keselamatan dan kecelakaan pelayaran di indonesia

49
1 REKONSTRUKSI HUKUM TRANSPORTASI PERAIRAN GUNA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KESELAMATAN DAN KEAMANAN PENUMPANG DI PELAYARAN INDONESIA Prof. Dr. Joni Emirzon, SH, MH* Yanuar Syam Putra, SH, MH** Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya* Mahasiswa S3, Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya** Jl. Raya Inderalaya-Prabumulih Km. 32, Inderalaya 30662 Telp/Fax : 0711 – 580169 e-mail: [email protected]* e-mail: [email protected]** BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayaran merupakan bagian dari sarana transportasi laut, sebagaimana amanat UU Nomor 17 Tahun 2008 , pelayaran menjadi suatu hal yang sangat strategis bagi wawasan nasional serta menjadi sarana vital yang menunjang tujuan persatuan dan kesatuan nasional. Sehingga mempunyai potensi kuat untuk dikembangkan sesuai dengan peranannya baik nasional maupun internasional sehingga mampu mendorong dan menunjang pembangunan nasional demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan mandat Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945. Namun demikian, sistem keselamatan dan keamanan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan sebagai dasar dan tolok ukur bagi pengambilan keputusan dalam menentukan kelayakan dalam pelayaran baik dilihat dari sisi sarana berupa kapal maupun prasarana seperti sistem navigasi maupun sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Keselamatan pelayaran telah diatur oleh lembaga internasional yang mengurus atau menangani hal-hal yang terkait dengan keselamatan jiwa, harta laut, serta kelestarian lingkungan. Lembaga tersebut dinamakan International Maritime Organization (IMO)

Upload: kesa-toniwarni

Post on 24-Jan-2016

45 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Tulisan tentang keselamatan dalam dunia Pelayaran di Indonesia, data-data kecelakaan pelayaran

TRANSCRIPT

Page 1: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

1

REKONSTRUKSI HUKUM TRANSPORTASI PERAIRANGUNA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KESELAMATANDAN KEAMANAN PENUMPANG DI PELAYARAN INDONESIA

Prof. Dr. Joni Emirzon, SH, MH*Yanuar Syam Putra, SH, MH**

Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya*Mahasiswa S3, Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya**

Jl. Raya Inderalaya-Prabumulih Km. 32, Inderalaya 30662Telp/Fax : 0711 – 580169

e-mail: [email protected]* e-mail: [email protected]**

BAB. I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahPelayaran merupakan bagian dari sarana transportasi laut,

sebagaimana amanat UU Nomor 17 Tahun 2008 , pelayaran menjadi suatu hal yang sangat strategis bagi wawasan nasional serta menjadi sarana vital yang menunjang tujuan persatuan dan kesatuan nasional. Sehingga mempunyai potensi kuat untuk dikembangkan sesuai dengan peranannya baik nasional maupun internasional sehingga mampu mendorong dan menunjang pembangunan nasional demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan mandat Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945.

Namun demikian, sistem keselamatan dan keamanan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan sebagai dasar dan tolok ukur bagi pengambilan keputusan dalam menentukan kelayakan dalam pelayaran baik dilihat dari sisi sarana berupa kapal maupun prasarana seperti sistem navigasi maupun sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya.

Keselamatan pelayaran telah diatur oleh lembaga internasional yang mengurus atau menangani hal-hal yang terkait dengan keselamatan jiwa, harta laut, serta kelestarian lingkungan. Lembaga tersebut dinamakan International Maritime Organization (IMO) yang bernaung dibawah PBB. Salah satu faktor penting dalam mewujudkan keselamatan serta kelestarian lingkungan laut adalah keterampilan, keahlian dari manusia yang terkait dengan pengoperasian dari alat transportasi kapal di laut, karena bagaimanapun kokohnya konstruksi suatu kapal dan betapapun canggihnya teknologi baik sarana bantu maupun peralatan yang ditempatkan di atas kapal tersebut kalau dioperasikan manusia yang tidak mempunyai keterampilan atau keahlian sesuai dengan tugas dan fungsinya maka semua akan sia-sia. Dalam kenyataannya 80% dari kecelakaan di laut adalah akibat kesalahan manusia (human error).Sebuah dasar hukum telah menaungi jaminan keamanan dan keselamatan dalam pelayaran, yakni UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menyatakan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan

Page 2: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

2

lingkungan maritim. Meskipun telah ada dasar hukum, berbagai kecelakaan di laut tetap tak bisa di hindari dan semakin marak terjadi, faktor yang sering menyebabkan terjadinya kecelakaan di laut diantaranya adalah:1. Faktor teknis biasanya terkait dengan kekurangcermatan di dalam desain

kapal, penelantaran perawatan kapal sehingga mengakibatkan kerusakan kapal atau bagian-bagian kapal yang menyebabkan kapal mengalami kecelakaan, atau pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan atau prosedur yang ada.

2. Faktor cuaca buruk merupakan permasalahan yang biasanya dialami seperti badai, gelombang yang tinggi yang dipengaruhi oleh musim atau badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas.Terjadinya perubahan iklim saat ini, mengakibatkan kondisi laut menjadi lebih ganas, ombak dan badai semakin besar sehingga sering mengakibatkan terjadinya kecelakaan di laut.

3. Faktor manusia itu sendiri yaitu kecerobohan di dalam menjalankan kapal, kekurangmampuan awak kapal dalam menguasai berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal, secara sadar memuat kapal secara berlebihan.1

Berdasarkan asas-asas hukum perdata adalah landasan undang-undang yang lebih mengutamakan kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan yang dirumuskan dengan kata-kata: perjanjian (kesepakatan), koordinatif, campuran, retensi, dan pembuktian dengan dokumen.2 Sedangkan dalam aturan perundangan tentang hukum pengangkutan terdapat kandungan asas hukum publik yang meliputi sebagai berikut: asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepentingan umum, asas keterpaduan, asas tegaknya hukum, asas percaya diri, asas keselamatan penumpang, asas berwawasan lingkungan hidup, asas kedaulatan negara, dan asas kebangsaan. Oleh karena itu pelaksanaan pengangkutan di perairan ini, juga perlu kita pertimbangkan salah satunya hal kesepakatan dalam perjanjian antara perusahaan pengangkutan perairan dengan penumpang dan/atau pemilik barang. Perjanjian pengangkutan di perairan yang dimaksud itu, dapat dibuktikan dengan karcis penumpang dan dokumen muatan (berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran). Hal ini berguna untuk memberikan rasa tanggung jawab dari perusahaan pengangkutan di perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya yang berupa: kematian atau lukanya penumpang yang diangkut, musnah/ hilang/ rusaknya barang yang diangkut, keterlambatan pengangkutan penumpang/ barang yang diangkut, dan kerugian pihak ketiga, apabila perusahaan pengangkutan di perairan dapat memberikan bukti bahwa kerugian itu timbul bukan karenanya, maka perusahaan tersebut dapat

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Keselamatan_pelayaran#Penyebab_kecelakaan_pelayaran Diakses Pada Tanggal 13 April 2013.

2 Abdulkadir Muhammad, Cetakan ke-5 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 14

Page 3: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

3

dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya3 dan perusahaan pengangkutan di perairan ini juga wajib mengangsurasikan tanggung jawabnya (berdasarkan Pasal 40-41 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran). Apabila tanggung jawab ini tetap diabaikan, maka hal itu akan bertentangan dari aturan nilai-nilai dalam Pancasila sebagai founding fathers, terutama dalam nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai nilai yang terkait dengan hakikat manusia mengenai keselamatan jiwa penumpang dalam suatu pelayaran di Indonesia, yang juga berkaitan erat dengan hubungannya hak asasi manusia per-individu.4

Hal tanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang pada saat melakukan pelayaran di Indonesia perlu ditekankan, karena setelah penulis melihat kejadian-kejadian kecelakaan kapal dimulai dari tahun 2007-2014 yang penyebabnya beraneka ragam, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa yang harus diperhatikan itu adalah Overcapacity; Standar Keselamatan dan Kelayakan Kapal; dan Dispensasi Perwira agar dapat terhidar dari kejadian kecelakaan tersebut.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas tersebut, maka penulis dapat

mengambil suatu permasalahan yang sering terjadi terkait dengan fenomena yang ada dalam keselamatan pelayaran menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Indonesia, yaitu sebagai berikut:1. Apakah aturan hukum transportasi perairan telah memberikan

perlindungan hukum terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia?

2. Apakah aturan hukum transportasi perairan telah menerapkan asas hukum yang berlaku terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia?

3. Apa konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan?

C. Tujuan Penulisan Tujuan dari penelitian berupa paper ini adalah:

1. Mengidentifikasi aturan hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan asas hukum yang berlaku terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia.

3. Menerapkan konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan.

3 Ibid., Hlm. 18-19.4 Kaelan, Edisi Pertama 2013, Negara Kebangsaan Pancasila (Kultural, Historis,

Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya), Penerbit: Paradigma, Yogyakarta, Hlm. 223.

Page 4: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

4

D. Metode PenelitianJenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maksudnya adalah penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan serta menganalisis konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan. Menurut Jonny Ibrahim, dalam bukunya Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, mengatakan bahwa “Penelitian hukum normatif adalah prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif”5.

Pendapat di atas, memperkuat pendapat Peter Mahmud Marzuki, dalam bukunya Penelitian Hukum, yang menjelaskan bahwa: “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta disebabkan oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi”6. Lebih lanjut Bambang Waluyo, dalam bukunya Penelitian Hukun Dalam Praktek, mengatakan bahwa “Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu hukum tertentu dengan jalan menganalisanya”.7

Pendekatan Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan

pendekatan terhadap permasalahan yang diteliti, untuk kemudian dikaji dari berbagai aspek hukum yang ada hubungannya dengan isu hukum (legal issue) yang diteliti. Adapun pendekatan penelitian ini adalah:a. Pendekatan Filsafat (Philosophy Approach)

Pendekatan filsafat digunakan untuk mengkaji asas-asas hukum yang terkandung dalam ketentuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 2 lalu dilanjutkan dalam Pasal 116 dan 117 tentang Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. “Pendekatan filsafat akan mengupas isu hukum (legal issue) dalam penelitian normatif dan mengupasnya secara mendalam”.8

5 Jonny Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. 2006, hlm. 47.

6 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005, hlm. 35.

7 Bambang Waluyo. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. 1996, hlm. 8.

8 Jonny Ibrahim. Op.Cit., hlm. 267.

Page 5: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

5

b. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk memperoleh deskripsi analisis peraturan hukum yang mengatur mengenai konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 116 dan Pasal 117 berdasarkan Undang-Undang Pelayaran. “Pendekatan perundang-undangan, dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan Undang-Undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya atau antara Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan Undang-Undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya Undang-undang tersebut”9.

c. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada hubungannya dengan konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan “Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi”10.

d. Pendekatan Analitis (Analytical Approach)Pendekatan analitis digunakan untuk mengetahui dan memahami istilah-istilah dan konsep-konsep yang terkandung dalam konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan dan peraturan-peraturan yang mengatur mengenai Pelayaran. Sehingga dari pendekatan analitis ini dapat mencegah terjadinya perbedaan penafsiran (interpretasi) dalam menjawab permasalahan hukum dalam penelitian ini. “Maksud utama dari pendekatan analitis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konseptual, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek putusan-putusan hukum”11.

9 Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit., Hlm. 93. 10 Ibid., hlm. 95. 11 Jonny Ibrahim. Op.Cit., hlm. 256.

Page 6: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

6

Jenis dan Sumber Bahan-Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh dari

hasil penelitian kepustakaan. Dari penelitian kepustakaan dikumpulkan bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam bukunya Hukum dan Penelitian Hukum, mengatakan bahwa “Dalam penelitian normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah”12. Mengacu pada tata cara penyusunan sumber bahan-bahan hukum menurut Soerjono Soekanto, maka bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, dalam penelitian ini meliputi:a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari:a) Norma dasar atau kaidah dasar, yaitu Pancasila;b) Peraturan Dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).c) KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).d) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

yaitu: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.

b. Bahan Hukum SekunderBahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain: tulisan dan hasil karya ilmiah dan/atau pendapat dan doktrin para ahli hukum yang ada relevansinya dengan isu hukum dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier Bahan Hukum Tertier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan lain-lain yang ada relevansinya dengan isu hukum dalam penelitian ini.13

Teknik Pengumpulan Bahan-Bahan Hukum Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan mengidentifikasi

dan menginventarisasi peraturan perundang-undangan, meneliti bahan pustaka (tulisan dan hasil karya ilmiah) dan sumber-sumber bahan hukum lainnya yang ada relevansinya dengan isu hukum dalam penelitian ini. Teknik Pengolahan Bahan-Bahan Hukum

Pengolahan bahan-bahan hukum, diolah dengan melakukan inventarisasi dan sistematisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada relevansinya dengan pengaturan hukum mengenai Pelayaran. Setelah

12 Abdul Kadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004, hlm 122.

13 Soerjono Soekanto. Op.Cit., hlm. 52.

Page 7: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

7

memperoleh bahan-bahan hukum dari hasil penelitian kepustakaan, maka dilakukan pengolahan bahan-bahan hukum yang didapatkan dengan cara mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum untuk memudahkan pekerjaan analitis dan konstruksi14.

Mengacu pada tata cara pengolahan bahan-bahan hukum menurut Marck van Hoecke, pengolahan bahan-bahan hukum juga dapat dilakukan dengan cara menstrukturkan, mendeskripsikan, dan menyistematisasi bahan-bahan hukum tersebut dalam dua tataran, yaitu:a. Tataran Teknis

Tataran teknis, yaitu menghimpun, menata, dan memaparkan peraturan hukum hierarki sumber hukum untuk membangun landasan legitimasi dalam menafsirkan peraturan hukum dengan menerapkan metode logika, sehingga tertata dalam suatu sistem yang koheren.

b. Tataran TeleologisTataran teleologis, yaitu menyistematisasi peraturan hukum berdasarkan substansi hukum, dengan cara memikirkan, menata ulang dan menafsirkan material yuridis dalam perspektif teleologis, sehingga sistemnya menjadi lebih jelas dan berkembang, dengan menerapkan metode teleologis sebagai patokan sistematisasi internalnya15.

Teknik Analisis Bahan-Bahan Hukum Analisis bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan dan diolah,

dilakukan dengan cara analisis dan penafsiran (interpretasi) hukum, antara lain: a. Menafsirkan Undang-Undang menurut arti perkataan (istilah) atau biasa

disebut Penafsiran Gramatikal. Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat Undang-Undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat Undang-Undang yang ingin menyatakannya kehendakannya secara jelas harus memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat Undang-Undang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai dalam percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus bahasa atau meminta penjelasan dari ahli bahasa16.

14 Ibid.15 Marck Van Hoecke, dalam Bernard Arief Sidharta. Refleksi tentang Struktur

Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju. 2000, hlm. 39. Lebih lanjut Marck Van Hoecke, menjelaskan bahwa tataran yang ketiga adalah Tataran Sistematisasi Eksternal, yaitu menyistematisasi hukum dalam rangka mengintegrasikannya ke dalam tatanan dan pandangan hidup masyarakat, sehingga dapat menafsir ulang pengertian yang ada pembentukan pengertian yang baru, dengan menerapkan metode interdisipliner atau trasndisipliner, yakni memanfaatkan metode dan produk berbagai ilmu manusia lainnya, dengan pendekatan antisipatif ke masa depan (futurologi).

16 Utrecht, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Rangkuman Intisari ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 9.

Page 8: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

8

b. Perundang-undangan suatu negara merupakan kesatuan, artinya tidak sebuah pun dari peraturan tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Penasiran sistematik tersebut dapat menyebabkan, kata-kata dalam Undang-Undang diberi pengertian yang lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam kaidah bahasa yang biasa. Hal yang pertama disebut penafsiran meluaskan dan yang kedua disebut penafsiran menyempitkan17.

c. Penafsiran Otentik atau Penafsiran Secara Resmi. “Adakalanya pembuat Undang-Undang itu sendiri memberikan tafsiran tentang arti atau istilah yang digunakannya di dalam peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Tafsiran ini dinamakan tafsiran otentik atau tafsiran resmi. Di sini hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri”.18

d. Penafsiran Interdisipliner. “Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum. Misalnya adanya keterkaitan asas-asas hukum dari satu cabang ilmu hukum, seperti asas-asas hukum perdata dengan asas-asas hukum publik”19.

e. Penafsiran Multidisipliner. “Berbeda dengan penafsiran Interdisipliner yang masih berada dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan lain perkataan, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu”20.Analisis bahan-bahan hukum juga dapat dilakukan dengan konstruksi hukum, antara lain:1. Analogi (Analogis), yaitu peluasan berlakunya kaidah Undang-Undang,

dengan cara memberlakukan suatu ketentuan dalam suatu Undang-Undang yang lain terhadap suatu peristiwa dalam suatu Undang-Undang tertentu yang ketentuannya tidak ada dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Terhadap peristiwa tersebut, diberlakukan ketentuan Undang-Undang yang lain tadi dengan peristiwa yang ketentuannya tidak ada dalam Undang-Undang yang bersangkutan.

2. Penghalusan hukum (Rechtsverfijning), yaitu penghalusan berlakunya suatu kaidah Undang-Undang;

3. Penggunaan Argumentum a Contrario, yaitu menggunakan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal Undang-Undang secara kebalikan.21

17 Appeldorn, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Ibid.18 Utrecht, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Ibid.19 Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Ibid., hlm. 12.20 Ibid.

Page 9: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

9

Selanjutnya dilakukan upaya penemuan hukum (rechtsvinding) dan pembentukan hukum (rechtsvorming) yang bersifat praktis-fungsional, dengan cara penguraian teleologis-konstruktif, sehingga ditemukan konsep hukum yang seharusnya diformulasikan sebagai dasar bagi konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan.

Teknik Penarikan KesimpulanAdanya ketentuan yang memungkinkan Undang-Undang Pelayaran

untuk melaksanakan konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan, yang memfungsikan Undang-Undang Pelayaran sebagai institusi intermediasi investasi dan agen investasi, analisis konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di perairan Indonesia ke depan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, maka teknik penarikan kesimpulan terhadap isu hukum (legal issue) dalam penelitian ini menggunakan logika berfikir deduktif, yaitu penalaran (hukum) yang berlaku umum pada kasus individual dan konkrit (persoalan hukum faktual yang konkrit) yang dihadapi. Proses yang terjadi dalam deduksi adalah konkritisasi (hukum), nilai-nilai hukum, asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum yang dirumuskan secara umum dalam aturan-aturan hukum positif, kemudian dikonkritisasi (dijabarkan) dan diterapkan guna penyelesaian persoalan hukum konkrit yang dihadapi.

E. Pembahasan

21 Saut P. Panjaitan. Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian, dan Sistematika). Palembang: Universitas Sriwijaya. 1998, hlm. 158-159.

Page 10: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

10

Perlindungan Hukum terhadap Jaminan Keselamatan dan Keamanan Penumpang di Pelayaran Indonesia dalam Hukum Transportasi Perairan

Berdasarkan dasar perlindungan hukumnya begitu banyak hal yang akan terkait dalam implementasi pengangkutan kelautan tersebut, misalnya: terjadi kecelakaan kapal, pelanggaran perjanjian dalam perusahaan pengangkutan berkaitan dengan jumlah muatan, keselamatan penumpang dan barang pengiriman. Seperti halnya penyebab perlindungan hukum ini diperlukan karena adanya fenomena dalam bagan di bawah sebagai berikut:

Hukum Pengangkutan laut yaitu norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam menjalankan tugasnya untuk mempersiapkan, menjalankan dan melancarkan “pelayaran” di laut. Oleh karena itu Hukum Pengangkutan di laut juga disebut “Hukum Pelayaran”.

Prof. Soekardono kemudian membagi Hukum Laut menjadi 2 (dua) yaitu Hukum Laut Keperdataan dan Hukum Laut Publik.22 Hukum laut bersifat keperdataan atau privat, karena hukum laut mengatur hubungan antara orang-perorangan. Dengan kata lain orang adalah subjek hukum. Dimaksud dengan orang di sini adalah pengirim dan penumpang dengan perusahaan pengangkutan. Sifat dasar dari perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran (jasa dan pemborongan), timbal balik (para pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan dan berhak memperoleh prestasi) dan konsensual (perjanjian pengangkutan sah terjadinya kesepakatan). Adapun perjanjian pengangkutan laut itu sendiri terbagi atas:1. Perjanjian Carter Menurut Waktu (Time Charter) Pasal 453 (2) KUHD,

Vervrachter (pihak yang mencarterkan) mengikatkan diri kepada Bevrachter (pihak yang dicarterkan) untuk:1) Waktu tertentu;2) Menyediakan sebuah kapal tertentu;3) Kapalnya untuk pelayaran di laut bagi Bevrachter;4) Pembayaran harga yang dihitung berdasarkan waktu.

Kewajiban pengangkut:

22 R. Soekardono, 1981, Hukum Dagang Indonesia, Penerbit: CV Rajawali, Jakarta, Hlm. 5.

Page 11: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

11

1) Pasal 453 (2) KUHD: Menyediakan sebuah kapal tertentu menurut waktu tertentu;

2) Pasal 470 jo 459 (4), 308 (3) KUHD:3) Kesanggupan atas Kapal meliputi mesin dan perlengkapan (terpelihara/

lengkap) dan ABK (cukup dan cakap);4) Pasal 460 (1) KUHD menyebutkan bahwa kewajiban pencarter untuk

memelihara, melengkapi dan menganakbuahi.2. Perjanjian Carter Menurut Perjalanan (Voyage Charter) Pasal 453 (3)

KUHD, Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk:1) Menyediakan sebuah kapal tertentu;2) Seluruhnya atau sebagian dari kapal;3) Pengangkutan orang/ barang melalui lautan;4) Pembayaran harga berdasarkan jumlah perjalanan. Kewajiban Pengangkut:1) Menyediakan kapal tertentu atau beberapa ruangan dalam kapal tersebut

dalam Pasal 453 (2) KUHD;2) Pasal 459 (4) KUHD: terpelihara dengan baik, diperlengkapi, sanggup

untuk pemakaian;3) Pasal 470 (1) KUHD: Pengangkut tidak bebas untuk mempersyaratkan,

bahwa ia tidak bertanggung jawab atau bertanggung jawab tidak lebih daripada sampai jumlah yang terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang cakupnya usaha untuk pemeliharaan, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutnya, atau untuk kecocokannya bagi pengangkutan yang diperjanjikan, maupun karena perlakuan yang keliru atau penjagaan yang kurang cukup terhadap barang itu. Persyaratan yang bermaksud demikian adalah batal.

3. Perjanjian Pengangkutan Barang Potongan1) Pasal 520g KUHD: Pengangkutan barang berdasarkan perjanjian selain

daripada perjanjian carter kapal;2) Kapalnya tidak perlu tertentu seperti perjanjian carter.Kewajiban Pengangkut:1) Pasal 468 (1) KUHD: Perjanjian pengangkutan menjanjikan

pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya;

2) Pasal 470 (1) KUHD: Mengusahakan kesanggupan kapalnya untuk dipakai sesuai perjanjian, harus benar dalam memperlakukan muatan, dan melakukan penjagaan terhadap barang yang diangkutnya, dan yang diutamakan adalah barang/ muatan/ cargonya sebagai objek perjanjian.

Tuntutan Ganti Rugi:1. Jangka Waktu pengajuan;2. Diajukan dalam waktu satu tahun sejak barang diserahkan, atau sejak

hari barang tersebut seharusnya diserahkan (Pasal 487 KUHD);3. Hak Previlige: kedudukan si penerima barang didahulukan atas upah

pengangkutan, tapi setelah piutang-piutang yang diistimewakan dalam Pasal 316 KUHD: ia meminta sita atas pengangkutan terlebih dahulu dalam jangka waktu satu tahun;

Page 12: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

12

4. Tuntutan diajukan kepada ketua pengadilan negeri setempat, dimana terjadinya penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima barang.

Dasar Hukum Pengaturan Pengangkutan Laut di Indonesia:1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi dasar hukum karena Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat digunakan sebagai landasan untuk menghindari kekosongan hukum dalam bidang hukum Pengangkutan, yaitu apabila di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak ada dan/ atau belum diatur, maka kita bisa menemukannya di dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;Terkait dalam Pasal 307 sampai dengan Pasal 747 KUHD mengenai masalah Pengangkutan Laut.

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan Undang-Undang lain yang terkait;Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Angkutan adalah angkutan barang dari suatu tempat diterimanya barang tersebut ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang yang bersangkutan. Sedangkan Pengangkutan adalah kegiatan memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan selamat sampai tujuan.Dapat ditarik kesimpulan bahwa keduanya sama-sama merupakan suatu proses, hanya saja di dalam Angkutan sudah saja hal yang detail. Dimana perpindahan itu dimulai dan dimana perpindahan itu diakhiri. Dalam arti sudah  ditentukan tempat penerimaan barang dan tempat penyerahan barang. Dikatakan pengangkutan perairan karena dalam kegiatan pengangkutannya dilakukan dengan melalui perairan, hanya saja jenis perairannya berbeda-beda. Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal (dalam Pasal 1 angka 3 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran).Berdasarkan Pasal 6 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, angkutan di perairan terdiri atas:1) Angkutan Laut;

Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut.

2) Angkutan Sungai dan Danau;“Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan” merupakan istilah yang terdiri dari dua aspek yaitu “Angkutan Sungai dan Danau” atau ASD dan “Angkutan Penyeberangan:. Istilah ASDP ini merujuk pada sebuah jenis “moda” atau “jenis angkutan” dimana suatu sistem transportasi terdiri dari 5 macam yaitu moda angkutan darat (jalan raya), moda angkutan udara, moda angkutan kereta api, moda

Page 13: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

13

angkutan pipa (yang mungkin belum dikenal luas), moda angkutan laut dan moda ASDP.Angkutan Perairan Daratan atau angkutan perairan pedalaman merupakan istilah lain dari Angkutan Sungai dan Danau (ASD). Jenis angkutan ini telah lama dikenal oleh manusia bahkan terbilang tradisional. Sebelum menggunakan angkutan jalan dengan mengendarai hewan seperti kuda dan sapi, manusia telah memanfaatkan sungai untuk menempuh perjalanan jarak jauh. Demikian juga di Indonesia, sungai merupakan wilayah favorit sehingga banyak sekali pusat pemukiman, ekonomi, budaya maupun kota-kota besar yang berada di tepian sungai seperti Palembang.Angkutan Perairan Daratan merupakan sebuah istilah yang diserap dari bahasa Inggris yaitu Inland Waterways atau juga dalam bahasa Perancis yaitu Navigation d’Interieure atau juga voies navigables yang memiliki makna yang sama yaitu pelayaran atau aktivitas angkutan yang berlangsung di perairan yang berada di kawasan daratan seperti sungai, danau dan kanal.Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dalam Pasal 18, menyatakan bahwa Angkutan Sungai dan Danau (ASD) dilakukan secara terpadu yang dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha, dimana tetap memperhatikan intra dan antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional, dengan menggunakan trayek tetap dan teratur atau trayek tidak tetap dan tidak teratur, namun kegiatan ASD ini dilarang dilakukan di laut kecuali mendapatkan izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal.Moda angkutan ini tentunya tidak mempergunakan perairan laut sebagai prasarana utamanya namun perairan daratan. Dalam kamus Himpunan Istilah Perhubungan, istilah perairan daratan didefinisikan sebagai semua perairan danau, terusan dan sepanjang sungai dari hulu dari hulu sampai dengan muara sebagaimana dikatakan undang-undang atau peraturan tentang wilayah perairan daratan.

3) dan Angkutan Penyeberangan;Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan bergerak yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan kereta api yang terputus karena adanya perairan. Dalam bahasa Inggris, moda ini dikenal dengan istilah ferry transport. Lintas penyeberangan Merak – Bakauheni dan Palembang – Bangka bahkan juga Inggris – Perancis adalah beberapa contoh yang sudah dikenal masyarakat.

Karakteristik Angkutan Perairan Daratan:Sebagai suatu jenis moda angkutan dalam suatu sistem

transportasi, Angkutan Perairan Daratan memiliki karakater yang khas yang berbeda dengan moda angkutan lainnya. Bahkan karena angkutan ini terdiri dari angkutan sungai (dan juga kanal) dan angkutan danau

Page 14: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

14

(termasuk juga rawa, waduk dan situ), karakter yang dimilikinya pun relatif cukup unik.

Angkutan sungai memilki karakter yang hampir mirip dengan angkutan jalan (highways) atau angkutan kereta api (railways) karena hanya dapat melayani pengguna jasa pada daerah cakupan (catchment area) di sepanjang aliran sungai itu saja. Pada angkutan sungai terkadang terdapat adanya lintas penyeberangan di sungai yang rutin dimana hal ini tidak terdapat pada angkutan jalan. Sementara itu, angkutan danau cenderung memiliki daerah pelayanan yang lebih terbatas karena hanya dapat melayani pengguna jasa di sekitar danau saja dan lebih bersifat sebagai angkutan penyeberangan di kawasan danau tersebut.

Angkutan perairan daratan umumnya memiliki rute yang tidak tetap dan jadwal yang tidak teratur meskipun juga pada tingkatan yang lebih berkembang juga terdapat angkutan dengan rute yang tetap dan dengan jadwal yang teratur maupun tidak teratur. Angkutan perairan daratan umumnya menggunakan kapal perairan daratan berkonstruksi kayu dengan berbagai variasinya.

Secara teknis, karakteristik angkutan perairan daratan memberikan keunggulan kepada moda tersebut untuk bersaing dengan moda lain. Keungggulan-keunggulan tersebut dan juga kelemahannya dalam tabel 1 antara lain23:

Tabel 1. Keunggulan dan Kelemahan Pengangkutan Perairan Daratan

23 Muhammad Fathoni, Dialog Nasional Transportasi Multimoda Angkutan Barang, Palembang, 23 Juni 2014, Di Hotel Swarna Dwipa Palembang, Hlm. 3-6.

Page 15: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

15

Keunggulan Angkutan Perairan Daratan

Kelemahan Angkutan Perairan Daratan

1. Prasarana tersedia secara alami;

2. Biaya pengembangan jaringan lebih rendah (5%-10%) dari angkutan jalan dan rel;

3. Biaya pemeliharaan rendah (20%) dari jaringan jalan;

4. Potensi keselamatan lebih baik dibandingkan angkutan jalan karena kecepatan yang rendah;

5. Bahan bakar lebih efisien dari angkutan jalan;

6. Dampak lingkungan yang lebih rendah dari angkutan jalan;

7. Biaya angkut yang lebih ekonomis untuk angkutan barang jarak jauh dari angkutan jalan;

8. Kapasitas angkut yang besar, dapat mengurangi kerusakan jalan;

9. Angkutan utama untuk daerah terpencil, dimana angkutan jalan dan udara sulit/ mahal;

10.Cocok untuk angkutan wisata;

11.Mampu diintegrasikan antara angkutan darat dan angkutan laut untuk ekspor-impor;

12.Alternatif solusi mengurangi kepadatan dan kerusakan jalan.

1. Bergantung pada kondisi alur dan alam;

2. Tingkat reliabilitas kurang terjaga;

3. Kecepatan relatif lebih rendah;

4. Kurang fleksibel karena jangkauan daerah (catchment area) yang kecil di sepanjang alur pelayaran saja;

5. Aksesbilitas rendah karena terkadang sulit dijangkau dari jalan;

6. Ada kecenderungan angkutan untuk over capacity;

7. Investasi tinggi untuk kapal baru;

8. Tingkat kenyamanan yang rendah untuk angkutan penumpang;

9. Budaya yang konservatif dan tradisional pada operasional penyediaan jasa angkutan perairan;

10.Peran yang kecil (modal share) pada sistem transportasi; dan

11.Prasarana alur masih belum memadai;

12.Aspek keselamatan cenderung diabaikan.

Jadi, dapat diketahui bahwa tanpa ada dasar pengaturan perlindungan hukum yang jelas dan tegas terhadap aturan hukum pengangkutan perairan di pelayaran Indonesia, tidak akan efektif dan relevan aturan tersebut dapat dijalankan dengan baik apalagi untuk ditaati oleh masyarakat, apabila aturannya itu sendiri masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan hukum dan bahkan lebih dikhawatirkan adalah ketidaktahuan masyarakat bahwa aturannya itu sendiri telah ada yang mengaturnya. Sehingga sering terjadi lepas tanggung jawab terhadap aturan yang telah melekat didalamnya dan bahkan sering juga terjadi pelanggaran etika profesi dalam pengangkutan kelautan seperti: tidak menghiraukan tanda-tanda rambu-rambu lalu lintas di kelautan ataupun di perairan pedalaman sehingga mengakibatkan keselamatan dari penumpang

Page 16: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

16

dan barang yang akan dikirimkan (kecelakaan kapal, dan lain sebagainya). Maka hendaknya pengaturan-pengaturan yang menjadi dasar dalam perlindungan hukum pengangkutan kelautan ini, dapat menunjang aturan yang lain sebagai acuan bahwa aturan itu memang sudah ada sebelumnya. Walaupun dalam ius constituendum-nya nanti perlu ditujang suatu pembaharuan hukum untuk melaksanakan perubahan setiap aturan-aturan yang terkait dengan dasar pengaturan hukum pengangkutan kelautan ini, agar menurut Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional, kemudian dikenal sebagai Teori Hukum Pembangunan, diletakkan di atas premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip bagi aturan hukum kedepannya dalam suatu perubahan aturan itu sendiri dalam masyarakatnya.24

Diharapkan juga dalam dasar pengaturan perlindungan hukum terhadap hukum pengangkutan perairan di pelayaran Indonesia ini, dapat melahirkan prinsip keadilan sosial: memberi jalan untuk memberikan hak-hak dan kewajiban di lembaga-lembaga dasar masyarakat serta menentukan pembagian keuntungan dan beban kerja sama sosial secara layak25, bagi setiap perusahaan pengangkutan maupun penumpang dan barang yang dikirimkan. Hal ini dikarenakan dalam perlindungan hukum, kita terlebih dahulu harus memberikan penegakan hukum terhadap pelaksanaannya agar lebih tercipta unsur negara hukum didalamnya. Negara hukum itu menurut C.C. van Bosse adalah bahwa apa yang merupakan hukum itu (sekalipun diciptakan oleh pembentuk undang-undang atau oleh badan-badan administrasi dalam batas-batas yang ditentukan oleh Parlemen itu) dipastikan benar tidaknya, ditafsirkan adil-tidaknya oleh badan yudikatif; sedang diluar badan yudikatif ini tidak ada instansi lain, yang berwenang menafsirkan, isi atau adil-tidaknya suatu kaedah undang-undang atau kaedah hukum itu.26 Oleh karena itu penciptaan dasar pengaturan perlindungan hukum pengangkutan/ transportasi sangatlah diperlukan, guna memberikan suatu kepastian hukum sehingga mewujudkan nilai keadilan dalam negara hukum kedepannya nanti.

Penerapan Asas Hukum dalam Transportasi Perairan terhadap Jaminan Keselamatan dan Keamanan Penumpang di Pelayaran Indonesia

24 Romli Atmasasmita, Cetakan Pertama Maret 2012, Teori Hukum Integratif, Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta, Hlm. 65-66.

25 John Rawls, Cetakan 1 Mei 2006, Teori Keadilan, Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 5.

26 Sunarjati Hartono, 1982, Apakah The Rule of Law itu?, Penerbit:Alumni, Bandung, Hlm. 38.

Page 17: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

17

Dalam pelaksanaannya yang sering terjadi dan menjadi penghambat SDM (Sumber Daya Manusia) Pelayaran Indonesia untuk berkembang itu dari segi asas hukum yang berlaku, salah satunya adalah asas keselamatan dalam pelayaran. Dimana sering kita jumpai kejadian-kejadian/ fenomena yang terjadi dalam pelayaran adalah kecelakaan baik itu kapal yang tabrakan, kebakaran, karam di lautan karna kelebihan muatan, dan lain sebagainya. Hal itu juga dikarenakan tidak menerapkan asas dalam hukum tranportasi menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yaitu: asas manfaat, asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas persaingan sehat, asas adil dan merata tanpa diskriminasi, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, asas kepentingan umum, asas keterpaduan, asas tegaknya hukum, aasas kemandirian, asas berwawasan lingkungan hidup, asas kedaulatan negara, dan asas kebangsaan.

Penerapan asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofis yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: asas hukum publik dan asas hukum perdata.27 Asas hukum publik itu terletak dalam aturan perundang-undangan tentang Pelayaran, sedangkan asas hukum perdata adalah landasan undang-undang yang lebih mengutamakan kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan, yang dirumuskan sebagai berikut: perjanjian (kesepakatan), koordinatif, campuran, retensi (hak menahan barang), dan pembuktian dengan dokumen.

Sehingga jika membahas mengenai Keselamatan Pelayaran, kita dihadapkan dengan materi cakupan yang cukup luas. Misalkan saja mengenai kelayakan kapal, pelanggaran, kondisi masyarakat baik selaku pelaku maupun pengguna jasa, belum lagi kaitannya dengan keprofesionalan petugas lapangan yang terdiri  pegawai pelabuhan, Syahbandar, Biro Klasifikasi, dan pihak lainnya yang terkait.  Maka, untuk lebih memahami penerapan asas hukum tentang Keselamatan Pelayaran berkaitan dengan das sein dan das sollen, maka penulis dalam menganalisis mengangkat beberapa contoh kasus yang paling sering diacuhkan penerapannya, antara lainnya sebagai berikut:1. Overcapacity

1) Das Sollen;Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terhadap Kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dipenuhi setiap kapal sesuai dengan daerah-pelayarannya yang meliputi:a. Keselamatan kapal;b. Pencegahan pencemaran dari kapal;c. Pengawakan kapal;d. Garis muat kapal dan pemuatan;e. Kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang;f. Status hukum kapal;g. Manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari

kapal;h. Manajemen keamanan kapal.

27 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., Hlm. 12.

Page 18: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

18

2) Das Sein;Tenggelamnya KM Windu Karsa di Teluk Bone, Sabtu (27/8/2011) dini hari diduga akibat kelebihan daya tampung penumpang (overcapacity). Membuktikan kelalaian pemerintah dalam menjalankan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. 28 Contoh lain ketidakseriusan Syahbandar selaku pemerintah mengawasi dan memeriksa kapal-kapal yang akan berlayar memuat penumpang melebihi kapasitas. KM Senopati Nusantara yang tenggelam di utara Semarang beberapa tahun yang lalu,29 KM Levina I terbakar dan tenggelam di perairan Tanjung Priuk memakan korban jiwa ratusan orang.30

Jadi, berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terdiri dari XXII Bab 355 Pasal ini cukup komprehensif, namun tidak banyak menguraikan secara jelas mengenai keselamatan kapal. Bahkan, larangan kelebihan muatan dan jumlah alat penolong yang harus ada di atas kapal sama sekali tidak disinggung dalam Undang-Undang No 17 tersebut, padahal sesungguhnya hal tersebut sangat penting.

Dalam SOLAS (International Convention for the Safety of Life at Sea) 1974, sangat jelas dinyatakan dalam Bab III: alat penolong baik berupa sekoci penolong (life boat), rakit penolong kembung (inflatabel life raft /ILR), maupun rakit penolong (rigit liferaft) jumlah keseluruhannya paling kurang adalah 110 persen dari jumlah orang yang ada (seluruh penumpang dan awak kapal) di  atas kapal. 

Pemerintah seharusnya semaksimal mungkin menaati ketentuan yang ada dalam International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1974, yang disepakati pada tanggal 1 November 1974 dan berlaku sejak 25 Mei 1980.31   

2. Standar Keselamatan dan Kelayakan Kapal1) Das Sollen;

Pasal 303 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran bahwa dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2) Das Sein;

28 https://id.berita.yahoo.com/windu-karsa-tenggelam-bukti-pemerintah-lalai-084721023.html Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2014.

29 http://www.komisiyudisial.go.id/berita-1169-kasus-km-senopati-nakhoda-wiratno-dihukum-23-tahun-penjara.html Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2014.

30 http://www.indosiar.com/ragam/tragedi-terbakarnya-km-levina-i_59297.html Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2014.

31 http://www.shnews.co/kolom/periskop/detile-54-selamatkan-jiwa-kami-di-laut.html Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2014.

Page 19: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

19

Berdasarkan hasil investigasi tenggelamnya KM Karya Indah) didapatkan tidak dilengkapi adanya alat keselamatan penumpang seperti pelampung sebagai syarat keselamatan pelayaran dan juga tidak ada pembelajaran kepada pekerja untuk menangani situasi darurat transportasi sungai. Ditemukan pula bahwa kapal mengalami kebocoran hingga tenggelam.32 Contoh lainnya kasus tenggelamnya kapal KM Munawar pada hari Jum’at tanggal 3 Januari 2014 malam dini hari pukul 02.00 WIB.33 Kapal ini diperkirakan telah berusia lebih dari 30 tahun dan masih saja digunakan sebagai salah satu moda transportasi air di pelabuhan Kayangan Lombok Timur menuju Pelabuhan Poto Tano Sumbawa. Meskipun terdapat lebih dari 20 kapal lainnya yang dalam kondisi cukup baik.

Jadi, berdasarkan hasil pengkajian adanya kesenjangan ini disebabkan ketidakseriusan pemerintah. Misalkan saja uji petik rutin dilakukan pemerintah hanya menjelang masa kepadatan penumpang seperti menjelang Lebaran. Padahal salah satu yang menjadi sasaran pemeriksaan tim uji petik adalah pemenuhan standar keselamatan kapal.

Seharusnya pemerintah dan pihak yang terkait lebih sering melakukan pengujian terlebih Kapal penumpang. Apalagi perkembangan transportasi perairan di Indonesia cukup tinggi tapi sangat miris karena tidak ditunjang oleh pengawasan yang lebih dari instansi terkait.  

3. Dispensasi Perwira1) Das Sollen;

Pasal 310 UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran bahwa Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran bahwa dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2) Das Sein;Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) sering menemukan pelanggaran dispensasi yang keluarkan oleh syahbandar, baik untuk mengisi jabatan perwira yang kosong maupun dispensasi penumpang. Dispensasi perwira hanya diizinkan jika betul-betul kapal dalam kondisi darurat dan itu hanya diberikan untuk satu kali pelayaran.Pelanggaran yang sering terjadi, perusahaan pelayaran sengaja tidak mau mencari perwira kapal, tapi terus meminta dispensasi sebagai pengganti dengan memberikan imbalan. “Kapal ukuran di atas 500 GT mestinya dinakhodai oleh pelaut berijazah  ANT (Ahli Nautika)

32 http://news.detik.com/read/2013/05/21/231232/2252398/10/insiden-tenggelamnya-km-karya-indah-di-sungai-mahakam-dipolisikan?nd771104bcj Diakses Pada Tanggal 11 Juli 2014.

33 http://news.detik.com/read/2014/01/03/100931/2457317/10/km-munawar-tenggelam-di-perairan-ntb-3-penumpang-ditemukan-tewas?nd772204btr Diakses Pada Tanggal 11 Juli 2014.

Page 20: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

20

IV, tapi kenyataannya banyak diisi oleh ANT-5 dengan meminta dispensasi dari syahbandar”.34

Jadi, sudah waktunya melarang kapal tua, kapal tidak laik laut, dan terlalu kecil untuk ukuran laut tertentu untuk beroperasi. Hentikan kebiasaan lama membuat kebijaksanaan dan dispensasi karena tidak ada kompromi untuk nyawa manusia. Pelabuhan terutama adalah wilayah pemerintahan, baru kemudian wilayah pengusahaan atau komersial.

Berdasarkan hal di atas, maka dapat dijelaskan dalam tabel 2 di bawah ini sebagai berikut bahwa faktor penyebab pelanggaran hukum yang dilakukan SDM Pelayaran di Indonesia, dikarena:

Tabel 2. Faktor Penyebab Pelanggaran Hukum Transportasi Perairan

Faktor Pelanggaran Hukum yang

Klasifikasi Dasar Pengaturan Hukum

Pengangkutan Kelautan

Contoh Kasus-Kasus Kecelakaan Kapal yang

Terjadi di Indonesia dalam

34 http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/kesejahteraan-pelaut-rendah-kecelakaan-kapal-pun-terjadi/21804 Diakses Pada Tanggal 11 Juli 2014.

Page 21: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

21

dilakukan SDM Pelayaran di

Indonesia

terhadap Keselamatan dan Keamanan Angkutan

Perairan

Kurun Waktu Tahun 2007-2014

1. Overcapacity (Kelebihan Muatan/ Penumpang)

2. Standar

Keselamatan dan Kelayakan Kapal

3. Dispensasi Perwira

1. Pasal 117 ayat (2) UU No.17/2008:a. Keselamatan Kapal;b. Pencegahan pencemaran

dari kapal;c. Pengawakan kapal;d. Garis muat kapal dan

pemuatan;e. Kesejahteraan Awak

Kapal dan kesehatan penumpang;

f. Status hukum kapal;g. Manajemen keselamatan

dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan

h. Manajemen keamanan kapal.

2. Pasal 303 ayat (1) UU No.17/2008: Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim.

3. Pasal 310 UU No.17/2008: Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi.

1. Tenggelamnya KM Windu Karsa di Teluk Bone, Sabtu (27/8/2011) dini hari diduga akibat kelebihan daya tampung penumpang (overcapacity), KM Senopati Nusantara yang tenggelam di utara Semarang beberapa tahun yang lalu, KM Levina I terbakar dan tenggelam di perairan Tanjung Priuk memakan korban jiwa ratusan orang.

2. Tenggelamnya KM Karya Indah didapatkan tidak dilengkapi adanya alat keselamatan penumpang seperti pelampung sebagai syarat keselamatan pelayaran dan juga tidak ada pembelajaran kepada pekerja untuk menangani situasi darurat transportasi sungai, tenggelamnya kapal KM Munawar pada hari Jum’at tanggal 3 Januari 2014 malam dini hari pukul 02.00 WIB.

3. Kapal ukuran di atas 500 GT mestinya dinakhodai oleh pelaut berijazah  ANT (Ahli Nautika) IV, tapi kenyataannya banyak diisi oleh ANT-5 dengan meminta dispensasi dari syahbandar.

Dilihat dalam faktor-faktor pelanggaran hukum yang sering tidak dihiraukan oleh SDM Pelayaran di Indonesia di atas, sehingga terjadilah fenomena penyimpangan-penyimpangan ataupun pelanggaran yang terjadi dan bahkan dapat membahayakan keselamatan serta keamanan penumpang dan barang yang diangkut dalam pengangkutan kapal tersebut, seperti

Page 22: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

22

kecelakaan kapal, terbakar, tabrakan, tenggelam, dan lain sebagainya. Hal ini terbukti bahwa adanya ketidakseimbangan antara penegakan aturan hukum yang seharusnya dengan senyatanya (das sollen dan das sein). Apabila penegakan hukum itu diterapkan dengan senyatanya, maka kecelakaan kapal tersebut dapat dihidari ataupun dapat diminimalisirkan sesuai penerapan asas-asas yang terkait dalam hukum transportasi tersebut.

Berdasarkan tabel 2 itu, dapat terlihat begitu banyak fenomena yang terjadi antara tahun 2007-2014 sekarang ini masih ada juga pihak perusahaan pengangkutan perairan tidak menghiraukan aturan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, sehingga banyak terjadi juga pelanggaran-pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) didalamnya karena telah membahayakan keselamatan dan keamanan penumpang dan barangnya. Adapun dalam pengaturan tentang HAM di Indonesia yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan pengangkutan perairan ini adalah sebagai berikut35:1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 28G ayat (1).

2. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28H ayat (1).

3. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28H ayat (2).

4. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28D ayat (1).

5. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28D ayat (2).

6. Negara dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28G ayat (1) dan (2).

7. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28I ayat (4).

35 Nurul Qamar, Cetakan Pertama September 2013, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 101 – 104.

Page 23: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

23

8. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28I ayat (5).

9. Untuk menjamin pelaksanaan tersebut, maka dibentuk KOMNAS HAM yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang.

10. Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28J ayat (1).

11. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, berdasarkan UUD RI 1945 dalam Pasal 28J ayat (2).

Hal ini berarti perlindungan keselamatan dan keamanan dari penumpang dan barang yang dikirimnya melalui pengangkutan kelautan itu, harus diutamakan oleh pihak perusahaan pengangkutan perairan, karena perusahaan pengangkutan ini sepenuhnya harus bertanggungjawab akan fenomena kejadian pada saat mereka berlayar di perairan berdasarkan juga dengan kesepakatan perjanjian yang telah disepakati antara pihak mencarter-kan dan pihak yang di-carter-kan.

Padahal berdasarkan teori Utilitarisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham ini, menyatakan bahwa “manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagian yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan, lebih lanjutnya Jeremy Bentham berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu.”36 Oleh karena itu pada teori ini diajarkan hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh (Volwaardig), tidak seorang pun bernilai lebih (everybody to count for one, no body for more than one), dan teori hukum ini bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif).37

Jadi, dalam pelaksanaan dari asas hukum pengangkutan perairan yang telah ada ini dapat mewujudkan ketertiban dan keefektifan hukum bagi para penumpang dan barangnya, agar tercipta keadilan sosial seperti yang dikemukakan oleh Jhon Rawls dalam bukunya yang berjudul “Teori Keadilan (a theory of justice)”. Sehingga lebih menjamin keselamatan dan keamanan bagi mereka (Penumpang dan barang yang dikirim).

36 Abdul Manan, Cetakan Ke-3 Tahun 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Penerbit: Kencana Prenada Media, Jakarta, Hlm.17.

37 Ibid., Hlm.17 dan 18.

Page 24: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

24

Konsep Rekonstruksi Hukum Transportasi Perairan terhadap Jaminan Keselamatan dan Keamanan Penumpang di Pelayaran Indonesia ke Depan

Jika dilihat dari pembahasan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia ke depan ini perlu diperhatikan kembali, guna mengedepankan keselamatan dan keamanan manusia sebagai pengguna jasanya. Berdasarkan aturan perundang-undangan Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, telah jelas diatur mengenai pola keselamatan dan keamanan penumpang serta barang yang diangkut melalui perairan tersebut dalam Bab VIII Pasal 116-123. Oleh karena itu, Pelayaran merupakan bagian dari sarana transportasi laut sebagaimana amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2008 menjadi suatu yang sangat strategis bagi wawasan nasional serta menjadi sarana vital yang menunjang tujuan persatuan dan kesatuan nasional.

Pelayaran atau angkutan perairan merupakan bagian dari transportasi yang tidak dapat dipisahkan dengan bagian dari sarana transportasi lainnya dengan kemampuan untuk menghadapi perubahan ke depan, mempunyai karakteristik karena mampu melakukan pengangkutan secara massal. Dapat menghubungkan dan menjangkau wilayah satu dengan yang lainnya melalui perairan, sehingga mempunyai potensi kuat untuk dikembangkan dan peranannya baik nasional maupun internasional sehingga mampu mendorong dan menunjang pembangunan nasional demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan mandat Pancasila serta UUD RI 1945.

Sistem keselamatan dan keamanan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan dan sebagai dasar serta tolok ukur bagi pengambilan keputusan dalam menentukan kelayakan dalam pelayaran baik dilihat dari sisi sarana berupa kapal maupun prasarana seperti sistem navigasi maupun sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya.

Berdasarkan jenis tugas dan pekerjaan yang berkaitan dengan penjagaan dan penyelamatan di laut juga sangat didominasi pada masalah kemampuan sumber daya manusia yang didukung oleh sarana teknologi pelayaran, sehingga telah mendorong pemerintah melakukan berbagai kebijakan dalam mengatur masalah pelayaran atas sistem angkutan laut berstandar internasional oleh karena kondisi peraturan yang sekarang perlu dilakukan perbaikan sesuai dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, perangkat modern serta sistem navigasi lebih maju sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kelancaran dalam sistem angkutan laut, apalagi jika dikaitkan dengan masyarakat pengguna jasa laut masih relatif besar (massal) yang menghubungkan daerah kepulauan yang satu dengan lainnya. Namun demikian berbagai kebijakan dan peraturan yang dibuat jika tidak didukung pelayanan yang baik tentunya akan mengkhawatirkan mengenai keselamatan di bidang pelayaran, baik bagi nakhoda, awak kapal penumpang, maupun alat transportasinya.

Dalam konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia ke depan,

Page 25: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

25

maka penulis lebih menekankan dalam teori rule of law. Dimana teori tersebut merupakan suatu konsep dari suatu negara hukum yang memiliki sistem Anglo-Saxon. Teori rule of law ini mempunyai tiga aspek utamanya yaitu38:1. Supremasi hukum atau supremacy of law; merupakan suatu hal untuk

menentang pengaruh dan meniadakan kesewenang-wenangan yang luar dari pemerintah.39

2. Persamaan di depan hukum atau equality before the law; hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warganegara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama.40

3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau the constitusion based on individual rights; bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.41

Ketiga aspek tersebut juga dapat dikaitkan sebagai dasar pengembangan terhadap sarana penunjang dalam peningkatan keselamatan dan keamanan bagi setiap individu-nya nanti.

Apabila dilihat dari konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia ke depan ini, lebih dititikberatkan terhadap hal keselamatan dan keamanan di bidang pelayarannya. Hal itu berarti tidak lepas juga dari konsep sarana perlindungan hukum bagi rakyat sebagai pengguna jasa dalam transportasi/ pengangkutan tersebut. Jadi, hal yang harus diperhatikan untuk konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia ke depan adalah sarana perlindungan hukumnya yang meliputi sebagai berikut42:1. Sarana perlindungan hukum preventif; merupakan bentuk perlindungan

hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

2. Sarana perlindungan hukum represif; bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.

Oleh karena itu, perlindungan hukum dalam konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia ke depan merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukumnya, sehingga perlindungan hukum itu

38 Nurul Qamar, Op.,Cit, Hlm. 44.39 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia

(Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara), Penerbit: PT Bina Ilmu, Surabaya, Hlm. 80-81.

40 Ibid.41 Ibid.42 Ibid., Hlm. 3 dan 5.

Page 26: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

26

sendiri diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum pelayaran di Indonesia.

Diharapkan juga dalam pengembangan konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia ke depan ini, hendaknya memperhatikan penerapan prinsip legislasinya yang diterapkan oleh Jeremy Bentham, salah satunya adalah Prinsip Manfaat; dimana prinsip ini berkaitan dengan kebaikan publik sebagai tujuan legislatornya, guna melaksanakan prinsip manfaat dapat menjadi landasan bagi suatu sistem penalaran maka diperlukan tiga syarat43:1. Meletakkan gagasan-gagasan yang jelas dan tepat pada kata manfaat,

secara sama persis dengan semua orang yang menggunakannya.2. Menegakkan kesatuan dan kedaulatan prinsip ini, dengan secara tegas

membedakannya dengan segala kesatuan dan kedaulatan lain. Prinsip ini tidak bias dianut secara umum, tetapi harus diterima tanpa kecuali.

3. Menemukan proses aritmatika moral yang dapat digunakan untuk mencapai hasil-hasil yang seragam.

Jadi, berdasarkan hal prinsip di atas diharapkan dalam peraturan perundang-undangan Pelayaran ke depannya nanti dapat lebih memperhatikan dan mengutamakan kemanfaatan aturan yang telah dibuat, guna menerapkan isi makna dari aturan itu sendiri sehingga menciptakan suatu keseimbangan hukum yang lebih harmonis sehingga dapat lebih mengedepankan jiwa keselamatan dan keamanan dalam berlayar di perairan Indonesia baik secara nasional maupun internasional ke depannya.

Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan yang dihadapi, telah dirumuskan langkah-langkah konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap jaminan keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia, yakni sebagai berikut:1. Memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan prasarana dan sarana

serta pengelolaan angkutan perairan di pelayaran Indonesia;2. Meningkatkan kelancaran dan kapasitas pelayanan di lintas perairan

dalam pelayaran Indonesia;3. Meningkatkan peran armada pelayaran nasional, baik untuk angkutan

dalam negeri maupun untuk ekspor-impor dengan memberlakukan asas cabotage (berarti prinsip yang memberi hak untuk beroperasi secara komersial di dalam suatu negara hanya kepada perusahaan angkutan dari negara itu sendiri secara eksklusif44); untuk, itu diperlukan dukungan perbankan dalam penyediaan kredit murah bagi peremajaan armada;

4. Mengurangi, bahkan menghapuskan pungutan-pungutan tidak resmi di pelabuhan sehingga tarif yang ditetapkan otoritas pelabuhan tidak jauh

43 Jeremy Bentham, Cetakan I, Juli 2006, Teori Perundang-undangan (Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Penerbit: Nusamedia & Nuansa, Bandung, Hlm. 25.

44 http://kuliahade.wordpress.com/2010/01/28/hokum-pengangkutan-laut-asas-cabotage/ Diakses Pada Tanggal: 7 September 2014.

Page 27: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

27

berbeda dengan biaya yang secara riil dikeluarkan oleh pengguna jasa kepelabuhanan;

5. Memenuhi standar pelayaran internasional yang dikeluarkan oleh IMO (International Maritime Organization) untuk meningkatkan keselamatan pelayaran baik selama pelayaran, maupun pada saat berlabuh dan bongkar muat di pelabuhan di wilayah Indonesia;

6. Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan serta kelembagaan di subsektor transportasi perairan untuk menciptakan kondisi yang mampu menarik minat swasta-swasta dalam pembangunan prasarana transportasi perairan.

Berdasarkan hal di atas tersebut, maka penulis dapat mendeskripsikannya dalam bagan 2 sebagai berikut:

Bagan 2. Konsep Rekonstruksi Hukum Transportasi Perairan di Pelayaran Indonesia ke Depan

Teori rule of law:1. Supremasi hukum;2. Persamaan di

depan hukum;3. Konstitusi yg

ddasarkan atas hak-hak prorangan

Page 28: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

28

F. Kesimpulan1. Jadi, perlindungan hukum terhadap jaminan keselamatan dan keamanan

penumpang di pelayaran Indonesia tersebut belum terlaksana dengan baik. Hal itu dikarenakan kurang efektif dan relevannya aturan perlindungan hukum tersebut dilaksanakan, terbukti masih banyak terjadinya kecelakaan akibat dari ketidakpatuhnya SDM itu pada rambu-

Kajian UtamaBab VIII Pasal 116-123:

Pola Keselamatan dan Keamanan Penumpang serta Barang yang diangkut melalui Perairan.

Penyebab Fenomena Empirisnya:Sering terjadi kasus-kasus mengenai kecelakaan kapal pada berlayar, seperti: tabrakan kapal, kapal terbakar, kapal tenggelam, dan lain sebagainya

Penyebab Fenomena Normatifnya:1. Overcapacity;2. Standar Keselamatan dan

Kelayakan Kapal;3. Dispensasi Perwira.

Teori rule of law:1. Supremasi hukum;2. Persamaan di

depan hukum;3. Konstitusi yg

ddasarkan atas hak-hak prorangan

Sarana Perlindungan Hukum:

1. Perlindungan Hukum Preventif;

2. Perlindungan Hukum Reprensif.

Identifikasi Masalah dalam Peraturan Per-UU-an Pelayaran

Undang-Undang No.17 Tahun 2008

tentangPelayaran

Pencapaian Asas Kemanfaatan dlm Perundang-undangan

Page 29: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

29

rambu lalu lintas di perairan/ kelautan saat melakukan pelayaran, sehingga sering kali terjadi tabrakan kapal, tenggelam, bahkan sampai terbakar. Diharapkan dalam rekonstruksi hukum transportasi perairan ke depan ini dapat lebih memperhatikan tingkat pengawasan dalam hal seperti: overcapacity, standar keselamatan dan kelayakan kapal, serta dispensasi perwiranya. Agar perlindungan hukum tersebut dapat mewujudkan kepastian hukum dan menegakan nilai keadilan dalam negara hukum nantinya tercapai.

2. Dalam penerapan asas hukum transportasi perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia, belum juga diterapkan dengan sepenuhnya, seperti: asas manfaat, asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas persaingan sehat, asas adil dan merata tanpa diskriminasi, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, asas kepentingan umum, asas keterpaduan, asas tegaknya hukum, aasas kemandirian, asas berwawasan lingkungan hidup, asas kedaulatan negara, dan asas kebangsaan. Apabila tidak diterapkan sebagaimana mestinya, maka akan terdapat beberapa faktor pelanggaran hukum yang dilakukan SDM Pelayaran di Indonesia yaitu:1) Overcapacity (Kelebihan Muatan/ Penumpang);2) Standar Keselamatan dan Kelayakan Kapal;3) Dispensasi Perwira.Jadi, harapan dalam penerapan asas hukum yang terkait tersebut adalah mewujudkan ketertiban dan keefektifan hukum bagi para penumpang, SDM pelayarannya, dan armadanya, agar tercipta keadilan sosial sehingga lebih menjamin keselamatan dan keamanan bagi penumpang.

3. Konsep rekonstruksi hukum transportasi perairan terhadap keselamatan dan keamanan penumpang di pelayaran Indonesia ke depan:1) Memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan prasarana dan

sarana serta pengelolaan angkutan perairan di pelayaran Indonesia;2) Meningkatkan kelancaran dan kapasitas pelayanan di lintas perairan

dalam pelayaran Indonesia;3) Meningkatkan peran armada pelayaran nasional;4) Mengurangi, bahkan menghapuskan pungutan-pungutan tidak resmi

di pelabuhan;5) Memenuhi standar pelayaran internasional yang dikeluarkan oleh

IMO (International Maritime Organization);Merestrukturisasi peraturan dan perundang-undangan serta kelembagaan di subsektor transportasi perairan untuk menciptakan kondisi yang mampu menarik minat swasta-swasta dalam pembangunan prasarana transportasi perairan.

G. Daftar PustakaBuku:Abdulkadir Muhammad. Cetakan ke-5 2013. Hukum Pengangkutan Niaga.

Penerbit: PT Citra Aditya Bakti. Bandung.Abdul Kadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya

Bakti. Bandung. 2004.

Page 30: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

30

Abdul Manan. Cetakan Ke-3 Tahun 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Penerbit: Kencana Prenada Media. Jakarta.

Bambang Waluyo. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. 1996.

Jeremy Bentham. Cetakan I, Juli 2006. Teori Perundang-undangan (Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana). Penerbit: Nusamedia & Nuansa. Bandung.

Jonny Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. 2006.

John Rawls. Cetakan 1 Mei 2006. Teori Keadilan. Penerbit: Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kaelan. Edisi Pertama 2013. Negara Kebangsaan Pancasila (Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya). Penerbit: Paradigma. Yogyakarta.

Marck Van Hoecke, dalam Bernard Arief Sidharta. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju. 2000.

Muhammad Fathoni. Dialog Nasional Transportasi Multimoda Angkutan Barang. Palembang, 23 Juni 2014. Di Hotel Swarna Dwipa Palembang.

Nurul Qamar. Cetakan Pertama September 2013. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi. Penerbit: Sinar Grafika. Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005.

Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara). Penerbit: PT Bina Ilmu. Surabaya.

R. Soekardono. 1981. Hukum Dagang Indonesia. Penerbit: CV Rajawali. Jakarta.

Romli Atmasasmita. Cetakan Pertama Maret 2012. Teori Hukum Integratif. Penerbit: Genta Publishing. Yogyakarta.

Saut P. Panjaitan. Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian, dan Sistematika). Palembang: Universitas Sriwijaya. 1998.

Sunarjati Hartono. 1982. Apakah The Rule of Law itu?. Penerbit:Alumni. Bandung.

Utrecht, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Rangkuman Intisari ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2008.

Peraturan Perundang-undangan:Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan

Kecelakaan Kapal.

Page 31: Keselamatan dan Kecelakaan Pelayaran Di Indonesia

31

Internet:http://id.wikipedia.org/wiki/

Keselamatan_pelayaran#Penyebab_kecelakaan_pelayaran Diakses Pada Tanggal 13 April 2013.

https://id.berita.yahoo.com/windu-karsa-tenggelam-bukti-pemerintah-lalai-084721023.html Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2014.

http://www.komisiyudisial.go.id/berita-1169-kasus-km-senopati-nakhoda-wiratno-dihukum-23-tahun-penjara.html Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2014.

http://www.indosiar.com/ragam/tragedi-terbakarnya-km-levina-i_59297.html Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2014.

http://www.shnews.co/kolom/periskop/detile-54-selamatkan-jiwa-kami-di-laut.html Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2014.

http://news.detik.com/read/2013/05/21/231232/2252398/10/insiden-tenggelamnya-km-karya-indah-di-sungai-mahakam-dipolisikan?nd771104bcj Diakses Pada Tanggal 11 Juli 2014.

http://news.detik.com/read/2014/01/03/100931/2457317/10/km-munawar-tenggelam-di-perairan-ntb-3-penumpang-ditemukan-tewas?nd772204btr Diakses Pada Tanggal 11 Juli 2014.

http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/kesejahteraan-pelaut-rendah-kecelakaan-kapal-pun-terjadi/21804 Diakses Pada Tanggal 11 Juli 2014.

http://kuliahade.wordpress.com/2010/01/28/hokum-pengangkutan-laut-asas-cabotage/ Diakses Pada Tanggal: 7 September 2014.