kepastian hukum

Upload: dadih-abdulhadi

Post on 04-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    1/12

    TERWUJUDNYA PERADILAN YANG INDEPENDEN

    DENGAN HAKIM PROFESIONAL YANG TIDAK MEMIHAK

    Sebuah risalah ringkas,

    dimaksudkan untruk rujukan ceramah dan diskusi

    tentang

    Kriteria dan Pengertian Hakim Dalam Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis

    yang diselenggarakan dalam rangka Seminar Nasional bertema

    Problem Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia

    diselenggarakan oleh

    Komisi Yudisial dan PBNU-LPBHNU

    di Jakarta 8 September 2006

    Soetandyo Wignjosoebroto

    Kepastian hukum -- sebagaimana keadilan dan kemanfaatan hukum -- adalah

    sesungguhnya sebuah doktrin. Doktrin kepastian hukum mengajarkan kepada setiap pelaksana

    dan penegak hukum untuk (demi terkendalikannya kepatuhan warga agar ikut menjaga

    ketertiban dalam setiap aspek kehidupan) mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang

    sama. Inilah doktrin kaum positivis, yang dikenali pula sebagai doktrin the supreme state of

    (national) law yang mengajarkan dan meyakini adanya status hukum yang mengatasi

    kekuaasaan dan otoritas lain, semisal otoritas politik. Inilah doktrin yang berkonsekuensi pada

    ajaran lebioh lanjut agar setiap ahli hukum, khususnya yang tengah bertugas sebagai hakim,

    tidak menggunakan rujukan-rujukan normatif lain selain yang terbilang norma hukum guna

    menghukumi sesuatu perkara.

    Doktrin/Ajaran Hukum Klasik Kaum Legis-Positivis

    Yang Selama Ini Pada Dasarnya Masih Dianut Kuat-Kuat

    Dalam Praktik Peradilan di Indonesia

    Demikianlah menurut ajaran ini, bahwa demi kepastian dan jaminan akan kepatuhan,

    hanya norma hukum yang telah diundangkan yang disebut hukum nasional yang positif -- itu

    sajalah yang boleh digunakan secara murni dan konsekuen untuk menghukumi sesuatu perkara.

    Tidaklah norma hukum ini boleh dicampuri berbagai pertimbangan yang merujuk ke sumber-

    sumber normatif lain, seperti misalnya norma moral, rasa keadilan, ideologi politik, keyakinan

    pribadi, atau apapun lainnya. Diyakini orang, bahwa dengan dipatuhinya doktrin seperti itu

    secara murni dan konsekuen maka hukum (sebagai suatu institusi) akan amat berdaya untuk

    mengefektifkan berlakunya kaidah-kaidahnya guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di

    dalamnya.

    Tak pelak lagi, doktrin kepatuhan hukum yang memberikan arahan kepada para

    pelaksana hukum seperti terpapar di muka itu berkaitan erat dengan doktrin lain yang lebih

    bersifat falsafati, ialah doktrin positivisme yang pada asasnya juga mengajarkan pemahaman

    hukum sebagai hukum murni. Doktrin positivisme ini juga mengajarkan bahwa hukum itu harus

    memiliki sosok yang tidak berada di ranah yang metayuridis melainkan di ranah yang

    menampak dan terbaca tegas dan jelas dengan sifatnya yang objektif. Oleh sebab itu, setiap

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    2/12

    norma yang terbilang hukum harus dirumuskan (karena itu juga mesti tertulis!) secara eksplisit,

    cermat dan tepat, oleh pejabat dan/atau institusi yang berkewenangan untuk itu. Maka, dari

    doktrin positivisme inilah asal muasal pendapat bahwa setiap hukum (ius) itu harus diwujudkan

    dalam bentuk undang-undang (lege, lex). Dari sinilah awal mulanya mengapa doktrin

    positivisme ini yang oleh Hans Kelsen diperkenalkan sebagai ajaran hukum yang murni lalu dinamakan doktrin legisme.

    Doktrin positivisme ini pulalah yang mengajarkan agar setiap urusan hukum ditangani

    oleh ahlinya, dan dengan demikian hukum itu bukanlah lagi urusan orang awam yang tak pernah

    belajar menangani permasalahan hokum. Ahli hukum yang terlatih dalam profesionalisme

    hukum itulah yang berkewenangan mendayagunakan hukum dengan cara menjaga kemurnian

    hukum (dalam artinya sebagai undang-undang yang berkedudukan tertinggi) agar hak dan

    kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam aturan-aturan hukum/undang-undang itu dapat

    diketahui dengan pasti dan segala konsekuensinyapun dapat diprediksikan pula dengan pasti.

    Pengacauan hukum dengan norma-norma lain yang bukan hukum dikhawatirkan hanya akan

    mengganggu kepastian itu. Hanya hukum yang telah dipositifkan tegas-tegas sebagai ius

    constitutum -- alias hukum yang telah selesai dibentuk dan punya bentuk yang positif -- itusajalah yang secara sah boleh menetapkan fakta perbuatan atau peristiwa hukum apa yang boleh

    dinyatakan akan mempunyai akibat hukum macam apa, dalam suatu hubungan sebab-akibat

    yang pasti.

    Falsafah hukum beraliran positivisme yang diimplementasi ke dalam ajaran hukum

    murni, berikut doktrin kepastian hukum yang amat disyaratkan dalam praktek itu, membawa

    konsekuensi lebih lanjut dalam soal mengkonsepkan hukum dan fungsi hukum dalam

    masyarakat, notabene masyarakat yang penuh konflik namun mendambakan ketertiban itu.

    Arahan falsafati dan ajaran hukum murni dengan doktrin kepastian hukumnya itu (yang secara

    ringkas acap pula disebut paham legisme) memodelkan hukum sebagai institusi sentral yang

    netral. Hukum adalah hasil kesepakatan warga masyarakat, entah kesepakatan di ranah privat

    yang langsung antar-person (disebut 'kontrak'), entah pula kesepakatan di ranah publik antar-

    kelompok), maka isi hukum tidaklah akan berat sebelah dan tidak sekali-kali akan mengesankan

    akan memihak kepentingan sepihak. Dalam pelaksanaannyapun tidaklah isi hukum itu boleh

    ditafsirkan oleh seseorang yang memihak untuk menguntungkan satu pihak atas kerugian pihak

    yang lain.

    Peran Hakim Menurut Doktrin Kaum Legis-Positivis

    Tidak cuma di dalam soal mengartikan isi hukum, melainkan juga dalam perilakunya

    yang direpresentasikan dan dipersonifikasikan dalam sosok seseorang manusia terpilih yangdisebut kadi -- atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'hakim' (yang arti

    harafiahnya sesungguhnya adalah ahli hukum, yang oleh Snouck-Hurgronje dipakai untuk

    mengindonesiakan meesterinderechten) -- hukum itu mestilah tak memihak atau boleh berat

    sebelah. Hakim bukanlah pihak yang ikut bersepakat atau terlibat dalam kesepakatan (tatkala

    kontrak atau undang-undang dibuat), serta pula tak ikut berperkara atau terlibat dalam perkara

    (tatkala perkara tengah ditangani pengadilan). Hakim bukanlah pelaku dan pemihak dalam

    ihwal pembuatan hukum. Hakim adalah seseorang yang ahli dalam soal tatacara menemukan

    hukum, mengartikan maknanya dan kemudian menyimpulkannya untuk menghukumi perkara-

    perkara tertentu "tanpa pandang bulu".

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    3/12

    Maka pula, hakim dengan keahliannya yang profesional tak akan menengok ke kanan

    atau ke kiri guna memilih pihak. Menurut filsafat, ajaran atau doktrin legalisme ini hukum itu

    mesti lurus dan benar (recht moet recht zijn kata orang Belanda), sedangkan sang hakim (de

    rechterdalam Bahasa Belanda) karena itu juga mesti selalu berjalan lurus, lempang ke depan

    menuruti imperativa substantif isi hukum, tanpa boleh ada niat culas untuk berpikiran bengkokuntuk berkelok ke kepentingan yang di kanan atau ke kepentingan yang di kiri. Maka hakim itu

    mestilah selalu siap untuk "cuma" berperan sebagai -- demikian kata Montesquieu -- la bouche

    qui prononce les paroles des lois (sebatas mulut yang membunyikan kata-kata undang-undang)

    semata. Hakim bukanlah pembuat hukum berdasarkan kehendaknya yang subjektif, melainkan

    hanya pekerja yang mencoba menemukan hukum yang ada, untuk menyelesaikan perkara yang

    diajukan kepadanya. Prosedur kerja dan metode berpikirnya tak lain ialah pendayagunaan

    silogisma deduksi, dan bukan emosi pemihakan,sine ira (tanpa kegalauan atau kegusaran) untuk

    menerima pembuktian tentang apa duduk perkaranya (premis minor), menemukan apa dasar

    hukumnya (premis mayor), dan menarik simpulan (conclusio)dari dua premis tersebut sebagai

    amar putusannya.

    Doktrin kepastian hukum sebagai anak ajaran legisme yang dibela oleh para pengikutmadhab hukum murni ini -- yang mengagungkan rasionalisme dalam kajian hukum dan praktik

    peradilan -- adalah sesungguhnya ajaran yang berkembang dan didukung para penganut pada

    suatu era tatkala proses demokratisasi tengah berlangsung, dengan cita-cita bahwa kekuasaan

    negara harus bisa dibatasi dan dikontrol oleh hukum. Negara haruslah dikonstruksi sebagai

    'negara hukum' dan bukan 'negara kekuasaan'. Infrastruktur negara hukum tak pelak lagi adalah

    masyarakat warga (civilsociety), dan bukan masyarakat yang mengenal dikotomi kawula-Gusti.

    Di tengah-tengah kehidupan masyarakat warga yang demikian itu, tidaklah sekelompok orang

    elit akan mungkin didewa-dewakan dan diistimewakan mengatasi yang lain, sedangkan yang

    lain dalam jumlah massal bolehlah diperkuda serta dipinggir-pinggirkan. Di tengah kehidupan

    masyarakat warga, setiap manusia yang warga itu harus diakui berkedudukan sama di hadapan

    hukum dan hakim.

    Kesulitan Dalam Upaya Merealisasi Ide Doktrin Legisme di Indonesia

    Tetapi apa sesungguhnya yang terjadi dalam kenyataan? Adakah dalam kenyataan di

    negeri-negeri berkembang yang baru saja lepas dari suasana kolonialisme dan feodalisme,

    sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman Indonesia, equality before the law itukah yang

    merupakan kenyataan sehari-hari? Dalam kenyataan, apa yang dicita-citakan bahwa setiap

    warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum dan kekuasaan itu tidak selamanya dapat

    direalisasi. Apa yang telah diperikan di dalam cita-cita dan konsep normatif tidak selalumerupakan diskripsi apa yang dapat ditemui dalam pengalaman yang nyata-nyata di lapangan.

    Dalam kenyataan, manusia itu tidak selalu berkemampuan sama untuk memperoleh kedudukan

    yang sama. Maka, sekalipun menurut konsep hukumnya setiap manusia warga masyarakat dan

    warga negara itu dianggap berkedudukan sama, namun dalam realitas kehidupan yang sudah

    bersifat serba kontraktual ini kesepakatan-kesepakatan yang terjadi antar-pihak tidaklah selalu

    dan selamanya mencerminkan perlindungan kepentingan yang berimbang.

    Maka, di sini kerja hukum dan hakim, yang menurut doktrinnya disyaratkan dan

    diisyaratkan netral dan tak boleh memihak itu, dalam kenyataannya sering berefek membiarkan

    (bertolak dari dalih "harus netral") terjadinya berbagai kesenjangan yang memperlihatkan betapa

    yang satu memperoleh lebih, sedangkan yang lain -- yang umumnya jumlahnya justru massal --

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    4/12

    memperoleh kurang. Pembagian hak dan kewajiban aantara buruh dan majikan, misalnya,

    acapkali tak memperlihatkan keseimbangan sebagaimana diharapkan. Tengok saja misalnya apa

    yang pernah terjadi di negeri ini selama ini, tatkala undang-undang perburuhan dibuat oleh

    anggota-anggota DPR yang amat didominasi oleh suara-suara konglomerat, dan/atau oleh para

    pejabat eksekutif ataupun legislative yang membuka diri pada lobi-lobi para investor, namunacapkali menutup diri darui tuntutan-tuntutan para buruh miskin (yang harus hidup sebatas

    standar UMR).

    Walhasil terjejas situasi seperti itu, dengan kontrol hukum yang didoktrinkan netral

    seperti itu, masyarakat yang ada akan gagal berkembang menjadi masyarakat warga.

    Masyarakat tetap saja merupakan masyarakat yang berstratum-stratum, atau menjadi terstratum-

    stratum kembali. Di situ yang terlihat sebagai kenyataan hanyalah sejumlah warga elit yang

    selalu memperoleh peluang mendahulu untuk kian memapankan diri, sedangkan sejumlah warga

    yang lain kian terdiskriminasi oleh keadaan. Hukum dalam konsepnya sebagai hasil

    kesepakatan warga -- yang antar-warga individual (ialah kontrak) ataupun lebih-lebih lagi yang

    antar-warga sekelompok kepentingan dalam kehidupan nasional (ialah undang-undang) yang

    lebih berkonsekeuensi jauh -- tidak selamanya dapat memberikan perlindungan kepentingansecara berimbang. Mereka yang berkedudukan lemah -- secara ekonomik, politik, sosial

    ataupun budaya -- akan selalu tertodong kewajiban hukum daripada terbela oleh hak-hak.

    Sementara itu mereka yang berada pada posisi diuntungkan selalu saja terkesan gampang

    memperoleh hak dan sumberdaya institusional guna menegakkan hak-haknya.

    Legisme, Hakim Penganut Aliran Legisme, dan Terjadi Serta Terteruskannya

    Kesenjangan Hak Antara Yang Mapan dan Yang Rawan

    Dapat dimengerti mengapa dalam keadaan seperti itu legisme dengan doktrin kepastian

    hukumnya akan lebih melindungi dan kian memapankan mereka yang memiliki kelebihan dana,

    informasi dan akses politik daripada mereka yang tak berkeadaan demikian. Dapat dimengerti

    pula mengapa kehendak untuk "berhukum-hukum" dengan pilihan kuat untuk menyelesaikan

    segala perkara konflik ke pengadilan, dan/atau dengan cara mempercayakan kepada para pejabat

    administratif yang berwenang membuat keputusan (atas dasar hukum inabstracto dan/atau

    diskresi-diskresi), selalu saja lebih banyak berasal dari mereka yang mapan dan kaya akses itu.

    Dengan struktur yang banyak memberikan akses kepadanya, kelompok mapan ini tentu saja

    berpamrih untuk terlestarikannyastatus quo, dan hukum yang didoktrinkan netral dan

    berkepastian dapatlah didayagunakan untuk maksud itu.

    Maka, dalam masyarakat yang penuh kesenjangan, hukum dengan doktrin kepastian

    hukum hanya akan memastikan hak-hak mereka yang -- dalam kehidupan yang belum sempurnaini -- telah berhasil mapan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki dana kekayaan,

    informasi dan akses politik yang amat terkawal. Akses politik kaum mapan ini pada gilirannya

    juga akan dapat kian didayagunakan untuk menambahkan hak-hak bagi dirinya dan untuk

    membebankan kewajiban-kewajiban kepada mereka yang dikucilkan di luar sistem. Salah-

    salah, asas ruleoflaw dalam praktik tanpa dapat dielakkan lagi lalu menjadi tersimak sebagai

    the ruling by the ruler by (ab)using the law.

    Dalam kenyataan seperti itu legalisme tak lagi tampil sebagai ide dan ideologi

    revolusioner yang secara progresif akan mengilhami setiap upaya perubahan ke arah kehidupan

    yang lebih egalitarian. Alih-alih begitu, legalisme serta merta akan bersosok konservatif dengan

    kebijakan-kebijakannya yang kolot untuk mempertahankan kemapanan struktur demi

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    5/12

    kelanggengan kepentingan para penguasa yang berhasil mengendalikan struktur demi

    kepentingannya sendiri yang relatif eksklusif dan penuhpriveleges. Dalam kenyataan seperti itu

    hukum dan hakim akan kehilangan otonominya. Hukum dan hakim akan terkooptasi ke dalam

    struktur kepentingan yang telah mapan dan berkedudukan kuat dalam ranah politik, dan secara

    cepat atau lambat akan mendapatkan dirinya berada dalam fungsinya yang justru represif.Permasalahan tarik-ulur dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung berikut pengawasan atas

    tindakan-tindakannya selama ini, misalnya, dapatlah dijelaskan dari kenyataan yang secara

    politik amat pragmatik ini (nota bene tidak dari perspektif doktrin akan kenetralan hukum).

    Kenyataan ini mencerminkan betapa besar kepentingan politik kelas mapan untuk secara

    berterusan hendak mempertahankan kemapanan status politik dan ekonominya

    Perlunya Mencari dan Menemukan Paradigma Baru

    Boleh disimpulkan bahwa legisme yang positivistik, dengan ajaran hukum murni yang

    hendak menetralkan fungsi hukum, ternyata sangat disfungsional untuk diterapkan di negeri-negeri berkembang yang tengah membangun. Dalam perkembangan mereaksi kenyataan seperti

    itu tergugahlah ide-ide alternatif yang menyarankan agar bukan doktrin positivisme kaum liberal

    ortodox penganut laissez-faire liberalism tentang kepastian hukum yang mestinya difungsikan di

    sini. Akan gantinya, pernah diutarakan untuk mempertimbangkan doktrin utilitarianisme

    tentang kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan

    logika hukum para yuris elit yang beroptik formalisme untuk mendahulukan berlakunya hukum

    perundang-undangan saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi terutama juga

    kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif (sebagai pembuat

    undang-undang alias hukum inabstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan

    (sebagai hakim, pembuat hukum inconcreto. Bukan positivisme dan legisme yang diperlukan

    di sini, melainkan temuan paradigma baru, khususnya untuk kinerja kehakiman, seperti misalnya

    apa yang di Amerika, dirintis oleh Roscoe Pound, disebutsociologicaljurisprudence,

    sampaipun apa yang kemudian dikategorikan oleh Phillippe Nonet dan Philip Selznick sebagai

    hukum responsif (yang amat diharapkan akan segera dapat dihadirkan, baik dalam proses-

    proses legislatif maupun dalam proses-proses yudisial).

    Maka di sini bukan kehadirangoodlaw yang sebenarnya pertama-tama diharapkan,

    melainkan kehadirangoodman (tentusajajugagood woman), khususnya di badan-badan

    pengadilan. Inilah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna

    merespons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam

    derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif. Di tangan dan ditanganigood (wo)man -- baik

    yang duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan -- itu makahukum itu, inabstracto maupun inconcreto, akan nyata terbilang ke dalam bilangan 'hukum

    yang responsif' dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia

    warganegara, yang tak cuma hendak berkutat pada tafsir formal melainkan juga mengajuk ke

    kebenaran yang lebih bersifat materiil, ialahjustice for all. Hukum responsif baik dalam

    eksistensinya in abstracto (aturan-aturan umum) maupun dalam eksistensinya in concreto

    adalah antitesis 'hukum yang represif'. Hukum represif adalah hukum yang fungsi utamanya

    adalah melegitimasi secara berterusan kekuasaan para pejabat negara yang disenarai secara

    enumeratif, yang tertafsir sebagai kekuasaan yang tak dibataskan secara jelas secara

    konstitusional.

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    6/12

    Persoalannya sekarang: bagaimana membibitgood(wo)man yang tak hanya cerdas dan

    berintelektual tinggi akan tetapi juga berkeberanian moral yang terpuji. Lewat proses

    pendidikan? Bukankah pendidikan itu adalah suatu front dalam suatu battle of the mind, yang --

    sekalipun hasil ketentuannya harus ditunggu dalam rentang waktu yang agak panjang

    bagimanapun juga merupakan suatu bagian dari suatu reformasi atau revolusi yang palingberbudaya, dan yang oleh sebab itu pula -- karena "hanya" berpeluru informasi pembangun sikap

    dan komitmen -- juga paling tidak berdarah. Realistiskah proses jangka panjang ini untuk

    menghadapi masalah tiadanya tertib hukum yang sudah terlanjur demikian akut di negeri ini.

    Realistiskah harapan ini, sedang tak kurang dari pengakuan Dr Muladi, salah seorang calon

    Ketua Mahkamah Agung pada waktu yang lalu (yang nota benebeliau itu telah bertahun-tahun

    bergelut sebagai profesor di bidang pendidikan hukum!) yang pernah mengatakan sebagai suatu

    excuse mengenai kekurangan dirinya, bahwa hanya malaikat saja yang di negeri ini bisa

    mencapai taraf kesempurnaan untuk menjadi hakim.

    Mengontrol Kerja dan Kinerja Hakim: Kontrol Prosedural-Doktrinal

    Menyadari bahwa hakim adalah manusia biasa, dan bukan malaikat yang terbebas dari

    berbagai bentuk godaan nafsu, persoalan kontrol terhadap tindakan dan kegiatan kerja hakim

    lalu menjadi agenda utama dalam setiap upaya merealisasi terwujudnya negara hukum. Semula

    upaya ini dikerjakan dengan mencontoh doktrin legisme Perancis tentang hakikat hakim yang

    tak lebih daripada une bouche qui pronounce les mots des lois. Sehubungan dengan doktrin ini,

    diindoktrinasikan pula pengakuan atas hukum perundang-undangan itu, termasuk undang-

    undang hukum acaranya, sebagai norma hukum yang mesti didudukkan pada statusnya yang

    tertinggi sebagai sumber hukum yang formal, mengatasi norma moral dan norma sosial macam

    apapun, yang selalu harus diingat oleh hakim yang memutus perkara. Norma lain macam

    apapun, yang dikualifikasi sebagai sumber hukum yang materiil, hanya boleh digunakan sebagai

    bahan pertimbangan. Semua ini telah tercakup dalam doktrin the supreme state of law,atau yang

    dalam bahasa Belanda dikatakan de hoogste rechtsstaat, asal tetap diingat saja bahwa dalam

    doktrin legisme ini yang diamksud dengan law atau rechtini selalu hukum (ius)yang telah

    dibentuk (constitutum) dalam wujud undang-undang.

    Tatanan hukum seperti ini, secara realistic, sesungguhnya harus disadari terlebih dahulu

    sebagai tatanan yang pada dasarnya terwujud sebagai suatu hasil proses politik yang berujung

    pada proses-proses tarik-ukur kepentingan di badan-badan legislatif, yang ideologik maupun

    yang non-ideologik. Kalaupun wacana-wacana berlangsung dengan pilihan pernyataan-

    pernyataan yang bersifat normatif dan ideal, analisis-anaalisis kritis akan mampu mendedah

    berbagai agenda politik yang tersembunyi, buatan mereka yang telah mapan-mapan. Kenyataanbaanyak mengungkap betapa kaum elit yang mapan telah terlanjur demikian mapan, sehingga

    mampu mengontrol seluruh akses politik, baik di badan-badan legislatif dan eksekutif maupun

    yang yudisial, guna mengefektifkan lobi-lobi mereka. Maka, tanpa menyadari kenyataan yang

    tidak memudahkan terjadinya proses-proses dekonstruksi struktur, tidaklah pembenahan

    struktural yang strategik dapat dilakukan. Maka di sinilah barangkali kian mengedepannya

    saran, bahwa pembenahan yang paling realistik adalah pembenahan yang dilakukan dengan cara

    pendekatan struktural lewat proses-proses politik.

    Realitas politik haruslah dijadikan bagian dari pengefektifan kontrol terhadap kinerja

    sistem hukum nasional yang telah terlanjur terhegemoni paradigma lama tentang objektifitas

    hukum dan netralitas atau independensi hakim di badan-badan pengadilan. Hukum dan hakim

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    7/12

    harus mulai dikonsepkan sebagai insan politik yang bisa bermain-main dengan berbagai

    putusannya, dalam kerangka tindakan kolutifnya dengan kepentingan politik yang diprakarsai

    para politisi, baik politisi yang berposisi di badan-badan legislatif maupun yang berada di badan-

    badan eksekutif. Tak dapat dilepaskan dari hubungannya yang fungsional dengan dan/atau

    dalam suatu pranata politik, para pejabat hukum pun tidak mesti hanya bisa dikontrol dariranahnya sendiri, melainkan juga dari ranah di luar dirinya. Ialah tekanan politik yang berasal

    dari orang-orang partai (khususnya yang tengah beroposisi), atau dari warga masyarakat yang

    berhasil mengorganisasi diri dalam bentuk organisasi-organisasi non-pemerintah (yang di

    Indonesia di kenal dalam akronimnya LSM atau ORNOP), dan yang berfungsi sebagai bagian

    dari kelompok tekan (pressure group).

    Profesionalisme Dan Perannya Sebagai Ajaran

    Yang Berfungsi Sebagai Sarana Kontrol Demi Terwujudnya Tertib Hukum

    Profesionalisme itu adalah suatu paham tentang adanya suatu aktivitas kerja yang harusdidasari oleh keahlian yang amat tinggi sebagai hasil berlatihnya bertahun-tahun. Tetapi, lebih

    dari itu, menurut paham ini, seseorang profesional juga harus sanggup bekerja atas dasar adanya

    itikatnya yang mulia, sebagaimana dinyatakan lewat suatu ikrar atau sumpah di muka umum

    (yang di dalam bahasa Inggris disebut to profess), untuk merealisassi moral kebajikan yang

    dijunjung tinggi oleh masyarakat. Ikrar inilah yang membedakan hidup seseorang professional

    dengan mereka yang bekerja demi nafkah dan penghasilan materiil. Dengan perkataan lain,

    seseorang profesional akan bekerja dengan keahlian tinggi, namun keahlian itu tak dimaksudkan

    untuk dijadikan komoditas pasar sebagai objek jual-beli

    Kegiatan kerja mereka yang professional adalah kerja perkhidmatan yang diniati demi

    kebajikan, dan bukan demi kekayaan. Maka, dari sebab itu, di dalam kerja-kerja profesional ini

    mereka yang telah dipercaya berkhidmat dalam suatu profesi itu tidak akan sekali-kali boleh

    mengharapkan imbalan upah materiil untuk jasa-jasanya. Seorang yang menjalani hidup atas

    dasar moral profesionalisme itu tidak akan bekerja karena merasa didesak kebutuhan untuk

    memperoleh penghasilan, atau untuk membangun harta kekayaan. Alih-alih, ia bekerja karena

    pertama-tama terpanggil untuk berbuat kebajikan demi kesejateraan sesama manusia. Akan

    ganti beroleh pendapatan yang berhakikat sebagai upah, seseorang profesional akan memperoleh

    pengakuan dan limpahan kehormatan ( honor, honoraria), dan tidak akan boleh diperendah

    derajatnya -- atau merendahkan martabat dirinya sebatas menjadi orang upahan atau orang

    gajian belaka.

    Seseorang profesional berkhidmat berdasarkan kaidah-kaidah etika yang terorganisasi

    sebagai bagian dari kepribadian individualnya. Tak urung, lebih lanjut dari sebatas oleh kontrolhati nuraninya sendiri, setiap pekerja profesional itu selalu diharapkan untuk bersedia secara rela

    dan ikhlas menundukkan diri pada kontrol organisasi atau korps sesamanya. Kontrol internal ini

    disusun, berdasarkan kesepakatan para sejawat seprofesi, dalam bentuk sebuah kode yang

    berisikan seperangkat norma etik. Kode yang disebut kode etik ini, dikembangkan dan

    difungsikan sebagai sarana kontrol internal di lingkungan kegiatan kerja para pekerja profesional

    itu, demi terjaganya mutu kemahiran teknis dan demi tertegakkannya perilaku etis para pekerja

    professional. Pada asasnya, kontrol atas keahlian dan perilaku etis kaum profesional tidak

    berasal dari luar, seperti misalnya kalau kontrol itu utamanya datang dari pemerintah atau

    negara, bersaranakan undang-undang, yang akan ditegakkan oleh aparat eksekutif dan/atau para

    pejabat di badan-badan yudisial. Apabila diketahui bahwa pada suatu ketika suatu profesi itu

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    8/12

    mulai lebih terkesan bekerja di bawah kontrol ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan

    daripada di bawah kontrol kode etiknya sendiri, yang diefektifkan oleh suatu dewan kehormatan

    yang di bentuk khusus untuk menegakkan berlakunya kode etik profesi, maka itulah tanda-

    tandanya bahwa profesionalisme di kalangan para pekerja profesi itu telah mulai mengalami

    proses deprofesionalisasinya.

    Profesi Hakim dalam Krisis

    Bagaimana sekarang halnya dengan profesionalisme di lingkungan profesi pemberian

    jasa layanan hukum, dan khususnya di kalangan mereka yang berkhidmat dalam kariernya

    sebagai hakim, khususnya lagi yang berkembang di Indonesia. Nilai-nilai kebajikan apakah

    yang sebenarnya hendak direalisasi oleh para ahli hukum dan para hakim itu, dan adakah di

    kalangan para ahli di bidang hukum ini ada kontrol-kontrol etis yang sifatnya internal dan selalu

    diupayakan berlakunya secara efektif? Ataukah profesi hukum dan kehakiman itu kini ini sudah

    harus meleburkan diri dalam dunia kehidupan -- baik yang sipil maupun yang bisnis yangsesungguhnya sudah tampak berkembang kian dunia lugas, beretikasurvival of the fittestdalam

    kancah persaingan yang kian terbuka, dan karena itu tanpa keberatan apa-apa telah diakui

    sebagai sebuah lahan okupasi tempat orang-orang mencangkul upah dan berebut rejeki, daripada

    sebagai sebuah medan dedikasi yang disemangati pengabdian yang altruistik? Adakah control-

    kontrol atas kegiatan kerja mereka ini sudah kian bersifat eksternal daripada internal, yang

    dengan demikian kian mencerminkan telah terjadinya proses deprofesionalisasi yang parah dan

    malah memalukan?

    Lebih berat lagi manakala perkembangan situasi kehidupan negara modern kaum

    profesional di bidang hukum dan kehakiman ini juga kian terkesan lebih berkehendak untuk

    melayani kepentingan pemerintah, sebagaimana dioperasikan oleh para administrator birokrat.

    Sementara itu, kuat dugaan, bahwa birokrat-birokrat yang bekerja di struktur pemerintahan

    negeri-negeri berkembang itu tak jarang amat bermuatan kepentingan politik. Dalam

    perkembangan ini banyak ahli hukum direkrut dan terkooptasi sebagai pegawai-pegawai setia

    yang beriodentitas sebagai abdi negara, dan tidak pertama-tama sebagai pelayan khalayak umum

    (public servant). Di negeri-negeri berkembang, seperti misalnya di Indonesia, banyak ahli

    hukum yang direkrut sebagai hakim atau jaksa dengan kedudukan sebagai pegawai negeri dan

    berkarier pula sebagai pegawai negeri yang abdi negara di bawah payung Korpri. Dalam

    kenyataan seperti itu, sering amat sulit bagi para ahli hukum ini untuk tetap bertindak sebagai

    seorang yang profesional yang bebas. Alih-alih demikian, tekanan disiplin terhadapnya dalam

    kedudukannya sebagai pegawai negeri yang tak ayal haru pertama-tama mendahulukan

    pengabdiannya kepada negara menyebabkan banyak dari para ahli hukum ini termasuk yangbekerja dalam dunia peradilan -- kehilangan identitasnya yang semula. Berkenyataan seperti itu,

    mereka segera saja mengalami proses deprofesionalisasi, dan pada akhirnya terdegradasi untuk

    menjadi tak lebih daripada orang gajian belaka.

    Bagaimana penyelesaiannya? Menghidupkan kembali profesionalisme di kalangan

    mereka? Mendisiplin mereka sebagai pegawai negeri atas dasar kewenangan-kewenangan

    pengawasan atasan, yang nota bene adalah juga pegawai negeri yang bereselon yang selalu takut

    terdegradasi, namun bukan soal degradasi moral berikut sosoknya sebagaiHomo ethicus

    melainkan terdegradasi eselonnya? Ataukah mengembangkan kontrol institusional yang

    sifatnya lebih eksternal, yang di Indonesia lebih dikenal sebagai organ-organ Komisi?

    00000

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    9/12

    KEPASTIAN HUKUM DAN KEKUASAAN PENGADILAN

    Soetandyo Wignjosoebroto

    Kepastian hukum -- sebagaimana keadilan dan kemanfaatan hukum -- adalah

    sesungguhnya sebuah doktrin. Doktrin kepastian hukum mengajarkan kepada setiap pelaksana

    dan penegak hukum untuk (demi terkendalikannya kepatuhan warga agar ikut menjaga

    ketertiban dalam kehidupan) mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama.

    Doktrin ini mengajarkan agar setiap ahli hukum, khususnya yang tengah bertugas sebagai

    hakim, tidak menggunakan rujukan-rujukan normatif lain selain yang terbilang norma hukum

    guna menghukumi sesuatu perkara. Demi kepatuhan, hanya norma hukum yang telah

    diundangkan sajalah yang secara murni dan konsekuen boleh dipakai untuk menghukumisesuatu perkara. Tidaklah norma hukum ini boleh dicampuri pertimbangan-pertimbangan yang

    merujuk ke sumber-sumber normatif yang lain; seperti misalnya norma moral, rasa keadilan,

    ideologi politik, keyakinan pribadi, atau apapun lainnya. Diyakini orang, bahwa dengan

    dipatuhinya doktrin seperti itu hukum (sebagai suatu institusi) akan amat berdaya untuk

    mengefektifkan berlakunya kaidah-kaidahnya guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di

    dalamnya.

    Tak pelak lagi, doktrin kepatuhan hukum yang mem-berikan arahan kepada para

    pelaksana hukum seperti terpapar di atas itu berkaitan erat dengan doktrin lain yang lebih

    bersifat falsafati, ialah doktrin positivisme yang pada asasnya juga mengajarkan pemahaman

    hukum sebagai hukum murni. Doktrin positivisme ini juga mengajarkan bahwa hukum itu harus

    memiliki sosok yang kasatmata dan sifat yang objektif. Oleh sebab itu, setiap norma yangterbilang hukum harus dirumuskan (karena itu juga mesti tertulis!) secara eksplisit, cermat dan

    tepat, oleh pejabat dan/atau institusi yang berkewenangan untuk itu. Maka, dari doktrin

    positivisme inilah asal muasal pendapat bahwa setiap hukum (ius) itu harus diwujudkan dalam

    bentuk undang-undang (lege, lex). Doktrin positivisme ini pulalah yang mengajarkan agar

    setiap ahli hukum yang mendayagunakan hukum berkewajiban menjaga kemurnian hukum

    (dalam artinya sebagai undang-undang) agar hak dan kewajiban sebagaimana ditentukan di

    dalam aturan-aturan hukum/undang-undang dapat diketahui dengan pasti dan segala

    konsekuensinyapun dapat diprediksikan pula dengan pasti. Pengidentikkan hukum dengan

    norma-norma lain yang bukan hukum undang-undang dikhawatirkan hanya akan mengganggu

    kepastian itu.

    Falsafah hukum beraliran positivisme yang diimplementasi ke dalam ajaran hukummurni, berikut doktrin kepastian hukum yang amat disyaratkan dalam praktek itu, membawa

    konsekuensi lebih lanjut dalam soal mengkonsepkan hukum dan fungsi hukum dalam

    masyarakat, nota bene masyarakat yang penuh konflik namun mendambakan ketertiban itu.

    Arahan falsafati dan ajaran hukum murni dengan doktrin kepastian hukumnya itu (yang secara

    ringkas acap pula disebut paham legalisme) memodelkan hukum sebagai institusi sentral yang

    netral. Hukum adalah hasil kesepakatan warga masyarakat, entah kesepakatan di ranah privat

    yang langsung antar-person (disebut 'kontrak'), entah pula kesepakatan di ranah publik antar-

    kelompok atau kesesatan), maka isi hukum tidaklah akan berat sebelah dan tidak sekali-kali

    akan mengesankan akan memihak kepentingan sepihak. Dalam pelaksanaannyapun tidaklah isi

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    10/12

    hukum itu boleh ditafsirkan oleh seseorang yang memihak untuk menguntungkan satu pihak atas

    kerugian pihak yang lain.

    Tak cuma dalam hal mengartikan isi hukum, dalam perilakunya -- yang

    direpresentasikan dan dipersonifikasikan dalam sosok seseorang manusia terpilih yang disebut

    kadi -- atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'hakim' -- pun hukum itu mestilahtak memihak atau boleh berat sebelah. Hakim bukanlah pihak yang ikut bersepakat atau terlibat

    dalam kesepakatan (tatkala kontrak atau undang-undang dibuat), serta pula tak ikut berperkara

    atau terlibat dalam perkara (tatkala perkara tengah ditangani pengadilan). Hakim bukanlah

    pelaku dan pemihak dalam ihwal pembuatan hukum. Hakim adalah seseorang yang ahli dalam

    soal tatacara menemukan hukum, mengartikan maknanaya dan kemudian menyimpulkannya

    untuk menghukumi perkara-perkara tertentu "tanpa pandang bulu". Hakim dengan keahliannya

    yang profesional tak akan menengok ke kanan atau ke kiri guna memilih pihak. Menurut

    filsafat, ajaran atau doktrin legalisme, hukum itu mesti lurus dan benar (recht moet recht zijn

    kata orang Belanda), sedangkan sang hakim (de rechter dalam Bahasa Belanda) karena itu juga

    mesti selalu berjalan lurus, lempang ke depan menuruti imperativa substantif isi hukum, tanpa

    boleh ada niat culas untuk berpikiran bengkok untuk berkelok ke kepentingan yang di kananatau ke kepentingan yang di kiri. Maka hakim itu mestilah selalu siap untuk "cuma" berperan

    sebagai -- demikian kata de Montesquieu -- la bouche qui prononce les paroles des lois semata.

    ***

    Doktrin kepastian hukum sebagai anak ajaran legalisme dari madhab hukum murni --

    dan yang mengagungkan rasionalisme dalam kajian hukum dan praktik peradilan -- itu adalah

    doktrin dan ajaran yang berkembang dan didukung para penganut pada suatu era tatkala proses

    demokratisasi tengah berlangsung, dengan cita-cita bahwa kekuasaan negara harus bisa dibatasi

    dan dikontrol oleh hukum. Negara haruslah dikonstruksi sebagai 'negara hukum' dan bukan

    'negara kekuasaan'. Infrastruktur negara hukum tak pelak lagi adalah masyarakat warga (civil

    society), dan bukan masyarakat yang mengenal dikotomi kawula-Gusti. Di tengah-tengah

    kehidupan masyarakat warga yang demikian itu, tidaklah sekelompok orang elit akan mungkin

    didewa-dewakan dan diistimewakan mengatasi yang lain, sedangkan yang lain dalam jumlah

    massal bolehlah diperkuda serta dipinggir-pinggirkan. Di tengah kehidupan masyarakat warga,

    setiap manusia yang warga itu haruslah, menurut doktrinnya, diakui berkedudukan sama di

    hadapan hukum dan hakim.

    Akan tetapi, apa yang dicita-citakan demikian itu nyata kalau tidak selamanya dapat

    direalisasi; sedangkan apa yang telah diperikan di dalam konsep tidak selalu merupakan

    diskripsi apa yang dapat ditemui dalam pengalaman di lapangan. Dalam kenyataan, manusia itu

    nyata kalau tidak selalu berkemampuan sama untuk memperoleh kedudukan yang sama. Maka,sekalipun menurut konsep hukumnya setiap manusia warga masyarakat dan warga negara itu

    dianggap berkedudukan sama, namun dalam realita kehidupan yang sudah bersifat serba

    kontraktual ini kesepakatan-kesepakatan yang terjadi antar-pihak tak selamanya mencerminkan

    perlindungan kepentingan yang berimbang. Kerja hukum dan hakim yang menurut doktrinnya

    disyaratkan netral, dan tak boleh memihak, namun dalam kenyataannyapun sering berefek

    membiarkan (bertolak dari dalih "harus netral") terjadinya berbagai kesenjangan yang

    memperlihatkan betapa yang satu akan memperoleh lebih, sedangkan yang lain -- yang

    umumnya jumlahnya justru massal -- memperoleh kurang.

    Walhasil terjejas situasi seperti itu, dengan kontrol hukum yang didoktrinkan netral

    seperti itu, masyarakat yang ada gagal berkembang menjadi masyarakat warga. Masyarakat

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    11/12

    tetap saja merupakan masyarakat yang berstratum-stratum, atau menjadi terstratum-stratum

    kembali, dengan kenyataan bahwa sejumlah warga selalu memperoleh peluang mendahulu untuk

    kian memapankan diri sedangkan sejumlah warga yang lain kian terdiskriminasi oleh keadaan.

    Hukum dalam konsepnya sebagai hasil kesepakatan warga -- yang antar-warga individual (ialah

    kontrak) ataupun lebih-lebih lagi yang antar-warga sekelompok kepentingan dalam kehidupannasional (ialah undang-undang) yang lebih berkonsekeuensi jauh -- tidak selamanya dapat

    memberikan perlindungan kepentingan secara berimbang. Mereka yang berkedudukan lemah --

    secara ekonomik, politik, sosial ataupun budaya -- akan selalu tertodong kewajiban hukum

    daripada terbela oleh hak-hak. Sementara itu mereka yang berada pada posisi diuntungkan

    selalu saja terkesan gampang memperoleh hak dan sumberdaya institusional guna menegakkan

    hak-haknya.

    Dapat dimengerti, mengapa dalam keadaan seperti itu, legisme (dengan doktrin kepastian

    hukumnya sekalaipun!) akan lebih melindungi dan kian memapankan mereka yang memiliki

    kelebihan dana, informasi dan akses politik daripada mereka yang tak berkeadaan demikian.

    Dapat dimengerti pula mengapa kehendak untuk "berhukum-hukum" dengan pilihan kuat untuk

    menyelesaikan segala perkara konflik ke pengadilan, dan/atau dengan cara mempercayakankepada para pejabat administratif yang berwenang membuat keputusan (atas dasar hukum in

    abstracto dan/atau diskresi-diskresi), selalu saja lebih banyak berasal dari mereka yang mapan

    dan kaya akses itu. Dengan struktur yang banyak memberikan akses kepadanya, kelompok

    mapan ini tentu saja berpamrih untuk terlestarikannya status quo, dan hukum yang didoktrinkan

    netral dan berkepastian dapatlah didayagunakan untuk maksud itu.

    Maka, dalam masyarakat yang penuh kesenjangan, hukum dengan doktrin kepastian

    hukum hanya akan memastikan hak-hak mereka yang -- dalam kehidupan yang belum sempurna

    ini -- telah berhasil mapan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki dana kekayaan,

    informasi dan akses politik yang amat terkawal. Akses politik kaum mapan ini pada gilirannya

    juga akan dapat kian didayagunakan untuk menambahkan hak-hak bagi dirinya dan untuk

    membebankan kewajiban-kewajiban kepada mereka yang dikucilkan di luar sistem. Salah-

    salah, asas ruleoflaw dalam praktik tanpa dapat dielakkan lagi lalu menjadi tersimak sebagai

    therulingbytherulerby (ab)usingthelaw.

    Dalam kenyataan seperti itu legisme tak lagi tampil sebagai ide dan ideologi revolusioner

    yang secara progresif akan mengilhami setiap upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih

    egalitarian. Alih-alih begitu, legisme serta merta akan bersosok konservatif dengan kebijakan-

    kebijakannya yang kolot untuk mempertahankan kemapanan struktur, demi kelanggengan

    kepentingan para penguasa yang berhasil mengendalikan struktur demi kepentingannya sendiri

    yang relatif eksklusif dan penuh priveleges. Dalam kenyataan sossiologik seperti itu pula

    hukum dan hakim akan kehilangan otonominya. Hukum dan hakim akan terkooptasi ke dalam

    struktur kepentingan yang telah mapan, dan secara cepat atau lambat akan mendapatkan dirinyaberada dalam fungsinya yang justru represif. Apabila kenyataan seperti ini tidak segera

    dikoreksi untuk mengembalikannya ke asas-asas yang diajarkan dalam doktrin, maka maraknya

    mafia peradilan bukanlah berita bohong belaka.

    Boleh disimpulkan bahwa legisme yang positivistik, dengan ajaran hukum murni yang

    hendak menetralkan fungsi hukum, ternyata sangat disfungsional untuk diterapkan di negeri-

    negeri berkembang yang tengah membangun. Dalam perkembangan mereaksi kenyataan seperti

    itu tergugahlah ide-ide alternatif yang menyarankan agar bukan doktrin positivisme tentang

    kepastian hukum yang mestinya difungsikan di sini, melainkan doktrin utilitarianisme tentang

    kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan logika

    hukum para yuris elit yang beroptik normatif saja yang terutama harus berbicara di sini, akan

  • 7/29/2019 kepastian hukum

    12/12

    tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif

    (sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi

    sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum inconcreto. Bukan positivisme dan legisme

    yang diperlukan di sini, melainkan apa yang di Amerika Serikat dikenali sebagai aliran

    sociological jurisprudence, berikut perkembangannya yang dikenali sebagai ajaranfunctionaljurisprudence.

    Maka di sini bukan sebatasgoodlaw yang sebenarnya paling diharapkan, melainkan

    goodman yang berkepribadian arif dan realistik dalam ihwal menafsirkan bunyi undang-

    undang. . Dialah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna

    merespons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam

    derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif. Di tangan dan ditanganigoodman, baik yang

    duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan, maka hukum itu

    (inabstracto maupun inconcreto), akan nyata terbilang ke dalam bilangan 'hukum yang

    responsif' dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia-manusia

    warganegara, dan bukan lagi terbilang 'hukum yang represif', dengan fungsinya yang utama

    untuk melegitimasi secara berterusan kekuasaan negara yang tidak lagi tersenarai secaralimitative melainkan secara enumeratif.

    Persoalannya sekarang: bagaimana cara membibitgoodman yang tak hanya cerdas dan

    berintelektual tinggi akan tetapi juga berkeberanian moral yang terpuji. Cara pendekatan apa

    yang mestinya digunakan di sini? Yang struktural lewat proses-proses politik demi terbenahinya

    sistem agar lebih kondusif bagi tumbuhkembangnyagoodpersons? Ataukah yang individual

    lewat pendidikan etika yang intens (etika politik untuk manusia legislatif dan etika profesi untuk

    mereka yang berkhidmat sebagai manusia yudisial!), yang akan diikuti oleh rekrutmen yang

    sungguh selektif dan terbuka? Ataukah kedua-duanya, kalaupun tidak akan sekaligus secara

    bersamaan tak pelak akan mendahulukan yang satu tanpa mengabaikan yang lain?

    Manakala kaum mapan telah terlanjur demikian mapan sehingga boleh dikatakan mereka

    itu telah sanggup mengontrol seluruh akses politik, yang dengan demikian tak akan

    memungkinkan terjadinya proses-proses dekonstruksi struktur, maka yang masih dimungkinkan

    tinggallah pendekatan strategik yang nonstruktural, ialah yang invidual lewat proses-proses

    pendidikan, khususnya yang nonformal dan informal. Pendidikan adalah suatu front dalam

    suatu battle of the mind, yang -- sekalipun hasil ketentuannya harus ditunggu dalam rentang

    waktu yang agak panjang, namun -- merupakan suatu bagian dari suatu reformasi atau revolusi

    yang paling berbudaya, dan yang oleh sebab itu pula -- karena "hanya" berpeluru informasi

    pembangun sikap dan komitmen -- juga paling tidak berdarah.

    *****