kesetian hubungan suami

15
SAKRAMEN PERKAWINAN Gagasan Dasar Menjadi suami istri berarti suatu perubahan total dari status hidup seseorang. Ia meninggalkan statusnya sebagai anak atau remaja dan mulai hidup sebagai suami/istri bagi pasangannya. "Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." Kej 2:24. Kehidupan suami-istri bukan hanya hidup dua orang secara bersama, melainkan hidup menjadi satu kesatuan (satu daging). Nabi Hosea menggambarkan kesatuan suami-istri itu sebagai lambang kasih Allah kepada bangsa Israel (bdk. Hos 3:1), yang berlanjut kepada Israel baru, yaitu umat Kristiani. BEBERAPAHALPENTING 1. Arti Perkawinan: Perkawinan adalah sebuah perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup. 2. Tujuan Perkawinan : Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami-istri, kelahiran serta pendidikan anak. 3. Kristus mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis secara otomatis merupakan sakramen. 4. Sifat Hakiki Perkawinan : Perkawinan Katolik selalu bersifat monogam dan tetap-tak terceraikan. Monogam berarti

Upload: papua-makituma

Post on 09-Jan-2017

20 views

Category:

Data & Analytics


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kesetian hubungan suami

SAKRAMEN PERKAWINAN

Gagasan Dasar

Menjadi suami istri berarti suatu perubahan total dari status hidup seseorang. Ia

meninggalkan statusnya sebagai anak atau remaja dan mulai hidup sebagai suami/istri bagi

pasangannya. "Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan

istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." Kej 2:24.

Kehidupan suami-istri bukan hanya hidup dua orang secara bersama, melainkan hidup

menjadi satu kesatuan (satu daging). Nabi Hosea menggambarkan kesatuan suami-istri itu

sebagai lambang kasih Allah kepada bangsa Israel (bdk. Hos 3:1), yang berlanjut kepada Israel

baru, yaitu umat Kristiani.

BEBERAPAHALPENTING

1. Arti Perkawinan: Perkawinan adalah sebuah perjanjian antara seorang pria dan seorang

wanita untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup.

2. Tujuan Perkawinan : Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami-istri, kelahiran serta

pendidikan anak.

3. Kristus mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga perkawinan antara orang-

orang yang telah dibaptis secara otomatis merupakan sakramen.

4. Sifat Hakiki Perkawinan : Perkawinan Katolik selalu bersifat monogam dan tetap-tak

terceraikan. Monogam berarti perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara

seorang pria dan seorang wanita. Tidak dibenarkan adanya poligami (beristri lebih dari

satu) atau pun poliandri (bersuami lebih dari satu). Tak terceraikan artinya perkawinan

yang telah dilangsungkan secara sah menurut hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak

bisa diceraikan atau diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kematian. Perceraian

sipil tidak pernah diakui Gereja!

Tujuan perkawinan dalam hakikat perkawinan adalah:

     Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitij). Kedua pihak

memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan dan

kebahagiaan suami-istri.

Page 2: Kesetian hubungan suami

     Terarah pada keturunan (segi prokreatij). Kesatuan sebagai pasutri dianugerahi rahmat

kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang

akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai,

dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan

kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat perkawinan.

     Menghindari perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga

sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan

perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual.

Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan

dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan

oleh Paulus, "Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin.

Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu" (lKor 7:9).

     Catatan penting: dalam perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua

pasangan, tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan

pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih

dan rahmat Allah melulu.

1. Hakikat Perkawinan Katolik Dalam,arti umum perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara

pria dan wanita, atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap

dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk

persekutuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan keturunan.

Oleh karena itu, dalam agama atau kultur tertentu, apabila perkawinan tidak dapat

mendatangkan keturunan, seorang suami dapat mengambil wanita lain dan menjadikan

dia sebagai istri agar dapat memberi keturunan.

Tujuan perkawinan dalam hakikat perkawinan adalah

     Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitij). Kedua pihak

memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan dan

kebahagiaan suami-istri.

     Terarah pada keturunan (segi prokreatij). Kesatuan sebagai pasutri dianugerahi rahmat

kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang

akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai,

Page 3: Kesetian hubungan suami

dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan

kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat perkawinan.

     Menghindari perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga

sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan

perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual.

Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan

dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan

oleh Paulus, "Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin.

Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu" (lKor 7:9).

     Catatan penting: dalam perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua

pasangan, tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan

pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih

dan rahmat Allah melulu.

2. Kekhasan Perkawinan Katolik     Dalam kanon 1055 KHK 1983, dapat dilihat pengertian dasar mengenai perkawinan

Katolik. "Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup;

dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami istri serta kelahiran

anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis

diangkat ke martabat sakramen.

     Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33).

Yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus

kepada Gereja- Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal

balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam

persetubuhan. Persetubuhan dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kondisi

dan situasi pasangannya, penuh pengertian, dilakukan secara sukarela, tanpa ada

paksaan. Persetubuhan bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik biologis, tetapi juga

kesatuan hati, kehendak, perasaan, dan visi, yakni mengusahakan kebahagaiaan dan

kesejahteraan bersama. Dengan persetubuhan, sebuah perkawinan disempurnakan.

      Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadinya

konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan.

Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda kehadiran Allah yang

Page 4: Kesetian hubungan suami

menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh,

total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:22-33).

tujuan perkawinan dalam kekhasan katolik adalah kesatuan antara seorang pria dan

seorang wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada

hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas mengecualikan relasi di luar perkawinan,

poligami, PIL, WIL. Dan lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan

hanya diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah

disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.

3. Sakramentalis Perkawinan Katolik Sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang

dibaptis (keduanya dibaptis). Kanon 1055 menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat

perkawinan menjadi sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang

telah dibaptis adalah sakramen (§2). Kanon ini menandaskan adanya identitas antara

perjanjian perkawinan orang-orang  dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa

konsekuensi:     Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang

dibaptis, dengan sendirinya merupakan sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut

maksud khusus dari mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen. Artinya,

perkawinan dua orang dibaptis non-Katolik, misalnya, Protestan, dianggap sebagai

sakramen meskipun mereka tidak menganggapnya demikian.     Sakramentalitas

perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor karena yang menjadi pelayan

sakramen perkawinan adalah kedua mempelai sendiri yang berjanji.   Orang-orang yang

dibaptis tidak bisa menikah dengan sah jika dengan maksud positif dan jelas

mengecualikan sakramentalitas perkawinan. Perkawinan antara orang yang dibaptis,

dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya

dipermandikan. Mereka tidak dituntut untuk mengadakan perjanjian nikah baru, namun

dapat meminta berkat pastor.

Tujuan Perkawinan sakramental adalah disempurnakan melalui persetubuhan

yang dilakukan secara manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum,

sacramentum et consummatum. Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan

secara absolut (indissolubilitas absolut).

Page 5: Kesetian hubungan suami

4. Spritualitas Perkawinan Katolik Dalam membangun hidup berkeluarga, pasutri harus bersungguh-sungguh mem-

beri kesaksian hidup, menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kerajaan

Allah. Dalam keluarga, diciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kerelaan

berkurban. "Sakramen Perkawinan menyalurkan kepada pasangan pasangan Kristen

kemampuan serta kesanggupan untuk menghayati panggilan mereka sebagai awam dan

karena itu, untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan

mengaturnya seturut kehendak Allah (FC 47). Berkat sakramen perkawinan, suami dan

istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri dalam keluarga,

mereka diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan iman, harapan, dan

cinta kasih.

Dengan tujuan mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka sendiri dan

saling menguduskan dan karena itu, bersama-sama berperan serta demi kemuliaan Allah

Bapa (lih. FC 56// GS 48).

5. Perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka

kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan

suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian

perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan.

1055 $ 1) hal-hal yang harus ada dalam perkawinan adalah Perjanjian

Perkawinan,Kebersamaan Seluruh Hidup, Antara Pria dan Wanita, Sifat Kodrati

Keterarahan kepada Anak, Perkawinan sebagai Sakramen

Jadi tujuannya adalah Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum

Coniugum) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni  (a) bonum prolis: kebaikan

anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum

fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c)

bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan;

Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum

(kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

Page 6: Kesetian hubungan suami

6. Pentingnya Kesepakatan dalam Perkawinan  (Kan 1057)

Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana

suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan

dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu berarti hanya konsensus yang

“menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fieri,

terjadinya perkawinan pada saat mempelai menyatakan konsensus) Para pihak harus

cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk membuat konsensus perkawinan (Kan

1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat

meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095). Konsensus harus dinyatakan secara

legitim, artinya harus dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut

norma hukum yang berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau

suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui.  

7. Prinsip Dasar Perkawinan Allah sendiri menetapkan perkawinan dan meneguhkannya dengan hukum-hukum-Nya

(bdk. Kej. 1: 27-28; 2; 18-24). Tugas Gereja adalah menjaga lembaga perkawinan itu dan

mempertahankan hukum-hukum perkawinan baik yang bersifat kodrati, ilahi maupun yang

positif. Gereja tidak bisa mengubah ketetapan itu tetapi dia bisa mencapai suatu pemahaman yang

lebih lengkap akan hukum-hukum itu. Selain bermaksud untuk mencegah perkawinan yang tidak

sesuai dengan hukum Gereja. Prinsip dasar perkawinan dapat dilihat dalam isi kanon

1055,KHK1983: §1: Perjanjian (foedus) perkawinan dengannya seorang laki-laki dan seorang

perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri

kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan

pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke

martabatsakramen, §2: Karena itu antara orang-orang yang dibaptis tidak dapat ada kontrak

perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen. Perkawinan ditetapkan sebagai suatu

kebersamaan seluruh hidup (communio totius vitae), yang dibangun antara seorang pria

dan seorang wanita, yang karena kodratnya diarahkan pada kebahagiaan dari pasangan itu

sendiri dan pada kelahiran dan pendidikan anak. Persatuan antara seorang laki-laki dan

perempuan itulah yang menjadikan suatu perkawinan sehingga memenuhi syarat sebagai

prinsip dasarnya.

Kebersamaan itu mengandung pemberian diri dari pasangan yang bersangkutan,

yang mengandaikan adanya saling menerima dan memberi antara satu dengan yang lain,

Page 7: Kesetian hubungan suami

dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun kebersamaan itu tidak bisa

ditetapkan secara mutlak sebab kebersamaan itu bisa digambarkan sebagai hubungan

antara suami-isteri yang menurut penilaian umum suatu budaya tempat pasangan itu

hidup dan dihayati secara manusiawi.

8. PerkawinanHati Persatuan hati atas dasar cinta suami-isteri merupakan core (inti/nucleus) dari

perkawinan, bisa dikatakan sebagai kekuatan rohani untuk saling belajar memahami, memberi

dan menerima, mendukung dan memberi perhatian, saling mengampuni dan membantu pasangan

mencapai kepenuhan manusiawi. Persatuan hati dari pasangan membentuk persekutuan seluruh

hidup, baik secara fisik (physical intimacy) maupun emosi (emotional intimacy) dan bahkan

spiritual (spiritual intimacy). Hidup perkawinan menjadi utuh jika 3 dimensi tersebut dihayati dan

diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari pasangan suami istri. Persatuan hati itu nyata dalam hal

dialog, persatuan fisik dan dalam doa bersama dengan pasangannya, termasuk dengan anak-

anakmereka.

9. Halangann Perkawinan Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi,

sedangkan halangan yang berkaitan dengan hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi

oleh Ordinaris Wilayah.

Halangan nikah dari hukum ilahi

      Halangan nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari

hukum kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khususnya

dalam hakikat dan martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah

melalui pewahyuan (hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum

ilahi, namun yang mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya ke dalam KHK

adalah kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075). Menurut doktrin umum,

halangan ini adalah:

1. impotensi seksual yang bersifat tetap (kanon 1084)

2. ikatan perkawinan sebelumnya (kanon 1085)

3. hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1)

Halangan nikah dari hukum gerejawi

Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja.

Gereja yang tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan me-

Page 8: Kesetian hubungan suami

miliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang

untuk mencapai tujuan-tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan

mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kes-

ejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi yang diterimanya sendiri dari Kristus,

misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan masing-masing anggota (kanon 114

§1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk membantu setiap orang

mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiw'a adalah norma hukum ter-

tinggi (kanon 1752).

Menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah:

1. halangan umur (kanon 1083)

2. halangan beda agama (kanon 1086)

3. halangan tahbisan suci (kanon 1087)

4. halangan kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (kanon

1088)

5. halangan penculikan (kanon 1089)

6. halangan kriminal (kanon 1090)

7. halangan hubungan darah garis menyamping (kanon 1091 §2)

8. halangan hubungan semenda (kanon 1092)

9. halangan kelayakan publik (kanon 1093)

10. halangan pertalian hukum (kanon 1094)

Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum yang sangat

besar. Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis

maupun yang tidak dibaptis, sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi

mengikat mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di dalamnya

(kanon 1059). Halangan yang bersumber dari hukum ilahi tidak bisa didispensasi, se-

dangkan dari hukum gerejawi dapat didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwenang

sesuai ketentuan yang berlaku.

10. Tantangan hidup berkeluarga Tantangan dalam membangun keluarga pada zaman sekarang dapat dikelompokkan

ke dalam dua jenis tantangan, yakni: tantangan internal dan eksternal. Yang dimaksud

dengan tantangan internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi pasutri,

Page 9: Kesetian hubungan suami

yakni menyangkut kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis, emosional,

spiritual, maupun moral. Yang termasuk tantangan eksternal dapat berupa keadaan

masyarakat dunia dan intervensi pihak ketiga: mertua, saudara, PIL, dan WIL.

Konkretnya, tantangan tersebut berupa:

         Mentalitas materialistis: kehausan dan kerinduan untuk menumpuk kekayaan, uang,

mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai investasi, bukan

sebagai buah kasih sayang. Relasi antarpasutri pun terpengaruh. "Ada uang abang

kusayang, tidak ada uang abang kutendang!"

         Hedonisme .. menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya, hubungan seksual

pun hanya dipahami sebatas pemuas nafsu seks, menjadikan pasangan (suami istri)

sebagai objek pemuas insting dan dorongan seksual.

         Konsumerisme" keinginan untuk mengonsumsi dipicu oleh kecanggihan teknologi

periklanan yang begitu persuasif. Hal ini menjadi faktor pemicu masalah dalam

hubungan keluarga.

         Utilitarisme :menilai sesuatu hanya berdasarkan segi kegunaannya, bahayanya

kalau memperlakukan istri-suami hanya karena kegunaan dan fungsi.

         Individualisme : mementingkan kepentingan dan kesenangannya sendiri, tidak

peduli orang lain, tidak ada kerelaan untuk mengalah dan menyisihkan kepentingannya

sendiri, untuk mendahulukan kepentingan bersama. Akibatnya, setiap unsur dalam

keluarga diabaikan.

         Relativisme moral :  tidak ada nilai yang diahut dan diterima secara universal,

semuanya serba relatif .. mengarah pada sikap permisif, semua serba boleh.

         Kesibukan mengejar karier .. tugas dan tanggung jawab utama dalam keluarga

diabaikan .. rumah hanya dijadikan losmen. Dalam hal ini, pandangan tradisional tentang

tugas dan panggilan luhur yang dimiliki setiap wanita sebagai ibu dan istri, tetap relevan,

tanpa mengecualikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan

keagamaan.

         Kesibuka antara suami-istri .. membawa rlampak negatif dalam kehidupan ke-

luarga. Komunikasi antara pasutri renggang. Komunikasi antara orang tua-anak

renggang sehingga anak berbuat sesuatu yang aneh-aneh di luar rumah: sekolah,

lingkungan; menjadi pecandu narkoba.

Page 10: Kesetian hubungan suami

         Ketidaksetiaan .. penyelewengan-perselingkuhan baik itu dilakukan oleh pihak

suami maupun oleh pihak istri (PIL dan WIL). Bagaimana sikap Anda dihadapkan pada

ketidaksetiaan dan pengkhianatan pasangan Anda?

11.