kepastian hukum baitul mal wat tamwil tinjauan...
TRANSCRIPT
KEPASTIAN HUKUM BAITUL MAL WAT TAMWIL
TINJAUAN UNDANG-UNDANG PERKOPERASIAN
DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)
Oleh:
Handieni Fajrianty
21150433100013
Dosen Pembimbing Akademik :
Dr. Nurhasanah, MA
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M
U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I
S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H
J A K A R T A
1440 H / 2019
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang digunakan pada penelitian ini
merujuk kepada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor:
0543b/U/1987. Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada halaman berikut
vi
vii
KEPASTIAN HUKUM BAITUL MAL WAT TAMWIL TINJAUAN
UNDANG-UNDANG PERKOPERASIAN DAN LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO
Handieni Fajrianty
Mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui dasar hukum operasional BMT, akibat hukum berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian terhadap BMT, dan kepastian hukum
BMT terkait regulasi yang menaunginya. Fokus wilayah objek penelitian pada 3 BMT yang
berdomisili di Tangerang Selatan, yaitu BMT al-Jibaal, BMT UMJ, dan BMT Syahida UIN.
Lingkup penelitian dibatasi pada kepastian hukum regulasi yang menaungi BMT. Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitis
dan analisis konten undang-undang yang dilengkapi dengan pedoman wawancara terstruktur.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa KSU BMT UMJ sejak Berdiri dari tahun 2008
hanya memiliki 114 anggota tetapi melayani kurang lebih 1800 calon anggota/nasabah.
Kemudian belum memiliki izin usaha simpan pinjam, tetapi oleh Dinas Koperasi dan UKM
Kota Tangerang Selatan tidak diberikan sanksi. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum
bagi masyarakat yang diakibatkan oleh buruknya implementasi regulasi oleh BMT dan
ambiguitas regulasi yang ada. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa dua regulasi yang saling
mengatur BMT tidak memberikan kepastian hukum bagi BMT, oleh karena itu tidak dapat
dipaksakan untuk diterapkan oleh BMT dikarenakan karakteristiknya yang khusus.
Kontribusi dari penelitian ini bagi akademisi dan masyarakat agar memiliki pemahaman
bahwa anggota BMT memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan transaksi keuangan
dengan BMT. Bagi praktisi, untuk mengimplementasikan aturan yang ada dengan baik
sekaligus mendorong regulator untuk menerbitkan peraturan khusus BMT.
Kata Kunci : Kepastian Hukum, BMT, Koperasi, dan LKM
viii
LEGAL CERTAINTY OF BAITUL MAL WAT TAMWIL REVIEW OF
COOPERATIVE AND MICRO FINANCIAL INSTITUTIONS LAW
Handieni Fajrianty
Mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta
ABSTRACT
The aim of this research are to find out the legal basis of BMT operations, legal
consequences of the enactment of Law Number 1 of 2013 concerning Microfinance
Institutions and Law Number 25 of 1992 concerning Cooperatives for BMTs, and BMT legal
certainty regarding regulations that underlying it. The research area focused on three BMTs
domiciled in South Tangerang, namely BMT al-Jibaal, BMT UMJ, and BMT Syahida UIN,
the scope of the research are limited to regulatory legal certainty that overshadow BMT. This
research is a qualitative research, uses descriptive analytical research methods and content
analysis of laws equipped by structured interview guidelines. In this research, it was known
that KSU BMT UMJ since its establishment in 2008 only had 114 members but served
approximately 1800 customers. KSU BMT UMJ does not have a savings and financing
business license, but not sanctioned. This bring up legal uncertainty for the community due to
the lack of implementation of regulations by BMT and the ambiguity of existing regulations.
The research conclusions are the two regulations that govern BMT have not provided legal
certainty for BMT, therefore they cannot be forced to be implemented by BMT due to their
specific characteristics. The research contributions are: for academics and the public to have
an understanding that BMT members have rights and obligations in conducting financial
transactions with BMT. Then, for practitioners, to implement the existing rules as well and at
once encourage regulators to issue specific regulations on BMT.
Keywords: Legal Certainty, BMT, Cooperatives, and MFIs
ix
KATA PENGANTAR
Bismilllahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji beserta syurkur atas ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang
telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya. Tiada daya dan upaya melainkan atas
kehendak-Nya. Kemudahan dan pertolongan Allah SWT senantiasa penulis rasakan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kepastian Hukum
Baitul Mal Wat Tamwil Tinjauan Undang-Undang Perkoperasian Dan
Lembaga Keuangan Mikro”.
Penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat kelulusan Magister Hukum
Program Study Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah limpahkan kepada jungjungan alam Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Perasaan bahagia bercampur haru menyatu ketika tesis ini bisa diselesaikan.
Penulis menyadari, terselasaikannya tesis ini tidak luput dari bimbingan, motivasi dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankan penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi andil dalam penulisan tesis ini
aik secara moril maupun materil.
Terima kasih kepada yang terhormat dan tercinta Ayahanda bapak Usup
Sudiawan dan mama Nurlaela yang selalu sabar membimbing, mendukung dan selalu
mencurahkan kasih sayang yang tak terhingga. Semoga selalu dalam lindungan Allah
SWT.
Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada ;
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum , bapak Dr. Phil. Asep Saefudin Jahar, M.A
2. Ibu Dr. Nurhasanah, M.Ag selaku ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi
Syariah yang juga menjadi dosen pembimbing yang selalu sabar membimbing
serta mentransfer ilmu di sela-sela kesibukkanya sehingga tesis ini bisa
diselesaikan dengan baik.
x
3. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag dan Bapak Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H, M.H
sebagai penguji tesis sekaligus memberikan arahan work in progress pasca Ujian
Tertutup.
4. Bapak Untung Tri Basuki, SH, SPN Deputi Kelembagaan Kementerian Koperasi
dan UKM RI yang telah bersedia melakukan wawancara bersama penulis.
5. Pengurus, Karyawan serta Nasabah BMT UMJ, BMT al-Jibal, dan BMT Syahida
yang telah bersedia melakukan wawancara bersama penulis.
6. Sahabat seperjuangan Shofa Fathiyah dan Angga Bhakti Kusuma Ketua Bidang
SDM Koperasi Pemuda Indonesia yang telah memfasilitasi dan menjadi
penghubung dengan Kementerian Koperasi dan UKM RI
7. Terakhir kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya
namun turut memotivasi, membantu, dan mendoakan penulis dalam penyusunan
tesis ini. Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih
semoga Allah SWT memberi balasan yang terbaik.
Pada akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya serta pembaca pada umumnya. Semoga seluruh bantuan, bimbingan dan
motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala terbaik dari Allah
SWT. Amin Ya Rabbal’alamin
Jakarta, 25 Januari 2019
Handieni Fajrianty
xi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................................................................ i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS ............................................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN................................................................................................................ iii
PERNYATAAN PUBLIKASI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN .............................................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 1
B. Permasalahan .......................................................................................................................... 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .............................................................................................. 7
D. Literature Review .................................................................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ........................................................................................................... 13
F. Sistimatika Penulisan ............................................................................................................ 20
BAB II TEORI TUJUAN HUKUM, KEPASTIAN HUKUM DAN BADAN HUKUM .................. 23
A. Teori Tujuan Cita Hukum ..................................................................................................... 23
B. Tujuan Cita Hukum Perspektif Islam .................................................................................... 37
C. Kepatuhan Hukum ............................................................................................................... 46
D. Badan Hukum ....................................................................................................................... 51
BAB III KOPERASI DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO........................................................ 59
A. Koperasi ................................................................................................................................ 59
B. Koperasi Syariah ................................................................................................................... 73
C. Lembaga Keuangan Mikro.................................................................................................... 79
D. Lembaga Keuangan Mikro Syariah ...................................................................................... 88
E. Baitul Mal wat Tamwil ......................................................................................................... 91
xii
BAB IV KEPASTIAN HUKUM BAITUL MAL WAT TAMWIL TERHADAP REGULASI .......... 98
A. Implementasi Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Dan
Peraturan Menteri No 11 Tahun 2017 ........................................................................................... 99
B. Akibat Hukum Dari Terbitnya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Terhadap
BMT ............................................................................................................................................ 129
C. Kepastian Hukum BMT Terkait Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Perkoperasian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro .......................................................................................................................................... 138
BAB V PENUTUP ............................................................................................................................. 147
A. Kesimpulan ......................................................................................................................... 147
B. Saran ................................................................................................................................... 149
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 150
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perbandingan Pengaturan BMT dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Tabel 2 Lembaga Keuangan dan Sasaran Masyarakat Usaha
Tabel 3 Implementasi Regulasi oleh BMT UMJ, al- Jibal, dan Syahida
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian
Lampiran 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro
Lampiran 3 Laporan Tahunan KSU BMT UMJ Tahun Buku 2017
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian
Bagan 2 Kerangka Teknik Analisis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Baitul Mal wat Tamwil selanjutnya disebut dengan BMT memiliki peran
yang penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat. Sebagaimana LKM
lainnya tujuan utama BMT adalah menyediakan permodalan bagi masyarakat
pelaku UKM. BMT mampu dan bersedia membiayai sektor usaha yang sangat
kecil juga mendanai kebutuhan hidup dalam nominal yang tak terlampau besar
namun bersifat vital dan mendesak bagi anggota, seperti kebutuhan ketika sakit
atau untuk pendidikan anak.
Pertumbuhan BMT pun cukup signifikan, terdapat 4.500 BMT pada tahun
2015 yang melayani 3,7 juta orang dengan aset sekitar Rp16 triliun yang dikelola
sekitar 20 ribu orang. Data di Kemenkop dan UKM menunjukkan jumlah unit
usaha koperasi di Indonesia mencapai 150.223 unit usaha, dimana terdapat 1,5
persen koperasi yang berbadan hukum KSPPS.1 Sedangkan BMT berbadan hukum
Koperasi yang telah meregistrasi ulang ijinnya tercatat sejumlah 2270 unit usaha
per Tahun 2017 ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat status hukum BMT
yang tercatat berupa koperasi dan PT. Dari data Otoritas Jasa Keuangan per
oktober 2017 terdapat 175 LKM yang sudah diberikan izin OJK dengan rincian
1 Kementerian Koperasi dan UKM RI, “Rekapitulasi data keragaan Koperasi per Desember
2017”. Data diakses pada 20 Agustus 2018 dari http://www.depkop.go.id.
2
18 berbadan Hukum PT dan 157 berbadan Hukum Koperasi.2 Dari data tersebut
dapat terlihat bahwa mayoritas BMT adalah berbadan hukum koperasi dengan
skala usaha kecil menengah dan cakupan luas usaha meliputi beberapa
kota/kabupaten, bahkan lintas provinsi. 3
Baitul Mal wat Tamwil (BMT) merupakan alternatif kelembagaan keuangan
syariah yang memiliki dimensi sosial dan produktif dalam skala nasional bahkan
global, di mana perekonomian umat terpusat pada fungsi kelembagaan ini yang
mengarah pada hidupnya fungsi-fungsi kelembagaan ekonomi lainnya. Dalam
Operasionalnya Baitul Mal wat Tamwil (BMT) melakukan penghimpunan dana
dari masyarakat (anggota) dan menyalurkan kembali kepada pelaku Usaha Mikro
dan Kecil (UMK).4Hal tersebut menunjukkan bahwa BMT memiliki karakteristik
yang khas dibandingkan dengan institusi ekonomi lainnya yang saat ini telah ada.
Sebagai bentuk Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank, BMT mempunyai
ciri-ciri utama yang membedakannya dengan lembaga Keuangan bank, yaitu5:
1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan
ekonomi, terutama untuk anggota, dan lingkungannya.
2. Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengaktifkan
penggunaan dana-dana sosial untuk kesejahteraan orang banyak serta dapat
2 Otoritas Jasa Keuangan, “Direktori LKM per Oktober 2018”, diakses pada 20 agustus 2018
dari http://www.ojk.go.id. 3 Novita Dewi Masyithoh, “Analisis Normatif Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuagan Syariah dan Pengawasan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)”, Jurnal Economica, Vol.
V. Edisi 2. Oktober 2014. 4 Euis Amalia, Keuangan Mikro Syariah, Jakarta: Gramata Publishing, 2016, h. 24
5 Sri Dewi Yusuf, “Peran Strategis BMT dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat”, Jurnal al-
Mizan, Volume 10 No.1 Edisi Juni 2014, h. 74.
3
menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk memberdayakan anggotanya
dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi.
3. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat sekitarnya.
4. Milik bersama masyarakat kecil, bawah dan menengah, yang berada
dilingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang lain dari
luar masyarakat itu.
Karakteristik dari BMT yang khusus ini menimbulkan masalah tersendiri
karena belum ada peraturan khusus yang mengatur sehingga banyak peraturan
umum yang harus dipatuhi BMT tergantung pada bentuk badan hukum yang
dipilih. Berdasarkan Undang-undang yang ada, BMT bisa dikembangkan dalam
bentuk badan hukum koperasi atau perseroan terbatas (PT). Apabila BMT
berbadan hukum Koperasi, maka harus taat pada Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. BMT yang berbadan Hukum PT maka harus
tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
Setelah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
diharapkan menjadi sebuah langkah kemajuan bagi keberadaan Lembaga
Keuangan Mikro, dapat mengatasi masalah ketidakpastian hukum LKM dan dapat
memberikan legalitas kegiatan penghimpunan dana simpanan dari masyarakat.
Namun, ternyata lahirnya Undang-Undang ini telah berimplikasi pada terjadinya
ambiguitas pengaturan bagi BMT berbadan hukum Koperasi. Sebab hal demikian
4
membuat BMT berbadan hukum Koperasi menjadi berada di bawah pengaturan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Undang
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro sekaligus.
Banyaknya peraturan perundangan yang mengatur BMT berbadan hukum
Koperasi berpotensi menimbulkan inkonsistensi peraturan seperti tumpang
tindihnya peraturan tentang pengawasan, wilayah bisnis, dan tata kelola; juga
berpotensi menimbulkan kesulitan dalam pemahaman dan kepastian terhadap
peraturan oleh para pelaku bisnis BMT. Beberapa pasal yang terjadi ambiguitas di
antaranya sebagai berikut:
Tabel 1
Perbandingan Pengaturan BMT dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 Tentang Perkoperasian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Pasal Substansi Pasal Substansi
Pasal 56,
60, dan 61
Kementerian Koperasi
Membina, memberi
perlindungan, dan
membubarkan Koperasi.
Pasal 28
Ayat (1)
Pembinaan, pengaturan,
dan pengawasan LKM
dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 7
Ayat (2)
Koperasi mempunyai
tempat kedudukan dalam
wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 16 Cakupan wilayah usaha
suatu LKM berada dalam
satu wilayah desa/
kelurahan, kecamatan, atau
kabupaten/ kota.
Pasal 44
Ayat (2)
Kegiatan usaha simpan
pinjam dapat dilaksanakan
sebagai salah satu atau satu-
satunya kegiatan usaha
Koperasi (dimungkinkan lebih
dari 1 kegiatan usaha).
Pasal 11
Ayat (1)
Kegiatan simpan pinjam
hanya menjadi satu-satunya
kegiatan usaha LKM
5
Keragaman status hukum BMT yang demikian menunjukkan adanya
ketidakpastian dalam regulasi yang mengatur persoalan BMT selama ini. Padahal
menurut Gustav Radbruch6 (1878-1949), seorang ahli hukum dan filsuf hukum
Jerman yang berpengaruh pada abad ke dua puluh, dalam sebuah kebijakan
hukum, kepastian hukum adalah salah satu dari tiga terminologi yang memiliki
nilai aksiologis di dalam hukum demi tegaknya the rule of law.7
Dari permasalahan tersebut, penulis melihat indikasi ketidakpastian hukum
yang berujung kepada masalah penelitan. Maka penulis mengajukan Penelitian
dengan judul KEPASTIAN HUKUM BAITUL MAL WAT TAMWIL
TINJAUAN UNDANG-UNDANG PERKOPERASIAN DAN LEMBAGA
KEUANGAN MIKRO.
6 Gustav Radbruch, Rechtphilosophie, Editor: Ralf Dreier, Heidelberg: C. F. Muller GmbH,
2003, h.vii. 7 Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisial,
Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, Jakarta: Komisi Yudisial
Republik Indonesia, 2010, h. 3.
6
B. Permasalahan
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dalam penelitian ini penulis
membatasi permasalahan dengan memfokuskan wilayah objek penelitian pada
3 BMT yang berdomisili di Tangerang Selatan, yaitu BMT al-Jibaal, BMT
UMJ, dan BMT Syahida UIN. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada
bagaimana kepastian hukum regulasi yang menaungi BMT.
2. Pertanyaan penelitian
Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, yang
menjadi pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana implementasi Undang-Undang Perkoperasian dan Peraturan
Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia
Nomor: 11/PER/M.KUKM/XII/2017?
b. Bagaimana akibat hukum dari terbitnya Undang-Undang Lembaga
Keuangan Mikro terhadap BMT?
c. Bagaimana Kepastian Hukum BMT Terkait Undang-Undang Perkoperasian
dan Lembaga Keuangan Mikro?
7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
a. Mengetahui Implementasi Undang-Undang Perkoperasian dan Peraturan
Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia
Nomor: 11/PER/M.KUKM/XII/2017 oleh BMT
b. Mengetahui akibat hukum dari terbitnya Undang-Undang Lembaga
Keuangan Mikro terhadap BMT
c. Mengetahui Kepastian Hukum BMT Terkait Undang-Undang Perkoperasian
dan Lembaga Keuangan Mikro.
2. Manfaat
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran
ilmiah terhadap perkembangan hukum ekonomi syariah khususnya kajian
hukum terhadap Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia dan dapat
digunakan sebagai bahan kajian civitas akademika Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bentuk kontribusi untuk
pengembangan Baitul Mal wat Tamwil di Indonesia agar Baitul Mal wat
Tamwil dapat mengkaji kembali apakah kegiatan operasional dan bisnisnya
benar-benar memberi manfaat besar bagi masyarakat, sebagaimana nilai-
nilai yang dikemukakan di awal pendirian dan pengembangan Baitul Mal
8
wat Tamwil serta tetap tunduk dan patuh pada peraturan yang ada.
Kemudian menjadi salah satu upaya literasi pemahaman yang aplikatif dan
komprehensif bagi masyarakat agar mengatahui hak dan kewajibannya
apabila bergabung dan bertransaksi melalui BMT..
Hasil penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia untuk meninjau
kembali payung hukum atau peraturan yang menaungi Baitul Mal wat
Tamwil. Dengan demikian dapat memastikan peraturan yang dibuat mampu
mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
D. Literature Review
1. Tesis Golom Silitonga8 “Tinjauan Yuridis Tentang Bentuk Badan Hukum
Koperasi Di dalam Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) (Studi Kasus: BMT Arta
Amanah Sanden Kabupaten Bantul)”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk badan
hukum koperasi dalam suatu Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) sesuai dengan
Undang- Undang Nomor: 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sebagaimana
telah diganti dengan Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian, dihubungkan dengan Koperasi Syariah sebagaimana dalam
Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor:
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
8 Golom Silitonga, “Tinjauan Yuridis Tentang Bentuk Badan Hukum Koperasi Di dalam Baitul
Mal Wat Tamwil (BMT) (Studi Kasus: BMT Arta Amanah Sanden Kabupaten Bantul)”, Tesis,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2013.
9
Koperasi Jasa Keuangan Syariah, untuk mengetahui petanggungjawaban dan
konsekuensi hukum bagi Pengurus BMT serta untuk mengetahui yang
bertanggungjawab atas akibat yang timbul dari kegiatan BMT. Penelitian ini
meskipun membahas mengenai badan hukum BMT namun sangat spesifik
hanya membahas badan hukum pada BMT Arta Amanah Sanden Kabupaten
Bantul saja. Hasil penelitian menunjukkan BMT Artha Amanah Sanden
Kabupaten Bantul adalah BMT yang berbadan hukum koperasi berdasarkan
Undang-Undang Nomor: 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. BMT dengan
bagi hasil syariah dalam kegiatan usahanya berpedoman kepada Keputusan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor:
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Koperasi Jasa Keuangan Syariah, sehingga dalam BMT Artha Amanah, ada
Dewan Pengawas Syari’ah. Tentang Dewan Pengawas Syari’ah tidak dalam
Pengawasan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul,
akan tetapi berada dalam pengawasan Ulama dalam hal ini Majelis Ulama
Indonesia melalui organnya Dewan Syari’ah. Sehingga ada dualisme
pengawasan oleh badan yang berbeda terhadap BMT Artha Amanah Sanden
Kabupaten Bantul dalam menjalankan kegiatannya sebagai Koperasi Syariah.
Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan apa yang akan penulis kaji.
10
2. Tesis Fadillah Mursid9, Kebijakan Regulasi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Di
Indonesia, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017.
Dalam penelitian ini dipaparkan tentang regulasi yang terkait dengan
BMT di Indonesia, sampai dengan ke peraturan pendukungnya. Penelitian ini
sebenarnya hampir mendekati dengan apa yang penulis kaji. Namun penelitian
ini membandingkan antara Undang-Undang Tentang Perkoperasian dengan
Undang-Undang Tentang Yayasan. Karena menurut Fadillah Mursid, selain
berbadan hukum koperasi, BMT dapat Berbadan Hukum yayasan. Hal ini
berbeda dengan sudut pandang penulis dalam penelitian yang akan diajukan,
karena penulis jelas membatasi hanya meneliti BMT berbadan hukum koperasi
dan Undang-Undang yang akan dikaji adalah Undang-Undang Tentang
Perkoperasian dan Undang-Undang Tentang Lembaga Keuangan Mikro.
3. Novita Dewi Masyithoh10
, “Analisis Normatif Undang-Undang No.1 Tahun
2013 Tentang Lembaga Keuagan Syariah dan Pengawasan Baitul Mal wat
Tamwil (BMT)”, dalam Jurnal Economica Vol. V. Edisi 2. Oktober 2014.
Tulisan ini mengkaji mengenai permasalahan tentang bagaimana status
badan hukum dan pengawasan BMT sebelum dan sesudah adanya Undang-
Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Penelitian ini
sebenarnya hampir mendekati dengan apa yang penulis kaji. di mana penelitian
ini mencoba membahas mengenai status badan hukum dan pengawasan BMT
9 Fadillah Mursid, “Kebijakan Regulasi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Di Indonesia”, Tesis,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017. 10
Novita Dewi Masyithoh, “Analisis Normatif Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Syariah dan Pengawasan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)”, Jurnal Economica,
Vol. V. Edisi 2. Oktober 2014.
11
secara normatif pada Undang-undang No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro. Namun demikian, apa yang dibahas dalam penelitian ini
tidaklah sama dengan yang penulis lakukan karena dalam kajian ini tidak
membahas secara keseluruhan mengenai regulasi terkait badan hukum BMT,
hanya terfokus kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
4. Euis Amalia dan Mahmudah Atiqah11
. “Evaluating The Models of Sharia
Microfinance in Indonesia: an Analytical Network Process (ANP) Approach”
dalam Jurnal al-Iqtishad, Vol. VII, No.1, Tahun 2015.
Fokus kajian dari tulisan dalam jurnal ini ialah mengevaluasi atas tiga
model keuangan mikro syariah, yaitu model koperasi yang direpresentasikan
oleh salah satu BMT di Indonesia, Model Grameen yang direpresentasikan oleh
MBK Ltd., dan model campuran yang direpresentasikan oleh Baytul Amanah
Ikhtiar. Penelitian ini menggunakan pendekatan ANP untuk mengevaluasi atas
kinerja model-model microfinance tersebut. Pada tulisan ini menempatkan
BMT sudah pada posisi sebagai koperasi, dengan kata lain BMT harus tunduk
kepada aturan-aturan badan hukum koperasi. Berbeda dengan usulan penelitan
dari penulis, pada penelitian yang akan diajukan, penulis berada pada sudut
pandang mengenai aturan hukum Baitul Mal wat Tamwil. Microfinance atau
LKM yang menjadi fokus kajian, hanya BMT, sedangkan pada Jurnal di atas,
membandingkan tiga jenis microfinance.
11
Euis Amalia dan Mahmudah Atiqah, “Evaluating The Models of Sharia Microfinance in
Indonesia: an Analytical Network Process (ANP) Approach”, Jurnal al-Iqtishad, Vol. VII, No.1,
Tahun 2015.
12
5. Salina Kassim, Rusni Hassan, Siti Nadhirah Kassim12
, “Good Governance and
Sustainability in Islamic Microfinance Institutions”, Journal of Islamic
Microfinance, Vol. 7, No. 2, IIUM Institute of Islamic Banking and Finance,
Malaysia, 2018.
Jurnal ini meneliti tentang penerapan Good Corporate Governance pada
lembaga keuangan mikro syariah. Permasalahan manajerial dalam lembaga
keuangan syariah menempati ranking kedua teratas dalam hal risk management,
oleh karena itu penelitian yang dilakukan Salina Kassim, dkk fokus pada Good
Corporate Governance dan keberlanjutan Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Pada paper tersebut diuraikan enam indikator untuk mencapai Good Corporate
Governance, yaitu struktur kepemilikan, peran dan komposisi para dewan, audit
dan kontrol internal, regulasi, sistem pemeringkatan, dan manajerial syariah.
Konklusi dalam paper ini adalah terdapat dua hal yang harus diberi perhatian
khusus, yaitu kurangnya mobilisasi pendanaan dan tingginya biaya administrasi
yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan kontribusi sukarela saja. Dua hal
tersebut menjadi hambatan sekaligus tantangan untuk penerapan GCG serta
keberlangsungan lembaga keuangan syariah. Fokus kajian ini berbeda dnegan
penulis karena, yang penulis teliti adalah bagaimana implementasi, akibat
hukum, dan kepastian hukum BMT atas regulasi yang ada. Penelitian Salina
Kassim, dkk hanya pada poin GCG, sedangkan penulis variabel lebih banyak
dan cakupan lebih luas.
12
Salina Kassim, Rusni Hassan, Siti Nadhirah Kassim, “Good Governance and Sustainability in
Islamic Microfinance Institutions”, Journal of Islamic Microfinance, Vol. 7, No. 2, IIUM Institute of
Islamic Banking and Finance, Malaysia, 2018, h. 21-28.
13
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode content
analysis, metode deskriptif dan metode komparatif. Metode deskriptif analitis
yang dilengkapi dengan wawancara menggunakan pedoman wawancara
terstruktur. Menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu metode yang
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum
dan praktik pelaksanaan hukum positif mengenai permasalahan yang dibahas13.
Content analysis adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat
prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah regulasi.14 Sedangkan
metode komparatif adalah membandingkan satu hal dengan hal yang lain yang
memiliki kesamaan dan perbedaan.15
Metode ini bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap legalitas formal
dan aspek hukum Baitul Mal wat Tamwil (BMT) kemudian dianalisis secara
yuridis berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro. Dalam pengumpulan data dan analisisnya, dilengkapi dengan
data dari Kementerian Koperasi dan UKM RI dan Otoritas Jasa Keuangan RI.
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007, h. 1 14
Soejono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: Rineka Cipta, 1999 ,
hlm. 13. 15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2006, h. 30
14
1. Kerangka Pemikirian
Bagan 1
Kerangka Pemikiran
BMT berkembang baik dan banyak diakses oleh masyarakat yang tidak
feasible oleh perbankan. Perkembangan BMT yang pesat ini belum dinaungi
oleh regulasi yang komprehensif. Oleh karena itu saat ini BMT harus tunduk
pada regulasi yang sesuai dengan bentuk badan hukumnya, yaitu Undang-
Undang Perkoperasian dan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.
Berdasarkan implementasi regulasi oleh para pelaku BMT dan akibat hukum
yang terjadi, maka terlihat bagaimana kepastian hukum BMT.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif empiris
yang merupakan suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat
hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di
masyarakat. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangan (Law in Books) atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
BMT
Implementasi
Kepastian Hukum BMT
Akibat Hukum
Regulasi:
UU Perkoperasian
UU LKM
15
berperiaku manusia yang dianggap pantas.16
Objek penelitian ini adalah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah
yang merupakan payung hukum Baitul Mal wat Tamwil.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan Hukum yang mempunyai otoritas
paling utama.17
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangan-
undangan dan catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang.
Terdiri atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro,
serta Peraturan turunannya yang mendukung untuk penelitian ini.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan
hukum primer seperti buku teks, jurnal, tesis, hasil penelitian terdahulu, Data
Statistik Kementrian Koperasi dan UKM, dan Data tahunan Otoritas Jasa
Keuangan.
16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2013, h. 118 17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016, h. 181.
16
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan informasi hukum yang baik yang terdokumentasi maupun
tersaji di media seperti bibliografi, kamus, dan lainnya.
d. Bahan Nonhukum
Selain sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum, akan
digunakan pula beberapa bahan nonhukum yang relevan dengan topik
penelitian18
, misalnya jurnal-jurnal nonhukum, hasil seminar, atau hasil
wawancara dengan Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM
Republik Indonesia.
4. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian yang akan diajukan ini, penulis akan menggunakan
pendekatan undang-undang (statute approach), yaitu pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi.19
Selain itu juga dilakukan pendekatan
konsep (Conceptual Approach)20
. Pendekatan undang-undang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang menjadi fokus penelitian. Pendekatan undang-undang
ini akan membuka kesempatan penulis untuk mempelajari adakah konsistensi
dan kesesuaian antara suau undang-undang dengan undang-undang lainnya.
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016, h. 206. 19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016, h. 137 20
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004, h.113.
17
Dalam pendekatan undang-undang, penulis harus memahami hierarki
perundang-undangan Republik Indonesia dan asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan. Asas yang digunakan dalam penelitian ini adalah asas lex
specialis derogat legi generali21
, yaitu asas yang merujuk kepada dua peraturan
perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama
akan tetapi ruang lingkup materi muatan kedua peraturan perundangan tidak
sama.
5. Teknik Analisis
Teknik analisis dan pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Studi Pustaka
Metode ini dilakukan dengan cara melakukan serangkaian kegiatan seperti
membaca, menelaah, mencatat, dan membuat ulasan bahan-bahan pustaka
yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti. Studi
kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat sekunder ini
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, antara lain :22
a. Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan baik pada
tingkat pusat maupun daerah;
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016, h. 139. 22
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 51.
18
b. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku dan artikel-artikel
yang berhubungan dengan penelitian (baik dalam bentuk surat kabar,
majalah, jurnal, maupun tulisan-tulisan lainnya);
c. Bahan hukum tersier yang memberikan informasi mengenai kedua bahan
hukum diatas berupa kamus, ensiklopedia, bibliografi, dan sebagainya.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dengan
menggunakan teknik wawancara langsung dengan informan yaitu pak yogi,
janta, sinegar yang semuanya adalah hakim ad hoc pada pengadilan
hubungan Industrial Tanjung Karang. Wawancara dilaksanakan secara
langsung dan terbuka dengan mengadakan tanya jawab untuk mendapatkan
keterangan atau jawaban yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai
dengan yang diharapkan.23
c. Pengolahan Data
Data yang terkumpul kemudian diproses melalui pengolahan dan
pengkajian data. Data tersebut diolah melalui proses :
a. Seleksi data dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan penelitian
kembali terhadap data-data yang diperoleh mengenai kelengkapan,
kejelasan, dan hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas
23
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 52.
19
b. Editing, yaitu memeriksa data yang didapatkan untuk mengetahui apakah
data yang didapat itu relevan dan sesuai dengan bahasan. Apabila terdapat
data yang salah maka akan dilakukan perbaikan.
c. Klasifikasi data, yaitu data yang telah selesai diseleksi kemudian
diklasifikasi sesuai dengan jenisnya dan berhubungan dengan masalah
penelitian.
d. Sistemasi data, yaitu menempatkan data pada masing-masing bidang
pembahasan yang dilakukan secara sistematis.
d. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis
kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan serta menggambarkan data dan
fakta yang dihasilkan dari suatu penelitian di lapangan dengan suatu
interpretasi, evaluasi, dan pengetahuan umum. Data kemudian dianalisis
dengan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada
fakta-fakta yang bersifat umum dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan
yang bersifat khusus untuk mengajukan saran-saran, serta data yang telah
diolah tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan cara
menginterpretasikan data dan memaparkannya dalam bentuk kalimat untuk
menjawab permasalahan pada bab-bab selanjutnya
20
Bagan 2
Kerangka Teknik Analisis
F. Sistimatika Penulisan
Secara garis besar, sistematika pada penulisan ini terbagi dalam 5 (Lima)
Bab dan di dalam setiap bab nya terdapat sub-sub bab. Agar pembahasan dalam
penelitian ini sistematis sehingga mudah untuk dipahami, maka penulis
menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:
Dalam Bab I yang merupakan pendahuluan, seperti pada umumnya
penulisan karya ilmiah, penulis perlu menjelaskan latar belakang persoalan dan
kemudian menegaskan permasalahan dimaksud yang jawabannya akan dicari
lewat penelitian ini. Persoalannya adalah tentang beberapa fenomena hukum yang
Studi Pustaka
- Bahan Hukum Primer
- Bahan Hukum Sekunder
- Bahan Hukum Tersier
Mendefinisik
an dan
Rumusan
Masalah
Kajian Teori
dan Penelitian Terdahulu
Menyusun
Konsep dan
Definisi
Menyusun
Kerangka Model Penelitian
Menentukan
Sampel
Kajian Penerapan Hukum
Normatif Pada Peristiwa in
Concerto
(Studi Lapangan)
Pembahasan Dan
Kesimpulan
Pengolahan Data
21
terjadi terkait Baitul Mal wat Tamwil. Bahasan selanjutnya adalah tentang tujuan
penelitian, kontribusi, dan selanjutnya metode penelitian yang dipakai dan
sistematika penulisan.
Pada bab II dijelaskan Teori tentang teori Kepastian Hukum dan Tujuan
Hukum yang berisi tentang: kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan yang
keduanya akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian hukum ini.
Pada Bab III, untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan tepat tentang
Baitul Mal wat Tamwil, penulis perlu memberikan tinjauan teoritis tentang
Deskripsi Umum mengenai Koperasi, BMT, dan Undang-undang yang
menaunginya, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
Bab IV merupakan penuangan hasil penelitian dan analisisnya tentang
penerapan regulasi Baitul Mal wat Tamwil bila dilihat dari Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Pada bab ini juga dipaparkan
analisis hasil wawancara dengan Lembaga terkait seperti Kementerian Koperasi
Republik Indonesia, dan beberapa Baitul Mal wat Tamwil. Kemudian akan
dipaparkan bagaimana konsekuensi dan kedudukan BMT untuk menganalisis
kepastian hukumnya. Bab ini disusun untuk menjawab perumusan masalah dengan
menganalisisnya menggunakan teori dan konsep yang dijelaskan pada Bab II.
22
Pada Bab V atau penutup penulis akan kemukakan kesimpulan dari bahasan
hasil penelitian dan kemudian diikuti oleh penyampaian rekomendasi atau saran
pada berbagai pihak terkait dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.
23
BAB II
TEORI TUJUAN HUKUM, KEPASTIAN HUKUM DAN BADAN
HUKUM
A. Teori Tujuan Cita Hukum
1. Tujuan Hukum
Lukman Santoso dan Yahyanto24
menyebutkan bahwa tujuan pokok
hukum adalah untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan
ketertiban dan keseimbangan. Dengan kata lain, tercapainya ketertiban di dalam
masyarakat diharapkan dapat melindungi kepentingan manusia secara umum.
Tujuan hukum secara umum adalah untuk menegakkan moral (the goal of
promoting morality), merefleksikan kebiasaan (the goal of reflecting custom),
kesejahteraan masyarakat (the goal of social welfare), dan untuk melayani
kekuasaan (the goal of serving power).25
Beberapa pakar hukum memberikan definisi tujuan hukum yang berbeda-beda,
antara lain adalah :26
a. L.J Van Apeldoorn27
, dalam bukunya yang berjudul “inleiding tot de studie van het
nederlandse recht” mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan
hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.
24 Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press,2016, h.76 25 Collins, John. W et all, Bussiners Law : Text and Cases, h. 9, dalam Ade Maman Suherman, Pengantar
Perbandingan Sistem Hukum , Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 7 26 Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press, 2016, h. 76 27 L. J. van Apledoorn, Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht, W. E. J. Tjeenk Willink, 1972,
h.411.
24
b. Geny28
, dalam “Science et Technique en Droit Prive Positif”, mengajarkan bahwa
hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan disebutkannya
“kepentingan daya guna dalam kemanfaatan”.
Selanjutnya, untuk mempertegas definisi ini, Achmad Ali mengemukakan bahwa
persoalan tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, yaitu :29
a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis dogmatif, di mana tujuan
hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya.
b. Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi
keadilan.
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi
kemanfaatannya
Tujuan hukum barat, menurut Achmad Ali, dapat di klasifikasikan ke dalam
dua kelompok ajaran, yaitu ajaran konvensional (klasik) dan Ajaran modern. 30
a. Ajaran Konvensional
Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum, dikenal tiga jenis aliran
konvensional tentang tujuan hukum, yaitu sebagai berikut ;
Pertama, aliran etis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum
adalah semata-mata untuk mencapai keadilan. Aristoteles membagi keadilan ke
dalam dua jenis yaitu ;
28
Francois Geny, Science et Technique en Droit Prive Positif, Paris: Recueil Sirey, 1914, h.
422 dalam Albert Kocourek, “Book Review”, The American Journal of International Law, Vol. 10,
No. 2, 1916, h. 446-451. 29
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press,2016, h. 77 30
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press,2016, h. 77
25
1) Keadilan distributif, yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang
bagian menurut jasanya.
2) Keadilan komulatif, yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang
sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan.
Kedua, aliran utilitas yang megajarkan bahwa hukum bertujuan memberikan
manfaat kepada masyarakat. Ketiga aliran normatif-dogmatif menganggap bahwa
asasnya hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
b. Ajaran Modern
Berbeda dengan ajaran konvensional yang menganggap tujuan hukum hanya
salah satu diantara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian, ajaran modern lebih
moderat dengan menerima ketiga-tiganya menjadi tujuan hukum dengan prioritas
tertentu.31
Prioritas inilah yang membedakan antara ajaran prioritas baku dan
ajaran prioritas kasuistis.
1) Ajaran Prioritas Baku
Gustav Radbruch32
seorang filosof hukum Jerman mengajarkan dalam
menggunakan asas prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, barulah
kemanfaatan dan terakhir kepastian. Inilah yang disebut asas prioritas baku.
2) Ajaran Prioritas Kasuistik
Semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern, pilihan prioritas yang
sudah dibakukan seperti ajaran Radbruch terkadang bertentangan dengan
31
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press, 2016, h. 79 32
Gustav Radbruch, Rechtphilosophie, Editor: Ralf Dreier, Heidelberg: C. F. Muller GmbH,
2003, h.vii
26
kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu. Sehingga muncullah ajaran yang
dinamakan dengan Prioritas yang kasuistik. 33
Tiga tujuan cita hukum (Idee Des
Recht) yaitu: Keadilan (gerechtigkeit), Kemanfaatan (zweckmasigkeit), dan
Kepastian Hukum (rechtssicherkeit) menurut teori ini digunakan sesuai dengan
prioritas.
a. Keadilan (Gerechtigkeit)
Gustav Radbruch mematrikan keadilan sebagai mahkota sari setiap tata
hukum. Hukum sebagai pengembang nilai keadilan, menurut Radbruch,
menjadi ukuran bagi adil atau tidaknya tata hukum. Bukan hanya itu, nilai
keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum.34
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa konsep keadilan menurut Gustav Radbruch adalah
bertingkat, diprioritaskan dari keadilan.
Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural, tidak bisa
formal. Sebaliknya, ia terarah pada keadilan.35
Keadilan sebagai suatu cita,
seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, tidak dapat mengemukakan hal lain
kecuali: ‘yang sama diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan
tidak sama’. Untuk mengisi cita keadilan ini, harus diisi dengan isi yang
konkret, yaitu kemanfaatan. Dan untuk melengkapi keadilan dan kemanfaatan
tersebut, dibutuhkan kepastian hukum.
33
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press,2016, h. 80 34
Bernard. L, Tanya, dkk, Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, h. 116. 35
Bernard. L, Tanya, dkk, Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, h. 117.
27
Indonesia merupakan negara hukum (Rechtstaat) yang berarti Indonesia
menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan hukum. Hal ini sebagai konsekuensi
dari ajaran kedaulatan hukum bahwa kekuasaan tertinggi tidak terletak pada
kehendak pribadi penguasa (penyelenggara negara atau pemerintahan),
melainkan pada hukum. Jadi kekuasaan hukum terletak di atas segala
kekuasaan yang ada dalam negara dan kekuasaan itu harus tunduk pada hukum
yang berlaku. Dengan demikian kekuasaan yang diperoleh tidak berdasarkan
hukum termasuk yang bersumber dari kehendak rakyat yang tidak ditetapkan
dalam hukum tertulis (undang-undang) dengan sendirinya tidak sah. Indonesia
sebagai negara hukum, bercirikan negara kesejahteraan (Welfare State) yang
berkehendak untuk mewujudkan keadilan bagi segenap rakyat Indonesia.
Konsepsi keadilan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
John Rawls yang memperlihatkan dukungan dan pengakuan yang kuat akan hak
dan kewajiban manusia, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang
ekonomi. Secara khusus, konsepsi keadilan tersebut menuntut hak partisipasi
yang sama bagi semua warga masyarakat dalam setiap proses pengambilan
keputusan politik dan ekonomi. Dengan demikian, diharapkan bahwa seluruh
struktur sosial dasar sungguh-sungguh mampu menjamin kepentingan semua
pihak.
28
b. Kemanfaatan (Zweckmasigkeit)
Tuntutan akan keadilan dan kepastian, menurut Radbruch, merupakan
bagian-bagian yang tetap dari hukum. Sedangkan kemanfaatan mengandung
unsur relativitas karena tujuan keadilan (sebagai isi hukum) untuk
menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai suatu nilai etis dalam
hukum.36
Nilai kebaikan bagi manusia yang dimaksud, dapat dihubungkan
dengan tiga subjek (yang ingin dimajukan kebaikannya), yakni individu,
kolektivitas, dan kebudayaan.
Sistem individualistis mangandalkan konsepsi hukum mengenai kontrak,
sistem kolektif mengandalkan gagasan tentang negara organis dan kepribadian
badan hukum. Sedangkan sistem transpersonal mengandalkan gagasan tentang
sindikalis dan hubungan-hubungan internasional.37
Radbruch menyadari, akan
selalu ada potensi pertentangan antara kemanfaatan dengan aspek lainnya
dalam pelaksanaannya di setiap sistem hukum.38
Pada negara dengan sistem
hukum kolektif (yang indikator kemanfaatannya adalah perkembangan
masyarakat), kemungkinan pertentangannya terjadi pada unsur keadilan dan
kemanfaatan. Sedangan pada negara dengan sistem individual, yang indikator
kemanfaatannya adalah individu), kemungkinan pertentangannya terdapat pada
unsur kemanfaatan dan legalitasnya. Jika terdapat undang-undang yang karena
36
Bernard. L, Tanya, dkk, Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, h. 118. 37
Wolfgang Friedmann, Legal Theory, London: Steven and Son limited, 1953, h. 54 38
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1984, h. 18.
29
alasan tertentu tidak cocok dengan perkembangan individu manusia, menurut
legalitas, itu tetap berlaku demi terwujudnya kepastian hukum, sedangkan
kemanfaatan menentang keberlakuan itu.
c. Kepastian Hukum
Asas ini mendeklarasikan bahwa hukum itu identik dengan kepastian. Hal
ini berasal dari pemikiran legal positivism di dunia hukum, yang melihat hukum
dalam wujudnya sebagai sebuah ‘kepastian Undang-Undang’ karena hukum
adalah kumpulan dari aturan-aturan hukum (legal rules), norma-norma hukum
(legal norms), dan asas-asas hukum (legal principles).39
Janji hukum yang
tertuang dalam rumusan aturan tadi merupakan ‘kepastian’ yang harus
diwujudkan.
Menurut Sudikno Mertokusumo40
, kepastian hukum merupakan sebuah
jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan baik. Kepastian hukum
menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan
yang dibuat oleh pihak yang berwenang, sehingga aturan tersebut memiliki
aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungi
sebagai sebuah peraturan yang harus ditaati.
39
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), (Jakarta: Prenamedia Group), 2015, h. 284 40
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011, h. 16.
30
Lon Fuller41
dalam Bukunya The Morality of Law, mengajukan delapan
asas yang harus dipenuhi hukum yang apabila tidak dipenuhi, maka hukum
akan gagal untuk disebut sebagai hukum. Atau dengan kata lain harus ada
kepastian hukum42
. Delapan asas tersebut adalah:
1) Tidak berdasarkan putusan sesat untuk hal hal tertentu
2) Diumumkan kepada publik
3) Tidak berlaku surut
4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum
5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan
6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan
7) Tidak boleh sering diubah-ubah
8) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari
2. Fungsi Hukum Perspektif Barat
Masyarakat selalu menganggap bahwa keberadaan hukum hanya
berfungsi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dan menganggap bahwa
hukum baru berfungsi ketika konflik terjadi. Fungsi hukum selalu berkaitan
dengan tujuan, baik tujuan yang umum maupun yang diprioritaskan. Theo
Huijibers43
menyatakan pendapatnya tentang fungsi hukum adalah untuk
memelihara kepentingan umum dalam masyarakat serta menjaga akan hak-
41
Lon. L Fuller, Morality of Law, New Haven, conn: Yale University Press, 1971, h.265. 42
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), (Jakarta: Prenamedia Group), 2015, h. 294 43
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1984, h. 18
31
haknya, sehingga menimbulkan keadilan dalam hidup bersama. 44
Menurut
Peters, fungsi hukum dapat ditinjau dari tiga perpektif.45
a. Perspektif kontrol sosial daripada hukum. Tinjauan ini disebut dari sudut
pandang polisi terhadap hukum (the policement view of the law).
b. Perspektif social engineering, merupakan tinjauan dari sudut pandang para
penguasa (the official perspective of the law), karena segala tindakan
penguasa dan hukum akan menjadi pusat perhatian.
c. Perspektif emansipasi masyarakat dengan hukum. Perspektif ini merupakan
tinjauan dari sudut pandang masyarakat bawah terhadap hukum (the
bottom’s up view of the law). Hukum ini juga bisa disebut perspektif
konsumen.
Hukum memiliki fungsi hukum dan fungsi sosial yang dibedakan dalam
dua bentuk. 46
Pertama fungsi langsung yang bersifat premier dan mencakup :
a. Pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan
tertentu.
b. Penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat
c. Penyediaan servis dan pembagian kembali barang-barang
d. Penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.
44
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press,2016, h. 85 45
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press,2016, h. 85 46
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory)dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2012, h. 86
32
Kedua fungsi tidak langsung yang bertujuan untuk memperkuat dan
memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai moral tertentu,
sebagai contoh:
a. Kesucian hidup
b. Memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum
c. Mempengaruhi perasaan kesatuan nasional
Menurut Lawrence M. Friedman47
sebagaimana dikutip oleh Lukman
Santoso, menyatakan bahwa fungsi hukum adalah; 48
a. Pengawasan/pengendalian sosial (social control), fungsi ini dilaksanakan
secara pasif hanya untuk menjaga status quo
b. Rekayasa sosial (social engineering), fungsi yang aktif merombak tatanan
yang telah ada menuju suatu keadaan yang dicita-citakan.
c. Penyelesaian sengketa (dispute settlement)
Konsep-konsep tersebut di atas dijelaskan lagi secara lebih rinci oleh
Lukman Santoso ke dalam tujuh fungsi hukum, yaitu :
a. Fungsi hukum sebagai sarana sosial kontrol (social control)
b. Fungsi hukum sebagai a tool of social engineering
c. Fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa
d. Fungsi hukum sebagai simbol
47
Lawrence M. Friedman, “The Legal System.” Legal System, The: A Social Science
Perspective, Russell Sage Foundation, 1975, h. 1–24, diakses melalui JSTOR, www.jstor.org, 24 Okt
2018. 48
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press, 2016, h. 84
33
e. Fungsi hukum sebagai sarana mekanisme pengintegrasi sosial
f. Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial
g. Fungsi hukum sebagai alat politik
Pertama, fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat
diterangkan bahwa fungsi hukum bertujuan untuk menetapkan suatu batasan
tingkah laku masyarakat yang menyimpang terhadap aturan hukum dan
menetapkan sanksi atas penyimpangan tersebut. Kedua fungsi hukum sebagai
“a tool of social engineering” dicetuskan oleh Roscoe Pound49
pada tahun 1912
sebagai suatu konsep yang netral.50
Fungsi hukum sebagai sarana rekayasa
sosial adalah untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat
menuju kepada kemajuan yang terencana. Kebutuhan masyarakat menuntut
fungsi lebih dari hukum, yang semula hanya untuk mengontrol tingkah laku
menyimpang dan sebagai sarana penyelesaian konflik, dituntut memiliki
“fungsi yang aktif”, yakni menata kembali kehidupan masyarakat secara
terencana sesuai tujuan pembangunan bangsa.
Roscoe Pound menjelaskan secara lebih luas tentang apa yang sebenarnya
diinginkan dan apa yang tidak diinginkan oleh penggunaan hukum sebagai “alat
rekayasa sosial” sebagai berikut:
49
Roscoe Pound, Introduction to the Study of Law, Michigan: American School of
Correspondence, 1912, dalam James. A. Gardner, “The Sociological Jurisprudence of Roscoe Pound”,
Villanova Law Review, Vol. 7, No. 1, h. 3. 50
Marwan mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014, h. 82
34
a. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-
ajaran hukum
b. Melakukan studi sosiologi dalam rangka mempersiapkan perundang-
undangan, dengan cara mempelajari bagaimana ia beroperasi di masyarakat
serta efek yang ditimbulkannya (apabila ada), untuk kemudian dijalankan,
c. Melakukan studi tentang bagaimana peraturan-peraturan hukum menjadi
lebih efektif
d. Memperlihatkan sejarah hukum
Keefektifan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial menurut Adam
Podgorecki perlu memperhatikan pengembangan empat aspek pokok, yaitu:51
a. Suatu gambaran jelas tentang situasi yang dihadapi
b. Menciptakan suatu analisis tentang penilaian-penilaian yang ada dan
menempatkan dalam suatu urusan yang hierarki
c. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis
d. Pengukuran terhadap efek aturan-aturan yang telah ada.
Gunnar Myrdal52
juga mengungkapkan pendapatnya tentang cara
mengefektifkan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial, agar para
legislator tidak membuat produk hukum yang sweeping legislations atau
51
C.J.M Schyut, Rechtssosiologeeen Terreinverkenning, Roterdam: Universitaire press, 1971,
h. 54 52
Gunnar Myrdal, The Challenge Of World Poverty : A World Anti-Poverty Program In
Outline, New York : Pantheon Books, 1970
35
peraturan hukum yang dibuat secara tergesa-gesa, tanpa memperlihatkan
kondisi sosial dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Ketiga, fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa.53
Hukum
bertujuan untuk menyelesaikan setiap konflik atau sengketa yang terjadi dalam
masyarakat, sehingga tercipta keteraturan dan ketentraman hidup masyarakat
secara luas. Keempat, fungsi hukum sebagai “simbol”.54
Fungsi ini
dimaksudkan menyederhanakan rangkaian tindakan atau proses tertentu,
mencakup proses-proses di mana seseorang menerjemahkan, menggambarkan
ataupun mengartikan suatu istilah sederhana tentang hubungan sosial serta
fenomena-fenomena lain yang timbul dari interaksi sosial tersebut. Kelima,
fungsi hukum sebagai sarana mekanisme pengintegrasian sosial. Dalam hal ini,
hukum menjadi sarana menciptakan keserasian berbagai kepentingan
masyarakat, sehingga kehidupan sosial dapat berlangsung secara tertib dan
lancar. Hukum bukan hanya berfungsi ketika terjadi suatu konflik, akan tetapi
hukum juga berfungsi sebelum dan setelah konflik.55 Keenam, fungsi hukum
sebagai sarana pengendalian sosial. Dalam hal ini, hukum dimaksudkan untuk
mengendalikan masyarakat secara terencana.
53
Marwan mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014, h. 87 54
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press, 2016, h. 89 55
Lukman Santoso dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press, 2016, h. 89-
90
36
Sifat dan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial dapat
dilakukan tiga cara, yaitu :56
a. Bersifat preventif, bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan stabilitas
di dalam kehidupan masyarakat.
b. Bersifat represif, bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang telah
mengalami gangguan di dalam kehidupan masyarakat.
c. Bersifat preventif represif, bertujuan untu mencegah gangguan sekaligus
mengembalikan keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas dalam
kehidupan masyarakat.
Ketujuh, fungsi hukum sebagai alat politik. Dalam hal ini, fungsi hukum
sebagai sarana politik adalah untuk memperkokoh kekuasaan negara.
Keberadaan hukum dan politik dalam kenyataannya tidak mungkin dapat
dipisahkan, karena keberadaan hukum (tertulis) merupakan pesan-pesan politik,
tetapi setelah diterapkan, pemberlakuannya tidak boleh ditafsirkan sebagai
“kepentingan” politik. Mac Iver57
menjelaskan ada dua jenis hukum dalam
kekuasaan politik yaitu sebagai berikut:
a. Hukum konstitusi (undang-undang dasar) yaitu hukum yang mengendalikan
negara. Jenis hukum ini dibedakan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan di bawahnya, setra kekuasaan badan legislatif.
56
Marwan mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014, h. 87 57
R.M Mac Iver, The Modern State, Oxford: University Press, 1960, h. 250
37
b. Hukum biasa (undang-undang), yaitu hukum yang digunakan sebagai alat
untuk memerintah. Jenis hukum ini dapat digunakan sebagai alat politik,
akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan hukum konstitusi yang
mengemudikan negara.
B. Tujuan Cita Hukum Perspektif Islam
1. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam pada prinsipnya bagaimana mewujudkan
‘kemanfaatan’ kepada seluruh umat manusia yang mencakupi kemanfaatan
dalam kehidupan dunia maupun akhirat.58
Tujuan penetapan hukum atau yang
sering dikenal dengan istilah Maqashid al-syari'ah merupakan salah satu
konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya maqashid
al-syari'ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah
sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad.
Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan
sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak
madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut
adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada
maslahat.
58
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory)dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Prenamedia Grup, 2013, h. 216.
38
Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata
maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan
tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang
ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup
di dunia maupun di akhirat.59
Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah
berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan
demikian, maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari
suatu penetapan hukum.
Perlu diketahui bahwa Allah SWT sebagai syari' (yang menetapkan
syari'at) tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan tetapi hukum
dan aturan itu diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Ibnu Qayyim al-
Jauziyah menyatakan bahwa tujuan syari'at adalah kemaslahatan hamba di
dunia dan di akhirat.60
Syari'at semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan
semuanya mengandung hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari
keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan ketentuan syari'at.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan
utama dalam maqashid al-syari'ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu
hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat
tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak
ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang
59
Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996, h. 5 60
Khairul Umam, Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 125.
39
keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah
sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud
kemaslahatan bagi manusia. Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua
cara :
a. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut
dengan istilah jalb al-manafi'. Manfaat ini bisa dirasakan secara langsung
saat itu juga atau tidak langsung pada waktu yang akan datang.
b. Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering
diistilahkan dengan dar' al-mafasid.
Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya
(manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang menjadi
kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan
manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Terdapat tiga sasaran utama dari tujuan penetapan hukum Islam menurut
Abu Zahrah61
, yaitu penyucian jiwa, penegakan keadilan, dan perwujudan
kemaslahatan. Penyucian jiwa yang dimaksud adalah agar setiap muslim dalam
setiap aktivitasnya dapat menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat di
lingkungannya. Penegakan Keadilan diharapkan dapat terwujud dalam tata
kehidupan Masyarakat muslim, yakni keadilan yang bertalian dengan sesama
umat Islam maupun berhubungan dengan umat yang berbeda keimanan.
61
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mażâhib al Islâmiyah, jilid 2, Mesir: Dâr al-Fikr al-
‘Arabî, h. 23.
40
Perwujudan kemaslahatan adalah kemaslahatan hakiki yang bertalian dengan
kepentingan umum, bukan kemaslahatan yang dipengaruhi oleh kepentingan
pribadi atau golongan apalgi dipengaruhi oleh hawa nafsu.
Hukum Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kepentingan dan
kebaikan hidup manusia yang hakiki harus menjadi perhatian Utama.62
Pemikiran para cendikiawan Islam juga mengemukakan kepentingan
primer/pokok (adh-dharuriyat), kepentingan sekunder (al-hajiyat) dan
kepentingan tersier/ pelengkap (at-tahsiniyat). Asy-Syatibi63
berpendapat
bahwa tujuan utama Allah SWT menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. 64
Prinsip dasar dari tujuan hukum Islam, yakni terwujudnya kemaslahatan yang
berpangkal pada terpeliharanya lima aspek pokok dalam konsep al-maqashid
as-syariah, yaitu : (1) Kepentingan sekunder (al-hajiyat) adalah kepentingan
yang diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak mengalami kesulitan. (2)
Kepentingan Tersier/pelengkap (at-tahsiniyat) adalah kepentingan yang apabila
tidak terpenuhi juga tidak akan mengakibatkan kesulitan dalam hidup apalagi
merusak tata kehidupan manusia. Dalam konsep falsafah hukum Islam, ketika
62
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
2006, h. 12 63
Imam Syathibi, al-Muwafaqât fī Ushûl al-Sharī’ah, Juz I, Beirut: Dâr al-Kutûb al-Ilmiyyah,
h. 201. 64
Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996, h. 5
41
manusia sanggup memenuhi kepentingan tersebut, maka kehidupan manusia
tidak akan mengalami kebinasaan, kehancuran, dan kepunahan.
Secara terminologi, maqâshid al-syarî’ah dapat diartikan sebagai nilai
dan makna yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat
Syariah (Allah swt) dibalik pembuatan Syariat dan hukum, yang diteliti oleh
para ulama mujtahid dari teks-teks Syariah.65
Al-Shathibi membagi maqâshid
menjadi dua: tujuan Allah (qashdu al-Syâri’) dan tujuan mukallaf (qashdu
almukallaf).66
Tujuan Allah (qashdu al- Syâri’) terbagi menjadi empat bagian:
Pertama; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al-syarî‟ah (tujuan Allah dalam
menetapkan hukum). Kedua; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al- syarî‟ah li al-
ifhâm (tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk difahami). Ketiga;
qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i alsyarî‟ah li al-taklîf bi muqtadlâha (tujuan Allah
dalam menetapkan hukum adalah untuk ditanggung dengan segala
konsekwensinya). Keempat; qashdu al-Syâr‟i fi dukhûli almukallaf tahta
ahkâmi al-syarî‟ah (tujuan Allah ketika memasukkan mukallaf pada hukum
syarî‟ah).
Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemashlahâtan
hamba di dunia dan akhirat. Syathibi menjelaskan lebih lanjut bahwa beban-
beban hukum sesungguhnya untuk menjaga maqâshid (tujuan) hukum dalam
65
Jasser Auda, Fiqh al- Maqā ṣ id Inā ṭ at al-Ahkām bi Maqā ṣ idihā, Herndon: IIIT, 2007, h.
15. 66
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqā ṣ id al-Syarī‟ah Menurut al-Shatibi, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996, h. 61.
42
diri makhluk. Maqâshid ini hanya ada tiga yaitu dharûriyât, hâjiyat, dan
tahsîniyât.67
Darûriyât harus ada untuk menjaga kemashlahâtan dunia dan
akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi kerusakan di dunia dan akhirat.
Kadar kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana dlarûriyât tersebut
hilang. Maqâshid al- dlarûriyât ini ada lima yaitu: menjaga Agama, menjaga
jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta, menjaga akal. Maqâshid al- hâjiyat
adalah untuk menghilangkan kesusahan dari kehidupan mukallaf. Sedangkan
Maqâshid tahsîniyât adalah untuk menyempurnakan kedua Maqâshid
sebelumnya, yang meliputi kesempurnaan adat kebiasaan, dan akhlak yang
mulia.
Maqasid syariah adalah kelanjutan dan perkembangan dari konsep
maslahah sebagaimana telah dicanangkan sebelum masa as-Syatibi. Tujuan dan
orientasi hukum utama ini menunjukkan asal mula ditetapkannya hukum yang
bila diperhatikan akan menggambarkan kesatuan hukum Islam. Pada
hakikatnya, tujuan hukum hanyalah satu, yaitu kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia.68
Izzudin bin Abdul Salam69
melalui karyanya, Qowaid al-
Ahkam fi Maslahih al-Anam yang mengelaborasi hakikat maslahat dalam
sebuah konsep dar-u al-mafasid wa lalb al-maslahih (mengindari kerusakan
dan menarik manfaat).
67
Ahmad Al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâshid Inda al-Imâm al-Shâthibi, Beirut: Muassasah al-
Jami’ah, 1992, h. 117. 68
Nasution, dkk. Pengenalan ekslusif ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2007, h. 126 69
Izzudin bin Abdul Salam, Qawaid al Ahkam fi Mashalih al Anam, Beirut: Muassasah al
Rayyan, 1990, h. 231.
43
Paparan ini jelas menjadi bukti bahwa para ulama klasik berbicara dalil
teks maupun rasio sesuai validitas dan keotoritatifan maqashid. Ada lima unsur
pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan di dunia dan akhirat, yaitu agama (hifz ad-din), Jiwa (hifz an-
nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz an-nasl), dan harta (hifz al-mal). Jasser
Auda menawarkan reformasi maqoshid syariah tidak hanya pada tataran
pencegahan (hifzun), akan tetapi pada tataran pengembangan dan menjungjung
tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Jasser Auda70
berpendapat bahwa hukum Islam harus mampu
memberikan jawaban atas problem kontemporer, bukan justru bersebrangan. Ia
juga menyatakan bahwa wajah Islam belakangan ini ditampilkan dengan
radikalisme, terorisme, dan kualitas hidup umat Islam dengan tingkat capaian
yang rendah. Tiga kelompok Islam, yaitu tradisionalis, modernis, dan post-
modernis dianggap belum menjawab persoalan kontemporer dengan tepat,
sehingga hukum Islam masih bersifat serpihan, tertutup, apologetis, dan terpaku
pada dalil verbal. Auda meletakkan maqoshid as-syariah sebagai prinsip
mendasar dan metodologi fundamental dalam reformasi hukum Islam
kontemporer.
70
Jasser Auda. Penerjemah Rosidin & Ali Abd. El-mun’em. Membumikan Hukum Islam
Melalui Maqoshid Al-Syariah, Cet.I, Bandung: Mizan Pustaka, 2015, h. 11-12
44
2. Fungsi Hukum dalam Perspektif Islam
Dalam kapsitasnya sebagai divine law system, hukum Islam mempunyai
fungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Sebab, bila kita melihat fitrah dasar
manusia dengan nafsu lawwamahnya, manusia adalah mahluk yang mempunyai
daya destruktif yang tinggi. Tesis Hobbes71
, homo homini lupus adalah sebuah
kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Bahkan, kehidupan masyarakat jahiliyyah
merupakan salah satu episode dari kerusakan moral manusia dari episode-
episode kerusakan manusia sebelumnya. Jadi, eksistensi hukum Islam dalam
fungsi hudal linnasnya sangat berpengaruh dalam sejarah kehidupan umat
manusia dalam membangun sebuah peradaban.
Menurut Imam Syaukani, hukum Islam sebagai pranata sosial memiliki
dua fungsi , yaitu sebagai kontrol sosial (social control) dan sebagai nilai baru
dan proses perubahan sosial (social change).72
Oleh karena itu, dalam konteks
ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan
prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam
akan mengalami kemandulan fungsi, atau fosilisasi seperti yang diistilahkan
oleh Abdurrahman Wahid, bagi kepentingan Umat. Maka pesan Al-Qur’an
diterapkan secara fungsional menjadi norma akidah, norma hukum, dan norma
ahlak untuk mengontrol keyakinan, amal perbuatan, dan moral masyarakat agar
71
Thomas Hobbes, On the Citizen, edited by Richard Tuck and Michael Silverthorne
Cambridge: Cambridge University Press, 1998, h. 3. 72
Imam Syaukani, Rekontruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2006, h. 34-35.
45
mengikuti dan cetak biru Tuhan untuk merekayasa masyarakat agar mengikuti
dan mematuhi ajaran-ajarannya, jika mereka ingin selamat hidupnya, guna
mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. 73
kaidah al adah al
muhakamah yang nyaris diterima secara konsensus oleh semuah mahzab
hukum adalah suatu kaidah yang digunakan untuk menjustifikasi praktik hukum
yang dianggap positif di dalam masyarakat. Pendekatan terakhir ini, menurut
Husein Hasan dalam Nazariah al Maslah fi al fiqh al Islami, dikenal dengan
metode Induksi (istiqra’iy). 74
hasilnya, hukum Islam dalam batas tertentu
dapat menampung dan menerima praktik yang berulang-ulang dan dianggap
baik dalam masyarakat sebagai norma hukum. Inilah yang dimaksud bahwa
hukum Islam merupakan hasil dari sebuah proses perubahan sosial.
73
Jalal-Din-Abd al Rahman al Suyuty, al Jami’ al Sagir, juz I, Bandung: al Ma’arif, tt, h. 130. 74
Husein Hamid Hasan, Nazariah al Maslahah fi al Fiqh al Islami, Kairo: Dar al Nahdah al
Arabia, 1971, h. 52
46
C. Kepatuhan Hukum
1. Pengertian Kepatuhan Hukum
Menurut M. Sofyan Lubis75
bahwa kepatuhan hukum pada hakekatnya
adalah kesetiaan seseorang atau subjek hukum terhadap hukum itu yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata. Kemudian Suwondo76
menyatakan bahwa: Kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal
ini hukum yang tertulis, kepastian atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran.
Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas motivasi setelah ia
memperoleh pengetahuan, dari mengetahui sesuatu, manusia sadar, setelah
menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak, oleh karena
itu dasar kepastian itu adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan dan
identifikasi kelompok. Pendapat di atas menyatakan bahwa orang akan patuh
pada hukum apabila ia sadar bahwa hukum itu berfungsi untuk melindungi
kepentingan manusia baik perorangan maupun kelompok. Jadi intinya adalah
kepatuhan itu bermula dari kesadaran seseorang akan pentingnya hukum
sebagai alat untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan Satjipto Rahardjo77
menyatakan bahwa: Kepatuhan hukum
apabila masalahnya diselidiki secara filosofis dan yuridis, maka ia lebih
didasarkan pada rasa perasaan saja, seperti kesadaran hukum rakyat, perasaan
75
M. Sofyan Lubis, “Kesadaran Hukum vs Kepatuhan Hukum”, Artikel,
http://www.kantorhukum-lhs.com, diakses 24 September 2018. 76
Suwondo, “Menanamkan Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum”, Artikel,
http://jdih.jatimprov.go.id, diakses 24 September 2018. 77
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing. 2010, h. 203.
47
keadilan masyarakat, dan sebagainya. Pikiran yuridis tradisional menerima
bahwa perilaku orang itu dibentuk oleh peraturan hukum, pikiran tersebut
menerima begitu saja bahwa hukum itu akan dipatuhi oleh masyarakat, jadi
antara peraturan hukum dan kepatuhan hukum terdapat hubungan linier yang
mutlak.
Berdasarkan pendapat di atas, maka kepatuhan hukum dapat diartikan
sebagai suatu sikap dan reaksi yang diawali dengan kesadaran yang
diaplikasikan sebagai kesetiaan atau ketaatan seseorang terhadap segala aturan
hukum yang dapat dilihat dan dibuktikan melalui tindakan nyata.
2. Jenis Kepatuhan Hukum
Menurut HC Kelman78
kepatuhan terhadap hukum dapat dikembalikan
pada beberapa tolak ukur sebagai berikut:
a. Kesesuaian (Compliance), yaitu jika seseorang atau lembaga mematuhi suatu
aturan, hanya karena ia takut akan sanksi yang ada. Kelemahan kepastian
jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
b. Identifikasi (Identification), yaitu jika seseorang mematuhi suatu aturan,
hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
Sumber kekuatannya adalah daya tarik dari hubungan yang dinikmati orang-
orang atau tokoh-tokoh dari kelompok itu, sedangkan persesuaian dengan
peraturan akan tergantung pada menonjolnya hubungan-hubungan ini.
78
Herbert C. Kelman, “Compliance, Identification, and Internalization: Three Processes of
Attitude Change”, Journal of Conflict Resolution. Volume II, No.1, 1958, h. 52.
48
c. Internalisasi (Internalization), yaitu penerimaan seseorang mengenai suatu
peraturan benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-
nilai intrinsik yang dianutnya.
Menurut Leopold Pospisil79
dalam buku “Anthropology of Law: a
Comparative Theory” menjelaskan lebih lanjut tentang kepatuhan yang bersifat
internalization:
“Internalization of a rule of behaviour does not necessarily mean that
such a rule is always maintaned in actual behaviour. There are situations
in which the individual either breaks the rule in the spur of the moment,
without much thinking, or he consciously compromises a moral
conviction for an immediate, and strong enough reward.”80
Oleh karena itu, dengan mengetahui adanya tiga jenis kepatuhan tersebut,
maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran dipatuhinya suatu aturan
hukum atau perundang-undangan sebagai bukti efektifnya aturan tersebut,
tetapi paling tidak juga harus ada perbedaan kualitas efektifitasnya. Semakin
banyak warga masyarakat yang mematuhi suatu aturan hukum atau perundang-
undangan hanya dengan kepastian yang bersifat ‘compliance’ atau
‘identification’ saja, berarti kualitas efektifitasnya masih rendah , sebaliknya
semakin banyak yang kepastiannya ‘internalization’ , maka semakin tinggi
kualitas efektifitas aturan hukum atau perundang-undangan itu.
79
Leopold Pospisil, Anthropology Of Law: A Comparative Theory, New York: Harper & Row,
1971. 80
Leopold Pospisil, Anthropology Of Law: A Comparative Theory, New York, Harper & Row,
1971, h. 340.
49
3. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Hukum Masyarkat
Menurut Utrecht81
, bahwa orang mematuhi hukum karena bermacam-
macam sebab antara lain82
:
a. Karena adanya pengetahuan dan pemahaman akan hakikat dan tujuan
hukum.
b. Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai
hukum. Mereka benar-benar berkepentingan akan berlakunya peraturan
tersebut.
c. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap
peraturan sebagai peraturan hukum secara rasional. Penerimaan rasional ini
sebagai akibat adanya sanksi hukum. Agar tidak mendapatkan kesukaran-
kesukaran orang memilih untuk taat saja pada peraturan hukum, karena
melanggar hukum mendapat sanksi hukum.
d. Karena masyarakat menghendakinya. Dalam kenyataan banyak orang yang
tidak menanyakan apakah sesuatu menjadi hukum atau bukan. Mereka tidak
menghiraukan dan baru dirasakan dan dipikirkan apabila mereka telah
melanggar dan dirasakan akibat pelanggaran tersebut. mereka juga baru
merasakan adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh
peraturan hukum yang ada.
81
Ernst Utrecht, Regulation of Transnational Corporations in Indian Economy, University of
Sydney: Sydney, 1987, h. 49. 82
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika: Jakarta, 2009, h. 65.
50
e. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasa malu atau khawatir
dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar sesuatu kaidah
sosial/hukum.
4. Kepatuhan Hukum Karena Kepentingan
Jenis kepatuhan yang paling mendasar sehingga seseorang mematuhi atau
tidak mematuhi hukum adalah karena adanya kepentingan. Menurut Achmad
Ali83
, yang diistilahkan sebagai jenis-jenis kepastian hukum menurut H. C.
Kelman dan Leopold Pospisil sebelumnya, lebih tepat jika dinamakan jenis-
jenis kepentingan. Jika seseorang dihadapkan dengan keharusan untuk memilih,
menurut Achmad Ali seseorang akan mematuhi aturan hukum dan perundang-
undangan apabila dalam sudut pandangnya keuntungan atau benefit dari
kepastian ternyata melebihi dari biaya-biayanya (pengorbanan yang harus
dikorbankan).
Pandangan tersebut dipengaruhi oleh pandangan mahzab hukum
ekonomi, yang memandang berbagai faktor ekonomi sangat mempengaruhi
kepastian seseorang, termasuk di dalamnya keputusan seseorang yang
berhubungan dengan faktor biaya atau pengorbanan,serta keuntungan jika ia
mematuhi hukum. Faktor yang juga turut menentukan patuh atau tidaknya
seseorang terhadap hukum antara lain ditentukan oleh asumsi, persepsi, dan
faktor subjektif lainnya.
83
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Jakarta: Prenamedia Group, 2015. H. 349
51
Harus disadari bahwa persepsi warga masyarakat yang menjadi sasaran
diberlakukannya suatu perundang-undangan, tidak selalu sama dengan persepsi
pembuat undang-undang. Untuk itulah pembuat undang-undang sedapat
mungkin memperhatikan nilai-nilai yang hidup serta kepentingan warga
masyarakat ketika merumuskan perundang-undangannya. Dan setelah itu
dibutuhkan sosialisasi hukum kepada masyarakat.
D. Badan Hukum
1. Definisi Badan Hukum
Istilah Badan Hukum diadopsi dari istilah Belanda (Rechtpersoon), atau
istilah Inggris (legal Persons), dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah
persona moralis. Badan hukum merupakan subjek hukum sama halnya seperti
manusia pribadi. Badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkret, riil. R.
Rohmat Soemitro84
yang mengatakan bahwa badan hukum (Rechtpersoon)
merupakan suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban
seperti orang pribadi. Sri Soedewi Machsun Sofwan85
menjelaskan bahwa
badan hukum merupakan kumpulan dari orang-orang yang secara bersama-
sama mendirikan suatu badan (baik perhimpunan maupun perkumpulan harta
kekayaan), yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu seperti yayasan.
84
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 2014), H. 19. 85
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 2014), H. 20
52
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan secara garis
besar pengertian badan hukum sebagai subjek hukum, yang mencakup unsur-
unsur atau kriteria (materiil) sebagai berikut:
a. Perkumpulan orang/perkumpulan modal (organisasi)
b. Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-
hubungan hukum (rechtsbetrekking)
c. Mempunyai harta kekayaan sendiri
d. Mempunyai pengurus
e. Mempunyai hak dan kewajiban
f. Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.
Di samping unsur-unsur di atas terdapat pendapat lain yang menyebutkan
bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai badan hukum apabila dipenuhi unsur-
unsur atau kriteria (formal) sebagai berikut :86
a. Dinyatakan secara tegas dalam peraturan atau undang-undang yang
mengaturnya.
b. Dinyatakan dengan tegas di dalam akta pendiriannya.
c. Dalam prosedur pendiriannya diperlukan campur tangan pemerintah seperti
kewajiban adanya pengesahan menteri Hukum dan HAM.
d. Di dalam praktik kebiasaan diakui sebagai badan hukum ; dan
e. Ditegaskan dalam yurisprudensi
Berdasarkan materinya badan hukum dibagi atas :
86
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 2014), h. 21
53
a. Badan hukum Publik (Publiekrecht) yaitu badan hukum yang mengatur
hubungan antar negara dan/atau aparatnya dengan warga negara yang
menyangkut kepentingan umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tata
negara, hukum tata usaha negara, hukum internasional, dan lain sebagainya.
Contoh : Negara, Pemerintah Daerah, lembaga-lembaga negara seperti Bank
Indonesia.
b. Badan hukum privat (Privaatrecht) yaitu perkumpulan orang yang
mengadakan kerjasama dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Badan hukum privat selalu
bertujuan mencai keuntungan (profit oriented), seperti perseroan terbatas.
Namun demikian ada juga yang tidak sepenuhnya berorieantasi
keuntungan/materiil, seperti yayasan.
Manusia (persoon) sebagai subjek hukum, memiliki sifat-sifat tertentu
yang tidak dimiliki oleh badan hukum (rechtspersoon)87
:
a. Manusia sebagai persoon dapat hadir atau tidak pada suatu tempat dan waktu
tertentu
b. Manusia sebagai persoon mempunyai tempat tinggal (domicilie)
c. Manusia dilahirkan dari manusia yang lain, kelahiran itu menunjukkan
kebangsaannya (nationaliteit-nya)
87
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), h. 25-26
54
d. Manusia itu mempunyai sifat kerohanian (geestelijk vermogen), bisa
mempengaruhi dalam soal-soal perikatan
e. Dalam sifat manusia ada juga kepentingan yang dirasakan untuk kepentingan
umum dan kepentingan pribadi.
2. Teori – teori Badan Hukum
a. Teori Fiksi
Teori ini dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny88
(1779-1861),
sarjana jerman sekaligus tokoh mahzab sejarah pada permulaan abad ke 19.
Menurut Savigny, hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Sedangkan
badan hukum adalah suatu abstarksi, bukan merupakan suatu hal yang
konkret. Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi suatu
subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang
bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa.
Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah/negara.
Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi, yakni sesuatu yang
sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam banyangannya
untuk menerangkan sesuatu hal.
88
Friedrich Carl Von Savigny, System des Hentigen Romischen Recht, 1866 dalam C.S.T.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, h. 32
55
b. Teori Orgaan
Sebagai reaksi terhadap teori fiksi timbullah teori orgaan. Teori ini
dikemukakan oleh sarjana Jerman Otto Von Gierke89
(1841-1921), pengikut
aliran sejarah di negeri Belanda dianut oleh L.G Polano. Ajarannya disebut
leer der volledige raliteit atau ajaran realitas sempurna.90
Menurut Von Gierke, badan hukum itu seperti manusia menjadi
penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu ‘eine
leiblichgeistige lebensein heit’ badan hukum itu menjadi suatu
‘verbandpersoblich keit’, yaitu suatu badan hukum yang membentuk
kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut91
misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang
mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan
perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang
mereka (organen) putuskan adalah kehendak dari badan hukum.
Menurut teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak,
tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukan lagi suatu kekayaan (hak) yang
tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang
hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Jadi, badan hukum tidak berbeda
89
Otto Von Gierke, Das deutsche Genossenschaftsrecht: Rechtsgeschichte der deutschen
Genossenschaft, ditranslate oleh John D Lewis, The Genossenschaft - Theory of Otto von Gierke; A
Study in Political Thought , 1936 dan ditranslate sebagian oleh Mary Fischer dan Anthony Black
sebagai “Community in Historical Perspective”, 1990. 90
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2014, h. 32 91
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2014, h. 33
56
dengan manusia. Karena itu dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap perkumpulan
orang adakag badan hukum.
c. Teori Kekayaan Bersama
Teori ini dikemukakan oleh Rudolf Von Jhering92
(1818-1892) sarjana
Jerman pengikut aliran/mazab sejarah tetapi kemudian keluar. Teori
kekayaan bersama itu menganggap badan hukum sebagai kumpulan
manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh
anggotanya.93
Menurut teori ini badan hukum bukan abstraksi dan bukan
organisme. Pada hakikatnya hak dan kewajiban badan hukum tanggung
jawab bersama-sama. Mereka bertanggung jawab bersama-sama. Harta
kekayaan badan itu adalah milik (Eigendom) bersama seluruh anggota. Para
anggota yang berhimpun adalah suatu kesatuan dan membentuk suatu
pribadi yang disebut badan hukum. Karena itu badan hukum hanyalah suatu
konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang
abstrak.
d. Teori Kekayaan Bertujuan
Teori ini timbul dari collectivities theorie. Teori kekayaan bertujuan
dikemukakan oleh sarjana Jerman A. Brinz dan dibela oleh Van der
Heijden94
. Menurut Brinz hanya manusia dapat menjadi subjek hukum.
92
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, h. 130. 93
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2014, h. 34 94
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2014, h. 35
57
Karena itu, badan hukum bukan subjek hukum dan hak-hak yang diberi
kepada badan hukum pada hakikatnya hak-hak dengan tiada subjek hukum.
Teori ini mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak
terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung
hak-hak tersebut, manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari
yang memegangnya (opensoonlijk/subjectools). Di sini yang penting bukan
siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurus dengan tujuan
tertentu. Karena itu, menurut teori ini tidak peduli manusia atau bukan, tidak
peduli kekayaan itu merupakan hak-hak yang normal atau bukan, pokoknya
adalah tujuan dari kekayaan tersebut. Singkatnya, apa yang disebut hak-hak
badan hukum, sebenarnya hak-hak tanpa subjek hukum, karena itu sebagai
penggantinya adalah kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan.
e. Teori Kenyataan Yuridis
Teori Kenyataan Yuridis (Juridissche Realiteitsleer) merupakan
penghalusan (verfijning) dari Teori Orgaan. Teori ini dikemukakan oleh
Sarjana Belanda E.M Meijers dan dianut oleh Paul Scholten.95
Menurut Meijers badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit,
riil walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal tetapi suatu kenyataan
yuridis. Meijers menyebut teori tersebut, teori kenyataan yang sederhana
(eencoudige realiteit), sederhana karena menekankan bahwa hendaknya
95
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2014, h. 36
58
dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai
pada bidang hukum saja.
Teori yang dianut Scholten ini berasal dari teori orgaan yang sudah
diperhalus, artinya tidak begitu mutlak lagi (teori orgaan sifatnya mutlak)
dan tidak mutlak artinya sekedar diperlukan untuk hukum, sehingga tidak
perlu lagi dinyatakan mana tangannya, mana otaknya dan sebagainya. Teori
kenyataan yang sederhana sebenarnya juga sukar memaknai misalnya yang
terlihat pada jual-beli tidak kelihatan selain gerakan-gerakan tangan dan
mulut (percakapan). Sama saja dengan badan hukum itu.
Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan di atas dapat dihimpun
dalam dua golongan yaitu :
1. Teori yang berusaha kearah peniadaan persoalan badan hukum antara lain
dengan jalan mengembalikan persoalan tersebut kepada orang-orangnya,
yang merupakan orang-orang yang sebenarnya berhak. Termasuk golongan
ini ialah teori organ, teori kekayaan bersama.
2. Teori lainnya yang hendak mempertahankan persoalan badan hukum ialah
teori fiksi, teori kekayaan yang bertujuan, teori kekayaan yuridis.
59
BAB III
KOPERASI DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
A. Koperasi
1. Definisi
Koperasi, diterjemahkan dari cooperative, berasal dari kata co-operation
yang berarti bekerja sama di antara dua pihak atau lebih. Kerja sama di dalam
bentuk Koperasi secara universal di asosiasikan sebagai kerja sama di dalam
kegiatan ekonomi. Tetapi tidak setiap bentuk organisasi kerja sama ekonomi
dapat di sebut koperasi. Hanel96
(1992) menyatakan bahwa apabila orang-orang
berusaha mendefinisikan tentang apa yang disebut sebagai koperasi atau
berusaha menjelaskan tentang karakteristik koperasi, mungkin penjelasannya
menjadi berbeda-beda dan biasanya memancing perdebatan yang panjang,
terutama karena dipengaruhi oleh pandangan-pandangan ideologi, budaya,
politik, dan kondisi sosial ekonomi masing-masing masyarakatnya. Dari
rumusan tersebut tercatat ada tiga pendekatan yang biasanya digunakan untuk
menjelaskan tentang arti koperasi, yaitu :
a. Pendekatan legal atau yuridis, yang mendefinisikan tentang pengertian
koperasi berdasarkan kepada peraturan atau undang-undang yang berlaku.
Di Indonesia berlaku undang-undang koperasi yaitu Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Berikut adalah Pengertian
96
Alfred Hanel, Pokok-pokok Pikiran Organisasi Koperasi dan Kebijakan Pengembangan di
Negara-negara Berkembang, Bandung: Unpad, 1985, h. 17.
60
Koperasi menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian:
“Koperasi adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang-seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan”.97
Sedangkan pengertian Koperasi menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun
2012 tentang Perkoperasian (sebelum dilakukan Judicial Review dan kembali
kepada Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian):
“Koperasi adalah Badan Hukum yang didirikan oleh orang perseorangan
atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya
sebagai modal untuk menjalakan usaha, yang memenuhi aspirasi dan
kebutuan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nlai
dan prinsip koperasi”.98
b. Pendekatan esensial, yang menjelaskan tentang koperasi menurut esensinya
sebagai bentuk kerja sama antar individu.
Pendekatan esensial menekankan pada penjelasan tentang koperasi di dalam
Batasan-batasan berdasarkan esensinya sebagai bentuk kerja sama antar
individu. Batasan yang dirumuskan kadang-kadang menjadi sulit dicernakan ke
dalam kaidah-kaidah operasional karena lebih sering bernuansa abstrak dan
ideologis. Sebagai contoh, definisi yang diungkapkan oleh Hanel yaitu suatu
97
Pandji Anoraga dan Ninik Widiyanti, Dinamika Koperasi, Rineka Cipta : Jakarta, 2007, h.
252. 98
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian
61
sistem sosial ekonomi atau sosial teknik yang terbuka dan berorientasi pada
tujuan.99
c. Pendekatan nominal, yang menjelaskan tentang karakteristik koperasi secara
variabelistik dan ciri-ciri perilakunya, sebagai suatu system sosio-ekonomi yang
dapat dibedakan dengan bentuk-bentuk organisasi ekonomi lainnya.
Menurut pendekatan nominalis, suatu organisasi ekonomi dapat disebut sebagai
koperasi apabila memenuhi empat kriteria pokok, yaitu:
1) Didirikan oleh sekelompok individu, karena paling sedikit memiliki satu
kepentingan atau tujuan ekonomi yang sama (disebut : Kelompok Koperasi);
2) Menyelenggarakan usaha Bersama untuk mencapai tujuan Bersama melalui
swadaya kelompok (disebut: Selfhelp, Swadaya);
3) Sebagai alat untuk mencapai tujuan Bersama secara berswadaya tersebut
dibentuklah perusahaan yang dimiliki dan dibina Bersama
(disebut:perusahaan Koperasi);
4) Tugas pokok perusahaan koperasi adalah menyelenggarakan pelayanan-
pelayanan barang/jasa menunjang peningkatan kondsi ekonomi rumah
tangga anggota (disebut: tugas mempromosikan ekonomi anggota).100
99
Alfred Hanel, Pokok-pokok Pikiran Organisasi Koperasi dan Kebijakan Pengembangan di
Negara-negara Berkembang, Bandung: Unpad, 1985, h. 17. 100
Ramudi Ariffin, Koperasi Sebagai Perusahaan,Bandung: IKOPIN PRESS, 2013, h. 25.
62
2. Landasan Koperasi
Untuk mendirikan koperasi yang kokoh perlu adanya landasan tertentu.
Landasan ini merupakan suatu dasar tempat berpijak yang memungkinkan
koperasi untuk tumbuh dan berdiri kokoh serta berkembang dalam pelaksanaan
usaha-usahanya untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Landasan-landasan
Koperasi terbagi atas : landasan idiil, landasan strukturil dan gerak serta
landasan mental.
a. Landasan Idiil Koperasi Indonesia
Maksud dari landasan idiil koperasi adalah landasan yang digunakan
untuk mencapai cita-cita koperasi. Gerakan koperasi sebagai organisasi
ekonomi rakyat yang hidupnya dijamin UUD 1945 akan bertujuan untuk
mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Maka, tujuannya sama dengan
apa yang dicita-citakan oleh seluruh Bangsa Indonesia, karena itu landasan
Idiil Koperasi Indonesia sama dengan landasan idiil NKRI yaitu Pancasila.
b. Landasan Struktural dan Gerak Koperasi Indonesia
Landasan struktural koperasi adalah tempat berpijak koperasi dalam
susunan hidup bermasyarakat. Yang menjadi Landasan struktural Koperasi
Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945, sedangkan landasan gerak
koperasi Indonesia adalah Pasal 33 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945
artinya ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang koperasi Indonesia harus
berlandasan dan bertitik tolak dari Jiwa pasal 33 ayat 1 Undang-undang
Dasar 1945.
63
c. Landasan Mental Koperasi Indonesia
Landasan Mental Koperasi Indonesia adalah setia kawan dan
kesadaran pribadi. Rasa setiakawan telah ada dalam masyarakat
Indonesiasejak dulu dan merupakan sifat asli masyarakat Indonesia. 101
3. Nilai dan Prinsip Koperasi
Nilai dan prinsip-prinsip koperasi yang ditetapkan oleh berbagai koperasi
dunia telah diharmonisasikan melalui deklarasi International Cooperative
Alliance (ICA) yang merupakan wadah pemersatu gerakan koperasi dunia.
Mengacu pada prinsip International Cooperative Alliance (ICA), koperasi
dibentuk dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai menolong diri sendiri,
tanggungjawab sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan kesetiakawanan.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merumuskan nilai-nilai dasar koperasi yaitu
“self-help, self-responsibility, democracy, equality, equity, and solidarity”.
Dengan demikian, koperasi bukan hanya sebuah Lembaga ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi, tetapi koperasi juga berdimensi
filosofis, sosial, budaya. Seperti diakui oleh PBB, kekuatan utama koperasi
ialah bahwa koperasi merupakan Lembaga sosial ekonomi yang sarat nilai.
Dalam koperasi terdapat nilai-nilai intrinsik yang menjadi identitas koperasi
seperti tergambar dalam prinsip-prinsip, asas, fungsi, dan peran serta definisi
koperasi.
101
Pandji Anoraga dan Ninik Widiyanti, Dinamika Koperasi, Rineka Cipta: Jakarta, 2007, H.
8-9
64
a. Nilai-nilai Koperasi
Mengacu pada prinsip International Cooperative Alliance (ICA),
koperasi dibentuk dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai menolong diri
sendiri, tanggungjawab sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan,
kesetiakawanan, dan kesejahteraan Bersama. Mengikuti tradisi dari para
pendirinya, anggota-anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis dari
kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab sosial serta kepedulian terhadap
orang lain.102
b. Prinsip-prinsip Koperasi
Untuk melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam praktik, ditetapkan 7
prinsip-prinsip koperasi yang digunakan oleh koperasi. Berikut Ini adalah 7
prinsip Koperasi menurut ICA :
1) Keanggotaan Sukarela dan Terbuka
2) Pengendalian oleh anggota secara demokratis
3) Partisipasi Ekonomi Anggota
4) Otonomi dan kebebasan
5) Pendidikan, pelatihan dan informasi
6) Kerjasama diantara koperasi
7) Kepedulian terhadap Komunitas
102
DEKOPIN, Konsep Dasar Visi 2045, (Dekopin: Jakarta, 2015), H. 8-9
65
Sedangkan menurut Undang-undang koperasi Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, 7 prinsip koperasi Indonesia adalah sebagai berikut :
1) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2) Pengelolaan secara demokratis
3) Pembagian SHU sesuai dengan Besarnya jasa usaha setiap anggota
4) Pemberian balas jasa terbatas Modal
5) Kemandirian
6) Pendidikan anggota
7) Kerjasama antar koperasi
ICA menggambarkan prinsip-prinsip koperasi sebagai identitas koperasi
yang tak dimiliki oleh perusahaan lain, bahwa dalam perusahaan koperasi:
1) Orang-orang dapat bergabung dan keluar
2) Suara anggota akan didengar
3) Anggota mengontrol modal
4) Kebersamaan yang otonom
5) Anggota dapat mengembangkan diri
6) Anggota bisa menjadi lebih sukses karena bekerjasama dengan orang lain
yang tahu bagaimana bekerjasama
7) Anggota tetap dapat melakukan sesuatu untuk komunitas masing-
masing.103
103
DEKOPIN, Konsep Dasar Visi 2045, (Dekopin: Jakarta, 2015), H.10-11
66
4. Bentuk dan Jenis Koperasi
a. Bentuk Koperasi
Ada bermacam-macam bentuk atau jenis koperasi menurut Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, ada dua bentuk
koperasi yaitu koperasi primer dan koperasi sekunder.
1) Koperasi Primer
Koperasi primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan
orang-seorang. Koperasi primer sekurang-kurangnya dibentuk oleh 20
orang persyaratan ini dimaksud untuk menjaga kelayakan usaha dan
kehidupan koperasi.
2) Koperasi Sekunder
Koperasi Sekunder yang beranggotakan koperasi primer disebut pusat
koperasi. Koperasi sekunder yang beranggotakan pusat-pusat koperasi
disebut induk koperasi sedangkan koperasi sekunder yang beranggotakan
induk-induk koperasi disebut gabungan koperasi. Koperasi sekunder
dibentuk sekurang-kurangnya oleh 3 koperasi Primer/pusat/induk.104
b. Jenis Koperasi
Koperasi juga dapat dibedakan menjadi beberapa jenis koperasi
berdasarkan kepentingan anggotanya. Menurut Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 Tentang Perkoperasian berikut ini adalah jenis-jenis Koperasi di
Indonesia:
104
Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, (Pustaka Margaretha: Jakarta, 2012), H. 74
67
1) Koperasi Konsumsi/konsumen
2) Koperasi produksi/produsen
3) Koperasi Jasa
4) Koperasi Simpan Pinjam
5) Koperasi Pemasaran
5. Perangkat Organisasi Koperasi
Koperasi sebagai suatu organisasi juga memiliki struktur hirarkis dan
garis komando. Namun organisasi koperasi bersifat unik sehingga tampak
berbeda dengan organisasi pada umumnya. Organisasi Koperasi merupakan
suatu system sosial ekonomi yang terbuka dan berorientasi pada tujuan.
Berdasarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian
perangkat organisasi Koperasi Indonesia terdiri dari sebagai berikut : 105
a. Rapat Anggota
Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi dalam koperasi yang
harus dilaksanakan minimal satu kali dalam setahun. Rapat anggota terdapat
3 jenis yaitu rapat anggota khusus , rapat anggota luar biasa dan rapat
anggota tahunan.
b. Pengurus
Pengurus adalah pemegang kuasa rapat anggota , pengurus dipilih dari,
oleh anggta koperasi dalam rapat anggota. Pengurus mengemban tugas
diantaranya.
105
Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, (Pustaka Margaretha: Jakarta, 2012), H. 82
68
1) Mengelola koperasi dan usahanya
2) Mengajukan rencana kerja dan rencana anggaran dan belanja koperasi
3) Menyelenggarakan rapat anggota
4) Menyelenggarakan pembukuan
5) Membuat dan mengajukan laporan keuangan atau
pertanggungjawaban
c. Pengawas
Pengawas adalah perangkat organisasi koperasi yang dipilih dari dan
oleh anggota dan diberi mandate oleh rapat anggota untuk melakukan
pengawasan terhadap jalannya organisasi dan usaha koperasi.
d. Pengelola
Pengelola koperasi adalah orang-orang yang diangkat dan
diberhentikan oleh pengurus untuk mengembangkan usaha koperasi secara
professional dan efisien.
e. Anggota
Anggota merupakan unsur utama dalam koperasi yang memiliki dua
identitas yaitu sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa dalam koperasi. 106
106
Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, (Pustaka Margaretha: Jakarta,2012), H. 83
69
6. Keanggotaan dalam Koperasi
Dalam koperasi, anggota menjadi unsur utama dimana anggota
merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa dalam koperasi atau yang lebih
kita kenal dengan istilah dua identitas anggota koperasi. Hal ini yang menjadi
salah satu pembeda koperasi dengan badan usaha lainnya, karena salah satu
indicator keberhasilan dalam koperasi adalah partisipasi anggota baik sebagai
pemilik ataupun sebagai pengguna jasa. Partisipasi anggota dalam hal ini adalah
pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai anggota.
Berikut ini adalah bentuk partisipasi anggota berdasarkan dua identitas
yang dimilikinya :
a. Sebagai pemilik anggota memiliki kewajiban untuk menyetor simpanan
untuk modal koperasi
b. Sebagai pemilik anggota wajib untuk turut aktif dalam pengambilan
keputusan , evaluasi dan pengawasan
c. Sebagai pemilik anggota harus turut serta menanggung resiko saat koperai
mengalami kerugian
d. Sebagai pemilik anggota berhak untuk dipilih atau memilik sebagai pengurus
atau pengawas koperasi
e. Sebagai pelanggan atau pengguna jasa anggota berhak dan sekaligus
berkewajiban memanfaatkan pelayanan barang atau jasa dari koperasinya. 107
107
Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, (Pustaka Margaretha: Jakarta,2012), H. 100
70
7. Modal Koperasi
Sebagai sebuah badan usaha yang menjalankan bisnis, koperasi
membutuhkan modal. Modal dibutuhkan untuk membiayai kegiatan organisasi
maupun bisnis koperasinya. Menurut pasal 41 UU nomor 25 Tahun 1992,
modal badan usaha koperasi terdiri dari modal sendiri, modal pinjaman, dan
modal penyertaan. 108
a. Modal Sendiri
Berasal dari empat sumber yaitu simpanan pokok, simpanan wajib,
dana cadangan, donasi atau hibah.
1) Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang sama banyaknya yang wajib
dibayarkan oleh angora kepada koperasi pada saat masuk menjadi
anggota koperasi.
2) Simpanan wajib adalah sejumlah uang tertentu yang tidak harus sama
yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada koperasi dalam waktu dan
kesempatan tertentu. Simpanan pokok dan wajib akan dikembalikan
secara utuh ketika keluar dari keanggotaan koperasi.
3) Dana cadangan adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa
hasil usaha yang dimaksudkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk
menutup kerugian koperasi bila diperlukan.
108
Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, (Pustaka Margaretha: Jakarta,2012), H. 91
71
4) Donasi atau hibah adalah sejumlah uang atau barang dengan nilai tertentu
yang disumbangkan oleh pihak ketiga, tanpa adanya suatu ikatan atau
kewajiban untuk menggembalikannya.
b. Modal Pinjaman
Koperasi juga bisa memperbesar modalnya dengan meminjam uang
dari luar koperasi dengan memperhatikan kelayakan dan kelangsungan
usahanya. Modal dari luar atau pinjaman bersumber dari :
1) Pinjaman anggota yaitu pinjaman dari anggota atau calon anggota
koperasi yang memenuhi syarat
2) Pinjaman dari koperasi lainnya atau anggotanya yaitu pinjaman yang
didasari penjanjian kerjasama antar koperasi
3) Bank dan Lembaga keuangan lainnya
4) Penerbitan Obligasi dan surat Hutang Lainnya
5) Sumber lainnya yang sah
c. Modal Penyertaan
Pemupukan modal dari modal penyertaan, baik yang bersumber dari
pemerintah maupun dari masyarakat dilaksanakan dalam rangka
memperkuat kegiatan bisnis koperasi terutama bentuknya investasi. Modal
Penyertaan ikut menanggung resiko, pemilik modal penyertaan tidak
memiliki hak suara dalam rapat anggota dan dalam menentukan kebijakan
koperasi secara keseluruhan. Namun pemilik modal penyertaan dapat
72
diikutsertakan dalam pengelolaan dan pengawasan usaha investasi yang
didukung oleh modal penyertaannya sesuai perjanjian yang disepakati. 109
8. Filosofi Koperasi
Sebagai badan hukum, koperasi senantiasa memposisikan semua pihak,
yaitu pengurus, pengawas, dan anggota dalam posisi yang setara. Dengan asas
kekeluargaan semua pihak mempunyai rasa memiliki yang besar terhadap
lembaga koperasi. Pada dasarnya, asas kekeluargaan ini bertujuan untuk
meminimalisasi kekuasaan satu pihak yang dominan dan cenderung
mengeksploitasi pihak lain. Di koperasi, semua pihak diuntungkan karena
mendapat manfaat sesui kontribusi dan partisipasinya.
Koperasi menjadi bagian integral tata perekonomian nasional yang
mampu meminimalisasi kasus yang kerap terjadi di lembaga komersial non-
Koperasi. Gerakan koperasi menjadi dasar pembangunan ekonomi dalam
mencapai kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 1 yang berbunyi ‘Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan’. Bung Hatta mengatakan,
perekonomian Indonesia hndaknya disusun sebagai gerakan bersama
berdasarkan asas kekeluargaan yaitu melalui koperasi. Koperasi harus dijadikan
sebagai soko guru perekonomian Indonesia.
Ada empat alasan mengapa koperasi harus dijadikan soko guru
perekonomian nasional. Pertama, koperasi mendidik masyarakat menjadi
109
Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, Pustaka Margaretha: Jakarta, 2012, h. 90-94
73
mandiri. Kedua, koperasi memiliki sifat kemasyarakatan sehingga kepentingan
umum lebih didahulukan dibandingkan kepentingan golongan. Ketiga, koperasi
berkembang dari budaya asli Indonesia. Keempat, koperasi menentang segala
paham yang berbau individualisme dan kapitalisme.
Dalam menjalankan sistem perekonomian nasional, koperasi tidak saja
mempertahankan melainkan juga menguatkan identitas budaya Indonesia.
Kepribadian bangsa dalam bergotong royong pun akan tumbuh subur. Dengan
demikian, koperasi mampu memupuk kekuatan ekonomi lemah untuk
menghadapi tantangan globalisasi.
B. Koperasi Syariah
1. Definisi
Koperasi syariah berasal dari dua kata, yaitu koperasi dan syariah.
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
usaha Koperasi berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia.110
Dengan demikian, koperasi syariah adalah
koperasi yang menerapkan prinsip hukum Islam dalam kegiatan usaha Koperasi
110
Pasal 1 Ayat 9 Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
74
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia.
Koperasi syariah yang berlandaskan pada pijakan Alquran surat al-
Maidah Ayat (2), yang menganjurkan untuk saling menolong dalam kebaikan
dan melarang sebaliknya, mengandung dua unsur didalamnya, yakni ta’awun
(tolong-menolong) dan syirkah (kerja sama). Kesesuaian dua unsur tersebut
senada dengan prinsip koperasi (konvensional), sehingga koperasi syariah
mudah diterima oleh masyarakat dan menjadi pilihan dalam menunjang
kegiatan ekonomi.
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah yang selanjutnya
disingkat KSPPS adalah Koperasi yang kegiatan usaha simpan, pinjam dan
pembiayaan sesuai prinsip syariah, termasuk mengelola zakat, infak, sedekah,
dan wakaf.111
Pendirian KSPPS dimaksudkan sebagai antitesis dari lembaga
koperasi konvensional. Berbasis sistem bagi hasil yang digadang-gadang lebih
mengakomodasi prinsip keadilan, koperasi syariah telah menjadi sumber
pembiayaan alternatif.
Pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 belum terdapat pengaturan
secara khusus tentang koperasi syariah. Hal ini dikarenakan geliat gerakan
ekonomi Islam yang sebenarnya telah ada sejak tahun 1905 dengan berdirinya
Syarikat Dagang Islam. Karena pengaruh beberapa faktor, gerakan ini tidak
111
Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
75
dapat diwariskan sehingga terjadi kevakuman ekonomi Islam yang cukup lama
di Indonesia. Gerakan ini kemudian muncul kembali pada tahun 1980-an,
ditandai dengan berdirinya Baitutamwil Teknosa di Bandung, kemudian disusul
dengan berdirinya Baituttamwil Ridho Gusti di Jakarta. Namun, seperti para
pendahulunya, gerakan ini tidak dapat bertahan lama kemudian tidak terdengar
gaungnya kembali.
Pada tahun 1992, dengan kemunculan BMT (Baitul Maal Tamwil) Bina
Insan Kamil di Jakarta, perbincangan mengenai koperasi syariah mulai marak.
Hal ini dikarenakan suksesnya BMT Bina Insan Kamil memberikan warna baru
bagi perekonomian, utamanya bagi para pengusaha mikro. Sejak saat itu,
wacana mengenai koperasi syariah mulai mendapatkan perhatian yang cukup
besar di dalam masyarakat.112
Perbedaan-perbedaan koperasi syariah dengan koperasi konvensiaonal
dapat terlihat pada aspek, diantaranya sebagai berikut :
a. Pembiayaan
Koperasi konvensional memberikan bunga pada setiap naabah sebagai
keuntungan koperasi. Sedangkan pada koperasi syariah, bagi hasil adalah
cara yang diambil untuk melayani para nasabahnya.
112
Izzary, https://ikosindo.or.id/sejarah-koperasi-syariah-di-indonesia/diakses 21 Oktober 2018
76
b. Aspek pengawasan
Aspek pengawasan yang diterapkan pada koperasi konvensional
adalah pengawasan kinerja, ini berarti koperasi hanya diawasi kinerja para
pengurus dalam mengelola koperasi.
Berbeda dengan koperasi syariah, selain diawasi pada pengawasan
kinerjanya, tetapi juga pengawasan syariah. Prinsip-prinsip syariah sangat
dijunjung tinggi, maka dari itu kejujuran para intern koperasi sangat
diperhatikan pada pengawasan ini, bukan hanya pengurus, tetapi aliran dana
serta pembagian hasil tidak luput dari pengawasan.
c. Fungsi sebagai lembaga zakat
Koperasi konvesional tidak menjadikan usahanya sebagai penerima
dan penyalur zakat, sedangkan koperasi syariah, zakat dianjurkan bagi para
nasabahnya, karena kopersai ini juga berfungsi sebagai institusi Ziswaf .
2. Tujuan Koperasi Syariah
Tujuan Koperasi Syariah sama seperti koperasi pada umumnya adalah,
meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan
sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Berdasarkan tujuan tersebut, maka
Koperasi Syariah mempunyai fungsi dan peran sebagai berikut:
a. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan anggota pada
khususnya, dan masyarakat pada umumnya, guna meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonominya.
77
b. Memperkuat kualitas sumber daya insani anggota, agar menjadi lebih
amanah, professional (fathonah), konsisten, dan konsekuen (istiqomah) di
dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi islam dan prinsip-prinsip syariah
islam.
c. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional
yang merupakan usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan dan
demokrasi ekonomi.
d. Sebagai mediator antara menyandang dana dengan penggunan dana,
sehingga tercapai optimalisasi pemanfaatan harta.
e. Menguatkan kelompok-kelompok anggota, sehingga mampu bekerjasama
melakukan kontrol terhadap koperasi secara efektif.
f. Mengembangkan dan memperluas kesempatan kerja dan; ketujuh,
menumbuhkankembangkan usaha-usaha produktif anggota.
Tujuan Koperasi Syariah tersebut di atas, sesuai norma dan moral Islam,
sebagaimana yang terdapat dalam Alquran :
ها يأ ا ف نلاس ٱ ي مم رض ٱك وا
ت لأ و ط وا خ يأطن ٱحللا طي باا ول تتبع مأ ۥإنه لش لك بني م و ١٦٨عد
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
dibumi, dan jangalah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena
sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu”. (Q.S Al Baqarah : 168)
ها يأ ين ٱ ي حل ل
طي بت ما أ وا م ر إن لل ٱءامن وا ل ت وا تد مأ ول تعأ ٱلك ب لل ل ي
تدين ٱ عأ أم ٨٧ ل م وك وا ا رزقك و لل ٱمم ا ٱحللا طي با وا ق ٱ ت ي ٱ لل نت م به لمن ون ۦأ ؤأ ٨٨م
78
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya”.
(Q.S AL Maidah : 87-88)”.
ة ٱق ضيت فإذا لو ٱف لص وا رض ٱف نتش ٱو لأ وا تغ ل بأ ٱمن فضأ ٱو لل وا ر ٱ ذأك ا لل كثريا
ون لح مأ ت فأ ١٠لعلك “Apa bila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah dimuka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”
(Q.S Al Jumu’ah : 10)”
Islam menganjurkan untuk melakukan pendistribusian pendapatan dan
kekayaan yang merata sesama anggota berdasarkan kontribusinya. Agama
Islam mentolerir kesenjangan kekayaan dan penghasilan karena manusia tidak
sama dalam hal karakter, kemampuan, kesungguhan dan bakat. Perbedaan
diatas tersebut merupakan penyebab perbedaan dalam pendapatan dan
kekayaan. Anjuran di atas sebenarnya sudah tertuang dalam pasal 5 ayat 1
tentang prinsip koperasi , yaitu prinsip koperasi ke 3 yang berbunyi
“Pembagian Sisa Hasil Usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa
usaha masing-masing anggota”.
79
C. Lembaga Keuangan Mikro
1. Definisi dan Urgensi Lembaga Keuangan Mikro
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM
adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman
atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
pengelolaan simpanan, maupun memberikan jasa konsultasi pengembangan
usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.113
Lembaga Keuangan
Mikro dapat didefinisikan juga sebagai penyedia produk dan/atau jasa seperti
kredit mikro, mikro tabungan, mikro ekuitas, mikro transfer, dan asuransi mikro
secara berkelanjutan untuk orang miskin, marginal, berpenghasilan rendah
dan/atau dikecualikan dari system keuangan formal.
2. Kegiatan Usaha LKM
a. Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala
mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha.
b. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan
Prinsip Syariah.
113
Pasal 1 (Ayat 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
80
c. LKM dapat melakukan kegiatan berbasis fee sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
3. Tujuan LKM:
a. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;
b. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas
masyarakat; dan
c. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama
masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah
4. Kewajiban Memperoleh Izin Usaha LKM
a. Lembaga yang akan menjalankan usaha LKM setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, wajib
memperoleh izin usaha LKM.
b. Permohonan izin usaha sebagai LKM disampaikan kepada Kantor
Regional/Kantor OJK/Direktorat LKM sesuai tempat kedudukan LKM.
5. Bentuk Badan Hukum LKM
a. Koperasi; atau
b. Perseroan Terbatas (sahamnya paling sedikit 60 persen dimiliki oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota atau badan usaha milik desa/kelurahan,
sisa kepemilikan saham PT dapat dimiliki oleh WNI atau koperasi dengan
kepemilikan WNI paling banyak sebesar 20 persen).
81
6. Kepemilikan LKM
LKM hanya dapat dimiliki oleh:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan usaha milik desa/kelurahan;
c. Pemerintah daerah kabupaten/kota; atau
d. Koperasi.
LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak langsung, oleh
warga negara asing atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki
oleh warga negara asing atau badan usaha asing.
7. Luas Cakupan Wilayah Usaha dan Permodalan LKM
a. Luas Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah
desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai dengan skala usaha
masing-masing LKM.
b. Skala usaha LKM yang dimaksud ditetapkan berdasarkan distribusi nasabah
peminjam atau Pembiayaan sebagai berikut:
1) LKM memiliki skala usaha desa/kelurahan apabila memberikan Pinjaman
atau Pembiayaan kepada penduduk di 1 (satu) desa/kelurahan;
2) LKM memiliki skala usaha kecamatan apabila memberikan Pinjaman
atau Pembiayaan kepada penduduk di 2 (dua) desa/kelurahan atau lebih
dalam 1 (satu) wilayah kecamatan yang sama;
82
3) LKM memiliki skala usaha kabupaten/kota apabila memberikan Pinjaman
atau Pembiayaan kepada penduduk di 2 (dua) kecamatan atau lebih dalam
1 (satu) wilayah kabupaten/kota yang sama.
c. Modal LKM terdiri dari modal disetor untuk LKM yang berbadan hukum PT
atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah untuk LKM yang berbadan
hukum Koperasi dengan besaran:
1) Wilayah usaha desa/kelurahan : Rp 50.000.000
2) Wilayah usaha kecamatan : Rp 100.000.000
3) Wilayah usaha kabupaten/kota : Rp 500.000.000
8. Transformasi LKM
LKM wajib bertransformasi menjadi bank perkreditan rakyat atau bank
pembiayaan rakyat syariah jika:
a. Melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota tempat
kedudukan LKM; atau
b. LKM telah memiliki:
1) Ekuitas paling kurang 5 (lima) kali dari persyaratan modal disetor
minimum bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
2) Jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk simpanan yang dihimpun dalam 1
(satu) tahun terakhir paling kurang 25 (dua puluh lima) kali dari
persyaratan modal disetor minimum bank perkreditan rakyat atau bank
83
pembiayaan rakyat syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
9. Laporan Keuangan LKM
a. LKM wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala setiap 4
(empat) bulan untuk periode yang berakhir pada 30 April, 31 Agustus, dan
31 Desember kepada OJK.
b. Penyampaian laporan keuangan dilakukan paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
c. Ketentuan mengenai laporan keuangan LKM diatur dalam surat edaran
OJK.
10. Larangan Bagi LKM
Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang:
a. Menerima Simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran;
b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. Melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;
d. Bertindak sebagai penjamin;
e. Memberi pinjaman atau pembiayaan kepada LKM lain, kecuali dalam
rangka mengatasi kesulitan likuiditas bagi LKM lain dalam wilayah
kabupaten/kota yang sama;
f. Melakukan penyaluran pinjaman atau pembiayaan di luar cakupan wilayah
usaha; atau
84
g. Melakukan usaha di luar kegiatan usaha seperti yang dimaksud dalam Pasal
2 Peraturan OJK Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro.
11. Pembinaan, Pengaturan, dan Pengawasan LKM
a. Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh OJK.
b. Dalam melakukan pembinaan LKM, OJK berkoordinasi dengan
kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian
Dalam Negeri.
c. Pembinaan dan pengawasan LKM didelegasikan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota atau pihak lain yang ditunjuk.
Secara teoritis, perbedaan utama keuangan mikro terhadap keuangan
formal ada pada pendekatan alternatif untuk agunan yang berasal dari
konsep tanggung jawab bersama. Ini terjadi karena orang miskin tidak
memiliki aset untuk jaminan. Produk dan jasa keuangan mikro biasanya
disediakan oleh LKM (Lembaga Keuangan Mikro). Lembaga ini dapat
beroperasi dalam bentuk bank komersial BPR (Bank Perkreditan Rakyat),
Sertifikat Kredit (Credit Union), koperasi, Lembaga Keuangan Nonbank
Lainnya (LKNB) atau Organisasi Non Pemerintah (NGO). LKM setidaknya
harus memiliki tiga hal, yaitu114
:
a) Jasa yang ditawarkan harus relevan dengan kelompok yang menjadi target.
114
J. Morduch, Does Microfinance Really Help The Poor? New Evidence from Flagship
Programs in Bangladeh. New York University: Diakses dari http:/www.nyu.edu/projects/morduch/
documents/1998-Does-MF-really-help-the-poor.pdf., diakses 01 September 2018.
85
b) Kegiatan dan jasa tersebut harus memiliki pegaruh positif terhadap
kehidupan nasabah.
c) LKM harus kuat dan stabil secara keuangan.
Menurut Morduch (1999), LKM setidaknya harus memiliki 3 (tiga) hal.
Pertama, jasa yang ditawarkan harus relevan dengan kelompok yang menjadi
target. Kedua, kegiatan dan jasa tersebut harus memiliki pengaruh positif
terhadap kehidupan nasabah. Dan ketiga, LKM harus kuat dan stabil secara
keuangan. Sementara Fruman dan Isern (1996) dalam studinya merumuskan
bahwa LKM memiliki 7 (tujuh) karakteristik, yaitu vision, financial services
and delivery methods, organizational structure and human resource,
administration and finance management information system, institutional
viability, serta outreach and financial sustainability.
Menurut survey rumah tangga nasional yang digalakkan Bank Dunia
(2010) tentang akses jasa keuangan dunia, hanya ada 60% penduduk Indonesia
yang telah melakkan aktifitas kredit/pinjaman. Dari jumlah tersebut, 17% di
antaranya menggunakan jasa kredit bank, 10% melalui LKM, dan 33% sisanya
mendapatkan pinjaman dari sumber informal seperti teman, keluarga, tetangga,
dan rentenir. Dengan demikian sebanyak 40% warga Indonesia tidak memiliki
akses pinjaman.
Hingga kini jumlah pelaku UMK (Usaha Mikro dan Kecil) telah
mencapai 53,7 juta unit. Artinya market share industri mencapai 99,91% dari
jumlah pelaku usaha di Indonesia. Inilah yang secara signifkan yang
86
mendorong berkembangnya industri keuangan mikro nasional termasuk
keuangan mikro syariah. Dalam hal ini, Baitul Mal wat Tamwil (BMT) bersama
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) manjadi lembaga paling dominan.
Selain menjadi alat pengentas kemiskinan, LKM juga berperan besar
dalam pembangunan sosial ekonomi. Contohnya, ada pada BPR dan LKM
Lainnya yang kini telah melayani pinjaman (kredit/pembiayaan) untuk petani
skala kecil dan pengusaha pedesaan. Mereka dibentuk untuk beroperasi
menggunakan komitmen dan inisiatif mengatur sumber daya lokal melalui
prosedur dan kriteria kelayakan yang disederhanakan.
Membuka akses pembiayaan melalui LKM beberapa waktu terakhir
menjadi perhatian dan strategi yang dipilih, khususnya oleh Negara-negara
berkembang dalam program pengentasan kemiskinan. Artinya LKM dipandang
sebagai instrumen penting dari program keuangan inklusif yang bertujuan
membuka akses keuangan bagi masyarakat miskin dan UMK. LKM dihadapkan
pada berbagai tantangan dan hambatan seperti infrastruktur yang tidak lengkap,
pengaturan dan pengawasan yang belum mapan, kompetensi sumberdaya yang
rendah, dan kapasitas industry yang terbatas (Sarap, 2014).
Menyadari peranan penting LKM non-Bank dan non-Koperasi,
pemerintah membuat kebijakan untuk mendorong legalitas badan hukum LKM
tersebut melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) : Menteri Keuangan, Menteri
Koperasi dan UKM, Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Bank Indonesia pada
tahun 2009. LKM yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
87
Menteri dan Gubernur Bank Indonesia tentang Strategi Pengembangan
Lembaga Keuangan Mikro ini di antaranya Lembaga Keuangan Mikro yang
belum berbadan hukum, dibentuk atas inisiatif pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masayarakat seperti Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP),
Badan Kredit Desa (BKD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Lumbung
Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Kelompok Program
Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Badan Keswadayaan
Masyarakat (BKM), PNPM Mandiri Perkotaan, Kelompok Pengembangan
Ekonomi Masyarakat Pesisisr (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK), PNPM
Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera
(UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD), Kelompok Tani
Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam
Berbasis Masyarakat (LSPBM), Baitul Mal wat Tamwil (BMT), dan/atau
lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu.115
Dalam SKB diamanatkan bahwa LKM yang belum berbadan hukum agar
bertransformasi menjadi badan hukum koperasi atau menjadi bank dengan
badan hukum Perseroan Terbatas, atau menjadi BUMD (Badan Usaha Milik
Desa), Lembaga Modal Ventura, atau lembaga keuangan lainnya sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku.
115
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri dan Gubernur Bank Indonesia Nomor
351.1/KMK.010/2009, 900-639A Tahun 2009, 01/SKB/M.KUKM/IX/2009, 11/43A/KEP.GBI/2009
Tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro, h.4
88
D. Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Definisi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sesuai dengan Undang-Undang
No. 1 tahun 2013 adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk
memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik
melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan
masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha yang tidak sematamata mencari keuntungan.
Pengertian Lembaga Keuangan Mikro Syariah tidak memiliki banyak
perbedaan dengan Lembaga Keuangan Mikro Konvensional, hanya saja dalam
Lembaga Keuangan Mikro Syariah memiliki prinsip yang tidak sama dengan
Lembaga Keuangan Mikro Konvensional yaitu prinsip hukum Islam dalam
kegiatan usahanya berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.116
Menurut Aslichan (2009), terdapat perbedaan mendasar antara LKM
Konvensional dengan LKM Syariah yaitu
a. LKM Syariah menerapkan sistem bagi hasil dengan nasabahnya dan tidak
menerapkan segala bentuk transaksi pinjam meminjam uang yang dikenakan
bunga.
116
Triana Sofiani, Konstruksi Norma Hukum Koperasi Syariah Dalam Kerangka Sistem
Hukum Koperasi Nasional
89
b. Hubungan partisipasi dalam menanggung risiko dan menerima hasil dari suatu
perjanjian bisnis merupakan hubungan antara LKM Syariah dengan nasabahnya
tidak berdasarkan hubungan debitur-kreditur.
c. LKM Syariah memisahkan kedua jenis pendanaan supaya dapat dibedakan
antara hasil yang diperoleh dari dana sendiri dengan hasil yang diperoleh dari
dana simpanan yang diterimanya atas dasar prinsip bagi hasil.
d. LKM Syariah memberikan layanan atas dasar kemitraan seperti mudharabah
dan musyarakah, atas dasar jual beli (murabahah) atau atas dasar sewa (ijarah)
dan tidak memberikan layanan pinjaman dengan bunga dalam bentuk uang
tunai
e. LKM Syariah merupakan lembaga keuangan multiguna karena berperan
sebagai LKM komersial, LKM investasi dan pembagunan
f. LKM Syariah bekerja di bawah pengawasan Pengawas Syariah.
Pada praktiknya, lembaga keuangan mikro syariah tidak hanya fokus pada
kaidah Hukum Islam (syariah) dalam aktivitas ekonomi, tetapi juga harus
mengakomodasi nilai-nilai moral Islam yang melekat pada aktivitas ekonomi.
Beberapa nilai (values) Islami adalah sikap kepedulian, kepekaan terhadap kondisi
kemiskinan yang disertai dengan kemauan untuk berbagi serta mencari ideide
kreatif di dalam mencari solusi terhadap masalah kemiskinan tersebut. Nilai-nilai
90
tersebut sangat selaras dengan semangat yang mendasari lahirnya Lembaga
Keuangan Mikro yang berbasis syariah (LKMS). 117
Beberapa faktor yang menentukan warna dan posisi lembaga keuangan
mikro syariah, yaitu:
a. Prinsip syariah yang teraplikasi pada produk dan akad syariah seperti bentuk
syirkah, prinsip saling membantu (ta’awun) dan akad bagi hasil, sangat
sesuai dengan kondisi masyarakat miskin dan usaha mikro-kecil.
b. Praktik keuangan syariah memiliki kelebihan pada nilai-nilai moral Islam
yang menuntut untuk mengutamakan masyarakat duafa atau masyarakat
kecil yang tidak beruntung secara ekonomi
c. Praktik keuangan mikro syariah melengkapi keberadaan lembaga keuangan
syariah dalam melayani kebutuhan jasa keuangan, dari kelompok masyarakat
miskin sampai dengan kelompok usaha besar.
d. Keberadaan praktik keuangan mikro syariah sesuai dengan struktur usaha
dalam perekonomian negara-negara muslim yang mayoritas berstatus
sebagai negara berkembang, dimana kelompok usaha mikro-kecil cukup
dominan dan kemiskinan masih menjadi masalah utama perekonomian.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Koperasi Simpan Pinjam
Pembiayaan Syariah (KSPPS) atau Baitul Maal wa Tamwil (BMT), sering pula
disebut Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang
117
Darsono, dkk, Memberdayakan Keuangan Mikro Syariah Indonesia, Jakarta: Tazkia
Publisihing-Bank Indonesia, 2017, h. 98
91
dioperasikan berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana LKM lainnya, tujuan
utama lembaga ini adalah menyediakan permodalan bagi masyarakat yang
melakukan usaha mikro dan kecil yang jumlahnya sangat banyak tetapi kesulitan
mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan formal seperti bank.
Aturan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) sama seperti Lembaga
Keuangan Mikro Biasa yang diatur dalam Undang-undang no 1 tahun 2013
tentang lembaga keuangan mikro. Menuru undang-undang tersebut LKM atau
LKMS harus memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelum
menjalankan kegiatan Usahanya.
E. Baitul Mal wat Tamwil
Istilah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) berasal dari dua kata, yaitu Baitul Mal
dan Baitut Tamwil. Istilah baitul mal berasal dari kata bait dan al maal. Bait
artinya bangunan atau rumah, sedangkan al mal adalah harta benda atau kekayaan.
Baitul Mal adalah lembaga keuangan yang berorientasi sosial keagamaan yang
kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat,
infaq dan shadaqah (ZIS), sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al
Quran dan Hadits.118
Oleh karena berorientasi sosial keagamaan maka lembaga
tersebut tidak dapat untuk kepentingan bisnis (profit oriented).
Sedangkan Baitut Tamwil, secara harfiah Bait adalah rumah dan At-Tamwil
adalah pengembangan harta. Jadi, Baitul Tamwil adalah suatu lembaga yang
118
Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, UII Press,
Yogyakarta,
2002, h. 54
92
melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
meningkatkan kesejahteraan pengusaha mikro melalui kegiatan pembiayaan dan
menabung (berinvestasi).119
Dengan demikian BMT merupakan lembaga keuangan yang menghimpun
dan menyalurkan dana dari dan kepada anggota yang berorientasi sosial dan
pemberdayaan sekaligus keuntungan sesuai dengan prinsip syariah.
Secara praktis, BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang
operasionalisasinya berbasis syariah, khususnya yang menyangkut bidang akad
transaksinya berbasis syariah sebagai lembaga keuangan mikro syariah (LKMS).
Untuk itu, BMT juga termasuk pada LKMS.120
Secara faktual, BMT kemudian berkembang sebagai salah satu lembaga
keuangan mikro (LKM) yang penting di Indonesia, baik dilihat dari kinerja
keuangan maupun jumlah masyarakat yang bisa dilayaninya. Segala kelebihan
yang biasa dimiliki oleh LKM pun menjadi karakter BMT. Salah satunya,
sebagaimana banyak diketahui, LKM lebih tahan terhadap goncangan
perekonomian akibat faktor eksternal Indonesia. Sementara itu, pengalaman krisis
1998 menunjukkan bahwa perbankan syariah memiliki daya tahan terhadap krisis
dibanding yang konvensional, karena beroperasi atas dasar prinsip syariah.
119
Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, UII Press,
Yogyakarta, 2002, h. 55 120
Euis Amalia, Keuangan Mikro Syariah, Jakarta: Gramata Publishing, 2016, h. 21
93
Sedangkan BMT sendiri beroperasi sangat mirip dengan perbankan syariah,
kecuali dalam soal teknis terkait yang dilayani adalah nasabah mikro dan kecil.121
Menurut Affendi Anwar122
- Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Pedesaan PPs IPB, dalam makalah seminarnya, bahwa apabila kegiatan
operasional BMT dipandang sebagai suatu bentuk perantara keuangan dan
memberikan jasa-jasa keuangan, maka hal ini berarti BMT telah menjalankan
kegiatan usahanya sebagai suatu sistem/organisasi keuangan. Oleh karena itu BMT
juga harus tunduk pada kaidah-kaidah sistem “pasar keuangan” secara umum
dengan sifat-sifatnya yang bergantung kepada keadaan kontekstual persoalan
daerah operasionalnya, yaitu di kawasan kota kecamatan atau wilayah pedesaan.
Sebagian besar BMT memiliki dua latar belakang pendirian dan kegiatan
yang hampir sama kuat, yakni sebagai lembaga keuangan mikro dan sebagai
lembaga keuangan syariah. Identifikasi tentang ikhwal demikian sudah bisa
dilakukan atas BMT-BMT perintis, yang beroperasi pada tahun 1980-an dan awal
tahun 1990-an. Eksistensinya memang belum cukup diketahui secara luas oleh
masyarakat, karena masih melayani kelompok masyarakat yang relatif homogen.
Selain cakupan geografis yang amat terbatas, dampak ekonomis dari kegiatannya
pun terbilang masih amat minimal. Bagaimanapun, ciri dan latar belakang
dimaksud sudah tercermin secara cukup jelas. Fenomena kehadirannya secara
bersama-sama telah mulai dikenal sebagai gerakan BMT.
121
Perhimpunan BMT Indonesia, Haluan BMT 2020, Jakarta, 2010, h. 4. 122
Affendi Anwar, Program Kredit Mikro dengan Pola Grameen Bank dan Baitul Mal Wat
Tamwil, Makalah Seminar, Jakarta, 2017
94
Perkembangan pesat dimulai sejak tahun 1995, dan memperoleh
“momentum” tambahan akibat krisis ekonomi 1997/1998. Sekarang bisa dikatakan
bahwa masyarakat luas telah cukup mengetahui tentang keberadaan BMT. Ada
sekitar 3.900 BMT yang beroperasi di Indonesia pada akhir tahun 2010 dan saat
ini jumlah BMT sudah lebih dari 5.500.123
Beberapa diantaranya memiliki kantor
pelayanan lebih dari satu. Jika ditambah dengan perhitungan faktor mobilitas yang
tinggi dari para pengelola untuk mendatangi lokasi usaha para anggota,
memberikan layanan di luar kantor, maka sosialisasi keberadaannya telah bersifat
masif. Wilayah operasional pun kini sudah mencakup daerah perdesaan dan daerah
perkotaan, di pulau Jawa dan luar Jawa.
BMT memang dirancang sebagai lembaga ekonomi sejak awal pendiriannya.
Secara lebih khusus adalah sebagai lembaga ekonomi rakyat, yang secara konsepsi
dan secara nyata memang lebih fokus kepada masyarakat bawah, yang miskin dan
nyaris miskin (poor and near poor). Bantuan direncanakan akan diprioritaskan
pada upaya pengembangan usaha mikro dan usaha kecil, terutama melalui
kerjasama permodalan. Untuk melancarkan usaha tersebut, yang biasa dikenal
dengan istilah pembiayaan (financiing) dalam khasanah keuangan modern, maka
ada pula upaya menghimpun dana, yang terutama sekali berasal dari masyarakat
lokal di sekitarnya. Dengan kata lain, BMT pada prinsipnya berupaya
mengorganisasi usaha saling tolong menolong antar warga masyarakat suatu
123
Nourma Dewi, Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dalam Sistem
Prekeonomian Indonesia, Jurnal Serambi Hukum Vol. 11 No. 01 Februari - Juli 2017, h. 98.
95
wilayah (komunitas) dalam masalah ekonomi. Sejak awal, hampir seluruh BMT
memiliki bentuk koperasi sebagai organisasi dan kemudian badan hukumnya. Hal
itu dikarenakan konsep koperasi sudah dikenal luas oleh masyarakat dan bisa
memberi status legal formal yang dibutuhkan. Ada pula BMT yang semula hanya
bersifat organisasi kemasyarakatan informal, atau semacam paguyuban dari
komunitas lokal.
1. Fungsi Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
Secara konseptual, fungsi BMT ada dua, yaitu :
(1) Baitul Maal (Bait = rumah, Maal = Harta)- yaitu menerima titipan dana
zakat, infak dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan
pengelolaan berdasarkan prinsip syariah.
(2) Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at-Tamwil = Pembiayaan) – yaitu melakukan
kegiatan pembiayaan untuk pengembangan usaha produktif dan investasi
untuk meningkatkan kualitas ekonomi pelaku UKM, terutama dengan
mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan
ekonominya.
Seiring perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul maal pun
berubah tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta melainkan juga
mengelolanya agar lebih produktif. Penerimaannya pun tidak terbatas pada
zakat, infak, dan sedekah, tetapi juga pembangunan fasilitas umum dan
kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Oleh sebab itu, BMT dapat dikatakan sebagai
salah satu lembaga keuangan di Indonesia. Dengan adanya BMT, maka
96
Indonesia memiliki lembaga keuangan yang cukup variatif dan mampu
menyasar semua segmen masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan
ekonominya. Lembaga keuangan nasional yang ada, mampu melayani mulai
dari kelompok masyarakat poorest of the poor, kelompok masyarakat UMK,
sampai kelompok masyarakat usaha besar.
Tabel 2
Lembaga Keuangan dan Sasaran Masyarakat Usaha
Market Segments Fund Suppliers
Big +- 4,370 (0,01%) -Capital Market - Banking :Commercial Bank -Other Sources
Medium +- 39,660
(0,08%)
-Banking Commercial Bank & IRBs (Med 30,91%, Sm 32,34%,
Mi 36,75%)
Small +- 520,220 (1,01%) -Banking :IRBs -Financial Institutions : BMTs, Pawnshop
Miskin
-Social Institutions : Zakat Fund Institutions Fakir Miskin
BMT cenderung menyasar masyarakat yang feasible secara ekonomi.
Namun dalam menjalankan fungsinya, lembaga keuangan seperti BMT, BPRS
dan Bank syariah akan saling kerjasama. Hal ini terlihat dalam hubungan
kerjasama (Linkage), baik pada aspek pembiayaan maupun pendanaan. 124
124
Obaidullah, Mohammed, Role of Microfinance in Poverty Alleviation : lessons from
experiences in selected IDB member countries, Islamic research & Training Institute (IRTI) – IDB,
2008, h. 54-55.
97
Permodalan BMT berasal dari masyarakat umum, sedangkan modal
BPRS berasal dari pemegang saham tertentu (tokoh masyarakat atau komisaris
BMT itu sendiri). Modal BMT rata-rata di bawah Rp. 100 Juta,125
sedangkan
modal BPRS Rp2 miliar. Pendekatan BMT kepada nasabah lebih kekeluargaan
karena lebih kepada pola pembinaan dan keterbukaan sedangkan BPRS lebih
bersifat prosedural. Karena pola prosedur BMT belum mengikat dalam aturan
dan ketetapan, maka ruang gerak pemberdayaan UMK semakin kecil. Oleh
sebab itu, untuk mengembangkan modal usaha pembiayaan, BMT dapat bekerja
sama dengan BPRS dengan pertimbangan bahwa : (1) Market share usaha
BRPS sama dengan BMT, (2) proses linkage program BPRS lebih mudah dan
tidak begitu Bankable, seperti tidak perlu agunan (jaminan) dan prosesnya lebih
cepat meskipun share nisbahnya masih cukup besar dibandingkan bank syariah
akibat transaction cost.
125
Ketetapan Menkop Rp. 15-20 juta untuk tingkat DKI Jakarta (provinsi), dan Rp. 50-100 Juta
untuk tingkat nasional. (sebelum peraturan Menkop dan UKM RI no. 16/per/M.KUKM/IX 2015 modal
BMT menjadi : cakupan kabupaten, Rp. 15.000.000,cakupan provinsi Rp. 75.000.000, dan cakupan
nasional Rp. 375.000.000
98
BAB IV
KEPASTIAN HUKUM BAITUL MAL WAT TAMWIL
TERHADAP REGULASI
Upaya pemberdayaan ekonomi atau peningkatan akses keuangan bagi Usaha
Menengah dan Kecil (UMK) melalui Lembaga Keuangan Mikro termasuk BMT,
mulai mendapat perhatian pemerintah. Perhatian itu antaralain dengan penyediaan
landasan hukum bagi beroperasinya lembaga – lembaga tersebut. BMT saat ini dapat
dikatakan highly regulated sehingga berpotensi terjadi dispute mengingat terdapat
beberapa landasan hukum yang harus dirujuk.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, undang-undang yang terkait keberadaan
BMT di antaranya ialah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro (LKM). Selain berhubungan dengan kedua Undang-undang
tersebut, maka Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) juga perlu diperhatikan BMT, mengingat dalam Undang-undang
LKM mengaitkan LKM termasuk BMT dengan OJK. Perlu diperhatikan bahwa
Undang-undang Perkoperasian mengatur tentang Badan Hukum, sedangkan Undang-
99
undang LKM mengatur tentang kegiatan Usaha. Jadi, jika BMT berbadan hukum
koperasi melakukan kegiatan usaha LKM, maka harus patuh pada keduanya.126
A. Implementasi Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Dan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2017
Seiring dengan perkembangannya dimana jangkauan operasi BMT semakin
luas dan dana yang dikelola semakin besar serta pelayanannya tidak lagi terbatas
pada komunitas tertentu, maka BMT yang awalnya dikelola sebagai kelompok
swadaya masyarakat (KSM) ini akhirnya dituntut berbadan hukum. Dengan
mempertimbangkan berbagai hsal yang berkembang, badan hukum yang relevan
dari sisi model bisnis maupun budaya local Indonesia adalah Koperasi. 127
Kegiatan
usaha BMT mulai diakomodasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM RI melalui
Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 Tentang
Pelaksanaan Usaha Kegiatan Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh
Koperasi. Hal tersebut dapat dilihat pada Bab VII Pelaksanaan Kegiatan Koperasi
Bagian Kesatu Tentang Kegiatan Usaha Koperasi Pasal 19 Ayat (4) yang berbunyi:
“Koperasi yang melaksanakan kegiaan usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah wajib memiliki unit kegiatan sosial (Maal) dan unit kegiatan usaha
bisnis (Tamwil).”
Dengan berbadan hukum koperasi ini BMT harus menyesuaikan dengan
berbagai regulasi perkoperasian. Secara operasional bersandar pada Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Dalam hal ini regulator dan
126
Hasil wawancara dengan Bpk. Untung Tribasuki, Deputi Kelembagaan Kementerian
Koperasi dan UKM, 4 Oktober 2018. 127
Aziz, Noor, Koperasi Syariah akan diatur UU Koperasi (Dalam Replubika, 28 Febuari
2008).
100
pengawasannya dilakukan oleh Kementerian Koperasi. Beberapa masalah mulai
muncul ketika secara factual operasional BMT tidak sepenuhnya dan serta merta
dapat mengikuti regulasi perkoperasian. Hal ini bukan dikarenakan BMT tidak
dapat diupgrade menjadi bentuk koperasi, namun disebabkan oleh : karakter BMT
sebagai lembaga keuangan mikro syariah dengan produk-produk yang khas, dan
pola hubungan yang telah dikembangan antara BMT dengan masyarakat.
Penulis membagi menjadi 7 point yang diteliti dari implementasi Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan Peraturan Menteri
Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Usaha Kegiatan Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi Yaitu Aspek Legalitas,Posisi
Keanggotaan BMT, Posisi Modal Penyertaan, Simpanan Pokok, Simpanan
Sukarela dan SHU, Peran dan Fungsi DPS, Kesehatan Koperasi dan Audit laporan.
Untuk menggali 7 hal tersebut, penulis melakukan wawancara dengan 3 Baitul
Maal Wat Tamwil di Kota Tangerang Selatan yaitu BMT UMJ, BMT Al Jibal dan
BMT Syahida Uin SYarif Hidayatullah. Kepada ketiga BMT tersebut Penulis
menanyakan bagaimana implementasi Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian dan Peraturan Menteri Koperasi No 11 Tahun 2017 khususnya
mengenai 7 point di atas kepada ketiga BMT tersebut. Berikut adalah hasil dari
Wawancara dan telaah laporan tahunan 3 BMT di atas:
101
1. Aspek Legalitas
Aspek legalitas disini adalah tentang perizinan yang harus dipenuhi oleh
BMT untuk menunjang kegiatan usahanya. Legalitas utama bagi Baitul Maal
Wat Tamwil adalah Badan Hukum. Menurut pasal 9 Undang-undang Nomor 25
Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang berisi sebagai berikut :
“Koperasi memperoleh status badan hokum setelah akta pendiriannya
disahkan oleh pemerintah”
Pada Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Perizinan Usaha Simpan
Pinjam Koperasi pasal 3 ayat 1 yaitu :
“(1) Bentuk perizinan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. Izin Usaha;
b. Izin Operasional”
Izin Operasional adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk
dan atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota setelah koperasi
mendapatkan Izin Usaha dan untuk melakukan kegiatan operasional dengan
memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen. Sedangkan izin usaha adalah izin
yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, gubernur,
atau bupati/wali kota setelah koperasi melakukan pendaftaran dan untuk
memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan operasional
102
dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen. Penerbitan ijin usaha
ditetapkan sebagai berikut128
:
a. Bupati/Walikota menerbitkan ijin usaha KSPPS/USPPS Koperasi yang
wilayah keanggotaannya dalam 1 (satu) daerah Kabupaten/Kota;
b. Gubernur menerbitkan ijin usaha KSPPS/USPPS Koperasi yang wilayah
keanggotaannya lintas daerah Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) daerah
Provinsi;
c. Menteri menerbitkan ijin usaha KSPPS/USPPS Koperasi yang wilayah
keanggotaannya lintas daerah Provinsi.
Berikut adalah hasil dari wawancara dan telaah penulis dengan 3 BMT
yang menjadi objek penelitian penulis:
a. KSU BMT UMJ
KSU BMT UMJ memperoleh status badan hukum sebagai Koperasi
serba usaha dengan nomor akta badan hukum
No.770/BH/MENEG/.I/VI/2008 yang diterbitkan pada hari jumat 6 Juni
2007 oleh Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM RI.
Namun berdasarkan laporan kepengawasan TB 2017 KSU BMT UMJ belum
memiliki ijin operasional dari Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangerang
Selatan. Seharusnya jika mengacu pada Peraturan Menteri Koperasi Dan
128
Pasal 6 (Ayat) 4 Peraturan Menteri Koperasi dan UKM RI Nomor
11/PER/M.UKUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan
oleh Koperasi.
103
Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2018
Tentang Perizinan Usaha Simpan Pinjam Koperasi pasal 3 ayat 1 yaitu :
“(1) Bentuk perizinan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. Izin Usaha;
b. Izin Operasional”
Dalam hal ini KSU BMT UMJ belum memiliki izin operasional yang
dikeluarkan oleh Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangerang Selatan.
Padahal KSU BMT UMJ sudah berdiri dan berbadan hukum sejak tahun
2008. Dalam laporan kepengawasan TB 2017 KSU BMT UMJ pengawas
juga mengatakan bahwa KSU BMT UMJ belum memiliki ijin simpan
pinjam padahal menurut Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 tahun 2017
tentang penyelenggaraan kegiatan usaha Simpan Pinjam Syariah bahwa
KSPPS atau USPPS pasal 6 berbunyi bahwa :
“KSPPS atau USPPS Koperasi wajib memiliki izin usaha simpan pinjam
dan pembiayaan syariah”
KSU BMT UMJ sejak berdirinya melakukan kegiatan Simpan Pinjam,
namun sampai sekarang belum memiliki ijin simpan pinjam dari dinas
terkait. Hal ini berisiko karena dapat dikatakan KSU BMT UMJ melakukan
kegiatan Simpan pinjam dan pembiayaan syariah secara illegal.
104
b. KSU BMT AL JIBAAL
KSU BMT Al Jibaal memperoleh status badan hukum sebagai
Koperasi serba usaha dengan nomor akta badan hukum
No.243/BH/KDK.10.4/XII/1998 pada tanggal 9 Desember 1998 disahkan
dan terdaftar di Dinas Koperasi Kabupaten Tangerang.
c. KSPPS BMT SYAHIDA IKAL UIN
KSPPS BMT Syahida telah memiliki seluruh legalitas yang harus
dipenuhi menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian dan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh
Koperasi pasal 3 ayat 1 yaitu :
“(1) Bentuk perizinan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. Izin Usaha;
b. Izin Operasional”
BMT Syahida memiliki Izin operasional dari Dinas Koperasi dan UKM
Kota Tangerang Selatan dan Izin Simpan pinjam namun masih yang berstatus
KJKS untuk izin KSPPS masih dalam proses pengurusan. Aspek legalitas
menjadi sangat penting karena menjadi jaminan keamanan bagi anggota untuk
memanfaatkan produk pembiayaan dari BMT Syahida.
2. Posisi Keanggotaan BMT
Menurut Deputi Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM RI, Bapak
Untung Tribasuki, bagi lembaga keuangan berbadan hukum koperasi, member
based adalah harga mati karena hal tersebut yang menjadi pembeda antara badan
105
hukum koperasi dengan badan hukum lainya. Namun BMT sepertinya memiliki
kebijakan sendiri mengenai keanggotaan sejak pertama BMT Berdiri. Dalam
BMT dikenal istilah anggota pendiri yang merupakan anggota inti yang akan
sangat bertanggung jawab pada maju mundurnya BMT karena memiliki andil
dalam membentuk BMT dan rasa memilikinya yang tinggi.129
Ini yang menjadi
titik beda dengan koperasi lainnya dimana keanggotaan koperasi menurut
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 17 ayat 1
yang berbunyi :
“Anggota Koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa Koperasi.”
Dan pasal 19 ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap Anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap Koperasi
sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar .”
Jadi menurut Undang-undang di atas istilah anggota pendiri yang
memiliki hak dan kewajiban lebih dari anggota lain tidak ada dalam koperasi.
Karena dalam koperasi baik anggota yang mendirikan koperasi atau yang baru
daftar memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam koperasi yaitu sebagai
pemilik dan pengguna jasa dalam koperasi tersebut.
Berikut adalah hasil dari wawancara dan telaah penulis dengan 3 BMT
yang menjadi objek penelitian penulis:
129
Baihaqi Abdul madjid, Pedoman, Pendirian, Pembinaan dan Pengawasan LKM BMT,
Jakarta: LAZNAS BMT. 2007, h. 18.
106
a. KSU BMT UMJ
KSU BMT UMJ berdasarkan laporan tahunan TB 2017 memiliki 141
anggota, dengan melayani lebih dari 1800 orang yang belum menjadi
anggota atau calon anggota .Kesulitan melakukan upaya merekrut calon
anggota menjadi anggota. Anggota KSU BMT UMJ terdiri dari dosen,
Karyawan, Mahasiswa UMJ dan Masyarakat Umum. Di KSU BMT UMJ
dikenal dua istilah yaitu anggota dan mitra funding KSU BMT UMJ dimana
jumlah mitra funding (calon anggota/nasabah) berjumlah 1842 orang.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Direktur KSU BMT
UMJ bapak Muktiar mengatakan sampai hari ini kendala yang dihadapi oleh
KSU BMT UMJ dalam mengimplementasikan Undang-undang Nomor 25
Tahun 1992 dan Peraturan Menter Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang
Tata Kelola Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah yaitu masalah
keanggotaan. Dimana menurut Pasal 44 Ayat 1 Point 1 Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
“Pasal 44 (1) Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkan melalui
kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk;
a. anggota Koperasi yang bersngkutan;
b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.”
Menurut pasal di atas Koperasi Hanya dapat menghimpun dana dan
menyalurkan melalui kegiatan usha simpan pinjam dari dan untuk anggota
koperasi, koperasi lain dana tau anggotanya, jadi koperasi yang bergerak di
simpan pinjam tidak boleh melakukan penghimpunan dan penyaluran dana
107
kepada non anggota koperasi. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Menteri
Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor
:11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi Pasal 19 Ayat 5 Ruang
lingkup kegiatan usaha KSPPS dan USPPS Koperasi meliputi:
a. Menyelenggarakan kegiatan maal untuk pemberdayaan Anggota dan
masyarakat di bidang sosial dan ekonomi;
b. Menghimpun simpanan berjangka dan tabungan Koperasi dari Anggota,
Calon Anggota, Koperasi lain dan/atau Anggotanya berdasarkan akad
Wadiah atau Mudharabah;
c. Menyalurkan pinjaman kepada Anggota, Calon Anggota, Koperasi lain
dan/atau Anggotanya berdasarkan akad Qardh;
d. Menyalurkan pembiayaan Anggota, Calon Anggota, Koperasi lain
dan/atau Anggotanya berdasarkan akad Murabahah, Salam, Istishna,
Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bittamlik, Ijarah
Maushufah Fi Zimmah, Musyarokah Mutanaqishoh, Ju’alah, Wakalah,
Kafalah, Hawalah dan Rahn, atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan syariah;
Dan ayat 7 yang berbunyi sebagai berikut :
“Calon Anggota Koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dalam
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan wajib menjadi Anggota Koperasi.”
Jadi berdasarkan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017
Koperasi yang kegiatan usahanya simpan pinjam hanya boleh melayani
calon anggota maksimal selama 3 bulan , setelah itu Koperasi tersebut harus
melakukan upaya untuk menjadikan calon anggota tersebut untuk menjadi
anggota Koperasi. Hal ini yang menurut bapak Muktiar menjadi kendala
besar yang dihadapi oleh KSU BMT UMJ dimana ada kurang lebih 1800
calon anggota yang dilayani dan menikmati fasilitas KSU BMT UMJ namun
108
hanya kurang lebih 150 orang yang menjadi anggota Koperasi. Yang
menjadi kendalanya adalah keengganan calon anggota untuk menjadi
anggota salah satunya dalam pembayaran simpanan pokok dan simpanan
wajib. Oleh sebab itu KSU BMT UMJ melalukan pemotongan langsung dari
Tabungan calon anggota yang berminat menjadi anggota untuk pembayaran
simpanan pokok dan wajibnya. Permasalahan literasi koperasi menjadi salah
satu penyebab sulitnya mengajak calon anggota untuk menjadi anggota
koperasi.
b. KSU BMT AL JIBAAL
KSU BMT AL Jibaal Sudah berdiri sejak tahun 1998 dimana di
inisiasi melalui program pendampingan dari PINBUK. Menurut Manager
Umum KSU BMT AL Jibaal Bapak Abdul Biya mengatakan bahwa dalam
BMT masih dikenal istilah anggota pendiri, dimana anggota pendiri adalah
anggota pendiri yang memiliki hak dan kewajiban lebih dari anggota lain
sehingga KSU BMT Al Jibaal membagi menjadi dua anggota yaitu anggota
pendiri dengan anggota yang dilayani.
Menurutnya, ada kekhawatiran ketika keanggotaan dibuka secara
terbuka manajemen BMT bisa terpengaruh karena dengan kedudukan yang
sama antar anggota dalam koperasi baik anggota yang mendirikan maupun
anggota baru berhak untuk terlibat menjadi manajemen sehingga ditakutkan
anggota baru yang belum memiliki pengetahuan perkoperasian, dan
pengalaman manajerial bisa mempengaruhi performa BMT tersebut. Sejak
109
tahun 2012 KSU BMT Al Jibaal sudah merubah pola keanggotaan dari
tertutup dimana hanya anggota pendiri yang memiliki kehendak untuk
mengambil keputusan menjadi terbuka bagi seluruh anggota baik yang
pendiri maupun anggota lama mempunya kehendak dan hak yang sama
dalam turut serta mengambil keputusan dalam BMT. Sampai saat ini jumlah
anggota KSU BMT Al Jibaal pertahun buku 2017 kurang lebih 400 orang
yang terdiri dari masyarakat umum yang tinggal di daerah Cireundeu,
Ciputat Kota Tangerang Selatan.
c. KSPPS BMT SYAHIDA
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Manajer KSPPS BMT
Syahida bapak Boni Faisal mengatakan sampai hari ini kendala yang
dihadapi oleh KSPPS BMT SYahida dalam mengimplementasikan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1992 dan Peraturan Menter Koperasi Nomor 11
Tahun 2017 Tentang Tata Kelola Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah yaitu masalah keanggotaan. Menurut Bapak Boni istilah dari, oleh
dan untuk anggota menjadi salah satu hal yang menyulitkan BMT dalam
mengembangkan usahanya. Karena dalam koperasi setiap anggota memiliki
hak dan kewajiban yang sama yaitu sebagai pemilik dan pengguna jasa.
Sebagaimana isi dari Pasal 17 ayat satu dan pasal 19 ayat 4 Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.
110
Pasal 17 Ayat (1) :
Anggota Koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa Koperasi.
Pasal 19 Ayat (4) :
Setiap Anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap
Koperasi sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar.
Menurut Bapak Boni Faisal, konsep one man one vote dalam koperasi
menyulitkan BMT karena BMT harus menghadirkan seluruh Anggotanya
dalam Rapat Anggota Tahunan, dan anggota berhak memiliki satu suara
untuk turut serta Dalam mengambil keputusan di rapat anggota. Dalam BMT
dikenal istilah Anggota Pendiri yaitu anggota utama yang menginisiasi
berdirinya BMT dan yang memiliki wewenang penuh atas segala keputusan
untuk kemajuan BMT. Dalam koperasi tidak perbedaan perilaku antara
anggota yang mendirikan dengan anggota yang baru masuk. Seharusnya
menurut bapak Boni Faisal anggota pendiri itu seperti pemegang saham di
Perseroan Terbatas dan anggota baru itu seperti nasabah di bank yang tidak
memiliki hak suara. Permasalahan anggota ini yang membuat BMT seakan
memberikan keanggotaan semu bagi masyarakat yang ingin menikmati
fasilitas atau produk dari BMT Syahida dengan cara memotong langsung
dari tabungan anggota untuk simpanan pokok dan simpanan wajib anggota
dengan orang tersebut tanpa sadar bahwa telah menjadi anggota di KSPPS
BMT Syahida. Sebenarnya KSPPS BMT Syahida tidak ingin melakukan hal
tersebut namun demi melaksanakan isi dari Undang-undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian maka hal ini terpaksa dilakukan.
111
Di KSPPS BMT Syahida keanggotaan di bagi menjadi dua yaitu
anggota Pendiri yang merupakan Anggota Ikatan Alumni Uin Syarief
Hidayatullah Jakarta dan anggota yang dilayani yaitu masyarakat umum
yang memanfaatkan fasilitas dan produk dari KSPPS BMT Syahida. Dalam
Wawancara dengan Bapak Boni Faisal, beliau tidak menyebutkan secara
terperinci jumlah dari anggota KSPPS BMT Syahida. Namun Penulis
menemukan hal menarik yang menjadi nilai lebih dari KSPPS BMT Syahida
yaitu Pola menangani Resiko anggota yang memanfaat Produk Pembiayaan
dari KSPPS BMT Syahida dimana focus pada keberhasilan dari pembiayaan
yang diambil oleh anggotanya. Sehingga pengelola KSPPS BMT Syahida
dibekali ilmu Akuntasi, Marketing, Analisis Bisnis, sehingga anggota yang
melakukan pembiayaan akan diberikan pelatihan dan pendampingan
sehingga modal pinjaman dari KSPPS BMT Syahida bisa mengembangkan
usaha anggota sampai berhasil. Hal ini sejalan dengan Pasal 5 ayat 2
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 yaitu ;
“Dalam mengembangkan Koperasi ,maka Koperasi melaksanakan pula
prinsip Koperasi sebagai berikut: a. pendidikan perkoperasian “
3. Simpanan Pokok, Wajib, Sukarela dan SHU
Modal Koperasi terdiri dari 2 yaitu modal sendiri dan modal pinjaman
seperti yang tercantum dalam pasal 41 ayat 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun
1992 Tentang Perkoperasian yang berbunyi sebagai berikut:
112
“Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman. (2) Modal
sendri dapat berasal dari:
a. Simpanan Pokok;
b. Simpanan Wajib ;
c. Dana Cadangan ;
d. Hibah.”
Simpanan Pokok merupakan simpanan yang dibayarkan sekali selama
menjadi anggota ketika pertama kali mendaftar menjadi anggota dan simpanan
pokok akan dikembalikan lagi ketika anggota keluar dari keanggotaannya.
Sedangkan simpanan Wajib adalah simpanan yang dibayarkan secara rutin
setiap bulan oleh anggota koperasi selama menjadi anggota. Simpanan wajib
akan dikembalikan seluruhnya saat anggota keluar dari keanggotaannya.
Simpanan sukarela merupakan simpanan yang dibayar anggota sewaktu-waktu
dan dapat diambil kapan saja sesuai keinginan anggota. Simpanan pokok dan
simpanan wajib merupakan modal utama koperasi dalam menjalankan
usahanya, sedangkan simpanan sukarela tidak bisa dijadikan modal usaha
karena sifatnya yang bisa diambil sewaktu-waktu.
Selain simpanan di koperasi juga dikenal dengan istilah Sisa Hasil Usaha
(SHU) yang merupakan pendapatan koperasi. Menurut Pasal 45 Ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian, Sisa hasil usaha adalah :
(1) Sisa hasil usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang
diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan
,dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang
bersangkutan.
113
(2) Sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan ,dibagikan
kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh
masing-masing anggota dengan Koperasi, serta digunakan untuk
pendidikan Perkoperesian dan keperluan lain dari Koperasi, sesuai
dengan keputusan Rapat Anggota.
Sisa hasil usaha dibagikan di akhir tahun ketika koperasi sudah tutup
buku, ketentuan pembagian Sisa hasil usaha diatur oleh rapat anggota
dituangkan dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga
koperasinya. Jumlah pembagian per anggota bergantung pada jumlah simpanan
yang disimpan anggota dan jumlah transaksi anggota di bisnis koperasinya
sebagaimana prinsip koperasi nomor 3 yang berbunyi sebagai berikut:
“Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan
besarnya jasa usaha masing-masing anggota”
Posisi simpanan pokok , wajib dan sukarela serta sisa hasil usaha di KSU
BMT UMJ, KSU BMT AL JIbaal dan KSPPS Syahida adalah sebagai berikut:
a. KSU BMT UMJ
Simpanan pokok yang tercatat pada laporan tahunan KSU BMT UMJ
TB 2017 berjumlah Rp. 66.320.000 dari 141 anggota. Simpanan Pokok
disini mengalami kenaikan jumlah anggota sebanya 55 orang. Yang menarik
simpanan pokok di BMT UMJ merupakan simpanan pokok anggota pendiri
yang jumlahnya 10 orang saja.
Simpanan Wajib yang tercatat pada laporan Tahunan KSU BMT UMJ
TB 2017 berjumlah Rp. 127.310.000 dari 141 anggota. Simpanan wajib
disini mengalami kenaikan 9, 7% dari tahun 2016.
114
Simpanan sukarela tidak tercatat dalam laporan Tahunan KSU BMT
UMJ TB 2017. Sedangkan sisa hasil usaha (SHU) di KSU BMT UMJ pada
tahun buku 2017 sebesar Rp. 163.741.443 mengalami kenaikan 152%
dibandingkan tahun buku 2016 sebesar 65.041.934. Di KSU BMT UMJ sisa
hasil usaha (SHU) dibagi menjadi dua yaitu SHU operasional dan SHU Non
Operasional.. SHU operasional merupakan SHU yang diperoleh dari
pendapatan operasional yaitu ; hasi usaha dari kegiatan atau transaksi yang
diselenggarakan untuk dan dengan anggota. Sedangkan SHU non
operasional merupakan SHU yang diperoleh dari pendapatan non
operasional yaitu ; hasi usaha dari kegiatan atau transaksi yang
diselenggarakan dengan non anggota dan aktivitas lainnya. Jumlah SHU
operasional KSU BMT UMJ TB 2017 sebesar Rp. 62.440.274 dan SHU non
Operasional KSU BMT UMJ TB 2017 sebesar Rp. 101.301.169, ini
menunjukkan bahwa aktivitas bisnis simpan pinjam KSU BMT UMJ lebih
besar dengan non anggota dibandingkan dengan anggota.
Hal ini tentunya bertentangan dengan pasal 44 ayat 1 Undang-undang
No 25 tahun 1992 tentang perkoperasian yang mengatakan bahwa :
Pasal 44 (1) Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkan melalui
kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk; a. anggota Koperasi yang
bersngkutan; b. Koperasi lain dan/atau anggotanya
Jadi berdasarkan Undang-undang di atas bahwa koperasi hanya
diperbolehkan mengimpun dan menyalurkan dana melalui kegiatan simpan
pinjam dari dan untuk anggota koperai bersangkutan , koperasi lain dan
115
anggota koperasi lain. Jadi dalam hal ini menarik simpanan dan
memberikan pembiayaan pada non anggota sebenarnya hanya diperbolehkan
maksimal selama 3 bulan itupun kepada calon anggota sebagaimana
disebutkan dalam peraturan menteri koperasi nomor 11 tahun 2017
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh
Koperasi pasal 19 ayat 7.
Calon Anggota Koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan wajib menjadi Anggota Koperasi.
Apabila terdapat koperasi atau BMT yang melayani non-Anggota,
maka harus mendaftarkan ijin usahanya dan diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan.130
b. KSU BMT AL JIBAAL
Sebelum 2012 di KSU BMT AL JIBAAL menurut manager umum nya
bapak Abdul Biya yang penulis wawancara mengatakan bahwa saat itu
masih berlaku istilah anggota pendiri sebagai anggota yang memiliki
kewenangan penuh terhadap KSU BMT AL JIBAAL. Sehingga di 2012
dengan manajemen yang baru memberikan seluruh simpanan pokok dan
wajib semua anggota pendiri, dan mempersilahkan secara terbuka apabila
anggota pendiri ingin bergabung kembali di KSU BMT AL JIBAAL dengan
simpanan pokok dan wajib yang sama dengan yang lain. Hal ini juga secara
langsung membuat semua anggota baik yang mendirikan atau yang baru
130
Hasil wawancara dengan Bpk. Untung Tribasuki, Deputi Kelembagaan Kementerian
Koperasi dan UKM, 4 Oktober 2018.
116
bergabung statusnya sama. Di KSU BMT AL JIBAAL simpanan pokok
besarannya Rp. 50.000/anggota sedangkan simpanan wajibnya Rp.
15.000/anggota/bulan.
Dari segi SHU penulis tidak mendapatkan informasi dari manajer
umumnya sehingga penulis tidak bisa memberikan hasil analisis apalagi
ketika penulis meminta laporan tahunan KSU AL JIBAAL, manajernya
tidak memberikan itu.
c. KSPPS BMT SYAHIDA
Penulis tidak mendapatkan Laporan Tahunan KSPPS BMT Syahida
sehingga data yang di dapat sangat terbatas hanya dari wawancara dan
brosur produk dan profil BMT. Modal sendiri yang terdiri Simpanan Pokok,
Simpanan Wajib dan Dana Cadangan dengan jumlah total 171.000.000.
Dari segi Sisa hasil usaha penulis tidak mendapatkan detail informasinya.
Namun bapak Boni Faisal mengatakan SHU di KSPPS BMT SYahida
dibagikan ke anggota namun lebih besar bagi anggota pendiri.
2. Posisi Modal Penyertaan
Berdasarkan pasal 42 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 25 Tahun
1992 Tentang Perkoperasian yang menyatakan bahwa:
(1) Selain modal sebagai dimaksud dalam pasal 41,Koperasi dapat pula
melakukan pemupukan Modal yang juga berasal dari Modal penyertaan.
(2) Ketentuan mengenai pemupukan modal yang berasal dari modal
penyertaan diatur Lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
117
Jadi berdasarkan hal di atas koperasi diperbolehkan untuk melakukan
pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan yang ketentuannya di
atur dalam peraturan pemerintah. Menurut Peraturan Menteri Nomor 11 tahun
2017 Tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh
Koperasi menyatakan bahwa Modal Penyertaan adalah sejumlah uang atau
barang modal yang dapat dinilai dengan uang yang ditanamkan oleh pemodal,
untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan Koperasi dalam
meningkatkan kegiatan usaha Koperasi.
Berikut adalah hasil penelitian penulis di ketiga BMT yaitu sebagai
berikut:
d. KSU BMT UMJ
Modal penyertaan di KSU BMT UMJ menurut Laporan Tahunan KSU
BMT TB 2017 berjumlah Rp. 129.204.900 dari anggota pendiri tidak
mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Yang menarik disini modal
penyertaan hanya bisa dilakukan oleh anggota pendiri.
e. KSU BMT AL JIBAAL
Modal penyertaan di KSU AL JIBAL lebih dari anggota pendirinya
saat dijelaskan oleh bapak Abdul Biya. Untuk berapa jumlah dan
penggunaannya penulis tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari
manajer umum KSU BMT AL JIBAAL.
118
f. KSPPS BMT SYAHIDA
Modal penyertaan di KSPPS BMT SYAHIDA menurut manajer
KSPPS BMT SYAHIDA terdiri dari penyertaan BRP dan Financial
Technologi syariah (Fintech) Amanah. Modal penyertaan digunakan untuk
pengembangan usaha anggota BMT Syahida dengan konsep pendampingan
agar usaha nya berhasil.Namun besaranya penulis tidak mendapatkan
keterang lebih lanjut dari objek yang penulis teliti.
3. Tugas Peran dan Fungsi DPS dalam Pengawasan
Ketentuan tentang Dewan Pengawas Syariah memang tidak diatur di
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Namun
dituangkan dalam Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Bagian
Ketiga Tentang Dewan Pengawas Syariah pasal 15 ayat 1-10.
(1) Dewan Pengawas Syariah ditetapkan oleh rapat anggota.
(2) Dewan Pengawas Syariah paling sedikit 2 (dua) orang dan minimal 1
(satu) orang wajib memiliki sertifikat pendidikan dan pelatihan Dewan
Pengawas Syariah dari DSN-MUI dan/atau sertifikat standar kompetensi
yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah memperoleh
lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan.
(3) Persyaratan untuk dapat dipilih menjadi Dewan Pengawas Syariah
meliputi:
a. berasal dari anggota atau dari luar Anggota Koperasi;
b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang
merugikan korporasi, keuangan negara, dan/atau yang berkaitan
dengan sektor keuangan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum
pengangkatan;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai
derajat kesatu dengan Pengurus;
d. Dewan Pengawas Syariah Koperasi sekunder dapat berasal dari
Anggota Koperasi primer atau dari luar Anggota Koperasi; dan
e. persyaratan lain untuk dapat dipilih menjadi Dewan Pengawas Syariah
diatur dalam anggaran dasar.
119
(4) Dewan Pengawas Syariah yang diangkat dari luar Anggota ditetapkan
untuk masa jabatan 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan
keputusan rapat anggota.
(5) Dewan Pengawas Syariah bertanggungjawab kepada rapat anggota.
(6) Dewan Pengawas Syariah diberhentikan oleh Anggota dalam rapat
anggota.
(7) Dewan Pengawas Syariah memiliki tugas sebagai berikut:
a) memberikan nasehat dan saran kepada Pengurus dan Pengawas serta
mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan Prinsip Syariah;
b) menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan oleh Koperasi;
c) mengawasi pengembangan produk baru;
d) meminta fatwa kepada DSN-MUI untuk produk baru yang belum ada
fatwanya; dan
e) melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk simpanan dan
pembiayaan syariah.
(8) Dewan Pengawas Syariah melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) huruf b dan huruf e kepada DSN-MUI paling
sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(9) Dewan Pengawas Syariah dapat merangkap jabatan pada KSPPS/USPPS
Koperasi lain.
Berdasarkan pasal 2 ayat 3 Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun
2017 Tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh
Koperasi yang menyatakan bahwa:
Koperasi yang melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan
syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah.
Oleh karena itu, koperasi yang melaksanakan kegiatan usaha simpan
pinjam dan pembiayaan syariah wajib memiliki Dewan Pengawas SyariaH
(DPS). Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib memiliki rekomendasi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) setempat atau Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) atau sertifikat pendidikan dan pelatihan Dewan
Pengawas Syariah dari DSN-MUI. Berikut penulis sajikan hasil penelitian
penulis di Tiga BMT terkait Dewan Pengawas Syariah :
120
a. KSU BMT UMJ
Dalam hal ini Dewan Pengawas Syariah (DPS) KSU BMT UMJ
memberikan hasil kepengawasannya dalam bentuk Opini Dewan Pengawas
Syariah yang tercantum dalam bagian Laporan Tahunan KSU BMT UMJ TB
2017. Dimana Dewan Pengawas Syariah memberikan beberapa catatan
mengenai proses penghimpunan dana dari masyarakat yang produknya
sudah sesuai dengan ketentuan syariah. Yang kedua DPS dalam opini nya
mengatakan ada beberapa hal yang harus dijelaskan dan dibahas lebih lanjut
terkait akad yaitu
1) adanya dana tabarru yang dipersyaratkan
2) adanya iuran pejaminan dan infaq yang dipersyaratkan
3) masalah pembayaran sewa disebutkan sebagai pembayaran angsuran , hal
ini perlu dikoreksi
4) adanya denda akibat tidak memenuhi kewajiban yang dihitung
berdasarkan persentase dari saldo pembiayaan
5) Dalam akad mudhorabah, masalah pembayaran bagi hasil tidak dijelaskan
namun disebutkan adanya angsuran tanpa penjelasan yang memadai , hal
ini berpotensi melanggar prinsip syariah
6) Dalam akad ijarah multijasa , masalah pembayaran sewa disebutkan
sebagai angsuran hal ini perlu dikoreksi.
121
Bila dilihat dari opini nya DPS KSU BMT UMJ sudah melaksanakan
tugasnya sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 15 ayat 7 Peraturan
Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi
Dewan Pengawas Syariah memiliki tugas sebagai berikut:
1) memberikan nasehat dan saran kepada Pengurus dan Pengawas serta
mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan Prinsip Syariah;
2) menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan oleh Koperasi;
3) mengawasi pengembangan produk baru;
4) meminta fatwa kepada DSN-MUI untuk produk baru yang belum ada
fatwanya; dan
5) melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk simpanan dan
pembiayaan syariah
b. KSU BMT AL JIBAAL
Dewan Pengawas Syariah di KSU BMT AL JIBAAL tugasnya sama
dengan Dewan Pengawas Syariah di BMT lainnya. Sebagaimana yang di
sebutkan di Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi Dewan Pengawas
Syariah memiliki tugas sebagai berikut:
122
1) memberikan nasehat dan saran kepada Pengurus dan Pengawas serta
mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan Prinsip Syariah;
2) menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan oleh Koperasi;
3) mengawasi pengembangan produk baru;
4) meminta fatwa kepada DSN-MUI untuk produk baru yang belum ada
fatwanya; dan
5) melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk simpanan dan
pembiayaan syariah.
c. KSPPS BMT Syahida
Dalam hal ini Dewan Pengawas Syariah (DPS) KSPPS BMT Syahida
memberikan hasil kepengawasannya dalam bentuk Opini Dewan Pengawas
Syariah yang tercantum dalam bagian Laporan Tahunan KSPPS BMT
Syahida. Namun karena penulis tidak mendapatkan laporan Tahunan
sehingga penulis tidak bisa melihat isi opini DPS BMT Syahida. Jadi
berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Boni Faisal bahwa Dewan
Pengawas Syariah memberikan opini secara global saja. Ada perbedaan
penentuan dasar dalam peluncuran produk BMT , jika dahulu berdasarkan
akadnya sekarang berdasarkan kebutuhan dari anggota baru meminta Dewan
Pengawas Syariah untuk memberikan masukan bahwa akad yang sesuai
123
dengan kebutuhan anggota tersebut dan terdapat pada fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN).
4. Tingkat Kesehatan
Pada Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 BAB IX Pasal
33 tentang Penilaian Kesehatan Koperasi menyatakan bahwa:
(1) Penilaian kesehatan KSPPS dan USPPS Koperasi merupakan penilaian
kinerja yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah untuk
mengukur tingkat kesehatan Koperasi dalam kegiatan usaha simpan
pinjam dan pembiayaan syariah.
(2) Penilaian Kesehatan KSPPS dan USPPS Koperasi dilakukan sebagai
berikut:
a) KSPPS dan USPPS Koperasi Primer atau Sekunder dengan wilayah
keanggotaan dalam daerah kabupaten/kota dilakukan oleh
bupati/walikota;
b) KSPPS dan USPPS Koperasi Primer/Sekunder dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi
dilakukan oleh gubernur; dan
c) KSPPS dan USPPS Koperasi Primer/Sekunder dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah provinsi dilakukan oleh Menteri.
(3) Menteri mendelegasikan penilaian kesehatan KSPPS dan USPPS Koperasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c kepada Deputi Bidang
Pengawasan.
(4) KSPPS dan USPPS Koperasi yang mempunyai total Aset paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun buku wajib
diaudit oleh akuntan publik dan melaporkan hasilnya kepada rapat anggota.
(5) Penilaian kesehatan KSPPS dan USPPS Koperasi dilakukan setiap tahun,
setelah diperoleh hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan setelah
dilaksanakan rapat anggota tahunan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelaksanaan Penilaian Kesehatan KSPPS
dan USPPS Koperasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Menurut regulasi di atas penilaian kesehatan koperasi dilakukan oleh
pemerinta baik oleh Kementerian Koperasi dan UKM RI untuk tingkat
Nasional, ataupun oleh Dinas Koperasi Provinsi atau kabupaten/kota. Ketiga
Koperasi yang penulis teliti merupakan koperasi-koperasi berprestasi tingkat
Kota Tangerang Selatan. Dimana salah satunya pada hari Koperasi Daerah ke
124
71 KSPPS BMT SYAHIDA mendapatkan penghargaan Koperasi syariah
berprestasi ke dua. Ini menjadi bukti bahwa KSPPS BMT SYAHIDA
mendapatkan nilai kesehatan yang baik koperasinya.
Salah satu kritik penulis terhadap Kementerian Koperasi dan UKM RI
adalah belum adanya penilaian berupa implementasi Undang-undang atau
regulasi. Penilaian kesehatan Koperasi harus ditambahkan menjadi penilaian
awal yang menjadi titik penentu sebelum menilai sisi lain dari Koperasi. Ada
kemungkinan salah satu penyebab dari banyaknya Koperasi yang tidak
mengimplentasikan Undang-undang karena tidak ketatnya pengawasan dari
kementerian koperasi. Salah satu cara meningkatkan kesadaran penerapan
undang-undag, adalah melalui penilaian kesehatan koperasi ini.
5. Audit Pelaporan
Pasal 40 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
pasal 40 menyatakan bahwa :
Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik
Jadi koperasi dapat meminta jasa audir kepada akuntan public untuk
mengaudit laporan keuangan koperasi untuk memberikan kepercayaan kepada
anggota sekaligus masyarakat dan investor. Hal ii dipertegas di Peraturan
Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi Pasal 33 Ayat 4
menyatakan sebagai berikut ;
125
“KSPPS dan USPPS Koperasi yang mempunyai total Aset paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun buku wajib
diaudit oleh akuntan publik dan melaporkan hasilnya kepada rapat anggota. “
e. KSU BMT UMJ
KSU BMT UMJ sudah melakukan Audit Eksternal yang dilakukan
oleh Auditor Independen dari Kantor Akuntan Publik Drs. Nunuk Saryadi
dan dengan mendapat hasil Wajar.
f. KSU BMT AL JIBAAL
KSU BMT AL JIBAAL sudah melakukan Audit Eksternal yang
dilakukan oleh Auditor Independen dan dengan mendapat hasil Wajar.
g. KSPPS BMT SYAHIDA
KSPPS BMT SYAHIDA sudah melakukan Audit Eksternal yang
dilakukan oleh Auditor Independen dan dengan mendapat hasil Wajar.
Permasalahan dari rendahnya implementasi Undang-undang Nomor 25 Tahun
1992 Tentang Perkoperasian dan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun
2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha SImpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah Oleh Koperasi ini terjadi diakibatkan oleh beberapa hal diantaranya :
1) Kurangnya pengawasan dari Kementerian Koperasi dan UKM RI atau
dinas Koperasi.
Pejabat kementerian atau dinas koperasi menurut pasal 47 ayat
(1) huruf a undang-undang no 25 tahun 1992 tentang perkoperasian
yang berbunyi sebagai berikut:
“Keputusan pembubaran koperasi oleh pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 46 b dilakukan apabila :
a. terdapat bukti bahwa Koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi
ketentuan Undangundang ini;
b. kegiatan bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
126
c. kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.
Selama ini pejabat kementerian atau dinas koperasi sibuk dengan
mengurusi koperasi-koperasi yang tidak sehat secara modal dan
keuangan. Belum menyentuh koperasi yang tidak sehat secara
kepastian hukum (regulasi).
2) Ketidaktahuan masyarakat yang menjadi anggota BMT akan regulasi
yang mengatur BMT.
Masyarakat umumnya menjadi anggota BMT karena kemudahan
dalam memperoleh pembiayaan dari BMT lebih cepat dan mudah
dibandingkan bank. Masyarakat baru mencari tahu tentang regulasi
BMT biasanya ketika terjadi permasalahan dalam pengelolaannya
sehingga kesadaran masyarakat yang menjadi anggota BMT untuk
mengawasi kinerja BMT sangat kurang akibat ketidaktahuan regulasi
ini.
3) Kurangnya pemahaman pengurus,pengawas dan pengelola BMT
terhadap regulasi
Pengurus, pengawas dan pengelola BMT biasa lebih fokus pada
aspek bisnis dari BMT itu sendiri, mereka mengesampingkan aspek
regulasi sehingga mereka merasa sudah taat terhadap regulasi padahal
banyak regulasi yang belum ditaati oleh BMT yang diakibatkan oleh
kurangnya pemahaman regulasi oleh pengurus, pengawas dan
pengelola BMT.
127
Secara singkat diuraikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 3 Implementasi Regulasi oleh BMT UMJ, al- Jibal, dan Syahida
7 Aspek UU
Perkoperasian
KSU
BMT UMJ
KSU BMT Al
Jibaal
KSPPS BMT
Syahida
Undang-
Undang &
Permenekop
11/2017
1. Aspek
Legalitas
Belum
memiliki izin
operasional
dan usaha
simpan pinjam
Status badan
hukum sebagai
KSU
Sudah ada izin
operasional
dan izin usaha,
namun masih
dalam bentuk
KJKS. Izin
KSPPS dalam
proses
Pasal 9
Undang-
undang Nomor
25 Tahun
1992. Koperasi
pasal 3 ayat 1
Permenekop
1/2017
2. Posisi
keanggotaan
BMT
Memiliki 141
anggota namun
melayani 1800
orang non
anggota
Membagi
kategori
menjadi
anggota
pendiri dan
anggota yang
dilayani
Dari oleh dan
untuk anggota.
Namun
manajer
menginginkan
ada pemisahan
jenis anggota
Pasal 17 ayat 1
dan Pasal 19
ayat 4 Undang-
undang Nomor
25 Tahun
1992.
3. Simpanan
Pokok,
Wajib,
Sukarela
dan SHU
Simpanan
pokok dan
wajib berasal
dari 141
anggota. SHU
dibagi menjadi
2, SHU
operasional
dan non
operasional.
Pada 2012
seluruh
simpanan
wajib, pokok,
sukarela
diberikan
kembali
kepada
anggota
pendiri.
Selanjutkan
dimulai kebali
dengan
disamaratakan
dengan
anggota
lainnya
Simpanan
pokok, wajib,
dan sukarela
dilakukan
sesuai aturan
Pasal 41 ayat 1
dan Pasal 45
Ayat 1 dan 2
Undang-
undang Nomor
25 Tahun 1992
128
4. Posisi Modal
Penyertaan
Pada KSU
BMT UMJ,
modal
penyertaan
hanya bisa
dilakukan oleh
anggota
pendiri
Modal
penyertaan
berasal dari
anggota
pendiri dan
pihak ketiga.
Berasal dari
BRP dan
Financial
Technologi
syariah
(Fintech)
Amanah.
Pasal 42 ayat 1
dan 2 Undang-
undang Nomor
25 Tahun 1992
5. Peran dan
Fungsi DPS
DPS
memberikan
catatan dalam
bentuk Opini
DPS pada
laporan
Tahunan
mengenai
proses
penghimpunan
dana dari
masyarakat
yang
produknya
sudah sesuai
dengan
ketentuan
syariah
Sesuai
Peraturan
Menteri
Nomor 11
Tahun 2017
DPS
memberikan
opini secara
global. Saat
meluncurkan
produk BMT,
berdasarkan
kebutuhan
anggota,
didiskusikan
dengan DPS
dan dicarikan
akad yang
sesuai dengan
kebutuhan
tersebut.
Pasal 2 ayat 3
Peraturan
Menteri
Koperasi
Nomor 11
Tahun 2017
6. Kesehatan
Koperasi
Penilaian
kesehatan
dilakukan oleh
Dinas
Koperasi
Tangerang
Selatan
Penilaian
kesehatan
dilakukan oleh
Dinas
Koperasi
Tangerang
Selatan
Penilaian
kesehatan
dilakukan oleh
Dinas
Koperasi
Tangerang
Selatan
Permenekop
11 Tahun 2017
BAB IX Pasal
33 ayat 1
7. Audit
Laporan
Audit
Eksternal oleh
Jasa Akuntan
Publik
Audit
Eksternal oleh
Jasa Akuntan
Publik
Audit
Eksternal oleh
Jasa Akuntan
Publik
Pasal 40
Undang-
undang Nomor
25 Tahun 1992
129
B. Akibat Hukum Dari Terbitnya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro
Terhadap BMT
Secara praktis, BMT adalah lembaga keuangan mikro yang
operasionalisasinya berbasis syariah, khususnya yang menyangkut bidang akad
transaksinya berpola syariah, untuk itu BMT juga termasuk LKMS.131
BMT
adalah lembaga keuangan mikro yang melakukan dua aktivitas secara sinergis
dalam satu kesatuan gerak kelembagaan, dimana yang satu saling melengkapi dan
menguatkan bagi yang lainnya yaitu aspek social dan aspek bisnis. Secara garis
besar BMT memiliki dua fungsi utama yaitu bait al maal dan bait at Tamwil.
Pada tahun 2013 terbit sebuah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Tentunya terbitnya undang-undang ini
membuat BMT yang sudah memilih Koperasi sebagai badan hukumnya, namun
muncul nya undang –undang LKM ini membuat BMT juga masuk dalam salah
satu lembaga yang diatur oleh undang-undang LKM ini sebagaimana tertuang
dalam pasal mengenai ketentuan peralihan.
Upaya pemberdayaan ekonomi atau peningkatan akses keuangan bagi UKM
melalui Lembaga Mikro Syariah termasuk BMT mulai mendapat perhatian
pemerintah. Perhatian tersebut misalnya penyediaan landasan hukum bagi
beroperasinya lembaga keuangan tersebut. Landasan hukum tersebut diharapkan
dapat melindungi dan mendukung keberadaan Lembaga Keuangan Mikro.
Sebelum adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
131
Euis Amalia,Keuangan Mikro Syariah, Bekasi : Gramata Publishing, 2016, h. 21
130
Keuangan Mikro, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak memiliki tugas pengawasan
pada lembaga keuangan berbadan hukum koperasi, lembaga keuangan mikro dan
Baitul Mal Wat Tamwil (Lembaga Keuangan Mikro berbasis syariah). Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) hanya berhak mengawasi bank, bank perkreditan rakyat, dan
lembaga keuangan bukan Bank.
BMT menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, disebutkan secara eksplisit sebagai Lembaga Keuangan Mikro
yang akan diatur dan diawasi oleh OJK.132
Dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, LKM yang belum berbadan
hukum agar bertransformasi menjadi badan hukum koperasi atau badan hukum
Perseroan Terbatas (PT). Secara eksplisit, BMT disebutkan sebagai Lembaga
Keuangan Mikro yang akan diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Merupakan konsekuensi dari berlakunya Undang-Undang Lembaga Keuangan
Mikro yang tertuang dalam 39 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Dalam Pasal tersebut dikatakan bahawa
BMT merupakan salah satu Lembaga Keuangan Mikro yang wajib menaati isi dari
Undang-Undang LKM.
BMT berbadan hukum koperasi yang melakukan kegiatan usaha LKM, maka
bagi mereka terdapat aturan hukum tambahan yang harus dipatuhi selain Undang-
undang Perkoperasian dan peraturan turunannya, yaitu Undang-undang Lembaga
132
Bab XIII Tentang Ketentuan Peralihan, Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro.
131
Keuangan Mikro. Berikut penjelasan Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian
Koperasi dan UKM RI, Untung Tribasuki:
“Koperasi itu badan hukumnya, LKM itu kegiatan Usahanya. Jika BMT
berbadan hukum koperasi melakukan kegiatan LKM (melayani non-Anggota),
maka harus juga mengikuti Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro, seperti
cakupan wilayah usaha dan harus mau mendaftarkan diri serta diawasi OJK.
Jangan mau enaknya saja, dan jadi tempat bersembunyi oknum-oknum tidak
bertanggung jawab”.133
BMT yang beroperasi di wilayah yang merupakan irisan antara wewenang
pemerintah (Kementerian Koperasi) dan Otoritas Jasa Keuangan, maka persoalan
beda tafsir regulasi di lapangan kadang terjadi. Kompleksitas regulasi ini menjadi
salah satu penyebab penafsiran regulasi yang beragam oleh berbagai pihak. Hal
tersebut menjadi kendala lembaga keuangan mikro khususnya BMT untuk
mematuhi regulasi yang ada. BMT yang telah berbadan hukum koperasi menurut
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dapat memiliki legalitas usahanya
sebagai LKM.
BMT berbadan hukum koperasi memperoleh izin usaha dan diawasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan, dengan daerah kerja terbatas pada wilayah
Kabupaten/Kota serta diperbolehkan menghimpun dan menyalurkan dana kepada
masyarakat selain anggota.
Pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika:
133
Hasil wawancara dengan Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM RI,
Bapak Untung Tribasuki, 4 Oktober 2018.
132
a. LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota
tempat kedudukan LKM; atau
b. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Dalam hal ini penulis dalam penelitiannya ke 3 BMT di Kota Tangerang
Selatan yaitu KSU BMT UMJ, KSU BMT AL JIBAAL dan KSPPS BMT
SYAHIDA menanyakan tentang keberadaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Dimana BMT juga masuk dalam salah
satu lembaga yang diatur oleh Undang-undang ini. Berikut adalah hasil dari
wawancara penulis dengan 3 BMT tersebut :
a. KSU BMT UMJ
Secara Konteks menurut Direktur KSU BMT UMJ Bapak Muktiar
mengatakan koperasi belum siap untuk menghadapi kepengawasan yang
ketat. Sedangkan secara operasional sama saja , dari BMT menurut bapak
Muktiar se-Indonesia hanya 5 BMT yang mendaftarkan izinnya ke Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) sebagai LKM karena mereka basisnya pemupukan
modal. Yang menjadi di lema BMT yang telah lama menjadi Koperasi dimana
basisnya masih Nasabah, hal ini yang dirasakan oleh KSU BMT UMJ untuk
menggaet masyarakat menjadi anggota itu sangat susah dikarenakan mindset
masyarakat yang enggan untuk mengeluarkan uang terlebih dahulu untuk
membayar simpanan pokok dan simpanan wajib. Sehingga KSU BMT UMJ
ini menggunakan system pemotongan pada setoran nabasabah untuk
133
penarikan simpanan pokok dan wajib. Dimana Ada 1800an Non anggota yang
dilayani oleh KSU BMT UMJ , jika mengacu pada penjelasan Deputi Bidang
Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM RI, Untung Tribasuki:
“Koperasi itu badan hukumnya, LKM itu kegiatan Usahanya. Jika BMT berbadan hukum
koperasi melakukan kegiatan LKM (melayani non-Anggota), maka harus juga mengikuti
Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro, seperti cakupan wilayah usaha dan harus
mau mendaftarkan diri serta diawasi OJK. Jangan mau enaknya saja, dan jadi tempat
bersembunyi oknum-oknum tidak bertanggung jawab”.134
Namun pada kenyataannya KSU BMT UMJ tidak mendaftarkan izin
LKM kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan sebuah akibat
hukum yang timbul karena KSU BMT UMJ melayani non anggota dalam
kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariahnya.
b. KSU BMT AL JIBAAL
Menurut Manajer Umum KSU BMT AL JIBAAL bahwa munculnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 menjadikan regulasi yang mengatur
BMT menjadi rancu dan memicu saling betabrakan regulasi bagi BMT.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
membuat ruang gerak BMT menjadi tidak Fleksibel. Karena ada beberapa hal
dalam BMT yang diatur di Undang-undang tersebut yang memberikan ruang
gerak BMT menjadi sangat begitu terbatas seperti pada Bagian Dua Tentang
Cakupan Wilayah Pasal 16 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro menyatakan sebagai berikut :
134
Hasil wawancara dengan Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM RI,
Bapak Untung Tribasuki, 4 Oktober 2018.
134
“Pasal 16 (1) Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah
desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota. (2) Luas cakupan wilayah
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan skala usaha
LKM yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. “
Jadi Bila BMT mengikuti Undang-undang di atas harus menerima akibat
hukum dari Undang-undang tersebut dengan hanya dapat melakukan kegiatan
usahanya sebatas di dalam satu kabupaten/kota saja, BMT tidak dapat
melebarkan sayap atau membuka cabang di kabupaten/kota lainnya. Selain itu
juga hal yang menyebabkan BMT enggan mengikuti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro karena BMT merupakan
Koperasi yang sudah diatur oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian dimana BMT tidak perlu diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan seperti halnya Lembaga Keuangan Mikro lainnya. Karena semua
yang diatur di Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 ini semuanya atas izin
dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedangkan Koperasi menurut
bapak Abdul Biya sudah diatur dan diawasi oleh Kementerian Koperasi dan
UKM RI , menurut bapak Biya Koperasi yang melayani non anggota lah yang
harus memiliki izin Lembaga keuangan Mikro dan diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).
c. KSPPS BMT SYAHIDA
Menurut Bapak Bonis Faisal BMT tidak perlu di awasi Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), menurutnya BMT seperti mencari penyakit jika ingin diawasi
oleh Otoritas Jasa Keuangan. Padahal menurutnya dalam pengelolaanya KSPPS
135
BMT SYAHIDA sudah mendekati perbankan, dan beliau menganggap koperasi
juga sebagai lembaga intermediary. Dimana seharusnya menurut Bapak Boni
Faisal anggota di BMT itu cukup 20 orang sebagai anggota yang mendirikan
awal yang fungsinya seperti pemegang saham di Perseroan Terbatas, anggota
lainnya hanya sebatas nasabah saja karena mereka hanya menikmati fasilitas
pembiayaan dan tabungan saja. Jika memang KSPPS BMT SYAHIDA
memberlakukan system seperti itu sudah seharusnya KSPPS BMT SYAHIDA
harus siap menerima akibat hukum yang timbul dari system mereka yang
melayani non anggota sehingga mau tidak mau mereka harus memiliki izin
Lembaga Keuangan Mikro yang dikeluarkan oleh Otororitas Jasa Keuangan
(OJK). Namun, untuk menghindari itu KSPPS BMT SYAHIDA melakukan
system pemotongan langsung pada nasabah untuk simpanan pokok dan wajib
untuk menjadi anggota.
Apabila dikaitkan dengan Teori kepatuhan hukum, terdapat tiga jenis
kepatuhan hukum:
a. Kesesuaian (Compliance), yaitu jika seseorang atau lembaga mematuhi suatu
aturan, hanya karena ia takut akan sanksi yang ada. Kelemahan kepastian
jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
b. Identifikasi (Identification), yaitu jika seseorang mematuhi suatu aturan,
hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
Sumber kekuatannya adalah daya tarik dari hubungan yang dinikmati orang-
136
orang atau tokoh-tokoh dari kelompok itu, sedangkan persesuaian dengan
peraturan akan tergantung pada menonjolnya hubungan-hubungan ini.
c. Internalisasi (Internalization), yaitu penerimaan seseorang mengenai suatu
peraturan benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-
nilai intrinsik yang dianutnya.
Dalam penelitian ini, secara compliance pun belum terpenuhi kepatuhan
hukum dari BMT yang diteliti penulis terhadap regulasi yang ada. Sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa terlihat BMT tidak mematuhi poin
poin krusial pada regulasi. Masih banyak BMT yang melayani non-Anggota
dan/atau melakukan kegiatan usaha sabagimana LKMS, namun tidak mematuhi
Undang-undang LKM. Akibat hukum yang harus diterima oleh BMT yang
melayani anggota maka mereka harus mematihi isi dari Undang-ndang Nomor
1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro seperti Izin Usaha lembaga
keuangan Mikro, cakupan wilayah usaha, dan pengawasan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Jika tahap Compliance saja sudah tidak dipatuhi, bagaimana
kepastian hukum akan terpenuhi dan tujuan hukum akan tercapai.
Ketidakpatuhan terhadap regulasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
di antaranya:
a. Karena adanya pengetahuan dan pemahaman akan hakekat dan tujuan
hukum.
137
b. Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai
hukum. Mereka benar-benar berkepentingan akan berlakunya peraturan
tersebut.
c. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap
peraturan sebagai peraturan hukum secara rasional.
d. Karena masyarakat menghendakinya.
e. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial.
Dengan demikian, literasi terhadap aturan hukum terkait Baitul Mal wat
Tamwil harus dibumikan oleh regulator kepada pelaku BMT, anggota, dan
masyarakat. Agar seluruh elemen menyadari akan hak dan tanggungjawabnya.
Adanya dua regulasi yang menaungi mengakibatkan ketidakjelasan
apabila terjadi penyalahgunaan atau wanprestasi dalam penyaluran dana
anggota. Terjadi ambiguitas lembaga yang berhak menindak, Koperasi (sebagai
implementasi dari Undang-Undang Perkoperasian) ataukah OJK (sebagai
implementasi dari undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.
138
C. Kepastian Hukum BMT Terkait Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Perkoperasian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro
Secara praktis BMT adalah lembaga keuangan mikro yang
operasionalisasinya berbasis syariah, khususnya yang menyangkut bidang
akad transaksinya berpola syariah untuk itu BMT termasuk sebagai
LKMS.135
Secara umum BMT melakukan kegiatan penghimpunan dana dari
masyarakat/anggota dan penyaluran dana kepada pelaku UKM. Dalam
perkembanganya BMT memilih Koperasi sebagai badan hukumnya karena
dianggap relevan dari sisi model bisnis dan budaya lokal Indonesia. Dengan
Berbadan hukum Koperasi, BMT harus menyesuaikan diri dengan regulasi
terkait perkoperasian dalam hal ini Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
Tentang perkoperasian dan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha SImpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh
Koperasi. Jadi seluruh operasional BMT harus mengikuti dan tunduk pada
seluruh isi Undang-undang dan peraturan menteri tersebut di atas.
Permasalahan baru timbul pada 2013 dimana terbitnya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro dimana BMT
disebutkan secara eksplisit dalam BAB XIII Tentang Ketentuan Peralihan
Pasal 1 dan 2 yang menyakatan bahwa :
135
Euis Amalia,Keuangan Mikro Syariah, Bekasi : Gramata Publishing, 2016, h. 21
139
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung
Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit
Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil
Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan
dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini berlaku.
(2) Lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku
Adanya dua regulasi yang saling mengatur BMT ini mempengaruhi
kepastian hukum bagi BMT itu sendiri. Walaupun tiga BMT yang penulis
teliti seluruhnya menyatakan bahwa BMT tidak perlu mengikuti isi dari
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro,
namun Undang-undang tersebut tetap memiliki pengaruh terhadap BMT.
Hal itu dikarenakan dalam Undang-Undang tersebut BMT disebut secara
Eksplisit sebagai salah satu lembaga yang diatur oleh Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Ketidakjelasan regulasi yang mengatur BMT berpotensi menimbulkan
ketidakpastian Hukum pada BMT, di antaranya sebagai berikut :
1. Ketidakjelasan jenis lembaga BMT mempengaruhi ketidakjelasan
lembaga yang berhak menjadi regulator atau pengawas BMT.
2. Badan hukum koperasi namun dengan izin usaha berbeda (badan hukum
koperasi dengan izin usaha LKM) akan menimbulkan kebingungan pada
BMT karena koperasi harus mencantumkan jenis koperasi pada anggaran
dasar, membuat koperasi tidak mungkin memilih bentuk LKM.
140
3. Jika tidak ada kejelasan pada istilah KSPPS dan BMT maka berpotensi
muncul regulasi turunan yang berbeda dalam mengatur BMT, seperti
halnya kedua Undang-Undang tersebut di atas.
4. Perbedaan wilayah operasi akan menimbulkan risiko arbitrase, di mana
BMT akan memilih sektor yang memberikan ruang operasi yang lebih
luas.
5. Penjaminan simpanan oleh pemerintah masih bersifat diskresi/kebijakan,
belum bersifat wajib, hal ini tentu belum memecahkan masalah keamanan
dan kenyamanan menyimpan dana di Lembaga Keuangan di BMT untuk
Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
6. Perbedaan bentuk layanan yang diizinkan oleh kedua undang-undang akan
berpotensi menimbulkan risiko arbitrase sebagaimana perbedaan
ketentuan wilayah operasi.
7. Dalam Undang-undang LKM, terkesan suku bunga/nisbah akan diatur
oleh pemerintah. Sedangkan pada Undang-Undang Perkoperasian diatur
oleh rapat anggota. Hal ini akan menimbulkan kebingungan masyarakat
karen apemerintah hanya melakukan kontrol suku bunga/nisbah pada
LKM tetapi tidak pada Koperasi Simpan Pinjam.
8. Perbedaan masyarakat yang dilayani akan menimbulkan risiko arbitrasi
sebagaimana perbedaan ketentuan wilayah operasi.
Dari penjelasan di atas masyarakat yang menjadi korban dari tidak adanya
kepastian hukum yang disebabkan oleh rancunya regulasi yang mengatur BMT.
141
Karena selama ini masyarakatlah yang menjadi target dari BMT untuk menjadi
konsumen dari produk dan jasanya. Tidak adanya kepastian hukum disini
disebabkan oleh rendahnya kepengawasan baik oleh Kementerian Koperasi dan
UKM RI ataupun dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Contohnya KSU BMT UMJ
sejak Berdiri dari tahun 2008 belum memiliki izin usaha simpan pinjam yang
menurut Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan
kegiatan usaha Simpan Pinjam Syariah bahwa KSPPS atau USPPS pasal 6
berbunyi bahwa :
“KSPPS atau USPPS Koperasi wajib memiliki izin usaha simpan pinjam dan
pembiayaan syariah”
Namun Kementerian Koperasi dan UKM RI yang dalam hal ini
wewenangnya diwakili oleh Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangerang Selatan
tidak memberikan sanksi kepada KSU BMT UMJ yang seharusnya Dinas
Koperasi dan UKM Kota Tangerang Selatan memberikan surat teguran agar KSU
BMT UMJ segera mengurus Izinnya dan menutup sementara kegiatan usahanya
sampai izin usahanya keluar. Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangerang Selatan
tidak memberikan sanksi tegas sehingga KSU BMT UMJ merasa tidak melanggar
regulasi dan masyarakat juga merasa benar dan sah bertransaksi di KSU BMT
UMJ walaupun tidak memiliki izin simpan pinjam. Bentuk lain dari kelemahan
pengawasan Dinas Koperasi Dan UKM Kota Tangerang Selatan adalah pembiaran
kepada KSU BMT UMJ yang hanya memiliki 141 anggota namun melayani 1800
nasabah. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
142
tentang Pekoperasian seharusnya KSU BMT UMJ jika melayani non anggota
mendaftarkan izin usaha lembaga keuangan mikro ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sebagaimana yang disebutkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro. KSU BMT UMJ juga tidak mendaftarkan izin
Lembaga Keuangan Mikro dan tidak menjadikan seluruh calon anggotanya
setelah 3 bulan menjadi anggota. Hal ini menjadi bukti lemahnya pengawasan
terhadap koperasi sehingga hal ini menjadi salah satu contoh yang dipraktekan
beberapa koperasi simpan pinjam di Indonesia. Dinas Koperasi dan UKM Kota
Tangerang Selatan seharusnya bisa bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) untuk mengawasi bersama perilaku Koperasi yang melayani non anggota.
Lon Fuller dalam Bukunya The Morality of Law136
, mengajukan delapan
asas yang harus dipenuhi hukum yang apabila tidak dipenuhi, maka hukum akan
gagal untuk disebut sebagai hukum. Atau dengan kata lain harus ada kepastian
hukum137
. Delapan asas tersebut adalah:
1. Tidak berdasarkan putusan sesat untuk hal hal tertentu
2. Diumumkan kepada publik
3. Tidak berlaku surut
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan
136
Lon. L Fuller, Morality of Law, New Haven, conn: Yale University Press, 1971, h. 265. 137
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), (Jakarta: Prenamedia Group), 2015, h. 294
143
7. Tidak boleh sering diubah-ubah
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari
Begitupun dengan regulasi yang mengatur BMT ini harus memenuhi 8 asas
hukum di atas apabila ingin disebut sebagai hukum yang memberikan kepastian.
Dilihat dari 8 asas hukum di atas ada 3 asas yang belum dipenuhi oleh regulasi
yang mengatur BMT dalam hal ini Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 dan
Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan oleh Koperasi serta Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro yaitu asas tidak boleh
ada peraturan yang bertentangan, asas tidak boleh sering diubah-ubah, dan asas
harus ada kesesuaian dengan pelaksanaan sehari-hari. Pertama Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro bertentangan dalam pengaturan
BMT satu dengan lainnya. Kedua dalam peraturan Menteri yang mengatur
Penyelenggaraan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah yang dilakukan
oleh Koperasi sering diubah-ubah oleh Deputi Kelembagaan Kementerian
Koperasi dan UKM RI. Contohnya, Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil
Dan Menengah Republik Indonesia Nomor 16 /Per/M.KUKM/IX/2015 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh
Koperasi dalam waktu 2 tahun sudah diganti menjadi Peraturan Menteri Koperasi
Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor
144
11/PER/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam
Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Ketiga belum ada kesesuaian
pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dalam
pelaksanaan sehari-hari oleh BMT dan hal ini lah yang menyebabkan tidak adanya
kepastian hukum di BMT.
Secara terminologi, maqâshid al-syarî’ah dapat diartikan sebagai nilai dan
makna yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat Syariah
(Allah swt) dibalik pembuatan Syariat dan hukum, yang diteliti oleh para ulama
mujtahid dari teks-teks Syariah.138
Al-Shathibi menyatakan bahwa ada beberapa
tujuan Allah dalam menetapkan hukum diantaranya qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i
al- syarî‟ah li al-ifhâm (tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk
difahami). Dan qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i alsyarî‟ah li al-taklîf bi muqtadlâha
(tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk ditanggung dengan segala
konsekwensinya).
Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemashlahâtan hamba
di dunia dan akhirat. Syathibi menjelaskan lebih lanjut bahwa beban-beban hukum
sesungguhnya untuk menjaga maqâshid (tujuan) hukum dalam diri makhluk.
Maqâshid ini hanya ada tiga yaitu dharûriyât, hâjiyat, dan tahsîniyât. Darûriyât
harus ada untuk menjaga kemashlahâtan dunia dan akhirat. Jika hal ini tidak ada
maka akan terjadi kerusakan di dunia dan akhirat. Kadar kerusakan yang
138
Jasser Auda, Fiqh al- Maqā ṣ id Inā ṭ at al-Ahkām bi Maqā ṣ idihā, (Herndon: IIIT, 2007), h.
15.
145
ditimbulkan adalah sejauh mana dlarûriyât tersebut hilang. Maqâshid al-
dlarûriyât ini ada lima yaitu: menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan,
menjaga harta, menjaga akal. Maqâshid al- hâjiyat adalah untuk menghilangkan
kesusahan dari kehidupan mukallaf. Sedangkan Maqâshid tahsîniyât adalah untuk
menyempurnakan kedua Maqâshid sebelumnya, yang meliputi kesempurnaan adat
kebiasaan, dan akhlak yang mulia.139
Maqasid syariah adalah kelanjutan dan perkembangan dari konsep maslahah
sebagaimana telah dicanangkan sebelum masa as-Syatibi. Tujuan dan orientasi
hukum utama ini menunjukkan asal mula ditetapkannya hukum yang bila
diperhatikan akan menggambarkan kesatuan hukum Islam. Pada hakikatnya,
tujuan hukum hanyalah satu, yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.140
Berdasarkan hal di atas BMT seharusnya bisa memahami dua tujuan
diciptakannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 yaitu untuk di fahami dan untuk
ditanggung dengan segala konsekuensinya. Walaupun kedua Undang-undang
tersebut memiliki kekurangan, tapi tetap kedua Undang-undang tersebut adalah
sebuah produk hukum yang memiliki tujuan untuk menghadirkan sebuah kepastian
hukum kepada masyarakat. Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk
kemashlahâtan hamba di dunia dan akhirat. Jadi bila ada BMT yang tidak
memiliki izin sesuai dengan yang diamanahkan oleh Undang-undang tersebut ,
139
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al- Maqā ṣ id… h. 117. 140
Nasution, dkk. Pengenalan ekslusif ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2007 h. 126
146
BMT harusnya memperhatikan sisi kemaslahatan bagi masyarakat yang
bertransaksi di BMT tersebut. Salah satu Maqâshid al- dlarûriyât yang dijaga oleh
Kedua Undang-undang di atas adalah menjaga harta, dimana kedua Undang-
undang tersebut mengharapkan mampu untuk menjaga harta masyarakat yang
disimpan di BMT dengan bentuk menghadirkan kepastian hukum yang tertuang
dalam implementasi Undang-undang tersebut dalam kehidupan sehari-hari BMT.
147
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. BMT yang menjadi Objek Penelitian belum sepenuhnya mampu
mengimplementasikan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian dan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2017 dengan baik.
Implementasi tentang keanggotaan menjadi permasalahan semua BMT yang
diteliti, KSU BMT UMJ yang hanya memiliki 114 anggota tetapi melayani
kurang lebih 1800 calon anggota/nasabah, KSU BMT AL JIBAAL masih
dikenal istilah anggota pendiri yang posisinya sama dengan pemegang saham
dalam Perseroan terbatas dan KSPPS BMT SYAHIDA mengalami kesulitan
untuk mengimplentasikan pola keanggotaan koperasi dikarenakan keinginan
untuk membedakan hak dan kewajiban antara anggota yang mendirikan dan
anggota baru. KSU BMT UMJ belum memiliki Izin operasional dari Dinas
Koperasi dan UKM Kota Tangerang Selatan dan belum memiliki Izin Simpan
Pinjam.
2. Terbitnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro berpengaruh bagi BMT karena BMT merupakah salah satu lembaga
yang tercantum dan di atur dalam Undang-undang tersebut sebagai lembaga
148
keuangan mikro. Hadirnya undang-undang ini menimbulkan dampak
ambiguitas dalam penerapannya. Apabila terjadi penyalahgunaan dana anggota
oleh pengurus BMT atau terjadi wanprestasi dalam penyaluran dana anggota,
tidak jelas kepada lembaga mana harus diadukan, antara kementerian koperasi
berdasarkan Undang-Undang Perkoperasian atau OJK berdasarkan Undang-
Undang Lembaga Keuangan Mikro.
3. Dua regulasi yang saling mengatur BMT tidak memberikan kepastian hukum
bagi BMT. Kedua regulasi tersebut tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan
oleh Baitul Mal wat Tamwil dikarenakan karakteristiknya yang khusus. Oleh
karena itu, BMT harus memiliki aturan khusus sesuai dengan karakteristiknya.
Akibat dari ketidakpastian hukum tersebut, jika terjadi penyalahgunaan atau
pelanggaran hukum oleh BMT yang dirugikan adalah masyarakat. Misalkan
terjadi penyalahgunaan simpanan anggota oleh pengurus BMT, maka
masyarakat tidak memiliki landasan hukum yang pasti untuk melaporkan
tindakan tersebut karena adanya ambiguitas regulasi.
149
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, penulis memberikan beberapa
rekomendasi sebagai berikut:
1. Bagi Praktisi
BMT harus melakukan edukasi regulasi terkait BMT kepada seluruh
elemen agar tidak ada perbedaan implementasi antara pengurus dengan
pengelola BMT agar regulasi yang ada dapat diimplementasikan dengan baik.
Para pelaku BMT harus mematuhi peraturan yang ada terutama perizinan dan
asas keanggotaan. Pemerintah sebagai regulator harus meningkatkan
pengawasan terhadap BMT, melakukan sosialisasi intensif mengenai regulasi
perkoperasian yang mengatur BMT kepada Dinas Koperasi, pelaku, anggota,
dan masyarakat, serta perlu adanya sanksi tegas kepada BMT yang melanggar
regulasi. Pemerintah diharapkan segera menyempurnakan regulasi yang ada
serta menyusun Undang-undang atau peraturan yang khusus mengenai BMT
dengan melibatkan pelaku BMT dan masyarakat dalam penyusunan regulasi
BMT agar tepat guna dan terasa manfaatnya.
2. Bagi Akademisi dan Masyarakat
Bagi Akademisi dan Masyarakat untuk mengetahui dan memiliki pemahaman
bahwa anggota BMT memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan transaksi
keuangan dengan BMT. Memahami bahwa BMT berbadan hukum koperasi harus taat
kepada Undang-Undang Perkoperasian dan peraturan turunannya. Hendaknya para
akademisi turut mendorong pemerintah menerbitkan Undang-undang khusus BMT.
150
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abû Zahrah, Muhammad. Târîkh al-Mażâhib al Islâmiyah. jilid 2. Mesir: Dâr al-Fikr
al-‘Arabî.
Affendi Anwar, Program Kredit Mikro dengan Pola Grameen Bank dan Baitul Mal
Wat Tamwil, Makalah Seminar, Jakarta, 2017.
Al Suyuty, Jalal ad-Din-Abd al-Rahman. Terjemah. al Jami’ al Sagir, juz I, Bandung:
al Ma’arif.
Al Raisuni, Ahmad. Nadariyât al-Maqâshid Inda al-Imâm al-Shâthibi, Beirut:
Muassasah al-Jami’ah, 1992.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan : Termasuk Interpretasi
Undang-Undang. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015.
Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung: Alumni, 2014.
Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika, 2006.
Amalia, Euis. Keuangan Mikro Syariah. Jakarta: Gramata Publishing, 2016.
Amalia Euis, dan Mahmudah Atiqah, “Evaluating The Models of Sharia
Microfinance in Indonesia: an Analytical Network Process (ANP) Approach”,
Jurnal al-Iqtishad, Vol. VII, No.1, Tahun 2015.
Amirudin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers, 2016.
151
Andreae, Sybrandus Johannes Fockema, dkk. Kamus Istilah Hukum. Terjemah
Terjemahan Saleh Adiwinata. Bandung: Bina Cipta, 1983.
Anoraga, Pandji dan Ninik Widiyanti, Dinamika Koperasi, Rineka Cipta : Jakarta,
2007
Anwar, Affendi. “Program Kredit Mikro dengan Pola Grameen Bank dan Baitul Mal
Wat Tamwil”. Makalah Seminar. Jakarta, 2017.s
Apledoorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetarid Sadino, Jakarta:
Prednya Paramita, 1981.
Ariffin, Ramudi. Koperasi Sebagai Perusahaan, Bandung: Ikopin Press. 2013.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006.
Atmasasmita, Romli. Realitas Hukum, Harian Seputar Indonesia, Selasa 23 Juni
2009.
Auda, Jasser. Fiqh al- Maqā ṣ id Inā ṭ at al-Ahkām bi Maqāṣidihā, Herndon: IIIT,
2007.
Auda, Jasser. Penerjemah Rosidin & Ali Abd. El-mun’em. Membumikan Hukum
Islam Melalui Maqoshid Al-Syariah. Cet.I, Bandung: Mizan Pustaka, 2015.
Aziz, Noor, Koperasi Syariah akan diatur UU Koperasi (Dalam Replubika, 28
Febuari, 2008.
Baihaqi Abdul madjid, Pedoman, Pendirian, Pembinaan dan Pengawasan LKM
BMT, Jakarta: LAZNAS BMT. 2007, h. 18.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqāṣid al-Syarī‟ah Menurut al-Shatibi. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1996.
152
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 2014), H. 19.
Collins, John. W et all, Bussiners Law : Text and Cases, h. 9, dalam Ade Maman
Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum , Jakarta: Rajawali Press,
2008.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), h. 25-26
Darsono, dkk. Memberdayakan Keuangan Mikro Syariah Indonesia. Jakarta: Tazkia
Publisihing-Bank Indonesia, 2017.
DEKOPIN, Konsep Dasar Visi 2045, (Dekopin: Jakarta, 2015)
Dewi, Nourma. Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dalam Sistem
Prekeonomian Indonesia. Jurnal Serambi Hukum Vol. 11 No. 01 Februari - Juli
2017.
Djamil, Fathurrahman. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep. Jakarta:
Sinar Grafika, 2015.
Ernst Utrecht, Regulation of Transnational Corporations in Indian Economy,
University of Sydney: Sydney, 1987, h. 49.
Friedmann, Wolfgang. Legal Theory. London: Steven and Son limited. 1953.
__________________. Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum.(Terj.). Jakarta: PT Tata Nusa, 2001.
Fuller, Lon. L. Morality of Law, New Haven. conn: Yale University Press, Menski,
Werner. 2006.
_____________. Comparative Law in a Global Context, The Legal Systems of Asia
and Africa, second edition, Cambridge University Press: UK, 1971.
153
Gandhi, L.M. “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif”, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta:
1995.
Geny, Francois. Science et Technique en Droit Prive Positif. Paris: Recueil Sirey,
1914.
Gierke, Otto Von. Das deutsche Genossenschaftsrecht: Rechtsgeschichte der
deutschen Genossenschaft, ditranslate oleh John D Lewis, The Genossenschaft -
Theory of Otto von Gierke; A Study in Political Thought , 1936 dan ditranslate
sebagian oleh Mary Fischer dan Anthony Black sebagai “Community in
Historical Perspective”, 1990.
Hanel, Alfred. Pokok-pokok Pikiran Organisasi Koperasi dan Kebijakan
Pengembangan di Negara-negara Berkembang. Bandung: Unpad, 1985.
Hasan, Husein Hamid. Nazariah al Maslahah fi al Fiqh al Islami, Kairo: Dar al
Nahdah al Arabia, 1971.
Hobbes, Thomas. On the Citizen. Edited by Richard Tuck and Michael Silverthorne
Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1984.
Husein Hamid Hasan, Nazariah al Maslahah fi al Fiqh al Islami, Kairo: Dar al
Nahdah al Arabia, 1971.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2013.
154
Ilmi, Makhalul. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, UII Press,
Yogyakarta.
Imaniyati, Neni Sri. Aspek-Aspek Hukum BMT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2010.
Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Iver, R.M Mac. The Modern State, Oxford: University Press, 1960.
Izzudin bin Abdul Salam. Qawaid al Ahkam fi Mashalih al Anam. Beirut: Muassasah
al Rayyan, 1990.
Jaya, Asafri. Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 1996.
Kamil, Sukron. 2016. Ekonomi Islam, Kelembagaan, dan Konteks Keindonesiaan:
Dari Politik Makro Hingga Realisasi mikro. Jakarta: Rajawali Press.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1986.
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Cet. 6. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Kelman, Herbert C. “Compliance, Identification, and Internalization: Three
Processes of Attitude Change”. Journal of Conflict Resolution. Volume II,
No.1. 1958.
Kocourek, Albert. “Book Review”, The American Journal of International Law, Vol.
10, No. 2, 1916.
155
Lawrence M. Friedman, “The Legal System.” Legal System, The: A Social Science
Perspective, Russell Sage Foundation, 1975. Diakses melalui JSTOR,
www.jstor.org, 24 Okt 2018.
Limbong, Bernhard. Pengusaha Koperasi. Pustaka Margaretha: Jakarta, 2012.
Lubis, M. Sofyan. “Kesadaran Hukum vs Kepatuhan Hukum”, Artikel,
http://www.kantorhukum-lhs.com, diakses 24 September 2018.
Mac Iver, R.M. The Modern State. Oxford: University Press, 1960.
Madjid, Baihaqi Abdul. Pedoman, Pendirian, Pembinaan dan Pengawasan LKM
BMT. Jakarta: LAZNAS BMT. 2007.
Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Jakarta:
Prenadamedia Grup, 2015.
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014.
Martowijoyo, Sumantoro. Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat
Terhadap Kinerja, Jakarta: Granada, 2001.
Marzuki, Peter Mahmud,.Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016.
Masyithoh, Novita Dewi. Analisis Normatif Undang-Undang No.1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuagan Syariah dan Pengawasan Baitul Mal wat Tamwil
(BMT), Jurnal Economica, Vol. V. Edisi 2. Oktober 2014.
Meagher, Patrick. Microfinance Regulation in Developing Countries: A Comparative
Review of Current Practice. IRIS center: University of Maryland. 2002.
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011.
156
Mohammed, Obaidullah. Role of Microfinance in Poverty Alleviation : lessons from
experiences in selected IDB member countries. Islamic research & Training
Institute (IRTI) – IDB, 2008
Morduch, Jonathan. Does Microfinance Really Help The Poor? New Evidence from
Flagship Programs in Bangladesh. New York University: Diakses dari
http:/www.nyu.edu/projects.
______________. “Poverty, Economic Growth, and Average Exit Time”. Economics
Letters 59: 1998.
Muchtar, Irsyad. 100 Besar Koperasi Besar Indonesia. Jakarta: PT Berkah Dua Visi.
2018.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004.
Mulhadi. Hukum Perusahaan: Bentuk Badan Usaha di Indonesia. Jakarta: Rajawali
Pers, 2017.
Mursid, Fadillah. “Kebijakan Regulasi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Di
Indonesia”. Tesis. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017.
Myrdal, Gunnar. The Challenge Of World Poverty : A World Anti-Poverty Program
In Outline, New York : Pantheon Books, 1970.
Nasution, M. E., Setyanto, B., Huda, N., Mufraini, M. A., & Utama, B. S.
Pengenalan ekslusif ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2007.
157
Nourma Dewi, Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dalam Sistem
Prekeonomian Indonesia, Jurnal Serambi Hukum Vol. 11 No. 01 Februari - Juli
2017.
Obaidullah, Mohammed, Role of Microfinance in Poverty Alleviation : lessons from
experiences in selected IDB member countries, Islamic research & Training
Institute (IRTI) – IDB, 2008.
Pandji Anoraga, dan Ninik Widiyanti. Dinamika Koperasi. Rineka Cipta : Jakarta,
2007.
Perhimpunan BMT Indonesia. Haluan BMT 2020. Jakarta, 2010.
Pospisil, Leopold. Anthropology Of Law: A Comparative Theory. New York: Harper
& Row, 1971.
Pound, Roscoe. Introduction to the Study of Law, Michigan: American School of
Correspondence, 1912, dalam James. A. Gardner, “The Sociological
Jurisprudence of Roscoe Pound”, Villanova Law Review, Vol. 7, No. 1.
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika: Jakarta, 2009.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2014.
_______________. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum. Jakarta: Kompas, 2007.
_______________. Hukum Dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press, 2006.
Radbruch, Gustav. Rechtphilosophie. Editor: Ralf Dreier. Heidelberg: C. F. Muller
GmbH, 2003.
Ramudi Ariffin, Koperasi Sebagai Perusahaan,Bandung: IKOPIN PRESS, 2013, h.
Rahardjo, Satjipto Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing. 2010.
158
Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge, Massachussets: Harvard University
Press, 1995.
S, Kusni Goesniadhie. Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan
yang Baik. Malang: A3 Nasa Media, 2010.
Sadzilly, Hasan dkk. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ihtiar Baru. 1995.
Santoso, Lukman dan Yahyanto. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: Setara Press,
2016.
Savigny, Friedrich Carl Von. System des Hentigen Romischen Recht, 1866 dalam
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.
Schyut, C.J.M. Rechtssosiologeeen Terreinverkenning. Roterdam: Universitaire
press, 1971.
Sidharta, Narasi Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan
Wilayah Pesisir Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
dan Coastal Resources Management Project II.
Silitonga, Golom. “Tinjauan Yuridis Tentang Bentuk Badan Hukum Koperasi Di
dalam Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) (Studi Kasus: BMT Arta Amanah
Sanden Kabupaten Bantul)”. Tesis. Fakultas Hukum. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta. 2013.
Soejono. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan. Jakarta: Rineka Cipta,
1999.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pres: Jakarta, 1986.
159
________________, dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan
Singkat. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007.
Sri Dewi Yusuf, “Peran Strategis BMT dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat”, Jurnal
al-Mizan, Volume 10 No.1 Edisi Juni 2014.
Sofiani, Triana. Konstruksi Norma Hukum Koperasi Syariah Dalam Kerangka
Sistem Hukum Koperasi Nasional. Jurnal Hukum Islam (JHI), Volume 12,
Edisi Desember, 2014.
Suhardi, dkk. Hukum Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia.
Jakarta: PT Akademia, 2012.
Suwondo, “Menanamkan Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum”, Artikel,
http://jdih.jatimprov.go.id, diakses 24 September 2018.
Syathibi. al-Muwafaqât fī Ushûl al-Sharī’ah. Juz I. Beirut: Dâr al-Kutûb al-Ilmiyyah.
Syaukani, Imam. Rekontruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2006.
Tanya, Bernard. L, dkk. Teori Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
Umam, Khairul. Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Yusuf, Sri Dewi. “Peran Strategis BMT dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat”, Jurnal al-
Mizan, Volume 10 No.1 Edisi Juni 2014.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah,
cet ke-2, Bayu Media Publishing: Malang, 2008.
160
Undang-Undang dan Peraturan Lainnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri dan Gubernur Bank Indonesia Nomor
351.1/KMK.010/2009, 900-639A Tahun 2009, 01/SKB/M.KUKM/IX/2009,
11/43A/KEP.GBI/2009 Tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan
Mikro.
Peraturan Menteri Koperasi Nomor 10/Per/M.KUKM/IX/2015 Tentang Kelembagaan
Koperasi
Peraturan Menteri Koperasi Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan oleh Koperasi
Peraturan Menteri Koperasi dan UKM RI Nomor 11/PER/M.UKUKM/XII/2017
Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan oleh
Koperasi
Peraturan Menteri Koperasi dan UKM RI Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Perizinan
Usaha Simpan Pinjam Koperasi
Peraturan Menteri Koperasi dan UKM RI Nomor 09 Tahun 2018 Tentang
Penyelenggaraan Dan Pembinaan Perkoperasian
Peraturan Menteri Koperasi dan UKM RI Nomor 12 Tahun 2018 Tentang Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pengelola Koperasi Simpan Pinjam Dan
Pembiayaan Syariah/Unit Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Koperasi
161
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61 /POJK.05/2015 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 Tentang
Perizinan Usaha Dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro
Website
www.depkop.go.id
www.ojk.go.id
https://scholar.harvard.edu/files/hckelman
https://wagner.nyu.edu/files/faculty/publications/
https://18798-presscdn-pagely.netdna-ssl.com/jmorduch/wp-content
https://wp.nyu.edu/jmorduch/miscellaneous/
https://www.bmtugtsidogiri.co.id
http://www.cupk.org
http://www.culantangtipo.com
http://bmtberingharjo.com
https://www.tamzis.id
https://www.bmtugtsidogiri.co.id
LAMPIRAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992
TENTANG
PERKOPERASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa Koperasi ,baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju,adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi;
b. bahwa koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip Koperasi sehingga mampu berperan sebagai sokoguru perekonomian nasional;
c. bahwa pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan seluruh rakyat;
d. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut dan menyelaraskan dengan perkembangan keadaan, perlu mengatur kembali ketentuan tentang perkoperasian dalam suatu Undang-undang sebagai pengganti Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),dan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKOPERSIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang -undang ini yang dimaksud dengan: 1. Koperasi adalah badan usahayang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum
Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi. 3. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang. 4. Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi. 5. Gerakan koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan perkoperasian
yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama Koperasi.
BAB II LANDASAN , ASAS ,DAN TUJUAN
Bagian Pertama
Landasan dan Asas
Pasal 2 Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3 Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju ,adil ,dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 .
BAB III
FUNGSI , PERAN, DAN PRINSIP KOPERASI
Bagian Pertama Fungsi dan Peran
Pasal 4
Fungsi dan peran Koperasi adalah: a. membangun dan mengembangkan potesi dan kemampuan ekonomi anggota pada
khususnya dan pada masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;
b. berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat ;
c. memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perkonomian nsional dengan koperasi sebagai sokogurunya ;
d. berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perkonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Bagian Kedua
Prinsip Koperasi
Pasal 5 (1) Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut;
a. keanggotaan bersifat suka rela dan terbuka; b. pengelolaan dilaksanakan secara demokratis; c. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa
usaha masing-masing anggota; d. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; e. kemandirian.
(2) Dalam mengembangkan Koperasi ,maka Koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi sebagai berikut: a. pendidikan perkoperasian; b. kerja sama antar Koperasi.
BAB IV
PEMBENTUKAN
Bagian pertama Syarat dan Pembentukan
Pasal 6
(1) Koperasi Primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang. (2) Koperasi Skunder dibentuk sekurang -kurangnya 3 (tiga) Koperasi.
Pasal 7
(1) Pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dilakukan dengan kata pendirian yang memuat Anggaran Dasar.
(2) Koperasi mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 8 Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) memuat Sekurang-kurangnya a. daftar nama pendiri; b. nama dan tempat kedudukan ; c. maksud dan tujuan serta bidang usaha; d. ketentuan mengenai keanggotaan ; e. ketentuan mengenai Rapat Anggota ; f. ketentuan mengenai pengelolaan ; g. ketentuan mengenai permodalan ; h. ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya ; i. ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha ; j. ketentuan mengenai sanksi.
Bagian Kedua
Status Badan Hukum
Pasal 9
Koperasi memperoleh status badan hokum setelah akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah .
Pasal 10 (1) Untuk mendapatkan pengesahan aebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9, para pendiri
mengajukan permintaan secara tertulis disertai akta pendirian Koperasi. (2) Pengesahan akta pendirian diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
setelah diterimanya permintaan pengesahan. (3) Pengesahan akta pendirian diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 11
(1) Dalam hal permintaan pengesahan akta pendirian ditolak ,alasan penolakan diberitahukan kepada para pendiri secara tertulis dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan.
(2) Terhadap penolakan pengesahan akta pendirian para pendri dapat mengajukan permintaan ulang dalam waktu palng lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya penolakan.
(3) Kuputusan terhadap pengajuan permintaan ulang diberikan dalam jangka waktu paling lama 1(satu) bulan sejak diterimanya pengajuan permintaan ulang .
Pasal 12
(1) Perubahan Anggaran Dasar dilakukan oleh Rapat Anggota . (2) Terhadap Perubahan Anggaran Dasar yang menyangkut penggabungan, pembagian,dan
perubahan bidang usaha Koperasi dimintakan pengesahan kepada pemerintah.
Pasal 13 Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengesahan atau penolakan pengesahan akta pendirian ,dan perubahan Anggaran Dasar Sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, pasal 10, pasal 11, dan pasal 12 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 14
(1) Untuk keperluan pengembangan dan//atau efisiensi usaha ,satu Koperasi atau lebih dapat: a. menggabungkan diri menjadi satu dengan Koperasi lain ,atau b. bersama Koperasi lain meleburkan diri dengan membentuk Koperasi baru .
(2) Penggabungan atau peleburan dilakukan dengan persetujuanRapat Anggota masing-masing Koperasi.
Bagian Ketiga
Bentuk dan Jenis
Pasal 15 Koperasi dapat berbentuk koperasi Primer atau Koperasi Sekunder.
Pasal 16
Jenis Koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya.
BAB V KEANGGOTAAN
Pasal 17
(1) Anggota Koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar anggota .
Pasal 18 (1) Yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah setiap warga negara Indonesia yang mampu
melakukan tindakan hukum atau Koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
(2) Koperasi dapat memiliki anggota luar biasa yang persyaratan ,hak, dan kewajiban keanggotaannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 19
(1) Keanggotaan Koperasi didasarkan pada kesamaaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dapat diperoleh atau diakhiri setelah syarat sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dipenuhi.
(3) Keanggotaan Koperasi tidak dapat dipindah tangankan. (4) Setiap Anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap Koperasi
sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar .
Pasal 20 (1) Setiap Anggota mempunyai kewajiban:
a. mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota;
b. berpartisipasi dalam kegiatan usahs yang diselenggarakan oleh Koperasi; c. mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Setiap Anggota mempunyai hak: a. menghadiri ,menyatakan pendapat ,dan memberikan suara dalam Rapat Anggota; b. memilihdan/atau dipilih menjadi aggota Pengurus atau Pengawas; c. meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar; d. mengemukakan pendapat atau saran kepada pengurus diluar Rapat Anggota baik
diminta maupun tidak diminta. e. memanfaatkan Koperasi dan mendapat pelayanan yang antara sesama aggota; f. mendapatkan keterangan mengenai perkembangan Koperasi menurut ketentuan dalam
Anggaran Dasar.
BAB VI PERANGKAT ORGANISASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 21 Perangkat organisasi Koperasi terdiri dari : a. Rapat Aggota; b. Pengurus; c. Pengawas.
Bagian Kedua Rapat Anggota
Pasal 22
(1) Rapat Anggota merupakan Pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi. (2) Rapat Anggota dihadiri oleh aggota yang pelaksanaanya diatur dalam
Anggaran Dasar.
Pasal 23 Rapat Anggota menetapkan : a. Anggaran Dasar ; b. Kebijakan umum dibidang organisasi ,manajemen ,dan usaha Koperasi; c. pemilihan ,pengangkatan ,pemberhentian pengurus dan pengawas ; d. rencana kerja ,rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi ,serta pengesahan
laporan keuangan ; e. pengesahan pertanggungjawaban pengurus dalam pelaksanaan tugasnya ; f. pembagian sisa hasil usaha ; g. penggabungan ,peleburan ,pembagian ,dan pembubaran Koperasi .
Pasal 24 (1) Keputusan Rapat Anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufa Kat. (2) Apabila tidak diperoleh keputusan dengan cara musyawarah ,maka pengambilan
keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak . (3) Dalam dilakukan pemungutan suara ,setip anggota mempunyai hak satu suara . (4) Hak suara dalam Koperasi Sekunder dapat diatur dalam Anggaran Dasar dengan
mempertimbagkan jumlah anggota dan jasa usaha Koperasi anggota secara berimbang.
Pasal 25 Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas mengenai pengelolaan Koperasi.
Pasal 26
(1) Rapat anggota dilakukan paling sedikit dalam 12 (satu) tahun. (2) Rapat anggota untuk mengesahkan pertanggungjawaban Pengurus diselenggarakan paling
lambat 6(enam) bulan setelah tahun buku lampau.
Pasal 27 (1) Selain Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, Koperasi dapat melakukan
Rapat Anggota Luar Biasa apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera yang wewenangnya ada pada Rapat Anggota.
(2) Rapat Anggota Luar Biasa dapat diadakan atas permintaan sejumlah anggota Koperasi atau atas keputusan Pengurus yang pelaksanaanya ditur dalam Anggaran Dasar.
(3) Rapat Anggota Luar Biasa Mempunyai wewenang yang dengan wewenang Rapat Anggota sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23.
Pasal 28
Persyaratan, tata cara, dan tempat penyelenggaraan Rapat Anggota dan Rapat Anggota Luar Biasa diatur dalam Anggaran Dasar.
Bagian Ketiga Pengurus
Pasal 29
(1) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. (2) Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota.
(3) Untuk pertama kali,susunan dan nama anggota pengurus dicantumkan dalam akta pendirian.
(4) Masa jabatan Pengurus paling lama 5 (lima) tahun. (5) Persyaratan untuk dapat dipilh dan diangkat menjadi Anggota.
Pasal 30 (1) Pengurus bertugas:
a. mengelola Koperasi dan usahanya; b. mengajukan rancangan rencana kerjaserta rancangan rencanaanggaran pendapatan
dan belanja Koperasi ; c. menyelenggarakan Rapat Anggota; d. mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas; e. menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib; f. memelihara daftar buku anggota dan pengurus.
(2) Pengurus berwenang; a. mewakili Koperasi di dalam dan diluar pengadilan; b. memutuskan penerimaan dan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian
anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar; c. melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan Koperasi sesuai
dengan tanggunajawabnya dan keputusan Rappat Anggota.
Pasal 31 Pengurus bertanggungjawab mengenai segala kegiatan pengelolaan Koperasi dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa.
Pasal 32 (1) Pengurus Koperasi dapat mengangkat pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk
mengelola usaha. (2) Dalam Pengurus Koperasi bermaksud untuk mengangkat pengelola,maka rencana
pengangkatan tersebut diajukan kepada Rapat Anggota untuk mendapat persetujuan. (3) Pengelola bertanggungjawab kepada Pengurus. (4) Pengelolaan usaha oleh Pengelola tidak mengurangi tanggung jawab pengurus
sebagaimana dmaksud dalam pasal 31.
Pasal 33 Hubungan antara Pengelola usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 dengan Pengurus Koperasi merupakan hubungan kerja atas dasar perikatan.
Pasal 34 (1) Pengurus,baik bersama-sama,maupun sendiri-sendiri,menanggung kerugian yang di derita
Koperasi ,karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya. (2) Di samping penggantian kerugian tersebut,apabila tindakan itu dilakukan dengan
kesengajaan ,tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Pasal 35
Setelah tahun buku Koperasi di tutup, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakan rapat anggota tahunan ,Pengurus menyusun laporan tahunan yang memuat sekurang-kurangnya:
a. pernitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan hasil usaha dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut;
b. keadaan dan Koperasim serta hasil usaha yang dapat dicapai.
Pasal 36 (1) Laporan tahunan sebagaimana yang dimaksud pasal 35 ditandatangani oleh semua Rapat
Pengurus. (2) Apabila salah seorang Anggota Pengurus tidak menandatangani laporan tahunan tersebut ,
anggota yang bersangkutan menjelaskan alasannya secara tertulis.
Pasal 37 Persetujuan terhadap laporan tahunan, termasuk pengesahan perhitungan tahunan, merupakan penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota.
Bagian Keempat Pengawas
Pasal 38
(1) Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dan Rapat Anggota. (2) Pengawas bertanggungjawab kepada Rapat Anggota. (3) Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat sebagai Anggota Pengawas ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
Pasal 39 (1) Pengawas bertugas:
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelola Koperasi; b. membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya;
(2) Pengawas berwenang : a. meneliti catatan yang ada pada Koperasi ; b. mendapatkan segala keterangan yang diperlukan;
(3) Pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga.
Pasal 40 Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan public.
BAB VII MODAL
Pasal 41
(1) Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman. (2) Modal sendri dapat berasal dari:
a. Simpanan Pokok; b. Simpanan Wajib ; c. Dana Cadangan ; d. Hibah.
(3) Modal Pinjaman dapat berasal dari : a. Anggota; b. Koperasi lainnya dan/atau anggotanya; c. Bank dan lembaga keuangan lainnya ; d. Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
e. Sumber lain yang sah.
Pasal 42 (1) Selain modal sebagai dimaksud dalam pasal 41,Koperasi dapat pula melakukan
pemupukan Modal yang juga berasal dari Modal penyertaan. (2) Ketentuan mengenai pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan diatur Lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII LAPANGAN USAHA
Pasal 43
(1) Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota;
(2) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi.
(3) Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.
Pasal 44
(1) Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkan melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk; a. anggota Koperasi yang bersngkutan; b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.
(2) Kegitan usaha simpan pinjam dapat dilaksanakan sebagai salah satu atau satu-satunya kegiatan usaha Koperasi.
(3) Pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh Koperasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB IX
SISA HASIL USAHA
Pasal 45 (1) Sisa hasil usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu
tahun buku dikurangi dengan biaya,penyusutan ,dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
(2) Sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan ,dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan Koperasi, serta digunakan untuk pendidikan Perkoperesian dan keperluan lain dari Koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
(3) Besarnya Pemupukan dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota,
BAB X PEMBUBARAN KOPERASI
Bagian Pertama
Cara Pembubaran Koperasi
Pasal 46 Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan: a. Keputusan Rapat Anggota,atau
b. Keputusan Pemerintah.
Pasal 47 (1) Keputusan pembubaran oleh pemeritah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b
dilakukan apabila: a. terdapat bukti bahwa Koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan Undang-
undang ini; b. kegiatan bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan; c. kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.
(2) Keputusan pembubaran Koperasi oleh pemerintah dikeluarkan dalam waktu paling lambat 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan rencana pembubaran tersebut oleh Koperasi yang bersangkutan.
(3) Dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal penerimaan pemberitahuan, Koperasi yang bersangkutan berhak mengajukan keberatan.
(4) Keputusan Pemerintah mengenai diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana pembubaran diberikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya pernyataan keberatan tersebut.
Pasal 48
Ketentuan mengenai pembubaran Koperasi oleh pemerintah dan tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49 (1) Keputusan pembubaran Koperasi oleh Rapat Anggota diberitahukan secara tertulis oleh
Kuasa Rapat Anggota kepada: a. semua kreditor; b. pemeritah.
(2) Pemberitahuan kepada semua Kreditor dilakukan oleh pemerintah dalam hal pembubaran tersebut.
(3) Selama pemberitahuan pembubaran Koperasi belum diterima oleh kreditor maka pembubaran Koperasi belum berlaku baginya.
Pasal 50
Dalam pemberitahuan sebagamana dimaksud dalam pasal 49 disebutkan: a. nama dan alamat penyelesaian, dan b. ketentuan bahwa semua kreditor dapat mengajukan tagihan dalam jangka waktu 3(tiga)
bulan sesudah tanggal diterimanya surat pemberitahuan pembubaran.
Bagian Kedua Penyelesaian
Pasal 51
Untuk kepentingan kredtor dan para anggota Koperasi terhadap pembubaran Koperasi dilakukan penyelesaian pembubaran yang selanjutnya disebut penyelesaian.
Pasal 52 (1) Penyelesaian dilakukan oleh penyelesaian pembubaran yang selanjutnya disebut
Penyelesai. (2) Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan Rapat Anggota, penyelesai ditunjuk oleh
Rapat Anggota.
(3) Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan pemerintah , penyelesai dtunjuk oleh Pemerintah.
(4) Selama dalam proses penyelesaian,Koperasi tersebut tetap ada dengan sebutan "Koperasi dalam penyelesaian".
Pasal 53
(1) Penyelesaian segera dilaksanakan setelah dikeluarkan keputusan pembubaran Koperasi. (2) Penyelesai bertanggungjawab kepada kuasa Rapat Anggota dalam hal penyelesaiditunjuk
oleh Rapat Anggota dan kepada pemerintah dalam hal penyelesai ditunjuk oleh pemerintah.
Pasal 54
Penyelesai mempunyai hak,wewenang, dan kewajiban sebagai berikut: a. melakukan segala perbuatan hukum untuk dan atas nama "Koperasi dalam penyelesaian ". b. mengumpulkan segala keterangan yang diperlukan ; c. memangil pengurus, anggota dan bekas anggota tertentu yang diperlukan,baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama; d. memperoleh ,memeriksa ,dan mengunakan segala catatan yang dan arsip Koperasi; e. menetapkan dan melaksanakan segal kewajiban pembayaran yang didahulukan dari
pembayaran hutang lainnya; f. menggunakan sisa kekayaan Koperasi untuk menyelesaikan sisa kewajiban Koperasi; g. membagikan sisa hasil penyelesaian kepada anggota ; h. membuat berita acara penyelesaian.
Pasal 55 Dalam hal terjadi pembubaran Koperasi ,anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok, simpanan wajib dam modal penyertaan yang dimilikinya.
Bagian Ketiga Hapusnya Status Badan Hukum
Pasal 56
(1) Pemerintah mengumumkan pembubaran Koperasi dalam berita Negara Republik Indonesia.
(2) Status Badan Hukum Koperasi hapus sejak tanggal pengumuman pembubaran Koperasi tersebut dalam berita Negara Republik Indonesia.
BAB XI
LEMBAGA GERAKAN KOPERASI
Pasal 57 (1) Koperasi secara bersama-sama mendirikan satu organisasi tunggal yang berfungsi sebagai
wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi Koperasi.
(2) Organisasi ini berazaskan Pancasila. (3) Nama,tujuan,susunan, dan tata kerja organisasi diatur dalam Anggaran Dasar organisasi
yang bersangkutan.
Pasal 58 (1) Organisasi tersebut melakukan kegiatan:
a. memeperjuangkan dan menyalurkan aspirasi Koperasi;
b. meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan masyarakat. c. melakukan pendidikan perkoperasian bagi anggota dan masyarakat; d. mengembangkan kerja sama antar Koperasi dan anggota Koperasi dengan Badan
usaha lain, baik pada tingkat nasional maupun internasional. (2) Untuk melaksanakan kegiatan tersebut,Koperasi secara bersama-sama menghimpun dan
Koperasi.
Pasal 59 Organisasi yang dibentuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) disahkan oleh pemerintah.
BAB XII PEMBINAAN
Pasal 60
(1) Pemerintah menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan Koperasi.
(2) Pemerintah memberikan bimbingan,kemudahan dan perlindungan kepada Koperasi.
Pasal 61 Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim yang kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi,pemerintah; a. memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi; b. meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi Koperasi yang
sehat,tangguh,dan mandiri; c. mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan
Badan usaha lainnya; d. membudayakan Koperasi dalam masyarakat.
Pasal 62 Dalam rangka memberikan bimbingan dan kemudahan kepada Koperasi ,pemerintah: a. membimbing usaha Koperasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi anggotanya; b. mendorong, mengembangkan, dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan,
penyuluhan, dan penelitian perkoperasian; c. memberikan kemudahan untuk memperkokoh pemodalan Koperasi serta mengembangkan
lembaga keuangan Koperasi; d. membantu pengembangan jaringan usaha Koperasi dan kerja sama yang saling
menguntungkan antar Koperasi; e. memberikan bantuan konsultasi guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
Koperasi dengan tetap memperhatikan Anggaran Dasar dan prinsip Koperasi.
Pasal 63 (1) Dalam rangka pemberian perlindungan kepada Koperasi,pemerintah dapat:
a. menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh Koperasi; b. menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan
oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya. (2) Persyaratan dan tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 64
Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional,serta pemerataan kesepakatan berusaha dan kesempatan kerja.
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Koperasi yang telah memiliki status badan hukum pada saat Undang-undang ini berlaku,dinyatakan telah diperoleh status badan hukum berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini,maka Undang-undang Nomor 12 tahun 1967 tentang pokok-pokok perkoperasian (lembaran Negara tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 2832) dinyatakan tidak berlaku lagi;
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang pokok- pokok perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23,Tambahan Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 2832 ) dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 67
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 21 Oktober 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 21 Oktober 1992 MENTRI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 116