kewenangan badan pengawas obat dan makanan dikaitkan dengan
TRANSCRIPT
i
TESIS
KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
DIKAITKAN DENGAN PERDA PROVINSI BALI NO. 5 TAHUN 2012
TENTANG PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN
BERALKOHOL
I PUTU MAHENTORO
NIM 1190561003
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
i
ii
TESIS
KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
DIKAITKAN DENGAN PERDA PROVINSI BALI NO. 5 TAHUN 2012
TENTANG PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN
BERALKOHOL
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
TTesis
I PUTU MAHENTORO
NIM 1190561003
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 23 JULI 2013
Pembimbing I
Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,SH.,MS
NIP.194612311974031025
Pembimbing II
. Dr.Putu Gede Arya Sumerthayasa,SH.,MH
NIP.196409151990031004
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.,M.Hum.,LLM
NIP.196111011986012001
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp,.S (K)
NIP.195902151985102001
iii
iv
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal 23 Juli 2013
Penitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana Nomor :1113/UN 14.4/HK/2013 Tanggal 1 Juli 2013
Ketua : Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,SH.,MS.
Sekretaris : Dr.Putu Gede Arya Sumerthayasa,SH.,MH.
Anggota : 1. Prof.Dr.I Wayan Parsa,SH.,M.Hum.
2. Dr.I Nyoman Suyatna,SH.,MH.
3. Dr.Putu Tuni Cakabawa Landra,SH.,M.Hum.
iv
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : I Putu Mahentoro
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Dikaitkan Dengan Perda Provinsi Bali No.5
Tahun 2012 Tentang Pengendalian Peredaran
Minuman Beralkohol.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.
Denpasar, 23 Juli 2013
Hormat saya
I Putu Mahentoro
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastyastu.
Puji Syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan yang Maha Esa, Ida Sang
Hyang Widhi Wasa Nguraha–Nya, sehingga penyusunan Tesis berjudul
“Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Dikaitkan Dengan Perda
Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012 Tentang Pengedalian Peredaran Minuman
Beralkohol“ pada Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Udayana dapat diselesaikan. Penulis Menyadari bahwa Tesis ini dapat
diselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,untuk itu diucapkan
terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr.I Made Pasek Diantha,SH.,MS dan Bapak Dr.Putu Gede
Arya Sumerthayasa,SH.,MH , sebagai Pembimbing I dan Pembimbing II,
yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan hingga Tesis
ini dapat diselesaikan
2. Bapak Prof.Dr.dr I Made Bakta,Sp.PD (K), sebagai Rektor Universitas
Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan pada lembaga yang Bapak pimpin.
3. Ibu Prof.Dr.dr.AA Raka Sudewi,Sp.S (K) sebagai Direktur Program
Pascasarjana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan pada lembaga Ibu pimpin.
4. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH sebagai Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
vi
vii
5. Ibu Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.,M.Hum.,LLM sebagai Ketua
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, atas bantuan dan bimbingannya.
6. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra,SH.M.Hum sebagai Sekretaris
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, atas bantuan dan bimbingannya.
7. Bapak–bapak Dosen Penguji yang telah meluangkan waktunya untuk
menguji penulis.
8. Bapak dan Ibu Staf Pengajar pada Program Pascasarjana, Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu
yang sangat berharga bagi penulis.
9. Bapak dan Ibu Staf Administrasi pada Program Pascasarjana, Program
Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang dengan dedikasi
dan integritas yang melayani penulis selama menempuh studi.
10. Ibu Dra. Corya Penjaitan,Apt sebagai Kepala Balai Besar Pengawas Obat
Dan Makanan di Pontianak yang telah memberikan dorongan demi
kelancaran studi ini.
11. Ibu. Dra. Endang Widowati,Apt, sebagai Kepala Balai Besar Pengawas
Obat Dan Makanan di Denpasar yang telah memberikan dorongan demi
kelancaran studi ini.
12. Bapak Drs. I Wayan Eka Ratnata,Apt. sebagai Kepala Bidang
Pemeriksaan dan Penyidikan yang telah memberikan dorongan demi
kelancaran studi ini.
vii
viii
13. Teman–Teman Staf Penyidik dan Staf Pemeriksaan Pegawai Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan di Denpasar yang senantiasa memberikan
masukan dan dorongan.
14. Orang tua tercinta dan Adik–adikku atas dorongannya sehingga tesis ini
bisa selesai tepat pada waktunya. Terimakasih juga kepada istriku Ni
Made Astiti Rahayu, Putra dan Putriku I Putu Wahyu Amerta dan Ni
Made Wahyuni Amesti Dewi yang dengan penuh kasih memberikan
semangat dan inspirasi sehingga Tesis ini terselesaikan.
15. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu hingga Tesis ini selesai.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Namun harapan penulis semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa selalu
melimpahkan anugerah–Nya kepada kita semua
Om Santhi, Santhi, Santhi, Om.
Hormat Saya
I Putu Mahentoro
viii
ix
ABSTRAK
KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
DIKAITKAN DENGAN PERDA PROVINSI BALI NO 5 TAHUN 2012
TENTANG PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL
Judul Penelitian ini adalah “Kewenangan Badan Pengawas Obat dan
Makanan terhadap Perda Provinsi Bali No. 5 tahun 2012 tentang Pengendalian
Minuman Peredaran Baralkohol” Penelitian ini dilatarbelakangi adanya
kewenangan yang sama, yang dimiliki oleh dua lembaga yaitu Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia dan Pemerintah Provinsi
Bali dalam melakukan Pengawasan dan Pengendalian Minuman berlkohol yang
beredar di Bali. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah
pertama kewenangan Badan POM dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian minuman beralkohol dan permasalahan kedua adalah keabsahan
dan kepastian hukum peredaran minuman beralkohol di Bali
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Penelitian
hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan-bahan hukum maupun informasi penunjang yang diperoleh akan
diolah dan dianalisis melalui langkah-langkah. Deskripsi mencakup isi maupun
struktur hukum positif. selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara
normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai untuk kemudian
disistematisasi dan dievaluasi atau dianalisa isinya sehingga memperoleh
kesimpulan terhadap dua permasalahan yang diteliti.
Hasil penelitian ini menunjukan secara normatif dalam Perda Bali No 5
Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Bali
jelas-jelas tidak merujuk tentang kewenangan BPOM untuk melakukan
pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali (norma kosong).
Padahal jelas Badan POM memiliki kewenangan di seluruh Indonesia melalui
Peraturan Menteri Kesehatan kewenangan Badan Pengasan Obat dan Makanan
dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol menurut
Permenkes No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan
mewajibkan semua makanan yang akan diedarkan di masyarakat harus
didaftarkan terlebih dahulu ke Badan POM guna memperoleh nomor pendaftaran
makanan. Makanan ataupun minuman yang tidak memiliki nomor pendaftaran
makanan seharusnya tidak boleh diedarkan di masyarakat
Kata-kata kunci: Kewenangan, Kepastian hukum, Minuman Beralkohol
ix
x
ABSTRACT
THE AUTHORITY OF FOOD AND DRUG ADMINISTRATION
ASSOCIATED WITH BALI PROVINCE LOCAL REGULATION
NUMBER 5 YEAR 2012 CONCERNING CONTROL OF DISTRIBUTION
OF ALCOHOLIC BEVERAGES
The title of this research is “The Authority of Food and Drug
Administration against the Bali Province Local Regulation Number 5 Year 2012
Concerning Control of Distribution of Alcoholic Beverages”. The research was
conducted based on the same authority which is owned by the two institutions,
namely Food and Drug Administration of the Republic of Indonesia and Bali
Provincial Government in monitoring and controlling of alcoholic beverages in
Bali. The problems discussed in this study is firstly the authority of the Food and
Drug Administration in monitoring and controlling alcoholic beverages and the
second problem is the legality and legal certainty distribution of alcoholic
beverages in Bali
The type of research used in this study is a normative legal research,
namely a procedure of scientific research to find the truth based on the scientific
logic of the normative legal perspective. The legal research is done by examining
primary and secondary legal materials. Legal materials and supporting
information obtained will be processed and analyzed through the steps. The
description includes the content and the structure of positive law, then it was
performed the normative interpretations of the propositions found and then
systematized and evaluated or analyzed the content in order to reach conclusions
of the two problems studied.
The research results indicate normatively in the Bali Regulation No. 5 of 2012 on
the Supervision and Control of Alcoholic Beverages in the Bali clearly does not
referal the FDA authority to supervise and control alcoholic beverages in the Bali
(empty norm). Whereas it is clearly stipulated that the FDA has authority over
Indonesia through regulation health minister Agency of Drug and Food in
monitoring and control of alcoholic beverages by Regulation of Minister of Health
of the Republic of Indonesia /Permenkes No.382/MENKES/PER/VI/1989 on
Food Registration that requires all foods which will be distributed in the public
must be registered first to the FDA in order to obtain the registration number of
foods. Food or beverages that do not have the registration number of food should
not be distributed to the public
Keywords: Authority, Legal certainty, Alcoholic Beverages
x
xi
RINGKASAN TESIS
Judul Tesis ini adalah “Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Dikaitkan Dengan Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol” BAB I mengkaji tentang latar belakang
penelitian dengan dua pokok masalah yang mengenai Kewenangan Badan
Pengawas Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengedalian
peredaran minuman beralkohol di Provinsi Bali, dan kepastian hukum peredaran
minuman beralkohol di Provinsi Bali. Permasalahan tersebut merupakan isu
hukum maka tesis ini merupakan penelitian hukum normative sehingga
penelitiannya dilakukan dengan bersumberkan pada bahan hukum dan dianalisis
dengan menggunakan metode penelitian berupa teknik interprestasi dan
argumentasi hukum. Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang – undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.
BAB II Membahas tentang Badan POM sebagai lembaga Non
Departeman ( LPND ). Pada Bab ini menguraikan tentang tinjauan umum tentang
Lembaga Negara Non Departemen yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non Departemen atau yang
disingkat dengan LPND yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah
tertentu dari Presiden sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, selain itu juga menguraikan keberada Badan Pengawas Obat dan
Makanan dan terakhir juga menguraikan tinjauan umum tentang Kewenangan.
xi
xii
Dimana bila ditinjau dari sumber kewenanganya dapat dibagi menjadi atribusi
adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintah; delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dan satu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya dan terakhir mandat
terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
orang lain atas namanya
BAB III dibahas isu hukum yang pertama yaitu kewenangan Badan POM
dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol sebagai
sub materinya akan dibahas tiga hal yaitu tentang kewenangan Badan POM
dalam melakukan pengawasan dan pengendalaian minuman beralkohol.
Berikutnya Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam melakukan pengawasan
peredaran minuman beralkohol dan terakhir dianalisa kewenangan dalam
melakukan pengendalian peredaran minuman beralkohol di Bali. Dari penelitian
ini diperoleh hasil kewenangan BPOM untuk mengawasi dan mengendalikan
minuman beralkohol merupakan kewenangan delegasi karena kewenangan
tersebut berasal dari kewenangan pemerintah dalam hal ini presiden menerbitkan
surat keputusan Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Negara Non Departemen atau yang disingkat dengan LPND yang mempunyai
tugas melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari Presiden sebagaimana
ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, Badan yang dimaksud
adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM mempunyai tugas
melaksankan tugas pemerintah dibidang pengawasan obat dan makanan sesuai
xii
xiii
ketentuan hukum yang berlaku, hukum dalam hal ini adalah Undang-Undang
pangan. Sementara berdasarkan uraian di atas kemudian dikaitkan dengan sumber
kewenangan Pemerintah Bali melakukan pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol di Bali, merupakan kewenangan atribusi yaitu pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah, dimana
kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun
2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol. Berkaitan dengan
kewenangan pengendalian peredaran minuman beralkohol di Bali ternyata Badan
POM dan Pemerintah Provinsi Bali sama-sama memiliki kewenangan untuk
melakukan pengendalian dan peredaran minuman beralkohol, akan tetapi
kewenangan Badan POM tidak terurai dalam Perda Nomor 5 Tahun 2012,
sehingga dapat dikatakan terjadi kekosongan norma dalam Perda ini berkaitan
dengan kewenangan Badan POM.
BAB IV membahas tentang Kepastian Hukum Peredaran Minuman
Beralkohol di Bali ada tiga sub bab yang dibahas yaitu Standar Mutu dan
Pendistribusian Minuman beralkohol, Upaya Pengawasan dan Pengendalian
Minuman beralkohol dan Kepastian Hukum dalam Pengendalian Peredaran
Minuman Beralkohol di Provinsi Bali. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan dan Badan POM telah
melakukan upaya-upaya untuk menjaga keamanan makanan yang dikonsumsi
oleh warganya khususnya berkaitan dengan minuman beralkohol, pemerintah
telah menetapkan standar mutu, jaminan mutu bahkan lebih jauh dari itu
pemerintah telah pula menetapkan standar tentang tatacara penyimpanan,
xiii
xiv
pendistribusian dan penjualam minuman beralkohol. Tentunya semua peraturan
ini akan berlaku sama di seluruh Indonesia Peraturan itu diantaranya Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 282/MENKES/SK/11/1998
tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol, Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 79/ Menkes/ Per/III/1978. Mengenai Label;
Peraturan Menteri Kesehatan No 86/Menkes/Per/IV/1977 tentang Minuman keras
mengenai batasan usia, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
86/Menkes/Per/IV/1977 tentang minuman beralkohol mengenai teknik
peragaannya. Apabila sebuah perusahaan yang akan melakukan penjualan atau
memperdagangkan minumam keras tidak memenuhi ketentuan diatas maka dapat
dikenakan tindakan sampai pada pencabutan ijin untuk berjualan. Selanjutnya
Badan POM melakukan pengawasan dan pengendalian makanan di Indonesia,
secara umum dilakukan dalam dua cara yaitu Preventif atau pencegahan dimana
Badan POM melakukan upaya-upaya pembinaan dan sosialisasi terhadap para
produsen, distributor dan penjual obat dan makanan dengan memberikan
informasi tentang kewajiban untuk mendaftarkan makanan yang akan di edarkan
pada masyarakat. Selain tindakan preventif Badan POM juga melakukan upaya
upaya penindakan atau Preemtif. Tindakan Preemtif mengacu pada Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK.00.05.72.4473 tentang Prosedur Tetap Penyidikan Tindak Pidana di bidang
obat dan makanan dan melakukanm kerjasama dengan kepolisian memalalui
kesepakatan bersama. Sedangkan mengenai kepastian hukum maka diperoleh
hasil bahwa Perda tersebut telah mengandung kekosongan norma berkaitan
xiv
xv
dengan tugas dan kewenangan BPOM di Bali, maka dengan Perda Nomor 5
Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Bali dan Badan POM tidak dapat memberikan
kepastian hukum kepada para produsen, penyelur dan penjual minuman
beralkohol yang walaupun dalam pelaksanaan Perda para produsen telah memiliki
Label edar akan tetapi apabila dalam produk mereka tidak mencantumkan nomor
pendaftaran makanan yang harus di urus melalui Badan POM ke Menteri
kesehatan mareka mereka dapat dikenakan sanksi oleh Badan POM.
BAB V sebagai penutup menguraikan kesimpulan dan saran sebagai
berikut, kesimpulan pertama bahwa kewenangan Badan POM dalam melakukan
pengendalian peredaran minuman beralkohol merupakan kewenangan delegasi
yang bersumber dari Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Negara Non Departemen atau yang disingkat dengan LPND yang
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden
sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesimpulan
selanjutnya adalah kepastian hukum maka diperoleh hasil bahwa Perda tersebut
telah mengandung kekosongan norma berkaitan dengan tugas dan kewenangan
BPOM di Bali, maka dengan Perda No 5 Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Bali
dan Badan POM tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada para produsen,
penyelur dan penjual minuman beralkohol yang walaupun dalam pelaksanaan
Perda para produsen telah memiliki Label edar akan tetapi apabila dalam produk
mereka tidak mencantumkan nomor pendaftaran makanan yang harus di urus
melalui Badan POM ke Menteri kesehatan mareka mereka dapat dikenakan sanksi
xv
xvi
oleh Badan POM. Sedangkan hal-hal yang dapat disarankan adalah pertama
dilakukan perubahan terhadap Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali yang
selama ini jelas-jelas tidak merujuk tentang kewenangan BPOM untuk melakukan
pegawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol di Bali (norma
kosong). Yang kedua adalah dalam perubahan Perda Nomor 5 Tahun 2012
tersebut harus merujuk pada pada ketentuan dalam uandang-undang Pangan dan
Peraturan Menteri Kesehatan No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang
Pendaftaran Makanan yang mewajibkan mendaftarkan makanan dan minuman
sehingga memperoleh nomor pendaftran makanan dan minuman, pada Menteri
Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan sehingga makanan dan
minuman tersebut telah dinyatakan layak untuk dikumsumsi dan diedarkan
dimasyarkat.
xvi
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI .............................................. iv
SURAT PENYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................... v
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. vi
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
ABSTRACT ..................................................................................................... x
RINGKASAN TESIS ...................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................... 9
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................ 9
1.3.1. Tujuan Umum ..................................................... 10
1.3.2. Tujuan Khusus..................................................... 10
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................... 11
1.5. Orisinalitas Penelitian ..................................................... 11
1.6. Landasan Teoritis ............................................................ 16
1.6.1. Teori Penjenjangan Norma.................................. 17
1.6.2. Teori Perundang-Undangan Yang Baik .............. 19
xvii
xviii
1.6.3. Konsep Kewenangan ........................................... 21
1.6.4. Konsep Pengawasan ............................................ 23
1.6.5. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik........ 26
1.7. Metode Penelitian ........................................................... 30
1.7.1. Jenis Penelitian .................................................... 32
1.7.2. Jenis Pendekatan ................................................. 33
1.7.3. Sumber Bahan Hukum ........................................ 34
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................. 36
1.7.5. Teknik Analisa Bahan Hukum ............................ 37
BAB II. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
SEBAGAI LEMBAGA NON DEPARTEMEN (LPNP) ......... 39
2.1. Lembaga Negara Non Departemen ................................. 39
2.2. Keberadaan Badan Pengawas Obat dan Makanan di
Denpasar.......................................................................... 44
2.3. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan .......................... 50
BAB III. KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN
DAN PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN
BERALKOHOL DI PROVINSI BALI .................................... 70
3.1. Kewenangan BPOM dalam Melakukan Pengawasan
dan Pengendalian Minuman Beralkohol ......................... 70
xviii
xix
3.2. Analisis Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Bali
dalam Melakukan Pengawasandan Pengendalian
Minuman Beralkohol ...................................................... 85
3.3. Analisis Kewenangan Pengawasan dan Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol di Bali .......................... 91
BAB IV. KEPASTIAN HUKUM PEREDARAN MINUMAN
BERALKOHOL DI PROVINSI BALI .................................... 105
4.1. Standar Mutu dan Pendistribusian Minuman Beralkohol 105
4.2. Upaya Pengawasan dan Pengendalian Minuman
Beralkohol ....................................................................... 112
4.3. Kepastian Hukum dalam Pengendalian Peredaran
Minuman Beralkohol di Provinsi Bali ............................ 116
BAB V. PENUTUP ................................................................................ 138
5.1. Simpulan ......................................................................... 138
5.2. Saran................................................................................ 139
DAFTAR PUSTAKA.
xix
1
BAB I
P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang Masalah
Ciri utama mahluk hidup adalah tumbuh dan berkembang biak, tumbuh
artinya bertambah besar dan bertambah panjang sedangkan berkembang biak
berarti menghasilkan keturunan. Agar tetap tumbuh dan berkembang biak maka
semua mahluk memerlukan makanan tidak terkecuali manusia. Bagi manusia
makanan atau pangan berguna untuk menghasilkan tenaga sehingga bisa
beraktivitas dan melakukan kegiatan.
Mengingat manfaat pangan yang demikian tinggi bagi manusia, maka
dapat dikatakan pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar
oleh karenanya pangan sepenuhnya menjadi hak asasi setiap manusia. tersedianya
pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi merupakan prasyarat utama yang
harus dipenuhi suatu Negara dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan
bermartabat. 1
Pemerintah Indonesia telah menetapkan peraturan berupa Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam undang-undang
tersebut diuraikan bahwa pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam
1 Suryana, Achmad., 2003, Kapita Selekta Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, Cet
Pertama, BPFE-yogyakarta, Yogyakarta, hal 95.
1
2
proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Dari
pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pangan merupakan sesuatu
yang dapat dikonsumsi bagi manusia baik itu berupa makanan maupun minuman
yang bersumber dari sumber daya hayati maupun air.
Maka dari itu diperlukan pengawasan terhadap makanan maupun
minuman supaya aman dikonsumsi oleh masyarakat maka Presiden telah
membentuk sebuah badan yang diberikan tugas tertentu dalam hal pengawasan
terhadap obat dan makanan yang disebut dengan Badan Pengawas Obat dan
Makanan yang disingkat dengan BPOM. Badan inilah dengan dikordinasikan oleh
Menteri Kesehatan dan Menteri Kesejahteraan Sosial yang diserahkan tugas
pengawasan peredaran obat dan makanan di Indonesia, yang dibentuk di masing-
masing provinsi di seluruh Indonesia
Dalam melakukan pengawasan obat dan makanan Menteri Kesahatan
telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan yang mewajibkan
semua bahan makanan baik yang diproduksi produsen maupun yang diimpor
diwajibkan untuk mendaftarkan makananya ke menteri kesehatan. Termasuk juga
industri kecil atau industri rumah tangga yang memproduksi susu olahan,
makanan bayi, makanan kalengan komersial dan minuman keras wajib
mendaftarkan makanan hasil produksinya sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat 1
Permenkes 382/MENKES/PER/VI/1989 dan bagi para pihak yang telah
mendaftarkan makanannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan, dalam Pasal 30 diuraikan:
3
terhadap produksi baik dalam maupun luar negeri yang dimasukan ke
dalam wilayah Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan
harus mencantumkan nomor pendaftaran pangan.
Berkaitan dengan tugas Pengawasan Pangan dalam bentuk minuman
Badan Pengawas Obat dan Makanan juga memiliki tugas untuk melakukan
pengawasan dan pengendalian terhadap produksi, pengedaran, penjualan dan
penyajian minuman beralkohol. Minuman berakohol menurut Keputusan Presiden
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman
Beralkohol, Pasal 1 ayat (1) diuraikan:
Minuman beralkohol adalah sebagi minuman yang mengandung ethanol
yang diproses dari bahan pertanian yang mengandung karbohidrat dengan
cara permentasi dan destilisasi atau fermentasi tanpa destilisasi baik
dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak ,
menambahkan bahan lain atau tidak maupun yang diproses dengan cara
mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran
minuman mengandung alkohol.
Pengawasan minuman beralkohol ini menjadi penting mengingat
mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dapat mengganggu
kesehatan dan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dampak yang dapat
ditumbulkan karena minuman yang mengandung alkohol adalah 2:
1. Gangguan Fisik
meminum minuman beralkohol banyak, akan menimbulkan kerusakan
hati, jantung, pankreas dan peradangan lambung, otot syaraf, mengganggu
metabolisme tubuh, membuat penis menjadi cacat, impoten serta gangguan
seks lainnya
2. Gangguan Jiwa
dapat merusak secara permanen jaringan otak sehingga menimbulkan
gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemampuan belajar dan
gangguan jiwa tertentu.
2 Ithalabo, blog¸DampakMminuman Keras, senin 8 juni 2012
4
3. Gangguan Kamtibmas:
perasaan seorang tersebut mudah tersinggung dan perhatian terhadap
lingkungan juga terganggu, menekan pusat pengendalian diri sehingga
yang bersangkutan menjadi berani dan agresif dan bila tidak terkontrol
akan menimbulkan tindakan-tindakan yang melanggar norma-norma dan
sikap moral yang lebih parah lagi akan dapat menimbulkan tindakan
pidana atau kriminal belum lagi kalau sudah ketagihan maka untuk
memenuhi keinganan tersebut maka tidak jarang pelaku melakukan
tindakan kriminal guan memperoleh uang dengan cara yang cepat.
Minuman beralkohol selain berdampak negatif, ternyata disisi lain dapat
memberikan nilai ekonomis yang tinggi dengan pengenaan pajak dan cukai yaitu
Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPNBM). Menurut Juru Bicara
Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Ipung Nimpuno Industri
bir nasional pun menjadi pembayar pajak terbesar, dengan menghasilkan sekitar
Rp 1,5 triliun dari PPNBM dan cukai untuk pemerintah per Januari 2012 belum
lagi Industri ini mempekerjakan tak kurang dari 10 ribu tenaga kerja baik
langsung maupun tidak langsung, dan jutaan lainnya yang mendapat manfaat dari
sektor pariwisata.3
Nilai ekonomis yang tinggi dari minuman beralkohol sangat dirasakan
oleh pemerintah Bali. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata (Island God/island
Paradise) merupakan salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia bahkan dunia.
Kuta, Sanur, Nusa Dua, Bedugul, Ubud, Sukawati, Lovina, dan lain lain
merupakan tempat wisata yang terkenal di Bali. Sebagai pulau tujuan pariwisata
dunia, Bali harus menyediakan minuman berakohol karena sebagaian besar orang
3Miras Bukan Lagi Barang Mewah: Harus Dikendalikan dengan UU, by Neo KPPP ASI
(Komunitas Pengamat Pengkaji Pengamal Aqidah Syariat Islam) on Sunday, January 15, 2012 at
6:21pm ·
5
asing yang berkunjung ke Bali mengonsumsi minuman berakohol sehingga
mendatangkan pemasukan bagi daerah yang sangat besar.
Pemasukan dari minuman beralkohol atau masyarakat lebih mengenalnya
dengan minuman keras (miras) yang beredar di Bali bukanlah dari pajak
perdagangan minuman keras, walaupun 70% (tujuh puluh persen) dari miras di
Indonesia beredar Pulau Bali, hal ini dikarenakan pajak minuman berakohol
telah dipungut oleh pemerintah pusat dan dikembalikan kembali ke pemerintah
Bali dalam bentuk dana dari pemerintah pusat4. Pemasukan dari minuman keras
di Bali diperoleh dari biaya cetak Label Edar. Pendapatan dari biaya cetak label
minuman beralkohol (mikol) tersebut rata-rata per bulannya mencapai Rp.
2.000.000.000. ( dua milyar rupiah). Pengganti biaya cetak label masing-masing
golongan mikol tersebut berbeda-beda, sesuai dengan golongan kadar alkohol,
yaitu jenis golongan A atau kadar alkohol 0 sampai 5 persen sebesar Rp500 (lima
ratus rupiah), golongan B beralkohol 5 sampai 20 persen sebesar Rp1.000 (seribu
rupiah) dan golongan C beralkohol diatas 20 persen sebesar Rp1.500. (seribu
lima ratus rupiah) 5.
Kewajiban para distributor minuman beralkohol untuk menggunakan
label adalah mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2002
tentang Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol yang
selanjutnya sejak tanggal 14 Juni 2012 telah dicabut dengan Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nonor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman
Beralkohol di Bali. Pengaturan minuman beralkohol di Bali dimungkinkan diatur
4 Travel talk, edisi minggu 20 -6-2010; Pastika; Bali tak pungut pajak Miras
5 http:// balinews.blog.com PAD+Minuman+beralkohol+di+bali+tahun+2010
6
melalui Perda didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota yang mengamanatkan perdagangan
minuman beralkohol merupakan urusan pemerintahan daerah.
Penerapan Peraturan Daerah tentang Minuman beralkohol ini memberikan
peluang kepada pemerintah daerah untuk :
a. Pemerintah daerah bisa lebih mengatur dan mengawasi peredaran
minuman keras sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam
distribusi dan penyalahgunaan dalam penggunaan
b. Pemerintah daerah dapat menjamin tersedianya minuman keras
legal bagi industri pariwisata, hotel, dan agen resmi dalam jumlah
tertentu.
c. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD).
Dalam ketentuan Pasal 10, bab VI Peredaran Minuman Beralkohol,
bagian ke satu tentang Peredaran, Perda Bali No 5 Tahun 2012 tentang
Pengendalian Peredaran Minuman Berakohol di Bali menguraikan :
1. Minuman Beralkohol produksi luar negeri (impor) dan produksi
dalam negeri yang diedarkan oleh distributor, sub distributor
pengecer, dan penjual langsung wajib dikemas, menggunakan pita
cukai dan label edar.
2. Minuman beralkohol produksi tradisional yang dikonsumsi dan
diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi wajib dikemas dengan
menggunakan label edar
3. Minuman beralkohol produksi tradisional yang tidak untuk
dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi
peredarannya dengan menggunakan label untuk upacara (tetabuhan)
dan lebel edar
7
Dari uraian ketentuan tersebut, jelas terlihat bahwa apabila sebuah
minuman berakohol sudah memiliki kemasan, pita cukai dan label edar untuk
minuman beralkohol impor dan produksi dalam negeri, dan bagi minuman
beralkohol untuk produksi tradisonal cukup hanya mencantumkan label edar
maka sudah dapat diedarkan di Bali tanpa perlu mencantumkan nomor
pendaftaran pangan pada label pangan olahannya.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan khususnya dalam
pasal 4 ayat 1 yang menguraikan :
Industri rumah tangga yang sudah mengikuti penyuluhan wajib mendaftarkan
makanan hasil produksinya yang meliputi:
a. Susu olahan
b. Makanan bayi
c. Makanan Kaleng steril komersial
d. Minuman keras
dan bagi para pihak yang telah mendaftarkan makanannya berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dalam Pasal 30
diuraikan :
Terhadap produksi baik dalam maupun luar negeri yang dimasukan ke
dalam wilayah Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan
harus mencantumkan nomor pendaftaran Pangan .
Dari uraian tersebut jelas terjadi kekosongan norma dalam Perda No 5
Tahun 2012 tentang Pengendalian peredaran minuman berakohol, dimana dalam
Perda ini tidak menyebutkan kewajiban bagi para produsen, distributor maupun
penjual minuman beralkohol untuk mencantumkan nomor pendaftaran Pangan.
Sementara Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
8
382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan, nomor pendaftaran
pangan tersebut barulah bisa diperoleh bila para produsen, distributor
mendaftarkan minuman beralkohol pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Dampak dari adanya kekosongan norma tersebut maka sangat sulit bagi
BPOM untuk bisa melakukan tindakan penegakan hukum/law enfocement,
BPOM hanya bias melakukan tindakan berupa pemberian peringatan dan saran
untuk mengurus nomor pendaftaran pangan terhadap mereka-mereka yang
menjual, mengedarkan, mendistribusikan minuman beralkohol tersebut. Sering
kali para pihak yang terkena sidak (terjaring) dalam operasi dari tim BPOM
menyatakan bahwa sudah memperoleh pita cukai dan label edar dari Provinsi
Bali. Berdasarkan hal tersebutlah maka penulis tertarik untuk mengkaji
kewenangan BPOM dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka rumusan
masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam
melakukan pengawasan dan pengendalaian peredaran minuman beralkohol
di Provinsi Bali
2. Bagaimana kepastian hukum peredaran minuman beralkohol di Provinsi
Bali
9
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
Umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk mengembangkan
ilmu hukum terkait dengan para digma ilmu sebagai proses (science as a proses)
dengan para digma ini , ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam
penggaliannnya atas kebenaran di bidang obyek masing-masing, Tujuan khusus
(het doel in het onderzoek) mendalami permasalahan hukum secara khusus yang
tersirat dalam rumusan permasalahan dalam penelitian.6
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kewenangan
BPOM dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran minuman beralkhohol
di Bali dalam kaitan dengan telah diterbitkannya Perda Provinsi Bali Nomor 5
Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol.
1.3.2. Tujuan Khusus
Penelitian ini diharapkan mencapai tujuan yang lebih khusus sebagai berikut:
1. Mengetahui secara lebih mendalam kepastian hukum minuman beralkohol
yang beredar di Provinsi Bali, karena adanya kekosongan norma antara
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan dan Peraturan
Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dengan
Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran
Minuman Berakohol.
6 Program Study Megister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, 2008,
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu HukumProgram Pascasarjana
Universitas Udayana, Denpasar, hal. 10
10
2. Mengetahui secara lebih mendalam kewenanganya BPOM dalam
melakukan pengawasan dan pengendalaian peredaran minuman beralkohol
di Provinsi Bali, mengingat BPOM dan pemerintahan daerah Bali
memiliki kewenangan dalam hal pengendalian dan pengawasan terhadap
minuman beralkohol
1.4. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1.4.1. Manfaat Teoritis.
Manfaat teoritis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumbangan yang bermanfaat bagi pengewasan dan pengendalian peredaran
minuman beralkohol di wilayah Provinsi Bali
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai
pedoman pemerintah Provinsi Bali dan instansi terkait untuk lebih mampu
meningkatkan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman
beralkohol di wilayah Provinsi Bali
1.5. Orisinalitas Penelitian
Penelitian tentang Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan
dalam melakukan pengendalian peredaran minuman beralkohol secara umum
adalah membahas mengenai kewenangan Badan tersebut melakukan pengendalian
terhadap peredaran minuman beralkohol khususnya di Bali yang dikaitkan dengan
Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman
11
Beralkohol. Dalam penelitian ini, peneliti telah memperbandingkan dengan
beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang tugas dan peran
Badan POM. Adapun penelitian tesis yang pernah dilakukan terkait dengan
permasalahan peran, tugas dan kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (
Badan POM) diuraikan sebagai berikut:
1. Judul Tesis : Peranan BPOM dalam melakukan Tindakan Hukum
terhadap makanan Impor Yang Mengandung Melamin
Penulis : Kartika Ajeng K
Dari : Universitas Indonesia Fakultas hukum Pasca Sarjana,
Jakarta 2010
Deskripsi Penelitian :
Penggunaan Melamin terbukti membawa dampak buruk terhadap
kesehatan, seperti menyebabkan gagal ginjal bahkan yang terparah
berujung pada kematian. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan berlanjut
terus, melihat telah menyebar dan maraknya penyalahgunaan bahan kimia
tersebut ditanah air . Semnetara itu tindakan yang dilakukan pemerintah
dirasakan tidak efektif .
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif
dan cara pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode
kepustakaan, selain berkaitan dengan peranan pemerintah dalam
menetapkan ambang batas kandungan melamin, penelitian ini juga
membahas tentang kewenangan BPOM untuk melakukan penyidikan
terhadap kasus-kasus yang muncul terhadap pelanggaran produk-produk
12
yang mengandung melamin, mengingat tugas BPOM melakukan
pengawasan terhadap obat dan makanan
2. Judul Tesis : Perlindungan Konsumen dalam Pelabelan Produk
Makanan
Penulis : Anak Agung Ayu Diah Indrawati
Dari : Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar
2011
Deskripsi penelitian :
Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan menentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah :
setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan,
kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,
dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan
pangan. Dari pengertian label diatas dapat diketahui bahwa didalam label
itu termuat informasi. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
adalah salah satu hak dari konsumen. Namun sayangnya, masalah label
khususnya label pangan kurang mendapat perhatian dari konsumen
maupun pelaku usaha, padahal label memegang peran penting dalam
upaya perlindungan konsumen.
Ketiadaan informasi yang benar, jelas dan jujur yang seharusnya
tercantum dalam label bisa menyesatkan konsumen dan tentunya berakibat
hukum pada pelaku usaha untuk bertanggungjawab apabila sampai
merugikan konsumen. Untuk itu menarik untuk dikaji apakah pelabelan
13
produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah
memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan apakah akibat hukum
dari informasi tidak benar, jelas dan jujur dalam label. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normatif,
yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian
dalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang
digunakan dalam dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative
yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder yang terdiri dari
sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan
hukum diawali dengan inventarisasi dengan pengoleksian dan
pengorganisasian bahan hukum. Analisa bahan hukum dalam penelitian ini
dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif.
Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP
No. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen,
dan pelanggaran ketentuan label pangan oleh pelaku usaha dapat
dikenakan tanggungjawab administratif, perdata maupun pidana.
3. Judul Tesis : Budaya Hukum Dalam Implementasi Kebijakan
Pemerintah terhadap Persyaratan Pengelolaan Apotik
Di Kota Semarang
Penulis : Hartoyo
Dari : Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Diponogoro Semarang, 2007
14
Diskripsi Penelitian :
Pengelolaan apotik dapat dilakukan Apoteker Pengelola Apotik
dengan berbagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Namun juga Apoteker dapat menggunakan sarana pihak lain
(menyediakan sarana dan modal) dengan mengadakan perjanjian
kerjasama antara Apoteker dan pemilik sarana (Pasal 8 ayat 1 Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor :922/MENKES/PER/X/1993). Dalam praktek
ditemukan bahwa pemilik sarana dapat mengelola apotik walaupun
pernah terlibat pelanggaran dengan mengatas namakan keluarganya.
Permasalahan tersebut dapat dirumuskan bagaimana perilaku Pemilik
Sarana Apotik dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah terhadap
pengelolaan apotik, factor faktor apa yang mempengaruhi perilaku pemilik
sarana apotik dalam pelaksanaan kebijakan terhadap persyaratan
pengelolaan apotik dan bagaimana pengaruh budaya hukum dalam
implementasi Kebijakan Pemerintah terhadap persyaratan pemilik sarana
dalam pengelolaan apotik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
dengan pendekatan yuridis sosiologis, dengan spesifikasi penelitian
diskriptif analistis, metode pengumpulan data dilakukan dengan cara data
kepustakaan (sekunder) dan data lapangan (primer), analisis dilakukan
secara kualitatif. Perilaku
PSA (Pemilik Sarana Apotik), dalam mengelola apotik,
berorientasi pada keuntungan, namun demikian keberadaannya sangat
dibutuhkan masyarakat akan terpenuhinya kebutuhan obat, sehingga
persyaratan pengelolaan apotik diabaikan, walaupun sebenarnya mereka
15
mengetahui itu merupakan pelanggaran. Perilaku yang demikian ini
merupakan suatu kebiasaan yang sudah biasa dilakukan oleh para PSA dan
aparat yang terkait tidak tegas dalam menindak perilaku yang demikian
Dari uraian tesis-tesis tersebut belum ada penelitian tesis yang menguraikan
tentang kewenangan Badan POM untuk melakukan pengawasan peredaran
minuman beralkohol dikaitkan dengan Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012.
1.6. Landasan Teoritis
Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain yang akan
dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam penelitian.
Sebagai landasan dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang
bersifat konsesus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controller
baar)7 .
Landasan teoritis merupakan pijakan untuk mewujudkan kebenaran
ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian penelusuran terhadap teori-teori
hukum, konsep konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain yang menjadi
landasan dan pedoman untuk mencapai tujuan penelitian8. Pada umumnya
penelitian dasar teori, bersumber dari undang-undang, buku atau karya tulis suatu
bidang ilmu dan laporan penelitian9. Dalam melakukan penelitian ini akan
dipergunakan beberapa teori, konsep dan asas hukum sebagai berikut:
7 Ibid, hal.8
8 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan penelitian Hukum, Cet 1. PT. Citra Aditya
Bakti, bandung hal. 73 9 Ibid
16
1.6.1. Teori Penjenjangan Norma.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat bermacam norma yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi cara berpikir dan bertindak,
contohnya norma adat, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum.
Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam
hubungannya dengan sesamanya, ataupun dengan lingkungannya. Walaupun
penerapan norma-norma berbeda-beda dalam lingkungan masyarakat akan tetapi
berlakunya norma hukum adalah mutlak, dalam arti bahwa setiap norma hukum
suatu negara berlaku sama bagi seluruh warga negara dimanapun berada.
Berkaitan dengan hirarkhi suatu norma hukum, Han Kelsen
mengemukakan suatu teori tentang jenjang norma hukum (Stufen Theory)10
, Ia
berpendapat bahwa hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hirarkhis tatasusunan, dimana satu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada
norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut bersifat hipotesis dan fiktif
yaitu norma dasar (grundnorm)
Dalam bukunya “General Theory of Law and state”, Kelsen
mengemukakan bahwa sistem perundang-undangan suatu Negara tersusun seperti
tangga-tangga piramida. Di puncak piramida terdapat norma dasar (general norm)
yaitu norma yang berlaku umum, mengikat umum. Sedangkan ketetapan tersebut
sebagai individual norm yaitu norma yang berlaku dan mengingat orang yang
10
Maria Farida Indarti Suprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar
pembentukannnya , Kanisius Yogyakarta, , hal. 25
17
telah diketahu identitasnya11
. General Norm adalah kaedah-kaedah yang berlaku
dan mengikat umum seperti kaedah dasar, undang-undang dasar, undang-undang
dan peraturan-peraturan, seperti yang sudah termuat dalam Undang-Undang No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal
7 ayat (1) menyebutkan jenis hirarki peraturan perundang-undangan adalah:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Selanjutnya peranan peraturan perundang-undangan tidak bisa dilepaskan
dari kesatuan tertib hukum, dan menurut Kelsen, tata tertib hukum itu pertanggaan
perundang-undangan dari beberapa pembentukan hukum. Keberadaan suatu
produk hukum sangat penting sebagai dasar bagi pemerintah dari pusat sampai
daerah dalam upaya penyelenggaraan urusan pemerintah maupun melayani
kepentingan masyarakat. Konsep penjenjangan norma digunakan mengkaji
kesesuaian norma antara peraturan daerah dengan peraturan yang lebih tinggi
yang berkaitan dengan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di
daerah Provinsi Bali.
11
Bachsan Mustafa, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia , PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.36
18
1.6.2.Teori Perundang-Undangan Yang Baik
Hukum dalam arti sempit dimaknai sebagai undang-undang hal ini, sejalan
dengan apa yang disampaikan Wirjono Prodjodikoro, hukum adalah rangkaian
peraturan–peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu
masyarakat12
. sementara itu menurut. Soerojo Wignjodipoero, hukum adalah
himpunan peraturan–peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu
perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat tidak berbuat sesuatu serta dengan
maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat13
.
Dari pengertian tersebut sangatlah jelas bahwa hukum dapat dipandang
sebagai undang-undang yaitu himpunan peraturan tertulis yang apa bila dilanggar
dapat dikenakan sanksi
Dalam studi ilmu dan teori perundang-undangan, paling tidak ada 4 syarat
bagi peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu : yuridis, sosiologis,
filosofis, dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang baik14
.
Adapun teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang baik itu harus
memenuhi ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum,
ketepatan bahasa (peristilahan), ketepatan dalam pemakaian huruf dan tanda baca.
Selanjutnya mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang
undangan di Indonesia telah diatur pula dalam bab II, Pasal 5 Undang-undang No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
terurai sebagai berikut:
12
R. Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan pertama ,Sinar Grafika, Jakarta, hal
26-27 13
ibid 14 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
Yogyakarta, Kanisius, 1998.hal. 196.
19
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan.
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat.
c. kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan.
d. dapat dilaksanakan.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan.
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Undang-undang yang baik tidak hanya mengatur tentang asas dari
pembentukan undang-undang saja akan tetapi juga berkaitan dengan materi
muatan yang tertuang dalam undang-undang. Dalam UU No 12 Tahun 2011 diatur
pula tentang asas yang harus diperhatikan dalam materi muatan peraturan
perundang-undangan, yang terurai secara lengkap dalam Pasal 6:
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas:
a. pengayoman.
b. kemanusiaan.
c. kebangsaan.
d. kekeluargaan.
e. kenusantaraan.
f. bhinneka tunggal ika.
g. keadilan.
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain
sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan.
20
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebuah undang-undang
untuk dapat dikatakan sebagai undang-undang yang baik haruslah memenuhi
asas-asas tertentu, relevansi asas-asas ini dengan masalah yang dikaji adalah asas-
asas yang tertuang dalam ketentuan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan digunakan sebagai idikator untuk mengkaji
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nonor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol di Bali.
1.6.3.Konsep Kewenangan
Wewenang merupakan bagian yang penting dalam hukum administrasi
Negara. Wewenang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hak
atau kekuasaan untuk bertindak15
. Menurut S.F Marbun, Wewenang mengandung
arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara
yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan hukum16
. Sedangkan Kewenangan (authority)
adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap golongan orang tertentu
maupun kekuasaan terhadap suatu pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal
dari kekuasaan legislative maupun kekuasaan pemerintah.17
H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt berpendapat cara memperoleh
kewenangan pemerintahan diklasifikasi dalam 3 (tiga) cara yakni18
:
15
Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,
Balai Pustaka, Jakarta, hal 1272. 16
S.F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia , Liberty, Yogyakarta, hal 154-155. 17
Ibid, hal 74 18
Ibid, hal.104
21
a. Attributie;Toekenning van een bestuursbevoegheiddoor een wetgever
aaneenbestuursorgaan atau atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan
b. Delegatie;Overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan
een ander, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari
satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Madaat; een bestuursorgaan laat zijn bevogheid names hem
uitoefenendoor een ender, atau mandate terjadi ketika organ pemerintahan
mengijinkan kewenangannnya dijalankan oleh organ lain atas namanya
Berdasarkan pandangan tersebut diatas, Atribusi merupakan wewenang
untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber pada undang-
undang, Atribusi juga dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh
wewenang pemerintahan. Kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ
pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan tersebut diperoleh
langsung dari peraturan perundang-undangan. Delegasi diartikan sebagai
penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh pejabat pemerintah kepada
pihak lain, artinya ada pemindahan tanggungjawab dari yang memberi delegasi
(delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Mandat diartikan suatu
pelimpahan wewenang kepada bawahan. Penerima mandat ( mandataris) hanya
bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggungjawab akhir
keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans
22
Setiap wewenang pemerintah di isyaratkan harus bertumpu pada
kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah maka pejabat ataupun
badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah19
.
Pembentukan wewenang pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini penting karena dengan mengetahui
sumber kewenangan tersebut maka akan mempermudah pembagian tugas,
kordinasi dan pengawasan.
Konsep Kewenangan dipergunakan karena BPOM dan Pemerintah
Provinsi Bali sama-sama memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan
dan pengendalian minuman beralkohol diwilayah Provinsi Bali, baik yang
bersumber langsung dari perundang-undangan (atribusi) maupun pelimpahan
wewenang dari pemegang kewenagan asali (delegasi)
1.6.4.Konsep Pengawasan
Selanjutnya pengawasan diartikan adalah proses dalam menetapkan
ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil
yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut. Controlling
is the process of measuring performance and taking action to ensure desired
results. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang
terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan. The process of ensuring
that actual activities conform the planned activities20
.
19
Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Admintrasi, Bayumedia Publishing, Malang,
hal 77.
20 Yosa, Pengawasan sebagai sarana penegekan hukum administrasi
Negara, Jurnal Depdagri , Kamis, 1 Juli 2010, hal 45
23
Menurut Winardi “Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan
oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan
hasil yang direncanakan”. Sedangkan menurut Basu Swasta “Pengawasan
merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan
hasil seperti yang diinginkan”. Sedangkan menurut Komaruddin “Pengawasan
adalah berhubungan dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan
awal untuk langkah perbaikan terhadap penyimpangan dan rencana yang
berarti”21
.
Dari pengertian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa
Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar
pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk
membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk
menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk
mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua
sumber daya perusahaan atau pemerintahan telah digunakan seefektif dan
seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan atau pemerintahan. Dari
beberapa pendapat tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan
merupakan hal penting dalam menjalankan suatu perencanaan. Dengan adanya
pengawasan maka perencanaan yang diharapkan oleh manajemen dapat terpenuhi
dan berjalan dengan baik.
21
Ibid
24
Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai
sebagai “proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan,
dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,
direncanakan, atau diperintahkan.22
Hasil pengawasan ini harus dapat
menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan
menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun
manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola
pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga
fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini,
pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu
sendiri.
Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan
salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat
terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan
yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan
ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan
masyarakat (social control).
Konsep Pengawasan dipergunakan karena pengawasan merupakan aspek
penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam dalam hal ini bagaimana Pemerintah Provinsi Bali dan Badan Pengawas
Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap Peredaran dan Pengandalian
22 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. hal 19.
25
minuman beralkohol di Provinsi Bali, sehingga peredaran minuman beralkohol
sesuai dengan ketentuan Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Peredaran
dan Pengendalian Minuman Baralkohol di Provinsi Bali
1.6.5. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-
wenangan maka pemerintah dalam melaksanankan fungsinya perlu menggunakan
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) sebagai pedoman dalam
membuat keputusan maupun perbuatan nyata 23
Fungsi AAUPB merupakan pedoman yang bersifat umum yang
mempunyai nilai hukum atau minimal mempunyai nilai penentu dalam suatu
tindakan pemerintah. Asas-asas yang dimaksud bersifat tidak tertulis akan tetapi
AAUPB tersebut haruslah menjadi penentu dalam setiap tindakan pemerintah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka badan atau pejabat tata usaha negara yang
melaksanakan urusan pemerintahan seperti membuat keputusan (beschikking)
yang materinya bersifat konkrit umum maupun kongkrit individual, serta dengan
mengeluarkan peraturan (regeling) merupakan perbuatan pemerintah dalam
hukum public merupakan pengaturan yang bersifat umum abstrak dan dalam
melakukan perbuatan nyata atau perbuatan matreriil (Materiil Daad), merupakan
perbuatan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah. Semua tindakan
pemerintah harus berdasarkan AAUPB baik yang formal maupun materiil
sehingga keputusan tersebut benar-benar menurut hukum dan mencerminkan
kepastian hukum.
23
E Uttrech , 1986, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas
Surabaya, hal.179.
26
Selanjutnya maksud dirumuskannya AAUPB adalah mewujudkan
penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dann tugasnya secara
sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab, menurut Ridwan HR AAUPB
meliputi 24
:
1. Asas Kepastian hukum: asas dalam Negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam
setiap tindakan penyelenggara Negara
2. Asas tertib penyelenggaraan Negara; asas ini menjadi landasan ketentuan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan
Negara, asas ini menghendaki agar penggunaan wewenang oleh
penyelenggaraan Negara, tetap berdasarkan dan sesuai dengan hukum
yang berlaku sehingga terjaga keharmonisan hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat
3. Asas Kepentingan umum: asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara aspiratif. Akomodatif dan selektif. Asas ini mengharuskan
administrasi Negara menjalankan kekuasaan untuk mencapai atau
memenuhi kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara
4. Asas keterbukaan: asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
manusia, golongan dan rahasia Negara.
5. Asas proporsionalitas: asas yang mengutamakan keseimbangan hak dan
kewajiban penyelenggara Negara.
6. Asas profesionalitas: asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas ini mengutamakan agar pembuatan peraturan oleh pemerintah
didasarkan atas keahlian sehingga tepat dari segi aturan hukum yang
diterapkan maupun dari segi prosedurnya.
7. Asas Akuntabilitas: asas yang menetukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung
jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Akuntabilitas dimaksudkan sebagai kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan
24
Ridwan. HR. Op.cit. hal 254-255
27
tindakan sesorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak
yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban.
Menurut Crince Le Roy asas-asas pemerintahan yang baik meliputi25
:
1. Asas Kepastian Hukum ( principle of legal security)
2. Asas Keseimbangan (principle of proportionally)
3. Asas kesamaan dalam Pengambilan Keputusan (principle of equality)
4. Asas Bertindak cermat (principle of carefulness)
5. Asas Motifasi dalam setiap keputusan (principle of motivation)
6. Asas Larangan mencampuradukan kewenangan (principle of non
misuse of competence)
7. Asas Permainan yang layak (principle of Fair Play)
8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of
prohibitionof arbitarines)
9. Asas Menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting
raised expectation)
10. Asas Peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the
consequence of unnulled decision)
11. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of
protecting the personal way of live )
Bila dikaitkan dengan penelitian tesis ini maka asas yang paling relevan di
pergunakan untuk mengkaji adalah asas kepastian hukum. Esensi Negara hukum,
terdapat asas legalitas dan kepastian hukum, Asas Legalitas diilhami atas
pemikiran untuk membatasi kekuasaan penguasa dengan bersaranakan hukum.
Pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan
kepada pemerintah untuk ikut serta/campurtangan dalam kehidupan pribadi.
Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah penguasa melanggar hak-hak individu,
sedangkan sarana yang membatasi campur tangan Negara pada kehidupan
individu diatur dalam udang-undang26
.
25
Hotma P Sibuea, op.cit. hal. 158. 26
Hotma P.Sibuea,2010, Asas Negara Hukum,Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta, hal.32
28
Dengan demikian maka dapat dikatakan undang-undang merupakan
landasan keabsahan campur tangan Negara dalam kehidupan pribadi, diluar
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dianggap sebagai suatu
pelanggaran dalam kehidupan pribadi. Selanjutnya tujuan utama dalam asas
legalitas adalah menciptakan kepastian hukum agar pemerintah tidak bertindak
sewenang-wenang. Asas kepatian hukum merupakan asas yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keadilan, dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan Negara. Sedangkan asas legalitas marupakan asas
yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap Negara yang menyatakan dirinya sebagai
Negara hukum27
, artinya setiap wewenang pemerintah atau badan-badan
pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Asas Kepastian
diberlakukan untuk jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat maupun aparat
pemerintahan.
Kepastian hukum akan memberikan jaminan bagi kehidupan masyarakat
maupun aparat pemerintah. Asas Kepastian hukum dipergunakan untuk mengkaji
Apakah Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran
Minuman Beralkohol di Bali dapat memberikan Kepastian hukum bagi mereka-
mereka yang berkecimpung dalam peredaran minuman beralkohol ketentuan.
Mengingat dalam Perda tersebut terjadi kekosongan norma dimana, tidak ada
pembagian tugas dan kewenangan bagi tindakan pemerintah atau Badan yang
memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol di wilayah Provinsi Bali, khususnya BPOM dan Pemerintah Provinsi
Bali
27
Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Pustaka Sinar harapan, Jakarta, hal. 83.
29
1.7. Metode Penelitian
Pada penyusunan penelitian, yakni tentang cara kerja keilmuan salah
satunya dengan menggunakan metode (Inggris-method, latin-Methodus, Yunani-
Methodos) metode berasal dari kata meta yang berarti diatas dan thodos berarti
suatu jalan atau cara, Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara
harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara yang harus
ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu
rencana tertentu.28
Menurut Morris L. Cohen and Kent C. Olson 29
:
“Legal reaserch is an essential component of legal practice, it is the
process of finding the law that governs an activity andmaterials that
explain or analyze that law ”
Terjemahan bebasnya:
Penelitian hukum adalah bagian penting praktik hukum. Ini merupakan
proses untuk menemukan hukum yang mengatur suatu kegiatan dan
bahan-bahan yang menjelaskan atau menganalisa hukum.
Menurut Soerdjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan
tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan
secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah
pengetahuan manusia. Maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses
prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam
28
Jhony Ibrahim , 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Publising , Malang, hal.26 29
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Rreaserch in a Nutshell, sevent
edition, West Group, st Paul Minn, hal 1.
30
melakukan penelitian30
. Dengan demikian maka penelitian yang dilakukan adalah
untuk memperoleh data yang teruji kebenarannya secara ilmiah.
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif 31
. Penelitian
hukum normatif digunakan bertolak dari kekosongan norma antara Perda No 5
Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Berakohol dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/MENKES/PER/
VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan
Menurut Jhony Ibrahim, penelitian hukum normatif mencoba menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif, sehingga
Penelitian Hukum Normatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma / asas hukum;
- Tidak menggunakan hipotesis;
- Menggunakan landasan teoritis;
- Menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 32
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa dalam penelitian hukum
normatif tidak ada pengumpulan data karena data bermakna empiris. Penelitian
hukum normatif tidak menggunakan analisis kwantitatif (statistik). Seorang
peneliti tidak boleh membatasai kajiannya hanya pada satu Undang-undang saja
30
Soerdjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, hal. 13. 31
Jhoni Ibrahim, Op cit. hal.57 32
Philipus M. Hadjon, 1997, Penelitian Hukum Normatif (Kumpulan Tulisan), Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal.1-2.
31
tetapi harus melihat keterkaitan undang-undang tersebut dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.33
Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, sehingga disebut juga dengan penenelitian non
human resource, yakni penelitian yang menggunakan bahan-bahan yang bukan
dari hasil observasi atau wawancara melainkan sumber yang bukan manusia yaitu
dokumen34
1.7.2. Jenis Pendekatan.
Banyak metode pendekatan dalam penelitian normatif yaitu pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Konsep (Copceptual
approaach), Pendekatan Analisa (Analytical Approach), pendekatan perbandingan
(Comparatif Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), Pendekatan
Filsafat (Philosophical Approach) dan Pendekatan Kasus (Case Approach)35
.
Terhadap permasalahan yang dikaji digunakan pendekatan perundang-undangan
(statute Approach) Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan
tentang bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut serasi secara vertikal
maupun secara horizontal. apabila menyangkut perundang-undangan yang
sederajat mengenai bidang yang sama. Kalau yang dilakukan adalah penelitian
terhadap taraf sinkronisasi secara vertikal, maka yang menjadi ruang lingkup
adalah pelbagai perundang-undangan yang berbeda derajat, yang mengatur
kehidupan yang tertentu (yang sama).36
33
Ibid. 34
Nasution, 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.85 35
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta,
hal.93-137 36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.74.
32
Selain itu juga menggunakan pendekatan analisis (analytical approach)
dan pendekatan konsep (Conceptual approach) Merupakan suatu kerangka
teoritis dan konseptual yang antara lain berisi tentang pengkajian terhadap teori-
teori, definisi-definisi tertentu yang dipakai sebagai landasan pengertian dan
landasan operasional dalam pelaksanaan penelitian.37
Teori-teori, konsep-konsep
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Konsep Negara Hukum, Konsep
kewenangan, Teori penjenjangan Norma, Teori Perundang – undangan yang baik
dan Asas-asa Umum Pemerintahan yang Baik
1.7.3.Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian normatif, bahan hukum mencakup bahan hukum primer,
kedua bahan hukum sekunder dan ketiga bahan hukum tertier38
. Penelitian ini
menggunakan bahan hukum primer yaitu ;undang-undang, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Perundang-undangan yang akan dikaji antara lain :
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan.
- Keputusan Presiden No 166 Tahun 2000, tentang Kedudukan Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen.
37
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafindo, Jakarta,
hal.30. 38
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
hal.52
33
- Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol.
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 382/MENKES/PER/VI/1989 tentang
Pendaftaran Makanan.
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol
Bahan hukum sekunder, yakni hasil penelitian dan buku-buku yang
relevan dengan masalah yang diteliti dalam hal ini berkaitan dengan kewenangan
BPOM dalam mengawasi dan pengendalian minuman beralkohol dan bahan
hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan
jalan mengcopy (down load) bahan hukum yang diperlukan. Keunggulan dalam
penggunaan ataupun pemakaian internet antara lain, efisien, tanpa batas (without
boundry) terbuka selama 24 jam, interaktif dan terjalin sekejap (hyperlink)39
Sedangkan bahan hukum tertier, yaitu kamus Bahasa Indonesia, dan kamus
hukum yakni black’s law dictionary.
1.7.4. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dimulai dengan kegiatan inventarisasi, dengan
pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem
informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum
tersebut, Bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni
dengan melakukan pencatatan terhadap sumber bahan-bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, dan kemudian melakukan indentifikasi terhadap bahan-
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, selanjutnya dilakukan
39
Budi Agus Riswadi, 2003, hukum internet, UII Pres, Yogyakarta, hal.325
34
inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara mencatat atau
pengutipan dengan menggunakan sistem kartu.
Bahan hukum kepustakaan dikumpulkan dengan sistem kartu (card
system). Menurut Winarno Surakhmad, sistem kartu tersebut dibagi atas tiga
macam, yaitu40
:
1. Kartu Ikhtisar
2. Kartu Kutipan
3. Kartu Analisis/Usulan
Kartu ikhtisar memuat nama pengarang, judul buku, nama penerbit,
halaman, pokok masalah yang dikutip. Kartu kutipan memuat pokok-pokok
masalah yang dikutip, dan kartu analisis/usulan memuat ulasan yang bersifat
menambah atau menjelaskan dengan cara mengkritik, menarik kesimpulan, saran
maupun komentar. Dalam pengumpulan bahan hukum ini, kartu-kartu disusun
berdasarkan nama pengarang, sedangkan uraian dan analisis bahan dilakukan
berdasarkan obyek yang sesuai dengan topik pembahasan
1.7.5.Tehnik Analisa Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum maupun informasi penunjang yang diperoleh akan
diolah dan dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi, konstruksi,
evaluasi, argumentasi dan sitematisasi.41
Deskripsi mencakup isi maupun struktur
hukum positif. Dalam deskripsi dilakukan kegiatan untuk menggambarkan isi atau
makna dari suatu aturan hukum. Pada tahapan ini dilakukan pemaparan serta
penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang terdapat didalam peraturan
40
Winarno Surakhmad, tanpa tahun, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan
Teknik, hal.227. 41
Program Studi Magister Ilmu HukumProgram Pascasarjana, Universitas Udayana ,
2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan tesis Ilmu HukumProgram
Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, hal 13-15
35
perundang-undangan. Berdasarkan deskripsi tersebut, selanjutnya dilakukan
interpretasi atau penafsiran secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang
dijumpai untuk kemudian disistematisasi dan dievaluasi atau dianalisa isinya
(content analysis)42
.
Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan
hierarkhis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam
penelitian ini. Pada tahapan ini juga akan dilakukan penyerasian terhadap aturan-
aturan hukum yang bertentangan/konflik sehingga maknanya dapat dipahami
secara logis. Selanjutnya pada tahap eksplorasi dilakukan analisis terhadap makna
yang terkandung didalam aturan-aturan hukum sehingga keseluruhannya
membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Kemudian pada
tahap yang terakhir adalah tahap argumentasi yaitu dikemukakan pendapat atau
pandangan penulis terhadap bahan-bahan hukum yang telah dideskripsikan,
disistematisasi dan dieksplorasi untuk diperoleh kesimpulan atas kedua
permasalahan yang dikaji dalam penulisan tesis ini.
42
Sumandi Suryabrata, 1989, Metodologi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, hal.85.
36
BAB II
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN SEBAGAI
LEMBAGA PEMERINTAH NON DEPARTEMEN (LPND)
2.1. Lembaga Negara Non Departemen
Lembaga negara secara terminologis bukanlah konsep yang memiliki
istilah tunggal dan seragam, dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga
negara digunakan istilah Political Institution, sedangkan dalam terminologi dalam
bahasa Belanda terdapat istilah Staat Oranen, sementara itu dalam bahasa
Indonesia menggunakan istilah Lembaga Negara, Badan Negara atau Organ
negara 43
Menurut Kamus Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh
Dinata dkk, kata organ negara di artikan sebagai berikut: 44
Organ adalah perlengkapan. Alat Perlengkapan adalah orang atau majelis
terdiri dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang atau anggaran
dasar yang berwenang melakukan dan merealisasikan kehendak badan
hukum. selanjutnya negara dan badan pemerintahan rendah memiliki
perlengkapan mulai dari raja (presiden) sampai pegawai yang rendah,
para pejabat tersebut dapat dianggap sebagai alat perlengkapan. Akan
tetapi perkataan ini lebih banyak dipakai untuk badan pemerintahan tinggi
dan dewan pemerintahan yang mempunyai wewenang yang diwakilkan
secara teratur dan pasti
Dengan demikian maka secara difenitif dapat dikatakan alat-alat
kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut lembaga negara adalah
institusi–institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.
43
Hasil diskusi “ Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amendemen UUD
1945” KRHN, Jakarta 9 September 2004 44
Rafi Harun dkk , Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi satu tahun Mahkamah
Konstitusi: Konstitusi Press hal.60-61
36
37
Selanjutnya berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya
terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti membuat kebijakan
peraturan perundang-undangan (legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau
fungsi penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) dan fungsi mengadili atau
yudikatif45
. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori–teori klasik hukum negara
meliputi kekuasaan eksekutif dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri
atau raja, kekuasaan legislatif dalam hal ini disebut parlemen atau dengan nama
lain disebut dewan perwakilan rakyat dan kekuasaan yudikatif seperti mahkamah
agung atau suprame court. Dan setiap organ- organ tersebut bisa memiliki organ-
organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya, seperti eksekutif dibantu
oleh menteri-menteri yang bisa mempimpin departemen tertentu.
Secara Konseptual tujuan diadakannya lembaga-lembaga atau alat-alat
kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara juga
melaksanakan fungsi pemerintahan secara aktual, dengan kata lain lembaga-
lembaga negara ini harus membentuk satu kesatuan proses yang satu dengan
lainnya harus saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara
atau istilah yang digunakan Prof Sri Soemantri adalah actual governmental
process46
Dengan Kenyataan bahwa secara konstitusional negara Indonesia
menganut prinsip ”Negara hukum yang dinamis” atau welfare State, maka dengan
45
Moh. Kusnardi dan Bintan saragih, 2000, Ilmu Negara , Edisi revisi, Jakarta, Gaya
Media Pratama, hal.241 46
Sri Soemantri.1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD1945, Alumni,
Bandung hal. 59
38
sendirinya tugas pemerintah Indonesia menjadi begitu luas47
. Pemerintah wajib
berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam segala bidang
kehidupan, baik politik, ekonomi, maupun pangan, dan untuk itulah pemerintah
memiliki kewenangan ( freis Hermansen) untuk turut campur dalam berbagai
bidang kegiatan dalam masyarakat, guna terwujudnya kesejahteraan sosial
masyarakat seperti melakukan pengaturan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat
dengan memberikan izin, lisensi, dispensasi dan lain-lain bahkan melakukan
pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara karena diperlukan oleh umum.
Dengan demikian berarti walaupun lembaga-lembaga negara tersebut
berbeda-beda termasuk pula dalam prakteknya diadopsi oleh negara di dunia ini
berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan
memiliki relasi-relasi sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan yang
merelisasikan secara praktis fungsi negara untuk mewujudkan tujuan negara.
Berdasarkan alas hukum bentuknya maka lembaga negara tersebut dapat
digolongkan menjadi tiga: 48
a. Pembentukan Lembaga Negara Melalui UUD 1945
b. Pembentukan Lembaga Negara Melalui Undang-undang
c. Pembentukan Lembaga Negara melalui Keputusan Presiden.
Dalam Hirarki perundang-undangan, UUD menempati urutan pertama dan
harus menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya,
ada 18 lembaga negara/organ /fungsi yang di sebut dalam UUD 1945, yakni :
47
ST Marbun dan Mahfud Md, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Cetakan IV, Liberty Yogyakarta. Hal.52 48
Firmansyah DKK, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antara Lembaga
Negara, Konsorsiun Reformasi Hukum Nasional ( KRHN) bekerjasama dengan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia ( MKRI), jakarta, Cetakan I, hal. 66
39
MPR, DPR, DPD, Presiden, MA. BPK,Kementrian Negara, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten dan Kota, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Yudisial, Mahkamah
Konstitusi,Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik
Indonesia dan Dewan Pertimbangan Presiden
Mengenai Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan UU, yang norma
hukumnya lebih kongkrit dan terinci berlaku dalam masyarakat, paling tidak ada
10 lembaga yaitu: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi
Pemberantasan Korupsi ( KPK), Komisi Penyiaran Indonesi (KPI), Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR), Komisi Nasional untuk Anak (Komnas Anak) dan Komisi Kepolisian,
Komisi Kejaksaan, Dewan Pers, Dewan Pendidikan .
Keputusan Presiden merupakan peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk presiden, dasar legalitasnya adalah Presiden memegang pemerintahan
menurut UUD, Dengan memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, presiden
memegang kekuasaan eksekutif yang dapat mengatur penyelenggaraan
pemerintahan sesuai ruang lingkupnya. Beberapa lembaga negara yang dasar
hukumnya adalah melalui kewenangan presiden yakni melalui keputusan presiden
diantaranya Komisi Ombusdsman, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan, selain itu ada komisi yang kedudukannya
telah dilebur menjadi dewan yang terdiri dari tujuh dewan berdasarkan keputusan
presiden, Dewan Maritim, Dewan Ekonomi, Dewan Pengembangan Usaha
Nasional, Dewan Riset Nasional, Dewan Industri Strategis, Dewan Buku
40
Nasional, selain itu melalui keputusan presiden juga dibentuk lembaga-lembaga
non departemen yang tercatat ada dua puluh lima Lembaga yang salah satunya
adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sesuai Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 103 tahun 2001 tentang, Kedudukan Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen.
Lembaga Pemerintah Non Departemen ini adalah lembaga negara di
tingkat pusat yang menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawab
menyelenggarakan pemerintahan (eksekutif ) dalam bidang-bidang tertentu, Badan
atau lembaga ini barada di bawah dan bertanggungjawab langsung pada presiden
dengan kedudukan yang lebih rendah dari departemen. Meskipun beberapa badan
atau lembaga yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden ini sama
kedudukannya sebagai badan non departemen akan tetapi dalam tugas dan
fungsinya terdapat perbedaan sebagai berikut49
:
a. Penamaan Lembaga
Mengenai penamaan ada yang menggunakan nama badan, ada
yang mengguinakan nama lembaga
b. Perbedaan penyebutan pimpinan
Ada Yang menggunakan nama Kepala kantor, dan ada yang
menggunakan istilah Ketua
c. Perbedaan kewenangan dan Pengangkatan pimpinan
Pengangkatan semua dilakukan oleh presiden akan tetapi ada pula
dalam prosesnya melalui usulan dan kordinasi dengan menteri
yang membidangi masalah tersebut
d. Keuangan
Mengenai sumber keuangan berbeda-beda ada yang dilekatkan
langsung pada APBN ada pula yang dilekatkan pada anggaran
sekretariat negara
49
Philipus M ahdjon, dkk. , 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gadjah
Mada University Press, Cetakan kesembilan , hal 93
41
e. Organisasi verikal
Pada dasarnya lembaga non departemen hanya ada di tingkat pusat,
ada beberapa yang memiliki susunan di daerah seperti BPOM,
BULOG, BPS.
Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa walupun ada perbedaan –perbedaan
diantara lembaga-lembaga non departemen tersebut yang mencakup lima hal
tersebut, akan tetapi pada dasarnya dalam lembaga-lembaga tersebut membantu
tugas presiden dalam melaksanakan tugas eksekutif dengan berkordinasi dengan
menteri-menteri yang dtitugaskan untuk itu
2.2. Keberadaan Badan Pengawas Obat dan Makanan di Denpasar
Secara Konsep Indonesia merupakan negara hukum yang dinamis (welfere
stste) hal mana dapat dilihat dari pokok pikiran mengenai tujuan negara Indonesia
yang menganut prinsip demokratis konstitusional yaitu memajukan kesejahteraan
umum50
. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dengan sendirinya tugas
pemerintah sangatlah luas, pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada
masyarakat di segala bidang, politik, ekonomi, kesehatan. Dalam kepentingan
tersebut pemerintah memiliki kewenangan untuk campur tangan (freis Ermessen)
dalam berbagai kegiatan pembangunan untuk meweujudkan kesejahteraan sosial51
seperti: memberikan izin, lisensi, dispensasi dan lain-lain bahkan melakukan
pencabutan atas hak-hak tertentu warga negara karena diperlukan oleh umum.
Dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan bermartabat maka
dibutuhkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi. .
50
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal 63-64 51
Bahsan Mustafa dalam Ridwan HR,,2006Hukum Administrasi Negara ,PT Raja Grafindo
Persada , Jakarta, hal 178
42
Untuk melakukan pengawasan terhadap makanan agar aman dikonsumsi oleh
masyarakat maka presiden telah membentuk sebuah badan yang diberikan tugas
tertentu dalam hal pengawasan terhadap obat dan makanan yang disebut dengan
Badan Pengawas Obat dan Makanan yang disingkat dengan BPOM. Badan inilah
dengan dikordinasikan oleh menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial yang
diserahkan tugas pengawasan peredaran obat dan makanan di Indonesia, yang
dibentuk di masing-masing Provinsi di seluruh Indonesia tak terkecuali di
Provinsi Bali
a. Sejarah Singkat BPOM di Denpasar
Optimalisasi Pengawasan di bidang obat dan makanan yang meliputi
Produk Terapetik, Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain, Obat Tradisional,
Kosmetika, Produk Komplemen, pangan dan bahan berbahaya, tidak bisa
dilaksanakan hanya oleh satu institusi, ada 3 (tiga) komponen yang harus berperan
serta saling bersinergi yaitu Pemerintah, Produsen dan Konsumen (masyarakat).
Dalam hal ini pengawasan dari komponen pemerintah dilakukan oleh Badan
POM. Badan POM merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)
yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang kemudian diperbaharui dengan Keppres No.
103 Tahun 2001 dan Keppres No. 106 Tahun 2002.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.21.3592
tanggal 9 Mei 2007 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Badan POM
Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT
43
di lingkungan Badan POM, dan melalui persetujuan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara No 119/M.PAN/5/2001 Tahun 2001 maka dibentuklah Balai
Besar Pengawasan Obat dan Makanan (Balai Besar POM) di Denpasar dan baru
tahun 2009 diresmikanlah berdirinya gedung BPOM di Renon. Selanjutnya
berdasarkan surat keputusan yang sama ditetapkan cakupan wilayah kerja Balai
Besar POM di Denpasar meliputi seluruh wilayah administratif Provinsi Bali
terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung,
Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem dan 1 (satu) kota yaitu Denpasar52
.
Dalam upaya mencapai visi dan misi Badan POM RI, sesuai Surat
Keputusan Kepala Badan POM RI No. 05018/SK/KBPOM Tgl. 17 Mei 2001,
Balai Besar POM di Denpasar mempunyai struktur organisasi terdiri dari 5 (lima)
eselon IIIA yaitu Bidang : Sertifikasi Layanan Informasi Konsumen; Pemeriksaan
Penyidikan; Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya; Pengujian Produk
Terapetik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplimen;
Pengujian Mikrobiologi dan 5 (lima) eselon IVA yaitu Seksi : Sertifikasi;
Layanan Informasi Konsumen; Pemeriksaan; Penyidikan; Sub Bagian Tata Usaha.
b. Tugas Pokok dan Fungsi
Sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Badan POM Nomor
05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT di
lingkungan Badan POM, Balai Besar dan Balai POM mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan Produk Terapetik, Narkotika,
52
Tim BPOM, 2012, Profil BP POM ( Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di
Denpasar), hal 4
44
Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplimen, Keamanan Pangan dan
Bahan Berbahaya di wilayah kerjanya.
Dalam melaksanakan tugas Balai Besar POM di Denpasar selaku salah
satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Badan POM
menyelenggarakan fungsi53
:
a. Penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan.
b. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan
penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lain, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen,
pangan dan bahan berbahaya.
c. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan
penilaian mutu produk secara mikrobiologi.
d. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi.
e. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan pada kasus pelanggaran
hukum.
f. Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi
tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
g. Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen.
h. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan.
i. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan.
j. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan, sesuai
dengan bidang tugasnya.
c. Visi dan Misi
Balai Besar POM di Denpasar sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan POM
RI di Provinsi Bali melaksanakan pengawasan obat dan makanan berdasarkan
pada visi dan misi Badan POM RI sebagai lembaga induk. Sehubungan dengan
dinamika lingkungan strategis baik internal maupun eksternal yang memerlukan
perubahan arah, cita-cita organisasi maupun program pengawasan obat dan
makanan, maka dilakukan pembaharuan visi dan misi Badan POM yang telah
53
Ibid, hal 8
45
ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan POM Nomor :
HK.04.01.21.11.10.10509 tanggal 03 Nopember 2011, tentang Penetapan Visi dan
Misi Badan POM, yaitu sebagai berikut54
:
Visi yang di pegang Balai Besar POM di Denpasar mengacu pada Visi
BPOM Republik Indonesia yaitu ”Menjadi Institusi Pengawas Obat dan
Makanan Yang Inovatif, Kridibel dan Diakui Secara Internasional Untuk
Melindungi Masyarakat” dan misi yang dipegang oleh Balai Besar POM di
Denpasar adalah mengacu pada misi BPOM Republik Indonesia sebagai
berikut :
1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar
internasional
2. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu secara konsisten
3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di
berbagai lini
4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari
Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan
5. Membangun organisasi pembelajar (learning organization)
d. Kegiatan Utama
Untuk mencapai tujuan dan sasaran sesuai visi dan misi dengan
didukung sumber daya yang ada Balai Besar POM di Denpasar, memiliki
Tugas Pokok sebagaimana Surat Keputusan Kepala Badan POM No
54
Ibid , hal 6
46
05018/SK/KBPOM tahun 2001, Balai Besar POM di Denpasar selaku UPT di
lingkungan Badan POM menyelenggarakan kegiatan utama Balai Besar
POM di Denpasar antara lain55
:
1. Pengawasan mutu dan keamanan pangan serta keamanan bahan
berbahaya.
2. Pengawasan mutu, khasiat dan keamanan produk terapetik/obat
dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT).
3. Pengawasan mutu, keamanan dan khasiat/manfaat obat tradisional,
suplemen makanan dan produk kosmetik.
4. Perketatan pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor dan zat
adiktif/rokok.
5. Pemberdayaan konsumen/masyarakat di bidang obat dan makanan.
6. Peningkatan manajemen, perangkat hukum dan profesionalisme
sumber daya manusia serta sarana.
7. Penyidikan dan penegakan hukum di bidang obat dan makanan.
8. Penguatan kapasitas laboratorium.
2.3. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan
Asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang
diberikan oleh Undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah
55
Ibid, hal 7
47
wewenang, yakni “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde
rechtshandelingen yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum
tertentu56
. Mengenai wewenang ini, H.D. Stout mengatakan57
bahwa:
“Bevoegdheid is een begrip uit het bestuitrlzjke organisatierecht, wat kan
worden omshreven als het gehed van regels dat betrekking heft op de
verkrging en uitofening van bestuursrechtelijke bevoeganeden door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtlijke rechstverjeer”
(Wewenang adalah pengertian yang berasal dan hukum organisasi
pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintahan oleh subyek hukum di dalam hubungan hukum publik).
Bahwa benar azas legaliteit ini yang merupakan pokok tinjauan Mr.
Yamin terlihat pula dan passage sebagai berikut58
: Dasar Negara ialah “bahwa
Undang-undanglah dan bukannya manusia yang harus memerintah“ . Dasar ini
mengandung arti, bahwa apabila suatu kekuasaan yang dilakukan oleh seorang
pegawai atau jawatan negara mendapat bantahan, maka haruslah dibuktikan dan
Undang-undang manakah kekuasaan itu diambil, dan tiap-tiap Undang - undang
yang berlaku haruslah pula dibuat secara yang sah.59
Badan publik baik dalam bentuk negara, pemerintah, institusi,
departemen untuk dapat menjalankan tugas-tugas mereka memerlukan adanya
kewenangan. Kewenangan negara dapat dilihat pada konstitusi setiap negara yang
memberikan suatu legitimasi kepada aparat pemerintah untuk dapat melakukan
fungsinya. Demikian pula halnya badan-badan publik lain, kewenangan minimal
dapat dijumpai pada produk hukum yang menjadi dasar pembentukannya. Secara
56
Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Pers, Jogyakarta, hal.67 57
S Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni Bandung, hal 22-23 58
Ibid 59
Ibid
48
teoritis, pengkajian terhadap kewenangan badan-badan publik tersebut tidak
terlepas dengan Hukum Tata Negara maupun dengan Hukum Administrasi, oleh
karena kedua bidang hukurn tersebut mengatur tentang kewenangan dimaksud.
Melalui Hukum Tata Negara dapat dijumpai susunan negara atau organ
dan negara (staats, inrichtingrecht, organisastiererecht) beserta kedudukan
hukum dan warga negara berkaitan dengan hak-hak dasarnya. Dalam organ atau
susunan negara diatur diantaranya mengenai pembagian kekuasaan dalam negara
yang terbagi atas pembagian secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal,
kekuasaan negara pada umumnya dibagi atas kekuasaan legislatif kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Sedangican secara vertikal, kekuasaan negara
dibagi atas kekuasaan Pemerintah Pusat dan kekuasaan pemerintah di daerah.
Selanjutnya untuk menghindari sentralisasi kekuasaan dalam negara,
maka pembagian kekuasaan dilakukan juga atas kekuasaan di tingkat pusat dan di
tingkat daerah. Adapun pembagian kekuasaan secara vertikal maupun horizontal
disertai dengan adanya pemberian kewenangan kepada badan-badan negara
tersebut, yang ditegaskan dalam konstitusi negara. Bagi Indonesia, khususnya
terhadap pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah di
daerah beserta kewenangannya dapat dijumpai dalam Pasal 1 jo. Pasal 18, 1 8A
dan 18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam hukum positif istilah wewenang ditemukan pula dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Pasal
1 ayat (6) menentukan, bahwa: “Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
49
Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata.”
Selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c menentukan bahwa: Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah menggunakan wewenang untuk
tujuan lain dan maksud diberikannya wewenang tersebut. Sehingga istilah
wewenang atau kewenangan disini digunakan dalam konsep hukum publik
sebagai konsep ini adalah Hukum Tata Negara.
Sehubungan dengan ini, maka Hukum Administrasi pada hakekatnya
berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian pelaksanaan
kewenangan bersangkutan. Secara lebih mendalam Jacobini dalam kaitan ini
menegaskan bahwa ruang lingkup kajian Hukum Administrasi adalah berkaitan
dengan 60
:
1. Pembentukan atau penataan hukum (the construction or legal setting)
2. Apa yang dapat dinamakan bentuk-bentuk administrasi atau bentuk
yang berhubungan dengan organisasi pekerja (what may the called the
administrative or organizational forms employed).
3. Perihal penggunaan kewenangan administrasi (the circumstances of
administrative or organizational form authorities).
4. Metode atau pola implementasi (the method orpatten of
implementation).
5. Hubungan atau karakteristik pola-pola litigasi (the pertinent or
characteristic patterns of litigation).
6. Ukuran apa yang dapat dirumuskan sebagai bentuk-bentuk eksternal
(what may be loosely termed some special external forms).
60
Wade Dalam Jacobini, 1991, An Introduction To Comparative Administrative Law, Ocean
Publication inc, New York, hal. 14
50
Pembidangan diatas menunjukkan Hukum Administrasi juga berkaitan
dengan administrasi publik. Hal ini berhubungan dengan bentuk-bentuk hukum
dan status ketatanegaraan dan kewenangan-kewenangan publik, tugas-tugas dan
prosedur pengujiannya, hubungannya satu dengan lainnya dan cara untuk
mengontrol aktivitas badan-badan pemerintah yang mendapatkan kewenangan
tersebut.61
Dalam beberapa sumber menerangkan, istilah kewenangan (wewenang)
disejajarkan dengan bevoegdheid dalam istilah hukum Belanda, menurut salah
seorang guru besar Fakultas Hukum Unair menerangkan, bahwa : “wewenang
terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar
hukum dan komformitas hukum.62
Komponen pengaruh, bahwa penggunaan
wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum; dasar
hukum dimaksud, bahwa wewenang haruslah mempunyai dasar hukum,
sedangkan komponen konformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang ini
haruslah mempunyai standar.
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dan peraturan perundang-
undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.
Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut
61
Ibid 62
Emil J, Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Jurnal
of Local Administration Overseas, hal. 135 V
51
disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi
wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:63
a. Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat
adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama
pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat
Daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah.
b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar
pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah di
mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada Badan atau Jabatan
Tata Usaha Negara tertentu.
Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh
Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang
pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara
lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi
wewenang.64
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:65
a. Atribusi : toekenning van een bestuursbevoegheid door en wetgever aan een
berstuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintah).
63
Ridwan HR I, Op.cit, hal.73 64
Ibid, hal.74 65
Ibid, hal.74
52
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene berstuitrsorgaan aan
een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dan satu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen
door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).
Suatu atribusi menunjukkan kepada kewenangan yang sah atas dasar
ketentuan Hukum Tata Negara. Hamid S. Attamimi dengan mengacu kepustakaan
Belanda mengemukakan atribusi ini sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh
konstitusi/grondwel atau pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu
organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.66
Dalam pengertian ini dapat dijumpai 3 (tiga) karakteristik dan atribusi,
yakni adanya penciptaan kewenangan (baru), kewenangan tersebut diberikan oleh
Undang-undang Dasar atau Undang-undang (dalam artian materiil) kepada suatu
organ. Atribusi dikatakan sebagai:
Cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintah. Juga dikatakan
bahwa atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit)
yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil.
Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan
wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat
membentuk wewenang adalah “organ yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Pembentukan wewenang dan distribusi
wewenang utamanya ditetapkan dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan wewenang pemerintahan
didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan”.67
66
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan
Negara, Suatu Study Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam
Kurun Waktu Pelita I-Pelita V, Direksi Unit Indonesia Jakarta. hal. 352 67
Hadjon, Philipus M.1998, Tentang Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum
Administrasi, Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, h.9-10.
53
Jadi atribusi adalah ”okenning van een besttiursbevoegheid door een
wetgever aan een bestuursorgaan” (pemberian dan suatu wewenang pemerintah
oleh pembuat undang-undang kepada suatu organ pemerintah). Legislator yang
kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintah itu dibedakan
antara.68
a. yang berkedudukan sebagai original legislator di negara kita di tingkat
pusat adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi (Konstituante) dan DPR
bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan undang-undang dan di
tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan peraturan
daerah; dan
b. yang bertindak sebagai delegated legislator: seperti Presiden yang berdasar
pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan
Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada
Badan atau Jabatan TUN tertentu.
Delegasi diartikan sebagai “overdrach van een bevoegheid van het ene
bestuursorgaan aan een ander (pelimpahan suatu wewenang dari satu organ
pemerintah kepada suatu organ lainnya).69
Jadi, pada delegasi “terjadi pelimpahan
wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh
suatu wewenang pemerintah secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN
lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi
wewenang.70
Mengenai pengertian dan delegasi Marseven mengemukakan sebagai
berikut71
68
H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht,
Uitgeverij LEMMA B .V,Moerbeiboom, Culemborg. 69
H.D. Van Wijk, dan Williem Konkjnenbelt, Loc.cit 70
Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta (selanjutnya ditulis Indroharto I). 71
Hench Van Maarseven, Bevogheid dalam Akkermaans, PWC, dkk., 1985, Algemene Begril
Peraturan Pemerintahen Van Staats Recht, deel I, W.E.J. Tjeen Willink Zwolle, hal, 55
54
“Bij delegatie gaat de delegatoris dat wil zeggen degeen aan wie de
bevogheid werd gedelegeerd, de competetie verder op eigen naam en met
eigean aansperaak kelijkheid, onder eigen verantwoordelijkheid
uitoefenen“
(Delegasi dipandang sebagai pelimpahan wewenang dan pejabat atau
badan pemerintahan kepada pejabat atau badan pemerintahan yang
lainnya. Pada pendelegasian kekuasaan seorang “delegatris” melaksanakan
kekuasaan atas namanya sendiri dengan tanggungjawab sendiri).
Dalam proses pendelegasian terlibat 3 (tiga) pihak yaitu:
a. Pemilik kekuasaan (de eigenaar van bevogheid);
b. Pemberi kewenangan (getriscarde) yang berstatus sebagai “delegans”;
c. Penerima pelimpahan wewenang (delegatris).
Hal ini berbeda dengan proses pengatribusian yang hanya melibatkan dua
pihak, yakni pemilik kekuasaan dan penerima kekuasaan. Dengan diberikannya
kekuasaan kepada subyek hukum yang baru dapat dikatakan pula sebagai
pembentuk kekuasaan. Dalam praktek pendelegasian wewenang dilakukan
terhadap sebagian wewenang (partie delegatie) dan dapat dilakukan terhadap
keseluruhan wewenang. Kedua bentuk ini harus dinyatakan dengan tegas dalam
peraturan perundang-undangan yang sah berlaku.
Seorang delegataris dapat mendelegasikan lagi kepada pihak ketiga
dengan ketentuan yang berlaku sama seperti pendelegasian dan pemegang
delegasi (geattribueerde) kepada penerima delegasi yang pertama. Bentuk
pelimpahan wewenang ini disebut sebagai subdelegatie. Delegataris bertindak
selaku “delegans” sebagian wewenang atau seluruh wewenangnya kepada pihak
ketiga. Kemudian kemurigkinan dapat juga terjadi “sub-sub delegatie”, dalam hal
ini “subdelegataris’ melimpahkan kepada pihak lain lagi.
55
Terdapat 3 (tiga) ciri mendasar yang dapat dijumpai terkait dengan
delegasi. Pertama, adanya penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan
perundang-undangan, dimana delegataris (penerima) bertanggungjawab penuh
atas kewenangannya itu. Kedua, penyerahan kewenangan dilakukan oleh
pemegang atribusi yang disebut delegans kepada delegataris. Ketiga, hubungan
antara delegans dengan delegataris tidak dalam hubungan atasan dan bawahan.
Ciri-ciri ini sejalan dengan pendapat JBJM. Ten Berge sebagaimana dikutip oleh
Philipus M. Hadjon sehubungan dengan syarat-syarat delegasi, yaitu:
1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
5. Merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan
instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.72
Mengenai kewenangan mandat, Hend van Maarseven lebih lanjut
memberikan penjelasan sebagai berikut :73
Twee belangrijke over drachtsfiguren zijn delegatie en mandat. Bij
delegatie gaat de delagataris-dat wil zeggen degeen aan wie de
bevoeggheid werd gedelegeerd, de competentie vender op eigen nam en
met eigen aanprakelijkheid, onder eigen veraan woordelijkheid uitoefen.
Bij mandaat light dit anders. De mandataris degeen dus aan wie de
bevoegheid gamandatterd werd. oefent de bevoegheid niet op eigen naam
en eigenveranrwoordelijkheid jut, maar op naam van de mandaat, degen
die mandateerde.
72
Philipus, M. Hadjon, dkk, Op.Cit, hal.5 73
PWC., Akkermaans, dkk, OP.Cit,hal.62
56
(Mandat merupakan bentuk kekuasaan, namun berbeda dengan delegasi,
Mandataris atau siapa yang diberi mandat, melaksanakan kekuasaan tidak
bertindak atas nama sendiri. Mandataris bertindak atas nama pemberi
kuasa (mandat), oleh karena juga tidak memiliki tanggungjawab sendiri.
Mandataris bertindak atas nama pemberi kuasa (mandat), oleh karena
juga tidak memiliki tanggungjawab sendiri. Mandataris bertindak atas
nama pemberi kuasa (mandat) oleh karena itu juga tidak memiliki
tanggungjawab sendiri.
Pandangan di atas menunjukkan mandat diartikan sebagai suatu
pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi
kewenangan bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang
melimpahkan kewenangan atau memberi mandat tersebut)74
Dalam mandat,
tanggungjawab tidak berpindah kepada mandataris, dengan kata lain
tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat. Hal ini dapat disimak dan
pelaksanaan kewenangan dan penerima mandat adalah kata a.n (atas nama)
mandator atau pemberi mandat.
Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang dalam hubungan
hirarkis dan pelimpahan itu bermaksud:
Memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n.
pejabat TUN yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan
pejabat TUN yang memberi mandat. Dengan demikian tanggungjawab
dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak
perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya
karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern-hirarkis
organisasi pemerintahan.75
74
Ibid 75
Philipus, M. Hadjon I, Op.Cit, hal.7
57
Dengan demikian, mandat merupakan “een bestuursorgaan laat zijn
bevogdheid namens hem uitofenen door een ander (suatu organ pemerintahan
memperoleh wewenangnya digunakan atas namanya oleh orang lain)”.76
Jadi,
pada mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang barn maupun pelimpahan
wewenang dan Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain. Dalam hal
mandat maka disitu tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi
wewenang yang telah ada. Yang ada hanya hubungan intern”,77
maksudnya
pelimpahan wewenang itu dimungkinkan jika antara pemberi wewenang dan
penerima wewenang ada hubungan hirarkis. Unsur-unsur pemberi kuasa
(mandaatsverlening) dapat diuraikan sebagai berikut :78
1. Pemberian kuasa hanya dapat diberikan oleh badan yang berwenang, yaitu
badan yang memperoleh kekuasaan secara atribusi (geatlribueerde) atau oleh
pemegang delegasi (gedelegeerde);
2. Pemberian kuasa tidak membawa konsekuensi bagi penerima kuasa
(gemandaattererde) untuk bertanggungjawab kepada pihak ketiga, namun
dapat diwajibkan memberi laporan atas pelaksanaan kekuasaan kepada
pemberi kuasa. Tanggungjawab kepada pihak ketiga dalam kaitannya dengan
tugas mandataris tetap berada pada pemberi kuasa (mandant);
3. Konsekuensi teknis administrasinya adalah bahwa seorang pemegang kuasa
harus bertindak atas nama pemberi kuasa (mandant). Sedang seorang
pemegang delegasi dan pemegang atribusi dapat bertindak mandiri;
4. Penerima kuasa dapat melimpahkan kuasa kepada pihak ketiga hanya atas izin
dan pemberi kuasa. Izin secara tegas pada pemberi sub-mandaat diperlukan
karena pelimpahan kuasa pada hakekatnya hanya sekedar pemberi hak untuk
melakukan sebagian atau seluruh kekuasaan tanpa mengalihkan tanggung
jawab.
76
H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt, Loc Cit 77
Indrahoto I, Op.cit,hal.92 78
Suwoto, Multosudarmo, 19997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakata, hal.47
58
Sehubungan dengan konsep atribusi, delegasi dan mandat di atas, J.G.
Brouwer dan A.E. Schilder berpendapat sebagai berikut :79
1. With attribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say
that is not derived from a previously existing power. The legislative body
creates independet and previously non existent powers and assigns them to an
authority.
2. Delegations is the transfer of an acquired attribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that has
acquired the power) can exercise power in its own name.
3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans) assigns
power to the body (mandataris) to make decisions or take action in its name.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pada “atribusi’, kewenangan
diberikan kepada suatu badan pemerintahan oleh suatu badan legislatif yang
mandiri. Kewenangan ini bersifat sah, yang tidak bersumber dan kewenangan
yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan dan bukan
perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada yang
berkompeten. Pada “delegasi” terjadi peralihan kewenangan atribusi dan satu
badan pemerintahan yang satu kepada lainnya, sehingga delegator (badan yang
telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas
namanya. Selanjutnya pada “mandat” tidak terdapat suatu peralihan kewenangan,
tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan pada yang lain yang
membuat suatu keputusan atau mengambil satu tindakan atas namanya (pemberi
mandat).
79
Brower J.G – Schilder, 1998, A Survey of Duth Administrative Law, Ars Aequibiri,
Nijmegen, hal.16-18.
59
Bilamana dikaji dan aspek pertanggungjawaban, maka organ negara
penerima kewenangan secara atribusi dan delegasi bertanggungjawab penuh atas
dasar mandat, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan yang
dikeluarkan oleh organ negara pemegang mandat menjadi tanggungjawab si
pemberi mandat. Konsepsi ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Secara normatif, suatu kewenangan haruslah dilandasi oleh suatu
ketentuan hukum yang ada, sehingga kewenangan bersangkutan menjadi
kewenangan yang sah. Demikian pula pejabat di dalam bertindak ataupun
mengeluarkan suatu keputusan haruslah didukung oleh suatu kewenangan sah,
sebagaimana diatur pada kaedah-kaedah Hukum Administrasi. Oleh karena itu,
kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum Administrasi atau
persoalan kewenangan pemerintah tidak dapat dipisahkan dan lingkungan Hukum
Administrasi, apalagi menyangkut izin. Hal tersebut tidak lepas dan fungsi izin
sebagai instrumen hukum yang digunakan dalam Hukum Administrasi untuk
mengendalikan kehidupan warga masyarakat.
Uraian diatas menunjukkan keberadaan kewenangan pemerintah
memerlukan dukungan hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya.
Hal ini berkaitan dengan azas negara hukum, dimana inti pokok dan pemikiran
negara hukum (rechtstaatsdenken) diformulasikan melalui azas “Wetmatigheids”
ataupun “legiliteit beginsel” sehingga hanya dengan kekuatan (krachtens) undang-
undang maka kewenangan pemerintah dapat dinyatakan sah dan mengikat. Dalam
60
pengertian yang lebih luas lagi, bahwa dalam Negara Indonesia sebagai hukum
maka setiap perbuatan pemerintah yang menyangkut kepentingan publik haruslah
berdasarkan hukum, tanpa adanya suatu dasar hukum yang jelas, maka perbuatan
pemerintah itu akan menjadi petunjuk sebagai kesewenang-wenangan.
Sementara itu Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichyen). Dalam kaitan dengan
otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
(zeifregelen) dan mengelola sendiri (zelfbestuten)”, 80
sedangkan kewajiban secara
horizontal berarti kekuasaan untuk rnenyelenggarakan pemerintahan sebagaimana
mestinya.
Terhadap wewenang yang didalamnya terkandung hak dan kewajiban
(rechten and plicten) menurut P. Nicolai81
mengatakan, sebagai berikut:
Het vermogen tot het verricten van bepaalde rechtshandelingen
(handelingen die rechtdgevoig gericht zjjn en duys ertoe strekken dat
bepaalde rechtsgovelgen onstaan of teniet gaan). Eenn recht hould in de
(rechtens gegeven) vrtjheid on een bepaalde feitelijke handeling
teverrich ten of an le laten, of de (rech tens gegeven) aanspraak ophet
verrichten van een handeling door een ander. Een plicht imliceert een
verplichiting om een bepaalde handeling to verrichten of an te laten “.
(kemampuan untuk melakukan tindakan hukum akibat hukum dan
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hal ini
berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu,
sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu).
80
Ridwan HR I, Op.cit, hal. 72 81
Ibid, hal.73
61
Dalam kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang
pemerintahan, yaitu yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas, terutama dalam
kaitannya dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan
(besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingen) oleh organ pemerintah
sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan yang bersifat terikat dan bebas.
Indroharto82
mengatakan sebagai berikut:
1. Wewenang pemerintahan yang bersifat terikat, yakni apabila
peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang
bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan
dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan
yang harus diambil. Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan
dasar yang menentukan isi dan keputusan yang harus diambil
secara terinci, maka wewenang pemerintahan semacam itu
merupakan wewenang yang terikat.
2. Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan
wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun
pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan
tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.
3. Wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi
kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dan keputusan yang akan
82
Indraharto, OP.cit, hal.99-101
62
dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup
kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Philipus M. Hadjon, dengan mengutip pendapat Spelt dan Ten Berg,
membagi kewenangan bebas dalam dua kategori, yaitu kebebasan kebijaksanaan
(beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingcvrijheid). Ada kebebasan
kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila peraturan perundang-
undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan
organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi
penggunaannya secara sah dipenuhi. Adapun kebebasan penilaian (wewenang
diskresi dalam anti yang tidak sesungguhnya) dan apabila sejauh menurut hukum
diseragamkan kepada organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan
eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah
dipenuhi. Berdasarkan pengertian ini, Philipus M. Hadjon menyimpulkan adanya
dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi yaitu (1) kewenangan untuk
memutus secara mandiri; (2) kewenangan interpretasi terhadap norma-norma
tersamar (vague norm)83
Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas, dalam suatu
negara hukum pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti yang seluas-
luasnya atau kebebasan tanpa batas sebab dalam suatu negara hukum;
“Zowel de bevoegdheidstoekening, als de aard en de omvang van de
bevoegdnied als de bevoegdheidsuitefening zein aan juridsche grenzen
onderworpen. Inzake bevoegdheidstoekening en het tegendeel daarvan,
bestaanjuridisch geschreven en ongeschreven regels84
83
F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit, hal.29 84
F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit, hal.29
63
(baik penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan
wewenang tunduk pada batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan
wewenang dan sebaliknya, terdapat aturan-aturan hukum tertulis dan tidak
tertulis).
Di samping itu, dalam negara hukum juga dianut prinsip bahwa setiap
penggunaan kewenangan pemerintahan harus disertai dengan
pertanggungjawaban hukum. Terlepas dan bagaimana wewenang itu diperoleh
dan apa isi dan sifat wewenang serta bagaimana mempertanggungjawabkan
wewenang tersebut, yang pasti bahwa wewenang merupakan faktor penting dalam
hubungannya dengan masalah pemerintahan, karena berdasarkan pada wewenang
inilah pemerintah atau administrasi negara dapat melakukan berbagai tindakan
hukum di bidang publik (publiekrechtshandeling).
Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah kewenangan dan
wewenang. Indroharto berpendapat pengertian wewenang dalam artian yuridis
sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.85
Wewenang ini sangatlah
diperlukan pemerintah, mengingat pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam
organisasi negara. Pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaannya dengan
baik dan lancar perlu disertakan wewenang.
Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dan undang-
undang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat
menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya
kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang; pembuat undang-undang dapat
memberi wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi
85
Indroharto, OP.cit, hal.68
64
dapat juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam
konstitusi Indonesia Undang-undang Dasar 1945 (setelah amandemen yang
keempat kalinya), ditemukan beberapa pasal yang melahirkan kewenangan, baik
diberikan kepada eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Dalam pasal-pasal
tersebut kewenangan ditafsirkan dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat
tidak dapat, menyatakan, mengangkat, memberi, mengatur, menyatakan,
menetapkan, fungsi, dapat melakukan, kekuasaan, berwenang dan lain-lain
dengan berbagai istilah, akan tetapi substansi dan maksudnya sama, yaitu
kewenangan atau mempunyai autonity. Dinyatakan, bahwa wewenang bukan
hanya power belaka tetapi autority mencakup hak dan kekuasaan sekaligus.
65
BAB III
KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM
MELAKUKAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEREDARAN
MINUMAN BARALKOHOL DI PROVINSI BALI
Dalam bab ini dikaji beberapa hal sebagai jawaban atas isu hukum yang
pertama Kewenangan Badan Pengasan Obat dan Makanan dalam melakukan
pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol menurut PERMENKES
No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan dikaitkan dengan
Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman
Beralkohol di Provinsi Bali
Sebelum dilakukan pengkajian terhadap kewenangan BPOM untuk
melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali maka
akan dikaji terlebih dahulu kewenangan BPOM dan kewenangan Pemerintah
Daerah Provinsi Bali dalam melakukan Pengendalian.
3.1. Kewenangan BPOM dalam Melakukan Pengawasan dan Pengendalian
Peredaran Minuman Baralkohol
Sebagaimana telah diuraikan dan dipaparkan penulis pada bab sebelumnya
dimana secara normatif suatu kewenangan haruslah dilandasi suatu ketentuan
hukum yang ada sehingga kewenangan tersebut menjadi kewenangan yang sah,
demikian pula BPOM dalam melakukan tindakan berupa pengawasan dan
pengendalian minuman beralkohol haruslah didasarkan atas kewenangan yang sah
65
66
yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan hukum administrasi apalagi
menyangkut perizinan, dimana perizinan merupakan instrumen hukum
administrasi untuk pengendalian kehidupan warga masyarakat
Hal mana sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Philipus M. Hadjon86
,
dalam tulisannya tentang wewenang mengemukakan bahwa ”Istilah wewenang
disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam istilah hukum Belanda. Kedua
istilah ini terdapat sedikit perbedaan yang terletak pada karakter hukumnya, yaitu
istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam
konsep hukum privat, sementara istilah wewenang atau kewenangan selalu
digunakan dalam konsep hukum publik.
Selanjutnya H. D Stout, sebagaimana dikonstantir oleh Ridwan H.R87
,
menyebutkan bahwa :
”Bevoedheid is een begrip uit bestuurlijke organisatierecht, watkan
worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de
verkrijging en uitoefening van bestuurscrechttelijke bevoegheden door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in hetnbestuursrechtelijke
rechtsverkeer”
(Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi
pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum
publik)
Sebagai konsep hukum publik, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (rechsmacht), dimana konsep tersebut diatas,
berhubungan pula dalam pembentukan besluit (keputusan pemerintahan) yang
86
Philipus M Hadjon , 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah, Pelatihan Metode
Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1
87 Ridwan HR¸Op Cit hal.101
67
harus didasarkan atas suatu wewenang88
. Dengan kata lain, keputusan
pemerintahan oleh organ yang berwenang harus didasarkan pada wewenang yang
secara jelas telah diatur, dimana wewenang tersebut telah ditetapkan dalam aturan
hukum yang terlebih dulu ada. Sejalan dengan pendapat diatas, F.P.C.L.
Tonnaer89
, menyatakan bahwa :
”Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen
om positiefrecht vast te stellen n aldus rechtsbetrekking tussen burgers
onderling en tussen overheid en te scheppen”
(Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan
untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat dirincikan
hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara).
Berbagai pengertian mengenai wewenang sebagaimana dikemukakan di
atas, walaupun dirumuskan dalam bahasa yang berbeda, namun mengandung
pengertian bahwa wewenang itu memberikan dasar hukum untuk bertindak dan
mengambil keputusan tertentu berdasarkan wewenang yang diberikan atau
melekat padanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kewenangan itu haruslah jelas diatur
secara jelas dan ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Hal ini berarti bahwa, perolehan dan penggunaan wewenang daerah dalam
pengaturan tata ruang laut pada wilayah kepulauan hanya dapat dilakukan apabila
daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan memiliki kewenangan untuk
itu, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yakni, bahwa90
:
88
PhilipusM. Hadjon, 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to
Indonesian Administrative Law, Gadja Mada University Press, Yogyakarta.hal 10
89 Ridwan HR (2002) Loc Cit
90 Phlipus M Hadjon 2002, Op cit, h 130.
68
”...minimal dasar kewenangan harus ditemukan dalam suatu undang-
undang, apabila penguasa ingin meletakan kewajiban-kewajiban di atas
para warga masyarakat. Dengan demikian di dalamnya terdapat suatu
legitimasi yang demokratis. Melalui undang-undang, parlemen sebagai
pembentuk undang-undang yang mewakili rakyat pemilihnya ikut
menentukan kewajiban-kewajiban apa yang pantas bagi warga
masyarakat. Dari sini, atribusi dan delegasi kewenangan harus
didasarkan undang-undang formal, setidak-tidaknya apabila keputusan
itu meletakan kewajiban-kewajiban pada masyarakat”.
Dalam kajian hukum administrasi, mengetahui sumber dan cara
memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting, karena berkenaan
dengan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam
penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara
hukum; ”geen bevoegheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority
without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban)”91
.
Uraian di atas menunjukan bahwa pemerintah dalam hal ini BPOM
memerlukan dukungan hukum positif guna mengatur dan pengawasi peredaran
minuman beralkohol. Hal ini sangat berkaitan dengan konsep Negara hukum
dimana pokok pemikiran Negara hukum (rechstaatsdanken) di dasarkan atas
asas “Wetmatigheids” ataupun “Legiliteit beginsel” sehingga hanya dengan
kekuatan undang-undang maka kekuatan pemerintah dikatakan sah dan mengikat.
Lebih luas lagi bahwa negara Indonesia sebagai Negara hukum, maka tiada
satupun perbuatan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan publik lepas
dari hukum.
91 Ridwan HR (2002), Op CIt, h.108
69
Secara Konstitusional jelas dinyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip
Negara hukum “Rectstaat” yang salah satu unsur utamanya adalah asas legalitas,
bahwa setiap tindak tanduk pemerintah harus di dasarkan atas hukum, oleh
karenanya pastilah terdapat sutu peraturan perundang-undangan untuk
memberikan legitimasi keabsahan tindakan pemerintah. Berkaitan dengan
kewenangan BPOM dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman
keras maka perlu di kaji aturan-aturan yang memberikan kewenangan untuk itu.
Dalam ketentuan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan diuraikan dalam
Pasal 1 ayat (1) : “ Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan
dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan , dan
bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan”
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang
berasal bersumber hayati dan air yang dikonsumsi manusia sebagai makanan dan
minuman disebut dengan pangan. Mengingat pentingnya pangan tersebut bagi
kehidupan manusia maka pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam
kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran
pangan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No 7 Tahun 1996 .
Selanjutnya guna membantu pemerintah dalam melaksanakan pengawasan
terhadap keamanan pangan tersebut maka dibentuklan lembaga pemerintah non
departemen dalam sebuah Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
70
Lembaga Negara Non Departemen atau yang disingkat dengan LPND yang
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden
sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Badan yang
dimaksud adalah Badan Pengawas Obat dan Mmakanan (BPOM). Sebagaimana
tertuang dalam pasal 67 Keputusan Presiden tersebut yang berbunyi:
BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang
pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan hukum yang berlaku
Selanjutnya diuraikan pula mengenai fungsi BPOM dalam melaksanakan
tugas pemerintah tersebut dalam Pasal 68 Keputusan Presiden tersebut sebagai
berikut:
a. Mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang pengawasan obat
dan makanan
b. Melaksanakan kebijakan tetentu di bidang pengawasan obat dan
makanan
c. Kordinasi fungsional dalam melaksanakan tugas BPOM
d. Memantau, memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat dan
makanan
e. Menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bidang perencanaan umum ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan
dan rumah tangga.
Dalam melaksanakan fungsi - fungsi tersebut, maka dalam Pasal 69 Kepress
diatur pula kewenangan Badan BPOM sebagai berikut:
a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya
b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan
secara makro
c. Penetapan sistem informasi di bidangnya
d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan ( zat adiktif)
tertentu untuk makanan dan menetapkan pedoman peredaran obat dan
makan
e. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan
industri farmasi
71
f. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan
pengawasan tanaman obat
Jika dikaitkan dengan pengawasan dan pengendalian minumana
beralkohol oleh BPOM maka jelas dapat diketahui bahwa BPOM melaksanakan
kewenangannya dalam Pasal 69 huruf d khususnya mengenai menetapkan
pengawasan peredaran obat dan makanan, dimana selengkapnya berbunyi ;
Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan ( zat adiktif) tertentu
untuk makanan dan menetapkan pedoman pengawasan peredaran obat dan
makanan.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan peredaran obat dan makanan
maka selanjutnya BPOM mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan, yang
dalam ketentuan Pasal 2 nya mewajibkan pendaftaran makanan baik makanan
yang di import maupun yang di produksi langsung, yang selengkapnya berbunyi
sebagai berikut
1. Produsen ataupun importer wajib mendaftarkan makanannya yang di
produksi atau di impor
2. Produsen atau importer wajib menjamin keamanan mutu serta kebenaran
label makanan yang didaftarkan.
Dengan demikian maka setiap produsen maupun importir wajib mendaftarkan
makananya di BPOM. Terhadap pangan olahan yang wajib didaftarkan baik
yang diproduksi sendiri maupun di masukan dari luar negeri ke dalam wilayah
Indonesia wajib mencantumkan nomor pendaftaran pangan di label pangan
72
olahan yang bersangkutan, hal ini sejalan dengan apa yang diuraikan dalam Pasal
30 tentang Pendaftaran Makanan sebagaimana Peraturan Pemerintah No 69 Tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang dalam Pasal 30 nya menguraikan :
Dalam rangka peredaran pangan, bagi pangan olahan yang wajib
didaftarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
baik produksi dalam negeri ataupun yang dimasukan ke dalam wilayah
Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan harus di
cantumkan Nomor pendaftaran pangan
Selain itu dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan
menguraikan:
1. Industri rumah tangga yang sudah mengikuti penyuluhan wajib
mendaftarkan hasil produksinya yang meliputi :
a. Susu dan olahannya
b. Makanan bayi
c. Makanan kalengan steril komersial
d. Minuman keras
2. Industri rumah tangga yang belum mengikuti penyuluhan wajib
mendaftarkan semua makanan hasil produksinya
3. Pelaksanaan penyuluhan bagi perusahaan makanan industry rumah tangga
, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan uraian tersebut di atas maka jelas seluruh hasil Industri rumah tangga
yang sudah mendapatkan penyuluhan wajib memdaftarkan produknya termasuk
minuman keras, sedangkan yang belum mendapatkan penyuluhan maka
perusahaan tersebut wajib mendaftarkan seluruh hasil produksinya
Mengenai pendaftaran makanan telah diatur dalam Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, dalam
Pasal 2 diuraikan sebagai berikut:
73
1. Setiap Pangan olahan baik yang di produksi di dalam negeri maupun yang
di masukan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam
kemasan eceran wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran
2. Surat persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikeluarkan oleh Kepala Badan
3. Kemasan eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kemasan akhir pangan yang tidak boleh dibuka untuk dikemas kembali
menjadi kemasan yang lebih kecil untuk diperdagangkan.
Pendaftaran pangan merupakan hal yang wajib dilakukan baik oleh
produsen maupun importir, pendaftaran pangan olehan yang merupakan hasil
produksi merupakan tanggungjawab perusahaan sebagaimana ketentuan Pasal 8
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang intinya menyatakan
bahwa pendaftaran pangan olahan yang diproduksi sendiri dilakukan oleh
Produsen, sedangkan pendaftaran pangan olahan yang dimasukan ke dalam
negeri di tanggung oleh importer atau distributor sesuai ketentuan Pasal 9 ayat
(1) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Memang terdapat pengecualian terhadap pendaftaran pangan sebagaimana
ketentuan Pasal 2 tersebut, terhadap pangan olahan yang tidak perlu di daftarkan
haruslah memenuhi ketentuan Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM tersebut, sebagai
berikut:
a. Terhadap produksi oleh industri rumah tangga
b. Mempunyai masa simpanan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar
c. Dimasukan ke wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan
sendiri
d. Digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku dan tidak dijual secara
langsung pada konsumen akhir.
74
Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelaslah sebuah hasil pangan olahan
haruslah di daftarkan kecuali memenuhi ketentuan tersebut di atas, maka tidaklah
perlu dilakukan pendaftaran ke BPOM
Selanjutnya bila dikaitkan dengan kewenangan BPOM dalam
pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol maka minuman beralkohol
dikatagorikan ke dalam pangan yang merupakan hasil olahan, yaitu makanan atau
minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan
tambahan. Dengan demikian dapat dikatakan minuman beralkohol merupakan
pangan olahan.
Hal tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol yang Pasal 1 menguraikan :
Yang dimaksud dengan minuman beralkohol dalam keputusan presiden ini
adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan
pertanian yang mengandung bahan karbohidrat dengan cara fermentasi dan
destilisasi atau fermentasi tanpa destilasi baik dengan cara memberikan
perlakuan terlebih dahulu atau tidak , menambahkan bahan lain atau tidak
maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan etanol
atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol.
Dalam keputusan presiden tersebut di jelaskan pula untuk melakukan
pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol paling tidak terdapat 4
kementrian yang terlibat yaitu Kementrian Perindutrian dan Perdagangan dalam
hal menetapkan ketentuan mengenai impor, pengedaran dan penjualan minuman
beralkohol dan mengatur pula jenis atau produk minuman beralkohol yang bisa
di perdagangkan di dalam negeri, sesuai ketentuan Pasal 6 Keputusan Presiden
No 3 Tahun 1997, selanjutnya terlibat pula Menteri Keuangan dalam hal cukai,
75
bea masuk dan pajak. Dan Menteri Kesehatan berkaitan dengan keamanan dan
mutu makanan
Selanjutnya terhadap minuman beralkohol wajib didaftarkan, tidak
terkecuali minuman beralkohol yang merupakan hasil industri rumah tangga,
karena jelaslah hanya produksi rumah tangga yang merupakan hasil olahan yang
sesuai dengan pasal 3 peraturan kepala BPOM Nomor HK.03.1.5.12.11.09955
Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, yang tidak perlu di daftarkan.
Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah BPOM memiliki kewenangan
untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol,
Pengawasan dilakukan melalui pendaftaran pangan dimana dalam pendaftaran
ini akan dilakukan pengujian laboratorium minuman beralkohol yang akan
mengkaji apakah terhadap makanan tersebut telah memenuhi standar kesehatan
dan syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak.
Bila di tinjau dari segi sumber kewenangan berkaitan dengan
pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol, menurut H.D. van
Wijk/Willem Konijnenbelt sumber kewenangan tertsebut di difinisikan sebagai
berikut;92
d. Atribusi : toekenning van een bestuursbevoegheid door en wetgever aan een
berstuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintah).
92
Ibid, hal.74
76
e. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene berstuitrsorgaan aan
een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dan satu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
f. Mandaat een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen
door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).
Dari uraian tersebut maka dapat dikatakan :
Atribusi adalah sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang
pemerintah, juga dikatakan bahwa atribusi dikatakan sebagai wewenang untuk
membuat keputusan (besluit), rumusan lain menyatakan atribusi merupakan
pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu, yang
dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, pembentukan wewenang dan atribusi
wewenang di tetapkan utamanya dalam Undang-Undang Dasar, Pembentukan
wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan, Delegasi selanjutnya dapat diartikan sebagai
penyerahan wewenang (untuk membuat besluit) oleh pejabat pemerintah kepada
pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut, dan
Mandat merupakan pelimpahan wewenang kepada bawahan, Pelimpahan ini
wewenang ini bermaksud memberikan wewenang kepada bawahan untuk
membuat keputusan atas nama pejabat tata usaha Negara yang memberikan
mandat. Keputusan ini merupakan keputusan pejabat tata usaha Negara yang
77
memberi mandat, dengan demikain tanggung jawab tetap ada pada pemberi
mandate, dan untuk mandate tidaklah perlu ada ketentuan perundang-undangan.
Kewenangan BPOM untuk mengawasi dan mengendalikan minuman
beralkohol merupakan kewenangan delegasi karena kewenangan tersebut
berasal dari kewenagan pemerintah dalam hal ini presiden menerbitkan surat
keputusan Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non
Departemen atau yang disingkat dengan LPND yang mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden sebagaimana ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, Badan yang dimaksud adalah Badan
Pengawas Obat dan Mmakanan (BPOM). BPOM mempunyai tugas melaksanakan
tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan
hukum yang berlaku, hukum dalam hal ini adalah Undang-Undang Pangan.
Selain itu apa bila tugas BPOM di kaitkan dengan ketentuan Peraturan
Menteri Kesehatan menurut PERMENKES No.382/MENKES/PER/VI/1989
tentang Pendaftaran Makanan, hal tersebut jelas-jelas merupakan delegasi
kewenangan yang diberikan oleh Menteri Kesehatan kepada Badan POM, dimana
delegasi diartikan penyerahan wewenang oleh pejabat pemerintah atau pejabat
tata usaha Negara kepada pihak lain, dalam hal ini Menteri Kesehatan
memberikan kewenangan BPOM dalam rangka pengawasan peredaran pangan,
bagi pangan olahan yang wajib di daftarkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, baik produksi dalam negeri ataupun yang dimasukan ke
dalam wilayah Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan harus
78
dicantumkan Nomor pendaftaran pangan dan wewenang tersebut telah menjadi
tanggungjawab Badan POM dengan di terbitkannya Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.5.12.11.09955
Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.
3.2. Analisis Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi Bali dalam
Melakukan Pengawasan Pengawasan dan Pengendalian minuman
Baralkohol
Sebagai perwujudan Negara hukum dinamis atau Negara hukum
kesejahteraan (welfare states) Negara wajib menjamin kesejahteraan
masyarakatnya, pernyataam ini sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 alinea IV yang memuat empat tujuan Negara yaitu:
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan social
Dalam sila kelima Pancasila yang juga tercantum dalam alinea IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan prinsip Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, ketentuan ini jelas mengharuskan pemerintah untuk
menjamin setinggi-tingginya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan
demikian maka secara konstitusional dikaitkan dengan hukum administrasi maka
pemerintah melakukan pengaturan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat sehingga
tercapai keesejahteraan.
79
Terkait dengan hal tersebut maka berdasarkan ketentuan seperti yang
sudah termuat dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan :
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk
oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum
Dari pengertian di atas maka dapat ditarik unsur peraturan perundang-
undangan diantaranya :
a. Peraturan tertulis
b. Yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang
untuk itu
c. Mengikat secara umum
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan yakni
produk hukum lembaga legislatie dan eksekutif ataupun produk hukum murni
suatu eksekutif, legislatif yudikatif ataupun produk hukum dari suatu lembaga
yang bersifat mengikat.
Dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis hirarki peraturan perundang-
undangan adalah:
h. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
i. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
j. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
k. Peraturan Pemerintah
l. Peraturan Presiden
m. Peraturan Daerah Provinsi
n. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang No 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan :
80
Untuk melaksanakan Perda dan atas kekuasaan peraturan perundang-
undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan
atau keputusan kepala daerah
Bila dikaitkan dengan masalah dalam penulisan tesis yaitu kewenangan
pemerintah daerah melakukan pengendalian dan pengawasan minuman
beralkohol, Kewenangan pemerintah Provinsi Bali tersebut bersumber dari
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol yang selanjutnya sejak tanggal 14
Juni 2012 telah dicabut dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun
2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol.
Pengawasan minuman beralkohol dimulai sejak izin pedagangnya, dimana
Gubernur berwenang mengeluarkan Surat izin Usaha Perdagangan Minuman
Beralkohol ( SIUP MB), dimana Pasal 3 Perda No. 5 Tahun 2012 menguraikan :
(1) Setiap TBB yang melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman
beralkohol golongan B dan golongan C wajib memiliki SIUP-MB TBB.
(2) SIUP-MB TBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
Gubernur.
Berdasarkan uraian tersebut sangatlah jelas setiap penjual minuman beralkohol
haruslah Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya
disebut SIUP-MB, SIUP MB adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan
kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau
golongan C di Provinsi Bali yang dikeluarkan atas seizin Gubernur.
81
Sedangkan untuk minuman beralkohol tradisional, bagi mereka yang ingin
memperdagangkan di haruskan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman
Beralkohol Tradisional yang selanjutnya disebut SIUP-MBT, SIUP MBT adalah
Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus
minuman beralkohol produksi tradisional golongan A, golongan B dan/atau
golongan C di Provinsi Bali. SIUP-MBT untuk Distributor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) diterbitkan oleh Gubernur. Dimana pasal 7 tersebut
selengkapnya berbunyi:
(1) Masyarakat yang melakukan kegiatan usaha produksi minuman beralkohol
secara tradisional golongan A, golongan B, dan golongan C membentuk
Kelompok Usaha, Koperasi dan Distributor.
(2) Setiap Kelompok Usaha, Koperasi dan Distributor yang melakukan kegiatan
usaha perdagangan minuman beralkohol golongan A, golongan B, dan
golongan C produksi tradisional wajib memiliki SIUP-MBT.
Dalam Perda tersebut tercantum pula tentang ketentuan label edar
sebagaimana ketentuan Pasal 10 sebagai berikut:
(1) Pada setiap minuman beralkohol yang Minuman beralkohol produksi luar
negeri (impor) dan produksi dalam negeri yang diedarkan oleh Distributor,
Sub Distributor, pengecer dan penjual langsung wajib dikemas, menggunakan
pita cukai dan label edar.
(2) Minuman beralkohol produksi tradisional yang dikonsumsi dan diedarkan
oleh kelompok usaha atau koperasi wajib dikemas dan menggunakan label
edar.
(3) Minuman beralkohol produksi tradisional yang tidak untuk dikonsumsi dan
diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi peredarannya dengan
menggunakan label untuk upacara (tetabuhan) dan label edar.
82
Sementara yang dimaksud label edar sesuai ketentuan perda ini adalah
Label Edar adalah tanda pengenal dalam bentuk stiker yang ditempel pada setiap
botol atau kemasan minuman beralkohol. Label Edar ini ditetapkan oleh gubernur
dengan tata cara pencetakan dan penggunaan label edar diatur dengan Peraturan
Gubernur. Sesuai ketentuan Pasal 12 Perda No 5 Tahun 2012
Selanjutnya dalam ketentuan Pembinaan dan pengendaliaan, Pasal 14 ayat
(1) perda tersebut menguraikan dengan jelas bahwa Pembinaan dan pengendalian
terhadap peredaran minuman beralkohol dilakukan oleh Gubernur. Dimana bentuk
pengawasannya hampir sama dengan hanya mencantumkan label edar untuk,
pasal 14 selengkapnya sebagai berikut:
(1) Pembinaan dan pengendalian terhadap peredaran minuman beralkohol
dilakukan oleh Gubernur.
(2) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melibatkan asosiasi, kelompok usaha dan koperasi.
(3) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan melalui kerjasama.
Dalam pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol juga
memberikan peluang pada peran serta masyarakat sebagaimana ketentuan Pasal
15, Perda tersebut.
Berdasarkan uraian di atas kemudian dikaitkan dengan sumber
kewenangan Pemerintah Bali melakukan pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol di Bali, merupakan kewenangan atribusi yaitu pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah, dimana
kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun
2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol.
83
Dalam ketentuan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (1)
menyebutkan jenis hirarki peraturan perundang-undangan adalah:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam tata urutan tersebut jelaslah peraturan daerah merupakan bagian
tata urutan peraturan perundang-undangan, pemberian wewenang pemerintahan
oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah, yang produk dari
pembuat undang-undang tersebut adalah Undang-undang yang dalam hal ini
adalah Perda jelaslah dikatakan sebagai atribusi.
3.3. Analisis Kewenangan Pengawasan dan pengendalian peredaran
minuman beralkohol di Bali
Kewenangan BPOM untuk mengawasi dan mengendalikan minuman
beralkohol merupakan kewenangan delegasi karena kewenagan tersebut
berasal dari kewenangan pemerintah dalam hal ini presiden, Presiden sebagai
pengemban kewenangan dari UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Kemudian
Presiden mendelegasikan kewenangan tentang pangan ini dengan menerbitkan
Surat Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non
Departemen atau yang disingkat dengan LPND yang mempunyai tugas
84
melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden sebagaimana ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, Badan yang dimaksud adalah Badan
Pengawas Obat dan Mmakanan (BPOM). BPOM mempunyai tugas melaksanakan
tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan
hukum yang berlaku, hukum dalam hal ini adalah Undang-Undang Pangan.
Setiap perusahaan wajib mendaftarkan seluruh hasil produksinya ke
Menteri Kesehatan Republik Indonesia melalui BPOM ssebagaimana petunjuk
teknis yang terurai dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik No
382/Menkes/Per/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan dan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, tidak
terkecuali juga Minuman beralkohol, nomor pendaftaran pangan inilah yang
kemudian harus dicantumkan dalam label pangan tersebut sehingga bila tidak
memiliki nomor pendaftran sudah sepantasnya pangan olahan tersebut tidak layak
diedarkan.
Mengenai pengawasan dan peredaran minuman beralkohol di Bali diatur
dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol di Bali. Dalam perda tersebut telah ditetapkan
kewenangan Pemerintah Daerah Bali dimana pemberian izin, pembinaan dan
pengendalian terhadap peredaran minuman beralkohol dilakukan oleh Gubernur.
Setiap penjual minuman beralkohol haruslah Surat Izin Usaha
Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya disebut SIUP-MB, SIUP
MB adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan
85
khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C di Provinsi Bali
yang dikeluarkan atas seizin Gubernur
Sedangkan untuk minuman beralkohol tradisioanal, bagi mereka yang
ingin memperdagangkan diharuskan mempunyai Izin Usaha Perdagangan
Minuman Beralkohol Tradisional yang selanjutnya disebut SIUP-MBT, SIUP
MBT adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan
khusus minuman beralkohol produksi tradisional golongan A, golongan B
dan/atau golongan C di Provinsi Bali. SIUP-MBT untuk Distributor diterbitkan
oleh Gubernur.
Dengan demikian setiap Minuman beralkohol produksi luar negeri (impor)
dan produksi dalam negeri, termasuk juga alkohol produksi tradisional yang
diedarkan oleh distributor, sub distributor, pengecer dan penjual langsung wajib
dikemas, menggunakan pita cukai dan label edar. yang dimaksud label edar sesuai
ketentuan perda ini adalah Label Edar adalah tanda pengenal dalam bentuk stiker
yang ditempel pada setiap botol atau kemasan minuman beralkohol. Label Edar
label edar ini ditetapkan oleh gubernur dengan tata cara pencetakan dan
penggunaan label edar diatur dengan Peraturan Gubernur. Sesuai ketentuan Pasal
12 Perda No 5 Tahun 2012
Ternyata disinilah letak permasalahan antara kewenangan BPOM dan
Gubernur dalam melakukan pengawasan peredaran minuman beralkohol di Bali,
Dalam petunjuk teknis yang di keluarkan oleh Menteri Kesehatan dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989
tentang Pendaftaran Makanan semua makanan khususnya pangan olahan
86
termasuk minuman beralkohol haruslah didaftarkan ke BPOM, dan nomor
pendaftaran makanan tersebut harus di cantumkan dalam label makanan .
Sementara itu dalam Perda 5 Tahun 2012 tentang minuman beralkohol tidak ada
yang menyebutkan keharusan untuk mendaftarkan hasil pangan olahan tersebut,
akan tetapi bagi minuman beralkohol pedagang diwajibkan memiliki Siup
Minuman Beralkohol (SIUP MB) dan bagi pedagang minuman beralkohol
tradisional diwajibkan memiliki izin usaha perdagangan minuman beralkohol
tradisional (SIUP MBT), sementara terhadap makanan atau minuman yang dijual
hanya diwajibkan memiliki label edar yakni tanda pengenal dalam bentuk stiker
yang ditempel pada setiap botol atau kemasan minuman beralkohol.
Dampaknya adalah pihak BPOM tidak bisa melakukan tindakan hukum
terhadap minuman alkohol yang telah memiliki label edar, walaupun dalam label
makanannya tidak mencantumkan nomor pendaftaran.
Bila permasalahan ini kemudian di analisa dengan mengaju pada konsep
Negara hukum, maka dalam paham Negara hukum hukumlah yang memegang
peranan dalam hal penyelenggaraan Negara. Burkens mengemukakan pengertian
rechstaat secara sederhana yaitu negara yang menempatkan hukum sebagai dasar
kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala
bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dalam rechtstaat dikatakan
bahwa ikatan negara dan hukum adalah ikatan hakiki93
93
Burkens dalam A Hamid S Attamimi, 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia-
Suatu Tinjauan Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia yang Menjelaskan dan
Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Guru Besar, FH. UI Jakarta hal. 8
87
Menurut Freidrich Julius Stall, berpendapat suatu negara hukum formal
(rechtstaat) harus memenuhi empat unsur penting yaitu94
:
1. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia.
2. Adanya pemisahan/pembagian kekuasaan.
3. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Adanya peradilan tata usaha negara.
Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara
berdasarkan hukum, yaitu95
:
1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum.
2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya.
3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas).
4. Adanya pembagian kekuasaan.
Kedua pendapat ini sama-sama mengandung prinsip asas legalitas dimana
semua tindakan Negara harus didasarkan atas hukum yang berlaku, dalam hal ini
bila dikaitkan dengan permsalahan pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol di Bali maka Perda No 5 Tahun 2012 sudah jelas mengatur tentang hal
tersebut dimana pemerintah daerahlah dalam hal ini gubernurlah yang memiliki
kewenangan untuk itu. Tetapi dalam perda sama sekali tidak memberikan peluang
bagi BPOM untuk melakukan kewenangannya sebagaimana petunjuk teknis
94
Sudargo. G, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung Alumni, hal. 8-9 95
Bagir Manan, 3 September 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Menurut UUD 1945, Makalah Ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad di
Bandung, hal. 19.
88
dalam hal pendaftaran makanan yang di dasarkan pada Peraturan Menteri
Kesehatan Republik No 382/Menkes/Per/VI/1989 tentang Pendaftaran
Makanan,yang mewajibkan semua makanan haruslah didaftarkan melalui BPOM
Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap
kepentingan manusia. Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar
kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum
dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang
telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini
menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan96
: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana
hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun
dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian
hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat
sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan
diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
96
Ridwan HR, Op. Cit, hal 306
89
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam hal Pengendalian
dan pengawasan minuman beralkohol di Bali berdasarkan Perda No 5 Tahun
2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali maka jelas
mengatur bahwa pemerintah derahlah dalam hal ini gubernurlah yang memiliki
kewenangan untuk itu. Tetapi dalam perda sama sekali tidak memberikan peluang
bagi BPOM untuk melakukan kewenagannya sebagaimana petunjuk teknis dalam
hal pendaftaran makanan yang di dasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan
Republik No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran makanan. yang
mewajibkan semua makanan haruslah didaftarkan melalui BPOM .
Bila dikaitkan dengan identifikasi permasalahan aturan hukum 97
; maka
dapat dikatakan bahwa Perda No 5 Tahun 2012 mengandung kekosongan norma
mengenai peran dari dalam pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol
di Bali . Norma Kosong atau vacum of norm atau leemten karena tidak ada
hukum yang mengatur maka Peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak
mencakup mengatur seluruh permasalahan yang timbul dalam masyarakat
sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. terhadap hal tersebut maka penyelesaiannya berpegang pada asas ius
curia novit atau pemerintah segera membuat perda yang baru mensinkronisasikan
kewenangan BPOM dengan Kewenangan Pemda dalam melakukan pengawasan
dan penertiban peradaran minuman beralkohol di Bali
97
Amerudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian , PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.hal 18-19
90
Apabila dikaitkan dengan konsep pengawasan maka kekosongan norma
ini menyebabkan tidak dapat dilakukan pengawasan dengan baik, memang harus
diakui tidak mudah untuk memberikan defenisi tentang pengawasan, karena
masing-masing memberikan definisi tersendiri sesuai dengan bidang yang
dipelajari oleh ahli tersebut. Berikut ini Penulis akan mengambil beberapa
pendapat dari beberapa serjana.
Dalam kamus bahasa Indonesia istilah “Pengawasan berasal dari kata awas
yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat
dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan berdasarkan
kenyataan yang sebenarnya dari apa yang di awasi”98
.
Menurut seminar ICW pertanggal 30 Agustus 1970 mendefinisikan bahwa
“Pengawasan sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah suatu
pelaksaan pekerjaan/kegiatan itu dilaksanakan sesuai dengan rencana, aturan-
aturan dan tujuan yang telah ditetapkan”. Jika memperhatikan lebih jauh, yang
menjadi pokok permasalahan dari pengawasan yang dimaksud adalah, suatu
rencana yang telah digariskan terlebih dahulu apakah sudah dilaksanakan sesuai
dengan rencana semula dan apakah tujuannya telah tercapai.
Sebagai bahan perbandingan diambil beberapa pendapat para sarjana di
bawah ini antara lain:
98
Sujanto, 1986, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, hal 2.
91
Menurut Prayudi: “Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan
pekerjaan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa
yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan”99
.
Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan
aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan
dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan100
Dari uraian tersebut maka dapat penulis rumuskan
1. Pengawasan adalah merupakan proses kegiatan yang terus-menerus
dilaksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan,
kemudian diadakan penilaian serta mengoreksi apakah pelaksanaannya sesuai
dengan semestinya atau tidak.
2. Selain itu Pengawasan adalah suatu penilaian yang merupakan suatu proses
pengukuran dan pembandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyata telah
dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Dengan kata lain, hasil
pengawasan harus dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan
atau ketidakcocokan serta mengevaluasi sebab-sebabnya.
Pengawasan adalah sebagai suatu proses untuk mengetahui pekerjaan yang
telah dilaksanakan kemudian dikoreksi pelaksanaan pekerjaan tersebut agar sesuai
dengan yang semestinya atau yang telah ditetapkan. Pengawasan yang dilakukan
adalah bermaksud untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga
99
Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 80
100 Saiful Anwar., Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, 2004,
hal.127
92
dapat terwujud daya guna, hasil guna, dan tepat guna sesuai rencana dan sejalan
dengan itu, untuk mencegah secara dini kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan.
Dengan demikian pada prinsipnya pengawasan itu sangat penting dalam
pelaksanaan pekerjaan, sehingga pengawasan itu diadakan dengan maksud101
.
a. Mengetahui lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan
yang telah direncanakan.
b. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat dengan melihat
kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan dan kegagalan-
kegagalan dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang
kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan
baru.
c. Mengetahui apakah penggunaan fasilitas pendukung kegiatan telah
sesuai dengan rencana atau terarah pada sasaran.
d. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah
ditetapkan dalam perencanaan semula.
e. Mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan dapatkah
diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut sehingga mendapatkan
efisiensi yang besar.
Sedangkan tujuan pengawasan akan tercapai apabila hasil-hasil
pengawasan maupun memperluas dasar untuk pengambilan keputusan setiap
pimpinan. Hasil pengawasan juga dapat digunakan sebagai dasar untuk
penyempurnaan rencana kegiatan rutin dan rencana berikutnya. Dari uraian di atas
dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa pada dasarnya pengawasan bertujuan untuk
mengoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi nantinya dapat digunakan sebagai
pedoman untuk mengambil kebijakan guna mencapai sasaran yang optimal.
Selanjutnya pengawasan itu secara langsung juga bertujuan untuk102
:
101
Ibid 102
Prayudi, 1981, Op Cit hal 80
93
1. Menjamin ketepatan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijakan
dan peringkat.
2. Menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan.
3. Mencegah pemborosan dan penyelewengan.
4. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas jasa yang dihasilkan.
5. Membina kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan organisasi.
Dari keseluruhan pendapat di atas dapat dilihat adanya persamaan pandangan
yakni dalam hal tujuan dilakukannya kegiatan pengawasan, yaitu agar semua
pekerjaan/kegiatan yang diawasi dilaksanakan sesuai dengan rencana. Rencana
dalam hal ini adalah suatu tolok ukur apakah suatu pekerjaan/kegiatan sesuai atau
tidak. Dan yang menjadi alat ukurnya bukan hanya rencana tetapi juga
kebijaksanaan, strategi, keputusan dan program kerja. Pengawasan juga berarti
suatu usaha atau kegiatan penilaian terhadap suatu kenyataan yang sebenarnya,
mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan apakah sesuai dengan rencana atau
tidak.
Berbicara tentang arti pengawasan dalam hukum administrasi negara
maka hal ini sangat erat kaitannya dengan peranan aparatur pemerintah sebagai
penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan. Tugas umum
aparatur pemerintah dan tugas pembangunan hanya dapat dipisahkan, akan tetapi
tidak dapat dibedakan satu sama lain. Aparatur pemerintah dalam melaksanakan
tugas pemerintahan juga sekaligus melaksanakan tugas pembangunan, demikian
juga halnya aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugas pembangunan
bersamaan juga melaksanakan tugas pemerintahan.
94
Supaya perencanaan dan program pembangunan di daerah dapat berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hendaknya diperlukan pengawasan
yang lebih efektif di samping dapat mengendalikan proyek-proyerk pembangunan
yang ada di daerah. Dengan demikian untuk lebih memperjelas arti pengawasan
dalam kacamata hukum administrasi negara yang akan dilakukan oleh aparatur
pengawasan maka berikut ini penulis akan mengemukakan pendapat guru besar
hukum administrasi negara Prayudi Atmosudirdjo menyatakan bahwa :
“Pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang
dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,
direncanakan atau diperintahkan”. Berdasarkan kutipan di atas maka dapat
difahami bahwa yang menjadi tujuan pengawasan adalah untuk mempermudah
mengetahui hasil pelaksanaan.
Berdasarkan uraian di atas maka bila kita kaitkan dengan pokok
permasalahan dalam tulisan ini tentang Kewenangan Badan Pengasan Obat dan
Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol
menurut PERMENKES No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran
Makanan dikaitkan dengan Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2012 tentang
Pengendalian Peredaran Minuman Baralkohol di Bali maka jelas terlihat bahwa
tujuan pengawasan sebagaimana tersebut di atas tidak tercapai.
Secara Normatif dalam Perda Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol di Bali jelas-jelas tidak mengatur tentang
kewenangan BPOM untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol di Bali padahal jelas Badan POM memiliki kewenangan di seluruh
95
Indonesia melalui peraturan menteri kesehatan Kewenangan Badan Pengasan
Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol menurut Permenkes No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang
Pendaftaran Makanan mewajibkan semua makanan yang akan diedarkan di
masyarakat harus di daftarkan terlebih dahulu ke Badan POM guna memperoleh
nomor pendaftaran makanan tak terkecuali untuk produk olahan rumah tangga
seperti minuman beralkohol dan susu. Dalam Permenkes tersebut Badan POM
telah menetapkan standar-standar mutu minuman beralkohol yang boleh di
edarkan atau dipasarkan, sehingga memenuhi aspek kesehatan dan keselamatan
pangan bagi masyarakat.
96
BAB IV
KEPASTIAN HUKUM PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL
DI PROVINSI BALI
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai permasalahan berikutnya yaitu :
Kepastian hukum dalam pengendalaian dan peredaran minuman beralkohol di
Provinsi Bali berdasarkan Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2012, sebelum
menguraikan permasalahan tersebut maka akan diuraikan tentang standar mutu
dan pendistribusian minuman beralkohol dan pengwasannya yang akan diuraikan
sebagai berikut:
4.1. Standar Mutu dan Pendistribusian Minuman Beralkohol
Sudah menjadi kewajiban Negara untuk menjamin agar makanan dan
minuman yang dikonsumsi oleh warganya aman dan memenuhi standar
kesehatan, demikian pula halnya dengan pemerintah Indonesia yang telah
menetapkan standar-standar mutu tertentu terhadap pangan tersebut. Selain
penentapan standar mutu makanan harus pula dibarengi dengan pengawasan di
lapangan, jangan sampai makanan-makanan yang tidak memenuhi standar
kesehatan dikonsumsi masyarakat.
Berkaitan dengan minuman beralkohol maka pemerintah Indonesia telah
menetapkan standar mutu minuman beralkohol yang tertuang dalam peraturan-
peraturan yang terurai di bawah ini :
96
97
Dalam ketentuan Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, bahwa minuman beralkohol
merupakan minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari hasil pertanian
yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilisasi atau
fermentasi tanpa destilisasi baik dengan memberikan perlakuan terlebih dahulu
atau tidak , menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan
cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran
minuman mengandung alkohol.
Dalam ketentuan Pasal 3 Keputusan tersebut, diuraikan bahwa Minuman
beralkohol dibagi dalam 3 golongan yan itu :
1. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan
kadar Ethanol (C2H5OH) 1% (satu persen) sampai dengan 5% (lima
persen)
2. Minuman beralkohol Golongan B adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima Persen) samapai 20% (
duapuluh persen) dan
3. Minuman beralkohol Golongan C adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20% (dua puluh persen) samapai
55% (lima puluh lima persen)
Semua minuman beralkohol dalam golongan A,B dan C adalah minuman
beralkohol yang produksi, pengedaran dan penjualannya ditetapkan sebagai
barang yang ada dalam pengawasan, dan selanjutnya ditetapkan pula bahwa
menteri kesehatan menetapkan standar mutu minuman beralkohol.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
282/MENKES/SK/11/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol,
dalam Pasal 2 telah ditetapkan standar mutu dan golongan untuk jenis minuman
beralkohol sebagai berikut :
98
a. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) 1% (satu persen) sampai 5% (lima persen)
b. Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan
20 % (dua puluh persen)
c. Minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20 % (duapuluh persen) sampai
dengan 55%(lima puluh lima persen)
Dari uraian diatas maka sangatlah jelas minuman berakohol yang bisa di
konsumsi paling tinggi berkadar alkohol 55% yang termasuk dalam golongan C,
demikian pula semua minuman berakohol yang mengandung kadar ethanol 1 %
(satu persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen), dalam hal produksi,
pengedaran dan penjualannya haruslah memenuhi standar mutu minuman
beralkohol yang di tetapakan oleh menetri kesehatan dan minuman tersebut harus
pula mendapatkan pengawasan dari instansi terkait.
Selain berkaitan standar mutu kandungan atau kadar alkohol yang
terkandung dalam minuman beralkohol maka dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No 282/MENKES/SK/11/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman
Beralkohol di tetapkan pula tentang jaminan mutu dalam Pasal 7 menguraikan:
a. Perusahaan yang memproduksi minuman beralkohol wajib memiliki
izin industri dari menteri perindustrian dan perdagangan
b. Selain izin industri perusahaan sebelum memproduksi minuman
beralkohol wajib memiliki sertifikat cara produksi makanan yang
baik bagi minuman beralkohol
c. Perusahaan yang memproduksi minuman berakohol wajib memiliki
sistem jaminan mutu
d. Dalam rangka melaksanakan sistem jaminan mutu perusahaan yang
memproduksi minuman beralkohol wajib melakukan pengujian mutu
produksi
e. Minuman beralkohol yang diperdagangkan dan di impor haruslah
didaftarkan di departemen kesehatan untuk dilakukan penilaian
terhadap mutu dan keamananya
99
Selanjutnya di sebutkan pula bahwa ketentuan penilaian terhadap mutu dan
keamanan makanan dilakukan oleh direktur jendral, semua makanan yang tidak
mendapatkan persetujuan pendaftaran makanan dari menteri kesehatan melalui
BPOM dilarang diedarkan dan diperdagangkan.
Dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol
Menteri Kesehatan melalui Badan POM, telah pula menetapkan tatacara
pendistibusian makanan yang bertujuan untuk mengarahkan bagi produsen,
distributor atau pengedar makanan melaksanakan cara disitribusi sesuai ketentuan
yang berlaku, khususnya untuk minuman beralkohol ditetapkan cara-cara sebagai
berikut:
1. Secara umum : makanan yang diedarkan di seluruh wilayah Indonesia
harus memenuhi syarat-syarat kesehatan, keselamatan dan standar
mutu yang ditetapkan sesuai dengan jenis-jensi makanan
2. Mengenai Label; Minuman beralkohol haruslah mencantumkan pada
etiketnya kadar alkohol yang terdapat dalam minuman tersebut sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 79/
Menkes/Per/III/1978.
3. Mengenai Peragaan; Peragaan minuman beralkohol haruslah terpisah
dengan makanan lainnya, ditempatkan dalam rak/lemari, disertakan
fotocopy izin sebagai penjual minuman beralkohol dn mencantumkan
tanda peringatan bahwa untuk anak di bawah 16 tahun dilarang
membeli minuman keras.
100
4. Distribusi makanan khusus: Mengenai Peredaran Minuman beralkohol
haruslah memenuhi Peraturan Menteri Kesehatan No
86/Menkes/Per/IV/1977 tentang Minuman keras :
a. Label harus setaui dengan ketentuan peraturan yang ditetapkan
b. Importir, pedagang, penyalur, pengecer dan penjual minuman
beralkohol harus mendapat izin dari Menteri Kesehatan
c. Minuman keras yang tidak terdaftar pada Depertemen Kesahatan
RI dinyatakan sebagai makanan yang berbahaya bagi kesehatan
manusia
d. Produsen minuman beralkohol hanya boleh menjual pedagang
besar minuman beralkohol
e. Importir minuman beralkohol hanya boleh menjual pada pedagang
besar minuman beralkohol
f. Pedagang besar minuman beralkohol hanya boleh menjual pada
penyalur
g. Pedagang besar minuman beralkohol haruslah membuat laporan
berkala kepada Badan POM setiap akhir bulan sesuai ketentuan
Badan POM
h. Laporan Pedagang besar minuman beralkohol dikirimkan pada
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan dengan
tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan
Provinsi setempat
i. Penyalur minuman beralkohol hanya boleh menjual minuman
beralkohol pada pengecer ataupun penjual minuman beralkohol
101
j. Pada penyerahan minuman beralkohol yang mengandung kadar
ethanol lebih dari 20 % sampai dengan 50% pada konsumen,
wajib mencatat tanggal penyerahan, nama dan alamat penerima,
nomor dan tanggal passport atau kartu tanda penduduk, serta jenis
dan jumlah minuman yang dibeli.
k. Tempat penjualan minuman beralkohol tidak boleh berdekatan
dengan tempat ibadah, rumah sakit dan sekolah
5. Larangan dalam distribusi Minuman Beralkohol: Mengenai larangan
Peredaran minuman beralkohol diatur dengan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 86/Menkes/Per/IV/1977 tentang minuman
beralkohol, dengan larangan sebagai berikut:
a. Dilarang mengimpor minuman beralkohol tanpa seijin dari Menteri
Kesehatan RI
b. Dilarang mengedarkan minuman beralkohol yang mengandung
kadar methanol (CH3OH) lebih dari 0,1% (satu per sepuluh
persen) dihitung terhadap kadar etanol (C2H5OH)
c. Dilarang menjual/menyerahkan minuman beralkohol kepada anak
di bawah umur 16 (enem belas) tahun
d. Dilarang mengiklankan minuman beralkohol golongan C yaitu;
minuman beralkohol yang mempunyai kadar 20% sampai dengan
50%
Apabila sebuah perusahaan yang akan melakukan penjualan atau
memperdagangkan minuman keras tidak memenuhi ketentuan di atas maka dapat
dikenakan tindakan samapi pada pencabutan ijin untuk berjualan.
102
Apabila kita kaji uraian di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah Indonesia
melalui Menteri Kesahatan dan Badan POM telah melakukan upaya-upaya untuk
menjaga keamanan makanan yang dikonsumsi oleh warganya khusnya berkaitan
dengan minuman beralkohol, pemerintah telah menetapkan standar mutu,
jaminan mutu bahkan lebih jauh dari itu pemerintah telah pula menetapkan
standar tentang tatacara penyimpanan, pendistribusian dan penjualam minuman
beralkohol. Tentunya semua peraturan ini akan berlaku sama di seluruh Indonesia
4.2. Upaya Pengawasan dan Pengendalian Minuman beralkohol
Pengawasan merupakan proses kegiatan yang terus-menerus dilaksanakan
untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, kemudian diadakan
penilaian serta mengoreksi apakah pelaksanaannya sesuai dengan semestinya atau
tidak. Selain itu Pengawasan adalah suatu penilaian yang merupakan suatu proses
pengukuran dan pembandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyata telah dicapai
dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Dengan kata lain, hasil pengawasan
harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan atau
ketidakcocokan serta mengevaluasi sebab-sebabnya.
Akan tetapi kalau diterjemahkan begitu saja istilah controlling dari bahasa
Inggris, maka pengertiannya lebih luas dari pengawasan yaitu dapat diartikan
sebagai pengendalian, padahal kedua istilah ini berbeda karena dalam
pengendalian terdapat unsur korektif. Istilah pengendalian berasal dari kata
kendali yang berarti mengekang atau ada yang mengendalikan. Jadi berbeda
dengan istilah pengawasan, produk langsung kegiatan pengawasan adalah untuk
103
mengetahui sedangkan kegiatan pengendalian adalah langsung memberikan arah
kepada objek yang dikendalikan. Dalam pengendalian kewenangan untuk
mengadakan tindakan korektif itu sudah terkandung di dalamnya, sedangkan
dalam pengertian pengawasan tindakan korektif itu merupakan proses lanjutan.
Pengendalian adalah pengawasan ditambah tindakan korektif. Sedangkan
pengawasan adalah pengendalian tanpa tindakan korektif. Namun sekarang ini
pengawasan telah mencakup kegiatan pengendalian, pemeriksaan, dan penilaian
terhadap kegiatan.
Badan POM melakukan pengawasan dan pengandalian makanan di
Indonesia, secara umum dilakukan dalam dua cara yaitu Preventif atau
pencegahan dimana Badan POM melakukan upaya-upaya pembinaan dan
sosialisasi terhadap para produsen, distributor dan penjual obat dan makanan
dengan memberikan informasi tentang kewajiban untuk mendaftarkan makanan
yang akan diedarkan pada masyarakat. Selain tindakan prevendtif Badan POM
juga melakukan upaya upaya penindakan atau Preemtif. Tindakan Preemtif
mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK.00.05.72.4473 tentang prosedur tetap penyidikan tindak pidana
di bidang obat dan makanan prosedur tersebut sebagai berikut:
a. Petugas Badan POM dalam melakukan inspeksi mendadak (sidak),
didasarkan pada target pelanggar tahunan yang telah diprogramkan
dalam rencana kerja tahunan maupun informasi atau laporan dari
masyarakat, selanjutnya petugas melakukan pengawasan dan
pengamatan melalui pemeriksaan setempat terhadap sarana, orang,
104
aktivitas produksi, import, distribusi dan produk, kemudian akan
dicari barang bukti dan dilakukan analisa
b. Setelah diperoleh bukti awal yang cukup kemudian Kepala Balai
POM akan mengeluarkan surat tugas, dan berdasarkan surat tersebut
dilakukan investigasi terhadap sarana legal maupun illegal, terhadap
sarana legal akan diadakan audit yang komperhensif terhadap
keabsahan dokumen dan sarana produksi dan bila sarana illegal maka
akan dilakukan proses pro justicia apa bila ditemukan bukti yang
cukup, kalau belum ada bukti yang cukup maka akan dilakukan
pengawasan dan pengamatan ke sarana produksi lagi
c. Langkah-Langkah projusticia dilakukan berdasarkan ketentuan
KUHAP dan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau
PPNS, dari tahap penyelidikan, penyidikan, penyusunan berkas,
pemyerahan berkas ke jaksa
d. Selanjutnya langkah monitoring dan evaluasi yang dilakukan
melalui pemeriksaan laporan kemajuan proses projusticia seperti,
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), tahap pemeriksaan
tersangka, penyerahan berkas ke jaksa penuntut umum, penyerahan
tersangka dan barang bukti ke jaksa, persidangan sampai pada tahap
penuntutan dan putusan dan terakhir pelaksanaan hukuman /proses
eksekusi
e. Pelaporan hasil investigasi dan kemajuan proses pro justicia ke
Kepala Badan POM.
105
Dalam melakukan upaya-upaya penindakan Badan POM juga melakukan
kerjasama dengan Kepolisian dengan menerbitkan Surat Keputusan bersama
POLRI dengan Badan POM tentang Peningkatan Hubungan Kerjasama dalam
rangka Pengawasan dan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Obat dan Makanan,
tertanggal 16 Agustus 2002, sebagai berikut:
a. Dimana ruang lingkup kerjasama tersebut meliputi Pengawasan dan
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Obat, Obat Tradisional,
Produk Biologi, Produk Komplemen, Produk Pangan, Kosmetika, Alat
Kesehatan, Perbekalan Rumah Tangga, Narkotika , Psikotropika dan
Bahan Berbahaya bagi kesehatan.
b. Kordinasi dilakukan dengan menunjuk petugas fungsional penghubung
antara Polri dan Badan POM, yang melakukan kordinasi rutin sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
c. Apabila telah ditemukan indikasi adanya kasus tindak pidana Badan POM
dapat melakukan penanganan sebagaimana lingkup tugasnya, dan Badan
POM dapat pula menyerahkan sepenuhnya pada POLRI ataupun bisa
melakukan dengan cara bersama-sama
d. Anggaran biaya yang timbul dari penyelenggaraan kerjasama ini di
tanggung masing-masing lembaga
e. Badan POM melakukan pengawasan dan pengandalian makanan di
Indonesia, secara umum dilakukan dalam dua cara yaitu Preventif atau
pencegahan dimana Badan POM melakukan upaya-upaya pembinaan dan
sosialisasi terhadap para produsen, distributor dan penjual obat dan
106
makanan dengan memberikan informasi tentang kewajiban untuk
mendaftarkan makanan yang akan diedarkan pada masyarakat. Selain
tindakan prevendtif Badan POM juga melakukan upaya- upaya
penindakan atau Preemtif. Tindakan Preemtif mengacu pada Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK.00.05.72.4473 tentang prosedur tetap penyidikan tindak pidana di
bidang obat dan makanan.
4.3. Kepastian Hukum dalam Pengendalian Peredaran Minuman
Beralkohol di Provinsi Bali
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam hal pengendalian
dan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol di Bali,
terdapat dua lembaga yang berhak. Pertama BPOM sebagai perpanjangan
pemerintah pusat berwenang dalam melakukan pengawasan peredaran minuman
beralkohol di seluruh Indonesia tak terkecuali di Bali, Dalam petunjuk teknis
yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan
semua makanan khususnya pangan olahan termasuk minuman beralkohol
haruslah didaftarkan ke BPOM, dan nomor pendaftaran makanan tersebut harus di
cantumkan dalam label makanan. Sementara itu dalam Perda 5 Tahun 2012
tentang Pengendalian Peredaran Minuman beralkohol di Bali, tidak ada satu
pasalpun yang menyebutkan keharusan untuk mendaftarakan hasil pangan olahan
tersebut ke Menteri Kesehatan melalui Badan POM.
107
Dalam Perda tersebut telah ditetapkan kewenangan Pemerintah Daerah Bali
dimana pemberian izin, Pembinaan dan pengendalian terhadap peredaran
minuman beralkohol dilakukan oleh Gubernur. Setiap penjual minuman
beralkohol haruslah mempunyai Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman
Beralkohol yang selanjutnya disebut SIUP-MB, SIUP MB adalah Surat Izin
untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman
beralkohol golongan B dan/atau golongan C di Provinsi Bali yang dikeluarkan
atas seizin Gubernur
Sedangkan untuk minuman beralkohol tradisional, bagi mereka yang ingin
memperdagangkan diharuskan mempunyai Izin Usaha Perdagangan Minuman
Beralkohol Tradisional yang selanjutnya disebut SIUP-MBT, SIUP MBT adalah
Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus
minuman beralkohol produksi tradisional golongan A, golongan B dan/atau
golongan C di Provinsi Bali. SIUP-MBT untuk Distributor diterbitkan oleh
Gubernur.
Dengan demikian setiap Minuman beralkohol produksi luar negeri
(impor) dan produksi dalam negeri, termasuk juga alkohol produksi tradisional
yang diedarkan oleh Distributor, Sub Distributor, pengecer dan penjual langsung
wajib dikemas, menggunakan pita cukai dan label edar dan karenanya dapat di
pasarkan. yang dimaksud label edar sesuai ketentuan Perda ini adalah Label Edar
adalah tanda pengenal dalam bentuk stiker yang ditempel pada setiap botol atau
kemasan minuman beralkohol. Label Edar label edar ini ditetapkan oleh Gubernur
108
dengan tata cara pencetakan dan penggunaan label edar diatur dengan Peraturan
Gubernur sesuai ketentuan Pasal 12 Perda No 5 Tahun 2012
Perda No 5 Tahun 2012 , sama sekali tidak mengatur tentang peran dan
kewenangan Badan POM dalam melakukan pengawasan dan peredaran
mminuman beralkohol di Bali sehingga dapat pula dikatakan bahwa telah terjadi
kekosongan norma bagi Badan POM dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian minuman beralkohol di Bali, sementera tugas Badan POM jelas
untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di dasarkan
pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/
1989 tentang Pendaftaran Makanan.
Selanjutnya Perda No 5 Tahun 2012 dikaji berdasarkan Teori
perundang-undangan yang baik. Pembentukan undang-undang didasarkan pada
perwujudan asas-asas hukum (umum). Asas-asas hukum berfungsi untuk
menafsirkan aturan-aturan hukum dan memberikan pedoman bagi suatu perilaku,
sekalipun tidak secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma
perilaku. Asas-asas hukum menjelaskan norma-norma hukum yang di dalamnya
terkandung nilai-nilai ideologis tertib hukum.
Menurut A. Hamid S. Attamimi103
, asas - asas pembentukan peraturan
perundang undangan yang baik, berfungsi untuk memberikan pedoman dan
bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang
sesuai, bagi penggunaan metode pembentukan yang tepat dan bagi mengikuti
proses dan prosedur pembentukan yang telah ditentukan. serta bermanfaat bagi
103
A Hamid S Atammimi dalam Maria Farida , 2007, Ilmu Perundang-undangan , Janis,
Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta , hal. 252
109
penyiapan, penyusunan, dan pembentukan suatu peraturan perundang undangan.
Kemudian, dapat digunakan oleh hakim untuk melakukan pengujian(toetsen), agar
peraturan peraturan tersebut memenuhi asas asas dimaksud, serta sebagai dasar
pengujian dalam pembentukan aturan hukum yang berlaku.
Dengan berdasarkan asas-asas umum pembentukan peraturan yang baik,
maka menurut Van De Vlies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan
perundang undangan yang baik, dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu asas
formal (formele beginselen) dan asas materiil (materiele beginsele) Asas formal,
meliputi104
:
a. asas tujuan yang jelas
b. asas organ atau lembaga yang tepat
c.asas perlunya pengaturan
d. asas dapat dilaksanakan
e. asas consensus
sedangkan asas materiil meliputi:
a. asas terminologi dan sistematika yang jelas.
b. asas dapat dikenali
c. asas perlakuan yang sama dalam hukum
d. asas kepastian hukum
e. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Selanjutnya menurut A. Hamid S Attamimi menjelaskan dalam
pembentukan perundang-undangan selain berpedoman pada asas - asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, juga perlu dilandasi oleh
104
Ibid, Hal 254
110
asas-asas hukum umum, yang di dalamnya terdiri dari asas negara berdasar atas
hukum (rechtstaat), pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi dan negara
berdasarkan kedaulatan rakyat. setidaknya terdapat beberapa pegangan yang dapat
dikembangkan guna memahami asas asas pembentukan peraturan perundang
undangan yang baik secara benar, yaitu:
a. asas yang berlaku dalam Pancasila selaku asas asas dalam hukum
umum bagi peraturan perundang undangan, memiliki pengertian
bahwa Pancasila selaku cita hukum, yang juga merupakan norma
fundamental, sebagai norma tertinggi bagi berlakunya semua norma -
norma hukum yang berlaku pada kehidupan rakyat Indonesia.
b. asas - asas Negara berdasar atas hukum selaku asas - asas hukum
umum bagi perundang-undangan, memiliki pengertian bahwa asas
pemerintahan yang diatur dengan atau berdasarkan undang-undang.
c. asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi selaku asas-asas
umum bagi perundang-undangan, memiliki pengertian bahwa apa
yang dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945 di bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan ditegaskan kembali
dalam asas ini
d. asas-asas bagi peraturan perundang-undangan yang dikembangkan
oleh para ahli
111
Dengan menggunakan istilah lain, Bagir Manan mengemukakan, bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah mengacu pada landasan
pembentukan peraturan perundang-undangan, yang didalamnya terdiri dari105
:
a. Landasan yuridis.
Karena landasan ini akan menunjukkan keharusan adanya
kewenangan dari pembuat produk-produk hukum, keharusan
adanya kesesuaian bentuk atau jenis produk-produk hukum dengan
materi yang diatur, keharusan mengikuti tata cara tertentu,
keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya, produk-produk hukum
yang dibuat harus dapat diterima oleh masyarakat secara wajar
maupun spontan
b. Landasan sosiologis.
Landasan ini akan mencerminkan kenyataan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan dasar ini, diharapkan peraturan yang dibuat
akan diterima oleh masyarakat. Peraturan yang diterima secara
wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu
banyak memerlukan pengerahan institusional untuk
melaksanakannya
c. Landasan filosofis.
Landasan ini berkaitan dengan cita hukum, dimana semua
masyarakat mempunyainya, yaitu apa yang mereka harapkan dari
hukum. Cita hukum tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka
mengenai baik ataupun buruknya, pandangan terhadap hubungan
individual dan kemasyarakatan dan sebagainya. Kesemuanya
merupakan bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan
mengenai hakikat sesuatu
Berdasarkan uraian di atas maka jelas terlihat bahwa sebuah perundang-
undangan yang baik haruslah memenuhi asas- asas perundang-undangan yang
baik. Pemerintah Indonesia telah memberikan rumusan asas-asas peraturan
perundang-undangan yang baik, sebagaimana diuraikan dalam ketentuan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menguraikan sebagai berikut:
105
Bagir Manan, 1994, Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam Pembangunan Nasional, makalah
112
a. Asas kejelasan tujuan
b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan
d. Asas dapat dilaksanakan
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. Asas kejelasan rumusan
g. Asas keterbukaan
Bahwa Perda No 5 Tahun 2012 bila dikaji dengan perumusan asas-asas peraturan
perundang-undangan yang baik maka menurut hemat penulis dapat dikatakan
bahwa perda No 5 Tahun 2012 tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan
yang baik khususnya :
1. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
2. Asas dapat dilaksanakan
Dikatakan tidak memenuhi rumusan asas kesesuaian antara jenis dan
materi muatan , dimana dalam penjelasannya yang dimaksud asas kesesuaian
antara jenis dan materi yaitu bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan materi muatan yang tepat. Dalam penentuan
materi muatan, juga disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, yang terdiri dari asas pengayoman, kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan,
kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/keseimbangan, keserasian
dan keselarasan, serta asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
113
Dalam Perda No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman
Baralkohol tidak memberikan kepastian hukum kepada para produsen,
distributor maupun penjual minuman beralkohol, hal mana disebabkan
berdasarkan ketentuan Pasal 10 Perda tersebut diuraikan:
(1) Minuman beralkohol produksi luar negeri (impor) dan produksi dalam
negeri yang diedarkan oleh Distributor, Sub Distributor, pengecer dan
penjual langsung wajib dikemas, menggunakan pita cukai dan label edar.
(2) Minuman beralkohol produksi tradisional yang dikonsumsi dan
diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi wajib dikemas dan
menggunakan label edar.
(3) Minuman beralkohol produksi tradisional yang tidak untuk dikonsumsi
dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi peredarannya dengan
menggunakan label untuk upacara (tetabuhan) dan label edar.
Pasal 12 Perda tersebut juga diuraikan :
(1) Gubernur menetapkan label edar.
(2) Tata cara pencetakan dan penggunaan label edar diatur dengan Peraturan
Gubernur.
Permasalahan antara kewenangan Badan BOM dan Pemerintah Daerah
Bali dalam melakukan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman
beralkohol dimana menurut Perda ini dalam Pasal 10 diuraikan minuman
beralkohol baik import maupun produksi tradisional cukup hanya dengan
menggunakan label edar dapat dipasarkan, sementara jelas menurut Pasal 12 label
edar ditetapkan oleh Gubernur, dalam Perda Provinsi Bali ini sama sekali tidak
114
mewajibkan setiap produsen, distributor dan penjual minuman beralkohol
tersebut harus di daftarkan pada Menteri Kesehatan melalui Badan POM untuk
memperoleh nomor pendaftaran pangan, makanan yang tidak memiliki nomor
pendaftaran makanan seharusnya tidak boleh diedarkan terkecuali terhadap
makanan-makanan yang dikecualikan untuk tidak didaftarkan, sehingga ini
menimbulkan ketidak pastian hukum bagi produsen, distributor dan penjual
minuman beralkohol mereka yang telah memiliki dan memberikan label edar
pada minuman beralkohol yang dijualnya akan tetapi tetap terjaring razia yang
dilakukan Badan POM karena minuman tersebut tidak memiliki nomor
pendaftaran makanan yang dicantumkan di label kemasannya, sebagaimana
ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
282/MENKES/SK/11/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol
di tetapkan pula tentang jaminan mutu dalam Pasal 7 menguraikan:
a. Perusahaan yang memproduksi minuman beralkohol wajib memiliki
izin industri dari menteri perindustrian dan perdagangan
b. Selain izin industri perusahaan sebelum memproduksi minuman
beralkohol wajib memiliki sertifikat cara produksi makanan yang
baik bagi minuman beralkohol
c. Perusahaan yang memproduksi minuman berakohol wajib memiliki
sistem jaminan mutu
d. Dalam rangka melaksanakan sistem jaminan mutu perusahaan yang
memproduksi minuman beralkohol wajib melakukan pengujian mutu
produksi
e. Minuman beralkohol yang diperdagangkan dan di impor haruslah di
daftarkan di Departemen Kesehatan untuk dilakukan penilaian
terhadap mutu dan keamanannya
Selanjutnya disebutkan pula bahwa ketentuan penilaian terhadap mutu dan
keamanan makanan dilakukan oleh Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia semua makanan yang tidak
115
mendapatkan persetujuan pendaftaran makanan dari Menteri Kesehatan melalui
BPOM dilarang diedarkan dan diperdagangkan.
Dikatakan tidak memenuhi asas dapat dilaksanakan, dalam penjelasan
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
asas dapat dilaksanakan berarti bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitasnya di dalam masyarakat, mengacu
bahwa Perda 5 Tahun 2012 tidak mengatur tentang kewenangan Badan POM
dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol, berkaitan
dengan pendaftaran makanan sebagaimana diatur dalam ketentuan Permenkes
No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan maka sudah dapat
dipastikan Perda ini tidak bisa berlaku efektif dalam masyarakat, makanan yang
tidak memiliki nomor pendaftaran makanan khususnya minuman beralkohol
tidak boleh diedarkan berdasarkan Permekes ini. Akan tetapi dalam perda
menyebutkan minuman beralkohol bila sudah memiliki label edar dapat
dipasarkan atau diedarkan ke masyarakat.
Kemudian bila Perda Bali No 5 tahun 2012 tentang Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol di Bali dikaitkan ketentuan Pereturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran
Makanan dikaji berdasarkan Teori pemerintahan yang baik, dalam perda tersebut
tidak mengatur tentang tugas dan kewenangan Badan POM atau norma kosong
yang membawa dampak bahwa Badan POM tidak dapat melaksankan fungsinya
secara maksimal dimana para penjual minuman keras yang tidak memiliki nomor
daftar makanan seseuai Peraturan Meneteri Kesehatan No 382/Menkes/Per/VI/
1989 tentang Pendaftaran Makanan akan tetapi bisa diedarkan di Bali karena
116
perda hanya menisyaratkan sebuah minuman beralkohol dapat diedarkan apabila
memiliki label edar saja, bila dikaitkan dengan asas-asas pemerintahan yang baik
maka dapat dikatakan Pemerintah Daerah Bali telah melanggar asas-asas
pemerintahan yang baik khususnya dalam asas asas sebagai berikut:
a. Asas Kepastian Hukum;
Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara.
b. Asas Kepentingan Umum;
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif.
c. Asas Keterbukaan;
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Sebagaimana diketahui bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak
berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan
yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen
pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance). Memasuki era reformasi, hal tersebut
diakui, sehingga melalui TAP MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara
117
Negara yang bersih dan bebas KKN, dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme bangsa Indonesia menegaskan tekad untuk senantiasa bersungguh-
sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan
yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance.
Jika kita melihat bagian-bagian dari partisipasi yang dapat dilakukan oleh
publik atau masyarakat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi publik
dalam pengambilan suatu keputusan sangatlah penting. Partisipasi publik menjadi
sangat penting urgensinya dalam proses pengambilan keputusan setelah
dikampanyekannya good governance oleh Bank Dunia maupun United Nations
Development Program (UNDP). Mengenai good governance, Hetifah Sj.
Sumarto106
berpendapat:
“Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan
yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya
UNDP mengartikan partisipasi sebagai karakteristik pelaksanaan good
governance adalah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan
yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar
kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif”.
Menurut T. Gayus Lumbuun, dalam kepustakaan Hukum Administrasi
Negara asas-asas umum pemerintahan yang baik telah disistematisasi oleh para
ahli terkemuka dan dianut di beberapa negara, antara lain seperti di Belanda
dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB), di
Inggris dikenal “The Principle of Natural Justice”, di Perancis dikenal “Les
Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”, di Belgia dikenal
106
Hetifah Sj. Sumarto, 2003, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta,.
118
“Aglemene Rechtsbeginselen”, di Jerman dikenal “Verfassung Sprinzipien” dan di
Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” (AUPB)107
. Untuk
mengenal asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut pendapat ahli
maupun yang berkembang di Peradilan Administrasi, akan diuraikan berikut ini:
Menurut sistematisasi van Wijk/Konijnenbel yang dikutip oleh
IndrohartoAsas-asas umum Pemerintahan yang Baik dikelompokkan108
:
a. Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan yang meliputi Asas
kecermatan formal dan Asas “fair play”.
b. Asas-asas formal mengenai formulasi keputusan yang meliputi Asas
Pertimbangan dan Asas kepastian Hukum formal.
c. Asas-asas Meterial mengenai isi Keputusan yang meliputi Asas kepastian
hukum material, Asas kepercayaan atau asas harapan-harapan yang telah
ditimbulkan, Asas persamaan, Asas kecermatan material dan Asas
keseimbangan.
Di Belanda Asas-asas umum pemerintahan yang baik dipandang sebagai
norma hukum tidak tertulis, namun harus ditaati oleh pemerintah, sehingga dalam
Wet AROB (Administrative Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yaitu
Ketetapan-ketetapan Pemerintahan dalam Hukum Administrasi oleh Kekuasaan
Kehakiman “Tidak bertentangan dengan apa dalam kesadaran hukum umum
merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik”. Hal
itu dimaksudkan bahwa asas-asas itu sebagai asas-asas yang hidup, digali dan
107
T. Gayus Lumbuun, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang
Baik, http://www.kormonev.menpan.go.id.
108
Indro Harto, 1994 “Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara”hal23
119
dikembangkan oleh hakim. Asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang
terkenal dan dirumuskan dalam Yurisprudensi AROB sebagai berikut:
a. Asas pertimbangan (motiveringsbeginsel)
b Asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel)
c. Asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel)
d. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel of beginsel van opgewekte
verwachtingen)
e. Asas persamaan (gelijkheidsbeginsel)
f. Asas keseimbangan (evenredigheidsbeginsel)
g. Asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel)
h. Asas fair play (beginsel van fair play)
i. Larangan “detournement de pouvoir” atau penyalahgunaan wewenang
(het verbod detournement de pouvoir)
j. Larangan bertindak sewenang-wenang (het verbod van willekeur).
Di Perancis Asas-asas umum pemerintahan yang baik (Les Principaux
Generaux du Droit Coutumier Publique) dirumuskan:
a. Asas persamaan (egalite).
b. Asas tidak boleh mencabut keputusan bermanfaat (intangibilite de
effects individuels des actes administratifs). Dengan asas ini
keputusan yang regelmatig (teratur/sesuai dengan peraturan) tidak
boleh dicabut apabila akibat hukum yang bermanfaat telah terjadi.
c. Asas larangan berlaku surut (principe de non retroactivite des actes
administratifs).
d. Asas jaminan masyarakat (garantie des libertes publiques).
e. Asas keseimbangan (proportionnalite).
120
Dalam kepustakaan Hukum Administrasi di Indonesia, Prof. Kuntjoro
Purbopranoto menguraikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam 13
asas109
, yaitu:
a. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
b. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
c. Asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) – principle of
equality;
d. Asas bertindak cermat (principle of carefuleness);
e. sas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
f. sas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse
of competence);
g. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
h. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or
prohibition of arbitrariness);
i. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting
raised expectation);
j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle
of undoing the consequences of an annulled decision);
k. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi
(principle of protecting the personal way of life);
l. Asas kebijaksanaan (sapientia);
m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public
service).
109
Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Catatan
Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara”hal.24
121
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, maka asas-asas umum
pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan dalam Pasal 3 dan
Penjelasannya yang dirumuskan sebagai asas umum penyelenggaraan negara.
Asas ini terdiri dari:
a. Asas Kepastian Hukum;
Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
Penyelenggara Negara.
b. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
c. Asas Kepentingan Umum;
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif.
d. Asas Keterbukaan;
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
e. Asas Proporsionalitas;
Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara.
122
f. Asas Profesionalitas;
Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Asas Akuntabilitas.
Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Disamping itu, Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 dan Pasal 3
ayat (1) TAP MPR XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Nagara Yang Bersih
dan Bebas KKN menentukan untuk menghindari segala bentuk KKN, seseorang
yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus
bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia
diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, melaksanakan tugas tanpa
membedakan suku, agama, ras dan golongan, melaksanakan tugas dengan penuh
rasa tanggung jawab, tidak melakukan perbuatan tercela, melaksanakan tugas
tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok dan
tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan
ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta bersedia menjadi
saksi dalam perkara KKN dan perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik yang berlaku secara universal dibeberapa negara sebagai
123
hukum tidak tertulis, di Indonesia dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
merumuskan asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut secara formal
mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya.
Apa bila dikaitkan dengan asas-asas pemerintahan yang baik maka dapat
dikatakan Pemerintah Daerah Bali telah melanggar asas-asas pemerintahan yang
baik khususnya dalam asas asas sebagai berikut:
a. Asas Kepastian Hukum;
Asas Kepastian Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara. Kerena Perda tersebut telah mengandung
kekosongan norma berkaitan dengan tugas dan kewenangan Badan Pengawas
Obat Dan Makanan di Bali, maka dengan Perda Nomor 5 Tahun 2012
Pemerintah Provinsi Bali tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada
para produsen, penyelur dan penjual minuman beralkohol yang walaupun
dalam pelaksanaan perda para produsen telah memiliki Label edar akan tetapi
apabila dalam produk mereka tidak mencantumkan nomor pendaftaran
makanan yang harus diurus melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) ke Menteri Kesehatan mareka dapat dikenakan sanksi oleh Badan
Pengawas Obat dan makanan (BPOM) sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b. Asas Kepentingan Umum.
Asas Kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Bahwa Pemerintah
124
Daerah Provinsi Bali tidak dapat mendahulukan kesejahteraan umum dengan
menerbitkan Perda No 5 Tahun 2012, dimana dalam Perda tersebut jelas-jelas
mengutamakan aspek ekonomi semata dengan menyebutkan bahwa minuman
beralkohol memiliki nilai ekonomi yang tinggi akan tetapi lupa atau boleh
dikatakan tidak mencantumkan sama sekali kewajiban bagi produsen dan penjual
minuman keras untuk mendaftarkan semua minuman keras yang di produksi di
Bali atau di edarkan di Bali ke Pada Menteri kesehatan melalui Badan POM, hal
ini menyebabkan banyaknya beredar minuman keras yang tidak memiliki nomor
pendaftaran sehingga produk tersaebut dapat membahayakan kesehatan
masyarakat umum
c. Asas Keterbukaan
Asas keterbukaan Adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Pemerintah Daerah Bali dengan Perda Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol yang telah mengandung
kekosongan norma kerena tidak mengatur tugas dan kewenangan Badan POM,
khususnya mengenai kewajiban bagi setiap makanan harus didaftarkan di Menteri
Kesehatan melalui Badan POM berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan,
dapat dikatakan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Bali melalui Perda tersebut
tidak mampu memberikan informasi yang lengkap, terang dan jelas kepada
125
masyarakat khususnya produsen, distributor dan penjual minuman beralkohol
tentang kewajiban untuk melakukan pendaftaran minuman beralkohol yang akan
diedarkan masyarakat, karena jelas minuman beralkohol bukan merupakan
minuman yang bisa dikecualikan untuk didaftarkan . Informasi inilah yang tidak
tercantum dalam Perda 5 tahun 2012 sehingga para produsen, distributor dan
penjual hanya mengurus label edar minuman beralkohol sesuai ketentuan perda
tanpa pernah tahu bahwa minuman berakohol yang tidak memiliki nomor
pendaftaran tidak boleh diedarkan ke masyarakat
126
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil analisa yang diuraikan penulis
sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Secara Normatif dalam Perda Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengawasan
dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Bali jelas-jelas tidak merujuk
tentang kewenangan BPOM untuk melakukan pengawasan dan pengendalian
minuman beralkohol di Bali (norma kosong). Padahal jelas Badan POM
memiliki kewenangan di seluruh Indonesia melalui Peraturan Menteri
Kesehatan Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam
melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol menurut
Permenkes No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan
mewajibkan semua makanan yang akan diedarkan di masyarakat harus
didaftarkan terlebih dahulu ke Badan POM guna memperoleh nomor
pendaftaran makanan tak terkecuali untuk produk olahan rumah tangga
seperti minuman beralkohol dan susu. Dalam Permenkes tersebut Badan
POM telah menetapkan standar-standar mutu minuman beralkohol yang
boleh di edarkan atau dipasarkan, sehingga memenuhi aspek kesehatan dan
keselamatan pangan bagi masyarakat.
126
127
2. Pemerintah Daerah Bali dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012
tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol tidak
memberikan kepastian hukum bagi Produsen, distributor dan penjual
minuman beralkohol, karena para produsen, distributor dan penjual
minuman beralkohol baik impor maupun produksi dalam negeri walaupun
telah memiliki label edar tetap terjaring razia atau terkena sanksi yang
dilakukan Badan POM karena minuman tersebut tidak memiliki nomor
pendaftaran makanan dan minuman yang dicantumkan di label kemasannya.
Demikian juga sebaliknya Badan POM juga tidak bisa mengenakan sanksi
yang tegas pada distributor, pengecer dan penjual minuman beralkohol
karena berdalih mereka telah memperoleh label edar dari Pemerintah
Provinsi Bali, sesuai ketentuan Peraturan Daerah No 5 tahun 2012 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
5.2. Saran
Bahwa terhadap simpulan tersebut di atas, maka dapat penulis sarankan
sebagai berikut :
1. Dilakukan perubahan terhadap Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman beralkohol di Bali yang selama ini
jelas-jelas tidak mengatur tentang kewenangan Badan POM untuk melakukan
pegawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali (norma kosong).
128
2. Dalam Perubahan Perda Nomor 5 Tahun 2012 tersebut harus merujuk pada
ketentuan dalam Undang – Undang Pangan dan Peraturan Menteri Kesehatan
No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan. Dengan
diwajibkan mendaftarkan makanan dan minuman sehingga memperoleh
nomor pendaftaran makanan dan minuman, pada Menteri Kesehatan melalui
Badan Pengawas Obat dan Makanan sehingga makanan dan minuman tersebut
telah dinyatakan layak untuk dikomsumsi dan diedarkan dimasyarkat.
129
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Akkermaans, PWC, dkk., 1985, Algemene Begril Peraturan Pemerintahen Van
Staats Recht, deel I, W.E.J. Tjeen Willink Zwolle.
Ali , Ahmad, SH. MH. 1996, Menguak Tabir Hukum; Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis, Chandra Pratama
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Anwar, Saiful, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi
Revisi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta.
Attamimi, A. Hamid S 1990, Peranan Keputusan Presiden RI dalam
Penyelenggaraan Negara, Suatu Study Analisis Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita
V, Direksi Unit Indonesia Jakarta.
-----------------, 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia-Suatu Tinjauan Sisi
Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia yang Menjelaskan
dan Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Guru Besar, FH. UI
Jakarta
Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminstrasi
di Indonesia, Bandung, cet-ke 1.
Badan POM, 2012, Profil BP POM (Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan
di Denpasar),
----------------------, 2004, Pedoman Pola Tindak Lanjut Penyidikan Tindak Pidana
di Bidang Obat dan Makanan.
Dicey, AV, 1968, Introduction to Study of The Law of constitution, Mc Millan
& Co.Ltd. London
E.Utrech, 1960, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Penerbit
FHPM Univ Padjajaran Bandung.
130
Farida, Maria, 2007, Ilmu Perundang-undangan 1, Janis, Fungsi dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta.
-----------------, 2007, Ilmu Perundang-undangan 2, Proses, dan teknik
pembentukannya Kanisius, Yogyakarta.
Firmansyah DKK, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antara
Lembaga Negara, Konsorsiun Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI),
jakarta, Cetakan I.
Gautam, Sudargo 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung Alumni.
Hadjon, Philipus M. 1997, Penelitian Hukum Normatif (Kumpulan Tulisan),
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
----------------- dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah
Mada University Press, Cetakan kesembilan .
------------------, 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to
Indonesian Administrative Law, Gadja Mada University Press,
Yogyakarta.
HR, Ridwan,. 2008, Hukum Administrasi Negara, PT Grafindo Persada, Jakarta.
Ibrahim, Jhony, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Publising , Malang.
Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Pustaka Sinar harapan, Jakarta.
Jacobini, 1991, An Introduction To Comparative Administrative Law, Ocean
Publication inc, New York.
J.G, Brower–Schilder, 1998, A Survey of Duth Administrative Law, Ars Aequibiri,
Nijmegen,
Kusnardi, Moh. dan saragih, Bintan 2000, Ilmu Negara, Edisi revisi, Jakarta,
Gaya Media Pratama.
Mahfud MD, Moh Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia studi tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Mahmud, Marzuki Peter, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset,
Jakarta.
131
Marbun, S.F. 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta
------------------ dan Md, Mahfud 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi
Negara, Cetakan IV, Liberty Yogyakarta.
Muhamad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan penelitian Hukum, Cet 1. PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung
Multosudarmo, Suwoto, 19997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakata
Mustafa, Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia , PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Morris L., Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Rreaserch in a Nutshell, sevent
edition, West Group, st Paul Minn
.
Nasution, 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.
Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Projodikoro, Wirjono 1974, Asas – Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian
Rakyat, Jakarta.
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Universitas
Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan
tesis Ilmu HukumProgram Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar
132
Riswadi, Budi Agus, 2003, hukum internet, UII Pres, Yogyakarta
Harun, Rafi dkk , Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi satu tahun Mahkamah
Konstitusi: Konstitusi Press.
Sady, Emil J, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose,
in Jurnal of Local Administration Overseas.
Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo
Sujanto, 1986, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia.
Sumardjono, Maria S.W. 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas
Hukum UGM.
Sumarto, Hetifah Sj.2003, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta,
Surakhmad, Winarno, tanpa tahun, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode
dan Teknik
Suryabrata, Sumandi 1989, Metodologi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta
Suryana, Achmad., 2003, Kapita Selekta Pemikiran Kebijakan Ketahanan
Pangan, Cet Pertama, BPFE-yogyakarta, Yogyakarta
Soekanto, Soerdjono,1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
----------------- dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemantri, Sri 1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD1945,
Alumni, Bandung
Uttrech E, 1986, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta
Mas Surabaya
Van Wijk H.D. dan Konijnenbelt, Willem, 1988, Hoofdstukken van Administratief
Recht, Uitgeverij LEMMA B .V,Moerbeiboom, Culemborg.
Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar
Grafindo,Jakarta.
133
II. MAKALAH /MAJALAH
Attamimi, A Hamid S 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia-Suatu
Tinjauan Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia yang
Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Guru
Besar, FH. UI Jakarta.
KRHN, Hasil diskusi “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca
Amendemen UUD 1945” Jakarta 9 September 2004
Manan, Bagir, 1994, Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam Pembangunan Nasional, makalah
------------------, 3 September 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Ilmiah disampaikan kepada
Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad di Bandung.
Philipus. M Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan
(bastuursbevoegheid), Pro Justitia, Tahun XVI, nomor 1 Januari 1998.
------------------, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah, Pelatihan Metode
Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya.
Purbopranoto, Prof. Kuntjoro “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara” makalah
Program Study Megister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, 2008,
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu
HukumProgram Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Yosa, Pengawasan sebagai sarana penegekan hukum administrasi Negara,
Jurnal Depdagri, Kamis, 1 Juli 2010
III. KAMUS
Garner, Bryan A, 1999, Black,s Law Dictionary, West Group, St Paul Minn.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
134
IV. INTERNET
Ithalabo, blog, Dampak Minuman Keras, Senin 8 Juni 2012.
Miras Bukan Lagi Barang Mewah: Harus Dikendalikan dengan UU, by Neo
KPPP ASI (Komunitas Pengamat Pengkaji Pengamal Aqidah Syariat
Islam) on Sunday, January 15, 2012 at 6:21pm·
Travel talk, edisi Minggu 20 -6-2010; Pastika; Bali tak pungut pajak Miras http://
balinews.blog.com
PAD+Minuman+beralkohol+di+bali+tahun+2010
T. Gayus Lumbuun, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Pemerintahan
Yang Baik, http://www.kormonev.menpan.go.id
V. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
Keputusan Presiden No 166 Tahun 2000, tentang Kedudukan Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen
Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian
Minuman beralkohol
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1700/B/SK/VII/82 tentang
Penolakan Pendaftaran Jenis Tertentu Minuman Keras dan Makanan/
Minuman yang Mengandung Alkohol
135
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.282/ MENKES/SK/1998
tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol
Peraturan Menteri Kesehatan No. 382/MENKES/PER/VI/1989 tentang
Pendaftaran Makanan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/MEN.KES/PER/
XII/76 tentang Produk dan Peredaran Makanan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 59/MEN.KES/PER/II/82
tentang Larangan Peredaran, Produksi, dan Mengimpor Minuman Keras
yang Tidak Terdaftar pada Departemen Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 86/MEN.KES/PER/IV/77
tentang Minuman Keras
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 71/M-IND/PER/7/2012
tentang Pengendalian dan Pengawasan Produksi Minuman Beralkohol
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol di Provinsi Bali
Pedoman Cara Distribusi Makanan Yang Baik (CDMB) 1996. Direktorat
Pengawasan Makanan dan Minuman Direktorat Jendral Pengawasan
Obat dan Makanan Departemenen Kesehatan RI
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK. 03.1.5.12.11.09956 Tahun 2011 tentang Tata Laksana Pendaftaran
Pangan Olahan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK. 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan
136
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK. 00.05.72.4473 Tahun 2004 tentang Prosedur Tetap Penyidikan
Tindak Pidana di Bidang Obat dan Makanan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK. 00.05.72.4472 Tahun 2004 tentang Pedoman Pola Tindak Lanjut
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Obat dan Makanan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.
HK. 00.05.23.1455 tentang Pengawasan Pemasukan Pangan Olahan
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 05018 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan
Tindak Lanjut Pengawasan dan Keamanan Pangan POM-03.SOP.17 Badan POM
RI
Keputusan Bersama antara POLRI dan BADAN POM tentang Peningkatan
Hubungan Kerjasama dalam Rangka Pengawasan dan Penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Obat dan Makanan, Jakarta 16 Agustus 2002
Kesepakatan Bersama Badan POM RI dengan Gubernur Bali tentang Kemitraan
Dalam Pengawasan Obat dan Makanan