kesultanan banjarmasin dalam lintas perdagangan...
TRANSCRIPT
KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTASPERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE-XVIII
SkripsiDiajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh:IBNU WICAKSONONIM: 105022000839
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1431 H./2010 M.
KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTASPERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE-XVIII
SkripsiDiajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
OlehIBNU WICAKSONONIM: 105022000839
Pembimbing,
Dr. Amelia Fauzia, M.A.NIP: 197103251999032004
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi Berjudul KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS
PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE-XVIII telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 Januari
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 28 Januari 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A.NIP:195912221991031003
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Usep Abdul Matin, S.Ag.,MA.MA.NIP: 196808071998031002
Anggota,
Penguji,
Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.A.NIP: 195608171986031006
Pembimbing,
Dr. Amelia Fauzia, M.A.NIP: 197103251999032004
i
ABSTRAKSI
Ibnu Wicaksono
Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII
Perdagangan Nusantara semenjak abad XVII mulai mengalamikemunduran, yang diakibatkan oleh dua faktor, Pertama, ekspansi KesultananMataram di wilayah pantai Utara Jawa, ekspansi Kesultanan Mataram bertujuanuntuk melakukan sentralisasi kekuasaan agar semua wilayah-wilayah yang beradadi pantai Utara Jawa di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Akibat ekspansiKesultanan Mataram di pantai Utara Jawa perdagangan di wilayah ini menjaditidak aman, yang mengakibatkan sebagian para pedagang mencari wilayah baruuntuk berdagang. Faktor Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)mulai menguasai pusat-pusat perdagangan di Nusantara seperti, Aceh, Palembang,Jambi, Banten dan Makassar. Akibat monopoli perdagangan yang dilakukan olehVOC telah mengakibatkan berbagai pedagang mencari wilayah perdagangan baruyang belum tersentuh oleh VOC. Kedua faktor diatas mengakibatkan munculnyawilayah-wilayah pusat perdagangan baru termasuk Banjarmasin.
Akibat kedua faktor diatas Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIIImenjadi penampung baik para pedagang dari sebagian wilayah Nusantara yangtelah dikuasai oleh VOC dan pedagang dari pantai Utara Jawa. PelabuhanBanjarmasin mulai banyak disinggahi oleh para pedagang antara lain dari Jawa,Sulawesi, Cina dan sebagian bangsa Eropa untuk berlabuh. Sumber daya alamberupa lada, emas, intan dan hasil hutan merupakan komoditi utama yang diperdagangkan.
Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin dapat berkembang karena peransultan Banjarmasin dalam menerapkan kebijakannya. Kebijakan sultanBanjarmasin diantaranya, Pertama, Kesultanan Banjarmasin melakukan perluasanekspansi ke pedalaman untuk mendapatkan komoditi perdagangan. Kedua, peranaktif Sultan sebagai pemain aktif dalam perdagangan, selain ikut serta dalamperdagangan sultan telah memberikan kenyamanan para pedagang.
Skripsi ini bertujuan untuk memahami seberapa besar pengaruhkemunduran perdagangan di Nusantara yang telah memberikan kemajuanterhadap Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII. Penelitian ini menggunakanmetodologi penelitian sejarah heuristik, kritik, Interpretasi dan Historiografi danPendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan dengan menggunakanMultidimensional Approach (Pendekatan Multidimensional) diantaranya,ekonomi, politik, sosial dan ekologi. Pendekatan multidimensional digunakanuntuk dapat memberikan gambaran sejarah tentang Kesultanan Banjarmasinsecara menyeluruh, sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinisme.
ii
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus menyeru kepada iman,
menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
segala yang munkar.
Selanjutnya, selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang
penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu
semua ini tidak menyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan
kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S.Hum).
Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Abdul Chair, MA. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan seizinnya
skripsi ini dapat dibuat dan diujikan.
iii
2. Bapak Drs. H. Ma’ruf Misbah, MA., Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam, yang telah banyak memberi kemudahan dalam pengajuan judul
hingga pendaftaran ujian skripsi.
3. Bapak Drs. Usep Abdul Matin, S Ag.,MA.,MA. Sekretaris Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam, yang telah banyak memberikan kemudahan
kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Amelia Fauzia, MA. yang telah dengan sabar dan teliti dalam
memberikan bimbingan kepada penulis.
5. Ibu Dra. Hj. Tati Hartimah, MA. Dosen Penasehat Akademik, yang telah
banyak memberikan nasehat-nasehat selama penulisan.
6. Seluruh staf dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora,
khususnya dosen jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
7. Staff perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora dan perpustakaan Nasional Republik
Indonesia (PNRI), yang telah memberikan data referensi kepada penulis.
8. Kedua orangtua, ayahanda Sukidal dan Ibunda Pudji Astuti, yang telah
banyak memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a restu yang
tak pernah putus beliau panjatkan, agar penulis dapat terus dan kuat untuk
menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang begitu
besar.
9. Kakak-kakakku, Edi Soenarto dan istri, Astarika Retno Setiati S.Pd dan
suami, dan adikku Efi Widiyanti, yang telah memberikan do’a, semangat,
dan dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
iv
10. Teman-teman seperjuangan SPI angkatan ‘05, khususnya, yang telah
memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga dapat
terselesaikannya skripsi ini.
Penulis hanya dapat berdo’a semoga bantuan dan amal baik
Bapak/Ibu/Sdr/i mendapat imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, penulis mohon kritik dan
saran yang membangun dalam rangka saling mengingatkan antar sesama manusia
untuk menuju kearah kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 8 Januari 2010Muharram 1431 H
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ........................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 7
D. Tinjauan Kepustakaan .................................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian .................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................................... 13
BAB II PELABUHAN BANJARMASIN PADA ABAD XVII
A. Letak Geografis........................................................................................... 16
B. Sumber Daya Alam ..................................................................................... 17
C. Demografi dan Mata Pencaharian Penduduk ............................................... 17
D. Iklim ........................................................................................................... 21
E. Letak dan Fungsi Pelabuhan ........................................................................ 22
F. Posisi Banjarmasin dalam Dunia Perdagangan ............................................ 24
BAB III KESULTANAN BANJARMASIN
A. Awal Masuknya Islam ke Banjarmasin ........................................................ 28
B. Berdirinya Kesultanan Banjarmasin ............................................................ 30
C. Struktur Pemerintahan ................................................................................. 33
D. Struktur Masyarakat .................................................................................... 37
E. Perkembangan Agama Islam ....................................................................... 39
vi
BAB IV PERAN KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS
PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD XVIII
A. Tumbuhnya Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin sebelum Abad
XVIII .......................................................................................................... 44
B. Peran Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad
XVIII .......................................................................................................... 49
C. Hubungan Perdagangan Banjarmasin dengan Bangsa Lain .......................... 61
D. Mundurnya Perdagangan Kesultanan Banjarmasin Akhir Abad XVIII ........ 67
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ................................................................................................. 74
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
vii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
ANRI : Arsip Nasional Republik Indonesia
EIC : East India Company
ENI : Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indië
JSAH : Journal of Southeast Asian History
KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
m. : Memerintah
TBG : Tijdschrift van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap
VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie
Real : Mata uang yang terbuat dari perak, atau sama dengan 614 dollar
Amerika pada tahun 1960-an.*
Pikul : Ukuran berat, pada sekitar abad ke-XVIII 1 pikul sama dengan
125 pon (0,5 kg)
* J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society Lessays in Asian Social and EconomicHistory (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1960).
viii
Daftar Gambar
Gambar 1. Peta Indonesia
Gambar 2. Wilayah Kesultanan Banjarmasin pada Abad XVIII
Gambar 3. Peta Kalimantan abad XVII
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII telah menjadi sebuah kesultanan
yang dipengaruhi oleh perdagangan. Kesultanan Banjarmasin menjadi sebuah
pusat perdagangan karena letak geografisnya memang berada di pesisir pantai
pulau Kalimantan, sehingga kehidupan dan mata pencaharian penduduknya secara
normal menitikberatkan pada perdagangan. Perdagangan merupakan salah satu
ciri penting kota maritim.2
Kesultanan Banjarmasin atau terkadang disebut “Kesultanan Banjar” yang
merujuk pada nama suku Banjar,3 letaknya sangatlah menguntungkan untuk
aktifitas perdagangan, karena letaknya yang strategis di tepi laut Jawa dan selat
Makassar yang menjadi jalur perdagangan di Nusantara. Maka, pelabuhan Tatas
yang terletak di muara sungai Barito, tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai
disinggahi oleh kapal dagang yang melewati jalur tersebut.4
Kesultanan Banjarmasin memiliki sumber daya alam yang cukup besar,
berupa hasil pertanian, tambang dan hutan. Di antaranya, lada, emas, intan, rotan,
kayu besi dan damar,5 yang dihasilkan di wilayah pedalaman Banjarmasin.
2 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia(Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 46.
3 Suku Banjar adalah suku pendatang yang berasal dari pulau Sumatera atau sekitarnya,tidak diketahui kapan awal mereka tiba di Banjarmasin. nenek moyang orang Banjar inilah yangmembentuk pusat-pusat kekuasaan di Kalimantan Selatan. Lih. Alfani Daud, Islam danMasyarakat Banjar (Jakarta: Rajagrafindo, 1997), h. 3.
4 M. Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), h. 5.5 Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo,
1600-1880 (Leiden: KITLV Press, 2001), h. 67.
2
Sumber daya alam tersebut yang kemudian diperjual-belikan di pasar-pasar pusat
perdagangan, baik di Banjarmasin sendiri dan ke wilayah lain di Nusantara.
Munculnya Kesultanan Banjarmasin sebagai salah satu pusat perdagangan
pada abad XVII disebabkan dua faktor eksternal penting. Pertama, ekspansi
Kesultanan Mataram ke pantai utara Jawa. 6 Akibat ekspansi Kesultanan Mataram
ini perdagangan di pantai utara Jawa praktis mati, karena kota-kota perdagangan
dihancurkan oleh Kesultanan Mataram. Inilah yang menyebabkan migrasi para
pedagang secara besar-besaran ke daerah yang lebih aman, termasuk ke
Banjarmasin.7
Kedua, adanya monopoli VOC atas beberapa pusat perdagangan di
Nusantara. Pada abad XVIII Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
melakukan monopoli di wilayah Aceh, Palembang, Jambi, Banten dan Makassar
(1669).8 Kesulitan para pedagang Cina untuk mendapatkan rempah-rempah
berupa lada di bagian barat Nusantara, menyebabkan mereka mencari pusat
perdagangan lada di tempat lain yang belum tersentuh oleh VOC, yaitu
Banjarmasin.
Situasi di atas pada akhirnya dimanfaatkan oleh Kesultanan Banjarmasin
yang dipimpin oleh Sultan Inayatullah (memerintah. 1637-1642) untuk
mengadakan hubungan perdagangan bebas dengan pedagang-pedagang Cina,
Bugis, Jawa, Belanda dan Inggris.9 Pelabuhan Tatas berkembang menjadi
6 H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 288-289.
7 D.H. Burger, Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita,1983), h. 64.
8 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society Essays in Asian Social and EconomicHistory (The Hague/Bandung: W. van Hoeve, 1960), h. 5.
9 Bernard H.M. Vlekke, Nusantara (Jakarta: KPG 2008), h. 225. Lihat juga, J.C.Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, (Leiden:Dubbeldeman, 1935), h. 5.
3
pelabuhan pembongkar dan pemuat barang dagang dari dan ke Banjarmasin. Para
pedagang dari luar membawa porselin, beras, garam, teh dan budak. Sebaliknya
Banjarmasin menyediakan hasil hutan, emas, intan dan lada.10
Pada abad XVIII, Sultan Hamidullah (m. 1700-1734) berupaya untuk
mengembangkan perdagangan di Banjarmasin, direalisasikan antara lain dengan
mencari daerah dan tenaga kerja baru. Ini dilakukan antara lain dengan melakukan
ekspedisi militer ke daerah pedalaman, seperti ke Tanah Dusun pada tahun 1740.
Dengan melaksanakan ekspedisi militer sultan memaksa penduduk di pedalaman
untuk menyerahkan tanah dan menanam komoditi perdagangan.
Guna mengembangkan perdagangan Kesultanan Banjarmasin menjalin
hubungan perdagangan yang erat dengan para pedagang Eropa, di antaranya
Inggris dan Belanda. Inggris dengan Bandar dagangnya East India Company
(EIC) pada tahun 1702 diizinkan oleh Sultan Hamidullah untuk mendirikan kantor
dagangnya di Banjarmasin. Namun, tidak berlangsung lama. Pada tahun 1707
kantor dagang Inggris di Banjarmasin dihancurkan oleh rakyat Banjarmasin di
bawah perintah Sultan Hamidullah akibat sikap orang Inggris yang mencoba
menguasai perdagangan di Banjarmasin.11
Bangsa Belanda sudah cukup lama menjalin hubungan dagang dengan
Kesultanan Banjarmasin. Namun upaya Belanda untuk membangun perusahan
dagang di Banjarmasin berkali-kali mengalami kegagalan. Tantangan yang hebat
setidaknya pernah terjadi peristiwa pembunuhan orang Belanda di Banjarmasin
pada tahun 1607 dan 1638. Selain berusaha mendirikan perusahaan dagang,
Belanda telah melakukan perjanjian kontrak beberapa kali dengan Kesultanan
10 A.A. Cense, De Kroniek van Banjarmasin (Santpoort: C.A. Mees, 1928), h. 93-94.11 P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K.
G. Treganning, ed., JSAH, vol. IV (Singapore: 1964), h. 70.
4
Banjarmasin pada tahun 1635, 1660, 1664, dan 1733. Semua perjanjian bertujuan
menjamin tersedianya rempah-rempah untuk VOC dengan imbalan Belanda akan
memberikan perlindungan terhadap sultan jika mendapat serangan dari luar.12
Namun, semua perjanjian kontrak itu selalu mengalami kegagalan. Hal di atas
telah membuktikan kuatnya kedudukan sultan dalam mempertahankan
kekuasaanya dari pengaruh asing. Inilah yang membuat Banjarmasin tetap ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negeri hingga pertengahan abad
XVIII.
Kemunduran perdagangan di Banjarmasin terjadi pada akhir abad XVIII
yang disebabkan oleh perpecahan politik antar penguasa di istana. Gejala
kemunduran perdagangan terlihat ketika Sultan Natadilingga (1761-1801) harus
menghadapi kemenakannya sendiri Pangeran Amir. Pangeran Amir ingin
mengambil haknya sebagai sultan yang di warisi oleh ayahnya Sultan Muhammad
(m. 1759-1761). Pangeran Amir melakukan penyerangan terhadap Sultan
Natadilingga pada tahun 1784 sampai 1786. Namun, penyerangan ini dapat
dihentikan oleh Sultan Natadilingga dengan bantuan dari VOC.
Karena khawatir akan kekuasaannya, Sultan Natadilingga akhirnya
mengadakan perjanjian dengan VOC pada tahun 1787. Dalam perjanjian tersebut
sultan Natadilingga mengakui kedaulatan VOC atas Kesultanan Banjarmasin,
dengan jaminan VOC memberikan pengakuan hak atas tahta kerajaan turun
temurun kepada keturunan sultan Natadilingga. 13
12 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari EmporiumSampai Imperium, Jilid 1, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986), h. 255.
13 Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC,Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860 (Jakarta: ANRI, 1956), h. 89.
5
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa berkembangnya
Banjarmasin menjadi salah satu bandar niaga terpenting abad XVIII tidak dapat
dipisahkan dari beberapa faktor. Pertama, faktor eksternal berupa pertumbuhan
bandar-bandar lain di Nusantara khususnya Asia Tenggara, dan Asia Timur pada
umumnya. Kedua, adanya kemampuan untuk mengembangkan perdagangan
didorong oleh kondisi fisik berupa letak geografis dan sumber daya alam yang
dimiliki oleh Kesultanan Banjarmasin. Dengan memanfaatkan sumber daya alam
yang melimpah perdagangan telah menjembatani majunya perekonomian. Ketiga,
adanya peran Kesultanan Banjarmasin dalam mengembangkan perdagangan.
keempat, adanya hubungan perdagangan dengan bangsa lain baik antar
perorangan maupun antar kelompok yang telah turut serta dalam pelaksanaan
perdagangan. Karena hal di atas maka studi ini diberi judul, Kesultanan
Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII .
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Untuk pembahasan mengenai Kesultanan Banjarmasin dalam lintas
perdagangan Nusantara abad XVIII, tidak dapat dipisahkan dari dinamika
perdagangan yang telah terjadi di Nusantara. Periode yang diteliti di sini pada
abad XVIII, yakni dalam masa empat pemerintahan sultan yaitu: Sultan
Hamidullah (1700-1734), Sultan Tamjidillah (1734-1759), Sultan Muhammad
Aliudin Aminullah (1759-1761), dan Sultan Natadilingga (1761-1801). Periode
ini diambil karena pada abad ini Kesultanan Banjarmasin telah menjadi bandar
pelabuhan perdagangan di Nusantara, pada abad ini juga telah terjadi pasang surut
perdagangan di Banjarmasin akibat intervensi oleh orang Eropa. Selain itu, akibat
6
dari perdagangan juga telah membawa perubahan dan pembaharuan terhadap
kondisi sosial masyarakat Banjar.
Ruang lingkup penelitian ini bersifat ekonomi, topik utama yang akan di
analisis dalam penyelidikan ini, secara khusus terfokus pada hal-hal yang bertalian
dengan perdagangan, seperti komoditi perdagangan berupa barang ekspor dan
impor, alat transaksi dan pelaksanaan perdagangan.
Faktor penguasa yakni Kesultanan Banjarmasin dalam kekuasaan dan
monopoli perdagangan sangat menentukan pertumbuhan perdagangan di
Banjarmasin, terlebih mempengaruhi kegiatan dagang di Kota Banjarmasin. Hal
tersebut juga merupakan faktor pendorong yang mengundang usaha perebutan hak
monopoli perdagangan dari pihak luar. Perebutan monopoli perdagangan
merupakan salah satu unsur penting yang membawa perubahan perdagangan
Banjarmasin.
Merujuk pada lingkup di atas studi ini difokuskan pada tiga pertanyaan.
1. Bagaimana peran Kesultanan Banjarmasin dalam memainkan kebijakan
politiknya dalam perdagangan pada abad XVIII?
2. Faktor internal serta eksternal apa saja yang mempengaruhi perdagangan
di Kesultanan Banjarmasin?
3. Komoditi apa sajakah yang diperdagangkan di Banjarmasin dan
bagaimanakah aktifitas perdagangan yang terjadi di Kesultanan
Banjarmasin?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Selama ini penelitian sejarah banyak terpusat di Jawa mungkin karena
sumber-sumbernya lengkap. Di wilayah-wilayah luar Jawa belum banyak diteliti
memang karena sumber-sumbernya kurang. Sekarang tiba waktunya untuk
mengusahakan penelitian sejarah di luar Jawa perlu dikembangkan, sehingga
gambaran sejarah nasional menjadi makin lengkap, disamping untuk
mengimbangi penelitian sejarah Jawa. Oleh karena itu studi sejarah lokal di luar
Jawa seperti pengkajian sejarah Banjarmasin ini sangat penting artinya terutama
dalam rangka penelitian sejarah Indonesiasentrisme.
Seperti sejarah lokal lainnya sejarah Banjarmasin memiliki lokalitas dan
karakteristik tersendiri, sehingga unik dan komplek. Namun demikian sepanjang
pengetahuan penulis belum banyak sarjana Indonesia meneliti sejarah
Banjarmasin, lebih-lebih mengenai aspek Kesultanan Banjarmasin dalam lintas
perdagangan Nusantara abad XVIII.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan intelektual khususnya wawasan kesejarahan, terkait
sejarah Nusantara. Khususnya mengenai Kesultanan Banjarmasin dalam
lintas perdagangan Nusantara abad XVIII.
2. Memahami sejarah perdagangan di Nusantara di abad XVIII, dimana hasil
bumi Nusantara pernah menjadi sebuah komoditi terpenting dalam
perdagangan internasional.
3. Menyumbang hasil karya penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah pada
umumnya dan fakultas Adab dan Humaniora jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam khususnya.
8
D. Tinjauan Kepustakaan
Seperti telah diungkapkan di atas penulisan tentang sejarah Nusantara
khusunya di luar Jawa masih sangatlah minim. Namun ada beberapa sejarahwan
asing dan lokal yang telah melakukan penelitian tentang daerah Banjarmasin.
Sumber lokal penting bagi kajaian Banjarmasin adalah Hikayat Banjar . J.J. Ras
telah menyunting dan menerjemahkan naskah ini dalam bukunya berjudul
Hikayat Banjar .14 Namun sayang tulisannya tidak menyinggung masalah
peranan Kesultanan Banjarmasin dalam perdagangan. Pembahasannya cenderung
membahas tentang keterkaitan antara cerita Hikayat Banjar versi Jawa dengan
cerita Hikayat Banjar versi Melayu. Hikayat Banjar ini merupakan satu-satunya
sumber lokal yang memuat cerita tentang sejarah awal kerajaan-kerajaan di
Kalimantan Selatan. Meskipun berbentuk hikayat yang kebenarannya sulit untuk
dibuktikan. Ras, dalam karyanya ini telah mengkritisi naskah ini sehingga relevan
untuk digunakan sebagai sumber sejarah.
A.A. Cense dalam bukunya yang berjudul Kroniek van Bandjarmasin 15
telah memberikan informasi tentang situasi dan kondisi masyarakat Banjarmasin
sejak masa kerajaan Hindu (Negara Dipa dan Negara Daha) hingga masa kerajaan
Islam (Kesultanan Banjarmasin). Ada beberapa aspek yang diteliti, antara lain
masalah hubungan Banjarmasin dengan Demak, usaha VOC menanamkan
kekuasaan di Banjarmasin dan sebagainya.
Uraian lain tentang sejarah Banjarmasin telah ditulis dalam kisah
perjalanan yang pernah dilakukan oleh Daniel Beeckman, dalam bukunya yang
14 J.J. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography (The Hague: MartinusNijhoff, 1968), h. 7-10.
15 A.A. Cense, De Kroniek van Bandjarmasin, (Leiden: Santpoort, 1928), h. 91.
9
terbit tahun 1718, berjudul A Voyage to and from the Island of Borneo .16 Isi
buku ini antara lain menginformasikan pengalaman Daniel Beeckman waktu
berkunjung di Banjarmasin. Ia menginformasikan tentang keadaan iklim,
penduduk, perdagangan di kota Banjarmasin. Kisah perjalanan juga pernah ditulis
oleh Carl Bock dengan bukunya berjudul The Head-hunters of Borneo 17 yang
menceritakan tentang sumber daya alam di Banjarmasin.
Tulisan lain tentang Banjarmasin juga telah dilakukan oleh P.
Suntharalingan, dalam Jurnal of Southeast Asian History, dengan judul, The
British in Banjarmasin: An Abortive Attempt at Settlement 1700-1707,18 dalam
jurnal ini banyak memberikan gambaran tentang hubungan perdagangan antara
Kesultanan Banjarmasin dengan maskapai perdagangan Inggris setelah diberikan
izin oleh Sultan untuk mendirikan perusahaan dagangnya di Banjarmasin pada
tahun 1615, dan mendapat saingan terbesar yakni pedagang dari Cina dan
Belanda. Namun pada tahun 1707 setelah Banjarmasin lepas dari kendali kerajaan
Jawa, untuk melindungi pengaruh dari luar maka Inggris diusir keluar dari
Banjarmasin. Ditandai dengan penyerangan perusahaan-perusahaan dagang yang
berada di Banjarmasin.
Sejarah Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII, pernah ditulis oleh
Sulandjari dalam tesisnya Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan
Banjarmasin 1747-1787 .19 Tulisan ini berisikan tentang bagaimana perdagangan
lada yang meningkat pada abad XVIII berpengaruh terhadap kondisi politik
16 Daniel Beeckman, A Voyage to and from the Island Of Borneo, In The East-Indies,(London. 1718), h. 1-3.
17 Carl Bock, The Head-hunters of Borneo (London: Sampson and Low 1882), h. 31-39.18 P. Suntharalingan, the British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K. G.
Treganning, ed., Journal of Shoutheast Asian History, vol. IV (Singapore: T.pn., 1964), h. 50-70.19 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787
(Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 8-9.
10
Kesultanan Banjarmasin. Karya Sulandjari ini cukup relevan digunakan oleh
penulis, karena di dalam tesis ini Sulandjari menggunakan arsip-arsip yang berada
di Den Haag, Belanda. Namun jika dilihat karya ini hampir sama dengan disertasi
yang ditulis oleh J.C. Noorlander, yang berjudul “Bandjarmasin en de Compagnie
in de Tweede Helft der 18de Eeuw .20
Jadi, jika melihat dari berbagai tulisan yang telah membahas tentang
Banjarmasin, belum banyak yang terfokus khususnya sejarah Banjarmasin dalam
Lintas Perdagangan Nusantara Abad XVIII, meskipun sudah ada seperti yang
ditulis oleh Sulandjari, namun pembahasannya lebih memfokuskan
pembahasannya terhadap perdagangan lada, tidak melihat komoditas lain seperti
intan, emas, dan hasil hutan yang telah menjadi komoditi perdagangan pada abad
XVIII. Dengan penulisan sejarah Banjarmasin yang dilakukan oleh penulis ini
diharapkan dapat melacak sejarah perdagangan di Banjarmasin, khususnya
tentang peran Kesultanan Banjarmasin hingga berbagai aktifitas perdagangan
yang terjadi disana.
E. Metodologi Penelitian
Untuk pembahasan “Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan
Nusantara Abad XVIII diperlukan konsep-konsep ilmu politik, sosial, dan
ekonomi. Dengan demikian diharapkan dapat membantu menjelaskan tentang
Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara pada abad XVIII,
sebagai contoh, konsep kekuasaan untuk membantu menjelaskan hubungan raja
dengan rakyat. Konsep elite, untuk membantu menjelaskan pelapisan sosial.
20 J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie In de Tweede Helft der 18de Eeuw(Leiden: Dubbeldeman, 1935), h. 1-4.
11
Konsep sistem demand dan supply, membantu menerangkan hubungan monopoli
perdagangan, hubungan pasar dengan komoditi, dan sebagainya. Pendekatan
ekologi diharapkan dapat menjelaskan dinamika masyarakat Banjarmasin, sebagai
akibat interaksi antara masyarakat dengan lingkungan.
Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan multidimensional.
Dengan menggunakan pendekatan multidimensional diharapkan dapat
memberikan gambaran sejarah menjadi lebih bulat dan menyeluruh sehingga
dapat dihindari kesepihakan atau determinisme. Karena hubungan antara suatu
aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.21
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Deskriptif Analitis, yang dalam hal ini penulis berusaha mendeskripsikan dan atau
menggambarkan suatu peristiwa atau kondisi yang terjadi di Nusantara sekitar
abad XVIII yang telah membawa pengaruh kepada perkembangan perdagangan di
Kesultanan Banjarmasin.22
Teknik Bibliographical Survey penulis gunakan sebagai langkah awal
pengumpulan data/sumber terkait tema yang akan dibahas dengan menggunakan
beberapa sumber pustaka baik primer maupun sekunder, seperti arsip, buku-buku,
laporan penelitian dan jurnal.
Ada berberapa tahap yang penulis gunakan untuk menulis skripsi ini,
pertama, pengumpulan data. Untuk pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode Bibliographical Survey (penelitian
kepustakaan), yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari serta
21 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 87.
22 iIbid.,
12
menelaah buku-buku dan dokumen yang berkaitan dengan pembahasan yang
penulis teliti.
Dalam usaha mendapatkan data dengan metode ini, penulis melakukan
kunjungan ke beberapa perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas
Indonesia, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan juga ke Arsip Nasional
Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan arsip-arsip Belanda, ataupun tempat-tempat
lain yang dapat penulis manfaatkan untuk mencari sumber-sumber yang ada
kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Baru setelah itu, data-data dihimpun
dan diseleksi guna dijadikan sebagai rujukan utama dalam upaya penulis
mendeskripsikan tentang tema yang telah penulis angkat.
Tahap kedua, pengolahan data, setelah data-data diperoleh, maka tahap
selanjutnya adalah mengklasifikasikan data-data berdasarkan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini. Data-data tekstual seperti arsip, buku, dan jurnal
yang telah didapatkan, kemudian diolah serta dimasukkan sebagai data penunjang
untuk tema yang sedang dibahas.
Tahap ketiga, analisa data, metode analisis dilakukan dengan cara
pendekatan kualitatif yakni dengan merinci pokok masalah yang diteliti,
kemudian melacak, mencatat, mengorganisasikan setiap data yang relevan dengan
fokus penelitian, terakhir menyatakan penelitian dari apa yang dapat dipahami
memakai “bahasa kualitatif” yang deskriptif dan interpretatif. Penyajian meliputi
13
hasil penelitian, kesimpulan dan penutup, yang setiap bagiannya terjabarkan
dalam bab-bab dan sub bab, yang jumlahnya tidak ditentukan.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini tersusun dari lima bab di antaranya:
Bab I adalah pendahuluan berisi tentang signifikansi tema yang diangkat,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penelitian,
survey kepustakaan, serta sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tentang bagaimana akar-akar pelabuhan Banjarmasin
ini dapat terbentuk. Karena letaknya yang strategis di antara laut Jawa dan selat
Makassar telah menjadikan Banjarmasin banyak disinggahi oleh para pedagang
dari luar antara lain Cina, Bugis, Inggris dan Belanda untuk menjalin hubungan
dagang. Ketertarikan para pedagang asing untuk singgah ke Banjarmasin adalah
karena sumber daya alam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjarmasin cukup besar
di antaranya intan, emas, hasil hutan dan paling terutama lada.
Bab III, bab ini memberikan penjelasan tentang sejarah awal terbentuknya
Kesultanan Banjarmasin. Serta membahas struktur pemerintahan dan masyarakat
yang telah terbentuk di Kesultanan Banjarmasin. Hal ini diperlukan untuk melihat
siapakah yang memegang peran utama dalam perdagangan di Kesultanan
Banjarmasin, maka di dalamnya membahas struktur masyarakat Banjarmasin dari
tingkat paling atas hingga bawah.
Bab IV membahas tentang periode dimana Kesultanan Banjarmasin telah
berperan dalam perdagangan di Nusantara, pokok bahasan dalam bab ini
membahas seberapa besar peran Kesultanan Banjarmasin dalam memajukan
14
perdagangan. Serta melihat bagaimana aktifitas perdagangan yang terjadi di
Kesultanan Banjarmasin, disajikan juga gambaran umum barang impor dan
ekspor Kesultanan Banjarmasin, alat transaksi perdagangan dan pelaksanaan
perdagangan di Kesultanan Banjarmasin. Bab ini juga membahas hubungan yang
terjalin antara Kesultanan Banjarmasin dengan bangsa asing dan meninjau
pengaruh perdagangan terhadap kondisi politik Kesultanan Banjarmasin, yang
mengakibatkan mundurnya perdagangan di Banjarmasin.
Bab V Berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk
penelitian lanjutan.
15
BAB II
PELABUHAN BANJARMASIN PADA ABAD XVII
Alfred Thayer Mahan, seorang ahli yang membahas pengaruh laut
terhadap sejarah, menyatakan bahwa apabila keadaan pantai suatu negeri
memungkinkan orang turun ke laut maka penduduk negeri itu akan bergairah
mencari hubungan ke luar untuk berdagang, kecenderungan ini selanjutnya
memunculkan kebutuhan untuk memproduksi komoditas.1
Pendapat Mahan tersebut mengacu pada dua hal penting, yaitu kondisi
wilayah dan penduduk. Kondisi wilayah bukan hanya menyangkut letak dan
keadaan alam tetapi juga kedudukannya dalam dunia perdagangan. Sementara
yang terakhir menyangkut matapencaharian penduduk serta pemerintahan.
Telah dipahami bahwa pada masa-masa awal kerajaan-kerajaan yang
berada di Nusantara memiliki dua corak yaitu, kerajaan yang bercorak maritim
karena letaknya yang berada di pesisir pantai, dan kerajaan yang bercorak agraris
karena letaknya yang berada di pedalaman. Kerajaan maritim biasanya lebih
menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan yaitu suatu ciri yang erat
kaitannya dengan kenyataan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam
masyarakat kota bercorak maritim. Ini adalah suatu ciri penting pula dan erat
hubungannya dengan suasana politik serta perluasannya.2 Ciri kerajaan maritim
ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam. Sebaliknya kerajaan yang
bercorak agraris dalam kehidupan ekonominya lebih menitikberatkan pada
1 J.C. van Leur dan F.R.J. Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia(Jakarta: Bharatara, 1974), h. 6.
2 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di IndonesiaKudus: Menara Kudus, 2000), h. 46.
16
pertanian, sedangkan kekuatan militernya lebih dititik beratkan pada angkatan
darat. Ciri ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaaan pada zaman Indonesia
Hindu. Namun, tidak semua kerajaan pada zaman Indonesia-Hindu bercorak
agraris, contoh kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang bercorak campuran
agraris-maritim.3
A. Letak Geografis
Banjarmasin adalah sebuah kota yang terletak di wilayah Kalimantan
Selatan. Asal kata Banjarmasin dalam Daghregister Batavia sebagaimana dikutip
oleh Idwar Saleh, Banjarmasin disebut Bandjermassih atau Bandjermassingh.
Sementara itu menurut Van der Ven dalam artikelnya di Majalah TBG no. 9,
Banjarmasin berasal dari kata Bandar Massih yang merupakan nama ibukota
Kesultanan Banjarmasin pertama di bawah pemerintahan Sultan Suriansyah (m.
1526-1550).4
Kesultanan Banjarmasin terletak di tepi aliran sungai Kuin (Cerucuk) yang
bermuara ke sungai yang besar, yaitu sungai Barito, dan sungai Martapura, serta
berada pada posisi 30 18’ Lintang Selatan 1140 35’ Bujur Timur dengan luas
wilayah 9.291,975 km2,5 dengan tanahnya yang berawa-rawa dan banyak terdapat
sungai-sungai yang mengitari wilayah kesultanan. Kesultanan ini meliputi Tanah
Laut di sebelah selatan, di sebelah timur daerah sekitar gunung Pamaton, ke Utara
daerah sekitar sungai Negara serta di sebelah barat meliputi daerah sekitar aliran
sepanjang sungai Barito. Kemudian kesultanan ini bertambah luas, sehingga pada
3 Ibid.4 M. Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), h.
24.5 J. Paulus, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Bagian I,’s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1917, h. 137. Lihat gambar peta Kalimantan Selatan pada lampiran.
17
akhir abad XVIII meliputi seluruh selatan dan timur Kalimantan, yaitu Pasir,
Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin.6
B. Sumber Daya Alam
Potensi sumber daya alam yang dimiliki Kesultanan Banjarmasin cukup
besar hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lapisan tanahnya yang banyak
mengandung bahan tambang antara lain, intan dan emas. Intan misalnya terdapat
di Martapura, emas di sepanjang sungai Bahan. Hasil-hasil hutannya adalah rotan,
kayu besi, damar, sedangkan sarang burung terdapat di daerah pedalaman sekitar
sungai Negara dan sungai Barito. Hasil-hasil pertaniannya adalah, lada, sayur-
sayur yang terdapat di daerah Tanah Laut, Negara, Tabalong, dan Alai. Untuk
cerana dan lilin terdapat di daerah Dusun dan Bakumpai. Beras terdapat di daerah
Hulu sungai (yaitu, daerah Benua Lima dan Margasari). Danau dan sungai banyak
pula menghasilkan ikan, umpamanya dari danau Telaga, sungai Halalak, sungai
Martapura, dan sungai Barito.
Di samping hasil bumi terdapat pula kerajinan anyaman berupa tikar, dan
kerajinan alat-alat rumah tangga di Tabalong. Pembuatan perahu terdapat di
daerah Negara. Pembuatan senjata api dan senjata lainnya seperti keris, pisau dan
mandau, terdapat di daerah sungai Barito dan sungai Negara.7
C. Demografi dan Mata Pencaharian Penduduk
Untuk menentukan populasi penduduk di Banjarmasin pada awal abad
XVIII sangat sulit sekali, karena dalam abad XVIII perhatian terhadap masalah
6 Ita Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859), (SkripsiFakultas Ilmu Budaya: Universitas Indonesia, 1984), h. 1.
7 Saleh, Bandjarmasin, h. 25-27.
18
kependudukan merupakan pemikiran teoritis belaka dan belum sampai pada usaha
untuk melakukan pencacahan jumlah penduduk.8 Laporan tentang jumlah
penduduk di Banjarmasin baru dilakukan pada akhir abad XVIII, sekitar tahun
1790 ketika Kesultanan Banjarmasin berada di bawah kekuasaan VOC.
Sersan F.J. Hartman, telah melaporkan bahwa populasi penduduk di
Banjarmasin pada tahun 1790 sekitar 65.000 jiwa yang berada di sepanjang sungai
Barito dan sungai Negara. Namun, menurut Han Knapen mungkin jumlahnya
lebih besar lagi sekitar 100.000 jiwa, jika ditambahkan dengan populasi penduduk
yang berada di anak sungai dari Negara dan Martapura.9 Di wilayah pedalaman
sepanjang anak sungai Teweh, Hartman melaporkan populasi penduduknya lebih
sedikit sekitar 1.500 jiwa.10 Penduduk tersebut terdiri dari berbagai macam suku
bangsa yaitu, suku Dayak, Melayu, Bugis, Cina dan Jawa yang bercampur baur.
Mereka menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, namun bahasa
komunikasi ini bercampur dengan dialek asalnya.11
Penduduk Banjarmasin yang tinggal di sepanjang sungai hingga yang
berdiam di daerah cabang-cabang sungai yang jauh di pedalaman untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, masyarakat Banjarmasin hidup
dengan cara bertani, berkebun, meramu hasil hutan, penambangan dan berdagang.
Usaha-usaha pertanian, padi dan berjenis-jenis palawija, sudah sejak
zaman kuno diusahakan oleh penduduk daerah dataran rendah aluvial sepanjang
8 P. Creutzberg, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, penerjemah: Kustiniyati Mochtardkk., (Jakarta: Obor, 1987), h. 8.
9 Han Knapen, Forest of Fortune? the Environmental History of Southeast Borneo, 1600-1880, (Leiden: KITLV Press, 2001), h. 107.
10 Ibid.11 Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859), h. 5. Lihat
juga C.A.L.M. Schwaner, Borneo Beschrijving van het Stroomgebied van den Borneo en Reizenlangs eenige voorname Rivieren van het Zuid Oostelijk Gedeelte van Dat Eiland, (Amsterdam,1853), h. 55.
19
sungai Bahan dan cabangnya. Merekalah yang secara tradisional mencukupi
kebutuhan akan bahan makanan bagi daerah sekitar Banjarmasin dan kota-kota
pelabuhan lainnya.12 Wilayah yang dijadikan persawahan, yaitu rawa sekittar
sungai Barito bagian selatan.
Bertani dan berkebun merupakan salah satu cara masyarakat Banjarmasin
memanfaatkan sumber daya alamnya. Antara lain dengan membudidayakan
berbagai jenis tanaman, baik yang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
maupun untuk dijual ke luar kesultanan. Hal ini mencerminkan bahwa telah
dikenalnya dua tipe kegiatan pertanian, yaitu kegiatan pertanian yang menggarap
tanaman subsistem dan yang menggarap tanaman perdagangan.13 hasil pertanian
dan perkebunan di antaranya adalah beras, lada, sayur mayur, kopi dan lain-lain.14
Selain bertani penduduk Banjarmasin juga memanfaatkan hasil hutannya.
Karena luasnya areal hutan di Kalimantan Selatan adalah 2.013.600 ha,
mengakibatkan penduduk memanfaatkan hasil hutan ini. Produk hasil hutan
berupa kayu bulat, rotan, damar, jati dan lain-lain.
Wilayah Banjarmasin juga mengandung bahan tambang yang sudah
dikenal sejak lama ialah intan dan emas. Penambangan intan dan emas telah
dilakukan secara turun temurun. Wilayah penambangan intan yang paling terkenal
ialah Martapura dan emas adalah Tanah Laut. Di wilayah ini para penambang
intan melakukan proses penambangan dengan dua cara, yang diistilahkan dengan,
luang dalam (lubang dalam) dan luang surut (lubang dangkal). Luang dalam
12 Untuk padi hanya cukup memenuhi keperluan daerah setempat, sedangkan untukkebutuhan Banjarmasin dan wilayah-wilayah pantai, diperlukan impor dari luar.
13 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian SosialEkonomi (Yogyakarta: Penerbit Aditya), 1991, h. 15.
14 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa KebudayaanBanjar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 107.
20
adalah penambangan yang dilakukan apabila lapisan batu-batu yang mengandung
intan terletak di kedalaman lebih dari 3 meter di bawah permukaan tanah. Luang
dangkal adalah apabila lapisan batu-batuan tersebut dalamnya kurang dari tiga
meter.15
Intan juga termasuk dalam penguasaan monopoli dari sultan, karena para
pendulang intan diwajibkan untuk menjual intannya kepada para bangsawan yang
mempunyai hak atas pungutan daerah tersebut dengan harga tertentu.16 Khusus
untuk intan-intan yang besar-besar wajib dijual kepada sultan sendiri dengan
harga yang ditentukan terlebih dahulu. Biasanya sultan memiliki pertambangan
intanya sendiri, jika ada yang menambang di tempat ini diperlukan izin dari sultan
dan intan harus dijual kepada sultan.17
Selain dari bertani, berkebun, dan penambangan, usaha perdagangan telah
dilakukan oleh penduduk Banjarmasin. Usaha perdagangan besar dan menengah
telah dilakukan oleh para bangsawan tinggi, pembesar-pembesar kerajaan dan
kelas saudagar, di samping tentu saja saudagar-saudagar asing.18 Para bangsawan
tinggi dan pembesar kesultanan mungkin sekali menjadi pembeli tunggal atas
barang-barang hasil produksi rakyat daerah yang dikuasainya, yang menjualnya
kembali kepada kelas saudagar atau bangsawan yang akan mengekspornya ke
luar, atau menjualnya ke pedagang asing. Kelompok kelas saudagar melakukan
usaha perdagangan luar negeri, baik mengekspor barang-barang hasil produksi
rakyat maupun mengimpor barang-barang kebutuhan rakyat, yang mereka lakukan
15 Ibid., h. 121.16 A. Van der Ven, Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin (TBG, IX, 1860), h.
112-113.17 Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, h.
136.18 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin: Fajar, 1953), h.
89-90.
21
dengan kapal-kapal mereka sendiri. Usaha ekspor dan impor ini juga dilakukan
oleh pedagang-pedagang pendatang, yaitu pedagang-pedagang Eropa, Cina, Jawa,
Arab, dan lain-lain, tetapi mereka tidak pernah berhubungan dengan para
produsen.19
D. Iklim
Wilayah Kalimantan Selatan merupakan wilayah beriklim tropis dengan
hawa panas dan sangat lembab dengan temperatur relatif antara 250 Celcius dan
350 Celcius, curah hujan di wilayah ini tidaklah merata di sebagian wilayah
Kalimantan Selatan, khususnya hulu sungai dimana kondisi curah hujan
dipengaruhi oleh gunung Meratus, iklimnya agak lebih rendah dari lainnya.20
Per-tahun curah hujan cukup banyak rata-rata 2000-2700 mm per-tahun, dengan
frekuensi hujan rata-rata 6-15 hari sebulan.
Banjarmasin sama dengan wilayah di Nusantara lainnya, mengenal musim
kemarau dan hujan. Perubahan musim ini bergantung pada keadaan muson.
Musim hujan berlangsung antara November hingga April berkat angin muson
barat, musim penghujan berakhir pada bulan Mei hingga Oktober ketika angin
muson barat berhenti dan digantikan oleh angin muson timur.
Angin muson tidak hanya mempengaruhi perubahan musim tetapi juga
pelayaran dan perdagangan. Perubahan angin yang terjadi di Indonesia setiap
setengah tahun dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, peredaran bumi mengitari
matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” berpindah-pindah dari Lintang
Mengkara (Tropic of Cancer) ke Lintang padayat (Tropic of Capricorn). Maka,
19 Ibid.20 Knapen, Forest of Fortune? The Environmental History of Southeast Borneo, 1600-
1880, h. 34.
22
angin pasat tenggara pada waktu melintas garis khatulistiwa akan berubah
menjadi barat daya, sedangkan apabila angin pasat timur laut melintas
khatulistiwa dalam perjalanan ke selatan ia akan berubah menjadi angin laut.
Faktor kedua ialah lokasi Indonesia di antara dua kontinen, Asia dan Australia.
Iklim panas di salah satu benua ini akan mengakibatkan suatu tekanan rendah
yang cukup mempengaruhi daerah angin mati tersebut bergeser lebih jauh ke
selatan atau utara menurut musimnya sehingga merubah arah angin yang
bersangkutan. Dengan demikian terjadilah angin musim yang berubah tujuan
setiap setengah tahun sehingga angin memutar haluannya 1800. 21
Perubahan musim ini sudah lama dikenal pelaut-pelaut Nusantara. Dengan
memanfaatkan perubahan angin, pada bulan Oktober kapal-kapal sudah berangkat
dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di kota-kota sebelah barat. Adapun
pada bulan Maret dengan menggunakan angin barat biasanya dimanfaatkan oleh
pedagang yang berada di bagian barat seperti Malaka, Riau, Johor, dan Batavia,
untuk berlayar kearah timur. 22
E. Letak dan Fungsi Pelabuhan
Dalam dunia perdagangan maka tempat untuk kapal dagang berhenti
adalah pelabuhan. Ramai atau tidaknya pelabuhan di suatu wilayah tergantung
dari berbagai faktor, di antaranya yang penting sekali adalah faktor ekologi.
Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh, tetapi tempat kapal berlabuh dengan aman,
terlindung dari ombak besar, angin dan arus yang kuat seperti yang tersirat dalam
arti kata harbour (Inggris) dan Haven (Belanda).
21 Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (Jakarta:Komunitas Bambu, 2008), h. 3.
22 Ibid.
23
Tempat yang paling baik untuk berlabuh adalah pada sebuah sungai, agak
jauh ke dalam. Namun, dalam hal ini lebar sungai membatasi perkembangan
pelabuhan bersangkutan. Oleh sebab itu, banyak pelabuhan terletak di muara yang
agak terbuka, atau meskipun kurang terlindung di dalam sebuah teluk. Dalam
jaringan lalulintas di sebuah negeri kepulauan seperti di Nusantara, fungsi
pelabuhan adalah sebagai penghubung jalan maritim dan jalan darat.23
Kesultanan Banjarmasin merupakan daerah yang banyak dialiri oleh
sungai yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman. Sungai menjadi
jalur transportasi yang sangat vital bagi kepentingan ekonomis sekaligus politis
karena jalan darat masih sangat sulit disebabkan hutan yang lebat.24
Sungai Barito yang merupakan sungai terbesar di Kesultanan Banjarmasin
merupakan sungai yang terpenting, karena pengangkutan barang dagangan dari
pedalaman ke pantai dan sebaliknya serta operasi militer sering dilakukan melalui
sungai ini.
Cabang terpenting dari sungai Barito yang menghubungkan daerah pantai
dengan pedalaman adalah sungai Banjarmasin dan sungai Negara. Di pusat
pertemuan sungai Barito dengan sungai Banjarmasin terletak pelabuhan Tatas
(Banjarmasin). Lebih kurang 20 km kearah timur dari kota pelabuhan Tatas
terletak Kayutangi, tepatnya di tepi sungai Banjarmasin dimana istana sultan
23 Ibid.24 Telah dipahami bahwa sungai merupakan akses masuk untuk memudahkan
pengangkutan barang dari wilayah pedalaman ke pelabuhan. Semua kerajaan di Asia Tenggarapada zaman perdagangan telah menggunakan fungsi sungai sebagai akses masuk. Lihat: TheCambridge History of Southeast Asia from early time to 1800, volume I, editor: Nicholas Tarling(Cambridge: Cambridge University Press 1992), h. 479.
24
berada. Pada tahun 1771 istana dipindahkan lagi kearah timur, lebih kurang 18 km
dari Kayutangi yaitu ke Martapura yang sering disebut sebagai Bumikencana.25
F. Posisi Banjarmasin Dalam Dunia Perdagangan
Hall yakin bahwa pada sekitar abad XIV dan permulaan abad XV terdapat
lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan
Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Langka,
Birma (kini Myanmar), dan pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan
perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisr
timur Semenanjung Malaka, Thailand dan Vietnam Selatan (untuk memudahkan,
kita sebut jaringan perdagangan laut Cina Selatan). Keempat, jaringan
perdagangan laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu,
Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan
laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, pesisir
barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan yang
di sebut terakhir berada di bawah hegemoni Majapahit.26
Wilayah Banjarmasin tidak disebut atau masuk dalam kelima jaringan
perdagangan tersebut. Kendati demikian, daerah-daerah Kalimantan Utara dan
Barat telah masuk dalam jaringan perdagangan tersebut yang sebagian besar
berada di bawah pengawasan pedagang di Jawa.
Salah satu hal yang menguntungkan bagi Kesultanan Banjarmasin adalah
letaknya yang strategis di antara jalur perdagangan di kepulauan pada saat itu. Di
25 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787(Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 26.
26 Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia,(Honolulu: University of Hawaii Press. 1985) h. 24.
25
bagian selatan daerah ini dibatasi oleh laut Jawa, dan di bagian Timur oleh Selat
Makassar. Sedangkan di bagian Barat dan Utara masing-masing dibatasi oleh
Kotawaringin dan pegunungan Meratus.
Oleh karena letaknya yang diapit oleh Laut Jawa dan Selat Makassar itu
maka Banjarmasin banyak didatangi oleh pedagang-pedagang dari luar antara lain
dari Jawa, Sulawesi, Cina dan Gujarat. Kedudukan Banjarmasin yang berada di
bawah pengaruh Demak pada akhir abad-XVI,27 menyebabkan terjadinya
hubungan perdagangan antara kedua daerah itu. Emas, intan, lada dan hasil hutan
merupakan mata dagang penting yang dicari oleh pedagang dari daerah pantai
Utara Jawa dan ditukar dengan bawang merah, beras, asam dan garam.
Sampai pada pertengahan abad-XVII, bersamaan dengan runtuhnya pusat
perdagangan di pantai Utara Jawa, seperti Demak, Tegal dan Jepara, Banjarmasin
tumbuh sebagai pelabuhan dagang yang ramai, karena semakin banyak disinggahi
oleh pedagang dari daerah itu dalam usahanya untuk mencari pelabuhan bebas.
bersamaan dengan itu, kedatangan orang-orang Belanda dan Inggris di
Banjarmasin pada belahan pertama abad XVII telah menempatkan Banjarmasin
sebagai pelabuhan yang terpenting di Asia.
27 P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K.G. Treganning, ed., JSAH, vol. IV (Singapore: 1964), h. 49.
26
BAB III
KESULTANAN BANJARMASIN
Penyebaran Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua
proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan pemeluk agama Islam
yang datang ke wilayah Nusantara kemudian penduduk pribumi menganut agama
Islam. Kedua, orang-orang asing, seperti Arab, India dan Cina yang telah
beragama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah Nusantara,
melakukan perkawinan campur dan mengikuti gaya hidup lokal, kedua proses itu
mungkin sering terjadi secara bersamaan.1
Ada juga yang berpendapat Islam didakwahkan di Nusantara melalui tiga
fase yakni oleh para pedagang Muslim dalam jalur perdagangan yang damai,
kemudian datangnya para pendakwah Islam yang datang dari wilayah India atau
Arab yang sengaja mengIslamkan orang-orang kafir dan meningkatkan
pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekuasaan atau
memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.2
Seiring dengan ramainya perdagangan yang terjadi di Nusantara proses
Islamisasi juga terdorong oleh motif ekonomi dan politik. Para penguasa
menerima Islam agar mereka dapat memperoleh dukungan dari para pedagang
Muslim dengan segenap sumber ekonomi mereka. Dengan menjadi Muslim, para
penguasa di Nusantara bisa berpartisipasi dalam kancah perdagangan
internasional, dengan menjadi Muslim dan meraih dukungan dari para pedagang,
1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2008), h. 27.2 H. J de Graaf, Southeast Asian Islam To The Eighteenth Century, dalam P.M. Holt, The
Cambridge History of Islam, vol. 2A, (London: Cambridge University Press: 1987), h. 123.
27
penguasa-penguasa dapat melegitimasi kekuasaan mereka dan dapat menahan
pengaruh kerajaan Hindu Majapahit.3
Lebih jauh lagi motif penyebaran Islam merupakan akibat dari ancaman
agama Kristen yang mendorong penduduk Nusantara masuk Islam. Jadi,
masuknya Islam akibat dari persaingan antara Islam dan Kristen untuk
memenangkan pemeluk baru di Indonesia. Penyebaran Islam di Nusantara terjadi
ketika persaingan dan konflik semakin sengit di antara bangsa Portugis dan para
pedagang Muslim.4
Namun, secara umum proses masuk dan berkembangnya agama Islam ini
disepakati berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh
penguasa Muslim untuk mengIslamkan rakyat atau masyarakat. Secara umum
mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan praktek keagamaan
lain.
Perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan “Islam”, ada yang
memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat sederhana
seperti pengucapan dua kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam, sebagian
lain mendefenisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat itu dikatakan telah
Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara aktual dalam lembaga-
lembaga sosial, budaya dan politik, jadi mereka menganggap bacaan kalimat
syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya penetrasi Islam dalam suatu
masyarakat.5
3 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1955),110-117.
4 B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, vol II (The Hague dan Bandung: W.van Hoeve, 1957), h. 232-237.
5 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 30.
28
Hal tersebut menyebabkan konsep masuknya Islam atau Islamisasi masih
dicampuradukkan antara “datang” (terdapat bekas Islam disuatu tempat),
“berkembang”(mesjid ditemukan) dan munculnya Islam sebagai kekuatan Politik
(sultan memerintah).6
Beberapa konsep proses Islamisasi di atas coba dikompromikan untuk
menentukan proses Islamisasi di Banjarmasin. Dari data yang ada,
berkembangnya Islam di Banjarmasin seiring dengan ramainya perdagangan yang
telah terjalin di Nusantara. Masuknya Islam ke wilayah Kalimantan Selatan
seiring dengan ramainya lintas perdagangan ke wilayah timur pada waktu itu.
Muarabahan yang telah menjadi pusat perdagangan di Kalimantan Selatan telah
banyak dikunjungi oleh orang-orang Keling, Cina, Melayu, Bugis, Bajao dan
Gujarat.7
A. Awal Masuknya Islam ke Banjarmasin
Kedatangan Islam ke Kalimantan Selatan diperkirakan telah ada sejak
sekitar pertengahan abad XV, sekitar tahun 1475-1500 dimana telah adanya
orang-orang Muslim di wilayah itu. Kesulitan akan sumber untuk pembanding
dalam menentukan kapan awal masuknya Islam di Banjarmasin dikarenakan tidak
adanya sumber asing yang menceritakan tentang awal hadirnya Islam di
Banjarmasin. Salah satu sumber lokal yang didapat hanyalah Hikayat Banjar.
6 Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja Dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES,1979), h. 1.
7 M. Idwar Saleh, Bandjarmasin, (Bandung : B.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1975), h.35. Keterangan telah adanya kaum Muslim sebelum berdirinya Kesultanan Banjarmasin juga telahdiyakini, bahwa di Banjarmasin sebelum Islam menjadi agama negara, Islam telah ada di kota-kotapelabuhan atau pemukiman-pemukiman yang lebih dekat di pantai. Lihat: Alfani Daud, Islam danMasyarakat Banjar:Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997), h. 48.
29
Dalam sumber lokal yaitu, Hikayat Banjar diceritakan mengenai proses
Islamisasi Kesultanan Banjarmasin. Ketika itu Pangeran Samudera memerlukan
bantuan untuk memerangi Pangeran Tumenggung yang telah merebut takhta
kerajaan Negara Daha dari Pangeran Samudera yang merupakan cucunya Raja
Sukarana (raja Negara Daha sebelumnya). Untuk mengalahkan Pangeran
Tumenggung, Pangeran Samudera meminta bantuan kepada sultan Demak.
Namun, bantuan ini dijanjikan dengan syarat bahwa ia memeluk agama Islam.
Pangeran Samudera menerima syarat tersebut dan sultan Demak kemudian
mengirim 10.000 pasukan bersenjata di bawah pimpinan seorang penghulu,
dengan jumlah tersebut pasukan Pangeran Samudera menjadi 40.000. selama 40
hari 40 malam berperang tidak ada juga pemenangnya. Kemudian diputuskan
untuk mengadakan pertarungan antara kedua orang yang berambisi menduduki
takhta, tetapi sebelum sempat bertarung Pangeran Tumenggung mengakui
kesalahannya dan keduanya dapat berdamai, kemudian Pangeran Samudera
diangkat menjadi sultan Banjarmasin.8
Setelah kemenangan, Pangeran Samudera memeluk Islam pada sekitar
tahun 936 H/1526 M dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan
Banjarmasin. Seorang Arab memberi gelar Surian Allah9 kepada Pangeran
Samudera dan dikenal dengan sebutan Sultan Suriansyah (m. 1526-1550).10
Setelah itu, rombongan pasukan Demak dan penghulunya kembali pulang, dengan
8 J.J. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, (The Hague: MartinusNijhoff, 1968), h. 439-443, A. Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Surabaya: Bina Ilmu,1986, 10-33, Kesultanan Banjar , dalam Ensiklopedia islamdi Indonesia, Jakarta: DepartemenAgama, 1987, II, 487-493.
9 Gelar Surian Allah (berjalan di jalan Allah) diberikan kepada Pangeran Samudera olehPenghulu Demak yang bernama Khatib Dayyan ketika mengislamkan Pangeran Samudera. Lihat,Khoiril Umam, Pemikiran Akidah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Disertasi UIN SyarifHidayatullah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 35.
10 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII& XVIII, (Jakarta: Kencana 2005), h. 315.
30
membawa banyak hadiah.11 Selanjutnya, semua raja Banjarmasin menggunakan
nama Arab.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa Islam telah berada di
Banjarmasin sejak mulai ramainya arus perdagangan ke arah timur. Masuknya
Islam terlebih lagi berkembang dengan cepat ketika Pangeran Samudera memeluk
agama Islam. Agama Islam sangatlah berpengaruh terhadap kondisi keagamaan di
Kesultanan Banjarmasin.
Jika di analisis konversi penguasa Banjarmasin ke agama Islam lebih
terpengaruh oleh faktor politik, yaitu terdorong oleh motif perebutan kekuasaan.
Berbeda dengan penguasa di bagian Indonesia Timur yang mengalami persaingan
agama antara Islam dan Kristen.12 Di Banjarmasin tidak ditemukan persaingan
agama ini, walaupun data yang ada menyebutkan adanya penyebaran agama
Kristen oleh pastur Portugis pada tahun 1688 namun agama ini tidak berkembang
dikalangan orang Banjar.13
B. Berdirinya Kesultanan Banjarmasin
Sebelum lahirnya Kesultanan Banjarmasin, wilayah Kalimantan Selatan
telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh kerajaan Hindu-Budha. Hikayat Banjar dan
Kotaringin telah menceritakan mengenai kerajaan yang pertama berdiri di wilayah
ini. Dalam hikayat diceritakan tentang kehadiran saudagar besar yang sangat kaya
11 Ibid.12 Van Leur, Indonesian Trade and Society, h. 117.13 Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, h.
51.
31
yang berasal dari Keling,14 namanya Saudagar Mangkubumi. Saudagar
Mangkubumi ini memiliki anak yang bernama Ampu Jatmaka yang setelah
ayahnya meninggal mencari wilayah baru untuk membangun sebuah kerajaan.15
Ampu Jatmaka membuat kerajaan di Kalimantan yang diberi nama Negara
Dipa.16 Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang bercorak Jawa,17 didirikan
sekitar abad ke–XV. Kerajaan Negara Dipa ini kemudian dilanjutkan dengan
Negara Daha yang letaknya di pedalaman Muarabahan sampai sekitar tahun 1540.
Kerajaan Negara Daha mengalami kehancuran karena terjadi perebutan kekuasaan
di antara keluarga raja.
Sewaktu Maharaja Sukarana memerintah kerajaan Negara Daha pada awal
abad XVI, ia mencalonkan cucunya, yaitu Pangeran Samudera, untuk menduduki
tampuk pemerintahan kerajaan Negara Daha sebagai penggantinya. Namun
setelah Maharaja Sukarana meninggal dunia, jabatan tersebut menjadi rebutan
para paman Pangeran Samudera, tetapi Pangeran Samudera dapat melarikan diri
ke tempat kediaman Patih Masih18 di daerah muara sungai Kuin (Cerucuk).
Sementara itu salah seorang pamannya, Pangeran Tumenggung, berhasil menjadi
14 Menurut analisa van der Tuuk yang dikutip oleh Ras, Hikayat Banjar: a Study in MalayHistoriography, bahwa orang-orang Jawa itu, adalah orang-orang Keling yang berasal darikerajaan Kuripan atau Jenggala di Jawa Timur.
15 Roasyadi, Sri Mintosih dan Soeloso, Hikayat Banjar dan Kotaringin (Jakarta:Depdikbud, 1993), h. 14.
16 Ibid.17 Pengaruh Jawa dalam wilayah Banjarmasin telah muncul sebelum terbentuknya
kerajaan Banjarmasin. Pengaruh Jawa terjadi dengan muculnya orang-orang Jawa pada abad ke-14, yang dipimpin oleh seorang pedaganag bernama Ampu Jatmaka, jalur lain masuknya pengaruhJawa adalah dengan melalui perkawinan antara Putri Junjung Buih dari Negara Dipa denganpangeran Surianata (Raden Putra) dari Kerajaan Majapahit. Ras, Hikayat Banjar: a Study in MalayHistoriography, h. 183.
18 Patih Masih yaitu Patih yang mengepalai daerah Banjarmasin dan sekitarnya sertamengakui Pangeran Samudera sebagai raja yang sah kerajaan Negara Daha.
32
raja terakhir Negara Daha, dengan membunuh saingannya, yaitu saudara kandung
Pangeran Tumenggung sendiri (Pangeran Mangkubumi).19
Di tempat kediaman Patih Masih, Pangeran Samudera menyusun kekuatan
untuk merebut kekuatan dari pamannya. Ia memperoleh bantuan dari para Patih
selain Patih Masih, yaitu dari Patih Balit, Patih Balitung, Patih Muhur dan Patih
Kuin. Hal ini kemungkinan karena Patih Masih merupakan pemimpin para patih
di daerah tersebut.20 Wilayah kekuasaan para patih tersebut disebut Banjarmasin.
Sementara itu Pangeran Samudera menjadikan daerah Banjarmasin sebagai pusat
pemerintahan dan tempat kediaman Patih Masih dijadikan istana, maka berdirilah
kerajaan Banjarmasin pada sekitar tahun 1526.
Setelah Kesultanan Banjarmasin berdiri Kerajaan Negara Daha yang
letaknya di pedalaman menjadi taklukan Kesultanan Banjarmasin, dan diharuskan
membayar upeti. Sedikit demi sedikit kerajaan Negara Daha ditinggalkan
rakyatnya yang pindah ke Kesultanan Banjarmasin. Pangeran Samudera kemudian
memindahkan pusaka maupun perlengkapan kerajaan Negara Daha ke
kerajaannya, yang mana tindakan ini mengakhiri kerajaan Negara Daha. Kerajaan
ini semakin dikenal sebagai kerajaan Islam dengan Pangeran Samudera sebagai
rajanya. Perkembangan selanjutnya Kesultanan Banjarmasin dapat menaklukan
kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya antara lain Sukadana, Sampit dan
Kotawaringin.21
19 Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, M. Idwar Saleh, ed. (Jakarta: Depdikbud.1977/1978), h. 37-38., lihat juga Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, h. 378-382.
20 Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography,h. 45.21 Saleh, Banjarmasih, h. 45-56., lihat juga Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay
Historiography, h. 426-438.
33
C. Struktur Pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan, Sultan dibantu oleh mangkubumi, yang
bertindak sebagai kepala pelaksana pemerintahan. Jabatan ini biasanya dipegang
oleh seorang bangsawan keluarga dekat raja seperti putra mahkota atau saudara
Sultan. Di bawah jabatan mangkubumi terdapat jabatan mantri panganan, mantri
pangiwa, mantri bumi dan sejumlah 40 orang mantri sikap. Tiap-tiap mantri sikap
mempunyai petugas bawahan sebanyak 100 orang. mantri panganan dan mantri
pangiwa mempunyai tugas mengurus bidang militer, sedang mantri bumi dan
mantri sikap bertugas untuk mengurus perbendaharaan istana dan pemasukan
pajak sebagai penghasilan kesultanan. Pada tahun 1759, jabatan mantri sikap
dijabat oleh saudara tiri Sultan yang bernama Gusti Wiranggala, mantri panganan
dan mantri pangiwa dipegang oleh dua orang keponakan Sultan yaitu Pangeran
Jiwakusuma dan Pangeran Jiwanegara. Jabatan tertinggi di bawah raja adalah
mangkubumi, dan selain itu jabatan di bawah mangkubumi ada lagi yaitu,
pangapit mangkubumi yang terdiri dari penghulu sebagai pemuka agama.22
Di samping pejabat-pejabat tersebut di atas, raja masih mempunyai
beberapa pejabat khusus untuk mengurus rumah tangga istana. Untuk keamanan
istana diserahkan kepada sarawisa mereka mempunyai anggota sekitar 50 orang
yang dikepalai oleh seorang sarabraja. Petugas yang melakukan pekerjaan
membersihkan kompleks istana diserahkan kepada para mandung yang
anggotanya juga sekitar 50 orang dan dipimpin oleh seorang pejabat bernama
Raksyayuda. Kelompok pengawal raja dan pengawal istana disebut managasari
yang terdiri dari 40 orang dan dikepalai seorang bernama Sarayuda. Petugas
22 Ibid.
34
khusus yang mengerjakan pemeliharaan dan membersihkan senjata disebut
saragani. Semua jenis senjata mulai dari meriam, bedil, tombak, keris, parang,
panah, perisai dan sebagainya diurus, dipelihara dan dibersihkan oleh kelompok
saragani ini. Kepala kelompok bernama saradipa atau kadang-kadang disebut
wangsanala. Untuk pelaksanaan upacara kerajaan maka petugas yang
dipercayakan mengerjakan pekerjaan tersebut adalah kelompok mangumbara.23
Dalam hal kedudukan Sultan dan sistem penggantiannya. Sultan
memegang kedudukan pusat, namun dalam pelaksanaan pemerintahannya ia
dibatasi oleh sebuah Dewan Mahkota yang beranggotakan sementara bangsawan
keluarga terdekat Sultan dan pejabat birokrasi tingkat atas seperti mangkubumi,
para mantri dan kyai. Dewan Mahkota ini berfungsi sebagai penasehat Sultan
dalam memecahkan persoalan-persoalan penting seperti soal pemerintahan,
penggantian takhta, pengumuman perang dan damai, hubungan dengan kekuasaan
luar dan sebagainya. Pengaruh Dewan Mahkota terhadap sikap dan tindakan
Sultan sangat besar.24
Sultan berhak untuk mengangkat, memindahkan ataupun memecat
pejabat-pejabat pemerintahan, namun untuk pejabat pemerintahan tingkat atas,
Sultan meminta nasehat pada Dewan Mahkota. Pengangkatan didasarkan atas
jasa atau kecakapan seseorang. Pengangkatan seseorang pada jabatan birokrasi
yang penting biasanya disertai dengan pemberian gelar. Pemecatan dilakukan
terhadap pejabat-pejabat yang melalaikan tugas atau menunjukan sikap
menentang terhadap Sultan.
23 Ibid., h. 51-52.24 Ita Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859), (Skripsi
Fakultas Ilmu Budaya: Universitas Indonesia, 1984), h. 9.
35
Menurut adat kebiasaan dalam Kesultanan Banjarmasin, pengganti Raja
adalah putra mahkota yang diangkat dari putera tertua Sultan dengan permaisuri
dari golongan bangsawan. Dengan demikian putra dari isteri bukan golongan
tersebut tidak berhak naik sebagai Sultan. Keruwetan timbul dalam istana, apabila
di antara bangsawan keluarga raja ada yang mempunyai pendirian yang berbeda
mengenai penunjukan pengganti Sultan. Timbulnya kericuhan dalam istana
mengenai pengganti Sultan kerap kali terjadi dalam sejarah Kesultanan
Banjarmasin. Penunjukan putra mahkota oleh raja belum tentu diterima oleh
seluruh bangsawan.25
Dalam upacara kerajaan ada beberapa petugas yang memegang alat-alat
keperluan raja seperti payung, tombak, tikar, tempat sirih dan para pembawa alat-
alat ini disebut payong bawat, pamarakan atau pangadapan dan kelompok ini
dikepalai oleh rasajiwa. Kelompok pamarakan yang berjumlah 50 orang ini harus
selalu dekat dengan Sultan karena mereka umumnya bertugas melaksanakan
perintah Sultan. Yang bertugas mengurus bidang seni dan tari ialah pergamelan
dan kelompok seniman ini dikepalai oleh seorang astrapana. Jika Sultan hendak
berburu ia dikawal oleh para tuhaburu yang dipimpin oleh seorang puspawana.
Para petugas yang mengawasi dan sekaligus menjaga keamanan Sultan ialah
pariwala atau singabana. Urusan bea cukai di pelabuhan dikepalai oleh seorang
bernama anggarmata yang membawahi para petugas yang disebut jurubandar. Di
bidang perdagangan umum kerajaan dibantu oleh seorang pejabat bernama
Wiramartas. Para pejabat di luar istana yang dapat disebut sebagai pejabat daerah
ialah lalawang yang mengepalai daerah setingkat kawedanan yang membawahi
25 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah NasionalIndonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka 1993), h. 54.
36
kesatuan daerah yang lebih kecil setingkat kecamatan yang dikepalai oleh
lurah/mantri. Tiap-tiap lurah membawahi beberapa desa, sedangkan desa
dikepalai oleh seorang pembekal. Desa-desa masih mempunyai daerah yang lebih
kecil lagi disebut kampung yang dikepalai oleh tetuha kampung.26
Untuk melakukan pemeriksaan urusan pemerintahan Sultan memerlukan
laporan pelaksanaan pekerjaan. Untuk itu Sultan melakukan peraturan
mengadakan seba atau sidang setiap hari sabtu bertempat di sitilohor. Disini
Sultan sekaligus mengkontrol terhadap semua pejabat pemerintahan. Karena
semua pejabat penting diwajibkan hadir pada acara seba ini.27 Dalam adat
kebiasaan kerajaan-kerajaan di Indonesia seba juga dimaksudkan sebagai kontrol
terhadap daerah yang dikuasainya. Jika wakil suatu daerah yang berada di bawah
naungan kerajaan tidak hadir dalam acara seba maka dapat menimbulkan
kecurigaan sang raja apalagi kalau tidak ada pemberitahuan maka dapat dianggap
sebagai pembangkang.
Pada umumnya susunan jabatan dalam pemerintahan Kesultanan
Banjarmasin tidak banyak berubah hingga akhir abad XIX. hanya terjadi beberapa
perubahan misalnya pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825-1857), yaitu
adanya jabatan mufti atau kyai yang berfungsi sebagai hakim tertinggi, yang
mengepalai hakim tingkat bawah yaitu penghulu. Tingkatan sesudah penghulu
adalah: kaliba, kemudian lebai, khatib, dan bilal.28 Penghulu merangkap hakim
dan bertugas memutuskan hukuman. Selain itu, ia juga merupakan pemuka
agama, serta menjadi kepala masjid besar di kota kerajaan.
26 Ibid.27 Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, h. 376.28 A van der Ven, Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin (TBG, IX, 1860), h.
115.
37
D. Struktur Masyarakat
Dalam struktur masyarakat tradisional, struktur masyarakat memiliki dua
pembagian kelas. Kelas elite dan non-elite. Mayoritas adalah non-elite yang
diperintah, dan minoritas adalah kelas elite yang memerintah. Secara garis besar
masyarakat Banjarmasin dapat digolongkan ke dalam empat lapisan: Pertama,
golongan bangsawan, merupakan golongan yang memerintah terdiri dari Sultan
dan sanak keluarganya. Mereka mempunyai gelar pangeran, puteri, ratu, raden,
gusti, dan andin. Pangeran dan puteri adalah gelar untuk anak-anak dari pihak
ayah dan ibu keturunan raja, yang pria disebut pangeran dan yang wanita disebut
puteri, yang bila sudah menikah bergelar ratu. Raden adalah gelar untuk anak
seorang pangeran dengan isteri orang biasa; Gusti adalah gelar yang biasa
digunakan oleh anak-anak raja, yang berasal dari selir, dan andin adalah gelar
untuk anak-anak dari seorang gusti atau raden dengan isteri keturunan biasa.
Golongan ini merupakan golongan yang dihormati dalam masyarakat.
Kedua, golongan agama, termasuk dalam golongan elite, terutama mereka
yang berkedudukan sebagai pemimpin agama. Mereka tidak memiliki kekuasaan
politik. Namun, golongan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat. Di antara
mereka ada yang bergabung dalam pemerintahan kerajaan, sehingga mempunyai
kekuasaan yang syah dalam kerajaan. Tetapi jumlah ini tidak banyak. Sebagian
besar golongan agama tersebar di pedesaan, mereka hidup di antara rakyat sebagai
elite pedesaan, antara lain sebagai guru agama, juga sebagai wiraswasta (antara
lain, membuat anyaman-anyaman tikar dan alat-alat rumah tangga, membuat
perahu) dan pedagang, sehingga mereka memiliki kekayaan yang akan menambah
mereka dihormati dan dipercayai rakyat.
38
Ketiga, golongan penduduk biasa. Mayoritas penduduk Banjarmasin
adalah orang-orang Banjar dan Dayak.29 Orang Dayak dianggap sebagai
penduduk asli di pulau Kalimantan yang mempunyai kebudayaan yang berbeda
dibanding dengan orang Banjar. Ini terlihat dari bentuk mata pencaharian hidup
dan kepercayaan mereka. Pada umumnya orang Banjar yang tinggal di pantai
hidup sebagai pedagang dan memeluk agama Islam. Sebaliknya orang Dayak
kebanyakan tinggal di pedalaman hidup dari bercocok tanam serta mengumpulkan
hasil hutan. Mayoritas orang Dayak memeluk keprcayaan asli mereka yakni
Kahariyangan.30
Orang Banjar menempati status sosial ekonomi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang Dayak karena mereka memegang jabatan tinggi
dalam struktur pemerintahan di Kesultanan Banjarmasin, seperti sultan dan mantri
(kepala desa). Sedangkan orang Dayak jika ingin masuk kedalam struktur
pemerintahan mereka harus memeluk agama Islam, dan hanya bisa menjabat
sebagai Pembekal (kepala kampung). Dengan demikian agama Islam memegang
peran penting bagi orang Dayak untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi dalam
struktur sosial masyarakat di Kesultanan Banjarmasin.
Penduduk pada golongan ini kebanyakan hidup dari perdagangan,
pertanian, menangkap ikan, kerajinan dan sebagainya.31 Golongan pedagang
sangat besar jumlahnya, sebagian besar cukup kekayaannya. Golongan pedagang
cukup dihargai di masyarakat, penghormatan pada seorang pedagang kaya akan
29 Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo,1600-1880 ( Leiden: KITLV Press, 2001), h. 77.
30 Carl Bock, The Head-hunters of Borneo, (London: Sampson and Low, 1882), h. 164,lihat juga Victor King, People of Borneo, (Cambridge: Blackwell, 1953), h. 31-32.
31 Alfred B. Hoedson, The Padju Empat Ma anyan Dayak in Historical Perspective,(Cornell University, 1976), h. 12.
39
makin bertambah apabila pedagang tersebut masih ketururnan bangsawan.
Penghormatan terhadap golongan pedagang biasanya dilihat dari besar kecilnya
usaha ataupun kaya atau tidaknya pedagang tersebut.
Keempat, golongan Pandeling yaitu, mereka yang kehilangan
kemerdekaan, akibat hutang-hutang yang tidak bisa mereka bayar. Biasanya
merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan saudagar, bila hutangnya
lunas mereka menjadi orang-orang yang merdeka, disebut mardika. Selain itu
terdapat pula golongan budak yang berasal dari nasibnya dan sebagai tawanan
perang. Susunan masyarakat tesebut merupakan susunan masyarakat sampai abad
XIX di Kesultanan Banjarmasin.32
Dalam zaman perdagangan yang paling berperan dalam memainkan hak
monopoli berada di tangan penguasa yaitu Sultan dan para pegawainya. Sultan
berperan sebagai penguasa atas barang yang dihasilkan oleh penduduk di
pedalaman.
E. Perkembangan Agama Islam
Semenjak abad XVIII agama Islam menjadi agama resmi kerajaan.33
Penerapan hukum Islam di Kesultanan Banjarmasin adalah sejalan dengan
terbentuknya Kesultanan Banjarmasin dan dinobatkannya Sultan Suriansyah
sebagai raja pertama yang beragama Islam. Terbentuknya Kesultanan
Banjarmasin menggantikan kerajaan Negara Daha yang beragama Hindu, dan
merubah menjadi kerajaan yang bercorak Islam.
32 Soeri Soeroto, Pergerakan Sosial dan Perang Banjarmasin, Seminar Sejarah NasionalII, 26-29 Agustus 1970 Jogyakarta, hlm. 4-5. lihat juga, Marwati Djoened Poesponegoro danNugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, h. 62.
33 Lihat h. 30.
40
Islam terus berkembang, awal dari upaya Sultan Suriyansyah menyebarkan
dan mengembangkan Islam secara luas kepada masyarakat ialah dengan
mendirikan sebuah Masjid. Namanya masjid “Sultan Suriyansyah” yang
merupakan masjid pertama di Kesultanan Banjarmasin pada abad XVI. Masjid ini
berdiri hasil musyawarah Sultan dan para pembesar kesultanan masjid ini masih
ada hingga kini di kampung Kuin, dan sudah beberapa kali dipugar.34 Dalam hal
ini sultan tidak bertindak atas kemauannya sendiri, tetapi dibatasi oleh para
petinggi kesultanan dan diatur dengan ketentuan kesultanan.35
Hal yang penting dalam menyebarkan Islam adalah peran dari para Sultan
Banjarmasin yang selalu menjadi tauladan rakyatnya yaitu antara lain dengan
senantiasa memakai nama-nama Islam dan bertindak sesuai dengan cara-cara
Islam. Tersebarnya Islam di daerah ini tidak dengan paksaan maupun kekerasan.36
Dengan berkuasanya Sultan dan didukung oleh para petinggi, maka Islam
berkembang tanpa halangan melalui perdagangan, melalui jalan sungai yang
menghubungkan antara pedalaman dan kota pelabuhan Banjarmasin. Rakyat
Kesultanan Banjarmasin yang letaknya di pedalaman dapat dikunjungi oleh para
pedagang yang juga merupakan guru agama, sehingga para petani, peternak dan
nelayan dapat memeluk agama Islam.37
Hasil dari penyebaran Islam bukan saja tampak dalam bidang politik,
sosial, keagamaan, tetapi juga dalam bidang budaya. misalnya huruf Arab yang
digunakan dalam pelajaran membaca al-Qur’an dan menghafal bacaan shalat, juga
digunakan untuk menulis perjanjian. Perjanjian yang dibuat antara sultan
34 Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, h. 35-36.35 Ita Syamtasiyah Ahyat, Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin, (Laporan
Penelitian prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2009), h. 6.36 Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, h. 40.37 Ibid.
41
Banjarmasin dengan VOC dan Inggris pada abad XVII ditulis dengan huruf Arab
Melayu.
Perkembangan Islam yang sangat berarti di Kesultanan Banjarmasin pada
abad XVIII adalah di masa Sultan Natadilingga (1761-1801), yaitu dengan
datangnya seorang ulama besar yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
setelah menuntut ilmu di Haramayn. Dalam menyebarkan agama Islam Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat dukungan dari kesultanan. Ia
mendapatkan segala sarana dan fasilitas dalam menyebarkan ajaran Islam.38
Setelah dihadiahkan sebidang tanah oleh Sultan Natadilingga (1761-1801)
di luar ibukota Kesultanan. Hal pertama yang dilakukan oleh Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari adalah mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang
sangat penting untuk mendidik kaum Muslimin guna meningkatkan pemahaman
mereka atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik Islam. Syekh Arsyad al-Banjari
bersama Abdul Wahhab al-Bugisi, membangun sebuah pendidikan Islam yang
serupa dengan surau atau pesantren. Pusat pendidikan ini terdiri atas ruang-ruang
untuk kuliah, pondokan para murid, rumah para guru dan perpustakaan.39
Beberapa hasil pemikiranya telah menambah berkembangnya ajaran
agama Islam di Banjarmasin, antar lain; a. mengajarkan ilmu agama kepada
masyarakat Banjarmasin, b. mengusulkan kepada sultan agar sultan mengangkat
mufti dan qadi di kesultanan, dan mengangkat pengurus mesjid seperti khatib,
imam, muadzim dan penjaga mesjid, c. mengusulkan kepada sultan agar di
kesultanan diberlakukan hukum Islam, bukan hanya terbatas pada hukum perdata
saja, tetapi juga hukum pidana Islam. Misalnya hukuman mati bagi pembunuh,
38 Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h.319.
39 Ibid.
42
potong tangan bagi pencuri, hukum cambuk bagi penzina, dan hukum mati bagi
orang Islam yang murtad; d. untuk melakukan hukuman secara Islam tersebut, Ia
mengusulkan dibentuknya Mahkamah Syariah, semacam pengadilan tingkat
banding, di samping lembaga keqadian. Untuk memimpin mahkamah syariah
ditunjuk seorang Mufti. Mufti pertama adalah Abu Za’ud anak al-Banjari.40 Untuk
kemudian sultan mengangkat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, sebagai
Musytasyar Kesultanan (Mufti Besar Kesultanan) untuk mendampingi sultan
dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Keberhasilan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari dalam mendirikan pendidikan Islam telah melahirkan ulama-
ulama baru yang turut serta dalam mengembangkan Islam dengan syiar dan
dakwah Islam di Kalimantan, di antaranya Syekh Syihabudin, Syekh Abu Za’ud
(keduanya putra al-Banjari), dan Syekh Muhammad As’ad (cucu al-Banjari).41
Selain hal di atas Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga telah menulis
beberapa kitab ajaran-ajaran agama Islam yang murni dan benar sebagai pegangan
dan pedoman bagi umat Islam. Di antara kitab-kitabnya yang terkenal dan
menjadi rujukan dakwah adalah, Kitab Usuluddin, Luqthatul 'AjIan fi Bayan Haid
wa istihadhati wa nifas al-Niswan (kitab tentang Haid dan Nifas), Kitab Tuhfat
al-Raghibin (pemberian bagi orang-orang yang gemar, kitab ini berisi tentang
masalah tauhid), Kitab al-Qawl al-Mukhtasar fi 'Alamat al-Mahdi al-
Muntazar (kitab tentang ringkasan tanda-tanda datangnya Imam Mahdi), Kitab
Ilmu Falak, Kitab al-Nikah, Kitab Kanzul Ma'rifah, Kitab Sabil al-Muhtadin.
Kitab Perukunan (rukun-rukun, yang tersimpul dalam rukun Islam dan rukun
40 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:Bulan Bintang 1994), h. 94.
41 Kesultanan Banjar Ensiklopedia Islam, h. 229.
43
Iman), merupakan bukti dari pengaruh Syekh Arsyad al-Banjari. Hingga kini kitab
ini masih digunakan di kampung-kampung Banjarmasin.42
Sebagai kata penutup dalam bab ini, maka telah dapat diketahui bahwa,
Banjarmasin yang awalnya merupakan suatu kampung orang Melayu, menjadi
pelabuhan yang disinggahi oleh para pedagang-pedagang Muslim, menjadi kota
Muslim dan berlanjut menjadi kota kerajaan. Kesultanan Banjarmasin yang
terletak di tepi pantai ini telah memungkinkan sekali terjadinya kontak sosial
dalam masyarakat.
Sultan dan masyarakat mengembangkan agama Islam, dengan demikian
agama Islam di Kesultanan Banjarmasin mangalami perkembangan yang cukup
menyeluruh di segala bidang, baik bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
terlebih lagi setelah kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, kesadaran
agama Islam di kalangan kerajaan dan penduduk awam telah diperdalam dengan
intensitasnya yang besar sehingga melahirkan suatu perkembangan Islam di
Kesultanan Banjarmasin.
42 Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, h.54.
44
BAB IV
PERAN KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS
PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD XVIII
Dalam bab ini, akan membahas mengenai tiga pembahasan. Pertama akan
diawali dengan melihat latar belakang munculnya Kesultanan Banjarmasin pada
abad XVII. Kedua, akan melihat seberapa jauh peran Kesultanan Banjarmasin
dalam mengembangan perdagangan pada abad XVIII dengan melihat dua faktor,
yaitu kebijakan Sultan terhadap perdagangan dan Sultan sebagai pemain aktif
dalam perdagangan. Dibagian akhir akan dijelaskan kemunduran perdagangan
yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan yang terjadi dikalangan istana.
A. Tumbuhnya Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin Sebelum Abad
XVIII
Kesultanan Banjarmasin tumbuh sebagai bandar perdagangan di Nusantara
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, pertama, dijadikannya Banjarmasin
sebagai sebuah daerah taklukan Demak. Hal ini berakibat mulai dikenalnya
wilayah Banjarmasin. Kedua, meluasnya ekspansi Mataram di pesisir pantai utara
Jawa pada pertengahan pertama abad XVII. Ketiga, penguasaan wilayah penghasil
lada oleh VOC di wilayah lain di Nusantara seperti, Banten, Palembang dan
Jambi. Hal ini mengakibatkan para pedagang mulai mencari daerah penghasil lada
di wilayah lain yang belum tersentuh oleh pengaruh VOC. Ketiga faktor tersebut
yang mengakibatkan Banjarmasin mulai dikenal sebagai bandar perdagangan di
Nusantara.
45
Sebelum periode abad XVIII, Kesultanan Banjarmasin telah menjadi
sebuah kesultanan yang bercorak maritim di Kalimantan Selatan. Dalam beberapa
periode Kesultanan Banjarmasin masih merupakan daerah taklukan dari kerajaan-
kerajaan Jawa seperti, Demak dan Mataram. Supremasi Jawa terhadap
Banjarmasin lebih kepada faktor ekonomi. Karena Banjarmasin memiliki produk
hutan yang sangat baik seperti, damar, lilin, myrabolans untuk industri batik,
rotan, dan barang anyaman.1 Sedangkan Jawa sendiri telah dikenal sebagai
pemegang kekuasaan ekonomi yang paling besar sebagai daerah penghasil beras.
Selain itu, beras juga dianggap sebagai senjata politik yang dipegang oleh Jawa.2
Di Banjarmasin sendiri beras merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat.
Namun, di Banjarmasin beras hanya ditanam oleh orang Dayak pedalaman,
dimana surplus penanamanya juga sangatlah kecil sehingga kurang mencukupi
kebutuhannya sendiri dan perlu memasoknya dari Jawa.3
Hegemoni Jawa di Banjarmasin diawali dengan dijadikannya Banjarmasin
sebagai daerah taklukan dari Demak di tahun 1526. Seperti telah diketahui dalam
bab sebelumnya, adanya hubungan kesultanan Demak dengan Banjarmasin
diawali dengan hubungan antara Kesultanan Demak yang telah membantu
Pangeran Samudera untuk mengambil alih kekuasaannya yang telah diambil oleh
pamannya Pangeran Tumenggung.4
Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sultan Trengganu (memerintah
1521-1546) telah mewajibkan Kesultanan Banjarmasin yang dipimpin oleh Sultan
1 B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, vol. I (Bandung: The Hague vanHoove, 1955), h. 29.
2 P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K. G.Treganning, ed., Journal of Shoutheast Asian History, vol. IV (Singapore: 1964), h. 50-51.
3 Ibid.4 Lihat Bab III,” Masuknya Islam ke Banjarmasin”
46
Suriansyah (m. 1526-1550) memberikan upeti kepada kesultanan Demak antara
lain berupa intan, emas dan hasil hutannya. Selama berada di bawah kekuasaan
Demak, dengan dibantu kekuatan militer dari Demak, Kesultanan Banjarmasin
berhasil menaklukan daerah-daerah di pedalaman seperti Sukadana, Sambas,
Sampit, dan Mendawai.5
Penguasaan Demak atas Kesultanan Banjarmasin akhirnya berakhir,
ketika kekuasaan Demak yang dipegang oleh Sultan Trengganu berpindah kepada
Sultan Prawata (m. 1546-1561). Pada masa pemerintahan Sultan Prawata
merupakan zaman kekacauan dan perpecahan.6 Karena lemahnya kekuatan
administratif yang dipimpin oleh Sultan Prawata mengakibatkan wilayah-wilayah
taklukan akhirnya melepaskan diri dari kesultanan Demak pada akhir abad XVII,
termasuk juga Banjarmasin.7 Selama kurang lebih 20 tahun Kesultanan
Banjarmasin berada di bawah hegemoni dari kesultanan Demak. Selama di bawah
hegemoni Kesultanan Demak, Kesultanan Banjarmasin baru mulai dikenal
sebagai bandar dagang yang telah disinggahi oleh para pedagang Cina dan Jawa.8
Di permulaan abad XVII, dengan kekuatan armada darat dan lautnya yang
kuat, kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung (m. 1613-46), dapat
menguasai kerajaan-kerajaan pantai di Jawa seperti, Jepara, Cirebon, Tuban, dan
Gersik, Sultan Agung melanjutkannya hingga ke seberang laut yakni Kalimantan.9
Pada tahun 1622, dengan menggunakan kekuatan lautnya Sultan Agung
5 J.J. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography (The Hague: MartinusNijhoff), h. 430-440.
6 Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: BalaiPustaka, 1993), h. 36.
7 Ibid.8 M. Idwar Saleh, Banjarmasih, (Banjarmasin: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1975), h.
39.9 Melink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in Indonesian Archipelago
Between 1500 and about 1630 (The Hague: Martinus Nijhoff), h. 269.
47
melancarkan penyerangan yang pertama ke Sukadana yang dengan mudah dapat
ditundukkan. Pada tahun 1631 beredar rumor bahwa Kesultanan Mataram akan
menaklukan Banjarmasin sebagai target selanjutnya. Untuk mencari kekuatan
baru agar tidak di kuasai oleh Kesultanan Mataram, Kesultanan Banjarmsin
menjalin hubungan dengan Belanda. Namun, karena kuatnya Kesultanan
Mataram, pada tahun 1637 Kesultanan Banjarmasin memilih berdamai dengan
Mataram dan menyatakan diri sebagai daerah taklukan Mataram.10 Pengakuan
Banjarmasin sebagai daerah taklukan Mataram ditandai dengan pengiriman utusan
Banjarmasin yang membawa upeti untuk Mataram pada tahun 1641.11
Pada akhir tahun 1650-an, Banjarmasin dan Sukadana menghentikan
pemberian upeti kepada Mataram. Pada tahun 1661 Sukadana menyatakan diri
sebagai daerah taklukan Banjarmasin dan berjuang bersama Banjarmasin untuk
melawan Mataram.12 Kebijakan yang dijalankan oleh Sultan Mataram
Amangkurat I (m. 1646-1677), telah memberikan banyak keuntungan untuk
Kesultanan Banjarmasin. Sentralisasi administrasi yang dilakukan oleh Sultan
Amangkurat I, dengan cara menghancurkan pusat-pusat perdagangan di pesisir
wilayah Jawa Timur agar hanya beralih kepada Mataram, telah mengakibatkan
migrasi yang besar ke wilayah Banjarmasin. Banjarmasin menjadi penampung
baik pedagang dari kota-kota pesisir Jawa termasuk aktifitas perdagangan
mereka.13 Gelombang baru dari pengungsi yang datang ke Banjarmasin semakin
10 H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Saultan Agung, (Jakarta:Pustaka Uatama Grafiti, 1990), h. 288-289.
11 Utusan Banjarmasin yang dikirim ke Mataram untuk penyerahan upeti membawamerica, rotan, barang-barang anyaman, dan lilin. Kemudian sebagai imbalannya Sultan Matarammengirim beras, gula, asam, garam, bawang merah dan sebagainya. Ibid., 290.
12 H.J. de Graaf, Disintegrasi Mataram di bawah Mangkurat I (Jakarta: Pustaka Grafiti,h.78.
13 A.A. Cense, De Kroniek van Bandjarmasin (Santpoort, 1928), h. 117.
48
bertambah sejak pecah perang Makassar, di antaranya banyak pedagang Melayu
yang datang.
Faktor yang sebelumnya, adalah kedatangan para pedagang Cina ke
Banjarmasin untuk pembelian lada. Patani dan Banten merupakan penyuplai
terbesar permintaan lada Cina. Namun di awal dekade abad ketujuhbelas, Cina
mendapat rintangan pada bandar dagang Banten dan Patani. Di Patani, suplai lada
dihentikan ketika perkebunan lada dirusak oleh Kesultanan Aceh karena
persaingan dengan bangsa Belanda untuk memperoleh monopoli lada di Patani,
yang akhirnya pada tahun 1615, Belanda beralih ke Jambi. Dan berhasil
menguasai Jambi, dan penyuplai lainnya seperti Palembang, Pidie juga telah
berhasil dikuasai Belanda.14
Di Banten, pemboikotan terhadap lada yang dilakukan oleh Belanda
benar-benar mempengaruhi penyuplaian lada: pada 1620-1628, pemboikotan
Belanda terhadap lada Banten mengakibatkan beralihnya pengolahan lada ke
pertanian. Pada sekitar tahun 1610, kebijakan perdagangan bebas yang dijalankan
oleh Sultan Ranamanggala (m. ? – 1624)15 tidak disenangi oleh Belanda, yang
ingin menerapkan sistem monopoli perdagangan lada di Banten. Setelah, Belanda
berhasil memperkuat kedudukannya di Batavia pada tahun 1618, Belanda mulai
menerapkan kebijakan pengepungan pelabuhan Banten dan memblokade setiap
kapal yang akan menuju Banten agar beralih ke Batavia.16
14 Schrieke, Indonesian Sociological Studies, vol I, h. 54-55.15 Tidak diketahui berapa lama Ranamanggala memerintah. Ranamanggala sebelum
menjadi sultan menjabat sebagai Mangkubumi, yang pada akhirnya diangkat menjadi wali sultan,karena yang seharusnya menjadi sultan adalah Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1624-1651)yang masih belum cukup umur. Lih, Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi AwalKesultanan Banten 1522-1604 (Depok: Komunitas Bambu, 2007). h. 36-37.
16 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad (X-XVII),Penerjemah: Hendrasetiawan dkk (Jakarta: KPG, 2008), h. 249.
49
Akibat pemblokadean Belanda terhadap Banten, Sultan Ranamanggala
pada akhirnya mengambil keputusan untuk mengubah pertanian negerinya dengan
menanam padi dan ubi. Karena, menurutnya selama masih ada lada, Belanda akan
terus melancarkan pemblokadean terhadap Banten. Dampak dari kebijakan ini
telah mengakibatkan para pedagang yang ingin ke Banten untuk mendapatkan
lada akhirnya beralih ke tempat lain.17
Peristiwa tersebut di atas mendorong produksi lada di Banjarmasin,
meningkatnya produksi lada di Banjarmasin telah mendorong para pedagangan
tidak hanya Cina tetapi juga Belanda, Inggris, Portugis, Denmark, Jawa dan
Makassar jumlahnya mulai meningkat berdatangan ke Banjarmasin. Kombinasi
yang secara kebetulan bagaimanapun kemudian meningkatkan Banjarmasin ke
posisi pusat perdagangan terpenting di Nusantara pada pertengahan abad
ketujuhbelas.18
B. Peran Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas Perdagangan Nusantara
Abad XVIII
Situasi dan kondisi seperti telah disebutkan di atas, agaknya telah
memberikan kesempatan baik bagi Kesultanan Banjarmasin di awal abad XVIII
untuk mengembangkan perdagangan. hal ini terbukti dari usaha Sultan melakukan
ekspansi ke wilayah pedalaman yang merupakan sumber komoditi perdagangan.
Dengan penguasaan daerah seperti, Kutai, Pasir, Kotawaringin, Sambas dan
17 Ibid., h. 250.18 Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, h. 52.
lihat juga Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880 (Leiden: KITLV Press, 2001), h. 67-68.
50
lainnya,19 melalui wilayah-wilayah taklukan inilah sumber ekonomi pusat
kekuasaan induk mendapatkan sokongan baru, baik dalam bentuk barang, jasa-
tenaga, maupun pajak. Daerah ini pada gilirannya juga dapat dijadikan ujung
tombak bila sewaktu-waktu ada serangan dari luar.
Daerah yang ditaklukan dibagi-bagi di antara keluarga sultan atau para
bangsawan dengan menggunakan hukum adat atau tradisi, setelah itu sultan dan
para bangsawan memerintahkan rakyat menanam komoditi perdagangan yang
amat dibutuhkan yaitu lada. Lada merupakan barang ekspor yang paling utama di
Banjarmasin.20
Hal lain yang mendorong ramainya perdagangan di Banjarmasin adalah
karena sikap sultan yang memperlakukan para pedagang asing dengan baik. Sikap
sultan Banjarmasin terhadap para pedagang menurut sumber Cina termasuk sangat
baik.21 Sultan selalu berusaha agar para pedagang itu dapat berdagang dengan
aman dan memperoleh pelayanan yang sebaik-baiknya. Untuk itu ia melarang
putra-putranya, yang dikatakan cukup banyak, keluar rumah menggangu mereka.
Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa pada abad XVIII, pelabuhan
Banjarmasin banyak dikunjungi oleh pedagang dari berbagai daerah. Seperti
pedagang Melayu, Jawa, Bugis, Cina, Arab, Portugis, Belanda, Inggris dan
Denmark.22
Kesultanan Banjarmasin yang telah menjadi sebuah negeri yang bertumpu
pada perdagangan sebagai sumber mata pencaharian. Maka, tentunya di negeri
19 Cense, De Kroniek Van Banjarmasin, h. 109.20 Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-
1880, h. 263.21W.P. Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Penerjemah Gatot Triwira
(Depok: Komunitas Bambu, 2009), h. 150.22 Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-
1880, h. 68.
51
Kesultanan Banjarmasin akan terjadi suatu aktifitas perdagangan yang meliputi
pertukaran barang eksport dan Import, penggunaan alat tukar barang dan terkait
juga dengan pelaksanaan perdagangan.
1. Jenis Barang Ekspor dan Impor
Sejalan dengan penyebaran barang perdagangan yang diduga dibuat di
dalam maupun di luar kesultanan, maka didapatkan sistem ekspor dan impor.
Sistem ekspor dimaksudkan adalah penjualan barang-barang keluar wilayah dari
Kesultanan Banjarmasin. Baik berupa hasil pertanian dan non-pertanian.
Sedangkan sistem impor adalah penjualan barang-barang yang didatangkan dari
luar wilayah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin, baik berupa bahan makanan
seperti beras, benda seni seperti keramik yang didatangkan dari Cina, dan
peralatan sehari-hari.
Mengacu pada sumber-sumber yang ada saat ini. Sulit sekali untuk
mendapatkan rincian tertulis mengenai komoditi ekspor dan impor di
Banjarmasin. telah diketahui bahwa pada umumnya barang yang diekspor oleh
Kesultanan Banjarmasin antara lain, lada, damar, lilin, sarang burung, kayu ulin,
rotan, emas dan intan. Kesulitan data ini mengakibatkan pengambaran komoditi
ekspor dan impor ini hanya di pilih beberapa saja. Dari sumber yang ada, barang
ekspor antara lain lada, intan, rotan dan tembikar. Barang impor yaitu beras.
Lada. Kebutuhan akan lada ini agaknya seiring dengan berbagai manfaat
yang terkandung di dalam biji lada. Khasiat biji lada ini sangat banyak, antaranya
untuk pengobatan, penyedap makanan dan sebagai sumber minyak lada. Karena
hal inilah banyak pedagang asing ataupun Nusantara bersaing dalam pencarian
wilayah penghasil lada. Setelah Portugis berhasil mendapatkan monopoli lada di
52
pantai barat India di Abad ke XV, karena kondisi inilah banyak pedagang Arab
dan India mencari lada ke berbagai pulau di Nusantara. Akibatnya budidaya lada
berkembang pesat, di Sumatera, Pidie, Pariaman, Silebar, Indrapura, Jambi,
Indragiri, Kampar, Palembang dan Lampung. Di pulau Jawa Banten dan
sekitarnya, dan lebih belakangan di Kalimantan yaitu Banjarmasin.23
Di abad XVIII Kesultanan Banjarmasin makin meningkatkan penanaman
ladanya di wilayah pedalaman. Ekspansi yang di lakukan Kesultanan Banjarmasin
ke wilayah pedalaman, telah menambah daerah penghasil lada. Wilayah penanam
lada yang telah ada lebih awal seperti Martapura, khususnya diwilayah sekitar
Riam Kiwa dan Riam Kanan. Dari sini, penanaman meluas hingga ke wilayah
Hulu Sungai dan Tanah Laut. Wilayah lain yang tidak kalah penting sebagai
penghasil lada adalah Amandit, Pemangkih, Tapin, dan Kelua. Sekitar
pertengahan abad XVIII, wilayah sekitar Hulu Sungai telah menjadi daerah
terpenting penghasil lada hingga membanjiri wilayah kota Negara dan Amuntai
yang menjadi pusat transit barang perdagangan dari pedalaman.24
Besaran hasil lada ini dapat diketahui dengan melihat berapa banyak hasil
lada yang telah di ekspor oleh Kesultanan Banjarmasin kepada pedagang Belanda
dan CIna. Dari data yang ada pada tahun 1747-1761 Belanda telah membawa lada
dari Banjarmasin sebanyak 83.276 pikul (20.819 ton) dan Cina sekitar 32.213
pikul (8.053,25 ton),25 perbedaan lada yang dibawa antara VOC dan Cina pada
tahun ini dikarenakan Kesultanan Banjarmasin telah melakukan perjanjian dengan
23 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1955),h. 101-102.
24 Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880, h. 260.
25 J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw,(Leiden: Dubbeldeman, 1935), h. 192.
53
VOC, yang telah menjadikan Cina hanya boleh mengangkut lada hanya dengan
satu jung saja dan pedagang Cina juga dibatasi hanya boleh datang ke
Banjarmasin 1-2 kali per-tahun.26
Dalam transaksi pembelian lada, para penanam lada tidak dapat
menentukan harga, yang menentukan harga adalah sultan. sultan biasanya
membeli lada dari pedalaman sekitar 2 real Spanyol untuk setiap pikul (125 kg),
Sultan biasanya menjual lada kepada VOC sekitar 6 real Spanyol, untuk setiap
pikul. Lada akan semakin meningkat harganya apabila sultan menjualnya kepada
para pedagang Cina yang membayar 8 real Spanyol untuk setiap pikulnya.27 Ini
berarti sultan mendapatkan keuntungan sekitar 4 sampai 6 real Spanyol untuk
setiap pikul lada, atau sekitar 100-200% dari harga beli.
Besarnya keuntungan yang didapat dari perdagangan lada telah
menjadikan raja dan para bangsawan cepat kaya, lada sangat laku dan banyak
membawa keuntungan. Kekayaan ini tercermin dari gaya hidupnya. Misalnya,
menurut berita Cina sultan Banjarmasin memiliki ratusan dayang-dayang yang
berpakaian indah-indah. Kalau raja berpergian, maka ia naik gajah dan diiringi
oleh pengiring yang membawa pakaian, sepatu, pusaka kerajaan dan tempat-
tempat sirih.28 berita lain menyebutkan, karena perdagangan lada inilah sultan
sering mengadakan pesta besar, membiayai kehidupan istana dan keluarganya
setiap hari, membiayai pengawal dan membangun istana yang indah. Kemewahan
26 Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC,Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860 (Jakarta: ANRI, 1965), h. 36 dan 41.
27 Tidak diketahui dengan jelas mengapa sultan memberi harga berbeda, namun data inidiambil dari Surat-surat antara kesultanan Banjarmasin dengan Belanda, yang di dalamnyamenyatakan harga yang dijual untuk VOC adalah 6 real Spanyol dan Cina 8 real Spanyol untuksetiap pikul lada. Lih. Ibid.
28 Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tionghoa, h. 149.
54
ini telah disaksikan oleh utusan VOC, Andreas Pravinci yang datang ke
Kesultanan Banjarmasin pada tahun 1756.29
Intan. Beralih dari hasil pertanian, barang ekspor yang paling dikenal dari
Banjarmasin adalah hasil pertambangan intannya. Intan merupakan bahan
tambang yang telah dikenal sejak dahulu. Tidak diketahui kapan awal
penambangan intan ini dilakukan. Intan adalah barang tambang yang
dimanfaatkan untuk pembuatan perhiasan seperti cincin, kalung ataupun gelang.
Penambangan intan ini telah banyak dilakukan di wilayah Martapura.30
Pada periode perdagangan abad XVIII intan hanya disuplai oleh para
pedagang besar saja seperti Cina dan Eropa. Belanda misalnya, pernah membawa
intan dari Banjarmasin ke Amsterdam untuk diolah menjadi perhiasan. Namun,
semenjak ditemukannya sumber intan di Afrika Selatan, eskpor intan dari tempat
ini lambat laun terhenti.31 Selain Belanda, para pedagang Cina juga telah
menyuplai intan Banjarmasin ke Cina, diperkirakan 10.000 intan pernah dikirim
ke Cina. 32
Rotan. Hasil ekspor lain yang juga cukup menarik bagi pedagang asing
adalah produk hutan dari Banjarmasin. Kawasan Kalimantan Selatan adalah
wilayah yang kaya akan hasil hutannya, karena luasnya areal hutan di wilayah ini.
Wilayah yang paling banyak menghasilkan hasil hutan berupa rotan diketahui
ialah Riam Kiwa dan Riam Kanan, selain itu juga tanah laut dan Pulau laut,
wilayah inilah yang dikenal sebagai penghasil rotan dengan kualitas terbaik.33
29 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787(Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 67.
30 Carl Bock, The Head-hunters of Borneo (London: Sampson and Low, 1882), h. 170.31 Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo. h. 261.32 Ibid.33 Ibid.
55
Pada abad XVIII, para pedagang Cina dan Eropa mulai tertarik terhadap
produksi hutan ini.34 Meskipun perdagangan rotan ini muncul tidak terlalu
signifikan, dikarenakan tertutup oleh perdagangan lada saat itu. Namun rotan juga
tercatat sebagai komoditi eskpor dari Kesultanan Banjarmasin. Tercatat dari tahun
1724-1777 Banjarmasin telah mengeskpor rotan ke Makassar sebanyak 581
ikat,35 kemudian di tahun 1788 dan 1789, rotan yang dihasilkan Banjarmasin
sebanyak 200.000 ikat, ini dikirim untuk memenuhi kebutuhan pasar di wilayah
lain Nusantara, Cina dan VOC.
Tembikar. merupakan salah satu barang ekspor Kesultanan Banjarmasin
lainnya. Kendati barang ekspor ini bukanlah sebuah barang produksi yang
dihasilkan oleh Banjarmasin melainkan didatangkan dari Cina. Barang tembikar
ini merupakan salah satu barang yang banyak diminati oleh para pedagang yang
berasal dari Makassar. Pada tahun 1720-an Banjarmasin penting sekali bagi
Makassar. Perngiriman barang tembikar dari tanah, khususnya mangkuk, piring
dan pot, dikirim ke Makassar sekitar 33.000 buah per-tahun.36
Beras. Barang impor terpenting yang didatangkan dari luar contohnya
adalah beras. Beras merupakan salah satu hasil pertanian terpenting. Untuk
masyarakat Indonesia beras merupakan bahan makanan pokok yang dikonsumsi
sehari-hari. Telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, beras merupakan
salah-satu komoditi perdagangan yang didatangkan dari luar Banjarmasin,
pembelian beras dari luar ini diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk
di Kesultanan Banjarmasin.
34 Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tionghoa., h. 150.35 Gerrit Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers and
Commodities in Eighteenth-Century Makassar (Leiden: KITLV, 2004), h. 241.36 Gerrit J. Knaap, Shallow Waters, Rising Tide; Shipping and Trade in Java around 1775
(Leiden: KITLV, 1996), h. 122-124.
56
Di Banjarmasin penanaman beras diusahakan oleh penduduk di daerah-
daerah rendah aluvial sepanjang sungai Bahan dan cabangnya, disamping itu
Amuntai juga telah menjadi daerah penghasil beras yang setiap panen
menghasilkan beras sebanyak kurang lebih 119.712 kg.37 Namun penanaman
beras ini hanya mencukupi kebutuhan akan bahan makanan daerah pedalama
sekitar Banjarmasin saja, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makanan di
wilayah pantai atau wilayah sekitar pelabuhan yang telah banyak ditempati oleh
para pedagang mengakibatkan Kesultanan Banjarmasin harus mengimpornya dari
wilayah lain.
Pada abad XVII, Kesultanan Banjarmasin lebih banyak memasok beras
dari Jawa, khususnya dari Mataram. Pasokan beras ini dibeli dari beberapa
wilayah seprti Jepara, Tuban, Pajang, dan Mataram. Di abad XVII, Jepara telah
menjadi sebuah gudang beras karena dari tempat inilah beras telah diekspor ke
berbagai daerah di Nusantara termasuk Banjarmasin.38
Pada abad XVIII, semakin bertambahnya para pedagang dari luar,
mengakibatkan Kesultanan Banjarmasin tidak hanya memasoknya dari Jawa,
namun juga dari Makassar. Sekitar tahun 1724-1726 Makassar telah mengimpor
beras ke Banjarmasin sekitar kurang lebih 312 pikul dan di tahun 1774-1777,
jumlahnya menurun hanya sekitar 213 pikul.39 Selain beras impor dari Makassar
antara lain, garam, agar-agar, pakaian Bugis dan Pakaian Selayar.
37 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h.28.
38 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society Essays in Asian Social and EconomicHistory (The Hague/Bandung: W. van Hoeve, 1960), h. 207-209.
39 Gerrit Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers andCommodities in Eighteenth-Century Makassar, h. 241.
57
Selain beras Banjarmasin juga mengimpor porselin, garam, teh dan budak.
Barang-barang ini didatangkan terutama oleh para pedagang dari Cina, Jawa dan
Makassar. Tidak didapatkannya banyak data mengenai komoditi impor di
Kesultanan Banjarmasin namun komoditi tersebut sangat bernilai penting untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di Kesultanan Banjarmasin.
Semua barang ekspor dan impor tersebut sangatlah berpengaruh bagi
kehidupan Kesultanan Banjatmasin dan masyarakatnya. Karena misalnya, ekspor
lada yang telah mendatangkan kemakmuran bagi Kesultanan Banjarmasin, dan
impor beras yang amat penting peranannya untuk memenuhi kebutuhan makanan
pokok masyarakat Banjarmasin. Kesemuanya itu merupakan barang-barang yang
diperdagangkan di Banjarmasin.
2. Alat Tukar Perdagangan
Di Banjarmasin juga telah dikenal penggunaan mata uang yang telah di
gunakan sebagai alat transaksi pembelian suatu barang. Namun, berbeda dengan
Aceh pada zaman Iskandar Muda (m. 1607-1636), yang menggunakan mata uang
kesultanan yang dibuat oleh pemerintah yang berupa mata uang emas untuk
menggantikan mata uang real Spanyol.40 Sedangkan di Banjarmasin tidak
ditemukan penggunaan mata uang seperti ini.41
Kesultanan Banjarmasin sama seperti bandar dagang di Nusantara lainnya,
bertransaksi dengan penggunaan mata uang real Spanyol,42 terkadang juga
40 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta:Kepusatakaan Populer Gramedia, 2006), h. 152-156.
41 Walaupun diperkirakan orang-Orang Inggris telah memasuk Timah ke Banjarmasinyang biasa digunakan untuk pembuatan uang. Namun di Banjarmasin tidak ditemukan penggunaanmata uang lokal seperti di Aceh. Lihat, Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: JaringanPerdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed.,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 129.
42 Real Spanyol mata uang yang terbuat dari perak. Satu real = 6 ¼ dollar lihat, Van Leur,Indonesian Trade and Society, h. 368.
58
mengunakan mata uang gulden Belanda, karena hal ini lebih memudahkan dalam
transaksi baik didalam maupun keluar. Hal ini wajar karena mata uang real
Spanyol telah banyak beredar dan berlaku di berbagai tempat, seperti Malaka,
Banten, Sulawesi, Maluku dan tempat lain. Penggunaan mata uang real Spanyol
ini dapat dilihat ketika sultan menjual komoditi perdagangannya, seperti telah
disebutkan di atas.
3. Sultan dan Pelaksanaan Perdagangan
Perdagangan yang terjadi di Kesultanan Banjarmasin, baik secara langsung
maupun tidak langsung pasti akan melibatkan tenaga kerja. Tenaga kerja ini bisa
tenaga kerja kasar dan tenaga kerja halus, atau tenaga kerja administrasi
pemerintahan. Dalam masalah tenaga kerja ini hanya akan menjelaskan tenaga
kerja yang hanya terbatas pada tingkat pemerintahan, walaupun dalam mekanisme
kerjanya tidak dapat lepas dari tenaga kerja kasar.
Guna menanggulangi berbagai masalah dalam perdagangan di Pelabuhan,
sejak awal berdirinya Kesultanan Banjarmasin sudah berupaya memanfaatkan
berbagai tenaga kerja yang bergerak di sektor administrasi.
Untuk mengurus masalah hubungan dengan pedagang asing maka
Kesultanan Banjarmasin menugaskan kepada Syahbandar. Peran Syahbandar
sebagai kepala pelabuhan memegang peran penting bagi perkembangan suatu
pemerintahan, jadi bisa diartikan syahbandar bertindak sebagai duta besar dari
istana.
Tugas dari Syahbandar sendiri antara lain, sebagai perantara antara raja
dan orang asing, bertugas memperjuangkan agar kepentingan orang asing
diperhatikan penuh oleh pemerintah setempat, selain itu Syahbandar bertindak
59
juga sebagai hakim, karena menjalankan peradilan istimewa terhadap perkara
yang menimpa orang asing dan berhak membuat kontrak-kontrak dengan orang
asing.43
Proses hubungan antara sultan dengan orang asing lewat Syahbandar Kyai
Martajaya misalnya dapat diketahui pada tahun 1747, kedatangan utusan VOC
Van den Burg. Setelah sampai di Pelabuhan, rombongan segera bertemu dengan
Syahbandar untuk menyampaikan maksud kedatangannya dan meminta izin untuk
menyampaikan surat kepada sultan. Syahbandar memberitahukan maksud itu
kepada sultan melalui seorang utusan. Proses itu menghabiskan waktu beberapa
hari, setelah mendapat persetujuan sultan, maka beberapa hari kemudian
Syahbandar kyai Martajaya mengantar utusan itu dengan perahu milik sultan
untuk menghadap ke istana. Perundingan dihadairi oleh Syahbandar, Dewan
Mahkota dan sultan. ini berarti Syahbandar mengetahui jelas permasalahan
mengenai hubungan sultan dengan orang asing.44
Jadi dapat diasumsikan tumbuh kembangnya perdagangan sangat
ditentukan oleh fasih tidaknya seorang Syahbandar menangani kaum pendatang
tersebut. Jika ditengok lebih dalam maka jasa yang telah diberikan oleh
Syahbandar bertujuan akhir mendatangkan keuntungan di pihak kesultanan, baik
dari pajak masuk maupun dari pelayaran berupa kemudahan-kemudahan yang
diperoleh oleh bangsa asing dinegeri tersebut.
Setelah mendapatkan izin, lebih lanjut transaksi perdagangan pun
dilakukan. Transaksi ini berlangsung, setelah terjadi penawaran terhadap barang
dagang, maka sultan akan mangirim contoh barang yang akan dijual. Persetujuan
43 Purnadi Purbatjaraka, Shahbandars in the Archipelago,JSAH, Vol: 2, 1961 h. 1-8.44 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h.
73-74.
60
mengenai barang dagang biasanya diikuti oleh pengiriman barang dari pedalaman
ke pelabuhan. Pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan ini biasanya
dilakukan pada musim kering menjelang musim hujan, karena saat itulah jalur
dari pedalaman ke pelabuhan lebih mudah dilalui karena terhindar oleh banjir. 45
Barang yang di bawa dari pedalaman tadi akan sampai kepada Syahbandar
dan pembongkaran muatan dilakukan oleh sejumlah pekerja upahan yang disebut
kuli. Kemudian barang tersebut diperiksa untuk memastikan keadaanya. Setelah
sepakat maka pembayaran langsung dilakukan.46
Selain dari Syahbandar, golongan istana yang berperan sebagai distributor
atau pengangkut barang dari pedalaman adalah mantri (kepala daerah).47 Pada
setiap musim panen lada misalnya, sultan akan membeli lada melalui perantara
mantri terlebih dahulu selanjutnya di pedalaman mantri mendapatkan hasil lada
dari para pembekal (kepala desa), pembekal ini bertugas untuk mengawasi
pelaksanaan pengolahan kebun lada milik sultan dan penyerahan wajib ke istana
melalui perantara para mantri.48
Pola perdagangan di Banjarmasin pada waktu itu menunjukan corak yang
sama dengan perdagangan yang dilakukan oleh wilayah lain di kepulauan
Nusantara pada umumnya. Perdagangan barang dalam jumlah banyak dikuasai
oleh golongan penguasa, serta perdagangan barang yang lebih sedikit jumlahnya,
45 Ibid., h. 78.46 Ibid.47 Mantri adalah pejabat tinggi istana yang berkedudukan di pusat maupun daerah.48 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h.
65.
61
dijajakan secara berkeliling disepanjang pantai sampai ke pedalaman yang
dilakukan oleh pedagang pengecer yaitu para penduduk Banjarmasin itu sendiri.49
Pada sekitar tahun 1707, disepanjang tepi pantai terdapat pasar tempat
terjadinya trasaksi jual-beli antara penduduk Banjar dan pedagang dari luar yang
berdatangan di Banjarmasin. Pasar itu merupakan tempat berkumpulnya para
pedagang yang membentuk deretan di tepi pantai sambil menjajakan barang
dagangannya.50 Selain pedagang Banjar, pedagang Cina juga banyak berjualan di
tempat ini.
Adapun beberapa cara perdagangan di Banjarmasin adalah sebagai
berikut;
1. Jual beli barang dilakukan di pasar
2. Para pedagang membeli barang perdagangan di rumah-rumah penduduk,
yang telah menyediakan barang perdagangannya di serambi depan.
3. Untuk para pedagang asing harus menggunakan kontrak pembelian barang
dengan sultan melalui Syahbandar.51
C. Hubungan Perdagangan Banjarmasin Dengan Bangsa Lain
Dalam sebuah lintas perdagangan, akan didapati keterlibatan berbagai
kelompok bangsa yang berperan penting dalam kehidupan ekonomi suatu kota
perdagangan. Karena mereka itu merupakan pemain yang aktif dalam
perdagangan baik lokal maupun internasional. Hal ini telah menjadikan sebuah
49 William Milburn, Oriental Commerce: Containing a Geographical Description of theprincipal Places in The East Indies, China, and Japan, with their Produce, Manifacture, andTrade (London 1813), h. 415.
50 Daniel Beeckman, A Voyage to and From the Island of Borneo, in the East-Indies(London. 1718), h. 233.
51 Ibid., 105-139.
62
kota perdagangan yang bersifat pluralistik menjadi titik temu antar bangsa-bangsa
dari seluruh wilayah.52
Pada awal abad XVIII, yang merupakan puncak kemakmuran Kesultanan
Banjarmasin, telah banyak didatangi oleh berbagai bangsa yang ikut meramaikan
perdagangan. Seringnya mereka melakukan perdagangan, lambat laun mereka
berdomisili di Banjarmasin. Berbagai bangsa itu datang dari kawasan sekitar
Nusantara maupun asing, antara lain bangsa: Cina, Siam, Johor, Jawa, Arab,
Sunda, Palembang, Pegu, Kedah, Kamboja, Bangka, Brunei, Bugis, Maluku,
Jambi, Aceh, Portugis, Inggris dan Belanda.53
Jika melihat dari data yang ada dalam abad XVIII, dari semua bangsa di
atas, bangsa Cina, Bugis dan Eropa-lah yang memiliki peran yang amat berarti
bagi perdagangan di Kesultanan Banjarmasin. Peran penting ini dapat dilihat dari
sejauh mana mereka dapat memainkan pengaruh dalam faktor ekonomi dan
politik. Dengan alasan tersebut maka di bawah ini hanya akan menguraikan ketiga
bangsa tersebut.
1. Bangsa Cina
Kehadiran kapal-kapal Cina di Pelabuhan Banjarmasin sekurang-
kurangnya sudah ada pada abad XV. Pada umumnya orang-orang Cina membawa
porselin, teh, kain sutera, dan beras serta membeli lada dan hasil hutan, tripang,
agar-agar yang dibawa dari pedagang Makassar serta rempah-rempah dari
Maluku. Karena mereka memiliki modal yang kuat maka mereka mampu
menyewa perahu kecil dari penduduk untuk digunakan berlayar sampai ke
52 Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara1450-1680, h. 88.
53 R.Z. Leirissa, Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi danDokumentasi Sejarah Nasional,1984), h.70.
63
pedalaman. Disana mereka dapat menjual barang dagangannya kepada penduduk
di pedalaman.54
Pada tahun 1736 dengan izin Sultan Hamidullah (m. 1700-1734), orang-
orang Cina mendirikan perkampungan untuk tempat tinggal dekat pelabuhan
Tatas. Perkampungan orang-orang Cina ini dikepalai oleh seorang kapiten Cina
yang setiap bulan harus membayar sejumlah uang sewa kepada sultan.55
Disamping itu dalam keadaan mendesak misalnya terjadi perang, kapiten wajib
membantu sultan dengan meminjamkan perahu kepada sultan bila diperlukan.
Hubungan yang cukup erat dengan sultan merupakan salah satu mengapa sultan
pada belahan pertama abad XVIII mengangkat seorang Cina yang bernama Lin
Bien Ko sebagai Syahbandar yang berkedudukan di pelabuhan Tatas.56
2. Bangsa Bugis
Bangsa Bugis lebih dikenal sebagai pelaut yang ulung. Orang-orang Bugis
sudah datang dan menetap di Banjarmasin sejak masa Negara Dipa sekitar akhir
abad XV. Terutama pada pertengahan abad XVII migrasi orang Bugis di
Banjarmasin semakin ramai, karena dorongan untuk mencari pelabuhan bebas di
daerah lain sejak jatuhnya Makassar ke tangan VOC pada tahun 1624.57 Selain itu
keahlian orang Bugis sebagai pelaut dan karena letak pantai Banjarmasin yang
langsung berbatasan dengan selat Makassar, memudahkannya untuk datang ke
Banjarmasin.
54 Milburn, Oriental Commerce: Containing a Geographical Description of the principalPlaces in The East Indies, China, and Japan, with their Produce, Manifacture, and Trade, h. 414.
55 Tidak di dapatkan data mengenai besaran uang sewa yang diberikan orang Cina kepadaSultan.
56 James Urry, Goods for the Oriental Emperium: Beschrijving Van T Groot EijlandBorneo 1780. h. 401. Syahbandar yang dijabat oleh orang Cina ini dimasa Sultan Hamidullah(1700-1745), sedangkan Kyai Martajaya adalah Syhabandar pada masa Sultan Tamjidillahmemerintah (1747-1759).
57 Joginder Singh Jessay, Malaysian, Singapore, and Brunei 1400-1965 (Malaysia: T.np.1974), h. 141.
64
Selain aktivitas perdagangan orang Bugis di banjarmasin yang sudah
cukup lama terjalin misalnya, diperkuat dengan perkawinan yang terjadi antara
wanita keturunan Bugis dengan putera Sultan Inayatullah (m. 1678-1685)
menjadi salah satu faktor terjalinnya hubungan yang cukup erat antara orang
Bugis dan keluarga sultan. Oleh karenanya, orang Bugis mendapat izin dari Sultan
Hamidullah (1700-1745) untuk mendirikan semacam daerah koloni di Pegaten
(daerah pantai di bagian utara dekat pasir) pada tahun 1733. berikutnya pada tahun
1750, orang-orang Bugis mendirikan lagi daerah koloni di Pasir.58
Di Banjarmasin orang-orang Bugis mempunyai posisi yang agak unik
sekali di samping perdagangan, mereka sering menjadi kekuatan laskar atau
tentara yang bisa digunakan oleh salah satu pihak dari golongan penguasa bila
sedang terjadi konflik fisik antara mereka.59
3. Bangsa Eropa
Banjarmasin di abad XVI belum dikunjungi oleh bangsa Eropa.
Banjarmasin mulai dikenal oleh bangsa Eropa semenjak kehadiran orang
Banjarmasin yang datang ke Banten pada tahun 1596 untuk berdagang yang
membawa beras, ikan kering dan lilin,60 barang bawaan tersebut merupakan hasil
penukaran barang-barang mereka yang berupa intan, emas dan hasil hutan.
Setibanya di pelabuhan Banten para pedagang Banjamrasin mengalami
perampasan barang dagangan oleh Belanda.61
58 Gerrit Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers andCommodities in Eighteenth-Century Makassar, h. 141.
59 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h.40.
60 Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 5.61 Ibid.
65
Hubungan Banjarmasin dengan bangsa Eropa selalu mengalami pasang
surut, hal ini dikarenakan sikap sultan yang selalu berhati-hati akan monopoli
yang dilakukan oleh bangsa Eropa agar tetap terjaganya kestabilan politik dan
ekonomi kesultanan.
Hubungan awal bangsa Eropa diawali dengan kehadiran bangsa Belanda,
pada 7 Juni 1607 di pelabuhan Banjarmasin, dikirimnya Koopman Gillis
Michielszoon. Diundang turun ke darat beserta anak buahnya, namun kemudian
dibunuh semuanya dan barangnya dirampas.62 Lima tahun kemudian barulah
pembalasan Belanda tiba, pada tahun 1612 istana sultan yang terletak di
Banjarmasin hancur terbakar oleh tembakan-tembakan dari kapal-kapal Belanda.
Sultan akhirnya memindahkan pusat kerajaan lebih ke pedalaman, ke Kayutangi.
Hubungan ini kemudian baru membaik di tahun 1636 dibuat kontrak yang
pertama antara Banjarmasin dengan Belanda, namun ini tidak berlangsung lama.
Karena pada tahun 1638 terjadi lagi pembunuhan oleh rakyat Banjarmasin
terhadap orang-orang Belanda akibat sikap anti terhadap Belanda.63
Dalam perjanjian baru antara Belanda dan Banjarmasin tertanggal 18
Desember 1660, Belanda meminta penggantian rugi kepada Banjarmsin sebesar
50.000 real.64 Di tahun 1666 perusahaan dagang Belanda di Banjarmsin di tarik
mundur ketika sultan berjanji untuk menjual semua lada ke Batavia.65
62 Pembunuhan ini mungkin adalah sebuah aksi balasan yang dilakukan oleh Sultan,akibat perampasan jung Banjarmasin di Banten pada tahun 1596 oleh Belanda.
63 Saleh, Banjarmasih, Banjarmasin: 1975, h. 66.64 Ibid., h. 74.65 Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 12.
Lihat juga, Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, h. 55.
66
Bangsa Inggris sendiri mendirikan perusahaan dagang di Banjarmasin di
tahun 1615, akibat Belanda memblokade Banten 1620-1628.66 Hubungan
perdagangan yang semakin erat antara Banjarmasin dengan Inggris terjadi pada
masa pemerintahan Sultan Saidillah (1685-1700). Henry Watson dan Captain
Cotesvorth tiba di bulan April 1700 kemudian sultan mengizinkan orang-orang
Inggris mendirikan kantor dagangnya di Pasir dengan syarat membayar sejumlah
uang sewa kepada sultan.67 Pada Tahun 1701-1706 Inggris telah mengekspor lada
sebanyak 3.421 ton untuk Eropa.68 Produk lainnya seperti sarang burung dan emas
merupakan barang komoditi kedua.
Keterangan-keterangan di atas cukup menunjukan betapa besarnya
perdagangan di Kesultanan Banjarmasin sejak abad XVI hingga abad XVIII.
Kehadiran bangsa asing yang telah ikut meramaikan perdagangan di sana boleh
dikatakan betapa pentingnya Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan di
Nusantara. Hubungan dagang baik antar berbagai bangsa, adanya persaingan asing
dalam hal perolehan komoditi perdagangan, dan bagaimana sikap sultan untuk
mempertahankan diri dari monopoli perdagangan asing, dan sikap perlawanan
terhadap bangsa asing, kesemuanya itulah yang menjadikan Banjarmasin tetap
dipandang sebagai sebuah pelabuhan bebas hingga pertengahan kedua abad
XVIII.
66 Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, h. 57.67 Ibid., menurut Suntharalingan, yang mengutip dari Arsip Inggris “Company to Council
at Banjarmasin, 29 August 1701” : Inggris diizinkan berdagang dengan Bea Cukai $ 350/,- perVassal.
68 Ibid., h. 67.
67
D. Mundurnya Perdagangan Kesultanan Banjarmasin Pada Akhir Abad
XVIII
Kemunduran sebuah pusat perdagangan khusunya kerajaan di masa lalu,
dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu eksternal dan internal.69 Faktor eksternal
yang mendorong kemunduran perdagangan adalah penguasaan jaringan
perdagangan yang semula berada ditangan raja atau sultan kemudian direbut oleh
kelompok-kelompok dagang bangsa Eropa. Kemunduran perdagangan di
Banjarmasin terjadi sesudah VOC mendapatkan hak penuh atas monopoli
perdagangannya di tahun 1787.
Faktor internal, yang menyebabkan kemunduran perdagangan pada
kerajaan-kerajaan di masa lalu yaitu disebabkan oleh konflik politik antar
keluarga penguasa. konflik ini biasanya dipicu oleh faktor ekonomi yang pada
umumnya mengakibatkan keguncangan dalam suatu lembaga politik. Dalam
kerangka ini pertikaian keluarga di Kesultanan Banjarmasin sendiri sering terjadi
perselisihan paham antar golongan penguasa, terutama antar putra mahkota
dengan mangkubumi, perselisihan ini sering terjadi terkait masalah pergantian
sultan. di tahun 1734 setelah sultan Hamidullah meninggal, peristiwa ini terjadi
antara Sultan Tamjidillah (m. 1734-1759) dengan Sultan Muhammad (m. 1759-
1761), dan berlanjut terus hingga keturunan keduanya.
Dalam adat kebiasaan kerajaan Banjar, pergantian sultan seharusnya
adalah putra mahkota yang diangkat dari putera sulung Sultan dari permaisuri.70
Seharusnya yang menjadi pengganti dari Sultan Hamidullah adalah putra mahkota
69 Supratikno Rahardjo, Kota-Kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan Keruntuhan(Depok: Komunitas Bambu, 2007) h. 63.
70 M. Idwar Saleh, Suksesi di Kerajaan Banjar pada pertengahan kedua abad ke-18: dariPangeran Tamjidillah samapai Pangeran Muhammad (Banjarmasin: UNLAM, 1989), h. 21.
68
bernama Muhammad. Namun, Pangeran Tamjidillah yang sebelumnya menjabat
sebagai mangkubumi pada masa pemerintahan Sultan Hamidullah, setelah
kematian sultan telah mengangkat dirinya sebagai Sultan pada tahun 1747.
Pengangkatan Pangeran Tamjidillah ini dikarenakan Sultan Muhammad belum
dewasa untuk menjabat menjadi sultan, hal ini memang diperbolehkan dalam
tradisi Banjar. Namun, jika Sultan Muhammad sudah dewasa tahta itu harus
dikembalikan lagi kepada keturunan sultan sebelumnya yaitu pangeran
Muhammad.71
Namun, setelah pangeran Muhammad cukup umur sultan Tamjidillah
tidak ingin melepas tahta yang dipegangnya. Sebagai seorang yang memiliki hak
atas tahta pemerintahan, pangeran Muhammad ingin mengambil kembali haknya.
Untuk merealisasikan keinginannya ini Pangeran Muhammad meminta bantuan
Belanda dalam hal ini adalah VOC.
Berlawanan dengan Pangeran Muhammad. Pangeran Tamjidillah bersikap
anti-Belanda dalam hal ini dia mendapatkan banyak dukungna dari para pembesar,
antara lain Tumenggung Jayanegara, mertua dari Pangeran Natanegara anak dari
Pangeran Tamjidillah. Tumenggung Jayanegara terkenal sebagai sahabat bangsa
Inggris.72 Sikap anti Belanda yang dikeluarkan oleh Tamjidillah berakibat pada
pembakaran 1000 pohon lada. Karena menurut Pangeran Tamjidillah “Selama ada
lada, Belanda akan tetap berada di Banjarmasin”.73 Tindakan lebih jauh ketika
diadakannya larangan penjualan lada secara bebas, semuanya dimonopoli oleh
71 Ibid.72 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787 h.
81.73 Saleh, Suksesi di Kerajaan Banjar pada pertengahan kedua abad ke-18: dari Pangeran
Tamjidillah sampai Pangeran Muhammad, h. 24. Lihat juga, Sartono Kartodirjo, PengantarSejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium, jilid 1 (Jakarta: Gramedia,1986), h. 256.
69
kelompoknya dengan menekan harga serendah-rendahnya. Hal ini mengakibatkan
Pangeran Tamjidillah tidak disenangi oleh rakyat.74
Dalam pada itu, Pangeran Muhammad memilih mengerahkan pengikutnya
ke daerah Tabanio.75 Suatu tempat strategis yang mana pelabuhan Banjarmasin
dapat diawasi. Selama di Tabanio pangeran Muhammad beralih profesi menjadi
bajak laut, pangeran Muhammad merampas setiap kapal yang melewati daerah
ini.76 Di tempat ini pangeran Muhammad menghimpun kekuatan untuk
selanjutnya dapat merebut tahta dari Pangeran Tamjidillah.
Dengan kekuatan senjata yang besar pada tahun 1759 Pangeran
Muhammad dengan pasukannya berhasil memaksa Pangeran Tamjidillah untuk
menyerahkan tahta kepadanya. Maka pada tangga 3 Agustus 1759 dia naik tahta
dengan gelar Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah.77 Pemerintahanya hanya
berlangsung singkat hanya satu tahun, kemudian meninggal karena sakit. Dalam
masa pemerintahanya yang singkat sultan Muhammad mejalankan politik
menentang VOC, sebab diketahui bahwa VOC memihak Pangeran Tamjidillah
dan Pangeran Natadilingga.
Pasca peninggalan Sultan Muhammad, Pangeran Tamjidillah dengan
berbagai inttrik berusaha meneruskan tahta Kesultanan Banjarmasin kepada
keturunannya dengan dukungan dari para pembesar kesultanan. Pangeran
74 Kartodirjo, Pengantar sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium SampaiImperium, h. 257.
75 Menurut Ringholm Tabanio merupakan sarang penyelundupan yang terbesar diKalimantan. Lihat Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw,h. 39 lihat juga Saleh, Banjarmasih, h. 94.
76 Bajak Laut secara umum didefinisikan sebagai seorang individu yang melakukantindakan kekerasan dilaut. Defenisi lain bajak laut adalah orang yang melakukan kekerasan di lautdan bertindak atas nama negaranya. Dengan istilah lain pengeran Muhammad menjadi oposisisecara fisik terhadap kekuasaan pangeran Tamjidillah. Lih. Adrian B. Lapian. Orang Laut BajakLaut, Raja Laut, (Depok: Komunitas Bambu, 2009).
77 Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 40.
70
Tamjidillah mengangkat putranya yang bernama Pangeran Natadilingga (m. 1761-
1801), sedangkan anak-anak almarhum Sultan Muhammad mati terbunuh, kecuali
Pangeran Amir yang berhasil lari ke Pasir. Di Pasir dengan bantuan orang Bugis
Pangeran Amir menyusun kekuatan untuk merebut kembali tahta kerajaanya.
Sedangkan Sultan Nata meminta bantuan kepada VOC, dan disanggupi.
Konflik fisik perebutan kekuasan akhirnya tidak dapat dihindarkan,
Pangeran Amir yang ingin mengambil haknya atas tahta kerajaan. Akhirnya
melancarkan serangan ke istana pada tahun 1785, dengan 3000 pasukan Bugis
yang mendarat di Tabanio untuk serangan ke Banjarmasin. Pasukan pengeran
Amir menderita kekalahan karena kuatnya pertahanan Pangeran Nata yang
dibantu oleh VOC yang dipimpin oleh Hoofman.78
Melihat situasi seperti ini Pangeran Nata akhirnya membersihkan semua
keturunan Pangeran Hamidullah, karena semakin dirasakan sebagai bahaya yang
dapat mengancam kekuasaanya. Usahanya menanggulangi bahaya terebut,
dijadikannya kekuatan VOC sebagai pelindungnya ditinjau dari segi politik dan
ekonomi merugikan, namun mungkin yang diutamakannya adalah kelestariannya
menduduki tahta kerajaan, turun temurun. Oleh karena itu ia menginginkan agar
VOC tetap terikat padanya.79
Sultan Nata memberikan kedaulatannya kepada VOC dan menjadikan
Banjarmasin sebagai daerah vassal saja. Hal ini ditandai dengan perjanjian
kontrak pada tahun 1787. 80 dengan sebuah kontrak yang isinya antara lain:
78 “Perang Banjar” dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid 1 (Jakarta: Djambatan 2002),h. 170.
79 Saleh, Banjarmasih, h. 96.80 Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC,
Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860, h. 80-89. Lihat juga dalam lampiranNoorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 182.
71
1. Sultan menyerahkan semua daerah kepada VOC, kecuali Kayutangi,
Martapura, Tanah Dusun, Amuntai dan Sampit. Daerah-daerah tersebut
tetap di bawah kekuasaan sultan sebagai daerah pinjaman VOC.
Sedangkan Tatas, Tabanio, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotawaringin
diserahkan sepenuhnya kepada VOC.
2. Sultan sebagai vasal VOC mempunyai mempunyai daerah pemerintahan
sendiri yang langsung diperintahnya
3. Putra Mahkota, Mangkubumi diangkat oleh VOC.
4. Jaminan bahwa kerajaan Banjarmasin hanya diperintah untuk selanjutnya
oleh keturunan Natadilaga.
Perjanjian ini telah mengakibatkan Sultan Natadilaga kehilangan sejumlah
daerah kekuasannya dan berada di bawah pengaruh VOC. Berdasarkan nama
daerah yang diberikan kepada VOC hampir semua daerah itu terletak di pantai.
Tatas yang merupakan pelabuhan terbesar di Banjarmasin, Kotawaringn, Tabanio,
Tanah Laut juga terletak di tepi pantai yang merupakan pintu gerbang untuk
pedagang luar yang ingin berdagang ke Banjarmasin.
Semua daerah tersebut oleh VOC dimanfaatkan untuk memperkuat
kedudukannya di Kesultanan Banjarmasin dengan didirikannya pos militer dengan
sejumlah serdadu dan kapal patroli. Akibatnya bertambah kuatnya kedudukan
VOC di Kesultanan Banjarmasin.81
Akibat dari monopoli dan penguasaan Belanda terhadap Banjarmasin sejak
perjanjian tahun 1787 telah mengakibatkan mundurnya perdagangan di
81 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787 h.118.
72
Banjarmasin. Ketidak senangan rakyat terhadap hal ini terkadang menimbulkan
konflik fisik antara Sultan dan rakyat. Rakyat yang tidak senang dengan monopoli
yang dilakukan Belanda akhirnya melakukan pengrusakan terhadap perkebunan
lada pada tahun 1783 di daerah Margasari. Namun, akhirnya dapat dihentikan oleh
sultan dengan bantuan VOC.82
Akibat perang perebutan kekuasaan seperti disebutkan di atas berdampak,
rakyat pergi kedaerah lain yang lebih aman.83 Hal ini menimbulkan pengaruh
yang sangat besar terhadap hasil komoditi perdagangan, karena penduduk tidak
hanya meninggalkan rumahnya namun juga lahan pekerjaan mereka. Korban jiwa
dikalangan rakyat akibat perang juga mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja.
Mundurnya perdagangan pada akhir abad XVIII, juga disebabkan
penanaman lada yang membuat ekosistem tidak seimbang. Terjadinya erosi,84
mengakibatkan pendangkalan terhadap sungai yang berakibat sulitnya kapal
memasuki wilayah Banjarmasin. di tambah lagi terjadinya kemarau panjang dari
tahun 1776 juga menjadi sebab permukaan air sungai menurun.85
Dapat disimpulkan, bahwa monopoli perdagangan yang dilakukan oleh
VOC hingga pertikaian antar kerabat istana dalam perebutan tahta telah menjadi
sebab mundurnya perdagangan, pada akhirnya mendorong sebagian rakyat untuk
mengalihkan usahanya dan mulai menanam lahan pertanian lain seperti, karet,
tembakau dan paling terutama adalah menanam padi untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari.
82 Ibid., h. 104.83 Knapen, Forest of Fortune? The Environmental History of Southeast Borneo, 1600-
1880, h. 265.84 Ibid.85 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h.
110.
73
Jadi, dapat diketahui bahwa pada Abad XVIII Kesultanan Banjarmasin
merupakan salah satu pusat perdagangan di Nusantara. Berkembangnya
perdagangan disebabkan oleh peran sultan yang telah berupaya mengembangkan
perdagangan dengan berbagai cara. Di antaranya dengan cara, perluasan ekspansi
ke pedalaman, keamanan dan kenyamanan yang diberikan oleh sultan terhadap
para pedagang dalam melakukan transaksi perdagangan di Banjarmasin dan juga
akibat monopoli hasil bumi, dengan cara mewajibkan kepada rakyatnya untuk
menyerahkan hasil buminya kepada sultan, yang kemudian hasil bumi ini dijual
oleh sultan kepada para pedagang yang datang ke Banjarmasin. Semuanya itu
telah menjadi bukti bahwa peran sultan sangat menentukan berkembang
perdagangan di Kesultanan Banjarmasin.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab terdahulu yang telah menjelaskan
mengenai tahap-tahap berkembangnya Kesultanan Banjarmasin dalam lintas
perdagangan Nusantara pada abad XVIII, maka dapatlah diketahui bahwa
berkembangnya Kesultanan Banjarmasin sebagai salah satu pusat perdagangan di
Nusantara diakibatkan oleh peran Sultan Banjarmasin yang turut bermain dalam
pengembangan perdagangan.
Sultan mengembangkan perdagangan di Kesultanan Banjarmasin dengan
cara melakukan politik ekspansi kepedalaman dan juga dengan berupaya
memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para pedagang. Politik ekspansi
kepedalaman yang berfungsi tidak hanya sebagai perluasan wilayah, tetapi juga
dimanfaatkan untuk mencari wilayah sokongan baru penghasil komoditi
perdagangan. Selanjutnya, keamanan dan kenyamanan yang telah diberikan oleh
Kesultanan Banjarmasin kepada para pedagang agar transaksi perdagangan
berjalan lancar juga telah menjadi pemicu pesatnya perdagangan di Banjarmasin.
Ditambah juga dengan kepemimpinan Sultan Banjarmasin yang
memerintah pada tahun 1700-1747, dengan memiliki kepemimpinan yang baik
telah mampu mempertahankan eksistensinya dari pengaruh luar, khususnya orang-
orang Eropa. Hal ini berarti selama dapat mempertahankan dari pengaruh asing
maka kestabilan pemerintahan akan terjaga dengan baik. Jadi dapat diasumsikan,
75
selama kurang lebih setengah abad secara politis Kesultanan Banjarmasin masih
berdaulat penuh, sehingga dalam bidang ekonominya masih bersifat independen.
Sebagai kata penutup, kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini
hanya menyingkap sebagian dari keseluruhan mengenai peran Kesultanan
Banjarmasin dalam perdagangan pada abad XVIII. Hal ini disebabkan
keterbatasan data tertulis yang penulis peroleh. Akan tetapi terlepas dari hambatan
tersebut, hasil penelitian ini telah menambah pengetahuan tentang perdagangan
yang terjadi di Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII, sehingga dapat mengisi
kekosongan tentang pengetahuan sejarah khususnya di luar pulau Jawa
76
GAMBAR 1
Peta Indonesia1
1 Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, (Singapore: Cambridge UniversityPress, 2005), h. 8.
77
GAMBAR 2
Wilayah Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII2
2 M. Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), h.
78
GAMBAR 3
Peta Kalimantan oleh Olivier van Noort, yang mengunjungi pulau ini pada
tahun 16013
3 Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo,1600-1880 ( Leiden: KITLV Press, 2001)
79
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana 2005.
______________ Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Beeckman, Daniel. A Voyage to and from the Island of Borneo, in the East-Indies,
London: T.pn., 1718.
Bock, Carl. The Head-hunters of Borneo. London: Sampson and Low 1882.
Bondan, Amir Hasan Kiai. Suluh Sedjarah Kalimantan. Banjarmasin: Fajar, 1953.
Burger, D.H. Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita,
1983.
Cense, A. A. De Kroniek van Banjarmasin. Santpoort: C.A. Mees, 1928.
Creutzberg, P. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Penerjemah: Kustiniyati
Mochtar dkk., Jakarta: Obor, 1987.
Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: Rajagrafindo, 1997.
de Graaf, H.J. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung.
Jakarta: Pustaka Uatama Grafiti, 1990.
___________ Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century, dalam P.M. Holt,
the Cambridge History of Islam, vol. 2A. London: Cambridge University
Press: 1987.
Groeneveldt, W.P. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Penerjemah Gatot
Triwira. Depok: Komunitas Bambu, 2009.
80
Guillot, Claude. Banten: Sejarah dan Peradaban Abad (X-XVII). Penerjemah:
Hendra Setiawan dkk. Jakarta: KPG, 2008.
Hall, Kenneth R. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia.
Honolulu: University of Hawai Press. 1985.
Hoedson, Alfred B. The Padju Empat Ma anyan Dayak in Historical Perspective.
Cornell University, 1976.
Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian
Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Aditya, 1991.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
______________. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari
Emporium Sampai Imperium. Jilid 1, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1986.
King, Victor. People of Borneo. Cambridge: Blackwell, 1953.
Knaap, Gerrit J. dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers and
Commodities in Eighteenth-Century Makassar. Leiden: KITLV, 2004.
Knaap, Gerrit J. Shallow Waters, Rising Tide; Shipping and Trade in Java around
1775. Leiden: KITLV, 1996.
Knapen, Han. Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo,
1600-1880. Leiden: KITLV Press, 2001.
Lapian, Adrian B. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17.
Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
81
Leirissa, R.Z. Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan.Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,1984.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepusatakaan Populer Gramedia, 2006.
Melink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in Indonesian Archipelago
between 1500 and about 1630. The Hague: Martinus Nijhoff.
Milburn, William. Oriental Commerce: Containing a Geographical Description
of the principal Places in The East Indies, China, and Japan, with their
Produce, Manifacture, and Trade. London: T.pn., 1813.
Nasuhi, Hamid. Dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Noorlander, J.C. Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de
Eeuw. Leiden: Dubbeldeman, 1935.
Paulus, J. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Bagian I, ’s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1917.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka 1993.
Rahardjo, Supratikno. Kota-Kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan
Keruntuhan. Depok: Komunitas Bambu, 2007.
Ras, J.J. Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus
Nijhoff, 1968.
82
Reid, Anthony. Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R. Z. Leirissa, P. Soemitro ed., Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2008.
Roasyadi, Sri Mintosih dan Soeloso, Hikayat Banjar dan Kotaringin. Jakarta:
Depdikbud, 1993.
Saleh, M. Idwar. Bandjarmasin. Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970.
Schrieke, B.J.O. Indonesian Sociological Studies, vol I & II. The Hague/
Bandung: W. van Hoeve, 1957.
Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, M. Idwar Saleh, ed. Jakarta: Depdikbud.
1977/1978.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19.
Jakarta: Bulan Bintang 1994.
Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan
VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860.
.Jakarta: ANRI, 1956.
The Cambridge History of Southeast Asia from Early Time to 1800. Volume I,
editor: Nicholas Tarling. Cambridge: Cambridge University Press 1992.
Tjandrasasmita, Uka. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia. Kudus: Menara Kudus, 2000.
Untoro, Heriyanti Ongkodharma. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten
1522-1604. Depok: Komunitas Bambu, 2007.
Van Leur, J.C. dan F.R.J. Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan
Indonesia. Jakarta: Bharatara, 1974.
83
Van Leur, J.C. Indonesian Trade and Society Lessays in Asian Social and
Economic History. The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1960.
Vlekke, Bernard H.M. Nusantara. Jakarta: KPG, 2008.
Arsip
Acte Van Renovatie 20 October 1756 , dalam Daftar Arsip Kontrak antara
Pemerintaha Kolonial (VOC, Hindia-Belanda) dengan Raja-Raja Pribumi
di Kalimantan, Bali, Surakarta dan Sumatera Jilid I, Katalog K.89. ANRI
No 35.
Acte Van Onderwerping 27 October 1756 , dalam Daftar Arsip Kontrak antara
Pemerintaha Kolonial (VOC, Hindia-Belanda) dengan Raja-Raja Pribumi
di Kalimantan, Bali, Surakarta dan Sumatera Jilid I, Katalog K.89. ANRI
No 36.
Tractat 13 Agustus 1787 , dalam Daftar Arsip Kontrak antara Pemerintaha
Kolonial (VOC, Hindia-Belanda) dengan Raja-Raja Pribumi di
Kalimantan, Bali, Surakarta dan Sumatera Jilid I, Katalog K.89. ANRI No
37.
Artikel
A.Van der Ven, Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin. TBG, IX, 1860.
Purnadi Purbatjaraka, Shahbandars in the Archipelago,JSAH, Vol: 2, 1961.
Suntharalingan, P. The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement,
K. G. Treganning, ed., JSAH, vol. IV Singapore: 1964.
Skripsi/Tesis/Disertasi Seminar dan Laporan Penelitian
84
Sulandjari. Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-
1787. Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991.
Saleh, M. Idwar. Suksesi di Kerajaan Banjar pada pertengahan kedua abad ke-
18: dari Pangeran Tamjidillah samapai Pangeran Muhammad.
Banjarmasin: UNLAM, 1989.
Syamsitah, Ita. Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859).
Skripsi Fakultas Ilmu Budaya: Universitas Indonesia, 1984.
Umam, Khoiril. Pemikiran Akidah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Disertasi
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Soeroto, Soeri. Pergerakan Sosial dan Perang Banjarmasin, Seminar Sejarah
Nasional II, 26-29 Agustus 1970 Jogyakarta hlm. 4-5. lihat juga, Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV.
85
Lampiran 1
Silsilah Sultan Banjarmasin sampai tahun 1801*
1. Sultan Suriansyah (1526-1550)
2. Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (1550- ±1570)
3. Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah (1570- ±1595)
4. Sultan Mustainbillah bin Sultan Hidayatullah (1595-1620)
5. Sultan Innayatullah bin Sultan Mustaimbillah (1620-1637)
6. Sultan Saidullah bin Sultan Innayatullah (1637-1642)
7. Sultan Riayatullah bin Sultan Mustaimbillah (1642-1660)
8. Sultan Tahmidullah bin Sultan Saidullah (1660-1663)
9. Sultan Agung/Pangeran Suryanata bin Sultan Innayatullah(1663-1679)
10. Sultan Amrullah bin Sultan Saidullah (1679-1700)
11. Sultan Hamidullah bin Sultan Tahmidullah (1700-1734)
12. Sultan Tamjidillah bin Tahilullah (1734-1759)
13. Sultan Muhammad Aliudin Aminullah bin Sultan Hamidullah (1759-1761)
14. Sultan Natadilingga bin Sultan Tamjidillah (1761-1801)
* J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie In de Tweede Helft der 18de Eeuw,(Leiden: Dubbeldeman, 1935).
86
Lampiran 2 Bagan Struktur Pemerintahan1
1 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787 (Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 147
SULTAN
MANGKUBUMI
DEWAN
MAHKOTA
MANTRIPANGANAN
MANTRIPANGIWA
MANTRI SIKAP MANTRI BUMI
SARADIPA SARADIPA
PRAJUTRIT ISTANA
SYAHBANDAR
MANTRI
PEMBEKAL
RAKYAT
87
Lampiran 3. Salah Satu Contoh Surat Perjanjian Antara VOC denganKesultanan Banjarmasin
VERNEUWD CONTRACT 18 MEI 1747*
Bahwa inilah surat perniagaan dan persahabatan yang telah dimufakatkanoleh Sultan Tamdjidallah serta Ratu Anom dan sekalian orang besar2 yang adamemerintah dalam negeri Banjar, maka sekalian itu mufakatlah dengan KompeniWilandia titah dari pada Gurnadur Jendral Gustap Wilem Baron pan Imhop sertadengan Raden pan India yang telah berbuat titah perintah kepada tiga orangWilandia dan yang menjadi kepada perintah itu yaitu komandur Astipan Markuspan der Hiden dan dua orang pitur besar yang seorang Jan pan Suchtelen dan yangseorang Danil pan de Beruh, maka yang tiga orang itu sama juga menangung titahitu.
Syahdan maka tersebutlah perjanjian yang telah lalu itu tatkala padazaman itu adalah Seri Sultan sangat kasih berkasihan dengan Kompeni Wilandiamaka tiba2 tiada orang Banjar menurut seperti perjanjian yang telah lalu itu.Syahdan kemudian dari pada yang telah tersebut itu maka membuat perluKompeni Wilandia surat perjanjian tatkala pada zaman Seri Sultan Chamidullahmaka pada zaman itu adalah seri Sultan sangat berkasih kasihan dengan KompeniWilandia maka se-kunjung2 tiada orang Banjar mengikut seperti perjanjian yangdahulu itu adalah seolah-olah tiada surat perjanjian yang tinggal lagi padasekarang ini. Syahdan maka tersebutlah dalamnya Gurnadur Jendral dan segalaRaden2 pan India dengan segalanya juga menitahkan tiga orang Wilandia akanmemahami surat perjanjian yang lebih patut pada antara kedua pihak itu supayakekal berkekalan selama-lamanya dari pada sahabat-bersahabat tiada berubah-ubahan dalam kedua pihak itu dan adapun titah Kompeni itu tertanggung atas tigaorang Wilandia yaitu Komandir Astipan Markus pan der Hiden dan dua orangpitur besar yaitu Jan pan Suchtelen dan Danil pan der Breuh ialah yang akanmembikin surat perjanjian yang baru ini.
Fasal yang pertama adalah Seri Sultan Tamjidullah dan Ratu Anom sertasekalian orang besar2 yang ada memerintahkan dalam negeri Banjar makasekalian itu adalah bertetap-tetapan dengan Kompeni dari pada sahabat-sahabatantara kedua pihak itu tiada beruabah-ubah dalam keduniaan itu.
Fasal yang kedua adalah Kompeni Wilandia membuat perjanjian jikalauada musuh dalam negeri banjar datang dari laut atau didarat itu maka adalahkompeni Wilandia menolong dari pada bahaya itu barang siapa2nya orang
* Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC,Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860. .Jakarta: ANRI, 1956, h. 33-38.
88
Kompeni yang tinggal dalam negeri Banjar dengan seboleh2 jua menjauhkan daribahaya sekalian itu tiada dibilang seperti harga obat dan pelor.
Fasal ketiga adalah Seri Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjiandengan Kompeni Wilandia jikalau ada raja2 berbantah dengan saudaranya ataudengan ananknya itu maka jikalau minta tolong pada Kompeni salah seorang tiadaberoleh menolong melainkan barang siapa yang menang maka ia menjadi rajadisanalah tempat Kompeni bersahabat.
Fasal yang keempat adalah Seri Sultan dan Ratu Anom berjanji denganKompeni daripada memelihara akan hamba sahaya Kompeni yang tinggal dalamnegeri Banjar maka sekalian kedua pihak itu pada menghukum dan membicarakandaripada aniaya orang Banjar adalah seri Sultan dan Ratu Anom membuatperjanjian yang demikian itu dengan orang Kompeni Wilandia dan jikalau adaumpamanya orang yang berbuat susah dalam memberi mudharat atas kedua pihakdan jikalau Kompeni membuat yang demikian itu melainkan Kompenilah yangmenghukum dia dan jikalau orang Banjar berbuat aniaya kepada orang Wilandiamelainkan Seri Sultan yang menghukumkan dia dengan bagaimanapun patuthukuman atasnya supaya jangan ada yang berbuat bencana dalam kedua pihak itu.
Fasal yang kelima adalah Seri Sultan dan Ratu Anom telah berjanji padahal memberi perniagaan dengan Kompeni Wilandia dan menjual sekalian ladayang didalam negeri Banjar maka sekalian lada itu sekali-kali jangan dijualkankepada tempat yang lain maka hendaklah Seri Sultan dan Ratu Anom mengerasiatas rakyat sekalian dalam negeri Banjar supaya jangan ada yang menjual padapannya melainkan Kompeni jua yang membeli sekalian lada itu.
Fasal yang keenam adalah Seri Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjiandengan kompeni Wilandia daripada melarangkan jenis orang putih yang datangberniaga kenegeri Banjar daripada menjual dagangan atau membeli dagangan danjikalau ada suruhannya dan jenis sekalipun sama juga dan jikalau ada umpamanyamelawan dari pada lapangan hendak dilakukan dengan bagaimana patut hukumanatasnya.
Fasal yang ketujuh mengikat juga kiranya kompeni Wilandia sepertiBicara Seri Sultan dan Ratu Anom daripada sebuah wangkang Cina yang supayaboleh ia datang ke Banjar pada tiap2tahun satu wangkang dan akan dagangannyaitu mena sekehendak orang memilih akan tetapi menjual lada itu sekali-kali tiadaia boleh orang Banjar menjual lada itu melainkan Kompeni juga yang bolehmenjual lada dengan orang Cina dengan putus harga delapan real dalam sepikul.
89
Fasal yang kedelapan Kompeni Wilandia telah memutuskan harga ladadengan Seri Sultan dan Ratu Anom yang dalam sepikul itu enam real putusharganya selama-lama tiada berubah akan tetap yang dalam sepikul itu adalahseratus koti atau seratus dua puluh lima pun dacin Kompeni yang dipakai danhendaklah lada itu kering dan bersih dalamnya jangan ada seperti ciri pasir ataubatu yang kecil2 dan jikalau menimbang lada itu hendaklah ada dua orang pihakdari pada Seri Sultan dan dua orang pula daripada pihak Kompeni ialah yang akanmenghadapi timbangan itu supaya jangan ada cidra-menyidrai dia dalamkeduanya itu dan jikalau ada umpamanya bersalah-bersalahan dalam keduanya itumelainkan Seri Sultan sendiri memutuskan dia dengan barang siapa KompeniWilandia yang tinggal menjadi kepala dalam tanah banjar.
Fasal yang kesembilan adalah Seri Sultan dan Ratu Anom memberi kuasadengan Kompeni Wilandia yang tinggal dalam negeri Banjar daripada memeriksasebuah2 perahu yang keluar dari negeri Bandjar dengan tiada menyusahi atasperahu itu melainkan jikalau ada ia lada yang termuat dalamnya itu maka adalahKompeni mengambil lada yang didalam perahu itu serta membagi untung kepadajurutulis Sultan dan setengahnya kepada Kompeni.
Fasal yang kesepuluh adalah kompeni berjanji barang siapa orang yangsuka berlayar maka adalah kompeni memberi hingga melainkan di Batavia dan diJawa sekaliannya sampai Gresik dan Surabaya tiada boleh lebih daripada sebelahtimur seperti ke Bali dan ke Bawean dan ke Sumbawa dan Lombok laindaripadanya itupun tiada jua boleh dan lagi yang sebelah barat dan utama sepertike Palembang dan Malaka dan Johor dan Belitung lain daripadanya itupun tiadaboleh maka hendaklah Seri Sultan dan Ratu Anom memberi titah kepada sekalianrakyat yang belajar itu supaya jangan ia mendapat kerugian yang demikian itu danjikalau tiada ia menurut titah itu adalah ia mendapat seperti kerugian yangdemikian itu.
Fasal yang kesebelas jikalau ada barang seperti perahu yang datangberniaga dalam negeri banjar serta membawa dagangan yang dilarangkan olehKompeni seperti opium dan buah pala dan bunga pala dan cengkeh kayu manisSeri Sultan dan Ratu Anom memberi kuasa atas Kompeni daripada memeriksaperahu itu dan jikalau ada ia mendapat seperti larangan itu maka adalah kompenimenagkap orang yang berbuat demikian itu serta mengirimkan Kompeni kepadaorang itu ke Batavia dan menghukumkan Kompeni dengan bagaimana patuthukuman atas orang yang berbuat demikian itu.
Fasal yang keduabelas Seri Sultan dan Ratu Anom berjanji denganKompeni Wilandia daripada memberi suatu tempat yang baik boleh ia orangKompeni duduk dan menyimpan barang suatunya perniagaan itu dan rumah itu
90
dibayar harganya dengan bagaimana patut dan seperti loji itu man kehendakKompeni membuat dia karena perjanjian yang dahulu itu tatkala pada zaman SeriSultan Chamidullah boleh kompeni membuat loji demikian pada zaman SeriSultan Tamjidullah dan Ratu Anom sama jua memberi dia berbuat loji itu.
Tamat surat ini perjanjian yang telah jadi didalam istana Seri Sultan danRatu Anom di Kayutangi yang telah mufakat dengan Kompeni Wilandia dalamHidjrat Seribu seratus enam puluh tahun kepada tahun Ba dan kepada bulanRabi’alawal dan pada hari Kamis dan yaitu dua surat yang telah jadi dan dalamkeduanya itu sama jua serta dengan tiapnya dan tapak tangan dan satu surat yangtinggal dibawah Seri Sultan dan Ratu Anom dan yang satu sama tinggal dibawahKompeni.
(Cap lakcoklat tua
tidak pecah tetapitak kelihatanhuruf2nya)
(Cap lak merah mudaretak2: bentuksegi delapan
didalmnya duabujursangkar
yang berpotonaganmerupakan segidelapan dan di-
dalamnya terbaca huruf Arab dari atas ke BawahAllah
TamjidSultan)
Gurnadur Jendral Gustap Wilem Baron pan Inhof dan segala Rad panIndia telah memandang dan melihat serta membacanya surat perjanjian perniagaansahabat bersahabat yang karib daripada kedua pihak yaitu Sultan Tamjidullah danRatu Anom bersama2 dengan orang besar2 dinegeri Banjarmasin maka yaituKompeni telah menyuruh membaharui pula seperti mana operkupman StephanMarkus pan der Hiden serta dua Kupman yaitu Djan pan Suchtelen dan Danil pande Beruh ialah yang telah disuruh membawa titah perintah pada waad perjanjianyang mutlak damai maka adalah kami dengan surat ini akan mangkabulkan danmangastajabatkan bunyi surat waad perjanjian itu padahal berkekalan dengantiada berkeputusan daripada pihak Kompeni mengikut dan memeliharakantambahan pula barang siapa2nya yang ada tinggal dibawah chadamat Kompeniitupun mengikut dan menurut serta mangusahakan dan memeliharakan perihalichwal yang demikian itu maka perjanjian itu akan sekarang ini adalahsesungguhnya kami mentakadkan dan meneguhkan serta meredakan akan perihalichwal itu sebab itulah maka kami sekalian masing-masing menaruh tanda tapak
91
tangan dalam warkah ini serta dimeteraikan dengan cap Kompeni atasnya yaitutanda berteguh2an jua adanya.
Terbuat dan tersurat dalam bilik musyawarah kami dalam kota intanBataviah pada enambelas bari bulan Juni tahun seribu tujuh ratus empat puluhtujuh.
Cap lakKompeni
(tak Terbaca)Ter ordonnantie van haar Eds
Den Gouverneur Generaal en deRaden van India
Ttd.J.A v.d. Parra