kesehatan n keselamatan kerja

164
GAMBARAN PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI KALANGAN DOKTER GIGI (Penenelitian dilakukan di Kota Makassar) (Dentist’ Abstrak Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) perlu diterapkan dokter gigi di tempat praktiknya, agar dokter gigi dapat terhindar dari risiko bahaya kerja di tempat praktiknya, terutama bahaya infeksi silang, bahaya amalgam (Hg), dan bahaya postur tubuh yang tidak ergonomi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif. Dari populasi dokter gigi umum yang terdaftar sebagai anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Kota Makassar sebanyak 258 orang, didapatkan sampel sebanyak 100 orang berdasarkan pendapat Gay dan Diehl dengan antisipasi drop out 20%. Penelitian ini menggambarkan upaya pencegahan dokter gigi terhadap bahaya infeksi silang dan amalgam (Hg) serta aplikasi postur tubuh yang ergonomi. Penelitian ini didapatkan persentase pencapaian upaya pencegahan responden terhadap bahaya infeksi silang dengan klasifikasi 76-100% sebanyaknya 46 respoden (46%, N=100), upaya pencegahan responden terhadap bahaya amalgam dengan klasifikasi 76-100% sebanyak 25 respoden (37.3%, N=67), serta aplikasi postur yang ergonomi dengan klasifikasi sangat baik sebanyak 24 respoden (24%, N=100). Data ini menujukkan upaya pencegahan dokter gigi terhadap risiko bahaya kerja di tempat praktiknya masih kurang. Dokter gigi di Kota Makassar sebaiknya lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerjanya saat berpraktik. Agar terhidar dari bahaya kerja yang dapat muncul saat melakukan prosedur perawatan pada pasien.

Upload: sheila-dian-pradipta

Post on 23-Oct-2015

615 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kesehatan, keselamatan kerja

TRANSCRIPT

Page 1: Kesehatan n Keselamatan Kerja

GAMBARAN PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI KALANGAN DOKTER GIGI

(Penenelitian dilakukan di Kota Makassar)

(Dentist’

Abstrak Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) perlu diterapkan dokter gigi di tempat praktiknya, agar dokter gigi dapat terhindar dari risiko bahaya kerja di tempat praktiknya, terutama bahaya infeksi silang, bahaya amalgam (Hg), dan bahaya postur tubuh yang tidak ergonomi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif. Dari populasi dokter gigi umum yang terdaftar sebagai anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Kota Makassar sebanyak 258 orang, didapatkan sampel sebanyak 100 orang berdasarkan pendapat Gay dan Diehl dengan antisipasi drop out 20%. Penelitian ini menggambarkan upaya pencegahan dokter gigi terhadap bahaya infeksi silang dan amalgam (Hg) serta aplikasi postur tubuh yang ergonomi. Penelitian ini didapatkan persentase pencapaian upaya pencegahan responden terhadap bahaya infeksi silang dengan klasifikasi 76-100% sebanyaknya 46 respoden (46%, N=100), upaya pencegahan responden terhadap bahaya amalgam dengan klasifikasi 76-100% sebanyak 25 respoden (37.3%, N=67), serta aplikasi postur yang ergonomi dengan klasifikasi sangat baik sebanyak 24 respoden (24%, N=100). Data ini menujukkan upaya pencegahan dokter gigi terhadap risiko bahaya kerja di tempat praktiknya masih kurang. Dokter gigi di Kota Makassar sebaiknya lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerjanya saat berpraktik. Agar terhidar dari bahaya kerja yang dapat muncul saat melakukan prosedur perawatan pada pasien.

Kata Kunci: Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), dokter gigi

Page 2: Kesehatan n Keselamatan Kerja

THE DESCRIPTION OF APPLICATION PRINCIPLES OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY IN THE DENTIST (Research in

Makassar City)

abstract Occupational Health and Safety needs to be applied in the dentist's practice, so that dentists can avoid the risk of occupational hazards in the practice, especially the hazard of cross infection, the hazard of amalgam (Hg), and the hazard that are not ergonomic posture. This study is a observational study descriptive. Based on population of general dentists who are registered as members of Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) in Makassar of 258 people, obtained a sample of 100 people in the opinion of the Gay and Diehl with 20% drop out anticipated. This study describes the efforts to avoid dentist from the hazard of cross infection and amalgam (Hg) and the application of ergonomic posture. This study found the percentage of respondents achieving prevention of cross infection hazard to the classification of 76-100% as much 46 respondents (46%, N = 100), the prevention of respondents to the hazard of amalgam (Hg) with the classification of 76-100% of 25 respondents (37.3%, N = 67), and the application of ergonomic posture with very good classification of 24 respondents (24%, N = 100). These data showed there are lack of prevention against the risk of danger dentists work in their practice. Dentists in Makassar should pay more attention to occupational health and safety during practice. In order to avoid of occupational hazards that can arise when performing maintenance procedures on patients.

Keywords: Occupational Health and Safety, dentists

2

Page 3: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB IPENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan gigi dan mulut tidak bisa lepas dari profesi dokter gigi. Hal ini

dikarenakan peran dokter gigi sangat besar dalam membantu seseorang dalam

menjaga kesehatan gigi dan mulutnya, baik dalam usaha preventif, promotif, kuratif

maupun rehabilitatif. Di lain pihak, masih banyak masyarakat yang mengabaikan

kesehatan gigi dan mulutnya. Hal ini dibuktikan pada Survey Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT) 2010 bahwa 63% penduduk Indonesia masih menderita penyakit

gigi dan mulut. Kebanyakan dari mereka menderita karies gigi dan penyakit jaringan

penyangga.1 Sedangkan Berdasarkan data dari Profil kesehatan kota/kab 2009 di

Sulawesi Selatan tercatat rasio dokter gigi sebesar 5,38 per 100.000 penduduk,

sedangkan bila dibandingkan dengan target pencapaian IIS 2010, nampak bahwa

rasio untuk tenaga dokter dokter gigi belum mencapai target (dokter gigi 11 per

100.000 penduduk).2

Fakta ini merupakan tantangan terbesar bagi seorang dokter gigi bila

dibandingkan persebaran dokter gigi yang belum mencapai target di tambah lagi

derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat masih rendah. Angka tersebut

menunjukkan bahwa seorang dokter gigi memerlukan kerja yang lebih untuk

mengimbanginya. Namun justru sebaliknya akan mempertinggi risiko bahaya untuk

kesehatan dan keselamatan seorang dokter gigi.

3

Page 4: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Akan tetapi, pernakah kita berpikir apakah selama ini dokter gigi telah

memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerjanya. Tentunya akan menjadi

pertanyaan besar bagi kita, bila selama ini justru dokter gigilah yang kurang

memperhatikan kesehatan dan keselamatannya selama menjalankan profesinya di

ruang praktik.

Mengingat kerja dokter gigi yang cukup berat dan perannya sangat penting,

seorang dokter gigi harus pandai menghindari berbagai ancaman bahaya selama

praktik. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, Pasal

23 dijelaskan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diterapkan

di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya

kesehatan.3 Jika diperhatikan isi dari pasal tersebut maka jelaslah bahwa sangatlah

perlu menerapkan prinsip-prinsip K3 pada praktek dokter gigi, mengingat semua

pekerjaan dokter gigi tidak bisa lepas dari berbagai risiko ancaman bahaya

kesehatan. Dampaknya tidak hanya pada pasien pengunjung saja, tetapi juga para

dokter gigi sebagai praktisisi kesehatan dapat terkena.

Terdapat lebih dari 2,6 milyar pekerja dan tenaga kerja yang terus menerus

berkembang di seluruh dunia dan sekitar 75% merupakan pekerja di negara

berkembang yang risiko di tempat kerjanya lebih parah. Setiap tahun terdapat sekitar

250 juta kasus cedera akibat kerja yang mengakibatkan 330.000 kematian.4 Selain di

rumah, orang-orang hampir menghabiskan waktunya di lokasi kerja. Tentunya salah

satu profesi pekerja tersebut adalah dokter gigi yang risiko bahaya kerjanya cukup

Page 5: Kesehatan n Keselamatan Kerja

tinggi. Oleh karena itu, diperlukan tempat kerja yang aman dan sehat bagi seorang

gigi.

Potensi bahaya pada praktik kedokteran gigi dapat dari berbagai aspek, mulai

penyakit-penyakit infeksi hingga potensi bahaya seperti kecelakaan, radiasi, bahan-

bahan kimia yang berbahaya, gangguan psikososial dan ergonomi.

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) perlu diterapkan, hal ini dikarenakan

hampir seluruh penduduk memiliki potensi untuk mengalami cedera dan terkena

penyakit. Dalam dunia kedokteran, dokter gigi berpeluang terkena atau bahkan

menyebarkan agen penyebab penyakit dan bahan polutan ke masyarakat umum.

Kontaminasi dapat melalui pakaian, kendaraan, atau alat yang sering di dipakai oleh

dokter gigi.

Kontrol infeksi merupakan salah satu cara dokter gigi menghindari potensi

bahaya seperti infeksi penyakit menular (Hepatitis, HIV/AIDS, TBC, influenza dll).

Kontrol infeksi dapat diterapkan dengan berbagai cara, seperti anamnesa pasien yang

tepat, pemakaian sarung tangan, masker penutup mulut serta kacamata pelindung

saat kerja, atau bekerja lebih asepsis, memperhatikan sterilisasi alat dan mencuci

tangan (scrubbing-up) dengan benar. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi infeksi

silang (cross infection) dari satu pasien ke pasien lainnya maupun ke dokter gigi

langsung.

Selain dari infeksi penyakit menular, potensi bahaya juga dapat dari

kecelakaan seperti tertusuk alat-alat kedokteran gigi yang tajam (penggunaan alat

scaler dan ekstraksi, hingga cedera saat membuka ampul anastesi). Bahaya terpapar

5

Page 6: Kesehatan n Keselamatan Kerja

bahan kimia seperti Hg (merkuri) melalui pernapasan maupun kontak dengan kulit,

yang dapat berdampak pada syndrome Parkinson. Potensi bahaya terpapar sinar

radiasi pada rontgen foto dan bahaya sinar dari light cure unit untuk komposit.

Potensi bahaya juga dikarenakan suasana kerja yang tidak ergonomi.

Ergonomi membantu dokter gigi dalam mengurangi risiko cedera, meningkatkan

produktivitas kerja, serta meningkatkan kualitas hidupnya. beberapa kasus yang tidak

ergonomi seperti kesalahan penempatan alat kedokteran gigi yang dapat mengurangi

produktifitas dan keefektifan bekerja hingga kesalahan dalam memposisikan tubuh

saat bekerja di dental unit.

Pada penelitian ini sengaja mengambil dokter gigi umum sebagai subjek

penelitian karena potensi dokter gigi umum untuk terkena berbagai macam potensi

risiko bahaya lebih besar dibandingkan dokter gigi spesialis. Ada kemungkinan

potensi dokter gigi spesialis hanya terkena satu macam bahaya, seperti spesialis

konservasi hanya berpotensi terhadap bahaya amalgam, spesialis bedah dan

periodontologi hanya berpotensi bahaya infeksi silang. Sedangkan pada penelitian

ini berusaha mencakup sebagian besar potensi bahaya pada praktik dokter gigi.

Penelitian ini juga sengaja mengambil di kota Makassar mengingat

persebaran dokter gigi di Sulawesi Selatan terpusat dan lebih banyak dibandingkan

kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan.2

1.2 RUMUSAN MASALAH

6

Page 7: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Bagaimanakah gambaran penerapan prinsip-prinsip kesehatan dan keselamatan

kerja di kalangan dokter gigi kota Makassar?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui gambaran penerapan prinsip-prinsip kesehatan dan

keselamatan kerja di kalangan dokter gigi kota Makassar.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

1. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber informasi mengenai penerapan

prinsip-prinsip kesehatan dan keselamatan kerja di kalangan dokter gigi di Kota

Makassar.

2. Memberikan informasi tentang pentingnya menerapkan prinsip-prinsip kesehatan

dan keselamatan kerja di kalangan dokter gigi di tempat kerja sehingga para

praktisi di bidang kedokteran gigi dapat terhindar dari berbagai penyakit

(terutamanya penyakit menular) dan cedera akibat kerja selama pelayanan

perawatan.

3. Memberikan informasi tentang bagaimana cara menerapkan prinsip-prinsip

kesehatan dan keselamatan kerja di kalangan dokter gigi di tempat kerja

4. Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi

pembacanya. Serta menginspirasi peneliti lain untuk melakukan penelitian

serupa.

7

Page 8: Kesehatan n Keselamatan Kerja

8

Page 9: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)

Sejak zaman dahulu, risiko pekerjaan sudah kita kenal bahkan sejak zaman

prasejarah, tidak hanya saat berburu atau berperang tetapi juga untuk aktivitas yang

lebih tenang seperti pembuatan api dengan menggunakan batu. Dengan risiko cedera

tangan akibat terpukul atau tergesek batu.

Sejarah kesehatan dan keselamatan kerja (K3) berawal pada tahun 1561

berdasarkan catatan kerja harian George Agricola yang berjudul De Re Metalica yang

menekankan perlunya menggunakan ventilasi di area tambang. Kemudian pada tahun

1567, karya Paracelsus yang berjudul On the Miner’s Sickness and Other Miner’s

Disease, buku ini menggambarkan penyakit yang terkait akibat pekerjaan tertentu.4

Pada dunia kesehatan khususnya kedokteran gigi, risiko akan penyakit atau

cedara akibat kerja cukup tinggi. Pada prinsipnya seorang dokter gigi lebih mudah dan

rentang tertular oleh penyakit infeksi menular ataupun cedera yang akibat

instrumen/alat kedokteran gigi yang tajam.

2.1.1 Pengertian kesehatan dan keselamatan kerja.

9

Page 10: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Secara filosofi, K3 didefinisikan sebagai upaya dan pemikiran untuk

menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani ataupun rohani diri manusia

pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya beserta hasil karyanya dalam

10

Page 11: Kesehatan n Keselamatan Kerja

rangka menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Secara keilmuan K3

didefinisikan sebagai ilmu dan penerapannya secara teknis dan teknologis untuk

melakukan pencegahan terhadap munculnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Dari sudut pandang ilmu hukum, K3 adalah upaya perlindungan agar setiap tenaga

kerja yang dan orang lain yang memasuki area kerja dalam keadaan sehat dan

selamat serta sumber produksi dapat berjalan aman, efisien dan produktif.5

Kesehatan dan Keselamatan Kerja menurut World Health Organization

(WHO) / International Labor Organization (ILO)3 adalah upaya untuk memberikan

jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja dengan cara

pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat

kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi. Secara garis besar K3

merupakan suatu upaya untuk menekan atau mengurangi risiko kecelakaan dan

penyakit akibat kerja dan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan antara kesehatan

dan keselamatan kerja.6

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada kedokteran gigi dapat diartikan

sebagai upaya seorang dokter gigi untuk mengurangi risiko penyakit (menular) dan

cedera selama pelayanan perawatan pada praktik dokter gigi.

2.1.2 Kesehatan kerja.

Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan/kedokteran yang

mempelajari bagaimana melakukan usaha preventif, kuratif dan rehabilitatif

terhadap penyakit serta gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor

Page 12: Kesehatan n Keselamatan Kerja

pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit umum dengan tujuan agar pekerja

memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun

sosial.5 Secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi efisiensi dan

produktifitas kerja dikarenakan kesehatan kerja erat kaitannnya dengan lingkungan

kerja dan pekerjaan.

Menurut WHO/ILO 3 Kesehatan Kerja bertujuan untuk peningkatan dan

pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi

pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja

yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam

pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan penempatan

serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan

kondisi fisiologi dan psikologisnya.

Kesehatan kerja dalam praktik dokter gigi ditujukan agar semua faktor risiko

pekerjaan dan lingkungan kerja yang mempengaruhi kesehatan dokter gigi, serta

semua penyakit dan gangguan kesehatan dapat dihindari selama pelayanan perawatan

guna tercapainya derajat kesehatan bagi dokter gigi dan pasien pengunjungnya

Program kesehatan kerja merupakan kegiatan dan upaya kesehatan dalam

masyarakat pekerja guna mewujudkan kondisi pekerja uang sehat, efektif, efisien dan

produktif sesuai dengan jenis pekerjaannya.5 Upaya penyelarasan antara kapasitas

kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara

sehat tanpa membahayakan diri sendiri maupun orang di sekelilingya juga

merupakan upaya kesehatan kerja.6

12

Page 13: Kesehatan n Keselamatan Kerja

2.1.3 Keselamatan kerja.

Keselamatan kerja merupakan sarana utama untuk mencegah terjadinya

kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan kerugian yang berupa luka/cedera, cacat,

kematian, kerugian harta benda dan kerusakan peralatan (instrumen) dan lingkungan

secara luas.5 Keselamatan kerja memberikan pekerja perlindungan menyangkut

masalah keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja, perlakuan sesuai

martabat manusia dan moral agama. Dengan demikian, para pekerja dapat

melakukan pekerjaannya dengan aman guna meningkatkan hasil kerja dan

produktifitas kerja.

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan alat kerja,

bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara

melakukan pekerjaan.6

Dalam UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pasal 3 (1)

ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja yang harus dipenuhi setiap orang atau

badan yang menjalankan usaha, baik formal maupun informal, di manapun berada

dalam upaya memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan semua orang

yang ada di lingkungan kerja. Adapun syarat-syarat keselamatan kerja yang di

maksudkan5:

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.

2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.

13

Page 14: Kesehatan n Keselamatan Kerja

3. Memberi kesempatan dan jalan penyelamatan diri pada waktu kebakaran atau

kejadian-kejadian lain yang membahayakan.

4. Memberi pertolongan pada kecelakaan.

5. Memberi alat pelindung diri pada para pekerja.

6. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban,

debu, kotoron, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan

getaran.

7. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik

amupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.

8. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.

9. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik.

10. Menyelanggarakan penyegaran udara yang cukup.

11. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban.

12. Menerapkan ergonomi ditempat kerja.

13. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang dan barang.

14. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat perlakuan dan

penyimpanan barang.

15. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.

16. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya

kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

2.1.4 Keselamatan kerja praktik dokter gigi.

14

Page 15: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Berdasarkan syarat-syarat keselamatan kerja yang dipaparkan sebelumnya,

maka dapat digunakan dalam praktik kedokteran gigi seperti:

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja, seperti tertusuknya tangan dengan

jarum dan instrumen kedokteran gigi lainnya yang tajam.

2. Memberi alat pelindung diri pada dokter gigi, seperti pemakaian sarung tangan,

masker, penutup kepala, atau celemek.

3. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban,

debu, kotoron, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan

getaran.

4. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik

maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.

5. Memperoleh penerangan ruangan maupun area kerja pada pasien yang cukup

dan sesuai.

6. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik serta

menyelanggarakan penyegaran udara yang cukup pada ruangan praktik.

7. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban ruang praktik.

8. Menerapkan ergonomi di tempat kerja seperti cara memposisikan tubuh dengan

benar saat bekerja, maupun tata letak penempatan alat kedokteran gigi.

2.1.5 Landasan hukum kesehatan dan keselamatan kerja (K3).3,5,6

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja terdiri dari 11

Bab 18 pasal. Memuat aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan umum

15

Page 16: Kesehatan n Keselamatan Kerja

tentang keselamatan dan kesehatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di

darat, dalam tanah, permukaan air, dalam air maupun di udara yang berada di

wilayah RI.

2. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Khususnya pada pasal

23 dinyatakan bahwa Kesehatan Kerja di selenggrakan untuk mewujudkan

produktivitas kerja yang optimal meliputi pelayan kesehatan kerja, penyakit

akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.

3. Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 86 dinyatakan bahwa: (1) Setiap pekerja atau buruh mempunyai untuk

memperoleh perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Moral dan

Kesusilaaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia

serta nilai-nilai agama. (2) untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna

mewujudkan produktifitas kerja yang optimal diselenggrakan upaya K3. Pasal

87 (1) dinyatakan bahwa: setiap perusahaan wajib menerapkan system

manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) yang terintegragsi dengan

sistem manajemen perusahaan.

4. Peraturan Pemerintah RI No. 11 Tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja

terhadap Radiasi. Pasal 8 s/d 10 dinyatakan bahwa pemeriksaan pagi pekerja

radiasi dilakukan 1 kali dalam setahun atau dilakukan sewaktu-waktu bila perlu.

5. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi

dan Alat Kesehatan.

16

Page 17: Kesehatan n Keselamatan Kerja

6. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatn

Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.

7. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena

Hubungan Kerja.

8. Keputusan Menteri Kesehatan No. 7 Tahun 1999 tentang Wajib Laporan

Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja.

2.2 PENYAKIT AKIBAT KERJA

Menurut WHO diperkirakan hanya 20-50% pekerja di negara industri dan 5-

10% yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kerja yang memadai. Hal

ini tentunya berdampak pada tingkat penyakit akibat kerja yang di dapat para

pekerja juga semakin tinggi. Menurut ILO, di Indonesia terdapat 70-80% angkatan

kerja yang bergerak di sektor informal, yang umumnya bekerja dalam lingkungan

kerja yang kurang baik dan belum terorganisir dengan baik, berdasarkan informasi

tersebut diperkirakan bahwa masalah kesehatan kerja di Indonesia perlu mendapat

perhatian yang serius.7

2.2.1 Pengertian penyakit akibat kerja.

Penyakit kerja kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang murni

disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Sedangkan penyakit yang

17

Page 18: Kesehatan n Keselamatan Kerja

berhubungan dengan pekerjaan (Work related disease) merupakan penyakit yang

timbul dikarenakan adanya interaksi antara faktor-faktor pekerjaan dengan faktor-

faktor lain.5

Pada simposium yang diselengarakan oleh ILO di Linz mengenai Penyakit

Akibat Kerja 7 dihasilkan definisi sebagai berikut:

1. Penyakit kerja kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang mempunyai

penyebab spesifik atau asossiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada

umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui

2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work related disease) adalah

penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, di mana faktor pada

pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam

perkembangannya penyakit yang mempunyai etiologi.

3. Penyakit yang mengenai populasi pekerja (disesases affecting working

populations) adalah penyakit yang terjadi apada populasi pekerja tanpa adanya

agen penyebab di tempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerja

yang buruk bagi kesehatan.

Ada beberapa perbedaaan antara penyakit akibat kerja dengan penyakit yang

berhubungan dengan pekerjaan, diantaranya: 5

1. Penyakit akibat kerja:

- Faktor pekerjaan merupakan faktor etiologi yang predominan.

- Berkaitan antara penyebab dan efek, antara potensi bahaya dan penyakit.

- Faktor penyebab murni dari pekerjaan dan lingkungan kerja.

18

Page 19: Kesehatan n Keselamatan Kerja

2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan:

- Faktor pekerjaan berinteraksi denan faktor-faktor lain sehingga timbul

penyakit.

- Faktor penyebab merupakan multifaktorial (penyebab ganda atau kompleks)

2.2.2 Potensi bahaya penyebab penyakit akibat kerja.

Potensi bahaya yang ada di tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan bagi

pekerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja. Untuk

mempermudah pengendalian terhadap potensi bahaya serta mencegah terjadinya

penyakit akibat kerja, perlu bagi seorang pekerja mengenal dan memahami potensi

bahaya tersebut.

Potensi bahaya ini dapat dikelompokkan sebagi berikut:5,7

1. Bahaya fisik. Misalnya kebisingan, vibrasi (getaran), radiasi, suhu ekstrim

(terlalu panas atau dingin), tekanan, intensitas penerangan yang kurang

memadai, dll.

2. Bahaya kimia. Berdasarkan data dari ILO, dari 100.000 bahan kimia yang

digunakan dalam industri terdapat 31 bahan kimia teridentifikasi sebagai

penyebab.

3. Bahaya biologis. Potensi bahaya yang ditimbulkan oleh bakteri, virus, jamur,

parasit, dll. Dapat berasal dari tenaga kerja yang menderita penyakit tertentu

19

Page 20: Kesehatan n Keselamatan Kerja

(TBC, AIDS, Hepatitis A/B) ataupun berasal dari alat dan bahan yang digunakan

saat bekerja.

4. Bahaya fisiologis. Potensi bahaya yang disebakan penerapan ergonomi yang

tidak baik dan sesuai dengan aturan-aturan ergonomi dalam melakukan

pekerjaan serta peralatan alat kerja. Salah satunya adalah kesalahan dalam

memposisikan tubuh saat bekerja, yang berdampak pada Musculoskeletal

Disorder (MSDs).

2.2.3 Potensi bahaya pada praktik dokter gigi.

1. Bahaya biologis.

Seorang dokter gigi mempunyai risiko untuk terkena infeksi dan dapat pula

menularkan infeksi dari pasien ke pasien lainnya atau lebih dikenal dengan nama

infeksi silang. Infeksi dapat disebabkan oleh kontaminasi alat/instrumen

kedokteran gigi dan tangan operator yang tidak steril, serta dapat melalui mulut

dan saluran nafas bagian atas. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan selama

perawatan diantaranya TBC, HIV/AIDS, influenza, dan infeksi hepatitis, dapat

ditularkan melalui darah, saliva, maupun lesi dengan kontak tangan.8

2. Bahaya kimia.

Bahan-bahan kimia di kedokteran gigi contohnya Hg (merkuri) yang dapat

memasuki atau mempengaruhi tubuh melalui cara: inhalation (melalui

pernapasan), ingestion (melalui mulut ke saluran pencernaan), atau skin contact

(melalui) kulit.

20

Page 21: Kesehatan n Keselamatan Kerja

3. Bahaya fisik.

a. Bahaya Radiasi. Pada dasarnya radiasi tidak kasat mata, tidak mempunyai

bau, warna, atau rasa. Namun namun diketahui dampak buruk yang

ditimbulkannya seperti kanker, cacat tubuh, bahkan kematian. Contohnya

bahaya sinar-X.

Bahaya radiasi sinar-X dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu efek

somatik non-stokastik, efek somatik stokastik, dan efek genetik somatik.

Efek somatik non-stokastik adalah efek radiasi di mana seseorang

mengalami kerusakan dalam tubuhnya diakibatkan paparan radiasi dosis

tertentu, yang berat ringannya sebanding dengan dosis yang diterima

(misalnya katarak, kemerahan pada kulit). Efek somatik stokastik adalah

efek radiasi yang terjadi tidak bergantung pada besaran dosis, namun

bergantung pada kesempatan dan probabiilitasnya (seperti kanker). Serta

efek genetik somatik adalah efek radiasi yang mungkin terjadi pada organ

reproduksi sehingga merusak DNA, sperma, atau sel telur, sehingga terjadi

mutasi gen dan kromosom, serta dapat mengakibatkan cacat pada keturunan.9

Bahaya dan sifat radiasi pengion yang merugikan:10

1. Dapat menimbulkan penurunan daya tahan tubuh yang menyebabkan

komponen pertahanan rongga mulut terhadap kolonisasi bakteri dan jamur

meningkat.

2. Dapat menimbulkan efek biologis tidak hanya terhadap sel-sel kanker

tetapi juga sel-sel yang masih sehat.

21

Page 22: Kesehatan n Keselamatan Kerja

3. Oleh karena tidak dapat dilihat oleh panca indera, maka orang yang

terkena radiasi ionisasi tidak dapat menyadari bahaya radiasi tersebut.

4. Tidak dapat difokuskan pada daerah yang akan disinari.

5. Efeknya pada tubuh tidak segera terlihat dan bersifat kumulatif.

Bahaya radiasi pertahanan rongga mulut antara lain:10

1. Berubahnya integrasi anatomik berupa meningkatnya permeabilitas.

2. Perubahan fisiologis secara spesifik dari komposisi protein saliva.

3. Terganggunya fungsi penelanan.

4. Berkurangnya sekresi saliva lebih dari 90%

5. Berubahnya sekretori Imunoglobulin A (sIgA) berupa berkurangnya

aktifitas antimikroba saliva karena turunnya kadar sIgA saliva.

6. Terganggunya perubahan sel mukosa berupa menurunnya aktifitas

antibiotik dalam lapisan basal.

1 Vibrasi (getaran) handpiecie.

2 Mechanical stress.

3 Intensitas penerangan pada ruang praktik.

4 Suhu dan kelembaban ruang praktik.

4. Bahaya fisiologis.

Dapat disebakan oleh penerapan ergonomi yang tidak baik dan sesuai dengan

aturan-aturan ergonomi dalam melakukan pekerjaan serta peralatan alat kerja;

seperti sikap dan cara kerja yang tidak sesuai, pengaturan kerja yang tidak

sesuai, pengaturan kerja yang tidak tepat, beban kerja yang tidak sesuai dengan

22

Page 23: Kesehatan n Keselamatan Kerja

kemampuan dokter gigi ataupun ketidakserasian manusia dengan

insturmen/mesin. Salah dampak kesalahan dalam memposisikan tubuh saat

bekerja ialah Musculoskeletal Disorder (MSDs). Musculoskeletal Disorder

(MSDs) adalah kelainan yang cukup penting dipermasalahkan mengingat

gejalanya yang muncul lambat serta dampak yang diberikan bagi penderitanya

cukup serius. Berdasarkan data didapatkan 36% pada dokter gigi yang bekerja

kurang dari 10 tahun; 27,6% untuk 10-21 tahun; 25,4% untuk 21-30 tahun dan

13,4% pada dokter gigi yang bekerja lebih dari 30 tahun.11

2.2.4 Evaluasi potensi bahaya di lingkungan kerja.

Setelah mengenali potensi bahaya yang dapat mengakibatkan gangguan atau

penyakit akibat kerja, maka perlu melakukan evaluasi potensi bahaya tersebut

sebagai langkah awal upaya pengendalian. Dalam melakukan evaluasi perlu

diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:5

1. Pengenalan melalui identifikasi potensi bahaya.

2. Pengukuran potensi bahaya. Pengukuran ini dapat berupa pengukuran kualitatif

ataupun kuantitatif. Untuk melkukan pengukuran tentunya membutuhkan

peralatan (pengukur khusus) serta bergantung pada potensi bahaya yang akan

diukur.

3. Sampling. Evaluasi ini butuh perhatian pada jenis dan bentuk potensi bahaya

seta pengaruhnya terhadap pekerja yang terpapar. Penggunaan teknik sampling

yang tepat akan mempengaruhi hasil evaluasi tersesebut.

23

Page 24: Kesehatan n Keselamatan Kerja

4. Standarisasi. Perbandingan hasil pengukuran dengan nilai ambang batas (NAB)

yang berlaku.

5. Biological monitoring. Pemeriksaan tenaga kerja (darah, urin, dll) sesuai dengan

potensi bahaya yang ada guna mengetahui pengaruh potensi bahaya terhadap

kesehatan kerja. Pemeriksaan berkala atau khusus dapat memantau pengaruh

potensi bahaya terhadap kesehatan tenaga kerja

6. Record keeping. Pencatatan, pengumpulan dan penyimpanan semua data yang

berhubungan dengan potensi bahaya yang ada merupakan hal yang sangat

penting dan bermanfaat untuk perencanaan pengendalian bahaya serta

perbaikannya.

2.3 KECELAKAAN KERJA

2.3.1 Pengertian kecelakaan kerja.

Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak terduga dan tidak pula

diharapkan terjadi. Sedangkan kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang

berhubungan dengan kerja di perusahaan, maksudnya kecelakaan dapat terjadi

dikarenakan pekerjaan atau pada waktu melakukan kerja.4 Kecelakaan kerja sering

kali dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau properti maupun

korban jiwa yang terjadi di dalam proses kerja industri atau yang berkaitan

dengannya. Secara garis besar kecelakaan kerja memiliki karakteristik sebagai

berikut:5

24

Page 25: Kesehatan n Keselamatan Kerja

1. Tidak diduga semula karena kecelakana tidak terdapat unsur kesengajaan dan

perencanaan.

2. Tidak dinginkan dan diharapkan karena setiap kecelakaan akan menimbulkan

kerugian baik fisik dan mental.

3. Menimbulkan kerugian dan kerusakan, sehingga mengganggu produktifitas

kerja

2.3.2 Sebab kecelakaan kerja.

Meskipun banyak teori yang mengemukakan tentang penyebab terjadinya

kecelakaan kerja akan tetapi secara umum penyebab kecelakaan kerja dapat di

kelompokkan sebagai berikut:5,12

1. Sebab Dasar. Sebab dasar merupakan sebagai atau faktor yang mendasari secara

umum terhadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Sebab dasar meliputi

beberapa faktor yang terdiri dari:

a. Komitmen atau partisipasi dari pihak manajemen atau pimpinan perusahaan

dalam upaya penerapan K3.

b. Manusia (pekerja) itu sendiri.

c. Kondisi tempat kerja, sarana dan lingkungan kerja.

2. Sebab Utama. Faktor dalam persyaratan K3 yang tidak dilaksanakan dengan

benar merupakan sebab utama dari kejadian kecelakaan kerja.

Sebab utama dari kecelakaan kerja terdiri dari:

25

Page 26: Kesehatan n Keselamatan Kerja

a. Tindakan Tidak Aman (unsafe action) atau Faktor manusia. Tindakan yang

berbahaya dari tenaga kerja yang mungkin dilatarbelakangi oleh faktor:

- Kurangnya pengetahuan dan keterampilan.

- Ketidakmampuan bekerja secara normal.

- Ketidakfungsian tubuh karena cacat

- Kelelahan dan kejenuhan.

- Sikap dan tingkah laku yang tidak aman.

- Kebingungan dan stress akibat prosedur kerja yang belum dapat

dipahami.

- Penurunan konsentrasi saat melakukan pekerjaan.

- Sikap masa bodoh.

- Kurangnya motivasi kerja.

- Kurangnya kepuasan kerja.

- Sikap cenderung mencelakai diri

b. Kondisi tidak aman (unsafe condition) atau faktor lingkungan. Yaitu kondisi

tidak aman dari mesin, peralatan, pesawat, bahan, serta lingkungan tempat

kerja, proses kerja, sifat kerja dan sistem kerja. Tidak hanya dilihat sebagai

lingkungan fisik tetapi juga diperhitungkan faktor-faktor yang berkaitan

dengan penyediaan fasilitas, pengaturan organisasi kerja, hubungan sesama

pekerja, kondisi ekonomi dan politik yang bisa menggangu konsentrasi.

26

Page 27: Kesehatan n Keselamatan Kerja

2.3.3 Klasifikasi kecelakaan kerja.

Menurut ILO, kecelakaan kerja dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis

kecelakaan, agen penyebab, jenis cedera atau luka, dan lokasi tubuh yang terluka.5

1. Berdasarkan jenis kecelakaannya.

- Terjatuh.

- Tertimpa benda atau objek kerja.

- Tersandung benda atau objek, terbentur, terjepit antara dua benda.

- Gerakan-gerakan yang dipaksa atau peregangan otot yang berlebihan.

- Terpapar atau berkontak dengan benda panas atau suhu tinggi.

- Terkena arus listrik.

- Terpapar bahan-bahan berbahaya atau radiasi, dll.

2. Berdasarkan agen penyebabnya.

- Mesin-mesin.

- Peralatan-peralatan lain, seperti; instalasi listrik, motor listrik, alat-alat

tangan listrik, perkakas, dll.

- Bahan-bahan berbahaya dan radiasi, seperti; bahan yang muda meledak,

debu, gas, cairan, bahan kima, radiasi, dll.

- Lingkungan kerja, seperti; tekanan panas dan dingin, intensitas kebisingan

tinggi, getaran, dll.

3. Berdasarkan jenis luka atau cedera.

- Patah tulang.

27

Page 28: Kesehatan n Keselamatan Kerja

- Keseleo/terkilir/dislokasi.

- Kenyerian otot atau kejang.

- Gegar otak atau luka dalam lainnya.

- Amputasi atau enukleasi.

- Luka gores atau luka luar lainnya.

- Memar dan retak.

- Luka bakar.

- Keracunan akut.

- Aspixia atau sesak napas

- Efek terkena listrik atau paparan radiasi

- Luka pada banyak tempat di bagian tubuh.

4. Berdasarkan lokasi bagian tubuh yang terluka.

- Kepala, leher, badan, lengan kaki, berbagai bagian tubuh

- Luka umum, dll

2.3.4 Kecelakaan kerja di praktik dokter gigi.

Kecelakaan kerja yang mungkin terjadi di praktik dokter gigi ialah:

1. Terpapar dan keracunan bahan-bahan berbahaya seperti Hg (merkuri).

2. Terpapar sinar radiasi seperti radiasi pesawat sinar-X atau sinar Gamma.

3. Gerakan yang dipaksa dan berulang-ulang, seperti saat membersihkan karang

gigi

4. Luka gores maupun tertusuk oleh instrumen/alat kedokteran gigi.

28

Page 29: Kesehatan n Keselamatan Kerja

2.4 PENERAPAN PRINSIP KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI

PRAKTIK DOKTER GIGI

2.4.1 Proteksi diri terhadap infeksi silang.

Pencegahan terhadap infeksi silang dapat dicapai dengan cara membersihkan

tangan sebelum dan sesudah perawatan gigi dan mulut. Namun hasil tindakan

pensucihamaan sangat bergantung pada faktor seperti faktor sifat dan dan banyaknya

mikroorganisme, konsentrasi bahan kimia, waktu kontak, jumlah bahan organik pada

benda tersebut serta suhunya. Pada umumnya untuk membersihkan tangan dlkukan

dengan menggunakan sabun cair yang mengandung bahan germizit dan air selama 15

detik (bila menyentuh darah dan purulen dibersihkan selama 2-3 menit). Selain itu

dapat pula digunakan etil alkohol 50-70% sebanyak 3 ml dengan digosok di tangan

hingga kering.8

Berbagai macam cara dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi silang

antara lain dengan pemakaian proteksi diri yaitu masker, kacamata pelindung, sarung

tangan, baju praktek, maupun penutup kepala/rambut dan kebersihan lingkungan

tempat kerja yang meliputi cara pembersihan alat dan lingkungan.13 Sehingga dengan

adanya prosedur ini, maka rantai infeksi akan terputus, karena kesalahan sekecil

apapun pada prosedur proteksi diri dapat menyebabkan perpindahan penyakit dari

penderita ke penderita baru.

29

Page 30: Kesehatan n Keselamatan Kerja

2.4.2 Penanganan terhadap amalgam (Hg) sebagai bahan restorasi.

Bahan tambal amalgam yang mengandung Hg (merkuri) sampai kini masih

banyak dipakai. Selain karena mudah penggunaannya, harganya pun relatif tidak

mahal. Namun, karena kandungan merkurinya, tambalan ini merupakan bahan yang

kontroversial. Sejauh ini, tidak ada larangan penggunaan bahan tambal ini oleh

institusi seperti FDI (Federation Dentaire International) atau ADA (American

Dental Association).

Demi keselamatan pasien dan personil kesehatan gigi, telah dikeluarkan

tuntunan bagi para dokter gigi dan asistennya dalam menangani bahan tambalan

tersebut:14

1. Kenalilah gejala bahaya dan gejala dari keterpaparan terhadap Hg misalnya

terjadinya sensitivitas dan neuropati.

2. Hati-hatilah dalam menangani tambalan amalgam. Hindari kontak kulit dengan

merkuri atau amalgam yang baru tercampur. Pakailah masker, sarung tangan

baju praktik hanya di tempat praktik.

3. Kenalilah sumber penguapan merkuri di tempat kerja misalnya cipratan Hg,

penyimpanan sisa amalgam dan kapsul amalgam bekas pakai yang tidak tertutup

rapat, kebocoran pada kapsul amalgam atau dispenser, proses triturasi,

penambalan, pemolesan, dan pembongkaran tambalan amalgam, atau pemanasan

instrumen yang telah terkontaminasi oleh amalgam.

4. Pedulilah terhadap penanganan limbah amalgam dan masalah yang berkaitan

dengan lingkungan.

30

Page 31: Kesehatan n Keselamatan Kerja

5. Buatlah tempat kerja yang berventilasi baik dan desain yang memudahkan

pembersihan. Pertukaran udara segar harus maksimal. Jika ruangan memakai

alat penyejuk udara, gantilah filter AC tersebut secara berkala.

6. Pantaulah keterpaparan Hg. Konsentrasi Hg pada urin hendaknya tidak melebihi

6,1 mikrogram per liter. Periksalah secara periodik kadar Hg di ruangan.

Menurut ketentuan OSHA (Occupational Safety and Health Agency) dari

Departemen Perburuhan Amerika Serikat kadar uap Hg maksimal adalah 50

mikrogram per meter kubik dalam masa kerja 8 jam per had untuk lebih dari 40

jam per minggu.

7. Gunakanlah amalgam dalam kapsul dan gunakan amalgamator dengan tutup

yang baik. Amalgamator hendaknya memenuhi syarat spesifikasi ISO 7488. Jika

memakai amalgam yang tidak dikapsulkan, minimalkanlah penyimpanan

merkuri di dalam tempat kerja.

8. Simpanlah merkuri dalam tempat yang tidak mudah pecah, tertutup rapat, pada

tempat dengan ventilasi baik, serta jauh dari sumber panas.

9. Hati-hatilah dalam menangani tambalan amalgam. Hindari kontak kulit dengan

merkuri atau amalgam yang baru tercampur. Pakailah masker, sarung tangan

baju praktik hanya di tempat praktik.

10. Gunakan alat penyedot (oral evacuation equipment) yang cukup kuat dan

pakailah masker ketika membongkar dan memoles amalgam. Sistem penyedotan

ini harus dilengkapi filter atau kotak penadah yang harus secara teratur

dibersihkan atau diganti.

31

Page 32: Kesehatan n Keselamatan Kerja

11. Buanglah alat atau bahan yang terkontaminasi Hg dalam kantong tertutup.

Simpan kelebihan amalgam dalam kotak penyimpan tertutup yang berisi larutan

fiksasi radiograf. Amalgam dapat didaur ulang; kirimkan amalgam sisa ini untuk

didaur ulang ke perusahaan yang dapat dipercaya.

12. Janganlah sekal-kali membuang limbah yang terkontaminasi merkuri ke dalam

tempat sampah yang akan dibakar (insinerasi). Insinerasi kapsul bekas

hendaknya dihindari untuk mencegah penguapan Hg ke atmosfer. Deposisi Hg

atmosfer ke tanah, danau atau sungai berisiko terjadinya bioakumulasi Hg dalam

ikan atau mahluk air lainnya.

13. Bersihkan dengan cermat instrumen yang telah terkontaminasi amalgam atau

merkuri sebelum sterilisasi atau desinfeksi panas.

14. Gunakan pemampat amalgam yang kepalanya halus, tidak lagi yang bergerigi

agar mudah dibersihkan dari sisa merkuri sebelum disterilkan.

15. Jangan memasang karpet lantai. Gunakan penutup permukaan, dari lantai

sampai ke dinding, yang tidak mengabsorbsi dan mudah dibersihkan.

2.4.3 Penanganan radiasi pengion.

Di bidang kedokteran gigi, penggunaan sumber radiasi seperti pesawat sinar-

X harus diperhatikan. Namun masih banyak praktek pribadi yang menggunakan

pesawat sinar-X yang belum sepenuhnya memenuhi persyaratan dan menaati

peraturan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional maupun

Internasional.

32

Page 33: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Dalam pemanfaatan sinar-X perlu berdasarkan pada prinsip ALARA (as low

as reasonably achievable), yaitu dosis radiasi sekecil mungkin, tidak melampaui

nilai batas dosis yang ditentukan oleh badan pengawas. Berdasarkan ketentuan

International Commission on Radiological (IRCP) nilai batas dosis bagi pekerja

radiasi untuk seluruh tubuh 50 mSv pertahun, sedangkan bagi masyarakat umum

untuk seluruh tubuh 5 mSv pertahun.9

Ruang yang digunakan untuk operasional pesawat sinar-X harus memenuhi:9

1. Sinar diharapkan tidak menembus ruang lain dengan tebal dinding 20 cm beton

atau 25 cm batu merah dengan kerapatan jenis 2,2 gr/cm2 atau setara dengan 2

mm Pb.

2. Bila terdapat koridor atau sisi ruang radiasi maka harus diberi tanda bahaya

radiasi.

3. Dinding di dalam ruangan radiasi harus dilapisi Pb (timbal hitam) setebal 2 mm,

agar radiasi primer dan sekunder dapat diserap. Atau menggunakan protective

barrier (sekat barier) berupa dinding yang dapat digeser atau dipindah-

pindahkakan yang dilapisi 2 mm Pb.

4. Desain antarruang dengan ruang radiasi dari pintu ruang radiasi, dibuat

sedemikian rupa agar bebas sinar radiasi.

5. Penempatan pesawat sinar-X diatur sedemikian rupa agar arah sinar ke tempat

yang aman (yaitu bebas penghuni).

33

Page 34: Kesehatan n Keselamatan Kerja

6. Menggunakan kaca tembus pandang berlabis Pb, untuk memungkinkan operator

melihat selama pemeriksaan.

7. Lampu merah sebagai tanda radiasi yang dipasang di atas pintu, yang dapat

menyala saat pesawat sinar-X digunakan.

Pemaparan terhadap radiasi dan kontaminasi internal dapat terjadi tanpa disadari para

pekerja radiasi. Karena itu untuk mendeteksi akibat yang ditimbulkannya perlu

dilakukan pemeriksaan kesehatan baik sebelum, selama maupun sesudah masa kerja.

Pemeriksaan selama kerja harus dilakukan secara berkala minimal sekali setahun

Upaya proteksi radiasi dalam praktek dokter gigi ada beberapa macam antara lain:9

1. Apron Pb

Celemek pelindung dan penahan radiasi dipakai untuk melindungi pasien dan

operator. Celemek harus mengandung bahan yang ekivalen dengan Pb paling

sedikit setebal 0,25 mm untuk menyerap radiasi sekunder dan kebocoran radiasi

primer.

2. Posisi operator

Operator harus terlindungi selama penyinaran, dengan cara berdiri pada posisi

sekurang-kurangnya 2 m dari pasien dan sumber radiasi, di antara 90º dan 135º

dari arah bekas sinar radiasi primer.

3. Deteksi/pengukur radiasi

34

Page 35: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Untuk mengetahui jumlah dosis radiasi yang diperoleh, pekerja harus

menggunakan film badge atau pocket dosimeter. Sedangkan untuk ruangan

dilakukan deteksi dengan menggunakan alat surveymeter.

2.4.4 Ergonomi

Ergonomi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Ergon dan Nomos. Ergon

memiliki arti kerja dan Nomos memiliki arti hukum, jadi Ergonomi adalah Studi

tentang manusia untuk menciptakan sstem kerja yang lebih sehat, aman dan nyaman.

Seorang praktisi dibidang kesehatan khususnya kedokteran gigi harus memahami

tujuan mempelajari ergonomi karena dengan memahami tujuan ergonomi dalam

lingkungan kerja, praktisi kesehatan akan terhindar dari musculoskeletal disorders

(MSDs), tentu efek jangka panjangnya adalah praktisi dapat bekerja lebih lama tanpa

mengganggu produktifitas kerja praktisi dalam bekerja. Sebenarnya ergonomi

bertujuan untuk mengurangi risiko cedera, meningkatkan produktivitas kerja, serta

meningkatkan kualitas hidup.17

Faktor risiko ergonomi terdiri dari:15,16,17

1. Pengulangan yang dilakukan terus menerus

Tingkat pengulangan digambarkan sebagai suatu rata-rata jumlah gerakan

atau penggunaan alat yang dilakukan oleh bagian tubuh secara berulang dalam satu

unit waktu. Gerakan ini dapat menyebabkan ketegangan yang berlebih pada otot dan

juga kelebihan penggunaan dapat mendorong ke arah kelelahan berotot. Contohnya

saat melakukan skaling pada pasien dengan karang gigi yang banyak.

35

Page 36: Kesehatan n Keselamatan Kerja

2. Kekuatan (Force)

Kekuatan adalah gaya mekanik atau fisik untuk memenuhi suatu gerakan

spesifik. Sebagai contoh, menggunakan tangan sebagai ganti suatu penjepit untuk

memegang suatu obyek selagi melakukan suatu pekerjaan seperti menempatkan

suatu restorasi komposit interproksimal atau pada saat mencabut gigi dan melakukan

pembersihan karang gigi secara manual. Jumlah kekuatan yang diperlukan terkadang

berlebih sehingga menyebabkan kelelahan otot.

3. Mechanical stresses

Mechanical stresses digambarkan sebagai cedera yang hebat akibat benda

tajam, peralatan atau instrumen ketika memegang, menyeimbangkan atau

memanipulasi. Contohnya tertusuk atau tergores oleh instrumen kedokteran gigi

yang tajam.

4. Postur tubuh

Postur tubuh adalah posisi bagian dari tubuh yang berhubungan dengan suatu

bagian tubuh lain yang dihubungkan dengan sudut sambungan. Postur tubuh

merupakan salah satu dari hal yang paling sering dihubungkan dengan faktor risiko.

Ada suatu zona pergerakan netral untuk tiap gerakan yang menghubungkan satu

dengan yang lain. Karena masing-masing dihubungkan oleh pergerakan yang tidak

memerlukan kekuatan dari otot atau dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Risiko

cedera akan meningkat kapan saja pada setiap orang saat bekerja apabila melakukan

36

Page 37: Kesehatan n Keselamatan Kerja

pergerakan di luar zona netral mereka sehingga posisi tubuh tidak seimbang. Untuk

lengan atas dan bahu zona netralnya adalah santai dengan bahu sejajar lantai dan

pada bidang yang sama, lengan berada disampingnya. Bekerja dengan lengan jauh

dari tubuh, overextended dan bahu yang bergerak di luar jangkauan normal yang

memerlukan kekuatan otot lebih tinggi dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya

cedera. Selain itu, posisi duduk yang tegang, seperti miring kesamping, memutar

tulang punggung, membengkok ke depan atau merosot merupakan awal respon dari

kompensasi faktor risiko dengan hubungan kerja yang dapat menjadi kebiasaan

seiring berjalannya waktu. Postur tubuh dan faktor-faktor ini sering dihubungkan

dengan peningkatan risiko gejala MSDs.

5. Getaran

Getaran merupakan salah satu faktor etiologi MSDs dilingkungan kerja, yaitu

melalui penggunaan peralatan yang bergetar dengan frekwensi antara 20-80 Hz.

Dental handpieces dan instrumen-instrumen otomatis bertenaga mesin yang

dioperasikan pada frekwensi lebih dari 5.000-10.000 Hz dan jangka waktu

penggunaannya dalam prosedur perawatan gigi relatif singkat. Jadi dengan demikian,

hal itu juga akan muncul menjadi faktor risiko di dalam profesi dokter gigi yang

relatif kecil.

6. Temperatur

Temperatur yang rendah dapat mengurangi keterampilan manual dokter gigi

dan dapat menyebabkan gejala nerve-end impairment. Temperatur yang tinggi dapat

37

Page 38: Kesehatan n Keselamatan Kerja

menggangu kenyamanan dokter gigi saat bekerja dan kenyamanan perawatan bagi

pasiennya.

7. Tekanan yang disebabkan oleh keadaan luar

Tekanan yang disebabkan oleh keadaan luar, dapat digambarkan sebagai cara

yang dilakukan oleh suatu pekerjaan dengan tersusun, terawasi dan terproses. Hal ini

mencerminkan sifat yang objektif dari proses pekerjaan. Mungkin termasuk

didalamnya variabel-variabel seperti variasi pekerjaan, kendali pekerjaan, beban

kerja, tekanan waktu, dan batasan-batasan keuangan.

BAB III

KERANGKA KONSEP

38

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

KESEHATAN DAN KESELAMATAN

KERJA DI KALANGAN DOKTER GIGI

Page 39: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Keterangan:

: Variabel yang diteliti.

: Variabel yang tidak diteliti.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian Observasional

Deskriptif.

39

UPAYA PENCEGAHAN

BAHAYA KERJA

BAHAYA FISIOLOGIS

BAHAYA KIMIA

BAHAYA BIOLOGIS

BAHAYA FISIK

POSISI TUBUH YANG TIDAK ERGONOMI

BAHAYA AMALGAM

(Hg)

RADIASI SINAR-X

INFEKSI SILANG

Page 40: Kesehatan n Keselamatan Kerja

4.2 DESAIN PENELITIAN

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study.

4.3 LOKASI PENELITIAN

Tempat praktik dokter gigi swasta di Kota Makassar.

4.4 WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 14 Juni 2011 -22 Agustus 2011

4.5 POPULASI PENELITIAN

Semua dokter gigi umum yang terdaftar sebagai anggota Persatuan Dokter Gigi

Indonesia (PDGI) cabang Kota Makassar sebanyak 258 orang

4.6 KRITERIA SAMPEL

4.6.1 Kriteria inklusi

a. Dokter gigi umum yang telah melakukan praktik swasta ≥ 1tahun.

40

Page 41: Kesehatan n Keselamatan Kerja

b. Dokter gigi umum yang aktif melakukan praktik swasta di Kota

Makassar.

4.6.2 Kriteria eksklusi

a. Dokter gigi umum yang tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian

ini.

b. Apabila sampel (responden) tereksklusi pada tempat Praktik Bersama,

maka dapat digantikan oleh dokter gigi umum lainnya yang berpraktik

di tempat yang sama.

c. Apabila jumlah sampel terekslusi menyebabkan sampel kurang dari

sampel minimal, maka sampel akan ditambah sesuai dengan jumlah

sampel yang terekslusi.

4.7 JUMLAH SAMPEL

Menurut pendapat Gay dan Diehl 18, jumlah sampel ideal untuk populasi yang

lebih besar dari 100 dan kurang dari 1000 adalah 30% dari jumlah populasi. Pada

penelitian ini, jumlah populasi adalah sebesar 258, sehingga jumlah sampel

minimal yang digunakan adalah 78. Untuk mengantisipasi terjadinya drop out,

maka ditambah 20% sehingga jumlah sampel menjadi 94 orang. Dan sampel

digenapkan menjadi 100 orang.

4.8 METODE SAMPLING

Page 42: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Metode pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

secara systematic random sampling. Bila kita ingin mengambil 1/n dari

populasi, maka setiap responden nomor n dimasukkan dalam sampel. Bila

ingin dipilih 100 sampel dari 258, maka diperlukan 100/258 = 1/2,58 = 1/2

atau 1/3 bagian dari populasi yang akan diikutsertakan sebagai sampel,

karenanya maka setiap sampel nomor 2 atau 3 akan dipilih. Mula-mula tiap

subjek diberi nomor, dari 1 sampai 258. Tiap pasien ke-2 atau ke-3 diambil

sebagai sampel, sehingga pada akhirnya yang diikutsertakan dalam sampel

adalah kelipatan 2 atau 3 hingga didapat 100 sampel.

4.9 ALAT YANG DIGUNAKAN

1. Lembaran daftar penilaian/kuesioner19,20,21,22

2. Alat tulis (buku catatan dan pulpen)

4.10 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

Prinsip-prinsip kesehatan dan keselamatan kerja: suatu upaya mengindari diri dari

risiko bahaya yang ada di praktik dokter gigi. Terdiri dari bahaya fisik, bahaya kimia,

bahaya biologis, bahaya fisiologis. Yang masing-masing terwakili oleh bahaya

infeksi silang pada bahaya biologis, bahaya amalgam pada bahaya kimia, bahaya

radiasi sinar-x pada bahaya fisik, serta kerja yang tidak ergonomi pada bahaya

fisiologis. Sesuai yang tercantum pada kuesioner.19,20,21,22

4.10.1 Upaya pencegahan bahaya infeksi silang:

1. Apakah dokter gigi tersebut telah divaksinasi terhadap hepatitis.

42

Page 43: Kesehatan n Keselamatan Kerja

2. Apakah dokter gigi tersebut mengenakan sarung tangan dan masker.

3. Apakah dokter gigi tersebut mengenakan kacamata pelindung.

4. Apakah dokter gigi tersebut menggunakan larutan desinfektan saat mencuci

tangan dan instrumen kedokteran gigi.

5. Apakah dokter gigi tersebut mengenakan jas praktik saat bekerja.

6. Apakah dokter gigi tersebut telah terkena instrumen tajam dalam enam bulan

terakhir.

7. Bagaimanakah dokter gigi tersebut melakukan sterilisasi.

8. Apakah tindakannya selama perawatan/pemeriksaan telah memenuhi prosedur.

4.10.2 Upaya pencegahan bahaya Hg pada penambalan dengan amalgam:

1. Apakah dokter gigi tersebut berkontaklangsung dengan amalgam.

2. Apakah dokter gigi tersebut menyimpan amalgam di tempat tertutup.

3. Apakah dokter gigi tersebut menmbersihkan tumpahan amalgamnya.

4. Apakah dokter gigi tersebut menggunakan kapsul amalgam.

5. Apakah dokter gigi tersebut bekerja pada ruangan dengan ventilasi yang baik.

6. Apakah dokter gigi tersebut menggunakan water spray dan suction saat

melepaskan tambalan amalgam.

7. Apakah dokter gigi tersebut telah mengecek kadar amalgam dalam darahnya dan

tingkat uap amalgam dalam ruangannya secara berkala.

4.10.3 Upaya pencegahan bahaya radiasi sinar-X saat foto radiografi:

1. Apakah dokter gigi tersebut memiliki perlengkapan radiografi sendiri.

2. Apakah dokter gigi tersebut mengambil semua radiografi sendiri.

43

Page 44: Kesehatan n Keselamatan Kerja

3. Apakah dokter gigi tersebut mengenakan celemek apron saat mengambil

radiografi.

4. Apakah dokter gigi tersebut berdiri 2 meter dari pasien dan sumber radiasi.

5. Apakah dokter gigi tersebut telah mengecek dosis radiografi dalam ruangan

tempat pengambilan radiografi.

4.10.4 Upaya pencegahan bahaya kerja yang tidak ergonomi: Apakah

posisi/sikap tubuh dokter gigi tersebut telah sesuai dengan Test of Visual Perception

(TVP) yang diukur dengan delapan kriteria, yakni :

1. Sudut antara kaki bagian atas dan bawah harus membentuk sudut yang besarnya

110º sedikit lebih.

2. Operator (dokter gigi) harus duduk simetris ke depan dan punggung sejauh

mungkin dari sandaran tempat duduk, atau tubuh bagian atas dimiringkan

maksimal hingga 10-20º, hindari memutar dan miring condong ke samping.

3. Kepala dokter gigi dapat dimiringkan ke depan hingga 25º.

4. Pedal drive harus diposisikan/ditempatkan dekat dengan salah satu kaki,

sehingga tidak memungkikan terjadi pergerakan langsung ke samping selama

prosedur kerja (saat bekerja dapat digapai dengan mudah).

5. Lengan atas yang berada pada bagian tubuh atas bagian depan, lengan tersebut

diangkat hingga 10º, maksimal hingga 25º.

6. Area kerja (mulut pasien) harus disejajarkan dengan tubuh bagian atas, jarak

antara area kerja (mulut) ke mata (atau kacatama pelindung) adalah 35-40 cm.

44

Page 45: Kesehatan n Keselamatan Kerja

7. Instrumen harus diposisikan dengan area penglihatan dari dokter gigi pada jarak

antara 20-25 cm.

8. Lampu dari detal unit harus diposisikan diatas kepala dokter gigi sebelum dan saat

tubuh dokter gigi menyamping, sehingga cahaya yang dihasilkan terpancar

lurus/paralel ke searah pandangan langsung dokter gigi.

4.11 KRITERIA PENILAIAN

Peneliti menggunakan kuesioner yang terdiri dari empat bagian pokok pertanyaan

(bahaya biologis, bahaya kimia, bahaya fisik, dan bahaya fisiologis). Pada bahaya

biologis (infeksi silang) terdiri dari 2-3 jawaban dengan skor 0-2 dan total skor

sebanyak 36. Pada bahaya kimia (bahaya amalgam) terdiri dari 2 jawaban dengan

skor 0-1 dan total skor sebanyak 9. Pada bahaya fisik (bahaya radiasi) terdiri dari 2

jawaban dengan skor 0-1 dan total skor sebanyak 6. Setelah skor didapatkan maka

dimasukkan dalam rumus:

x= total skor jawaban respondentotal skor

x100 %

Sehingga didapatkan nilai x sebagai persentase upaya pencegahan bahaya infeksi

silang, bahaya amalgam atau bahaya radiasi. Kemudian upaya pencegahan bahaya

45

Page 46: Kesehatan n Keselamatan Kerja

infeksi silang, bahaya amalgam atau bahaya radiasi dikategorikan dalam bentuk

persentase, yaitu:

0-25% dokter gigi telah mengaplikasikan upaya pencegahan bahaya

biologis/kimia/fisik.

26-50% dokter gigi telah mengaplikasikan upaya pencegahan bahaya

biologis/kimia/fisik.

51-75% dokter gigi telah mengaplikasikan upaya pencegahan bahaya

biologis/kimia/fisik.

76-100% dokter gigi telah mengaplikasikan upaya pencegahan bahaya

biologis/kimia/fisik.

Sedangkan untuk menilai upaya pencegahan sikap/posisi tubuh yang tidak ergonomi

menggunakan. Sistem klasifikasi untuk Test of Visual Perception (TVP).21

SKOR(correct items) KLASIFIKASI INTERPRETASI

1-2 Tidak cukup Hanya 25% sikap/posisi tubuh yang

ergomoni telah diterapkan

3-4 Cukup Hanya 50% sikap/posisi tubuh yang

ergomoni telah diterapkan

5-7 Baik 75% sikap/posisi tubuh yang

ergomoni telah diterapkan

8 Sangat baik 100% sikap/posisi tubuh yang

ergomoni telah diterapkan

46

Page 47: Kesehatan n Keselamatan Kerja

4.12 DATA PENELITIAN

4.11.1 Jenis data: Data primer, data ini diperoleh langsung dari objek yang

diteliti.

2.3.5 Pengolahan data: Menggunakan Program SPSS versi 16.0 untuk

Windows

4.11.2 Penyajian data : Dalam tabel distribusi

4.11.4 Analisis data: Secara deskriptif, yakni dengan membuat uraian secara

sistematik mengenai keadaan dari hasil penelitian

4.13 PROSEDUR PENELITIAN

1 Sebelum penelitian dilaksanakan, survey awal dilakukan untuk mengetahui

dan mendata jumlah dokter gigi yang terdaftar sebagai anggota Persatuan

Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Kota Makassar.

2 Peneliti menentukan sampel melalui kriteria sampel inklusi dan menghitung

sampel menurut Gay dan Diehl, sehingga diperoleh jumlah sampel sebesar 86

orang. Sampel kemudian dipilih dengan teknik systematic random sampling.

3 Setelah sampel penelitian ditentukan dan didapatkan, penelitian dinyatakan

dimulai. Peneliti mencatat alamat tempat praktik sampel, mendatanginya, serta

47

Page 48: Kesehatan n Keselamatan Kerja

membagikan kuesioner untuk dijawab sampel dan peniliti melakukan penilaian

untuk Text of Visual Perception (TVP).

4 Bila ada sampel yang telah didatangi dan ternyata termasuk dalam kriteria

ekslusi, maka kuesioner tidak dibagikan.

5 Penelitian dinyatakan berakhir bila seluruh sampel telah mengisi kuesioner

yang dibagikan dan peniliti telah menilai semua sampel dengan Text of Visual

Perception (TVP).

6 Data dari kuesioner dan lembar penilaian Text of Visual Perception (TVP)

kemudian akan dikumpulkan, dinilai, dan dilakukan pengolahan data, sehingga

diperoleh hasil penelitian.

4.14 ALUR PENELITIAN

48

Penentuan lokasi penelitian

Penentuan populasi

Penentuan sampel

Pengisian kuesioner oleh responden dan lembar penilaian oleh peneliti

Pengumpulan data

Analisis data

Hasil

Page 49: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB V

HASIL

Telah dilakukan penelitian mengenai gambaran penerapan prinsip-prinsip

kesehatan dan keselamatan kerja di kalangan dokter gigi (penelitian dilakukan di

kota Makassar). Faktor-faktor yang diteliti adalah upaya pencegahan dokter gigi

terhadap bahaya biologis (infeksi silang), bahaya kimiawi (amalgam), serta bahaya

postur/sikap tubuh yang tidak ergonomi. Populasi penelitian adalah seluruh dokter

gigi umum dan sampel ditentukan berdasarkan kriteria sampel. Penentuan sampel

dengan systematic random sampling. Jumlah sampel menggunakan pendapat dari

Gay dan Diehl, yakni sebesar 30% dari populasi atau sebanyak 78 orang dan

ditambahkan 20% untuk estimasi drop out sampel, sehingga jumlah sampel pada

penelitian ini sebanyak 94 orang, namun pada penelitian ini digenapkan hingga 100

orang

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan Test

of Visual Perception (TVP). Dokter gigi yang telah dipilih sebagai sampel

dibagikan kuesioner tersebut untuk dijawab dan dinilai posisi kerjanya

berdasarkan Test of Visual Perception (TVP). Pada penelitian ini, ada dua

sampel yang memenuhi kriteria eksklusi, sehingga kekekurangan sampel

segera digantikan, maka diperoleh penuh sebanyak 100 orang. Data hasil

kuesioner diolah menggunakan program SPSS 16.0 untuk windows. Data

hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

49

Page 50: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.1 Distribusi karakteristik responden (N=100)

Karakteristik sampel Frekuensi (N) Persen (%) Rerata ± Simpang BakuUsiaJenis kelamin

Laki-lakiPerempuan

38.72 ± 10.81

19 1981 81

Pengalaman kerja1-5 tahun 40 406-10 tahun 16 1611-15 tahun 13 1316-20 tahun 12 1221-25 tahun 19 19

Jam kerja/hari 5.15 ± 1.68Jumlah pasien/minggu 20.30 ± 12.56Kasus terbanyak (dalam seminggu terakhir)

Restorasi 70 70Ekstraksi 12 12Ortodontik 11 11Skaling 7 7

SeminarYa 37 37Tidak 63 63

Pada tabel V.1 terlihat bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak

dibandingkan laki-laki, yakni 81 orang (81%) perempuan sedangkan laki-laki hanya

19 orang (19%). Terlihat pula bahwa rata-rata usia responden adalah 39 tahun

dengan pengalaman kerja 1-5 tahun sebagai yang terbanyak yakni 40 responden.

Pada tabel V.1 juga diperlihatkan bahwa rata-rata jam kerja praktik responden adalah

5 jam/hari dengan rata-rata jumlah pasien adalah 20 pasien/minggu. Berdasarkan

tabel V.1 terlihat bahwa restorasi merupakan kasus terbanyak yang ditangani

responden dalam seminggu terakhir dengan jumlah 70 kasus. Pada tabel V.1

menunjukkan bahwa responden yang belum pernah mengikuti seminar tentang

bahaya kerja lebih banyak dibandingkan yang pernah mengikuti, yakni sebanyak 63

responden.

Page 51: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.2 Distribusi jawaban responden mengenai upaya pencegahan infeksi silang Pertanyaan Frekuensi (N) Persen (%)

Mengalami cedera instrumen selama 6 bulan terakhirYa 11 11Tidak 89 89

Vaksinasi hepatitisYa 69 69Tidak 31 31

Mengenakan sarung tangan & masker saat melakukan perawatanSelalu 97 97Kadang ya, kadang tidak 3 3Tidak pernah 0 0

Mengenakan lebih dari satu sarung tangan pada setiap tanganSelalu 20 20Kadang ya, kadang tidak 31 31Tidak pernah 49 49

Mengganti sarung tangan setiap pasien yang berbedaSelalu 84 84Kadang ya, kadang tidak 15 15Tidak pernah 1 1

Mengenakan kacamata pelindungSelalu 23 23Kadang ya, kadang tidak 53 53Tidak pernah 24 24

Menggunakan alat bantu penglihatan saat bekerja pada gigi RASelalu 90 90Kadang ya, kadang tidak 10 10Tidak pernah 0 0

Menggunakan larutan desinfektanSelalu 86 86Kadang ya, kadang tidak 14 14Tidak pernah 0 0

Lama waktu yang digunakan untuk merendam instrumen dalam larutan desinfektan

5-14 menit 51 5115-19 menit 19 1920-24 menit 7 725-30 menit 14 1431-35 menit 2 236-45 menit 1 1>45 menit 0 01-2 jam 6 6>2 jam 0 01-2 hari 0 0

Metode sterilisasiAutoclave 20 20Oven dry heat 56 56Dididihkan/direbus dengan air 1 1Sterilisasi dingin dan autoclave 7 7Sterilisasi dingin, didihkan/direbus dengan air 0 0Sterilisasi dingin, didihkan.direbus dengan air, dan autoclave

2 2

Autoclave dan didihkan/direbus dengan air 1 1Autoclave dan menggunakan alat sekali pakai (disposable) 13 13Tidak diapa-apakan 0 0

51

Page 52: Kesehatan n Keselamatan Kerja

52

Cedera

instr

umen se

lama 6

bulan te

rakhir

Vaksin

asi hep

atitis

Selal

u men

genak

an sa

rung t

anga

n dan m

asker

saat p

erawata

n

Selal

u men

genak

an le

bih dar sat

u saru

ng tan

gan tiap

tanga

n

Selal

u men

ggan

ti saru

ng tan

gan se

tiap pasi

en berb

eda

Selal

u men

genak

an ka

camata

pelindung

Selal

u men

ggunak

an m

outh mirr

or saa

t bek

erja p

ada R

A

selalu

men

ggunak

an la

rutan

desinfek

tan

Merendam

instr

umen se

lama 5

-14 men

it

Pengg

unaan au

toclave

sebag

ai meto

de ster

ilisasi

0

20

40

60

80

100

120

Upaya Pencegahan Bahaya Infeksi Silang

Frekuensi Ya

Page 53: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Grafik V.1 Jawaban Ya pada responden mengenai upaya pencegahan infeksi silang

53

Page 54: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.2 menunjukkan distribusi jawaban responden mengenai upaya

pencegahan bahaya infeksi silang yang terdiri dari 10 buah pertanyaan. Pada tabel

V.2 terlihat bahwa terdapat responden yang mengalami cedera instrumen enam bulan

terakhir sebanyak 11 responden (11%), di antaranya menyatakan terluka oleh cryer,

alat-alat endo, bur, sonde, dan needle. Terlihat pula bahwa ternyata masih ada

responden yang sama sekali belum pernah divaksin hepatitis sebanyak 31 orang.

Responden yang mengenakan sarung tangan dan masker sebanyak 97 responden

(97%), sedangkan sisanya terkadang mengenakan terkadang tidak. Resonden yang

tidak mengenakan lebih dari satu sarung tangan tiap tangannya sebanyak 49

reponden (49%), sedangkan masih ada pula satu responden (1%) yang ternyata tidak

mengganti sarung tangannya pada pasien yang berbeda.

Proteksi mata saat bekerja dari infeksi silang terwakili oleh pengenaan

kacamata pelindung, namun ada 24 responden (24%) yang tidak mengenakannya,

serta masih ada 10 responden (10%) yang terkadang tidak menggunakan alat bantu

penglihatan (mouth mirror) untuk RA. Pada tabel V.2 menunjukkan bahwa 86 dari

100 responden (86%) menggunakan larutan desinfektan, serta 51 responden (51%)

merendam selama 5-14 menit. Sedangkan untuk metode sterilisasi yang diterapkan,

paling banyak adalah dengan sterilasasi dry heat sebanyak 56 responden (56%).

54

Page 55: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.3 Distribusi jawaban responden mengenai upaya pencegahan bahaya infeksi silang saat pemeriksaan dan prosedur perawatan

Pertanyaan Frekuensi (N) Persen (%)Tindakan yang dilakukan selama pemeriksan

Mencuci tangan sebelum memeriksa pasienYa 83 83Tidak 17 17

Mencuci tangan setelah pemeriksaan pasienYa 95 95Tidak 5 5

Mencuci tangan saat/selama pemeriksaan pasienYa 33 33Tidak 67 67

Mengenakan masker saat melakukan pemeriksaan pasienYa 91 91Tidak 9 9

Mengenakan kacamata pelindung saat melakukan pemeriksaan pasien

Ya 48 48Tidak 52 52

Mengenakan jas penutup steril saat melakukan pemeriksaan pasien

Ya 55 55Tidak 45 45

Tindakan yang dilakukan selama prosedur perawatanMencuci tangan sebelum mengenakan sarung tangan

Ya 82 82Tidak 18 18

Scrubing up dengan menggunakan sabun sebelum mengenakan sarung tangan

Ya 59 59Tidak 41 41

Scrubing up dengan menggunakan desinfektan sebelum mengenakan sarung

Ya 42 42Tidak 58 58

Menggunakan sarung tangan setiap kali sebelum melakukan perawatan

Ya 92 92Tidak 8 8

Menggunakan kembali sarung tangan yang sudah dicuci selama perawatan

Ya 91 91Tidak 19 19

Menggunakan kembali sarung tangan yang tidak dicuci selama perawatan

Ya 11 11Tidak 89 89

Menggunakan kacamata pelindungYa 39 39Tidak 61 61

55

Page 56: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Grafik V.2 Jawaban Ya pada responden mengenai upaya pencegahan infeksi silang saat pemeriksaan

Grafik V.3 Jawaban Ya pada respoden mengenai upaya pencegahan infeksi silang saat prosedur perawatan

56

020406080

100

Upaya pencegahan infeksi silang saat prosedur perawatan

Frekuensi Ya

020406080

100

Upaya pencegahan infeksi silang saat pe-meriksaan

Frekuensi Ya

Page 57: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.3 menunjukkan distribusi jawaban responden mengenai tindakan

responden saat pemeriksaan dan selama prosedur perawatan, jawaban ini tentunya

juga termasuk pada bagian upaya pencegahan bahaya infeksi silang. Pada tabel V.3

terlihat bahwa terdapat 17 responden (17%) yang masih belum mencuci tangan

sebelum memeriksa tangan, serta hanya 5 responden (5%) yang tidak mencuci

tangan setelah memeriksa pasien. Tabel V.3 juga menunjukkan bahwa 97 responden

(97%) yang menggunakan masker saat memeriksa pasien, serta hampir dari setengah

dari responden yang ternyata tidak mengenakan kacamata pelindung dan jas penutup

steril saat memeriksa pasien, yakni 52 responden (52%) tidak mengenakan kacamata

pelindung dan 45 responden (45%) tidak mengenakan jas penutup streril. Pada tabel

V.3 menunjukkan masih ada respoden yang tidak menjalankan prosedur selama

perawatan, seperti 18 respoden (18%) tidak mencuci tangan sebelum mengenakan

sarung tangan, serta tidak melakukan scrubbing up hampir 50% dari responden.

Adaya delapan respoden (8%) yang tidak mengenakan sarung tangan setiap kali

sebelum perawatan, 11 respoden (11%) mengenakan kembali sarung tangan yang

tidak dicuci selama perawatan dan 61 responden (6%) tidak menggunakan kacamata

pelindung menunjukkan kurangnya kesadaran responden bahwa pentingnya proteksi

terhadap bahaya infeksi silang.

57

Page 58: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.4 Distribusi jawaban responden mengenai upaya pencegahan bahaya amalgam (N=67)

Pertanyaan Frekuensi (N) Persen (%)Apakah anda berkontak dengan amalgam secara reguler

Ya 10 14.9Tidak 57 85.1

Apakah anda menyimpan amalgam pada tempat tertutupYa 63 94.0Tidak 4 6

Apakah anda membersihkan amalgam yang tertumpah Ya 62 92.5T idak 5 7.5

Apakah anda menggunakan kapsul amalgam yang tertutup rapat

Ya 46 68.6Tidak 21 31.4

Apakah anda menggunakan teknik tidak menyentuh amalgam

Ya 58 86.5Tidak 9 13.5

Apakah anda bekerja pada tempat dan ventilasi yang baikYa 56 83.5Tidak 11 16.5

Apakah anda menggunakan water spray dan suction pada saat melepaskan amalgam dan restorasi

Ya 51 76.1Tidak 16 23.9

Apakah anda telah mengecek secara berkala kadar amalgam (Hg) dalam darah

Ya 1 1.5Tidak 66 98.5

Apakah anda telah mengecek secara berkala tingkat uap amalgam

Ya 0 0Tidak 67 100

58

Page 59: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Grafik V.4 Jawaban Ya pada responden mengenai upaya pencegahan bahaya amalgam

59

010203040506070

Upaya pencegahan bahaya amalgam

Frekuensi Ya

Page 60: Kesehatan n Keselamatan Kerja

60

Page 61: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.4 menunjukkan distribusi jawaban responden mengenai upaya

pencegahan respoden terhadap bahaya amalgam, pada bagian ini hanya ada 67

responden yang mengisi bagian ini dikarenakan responden tidak pernah atau sudah

tidak menggunakan amalgam, Alasan mereka tidak menggunakan amalgam adalah

permintaan pasien yang menghendaki tambalan yang estetik seperti komposit dan

glass ionomer. Pada tabel V.4 terlihat bahwa terdapat 10 responden (14.9%) yang

berkontak dengan amalgam secara regular dan 57 lainnya tidak berkontak dengan

amalgam, serta ada 58 responden (86.5) yang tidak berkontak langsung dengan

amalgam. Empat respoden (6%) yang tidak menyimpan amalgam pada tempat yang

tertutup dan 21 respoden (31.4%) yang tidak menggunakan kapsul amalgam.

Berdasarkan tabel V.4 ternyata ada 5 respoden (7.5%) yang tidak membersihkan

amalgam yang tertumpah, hal ini diperparah dengan ruang praktik tanpa ventilasi

yang baik pada 11 respoden (16.5%). Saat melepaskan amalgam dan restorasi, 16

respoden (23.9%) tidak menggunakan water spray dan suction. Pada tabel V.4

menunjukkan hanya ada satu respoden (1.5%) yang pernah memeriksakan kadar Hg

dalam darahnya secara berkala, dan semua respoden tidak pernah melakukan

pengecekan kadar uap amalgam di uang praktiknya.

61

Page 62: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.5 Distribusi persentase pencapaian upaya pencegahan responden terhadap bahaya infeksi silang dan bahaya amalgam

Persentase pencapaian upaya pencegahan Frekuesnsi (N) Persen (%)Bahaya infeksi silang

0 – 25% 0 026 – 50% 2 251 – 75% 52 5276 – 100% 46 46

Bahaya amalgam0 – 25% 0 026 – 50% 10 1551 – 75% 32 47.776 – 100% 25 37.3

Tabel V.5 menunjukkan distribusi persentase pencapaian upaya pencegahan

responden terhadap bahaya infeksi silang dan bahaya amalgam. Data ini didapatkan

setelah skor nilai diolah dengan menggunakan SPSS 16.0, sehingga didapatkan

respoden dapat diklasifikasikan menjadi klasifikasi persentase 0-25%, 26-50%, 51-

75%, dan 76-100% telah menerapkan upaya pencegahan respoden terhadap bahaya

infeksi silang dan bahaya amalgam. Pada tabel V.5 terlihat reponden dengan

klasifikasi 51-75% merupakan yang paling tinggi jumlahnnya, baik dari bahaya

infeksi silang dengan 52 respoden (52%, N=100), maupun bahaya amalgam dengan

32 respoden (47.7%, N-67). Tabel V.6 memperlihatkan bahwa tidak ada respoden

yang diklasifikasikan 0-25% dalam menerapkan upaya pencegahan respoden

terhadap bahaya infeksi silang dan bahaya amalgam.

62

Page 63: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V. 6 Distribusi penilaian peneliti mengenai upaya pencegahan bahaya postur tubuh yang tidak ergonomi berdasarkan test of visual perception (TVP) pada responden (N=100)

Pertanyaan Frekuensi (N) Persen (%)Sudut antara paha dan betis harus membentuk sudut yang besarnya 110º atau lebih

Ya 73 73Tidak 27 27

Dokter gigi harus simetris ke depan dan punggung sejauh mungkin dari sandaran tempat duduk, atau badan dimiringkanke depan maksimal sehingga 10-20º, hindari memutar dan mring condong ke samping.

Ya 73 73Tidak 27 27

Kepala dokter gigi dapat dimringkan ke depan hingga 25º Ya 89 89T idak 11 11

Pedal drive harus diposisikan/ditempatkan dekat dengan salah satu kaki

Ya 91 91Tidak 9 9

Lengan diangkat hingga 10º-25º dari sumbu horizontalYa 89 89Tidak 11 11

Jarak antara area kerja (mulut pasien) antara dan ke mata (atau kacamata pelindung) adalah 35-40 cm

Ya 80 80Tidak 20 20

Instrumen harus diposisikan dengan area penglihatan dari dokter gigi pada jarak antara 20-25 cm

Ya 79 79Tidak 21 21

Lampu dari dental unit harus diposisikan di atas kepala dokte gigi sebelum dan saat tubuh dokter gigi sehingga cahaya yang dihasilkan terpancar lurus searah pandangan langsung ke dokter gigi

Ya 87 87Tidak 13 13

63

Page 64: Kesehatan n Keselamatan Kerja

64

0102030405060708090

100

Upaya pencegahan bahaya postur/sikap

Frekuensi Ya

Page 65: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Grafik V.5 Hasil penilaian postur/sikap tubuh yang ergonomi berdasarkan test of visual perception pada respoden

65

Page 66: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Tabel V.6 menunjukkan distribusi penilaian peneliti mengenai upaya

pencegahan respoden terhadap bahaya postur/sikap tubuh yang tidak ergonomi

selama melakukan prosedur perawatan. Tabel menunjukkan postur tubuh yang tidak

ergonomi yang paling sering diabaikan oleh respoden adalah kesalahan

memposisikan kaki dan memposisikan punggung, didapatkan sebanyak 27 respoden

(27%). Penempatan pedal drive yang tidak berdekatan dengan kaki merupakan item

yang paling sedikit, yakni 9 responden (9%), namun sedikitnya sikap ini tentunya

dapat mempengaruhi kesehatan respoden.

Tabel V.7 Distribusi sikap/postur ergonomi respoden berdasarkan penilaian test of visual perception (TVP)

Klasifikasi sikap/postur ergonomi berdasarkan penilaian TVP

Frekuesnsi (N)Persen

(%)Tidak cukup 0 0Cukup 3 3Baik 73 73Sangat baik 24 24

Tabel V.7 menunjukkan distribusi sikap/postur tubuh ergonmi pada respoden

berdasarkan Test of Visual Perception. Data ini didapatkan setelah skor nilai diolah

menggunakan SPSS 16.0, sehingga didapatkan respoden dapat diklasifikasikan

menjadi kategori sangat baik, baik, cukup dan tidak cukup. Pada tabel V.7 terlihat

reponden dengan klasifikasi baik merupakan yang paling tinggi sebanyak 52

respoden (73%), serta klasifikasi sangat baik sebanyak 24 respoden (24%) dan

klasifikasi cukup sebanyak 3 respoden (3%),. Tabel V.7 memperlihatkan bahwa tidak

Page 67: Kesehatan n Keselamatan Kerja

ada respoden yang diklasifikasikan tidak cukup baik pada upaya pencegahan bahaya

postur tubuh yang tidak ergonomi.

Khusus hasil penelitian berupa upaya pencegahan respoden terhadap bahaya

fisik (radiasi) pada penelitian ini tidak didapatkan. Setelah dilakukan penelitian,

ternyata dari 100 orang respoden yang diteliti tidak satupun respoden yang memiliki

alat radiografi sendiri, serta menurut tuturan langsung dari mereka, mereka

mengatakan bahwa kepemilikan alat radiografi sendiri membutuhkan biaya yang

tinggi. Setelah ditanyakan bagaimana mereka mendapat foto rontgen pasiennya,

mereka mengatakan merujuk ke tempat lain. Selanjutnya kami mencoba pergi ke

Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Hj Halimah Daeng Sikati dan Rumah Sakit

Gigi dan Mulut Kandea, kenyataannya yang mengambil foto rontgen adalah sta

pegawai dan mahasiswa klinik kedokteran gigi UNHAS. Sehingga pada penelitian

ini diputuskan untuk tidak melajutkan pengambilan data pada upaya pencegahan

terhadap bahaya fisik (radiasi).

67

Page 68: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan penerapan prinsip-prinsip

kesehatan dan keselamatan kerja dokter gigi. Upaya dokter gigi dalam menerapkan

kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilihat bagaimana upayanya dalam

menghindari bahaya kerja yang dapat terjadi selama melakukan pekerjaannya di

tempat praktik. Peneliti menfokuskan beberapa bahaya kerja yang setiap harinya

diduga sebagai bahaya yang berpeluang di alami oleh dokter gigi, seperti bahaya

infeksi silang, bahaya amalgam, serta bahaya postur tubuh yang tidak ergonomi.

68

Page 69: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Pada penelitian ini, didapatkan jumlah responden sebanyak 100 dokter gigi

sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat perhitungan sampel yang dilakukan

peneliti, yang terdiri dari 19 laki-laki (19%) dan 81 perempuan (81%). Data ini

memperlihatkan jumlah responden perempuan yang lebih banyak dari laki-laki. Hal

ini memang sesuai bila melihat hasil penelitian badan pusat statistik, pada profil kota

Makassar tahun 2007 yang menunjukkan komposisi perempuan lebih banyak dari

laki-laki dan bahkan jumlah perempuan lebih banyak pada kelompok umur 25-54

tahun yang memang merupakan rentang usia yang ada pada semua responden.2,23

Banyaknya jumlah responden perempuan mungkin juga dipengaruhi oleh teknik

sampling yang di ambil secara acak, sehingga jumlah responden perempuan yang

terambil kebetulan banyak.

69

Page 70: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa responden yang mengalami cedera

instrumen enam bulan terakhir sebanyak 11 responden (11%), di antaranya

menyatakan terluka oleh cryer, alat-alat endo, bur, sonde, dan needle. Terlihat pula

bahwa ternyata masih ada responden yang sama sekali belum pernah divaksin

hepatitis sebanyak 31 orang, serta masih ada 10 responden (10%) yang terkadang

tidak menggunakan alat bantu penglihatan (mouth mirror) untuk RA. Hal ini dapat

dikarenakan kurangnya kesadaran dan pemeliharaan diri terhadap kesehatannya dan

bisa dicegah bila responden selalu mengikuti seminar/lokakarya tentang bahaya

kerja, sehingga respoden dapat mengerti dampak yang mungkin terjadi selama

bekerja dan bagaimana meminimalisasinya. Diperkuat bahwa responden yang belum

pernah mengikuti seminar tentang bahaya kerja pada penelitian ini sebanyak 63

responden (63%). Sedangkan penelitian Chopra dan Pandey, menjelaskan bahwa

semua responden yang terdiri dari 17 dokter gigi telah menyadari bahaya kerja di

tempat kerja dan telah divaksinasi terhadap infeksi Hepatitis B. Delapan diantaranya

(47,06%) mengalami cedera instrumen tajam selama enam bulan terakhir dengan

cedera needle dan luka dari benda dan instrumen tajam (Cedera percutaneous),

70,59% tidak selalu selalu menggunakan alat bantu penglihatan (secara tidak

langsung) seperti mouth mirror saat bekerja pada gigi rahang atas.19

Cedera mata dan mungkin mata sebagai media infeksi silang dikarenakan

serpihan kalkulus saat prosedur skaling dan percikan dari cairan tubuh (aerosol

bakteri dan virus) saat menggunakan handpiece kecepatan tinggi tidak bisa dihindari

oleh para responden. Pada peneltian ini didapatkan bahwa pengenaan terdapat 24

Page 71: Kesehatan n Keselamatan Kerja

responden (24%) yang tidak mengenakan kacamata pelindung, serta masih ada 10

responden (10%) yang terkadang tidak menggunakan alat bantu penglihatan (mouth

mirror) untuk RA. Paparan langsung dari beberapa responden mengungkapkan

bahwa mereka berusaha menciptakan suasana yang nyaman saat bekerja, dalam hal

ini menurut mereka bila menggunakan kacamata pelindung dapat menghambat

mereka saat bekerja serta saat bekerja dengan gigi rahang atas lebih jelas

dibandingkan bila melihat langsung dibanding menggunakan mouth mirror. Hal ini

juga dijelaskan dan serupa dengan penelitian Chopra dan Pandey, hanya satu

responden yang teratur memakai pelindung mata dan hanya 29,41% responden yang

menggunakan mouth mirror saat bekerja pada gigi rahang atas.19,20

Infeksi silang merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian serius,

dikarenakan risiko seorang dokter gigi dan tim kerja untuk tekena infeksi virus

hepatitis B, HIV/AIDS, dan penyakit infeksi menular lainnya. Maka dari itu perlunya

prosedur perawatan yang melindungi dokter gigi dari infeksi silang.

Pada penelitian ini, responden yang mengenakan sarung tangan dan masker

sebanyak 97 responden (97%). Resonden yang tidak mengenakan lebih dari satu

sarung tangan tiap tangannya sebanyak 49 reponden (49%), sedangkan masih ada

pula satu responden (1%) yang ternyata tidak mengganti sarung tangannya pada

pasien yang berbeda. Penelitian ini mendapatkan bahwa 86 dari 100 responden

(86%) menggunakan larutan desinfektan, serta 51 responden (51%) merendam

selama 5-14 menit. Sedangkan untuk metode sterilisasi yang diterapkan, paling

banyak adalah dengan sterilasasi dry heat sebanyak 56 responden (56%) sedangkan

71

Page 72: Kesehatan n Keselamatan Kerja

autoclave sebanyak 20 respoden (20%). Beberapa upaya pencegahan respoden sudah

sangat baik, dan menurut tuturan dari beberapa respoden mengatakan bahwa semua

prosedur yang dilakukan berdasarkan prosedur yang dijalankan di Rumah

Sakit/Puskesmas (tempat kerjanya selain praktik swasta sore), dan prosedur ini tetap

djalankan di tempat praktik swastanya, atau bisa jadi respoden berusaha tidak jujur

atau dan serius menjawab kuesioner yag diberikan sehingga jawaban yang diberikan

respoden sangat baik. Sedangkan untuk pengunaan larutan desinfektan, kebanyakan

mereka menggunakan larutan etil alkohol 70%, menurut Joklik etil alkohol efektif

mampu mematikan dan menurunkan koloni bakteri.8 Metode sterilisasi yang

digunakan kebanyakan menggunakan dry heat dengan alasan harga alat tersebut

cukup murah bila dibandingkan autoclave.

Pada penelitian Chopra dan Pandey, responden yang tidak mengenakan lebih

dari satu sarung tangan tiap tangannya sebanyak 58%, sedangkan semua responden

ternyata mengganti sarung tangannya pada pasien yang berbeda dan menggunakan

larutan desinfektan baik untuk mencuci tangan maupun mencuci alat. Mencuci

tangan dengan menggunakan larutan desinfektan efektif menurunkan dan mematikan

bakteri yang terdapat ditang individu namun pengaruhnya tidak sama, tergantung

dengan cara dan kebiasaan individu mencuci tangan dan bahan yang digunakan.

Hasil penelitian Saheeb, Offor, dan Okojie, mendapatkan tiga responden (4,4%)

merendam selama 5-14 menit. Sedangkan untuk metode sterilisasi yang diterapkan,

paling banyak adalah dengan sterilasasi auotoclave sebanyak 52 responden

(52%).8,19,20

72

Page 73: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Penelitian mendapatkan bahwa sudah ada respoden yang tidak menggunakan

amalgam lagi, didapatkan hanya 67 respoden (67%) yang menggunakan amalgam,

33% lainnya (sudah) tidak menggunakan amalgam. Alasan mereka tidak

menggunakan amalgam adalah permintaan pasien yang menghendaki tambalan yang

estetik seperti komposit dan glass ionomer. Pada tabel V.4 terlihat bahwa terdapat 10

responden (14.9%) yang berkontak dengan amalgam secara regular, serta ada 58

responden (86.5) yang menggunakan tidak berkontak langsung dengan amalgam. 21

respoden (31.4%) yang tidak menggunakan kapsul amalgam. Berdasarkan tabel V.4

ternyata ada lima respoden (7.5%) yang tidak membersihkan amalgam yang

tertumpah, hal ini diperparah dengan ruang praktik tanpa ventilasi yang baik pada 11

respoden (16.5%). Saat melepaskan amalgam da restorasi16 respoden (23.9%) tidak

menggunakan water spray dan suction. Pada tabel V.4 menunjukkan hanya ada satu

respoden (1.5%) yang pernah memeriksakan kadar Hg dalam darahnya secara

berkala, dan semua respoden tidak pernah melakukan pengecekan kadar uap

amalgam di uang praktiknya. Nampaknya kesadaran respoden tentang pencegahan

bahaya amalgam (merkuri) masih kurang, dan mungkin semua respoden belum

memahami bagamana pemantauan rutin merkuri dalam darah dan tingkat uap

merkuri di klinik.

Menurut ketentuan OSHA (Occupational Safety and Health Agency,

Departemen Perburuhan Amerika Serikat), konsentrasi Hg pada urin hendaknya

tidak melebihi 6,1 mikrogram/liter dan kadar uap Hg maksimal adalah 50

mikrogram/meter3 dalam masa kerja 8 jam/hari untuk lebih dari 40 jam/minggu.

73

Page 74: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Penelitian Chopra dan Pandey, didapatkan bahwa 82,3% responden telah terekspose

amalgam secara teratur. Sebaliknya mereka tetap menjaga kebersihan merkuri.

Semuanya menggunakan amalgamator dan tidak seorangpun yang berkontak

langsung dengan amalgam. Semua pekerjaan di kamar praktik berventilasi baik serta

menggunakan water spray dan suction saat mengeluarkan amalgam dan restorasi.

Namun tidak ada satupun yang mengecek kadar merkuri dalam darah dan jumlah uap

merkuri ruang praktek mereka.14,19

Pada penilaian mengenai upaya pencegahan respoden terhadap bahaya

postur/sikap tubuh yang tidak ergonomi selama melakukan prosedur perawatan,

setelah diobservasi lebih dari 72% respoden semuannya benar pada masing-masing

delapan item penilaian postur tubuhnya. Postur tubuh yang tidak ergonomi yang

paling sering diabaikan oleh respoden adalah kesalahan memposisikan kaki dan

memposisikan punggung, didapatkan sebanyak 27 respoden (27%). Penempatan

pedal drive yang tidak berdekatan dengan kaki merupakan item yang paling sedikit,

yakni 9 responden (9%). Namun secara umum ke delapan posisi tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Sudut antara kaki bagian atas (paha) dan kaki bagian bawah (betis) harus

membentuk sudut yang besarnya 110º atau lebih (Gambar VI.1). Pada posisi ini

respoden yang benar posisinya sebanyak 73 respoden (73%), sedangkan yang

salah sebanyak 27 respoden (27%).

2. Dokter gigi harus simetris ke depan dan punggung sejauh mungkin dari sandaran

tempat duduk, atau badan dimiringkanke depan maksimal sehingga 10-20º,

74

Page 75: Kesehatan n Keselamatan Kerja

hindari memutar dan mring condong ke samping (Gambar VI.1). Pada posisi ini

respoden yang benar posisinya sebanyak 73 respoden (73%), sedangkan yang

salah sebanyak 27 respoden (27%).

3. Kepala dokter gigi dapat dimringkan ke depan hingga 25º (Gambar VI.1). Pada

posisi ini respoden yang benar posisinya sebanyak 89 respoden (89%),

sedangkan yang salah sebanyak 11 respoden (11%).

4. Pedal drive harus diposisikan/ditempatkan dekat dengan salah satu kaki

(Gambar VI.2). Pada posisi ini respoden yang benar posisinya sebanyak 91

respoden (91%), sedangkan yang salah sebanyak 9 respoden (9%).

5. Lengan diangkat hingga 10º-25º dari sumbu horizontal (Gambar VI.3). Pada

posisi ini respoden yang benar posisinya sebanyak 89 respoden (89%),

sedangkan yang salah sebanyak 11 respoden (11%).

6. Jarak antara area kerja (mulut pasien) antara dan ke mata (atau kacamata

pelindung) adalah 35-40 cm (Gambar VI.4). Pada posisi ini respoden yang benar

posisinya sebanyak 80 respoden (80%), sedangkan yang salah sebanyak 20

respoden (20%).

7. Instrumen harus diposisikan dengan area penglihatan dari dokter gigi pada jarak

antara 20-25 cm (Gambar VI.4). Pada posisi ini respoden yang benar posisinya

sebanyak 79 respoden (79%), sedangkan yang salah sebanyak 21 respoden

(21%).

8. Lampu dari dental unit harus diposisikan di atas kepala dokte gigi sebelum dan

saat tubuh dokter gigi sehingga cahaya yang dihasilkan terpancar lurus searah

75

Page 76: Kesehatan n Keselamatan Kerja

pandangan langsung ke dokter gigi (Gambar VI.2). Pada posisi ini respoden

yang benar posisinya sebanyak 87 respoden (87%), sedangkan yang salah

sebanyak 13 respoden (13%).

Gambar VI.1 Posisi dan sudut kaki, punggung (duduk), dan posisi kepala yang ergonomi Sumber: Dental student’ knowledge of ergonomi postural requiretments and their application during

clinical care. Eur J Dent Educ 2011;15:31-5. [internet] Available from URL: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1600-0579.2010.00629.x/pdf.

Accessed May 7, 2011.

Gambar VI.2 Posisi pedal drive dekat dengan salah asatu kaki dan posisi lampu dental unit, sehingga memudahkan operator saat melakukan perawatan

76

Page 77: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Sumber: Dental student’ knowledge of ergonomi postural requiretments and their application during clinical care. Eur J Dent Educ 2011;15:31-5. [internet] Available from URL: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1600-0579.2010.00629.x/pdf.

Accessed May 7, 2011.

Gambar VI.3 Posisi lengan diangkat hingga 10-25º dari sumbu horizontalSumber: Dental student’ knowledge of ergonomi postural requiretments and their application during

clinical care. Eur J Dent Educ 2011;15:31-5. [internet] Available from URL: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1600-0579.2010.00629.x/pdf.

Accessed May 7, 2011

77

Page 78: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Gambar VI.4 Jarak antara area kerja (mulut pasien) 35-40 cm dan instrumen 20-25 cm ke mata (kacamat pelindung)

Sumber: Magnification in dentistry: how ergonomi features impact your health . Eur J Dent Educ 2011;15:31-5. [internet] Available from URL: http://www.dentistrytoday.com/ergonomi/1110 .

Accessed September 14, 2011

Banyaknya respoden yang ke delapan posisi sikap/postur tubuh yang benar,

mungkin di pengaruhi kebiasaan melakukan semua sikap tubuh yang nyaman saat

melakukan perawatan, dan sikap nyaman itulah yang juga merupakan sikap yang

benar dan menjadi penilaian pada penelitian ini, dan tentunya sikap ini sudah sejak

lama dilakukan dan menjadi kebiasaan, akan tetapi bila kebiasaan yang diterapkan

oleh respoden merupakan sikap tubuh yang salah dan menurutnya nyaman, tetap saja

dapat mempengaruhi kesehatan respoden. Sedangkan pada penelitian Garbin dkk,

Postur tubuh yang tidak ergonomi yang paling sering diabaikan oleh respoden adalah

kesalahan memposisikan lampu dental unit searah pandangan respoden sebanyak 52

respoden (75,4%). Adanya perbedaan hasil jawaban mungkin dikarenakan, subjek

penelitian ini menggunakan dokter gigi praktik berpengalaman, sedangkan pada

penelitian pembanding menggunakan mahasiswa kedokteran gigi. 16,17,21

78

Page 79: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB VII

PENUTUP

7.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Makassar pada tanggal

14 Juni 2001 - 22 Augustus 2011, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Dokter gigi di Kota Makassar lebih banyak perempuan daripada laki-laki,

terlihat dari hasil penelitian ini sebanyak 81 orang perempuan (81%) dan 19

orang laki-laki (19%).

2. Dokter gigi di Kota Makassar hanya sedikit yang mengalami cedera

instrumen, hanya 11 respoden (11%) dan menurut penuturan respoden di

antaranya menyatakan terluka oleh cryer, alat-alat endo, bur, sonde, dan

needle. Namun sedikitnya tetap saja dapat mengakibatkan infeksi silang ke

dokter gigi.

3. Dokter gigi di Kota Makassar masih banyak responden yang sama sekali

belum pernah divaksin hepatitis sebanyak 31 orang (31%). Hal ini tentunya

membahayakan kondisi respoden bila tertular hepatitis.

79

Page 80: Kesehatan n Keselamatan Kerja

4. Dokter gigi di Kota Makassar masih ada yang tidak mengenakan kacamata

pelindung sebanyak 24 responden (24%), serta masih ada 10 responden

(10%) yang terkadang tidak menggunakan alat bantu penglihatan (mouth

mirror) untuk RA. Menurut mereka bila menggunakan kacamata pelindung

dapat menghambat mereka saat bekerja, serta saat bekerja dengan gigi rahang

80

Page 81: Kesehatan n Keselamatan Kerja

atas akan lebih jelas bila melihat langsung dibanding menggunakan mouth

mirror. Dalam hal ini mereka berusaha menciptakan suasana yang nyaman

saat bekerja walaupun itu mengabaikan bahaya kerja di tempat praktiknya.

5. Dokter gigi di Kota Makassar yang mengenakan sarung tangan & masker

sebanyak 97 responden (97%), yang tidak mengenakan lebih dari satu sarung

tangan tiap tangannya sebanyak 49 reponden (49%), sedangkan masih ada

pula satu responden (1%) yang ternyata tidak mengganti sarung tangannya

pada pasien yang berbeda.

6. Dokter gigi di Kota Makassar 86% menggunakan larutan desinfektan baik

untuk mencuci tangan ataupun instrumen, serta 51 responden (51%)

merendam selama 5-14 menit. Sedangkan untuk metode sterilisasi yang

diterapkan, paling banyak adalah dengan sterilasasi dry heat sebanyak 56

responden (56%) sedangkan autoclave sebanyak 20 respoden (20%).

Prosedur ini dijalankan sesuai dengan prosedur yang dijalankan di Rumah

Sakit/Puskesmas (tempat kerjanya selain praktik swasta sore). Metode

sterilisasi yang digunakan kebanyakan menggunakan dry heat dengan alasan

harga alat tersebut cukup murah bila dibandingkan autoclave.

7. Dokter gigi di Kota Makassar sudah banyak yang tidak menggunakan

amalgam, didapatkan hanya 67 respoden (67%) yang menggunakan

amalgam, 33% lainnya (sudah) tidak menggunakan amalgam. Alasan mereka

tidak menggunakan amalgam adalah permintaan pasien yang menghendaki

tambalan yang estetik seperti komposit dan glass ionomer.

81

Page 82: Kesehatan n Keselamatan Kerja

8. Dokter gigi di Kota Makassar saat menggunakan amalgam, didapatkan

terdapat 10 responden (14.9%) yang berkontak dengan amalgam secara

regular, serta ada 58 responden (86.5%) yang tidak berkontak langsung

dengan amalgam. 21 respoden (31.4%) yang tidak menggunakan kapsul

amalgam. Dan ternyata ironisnya ada lima respoden (7.5%) yang tidak

membersihkan amalgam yang tertumpah, hal ini diperparah dengan ruang

praktik tanpa ventilasi yang baik pada 11 respoden (16.5%). Saat melepaskan

amalgam dan restorasi, cuman 16 respoden (23.9%) tidak menggunakan

water spray dan suction.

9. Dokter gigi di Kota Makassar hanya ada satu respoden (1.5%) yang pernah

memeriksakan kadar Hg dalam darahnya di laboratorium serta hanya sekali

dan tidak berkelanjutan. Dan semua respoden tidak pernah melakukan

pengecekan kadar uap amalgam di uang praktiknya

10. Dokter gigi di Kota Makassar mengenai upaya pencegahannya terhadap

bahaya postur/sikap tubuh yang tidak ergonomi selama melakukan prosedur

perawatan, setelah diobservasi lebih dari 72% respoden semuannya benar

pada masing-masing delapan item penilaian postur tubuhnya. Postur tubuh

yang tidak ergonomi yang paling sering diabaikan oleh respoden adalah

kesalahan memposisikan kaki dan memposisikan punggung, didapatkan

sebanyak 27 respoden (27%). Penempatan pedal drive yang tidak berdekatan

dengan kaki merupakan item yang paling sedikit, yakni 9 responden (9%).

82

Page 83: Kesehatan n Keselamatan Kerja

7.2 SARAN

1. Dokter gigi di Kota Makassar sebaiknya lebih memperhatikan kesehatan dan

keselamatan kerjanya saat berpraktik. Agar terhidar dari bahaya kerja yang

dapat muncul saat melakukan prosedur perawatan pada pasien.

2. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Makassar sebaiknya

melaksanakan seminar mengenai kesehatan dan keselamatan kerja dan upaya

pencegahan bahaya pada dokter gigi saat melakukan prosedur perawatan.

3. Diharapkan ada penelitian selanjutnya dan serupa, sehingga dapat menggali

sumber informasi yang lebih mendalam dibanding penelitian ini.

4. Dokter gigi di Kota Makassar yang masih menggunakan bahan tambalan

amalgam, diharapkan untuk mengecek sejak dini kadar merkuri (Hg) dalam

darah dan jumlah uap merkuri (Hg) di ruang praktek mereka.

5. Dokter gigi di Kota Makassar diharapkan membiasakan memperhatikan

postur/sikap tubuhnya agar lebih ergonomi saat melakukan perwatan, agar

tercipta suasana kerja yang aman, sehat, dan nyaman.

83

Page 84: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan multi etnik dan multi sosial budaya serta

berbagai perbedaan pandangan politik sempit yang diperberat dengan adanya krisis

multi dimensi. Keragaman tersebut berpotensi menimbulkan koflik dengan kekerasan

yang berdampak adanya masalah kesehatan. Konflik dengan kekerasan menyebabkan

terjadinya kedaruratan kompleks yang merupakan bencana karena ulah manusia

termasuk masalah kesehatan yang timbul secara mendadak (akut) yang ditandai

dengan jatuhnya korban manusia. Sehingga penanggulangan masalah kesehatan

akibat kedaruratan kompleks memerlukan keterpaduan dan kerjasama dengan lintas

program dan lintas sektor.

Rumah sakit merupakan tempat kerja yang unik dan kompleks untuk

menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Semakin luas pelayanan

kesehatan dan fungsi rumah sakit tersebut, maka akan semakin komplek peralatan

dan fasilitas yang dibutuhkan. Kerumitan tersebut menyebabkan rumah sakit

mempunyai potensi bahaya yang sangat besar, tidak hanya bagi pasien dan tenaga

medis, tetapi juga pengunjung rumah sakit.

Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi

bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan

(peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan

sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas

anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi.

Oleh karena itu, sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-

upaya K3 di RS. Selain itu, agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan

terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola

maupun karyawan RS.

84

Page 85: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah

Sakit

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23

dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus

diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai

risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan

paling sedikit 10 orang. Maka Rumah Sakit (RS) juga termasuk dalam kriteria tempat

kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan,

tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap

pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS

menerapkan upaya-upaya K3 di RS. Segala hal yang menyangkut penyelenggaraan

K3 di rumah sakit diatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 432 tentang

Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit termasuk

pengertian dan ruang lingkup kesehatan dan keselamatan kerja di Rumah Sakit.

a. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja

1) Kesehatan Kerja Menurut WHO / ILO (1995)

Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat

kesehatan fisik, mental, dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di

semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja

yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam

pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan

penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang

disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya. Secara ringkas

merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia

kepada pekerjaan atau jabatannya.

2) Kesehatan dan keselamatan kerja

85

Page 86: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat

kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan

penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi

kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.

3) Konsep Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit adalah

upaya terpadu seluruh pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar

orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja rumah sakit

yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja rumah sakit, pasien,

pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi masyarakat dan lingkungan

sekitar rumah sakit.

b. Ruang Lingkup

1) Prinsip, Kebijakan Pelaksanaan dan Program Kesehatan dan Keselamatan

Kerja Rumah Sakit (K3RS)

a) Prinsip K3RS

Agar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) dapat

dipahami secara utuh, perlu diketahui pengertian 3 komponen yang saling

berinteraksi, yaitu :

(1) Kapasitas kerja adalah status kesehtan kerja dan gizi kerja yang baik

serta kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat

melakukan pekerjaannya dengan baik.

(2) Beban kerja adalah beban fisik dan mental yang harus ditanggung

oleh pekerja dalam melaksankan tugasnya.

(3) Lingkungan kerja adalah lingkungan terdekat dari seorang pekerja

b) Program K3RS

Program K3 di rumah sakit bertujuan untuk melindungi keselamatan

dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas pekerja, melindungi

keselamatan pasien, pengunjung, dan masyarakat serta lingkungan sekitar

Rumah Sakit. Kinerja setiap petugas petugas kesehatan dan non kesehatan

merupakan resultante dari tiga komponen yaitu kapasitas kerja, beban

kerja, dan lingkungan kerja. Program K3RS yang harus diterapkan adalah

:

86

Page 87: Kesehatan n Keselamatan Kerja

(1) Pengembangan kebijakan K3RS

(2) Pembudayaan perilaku K3RS

(3) Pengembangan Sumber Daya Manusia K3RS

(4) Pengembangan Pedoman dan Standard Operational Procedure (SOP)

K3RS

(5) Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja

(6) Pelayanan kesehatan kerja

(7) Pelayanan keselamatan kerja

(8) Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair,

gas

(9) Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya

(10) Pengembangan manajemen tanggap darurat

(11) Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan

kegiatan K3

(12) Review program tahunan

c) Kebijakan pelaksanaan K3

Rumah sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal,

dan teknologi, namun keberadaan rumah sakit juga memiliki dampak

negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila

rumah sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu

perlu dilaksanakan kebijakan sebagai berikut :

(1) Membuat kebijakan tertulis dari pimpinan rumah sakit

(2) Menyediakan Organisasi K3 di Rumah Sakit sesuai dengan

Kepmenkes Nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman

Manajemen K3 di Rumah Sakit

(3) Melakukan sosialisasi K3 di rumah sakit pada seluruh jajaran rumah

sakit

(4) Membudayakan perilaku k3 di rumah sakit

(5) Meningkatkan SDM yang professional dalam bidang K3 di masing-

masing unit kerja di rumah sakit

(6) Meningkatkan Sistem Informasi K3 di rumah sakit

87

Page 88: Kesehatan n Keselamatan Kerja

2) Standar Pelayanan K3 di Rumah Sakit

Pelayanan K3RS harus dilaksanakan secara terpadu melibatkan berbagai

komponen yang ada di rumah sakit. Pelayanan K3 di rumah sakit sampai saat

ini dirasakan belum maksimal. Hal ini dikarenakan masih banyak rumah sakit

yang belum menerapkan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan

kerja (SMK3).

a) Standar Pelayanan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit

Setiap Rumah Sakit wajib melaksanakan pelayanan kesehatan kerja

seperti tercantum pada pasal 23 UU kesehatan no.36 tahun 2009 dan

peraturan Menteri tenaga kerja dan Transmigrasi RI No.03/men/1982

tentang pelayanan kesehatan kerja. Adapun bentuk pelayanan kesehatan

kerja yang perlu dilakukan, sebagai berikut :

(1) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebekum kerja bagi pekerja

(2) Melakukan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang kesehatan

kerja dan memberikan bantuan kepada pekerja di rumah sakit dalam

penyesuaian diri baik fisik maupun mental terhadap pekerjanya.

(3) Melakukan pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus sesuai

dengan pajanan di rumah sakit

(4) Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan

kemampuan fisik pekerja

(5) Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi pekerja

yang menderita sakit

(6) Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah sakit

yang akan pension atau pindah kerja

(7) Melakukan koordinasi dengan tim Panitia Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi mengenai penularan infeksi terhadap pekerja

dan pasien

(8) Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja

(9) Melaksanakan pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang

berkaitan dengan kesehatan kerja (Pemantauan/pengukuran terhadap

faktor fisik, kimia, biologi, psikososial, dan ergonomi)

88

Page 89: Kesehatan n Keselamatan Kerja

(10) Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan kesehatan

kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis

terkait di wilayah kerja Rumah Sakit

b) Standar pelayanan Keselamatan kerja di Rumah Sakit

Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat dengan

sarana, prasarana, dan peralatan kerja. Bentuk pelayanan keselamatan

kerja yang dilakukan :

(1) Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan sarana, prasarana,

dan peralatan kesehatan

(2) Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja terhadap

pekerja

(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja

(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair

(5) Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja

(6) Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja

(7) Member rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, pembuatan

tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait

keselamatan/keamanan

(8) Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya

(9) Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem Penanggulangan

Kebakaran (MSPK)

(10) Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan

keselamatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit

dan Unit teknis terkait di wilayah kerja kerja Rumah Sakit

3) Standar K3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan di Rumah Sakit

Sarana didefinisikan sebagai segala sesuatu benda fisik yang dapat

tervisualisasi oleh mata maupun teraba panca indera dan dengan mudah dapat

dikenali oleh pasien dan umumnya merupakan bagian dari suatu bangunan

gedung (pintu, lantai, dinding, tiang, kolong gedung, jendela) ataupun

bangunan itu sendiri. Sedangakan prasarana adalah seluruh jaringan/instansi

89

Page 90: Kesehatan n Keselamatan Kerja

yang membuat suatu sarana bisa berfungsi sesuai dengan tujuan yang

diharapkan, antara lain : instalasi air bersih dan air kotor, instalasi listrik, gas

medis, komunikasi, dan pengkondisian udara, dan lain-lain.

4) Pengelolaan Jasa dan Barang Berbahaya

Barang Berbahaya dan Beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat dan

atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak

langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau

dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup

manusia serta makhluk hidup lainnya.

a) Kategori B3

Memancarkan radiasi, Mudah meledak, Mudah menyala atau terbakar,

Oksidator, Racun, Korosif, Karsinogenik, Iritasi, Teratogenik, Mutagenic,

Arus listrik.

b) Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3

(1) Identifikasi semua B3 dan instalasi yang akan ditangani untuk

mengenal ciri-ciri dan karakteristiknya.

(2) Evaluasi, untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang

diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang

ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila

kecelakaan terjadi

(3) Pengendalian sebagai alternatif berdasarkan identifikasi dan evaluasi

yang dilakukan meliputi pengendalian operasional, pengendalian

organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur

dan proses kerja yang aman, pembatasan keberadaan B3 di tempat

kerja sesuai jumlah ambang.

(4) Untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya

c) Pengadaan Jasa dan Bahan Berbahaya

Rumah sakit harus melakukan seleksi rekanan berdasarkan barang

yang diperlukan. Rekanan yang akan diseleksi diminta memberikan

proposal berikut company profile. Informasi yang diperlukan menyangkut

90

Page 91: Kesehatan n Keselamatan Kerja

spesifikasi lengkap dari material atau produk, kapabilitas rekanan, harga,

pelayanan, persyaratan K3 dan lingkungan serta informasi lain yang

dibutuhkan oleh rumah sakit.

Setiap unit kerja/instalasi/satker yang menggunakan, menyimpan,

mengelola B3 harus menginformasikan kepada instalasi logistic sebagai

unit pengadaan barang setiap kali mengajukan permintaan bahwa barang

yang diminta termasuk jenis B3. Untuk memudahkan melakukan proses

seleksi, dibuat form seleksi yang memuat kriteria wajib yang harus

dipenuhi oleh rekanan serta sistem penilaian untuk masing-masing criteria

yang ditentukan.

5) Standar SDM K3 di Rumah Sakit

Kriteria tenaga K3

a) Rumah Sakit Kelas A

(1) S3/S2 K3 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang

terakreditasi mengenai K3 RS

(2) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang

terakreditasi mengenai K3 RS

(3) Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk) dan S2 Kedokteran

Okupasi minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang

terakreditasi mengenai K3 RS

(4) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 2 orang yang

mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(5) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1

orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang

terakreditasi mengenai K3 RS

(6) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal)

yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(7) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi

mengenai K3 RS minimal 2 orang

(8) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat

pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang

91

Page 92: Kesehatan n Keselamatan Kerja

(9) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi

mengenai K3 RS minimal 2 orang

b) Rumah Sakit Kelas B

(1) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus

terakreditasi mengenai K3 RS

(2) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang

mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(3) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1

orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang

terakreditasi mengenai K3 RS

(4) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal)

yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

minimal 1 orang

(5) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi

mengenai K3 RS minimal 1 orang

(6) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat

pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang

(7) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi

mengenai K3 RS minimal 1 orang

c) Rumah Sakit kelas C

(1) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang

mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(2) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1

orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang

terakreditasi mengenai K3 RS

(3) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi

mengenai K3 RS minimal 1 orang

(4) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi

mengenai K3 RS minimal 1 orang

92

Page 93: Kesehatan n Keselamatan Kerja

6) Pembinaan, Pengawasan, Pencatatan, dan Pelaporan

a) Pembinaan dan pengawasan

Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang.

Pembinaan dan pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen

Kesehatan. Pembinaan dapat dilaksanakan antara lain dengan melalui

pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan temu konsultasi.

Pengawasan pelaksanaan Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja

di rumah sakit dibedakan dalam dua macam, yakni pengawasan internal,

yang dilakukan oleh pimpinan langsung rumah sakit yang bersangkutan,

dan pengawasan eksternal, yang dilakukan oleh Menteri kesehatan dan

Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-

masing.

b) Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dan pelaporan adalah pendokumentasian kegiatan K3

secara tertulis dari masing-masing unit kerja rumah sakit dan kegiatan

K3RS secara keseluruhan yang dilakukan oleh organisasi K3RS, yang

dikumpulkan dan dilaporkan /diinformasikan oleh organisasi K3RS, ke

Direktur Rumah Sakit dan unit teknis terkait di wilayah Rumah Sakit.

Tujuan kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah

menghimpun dan menyediakan data dan informasi kegiatan K3,

mendokumentasikan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan K3; mencatat dan

melaporkan setiap kejadian/kasus K3, dan menyusun dan melaksanakan

pelaporan kegiatan K3.

Pelaporan terdiri dari; pelaporan berkala (bulanan, semester, dan

tahunan) dilakukan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan dan

pelaporan sesaat/insidentil, yaitu pelaporan yang dilakukan sewaktu-

waktu pada saat kejadian atau terjadi kasus yang berkaitan dengan K3.

Sasaran kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah mencatat

93

Page 94: Kesehatan n Keselamatan Kerja

dan melaporkan pelaksanaan seluruh kegiatan K3, yang tercakup di dalam

:

(1) Program K3, termasuk penanggulangan kebakaran dan kesehatan

lingkungan rumah sakit.

(2) Kejadian/kasus yang berkaitan dengan K3 serta upaya

penanggulangan dan tindak lanjutnya.

2.2 Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit

a. Pengertian Manajemen K3 RS

Manajemen K3 RS merupakan upaya terpadu dari seluruh SDM RS,

pasien, serta pengunjung atau pengantar orang sakit untuk menciptakan

lingkungan kerja RS yang sehat, aman dan nyaman termasuk pemukiman

masyarakat sekitarnya.

b. Sistem Manajemen K3 RS

SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen yang meliputi: struktur

organisasi, perencanaan, pelaksanaan, prosedur, sumber daya, dan tanggungjawab

organisasi. Tujuan dari SMK3 RS adalah menciptakan tempat kerja yang aman

dan sehat supaya tenaga kerja produktif disamping dalam rangka akreditasi rumah

sakit itu sendiri. Prinsip yang digunakan dalam SMK3 adalah AREC (Anticipation,

Recognition, Evaluation dan Control) dari metode kerja, pekerjaan dan

lingkungan kerja.

c. Langkah manajemen:

1) Komitmen dan Kebijakan

Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan

mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS. Manajemen RS

mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti

pendanaan, tenaga K3 dan sarana untuk terlaksananya program K3 di RS.

Kebijakan K3 di RS diwujudkan dalam bentuk wadah K3 RS dalam

struktur organisasi RS. Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 RS,

perlu disusun strategi antara lain :

a) Advokasi sosialisasi program K3 RS.

94

Page 95: Kesehatan n Keselamatan Kerja

b) Menetapkan tujuan yang jelas.

c) Organisasi dan penugasan yang jelas.

d) Meningkatkan SDM profesional di bidang K3 RS pada setiap unit kerja

di lingkungan RS.

e) Sumberdaya yang harus didukung oleh manajemen puncak

f) Kajian risiko (risk assessment) secara kualitatif dan kuantitatif

g) Membuat program kerja K3 RS yang mengutamakan upaya peningkatan

dan pencegahan.

h) Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala.

2) Perencanaan

RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan

penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.

Perencanaan meliputi:

a) Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko.

Identifikasi sumber bahaya yang ada di RS berguna untuk

menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan

terjadinya kecelakaan dan PAK (penyakit akibat kerja). Sedangkan

penilaian faktor risiko merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya

risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang

menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.

Pengendalian faktor risiko di RS dilaksanakan melalui 4

tingkatan yakni menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko

dengan sarana atau peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah

bahkan tidak ada risiko sama sekali, administrasi, dan alat pelindung

pribadi (APP).

b) Membuat peraturan. Peraturan yang dibuat tersebut merupakan Standar

Operasional Prosedur yang harus dilaksanakan, dievaluasi, diperbaharui,

serta harus dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada karyawan dan

pihak yang terkait.

c) Menentukan tujuan (sasaran dan jangka waktu pencapaian)

95

Page 96: Kesehatan n Keselamatan Kerja

d) Indikator kinerja yang harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3

dan sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian

SMK3 RS.

e) Program K3 ditetapkan, dilaksanakan, dimonitoring, dievaluasi dan

dicatat serta dilaporkan.

3) Pengorganisasian

Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab

manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja

sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui

adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada

semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin.

a) Tugas pokok unit pelaksana K3 RS

1) Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS mengenai

masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.

2) Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan

prosedur.

3) Membuat program K3 RS

b) Fungsi unit pelaksana K3 RS

1) Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta

permasalahan yang berhubungan dengan K3.

2) Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya promosi

K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS.

3) Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.

4) Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan

korektif.

5) Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.

6) Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol bahaya,

mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.

96

Page 97: Kesehatan n Keselamatan Kerja

7) Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan sesuai

kegiatannya.

8) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru,

pembangunan gedung dan proses.

2.3 Struktur Organisasi K3 di RS

Berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 432 tahun 2007

bahwa Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur, bukan kerja rangkap dan

merupakan unit organisasi yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur RS.

Hal ini dikarenakan organisasi K3 RS berkaitan langsung dengan regulasi, kebijakan,

biaya, logistik dan SDM di rumah sakit. Nama organisasinya adalah unit pelaksana

K3 RS, yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di RS.

Keanggotaan:

a. Unit pelaksana K3 RS beranggotakan unsur-unsur dari petugas dan jajaran

direksi RS. Akan sangat efektif bila ada yang berlatarbelakang pendidikan K3.

b. Unit pelaksana K3 RS terdiri dari sekurang-kurangnya ketua, sekretaris dan

anggota. Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan sekretaris serta

anggota.

c. Ketua unit pelaksana K3 RS sebaiknya adalah salah satu manajemen tertinggi di

RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah langsung direktur RS.

d. Sedang sekretaris unit pelaksana K3 RS adalah seorang tenaga profesional K3

RS, yaitu manajer K3 RS atau ahli K3 (berlatarbelakang pendidikan K3).

97

Page 98: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB III

ISI DAN PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus

a. Kasus 1

Jakarta, bagi para perawat, bekerja di klinik kanker butuh kehati-hatian

ekstra. Sedikit saja kesalahan tidak hanya membahayakan pasien, tetapi juga diri

sendiri karena kontak langsung dengan obat-obat kemoterapi dapat menyebabkan

keracunan. Para peneliti dari University of Michigan mengungkap, kontak langsung

dengan kulit atau mata bisa membuat obat-obat kemoterapi atau obat kanker bisa

terserap oleh tubuh. Bagi para perawat yang setiap hari menangani obat-obatan

tersebut, hal ini bisa berdampak serius.

Paparan obat kemoterapi yang tidak disengaja bisa membuat para perawat

mengalami gangguan sistem saraf dan reproduksi. Bahkan saat baru terserap dan

masuk ke sistem peredaran darah, racun-racun tesebut juga sudah bisa memicu risiko

kanker darah. "Kontak apapun di permukaan kulit atau mata sama bahayanya dengan

tertusuk jarum suntik. Untuk kecelakaan jarum suntik, perawat biasanya langsung

mendapat pemeriksaan namun pada obat-obat kemoterapi jarang diperhatikan,"

ungkap salah seorang peneliti, Dr Christopher Friese seperti dikutio dari MSN

Health, Rabu (24/8/2011). Penelitian yang dilakukan Dr Friese dan timnya

98

Page 99: Kesehatan n Keselamatan Kerja

menunjukkan, 17 persen perawat yang bekerja di klinik kanker mengaku pernah

terlibat kontak langsung dengan obat kemoterapi baik di kulit maupun mata. Data ini

diperoleh setelah mensurvei 1.339 perawat di seluruh Amerika.

Lembaga keselamatan dan kesehatan kerja di Amerika Serikat sebenarnya

sudah punya panduan tentang cara penanganan obat kanker yang aman. Namun

karena sifatnya tidak diwajibkan, hanya sebagian saja perawat yang sudah

menerapkan panduan tersebut sedangkan sisanya kurang mematuhinya. Salah satu

imbauan yang tercantum dalam panduan tersebut adalah, para perawat yang

menangani obat-obat kemoterapi harus memakai perlengkapan tertentu untuk

melindungi dirinya. Perlengkapan itu terdiri dari sarung tangan dan juga gaun khusus

untuk melindungi tubuh dari tumpahan obat.

b. Kasus 2

Jakarta, di tempat kerja, ancaman terhadap kesehatan reproduksi bisa

datang dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satu profesi yang

rentan mengalami gangguan reproduksi akibat penggunaan bahan-bahan tersebut

adalah tenaga kesehatan. Pakar kesehatan kerja dari Universitas Indonesia, Dr dr

Astrid W Sulistomo, MPH, SpOk (spesialis okupansi atau spesialis kesehatan dan

keselamatan kerja) mengatakan pejanan gas-gas anestesi di rumah sakit dalam

jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Pada

ibu hamil, risikonya adalah kelainan kongenital atau pertumbuhan struktur organ

pada janin.

Ancaman bagi kehamilan juga bisa datang dari pejanan obat-obat kanker

atau antineoplastik dalam waktu yang lama dan terus menerus. Selain memicu

kelainan kongenital seperti halnya gas anestesi, obat-obat antineoplastik juga bisa

memicu keguguran atau abortus spontan.  "Menurut penelitian, pekerja di sektor

kesehatan dan manufaktur paling rentan mengalami gangguan reproduksi. Khusus

di negara berkembang, yang paling rentan adalah pertanian akibat penggunaan

pestisida," ungkap Dr Astrid dalam seminar Kesehatan Reproduksi di Tempat Kerja

di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (1/3/2011). 

99

Page 100: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Selain akibat pejanan bahan-bahan kimia, Dr Astrid mengatakan ancaman

di tempat kerja bisa datang dari pejanan fisik seperti suhu yang terlalu panas.

Pejanan fisik berupa temperatur tinggi antara lain mengancam para pekerja di

peleburan baja, tukang las dan koki atau juru masak. Risikonya memang lebih

banyak mengancam pria, antara lain memicu ketidaksuburan atau oligospermia

serta menurunkan libido atau gairah seks. Namun ada juga pejanan fisik yang

mengancam wanita, misalnya getaran mesin yang bisa memicu keguguran atau

kelahiran prematur. 

Meski demikian Dr Astrid mengatakan tidak semua risiko tersebut didukung

dengan bukti ilmiah yang kuat, beberapa di antaranya masih berupa dugaan.

Misalnya gas anestesi, pengaruhnya terhadap kesehatan reproduksi masih

inkonklusif atau belum disimpulkan sementara obat antineoplastik pengaruhnya

sudah didukung bukti kuat.

c. Kasus 3

Taiwan, sebanyak 5 orang penerima donor organ di 2 rumah sakit terkemuka

Taiwan tengah diambang terinfeksi virus HIV (Human Imunodeficiency Virus)

setelah sang pendonor organ belakangan diketahui sebagai penderita HIV positif.

Kelima orang tersebut melakukan transplantasi organ (cangkok organ tubuh) di 2

rumah sakit terbaik di Taiwan pada 24 Agustus 2011. Empat orang melakukan

transplantasi organ di National Taiwan University Hospital (NTUH) dan 1 orang lagi

di National Cheng Kung University Hospital untuk transplantasi jantung.

Kasus transplantasi organ dari penderita HIV ini membikin geger Taiwan dan

kalangan medis dunia. Departemen kesehatan Taiwan melakukan investigasi khusus

untuk mengungkap kasus tersebut dan menyelamatkan 5 orang yang kemungkinan

besar terkena HIV tersebut. Hasil penyelidikan sementara Departemen Kesehatan

Taiwan, kesalahan fatal tersebut akibat human error (kesalahan manusia). Salah

seorang petugas yang ikut dalam proses transplantasi tersebut salah mendengar

informasi yang diberikan melalui telpon tentang hasil tes darah si pendonor organ.

100

Page 101: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Petugas tersebut percaya ia mendengar kata dalam bahasa Inggris 'non reaktif'

dari hasil tes standar si pendonor organ, padahal yang sebenarnya diberitahukan

adalah kata 'reaktif'. Informasi tentang hasil tes yang diberikan melalui telpon itu

juga tidak diperiksa lagi seperti yang dipersyaratkan dalam prosedur standar.

Kemudian hasil tes tidak dikonfirmasikan lagi dengan tim dokter yang akan

melakukan transplantasi. "Kami sangat meminta maaf atas kesalahan itu," bunyi

pengumuman rumah sakit itu seperti dilansir dari focustaiwannewschannel, Minggu

(4/9/2011).

Pejabat departemen kesehatan Taiwan Shih Chung-liang mengatakan akan

melihat kesalahan dan memutuskan hukuman kepada rumah sakit tersebut. Jika

ditemukan kelalaian yang telah menyebabkan kesalahan fatal itu, rumah sakit

mungkin harus menghentikan program transplantasi selama satu tahun di samping

denda yang akan diberikan.

Si pendonor organ adalah seorang pria berusia 37 tahun yang mengalami

koma setelah jatuh dari ketinggian pada 24 Agustus 2011. Si pendonor memang telah

mendaftarkan untuk donor organ dengan memberikan jantung, hati, paru-paru dan 2

ginjalnya yang oleh rumah sakit ditranplantasikan pada hari yang sama. Kepala

departemen kesehatan kota Hsinchu, Ke-wu yao mengecam transplantasi yang

dilakukan rumah sakit itu sebagai kelalaian yang mengerikan. Kota Hsinchu adalah

tempat tinggal si pendonor tersebut. Ke-wu yao mengatakan rumah sakit bisa

menghindari kesalahan tersebut dengan meminta riwayat medis si pendonor di kota

asalnya.

Ke-wu yao mengatakan ke-5 orang penerima donor organ itu sangat mungkin

tertular HIV. Dan pengobatan untuk mereka akan semakin rumit karena selain

minum obat-obatan transplantasi untuk menghindari penolakan terhadap organ baru,

mereka juga harus minum obat untuk HIV. Kekhawatiran juga terjadi pada petugas

medis yang melakukan operasi transplantasi tersebut. Beberapa dokter dan perawat

yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan di ambang kepanikan.

National Taiwan University Hospital adalah salah satu rumah sakit terbaik

dan sangat dipercaya di Taiwan terutama dalam operasi transplantasi organ. Rumah

101

Page 102: Kesehatan n Keselamatan Kerja

sakit tersebut telah berdiri sejak tahun 1895 dan menjadi pusat riset medis yang

sangat disegani.

3.2 Pembahasan Kasus

Dari ketiga kasus diatas, jelas terlihat bahwa bahaya potensial di rumah sakit

selalu bisa terjadi. Bahaya potensial tersebut dapat menimbulkan dampak kesehatan

bagi warga rumah sakit, yaitu pekerja medis, non medis, pasien bahkan pengunjung

dan pengantar pasien. Bahaya potensial di rumah sakit berkaitan dengan :

1. Faktor biologik (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien),

2. Faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun gterus menerus seperti

antiseptik pada kulit, gas anestasi pada hati),

3. Faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah),

4. Faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan

tinggi pada sistem reproduksi, radiasi pada sistem pemroduksi darah), dan

5. Faktor psikologis (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien, gawat

darurat dan bangsal penyakit jiwa).

Dalam kasus pertama dan kedua telah dijelaskan bahwa ada kecenderungan

dari faktor kimia berupa obat kemoterapi, obat antineoplastik dan gas anestesi dapat

memberikan dampak kesehatan bagi petugas kesehatan. Efek toksik dari obat

kemoterapi adalah berupa keracunan yang dapat memberikan dampak negatif pada

sistem saraf bahkan dapat memicu risiko kanker darah apabila obat tersebut telah

memasuki sirkulasi darah. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, obat kemoterapi

ternyata juga termasuk dalam B3 (Barang Berbahaya dan Beracun) karena sifat dan

atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak

langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat

membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta

makhluk hidup lainnya.

Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat terkena paparan obat

kemoterapi melalui kontak langsung dengan kulit dan mata secara terus menerus saat

melayani pasiennya. Oleh karena itu, penggunaan APD berupa perlengkapan yang

terdiri dari sarung tangan serta gaun dan kacamata khusus sangat dianjurkan untuk

102

Page 103: Kesehatan n Keselamatan Kerja

melindungi petugas kesehatan yang pekerjaannya sangat terkait dengan pemakaian

obat kemoterapi.

Efek toksik dari pejanan gas lain, yaitu berupa gas anestesi di rumah sakit

dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita.

Selain itu, obat antineoplastik juga dijelaskan dapat memicu keguguran maupun

abortus spontan pada pekerja wanita yang hamil. Kasus banyak terpaparnya tenaga

kesehatan di rumah sakit terhadap obat kemoterapi dan bahan kimia lain yang

bersifat karsinogenik tersebut harusnya sudah menjadi sorotan SMK3 di Rumah

Sakit (klinik kanker). Hal ini sangat penting terutama apabila tingkat risiko

keterpaparan bahan kimia merupakan hal yang memiliki bahaya potensial tinggi.

Sehingga kasus yang terkait dengan kecelakaan kerja ini semakin urgent untuk cepat

diselesaikan.

Kecelakaan kerja di rumah sakit selain disebabkan beberapa faktor diatas,

juga dapat terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan kesalahan prosedur dari pekerja

itu sendiri, yaitu seperti yang telah dijelaskan dalam kasus 3. Akibat komunikasi

yaitu penerimaan informasi tentang hasil tes yang salah, proses transplantasi organ

terhadap pasien yang awalnya diperkirakan sukses ternyata terdapat kesalahan yang

fatal. Rumah sakit tersebut tidak menjalankan prosedur standar yang telah

disyaratkan seperti meminta riwayat medis si pendonor organ. Bahkan kesalahan

tersebut dapat menimbulkan pasien mengidap penyakit HIV-AIDS yang sebelumnya

tidak ia derita.

Kekhawatiran (efek psikologis) yang ditimbulkan dari kesalahan kinerja

tersebut tidak hanya terjadi pada pasien tetapi juga terjadi pada petugas medis yang

melakukan operasi transplantasi pada kasus 3 diatas. Beberapa dokter dan perawat

yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan kepanikan. Hal tersebut

dapat dimaklumi mengingat bahwa virus HIV-AIDS dapat ditularkan melalui cairan

tubuh (dalam kasus ini adalah darah) sehingga kemungkinan dokter dan perawat

tersebut tertular HIV-AIDS meningkat.

Selain contoh-contoh kasus diatas, masalah dalam pelaksanaan K3 di rumah

sakit saat ini masih banyak. Masalah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari peran

SMK3 di lingkup Rumah Sakit. Maka sudah seharusnya pihak SMK3 di rumah sakit

103

Page 104: Kesehatan n Keselamatan Kerja

mengetahui akan bahaya potensial yang ada di rumah sakitnya. Selain itu, SMK3

harus mencanangkan dan menjalankan upaya pengendalian bahaya. Pengendalian

bahaya dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi setelah identifikasi bahaya

potensial di RS untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan

sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus

memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi.

Setelah melakukan evaluasi, pihak SMK3 juga memerlukan upaya

pengendalian sebagai alternatif pemecahan masalah berdasarkan identifikasi dan

evaluasi yang dilakukan. Upaya pengendalian meliputi pengendalian operasional,

pengendalian organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur dan

proses kerja yang aman, dan pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai

jumlah ambang untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya.

Penyelesaian masalah penyelenggaraan K3 di rumah sakit juga dapat efektif

jika SMK3 melakukan risk assesment terlebih dahulu terhadap kasus. Setelah itu,

maka kebijakan yang sudah terencana dapat diberlakukan sesuai dengan hasil

assesment. Penentuan kebijakan yang baik dan efektif juga harus disertai dengan

pembuatan program yang mendukung kebijakan itu sendiri. Hal yang tak kalah

penting adalah sosialisasi terhadap target yang bersangkutan seperti tenaga medis

dan non medis di rumah sakit. Setelah sosialisasi dilakukan maka proses

pembudayaan perilaku K3 sudah mulai dapat diprogramkan, seperti pembiasaan

memakai APD (sarung tangan, kacamata pelindung, gaun pelindung, dan lain-lain )

agar tidak terkena paparan bahan atau gas kimia.

Pembinaan dan pengawasan terhadap proses K3 juga harus digencarkan

untuk mencegah adanya ketidakdisiplinan yang akan mengakibatkan risiko bahaya.

Pencatatan dan pelaporan hasil program juga akan sangat berguna untuk mengetahui

proses pelaksanaan K3 setelah dibentuk kebijakan dan program baru. Selain itu,

pelaksanaan evaluasi terhadap hasil program harus selalu dilakukan agar pihak

SMK3 mengetahui apakah diperlukan adanya perbaikan maupun pengembangan

dalam rangka untuk meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja terhadap

pekerja di Rumah Sakit tersebut.

104

Page 105: Kesehatan n Keselamatan Kerja

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Menurut Kepmenkes NOMOR 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang Pedoman

Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit, upaya K3

menyangkut tenaga kerja, cara atau metode kerja, alat kerja, proses kerja dan

lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan

pemulihan. Kinerja setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan

dari tiga komponen K3 yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja.

Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi

faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang mempengaruhi pekerja

dalam melaksanakan pekerjaannya. Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria

tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak

kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga

terhadap pasien maupun pengunjung RS. Dampak kesehatan dari bahaya potensial di

rumah sakit salah satunya adalah penyakit akibat kerja (PAK).

Penerapan program K3 di Rumah Sakit kenyataannya masih perlu banyak

perbaikan hal ini dapat dilihat dari contoh pada kasus bab III. Implementasi tugas,

dan fungsi pokok K3RS masih kurang efektif, hal ini dikarenakan tidak dapat

mencapai standart-standart yang harusnya terpenuhi ketika ada personel K3 dalam

rumah sakit. Salah satunya adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan

pengendalian akan bahaya dari kecelakaan kerja dalam bentuk apapun. Oleh karena

itu, sosialisasi dan pengawasan mengenai K3 di Rumah Sakit harus lebih

ditingkatkan lagi. Harusnya SMK3 juga menerapkan prinsip AREC (Anticipation,

105

Page 106: Kesehatan n Keselamatan Kerja

Recognition, Evaluation dan Control) dari metode kerja, pekerjaan dan lingkungan

kerja, agar tupoksi K3RS sendiri dapat tercapai.

4.2 Saran

1. Pihak manajemen rumah sakit lebih meningkatkan sosialisasi mengenai fungsi

K3 di rumah sakit kepada siapa saja yang berada di rumah sakit termasuk

dokter, perawat, pasien serta tenaga medis maupun non medis lainnya. Hal ini

diperlukan agar dapat meminimalkan tindakan beresiko bagi dirinya sendiri

maupun orang lain.

2. Pihak rumah sakit mengoptimalkan fungsi K3RS yang ada yaitu dengan cara

melakukan pelatihan terkait Sistem Manajemen K3 Rumah Sakit sehingga

pekerja yang kerjanya terkait dengan SMK3 akan lebih berkompeten dalam

pekerjaannya.

3. Semua pihak yang terkait dengan RS secara tanggung jawab melaksanakan

standar operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan,

perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku.

4. Rumah Sakit secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk menilai

apakah kinerjanya sudah maksimal ataukah masih memerlukan perbaikan

sistem K3RS yang selanjutnya. Selain itu, rumah sakit harus selalu

mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko yang

selalu ada di rumah sakit.

106

Page 107: Kesehatan n Keselamatan Kerja

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan

Kerja (K3) di Rumah Sakit. Viewed 24 october 2011

<http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%20432-IV

%20K3%20RS.pdf>

Detik.com, Perawat di Rumah Sakit Rentan Keracunan Obat Kemoterapi, viewed 24

October 2011

<http://www.detikhealth.com/read/2011/08/24/123759/1710100/763/perawat-di-

rumah-sakit-rentan-keracunan-obat-kemoterapi>

Detik.com, Pekerja Kesehatan Paling Rentan Alami Gangguan Reproduksi, viewed

24 October 2011

http://www.detikhealth.com/read/2011/03/01/165159/1582368/763/pekerja-

kesehatan-paling-rentan-alami-gangguan-reproduksi

Detik.com, Orang Terima Donor Organ dari Pasien HIV Akibat Salah Prosedur,

viewed 24 October 2011

http://www.detikhealth.com/read/2011/09/04/160801/1715296/763/5-orang-terima-

donor-organ-dari-pasien-hiv-akibat-salah-prosedur

107

Page 108: Kesehatan n Keselamatan Kerja

108