ketatanegaraan indonesia berwajah parlementer

10
Ketatanegaraan Indonesia Berwajah Parlementer Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Dasar-Dasar Ilmu Politik Dosen Pengampu: Cholisin, M. Si. Disusun oleh: Fauzi Styobudi (13416244013) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta 2014

Upload: uzzy-de-angelo

Post on 24-Nov-2015

182 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Makalah ini disusun oleh Fauzi Styobudi mahasiswa Pend. IPS 2013 Universitas Negeri Yogyakarta

TRANSCRIPT

  • Ketatanegaraan Indonesia Berwajah Parlementer

    Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Dasar-Dasar Ilmu Politik

    Dosen Pengampu: Cholisin, M. Si.

    Disusun oleh:

    Fauzi Styobudi (13416244013)

    Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

    Fakultas Ilmu Sosial

    Universitas Negeri Yogyakarta

    2014

  • Ketatanegaraan berwajah Parlementer

    1. Pendahuluan

    Sebuah sistem pemerintahan demokratis lahir seiring dengan munculnya gagasan

    pemisahan kekuasaan. Gagasan yang mengharuskan adanya pembagian kekuasaan dalam

    pemerintahan untuk menghindari adanya kekuasaan absolut. Trend demokratisasi yang

    sedang berlangsung berdampak pada munculnya sistem pemerintahan yang demokratis.

    Dan salah satu sistem pemerintahan yang dianggap demokratis adalah sistem

    pemerintahan presidensial yang dicoba diadaptasikan di Indonesia.

    Sistem presidensial sebagai pilihan sistem pemerintahan di Indonesia telah

    melalui proses perdebatan panjang dari para founding fathers dengan memahami

    kondisi Indonesia pada masa itu. Melihat kondisi saat ini, sistem pemerintahan

    Presidensial malah menimbulkan banyak permasalahan yang salah satunya adalah

    Presidensial Setengah Parlementer.

    Presidensial merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana president as a single

    chief excecutive.1 Kekuasaan eksekutif berada di tangan seorang presiden dan tidak

    terbagi. Pertimbangan-pertimbangan yang mungkin dipikirkan ketika Indonesia memilih

    sistem presidensial, beberapa diantaranya adalah kekuasaan presiden lebih terlegitimasi

    karena dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, adanya pembedaan antara lembaga

    eksekutif dan legislatif, mendukung berlangsungnya checks and balances dan masing-

    masing lembaga untuk mencegah penyimpangan kekuasaan. Besarnya kekuasaan

    presiden akan mempercepat pengambilan keputusan dan kebijakan tertentu. Dan masa

    jabatan presiden yang pasti memungkinkan terjadinya stabilitas pemerintahan,

    dibandingkan dengan sistem parlementer dimana perdana menteri bisa dijatuhkan

    sewaktu-waktu. Sistem presidensial cenderung lebih stabil.

    2. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia

    a. Periode Proklamasi Kemerdekaan 17 Agusrus 1945

    Dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia maka dibentuk BPUPKI, yang

    telah berhasil membuat Rancangan Dasar Negara pada tanggal 25 Mei s.d. 1 Juni

    1 Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm.

    315.

  • 1945 dan Rancangan UU Dasar pada tanggal 10 Juli s.d. 17 Juli 1945.2 Pada tanggal

    11 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan dibentuk PPKI yang melanjutkan upaya-

    upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI dan berhasil membuat UUD 1945 yang

    mulai diberlakukan tanggal 18 Agustus 1945.

    Menurut UUD 1945,3 sistem pemerintahan Indonesia adalah Sistem Pemerintahan

    Presidensial, yang bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan adalah

    Presiden dibantu oleh para Menteri.4 Pada saat itu, Presiden adalah mandataris dari

    Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Presiden bertanggung jawab pada Majelis

    Permusyawaratan Perwakilan.

    Dalam perjalanannya, pada masa ini terjadi perubahan dari sistem pemerintahan

    Presidensial ke sistem pemerintahan Parlementer, tanpa mengubah ketentuan dalam

    UUD 1945.5 Pergantian ini berdasarkan Maklumat Wakil Presiden 16 Oktober 1945

    dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Pada masa ini terjadi

    perdebatan, karena Maklumat tadi bertentangan dengan Konstitusi Indonesia pada

    masa itu.

    b. Periode Konstitusi RIS 27 Desember 1945 s.d. 17 Agustus 1950

    Setelah Indonesia merdeka, ternyata Belanda masih merasa/ ingin berkuasa di RI,

    sehingga sering terjadi konflik antara RI & Belanda,6 sehingga dilakukanlah beberapa

    kali perudingan, perundingan terakhir adalah Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada

    tanggal 23 Agustus 1949 yang menghasilkan kesepakatan antara lain :

    1) Mendirikan Negara Indonesia Serikat

    2) Penyerahan kedaulatan kepada RIS

    3) Mendirikan UNI antara RIS dengan kerajaan Belanda

    Atas dasar KMB maka pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negra RIS

    dengan Konstitusi RIS.

    2 Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI,

    hlm. 33 3 Lihat UUD 1945 sebelum amandemen.

    4 Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm.

    315. 5 Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI,

    hlm. 35. 6 Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI,

    hlm. 36.

  • c. Periode 17 Agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959

    Tepat pada Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-15, Indonesia berganti

    bentuk negara menjadi Negara kesatuan berdasarkan Undang-Undang Dasar

    Sementara 1950.7 Pada masa ini sistem Pemerintahan masih menganut sistem

    Parlementer. Sistem ini adalah lanjutan dari masa RIS yang pada saat itu sistem

    Parlementer belum berjalan dengan baik karena tidak adanya Dewan Perwakilan hasil

    dari Pemilu.

    d. Periode 5 Juli 1959 s.d. sekarang

    Pada masa ini konstitusi kita mengalami perubahan dan kembali ke UUD 1945

    yang otomatis berakhirnya sistem Parlementer dan kembali ke Presudensial.8 Tetapi

    dalam perkembangannya sistem Presidensial kita masih ada bumbu-bumbu

    Parlementer.

    Hal ini terjadi karena sistem Parlementer sudah dianut oleh Indonesia sejak lama

    yang kemudian sulit untuk dihilangkan walaupun sistem pemerintahannya sudah

    berganti menjadi Presidensial.

    3. Permasalahan Ketatanegaraan Presidensial Indonesia

    a. Multipartai yang Terlalu Banyak

    Multipartai yang terlalu banyak di Indonesia akan menimbulkan banyak masalah

    dan tidak efektif untuk menjalankan sistem Presidensial. Scott Mainwaring juga

    berpendapat bahwa Multipartai tidak cocok di sistem Presidensial.

    In this article I argue that in presidential systems, multiparty

    democracy is more difficult to sustain than two-party democracy.

    Only one countryChilewith a multiparty system and a

    presidential system has achieved stable democracy.9

    7 Ibid. hlm. 38

    8 Ibid. hlm. 40

    9 Scott Mainwaring. Presidentialism, Multiparty Systems, And Democracy: The Difficult Equation , dalam working papernya pada September 1990.

  • Jimly Asshiddiqie juga menegaskan10

    bahwa keperluan mengakomodasikan

    kepentingan banyak parpol untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat

    menyulitkan efektivitas pemerintahan. Selain tidak cocok dengan sistem Presidensial, multipartai juga menimbulkan

    banyak masalah. Pertama, akan menimbulkan persaingan tidak sehat. Dengan

    banyaknya partai membuat orientasi politik cenderung kapitalis bukan karena

    ideologi dan program kebujakannya. Kedua, maraknya pelanggaran pada Pemilu.

    Banyaknya partai juga membuat adanya kesenjangan antara partai kaya dan partai

    miskin. Ini akan berdampak buruk saat Pemilu karena biaya untuk membayar saksi

    disetiap TPS diseluruh Indonesia membutuhakan budget yang sangat tinggi. Partai

    yang memiliki finansial kurang akan terpaksa untuk tidak mengirimkan saksi, pada

    celah inilah pelanggaran pemilu seperti Money Politic akan terjadi. Ketiga, konflik

    internal partai. Posisi politik menjadi idaman oleh masyarakat Indonesia, Cholisin

    dalam bukunya11

    berpendapat bahwa posisi politik mempunyai daya tarik yang tinggi.

    Hal ini karena salah satunya, tingginya penghargaan terhadap jabatan politik. Maka

    dari itu dalam partai sering terjadi perebutan kekuasaan menjadi Ketua Umum

    ataupun Presiden Partai.12

    Hal ini dikarenakan dalam multipartai, ketua umum partai

    adalah posisi strategis untuk memperoleh kekuasaan dalam eksekutif.

    b. Sistem Koalisi

    Koalisi di Indonesia sebenarnya karena imbas sistem multipartai dan Presidential

    Threshold (ambang batas presiden). Dalam sistem Presidensial tidak mengenal

    praktik koalisi karena koalisi diperuntukan pada sistem Parlementer. Menurut David

    Altman dalam The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty

    Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, mengemukakan bahwa

    coalitions are not institutionally necessary dalam sistem presidensial karena tidak

    kondusif terhadap political cooperation.13 Tapi kita tidak bisa menolak koalisi jika

    masih menerapkan multipartai karena dalam multipartai jarang ada partai dominan

    10

    Antara News, 13 Juni 2013. 11

    Cholisin & Nasiwan. 2012. Dasar Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak, hlm. 159-160 12

    Chudry Sitompul. 2010, dalam artikelnya Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multi Partai di Indonesia yang dimuat di http://ditjenpp.kemenkumham.go.id Diakes pada 19 Mei 2014. 13

    Saldi Isra, Simalakama Koalisi Presidensial. http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/simalakama-koalisi-presidensial.html. diunduh 19/05/2014.

  • yang bisa menembus ambang batas presiden. Maka dari itu perlu adanya koalisi untuk

    menembus ambang batas presiden (Presidential Threshold). Disamping itu Undang-

    Undang Pilpres juga menghendaki adanya koalisi dalam Pemilu Presiden.14

    Koalisi

    juga dapat digunakan sebagai pemererat hubungan antara Presiden dengan Parlemen.

    Karena jika Presiden berasal dari partai yang perolehan suaranya sedikit akan

    menimbulkan hubungan tidak harmonis antara Presiden dan Parlemen. Maka dari itu

    perlu adanya koalisi.

    Koalisi juga akan berdampak buruk bagi jalannya pemerintahan, apalagi jika

    dalam koalisi bersyarat. Karena sesuai dengan teori politik klasik menurut Laswell

    yang dikutip oleh Cholisin dalam bukunya15

    bahwa, Politics as who gets what, when

    and how.

    Koalisi bersyarat ini akan menghilangkan hak prerogatif Presiden untuk

    mengangkat Menteri, karena pengangkatan Menteri oleh Presiden bukan berdasar

    kompetensi tapi kecenderungan berdasarkan alokasi kursi untuk Partai Politik

    anggota koalisi.

    c. Paradigma Legislasi Parlementer

    Dalam UUD 1945 jelas tergambar bahwa fungsi legislatif dan pengawasan,

    lembaga utamanya adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal 20 ayat (1) UUD

    1945 menegaskan, Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

    undang-undang16. Bandingkan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi,

    Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan

    Perwakilan Rakyat17. Permasalahannya adalah dalam sistem Presidensial, fungsi

    legislasi pada umumnya tidak dimiliki oleh Presiden18

    namun presiden di Indonesia

    mempunyai hak untuk mengajukan Rancangan Undang-undang.

    Ada kekhawatiran dalam UUD 1945 hasil amandemen adalah menguatnya

    dominasi Presiden dalam fungsi legislasi atau pembuatan undang-undang. Ini

    berseberangan dengan konsep legislasi pada sistem pemerintahan Presidensial.

    14

    Lihat UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasal 9. 15

    Cholisin & Nasiwan. 2012. Dasar Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak, hlm. 1 16

    Budiman N.P.D. Sinaga. 2005. Hukum Konstitusi. Yogyakarta: Kurnia Kalam, hlm. 129. 17

    Ibid. hlm. 118 18 Ismail Sunny. 1977. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Aksara Baru, hlm. 17.

  • Hal ini juga akan berdampak pada pemerintahan jika dalam perundingan RUU

    antara DPR dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama19

    terjadi konflik.

    Dampaknya adalah hubungan antara Eksekutif (Presiden) dan Legislatif (DPR)

    menjadi tidak harmonis dan akan berimbas pada pencekalan program-program

    yang akan dijalankan oleh Presiden.

    d. Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat

    Permasalahan yang berikutnya adalah corak parlementer dalam parlemen. Hal

    tersebut terlihat dari kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),

    khususnya dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Ini

    menandakan bahwa MPR masih menjadi lembaga supra akibat kewenangannya

    tersebut. MPR seharusnya dipandang hanya sebagai lembaga forum persidangan DPR

    dan DPD. Artinya, keberadaan MPR (jikalau diperlukan) hanya sebagai lembaga ad-

    hoc yang dibentuk jika DPD dan DPR akan melakukan sebuah perubahan terhadap

    Undang-Undang Dasar.

    4. Solusi Pemurnian Sistem Presidensial Indonesia

    a. Menaikan Ambang Batas Parlemen (Parlementary Threshold)

    Menurut UU No.8 tahun 2012, ambang batas parlemen (Parlemen Threshold)

    Pemilu 2014 adalah 3,5%20

    atau naik 0,5% dari sebelumnya. Lebih lanjut M. Qodari

    berpendapat bahwa angka parliamentary threshold yang diterapkan harus lebih besar

    lagi, yaitu lima persen, agar penyederhanaan partai menjadi lebih efektif.21

    Masih

    rendahnya ambang batas parlemen yang dipatok menyebabkan Kemulti Partaian di

    Indonesia sangat banyak dan tidak efektif. Kemajemukan partai ditambah sistem

    Presidensial juga sudah jarang diterapkan di Negara-negara dunia, tercatat hanya

    Indonesia dan Chile yang masih menerapkan formasi ini.

    Dengan cara menaikan ambang batas parlemen akan membuat partai-partai

    kesulitan untuk mencapai kursi di parlemen. Hal ini secara tidak langsung akan

    mematikan partai-partai kecil, karena jika partai tidak dapat melebihi ambang batas

    19

    Lihat UUD 1945 pasal 20 ayat (2) dan (3). 20

    Lihat UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, pasal 208 dan penjelasan undang-undang. 21

    25 Partai Diprediksi Bakal Tak Lolos PT, Kompas, 17 Februari 2009. Diakes dari http://kompas.com pada 19 Mei 2014.

  • parlemen yang sudah ditetapkan maka tidak bisa mengikuti Pemilu di periode

    berikutnya.22

    b. Menyederhanakan Partai

    Menyederhanakan partai dengan cara tidak langsung, yaitu melalui peningkatan

    ambang batas parlemen, juga akan berdampak pada jumlah partai politik yang

    semakin sedikit. Hal ini juga akan memunculkan partai dominan dan dapat

    mengajukan presiden tanpa harus koalisi.

    Menyederhanakan partai tidak hanya menghapus sistem Koalisi yang tidak

    dikenal dalam sistem Presidensial, tapi juga untuk efektifitas lembaga perwakilan.

    Efektifitas lembaga perwakilan tidak terlepas dari banyak atau sedikitnya faksi-faksi

    kekuatan politik yang ada di DPR. Semakin sedikit partai politik yang ada di lembaga

    perwakilan, maka efektifitas pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga perwakilan akan

    berjalan lebih baik. Seperti halnya dalam masyarakat, masyarakat dengan tingkat

    homogenitas yang tinggi akan sedikit tingkat kerentanan konflik, begitu juga

    sebaliknya.

    c. Amandemen Konstitusi dan Perubahan Undang-Undang

    Ketatanegaraan kita yang abu-abu juga tidak terlepas dari Konstitusi kita yang

    melegalkan praktik Parlementer dalam sistem Presidensial. Hal itu dapat tercermin

    pada pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (2) dan (3) dan pasal 22D. Tak hanya dalam

    Konstitusi, pelegalan praktik Parlementer juga ada dalam undang-undang, contohnya

    dalam UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

    UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tersebut masih melegalkan sistem Koalisi.

    Maka dari itu perlu adanya perubahan undang-undang dan amandemen UUD

    1945 untuk merubah ketentuan pasal yang melegalkan praktik Parlementer dalam

    sistem Presidenisal. Untuk merubah undang-undang mungkin bukan hal yang sulit,

    tapi untuk mengamandemen UUD 1945 adalah hal yang sulit dan pasti akan

    menimbulkan Pro dan Kontra tentang urgensi amandemen ke lima konstitusi.

    Wacana amandemen kelima konstitusi merupakan wacana yang sudah

    dihembuskan sejak dahulu untuk memperkuat sistem Presidensial. Tapi wacana itu

    juga hanya sebatas wacana dan mentah dalam perdebatan melalui media masa.

    22

    Lihat UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, pasal 8.

  • 5. Penutup

    Penyempurnaan sistem pemerintahan Indonesia menjadi hal yang penting

    mengingat usia kemerdekaan kita yang akan menginjak 69 tahun. Kejelasan sistem

    pemerintahan tidak hanya bermanfaat pada sistem ketatanegaraan, tapi juga akan

    bermanfaat pada sosio-kultur masyarakat Indonesia dan juga akan berimbas pada

    kesejahteraan masyarakat.

    Penyempurnaan dilakukan agar tidak ada lagi perdebatan sistem Presidensial atau

    Parlementer. Pilihan penyempurnaan kelembagaan lewat Perubahan UUD 1945 sangat

    masuk akal, meskipun sangat sulit diwujudkan jika melihat kondisi perpolitikan saat ini.

    Dan memang, agar penyempurnaan sistem pemerintahan ini tidak menimbulkan masalah

    kedepan, haruslah menggunakan cara-cara yang konstitusional. Tapi yang jadi

    permasalahan adalah beranikah MPR yang diisi oleh anggota DPR dan DPD menguatkan

    sistem pemerintahan Presidensial dengan cara amandemen Konstitusi?

  • Daftar Pustaka

    A. Buku

    Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi dan Konstitusioanlisme. Jakarta: Sekertariat Jendral

    dan Kepaniteraan MK RI.

    Asshidiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta:

    Bhuana Ilmu Populer.

    Cholisin & Nasiwan. 2012. Dasar Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak

    Isra, Saldi. 2012. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

    Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

    Sunny, Ismail. 1977. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Aksara Baru.

    N.P.D. Sinaga, Budiman. 2005. Hukum Konstitusi. Yogyakarta: Kurnia Kalam.

    B. Disertasi, Jurnal, Tesis, dll.

    Scott Mainwaring. 1990. Presidentialism, Multiparty Systems, And Democracy: The

    Difficult Equation. Working Paper. Notre Dame.

    Chudry Sitompul. 2010. Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab

    Kompleksitas Sistem Multi Partai di Indonesia. Jurnal, dalam

    http://ditjenpp.kemenkumham.go.id Diakes pada 19 Mei 2014.

    Saldi Isra. 2010. Simalakama Koalisi Presidensial. Jurnal, dalam

    http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/simalakama-koalisi-

    presidensial.html. diunduh 19 Mei 2014.

    C. Koran, Majalah, dll.

    Antara News. 13 Juni 2013.

    Kompas. 17 Februari 2009.

    D. Peraturan Perundang undangan

    Undang Undang Dasar 1945

    Undang Undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

    Presiden.

    Undang Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat,

    Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.