kepastian hukum
TRANSCRIPT
-
7/29/2019 kepastian hukum
1/12
TERWUJUDNYA PERADILAN YANG INDEPENDEN
DENGAN HAKIM PROFESIONAL YANG TIDAK MEMIHAK
Sebuah risalah ringkas,
dimaksudkan untruk rujukan ceramah dan diskusi
tentang
Kriteria dan Pengertian Hakim Dalam Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis
yang diselenggarakan dalam rangka Seminar Nasional bertema
Problem Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia
diselenggarakan oleh
Komisi Yudisial dan PBNU-LPBHNU
di Jakarta 8 September 2006
Soetandyo Wignjosoebroto
Kepastian hukum -- sebagaimana keadilan dan kemanfaatan hukum -- adalah
sesungguhnya sebuah doktrin. Doktrin kepastian hukum mengajarkan kepada setiap pelaksana
dan penegak hukum untuk (demi terkendalikannya kepatuhan warga agar ikut menjaga
ketertiban dalam setiap aspek kehidupan) mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang
sama. Inilah doktrin kaum positivis, yang dikenali pula sebagai doktrin the supreme state of
(national) law yang mengajarkan dan meyakini adanya status hukum yang mengatasi
kekuaasaan dan otoritas lain, semisal otoritas politik. Inilah doktrin yang berkonsekuensi pada
ajaran lebioh lanjut agar setiap ahli hukum, khususnya yang tengah bertugas sebagai hakim,
tidak menggunakan rujukan-rujukan normatif lain selain yang terbilang norma hukum guna
menghukumi sesuatu perkara.
Doktrin/Ajaran Hukum Klasik Kaum Legis-Positivis
Yang Selama Ini Pada Dasarnya Masih Dianut Kuat-Kuat
Dalam Praktik Peradilan di Indonesia
Demikianlah menurut ajaran ini, bahwa demi kepastian dan jaminan akan kepatuhan,
hanya norma hukum yang telah diundangkan yang disebut hukum nasional yang positif -- itu
sajalah yang boleh digunakan secara murni dan konsekuen untuk menghukumi sesuatu perkara.
Tidaklah norma hukum ini boleh dicampuri berbagai pertimbangan yang merujuk ke sumber-
sumber normatif lain, seperti misalnya norma moral, rasa keadilan, ideologi politik, keyakinan
pribadi, atau apapun lainnya. Diyakini orang, bahwa dengan dipatuhinya doktrin seperti itu
secara murni dan konsekuen maka hukum (sebagai suatu institusi) akan amat berdaya untuk
mengefektifkan berlakunya kaidah-kaidahnya guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di
dalamnya.
Tak pelak lagi, doktrin kepatuhan hukum yang memberikan arahan kepada para
pelaksana hukum seperti terpapar di muka itu berkaitan erat dengan doktrin lain yang lebih
bersifat falsafati, ialah doktrin positivisme yang pada asasnya juga mengajarkan pemahaman
hukum sebagai hukum murni. Doktrin positivisme ini juga mengajarkan bahwa hukum itu harus
memiliki sosok yang tidak berada di ranah yang metayuridis melainkan di ranah yang
menampak dan terbaca tegas dan jelas dengan sifatnya yang objektif. Oleh sebab itu, setiap
-
7/29/2019 kepastian hukum
2/12
norma yang terbilang hukum harus dirumuskan (karena itu juga mesti tertulis!) secara eksplisit,
cermat dan tepat, oleh pejabat dan/atau institusi yang berkewenangan untuk itu. Maka, dari
doktrin positivisme inilah asal muasal pendapat bahwa setiap hukum (ius) itu harus diwujudkan
dalam bentuk undang-undang (lege, lex). Dari sinilah awal mulanya mengapa doktrin
positivisme ini yang oleh Hans Kelsen diperkenalkan sebagai ajaran hukum yang murni lalu dinamakan doktrin legisme.
Doktrin positivisme ini pulalah yang mengajarkan agar setiap urusan hukum ditangani
oleh ahlinya, dan dengan demikian hukum itu bukanlah lagi urusan orang awam yang tak pernah
belajar menangani permasalahan hokum. Ahli hukum yang terlatih dalam profesionalisme
hukum itulah yang berkewenangan mendayagunakan hukum dengan cara menjaga kemurnian
hukum (dalam artinya sebagai undang-undang yang berkedudukan tertinggi) agar hak dan
kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam aturan-aturan hukum/undang-undang itu dapat
diketahui dengan pasti dan segala konsekuensinyapun dapat diprediksikan pula dengan pasti.
Pengacauan hukum dengan norma-norma lain yang bukan hukum dikhawatirkan hanya akan
mengganggu kepastian itu. Hanya hukum yang telah dipositifkan tegas-tegas sebagai ius
constitutum -- alias hukum yang telah selesai dibentuk dan punya bentuk yang positif -- itusajalah yang secara sah boleh menetapkan fakta perbuatan atau peristiwa hukum apa yang boleh
dinyatakan akan mempunyai akibat hukum macam apa, dalam suatu hubungan sebab-akibat
yang pasti.
Falsafah hukum beraliran positivisme yang diimplementasi ke dalam ajaran hukum
murni, berikut doktrin kepastian hukum yang amat disyaratkan dalam praktek itu, membawa
konsekuensi lebih lanjut dalam soal mengkonsepkan hukum dan fungsi hukum dalam
masyarakat, notabene masyarakat yang penuh konflik namun mendambakan ketertiban itu.
Arahan falsafati dan ajaran hukum murni dengan doktrin kepastian hukumnya itu (yang secara
ringkas acap pula disebut paham legisme) memodelkan hukum sebagai institusi sentral yang
netral. Hukum adalah hasil kesepakatan warga masyarakat, entah kesepakatan di ranah privat
yang langsung antar-person (disebut 'kontrak'), entah pula kesepakatan di ranah publik antar-
kelompok), maka isi hukum tidaklah akan berat sebelah dan tidak sekali-kali akan mengesankan
akan memihak kepentingan sepihak. Dalam pelaksanaannyapun tidaklah isi hukum itu boleh
ditafsirkan oleh seseorang yang memihak untuk menguntungkan satu pihak atas kerugian pihak
yang lain.
Peran Hakim Menurut Doktrin Kaum Legis-Positivis
Tidak cuma di dalam soal mengartikan isi hukum, melainkan juga dalam perilakunya
yang direpresentasikan dan dipersonifikasikan dalam sosok seseorang manusia terpilih yangdisebut kadi -- atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'hakim' (yang arti
harafiahnya sesungguhnya adalah ahli hukum, yang oleh Snouck-Hurgronje dipakai untuk
mengindonesiakan meesterinderechten) -- hukum itu mestilah tak memihak atau boleh berat
sebelah. Hakim bukanlah pihak yang ikut bersepakat atau terlibat dalam kesepakatan (tatkala
kontrak atau undang-undang dibuat), serta pula tak ikut berperkara atau terlibat dalam perkara
(tatkala perkara tengah ditangani pengadilan). Hakim bukanlah pelaku dan pemihak dalam
ihwal pembuatan hukum. Hakim adalah seseorang yang ahli dalam soal tatacara menemukan
hukum, mengartikan maknanya dan kemudian menyimpulkannya untuk menghukumi perkara-
perkara tertentu "tanpa pandang bulu".
-
7/29/2019 kepastian hukum
3/12
Maka pula, hakim dengan keahliannya yang profesional tak akan menengok ke kanan
atau ke kiri guna memilih pihak. Menurut filsafat, ajaran atau doktrin legalisme ini hukum itu
mesti lurus dan benar (recht moet recht zijn kata orang Belanda), sedangkan sang hakim (de
rechterdalam Bahasa Belanda) karena itu juga mesti selalu berjalan lurus, lempang ke depan
menuruti imperativa substantif isi hukum, tanpa boleh ada niat culas untuk berpikiran bengkokuntuk berkelok ke kepentingan yang di kanan atau ke kepentingan yang di kiri. Maka hakim itu
mestilah selalu siap untuk "cuma" berperan sebagai -- demikian kata Montesquieu -- la bouche
qui prononce les paroles des lois (sebatas mulut yang membunyikan kata-kata undang-undang)
semata. Hakim bukanlah pembuat hukum berdasarkan kehendaknya yang subjektif, melainkan
hanya pekerja yang mencoba menemukan hukum yang ada, untuk menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya. Prosedur kerja dan metode berpikirnya tak lain ialah pendayagunaan
silogisma deduksi, dan bukan emosi pemihakan,sine ira (tanpa kegalauan atau kegusaran) untuk
menerima pembuktian tentang apa duduk perkaranya (premis minor), menemukan apa dasar
hukumnya (premis mayor), dan menarik simpulan (conclusio)dari dua premis tersebut sebagai
amar putusannya.
Doktrin kepastian hukum sebagai anak ajaran legisme yang dibela oleh para pengikutmadhab hukum murni ini -- yang mengagungkan rasionalisme dalam kajian hukum dan praktik
peradilan -- adalah sesungguhnya ajaran yang berkembang dan didukung para penganut pada
suatu era tatkala proses demokratisasi tengah berlangsung, dengan cita-cita bahwa kekuasaan
negara harus bisa dibatasi dan dikontrol oleh hukum. Negara haruslah dikonstruksi sebagai
'negara hukum' dan bukan 'negara kekuasaan'. Infrastruktur negara hukum tak pelak lagi adalah
masyarakat warga (civilsociety), dan bukan masyarakat yang mengenal dikotomi kawula-Gusti.
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat warga yang demikian itu, tidaklah sekelompok orang
elit akan mungkin didewa-dewakan dan diistimewakan mengatasi yang lain, sedangkan yang
lain dalam jumlah massal bolehlah diperkuda serta dipinggir-pinggirkan. Di tengah kehidupan
masyarakat warga, setiap manusia yang warga itu harus diakui berkedudukan sama di hadapan
hukum dan hakim.
Kesulitan Dalam Upaya Merealisasi Ide Doktrin Legisme di Indonesia
Tetapi apa sesungguhnya yang terjadi dalam kenyataan? Adakah dalam kenyataan di
negeri-negeri berkembang yang baru saja lepas dari suasana kolonialisme dan feodalisme,
sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman Indonesia, equality before the law itukah yang
merupakan kenyataan sehari-hari? Dalam kenyataan, apa yang dicita-citakan bahwa setiap
warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum dan kekuasaan itu tidak selamanya dapat
direalisasi. Apa yang telah diperikan di dalam cita-cita dan konsep normatif tidak selalumerupakan diskripsi apa yang dapat ditemui dalam pengalaman yang nyata-nyata di lapangan.
Dalam kenyataan, manusia itu tidak selalu berkemampuan sama untuk memperoleh kedudukan
yang sama. Maka, sekalipun menurut konsep hukumnya setiap manusia warga masyarakat dan
warga negara itu dianggap berkedudukan sama, namun dalam realitas kehidupan yang sudah
bersifat serba kontraktual ini kesepakatan-kesepakatan yang terjadi antar-pihak tidaklah selalu
dan selamanya mencerminkan perlindungan kepentingan yang berimbang.
Maka, di sini kerja hukum dan hakim, yang menurut doktrinnya disyaratkan dan
diisyaratkan netral dan tak boleh memihak itu, dalam kenyataannya sering berefek membiarkan
(bertolak dari dalih "harus netral") terjadinya berbagai kesenjangan yang memperlihatkan betapa
yang satu memperoleh lebih, sedangkan yang lain -- yang umumnya jumlahnya justru massal --
-
7/29/2019 kepastian hukum
4/12
memperoleh kurang. Pembagian hak dan kewajiban aantara buruh dan majikan, misalnya,
acapkali tak memperlihatkan keseimbangan sebagaimana diharapkan. Tengok saja misalnya apa
yang pernah terjadi di negeri ini selama ini, tatkala undang-undang perburuhan dibuat oleh
anggota-anggota DPR yang amat didominasi oleh suara-suara konglomerat, dan/atau oleh para
pejabat eksekutif ataupun legislative yang membuka diri pada lobi-lobi para investor, namunacapkali menutup diri darui tuntutan-tuntutan para buruh miskin (yang harus hidup sebatas
standar UMR).
Walhasil terjejas situasi seperti itu, dengan kontrol hukum yang didoktrinkan netral
seperti itu, masyarakat yang ada akan gagal berkembang menjadi masyarakat warga.
Masyarakat tetap saja merupakan masyarakat yang berstratum-stratum, atau menjadi terstratum-
stratum kembali. Di situ yang terlihat sebagai kenyataan hanyalah sejumlah warga elit yang
selalu memperoleh peluang mendahulu untuk kian memapankan diri, sedangkan sejumlah warga
yang lain kian terdiskriminasi oleh keadaan. Hukum dalam konsepnya sebagai hasil
kesepakatan warga -- yang antar-warga individual (ialah kontrak) ataupun lebih-lebih lagi yang
antar-warga sekelompok kepentingan dalam kehidupan nasional (ialah undang-undang) yang
lebih berkonsekeuensi jauh -- tidak selamanya dapat memberikan perlindungan kepentingansecara berimbang. Mereka yang berkedudukan lemah -- secara ekonomik, politik, sosial
ataupun budaya -- akan selalu tertodong kewajiban hukum daripada terbela oleh hak-hak.
Sementara itu mereka yang berada pada posisi diuntungkan selalu saja terkesan gampang
memperoleh hak dan sumberdaya institusional guna menegakkan hak-haknya.
Legisme, Hakim Penganut Aliran Legisme, dan Terjadi Serta Terteruskannya
Kesenjangan Hak Antara Yang Mapan dan Yang Rawan
Dapat dimengerti mengapa dalam keadaan seperti itu legisme dengan doktrin kepastian
hukumnya akan lebih melindungi dan kian memapankan mereka yang memiliki kelebihan dana,
informasi dan akses politik daripada mereka yang tak berkeadaan demikian. Dapat dimengerti
pula mengapa kehendak untuk "berhukum-hukum" dengan pilihan kuat untuk menyelesaikan
segala perkara konflik ke pengadilan, dan/atau dengan cara mempercayakan kepada para pejabat
administratif yang berwenang membuat keputusan (atas dasar hukum inabstracto dan/atau
diskresi-diskresi), selalu saja lebih banyak berasal dari mereka yang mapan dan kaya akses itu.
Dengan struktur yang banyak memberikan akses kepadanya, kelompok mapan ini tentu saja
berpamrih untuk terlestarikannyastatus quo, dan hukum yang didoktrinkan netral dan
berkepastian dapatlah didayagunakan untuk maksud itu.
Maka, dalam masyarakat yang penuh kesenjangan, hukum dengan doktrin kepastian
hukum hanya akan memastikan hak-hak mereka yang -- dalam kehidupan yang belum sempurnaini -- telah berhasil mapan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki dana kekayaan,
informasi dan akses politik yang amat terkawal. Akses politik kaum mapan ini pada gilirannya
juga akan dapat kian didayagunakan untuk menambahkan hak-hak bagi dirinya dan untuk
membebankan kewajiban-kewajiban kepada mereka yang dikucilkan di luar sistem. Salah-
salah, asas ruleoflaw dalam praktik tanpa dapat dielakkan lagi lalu menjadi tersimak sebagai
the ruling by the ruler by (ab)using the law.
Dalam kenyataan seperti itu legalisme tak lagi tampil sebagai ide dan ideologi
revolusioner yang secara progresif akan mengilhami setiap upaya perubahan ke arah kehidupan
yang lebih egalitarian. Alih-alih begitu, legalisme serta merta akan bersosok konservatif dengan
kebijakan-kebijakannya yang kolot untuk mempertahankan kemapanan struktur demi
-
7/29/2019 kepastian hukum
5/12
kelanggengan kepentingan para penguasa yang berhasil mengendalikan struktur demi
kepentingannya sendiri yang relatif eksklusif dan penuhpriveleges. Dalam kenyataan seperti itu
hukum dan hakim akan kehilangan otonominya. Hukum dan hakim akan terkooptasi ke dalam
struktur kepentingan yang telah mapan dan berkedudukan kuat dalam ranah politik, dan secara
cepat atau lambat akan mendapatkan dirinya berada dalam fungsinya yang justru represif.Permasalahan tarik-ulur dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung berikut pengawasan atas
tindakan-tindakannya selama ini, misalnya, dapatlah dijelaskan dari kenyataan yang secara
politik amat pragmatik ini (nota bene tidak dari perspektif doktrin akan kenetralan hukum).
Kenyataan ini mencerminkan betapa besar kepentingan politik kelas mapan untuk secara
berterusan hendak mempertahankan kemapanan status politik dan ekonominya
Perlunya Mencari dan Menemukan Paradigma Baru
Boleh disimpulkan bahwa legisme yang positivistik, dengan ajaran hukum murni yang
hendak menetralkan fungsi hukum, ternyata sangat disfungsional untuk diterapkan di negeri-negeri berkembang yang tengah membangun. Dalam perkembangan mereaksi kenyataan seperti
itu tergugahlah ide-ide alternatif yang menyarankan agar bukan doktrin positivisme kaum liberal
ortodox penganut laissez-faire liberalism tentang kepastian hukum yang mestinya difungsikan di
sini. Akan gantinya, pernah diutarakan untuk mempertimbangkan doktrin utilitarianisme
tentang kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan
logika hukum para yuris elit yang beroptik formalisme untuk mendahulukan berlakunya hukum
perundang-undangan saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi terutama juga
kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif (sebagai pembuat
undang-undang alias hukum inabstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan
(sebagai hakim, pembuat hukum inconcreto. Bukan positivisme dan legisme yang diperlukan
di sini, melainkan temuan paradigma baru, khususnya untuk kinerja kehakiman, seperti misalnya
apa yang di Amerika, dirintis oleh Roscoe Pound, disebutsociologicaljurisprudence,
sampaipun apa yang kemudian dikategorikan oleh Phillippe Nonet dan Philip Selznick sebagai
hukum responsif (yang amat diharapkan akan segera dapat dihadirkan, baik dalam proses-
proses legislatif maupun dalam proses-proses yudisial).
Maka di sini bukan kehadirangoodlaw yang sebenarnya pertama-tama diharapkan,
melainkan kehadirangoodman (tentusajajugagood woman), khususnya di badan-badan
pengadilan. Inilah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna
merespons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam
derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif. Di tangan dan ditanganigood (wo)man -- baik
yang duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan -- itu makahukum itu, inabstracto maupun inconcreto, akan nyata terbilang ke dalam bilangan 'hukum
yang responsif' dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia
warganegara, yang tak cuma hendak berkutat pada tafsir formal melainkan juga mengajuk ke
kebenaran yang lebih bersifat materiil, ialahjustice for all. Hukum responsif baik dalam
eksistensinya in abstracto (aturan-aturan umum) maupun dalam eksistensinya in concreto
adalah antitesis 'hukum yang represif'. Hukum represif adalah hukum yang fungsi utamanya
adalah melegitimasi secara berterusan kekuasaan para pejabat negara yang disenarai secara
enumeratif, yang tertafsir sebagai kekuasaan yang tak dibataskan secara jelas secara
konstitusional.
-
7/29/2019 kepastian hukum
6/12
Persoalannya sekarang: bagaimana membibitgood(wo)man yang tak hanya cerdas dan
berintelektual tinggi akan tetapi juga berkeberanian moral yang terpuji. Lewat proses
pendidikan? Bukankah pendidikan itu adalah suatu front dalam suatu battle of the mind, yang --
sekalipun hasil ketentuannya harus ditunggu dalam rentang waktu yang agak panjang
bagimanapun juga merupakan suatu bagian dari suatu reformasi atau revolusi yang palingberbudaya, dan yang oleh sebab itu pula -- karena "hanya" berpeluru informasi pembangun sikap
dan komitmen -- juga paling tidak berdarah. Realistiskah proses jangka panjang ini untuk
menghadapi masalah tiadanya tertib hukum yang sudah terlanjur demikian akut di negeri ini.
Realistiskah harapan ini, sedang tak kurang dari pengakuan Dr Muladi, salah seorang calon
Ketua Mahkamah Agung pada waktu yang lalu (yang nota benebeliau itu telah bertahun-tahun
bergelut sebagai profesor di bidang pendidikan hukum!) yang pernah mengatakan sebagai suatu
excuse mengenai kekurangan dirinya, bahwa hanya malaikat saja yang di negeri ini bisa
mencapai taraf kesempurnaan untuk menjadi hakim.
Mengontrol Kerja dan Kinerja Hakim: Kontrol Prosedural-Doktrinal
Menyadari bahwa hakim adalah manusia biasa, dan bukan malaikat yang terbebas dari
berbagai bentuk godaan nafsu, persoalan kontrol terhadap tindakan dan kegiatan kerja hakim
lalu menjadi agenda utama dalam setiap upaya merealisasi terwujudnya negara hukum. Semula
upaya ini dikerjakan dengan mencontoh doktrin legisme Perancis tentang hakikat hakim yang
tak lebih daripada une bouche qui pronounce les mots des lois. Sehubungan dengan doktrin ini,
diindoktrinasikan pula pengakuan atas hukum perundang-undangan itu, termasuk undang-
undang hukum acaranya, sebagai norma hukum yang mesti didudukkan pada statusnya yang
tertinggi sebagai sumber hukum yang formal, mengatasi norma moral dan norma sosial macam
apapun, yang selalu harus diingat oleh hakim yang memutus perkara. Norma lain macam
apapun, yang dikualifikasi sebagai sumber hukum yang materiil, hanya boleh digunakan sebagai
bahan pertimbangan. Semua ini telah tercakup dalam doktrin the supreme state of law,atau yang
dalam bahasa Belanda dikatakan de hoogste rechtsstaat, asal tetap diingat saja bahwa dalam
doktrin legisme ini yang diamksud dengan law atau rechtini selalu hukum (ius)yang telah
dibentuk (constitutum) dalam wujud undang-undang.
Tatanan hukum seperti ini, secara realistic, sesungguhnya harus disadari terlebih dahulu
sebagai tatanan yang pada dasarnya terwujud sebagai suatu hasil proses politik yang berujung
pada proses-proses tarik-ukur kepentingan di badan-badan legislatif, yang ideologik maupun
yang non-ideologik. Kalaupun wacana-wacana berlangsung dengan pilihan pernyataan-
pernyataan yang bersifat normatif dan ideal, analisis-anaalisis kritis akan mampu mendedah
berbagai agenda politik yang tersembunyi, buatan mereka yang telah mapan-mapan. Kenyataanbaanyak mengungkap betapa kaum elit yang mapan telah terlanjur demikian mapan, sehingga
mampu mengontrol seluruh akses politik, baik di badan-badan legislatif dan eksekutif maupun
yang yudisial, guna mengefektifkan lobi-lobi mereka. Maka, tanpa menyadari kenyataan yang
tidak memudahkan terjadinya proses-proses dekonstruksi struktur, tidaklah pembenahan
struktural yang strategik dapat dilakukan. Maka di sinilah barangkali kian mengedepannya
saran, bahwa pembenahan yang paling realistik adalah pembenahan yang dilakukan dengan cara
pendekatan struktural lewat proses-proses politik.
Realitas politik haruslah dijadikan bagian dari pengefektifan kontrol terhadap kinerja
sistem hukum nasional yang telah terlanjur terhegemoni paradigma lama tentang objektifitas
hukum dan netralitas atau independensi hakim di badan-badan pengadilan. Hukum dan hakim
-
7/29/2019 kepastian hukum
7/12
harus mulai dikonsepkan sebagai insan politik yang bisa bermain-main dengan berbagai
putusannya, dalam kerangka tindakan kolutifnya dengan kepentingan politik yang diprakarsai
para politisi, baik politisi yang berposisi di badan-badan legislatif maupun yang berada di badan-
badan eksekutif. Tak dapat dilepaskan dari hubungannya yang fungsional dengan dan/atau
dalam suatu pranata politik, para pejabat hukum pun tidak mesti hanya bisa dikontrol dariranahnya sendiri, melainkan juga dari ranah di luar dirinya. Ialah tekanan politik yang berasal
dari orang-orang partai (khususnya yang tengah beroposisi), atau dari warga masyarakat yang
berhasil mengorganisasi diri dalam bentuk organisasi-organisasi non-pemerintah (yang di
Indonesia di kenal dalam akronimnya LSM atau ORNOP), dan yang berfungsi sebagai bagian
dari kelompok tekan (pressure group).
Profesionalisme Dan Perannya Sebagai Ajaran
Yang Berfungsi Sebagai Sarana Kontrol Demi Terwujudnya Tertib Hukum
Profesionalisme itu adalah suatu paham tentang adanya suatu aktivitas kerja yang harusdidasari oleh keahlian yang amat tinggi sebagai hasil berlatihnya bertahun-tahun. Tetapi, lebih
dari itu, menurut paham ini, seseorang profesional juga harus sanggup bekerja atas dasar adanya
itikatnya yang mulia, sebagaimana dinyatakan lewat suatu ikrar atau sumpah di muka umum
(yang di dalam bahasa Inggris disebut to profess), untuk merealisassi moral kebajikan yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Ikrar inilah yang membedakan hidup seseorang professional
dengan mereka yang bekerja demi nafkah dan penghasilan materiil. Dengan perkataan lain,
seseorang profesional akan bekerja dengan keahlian tinggi, namun keahlian itu tak dimaksudkan
untuk dijadikan komoditas pasar sebagai objek jual-beli
Kegiatan kerja mereka yang professional adalah kerja perkhidmatan yang diniati demi
kebajikan, dan bukan demi kekayaan. Maka, dari sebab itu, di dalam kerja-kerja profesional ini
mereka yang telah dipercaya berkhidmat dalam suatu profesi itu tidak akan sekali-kali boleh
mengharapkan imbalan upah materiil untuk jasa-jasanya. Seorang yang menjalani hidup atas
dasar moral profesionalisme itu tidak akan bekerja karena merasa didesak kebutuhan untuk
memperoleh penghasilan, atau untuk membangun harta kekayaan. Alih-alih, ia bekerja karena
pertama-tama terpanggil untuk berbuat kebajikan demi kesejateraan sesama manusia. Akan
ganti beroleh pendapatan yang berhakikat sebagai upah, seseorang profesional akan memperoleh
pengakuan dan limpahan kehormatan ( honor, honoraria), dan tidak akan boleh diperendah
derajatnya -- atau merendahkan martabat dirinya sebatas menjadi orang upahan atau orang
gajian belaka.
Seseorang profesional berkhidmat berdasarkan kaidah-kaidah etika yang terorganisasi
sebagai bagian dari kepribadian individualnya. Tak urung, lebih lanjut dari sebatas oleh kontrolhati nuraninya sendiri, setiap pekerja profesional itu selalu diharapkan untuk bersedia secara rela
dan ikhlas menundukkan diri pada kontrol organisasi atau korps sesamanya. Kontrol internal ini
disusun, berdasarkan kesepakatan para sejawat seprofesi, dalam bentuk sebuah kode yang
berisikan seperangkat norma etik. Kode yang disebut kode etik ini, dikembangkan dan
difungsikan sebagai sarana kontrol internal di lingkungan kegiatan kerja para pekerja profesional
itu, demi terjaganya mutu kemahiran teknis dan demi tertegakkannya perilaku etis para pekerja
professional. Pada asasnya, kontrol atas keahlian dan perilaku etis kaum profesional tidak
berasal dari luar, seperti misalnya kalau kontrol itu utamanya datang dari pemerintah atau
negara, bersaranakan undang-undang, yang akan ditegakkan oleh aparat eksekutif dan/atau para
pejabat di badan-badan yudisial. Apabila diketahui bahwa pada suatu ketika suatu profesi itu
-
7/29/2019 kepastian hukum
8/12
mulai lebih terkesan bekerja di bawah kontrol ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan
daripada di bawah kontrol kode etiknya sendiri, yang diefektifkan oleh suatu dewan kehormatan
yang di bentuk khusus untuk menegakkan berlakunya kode etik profesi, maka itulah tanda-
tandanya bahwa profesionalisme di kalangan para pekerja profesi itu telah mulai mengalami
proses deprofesionalisasinya.
Profesi Hakim dalam Krisis
Bagaimana sekarang halnya dengan profesionalisme di lingkungan profesi pemberian
jasa layanan hukum, dan khususnya di kalangan mereka yang berkhidmat dalam kariernya
sebagai hakim, khususnya lagi yang berkembang di Indonesia. Nilai-nilai kebajikan apakah
yang sebenarnya hendak direalisasi oleh para ahli hukum dan para hakim itu, dan adakah di
kalangan para ahli di bidang hukum ini ada kontrol-kontrol etis yang sifatnya internal dan selalu
diupayakan berlakunya secara efektif? Ataukah profesi hukum dan kehakiman itu kini ini sudah
harus meleburkan diri dalam dunia kehidupan -- baik yang sipil maupun yang bisnis yangsesungguhnya sudah tampak berkembang kian dunia lugas, beretikasurvival of the fittestdalam
kancah persaingan yang kian terbuka, dan karena itu tanpa keberatan apa-apa telah diakui
sebagai sebuah lahan okupasi tempat orang-orang mencangkul upah dan berebut rejeki, daripada
sebagai sebuah medan dedikasi yang disemangati pengabdian yang altruistik? Adakah control-
kontrol atas kegiatan kerja mereka ini sudah kian bersifat eksternal daripada internal, yang
dengan demikian kian mencerminkan telah terjadinya proses deprofesionalisasi yang parah dan
malah memalukan?
Lebih berat lagi manakala perkembangan situasi kehidupan negara modern kaum
profesional di bidang hukum dan kehakiman ini juga kian terkesan lebih berkehendak untuk
melayani kepentingan pemerintah, sebagaimana dioperasikan oleh para administrator birokrat.
Sementara itu, kuat dugaan, bahwa birokrat-birokrat yang bekerja di struktur pemerintahan
negeri-negeri berkembang itu tak jarang amat bermuatan kepentingan politik. Dalam
perkembangan ini banyak ahli hukum direkrut dan terkooptasi sebagai pegawai-pegawai setia
yang beriodentitas sebagai abdi negara, dan tidak pertama-tama sebagai pelayan khalayak umum
(public servant). Di negeri-negeri berkembang, seperti misalnya di Indonesia, banyak ahli
hukum yang direkrut sebagai hakim atau jaksa dengan kedudukan sebagai pegawai negeri dan
berkarier pula sebagai pegawai negeri yang abdi negara di bawah payung Korpri. Dalam
kenyataan seperti itu, sering amat sulit bagi para ahli hukum ini untuk tetap bertindak sebagai
seorang yang profesional yang bebas. Alih-alih demikian, tekanan disiplin terhadapnya dalam
kedudukannya sebagai pegawai negeri yang tak ayal haru pertama-tama mendahulukan
pengabdiannya kepada negara menyebabkan banyak dari para ahli hukum ini termasuk yangbekerja dalam dunia peradilan -- kehilangan identitasnya yang semula. Berkenyataan seperti itu,
mereka segera saja mengalami proses deprofesionalisasi, dan pada akhirnya terdegradasi untuk
menjadi tak lebih daripada orang gajian belaka.
Bagaimana penyelesaiannya? Menghidupkan kembali profesionalisme di kalangan
mereka? Mendisiplin mereka sebagai pegawai negeri atas dasar kewenangan-kewenangan
pengawasan atasan, yang nota bene adalah juga pegawai negeri yang bereselon yang selalu takut
terdegradasi, namun bukan soal degradasi moral berikut sosoknya sebagaiHomo ethicus
melainkan terdegradasi eselonnya? Ataukah mengembangkan kontrol institusional yang
sifatnya lebih eksternal, yang di Indonesia lebih dikenal sebagai organ-organ Komisi?
00000
-
7/29/2019 kepastian hukum
9/12
KEPASTIAN HUKUM DAN KEKUASAAN PENGADILAN
Soetandyo Wignjosoebroto
Kepastian hukum -- sebagaimana keadilan dan kemanfaatan hukum -- adalah
sesungguhnya sebuah doktrin. Doktrin kepastian hukum mengajarkan kepada setiap pelaksana
dan penegak hukum untuk (demi terkendalikannya kepatuhan warga agar ikut menjaga
ketertiban dalam kehidupan) mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama.
Doktrin ini mengajarkan agar setiap ahli hukum, khususnya yang tengah bertugas sebagai
hakim, tidak menggunakan rujukan-rujukan normatif lain selain yang terbilang norma hukum
guna menghukumi sesuatu perkara. Demi kepatuhan, hanya norma hukum yang telah
diundangkan sajalah yang secara murni dan konsekuen boleh dipakai untuk menghukumisesuatu perkara. Tidaklah norma hukum ini boleh dicampuri pertimbangan-pertimbangan yang
merujuk ke sumber-sumber normatif yang lain; seperti misalnya norma moral, rasa keadilan,
ideologi politik, keyakinan pribadi, atau apapun lainnya. Diyakini orang, bahwa dengan
dipatuhinya doktrin seperti itu hukum (sebagai suatu institusi) akan amat berdaya untuk
mengefektifkan berlakunya kaidah-kaidahnya guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di
dalamnya.
Tak pelak lagi, doktrin kepatuhan hukum yang mem-berikan arahan kepada para
pelaksana hukum seperti terpapar di atas itu berkaitan erat dengan doktrin lain yang lebih
bersifat falsafati, ialah doktrin positivisme yang pada asasnya juga mengajarkan pemahaman
hukum sebagai hukum murni. Doktrin positivisme ini juga mengajarkan bahwa hukum itu harus
memiliki sosok yang kasatmata dan sifat yang objektif. Oleh sebab itu, setiap norma yangterbilang hukum harus dirumuskan (karena itu juga mesti tertulis!) secara eksplisit, cermat dan
tepat, oleh pejabat dan/atau institusi yang berkewenangan untuk itu. Maka, dari doktrin
positivisme inilah asal muasal pendapat bahwa setiap hukum (ius) itu harus diwujudkan dalam
bentuk undang-undang (lege, lex). Doktrin positivisme ini pulalah yang mengajarkan agar
setiap ahli hukum yang mendayagunakan hukum berkewajiban menjaga kemurnian hukum
(dalam artinya sebagai undang-undang) agar hak dan kewajiban sebagaimana ditentukan di
dalam aturan-aturan hukum/undang-undang dapat diketahui dengan pasti dan segala
konsekuensinyapun dapat diprediksikan pula dengan pasti. Pengidentikkan hukum dengan
norma-norma lain yang bukan hukum undang-undang dikhawatirkan hanya akan mengganggu
kepastian itu.
Falsafah hukum beraliran positivisme yang diimplementasi ke dalam ajaran hukummurni, berikut doktrin kepastian hukum yang amat disyaratkan dalam praktek itu, membawa
konsekuensi lebih lanjut dalam soal mengkonsepkan hukum dan fungsi hukum dalam
masyarakat, nota bene masyarakat yang penuh konflik namun mendambakan ketertiban itu.
Arahan falsafati dan ajaran hukum murni dengan doktrin kepastian hukumnya itu (yang secara
ringkas acap pula disebut paham legalisme) memodelkan hukum sebagai institusi sentral yang
netral. Hukum adalah hasil kesepakatan warga masyarakat, entah kesepakatan di ranah privat
yang langsung antar-person (disebut 'kontrak'), entah pula kesepakatan di ranah publik antar-
kelompok atau kesesatan), maka isi hukum tidaklah akan berat sebelah dan tidak sekali-kali
akan mengesankan akan memihak kepentingan sepihak. Dalam pelaksanaannyapun tidaklah isi
-
7/29/2019 kepastian hukum
10/12
hukum itu boleh ditafsirkan oleh seseorang yang memihak untuk menguntungkan satu pihak atas
kerugian pihak yang lain.
Tak cuma dalam hal mengartikan isi hukum, dalam perilakunya -- yang
direpresentasikan dan dipersonifikasikan dalam sosok seseorang manusia terpilih yang disebut
kadi -- atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'hakim' -- pun hukum itu mestilahtak memihak atau boleh berat sebelah. Hakim bukanlah pihak yang ikut bersepakat atau terlibat
dalam kesepakatan (tatkala kontrak atau undang-undang dibuat), serta pula tak ikut berperkara
atau terlibat dalam perkara (tatkala perkara tengah ditangani pengadilan). Hakim bukanlah
pelaku dan pemihak dalam ihwal pembuatan hukum. Hakim adalah seseorang yang ahli dalam
soal tatacara menemukan hukum, mengartikan maknanaya dan kemudian menyimpulkannya
untuk menghukumi perkara-perkara tertentu "tanpa pandang bulu". Hakim dengan keahliannya
yang profesional tak akan menengok ke kanan atau ke kiri guna memilih pihak. Menurut
filsafat, ajaran atau doktrin legalisme, hukum itu mesti lurus dan benar (recht moet recht zijn
kata orang Belanda), sedangkan sang hakim (de rechter dalam Bahasa Belanda) karena itu juga
mesti selalu berjalan lurus, lempang ke depan menuruti imperativa substantif isi hukum, tanpa
boleh ada niat culas untuk berpikiran bengkok untuk berkelok ke kepentingan yang di kananatau ke kepentingan yang di kiri. Maka hakim itu mestilah selalu siap untuk "cuma" berperan
sebagai -- demikian kata de Montesquieu -- la bouche qui prononce les paroles des lois semata.
***
Doktrin kepastian hukum sebagai anak ajaran legalisme dari madhab hukum murni --
dan yang mengagungkan rasionalisme dalam kajian hukum dan praktik peradilan -- itu adalah
doktrin dan ajaran yang berkembang dan didukung para penganut pada suatu era tatkala proses
demokratisasi tengah berlangsung, dengan cita-cita bahwa kekuasaan negara harus bisa dibatasi
dan dikontrol oleh hukum. Negara haruslah dikonstruksi sebagai 'negara hukum' dan bukan
'negara kekuasaan'. Infrastruktur negara hukum tak pelak lagi adalah masyarakat warga (civil
society), dan bukan masyarakat yang mengenal dikotomi kawula-Gusti. Di tengah-tengah
kehidupan masyarakat warga yang demikian itu, tidaklah sekelompok orang elit akan mungkin
didewa-dewakan dan diistimewakan mengatasi yang lain, sedangkan yang lain dalam jumlah
massal bolehlah diperkuda serta dipinggir-pinggirkan. Di tengah kehidupan masyarakat warga,
setiap manusia yang warga itu haruslah, menurut doktrinnya, diakui berkedudukan sama di
hadapan hukum dan hakim.
Akan tetapi, apa yang dicita-citakan demikian itu nyata kalau tidak selamanya dapat
direalisasi; sedangkan apa yang telah diperikan di dalam konsep tidak selalu merupakan
diskripsi apa yang dapat ditemui dalam pengalaman di lapangan. Dalam kenyataan, manusia itu
nyata kalau tidak selalu berkemampuan sama untuk memperoleh kedudukan yang sama. Maka,sekalipun menurut konsep hukumnya setiap manusia warga masyarakat dan warga negara itu
dianggap berkedudukan sama, namun dalam realita kehidupan yang sudah bersifat serba
kontraktual ini kesepakatan-kesepakatan yang terjadi antar-pihak tak selamanya mencerminkan
perlindungan kepentingan yang berimbang. Kerja hukum dan hakim yang menurut doktrinnya
disyaratkan netral, dan tak boleh memihak, namun dalam kenyataannyapun sering berefek
membiarkan (bertolak dari dalih "harus netral") terjadinya berbagai kesenjangan yang
memperlihatkan betapa yang satu akan memperoleh lebih, sedangkan yang lain -- yang
umumnya jumlahnya justru massal -- memperoleh kurang.
Walhasil terjejas situasi seperti itu, dengan kontrol hukum yang didoktrinkan netral
seperti itu, masyarakat yang ada gagal berkembang menjadi masyarakat warga. Masyarakat
-
7/29/2019 kepastian hukum
11/12
tetap saja merupakan masyarakat yang berstratum-stratum, atau menjadi terstratum-stratum
kembali, dengan kenyataan bahwa sejumlah warga selalu memperoleh peluang mendahulu untuk
kian memapankan diri sedangkan sejumlah warga yang lain kian terdiskriminasi oleh keadaan.
Hukum dalam konsepnya sebagai hasil kesepakatan warga -- yang antar-warga individual (ialah
kontrak) ataupun lebih-lebih lagi yang antar-warga sekelompok kepentingan dalam kehidupannasional (ialah undang-undang) yang lebih berkonsekeuensi jauh -- tidak selamanya dapat
memberikan perlindungan kepentingan secara berimbang. Mereka yang berkedudukan lemah --
secara ekonomik, politik, sosial ataupun budaya -- akan selalu tertodong kewajiban hukum
daripada terbela oleh hak-hak. Sementara itu mereka yang berada pada posisi diuntungkan
selalu saja terkesan gampang memperoleh hak dan sumberdaya institusional guna menegakkan
hak-haknya.
Dapat dimengerti, mengapa dalam keadaan seperti itu, legisme (dengan doktrin kepastian
hukumnya sekalaipun!) akan lebih melindungi dan kian memapankan mereka yang memiliki
kelebihan dana, informasi dan akses politik daripada mereka yang tak berkeadaan demikian.
Dapat dimengerti pula mengapa kehendak untuk "berhukum-hukum" dengan pilihan kuat untuk
menyelesaikan segala perkara konflik ke pengadilan, dan/atau dengan cara mempercayakankepada para pejabat administratif yang berwenang membuat keputusan (atas dasar hukum in
abstracto dan/atau diskresi-diskresi), selalu saja lebih banyak berasal dari mereka yang mapan
dan kaya akses itu. Dengan struktur yang banyak memberikan akses kepadanya, kelompok
mapan ini tentu saja berpamrih untuk terlestarikannya status quo, dan hukum yang didoktrinkan
netral dan berkepastian dapatlah didayagunakan untuk maksud itu.
Maka, dalam masyarakat yang penuh kesenjangan, hukum dengan doktrin kepastian
hukum hanya akan memastikan hak-hak mereka yang -- dalam kehidupan yang belum sempurna
ini -- telah berhasil mapan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki dana kekayaan,
informasi dan akses politik yang amat terkawal. Akses politik kaum mapan ini pada gilirannya
juga akan dapat kian didayagunakan untuk menambahkan hak-hak bagi dirinya dan untuk
membebankan kewajiban-kewajiban kepada mereka yang dikucilkan di luar sistem. Salah-
salah, asas ruleoflaw dalam praktik tanpa dapat dielakkan lagi lalu menjadi tersimak sebagai
therulingbytherulerby (ab)usingthelaw.
Dalam kenyataan seperti itu legisme tak lagi tampil sebagai ide dan ideologi revolusioner
yang secara progresif akan mengilhami setiap upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih
egalitarian. Alih-alih begitu, legisme serta merta akan bersosok konservatif dengan kebijakan-
kebijakannya yang kolot untuk mempertahankan kemapanan struktur, demi kelanggengan
kepentingan para penguasa yang berhasil mengendalikan struktur demi kepentingannya sendiri
yang relatif eksklusif dan penuh priveleges. Dalam kenyataan sossiologik seperti itu pula
hukum dan hakim akan kehilangan otonominya. Hukum dan hakim akan terkooptasi ke dalam
struktur kepentingan yang telah mapan, dan secara cepat atau lambat akan mendapatkan dirinyaberada dalam fungsinya yang justru represif. Apabila kenyataan seperti ini tidak segera
dikoreksi untuk mengembalikannya ke asas-asas yang diajarkan dalam doktrin, maka maraknya
mafia peradilan bukanlah berita bohong belaka.
Boleh disimpulkan bahwa legisme yang positivistik, dengan ajaran hukum murni yang
hendak menetralkan fungsi hukum, ternyata sangat disfungsional untuk diterapkan di negeri-
negeri berkembang yang tengah membangun. Dalam perkembangan mereaksi kenyataan seperti
itu tergugahlah ide-ide alternatif yang menyarankan agar bukan doktrin positivisme tentang
kepastian hukum yang mestinya difungsikan di sini, melainkan doktrin utilitarianisme tentang
kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan logika
hukum para yuris elit yang beroptik normatif saja yang terutama harus berbicara di sini, akan
-
7/29/2019 kepastian hukum
12/12
tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif
(sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi
sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum inconcreto. Bukan positivisme dan legisme
yang diperlukan di sini, melainkan apa yang di Amerika Serikat dikenali sebagai aliran
sociological jurisprudence, berikut perkembangannya yang dikenali sebagai ajaranfunctionaljurisprudence.
Maka di sini bukan sebatasgoodlaw yang sebenarnya paling diharapkan, melainkan
goodman yang berkepribadian arif dan realistik dalam ihwal menafsirkan bunyi undang-
undang. . Dialah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna
merespons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam
derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif. Di tangan dan ditanganigoodman, baik yang
duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan, maka hukum itu
(inabstracto maupun inconcreto), akan nyata terbilang ke dalam bilangan 'hukum yang
responsif' dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia-manusia
warganegara, dan bukan lagi terbilang 'hukum yang represif', dengan fungsinya yang utama
untuk melegitimasi secara berterusan kekuasaan negara yang tidak lagi tersenarai secaralimitative melainkan secara enumeratif.
Persoalannya sekarang: bagaimana cara membibitgoodman yang tak hanya cerdas dan
berintelektual tinggi akan tetapi juga berkeberanian moral yang terpuji. Cara pendekatan apa
yang mestinya digunakan di sini? Yang struktural lewat proses-proses politik demi terbenahinya
sistem agar lebih kondusif bagi tumbuhkembangnyagoodpersons? Ataukah yang individual
lewat pendidikan etika yang intens (etika politik untuk manusia legislatif dan etika profesi untuk
mereka yang berkhidmat sebagai manusia yudisial!), yang akan diikuti oleh rekrutmen yang
sungguh selektif dan terbuka? Ataukah kedua-duanya, kalaupun tidak akan sekaligus secara
bersamaan tak pelak akan mendahulukan yang satu tanpa mengabaikan yang lain?
Manakala kaum mapan telah terlanjur demikian mapan sehingga boleh dikatakan mereka
itu telah sanggup mengontrol seluruh akses politik, yang dengan demikian tak akan
memungkinkan terjadinya proses-proses dekonstruksi struktur, maka yang masih dimungkinkan
tinggallah pendekatan strategik yang nonstruktural, ialah yang invidual lewat proses-proses
pendidikan, khususnya yang nonformal dan informal. Pendidikan adalah suatu front dalam
suatu battle of the mind, yang -- sekalipun hasil ketentuannya harus ditunggu dalam rentang
waktu yang agak panjang, namun -- merupakan suatu bagian dari suatu reformasi atau revolusi
yang paling berbudaya, dan yang oleh sebab itu pula -- karena "hanya" berpeluru informasi
pembangun sikap dan komitmen -- juga paling tidak berdarah.
*****