kertas konsep reformasi sektor keamanan yang berwajah...

32
Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Upload: nguyendang

Post on 02-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

1

Kertas KonsepReformasi SektorKeamanan yangBerwajah Perempuan

SSR_150817.indd 1 01/01/2002 1:56:38

Page 2: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

KERTAS KONSEPREFORMASI SEKTOR KEAMANAN BERWAJAH PEREMPUAN© Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), 2014

Penulis:Desti MurdidjanaNengdara Affi ahJustina RostiawatiSahermanShanti Ayu Siti Nurwati HodijahYuniyati Chuzaifah

Desain cover: Tim ReferensiaTata letak: Tim ReferensiaFoto sampul dari: www.ictj.org dan oikumene.org

Kertas Konsep ini ditulis dalam bahasa Indonesia. Komnas Perempuan adalah pemegang tunggal hak cipta atas dokumen ini. Meskipun demikian, silakan menggandakan sebagian atau seluruh isi dokumen untuk kepentingan pendidikan publik atau advokasi kebijakan untuk memajukan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan dan demi terlembagakannya pengetahuan dari perempuan.

ISBN 978-979-26-7598-6

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap PerempuanJl. Latuharhari No. 4B, Jakarta 10310Tel. +62 21 390 3963Fax. +62 21 390 [email protected]://www.komnasperempuan.or.id

SSR_150817.indd 2 01/01/2002 1:56:45

Page 3: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

Kata Pengantar

Gagasan konsep reformasi sektor keamanan (security sector reform – SSR) sudah dibahas sejak akhir tahun 1990-an. Meskipun demikian, sampai sekarang masih ditemukan banyak pihak menerjemahkan

dan mendefi nikan SSR dengan beragam. Salah satu defi nisi yang dikeluarkan oleh Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) bekerja sama dengn UN INSTRAW menyatakan bahwa:

“Reformasi Sektor Keamanan berarti transformasi sektor/sistem keamanan, ‘yang mencakup semua aktor dan peran, tanggung jawab serta tindakan mereka – yang bekerjasama mengelola dan menjalankan sistem

tersebut dengan cara yang lebih sesuai dengan norma-norma demokrasi dan prinsip-prinsip tata pemerin-tahan yang baik, dan dengan demikian berperan menghasilkan kerangka keamanan yang berjalan dengan

baik’. Sektor/sistem keamanan meliputi angkatan bersenjata, kepolisian, badan-badan intelijen dan pen-gelola perbatasan, badan-badan pengawas seperti parlemen dan pemerintah, sistem-sistem peradilan dan

pemasyarakatan, pasukan keamanan non-reguler dan kelompok-kelompok masyarakat sipil”.

Reformasi sektor atau sistem keamanan merupakan proses yang bertujuan untuk menjamin terjadinya demokratisasi dan kontrol dari pihak sipil terhadap sektor keamanan; dan mengembangkan sektor

keamanan yang efektif, bisa dilaksanakan dan efi sien. Kedua tujuan ini mencakup penguatan terhadap manajemen, kapasitas pemerintah dan kementrian, parlemen dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Dalam proses reformasi ini penting diperhatikan aspek/isu gender. Dalam manual yang dikembangkan oleh DCAF&INSTRAW disebutkan bahwa integrasi isu gender ke dalam reformasi sektor keamanan dapat dilakukan dengan 2 strategi, yaitu: pengarusutamaan gender (gender mainstreaming), dan mem-

promosikan partisipasi perempuan dalam sektor keamanan. Banyak cara melakukan gender mainstream-ing, di antaranya disebutkan contoh seperti memasukkan isu gender ke dalam pelatihan-pelatihan inti

bagi APH (aparat penegak hukum) – termasuk pengacara, hakim, dan staf administrasi; gender budget-ing dalam anggaran sektor keamanan publik; dan mengadakan ahli gender dalam tim asesmen.

Komnas Perempuan sebagai salah satu mekanisme HAM nasional (NHRI – National Human Rights Institution) menemukan dan mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, yang

secara khusus terjadi di ranah yang menjadi tanggung jawab negara dan secara spesifi k yang dilakukan oleh aparat pertahanan dan keamanan. Sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan ini terjadi

di wilayah konfl ik, atau wilayah-wilayah paska-konfl ik, pengungsian dan kebencanaan, yang masih meninggalkan sejumlah masalah, misalnya konfl ik di Poso-Sulawesi Tengah, Aceh, Papua, dan Ambon-

Maluku. Demikian pula dengan wilayah-wilayah terluar atau wilayah perbatasan, misalnya di Pontianak-Kalimantan Barat, Kupang dan Atambua-Nusa Tenggara Timur.

Tidak berhenti hanya dalam wilayah tersebut, diskriminasi serta kekerasan terhadap perempuan dan anak juga terjadi dalam konteks kebebasan beragama seperti yang terjadi pada penyegelan gereja pada

Jemaat GKI Yasmin di Bogor, penyegelan dan pelarangan pada Jemaat HKBP Filadelfi a di Bekasi, peny-erangan Jemaat Syiah di wilayah Sampang, serta penyerangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Intimidasi,

Kata Pengantar iii

SSR_150817.indd 3 01/01/2002 1:56:45

Page 4: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

pelecehan seksual hingga ancaman perkosaan menimpa jemaat perempuan dalam kelompok-kelompok tersebut, dimana dilakukan oleh aparat, yang sejogyanya menjaga pertahanan dan keamanan.

Pemantauan dan dokumentasi Komnas Perempuan juga menunjukkan kerentanan terjadinya kekerasan terhadap perempuan di wilayah-wilayah konfl ik sumber daya alam (SDA). Penahanan sewenang-

wenang, penembakan, penelanjangan, pemukulan membabi buta dan bentuk lain yang tercatat sepan-jang 10 tahun belakangan ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi di wilayah

konfl ik SDA dan belum ada penyelesaian yang memadai.

Dalam semua catatan kekerasan terhadap perempuan, yang memprihatinkan adalah peran aparat pertahanan dan keamanan yang seharusnya menjadi pengayom /pelindung/pemberi keamanan kepada

masyarakat, justru menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, Komnas Perem-puan merasa penting melakukan kajian dan memberikan rekomendasi berkaitan dengan reformasi

sektor keamanan dalam rangka mengembangkan upaya-upaya terkait pencegahan, penanganan dan perlindung an kekerasan terhadap perempuan.

Jakarta, Desember 2014Komnas Perempuan

SSR_150817.indd 4 01/01/2002 1:56:45

Page 5: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

Daftar Isi

Kata Pengantar iiiDaft ar Isi v

Pendahuluan 1Komnas Perempuan sebagai Lembaga HAM Nasional 1Prinsip Kerja Komnas Perempuan 1Sistematika Penulisan 2

Temuan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan Terkait SSR 3Kekerasan terhadap Perempuan di Wilayah Konfl ik, Pengungsian, dan Kebencanaan 3

Poso 3• Papua 5• Ambon 6• Aceh 7•

Kekerasan terhatap Perempuan di Wilayah Perbatasan 8Wilayah Perbatasan Kalimantan - Pontianak dan Nunukan• 9

Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama 10Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin - Bogor 10• Penyegelan dan Pelarangan Ibadah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfi a - Bekasi 11• Penyerangan Syiah - Sampang 11• Penyerangan Ahmadiyah 12•

Kekerasan terharap Perempuan dalam konfl ik Sumber Daya Alam 14Kecamatan Sape, Kabupaten Bima – Nusa Tenggara Barat dan Wilayah Konfl ik SDA Lainnya 14•

Reformasi Sektor Keamanan 16Kebijakan Berkaitan dengan Sektor Keamanan pada Masa Orde Baru 16Kebijakan Berkaitan dengan Sektor Keamanan pada Masa Reformasi 17

Pemisahan TNI dan Polri 17• Potensi Konfl ik Horisontal dan Terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan 17• Potensi Konfl ik Sumber Daya Alam dan Kekerasan terhadap Perempuan 19• Pemulihan (Korban) Pasca Konfl ik 19•

Reformasi Sektor Keamanan Berperspektif HAM dan Gender 20

Rekomendasi 23

Daft ar Pustaka 25

Daftar Isi v

SSR_150817.indd 5 01/01/2002 1:56:45

Page 6: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

6 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

SSR_150817.indd 6 01/01/2002 1:56:45

Page 7: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

1

Pendahuluan

Komnas Perempuan sebagai Lembaga HAM Nasional

Konstitusi negara Indonesia mencantumkan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pijakan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu dalam tata kelola negara yang menghormati hak asasi manusia, keberadaan lembaga HAM nasional atau National Human Rights Institution (NHRI) sangat penting. Peran utama NHRI adalah memantau – karena negara tidak dapat memantau dirinya sendiri, dan sebagai sistem koreksi yang memberikan rekomendasi, masukan kebijakan berbasis temuan (hasil pemantauan) maupun prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan gender.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan salah satu lembaga HAM nasional, selain Komnas HAM dan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komnas Perempuan lahir atas desakan Masyarakat Anti Kekerasan, khususnya gerakan perempuan, kepada negara untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan, yang pada waktu itu konteksnya adalah Tragedi Mei ’98 saat terjadi kerusuhan massal dan kekerasan seksual (perkosaan massal). Presiden Habibie merespons dengan mengeluarkan Perpres Nomor 65 Tahun 1998 tentang Pendirian Komnas Perempuan.

Prinsip Kerja Komnas Perempuan

Korban pelanggaran HAM cenderung rentan dan direntankan, antara lain karena belum terciptanya sistem perlindungan saksi dan korban, tuntutan aturan pembuktian yang sulit dipenuhi korban (terutama korban kekerasan seksual), viktimisasi, stigmatisasi dan kriminalisasi korban, ketimpangan relasi (kuasa) antara korban dan pelaku—terutama jika pelaku dari institusi pertahanan dan keamanan. Sebagai lembaga HAM nasional, Komnas Perempuan mempunyai mandat untuk merespons kekerasan terhadap perempuan (korban pelanggaran HAM) dan salah satu prinsip kerja Komnas Perempuan adalah keberpihakan kepada korban yang diwujudkan dengan cara, antara lain mendengarkan suara korban. Hingga saat ini, Komnas Perempuan telah berpengalaman dan bekerja sama dengan korban selama lebih dari 15 tahun. Pemantauan HAM berbasis gender yang mendengarkan suara korban ini dapat memberikan kedalaman informasi mengenai bentuk kekerasan yang dialami oleh korban (perempuan).

Komnas Perempuan juga mengembangkan sistem pemulihan bagi korban. Dengan terobosan metodologi ‘pantau-pulih’, Komnas Perempuan melakukan pemulihan korban berbasis komunitas sehingga korban tidak merasa ditinggalkan setelah menceritakan pengalaman kekerasan yang kerap kali meninggalkan trauma. Sebagai contoh adalah Program Anyam Noken yang dikembangkan bersama perempuan di Papua— program ini membuka ruang bagi perempuan korban untuk saling memulihkan dengan

antarafoto.com

Pendahuluan

SSR_150817.indd Sec1:1 01/01/2002 1:56:45

Page 8: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

2 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

berbagi pengetahuan dan pengalaman keberdayaan. Dengan metode seperti ini, Komnas Perempuan mengembangkan sistem yang mentransformasi korban menjadi penyintas (survivor) atau pembela (defender) HAM.

Komnas Perempuan juga mengupayakan pemenuhan hak dan perlindungan korban dengan membangun mekanisme perlindungan bagi korban, yang dibangun bekerjasama dengan Komnas HAM, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan. Kerja sama ini melahirkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mewujudkan reformasi pendidikan HAM dan Gender di Kepolisian melalui Kesepakatan Bersama (MOU) guna membangun sistem peradilan pidana terpadu dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT PKKTP), serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi tentang penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Sistematika Penulisan

Dokumen ini memaparkan sejumlah temuan pemantauan kekerasan terhadap situasi perempuan terkait isu reformasi sektor keamanan (security sector reform – SSR) di berbagai konteks, yaitu wilayah konfl ik bersenjata, pengungsian dan kebencanaan, konfl ik kebebasan beragama, dan konfl ik sumber daya alam. Pemaparan temuan ini dilengkapi dengan identifi kasi pihak-pihak yang terlibat dalam konteks konfl ik tersebut, bentuk kekerasan terhadap perempuan, keberulangan atau lapisan-lapisan kekerasan yang dialami, serta sejumlah upaya (proses) penyelesaian. Bagian kedua mempresentasikan analisis kebijakan sektor keamanan (dan pertahanan negara) dari masa Orde Baru sampai masa Reformasi berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Dalam analisis kebijakan ini ditunjukkan sejumlah negara yang telah berhasil mengimplementasikan reformasi sektor keamanan yang berperspektif HAM dan gender. Dan bagian terakhir mengidentifi kasi sejumlah kesimpulan dan rekomendasi berkaitan dengan reformasi sektor keamanan yang berperspektif HAM dan gender.

SSR_150817.indd Sec1:2 01/01/2002 1:56:46

Page 9: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

3

Sejak kelahirannya hingga saat ini, Komnas Perempuan telah melakukan sejumlah pemantauan

kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai konteks, di antaranya di wilayah konfl ik, konteks kebebasan beragama, tempat pengungsian, wilayah perbatasan, dan wilayah bencana. Temuan pemantauan menemukenali pola-pola kekerasan yang dialami oleh perempuan, yang berkait erat dengan kebijakan sektor keamanan termasuk tindakan aparat yang bernuansa kekerasan berbasis gender (terutama kekerasan seksual).

Penjelasan berikut memberikan gambaran temuan pemantauan Komnas Perempuan terhadap kekerasan terhadap perempuan di sejumlah konteks.

Kekerasan terhadap Perempuan di Wilayah Konflik, Pengungsian, Kebencanaan

Poso

Pola operasi keamanan di wilayah Poso ketika konfl ik adalah dengan membangun pos-pos Brimob dan TNI di sepanjang jalan utama (Trans Sulawesi), pada setiap pintu masuk desa di wilayah kabupaten Poso, dan menempatkan pos jaga sejenis di tengah pemukiman masyarakat di setiap desa. Rata-rata masa bertugas pasukan keamanan/TNI di Poso sekitar 2-6 bulan. Selain kebijakan operasi di atas, tahun 2005 Mabes Polri memberlakukan program Polisi Masyarakat (Polmas). Ada sejumlah kebijakan pemerintah dalam operasi keamanan di Poso, yaitu: 1) Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso, yang

Temuan PemantauanKekerasan terhadap Perempuan Terkait SSR

oikumene.org

Temuan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan

SSR_150817.indd Sec1:3 01/01/2002 1:56:46

Page 10: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

4 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

menekankan upaya

pengungkapan dan perusakan jaringan pelaku teror termasuk pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan keamanan secara holisitik, dan 3) KOOPSKAM.

Dalam operasi keamanan untuk pemulihan keamanan paska konfl ik Poso di

bawah tanggung jawab POLRI dengan bantuan dari TNI. Hal ini terlihat dalam setiap operasi dan satgas langsung dipimpin oleh POLRI. Meski demikian, operasi keamanan ini masih meninggalkan catatan terkait dengan 1) tidak transparan dan akuntabelnya jumlah pasukan yang dikerahkan, 2) tidak adanya evaluasi dari pemerintah terkait pelaksanaan operasi sebelumnya, 3) lemahnya mekanisme pengawasan operasi di lapangan, 4) kehadiran aparat keamanan dalam jumlah besar yang masih belum memberikan jaminan rasa aman bagi masyarakat, dan 5) adanya keterlibatan aparat keamanan baik Polri maupun TNI dalam berbagai kasus kekerasan terhadap masyarakat.

Dalam pemantauan di Poso Komnas Perempuan dengan jelas menemukan adanya kebijakan menempatkan pos keamanan/militer di tengah-tengah masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini merupakan strategi untuk memastikan keberadaan dan kesigapan aparat keamanan dalam mengantisipasi kejadian yang mengarah atau memperluas konfl ik. Namun di sisi lain, strategi penempatan aparat pertahanan dan keamanan demikian tanpa disertai dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang ketat, menguatkan intensitas interaksi sosial antara aparat pertahanan dan keamanan dengan penduduk setempat. Aparat pertahanan dan keamanan dengan mudah terlibat dalam acara-acara sosial masyarakat seperti pesta pernikahan, pesta adat dan kegiatan budaya lainnya. Kehadiran aparat keamanan dalam jumlah banyak di kampung dan

sikap mereka yang sering dinilai sewenang-wenang dan arogan telah menimbulkan rasa takut dan tidak aman di kalangan penduduk setempat.

Interaksi sosial antara aparat pertahanan dan keamanan dengan masyarakat sipil bermula dari hubungan personal yang berlanjut hingga terjadinya eksploitasi seksual, terutama terjadi pada perempuan mudanya. Modus yang umum terjadi adalah awalnya ’dipacari’ oleh anggota aparat keamanan hingga perempuan tersebut hamil dan melahirkan anak, diberi janji akan dinikahi, namun akhirnya ditinggalkan begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban setelah masa tugas aparat yang bersangkutan berakhir. Sebenarnya, Komandan atau Atasan langsung para prajurit tersebut mengetahui yang dilakukan bawahannya, akan tetapi mereka justru membantu dengan menggunakan penyelesaian adat dan kekeluargaan.

Dalam beberapa pertemuan Komnas Perempuan dengan petinggi institusi keamanan/militer setempat, terungkap bahwa Atasan cenderung melihat masalah eksploitasi seksual (yang sering disebut ingkar janji) sebagai masalah asmara dua pribadi di mana salah satu pihak mengingkari janjinya. Jika diteliti lebih lanjut, hubungan antara perempuan (muda) dan aparat diwarnai dengan kekuatan (relasi) kuasa, yang dengan sengaja melakukan tindakan untuk tujuan mendapatkan keuntungan, baik sosial, politik, maupun seksual dengan menjalin relasi dengan masyarakat. Ketika terjadi permasalahan, penelusuran keberadaan para pelaku sulit dilakukan, selain karena mereka meninggalkan alamat palsu kepada korban dan keluarga, tetapi juga mekanisme pemindahan tugas (rolling) pasukan tidak transparan. Bahkan kepolisian atau Komando Distrik Militer (Kodim) setempat tidak dapat memberikan informasi yang jelas tentang keberadaan pasukan Bawah Kendali Operasi (BKO) karena semua sistem operasi ditentukan dari pusat. Meskipun atasan mengetahui prajurit pernah melakukan kesalahan tapi tetap saja yang bersangkutan dipindahtugaskan ke wilayah konfl ik lain, dan tidak heran jika di wilayah tugas yang baru juga melakukan kekerasan yang sama. Selain itu, tidak ada hukuman atau sanksi yang memberikan efek jera terhadap pelaku.

Dalam beberapa pertemuan KP dengan petinggi institusi keamanan/militer setempat, terungkap bahwa atasan cenderung melihat masalah eksploitasi seksual sebagai masalah asmara dua pribadi yang salah satunya mengingkari janjinya.

SSR_150817.indd Sec1:4 01/01/2002 1:56:46

Page 11: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

5

Papua

Persoalan mendasar pada konfl ik di Papua berkaitan dengan pengerahan dan penempatan pasukan keamanan bahwa tidak adanya keputusan politik Presiden sebagaimana yang disyaratkan dalam Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Dalam Pasal 17 menegaskan bahwa pengerahan pasukan TNI merupakan kewenangan dan tanggung jawab Presiden (ayat 1) dan selanjutnya pengerahan pasukan TNI harus dengan persetujuan DPR (ayat 2). Proses pengiriman pasukan keamanan seharusnya disertai dengan mekanisme pengawasan yang ketat. Gelar kekuatan militer dalam tugas-tugas perbantuan kepolisian harus berdasarkan permintaan dari POLRI dan TNI tidak bisa membuat penugasan sendiri, kecuali dalam rangka pengamanan perbatasan wilayah terluar Indonesia.

Kebijakan keamanan di Papua, terdapat berbagai jenis operasi keamanan, antara lain: a) operasi perbatasan untuk penjagaan kawasan perbatasan di pulau-pulau paling luar wilayah Negara Indonesia, b) Operasi Pengamanan Daerah Rawan dan Pengamanan Objek Vital Nasional yang bersifat strategis, c) operasi

Intelijen, dan d) operasi teritorial. Kebijakan ini merupakan operasi manunggal TNI bersama rakyat dalam bentuk pengabdian pada masyarakat di desa atau kampung, melalui pembangunan fi sik maupun non-fi sik.

Laporan Stop Sudah menunjukkan bahwa pada saat operasi keamanan di wilayah Kabupaten Puncak Jaya Papua, dalam rangka pengejaran terhadap kelompok Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPNOPM), penyerangan menyasar ke pemukiman masyarakat sipil di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya karena dianggap wilayah OPM. Aparat TNI membakar kampung termasuk rumah dan ternak. Masyarakat, terutama perempuan dan anak kemudian mengungsi keluar dari kampung. Komnas Perempuan menerima kesaksian dari sejumlah perempuan di Tingginambut bahwa mereka mengalami kekerasan seksual dan perkosaan oleh aparat TNI. Di salah satu operasi keamanan di daerah Kabupaten Jayapura, pasca tahun 1980-an, bahkan perempuan mengalami kekerasan seksual di pos tentara dan dipakai sebagai umpan oleh tentara, agar suami/ayah yang dituduh Organisasi Papua Merdeka (OPM) mau keluar dari persembunyian di hutan dan menyerah.

portalkbr.com

Temuan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan

SSR_150817.indd Sec1:5 01/01/2002 1:56:46

Page 12: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

6 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Ambon

Kota Ambon, Maluku, menjadi salah satu konsentrasi wilayah konfl ik pada tahun 1999. Konfl ik tersebut bermula dari pertikaian dua pemuda di daerah tersebut. Konfl ik pun meluas menjadi konfl ik antar warga, yang diperparah dengan nuansa antar agama didalamnya. Awalnya pada tingkat kota, namun konfl ik meluas ke tingkat wilayah hingga ke beberapa pulau di sekitarnya. Warga sendiri tidak mengetahui dengan jelas sebab mereka bertikai, namun kuat dugaan bahwa konfl ik Ambon merupakan rekayasa dari kelompok yang berkuasa saat itu untuk perebutan kekuasaan1.

Penderitaan yang ditimbulkan karena pecahnya konfl ik tersebut dirasakan hampir seluruh warga yang mendiami wilayah Ambon dan pada lingkup yang besar adalah wilayah Maluku. Perempuan, menjadi kelompok yang direkayasa untuk menjadi kelompok yang lebih rentan dibandingkan dengan kelompok lainnya di dalam masyarakat. Berdasarkan pada laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan, terdapat perempuan yang menjadi korban sunat alat repoduksi genitalnya. Pelakunya adalah warga sipil yang merupakan pelaku penyerangan pada suatu desa. Antar warga tidak lagi memiliki rasa saling percaya, karenanya besar harapan mereka ketika Pemerintah pada saat itu mengirimkan pasukan keamanan yang berperan sebagai penjaga perdamaian di wilayah Maluku.

Tugas sebagai penjaga perdamaian bukanlah hal mudah. Berdasarkan pada kajian dan pemantauan yang dilakukan Komnas Perempuan bersama dengan mitra lokal setempat, pasca ditetapkannya status Darurat

1 Laporan Komnas Perempuan, Kita Bersikap: Empat Da-sawarsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalanan Bangsa, 2009.

Sipil dan hadirnya aparat keamanan di wilayah Ambon, ditemukan adanya kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepada perempuan warga sipil yang saat itu menjadi pengungsi. Prostitusi yang semakin merebak, perkosaan yang dilakukan oleh aparat kepada perempuan pengungsi, kasus hamil diluar nikah antara aparat keamanan dan perempuan pengungsi setempat, hingga penelantaran yang dilakukan oleh aparat keamanan dan perempuan pengungsi setempat2, menjadi permasalahan tersendiri ditengah kondisi konfl ik sosial dan pengungsian. Salah satu penyebab hadirnya kekerasan terhadap perempuan pada saat itu adalah

warga sipil memiliki pengharapan yang besar kepada aparat keamanan yang pada saat itu ditugaskan untuk bisa menjaga perdamaian di wilayah mereka. Selain itu, bagi perempuan setempat terdapat kebanggaan tersendiri jika dapat memiliki pasangan (pacar) seorang aparat militer. Hal ini tidak terlepas dari sejarah Bangsa Indonesia yang telah puluhan tahun dipimpin oleh kalangan militer, sehingga menempatkan aparat sebagai fi gure yang super power. Hal ini juga berdampak pada terbatasnya akses keadilan bagi perempuan korban. Hal ini terlihat pada kasus perkosaan yang dilakukan oleh aparat dimana kasus tersebut dibawa ke Pengadilan Militer sehingga korban dan keluarganya tidak dapat memantau dan menjangkau sejauh mana proses peradilan berjalan.

2 Bahkan terdapat istilah sendiri yang ada di masyarakat pada saat itu untuk perempuan korban penelantaran, yaitu Koramil (yang merupakan singkatan dari Korban Rayuan Militer) dan juga Kopassus (Korban Pasukan Pegang Susu). Kedua istilah tersebut dibentuk warga karena pelaku kekerasan berasal dari aparat militer, sehingga istilah yang digunakan juga dilekatkan pada identitas korps mereka. Dalam dunia militer, Koramil adalah kepanjangan dari Komando Rayon Militer, sedangka Kopassus adalah Korps Pasukan Khusus.

Penderitaan yang ditimbulkan karena pecahnya konflik tersebut dirasakan hampir seluruh warga yang mendiami wilayah Ambon dan pada lingkup yang besar adalah wilayah Maluku.

SSR_150817.indd Sec1:6 01/01/2002 1:56:46

Page 13: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

7

Aceh

Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap kondisi perempuan di pengungsian akibat bencana alam dan gempa Tsunami di Aceh, pada 19 Oktober 2005 sampai dengan 28 Februari 2006, di 15 Kabupaten/Kota Nanggroe Aceh Darussalam yaitu Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeuleu, Singkil dan Pidi. Pemantauan ini dilakukan di tempat-tempat pengungsian, seperti tenda-tenda darurat, barak, rumah-rumah darurat yang didirikan oleh pengungsi sendiri, fasilitas publik yang dijadikan rumah sementara maupun di rumah keluarga.

Dari pendokumentasian ini ditemukan 191 kasus dengan: 146 kasus kekerasan, 38 kasus diskriminasi dan 7 kasus penggusuran paksa terhadap perempuan pengungsi. Dari 146 tindak kekerasan, 108 kasus atau sekitar 74% adalah kekerasan seksual. Penggusuran paksa dilakukan oleh aparatur negara terhadap tempat tinggal pengungsi dan ruang usaha perempuan. Alasan

penggusuran paksa dilakukan untuk aktivitas yang lebih strategis dan produktif, seperti pembangunan pusat pelelangan ikan (PPI) dan pembangunan kembali lapangan sepak bola, juga karena alasan estetika.

Pelibatan militer dalam penggusuran merupakan wujud pendekatan represif terhadap masyarakat Aceh selama konfl ik bersenjata berlangsung di wilayah ini. Kehadiran aparat bagi pengungsi adalah sinyal bahwa kebijakan untuk memindahkan para pengungsi bersifat sangat mendesak dan tidak ada lagi ruang untuk mendiskusikannya. Pengungsi tidak berani menolak karena harus berhadapan dengan militer. Kondisi dan situasi ini menyebabkan ketakutan luar biasa bagi pengungsi. Kasus penggusuran paksa, baik atas tempat tinggal maupun ruang usaha, tidak dilaporkan ke pihak yang berwajib, karena warga tidak tahu harus melaporkan ke mana—seluruh tindak penggusuran dilakukan oleh aparat pemerintah, khususnya dari tingkat kecamatan, termasuk oleh aparat keamanan.

regional.kompas.com

Temuan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan

SSR_150817.indd Sec1:7 01/01/2002 1:56:46

Page 14: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

8 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Kekerasan terhadap Perempuan di Wilayah Perbatasan

Untuk memperoleh gambaran umum mengenai kondisi sektor keamanan dan implementasi reformasi sektor keamanan (SSR) di wilayah perbatasan, dipilih dua daerah perbatasan, yaitu wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan Barat dan wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur – Kupang dan Atambua. Diskusi Kelompok Terfokus dengan sejumlah pakar yang selama ini bekerja di wilayah-wilayah perbatasan tersebut dilaksanakan tanggal 14 November 2011 di Pontianak dan 25 Oktober 2011 di Kupang dan 28 Oktober 2011 di Atambua. Hasil Diskusi Kelompok Terfokus menemukan sejumlah isu berkaitan dengan SSR di wilayah perbatasan berikut.

Wilayah Perbatasan Nusa Tenggara Timur – Kupang dan AtambuaReformasi sektor keamanan belum mendapat perhatian serius para aktivis meskipun ada advokasi terhadap kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada masyarakat sipil atau penolakan masyarakat untuk pembangunan Komando Resor Militer (Korem) dan/atau Komando Distrik Militer (Kodim) di sejumlah wilayah di NTT. Pihak pemerintah provinsi dan kabupaten pun sepertinya tidak terlibat dalam proses reformasi sektor keamanan, demikian pula dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang ditengarai tidak pernah secara spesifi k menyoal masalah kebijakan perbatasan.

Kebijakan pertahanan wilayah perbatasan diputuskan oleh pemerintah pusat, tetapi penambahan jumlah pasukan dilakukan seijin kepala daerah – ada satu kasus dimana Bupati Kabupaten Belu menolak penambahan karena dianggap sudah terlalu banyak. Masyarakat sipil bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dapat berperan sebagai pressure group. Misalnya di sejumlah kabupaten, masyarakat berhasil menolak dibangunnya Markas Komando Resor Militer (Korem) yang kemudian mendapat dukungan dari pemerintah setempat.

Berdasarkan FGD yang dilakukan bersama berbagai pihak di Kupang, telah diidentifi kasi sejumlah isu berkaitan dengan kebijakan pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan di NTT, yaitu:

Jumlah pasukan (militer) yang ditempatkan di wilayah perbatasan dengan Timor Leste dirasakan terlalu 1. besar dibandingkan dengan pihak Timor Leste yang hanya menempatkan 2 brigade militer di Maliana. Jumlah pasukan militer yang besar ini tidak disertai dengan tugas yang memadai mengakibatkan terjadinya tindakan-tindakan yang mengganggu masyarakat sipil, di antaranya adalah pelecehan seksual, perkosaan, pembunuhan, perampasan/penyitaan barang tanpa aturan yang jelas

Penempatan pos dan asrama militer di dekat tempat tinggal masyarakat mengancam penduduk setempat 2. karena dengan ‘kekuasaan’nya anggota TNI leluasa masuk wilayah penduduk dan melakukan tindakan apa saja, seperti merampas hasil bumi, mengganggu anak perempuan dan istri penduduk setempat, serta tidak jarang terjadi hubungan personal antara oknum aparat dengan perempuan setempat yang mengakibatkan banyak kasus ingkar janji – ditinggal karena dipindahtugaskan dalam keadaan sudah hamil atau melahirkan anak atau terlanjur menjalin hubungan suami-istri.

Pembangunan markas TNI seringkali tidak mematuhi kebijakan dan prosedur pemerintah daerah 3. setempat. Di banyak kasus, TNI membeli tanah penduduk dengan cara apa pun untuk mendapatkannya – termasuk memaksa dan mengadu domba penduduk yang menolak menjual tanah. Setelah berhasil membeli tanah baru kemudian TNI meminta ijin pendirian bangunan kepada pemerintah daerah.

Program 4. ‘ABRI Masuk Desa’ masih dilakukan di sejumlah wilayah di NTT. Program seperti ini biasanya mengundang partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di daerah setempat, misalnya pembangunan jembatan atau jalan. Dalam prosesnya, penduduk laki-laki diharuskan membantu pekerjaan tersebut sepanjang hari selama kurun waktu tertentu dan selama itu pula para istri/perempuan mengerjakan semua pekerjaan rumah beserta ladang sendiri. TNI juga menerapkan hukuman disiplin bagi penduduk yang datang terlambat untuk membantu pekerjaan—dimulai dari menegur hingga merendam mereka di sungai.

Kasus Charles Mali yang meninggal di pos penjagaan Yonif 744 paska disiksa oleh 23 anggota TNI 5. menunjukkan bahwa kehadiran TNI menjadi ancaman bagi warga setempat. Setelah sidang kasus ini (di pengadilan militer) perilaku TNI berubah menjadi lebih ramah kepada penduduk setempat, misalnya dengan cara mengadakan berbagai kegiatan rekreatif dan sosial untuk masyarakat. Namun persepsi penduduk setempat masih melekat bahwa TNI mengganggu kehidupan masyarakat.

SSR_150817.indd Sec1:8 01/01/2002 1:56:46

Page 15: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

9

Wilayah Perbatasan Kalimantan — Pontianak dan Nunukan

Seperti di Nusa Tenggara Timur, Komnas Perempuan juga melakukan diskusi kelompok terfokus dengan sejumlah aktivis dan pakar di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Timur yang berbatasan dengan Malaysia. Berikut sejumlah catatan hasil diskusi kelompok terfokus berkaitan dengan sektor keamanan dan kekerasan terhadap perempuan.

6. Khusus di wilayah perbatasan, banyak perempuan mengalami pelecehan seksual, perkosaan hingga pembunuhan. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat seperti ini sulit diungkap, dan jika terungkap biasanya akan diselesaikan secara adat yang selalu merugikan pihak perempuan penduduk setempat.

Perbatasan berpotensi menjadi jalur perdagangan manusia (1. traffi cking). Pemalsuan identitas dan usia anak perempuan dalam pembuatan passport atau ijin Pos Lintas Batas (PLB) menjadi lazim dilakukan untuk menyelundupkan anak perempuan bekerja di Serawak, Malaysia.

Kalimantan Barat merupakan daerah dengan angka perdagangan manusia 2. (traffi cking) yang tinggi – merupakan daerah transit dan pemasok dalam perdangangan manusia. Perhatian pemerintah daerah difokuskan pada pencegahan pedagangan perempuan dan anak, serta perlindungan buruh migran. Kondisi ini ditengarai terjadi karena perubahan drastis dengan banyaknya lahan rakyat yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit oleh perusahaan besar sehingga rakyat tidak mempunyai lahan untuk diolah sendiri.

Kalimantan Timur (Nunukan) berbatasan langsung dengan Malaysia, yang memudahkan banyak 3. penduduk ‘pindah’ ke Malaysia karena merasa perlu mendapatkan hak untuk hidup layak. Pembangunan di wilayah perbatasan yang terlantar, menyebabkan penduduk merasa lebih baik melintas batas ke Malaysia yang dianggap lebih maju dan dalam kondisi ini ancaman memindahkan patok batas negara menjadi serius.

Pemekaran wilayah di Kalimantan dianggap lebih berdampak negatif, karena dengan dibangunnya 4. jalan Trans Kalimantan yang tujuan utamanya membuka akses tetapi kemudian banyak tempat karaoke di tepi-tepi jalan yang merekrut anak perempuan putus sekolah jadi penari ‘jogan’ – ditengarai banyak anak perempuan lulus SD langsung bekerja sebagai buruh migran, atau pekerja di tempat karaoke. Keadaan yang sama terjadi juga di daerah-daerah perkebunan kelapa sawit.

Pembukaan wilayah perkebunan sawit skala besar dipakai untuk melindungi daerah-daerah 5. perbatasan, padahal industri skala besar ini mematikan ekonomi rakyat. Hutan rotan yang dikelola rakyat sebelum ada perkebunan sawit memberikan pekerjaan kepada ibu-ibu – dulu dengan mudah memperoleh uang 1 juta dengan hasil rotan. Sekarang untuk memperoleh 500 ribu saja sulit. (Salah seorang sumber pada DiskusiKelompok Terpadu). Ada penggusuran sumber daya masyarakat – dari rotan ke sawit yang menjadi milik perusahaan besar, serta ada kolusi antara kekuasaan negara dengan pengusaha, yang tidak memihak kepada rakyat.

Wilayah pedalaman yang masih terisolasi justru menyembunyikan akses langsung ilegal di daerah 6. perbatasan. Contohnya, di salah satu daerah pegunungan ada Pendeta Malaysia membuka Lembaga Pendidikan dan membangun vila. Daerah ini sulit dijangkau dari wilayah Indonesia tetapi penduduk dari Malaysia dengan mudah bisa masuk ke wilayah Indonesia, bahkan membangun vila dengan penjagaan keamanan.

Ditengarai ada militer yang melakukan ‘bisnis’ kebun sawit di daerah perbatasan dan cenderung 7. melakukan kriminalisasi masyarakat dan aktivis yang menolak sawit—mempertahankan lahan sebagai bagian dari hak rakyat tetapi dianggap pemerintah sebagai anti pembangunan dan tidak nasionalis. Lebih lanjut, warga negara di wilayah perbatasan ini dianggap melawan pemerintah sehingga patut mendapat kekerasan oleh aparat keamanan. Selain itu, ditengarai pula perusahaan perkebunan menggunakan ‘buruh turunan’ – Jika orang tua (ayah) tidak sanggup lagi bekerja maka anaknya akan diminta (paksa) menggantikan sang ayah bekerja di perusahaan tersebut.

Perusakan lingkungan besar-besaran di Kalimantan, khususnya wilayah perbatasan, terjadi selain 8. karena konversi lahan untuk perkebunan sawit, juga karena penambangan emas (di hulu Sungai Kapuas yang menyebabkan pencemaran merkuri). Padahal air sungai yang sudah tercemar digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan air dalam kehidupan sehari-hari.

Temuan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan

SSR_150817.indd Sec1:9 01/01/2002 1:56:46

Page 16: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

10 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama

Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin – Bogor

arrahmah.com

Kekerasan terhadap jemaat Geraja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin bermula dari sengketa izin mendirikan bangunan (IMB). GKI Yasmin telah memperoleh (IMB) Gereja di Taman Yasmin Bogor melalui Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor 645.8-372 Tahun 2006 tertanggal 13 Juli 2006. Namun Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor melakukan Pembekuan Izin atas bangunan gereja tersebut melalui surat Nomor 03/208 - OTKP tertanggal 14 Februari 2008. Sejak peristiwa ini GKI Yasmin dan Pemkot Bogor saling melayangkan gugatan yang sampai sekarang belum menemukan penyelesaian.

Sejak penyegelan Gereja oleh Pemkot Bogor hingga sekarang jemaat GKI Yasmin menjalankan ibadat di trotoar. Pemkot Bogor melarang aktivitas ibadat di trotoar ini dan mengeluarkan kebijakan untuk pemindahan lokasi sebagai tempat ibadat para jemaat. Sejak itu pula, setiap kali melaksanakan ibadat jemaat GKI Yasmin mendapat pengawasan ketat dengan pengerahan ratusan aparat polisi yang membawa alat-

alat pengaman. Namun demikian, pengawasan ketat dari Polisi ini tidak menghentikan kelompok massa yang mengganggu jalannya ibadat dengan berteriak-teriak (intimidasi), dan memasang spanduk berisi penolakan pendirian gereja Yasmin.

Dalam keadaan demikian, para perempuan menghadapi situasi dimana anak-anak mereka mengalami trauma karena sering menyaksikan kekerasan dan tekanan terhadap jemaat yang sedang beribadat, yang dilakukan oleh massa intoleran. Anak-anak juga tidak dapat beribadat bersama orang tuanya karena alasan keamanan, sehingga mereka beribadat di gereja lain. Pemantauan Komnas Perempuan juga menemukan adanya diskriminasi terhadap perempuan jemaat GKI Yasmin – mereka tidak dapat/semakin berkurang mengikuti ibadat yang dilakukan di depan Istana Merdeka setiap 2 minggu sekali karena dilarang oleh Sinode dengan alasan ibadat tersebut merupakan penghinaan terhadap simbol negara.

SSR_150817.indd Sec1:10 01/01/2002 1:56:47

Page 17: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

11

Lokasi Gereja Filadelfi a berada di RT 01 RW 09 Dusun III Kelurahan Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sejak bulan Desember 1999 hingga 2012, para jemaat anggota gereja ini mengalami kesulitan untuk menjalankan ibadah karena gangguan massa intoleran. Kasus HKBP Filadelfi a bermula dari munculnya Surat Keputusan Bupati Bekasi Nomor 300/675/Kesbangpol Linmas/09, tanggal 31 Desember 2009 yang berisi pelarangan pendirian gereja. Namun surat tersebut digugat dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan seluruh gugatan. Kemudian Bupati melayangkan kasasi yang ditolak pengadilan. Bulan Maret 2011 seharusnya HKBP Filadelfi a dapat melanjutkan pembangunan gereja dan melakukan ibadah karena telah mendapatkan kepastian status hukum, namun pada praktiknya SK bupati tidak dicabut. Bahkan pembubaran paksa kegiatan ibadah terus-menerus terjadi disertai dengan kekerasan dan intimidasi terhadap jemaat HKBP termasuk perempuan dan anak-anak. Gangguan ibadah mingguan HKBP Filadelfi a terus berlangsung, termasuk pemasangan pengeras suara di lokasi ibadah oleh massa intoleran yang tujuannya mengganggu jemaat HKBP Filadelfi a.

Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa intimidasi dan kekerasan yang diarahkan untuk menghalangi ibadah jemaat HKBP Filadelfi a terus meningkat. Salah satu pemantauan Komnas Perempuan yang dilakukan pada ibadah hari Minggu, 6 Mei 2012, menemukan bahwa kehadiran pihak kepolisian tidak memberikan jaminan rasa aman.

Kekerasan juga dialami oleh masyarakat yang turut menyatakan dukungan terhadap negara untuk menegakkan hak beragama dan beribadat, serta kepada polisi yang melakukan perlindungan bagi masyarakat sipil. Komnas Perempuan mencatat adanya intimidasi/pelecehan seksual dan ancaman perkosaan yang diarahkan kepada perempuan.

Penyerangan terhadap Jemaat HKBP Filadelfi a mengalami puncaknya pada tanggal 20 Mei 2012. Pada ibadah mingguan tersebut jemaat mendapat kekerasan secara fi sik meliputi pelemparan batu, kotoran, balok es, ban bekas, jerigen air, gelas air mineral, air kencing dan kayu. Massa (sebanyak 400-500 orang) melakukan penghadangan terhadap Jemaat HKBP Filadelfi a. Mereka melakukan teror secara psikologis berupa ancaman-ancaman terhadap jemaat, menganjurkan kekerasan dan kebencian terhadap Jemaat HKBP Filadelfi a. Dalam situasi seperti ini polisi tidak melakukan pencegahan dan pengamanan di lapangan terhadap massa intoleran, malah menghalau Jemaat HKBP untuk membubarkan diri dan tidak melakukan ibadah mingguan. Hingga saat ini Jemaat HKBP Filadelfi a tidak dapat melakukan ibadah di dalam gereja serta di lingkungan gereja karena ancaman dan intimidasi yang diterima. Dua minggu sekali HKBP Filadelfi a melakukan ibadah di depan Istana bersama jemaat GKI Yasmin, Bogor. Komnas Perempuan juga menemukan adanya viktimisasi serta kriminalisasi terhadap korban yang, juga merupakan tokoh agama setempat—pendeta, sebagai salah satu bentuk intimidasi kepada seluruh Jemaat HKBP Filadelfi a.

Sebagai suatu komunitas etnik, masyarakat Madura memiliki komitmen keagamaan Islam yang tinggi. Dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat penyebaran agama, orang Madura sering disamakan dengan orang Aceh. Sifat keislaman penduduk diaktualisasikan dalam institusi keagamaan, prilaku sosial, dan institusi kekerabatan. Agama menjadi sumber konfl ik sosial karena kedudukannya yang penting sebagai salah satu unsur pembentuk identitas etnis Madura. Sebagai unsur identitas etnik, agama merupakan bagian integral dari harga diri orang Madura. Oleh karena itu, pelecehan terhadap ajaran agama atau prilaku yang tidak sesuai dengan

agama merupakan pelecehan terhadap harga diri orang Madura.

Pada 2004, salah seorang warga Sampang merintis pesantren Misbahul Huda yang mengajarkan Islam ala Syiah dan pengaruhnya cepat meluas. Kondisi ini menimbulkan kecemburuan dari sejumlah tokoh masyarakat Nangkernang, terutama kiai yang beraliran Ahlu Sunnah wal Jamaah atau Sunni. Gesekan mulai terjadi pada tahun 2006, ketika Syiah disebut ajaran sesat. Protes itu reda dengan sendirinya, dan warga pun melupakan soal Syiah tersebut. Namun, konfl ik terjadi lagi ketika acara Maulid Nabi yang digelar di Misbahul Huda pada April 2007, komunitas Syiah dihadang oleh

Penyegelan dan Pelarangan Ibadah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfi a – Bekasi

Penyerangan Syiah – Sampang

Temuan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan

SSR_150817.indd Sec1:11 01/01/2002 1:56:47

Page 18: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

12 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

ribuan warga yang protes. Sejak itu komunitas Syiah sering mengalami intimidasi dan ancaman dari komunitas anti Syiah. Pengajian muslimatan yang diadakan warga non-Syiah selalu memojokkan komunitas Syiah dengan mengatakan bahwa Syiah itu sesat, kafi r. Akibatnya banyak komunitas Syiah yang biasa mengikuti pengajian muslimatan ini pada keluar. Meskipun demikian warga non-Syiah tetap menjemput dan memaksa agar warga Syiah mengikuti pengajian muslimatan ini, karena jika tidak mengikuti

mereka diancam rumahnya akan dibakar. Kekerasan terhadap muslim Syiah di Dusun Nangkrenang Desa Karang Gayam Kabupaten Sampang Madura Jawa Timur kembali terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012. Pada sekitar pukul 08.00 WIB ratusan

massa (diperkirakan 500 orang) membawa senjata tajam berupa celurit, pedang, dan pentungan serta bom molotov telah berkumpul di kampung Nangkernang. Pihak kepolisian yang mendapat laporan menanggapinya dengan mengirimkan lima personil ke lokasi. Pada pukul 11.00 WIB, pelaku yang telah berkumpul mulai menghadang anak-anak Muslim Syiah yang akan kembali ke pesantren mereka di luar kota Sampang. Para laki-laki dewasa Muslim Syiah berusaha melindungi anak-anak dan istri mereka.

Pelaku terus menyerang dengan lemparan batu, bom molotov dan menikam dengan senjata tajam. Akibat penyerangan tersebut, satu orang tewas, sepuluh orang menderita luka kritis, serta puluhan lainnya mengalami luka-luka. Pelaku juga merusak dan membakar rumah warga muslim Syiah. Tercatat 40 rumah warga dibakar dan dirusak. Sebanyak 276 orang penganut Syiah yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan lak-laki dewasa serta lansia mengungsi ke Gelanggang Olah Raga (GOR) Sampang. Kemudian beredar isu berkaitan dengan pemaksaan relokasi bagi penganut Syiah ke Sidoarjo, Jawa Timur oleh Pemerintah Kabupaten Sampang dan Pemprov Jawa Timur. Usulan relokasi ini ditolak oleh penganut Syiah yang tetap ingin kembali ke Karang Gayam.

Penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah terjadi di sejumlah tempat, di antaranya: Cianjur (19 September 2005); Kampus al-Mubarok, Parung, Bogor (15 Juli 2005); Singaparna, Tasikmalaya (19 Juni 2007); Mesjid Istiqomah, Desa Sadasari, Kecamatan Argapura, Majalengka (28 Januari 2008); di Parakansalak, Sukabumi (25 April 2008) dan di Cisalada, Ciampea, Bogor. (1 Oktober 2010). Pelaku penyerangan ditengarai para milisi sipil yang tidak kurang berjumlah 200 orang dengan menggunakan kostum/atribut: FPI, LPI, GERAK, BRIGADE TALIBAN, FORUM PENYELAMAT UMAT, FPUI, GIROH dan AMANAH (Aliansi Masyarakat Anti Ahmadiyah). Legitimasi yang menjadi pemicu penyerangan adalah isi maupun dampak dari 23 produk kebijakan yang dikeluarkan oleh Lembaga-lembaga Negara dan Pemerintahan, 8 di tingkat nasional dan 15 di tingkat lokal. Kebijakan di tingkat nasional, misalnya, Surat Dirjen Sospol No. 05/IS/IX/1994 tanggal 16 September 1994 tentang pelarangan Ahmadiyah secara nasional dan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 11/MUNAS VII/

MUI/15/2005 yang menetapkan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam dan dipandang sebagai aliran sesat.

Pemantauan Komnas Perempuan menemukan sejumlah bentuk kekerasan yang dialami perempuan Ahmadiyah yang mencakup di antaranya:

Kekerasan Seksual: pada saat penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, para penyerang kerap kali mengeluarkan teriakan yang mengandung ancaman kekerasan seksual/perkosaan

Pengucilan dari Komunitas: Komunitas Ahmadiyah dilarang kembali ke desanya (oleh Ketua RT) dan jika memaksa diancam bahwa warga kampung akan bertindak. Selama lima tahun terakhir komunitas Ahmadiyah mendiami Asrama Transito Transmigrasi dengan nasib yang tidak jelas dan sulit kembali ke daerah asal mereka karena ditolak masyarakat di sana. Dan sekitar 22 keluarga di Nusa Tenggara Barat (NTB) merasa tidak aman lagi tinggal di kampung halaman.

Penyerangan Jemaat Ahmadiyah

Pelaku terus menyerang dengan lemparan batu, bom molotov dan menikam dengan senjata tajam. Akibat penyerangan tersebut, satu orang bernama tewas, 10 orang menderita luka kritis, serta puluhan orang mengalami luka-luka.

SSR_150817.indd Sec1:12 01/01/2002 1:56:47

Page 19: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

13

Gangguan Reproduksi dan Gangguan Jiwa: sejumlah warga mengalami stres atau gangguan jiwa karena rumahnya dibakar. Komnas Perempuan juga menemukan adanya seorang ibu yang sedang hamil 4 bulan mengalami keguguran karena harus menggendong anaknya yang mengalami ketakutan akibat penyerangan. Para perempuan yang sudah berkeluarga mengalami gangguan reproduksi, termasuk mengabaikan alat kontrasepsi, gangguan menstruasi setelah penyerangan terjadi, sebagian tidak teratur dan sebagian lagi mengalami pendarahan.

Kehilangan Akses Ekonomi: setelah penyerangan terjadi, sejumlah perempuan yang berjualan di pasar menyatakan bahwa para pembeli mereka berkurang dan sering keluar pernyataan: “Mereka adalah Ahmadiyah”. Seorang ibu yang bekerja sebagai guru di sebuah SD Negeri diminta berhenti mengajar oleh pihak sekolah setelah diketahui dirinya bagian dari Jemaat Ahmadiyah.

Kehilangan Hak untuk Berkeluarga: anak perempuan yang menikah dengan Muslim yang bukan Ahmadiyah dianggap tidak sah, dipandang zinah dan anaknya dipandang sebagai anak haram.

Gugatan ini dilakukan oleh pihak Kantor Urusan Agama (KUA) yang telah menikahkan mereka.

Kehilangan Status Kependudukan: sebagian besar warga Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tak terkecuali perempuan, hingga kini mengalami kesulitan mendapatkan status kependudukan baik di daerah asal maupun di tempat relokasi

Kekerasan Terhadap Anak – diskriminasi di bidang pendidikan: diperkirakan sepuluh siswa sebuah SD Negeri di Mataram mendapat rapor sementara dengan tulisan “Rapor Anak Ahmadiyah”. Pada saat ujian pun mereka mendapatkan jadwal yang berbeda dengan siswa lain yang berakibat pada pengucilan oleh guru dan teman-teman di sekolahnya.

Kebencian Sesama Anak: “Hampir setiap hari kalau saya lewat jalan itu, saya diledek karena saya Ahmadiyah”, pengakuan seorang siswa kelas II SMP Negeri di Jawa Barat itu yang setiap kali menerima ejekan dari teman sebaya setiap kali pergi atau pulang sekolah. Mereka mengejek dengan menyebut Ahmadiyah sesat dan kafi r, yang kadang disertai dengan pengeroyokan.

Temuan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan

SSR_150817.indd Sec1:13 01/01/2002 1:56:47

Page 20: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

14 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Kasus berawal dari diterbitkannya SK Bupati Bima No. 188.45/ 357/004/2010 tertanggal 28 April 2010 tentang Persetujuan Penyesuaian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Explorasi kepada perusahaan tambang. Secara administrasi pemerintahan lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Sape, Kecamatan Lambu, dan Kecamatan Langgudu seluas 24.980 Ha., yang status fungsi lokasi perusahaan di tiga kecamatan tersebut adalah Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Penerbitan SK No. 188.45/357/004/2010 tersebut bukanlah pemberian ijin baru, melainkan penyesuaian terhadap ijin yang lama yaitu Kuasa Pertambangan No. 621 Tahun 2008, sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah No, 23 Tahun 2010. Ijin Usaha Pertambangan (IUP) adalah ijin untuk melakukan eksplorasi dengan jenis kegiatan penyelidikan umum, kegiatan eksplorasi yang meliputi : pengambilan sampel, pengambilan contoh air dan membuat peta geologi. Pada tahun 2010 ini, Bupati mengeluarkan surat ijin kepada perusahaan lain juga.

Untuk melakukan sosialisasi tahapan kegiatan perusahaan sesuai dengan ijin yang diberikan, pemerintah daerah membantuk Tim Sosialisasi. Pada implementasinya, sosialisasi dilakukan hanya kepada tokoh masyarakat dan aparat di ketiga kecamatan, sehingga banyak warga masyarakat tidak mengetahui rencana eksplorasi yang akan dilakukan oleh perusahaan. Dengan kesenjangan komunikasi demikian, komunitas mahasiswa dan aktivis lingkungan memberikan informasi tentang dampak negatif dari berbagai perusahaan pertambangan di wilayah-wilayah yang akan dilakukan eksplorasi. Berangkat dari informasi ini, warga mulai melakukan

penolakan terhadap kehadiran perusahaan. Aksi penolakan terjadi berulang kali sejak Oktober 2010 – Februari 2011, dengan membawa korban luka dan kerugian material. Kerusuhan berlanjut dan terjadi berulang kali, dan kerusahan terakhir terjadi pada bulan Februari 2012.

Kasus kerusuhan yang terjadi di Sape Bima ini melibatkan aparat keamanan, perusahaan tambang, dan masyarakat yang menolak kehadiran perusahaan tambang di daerah mereka. Dalam posisi konfl ik SDA ini, pendekatan kekerasan menjadi umum diambil oleh aparat keamanan. Hal ini menjadi kecenderungan bahwa aparat menjadi alat pemerintah daerah, dan mungkin juga diminta oleh perusahaan untuk melindungi kepentingan perusahaan. Ketika tuntutan warga tidak terpenuhi, dialog tidak menghasilkan kepuasan pada warga karena tidak memenuhi inti keinginan warga. Aparat keamanan pun diminta untuk menghadapi mereka. Bagi perempuan, selain ditangkap dan ditahan, mereka juga mengalami trauma ketika melihat warga lain, bahkan suami atau saudara mereka mengalami kekerasan. Trauma kekerasan itu dialami cukup panjang setelah kerusuhan. Pada kasus Sape, perempuan ikut merasakan bagaimana kehadiran perusahaan tambang telah mengganggu aktivitas pertanian/perkebunan mereka. Sumber penghidupan yang ada di daerah mereka harus hilang karena dijadikan lokasi pertambangan.

Penegakan hukum terhadap aparat yang melakukan kekerasan ternyata disimpulkan sebagai tindakan individu aparat. Padahal mereka ditempatkan oleh institusi keamanan untuk menghadapi warga. Jika memang ada kecenderungan terjadi kekerasan oleh aparat, tentu anggotanya perlu diantisipasi dengan tidak dibekali persenjataan yang “mematikan” warga.

Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Sumber Daya Alam

Kecamatan Sape, Kabupaten Bima – Nusa Tenggara Barat dan Wilayah Konfl ik SDA Lainnya

SSR_150817.indd Sec1:14 01/01/2002 1:56:47

Page 21: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

15

Konfl ik Sumber Daya Alam (SDA) seperti di Sape Bima, sebenarnya juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, dengan kecenderungan penyebab dan akibat sama, yakni menggunakan pendekatan keamanan untuk penyelesaian konfl ik sumber daya alam. Adapun wilayah-wilayah lainnya adalah Gunung Mutis, Mollo Nusa Tenggara Timur dengan perusahaan pertamban-gan, Kebon Kopi Manggarai Nusa Tenggara Timur, Petani Gendang Mahima Manggarai Nusa Tenggara Timur, Halimun Jawa Barat yang berkonfl ik untuk kepentingan konservasi Hutan (Taman Nasional); PT Lonsum Bulukumba, Sulawesi Selatan, Perhutani

Ketajek Jawa Timur, Petani Kopi Hutan Colol Mang-garai Nusat Tenggara Timur, yang berkonfl ik dengan perusahaan perkebunan; Hutan Tanaman Industti (HTI) di Suluk Bongkal Bengkalis Riau; serta Kasus Konfl ik Sumber Daya Alam lainnya, seperti Alas Tlogo Jawa Timur, Rumpin Bogor Jawa barat, Bojong Jawa Barat, dan Pegunungan Kendeng Pati Jawa Tengah.3

3. Lihat Khalisa Khalid dan Arimbi Heroepoetri dalam Background Paper Komnas Perempuan No. 01/2011 tentang Pemetaan Awal Keterlibatan Militer dalam Konfl ik Sumber Daya Alam di Indonesia.

Temuan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan

SSR_150817.indd Sec1:15 01/01/2002 1:56:47

Page 22: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

16 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Kebijakan Berkaitan dengan Sektor Keamanan pada Masa Orde Baru

Pada masa sebelum reformasi, konsep sektor keamanan di Indonesia ditujukan untuk menjamin stabilitas dan keamanan negara, sentralistik serta otoriter menjadi metode dalam menjalankan konsep tersebut. Hal ini berdampak mudahnya militerisme merambah ke dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu dalam aspek sosial, politik, ekonomi, serta lingkungan. Salah satu pelaksanaan konsep tersebut terlihat pada program Dwi Fungsi ABRI, yang melibatkan militer (dan polisi) dalam kegiatan sehari-hari masyarakat seperti kerja bakti, pembangunan sarana publik, termasuk penjagaan keamanan wilayah/lingkungan. Peran Dwi Fungsi ABRI ini kemudian mengakibatkan oknum militer masuk ke wilayah bisnis. Paradigma pertahanan negara juga bersifat semesta, yang berarti melibatkan seluruh warga negara (sebagai hak dan kewajiban) untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh. Model pertahanan negara ini menempatkan warga negara sebagai subjek sesuai dengan perannya masing-masing, dan dengan mempertimbangkan sistem pertahanan strategis melihat kondisi geografi s Indonesia.

Dalam pemahaman tersebut, dikembangkan juga program kemanunggalan ABRI. Dengan program ini aparat keamanan (TNI dan POLRI) dapat ditempatkan bersama atau di lingkungan hunian masyarakat yang prinsipnya ‘menyatukan TNI – masyarakat’ dalam menjalankan peran warga negara untuk pertahanan negara. Pada perkembangannya, kehidupan dalam lingkungan sama ini mengakibatkan hubungan personal atau perkawinan antara penduduk (anak perempuan) dengan anggota TNI/ABRI yang menimbulkan banyak permasalahan di kemudian hari – ingkar janji, atau ditinggal karena pindah tugas.

Reformasi SektorKeamanan

www.nato.int

SSR_150817.indd Sec1:16 01/01/2002 1:56:47

Page 23: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

17

Kebijakan berkaitan dengan Sektor keamanan pada Masa Reformasi

Paska Orde Baru dan memasuki masa Reformasi, sektor keamanan di Indonesia mengalami perubahan paradigma dan konsep pertahanan dan keamanan. Demokratisasi mensyaratkan perubahan pola pikir pemerintahan yang sentralistik dan otoriter menjadi lebih terbuka, adil dan menganut prinsip-prinsip demokrasi dengan mengadopsi konsep Human Security sebagaimana dinyatakan oleh Dewan Keamanan PBB. Dengan perubahan paradigma ini, maka defi nisi keamanan nasional merujuk pada kebutuhan untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi negara dengan memperhatikan dan membangun kekuatan ekonomi, militer dan politik serta diplomasi. Pelaku keamanan nasional pun mencakup TNI (militer), kepolisian, badan intelejen, legislatif dan eksekutif.

Pada perkembangannya, terjadi pemisahan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antara TNI dan POLRI, yang diperkuat oleh TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang pemisahan peran POLRI dan TNI. Fungsi Kepolisian, sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia difokuskan pada pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sementara, TNI (UU TNI No. 34 Tahun 2004) berfungsi menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia serta UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ini juga mengatur kebijakan strategis Sistem Pertahanan Negara, termasuk pola hubungan dan kewewenangan Presiden, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI. Sedangkan sebagai tambahan, dibentuk UU No. 2 Tahun 2003 yang memberikan mandat kepada presiden tuntuk membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang fungsinya merumuskan kebijakan-kebijakan strategis bidang pertahanan.

UU TNI no. 34 Tahun 2004 mengatur independensi TNI yang antara lain mengatur tentang ketidakmandirian TNI dan tersentralisasi, TNI tidak melakukan bisnis dan tidak berpolitik praktis. TNI harus tunduk kepada Kementerian Pertahanan yang berwenang membantu presiden dalam mengembangkan kebijakan pertahanan negara secara umum dan dalam rangka mengambil keputusan politik dalam kaitannya dengan fungsi pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan dan keutuhan NKRI serta keselamatan segenap warna negara dari ancaman bersenjata.

Pemisahan peran dan fungsi ini berpotensi menimbulkan masalah, diantaranya kebingungan dalam menangani kejahatan transnasional dan potensi konfl ik antara POLRI dan TNI di lapangan. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur secara normatif bahwa polisi bertanggungjawab kepada legislatif dan eksekutif, pasal 8 ayat 2 menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri, yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundangan. Ketentuan tersebut memberikan dua implikasi: 1) menempatkan Kapolri sebagai pejabat politik setingkat Menteri, dan 2) tidak ada pemisahan pertanggungjawaban politik dan operasional.

Pemisahan TNI dan POLRI

Potensi Konfl ik Horizontal dan Terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan

Prinsip human security dijalankan dengan setengah hati, karena prinsip-prinsip lama masih dipertahankan. Sebagai contoh, UU No.2 tahun 2003 pasal 3 menyatakan pertahanan negara disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai, tapi pasal 2

tetap menyatakan bahwa hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Artinya, ciri kerakyatan, kesemestaan (sishankamrata) dan kewilayahan masih melekat dalam sistem pertahanan negara, yang dipertegas dalam pasal 8 dan 9 pelibatan seluruh rakyat dan segenap

Reformasi Sektor Keamanan

SSR_150817.indd Sec1:17 01/01/2002 1:56:48

Page 24: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

18 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh.

Salah satu dampak dari penerapan Prinsip Semesta adalah kekerasan terhadap perempuan serta sumber daya alam (SDA). Pemantauan Komnas Perempuan menemukan kasus-kasus perkosaan, pelecehan seksual serta kekerasan dalam pacaran (KDP)/hubungan personal, dan perempuan dijadikan komponen pendukung untuk dipekerjakan di dapur oleh aparat TNI selama bertugas di wilayah tersebut. Temuan lain, menunjukkan ‘penggunaan’ perempuan sebagai umpan atau alat untuk mengintimidasi/memancing para suami keluar dari persembunyian, seperti terjadi di Aceh dan Poso terhadap para istri yang dianggap kelompok separatis – banyak kasus perkosaan, penelanjangan paksa dan pelecehan yang dialami oleh para perempuan tersebut.

Selain itu, hasil pemantauan di Poso Komnas Perempuan juga menemukan perempuan yang diajak berkencan oleh aparat TNI untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Demikian pula dalam kasus Ahmadiyah, perempuan mengalami ancaman perkosaan yang dilakukan oleh kelompok massa intoleran (dan tidak ada jaminan keamanan dari aparat). Pada banyak kasus, aparat keamanan memandang korban sebagai pelaku. Jemaat Ahmadiyah dianggap tidak menghormati norma dan adat istiadat masyarakat setempat. Dengan alasan keamanan serta ketertiban masyarakat, Jemaat Ahmadiyah diminta untuk pergi dari lingkungan setempat, sementara massa intoleran yang merusak rumah dan aset milik Jemaat Ahmadiyah tidak dicegah atau diabaikan oleh aparat keamanan. Ahmadiyah dianggap sebagai sumber yang mengundang datangnya komunitas perusak, bukan sebagai warga negara yang harus dilindungi. Kasus serupa terjadi juga pada Jemaah Syiah di Sampang, Madura tahun 2012.

Lebih lanjut, Pasal 36 dalam UU No. 7 tahun 2012 menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan keamanan nasional rawan digunakan oleh kelompok-kelompok intoleran untuk menetuskan konfl ik horizontal. UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konfl ik, pasal 12 menyatakan salah satu

cara menghentikan konfl ik dengan cara menghentikan kekerasan fi sik (tidak termasuk di dalamnya adalah kekerasan seksual dan sejenisnya). Sementara itu, temuan pemantauan Komnas Perempuan di wilayah konfl ik bersenjata menunjukkan bahwa perempuan rentan mengalami kekerasan seksual dan kekerasan

yang diarahkan pada ketubuhan perempuan yang dijadikan alat melumpuhkan pihak lawan. Sebagai contoh, konfl ik Ahmadiyah di wilayah di Jawa

Barat dan Nusa Tenggara Barat tahun 2008, perempuan dan anak perempuan mendapatkan ancaman perkosaan dan pelecehan seksual dari kelompok intoleran tetapi aparat keamanan cenderung melakukan pembiaran.

Kebijakan lain yang berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap perempuan adalah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 4 menyatakan bahwa Polri berhak mengurangi/ membatasi hak seseorang dalam keadaan darurat, kerusuhan

massal, maupun dalam keadaan yang berbahaya. Kewenangan ini diindikasikan dapat berdampak pada kekerasan terhadap perempuan, meskipun pasal 20 menyatakan bahwa dalam hal yang ditangkap adalah seorang perempuan, maka wajib diperhatikan perlakuan khusus antara lain: a) sedapat mungkin diperiksa oleh petugas perempuan atau petugas yang berperspektif gender; b) diperiksa di ruang pelayanan khusus; c) perlindungan hak privasi untuk tidak dipublikasikan; d) hal mendapat perlakuan khusus; e) dipisahkan penempatannya dari ruang tersangka laki-laki; dan f ) penerapan prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan.

Pelaksanaan pasal ini mensyaratkan sejumlah kriteria dipenuhi oleh institusi POLRI, di antaranya personil perempuan yang cukup, tersedianya ruangan khusus, dan ada SOP khusus untuk menjamin pelaksanaan dengan benar. Pada praktiknya, dalam pemantauan Komnas Perempuan menemukan bahwa proses penyidikan sering dilakukan oleh petugas laki-laki karena keterbatasan jumlah penyidik perempuan. Sebagai dampaknya adalah banyak tahanan perempuan harus diperiksa dan mendapat perlakuan kekerasan

Prinsip Semesta ini berdampak pada kekerasan terhadap perempuan dan sumber daya alam (SDA). Pemantauan Komnas Perempuan menemukan kasus-kasus perkosaan, pelecehan seksual.

SSR_150817.indd Sec1:18 01/01/2002 1:56:48

Page 25: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

19

secara fi sik, seksual, ekonomi dan psikis selama dalam proses penyidikan, dan tahanan kepolisian.

Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi pada penerapan PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja: ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat melakukan kegiatan dengan tenteram, tertib, dan teratur (pasal 1 ayat 9). Pemantauan Komnas Peremuan bersama mitra di sejumlah daerah menemukan sejumlah kasus perempuan menjadi

korban salah tangkap ketika pulang kerja malam hari. Mereka dianggap melanggar ketertiban umum dan ketentraman masyarakat karena pulang kerja malam hari, padahal profesi sebagai perawat atau buruh pabrik seringkali mendapatkan giliran kerja malam. Selain itu, Polisi Pamong Praja juga melakukan razia perempuan pekerja seks, yang seringkali melakukan pelecehan seksual terhadap para perempuan tersebut karena dianggap sudah mengganggu ketertiban masyarakat dan pelecehan itu sebagai sanksi menjerakan atas perbuatan mereka.

Pasal 8 dan 9 UU No. 3 tahun 2003 mengatur komponen cadangan dan komponen pendukung yang meliputi sumber daya nasional, termasuk di dalamnya sumber daya alam. Pemanfaatan SDA untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara berpotensi monopoli untuk kepentingan atas nama keamanan dan ketahanan negara atau hanya bagi korp TNI. Pada sejumlah kasus konfl ik sumber daya alam yang terjadi dalam masa reformasi ini, masyarakat ‘berperang’ melawan TNI dan kepolisian yang disewa oleh perusahaan eksplorasi sumber daya alam, atas nama pendayagunaan sumber daya alam untuk

kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Komnas Perempuan menemukan bahwa dalam konfl ik SDA ini, perempuan dalam kondisi rentan mengalami kekerasan antara lain kekerasan ekonomi – terpaksa menjadi pencari nafk ah karena suaminya tertembak mati atau kehilangan mata pencaharian ketika lahan sumber penghidupan mereka diambil alih negara; kekerasan seksual berupa ancaman pelecehan seksual ketika perempuan berani melakukan perlawanan; kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI yang ditempatkan dekat wilayah hunian penduduk setempat.

Potensi Konfl ik Sumber Daya Alam (SDA) dan Kekerasan terhadap Perempuan

Pemulihan (Korban) Pasca-Konfl ik

Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konfl ik Sosial (PKS) dan Inpres No 2 tahun 2013 berkaitan dengan pemulihan paska-konfl ik menyebutkan rekonsiliasi sebagai salah satu elemen, yaitu penyelesaian dan perundingan secara damai, pemberian restitusi dan/atau pemaafan. Dengan penyelesaian demikian, kedua kebijakan ini ditengarai berpihak pada pelaku, sehingga meniadakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban maupun keluarga korban3. Kondisi ini juga berpotensi melahirkan impunitas bagi pelaku.

UU dan Inpres ini pun tidak memuat penanganan dalam hal pencegahan konfl ik berulang, sehingga

3 Korban yang seringkali menjadi kaum rentan dari berbagai ben-tuk konfl ik baik konfl ik berbasis agama, berbasis ras/etnis, agama, konfl ik bersenjata, konfl ik sumber daya alam serta konfl ik sosial lainnya, adalah Komunitas yang dikategorikan sebagai penyandang cacat, anak, lansia, perempuan dalam konfl ik bersenjata, komunitas miskin.

ada kemungkinan penyelesaian konfl ik tidak menyeluruh dan tidak tuntas. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam UU Penanganan Konfl ik Sosial (PKS) difokuskan pada pembiayaan, bantuan teknis, penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban konfl ik; dan/atau bantuan tenaga dan pikiran. Undanga-undang ini tidak melibatkan masyarakat dalam penanganan konfl ik sosial pada tahap membangun sistem peringatan dan tanggap dini, serta sistem pemulihan yang bertujuan agar konfl ik sosial tidak berulang. Meskipun demikian, Pasal 47 UU PKS tentang Pemantauan kinerja Satuan Tugas Penyelesaian Konfl ik mencantumkan unsur pemerintah dan masyarakat serta memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%, sebagai implementasi Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan, Perlindungan dan Pemberdayaan perempuan di Daerah Konfl ik (RAN P4DK), merujuk pada paragraf 5 Resolusi PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan.

4

4

Reformasi Sektor Keamanan

SSR_150817.indd Sec1:19 01/01/2002 1:56:48

Page 26: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

20 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Dewan Keamanan PBB menekankan bahwa reformasi sektor keamanan dilakukan sesuai dengan konteks (situasi) dan kebutuhan yang berbeda. Dewan Keamanan menyadari adanya keterkaitan yang kuat antara

reformasi sektor keamanan dan faktor-faktor penting lain dalam rangka menjamin stabilitas dan rekonstruksi, seperti transitional justice, pelucutan senjata, pembubaran wajib militer (wamil), pemulangan, reintegrasi dan rehabilitasi mantan kombatan, serta kewenangan memegang senjata dimana faktor-faktor tersebut harus mengacu pada kesetaraan gender, anak-anak dan konfl ik bersenjata serta isu HAM. Sementara yang disebut sebagai aktor keamanan menurut Dewan Keamanan PBB adalah kepolisian, tentara nasional, badan intelejen, pasukan pengawal presiden, penjaga perbatasan dan unit-unit keamanan lokal. Para aktor ini dikategorikan sebagai aktor keamanan utama. Badan penyelenggara fungsi pengawasan bidang keamanan mencakup di antaranya: parlemen untuk komisi keamanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, masyarakat sipil (yang diantaranya terdiri dari media, akademisi dan ormas), Lembaga Peradilan (seperti Kementerian Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, Kejaksaan, Pengadilan), Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi Ombudsman, Non-Statutory Security Force (yakni tentara pembebasan, gerilyawan, penyedia jasa keamanan swasta, milisi ormas dan partai, dll.). Dalam reformasi sektor keamanan ditegaskan bahwa pengelolaan dan pelaksanaan sistem keamanan harus sesuai dengan norma-norma demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Contoh negara-negara yang telah berhasil mengintegrasikan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dalam kebijakan reformasi sektor keamanan adalah Nikaragua dan Afrika Selatan. Nikaragua nememiliki 26% anggota kepolisian perempuan sebagai dampak dari kebijakan pengarusutamaan gender di lingkungan kepolisian, yang sudah dimulai sejak tahun 1990 atas desakan dari gerakan perempuan serta para perempuan yang bertugas di kepolisian. Dalam keadaannya sekarang, Kepolisian Nikaragua digambarkan sebagai negara yang paling ramah terhadap perempuan di kawasan Amerika Tengah dan dipuji karena keberhasilannya menanggulangi kekerasan seksual.

Reformasi Sektor Keamanan Berperspektif HAM dan Gender

www.ictj.org

SSR_150817.indd Sec1:20 01/01/2002 1:56:48

Page 27: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

21Reformasi Sektor Keamanan Bersperspektif HAM dan Gender

Afrika Selatan berhasil melibatkan partisipasi perempuan dalam proses pengkajian ulang pertahanan negara pada tahun 1996-1998. Berkat partisipasi perempuan dalam proses ini, sejumlah permasalahan dapat teridentifi kasi sehingga dapat diusulkan serta diintegrasikan dalam peraturan yang mengatur tentang pelecehan seksual terhadap para perempuan oleh aparat militer, penderitaan warga negara yang rumah dan tanahnya dirampas oleh keperluan militer, dampak lingkungan dari kegiatan militer, dan isu-isu sejenis lainnya. Dan hasilnya, untuk merespons isu tersebut, dua sub-komite dibentuk melalui Kementerian Pertahanan.

Selain Nikaragua dan Afrika Selatan, negara lain yang dianggap berhasil mengintegrasikan perspektif gender ke dalam reformasi sektor keamanan adalah Hungaria. Hungaria berhasil meningkatkan partisipasi perempuan dalam korps angkatan bersenjata dari 4,3% pada tahun 2005 menjadi 17, 56% pada tahun 2006. Peningkatan ini merupakan tingkat partisipasi kedua tertinggi dari semua negara NATO (Latvia adalah negara tertinggi dengan tingkat partisipasi 18,2%). Perempuan Hungaria saat ini dapat menempati segala jabatan di angkatan bersenjata Hungaria. Pada tahun 2003 dibentuk Komite Perempuan Angkatan Bersenjata Hungaria yang di antaranya berhasil mendokumentasikan pengalaman militer perempuan. Dokumentasi ini digunakan untuk membuat analisis kesetaraan gender dalam lingkungan militer.

Sepanjang lebih dari 10 tahun Komnas Perempuan telah mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat keamanan, baik karena posisinya sebagai pejabat negara maupun terkait dengan kebijakan keamanan negara dan operasi militer. Seperti telah dijelaskan terdahulu pendokumentasian ini mencatat kasus kekerasan yang mencakup 1) Perkosaan; 2) Pelecehan seksual; 3) Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); 4) Perselingkuhan suami atas istri; 5) Poligami; 6) Penelantaran ekonomi; 7) pemaksaan aborsi; dan 8) ingkar janji. Berdasarkan pengalaman kerja ini serta mandat Komnas Perempuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan Indonesia perlu mendorong pengintegrasian HAM dan Gender ke dalam SSR, terutama integrasi Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 1993, GA Res 48/104) yang menyatakan bahwa Kekerasan terhadap Perempuan adalah penghambat bagi pencapaian persamaan, pembangunan dan perdamaian, dan bahwa KTP melanggar serta menghalangi atau meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok, dan bahwa KTP adalah perwujudan dari ketimpangan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan sepanjang sejarah yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi. Deklarasi ini juga menyebutkan bahwa beberapa komunitas perempuan, seperti perempuan dalam komunitas minoritas, perempuan masyarakat adat, perempuan pengungsi, perempuan migran, perempuan yang hidup di pedesaan atau pedalaman, perempuan miskin, perempuan dalam lembaga-lembaga pemasyarakatan atau tahanan, anak-anak perempuan, perempuan dengan disabilitas, perempuan lanjut usia dan perempuan dalam situasi konfl ik bersenjata adalah komunitas yang paling rentan terhadap kekerasan. Sementara Kekerasan terhadap Perempuan sendiri didefi niskan sebagai ‘setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fi sik, psikis, seksual, termasuk tindakan ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik maupun dalam kehidupan pribadi’. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pasal 1).

Reformasi sektor keamanan juga perlu mengintegrasikan UU no.7 tahun 1984 tentang Pengesahan mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu kebijakan harus menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam bentuk: 1). memasukan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan (pasal 2: a), termasuk sanksi-sanksi yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan (pasal 2: b); 2). menahan diri untuk melakukan suatu

Sepanjang lebih dari 10 tahun Komnas Perempuan telah mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat keamanan, baik karena posisinya sebagai pejabat negara maupun terkait dengan kebijakan keamanan negara dan operasi militer.

SSR_150817.indd Sec1:21 01/01/2002 1:56:48

Page 28: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

22 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

tindak diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan oleh orang atau organisasi apapun (pasal 2: e); 3). mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya menghapus, peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan. Undang-undang ini pun mendorong untuk mengambil tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara (affi rmative action) atau sistem kuota demi meningkatkan integrasi perempuan ke dalam pendidikan, ekonomi, politik dan pekerjaan (pasal 4). Jika kesetaraan kesempatan dan kesamaan perlakuan ini telah tercapai, maka tindakan khusus ini tidak diperlukan lagi dan perlu dihentikan.

SSR_150817.indd Sec1:22 01/01/2002 1:56:48

Page 29: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

23

Rekomendasi

Secara umum, rekomendasi diarahkan kepada sejumlah poin berikut

Pembaharuan kebijakan keamanan nasional dalam kaitannya dengan pengerahan kekuatan militer, pengurangan jumlah aparat keamanan dan operasi di wilayah konfl ik;

Penetapan status keamanan dan pengerahan kekuatan militer dilakukan secara transparan dan akuntabel serta diawasi secara ketat baik secara internal maupun eksternal;

Penguatan fungsi dan kapasitas POLRI dalam rangka penegakan keamanan di wilayah rentan konfl ik

Mengambil tindakan-tindakan khusus untuk melindungi penduduk sipil, khususnya perempuan dan anak perempuan dari kekerasan berbasis gender, termasuk bentuk-bentuk;

kekerasan seksual;

Mengakhiri impunitas dengan memastikan bahwa semua korban kekerasan khususnya perempuan memiliki perlindungan yang setara di bawah hukum dan menghukum semua pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan kekerasan seksual baik yang dilakukan oleh negara maupun aktor non negara

Institusi POLRI/Militer bekerja sama dengan NHRI maupun LSM untuk mengembangkan mekanisme pelaporan dan pengaduan terutama untuk pelaporan kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan aparat yang bertugas di wilayah-wilayah konfl ik;

Institusi POLRI/Militer mengembangkan mekanisme untuk pemberian Rehabilitasi, Kompensasi dan Restitusi bagi Perempuan dan anak korban kekerasan oleh Aparat Keamanan, termasuk menangani konsekuensi jangka panjang yang akan dihadapi oleh korban kekerasan seksual yang juga mencakup diskriminasi hukum, stigmatisasi sosial;

Reformasi UU Pengadilan Militer yang menegaskan bahwa proses hukum bagi aparat yang terbukti melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan kekerasan terhadap perempuan harus dibawa ke pengadilan pidana umum.

Berikut sejumlah rekomendasi yang ditujukan bagi sejumlah lembaga berkaitan dengan reformasi sektor keamanan berperspektif gender dan HAM

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI

Mengintegrasikan hak-hak asasi perempuan dalam seluruh kerangka reformasi sektor keamanan;

Memastikan bahwa RUU Peradilan Militer menegaskan bahwa prajurit militer yang melakukan tindak pidana tunduk pada peradilan umum.

TNI dan POLRI

Menyempurnakan segenap perangkat ketentuan operasional bagi prajurit sesuai standar internasional yang dikembangkan untuk menjamin hak-hak perempuan, seperti Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang kekerasan seksual dalam konfl ik, termasuk penjabaran atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 tentang Administrasi Prajurit Angkatan Bersenjata yang berisi Wajib Prajurit tentang penghormatan terhadap hak-hak wanita ke dalam Aturan Pelibatan Prajurit;

Rekomendasi

SSR_150817.indd Sec1:23 01/01/2002 1:56:48

Page 30: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

24 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Mengintegrasikan temuan Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam situasi konfl ik, pengungsian, dan kebencanaan serta Hak Asasi Perempuan dan hak asasi perempuan dalam kurikulum di segala jenjang pendidikan, termasuk pembekalan bagi aparat sebelum menjalankan tugas operasi;

Melibatkan organisasi-organisasi perempuan dalam mengembangkan standar dan perangkat pelaksanaan serta pengawasan bagi perilaku aparat keamanan guna mencegah pelanggaran HAM, khususnya terhadap perempuan;

Memperlakukan tindak eksploitasi seksual sebagai salah satu bentuk pelanggaran berat kedisiplinan aparat keamanan (serious misconduct), sesuai dengan standar PBB (Buletin Sekjen PBB: ST/SGB/2003/13) yang menuntut pemberian sanksi dan langkah-langkah khusus untuk pencegahan dan penanganannya;

Mengembangkan upaya khusus untuk menjamin hak-hak anak yang lahir dari eksploitasi seksual atau perkosaan, dan melindungi mereka dari bentuk diskriminasi baru;

Mengintegrasikan HAM berbasis gender dan pengetahuan tentang budaya lokal ke dalam kurikulum pendidikan TNI/POLRI di semua jenjang pendidikan.

Kementerian Pertahanan

Memastikan RUU Peradilan Militer yang menegaskan bahwa prajurit militer yang melakukan tindak pidana tunduk pada peradilan umum.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Bekerja sama dengan Komnas Perempuan mengembangkan kebijakan khusus berkaitan dengan pemenuhan hak asasi perempuan dalam seluruh tahapan penanggulangan bencana.

SSR_150817.indd Sec1:24 01/01/2002 1:56:49

Page 31: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

25

Buku Saku Netralitas TNI. 2008.Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Buku Putih Pertahanan Indonesia. 2008.Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS). 2008. Jurnal Rights and Democracy:

Keamanan Nasional.Komnas Perempuan. 2002. Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia.Komnas Perempuan. 2003. Laporan Investigasi Pelanggaran Hak Asasi Di Timor Timur, Malu-

ku, Tanjung Priok, Dan Papua 1999-2001. Kumpulan Ringkasan Eksekutif. Seri Dokumen Kunci 4.

Komnas Perempuan. 2004. Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan dan / atau dibiarkan oleh negara selama berlangsungnya konfl ik bersenjata (1997 – 2000). Laporan Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan. Seri Dokumen Kunci 5.

Komnas Perempuan. 2007. Perempuan pengungsi bertahan dan berjuang dalam keterbatasan: Kondisi pemenuhan HAM perempuan pengungsi Aceh, Nias, Jogjakarta, Porong, NTT, Maluku, dan Poso.

Komnas Perempuan. 2007. Mencari dan meniti keadilan: Pengalaman perempuan Aceh dari masa ke masa.

Komnas Perempuan. 2009. Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan Komnas Perempuan Tentang Kondisi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan Di 16 Kabu-paten/Kota Pada 7 Provinsi.

Komnas Perempuan. 2009. Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penan-ganan. Dokumentasi Pelanggaraan HAM Perempuan Selama Konfl ik Bersenjata di Poso, 1998–2005.

Komnas Perempuan. 2009. Perempuan dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis. Komnas Perempuan. 2010. STOP SUDAH! Kekerasan dan Pelanggaran HAM terhadap Perem-

puan Papua 1963-2010.Komnas Perempuan. 2012. Laporan Tim Quick Response Pemantauan Kasus Sape –Bima Nusa

Tenggara Barat. Disampaikan dalam Sidang Paripurna Komnas Perempuan pada 7 Febru-ari 2012.

Komnas Perempuan. 2014. Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Meng-hadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama. (Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan Dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Laporan Peman-tauan.

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka

SSR_150817.indd Sec1:25 01/01/2002 1:56:49

Page 32: Kertas Konsep Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah ...komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Kertas Konsep... · pelaku kerusuhan, 2) SATGAS Poso yang mengusung pemulihan

26 Reformasi Sektor Keamanan yang Berwajah Perempuan

Manan, Abdul et al. 2008. Reformasi Sektor Keamanan, Panduan untuk Jurnalis. IDSPS (Insti-tute for Defense Security and Peace Studies) bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung, dan Aliansi Jurnalis Indonesia.

Organisation For Economic Co-Operation and Development (OECD). 2007. OECD DAC Hand-book on Security System Reform: Supporting Security and Justice. Dapat diunduh dari: http://www.oecd.org/dataoecd/43/25/38406485.pdf

Reformasi Militer Indonesia: 2009-2014.Rizal, Sukma. 2002. Konsep Keamanan Nasional. Center for Strategic and International Studies,

Jakarta. The International Security Sector Advisory Team/Geneva Centre for The Democratic Control of

Armed Forces (ISSAT/DCAF). SSR in Brief. 2010. Dapat diunduh dari: http://issat.dcaf.ch/ISSAT-Public-Home/SSR-Overview/SSR-In-Brief

SSR_150817.indd Sec1:26 01/01/2002 1:56:49