kepemimpinan transformasional dan perilaku...

27
Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011: 36-62 36 KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN PERILAKU KEWARGAAN ORGANISASIONAL DI POLITEKNIK NEGERI LHOKSEUMAWE HILMI Politeknik Negeri Lhokseumawe ABSTRACT This study aims to determine the relationship between transformational leadership with organizational citizenship behavior in Lhokseumawe State Polytechnic. The results showed that transformational leadership variable has positive and significant impact on Organizational Citizenship Behavior variable in Lhokseumawe State Polytechnic. Whereas based on correlation coefficient obtained that the value of correlation (R) = 0.493 which showed that the degree of relationship between independent variable with dependent variable is 49.3%. Means, Transformational leadership (X) has a strong relationship to Organi- zational Citizenship Behavior in Lhokseumawe State Polytechnic, or Trans- formational Leadership variable (X) has a weak interaction toward Organizational Citizenship Behavior in Lhokseumawe State Polytechnic. Key Words: Transformational Leadership, Organizational Citizenship Behavior. PENDAHULUAN Daya dorong paling penting dari kesuksesan organisasi adalah peningkatan kinerja untuk mencapai hasil yang berkualitas tinggi dan keunggulan kooperatif. Orang-orang yang ada di dalam organisasi merupakan aset yang paling penting dan bagaimana organisasi mengelola orang-orang tersebut akan memiliki dampak yang langsung terhadap kinerja organisasi. Jika organisasi mengembangkan pegawai yang memiliki kemampuan, fleksibilitas dan motivasi, maka organisasi akan memiliki kontrol terhadap kemampuan mereka mencapai hasil dan tujuan organisasi dalam lingkungan yang selalu berubah. Pikiran seperti ini telah membuat banyak organisasi lebih fokus pada pengembangan kekuatan sumber daya internal tanpa mengenyampingkan pengaruh dari luar. Perbedaan yang terjadi pada sejumlah pendidikan tinggi (dalam hal ini politeknik di Indonesia) yang memiliki kinerja sangat baik dengan yang berkinerja

Upload: lamduong

Post on 17-Jun-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011: 36-62

36

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN PERILAKU KEWARGAAN ORGANISASIONAL

DI POLITEKNIK NEGERI LHOKSEUMAWE

HILMI Politeknik Negeri Lhokseumawe

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between transformational leadership with organizational citizenship behavior in Lhokseumawe State Polytechnic. The results showed that transformational leadership variable has positive and significant impact on Organizational Citizenship Behavior variable in Lhokseumawe State Polytechnic. Whereas based on correlation coefficient obtained that the value of correlation (R) = 0.493 which showed that the degree of relationship between independent variable with dependent variable is 49.3%. Means, Transformational leadership (X) has a strong relationship to Organi-zational Citizenship Behavior in Lhokseumawe State Polytechnic, or Trans-formational Leadership variable (X) has a weak interaction toward Organizational Citizenship Behavior in Lhokseumawe State Polytechnic.

Key Words: Transformational Leadership, Organizational Citizenship Behavior.

PENDAHULUAN

Daya dorong paling penting dari kesuksesan organisasi adalah peningkatan

kinerja untuk mencapai hasil yang berkualitas tinggi dan keunggulan kooperatif.

Orang-orang yang ada di dalam organisasi merupakan aset yang paling penting dan

bagaimana organisasi mengelola orang-orang tersebut akan memiliki dampak yang

langsung terhadap kinerja organisasi. Jika organisasi mengembangkan pegawai

yang memiliki kemampuan, fleksibilitas dan motivasi, maka organisasi akan

memiliki kontrol terhadap kemampuan mereka mencapai hasil dan tujuan organisasi

dalam lingkungan yang selalu berubah. Pikiran seperti ini telah membuat banyak

organisasi lebih fokus pada pengembangan kekuatan sumber daya internal tanpa

mengenyampingkan pengaruh dari luar.

Perbedaan yang terjadi pada sejumlah pendidikan tinggi (dalam hal ini

politeknik di Indonesia) yang memiliki kinerja sangat baik dengan yang berkinerja

37

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

kurang baik adalah merupakan hasil dari fokus pada “bagaimana: hasil kinerja

tersebut dicapai tidak hanya pada “apa” yang akan dicapai. Sementara pengetahuan

dan keahlian tetap merupakan komponen yang sangat relevan dari kemampuan

pegawai beberapa politeknik yang berkinerja sangat baik mempersepsikan bahwa

kompetensi perilaku (nilai-nilai, motif, dan karakteristik perilaku) yang disebut

sebagai “soft competensies”lah yang membuat adanya perbedaan dalam kinerja

sehari-hari (warta politeknik, 2009).

Banyak perguruan tinggi telah mengadopsi manajemen sumber daya manusia

berbasis kompetensi sebagai sebuah alat untuk meningkatkan produktivitas untuk

memperbaiki atmosfir atau suasana kerja yang positif dalam hubungan antar

pegawai atau hubungan kerja, upaya-upaya ini dianggap bermanfaat sebagai usaha

organisasi untuk meningkatkan tingkat daya saing dengan menggunakan penge-

tahuan, kemampuan dan perilaku. Oleh karena itu peran sumber daya manusia di

dalam organisasi mengalami penggeseran ke arah yang lebih statejik sebagai upaya

mencapai tujuan organisasi.

Pegawai diposisikan sebagai mitra stratejik bagi pimpinan dalam meng-

upayakan agar seluruh komponen dan sumber daya organisasi dapat memberikan

kontribusi dan kinerja terbaik agar sasaran organisasi dapat dicapai. Dengan

demikian pimpinan harus dapat mentransformasikan dirinya (transformational

leadership) dari peran yang lebih banyak sebagai pelaksanaan administratif

(administrative doer) menjadi peran yang lebih banyak sebagai fasilitator stratejik

(strategic facilitator) bagi organisasi.

Perubahan peran ini untuk tingkat profesionalisme yang berbeda dari pegawai

yang terikat dengan fungsi sumber daya manusia struktur organisasi pegawai.

Politeknik Negeri Lhokseumawe yang saat ini berjumlah 484 orang tentunya

memiliki kinerja yang berbeda dan perlu transformasi.

Pimpinan organisasi selalu dihadapkan dengan tantangan untuk meningkatkan

kinerja organisasi. Kecenderungannya untuk saat ini dan dimasa yang akan datang

adalah bahwa untuk merespon terhadap berbagai macam tantangan pimpinan

organisasi harus menyadari pentingnya faktor-faktor manusia dalam praktek

organisasi. Pimpinan dalam mengelola sumber daya organisasi dapat melakukan

38

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

transformasi visi dan misi sehingga para pegawai mampu mengelola proses

perubahan dengan menciptakan budaya dan lingkungan kerja yang kondusif,

menujukkan kemampuan personal dalam mengembangkan kapasitas dan komitmen

individu dan organisasi profesional di bidang sumber daya manusia harus dapat

menjadi perancang yang membuat organisasi menjadi organisasi pembelajaran,

yang mampu memfokuskan kapabilitas, berkesinambungan dan meningkatkan

modal intelektual.

Pendidikan tinggi adalah sebuah proses transformasi produktif yang intinya

untuk menghasilkan lulusan yang kompeten, berkualitas dan mampu memenuhi

kepuasan dari mereka (user) yang akan memanfaatkannya sebagai sumber daya

produktif aktif di industri ataupun lapangan kerja lain. Proses transformasi ini

memerlukan berbagai macam prasyarat agar mampu menghasilkan luaran akhir

(finished goods output) yang berkualitas dan mampu menjamin tercapainya standar

kinerja yang ditetapkan.

Suasana akademik, seperti halnya komponen-komponen masukan dan proses

lainnya, merupakan faktor yang akan memberi pengaruh signifikan dalam

menghasilkan kualitas lulusan. Suasana akademik harus mampu diciptakan untuk

membuat proses pembelajaran di perguruan tinggi berjalan sesuai dengan visi dan

misi dan tujuannya.

Suasana akademik seperti halnya akan tercermin dari proses pembelajaran

yang berlangsung dalam suasana “feeling at home”. Proses tersebut akan melibatkan

semua sumber daya pendidikan (organisasi-manajemen).

Peningkatan suasana akademik seperti halnya dengan peningkatan kinerja,

tidak terjadi secara acak atau kebetulan, tetapi lebih merupakan akibat dari tindakan

pengelolaan/ pembinaan yang direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dikon-

disikan, konprehensif dan terintegrasi. Semua komponen yang terlibat dengan baik

termasuk sarana dan prasarana.

Dimensi yang lazim digunakan sebagai komponen pembinaan suasana

akademik adalah melalui transformational leadership dan organizational citizen-

ship behaviour. Para pimpinan dapat melakukan beberapa hal melalui (1) tata

hubungan antar pribadi, (2) kepedulian mengenai tujuan kelembagaan, (3)

39

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

kemampuan inovasi, (4) kepedulian pada peningkatan kualitas berkelanjutan, serta

(5) kekayaan suasana kerja untuk itu diperlukan dorongan-dorongan bagi setiap

organisasi yang mengelola dan menjaga tradisi maupun budaya akademik yang ada.

Pentingnya kultur dan budaya akademik yang berbeda ditujukan agar perguruan

tinggi tumbuh dan berusaha untuk mencapai keunggulan dengan cara yang berbeda

untuk memuaskan stakeholder yang lebih spesifik.

Masalah-masalah tersebut diatas menjadi sebuah fenomena yang menarik

untuk diteliti lebih mendalam, dalam bentuk penelitian dengan judul “Trans-

formational Leadership dan Organizational Citizenship Behaviour di Politeknik

Negeri Lhokseumawe”. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan mencoba

menjelaskan variasi performa kepemimpinan dilihat dari sisi Transformational

Leadership dan Organizational Citizenship Behaviour sebagai prediktor.

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

Transformational Leadership

Tanggung jawab dari seorang pimpinan organisasi adalah mengarahkan

bawahan ke arah pencapaian tujuan organisasi dengan jalan mengartikulasikan misi,

visi, strategi, dan sasaran-sasaran (Robbins, 2006). Pimpinan pada setiap tingkatan

bertangung jawab atas diseminasi tujuan-tujuan stratejis organisasi, dan meyakinkan

para pengikutnya untuk mengimplementasikan tujuan-tujuan tersebut secara efektif

(Avolio, 2004). Mengindikasikan bahwa pimpinan-pimpinan transformasional

mampu membangun hubungan-hubungan dengan pengikutnya sedemikian rupa

sehingga mereka dapat lebih mudah untuk mendiseminasi dan mengimple-

mentasikan tujuan-tujuan strategis tersebut.

Efektivitas implementasi sasaran strategis tergantung sebaik apa para

pimpinan dalam suatu organisasi melihat dan mengartikan sasaran-sasaran, mener-

jemahkannya ke dalam sasaran-sasaran yang lebih spesifik untuk tiap-tiap unit

kerja, dan mendorong lingkungan belajar yang ditujukan untuk pencapaian

keberhasilan pelaksanaan tugas (Chen, 2000). Avolio menyatakan bahwa pimpinan-

pimpinan yang memiliki sifat transformasi mampu mengartikulasi visi strategis

yang dapat membantu bawahan untuk fokus belajar tentang apa yang penting dalam

40

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

mengimplementasi visi dan misi pada tiap level.

Pimpinan transformasional mendorong bawahannya untuk senantiasa mem-

pertanyakan asumsi-asumsi, metode-metode, dan sasaran-sasaran dalam usaha

mencari cara yang lebih baik untuk memahami dan menterjemahkannya ke dalam

tindakan-tindakan yang spesifik (Bersona, 2004). Dengan menciptakan lingkungan

belajar yang terbuka, pimpinan transformasional menyuburkan terciptanya situasi

yang memunculkan pemahaman yang lebih dalam atas sasaran-sasaran, misi, dan

visi, yang pada akhirnya akan mendorong keseimbangan, identifikasi, dan fokus

stratejis yang lebih baik diseluruh bagian organisasi (Lily, 2006).

Perhatian terhadap kepemimpinan transformasional mendominasi pendekat-

an-pendekatan ilmiah dalam usaha memahami kepemimpinan selama hampir dua

dekade terakhir ini. Sementara penelitian-penelitian tentang interaksi pimpinan-

bawahan dengan menggunakan Multifactorial Leadership Questionnaire (MLQ)

menunjukkan hasil yang menjanjikan, masih ada sejumlah variasi yang substansial

dalam interaksi tersebut yang masih perlu diteliti (Avolio, 2004). Sebagaimana

pendekatan-pendekatan karismatik dan kepemimpinan transformasional berkem-

bang dan mendekati kejenuhan, banyak saran bermunculan untuk menggunakan

pendekatan-pendekatan yang lebih holistik untuk mempertimbangkan kapasitas

kepemimpinan serta proses kepemimpinan. Salah satu kemungkinan adalah dengan

melihat kepemimpinan bukan saja sebagai interaksi, tetapi lebih sebagai fungsi dari

serangkaian keahlian yang dimiliki dan digunakan oleh pimpinan secara individu

(Bowler, 2006).

Jika pemahaman akan kepemimpinan dikonsentrasikan bukan hanya pada

apa yang dilakukan oleh pimpinan, tetapi lebih pada pertimbangan atas kapabilitas

apa yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melakukan peran kepemimpinan

yang efektif, mungkin pemahaman, pemilihan, serta pengembangan akan dapat

dilakukan lebih baik. Seseorang yang memahami apa yang diinginkan oleh

bawahannya dari pekerjaan yang dilakukan; mencoba mengetahui apakah bawahan

mendapatkan yang mereka harapkan manakala mereka telah melakukan pekerjaan

yang diminta; menjanjikan upah yang sesuai dengan usaha yang dilakukan; dan

merespon keinginan bawahan sepanjang mereka melakukan pekerjaan mereka

41

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

sesuai dengan rencana. Perspektif pengukuran yang cukup berpengaruh tentang

kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh Bernard Bass dan rekan-rekan.

Model kepemimpinan dalam skala luas yang mereka kembangkan menempatkan

kepemimpinan transformasional, transaksional, laissez-faire dalam sebuah kon-

tinum kepemimpinan aktif-pasif, dan menggambarkan bagaimana tipe-tipe kepe-

mimpinan ini berhubungan (Bass, 2004).

Kepemimpinan transaksional berhubungan dengan hubungan pertukaran

antara pimpinan dengan bawahan, dimana bawahan akan menerima upah atau pres-

tise atas kesediaannya untuk melakukan apa yang diinginkan sang pimpinan.

Sebaliknya, kepemimpinan transformasional memotivasi bawahan untuk meng-

hasilkan performa lebih dari yang diharapkan melalui cara mentransformasi sikap-

sikap, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang dimiliki para bawahan. Penelitian

Rafferty & Griffin (2001) yang dikembangkan oleh Bass (2004) menemukan lima

subdimensi kepemimpinan transformasional yang memiliki validitas diskriminan

antara satu dengan yang lainnya. Kelima subdimensi tersebut adalah:

1. Vision

2. Inspirational communication

3. Supportive leadership

4. Intellectual stimulation

5. Personal recognition

Vision

Rafferty & Griffin (2001) menemukan bahwa vision merupakan dimensi

kepemimpinan yang penting yang diangkat dari konstruk yang lebih luas, yaitu

karisma. Bass (2004) menyatakan komponen kepemimpinan trasnformasional yang

paling umum dan penting adalah karisma. Temuan-temuan empiris mendukung

pernyataan ini, hasil meta-analisis menunjukkan bahwa karisma paling kuat

berasosiasi dengan ukuran efektivitas seperti kepuasan bawahan terhadap pimpinan.

Para peneliti sangat kritis tentang cara bagaimana karisma didefinisikan

(Avolio, 2004). Organ (1998) menyatakan bahwa komponen mendasar dari karisma

sangat diabaikan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Karisma terdiri atas lima

komponen, yaitu: extraordinary gifted person, a social crisis, a set of ideas

42

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

providing a radical solution to a probem; a set of follower who attracted to the

exceptional person and believe that the leader is linked to transcendent powers;

dan the validation of the leader’s extraordinary gifts through repeated success.

Karisma yang dimaksudkan dalam model kepemimpinan transformasional

tidak memasukkan seluruh komponen di atas. Dukungan situasi yang melingkupi

pimpinan dan bawahan, kualitas personal yang berhubungan dengan karisma,

asosiasi hubungan yang dibuat bawahan di antara pimpinan karismatik dengan

kekuatan gaib tidak di eksplorasi (Rafferty & Griffin, 2001). Tema umum yang

digunakan pada saat pembahasan karisma adalah pentingnya mengartikulasi visi.

Menurut Bowler: 2006, visi merupakan salah satu dari lima elemen karisma, dan

menyatakan bahwa pimpinan karismatik memperlihatkan sejumlah perilaku, dimana

termasuk di dalamnya artikulasi suatu ideologi yang akan meningkatkan kejelasan

sasaran, fokus tugas, serta kesatuan dan keharmonisan nilai. Studi yang dilakukan

Rafferty & Griffin (2001) fokus pada visi sebagai kebalikan dari konstruk yang

bersifat lebih luas yaitu charisma atau idealized influence yang dikemukakan oleh

Bass (2004). Chen (2000) mendefinisikan visi sebagai suatu idealisme bawah sadar

yang mengekspresikan shared values, dan hal ini pada dasarnya merupakan

ideologi. Dan juga hasil dari proses internalisasi nilai-nilai organisasional dan

sasaran-sasaran organisasional, yang akan mendorong individu-individu untuk

mengadopsi perilaku yang disebabkan oleh ketertarikan atas perilaku itu sendiri dan

bukan ketertarikan atas pimpinan. Dengan demikian, visi merupakan gambaran

ideal atas masa depan yang didasarkan pada nilai-nilai organisasional.

Inspirational Communication

Walaupun inspirational motivation telah diidentifikasi sebagai komponen

penting dari kepemimpinan transformasional, konstruk ini didefinisikan secara

beragam (Bowler, 2006). Bass (2004) menyatakan bahwa pimpinan karismatik

menggunakan pendekatan inspirasional serta percakapan emosional untuk

meningkatkan motivasi bawahan untuk mentransendensikan minat pribadi bagi

kepentingan kelompok. Pada penelitian berikutnya, Bass (2004) menyatakan pula

bahwa charisma dan inspirational motivation dapat dilihat manakala pimpinan

menggambarkan masa depan yang diinginkan, mengartikulasikan bagaimana hal

43

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

tersebut dapat dicapai, memberikan contoh untuk diikuti, menetapkan standar-

standar performa, dan memperlihatkan pertimbangan yang matang serta keyakinan.

Deskripsi ini menyarankan agar vision dan inspirational motivation digabungkan

menjadi satu konstruk. Tetapi peneliti-peneliti lain menyanggah bahwa tetap

penting untuk mempertahankan perbedaan antara vision dan inspirational

motivation.

Elemen yang berulang dalam definisi-definisi yang ada dari kepemimpinan

inspirasional adalah penggunaan komunikasi secara oral untuk memotivasi dan

membangkitkan emosi-emosi bawahan. Penelitian Rafferty & Griffin (2001) fokus

pada inspirational communication, atau penggunaan pendekatan-pendekatan ramah

serta pernyataan-pernyataan yang sarat dengan hal-hal yang mampu membang-

kitkan emosi yang ditujukan untuk membangkit emosi serta motivasi bawahan. Hal

ini merupakan kebalikan dari konstruk inspirational motivation yang dikemukakan

oleh Bass (2004). Inspirational communication merupakan konstruk yang unik,

yang didefinisikan sebagai ekspresi dari pesan-pesan yang positif dan yang

mendorong/ membangun tentang organisasi, dan pernyataan-pernyataan yang

mampu membangun motivasi dan rasa percaya diri.

Supportive Leadership

Salah satu faktor yang membedakan kepemimpinan transformasional dengan

teori-teori kepemimpinan yang baru adalah dimasukkannya pertimbangan in-

dividual dalam model transformasional (Rafferty & Griffin, 2001). Pada awalnya

Bass (2004) menyatakan bahwa pertimbangan individual terjadi manakala pimpinan

telah mengembangkan orientasi kearah staff dan memperlihatkan perhatian

individual kepada bawahan, dan merespon secara layak pada kebutuhan bawahan

secara personal. Belakangan ini, diskusi-diskusi mengenai pertimbangan individual

difokuskan pada salah satu komponen, yaitu supportive leadership. Sebagai contoh,

Avolio (2004) menyatakan bahwa pimpinan menunjukkan pertimbangan individual

lebih sering dengan cara memperlihatkan dukungan umum atas usaha-usaha yang

dilakukan para bawahan.

Bidang kepemimpinan trasnformasional juga memfokuskan pada supportive

44

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

leadership sebagai kebalikan dari konstruk yang lebuh luas, yaitu individualized

attention. Rafferty & Griffin (2001) meneliti dukungan individual, yang di-

definisikan sebagai bagian perilaku pimpinan yang mengindikasikan bahwa dia

menghormati bawahannya dan peduli dengan perasaan serta kebutuhan ba-

wahannya. fokus pada supportive leadership, dan menelaah banyak penelitian-

penelitian terdahulu yang dilakukan dalam bidang ini. Supportive leadership

merupakan aspek kunci yang sangat penting bagi kepemimpinan yang efektif

dalam path-goal theory.

Chen (2000) mendefinisikan supportive leader behaviour sebagai perilaku

yang diarahkan kepada kepuasan atas kebutuhan dan preferensi bawahan, seperti

memperlihatkan kepedulian atas kesejahteraan bawahan, menciptakan lingkungan

kerja yang nyaman, akrab, dan penuh dengan dukungan psikologis. Rafferty &

Griffin (2001) mendefinisikan supportive leadership sebagai pengekspresian

kepedulian terhadap bawahan serta bertanggung jawab atas kebutuhan individu

bawahan.

Intellectual Stimulation

Salah satu komponen kepemimpinan trasnformasional yang paling tidak

berkembang adalah intellectual stimulation (Lowe et al., 1999). Faktor kepe-

mimpinan ini menunjuk pada perilaku-perilaku yang dapat meningkatkan minat

serta kewaspadaan bawahan atas munculnya masalah, dan dengan demikian akan

mengembangkan kemampuan bawahan serta kecenderungan untuk berpikir tentang

masalah-masalah yang ada dalam perspektif yang baru (Bass, 2004).

Pengaruh intellectual stimulation akan dapat dilihat dari peningkatan

kemampuan bawahan dalam mengkonseptualisasi, komprehensi, dan menganalisis

masalah-masalah, dan juga dalam peningkatan kualitas solusi-solusi yang dapat

mereka hasilkan (Avolio, 2004). Walaupun faktor ini belum terlalu banyak diteliti,

konstruk ini merujuk pada perilaku yang lebih fokus, kumpulan perilaku yang

secara internal konsisten dibanding subdimensi kepemimpinan trasnformasional

lainnya. Bass (2004) mendefinisikan intellectual stimulation sebagai sesuatu yang

ditujukan untuk meningkatkan minat, kesadaran, dan kewaspadaan bawahan akan

45

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

masalah-masalah dalam organisasi, dan meningkatkan kemampuan bawahan untuk

memikirkan masalah-masalah tersebut dalam cara pandang yang baru.

Personal Recognition

Dimensi kelima ini didasarkan pada kumpulan penelitian yang telah

menemukan hubungan yang kuat antara kepemimpinan transaksional dengan

subdimensi kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transaksional me-

nekankan contingent reward dan management-by-exception. Contingent reward

menyangkut cara memberikan imbalan yang didasarkan pada performa yang di-

capai oleh bawahan. Menurut Bass (2004) pujian atas keberhasilan kerja,

rekomendasi untuk peningkatan upah, serta promosi merupakan contoh perilaku

dalam contingent reward.

Penelitian empiris menunjukkan bahwa contingent reward berhubungan

sangat positif dengan kepemimpinan trasnformasional, dan memperlihatkan pola

yang sama dalam hubungannya dengan performa sebagai subdimensi ke-

pemimpinan trasnformasional. Hipotesa Lowe (1999) menyatakan bahwa pe-

ngukuran contingent reward mampu menangkap atau mengukur perilaku yang

berhubungan dengan negosiasi imbalan atas performa yang baik, dan perilaku-

perilaku yang berhubungan dengan pemberian imbalan yang didasarkan atas

performa.

Beberapa peneliti berargumen bahwa negosiasi atas imbalan untuk performa

yang baik menunjukkan bentuk kepemimpinan transaksional. Tetapi, memberi

imbalan yang didasarkan pada performa bawahan juga menunjukkan bentuk proses

transformasional dimana bawahan dan pimpinan pada kepemimpinan trans-

formasional memiliki keterlibatan secara personal atas visi.

Dengan demikian bawahan mengasumsikan bahwa performa yang konsisten

dengan visi akan mendapatkan imbalan. Lowe (1999) menemukan dukungan

terhadap solusi dua faktor atas contingent reward menggunakan confirmatory factor

analysis. Para peneliti ini menginterpretasikan temuannya sebagai dukungan bagi

argument yang menyatakan bahwa contingent reward mengacu pada proses

46

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

transaksional dan juga transformasional. Interpretasi ini konsisten dengan model

high-performance work systems, membedakan antara imbalan sebagai mekanisme

control dan imbalan sebagai komponen dari suatu sistem yang dirancang untuk

meningkatkan komitmen bawahan.

Rafferty & Griffin (2001) menggunakan istilah personal recognition untuk

menangkap atau menjelaskan aspek dari contingent reward yang secara konseptual

berhubungan dengan kepemimpinan transformasional. Personal recognition terjadi

manakala pimpinan mengindikasikan bahwa dia menghargai usaha-usaha individu

dan memberi imbalan atas pencapaian performa konsisten dengan visi melalui

pujian dan pengakuan terbuka atas usaha bawahannya. Dia juga mendefinisikan

personal recognition sebagai pemberian reward dalam bentuk pujian dan pengakuan

terbuka untuk usaha yang dilakukan atas pencapaian sasaran-sasaran tertentu.

Organizational Citizenship Behaviour

Organizational citizenship behaviour (OCB) merupakan perilaku individu

yang ekstra, yang tidak secara langsung atau eksplisit dapat dikenali dalam suatu

sistem kerja yang formal, dan yang secara agregat mampu meningkatkan efektivitas

fungsi organisasi. Bowler: 2006, menyatakan bahwa setiap sistem sosial yang hanya

mengandalkan diri pada rancangan baku suatu bentuk perilaku tertentu akan

menjadi sangat rentan, dan menyarankan perlunya suatu perilaku ekstra untuk

menjamin kemampuan bertahan dan keberhasilan sistem sosial tersebut. Dengan

demikian, bukan hanya organisasi bisnis, seluruh sistem sosial akan mendapat

manfaat yang sangat tinggi dari usaha-usaha ekstra yang diberikan oleh individu-

individu dalam suatu sistem sosial.

Manfaat OCB juga dapat dilihat dari hasil-hasil temuan penelitian. Robbins

(2006) menemukan bahwa OCB mengarah pada peningkatan performa organisasi.

Meta analisis yang dilakukan Lily & Flyin (2006) menghubungkan OCB dengan

performa individu, kelompok, dan organisasi secara menyeluruh. Sejumlah argumen

disarankan untuk diteliti lebih lanjut tentang mengapa OCB muncul dalam suatu

organisasi, dan bagaimana OCB mendatangkan manfaat yang besar bagi organisasi

(Bowler, 2006). Salah satu penjelasan yang paling umum tentang mengapa dan

47

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

bagaimana pekerja memiliki OCB dalam suatu organisasi adalah penjelasan

melalui Social Exchange Theory (Bowler, 2006). Social Exchange Theory

menyatakan bahwa citizenship behaviour dapat diharapkan muncul ketika pekerja

mendapatkan pengalaman-pengalaman positif yang berbeda dalam organisasi, dan

kemudian pekerja termotivasi untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang

juga positif kepada organisasi sebagai semacam ungkapan terima kasih.

Walaupun terdapat kemungkinan efek negatif dari OCB (Lily & Flyin,

2006), secara umum OCB memfasilitasi efektivitas fungsi organisasi melalui

sejumlah cara tertentu. Hubungan antar personal dalam OCB sangat membantu

kerja sama. OCB juga sangat membantu dalam koordinasi informasi dan kegiatan-

kegiatan dalam kelompok. OCB juga berhubungan dengan kepuasan konsumen,

dan performa financial. Sangatlah jelas bahwa OCB berpengaruh terhadap performa

organisasi, tetapi pada titik ini perlu penjelasan penting untuk disadari bahwa OCB

tidak selalu menghasilkan konsekuensi yang sama (Bowler, 2006).

OCB memiliki empat elemen perilaku yang saling behubungan namun

berbeda sasaran dan tujuannya. Diyakini bahwa sasaran tidak langsung OCB adalah

manfaatnya pada pencapaian sasaran-sasaran organisasi (Organ, 1998). OCB

dikatagorikan menjadi empat tipe, yaitu: personal industry, loyal boosterism,

individual initiative, dan personal helping. Personal industry mengungkapkan

sejauh mana seorang pekerja melakukan pekerjaan melebihi tanggung jawabnya.

Pekerja yang secara spontan bekerja lembur, bersedia kerja ekstra dalam suatu

proyek, atau secara sukarela mengerjakan proyek atau tugas baru merupakan contoh

personal industry. Loyal boosterism menggambarkan dukungan untuk meningkat-

kan imej organisasi kepada pihak luar. Seorang pekerja yang secara spontan

menghargai dan memuji organisasinya kepada anggota organisasi lain, teman,

atapun pihak-pihak lain yang berkepentingan menunjukkan perilaku loyal

boosterism. Personal industry dan loyal boosterism secara langsung memberi

manfaat bagi pencapaian sasaran organisasi. Interpersonal helping dan individual

initiative memberi manfaat secara tidak langsung melalui peningkatan performa

bagi pihak-pihak penerima OCB. Individual initiative menggambarkan komunikasi

pekerja dengan pihak lain dalam organisasi yang ditujukan untuk memperbaiki

48

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

performa individu maupun kelompok. Seorang pekerja yang mengetahui bahwa

rekan kerjanya mungkin memerlukan informasi, misal informasi kontak penjualan,

informasi teknis, pasar, dan memberikan informasi tersebut secara sukarela kepada

rekan kerja yang membutuhkannya merupakan contoh individual initiative OCB.

Interpersonal helping menggambarkan pekerja yang membantu rekan kerjanya

dalam organisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bantuan ini akan

meningkatkan performa kerja individual, dan dengan demikian akan sangat ber-

manfaat bagi peningkatan fungsi-fungsi organisasi. Robbins (2006) menggunakan

istilah interpersonal citizenship behaviour untuk menggambarkan interpersonal

helping. Robbins (2006) meneliti interpersonal helping yang berhubungan dengan

tugas dan yang tidak berhubungan dengan tugas dalam konteks suatu struktur ja-

ringan sosial.

Perilaku-perilaku pekerja secara konseptual dibedakan sebagai in-role (task

dependent behaviour) dan extra-role (perilaku individu yang melebihi standar

perilaku yang diharapkan). Pada dekade lalu, banyak peneliti meneliti extra-role

behaviour. Yang menarik, temuan para peneliti belum seluruhnya konsisten tentang

penggunaan terminologi yang digunakan dan cenderung memberi label yang

berbeda-beda untuk menggambarkan extra-role behaviour ini, misalnya: prosocial

organizational behaviour, organizational spontaneity extra-role behaviour me-

miliki karakteristik sebagai berikut:

1. Melebihi peran yang disyaratkan secara formal;

2. Didasarkan pada inisiatif individu;

3. Tidak muncul dalam konteks struktur imbalan organisasi secara formal;

4. Sangat penting bagi efektivitas fungsi-fungsi dalam organisasi.

OCB terdiri atas non-obligatory, yaitu perilaku-perilaku pengaruh yang

bersifat informal (Bowler, 2006). Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa

OCB muncul dari pengaruh-pengaruh informal, seperti pengaruh dari model

kepemimpinan, kohesivitas kelompok, serta hubungan-hubungan antar pimpinan

dan bawahan. Jika pengaruh-pengaruh informal tersebut dipersepsikan positif, maka

dapat diharapkan OCB akan muncul (Bowler, 2006).

Dalam lingkungan persaingan yang sangat intens pada saat ini, organisasi

49

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

secara konstan mencari cara-cara baru untuk memaksimalkan usaha-usaha kerja

para pekerjanya (Bowler, 2006). Walaupun penggunaan teknologi informasi

meningkat secara drastis, tetap saja terdapat celah dalam usaha mengefektifkan

fungsi-fungsi dalam organisasi. Sangat diyakini bahwa hal ini disebabkan bahwa

pada dasarnya efektivitas fungsi-fungsi dalam suatu organisasi sangat bergantung

pada usaha-usaha karyawan, dan terutama pada kesediaan karyawan untuk secara

sukarela bekerja melebihi tanggung jawab formalnya. Organ (1998) merupakan

peneliti yang menggunakan istilah OCB, dan mereka mendefinisikannya sebagai

perilaku pekerja yang sangat positif, yang bersifat informal, melainkan terjadi

secara sukarela yang ditujukan untuk menolong pihak lain dalam organisasi untuk

menyelesaikan tugasnya. Konsep OCB menciptakan gelombang perubahan besar

dalam bidang perilaku organisasi (Robbins 2006). Konsep ini mengarahkan

organisasi menjadi lebih inovatif, fleksibel, produktif, dan responsif. Beberapa

penelitian menemukan bukti bahwa OCB berhubungan dengan perilaku etikal, dan

juga menyangkut esensi dari performa kerja individual.

Pernyataan bahwa OCB akan mengarah pada hasil positif, misal performa

organisasi yang tinggi, turnover pekerja yang rendah, membuat peneliti melakukan

investigasi mengenai anteseden-anteseden utama OCB. OCB juga diasumsikan

memiliki anteseden personaliti atau karakter yang melekat pada individu. Faktor-

faktor inheren tersebut dianggap sebagai faktor yang mampu memprediksi OCB

karena individu-individu berbeda dalam tingkatan perilaku prososialnya, dan juga

alas an bahwa pekerja yang secara alamiah bersedia berjalan lebih jauh dan

membantu pekerja lain ataupun organisasi secara lebih umum, walaupun tentunya

ada juga pekerja lain yang tidak bersedia untuk itu. Lowe (1999) menemukan

bahwa kepedulian atau empati terhadap orang lain secara positif berhubungan

dengan perilaku prososial. Walau demikian, hubungan antara keragaman variabel-

variabel karakter inheren pekerja dan OCB masih belum konklusif, sebagiannya

karena banyak penelitian di bidang ini hanya membatasi faktor-faktor inheren ini

hanya pada lima variabel besar saja.

Dimensi yang paling sering digunakan untuk mengkonseptualisasi OCB

adalah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Organ (1998). OCB dibangun

50

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

dari empat dimensi yang masing-masingnya bersifat unik, yaitu:

1. Altruism, kesediaan untuk menolong rekan kerja dalam menyelesaikan

pekerjaannya dalam situasi yang tidak biasa;

2. Conscientiousness, menggambarkan pekerja yang melaksanakan tugas dan

tanggung jawab lebih dari apa yang diharapkan;

3. Sportsmanship, menggambarkan pekerja yang lebih menekankan untuk me-

mandang aspek-aspek positif dibanding aspek-aspek negatif dari organisasi;

sportsmanship menggambarkan sportivitas seorang pekerja terhadap organisasi;

4. Civic Virtue, menyangkut dukungan pekerja atas fungsi-fungsi administratif

dalam organisasi; Walaupun konsep OCB yang dikemukakan Organ (1988)

banyak diterima.

Beberapa peneliti (Bowler, 2006; Bass, 2004; Lowe, 1999; menyatakan

keragu-raguan mereka mengenai batasan-batasan antara in-role behaviour dan

extra-role behaviour. Memang mungkin sangat sulit untuk membedakan kedua

perilaku tersebut. Beberapa mungkin sangat tidak konstan menyarankan untuk

mendefinisikan OCB dari sudut pandang civic citizenship (tanggung jawab parti-

sipasi dalam organisasi). Dalam pendekatan baru ini, mengusulkan tiga dimensi,

yaitu:

1. Obedience, merupakan sikap pekerja untuk bekerja secara sadar dan bertanggung

jawab; memperlihatkan respek terhadap aturan-aturan organisasi; memper-

lihatkan sikap positif; menggunakan sumber daya organisasi secara bertanggung

jawab; menepati janji yang diberikan kepada pelanggan;

2. Loyalty, mengindikasikan dukungan terhadap organisasi pada pihak-pihak lain

di luar organisasi; menjaga dan mempertahankan organisasi dari ancaman pihak

luar; dan komitmen terhadap organisasi terutama pada masa atau situasi sulit;

3. Participation, merefleksikan minat atas kegiatan-kegiatan organisasi (menghadiri

rapat, dan lain-lain); memberikan informasi yang diperlukan pihak lain; memberi

saran-saran perbaikan untuk meningkatkan performa organisasi.

Hubungan Transformational Leadership dan Organizational Citizenship

Behaviour

51

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

Tercapai tidaknya tujuan organisasi sangat ditentukan oleh perilaku orang-

orang yang ada dalam organisasi. Tiap orang memiliki tugas dan tanggung jawab

yang ditujukan untuk mencapai sasaran-sasaran pelaksanaan fungsi-fungsi dalam

organisasi. Tiap orang dalam organisasi dituntut untuk memiliki komitmen agar

fungsi-fungsi organisasi berjalan sebagaimana yang diharapkan agar sasaran-saran

yang direncanakan dapat dicapai. Dengan demikian, performa organisasi dalam

mencapai sasaran-sasaran yang direncanakan pada dasarnya merupakan akumulasi

performa individu dari tiap orang yang ada dalam organisasi.

Kemampuan pimpinan organisasi merupakan faktor utama dalam

membangun etos kerja dalam organisasi (Avolio, 2004). Motivasi kerja orang

dalam organisasi sangat ditentukan oleh iklim dan lingkungan yang tercipta dalam

organisasi itu sendiri. Iklim dan lingkungan dalam organisasi akan menentukan

apakah seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan standar

prosedur yang telah ditetapkan atau tidak (Bersona, 2004). Jika iklim dan

lingkungan organisasi dipersepsikan positif dan kepentingan serta minat orang

dapat terakomodasi, orang mungkin akan bersedia secara sukarela melaksanakan

pekerjaannya dalam organisasi melebihi apa yang diharapkan dapat dia laksanakan

(Organ, 1998). OCB merupakan perilaku yang pekerja yang sangat positif, yang

bersifat informal, yang dilakukan secara sadar untuk berkontribusi lebih terhadap

organisasi.

Para pakar transformational leadership (Bass, 2004) berargumen bahwa

kepemimpinan transformasional lebih proaktif dan lebih efektif dibanding

kepemimpinan transaksional dalam hal memotivasi bawahan untuk mencapai

performa yang lebih baik. Argumen ini banyak didukung oleh sejumlah temuan-

temuan penelitian seperti Avolio (2004). Para pimpinan transformasional lebih

mampu dan lebih sensitif merasakan lingkungannya, dan untuk selanjutnya

membentuk dan mendiseminasi sasaran-sasaran strategis yang mampu menangkap

perhatian serta minat para bawahannya. Para pengikut pimpinan transformasional

memperlihatkan tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap misi organisasi,

kesediaan untuk bekerja lebih keras, kepercayaan yang lebih tinggi terhadap

pimpinan, dan tingkat kohesi yang lebih tinggi. Seluruh efek kepemimpinan

52

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

transformasional diharapkan akan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi

pemahaman serta diseminasi visi strategis, misi, dan sasaran-sasaran, serta tingkat

penerimaan bawahan yang lebih baik.

Banyak hasil penelitian menyangkut perbedaan dari beberapa tipe

kepemimpinan menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional jauh lebih

efektif dibanding kepemimpinan transaksional (Bass, 2004). Selanjutnya Bowler

(2006) mencatat paling tidak ada lebih dari seratus pengujian empiris menunjukkan

bahwa kepemimpinan yang digambarkan sebagai karismatik, transformasional, atau

visionary memiliki efek positif atas performa organisasi, kepuasaan bawahan,

komitmen bawahan. Dua penelitian meta-analisis mendukung konklusi tersebut.

Dalam meta analisis ini ditemukan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara

kepemimpinan transformasional dengan persepsi bawahan atas efektifitas

pimpinannya, dan kepuasan kerja bawahan. Penelitian juga menunjukkan bahwa

kepemimpinan transformasional mendekati persepsi bawahan atas kepemimpinan

yang ideal (Barsona, 2004).

OCB merupakan perilaku yang sangat mendukung performa kerja melalui

peningkatan kondisi iklim dan lingkungan social serta psikologis kerja (Chen,

2000). Pimpinan transformasional mampu memotivasi pekerja agar mampu

menginternalisasi dan memprioritaskan sejumlah faktor yang penting bagi

pencapaian kepentingan individu. Pekerja yang secara intrinsik termotivasi untuk

memenuhi atau mencapai visi kolektif dalam organisasi tanpa mengharapkan

imbalan dalam jangka pendek akan secara sukarela memberikan kontribusi dalam

usaha-usaha pencapaian sasaran bersama walaupun hal tersebut tidak termasuk

dalam tugas tanggung jawab formalnya (Robbins, 2006). Pekerja yang memiliki

perilaku OCB ini bersedia memberikan kontribusi di luar tanggung jawab

formalnya karena mereka merasakan manfaat pribadi dan/ atau konsep diri mereka

akan meningkat melalui kontribusi tersebut.

Ide utama penelitian ini adalah berangkat dari studi literatur (Rafferty &

Griffin, 2001) yang mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional

sangat berperan dalam membentuk OCB karyawan dalam suatu organisasi.

53

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

Framework dapat digambarkan sebagai berikut:

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada Politeknik Negeri Lhokseumawe Aceh, dengan

objek penelitiannya adalah pegawai yang pernah dan sedang menduduki jabatan.

Populasi adalah seluruh unsur pimpinan di Politeknik Negeri Lhokseumawe yang

berjumlah 50 orang. Pengambilan sampel didasarkan pada Arikunto (2003: 125).

Apabila jumlah populasi kurang dari 100 orang diambil semuanya. Kuesioner yang

digunakan terdiri dari tiga bagian, yaitu: bagian pertama mengenai transformational

leadership, bagian kedua mengenai organizational citizenship behavior, dan bagian

ketiga mengenai demografi responden. Item pertanyaan dalam kuesioner dirancang

dengan jawaban tertutup dengan jawaban yang bersifat dikotomi dari sangat tidak

setuju sampai dengan sangat setuju, dan dirancang menggunakan skala likert.

Sementara peralatan analisis data yang digunakan untuk setiap variabel dalam

penelitian ini yaitu Transformational Leadership Berdasarkan model yang

dikembangkan oleh Bass (2004), Raferty & Griffin (2001) menemukan lima

subdimensi kepemimpinan transformasional yang terdiri dari: Vision, Inspirational

Communication, Supportive Leadership, Intellectual Stimulation, dan Personal

Recognition.

Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur kepemimpinan trans-

formasional melalui kelima subdimensi di atas akan diadaptasi dari pengukuran

yang dikembangkan oleh Bass & Avolio (2004) dengan menggunakan skala likert

1-5. Vision diukur dengan menggunakan 8 (delapan) item pertanyaan, inspirational

communication diukur dengan menggunakan 7 (tujuh) item pertanyaan, supportive

leadership diukur dengan menggunakan 8 (delapan) item pertanyaan, intellectual

stimulation diukur dengan menggunakan 11 (sebelas) item pertanyaan, dan personal

TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP

● Vision ● Inspirational communication ● Supportive Leadership ● Intellectual Stimulation ● Personal Recognition

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOUR

● Conscientiousness ● Altruism ● Civic Virtue ● Sportsmanship

54

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

recognition diukur dengan menggunakan 7 (tujuh) item pertanyaan.

Organizational Citizenship Behavior OCB diekspresikan melalui empat buah

subdimensi, yaitu: conscientiousness, kerelaan untuk melaksanakan pekerjaan lebih

dari yang diharapkan; altruism, kesediaan untuk menolong rekan kerja; civic virtue,

dukungan pekerja atas fungsi-fungsi organisasi dalam organisasi; dan sportsman-

ship, sportivitas pekerja terhadap organisasi.

Untuk menganalisis data serta untuk pengujian hipotesis, dalam penelitian ini

akan dilakukan operasi dari beberapa alat dan tehnik statistik dengan menggunakan

program Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 15,0. Beberapa alat

serta tehnik statistik tersebut antara lain adalah:

1. Factor Analysis dan Reliability Analysis, yang digunakan untuk menguji

validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan. Factor analysis digunakan

untuk melihat apakah ke 41 (empat puluh satu) indikator transformational

leadership yang digunakan dalam penelitian ini membentuk 5 (lima) buah

faktor sesuai dengan konsep transformational leadership, dan apakah tiap

faktor tersebut terdiri dari indikator teoritis yang digunakan. Kriteria yang

digunakan dalam factor analysis adalah sebagai berikut: agar faktor analisis

dapat dilakukan maka nilai KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) harus > 0,5 menurut

Nunnaly (1967), Bartlett’s Test of Sphericity harus signifikan (< 0,05),

Eigenvalue >1, Anti-image correlations > 0,5, ekstraksi menggunakan

Principal Component Analysis, rotasi orthogonal dengan metode varimax, dan

factor loading > 0,5 (Nunally, 1967; Hair et al., 1998). Jika kriteria di atas

terpenuhi, maka instrument dapat dikatakan valid. Untuk menguji reliabilitas,

kriteria yang digunakan adalah nilai Cronbach Alpha > 0,5 (Hair et al., 1998).

2. Descriptive Statistics, yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik

responden.

3. Multiple Regressions, yang digunakan untuk menguji hubungan antara

orientasi belajar beserta komponennya dengan performa. Tahap pertama

regresi adalah menguji asumsi klasik yang terdiri dari: normalitas, linearitas,

multikolinearitas, dan heteroskedastisitas. Normalitas dapat diuji dengan

melihat secara visual plot pada histogram atau Normal P-P Plot, atau dapat

55

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

juga dengan melihat nilai Kolmogorov-Smirnov Z yang signifikan pada

p>0,05. Linearitas dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW) dengan cara

membandingkan nilai DW dengan nilai DW table (dl dan du). Jika nilai DW

lebih besar dari du maka dapat disimpulkan bahwa model fit, atau dapat

dikatakan bahwa model linear. Multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF

(Variance Inflation Factor) yang harus lebih besar dari 10 dan nilai tolerance

tidak ada yang kurang dari 0,10. Heteroskedastisitas dapat dilihat dapat dilihat

secara visual dari scatterplot, dimana tidak terjadi heteroskedastisitas jika plot

residual tersebar secara merata di atas dan di bawah nilai nol pada sumbu Y.

Jika asumsi klasik di atas dapat dipenuhi, maka regresi dapat dilakukan. Pada

multiple regression ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya:

nilai R2 yang menggambarkan kemampuan model dalam menjelaskan variasi

variable dependen. F test harus signifikan < 0,05. Koefisien beta harus

signifikan < 0,05. Jika hal tersebut dipenuhi, maka hipotesis penelitian tidak

dapat ditolak.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengujian Instrumen

Kualitas data yang diperoleh dari penggunaan instrumen penelitian dapat

dievaluasi melalui uji validitas dan uji reliabilitas (uji kehandalan) berdasarkan

koefisien Cronbach Alpha yang lazim digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial,

seperti dijelaskan berikut ini :

Pengujian Validitas

Pengujian validitas data dalam penelitian ini dilakukan secara statistik, yaitu dengan

menggunakan uji Pearson product-moment coefficient of correlation dengan

bantuan SPSS version 15.0. Berdasarkan output komputer seluruh pernyataan

dinyatakan valid karena memiliki tingkat signifikansi di bawah 5%. Sedangkan jika

dilakukan secara manual maka nilai korelasi yang diperoleh masing-masing

pernyataan harus dibandingkan dengan nilai kritis korelasi product moment dimana

hasilnya menunjukkan bahwa semua pernyataan mempunyai nilai korelasi diatas

nilai kritis 5% yaitu diatas 0,297, sehingga pernyataan-pernyataan tersebut adalah

56

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

signifikan dan memiliki validitas konstrak. Atau dalam bahasa statistik terdapat

konsistensi internal (internal consistence) yang berarti pernyataan-pernyataan

tersebut mengukur aspek yang sama. Ini berarti bahwa data yang diperoleh adalah

valid dan dapat dipergunakan untuk penelitian.

Pengujian Reliabilitas

Untuk menilai kehandalan kuesioner yang digunakan, maka dalam penelitian

ini digunakan uji reliabilitas berdasarkan Cronbach Alpha yang lazim digunakan

untuk pengujian kuesioner dalam penelitian ilmu sosial. Analisis ini digunakan

untuk menafsirkan korelasi antara skala yang dibuat dengan skala variabel yang

ada.

Pengujian reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana hasil

pengukuran tetap konsisten juga dilakukan secara statistik yaitu dengan menghitung

besarnya Cronbach Alpha dengan bantuan program SPSS version 15.0. Hasilnya

seperti yang terlihat di tabel dibawah yang menunjukkan bahwa instrumen dalam

penelitian ini reliabel (handal) karena nilai alphanya lebih besar dari 0,60 (Nunally,

1994).

Tabel 1. Reliabilitas Variabel Penelitian (Alpha) No. Variabel Jumlah Nilai Ket. 1. Transformational Leadership (X) Vision (x1.1) 8 0.644 Handal Inspirational Communication (x1.2) 7 0.695 Handal Supportive Leadership (x1.3) 8 0.642 Handal Intellectual Stimulation (x1.4) 11 0.793 Handal Personal Recognition (x1.5) 7 0.792 Handal

2. Organizational Citizenship Behavior (Y) Conscientiousness (Y1.1) 3 0.636 Handal Altruism (Y1.2) 3 0.845 Handal Civic Virtue (Y1.3) 3 0.692 Handal Sportsmanship (Y1.4) 3 0.779 Handal

Transformational Leadership (X)

Berdasarkan tabel diatas memperlihatkan bahwa alpha untuk indikator

transformasional leadership diperoleh nilai Alpha untuk masing-masing sub

variabel yaitu vision (x1.1) diperoleh nilai alpha sebesar 64.4 persen, Inspirational

Communication (x1.2) diperoleh nilai alpha sebesar 69,5 persen, Supportive

57

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

Leadership (x1.3) diperoleh nilai alpha sebesar 64.2 persen, Intellectual Stimulation

(x1.4) diperoleh nilai alpha sebesar 79.3 persen, Personal Recognition (x1.5)

diperoleh nilai alpha sebesar 79.2 persen. Pengukuran reliabilitas terhadap variabel

penelitian menunjukkan bahwa pengukuran keandalan memenuhi persyaratan yang

dipersyaratkan oleh Nunally.

Organizational Citizenship Behaviour (Y)

Sedangkan untuk variabel Organizational Citizenship Behavior memperlihatkan

nilai alpha untuk sub variabel yaitu Conscientiousness (Y1.1) diperoleh nilai alpha

sebesar 63.6 persen, Altruism (Y1.2) diperoleh nilai alpha sebesar 84.5 persen,

Civic Virtue (Y1.3) diperoleh nilai alpha sebesar 69.2 persen, Sportsmanship (Y1.4)

diperoleh nilai alpha sebesar 77.9 persen. Pengukuran reliabilitas terhadap variabel

penelitian menunjukkan bahwa pengukuran keandalan memenuhi persyaratan yang

dipersyaratkan oleh Numally.

Analisis Pengaruh Transformational Leadership terhadap Organizational

Citizenship Behaviour

Tabel 4. Pengaruh Transformational Leadership Terhadap Organizational Citizenship

Behaviour

Nama Variabel B Standar Error thitung ttabel Sig

Konstanta 1.878 0.577 3.256 2.009 0.002 Transformational Leadership (x) 0.556 0.142 3.925 2.009 0.000

Sumber: Data Primer, 2010 (diolah)

Dari hasil perhitungan statistik dengan menggunakan bantuan program SPSS

seperti terlihat pada tabel di atas, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut.

Y = 1.878 + 0.556x

Koefisien Regresi:

Konstanta sebesar 1.878 artinya jika transformational leadership (x) dianggap

konstan, maka besarnya organizational citizenship behaviour adalah sebesar

1.878 pada satuan skala likert, yang mengindikasikan bahwa organizational

58

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

citizenship behaviour dikatakan masih rendah, hal ini mengindikasikan bahwa

organizational citizenship behaviour selama ini belum berjalan dengan baik.

Koefisien regresi transformational leadership (x1) sebesar 0.556. Artinya bahwa

setiap 100% perubahan transformational leadership maka secara relatif akan

mempengaruhi organizational citizenship behaviour sebesar 55.6%, dengan

demikian semakin baik transformational leadership yang diterapkan oleh

pimpinan, maka secara relatif akan mempengaruhi organizational citizenship

behaviour di Politeknik Negeri Lhokseumawe.

Koefisien Korelasi dan Determinasi

Sedangkan untuk melihat hubungan dan pengaruh dari variabel bebas

terhadap organizational citizenship behaviour berdasarkan korelasi dan determinasi

seperti dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3. Model Summary

R RSquare Adjusted R2 Std. Error of the estimate Keterangan

0.493 0.243 0.227 0.568 Korelasi Lemah Sumber: Data Primer, 2010 (diolah)

Dari persamaan regresi di atas dapat diketahui hasil penelitian sebagai berikut:

Koefisien korelasi (R) = 0.493 yang menunjukkan bahwa derajat hubungan

(korelasi) antara variabel bebas dengan varibel terikat sebesar 49.3%. Artinya

Transformational Leadership yang diterapkan oleh pimpinan pada masing-

masing bagian dalam struktur organisasi (x) mempunyai hubungan yang lemah

terhadap organizational citizenship behaviour di Politeknik Negeri Lhok-

seumawe. Hal ini mengindikasikan bahwa organizational citizenship behaviour

mempunyai hubungan yang lemah dengan transformational leadership yang

diterapkan oleh pimpinan masing-masing bagian di Politeknik Negeri Lhok-

seumawe, hal ini karena yang dijadikan indikator pengukuran kinerja hanya satu

variabel yaitu transformational leadership, dan mungkin masih ada variabel yang

dapat mempengaruhi organizational citizenship behaviour.

59

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

Koefisien Determinasi (R²) = 0.243. Artinya sebesar 24.3% perubahan-

perubahan dalam variabel terikat organizational citizenship behaviour dapat

dijelaskan oleh perubahan-perubahan dalam variabel trans-formational leader-

ship (x). Sedangkan selebihnya yaitu sebesar 75.7% dijelaskan oleh faktor-faktor

lain diluar dari variabel yang dijadikan indikator penelitian, hal ini

mengindikasikan bahwa masih ada sebesar 75.7% faktor organizational

citizenship behaviour dipengaruhi oleh faktor lain, selain dari transformational

leadership, seperti lingkungan sosial di Politeknik Negeri Lhokseumawe serta

perilaku karyawan dalam lingkungan organisasi itu sendiri.

Hasil Uji Secara Simultan

Untuk menguji hipotesis mengenai variabel transformational leadership

terhadap organizational citizenship behaviour di Politeknik Negeri Lhokseumawe,

maka dapat dijelaskan pada Table 4.

Tabel 4. Analisis Of Variance (Anova)

Model Sum of Squares Df Mean

Squares Fhitung Ftabel Sig.

Regresi 4.976 1 4.976 15.405 4.042 0.000 Sisa 15.504 48 0.323 Total 20.480 49 Sumber: Data Primer, 2010 (diolah)

Berdasarkan hasil pengujian secara simultan diperoleh nilai Fhitung sebesar

15.405, sedangkan Ftabel pada tingkat signifikansi = 5 % adalah sebesar 4.042.

Hal ini memperlihatkan, bahwa berdasarkan perhitungan uji statistik Fhitung

menunjukkan bahwa nilai Fhitung > Ftabel, dengan tingkat signifikann sebesar 0,002.

Dengan demikian hasil perhitungan ini dapat di ambil suatu keputusan bahwa

hipotesis alternatif (Ha) dapat diterima dan hipotesis nol ditolak, artinya bahwa

transformational leadership (x) berpengaruh secara signifikan terhadap orga-

nizational citizenship behaviour di Politeknik Negeri Lhokseumawe.

Pembuktian Hipotesis

Untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian ini penulis menggunakan uji-

60

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

F dan uji-t sebagaimana dijelaskan berikut ini:

Hasil uji secara simultan diperoleh nilai Fhitung sebesar 14.405, sedangkan

Ftabel pada tingkat signifikansi = 5% adalah sebesar 4.042. Hal ini

memperlihatkan, bahwa berdasarkan perhitungan uji statistik Fhitung menunjukkan

bahwa nilai Fhitung > Ftabel, dengan tingkat signifikann sebesar 0,000. Dengan

demikian hasil perhitungan ini dapat diambil suatu keputusan bahwa hipotesis

alternatif (Ha) yang diajukan dapat diterima dan hipotesis nol ditolak, artinya bahwa

transformational leadership (x), berpengaruh secara signifikan terhadap

organizational citizenship behaviour Politeknik Negeri Lhokseumawe.

Organizational Citizenship Behavior merupakan perilaku yang sangat

mendukung performa kerja melalui peningkatan kondisi iklim dan lingkungan sosial

serta psikologis kerja. Pimpinan transformasional mampu memotivasi pekerja agar

mampu menginternalisasi dan memprioritaskan sejumlah faktor yang penting bagi

pencapaian kepentingan individu. Pekerja yang secara intrinsik termotivasi untuk

memenuhi atau mencapai visi kolektif dalam organisasi tanpa mengharapkan

imbalan dalam jangka pendek akan secara sukarela memberikan kontribusi dalam

usaha-usaha pencapaian sasaran bersama walaupun hal tersebut tidak termasuk

dalam tugas tanggung jawab formalnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Variabel transformational leadership berpengaruh positif dan signifikan

terhadap variabel organizational citizenship behaviour Politeknik Negeri

Lhokseumawe.

2. Hasil penelitian berdasarkan koefisien korelasi diperoleh nilai korelasi (R) =

0.493 yang menunjukkan bahwa derajat hubungan (korelasi) antara variabel

bebas dengan varibel terikat sebesar 49.3%. Artinya transformational leadership

(x) mempunyai hubungan yang kuat terhadap organizational citizenship

behaviour Politeknik Negeri Lhokseumawe, atau variabel transformational

leadership (x) mempunyai interaksi yang lemah terhadap organizational

citizenship behaviour Politeknik Negeri Lhokseumawe.

61

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

3. Hasil penelitian secara uji-F diperoleh nilai Fhitung sebesar 14.405, sedangkan

Ftabel pada tingkat signifikansi = 5 % adalah sebesar 4.078. Hal ini

memperlihatkan, bahwa berdasarkan perhitungan uji statistik Fhitung

menunjukkan bahwa nilai Fhitung > Ftabel, dengan tingkat signifikann sebesar

0,000. Dengan demikian hasil perhitungan ini dapat di ambil suatu keputusan

bahwa hipotesis alternatif (Ha) dapat diterima dan hipotesis nol ditolak, artinya

bahwa transformational leadership (x) berpengaruh secara signifikan terhadap

organizational citizenship behaviour Politeknik Negeri Lhokseumawe.

Saran-saran

1. Diharapkan kepada pimpinan Politeknik Negeri Lhokseumawe agar mencari

variasi dan performa gaya kepemimpinan dalam memimpin untuk mening-

katkan motivasi kerja dan kinerja pegawai sehingga performance Politeknik

Negeri Lhokseumawe akan semakin baik.

2. Pimpinan hendaknya bisa mengembangkan kepribadian yang kuat, serta

mengembangkan pribadi yang percaya diri, berani, bersemangat, murah hati dan

memiliki kepekaan sosial dalam lingkungannya.

3. Pimpinan hendaknya untuk lebih meningkatkan pemahamam dan tujuan dari

pendidikan dengan baik, karena akan menjadi bekal utama dalam menjalankan

manajeman perguruan tinggi, serta bisa menemukan strategi yang tepat untuk

mencapainya.

4. Pimpinan diharapkan mempunyai pengetahuan yang luas tentang bidang

manajemen serta bidang lain yang berkaitan dengan dunia pendidikan pada

umumnya.

62

Jurnal Perspekstif Manajemen dan Perbankan Vol. 2, No. 1, Maret 2011

DAFTAR PUSTAKA

Avolio, B. J., Bass, B. M., & Jung, D. I. (2004). Re-examining the components of transformational and transactional leadership using the Multifactor Leadership Questionnaire. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 72, 441–462.

Organ, D.W. (1998). Job satisfaction and the good soldier: the relationship between affect and employee citizenship. Academy of Management Journal, Vol. 26, pp. 587-95.

Bass, B. M. (2004). Two Decades Of Research And Development In Transformational Leadership. Euro-pean Journal of Work and Organizational Psychology. 8., pp. 9-32.

Lily and Flyin, Francis J. (2006). Leadership Style and Regulatory Mode: Value From It. Organizational Behavior and Human Decision Processes. 100, pp. 216-230.

Bersona, (2004). Transformational leadership and the dissemination of organizational goals: A case study of a telecommunication firm. The Leadership Quarterly 15 (2004) 625–646

Bowler, Wm.Matthew (2006). Organizational Goals Versus the Dominant Coalition: A Critical View of the Value of Organizational Citizenship Behavior. Institute of Behavioral and Applied Management. All Rights Reserved.

Chen, Li Yueh. (2000). Examining The Effect of Organizational Culture and Leadership Behavior on Organizational Commitment, Job Satisfaction, and Job Performance at Small and Middle-Sized Firms of Taiwan. The Journal of American Academy of Business. Cambridge., September.

Lowe, K. B., Kroeck, K. G., & Sivasubramaniam, N. (1999). Effectiveness correlates of transformational and transactional leadership: A meta- analytic review of the MLQ literature. The Leadership Quarterly, 7(3), 385–425.

Rafferty, & Griffin (2001). Organizational Citizenship Behaviors: A Critical Review Of The Theoretical And Empirical Literature And Suggestions For Future Research. Journal of Management, Vol. 26, pp. 513-63.

Robbins, S.P. (2006), Organizational Behavior, Prentice-Hall, Upper Saddle River, NJ.

Dikti. (2009), Warta Politeknik. Jakarta.