keterkaitan masukan bahan organik dan logam … · dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi...
TRANSCRIPT
KETERKAITAN MASUKAN BAHAN ORGANIK DAN
LOGAM MERKURI TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA
DI SUNGAI CILIWUNG (JAWA BARAT)
JOJOK SUDARSO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DESERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 2 Februari 2013 Jojok Sudarso NIM C261090061
ABSTRACT
JOJOK SUDARSO. Effect of Organic Compound and Mercury on Community Structure and Secondary Productivity Trichoptera Larvae in Ciliwung River (West Java) under direction of YUSLI WARDIATNO, DANIEL DJOKOSETIYANTO and WORO ANGGRAITONINGSIH.
Ciliwung River is one of the big rivers in West Java Province which is polluted by organic compound and mercury. Pollution in Ciliwung River could disturb the ecological balance of Trichoptera larvae. The purpose of this study was to reveal the influence of organic compound and mercury contamination on community structure, ecology feeding, secondary productivity of Trichoptera larvae and establish a local biocriteria using multimetric concept. Research was conducted in six stations on high gradient Ciliwung River segment. Trichoptera larvae were collected using surber net with five replications in each study sites. High of organic pollution, mercury contamination, and habitat degradation could decrease number of genus Trichoptera larvae (7-2), diversity index (2.8-0 bits per individu), while increase secondary productivity of Cheumatopsyche sp. larvae (5.9-81.5 g m-2 year-1). Ecology feeding was dominated by filtering collector while disturbance was increasing. Four biological metrics (total taxa number, scores of Stream Invertebrate Grade Number-Average (SIGNAL), % abundance of three dominant taxa, number of sensitive taxa) was successfully created to be a local biocriteria which was called Trichoptera biotic index (IBT). Range the index values were 26-28 classified as least disturbance, 17-18 low disturbance, 7-16 medium disturbance, and 4-6 severe disturbance. Development and refinement of IBT in the future can be used to monitor and evaluate rivers quality in Indonesia especially for high gradient river.
Keywords: Trichoptera larvae, Ciliwung River, biocriteria, pollution, secondary productivity.
RINGKASAN
JOJOK SUDARSO. Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat). Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, DANIEL DJOKOSETIYANTO dan WORO ANGGRAITONINGSIH.
Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah mendorong berkembangnya konsep indikator biologi guna mengetahui status kesehatan dari sebuah ekosistem. Salah satu biota yang memiliki potensi sebagai indikator biologi perairan adalah larva Trichoptera. Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain: 1). Salah satu penyusun terbesar dari komunitas makrozoobentos pada ekosistem sungai, 2) Distribusi yang luas, 3) Kelimpahan relatif tinggi, 4). Respon terhadap kualitas lingkungan bervariasi dari perubahan morfologi hingga perilaku, 5). Keanekaragaman spesies relatif tinggi (± 13.000 spesies), 6). Siklus hidup relatif panjang dengan lima tahap instar, 7). Peran penting dalam rantai makanan, 8). Ukurannya yang relatif besar (1-3 cm), 9). Tubuh relatif keras sehingga mudah dalam melihat abnormalitas, dan 10). Waktu identifikasi hewan tersebut relatif lebih singkat. Kondisi tersebut diatas merupakan potensi yang besar bagi larva Trichoptera untuk dikembangkan sebagai penyususn biokriteria lokal yang adaptif guna diterapkan di daerah tropis khususnya di Indonesia.
Salah satu sungai yang akan dijadikan model dalam penyusunan biokriteria dan penelitian tentang produktivitas sekunder larva Trichoptera adalah Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung termasuk dalam sungai besar di Jawa Barat yang memiliki aspek penting bagi sektor pertanian (irigasi), industri, maupun bahan baku air minum. Kondisi bagian hulu (Gunung Mas) dari sungai tersebut relatif masih terjaga dengan baik sehingga minim mengalami gangguan akibat aktivitas antropogenik. Berdasarkan kajian ekologis yang dilakukan BPLHD Provinsi Jawa Barat tahun 2006 menunjukkan kualitas Sungai Ciliwung di bagian Hulu (Cisarua) hingga hilir (Ancol) telah mengalami pencemaran organik yang tinggi (DO dari 8 - 0,2 mg/l, TOM dari 0,02-0,1 mg/l, TSS dari 0,01-0,6 mg/l). Sungai tersebut juga tercemar oleh logam merkuri (0,23-0,30 ppb), bisfenol A (0,46-0,83 µg/l) dan alkil fenol (33,2-191,4 µg/l) yang cukup tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Mendeskripsikan struktur komunitas dan proporsi komposisi ekologi feeding larva Trichoptera berdasarkan gradien konsentrasi bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung, 2). Mengetahui produktivitas sekunder larva Trichoptera (Cheumatopsyche sp.) di Sungai Ciliwung, dan 3). Menyusun sebuah biokriteria lokal dari komunitas larva Trichoptera guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung dengan menggunakan konsep multimetrik.
Desain penelitian ini menggunakan pendekatan survei post facto. Dasar sistematik penelitian adalah keterkaitan antara masukan bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung dengan produktivitas sekunder maupun struktur komunitas larva Trichoptera. Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan (Oktober 2010-Mei 2011) dengan enam titik stasiun pengamatan. Enam lokasi yang digunakan selama penelitian meliputi: 1). Stasiun Gunung Mas yang terdiri dari dua situs pengamatan (St 1. dan 2) yang berfungsi sebagai situs rujukan (gangguan minimal). 2) Stasiun Kampung Pensiunan (St.3) mewakili daerah yang sudah mengalami gangguan oleh aktifitas perkebunan teh. 3) Stasiun Kampung Jog-jogan (St.4) mewakili daerah dari adanya aktivitas pertanian, pemukinan penduduk, dan perkebunan.4) Stasiun Katulampa (St 5) mewakili daerah dari pengaruh aktivitas pemukimam penduduk, perkotaan, maupun penambangan batu. 5) Stasiun Cibinong (St.6) mewakili daerah dengan sumber pencemar relatif kompleks (limbah domestik, perkotaan, dan industri).
Hasil analisis keanekaragaman taksa (genus) larva Trichoptera dengan menggunakan indeks Shanon-Wiener (H’) di Stasiun Gunung Mas sebesar = 1,98-2,8 bits per individu dan indek keseragaman (E) = 0,66-0,9. Kondisi ini mengindikasikan tingkat keanekaragaman taksa Trichoptera dalam kategori sedang dan penyebaran jumlah individu tiap jenisnya relatif merata (tidak ada taksa tertentu yang mendominasi populasi). Adanya aktivitas antropogenik di Stasiun Kampung Pensiunan hingga Stasiun Cibinong mengakibatkan kecenderungan menurunnya nilai indeks keanekaragaman (H’) = 0-2 bits per individu dan indeks keseragaman (E) = 0-0,8. Kondisi ini menunjukkan adanya kecenderungan struktur komunitas menjadi kurang stabil, tingkat keanekaragaman dari sedang hingga rendah, dan penyebaran jumlah individu tiap jenisnya menjadi tidak merata (ada kecenderungan terjadi dominasi oleh taksa tertentu misalnya oleh Cheumatopsyche sp.
Hasil pengukuran biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B larva hydropsychid Cheumatopsyche sp. menunjukkan biomassa hewan tersebut di bagian hulu (Stasiun Gunung Mas) hingga Stasiun Cibinong cenderung meningkat (0,09-0,29 gr.m-2). Produktivitas sekunder juga menunjukkan kecenderungan meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga Kampung Jog-jogan (5,9-26,9 gr m-2 tahun-1) dan terlihat menurun di Stasiun Katulampa (8,15 gr m-2 tahun-1). Di Stasiun Cibinong produktivitas sekunder Cheumatopsyche sp. meningkat kembali hingga 81,5 gr.m-2.tahun-1. Pola yang sama dengan produktivitas sekunder juga diamati pada nilai cohort P/B yaitu kecenderungan meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga Kampung Jog-jogan (33,9-63,7) dan menurun di Stasiun Katulampa (12,1). Nilai cohort P/B di Stasiun Cibinong meningkat kembali hingga 93,4. Tingginya produktivitas sekunder, biomassa dan cohort P/B larva Cheumatopsyche sp. di Sungai Ciliwung erat kaitannya dengan masukan bahan organik di perairan. Semakin tinggi kandungan bahan organik terutama di Stasiun
Cibinong mampu mendorong pertumbuhan yang cepat dari larva Cheumatopsyche sp. yang tergolong toleran terhadap pencemaran organik maupun kontaminasi logam merkuri.
Hasil seleksi metrik biologi dan normalisasi dengan persentil empat metrik biologi terpilih (Jumlah skor SIGNAL, jumlah taksa, % kelimpahan 3 taksa dominan, jumlah taksa sensitif) dihasilkan indek biologi baru dengan nama indeks biotik Trichoptera (IBT). Pada contoh kasus Sungai Ciliwung didapatkan nilai kisaran dari indeks tersebut yaitu: 26-28 dalam kategori belum/sedikit mengalami gangguan (Situs Rujukan), 17-18 kategori gangguan ringan (Kampung Pensiunan), 7-16 kategori gangguan sedang (Kampung Jog-jogan dan Katulampa), dan 4-6 kategori gangguan berat (Cibinong). Indeks IBT juga relatif sensitif (r >0,5) dalam mencerminkan gangguan pada ekosistem sungai akibat pencemaran organik, gangguan pada habitat, dan kontaminasi logam Hg.
Kata kunci: larva Trichoptera, Sungai Ciliwung, biokriteria, pencemaran, produktivitas sekunder.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KETERKAITAN MASUKAN BAHAN ORGANIK DAN LOGAM MERKURI TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS
DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA DI SUNGAI CILIWUNG (JAWA BARAT)
JOJOK SUDARSO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi. M.Sc.
Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumbanbatu, M.Agr
Dr. Tri Widiyanto, M.Si.
Judul Disertasi : Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat)
Nama : Jojok Sudarso NIM : C261090061
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua Dr. Yusli Wardiatno, M.Sc.
Prof.Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto Anggota Anggota
Prof. Dr. Woro Anggraitoningsih
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dr.Ir. Enan M. Adiwilaga
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 20 November 2012 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya, serta shalawat dan salam tetap tercurah pada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul “Keterkaitan Masukan
Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan
Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera: Studi Kasus Sungai Ciliwung-Jawa
Barat”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya pada ketua komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno,
M.Sc dan anggota komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto dan
Ibu Prof. Dr. Woro Anggraitoningsih yang telah meluangkan waktunya dalam
memberikan arahan dan bimbingan selama penelitian. Ucapan terima kasih
disampaikan pada Dr. Tri Widiyanto M.Si sebagai Kapuslit Limnologi-LIPI yang
telah memberikan ijin pada peneliti untuk melakukan penelitian di Puslit
Limnologi-LIPI. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada tim penguji tertutup
(Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc. dan Dr. Majariana Krisanti, M.Si) dan tim
penguji terbuka (Dr. Tri Widiyanto M.Si dan Prof. Dr. Djamar T.F. Lumbanbatu,
M.Agr) yang telah banyak memberikan koreksi pada desertasi ini. Terima kasih
juga disampaikan kepada ayah (Bapak Purnomo), ibu (Ny. Sudarmasih), istriku
(Fitria Handayani), keluarga besar Bapak Iskandar Setjodihardjo, dan segenap staf
pegawai di Puslit Limnologi LIPI atas segala doa dan dorongan semangat dalam
menyelesaikan studi di IPB.
Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih pada Kementrian Riset
dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa pada promofendus guna
menempuh pendidikan doktor dan segenap dosen Fakultas Perikanan IPB yang
telah memberikan bekal ilmu pada penulis selama kuliah di pascasarjana.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi
perbaikan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya dan kemajuan IPTEK di Indonesia. Aamiin
Bogor, 2 Februari 2013
Jojok Sudarso
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang Jawa Timur tanggal 12 Juni 1972 sebagai
anak ke tiga dari pasangan Bapak Purnomo dan Ibu Sudarmasih. Pendidikan
sarjana S1 ditempuh di Jurusan Biologi Universitas Brawijaya Malang dan lulus
tahun 1995. Pada tahun 2007, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB melalui beasiswa LIPI dan menamatkan
kuliah tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan di tahun yang sama (2009)
melalui beasiswa dari Kementrian Ristek.
Penulis bekerja di Puslit Limnologi-LIPI Cibinong-Bogor mulai tahun
1996 hingga sekarang dan posisi terakhir dalam jabatan fungsional sebagai
Peneliti Muda. Bidang penelitian yang ditekuni dan menjadi tanggung jawab
penulis sebagai peneliti adalah bioassessment dan ekologi makrozoobentos.
Publikasi yang telah dihasilkan dari penelitian desertasi ini adalah:
“Pengaruh Aktivitas Antropogenik di Sungai Ciliwung Terhadap Komunitas
Larva Trichoptera” dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan tahun 2012 volume 19
nomer 3.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………. xv DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xvi DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xviii i
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang …………………………………………… 1 1.2. Perumusan Masalah ……………………………………… 4 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………… 5 1.4. Kebaruan Penelitian ..…………………………………….. 5
2. KERANGKA TEORI 2.1. Ekobiologi Trichoptera …………………………………… 7 2.2. Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera ………………. 12 2.3. Faktor Lingkungan Penting Dalam Mengatur Komunitas
dan Produktivitas sekunder larva Trichoptera ……………. 13 2.4. Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi
Terhadap Pemaparan Logam Berat ………………………. 20 2.5. Kerangka Pemikiran ……………………………………… 23
3. METODE PENELITIAN 3.1. Metode/Desain Penelitian ………………………………. 24 3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian …………………………… 24 3.3. Variabel (yang ditera dan kerja)…………………………. 25 3.4. Teknik Pengumpulan Data ……………………………… 27 3.5. Metode Pengukuran ……………………………………... 29 3.6. Analisis Data ……………………………………………. 31
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Sungai Ciliwung ………………………... 41 4.2. Telaah Kualitas Fisik Air Sungai Ciliwung ……………... 42 4.3. Telaah Kualitas Habitat ………………………………….. 50 4.4. Telaah Kualitas Kimia Sungai Ciliwung ………………… 51 4.5. Telaah Kualitas Biologi …………………………………. 66 4.6. Pengaruh Masukan Bahan Organik dan Struktur
Komunitas terhadap Ekologi Feeding Larva Trichoptera ….......................................................................................... 68
4.7. Karakterisasi Variabel Lingkungan pada Komunitas Larva Trichoptera ………………………………...........................
74
xiv
4.8. Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera
(Cheumatopsyche sp.) ………….………............................ 78 4.9. Penyusunan Biokriteria dengan Menggunakan Konsep
Multimetrik ………..……………………………………… 83 4.10. Aplikasi Indek Biotik Trichoptera (IBT) dalam
Mendukung Pengelolaan Sungai Ciliwung …….................. 90 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan …………………………….………................. 93 5.2. Saran …………………………………….…………..…… 93
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 95
LAMPIRAN ............................................................................................... 108
xv
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Titik koordinat lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung. 25 2. Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari
protokol US-EPA (1999) ……………………………………… 27 3. Parameter lingkungan yang diukur dalam penelitian …………. 30 4. Kriteria indeks kimia Kirchoff (1991) guna menggolongkan
status pencemaran organik …………………………………….. 32 5. Klasifikasi status pencemaran logam di sedimen dari Chen et
al. (2005) ……………………………………………………… 32 6. Sistem penilaian kualitas lingkungan dengan menggunakan
interaksi antara indeks keanekaragaman dengan variabel lingkungan ……………………………………………………... 35
7. Keterangan nilai skor untuk prediksi gangguan ekologi pada sungai ………………………………………………………….. 35
8. Kandidat metrik biologi yang digunakan untuk diskriminasi tingkat gangguan ekologi pada sungai Ciliwung ……………… 38
9. Perubahan tutupan lahan di DAS Ciliwung dari tahun 2000-2008 (Anonim 2011) ………………………………………….. 42
10. Gambaran kondisi umum lokasi penelitian ……………………. 43 11. Status gangguan ekologi akibat pencemaran di Sungai
Ciliwung ……………………………………………………….. 70 12. Korelasi ranking Spearman antara indeks keanekaragaman dan
keseragaman dengan variabel lingkungan …………………….. 70 13. Biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B dari larva
Cheumatopsyche sp di Sungai Ciliwung……………………….. 80 14. Kemampuan diskriminasi masing-masing metrik biologi dalam
mencerminkan gangguan di Sungai Ciliwung ………………… 84 15. Uji masing-masing metrik antara situs rujukan dengan situs uji
dengan menggunakan analisis non parametrik Mann-Whitney U-test …………………………………………………………. 85
16 Tahap scoring dalam penyusunan biokriteria (Indeks biotik Trichoptera) ……………………………………………………. 88
17 Korelasi rangking Spearman antara indeks biotik Trichoptera dengan indeks habitat, indeks kimia, dan polusi logam ………. 88
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Siklus hidup dari larva Trichoptera …………………………… 7 2. Bentuk dewasa dari Trichoptera. Dari kiri atas ke samping
kanan: Hydrobiosidae (Atopsyche), Calamoceratidae (Phylloicus), Xiphocentronidae (Xipocentron), dan Leptoceridae (Nectopsyche) di pojok kanan bawah …………… 7
3. Morfologi kepala Tricoptera dewasa …………………………. 8 4. Bentuk morfologi kepompong dari Trichoptera ……………… 9 5. Larva Hydropsychidae yang hidup dalam kondisi normal,
warna insang trachea tampak pucat (kiri) dan penghitaman warna pada bagian insang (kanan) …………………………… 15
6. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi biologi ……………………………………………… 21
7. Diagram alir pendekatan pemecahan masalah ………………… 23 8. Peta lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung …………. 26 9. Evaluasi sensitifitas metrik. Kotak kecil merupakan nilai
median, sedangkan kotak besar merupakan kisaran IQ (persentil ke 25 hingga 75). a) tidak ada IQ yang overlap, b). IQ overlap tetapi kedua nilai median tidak ada yang overlap, c).IQ overlap dengan satu nilai median yang overlap, d). IQ sebagian besar overlap atau kedua nilai median overlap ……… 39
10. Hasil pengukuran suhu air di setiap stasiun pengamatan ……… 44 11. Hasil pengkuran kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan .. 45 12. Komposisi substrat dasar di masing-masing stasiun pengamatan 46 13. Nilai turbiditas di masing-masing stasiun pengamatan ………. 47 14. Hasil pengukuran konduktivitas di masing-masing stasiun
pengamatan …………………………………………………… 48 15. Konsentrasi CPOM (gr berat kering/m2) di masing-masing
stasiun pengamatan …………………………………………… 49 16. Status gangguan yang terjadi pada sungai Ciliwung
berdasarkan indeks habitat ……………………………………. 50
17. Hasil pengukuran pH air di masing-masing stasiun pengamatan 52 18. Konsentrasi DO dan COD di masing-masing stasiun
pengamatan …………………………………………………… 53 19. Konsentrasi amonium di air pada masing-masing stasiun
pengamatan ……………………………………………………. 54 20. Konsentrasi nitrogen-nitrat di air pada masing-masing stasiun
pengamatan ……………………………………………………. 55
21. Konsentrasi ortofosfat di air pada masing-masing stasiun pengamatan …………………………………………………… 56
xvii
22. Hasil analisis kesadahan (mg/l setara CaCO3) di masing-masing stasiun pengamatan …………………………………… 57
23.
Konsentrasi C dan N pada seston di masing-masing stasiun pengamatan …………………………………………………… 58
24. Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing stasiun pengamatan …………………………………………… 60
25.
Konsentrasi logam merkuri di air pada masing-masing stasiun pengamatan …………………………………………………… 61
26. Konsentrasi logam merkuri sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 62
27. Status pencemaran logam merkuri pada masing-masing stasiun pengamatan …………………………………………………. 63
28. Konsentrasi logam merkuri (ppm) di tubuh larva Trichoptera 64 29. Nekrosis pada insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. di
Stasiun Cibinong ……………………………………………… 65 30. Hubungan antara jumlah invidu larva Trichoptera yang
mengalami nekrosis pada insang dengan kontaminasi merkuri di Stasiun Cibinong …………………………….……. 66
31. Rerata kelimpahan perifiton di Sungai Ciliwung ……………… 67 32. Sebaran nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks
keseragaman di Sungai Ciliwung (E) …………………………. 69 33. Nilai rerata dari tipe ekologi feeding di setiap stasiun
pengamatan. (Om = omnivora, GC = gatherer collector, Car = carnivora, Sc= scraper, Sh = shredder, FC = filtering collector) ……………………………………………………… 72
34. Grafik biplot antara faktor lingkungan dengan tipe ekologi feeding larva Trichoptera dengan menggunakan analisis komponen utama ……………………………………………… 73
35. Grafik triplot hasil ordinasi komunitas Trichoptera dengan variabel lingkungan di Sungai Ciliwung ……………………… 75
36. Perkembangan instar larva Cheumatopsyche sp di setiap bulan pada masing-masing stasiun pengamatan …………………….. 79
37. Data curah hujan dari Bulan Agustus 2010 hingga Mei 2011……………………………………………..…………….. 80
38. Hubungan antara konsentrasi bahan organik (TOM) di perairan dan meningkatnya logam merkuri mampu mendorong produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche 82
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
I Isian Penilaian yang digunakan dalam penghitungan indeks habitat .. 108 II Foto situasi lokasi pengamatan ……………………………………… 115 III Rerata kelimpahan total perifiton (sel/cm2 117 ) ………………………… IV Komposisi dan kelimpahan rerata (idv/m2
120 ) dari larva Trichoptera di
Sungai Ciliwung …………………………………………………….. V Hubungan lebar kepala dengan berat tubuh larva Cheumatopsyche
sp. Pada masing-masing stasiun pengamatan ……………………… 122 VI Penghitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di
masing-masing stasiun pengamatan ………………………………… 125 VII Metrik biologi dari Larva Trichoptera dalam mencerminkan
gangguan pada Sungai Ciliwung ……………………………………. 131 VIII Nilai rerata variabel kualitas fisik dan kimia Sungai Ciliwung. Nilai
dalam kurung merupakan nilai kisaran terendah dan tertinggi ……. 133 IX Foto larva Cheumatopsyche sp. dan Apsilochorema sp. …………… 134
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah
mendorong berkembangnya konsep indikator biologi guna mengetahui status
kesehatan dari sebuah ekosistem akuatik (Norris & Thoms 1999; Dziock et al.
2006). Konsep indikator biologi merujuk pada penggunaan hewan atau tumbuhan
sebagai instrumen guna menilai kondisi kualitas lingkungan yang lampau,
sekarang, dan akan datang. Salah satu biota yang memiliki potensi sebagai
indikator biologi perairan adalah larva Trichoptera. Penggunaan hewan tersebut
sebagai indikator biologi didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: 1). Salah
satu penyusun terbesar dari komunitas makrozoobentos pada ekosistem sungai
(Wiggins 1996; Vuori & Kukkonen 1996). 2) Distribusinya yang luas (Mackay &
Wiggins 1979), 3) Kelimpahannya relatif tinggi, 4). Respon terhadap kualitas
lingkungan bervariasi yang ditunjukkan dengan perubahan morfologi,
kemampuan akumulasi bahan polutan, maupun perilaku (Sola & Prat 2006), 5).
Keanekaragaman spesies yang relatif tinggi hingga ± 13.000 spesies (Holzenthal
2009) dan 89 spesies hidup di Sulawesi Utara (Geraci & Morse 2008), 6). Siklus
hidup relatif panjang dengan lima tahap instar (Wiggins 1996), 7). Peran penting
dalam rantai makanan sebagai dekomposer dan mangsa bagi burung maupun ikan,
8). Ukurannya relatif besar yaitu 1-3 cm dengan berat mencapai 30-100 mg (Vuori
& Kukkonen 1996; Berra et al. 2006), 9). Tubuh relatif keras sehingga
memudahkan dalam melihat abnormalitas/kecacatan, dan 10). Waktu untuk
identifikasi hewan relatif lebih singkat (Vuori & Kukkonen 1996).
Aktivitas antropogenik dapat secara dramatik mengubah regim dari input
bahan organik, nutrien, maupun logam berat ke ekosistem sungai melalui
perubahan penggunaan lahan maupun urbanisasi (Singer & Battin 2007).
Pencemaran organik dan logam berat di ekosistem sungai telah diketahui
memberikan dampak negatif bagi stabilitas komunitas larva Trichoptera (Winner
et al.1980; Chakona et al. 2009). Pengaruh bahan polutan pada makrozoobentos
dapat mengurangi keanekaragaman spesies, kelimpahan, dan mengakibatkan
2
hilangnya spesies yang tergolong sensitif (Timm et al. 2001; Chakrabarty & Das
2006) yang pada akhirnya dapat menurunkan atau mengubah produktivitas
sekunder dan biomassa organisme yang tergolong sensitif terhadap pencemaran
(Carlise & Clements 2003). Sedangkan efek tidak langsung berupa modifikasi
dari interaksi spesies dan penurunan kualitas makanan (Courtney & Clements
2002). Pada skala yang lebih luas dapat mempengaruhi siklus perombakan materi
organik, rantai makanan, maupun integritas ekologi perairan secara keseluruhan
(Dahl et al. 2004). Chatzinikolaou et al. (2008) mendefinisikan integritas ekologi
pada sungai sebagai adanya gangguan minimal dari kondisi alami di situs
rujukannya (reference site).
Produktivitas sekunder merupakan bagian dari dinamika populasi yang
memberikan pemahaman tentang proses transfer materi dan energi yang terjadi
mulai tingkatan individu, populasi, maupun dalam ekosistem. Pada produktivitas
sekunder mengukur pertumbuhan somatik terakhir dan merupakan bentuk ukuran
aliran energi yang melalui suatu populasi. Penelitian tentang pengaruh aktivitas
antropogenik di sungai terhadap produktivitas sekunder makrozoobentos masih
jarang dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya yaitu: kontaminasi pestisida (Lugthart & Wallace 1992), logam Zn
(Carlise & Clements 2003), dan urbanisasi (Shieh et al. 2002). Informasi
mengenai produktivitas sekunder larva Trichoptera yang hidup di daerah tropis
yang dihubungkan dengan aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung masih
belum tersedia, oleh sebab itu penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut perlu
pengkajian lebih lanjut.
Keberadaan larva Trichoptera di daerah tropis seperti Indonesia belum
secara optimal dikaji dan dikembangkan sebagai indikator biologi perairan.
Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator perairan masih terbatas dan hanya
sebagai komponen dari indeks biologi yang sudah ada misalnya indeks
Ephemeroptera Plecoptera dan Trichoptera (EPT) dan family biotic index (FBI).
Pengembangan biokriteria yang hanya melibatkan komunitas Trichoptera masih
jarang dilakukan dan belum dikaji secara mendalam, dibandingkan dengan biota
lainnya (larva capung/Odonata) yang sudah lebih dahulu digunakan dalam
menilai integritas ekologi sungai di Negara Austria (Chovanec & Waringer 2001).
3
Dengan kondisi tersebut, merupakan suatu potensi yang besar dari larva
Trichoptera untuk dikembangkan sebagai biokriteria lokal yang adaptif guna
diterapkan di daerah tropis di masa mendatang.
Sungai Ciliwung termasuk dalam salah satu sungai besar di daerah Jawa
Barat yang memiliki aspek penting bagi sektor pertanian (irigasi), industri,
maupun bahan baku air minum untuk daerah Jakarta (Kido et al. 2009).
Berdasarkan kajian ekologis yang dilakukan oleh BPLHD Jawa Barat tahun 2006
menunjukkan kualitas Sungai Ciliwung di bagian Hulu (Cisarua) hingga hilir
(Ancol) telah mengalami pencemaran organik yang relatif tinggi (DO dari 8 mg/l -
0,2 mg/l, TOM dari 0,02 mg/l - 0,1 mg/l, TSS dari 0,01 - 0,6 mg/l). Penelitian
Kido et al. (2009) menunjukkan sungai tersebut juga tercemar oleh logam merkuri
(0,23-0,30 ppb), bisphenol A (0,46-0,83 µg/l) dan alkil fenol (33,2-191,4 µg/l)
yang cukup tinggi. Adanya kontaminasi logam merkuri di Sungai Ciliwung dapat
menjadi isu utama dari sisi lingkungan maupun kesehatan, karena logam tersebut
memiliki daya toksisitas akut dan kronis yang tergolong tinggi bagi sebagian
besar makhluk hidup. Toksisitas akut pada biota air dapat menyebabkan kematian,
sedangkan pada konsentrasi sub letal/kronis menyebabkan: penurunan
kemampuan mencari makan, menghindari pemangsa, berkembang biak,
pertumbuhan maupun penyimpangan tingkah laku (Bank et al. 2007). Konsentrasi
merkuri di air yang mencapai 0,26 ppb dapat menimbulkan toksisitas kronis bagi
ikan fathead minnow (US-EPA 1986).
Sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai
Ciliwung berasal dari sistem drainase dari masukan limbah rumah tangga,
pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al. 2009). Adanya pencemaran
yang terjadi di Sungai Ciliwung dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan
ekologi dari larva Trichoptera dan berpotensi menurunkan integritas ekologi
sungai tersebut secara keseluruhan.
1.2 Perumusan Masalah
Kondisi kualitas air Sungai Ciliwung pada saat ini telah mengalami
pencemaran oleh bahan organik (biodegradable) maupun kontaminasi logam
merkuri akibat aktivitas antropogenik di daerah tangkapan sungai tersebut.
4
Adanya pencemaran di Sungai Ciliwung dikhawatirkan mampu menyebabkan
gangguan ekologi bagi larva Trichoptera yang pada akhirnya dapat menurunkan
integritas ekologi dari sungai tersebut. Larva Trichoptera menduduki posisi
penting dalam rantai makanan sebagai mangsa dan pemakan bahan organik
(bahan organik partikel kasar/CPOM, bahan organik partikel halus/FPOM) di
sungai. Oleh sebab itu keberadaan hewan tersebut sangat dibutuhkan guna
mendukung kehidupan biota lainnya agar tetap lestari, proses transfer enegi dapat
berjalan secara normal, dan produktivitas hewan tersebut mencukupi guna
keberlanjutan ekologi di Sungai Ciliwung.
Pemantauan kualitas sungai di Indonesia hingga saat ini umumnya masih
didominasi oleh pengukuran kualitas fisik dan kimianya saja, dan belum secara
rutin mengintegrasikan parameter biologi seperti makrozoobentos. Disamping itu
indeks biologi yang digunakan selama ini masih banyak mengadopsi dari luar
negeri, yang kadangkala kriteria yang dihasilkan belum tentu cocok untuk
diterapkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Kondisi demikian
merupakan suatu peluang untuk dapat dikembangkan suatu biokriteria lokal guna
menentukan status gangguan ekologi di sungai-sungai di Jawa Barat yang
memiliki kesamaan ekoregion.
Larva Trichoptera merupakan salah satu komponen penting dari komunitas
makrozoobentos yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai indikator biologi
perairan guna mencerminkan adanya gangguan ekologi akibat aktivitas
antropogenik di Sungai Ciliwung. Respon yang ditimbulkan oleh hewan tersebut
akibat masukan bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung antara lain
rendahnya jumlah taksa dan kelimpahan yang tergolong sensitif, dan adanya
dominansi oleh jenis taksa tertentu. Adanya ketidakstabilan ekologi dari struktur
komunitas larva Trichoptera ini diduga disebabkan oleh :
1. Penurunan kualitas perairan akibat pencemaran oleh bahan organik dan
kontaminasi logam merkuri.
2. Rusak atau berubahnya kondisi habitat yang salah satunya disebabkan oleh
rendahnya ketersediaan materi/substrat kasar (CPOM) sebagai bahan pembuat
sarang maupun sumber makanannya.
5
Adanya permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian
tentang peran masukan bahan organik dan kontaminasi logam merkuri beserta
beberapa variabel lingkungan penting lainnya dalam mempengaruhi produktivitas
sekunder maupun struktur komunitas dari larva Trichoptera. Dari karakteristik
dan sensitifitas masing-masing metrik biologi (kekayaan taksa dan komposisi,
toleransi terhadap polutan, atribut populasi, ekologi feeding) larva Trichoptera
pada berbagai tingkatan pencemaran organik dan kontaminasi logam merkuri,
maka dapat dibuat sebuah biokriteria lokal guna menilai status gangguan ekologi
yang terjadi di Sungai Ciliwung.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari dilakukan penelitian ini adalah: 1). Mendeskripsikan struktur
komunitas dan proporsi komposisi ekologi feeding larva Trichoptera berdasarkan
gradien konsentrasi bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung, 2).
Mengetahui produktivitas sekunder larva Trichoptera (Cheumatopsyche sp.) di
Sungai Ciliwung, dan 3). Menyusun sebuah biokriteria lokal dari komunitas larva
Trichoptera guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung
dengan menggunakan konsep multimetrik.
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1). alat/tools dalam
mengkategorikan status gangguan ekologi di sungai akibat pencemaran maupun
perubahan habitat yang terjadi di Sungai Ciliwung. 2). evaluasi tingkat
keberhasilan pengelolaan lingkungan yang telah diambil dalam mengatur
masuknya bahan polutan dari aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung.
1.4 Kebaruan penelitian
Kebaruan penelitian ini adalah informasi mengenai produktivitas sekunder
larva Trichoptera di perairan tropis khususnya di Indonesia dan dihasilkannya
biokriteria lokal dari komunitas larva Trichoptera dengan pendekatan konsep
multimetrik guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung-
Jawa barat.
II. KERANGKA TEORI
2.1 Ekobiologi Trichoptera
Trichoptera atau yang lebih dikenal sebagai lalat caddis (caddisfly)
merupakan insekta yang dalam daur hidupnya melibatkan dua ekosistem yang
berbeda yaitu ekosistem akuatik (perkembangan dari telur hingga pupa) dan
ekosistem terestrial (dewasa). Serangga dari Ordo Trichoptera merupakan salah
satu serangga yang bertipe holometabolous (metamorfosis sempurna). Hewan
tersebut memiliki lima tahap perkembangan larva hingga menjadi pupa. Siklus
hidup dari hewan tersebut secara ringkas dapat dilihat dalam Gambar 1. Ditinjau
dari waktu generasi dalam setahunnya, maka serangga Trichoptera memiliki
waktu generasi dari multivoltine (beberapa generasi dalam setahun) hingga satu
kali dalam setahun (univoltine). Contoh dari lamanya siklus hidup yang ekstrim
dari larva Trichoptera adalah Brachycentrus yang berukuran relatif besar dan
mempunyai waktu siklus hidup hingga tiga tahun (Hershey & Lamberti 1998).
Larva Trichoptera tinggal di dalam air kurang lebih selama dua bulan dan
kemudian bermetamorfosis menjadi lalat seperti ngengat. Trichoptera dewasa
umurnya kurang lebih selama dua minggu hingga dua bulan dan aktif di malam
hari. Trichoptera dewasa terbang untuk melakukan kawin dan meletakkan telur di
dasar sungai atau di permukaan tanaman air submerged. Lama periode antara telur
dan tahap larva memakan waktu sekitar 10-12 hari. Tahap pupa umumnya
berlangsung dua hingga tiga minggu dan dalam tahap ini, pupa biasanya berenang
menuju permukaan. Tahap dewasa umumnya muncul dari bulan April sampai
November, namun dapat bervariasi berdasarkan spesiesnya (Hall 2012).
Hewan Trichoptera merupakan salah satu penyusun tujuh ordo Insekta
terbesar di seluruh dunia. Di seluruh dunia diperkirakan jumlah spesies dari
Trichoptera mencapai 50.000 dengan 45 famili dan 600 genus yang telah
diketahui (Holzenthal 2009). Trichoptera dewasa yang hidup terestrial sepintas
terlihat seperti ngengat, sehingga secara taksonomi hewan tersebut berkerabat
8
dekat dengan Ordo Lepidoptera (kupu-kupu) yang keduanya termasuk dalam
super ordo Amphiesmenoptera atau “sayap melipat ke samping” (Gambar 2).
Gambar 1. Siklus hidup dari larva Trichoptera (Hall 2012)
Pada Trichoptera dewasa, kedua pasang sayap dan tubuh yang ditutupi
dengan rambut atau tambahan sisik. Warna lalat caddis dewasa biasanya coklat
atau abu-abu yang kurang menarik perhatian, sebagai bentuk adaptasi untuk
bersembunyi di siang hari pada vegetasi riparian. Sejumlah spesies memiliki
warna cerah antara lain kuning, oranye, hijau, perak, biru, atau berwarna-warni.
Hewan dewasa dapat mempunyai panjang tubuh bervariasi dari beberapa
milimeter (Famili Hydroptilidae dan beberapa spesies Glossosomatidae) hingga
4,5 cm di Famili Phryganeidae (terbesar).
Gambar 2. Bentuk dewasa dari Trichoptera. Dari kiri atas ke samping kanan: Hydrobiosidae (Atopsyche), Calamoceratidae (Phylloicus), Xiphocentronidae (Xipocentron), dan Leptoceridae (Nectopsyche) di pojok kanan bawah (Holzenthal 2009)
9
Trichoptera dewasa mudah diketahui dengan adanya sejumlah fitur
morfologi tambahan. Bagian mulut mereduksi, mandible tidak ada atau sangat
kecil dan bersifat nonfunctional, tetapi maxillary dan labial palps tampak jelas
(Gambar 3). Fitur utama dari mulut Trichoptera adalah haustellum yang
merupakan struktur unik terdiri dari penyatuan labium (prelabium) dan hipofaring
membentuk proboscis pendek yang digunakan untuk menyerap air atau cairan
gula (Holzenthal 2009).
Gambar 3. Morfologi kepala Tricoptera dewasa (Holzenthal 2009).
Larva Trichoptera hidup dalam air dan membangun sarang yang bersifat
portabel, kecuali beberapa famili yang hidup bebas. Kapsul kepala berkembang
dengan baik dan tersklerotisasi sempurna. Antena sangat pendek dan terdiri dari
segmen tunggal, meskipun pada Famili Leptoceridae dan beberapa Hydroptilidae
memiliki antena yang panjang dan mencolok. Seperti kebanyakan dari larva
holometabolous, hewan tersebut memiliki mulut tipe pengunyah yang terdiri dari
labrum kecil, sepasang mandible yang berkembang dengan baik dan pendek,
maxillae kompak, dan sebuah labium. Mandible pada shredders dan herbivora
lebih lebar, dengan gigi pemotong pada ujungnya, sedangkan pada kelompok
scraper lebih memanjang pada keseluruhan tepi. Pada larva predator seperti di
genus Oecetis, gigi apikal lebih meruncing.
Segmen toraks terlihat jelas perbedaannya dan masing-masing ada
sepasang kaki. Pada beberapa Famili Hydrospychidae dan Hydroptilidae bagian
mesonotum dan metanotum tersklerotisasi dengan baik, tetapi dalam Famili
lainnya di bagian toraks (mesonotum dan metanotum) sepenuhnya membran atau
tersklerotisasi sebagian. Panjang kaki dapat sama panjangnya atau kaki depan
10
terpendek dan kaki belakang terpanjang. Larva dari beberapa Famili
Brachycentridae memiliki rambut di kaki tengah dan belakang yang digunakan
untuk menyaring partikel makanan dari arus air. Bagian abdomen terdiri dari 10
segmen dan sepenuhnya membran yang biasanya terlihat telanjang kecuali
beberapa setae yang tersebar. Abdomen pada larva Hydropsychidae tertutup padat
oleh rambut pendek atau sisik berambut dan sepasang proleg anal yang pendek
dan cakar yang kuat (Holzenthal 2009).
Tipe pupa Trichoptera termasuk dalam jenis exarate, dengan antena, kaki,
dan perkembangan sayap bebas dari tubuh. Antena terletak di belakang atas dari
dada dan perut. Pada spesies dengan antena yang panjang, dan melingkar sekitar
ujung dari abdomen. Toraks tidak mengalami modifikasi, tetapi kaki toraks sering
memiliki rambut renang. Pada bagian abdomen akhir terdapat sepasang
pemanjangan /processes anal (Gambar 4).
Gambar 4. Bentuk morfologi pupa dari Trichoptera (Holzenthal 2009).
Taksonomi dan identifikasi dari hewan Trichoptera secara rinci telah
dijelaskan dalam Clifford (1991) dan Wiggins (1996). Salah satu contoh
taksonomi dari serangga Trichoptera dari spesies Hydropsyche pellucidula
sebagai berikut:
Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Trichoptera Famili : Hydropsychidae Genus : Hydropsyche Spesies : H. pellucidula
11
Larva Trichoptera umumnya dapat hidup pada habitat lotik maupun lentik
dan banyak spesies dari hewan tersebut memakan alga (Keiper 2002). Hampir
keseluruhann famili dari larva Trichoptera hidup pada ekosistem air mengalir
(running water), namun banyak spesies yang terbatas distribusinya di sepanjang
gradien continuum sungai. Adanya suksesi longitudinal yang berkaitan dengan
spesies seringkali terjadi pada sempitnya/overlap dari zone sungai yang dapat
diamati dari beberapa famili antara lain: Hydropsychidae, Polycentropodidae,
Glossosomatidae, Limnephelidae, dan Rhyacophilidae. Pada habitat sungai yang
bersifat temporer, larva Trichoptera biasanya hidup dengan cara menggali lubang
pada substrat yang basah guna menghindari kondisi kekeringan. Pada sungai
dengan cukupnya tutupan vegetasi riparian dapat berfungsi menyediakan
partikulat organik kasar (coarse particulate organic matter/ CPOM) dari jatuhan
daun maupun ranting ke perairan, yang dapat mempengaruhi distribusi larva
Trichoptera. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada komposisi dari larva
Trichoptera yang bertipe feeding Shredder untuk mendominasi perairan. Larva
Trichoptera lainnya (filtering collector dan scraper) di bagian hilir membutuhkan
suhu yang lebih hangat untuk pertumbuhan dengan cara memakan alga berfilamen
dan partikulat organik halus (fine particulate organic matter/ FPOM) (Mackay &
Wiggins 1979; Cummins & Klug 1979).
Larva Trichoptera umumnya dijumpai pada permukaan batuan dari dasar
sungai atau danau (Mackay & Wiggins 1979). Sebagian besar larva Trichoptera
lebih menyukai hidup pada tipe perairan dangkal (5-10 cm) dengan air yang
mengalir di atas permukaan batuan dan sedikit spesies yang ditemukan pada
substrat halus di bagian air yang dalam (Urbanic et al. 2005). Hewan tersebut
untuk memperoleh makanan biasa menggunakan jaring perangkap mirip sutera.
Beberapa spesies larva Trichoptera sering hidup dalam seludang pelindung guna
mempertahankan diri dari predator maupun sebagai adaptasi perilaku terhadap
arus air (Mackay & Wiggins 1979).
2.2 Produktivitas sekunder larva Trichoptera.
Produktivitas sekunder secara umum didefinisikan sebagai pembentukan
biomassa heterotrofik sejalan dengan bertambahnya waktu. Produktivitas
12
sekunder tahunan merupakan jumlah dari biomassa total yang diproduksi oleh
sebuah populasi selama satu tahun. Kondisi ini termasuk produktivitas yang
tersisa pada akhir tahun dan yang hilang selama periode tersebut. Hilangnya
produktivitas ini termasuk kematian (misalnya oleh penyakit, parasitisme,
kanibalisme, predasi), hilangnya jaringan yang tersisa (misalnya oleh molting,
kelaparan), dan emigrasi. Satuan dari produktivitas sekunder dapat berupa:
Kcal.m-2/tahun or KJ/m2
Secara umum pendugaan produktivitas sekunder dikelompokkan menjadi
dua kategori yaitu: teknik kohort dan non kohort. Teknik kohort digunakan ketika
populasi memungkinkan mengikuti sebuah kohort (misalnya: individu yang
menetas dari telur dengan selang waktu yang relatif singkat dan laju
pertumbuhannya relatif sama) sepanjang waktu. Ketika sejarah hidup lebih
komplek, maka tehnik non kohort sering digunakan. Sebagai sebuah kohort yang
berkembang sepanjang waktu, adanya penurunan kelimpahan secara umum
disebabkan oleh kematian & peningkatan berat individu dikarenakan
pertumbuhan. Interval produksi (misalnya waktu diantara dua data sampling)
dapat mudah dihitung secara langsung dari data lapangan melalui metode
penambahan sesaat (increment-summation method) sebagai produk dari rerata
kelimpahan antara dua data sampling (
/tahun (satuan energi), berat kering/ berat kering bebas
abu, atau unit karbon mirip pada studi produktivitas primer. Standar konversi dari
masing-masing satuan yaitu: 1gr berat kering ≈ 6 gr berat basah ≈ 0,9 gr berat
kering bebas abu ≈ 0,5 gr C ≈ 5 Kcal ≈21 KJ (Benke & Huryn 2007).
Produktivitas sekunder dapat menyediakan informasi gabungan pada pertumbuhan
individu dan keberlangsungan hidup populasi dan dianggap mewakili jumlah
energi yang tersedia untuk tingkatan trofik yang lebih tinggi (Jin & Ward 2007).
Oleh sebab itu produktivitas sekunder seringkali dikaitkan dengan teori
bioenergetik. Pada teori bioenergetik biasanya membahas transformasi energi di
dalam dan di antara organisme, yang difokuskan pada aliran energi diantara
spesies melalui konsumsi sepanjang rantai makanan (Benke 2010).
) dan peningkatan berat individu (ΔW)
yaitu x ΔW. Asumsi dari teknik kohort ini adalah satu generasi pertahun (Benke
& Huryn 2007). Produktivitas tahunan dihitung sebagai jumlah keseluruhan
13
estimasi interval ditambah dengan biomassa awal. Secara matematis dapat
digambarkan sebagai berikut:
Teknik non kohort digunakan ketika sejarah kehidupan sebuah populasi
bersifat lebih kompleks atau tidak mengikuti sebagai kohort dari data lapangan.
Metode tersebut membutuhkan independensi dari waktu perkembangan atau laju
pertumbuhan biomassa. Salah satu metode umum yang digunakan pada teknik
non kohort adalah metode frekwensi-ukuran (size frequency method) yang
sebelumnya dikenal sebagai metode Hynes & Coleman (1968). Metode tersebut
mengasumsikan sebuah rerata distribusi frekuensi-ukuran yang ditentukan dari
sampel yang dikumpulkan sepanjang tahun mengikuti suatu kurva mortalitas
untuk sebuah rata-rata kohort. Benke (1979) telah melakukan koreksi dari metode
Hynes & Coleman (1968) dengan cara mengalikan nilai produktivitas yang telah
dihasilkan dengan sebuah faktor koreksi yaitu 365/CPI (cohort production
interval) ketika hewan tersebut memiliki waktu generasi yang lebih dari sekali
bereproduksi dalam jangka waktu satu tahun (multivoltine). CPI umumnya
ditetapkan dari rerata waktu (dalam hari) yang dibutuhkan dari mulai menetas
hingga mencapai ukuran akhir. Kadangkala faktor koreksi tersebut menggunakan
bulan dibandingkan dengan menggunakan hari yang rumusnya adalah sebagai
berikut: 12/CPI (Benke & Huryn 2007).
2.3 Faktor Lingkungan Penting Dalam Mengatur Komunitas dan Produktivitas sekunder larva Trichoptera.
Kualitas air dapat mempengaruhi nilai produktivitas sekunder dari larva
Hydropsychidae terutama yang hidup di daerah yang belum mengalami gangguan
dari aktivitas antropogenik. Hal ini berkaitan dengan cukupnya nutrien yang
terkandung dalam air dalam mendorong pertumbuhan alga atau perifiton yang
berfungsi sebagai makanan larva Trichoptera. Ross & Wallace (1983) melakukan
penelitian pada Famili Hydropsychidae di Sungai Appalachian Selatan (elevasi
600 m) menunjukkan produktivitas dari larva tersebut berkisar 23-983 mg berat
kering bebas abu (AFDM) m-2 tahun-1. Rendahnya nilai tersebut disebabkan oleh
14
rendahnya nilai nutrisi di bagian hulu sungai yang mengurangi kualitas makanan
detritus, pertumbuhan alga, dan produktivitas dari invertebrata kecil lainnya yang
dimakan oleh larva hydropsychid sebesar 72%. Konsentrasi sebagian besar ion di
sungai tersebut relatif rendah yaitu < 1 mg/l, nitrat 0,03 mg N/l, fosfat 0,001-
0,002 mg P/l, dan pH 6,6-6,8.
Dalam hubungannya dengan faktor kimia di perairan, larva Trichoptera
dapat dijumpai dari perairan yang belum tercemar hingga tercemar berat. Sebagai
contoh genus Hydropsyche dan Cheumatopsyche relatif sensitif terhadap air yang
tercemar (Chakona et al. 2009) dan keberadaan hewan tersebut akan meningkat
kembali di bagian hilir ketika kualitas airnya meningkat (Mackay & Wiggins
1979). Stuijfzand et al. (1999) menggunakan larva Hydropsyche sp. untuk
evaluasi kualitas air Sungai Rhine dan Sungai Meuse. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa distribusi dan kelangsungan hidup larva Hydropsyche sp.
cukup tinggi di Sungai Rhine dan hampir tidak ada yang hidup di Sungai Meuse.
Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya kualitas air Sungai Meuse yang
ditunjukkan dengan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut (1,7 mg/l) dan
tingginya konsentrasi amonium (4,1 mg/l), di-isopropylether (60 µg/l), flourida
(1,3 mg/l), dan diuron (0,8 µg/l) sebagai faktor pembatas utama, di samping faktor
fisik lainnya seperti kecepatan arus.
Redell et al. (2009) menunjukkan larva Oligostomis ocelligera (Famili
Phryganeidae) mampu bertahan dalam kondisi lingkungan akuatik yang ekstrim
(air masam tambang) akibat aktivitas antropogenik penambangan. Larva tersebut
mampu hidup pada pH yang rendah (2,58 – 3,13), konsentrasi sulfat (542 mg/l),
logam berat Fe (12 mg/l), Mn (14 mg/l), dan Al (16 mg/l) yang tinggi. Mackay &
Wiggins (1979) menyebutkan larva Helicopsyche borealis dapat hidup pada
sumber mata air panas dengan kandungan hidrogen sulfida yang tinggi dan sungai
yang menerima buangan limbah domestik. Hewan tersebut telah dilaporkan
mampu mentolerir adanya kebocoran dari tangki bensin yang masuk ke dalam
sungai yang mengakibatkan sebagian besar makrozoobentos yang ada mengalami
drifting (penghanyutan) atau kematian. Larva Hydropsyche betteni dan
Brachycentrus americanus mampu bertahan hidup pada nilai pH yang rendah
(Mackay & Wiggins 1979).
15
Penelitian yang dilakukan Clements (1994) di bagian hulu Sungai
Arkansas, Colorado menunjukkan hasil yang berlawanan dengan Stuijfzand et al.
(1999). Sungai yang mendapat masukan dari air asam tambang dalam kategori
tercemar sedang hingga berat didominasi oleh larva Chironomid Othocladiinae
dan Trichoptera. Beasley & Kneale (2004) menyebutkan larva Trichoptera Famili
Hydropsychidae relatif toleran terhadap kontaminasi logam berat Cu, Cd, dan Pb
di perairan. Peningkatan dominansi makrozoobentos pada beberapa spesies Famili
Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari meningkatnya
kontaminasi logam (Winner et al. 1980; Luoma & Carter 1991; Canfield et al.
1994).
Hydropsychid merupakan salah satu penyusun larva Trichoptera yang
umum dijumpai dan memiliki peran penting di sungai terutama dalam aliran
energi, nutrisi, dan jaring-jaring makanan. Sejarah kehidupan hewan tersebut
bervariasi dari univoltine hingga multivoltine yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang turut berkontribusi dalam mengatur produktivitas sekundernya
(Alexander & Smock 2005). Gurtz & Wallace (1986) menyebutkan faktor
lingkungan seperti ukuran partikel, kecepatan arus, kelimpahan dan kualitas
makanan, serta lokasi mikro pada habitat memiliki peran besar dalam mengatur
produktivitas larva hydropsychid. Alexander & Smock (2005) telah mengkaji
produktivitas sekunder tahunan dari larva hydropsychid Cheumatopsyche analis
di Sungai Upham Brook Virginia dapat mencapai 18,2 g/m2
Tingginya pencemaran di ekosistem air tawar telah diketahui dapat
meningkatkan insiden abnormalitas morfologi dari hewan air tawar. Abnormalitas
morfologi dari serangga akuatik telah lama digunakan dalam studi yang berkaitan
dengan pengaruh polutan toksik di ekosistem akuatik (Wiederholm 1984;
Warwick 1985; Dickman et al. 1992; Bisthoven et al. 1998). Respon subletal
berupa kecacatan insang dan anal papilae dari larva Trichoptera telah dipelajari
secara mendalam guna pengembangan indikator biologi perairan khususnya dalam
bidang biomarker. Biomarker secara umum didefinisikan sebagai substansi yang
digunakan sebagai indikator dari suatu proses biologi. Abnormalitas pada insang
/thn. Tingkat toleransi
hewan tersebut cukup luas dari kualitas air yang belum terpolusi hingga tercemar
sedang.
16
trachea, organ regulasi ion, dan anal papilae dapat menunjukkan adanya
gangguan pada respirasi dan fungsi pengaturan ion pada individu (Vuori &
Kukkonen 1996). Adanya perubahan morfologi dari insang larva Hydropsychidae
berupa penghitaman warna, reduksi dari anal papilae dan insang abdominal ketika
larva tersebut dipaparkan dengan menggunakan logam berat: kadmium, tembaga,
aluminium (Vuori & Kukkonen 1996), dan chromium (Leslie et al. 1999).
Munculnya penghitaman warna dan kelainan pada insang ini umumnya dijumpai
pada larva instar terakhir atau yang lebih tua (Vuori & Kukkonen 2002).
Camargo (1991) mengamati adanya gangguan berupa penonjolan dan
penghitaman warna pada anal papilae dan insang abdominal pada larva
Hydropsyche pellucidula yang dipaparkan dengan air yang terklorinasi. Jumlah
cabang-cabang pada insang abdominal mengalami reduksi hingga menjadi
potongan tunggal yang pendek. Adanya penghitaman warna insang di larva
Trichoptera dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Larva Hydropsychidae yang hidup dalam kondisi normal, warna insang trachea tampak pucat (kiri) dan penghitaman warna pada bagian insang (kanan). (Disadur dari Vuori & Kukkonen 2002).
Pengaruh fisik berupa gangguan pada habitat terhadap komunitas
Trichoptera telah dipelajari secara mendalam oleh Camargo (1991) dan Takao et
al. (2006). Takao et al. (2006) menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi
dari debit sungai merupakan pengendali utama dari organisasi biologi yang ada
dalam sistem lotik. Tingginya arus sungai dapat menyebabkan perubahan pada
populasi larva Trichoptera dengan cara menghanyutkan semua individu atau
memindahkan material sedimen yang dapat menyebabkan kematian. Camargo
17
(1991) menunjukkan dampak negatif dari pembangunan dam bendungan air di
Rio Duraton (Spanyol) pada komunitas Hydropsychidae berupa menurunnya
kekayaan taksa, keanekaragaman spesies, dan dominansinya. Biomassa total dan
kelimpahan larva Hydropsychidae juga mengalami penurunan di bawah dam
secara langsung. Semakin jauh dari bangunan dam, kelimpahan total dan
biomassa menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan di bagian hulu sungai. Hal ini
mungkin erat kaitannya dengan peningkatan ketersediaan suplai makanan dan
habitat di daerah tersebut. Kelimpahan Cheumatopsyche lepida, Hydropsyche sp.
dan H. pellucidula secara signifikan menurun di bagian hilir, namun H. siltalai, H.
exocellata dan H. bulbifera mengalami peningkatan secara drastis.
Chakona et al. (2009) menggunakan komunitas larva Trichoptera guna
mendeteksi gangguan ekosistem sungai akibat deforestasi dan aktivitas pertanian
di dua daerah tangkapan (DAS) yaitu Nyaodza-Gachegache dan Chimanimani
(Zimbabwe). Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam
komposisi genus akibat perubahan pada tata guna lahan dan geomorfologi. Genus
Anisocentropus, Dyschimus, Lepidostoma, Leptocerina, Athripsodes,
Parasetodes, Aethaloptera, Hydropsyche, dan Polymorphanisus keberadaannya
terbatas pada daerah hutan yang belum mengalami gangguan dengan karakteristik
rendahnya suhu, kekeruhan, konsentrasi silt (lanau), dan tingginya elevasi,
oksigen terlarut, dan transparansi. Sedangkan kelimpahan larva Hydroptila
cenderung menyukai habitat yang sudah mengalami gangguan khususnya di
daerah pertanian. Hilangnya beberapa genus larva Trichoptera (Hydropsyche,
Lepidostoma, Macrostemum) yang tergolong sensitif di daerah yang mengalami
deforestasi kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya material tanaman
yang masuk pada sungai sebagai bahan makanan bagi larva tersebut maupun
disebabkan rusaknya habitat akibat sedimentasi.
Suhu dan pergerakan air memainkan peran penting dalam proses fisiologi
pernafasan dengan mengendalikan ketersediaan oksigen terlarut. Larva
Trichoptera mampu menempati habitat hampir seluruh kisaran temperatur lotik,
termasuk mata air dingin dan panas. Sebagai contoh Eobrachycentrus gelidae
mampu hidup di mata air pegunungan yang bersuhu 2° C. Apatania muliebris
yang hanya ditemukan pada mata air yang bersuhu dingin. Pada suhu yang
18
ekstrem lainnya, Oligoplectrum echo dan Helicopsyche borealis dapat hidup pada
sungai termal yang mencapai suhu 34° C atau lebih (Mackay & Wiggins 1979).
Larva Trichoptera memiliki preferensi atau kekhususan tertentu terhadap
kisaran kecepatan arus air. Spesies yang telah beradaptasi dengan ekosistem air
mengalir dapat mengalami stress dalam respirasinya ketika ditempatkan pada air
menggenang. Hewan tersebut dapat mentoleransi konsentrasi oksigen terlarut
yang rendah dan suhu air yang meningkat ketika hidup dalam arus air yang
mengalir secara cepat. Stimulus untuk memilin/membuat jala sangat ditentukan
oleh kecepatan minimum arus air. Jala yang dibentuk untuk menangkap makanan
pada arus air yang deras cenderung memiliki mata jala yang kasar dan jalinan
yang kuat guna menahan kuatnya arus, berlindung terhadap predator, dan sebagai
tempat untuk mengkaitkan anchor larva agar tidak hanyut. Sedangkan larva yang
hidup pada arus air lambat, mata jalanya terlihat lebih halus dan berukuran besar
(Mackay & Wiggins 1979).
Substrat dasar sungai dapat memberikan pengaruh pada distribusi dan
kelimpahan hewan avertebrata lotik dan hewan tersebut mampu merespon
terhadap gangguan. Faktor yang mempengaruhi spesifikasi substrat terhadap
kelimpahan atau produktivitas sekunder dari organisme makrozoobentos antara
lain: ukuran partikel, kecepatan arus, kestabilan fisik, dan ketersediaan makanan.
Oleh sebab itu produktivitas sekunder dari serangga akuatik dapat berubah secara
signifikan pada substrat yang berbeda (Gurtz & Wallace 1986).
Substrat merupakan materi yang ada di dasar sungai yang didistribusikan
oleh arus air akibat erosi di daerah substrat mineral kasar dan daerah endapan
sedimen halus yang banyak mengandung bahan organik. Ke dua daerah tersebut
mampu mendukung tumbuhan atau alga berfilamen yang menempel pada batu
yang dapat dianggap sebagai substrat pada habitat lotik. Larva Trichoptera
cenderung memilih substrat kasar sebagai respon terhadap derasnya arus air
daripada ukuran substrat (Mackay & Wiggins 1979).
Pemilihan substrat juga didasarkan pada mekanisme feeding larva
Trichoptera. Perilaku larva yang hidup di permukaan batu mungkin strategi untuk:
a). mendapatkan makanan berupa diatom, lumut, Cladophora dan Podostemum,
b). predator, dan c). menyaring makanan di dalam arus. Banyak spesies dari larva
19
Trichoptera menjadi pupa di bagian bawah batu. Hal ini mungkin strategi dari
hewan tersebut pada saat musim panas yang rentan terhadap penurunan level air,
dan perlindungan dari predator seperti ikan. Spesies lain yang hidup pada substrat
yang lebih halus dapat beradaptasi dengan cara menggali lubang pada daerah yang
berarus lambat dan endapan sedimen. Larva sericostomatid genus Agarodes dan
Fattigia membuat liang yang portable dari bahan butiran pasir guna memberikan
perlindungan dan tidak menghambat untuk melakukan penggalian. Beberapa
spesies dari larva Sericostoma. tidak menggali liang dan tampak aktif di
permukaan kerikil hanya pada saat malam hari (Mackay & Wiggins 1979).
Tipe substrat dapat mempengaruhi kelimpahan larva Trichoptera, sehingga
secara langsung akan berpengaruh pada produktivitas sekundernya. Sebagai
contoh studi yang dilakukan oleh Jin & Ward (2007) pada larva Glossosoma
nigrior yang hidup di sungai kecil Collier USA menunjukkan pada habitat kerikil
mendukung kelimpahan dan biomassa G. nigrior secara substansial lebih besar
dibandingkan dengan habitat bed rock. Pada habitat kerikil dapat mencapai rata-
rata kelimpahan 147 m-2 (kisaran: 0-607 m-2) dibandingkan pada bed rock dengan
kelimpahan 15 m-2 (kisaran: 0-306 m-2). Rata-rata biomassa di habitat kerikil
mencapai rata-rata 13 mg (kisaran: 0-39 mg AFDM m-2) dibandingkan pada
bagian bed rock dengan rata-rata 3 mg, (kisaran: 0-22 mg AFDM m-2).
Produktivitas sekunder larva tersebut mencapai 115 mg AFDM m–2
Fenomena berbeda ditunjukkan pada dua larva hydropsychid yaitu
Parapsyche cardis dan Diplectrona modesta yang memiliki preferensi berbeda
terhadap substrat. Larva hydropsychid memiliki preferensi yang kuat terhadap
spesifikasi substrat antara lain ukuran partikel, kecepatan arus air, kelimpahan
lumut, dan lokasi mikro substrat. Larva Trichoptera yang bertipe penyaring
(filtering collector) relatif sensitif terhadap perubahan kualitas dan kuantitas
makanan di sepanjang hulu sungai sebagai akibat adanya gangguan di daerah
tangkapannya. Oleh sebab itu larva hydropsychid merupakan spesies yang cocok
untuk pengujian terhadap perbedaan diantara sungai, produksi, dan kelimpahan
dalam kaitannya dengan substrat yang spesifik. Produktivitas dan kelimpahan dari
P. cardis secara signifikan lebih tinggi pada rock face > cobble riffle > kerikil >
dengan P/B =
17,9).
20
pasir. Sedangkan distribusi D. modesta relatif sama diantara tipe substrat dan
kadangkala sifatnya tidak stabil (kelimpahan dan produktivitas kadang kala lebih
tinggi di cobble atau rock face) diantara sungai. Rendahnya kelimpahan dari D.
modesta pada bagian cobble mungkin disebabkan oleh rendahnya kelimpahan
lumut yang dapat berfungsi menyediakan cukupnya mikrohabitat bagi hewan
tersebut dibandingkan pada bagian rock face yang relatif tebal (Gurtz & Wallace
1986).
Ukuran partikel dari makanan diduga juga turut berpengaruh pada
kelimpahan dan pergeseran dari spesies larva hydropsychid, walaupun pengaruh
dari ukuran partikel itu sendiri hingga saat ini masih belum dapat dipahami secara
pasti. Sebagai contoh produktivitas dan kelimpahan larva Hydropsyche
menunjukkan lebih tinggi (2,5 g/m2/tahun dan 156 ind/m2) pada bagian hilir (1 km
setelah dam) dibandingkan dengan larva Cheumatopsyche yang jauh berlimpah
setelah di bawah Dam Upham Brook-Virginia (18,2 g/m2/tahun dan 2490 ind/m2
2.4. Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan Logam Berat.
).
Diduga meningkatnya pertumbuhan, kelimpahan, dan produktivitas dari larva
hydropsychid umumnya disebabkan oleh peningkatan makanan pada kolom air
berupa fitoplankton dan zooplankton. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dari
pori-pori lubang jaring hydropsychid dalam menyaring ukuran partikel yang
terhanyut pada kolom air yang semakin ke arah hilir semakin lebih kecil. Ukuran
pori-pori jaring larva Hydropsyche menunjukkan lebih besar dibandingkan dengan
larva Cheumatopsyche. Faktor lain yang turut mempengaruhi dalam distribusi
larva hydropsychid tersebut antara lain suhu, kecepatan arus, substrat, dan
interaksi biotik (Alexander & Smock 2005).
Logam merkuri termasuk dalam jenis logam yang sangat beracun dan
memiliki kemampuan untuk akumulasi pada makhluk hidup dan biomagnifikasi
pada rantai makanan. Unsur merkuri mudah menguap dan tidak mudah larut
dalam air, sehingga logam ini cenderung untuk menguap. Merkuri terdapat di
seluruh alam namun demikian distribusinya tidak merata. Kandungan merkuri
dalam air tanah berkisar 0,01 – 0,07 ppb, sungai dan danau 0,08 – 0,12 ppb, tanah
21
30 – 500 ppb, dan dalam batuan vulkanik antara 10-100 ppb (Keckes &
Mienttinen, 1972).
Toksisitas umumnya didefinisikan sebagai munculnya efek biologi yang
merugikan. Biasanya satu tingkat organisasi biologi saja yang dipilih dalam
mempelajari sebuah efek/pengaruh toksikan ke makhluk hidup. Toksisitas logam
di alam dapat berpengaruh pada seluruh tingkat organisasi biologi (seluler hingga
populasi). Toksisitas dapat melibatkan suatu reaksi penggantian dan kegagalan
interaksi dari suatu mekanisme yang lebih komplek. Gambar 6 memperlihatkan
urutan pengaruh toksisitas logam terhadap seluruh tingkatan organisasi biologi
dari paling rendah (seluler) hingga paling tinggi (populasi). Proses detoksifikasi
dan kompensasi terjadi pada masing-masing tingkat organisasi biologi. Efek
merugikan dari logam terjadi ketika mekanisme kompensasi dan detoksifikasi
berlebih pada pengaruh sekunder. Semakin besar pemaparan logam, maka
semakin panjang reaksi ke bagan bagian bawah yang akan diproses. Biasanya
reaksi kontaminasi logam spesifik paling mudah diidentifikasi pada tingkatan
organisasi biologinya yang paling rendah. Kompleksitas semakin tinggi mulai dari
bagan di bagian atas hingga bagan bagian bawah (Luoma 1995).
Konsentrasi merkuri anorganik yang menyebabkan toksisitas akut
terhadap biota avertebrata umumnya berkisar antara 5 hingga 5600 µg Hg/L,
sedangkan terhadap ikan berkisar antara 150 hingga 900 µg Hg/L. Pada alga nilai
LC50 pada 24 jam antara 9 hingga 27 µg Hg/L (CCME 2002). Toksisitas kronis
merkuri di avertebrata memiliki sensitivitas hampir sama dengan di ikan.
Konsentrasi merkuri anorganik yang dapat menimbulkan efek (Effect
concentration, EC50
) pada avertebrata berkisar antara 1,28 sampai 12,0 µg Hg/L.
Pada ikan, nilai kronik untuk merkuri anorganik berkisar antara 0,26 sampai > 64
µg Hg/L (Niimi & Kissoon 1994).
22
Tingkat organisasi biologi Pengaruh sekunder Pengaruh primer Molekuler/biokimia (individu) Detoksifikasi Bioakumulasi - Lisosom - Metallothionin Detoksifikasi berlebih Mengubah atau mengganggu proses biokimia Fisiologi Detoksifikasi - Aklimatisasi - Adaptasi siklus reproduksi Kompensasi berlebih Stress fisiologi - Lemahnya individu - Menghambat reproduksi - Mudah stress Organisme (spesies) Detoksifikasi - Kelulushidupan pada dewasa Kompensasi berlebih Individu tidak dapat lolos hidup atau reproduksi Populasi Detoksifikasi - Rendahnya toleransi - Imigrasi - Struktur umur Kompensasi berlebih Hilangnya spesies Komunitas - Dominansi dan kelimpahan meningkat - Kekayaan taksa menurun - Ekologi feeding berubah Integritas ekologi menurun
Gambar 6. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi biologi (Luoma 1995).
23
2.5 Kerangka Pemikiran
Masuknya beban polutan dari aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung
seperti bahan organik, logam merkuri, dan substansi lainnya dapat mempengaruhi
kualitas air dan kelayakan habitat bagi kehidupan biota akuatik. Penguraian bahan
organik berupa nutrien yang ada di perairan diperlukan guna pertumbuhan
perifiton dan seston (plankton) guna membentuk biomassa yang berfungsi sebagai
sumber makanan bagi larva Trichoptera. Kehidupan larva Trichoptera sangat
dipengaruhi oleh kualitas air, ketersediaan pakan (seston), perifiton, maupun
ketersediaan habitat (misalnya materi organik kasar/CPOM) yang berfungsi
sebagai sarang maupun sumber energi. Adanya interaksi dari empat komponen di
atas akan menentukan pola adaptasi dari larva Trichoptera yang dicirikan dari
struktur komunitas dan ekologi feedingnya.
Bentuk proses adaptasi dari struktur komunitas dan ekologi feeding dapat
dilihat dari jumlah kekayaan taksa (genus) dan komposisinya, sifat toleran atau
sensitivitasnya terhadap bahan polutan, atribut populasi, tipe kebiasaan feeding
dalam mendapatkan makanan, maupun suksesnya dalam bereproduksi atau
melanjutkan keturunan (produktivitas sekunder). Adanya pengelompokan stasiun
pengamatan dan karakterisasi spesies indikator sepanjang gradien lingkungan
dapat dibuat suatu biokriteria lokal yang didasarkan pada konsep multimetrik
guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung. Biokriteria
yang baru dihasilkan diharapkan mampu digunakan untuk evaluasi suksesnya
program pengelolaan Sungai Ciliwung yang telah dilakukan. Diagram alir
pendekatan dalam proses pemecahan masalah pada penelitian ini secara rinci
disajikan dalam Gambar 7.
24
Gambar 7. Diagram alir pendekatan pemecahan masalah
25
III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode/Desain Penelitian
Desain penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan survei
post facto. Dasar sistematik penelitian adalah keterkaitan antara masukan bahan
organik dan logam berat merkuri di Sungai Ciliwung dengan struktur komunitas
dan produktivitas sekunder larva Trichoptera.
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam waktu delapan bulan (Oktober 2010-Mei
2011) yang mengambil lokasi di beberapa titik dari ruas Sungai Ciliwung. Waktu
pengambilan sampel dilakukan setiap akhir bulan (tanggal 29 atau 30) dan
diusahakan ketika debit air sungai relatif rendah (tidak hujan). Lokasi sampling
ditetapkan secara purposive yang didasarkan pada pertimbangan beban dan
sumber pencemar yang masuk pada masing-masing stasiun. Pengamatan mulai
dari site/situs yang sedikit mengalami gangguan (reference site/ situs rujukan)
hingga situs yang sudah diprediksi telah mengalami gangguan sedang atau berat
(test site/ situs uji). Pemilihan lokasi sampling juga didasarkan pada pertimbangan
kesamaan kondisi ekoregion yang masih termasuk dalam gradien tinggi dan
banyaknya substrat batuan yang tertanam di dasar sungai. Secara teknis di
lapangan, sungai yang masih termasuk dalam gradien tinggi ditetapkan dari
persentase keberadaan batuan cobble (Ф 64-256 mm) di dasar sungai lebih dari
30% dan kecepatan arus lebih dari 0,5 m/detik (Komunikasi pribadi: Michael T.
Barbour, 2004, Tetra Tech Inc, Owings Mills, Madison, USA). Faktor kedalaman
sungai yang masih ± 50 cm juga turut memudahkan saat pengambilan sampel
dengan menggunakan alat jala surber.
Lokasi yang digunakan selama penelitian dalam menyusun biokriteria
maupun produktivitas sekunder larva Trichoptera adalah:
1. Stasiun Gunung Mas yang terdiri dari dua situs pengamatan (St. 1 dan 2) yang
berfungsi sebagai situs rujukan pada bagian hulu dengan kondisi habitat yang
masih terjaga dengan baik atau gangguan aktivitas antropogenik minimal.
26
2. Stasiun Kampung Pensiunan (St. 3) mewakili daerah yang sudah mengalami
gangguan oleh aktifitas perkebunan teh.
3. Stasiun Kampung Jog-jogan (St. 4) mewakili daerah dari adanya aktivitas
pertanian, pemukinan penduduk, dan perkebunan.
4. Stasiun Katulampa (St. 5) mewakili daerah dari adanya aktivitas pemukimam
penduduk, perkotaan, maupun penambangan batu.
5. Stasiun Cibinong (St. 6) mewakili daerah dengan sumber pencemar yang relatif
lebih kompleks (limbah domestik, perkotaan dan industri).
Titik koordinat dan peta lokasi pengambilan sampel secara rinci disajikan pada
Tabel 1 dan Gambar 8 .
Tabel 1. Titik koordinat lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung.
No Nama Lokasi Titik koordinat
1 Gunung Mas 1 6042’4,38” LS, 106058’12,49”BT 2 Gunung Mas 2 6041’57,62” LS, 106059’16,22”
3 BT
Kampung Pensiunan 6042’05,11” LS, 106058’26,75”
4 BT
Kampung Jog-jogan 6040’41,47” LS, 106055’58,17”
5 BT
Katulampa 6038’02,03” LS, 106050’21,29”
6 BT
Cibinong (PDAM) 6028’58,55” LS, 106048’53,05”BT
3.3 Variabel (yang ditera dan kerja)
Variabel tera yang diamati pada penelitian ini meliputi :
1. Kualitas fisik perairan meliputi: suhu, kecepatan arus, konduktivitas,
kekeruhan, CPOM, dan distribusi partikel.
2. Kualitas kimia perairan meliputi: oksigen terlarut (DO), amonium (N-NH4),
nitrat (N-NO3), ortofosfat (P-PO4
3. Kualitas biologi dari komunitas larva Trichoptera yaitu: kelimpahan, jumlah
taksa (genus), berat kering, dan lebar kepala. Disamping itu juga dilakukan
analisis terhadap kelimpahan perifiton.
), bahan organik total (TOM), C dan N di
seston, kebutuhan oksigen kimiawi (COD), logam Hg di air, sedimen, dan di
tubuh larva Trichoptera Cheumatopsyche sp.
27
Gambar 8. Peta lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung
28
Variabel kerja yang diamati pada penelitian ini meliputi:
1. Kualitas habitat di sekitar lokasi pengamatan dilakukan dengan menggunakan
indeks habitat (US-EPA 1999).
2. Status pencemaran organik di air dengan menggunakan indeks kimia
(Kirchoff 1991), sedangkan kontaminasi logam merkuri di sedimen dengan
menggunakan indeks polusi logam (Integrative Pollution Index/ IPI).
3. Penilaian kualitas biologi dari Sungai Ciliwung diprediksi dengan
menggunakan indeks Stream Invertebrate Grade Number-Average
level/SIGNAL (Gooderham & Tysrlin 2002), indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener, indeks keseragaman (Clarke & Warwick 2001), biomassa,
dan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. (Benke 1979; Benke &
Huryn 2007).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
a. Kualitas habitat
Gangguan yang terjadi pada habitat di sekitar lokasi pengamatan dinilai
dengan sistem scoring (US-EPA 1999). Komponen penilaian habitat mencakup:
substrat epifaunal atau ketersediaan vegetasi penutup, embeddedness (banyaknya
batuan yang tertanam di dasar sungai), kombinasi antara kecepatan aliran dan
kedalaman, endapan sedimen, status aliran saluran basin, perubahan saluran,
frekuensi jeram dan kelokan sungai, stabilitas pinggir sungai, lebar zone vegetasi
riparian dan sebagainya (Lampiran 1). Masing-masing skor metrik dilakukan
penjumlahan, sehingga diperoleh nilai skor total dari indeks habitat. Kriteria
gangguan pada habitat sungai disajikan dalam Tabel 2. Situs yang mempunyai
nilai skor indek habitat tertinggi atau dalam kategori optimal diharapkan dapat
dijadikan sebagai kandidat situs rujukan.
Tabel 2: Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari protokol US-EPA (1999).
Kriteria Habitat Skor Penilaian Habitat pada Gradien Tinggi dan Rendah
Optimal 160 – 200 Sub-Optimal 110 – 159 Marginal 60 - 109 Buruk < 60
29
b. Sampel air dan sedimen
Pengambilan sampel air untuk tujuan analisis parameter kimia dilakukan
setiap bulan sekali dengan menggunakan gayung ukur 2 liter dan dimasukkan
dalam botol sampel 500 ml. Sampel air untuk tujuan analisis logam merkuri
diambil sebanyak 250 ml dan dimasukkan dalam botol sampel 250 ml yang
sebelumnya sudah dibilas dengan larutan asam nitrat 5%.
Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan skop kecil
dari bahan plastik untuk analisis logam sebanyak 0,5 liter yang dimasukkan dalam
botol kaca Scott yang sebelumnya sudah dibilas dengan larutan asam nitrat 5%.
Analisis distribusi partikel dilakukan dengan cara pengambilan sedimen sebanyak
± 0,5 kg yang dimasukkan dalam kantung plastik.
c. Sampel Makrozoobentos (Larva Trichoptera)
Pengambilan sampel biologi (larva Trichoptera) untuk tujuan penyusunan
biokriteria, pengukuran biomassa, dan produktivitas sekunder dengan
menggunakan alat jala surber (berukuran 30 x 30 cm2 dengan lebar mata jaring
0,2 mm). Pada masing-masing lokasi penelitian, pengambilan sampel diusahakan
pada tipe habitat yang banyak mengandung pebble (Φ 16-64 mm) dan cobble (Φ
64-256 mm). Pengambilan sampel larva Trichoptera dilakukan sebulan sekali. Jala
surber dipasang di atas permukaan batu dan disikat dengan sikat gigi halus,
sehingga hewan yang ada di batu akan terbawa hanyut masuk ke jala surber.
Masing-masing stasiun pengamatan dilakukan pengulangan sebanyak lima kali
dan digabung menjadi satu sampel. Alasan pengambilan lima sampel tersebut
didasarkan pada pendapat Carter & Resh (2001) yang menyebutkan penggunaan
alat jala surber di Negara Amerika umumnya berkisar dari 3-8 sampel (ulangan)
dengan rata-rata 4,7 sampel. Serasah yang tertahan dalam saringan dimasukkan
dalam wadah plastik dan diberi larutan pengawet formalin 10 % guna
meminimalkan perubahan dalam biomassa (Jin & Ward 2007) dan dimasukkan
dalam toples plastik. Sampel yang telah diawetkan dalam formalin 10 %
diletakkan dalam saringan yang berpori 0,2 mm dan dibilas dengan menggunakan
air kran. Sortir larva Trichoptera dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan
30
pembesaran 10-45 kali. Hewan yang telah tersortir dimasukkan dalam botol
flakon yang sudah ditambah dengan larutan pengawet alkohol 70%.
Sampel larva Trichoptera Hydropsychid untuk tujuan analisis logam
merkuri dilakukan dengan cara larva dicuci dengan air destilasi deionisasi selama
2 jam, kemudian dikeringkan diatas kertas saring/tisu. Larva dipindah ke dalam
cawan petri kemudian dimasukkan dalam refrigerator. 1 gr larva diambil untuk
dihancurkan dengan asam sulfat dan nitrat pekat pada suhu 950
C.
d. Sampel Perifiton
Pengambilan sampel perifiton dilakukan dengan menggunakan tiga buah
batu yang permukaannya relatif halus dan diambil secara acak. Batu tersebut
kemudian disikat dengan menggunakan sikat gigi guna melepaskan perifiton yang
menempel. Sampel perifiton dilakukan pengawetan dengan larutan formalin 5%
dan dimasukkan dalam kantung plastik. Sampel perifiton dalam botol flakon 15
ml dilakukan pengadukan agar homogen dan dipipet dengan volume 1 ml.
Kelimpahan perifiton dihitung dengan menggunakan Sedgewick rafter counting
cell dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 40 x 10. Identifikasi
perifiton dilakukan menurut Cox (1996) dan Bellinger & Sigee (2010).
Penghitungan jumlah perifiton dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran
100 hingga 400 kali.
3.5 Metode pengukuran
3.5.1 Parameter fisik dan kimia perairan
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kualitas fisik dan kimia perairan
yang secara rinci disajikan pada Tabel 3. Disamping itu juga dilakukan analisis
logam merkuri yang terakumulasi pada tubuh larva Trichoptera. Parameter fisik
yang diukur secara langsung di lapangan meliputi: kecepatan arus, kekeruhan,
konduktivitas, dan suhu air, sedangkan parameter kimia meliputi oksigen terlarut
(DO) dan pH. Pengukuran parameter fisik yang dilakukan secara tidak langsung
meliputi: distribusi partikel dan CPOM (partikel organik kasar yang berdiameter >
1 mm). Analisis parameter kimia yang dilakukan di laboratorium (tidak langsung)
31
meliputi parameter amonium, nitrat, ortofosfat, bahan organik total (TOM), COD,
C dan N di seston, kesadahan, logam merkuri di air, sedimen, dan biota.
Tabel 3. Parameter lingkungan yang diukur dan dianalisis dalam penelitian
No. Parameter Satuan Alat Pengukuran
Keterangan
1. Parameter fisika a. Suhu air b. Kecepatan arus c. Distribusi partikel
d. Kekeruhan e. Konduktivitas f. CPOM
o
m/dt C
%
NTU mS/dt
g
Termometer
Current meter Saringan bertingkat
Turbidimeter Konduktimeter
Timbangan analitik
Langsung Langsung Tidak langsung (Lin et al.2003) Langsung Langsung Tidak langsung (Barlocher 1983)
2. Parameter kimia a. pH air b. Oksigen terlarut c. COD
d. Amonium
e. Nitrat
g. Ortofosfat
h. Kesadahan
i. C dan N di Seston
j. TOM
k. Merkuri air
l. Merkuri sedimen
m. Merkuri di biota
-
mg/L mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/l setara
CaCOmg/l
3
mg/l
ppb
ppb
ppb
pH meter DO meter
Buret titrator
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Buret titrator
CHN Analyzer
Buret titrator
Mercury analyzer Mercury analyzer
Mercury analyzer
Langsung Langsung Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Jin & Ward 2007) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung Smoley (1992) Tidak langsung (Akagi & Nishi-mura 1991) Tidak langsung (Pennuto et al. 2005)
32
3.5.2 Parameter biologi
Parameter biologi meliputi komposisi taksa (genus) dan kelimpahan dari
organisme perifiton dan larva Trichoptera yang dianalisis di laboratoriun
ekotoksikologi Puslit Limnologi-LIPI. Identifikasi larva Trichoptera diusahakan
hingga tingkat genus menurut Pescador et al. (1995), Merrit & Cummins (1996),
Gooderham & Tsyrlin (2003), dan Dean et al. (2010). Status ekologi feeding larva
Trichoptera digolongkan menurut US-EPA (1999).
3.5.3 Biomassa dan Produktivitas sekunder
Pengukuran biomassa dan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche
sp. dilakukan dengan cara mengukur lebar kepala dan berat kering individu.
Pengukuran lebar kepala dengan menggunakan mikrometer okuler dalam sebuah
mikroskop cahaya. Penentuan berat kering ditentukan dengan cara pengeringan
pada sebuah inkubator yang bersuhu 600
3.6 Analisis Data
C selama 24 jam, kemudian didinginkan
dalam suhu ruangan pada alat desikator (Alexander & Smock 2005). Kemudian
larva tersebut ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik merek sartorius
(tingkat ketelitian 0.0001 g).
Status pencemaran organik di air dengan menggunakan indeks kimia
(Kirchoff 1991), sedangkan untuk logam merkuri di sedimen dengan
memodifikasi indeks pencemaran logam (pollution index/PI) dari Chen et al.
(2005). Komponen parameter kimia dan fisik yang digunakan untuk menghitung
indeks kimia meliputi: DO, pH, suhu, amonium, nitrat, ortofosfat, dan
konduktivitas. Hasil analisis parameter kimia di atas selanjutnya digunakan untuk
menghitung nilai indeks kimia dengan menggunakan rumus Kirchoff (1991)
sebagai berikut:
Dengan: CI = Nilai indeks kimia pada setiap titik sampling n = banyaknya jumlah parameter q = parameter sub-indeks diperoleh dari pengurangan anggota parameter
diantara skala 0 sampai 100 w = nilai bobot kepentingan dari setiap parameter, nilainya dari 0 – 1.
wnwwwwi xqnxxqxqqqiCI .......321 321==∑ ………………… 1)
33
Kriteria pencemaran organik menurut indeks kimia dapat dilihat dalam Tabel 4.
Kandidat daerah yang akan ditetapkan sebagai situs rujukan diusahakan memiliki
nilai skor indeks 84 ke atas.
Tabel 4: Kriteria indeks kimia (Kirchoff 1991) guna menggolongkan status pencemaran organik.
Skor indeks kimia Status/kondisi 0 – 27 28 – 56 57 – 83 84 – 100
Tercemar berat Tercemar sedang Tercemar ringan Belum tercemar
Status kontaminasi logam merkuri di sedimen diprediksi dengan
menggunakan indeks pencemaran logam yang dihasilkan dari akar konsentrasi
logam di daerah situs uji (Ci) dibagi dengan konsentrasi logam di situs rujukan
(Coi
). Tabel 5 merupakan kriteria dari indeks polusi logam di sedimen (Chen et
al. 2005). Rumus indeks pencemaran logam adalah sebagai berikut :
Dengan: PI = indeks pencemaran logam x = Ci/CC
oi i
C = konsentrasi logam i di sedimen di daerah situs uji
oi
= konsentrasi logam di stasiun yang berfungsi sebagai situs rujukan.
Tabel 5. Klasifikasi status pencemaran logam di sedimen dari Chen et al. (2005)
Skor Kriteria < 1 Terpolusi ringan
1 < IPI ≤ 2 Terpolusi sedang > 2 Terpolusi berat
Fenomena abnormalitas/nekrosis pada bagian insang abdominal larva
Hydropsychid dilakukan pengamatan di masing-masing stasiun. Adanya nekrosis
pada insang abdominal umumnya ditandai dengan penghitaman warna atau abrasi
insang. Insang dalam kondisi normal akan tampak putih bening. Persentase
jumlah individu yang mengalami abnormalitas (Y) dilakukan analisis korelasi
…………………………. 2)
34
Pearson product moment dengan besarnya akumulasi merkuri dalam tubuh larva
Cheumatopsyche sp (X).
Kelimpahan perifiton di setiap titik lokasi pengamatan dihitung dengan
menggunakan rumus modifikasi Eaton et al. (1995) sebagai berikut:
Keterangan : N : Kelimpahan perifiton (sel/cm2
n : Jumlah perifiton yang diamati (sel) )
As : Luas substrat yang dikerik (cm2
A) untuk perhitungan perifiton
cg : Luas penampang permukaan cover glass (mm2
A)
a : Luas amatan (mm2
V)
t
V : Volume konsentrasi pada botol contoh (10 ml) untuk perhitungan perifiton
s
: Volume konsentrasi dalam cover glass (ml)
Keanekaragaman jenis dari masing-masing stasiun pengamatan ditentukan
dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (Cairns &
Dickson 1971) sebagai berikut:
Nn
NnH ii
2log' ∑−=
Dengan,
H’ = indeks keanekaragaman (bits per individu) ni
N = Jumlah total individu spesies. = Jumlah individu dalam satu spesies
Penghitungan indeks tersebut dilakukan dengan menggunakan software Spesies
Diversity and Richness versi 2.65 dari Pisces Conservation.
Keseragaman dari komunitas larva Trichoptera diprediksi dengan
menggunakan Indeks keseragaman sebagai berikut:
E’= H’/ Hmaks
Dengan,
.
Hmaks = Keragaman jenis maksimum = log2
S = jumlah jenis dalam sampel yang ditemukan. S
……………………… 3)
………………………. 4)
………………………………….….. 5)
35
Kriteria untuk indeks keseragaman berkisar dari 0-1. Bila nilai indeks ≈ 0 maka
keseragaman spesiesnya rendah, sedangkan bila nilai indeks ≈ 1 maka
keseragaman spesiesnya relatif merata.
Adanya perbedaan signifikansi masing-masing variabel lingkungan
dilakukan uji statistik dengan menggunakan analisis non parametrik Kruskal-
Wallis. Alasan penggunaan analisis non parametrik Kruskal-Wallis adalah pada
statistik nonparametrik tidak memerlukan asumsi-asumsi tertentu, misalnya
mengenai bentuk distribusi dan hipotesis-hipotesis yang berkaitan dengan nilai-
nilai parameter tertentu dan banyaknya grup (stasiun pengamatan) lebih dari 2.
Pengujian statistik tersebut dilakukan dengan menggunakan software
STATISTICA versi 10.
Uji korelasi ranking Spearman dilakukan antara variabel lingkungan
dengan indeks keanekaragaman dan keseragaman guna mengetahui sensitifitas
indeks tersebut diatas dalam mecerminkan gangguan (pencemaran dan kerusakan
habitat). Penghitungan uji korelasi rangking Spearman dilakukan dalam software
STATISTICA versi 10.
Status gangguan ekologi akibat pencemaran di Sungai Ciliwung diprediksi
dengan menggunakan sistem pembobotan antara indeks keanekaragaman dengan
variabel lingkungan. Hal ini dapat dilihat dalam BPLHD (2006) yang
menggunakan sistem pemberian nilai skor (skoring) pada masing-masing variabel.
Sistem perhitungan lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel 6.
Kontribusi faktor lingkungan terpilih (bahan organik total/TOM, logam
merkuri, indek habitat, dan CPOM) dalam memberikan pengaruh pada ekologi
feeding larva Trichoptera dianalisis dengan menggunakan teknik ordinasi tidak
langsung (analisis komponen utama/PCA). Teknik ordinasi langsung dengan
Canonical Corespondence Analysis (CCA) diterapkan guna melihat kontribusi
masing-masing variabel lingkungan terhadap komposisi dari komunitas
makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan (Ter Braak & Verdonschot
1995). Ordinasi CCA juga berfungsi sebagai clustering site berdasarkan data dari
kelimpahan fauna dan variabel lingkungan secara bersama-sama. Sebelum
dilakukan ordinasi lebih lanjut terhadap variabel kualitas air yang bertindak
36
sebagai variabel lingkungan pada analisis CCA, maka terlebih dahulu dilakukan
seleksi dari variabel (Tabel 3) guna menghindari variabel yang saling
berautokorelasi satu dengan lainya. Variabel yang paling besar pengaruhnya yang
akan digunakan dalam analisis lebih lanjut (Ter Braak & Verdonschot 1995).
Proses seleksi dari variabel yang saling berautokorelasi dilakukan dengan
menggunakan uji multikolinearitas. Variabel kualitas air yang mempunyai nilai
korelasi R2 lebih besar dari 0,8 akan dihilangkan dari proses ordinasi.
Transformasi data spesies dilakukan dengan menggunakan √/ akar kuadrat
diterapkan terhadap kelimpahan makrozoobentos yang mempunyai kisaran luas
dari 0 indv/m2 hingga lebih dari 100 indv/m2
Tabel 6. Sistem penilaian kualitas lingkungan dengan menggunakan interaksi antara indeks keanekaragaman dengan variabel lingkungan (BPLHD 2006).
(Marchant & Hehir 1999, Clarke &
Warwick 2001). Penghitungan ordinasi PCA dan CCA dilakukan dengan
menggunakan software MVSP versi 3.1
Variabel Skor 1 3 6 10
Suhu air (0 16-20 C) 21-25 26-31 > 31, < 16 Konduktivitas (µmhos/cm)
< 50 50-100 101-500 >500
Padatan tersuspensi (ppm)
< 20 > 20-100 101-400 > 400
Oksigen terlarut (ppm) > 6,5 4,5-6,5 2-4,4 <2 pH 6,5-7,5 5,5-6,5
7,4-8,5 4-5,4 8,6-11
< 4 > 11
H’ (Surber) >2,5 1,5-2,5 1-1,5 <1
Tabel 7. Keterangan nilai skor untuk prediksi gangguan ekologi pada sungai (BPLHD 2006).
Nilai Rerata Skor Kriteria
≤ 2 2 - 4
Belum/tercemar sedikit Tercemar ringan
4 - 6 Tercemar sedang > 6 Tercemar berat
37
Analisis produktivitas sekunder
Hasil penimbangan dari berat larva yang terlalu kecil (< 0,0001 gr), maka
dilakukan pendekatan dengan menggunakan statistik regresi power yang
menghubungkan lebar kepala dengan berat tubuh (Jin & Ward 2007) dengan
rumus sebagai berikut :
DM = aHWb
Dengan,
DM = berat kering (g) a = intercept
b = slope HW = Lebar kepala (mm).
Biomassa dari larva Trichoptera hydropsychid Cheumatopsyche sp. secara
sederhana dihitung berdasarkan persamaan:
Bb
Dengan, = n.W
Bb = Biomassa (g/m n = jumlah rerata individu (individu/m
2)
2
W = Berat rerata individu (gram/individu) (Jin & Ward 2007). )
Analisis produktivitas sekunder dilakukan dengan menggunakan metode
frekwensi-ukuran (size-frequency method) dari Hynes & Coleman (1968) yang
sudah dimodifikasi oleh Benke & Huryn (2007). Pada penelitian ini, penulis
membatasi penghitungan produktivitas sekunder hanya menggunakan larva
Hydropsychid Cheumatopsyche sp., karena larva hewan tersebut dapat dijumpai
dari mulai bagian hulu hingga segmen pertengahan dari Sungai Ciliwung dan
jumlahnya relatif berlimpah dibandingkan dengan taksa lainnya. Produktivitas
sekunder dari larva Trichoptera (Hydropsychidae) dihitung dengan menggunakan
rumus:
Dengan, P = produktivitas sekunder tahunan (g m-2 tahun-1
i = jumlah kelas ukuran
)
N = jumlah total data selama sampling
……………………… 6)
………………………… 7)
………… 8)
38
n = jumlah rerata individu pada masing-masing kelas ukuran
= rerata geometri berat dari dua kelas ukuran
CPI = Interval produksi dari sebuah kohort (Figueiredo-Barros et al.
2006). CPI dari Cheumatopsyche spinosa adalah 182,5 dan Hydropsyche
chekiangana adalah 365 (Jacobsen et al. 2008).
Laju pemulihan (turn over) pada masing-masing larva Cheumatopsyche
sp. ditentukan dengan menggunakan rumus = P/B, dengan P adalah produktivitas
dan B adalah biomassa (Benke & Huryn 2007).
Penyusunan biokriteria dengan konsep multimetrik
Atribut biologi/metrik yang digunakan untuk menilai gangguan ekologis di
setiap lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 8. Metrik Stream Invertebrate
Grade Number-Average level (SIGNAL) digunakan untuk melihat besarnya nilai
toleransi dari setiap jenis larva Trichoptera yang ditemukan di masing-masing
stasiun pengamatan. Sensitifitas taksa (genus) larva Trichoptera didasarkan pada
nilai toleransinya terhadap polutan (pollution tolerance value/PTV) yang dapat
dilihat dalam Lenat (1993) dan US-EPA (1999). Taksa termasuk sensitif jika
memiliki nilai PTV < 4, fakultatif jika nilai PTV ≥4 dan <6, dan tergolong toleran
jika ≥ 6 (Blocksom et al. 2002).
Penghitungan indeks SIGNAL dilakukan menurut Gooderham & Tysrlin
(2002) dengan menggunakan rumus:
Dengan, ISIGNAL
T = Nilai toleransi dari setiap taksa yang ditemukan, = Indeks SIGNAL,
n = Jumlah taksa yang berbeda yang ditemukan.
Kekuatan diskriminasi masing-masing metrik biologi dalam
mencerminkan gangguan mengadopsi dari Barbour et al. (1996) yaitu dengan
menggunakan grafik Box-Whisker Plot. Definisi dari kekuatan diskriminasi adalah
kemampuan metrik dalam membedakan antara sungai yang berfungsi sebagai
……………………… 9)
39
situs rujukan dengan sungai yang telah mengalami gangguan sebagai situs uji.
Tingkatan overlap/tumpang tindih antara kisaran interquartile/ IQ (persentil 25
hingga 75) pada daerah situs rujukan dengan situs uji dilakukan scoring sebagai
sinyal kemampuan diskriminasi dari masing-masing metrik. Jika kisaran IQ tidak
ada tumpang tindih antara situs rujukan dan situs uji, maka diberi skor 3. Skor 2
diberikan jika IQ tumpang tindih tetapi kedua median terletak diluar dari kisaran
IQ yang tumpang tindih. Skor 1 jika banyaknya IQ yang tumpang tindih tetapi
paling sedikit satu median diluar kisaran IQ yang tumpang tindih. Skor 0
diberikan ketika IQ hampir keseluruan tumpang tindih atau kedua median terjadi
tumpang tindih. Skor metrik 2 atau 3 menunjukkan kemampuan diskriminasi
antara situs rujukan dan situs uji, dan metrik tersebut akan di analisis lebih lanjut.
Penjelasan bobot scoring secara rinci dapat dilihat pada Gambar 9.
Tabel 8. Kandidat metrik biologi yang digunakan untuk diskriminasi tingkat gangguan ekologi pada Sungai Ciliwung.
Pengelompokan Atribut Biologi Metrik/Atribut Biologi Respon yang Diprediksi dari
Adanya Gangguan
Kekayaan taksa dan komposisi
- Jumlah kekayaan taksa Trichoptera - Jumlah taksa famili Hydropsychidae
Menurun Menurun
Toleransi/sensitif - Jumlah taksa sensitif - Jumlah taksa toleran - Jumlah taksa fakultatif - Indeks SIGNAL - Jumlah skor nilai toleransi SIGNAL
Menurun Meningkat Menurun Menurun Menurun
Atribut populasi - % Kelimpahan 3 taksa dominan - % Kelimpahan larva Hydropsychidae - Kelimpahan total
Meningkat Meningkat Meningkat
Ekologi feeding - % Kelimpahan filtering collector
- % Kelimpahan shredder
Meningkat Menurun
40
Gambar 9. Evaluasi sensitifitas metrik. Kotak kecil merupakan nilai median, sedangkan kotak besar merupakan kisaran IQ (persentil ke 25 hingga 75). a) tidak ada IQ yang tumpang tindih, b). IQ tumpang tindih tetapi kedua nilai median tidak ada yang tumpang tindih, c). IQ tumpang tindih dengan satu nilai median yang tumpang tindih, d). IQ sebagian besar tumpang tindih atau kedua nilai median tumpang tindih .
Pengujian nilai rerata setiap metrik biologi dari situs rujukan dengan situs
uji dilakukan dengan menggunakan analisis statistik non parametrik Mann-
Whitney U-test. Pengerjaan statistik non parametrik dilakukan dengan software
STATISTICA versi 10. Jika metrik biologi yang digunakan menunjukkan adanya
tumpang tindih dan perbedaan tidak signifikan pada α = 5% antara stasiun yang
berfungsi sebagai situs rujukan dengan situs uji, maka metrik tersebut kurang
sensitif dalam mendeteksi adanya gangguan dan bukan merupakan kandidat yang
baik untuk dijadikan sebagai komponen penyusun dari indeks multimetrik.
Atribut biologi/metrik terpilih kemudian dilakukan tahap normalisasi guna
menghasilkan sebuah Indeks Biotik Trichoptera (IBT). Tahap normalisasi
dilakukan dengan cara menghitung percentile dari setiap atribut biologi di atas.
Selanjutnya dilakukan tahap scoring trisection yaitu (1, 3, dan 5) pada masing-
masing atribut biologi di atas. Secara umum jika metrik yang diharapkan
meningkat dengan adanya peningkatan gangguan/stress (contoh: % dominansi 3),
maka nilai metrik terendah sampai percentile ke 25% diberi skor 5, percentile ke
25 sampai 75% diberi skor 3, sedangkan di atas skor 75 percentile diberi skor 1.
Begitu juga sebaliknya, jika metrik yang diharapkan adanya penurunan dari
gangguan menunjukkan ketinggian kualitas dari metrik maka skor dibalik dengan
yang di atas (Barbour 1996). Setelah melalui tahap scoring maka dilakukan
penjumlahan dari lima atribut biologi ke dalam indeks tunggal atau IBT. Jika
41
diasumsikan sembilan metrik tersebut sensitif dalam mendeteksi tingkat gangguan
ekologi pada masing-masing stasiun pengamatan, maka nilai skor yang terendah
adalah delapan dan skor tertinggi adalah 40.
Hasil penggabungan metrik biologi (Tabel 8) setelah dilakukan
normalisasi (IBT) diuji korelasinya dengan indeks kimia, kontaminasi logam, dan
habitat dengan menggunakan korelasi rangking Spearman dalam software
STATISTICA versi 10.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung merupakan salah satu dari 13 sungai di Indonesia yang
menjadi prioritas kementrian lingkungan hidup (KLH) dalam pengelolaan kualitas
air. Sungai tersebut memiliki panjang sekitar 125 km yang melewati provinsi
Jawa Barat dan DKI Jakarta dengan sumber mata air sebagian besar berasal dari
Gunung Gede Pangrango (Bogor) menuju daerah Jakarta Utara (Muara Anke).
Panjang dari DAS Ciliwung kira-kira 440 km yang di huni oleh kurang lebih 3,5
juta jiwa (PSDA 2006). Keberadaan Sungai tersebut memiliki arti yang sangat
penting bagi masyarakat sekitarnya khususnya sebagai bahan baku air minum,
pertanian, perkebunan, maupun untuk kepentingan industri.
Sungai Ciliwung saat ini telah mengalami gangguan lingkungan akibat
aktivitas antropogenik antara lain: pencemaran air oleh limbah cair maupun padat
(sampah), sedimentasi, dan banjir saat musim hujan. Hasil pemantauan yang
dilakukan oleh KLH tentang perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS
Ciliwung dari tahun 2000 hingga 2008 menunjukkan adanya peningkatan yang
cukup signifikan perubahan lahan oleh aktivitas antropogenik antara lain
pembukaan area hutan, perkebunan, dan pemukiman penduduk (Tabel 9). Pada
tabel tersebut menunjukkan kondisi luas hutan dari 4918 ha menjadi 1256 ha,
kebun campuran dari 6502 ha menjadi 8994 ha, dan pemukiman dari 24.833 ha
menjadi 35.790 ha (KLH 2011). Perubahan tata guna lahan yang terjadi dapat
secara langsung mempengaruhi masuknya beban organik ke Sungai Ciliwung,
sehingga sungai tersebut mengalami pencemaran. Meningkatnya penggunaan
lahan untuk pemukiman penduduk berpotensi meningkatkan status pencemaran
organik akibat masukan limbah dari rumah tangga. Pemantauan yang dilakukan
oleh KLH tahun 2011 menunjukkan kondisi kualitas air Sungai Ciliwung dari
bagian hulu (Mata air Gunung Putri) hingga hilir (Mangga Dua-Jakarta) dalam
status tercemar berat yang dibandingkan kelas mutu air I, II, III (PP 82 tahun
2001tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air).
42
Tabel 9. Perubahan tutupan lahan di DAS Ciliwung dari tahun 2000-2008 (KLH 2011)
Tutupan Lahan Luas (Ha)
Th. 2000
(%) Th. 2005
(%) Th. 2007
(%) Th. 2008
(%)
Hutan 4918 9,43 4162 7,98 1665 3,129 1265 2,42 Kebun Campuran
6502 12,46 10791 20,69 12350 23,67 8994 17,24
Mangrove 0 0 0 0 0 0 43 0,08 Perkebunan 0 0 0 0 2186 4,19 4185 8,02 Pemukiman 24833 47,60 31580 60,53 33395 64,01 35750 68,53 Rawa 71 0,14 128 0,25 7 0,01 25 0,05 Sawah 1781 3,14 1799 3,45 1681 3,22 1502 2,88 Semak belukar 723 1,39 534 1,02 144 0,28 104 0,22 Tambak/empang 0 0 0 0 7 0.01 1 0 Tanah terbuka 4550 8,72 423 0,81 20 0,04 14 0 Tegalan/ladang 8010 15,35 2422 4,64 385 0,74 233 0,03 Tubuh air 782 1,5 330 0,63 328 0,63 54 0,10 Total 52.169 100 52.169 100 52.169 100 52.169 100
Penelitian ini dilakukan di beberapa ruas Sungai Ciliwung yang masih
termasuk dalam gradien tinggi (1289-163 m dpl) dan sebagian besar memiliki
kecepatan arus > 0,5m detik (0,48-1,96). Gambaran kondisi umum masing-masing
setiap stasiun pengamatan lebih rinci dijelaskan dalam Tabel 10 dan Lampiran
2.
4.2 Telaah Kualitas Fisik Air Sungai Ciliwung
Hasil pengukuran kualitas fisik air Sungai Ciliwung selama penelitian
lebih rinci dijelaskan dalam sub bab di bawah ini.
4.2.1 Suhu Air
Suhu air dapat mempengaruhi proses yang terjadi pada sungai misalnya
proses dekomposisi bahan organik, ketersediaan oksigen terlarut, dan sejarah
hidup dari banyak organisme makrozoobentos (Paul & Meyer 2001). Suhu air dan
pergerakan air memegang peran penting dalam fisiologi respirasi dengan cara
mengontrol ketersediaan oksigen dalam tubuh dan sebagai faktor utama dalam
menentukan lokasi/distribusi dari sebuah spesies (Mackay & Wiggins 1979).
Kondisi suhu air selama penelitian (Gambar 10) dari Stasiun 1 hingga 6
menunjukkan suhu air meningkat secara sinifikan (H = 43,50, P = 0,000).
Peningkatan suhu air yang signifikan terjadi pada stasiun 5 hingga 6.
43
Meningkatnya suhu air ke arah hilir dapat disebabkan oleh beberapa faktor
penting antara lain ketinggian tempat yang semakin menurun (1289-163 dpl),
berkurangnya ketersediaan vegetasi dalam memberikan naungan, waktu
pengukuran, musim, dan masuknya limbah cair hasil aktivitas antropogenik ke
perairan.
Tabel 10. Gambaran kondisi umum lokasi pengamatan.
No Karakte-ristik
Stasiun 1 2 3 4 5 6
1 Tipe vegetasi Alami/ indige-nous
Alami/ indige-nous
Kebun teh dan semak
Padi, kebun singkong, pepaya
Rumput dan semak
Bambu, rumput, semak, kebun singkong
2 Aktivitas antropogenik
Belum ada/ minimal
Belum ada/ minimal
Perkebunan teh
Sawah, perkebu-nan, rumah tangga
Penam-bangan batu dan pasir, rumah tangga
Industri, rumah tangga, perkebu-nan
3 Fisik air Jernih, relatif belum terpolu-si
Jernih, relatif belum terpolu-si
Jernih Agak keruh
Keruh Keruh
4 Kecepatan arus
Sedang-Sangat cepat
Sedang-Sangat cepat
Sedang Sedang Sedang Sedang
5 Tipe substrat dasar
kerikil, pebble, dan cobble/puing.
kerikil, pebble, puing .
kerikil, puing, dan sedikit pebble.
Pasir, puing, dan boulder
Pasir, pebble, dan puing
Pasir, sedikit pebble dan puing
6 Kedalaman (m)
0,15-0,19
0,11-0,15
0,17- 0,34
0,23 – > 1
0,30 – > 1
0,74 – > 1
7 Ketinggian (m dpl)
1289 1284 1152 735 374 163
Tutupan vegetasi di pinggir sungai dapat menghalangi masuknya sinar
matahari ke dasar sungai. Semakin berkurangnya tutupan vegetasi ini
menyebabkan sinar matahari dapat secara langsung mengenai badan sungai,
44
sehingga suhu air semakin meningkat. Secara umum suhu air di Sungai Ciliwung
masih mendukung sebagian besar organisme makrozoobentos untuk hidup secara
normal. Hewan tersebut sebagian besar mampu mentoleransi suhu air dibawah 350
C, walaupun ada yang mampu bertahan pada suhu ekstrim misalnya di sumber
mata air panas yang bersuhu 35-500C (Williams 1979). Mackay & Wiggins
(1979) menyebutkan larva Trichoptera mempunyai kisaran luas dalam
mentoleransi suhu air di perairan lotik. Sebagai contoh larva Eobrachycentrus
gellidae mampu mentoleransi suhu air 20C dan Oligoplectrum echo mampu
bertahan pada suhu 34 0
C atau lebih.
Gambar 10. Hasil pengukuran suhu air di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
4.2.2 Kecepatan arus
Dalam ekosistem akuatik, variabel kecepatan arus dipercaya sebagai faktor
penting dalam menentukan distribusi makrozoobentos (Katano et al. 2005).
Spesies yang biasa hidup dalam ekosistem air mengalir (running water) dapat
mengalami stress ketika hidup di ekosistem air menggenang (still water).
Rendahnya konsentrasi oksigen dan tingginya suhu air dapat di toleransi dengan
cepatnya arus air (Mackay & Wiggins 1979).
Gambar 11 merupakan hasil pengukuran kecepatan arus di masing-
masing stasiun pengamatan yang terlihat menurun secara signifikan (H = 40,17, p
= 0,00) di stasiun 4 (0,5-0,82 m/dt) hingga 6 (0,46-0,59 m/dt). Menurut kriteria
dari Mason (1988), kecepatan arus di bagian hulu (Gunung Mas) termasuk dalam
45
kategori sangat cepat (> 1 m/dt), sedangkan bagian hilir (Cibinong) termasuk
dalam kategori kecepatan sedang (0,46 m/dt).
Kecepatan arus ini dipengaruhi oleh slope/ kemiringan dan tingkat
kekasaran dari susbtrat dasar. Tingginya kecepatan arus di bagian hulu disebabkan
oleh kemiringan lahan yang lebih curam di Gunung Mas dibandingkan dengan
hilir (Katulampa dan Cibinong) yang lebih landai. Angelier (2003) menyebutkan
kecepatan arus maksimum yang masih bisa di toleransi oleh larva Trichoptera
Rhyacophila sp. adalah 1,22 m/dt. Larva Glossosoma sp. yang termasuk dalam
ekologi feeding grazer-scraper lebih menyukai arus sungai yang cepat. Larva
hydropsychid Hydropsyche siltalai memerlukan kecepatan arus yang kontinyu
dari 0,15 - 1 m/dt (Poepperl 2000).
Gambar 11. Hasil pengkuran kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
4.2.3 Distribusi partikel
Komposisi substrat merupakan refleksi dari pengaruh kecepatan arus,
karena hasil dari proses dinamika sedimentasi dan erosi (Graf 2008). Substrat di
dasar sungai berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar
biota akuatik. Penggunaan substrat oleh komunitas makrozoobentos berfungsi
utama sebagai tempat untuk melekat atau bergantung, berlindung dari predator
dan arus air, sarang tempat tinggal, mencari makan, maupun tempat untuk
meletakkan telor (Minshall 1996).
46
Hasil analisis distribusi partikel di Sungai Ciliwung menunjukkan di
stasiun 1 hingga 3 komposisi substrat kerikil (gravel) masih mendominasi
perairan (> 50%), namun ketika di stasiun 4 hingga 6 menurun secara signifikan
(H = 44.49, p = 0,00) (Gambar 12). Substrat pasir cenderung meningkat secara
signifikan mulai dari stasiun 4 menuju ke arah hilir (H = 42.80, p = 0,00). Substrat
lempung dan debu juga menunjukkan pola yang sama dengan substrat pasir yang
cenderung meningkat ke arah hilir.
Gambar 12. Komposisi substrat dasar di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Adanya kecenderungan semakin meningkatnya pasir dan partikel halus di
bagian hilir sungai mungkin dihasilkan dari diendapkannya bahan partikulat dari
proses erosi di bagian hulu. Berdasarkan konsep river continuum semakin ke arah
hilir keberadaan FPOM semakin mendominasi substrat dasar sungai (Vannote et
al. 1980). Kondisi ini mungkin erat kaitannya dengan terjadinya erosi di bagian
hulu dengan kecepatan arus yang lebih tinggi dan akan diendapkan di bagian hilir
dengan kecepatan arus yang lebih rendah. Adanya aktivitas antropogenik
misalnya pertanian, perkebunan, maupun pembukaan lahan dapat meningkatkan
sedimentasi di Sungai Ciliwung. Minshall (1996) menyebutkan kelimpahan
organisme makrozoobentos secara umum akan meningkat dengan semakin
bertambahnya ukuran partikel yaitu dari ukuran pasir (1,5-3 mm) hingga ukuran
47
puing (30-200 mm), dan cenderung menurun kembali ketika ukuran substrat
meningkat sampai ukuran boulder (> 256 mm). Larva Trichoptera umumnya lebih
memilih substrat bertipe kasar yang mungkin lebih merespon kecepatan arus
dibandingkan ukuran substrat (Mackay & Wiggins 1979). Larva Trichoptera
Arctophyche grandis lebih menyukai substrat berukuran 6-12 mm atau pasir
halus (1-1,5mm). Namun sebaliknya larva hydropsychid Parapsyche cardis lebih
menyukai batuan boulder dan bed rock (Ross & Wallace 1983).
4.2.4 Turbiditas
Turbiditas secara umum didefinisikan sebagai tingkat kekeruhan di dalam
air yang disebabkan oleh partikel tersuspensi dari silt/ lanau atau bahan organik
lainnya. Peningkatan turbiditas di sungai biasanya erat kaitanya dengan pengaruh
input sedimen halus yang disebabkan oleh aktivitas antropogenik misalnya:
pertanian, pembukaan lahan/ pembuatan jalan, erosi atau longsoran tanah, maupun
yang disebabkan oleh blooming alga. Hasil pengukuran turbiditas di Sungai
Ciliwung menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 44,31, p =
0,000) terutama di stasiun 3 (14 NTU) hingga 6 (32,30 NTU) (Gambar 13).
Gambar 13. Nilai turbiditas di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Tanda bar menunjukkan standar deviasi
Quinn et al. (1992) mengamati adanya peningkatan turbiditas diatas 23
NTU dapat menurunkan kekayaan dan kelimpahan taxa dari sebagian besar
48
makrozoobentos. Wood & Armitage (1997) menjelaskan pengaruh padatan
tersuspensi dan endapan sedimen pada makrozoobentos melalui beberapa cara
yaitu: merubah komposisi substrat, meningkatkan drift makrozoobentos karena
ketidakstabilan substrat, mengganggu aktivitas respirasi, menganggu aktivitas
feeding khususnya filter feeding, penurunan jumlah perifiton, dan kelimpahan
prey. Berdasarkan kriteria dari Quinn et al. (1992) maka komunitas larva
Trichoptera di Stasiun Kampung Jog-jogan hingga Cibinong berpotensi
mengalami gangguan akibat tingginya turbiditas.
4.2.5 Konduktivitas
Hasil pengukuran konduktivitas air Sungai Ciliwung selama penelitian
disajikan dalam Gambar 14. Nilai konduktivitas terendah masih terdapat di
Stasiun 1 dan 2 (61,63 µS/cm2 ) dan meningkat secara signifikan (H = 45,82, p =
0,0000) di stasiun 4 (195,54 µS/cm2) hingga 6 (252,38 µS/cm2
).
Gambar 14. Hasil pengukuran konduktivitas di masing-masing stasiun
pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Nilai konduktivitas air sangat dipengaruhi oleh keberadaan ion-ion yang
dapat menghantarkan arus listrik melalui masuknya limbah dari rumah tangga,
pertanian, industri, maupun aktivitas antropogenik lainnya. Barata et al. (2005)
menunjukkan adanya korelasi positif (r > 0,5) antara besarnya nilai konduktivitas
dengan kontaminasi beberapa logam berat antara lain: Zn, Cu, Pb, Cr, Ni, dan Co.
49
Ditinjau dari besarnya nilai konduktivitas air Sungai Ciliwung selama penelitian
secara umum masih tergolong relatif normal. Nilai konduktivitas air < 500 µS/cm2
masih mendukung sebagian besar kehidupan hewan air tawar (BPLHD 2006).
4.2.6 CPOM (bahan organik partikel kasar)
Hasil analisis CPOM selama penelitian disajikan dalam Gambar 15. Pada
stasiun 1 dan 2 memiliki konsentrasi rerata CPOM tertinggi diantara semua
stasiun lainnya (101,6 dan 93,1 g berat kering.m-2). Konsentrasi CPOM di stasiun
lainnya cenderung menurun secara signifikan (H = 42,04, p = 0,0000) dari stasiun
3 hingga 6 (9,4 g berat kering.m-2
). Menurunnya CPOM di bagian hilir Sungai
Ciliwung mungkin erat kaitannya dengan berkurangnya vegetasi riparian di
sekitar bantaran sungai akibat aktivitas antropogenik (misalnya: pertanian,
perkebunan, perumahan dan sebagainya). Vegetasi riparian berperan penting
dalam menyumbang materi allochtonous berupa CPOM dan Large Wood Debris
(LWD) ke perairan yang dapat berfungsi sebagai sumber makanan, habitat biota
akuatik, dan mengurangi air runoff yang masuk ke Sungai (Bilby & Bisson
1998). CPOM dan LWD akan dimanfaatkan oleh makrozoobentos sebagai sumber
makanan maupun sarang tempat tinggal guna menghindari predator misalnya pada
larva Trichoptera Lepidostoma, Agapetus dan sebagainya.
Gambar 15. Konsentrasi CPOM (g berat kering.m-2
) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
50
Tipe ekologi feeding sangat dipengaruhi oleh masukan bahan organik
allochtonous di perairan. Keberadaan CPOM memiliki peran penting dalam
mendukung banyak kehidupan larva Trichoptera. Bilby & Bisson (1998)
menyebutkan kandungan nilai nutrisi dari CPOM dan LWD mungkin lebih
rendah, akan tetapi mikroba (alga, jamur) yang tumbuh di permukaan CPOM dan
LWD memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi. Berkurangnnya vegetasi di bagian
pinggir sungai akan menurunkan kandungan CPOM dan LWD di perairan yang
dapat mempengaruhi komposisi dan kelimpahan makrozoobentos sesuai dengan
ekologi feedingnya (Hersey & Lamberti 1998).
4.3. Telaah Kualitas Habitat
Tingkat gangguan pada habitat di sekitar lokasi penelitian yang diprediksi
dengan menggunakan indeks habitat disajikan dalam Gambar 16. Pada stasiun 3
hingga 6 menunjukkan penurunan nilai indeks habitat yang signifikan (H = 43,96,
p = 0,0000). Stasiun 1 termasuk dalam kategori optimal/ gangguan habitat sangat
kecil dengan nilai skor 175-184. Stasiun 2 dalam kategori optimal hingga sub
optimal (135-153). Stasiun 3, 4, dan 6 dalam kategori marginal (65-95).
Sedangkan stasiun 5 dalam status marginal hingga mengalami gangguan berat
(55-67).
Gambar 16. Status gangguan yang terjadi pada sungai Ciliwung berdasarkan indeks habitat. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
51
Adanya kecenderungan menurunnya indeks habitat dari mulai hulu
(Gunung Mas) hingga hilir (Cibinong) disebabkan oleh berkurangnya tutupan
vegetasi, adanya erosi di sekitar lokasi penelitian, berkurang atau tertutupnya
batuan dasar sungai akibat sedimentasi maupun penambangan batu, modifikasi
habitat di bantaran sungai misalnya penturapan, bendungan, dan sebagainya.
Secara umum aktivitas antropogenik yang dapat mempengaruhi kondisi habitat di
Sungai Ciliwung berasal dari berubahnya alih fungsi lahan menjadi area pertanian
maupun untuk pemukiman penduduk (Tabel 9). Aktivitas pembukaan lahan
biasanya akan meningkatkan sedimentasi ke perairan yang dapat menurunkan
produktivitas primer dengan cara menurunkan penetrasi cahaya, abrasi,
mengganggu respirasi, maupun penyerapan nutrien atau bahan polutan lainnya.
Pengaruh sedimentasi pada komunitas makrozoobentos dan ikan dengan cara
mengisi ruang interstitial substrat dan menghancurkan habitat, dan menutupi
lamellae insang dan telur (Fairchild et al. 1987). Adanya gangguan pada habitat
juga berpengaruh pada masukan CPOM ke perairan. Konsentrasi CPOM di
perairan akan jauh berkurang ketika vegetasi riparian di sekitar Sungai Ciliwung
semakin banyak berkurang, sehingga tipe larva Trichoptera yang bertipe shredder
juga banyak mengalami penurunan.
4.4 Telaah Kualitas kimia Sungai Ciliwung
Hasil pengukuran kualitas kimia dari sungai Ciliwung meliputi: pH air,
Oksigen terlarut, COD, amonium, nitrat, ortofosfat, kesadahan, C dan N di
seston, merkuri di air, sedimen dan terakumulasi dalam tubuh larva Trichoptera
lebih rinci dijelaskan dalam sub bab 4.4.1 hingga 4.4.9.
4.4.1 pH air
Potential of Hydrogen (pH) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen
(H+) yang menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu zat. Nilai pH
dalam air berpengaruh penting pada normalnya fungsi fisiologi dalam organisme
akuatik terutama dalam mengatur pertukaran ion dengan air dan respirasi
(Robertson-Bryan 2004).
52
Hasil pengukuran pH air secara langsung di lapangan menunjukkan nilai
pH setelah Stasiun 2 (6,8) cenderung menurun secara signifikan (H = 24,86, p =
0,0001) pada stasiun 4 (6,09). Nilai pH terlihat meningkat kembali hingga stasiun
6 (6,95) (Gambar 17).
Gambar 17. Hasil pengukuran pH air di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Nilai pH di air antara 6,5-9 secara umum masih mendukung bagi
kehidupan sebagaian besar hewan akuatik maupun hidup secara normal dalam
jangka waktu yang relatif panjang (Robertson-Bryan 2004). Kehidupan
makrozoobentos umumnya mampu hidup secara normal ketika nilai pH berkisar
antara 6-7 (BPLHD 2006). Larva Trichoptera Hydropsyche betteni dan
Brachycentrus americanus masih mampu bertahan hidup dengan rendahnya nilai
pH (Mackay & Wiggins 1979). Pada kondisi yang ekstrim, larva Trichoptera
masih dapat mentoleransi hingga nilai pH 2,4. Nilai pH yang ekstrim basa (11,5-
12) beberapa larva Trichoptera masih mampu bertahan hidup, namun emergence
hewan tersebut cenderung menurun (Robertson-Bryan 2004).
4.4.2 DO dan COD
Hasil pengukuran DO (konsentrasi oksigen terlarut) di Sungai Ciliwung
dari mulai Stasiun 1 hingga 6 cenderung menurun secara signifikan (H = 37,48, p
= 0,0000). Penurunan secara signifikan terjadi terutama di stasiun 5 hingga 6.
Namun sebaliknya untuk parameter COD (oksigen yang tersedia untuk oksidasi
semua bahan organik secara kimiawi menjadi karbon dioksida dan air) meningkat
53
secara sigifikan (H = 43,72, p = 0,000) khususnya di stasiun 3 hingga 6 (5,1-36,22
mg/l) (Gambar 18).
Gambar 18. Konsentrasi DO dan COD di masing-masing stasiun pengamatan.
Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Meningkatnya COD dan menurunnya DO di perairan terjadi karena
adanya peningkatan beban organik di perairan yang menyebabkan berkurangnya
konsentrasi oksigen terlarut akibat proses respirasi mikroba aerob dalam
merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Oksigen terlarut
dapat meningkat ketika ada kontak secara langsung antara udara bebas dengan air
hasil dari turbulensi yang terhalang oleh batuan di dasar sungai. Oleh sebab itu
pengkuran nilai DO sangat berfluktuasi tergantung dari adanya turbulensi maupun
suhu air di lingkungannya. Secara umum kondisi DO lebih dari 4 mg/l masih
memenuhi syarat untuk kehidupan biota akuatik untuk hidup secara layak.
Konsentrasi DO kurang dari nilai tersebut dapat dikategorikan mengalami
tercemar berat oleh bahan organik (BPLHD 2006). Shakla & Srivastava (1992)
54
memberikan batas minimum DO pada kehidupan larva Trichoptera yaitu sebesar
5-6 mg/l.
Berdasarkan PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air nilai parameter COD di Stasiun Katulampa (27,91
mg/l) dan Cibinong (36,22 mg/l) berpotensi menimbulkan gangguan bagi
sebagian besar biota akuatik. Oleh sebab itu di dua stasiun tersebut sudah masuk
dalam kelas mutu air golongan III (pertanian dan perkebunan).
4.4.3 Amonium (NH4+
)
Konsentrasi amonium di Sungai Ciliwung selama penelitian disajikan
dalam Gambar 19. Pada stasiun 4 hingga 6 (0,92 mg/l) menunjukkan
peningkatan konsentrasi amonium yang signifikan (H = 42.12, p = 0,000).
Amonium dapat menunjukkan pengaruh toksik secara akut pada organisme
makrozoobentos air tawar ketika konsentrasinya > 0,53 mg/l (US-EPA 1986).
Didasarkan pada guideline US-EPA 1986, maka di stasiun 5 dan 6 konsentrasi
amoniumnya relatif tinggi hingga > 0,53 mg/l berpotensi menimbulkan gangguan
bagi kehidupan organisme makrozoobentos di Sungai Ciliwung.
Gambar 19. Konsentrasi amonium di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Amonia (NH3) yang terlarut dalam air umumnya ada dalam dua bentuk
kesetimbangan molekul yaitu amonia dan ion amonium (NH4+). Umumnya ion
amonium dilepaskan dari bahan organik yang mengandung protein dan urea, atau
55
produk sintesis dalam proses industri. Ion tersebut merupakan bentuk toksik dari
amonia (NH3). Hooda et al. (2000) menunjukkan adanya korelasi negatif antara
konsentrasi amonium di perairan dengan nilai indeks biological monitoring
working party (BMWP).
4.4.4 Nitrogen Nitrat (N-NO3)
Ion nitrat terbentuk karena oksidasi secara sempurna dari ion amonium
oleh mikroba dalam air. Air yang teroksigenasi secara alami, ion nitrit dapat
secara cepat teroksidasi menjadi nitrat. Hasil analisis nitrogen-nitrat dari Sungai
Ciliwung terlihat cenderung meningkat secara signifikan (H = 41,59, p = 0,000) di
stasiun 4 hingga 6 (8,57 mg/l) (Gambar 20).
Gambar 20. Konsentrasi nitrogen-nitrat di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi
Nilai Lethal Concentration (LC50) dari nitrogen-nitrat diketahui pada ikan
salmon chinook sebesar 1310 mg/l dengan waktu pemaparan 96 jam, sedangkan
pada ikan Salmo gairdneri sebesar 1360 mg/l (US-EPA 1986). Pada larva
chironomid Chironomus dilutus mempunyai nilai LC50 48 jam dari nitrogen-nitrat
sebesar 278 mg/l dan LC50 96 jam dari nympha Plecoptera Amphinemura delosa
sebesar 456 mg/l (US-EPA 2010). Ditinjau dari data toksisitas tersebut diatas,
maka konsentrasi nitrogen-nitrat di Sungai Ciliwung masih mendukung kehidupan
biota akuatik secara normal. Difusi sumber nitrogen (amonium, nitrit, nitrat) ke
perairan umumnya berasal dari pupuk, limbah peternakan, pelindihan sampah atau
sanitary landfill, jatuhan partikulat atmosferik, buangan nitrit oksida dan nitrit
56
dari asap kendaraan bermotor, dan mineralisasi bahan organik dari tanah (US-
EPA 1986).
4.4.5 Ortofosfat (O-PO4)
Fosfor sebagai fosfat merupakan salah satu nutrien utama yang dibutuhkan
oleh tanaman, alga, dan makhluk hidup lainnya guna mendukung kehidupan.
Masuknya fosfor sebagai fosfat ke perairan umumnya dihasilkan dari aktivitas
antropogenik antara lain: ekskresi dari manusia, penggunaan deterjen, limbah
industri dan peternakan, maupun aktivitas urban lainnya. Secara alami fosfor
dihasilkan dari proses pelapukan batuan, maupun hasil perombakan serasah (US-
EPA 1986). Kelebihan fosfor dapat mempengaruhi komunitas makrozoobentos
melalui eutrofikasi. Ion amonium dan fosfor bersama-sama dapat mengakibatkan
efek merugikan pada populasi makrozoobentos dan keanekaragamannya melalui
pengkayaan nutrien (Hooda et al. 2000).
Hasil analisis fosfor sebagai fosfat (Gambar 21) menunjukkan
peningkatan yang signifikan (H = 36,56, p = 0,000) mulai stasiun 4 hingga 6 (0,47
mg/l). Nilai LC50 dari ortofosfat pada ikan Lepomis macrochirus sebesar 0,105
mg/l selama 48 jam (US-EPA 1986). Didasarkan pada guideline US-EPA tahun
1986 menunjukkan konsentrasi ortofosfat di stasiun 4 (0,33 mg/l) hingga 6 (0,47
mg) berpotensi menimbulkan gangguan bagi kehidupan biota akuatik.
Gambar 21. Konsentrasi ortofosfat di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
57
4.4.6 Kesadahan.
Kesadahan air disebabkan adanya keberadaan ion metalik polivalen
terutama kalsium dan magnesium yang terlarut dalam air. Di ekosistem air tawar
kesadahan biasanya tersusun oleh unsur kalsium dan magnesium meskipun logam
lainnya ada yaitu: besi, stronsium, dan mangan. Kesadahan umumnya dinyatakan/
setara dengan kalsium karbonat (CaCO3).
Hasil analisis kesadahan air menunjukkan dari Stasiun 1 (17,84 mg/l
CaCO3) hingga 6 (30,7 mg/l CaCO3) cenderung meningkat namun tidak terlihat
signifikan (H = 8,69, p = 0,12) (Gambar 22). Kategori kesadahan air dari Stasiun
1 hingga Cibinong termasuk dalam kesadahan lunak (soft). Rendahnya kesadahan
ini mungkin erat kaitannya dengan rendahnya kandungan kapur atau mineral
lainnya seperti magnesium yang menyusun batuan dasar sungai. Tingkat
kesadahan yang rendah berpotensi untuk meningkatkan toksisitas dari beberapa
logam berat ke biota akuatik. Kesadahan yang tinggi dalam air dapat membentuk
logam hidroksida maupun karbonat yang dapat menurunkan toksisitas ion logam/
Me2+
(US-EPA 1986). Kesadahan dalam air mungkin erat kaitannya dengan
masuknya buangan limbah industri, area pertanian, maupun rumah tangga ke
Sungai Ciliwung.
Gambar 22. Hasil analisis kesadahan (mg/l setara CaCO3) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
58
4.4.7 C dan N di Seston
Seston merupakan organisme hidup yang kecil (misalnya alga) dan
partikel (materi tak hidup) yang mengapung di air dan berkontribusi terhadap
turbiditas. Keberadaan seston ini penting artinya dalam ekosistem akuatik karena
dapat berfungsi sebagai sumber makanan bagi biota perairan khususnya yang
bertipe filtering collector misalnya larva hydropsychid (Hoffsten 1999).
Hasil analisis konsentrasi C dan N di seston dari stasiun 1 hingga 6
menunjukkan peningkatan yang signifikan (H = 44,23, p = 0,000) terjadi mulai
dari stasiun 3 (C = 0,31; N = 0,05 mg/l) (Gambar 23). Kondisi ini sangat
menguntungkan bagi larva Trichoptera khususnya yang bertipe filtering collector
seperti Cheumatopsyche sp. yang memanfaatkan seston sebagai makanannya
sehingga mampu mendominasi perairan terutama di bagian hilir. Konsentrasi C
dan N di seston yang semakin meningkat ke arah hilir biasanya erat kaitannya
dengan masukan bahan bahan organik allochtonous ke perairan misalnya dari
limbah rumah tangga, pertanian, peternakan di sekitar Sungai Ciliwung.
Gambar 23. Konsentrasi C dan N di seston di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Kandungan gizi dari seston biasanya dilihat dari unsur C dan N-nya.
Unsur C umumnya berfungsi sebagai sumber energi bagi makhluk hidup,
sedangkan unsur N dalam seston biasanya mengindikasikan kandungan protein
dan semakin mudahnya seston tersebut untuk dicerna. Hoffsten (1999)
59
menyebutkan distribusi longitudinal dari larva Trichoptera Hydropsyche siltalai
dan H. pellucidula di hulu Sungai Galvan berkorelasi kuat dengan kualitas seston
dibandingkan dengan kuantitasnya.
4.4.8 Bahan Organik Total (TOM) dan Status Pencemaran Sungai Ciliwung
Kandungan bahan organik suatu perairan secara alami berasal dari sumber
autochtonous (misalnya: plankton, alga, mikroba, dan sebagainya) maupun
allochtonous (misalnya serasah) yang masuk ke perairan (US-EPA 1986). Adanya
aktifitas antropogenik di sekitar sungai dapat meningkatkan kandungan bahan
organik beberapa kali lipat di perairan. Hasil analisis TOM di Sungai Ciliwung
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 39,47, p = 0,000)
terutama di stasiun 4 hingga 6 (11,77 mg/l) (Gambar 24).
Status pencemaran organik yang terjadi di Sungai Ciliwung dengan
menggunakan indeks kimia dapat diketahui bahwa stasiun 1 dan 2 memiliki nilai
indeks berkisar dari 90,02-91,75 dalam kategori belum mengalami pencemaran.
Stasiun 3 dan 4 mimiliki nilai 89,25-74,29 dengan status perairan dalam kondisi
tercemar ringan, dan stasiun 5 dan 6 dengan nilai sebesar 68,75-58,39 dalam
kondisi tercemar sedang (Gambar 24).
Aktivitas antropogenik yang terjadi di Sungai Ciliwung dapat berpengaruh
langsung pada menurunnya kualitas air sungai yang salah satunya disebabkan oleh
bahan organik. Pengkayaan bahan organik di perairan dapat diindikasikan dengan
meningkatnya beberapa variabel penting antara lain: TOM, COD, amonium,
nitrat, ortofosfat, dan sebagainya. Hasil perhitungan dengan menggunakan indeks
kimia dapat diketahui status mutu air Sungai Ciliwung akibat pencemaran organik
dalam kategori belum tercemar (G. Mas) hingga tercemar sedang (Katulampa-
Cibinong). Adanya pencemaran organik di Stasiun Katulampa hingga Cibinong
disebabkan oleh tingginya masukan bahan organik yang berasal dari limbah
rumah tangga, perkotaan, industri misalnya hasil samping ekstraksi tepung
tapioka, peternakan, pelindihan sampah di bagian pinggir sungai, run-off dari area
persawahan, maupun perkebunan. Diperkirakan beban pencemar BOD dan COD
yang masuk ke sungai Ciliwung dalam sehari mencapai 290.230 kg/hari dan
60.842 kg/hari. Dengan kondisi demikian, maka status pencemaran sungai
60
tersebut oleh polusi bahan organik semakin berat dan potensi untuk terjadinya
pemulihan kembali kualitas air akan menjadi semakin kecil (KLH 2011).
Gambar 24. Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Status pencemaran yang terjadi di Sungai Ciliwung lebih bervariasi dari
belum tercemar hingga tercemar sedang (Gambar 24). Kondisi ini berbeda dari
hasil pemantauan yang telah dilakukan sebelumnya oleh KLH yang menetapkan
sumber air di Gunung Putri (hulu) sebagai situs rujukan Sungai Ciliwung yang
sudah masuk kategori tercemar berat. Hal ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan lokasi pengambilan sampel dan metode yang digunakan dalam menilai
status mutu air. Pada penelitian ini, lokasi yang berfungsi sebagai situs rujukan
(Gunung Mas) berada di dalam hutan yang termasuk dalam ekosistem running
61
water dengan sedikit/ belum mengalami gangguan oleh aktivitas antropogenik.
Lokasi pemantauan yang dilakukan oleh KLH berada di Gunung Putri yang
merupakan area wisata yang sumber airnya relatif tergenang (still water). Lokasi
tersebut mungkin mendapat kontaminan organik dari kotoran hewan, perombakan
bahan organik dari jatuhan ranting dan daun, runoff di sekitar lokasi pemantauan,
maupun limbah dari pengunjung wisata. Indeks kimia hanya menunjukkan status
pencemaran organiknya saja, sedangkan Pusarpedal (KLH) menggunakan indeks
pencemaran dan Storet (KEPMENLH no 115 tahun 2001) yang didasarkan pada
perbandingan dengan baku mutu yang cukup ketat dan banyak variabel selain
pencemar organik.
4.4.9 Logam Merkuri
Konsentrasi logam merkuri di air mulai stasiun 1 (0,06 ppb) hingga
stasiun 6 (2,34 ppb) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H =
44,96, p = 0,000) (Gambar 25). Peningkatan yang signifikan terjadi terutama di
stasiun 3 hingga 6. Fenomena yang sama juga damati oleh Barata et al. (2005)
yang menunjukkan kontaminasi logam di sungai umumnya lebih tinggi di bagian
hilir dibandingkan dengan hulu.
Gambar 25. Konsentrasi logam merkuri di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
62
Konsentrasi logam merkuri di Sungai Ciliwung tergolong relatif tinggi dan
patut untuk diwaspadai. Baku mutu US-EPA untuk logam merkuri guna
melindungi kehidupan hewan akuatik dari pengaruh akut sebesar 2,4 ppb dan
0,0012 ppb untuk pengaruh kronis (Novotny & Olem 1994). Didasarkan pada
konsentrasi tersebut, maka keberadaan logam merkuri di Sungai Ciliwung
berpotensi menimbulkan gangguan bagi biota akuatik yang hidup di dalamnya.
Berdasarkan PP No 82 tahun 2001 tentang Pengeloaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, maka di Stasiun Katulampa dan Cibinong telah
melampaui kelayakan kelas mutu air golongan I dan II (0,001 ppm).
Kontaminasi logam merkuri di sedimen mulai stasiun 1 hingga 6
(Gambar 26) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 34,95, p =
0,000) hingga 12 kali lipat (stasiun 6). Peningkatan logam merkuri di sedimen
terlihat signifikan terutama pada stasiun 3 hingga 6. Secara umum konsentrasi
merkuri di sedimen (80,58 ppb) masih dibawah baku mutu yang dikeluarkan oleh
Negara Canada (threshold effect level /TEL) yaitu sebesar 170 ppb, sehingga
potensi logam tersebut di sedimen untuk menimbulkan toksisitas bagi biota
akuatik relatif kecil (Burton 2002).
Gambar 26. Konsentrasi logam merkuri sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Tingkat pencemaran logam merkuri di sedimen yang didasarkan pada rasio
terhadap situs rujukan (Gambar 27) menunjukkan daerah situs rujukan tergolong
63
dalam kategori tercemar ringan (0.7-1). Stasiun 2 dalam kategori tercemar ringan
hingga sedang (0,7-1,1). Stasiun 3 hingga 5 dalam kategori tercemar sedang
hingga berat (1,8-2,8). Stasiun 6 sudah masuk dalam kategori tercemar berat (2,2-
3,2).
Penggunaan indeks pencemaran logam hanya didasarkan pada rasio
konsentrasi terhadap situs rujukan dan belum tentu mencerminkan tingkat
bioavailability maupun gangguan pada biota akuatik yang sebenarnya.
Penggunaan indeks tersebut hanya menunjukkan sampai seberapa besar tingkat
pengkayaan logam tersebut pada masing-masing stasiun pengamatan
dibandingkan dengan konsentrasi latar belakangnya (background concentration).
Gerhardt et al. (2004) yang menyebutkan peningkatan aktivitas antropogenik di
ekosistem air tawar dapat meningkatkan konsentrasi logam beberapa kali lipat di
atas konsentrasi latar belakangnya. Mwamburi (2003) menyebutkan kontaminasi
logam merkuri di sedimen sebagian besar berasal dari buangan limbah industri
dan perkotaan, emisi atmosfer, dan pelindihan bahan kimia dari lahan pertanian.
Gambar 27. Status pencemaran logam merkuri di sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Beberapa alasan tentang penggunaan larva hydropsychid untuk studi
bioavailability logam merkuri di sungai didasarkan pada pendapat Barata et al.
(2005) yang menyebutkan antara lain: larva tersebut terdistribusi secara luas,
64
ukurannya yang relatif besar (20-100 mg berat basah), kelimpahan yang tinggi di
sungai yang sudah terpolusi, kemampuan yang baik untuk akumulasi logam, dan
memegang peran kunci dalam transfer energi dari produsen ke hewan predator
lainnya. Pada kondisi demikian, maka larva hydropsychid mampu menyebarkan
kontaminan ke dalam jaring-jaring makanan ke tingkatan trofik
yang lebih tinggi.
Hasil analisis logam merkuri yang terakumulasi di tubuh larva Trichoptera
hydropsychid Cheumatopsyche sp. menunjukkan kecenderungan logam tersebut
mampu meningkat secara signifikan (H = 44,52, p = 0,000) dari Stasiun 1 (0,13
ppm) hingga stasiun 6 (0,4 ppm) (Gambar 28). Hal yang sama juga diamati oleh
Synder & Hendricks (1995) yang melakukan penelitian pada larva hydropsychid
Hydropsyche morosa di Sungai Virginia bagian selatan. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kemampuan akumulasi yang tinggi dari larva tersebut dapat
mencapai 1,20 ppm saat musim panas.
Gambar 28. Konsentrasi logam merkuri (ppm) di tubuh larva Trichoptera
Cheumatopsyche sp. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
Tingginya konsentrasi merkuri di perairan telah diketahui dapat
menimbulkan gangguan pada larva hydropsychid berupa penghitaman warna/
nekrosis di bagian insang abdominalnya (Skinner & Bennett 2007). Kejadian
nekrosis insang abdominal pada larva Cheumatopsyche sp. hanya ditemukan di
Stasiun Cibinong dengan rerata persentase 4,17 % (1,47-11,84% dari kelimpahan
total Cheumatopsyche yang ditemukan). Contoh bentuk kejadian nekrosis di
insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. disajikan dalam Gambar 29. Hasil
65
analisis korelasi antara jumlah individu larva Cheumatopsyche sp. yang
mengalami nekrosis dengan konsentrasi logam merkuri yang terakumulasi di
tubuh di stasiun 6 (Gambar 30) menunjukkan hubungan yang sangat kuat (r =
0,81).
Gambar 29. Nekrosis pada insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong. Tanda panah menunjukkan lokasi terjadinya nekrosis.
Hubungan antara abnormalitas insang makrozoobentos total dengan
kontaminasi logam merkuri telah dipelajari oleh Skinner & Bennett (2007).
Peneliti tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara akumulasi logam
merkuri total (0,02 ppm) di makrozoobentos dengan kejadian abnormalitas insang
abdominalnya yang mencapai 28%. Keberadaan logam merkuri yang terakumulasi
di tubuh larva Trichoptera hydropsychid menunjukkan bioavailability logam
tersebut di perairan yang berpotensi menimbulkan gangguan bagi larva tersebut
untuk emergence menjadi dewasa. Pemaparan logam merkuri ke larva
makrozoobentos mungkin berasal dari air sungai yang sudah terkontaminasi
maupun melalui jalur makanan (Skinner & Bennett 2007). Aktivitas antropogenik
yang diduga mampu meningkatkan konsentrasi merkuri di Sungai Ciliwung
berasal dari difusi hasil pembakaran bahan bakar fosil, industri logam, dan
perusahaan farmasi yang berada di bantaran Sungai Ciliwung. Pengaruh
atmosferik juga mampu menyumbang kontaminasi logam tersebut ke perairan.
66
0.31 0.32 0.33 0.34 0.35 0.36 0.37 0.38 0.39 0.40 0.41
Konsentrasi Hg di tubuh (ppm)
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
% N
ekro
sis
di In
sang
x:y: y = -38.8734 + 119.4388*x; r = 0.8089, p = 0.0150
Hasil analisis air hujan yang telah dilakukan selama penelitian menunjukkan
konsentrasi logam tersebut di air hujan mencapai 0,07 ppb. Scroeder & Munthe
(1998) menyebutkan flux emisi merkuri ke udara secara global pada kondisi alami
dapat mencapai 6 g/km2/tahun (0,7 ng/m2
/jam).
Gambar 30. Hubungan antara jumlah invidu larva Trichoptera yang mengalami
nekrosis pada insang dengan kontaminasi merkuri di Stasiun Cibinong.
4.5 Telaah Kualitas Biologi
Hasil pengukuran parameter biologi meliputi komposisi dan kelimpahan
perifiton dan larva Trichoptera dijelaskan lebih rinci di sub bab 4.5.1 dan 4.5.2.
4.5.1 Perifiton
Perifiton merupakan gabungan dari beberapa alga, sianobakteria, mikroba
heterotrofik, maupun detritus yang melekat di permukaan substrat (batu, kayu,
tanaman dan sebagainya) dari ekosistem perairan (Odum 1971). Welch (1952)
lebih rinci menyebutkan komposisi penyusun perifiton terdiri dari diatom
(Bacillariophyceae), alga berfilamen (Chlorophyceae), bakteri, jamur, protozoa,
dan rotifera. Peran perifiton dalam ekosistem perairan berfungsi sebagai sumber
makanan bagi hewan herbivora lainnya. Larva Trichoptera yang termasuk dalam
ekologi feeding herbivora umumnya memakan diatom, lumut, dan tumbuhan
67
mirip lumut seperti Cladophora dan Podostemum yang tumbuh diatas permukaan
batu (Mackay & Wiggins 1979).
Hasil analisis komposisi dan kelimpahan perifiton di Sungai Ciliwung
menunjukkan kecenderungan meningkat dari stasiun 1 (3828 sel/cm2) hingga 3
(11.830 sel/cm2). Kelimpahan perifiton di stasiun 4 menunjukkan menurun (6268
sel/cm2). Setelah stasiun 4 kelimpahan perifiton cenderung meningkat kembali
hingga stasiun 6 (9718 sel/cm2
) (Gambar 31 dan Lampiran 3).
Gambar 31. Rerata kelimpahan perifiton (sel/cm2
) di Sungai Ciliwung
Rendahnya kelimpahan perifiton di Stasiun Gunung Mas mungkin
disebabkan oleh rendahnya nutrien yang tersedia di perairan (misalnya nitrat,
TOM, dan ortofosfat) dan rapatnya tutupan vegetasi di sekitar lokasi pengamatan
yang dapat menjadi faktor penghalang masuknya sinar matahari ke perairan.
Tingginya kelimpahan perifiton di Stasiun Kampung Pensiunan dapat disebabkan
oleh masukan nutrien yang berasal dari perkebunan teh dan masih minimnya
bahan polutan toksik lainnya (misalnya merkuri) di perairan, sehingga
pertumbuhan dari perifiton dapat mencapai maksimal. Tutupan vegetasi di stasiun
tersebut relatif lebih terbuka dibandingkan Stasiun Gunung Mas dan nilai
turbiditas di stasiun tersebut masih relatif rendah (13,87 NTU), sehingga sinar
matahari bisa langsung mencapai dasar perairan. Di stasiun lainnya (Kampung
Jog-jogan hingga Cibinong) kelimpahan perifiton tidak setinggi di Stasiun
Kampung Pensiunan, kondisi ini mungkin disebabkan oleh nilai turbiditas yang
68
semakin meningkat dan adanya penambahan bahan-bahan polutan toksik lainnya
yang berkontribusi dalam menghambat pertumbuhan perifiton.
4.5.2 Larva Trichoptera
Hasil rerata kelimpahan dan komposisi larva Trichoptera di setiap lokasi
pengamatan disajikan dalam Lampiran 4. Jumlah taksa (genus) larva Trichoptera
dari stasiun 1 hingga 6 cenderung menurun (13-5). Di stasiun 5 rerata jumlah
taksanya paling rendah diantara stasiun lainnya. Kelimpahan beberapa taksa larva
Trichoptera secara umum menunjukkan semakin meningkat ke arah hilir (93-386
idv/m2). Sebagai contoh larva Cheumatopsyche sp. yang mendominasi perairan
(31-370 idv/m2) ketika adanya gangguan akibat pencemaran maupun kerusakan
habitat semakin meningkat. Kondisi ini menunjukkan beberapa larva Trichoptera
yang tergolong sensitif mampu merespon gangguan yang terjadi di Sungai
Ciliwung (misalnya Lepidostoma, Diplectrona dan sebagainya). Beberapa taksa
Trichoptera yang tergolong toleran seperti Cheumatopsyche sp. dan Tinodes sp.
semakin meningkat kelimpahannya ketika pencemaran organik dan kontaminasi
logam merkuri juga meningkat.
4.6 Pengaruh Masukan Bahan Organik dan Kontaminasi Logam Merkuri terhadap Struktur Komunitas dan Ekologi Feeding Larva Trichoptera
Washington (1984) menyebutkan pendekatan yang umum digunakan
dalam menilai dampak ekologi akibat pencemaran biasanya didekati dengan dua
cara yaitu melalui indeks keanekaragaman dan similaritas/kesamaan (teknik
ordinasi/cluster). Penggunaan indeks keanekaragaman dan keseragaman larva
Trichoptera di Sungai Ciliwung disajikan dalam Gambar 32. Nilai indeks
keanekaragaman Shanon-Wiener (H’) di Stasiun 1 dan 2 sebesar = 1,98-2,8 bits
per individu dan indeks keseragamannya (E) = 0,66-0,9. Tingkat keanekaragaman
dan keseragaman larva Trichoptera di Stasiun Gunung Mas lebih tinggi
dibandingkan dengan stasiun lainnya yang berfungsi sebagai situs uji (stasiun 3
hingga 6). Ditinjau dari indeks keseragaman dapat diketahui bahwa penyebaran
jumlah individu tiap jenisnya di Stasiun 1 dan 2 relatif merata (rendahnya taksa
tertentu yang mendominasi populasi). Adanya gangguan dari aktivitas
69
antropogenik di situs uji memberikan pengaruh pada rendahnya nilai indeks
keanekaragaman maupun keseragamannya. Di stasiun 3 hingga 6 ke dua nilai
indeks tersebut secara gradual terlihat menurun dari (H’) = 2-0 bits per individu
dan indeks keseragaman (E) = 0,8-0.
Gambar 32: Sebaran nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman
di Sungai Ciliwung (E).
Ditinjau dari nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman di stasiun
Kampung Pensiunan hingga Cibinong menunjukkan struktur komunitas menjadi
kurang stabil (kecenderungan terjadi dominansi oleh satu taksa tertentu misalnya
oleh Cheumatopsyche sp.), tingkat keanekaragaman taksa (genus) menjadi rendah,
dan penyebaran jumlah individu tiap jenisnya menjadi tidak merata. Stabilitas
dalam struktur komunitas berkaitan erat dengan kompleksitas hubungan diantara
spesies yang menyusun jaring-jaring makanan dan tingkat keanekaragaman
spesies itu sendiri. Semakin kompleks hubungan spesies dalam jaring makanan
menunjukkan ketahanan dari suatu komunitas dalam menerima perubahan
lingkungan semakin lebih besar (Washington 1984). Türkmen & Kazanci (2010)
menyebutkan nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener umumnya berkisar
dari 0-5, tetapi sangat jarang dijumpai nilai indeks > 4,5. Nilai di atas 3
mengindikasikan struktur habitatnya relatif lebih stabil dan seimbang. Nilai di
bawah 1 mengindikasikan adanya pencemaran dan perusakan pada struktur
habitat. Didasarkan pendapat Türkmen & Kazanci (2010) tersebut, maka mulai
Stasiun Kampung Pensiunan hingga Cibinong menunjukkan meningkatnya status
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
Inde
k ke
anek
arag
aman
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
inde
k Ke
sera
gam
an
70
pencemaran dan perusakan struktur habitatnya secara gradual berpengaruh pada
ketidakseimbangan struktur komunitas larva Trichoptera di Sungai Ciliwung.
Status gangguan pada ekosistem sungai akibat pencemaran disajikan
dalam Tabel 11. Stasiun Gunung Mas secara umum dalam kondisi/ status belum
mengalami pencemaran. Kampung Pensiunan dalam kondisi tercemar ringan dan
Kampung Jog-jogan hingga Cibinong sudah mengalami tercemar sedang.
Tabel 11. Status gangguan akibat pencemaran di Sungai Ciliwung berdasarkan kriteria BPLHD (2006)
Stasiun Nilai rerata skor Kriteria Gunung Mas 1 1,4 Belum tercemar Gunung Mas 2 1,5 Belum tercemar Kampung Pensiunan 2,4 Tercemar ringan Kampung Jog-jogan 4,2 Tercemar sedang Katulampa 5,4 Tercemar sedang Cibinong 5,6 Tercemar sedang
Hasil analisis korelasi rangking Spearman antara indeks keanekaragaman
dan indeks keseragaman dengan variabel lingkungan terpilih (organik dan logam
berat) disajikan dalam Tabel 12. Secara umum menunjukkan dua indeks tersebut
di atas masih tergolong sensitif (r > 0,5) dalam merespon pengkayaan bahan
organik, kontaminasi logam merkuri, perubahan habitat, maupun distribusi
partikel di Sungai Ciliwung.
Tabel 12. Korelasi rangking Spearman antara indeks keanekaragaman dan keseragaman dengan variabel lingkungan.
Variabel Indeks Keanekaragaman
Indeks Keseragaman
Suhu -0,83 -0,76 % kerikil 0,85 0,66 CPOM 0,82 0,62 DO 0,75 0,62 COD -0,88 -0,81 TOM -0,81 -0,72 Hg air -0,83 -0,77 Hg sedimen -0,79 -0,59 Indeks kimia 0,85 0,75 Indeks habitat 0,84 0,62 Indeks pencemaran logam -0,89 -0,78
71
Tipe ekologi feeding larva Trichoptera di masing-masing stasiun
pengamatan disajikan dalam Gambar 33 dan Lampiran 4. Pada Gambar 33
menunjukkan persentase komposisi shredder, scraper dan filtering collector
masih mendominasi di bagian hulu (stasiun 1 dan 3). Semakin ke arah hilir
(stasiun 4 hingga 6) menunjukkan persentase komposisi filtering collector
cenderung meningkat dan sedikit yang bertipe scraper.
Kontribusi faktor lingkungan terpilih dalam memberikan pengaruh pada
ekologi feeding larva Trichoptera dengan menggunakan analisis komponen utama
(PCA) disajikan dalam Gambar 34. Hasil ordinasi dengan analisis komponen
utama pada tiga sumbu utamanya didapatkan nilai eigenvalue sebesar 5,4, 1,8, dan
1,04 dengan persentase informasi kumulatif sebesar 75,51%. Pada grafik biplot
diketahui tipe ekologi feeding shredder dan karnivora di Stasiun 1 dan 2 lebih
dicirikan dengan tingginya kualitas habitat (indeks habitat 135-184), CPOM
(63,21-145 g berat kering/m2), rendahnya pencemaran organik (90,02-91,75),
kontaminasi merkuri di air (0,03-0,39 ppb), dan TOM (3,28-5,74 mg/l).
Sebaliknya untuk tipe ekologi feeding filtering collector yang meningkat di
bagian hilir (stasiun 5 dan 6) lebih dicirikan dengan tingginya kontaminasi logam
merkuri di air (0,93-3,54ppb), pencemaran organik (59,96-68,75), TOM (7,92-
14,27), rendahnya kualitas habitat (55-77), dan CPOM (6,93-25,65 g berat
kering/m2). Tipe scraper, omnivora, gatherer collector masih sering dijumpai
hingga stasiun 3 dan mulai menurun di bagian hilir sungai relatif tidak dicirikan
oleh variabel terpilih yang digunakan dalam teknik ordinasi analisis komponen
utama.
Rendahnya nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman dari larva
Trichoptera secara umum dipengaruhi oleh: 1) Rendahnya jumlah taksa. Pada
penelitian ini hanya menggunakan taksa Trichoptera saja, sehingga jumlah taksa
(genus) yang ditemukan relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan melibatkan
seluruh taksa makrozoobentos. 2). Adanya kombinasi antara faktor fisik (misalnya
ketinggian: 1289-163 m dpl, suhu air, kekeruhan, dan CPOM) dan faktor kimia
(beban pencemar organik dan logam merkuri) menyebabkan menurunnya kualitas
air Sungai Ciliwung yang berpengaruh pada kelangsungan hidup larva Trichoptera
terutama yang tergolong sensitif. Keberadaan kontaminasi polutan toksik seperti
72
logam merkuri dapat mengganggu organ respirasi dari larva Trichoptera, sehingga
kemampuan larva untuk dapat bertahan hidup, emergence atau menjadi dewasa
dapat mengalami gangguan atau menurun.
Gambar 33. Nilai rerata dari komposisi tipe ekologi feeding di setiap stasiun pengamatan. (FC = filtering collector, Sh = shredder, Sc= scraper, Car = carnivora, GC = gatherer collector, Om = omnivora).
73
Gambar 34. Grafik biplot antara faktor lingkungan dengan tipe ekologi feeding larva Trichoptera dengan menggunakan analisis komponen utama.
Dampak pencemaran organik maupun kontaminasi logam merkuri ke
ekologi feeding larva Trichoptera dapat menunjukkan pengaruh secara langsung.
Hilangnya taksa tertentu yang tergolong sensitif terhadap pencemaran dapat
mempengaruhi ekologi feeding tertentu, misalnya dari golongan shredder dan
scraper yang sering dijumpai di daerah yang belum atau minimal mengalami
gangguan. Karena sebagian besar larva Trichoptera yang bertipe shredder
sebagian besar termasuk dalam ketegori sensitif terhadap pencemaran (nilai
PTVsignal > 6), maka hewan tersebut sudah tidak dapat bertahan hidup dalam
kondisi perairan yang kurang menguntungkan/tercemar. Trichoptera golongan
scraper di Stasiun Kampung Pensiunan lebih tinggi kelimpahannya. Hal itu
mungkin disebabkan oleh masih berlimpahnya perifiton di stasiun tersebut
maupun kondisi kualitas air yang relatif masih mendukung kehidupan larva
Trichoptera. Sejalan dengan meningkatnya status pencemaran organik dan
kontaminasi logam merkuri di perairan, maka populasi larva bertipe scraper juga
mengalami penurunan. Kondisi tersebut mungkin erat kaitannya dengan
74
ketersediaan perifiton yang merupakan makanan utama hewan scraper mulai
terganggu akibat tertutupnya perifiton oleh bahan partikulat (sedimentasi) maupun
oleh pencemaran.
Rendahnya CPOM terutama di Stasiun Katulampa dan Cibinong
berpotensi merubah tipe ekologi feeding khususnya dari golongan shredder/
pencabik. Larva Trichoptera yang bertipe shredder (pemakan CPOM) masih
sering dijumpai di situs rujukan (Stasiun Gunung Mas) misalnya: Alloecella sp.,
Caenota sp., Lepidostoma sp., dan Anisocentropus sp. Semakin ke hilir, maka
organisme tersebut sudah tidak ditemui lagi dan mulai didominasi oleh tipe
filtering collector (misalnya Cheumatopsyche sp.). Kandungan CPOM yang
rendah di bagian hilir (Stasiun Cibinong) dapat mempengaruhi ekologi feeding
larva Trichoptera, sehingga tipe filtering collector lebih diuntungkan pada kondisi
ini dan dapat mendominasi perairan (misalnya: Cheumatopsyche sp.). Fenomena
ini mirip dengan konsep river continuum yang menunjukkan konsentrasi CPOM
di bagian hilir yang semakin menurun biasanya diikuti dengan meningkatnya
FPOM, sehingga organisme yang bertipe filtering collector dan gatherer collector
populasinya relatif lebih tinggi (Vannote et al. 1980).
4.7 Karakterisasi Variabel Lingkungan pada Komunitas Larva Trichoptera
Hasil ordinasi antara komunitas larva Trichoptera dengan variabel
lingkungan dengan CCA disajikan dalam grafik triplot (Gambar 35). Pada dua
sumbu utama grafik triplot didapatkan nilai eigenvalue sebesar 0,533 dan 0,33
dengan informasi kumulatif constrained yang terjelaskan sebesar 83.75 %.
Adanya korelasi yang kuat antara sumbu spesies dengan variabel lingkungan
terjadi pada sumbu 1 sebesar 0,952 dan pada sumbu 2 sebesar 0,91. Hasil uji
multikolinearitas pada variabel lingkungan menunjukkan sejumlah variabel yang
saling berautokorelasi (r > 0,8) yaitu: suhu air, DO, konsentrasi C dan N pada
seston, amonium, COD, TOM, ortofosfat, nitrat, dan indeks kimia. Indeks kimia
dipilih guna mewakili variabel yang saling berautokorelasi tersebut karena indeks
tersebut tersusun dari beberapa variabel misalnya: suhu, DO, pH, nitrat, amonium,
dan konduktivitas. Disamping itu indeks tersebut mencerminkan gangguan oleh
pencemaran organik di perairan.
75
Gambar 35. Grafik triplot hasil ordinasi kelimpahan taksa larva Trichoptera dengan variabel lingkungan di Sungai Ciliwung
Pada grafik triplot (Gambar 35) secara umum menunjukkan tiga
pengelompokan stasiun pengamatan yaitu kelompok I terdiri atas stasiun 1 dan 2,
kelompok dua merupakan stasiun 3, dan kelompok III adalah Stasiun 4,5, dan 6.
Semakin panjang panah (variabel) yang mengarah pada spesies dan stasiun
pengamatan, maka kontribusi variabel tersebut pada spesies maupun stasiun
pengamatan semakin besar. Begitu juga sebaliknya jika panah yang panjang
membentuk sudut (≈ 180 0), maka pengaruh variabel tersebut cenderung
berkorelasi negatif dengan variabel yang ada dibaliknya.
Trichoptera yang hidup di Stasiun Gunung Mas misalnya: Helicopsyche,
Caenota, Orthotrichia, Chimarra, Antipodoecia, Diplectrona, Anisocentropus,
Lepidostoma, Philopotamidae Genus 1 memiliki preferensi untuk hidup pada
kondisi pencemaran organik yang rendah (indeks kimia = 91,675-90,02), %
kerikil (55-83), CPOM (93-102 g berat kering/m2), kecepatan arus (1,27-1,31
m/det), dan habitat yang sedikit mengalami gangguan (146-181). Hewan tersebut
76
diatas juga dicirikan dengan karakteristik rendahnya nilai turbiditas (6,37-3,83
NTU), konsentrasi logam Hg di air (0,07-0,25), dan persentase pasir (17-43%).
Sebaliknya larva Trichoptera Cheumatopsyche, Setodes, dan Tinodes relatif
toleran terhadap polutan organik (indeks kimia = 61-81) dan menyukai hidup pada
kondisi tingginya variabel turbiditas (26-32 NTU), logam merkuri di air (0,92-
2,34 ppb), berpasir (89-93%), rendahnya kecepatan arus (0,51-0,67 m/det), dan
CPOM (9-20 g berat kering/m2).
Larva Trichoptera Helicopsyche, Caenota, Orthotrichia, Chimarra,
Antipodoecia, Diplectrona, Anisocentropus, Lepidostoma, dan Philopotamidae
Genus 1 lebih menyukai hidup pada kondisi sungai yang relatif bersih (belum
tercemar) dan kondisi habitat masih relatif alami (vegetasi hutan tersusun oleh
tumbuhan asli). Blinn & Ruiters (2009) menyebutkan Lepidostoma lebih
menyukai hidup di dataran tinggi 1000-2200 m dpl yang belum mengalami
pencemaran, dan rendahnya gangguan pada embeddednes substrat (batu yang
tertanam di dasar perairan) < 10%. Oscoz et al. (2011) menyebutkan Famili
Lepidostomatidae merupakan organisme indikator perairan bersih karena
rendahnya toleransi terhadap pencemaran, tingginya kebutuhan akan oksigen, dan
kualitas daerah pinggir sungai yang masih baik. Gooderham & Tsyrlin (2002)
mengkategorikan Alloecella sp. (Helicophidae), Chimarra sp. (Philopotamidae),
Agapetus sp. (Glossosomatidae), Helicopsyche sp. (Helicopsychidae),
Lepidostoma sp. (Lepidostomatidae), Caenota sp. (Calocidae), Tasiagma sp.(
Tasimiidae) termasuk dalam organisme yang sensitif terhadap pencemaran yang
dicirikan dengan tingginya nilai toleransi dalam indeks SIGNAL (≈ 10).
Helicopsyche sp. lebih menyukai hidup pada sungai yang berarus, suhu relatif
dingin, bersih, dan dangkal (Oscoz et al. 2011). Tinodes sp. yang termasuk dalam
Famili Psychomyiidae sering ditemukan pada segmen pertengahan (orde sungai)
yang dapat mentoleransi limbah organik di perairan. Di bagian hilir sungai yang
vegetasinya jauh banyak berkurang dan telah mengalami pencemaran organik
lebih didominasi oleh larva hydropsychid Cheumatopsyche. Roberge et al. (2010)
menyebutkan kelimpahan larva hydropsychid akan meningkat sejalan dengan
meningkatkan perubahan lahan ke arah urbanisasi maupun pertanian. Hewan
77
tersebut memakan partikel halus yang hanyut dari erosi lahan yang terpengaruh
oleh aktivitas manusia.
Larva Cheumatopsyche termasuk dalam tipe feeding filtering collector
guna mendapatkan makanannya dengan cara menyaring partikel yang hanyut oleh
arus air (seston). Oscoz et al. (2011) menyebutkan larva hydropsychid umumnya
dijumpai pada perairan dengan substrat yang berbatu dan berarus deras. Hewan
tersebut mampu memodifikasi luas mata jaringnya guna menyesuaikan ukuran
dari makanannya. Alexander & Smock (2005) menyebutkan modifikasi ukuran
mata jaring berguna untuk efesiensi menyaring makanan (seston) yang hanyut di
kolom air. Secara umum larva genus Hydropsyche mempunyai ukuran mata jaring
yang lebih besar dibandingkan dengan Cheumatopsyche, karena ukuran partikel
seston di bagian hilir biasanya berukuran lebih kecil/halus. Hasil pengukuran luas
mata jaring Cheumatopsyche menunjukkan dari bagian hulu (0,23 mm2) hingga ke
hilir cenderung menurun (0,05 mm2). Fenomena yang sama juga diamati oleh
Oscoz et al. (2011) yaitu di bagian hulu larva hydropsychid mempunyai luas mata
jaring yang lebih besar dibandingkan di bagian hilir. Hal itu mungkin disebabkan
oleh relatif tingginya kandungan CPOM di bagian hulu, sehingga hewan tersebut
menyesuaikan ukuran jaringnya yang relatif lebih besar (0,29 mm2) dan akan
mengecil di bagian hilir (0,05 mm2). Kecilnya luas mata jaring akan memudahkan
larva Cheumatopsyche dalam menangkap partikel makanan yang lebih halus
hanyut terbawa oleh arus air. Kemungkinan yang ke dua adalah luas mata jaring
juga dipengaruhi oleh kecepatan arus. Karena di bagian hulu kecepatan arusnya
relatif tinggi dibandingkan dengan di hilir, maka hewan tersebut harus
menyesuaikan luas mata jaringnya agar sarangnya tidak mudah rusak oleh tekanan
air yang besar.
Larva Cheumatopsyche relatif lebih toleran terhadap pencemaran organik
maupun kontaminasi logam. Canfield et al. (1994) menyebutkan dominansi larva
hydropsychid yang semakin meningkat merupakan sinyal awal dari meningkatnya
kontaminasi logam berat di perairan. Larva Cheumatopsyche sp. dan Hydropsyche
betteni termasuk dalam Trichoptera yang toleran terhadap pencemaran dan
biasanya hidup di segmen sungai dengan tingkat urbanisasi tinggi (Alexander &
Smock 2005). Namun sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Chakona et al.
78
(2009) menunjukkan larva Cheumatopsyche relatif sensitif pada air yang sudah
tercemar dan keberadaan hewan tersebut akan meningkat kembali di bagian hilir,
ketika kualitas airnya meningkat.
4.8 Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera Cheumatopsyche sp.
Hasil pengukuran lebar kepala larva Cheumatopsyche sp. selama delapan
bulan didapatkan hubungan berat tubuh dan tahap perkembangan instar (Gambar
36 dan Lampiran 5). Pada Gambar 36 menunjukkan larva Cheumatopsyche sp.
untuk menjadi dewasa terjadi setelah bulan Oktober-November dan Februari-
Maret, kerena jumlah pupa yang ditemukan relatif lebih tinggi pada bulan tersebut
dibandingkan dengan bulan lainnya. Ditinjau dari data curah hujan pada bulan
Oktober–November 2010 menunjukkan pada bulan tersebut curah hujan masih
relatif tinggi yaitu 284-436 mm, sedangkan pada bulan Februari-Maret 2011 curah
hujan menunjukkan terendah yaitu 86-140 mm (Gambar 37). Kondisi ini
mengindikasikan bahwa larva Cheumatopsyche sp. dapat melakukan reproduksi
ketika curah hujan relatif rendah (Februari-Maret) maupun tinggi (Oktober –
Nopember). Ditinjau dari banyaknya jumlah pupa yang ditemukan dari bulan
Oktober dan Maret, maka siklus hidup hewan tersebut kemungkinan besar bersifat
bivoltine (bereproduksi dua kali dalam setahun).
Siklus hidup larva Cheumatopsyche telah dipelajari oleh beberapa peneliti.
Mackay (1986) menyebutkan larva Trichoptera Cheumatopsyche pettiti di negara
yang beriklim temperate (Minnesota-USA) bersifat univoltine yang recruitment
umumnya terjadi pada saat musim panas (Bulan Juni akhir) dan pupa terjadi di
bulan Mei. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh Sanchez & Hendricks
(1997) menunjukkan siklus hidup Cheumatopsyche pettiti bersifat bivoltine di
hulu Sungai Stroubles Virginia-USA. Peneliti tersebut menyebutkan bahwa larva
Cheumatopsyche memiliki masa perkembangan larva pupa minimal selama enam
hari. Hydropsychid dewasa memiliki masa hidup relatif pendek dan telur akan di
letakkan di perairan setelah dua sampai tiga hari setelah emergence. Karena
negara Indonesia hanya memiliki dua musim saja (hujan-kemarau) dan perbedaan
kondisi iklim dari kedua musim tersebut relatif tidak terlalu ekstrim, maka
Cheumatopsyche sp. dewasa dapat melakukan reproduksi di kedua musim
79
tersebut, walaupun ada kecenderungan reproduksi banyak dilakukan di bulan
Oktober-November dan Februari-Maret.
Gambar 36. Perkembangan instar larva Cheumatopsyche sp di setiap bulan pada masing-masing stasiun pengamatan.
80
Gambar 37. Data curah hujan dari Bulan Agustus 2010 hingga Mei 2011.
Hasil pengukuran biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B larva
Cheumatopsyche sp. di Sungai Ciliwung ditampilkan dalam Tabel 13.
Penghitungan lebih rinci dari biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B
disajikan dalam Lampiran 6. Pada Tabel 13 menunjukkan biomassa larva
Cheumatopsyche di bagian hulu (Stasiun Gunung Mas) hingga Stasiun Cibinong
cenderung meningkat (0,09-0,29 g.m-2).
Produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. juga meningkat dari
Stasiun Gunung Mas hingga Kampung Jog-jogan (5,9-26,9 g m-2 tahun-1) dan
menurun di Stasiun Katulampa (8,15 g m-2 tahun-1). Di Stasiun Cibinong
produktivitas sekunder Cheumatopsyche sp. meningkat kembali hingga 81,5 g m-2
tahun-1.
Tabel 13. Biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B dari larva Cheumatopsyche sp di Sungai Ciliwung. Penghitungan cohort P/B dapat dilihat dalam Lampiran 6.
No Stasiun Biomassa (g.m-2)
Produktivitas Sekunder
(g.m-2.tahun-1) Cohort P/B*
1 Gunung Mas 1 0,09 5,9 33,9 2 Gunung Mas 2 0,04 7,5 61,9 3 Kampung Pensiunan 0,1 12,8 64,1 4 Kampung Jog-jogan 0,13 26,19 63,7 5 Katulampa 0,22 8,15 12,1 6 Cibinong 0,29 81,5 93,4 Keterangan: tanda * (cohort P/B) nilainya didasarkan pada Lampiran 6.
81
Pola yang sama dengan produktivitas sekunder juga diamati pada nilai
cohort P/B yaitu kecenderungan meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga
Kampung jog-jogan (33,9-63,7) dan menurun di Stasiun Katulampa (12,1). Nilai
cohort P/B di Stasiun Cibinong meningkat kembali hingga 93,4.
Hubungan antara kontaminasi logam merkuri di air, terakumulasi di tubuh,
dan konsentrasi TOM di air dengan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche
sp. disajikan dalam Gambar 38. Pada Gambar 38 menunjukkan adanya trend
yang hampir sama antara meningkatnya kandungan bahan organik (TOM = 11,76
mg/l) dan meningkatnya logam merkuri di perairan hingga konsentrasinya 2,34
ppb mampu mendorong produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp lebih
tinggi di Sungai Ciliwung yang masih termasuk dalam gradien tinggi. Kandungan
bahan organik di perairan mampu mendorong pertumbuhan yang cepat dari larva
Cheumatopsyche sp. yang relatif toleran terhadap pencemaran. Kondisi kualitas
air yang kurang menguntungkan (pencemaran organik dan kontaminasi logam
merkuri) menyebabkan hewan tersebut mampu beradaptasi dengan baik, bersifat
oportunis dibandingkan dengan larva Trichoptera lainnya, dan dapat bersaing
dengan makrozoobentos lainnya dalam memanfaatkan kekosongan niche/ relung
yang ada.
Pengaruh produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche akibat aktivitas
antropogenik di sungai telah diamati oleh beberapa peneliti. Sanchez & Hendricks
(1997) menunjukkan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche lebih tinggi di
area pertanian (3,01 g.m-2.tahun-1) dibandingkan dengan area di bagian hulu yang
masih terletak di dalam hutan (2 g.m-2.tahun-1). Alexander & Smock (2005)
menunjukkan pengaruh hidrologi dari adanya bendungan di daerah Upham Brook
Virginia USA terhadap produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche analis.
Produktivitas sekunder larva C. analis yang berada di bagian hulu (250 m)
sebelum bendungan lebih rendah (7,2 g.m-2.tahun-1) dibandingkan di bawah
bendungan (18,2 g.m-2.tahun-1) dan 1 km setelah bendungan (9,5 g.m-2.tahun-1 ).
Meningkatnya biomassa, produktivitas sekunder, cohort P/B larva
Cheumatopsyche sp. di bagian hilir (Stasiun Cibinong) disebabkan oleh masukan
bahan organik di perairan mendorong pertumbuhan mikroflora dalam seston
maupun perifiton yang berfungsi sebagai makanan bagi larva Cheumatopsyche sp.
82
Larva Cheumatopsyche menyukai kondisi perairan yang kandungan bahan
organiknya dalam kategori sedang hingga tinggi (Mackay 1986). Mackay &
Wiggins (1979) menyebutkan bahwa larva Cheumatopsyche memiliki tipe ekologi
yang tidak spesifik yaitu filtering collector dan scraper. Ketidakspesifikan tipe
ekologi feeding hewan tersebut sangat menguntungkan Cheumatopsyche guna
memanfaatkan sumber makanan yang tersedia secara optimal ketika salah satu
makanannya (seston/perifiton) kurang tersedia. Di bagian hulu sungai, jumlah
kelimpahan perifiton dan konsentrasi C dan N di seston relatif rendah yang
berpengaruh pada ketersediaan makanan dan status nutrisi yang dapat
dimanfaatkan oleh larva Cheumatopsyche sp. Semakin ke hilir kelimpahan
perifiton dan konsentrasi C dan N di seston relatif lebih tinggi dibandingkan
stasiun lainnya, sehingga larva Cheumatopsyche sp dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal.
Gambar 38. Hubungan antara konsentrasi bahan organik (TOM) di perairan dan meningkatnya logam merkuri mampu mendorong produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche
83
Rendahnya produktivitas sekunder Cheumatopsyce sp. di Stasiun
Katulampa kemungkinan besar disebabkan oleh adanya aktivitas penambangan
batu dan pasir yang dilakukan oleh masyarakat berpotensi mengganggu populasi
larva Trichoptera. Pengambilan substrat batu dapat mengganggu kelangsungan
hidup larva Cheumatopsyche sp., karena batu yang tertanam di sungai dapat
berfungsi sebagai tempat untuk melekatnya sarang guna berlindung dari predator
maupun tempat memperoleh makanan (perifiton). Semakin berkurangnya batuan
terutama yang berukuran puing dapat menurunkan kelimpahan larva
Cheumatopsyche sp. di Stasiun Katulampa, sehingga berpengaruh pada rendahnya
nilai produktivitas sekunder di stasiun tersebut.
Nilai Cohort P/B larva Trichoptera di Stasiun Gunung Mas hingga
Cibinong cenderung untuk meningkat. Stasiun Katulampa memiliki nilai P/B yang
relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kondisi ini
mencerminkan turn over/ kemampuan pulih larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun
Gunung Mas relatif lebih lama. Cohort P/B di Stasiun Cibinong paling cepat
dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya P/B ke arah hilir mungkin
disebabkan dari adanya recruiment dari kohort baru dan pertumbuhan yang relatif
cepat guna menyelesaikan satu siklus hidupnya. Kondisi ini mungkin dipengaruhi
oleh meningkatnya faktor suhu air (18-28,9 0C) dan ketersediaan makanan
(seston) yang mendukung pertumbuhan larva sehingga mempengaruhi laju
metabolisme larva di bagian hilir akan meningkat. Hal ini akan mempercepat
perkembangan larva untuk menjadi dewasa dan mendorong terjadinya recruitment
baru.
4.9 Penyusunan Biokriteria dengan Menggunakan Konsep Multimetrik
Hasil uji sensitivitas masing-masing metrik biologi dalam mencerminkan
gangguan pada Sungai Ciliwung ditampilkan dalam grafik Box-Whisker Plot
(Lampiran 7). Analisis kemampuan diskriminasi dari grafik Box-Whisker Plot
antara situs rujukan dengan situs uji dirangkum dalam Tabel 14.
84
Tabel 14. Kemampuan diskriminasi masing-masing metrik biologi dalam mencerminkan gangguan di Sungai Ciliwung.
No Komposisi metrik skor IQ Keterangan
1 Jumlah skor SIGNAL 3 Kemampuan deskriminasi tinggi antara bagian yang belum dan sudah mengalami gangguan, kandidat yang baik sebagai metrik penyusun biokriteria
2 Jumlah taksa 3 s.d.a 3 % Kelimpahan 3 taksa dominan 3 s.d.a 4 Jumlah taksa sensitif 3 s.d.a 5 Indeks SIGNAL 1 Kemampuan diskriminasi yang
rendah antara situs yang belum dengan sudah mengalami gangguan. Adanya tumpang tindih satu median IQ dengan kisaran IQ lainnya. Kandidat yang buruk sebagai penyusun komponen biokriteria.
6 Kelimpahan total 0 Kemampuan diskriminasi rendah antara situs yang belum dengan sudah mengalami gangguan. Adanya tumpang tindih IQ terjadi hampir keseluruhan dengan kisaran IQ lainnya atau kedua median terjadi tumpang tindih. Kandidat yang buruk sebagai penyusun komponen biokriteria.
7 Jumlah taksa Hydropsychidae 0 s.d.a 8 Jumlah taksa toleran 0 s.d.a 9 % Kelimpahan Hydropsyche 0 s.d.a 10 % Kelimpahan filtering
collector 0 s.d.a
11 Jumlah taksa Fakultatif 3 Kemampuan deskriminasi tinggi antara situs yang belum dan sudah mengalami gangguan, namun metrik ini memiliki kisaran yang sangat sempit untuk memisahkan situs yang sudah mengalami gangguan (misalnya ringan hingga sedang). Metrik ini merupakan kandidat yang kurang baik sebagai metrik penyusun biokriteria
12 % Kelimpahan shredder 3 s.d.a
85
Hasil uji kemampuan diskriminasi (Tabel 14) menunjukkan metrik jumlah
skor SIGNAL, jumlah taksa, % kelimpahan 3 taksa yang dominan, dan jumlah
taksa sensitif merupakan kandidat yang paling baik untuk digunakan sebagai
komponen penyusun biokriteria. Adapun metrik biologi lainnya relatif kurang
baik sebagai kandidat penyusun biokriteria karena adanya tumpang tindih kisaran
IQ di antara situs rujukan dengan situs uji, maupun kisaran IQ yang sangat sempit
di antara situs uji yang satu dengan lainnya (misalnya: metrik taksa fakultatif dan
% shredder).
Hasil uji statistik dengan menggunakan Mann-Whitney U-test empat
metrik di atas antara situs rujukan dan situs uji menunjukkan adanya perbedaan
yang sangat signifikan (p < 0,01) (Tabel 15 ). Kondisi ini menunjukkan empat
kandidat metrik diatas dapat dilanjutkan sebagai komponen dari biokriteria yang
akan dibuat.
Tabel 15. Uji masing-masing metrik antara situs rujukan dengan situs uji dengan menggunakan analisis non parametrik Mann-Whitney U-test.
Metrik Uji U Uji Z p Jumlah skor SIGNAL 0.00 5.60 0.00 Jumlah taksa 1.50 5.57 0.00 % kelimpahan 3 dominan 0.00 -5.60 0.00
Jumlah taksa sensitif 5.00 5.49 0.00
Berbagai macam metrik biologi telah digunakan dalam mendeteksi
gangguan ekologi yang terjadi di Sungai Ciliwung. Hasil uji kemampuan
diskriminasi dapat diketahui sensitifitas masing-masing metrik larva Trichoptera
dalam mencerminkan gangguan ekologi akibat perubahan kualitas lingkungan di
Sungai Ciliwung. Informasi yang dihasilkan dari atribut kekayaan taksa dan
dominansi seringkali berguna sebagai komponen dalam penyusunan biokriteria
(Keran & Karr 1994). Lydy et al. (2000) menyebutkan metrik jumlah taksa
merupakan salah satu metrik yang paling kuat dalam mencerminkan gangguan
ekosistem akuatik, karena biasanya ada korelasi positif antara jumlah taksa
dengan tingginya kualitas lingkungan.
86
Atribut biologi kekayaan taksa Famili Hydropsychidae dari penelitian ini
relatif kurang sensitif. Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan identifikasi pada
penelitian ini hanya sampai level genus sehingga jumlah genus yang ditemukan
pada masing-masing situs relatif sedikit dan pada kisaran yang sempit (1–2 taksa).
Oleh sebab itu kemampuan deskriminasi IQ dari masing-masing situs banyak
yang mengalami tumpang tindih.
Atribut populasi (indeks keanekaragaman Shannon-Wiener) tidak
dimasukkan dalam komponen penyusun biokriteria dikarenakan untuk indeks
keanekaragaman dapat mengalami redundant dengan metrik biologi lainnya yang
sudah ditetapkan sebelumnya (jumlah taksa dan % kelimpahan 3 taksa yang
dominan). Hal ini dikarenakan indeks keanekaragaman menggabungkan tiga
komponen utama dari struktur komunitas yaitu: kelimpahan, jumlah taxa, dan
evenness/ kemerataan distribusi organisme diantara spesies (Washington 1984).
Di samping itu nilai indeks tersebut memiliki kisaran yang relatif sempit (0-2,8
bits per individu) sehingga tidak menguntungkan sebagai kandidat metrik, karena
kemungkinan untuk terjadinya overlap pada kisaran IQ dengan situs uji lainnya
relatif besar.
Metrik toleransi terhadap polutan (misalnya SIGNAL, jumlah taksa
toleran, fakultatif) sering digunakan dalam penyusunan indeks multimetrik/
integritas biotik, karena organisme yang tergolong sensitif seringkali hilang/
menurun dengan rendahnya kualitas lingkungan. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain beberapa taksa yang ditemukan masih belum memiliki
nilai skor toleransinya (misalnya: Alloecella sp., Ecnomina sp. dan sebagainya)
sehingga akan berpengaruh pada jumlah skor totalnya. Ketidaksensitifan indeks
SIGNAL dalam mencerminkan gangguan pada penelitian ini juga disebabkan oleh
adanya faktor pembagi dengan jumlah taksa yang ditemukan. Banyaknya taksa
yang ditemukan dengan nilai toleransi yang relatif kecil dan adanya faktor
pembagi dengan jumlah taksa yang ditemukan, akan berpengaruh pada rendahnya
hasil nilai akhirnya. Namun jika tidak menggunakan faktor pembagi jumlah taksa
yang ditemukan, nampaknya metrik penjumlahan skor toleransi dari SIGNAL
cukup sensitif dalam memisahkan situs yang belum dan sudah mengalami
gangguan. Fenomena ini juga mirip dengan penggunaan indeks biological
87
monitoring working party (BMWP) yang hanya menggunakan penjumlahan skor
nilai toleransinya lebih sensitif dalam mendeteksi pencemaran organik
dibandingkan dengan indeks average score per taxon /ASPT yang menggunakan
fakror pembagi dengan jumlah taksa yang ditemukan (Armitage et al., 1983).
Metrik kelimpahan (total, Hydropsychidae, filtering collector, dan
shredder) seringkali kurang sensitif dalam mencerminkan gangguan akibat
aktivitas antropogenik, hal ini dikarenakan banyak faktor yang berpengaruh pada
kelimpahan dan distribusi organisme makrozoobentos misalnya predasi, driftting,
strategi untuk memperoleh makanan, siklus hidup, musim, dan sensitifitas
terhadap polutan atau gangguan. Chatzinikolaou et al. (2008) menambahkan
distribusi makrozoobentos juga dipengaruhi oleh komposisi substrat, kimia air,
dan kondisi hidrolika perairan.
Adanya gangguan yang disebabkan oleh pencemaran tidak selalu diikuti
dengan perubahan tipe fungsional feedingnya. Kerans & Karr (1994) yang
melakukan penelitian di Sungai Tennesse Valley USA menunjukkan atribut
ekologi feeding (kelimpahan relatif shredder, detritivore, dan gatherer) kurang
sensitif dalam mencerminkan kualitas air sungai tersebut. Kelimpahan dari
shredders dapat dikontrol oleh interaksi antara sungai dengan zona riparian.
Dalam konsep river continuum (Vannote et al. 1980) menunjukkan kelimpahan
shredders akan menurun ketika ukuran lebar dari sungai meningkat, sehingga
kemampuan metrik % kelimpahan shredders relatif rendah dalam mencerminkan
gangguan di sungai akibat aktivitas antropogenik. Metrik shredders mungkin
berguna dalam mencerminkan gangguan pada zona riparian khususnya pada
sungai-sungai kecil (Kerans & Karr 1994).
Hasil normalisasi empat metrik biologi terpilih dengan menggunakan
pembobotan dan grafik Box-Whisker Plot didapatkan hasil seperti yang tercantum
pada Tabel 16. Indeks baru yang dihasilkan dari pendekatan konsep multimetrik
disebut sebagai indeks biotik Trichoptera (IBT). Kategori gangguan yang
dihasilkan dari IBT yaitu: 26-28 dalam kategori belum/sedikit mengalami
gangguan (Situs Rujukan), 17-18 kategori gangguan ringan (Kampung
88
Pensiunan), 7-16 kategori gangguan sedang (Kampung Jog-jogan dan
Katulampa), dan 6-4 kategori gangguan berat (Cibinong).
Tabel 16. Tahap scoring dalam penyusunan biokriteria (Indeks biotik
Trichoptera).
Metrik biologi Nilai skor 7 5 3 1
Jumlah skor SIGNAL ≥ 55 54-33 32-20 ≤19 Jumlah total taksa ≥ 7 6-5 4-3 ≤2 % Kelimpahan 3 dominan ≤ 80 81-96 97-99 100 Jumlah taksa sensitif ≥ 5 4-3 2 ≤1 Kriteria gangguan Minimal/ belum
gangguan Gangguan
ringan Gangguan
sedang Gangguan
berat Nilai kisaran indeks biotik Trichoptera (IBT) 26-28 17-18 7-16 4-6
Hasil uji korelasi rangking Spearman (Tabel 17) antara IBT dengan
variabel pencemaran organik (indeks kimia), gangguan habitat (indeks habitat),
dan kontaminasi logam berat (indeks pencemaran logam) menunjukkan adanya
korelasi yang sangat kuat (r > 0.75). Kondisi ini menunjukkan adanya
kecenderungan tingginya nilai IBT akan diikuti dengan rendahnya tingkat
pencemaran organik, kontaminasi logam merkuri, dan tingginya kualitas habitat
(alami/sedikit mengalami gangguan).
Tabel 17. Korelasi rangking Spearman antara indeks biotik trichoptera dengan indeks habitat, indeks kimia, dan polusi logam.
Korelasi metrik IBT dengan lainnya Spearman (r) IBT & Indeks habitat 0.85 IBT & Indeks kimia 0.92 IBT & Indeks polusi logam -0.93
Larva Trichoptera memiliki nilai penting dalam pemantauan biologi
perairan kerena kekayaan taksa, keanekaragaman ekologi, dan kelimpahannya
mampu merespon perbedaan tipe gangguan di ekosistem akuatik (Hougton 2004).
Hasil penyusunan biokriteria berupa Indeks Biotik Trichoptera (IBT) merupakan
salah satu kemajuan dalam bioassessment karena hanya menggunakan satu taksa
saja dibandingkan dengan metode konvesional sebelumnya (melibatkan seluruh
89
taksa makrozoobentos yang ada). Salah satu kelemahan dari IBT yang baru
terbentuk adalah masih adanya kesenjangan pada kisaran kriteria IBT sebagai
contoh daerah yang belum mengalami gangguan (26-28) dengan daerah yang
telah mengalami gangguan ringan (17-18). Kondisi ini disebabkan oleh masih
terbatasnya kasus/ data base tipe gangguan yang terjadi di Sungai Ciliwung
khususnya daerah yang belum mengalami (situs rujukan). Negara Inggris dalam
membuat model prediktif River Invertebrate Prediction and Classification System
(RIVPACS) menggunakan 41 situs rujukan guna menyusun model tersebut
(Clarke et al. 2003). Lydy et al. (2000) dalam mengembangkan index biotic
integrity (IBI) di Sungai Arkansas menggunakan 30 situs rujukan. Adanya
penambahan contoh kasus dari situs rujukan dan situs uji diharapkan mampu
menurunkan adanya kesenjangan yang terjadi dari kriteria belum mengalami
gangguan dan yang telah mengalami gangguan ringan.
Indeks biotik trichoptera (IBT) relatif sama dengan indeks biologi lainnya
yang dikembangkan sebelumnya dalam mendeteksi gangguan ekologi yang terjadi
di Sungai. Kerans & Karr (1994) menyebutkan keuntungan indeks biologi
dibandingkan dengan pengukuran secara kimia, karena parameter kualitas air
seringkali tidak mencerminkan seluruh pengaruh manusia pada ekosistem akuatik,
sedangkan penggunaan biota yang resident/menetap (makrozoobentos) mampu
merespon penggabungan dari seluruh pengaruh manusia pada ekosistem akuatik.
Keuntungan dari penggunaan IBT ini terletak pada informasi yang dihasilkan dari
indeks ini mampu menggambarkan tingkat keseimbangan populasi, toleransi
polusi, dan keanekaragaman dari hewan Trichoptera secara komprehensif dan
terintegrasi dalam menggambarkan gangguan ekologi yang terjadi di Sungai
Ciliwung. Karena setiap komponen dari metrik biologi mencerminkan informasi
yang spesifik, maka penggabungan ke dalam metrik tunggal dapat memberikan
informasi yang menyeluruh terhadap kompleksitas sistem biologi di ekosistem
akuatik (Kerans & Karr 1994).
90
4.10 Aplikasi Indeks Biotik Trichoptera (IBT) dalam Mendukung Pengelo-
laan Sungai Ciliwung.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya potensi yang besar dari larva
Trichoptera untuk digunakan sebagai alat evaluasi kualitas lingkungan akibat
pengaruh aktivitas antropogenik di ekosistem Sungai Ciliwung. Larva Trichoptera
sebagian besar bersifat sensitif terhadap gangguan yang ditimbulkan oleh
pencemaran maupun kerusakan pada habitat. Hewan tersebut memiliki peran yang
penting dalam menyusun rantai makanan di ekosistem sungai, oleh karena itu
kondisi habitat yang mendukung bagi kehidupan hewan tersebut sudah selayaknya
dipertahankan atau dilestarikan.
Berbagai macam usaha yang dapat diambil guna menekan atau mencegah
kerusakan pada ekosistem Sungai Ciliwung guna mendukung kehidupan larva
Trichoptera maupun makrozoobentos lainnya antara lain: 1). Manajemen dan
pengolahan limbah (domestik maupun industri) yang dilakukan secara terpadu
oleh berbagai stake holder yang memiliki kepentingan dengan Sungai Ciliwung
(misalnya: Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Pemkot Bogor-Depok-
Jakarta, Pusarpedal, kalangan industri, dan masyarakat di sekitar DAS Ciliwung).
Adanya instalasi pengolah limbah sebelum limbah tersebut dibuang ke sungai
dapat menurunkan beban pencemar yang masuk ke Sungai Ciliwung. 2).
Konservasi vegetasi riparian yang ada di bantaran sungai maupun yang ada di
bagian hulu sungai. Keberadaan vegetasi riparian ini sangat penting artinya guna
mengurangi masuknya air run-off dan nutrien ke sungai, maupun sebagai sumber
penyumbang materi allochtonous bagi kehidupan biota akuatik lainnya. Di
samping itu keberadaan vegetasi riparian ini dapat berfungsi sebagai penyedia
nektar yang dapat dimanfaatkan oleh serangga bentik dewasa sebagai sumber
makanannya maupun untuk berlindung dari predator. 3). Peningkatan/ rekayasa
habitat guna mendukung kehidupan makrozoobentos secara keseluruhan.
Pembuatan susbtrat buatan (artificial subtrate) yang dapat dilakukan dengan cara
penanaman vegetasi riparian submerged di bagian pinggir sungai, potongan-
potongan kayu, maupun batu guna meningkatkan heterogenitas dan kompleksitas
91
habitat. Komposisi substrat yang lebih heterogen mampu meningkatkan
keanekaragaman dari banyak spesies makrozoobentos. Disamping itu perlu
adanya upaya pencegahan perusakan habitat pada Sungai Ciliwung misalnya
dengan pembatasan penambangan batu dan pasir seperti yang marak dilakukan di
Stasiun Katulampa, dan 4). Peningkatan kesadaran masyarakat melalui pelatihan
pemanfaatan limbah maupun pendidikan tentang arti pentingnya menjaga
kelestarian ekosistem sungai, sehingga sungai tidak dianggap lagi sebagai tempat
pembuangan akhir dari kegiatan/ aktivitas antropogenik. Upaya yang dapat
dilakukan guna meningkatkan kesadaran masyarakat dapat melalui jalan formal
(pendidikan) maupun secara informal (pelatihan) guna mereduksi sampah atau
limbah yang dihasilkan agar tidak dibuang secara langsung ke sungai.
Bagian hulu Sungai Ciliwung memiliki peran penting dalam pengelolaan
ekosistem Sungai Ciliwung secara keseluruhan. Karena pengembangan biokriteria
ini sangat bergantung pada keberadaan situs rujukan yang umumnya berada di
bagian hulu, maka konservasi di bagian hulu mutlak diperlukan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Cullen (2002) tentang pentingnya konservasi di situs rujukan
yang umumnya terletak di bagian hulu guna melindungi sistem sungai agar tetap
sehat yaitu:
1. Menyediakan tempat sumber pembenihan dan membantu rekolonisasi
ketika daerah yang ada dibawahnya mengalami gangguan/ kerusakan.
2. Berfungsi sebagai referensi/ benchmark guna menilai dan memperkirakan
sampai sejauh mana tindakan menejemen sungai yang telah dilakukan
menyimpang dari kondisi alaminya. Seperti halnya seorang dokter yang
dapat membandingkan antara pasien yang sehat dengan yang sakit.
3. Melindungi spesies air tawar yang hidup di Sungai Ciliwung, karena setiap
organisme mempunyai nilai tersendiri bagi ekosistem perairan dan
seringkali berfungsi sebagai sumber materi genetik yang tidak terbarukan.
Penelitian ini merupakan langkah awal dalam pengembangan biokriteria
lokal yang adaptif yang dapat disesuaikan dengan kondisi iklim dan geografis
setempat. Karena Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersusun
dari ribuan pulau yang mungkin memiliki karakteristik geomorfologi berbeda,
92
maka pengembangan biokriteria yang didasarkan pada konsep multimetrik di
masa mendatang memiliki keunggulan tersendiri. Penggunaan IBT dalam
pengelolaan Sungai Ciliwung dapat berfungsi sebagai sebagai alat untuk menilai
dampak ekologi dari suatu kegiatan antropogenik ke ekosistem sungai maupun
untuk mengkaji tingkat keberhasilan dari suatu program pengelolaan Sungai yang
telah di ambil/ dilaksanakan. Penilaian kualitas lingkungan dengan menggunakan
IBT ini masih bersifat lokal (hanya cocok untuk S. Ciliwung saja) karena situs
rujukan yang digunakan sebagai model penyusunannya hanya diperoleh dari anak
sungai yang terletak di DAS Ciliwung. Penggunaann indeks ini untuk sungai
lainnya (selain Ciliwung) masih perlu dikaji ulang dan mungkin perlu dilakukan
kalibrasi, sehingga indeks ini dapat diterapkan secara lebih luas. Indeks yang baru
terbentuk ini (IBT) mungkin masih perlu penyempurnaan di masa mendatang
karena terbatasnya dari basis data komunitas Trichoptera yang hidup di situs
rujukan dan yang telah mengalami gangguan. Disamping itu keuntungan lainnya
dari IBT adalah hanya melibatkan satu taksa Trichoptera saja yang dapat
menghemat waktu untuk identifikasi maupun penyajian hasil pemantauan kualitas
lingkungan menjadi lebih singkat, jika dibandingkan dengan melibatkan seluruh
taksa makrozoobentos.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal penting yaitu:
1. Adanya pencemaran organik maupun kontaminasi logam merkuri di Sungai
Ciliwung yang masih bergradien tinggi dapat menurunkan jumlah taksa
(genus), keanekaragaman (H’), dan keseragaman (E) dari komunitas larva
Trichoptera. Namun kelimpahan larva Hydropsychid (Cheumatopsyche sp.)
yang bertipe ekologi feeding filtering collector cenderung meningkat .
2. Produktivitas sekunder dan biomassa larva Cheumatopsyche sp. cenderung
meningkat ketika konsentrasi bahan organik (TOM 14,27 mg/l) dan logam
merkuri di air Sungai Ciliwung (3,55 ppb) juga mengalami peningkatan.
Adanya gangguan habitat seperti pengambilan substrat (batu) yang dilakukan
secara masif dapat menurunkan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche
sp.
3. Empat metrik biologi yang cukup sensitif dalam mendeteksi gangguan ekologi
pada Sungai Ciliwung yaitu: jumlah skor SIGNAL, jumlah total taksa, %
kelimpahan 3 taksa yang dominan, dan jumlah taksa sensitif. Didasarkan pada
empat metrik biologi tersebut, maka dapat dihasilkan Indek biotik Trichoptera
(IBT) dengan kriteria sebagai berikut: nilai 26-28 kategori belum atau minimal
mengalami gangguan, 17-18 gangguan ringan, 7-16 gangguan sedang, dan 4-6
gangguan berat.
5.2 SARAN Hasil dari penelitian ini ada beberapa saran penting yang dapat dilakukan
khususnya dalam menunjang kesempurnaan biokriteria (IBT) yang baru dibentuk
antara lain:
1. Perlu adanya penambahan stasiun yang berfungsi sebagai situs rujukan,
sehingga dapat mewakili DAS Ciliwung hulu secara keseluruhan. Di samping
95
itu penambahan kasus dari situs uji juga perlu dilakukan agar dapat dievaluasi
sensitifitas dari IBT dalam mencerminkan gangguan ekologi di situs yang lain
dari Sungai Ciliwung.
2. Perlu adanya usaha konservasi terutama di bagian hulu Sungai Ciliwung karena
vegetasi riparian dapat berfungsi sebagai sumber materi allochtonous bagi
larva Trichoptera maupun makrozoobentos secara keseluruhan. Disamping itu
vegetasi tersebut juga berfungsi sebagai sumber penyedia makanan (nektar)
bagi Trichoptera dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Akagi H, Nishimura H. 1991. Speciation of Mercury in The Soils and Sediments
Environment. Di dalam: Suzuki T, editor. advances in mercury toxicology. Plenum Press New York. p: 53-76.
Alexander S, Smock LA. 2005. Life Histories and Production of
Cheumatopsyche analis and Hydropsyche betteni (Trichoptera: Hydropsychidae) in an Urban Virginia Stream. Northeastern Naturalist 12(4): 433–446.
Angelier E.2003. Ecology of Stream and River. Sience Publisher.USA.215p Armitage PD, Moss D, Wright JF, Furse MT. 1983. The Performance of a New
Biological Water Quality Score System Based on Macroinvertebrates Over a Wide Range of Polluted Running-Water Sites. Water Research 17: 333-347.
Bank MS, Burgess JR, Evers DC, Loftin CS. 2007. Mercury Contamination of
Biota from Acadia National Park, Maine: A Review. Environmental Monitoring and Assessment 126: 105–115.
Barata C, Lekumberri I, Vila-escale M, Prat N, Porte C. 2005. Trace metal
concentration, antioxidant enzyme activities and susceptibility to oxidative stress in the tricoptera larvae Hydropsyche exocellata from the Lobregat river basin (NE Spain). Aquatic Toxicology 74: 3–19.
Barbour MT, Gerritsen J, Griffith GE, Frydenborg R, McCarron E, White JS, Bastian ML.1996. A Framework for Biological Criteria for Florida Streams Using Benthic Macroinvertebrates. Journal of the North American Benthological Society 15 (2): 185-211.
Barlocher F. 1983. Seasonal Variation of Standing Crop and Digestibility of
CPOM in a Swiss Jura Stream. Ecology 64(5):1266-1272. Beasley G, Kneale P. 2004. Assessment of heavy metal and PAH contamination
of urban streambed sediments on macroinvertebrates. Water, Air, and Soil Pollution: Focus 4: 563–578.
Bellinger EG, Sigee DC. 2010. Freshwater Algae, Identification and Use as
Bioindicators. USA.Wiley-Blackwell.
97
Benke AC. 2010. Secondary Production As Part of Bioenergetic Theory
Contributions From Freshwater Benthic Science. River Research Application 26: 36–44.
Benke AC. 1979. A modification of the Hynes method for estimating secondary
production with particular significance for multivoltine populations. Limnology and Oceanography 24: 168-171.
Benke AC, Huryn AD. 2007. Secondary Production of Macroinvertebrates. Di
dalam : Hauer FR, Lamberti GA, editor. Methods in Stream Ecology. Ed ke-2. China. Elsevier.
Berra E, Forcella M, Giacchini R, Rossaro B, Parenti P. 2006. Biomarkers in
Caddisfly Larvae of The Species Hydropsyche Pellucidula (Curtis, 1834) (Trichoptera:Hydropsychidae) Measured in Natural Populations and after Short Term Exposure to Fenitrothion. Bulletin Environmental Contamination and Toxicology 76: 863-870.
Bilby RE and Bisson PA. 1998. Function and distribution of large woody debris, In: S. KANTOR (eds): River ecology and management. Lessons from the Pacific Coastal Ecoregion. Springer. USA. p:324-338.
Bisthoven LJ, Postma JP, Parren P, Timmermans KR, Ollevier F. 1998. Relation
between Heavy Metal in Aquatic Sediments in Chironomus larvae of Belgian Lowland Rivers and their Morphological Deformities. Canadian Journal Fish and Aquaic Science 55: 688-703.
Blinn DW, Ruiter DE. 2009. Caddisfly (Trichoptera) Assemblages Along Major
River Drainages In Arizona, Western North American Naturalist 69(3): 299–308.
Blocksom KA, Kurtenbach JP, Klemm DJ, Fulk FA, Cormier SM. 2002.
Development and Evaluation of The Lake Macroinvertebrate Integrity Index (LMII) For New Jersey Lakes and Reservoirs, Environmental Monitoring and Assessment 77: 311–333.
BPLHD. 2006a. Status Ekologis Sungai Ciliwung, Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat. Bandung. Burton JA. 2002. Sediment Quality Criteria in Use Around The World. Limnology
3: 65-75.
98
Cairns JJ, Dickson KL. 1971. A Simple Method for The Biological Assessment of The Effects of Waste Discharges on Aquatic Bottom-Dwelling Organisms. Journal Water Pollution Control Federation 43 (5): 755- 1971.
Camargo JA. 1991. Toxic Effects of Residual Chlorine on Larvae of Hydropsyche
pellucidula (Trichoptera, Hydropsychidae): a Proposal of Biological Indicator. Bulletin Environmental Contamination and Toxicology 47: 261-265.
Canfield TJ, Kimble NE, Grumbaugh WG, Dwyer FJ, Ingersoll CG, Fairchild JF.
1994. Use of Benthic Macroinvertebrate Community Structure And Sediment Quality Triad to Evaluate Metal Contaminated Sediment in The Upper Clark Fork River, Montana. Environmental Toxicology and Chemistry 13: 1999-2012.
Carlisle DM, Clements WH. 2003. Growth and Secondary Production of Aquatic
Insects along a Gradient of Zn Contamination in Rocky Mountain Streams. Journal of the North American Benthological Society 22(4): 582-597.
Carter JL, Resh VH. 2001. After Site Selection and Before Data Analysis: Sampling, Sorting, and Laboratory Procedurs Used in Stream Benthic Macroinvertebrate Monitoring Program by USA State Agencies. Journal of the North American Benthological Society 20(4): 658-682.
CCME. 2003. Canadian Water Quality Guidelines for the Protection of Aquatic
Life: Inorganic Mercury and Methylmercury. Di dalam: Canadian Environmental Quality Guidelines. Canadian Council of Ministers of the Environment. Winnipeg.
Chakona A, Phiri C, Day JA. 2009. Potential for Trichoptera Communities as
Biological Indicators of Morphological Degradation in Riverine System. Hydrobiologia 621:155-167.
Chakrabarty D, Das SK. 2006. Alteration of Macroinvertebrate Community in
Tropical Lentic Systems in Context of Sediment Redox Potential and Organic Pollution. Biological Rhythm Research. 37(3): 213 – 222.
Chatzinikolaou Y, Dakos V, Lazaridou M. 2008. Assessing the Ecological
Integrity of a Major Transboundary Mediterranean River Based on Environmental Habitat Variables and Benthic Macroinvertebrates
99
(Aoos-Vjose River, Greece-Albania). International Review of Hydrobiology 93 (1): 73–87.
Chen TB., Zheng YM, Lei M, Huang ZC, Wu HT, Chen H, Fan KK., Yu K, Wu
X, Tian QZ. 2005. Assessment of Heavy Metal Pollution in Surface Soils of Urban Parks in Beijing, China. Chemosphere 60: 542 – 551.
Chovanec A, Waringer J. 2001. Ecological Integrity of River–Floodplain
Systems—Assessment by Dragonfly Surveys Insecta: Odonata. Regulated Rivers: Research and Management 17: 493–507.
Clarke KR, Warwick RM. 2001. Change Marine Communities: an approach to
statistical analysis and interpretation. Ed ke-2. PRIMER-E. Plymouth. Clarke RT, Wright JF, Furse MT, 2003. RIVPACS Models for Predicting the
Expected Macroinvertebrate Fauna and Assessing the Ecological Quality of Rivers. Ecological Modelling 160: 219-233
Clements WH. 1994. Benthic Invertebrate Community Responses to Heavy
Metals in The Upper Arkansas River Basin, Colorado. Journal of the North American Benthological Society 13(1): 30-44.
Clifford HF. 1991. Aquatic Invertebrates of Alberta. Alberta. The University of
Alberta Press. Courtney LA, Clements WH. 2002. Assessing The Influence of Water and
Substratum Quality on Benthic Macroinvertebrate Communities in A Metal-Polluted Stream: an Experimental Approach. Freshwater Biology 47:1766–1778.
Cox EJ.1996. Identification of Freshwater Diatoms from Live Material. London.
Chapman & Hall. Cullen PE. 2002. Conserving Natural Rivers. A Guide For Catchment Managers.
River Management Series Part 1. Cooperative Research Centre For Freshwater Ecology. Australian.12 p.
Cummins KW, Klug MJ. 1979. Feeding Ecology of Stream Invertebrates. Annual
Review Ecology, Evolution, and Systemmatics 10: 147-172.
100
Dahl J, Johnson RK, Sandin L. 2004. Detection of Organic Pollution of Streams in Southern Sweden Using Benthic Macroinvertebrates. Hydrobiologia 516: 161–172.
Dean JC, St. Clair RM, Cartwright DI. 2010. Identification Keys to Australian
Families and Genera of Caddis-Fly Larvae (Trichoptera). Identification & Ecology Guide No. 50. Thurgoona. NSW.
Dickman M, Brindle I, Benson M.1992. Evidence of Teratogens in Sediments of
The Niagara River Watershed as Reflected by Chironomid (Diptera: Chironomidae) Deformities. Journal of Great Lakes Research 18(3): 467-480.
Dziock F, Henle K, Foeckler F, Follner K, Scholz M. 2006. Biological Indicator
Systems in Floodplains – a Review. International Review of Hydrobiology 91 (4): 271–291.
Eaton, Andrew D, Clesceri, Lenore S, Rice, Eugene W, Greenburg, Arnold E,
Franson, Mary Ann H. 1995. Standard methods for the examination of water and wastewater (19th
Edition), Baltimore, Maryland: American Public Health Association, 1325 p.
Fairchild JL, Boyle T, English WR, Rabeni C. 1987. Effects of Sediment and Contaminated Sediment on Structural and Functional Component of Experimental Stream Ecosystems. Water and Soil Pollution 36: 271-293.
Figueiredo-Barros MP, Leal JF, de A. Esteves F, Rocha AM, Bozelli RL. 2006.
Life cycle, Secondary Production and Nutrient Stock in Heleobia Australis (d’Orbigny 1835) (Gastropoda: Hydrobiidae) in a Tropical Coastal Lagoon. Estuarine, Coastal and Shelf Science 69: 87-95.
Geraci CJ, Morse JC. 2008. New species of Cheumatopsyche (Trichoptera:
Hydropsychidae) from North Sulawesi, Indonesia. The Pan-Pacific Entomologist 84(1): 1–8.
Gerhardt A, De Bisthoven LJ, Soares AMVM. 2004. Macroinvertebrtae Response
to Acid Maine Drainage: Community Structure and On-line behavioral taoxicity bioassay. Environmental Pollution 130: 263-274.
Gooderham J, Tsyrlin E. 2002. The Waterbug Book. Collingwood. Victoria.
Australia. CSIRO Publishing.
101
Graf W, Murphy J, Dahl J, Zamora-Muñoz C, López-Rodríguez MJ. 2008.
Distribution and Ecological Preferences of European Freshwater Organisms. Volume 1. Trichoptera. Pensoft Publishers. Bulgaria.
Gurtz ME, Wallace JB. 1986. Substratum-Production Relationships in Net-Spinning Caddisflies (Trichoptera) in Disturbed and Undisturbed Hardwood Catchments. Journal of the North American Benthological Society 5(3): 230-236.
Hall R. 2012. Caddisflies. http://streamwatch.org/bug-blog/caddisflies. [diakses
tanggal 28 Agustus 2012]. Hersey AE, Lamberti GA. 1998. Stream Macroinvertebrate Communities. Chapter
8. Di dalam: Naiman RJ, Bilby RE, editor. River Ecology and Management Lessons from the Pasific Coastal Ecoregion. New York. Springer. p:169-199.
Hoffsten P. 1999. Distribution of Filter-feeding Caddisflies (Trichoptera) and
Plankton Drift in a Swedish Lake-outlet Stream. Aquatic Ecology 33: 377–386.
Holzenthal RW. 2009. Trichoptera. Di dalam: Encyclopedia of Limnology. Netherland. Elsevier Inc. p: 56-467.
Hooda PS, Moynagh M, Svoboda IF, Miller A. 2000. Macroinvertebrates as
Bioindicators of Water Pollution in Streams Draining Dairy Farming Catchments.Chemistry and Ecology 17 (1): 17-30.
Hynes HBN, Coleman MJ.1968. A Simple Method of Assessment of The Annual
Production of Stream Benthos. Limnology and Oceanography 13:569-573.
Jacobsen D, Cressa C, Mathooko JM, Dudgeon D. 2008. Macroinvertebrates:
Composition, Life Histories and Prodution. Chapter 4. Di dalam: Dudgeon D, editor. Tropical Stream Ecology. Elsevier Inc. hlm 65-105.
Jin HS, Ward GM. 2007. Life History and Secondary Production of Glossosoma
nigrior Banks (Trichoptera: Glossosomatidae) in Two Alabama Streams with Different Geology. Hydrobiologia 575: 245–258.
102
Katano I, Mitsuhashi H, Isobe Y, Sato H, Oishi T. 2005. Reach-scale Distribution Dynamics of a Grazing Stream Insect, Micrasema quadriloba Martynov (Brachycentridae, Trichoptera) in Relation to Current Velocity and Peryphyton Abundance. Zoological Science 22: 853-860.
Keckes S, Miettinen JK. 1972. Mercury as a Marine Pollution. Di dalam: FAO
Marine Pollution and Sea Life. England. News Ltd. Keiper JB. 2002. Biology and Immature Stages of Coexisting Hydroptilidae
(Trichoptera) from Northeastern Ohio Lakes. Annual Entomology Society of America 95(5): 608-616.
Kerans BL, Karr JR. 1994. A Benthic Index of Biotic Integrity (B-IBI) for Rivers
of the Tennessee Valley. Ecological Applications 4(4): 768-785. Kido M, Yustiawati, Syawal MS, Sulastri, Hosokawa T, Tanaka S, Saito T,
Iwakuma T, Kurasaki M.2009. Comparison of General Water Quality of Rivers in Indonesia and Japan. Environmental Monitoring and Assessment 156: 317–329.
Kirchoff W. 1991.Water Quality Assessment Based on Physical, Chemical, and
Biological Parameters for Citarum River Basin. Bandung. KLH. 2011. Peran dan Tanggung Jawab Stakeholder dalam Pengelolaan Sungai
Ciliwung (Masterplan Pengelolaan Sungai Ciliwung dan Kemajuan Penerapannya). Rakernis. Pusarpedal-KLH. Jakarta.
Lenat DR.1993. A biotic index for the southeastern United States: Derivation and
list of tolerance values, with criteria for assigning water quality ratings. Journal of the North American Benthological Society 12: 279–290.
Leslie HA, Pavluk TI, Bij De Vaate A, Kraak MHS.1999. Triad Assessment of
The Impact of Chromium Contamination on Benthic Macroinvertebrates in The Chusovaya River (Urals, Russia), Archives of Environmental Contamination and Toxicology 37:182–189.
Lin JG, Chen SY, Su CR. 2003. Assessment of sediment toxicity by metal
speciation in different particle-size fractions of river sediment. Water Science and Technology 47 (7–8): 233–241.
103
Lugthart GJ, Wallace JB.1992. Disturbance on Benthic Functional Structure and Production in Mountain Streams. Journal of the North American Benthological Society 11 (2): 138-164.
Luoma SN, Carter JL. 1991. Effect of Trace Metal on Aquatic Benthos. Di dalam:
Newman MC, McIntosh AW, editor. Metal Ecotoxicology: Concepts and Applications. Chelsea. Michigan. Lewis Publishers. p: 61-30.
Luoma SN. 1995. Prediction of Metal Toxicity in Nature from Bioassay:
Limitation and Research Needs. Di dalam: Tessier A.and Tuner DR., editor: Metal Speciation and Bioavailability in Aquatic System. John Wiley & Sons Ltd. p: 609-659.
Lydy MJ, Strong AJ, Simon TP. 2000. Development of an Index of Biotic
Integrity for the Little Arkansas River Basin, Kansas. Archieves of Environmental Contamination and Toxicology. 39: 523–530.
Mackay RJ. 1986. Life Cycles of Hydropsyche riola, H. slossonae and
Cheumatopsyche pettiti (Trichoptera: Hydropsychidae) in a Spring-Fed Stream in Minnesota. American Midland Naturalist 115 (1): 19-24.
Mackay RJ, Wiggins GB. 1979. Ecological diversity in Trichoptera. Annual
Review of Entomology 24: 185-208. Marchant R, Hehir G. 2002. The Use of AUSRIVAS Predictive Models to Assess
The Response of Lotic Macroinvertebrates to Damsb in South-East Australia. Freshwater Biology 47: 1033–1050.
Marchant R, Hehir G.1999. Growth, Production and Mortality of Two Species of
Agapetus (Trichoptera: Glossosomatidae) in The Acheron River, South-east Australia. Freshwater Biology 42: 655-671.
Merrit RW, Cummins KW. 1996. An Introduction to The Aquatic Insects of
North America, Ed ke-3. Dubuque. Kendall/Hunt Publishing Company. Minshall GW. 1996. Aquatic Insect-Substratum Relationships. Chapter 12.
Ecology of Aquatic Insects. Greenwood Pub Group. p: 358-400. Mwamburi J. 2003. Variations in Trace Elements in Bottom Sediments of Major
Rivers in Lake Victoria’s Basin, Kenya. Lakes & Reservoirs: Research and Management 8: 5–13.
104
Niimi AJ, Kissoon GP. 1994. Evaluation of Critical Body Burden Concept Based on Inorganic and Organic Mercury Toxicity to Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Archieved Environmental Contamination and Toxicology 26: 169 – 178.
Norris RH, Thoms MC. 1999. What Is River Health ?. Freshwater Biology 41:
197-209. Novotny V, Olem H. 1994. Water Quality Prevention, Identification, and
Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand Rein-hold. USA. 1054p.
Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. WB Sounder Co.
Philadelphia. 574p Oscoz J, Galicia D, Miranda R. 2011. Identification Guide of freshwater
Macroinvertebrates of Spain. Springer. New York. 148p Paul MJ, Meyer JL. 2001. Stream in Urban Landscape. Annual Review Ecology
System 32:333–365. Pennuto CM, Lane OP, Evers DC, Taylor RJ, Loukmas J. 2005. Mercury in the
Northern Crayfish, Orconectes virilis (Hagen), in New England, USA.
Ecotoxicology, 14: 149–162. Pescador ML. Rasmusen AK, Harris SC.1995. Identification Manual for The
Caddisfly (Trichoptera) Larvae of Florida. Tallahassee. Florida. Poepperl R. 2000, The Filter Feeders Hydropsyche angustipennis and
H.pellucidula (Trichoptera: Hydropsychidae) in a Northern German Lowland Stream: Microdistribution, Larval Development, Emergence Pattern, and Secondary Production. Limnologica 30:65-72.
PSDA. 2006. Status Mutu Air Sungai di Indonesia. Pusat Litbang Sumberdaya
Air. Jakarta. Quinn JM, Davies-Colley RJ, Hickey CW, Vickers ML, Ryan PA. 1992. Effects
of Clay Discharges on Stream, 2. Benthic Invertebrates. Hydrobiologia 248: 235-247.
Redell LA, Gall WK., Ross RM, Dropkin DDS. 2009. Biology of The Caddisfly
Oligostomis ocelligera (Trichoptera: Phryganeidae) Inhabiting Acidic
105
Mine Drainage in Pennsylvania. Northeastern Naturalist 16(2): 285–306.
Roberge JJ, Mc Cabe DJ. 2010. The Effects of land use on Phosphorus and
Benthic macroinvertebrates in Lake Champlain Basin. Saint Michaele College. USA
Robertson-Bryan Inc. 2004. pH Requirements of Freshwater Aquatic Life.
California. USA.15p. Ross DH, Wallace JB. 1983. Longitudinal Patterns of Production, Food
Consumption, and Seston Utilization by Net-Spinning Caddisflies (Trichoptera) in A Southern Appalachian Stream (USA). Holarctic Ecology 6: 270-284.
Sanchez RM, Hendricks AC. 1997. Life history and secondary production of
Cheumatopsyche spp. in a small Appalachian stream with two different land uses on its watershed. Hydrobiologia 354: 127–139.
Scroeder WH, Munthe J. 1998. Atmospheric Mercury an Overview. Atmospheric
Environment 32 (5): 809-822. Shakla SK, Srivastava PR. 1992. Introduction: in Water Pollution and Toxicology.
Commonwealth Publishers New Delhi. p:1-47. Shieh SH, Ward JV, Kondratieff BC. 2002. Energy Flow through
Macroinvertebrates in a Polluted Plains Stream. Journal of the North American Benthological Society 21(4): 660-675.
Singer GA, Battin TJ. 2007. Anthropogenic Subsidies Alter Stream Consumer-
Resource Stoichiometry, Biodiversity, and Food Chains. Ecological Applications 17(2): 376-389.
Skinner KM, Bennett JD. 2007. Altered Gill Morphology in Benthic
Macroinvertebrates from Mercury Enriched Streams in the Neversink Reservoir Watershed, New York. Ecotoxicology 16: 311–316
Smoley CK.1992. Methods for The Determination of Metals in Environmental Samples.200.2. US-EPA.Cincinnati.Ohio.
Sola C, Prat N. 2006. Monitoring Metal and Metalloid Bioaccumulation in Hydropsyche (Trichoptera, Hydropsychidae) to Evaluate Metal
106
Pollution in a Mining River. Whole Body Versus Tissue Content. Science of the Total Environment 359: 221– 231.
Synder CD, Hendricks AC. 1995. Effect of Seasonally Changing Feeding Habits
on Whole-animal Mercury Concentrations in Hydropsyche morosa (Trichoptera: Hydropsychidae). Hydrobiologia 299: 115-123.
Stuijfzand SC, Engels S, Van Ammelrooy E, Jonker M. 1999. Caddisflies (Trichoptera: Hydropsychidae) Used for Evaluating Water Quality of Large European Rivers. Archieve of Environmental Contamination and Toxicology 36: 186–192.
Takao A, Negishi JN, Nunokawa M, Gomi T, Nakahara O. 2006. Potential
Influences of A Net-Spinning Caddisfly (Trichoptera: Stenopsyche Marmorata) on Stream Substratum Stability in Heterogeneous Field Environments. Journal of the North American Benthological Society 25(3): 545–555.
Ter Braak CJF, Verdonschot PFM. 1995. Canonical Correspondence Analysis and
Related Multivariate Methods in Aquatic Ecology, Aquatic Science 57 (3): 255-288.
Timm H, Ivask M, Möls T. 2001. Response of Macroinvertebrates and Water
Quality to Long-Term Decrease in Organic Pollution in Some Estonian Streams During 1990–1998. Hydrobiologia 464: 153–164.
Türkmen G, Kazanci N. 2010. Applications of Various Diversity Indices to
Benthic Macroinvertebrate Assemblages in Streams of a Natural Park in Turkey. BALWOIS: 1-10.
Urbanic G, Toman MJ, Krusnik C. 2005. Microhabitat Type Selection of
Caddisfly Larvae (Insecta: Trichoptera) in A Shallow Lowland Stream. Hydrobiologia 541: 1–12.
US-EPA.2010. Final Report on Acute and Chronic Toxicity of Nitrate, Nitrite,
Boron, Manganese, Fluoride, Chloride and Sulfate to Several Aquatic Animal Species. EPA 905-R-10-002.
US-EPA.1999. Rapid Bioassessment Protocols for Use in Wadeable Streams and
Rivers. EPA 841-B-99-002. U.S. EPA. Washington DC. US-EPA. 1986. Quality Criteria for Water, EPA/440/5-86/001, Washington DC.
107
Vannote RL., Minshall GW, Cummins KW, Sedell JR, Cushing CE. 1980. The
River Continuum Concept. Canadian Journal Fish Aquatic Science 37: 130-137.
Vuori K, Kukkonen JV. 1996. Metal Concentrations in Hydropsyche pellucidula
Larvae (Trichoptera, Hydropsychidae) in Relation to The Anal Papillae Abnormalities and Age of Exocuticle. Water Research 30 (10): 2265-227.
Vuori K, Kukkonen JV. 2002. Hydropsychid (Trichoptera, Hydropsychidae) Gill
Abnormalities as Morphological Biomarkers of Stream Pollution, Freshwater Biology 47: 1297–1306.
Warwick WF. 1985. Morphological Abnormalities in Chironomidae (Diptera)
Larva as Measures of Toxic Stress in Freshwater Ecosystems: Indexing Antennal Deformities in Chironomus Meigen. Canadian Jounal Fish and Aquatic Science 42: 1881-1914.
Washington HG. 1984. Diversity, Biotic, and Similary Indices. Water Research
18: 653-694. Welch S. 1952. Limnology. Mac Graw-Hill Inc. New York. US. 318p Wiederholm T. 1984. Incidence of Deformed Chironomid Larvae (Diptera:
Chironomidae) in Swedish Lakes. Hydrobiologia 109: 243-249. Wiggins GB. 1996. Trichoptera Families, Di dalam: Merrit RW, Cummins KW ,
editor. An Introduction to the Aquatic Insects of North America. Ed ke-3. Kendall Hunt Publishing Company.
Williams DD. 1979. Aquatic Habitat of canada and Their Insects. Memoirs of The
Entomologyl Society of Canada. 108: 211-234. Winner RW, Bossel MW, Farrell MP. 1980. Insect Community Structure as an
Index of Heavy Metal Pollution in Lotic Ecosystems. Canadian Jounal Fish and Aquatic Science 37: 647-655.
Wood PJ, Armitage PD. 1997. Biological effects of fine sediment in the lotic
environment., Environmental Management 21(2): 203-217.
Lampiran 1. Isian penilaian yang digunakan dalam penghitungan indeks habitat
Penilaian habitat untuk bagian jeram (riffle) dan lubuk (pool). Nama tempat : Tanggal: / / 02 Kunjungan ke : Kode tempat : Nama Team :
Total Score : Kategori
Optimal Sub Optimal Marginal Buruk/ Poor
1. Substrat epifaunal/ ketersediaan penutup
(Gradien tinggi dan rendah)
Lebih besar dari 70% (50% untuk aliran stream yang bergradien rendah) dari substrat yang diinginkan guna kolonisasi epifauna dan perlindungan ikan; campuran dari potongan daun, kayu terendam, kerikil, atau habitat lainnya yang stabil dan tahap yang mengijinkan potensi terbentuknya kolonisasi secara penuh (Misal potongan kayu yang bukan berasal dari jatuhan baru dan bukan
40-70% (30-50% untuk gradien stream yang bergradien rendah) campuran dari habitat stabil, cukup baik untuk potensi kolonisasi secara penuh, cukupnya habitat untuk pemeliharaan populasi, adanya substrat tambahan dalam bentuk jatuhan baru tetapi belum menyajikan untuk kolonisasi.
20-40% (10-30% untuk rendahnya gradien stream) campuran dari habitat stabil, ketersediaan habitat kurang dari yang diinginkan, substrat seringkali mengalami gangguan atau hilang
Kurang dari 20 % (10% untuk rendahnya gradien stream) habitat stabil, hilangnya habitat secara jelas, substrat tidak stabil atau hilang
109
dari transient)
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2a. Banyaknya Batu yang tertanam (Gradien tinggi)
Gravel, coble dan boulder antara 0-25% dan dikelilingi oleh sedimen halus, lapisan oleh coble menyediakan ruang untuk niche
Gravel, coble dan boulder antara 25% - 50% dan dikelilingi oleh sedimen halus
Gravel, coble dan boulder antara 50-75% dikelilingi oleh sedimen halus
Gravel, coble dan boulder lebih dari 75% dikelilingi oleh sedimen halus
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2b. Substrat Pool/ genangan (Gradien rendah)
Campuran material substrat dengan gravel dan pasir yang merata , material akar dan vegetasi submerged ada secara umum
Campuran dari pasir halus, lumpur dan tanah liat: lumpur mungkin dominan, bbrp material akar dan submerged vegetasi ada.
Seluruhnya lumpur, tanah liat atau dasar pasir , sedikit atau tidak ada material akar: tidak ada tumbuhan submerged.
Lempung yang mengeras atau batuan dasar, tidak ada material akar atau tumbuhan submerged.
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
3a. Kecepatan/regime kedalaman (Gradien Tinggi)
Seluruh keempat strata /regime kecepatan/ kedalaman ada (lambat dalam, lambat dangkal,
Hanya tiga dari empat rezim ada (jika cepat dangkal tidak ada, score lebih rendah drpd jika
Hanya 2 dari empat habitat rezim ada (jika cepat dangkal atau lambat dangkal tidak ada,
Didominasi oleh satu rezim kecepatan / kedalaman (biasanya lambat dalam).
110
cepat dalam dan cepat dangkal), lambat : < 0,3m/det, dalam > 0,5 m.
regime lainnya tidak ada).
maka nilainya rendah)
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
3b. variabilitas Pool (Gradien rendah)
Gabungan yang merata antara besar dangkal, besar dalam, kecil dalam, kecil dangkal.
Mayoritas pool adalah besar dalam dan sangat sedikit yang dangkal
Pool dangkal lebih banyak daripada pool dalam
Mayoritas adalah pool kecil dangkal/ atau pool tidak ada
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
4. Endapan sedimen (Gradien tinggi dan rendah)
Sedikit atau tidak ada perluasan pulau-pulau atau gosong pasir dan kurang dari 5% (kurang dari 20% untuk stream pada gradien rendah), bagian dasar dipengaruhi oleh endapan sedimen
Beberapa peningkatan pembentukan gosong pasir baru, terutama dari gravel, pasir atau sedimen halus; 5-30% (20-50% untuk gradien rendah) bagian dasar dipengaruhi oleh endapan tipis pada bagian pool
Terdapat cukupnya endapan gravel, pasir, sedimen halus pada gosong pasir baru dan lama; 30-50% (50-80% untuk gradien rendah) pada bagian dasarnya terdapat endapan sedimen. Endapan sedimen pada daerah yang terdapat halangan, penyempitan, dan belokan, Endapan sedang
Endapan berat oleh meterial halus; terdapat peningkatan pengembangan gosong pasir; lebih dari 50% pada bagian dasar seringkali berubah; pool hampir tidak ada karena endapan sedimen yang substansial.
111
pada bagian pool
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5. Status aliran saluran sungai (Gradien tinggi dan rendah)
Air mencapai pada bagian dasar kedua tepi dan hanya sedikit area pada substrat saluran yang tampak.
Air mengisi lebih dari 75% saluran yang ada, atau kurang dari 25% dari substrat saluran yang tampak
Air mengisi 25-75% dari saluran yang ada ; dan/ atau substrat riffle sebagian besar tampak,
Sangat sedikit air pada saluran dan sebagian besar berupa standing pool
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
6. Perubahan saluran (Gradien tinggi dan rendah)
Aktivitas chanelisasi atau pengerukan tidak ada atau minimal, stream dengan pola normal
Beberapa chanelisasi ada, biasanya pada daerah perbatasan jembatan; bukti dari chaneklisasi pada waktu lampau adalah adanya aktivitas pengerukan (lebih dari 20 tahun yang lalu) mungkin ada , namun chanelisasi yang baru tidak ada.
Chanelisasi mungkin meluas secara ekstensive; pembentukan tanggul baru terdapat pada kedua tepinya atau struktur tepian landai terdapat pada di kedua tepinya; dan 40-80% dari stream reach mengalami chanelisasi dan gangguan.
Bagian tepi dari sungai mengalami penturapan; lebih dari 80% dari stream reach mengalami chanelisasi dan gangguan, habitat dalam stream mengalami perubahan yang sanagt besar atau hilang sama sekali.
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
112
7a. frekuensi riffle atau kelokan (Gradien tinggi)
Terdapatnya riffle relatif sering, rasio jarak antara riffle dibagi dengan lebar stream < 7: 1 (biasanya 5 sampai 7); habitat bermacam-macam dan merupakan kunci. Pada stream dimana rifflenya continue penempatan boulder atau rintangan besar alami lainnya adalah penting.
Terdapat riffle tidak terlalu sering; jarak antara riffle dibagi dengan lebar stream antara 7-15
Kadang-kadang riffle atau kelokan; kontur dasar menyediakan bbrp habitat; jarak diantara riffle dibagi dengan lebar stream antara 15-25
Biasanya seluruh permukaan airnya datar atau riffle dangkal; habitat miskin; jarak diantara riffle dibagi dengan lebar stream > 25
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7b. Sinuosity saluran (Gradien rendah)
Kelokan dalam stream meningkatkan panjang stream 3-4 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus (ctt; anyaman saluran dianggap normal pada daerah paparan pesisir, dan hamparan lain di dataran rendah
Kelokan dalam stream meningkatkanpanjang stream 2-3 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus
Kelokan dalam stream meningkatkanpanjang stream 1-2 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus
Saluran lurus; jalan air sudah mengalami chanelisasi untuk jarak yang cukup jauh
113
parameter ini tidak mudah golongkan pada daerah –daerah tsb
SCORE: 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8. Stabilitas pinggir sungai (score untuk masing-masing pinggiran) untuk gradien rendah dan tinngi)
Ctt; tentukan tepi kanan/kiri dengan menghadap kearah downsteram.
Tepian stabil, bukti erosi atau kerusakan tepian tidak ada atau minimal; potensi untuk terjadinya masalah pada masa yang akan datang kecil; < 5% dari pinggir sungai mengalami gangguan.
Kestabilan sedang, jarang, area kecil yang mengalami erosi kebanyakan telah mengalami pemulihan, 5-30% dari pinggir sungai yang telah mengalami erosi.
Ketidakstabilan sedang, 30-60% dari tepian mengalami erosi, memiliki potensi erosi yang tinggi pada saat banjir.
Tidak stabil, banyak daerah telah mengalami erosi, daerah baru terbentuk sepanjang bagian lurus dan kelokan sungai, penggerusan tepian tampak nyata , 60-100 dari tepian mengalami penggerusan oleh erosi.
SCORE: Tepi Kanan 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
SCORE: Tepi Kiri 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9. Perlindungan oleh vegetasi (score masing-masing tepi)
Ctt; tentukan tepi
Lebih dari 90% permukaan tepian sungai dan zona riparian ditumbui oleh tumbuhan asli meliputi pohon,
70-90% permukaan tepian sungai dan zona riparian ditumbui oleh tumbuhan asli, namun terdapat satu kelas yang
50-70% dari pemukaan tepian ditutupi oleh vegetasi; gangguan tampak jelas, jalan setapak atau seperti
< dari 50% dari permukaan tepian ditumbui oleh vegetasi; gangguan pada tumbuhan tepian sungai sangat
114
kanan/kiri dengan menghadap kearah downsteram.( untuk gradien tinggi dan rendah)
semak, macrophyta tak berkayu; kerusakan vegetasi yang disebabkan oleh grazing atau pemotongan minimal atau tidak ada; sebagian besar tanaman tumbuh secara alami.
tidak terwakili secara baik; terdapat bukti gangguan namun tidak terlalu mempengaruhi potensi pertumbuhan tanaman, lebih dari setengah bagian didominasi oleh semak
tanaman yang dibabat pendek secara umum terdapat, kurang dari setengah bagian ditumbui oleh semak.
tinggi, tumbuhan telah berubah menjadi tumbuhan semak setinggi 5 cm atau kurang.
SCORE: Tepi Kanan 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
SCORE: Tepi Kiri 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
10. Lebar zone vegetasi riparian (Untuk gradien tinggi dan rendah)
Ctt: Score untuk masing- masing pinggir riparian
Lebar dari zone riparian > 18 m; aktivitas manusia (mis: pertanian, pembangunan jalan, pembukaan lahan) tidak mempengaruhi zone tersebut.
Lebar dari zone riparian 12- 18 m; aktivitas manusia memberikan dampak minimal pada zone tersebut.
Lebar dari zone riparian 6 – 12 m; aktivitas manusia memberikan pengaruh yang cukup besar pada zone tersebut.
Lebar dari zone riparian < 6 m; sedikit atau tidak ada vegetasi riparian yang disebabkan oleh aktivitas aktivitas manusia
SCORE: Tepi Kanan 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
SCORE: Tepi Kiri 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
115
Lampiran II. Foto situasi lokasi pengamatan.
(A) (B) Foto situasi lokasi yang berfungsi sebagai situs rujukan. A). Stasiun Gunung Mas I. B). Stasiun Gunung Mas II.
Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun III Kampung Pensiunan)
Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun IV Kampung Jog-jogan)
116
Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun V Katulampa)
Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun VI Cibinong)
117
Lampiran III Rerata kelimpahan total perifiton (sel/cm2
)
No Taksa Stasiun Pengamatan
1 2 3 4 5 6 1 Achnanthes 69 49 67 70 39 77 2 Achnanthidium 0 18 0 20 0 53 3 Actinella 35 38 50 39 60 32 4 Amphora 11 18 25 13 0 0 5 Aulacodiscus 0 18 85 31 14 19 6 Aulacoseira 37 16 0 72 86 80 7 Cyclotella 28 18 0 0 18 39 8 Cymbella aspera 32 37 25 62 42 32 9 Cymbella tumida 26 0 0 51 49 48
10 Diatomella 73 0 0 0 0 78 11 Diploneis 19 71 53 62 64 0 12 Encyonema 53 49 55 50 92 32 13 Epithemia 0 0 0 37 18 29 14 Fragilaria capucina 16 23 38 0 46 0 15 Fragilaria crotonensis 0 0 0 398 99 143 16 Fragilariforma viriscent 56 34 0 44 0 13 17 Frustullia vulgaris 68 0 0 37 0 0 18 Gomphoneis 46 97 0 0 49 45 19 Gomphonema 54 0 60 0 0 0 20 Gomphonema parvulum 0 31 0 0 47 30 21 Gyrosigma 11 34 25 13 32 32 22 Hyalodiscus 28 18 0 43 32 32 23 Melosira dickiei 88 90 20 0 163 0 24 Melosira varians 0 0 0 62 0 0 25 Meridion circulare 0 0 88 100 0 115 26 Naviculla margalithi 28 0 25 63 0 67 27 Naviculla radiosa 0 48 58 20 36 0 28 Naviculla subtilissima 0 0 0 13 43 38 29 Neidium 16 34 45 43 32 39 30 Nitzschia 0 63 90 0 68 32 31 Nitzschia cf intermedia 0 0 45 20 0 0 32 Nitzschia dissipata 46 0 20 47 0 39 33 Nitzschia gracilis 11 16 0 37 32 55 34 Nitzschia linearis 0 0 25 0 0 0 35 Pinnularia cf gibba 0 0 0 27 32 0 36 Pinnularia viridis 32 31 27 37 39 26 37 Rhoicosphenia 123 134 75 145 152 96 38 Staurosira cf anceps 0 0 0 0 0 0
118
39 Stephanodiscus 13 34 135 37 0 13 40 Surirella 0 18 33 73 0 276 41 Surirella angusta 0 0 0 21 146 13 42 Synedra acus 0 0 0 0 0 0 43 Synedra ulna 38 151 464 177 166 30 44 Tabellaria 0 0 0 0 114 156 45 Ankistrodesmus 394 0 45 0 43 67 46 Closterium 0 27 0 13 40 13 47 Coelastrum 0 0 440 237 14 0 48 Cosmarium 0 18 0 0 0 0 49 Desmidinium 0 0 50 0 0 96 50 Gongrosira 0 0 0 0 0 1200 51 Gonium 199 0 0 0 0 0 52 Hydrodictyon 331 679 0 0 0 0 53 Klebsormidium 313 0 1592 386 0 0 54 Microspora 0 18 75 0 0 27 55 Oedogonium 0 0 40 0 0 291 56 Oocystis 28 34 20 37 39 32 57 Pediastrum duplex 0 0 0 374 0 0 58 Pediastrum tetras 0 0 0 0 0 153 59 Scenedesmus quadricauda 0 72 0 0 57 57 60 Selenastrum 104 74 0 33 251 19 61 Sphaerocystis 0 0 25 0 43 0 62 Spirogyra 54 754 582 474 242 1268 63 Tetraspora 16 64 0 0 18 0 64 Ulothrix 173 0 1155 0 452 709 65 westella 74 55 61 0 72 0 66 Anabaena 0 0 0 0 86 585 67 Aphanocapsa 46 47 79 53 51 55 68 Calothrix 28 34 27 37 42 32 69 Chroococcus 207 256 184 208 224 165 70 Gleocapsa 30 31 20 50 23 0 71 Gomphosphaeria 50 39 20 0 58 19 72 Oscillatoria agardhii 0 0 0 13 0 0 73 Oscillatoria brevis 28 0 0 0 0 0 74 Oscillatoria princeps 0 0 0 113 0 0 75 Oscillatoria rubescens 0 31 85 48 0 0 76 Phormidium 50 108 142 0 70 0 77 Rivularia 328 77 932 504 0 431 78 Synechococcus 16 0 0 0 19 0 79 Talyphothrix 0 1138 2790 502 1705 1039 80 Hildenbrandia 270 1193 925 841 547 641 81 Tribonema viride 0 0 805 299 1052 923
119
82 Vaucheria 35 31 75 44 18 45 83 Ceratium 0 0 25 37 0 0 84 Peridinium 0 0 0 0 22 38
Jumlah 3828 5959 11829 6268 6985 9718
Lampiran IV. Komposisi dan kelimpahan rerata (idv/m2
) dari larva Trichoptera di Sungai Ciliwung
No Famili Taksa St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 1 Helicophidae Alloecella sp. 1 0 0 0 0 0 2 Philopotamidae Chimarra sp. 16 8 4 2 0 0 3 Philopotamidae Genus 1 3 1 1 0 0 0 4 Glossosomatidae Agapetus sp. 19 14 139 0 0 0 5 Glossosomatidae Genus 1 0 0 0 3 6 1 6 Hydropsychidae Diplectrona sp. 5 6 4 1 0 0 7 Hydropsychidae Cheumatopsyche sp. 31 40 59 148 134 370 8 Hydropsychidae Genus 1 0 0 0 0 1 0 9 Hydropsychidae Macrostemum sp. 0 0 0 0 0 1
10 Hydroptilidae Orthotrichia sp. 7 3 0 0 0 0 11 Helicopsychidae Helicopsyche sp. 1 1 0 0 0 0 12 Psychomyiidae Tinodes sp. 0 0 13 60 12 10 13 Ecnomidae Ecnomina sp. 1 0 0 0 0 0 14 Ecnomidae Ecnomus sp. 0 1 0 0 0 0 15 Polycentropodidae Neureclipsis sp. 1 1 1 1 0 0 16 Antipodoeciidae Antipodoecia sp. 0 1 1 0 0 0 17 Helicophidae Genus Hel C 0 1 0 0 0 0 18 Hydrobiosidae Apsilochorema sp. 1 0 0 0 0 0 19 Hydrobiosidae Ulmerochorema sp. 0 1 0 0 0 0 20 Calocidae Caenota sp. 14 8 0 0 0 0 21 Calocidae Caenota sp 1 1 0 0 0 0 0 22 Lepidostomatidae Lepidostoma sp. 18 9 4 0 0 0
121
23 Leptoceridae Triplexa sp. 0 0 1 0 0 0 24 Leptoceridae Setodes sp. 0 0 0 3 13 3 25 Tasimiidae Tasiagma sp. 1 0 0 0 0 0 26 Calamoceratidae Anisocentropus sp. 1 1 0 0 0 0 Jumlah 120 95 226 218 166 386
Lampiran V. Hubungan lebar kepala dengan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. Pada masing-masing stasiun pengamatan
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas I
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas II
123
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Pensiunan
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Jog-jogan.
124
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Katulampa.
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong.
125
Lampiran VI Penghitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di masing-masing stasiun pengamatan
Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas I.
N/m2 W Δ N N x W W rata =
(w1+W2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ W Instar 1 0.3-0.4125 4 0.000 0.001 Instar 2 0.4126-0.675 14 0.000 -10.494 0.006 0.034 -0.358 -2.145 0.0001 0.0005 Instar 3 0.676-0.825 16 0.001 -1.852 0.012 0.044 -0.082 -0.491 0.0004 0.0019 Instar 4 0.826-1.05 9 0.001 6.790 0.011 0.057 0.387 2.323 0.0004 0.0022 Instar 5 1.06-1.5 20 0.002 -11.111 0.042 0.070 -0.774 -4.644 0.001 0.0045 pupa 6 0.003 14.815 0.015 0.053 0.782 4.694 0.001 0.0038
5.556 0.003 0.015 0.093 0.003 0.0145
rata-rata 11.52 0.001 -0.370 0.015 0.052 -0.009 -0.052 0.000 0.0026
biomassa 0.088
Konversi biomassa dalam 1 tahun
0.131
Produksi 1.976
Konversi produksi ke 1 tahun
2.964
cohort P/B 33.9
P/B tahunan 67.74
Produksi terkoreksi 5.93
126
Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas II.
N/m2 W Δ N N x W W rata =
(w1+W2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ W Instar 1 0.3375-0.6 7 0.0002 0.0013 Instar 2 0.61-0.825 7 0.0005 1 0.0033 0.038 0.021 0.127 0.000 0.002 Instar 3 0.826-1.1625 14 0.0010 -7 0.0131 0.050 -0.347 -2.081 0.000 0.002 Instar 4 1.1626-1.35 8 0.0015 6 0.0119 0.062 0.363 2.178 0.001 0.003 Instar 5 1.36-1.6875 3 0.0023 5 0.0058 0.070 0.367 2.203 0.001 0.004 pupae 2 0.0025 1 0.0049 0.050 0.028 0.167 0.000 0.001
2 0.003 0.005 0.033 0.003 0.013
rata-rata 6.6204 0.0013 1.0556 0.0067 0.054 0.086 0.519 0.000 0.002
biomassa 0.0403
Konversi biomassa dalam 1 tahun 0.0605
Produksi
2.50
Konversi produksi ke 1 tahun
3.75
cohort P/B 61.9
P/B tahunan 123.9
Produksi terkoreksi 7.4957
127
Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Pensiunan
N/m2 W Δ N N x W W rata =
(w1+W2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ W
Instar 1 0.375-0.6 7 0.0001 0.0010 Instar 2 0.675-0.825 11 0.0005 -4 0.0056 0.0455 -0.1897 -1.138 0.0004 0.0019 Instar 3 0.8625-1.05 11 0.0016 1 0.0166 0.0636 0.0353 0.212 0.0011 0.0056 Instar 4 1.0875-1.3125 26 0.0025 -15 0.0637 0.0762 -1.1642 -6.985 0.0009 0.0046 Instar 5 1.425-1.8375 2 0.0033 24 0.0056 0.0784 1.8937 11.362 0.0009 0.0045 pupae 3 0.0028 -1 0.0078 0.0529 -0.0588 -0.353 0.0005 0.0028
3 0.0028 0.0077 0.046 0.0028 0.0145
Rata-rata 9.8148 0.0018 0.8333 0.0167 0.0633 0.1033 0.6195 0.0007 0.0039
Biomassa 0.1002
Konversi biomassa dalam 1 tahun 0.15033
Produksi
4.28
Konversi produksi ke 1 tahun
6.4237
cohort P/B 64.1
P/B tahunan 85.5
Produksi terkoreksi 12.85
Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Jog-jogan
N/m2 W Δ N N x W W rata =
(w1+W2)/2 W rata. Δ
N W rata. Δ N x
6 Δ W N rata x Δ
W Instar 1 0.2625-0.675 20 0.0002 0.0048 Instar 2 0.7125-0.825 42 0.0005 -22 0.0211 0.037 -0.813 -4.877 0.0003 0.0013 Instar 3 0.8625-0.975 26 0.0008 17 0.0214 0.044 0.736 4.418 0.0003 0.0018 Instar 4 1.0125-1.0875 22 0.0011 4 0.0241 0.049 0.191 1.147 0.0003 0.0014 Instar 5 1.125-1.2375 33 0.0013 -12 0.0435 0.062 -0.720 -4.317 0.0002 0.0010 pupae 9 0.0025 24 0.0222 0.050 1.222 7.333 0.0012 0.0062
9 0.003 0.025 0.149 0.0025 0.0130
Rata-rata 25.2778 0.0011 2.2222 0.0229 0.048 0.123 0.741 0.0005 0.0023
Biomassa 0.1371
Konversi biomassa dalam 1 tahun
0.2057
Produksi
8.73
Konversi produksi ke 1 tahun
13.09
cohort P/B 63.7
P/B tahunan 127.3
Produksi terkoreksi 26.19
129
Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Katulampa
N/m2 W Δ N N x W W rata =
(w1+W2)/2 W rata. Δ
N W rata. Δ N x
6 Δ W N rata x Δ
W Instar 1 0.225-0.45 8 0.00020 0.0015 Instar 2 0.4875-0.6375 12 0.0003 -5 0.0037 0.0323 -0.153 -0.916 0.0001 0.0005 Instar 3 0.675-0.8625 22 0.0007 -9 0.0161 0.0523 -0.494 -2.963 0.0004 0.0023 Instar 4 0.9-1.05 43 0.0020 -22 0.0862 0.0734 -1.591 -9.543 0.0012 0.0065 Instar 5 1.0875-1.3125 30 0.0034 13 0.1020 0.0812 1.082 6.492 0.0014 0.0073 pupae 4 0.0032 26 0.0142 0.0564 1.442 8.654 0.0002 0.0011
4 0.0028 0.012 0.074 0.0032 0.0165
Rata-rata 19.8611 0.0016 0.6111 0.0373 0.0591 0.058 0.3450 0.0007 0.0035
Biomassa 0.2236
Konversi biomassa dalam 1 tahun 0.3355
Produksi
2.72
Konversi produksi ke 1 tahun
4.07
cohort P/B 12.1
P/B tahunan 24.3
Produksi terkoreksi 8.1454
130
Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong
N/m2 W Δ N N x W W rata =
(w1+W2)/2 W rata. Δ
N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ
W Instar 1 0.188-0.263 4 0.00002 0.0001 Instar 2 0.338-0.488 39 0.0001 -35 0.0045 0.0220 -0.775 -4.652 0.0001 0.0005 Instar 3 0.525-0.750 119 0.0004 -79 0.0440 0.0392 -3.115 -18.693 0.0003 0.0013 Instar 4 0.825-0.993 167 0.0012 -48 0.1946 0.0528 -2.521 -15.126 0.0008 0.0041 Instar 5 1.013-1.125 22 0.0016 145 0.0355 0.0642 9.285 55.711 0.0004 0.0023 pupae 5 0.0025 17 0.0118 0.0500 0.861 5.167 0.0009 0.0046
5 0.0028 0.013 0.079 0.0025 0.0130
Rata-rata 59.3056 0.0010 -0.11 0.0484 0.0456 0.747 4.4815 0.0005 0.0026
Biomassa 0.2905
Konversi biomassa dalam 1 tahun 0.4357
Produksi
27.14
Konversi produksi ke 1 tahun
40.71
cohort P/B 93.4
P/B tahunan 186.9
Produksi terkoreksi 81.414
131
Lampiran VII. Metrik biologi dari Larva Trichoptera dalam mencerminkan gangguan pada Sungai Ciliwung
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0
2
4
6
8
10
12
Jum
lah
Kek
ayaa
n Ta
ksa
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Jum
lah
skor
SIG
NA
L
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
50
60
70
80
90
100
110
% k
elim
paha
n do
min
ansi
3 Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
5.86.06.26.46.66.87.07.27.47.67.88.08.28.48.68.8
Inde
ks S
IGN
AL
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-100
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Kel
impa
han
Tota
l (id
v/m
2 )
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Jum
lah
taks
a se
nsiti
f
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-20
0
20
40
60
80
100
120
% K
epad
atan
Hyd
rops
ychi
dae
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
2.2
Jum
lah
Taks
a To
lera
n
132
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
1,8
2,0
2,2
Jum
lah
Tak
sa H
ydro
psy
chid
ae
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0
20
40
60
80
100
120
% K
epad
atan
Fil
teri
ng
Co
llec
tor
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
% K
epad
atan
Sh
red
der
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
Ju
mla
h T
aksa F
aku
ltat
if
133
Lampiran VIII. Nilai rerata variabel kualitas fisik dan kimia Sungai Ciliwung. Nilai dalam kurung merupakan nilai kisaran terendah dan tertinggi.
Parameter
Stasiun Pengamatan St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St.5 St.6
Suhu air (o 18,10 C) (18-18,3)
19 (18,7-19,5)
19,69 (18,6-20,6)
20,49 (19,7-21,3)
25,38 (23,8-26,4)
27,10 (25,6-28,9)
Kecepatan arus (m/det)
1,27 (0,99-1,96)
1,31 (0,94-1,54)
0,98 (0,8-1,6)
0,67 (0,5-0,82)
0,51 (0,5-0,54)
0,51 (0,5-0,6)
Distribusi partikel - % Kerikil - % Pasir - % Clay dan lanau
82,740
(79,3-86,7) 16,84
(12,5-20,8) 0,421
(0,09-0,85)
55,1
(49,5-60,6) 43,32
(8,58-49,27) 1,58
(0,84-3,05)
53,34
(50,7-56,5) 45,95
(3,38-49,29) 0,716
(0,04-1,83)
6,44
(5,03-7,5) 91,75
(89,27-93,18) 1,81
(0,71-3,50)
9,88
(8,42-11,9) 89,41
(86,98-90,83) 0,72
(0,04-1,46)
2,23
(1,07-3,7) 93,42
(93,29-95,28) 4,35
(1,81-7,24)
Turbiditas (NTU) 4,44 (3,87-6,05)
5,83 (4,9-6,37)
13,87 (12,3-16)
25,86 (24,32-27,8)
29,77 (28,32-31)
32,30 (28,6-34,71)
Konduktivitas (µS/cm2
61,63 ) (61-63,3)
91,00 (85,8-92,5)
100,20 (99,4-101)
195,54 (193,1-196,7)
226,13 (221-241)
252,38 (250-255)
pH air 6,83 (6,5-7)
6,80 (6,5-7)
6,29 (6-6,5)
6,09 (6-6,5)
6,26 (6-6,8)
6,95 (6-7,6)
Oksigen terlarut (mg/l) 8,10 (7,7-8,7)
8,01 (7,5-8,5)
7,58 (7,1-8,5)
7,58 (7,2-7,8)
6,39 (6,27-6,56)
6,4 (6,25-6,83)
COD (mg/l) 5,1 (4,04-5,8)
5,88 (5,01-7,8)
15,32 (14,08-16,3)
17,902 (15,9-20,32)
27,91 (21,57-29,58)
36,22 (23,55-51,49)
Amonium (mg/l) 0,01 (0,001-0,03)
0,01 (0,001-0,02)
0,06 (0,022-0,12)
0,28 (0,216-0,779)
0,98 (0,586-1,337)
0,92 (0,967-1,021)
N-Nitrat (N-NO3 0,42 ) (0,13-0,59)
0,60 (0,32-0,72)
1,17 (0,65-1,72)
1,69 (0,75-3,57)
4,17 (1,56-5,57)
8,57 (3,78-20,58)
Ortofosfat (O-PO4 0,06 ) (0,02-0,11)
0,04 (0,001-0,13)
0,10 (0,03-0,13)
0,33 (0,11-0,5)
0,39 (0,27-0,8)
0,50 (0,37-0,66)
Kesadahan (mg/l setara CaCO3
17,84 ) (6,19-23,8)
19,58 (7,88-32,23)
26,12 (13,43-40,3)
28,60 (11,28-57,47)
36,80 (12,66-59,45)
30,7 (10,3-61,47)
Seston - C (mg/l) - N (mg/l)
0,25
(0,22-0,28) 0,03
(0,03-0,04)
0,24
(0,21-0.26) 0,03
(0,02-0,04)
0,31
(0,0,29-0,31) 0,05
(0,04-0,05)
0,35
(0,33-0,405) 0,06
(0,06-0,07)
0,46
(0,43-0,49) 0,07
(0,06-0,07)
0,59
(0,52-0,62) 0,08
(0,07-0,09) Hg di air (ppb) 0,074
(0,03-0,15) 0,250
(0,21-0,4) 0,648
(0,57-0,77) 0,922
(0,8-1,01) 1,150
(0,92-1,27) 2,34
(1,5-3,55) Hg di sedimen (ppb) 7,215
(4,56-11,9) 10,481
(5,98-15,63) 50,130
(65,28-71,4) 64,337
(51,22-89,47) 69,928
(41,59-97,3) 80,58
(56,46-125,3) Hg di trichoptera (ppm)
0,13 (0,11-0,14)
0,19 (0,17-0,20)
0,24 (0,21-0,28)
0,27 (0,29-0,26)
0,32 (0,3-0,35)
0.4 (0,32-0,40)
CPOM (gr berat kering) TOM (mg/l) Luas jaring (mm2
)
101,63 (65,8-148.9)
4,16 (3,28-5,74)
0,30 (0,23-0,47)
93,1 (63,2-132,1)
4,61 (3,75-5,71)
0,17 (0,08-0,4)
54,9 (41,81-68,2)
5,12 (3,30-6,28)
0,09 (0,1-0,08)
20 (12,63-30,92)
7,46 (5,30-9,71)
0,09 (0,09-0,07)
13,77 (10,82-25,65)
9,75 (7,92-12,56)
0,07 (0,09-0,05)
9,4 (6,93-10,94)
11,77 (9,42-14,27)
0,05 (0,06-0,04)
134
Lampiran IX Foto larva Cheumatopsyche sp. dan Apsilochorema sp.
(A) (B)
Foto larva Cheumatopsyche sp. (A) dan Apsilochorema sp.(B)
108
Peni
laian
habit
at un
tuk b
agian
jera
m (r
iffle)
dan l
ubuk
(poo
l ).
Nam
a tem
pat :
Tan
ggal:
/
/ 02
Kun
jung
an ke
:
Kode
tem
pat :
Na
ma T
eam
:
Tota
l Sco
re :
Kate
gori
Opt
imal
Su
b O
ptim
al
Mar
gina
l Bu
ruk/
Poo
r 1.
Subs
trat
epifa
unal/
ke
terse
diaan
pe
nutu
p (G
radi
en ti
nggi
dan r
enda
h)
Lebi
h bes
ar da
ri 70
% (5
0%
untu
k alir
an st
ream
yang
be
rgra
dien
rend
ah) d
ari
subs
trat y
ang d
iingin
kan
guna
kolo
nisa
si ep
ifaun
a da
n per
lindu
ngan
ikan
; ca
mpu
ran d
ari p
otong
an
daun
, kay
u ter
enda
m,
kerik
il, at
au ha
bitat
lain
nya
yang
stab
il da
n tah
ap ya
ng
men
gijin
kan p
otens
i ter
bent
ukny
a kol
onisa
si se
cara
penu
h (M
isal
poto
ngan
kayu
yan
g buk
an
bera
sal d
ari ja
tuha
n bar
u dan
bu
kan d
ari t
ransie
nt)
40-7
0% (3
0-50
% un
tuk
grad
ien st
ream
yang
be
rgra
dien
rend
ah)
cam
puran
dari
habi
tat st
abil,
cu
kup b
aik un
tuk p
otens
i ko
loni
sasi
seca
ra pe
nuh,
cuku
pnya
habi
tat un
tuk
pem
eliha
raan p
opula
si,
adan
ya su
bstra
t tam
baha
n da
lam be
ntuk
jatu
han b
aru
tetap
i belu
m m
enya
jikan
un
tuk k
olon
isasi.
20-4
0% (1
0-30
% un
tuk
rend
ahny
a gra
dien
stre
am)
cam
puran
dari
habi
tat st
abil,
ke
terse
diaan
habi
tat ku
rang
dari
yang
diin
ginka
n, su
bstra
t ser
ingk
ali
men
galam
i gan
ggua
n atau
hi
lang
Kura
ng da
ri 20
% (1
0%
untu
k ren
dahn
ya gr
adien
str
eam
) hab
itat s
tabil,
hi
langn
ya ha
bitat
seca
ra
jelas
, sub
strat
tidak
stab
il ata
u hila
ng
SCOR
E:
20
19
18
17
16
15
14
13
1
2 1
1 10
9
8
7
6 5
4
3
2
1
0 L
ampi
ran
1. Is
ian
peni
laia
n ya
ng d
igun
akan
dal
am p
engh
itung
an in
deks
hab
itat
109
2b. S
ubst
rat P
ool/
gena
ngan
(Gra
dien
re
ndah
)
Cam
pura
n m
ater
ial s
ubstr
at
deng
an g
rave
l dan
pas
ir ya
ng
mer
ata
, mat
eria
l aka
r dan
ve
geta
si su
bmer
ged
ada
seca
ra
umum
Cam
pura
n da
ri pa
sir h
alus
, lu
mpu
r dan
tana
h lia
t: lu
mpu
r m
ungk
in d
omin
an, b
brp
mat
eria
l aka
r dan
subm
erge
d ve
geta
si a
da.
Selu
ruhn
ya lu
mpu
r, ta
nah
liat
atau
das
ar p
asir
, sed
ikit
atau
tid
ak a
da m
ater
ial a
kar:
tidak
ad
a tu
mbu
han
subm
erge
d.
Lem
pung
yan
g m
enge
ras a
tau
batu
an d
asar
, tid
ak a
da m
ater
ial
akar
ata
u tu
mbu
han
subm
erge
d.
SCO
RE:
20
19
1
8
17
16
15
14
1
3
12
1
110
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
3a.
Kec
epat
an/re
gim
e ke
dala
man
(G
radi
en T
ingg
i)
Selu
ruh
keem
pat s
trata
/reg
ime
kece
pata
n/ k
edal
aman
ada
(la
mba
t dal
am, l
amba
t dan
gkal
, ce
pat d
alam
dan
cep
at d
angk
al),
lam
bat :
< 0
,3m
/det
, dal
am >
0,
5 m
.
Han
ya ti
ga d
ari e
mpa
t rez
im
ada
(jika
cep
at d
angk
al ti
dak
ada,
scor
e le
bih
rend
ah d
rpd
jika
regi
me
lain
nya
tidak
ada
).
Han
ya 2
dar
i em
pat h
abita
t re
zim
ada
(jik
a ce
pat d
angk
al
atau
lam
bat d
angk
al ti
dak
ada,
m
aka
nila
inya
rend
ah)
Did
omin
asi o
leh
satu
rezi
m
kece
pata
n / k
edal
aman
(b
iasa
nya
lam
bat d
alam
).
SCO
RE:
20
19
1
8
17
16
15
14
1
3
12
1
110
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
3b. v
aria
bilit
as
Pool
(Gra
dien
re
ndah
)
Gab
unga
n ya
ng m
erat
a an
tara
be
sar d
angk
al, b
esar
dal
am,
keci
l dal
am, k
ecil
dang
kal.
May
orita
s poo
l ada
lah
besa
r da
lam
dan
sang
at se
diki
t yan
g da
ngka
l
Pool
dan
gkal
lebi
h ba
nyak
da
ripad
a po
ol d
alam
May
orita
s ada
lah
pool
kec
il da
ngka
l/ at
au p
ool t
idak
ada
SCO
RE:
20
19
1
8
17
16
15
14
1
3
12
1
110
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
4. E
ndap
an
sedi
men
(Gra
dien
tin
ggi d
an re
ndah
)
Sedi
kit a
tau
tidak
ada
per
luas
an
pula
u-pu
lau
atau
gos
ong
pasi
r da
n ku
rang
dar
i 5%
(kur
ang
dari
20%
unt
uk st
ream
pad
a gr
adie
n re
ndah
), ba
gian
das
ar
dipe
ngar
uhi o
leh
enda
pan
sedi
men
Bebe
rapa
pen
ingk
atan
pe
mbe
ntuk
an g
oson
g pa
sir b
aru,
te
ruta
ma
dari
grav
el, p
asir
atau
se
dim
en h
alus
; 5-3
0% (2
0-50
%
untu
k gr
adie
n re
ndah
) bag
ian
dasa
r dip
enga
ruhi
ole
h en
dapa
n tip
is p
ada
bagi
an p
ool
Terd
apat
cuk
upny
a en
dapa
n gr
avel
, pas
ir, se
dim
en h
alus
pa
da g
oson
g pa
sir b
aru
dan
lam
a; 3
0-50
% (5
0-80
% u
ntuk
gr
adie
n re
ndah
) pad
a ba
gian
da
sarn
ya te
rdap
at e
ndap
an
sedi
men
. End
apan
sedi
men
pa
da d
aera
h ya
ng te
rdap
at
hala
ngan
, pen
yem
pita
n, d
an
belo
kan,
End
apan
seda
ng p
ada
bagi
an p
ool
Enda
pan
bera
t ole
h m
eter
ial
halu
s; te
rdap
at p
enin
gkat
an
peng
emba
ngan
gos
ong
pasi
r; le
bih
dari
50%
pad
a ba
gian
da
sar s
erin
gkal
i ber
ubah
; poo
l ha
mpi
r tid
ak a
da k
aren
a en
dapa
n se
dim
en y
ang
subs
tans
ial.
SCO
RE:
20
19
1
8
17
16
15
14
1
3
12
1
110
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
110
5. S
tatu
s alir
an
salu
ran
sung
ai
(Gra
dien
ting
gi
dan
rend
ah)
Air
men
capa
i pad
a ba
gian
da
sar k
edua
tepi
dan
han
ya
sedi
kit a
rea
pada
subs
trat
salu
ran
yang
tam
pak.
Air
men
gisi
lebi
h da
ri 75
%
salu
ran
yang
ada
, ata
u ku
rang
dar
i 25%
dar
i su
bstra
t sal
uran
yan
g ta
mpa
k
Air
men
gisi
25-
75%
dar
i sa
lura
n ya
ng a
da ;
dan/
ata
u su
bstra
t riff
le se
bagi
an b
esar
ta
mpa
k,
Sang
at se
diki
t air
pada
sa
lura
n da
n se
bagi
an b
esar
be
rupa
stan
ding
poo
l
SCO
RE:
20
1
9
18
1
7
16
15
1
4
13
12
11
10
9
8
7
6 5
4
3
2
1
0
6. P
erub
ahan
sa
lura
n (G
radi
en ti
nggi
da
n re
ndah
)
Akt
ivita
s cha
nelis
asi a
tau
peng
eruk
an t
idak
ada
ata
u m
inim
al, s
tream
den
gan
pola
nor
mal
Bebe
rapa
cha
nelis
asi a
da,
bias
anya
pad
a da
erah
pe
rbat
asan
jem
bata
n; b
ukti
dari
chan
eklis
asi p
ada
wak
tu
lam
pau
adal
ah a
dany
a ak
tivita
s pen
geru
kan
(lebi
h da
ri 20
tahu
n ya
ng la
lu)
mun
gkin
ada
, na
mun
ch
anel
isas
i yan
g ba
ru ti
dak
ada.
Cha
nelis
asi m
ungk
in m
elua
s se
cara
eks
tens
ive;
pe
mbe
ntuk
an ta
nggu
l bar
u te
rdap
at p
ada
kedu
a te
piny
a at
au st
rukt
ur te
pian
land
ai
terd
apat
pad
a di
ked
ua
tepi
nya;
dan
40-
80%
dar
i st
ream
reac
h m
enga
lam
i ch
anel
isas
i dan
gan
ggua
n.
Bagi
an te
pi d
ari s
unga
i m
enga
lam
i pen
tura
pan;
lebi
h da
ri 80
% d
ari s
tream
reac
h m
enga
lam
i cha
nelis
asi d
an
gang
guan
, hab
itat d
alam
st
ream
men
gala
mi
peru
baha
n ya
ng sa
nagt
bes
ar
atau
hila
ng sa
ma
seka
li.
SCO
RE:
20
1
9
18
1
7
16
15
1
4
13
12
11
10
9
8
7
6 5
4
3
2
1
0
7a. f
reku
ensi
rif
fle a
tau
kelo
kan
(Gra
dien
ting
gi)
Terd
apat
nya
riffle
rela
tif
serin
g, ra
sio
jara
k an
tara
rif
fle d
ibag
i den
gan
leba
r st
ream
< 7
: 1 (b
iasa
nya
5 sa
mpa
i 7);
habi
tat
berm
acam
-mac
am d
an
mer
upak
an k
unci
. Pad
a st
ream
dim
ana
riffle
nya
cont
inue
pen
empa
tan
boul
der a
tau
rinta
ngan
bes
ar
alam
i lai
nnya
ada
lah
pent
ing.
Terd
apat
riffl
e tid
ak te
rlalu
se
ring;
jara
k an
tara
riff
le
diba
gi d
enga
n le
bar s
tream
an
tara
7-1
5
Kad
ang-
kada
ng ri
ffle
ata
u ke
loka
n; k
ontu
r das
ar
men
yedi
akan
bbr
p ha
bita
t; ja
rak
dian
tara
riffl
e di
bagi
de
ngan
leba
r stre
am a
ntar
a 15
-25
Bias
anya
selu
ruh
perm
ukaa
n
airn
ya d
atar
ata
u rif
fle
dang
kal;
habi
tat m
iski
n;
jara
k di
anta
ra ri
ffle
diba
gi
deng
an le
bar s
tream
> 2
5
SCO
RE:
20
1
9
18
1
7
16
15
1
4
13
12
11
10
9
8
7
6 5
4
3
2
1
0
111
7b. S
inuo
sity
sa
lura
n (G
radi
en
rend
ah)
Kel
okan
dal
am st
ream
m
enin
gkat
kan
panj
ang
stre
am 3
-4 k
ali l
ebih
pa
njan
g da
ripad
a ap
abila
ha
nya
mer
upak
an g
aris
luru
s (c
tt; a
nyam
an sa
lura
n di
angg
ap n
orm
al p
ada
daer
ah p
apar
an p
esis
ir, d
an
ham
para
n la
in d
i dat
aran
re
ndah
par
amet
er in
i tid
ak
mud
ah g
olon
gkan
pad
a da
erah
–da
erah
tsb
Kel
okan
dal
am st
ream
m
enin
gkat
kanp
anja
ng
stre
am 2
-3 k
ali l
ebih
pa
njan
g da
ripad
a ap
abila
ha
nya
mer
upak
an g
aris
luru
s
Kel
okan
dal
am st
ream
m
enin
gkat
kanp
anja
ng
stre
am 1
-2 k
ali l
ebih
pa
njan
g da
ripad
a ap
abila
ha
nya
mer
upak
an g
aris
luru
s
Salu
ran
luru
s; ja
lan
air s
udah
m
enga
lam
i cha
nelis
asi u
ntuk
ja
rak
yang
cuk
up ja
uh
SCO
RE:
20
1
9
18
1
7
16
15
1
4
13
12
11
10
9
8
7
6 5
4
3
2
1
0
8. S
tabi
litas
pi
nggi
r sun
gai
(sco
re u
ntuk
m
asin
g-m
asin
g pi
nggi
ran)
un
tuk
grad
ien
rend
ah d
an
tinng
i)
Tepi
an st
abil,
buk
ti er
osi
atau
ker
usak
an te
pian
tida
k ad
a at
au m
inim
al; p
oten
si
untu
k te
rjadi
nya
mas
alah
pa
da m
asa
yang
aka
n da
tang
ke
cil;
< 5%
dar
i pin
ggir
sung
ai m
enga
lam
i ga
nggu
an.
Kes
tabi
lan
seda
ng, j
aran
g,
area
kec
il ya
ng m
enga
lam
i er
osi k
eban
yaka
n te
lah
men
gala
mi p
emul
ihan
, 5-
30%
dar
i pin
ggir
sung
ai
yang
tela
h m
enga
lam
i ero
si.
Ket
idak
stab
ilan
seda
ng, 3
0-60
% d
ari t
epia
n m
enga
lam
i er
osi,
mem
iliki
pot
ensi
ero
si
yang
ting
gi p
ada
saat
ban
jir.
Tida
k st
abil,
ban
yak
daer
ah
tela
h m
enga
lam
i ero
si,
daer
ah b
aru
terb
entu
k se
panj
ang
bagi
an lu
rus d
an
kelo
kan
sung
ai, p
engg
erus
an
tepi
an ta
mpa
k ny
ata
, 60-
100
dari
tepi
an m
enga
lam
i pe
ngge
rusa
n ol
eh e
rosi
. C
tt; te
ntuk
an
tepi
kan
an/k
iri
deng
an
men
ghad
ap
kear
ah
dow
nste
ram
. SC
OR
E:
Tep
i Kan
an
10
9
8
7
6 5
4
3
2
1
0 SC
OR
E:
Tep
i Kiri
1
0
9
8
7
6 5
4
3
2
1
0
112
9. P
erlin
dung
an
oleh
veg
etas
i (s
core
mas
ing-
mas
ing
tepi
)
Ctt;
tent
ukan
tepi
ka
nan/
kiri
deng
an
men
ghad
ap k
eara
h do
wns
tera
m.
(u
ntuk
gra
dien
tin
ggi d
an re
ndah
)
SCO
RE:
Tep
i Kan
an
10
9 8
7
6
5
4
32
1
0SC
OR
E: T
epi K
iri
10
9 8
7
6
5
4
32
1
010
. Leb
ar z
one
vege
tasi
ripa
rian
(Unt
uk g
radi
en
tingg
i dan
rend
ah)
Ctt:
Sco
re u
ntuk
m
asin
g- m
asin
g pi
nggi
r rip
aria
nSC
OR
E: T
epi K
anan
10
9
8
7
65
4
3
2
1
0
SCO
RE:
Tep
i Kiri
1
0
9
8
7
65
4
3
2
1
0
Leba
r dar
i zon
e rip
aria
n >
18
m; a
ktiv
itas m
anus
ia (m
is:
perta
nian
, pem
bang
unan
jala
n,
pem
buka
an la
han)
tida
k m
empe
ngar
uhi z
one
ters
ebut
.
Leba
r dar
i zon
e rip
aria
n 1
2- 1
8 m
; akt
ivita
s man
usia
m
embe
rikan
dam
pak
min
imal
pa
da z
one
ters
ebut
.
Leba
r dar
i zon
e rip
aria
n 6
– 12
m
; akt
ivita
s man
usia
m
embe
rikan
pen
garu
h ya
ng
cuku
p be
sar p
ada
zone
ters
ebut
.
Leba
r dar
i zon
e rip
aria
n <
6 m
; se
diki
t ata
u tid
ak a
da v
eget
asi
ripar
ian
yang
dis
ebab
kan
oleh
ak
tivita
s akt
ivita
s man
usia
Lebi
h da
ri 90
% p
erm
ukaa
n te
pian
sung
ai d
an z
ona
ripar
ian
ditu
mbu
i ole
h tu
mbu
han
asli
mel
iput
i poh
on, s
emak
, m
acro
phyt
a ta
k be
rkay
u;
keru
saka
n ve
geta
si y
ang
dise
babk
an o
leh
graz
ing
atau
pe
mot
onga
n m
inim
al a
tau
tidak
ad
a; se
bagi
an b
esar
tana
man
tu
mbu
h se
cara
ala
mi.
70-9
0% p
erm
ukaa
n te
pian
su
ngai
dan
zon
a rip
aria
n di
tum
bui o
leh
tum
buha
n as
li,
nam
un te
rdap
at sa
tu k
elas
yan
g tid
ak te
rwak
ili se
cara
bai
k;
terd
apat
buk
ti ga
nggu
an n
amun
tid
ak te
rlalu
mem
peng
aruh
i po
tens
i per
tum
buha
n ta
nam
an,
lebi
h da
ri se
teng
ah b
agia
n di
dom
inas
i ole
h se
mak
50-7
0% d
ari p
emuk
aan
tepi
an
ditu
tupi
ole
h ve
geta
si;
gang
guan
tam
pak
jela
s, ja
lan
seta
pak
atau
sepe
rti ta
nam
an
yang
dib
abat
pen
dek
seca
ra
umum
terd
apat
, kur
ang
dari
sete
ngah
bag
ian
ditu
mbu
i ole
h se
mak
.
< da
ri 50
% d
ari p
erm
ukaa
n te
pian
ditu
mbu
i ole
h ve
geta
si;
gang
guan
pad
a tu
mbu
han
tepi
an
sung
ai sa
ngat
ting
gi, t
umbu
han
tela
h be
ruba
h m
enja
di
tum
buha
n se
mak
setin
ggi 5
cm
at
au k
uran
g.
113
Lampiran II. Foto situasi lokasi pengamatan.
(A) (B) Foto situasi lokasi yang berfungsi sebagai situs rujukan. A). Stasiun Gunung Mas I. B). Stasiun Gunung Mas II.
Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun III Kampung Pensiunan)
Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun IV Kampung Jog-jogan)
114
Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun V Katulampa)
Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun VI Cibinong)
115
Lampiran III Rerata kelimpahan total perifiton (sel/cm2
No
)
Taksa Stasiun Pengamatan
1 2 3 4 5 6 1 Achnanthes 69 49 67 70 39 77 2 Achnanthidium 0 18 0 20 0 53 3 Actinella 35 38 50 39 60 32 4 Amphora 11 18 25 13 0 0 5 Aulacodiscus 0 18 85 31 14 19 6 Aulacoseira 37 16 0 72 86 80 7 Cyclotella 28 18 0 0 18 39 8 Cymbella aspera 32 37 25 62 42 32 9 Cymbella tumida 26 0 0 51 49 48
10 Diatomella 73 0 0 0 0 78 11 Diploneis 19 71 53 62 64 0 12 Encyonema 53 49 55 50 92 32 13 Epithemia 0 0 0 37 18 29 14 Fragilaria capucina 16 23 38 0 46 0 15 Fragilaria crotonensis 0 0 0 398 99 143 16 Fragilariforma viriscent 56 34 0 44 0 13 17 Frustullia vulgaris 68 0 0 37 0 0 18 Gomphoneis 46 97 0 0 49 45 19 Gomphonema 54 0 60 0 0 0 20 Gomphonema parvulum 0 31 0 0 47 30 21 Gyrosigma 11 34 25 13 32 32 22 Hyalodiscus 28 18 0 43 32 32 23 Melosira dickiei 88 90 20 0 163 0 24 Melosira varians 0 0 0 62 0 0 25 Meridion circulare 0 0 88 100 0 115 26 Naviculla margalithi 28 0 25 63 0 67 27 Naviculla radiosa 0 48 58 20 36 0 28 Naviculla subtilissima 0 0 0 13 43 38 29 Neidium 16 34 45 43 32 39 30 Nitzschia 0 63 90 0 68 32 31 Nitzschia cf intermedia 0 0 45 20 0 0 32 Nitzschia dissipata 46 0 20 47 0 39 33 Nitzschia gracilis 11 16 0 37 32 55 34 Nitzschia linearis 0 0 25 0 0 0 35 Pinnularia cf gibba 0 0 0 27 32 0 36 Pinnularia viridis 32 31 27 37 39 26 37 Rhoicosphenia 123 134 75 145 152 96 38 Staurosira cf anceps 0 0 0 0 0 0 39 Stephanodiscus 13 34 135 37 0 13 40 Surirella 0 18 33 73 0 276 41 Surirella angusta 0 0 0 21 146 13
116
42 Synedra acus 0 0 0 0 0 0 43 Synedra ulna 38 151 464 177 166 30 44 Tabellaria 0 0 0 0 114 156 45 Ankistrodesmus 394 0 45 0 43 67 46 Closterium 0 27 0 13 40 13 47 Coelastrum 0 0 440 237 14 0 48 Cosmarium 0 18 0 0 0 0 49 Desmidinium 0 0 50 0 0 96 50 Gongrosira 0 0 0 0 0 1200 51 Gonium 199 0 0 0 0 0 52 Hydrodictyon 331 679 0 0 0 0 53 Klebsormidium 313 0 1592 386 0 0 54 Microspora 0 18 75 0 0 27 55 Oedogonium 0 0 40 0 0 291 56 Oocystis 28 34 20 37 39 32 57 Pediastrum duplex 0 0 0 374 0 0 58 Pediastrum tetras 0 0 0 0 0 153 59 Scenedesmus quadricauda 0 72 0 0 57 57 60 Selenastrum 104 74 0 33 251 19 61 Sphaerocystis 0 0 25 0 43 0 62 Spirogyra 54 754 582 474 242 1268 63 Tetraspora 16 64 0 0 18 0 64 Ulothrix 173 0 1155 0 452 709 65 westella 74 55 61 0 72 0 66 Anabaena 0 0 0 0 86 585 67 Aphanocapsa 46 47 79 53 51 55 68 Calothrix 28 34 27 37 42 32 69 Chroococcus 207 256 184 208 224 165 70 Gleocapsa 30 31 20 50 23 0 71 Gomphosphaeria 50 39 20 0 58 19 72 Oscillatoria agardhii 0 0 0 13 0 0 73 Oscillatoria brevis 28 0 0 0 0 0 74 Oscillatoria princeps 0 0 0 113 0 0 75 Oscillatoria rubescens 0 31 85 48 0 0 76 Phormidium 50 108 142 0 70 0 77 Rivularia 328 77 932 504 0 431 78 Synechococcus 16 0 0 0 19 0 79 Talyphothrix 0 1138 2790 502 1705 1039 80 Hildenbrandia 270 1193 925 841 547 641 81 Tribonema viride 0 0 805 299 1052 923 82 Vaucheria 35 31 75 44 18 45 83 Ceratium 0 0 25 37 0 0 84 Peridinium 0 0 0 0 22 38
Jumlah 3828 5959 11829 6268 6985 9718
117
No
Fam
ili
Taks
a St
. 1
St. 2
St
. 3
St. 4
St
. 5
St. 6
1
Hel
icop
hida
e A
lloec
ella
sp.
1
0 0
0 0
0 2
Philo
pota
mid
ae
Chim
arra
sp.
16
8
4 2
0 0
3 Ph
ilopo
tam
idae
G
enus
1
3 1
1 0
0 0
4 G
loss
osom
atid
ae
Aga
petu
s sp
. 19
14
13
9 0
0 0
5 G
loss
osom
atid
ae
Gen
us 1
0
0 0
3 6
1 6
Hyd
rops
ychi
dae
Dip
lect
rona
sp.
5
6 4
1 0
0 7
Hyd
rops
ychi
dae
Cheu
mat
opsy
che
sp.
31
40
59
148
134
370
8 H
ydro
psyc
hida
e G
enus
1
0 0
0 0
1 0
9 H
ydro
psyc
hida
e M
acro
stem
um s
p.
0 0
0 0
0 1
10
Hyd
ropt
ilida
e O
rtho
tric
hia
sp.
7 3
0 0
0 0
11
Hel
icop
sych
idae
H
elic
opsy
che
sp.
1 1
0 0
0 0
12
Psyc
hom
yiid
ae
Tino
des
sp.
0 0
13
60
12
10
13
Ecno
mid
ae
Ecno
min
a sp
. 1
0 0
0 0
0 14
Ec
nom
idae
Ec
nom
us s
p.
0 1
0 0
0 0
15
Poly
cent
ropo
dida
e N
eure
clip
sis
sp.
1 1
1 1
0 0
16
Ant
ipod
oeci
idae
A
ntip
odoe
cia
sp.
0 1
1 0
0 0
17
Hel
icop
hida
e G
enus
Hel
C
0 1
0 0
0 0
18
Hyd
robi
osid
ae
Aps
iloch
orem
a sp
. 1
0 0
0 0
0 19
H
ydro
bios
idae
U
lmer
ocho
rem
a sp
. 0
1 0
0 0
0 20
Ca
loci
dae
Caen
ota
sp.
14
8 0
0 0
0 21
Ca
loci
dae
Caen
ota
sp 1
1
0 0
0 0
0 22
Le
pido
stom
atid
ae
Lepi
dost
oma
sp.
18
9 4
0 0
0 L
ampi
ran
IV. K
ompo
sisi
dan
kel
impa
han
rera
ta (i
dv/m
2 ) dar
i lar
va T
richo
pter
a di
Sun
gai C
iliw
ung
118
23
Lept
ocer
idae
Tr
iple
xa s
p.
0 0
1 0
0 0
24
Lept
ocer
idae
Se
tode
s sp
. 0
0 0
3 13
3
25
Tasi
miid
ae
Tasi
agm
a sp
. 1
0 0
0 0
0 26
Ca
lam
ocer
atid
ae
Ani
soce
ntro
pus
sp.
1 1
0 0
0 0
Jum
lah
120
95
226
218
166
386
119
Lampiran V. Hubungan lebar kepala dengan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. Pada masing-masing stasiun pengamatan
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas I
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas II
120
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Pensiunan
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Jog-jogan.
121
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Katulampa.
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong.
122
N/m
2 W
Δ
N N
x W
W ra
ta =
(w1+
W2)
/2
W ra
ta. Δ
N
W ra
ta. Δ
N x
6 Δ
W
Insta
r 1
0.3-
0.41
25
4 0.
000
0.
001
In
star 2
0.
4126
-0.6
75
14
0.00
0 -1
0.49
4 0.
006
0.03
4 -0
.358
-2
.145
0.
0001
Insta
r 3
0.67
6-0.
825
16
0.00
1 -1
.852
0.
012
0.04
4 -0
.082
-0
.491
0.
0004
Insta
r 4
0.82
6-1.
05
9 0.
001
6.79
0 0.
011
0.05
7 0.
387
2.32
3 0.
0004
Insta
r 5
1.06
-1.5
20
0.00
2 -1
1.11
1 0.
042
0.07
0 -0
.774
-4
.644
0.
001
pu
pa
6
0.00
3 14
.815
0.
015
0.05
3 0.
782
4.69
4 0.
001
5.55
6
0.00
3 0.
015
0.09
3 0.
003
ra
ta-ra
ta
11.5
2 0.
001
-0.3
70
0.01
5 0.
052
-0.0
09
-0.0
52
0.00
0
bi
omas
sa
0.0
88
Konv
ersi
biom
assa
da
lam 1
tahu
n
0.13
1
Pr
oduk
si
1.976
Konv
ersi
prod
uksi
ke
1 tah
un
2.96
4
Lam
pira
n V
I Pen
ghitu
ngan
pro
dukt
ivita
s sek
unde
r lar
va C
heum
atop
sych
e sp
. di m
asin
g-m
asin
g st
asiu
n pe
ngam
atan
Tabe
l per
hitu
ngan
pro
dukt
ivita
s sek
unde
r lar
va C
heum
atop
sych
e sp
. di S
tasi
un G
unun
g M
as I.
123
N/m
2 W
Δ
N N
x W
W ra
ta =
(w1+
W2)
/2
W ra
ta. Δ
N
W ra
ta. Δ
N x
6 Δ
W
N ra
ta x
Δ W
In
star 1
0.
3375
-0.6
7 0.
0002
0.00
13
In
star 2
0.
61-0
.825
7
0.00
05
1 0.
0033
0.
038
0.02
1 0.
127
0.00
0 0.
002
Insta
r 3
0.82
6-1.
1625
14
0.
0010
-7
0.
0131
0.
050
-0.3
47
-2.0
81
0.00
0 0.
002
Insta
r 4
1.16
26-1
.35
8 0.
0015
6
0.01
19
0.06
2 0.
363
2.17
8 0.
001
0.00
3 In
star 5
1.
36-1
.687
5 3
0.00
23
5 0.
0058
0.
070
0.36
7 2.
203
0.00
1 0.
004
pupa
e
2 0.
0025
1
0.00
49
0.05
0 0.
028
0.16
7 0.
000
0.00
1
2
0.00
3 0.
005
0.03
3 0.
003
0.01
3
ra
ta-ra
ta
6.62
04
0.00
13
1.05
56
0.00
67
0.05
4 0.
086
0.51
9 0.
000
0.00
2
bi
omas
sa
0.0
403
Konv
ersi
biom
assa
da
lam 1
tahu
n
0.06
05
Pr
oduk
si
2.50
Konv
ersi
prod
uksi
ke 1
tahu
n
3.75
co
hort
P/B
61.9
P/
B ta
huna
n 12
3.9
Pr
oduk
si te
rkor
eksi
7.495
7
Tabe
l per
hitu
ngan
pro
dukt
ivita
s sek
unde
r lar
va C
heum
atop
sych
e sp
. di S
tasi
un G
unun
g M
as II
.
124
N/m
2 W
Δ
N N
x W
W ra
ta =
(w1+
W2)
/2
W ra
ta. Δ
N
W ra
ta. Δ
N x
6 Δ
W
N ra
ta
x Δ W
In
star
1
0.37
5-0.
6 7
0.00
01
0.
0010
Inst
ar 2
0.
675-
0.82
5 11
0.
0005
-4
0.
0056
0.
0455
-0
.189
7 -1
.138
0.
0004
0.
0019
In
star
3
0.86
25-1
.05
11
0.00
16
1 0.
0166
0.
0636
0.
0353
0.
212
0.00
11
0.00
56
Inst
ar 4
1.
0875
-1.3
125
26
0.00
25
-15
0.06
37
0.07
62
-1.1
642
-6.9
85
0.00
09
0.00
46
Inst
ar 5
1.
425-
1.83
75
2 0.
0033
24
0.
0056
0.
0784
1.
8937
11
.362
0.
0009
0.
0045
pu
pae
3
0.00
28
-1
0.00
78
0.05
29
-0.0
588
-0.3
53
0.00
05
0.00
28
3
0.00
28
0.00
77
0.04
6 0.
0028
0.
0145
Ra
ta-ra
ta
9.81
48
0.00
18
0.83
33
0.01
67
0.06
33
0.10
33
0.61
95
0.00
07
0.00
39
Bi
omas
sa
0.
1002
Konv
ersi
biom
assa
da
lam
1 ta
hun
0.
1503
3
Pr
oduk
si
4.28
Konv
ersi
prod
uksi
ke 1
tahu
n
6.42
37
co
hort
P/B
64.1
P/
B ta
huna
n 85
.5
Pr
oduk
si te
rkor
eksi
12.8
5
Ta
bel p
erhi
tung
an p
rodu
ktiv
itas s
ekun
der l
arva
Che
umat
opsy
che
sp. d
i Sta
siun
Kp.
Pen
siun
an.
125
N/m
2 W
Δ
N N
x W
W ra
ta =
(w1+
W2)
/2
W ra
ta. Δ
N
W ra
ta. Δ
N x
6 Δ
W
N ra
ta x
Δ W
Ins
tar 1
0.2
625-
0.675
20
0.0
002
0.0
048
Ins
tar 2
0.7
125-
0.825
42
0.0
005
-22
0.021
1 0.0
37
-0.81
3 -4
.877
0.000
3 0.0
013
Insta
r 3
0.862
5-0.9
75
26
0.000
8 17
0.0
214
0.044
0.7
36
4.418
0.0
003
0.001
8 Ins
tar 4
1.0
125-
1.087
5 22
0.0
011
4 0.0
241
0.049
0.1
91
1.147
0.0
003
0.001
4 Ins
tar 5
1.1
25-1
.2375
33
0.0
013
-12
0.043
5 0.0
62
-0.72
0 -4
.317
0.000
2 0.0
010
pupa
e
9 0.0
025
24
0.022
2 0.0
50
1.222
7.3
33
0.001
2 0.0
062
9
0.003
0.0
25
0.149
0.0
025
0.013
0
Ra
ta-ra
ta
25.27
78
0.001
1 2.2
222
0.022
9 0.0
48
0.123
0.7
41
0.000
5 0.0
023
Bio
mas
sa
0.1
371
Konv
ersi
biom
assa
da
lam 1
tahu
n
0.205
7
Pr
oduk
si
8.73
Konv
ersi
prod
uksi
ke 1
tahu
n
13.09
co
hort
P/B
63.7
P/
B tah
unan
12
7.3
Pr
oduk
si te
rkore
ksi
26.19
Ta
bel p
erhi
tung
an p
rodu
ktiv
itas s
ekun
der l
arva
Che
umat
opsy
che
sp. d
i Sta
siun
Kp.
Jogj
ogan
.
126
N/m
2 W
Δ
N N
x W
W ra
ta =
(w1+
W2)
/2
W ra
ta. Δ
N
W ra
ta. Δ
N x
6 Δ
W
N ra
ta x
Δ W
Ins
tar 1
0.2
25-0
.45
8 0.0
0020
0.001
5
Insta
r 2
0.487
5-0.6
375
12
0.000
3 -5
0.0
037
0.032
3 -0
.153
-0.91
6 0.0
001
0.000
5 Ins
tar 3
0.6
75-0
.8625
22
0.0
007
-9
0.016
1 0.0
523
-0.49
4 -2
.963
0.000
4 0.0
023
Insta
r 4
0.9-1
.05
43
0.002
0 -2
2 0.0
862
0.073
4 -1
.591
-9.54
3 0.0
012
0.006
5 Ins
tar 5
1.0
875-
1.312
5 30
0.0
034
13
0.102
0 0.0
812
1.082
6.4
92
0.001
4 0.0
073
pupa
e
4 0.0
032
26
0.014
2 0.0
564
1.442
8.6
54
0.000
2 0.0
011
4
0.002
8 0.0
12
0.074
0.0
032
0.016
5
Ra
ta- ra
ta
19.86
11
0.001
6 0.6
111
0.037
3 0.0
591
0.058
0.3
450
0.000
7 0.0
035
Bio
mas
sa
0.2
236
Konv
ersi
biom
assa
da
lam 1
tahu
n
0.335
5
Pr
oduk
si
2.72
Konv
ersi
prod
uksi
ke 1
tahu
n
4.07
co
hort
P/B
12.1
P/
B tah
unan
24
.3
Pr
oduk
si te
rkore
ksi
8.145
4
Ta
bel p
erhi
tung
an p
rodu
ktiv
itas s
ekun
der l
arva
Che
umat
opsy
che
sp. d
i Sta
siun
Kat
ulam
pa.
127
N/m
2 W
Δ
N N
x W
W ra
ta =
(w1+
W2)
/2
W ra
ta. Δ
N
W ra
ta. Δ
N x
6 Δ
W
N ra
ta x
Δ W
In
star 1
0.1
88-0
.263
4 0.0
0002
0.000
1
Insta
r 2
0.338
-0.48
8 39
0.0
001
-35
0.004
5 0.0
220
-0.77
5 -4
.652
0.000
1 0.0
005
Insta
r 3
0.525
-0.75
0 11
9 0.0
004
-79
0.044
0 0.0
392
-3.11
5 -1
8.693
0.0
003
0.001
3 In
star 4
0.8
25-0
.993
167
0.001
2 -4
8 0.1
946
0.052
8 -2
.521
-15.1
26
0.000
8 0.0
041
Insta
r 5
1.013
-1.12
5 22
0.0
016
145
0.035
5 0.0
642
9.285
55
.711
0.000
4 0.0
023
pupa
e
5 0.0
025
17
0.011
8 0.0
500
0.861
5.1
67
0.000
9 0.0
046
5
0.002
8 0.0
13
0.079
0.0
025
0.013
0
Ra
ta-ra
ta
59.30
56
0.001
0 -0
.11
0.048
4 0.0
456
0.747
4.4
815
0.000
5 0.0
026
Bi
omas
sa
0.2
905
Konv
ersi
biom
assa
da
lam 1
tahu
n
0.435
7
Pr
oduk
si
27.14
Konv
ersi
prod
uksi
ke 1
tahu
n
40.71
co
hort
P/B
93.4
P/
B ta
huna
n 18
6.9
Pr
oduk
si te
rkor
eksi
81.41
4
Ta
bel p
erhi
tung
an p
rodu
ktiv
itas s
ekun
der l
arva
Che
umat
opsy
che
sp. d
i Sta
siun
Cib
inon
g.
128
Lampiran VII. Metrik biologi dari Larva Trichoptera dalam mencerminkan gangguan pada Sungai Ciliwung
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0
2
4
6
8
10
12
Jum
lah
Kek
ayaa
n Ta
ksa
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Jum
lah
skor
SIG
NA
L
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
50
60
70
80
90
100
110
% k
elim
paha
n do
min
ansi
3
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Jum
lah
taks
a se
nsiti
f
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
5.86.06.26.46.66.87.07.27.47.67.88.08.28.48.68.8
Inde
ks S
IGN
AL
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-100
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Kel
impa
han
Tota
l (id
v/m
2 )
129
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-20
0
20
40
60
80
100
120
% K
epad
atan
Hyd
rops
ychi
dae
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
2.2
Jum
lah
Taks
a To
lera
n
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
1,8
2,0
2,2
Jum
lah
Tak
sa H
ydro
psy
chid
ae
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
Ju
mla
h T
aksa F
aku
ltat
if
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
0
20
40
60
80
100
120
% K
epad
atan
Fil
teri
ng
Co
llec
tor
Median 25%-75% Min-Max
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
% K
epad
atan
Sh
red
der
130
Lampiran VIII. Nilai rerata variabel kualitas fisik dan kimia Sungai Ciliwung. Nilai dalam kurung merupakan nilai kisaran terendah dan tertinggi
Parameter
Stasiun Pengamatan St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St.5 St.6
Suhu air (o C) 18,10 (18-18,3)
19 (18,7-19,5)
19,69 (18,6-20,6)
20,49 (19,7-21,3)
25,38 (23,8-26,4)
27,10 (25,6-28,9)
Kecepatan arus (m/det)
1,27 (0,99-1,96)
1,31 (0,94-1,54)
0,98 (0,8-1,6)
0,67 (0,5-0,82)
0,51 (0,5-0,54)
0,51 (0,5-0,6)
Distribusi partikel - % Kerikil - % Pasir - % Clay dan lanau
82,740
(79,3-86,7) 16,84
(12,5-20,8) 0,421
(0,09-0,85)
55,1
(49,5-60,6) 43,32
(8,58-49,27) 1,58
(0,84-3,05)
53,34
(50,7-56,5) 45,95
(3,38-49,29) 0,716
(0,04-1,83)
6,44
(5,03-7,5) 91,75
(89,27-93,18) 1,81
(0,71-3,50)
9,88
(8,42-11,9) 89,41
(86,98-90,83) 0,72
(0,04-1,46)
2,23
(1,07-3,7) 93,42
(93,29-95,28) 4,35
(1,81-7,24)
Turbiditas (NTU) 4,44 (3,87-6,05)
5,83 (4,9-6,37)
13,87 (12,3-16)
25,86 (24,32-27,8)
29,77 (28,32-31)
32,30 (28,6-34,71)
Konduktivitas (µS/cm2)
61,63 (61-63,3)
91,00 (85,8-92,5)
100,20 (99,4-101)
195,54 (193,1-196,7)
226,13 (221-241)
252,38 (250-255)
pH air 6,83 (6,5-7)
6,80 (6,5-7)
6,29 (6-6,5)
6,09 (6-6,5)
6,26 (6-6,8)
6,95 (6-7,6)
Oksigen terlarut (mg/l) 8,10 (7,7-8,7)
8,01 (7,5-8,5)
7,58 (7,1-8,5)
7,58 (7,2-7,8)
6,39 (6,27-6,56)
6,4 (6,25-6,83)
COD (mg/l) 5,1 (4,04-5,8)
5,88 (5,01-7,8)
15,32 (14,08-16,3)
17,902 (15,9-20,32)
27,91 (21,57-29,58)
36,22 (23,55-51,49)
Amonium (mg/l) 0,01 (0,001-0,03)
0,01 (0,001-0,02)
0,06 (0,022-0,12)
0,28 (0,216-0,779)
0,98 (0,586-1,337)
0,92 (0,967-1,021)
N-Nitrat (N-NO3) 0,42 (0,13-0,59)
0,60 (0,32-0,72)
1,17 (0,65-1,72)
1,69 (0,75-3,57)
4,17 (1,56-5,57)
8,57 (3,78-20,58)
Ortofosfat (O-PO4) 0,06 (0,02-0,11)
0,04 (0,001-0,13)
0,10 (0,03-0,13)
0,33 (0,11-0,5)
0,39 (0,27-0,8)
0,50 (0,37-0,66)
Kesadahan (mg/l setara CaCO3)
17,84 (6,19-23,8)
19,58 (7,88-32,23)
26,12 (13,43-40,3)
28,60 (11,28-57,47)
36,80 (12,66-59,45)
30,7 (10,3-61,47)
Seston - C (mg/l) - N (mg/l)
0,25
(0,22-0,28) 0,03
(0,03-0,04)
0,24
(0,21-0.26) 0,03
(0,02-0,04)
0,31
(0,0,29-0,31) 0,05
(0,04-0,05)
0,35
(0,33-0,405) 0,06
(0,06-0,07)
0,46
(0,43-0,49) 0,07
(0,06-0,07)
0,59
(0,52-0,62) 0,08
(0,07-0,09) Hg di air (ppb) 0,074
(0,03-0,15) 0,250
(0,21-0,4) 0,648
(0,57-0,77) 0,922
(0,8-1,01) 1,150
(0,92-1,27) 2,34
(1,5-3,55) Hg di sedimen (ppb) 7,215
(4,56-11,9) 10,481
(5,98-15,63) 50,130
(65,28-71,4) 64,337
(51,22-89,47) 69,928
(41,59-97,3) 80,58
(56,46-125,3) Hg di trichoptera (ppm)
0,13 (0,11-0,14)
0,19 (0,17-0,20)
0,24 (0,21-0,28)
0,27 (0,29-0,26)
0,32 (0,3-0,35)
0.4 (0,32-0,40)
CPOM (gr berat kering) TOM (mg/l) Luas jaring (mm2)
101,63 (65,8-148.9)
4,16 (3,28-5,74)
0,30 (0,23-0,47)
93,1 (63,2-132,1)
4,61 (3,75-5,71)
0,17 (0,08-0,4)
54,9 (41,81-68,2)
5,12 (3,30-6,28)
0,09 (0,1-0,08)
20 (12,63-30,92)
7,46 (5,30-9,71)
0,09 (0,09-0,07)
13,77 (10,82-25,65)
9,75 (7,92-12,56)
0,07 (0,09-0,05)
9,4 (6,93-10,94)
11,77 (9,42-14,27)
0,05 (0,06-0,04)
131
Lampiran IX Foto larva Cheumatopsyche sp. dan Apsilochorema sp.
(A) (B)
Foto larva Cheumatopsyche sp. (A) dan Apsilochorema sp.(B)