kerjasama badan kebangpol pemerintah provinsi bali · pdf filelampiran i angka 1 undang-undang...

122
KERJASAMA BADAN KEBANGPOL PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Surat Perintah Kerja Nomor: [07421230/BID III/BKBP/2015:2415A/UN14.1.11/KS/2015 KESBANGPOL PEMPROV BALI 2015

Upload: trinhthu

Post on 04-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KERJASAMA BADAN KEBANGPOL PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Surat Perintah Kerja Nomor: [07421230/BID III/BKBP/2015:2415A/UN14.1.11/KS/2015

KESBANGPOL PEMPROV BALI 2015

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR NAMA TIM PENYUSUN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1 A. URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM

PERANCANGAN PRODUK HUKUM DAERAH B. LATAR BELAKANG MASALAH C. RUMUSAN MASALAH D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK E. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH

AKADEMIK

1

12 17 18

19

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PARKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

B. KAJIAN EMPIRIS TERHADAP KARAKTERSITIK NARKOTIKA, PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, DAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

C. KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

D. KARAKTERSITIK KONSEP PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

35

48

69

70 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN TERKAIT A. KARAKTERSITIK DASAR, RUANG LINGKUP, DAN

MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGATUR PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

B. KARAKTERSITIK MATERI PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

72

73

85

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. LANDASAN FILOSOFIS B. LANDASAN SOSIOLOGIS C. LANDASAN YURIDIS

91 92 96 97

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN

99 BAB VI PENUTUP

A. KESIMPULAN B. SARAN

103 103 105

DAFTAR PUSTAKA 74

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur ditujukan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang

Maha Esa) atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan

Narkotika dapat diselesaikan.

Penyelesaian Naskah Akademik ini merupakan tanggung jawab dari tim Peneliti

kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Badan Kesbangpol) Provinsi Bali. Hal

tersebut sebagaimana tertuang dalam perjanjian Kerjasama antara Badan Kesbangpol

Provinsi Bali dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan Surat Perintah

Kerja Nomor : 2415A/UN14.1.11/KS/2015 : 074/21230/BID III/BKBP/2015. Demikian

Naskah Akademik ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Denpasar, Desember 2015

Tim Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

A. URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PERANCANGAN PRODUK HUKUM DAERAH

Naskah Akademik (NA) dalam perancangan produk legislasi daerah diperlukan

untuk dua alasan: pertama, untuk memenuhi persyaratan epistemelogi1 dalam

perancangan norma; dan kedua, untuk mencegah berbagai masalah fungsi dan

pewujudan tujuan norma yang timbul akibat kekosongan landasan tersebut.

Syarat epistemelogi perancangan norma mencakup: (a) syarat obyektivitas;2 (b)

syarat rasionalitas;3 dan (c) syarat kontekstualitas.4 Pemenuhan ketiga syarat ini

bertujuan untuk mencegah problem obyektivitas norma, problem rasionalitas norma,

dan problem kontekstual norma. Problem obyektivitas norma adalah problem obyektif-

tidaknya atau sesuai/tidak konstruksi (struktur dan rumusan) norma dengan karakter

obyek pengaturan yang diatur dalam norma. Problem obyektivitas norma muncul dari

akibat kelemahan kapasitas epistemelogis perancang produk legislasi dan intervensi

kepentingan legislator atau pihak lainnya terhadap produk legislasi yang dirancang.

1 Syarat epistemelogis adalah syarat metodologi perancangan. Ida Bagus Wyasa Putra, 2015,

Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum, Udayana University Press, h. 144-146. 2 Syarat obyektifitas adalah syarat kesesuaian norma dengan karakteristik obyek yang diaturnya.

Pengkonstruksian norma hendaknya didasarkan pada karakteristik obyek norma. Ida Bagus Wyasa Putra, 2015, Analisis Konteks Dalam Epistemelogi Ilmu Hukum, Universitas Udayana, h. 16.

3 Syarat rasionalitas adalah syarat validitas norma atau konsistensi norma dari produk hukum yang lebih rendah dengan norma produk hukum yang lebih tinggi, yang menjadi dasar pembentukan norma dan sumber norma. Ibid.,h. 6.

4 Syarat kontekstualitas adalah syarat kesesuaian norma dengan ekspektasi masyarakat tempat di mana norma itu akan diberlakukan. Ibid., h. 18.

Problem rasionalitas norma adalah problem valid-tidaknya norma berdasarkan uji

keberdasaran, uji kebersumberan, dan uji konsistensi antara norma produk legilasi

yang dibentuk dengan norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang

menjadi dasar atau sumber dari norma produk yang dibentuk. Problem rasionalitas

norma juga menyangkut wajar/tidaknya dan adil/tidaknya norma suatu produk

legislasi diukur dari persyaratan moral, nilai sosial budaya, kemanusiaan, dan nilai-

nilai historis politik, sosial, dan ekonomi yang dianut Negara (ideologi) dan

masyarakat. Problem kontekstual norma adalah problem sesuai/tidaknya norma dengan

ekspektasi masyarakat. Ekspektasi masyarakat adalah harapan masyarakat yang

merupakan hasil dari proses komunitas atau interaksi komunitas. Hakekat naskah

akademik dalam perancangan produk legislasi adalah landasan teoritik perancangan

produk tersebut.

Dalam perancangan produk legislasi daerah, landasan demikian itu

dipersyaratkan dalam bentuk persyaratan pengadaan naskah akademik, yaitu suatu

naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang diselenggarakan dalam rangka

perancangan u produk legislasi. Lampiran I angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya: UUP3)

menentukan bahwa naskah akademik adalah hasil penelitian atau pengkajian hukum

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, terhadap suatu masalah tertentu

dalam rangka pengaturan masalah tersebut melalui Undang-Undang atau Peraturan

Daerah sebagai solusi terhadap masalah tersebut dan bentuk upaya untuk memenuhi

kebutuhan hukum masyarakat.

Pengertian demikian itu melahirkan konsep tentang naskah akademik. Naskah

akademik merupakan:

a. naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum;

b. penelitian terhadap masalah tertentu dan solusinya;

c. hasil penelitian dan pengkonstruksian masalah dan pemecahannya merupakan

bahan untuk mengkonstruksikan norma hukum untuk mengatur pemecahan

masalah tersebut; dan

d. naskah hasil penelitian demikian itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah.

Definisi tersebut mengandung konsep bahwa suatu penelitian hukum dalam

penyusunan naskah akademik merupakan penelitian yang diselenggarakan karena ada

suatu masalah yang memerlukan pemecahan dan pemecahan masalah itu hanya dapat

dilakukan melalui pengaturan (hukum). Karena itu, suatu penelitian hukum yang

diselenggarakan dalam rangka penyusunan naskah akademik haruslah dimulai dengan

eksplorasi dan pendeskripsian masalah yang sedang dihadapi masyarakat, untuk

kemudian diidentifikasi dan didefinisikan, selanjutnya dicarikan konstruksi teoritik

pemecahannya. Hasil pemecahan masalah ini digunakan sebagai bahan dan dasar

pengkonstruksian norma untuk mengendalikan potensi dan mengatur

penyelenggaraan pemecahan masalah tersebut.

Berdasarkan ketentuan dan konsep tersebut, materi penelitian ini disusun

berdasarkan model konstruksi penelitian untuk pemecahan masalah (problem solving

based) sesuai dengan epistemelogi perancangan produk legislasi yang berkembang

sangat pesat belakangan ini. Dengan demikian, maka penelitian hukum dalam

penyusunan naskah ini difokuskan pada obyek-obyek berikut:

a. karakteristik narkotika, peredaran, dan penyalahgunaan narkotika;

b. karakteristik dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika;

c. karakteristik kebutuhan pemecahan masalah yang timbul dari karakteristik dampak

peredaran dan penyalahgunaan narkotika;

d. karaktersitik konsep pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan

narkotika;

e. karakteristik konsep pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika; dan

f. karaktersitik konstruksi (struktur, lingkup materi, dan rumusan materi) norma

pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.

Hasil penelitian terhadap karakteristik dampak peredaran dan penyalahgunaan

narkotika merupakan dasar untuk merumuskan kebutuhan pemecahan masalah

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Peta kebutuhan pemecahan

masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika merupakan dasar untuk

merumuskan konsep pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika. Konsep pengaturan pemecahan masalah dampak

peredaran dan penyelahgunaan narkotika merupakan dasar untuk merumuskan

struktur norma pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika.

Konstruksi korelasi obyek penelitian dengan hasil dan kegunaan hasil penelitian

dalam penyusunan naskah akademik ini dapat digambarkan sebagai berikut:

KONSTRUKSI KORELASI OBYEK PENELITIAN DENGAN HASIL DAN KEGUNAAN HASIL PENELITIAN

NO

OBYEK PENELITIAN

HASIL YANG

DIHARAPKAN

KEGUNAAN HASIL

PENELITIAN

1 KARAKTERISTIK NARKOTIKA, PEREDARAN, DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Deskripsi tentang karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan narkotika

Dasar identifikasi masalah peredaran dan penyalahgunaan narkotika, serta dampak peredaran dan penyelahgunaan narkotika

KARAKTERISTIK DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA

Deskripsi tentang karakteristik dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika

Dasar pemetaan kebutuhan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika

2 KARAKTERISTIK KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Deskripsi tentang karakteristik kebutuhan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika

Dasar perumusan KONSEP PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

3 KONSEP PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA

Deskripsi tentang konsep pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika

Dasar perumusan KONSEP PENGATURAN pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika

4 KONSEP PENGATURAN

Deskripsi tentang konsep pengaturan

Dasar penyusunan RANPERDA (STRUKTUR,

PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika

RUANG LINGKUP MATERI, DAN RUMUSAN MATERI NORMA) Pengaturan Pemecahan Masalah Dampak Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika

Korelasi peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dampak, kebutuhan

pemecahan masalah, konsep pemecahan masalah, konsep pengaturan, dan struktur

materi pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan

narkotika juga dapat digambarkan sebagai berikut:

KORELASI PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, DAMPAK, KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH, KONSEP PEMECAHAN MASALAH,

KONSEP PENGATURAN, DAN STRUKTUR MATERI PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH

KONSEP PEMECAHAN MASALAH

KONSEP PENGATURAN

KONSTRUKSI NORMA PENGATURAN

5

4 3

2

KETERANGAN:

(1) gambaran KARAKTERISTIK NARKOTIKA, karakteristik peredaran dan

penyalahgunaan narkotika serta dampak kesehatan, sosial, ekonomi, dan politiknya

terhadap individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara;

(2) gambaran karakteristik narkotika, karkteristik peredaran dan penyalahgunaan, dan

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika merupakan DASAR

PERUMUSAN KARAKTERISTIK MASALAH DAN KEBUTUHAN PEMECAHAN

MASALAH;

(3) peta kebutuhan pemecahan masalah merupakan DASAR PERUMUSAN KONSEP

PEMECAHAN MASALAH;

(4) konsep pemecahan masalah merupakan dasar perumusan KONSEP

PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika;

PERDA

PETA MASALAH

KARAKTERISTIK MASALAH

6

1

(5) konsep pengaturan merupakan DASAR PENGKONSTRUKSIAN NORMA

PENGATURAN; dan

(6) konstruksi norma pengaturan merupakan dasar PERUMUSAN PERDA. Perda

merupakan instrumen hukum untuk memecahkan masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika.

Untuk keperluan pertanggungjawaban ilmiah, penelitian hukum dalam rangka

penyusunan naskah ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan hukum, yaitu:

(a) pendekatan hukum normatif (structural normative approach);5

(b) pendekatan hukum fungsional (functional approach);6 dan

(c) pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan atau pendekatan hukum

kontekstual dan konstruktif (policy-oriented approach, contextual approach, or

constructive approach).7

Penggunaan pendekatan ini mencakup penggunaan teori, konsep, metode penelitian,

dan model analisis yang dibangun berdasarkan ketiga pendekatan itu.

Lampiran I angka 2.1 UUP3 menentukan bahwa bagian Pendahuluan suatu

naskah akademik memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi

5 Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick, h.

29. 6 George Whitecross Paton,1951, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, h. 20. 7 Lihat: lung-chu Chen, 1989, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented

Perspective, Yale University Press, New York, h. ix. Lihat Juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St. Johnston and J. Macdonald Douglas, 1983, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, h. 103.

masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. Berdasarkan ketentuan

tersebut, bagian Pendahuluan dari naskah ini secara berturut-turut menyajikan:

a. latar belakang masalah dan sasaran yang akan diwujudkan;

b. identifikasi masalah;

c. tujuan dan kegunaan penelitian; serta

d. metode penelitian.

Lampiran I angka 2.1.A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan

bahwa latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan

naskah akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tertentu.

Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Peraturan Daerah memerlukan

suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah

yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan

dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi

filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.

Lampiran I angka 1.B. menentukan bahwa identifikasi masalah memuat

rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam naskah

akademik. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu naskah akademik

mencakup 4 (empat) elemen pokok masalah, yaitu:

a. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan

bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi, dalam konteks

penelitian ini adalah masalah apa yang dihadapi masyarakat dan Pemerintah

Provinsi Bali dalam upaya pemecahan masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika.

b. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah

tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah

tersebut, dalam penelitian ini pelibatan Pemerintah Provinsi dalam penyelesaian

masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.

c. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah,

dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi

Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.

d. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan

arah pengaturan dari pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika melalui produk legislasi daerah itu.

Lampiran I angka 1.C. menentukan bahwa tujuan dan kegunaan penyusunan

naskah akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dirumuskan

sebagai berikut:

a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara,

dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut, dalam hal ini

adalah masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah provinsi Bali dalam

upaya pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.

b. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan

Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar

hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa,

bernegara, dan bermasyarakat, dalam hal ini permasalahan hukum yang dihadapi

sebagai alasan pembentuk Rancangan Peraturan Daerah pemecahan masalah

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika sebagai dasar hukum dalam

pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.

c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah,

dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi

Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.

d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,

jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau

Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini sasaran yang akan diwujudkan, ruang

lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan

Daerah Provinsi Bali tentang Pemecahan Maslah Dampak Peredaran dan

Penyalahgunaan Narkotika.

Kegunaan penyusunan naskah akademik adalah sebagai acuan atau referensi

penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini Rancangan

Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan

Narkotika.

Lampiran I angka 1.D. menentukan bahwa penyusunan naskah akademik pada

dasarnya merupakan kegiatan penelitian yang harus diselenggarakan berdasarkan

metode penyusunan naskah akademik yang berbasis pada metode penelitian hukum.

Penelitian hukum dapat dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dan

metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian

sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah

(terutama) data sekunder berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan,

perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil

pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan

wawancara, diskusi (focus group discussion, FGD), dan rapat dengar pendapat. Metode

yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian

normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang

dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk

mendapatkan data faktor non hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap

Peraturan Perundang-undangan yang diteliti. Berdasarkan dua model metode itu,

metode penelitian yang digunakan di dalam penyusunan naskah ini adalah penelitian

hukum normatif dengan menggunakan pendekatan hukum normatif struktural,

pendekatan hukum normatif fungsional, dan pendekatan hukum dengan orientasi

kebijakan.

Berdasarkan standar normatif itu, bagian Pendahuluan dari naskah ini

menyajikan:

a. latar belakang masalah;

b. identifikasi masalah;

c. tujuan dan kegunaan penyusunan landasan teoritik; dan

d. metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan landasan teoritik.

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Narkotika merupakan merupakan zat yang digunakan untuk pengobatan.

Narkotik dapat digunakan sebagai media pengobatan seperti penahan atau penghilang

rasa sakit dalam melakukan operasi, maupun sebagai obat untuk mempengaruhi fungsi

kelenjar, produksi dan sirkulasi hormon, metabolism tubuh dan mental. Opium poppy

misalnya, telah digunakan secara luas sejak zaman Yunani dan Romawi sebagai obat

untuk mengurangi rasa sakit pada masa persalinan.8 Karena itu, narkotik merupakan

istilah yang digunakan untuk menunjuk pada suatu jenis zat, baik yang bersumber dari

bahan-bahan alami (heroin, morphine and opium) maupun sistetis (Percodan, Demerol and

Darvon), atau semi sintetis (Oxycodone and Hydrocodone), yang bersifat menghilangkan

rasa sakit (analgesic) karena menumpulkan kepekaan syaraf perasa atau sebaliknya

meningkatkan kepekaan syaraf perasa manusia.9 Narkotika juga merupakan zat yang

bekerja pada tataran syaraf yang mengendalikan fungsi kelenjar, hormon, fungsi organ,

dan metabolisme tubuh manusia yang menghasilkan berbagai sensasi pada diri dan

pikiran manusia. Sensasi yang dihasilkan oleh narkotika mengakibatkan fungsi

narkotik berubah dari sekadar fungsi sebagai bahan untuk keperluan pengobatan

menjadi bahan konsumsi untuk berbagai tujuan lain, seperti obat penyemangat,

8 http://www.narcotics.com/history, diakses terakhir 29/10/2015. 9 Ibid.

pemelihara stamina, sumber kesenangan, pelarian dari tekanan mental, pembangun

kepercayaan diri, dan kegunaan-kegunaan lainnya.

Sensasi yang dihasilkan narkotika sesungguhnya merupakan sensasi semu atau

sifatnya sementara, sehingga dalam mempertahankan kondisi yang setara dengan

kondisi sementara itu seorang pengguna harus menggunakan kembali bahan yang

dikonsumsi. Sifat sensasi dan pola penggunaan itu melahirkan sifat baru, yang bila

digunakan secara terus-menerus, dalam jangka waktu alam atau dosis berlebihan, akan

menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi kesehatan, terutama kerja syaraf, kelenjar,

sirkulasi dan keseimbangan hormon, daya kerja pikiran, dan akhirnya kesehatan dan

daya tahan fisik. Namun demikian, sifat narkotika sebagai sumber sensasi fisik dan

mental pada manusia mengakibatkan narkotik cenderung disalahgunakan, mulai dari

media untuk sekadar iseng dan bersenang-senang, sampai pada konsumsi rutin dan

ketergantungan untuk berbagai alasan dan tujuan tertentu yang umumnya

berhubungan dengan cara kerja fisik dan mental manusia. Masyarakat Cina misalnya,

telah selama ratusan tahun menghisap opium secara terbuka di dalam suatu model

bersantai yang bersifat komunitas untuk tujuan mendapatkan kesenangan atau mencari

rasa nyaman yang menyenangkan. Demikian juga para penguasa pada zaman

kekuasaan abad ke -10-an telah menggunakan narkotika untuk mengendalikan mood

dalam menjalankan kekuasaan. Sekalipun istilah “penyalahgunaan” narkotika telah

ditemukan dan digunakan sejak awal permulaan abad ke-18, namun jutaan manusia

pada seratus tahun terakhir masih menyalahgunakan narkotika untuk berbagai tujuan,

seperti: rileksasi, mencari rasa nyaman dan melayang (get high), atau sekedar untuk

menstimulasi “mood” untuk berbagai alasan.10

Penyalahgunaan narkotika dalam kehidupan manusia semakin meluas sejak

Edinburgh menemukan jarum suntik pada tahun 1800-an dan sejak itu cara

penggunaan narkotik yang semula menggunakan cara menelan melalui mulut

berubahan menjadi cara injeksi atau semprot, sehingga sejak tahun itu penyalahgunaan

narkotika juga semakin meluas. Penemuan berbagai jenis narkotika sistentis dan semi-

sintetis11 juga menjadi berkah baru dalam pelayanan kesehatan, tetapi pada sisi lainnya

juga menjadi masalah baru yang semakin serius dan mengancam keberlangsungan

kehidupan manusia.

Kandungan adiktif di dalam narkotika yang menimbulkan ketergantungan bagi

pemakainya, mengakibatkan penyalahgunaan narkotika menjadi problem besar abgi

masyarakat bangsa-bangsa. Sifat adiktif dari narkotika yang semula diusahakan untuk

ditekan sekecil-kecilnya dalam proses pelayanan kesehatan, dalam kehidupan

komersial justru dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk mengubah nilai pasokan

narkotik yang semula bersifat humanistik menjadi pasokan yang bersifat dan bernilai

komersial. Sejak tahun 1950 penyalahgunaan itu menjadi semakin meluas dan

menimbulkan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup manusia, karena

volume dan sifat penyebarannya, dan untuk alasan itu PBB pada tahun 1961 untuk

10 Ibid. 11 Pethidine merupakan jenis morfin sintetik pertama yang diproduksi di Jerman pada tahun

1939, yang kemudian digunakan secara luas dalam pelayanan kesehatan karena daya reduksi rasa sakitnya lebih cepat, lebih baik, dan lebih lama, demikian juga sifat ketergantungannya yang sangat kecil. Ibid.

pertama kalinya menerbitkan suatu instrumen hukum internasional yang dibentuk

untuk tujuan memberantas penyebaran narkotika yang bersifat melawan hukum dan

yang bersifat lintas batas negara.12 Indonesia meratifikasi Konvensi itu dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961

beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya. Pada Tahun 1977 Indonesia juga

meratifikasi United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and

Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) yang diratifikasi

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1977 tentang Pengesahan terhadap Konvensi

dimaksud.

Reaksi cepat Indonesia dalam meratifikasi Konvensi itu merupakan cermin

kesadaran Pemerintah Indonesia terhadap dampak berbahaya dari peredaran dan

penyalahgunaan narkotika. Benny Mamoto, Deputi Pemberantasan BNN, mengatakan

sedikitnya 50 warga negara Indonesia meninggal dunia per hari akibat mengkonsumsi

narkotika. Jumlah itu lebih mengerikan dibandingkan dengan korban kejahatan lain,

misalnya kejahatan terror. Jumlah korban tewas dalam teror bom di Bali sebanyak 220

jiwa atau setara dengan korban tewas akibat konsumsi narkotika selama 5 hari.13 Pada

tahun 2008, diperkirakan jumlah penyalahguna narkotika setahun terakhir di Indonesia

sekitar 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9% dari populasi penduduk

12 Single Convention on Narcotic Drug 1961, sebagaimana kemudian diamademen dengan

Protocol Majelis Umum PBB 1972. 13 Metrotvnews.com, 28 September 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari Akibat Narkotika,

http://news.metrotvnews.com/read/2013/09/28/184807/bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia-akibat-narkotika

berusia 10-59 tahun.14 Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) Hasil proyeksi angka

penyalahguna narkotika akan meningkat, dengan adanya kecenderungan peningkatan

angka sitaan dan pengungkapan kasus narkotika.

Tindak kebijakan lanjutan dari Rativikasi Konvensi itu, dengan

mempertimbangkan karakteristik bahaya dampak peredaran dan penyalahgunaan

narkotika adalah tindakan Pemerintah Indonesia secara progresif menerbitkan berbagai

instrumen hukum dalam rangka mencegah, mengendalikan, dan memberantas

peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Pada tahun 1997 Indonesia menerbitkan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang kemudian diganti

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang

Narkotika 2009 diikuti dengan penerbitan berbagai peraturan pelaksanaan, seperti:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; Peraturan Presiden Nomor

23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional; dan akhirnya Peraturan menteri

Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan

Narkotika, yang membangun sistem peraturan perundang-undangan, kelembagaan,

dan proses hukum dalam pencegahan, penanggulangan, dan penanganan masalah

peredaran dan dampak peredaran narkotika.

Peraturan Menteri Dalam Negeri itu memberi kewenangan kepada Gubernur

dan Bupati/Walikota untuk mengatur melalui peraturan daerah fasilitasi pencegahan

14 Badan Narkotika Nasional, 2015, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkotika

Tahun Anggaran 2014, Jakarta, h. 1

penyalahgunaan narkotika. Untuk keperluan pelaksanaan kewenangan itulah

Pemerintah Provinsi Bali bermaksud membentuk Peraturan Daerah yang mengatur

tentang pelaksanaan kewenangan tersebut dalam kerangka kebijakan nasional

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.

C. RUMUSAN MASALAH

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan itu dan dengan berpijak pada standar

penyusunan naskah akademik dalam perancangan peraturan daerah, maka masalah

yang akan diteliti dalam penyusunan naskah akademik ini mencakup:

(1) Bagaimanakah kajian teoritis dan praktik empiris karakteristik narkotika, peredaran

dan penyalahgunaan narkotika, serta bagaimanakah karakteristik dampak

peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia?

(2) Bagaimanakah kondisi peraturan perundangan-undangan yang mengatur

peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia dan bagimanakah kondisi

itu berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam

berperan mencegah, mengendalikan, dan mengatasi dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika?

(3) Apakah Pemerintah Provinsi Bali memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis

untuk membentuk peraturan daerah dalam mengatur kedudukan dan

kewenangannya dalam berperan mencegah, mengendalikan, dan mengatasi

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika?

(4) Bagaimanakah jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan

peraturan daerah provinsi dalam pencegahan, pengendalian, dan penanganan

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika?

D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK

Penelitian dalam rangka penyusunan naskah akademik ini bertujuan untuk:

(1) Merumuskan landasan teoritis pengaturan pencegahan dan penanganan dampak

peredaran dan penyalahgunaan narkotika melalui pembentukan Peraturan Daerah

provinsi Bali berkenaan dengan hal itu; dan merumuskan karakteristik empiris dari

narkotika, peredaran dan penyalahgunaan narkotika, karakteristik dampak,

karakteristik kebutuhan pemecahan masalah, konsep pemecahan masalah, dan

konsep pengaturan pencegahan dan penanganan dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika;

(2) Merumuskan masalah norma peraturan perundang-undangan yang dalam rangka

pengaturan pencegahan dan penanganan masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika dalam rangka pemecahan masalah norma penagturan

melalui peraturan daerah yang akan dibentuk;

(3) Merumuskan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan peraturan

daerah dalam rangka mengatur pencegahan dan penanganan dampak peredaran

dan penyalahgunaan narkotika di Bali; dan

(4) Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan

peraturan daerah provinsi dalam pencegahan, pengendalian, dan penanganan

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.

E. METODE

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian

yang memfokuskan penelitian terhadap masalah hukum dalam sifat tektualnya.

Penelitian ini mencakup penelitian terhadap masalah norma hukum, baik asal-usul,

konstruksi normanya, validitas, keberadaannya dalam korelasi dengan norma

lainnya, maupun penerapan dan penegakannya. Penelitian ini memfokuskan

penelusuran terhadap beberapa aspek norma, yaitu:

a. dasar pengkonstruksian norma, konsep pengkonstruksian norma;

b. aspek dasar kewenangan; dan

c. aspek pengkonstruksian norma.

Aspek yang pertama mencakup: penelitian terhadap karakteristik peredaran dan

penyalahgunaan narkotika; karakteristik masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika; karakteristik kebutuhan pemecahan masalah dampak

peredaran dan penyalahgunaan narkotika; karakteristk konsep pemecahan masalah

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika; karaktersitik konsep

pengaturan, sampai pada model konstruksi norma pengaturan pemecahan masalah

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika.

Aspek yang kedua mencakup penelitian terhadap peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang dasar, ruang lingkup, dan substansi kewenangan

Pemerintah Provinsi Bali dalam mengatur pemecahan masalah dampak peredaran

dan penyalahgunaan narkotika di Bali. Aspek yang ketiga mencakup penelitian

terhadap struktur elemen pengaturan dan konstruksi substansi norma.

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif dalam cakupan

meliputi ketiga variannya, yaitu: penelitian hukum normatif struktural, penelitian

hukum normatif fungsional, dan penelitian hukum normatif kontekstual. Obyek

penelitian ini adalah karakteristik obyek pengaturan dan masalah dampak

peredaran dan penyalahgunaan narkotika sebagai dasar pengkonstruksian konsep

pengaturan dan pengkonstruksian norma pengaturan yang diasumsikan sebagai

faktor penentu fungsi dan keberhasilan fungsi dalam mewujudkan tujuan hukum.

Dengan demikian, kendatipun memusatkan penelitian dan pembahasan pada

norma, penelitian ini bukanlah penelitian hukum normatif sebagaimana

diperkenalkan oleh Kelsen (normative structural), melainkan kombinasi antara

penelitian hukum normatif dalam pengertian hukum normatif struktural, hukum

normatif fungsional sebagaimana diperkenalkan oleh Pound (normative functional),

dan hukum normatif kontekstual sebagaimana diperkenalkan oleh McDougal.

Model penelitian McDougal dipergunakan sebagai instrument untuk meneliti

karakteristik obyek penelitian, termasuk karakteristik masalah pengelolaan,

karakteristik kebutuhan pemecahan masalah pengelolaan, dan kebutuhan konsep

pengaturannya. Model penelitian Kelsen digunakan dalam mengidentifikasi

kewenangan, dan model penelitian Pound digunakan dalam mengidentifikasi

karakteristik konstruksi struktur dan substansi norma pengaturan.

Penelitian ini berinduk pada penelitian hukum fungsional (functional research of

law) atau penelitian hukum normatif fungsional (normative functional)-nya Roscoe

Pound15 dan McDougal dalam kombinasi dengan model penelitian hukum normatif

strukturalnya Kelsen. Esensi model penelitian Pound dan McDougal adalah korelasi

antara obyek pengaturan dengan konsep dan konstruksi norma pengaturan sebagai

aspek-aspek norma yang satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan

fungsi dan capaian tujuan hukum. Konsistensi antara keseluruhan aspek itu

merupakan dasar untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas dan

mengemban fungsi–fungsinya, dan fungsi hukum yang berkualitas merupakan

dasar pewujudan tujuan hukum secara baik. Sementara esensi model penelitian

Kelsen adalah model uji validitas, yaitu uji terhadap keberdasaran pada dan

kebersumberan norma kepada norma yang lebih tinggi yang akan menentukan

validitas norma yang dibentuk.

15 Ibid. Di Indonesia, model ini diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan nama

penelitian hukum pembangunan dan pembangunan hukum. Di Amerika, model ini dikembangkan oleh Myres S. McDougal dan Harold D. Lasswell dengan nama ”model penelitian hukum dengan orientasi kebijakan hukum” (a policy-oriented approach), yang kemudian dipopulerkan oleh para penganut aliran New Heaven School. Bandingkan: Lung-chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York, 1989, h. ix. Baca juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983, h. 103.

Bentuk penelitian ini, dengan demikian, adalah:

a. uji konsistensi konsep pengaturan, konstruksi struktur dan substansi norma

pengaturan dengan karakteristik obyek pengaturan dan karakteristik kebutuhan

pengaturan; dan

b. konstruksian dasar dan substansi kewenangan pengaturan sebagai instrumen uji

validitas terhadap konstruksi norma dalam pengaturan pemecahan masalah

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Bali.

2. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif fungsional (functional

normative approach), normatif struktural (structural normative approach), dan

normatif konstruktif dan kontekstual (policy-oriented research).16 Pendekatan ini

merupakan pendekatan penelitian hukum yang perlu digunakan dalam proses

legislasi di Indonesia mengingat kultur hukum Indonesia (civil law system) dan

kebutuhan-kebutuhan pengaturan yang lebih obeyktif dan kontekstual. Fungsi

pendekatan tersebut dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:

a. Pendekatan hukum kontekstual digunakan dalam penelitian terhadap

karakteristik obyek penelitian, karakteristik masalah pengelolaan obyek,

16 Pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan melihat hukum sebagai bagian proses otoritatif pengambilan kebijakan yang berkelanjutan (continuing otoritative process of decision making) dimana substansi hukum dipandang sebagai bentuk transformasi substansi kebijakan yang ada dan diciptakan mendahului hukum, yang pada gilirannya akan menjadi sumber dari hukum dan kebijakan organik dan teknis yang akan dilahirkannya. Penguatan fungsi hukum, menurut pendekatan ini, dapat dilakukan melalui pengendalian substansi kebijakan atau hukum dalam proses kebijakan atau proses hukum. Pengendalian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis konstruktif dan kontekstual terhadap bahan-bahan substansi kebijakan. Hubungan hukum dengan kebijakan dipandang sebagai suatu bentuk korelasi berkesinambungan dari tahap input, proses, output, dan feedback yang selanjutnya akan menjadi input. Ibid., h. 113.

karakteristik kebutuhan pemecahan masalah pengelolaan obyek, dan

karakteristik konsep pengaturan obyek;

b. Pendekatan hukum normatif struktural digunakan sebagai dasar untuk

menjelaskan dasar, ruang lingkup dan substansi kewenangan Pemerintah

Provinsi Bali dalam pengaturan pemecahan masalah peredaran dan

penyalahgunaan narkotika di Bali; dan

c. Pendekatan hukum normatif konstruktif dan fungsional digunakan sebagai

dasar untuk menjelaskan korelasi konstruksi struktur dan substansi norma

dengan konstruksi konsep pengaturan, korelasi konstruksi konsep pengaturan

dengan karakteristik kebutuhan pengaturan, dan korelasi kebutuhan

pengaturan dengan karakterisitik obyek pengaturan dan karakteristik masalah

pengelolaan obyek pengaturan.

Korelasi antara keseluruhan komponen sistem fungsi hukum dalam pengaturan

pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika dapat

digambarkan sebagai berikut.

KONSTRUKSI LANDASAN, KONSEP PENGATURAN, DAN KONSTRUKSI NORMA SEBAGAI REFLEKSI KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN

Hakekat penelitian terhadap karakteristik dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika di Bali adalah penelitian terhadap landasan filosofis

pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di

Bali. Penelitian terhadap karakteristik masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan

narkotika adalah penelitian terhadap landasan sosiologis pengaturan pelestarian

warisan budaya Bali. Landasan sosiologis pengaturan adalah landasan kontekstual dari

pengaturan. Kedua landasan ini dimaksudkan untuk memberikan landasan

KARAKTERISTIK MASALAH DPPN NARKOTIKA

(KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN)

KARAKTERISTIK KEBUTUHAN

PENGATURAN PEMECAHAN

MASALAH DPPN

KARAKTERISTIK KEWENANGAN PEMPROV DALAM PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK

PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(DPPN) (KARAKTERISTIK MATERI DAN RUANG

LINGKUP KEWENANGAN)

KARAKTERISTIK MASALAH PENGATURAN DPPN

(KARAKTERISTIK MASALAH

PENGATURAN)

KONSTRUKSI KONSEP PENGATURAN

KONSTRUKSI STRUKTUR

ELEMEN NORMA

PENGATURAN

KONSTRUKSI

MATERI NORMA

PENGATURAN

LANDASAN YURIDIS

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS

KONSTRUKSI PENGATURAN

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH PEMECAHAN

MASALAH DPPN

kontekstual terhadap pengaturan pemecahan masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika di Bali. Landasan kontekstual merupakan landasan penentu

LEGITIMASI keberlakuan suatu produk hukum. Penelitain terhadap kedua masalah ini

menggunakan pendekatan hukum fungsional dan hukum dengan orientasi

kebijakannya Pound dan McDougal.

Hakekat penelitian terhadap dasar, ruang lingkup, dan materi kewenangan

adalah penelitian terhadap penelitian terhadap landasan yuridis suatu produk legislasi

daerah. Hasil penelitian ini menentukan validitas atau sah/tidaknya keberlakuan suatu

produk legislasi daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan dan metode

penelitiannya Kelsen, pendekatan hukum normatif struktural dan uji validitas. Hasil

penelitian ini menentukan sah/tidaknya keberlakuan suatu produk legislasi.

3. Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan ketiga jenis bahan hukum, yaitu: bahan hukum

primer (primary legal source), bahan hukum sekunder (secondary legal materials), baik

yang bersifat nasional maupun internasional, dan alat penelusuran bahan hukum

(search books or finding-tools).

Bahan hukum primer (domestik) yang digunakan mencakup : undang-undang

(statutes passed by legislatures); peraturan atau keputusan-keputusan pemerintah (decrees

and orders of executives); kebijakan atau keputusan administratif yang dibuat oleh

lembaga-lembaga administratif (regulations and rulings of administrative agencies). Bahan

hukum primer internasional : Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat hard

maupun soft law, mencakup: Convention, Agreement, Treaty, dan Pact; Declaration dan

Resolution.

Alat penelusuran bahan hukum (domestik) yang digunakan, mencakup:

buku/daftar/himpunan istilah (phrasebooks); himpunan ringkasan peraturan

perundangan (annotated statutory compilations); dan catatan lepas (looseleaf services). Alat

Penelusuran Bahan Hukum (Internasional) yang digunakan mencakup: buku istilah

(phrasebooks); catatan lepas (looseleaf services); dan daftar indek (indexes).

Bahan hukum sekunder domestik yang digunakan, mencakup: literatur standar

(text-books); risalah-risalah hukum (treatises); commentaries; restatements; terbitan-terbitan

hukum periodik yang digunakan sebagai acuan bagi praktisi, pengajar, dan mahasiswa

(periodicals which explain and describe the law for the practicioner, the scholar and the student).

Bahan Hukum Sekunder Hukum Internasional: literatur wajib hukum internasional

(international law text-books); risalah-risalah hukum internasional (international law

treatises): international law commentaries; international law restatements; terbitan-terbitan

hukum periodik lainnya yang digunakan sebagai; panduan hukum bagi praktisi,

pengajar, dan mahasiswa (periodicals which explain and describe the law for the practicioner,

the scholar and the student), seperti : American Jurnal of International Law (AJIL); Dokumen-

dokumen hukum dalam pembahasan-pembahasan perjanjian dan regulasi-regulasi

internasional.

Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada perpustakaan umum dan

perpustakaan hukum, seperti : Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana,

Perpustakaan Biro Hukum Setda Provinsi Bali, Perpustakaan Program Magister

Kepariwisataan Universitas Udayana (Denpasar), dan ekplorasi melalui internet.

Penelitian selanjutnya dilakukan pada perpustakaan atau bank dokumen dari beberapa

komunitas pemerhati masalah dampak narkotika di Bali.

4. Langkah Penelitian

Penelitian hukum dengan orientasi kebijakan (configurative approach) memiliki

beberapa ciri-ciri sebagai berikut:

(1) bahwa penelitian pertama-tama harus menentukan titik pijak penelitian dalam

perspektif manusia sebagai suatu keseluruhan, memisahkan titik pijak antara

penelitian yang dilakukan oleh akademisi dan pembuat kebijakan, dan untuk

tujuan penyadaran, termasuk juga proses pengambilan kebijakan,

mengembangkan teori tentang hukum (theory about law), dan tidak semata-mata

teori hukum (not merely theory of law);

(2) harus membuat peta penelitian, baik yang sifatnya menyeluruh maupun khusus,

berkenaan dengan suatu kebijakan otoritatif yang efektif untuk suatu proses

komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang mendapat pengaruh dari

kebijakan tersebut atau sebaliknya mempengaruhi kebijakan tersebut;

(3) harus merumuskan seperangkat nilai tujuan yang komprehensif dari ketentuan

hukum, yang dapat diwujudkan dalam konteks proses sosial, dalam tingkatan

abstraksi dan ketepatan apapun yang mungkin diperlukan dalam penelitian

maupun perumusan kebijakan;

(4) harus memerinci seluruh cakupan tugas-tugas intelektual yang diperlukan

untuk proses pemecahan masalah berkenaan dengan hubungan saling

mempengaruhi antara hukum internasional dengan proses sosial internasional,

dan harus menentukan prosedur-prosedur ekonomi yang bersifat khusus dan

efektif untuk setiap kerja tersebut.17

Penentuan titik pijak penelitian sangat penting untuk memudahkan perumusan

masalah, perumusan tujuan, dan pelaksanaan tugas-tugas keintelektualan, untuk

menjaga keutuhan penelitian. Pembuatan peta penelitian yang komprehensif namun

tetap memperhatikan detail, sangat penting untuk memudahkan peneliti merumuskan

fokus utama penelitian, cara memandang hukum dan cara menempatkannya dalam

konteks proses sosial, karena akan sangat mempengaruhi cara merumuskan masalah,

penentuan prioritas masalah yang akan diteliti, dan menentukan tugas intelektualitas

yang hendak dipikul dalam kaitan dengan pengembangan keilmuan dan pemecahan

suatu masalah. Perumusan tujuan pengaturan publik yang bersifat mendasar dan

mempunyai sifat nyata sangat penting untuk menentukan bahwa suatu penelitian

kebijakan dan hukum dilakukan untuk kepentingan bersama dan keadilan bagi

masyarakat sebagai suatu keseluruhan, bukan untuk kepentingan komunitas yang

lebih besar atau yang lebih kecil, komunitas yang lebih kuat atau lebih lemah.

Penentuan tanggungjawab intelektual sangat penting untuk efek praktis dan

17 McDougal, op.cit, h. 114.

pemecahan masalah dari hasil penelitian tersebut dalam rangka perlakuan kebijakan

dan hukum yang lebih efektif dalam proses sosial.

McDougal merumuskan lima tahap penelitian hukum dengan orientasi

kebijakan yaitu:

(1) klarifikasi tujuan (goal clrarification);

(2) pendeskripsian kecenderungan kebijakan masa lalu (the description of past

trends in decision);

(3) pengidentifikasian faktor-faktor yang berpengaruh (identification of

conditioning factors);

(4) analisis dan perumusan proyeksi dan prediksi (projection and prediction);

(5) penemuan dan evaluasi alternatif kebijakan (the invention and evaluation of

policy alternatives).18

Model tersebut mencakup 3 ciri dasar, yaitu:

(1) klarifikasi tujuan, yang mencakup: pemetaan latar belakang masalah,

pelingkupan dan perumusan masalah, dan perumusan tujuan penelitian;

(2) pendeskripsian kondisi kebijakan yang sedang berlaku;

(3) analisis, perumusan hasil, dan penemuan alternatif pemecahan masalah.

Model tersebut dapat ditransformasikan kedalam model penelitian hukum dan

kebijakan, baik yang mempunyai sifat murni internasional, nasional, maupun yang

menunjukkan sifat campuran diantara keduanya. Model penelitian hukum dengan

18 McDougal, ibid., h. 124-128.

orientasi kebijakan ini dipergunakan sebagai model dasar penelitian ini. Alasannya

adalah:

(1) obyek penelitian ini merupakan obyek yang berada pada konteksnya, yaitu

masyarakat tempat di mana produk legislasi itu akan ditetapkan;

(2) masalah-masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Bali

sebagai obyek penelitian dalam penelitian merupakan problem yang ada dan

berkembang dalam masyarakat Bali;

(3) Perda merupakan produk hukum yang harus dibangun sesuai dengan

karakteristik obyeknya dan karakteristik kebutuhan konteksnya;

(4) pendekatan ini tidak menutup peluang untuk menggunakan pendekatan lain

untuk menyempurnakan hasil penelitain, dalam penelitian ini pendekatan ini

dikombinasi dengan pendekatan hukum normatif strukturalnya Kelsen.

Dengan berpijak pada model demikian itu, maka penelitian ini dilakukan dalam

tahap-tahap berikut:

(1) Defining object (pendefinisan obyek): Obyek penelitian ini adalah pengaturan

pemecahan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di

Bali. Obyek penelitian yang pertama diteliti adalah karakteristik dampak

peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Bali. Pendefinisian obyek

penelitian dilakukan dua kali, yaitu pada masa penelitian pendahuluan,

untuk merumuskan rumusan masalah, dan pada masa penelitian utama

untuk meneliti karakteristik dampak peredaran dan penyalahgunaan

narkotika, sebagai dasar untuk mengkonstruksikan konsep pengaturan.

(2) Problem mapping and needs mapping (pemetaan masalah dan kebutuhan):

Pemetaan masalah dilakukan dua kali, yaitu pada masa penelitian

pendahuluan, untuk dasar perumusan masalah, dan pada masa penelitian

utama, untuk dasar pengkonstruksian konsep pemecahan masalah. Pemetaan

masalah dilakukan terhadap masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika dengan cara mengidentifikasi karakteristik

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Bali. Berdasarkan hasil

identifikasi itu dirumuskan peta masalah dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika di Bali dan berdasarkan rumusan peta masalah itu

dirumuskan konstruksi dan karakteristik kebutuhan pemecahan masalahnya,

serta kemudian karakteristik kebutuhan pengaturannya.

(3) Problem construction and problem statement (penyusunan konstruksi dan

rumusan masalah penelitian): Pengekonstruksian dan perumusan masalah

dilakukan satu kali, yaitu pada masa penelitian pendahuluan, untuk

merumuskan rumusan masalah.

(4) Defining targets (perumusan tujuan dan harapan temuan penelitian):

Pengkonstruksian tujuan penelitian dan temuan hasil penelitian dilakukan

satu kali, yaitu pada masa penelitian pendahuluan, untuk merumuskan

tujuan penelitian.

(5) Defining methode: penentuan metode dilakukan pasca penelitian

pendahuluan, setelah perumusan masalah dan tujuan penelitian.

(6) Pelaksanaan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk:

a. identifikasi terhadap karakteristik narkotika, peredaran dan

penyalahgunaan narkotika, dan karaktersitik dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika di Bali, sebagai dasar perumusan konsep

pengaturan;

b. identifikasi terhadap karakteristik hukum yang mengatur narkotika,

peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dan dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika, serta hukum yang mengatur kewenangan

kelembagaan dalam mengatur tindakan untuk mencegah dan menangani

peredaran dan penyalahgunaan, serta dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika di Bali, sebagai dasar untuk menentukan dasar

kewenangan dan materi pengaturan; dan

c. identifikasi terhadap konstruksi struktur elemen pengaturan dan

konstruksi materi pengaturan berdasarkan hasil penelitian (a) dan (b).

(7) Analisis dan perumusan hasil penelitian;

(8) Perumusan rekomendasi pemecahan masalah;

(9) Penyusunan laporan penelitian; dan

(10) Pembahasan laporan penelitian.

Tahap (1), (2), (3), (4), dan (5) merupakan bagian dari peoses pra penelitian atau

penelitian pendahuluan (preliminary research) yang hasilnya dirumuskan dalam bentuk

proposal penelitian. Tahap (6), (7), dan (8) merupakan bagian dari proses pelaksanaan

penelitian. Sedangkan tahap (9) merupakan bagian dari proses paska penelitian.

5. Analisis Hasil Penelitian

Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis norma dan

obyek norma, analisis struktur (validitas) norma dan analisis konteks dan fungsional

norma hukum. Analisis struktur dan substansi norma menggunakan analisis konstruksi

(uji konsistensi dan koherensi) dan analisis konteks (uji konsistensi) norma. Hasil-hasil

penelitian yang telah dikelompokkan secara terstruktur, sesuai dengan struktur materi

(obyek) penelitian, sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, dianalisis

sesuai dengan sifat komponen masalah dan tujuannya.

6. Desain Penelitian

Langkah penelitian dapat digambarkan sebagaimana bagan di bawah ini:

DESAIN PENELITIAN DALAM PENGKONSTRUKSIAN NORMA PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA DI BALI

7. DESAIN PENELITIAN

8.

9.

10.

11.

12.

13.

(1) PENDEFINISIAN

OBYEK PENELITIAN Defining object

(2) PEMETAAN MASALAH

DAN KEBUTUHAN PEMECAHAN

MASALAH Problem mapping and

needs mapping

(3) PENGKONSTRUKSIAN

DAN PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN

Problem construction and problem statement

(4) PERUMUSAN TUJUAN DAN

EKSPEKTASI TEMUAN PENELITIAN Defining targets and research

inventions

(5) P E R U M U S A N M E T O D E P E N E L I T I A N

Defining methode

(6) P E L A K S A N A A N P E N E L I T I A N

Research performance

(8) PERUMUSAN REKOMENDASI

PEMECAHAN MASALAH

(9) PENYUSUNAN

LAPORAN PENELITIAN

(10) LAPORAN

PENELITIAN PEMBAHASAN

INPUT PROSES LEGISLASI

(7) ANALISIS HASIL PENELITIAN

REALITAS DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Standar materi bab ini ditentukan dalam Lampiran I angka 2 UUP3. Bagian ini

memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan

pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari

pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota. Bagian ini mencakup:

(a) Kajian teoretis.

Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis

terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek dan bidang

kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang

berasal dari hasil penelitian.

(b) Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan

yang dihadapi masyarakat.

Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-

Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan

dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.

A. KAJIAN TEORITIS PENGATURAN PEMECAHAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA

1. Kajian Teoritis

Alinea ke - 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 (UUD NRI 1945), menyatakan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu

Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa…………….”. Frasa yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seterusnya sebagaimana termaktub di dalam alinea ke – 4 Pembukaan UUD NRI 1945,

merupakan tujuan dan fungsi negara ini dibentuk. Berkaitan dengan hal itu, Pasal 28 I

ayat (4) UUD NRI 1945, menentukan : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan

pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Kata “perlindungan” secara gramatikal diartikan sebagai upaya menjaga atau

menyelamatkan.19 Hal ini menunjukkan upaya negara dalam melindungi warga

negaranya dari bentuk-bentuk ancaman/intimidasi/tindakan kejahatan dari pihak

ketiga yang merugikan HAM setiap warga negaranya, adalah suatu keharusan. Upaya

perlindungan terhadap HAM warga negara harus juga dilihat dari perkembangan

dimasyarakat secara kontekstual. Bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi saat ini tidak

lagi secara langsung menghentikan HAM Hidup seseorang, melainkan melalui sarana-

sarana yang dapat menghancurkan kehidupan seseorang. Perkembangan kejahatan

19 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi

Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 830

demikian dapat diamati melalui kejahatan penyalahgunaan Narkotika (Narkotika,

Psikotropika, dan Obat terlarang).

Indonesia yang merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1

ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945, mengedepankan hak asasi manusia sebagai

salah satu elemen penting, selain eksistensi peraturan perundang-undangan. Dalam

sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Anglo Saxon (Common Law), memiliki

unsur yang sama, yakni perlindungan hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu,

pengakuan akan “negara hukum” dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 perlu dikaitkan

dengan Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menentukan :

Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara

hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan

dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.

Secara teori, pemikiran “negara hukum” Eropa Kontinental dimulai oleh

pemikiran Imanuel Kant, kemudian dikembangkan oleh J.F Stahl. Pemikiran negara

hukum tersebut, dipengaruhi oleh pemikiran Ekonom Adam Smith saat itu. Julius

Friedrich Stahl, mengemukakan 4 unsur sebagai ciri negara hukum, yakni:

(1) Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang (Legalitas)

(2) Perlindungan HAM,

(3) Pemisahan Kekuasaan,

(4) Adanya peradilan administrasi20.

20 Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, h.28

Ciri-ciri negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl

dalam menguraikan “Konsep Negara Hukum” (Rechtstaat), berbeda dengan konsep

negara hukum Anglo Saxon yakni The Rule of Law. Secara konseptual “the rule of law”

dalam Dictionary of Law, diartikan sebagai “principle of government that all persons and

bodies and the government itself are equal before and answerable to the law and that no person

shall be punished without trial”.21 Kemudian A.V Dicey mengemukakan unsur-unsur

konsep The Rule of law, yakni;

(1) supremacy of law,

(2) equality before the law,

(3) the constitution based on individual rights.22

Terlepas dari perkembangan pemikiran negara hukum yang sudah berkembang

dengan sangat pesat, dengan berbagai gagasan-gagasannya, terdapat kesamaan pada

kedua sistem hukum itu berkenaan dengan perlindungan HAM. Bagi negara Indonesia

yang menganut pola kodifikasi maka jaminan pemenuhan, penegakan, perlindungan

HAM harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan

Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI 1945.

Pemikiran negara hukum ini menjadi jastifikasi teoritis dalam pembentukan

Peraturan Daerah dalam mengatur tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan

Narkotika. Eksistensi peraturan daerah ini akan menjamin dan melindungi hak asasi

manusia warga negara Indonesia, khususnya di Bali. Berkenaan dengan asas legalitas

21 PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. P.266 22 A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London,

Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187

dalam negara hukum “rechtstaat”, maka bentuk perlindungan itu harus diatur dalam

instrumen hukum, yaitu undang-undang, dan untuk di daerah berupa Peraturan

Daerah. Peraturan daerah itu merupakan legitimasi hukum bagi pemerintah daerah

dalam melakukan upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika.

A. Hamid S. Attamimi23 menyatakan bahwa teori perundang-undangan

berorientasi pada tujuan untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman

pembentuk, pelaksana, penegak, serta masyarakat terhadap materi undang-undang

dalam sifat kognitif. Pemikiran ini menekankan pada pemahaman terhadap hal-hal

yang mendasar. Oleh sebab itu dalam membuat peraturan daerah, perlu dipahami

kharakter norma dan fungsi peraturan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 2

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan menentukan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan

tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau

ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang

ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan daerah merupakan penjabaran Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Dasar NRI 1945, yang menggunakan frasa “dibagi atas”, lebih lanjut diatur sebagai

berikut :

23 A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-

Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota

itu mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan undang-undang.

Frasa “dibagi atas” ini menunjukkan bahwa kekuasaan negara terdistribusi ke

daerah-daerah, sehingga memberikan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur

rumah tangganya. Karenanya hal ini menunjukkan pemerintah daerah memiliki fungsi

regeling (mengatur). Dengan fungsi tersebut, dilihat dari sudut pandang “asas legalitas”

(tindak tanduk pemerintah berdasarkan hukum) memperlihatkan adanya kewenangan

pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah. Pasal 1 angka 7 Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

mengartikan Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama

Gubernur.

Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ”statutory laws”

atau ”statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan

yang sekunder (secondary legislations). Menurutnya primary legislations juga disebut

sebagai legislative acts, sedangkan secondary dikenal dengan istilah ”executive acts”,

delegated legislations atau subordinate legislations.24 Peraturan daerah merupakan karakter

dari legislative acts, sama halnya dengan undang-undang. Oleh sebab itu hanya

peraturan daerah dan undang-undang saja yang dapat memuat sanksi.

24 Jimly Asshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada,

Jakarta, h. 10

Teori penjenjangan norma (Stufenbau des rechts), menurut Hans Kelsen25 bahwa

norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata

susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar

pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan

berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma

yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma

dasar (Grundnorm).

Selain Hans Kelsen, Hans Nawiasky juga mengklasifikasikan norma hukum

negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu Staatsfundamentalnorms (Norma

fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara), Formell Gesetz

(undang-undang formal) dan Verordnung & Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan

Aturan otonom).26

Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dipengaruhi oleh

pemikiran Hans Kelsen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (1) UUP3, yang

menentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

25 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,

h.25 26 Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pengaturan demikian menunjukkan peraturan dibawah tidak boleh

bertentangan dengan yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan dibawah

bersumber pada aturan yang lebih tinggi. Melihat ketentuan diatas Peraturan Daerah

Provinsi pada huruf f, sehingga pembentukannya harus mengacu pada peraturan

perundang-undangan sebagaimana tercantum pada huruf a sampai dengan e.

2. Kajian Asas

Secara yuridis Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan

dituangkan dalam Pasal 5 UUP3, meliputi asas:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas “kejelasan tujuan” sebagaimana dimaksud pada huruf adalah bahwa setiap

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas

yang hendak dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, bahwa

setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau

pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berwenang. Peraturan

Perundang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat

oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

Kemudian “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah

bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-Undangan. “Asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan

Perundang-Undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis,

maupun yuridis.

Selanjutnya yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”

adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena memang benar-

benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah

bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,

serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. “Asas keterbukaan” adalah bahwa

dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat

transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

Dari asas-asas dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut jika digunakan untuk mengkaji

Rancangan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan

Narkotika maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

(1) Asas Kejelasan Tujuan, bahwa tujuan dari Peraturan Daerah tentang Fasilitasi

Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika berupa terciptanya Provinsi Bali yang

tertib, aman dan sejahtera.

(2) Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat, bahwa Peraturan Daerah

tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika dibentuk oleh

Gubernur dan DPRD Provinsi Bali.

(3) Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, bahwa pembentukan

Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika,

memperhatikan jenis, hirarki dan materi muatan.

(4) Dapat dilaksanakan, alasan filosofis perlunya Peraturan Daerah tentang

Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika ini dimaksudkan untuk

meningkatkan kesejahteraan dan melindungi masyarakat dari bahaya

narkotika. Alasan sosiologis perlunya Peraturan Daerah tersebut bahwa

masalah narkotika merupakan masalah yang urgen untuk diselesaikan.

(5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa Peraturan Daerah tentang Fasilitasi

Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika berdayaguna dan berhasilguna untuk

memberdayakan masyarakat Bali dalam peningkatan kesejahteraan secara

merata.

(6) Kejelasan rumusan, bahwa pembentukan Peraturan Daerah ini memperhatikan

sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

(7) Keterbukaan, Pembentukan Peraturan daerah ini mulai dari perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan

bersifat transparan dan partisipatif.

Sedangkan dalam Pasal 6 UUP3, menentukan bahwa materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Beberapa asas tersebut menjadi pedoman bagi pembentukan Peraturan

Daerah Provinsi Bali tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.

Penjabaran asas-asas Pasal 6 UUP3 adalah:

a. “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk

menciptakan ketentraman masyarakat.

b. “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan

hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk Indonesia secara proporsional.

c. “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia

yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

d. “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai

mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh

wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang

dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang

berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

f. “asas Bhineka Tunggal Ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan

Perundang-Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,

suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g. “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap

warga Negara.

h. “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa

setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat

hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,

agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

i. “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam

masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

j. “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,

masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

Dengan demikian dalam penyusunan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pencegahan

Penyalahgunaan Narkotika, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan

tersebut dijadikan pedoman dalam perumusannya.

B. KAJIAN EMPIRIS TERHADAP KARAKTERISTIK NARKOTIKA, PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, DAN MASALAH DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

1. Karaktersitik dan Cara Kerja Narkotika

Istilah narkotika juga sering dipresentasikan dengan istilah narkoba. Narkoba

merupakan akronim yang berakar pada kata “narkotika” dan obatan-obatan

terlarang”, kata yang digunakan untuk mewakili jenis zat yang digunakan dalam

pelayanan medik untuk memberikan perlakuan medik yang merupakan jenis obat

yang tidak dapat diedarkan, digunakan, dan dikonsumsi secara bebas, atau harus

diedarkan, dikonsumsi, dan digunakan berdasarkan ketentuan hukum. Kata

“terlarang” dalam akronim itu berarti terlarang untuk diedarkan dan

disalahgunakan kecuali sesuai dengan hukum. Karena itu, narkotika merupakan

jenis obat yang harus digunakan, dikonsumsi, dan diedarkan sesuai dengan

ketentuan hukum yang mengatur jenis obat itu. Narkotika saat ini juga dikenal

dengan akronim lain, yaitu NAPZA, yang berasal dari Narkotika, Psikotropika, dan

Zat Adikitf.

Narkotika merupakan merupakan zat yang digunakan untuk pengobatan,

baik dalam fungsi perlakuan medik, seperti penahan rasa sakit dalam melakukan

operasi, maupun sebagai obat untuk tujuan mempengaruhi fungsi kelenjar, sirkulasi

hormon, dan metabolism tubuh, seperti misalnya opium poppy.27 Narkotika

merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk pada suatu jenis zat, baik yang

bersumber dari bahan-bahan alami (heroin, morphine and opium) maupun sistetis

(Percodan, Demerol and Darvon), atau semi sintetis (Oxycodone and Hydrocodone), yang

bersifat menghilangkan rasa sakit (analgesic) karena dapat menumpulkan kepekaan

syaraf perasa atau sebaliknya meningkatkan kepekaan syaraf perasa manusia.28

Narkotika juga merupakan zat yang bekerja pada tataran syaraf yang

mengendalikan fungsi kelenjar, hormon, fungsi organ, dan metabolisme tubuh

manusia yang menghasilkan sensasi tertentu pada diri dan pikiran manusia. Sensasi

yang dihasilkan oleh narkotik dapat membuat orang terbebas dari rasa sakit, merasa

senang, tenang, dan terbebas dari tekanan pikiran dan mental atau terbebas dari

cara kerja dan dampak cara kerja pikiran terhadap mental dan metabolisme tubuh.

Sensasi yang dihasilkan narkotika sesungguhnya merupakan sensasi semu

atau sifatnya sementara, sehingga dalam mempertahankan kondisi yang setara

dengan kondisi sementara itu seorang pengguna harus menggunakan kembali obat

yang dikonsumsi sehingga ia tetap dapat menikmati sensasi yang dirasakan

sebelumnya. Sifat senasi dan pola penggunaan itu melahirkan sifat baru dari

27 http://www.narcotics.com/history, diakses terakhir 29/10/2015. 28 Ibid.

narkotika yaitu sifat ketergantungan (addiction), yang membuat orang

mengkonsumsi secara terus menerus zat yang dikonsumsinya itu. Konsumsi secara

terus-menerus ini apabila dilakukan dalam jangka waktu lama dan dalam dosis

berlebihan, akan menimbulkan keadaan tidak terkendali yang akibat yang sangat

buruk terhadap fungsi komponen dan organ tubuh manusia, terutama kerja syaraf,

kelenjar, sirkulasi dan keseimbangan hormon, daya kerja pikiran, dan akhirnya

kesehatan dan daya tahan fisik secara meneyeluruh.

Sifat narkotika sebagai sumber sensasi fisik dan mental pada manusia

mengakibatkan narkotik cenderung disalahgunakan, mulai dari sekadar sebagai

media iseng dan bersenang-senang, sampai pada ketergantungan yang merusak

cara kerja fisik dan mental manusia. 29 Kandungan adiktif di dalam narkotik yang

megakibatkan ketergantungan bagi pemakainya, merupakan sebab yang

mengakibatkan penyalahgunaan narkotika menjadi problem besar bukan saja bagi

si pemakai, tetapi juga keluarga, masyarakat, bangsa, dan masyarakat manusia

secara keseluruhan. Konsumsi dan ketergantungan terhadap narkotika

mengakibatkan kekacauan pikiran dan cara kerja metabolisme tubuh manusia dan

akhirnya kekacauan kehidupan pemakainya, keluarga, dan masyarakat tempatnya

hidup.

Narkotika bekerja pada tatanan syaraf. Sebab yang mengakibatkan

ketergantungan pada konsumsi narkotika sesungguhnya adalah SENSASI yang

ditimbulkan oleh konsumsi itu. Sensasi bekerja pada tataran mental, mulai dari

29 Ibid.

penciptaan rasa senang, bebas, dan kenikmatan atas rasa senang dan bebas itu

sampai pada perubahan dari rasa senang dan rasa bebas itu menjadi ketagihan atau

ketergantungan dan menjadi sebab siksaan badan yang hanya dapat diatasi dengan

terus mengkonsumsi zat tersebut. Sifat konsumsi dan ketergantungan yang semula

menghasilkan rasa senang dan rasa bebas, pada putaran berikutnya berubah

menjadi konsumsi dan ketergantungan untuk mengatasi rasa sakit dan siksaaan

sebagai akibat dari kekurangan dosis. Pada putaran ketiga, rasa sakit itu hanya

dapat diatasi dengan dosis yang semakin meningkat, sehingga konsumsi dan

ketergantungan pada putaran ketiga merupakan konsumsi dan ketergantungan

untuk mengatasi ketersiksaan yang hanya dapat diatasi dengan dosis yang yang

lebih tinggi lagi. Pola konsumsi dan ketergantungan itu mendekatkan pengguna

yang ingin berhenti berhadapan dengan keputusasaan dan menggiring mereka

semakin dengan jurang kematian.

Pola rehabilitasi terhadap pengguna ditentukan oleh level dari orientasi

konsumsi dan sebab ketergantungan. Pola rehabilitasi juga dapat diklasifikasikan

atas tiga model sesuai dengan pola penggunaan dan tingkat ketergantungan.

2. Karakteristik Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika

Peredaran, penyalahgunaan, dan konsumsi narkotika oleh seseorang,

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: individu, lingkungan dan ketersediaan

narkotika.

Faktor individu, mencakup:

a. Ketidak tahuan akan bahaya narkotika

Banyaknya orang yang tidak mengetahui bahaya narkotika bagi tubuh dan masa

depan. Sehingga ketika ditawarkan oleh orang lain akan narkotika maka orang

tersebut tidak menolaknya.

b. Coba-coba/Rasa ingin tahu

Banyaknya pengguna narkotika diawali dengan rasa ingin tahu, sehingga mereka

cenderung untuk coba-coba menggunakan. Keingintahuan yang besar untuk

mencoba, tanpa sadar atau berpikir panjang mengenai akibatnya.

c. Stress lari dari kebosanan, masalah atau kesusahan hidup

Ketika seseorang stress, maka akan melakukan tindakan-tindakan yang

menghilangkan beban pikirannya. Oleh sebab itu Narkotika bisa menjadi pilihan

untuk dikonsumsi. Orang yang dirudung banyak masalah dan ingin lari dari

masalah dapat terjerumus dalam penggunaan narkotika agar dapat tidur nyenyak,

mabok, atau jadi gembira ria.

d. Keinginan untuk bersenang-senang

Keinginan bersenang-bersenang bagi penyalahguna narkotika, biasanya dimulai

karena tawaran-tawaran teman dan kemudian diikuti rasa ingin taunya, akhirnya

menggunakannya lagi untuk bersenang- senang.

e. Keinginan untuk mengikuti trend atau gaya

Beberapa jenis Narkotika dapat membuat pemakainya menjadi lebih berani, keren,

percaya diri, kreatif, santai, dan lain sebagainya. Efek keren yang terlihat oleh orang

lain tersebut dapat menjadi trend pada kalangan tertentu sehingga orang yang

memakai narkotika itu akan disebut trendy, gaul, modis, dan sebagainya.

f. Keinginan untuk diterima oleh lingkungan atau kelompok

Suatu kelompok orang yang mempunyai tingkat kekerabatan yang tinggi antar

anggota biasanya memiliki nilai solidaritas yang tinggi. Jika ketua atau beberapa

anggota kelompok yang berpengaruh pada kelompok itu menggunakan narkotika,

maka biasanya anggota yang lain baik secara terpaksa atau tidak terpaksa akan ikut

menggunakan narkotika itu agar merasa seperti keluarga senasib sepenanggungan.

g. Pengertian yang salah bahwa penggunaan sekali-sekali tidak menimbulkan

ketagihan

Banyaknya anggapan demikian, yang kemudian membuat seseorang untuk berani

coba-coba mengkonsumsi Narkotika.

h. Tidak mampu atau tidak berani menghadapi tekanan dari lingkungan atau

kelompok pergaulan untuk menggunakan Narkotika

Acapkali perilaku mengkonsumsi narkotika dikarenakan ancaman dari kelompok

untuk mengkonsumsi agar dianggap adanya solidaritas. Tekanan demikian yang

membuat seseorang tidak bisa mengelak, karena ancaman tersebut bisa berbuntut

tindakan kejahatan.

Faktor lingkungan, mencakup:

a. Keluarga bermasalah atau broken home.

Kondisi keluarga khususnya orang tua yang bercerai, membuat anak tidak

mendapatkan kasih sayang yang besar dari sang ayah maupun ibu. Keadaan seperti

itu yang kemudian di bandingkan dengan keluarga lain yang harmonis, maka

membuat seseorang semakin stress, dan mencari upaya untuk menghilangkan

kepenatan tersebut melalui narkotika.

b. Ayah, ibu atau keduanya atau saudara menjadi pengguna atau penyalahguna atau

bahkan pengedar gelap narkotika.

Orang tua merupakan teladan bagi sang anak, ketika orang tua bertindak sebagai

pengguna narkotika, maka sang anak akan terpengaruh mengikuti jejak orang tua

tersebut.

c. Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan

semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkotika.

Tren kehidupan saat ini, menunjukkan banyaknya komunitas-komunitas yang

dibentuk cenderung dengan tindakan kekerasan. Komunitas semacam ini, biasanya

identik dengan kehidupan malam di diskotik-diskotik atau cafe-cafe. Sehingga tidak

menutup kemungkinan, komunitas tersebut akan terpengaruh dengan

penyalahgunaan Narkotika. Sehingga seseorang yang bergabung sulit untuk

melepaskan diri dari komunitas atau kelompok tersebut.

d. Sering berkunjung ke tempat hiburan (cafe, diskotik, karaoke, dll.).

Tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan minuman-minuman alkohol dan

suasana pesta, menghendaki tubuh selalu fit untuk menikmati suasana. Oleh sebab

itu Narkotika sering dikonsumsi untuk menjaga kebugaran tubuh.

e. Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur.

Kondisi demikian sering membuat seseorang menghabiskan waktunya untuk

hiburan yang tidak sehat termasuk menggunakan narkotika.

f. Lingkungan keluarga yang kurang / tidak harmonis.

Ketidak harmonisan dalam rumah tangga, membuat seseorang menjadi stress dan

depresi, hal ini yang membuat seseorang dapat menggunakan narkotika demi lari

dari keterpurukan itu.

g. Orang tua/keluarga yang permisif, acuh, serba boleh, kurang/tanpa pengawasan.

Tindakan orang tua yang acuh tak acuh terhadap perkembangan anak, membuat

anak mudah terjebak dalam tindakan penyalahgunaan narkotika.

h. Orang tua/keluarga yang super sibuk mencari uang/di luar rumah.

Kesibukan orang tua yang lebih dalam pekerjaan, membuat kurangnya pengawasan

terhadap anak. Sehingga anak dapat terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika.

i. Banyaknya diskotik-diskotik dan café-cafe

Menjamurnya diskotik-diskotik dan cafe-cafe akan menawarkan kondisi hidup yang

trend pada seseorang. Sehingga lingkungan demikian akan membuat seseorang

mudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika.

j. Banyaknya wisatawan asing sehingga membawa pengaruh negatif

Gaya hidup dari wisatawan asing yang menghabiskan waktunya di Bar, diskotik-

diskotik dengan mengkonsumsi minuman alkohol termasuk menyalahgunakan

narkotika, akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat.

k. Pengaruh film-film di Televisi

Acapkali tayangan-tayangan televisi yang menampilkan film-film kekerasan dan

penggunanaan narkotika, memiliki dampak negatif yang mempengaruhi pola pikir

anak muda untuk coba-coba.

Faktor ketersediaan narkotika, mencakup:

a. Narkotika semakin mudah didapat dan dibeli.

Banyaknya masyarakat pengguna narkotika maka menyuburkan peredarannya,

sehingga narkotika mudah sekali untuk didapatkan.

b. Harga narkotika semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat.

Dengan terjangkaunya harga narkotika, mengakibatkan banyak orang yang mampu

untuk membelinya.

c. Modus Operandi Tindak pidana narkotika makin sulit diungkap aparat hukum.

Modus operandi para pelaku pengedar narkotika yang bervariatif dengan

mengedepankan inovasi pergerakan dalam melakukan upaya kejahatan.

d. Semakin mudahnya akses internet yang memberikan informasi pembuatan

narkotika.

e. Bisnis narkotika menjanjikan keuntungan yang besar.

f. Perdagangan narkotika dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan professional.

Bahan dasar narkotika (prekursor) beredar bebas di masyarakat.

Peredaran narkotika mengikuti hukum pasar, yakni semakin tingginya

permintaan maka akan semakin tinggi pula penawaran. Oleh sebab itu upaya

pemberantasan peredaran narkotika tidak hanya menekankan pada upaya represif,

melainkan upaya preventif harus menjadi prioritas, agar dapat mengurangi

peredarannya melalui penekanan pada jumlah tingkat konsumsi narkotika. Salah satu

upaya represif adalah mengubah perilaku masyarakat agar tidak mengkonsumsi

narkotika.

Tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan

menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan

organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan

generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa,

dan negara. Kondisi ini sangat merugikan dan membahayakan kehidupan manusia,

masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia.

Wujud penyalahgunaan berupa tindakan menggunakan Narkotika tanpa hak

atau melawan hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan narkotika saat ini tidak hanya

pada pola mengkonsumsi, melainkan juga telah menjadi komoditi “bisnis negatif”. Atas

dasar itu kejahatan penyalahgunaan narkotika telah membuka ruang gerak melalui

jalur impor, ekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau

menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama

serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Benny Mamoto, Deputi Pemberantasan BNN, mengatakan sedikitnya 50 warga

negara Indonesia meninggal dunia per hari akibat mengkonsumsi narkotika. Ia

menambahkan jumlah korban tewas teror bom di Bali sebanyak 220 jiwa atau setara

dengan korban tewas akibat konsumsi narkotika selama 5 hari.30 Pada tahun 2008,

diperkirakan jumlah penyalahguna narkotika setahun terakhir di Indonesia sekitar 3,1

juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9% dari populasi penduduk berusia 10-

59 tahun.31 Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) Hasil proyeksi angka

penyalahguna narkotika akan meningkat, dengan adanya kecenderungan peningkatan

angka sitaan dan pengungkapan kasus narkotika. Seperti dalam data pengungkapan

kasus di tahun 2006 sekitar 17.326 kasus, lalu meningkat menjadi 26.461 kasus di tahun

2010, termasuk data sitaan narkotika untuk jenis utama yaitu ganja, shabu, ekstasi, dan

heroin.32 Di tahun 2014, jumlah penyalahguna narkotika diperkirakan ada sebanyak 3,8

juta sampai 4,1 juta orang yang pernah pakai narkotika dalam setahun terakhir (current

users) pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia.33

Jurnal Data P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan

Peredaran Gelap Narkotika) 2013 Edisi 2014, menunjukkan beberapa jumlah kasus

30 Metrotvnews.com, 28 September 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari Akibat Narkotika,

http://news.metrotvnews.com/read/2013/09/28/184807/bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia-akibat-narkotika

31 Badan Narkotika Nasional, 2015, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkotika Tahun Anggaran 2014, Jakarta, h. 1

32 ibid 33 Ibid, h. 16

Narkotika berdasarkan Golongan di tahun 2013. Golongan Narkotika, memiliki 21.119

kasus, Psikotropika sebanyak 1.612 kasus sedangkan bahan adiktif lainnya sebanyak

12.705. Lebih lanjut diidentifikasi dalam tabel dibawah ini, yaitu34 :

NO. PENGGOLONGAN NARKOTIKA JUMLAH KASUS TAHUN 2013

1 2 3 1. Narkotika 21.119 2. Psikotropika 1.612 3. Bahan Adiktif Lainnya 12.705

JUMLAH 35.436

Sedangkan jumlah Tersangka Kasus Narkotika Berdasarkan Kewarganegaraan

Tahun 2013, dari ketiga jenis Narkotika, rupanya narkotika merupakan jenis yang

paling banyak penggunaan dan peredarannya, dapat diidentifikasi sebagai berikut :35

NO. KEWARGANEGARAAN JUMLAH TERSANGKA TAHUN 2013 1 2 3 1. WNI 43.640 2. WNA 127

JUMLAH 43.767

Jumlah di atas menunjukkan bahwa banyak Warga Negara Indonesia

menyalahgunakan narkotika, yakni sebesar 43.640 orang, sedangkan WNA sebanyak

127. Hal ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan Narkotika sudah menjadi bagian

dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kemudian berkaitan dengan jumlah Narapidana

34 Jurnal Data (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap

Narkotika) P4GN 2013 Edisi 2014, h. 4 35 Ibid, h. 4

dan Tahanan Kasus Narkotika di Seluruh Indonesia per Provinsi Berdasarkan

Bandar/Pengedar dan Pengguna Tahun 2013, diantaranya:36

NO. NAMA KANWIL KASUS NARKOTIKA JUMLAH

BANDAR/ PENGEDAR PENGGUNA 1 2 3 4 5 1. Aceh 1.255 451 1.706 2. Sumatera Utara 3.250 2.302 5.552 3. Sumatera Barat 520 629 1.149 4. Kepulauan Riau 631 578 1.209 5. Riau 2.084 605 2.689 6. Jambi 635 271 906 7. Sumatera Selatan 961 1.314 2.275 8. Bangka Belitung 396 87 483 9. Lampung 1.237 478 1.715

10. Bengkulu 324 114 438 11. Banten 1.475 2.027 3.502 12. DKI Jakarta 4.940 5.086 10.026 13. Jawa Barat 635 271 906 14. DI Yogyakarta 205 114 319 15. Jawa Tengah 2.281 956 3.237 16. Jawa Timur 853 3.202 4.055 17. Kalimantan Barat 251 560 811 18. Kalimantan Tengah 221 467 688 19. Kalimantan Selatan 1.784 1.465 3.249 20. Kalimantan Timur 1.179 413 1.592 21. Sulawesi Utara 35 29 64 22. Gorontalo 0 56 56 23. Sulawesi Tengah 97 245 342 24. Sulawesi Selatan 298 827 1.125 25. Sulawesi Barat 35 43 78 26. Sulawesi Tenggara 100 113 213 27. Bali 211 248 459 28. Nusa Tenggara

Barat 302 73 375

29. Nusa Tenggara Timur

1 24 25

30. Maluku 25 62 87

36 Ibid, h. 24

31. Maluku Utara 57 13 70 32. Papua Barat 15 22 37 33. Papua 1 24 25

J U M L A H 30.132 25.539 55.671

Data dari ke-33 Provinsi di Indonesia itu menunjukkan angka yang sangat

memperihatinkan dalam penyalahgunaan narkotika, dari kasus-kasus di seluruh

Indonesia para tersangka yang berperan sebagai Bandar atau pengedar sejumlah 30.132

orang, sedangkan pengguna sebesar 25.539 orang. angka itu menunjukkan bahwa

narkotika sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, karena itu

diperlukan cara untuk mencegah perluasan peredaran dan penyelahgunaan narkotika

serta dampaknya, serta cara untuk menangani peredaran dan penyalahgunaan

narkotika serta dampaknya, termasuk cara untuk mengubah maindset masyarakat, agar

sadar bahaya narkotika serta perilaku bermasalah tersebut.

Bali merupakan salah satu dari 33 Provinsi yang tidak luput dari jaringan

peredaran narkotika. Posisi Bali sebagai destinasi utama pariwisata Indonesia, bahkan

dunia, menghadirkan berkah bagi Bali dan Indonesia, sekaligus bencana dari segi

peredaran dan penyalahgunaan narkotika serta dampaknya. Tabel diatas menunjukkan

bahwa dari jumlah kasus yang ada di tahun 2013, tersangka yang berperan sebagai

bandar/pengedar sejumlah 211 orang, sedangkan pengguna sebanyak 248 orang.

Bali sebagai destinasi pariwisata, khususnya wisatawan mancanegara (wisman),

merupakan detinasi ternama di dunia. Hal ini terlihat dari jumlah wisatawan asing

yang berkunjung periode Januari-November 2014 mencapai 3,41 juta orang, naik 14,78

persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya tercatat 2,97 juta orang.37

Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali yang senantiasa meningkat

menghadirkan dampak positif di sektor pariwisata dan juga dampak negative dalam

bentuk, antara lain, merebaknya peredaran Narkotika di pulau ini. Pariwisata

memperkenalkan narkotika sebagai bagian dari kata “leisure” yang merupakan kata inti

dalam makna “tourism”. Kata “leisure” atau kesenangan dan santai itu meningkatkan

citra narkotika sebagai salah satu komponen yang berfungsi menyempunakan

kesenangan dan kesantaian itu. Kata itu menjadikan narkotika sebagai gara hidup (life

style) dan kecenderungan dalam pariwisata. Implikasi kata “leisure” itu, yang

menyetarakan kesenangan dan kesantaian dengan kebebasan badan dan pikiran dari

beban keseharian membuat narkotika menjadi alternatif penunjang dari kebebasan

badan dan pikiran itu. Korelasi filosofi pariwisata dengan narkotika membuat

narkotika berubah menjadi gaya hidup dalam pariwisata, yang menjadi pariwisata

sebagai ancaman bagi kehidupan masyarakat. Katakter pariwisata ini menjadikan Bali

menjadi target pasar peredaran narkotika yang kemudian berdampak terhadap

kehidupan masyarakat.

Selama tahun 2014, Polda Bali menyelesaikan 629 Kasus Narkotika dari 664

Laporan.38 Maraknya penyalahgunaan narkotika di Bali, tidak hanya di dominasi orang

dewasa, akan tetapi meluas ke anak-anak usia sekolah. Tahun 2014, 7 siswa SMP di

Denpasar ditangkap, setelah menghirup Shisha, rokok dari Arab. Menurut Kepala

37 Kompas.com, 4 Januari 2015, Kunjungan Wisman Ke Bali Meningkat 14,78 Persen, http://travel.kompas.com/read/2015/01/04/094531627/Kunjungan.Wisman.ke.Bali.Meningkat.14.78%

38Antarabali.com, 30 Desember 2014, Polda Bali Tuntaskan 947 persen Kasus Narkotika, http://www.antarabali.com/berita/65317/polda-bali-tuntaskan-947-persen-kasus-narkotika

BNN Bali I Gusti Ketut Budiartha, efek Shisha ini 26 kali lipat dari rokok, sehingga

termasuk produk berbahaya, selain Shisha, ada kemasan baru lainnya disebut Jape-

jape, mirip ganja namun efeknya lebih kuat. 39

Pada tahun 2013 terdapat beberapa upaya penyelundupan Narkotika ke Bali,

melalui Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai. Jenis-jenis Narkotika yang coba

diselundupkan namun digagalkan oleh aparat di Bali adalah Ganja sebanyak 7,59 gram,

heroin sebesar 372 gram, dan bukti Shabu Sitaan Tahun 2013 di Bandar Udara I Gusti

Ngurah Rai sebanyak 6827 gram.40

Jurnal Data P4GN 2013 Edisi 201441 mengungkapkan dari survey, diketahui

Sekolah/kampus, kost/kontrakan, tempat kerja, di jalan, diskotik/ pub/karaoke,

rumah, sendiri, rumah teman, di terminal/stasiun dan di hotel/penginapan adalah

tempat yang banyak disebut responden pada saat ditawari narkotika. Situasi seperti ini

juga terjadi di Bali. Untuk itu diperlukan pengawasan di sekolah dan kampus, serta

edukasi kepada pelajar dan mahasiswa. Serta perlunya kerjasama dengan institusi

pengelola sekolah dan kampus tersebut. Pengawasan juga perlu ditingkatkan di

diskotik/pub/karaoke, terminal/stasiun, hotel/penginapan dan kost-kost an. Selain itu

upaya pengawasan memerlukan upaya penertiban terhadap penghuni kost-kost

an/kontrakan serta hotel/penginapan.

39 Balipost.com, 15 Juli 2014, Di Denpasar Siswa SMP Berani Pesta Narkotika Jenis Baru,

http://balipost.com/read/headline/2014/07/15/16924/di-denpasar-siswa-smp-berani-pesta-narkotika-jenis-baru.html

40 Jurnal P4GN, op.cit, h. 18-20 41 Ibid, h. 51

Pada tanggal 25 Februari 2015 Polresta Denpasar menangkap 7 orang pengedar

sekaligus pemakai (salah satu diantaranya warga negara asing dari Amerika Serikat), di

salah satu hotel di jalan Mahendradatta, dengan barang bukti 1 paket ganja berat 2.77

gram.42

Jajaran Satuan Narkotika Polresta Denpasar di Hotel The Grey di Jalan Dewi

Sartika, sebagaimana diberitakan oleh rri.co.id 17 Juli 201443, Kuta menangkap empat

pelaku penyalahgunaan narkotika, yang merupakan mahasiswa. Petugas

mengamankan sabu seberat 0,08 gram dari tangan Adam dan 0,72 gram dari tangan

Dimas berikut 4 butir esktasi. Dari tersangka Donny disita ganja seberat 7,80 gram dan

dari tersangka Dian yang juga mahasiswi di Denpasar ini diamankan sabu seberat 0,02

gram, ganja dan LSD.

Peredaran narkotika mengikuti hukum pasar, yakni semakin tingginya

permintaan maka akan semakin tinggi pula penawaran. Oleh sebab itu upaya

pemberantasan peredaran narkotika tidak hanya menekankan pada upaya represif,

melainkan upaya preventif perlu diprioritaskan, agar dapat mengurangi peredarannya

melalui penekanan pada jumlah tingkat konsumsi narkotika. Salah satu upaya represif

adalah mengubah perilaku masyarakat agar tidak mengkonsumsi narkotika.

Provinsi Bali yang merupakan daerah pariwisata, yang mengalami kemajuan di

bidang pembangunan, berimplikasi pada juga pada peningkatan peredaran narkotika.

42 Beritadewata.com, 25 Februari 2015, Polresta Denpasar Meringkus Tujuh Pengedar dan

Pengguna Narkotika, http://beritadewata.com/Hukum-dan-Kriminal/Hukum/Polresta-Denpasar-Meringkus-Tujuh-Pengedar-dan-Pengguna-Narkotika.html

43 rri.co.id, 17 Juli 2014, Polisi Gerebek Pesta Narkotika di Hotel The Grey Kuta Bali http://rri.co.id/post/berita/92083/daerah/polisi_gerebek_pesta_narkotika_di_hotel_the_grey_kuta_bali.html

Posisi Bali yang semula hanya sebagai lokasi peredaran atau lokasi transit narkotika,

kemudian berkembang menjadi pasar yang potensial bagi peredaran narkotika.

Dikarenakan banyaknya permintaan dan peredaran narkotika, maka kondisi Bali saat

ini sudah menjadi tempat memproduksi narkotika. Hal ini terbukti dari beberapa kasus

yang berhasil diungkap oleh kepolisian di Bali, salah satunya pada tanggal 16

September 2014 silam.

Dari kasus tersebut Petugas Polrestabes Denpasar, Bali menggerebek industri

narkoba rumahan yang memproduksi amphetamine (sabu-sabu) dan ekstasi. Petugas

mendapati 1.130 tablet putih, dua plastik berisi serbuk seberat 101,13 gram, serta satu

botol kodein 10 miligram, pelaku berinisial N Sud (36) dan Don SR (27) dengan nilai

jual keseluruhan sabu dan ekstasi yang diproduksi di rumah tersebut mencapai

Rp11,25 miliar.44

Berbagai bentuk tindak pidana dan kasus sebagaimana dideskripsikan di atas

menunjukkan bahwa peredaran narkotika dikendalikan oleh hukum alam dan hukum

pasar. Bentuk pengendalian oleh hukum alam adalah bahwa peredaran dan

penyalahgunaan narkotika bersumber pada kebutuhan manusia terhadap kebebasan

dan kenyamanan yang lahir dari tekanan sosial yang semakin hari semakin meningkat

dan multi-sebab dan multi-bentuk. Bentuk pengendalian oleh hukum pasar adalah

bahwa kebutuhan itu berubah menjadi permintaan dan permintaan itu melahirkan

pasokan, termasuk seluruh rangkaian proses yang melatarbelakangi pasokan itu,

44 Okezone.com, Jum'at, 19 September 2014, Pabrik Sabu & Ekstasi Beromzet Rp11,25 M di Bali

Digerebek, http://news.okezone.com/read/2014/09/19/340/1041506/pabrik-sabu-ekstasi-beromzet-rp11-25-m-di-bali-digerebek

seperti: pengembangan atau pembiakan bahan baku, produksi, distribusi, dan

penjualan kepada pengguna. Kedua jenis hukum ini terintegrasi kedalam suatu bentuk

sinergi yang melahirkan kekuatan proses dan pengendalian yang sulit diatasi dengan

pendekatan-pendekatan biasa, seperti: pendekatan hukum dan keamanan, serta

pendekatan kesehatan. Masalah ini membutuhkan suatu bentuk aksi yang berakar pada

suatu program yang terstruktur dan sistematis, yang berangkat dari dan menyentuh

akar-akar fundamental dari sebab yang melahirkan kebutuhan manusia terhadap

narkotika.

3. Karakteristik Dampak Kesehatan, Sosial, Politik, dan Ekonomi Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika

Dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika mencakup: dampak

langsung dan tidak langsung. Dampak tersebut mencakup, antara lain:45

(a) Banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan

pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.

(b) Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain itu

biasanya tukang candu narkotika akan bersikap anti sosial.

(c) Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat

terlarang.

45 www.dedihumas.bnn.go.id, Dampak Langsung dan Tidak Langsung Penyalahgunaan

Narkotika, http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/03/20/957/dampak-langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkotika

(d) Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau

perguruan tinggi alias DO / drop out.

(e) Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkotika akan

gemar berbohong dan melakukan tindak kriminal.

(f) Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban Tuhan serta menjalani

kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.

(g) Bisa dijebloskan ke dalam tembok derita / penjara yang sangat menyiksa lahir

batin.

(h) Biasanya setelah seorang pecandu sembuh dan sudah sadar dari mimpi-

mimpinya maka ia baru akan menyesali semua perbuatannya yang bodoh dan

banyak waktu serta kesempatan yang hilang tanpa disadarinya. Terlebih jika

sadarnya ketika berada di penjara. Segala caci-maki dan kutukan akan

dilontarkan kepada benda haram tersebut, namun semua telah terlambat dan

berakhir tanpa bisa berbuat apa-apa.

Kemudian berkaitan dengan dampak Langsung Narkotika bagi tubuh manusia,

diantaranya46 :

(a) Gangguan pada jantung;

(b) Gangguan pada hemoprosik;

(c) Gangguan pada traktur urinarius;

(d) Gangguan pada otak;

46 ibid

(e) Gangguan pada tulang;

(f) Gangguan pada pembuluh darah;

(g) Gangguan pada endorin;

(h) Gangguan pada kulit;

(i) Gangguan pada sistem syaraf;

(j) Gangguan pada paru-paru;

(k) Gangguan pada sistem pencernaan;

(l) Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis,

Herpes, TBC, dll.

Hal ini dikarenakan para pecandu menggunakan jarum suntik secara bergantian

(Injecting Drug Use/IDUs), akibat penularan penyakit HIV/AIDS, Hepatitis B

dan Hepatitis C.

Berkaitan dengan dampak Langsung Narkotika Bagi Kejiwaan/Mental Manusia,

adalah47 :

(a) Menyebabkan depresi mental;

(b) Menyebabkan gangguan jiwa berat / psikotik.

(c) Menyebabkan bunuh diri

(d) Menyebabkan melakukan tindak kejahatan, kekerasan dan pengrusakan.

Dampak penggunaan narkotika di atas lebih kepada individu. Di lain pihak tingginya

penyalahgunaan narkotika, berdampak negatif bagi masyarakat Bali, diantaranya:

47 ibid

(a) Penyalahgunaan narkotika cenderung menyerupai gaya hidup sehingga dapat

dengan mudah menular;

(b) Masyarakat terpengaruh terhadap gaya penggunaan narkotika;

(c) Masa depan generasi muda di Bali terancam;

(d) Meningkatnya kejahatan;

(e) Meningkatkatnya jumlah kematian.

Ragam dampak tersebut menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika

mengandung potensi besar untuk merusak kesehatan seseorang, bahkan

menghancurkannya, merusak keluarga, dan masyarakat tempatnya hidup atau bahkan

sebuah bangsa. Cara kerja narkotika dalam tubuh manusia sebagaimana diuraikan

diatas, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Level 1 sebagai pengguna seseorang merasa bahagia, senang ketika

mengkonsumsi narkotika tersebut.

b. level 2, pengguna mulai merasa adanya ketergantungan (kecanduan) sehingga

ingin menambah kebutuhan dari narkotika tersebut. Kemudian mulai merasakan

rasa sakit, apabila tidak mengkonsumsi narkotika tersebut.

c. level 3, pengguna merasakan penderitaan yang hebat apabila tidak

mengkonsumsi narkotika tersebut, dan merasakan ketergantungan yang sangat

berat terhadap barang tersebut.

4. Karakteristik Kebutuhan Pemecahan Masalah Dampak Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika

Gambaran peredaran dan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika

menunjukkan bahwa masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika

membutuhkan model pemecahan masalah yang sesuai dengan karakteristik peredaran

dan penyalahgunaan narkotika, serta dampaknya. Model itu harus dapat menyentuh

dan mengendalikan seluruh unsur penyebab penyalahgunaan, seperti:

(a) Setiap orang yang potensial menjadi pengguna;

(b) Setiap orang yang telah menjadi pengguna;

(c) Keluarga pengguna;

(d) Lingkungan sosial pengguna;

(e) Setiap orang yang potensial menjadi pengedar;

(f) Pengedar;

(g) Jaringan dan media pengedar;

(h) Proses transaksi yang menjadi aliran peredaran.

Pemecahan masalah tersebut harus didasarkan pada pendekatan integral yang

mengintegrasi seluruh komponen pemangku kepentingan yang dapat menghambat

peredaran dan penyalahgunaan. Penggunaan pendekatan hukum perlu diintegrasikan

dengan pendekatan kultural, moral, ekonomi, politik, dan edukasi yang mengendalikan

seluruh pemangku kepentingan kedalam satu gerakan sosial yang terstruktur,

terpogram, sistematis, dan konsisten (berkelanjutan) yang dapat meniadakan

kebutuhan penggunaan yang masuk kedalam kategori penyalahgunaan.

C. KARAKTERISTIK OBYEK PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA

Karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaannya, dan dampak

peredaran serta penyalahgunaannya melahirkan kebutuhan terhadap konsep

pengaturan yang konsisten dengan karakteristik narkotika, peredaran dan

penyalahgunaan, dampak dan penyalaghunaannya sebagai obyek pengaturan.

Berdasarkan karekteristik obyek itu, maka obyek pengaturan pencegahan dan

penanganan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika dapat diklasifikasi atas

dua jenis, yaitu:

(1) Obyek yang berada pada sistem internal; dan

(2) Obyek yang berada pada sistem eksternal.

Sistem internal adalah sistem yang mencakup, komponen:

(1) Obyek: yaitu narkotika sebagai obyek konsumsi dan pasokan;

(2) Subyek, yaitu: pemasok dan pengguna narkotika; dan

(3) Proses pasokan atau transaksi narkotika antara pemasok dengan pengguna.

Sistem eksternal adalah sistem yang berpengaruh terhadap sistem internal,

seperti: keluarga dan lingkungan sosial pengguna; institusi pemerintah dan non-

pemerintah yang berwenang dan bertugas atau diberi kewenangan dan diberi tugas

untuk melakukan pengawasan dan tindakan terhadap produsen dan pengedar, yang

berwenang atau bertugas melakukan edukasi, pembinaan dan fasilitasi terhadap

subyek yang potensian menjadi pengguna dan subyek pengguna, serta lingkungan

sosial calon dan pengguna.

D. KARAKTERISTIK KONSEP PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA

Berdasarkan konsep pengaturan itu, maka norma pengaturan pencegahan dan

penanganan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika hendaknya mencakup:

(1) Norma yang mengatur sistem internal;

(2) Norma yang mengatur sistem eksternal; dan

(3) Norma yang mengatur korelasi antara sistem internal dan sistem eksternal.

Termasuk kedalam kategori aturan yang mengatur sistem internal adalah:

(a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika;

(b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 Tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; dan

(c) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan

Narkotika Nasional.

Termasuk kedalam kategori aturan yang mengatur sistem eksternal adalah:

(a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah; dan

(b) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor Pecandu

Narkotika

(c) Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.

(d) Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2011 tentang pelaksanaan Kebijakan dan

Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap

Narkoba.

(e) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013

Tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT

Standar materi bab ini ditentukan di dalam Lampiran I angka 3 UUP3. Bab ini

memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang memuat kondisi

hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan

Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta

status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-

undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-

undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang-

Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan Perundang-

undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan

diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan

Daerah yang baru. Analisis ini menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi

Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan

Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil

dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan

yuridis dari pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

A. KARAKTERISTIK DASAR, RUANG LINGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGATUR PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA Rezim pengaturan tentang pencegahan dan penanganan Narkotika di Indonesia

telah ada diatur pada masa sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan.

Masa-masa sebelum kemerdekaan, diatur dalam beberapa peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yaitu :

1. masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie 2. masa berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdovende Midellen Ordonantie, S. 1927

Nomor: 278 jo No. 536)

Perlu dideskripsikan lebih lanjut mengenai kebijakan pemerintah Belanda pada

masa sebelum proklamasi, terkait dengan upaya pencegahan penyalahgunaan

narkotika, zat adiktif dan obat-obat terlarang lainnya, tertuang dalam beberapa

dokumen, yaitu:

1. Morphine Regie Ordonantie (Stbl 1911 Nomor 373, Stbl 1911 Nomor 484 dan Stbl 1911 Nomor 485)

2. Ooskust Regie Ordonantie (Stbl 1911 Nomor 494 dan 644, Stbl 1912 Nomor 255)

3. Westkust Regie Ordonantie (Stbl 1914 Nomor 562, Stbl 1915 Nomor 245)

4. Bepalingen Opium Premien (StbI 1916 Nomor 630).

5. ”Verdovende Midellen Ordonantie” (StbI 1927 Nomor 278 jo Nomor 536). Verdovende Midellen Ordonantie dibuat pada tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku 1 Januari 1928, dalam Lampiran angka 1 telah ditarik 44 perundang-undangan sebelumnya. Tujuan ditariknya perundang-undangan tersebut adalah adanya unifikasi pengaturan narkotika di Hindia Belanda

6. Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerkendegenees Middelen Ordonantie atau Ordonansi Obat Keras

Pada masa berlakunya ordonantie regie, pengaturan narkotika tidak seragam, karena

di setiap wilayah mempunyai ordonantie regie sendiri-sendiri. Beberapa wilayah

yang memiliki Regie Ordonantie, adalah sebagai berikut:

1. Bali Regie Ordonantie

2. Jawa Regie Ordonantie

3. Riau Regie Ordonantie

4. Aceh Regie Ordonantie

5. Borneo Regie Ordonantie

6. Celebes Regie Ordonantie

7. Tapanuli Regie Ordonantie

8. Timor Regie Ordonantie.

Dari beberapa macam regie ordonantie tersebut yang paling tua adalah Bali Regie

Ordonantie yang dimuat dalam Stbl 1872 Nomor 76. Dengan demikian menunjukkan

bahwa upaya kewaspadaan terdapat narkotika di Bali sudah digalakkan sejak lama.

Kemudian pada masa kemerdekaan terdapat beberapa peraturan perundang-

undangan, diantaranya:

a. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Diundangkannya Undang-undang No. 9 tahun 1976, tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan lalu lintas dan alat-alat perhubungan serta pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia. Dalam bagian penjelasan umum Undang-Undang ini menentukan bahwa, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sebelum Undang-undang ini berlaku, ialah Verdoovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad 1927 No. 278 jo No. 536) yang telah diubah dan ditambah, beserta peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan. Ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, berhubung dengan perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat perhubungan

dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman karena yang diatur didalamnya hanyalah mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di dalam peraturan itu dikenal dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur. Di dalam Undang-undang ini diatur pelbagai masalah yang berhubungan dengan narkotika, meliputi pengaturan mengenai :

1) Ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika. 2) Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika seperti: penanaman,

peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas, pengangkutan serta penggunaan narkotika.

3) Ketentuan tentang wajib lapor bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan-kegiatan sebagai tersebut dalam angka 2.

4) Ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan dari perkara yang berhubungan dengan narkotika yang karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan, memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun diadakan penyimpangan dan pengaturan khusus, tidak berarti bahwa hak azasi tersangka/terdakwa tidak dijamin atau dilindungi, bahkan diusahakan sedemikian rupa, sehingga penyimpangan dan pengaturan khusus itu tidak merupakan penghapusan seluruh hak azasi tersangka/terdakwa, melainkan hanya pengurangan yang terpaksa dilakukan demi menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya yang ditimbulkan karena penyalahgunaan narkotika. Ketentuan tersebut antara lain ialah, bahwa dalam pemeriksaan di depan Pengadilan, saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan dilarang dengan sengaja menyebut nama, alamat atau hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor (Pasal 28).

5) Ketentuan yang mengatur tentang pemberian ganjaran (premi). 6) Ketentuan tentang pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika. 7) Ketentuan lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam

penanggulangan masalah yang ditimbulkan oleh narkotika.

Guna memberikan efek preventif yang lebih tinggi terhadap dilakukannya tindak pidana tersebut, demikian pula untuk memberikan keleluasaan kepada

alat penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana tersebut secara efektif, maka ditentukan ancaman hukuman yang diperberat bagi pelaku tindak pidana, lebih-lebih dalam hal perbuatan tersebut dilakukan terhadap atau ditujukan kepada anak-anak dibawah umur. Karena Indonesia merupakan negara peserta dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang Mengubahnya, maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini telah pula disesuaikan dengan hal-hal yang diatur di dalam Konvensi tersebut.

b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran negara RI Tahun 1997 No. 3698. adapun yang menjadi latar belakang diundangkannya UU No. 22 Tahun 1997 ini yaitu peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Selain itu mengingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika.

c. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini mempunyai cakupan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan peraturan yang pernah ada sebelumnya baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidanan yang diperberat. Dibentuknya Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengendalian danpengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Disamping itu menyesuaikan dengan ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran GelapNarkotika dan Psikotropika

Tahun 1988 yang telah diratifikasi denganUndang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Pembentukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 mempunyai cakupan yang lebih luasbaik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yangdiperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan padafaktor-faktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwanilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai saranaefektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelapnarkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yangdiawasi dan pembelian terselubung, dan permufakatan jahat untuk melakukantindak pidana narkotika. Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakatagar tidak melakukan tindak pidana narkotika, perlu ditetapkan ancaman pidanayang lebih berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat bahaya yangditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangatmengancam ketahanan keamanan nasional.

d. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya: UU

Narkotika) dibentuk berdasarkan lima pertimbangan, yaitu:

(1) untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur

yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia

Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan

ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;

(2) untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam

rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di

bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan

ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta

melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

(3) Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan

atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi

lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila

disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat

dan saksama;

(4) bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,

mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat

merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia,

masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;

(5) tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan

menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh

jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama

di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan

masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang- Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi

dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak

pidana tersebut.

UU Narkotika merupakan perwujudan komitmen Pemerintah Indonesia

terhadap masyarakat internasional dalam mengambil bagian dalam pemberantasan

peredaran dan penyalahgunaan narkotika serta pencegahan dan penanganan dampak

peredaran narkotika sebagaimana tindakan politik dalam meratifikasi dua instrumen

hukum internasional yang sangat penting dalam soal itu, yaitu: Konvensi Tunggal

Narkotika 1961 sebagaimana diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976

tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972

yang Mengubahnya dan Konvensi PBB tentang Pemerantasan Peredaran Gelap

Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in

Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988.

UU Narkotika mengatur tentang narkotika, pengadaan narkotika untuk

pelayanan kesehatan (rencana, produksi, penggunaan dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, penyimpanan dan pelaporan), impor dan ekspor (izin

khusus dan surat persetujuan impor, izin khusus dan surat persetujuan ekspor,

pengangkutan, transito, pemeriksaan), peredaran (wajib izin edar, penyaluran,

penyerahan), label dan publikasi, prekursor narkotika (rencana, pengadaan),

pengobatan dan rehabilitasi, pembinaan dan pengawasan, pencegahan dan

pemberantasan (kedudukan, tugas, dan wewenang BNN), proses peradilan, peran serta

masyarakat, penghargaan, dan ketentuan pidana.

UU Narkotika merupakan undang-undang yang mengatur sanksi pidana

dengan pasal-pasal yang paling banyak (38 pasal). UU Narkotika tidak hanya

menyediakan sanksi bagi pengedar atau pemakai yang mengedarkan melainkan setiap

orang yang terkait dengan peredaran dan penyalahgunaan narkotika secara melawan

hukum, termasuk setiap orang yang secara melawan hukum memproduksi,

mengimpor dan mengekspor, penjual dan perantara, pengedar dan penyalahguna,

setiap orang yang secara melawan hukum mengirim atau mengangkut dan

menyediakan transito, setiap orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana

narkotika, percobaan permufakatan jahat, setiap orang yang menghasut anak dibawah

umur untuk melakukan perbuatan pidana narkotika, pecandu yang sudah cukup

umur, nakhoda dan kapten kapal, setiap orang yang menghalang-halangi penyidikan,

setiap orang yang menikmati manfaat dari hasil peredaran atau penyalahgunaan

narkotika, pengurus industri farmasi, paramedik, petugas laboratorium, saksi yang

member keterangan tidak benar, penyidik (kepolisian maupun PPNS), kepala kejaksaan

negeri yang tidak menjalankan tugas sesuai hukum, orang asing, dan orang tua/wali

pengguna yang sengaja tidak melaporkan pengguna yang menyalahgunakan atau

narkotika. Penetapan seluruh ketentuan sanksi itu bertujuan untuk memberantas

tindak pidana narkotika.

UU Narkotika tidak menetapkan kewenangan tertentu bagi Pemerintah Provinsi

untuk mengatur pencegahan, penanganan, dan pemberantasan peredaran dan

penlahgunaan narkotika. Namun demikian, UU Narkotika mengalokasikan posisi

hukum bagi masyarakat untuk berperanserta dalam pencegahan, pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur tentang tata cara

pelaksanaan UU Narkotika, mencakup: transito narkotika (pelaporan, perubahan

negara tujuan, pengemasan kembali, penggantian sarana pengangkut), pengelolaan

barang sitaan (penyitaan dan penyegelan, penyisihan dan pengujian, penyimpanan,

pengamanan dan pengawasan, penyerahan dan pemusnahan), ganti rugi, pemusnahan

narkotika temuan, perlindungan hukum (bentuk dan tatacara perindungan,

pengehentian perlindungan), hasil tindak pidana narkotika, pembinaan dan

pengawasan. PP lebih banyak mengatur cara pelaksanaan kewenangan Menteri, BNN,

dan kepolsian dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing. PP tidak

mengatur kewenangan bagi Pemerintah Provinsi dalam tata cara pelaksanaan UU

Narkotika itu. Demikian juga Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 Tentan Badan

Narkotika Nasional (BNN) hanya mengatur tentang BNN: kedudukan, tugas, fungsi,

dan kewenangan; organisasi BNN; kelompok ahli; wadah peran serta masyarakat; tata

kerja; eselonisasi, pengangkatan, dan pemberhentian; dan ketentuan lainnya berkenaan

dengan eksistensi BNN sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang

bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Tugas BNN mencakup: tugas kebijakan;

pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (P4GN);

tugas koordinasi dengan kepolisian; tugas rehabilitasi sosial pecandu narkotika;

pemberdayaan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika; memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kemampuan masyarakat

dalam pencegahan penyarahgunaan dan peredaran gelap narkotika; tugas kerjasama;

tugas mengembangkan laboratorium; tugas administrasi dan pelaporan; dan tugas

lainnya yaitu menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan

dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan

bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Perpres juga

tidak menyediakan alokasi kewenangan tertentu bagi Pemerintah Provinsi dalam

pengaturan P4GN.

Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pengaturan P4GN baru disediakan

oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Fasilitasi

Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika (selanjutan: Permendagri FP2N). Permen ini

dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, UU

Narkotika, Perpres BNN, dan Permendagri Nomor Nomor 41 Tahun 2010 tentang

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerjasama

Departemen Dalam negeri dan Pemerintah Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan

dan Lembaga Nirlaba Lainnya dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam

Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun

2009 tentang Pedoman Kerjasama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah

dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya dalam Bidang

Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri Organisasi dan Tata Kerja Kementerian

Dalam Negeri dan Politik Dalam Negeri.

Penggantian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah

Daerah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

(selanjutnya: UU Pemda) membuat pengaturan kewenangan Pemerintah Provinsi

dalam pengaturan FP2N perlu disesuaikan dengan alokasi kewenangan baru

Pemerintah Provinsi. Pasal 9 UU Pemda menentukan bahwa Urusan Pemerintahan

terdiri atas:

(a) urusan pemerintahan absolute;

(b) urusan pemerintahan konkuren; dan

(c) urusan pemerintahan umum.

Urusan pemerintahan absolute adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan

Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah

kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi

dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Pasal 11 UU Pemda menentukan bahwa urusan pemerintahan konkuren yang menjadi

kewenangan Daerah terdiri atas:

(a) Urusan Pemerintahan Wajib; dan

(b) Urusan Pemerintahan Pilihan.

Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas:

(a) Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar; dan

(b) Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan

Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.

Pasal 12 UU pemda menentukan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan

dengan Pelayanan Dasar meliputi:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan

f. sosial.

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:

a. tenaga kerja;

b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;

c. pangan;

d. pertanahan;

e. lingkungan hidup;

f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;

g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;

h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;

i. perhubungan;

j. komunikasi dan informatika;

k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;

l. penanaman modal;

m. kepemudaan dan olah raga;

n. statistik;

o. persandian;

p. kebudayaan;

q. perpustakaan; dan

r. kearsipan.

Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi:

a. kelautan dan perikanan;

b. pariwisata;

c. pertanian;

d. kehutanan;

e. energi dan sumber daya mineral;

f. perdagangan;

g. perindustrian; dan

h. transmigrasi.

Pasal 13 ayat (3) UU Pemda menentukan bahwa berdasarkan prinsip akuntabilitas,

efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional, kriteria Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah

kabupaten/kota; dan/atau

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Daerah Provinsi.

Alokasi kewenangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan P4GN ditentukan di

dalam Lampiran I huruf F UU Pemda (Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan

Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota)

sebagai bagian dari alokasi urusan Pemerintahan bidang sosial. Lapiran I huruf F UU

Pemda menentukan bahwa alokasi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam

penyelenggaraan REHABILITASI SOSIAL bukan/tidak termasuk bekas korban

penyalahgunaan NAPZA, orang dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired

Immuno Deficiency Syndrome yang memerlukan rehabilitasi pada panti. Ketentuan

tersebut menunjukkan bahwa alokasi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam bidang

rehabilitasi sosial tidak mencakup rehabilitasi sosial terhadap bekas korban

penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya).

Ketentuan tersebut sepintas terlihat bertolak belakang dengan Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2013 tentang FP2N yang menyediakan kewenangan

bagi Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan P4GN, yaitu terbatas pada FP2N.

Pasal 3 Permendagri FP2N menentukan bahwa Gubernur melakukan fasilitasi

pencegahan penyalahgunaan narkotika di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya.

Bupati/walikota melakukan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika di

kabupaten/kota. Pelaksanaan fasilitasi dilakukan oleh Kepala SKPD yang terkait

dengan pencegahan dan penyalahgunaan narkotika yang dikoordinasikan oleh Kepala

SKPD yang membidangi urusan kesatuan bangsa dan politik. Pasal 4 Permendagri

FP2N menentukan bahwa Gubernur dan bupati/walikota dalam melakukan fasilitasi

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4, melaksanakan tugas, antara lain dalam

bentuk menyusun peraturan daerah mengenai narkotika.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 3 dan Pasal 4 Permendagri FP2N

menentukan alokasi kewenangan bagi Pemerintah Provinsi untuk menyelenggarakan

P4GN, tetapi terbatas pada FP2N, dan untuk keperluan penyelenggaraan kewenangan

itu Pemerintah Provinsi diberi kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah

tentang Narkotika. Kewenangan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran I huruf F

UU Pemda adalah kewenangan untuk melakukan rehabilitasi sosial dan kewenangan

dalam melaksanakan rehabilitasi sosial itu tidak mencakup rehabilitasi sosial terhadap

korban penyalahgunaan NAPZA. Rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan

NAPZA masuk kedalam kategori kewenangan sebagaimana ditentukan di dalam

ketentuan pasal 4 huruf a Permendagri FP2N yang menentukan bahwa fasilitasi

sebagaimana diatur di dalam Permendagri FP2N, yang menurut Permen diharuskan

diatur melalui Perda, mencakup REHABILITASI terhadap korban NAPSA. Pasal 4

Permendagri selengkapnya menentukan sebagai berikut:

Gubernur dan bupati/walikota dalam melakukan fasilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4, melaksanakan tugas sebagai berikut:

d. menyusun peraturan daerah mengenai narkotika yang memuat sekurang-kurangnya: 1. antisipasi dini; 2. pencegahan; 3. penanganan; 4. rehabilitasi; 5. pendanaan; dan 6. partisipasi masyarakat.

e. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pencegahan penyalahgunaan narkotika;

f. melakukan kemitraan/kerjasama dalam rangka pencegahan penyalahgunaan narkotika dengan: 1. Organisasi kemasyarakatan; 2. Swasta; 3. Perguruan tinggi; 4. Sukarelawan; 5. Perorangan; dan/atau 6. Badan hukum

g. melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah dan Komunitas Intelijen Daerah untuk pencegahan penyalahgunaan narkotika; dan

h. menyusun program dan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkotika.

Sekalipun dasar kewenangan pembentukan Permendagri FP2N (UU 32 Tahun

2004) telah diganti dengan UU 23 Tahun 2014, namun penggantian tersebut tidak

sertamerta mengkibatkan kebatalan Permendagri FP2N. Permendagri tetap berlaku,

karena dua alasan: pertama, Permendagri tersebut belum dicabut; kedua, pengaturan

rehabilitasi sosial di dalam Lampiran Lampiran I huruf F UU Pemda justru membatasi

rehabilitasi sosial agar alokasi urusan rehabilitasi sosial itu tidak menyentuh rehabilitasi

terhadap korban penyalahgunaan NAPZA. Lampiran I huruf F UU Pemda membatasi

urusan rehabilitasi sosial pada rehabilitasi yang tidak mencakup rehabilitasi terhadap

korban NAPZA. Pebatasan demikian itu di sisi lain justru menegaskan keberlakuan

Permendagri FP2N, khususnya berkenaan dengan materi rehabilitasi yang diharuskan

diatur di dalam Perda Narkotika, yang menegaskan bahwa rehabilitasi terhadap

korban penyalahgunaan NAPZA merupakan urusan yang berbeda dengan urusan

rehabilitasi sosial sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran I huruf F UU pemda.

Analisis ini menegaskan bahwa Pengaturan FP2N melalui Perda sebagaimana

diharuskan oleh Permendagri FP2N tetap berlaku sekalipun dasar hukum sebagai

landasan yuridis Permendagri telah berubah. Alasan keberlakuan ini, adalah: pertama:

Permendagri FP2N belum dicabut, karena tetap valid dan berlaku sebagai ketentuan

yang harus dilaksanakan; dan kedua, Lampiran I huruf F UU Pemda menegaskan

bahwa rehabilitasi sosial berbeda dengan rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA

dan urusan rehabilitasi sosial sebagaimana diatur di dalam Lampiran itu tidak

mencakup rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA. Ketiga, urusan rehabilitasi

korban penyalahgunaan NAPZA oleh Permerintah diletakkan di dalam pengaturan

tersendiri sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 4 Permendagri FP2N.

Selanjutnya, Pasal 17 UU Pemda menentukan bahwa Daerah berhak menetapkan

kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah. Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah wajib berpedoman

pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah

Pusat. Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tidak mempedomani norma, standar,

prosedur, dan criteria Pemerintah Pusat, Pemerintah Pusat membatalkan kebijakan

Daerah. Karena itu, pembentukan Perda Narkotika dalam rangka pelaksanaan

Permendagri FP2N hendaknya mengancu kepada standar norma sebagaimana

ditentukan di dalam Permendagri tersebut.

Peraturan perundang-undangan dari masa sebelum kemerdekaan dan setelah

masa kemerdekaan menunjukkan bahwa upaya pencegahan, pemberantasan,

penanganan penyalahgunaan narkotika merupakan hal yang sangat penting.

Mengingat terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lainnya seperti :

a. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan

Narkotika Nasional.

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah; dan

c. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor

Pecandu Narkotika

d. Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.

e. Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2011 tentang pelaksanaan Kebijakan

dan Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan

Peredaran Gelap Narkoba.

f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013

Tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.

Dengan demikian dapat diidentifikasi beberapa stake holder (lembaga pelaksana)

yang melakukan beberapa upaya terkait dengan pencegahan, pemberantasan,

penanganan penyalahgunaan narkotika di wilayah Provinsi, diantaranya :

a. Fasilitasi Pencegahan : Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota b. Pemberantasan: BNNP dan Kepolisian c. Penanganan penyalahgunaan narkotika : BNNP

Terkait dengan kewenangan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota

dalam hal fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika, dapat dilakukan oleh

beberapa instansi di daerah, seperti Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan

Perlindungan Masyarakat, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, dengan

menyesuaikan pada kewenangan masing-masing.

B. KARAKTERISTIK MATERI PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Materi pengaturan Perda Narkotika sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4

huruf a Permendagri FP2N seharusnya mengikuti nomenklatur materi perda

sebagaimana ditentukan oleh Permendagri FP2N. Nomenklatur materi pengaturan

dapat ditelusuri dari judul, dasar menimbang, konsiderans mengingat, ketentuan

umum, dan materi peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan

pembentukan Perda. Permendagri FP2N menggunakan judul “Fasilitasi Pencegahan

Penyalahgunaan Narkotika”. Judul Permen ini memberikan indikasi bahwa Perda

Pemerintah Provinsi Bali yang akan dibentuk hendaklah mengatur tentang satu materi

pokok, yaitu: fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika.

Pasal 1 angka 11 Permendagri mendefinisikan FASILITASI sebagai upaya

pemerintah daerah dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika dan mendefinisikan

PENCEGAHAN penyalahgunaan narkotika sebagai segala upaya, usaha atau tindakan

yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab yang bertujuan untuk meniadakan

dan/atau menghalangi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan

narkotika (Pasal 1 angka 5). Pengertian “fasilitasi” memberi indikasi bahwa materi

Perda yang akan dibentuk hendaklah mencakup pencegahan penyalahgunaan dan

pencegahan penyalahgunaan itu hendaklah mencakup materi tentang upaya, usaha

atau tindakan untuk meniadakan dan/atau menghalangi faktor yang menyebabkan

penyalahgunaan. Kedua pengertian ini tidak memperjelas apa yang perlu diatur di

dalam perda atau apakah cakupan materi perda. Karena itu, cakupan materi perda

yang diamanatkan itu perlu ditelusuri dari materi pengaturan Permendagri.

Arahan materi Perda secara jelas diatur di dalam Pasal 4 sampai Pasal 9

Permendagri FP2N. Pasal 4 huruf a Permendagri menentukan bahwa peraturan daerah

mengenai narkotika yang akan dibentuk sebagai pelaksanaan amanat Permendagri

memuat sekurang-kurangnya:

(1) antisipasi dini;

(2) pencegahan;

(3) penanganan;

(4) rehabilitasi;

(5) pendanaan; dan

(6) partisipasi masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka

pencegahan penyalahgunaan narkotika;

Pasal 4 huruf b menentukan bahwa Perda hendaknya juga mengatur tentang program

kemitraan/kerjasama dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika dan kerjasama itu

hendaknya mencakup beberapa pemangku kepentingan, yang utama adalah:

(a) Organisasi kemasyarakatan;

(b) Swasta;

(c) Perguruan tinggi;

(d) Sukarelawan;

(e) Perorangan; dan/atau

(f) Badan hukum

Pasal 4 huruf c menegaskan bahwa penyelenggaraan program fasilitasi dalam rangka

pencegahan itu hendaklah melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum

Kewaspadaan Dini, Masyarakat di Daerah, dan Komunitas Intelijen Daerah untuk

pencegahan penyalahgunaan narkotika; dan dalam huruf c ditentukan bahwa untuk

keperluan penyelenggaraan itu, pemerintah provinsi perlu menyusun program dan

kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkotika.

Pasal 5 Permendagri menentukan bahwa fasilitasi pencegahan penyalahgunaan

narkotika, dilakukan melalui kegiatan antara lain:

a. seminar;

b. lokakarya;

c. workshop;

d. pagelaran, festival seni dan budaya;

e. outbond seperti jambore, perkemahan, dan napak tilas;

f. perlombaan seperti lomba pidato, jalan sehat, dan cipta lagu;

g. pemberdayaan masyarakat;

h. pelatihan masyarakat;

i. karya tulis ilmiah; dan

j. sosialisasi, diseminasi, asistensi dan bimbingan teknis.

Pasal 6 Permen menentukan bahwa Bupati/Walikota melaporkan

penyelenggaraan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika lingkup

Kabupaten/Kota Kepada Gubernur. Gubernur melaporkan penyelenggaraan fasilitasi

pencegahan penyalahgunaan narkotika lingkup provinsi Kepada Menteri Dalam

Negeri. Pelaporan itu dilakukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-

waktu jika diperlukan. Pasal 7 menentukan bahwa laporan itu menjadi bahan evaluasi

dan penyusunan kebijakan lebih lanjut. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Perda

Pemerintah Provinsi yang akan dibentuk juga perlu mengatur tentang Gubernur

menerima laporan dari pemerintah Kabupaten/Kota dan Gubernur menyampaikan

laporan kepada Mendagri.

Pasal 8 menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal

Kesatuan Bangsa dan Politik melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika di provinsi. Gubernur melalui Kepala

SKPD Provinsi yang membidangi urusan Kesatuan Bangsa dan Politik melakukan

pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan

narkotika di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya. Bupati/Walikota melalui

Kepala SKPD Kabupaten/Kota yang membidangi urusan Kesatuan Bangsa dan Politik

melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan fasilitasi pencegahan

penyalahgunaan narkotika di Kabupaten/Kota. Ketentuan ini menunjukkan bahwa

Perda tersebut hendaknya juga mengatur tentang pembinaan dan pengawasan FP2N.

Pasal 9 menentukan bahwa pendanaan penyelenggaraan fasilitasi pencegahan

penyalahgunaan narkotika bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah Kabupaten/Kota serta sumber-sumber lain yang sah dan tidak

mengikat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Perda juga harus mengatur tentang

pembiayaan kegiatan yang oleh Permendagri diamatkan menggunakan APBD.

Berdasarkan analisis tersebut, maka Perda FP2N Pemerintah Provinsi Bali

sekurang-kurangnya mengatur tentang:

(1) antisipasi dini;

kegiatan antisipasi dini yang dimaksud dalam hal pendidikan, dimana

pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota melakukan upaya antisipasi sejak

dini kepada anak-anak sekolah serta melakukan identifikasi terhadap situs-situs

atau sumber-sumber yang bisa menjadikan sarang tempat didapatkannya

narkotika itu.

(2) pencegahan;

Pencegahan dalam hal ini dapat dikaitkan dengan Instruksi Presiden Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Dan Strategi Nasional Pencegahan

dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun

2011-2015, menekankan pada upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan

menengah dan mahasiswa memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan obat-obat terlarang.

Disamping itu juga upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap,

dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan obat-

obat terlarang. Dengan demikian pencegahan menekankan pada upaya

penyadaran akan bahaya narkotika.

(3) penanganan;

tindakan penanganan ini ditujukan upaya medis dalam menangani

penyalahgunaan narkotika tentunya harus berkoordinasi dengan institusi terkait

seperti BNN.

(4) rehabilitasi;

merupakan upaya untuk mengubah stigma terhadap ketergantungan narkotika,

melalui pola disasosiasi diharapkan mengubah perilaku dalam melihat

narkotika, serta melakukan upaya pendampingan agar diterima di lingkungan

sosial.

(5) kemitraan dan kerjasama;

merupakan upaya dalam melakukan kerjasama dengan institusi-institusi terkait.

(6) pembinaan dan pengawasan;

pembinaan dan pengawasan yang dimaksud agar pemerintah daerah betul-betul

optimal dalam menjalankan kewajibannya dalam melakukan upaya fasilitasi

pencegahan penyalahgunaan narkotika.

(7) laporan;

laporan terkait dengan evaluasi kinerja

(8) pendanaan;

terkait dengan komitmen pemerintah daerah dalam mengalokasikan dana

terkait dengan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika serta tindakan-

tindakan tersebut berdasarkan asas akuntabilitas.

(9) partisipasi masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka

pencegahan penyalahgunaan narkotika.

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Standar materi Bab ini ditentukan di dalam Lapiran I angka 4 UUP3. Landasan

filosofis, sosilogis, dan yuridisLandasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan

yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan

pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta

falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan sosiologis merupakan

pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis

sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan

kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau

alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi

permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan

aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin

kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut

persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga

perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum

itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau

tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya

berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya

memang sama sekali belum ada.

A. LANDASAN FILOSOFIS

Landasan filosofis mencakup mencakup landasan filsafat hukum dan filsafat

keilmuan ilmu hukum. Landasan filsafat keilmuan ilmu hukum memberikan orientasi

ontologis, epistemelogis, dan aksiologis ilmu hukum terhadap pengaturan obyek

hukum yang diatur melalui suatu produk hukum tertentu. Orientasi ontologis

pengaturan FP2N sebagai obyek hukum yang diatur melalui Perda Pemerintah

Provinsi Bali adalah karaktersitik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan, dan

dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Narkotika merupakan zat obat

yang sangat bermanfaat bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tetapi pada sisi

laina juga merupakan sumber masalah sosial. Ketergantungan terhadap narkotika

bukan hanya potensial menghancurkan kehidupan seseorang, tetapi juga keluarga dan

lingkungan sosial si pengguna. Sifat karakteristik dari narkotika, peredaran dan

penyalahgunaan, dan dampak peredaran dan penyalahgunaan merupakan bentuk

ekspektasi obyek yang harus direspon secara tepat dan akurat melalui struktur dan

materi norma hukum yang mengatur obyek itu. Hanya dengan model perancangan

demikian itu suatu pembentukan produk hukum daerah akan berfungsi dan

memberikan manfaat sesuai dengan harapkan atau tujuan pengaturan.

Landasan kefilsafatan hukum mencakup landasan nilai hukum yang digunakan

sebagai dasar perancangan produk hukum daerah. Landasan kefilsafatan demikian itu

telah dirumuskan kedalam bentuk rumusan Pancasila dasar filsafat negara dan

Pembukaan UUD 1945 sebagai norma dasar hukum negara. Negara berkewajiban

melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Tujuan

negara ini merupakan bentuk peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia

Indonesia khususnya masyarakat Bali. nilai demikian itu juga dijabarkan kedalam visi

pemerintahan Pemerintah Provinsi Bali, Bali Mandara (Maju, Aman, Damai, Sejahtera).

Kendati Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) merupakan hal yang

penting di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun bentuk

penyalahgunaannya menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kelangsungan hidup

masyarakat. Upaya pembangunan masyarakat Bali yang berkualitas dapat diwujudkan

melalui upaya Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.

Pembangunan masyarakat Bali yang sejahtera akan menunjang pembangunan

nasional dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan

spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan

nasional dan visi Bali MANDARA, perlu dilakukan upaya secara terus menerus

termasuk di bidang keamanan dan ketertiban serta di bidang kesejahteraan rakyat

dengan memberikan perhatian khusus terhadap bahaya dan penyalahgunaan

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Adapun penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan psikotropika dapat mengancam kehidupan individu,

masyarakat daerah, ketahanan nasional, bangsa, dan negara Indonesia.

Landasan demikian ini, dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan

negara, ditransformasikan kedalam azas pengaturan yang dianut oleh berbagai

peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan dalam

pengaturan FP2N. Pasal 3 UU Narkotika menentukan bahwa Undang-Undang tentang

Narkotika diselenggarakan berasaskan:

a. keadilan;

b. pengayoman;

c. kemanusiaan;

d. ketertiban;

e. perlindungan;

f. keamanan;

g. nilai-nilai ilmiah; dan

h. kepastian hukum.

Azas-azas tersebut mewadahi kepentingan pengaturan P4GN yang berangkat dari

karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dan dampak

peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Asas-asas tersebut menyeimbangkan

kepentingan antara perlakuan hukum terhadap narkotik sebagai zat obat dan narkotik

sebagai obyek peredaran gelap dan penyalahgunaan. Penyeimbangan kepentingan

demikian itu disimpul dengan asas keadilan yang bertujuan untuk melindungi dan

meningkatkan manfaat narkotika dan memberantas sisi merusak dari peredaran dan

penyalahgunaannya.

Azas demikian itu kemudian diperkuat dengan azas perancangan produk legislasi

sebagaimana diatur di dalam UUP3. Pasal 5 UUP3 menentukan bahwa

pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada

asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Pasal 6 UUP3 menentukan bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan

harus mencerminkan asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Secara teoritik, asas perancangan dan materi produk hukum daerah itu dapat

disimpulkan kedalam tiga asas hukum primer, yaitu: kepastian, keadilan, dan

kemanfaatan. Suatu perancangan dan materi produk hukum daerah harus

mencerminkan ketiga asas itu.

B. LANDASAN SOSIOLOGIS

Landasan sosiologis sesungguhnya merupakan landasan sosiolegal, yaitu

landasan sosiologis hukum. Landasan sosilogis hukum merupakan landasan sosiologis

bagi produk hukum yang akan dibentuk. Landasan ini secara teoritik merupakan

bentuk landasan kontekstual, yaitu landasan yang mensyaratkan produk hukum

daerah berorientasi pada ekspektasi masyarakat Bali. Ekspektasi masyarakat Bali

adalah kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari karakteristik narkotika, karakteristik

peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dan karakteristik dampak peredaran dan

penyalahgunaan narkotika dalam tata kehidupan masyarakat Bali.

Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang menarik di dunia. Banyaknya

wisatawan mancanegara (wisman) yang menikmati keindahan alam Pulau Bali ini

membawa berkah bagi pendapatan daerah. Di sisi lain juga membawa pengaruh negatif

dalam gaya hidup penggunaan narkotika serta peredarannya. Mengingat tren

penggunaan narkotika saat ini telah dianggap menjadi bagian dari gaya hidup yang

negatif dari anak muda. Maka diperlukannya upaya pencegahan melalui penyadaran-

penyadaran kepada masyarakat akan bahaya narkotika. Pentingnya penyadaran ini,

sebagai daya tangkal meningkatnya jumlah pecandu narkotika serta efektif dalam

mengurangi jumlah peredaran narkotika di Bali. Disamping itu upaya rehabilitasi

terhadap pecandu narkotika merupakan salah satu cara mengurangi tingkatan

peredaran narkotika di Bali. Dengan demikian pemberantasan narkotika bukan lagi

sebagai tanggung jawab pemerintah semata, melainkan juga tanggung jawab bersama

masyarakat.

C. LANDASAN YURIDIS

Landasan yuridis merupakan landasan validitas norma, yaitu landasan yang

menentukan validitas dan keberlakuan norma. Suatu norma valid hanya jika

pembentuknya memiliki dasar kewenangan dan materinya bersumber pada peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, landasan yuridis Perda

Narkotika yang akan dibentuk adalah: UU Pemda, UU Narkotika, dan peraturan

perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari kedua UU tersebut. peraturan

perundangan itu merupakan peraturan perundang-undangan yang meyediakan

landasan YURIDIS FORMAL dan LANDASAN YURIDIS MATERIAL. Landasan

yuridis formal adalah landasan yang menyediakan dasar kewenangan dan landasan

yuridis material adalah peraturan perundang-undangan yang menyediakan batasan-

batasan luasan materi dan materi peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk.

Landasan demikian ini dicantumkan di dalam bagian dasar mengingat dari produk

hukum yang dibentuk. Lampiran II B.4 angka 24 menentukan bahwa dasar hukum

memuat:

a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan

b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Dengan demikian, bagian dasar mengingat hanya memuat undang-undang atau

peraturan perundang-undangan yang MENYEDIAKAN DASAR KEWENANGAN

dan/atau MEMERINTAHKAN PEMBENTUKAN produk hukum yang akan dibentuk.

UU atau Peraturan perundang-undangan yang tidak memuat materi itu tidak perlu

dicantumkan di dalam bagian dasar mengingat. Demikian juga dalam rangka

mengoptimalisasi upaya pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah dan

menangani penyalahgunaan narkotika, peraturan daerah Provinsi Bali yang dibentuk

hanya perlu mencamkan peraturan perundang-undangan yang memuat kedua materi

tersebut.

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Standar materi Bab ini ditentukan di dalam Lampiran I angka 5 UUP3. Naskah

Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan

Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum

menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan

diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang

telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup

materi pada dasarnya mencakup:

b. konstruksi judul;

c. konstruksi konsiderans menimbang;

d. konstruksi konsiderans mengingat;

e. konstruksi asas pengaturan;

f. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan

frasa;

g. materi yang akan diatur;

h. ketentuan sanksi; dan

i. ketentuan peralihan.

Berdasarkan standar arahan materi itu dan berdasarkan analisis terhadap materi

Permendagri FP2N, maka kerangka judul, dasar menimbang, dasar mengingat, dan

materi Perda FP2N Pemerintah provinsi Bali sekurang-kurangnya memuat materi

berikut:

a. rancangan judul:

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI

NOMOR [ ]

TENTANG

FASILITASI PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

b. rancangan konsiderans menimbang:

(a) bahwa narkotika merupakan zat obat yang umum digunakan dalam pelayanan

kesehatan dan dapat menjadi sumber masalah sosial apabila disalahgunakan;

(b) bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2013 mengamatkan

pembentukan peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan fasilitasi

pencegahan penyalahgunaan narkotika;

(c) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada hukuf a dan

huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Fasilitasi

pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.

c. konstruksi konsiderans mengingat;

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 1958 Tentang

Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa

Tenggara Timur.

- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah;

- Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

j. konstruksi asas pengaturan;

- keadilan;

- pengayoman;

- kemanusiaan;

- ketertiban;

- perlindungan;

- keamanan;

- nilai-nilai ilmiah; dan

- kepastian hukum.

k. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan

frasa;

l. materi yang akan diatur;

- antisipasi dini;

- pencegahan;

- penanganan;

- rehabilitasi;

- kemitraan dan kerjasama;

- pembinaan dan pengawasan;

- laporan;

- pendanaan; dan

- partisipasi masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka

pencegahan penyalahgunaan narkotika.

m. ketentuan sanksi; dan

n. ketentuan peralihan.

BAB VI

PENUTUP

Standar materi Bab ini ditentukan di dalam Lapiran I angka 6 UUP3. Bab

penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. Simpulan memuat rangkuman pokok

pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan

asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Saran memuat antara lain:

1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan

Perundang-undangan atau Peraturan Perundangundangan di bawahnya.

2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-

Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program Legislasi Nasional/Program

Legislasi Daerah.

3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan

Naskah Akademik lebih lanjut.

A. KESIMPULAN

1. Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa pembentukan Pemerintahan

Negara Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia. Rumusan alinea ke-4 ini merupakan konstruksi

teoritis faham negara integralisitik yang berorientasi pada perlindungan bangsa

secara menyeluruh, bukan sekelompok atau golongan tertentu. Negara mengambil

peran melindungi dalam arti menjaga dan menyelamatkan segenap bangsa dari

berbagai ancaman bahaya yang membahayakan kehidupan bangsa. Upaya

perlindungan demikian itu dilakukan melalui pembentukan peraturan perundang-

undangan sebagai cerminan konstruktif dari bentuk negara, negara berdasarkan

atas hukum. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus taat asas dan taat

materi pengaturan sebagaimana diatur di dalam UUP3.

2. Kajian empiris terhadap karakteristik narkotika, peredaran dan penyalahgunaan

narkotika, dan dampak peredaran dan penyalahgunaan narkotika menunjukkan

bahwa narkotika merupakan zat obat yang potensial disalahgunakan dan menjadi

sumber problem kesehatan dan problem sosial masyarakat. Sifat adiktif pada zat

dan sifat peredaran yang bersifat global dan memanfaatkan teknologi tinggi

melahirkan kebutuhan terhadap arti penting pengaturan P4GN di daerah dengan

batas-batas yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur

kewenangan daerah provinsi berkenaan dengan hal itu.

3. Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan menghasilkan fakta hukum

yang menunjukkan bahwa UU Pemda dan Permendagri FP2N menyediakan alokasi

kewenangan yang menentukan bahwa struktur, ruang lingkup, dan materi

pengaturan P4GN di tingkat provinsi terbatas kewenangan pemerintah provinsi

untuk membentuk Perda provinsi untuk mengatur P4GN terbatas pada pengaturan

FP2N.

4. Permendagri FP2N menentukan bahwa materi Perda Narkotika dalam pengaturan

pencegahan dan penanggulangan dampak peredaran dan penyalahgunaan

narkotika terbatas pada: (a) antisipasi dini; (2) pencegahan; (3) penanganan; (4)

pendanaan; (5) pendanaan; (6) partisipasi masyarakat.

B. SARAN

1. Pemerintah Provinsi Bali disarankan untuk membentuk Perda Provinsi sesuai dasar

kewenangan dan materi kewenangan sebagaimana ditentukan oleh UU Pemda dan

Permendagri FP2N.

2. Perda Provinsi Bali yang mengatur FP2N disarankan menggunakan judul yang

sama dengan Permendagri, yaitu FP2N, sebagai cerminan dari batas materi

kewenangan Pemerintah provinsi dalam mengatur penyelenggaraan P4GN.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Asshidiqqie, Jimly, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Attamimi, Hamid, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia. Badan Narkotika Nasional, 2015, Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkotika Tahun Anggaran 2014, Jakarta. Chen, Lung-chu, 1989, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York. Collin, PH, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dicey, A.V, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company. George Whitecross Paton,1951, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford. Kelsen, Hans, 2006, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick. Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta. McDougal, Myres S. and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St. Johnston and J. Macdonald Douglas, 1983, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague. Putra, Ida Bagus Wyasa, 2015, Filsafat Ilmu: Filsafat Ilmu Hukum, Udayana University Press.

Putra, Ida Bagus Wyasa, 2015, Analisis Konteks Dalam Epistemelogi Ilmu Hukum, Universitas Udayana. Ranggawidjaja, H. Rosjidi, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung. Soeprapto, Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta. Jurnal Data (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika) P4GN 2013 Edisi 2014. INTERNET Kompas.com, 4 Januari 2015, Kunjungan Wisman Ke Bali Meningkat 14,78 Persen, http://travel.kompas.com/read/2015/01/04/094531627/Kunjungan.Wisman.ke.Bali.Meningkat.14.78.Persen Antarabali.com, 30 Desember 2014, Polda Bali Tuntaskan 947 persen Kasus Narkotika, http://www.antarabali.com/berita/65317/polda-bali-tuntaskan-947-persen-kasus-narkotika Balipost.com, 15 Juli 2014, Di Denpasar Siswa SMP Berani Pesta Narkotika Jenis Baru, http://balipost.com/read/headline/2014/07/15/16924/di-denpasar-siswa-smp-berani-pesta-narkotika-jenis-baru.html Beritadewata.com, 25 Februari 2015, Polresta Denpasar Meringkus Tujuh Pengedar dan Pengguna Narkotika, http://beritadewata.com/Hukum-dan-Kriminal/Hukum/Polresta-Denpasar-Meringkus-Tujuh-Pengedar-dan-Pengguna-Narkotika.html rri.co.id, 17 Juli 2014, Polisi Gerebek Pesta Narkotika di Hotel The Grey Kuta Bali http://rri.co.id/post/berita/92083/daerah/polisi_gerebek_pesta_narkotika_di_hotel_the_grey_kuta_bali.html www.dedihumas.bnn.go.id, Dampak Langsung dan Tidak Langsung Penyalahgunaan Narkotika, ttp://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/03/20/957/dampak-langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkotika http://www.narcotics.com/history, diakses terakhir 29/10/2015. Single Convention on Narcotic Drug 1961, Protocol Majelis Umum PBB 1972.

Metrotvnews.com, 28 Septeber 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari Akibat Narkotika, http://news.metrotvnews.com/read/2013/09/28/184807/bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia-akibat-narkotika http://www.narcotics.com/history, diakses terakhir 29/10/2015. Metrotvnews.com, 28 Septeber 2013, BNN: 50 orang Tewas Tiap Hari Akibat Narkotika, http://news.metrotvnews.com/read/2013/09/28/184807/bnn-50-orang-tewas-tiap-hari-di-indonesia-akibat-narkotika.

LAMPIRAN 1: SPK