buang air besar tidak sambil merokok maka terasa tidak nikmat. Ini artinya korupsi adalah suatu kebiasaan, menyangkut kultur yang hidup dalam masyarakat. Dengan mengutip Samuel Huntington, Ahimsa-Putra (2003) sependapat dengan Amien Rais bahwa praktik korupsi pada awalnya adalah ”perilaku menyimpang” dari pejabat/ pegawai publik dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh suatu masyarakat. Tujuan penyimpangan adalah untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. Namun, fakta bahwa praktik korupsi dapat berjalan langgeng selama rezim Orde Baru karena dukungan aparat hukum dan keamanan, menjelaskan bahwa struktur kekuasaan juga ikut mengawetkan praktik korupsi. Atas dasar dialektika kultur-struktur dalam praktik korupsi, Aditjondro membangun suatu ”model korupsi berlapis tiga” untuk memahami tingkat, jaringan, motivasi, dan bobot dari praktik korupsi. Korupsi lapis pertama lebih bersifat personal – kultural, berlangsung pada lingkup lokal. Korupsi pada lapis kedua bersifat jejaring ”kerjasama” antara birokrat, politisi, aparat penegak hukum, dan dunia usaha, pada lingkup nasional. Korupsi pada lapis ketiga berlingkup internasional, melibatkan ”kerjasama” antara lembaga-lembaga kreditor dan/ atau lembaga yang memiliki otoritas dalam dunia bisnis skala transnasional, dimana produknya ”terpilih” oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jejaring korupsi internasional tersebut (Aditjondro, 2003).

Studi GAS 2006 menunjukkan bahwa sebagian besar pemangku kepentingan

menilai pemberian suap (”uang ekstra”) untuk memperoleh pelayanan publik adalah suatu hal yang sudah biasa (jamak, lazim). Kelaziman pemberian suap untuk memperoleh pelayanan publik ini senada dengan ungkapan yang hidup dalam masyarakat yang menyatakan bahwa ”kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”, untuk menyindir buruknya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Dari survei GA 2006 tampak bahwa sebagian besar responden di Riau (84,44 persen) menganggap memberi ”uang ekstra” dalam pelayanan publik adalah suatu hal yang umum (Grafik 12). Temuan ini seolah membuktikan kebenaran tesis bahwa ”korupsi sudah membudaya” dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

8 Fenomena orang miskin mensubsidi pemerintah daerah, dan bukan sebaliknya, ini juga ditemukan dalam studi Governance and Decentralization Survey (GDS) 2002. Lihat Dwiyanto, 2003.

95

Page 20: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 12

70.00

14.4412.22

1.11 2.22

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

PERSENTASE

sangat umum umum tidak tahu tidak umum sangat tidak umum

PENILAIAN WARGA MENGENAI PEMBERIAN 'UANG EKSTRA' DALAM PELAYANAN PUBLIK

Melalui Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi ditegaskan bahwa korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana formil. Implikasi hukumnya ialah meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Untuk menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, disusunlah UU No. 20 tahun 2001 (menyempurnakan UU No. 31/ 1999) yang menegaskan bahwa tindak pidana korupsi yang telah terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang ”pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”. Ini artinya secara sistemik-struktural telah dirancang suatu perangkat hukum dan organisasi pelaksana pemberantasan korupsi. Dalam praktik, studi GAS 2006 memperlihatkan kepada kita bahwa berbagai lembaga pemerintah kurang serius dalam pemberantasan korupsi (Grafik 13). Temuan ini tentu amat mencengangkan, terlebih pihak kepolisian yang diharapkan menjadi ujung tombak dalam pemberantasan korupsi, justru oleh sebagian besar responden dinilai paling tidak serius (70 persen).

Grafik 13

66.67 7.78

68.89 5.56

67.78 8.89

70.00 7.78

44.44 22.22

34.44 23.33

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

PERSENTASE

Bupati/walikota/gubernur

DPRD

Kejaksaan

Kepolisian

LSM

media massa

TINGKAT KESERIUSAN SEJUMLAH LEMBAGA DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

rendah tinggi

96

Page 21: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Tentang kinerja kepolisian ini sebuah media massa lokal melaporkan bahwa:

Dari 20 kasus korupsi yang dilaporkan ke kantor kepolisian, baru 2 kasus yang sudah masuk pada tahap persidangan, sedangkan sisanya masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

(Riau Mandiri, 30 Juni 2006, hal. 1).

Kutipan berita di atas menguatkan penilaian bahwa kinerja aparat kepolisian dalam pemberantasan korupsi amat buruk. Namun, korupsi tidak dapat diberantas hanya dengan mengandalkan kerja dari satu institusi tertentu saja. Selain kepolisian, ternyata secara berturut-turut : DPRD, kejaksaan, dan gubernur juga dinilai kurang memiliki kesungguhan dalam pemberantasan korupsi oleh para pemangku kepentingan di Riau. Bahkan, LSM juga dipandang tidak serius dalam pemberantasan korupsi. Temuan ini sungguh sangat memprihatinkan, seolah-olah semua kekuatan sosial-politik dari komponen penting masyarakat Riau luruh menghadapi korupsi. Baik pimpinan eksekutif, badan legislatif, aparat penegak hukum, dan unsur masyarakat sipil ternyata dinilai tidak serius memberantas korupsi. Salah satu bukti ketidakseriusan lembaga-lembaga pemerintahan di Riau dalam pengendalian korupsi ialah rendahnya intensitas pejabat pemerintah provinsi menindaklanjuti hasil laporan audit. Jika ketidakseriusan komponen-komponen inti pemerintahan provinsi Riau dalam pemberantasan praktik korupsi dianggap sebagai ”biaya sosial-politik” karena terjadi distorsi dalam proses pelembagaan desentralisasi dan demokratisasi lokal, maka gejala ini patut dicermati. Jika tidak segera disadari dan diarahkan ke jalur pelembagaan desentralisasi dan demokratisasi secara proporsional, perkembangan ini dikhawatirkan akan menimbulkan dampak sosial-politik yang makin eksesif. Studi GAS 2006 juga membeberkan kepada kita bahwa para pemangku kepentingan di Riau memiliki ketidakpercayaan yang tinggi terhadap lembaga-lembaga pemerintahan seperti : kepolisian (76,67 persen), pengadilan, kejaksaan, DPRD, dan kimpraswil (Grafik 14). Temuan ini konsisten dan mendukung penilaian tentang ketidakseriusan lembaga pemerintahan, khususnya aparat penegak hukum, dalam pemberantasan korupsi. Fakta ini kian memperberat upaya pengendalian tindak pidana korupsi di Riau, karena adanya dua hambatan sekaligus yaitu ”meraih kepercayaan publik” dan ”membuktikan adanya kesungguhan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi”. Ini adalah ”pekerjaan rumah” yang tidak ringan bagi pemerintah provinsi Riau, jika pemerintahannya ingin terus didukung oleh rakyat secara otentik dan absah.

97

Page 22: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 14

KETIDAKPERCAYAAN TERHADAP LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAH

42.22

68.89

63.33

76.67

17.78

16.67

46.67

11.11

15.56

6.67

1.11

10.00

20.00

28.89

47.78

2.22

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

gubernur/bupati/walikota

pengadilan

kejaksaan

kepolisian

dispenda

badan kepegawaian daerah

deperindag

kimpraswil

Bappeda

badan pertanahan nasional

kantor pelayanan terpadu/perijinan

BKPM

dinas kesehatan

dinas pendidikan

BUMD

DPRD

Lainnya

PERSENTASE

Jika banyak lembaga-lembaga pemerintahan penting yang tidak dipercaya oleh para pemangku kepentingan di Riau, ternyata hal yang senada juga terjadi terhadap lembaga-lembaga non-pemerintahan. Studi GAS 2006 memperlihatkan bahwa partai politik (96,67 persen), LSM (80 persen), organisasi kemasyarakatan (56,67 persen), asosiasi pengusaha (55,56 persen), dan surat kabar (50 persen), cenderung tidak dipercaya oleh pemangku kepentingan di Riau. Tingginya ketidakpercayaan publik terhadap partai politik mungkin sudah menjadi gejala umum di Indonesia. Hal ini tentu merupakan topik diskusi tersendiri yang cukup menantang. Namun, temuan bahwa LSM dan surat kabar, dua kekuatan dalam masyarakat yang diharapkan mewakili aspirasi wong cilik dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap kebijakan pemerintah, juga tidak dipercaya oleh publik tentu sangat disesalkan. Pada satu sisi temuan ini jelas semakin mempersulit upaya-upaya pengendalian tindak korupsi, karena berarti dukungan dari masyarakat sipil semakin mengendur. Sementara itu di sisi lain, temuan ini mempersuram gambaran arah gerak demokratisasi di Riau. Ketidakpercayaan publik kepada parpol dan LSM juga dapat dibaca bahwa publik kian ”melek politik”, artinya tidak mudah terpesona atau ”dikelabuhi” untuk mendukung kepentingan-kepentingan (politik) sesaat. Dalam konstelasi sosial-politik seperti ini publik di Riau agaknya kembali mencari rujukan moral pada lembaga-lembaga “tradisional”, semacam tokoh agama (baik di MUI maupun di organisasi keagamaan – seperti Muhammadiyah dan NU), guru (perguruan tinggi), dan tokoh adat. Lembaga modern semacam surat kabar, yang dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi, ternyata pamornya masih berada dibawah keempat lembaga “tradisional” (bandingkan dengan Grafik 10).

Adalah masuk akal jika sebagian besar pemangku kepentingan menilai lembaga-lembaga pemerintahan di Riau kurang serius dalam pemberantasan korupsi, karena tiga dari tujuh lembaga pemerintahan yang dianggap paling tinggi tingkat korupsinya adalah lembaga penegak hukum (kepolisian, pengadilan, dan kejaksaan) [Grafik 15]. Bahkan kepolisian dan pengadilan berada pada urutan ke-2 dan ke-3. Temuan ini menggoda kita

98

Page 23: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

untuk menarik kesimpulan bahwa : “karena dianggap korup, maka publik tidak percaya lagi terhadap instansi penegak hukum” (lihat kembali Grafik 14). Tujuh lembaga pemerintahan di Riau yang dinilai paling tinggi tingkat korupsinya ialah : 1. BKPM (100 persen), 2. Kepolisian, 3. Pengadilan, 4. Gubernur, 5. Kejaksaan, 6. Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), dan 7. DPRD (Grafik 15). Yang fenomenal dari temuan ini, selain masuknya tiga lembaga penegak hukum, ialah bahwa seluruh responden dalam survei GA 2006 ”sepakat” bahwa BKPM 9 adalah lembaga yang dinilai paling korup di Riau. Agak sulit memberi penjelasan yang memuaskan terhadap temuan ini. Agaknya oleh karena tugas-tugas ”Badan Promosi dan Investasi” berhubungan erat dengan proses pemasukan modal, maka peluang untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang dianggap lebih besar dibandingkan dengan instansi lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan urusan pemasukan uang dalam jumlah besar. Jika temuan ini dikaitkan dengan temuan pada Grafik 12, berarti tindak korupsi banyak terjadi terutama pada proses pemberian izin untuk pembukaan usaha, karena sebagian besar responden (lebih dari 80 persen) menganggap hal yang biasa memberikan suap untuk memperoleh pelayanan publik (termasuk perizinan). Selain itu, meskipun berada pada urutan ke-7, masuknya DPRD sebagai salah satu lembaga yang dinilai tinggi tingkat korupsinya tentu juga menimbulkan berbagai pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang patut diajukan ialah bagaimana kinerja pengawasan anggota DPRD terhadap tindak korupsi, jika mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi. Dalam ungkapan lain, bagaimana kita bisa membersihkan lantai jika sapu yang digunakan tidak bersih.

Grafik 15 INTENSITAS KORUPSI SEJUMLAH LEMBAGA PEMERINTAH DI RIAU

60.0064.44

55.56

66.67

23.33

14.44

1.11

51.11

11.11 10.00 10.00

100.00

12.22

37.78

25.56

46.67

1.11 2.220.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

bupa

ti/wali

kota/

gube

rnur

Penga

dilan

Kejaks

aan

Kepol

isian

Dispen

da

Badan

Kep

egaw

aian D

aera

h

Deper

indag

Kimpr

aswil

BAPPEDA

Badan

Per

tanah

an N

asion

al

Kanto

r Pela

yana

n Ter

padu

BKPM

Dinas K

eseh

atan

Dinas

Pen

didika

n

BUMDDPRD

LSM

Lain-

lain

PER

SEN

TASE

5. Kemampuan Membuat Regulasi

Secara substantif, kualitas regulasi di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kemampuan elit daerah dalam memahami dan menilai persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tolok ukur selanjutnya ialah regulasi itu mampu mendorong terjadinya

9 Di Pemerintah Provinsi Riau disebut sebagai Badan Promosi dan Investasi (Promotion and Investment

Board).

99

Page 24: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

perubahan masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan hidup secara merata dan meluas. Selama tahun anggaran 2004/2005, DPRD Provinsi Riau berhasil merumuskan 9 peraturan daerah (Rusli, 2006). Jika dilihat dari isinya, ada satu perda yang berkaitan langsung dengan upaya perbaikan pelayanan publik yaitu perda tentang retribusi pelayanan kesehatan (No.5/ 2005, tanggal 31 Oktober 2005). Studi GAS 2006 menunjukkan bahwa sebagian besar pemangku kepentingan di Riau menilai perda tidak memperbaiki kualitas pelayanan publik (Grafik 16).

Grafik 16

42.22

20.00

51.11

18.89

36.67

21.11

35.56

22.22

40.00

21.11

63.33

20.00

0.00

10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

P E R S E N T A S E

memperbaiki iklim investasi memperbaiki

efektivitaspenegakan

hukum

meningkatkanstabilitassosial

memperbaikikualitas

pelayanan publik

memberdayakanUKM

menurunkanpraktik KKN yang

ada dipemerintahan

PENILAIAN TERHADAP KUALITAS PERDA

tidak setuju setuju

GAS 2006 menunjukkan bahwa selain pada sektor pelayanan publik, pada

umumnya para pemangku kepentingan menilai peraturan daerah tidak mampu meningkatkan stabilitas sosial, memberdayakan UKM, memperbaiki iklim investasi, memperbaiki efektivitas penegakan hukum, dan menurunkan praktik KKN. Hanya sebagian kecil dari mereka yang setuju bahwa perda telah mampu memperbaiki berbagai kondisi yang ada di daerah. Dengan demikian kualitas perda yang dirumuskan oleh para pemimpin pemerintahan daerah, dalam penilaian pemangku kepentingan belum seperti yang diharapkan.

Ketidakmampuan perda menurunkan praktik KKN dalam penyelenggaraan

pemerintahan semakin menipiskan harapan di satu sisi, dan menggandakan hambatan di sisi lain dalam upaya pemberantasan korupsi di Riau (lihat kembali uraian pada no.4 Kemampuan Mengendalikan Korupsi). Kegagalan perda dalam memberdayakan UKM (sektor ekonomi rakyat) patut menjadi prioritas perhatian dari pemprov Riau, mengingat masalah kemiskinan terkait erat dengan sumber mata pencaharian penduduk miskin (yang menjadi isu senral dalam pembangunan Riau). Kecenderungan aktivitas pengembangan

100

Page 25: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

kawasan industri di berbagai lokasi, akan menimbulkan kelompok-kelompok masyarakat dan aktivitas perekonomian yang bersifat marjinal. Oleh karena itu, strategi pengembangan UKM penting dipikirkan agar hasil pembangunan dapat dinikmati oleh lebih banyak warga.

Perda juga dinilai tidak memperbaiki iklim usaha. Temuan ini konsisten dengan temuan GAS 2006 yang menunjukkan bahwa 60 persen pemangku kepentingan menilai kepastian regulasi yang rendah merupakan salah satu penyebab kegagalan usaha di Riau. Bahkan dalam kasus pertanahan, persoalan buruknya kepastian hukum atas tanah merupakan faktor yang dinilai lebih besar menjadi penyebab kegagalan usaha (Grafik 17).10

Grafik 17

46.67

80.0026.67

86.67

31.11

60.00

30.00

37.78

75.56

8.89

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

PERSENTASE

Konflik sosial (etnis)

Gangguan preman

Konflik politik (Bupati/walikota/gubernur dan DPRD)

Birokrasi yang korup

Buruh sering mogok

Kepastian regulasi rendah

Bupati/walikota/Gubernur kurang peduli terhadap iklim usaha

DPRD kurang responsif terhadap kepentingan pengusaha

Kepastian hukum atas tanah

Lainnya

FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN USAHA

Berkaitan dengan faktor yang menjadi penyebab kegagalan usaha di Riau,

seorang anggota DPRD berpendapat : ”Riau adalah daerah strategis, tapi mengapa investor tidak mau masuk ?. Kendalanya adalah birokrasi yang tidak terlalu memberi dukungan terhadap masuknya investasi. Jadi, isunya adalah birokrasi versus investasi. Dari 6 BUMD yang dimiliki pemerintah provinsi Riau, empat BUMD merugi. Selain itu, pengelolaan BUMD terkesan tertutup”.

(wawancara mendalam di Pekanbaru, 30 Mei 2006)

10 Iklim berusaha di Riau juga amat dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah. Menurut sebagian besar pemangku kepentingan (76,67 persen) masalah ketersediaan air bersih merupakan kendala utama untuk mendukung iklim investasi yang menyenangkan di Riau. Ketersediaan air bersih atau air minum termasuk masalah yang serius di Riau, terutama setelah dilakukan pemekaran wilayah dengan Kepulauan Riau. Selain air bersih, infrastruktur yang tersedia secara tidak memadai di Riau adalah : listrik (52,22 persen), jalan (38,89 persen), dan jembatan (34,44 persen). Jumlah penduduk Riau yang masih menggunakan sumber penerangan selain listrik (baik dari PLN maupun non PLN), yaitu berupa petromaks, pelita, dan yang lainnya, ada sekitar 266.900 rumah tangga (25 persen) [Riau Dalam Angka 2004/2005: 254]. Infrastruktur yang tersedia secara memadai di Riau ialah telekomunikasi (52,22 persen), dan sarana transportasi (42,22 persen).

101

Page 26: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Kecenderungan sulitnya warga masyarakat mengakses informasi penyelenggaraan pemerintahan, tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan pemerintah, termasuk dalam penyusunan anggaran (lihat kembali Grafik 1, 2, dan 3), dengan sendirinya mengakibatkan peraturan daerah yang dikeluarkan jauh dari harapan masyarakat, tidak mencapai sasaran, yaitu mendorong terjadinya perubahan di daerah. Gejala ini juga dapat dibaca sebagai dominannya peran birokrasi pemerintah dan anggota DPRD dalam pembuatan perda. Oleh karena itu, agar perda benar-benar menempatkan kepentingan publik sebagai pusat perhatian, maka pelibatan para pemangku kepentingan dalam proses perumusannya tidak dapat ditawar lagi. 6. Kemampuan Pemerintah Melaksanakan Kebijakan dan Menyelenggarakan

Pelayanan Publik Kemampuan pemerintah provinsi Riau dalam melaksanakan kebijakan dan

menyelenggarakan pelayanan publik dapat dilihat dari penilaian masyarakat terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan publik. Studi GAS 2006 memperlihatkan bahwa secara umum aksesibilitas warga terhadap berbagai jenis pelayanan publik rendah. Kondisi ini menjadi semakin buruk bagi penduduk miskin, karena akses mereka terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan, dan permodalan pada umumnya sangat rendah, sementara dari pelayanan dasar inilah mereka berharap dapat memperbaiki nasibnya (Grafik 18).

Grafik 18

47.78

11.11

50.00

7.78

48.89

14.44

63.33

8.89

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

PERSENTASE

PENDIDIKAN KESEHATAN PENGURUSANADMINISTRASI

KEPENDUDUKAN

MODAL

AKSESIBILITAS WARGA MISKIN TERHADAP PELAYANAN PUBLIK

rendah tinggi

Kualitas pelayanan publik belum memuaskan harapan warga, karena secara umum dari segi biaya dinilai masih mahal, dan dengan prosedur yang sulit. Grafik 19 berikut menunjukkan bahwa biaya pelayanan publik masih dinilai mahal oleh sebagian besar responden, baik dalam bidang kesehatan, perizinan, maupun pendidikan. Selanjutnya dalam prosedur pengurusannya, sebagian besar responden menilai bidang perizinan adalah yang paling sulit (Grafik 20).

102

Page 27: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Grafik 19

52.22

11.11

57.78

8.89

54.44

7.78

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

PERSENTASE

PENDIDIKAN KESEHATAN PERIJINAN

BIAYA PELAYANAN PUBLIK

mahal murah

Grafik 20

32.22

14.44

32.22

14.44

55.56

13.33

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

PERSENTASE

PENDIDIKAN KESEHATAN PERIJINAN

TINGKAT KEMUDAHAN PROSEDUR PELAYANAN PUBLIK

sulit mudah Buruknya kualitas pelayanan publik di Riau, terutama dalam hal mahalnya biaya dan sulitnya prosedur, termasuk buruknya pelayanan kepada penduduk miskin, dapat dicari penyebabnya antara lain pada orientasi APBD. Menurut penilaian sebagian besar pemangku kepentingan, APBD Riau lebih mengedepankan kepentingan kalangan pejabat birokrasi dan anggota DPRD, daripada kepentingan publik (lihat kembali Grafik 4). Dilihat dari alokasinya, sekitar separuh responden menilai anggaran untuk pendidikan kurang mencukupi (43,3 persen), demikian pula dalam bidang kesehatan (46,7 persen). Sebagai akibatnya, menurut penilaian pemangku kepentingan, APBD tidak akan mampu

103

Page 28: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

mengatasi masalah publik (Grafik 21), dan menjaga keberlanjutan program pembangunan (Grafik 22).

Grafik 21

55.56

17.78

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

PERSENTASE

tidak mampu mampu

KEMAMPUAN APBD MENGATASI MASALAH PUBLIK

Grafik 22

42.22

22.22

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

PERSENTASE

tidak mampu mampu

KEMAMPUAN APBD MENJAGA KEBERLANJUTAN PEMBIAYAAN PROGRAM PEMBANGUNAN

Kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan kebijakan dan pelayanan publik dapat pula dinilai dari kualitas dan profesionalisme aparatur pemerintah. GAS 2006 menunjukkan bahwa unsur hubungan kekerabatan dalam jabatan publik masih sangat kuat hidup dalam birokrasi pemerintah provinsi Riau (Grafik 23). Penggunaan hubungan kekerabatan dan juga isu putra daerah dalam penempatan jabatan publik memperlihatkan bahwa cita-cita pembaruan birokrasi pemerintah masih jauh dari harapan. Dalam kondisi seperti ini maka penyelenggaraan pelayanan publik lebih banyak dipengaruhi oleh subyektivitas dari penyelenggara dan bukan ditentukan oleh kualifikasi standar pelayanan publik. Sebagai akibatnya, kemampuan aparatur pemerintah dalam menyelenggarakan berbagai pelayanan publik, baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun investasi, dalam penilaian pemangku kepentingan tergolong rendah. Temuan bahwa kualitas SDM penyelenggara pelayanan pendidikan dinilai lebih rendah dari pada

104

Page 29: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

penyelenggara pelayanan kesehatan dan investasi merupakan lampu kuning bagi pemerintah provinsi Riau, jika memang masih memegang komitmen untuk meningkatkan kualitas SDM-nya (Grafik 24).

Grafik 23

76.67

7.78

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

PERSENTASE

sering jarang

FREKUENSI DITEMUKANNYA HUB.KEKERABATAN/NEPOTISME DIANTARA PEJABAT PUBLIK

Grafik 24

56.67

8.89

52.22

14.44

52.22

12.22

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

PERSENTASE

PENDIDIKAN KESEHATAN INVESTASI

KAPASITAS SDM PELAYANAN PUBLIK

rendah tinggi

105

Page 30: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Penutup: Agenda Pembaruan Tata Pemerintahan

Ada dua agenda besar yang patut memperoleh perhatian dari pemerintah provinsi Riau, dalam upaya meningkatkan kualitas tata pemerintahan. Pertama, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Kedua, upaya penciptaan iklim usaha yang menarik bagi para investor. Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan

Ada beberapa aspek praktik penyelenggaraan pemerintahan yang mendesak untuk diperbarui di Riau. Pertama, optimalisasi fungsi forum-forum dimana masyarakat dapat menyalurkan keluhan, pendapat dan aspirasinya (antara lain melalui tiga pilar tokoh masyarakat, yaitu tokoh adat, ulama, dan cendekiawan). Langkah ini penting untuk mengartikulasikan hak-hak politik dan HAM warga. Seyogianya pemerintah menjalin komunikasi intensif dengan tiga pilar tokoh masyarakat ini, tidak hanya untuk mengakomodasi aspirasi politik, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Menonjolnya peran tiga pilar tokoh masyarakat (tokoh adat, agama, dan

cendekiawan)11 menjadi medium yang ideal untuk mengantisipasi dan mencegah munculnya konflik sosial. Namun, ada dua hal yang patut dicatat. Kesatu, pemerintah provinsi harus merespon aspirasi atau tuntutan yang disuarakan oleh tokoh-tokoh masyarakat dengan cepat dan arif. Kedua, ada kehati-hatian ekstra tinggi menyangkut pembahasan isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan nasional, yang keputusannya berada diluar kontrol pemerintah provinsi.

Kedua, peningkatan partisipasi dan tranparansi dalam proses perumusan kebijakan publik. Fokusnya adalah pengalokasian dana APBD program pelayanan dasar yang dinilai kurang memadai dan bias elit (pendidikan, kesehatan, dan program pemberdayaan bagi penduduk miskin). Hal ini dilakukan dengan cara mengundang/ melibatkan sebervariasi mungkin elemen masyarakat, dengan memanfaatkan modal sosial12 yang masih cukup kuat hidup dalam masyarakat. Dalam proses partisipasi dan transparansi, seyogianya pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam rangka membuka ruang dialog sekaligus menjaring aspirasi yang seluas-luasnya dari seluruh pemangku kepentingan.13 Peningkatan partisipasi dan transparansi dalam praktik penyelenggaraan

11 Ketiga pilar tokoh masyarakat Riau ini dikenal aktif menyampaikan kritik, ide, tuntutan, dan gagasan

terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah provinsi maupun pusat. Misalnya, persoalan sengketa tanah adat, penanganan kasus korupsi pejabat publik, kritik terhadap pemberian izin HPH pada perkebunan besar yang ternyata justru menghancurkan hutan, program transmigrasi yang memarjinalkan penduduk asli, peninjauan kembali dana bagi hasil migas (diusulkan dengan perbandingan 70 persen untuk Riau, dan 30 persen untuk pusat), serta tuntutan agar ”putra daerah” Riau masuk dalam kabinet pemerintah pusat.

12 Modal sosial yang dimaksud ialah : kelompok ulama, lembaga keagamaan, lembaga adat – termasuk institusi-institusi di tingkat kampung/ desa, majelis ta’lim, kelompok seni budaya, dan kelompok menengah perkotaan (perguruan tinggi, NGO, surat kabar).

13 Langkah mewujudkan perumusan kebijakan yang partisipatif, secara yuridis telah dijamin oleh UU No.10/ 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bab X, pasal 53 undang-undang itu menyebutkan bahwa : “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam

106

Page 31: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

pemerintahan, pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pelayanan publik yang dinilai tidak memuaskan oleh sebagian besar warga Riau.

Ketiga, pembaruan kinerja penegakan hukum dengan cara meningkatkan kontrol

warga terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini ditempuh dengan cara meningkatkan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan (perda, APBD, program dan proyek pemerintah), dan penegakan akuntabilitas publik dengan mengoptimalkan fungsi media massa. Misalnya dengan membuat “pakta akuntabilitas” terhadap pelaksanaan proyek pemerintah yang bebas KKN.

Keempat, dapat dikatakan korupsi merupakan masalah yang tergolong berat, jika

bukan yang terberat, di Riau. Meskipun berbagai peraturan telah dirumuskan, seperti Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, namun dalam implementasinya tidak membawa perubahan yang berarti. Diperlukan pendekatan baru dalam pengendalian tindak korupsi yakni melalui pendidikan sejak usia dini. Melalui pendidikan dapat ditanamkan nilai-nilai bahwa ”mengambil sesuatu yang bukan haknya (milik publik) adalah termasuk perbuatan nista”, dan lain-lain. Selain itu, upaya pemberantasan korupsi akan membawa dampak efektif, jika diberikan contoh konkrit dari pejabat yang paling atas (gubernur, walikota, bupati) bagaimana cara mengelola urusan-urusan yang bersifat publik dan privat. Untuk kelancaran pelaksanaannya perlu disusun semacam pedoman pengelolaan urusan yang bersifat publik di kantor masing-masing, agar tidak bercampur dengan urusan yang bersifat pribadi.

Penciptaan Iklim Usaha yang Menarik

Pertama, pembenahan sistem perizinan bagi para investor. Ditempuh dengan meningkatkan kualitas pelayanan ”unit pelayanan satu pintu” (one stop services), yang relatif baru beroperasi. Disamping itu, dilakukan sosialisasi secara gencar dengan memanfaatkan berbagai media publik yang tersedia. Hal lain yang tidak kalah penting ialah dilakukan evaluasi secara periodik terhadap kinerja unit pelayanan satu pintu. Misalnya, dengan menyelenggarakan ”survei pengguna layanan” (customer survey) untuk melihat kelemahan-kelemahan dalam praktik pelayanan, sekaligus memperbaiki secara kontinyu sesuai dengan tuntutan perkembangan aspirasi masyarakat.

Kedua, peningkatan kualitas infrastruktur (khususnya air bersih, listrik, jalan, dan

jembatan) agaknya tidak dapat ditunda-tunda lagi. Selain itu, pembenahan dari aspek non-fisik (masalah regulasi, sosial budaya, keamanan dan kenyamanan) sudah seharusnya dilakukan secara memadai, misalnya : perumusan perda tentang penciptaan iklim-usaha yang menyenangkan bagi investor, mengurangi hambatan keamanan dan kenyamanan berusaha (seperti gangguan preman), dan menjamin kepastian status tanah.

rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah” (Zen, 2005).

107

Page 32: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

Daftar Pustaka

Aditjondro, George Junus. 2003. ”Bukan Persoalan Telur dan Ayam : Membangun Suatu Kerangka Analisis yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti-Korupsi di Indonesia”. Wacana - Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi XIV, hal. 17-29.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2003. ”Korupsi di Indonesia : Budaya atau Politik Makna ?”. Wacana - Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi XIV, hal. 41-55.

Ahmad, Idris. 2006. ”Politeknik Caltex Riau : Alumninya Jadi Rebutan”. Warta Promosi Riau, Edisi 4, Tahun I, April, hal. 8-11.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau. 2006. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun Anggaran 2007. Draf Awal RKPD TA 2007 (7 Agustus 2006).

Badan Pusat Statistik. 2005. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2004. Jakarta : BPS. ----------------------------. 2005. Statistik Indonesia 2004. Jakarta : BPS. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2005. Riau Dalam Angka 2004/ 2005. Pekanbaru :

BPS Provinsi Riau. Djatmiko, Edhie. 1992. ”Daerah Kaum Pendatang”, dalam Mubyarto, dkk. Riau Dalam

Kancah Perubahan Ekonomi Global. Prospek Pedesaan Edisi Ketujuh. Yogyakarta : P3PK UGM – Aditya Media.

Dwiyanto, Agus. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah : Temuan dari Survei Tata Pemerintahan dan Desentralisasi 2002. Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Halim, Edyanus Herman. 2005. Raja Buncit Kedekut : Pembangunan Ekonomi Dalam Kawalan Budaya Melayu. Pekanbaru : Penerbit Alaf Riau.

Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES. Malik, Rizal. 2006. ”Presiden Berganti, Korupsi Masih di Sini”. Tempo, No.35, 29

Oktober. Mubyarto, 1992. ”Perekonomian Riau Selayang Pandang”, dalam Riau Dalam Kancah

Perubahan Ekonomi Global. Prospek Pedesaan Edisi Ketujuh. Yogyakarta : P3PK UGM – Aditya Media.

Mundung, Johny Setiawan, dkk. 2004. Kronik Kepedihan Riau Selama Bergabung Dengan Indonesia. Pekanbaru : Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau.

Noviriyanti, Andi. 2006. ”One Stop Service : Kiat Riau Meningkatkan Pelayanan Masyarakat”. Warta Promosi Riau, Edisi Perdana, Tahun I, Januari, hal. 3-5.

Nurdin, H. 2006. ”Peluang Masih Terbuka : Investasi Pengolahan Produk Ekspor Non Migas”. Warta Promosi Riau, Edisi Perdana, Tahun I, Januari, hal. 24-25.

Redaksi Sinar Grafika (penghimpun). 2003. Undang-Undang Anti KKN 1999 dan Juklak. Jakarta : Sinar Grafika

---------------------------------------------. 2005. RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2004-2009. Jakarta : Sinar Grafika.

Rusli. 2006. Kemampuan Anggota DPRD dan Kinerja DPRD Provinsi Riau Periode 2004-2009. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Riau. Tidak diterbitkan. Soekanto, Soerjono. 1976. Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka

Pembangunan di Indonesia : Suatu Tinjauan Secara Sosiologis. Jakarta : Yayasan Penerbit UI.

108

Page 33: Kinerja Tata Pemerintahan Provinsi Riau

The World Bank. 2004. Combating Corruption in Indonesia : Enhancing Accountability for Development. Jakarta : The World Bank Office Jakarta.

Tim Info Tempo. 2006. ”Merayakan Otonomi”. Info Tempo, 20 Agustus. Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Beserta Penjelasannya. Bandung : Penerbit Citra Umbara.

Zakiyah, Wasingatu. 2004a. Sekolah Tak Terbeli : Menyoal Pendidikan dan Anggaran. Yogyakarta : IDEA dan CSSP. --------------------------. 2004b. Sehat Tak Tergapai : Menyoal Kesehatan dan Anggaran.

Yogyakarta : IDEA dan CSSP. Zen, A. Patra M. dan Sugiarto A. Santoso. 2005. Refleksi dan Penyusunan Strategi

Mewujudkan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Laporan Pertemuan Nasional Kedua Koalisi Kebijakan Partisipatif. Jakarta : Sekretariat Nasional Koalisi Kebijakan Partisipatif.

109