kesubjekan dalam bahasa lamaholot

18
1 KESUBJEKAN DALAM BAHASA LAMAHOLOT DIALEK NUSA TADON Oleh Ida Bagus Putra Yadnya 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puluhan bahasa daerah yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur kini mulai mendapatkan perhatian dari para linguis. Salah satu di antaranya ialah bahasa Lamaholot dialek Nusa Tadon (selanjutnya disingkat BLDNT) yang menurut keterangan dari hasil penelitian Mandaru,dkk. (1997:1) mempunyai penutur ± 230- an ribu jiwa (bdk. Maryanto, 1984). BLDNT termasuk kelompok bahasa Lamaholot Barat berdasarkan pengelompokkan yang dilakukan oleh Keraf (1991:213). Penuturnya tersebar di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur (kecuali Desa Wureh yang penduduknya menggunakan bahasa Melayu Larantuka), dan di Desa Lamakera, salah satu desa di pesisir timur Pulau Solor. Rincian sebaran penutur BLDNT mencakup 7 wilayah yakni: wilayah Botun, Lamakera, Watan, Waiwadan, Horowura, Dulhĩ, dan Kiwangona. Ketujuh wilayah tersebut terdiri dari 72 desa, yakni: 1 desa di Solor bagian timur, 21 desa di Adonara Barat, dan 50 desa di Adonara Timur. Kajian terhadap bahasa Lamaholot secara umum pernah dilakukan oleh sejumlah peneliti, antara lain: Fernandez (1977), Keraf (1978), Sanga (1982), Mukin (1995), Sabon Ola (1996, 1997, 1999), Mandaru, dkk. (1997), Japa (2000), dan Arka (2000b, 2000c). Dari sejumlah penelitian tersebut, hanya beberapa penelitian yang membahas secara khusus tentang aspek gramatika. Kajian mengenai kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT merupakan bagian dari kajian gramatika dari perspektif tipologis. Dari perspektif ini, BLDNT dikategorikan sebagai bahasa yang bertipologi tata urut SVO dan SOV (Keraf, 1990:157). Japa (2000:147) mengatakan bahwa SOV merupakan alternasi dari tata urut SVO; artinya struktur dasar (basic structure) klausa BLDNT adalah SVO.

Upload: odjie26

Post on 10-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

bahasa lamaholot

TRANSCRIPT

Page 1: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

1

KESUBJEKAN DALAM BAHASA LAMAHOLOT

DIALEK NUSA TADON

Oleh

Ida Bagus Putra Yadnya

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Puluhan bahasa daerah yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur kini

mulai mendapatkan perhatian dari para linguis. Salah satu di antaranya ialah bahasa

Lamaholot dialek Nusa Tadon (selanjutnya disingkat BLDNT) yang menurut

keterangan dari hasil penelitian Mandaru,dkk. (1997:1) mempunyai penutur ± 230-

an ribu jiwa (bdk. Maryanto, 1984).

BLDNT termasuk kelompok bahasa Lamaholot Barat berdasarkan

pengelompokkan yang dilakukan oleh Keraf (1991:213). Penuturnya tersebar di

Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur (kecuali Desa Wureh yang penduduknya

menggunakan bahasa Melayu Larantuka), dan di Desa Lamakera, salah satu desa di

pesisir timur Pulau Solor. Rincian sebaran penutur BLDNT mencakup 7 wilayah

yakni: wilayah Botun, Lamakera, Watan, Waiwadan, Horowura, Dulhĩ, dan

Kiwangona. Ketujuh wilayah tersebut terdiri dari 72 desa, yakni: 1 desa di Solor

bagian timur, 21 desa di Adonara Barat, dan 50 desa di Adonara Timur.

Kajian terhadap bahasa Lamaholot secara umum pernah dilakukan oleh

sejumlah peneliti, antara lain: Fernandez (1977), Keraf (1978), Sanga (1982), Mukin

(1995), Sabon Ola (1996, 1997, 1999), Mandaru, dkk. (1997), Japa (2000), dan Arka

(2000b, 2000c). Dari sejumlah penelitian tersebut, hanya beberapa penelitian yang

membahas secara khusus tentang aspek gramatika.

Kajian mengenai kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT merupakan

bagian dari kajian gramatika dari perspektif tipologis. Dari perspektif ini, BLDNT

dikategorikan sebagai bahasa yang bertipologi tata urut SVO dan SOV (Keraf,

1990:157). Japa (2000:147) mengatakan bahwa SOV merupakan alternasi dari tata

urut SVO; artinya struktur dasar (basic structure) klausa BLDNT adalah SVO.

Page 2: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

2

Subjek dalam BLDNT bisa bersifat opsional. Kehadirannya bisa digantikan

oleh kopi pronomina berupa klitik. Hal ini disebabkan oleh adanya persesuaian/

konkordansi (concord) antara subjek dengan verbanya. Tipe demikian sangat

menarik untuk dikaji kesubjekannya. Kajian perihal kesubjekan dalam BLDNT ini di

samping didukung oleh data tipologis berupa tata urut SVO dan alternasi SOV

sebagaimana disebutkan terdahulu, juga didukung oleh ciri tipologis lainnya, yakni:

tidak memiliki bentuk pasif, bertipe head marking, dan tidak mengenal kasus.

1.2 Masalah

Kajian terhadap kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT didasarkan pada

masalah-masalah, sebagai berikut: “Sejauhmanakah properti utama subjek dalam

BLDNT berdasarkan ciri gramatikal dan semantiknya?”

Berdasarkan prominensi, subjek menduduki fungsi gramatikal inti (core

function) yang merupakan partisipasi sentral dari hal, peristiwa atau tindakan yang

dinyatakan pada verbanya. Karena merupakan inti, maka pada hierarki fungsi

argumen, subjek menduduki fungsi tertinggi. Meskipun demikian, berdasarkan relasi

gramatikal, subjek dapat merupakan konstituen wajib, dapat pula merupakan

konstituen opsional. Hal inilah yang menjadi fokus kajian terhadap kesubjekan

dalam BLDNT.

2. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Telah disebutkan terdahulu bahwa sudah ada sejumlah penelitian terhadap

bahasa Lamaholot. Akan tetapi, hanya 3 penelitian yang mengkaji secara khusus

aspek sintaksis BLDNT. Ketiga penelitian dimaksud, yakni: (1) penelitian yang

dilakukan oleh Lein (1995); (2) Mandaru, dkk. (1997); dan (3) oleh Japa (2000).

Penelitian Lein (1995), kendatipun membahas sintaksis BLDNT, namun

penelitiannya menggunakan pendekatan kesejarahan (historical). Tambahan pula

bahwa hasil analisisnya diarahkan pada kepentingan pengajaran Bahasa Inggris.

Karena itu, kajian yang dilakukan Lein untuk tataran sintaksis BLDNT tersebut

belum tuntas dan saksama.

Page 3: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

3

Hasil penelitian yang dilakukan Mandaru,dkk. (1997) memberikan deskripsi

umum mengenai struktur BLDNT yang meliputi tiga tataran kebahasaan, yakni:

fonologi, morfologi, dan sintaksis. Kajian terhadap tataran sintaksis mencakup: frase,

klausa, dan struktur, tipe dan pola kalimat. Pada pembahasan mengenai tataran

sintaksis ini, tim peneliti hanya memberikan deskripsi yang sangat umum, bahkan

hanya menyerupai korpus dan tabulasi data. Di samping itu, pendekatan yang

digunakan masih bersifat struktural-tradisional. Kendatipun demikian, hasil

penellitian ini sangat bermanfaat sebagai informasi awal perihal sintaksis BLDNT,

sambil diupayakan pemanfaatan pendekatan lain yang lebih mutakhir dan mampu

mengungkapkan karakteristik sintaksis BLDNT.

Penelitian terhadap sintaksi BLDNT yang memanfaatkan pendekatan yang

relatif baru telah dilakukan oleh Japa (2000). Penelitian ini difokuskan pada properti

argumen dan struktur kausatif. Walaupun penelitian Japa ini telah memerikan

argumen inti dalam BLDNT, namun pengungkapannya masih terbatas pada ciri-ciri

gramatikal (posisi kanonis, perelatifan, potensi disisipi adverbia, dan kemungkina

dikontrol) tanpa memperhitungkan ciri semantik. Karena BLDNT memiliki struktur

alternasi SOV, maka perlu dipertanyakan, apakah hanya aktor yang boleh

menduduki fungsi subjek. Japa (2000) mengatakan bahwa bahwa SUBJ dalam

BLDNT merupakan argumen inti satu-satunya dalam klausa intransitif. Diberikannya

contoh klausa Naê hogo ‘dia bangun’ sebagai klausa intransitif yang tidak mungkin

mengalami pelesapan. Contoh ini memerlukan pencermatan kembali perihal

kesubjekan dalam klausa BLDNT.

2.2 Konsep

Dalam mengkaji kesubjekan dalam BLDNT diperlukan beberapa konsep

acuan. Konsep-konsep dimaksud, yakni: struktur argumen dan properti subjek.

Argumen adalah unsur sintaksis yangdiperlukan oleh verba (Matthews,

1997:24—25). Argumen diwujukan melalui hubungan gramatikal berupa: SUBJ(-

ek), OL (objek langsung), dll., atau melalui peran semantik berupa: agent (agt),

patient (pt), dll. Trask, 1993:20). Hubungan gramatikal maupun peran semantik

Page 4: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

4

dimaksud ditentukan oleh karakteristik verba sebagai inti (head) klausa, yang

mencakup, baik ciri gramatikal maupun ciri semantisnya.

Hubungan gramatikal maupun peran semantik berkaitan dengan struktur

argumen. Struktur argumen (argument structure: a-str) menyiratkan jumlah dan tipe

argumen yang diperlukan oleh verba. Struktur argumen direpresentasikan sebagai

berikut: a-str ‘pukul’ < agt,pt >. Representasi ini dibaca sebagai berikut: verba

pukul merupakan verba 2 argumen, dan kedua-duanya merupakan argumen inti.

Contoh ini menunjukkan bahwa struktur argumen, seperti: agt, pt, dll. ditentukan

oleh verba (lihat: Arka, 2000b:9; Trask, 1993:278—279; Matthews, 1997:334).

Demikian halnya dengan fungsi gramatikal, seperti SUBJ, OBJ, dan OBL pun

senantiasa dikaitkan dengan verba (Blake, 1994:88).

Argumen dapat dikelompokkan berdasarkan keintiannya, yang mencakup

argumen inti dan argumen noninti. Hierarkinya dapat disusun seperti berikut ini

(Bresnan, 1998:122):44

inti (core) noninti (noncore)

SUBJ > OBJ > OBJθ OBLθ > COMPL

Di samping fungsi-fungsi argumen di atas, ada pula fungsi nonargumen yang

disebut sebagai fungsi wacana (discourse functions). Fungsi wacana mencakup:

topik, fokus, dan ajung (lihat Bresnan, 1998:123—124).

Keintian argumen sebagaimana disebutkan di atas akan dijadikan dasar pijak

dalam mengkaji ulang kesubjekan dalam BLDNT (bdk. Japa, 2000). Sedangkan

fungsi-fungsi nonargumen tidak dikaji secara khusus dalam tulisan ini, namun akan

disinggung seperlunya dalam memperjelas pembahasan perihal kesubjekan.

Subjek (SUBJ) dalam kerangka struktur argumen merupakan salah satu

fungsi inti di samping objek (OBJ). Argumen inti (=term) adalah argumen yang

secara tradisional disebut sebagai subjek dan objek (lihat Arka, 1998:68). Foley dan

Van Valin (1984:108—110) menyebutkan ciri subjek gramatikal atau pivot, sebagai

berikut: (1) mempunyai posisi kanonis; (2) dapat direlatifkan; (3) dapat dikontrol;

Page 5: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

5

dan (4) dapat dilesapkan pada klausa bawahan jika berkoreferensi dengan subjek

klausa atasan.

Kedua konsep tersebut di atas akan sangat membantu menjelaskan

kesubjekan dalam BLDNT sebagai kaji-banding terhadap penelitian dan kajian yang

pernah dilakukan oleh Japa (2000) dan Arka (2001).

2.3 Teori

Kajian ini menggunakan teori Tipologi dan teori Tata Bahasa Leksikal

Fungsional, disingkat TLF (Lexical Functional Grammar, disingkat LFG). Kedua

teori ini dimanfaatkan secara eklektik (dengan penyesuaian) untuk menjelaskan

kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT.

Teori Tipologi yang diacu dalam kajian ini adalah tipologi tata urutan kata

(word order) sebagaimana dikemukakan oleh Greenberg (dalam Comrie, 1983:31—

32; Malmkjaer and Anderson (eds.), 1991:277), yang disebutnya sebagai tipologi

SVO. Tipologi ini mencakup enam kemungkinan tata urutan, yakni: SVO, SOV,

VSO, VOS, OVS, dan OSV. Untuk menjelaskan kesubjekan, sangat diperlukan

pengidentifikasian tata urutan dasar (basic order).

Sebuah bahasa mungkin memiliki lebih dari satu tata urutan. Hal ini

memerlukan pengidentifikasian tata urutan, yang mencakup tata urutan dasar dan tata

urutan alternasi. Tata urutan dasar maupun tata urutan alternasi berimplikasi pada

posisi subjek dan posisi objek sebagai argumen inti menurut pandangan TLF.

Kajian ini menggunakan pula teori TLF yang berpandangan bahwa setiap

unsur kebahasaan dapat bergabung dengan unsur lain, atau dapat menghadirkan

unsur lainnya (Kaplan dan Bresnan, 1995:30—31). Unsur-unsur dimaksud berupa

entri leksikal yang berperan dalam membangun konstruksi klausa. Hal itu berarti

sebuah unsur yang dalam konstruksi tertentu tak hadir, namun pada konstruksi

alternasinya mungkin hadir atau wajib dihadirkan agar sebuah konstruksi menjadi

berterima (well-formed).

Pemanfaatan teori TLF dalam mengkaji kesubjekan dalam BLDNT lebih

khusus mengacu pada pemetaan (mapping) fungsi antarstruktur (bdk. Bresnan dan

Moshi, 1988:5). Perubahan konstruksi/ tata urutan sebuah klausa mungkin diikuti

Page 6: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

6

oleh perubahan fungsi gramatikal dan fungsi-fungsi argumen di dalam suatu relasi

gramatikal. Perubahan tersebut terkait erat dengan pola diatesis dan berbagai

pemarkahan, baik pemarkahan pada argumen (dependent marking) maupun

pemarkahan pada verbanya (head marking).

3. PEMBAHASAN

3.1 Struktur Klausa BLDNT

Berbagai hasil penelitian dan kajian terdahulu membuktikan, baik secara

struktural maupun secara tipologis bahwa BLDNT berstruktur klausa SVO dengan

alternasi SOV. BLDNT juga memiliki pemarkah pada verba (head marking), seperti

halnya bahasa Bali, Tetun, dan Dawan (Arka, 2000:22), di samping cukup

berperannya unsur suprasegmental pada tataran klausa.

Untuk menjelaskan berbagai konstruksi klausa BLDNT berdasarkan tata urutan

kata (word order), berikut ini disajikan contoh klausa dengan sejumlah tipe yang

bervariasi.

(1) Kopong hogo-râ. NAMA (mask) bangun-3TG ‘Kopong bangun’

(2) Opu-k gute labu. paman-POSS ambil baju ‘Pamanku membeli baju’

(3) Naê g∂nato k∂wat∂k neĩ goê. 3TG kirim sarung beri 1TG ‘Dia mengirim sarung untuk saya’

Dari segi tata urutan, klausa (1) bertata urutan (berpola) SV, klausa (2) berpola

SVO, klausa (3) berpola SVO1O2. Ketiga contoh klausa di atas dapat memberikan

gambaran awal mengenai struktur dasar klausa BLDNT dengan berbagai

kemungkinan variasi berdasarkan tipologi versi Greenberg (lihat Comrie, 1983:31—

32).

Dikaji dari sisi ketransitifan verba, klausa (1) merupakan klausa intransitif,

klausa (2) merupakan klausa transitif (monotransitif), dan klausa (3) merupakan

klausa dwitransitif/ bitransitif. Dalam BLDNT, klausa intransitif bertatarutan SV

Page 7: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

7

secara ketat, artinya tidak dikenal tata urutan VSK. Sedangkan klausa transitif, baik

monotransitif maupun bitransitif mempunyai tata urutan alternasi di samping struktur

dasar tersebut di atas.

Perubahan tata urutan dasar klausa berupa tata urutan alternasi terjadi dengan

konsekuensi hadirnya pemarkah (marker). Perhatikan contoh klausa (2) dan klausa

(3) ditulis ulang sebagai klausa (4) dan (5) berikut.

(4) Labu opu-k gute-ro. baju paman-POSS 1TG ambil-3TG

‘Baju diambil paman’

(5) K∂wat∂k naê g∂nato neĩ goê. Baju 3TG kirim beri 1TG ‘Baju dia kirim untuk saya’ Markah –ro pada klausa (4) merujuk pada labu ‘baju’, dan bukan sebagai

persesuaian antara verba dengan pronomina persona seperti terdapat pada klausa

intransitif. Sedangkan pada klausa (5) tidak terdapat markah. Markah klausa (5) akan

muncul jika konstruksi (5) tersebut diubah dengan melesapkan O2 seperti klausa (6)

berikut ini.

(6) Labu naê g∂nato-k. Baju 3TG kirim-1TG ‘Baju dia kirimi (saya)’

Uraian mengenai pemarkahan ini tidak akan tuntas jika dikaji dari sisi tata

urutan. Ketidakjelasan tersebut terkait dengan berbagai terminologi, seperti misalnya

OBL(-ik), yang menurut TLF sangat erat kaitannya dengan struktur argumen dan

kesubjekan.

Perihal pemarkahan dalam BLDNT dapat dikaji secara lebih saksama jika

dianalisis berkaitan dengan keergatifan dan diatesis. Kedua hal ini telah dibahas oleh

Japa (2000) dan Sabon Ola (2001).Tata urutan klausa BLDNT yang secara singkat

diuraikan terdahulu merupakan dasar untuk mengkaji lebih lanjut struktur argumen

dan kesubjekan dalam BLDNT.

Page 8: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

8

2.4 Struktur Argumen dalam BLDNT

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, struktur argumen menyatakan jumlah dan

jenis argumen yang diperlukan oleh verba. Dalam BLDNT terdapat 3 kelompok

verba, yakni: verba 1 argumen, verba 2 argumen, dan verba 3 argumen. Masing-

masingnya menghasilkan klausa intransitif, transitif, dan dwitransitif.

Struktur argumen klausa BLDNT mencakup sejumlah kemungkinan, sebagai

berikut:

(a) <agt>, misalnya klausa dengan verba seperti: goka ‘jatuh’, b∂rara ‘sakit’;

(b) <pt>, misalnya klausa dengan verba, seperti: pana ‘berjalan’, deî ‘berdiri’;

(c) <agt,pt>, misalnya klausa dengan verba, seperti: pleí ‘memukul’, betî

‘menendang’;

(d) <agt,th>, misalnya klausa dengan verba, seperti: hul∂ ‘melihat’, pehẽ

‘memegang’ (th = theme);

(e) <agt,th,rec>atau <agt,rec,th>, misalnya klausa dengan verba, seperti: hope

‘membeli’, g∂nato ‘mengirim’ (rec = recipient).

Contoh klausa untuk masing-masing tipe struktur argumen tersebut di atas

dipaparkan secara berurutan berikut ini.

(7a) Kame goka-r∂m. 1JM.ink. jatuh-1JM.ink. (ink. = inklusif) ‘Kami jatuh’ (7b) Pati deî-nâ de wato lolon. NAMA (mask) berdiri-3TG PREP batu atas (mask = maskulinun) ‘Pati berdiri di atas batu’ (7c) Ari-k pleí aho anẫ. Adik-POSS pukul anjing anak ‘Adik memukul anak anjing’ (7d) Somi pehẽ gô lima-k. NAMA(fem) pegang 1TG. tangan-POSS (fem = feminim) ‘Uba memegang tanganku’ (7e) Bine-ka g∂nato raê doi. saudari-POSS kirim 3JM uang ‘Saudari (mereka) mengirimi mereka uang’

Page 9: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

9

Klausa (7a) dan (7b) adalah klausa intransitif yang hanya mempunyai 1

argumen inti. Argumen satu-satunya (sole argument) pada kedua klausa tersebut

menduduki fungsi SUBJ. Klausa (7c) dan (7d) merupakan klausa transitif yang

mempunyai 2 argumen, masing-masing sebagai SUBJ dan OBJ. Sedangkan klausa

(7e) merupakan klausa dwitransitif. Klausa ini memiliki 3 argumen, yakni: SUBJ,

OBJ, dan OBJθ.

Klausa (7e) mempunyai tata urutan alternasi yang memungkinkan perubahan

fungsi OBJθ. Klausa (7e) tersebut ditulis ulang alternasinya seperti klausa (8) berikut

ini.

(8) Bine-ka g∂nato doi neĩ raê. Saudari-POSS uang PREP 3JM

‘Saudari (mereka) mengirim uang untuk mereka’ OBJθ pada klausa (7e) pada klausa (8) berfungsi sebagai OBJ, sementara OBJ-nya

berubah fungsi sebagai OBL(-ik).

Struktur argumen BLDNT sebagaimana dipaparkan di atas mempunyai struktur

fungsional (functional structure: f-str), sebagai berikut:

(1) Klausa 1 argumen (contoh klausa (7b)) a-str: ‘deî’ < - > 1

f-str: SUBJ ‘Pati’ PRED ‘goka’ <SUBJ>

Page 10: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

10

(2) Klausa 2 argumen (contoh klausa (8)) a-str: ‘pleí’ < -,- > 1,2 f-str: SUBJ PRED ‘Somi’ PRED ‘pleí’ < SUBJ,OBJ > OBJ PRED ‘labu’ ADJUNCT PRED ‘wu’ữ’ (3) Klausa 3 argumen

(Contoh klausa (7e)) a-str: ‘g∂nato’ < -,-,- > 1 2 3 f-str: SUBJ PRED ‘bineka’ PRED ‘g∂nato’ < SUBJ,OBJ,OBL> OBJ PRED ‘doi’ OBL PRED ‘raê’

Struktur fungsional klausa (8) tersebut merupakan alternasi dari klausa (7e) dengan

rumus struktur fungsionalnya, sebagai berikut:

f-str: SUBJ PRED ‘bineka’

PRED ‘g∂nato’ < SUBJ,OBJ,OBJθ >

OBJ PRED ‘raê’

OBJθ PRED ‘do’

Page 11: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

11

SUBJ, OBJ, maupun OBL yang terdapat pada sebelah kiri matriks adalah atribut,

sedangkan PRED merupakan poros fungsionalnya. Kehadiran atribut dimaksud

dalam sebuah klausa jika diizinkan oleh poros fungsionalnya. Jika poros

fungsionalnya tidak mengizinkan, maka atribut tertentu tidak akan hadir dalam

klausa. Kahadiran atribut yang tak diizinkan oleh poros fungsional akan

menghasilkan klausa yang tidak gramatikal. Sebaliknya, jika kehadiran atribut

diizinkan oleh poros fungsional, maka klausa yang dihasilkan berterima (baca Arka,

2000b:10). Hal ini mempertegas peran verba sebagai inti (head) dari sebuah klausa.

Sebuah klausa dikatakan gramatikal jika poros fungsionalnya telah diberi nilai

(value) (cf. Huang, 1995:127). Nilai yang diberikan pada sebuah poros fungsional

harus logis. Jika tidak, maka ketidaklogisan hubungan itu berimplikasi pada

terbentuknya klausa yang tidak gramatikal (ungrammatical). Arka (2000a:2—4)

menjelaskan nilai poros fungsional mencakup, antara lain: keunikan, konsistensi,

ketuntasan, dan koherensi yang tidak dibahas dalam tulisan ini.

Jika dicermati perihal nilai pada sebuah poros fungsional, maka sukar

dipisahkan dari struktur semantik (semantic structure: s-str). Hal demikian berarti

terdapat hubungan antara struktur argumen, struktur fungsional, dan struktur

semantik. Struktur argumen memberikan informasi mengenai valensi predikat.

Struktur fungsional memberikan informasi mengenai hubungan fungsional unsur-

unsur sintaksis. Sedangkan struktur semantik memberikan informasi mengenai peran

nomina (noun phrase: NP) yang diizinkan oleh predikat sebagai poros fungsional.

Hubungan antara struktur argumen, struktur fungsional, dan struktur semantik

dalam BLDNT dapat dipetakan berdasarkan klausa (9) dengan verba 3 argumen,

seperti berikut ini.

(9a) Beda hope labu neĩ ari-n. NAMA beli baju beri adik ‘Beda membeli baju untuk adiknya’

(9b) Beda hope ari-n labu. NAMA beli adik-POSS baju ‘Beda membelikan adik baju’

Page 12: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

12

a-str : ‘hope’ < , , > atau < , , > f-str: SUBJ, OBJ , OBL SUBJ , OBJ, OBJ s-str: < agt, th, rec > < agt, rec, th > 2.5 Kesubjekan BLDNT

Berbicara mengenai kesubjekan (subjecthood) sebenarnya mencakup 2 hal,

yakni: ciri subjek dan peran subjek secara sintaksis. Seperti halnya telah diuraikan

terdahulu, bahwa ciri subjek mencakup: posisi kanonis, perelatifan, pengontrolan,

dan kemungkinan pelesapan. Sedangkan peran subjek berkaitan dengan keintian

subjek, yang analisisnya berkaitan dengan kemungkinan dilesapkannya atau tidak di

dalam sebuah klausa. Sehubungan dngan itu, ciri subjek yang dikaji pada sub ini

terfokus pada posisi kanonis yang erat kaitannya dengan keintian subjek.

Subjek klausa BLDNT memiliki posisi kanonis di depan verba/ praverba.

Posisi kanonis ini menurut penelitian-penelitian terdahulu disimpulkan bersifat ketat

pada klausa intransitif. Hal itu berarti pula bahwa subjek sebagai satu-satunya

argumen inti pada klausa intransitif tak berkemungkinan dilesapkan. Bertolak dari

data empirik yang diyakini kealamiahannya, simpulan bahwa subjek tak bisa

dilesapkan mungkin dapat dibantah (cf. Japa, 2000:47). Perhatikan contoh berikut

ini.

(10a) Goê tobo-r∂k. 1TG duduk-1TG ‘Saya duduk’

(10b) *Tobo-r∂k goê. ‘Duduk saya’ (10c) Tobo-r∂k. ‘Duduk (saya)’

Page 13: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

13

Subjek klausa (10a) tidak bisa menempati posisi posverba sebagaimana terlihat

pada klausa (10b). Walaupun diterima bahwa konstruksi inversi tidak berterima,

namun klausa (10c) menunjukkan bahwa subjek klauasa intransitif dalam BLDNT

bisa dilesapkan. Subjek NP muncul dalam bentuk kopi pronomina berupa enklitik -

r∂k. Kopi pronomina pada klausa intransitif BLDNT mengikuti kaidah persesuaian,

seperti tampak pada susunan paradigmatik berikut ini.

(11) Goê (1TG) tobo -r∂k/ -n∂k

Naê (3TG) -râ/ -nâ

Moê (2TG) -ro/ -no

Kame (1JM,eks.) -r∂m/ -r∂m

Tite (1JM,ink.) -r∂t/ -n∂t

Mio (2JM) re/ -ne

Raê (3JM) -ra/ -na

Kaidah ini berlaku bersifat teratur dan berlaku umum untuk semua verba

intransitif, baik untuk verba intransitif yang memerlukan subjek sebagai agen

maupun sebagai pasien. Hal itu berarti BLDNT tidak menganut sistem S-terpilah

(bdk. Arka, 2000b:4). Bandingkan kedua klausa berikut ini:

(11a) Kopong goka-râ. NAMA jatuh-3TG ‘Kopong jatuh’ (11b) Kopong hogo-râ. NAMA bangun-3TG ‘Kopong bangun’

Verba goka ‘jatuh’ pada klausa (11a) mengizinkan hadirnya argumen subjek

sebagai pasien. Sedangkan verba hogo ‘bangun’ pada klausa (11b), berdasarkan ciri

semantiknya, mengizinkan hadirnya argumen subjek sebagai agen. Kendatipun peran

subjek dari kedua klausa tersebut berbeda, namun verba sebagai poros fungsional

dari kedua klausa tersebut menggunakan markah subjek yang sama, yakni: -râ (atau

–nâ pada varian tertentu).

Page 14: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

14

Perlu dijelaskan juga bahwa sejumlah verba intransitif dalam BLDNT dengan

subjek 3TG menggunakan pemarkah samar-samar (covert marking). Jika tidak

dicermati secara sungguh-sungguh, verba-verba tersebut dianggap tidak bermarkah.

Beberapa contoh verba jenis ini, antara lain: tani ‘menangis’, plaê ‘lari’, dan h∂bo

‘mandi’. Perhatikan contoh pemakaiannya berikurt ini.

(12) Nae tanî. (13) Nae plaể. (14) Nae h∂bô. 3TG tangis ‘Dia berlari’ ‘Dia mandi’ ‘Dia menangis’ Tekanan yang diletakkan pada vokal suku akhir sesungguhnya adalah markah

sebagai persesuaian dengan orang subjek 3TG. Jika subjeknya berupaorang 2TG,

verba-verba tersebut akan mendapatkan markah –ko sehingga

menjadi: tanhi-ko, plaê-ko, dan h∂bo-ko.

Klausa transitif memiliki 2 argumen inti. Klausa jenis ini memungkinkan

perubahan tata urutan argumen inti. Lihat contoh berikut:

(15) Naê mayã goê wia r∂má. 3TG panggil 1TG kemarin malam ‘Dia memanggil saya kemarin malam’

(16) Goê naê maya-n∂k wia r∂má. ‘Saya dia panggil kemarin malam’

(17) Wia r∂má naê mayã goê. ‘Kemarin malam saya memanggil dia’

(18) Wia r∂má goê naê maya-n∂k. ‘Kemarin malam saya dia panggil’

(19) Goê wia r∂ma naê maya-n∂k. ‘Saya kemarin dia panggil’

Tata urutan yang dibolehkan dalam klausa intransitif BLDNT adalah SVO atau

SOV. Adverbia boleh menempati posisi sebelum subjek dan sesudah objek, baik

pada tata urutan SVO maupun SOV (lihat klausa (15), (17), (18), dan (19) dan (19)),

atau sesudah verba pada tata urutan SOV (lihat klausa (16)).

Adverbia, walaupun berposisi mengambang (floating), namun tidak bisa

menempati posisi praverba yang merupakan posisi subjek atau pun objek. Hal ini

memperlihatkan tingkat kekeratan hubungan antara subjek dan verba pada tata

Page 15: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

15

urutan kanonis. Kalaupun subjek dan verba bisa disisipi unsur lain, maka unsur lain

tersebut adalah juga nomina dengan konsekuensi pemunculan markah -n∂k, seperti

pada klausa (16, (18), dan (19) yang merupakan pemarkah diatesis obketif (objective

voice: OV). Dengan demikian, nomina paling kiri dari tata urutan SOV adalah objek

gramatikal tetapi berfungsi sebagai subjek, bukan nomina praverba.

Untuk klausa dwitransitif, posisi kanonis subjek BLDNT yakni praverba,

sebagaimana tampak pada contoh berikut ini.

(20) Beda hope Somi labu wu’ũ toû. NAMA (mask) beli NAMA(fem) baju baru satu

‘Beda membelikan Somi sehelai baju baru’

Posisi praverba tata urutan alternasi untuk klausa (20) hanya bisa ditempati

oleh Beda. Sedangkan Somi sebagai argumen benefaktif dan labu wu’ũ toû sebagai

objek tidak bisa menempati posisi praverba. Artinya kedua nomina tersebut tidak

bisa menempati posisi subjek gramatikal untuk tata urutan SOVO dan SOVObl,

sebagaimana contoh berikut:

(21a) Somi Beda hope-ro labu wu’ũ toû. ‘Somi Beda belikan sehelai baju baru’ (21b) Labu wu’ũ toû Beda hope neĩ Somi. ‘Sehelai baju baru dibeli Beda untuk Somi’

Contoh di atas menunjukkan pula bahwa konstruksi sintaksis BLDNT tidak

membolehkan 3 argumen menempati posisi mendahului verba. Argumen benefaktif

bisa menduduki posisi paling kiri dari kedua argumen yang berada mendahului verba

dengan konsekuensi hadirnya pemarkah –ro sebagai pemarkah diatesis objektif. Hal

itu berarti nomina paling kiri sesungguhnya dapat sebagai objek gramatikal.

3. Simpulan

Berdasarkan uraian terdahulu, dapat dirumuskan beberapa simpulan berkaitan

dengan kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT.

a. Pada klausa intransitif, subjek gramatikal bisa dilesapkan karena adanya

mekanisme persesuaian. Subjek dan markah persesuaian itu dapat hadir

bersamaan dalam klausa intransitif. Kehadiran subjek tanpa markah tidak lazim

Page 16: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

16

dalam BLDNT. Yang mungkin ialah kehadiran markah persesuaian tanpa

subjek. Hal ini menunjukkan bahwa argumen inti yang mempunyai kedudukan

kuat, tidak berlaku dalam BLDNT.

b. Subjek dalam BLDNT berposisi kanonik praverba. Oleh karena itu, pada klausa

intransitif tidak terdapat kemungkinan tata urutan lain kecuali SV. Subjek pada

klausa transitif dan dwitransitif bisa menduduki posisi paling kiri. Posisi subjek

semacam ini berimplikasi hadirnya pemarkah pada verbanya. Markah tersebut

berkoreferensi dengan subjek gramatikal, baik berupa pasien atau pun

benefaktif.

c. Pada klausa dwitransitif yang memiliki 3 argumen hanya dimungkinkan 2

argumen berada pada posisi praverba sebagai tata urutan alternasi. Pada tata

urutan tersebut, nomina dekat verba merupakan subjek gramatikal, sedangkan

nomina paling kanan merupakan subjek pada struktur argumen.

Page 17: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

17

DAFTAR PUSTAKA

Arka, I Wayan. 1998. “From Morphosyntax to Pragmatics in Balinese”. Ph.D. Dissertation, Linguistics Departement, University of Sydney.

Arka, I Wayan. 2000b. “Beberapa Aspek Intransitif Terpilah pada Bahasa-bahasa

Nusantara”. Denpasar: Program Pasca Sarjana Linguistik, Universitas Udayana.

Arka, I Wayan. 2000c. “Voice and Being Core: Evidence from (Eastern) Indonesian

Languages”. Denpasar: University of Udayana. Artawa, I Ketut. 1995a. “Teori Sintaksis dan Tipologi Bahasa”, dalam Linguistika,

Tahun II, Edisi Ketiga. Denpasar: Program Magister Linguistik Universitas Udayana.

Blake, Berry J. 1994. Case. Cambridge: Cambridge University Press. Comrie, Bernard. 1983. Language Universal and Linguistic Typology. Oxford: Basil

Blackwell. Foley, William A. dan Robert D. Van Valin. 1984. Functional Syntax and Universal

Grammar. Cambridge: Cambridge University Press. Japa, I Wayan. 2000. “Properti Argumen Inti, Interpretasi Tipologis, dan Struktur

Kausatif Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon”. Tesis S2 (tidak diterbitkan). Denpasar: Universitas Udayana.

Kaplan, Ronald dan Joan Bresnan. 1995. “Lexical Functional Grammar: A Formal

System for Grammatical Representation”, dalam Mary Dalrymple, Ronald M. Kaplan, John T. Maxwell III, Annie Zaenan (eds.). Formal Issues in Lexical Functional Grammar. California: CSLI.

Malmkjaer, Kirsten dan James M. Anderson (eds.). The Linguistics Encyclopedia.

London and New York: Routledge. Mandaru, A. Mans, dkk. 1997. “Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa

Lamaholot Dialek Nusa Tadon” (Laporan Penelitian, tidak diterbitkan). Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Daerah NTT, Pusat Bahasa, Depdikbud.

Trask, R.L. 1993. A Dictionary of Grammatical Terms in Linguistics. London and New York: Routledge.

Page 18: Kesubjekan Dalam Bahasa Lamaholot

18

KESUBJEKAN DALAM BAHASA LAMAHOLOT

DIALEK NUSA TADON

Oleh

Ida Bagus Putra Yadnya NIM: 9913017101

Program S3 Bidang Studi Linguistik

Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar

2001

* Tugas Akhir Mata Kuliah Sintaksis