keratitis hsv
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari
media refraksi, kornea juga berfungsi sebagai superfic pelindung dan jendela yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu epitel,
superfic bowman, stroma, superfic descemet, dan endotel. Endotel lebih penting
daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada
endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera
pada epitel hanya menyebabkan edema super sesaat pada stroma kornea yang
akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi.
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang
terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya.
Keratitis diklasifikasikan berdasarkan lapisan pada kornea yang terkena, keratitis
1uperficial dan keratitis profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis
karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis
reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.
Pada keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris
yang meradang keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan
merasa ada yang mengganjal atau kelilipan.
1
Tujuan Penulisan
1. mengetahui secara umum mengenai anatomi kornea
2. mengetahui defenisi dan klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea
yang terkena
3. mengetahui definisi, gambaran klinis, diagnosis dan pengobatan keratitis
herpes simplek (keratitis dendritika)
4. Memenuhi tugas Referat Kepaniteraan Klinik junior Ilmu penyakit Mata di
RSU Raden Mattaher
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI KORNEA
A. STRUKTUR KORNEA
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran
11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari
total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber
astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.
Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak
dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva.
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal
lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan
film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis
sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit
dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya
regenerasi
3
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya
generasi.
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar
sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter
kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serta kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama, dan kadang sampai 15 bulan.
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak
amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus
seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari
kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan
epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat
menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel,
stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya
transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
4
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan.
Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus
B. FISIOLOGI KORNEA
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan
air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut,
yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea
superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air
sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
bakteri, virus, amuba, dan jamur
5
C. DEFENISI DAN KLASIFIKASI KERATITIS
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus, dan jamur. Biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang
terkena : yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman
dan keratitis profunda apabila mengenai lapisan stroma.
Klasifikasi keratitis berdasarkan lokasi yang terkena dari lapisan kornea :
1. Keratitis superfisialis
a. Keratitis epitelial
1) Keratitis pungtata superfisialis
2) Herpes simplek
3) Herpes zoster
b. Keratitis subepitelial
1) Keratitis didiformis dari Westhoff
2) Keratitis numularis dari Dimmer
c. Keratitis stromal
1) Keratitis neuroparalitik
2. Keratitis profunda
a. Keratitis sklerotikan
b. Keratitis intersisial
c. Keratitis disiformis
Dalam referat ini akan dibahas mengenai keratitis herpes simplek
KERATTITIS HERPES SIMPLEK
Virus herpes simplek menempati manusia sebagai host, merupakan parasit
intraseluler obligat, dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut,
vagina dan mata. Pada mata virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan
epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui
kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang
mengandung virus. Keratitis herpes simplek dapat terjadi sepanjang tahun, kasus
pada laki – laki kurang lebih dua kali perempuan, masa inkubasi 2 hari hingga 2
minggu.
6
A. Bentuk Infeksi
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan
sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi
reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen
antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan
bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma
disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang
epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
menyerang virus dan reaksi radangnya.
B. Temuan klinis
Herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan, dan bermanifestasi
sebagai blefarokonjugtivitis vesikuler, kadang – kadang mengenai kornea, dan
umumnya terdapat pada anak – anka muda. Bentuk ini umumnya dapat sembuh
sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus
topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai
terapi untuk penyakit kornea.
Serangan keratitis herpes jenis rekurens umum dipicu oleh demam, pajanan
berlebihan terhadap cahaya UV, trauma, stress psikis, awal menstruasi, atau
sumber imunosupresi lokal atau sistemik lainnya. Umunya unilateral, namun lesi
bilateral dapat terjadi pada 4 – 6% kasus dan paling sering pada pasien atopik.
1. Gejala.
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan.karena anestesi kornea
umumnya timbuil pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin
tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh demam atau infeksi herpes
lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala
infeksi herpes rekurens.
2. Lesi
Gambaran yang khas pada kornea adalah adanya lesi bentuk dendritik,
bentuk ini terjadi pada epitel kornea, memiliki percabangan linear khas dengan
tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein
7
memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga
menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam
diagnosis diferensial.
Gambar. Keratitis dendritika
Akan tetapi ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu
sebentuk penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih
lebar. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik,
menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis
epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun
semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam
satu dua hari.
Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan mirip
hantu, yang bentuknya sesuai dengan defek epitelial asli namun sedikit lebih
besar, terlihat di daerah tepat dibawah lesi epitel. ”hantu” itu tetap superfisial
namun sering bertambah nyata karena pemakaian obat antivirus, khususnya
idoxuridine. Biasanya lesi subepitelial ini tidak menetap lebih dari satu tahun.
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada
infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa
infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup
berat untuk membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat
endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh
endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Patogenesis pada
keratitis disciformis umumnya dipandang sebagai sebuah reaksi imunologik
terhadap antigen virus dalam stroma atau endotel, namun penyakit virus aktif
tidak dapat dikesampingkan. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang
imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah
berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan
8
penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal. Gambaran
klinik terlihat serupa pada keratitis endotelial primer (endotelitis),
Yang dapat disertai uveitis anterior dengan tekanan intraokuler yang meninggi dan
peradangan fokal pada iris. Ini dianggap akibat reflikasi virus didalam berbagai di
kamera anterior.
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid
topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan
superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus
diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi
dapat saja ada dan dapt pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi
harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion
dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fung sekunder.
Lesi perifer kornea dapat pula ditimbulkan oleh HSV. Lesi – lesi ini
umumnya linear dan menunjukan kehilangan epitel sebelum stroma kornea
dibawahnya mengalami infiltrasi. Uji sensasi kornea tidak dapat diandalkan pada
penyakit herpes perifer. Pasien cenderung jauh kurang fotofobik dari pada pasien
infiltrat kornea non herpetik. Ulserasi umumnya jarang terjadi.
C. Diagnosis
Gambaran spesifik dendrit tidak memerlukan konfirmasi pemeriksaan yang
lain. Apabila gambaran lesi tidak spesifik maka diagnosis ditegakan berdasarkan
gambaran klinis infeksi kornea yang relatif sedang, dengan tanda – tanda
peradangan yang tidak berat serta riwayat penggunaan obat – obatan yang
menurunkan resistensi kornea seperti : anestesi lokal, kortikosteroid dan obat –
obatan imunosupresif. Apabila fasilitas memungkinkan dilakukan kultur virus dan
jaringan epitel dan lesi stroma.
D. Diagnosis banding
- Keratitis zooster
- Vaksinia
- Keratitis stafilococcus
9
E. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan
meninggalkan gejala sisa.
F. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil
replikasi efek merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik
virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung
kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien hars diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumnyadala 72 jam. Pengobatan tabahan dengan anti virus
tpikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel
pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada
kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trfluridine dan acyclovirjauh lebih efektif
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan
penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap
penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter
trhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan
pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease
study).
Reflikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam
10
hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat
merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea,
yang meningkatkan risiko perporasi kornea. Jika memang perlu memakai
kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali
ditambahkan obat anti virus secuukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
3. Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi
herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang
diperlukanuntuk mencegah penolakantransplantasi kornea. Juga sulit dibedakan
penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri
atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil
kemungkinanterjadi penilakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau
tarsorafimungkin diperlukan untuk pemulihandefek epitel yang terdapat
padakeratitis herpes simplek.
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga
kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme
pemicunya. Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu
itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan
berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan –
keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat
diminum sebelum menstruasi.
11
BAB III
PENUTUP
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus, dan jamur. Biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang
terkena : yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman
dan keratitis profunda apabila mengenai lapisan stroma.
Keratitis herpes simplek merupakan keratitis superfisial yang membentuk
garis infiltrat pada permukaan kornea yang kemudian membentuk cabang.
Disebabkan oleh virus herpes simpleks, yang bisanya bermanifestasi dalam bentuk
keratitis dengan gejala ringan seperti fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan
menurun, konjungtiva hiperemia disertai dengan sensibilitas kornea yang
hipestesia.
Bentuk dendrit ini terjadi akibat pengrusakan aktif sel epitel kornea oleh
virus herpes simpleks disertai dengan terlepasnya sel di atas kelainan. Bentuk
dendrit ini dapat berlanjut menjadi bentuk geografik, yang biasanya tidak
mengenai jaringan stroma kornea.
Pengobatan kadang – kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh
spontan dengan melakukan debridement. Dapat juga dengan memberikan antivitus
dan sikopegik, antibiotika dengan bebat tekan. Antivirus seperti IDU 0,1%
diberikan setiap 1 jam atau asiklovir. Keratitis dendritik dapat menjadi indolen
sehingga terjadi tukak kornea
12
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea, San
Fransisco 2006-2007 : 8-12, 157-60.
2. Vaugan Daniel G, Asbury Taylor, Riordan Paul-Eva. Oftalmologi umum edisi
14 : Kornea. Widya Medika Jakarta 1995 : 136-38
3. Ilyas, Sidarta. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2000 :52.
4. Ilyas, Sidarta . Ilmu penyakit mata PERDAMI. Edisi kedua. CV sagung seto
jakarta, 2002 114 -5,120 -31
5. Ilyas, Sidarta Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta,
2005 : 147-58
6. http://en.wikipedia.org/wiki/Cornea#Structure
7. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal: 56
8. Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis ". Journal of the
American Medical Association; 144:1544-1549. Available at : http://webeye.
ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm
9. Ilyas, Sidarta. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2003.
10. www.medscape.com/ Keratitis article
13