kertas posisi - walhi.or.id

17

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kertas Posisi - walhi.or.id
Page 2: Kertas Posisi - walhi.or.id

Kertas PosisiFood Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan? Terbitan2021

Page 3: Kertas Posisi - walhi.or.id

A. Latar Belakang Papua yang kaya, lagi dan lagi dijadikan objek pembangunan. Kapitalisme dengan beragam wajah hadir dan diproteksi melalui berbagai produk hukum dan kebijakan. Perjuangan panjang dan suara lantang Orang Asli Papua untuk merebut daulat atas tanah, air, udara dan hak dasar lainnya kembali menemui tantangan yang bernama kebijakan pembangunan food estate. Papua seolah tanah tak bertuan. Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam perencanaan kebijakan program food estate. Hal tersebut terbukti dengan arahan lokasi food estate seluas ± 2.684.680,68 hektar.1 Lebih dari dua juta hektar arahan lokasi food estate berada di kawasan hutan. Tidak dapat dielakkan, kebijakan tersebut akan mendorong laju konversi dan deforestasi di Papua. Rencana program food estate menaruh ancaman baru kepada Tanah Papua. Tidak hanya melahirkan ancaman terhadap daulat Orang Asli Papua (termasuk Masyarakat Adat Papua), aspek lingkungan hidup dan sosial juga diancam oleh kebijakan ini. Kerusakan lingkungan berkonsekuensi menaruh mereka di bawah bayang ancaman bencana ekologis dan krisis pangan. Gambaran ini hanya potongan kecil bualan otonomi khusus yang digadang-gadang bertujuan mengurangi kesenjangan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua. Program food estate merupakan respon pemerintah terhadap ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Kondisi ini direspon dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Lampiran Perpres angka II poin 8 menentukan sepuluh program yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional. Salah satunya Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional (Food Estate). Program food estate meliputi pencetakan ratusan ribu hektare sawah baru,2 yang salah satunya berada di Papua. Merujuk Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani di Lahan Rawa Kalimantan Tengah,3 program food estate dilaksanakan untuk pengembangan perbenihan dan budidaya komoditas, seperti budidaya tanaman pangan, budidaya tanaman holtikultura, budidaya tanaman perkebunan, dan budidaya peternakan. Tidak menutup kemungkinan, program yang dijalankan di Papua juga dilangsungkan serupa, tidak memperhatikan kebutuhan pangan lokal. Terlebih belajar dari pengalaman Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), sagu sebagai makanan pokok mayoritas Orang Asli Papua tidak masuk dalam kategori komoditi yang dikembangkan.

1. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Kawasan Hutan Dan Pengembangan Food Estate di Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten MAPPI Provinsi Papua, disampaikan dalam Webinar Food Estate di Papua pada Rabu, 23 Desember 2020.2. https://foodestate.pantaugambut.id/, diakses pada 13 April 2021.3. Kementerian Pertanian RI, Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani di Lahan Rawa Kalimantan Tengah, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian RI, Jakarta, Agustus 2020, hlm. 24, diakses dari https://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/perpres/2016/Perpres_3_2016_(3). pdf pada 17 April 2021.

Kertas Posisi

1

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Page 4: Kertas Posisi - walhi.or.id

Bekerjanya nilai kepastian hukum menyebabkan pengabaian terhadap kepentingan kemanusiaan dan lingkungan hidup dalam pelaksanaan program food estate. Hal ini dipertegas dengan penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate (selanjutnya disebut P.24). Bahkan program ini memangkas prosedur KLHS dengan pengaturan KLHS Cepat.4 Kemunculan program ini akan menjadi legitimasi baru pemerintah untuk meng-konversi hutan, merusak keanekaragaman hayati, dan meminggirkan Orang Asli Papua yang selama ini hidup dan bergantung pada kelestarian hutan dan alam. Hutan bagi Orang Asli Papua adalah sumber kehidupan, jadi apabila hutan dikonversi, maka proses marginalisasi dan/ atau pemiskinan struktural baik secara ekonomi, sosial dan budaya akan terjadi atas nama pembangunan dan klaim negara dalam tipuan “keadilan sosial.” Lokasi food estate dalam luasan sekitar 2,68 juta hektar diproyeksi berada di Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digul, dan Yahukimo.5 Kegagalan proyek food estate pada rezim sebelumnya tidak membuat pemerintah jera mengulang kebijakan dan program serupa. Bahkan kegagalan berulang dari rezim Soeharto hingga SBY tidak diikuti penjelasan kepada publik secara komprehensif dan rasional.6 Harusnya, publik mendapat penjelasan dan informasi yang cukup terkait kegagalan tersebut. Mengingat proyek tersebut dilangsungkan abai terhadap aspek kemanusiaan dan lingkungan hidup. Bahkan untuk Papua, praktik pembangunan food estate yang rakus lahan merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak dasar Orang Asli Papua dan kewenangan Pemerintah Otonomi Khusus. Lebih jauh, hilangnya hutan Papua koheren dengan upaya mitigasi perubahan iklim dan pencegahan krisis pangan. Guna mempertegas tidak relevannya program food estate di Papua, WALHI mendasar-kannya pada argumentasi kritis dan ilmiah. Argumentasi tersebut disajikan dalam sebuah kertas posisi yang memuat beberapa alasan krusial potensi dampak ekologis dan sosial program food estate di Papua. Sajian ini diharap mampu menjadi bacaan singkat yang melekat dengan isu keadilan ekologis guna memperbesar suara penolakan program food estate di Papua.

B. Batasan Penulisan Kertas posisi ini memuat catatan dan kritik terhadap rencana program food estate melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Kertas posisi ini sekaligus mempertegas sikap WALHI terhadap kebijakan program food estate di Papua.

C. Proyeksi Potensi Dampak Ekologis dan Sosial Akibat Food Estate di Papua Pembangunan food estate di Papua, bukan suatu hal yang baru. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010 mencanangkan proyek MIFEE. Program ini kemudian diteruskan oleh Presiden Jokowi pada 2015. Kedua program mengalami kegagalan. Orang Asli Papua justru mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, seperti sagu dan daging rusa setelah hutan-hutannya dikonversi untuk membangun MIFEE.7 Salah satu masyarakat terdampak dari program ini adalah masyarakat adat Malind, pemilik hak ulayat yang tanahnya dikonversi menjadi lahan MIFEE. Terdapat 36 perusahaan yang terlibat menggarap food estate dalam program MIFEE. Tujuh perusahaan yang telah memulai kegiatan usaha pertanian skala luas, yakni Wilmar International, Medco Group, Rajawali Group, Murdaya Poo Group, PT. Bangun Tjipta Sarana, Sinar Mas Group dan Artha Graha Group.

4. Tim Penulis ICEL, Seri Analisis Kebijakan: Kebijakan Kehutanan dan Lahan, Analisis Hukum Pembangunan Food Estate di Kawasan Hutan Lindung, 2020, hlm. 12. 5. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Op.cit. 6. https://nasional.kontan.co.id/news/pengamat-jabarkan-deretan-kegagalan-food-estate-yang-dicanangkan-pemerintah, diakses pada 13 April 2021.7. https://analisis.kontan.co.id/news/reorientasi-tata-kelola-pangan, diakses pada 13 April 2021.

Kertas Posisi

2

Page 5: Kertas Posisi - walhi.or.id

Ada pula BUMN yang terlibat dalam program MIFEE, yaitu PT. Sang Hyang Seri, PT. Pertani, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), PT. Padi Energi Nusantara dengan total luasan mencapai 2.051.157 hektar.8 Hingga saat ini dapat dilihat program MIFEE sama sekali tidak membawa manfaat bagi masyarakat adat Malind di Merauke.

Program food estate yang ditetapkan pasca penetapan pandemi Covid-19, kembali menaruh Orang Asli Papua sebagai objek pembangunan. Orang Asli Papua dan Pemerintah Otonomi Khusus sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.Walaupun program ini berpotensi mengakibatkan dampak ekologis dan sosial yang besar di Papua.

1. Hak atas Hutan dan Pangan Orang Asli Papua Secara tradisional hutan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat adat di Papua. Bagi Masyarakat Adat Papua hutan adalah mama yang memberi kehidupan. Mencukupi kebutuhan dan menyediakan segala yang diperlukan.9 Secara konstitusional, Pasal 18B ayat (2), 28I ayat (3) dan 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menentukan negara berkewajiban mengakui, menghormati, dan melindungi Masyarakat Adat beserta hak-hak yang menyertainya. Selanjutnya, Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menentukan pembangunan tidak mengabaikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya. Hal ini dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang dalam amarnya menyatakan bahwa hutan adat merupakan hutan hak (masyarakat hukum adat) dan tidak lagi berstatus hutan negara. Jauh sebelum lahirnya Putusan MK 35/2012, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) telah mengakui keberadaan masyarakat adat Papua. Pasal 1 huruf r UU Otsus Papua mendefinisikan “Masyarakat Hukum Adat ada-lah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.” Sedangkan “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua”.

8. R. Yando Zakaria, dkk,, MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind, Jakarta, 2011, hlm. 129. https://www.econusa.id/id/ecotv, diakses pada 19 April 2021.

3

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Kertas Posisi

Page 6: Kertas Posisi - walhi.or.id

Definisi lain orang asli papua dapat dirujuk pada pendefinisian historis.“Memory passionist,” merujuk pengertian orang asli papua dalam konstruksi masa lalu yang penuh tantangan dan pergulatan untuk menunjukan jati diri. Sehingga dasar ini yang menjadi

konsensus bersama seluruh pemangku kepentingan di Tanah Papua untuk mengidentifikasikan masyarakat adat papua sebagai orang asli papua, dan terakomodir secara legal dalam sebuah perundang-undangan yang konstitusional, yaitu UU Otsus Papua.10 Selanjutnya, Pasal 38 ayat (2) UU Otsus Papua menyebut usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam, dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian

hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Lebih lanjut dalam Pasal 39 disebutkan bahwa pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dilaksanakan di Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif. Terkait perlindungan masyarakat adat, Pasal 43 dan 44 UU Otsus menerangkan secara jelas pengakuan terhadap hak Masyarakat Hukum Adat Papua. Pasal 43 ayat (1) menyebut Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan berlaku. Dalam pengelolaannya, Masyarakat hukum adat memiliki hak ulayat yang disebutkan dalam Pasal 1 huruf s UU Otsus bahwa “Hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” UU Otsus Papua selanjutnya menentukan pelaksanaan kewenangan otonomi khusus dilaksanakan secara lebih operasional melalui pengaturan Peraturan Daerah Otonomi Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Karenanya, pengaturan pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan dan pengembangan hak-hak masyarakat adat Papua diatur lebih lanjut melalui Perdasus dan Perdasi. Pengaturan hak masyarakat hukum adat Papua terkait hutan dan sumber daya alam, paling tidak diatur dalam tiga perdasus yang tidak dapat diberlakukan secara terpisah. Ketiga Perdasus tersebut, yaitu 1) Perdasus Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua (Perdasus 21/2008); 2) Perdasus Papua Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat (Perdasus 22/2008); dan 3) Perdasus Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Perdasus 23/2008). Pasal 8 Perdasus 21/2008 secara tegas menyebutkan hak MHA meliputi, yaitu:a. mengelola dan memanfaatkan hutan yang berada di dalam wilayah hukum adatnya;b. menggunakan pengetahuan, teknologi dan kearifan lokal;c. memperoleh pendampingan dan fasilitasi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota;d. berpartisipasi dalam perencanaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan; dane. bermitra dengan pihak lain. 10. Andreas Jefri Deda, Suriel Semuel Mofu, Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Ulayat di Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papua Ditinjau dari Sisi Adat Dan Budaya; Sebuah Kajian Etnografi Kekinian, Jurnal Administrasi Publik Vol. 11 No. 2, 2014.

4

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Kertas Posisi

Page 7: Kertas Posisi - walhi.or.id

Hak mengelola dan memanfaakan hutan diperkuat melalui Pasal 7 Perdasus 22/2008 yang menyebutkan hak MHA, yaitu:a. memanfaatkan sumber daya alam di wilayah hukum adatnya; b. memperoleh informasi tentang rencana peruntukan dan pemanfaatan sumber daya

alam; c. memberikan saran dan pertimbangan dalam pemanfaatan sumber daya alam; d. memperoleh pendampingan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten

/Kota dalam melakukan usaha ekonomi produktif berdasarkan kearifan lokal; e. melakukan pengawasan kegiatan pihak lain dalam usaha memanfaatkan sumber daya

alam; f. memperoleh kompensasi atau ganti rugi atas pemanfaatan dan pengalihan hak milik

kepada pihak lain sesuai kesepakatan tertulis yang dimuat dalam akta autentik;g. memperoleh kompensasi sesuai kesepakatan tertulis yang dimuat dalam akta autentik

atas berkurangnya atau hilangnya akses masyarakat hukum adat karena penetapan wilayah adatnya sebagai kawasan konservasi;

h. memperoleh pengakuan hukum atas keberadaan masyarakat hukum adat.

Merujuk ketentuan di atas, Masyarakat Adat merupakan pemegang daulat pengelolaan sumber daya alam di Papua, termasuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan guna memenuhi kebutuhan pangannya. Hutan di Tanah Papua merupakan hak milik Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua. Bagian dari hak dasar dan hak konstitusionalnya. Negara selaku pihak yang bertanggung jawab menegakkan hak asasi manusia, berke-wajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua tanpa terkecuali. Pengaturan secara konstitutif tersebut diantaranya meliputi hak atas hutan, hak kedaulatan pangan, dan hak sosial dan budaya tradisional. Sayangnya, hampir lima puluh dua tahun Papua terintegrasi dengan Indonesia dan dua puluh tiga tahun reformasi berlalu, Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua tetap dimarginalisasi. Bahkan hampir dua puluh tahun otonomi khusus, Tanah Papua dan masyarakatnya masih dijauhkan dari hak dan daulat menentukan nasibnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari fakta tidak dilibatkannya Orang Asli Papua dalam perumusan program dan kebijakan food estate. Terlebih ada fakta, MIFEE yang serupa dengan program food estate malah meminggirkan dan menjauhkan Papua dan masyarakatnya dari kata sejahtera. Hutan yang seharusnya terintegrasi dalam wilayah adat dengan seenaknya ditunjuk Jakarta untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi dan ambisi ketahanan pangan yang menjauhkan Papua dan masyarakatnya dari kata daulat yang dijanjikan konstitusi dan sistem pemerintahan otonomi khusus. Hutan dan tanah adat dikorbankan dengan kedok ketahanan pangan. Orang Asli Papua dipinggirkan dan hutan serta tanahnya dialihkan kepada korporasi melalui kebijakan negara. Kondisi inilah yang akan memperkuat dominasi investasi di Tanah Papua. Hutan sebagai mama diubah bentuk, sumber penghidupan dan pangan hilang. Apakah ini layak disebut sebagai kebijakan pangan yang baik, sementara pangan lokal Orang Asli Papua diluluh lantahkan? Tidak sepatutnya hukum dijadikan alat untuk melegitimasi pelanggaran hak dasar dan keberadaan Orang Asli Papua. Hukum harusnya menjadi alat untuk memanusiakan manusia melalui instrumen yang berkeadilan, baik bagi manusia maupun lingkungan. Pun program food estate tidak sepatutnya kembali menggunakan hukum untuk memukul mundur atau semakin memperkeruh penegakan HAM di Tanah Papua. Hukum harusnya menjadi pelindung hutan yang dimaknai sebagai mama.

5

Kertas Posisi

Page 8: Kertas Posisi - walhi.or.id

2. Bualan Otonomi Khusus di Balik Kebijakan Food Estate Kehadiran P.24 justru bertentangan dengan semangat pendelegasian kewenangan dalam otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua. Provinsi Papua, melalui UU Otsus Papua diberi otonomi khusus yang merupakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 2 UU Otonomi Khusus. Pasal 4 ayat (1) UU Otsus Papua menyebutkan kewenangan otonomi khusus mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan. Kewenangan tersebut hanya dikecualikan untuk kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

11. https://www.tempo.co/abc/5816/kelapa-sawit-membunuh-sagu-kondisi-suku-marind-papua-jadi-tesis-terbaik-di-australia, diakses pada 14 April 2021.12. https://www.tempo.co/abc/5816/kelapa-sawit-membunuh-sagu-kondisi-suku-marind-papua-jadi-tesis-terbaik-di-australia, diakses pada 14 April 202113. Sabiq Carebesth, Syaiful Bahari, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) Berkah atau Bencana bagi Rakyat Papua?, Policy Paper Bina Desa, 2012, hlm. 3.14. https://www.tempo.co/abc/5816/kelapa-sawit-membunuh-sagu-kondisi-suku-marind-papua-jadi-tesis-terbaik-di-australia, diakses pada 14 April 202115. https://www.tempo.co/abc/5816/kelapa-sawit-membunuh-sagu-kondisi-suku-marind-papua-jadi-tesis-terbaik-di-australia, diakses pada 14 April 2021

Gagal di MIFEE, Rampas Kembali Papua lewat Food Estate

Kelapa sawit membunuh saguKelapa sawit merenggut nyawa kerabat kitaKelapa sawit mengeringkan sungai-sungai

Kelapa sawit menumpahkan darah tanah kita(Lirik lagu ini disenandungkan oleh Gerardus Gebze, seorang tetua adat Merauke saat pergi mencari sagu di

hutan milik sukunya yang kini menjadi target perusahaan kebun kelapa sawit)11

“Ini menyuarakan hilangnya kerabat, rusaknya sungai-sungai serta hancurnya lanskap yang ada. Ini menyuarakan kelaparan, rasa pilu, dan kehilangan di antara semua mahluk hidup.” Ucap Sophie Chao,

antropolog dari Australia, saat diwawancarai wartawan ABC Farid M. Ibrahim.12

Etnis Malind merupakan kelompok masyarakat adat yang terdampak langsung atas berlangsungnya proyek MIFEE. Penebangan hutan besar-besaran mengakibatkan sumber-sumber air kering atau hilang sama sekali dan limbah mencemari satu-satunya sumber air milik salah satu kampung di daerah Merauke.13 Tidak hanya itu, kerusakan alam akibat proyek MIFEE juga turut menghancurkan relasi religiositas mereka dengan alam. Mereka kehilangan ruang melakukan ritual adat. Antropolog dari Australia, Sophie Chao, menyatakan deforestasi dan perluasan kebun kelapa sawit di bawah program MIFEE merupakan penyebab penderitaan tersebut terjadi. Hilangnya hutan dan rusaknya sungai membuat orang Malind merasa kehilangan segalanya.14

Pengalaman buruk dan derita Orang Asli Papua akibat program MIFEE tidak dipetik jadi pelajaran bagi Presiden Joko Widodo. Bahkan, ia merumuskan program serupa. Program yang berpotensi mengakibatkan terulangnya derita dan kerusakan lingkungan hidup dahsyat di Tanah Papua. Program tersebut bernama Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional (Food Estate). Keenganan untuk belajar dan mendekati Papua dengan cara yang lebih humanis kembali gagal dilakukan Pemerintah. Seolah keledai, bahkan lebih buruk dari keledai, Pemerintah menggali lubang baru yang sama buruknya dengan MIFFE, lalu masuk ke dalam lubang yang ia buat.

Bukannya berdaulat atas pangan, food estate malah berpotensi mengantar Papua mengalami krisis pangan. Konversi hutan yang disebut mama, perampasan hak atas tanah, dan pengabaian terhadap nilai lokal serta adat akan semakin menjauhkan Masyarakat Adat Papua dan Orang Asli Papua dari identitas aslinya. Lebih jauh, mereka malah didekatkan dengan sebuah krisis lain yang dapat disebut sebagai bencana ekologis. Bencana yang lahir karena praktik pembangunan yang melampaui batasan ekosfer. Pemerintah harus diingatkan bahkan dipaksa untuk menghentikan program ini. Tentu tidak semudah orang Malind menghentikan Sophie Chao menulis. “Mereka bilang, Sophie, berhenti berpikir, berhenti menulis, ayo kita jalan ke hutan. Hutan akan mengajarkan kamu segala hal. Hutan akan jadi guru kamu,” kata Sophie.15

6

Kertas Posisi

Page 9: Kertas Posisi - walhi.or.id

Dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa kewenangan tertentu di bidang lain yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut adalah kewenangan Pemerintah yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, kewenangan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Pelaksanaan kewenangan otonomi khusus tersebut diatur lebih lanjut dalam Perdasus atau Perdasi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 ayat (3) UU Otsus Papua. Terkait dengan kewenangan kehutanan, pelaksanaan otonominya diturunkan melalui Perdasus 21/2008 di Provinsi Papua. Perdasus ini menentukan izin sektor kehutanan di Papua diberikan melalui kewenangan dan prosedur sebagai berikut:1. Penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan komersil, peneli-

tian dan pengembangan hasil hutan dan kegiatan sosial dalam bidang kehutanan dilakukan setelah memperoleh ijin Gubernur (Pasal 33 ayat 1);

2. Terkait dengan kewenangan Gubernur dalam pemberian ijin dapat dilimpahkan kepada Bupati/ Walikota atau Kepala Dinas Provinsi (Pasal 33 ayat 2);

3. Tata cara pemberian ijin dan pelimpahan kewenangan diatur dengan Peraturan Gubernur (Pasal 33 ayat 3);

Selanjutnya, Perdasus 21/2008 secara eksplisit maupun implisit menentukan atau tidak mengatur hal-hal terkait kehutanan, sehingga berkonsekuensi batasan kewenangan Pemerintah dalam hal ini Menteri LHK terkait kehutanan hanya mencakup, yaitu:1. Perdasus tidak memberikan pendefinisian khusus mengenai apa yang dimaksud dengan

kawasan hutan. Hal ini berimplikasi pada proses pengukuhan kawasan hutan yang tetap merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Pasal 1 angka 3 menyebutkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Selanjutnya, Pasal 1 angka 14 UU Kehutanan menyebutkan pemerintah adalah pemerintah pusat. Proses pengukuhan kawasan hutan pada Pasal 14 UU Kehutanan disebutkan diselenggarakan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, pengukuhan kawasan hutan di Papua masih tunduk pada kebijakan perundangan nasional;

2. Perubahan Status Kawasan Hutan dan izin pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan. Pada Pasal 58 ayat (1) Perdasus disebutkan Menteri LHK mempunyai kewenangan memberi izin terkait dengan kegiatan pengenalan atau mengubah kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan. Penerbitan izin oleh Menteri LHK juga disyaratkan harus mendapat persetujuan Gubernur Papua.

7

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Kertas Posisi

Page 10: Kertas Posisi - walhi.or.id

Berangkat dari argumentasi kekhususan di atas, kami memberi catatan dan kritik terhadap P.24. Catatan dan kritik utama terkait dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) P.24 menyatakan bahwa kegiatan penyediaan Kawasan Hutan untuk pembangunan food estate dalam mendukung Ketahanan Pangan melalui mekanisme Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau Penetapan KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan permohonan. Selanjutnya, dalam ayat (2), yang dapat mengajukan adalah Menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/walikota, atau kepala badan otorita yang ditugaskan khusus oleh Pemerintah. Selanjutnya, Pasal 27 ayat (2) P.24 menyebut Pengelolaan KHKP dapat dilakukan melalui kerjasama dengan badan usaha dan/atau masyarakat. Perumusan pengelola dengan rumusan gabungan berkonsekuensi pengelolaan KHKP dapat dilakukan secara bersama oleh badan usaha, masyarakat atau kolaborasi antara badan usaha dan masyarakat. Rumusan pada P.24 yang disebut di atas jelas mengingkari semangat otonomi khusus Provinsi Papua. Beberapa pengingkaran terhadap kewenangan otonomi khusus tersebut, yaitu:1. Pelaksanaan program food estate yang masuk dalam kategori kegiatan non kehutanan di

kawasan hutan merupakan kewenangan KLHK, namun dalam proses Penetapan KHKP harus terlebih dapat persetujuan Gubernur Papua;

2. Penetapan KHKP di Papua tidak didasarkan pada permohonan Gubernur Papua. Seandainya food estate dilangsungkan di Papua, maka proses yang dilakukan adalah koordinasi Gubernur dan Menteri LHK;

3. Penetapan KHKP pun harus didasarkan pada persetujuan masyarakat hukum adat Papua (Pasal 43 ayat (3) dan (4) UU Otsus Papua); dan

4. Pengelolaan KHKP yang tidak harus dilangsungkan atau dilakukan bekerja sama dengan masyarakat berpotensi memperluas dominasi penguasaan ruang investasi di Tanah Papua. Konsekuensinya, hal ini bertentangan dengan semangat perekonomian yang dirumuskan Pasal 42 UU Otsus Papua.

Catatan dan kritik di atas meyakinkan kami, bahwa ketentuan P.24 bertentangan dengan semangat otonomi di Tanah Papua. Padahal salah satu semangat otonomi khusus adalah memberikan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua. Sedangkan P.24 masih membawa semangat sentralistik yang sangat bertentangan dengan semangat otonomi khusus Papua.

3. Deforestasi, Bencana Ekologis Hingga Perubahan Iklim Mengutip tulisan Goldstein di tahun 2016 mengenai refleksi terhadap kebijakan food estate di Indonesia, PLG sebagai “Mega Rice Project” sepanjang tahun 1995-1999 dianggap sebagai salah satu penyebab bencana lingkungan hidup terbesar dalam rekam jejak Indonesia, karena selain mengakibatkan kebakaran lahan gambut skala besar, proyek tersebut bahkan tidak menghasilkan beras.16 Pengembangan MIFEE juga tidak luput dari permasalahan. Obidzinski dkk. menguji klaim pemerintah yang menyatakan bahwa MIFEE akan memiliki dampak lingkungan yang terbatas. Kenyataannya sekitar 50% lahan pertanian yang direncanakanberasal dari wilayah hutan yang sebagian besar terdiri dari hutan primer dan sekunder. Berdasarkan alokasi lahan konsensi, proyeksi total emisi karbon yang terlepas diperkirakan mencapai 770 juta ton per tahun yang 70%-nya berasal dari konversi area hutan. Selain itu juga ditemui hilangnya keanekaragaman hayati.17

16. Jenny Goldstein, Carbon Bomb: Indonesia’s Failed Mega Rice Project. Environment & Society Portal, Arcadia, No. 6, (Spring 2016), Rachel Carson Center for Environment and Society, hlm. 4. dalam Indonesian Center for Environmental Law, Seri Analisis Kebijakan: Kebijakan Kehutanan Dan Lahan, Analisis Hukum Pembangunan Food Estate Di Kawasan Hutan Lindung, 18 Desember 2020, hlm. 3-417. Krystof Obidzinski, et.al, Can large scale land acquisition for agro-development in Indonesia be managed sustainably?, Land Use Policy, Vol. 30 (2013), hlm. 957. dalam Indonesian Center for Environmental Law, Ibid, hlm. 4

8

Kertas Posisi

Page 11: Kertas Posisi - walhi.or.id

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup di Provinsi Papua, disebutkan dalam pasal 63 UU Otsus Papua bahwa pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Hal tersebut juga kembali ditegaskan dalam Pasal 3 huruf d sampai g Perdasus 21/2008 bahwa pengelolaan hutan berkelanjutan bertujuan, d. mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi hutan; e. menjamin kelestarian dan keseimbangan ekologi; f. mempertahankan dan mengembangkan keanekaragaman hayati; dan g. mengurangi emisi karbon dan mencegah perubahan iklim global. Sayangnya, kehadiran P.24 justru tidak sejalan dengan amanat pasal 63 UU Otsus Papua maupun Perdasus 21/2008 serta pengalaman berbagai proyek food estate di Indonesia. Hal ini salah satunya terlihat dari adanya istilah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cepat yang dapat menggantikan posisi KLHS serta mereduksi esensi dari KLHS sebagai kajian sistematis, menyeluruh, dan partisipatif. Padahal sejatinya, KLHS difungsikan sebagai dasar pengkajian, pembentukan alternatif dan rekomendasi kebijakan tata ruang dan pembangunan untuk menjamin keberlanjutan sebagaimana amanat pasal 15 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mengingat sifatnya yang memegang kualifikasi penting dan tinggi dalam pengambilan keputusan strategis,18 maka manakala KLHS menyatakan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup telah terlampaui, maka kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS; serta segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.19 Namun, faktanya, dalam proyek food estate, KLHS justru dilakukan setelah lokasinya ditentukan. Rencana pembangunan food estate di Papua oleh Presiden Jokowi akan mengakibatkan konversi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Konversi seluas 2.684.461,54 hektar, serta 29.02 hektar Areal Penggunaan Lain (APL).20 Hal ini jelas akan memperpanjang daftar deforestasi di tanah Papua. Tahun 2019, Papua kehilangan 22.700 hektar hutan primer, ini sebanding dengan 14,8 juta ton emisi CO2.21 Rerata luas deforestasi Indonesia antara 2001-2019 sekitar 500 ribu hektar. Pada 2019, tutupan hutan primer tersisa sekitar 86 juta hektar, atau berkurang sekitar 9,6 juta hektar sejak 2001. Setidaknya sekitar 1,4 juta hektar hutan alam tersisa di lahan perkebunan sawit di tanah Papua, dan semuanya menunggu untuk dikonversi jadi perkebunan sawit. Bila proyek ini tetap dijalankan, maka ±1,4 juta hektar deforestasi akan terjadi tanah Papua.22 Bahkan, rencana food estate berada di lokasi dengan tingkat bahaya banjir tinggi seluas 596 ribu hektar.23 Sebagaimana diketahui, ekosistem hutan Papua ditempatkan sebagai paru-paru dunia, artinya hutan Papua menjadi tempat produksi, penyimpan dan penyuplai kebutuhan oksigen bagi masyarakat dunia. Bentang ekosistem hutan tropis alami terlengkap dan unik dimiliki oleh hutan alam Papua. Hutan alam Papua menyediakan manfaat langsung maupun tidak langsung seperti bank genetik dan gudang keanekaragaman hayati (flora dan fauna khas) endemik. Hutan alam papua juga dapat ditempatkan sebagai bank lingkungan regional dan global yang berfungsi sebagai pengatur iklim, penyerap karbon dioksida (CO2) dan penghasil oksigen (O2), pengatur tata hidrologi bagi kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati. Di sisi yang lain, hutan alam papua merupakan rumah dan pasar alami transaksi sosial dan ekonomi bagi orang asli Papua.

18. Widodo, et.al., KLHS untuk Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, Vol. 4 No.1, (Januari 2012), hlm. 44. dalam Indonesian Center for Environmental Law, Ibid, hlm. 1119. Indonesian Center for Environmental Law, Seri Analisis Kebijakan: Kebijakan Kehutanan Dan Lahan, Analisis Hukum Pembangunan Food Estate Di Kawasan Hutan Lindung, 18 Desember 2020, hlm. 1120. Peta SK 782/2013 Pemutakhiran 2020 dalam Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Op.cit.21. Environmental Paper Networl, et.al., Menelan Hutan Indonesia, Maret 2021, hlm. 2422. https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/44440/lumbung-pangan-ala-jokowi-bagai-buah-simalakama/ diakses pada 14 April 2021.23. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Op.cit.

9

Kertas Posisi

Page 12: Kertas Posisi - walhi.or.id

Maka, jika deforestasi besar- besaran terhadap hutan alam Papua dilakukan, yang merasakan dampaknya tidak hanya Orang Asli Papua, melainkan masyarakat dunia. Hal tersebut juga pastinya akan menimbulkan dampak yang tidak sedikit seperti turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit kategori zoonosis baru, naiknya

permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil,dan punahnya keanekaragaman hayati. Hal ini juga akan mengakibatkan dilampauinya batasan ekosfer, sehingga mengakibatkan manusia beserta entitas lainnya berada di dalam ancaman langsung perubahan iklim.

D. Menolak Pembangunan Food Estate di Papua Berdasarkan paparan di atas, WALHI menilai proyek food estate yang diwacanakan pemerintah harus ditolak. Alasan ini berangkat dari pengalaman masa lalu, dimana proyek serupa yang pernah dijalankan selalu menemui kegagalan dan mengakibat dampak negatif pada manusia dan lingkungan hidup. Program food estate bahkan dapat dikategorikan sebagai cermin semakin kokohnya kuasa kapitalisme di Tanah Papua. Orang Asli Papua tidak ditempatkan sebagai manusia sesungguhnya, Tanah Papua dan masyarakatnya hanya diposisikan sebagai objek pembangunan. Food Estate hanya semakin mempermudah peram-pasan hak Orang Asli Papua atas tanah dan alamnya. Lebih jauh, program ini akan semakin memarjinalisasi Orang Asli Papua, menjauhkan bahkan memisahkannya dari identitas aslinya. Semangat otonomi khusus bagi Provinsi Papua guna menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua juga diabaikan. Pelaksanaan program ini di Papua hanya akan mempertegas kedok palsu otonomi khusus. Kehancuran hutan dan alam Papua merupakan konsekuensi buruk program food estate yang sama artinya memperlihatkan komitmen buruk mitigasi perubahan iklim Indonesia. Program ini akan menaruh manusia beserta entitas lainnya dalam ancaman bencana ekologis dan perubahan iklim. Food estate hanya sebuah program yang menguntungkan dan melayani ambisi oligarki, menajamkan kuku kuasa kapitalisme. Bukan untuk kesejahteraan Papua dan masyarakatnya.

E. Penutup Program food estate dari rezim ke rezim selalu mengalami kegagalan. Bahkan program food estate turut andil merampas hak Orang Asli Papua atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Program ini hanya akan menjauhkan Orang Asli Papua dari linkungan hidup dan alamnya. Hak yang secara konstitutif seharusnya dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Semangat otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua sama sekali tidak tercermin dalam berbagai kebijakan yang memayungi program food estate. Program food estate di Papua harus dihentikan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Otonomi Khusus lebih baik memastikan dipenuhinya daulat Orang Asli Papua atas tanah, hutan dan hak lainnya. Caranya dengan menerbitkan produk hukum yang menegaskan pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan dan pengembangan hak-hak Orang Asli dan Masyarakat Adat Papua.

10

Kertas Posisi

Page 13: Kertas Posisi - walhi.or.id

Daftar Pustaka

A. JurnalKementerian Pertanian RI. (2020). Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Food Estate

Berbasis Korporasi Petani di Lahan Rawa Kalimantan Tengah, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian RI, Jakarta, diakses dari https://jdih.dephub.go.id/assets/uu-docs/perpres/2016/Perpres_3_2016_(3).pdf pada 17 April 2021.

Andreas Jefri Deda & Suriel Semuel Mofu. (2014). Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Ulayatdi Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papua Ditinjau dari Sisi Adat Dan Budaya; Sebuah Kajian Etnografi Kekinian, Jurnal Administrasi Publik Vol. 11 No. 2.

Jenny Goldstein (2020). Carbon Bomb: Indonesia’s Failed Mega Rice Project. Environment & Society Portal, Arcadia, No. 6, (Spring 2016), Rachel Carson Center for Environment and Society, dalam Indonesian Center for Environmental Law, Seri Analisis Kebijakan: Kebijakan Kehutanan Dan Lahan, Analisis Hukum Pembangunan Food Estate Di Ka-wasan Hutan Lindung.

Krystof Obidzinski, et.al, (2013) Can large scale land acquisition for agro-development in Indonesia be managed sustainably?, Land Use Policy, Vol. 30, hlm. 957. dalam Indo-nesian Center for Environmental Law.

Sabiq Carebesth, Syaiful Bahari, (2012) Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)Berkah atau Bencana bagi Rakyat Papua?, Policy Paper Bina Desa.

Widodo, et.al. (2012) KLHS untuk Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, Vol. 4 No.1, dalam Indonesian Center for Environmental Law.

Indonesian Center for Environmental Law. (2020) Seri Analisis Kebijakan: Kebijakan Kehutanan Dan Lahan, Analisis Hukum Pembangunan Food Estate Di Kawasan Hutan Lindung.

Environmental Paper Networl, et.al. (2021). Menelan Hutan Indonesia.

B. Peraturan Perundang-UndanganUndang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135)

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua (Lembaran Daerah Provinsi Papua Tahun 2008 Nomor 21)

11

Kertas Posisi

Page 14: Kertas Posisi - walhi.or.id

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Lembaran Daerah Provinsi Papua Tahun 2008 Nomor 22)

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/Menlhk/Setjen/ Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate

C. Internethttps://foodestate.pantaugambut.id/, diakses pada 13 April 2021.

https://nasional.kontan.co.id/news/pengamat-jabarkan-deretan-kegagalan-food-estate -yang-dicanangkan-pemerintah, diakses pada 13 April 2021.

https://analisis.kontan.co.id/news/reorientasi-tata-kelola-pangan, diakses pada 13 April 2021.

https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/44440/lumbung-pangan-ala-jokowi-bagai-buah-simalakama/, diakses pada 14 April 2021.

https://www.econusa.id/id/ecotv, diakses pada 19 April 2021.

https://www.tempo.co/abc/5816/kelapa-sawit-membunuh-sagu-kondisi-suku-marind-papua-jadi-tesis-terbaik-di-australia, diakses pada 14 April 2021

D. Lain-lainKementerian Pertanian RI, Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Food Estate Berbasis

Korporasi Petani di Lahan Rawa Kalimantan Tengah, Sekretariat Jenderal Kementeri-an Pertanian RI, Jakarta, Agustus 2020, hlm. 24, diakses dari https://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/perpres/2016/Perpres_3_2016_(3).pdf pada 17 April 2021.

Dinas LHK Provinsi Papua, Materi Rencana Pengembangan Food Estate Di Papua Dan Implikasinya Terhadap Kawasan Hutan Di Provinsi Papua, 2021.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Kawasan Hutan Dan Pengembangan Food Estate di Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten MAPPI Provinsi Papua, disampaikan dalam Webinar Food Estate di Papua pada Rabu, 23 Desember 2020.

12

Kertas Posisi

Page 15: Kertas Posisi - walhi.or.id

Tim PenyusunAiesh Rumbekwan

Annisa Nur Fadhilah Sustira Dirga

Boy Jerry Even Sembiring

Sumber FotoYayasan Pusaka Bentala Rakyat

Design LayoutSurachman Ponco A

13

Kertas Posisi

Page 16: Kertas Posisi - walhi.or.id
Page 17: Kertas Posisi - walhi.or.id

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah organisasi lingkungan hidup yang independen, non-profit dan terbesar di Indonesia. WALHI kini hadir di 28 provinsi dengan total 483 organisasi dan 203 anggota individu (terhitung September 2015) yang secara aktif berkampanye di tingkat lokal, nasional dan internasional. Di tingkat internasional WALHI berkampanye melalui jaringan Friends Of the Earth Internasional yang beranggo-takan 71 organisasi akar rumput di 70 Negara 15 organisasi afiliasi dan lebih dari 2 Juta anggota individu dan pendukung di seluruh dunia.