kh abdurrahman wahid sebagai sumber inspirasi …repository.usd.ac.id/35525/2/141124037_full.pdf ·...

133
KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik Oleh: Paskalis Dimaz Priambodo 141124037 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 25-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI

KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA

S K R I P S I

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan

Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Paskalis Dimaz Priambodo

141124037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada keluargaku terkasih, yaitu ayah, ibu, dan adik-

adik, serta para sahabat tercinta mahasiswa-mahasiswi Program Studi Pendidikan

Agama Katolik dari berbagai angkatan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

v

MOTTO

―Membangun Indonesia sesuai dengan kehendak Allah adalah bagian dari

panggilan kita untuk menyempurnakan tata dunia.‖

(Pesan Sidang KWI 2017)

―Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi

seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik

sebab kita juga merasa 100% Katolik.‖

(Mgr. Albertus Soegijapranata SJ)

―Perbedaan antarmanusia adalah tidak mungkin dihindari. Orang yang beriman

pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang menciptakan perbedaan itu. Oleh

karenanya, kaum Muslim di Indonesia haruslah menghargai dan meninggikan

martabat manusia demi menjaga kesejahteraan hidup bersama di tengah

masyarakat yang majemuk.‖

(KH Abdurrahman Wahid)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta:

Nama : Paskalis Dimaz Priambodo

NIM : 141124037

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul: KH ABDURRAHMAN

WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI

INDONESIA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

mengelola, dan mendistribusikan secara terbatas untuk kepentingan akademis

tanpa perlu meminta izin maupun memberikan royalti, selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikianlah pernyataan ini saya buat

dengan sebenarnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI

SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA”.

Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap situasi di Indonesia

dewasa ini yang kurang menghargai keberagaman serta memudarnya rasa cinta

tanah air. Dari keprihatinan tersebut penulis merasa khawatir masyarakat

Indonesia terjerumus dalam jurang intoleransi dengan bertindak diskriminatif

terhadap perbedaan. Bertitik tolak dari kekhawatiran tersebut, skripsi ini

dimaksudkan untuk mencari arah dan bentuk katekese yang mengajak umat untuk

menanamkan rasa cinta tanah air dan lebih menghargai keberagaman di Indonesia.

Persoalan pokok dari skripsi ini adalah inspirasi macam apa yang dapat

digali dari sosok KH Abdurrahman Wahid untuk mengonstruksi Katekese

Kebangsaan di Indonesia. Persoalan tersebut diolah dengan menggunakan studi

pustaka terhadap sosok KH Abdurrahman Wahid terkait biografi singkat, cita-cita,

serta berbagai pemikiran dan tindakan konkret dalam hidup beragama dan

bernegara. Studi pustaka juga dilakukan terhadap hakikat Katekese Kebangsaan

terkait asal-usul, unsur-unsur pokok, dan penerapannya di Indonesia. Metode

penulisan dalam skripsi ini menggunakan deskriptif interpretatif yakni

menggambarkan bagaimana KH Abdurrahman Wahid dapat menginspirasi praktik

Katekese Kebangsaan di Indonesia.

KH Abdurrahman Wahid adalah sosok pribadi yang cerdas, bersahaja,

sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Beliau bersedia bergaul

dengan semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Karena nilai-nilai

tersebut, beliau terpilih menjadi Ketua Umum PBNU sebanyak tiga periode dan

kemudian menjadi Presiden NKRI periode 1999-2001. Hal ini menjadikan beliau

menjadi sosok tepat untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan

bernegara.

Katekese Kebangsaan merupakan bagian dari kesadaran Gereja dalam

mengajak umatnya untuk mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-

tengah dunia dengan semakin terlibat aktif dalam kegiatan bermasyarakat.

Katekese Kebangsaan membentuk kehidupan beriman yang semakin kontekstual

serta praksis sosial yang semakin terlibat dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Inspirasi-inspirasi yang dapat dipetik dari kerinduan hati terdalam KH

Abdurrahman Wahid terhadap bangsa Indonesia untuk mengonstruksi Katekese

Kebangsaan yaitu visi kemanusiaan, persaudaraan, kebangsaan, serta

kesederhanaan. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian integral yang dibutuhkan

dalam Katekese Kebangsaan agar dapat berjalan secara optimal. Berangkat dari

inspirasi-inspirasi tersebut, penulis mengusulkan kegiatan Lokakarya Katekese

Kebangsaan sebagai upaya untuk membantu memperkembangkan karya Katekese

Kebangsaan di Indonesia agar semakin konteksual sesuai dengan kebutuhan umat

di masa sekarang.

Kata kunci: KH Abdurrahman Wahid, Katekese Kebangsaan, Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ix

ABSTRACT

This undergraduate thesis entitled “KH ABDURRAHMAN WAHID AS

AN INSPIRATION FOR NATIONHOOD CATECHESIS IN INDONESIA”.

This title is chosen based on the author‘s personal concern about Indonesia

situation nowadays which is the lack of tolerance and nationalism in the society.

From that concern, the author worrying that Indonesian society falls into depth

intolerance by discriminatory action towards diversity. Based on the anxiety, this

undergraduate thesis is intended to find a catechesis model which lead people to

love the country and appreciate diversity.

The main issue in this undergraduate thesis is what kind of inspiration based

on the figure of KH Abdurrahman Wahid to construct a Nationhood Catechesis in

Indonesia. This issue was elaborated by using literature study on the figure of KH

Abdurrahman Wahid related to his short biography, aspirations, and also thoughts

and concrete actions in religious and national life. The literature study is also

applied on the essence of Nationhood Catechesis related to its origin, principal

elements, and use in Indonesia. The method used in this undergraduate thesis is

interpretative descriptitive which is describing how can KH Abdurrahman Wahid

inspire the practice of Nationhood Catechesis in Indonesia.

KH Abdurrahman Wahid is a smart, modest, humble, caring, also be

inclusive and pluralist person. He is willing to associate with everyone from

various circles without exception. Because of those values, he is elected to be

PBNU chairman for three periods and President of the Republic of Indonesia at

1999-2001 period. This makes him the right person to be a role model in religious

and national life.

Nationhood Catechesis is a part of Church consciousness in aware the

people to manifest the values of The Kingdom of God by actively involved in

society activities. Nationhood Catechesis forms the understanding of faith which

is more contextual also social praxis to be more involved in religious and national

life.

The inspirations which can be taken from KH Abdurrahman Wahid‘s

deepest longing are humanity, fraternity, nationality, and humility visions. Those

points are an integral part which needed in Nationhood Catechesis in order to run

optimally. Based on those inspirations, the author suggests a Nationhood

Catechesis, Workshop as an effort to develop Nationhood Catechesis in Indonesia

to be more contextual in acordance with the needs of the people nowadays.

Keywords: KH Abdurrahman Wahid, Nationhood Catechesis, Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

x

KATA PENGANTAR

Atas berkat dan rahmat penyertaan Allah Yang Maharahim, penulis

mengucapkan syukur karena skripsi berjudul: KH ABDURRAHMAN WAHID

SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI

INDONESIA dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun melalui proses

yang cukup panjang, mulai dari pencarian sumber buku, konsultasi dengan

berbagai pihak, dan juga bagaimana menuangkan pikiran dalam bentuk karya tulis

ilmiah. Penulis mengalami banyak hal dalam menulis skripsi ini, baik yang

mendukung maupun yang membuat tersendat. Banyak sekali suka dan duka yang

membuat penulis semakin mengerti arti dari sebuah pembelajaran dan perjuangan.

Hal yang tersulit dalam proses penulisan ini yaitu membangun niat yang stabil

dalam setiap harinya untuk menyusun skripsi ini secara optimal. Melalui segala

pasang surut dan suka duka yang dialami, penulis menyadari bahwa penulisan

skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena

itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rama Drs. FX Heryatno Wono Wulung SJ, M.Ed. selaku dosen pembimbing

skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang senantiasa mengingatkan

dan menyemangati penulis agar menyelesaikan studinya dengan optimal,

meminjamkan buku-buku penunjang, membimbing dengan telaten, serta

menjadi partner diskusi yang asyik. Terima kasih atas bimbingannya selama

ini yang telah menuntun penulis untuk berefleksi dalam menemukan the

deepest longing dan menjadi alter-Kristus bagi diri sendiri dan orang lain

yang membutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Rama Patrisius Mutiara Andalas SJ, SS, STD selaku dosen penguji kedua

yang bersedia menguji skripsi ini, membuatnya menjadi semakin optimal dan

komprehensif sehingga dapat berguna bagi banyak orang.

3. Rama Dr. Ignatius Loyola Madya Utama SJ sebagai dosen penguji ketiga

yang juga membantu penulis melalui diskusi hangat yang amat sangat

membangun selama ini, memberikan tambahan wawasan dan rujukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xi

dokumen, serta menyemangati agar skripsi ini dapat diselesaikan secara

optimal.

4. Bapak Hairus Salim HS yang di tengah kesibukannya telah rela membantu

membimbing penulis dalam lebih mendalami sosok KH Abdurrahman Wahid

lewat meminjamkan dan mengarahkan untuk membaca beberapa sumber, dan

juga menjadi sarana diskusi yang amat sangat membangun.

5. Keluarga terkasih, ayah saya Th Budi Prakosa dan ibu saya V Kartini, serta

adik-adik saya Raras dan Nines yang turut serta memberi semangat dan

mendoakan dalam hidup sehari-hari sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini dengan baik.

6. Perpustakaan Puskat, Perpustakaan Kolsani, Perpustakaan Sanata Dharma,

Perpustakaan Daerah Yogyakarta, serta Toko buku second hand masih layak

baca via facebook yakni Bukunya Mantan dan Andi Anang Firmansyah yang

turut memberi suplai sumber buku terkait penulisan skripsi ini.

7. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik antara lain Rama

Suhardiyanto SJ, Rama Ruki SJ, Bapak Kris, Bapak Bintang, Bapak Dapi,

Bapak Banyu, Rama Setyawan SJ, Rama Sumarno SJ, Bapak Bambang

Hendarto, Ibu Supri, Rama Hendra Asmara SJ, Bapak Rudi Winarto, Rama

Rubiyatmoko Pr, Rama Kusmaryanto SCJ, Rama Indra Sanjaya Pr, Rama

Eko Riyadi Pr, dan Rama Putranto SJ, serta karyawan-karyawati Pusat

Kateketik antara lain Bapak Widiastono, Bapak Bambang Kiswantoto, Bapak

Supanto, Bapak Suwarno, Bapak Subari, Ibu Surti, Mas Diono, Mbak Wulan,

Mbak Sandra, dan Bapak Eddy yang begitu berperan dalam mendidik penulis

menjadi pribadi yang pradnya widya selama proses perkuliahan dan menjadi

titik tolak untuk ke depannya.

8. Teman-teman Program Studi Pendidikan Agama Katolik angkatan 2014,

terutama pasangan Rena-Gereh, Santi-Tembong, Gaung-Codot sebagai

pembuat heboh yang meramaikan suasana, lalu teman-teman satu DPA yakni

Dhian, Yunita, dan Retno, kemudian Cika, Sesi, Uly, Yuli, Niken, Lusi,

Merianti, Vero, Septiana, Wikan, Ulis, Adswi, Fritz, Niko, Iwan, Jiw, Arni,

Manuk, Ira Dhone, Maxima Boy, Gradiana Dangul, dan Riana Sijabat sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii

teman sekelas yang menjadi pelengkap kegembiraan dan penderitaan, dan

juga Jose De Deus, Eduardus Joni, Fortunatus Sandy Febrian, Matilda

Mumut, Bernadetta Salli, dan Eko Wawan Kurniawan yang pernah berjuang

bersama meski tak sampai separuh jalan.

9. Ibu Didik selaku pemilik indekos yang saya tempati selama kuliah, teman-

teman kos yakni Hendri Chus, Yongki Januardi, dan Otong Kurniawan, serta

tetangga kos yakni Ibu Karman dan keluarga, juga Mas Hendri dan keluarga.

10. Segenap warga Lingkungan Petrus Paroki Antonius Padua Kotabaru

Yogyakarta yang selama ini telah bersedia ketempatan dan membantu penulis

dalam memperkembangkan karya katekese saat praktik pendalaman iman

lingkungan, serta segenap warga Stasi Buntu Paroki Paulus Wonosobo yang

sempat ditinggali selama pelaksanaan Karya Bakti Paroki.

11. Teman-teman Program Studi Pendidikan Agama Katolik dari berbagai

angkatan (2008 hingga 2017) yakni Kebo, Antok, Guruh, Kupret, Bejok,

Gembul, Ucup, Yones, Galang, Yohan CKP, Gaplek, Gaboel, Franssenthir,

Mael, Didimus, Putri Dinanti, Bonny PS, Patrick Marius, Putri Kenanga,

Bernadeta Wahyu, Natalia Yustika, Yohana Susmi, Jamil, Dikta Ganda, Arthi

Rosa, Martatik, Nurcahyanti, Tarsius, Afrizal, Angela Merici Agrieny, Valen,

Mela, Marcel, Aryo, Betti, Frisca Yuyun, Julbob, Tulus Panjaitan, Natalis,

Onelan, Otongmen, Delmi Olivia, Severina Jenita, Dinda Nurmalasari,

Priatmoko, Kristhalia Dessindi, Ledyana Lamak, Tasya Mora, Widyastuti,

Widyaningrum, Puspita Rahayu, Teo, Adi, dan nama-nama lain yang jika

disebutkan membuat skripsi ini semakin penuh.

12. Para penyuplai makanan selama kuliah yakni angkringan malam Oom Sono

depan kampus, gerobak merah Oom Aji, warung makan Bu Desi, depot

makan depan kampus, warung belakang depot, angkringan malam Mas Kris

depan GKS, warung makan Mbak Yuni, dan penyetan malam. Begitu juga

Bintang Laundry yang berjasa mencucikan pakaian-pakaian penulis selama

kuliah. Kemudian juga para penyuplai sukacita selama hidup yakni The

Beatles, Queen, Helloween, Kiss, SNSD, Westlife, Hanoman, Power Rangers,

Kamen Rider, Liverpool FC, Timnas Indonesia (untuk segala jenis olahraga),

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiii

Asian Games 2018, Roger Federer, Rowan Atkinson a.k.a Mr Bean, Michael

Schummacher, Casey Stoner, One Piece, Kungfu Boy, Break Shoot, Detective

Conan, Marvel Cinematic Universe, Yakuza Games, Windows, Google,

Android, serta hal-hal lainnya.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini, masih terdapat kekurangan dan

keterbatasan. Maka, penulis terbuka untuk menerima berbagai macam saran yang

berguna, sehingga skripsi ini dapat diterima dan semakin memberikan sumbangan

yang berarti untuk sekarang dan ke depannya. Penulis berharap semoga skripsi ini

memberi manfaat dan inspirasi bagi para pembaca. Ecclessia semper reformanda

est. Ad maiorem Dei gloriam.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv

MOTTO ............................................................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................................................... vii

ABSTRAK ........................................................................................................... viii

ABSTRACT ........................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ......................................................................................... x

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiv

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................... 7

C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 8

D. Manfaat Penulisan .................................................................................... 8

E. Metode Penulisan ...................................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 9

BAB II. KH ABDURRAHMAN WAHID SANG ―KATEKIS‖ KEBANGSAAN 11

A. Biografi Singkat ....................................................................................... 11

B. Cita-cita .................................................................................................... 21

C. Sumbangan Pemikiran ............................................................................... 25

1. Pemikiran tentang kehidupan beragama ........................................... 26

2. Pemikiran tentang kehidupan bernegara ........................................... 32

3. Pemikiran tentang hubungan hidup beragama dengan bernegara ..... 35

D. Perjuangan Konkret ................................................................................... 39

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xv

BAB III. HAKIKAT KATEKESE KEBANGSAAN ........................................... 54

A. Asal Usul Gagasan ................................................................................. 54

1. Berawal dari Katekese Kontekstual .................................................. 55

2. Allah yang inkarnatoris ..................................................................... 61

3. Gabungan antara discipleship dengan citizenship ............................. 64

4. Keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat 67

B. Pokok-pokok Mengenai Katekese Kebangsaan ...................................... 71

1. Subjek dan objek Katekese Kebangsaan ........................................... 71

2. Mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia ............................... 73

3. Sebagai kebutuhan umat di masa kini ................................................ 75

C. Penerapan Katekese Kebangsaan di Indonesia ....................................... 77

BAB IV. INSPIRASI YANG DAPAT DIGALI DARI KERINDUAN

TERDALAM HATI KH ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP BANGSA

INDONESIA UNTUK MENGONSTRUKSI KATEKESE KEBANGSAAN..... 81

A. Nilai-nilai Inspiraif dari Sosok KH Abdurrahman Wahid ..................... 82

1. Kemanusiaan ..................................................................................... 82

2. Persaudaraan ...................................................................................... 85

3. Kebangsaan ....................................................................................... 87

4. Kesederhanaan .................................................................................. 90

B. Usulan Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan .............................. 92

1. Latar belakang kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan .............. 92

2. Tujuan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ........................... 95

3. Gambaran pelaksanaan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan . 95

4. Pemilihan materi kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ........... 96

5. Matriks kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan .......................... 98

6. Contoh persiapan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan .......... 102

BAB V. PENUTUP .............................................................................................. 107

A. Kesimpulan .......................................................................................... 107

B. Saran .................................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 111

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvi

DAFTAR SINGKATAN

Untuk singkatan nama-nama kitab disesuaikan dengan Alkitab

Deuterokanonika terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (2005).

Untuk singkatan nama-nama ordo/tarekat/kongregrasi disesuaikan dengan

kaidah yang berlaku.

Dokumen Gereja

AA : Apostolicam Actuositatem (Dekrit Konsili Vatikan II mengenai

kerasulan kaum awam)

CT : Catechesi Tradendae (Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus

II mengenai penyelenggaraan katekese)

DFI : Direktorium Formatio Iman (acuan, petunjuk, arah, dan

pegangan dalam pengembangan iman umat yang berada di

wilayah Keuskupan Agung Semarang)

DV : Dei Verbum (Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai

wahyu Ilahi)

EG : Evangelii Gaudium (Anjuran Apostolik Paus Fransiskus

mengenai misi penginjilan utama Gereja pada masa modern)

FR : Fides et Ratio (Ensiklik Paus Yohanes Paulus II mengenai

hubungan antara iman dan akal budi)

GS : Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II

mengenai Gereja di dunia masa kini)

LG : Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II

tentang Gereja)

NA : Nostra Aetate (Deklarasi Konsili Vatikan II mengenai

hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen)

PUK : Petunjuk Umum Katekese (arah pembaharuan katekese di

Gereja-Gereja partikular yang dikeluarkan oleh Kongregasi

untuk para imam)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvii

Organisasi/Kelembagaan

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

Bakorstranas : Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional

Bulog : Badan Urusan Logistik

DIAN/Interfidei : Dialog Antar Iman (sering disebut juga dengan Interfidei)

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat (lembaga legislatif NKRI)

Fordem : Forum Demokrasi

GAM : Gerakan Aceh Merdeka

GDCC : Gus Dur Crisis Center

Golkar : Golongan Karya (partai politik)

ICMI : Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia

KAS : Keuskupan Agung Semarang

KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia

LP3ES : Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi,

dan Sosial

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat (lembaga legislatif NKRI)

NII : Negara Islam Indonesia

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

NU : Nahdlatul Ulama

PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

PDI-P : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (partai politik)

PKB : Partai Kebangkitan Bangsa (partai politik)

PKI : Partai Komunis Indonesia (partai politik)

PPP : Partai Persatuan Pembangunan (partai politik)

RI : Republik Indonesia

Lain-lain

AD/ART : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

APP : Aksi Puasa Pembangunan

bdk. : bandingkan

BKSN : Bulan Kitab Suci Nasional

dkk. : dan kawan-kawan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xviii

dsb. : dan sebagainya

ed. : editor

HAM : Hak Asasi Manusia

Inpres : Instruksi Presiden RI

Kapolri : Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

KH : Kiai Haji

KKN : Korupsi, Kolusi, dan Nepotismee

lih. : lihat

litsus : penelitian khusus

Mgr. : Monsignor (Monsinyur, gelar untuk uskup)

Munas : Musyawarah Nasional

P4 : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

par. : paralel (dengan Injil/kitab lain)

pelita : pembangunan lima tahun

pemilu : pemilihan umum

repelita : rencana pembangunan lima tahun

SAW : Shallallahu`alaihi Wa Sallam (artinya adalah Semoga Allah

memberikan shalawat dan salam kepadanya, sebuah lafadz

yang disematkan kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Allah)

SCP : Shared Christian Praxis (salah satu model katekese)

terj. : terjemahan

UUD ‗45 : Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi NKRI)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini banyak terjadi peristiwa yang melanda Indonesia. Begitu sering

kita jumpai berbagai perlakuan diskriminatif, seperti misalnya memutus tali

persahabatan karena latar belakang budaya atau agama yang berbeda. Situasi ini

mengundang berbagai keprihatinan. Salah satu halnya yaitu kekhawatiran bahwa

intoleransi dimanfaatkan untuk kepentingan politik identitas (Hidup: Mingguan

Katolik No.10 Tahun ke-72, 11 Maret 2018: 9). Bentuk keprihatinan yang lain

yaitu ada orang-orang tertentu yang merekayasa dan memanfaatkan isu agama

untuk mengadu domba dan menciptakan konflik (Hidup: Mingguan Katolik No.10

Tahun ke-72, 11 Maret 2018: 11).

Penulis melihat adanya urgensi akan kesadaran masyarakat dalam berbangsa

dan bernegara secara pluralis dan inklusif, mengingat dewasa ini marak terjadi

kasus-kasus kekerasan mengarah pada intoleransi yang jika dibiarkan dapat

berdampak pada perpecahan suatu bangsa. Penulis merasa adanya krisis moral

dalam negeri ini, beberapa oknum merasa paling benar dan berhak untuk main

hakim sendiri mengadili kaum yang berbeda pendapat dengan mereka. Penulis

juga merasa bahwa dewasa ini rasa nasionalisme dalam diri masyarakat semakin

berkurang dan hal ini dapat berdampak pada keutuhan bangsa Indonesia ke

depannya. Padahal rasa cinta tanah air sudah ditanamkan sejak awal dan perlu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

diperkembangkan dengan menghargai keberagaman yang ada dan menjunjung

tinggi rasa persatuan.

Perlu ada solusi agar berbagai tindakan intoleransi tidak semakin menjadi-

jadi. Sesegera mungkin kita merumuskan langkah-langkah konkret dan tepat

sasaran, tidak menunda-nunda lagi untuk menghidupkan nilai-nilai kebinekaan

dan toleransi. Hal ini membutuhkan peran kita bersama sebagai warga masyarakat

yang peduli akan getaran-getaran kebersamaan, pluralitas, dan kegotongroyongan.

Perlu ada kerja sama antarlini kemasyarakatan, seperti halnya organisasi atau

tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan dalam memupuk dan menumbuhkan

semangat toleransi, nilai-nilai kemanusiaan, kepekaan sosial, serta penghargaan

pada keanekaragaman. Ucapan dan tindakan para tokoh tersebut, baik secara

langsung maupun tidak langsung, dapat menjadi teladan bagi kita dalam bertindak

di kehidupan sehari-hari.

Penulis terinspirasi dari semboyan yang dikemukakan oleh Mgr.

Soegijapranata mengenai menjadi pribadi yang sungguh-sungguh religius

sekaligus sungguh-sungguh nasionalis (seratus persen Katolik, seratus persen

Indonesia). Penulis juga terinspirasi dari tindakan Yesus yang membayar pajak

dan bea Bait Allah (Mat 17:24-27) dan nasihat Rasul Paulus untuk taat kepada

pemerintah (Rm 13:1-8). Penulis merasa bahwa orang Katolik pada masa kini

perlu kembali disadarkan akan rasa cinta dan bangga terhadap tanah air Indonesia.

Penulis melihat sosok yang inspiratif dalam menjadi pribadi yang sungguh-

sungguh religius sekaligus nasionalis dari seorang Kiai Haji (KH) Abdurrahman

Wahid. Beliau lebih kerap disapa dengan panggilan Gus Dur. Beliau adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

seorang pemuka agama Islam yang pernah menjabat sebagai ketua umum dalam

kepengurusan besar organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dalam tiga kali masa

jabatan (1984-1999) dan terpilih menjadi Presiden Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang keempat pada periode 1999-2001. Penulis memilih Gus

Dur yang bukan tokoh dari kalangan Katolik sebagai sosok yang dapat

menginspirasi dalam Katekese Kebangsaan karena ingin meninjau lebih jauh

aspek kebangsaan yang bersifat lintas agama. Penulis melihat bahwa sosok Gus

Dur adalah seorang yang berpandangan inklusif dan pluralis.

Gus Dur berpandangan bahwa pluralisme agama bukan hanya terletak pada

pola hidup berdampingan secara damai, tetapi juga disertai dengan kesediaan

untuk menerima ajaran-ajaran baik dari agama-agama yang lain (Muhaimin

Iskandar, 2000: 16). Sebagai ulama, Gus Dur melihat perlunya semua pihak di

kalangan umat Islam memikul tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa

memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa, sehingga dengan cara

demikian Islam dapat tumbuh bersama dengan seluruh penduduk negeri (Parera &

Koekerits, 1999: 18). Bagi Gus Dur, heterogenitas Indonesia adalah anugerah dari

Allah. Menurut Franz Magnis-Suseno (2017: 15), Gus Dur bisa disebut sebagai

perwujudan akan tiga sikap yaitu keindonesiaan, agama, dan pluralisme.

Aspirasi atau cita-cita hidup KH Abdurrahman Wahid semenjak kecil adalah

menjadi pribadi yang berguna bagi banyak orang, yakni guru bangsa. Beliau

terinspirasi oleh beberapa tokoh, seperti Ki Hajar Dewantara, Ki Mangunsarkoro,

dan juga kakeknya sendiri Hasyim Asyari (Tim INCReS, 2000: 8). Seiring

berjalannya waktu, Gus Dur semakin memantapkan cita-citanya sebagai guru

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

bangsa, dengan lebih menimba inspirasi dari tokoh-tokoh lainnya, yakni Kim Dae

Jung, Sulakshi Bharaksa, Sun Yat Sen, Soekarno, Mahatma Gandhi, Jawaharlal

Nehru, Joze Rizal, dan Gamal Abdul Nasser (Tim INCReS, 2000: 22-23).

Berbagai hal telah dilakukan oleh Gus Dur dalam menjaga kebebasan

beragama di Indonesia ini. Seperti misalnya saja mengeluarkan Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi

Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama,

Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa yang membuat Konghucu diakui

sebagai agama oleh negara dan Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai Hari Libur

Nasional Fakultatif (news.liputan6.com/read/814735/sukarno-gus-dur-dan-imlek).

Hal lainnya yaitu menjadi penengah dalam kasus penutupan Sekolah Sang Timur

di Tangerang (metro.tempo.co/read/49828/gus-dur-kasus-sang-timur-berbau-

politik).

Walaupun memiliki identitas sebagai pemuka agama Islam, Gus Dur lebih

dikenal sebagai tokoh lintas agama, karena pandangannya yang inkulsif dan

pluralis tersebut. Gus Dur kerap bergaul dengan tokoh-tokoh lintas budaya dan

agama, temasuk Katolik. Melalui pikiran, sikap, dan tindakan pluralis-inklusif

tersebut, Gus Dur menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai kalangan, termasuk

Katolik.

Gereja sebagai institusi agama di tengah-tengah masyarakat juga memiliki

peran untuk mendidik umat. Salah satu upaya Gereja dalam mendidik umat demi

pertumbuhan iman, serta sikap toleransi dan inklusivitas yaitu melalui katekese.

Katekese merupakan kegiatan pendalaman iman bagi umat Katolik. Katekese

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

sering dilihat dalam arti sempit yaitu kegiatan pendalaman iman di lingkungan-

lingkungan yang diadakan pada saat-saat tertentu, misalnya saja pada masa adven,

prapaskah, atau Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), sehingga tema yang

ditawarkan cenderung tematis mengikuti bahan yang telah dipersiapkan

keuskupan. Padahal katekese dapat diadakan kapan saja dan di mana saja (bdk.

CT 47), tidak harus menunggu masa-masa adven, prapaskah, atau BKSN tersebut.

Melihat hal tersebut, sekiranya pemahaman mengenai katekese sejatinya perlu

ditinjau kembali.

Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan katekese sebagai ―usaha-usaha

Gereja dalam membantu umat semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan

imannya dalam kehidupan sehari-hari‖. Katekese perlu diadakan sebagai sarana

bagi umat untuk memperdalam dan memperkembangkan imannya agar merasa

semakin mantap sebagai pengikut Kristus. Tema-tema katekese juga perlu

diperluas mengikuti perkembangan zaman agar umat dapat lebih bersemangat

dalam memberi kesaksian tentang iman mereka sehingga dapat semakin

mematangkan dan meneguhkan iman yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk.

CT 24-25).

Katekese sebagai kegiatan pendalaman iman memiliki berbagai macam

bentuk, model, dan metode. Penulis selama ini lebih sering mengikuti katekese

dengan menggunakan model biblis dan Shared Christian Praxis (SCP) yang

disesuaikan dengan tema-tema yang dibuat oleh keuskupan terkait dengan masa-

masa prapaskah, BKSN, dan adven. Perlu adanya peninjauan kembali bentuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

katekese lain yang dapat diperkenalkan kepada umat demi memupuk rasa

nasionalisme dan cinta tanah air, yakni Katekese Kebangsaan.

Penulis melihat perlunya pemahaman bahwa katekese masih lebih-lebih

berorientasi pada keselamatan surgawi dan belum terlalu memerhatikan

bagaimana mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45)

dengan berkontribusi bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Katekese Kebangsaan

dapat diselenggarakan dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-

tengah dunia dengan terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,

mewujudkan cita-cita kemerdekaan sekaligus merupakan perwujudan iman dalam

menanggapi tanda-tanda zaman. Gereja juga perlu turut serta dalam upaya

mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Melalui Katekese Kebangsaan, Gereja dapat turut beperan menanamkan rasa

cinta tanah air dan mencegah tindakan-tindakan kekerasan yang mengarah pada

intoleransi tersebut. Gereja dapat berperan langsung dalam mencerdaskan

kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, menanamkan nilai-nilai moral

yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan Indonesia.

Katekese Kebangsaan berawal dari gagasan akan perlunya sebuah katekese

yang bersifat mengajak umat terlibat dalam keprihatinan berbangsa dan

bermasyarakat. Dalam Sarasehan Kebangsaan "Menjadi Warga Indonesia yang

Inklusif dan Transformatif" yang diselenggarakan oleh Komisi Kateketik

Kevikepan DIY pada Minggu, 24 September 2017, FX Sugiyana Pr

mengungkapkan bahwa membangun Indonesia adalah bagian dari iman. Oleh

karena itu Gereja sebagai bagian dari NKRI turut serta bertanggung jawab

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

membuat Indonesia menjadi lebih baik. Beliau juga mengatakan bahwa Arah

Dasar Keuskupan Agung Semarang (KAS), bersama masyarakat Indonesia yang

sedang menghidupi nilai-nilai Pancasila di era kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi umat, ingin mewujudkan Gereja yang inklusif, inovatif, dan

transformatif. Inklusif artinya keterbukaan dan toleran terhadap keberagaman,

inovatif berarti bergerak membawa perubahan, kemajuan, dan pembaharuan, serta

transformatif yaitu bersama-sama membangun bangsa dan negara

(gerejapelemdukuh.com/2017/10/sarasehan-kebangsaan-menjadi-warga.html).

Berangkat dari berbagai gagasan di atas, penulis berpendapat bahwa Katekese

Kebangsaan dapat belajar dan mengambil inspirasi dari sosok KH Abdurrahman

Wahid. Menyadari hal tersebut, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan

judul KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI SUMBER INSPIRASI

KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah

pokok dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Seperti apa sosok KH Abdurrahman Wahid?

2. Apa yang dimaksud dengan Katekese Kebangsaan?

3. Inspirasi macam apa yang dapat dipetik dari KH Abdurrahman Wahid

dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di Indonesia?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penulisan ini dilakukan

dengan tujuan:

1. Mendeskripsikan sosok KH Abdurrahman Wahid.

2. Menemukan hakikat dan pokok-pokok Katekese Kebangsaan.

3. Mengetahui seberapa besar inspirasi KH Abdurrahman Wahid dalam

mengonstruksi Katekese Kebangsaan di Indonesia.

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:

1. Penulis

Penulisan ini diharapkan dapat membantu penulis dalam mempersiapkan

diri sebagai calon katekis agar memiliki pemahaman mengenai Katekese

Kebangsaan serta inspirasinya dari KH Abdurrahman Wahid dan dapat

menerapkannya kelak dalam berkatekese di berbagai tempat, waktu, dan

kesempatan.

2. Mahasiswa

Penulisan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa Program Studi

Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma agar memiliki pemahaman

secara utuh mengenai Katekese Kebangsaan sehingga memupuk rasa

nasionalisme melalui berkatekese, serta dapat belajar dari KH Abdurrahman

Wahid mengenai wawasan menjadi sungguh-sungguh religius sekaligus

nasionalis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

3. Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma

Penulisan ini diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan untuk

Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma dalam

membekali mahasiswanya mengenai Katekese Kebangsaan sehingga mampu

memberi sumbangan dan kontribusi yang berarti dalam kegiatan kemasyarakatan

melalui Katekese Kebangsaan serta dapat belajar dari KH Abdurrahman Wahid

sebagai sumber inspirasinya.

E. METODE PENULISAN

Skripsi ini merupakan studi pustaka dengan menggunakan metode deskriptif

interpretatif. Penulis memperoleh data melalui berbagai sumber dokumen, buku,

artikel (majalah, jurnal, surat kabar, dan internet), dsb. mengenai Katekese

Kebangsaan serta pemikiran KH Abdurrahman Wahid yang menunjukkan

inklusivitas dan pluralitas dalam kehidupan beragama dan bernegara. Dalam

penulisan skripsi ini, penulis menggambarkan bagaimana KH Abdurrahman

Wahid dapat menginspirasi praktik Katekese Kebangsaan di Indonesia.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini mengambil judul KH ABDURRAHMAN WAHID SEBAGAI

SUMBER INSPIRASI KATEKESE KEBANGSAAN DI INDONESIA. Judul

tersebut akan diuraikan menjadi lima bab sebagai berikut:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika

penulisan.

Bab II membahas sosok KH Abdurrahman Wahid yang meliputi biografi

singkat, berbagai macam pemikiran beliau tentang kehidupan beragama dan

berbangsa, cita-cita beliau terhadap kehidupan berbangsa dan beragama, serta

tindakan-tindakan beliau dalam memperjuangkan kebinekaan dan kebebasan

beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bab III memuat hakikat dan pokok-pokok Katekese Kebangsaan yang

meliputi asal usul pemikiran, pemahaman mengenai Katekese Kebangsaan, dan

bagaimana penerapan Katekese Kebangsaan tersebut, secara khusus di Indonesia.

Bab IV menguraikan bagaimana sosok KH Abdurrahman Wahid dapat

menjadi sumber inspirasi dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di

Indonesia, kemudian memberikan usulan kegiatan Lokakarya Katekese

Kebangsaan sebagai usaha meningkatkan praktik pengembangan Katekese

Kebangsaan di Indonesia dengan mengambil inspirasi dari sosok KH

Abdurrahman Wahid.

Bab V adalah penutup. Dalam penutup ini penulis akan menyampaikan

kesimpulan dari keseluruhan permasalahan penulisan dan memberikan saran yang

dapat meningkatkan pemahaman akan Katekese Kebangsaan dan dapat belajar

dari sosok KH Abdurrahman Wahid sebagai sumber inspirasinya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

BAB II

KH ABDURRAHMAN WAHID SANG “KATEKIS” KEBANGSAAN

Pada bab sebelumnya penulis sudah membahas latar belakang penulisan

skripsi ini. Sudah dipaparkan mengapa penulis memilih KH Abdurrahman Wahid

dan Katekese Kebangsaan dalam penulisan skripsi ini. Kemudian penulis sudah

memaparkan berbagai rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,

metode penulisan, serta sistematika penulisannya.

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai sosok KH Abdurrahman

Wahid sebagai ―katekis‖ kebangsaan. Secara gamblang memang beliau tidak

berbicara mengenai nilai dalam Agama Katolik tetapi lebih-lebih nilai universal

dari iman yang melampaui batas agama. Keterkaitan tersebut akan dipaparkan

dalam biografi KH Abdurrahman Wahid secara singkat, mulai dari latar belakang

keluarga hingga jenjang karirnya sebagai ulama dan guru bangsa. Nilai-nilai

universalitas sang ―katekis‖ kebangsaan ini juga tersirat lewat berbagai macam

sumbangan beliau dalam memperjuangkan kebinekaan dan kebebasan beragama

di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dituangkan dalam berbagai bentuk

tulisan di berbagai media serta tindakan-tindakan konkret dalam perjuangannya

tersebut.

A. Biografi Singkat

Abdurrahman Wahid lahir pada 7 September 1940 di Denayar, Jombang.

Sebagian sumber menuliskan bahwa beliau lahir pada 4 Agustus 1940. Akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

tetapi, kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah hari

keempat dalam bulan kedelapan pada kalender Islam, yakni tanggal 4 Sya‘ban,

sama dengan 7 September dalam kalender masehi (Ali Masykur Musa, 2010: 4).

Walaupun begitu, ulang tahun beliau selalu dirayakan pada 4 Agustus (Barton,

2016: 25).

Beliau dilahirkan dengan nama Abdurrahman Addakhil. ―Abdurrahman‖

berarti hamba Allah Sang Maha Penyayang, sedangkan ―Addakhil‖ berarti Sang

Penakluk (Ari Subagyo, 2012: 38). Namun nama ini dirasa berat, maka kemudian

nama belakang diganti menggunakan nama depan sang ayah, yakni ―Wahid‖,

sehingga seterusnya beliau dikenal sebagai Abdurrahman Wahid (Barton, 2016:

35). Beliau lebih populer dengan nama Gus Dur di kalangan masyarakat. ―Gus‖

sebutan yang berasal dari Jawa Timur, sebetulnya merupakan kependekan dari

ucapan ―Bagus‖, yang kemudian disematkan kepada seorang anak kiai, laki-laki,

terutama bagi mereka yang dihormati dan diteladani selama belajar di pesantren

(Tim INCReS, 2000: 26). Pada umumnya panggilan ini ditujukan kepada seorang

santri sebelum ia menjadi kiai, akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit juga

mereka yang sudah menjadi kiai tetap dipanggil ―Gus‖ (Tim INCReS, 2000: 26).

Sedangkan panggilan ―Dur‖ sendiri berasal dari kependekan namanya, yakni

―Abdurrahman‖. Panggilan ―Gus Dur‖ memang terasa lebih dominan dan akrab

dibanding dengan ―Kiai Haji Abdurrahman Wahid‖.

Gus Dur semasa hidupnya berada di tengah-tengah kalangan intelektual,

sehingga dirinya pun berkembang sebagai pribadi yang cerdas dan mumpuni.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

Bahkan dapat dikatakan, secara genetis, Gus Dur tergolong seorang santri dan

priyayi sekaligus (Tim INCReS, 2000: 4). Kedua kakeknya, KH Hasyim Asyari

dari pihak ayah dan KH Bisri Syansuri dari pihak ibu, merupakan tokoh-tokoh

kunci lahirnya Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sementara ayahnya, KH Wahid

Hasyim, menjadi tokoh perjuangan nasional dan menteri agama pada era

pemerintahan Presiden Soekarno (Barton, 2016: 26).

Semasa kecilnya Gus Dur tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng

Jombang, diajari mengaji, membaca Alquran, dan ilmu-ilmu agama oleh

kakeknya, KH Hasyim Asyari (Tim INCReS, 2000: 6). Beliau tinggal di

lingkungan pesantren Tebuireng Jombang hingga tahun 1949. Kemudian ketika

ayahnya, KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai Menteri Agama, seluruh keluarga,

termasuk Gus Dur, diajak ke Jakarta. Gus Dur memulai pendidikan formalnya di

Sekolah Dasar KRIS hingga kelas empat, kemudian pindah ke Sekolah Dasar

Matraman Perwari hingga lulus (Barton, 2016: 42).

Selama di Jakarta, suasana keagamaan seakan menghilang dalam sisi

kehidupan Gus Dur (Tim INCReS, 2000: 6-8). Gus Dur kecil sering diajak

menemani ayahnya ke berbagai pertemuan dan dianjurkan oleh ayahnya untuk

membuka wawasan seluas-luasnya dengan membaca apa saja yang disukai, serta

membicarakan berbagai ide yang ditemukan, sebagai bentuk pendidikan bagi Gus

Dur (Barton, 2016: 42-44). Pada 1954, setelah ayahnya, KH Wahid Hasyim

meninggal pada 1953, Gus Dur pindah ke Yogyakarta melanjutkan studinya di

Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dan lulus pada 1957.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

Setelah lulus, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran pesantren secara penuh

di Tambakberas. Saat inilah suasana keagamaan dalam kehidupan Gus Dur mulai

tumbuh kembali. Pada 1959-1963 Gus Dur berhubungan secara intensif dengan

KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri (Barton, 2016: 53). Dalam periode

tersebut Gus Dur juga mendapat kesempatan mengajar di madrasah modern yang

didirikan di kompleks pesantren dan juga menjadi kepala sekolahnya.

Kemudian pada November 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir,

karena mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di

Universitas Al-Azhar (Barton, 2016: 88). Gus Dur menganggap masa studinya di

Kairo adalah pengalaman yang mengecewakan. Baginya, institut ini tidak sesuai

dengan pamornya, sebab ia bosan dengan pendekatan dan metode yang diterapkan

di sana, lebih memberikan pokok-pokok pelajaran klasik dengan memprioritaskan

hafalan dibandingkan dengan analisis (Barton, 2016: 88-102). Gus Dur

berpendapat bahwa metode kuliah yang dipergunakan di Universitas Al-Azhar

bertentangan dengan semangat Islam yang asli (Barton, 2016: 58). Karena itulah

Gus Dur menjalani studinya di Universitas Al-Azhar dengan setengah hati.

Pada pertengahan 1966, Gus Dur dinyatakan gagal dalam studinya di

Universitas Al-Azhar. Akan tetapi, Gus Dur menerima kabar baik yaitu mendapat

beasiswa di Universitas Baghdad (Barton, 2016: 102). Gus Dur menggunakan

kesempatan kedua ini dengan baik. Di Universitas Baghdad ini Gus Dur

mengalami hal yang sama sekali lain dengan di Al-Azhar. Gus Dur memperoleh

dorongan intelektual yang sejati dengan berpikir kritis dan banyak membaca,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

sehingga memiliki jadwal belajar yang lebih ketat dari sebelumnya. Pada

pertengahan 1970, Gus Dur berhasil menyelesaikan studinya di Universitas

Baghdad dengan hasil riset mengenai sejarah Islam di Indonesia sebagai tugas

akhirnya (Barton, 2016: 111). Ia memperoleh gelar Lc—setingkat S1 di

Indonesia—Sastra Arab (Tim INCReS, 2000: 18).

Pada 1971 Gus Dur kembali pulang ke Indonesia dan menikah dengan

Nuriyah secara resmi. Perkawinan mereka dianugerahi empat orang puteri, yaitu

Alissa pada 1973, Yenny pada 1974, Anita pada 1977, dan Inayah pada 1982.

Selama periode ini Gus Dur lebih memilih mengembangkan pendidikan di pondok

pesantren. Gus Dur merasa miris dan prihatin dengan kemiskinan pesantren yang

ia lihat, sehingga ia mengupayakan membantu pesantren mengadopsi kurikulum

pemerintah tetapi juga tetap memelihara nilai-nilai tradisional (Ali Masykur

Musa, 2010: 8). Gus Dur kemudian mendapat rekomendasi untuk mengajar

kaidah fikih dan Kitab Al-Hikam pada 1974 di Pesantren Tambakberas Jombang.

Pada 1978, ketika hendak menuju Pesantren Denayar Jombang, Gus Dur

mengalami kecelakaan cukup keras hingga membuat retina mata kirinya terlepas.

Ketika masa pengobatan dan penyembuhan, Gus Dur tidak tahan untuk berdiam

diri, sehingga mengalami istirahat yang kurang. Hal ini mengakibatkan retinanya

itu tidak kembali menyatu dengan baik (Barton, 2016: 125). Semenjak kejadian

itulah penglihatan Gus Dur berangsur-angsur memburuk.

Kemudian kakeknya dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri memohon kepada

Gus Dur untuk secara resmi bergabung dalam Dewan Syuriah Nasional NU yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

berpusat di Jakarta. Dengan berbagai pertimbangan, Gus Dur akhirnya memenuhi

permohonan kakeknya, setelah dua kali pernah menolaknya, bergabung dengan

Dewan Syuriah Nasional NU (Barton, 2016: 126). Selama bergabung dalam

Dewan Syuriah Nasional NU dalam kurun 1981 – 1984, Gus Dur terlibat dalam

berbagai kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan perpolitikan. Pada 1981 Ia

diundang untuk menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)

pemerintah mengenai pengembangan koperasi (Barton, 2016: 131). Pada 1982

Gus Dur menjadi salah satu anggota tim kampanye untuk Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) (Barton, 2016: 154), selain itu ia bergabung dengan Tim

Tujuh sebagai upaya formulasi reformasi NU masa kepengurusan Idham Chalid

(Barton, 2016: 158-159). Pada 1983 Gus Dur diangkat menjadi ketua Dewan

Kesenian Jakarta (Tim INCReS, 2000: 21-22) sebagai penghargaan atas

perhatiannya terhadap budaya lewat tulisan-tulisannya di berbagai media. Gus

Dur juga menjadi sosok yang mendorong agar NU menerima Pancasila sebagai

asas tunggal pada Musyawarah Nasional (Munas) NU di Situbondo pada 1984

(Barton, 2016: 163-167).

Atas perannya yang besar dalam tempo yang relatif singkat, Gus Dur

diusulkan oleh para kiai senior untuk menjadi salah satu calon ketua umum dalam

Pengurus Besar NU (PBNU) yang akan dibahas dalam Muktamar NU pada 1984

(Barton, 2016: 165-167). Kemudian KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi

Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo. Terpilihnya Gus Dur

sebagai Ketua Umum PBNU disambut positif oleh pemerintah Orde Baru di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Gus Dur kemudian dijadikan sebagai

salah satu indoktrinator Pancasila pada 1985 dan dipilih menjadi anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili Golongan Karya (Golkar) pada 1987

(Ali Masykur Musa, 2010: 12-13).

Pada perkembangannya, KH Abdurrahman Wahid menjabat menjadi

Ketua Umum PBNU selama tiga periode. Ini merupakan rekor tersendiri sebab

baru pertama kali NU dipimpin ketua yang sama selama tiga periode (Ari

Subagyo, 2012: 45). Gus Dur masih terpilih kembali menjadi Ketua Umum

PBNU pada Muktamar 1989 dan 1994 walaupun ada berbagai upaya untuk

menjatuhkan dirinya karena kritiknya yang terlalu tajam bagi Pemerintah Orde

Baru. Salah satunya yaitu membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991

sebagai penolakan dirinya terhadap pembentukan organisasi Ikatan Cendekiawan

Muslim Indonesia (ICMI) oleh pemerintah yang dinilainya cenderung sektarian

(Ali Masykur Musa, 2010: 14).

Begitu gencarnya kritik Gus Dur terhadap Pemerintah Orde Baru

melemahkan kondisi kesehatannya hingga terserang stroke berat pada Januari

1998 (Barton, 2016: 304). Penyakit stroke ini juga menjadi salah satu faktor,

selain diabetes dan glaukoma yang dialaminya (Barton, 2016: 214), Gus Dur

mengalami kehilangan penglihatan secara penuh. Walaupun demikian, ia masih

mencermati situasi sosial melalui berita media massa. Perlawanan rakyat

memuncak pada pendudukan gedung parlemen dan kerusuhan sosial pada Mei

1998 (Ali Masykur Musa, 2010: 16). Kuatnya tekanan rakyat ini membuat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden dan menyerakan

mandatnya kepada Habibie.

Pada periode transisi dari Soeharto kepada Presiden Habibie, situasi politik

nasional menjadi tidak menentu. Menanggapi hal ini, sejumlah kalangan internal

NU meminta agar organisasi ini kembali terlibat aktif dengan membentuk suatu

partai politik. Pada 23 Juli 1998 kemudian dideklarasikan kelahiran Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Gus Dur duduk sebagai ketua dewan syuro

partai dan Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum partai (Ali Masykur Musa,

2010: 19-20). Sejak didirikannya, PKB langsung terlibat aktif dalam berbagai

kegiatan nasional. PKB juga aktif mempersiapkan diri menjelang Pemilu 1999.

Banyak anggota partai berharap bahwa melalui PKB, Gus Dur akan dicalonkan

menjadi presiden. Hal ini kemudian diamini oleh Matori Abdul Djalil selaku ketua

umum dengan mengumumkan secara resmi bahwa Gus Dur adalah calon presiden

dari PKB (Barton, 2016: 343). Langkah lainnya yaitu memperkuat jalinan aliansi

politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDI-P) (Barton, 2016: 347), serta menambah jalinan hubungan

aliansi politik dengan Alwi Shihab dan Amien Rais (Barton, 2016: 352-353).

Pemilu 1999 berlangsung ramai dan alot karena besarnya tuntutan dan

tekanan untuk reformasi. Pemilu 1999 dimenangkan oleh PDI-P dengan 34%

suara, disusul oleh Golkar yang meraih 22% suara. PKB sendiri meraih 12,4%

suara (Barton, 2016: 359). Dengan hasil tersebut tercetuslah dua calon presiden

yakni Megawati Soekarnoputri dari PDI-P dan Habibie dari Golkar. Amien Rais

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

sendiri terpilih menjadi Ketua MPR. Namun animo masyarakatlah yang menjadi

penentu pemungutan suara di MPR. Banyak pihak meragukan kemampuan

Megawati jika terpilih menjadi presiden, sementara Habibie diyakini sebagai salah

satu bagian dari Orde Baru.

Maka dibentuklah Poros Tengah oleh Amien Rais yang terdiri dari koalisi

partai-partai Islam sebagai kekuatan ketiga dan penyeimbang (Barton, 2016: 361).

Nama KH Abdurrahman Wahid dimunculkan sebagai calon presiden oleh Poros

Tengah tersebut. Kemudian secara tiba-tiba Habibie mengundurkan diri sebagai

calon presiden (Barton, 2016: 370). Maka hanya tinggal dua calon, yakni

Megawati Soekarnoputri dan KH Abdurrahman Wahid. Pada akhirnya KH

Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan

perolehan 373 suara, mengalahkan Megawati yang hanya meraih 313 suara (Ali

Masykur Musa, 2010: 22). Megawati sendiri akhirnya terpilih menjadi wakil

presiden untuk mendampingi Gus Dur.

Gus Dur adalah ulama dan tokoh NU pertama yang menjadi Presiden

Republik Indonesia. Semasa menjabat, Presiden KH Abdurrahman Wahid

membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang terdiri dari koalisi banyak partai dan

juga dari tentara dan kalangan profesional (Ali Masykur Musa, 2010: 22). Masa

kepresidenannya dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada 23 Juli 2001

karena ia dimakzulkan melalui Sidang Istimewa MPR.

Meski menjabat presiden hanya dalam waktu yang singkat, tetapi Gus Dur

telah melakukan berbagai langkah besar dalam pemerintahannya. Beberapa di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

antaranya yaitu membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial,

membantu mengatasi konflik di Aceh dan Papua, serta menetapkan Hari Raya

Imlek sebagai hari libur fakultatif (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Memang

beberapa pernyataan Gus Dur dinilai kontroversial, seperti mencopot beberapa

menteri yang dinilainya tidak becus, serta menuding Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) sebagai Taman Kanak-Kanak (Ali Masykur Musa, 2010: 24, 27). Akan

tetapi pernyataan tersebut dapat mewakili perasaan masyarakat yang sedang

gundah.

Melihat tindakan Gus Dur yang terlalu kontroversial, DPR mengajukan

Sidang Istimewa kepada MPR untuk menurunkan Gus Dur dari jabatan presiden.

Pada 23 Juli 2001 MPR akhirnya secara resmi memakzulkan Gus Dur sebagai

presiden dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri (Ali Masykur Musa,

2010: 29). Gus Dur menerima pencopotannya sebagai presiden dengan lapang

dada tetapi dia masih tetap mempertahankan idealismenya sebagai nasionalis

sejati (Barton, 2016: 490). Idealisme tersebut dilihat dari berbagai tindakannya

setelah tidak menjabat sebagai presiden. Gus Dur kembali aktif menulis di

berbagai media massa (Ari Subagyo, 2012: 19). Gur Dur bahkan masih terjun

langsung ke lapangan untuk bertindak secara konkret.

Namun seiring berjalannya waktu, aktivitas KH Abdurrahman Wahid

mulai menurun karena alasan kesehatan. Pada Desember 2009, ia sempat dirawat

di Rumah Sakit Jombang karena kelelahan seusai melakukan kunjungan ke

makam ayahnya dan ke beberapa pondok pesantren. Kemudian ia diterbangkan ke

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

Jakarta dan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk menjalani

perawatan yang lebih intensif (Wicaksana, 2018: 75). Namun, pada 30 Desember

2009 beliau wafat. Jenazah beliau kemudian dimakamkan di Denayar, Jombang

pada 31 Desember 2009.

B. Cita-cita

Setiap manusia tentu memiliki impian, harapan, dan cita-cita yang ingin

dicapai. Begitu juga di dalam diri seorang Abdurrahman Wahid. Dalam skripsi

ini, penulis menggunakan istilah ―cita-cita‖ dibandingkan dengan ―obsesi‖ atau

―ambisi‖ dalam menggambarkan berbagai impian dan harapan yang ingin dicapai

oleh Gus Dur dalam hidupnya. Sebab istilah ―obsesi‖ dan ―ambisi‖ berkonotasi

negatif, sedangkan ―cita-cita‖ bernuansa positif.

Gus Dur sewaktu kecil bercita-cita menjadi tentara, tetapi cita-cita itu

kandas ketika pada usia 14 tahun karena harus memakai kacamata minus akibat

terlalu sering baca buku (Tim INCReS, 2000: 8). Hobi membaca Gus Dur dipicu

oleh model pendidikan dalam keluarganya yang memang dianjurkan secara

terbuka untuk membaca apa saja yang disukai dan membicarakan ide-ide yang

ditemukan (Barton, 2016: 42). Hobi tersebut ditekuni oleh Gus Dur semenjak

kecil hingga dewasa. Melalui hobi membaca, Gus Dur mendapatkan wawasan

yang begitu luas, tidak hanya sebatas dunia pesantren dan keislaman, tetapi juga

berbagai karya sastra Eropa, serta perkembangan situasi dunia internasional.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

Akhirnya Gus Dur merumuskan ulang cita-citanya dengan sederhana

yakni menjadi guru bangsa. Beliau terinspirasi oleh beberapa tokoh, seperti Ki

Hajar Dewantara, Ki Mangunsarkoro, dan juga kakeknya sendiri KH Hasyim

Asyari (Tim INCReS, 2000: 8). Inspirasi tersebut didapat oleh Gus Dur pada masa

kecilnya ketika ia hidup di pesantren Jombang. Terlebih-lebih ia dekat dengan

sosok sang kakek dan sang ayah semasa kecilnya. Cita-citanya sebagai guru

bangsa semakin dimantapkan dengan kayanya bahan bacaan dan pengalamannya

kuliah di luar negeri, terutama di Baghdad yang mendorongnya untuk semakin

berpikir kritis dan banyak membaca (Barton, 2016: 103). Beliau menambah

inspirasi dari tokoh-tokoh lainnya, yakni Kim Dae Jung, Sulakshi Bharaksa, Sun

Yat Sen, Soekarno, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Joze Rizal, dan Gamal

Abdul Nasser (Tim INCReS, 2000: 22-23).

Jika melihat rekam jejak hidupnya, Gus Dur amat sangat memperjuangkan

agar dapat mencapai cita-citanya menjadi seorang guru bangsa. Setelah lulus dari

Baghdad, ia kembali ke Jakarta dan bergabung dalam Lembaga Pengkajian

Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES), sebuah organisasi yang

terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat (Ali Masykur

Musa, 2010: 8). Ia menjadi kontributor tetap di Jurnal Prisma yang merupakan

terbitan dari LP3ES (Barton, 2016: 114). Gus Dur juga menjadi penceramah

keliling ke berbagai tempat di Jawa demi mendukung pengembangan pesantren

(Barton, 201: 115-116, 119). Gus Dur juga memperkembangkan dirinya sebagai

intelektual dan cendekiawan muslim dengan menjadi kontributor di majalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

Tempo dan harian Kompas (Ali Masykur Musa, 2010: 9). Lewat berbagai

kegiatannya tersebut, dengan cepat Gus Dur dianggap sebagai pengamat sosial

yang sedang naik daun (Barton, 2016: 119).

Di samping itu, Gus Dur juga mengajar di Pesantren Tambakberas

Jombang mengenai Kitab Al-Hikam (Barton, 2016: 121-122). Kemudian Gus Dur

dengan cepat membuktikan dirinya sebagai seorang pengajar berkemampuan

tinggi, sehingga ia diminta menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin pada Universitas

Hasyim Asyari di Jombang (Barton, 2016: 123) dan mengajarkan berbagai macam

subjek seperti pedagogi, Syariat Islam, dan misiologi (Ali Masykur Musa, 2010:

9). Dalam pengajarannya, Gus Dur juga berharap pada para muridnya agar

mengkaji dan menelaah aneka gagasan dari luar NU dan dunia Islam, bahkan jika

mungkin, meneruskan ke perguruan tinggi di negara-negara barat, agar wawasan

semakin luas dan berkembang (Wicaksana, 2018: 33).

Pada perkembangannya, Gus Dur terlibat dalam struktur PBNU, bahkan

dipilih menjadi ketua umum sebanyak tiga periode. Kemudian ia mendirikan PKB

dan terpilih menjadi Presiden NKRI pada Pemilu 1999. Sewaktu menjabat sebagai

presiden, intensitas penulisan beliau berkurang. Namun berbagai kebijakan dan

tindakannya, mencerminkan bagaimana seorang guru memberikan contoh teladan

kepada rakyatnya.

Gus Dur juga memiliki cita-cita demi kemajuan bangsa dan negara

Indonesia. Sewaktu menjabat sebagai presiden, beliau mendeskripsikan cita-cita

nasional dalam pidatonya di depan sidang tahunan MPR RI tanggal 7 Agustus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

2000. Cita-cita tersebut yaitu sosok masyarakat Indonesia yang rukun, toleran,

dan harmonis, yang lebih mendapatkan keadilan, hak-hak asasi dan kebebasannya,

yang dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, serta yang dapat

secara aman, tenang, dan penuh ketertiban (Sudarsono, 2003: 161). Cita-cita

tersebut dinamakan oleh Gus Dur sebagai Indonesia Baru.

Setelah KH Abdurrahman Wahid tidak lagi menjabat sebagai Presiden

NKRI, masih banyak cita-citanya terhadap bangsa ini yang belum terwujudkan.

Beliau menginginkan sebuah bentuk pemerintahan yang didasarkan pada

Pancasila. Di dalam negara Pancasila, Gus Dur menginginkan terjadinya

rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi yang dimaksud yaitu terlebih dahulu perlu ada

pemeriksaan tuntas, mengusut setiap bukti-bukti yang ada oleh pengadilan

terhadap pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan Pancasila, seperti misalnya

Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Negara Islam Indonesia (NII) (Nur Khalik

Ridwan, 2018: 203-204). Di samping itu, Gus Dur juga mengharapkan ada

gerakan-gerakan swadaya masyarakat yang tetap menjaga independensinya dari

skenario asing dan negara (Nur Khalik Ridwan, 2018: 204). Melalui rekonsiliasi

tersebut, Gus Dur menginginkan Pancasila senantiasa diprogresifkan, namun tidak

melalui cara-cara kekerasan.

Gus Dur berpendapat perlunya perspektif baru dalam penegakkan Hak

Asasi Manusia (HAM) dengan mempertimbangkan aspek psikologis, pendekatan

struktural dan liberal, serta kebutuhan politik dan ekonomi (Nur Khalik Ridwan,

2018: 207-208). Gus Dur meyakini bahwa Pancasila berfungsi ampuh sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

pemersatu bangsa dalam menghadapi banyak tantangan dari luar dan dalam (Nur

Khalik Ridwan, 2018: 236). Oleh karena itu, baginya NKRI berlandaskan

Pancasila masih harus ditegakkan di tengah tantangan globalisasi, korupsi yang

merajalela, dan penyimpangan-penyimpangan moral yang terjadi dalam bangsa

ini.

Walaupun cita-cita nasionalnya belum berhasil diwujudkan, banyak pihak

berpendapat bahwa KH Abdurrahman Wahid telah berhasil mencapai cita-cita

pribadinya dalam menjadi seorang guru bangsa. Keberhasilan tersebut terlihat dari

banyaknya kata-kata, pesan-pesan, gagasan, dan tulisan beliau yang dikutip dan

dijadikan rujukan oleh berbagai kalangan ketika membahas persoalan yang terjadi

dalam bangsa dan negara Indonesia. Selain itu terdapat juga Komunitas Gusdurian

yang secara khusus membahas berbagai karya dan perjuangan Gus Dur semasa

hidupnya dan implikasinya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Walaupun

begitu, Bondan Gunawan (2017: 13) menuturkan bahwa sebenarnya Gus Dur

tidak memiliki ambisi atau obsesi kekuasaan, tidak menginginkan pengakuan,

kedudukan, atau penghormatan, tetapi yang beliau inginkan adalah menjadi

manusia biasa yang seutuhnya, tidak lebih dari yang lain.

C. Sumbangan Pemikiran

Begitu banyak pemikiran dari KH Abdurrahman Wahid yang telah beliau

tuangkan dalam bentuk tulisan di berbagai media. Tulisan-tulisan beliau tidak

hanya terpaku pada satu tema tertentu tetapi banyak tema seperti agama, sosial,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

politik, olahraga, dan seni budaya (Ali Masykur Musa, 2010: 9). Dalam bagian

ini, penulis memilih beberapa karya Gus Dur yang berkaitan dengan kehidupan

beragama dan bernegara.

1. Pemikiran tentang kehidupan beragama

Gus Dur memandang Islam sebagai agama yang universal, sehingga

kehadirannya melampaui batas-batas perbedaan manusia. Gus Dur meyakini

bahwa Islam hadir untuk misi kemanusiaan yaitu pelayanan kepada semua orang,

termasuk pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan (Wicaksana, 2018: 84-

86). Gus Dur menegaskan bahwa Islam mensyaratkan sikap yang memperlakukan

semua manusia dalam posisi yang sama (Woodward, 1998: 147).

KH Abdurrahman Wahid menolak fundamentalisme dan kekerasan atas

nama agama. Beliau berpendapat bahwa Islam tidak boleh menjadi sekadar cara

untuk membenarkan sistem kekuasaan. Beliau dengan jelas mengungkapkan

bahwa kaum Muslim tidak bisa menuntut berdirinya negara Islam, karena hal itu

mustahil didirikan dan akan menjadikan kaum non-Muslim sebagai warga negara

kelas dua (Woodward, 1998: 146). Dengan kata lain, beliau menolak bentuk

negara Islam. Bahkan beliau secara terang-terangan menyatakan bahwa negara

Islam itu ―tidak ada‖ sebagai konsep (Abdurrahman Wahid, 2018: 22). Sepanjang

penelusurannya, beliau tidak menemukan konsep negara Islam dalam Alquran dan

ajaran Agama Islam, yang ada adalah klaim tentang negara Islam (Nur Khalik

Ridwan, 2018: 89-90). Bagi Gus Dur semangat penghayatan Islam yang sejati

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

adalah pelayanan kepada umat, bukan mendirikan sebuah negara (Wicaksana,

2018: 85).

Lebih lanjut, KH Abdurrahman Wahid (2018: 68) menyatakan bahwa

Tuhan tidak perlu dibela, walaupun tidak juga menolak dibela. Baginya, Tuhan

sudah memiliki segalanya dan kita manusia tidak perlu repot membelanya

(Wicaksana, 2018: 95). Pandangan Gus Dur ini juga menyiratkan bahwa ia

menyayangkan kaum yang melakukan kekerasan atas nama agama. Menurutnya

kita semua, khususnya Umat Islam, tidak perlu menyakiti sesama manusia dengan

dalil membela Tuhan. Bahkan tindakan itu disebutnya dapat mencederai Islam

sebagai agama damai bagi semua orang tanpa kecuali.

KH Abdurrahman Wahid menilai bahwa ajaran Islam bersifat dinamis,

terbuka terhadap situasi sosial dan perkembangan zaman. KH Abdurrahman

Wahid (2007: 77) melihat ajaran Islam memiliki watak transformatif, yaitu

berusaha menanamkan nilai-nilai baru dan menggantikan nilai-nilai lama yang

dianggap bertentangan. Aburrahman Wahid (2007: 72) melihat bahwa Islam

mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial yang dapat

meresap dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat. Beliau setuju dengan

pendapat Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia terlihat

statis tetapi sebenarnya mengalami perubahan-perubahan fundamental yang nyaris

tak terlihat, sehingga hanya orang yang mengamatinya secara teliti dan hati-hati

yang mengetahui perubahan tersebut (Abdurrahman Wahid, 2007: 75).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

Melihat bahwa ajaran Islam bersifat dinamis dan menanamkan nilai-nilai

sosial bagi masyarakat, maka KH Abdurrahman Wahid memiliki gagasan bahwa

Islam dapat dimaknai dalam konteks lokal. Hal ini disebutnya sebagai pribumisasi

Islam (Abdurrahman Wahid, 2018: 108). Beliau jengah dengan perilaku Muslim

Indonesia yang kearab-araban.

Mengapa harus menggunakan kata ‗shalat‘, kalau kata ‗sembahyang‘ juga

tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‗dimushalakan‘, padahal dahulu

toh cukup ‗langgar‘ atau ‗surau‘? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa

sreg kalau dijadikan ‗milad‘. Dahulu ‗tuan guru‘ atau ‗kiai‘, sekarang

harus ‗ustadz‘ dan ‗syaikh‘, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda

Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di

belahan bumi ini? (Abdurrahman Wahid, 2018: 107-108).

Kecenderungan menggunakan istilah Arab ini dikatakan oleh Gus Dur dapat

membuat kita tercabut dari akar budaya kita sendiri (Trisno S Sutanto, 2018: 223).

Oleh karena itu gagasan pribumisasi Islam ini dimunculkan Gus Dur sebagai

upaya rekonsiliasi antara agama dengan budaya setempat. Gagasan pribumisasi

Islam tersebut sempat menimbulkan kontroversi. Pemicu utama terjadinya

kontroversi yaitu ketika Gus Dur diduga bermaksud mengganti ucapan salam

Islam (assalamualaikum) dengan ucapan salam nasional (selamat

pagi/siang/sore/malam).

Menurut Gus Dur, seorang aktivis Ornop abangan, yang juga temannya,

meminta nasihat kepadanya bagaimana ia harus memberi salam pada suatu

pertemuan publik oleh karena ia merasa tidak tepat menggunakan salam

standar kaum muslimin, assalamualaikum. Gus Dur memberi nasihat agar

temannya itu tidak membiarkan dirinya tertekan dan cukup menggunakan

ungkapan ‗selamat pagi‘. Ia menjelaskan lagi bahwa akar kata ‗selamat‘

sama dengan kata Arab salam dan ‗selamat pagi‘ memberi pengertian

yang sama dengan ungkapan assalamualaikum (damai untuk Anda)

(Barton, 2016: 189).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

Percakapan tersebut terdengar oleh seorang jurnalis yang kemudian

menuliskannya di sebuah surat kabar nasional (Barton, 2016: 189). Lantas para

pengkritik membesar-besarkan masalah ini.

Karena hal tersebut, Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum

PBNU sempat didesak oleh para ulama senior untuk meminta maaf kepada

khalayak dan mengklarifikasi bahwa ucapannya merupakan pendapat pribadi,

bukan mewakili organisasi (Barton, 2016: 206). KH Abdurrahman Wahid (2018:

108) mengklarifikasi bahwa unsur Islam yang dipribumikan adalah manifestasi

kehidupannya, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan

formalnya. Baginya Islam tetap Islam di mana saja berada. Akan tetapi tidak

berarti semua bentuk luarnya harus disamakan menggunakan istilah Arab

(Abdurrahman Wahid, 2018: 108). Baginya Islam harus dibuat mengakar ke

dalam bumi Indonesia modern yang sifatnya nasional dan heterogen, tidak lokal

dan homogen (Taufik Abdullah, 1998: 77).

Selain gagasan pribumisasi Islam, sifat ajaran Islam yang dilihatnya

dinamis membuat Gus Dur mengkaji lebih lanjut mengenai universalisme Islam.

Beliau melihat universalisme Islam itu seiring dengan kearifan yang muncul,

yakni keterbukaan yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat

tinggi. Gus Dur menyebutkan lima buah jaminan dasar yang membentuk

universalisme Islam. Lima hal tersebut yaitu jaminan dasar akan keselamatan

fisik, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan

keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi, serta keselamatan hak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

milik dan profesi (Abdurrahman Wahid, 2007: 4). Secara keseluruhan, kelima

jaminan dasar keselamatan tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup

yang utuh dan bulat. Namun, kelima jaminan dasar keselamatan tersebut tidak

boleh hanya sekadar teori, tetapi perlu didukung oleh kosmopolitanisme

peradaban Islam. Dari sinilah gagasan Islam Kosmopolitan itu muncul.

Abdurrahman Wahid (2007: 11) berpendapat bahwa kosmopolitanisme

Islam akan tercapai jika adanya keseimbangan antara kecenderungan normatif

kaum Muslim dengan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk

mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti ini dipandangnya sebagai

hal yang kreatif karena adanya inisiatif masyarakat untuk mencari wawasan

seluas-luasnya dalam menemukan kebenaran. Situasi kreatif tersebut menurut KH

Abdurrahman Wahid (2007: 11) akan memungkinkan pencarian sisi-sisi paling

tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin ditemukan dan memaksa

universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri secara konkret.

Menanggapi hal tersebut, Gus Dur melihat perlunya semua pihak di

kalangan umat Islam memikul tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa

memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa, sehingga dengan cara

demikian Islam dapat tumbuh bersama dengan seluruh penduduk negeri (Parera &

Koekerits, 1999: 18). Lebih lanjut, Gus Dur berpandangan bahwa pluralisme

agama bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai, tetapi

juga disertai dengan kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran baik dari agama-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

agama yang lain (Muhaimin Iskandar, 2000: 16). KH Abdurrahman Wahid

memang gigih memperjuangkan pluralisme untuk merawat Indonesia.

Lewat sikap pluralisnya, Gus Dur menyadari bahwa perbedaan adalah hal

yang lumrah terjadi, khususnya perbedaan agama. KH Abdurrahman Wahid

(2018: 81) secara gamblang menuturkan ―mengkafirkan orang jelas merupakan

tindakan salah‖. Beliau memang mengakui bahwa tidak ada agama yang mau

melepaskan ‗hak tunggal‘-nya untuk memonopoli ‗kebenaran ajaran‘, termasuk

Islam (Abdurrahman Wahid, 2018: 83). Namun beliau menolak generalisasi

pandangan akan kebenaran dari satu sisi saja. Sebagai contoh, KH Abdurrahman

Wahid (2018: 43) mengkritik seru-seruan untuk beribadat yang didengungkan

melalui pengeras suara di berbagai masjid. Beliau menolak argumentasi skolastik

yang biasa dilontarkan sebagian besar orang, yaitu hal ini muncul dari niat baik

mengingatkan kaum Muslim menunaikan kewajibannya dan bagaimanapun

kebutuhan manusiawi harus mengalah pada kebenaran Ilahi (Abdurrahman

Wahid, 2018: 44). Baginya hal tersebut tidak dapat dipukul rata karena dapat

mengganggu mereka yang tidak memiliki kewajiban untuk beribadat

(Abdurrahman Wahid, 2018: 45). Hal ini semakin memperlihatkan bahwa beliau

menyarankan tindakan pluralis demi kesejahteraan hidup bersama di tengah

masyarakat yang majemuk.

Melalui berbagai pemikiran yang telah diuraikan, dapat dilihat bahwa KH

Abdurrahman Wahid memandang bahwa pluralisme adalah suatu fakta dan

keharusan, karena perbedaan antarmanusia tidak mungkin dihindari. Beliau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

menuturkan ―orang yang beriman pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang

menciptakan perbedaan itu‖ (Wicaksana, 2018: 76). Baginya tindakan menghargai

keberagaman yang ada merupakan suatu kearifan lokal tersendiri yang sudah

dimiliki sejak lama (Abdurrahman Wahid, 2007: 66-67). Oleh karena itu tindakan

pluralis perlu dipupuk dan dijaga demi keutuhan bangsa ini, dan agama dapat

menjadi salah satu sarana terjalinnya tindakan pluralis tersebut dalam kehidupan

sehari-hari.

2. Pemikiran tentang kehidupan bernegara

KH Abdurrahman Wahid pernah berpendapat mengenai konsep

pembentukan berdirinya suatu negara. Menurutnya, unsur agama saja tidak cukup

dalam mendirikan suatu negara, masih memerlukan hal lain, yaitu ikatan sosial

kemasyarakatan (Ali Masykur Musa, 2010: 95). Beliau berpendapat ikatan sosial

kemasyarakatan dapat melampaui ikatan suku, budaya, bahkan agama

(Abdurrahman Wahid, 2018: 70). Ikatan sosial kemasyarakatan ini kemudian

berkembang menjadi ikatan kebangsaan dan juga suatu kepentingan nasional.

Gus Dur memberikan suatu gambaran bagaimana ikatan kebangsaan

berperan pada masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Gus Dur melihat

fenomena tersebut dalam susunan kabinet yang dibentuk oleh Presiden Soekarno

dan Perdana Menteri Sjahrir.

Dalam kabinet Republik Indonesia yang pertama, dikenal dengan sebutan

‗Kabinet Soekarno‘ yang berumur pendek, tidak disebut-sebut nama

Kementerian Agama. Baru dalam kabinet berikutnya lembaga itu

dicantumkan, dan sejak itu tidak pernah ‗hilang dari peredaran‘. Kabinet

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

kedua itu dikenal dengan sebutan ‗Kabinet Sjahrir‘. Mengapa Soekarno

yang senang bergulat dengan pemikiran Islam tidak mencantumkan

Kementerian Agama, sedang Sjahrir yang diklasifikasikan ‗tokoh sekular‘

justru menciptakannya? Sederhana saja sebabnya: kepentingan nasional.

Tanpa Kementerian Agama, ‗golongan Islam‘ tidak dapat menerima

kehadiran pemerintahan yang sah yang dipimpinnya [Sjahrir]. Dan,

sebagai pemimpin bangsa, ia harus memerhatikan aspirasi kelompok-

kelompok lain. Sedang Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu ketika

membentuk kabinet pertama; atau, setidak-tidaknya, tidak menganggap

penting aspirasi ‗umat beragama‘ itu (Abdurrahman Wahid, 2018:70-71).

Melalui fenomena ini Gus Dur melihat bahwa ternyata kepentingan nasional dapat

mewadahi begitu banyak aspirasi dari berbagai kelompok dan golongan yang ada

untuk mewujudkan hidup dalam keberagaman secara konkret. Oleh karena itu,

Gus Dur menilai bahwa mempertahankan Indonesia sebagai negara yang diikat

oleh nasionalisme kebangsaan adalah suatu bentuk kewajiban.

Dalam konteks Indonesia, Gus Dur bependapat bahwa keberagaman yang

ada harus berjalan seiring dengan demokrasi yang di dalamnya terdapat nilai

persamaan dan kebebasan. Maka dalam pandangan Gus Dur, perlu dilakukan

upaya saling memahami keberagaman yang ada dalam konteks kedewasaan

demokrasi (Ali Masykur Musa, 2010: 112). Bagi Gus Dur, memahami

keberagaman berbeda dengan sikap saling menyamakan atau menyeragamkan.

Maka menurut Gus Dur, keberagaman terjaga kalau ada demokrasi. Demokrasi

yang diinginkan oleh Gus Dur terjadi di Indonesia yaitu situasi adanya berbagai

kepentingan, keyakinan, dan kebudayaan dari golongan atau kelompok yang

berbeda-beda, bahkan bisa bertentangan, tetapi seluruh golongan atau kelompok

tersebut memiliki hak yang sama unttuk dipertimbangkan aspirasinya dalam

mengambil keputusan politik (Ali Masykur Musa, 2010: 114-115). Jika demokrasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

yang demikian benar-benar terwujud, maka dapat menciptakan situasi damai bagi

suatu negeri, terutama di Indonesia.

Dalam memaknai ideologi Pancasila, Gus Dur melihat adanya jaminan hak

bagi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-

masing (Ali Masykur Musa, 2010: 101). Gus Dur melihat hubungan dialogis yang

sehat antara Pancasila dengan agama, yang berjalan terus menerus secara dinamis

(Ali Masykur Musa, 2010: 102). Gus Dur melihat Pancasila sebagai dasar negara

Republik Indonesia adalah hasil kesepakatan bersama dari banyak pihak. Maka

Gus Dur berpendapat bahwa penafsiran Pancasila bukanlah monopoli pemerintah,

melainkan dapat ditafsirkan oleh seluruh warga negara (Ali Masykur Musa, 2010:

92). Gus Dur mengungkapkan hal ini karena ada indikasi pembatasan penafsiran

Pancasila oleh struktur politik Demokrasi Pancasila yang diciptakan oleh Orde

Baru (Ali Masykur Musa, 2010: 93). Menurutnya, penafsiran Pancasila perlu

dikembangkan secara umum karena Pancasila merupakan suatu dasar negara

Indonesia yang dimiliki oleh seluruh masyarakatnya. Dengan demikian, Pancasila

bukan saja milik golongan atau kepentingan tertentu, melainkan semakin menjadi

milik seluruh rakyat Indonesia secara bersama-sama.

Dalam hal menjadi pemimpin di negeri ini, Gus Dur berpandangan sesuai

konstitusi NKRI yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‘45) bahwa tanpa

memandang latar belakang, suku, agama, ras, dan golongan, siapa pun dapat

dipilih menjadi seorang pemimpin atau presiden NKRI. Gus Dur memandang

konstitusi sebagai kenyataan tertulis hasil dari komitmen bersama yang telah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

disepakati (Parera & Koekerits, 1999: 77). Gus Dur berpendapat bahwa lebih baik

kita berjuang mendisiplinkan diri untuk taat pada undang-undang dibanding

berdebat soal tafsir UUD ‘45 tersebut demi memperjuangkan kepentingan pribadi

atau golongan tertentu (Parera & Koekerits, 1999: 78).

Melalui berbagai pemikiran di atas, terlihat bahwa dalam kehidupan

bernegara, khususnya di Indonesia, Gus Dur berpegang teguh kepada Pancasila

dan UUD ‘45 sebagai acuan. Gus Dur mengedepankan demokrasi sebagai upaya

mewujudkan hubungan yang harmonis bagi kemajemukan yang ada di Indonesia

ini. Gus Dur melihat bahwa kemajemukan yang ada dapat dipersatukan dalam

suatu ikatan kebangsaan, di mana demokrasi menjadi wadahnya, serta Pancasila

dan UUD ‘45 sebagai acuan dan pedoman dalam menjalankannya.

3. Pemikiran tentang hubungan hidup beragama dengan bernegara

Jauh sebelum KH Abdurrahman Wahid terlibat langsung dalam politik

praktis, yakni menjadi pejabat struktural PKB dan terpilih menjadi Presiden NKRI

pada Pemilu 1999, ia sudah memikirkan bagaimana harmonisasi antara hidup

beragama dengan bernegara. Gus Dur melihat bahwa dalam kehidupan sehari-

hari, urusan keagamaan dengan hal ikhwal kebangsaan bukanlah sesuatu yang

tumpang tindih, melainkan dapat disinkronisasikan menjadi sebuah harmoni yang

luwes dan indah (Parera & Koekerits, 1999: 22). Beliau berpendapat bahwa Islam

seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuknya yang eksklusif, melainkan

harus mengintegrasikan kegiatannya dalam aktivitas bangsa secara keseluruhan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

(Ali Masykur Musa, 2010: 110). Pendekatan yang dapat dilakukan yaitu secara

sosio-kultural sebagai upaya membangun sistem kelembagaan masyarakat yang

sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai (Ali Masykur Musa, 2010:

111-112). Dengan begitu, baginya Islam dapat merawat bangsa yang terdiri dari

bermacam-macam keberagaman yang ada.

Demi mewujudkan harmonisasi hubungan antara hidup beragama dengan

hidup bernegara, secara sederhana Gus Dur menggambarkan pluralisme dalam

analogi banyaknya kamar dalam sebuah rumah.

―Bayangkan saja kita hidup di sebuah rumah besar yang banyak kamarnya

dan kita mempunyai kamar sendiri-sendiri. Saat di dalam kamar maka

masing-masing pemilik kamar bisa menggunakan dan merawat kamarnya

sendiri-sendiri serta boleh berbuat apa pun di dalamnya, tetapi ketika ada

di ruang keluarga atau di ruang tamu maka kepentingan masing-masing

kamar dilebur untuk kepentingan bersama. Penghuni rumah, tanpa

mempersoalkan asal kamar masing-masing, harus bersatu merawat rumah

itu dan mempertahankannya bersama-sama dari serangan yang datang dari

luar‖ (Wicaksana, 2018: 77).

Begitulah gambaran pluralisme yang diharapkan hidup di NKRI oleh Gus Dur.

Indonesia yang sudah dibangun di atas pondasi Pancasila dan terdiri dari beraneka

ragam corak yang ada harus bersatu menjaga bangsa dan negara tanpa kehilangan

identitas kekhasan masing-masing (Wicaksana, 2018: 78).

Hubungan antara agama dengan Pancasila menurut gambaran Gus Dur

yaitu agama berperanan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur

bangsa yang diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam pandangan hidup

bangsa (Ali Masykur Musa, 2010: 90). Gambaran Gus Dur tersebut menandakan

bahwa hubungan antara Pancasila dengan agama tidak saling berlawanan,

melainkan pada hubungan dialogis yang sehat dan dinamis. Gambaran ini juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

memperlihatkan bahwa Gus Dur berada dalam posisi responsi integratif, yakni

Islam yang tidak mempersoalkan kedudukan formalnya dan hubungan mereka

dengan negara menyesuaikan kehidupan pola hidup kemasyarakatan yang mereka

ikuti (Parera & Koekerits, 1999: 23).

Bagi Gus Dur, Pancasila memiliki status sebagai kerangka berpikir seluruh

bangsa yang perlu terus menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh

negara (Nur Khalik Ridwan, 2018: 53). Namun tak bisa dipungkiri kemungkinan

adanya tumpang tindih antara Pancasila dengan sebagian sisi kehidupan beragama

dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa oleh karena perbedaan wawasan

mengenai toleransi di dalamnya. Gus Dur menyebutkan akan ada ketegangan

antara independensi teologis kebenaran masing-masing agama dan kepercayaan

dengan peran Pancasila sebagai ―polisi lalu lintas‖ dalam kehidupan beragama

dan berkepercayaan (Nur Khalik Ridwan, 2018: 54-55). Hal ini disebutnya

sebagai ketegangan kreatif dalam bangsa kita.

Ketegangan kreatif itu bermakna sebagai suatu sikap kelapangan dada dan

toleransi dalam lalu lintas kebangsaan yang kreatif untuk mengembangkan

kualitas bangsa Indonesia (Nur Khalik Ridwan, 2018: 55). Dari ketegangan kreatif

itulah, Gus Dur melihat perlunya perkembangan pemikiran untuk mencari nilai-

nilai dasar kehidupan bangsa Indonesia dari dua sisi tersebut. Pertama, ajaran

agama akan tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan kedua, agama-

agama dan kepercayaan-kepercayaan juga harus memperhitungkan eksistensi

Pancasila sebagai ―polisi lalu lintas‖ yang menjamin kehidupan bangsa (Nur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

Khalik Ridwan, 2018: 56). Gus Dur melihat perlunya dialog terus menerus demi

terwujudnya kreativitas membangun bangsa dengan mempertimbangkan masing-

masing kelompok agama/keperacayaan, dan tetap menjaga Pancasila sebagai

dasar ideologi bangsa agar lebih dapat kontekstual terhadap perkembangan zaman

(Nur Khalik Ridwan, 2018: 61). Dengan demikian ketegangan kreatif

memungkinkan Indonesia dapat dikelola secara adil tanpa memberikan konsesi

berlebihan terhadap sebuah kelompok dan hal ini perlu dikontrol oleh masyarakat

(Nur Khalik Ridwan, 2018: 70).

Melalui berbagai pemikiran di atas, dapat dilihat sebagaimana Gus Dur

berpendapat bahwa Pancasila dan UUD ‘45 merupakan unsur-unsur penting yang

menjadi titik temu dalam pembahasan permasalahan terkait hubungan agama dan

negara di Indonesia. Bahkan Gus Dur mempercayai bahwa Pancasila merupakan

kompromi terbaik untuk memecahkan masalah-masalah sulit mengenai hubungan

agama dan negara (Barton, 2016: 160). Gus Dur menilai bahwa Pancasila sebagai

dasar ideologi mampu menjembatani dan mengakomodasi elemen-elemen bangsa

yang majemuk. Gus Dur melihat bahwa di dalam Pancasila terdapat unsur

demokratisasi yang dapat mempersatukan beragam kekuatan bangsa menuju arah

kedewasaan yaitu kemajuan dan integritas bangsa (Nur Khalik Ridwan, 2018:

142). Hal ini semakin menampakkan pemikiran Gus Dur yang mengedepankan

keberagaman dan harmonisasi dalam hidup beragama dan hidup bernegara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

D. Perjuangan Konkret

Semasa hidupnya, KH Abdurrahman Wahid aktif dalam memperjuangkan

harmonisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara di tengah masyarakat

Indonesia yang majemuk. Perjuangan konkret ini telah beliau lakukan sejak masih

muda, lalu terlibat dalam keanggotaan NU dan kemudian menjabat sebagai ketua

umumnya, hingga kemudian menjabat sebagai Presiden RI. Bahkan setelah beliau

lengser dari jabatan Presiden RI, Gus Dur masih aktif dalam perjuangannya

mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia sehingga terjalin harmonisasi di tengah

masyarakat yang plural.

Pada awal keanggotaannya dalam organisasi NU, Gus Dur

mengungkapkan pendapatnya dalam Munas 1984 di Situbondo mengenai

penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal (Barton, 2016: 163-167). Sebetulnya

banyak kiai senior yang tidak setuju atas inisiasi Pemerintah Orde Baru

menerapkan asas tunggal Pancasila tersebut, apalagi bagi NU yang merupakan

organisasi berlandaskan asas Islam. Terlebih ada indikasi bahwa Pemerintah Orde

Baru memaksakan dan akan menyalahgunakan Pancasila demi kepentingannya

sendiri, memuluskan indoktrinasinya dalam Program P4 (Abdurrahman Wahid,

2007: 170-171). Namun Gus Dur berhasil meyakinkan para kiai senior tersebut,

bahwa visi NU terkait keislaman sejalan dengan apa yang tercantum dalam nilai-

nilai Pancasila. Hal ini kemudian berusaha dibuktikan bersama oleh para kiai NU

dengan memeriksa secara saksama Alquran, kitab-kitab kuning, dan berbagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

sunah bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Barton, 2016:

161).

Ketika KH Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,

melalui rapat akbar pada 1 Maret 1992, beliau menegaskan kembali kesetiaan NU

terhadap Pancasila dan UUD ‘45 (Nur Khalik Ridwan, 2018: 67). Hal ini

dilakukan sebagai bentuk kontribusi NU meletakkan dirinya menjadi bagian yang

cukup memiliki peranan dalam kerangka umum perjuangan bangsa (Ali Masykur

Musa, 2010: 108). Gus Dur pada saat itu menyatakan bahwa dengan mendukung

Pancasila dan UUD ‘45, NU menolak mendukung sistem pemerintahan yang tidak

adil dan mencoba melancarkan transisi dari sistem yang didasarkan pada kronisme

yang dimanfaatkan oleh segelintir orang (Nur Khalik Ridwan, 2018: 68). Bagi

Gus Dur, demi membangun negara demokratis yang berdasarkan Pancasila, maka

NU harus selalu berada ―di tengah‖ dengan mengembangkan prinsip moderat

sehingga mampu menjalankan peran sebagai ―jangkar kestabilan politik‖ (Trisno

S Sutanto, 2018: 222).

Melalui langkahnya dalam menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap

Pancasila dan UUD ‘45, secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa

kesetiaan tersebut ditujukan bukan pada orang atau kekuasaan, melainkan lebih

pada bentuk ideal pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila (Nur Khalik

Ridwan, 2018: 68). Bahkan dalam upaya mencapai negara ideal Pancasila yang

dapat mewujudkan keadilan sosial, Gus Dur dengan berani menyatakan siap

mempertaruhkan nyawanya untuk membela Pancasila, termasuk berhadapan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

dengan angkatan bersenjata dan umat Islam, apabila mereka memanipulasi

Pancasila (Nur Khalik Ridwan, 2018: 69, 71). Sebab baginya, Pancasila adalah

seperangkat gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan

selamanya, tanpa Pancasila negara Indonesia akan bubar.

Selama memimpin NU, KH Abdurrahman Wahid juga memiliki

keprihatinan dengan keadaan ekonomi masyarakat Indonesia. Secara konkret ia

berusaha membangun gerakan ekonomi kerakyatan. Bermodalkan koneksi

persahabatannya dengan keluarga Soerjadjaja, NU di bawah kepemimpinan Gus

Dur membentuk mitra bisnis dengan Bank Summa, yang kemudian

bertransformasi menjadi Bank NU-Summa pada 1990 (Wicaksana, 2018: 41).

Bank NU-Summa merupakan respon Gus Dur terhadap problem ekonomi dan

kredit keuangan bagi rakyat kecil. Selain itu, Gus Dur juga ingin memberi contoh

nyata tindakan inklusif dan pluralis dengan memiliki hubungan yang harmonis

dengan orang-orang keturunan Tionghoa, yang terdiskriminasi oleh kebijakan

politik pemerintah Orde Baru (Wicaksana, 2018: 43). Namun sayangnya, setelah

berhasil membangun sembilan cabang, Bank NU-Summa harus terhenti pada

1992 karena mengalami kebangkrutan (Wicaksana, 2018: 45).

Sebagai sumbangsihnya dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia,

KH Abdurrahman Wahid membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991

(Barton, 2016: 224). Fordem menjadi suatu gerakan bersama dalam melawan

pelanggaran HAM demi tegaknya demokrasi sejati di Indonesia (Ari Subagyo,

2012: 32). Fordem dibentuk oleh Gus Dur bersama berbagai tokoh nasional, di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

antaranya yaitu Marsilam Simanjuntak dan Bondan Gunawan (Barton, 2016:

225), serta Franz Magnis-Suseno, YB Mangunwijaya, Todung Mulya Lubis, dan

Harry Tjan Silalahi (Ali Masykur Musa, 2010: 114).

Selain membentuk Fordem di Jakarta, Gus Dur juga menginisiasi

terbentuknya Dialog Antar Iman (DIAN)/Interfidei di Yogyakarta. Jika Fordem

bergerak pada tataran politik, maka DIAN/Interfidei merupakan laboratorium

sosial guna membangun harmonisasi kehidupan yang pluralis di tengah

masyarakat yang majemuk (Trisno S Sutanto, 2018: 226). DIAN/Interfidei

dibentuk Gus Dur bersama sahabat-sahabatnya dari berbagai agama, di antaranya

yaitu Djohan Effendi, Ibu Gdong Oka, Th. Sumartana, dan Pdt. Eka Darmaputra

(Trisno S Sutanto, 2018: 226). DIAN/Interfidei menjadi sarana pengembangan

perjumpaan-perjumpaan dialogis antariman yang memupuk kerukunan antarumat

beragama demi semakin terwujudnya harmonisasi kehidupan di tengah

masyarakat yang majemuk (Trisno S Sutanto, 2018: 226-227).

Hal lain yang dilakukan Gus Dur dalam menjaga harmonisasi kehidupan

dalam masyarakat yang plural yaitu ketika padinterfi tragedi Mei 1998 yang

sangat menyakitkan bagi warga keturunan Tionghoa. Di tengah kecemasan tragedi

tersebut, Gus Dur tampil dan mengaku diri sebagai keturunan Tionghoa (Trisno S

Sutanto, 2018: 218). Beliau membuat silsilah yang cukup panjang untuk

meyakinkan banyak orang bahwa dirinya memang seorang keturunan Tionghoa.

Beliau menyatakan diri sebagai keturunan dari Tan Kim Han yang menikah

dengan Tan A Lok, saudara kandung dari Tan Eng Hwa (Raden Patah), anak dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

Putri Campa yang menjadi selir Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit

(Wicaksana, 2018: 2). Tentu saja pengakuan Gus Dur tersebut menggegerkan

banyak kalangan, sebagian besar menduga bahwa pengakuan ini merupakan siasat

kultural yang piawai dalam memberi ketenteraman di dalam kecemasan (Trisno S

Sutanto, 2018: 218).

Dalam perjuangannya menjaga harmonisasi kehidupan di tengah

masyarakat yang majemuk, tidak jarang Gus Dur mengkritik kebijakan

Pemerintah Orde Baru. Selama tiga kali menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,

Gus Dur sangat aktif dalam mengkritik Pemerintah Orde Baru. Hal ini dilakukan

oleh Gus Dur demi tegaknya demokrasi sejati di NKRI. Hal yang paling keras

dikritik oleh Gus Dur yaitu begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme

(KKN) yang terjadi dalam berbagai tubuh pemerintahan.

Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur menganjurkan para anggotanya

untuk bersikap netral dari politik praktis dalam Pemilu 1992 sebagai upaya masif

penggembosan terhadap Golkar (Saleh Aldjufri, 1997: 98). Namun sejumlah

kalangan internal NU meminta agar organisasi ini kembali terlibat aktif dengan

membentuk suatu partai politik. Alasan yang saat itu dikemukakan yaitu NU

merasa tidak terwakili suara politiknya dalam tubuh PPP (Saleh Aldjufri, 1997:

112). Kembalinya NU sebagai partai baru juga dengan perhitungan bahwa

berbagai aspirasi politiknya akan semakin diperhatikan dan disalurkan secara

lebih demokratis (Saleh Aldjufri, 1997: 115-116).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

Pada awalnya Gus Dur tidak langsung setuju akan pembentukan partai

politik berbasis pengurus, anggota, dan simpatisan NU. Akan tetapi Gus Dur

menilai bahwa situasi politik nasional berada dalam keadaan darurat, maka

memerlukan berbagai tindakan yang juga bersifat darurat (Barton, 2016: 330).

Gus Dur melihat bahwa memberikan pilihan kepada NU untuk kembali ke politik

adalah pilihan paling tepat sebab menyangkut pada hal yang substansial yakni hak

kebebasan berserikat sesuai dengan landasan UUD ‘45 (Saleh Aldjufri, 1997:

120).

Sebagai respon akan hal tersebut, dibentuklah PKB pada 23 Juli 1998. Gus

Dur sendiri diangkat sebagai ketua dewan syuro partai tersebut. Namun agar tidak

mengundang kecurigaan bahwa para ulama terlibat dalam politik praktis, maka

dikeluarkanlah instruksi bagi para fungsionaris NU di segala jenjang

kepengurusan tidak boleh merangkap jabatan di dalam kepengurusan PKB (Ali

Masykur Musa, 2010: 20). Gus Dur sendiri mundur dari jabatannya sebagai Ketua

Umum PBNU. Kemudian dirumuskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga (AD/ART) bahwa PKB harus menjadi partai nonsektarian,

terbuka bagi semua orang, dan mewakili semua elemen masyarakat (Ali Masykur

Musa, 2010: 19-20). Di kemudian hari, PKB pada akhirnya juga menjadi jalur

politik praktis bagi Gus Dur hingga beliau terpilih menjadi Presiden Republik

Indonesia.

Semasa menjabat, Presiden KH Abdurrahman Wahid membentuk Kabinet

Persatuan Nasional yang terdiri dari koalisi banyak partai dan juga dari tentara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

dan kalangan profesional (Ali Masykur Musa, 2010: 22). Hal penting yang

dilakukan Gus Dur dalam masa pemerintahannya yaitu berusaha menciptakan

perdamaian di daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Republik

Indonesia. Gus Dur lebih mengusahakan solusi damai lewat perundingan

dibandingkan operasi militer dalam mengatasi gerakan pemisahan diri seperti di

Irian Jaya dan Aceh. Di dalam benak Gus Dur, solusi bagi daerah-daerah tersebut

bukanlah suatu referendum mengenai kemerdekaan, melainkan suatu bentuk

otonomi daerah (Barton, 2016: 385). Tindakan konkret yang diusahakan oleh Gus

Dur yaitu bersedia untuk berbicara secara serius dengan masyarakat di daerah-

daerah yang ingin memisahkan diri mengenai aspirasi-aspirasi mereka (Barton,

2016: 385).

Pada malam 30 Desember 1999 Gus Dur berangkat ke Jayapura dan

bertemu dengan pemimpin-pemimpin masyarakat dari segenap Irian Jaya. Dalam

pertemuan itu Gus Dur menyetujui penyebutan Papua sebagai pengganti nama

Provinsi Irian Jaya (Barton, 2016: 386). Gus Dur juga memperbolehkan

pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, asalkan posisinya tidak lebih tinggi

dari bendera nasional RI (Barton, 2016: 447). Kebijakan-kebijakan ini disambut

hangat oleh rakyat Papua, tetapi menuai kritik dari berbagai kalangan yang tidak

setuju, terutama pihak oposisi.

Hal serupa juga Gus Dur lakukan di Aceh. Pada Maret 2000, Gus Dur

melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diikuti dengan

nota kesepahaman Pemerintah NKRI dengan GAM (Ali Masykur Musa, 2010:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

23). Kebijakan ini disebut oleh Gus Dur sebagai program kesejahteraan

masyarakat Aceh. Namun niat baik Gus Dur mengirim uang untuk membantu

program kesejahteraan masyarakat sebagai dukungan terciptanya perdamaian di

Aceh malah mendatangkan kerugian bagi dirinya, yakni terkena skandal

Buloggate dan Bruneigate.

Gus Dur mencari jalan untuk meminjam dari cadangan yang disimpan

oleh badan-badan pemerintah seperti Badan Urusan Logistik (Bulog), namun

lewat cara ini ia dituding melakukan manipulasi uang, sebab yang mengambil

uang tersebut adalah Suwondo, seorang tukang pijat kepresidenan (Barton, 2016:

400-401). Dalam waktu yang hampir bersamaan Gus Dur juga mencari bantuan

dari negara-negara lain demi mendukung perdamaian di Aceh. Pada saat itu juga

ia mendapat sumbangan pribadi dari Sultan Brunei, namun hal ini juga

dipermasalahkan sebab uang tersebut tidak ditempatkan di rekening resmi

pemerintah karena alasan permohonan Sultan Brunei sendiri untuk menjaga

kerahasiaan pemberian sumbangan tersebut (Barton, 2016: 401). Walaupun tak

seorang pun percaya bahwa Gus Dur bersalah melakukan korupsi untuk

kepentingan pribadi, namun hal ini tampaknya merupakan suatu tindakan yang

bodoh dan tidak profesional (Barton, 2016: 401-402).

Hal penting lainnya yang telah dilakukan Gus Dur sewaktu menjabat

sebagai presiden adalah kepeduliannya kepada warga keturunan Tionghoa. Gus

Dur mencabut pemberlakuan Instruksi Presiden RI (Inpres) No 12 Tahun 1967

yang telah membatasi budaya, adat istiadat, dan bahasa Cina di Indonesia (Ali

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

Masykur Musa, 2010: 23). Gus Dur bahkan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai

hari libur fakultatif (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Hal ini tentu saja membuat

warga keturunan Tionghoa bersukacita.

Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur membuat beberapa langkah

berani dalam mereformasi berbagai aspek dalam pemerintahan yang dinilai tidak

beres ketika masa Orde Baru. Beberapa di antaranya yaitu membubarkan

Departemen Penerangan dan Departemen Sosial yang pada masa Orde Baru

dinilai sarat akan KKN (Ali Masykur Musa, 2010: 23). Langkah lain yang tak

kalah pentingnya yaitu menghapuskan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (ABRI), mengembalikan tentara pada posisinya, memisahkan polisi dari

tentara, memisahkan keamanan dengan pertahanan, menegaskan bahwa aparat

tidak boleh terlibat dalam politik praktis sehingga tercipta demokrasi yang sehat

(M Imam Aziz, 2018: 251). Langkah-langkah yang diambil oleh Gus Dur di

antaranya yaitu membubarkan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas

Nasional (Bakorstranas) dan menghapuskan penelitian khusus (litsus) yang

selama Pemerintah Orde Baru digunakan untuk ―menakuti‖ pegawai negeri agar

tidak bersikap kritis (Ali Masykur Musa, 2010: 123).

Namun dalam usahanya mereformasi tatanan pemerintahan, Gus Dur

sepertinya masih belum dapat meninggalkan kebiasaannya yakni gaya

kepemimpinan pesantren (Wicaksana, 2018: 65). Gus Dur berkali-kali

memberhentikan menteri-menterinya yang membangkang terhadap dirinya.

Contohnya yaitu pada April 2000 ketika Gus Dur memecat Jusuf Kalla dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

jabatan Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Laksamana Sukardi dari

jabatan Menteri Badan Usaha Milik Negara karena mereka dinilai tidak mampu

bekerja dengan anggota-anggota timnya, di samping juga karena adanya tekanan

untuk segera mereformasi bidang perekonomian (Barton, 2016: 398). Gus Dur

juga tidak segan memecat Yusril Ihza Mahendra dari jabatan Menteri Kehakiman

dan HAM karena mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur, serta

memberhentikan Susilo Bambang Yudhoyono dari jabatan Menteri Koordinator

Politik, Sosial, dan Keamanan pada 1 Juli 2001 karena menolak perintahnya untuk

menyatakan negara dalam keadaan darurat (Ali Masykur Musa, 2010: 28).

Hal serupa juga dilakukan oleh Gus Dur dalam usahanya mereformasi

bidang kemiliteran dan kepolisian. Pada Maret 2000 Gus Dur mengabaikan

struktur pergantian jabatan di kalangan militer dengan mengangkat Agus

Wirahadikusumah sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Ali

Masykur Musa, 2010: 25). Lalu pada September 2000 Gus Dur memecat

Rusdihardjo dari jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri)

dan menggantikannya dengan Suroyo Bimantoro oleh karena menolak untuk

menangkap Tommy Soeharto yang saat itu menjadi tersangka kasus tukar guling

tanah milik Bulog (Barton, 2016: 444).

Gus Dur juga menuai berbagai kritik hingga menimbulkan kontroversi

dalam usahanya mereformasi pemerintahan di Indonesia selama ia menjabat

sebagai presiden. Salah satunya adalah usulan Gus Dur tentang pencabutan

Ketetapan MPR Nomor XXV/MPRS/1966 yang berisikan mengenai larangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

terhadap paham Marxisme/Leninisme (komunisme) di Indonesia (Wicaksana,

2018: 53-54). Usulan ini mendapat reaksi keras karena kaum komunis dianggap

pernah melakukan pemberontakan di Indonesia. Bagi Gus Dur sendiri, usulan ini

dimunculkan karena ia menganggap peraturan tersebut tidak demokratis dan

melanggar HAM (Wicaksana, 2018: 54).

Tindakan kontroversi lainnya adalah soal gagasan pembukaan hubungan

diplomatik dengan Israel (Wicaksana, 2018: 54, 66). Gagasan ini mendapat

tantangan keras dari banyak pihak. Banyak pihak menuding gagasan ini muncul

karena persahabatan Gus Dur dengan Yitzak Rabin yang saat itu menjabat sebagai

Presiden Israel (nasional.kompas.com/read/2018/02/06/13315291/gus-dur-gus-

mus-dan-jalan-cinta-untuk-diplomasi-israel-palestina). Adapula yang mengaitkan

dengan keanggotaan Gus Dur dalam The Peres Center for Peace and Innovation,

yayasan perdamaian yang didirikan mantan Presiden Israel Shimon Peres (Ali

Masykur Musa, 2010: 25). Gagasan ini juga ditentang oleh banyak kalangan,

mengingat Israel adalah negara yang telah banyak melakukan pelanggaran HAM

terhadap warga Palestina. Berbagai pihak berpendapat bahwa membuka hubungan

diplomatik dengan Israel sama saja dengan melanggar pembukaan UUD ‘45 yang

menyerukan akan ―penjajahan di atas dunia harus dihapuskan‖ (Wicaksana, 2018:

67). Padahal gagasan ini diambil oleh Gus Dur sebagai bentuk dialog dengan

beberapa pemimpin agama di Israel, untuk mengupayakan perdamaian. Gagasan

Gus Dur sederhana, Indonesia tidak mungkin bisa berperan dalam perdamaian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya

(tirto.id/gus-dur-sobat-israel-dari-dunia-islam-cMvf).

Melihat Gus Dur begitu menuai kontroversi serta situasi politik yang tak

kunjung kondusif, maka DPR bereaksi dengan membuat petisi yang menuntut

pemakzulan Gus Dur (Ali Masykur Musa, 2010: 27-28). Menanggapi hal tersebut,

Gus Dur menyatakan DPR sebagai Taman Kanak-Kanak (Ali Masykur Musa,

2010: 27). Gur Dur juga responsif dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 22

Juli 2001 yang berisi mengenai pembekuan DPR/MPR RI, pengembalian

kedaulatan ke tangan rakyat, persiapan pemilu dalam waktu satu tahun, dan

penyelamatan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru

(Wicaksana, 2018: 71). Namun dekrit itu gagal karena tentara dan polisi yang

diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan justru tidak

menjalankan tugasnya. Sidang Istimewa MPR tetap berlangsung dan pada 23 Juli

Gus Dur dimakzulkan dari jabatannya sebagai Presiden RI (Ali Masykur Musa,

2010: 29).

Setelah lengser dari jabatan presiden, Gus Dur masih terus melanjutkan

karier dan perjuangannya. Gus Dur kembali aktif menulis di berbagai media

massa (Ari Subagyo, 2012: 19). Pada 2002 beliau menjabat sebagai penasihat

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM dan pada 2003 beliau menjabat sebagai

penasihat Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional (Wicaksana, 2018: 73). Beliau

juga masih aktif dalam pergerakan politik, bahkan masih memiliki niatan untuk

kembali menjadi Presiden RI karena merasa tugasnya belum tuntas. Niat tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

didukung oleh berbagai partai politik bukan peserta pemilu, total ada 61 partai,

dengan mendirikan lembaga bernama Gus Dur Crisis Center (GDCC) yang

dideklarasikan di Jakarta (news.detik.com/berita/127696/parpol-bukan-peserta-

pemilu-dirikan-gus-dur-crisis-center). Gus Dur sendiri mengaku tidak keberatan

namanya dipakai karena nanti rakyat sendiri yang akan menilai keabsahan

lembaga tersebut. Lalu Gus Dur bersama Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Alwi

Shihab, Mahfud MD, Eros Djarot, dan Rahmawati Soekarnoputri membentuk

suatu forum yang bernama Forum Bersama untuk Menyelamatkan Bangsa

(Tempo. No 08/XXXIII/19-25 April 2004: 25).

Setelah melihat situasi politik saat itu dan menempuh berbagai macam

cara, akhirnya Gus Dur mengajukan diri kembali sebagai pasangan bakal calon

presiden dan wakil presiden bersama Marwah Daud Ibrahim pada Pemilu 2004,

tetapi gagal sebab dinyatakan tidak lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum

karena alasan kesehatan (liputan6.com/news/read/78670/gus-dur-tidak-lolos).

Pemilu 2004 kemudian memenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan

Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden NKRI. Pada Agustus 2005,

sebagai bentuk keaktifannya dalam dunia politik, Gus Dur bersama dengan

Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Wiranto, dan Akbar Tandjung tergabung

dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu, mengkritik kebijakan pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sambil memberi arahan bagaimana

semestinya (Wicaksana, 2018: 74).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

Setelah dirinya tidak terpilih menjadi presiden, Gus Dur masih

melanjutkan berbagai perjuangan konkret demi terwujudnya demokrasi sejati dan

terciptanya harmonisasi di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Beberapa

tindakan konkret yang ia lakukan yaitu menjadi penengah dalam kasus penutupan

Sekolah Sang Timur di Tangerang karena keberadaan sekolah tersebut

dipermasalahkan oleh kelompok Muslim radikal (metro.tempo.co/read/49828/gus-

dur-kasus-sang-timur-berbau-politik). Kemudian beliau juga mendukung Basuki

Tjahaja Purnama, seorang keturunan Tionghoa dan beragama Kristen, sebagai

calon gubernur Provinsi Bangka Belitung, di mana basis masyarakatnya mayoritas

merupakan pemeluk agama Islam (antaranews.com/berita/53140/gus-dur-jadi-

jurkam-cagub-babel-di-belitung). Hal lain yang ia lakukan yaitu menjadi saksi

ahli pengadilan penghayat dari Kuningan, pasangan Gugum dan Susi, yang diadili

karena menikah secara adat (M Imam Aziz, 2018: 253). Segala tindakan KH

Abdurrahman Wahid tersebut dilakukan berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45

yang menyatakan bahwa kepercayaan setiap warga negara itu dilindungi oleh

konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253).

Sepanjang hayatnya, Gus Dur selalu berupaya untuk memberi teladan

lewat perjuangan konkret, dibanding melalui perkataan atau tulisan (Wicaksana,

2018: 96). Bagi Gus Dur, yang paling penting dilakukan adalah berbuat baik

secara nyata dan menjadi pribadi yang berguna bagi setiap orang tanpa kecuali

(Wicaksana, 2018: 96). Mencari titik temu antara Islam, pluralisme, dan

demokrasi adalah bidang kajian yang memang digeluti beliau sampai dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

akhir hayatnya (Ali Masykur Musa, 2010: 110). Semua itu digerakkan oleh visi

Islamnya yang universal dan humanis, yang mampu merangkul dan mengayomi

semua kalangan (Trisno S Sutanto, 2018: 227). Melalui perjuangan konkretnya,

Gus Dur telah menanamkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia dan mengajarkan

untuk bersikap pluralis dengan saling menghargai berbagai kemajemukan yang

terdapat di masyarakat Indonesia (Wicaksana, 2018: 74).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

BAB III

HAKIKAT KATEKESE KEBANGSAAN

Pada bab-bab sebelumnya penulis sudah membahas latar belakang

penulisan, serta memaparkan berbagai rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, dan metode penulisan skripsi ini. Sudah juga dipaparkan

mengapa penulis memilih KH Abdurrahman Wahid dan Katekese Kebangsaan

dalam penulisan skripsi ini. Kemudian sudah juga diulas mengenai sosok KH

Abdurrahman Wahid melalui paparan biografi singkatnya, cita-citanya, berbagai

macam sumbangan pikiran yang pernah diucapkan dan dituliskannya dalam

berbagai media, serta perjuangan konkretnya dalam melihara kerukunan hidup

berbangsa dan beragama.

Pada bab ini penulis akan membahas hakikat Katekese Kebangsaan.

Pembahasan akan diawali dengan berbagai macam asal usul gagasan yang turut

membentuk terciptanya konsep Katekese Kebangsaan. Dalam bab ini juga akan

dipaparkan rincian unsur-unsur pokok yang terdapat dalam Katekese Kebangsaan.

Kemudian juga akan disebutkan berbagai contoh penerapan Katekese Kebangsaan

di Indonesia.

A. Asal Usul Gagasan

Katekese adalah suatu pembinaan iman bagi siapa saja, seluruh umat

Kristen dari segala kelompok usia dan semua golongan tanpa kecuali, melingkupi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

penyampaian ajaran Kristen, diberikan secara terencana dan berkesinambungan

dengan maksud mengantar umat memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 18).

Senada dengan pengertian tersebut, Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan

katekese sebagai usaha-usaha Gereja dalam membantu umat semakin memahami,

menghayati, dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Tema-tema

katekese juga perlu diperluas mengikuti perkembangan zaman agar umat dapat

lebih bersemangat dalam memberi kesaksian tentang iman mereka sehingga dapat

semakin mematangkan dan meneguhkan iman yang sesuai dengan kepenuhan

Kristus (bdk. CT 24-25).

Katekese Kebangsaan dapat diselenggarakan dalam rangka mewujudkan

Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45) dengan terlibat dalam kehidupan

berbangsa sekaligus merupakan perwujudan iman dalam menanggapi tanda-tanda

zaman. Katekese Kebangsaan merupakan hal yang cukup baru dalam

perkembangan katekese dewasa ini, khususnya di Indonesia. Melalui Katekese

Kebangsaan, Gereja turut menanamkan rasa cinta tanah air, berperan langsung

dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta menanamkan nilai-nilai moral

yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan sebagai

sebuah bangsa.

1. Berawal dari Katekese Kontekstual

Pada kurun 1959 hingga 1968 diadakan enam pekan studi kateketik

internasional. Pada 1959 diselenggarakan di Nijmegen, kemudian 1960 di

Eichstatt, 1962 di Bangkok, 1964 di Katigondo, 1967 di Manila, dan 1968 di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

Medellin. Enam studi ini menunjukkan betapa pentingnya katekese dalam kurun

tahun tersebut. Sayangnya setelah tahun 1980-an pekan-pekan studi kateketik

internasional sudah jarang diselenggarakan, sehingga berakibat pada kurang

berlanjutnya perkembangan kateketik dalam skala internasional.

Luis Erdozain (1983: 86-105) mengelompokkan enam pekan studi

kateketik internasional tersebut dalam tiga tahap, yakni kerigmatis (Nijmegen dan

Eichstatt), antropologis (Bangkok, Katigondo, dan Manila), dan politis

(Medellin). Erdozain (1983: 96) melihat adanya perbedaan mencolok dalam tiga

tahap ini, tetapi bukan sebagai suatu pertentangan antara tahap satu dengan

lainnya, melainkan suatu gerakan maju antara satu tahap menuju tahap yang

berikutnya. Menurutnya tahap kerigmatis lebih menekankan pada isi pewartaan

Sabda Allah yang berpusat pada Yesus Kristus (Kristosentris) dengan

menggunakan bahasa reflektif yang dekat dengan umat (Erdozain, 1983: 89-91).

Tahap antropologis lebih menekankan pada katekese yang bertolak dari keadaan

dan kebudayaan umat (umatsentris), dengan prinsip dasarnya bahwa wahyu Allah

bersifat dialogal, mengundang dan memampukan manusia untuk menanggapi-

Nya, memungkinkan perjumpaan nilai-nilai Injil dengan nilai-nilai budaya

(Erdozain, 1983: 92-95). Tahap politis menekankan pada kesatuan antara karya

penyelamatan Allah dengan peristiwa hidup manusia sehari-hari, tidak

mempertentangkan keduanya (Erdozain, 1983: 100-101).

Namun Michael Warren sendiri mengkritik pembagian tahap-tahap

perkembangan kateketik menurut Luis Erdozain atas enam pekan studi kateketik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

internasional. Menurutnya pengelompokkan Eichstatt ke dalam tahap kerigmatis

dan menyebut Bangkok sebagai gerakan yang pertama kalinya memperhatikan

segi antropologis adalah pandangan yang keliru. Warren (1983: 26-27) melihat

bahwa pembagian tahap-tahap perkembangan kateketik tidak perlu digolongkan

secara kaku, seperti halnya Erdozain menyebut Bangkok sebagai pertama kalinya

katekese memerhatikan aspek antropologis, sebab perkembangan kateketik di

Eropa sesungguhnya sudah memerhatikan peserta. Warren (1983: 333-334) juga

melihat perubahan mencolok terjadi di Medellin dengan dua pembahasan pokok

yaitu pentingnya konteks katekese dan perhatian akan perkembangan sejarah

keselamatan, berkaitan erat dengan bagaimana Injil perlu disebarkan melalui

tanda-tanda yang ―akrab‖ dengan kemanusiaan, yaitu pembebasan,

perkembangan, dan persatuan.

Berdasarkan hasil studi terhadap enam pekan studi kateketik internasional,

penulis menduga bahwa Katekese Kebangsaan berada dalam posisi penggabungan

antara tahap antropologis dengan tahap politis. Luis Erdozain (1983: 105)

mengungkapkan bahwa tahap antropologis dan politis termasuk dalam katekese

kontemporer, merepresentasikan Sabda Allah pada dunia kekinian, menunjukkan

perkembangan iman dan wahyu, serta semangat dan wajah baru dalam katekese

yang Kristosentris sekaligus umatsentris. Katekese Kebangsaan memiliki dimensi

pluralis, cocok dengan tahap antropologis yang memungkinkan dialog dengan

budaya dan agama lain (Erdozain, 1983: 96). Katekese Kebangsaan juga

merupakan persoalan bagaimana usaha Gereja untuk mewujudkan Kerajaan Allah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

di tengah-tengah dunia dengan cara melibatkan diri secara aktif di dalamnya,

cocok dengan tahap politis yang berorientasi pada praksis perjuangan bersama

demi keadilan dan kesejahteraan bersama sebagai komunitas beriman (Erdozain,

1983: 103).

Enam pekan studi kateketik tersebut menunjukkan bahwa katekese

dijalankan sesuai pada konteksnya. Seperti misalnya hasil di Bangkok dan

Katigondo yang menyesuaikan dengan konteks budaya setempat, bagaimana

katekese dapat diadakan secara inkulturatif, bagaimana mengenalkan Kristus

dengan ciri khas Asia dan Afrika. Hasil di Medellin juga menunjukkan bahwa

katekese adalah upaya mewujudnyatakan Kerajaan Allah pada masyarakat yang

miskin dan tertindas, sesuai yang dialami di Amerika Selatan.

Hope Antone (2010: xiii) menyatakan bahwa pelaksanaan katekese

kontekstual perlu menyapa konteks kemajemukan menggunakan pendekatan

pluralisme agama, berdialog dengan tradisi iman agama lain namun tetap

berkomitmen pada tradisi spiritualitas Katolik. Seorang pluralis sejati

bagaimanapun juga adalah seseorang yang berakar dengan baik dalam tradisi

imannya tetapi mampu mengakui dan terbuka kepada orang-orang yang berasal

dari tradisi lain, mengakui bahwa kasih Allah lebih luas daripada apa yang benar-

benar dapat dipahami oleh akal budi manusia (Antone, 2010: 89). Hal ini

menandakan dimensi iman yang universal, bahwa Allah mengasihi dan

berkomitmen untuk menyelamatkan semua orang tanpa terkecuali.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

Antone (2010: 10) menegaskan bahwa konteks membentuk teologi serta

teori dan praksis pendidikan. Perlu adanya upaya kontekstualisasi dalam proses

berteologi, kemudian membentuk suatu teori pendidikan dan mempraktikannya,

termasuk juga terhadap teori dan praksis katekese. Konteks dapat dilihat sebagai

ruang, waktu, dan tempat suatu realitas kehidupan yang dinamis, masalah dan

kebutuhan muncul, begitu juga dengan aspirasi dan harapan pun muncul dan

dibagikan (Antone, 2010: 11).

Antone menggambarkan suatu katekese kontekstual dalam metafora meja

makan. Bagi Antone (2010: 96) gambaran percakapan di meja makan bukan

hanya metaforis atau figuratif, tetapi juga bersifat denotatif karena telah

mengalaminya langsung di tengah lingkungan hidupnya yang majemuk. Hal yang

dialami oleh Antone yaitu bahwa suatu keluarga yang terdiri dari berbagai

komunitas budaya dan agama dapat bergaul dengan indah dan bermakna di sekitar

meja makan, menyediakan ruang bersama untuk saling berbincang dan berbagi

kehidupan dengan penuh kasih mesra dan mendalam. Percakapan di meja makan

merupakan suatu kegiatan bersama dengan situasi percakapan yang multiarah di

mana semua orang terlibat di dalamnya dan dapat dengan aktif mengungkapkan

uneg-uneg secara bebas tanpa batas-batas tertentu (Antone, 2010: 95-98). Meja

makan dalam situasi tersebut menjadi suatu tempat yang hangat dan diselimuti

dengan suasana keramahtamahan, sekumpulan orang dapat saling berbagi dan

bercakap-cakap dengan bebas, bahkan hingga merumuskan harapan dan tujuan

hidup bersama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

Metafora meja makan sebagai gambaran katekese kontekstual sejajar

dengan praktik meja makan yang diperlihatkan oleh Yesus dalam Injil. Secara

gamblang Yesus mau duduk makan bersama-sama dengan para pemungut cukai

dan orang-orang berdosa (Mrk 2:16, Luk 15:2) sekaligus berbagi kasih dalam

pengalaman iman dan juga pengajaran kepada mereka. Yesus memperlihatkan

bahwa di meja makan Allah semua orang disambut tanpa kecuali. Lewat

perumpamaan tentang perjamuan kawin (Mat 22:1-14 par.) Yesus mengundang

orang-orang dan berbagi makanan bersama mereka, menunjukkan kerahiman dan

belas kasih Allah yang melampaui batas-batas tatanan sosial duniawi. Yesus

memberikan gambaran situasi kerahiman Kerajaan Allah melalui praktik makan

bersama. Makanan dan kegiatan makan tidak hanya suatu kebutuhan biologis,

tetapi juga memiliki makna penting yang bersifat sosial, kultural, dan pedagogis

(Antone, 2010: 116). Oleh karena itu, meja makan dan perjamuan makan telah

menjadi gambaran tentang Kerajaan Allah yakni keramahtamahan yang

berlimpah, keterbukaan sejati, dan perayaan sukacita bersama. Gambaran ini

berpengaruh dalam praktik katekese kontekstual yang berusaha memahami

kondisi dan situasi umat setempat yang majemuk dengan saling memahami,

menghormati, dan terbuka terhadap satu sama lain.

Karena meja makan secara alami mengundang, maka katekese kontekstual

juga mengambil pendekatan yang mengundang secara terbuka. Katekese

kontekstual terdiri dari berbagi kisah hidup, pengalaman keagamaan, keprihatinan

serta apresiasi bersama yang membuat kita menjadi sungguh-sungguh manusiawi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

(Antone, 2010: 133). Dengan berkumpul bersama dan mengambil bagian dalam

seluruh proses katekese, dapat terlihat seberapa besar kita saling membutuhkan

satu sama lain demi keberlangsungan bersama dalam kehidupan sehari-hari.

Metafora meja makan menggambarkan betapa luas dan dalamnya kepekaan sejati

terhadap orang lain, sehingga kita dapat tergerak untuk menawarkan

keramatamahan dan persahabatan yang melimpah, berbagi apa yang diperlukan,

melihat apa yang sering tak terlihat, dan mendengarkan apa yang tidak terucapkan

(Antone, 2010: 135). Dengan demikian, kita akan dapat lebih bekerja secara

kolektif dan efektif dengan orang lain di sekitar kita, baik di dalam satu komunitas

atau bahkan bergerak ke luar.

2. Allah yang inkarnatoris

Konstitusi Dei Verbum mengatakan bahwa ketaatan iman berarti manusia

bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, yang berarti mempersembahkan

kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang

mewahyukan, dan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang telah

dikaruniakan Allah kepada manusia (DV 5). Dengan kata lain, iman dapat

dimaknai sebagai Sabda Allah, yang merupakan tawaran karunia dan rahmat dari

Tuhan, yang menuntut jawaban secara pribadi dan menyeluruh dari manusia. Arti

iman tersebut tidak terpisahkan dari cinta yang dimengerti sebagai jawaban dan

penerimaan manusia atas sejarah keselamatan yang diwahyukan Allah

(Telaumbanua, 1999: 43-46).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

Hubungan antara wahyu dengan iman merupakan visi Ilahi yang tidak

terlepas dari misteri inkarnasi. Di dalam inkarnasi, Anak Allah yang bersifat

universal dan kekal hadir di dunia yang bersifat terbatas dan sementara (Heryatno

Wono Wulung, 2000: 127). Allah berinisiatif bergerak menuju umat manusia

untuk mengantarkan mereka kepada keselamatan (FR 7). Inisiatif tersebut

membuat manusia dapat memahami Allah sesuai dengan akal budi yang

dimilikinya melalui berbagai pengetahuan iman yang telah diwahyukan dalam

Sabda Allah (FR 8). Pengetahuan tersebut menunjukkan betapa besar cinta kasih

Allah terhadap umat manusia dan mempercayakan tanggung jawab yang besar

kepada umat manusia dalam mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia

(FR 13, GS 45).

Inisiatif Allah dalam misteri inkarnasi menjalin suatu relasi baru antara

Allah, yakni menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik dan sungguh bersifat

positif. Melalui inkarnasi, Allah berkenan mendatangi manusia dan menjadi satu

dengan seluruh realitas hidup manusia, sehingga manusia dapat mengalami

kehadiran Allah secara konkret (Heryatno Wono Wulung, 2000: 127). Oleh

karena itu kebaikan manusia sungguh-sungguh diakui dan diteguhkan, dan

manusia dengan mudah berinteraksi dengan Allah karena relasi dengan-Nya telah

dipulihkan dan diperbarui.

Inkarnasi Allah dapat nampak secara nyata dalam inkulturasi, yakni

penjelmaan nilai-nilai Injil ke dalam konteks kebudayaan tertentu sehingga jemaat

setempat dapat menghayati Injil Yesus Kristus seturut cara hidup mereka masing-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

masing (Heryatno Wono Wulung, 2000: 126). Penekanan kebudayaan dalam

inkulturasi dapat dilihat dalam misteri Paskah Yesus Kristus yang bersedia

menyerahkan seluruh hidup-Nya supaya semua orang dapat diselamatkan

(Heryatno Wono Wulung, 2000: 130). Melalui wafat dan kebangkitan-Nya,

Kristus mengubah dosa manusia yang mengalami pertobatan menjadi semangat

untuk menjalani hidup yang baru.

Dalam memahami Allah yang inkarnatoris, maka katekese mengupayakan

terjadinya perjumpaan pribadi antara manusia dengan Allah sebagai proses wahyu

dan iman (Madya Utama, 2018: viii). Dengan prinsip iman dan wahyu, katekese

memiliki jenis pengetahuan yang tidak hanya bergantung pada pemahaman

manusia saja tetapi juga pada wahyu diri Allah yang diterima manusia dalam iman

(Manfred Habur, 2016: 38-39). Oleh karena itu katekese mesti membantu peserta

katekese untuk menyadari bahwa mereka perlu meresapi hidupnya dengan nilai-

nilai Injili sehingga dapat menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia (Madya

Utama, 2018: ix). Katekis diharapkan dapat membantu mengantarkan umat

mengalami wahyu secara konkret dalam kehidupan sehari-hari dan mengupayakan

persatuan di antara semua orang dalam persekutuan persaudaraan (Madya Utama,

2018: x).

Allah yang inkarnatoris menjadi tolok ukur diselenggarakannya Katekese

Kebangsaan. Katekese Kebangsaan mewartakan Yesus Kristus sebab pokok

pewartaan katekese yakni mewartakan Kabar Gembira yang berada dalam diri

Yesus Kristus dan Kristus sendirilah sebenarnya yang sedang berkatekese (CT 6).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

Yesus sendiri pernah berujar bahwa: "Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku

sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku‖ (Yoh 7:16). Maka selayaknya

ajaran yang disampaikan bukanlah pendapat pribadi sang katekis atau membela

kepentingan tertentu, melainkan ajaran yang berasal dari Kristus dan sesuai

dengan kebutuhan umat sendiri. Dengan demikian sungguh nampak bahwa

Katekese Kebangsaan bersifat Kristosentris sekaligus umatsentris.

Katekese Kebangsaan mewartakan Allah yang turut serta terlibat dengan

persoalan dunia, bersama dengan itu mengajak umat sekalian untuk mau turut

terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan demi terjalinnya kesejahteraan umum.

Umat dipanggil untuk mengambil bagian di dalam tugas perutusan Yesus yakni

meneguhkan, membangun, dan memperkembangkan kehidupan. Sangat

diharapkan bahwa Allah sungguh dapat berinkarnasi atau mengakar di dalam

hidup masing-masing umat (Heryatno Wono Wulung, 2000: 133). Oleh karena

itu, umat juga sangat diharapkan sungguh-sungguh mengalami perjumpaan

dengan Allah dalam diri Yesus Kristus sehingga dalam kesehariannya menghayati

Injil dan berani bersaksi dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat luas

(CT 9).

3. Gabungan antara discipleship dengan citizenship

John Coleman mengungkapkan gagasan mengenai penggabungan antara

semangat kemuridan (discipleship) dengan semangat kewarganegaraan

(citizenship). Dalam tiga narasi yang dikemukakan Coleman, terlihat adanya

perbedaan pandangan mengenai perihal discipleship dengan citizenship. Di satu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

sisi meyakini pemisahan antara keduanya, di sisi lain setuju untuk

menggabungkan urusan keduanya. Dua hal tersebut sering dipertentangkan satu

sama lain, dibedakan menurut urusan masing-masing, tetapi sebenarnya dapat

dipersatukan tanpa tumpang tindih satu sama lain.

Coleman (1992: 339) menyatakan bahwa sejak awal Gereja Puritan

berusaha menggabungkan discipleship dengan citizenship sebagai bentuk

kehidupan bersama tetapi tidak mendominasi pemerintahan sipil, tetap

menempatkan perbedaan penting antara pemerintahan gerejani yang layak dengan

pemerintahan sipil. Pendapat lain muncul dari kelompok revivalist yang

mengatakan bahwa agama sesungguhnya memegang peranan penting dalam

membentuk kehidupan berbangsa yang baik, discipleship dapat berkontribusi baik

terhadap citizenship (Coleman, 1992: 342-343). Lewat cara pandang pluralisme

dengan toleransinya, kelompok ini berusaha menengahkan relasi antara gagasan

citizenship dengan discipleship yang masih berkaitan erat, terlepas dari unsur-

unsur perbedaannya. Pendapat lain lagi mengatakan adanya unsur paradoksal

dalam usaha menggabungkan semangat citizenship dengan discipleship.

Kelompok ini merasa urusan agama terlalu mencampuri ranah publik. Kaum

religius dinilai sebagai contoh warga negara (citizenship) yang buruk karena

mereka gagal menerapkan nilai-nilai ajaran (discipleship) mereka sendiri

(Coleman, 1992: 348). Namun politik sering kali menggunakan agama untuk

menarik simpati pemilih saat pemilu, contohnya mengirim surat kepada kardinal

agar mendapat suara dari kaum Katolik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

Pada akhirnya Coleman (1992: 350) menyimpulkan bahwa sebenarnya

masih ada perdebatan tentang relasi antara discipleship dengan citizenship.

Meskipun ada arah untuk penggabungan keduanya, masih belum ada penataan

kembali relasi antar keduanya yang dinyatakan dengan jelas. Ada keresahan

publik untuk menghimpun jaringan dengan Gereja demi membahas permasalahan

sosial dan moral. Murid Kristus yang memiliki rasa tanggung jawab sebaiknya

tertarik untuk meningkatkan kesadaran moral dalam masyarakat. Konsensus

antara keduanya akan mampu mengatasi konflik moral dan sosial tersebut,

menjawab tantangan zaman, dan meningkatkan kesadaran akan kehidupan

bersama.

Gagasan John Coleman untuk menyeimbangkan semangat discipleship

dengan citizenship mendapat respon positif di kemudian hari. Gereja menyadari

bahwa kedua semangat tersebut amat penting dalam tugas dan pelayanannya di

dunia ini. Maka melalui katekese, Gereja berusaha untuk mengajak anggotanya

mengalami kedua semangat tersebut dan mencoba menyeimbangkannya dalam

kehidupan sehari-hari.

Dalam proses katekese, pendamping dan peserta saling berhubungan

sebagai mitra, sama-sama berziarah untuk menjadi murid Yesus sejati (Schipani,

1997: 28). Pendamping dan peserta katekese bersama-sama memperkembangkan

dan menyelaraskan semangat discipleship sekaligus citizenship menuju

kepenuhan hidup Kristiani yang meliputi visi Allah yang hidup, keutamaan Yesus

Kristus, dan panggilan Roh Kudus (Schipani, 1997: 30). Dengan demikian,

katekese dapat menjadi penjembatan antara semangat discipleship sekaligus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

citizenship, semakin terlibat dalam masyarakat demi semakin terwujudnya

Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.

4. Keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat

Gereja menyangkut umat banyak, jadi perlu ada unsur kesatuannya,

kebersamaannya dalam satu rasa yang dapat ditangkap oleh orang banyak, selain

itu juga harus bermakna, berbudi, luhur, namun terutama autentik atau asli

(Mangunwijaya, 1999: 19). Gereja merupakan umat yang beriman kepada Yesus

sebagai pewarta Kabar Gembira, maka umat sebagai penerima dan pewarta Kabar

Gembira sebaiknya selalu gembira, optimis, dan energik, tetapi prinsipial dan

berani, pecinta para miskin dan penderita (Mangunwijaya, 1999: 24).

Katekese adalah salah satu upaya Gereja dalam mengembangkan tugas

karya pewartaan. Katekese bertujuan membangunkan, memelihara,

memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan

menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi

dan berbuah dalam tindakan. ―Katekese harus memperhatikan keseluruhan hidup

manusia yang sekuler dan religius, harus memuat hubungan tetap dengan keadaan

hidup yang sesungguhnya, yang memuat bukan saja tugas sosial ekonomis dan

politis, tetapi juga kenyataan dan kelompok kultis dan religius‖ (Amalorpavadass,

1972: 9). Katekese dilakukan dalam rangka pewartaan iman yakni menerangkan

pesan Injil sebagai cara untuk mengungkapkan iman dengan tujuan bagaimana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

orang dapat dibimbing dan ditolong agar memahami iman (Kiswara, 1988: 50-

51).

Dengan kata lain, katekese harus juga bersifat umatsentris, sesuai dengan

situasi hidup jemaat, termasuk berbagai pengalaman dan masalah yang dialami

oleh mereka. Maka tugas katekese adalah mengolah situasi hidup umat setempat,

dan semuanya itu dipandang, dipahami, dan dihayati menurut Sabda Allah,

dengan penyerahan diri secara menyeluruh kepada Kristus. Dengan demikian,

masing-masing pribadi akan mengalami hubungan mesra dan mendalam dengan

Kristus, sehingga kemudian dapat bersaksi dengan membagikan pengalaman

tersebut sesuai dengan konteks lingkungan hidup mereka masing-masing.

Dalam mencapai tujuannya untuk membangunkan, memelihara,

memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan

menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi

dan berbuah dalam tindakan, katekese dapat dilakukan melalui langkah-langkah

dan pendekatan yang dinamis, dalam gerak, irama, dan tahapan yang jelas.

Katekis sebagai fasilitator atau pemandu katekese perlu memiliki daya kreativitas

sehingga dapat berbaur dan menyatu dengan umat yang dilayaninya. Maka katekis

hendaknya perlu mengalami sendiri persekutuan hidup yang mesra dan mendalam

bersama Kristus (CT 9, 23) dan umat setempat. Katekis menghayati semua

peristiwa serta segi-segi kehidupan komunitas umat dengan penuh rasa tanggung

jawab. Sehingga apa yang terjadi dalam proses katekese adalah benar-benar

sesuatu yang konkret, bukan sekadar teori, dan benar-benar relevan dengan situasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

hidup keseharian umat setempat. Dengan demikian proses katekese tidaklah

kering, melainkan benar-benar mengalir dan dinamis karena umat mengalaminya

secara penuh dan dapat semakin menyadari kasih kerahiman Allah dalam diri

masing-masing pribadi.

Menurut Amalorpavadass (1972: 36), langkah-langkah yang dapat

dilakukan katekis dalam mencapai tujuan katekese untuk membangunkan,

memelihara, memperkembangkan iman, sambil memperbarui, memperdalam, dan

menyempurnakan pertobatan dengan jalan membuatnya semakin bersifat pribadi

dan berbuah dalam tindakan adalah sebagai berikut. Pertama yaitu berusaha

mengingatkan kepada pengalaman manusiawi, merenungkannya dan

memaknainya sejauh mungkin. Kedua yakni membawa pengalaman manusiawi

tersebut dan menghadapkannya pada terang Sabda Allah, kemudian kembali

memaknainya dengan lebih penuh dan mendalam. Ketiga adalah mempelajari

kembali dan menghayati pengalaman manusiawi tersebut dengan menyesuaikan

sepenuhnya dengan iman, yaitu menyadari kesesuaian atau relevansi Sabda Allah

di dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam perkembangannya, Gereja perlu terlibat aktif dalam kehidupan

berbangsa dan bermasyarakat. Semangat Konsili Vatikan II mengajak seluruh

bangsa manusia melupakan permusuhan dan perselisihan yang sudah lewat,

berusaha untuk saling memahami dan menjadi kawan seperjuangan demi

penyelamatan dan pengembangan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian,

dan kemerdekaan (NA 3). Mangunwijaya (1999: 29) mengemukakan pendapatnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

yang bertajuk Gereja Diaspora, yakni berarti keluar ikut berjuang dalam bidang

politik, ekonomi, sosial, dan budaya bersama masyarakat dan bangsa.

Pelayanan umat diaspora tidak terlepas dari Tritugas Kristus yang diterima

dalam Sakaramen Baptis, yakni menyucikan, mewartakan, dan memimpin (imam,

nabi, dan raja) (lih. GS 31, AA 2). Tugas tersebut tidak hanya ditujukan kepada

para imam, tetapi mencakup keseluruhan umat (Mangunwijaya, 1999: 56).

Pelayanan umat diaspora membutuhkan visi dan mental pimpinan umat yang

terbuka terhadap segala bentuk perubahan, namun diimbangi oleh prinsip mutlak

yakni fungsi kita sebagai anak Allah sekaligus murid Kristus yang dibekali oleh

semangat Roh Kudus di dalam persaudaraan Gereja universal (Mangunwijaya,

1999: 63). Sikap terbuka menuntut kerendahan hati seorang manusia, sedangkan

berprinsip membutuhkan keyakinan mendalam tentang perlunya kebijaksanaan

untuk memilih tindakan yang benar atau salah (Mangunwijaya, 1999: 64).

Kerasulan awam dalam bidang kemasyarakatan dan kenegaraan dapat

menjadi salah satu cara untuk mewujudkan pelayanan umat diaspora

(Mangunwijaya, 1999: 123). Keterlibatan umat awam di tengah dunia politik dan

kemasyarakatan adalah bentuk konkret dari pelayanan umat diaspora demi

terwujudnya Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (Mangunwijaya, 1999: 124).

Gereja dan umat jelas punya kewajiban dan hak untuk berpolitik demi

terwujudnya kepentingan dan kesejahteraan umum (Mangunwijaya, 1999: 125).

Gereja dan umat harus tetap hadir dan bijak membela segala kebenaran, keadilan,

kemanusiaan, dan kebaikan, terlepas dari setuju atau tidak setuju, senang atau

tidak senang dengan bentuk kekuasaan pemerintahan yang ada (Mangunwijaya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

1999: 127). Maka dari itu, kaum awam sangat dianjurkan untuk terlibat dalam

masalah-masalah politik praktis kekuasaan lewat segala sarana macam-macam

badan kekuasaan seperti partai politik, lobby politik, parlemen, dan sebagainya,

akan tetapi tindakan tersebut dilakukan atas nama pribadi, tidak atas nama Gereja,

umat, ataupun Hierarki Gereja (Mangunwijaya, 1999: 127, 129).

Gereja Diaspora dengan pengembangan konteks pluralisme agama dapat

memperkuat hubungan ke luar, menjalin hubungan yang harmonis dengan

berbagai pihak dari seluruh kalangan (Sudiarja, 1999: 27). Oleh karena itu

partisipasi awam sangat diharapkan untuk terlibat aktif membangun komunikasi

iman dengan dunia yang mereka geluti (Sudiarja, 1999: 30). Dengan begitu umat

dapat memberikan kesaksian kasih dalam hidup mereka sehari-hari.

B. Pokok-pokok Mengenai Katekese Kebangsaan

1. Subjek dan objek Katekese Kebangsaan

Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan katekese

disebut kateketik. Kateketik sebagai ilmu tentu memiliki subjek, objek material,

dan objek formal tersendiri. Dalam ilmu pengetahuan, manusia menempati posisi

sebagai subjek sekaligus sebagai objek. Manfred Habur (2016: 31-34) mengutip

pendapat S. Curro mengatakan bahwa ilmu kateketik memiliki subjek yaitu

manusia yang mencari identitas dirinya yang mampu merencanakan sendiri

kehidupannya lewat berbagai macam kompetensi yang ada, dan juga realitas iman

yakni inisiatif Allah yang memanggil, menangkap, dan merangkul manusia dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

persahabatan seturut kehendak-Nya. Marinus Telaumbanua (1999: 20-21)

mengemukakan objek material ilmu kateketik yaitu seluruh umat Kristiani,

sedangkan objek formalnya yaitu pendidikan dan komunikasi iman. Manfred

Habur (2016: 50) melihat kedudukan kateketik sebagai bagian dalam teologi

praktis, di mana objek material-formalnya menyangkut iman umat dan pendidikan

iman ke arah kedewasaan. Refleksi atas pendidikan iman tidak hanya bergantung

pada usaha manusia melalui nalar dan intuisi rohaninya, melainkan juga pada

iman dan wahyu dari Allah sendiri.

Katekese Kebangsaan merupakan hal yang cukup baru dalam

perkembangan katekese dewasa ini, khususnya di Indonesia. Perlu diselidiki lebih

lanjut mengenai deskripsi lengkapnya, aspek-aspeknya, juga subjek dan objeknya.

Menurut penulis sebenarnya tidak perlu adanya tumpang tindih antara Gereja dan

masyarakat jika mengacu pada peran Gereja dalam mewujudkan nilai-nilai

Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45), yaitu dengan berkontribusi bagi

masyarakat, bangsa, dan negara. Hal yang perlu diperhatikan yaitu, bagaimana

melalui realitas kebangsaan katekese tidak mengabaikan subjek lainnya yaitu

inisiatif Allah sendiri yang mengundang manusia menjalin relasi yang intim

dengan-Nya. Begitu juga dengan objek formalnya yaitu pendidikan dan

komunikasi iman bagaimana menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia sebagai

usaha untuk mewujudkan Kerajaan Allah.

Karenanya sebaiknya, katekese tidak boleh terlalu menekankan subjek

manusia sehingga mengabaikan Allah, dan sebaliknya tidak boleh terlalu

menekankan Allah sehingga tidak menyentuh realitas kehidupan konkret manusia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

Singkatnya, katekese harus setia kepada Allah sekaligus setia kepada manusia.

Katekese yaitu mewartakan Sabda Tuhan yang selalu berinkarnasi dalam

kehidupan manusia dalam bentuk dan bidang apa pun secara konkret (Rukiyanto,

2016: 73-74).

2. Mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia

Datangnya Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dan terwujudnya

keselamatan segenap bangsa manusia adalah tujuan dari seluruh tugas dan

perutusan Gereja selama peziarahannya di dunia (GS 45). Untuk itulah Gereja

dengan seluruh karyanya perlu terlibat secara penuh mengusahakan terjadinya

kesejahteraan umum bagi segenap umat manusia sehingga Kerajaan Allah dapat

terwujud secara konkret di dunia (GS 73). Keterlibatan tersebut ditunjukkan oleh

Gereja dengan mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dan

mengembangkan diri di bawah pemerintahan manapun yang mengakui hak-hak

asasi manusia serta berbagai kebutuhan akan kesejahteraan umum (GS 42).

Tepatlah jika Groome (2011: 24) berpendapat bahwa tolok ukur utama yang

menentukan keberhasilan sebuah katekese yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan

Allah di tengah kehidupan manusia. Katekese Kebangsaan adalah salah satu

upaya Gereja dalam mengajak seluruh anggotanya untuk turut terlibat aktif dalam

seluruh kegiatan kemasyarakatan demi tercapainya tujuan tersebut. Jika Katekese

Kebangsaan dipetakan, maka dapat digolongkan dalam Katekese Transformasi

Sosial, yakni katekese yang bersifat inkulturatif, inklusif, dan pluralis, serta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

bertujuan untuk mewujudkan transformasi sosial demi melayani Kerajaan Allah

(Schipani, 1997: 25-26).

Katekese Transformasi Sosial bermula dari pengamatan Daniel Schipani

yang mengeksplorasi transformasi sosial sebagai bingkai dari pendidikan agama

(Seymour, 1997: 19). Daniel Schipani (1997: 25) melihat bentuk rekonsiliasi

rasial yang dialami oleh Gereja Reba Place pada 1991 telah menunjukkan bahwa

relasi pertemanan atau kekeluargaan melampaui batas-batas perbedaan yang ada.

Hal ini menunjukkan tantangan dan peluang untuk merintis suatu pendidikan iman

yang memberi dampak perubahan baik secara personal maupun sosial, menyadari

bahwa keanekaragaman warga jemaatnya justru merupakan anugerah yang

diberikan Tuhan untuk bersatu memeperjuangkan terwujudnya Kerajaan Allah di

tengah-tengah hidup mereka.

Langkah-langkah dalam Katekese Transformasi Sosial meliputi tiga aspek

yakni seeing (melihat), judging (menafsirkan), dan acting (bertindak). Seeing

yaitu berusaha menyimak dan memahami realita konkret yang dialami umat,

menganalisisnya, dan dengan itu diharapkan sampai pada beberapa keprihatinan

dasar (Schipani, 1997: 33). Judging berarti berusaha menemukan kehendak Allah

di dalam kenyataan yang konkret dengan cara menafsirkan Kitab Suci dan

Dokumen Gereja, yaitu Sabda Allah menurut keprihatinan mendasar yang

ditemukan dari analisis kita terhadap kenyataan konkret (Schipani, 1997: 33-34).

Acting berarti melakukan tindakan konkret selanjutnya sebagai tanggapan setelah

mempertemukan sintesis antara realita konkret dengan tafsiran Sabda Allah sesuai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

realita tersebut (Schipani, 1997: 34). Langkah lain tetapi serupa yang dapat

diambil yaitu menggunakan cara going dan seeing (pergi melihat) serta welcoming

(mengundang mereka datang) (Schipani, 1997: 37).

Dalam tujuannya mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-

tengah dunia, Katekese Kebangsaan dapat menggunakan langkah-langkah tersebut

sehingga semakin dapat menumbuhkembangkan iman umat untuk semakin

terlibat dalam kehidupan menggereja dan memasyarakat. Groome (2011: 26)

menyatakan bahwa iman yang utuh yakni mencakup aspek kognitif (head), afektif

(heart), dan psikomotoris (hands). Hal ini berarti seseorang yang beriman secara

utuh sungguh mengasihi Allah dan sesama secara total dengan seluruh akal budi,

hati, jiwa, dan juga segenap kekuatan (Mrk 12:33). Dengan begitu maka Katekese

Kebangsaan dapat menggerakan semangat umat sehingga mencapai kepenuhan

imannya demi mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah

dunia.

3. Sebagai kebutuhan umat di masa kini

Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai persoalan yang menguras

banyak energi, menjadi beban berat pembangunan, dan menghambat kemajuan di

berbagai bidang kehidupan. Kondisi persatuan dan kesatuan sebagai bangsa

beberapa tahun terakhir ini cukup mengkhawatirkan karena terkoyaknya

kerukunan dan toleransi antarumat beragama (Nota Pastoral KWI 2018 No 5). Hal

ini dapat memicu sikap saling curiga, berprasangka buruk, dan intoleransi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

semakin melemahkan semangat kebangsaan. Persoalan intoleransi ini merembet

sampai pada radikalisme. Maraknya radikalisme yang disertai kekerasan

menunjukkan penolakan terhadap Pancasila, serta memanfaatkan isu

ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan dan pengangguran sebagai pintu

masuk memprovokasi masyarakat (Nota Pastoral KWI 2018 No 5).

Terjadinya intoleransi atau radikalisme beragama salah satunya

disebabkan oleh kesalahan berpikir dalam memahami dan memaknai teks/ajaran

agama dan ayat-ayat Kitab Sucinya, sebab umat beragama apa pun jika

memahami teks atau pesan agama dan Kitab Suci secara tekstualis, maka akan

mudah melahirkan sikap dan perilaku intoleran atau radikalisme agama (Nota

Pastoral KAS 2018: 26). Manusia kehilangan relasi pribadi yang akrab dengan

Tuhan mengakibatkan tumpulnya hati nurani, sehingga penghayatan terhadap

ajaran iman dan agama menjadi sebatas ketaatan pada peraturan semata (DFI 19).

Pemerintah dan masyarakat seharusnya memahami dan melaksanakan

Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan

Nasional yakni menyadarkan bahwa NKRI mempunyai ciri khas, yaitu

kebinekaan suku, kebudayaan, dan agama yang dipersatukan oleh tekad: satu

tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan, yaitu Indonesia, serta dialaskan

pada Pancasila sebagai dasar negara (Nota Pastoral KAS 2018: 19). Di tengah

bangsa yang majemuk, Sabda Tuhan menjadi pendorong dan penyemangat bagi

Gereja untuk menjadi garam dan terang, menghasilkan buah, menjadi pelopor

perdamaian dan kerukunan serta hidup atas dasar nilai-nilai Kerajaan Allah (Nota

Pastoral KWI 2018 No 14).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

Bagi Indonesia, Pancasila tidak hanya sekedar dasar ideologis, tetapi cara

hidup dan sumber dari segala sumber hukum, serta nilai-nilai dasar dari kehidupan

Indonesia. Oleh karena itu memperjuangkan nilai Pancasila demi mencapai cita-

cita dan tujuan negara merupakan dimensi hakiki dari iman Kristiani (Nota

Pastoral KWI 2018 No 22). Maka warga Gereja penting menghidupi secara

konkret dari nilai-nilai Pancasila dan UUD ‘45 dengan cara terlibat aktif dalam

kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Berangkat dari situasi tersebut, Katekese Kebangsaan hendaknya

membantu umat untuk mengalami Allah yang inkarnatoris dan turut melibatkan

diri di dalam-Nya sehingga mampu mendorong transformasi hidup berbangsa dan

bernegara dengan menghayati nilai-nilai luhur dan cita-cita yang terwujud dalam

Pancasila dan UUD ‘45 secara konsisten dan total. Katekese Kebangsaan

merupakan konsekuensi logis dan konstitutif dari iman kita akan inkarnasi Allah.

Katekese Kebangsaan kemudian menjadi sarana bagi Gereja untuk menguatkan

basis sosial agar kembali pada nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan kebaikan,

kemanusiaan, kerukunan, kerjasama, dan keadilan kepada umat. Katekese

Kebangsaan diharapkan menciptakan situasi yang memerdekakan yakni seluruh

prosesnya dibangun atas dasar kebutuhan bersama seluruh umat di mana setiap

orang bebas menyuarakan pendapatnya tanpa tekanan dari pihak manapun.

C. Penerapan Katekese Kebangsaan di Indonesia

Dasar keterlibatan Gereja di dalam dunia mengenai masalah sosial

diletakkan pada keteladanan terhadap Yesus Kristus yang mewartakan pertobatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

dan sekaligus memberikan perhatian kepada orang-orang yang terpinggirkan (lih.

Luk 14: 12-14). Karena itu Gereja melibatkan diri dengan masalah dunia sebagai

usaha untuk mewujudkan iman dan panggilannya dalam memperjuangkan

keadilan yang berdasarkan cinta kasih (Mali, 2014: 139).

Katekese kebangsaan diawali dengan perjumpaan dengan Allah yang

inkarnatoris, yang mau terjun dalam karut marut kehidupan dunia dan memilih

untuk ikut terlibat dalam masyarakat dengan rasa nasionalitas untuk menciptakan

kehidupan yang utuh (lih. EG 11). Allah tidak tinggal diam atas manusia yang

sedang berjerih payah menghadapi karut marut dunia, agar manusia tidak

kehilangan iman, harapan dan kasih. Maka titik tolak dari Katekese Kebangsaan

itu bukan pada pewartaan nilai-nilai Pancasila namun pada pribadi Allah yang

inkarnatoris tersebut.

Dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, menggambarkan prinsip-prinsip

yang sesuai dengan ajaran Gereja dengan mewujudkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyatnya (Suharyo, 2009: 53). Dengan menerima Pancasila, umat Katolik

tidak merasa menerima tambahan beban, melainkan tambahan dukungan dan

bantuan dari NKRI, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang

luhur, yang digali dari budaya dan sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang juga

dijunjung tinggi dalam ajaran-ajaran Gereja (Suharyo, 2009: 53). Tanpa Pancasila

pun, umat Katolik tetap memiliki keharusan moral untuk menghormati martabat

setiap warga bangsa Indonesia (Darmaatmadja, 2019: 64). Oleh karena itu,

membangun Indonesia sesuai dengan kehendak Allah adalah bagian dari

panggilan kita untuk menyempurnakan tata dunia (Darmaatmadja, 2019: 75).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

Seorang Katolik tidak pernah bisa hidup terpisah dari konteks hidupnya,

yakni hidup bermasyarakat. Kaum awam memiliki panggilan khas untuk

menyucikan dunia (LG 33, 35). Kaum awam harus menanggung usaha

pembaharuan tertib duniawi itu sebagai kewajiban istimewa bagi mereka sendiri

(AA 7). Oleh karena itu kaum awam harus mampu menyuarakan visi hidup

bermasyarakat dan bermartabat berdasarkan iman Katolik yang benar (Mali, 2014:

155). Katekese Kebangsaan memungkinkan umat untuk tetap berpegang teguh

dalam iman dan pengharapan untuk terus berjuang membangun kehidupan yang

lebih baik, yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah secara konket di tengah-

tengah dunia (Suharyo, 2009: 242).

Katekese Kebangsaan selama ini sudah berusaha berbicara bagaimana

keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni memberikan

etika politik yang sesuai Ajaran Sosial Gereja sebagai sarana mewujudkan

kesejahteraan bersama (Suharyo, 2009: 61, 69). Katekese Kebangsaan

mengupayakan agar umat turut proaktif mewujudkan dialog kehidupan dan

tindakan nyata untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan kerukunan hidup

bersama (Widharsana, 2018: 93). Katekese Kebangsaan membantu umat dalam

mengembangkan semangat patriotisme dan nasionalisme, berani menyuarakan

kebenaran dan keadilan dengan cara-cara yang beradab (Widharsana, 2018: 134-

135). Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak

umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat

Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan

mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

keterlibatan konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia,

lewat paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat keindahan

dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

BAB IV

INSPIRASI YANG DAPAT DIGALI DARI KERINDUAN TERDALAM

HATI KH ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP BANGSA INDONESIA

UNTUK MENGONSTRUKSI KATEKESE KEBANGSAAN

Katekese Kebangsaan adalah usaha, misi dan panggilan Gereja yang

melalui karya katekese dalam mengikuti perkembangan zaman. Katekese

Kebangsaan diharapkan dapat menciptakan situasi yang merdeka di mana seluruh

proses dibangun atas dasar kebutuhan kolektif, berangkat dari kesepakatan

bersama seluruh anggota umat. Katekese Kebangsaan menjadi upaya Gereja untuk

semakin melibatkan diri pada persoalan duniawi demi terciptanya kesejahteraan

umum bagi masyarakat luas. Pada akhirnya yang menjadi metapurpose dari

Katekese Kebangsaan yaitu terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-

tengah masyarakat.

Penulis dalam bab ini akan membahas inspirasi yang dapat diambil dari

sosok KH Abdurrahman Wahid dalam mengonstruksi Katekese Kebangsaan di

Indonesia. Dalam bab II penulis sudah menyampaikan sosok KH Abdurrahman

Wahid serta berbagai macam sumbangan pemikiran dan tindakan nyata beliau

yang telah dilakukan bagi negeri ini. Sedangkan dalam bab III penulis sudah

membahas pokok-pokok Katekese Kebangsaan dan bagaimana penerapannya,

khususnya di Indonesia. Maka dalam bab ini penulis akan menyampaikan

inspirasi apa saja yang ditemukan dari berbagai macam sumbangan pemikiran dan

tindakan nyata KH Abdurrahman Wahid yang dapat dipakai dalam mengonstruksi

Katekese Kebangsaan di Indonesia sehingga dapat semakin optimal dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

mencapai tujuan akhirnya yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-

tengah dunia dengan masyakarat Indonesia sebagai lokusnya. Penulis juga akan

menyampaikan usulan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan untuk

mengoptimalkan praktik Katekese Kebangsaan di Indonesia dengan mengambil

inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid.

A. Nilai-nilai Inspiratif dari Sosok KH Abdurrahman Wahid

KH Abdurrahman Wahid yang lebih sering dipanggil Gus Dur merupakan

sosok yang inspiratif dalam membangun bangsa dan negara Indonesia. Semasa

hidupnya beliau berjuang demi terjalinnya relasi antarmasyarakat yang inklusif

dan pluralis di tengah kemajemukan yang ada dalam bangsa Indonesia. Bahkan

hingga sekarang berbagai sumbangan pikiran beliau dalam tulisan-tulisannya di

berbagai media masih menjadi inspirasi bagi perkembangan negara Indonesia

dalam memperjuangkan pluralitas dan inklusivitas dalam kehidupan

bermasyarakat sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa nilai inspiratif dari sosok

KH Abdurrahman Wahid yang dapat membantu mengonstruksi Katekese

Kebangsaan di Indonesia.

1. Kemanusiaan

Visi kemanusiaan KH Abdurrahman Wahid terlihat dari bagaimana beliau

memperjuangkan HAM. Semasa hidupnya KH Abdurrahman Wahid berjuang

mengusahakan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Hal ini pernah

beliau upayakan semasa menjabat Ketua Umum PBNU yakni membangun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

gerakan ekonomi kerakyatan dengan membentuk mitra bisnis dengan Bank

Summa, yang kemudian bertransformasi menjadi Bank NU-Summa pada 1990,

untuk memberikan bantuan perkreditan bagi rakyat kecil (Wicaksana, 2018: 41).

Salah satu tindakan konkretnya yaitu pada 1991 KH Abdurrahman Wahid

membentuk Forum Demokrasi (Fordem) sebagai suatu gerakan bersama dalam

melawan pelanggaran HAM demi tegaknya demokrasi sejati di Indonesia

(Barton, 2016: 224). Kemudian ketika menjabat sebagai presiden beliau juga

sangat peduli untuk menyelesaikan konflik kemanusiaan di Papua dan Aceh

dengan mendengarkan dan menjalankan aspirasi masyarakat setempat (Ali

Masykur Musa, 2010: 130). Beberapa kebijakannya antara lain menyetujui

penyebutan Papua sebagai pengganti nama Provinsi Irian Jaya (Barton, 2016:

386), memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, asalkan

posisinya tidak lebih tinggi dari bendera nasional RI (Barton, 2016: 447), dan

membuat nota kesepahaman dengan GAM (Ali Masykur Musa, 2010: 23).

Setelah lengser dari jabatan presiden, Gus Dur masih tetap konsisten

dalam memperjuangkan visi kemanusiaannya. Pada 2002 beliau menjabat sebagai

penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (Wicaksana, 2018: 73).

Kemudian beliau juga menjadi penengah dalam kasus penutupan Sekolah Sang

Timur di Tangerang karena keberadaan sekolah tersebut dipermasalahkan oleh

kelompok Muslim radikal (metro.tempo.co/read/49828/gus-dur-kasus-sang-

timur-berbau-politik). Hal lain yang ia lakukan yaitu menjadi saksi ahli

pengadilan penghayat dari Kuningan, pasangan Gugum dan Susi, yang diadili

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

karena menikah secara adat (M Imam Aziz, 2018: 253). Berbagai tindakan KH

Abdurrahman Wahid tersebut dilakukan berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45

yang menyatakan bahwa kepercayaan setiap warga negara itu dilindungi oleh

konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253).

Visi kemanusiaan ini merupakan bagian integral dalam Katekese

Kebangsaan. Dalam proses pelaksanaan katekese, pendamping dan peserta

memiliki kedudukan yang setara, semuanya berhak untuk mengungkapkan cerita,

saling berbagi pengalaman dan pengetahuan secara terbuka tanpa tekanan dari

pihak mana pun. Pengalaman masing-masing pribadi mendapatkan apresiasi

bersama dari seluruh peserta, kemudian semakin diperkaya oleh Sabda Allah dan

Ajaran-ajaran Gereja. Prinsip kesetaraan tersebut kemudian diperkembangkan

dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut, Katekese Kebangsaan dapat menggerakkan umat untuk

peduli terhadap permasalahan kemanusiaan sebagai lokus perwujudan Kerajaan

Allah. Katekese Kebangsaan dapat menggerakkan umat untuk turut terlibat dalam

memerhatikan kesejahteraan umum sebagai perwujudan konkret nilai-nilai

Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Yang dimaksudkan dengan

kesejahteraan umum ialah ―keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan,

yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota

perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan

mereka sendiri‖ (GS 26). Kesejahteraan akan dapat tercapai bila kebutuhan-

kebutuhan pokok mencakup pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

dari seluruh anggota masyarakat dapat terpenuhi dengan baik. Oleh karena itu

dalam lebih memerhatikan permasalahan kemanusiaan perlu digalakkan

pemberdayaan pribadi-pribadi dengan memberikan pendampingan yang

mengasah keterampilan mereka sehingga dapat berjuang dalam menghadapi

kehidupan sehari-hari.

2. Persaudaraan

Gus Dur memberi banyak contoh lewat tindakannya yang inklusif dan

pluralis dalam mewujudkan cita-citanya agar masyarakat Indonesia hidup rukun,

toleran, dan harmonis (Sudarsono, 2003: 161). Bagi Gus Dur, toleransi berarti

tidak hanya menghargai berbagai perbedaan, tetapi juga kewajiban untuk tidak

melakukan kekerasan atas nama agama (Wicaksana, 2018: 95). Gus Dur

memandang Islam sebagai agama yang universal, sehingga kehadirannya

melampaui batas-batas perbedaan manusia. Gus Dur meyakini bahwa Islam hadir

untuk misi kemanusiaan yaitu pelayanan kepada semua orang, termasuk pada

kelompok masyarakat yang terpinggirkan (Wicaksana, 2018: 84-86).

Demi mewujudkan cita-cita terjalinnya hubungan persaudaraan yang

harmonis, Gus Dur memperlihatkan konsistensinya dalam memperjuangkan

demokrasi yang ideal. Demokrasi yang dimaksud yaitu situasi adanya berbagai

kepentingan, keyakinan, dan kebudayaan dari golongan atau kelompok yang

berbeda-beda, bahkan bisa bertentangan, tetapi seluruh golongan atau kelompok

tersebut memiliki hak yang sama untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

mengambil keputusan politik (Ali Masykur Musa, 2010: 114-115). Hal ini beliau

buktikan pada Mei 1998 dengan mengunjungi Soeharto yang waktu itu dianggap

sebagai musuh reformasi. Dengan kunjungan tersebut, Gus Dur berpotensi

kehilangan popularitas dan dukungan massa karena dianggap berpihak pada

Soeharto, walaupun beliau juga diketahui sering mengkritik Pemerintahan Orde

Baru dan mendukung terjadinya reformasi. Namun Gus Dur menegaskan bahwa

permusuhan dirinya dengan Soeharto adalah soal pemikiran bukan soal pribadi,

maka demi menjaga keutuhan bangsa beliau berani mempertaruhkan apapun

untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh rakyat yang terlampau larut

dalam emosi dan kebencian (Wicaksana, 2018: 58-59).

Dalam kenyataannya, Gus Dur memang dikenal sebagai pribadi yang

bergaul dengan banyak orang dari berbagai macam suku, agama, ras, dan

golongan (Ari Subagyo, 2012: 53). Ia tidak canggung untuk turun menjumpai

masyarakat dari golongan terbawah sekalipun. Beliau juga tidak segan untuk

mendiskusikan berbagai macam persoalan agama, budaya, sosial, politik, dan

semacamnya dengan orang-orang yang beragam latar belakangnya. Hal ini

terlihat dari keterlibatannya dalam berbagai organisasi pluralis, antara lain

Fordem, DIAN/Interfidei, dan Shimon Peres Foundation. Melalui berbagai

macam kegiatan tersebut Gus Dur secara nyata menjalin hubungan persaudaraan

bersama masyarakat yang beraneka ragam secara harmonis.

Hubungan persaudaraan yang hamonis ini berlaku dalam praktik Katekese

Kebangsaan. Setiap orang dari berbagai latar belakang disambut dan diterima

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

dalam proses katekese. Berbagai keanekaragaman yang ada dilihat sebagai

keunikan tersendiri yang dimiliki oleh masing-masing pribadi dan bukanlah

sebagai penghalang untuk menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis.

Dalam praktik hidup sehari-hari, kemudian umat diajak untuk

memperlakukan secara setara setiap pribadi yang ia jumpai, melihat

kenanekaragaman sebagai bentuk keunikan tersendiri yang perlu dihargai.

Dengan begitu Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk

mengajak umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama,

memperkuat Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah,

dan mewujudkan keadilan sosial. Setiap orang bersama-sama diajak untuk turut

proaktif mewujudkan dialog kehidupan dan tindakan nyata untuk hidup dalam

semangat keterbukaan dan kerukunan hidup bersama.

3. Kebangsaan

Visi Kebangsaan lahir dari hasil pergulatan dan refleksi pengalaman

pribadi seorang KH Abdurrahman Wahid tentang keberadaan dirinya sebagai

umat dan pemimpin agama Islam sekaligus sebagai warga negara Indonesia (Ari

Subagyo, 2012: 21). Gus Dur melihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, urusan

keagamaan dengan hal ikhwal kebangsaan bukanlah sesuatu yang tumpang

tindih, melainkan dapat disinkronisasikan menjadi sebuah harmoni yang luwes

dan indah (Parera & Koekerits, 1999: 22).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

Visi kebangsaan Gus Dur tampak jelas ketika beliau menjadi sosok yang

mendorong agar NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada Munas NU di

Situbondo pada 1984 (Barton, 2016: 163-167). Bagi Gus Dur, demi membangun

negara demokratis yang berdasarkan Pancasila, maka NU harus selalu berada ―di

tengah‖ dengan mengembangkan prinsip moderat sehingga mampu menjalankan

peran sebagai ―jangkar kestabilan politik‖ (Trisno S Sutanto, 2018: 222). Bagi

KH Abdurrahman Wahid, Pancasila adalah seperangkat gagasan tentang negara

yang harus kita miliki dan perjuangkan selamanya, sebab tanpa Pancasila negara

Indonesia akan bubar. Bahkan dalam upaya mencapai negara ideal Pancasila

yang dapat mewujudkan keadilan sosial, Gus Dur dengan berani menyatakan siap

mempertaruhkan nyawanya untuk membela Pancasila, termasuk berhadapan

dengan angkatan bersenjata dan umat Islam, apabila mereka memanipulasi

Pancasila (Nur Khalik Ridwan, 2018: 69, 71).

Dari berbagai ulasan tersebut terungkaplah bahwa KH Abdurrahman

Wahid mampu mengintegrasikan panggilan keagamaan dan pergulatan

kebangsaan, sanggup menjadi tokoh agama sekaligus tokoh bangsa. Gus Dur

berpegang teguh kepada Pancasila dan UUD ‘45 sebagai acuan hidup bernegara

di Indonesia. Gus Dur meyakini bahwa kepercayaan setiap warga negara itu

dilindungi oleh konstitusi (M Imam Aziz, 2018: 253). Gus Dur mengedepankan

demokrasi sebagai upaya mewujudkan hubungan yang harmonis bagi

kemajemukan yang ada di Indonesia ini. Gus Dur melihat bahwa kemajemukan

yang ada dapat dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan, di mana demokrasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

menjadi wadahnya, serta Pancasila dan UUD ‘45 sebagai acuan dan pedoman

dalam menjalankannya.

Visi Kebangsaan ini tentu menjadi poin penting di dalam Katekese

Kebangsaan. Katekese Kebangsaan berusaha menyeleraskan antara semangat

discipleship dengan citizenship. Murid Kristus yang memiliki rasa tanggung

jawab sebaiknya tertarik untuk meningkatkan kesadaran moral dalam masyarakat.

Konsensus antara keduanya akan mampu mengatasi konflik moral dan sosial

tersebut, menjawab tantangan zaman, dan meningkatkan kesadaran akan

kehidupan bersama.

Oleh karena itu melalui Katekese Kebangsaan umat diharapkan dapat

semakin terlibat dalam masyarakat demi semakin terwujudnya Kerajaan Allah di

tengah-tengah dunia. Dengan demikian Katekese Kebangsaan memiliki sifat

regnosentris yakni berpusat pada Kerajaan Allah dengan realitas kebangsaan

manusia Indonesia sebagai lokusnya. Katekese Kebangsaan diharapkan dapat

semakin setia kepada Allah dan setia kepada manusia. Katekese Kebangsaan

diharapkan mampu untuk mewartakan Sabda Allah yang hidup sekaligus mampu

mengajak warga Gereja untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dan

kenegaraan sebagai penghidupan secara konkret dari nilai-nilai Pancasila dan

UUD ‘45.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

4. Kesederhanaan

KH Abdurrahman Wahid memberikan inspirasi bahwa pemimpin

seyogianya sederhana dan peduli. Padahal bisa saja Gus Dur menjadi pribadi

yang sombong dan arogan karena ia merupakan keturunan dari tiga tokoh besar,

yakni KH Hasyim Asyari, KH Bisri Syansuri, dan KH Wahid Hasyim. Namun

Gus Dur tetap berperilaku sederhana dan ramah kepada siapa saja.

Kesederhanaan Gus Dur muncul dari pendidikan keluarganya yang mengajarkan

untuk memandang setiap orang setara dan tidak berperilaku sombong.

Pengalaman studinya di pesantren, di luar negeri, dan bertemu banyak orang dari

berbagai kalangan juga membuat beliau semakin berperilaku sederhana dan

peduli kepada siapa saja.

Kesederhanaan Gus Dur juga terlihat dari penampilan dalam hidup

sehari-harinya, tidak menggunakan pakaian ―Islami‖ seperti jubah gamis dan

surban, lebih memilih berpakaian biasa saja (Wicaksana, 2018: 87). Dalam

mengatasi ekonomi keluarga, Gus Dur juga tidak segan untuk berjualan es lilin

dan kacang goreng, walaupun beliau sudah dikenal sebagai seorang kiai yang

mengajar di beberapa pesantren (Wicaksana, 2018: 27). Begitu juga

kesederhanaan Gus Dur tercermin dari pola pikirnya yakni berusaha menjelaskan

persoalan yang rumit dengan cara yang sederhana agar dapat dipahami oleh

khalayak.

Ucapan yang terkenal dari beliau, ―Gitu aja kok repot!‖, menandakan

kesederhanaan Gus Dur dalam melihat bahwa segala persoalan pasti bisa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

ditangani dan ada jalan keluarnya, namun bukan berarti menggampangkan semua

persoalan (Ari Subagyo, 2012: 50-51). Ungkapan ini muncul karena keprihatinan

Gus Dur terkait pelayanan birokrasi yang sesungguhnya sederhana namun

menjadi sulit karena memang dibuat sulit. Hal ini kemudian ia realisasikan ketika

menjabat sebagai Presiden RI dengan membubarkan Departemen Sosial dan

Departemen Penerangan yang dinilai tidak berfungsi secara efektif selama

Pemerintahan Orde Baru (Ali Masykur Musa, 2010: 23).

Selama menjabat presiden, Gus Dur juga masih menjadi sosok yang

rendah hati dan sederhana. Sebisa mungkin ia memilih untuk menanggalkan

simbol-simbol penguasa, fasilitas pengawalan presiden, dan menjaga jarak

dengan publikasi ketika menghadiri berbagai macam acara (Wicaksana, 2018:

104-105). Bentuk kesederhanaan beliau yaitu tidak memikirkan materi yang

berlebihan, tetap menerima apa adanya, serta teguh pada pendiriannya dalam

memperjuangkan kebenaran (Wicaksana, 2018: 79).

Bersikap sederhana tentu dibutuhkan dalam Katekese Kebangsaan. Gereja

selayaknya meneladani Allah sendiri yang dengan rendah hati berinisiatif

bergerak menuju manusia, dan turut terlibat dalam persoalan duniawi. Oleh

karena itu Gereja sepatutnya bertindak penuh dengan kasih, rendah hati dan tidak

memegahkan diri (1Kor 13:4).

Aspek kesederhanaan jelas bertentangan dengan kesombongan,

ketamakan, dan keserakahan. Lebih jauh lagi yaitu bagaimana kesederhanaan

menjadi counter culture terhadap budaya koruptif yang sedang melanda negeri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

ini. Katekese Kebangsaan diharapkan dapat menuntun umat untuk bersikap

sederhana dalam kehidupan sehari-hari dengan berusaha meneladani

kesederhanaan yang dicontohkan Allah dalam pribadi Yesus Kristus. Melalui

kesederhanaan, Gereja akan lebih mudah diterima dan membaur dengan

masyarakat luas.

B. Usulan Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

1. Latar belakang kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Gereja sebagai institusi agama di tengah-tengah masyarakat juga memiliki

peran untuk mendidik umat. Salah satu upaya Gereja dalam mendidik umat demi

pertumbuhan iman, serta rasa toleransi dan inklusivitas yaitu melalui katekese.

Marinus Telaumbanua (1999: 5) merumuskan katekese sebagai ―usaha-usaha

Gereja dalam membantu umat semakin memahami, menghayati, dan

mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari‖. Katekese perlu diadakan

sebagai sarana bagi umat untuk memperdalam dan memperkembangkan imannya

agar merasa semakin mantap sebagai pengikut Kristus.

Penulis melihat perlunya pemahaman bahwa katekese masih lebih-lebih

berorientasi dengan keselamatan surgawi, tetapi bagaimana mewujudkan nilai-

nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia (GS 45), dengan berkontribusi bagi

masyarakat, bangsa, dan negara. Katekese Kebangsaan dapat diselenggarakan

dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dengan terlibat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mewujudkan cita-cita kemerdekaan

sekaligus merupakan perwujudan iman dalam menanggapi tanda-tanda zaman.

Melalui Katekese Kebangsaan, Gereja dapat turut beperan menanamkan

rasa cinta tanah air dan mencegah tindakan-tindakan kekerasan yang mengarah

pada intoleransi tersebut. Gereja dapat berperan langsung dalam mencerdaskan

kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, menanamkan nilai-nilai moral

yang menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi rasa persatuan Indonesia.

Katekese Kebangsaan kemudian menjadi sarana bagi Gereja untuk

menguatkan basis sosial agar kembali pada nilai-nilai Pancasila yang

mengajarkan kebaikan, kemanusiaan, kerukunan, kerjasama dan keadilan kepada

umat. Katekese Kebangsaan diharapkan menciptakan situasi yang merdeka yakni

seluruh prosesnya dibangun atas dasar kebutuhan kolektif, berangkat dari

kesepakatan bersama seluruh anggota umat.

Katekese Kebangsaan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak

umat mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat

Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan

mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud

keterlibatan konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia,

lewat paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat

keindahan dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.

Salah satu pribadi yang sungguh-sungguh religius sekaligus nasionalis

yaitu sosok KH Abdurrahman Wahid yang kerap disapa dengan panggilan Gus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

Dur. Beliau adalah seorang pemuka agama Islam yang pernah menjabat sebagai

Ketua Umum PBNU dalam tiga kali masa jabatan (1984-1999) dan terpilih

menjadi Presiden NKRI yang keempat pada periode 1999-2001. Setelah tidak

menjabat presiden pun beliau masih tetap aktif terlibat dalam berbagai kegiatan

kemanusiaan.

Banyak hal yang telah beliau lakukan semasa hidupnya dalam kehidupan

beragama dan bernegara. Beberapa hal yang pernah beliau lakukan yaitu

mendorong NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal, membentuk Fordem

sebagai usaha penegakkan demokrasi sejati di Indonesia, menengahi penyelesaian

konflik di Aceh dan Papua, hingga menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari

libur fakultatif. Beliau juga tidak membatasi pergaulannya, ia mau berteman

dengan siapa saja dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Beliau juga menjalani

kehidupannya secara sederhana, namun tetap setia dan berani memperjuangkan

kebenaran.

Cita-cita Gus Dur dari dasar hatinya yakni menginginkan sebuah bentuk

pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila yakni masyarakat Indonesia yang

rukun, toleran, harmonis, sejahtera, aman, tenang, dan tertib (Sudarsono, 2003:

161). Cita-cita beliau belum sepenuhnya terwujud, namun berbagai macam

sumbangan pemikirannya sampai hari ini masih digunakan oleh generasi penerus

dalam rangka mewujudkan demokrasi Pancasila yang sejati di negara Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

2. Tujuan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Berdasarkan latar belakang situasi dan alasan pemilihan, maka tujuan

diadakannya Lokakarya Katekese Kebangsaan adalah sebagai berikut.

a. Menggali inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid mengenai bagaimana

menyeimbangkan antara hidup beragama dan bernegara di Indonesia.

b. Membangun dan menjalin harmonisasi hubungan persaudaraan lebih dekat

dengan berbagai pihak dalam keberagaman agama di Indonesia.

3. Gambaran pelaksanaan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ini akan dilaksanakan pada

Sabtu, 16 November 2019. Kegiatan ini akan bertempat di Pusat Pastoral Sanjaya

Muntilan, Jawa Tengah, Indonesia. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini bertajuk

―Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam Praktik Katekese

Kebangsaan‖. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini diselenggarakan oleh Komisi

Kateketik Keuskupan Agung Semarang bekerja sama dengan Komunitas

Gusdurian. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini ditujukan kepada para katekis

dari berbagai kevikepan di Keuskupan Agung Semarang dengan dikenakan biaya

kontribusi Rp 100.000,- per orang. Lokakarya Katekese Kebangsaan ini akan

mengundang beberapa pembicara yang cukup andal di bidangnya, terutama

seputar inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dan praktik Katekese Kebangsaan

di Indonesia. Pembicara yang dapat diundang antara lain Bapak Hairus Salim dari

Komunitas Gusdurian dan Bapak Purwono dari Komisi Kateketik Regio Jawa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

Dalam kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan ini juga turut mengundang

berbagai pihak dari masing-masing agama sehingga dapat semakin merekatkan

hubungan dalam keberagaman secara harmonis di Indonesia.

4. Pemilihan materi kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Lokakarya Katekese Kebangsaan ini mengambil inspirasi dari sosok KH

Abdurrahman Wahid, mulai dari riwayat hidup, berbagai tulisan pemikiran,

hingga tindakan-tindakan konkret terkait kehidupan beragama dan bernegara.

Kegiatan ini juga terkait dengan praktik pelaksanaan Katekese Kebangsaan di

masa sekarang. Diharapkan melalui Lokakarya Katekese Kebangsaan ini para

katekis dapat menimba inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH Abdurrahman

Wahid sehingga dapat membantu memperkembangkan praktik pelaksanaan

Katekese Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat

menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang dalam kegiatan Gereja

dan masyarakat.

Maka usulan materi Lokakarya Katekese Kebangsaan ini adalah sebagai

berikut.

Tema Umum : Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam

Praktik Katekese Kebangsaan.

Tujuan : Menggali inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH

Abdurrahman Wahid sehingga dapat membantu

memperkembangkan praktik pelaksanaan Katekese

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat

menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang

dalam kegiatan Gereja dan masyarakat.

Untuk mencapai tema dan tujuan di atas, Lokakarya Katekese Kebangsaan

ini akan diperinci melalui sub-sub tema sebagai berikut.

Sub Tema 1 : Penjajakan Katekese Kebangsaan.

Tujuan : Menemukan simpul-simpul mengenai Katekese Kebangsaan.

Sub Tema 2 : Sosok KH Abdurrahman Wahid.

Tujuan : Menemukan inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid

terkait bagaimana hidup beragama dan bernegara.

Sub Tema 3 : Harmonisasi persaudaraan dalam keberagaman.

Tujuan : Membina hubungan persaudaraan lebih dekat dengan

berbagai pihak dalam keberagaman agama di Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

5. Matriks kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

Tema Umum : Menggali Inspirasi dari KH Abdurrahman Wahid dalam Praktik Katekese Kebangsaan.

Tujuan : Menggali inspirasi dari kerinduan terdalam hati KH Abdurrahman Wahid sehingga dapat membantu

memperkembangkan praktik pelaksanaan Katekese Kebangsaan di Indonesia untuk semakin mengantarkan umat

menghayati imannya dengan turut terlibat secara seimbang dalam kegiatan Gereja dan masyarakat.

Waktu : Sabtu, 16 November 2019.

Tempat : Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Jawa Tengah.

No Waktu Judul

Pertemuan

Tujuan

Pertemuan

Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan

1 09.00 – 09.15

WIB

Pembuka. Mengetahui

arah dan tujuan

pertemuan.

Sambutan, penjelasan

tema dan tujuan

pertemuan.

Berdoa.

Informasi.

Mic,

Speaker.

Doa pembuka.

Tema dan tujuan

pertemuan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

No Waktu Judul

Pertemuan

Tujuan

Pertemuan

Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan

2 09.15 – 10.15

WIB

Sesi I:

Penjajakan

Katekese

Kebangsaan.

Menemukan

simpul-simpul

mengenai

Katekese

Kebangsaan.

Pokok-pokok

Katekese

Kebangsaan.

Katekese

Kebangsaan menurut

Gereja.

Informasi.

Tanya

jawab.

Sharing.

Diskusi.

Mic,

Speaker,

Viewer,

dan

Laptop.

Pengalaman

Peserta.

Yohanes Paulus II.

(1992). Catechesi

Tradendae. Jakarta:

KWI.

Nota Pastoral KWI

2018.

Pembicara: Bapak

Thomas Aquino

Purwono NA.

3 10.15 – 11.35

WIB

Sesi II: Sosok

KH

Abdurrahman

Menemukan

inspirasi dari

sosok KH

Biografi singkat Gus

Dur.

Cita-cita Gus Dur

terhadap Bangsa

Indonesia.

Informasi.

Tanya

jawab.

Sharing.

Diskusi.

Mic,

Speaker,

Viewer,

dan

Laptop.

Pengalaman

peserta.

Ali Masykur Musa.

(2010). Pemikiran

dan Sikap Politik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

No Waktu Judul

Pertemuan

Tujuan

Pertemuan

Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan

Wahid. Abdurrahman

Wahid terkait

bagaimana

hidup

beragama dan

bernegara.

Berbagai Pemikiran

Gus Dur dalam

kehidupan beragama

dan bernegara.

Tindakan konkret

Gus Dur selama

hidupnya.

Gus Dur. Jakarta:

Erlangga.

Barton, Greg.

(2016). Biografi

Gus Dur.

Yogyakarta: Saufa.

Pembicara: Bapak

Hairus Salim HS.

4 11.35 – 12.05

WIB

Makan Siang

5 12.05 – 13.05

WIB

Sesi III:

Harmonisasi

persaudaraan

dalam

Membina

hubungan

persaudaraan

lebih dekat

Menghayati

Semboyan ―Bhinekka

Tunggal Ika‖.

Informasi.

Tanya

jawab.

Sharing.

Diskusi.

Mic,

Speaker,

Viewer,

dan

Laptop.

Pengalaman

peserta.

Darmaatmadja,

Yulius. (2019).

Umat Katolik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

No Waktu Judul

Pertemuan

Tujuan

Pertemuan

Uraian Materi Metode Sarana Sumber Bahan

keberagaman. dengan

berbagai pihak

dalam

keberagaman

agama di

Indonesia.

Dipanggil

Membangun NKRI.

Yogyakarta:

Kanisius.

Mali, Mateus.

(2014). Konsep

Berpolitik Orang

Kristiani.

Yogyakarta:

Kanisius.

6 13.05 – 13.20

WIB

Rangkuman

dan Penutup.

Merangkum

dan menutup

acara.

Rangkuman jalannya

pertemuan.

Harapan dan tindak

lanjut untuk ke

depannya.

Informasi.

Berdoa.

Mic,

Speaker.

Rangkuman acara.

Harapan peserta.

Doa penutup.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

6. Contoh persiapan kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan

a. Tema : Sosok KH Abdurrahman Wahid.

b. Tujuan : Menemukan inspirasi dari sosok KH Abdurrahman

Wahid terkait bagaimana hidup beragama dan

bernegara.

c. Materi : Biografi singkat Gus Dur.

Cita-cita Gus Dur terhadap Bangsa Indonesia.

Berbagai Pemikiran Gus Dur dalam kehidupan

beragama dan bernegara.

Tindakan konkret Gus Dur selama hidupnya.

d. Metode : Informasi, tanya jawab, sharing, dan diskusi.

e. Sumber Bahan : Pengalaman peserta.

Ali Masykur Musa. (2010). Pemikiran dan Sikap

Politik Gus Dur. Jakarta: Erlangga.

Barton, Greg. (2016). Biografi Gus Dur. Yogyakarta:

Saufa.

Narasumber: Bapak Hairus Salim HS dari Komunitas

Gusdurian

f. Sarana : Mic, Speaker, Viewer, dan Laptop.

g. Pemikiran Dasar :

Dewasa ini sering kita jumpai berbagai perlakuan diskriminatif, serta

memudarnya rasa nasionalisme dan kepemilikan terhadap bangsa dan negara

Indonesia dalam diri masyarakat. Perlu ada penyelesaian atau solusi agar berbagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

tindakan intoleransi tidak semakin menjadi-jadi. Sesegera mungkin kita

merumuskan langkah-langkah konkret dan tepat sasaran, tidak menunda-nunda

lagi untuk menghidupkan nilai-nilai kebinekaaan dan toleransi. Hal ini

membutuhkan peran kita bersama sebagai warga masyarakat yang peduli akan

getaran-getaran kebersamaan, pluralitas, dan kegotongroyongan. Perlu ada kerja

sama antarlini kemasyarakatan, seperti halnya organisasi atau tokoh-tokoh

keagamaan dan kemasyarakatan dalam memupuk dan menumbuhkan semangat

toleransi, nilai-nilai kemanusiaan, kepekaan sosial, dan penghargaan pada

keanekaragaman. Ucapan dan tindakan para tokoh tersebut, baik secara langsung

maupun tidak langsung, dapat menjadi teladan bagi kita dalam bertindak di

kehidupan sehari-hari.

Salah satu sosok inspiratif dalam menjadi pribadi yang sungguh-sungguh

religius sekaligus nasionalis adalah KH Abdurrahman Wahid. Beliau lebih kerap

disapa dengan panggilan Gus Dur. Beliau adalah seorang pemuka agama Islam

yang pernah menjabat sebagai ketua umum dalam kepengurusan besar organisasi

Nahdlatul Ulama (NU) dalam tiga kali masa jabatan (1984-1999) dan terpilih

menjadi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang keempat

periode 1999-2001. Banyak hal yang telah beliau lakukan semasa hidupnya dalam

kehidupan beragama dan bernegara. Beliau juga tidak membatasi pergaulannya, ia

mau berteman dengan siapa saja dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Beliau juga

menjalani kehidupannya secara sederhana, namun tetap setia dan berani

memperjuangkan kebenaran.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

Maka dari itu pada pertemuan ini kita bersama-sama mencari dan

menemukan berbagai macam inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid terkait

bagaimana hidup beragama dan bernegara. Diharapkan selepas pertemuan ini

masyarakat dapat menjalin kehidupan beragama dan bernegara secara harmonis

dan saling menghargai keberagaman yang ada sebagai keunikan dari pribadi

masing-masing.

h. Pengembangan Langkah-Langkah:

1) Pengantar

Bapak, Ibu, dan Saudara-saudari terkasih, dewasa ini situasi negara kita begitu

memprihatinkan sebab memudarnya rasa nasionalisme dalam diri masyarakat.

Perlu ada tindak lanjut dalam menyikapi keprihatinan tersebut agar kerukunan dan

persatuan dapat terjalin. Hal ini membutuhkan peran kita bersama sebagai warga

masyarakat Pada kesempatan ini kita bersama-sama akan mencari dan

menemukan berbagai macam inspirasi dari sosok KH Abdurrahman Wahid terkait

bagaimana hidup beragama dan bernegara sebagai upaya mengatasi keprihatinan-

keprihatinan tersebut.

2) Penyajian Materi

Materi yang disajikan adalah seputar biografi singkat KH Abdurrahman

Wahid, cita-cita dan harapan beliau terhadap Indonesia yang lebih baik, berbagai

macam sumbangan pemikiran dalam kehidupan beragama dan bernegara.

Penyajian materi di sini berfungsi sebagai bahan sharing bagi pendamping dan

peserta dalam upaya mengatasi keprihatinan bersama yang dialami.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

3) Pertanyaan sharing dan diskusi

Setelah bersama-sama menyimak dan mendalami sosok KH Abdurrahman

Wahid, peserta dipersilakan untuk sharing bersama-sama dengan bantuan

pertanyaan sebagai berikut:

- Inspirasi-inspirasi macam apa yang dapat dipetik dari sosok KH

Abdurrahman Wahid?

- Bagaimana Anda memaknai inspirasi-inspirasi tersebut dalam hidup sehari-

sehari?

4) Jawaban yang diharapkan

Berbagai macam inspirasi dapat diambil dari sosok KH Abdurrahman Wahid

untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Beliau

merupakan pribadi yang sederhana dan tidak sombong walaupun memiliki

kecerdasan yang luar biasa. Inspirasi lainnya yang bisa dipetik yaitu pribadinya

yang jenaka, menanggapi berbagai macam hal dengan sederhana. Beliau mampu

memaknai hal-hal yang rumit menjadi sederhana. Hal lain yang dapat dipetik

yaitu sosok yang mau bergaul dengan siapa saja tanpa kecuali.

Inspirasi-inspirasi tersebut dapat dimaknai dalam kehidupan sehari-hari sebagai

teladan dalam menyeimbangkan kehidupan beragama dengan bernegara. Dalam

pergaulan tidak baik bertindak diskriminatif terhadap perbedaan. Justru yang perlu

dilakukan yaitu menghargai keberagaman yang ada sebagai keunikan dari masing-

masing pribadi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

5) Peneguhan

Beberapa inspirasi yang dapat diambil dari KH Abdurrahman Wahid dalam

kehidupan beragama dan bernegara adalah sosok beliau yang cerdas, bersahaja,

sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Inspirasi-inspirasi tersebut

dapat dimaknai dalam kehidupan sehari-hari untuk menjalin persaudaraan dengan

semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

BAB V

PENUTUP

Pada bab-bab sebelumnya penulis sudah membahas sosok KH

Abdurrahman Wahid melalui berbagai sumbangan pikiran yang beliau tulis di

berbagai media serta berbagai tindakan konkret yang beliau lakukan dalam

kehidupan beragama dan bernegara. Penulis juga sudah membahas mengenai

pokok-pokok Katekese Kebangsaan dan bagaimana penerapannya di Indonesia.

Dalam pembahasan tersebut, penulis menemukan berbagai inspirasi dari

kerinduan hati terdalam KH Abdurrahman Wahid terhadap Bangsa Indonesia

yang dapat digunakan dalam mengonstruksi praktik Katekese Kebangsaan.

Penulis merasa bahwa pembahasan-pembahasan tersebut merupakan hal yang

menarik dan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan karya katekese

ke depannya. Maka dari itu pada bab V ini penulis akan menarik kesimpulan yang

dapat memudahkan pemahaman terhadap seluruh karya tulis ini. Pada bab ini juga

memuat beberapa saran bagi semua pihak yang terkait dengan penulisan karya

tulis ini demi perkembangan karya katekese ke arah yang lebih baik lagi.

A. Kesimpulan

KH Abdurrahman Wahid merupakan sosok pribadi yang cerdas, bersahaja,

sederhana, peduli, serta bersikap inklusif dan pluralis. Beliau bersedia bergaul

dengan semua orang dari berbagai kalangan tanpa kecuali. Oleh karena nilai-nilai

tersebut, beliau terpilih menjadi Ketua Umum PBNU sebanyak tiga periode dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

kemudian menjadi Presiden NKRI periode 1999-2001. Hal ini menjadikan beliau

menjadi sosok tepat untuk dijadikan teladan dalam kehidupan beragama dan

bernegara, bahkan beliau dapat juga disebut sebagai seorang ―katekis‖

kebangsaan. Hal ini secara tersirat terungkapkan dalam berbagai pikiran beliau

yang dituangkan dalam banyak tulisan di berbagai media, ditambah lagi dengan

berbagai tindakan konkret yang dilakukan dalam menjaga kesejahteraan hidup

bersama di tengah masyarakat yang majemuk.

Katekese Kebangsaan merupakan bagian dari kesadaran Gereja dalam

menyadarkan anggotanya dalam mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di

tengah-tengah dunia dengan semakin terlibat aktif dalam kegiatan bermasyarakat.

Katekese Kebangsaan bermula dari situasi yang konteksual di mana dibutuhkan

suatu wadah untuk menyeimbangkan unsur discipleship dengan citizenship.

Katekese Kebangsaan diawali dengan perjumpaan Allah yang inkarnatoris.

Intinya adalah Allah yang memilih untuk ikut terlibat dalam masyarakat dengan

rasa nasionalitas untuk menciptakan kehidupan yang utuh, Allah yang mencintai

ciptaan-Nya, Allah yang mau terjun dalam karut marut kehidupan dunia. Katekese

Kebangsaan membentuk pemahaman iman yang semakin kontekstual serta praksis

sosial yang semakin terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Katekese Kebangsaan hendaknya membantu umat Allah untuk mengalami

sendiri Allah yang inkarnatoris dan bekerja sama dengan-Nya dalam kehidupan

sehari-hari, sehingga mampu mendorong transformasi hidup berbangsa dan

bernegara dengan menghayati nilai-nilai luhur dan cita-cita yang terwujud dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

Pancasila dan UUD ‘45 secara konsisten dan total. Katekese Kebangsaan

diharapkan menjadi salah satu ruang bersama untuk mengajak umat

mengembangkan sikap terbuka dalam hidup beragama, memperkuat Bhinneka

Tunggal Ika, membangkitkan semangat bermusyawarah, dan mewujudkan

keadilan sosial. Dengan demikian akan semakin terlihat wujud keterlibatan

konkret Gereja dalam kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia, lewat

paradigma yang lebih inklusif dan pluralis, yakni mampu melihat keindahan

dalam keberagaman sebagai rangka persatuan kita bersama.

Beberapa inspirasi dari kerinduan hati terdalam KH Abdurrahman Wahid

terhadap Bangsa Indonesia yang dapat digunakan untuk mengontruksi karya

Katekese Kebangsaan antara lain yaitu visi kemanusiaan, persaudaraan,

kebangsaan, serta kesederhanan. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian integral

yang dibutuhkan dalam Katekese Kebangsaan agar dapat berjalan secara optimal.

Berangkat dari inspirasi-inspirasi tersebut, penulis mengusulkan kegiatan

Lokakarya Katekese Kebangsaan sebagai upaya untuk membantu

memperkembangkan karya Katekese Kebangsaan di Indonesia agar semakin

konteksual sesuai dengan kebutuhan umat di masa sekarang.

B. Saran

Skripsi ini tentu saja bukanlah hasil karya tulis yang sudah sempurna,

sebaliknya masih memiliki kekurangan dan keterbatasannya. Pembahasan

mengenai sosok KH Abdurrahman Wahid terkait kisah hidup, cita-cita, buah-buah

pemikiran, dan perjuangan beliau yang tercantum dalam skripsi ini bukanlah suatu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

pemaparan yang lengkap. Pembahasan mengenai hakikat Katekese Kebangsaan

dan penerapannya di Indonesia yang dipaparkan dalam skripsi ini juga masih jauh

dari sempurna. Maka penulis menyarankan kepada para pembaca untuk mencari

berbagai tambahan literatur baik dalam media cetak maupun elektronik guna

memperkaya wawasan terkait sosok KH Abdurrahman Wahid dan hakikat

Katekese Kebangsaan.

Begitu juga dengan inspirasi yang dapat digali dari kerinduan hati terdalam

KH Abdurrahman Wahid terhadap Bangsa Indonesia untuk mengonstruksi

Katekese Kebangsaan tidak terbatas hanya seperti yang sudah dipaparkan dalam

skripsi ini. Tentu masih banyak inspirasi lain yang dapat ditemukan dan digali

sesuai dengan kebutuhan pembaca. Maka penulis juga menyarankan agar mencari

berbagai inspirasi yang ada dari sumber-sumber lain. Kegiatan Lokakarya

Katekese Kebangsaan yang penulis usulkan diharapkan dapat digunakan dan

dimanfaatkan dalam rangka pengembangan karya katekese di Indonesia,

khususnya Katekese Kebangsaan, ke arah yang lebih baik. Melalui usulan

kegiatan Lokakarya Katekese Kebangsaan tersebut, penulis berharap bahwa para

katekis dapat melayani kebutuhan umat setempat sesuai dengan situasi dan

konndisi yang dialami, serta mampu mengajak umat untuk turut terlibat aktif

dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Dengan demikian penulis berharap

bahwa karya katekese di Indonesia menjadi sungguh-sungguh kontekstual pada

kebutuhan umat di masa sekarang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Alkitab Deuterokanonika. (2005). Cetakan kelima belas. Jakarta: Lembaga

Alkitab Indonesia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan (daring), kbbi.web.id.

Dokumen Gereja

Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. (1993). Dokumen Konsili

Vatikan II (alih bahasa: R Hardawiryana). Jakarta: Obor.

Fransiskus, Paus. (2014). Evangelii Gaudium (terjemahan: FX Adisusanto dan

Bernadeta Harini Tri Prasasti). Jakarta: Dokpen KWI.

Konferensi Waligereja Indonesia. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan

Referensi. Yogyakarta: Kanisius.

Kongregasi Untuk Imam. (2000). Petunjuk Umum Katekese (alih bahasa: Komisi

Kateketik KWI). Jakarta: Dokpen KWI.

Markus Nur Widipranoto, Fransiscus Xaverius Sugiyana, dan Thomas Aquino

Purwono NA (penyusun). (2018). Direktorium Formatio Iman Keuskupan

Agung Semarang. Yogyakarta: Kanisius.

Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang 2018. Merevitalisasi Nilai-Nilai

Pancasila dan Semangat Kebangsaan Demi Terwujudnya Peradaban Kasih.

Muntilan: Dewan Karya Pastoral KAS.

Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia 2018. Panggilan Gereja dalam

Hidup Berbangsa: Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan. Jakarta:

Obor.

Yohanes Paulus II, Paus. (1992). Catechesi Tradendae (alih bahasa: R

Hardawiryana). Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.

______. (2015). Fides et Ratio (alih bahasa: R Hardawiryana). Jakarta: Dokpen

KWI.

Buku

Abdurrahman Wahid. (2007). Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan

Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.

_______. (2010). Misteri Kata-Kata. Jakarta: Pensil-324.

_______. (2018). Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: IRCiSoD.

_______. ―Bercermin dari Para Pemimpin‖, dalam Abdul Mun‘im DZ (ed.).

(2000). Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta: Kompas., halaman 285-

289.

_______. ―Kata Pengantar‖, dalam Sitompul, Einar Martahan. (1989). NU dan

Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., halaman 9-18.

_______. ―Kongres Umat Islam Mencari Format Hubungan Agama dengan

Negara‖, dalam Abdul Mun‘im DZ (ed.). (2000). Islam Di Tengah Arus

Transisi. Jakarta: Kompas., halaman 3-6.

Abdul Mun‘im DZ (ed.). (2000). Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta:

Kompas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

Adisusanto, FX, FX Heryatno Wono Wulung, dan FX Dapiyanta (ed.). (2000).

Katekese Pada Millenium III: Quo Vadis? (Seri Menyongsong Millenium

ke-3). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Ali Masykur Musa. (2010). Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta:

Erlangga.

Amalorpavadass, DS. (1972). Katekese sebagai Tugas Pastoral Gereja (Seri

Puskat No. 97). Yogyakarta: Publikasi-publikasi Pusat Kateketik.

Antone, Hope S. (2010). Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan

Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama (terjemahan: Maryam

Sutanto). Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ari Subagyo, P. (2012). Bahasa dan Kepemimpinan: Menggali Inspirasi

Discursive Leadership Soegijapranata dan Abdurrahman Wahid.

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Barton, Greg. (2016). Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of

Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: Saufa.

Darmaatmadja, Yulius. (2019). Umat Katolik Dipanggil Membangun NKRI:

Dalam Terang Iman Katolik Mengamalkan Pancasila untuk Menggapai

Damai Sejahtera Dunia Akhirat. Yogyakarta: Kanisius.

Erdozain, Luis. ―The Evolution of Catechetics: A Survey of Six International

Study Weeks on Catechetics‖, dalam Warren, Michael (ed.). (1983).

Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s Press.,

halaman 86-109.

Groome, Thomas H. (2011). Will There Be Faith?: A New Vision for Educating

and Growing Disciples. New York: HarperCollins Publishers.

Harry Bhaskara. (2000). Questioning Gus Dur. Jakarta: The Jakarta Post.

Heryatno Wono Wulung, FX. ―Katekese sebagai Salah Satu Momen Penting

dalam Inkulturasi‖, dalam Adisusanto, FX, FX Heryatno Wono Wulung,

dan FX Dapiyanta (ed.). (2000). Katekese Pada Millenium III: Quo Vadis?

(Seri Menyongsong Millenium ke-3). Yogyakarta: Universitas Sanata

Dharma., halaman 119-143.

Iip D Yahya (ed.). (2018). NU Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius.

Kiswara, C. (1988). Gereja Memasyarakat: Belajar dari Kisah Para Rasul.

Yogyakarta: Kanisius.

Lalu, Yosef. (2007). Katekese Umat. Jakarta: Komkat KWI.

M Imam Aziz. ―Memanusiakan Manusia‖, dalam Iip D Yahya (ed.). (2018). NU

Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius., halaman 245-255.

Madya Utama, Ignatius L (ed.). (2018). Menjadi Katekis Handal di Zaman

Sekarang. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

_______. ―Kata Pengantar‖, dalam Madya Utama, Ignatius L (ed.). (2018).

Menjadi Katekis Handal di Zaman Sekarang. Yogyakarta: Sanata Dharma

University Press., halaman x-xv.

Mali, Mateus. (2014). Konsep Berpolitik Orang Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.

Manfred Habur, Agustinus. ―Identitas Ilmu Kateketik Sekarang Ini‖, dalam

Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu Kateketik dan Identitasnya.

Yogyakarta: Sanata Dharma University Press., halaman 23-56.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

Mangunwijaya, YB. (1999). Gereja Diaspora. Yogyakarta: Kanisius.

Muhaimin Iskandar. (2000). Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur.

Yogyakarta: LKiS.

Nur Khalik Ridwan. (2018). Negara Bukan-Bukan. Yogyakarta: IRCiSoD.

Papo, Yakob. (1987). Memahami Katekese. Ende: Nusa Indah.

Parera, Frans M. dan T. Jakob Koekerits (ed.). (1999). Gus Dur Menjawab

Perubahan Zaman. Jakarta: Kompas.

Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu Kateketik dan Identitasnya.

Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Rukiyanto, Bernardus Agus. ―Rangkuman Diskusi tentang Identitas Ilmu

Kateketik Sekarang Ini‖, dalam Putranto, Carolus, dkk. (ed.). (2016). Ilmu

Kateketik dan Identitasnya. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.,

halaman 69-75.

Saleh Aldjufri. (1997). Politik NU dan Era Demokratisasi Gus Dur. Surabaya:

Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam Sunan Ampel.

Schipani, Daniel S. ―Educating for Social Transformation‖, dalam Seymour, Jack

L (ed.). (1997). Mapping Christian Education: Approaches to

Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press., halaman 23-40.

Seymour, Jack L (ed.). (1997). Mapping Christian Education: Approaches to

Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press.

_______. ―Approaches to Christian Education‖, dalam Seymour, Jack L (ed.).

(1997). Mapping Christian Education: Approaches to Congregational

Learning. Nashville: Abingdon Press., halaman 9-22.

Sitompul, Einar Martahan. (1989). NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Sudarsono. (2003). Krisis Di Mata Para Presiden: Kaidah Berpikir Sistem Para

Pemimpin Bangsa. Yogyakarta: Matabangsa.

Sudiarja, A (ed.). (1999). Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo

Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius.

_______. ―Pendahuluan‖, dalam Sudiarja, A (ed.). (1999). Tinjauan Kritis atas

Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius., halaman 19-

32.

Suharyo, Ignatius. (2009). The Catholic Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan

Kita. Yogyakarta: Kanisius.

Taufik Abdullah. ―Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam

Kontemporer‖, dalam Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru Islam:

Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan.,

halaman 55-89.

Telaumbanua, Marinus. (1999). Ilmu Kateketik: Hakikat, Metode, dan Peserta

Katekese Gerejawi. Jakarta: Obor.

Tim INCReS. (2000). Beyond The Symbols: Jejak Antropologis dan Gerakan Gus

Dur. Bandung: Rosda.

Trisno S Sutanto. ―Gus Dur, Pribumisasi Islam, dan Pancasila‖, dalam Iip D

Yahya (ed.). (2018). NU Penjaga NKRI. Yogyakarta: Kanisius., halaman

214-227.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

Warren, Michael (ed.). (1983). Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota:

Saint Mary‘s Press.

_______. ―Evangelization: A Catechetical Concern‖, dalam Warren, Michael

(ed.). (1983). Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s

Press., halaman 329-338.

_______. ―Introductory Overview‖, dalam Warren, Michael (ed.). (1983).

Sourcebook for Modern Catechetics. Minnesota: Saint Mary‘s Press.,

halaman 23-29.

Wicaksana, Anom Whani. (2018). Gus Dur: Jejak Bijak Sang Guru Bangsa.

Yogyakarta: C-Klik Media.

Widharsana, Petrus Danan. (2018). Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman

Katolik. Yogyakarta: Kanisius.

Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma

Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan.

_______. ―Memahami Semangat Baru Islam Indonesia: Percakapan dengan

Abdurrahman Wahid‖, dalam Woodward, Mark R. (ed.). (1998). Jalan Baru

Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan.,

halaman 131-151.

Jurnal dan Majalah

――Lampu Kuning‖ Toleransi di Indonesia‖. Hidup: Mingguan Katolik No 10.

Tahun ke-72. 11 Maret 2018., halaman 8-9.

―Saling Silang Mencari Sekondan‖. Tempo. No 08/XXXIII/19-25 April 2004.,

halaman 24-27.

―Satu Tarikan Nafas Toleransi‖. Hidup: Mingguan Katolik No 10. Tahun ke-72.

11 Maret 2018., halaman 11-12.

Bondan Gunawan. (2017, 15 Januari). ―Gus Dur Manusia Biasa‖. Hidup:

Mingguan Katolik. No 03. Tahun ke-71., halaman 13.

Coleman, John. (1992, winter). ―Discipleship and Citizenship from Consensus to

Culture Wars.‖ Louvain Studies 17/4., halaman 333-350.

Magnis-Suseno, Franz. (2017, 15 Januari). ―Haul Tujuh Tahun Wafat Gus Dur‖.

Hidup: Mingguan Katolik. No 03. Tahun ke-71., halaman 14-15.

Internet

―Gus Dur Jadi Jurkam Cagub Babel di Belitung‖.

antaranews.com/berita/53140/gus-dur-jadi-jurkam-cagub-babel-di-belitung,

diakses pada Jumat, 19 Oktober 2018, pukul 18.22 WIB.

―Gus Dur Tidak Lolos‖. liputan6.com/news/read/78670/gus-dur-tidak-lolos,

diakses pada Senin, 1 April 2019, pukul 13.55 WIB.

―Gus Dur, Gus Mus, dan Jalan Cinta untuk Diplomasi Israel-Palestina‖.

nasional.kompas.com/read/2018/02/06/13315291/gus-dur-gus-mus-dan-

jalan-cinta-untuk-diplomasi-israel-palestina, diakses pada Rabu, 3 April

2019, pukul 13.37 WIB.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

115

―Gus Dur: Kasus Sang Timur Berbau Politik‖. metro.tempo.co/read/49828/gus-

dur-kasus-sang-timur-berbau-politik, diakses pada Senin, 6

November 2017, pukul 18.22 WIB.

―Gus Dur: Sobat Israel dari Dunia Islam‖. tirto.id/gus-dur-sobat-israel-dari-dunia-

islam-cMvf, diakses pada Rabu, 3 April 2019, pukul 13.41 WIB.

―Parpol Bukan Peserta Pemilu Dirikan Gus Dur Crisis Center‖.

news.detik.com/berita/127696/parpol-bukan-peserta-pemilu-dirikan-gus-

dur-crisis-center, diakses pada Kamis 28 Maret 2019, pukul 21.47 WIB.

―Sarasehan Kebangsaan: Menjadi Warga Indonesia yang Inklusif dan

Transformatif". gerejapelemdukuh.com/2017/10/sarasehan-kebangsaan-

menjadi-warga.html, diakses pada Senin, 6 November 2017, pukul 17.57

WIB.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI