kep

149
EFIKASI DAN PREFERENSI BISKUIT YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe) DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI, STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN ANAK BALITA SUS WIDAYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Upload: dayarahmat

Post on 27-Dec-2015

160 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

fdsfsd

TRANSCRIPT

Page 1: Kep

EFIKASI DAN PREFERENSI BISKUIT YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe)

DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI, STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN

ANAK BALITA

SUS WIDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

Page 2: Kep

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang

ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan masukkanlah aku

dengan rahmat Mu ke dalam golongan hamba-hamba Mu yang sholeh

(QS. 27:19)

Page 3: Kep

Kupersembahkan untuk: Ibunda Sunarmi, Suamiku Drs. Setyabudhi, M.Pd tercinta,

Anak-anakku tersayang: Aa Jj dan Aa Gi, serta Saudara-saudaraku terkasih: Mb Nur,

Mb Andjar, Hudi, Soni, dan Indah

Page 4: Kep

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun

Baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

Page 5: Kep

ABSTRAK

SUS WIDAYANI. Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF, AHMAD SULAEMAN, BUDI SETIAWAN, dan MUHILAL Defisiensi zat gizi mikro dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun dan rentan terhadap peningkatan infeksi. Anemia defisiensi besi dan defisiensi vitamin A pada anak-anak balita masih merupakan problem kesehatan di Indonesia, walaupun usaha perbaikan gizi sudah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah. Zat besi merupakan salah satu mineral yang sangat melimpah di bumi, meski sangat sedikit sekali jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh. Namun demikian defisiensi besi (anemia) merupakan defisiensi gizi mikro yang prevalensinya paling tinggi, dengan 2 milyar orang yang terkena di seluruh dunia. Zat besi memainkan peranan yang penting dalam metabolisme tubuh. Keberadaan vitamin A terutama dalam sisntesis hemoglobin (Hb) sangat penting terutama untuk memobilisasi zat besi dan menstimulasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Pemberian biskuit yang difortifikasi vitamin A bersama zat besi (Fe) diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi Hb, ferritin serum (Fs), retinol serum (Rs), dan respons imun khususnya imunoglobulin G (IgG) anak balita. Salah satu indikator defisiensi besi adalah konsentrasi Hb. Penurunan konsentrasi Hb merupakan tanda dari defisiensi zat besi. Indikator status anemia lainnya adalah kadar ferritin serum. Status vitamin A dapat dilihat dari kadar retinol, dan respons imun dapat dilihat dari kadar imunoglobulin G total. Penelitian ini dirancang untuk mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap: (1) peningkatan asupan zat gizi anak balita, 2) peningkatan status gizi secara antropometri, 3) peningkatan konsentrasi Hb, ferritin (Fs), retinol (Rs), dan pengaruhnya terhadap respons imun anak balita. Disain penelitian yang digunakan adalah eksperimental (randomized controlled trial) pada 10 desa di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Contoh sebanyak 70 anak balita yang dikelompokkan menjadi 2, yakni 35 anak balita diberi biskuit fortifikasi dan 35 anak balita diberi biskuit plasebo. Masing-masing kelompok diberi biskuit selama 4 bulan dan tingkat konsumsi pangannya dimonitor. Data Hb, Fs, Rs, berat badan, konsumsi pangan dikumpulkan pada saat sebelum dan sesudah penelitian. Data IgG dikumpulkan sebelum dan sesudah pemberian booster DPT. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan konsentrasi Hb, Fs, Rs, dan IgG total secara nyata lebih tinggi pada akhir intervensi (p<0,05). Delta peningkatan Hb, ferritin, dan retinol, serta titer IgG secara nyata lebih tinggi setelah pemberian biskuit fortifikasi dan booster DPT. Di akhir penelitian, sebagian besar anak balita memiliki IgG total yang tinggi. Kata kunci: biskuit fortifikasi, status gizi, hemoglobin, ferritin, retinol, dan imunoglobulin G total.

Page 6: Kep

ABSTRACT

SUS WIDAYANI. Efficacy and Preference of Fortified Vitamin A and Iron Biscuits on Consumption, Nutritional Status , and Immune Response of Children Under Five of Age. Supervised by HIDAYAT SYARIEF, AHMAD SULAEMAN, BUDI SETIAWAN, and MUHILAL Micro nutrient deficiency may cause impaired immune function and susceptible to infection. Iron deficiency anemia (IDA) and vitamin A deficiency (VAD) among children underfive of age remains a main public health problem in Indonesia. Vitamin A and iron deficiencies are causes of IDA. Iron is one of the most abundant minerals on earth, and the human body require only minute quantities. Yet, iron deficiency is the most prevalent micronutrient deficiency, with about 2 billion people were affected worldwide. Iron plays important role in the metabolism of living organisms. Vitamin A can mobilize iron from body store and stimulate the production of new erythrocytes in the bone marrow in the synthesis of hemoglobin. Furthermore, micronutrient deficiencies can contribute to fufther impairment in immune respons and infections disease. Fortified biscuits is expected to reduce this problem to be a good alternative to improve the nutritional status as well as enhance the haemoglobin concentration (Hb), serum ferritin (Fs), serum retinol (Rs), and the immune respons especially imunoglobulin G (Ig G). Iron deficiency is defined by the absence of iron store. One indicator of iron deficiency is haemoglobin concentration. Iron deficiency leads to reduce iron deficiency anemia. Haemoglobin concentration decline at and at the end stage of iron deficiency. One of indicators of anemia status is ferritin level in serum, and indicator of vitamin A status is serum retinol, and immune respons is Total IgG. The objectives of this study were: 1) to evaluate the effect of biscuits feeding on nutrient intake of children under five of age, 2) to measure the nutritional status of children underfive of age, and 3) to measure the concentration of serum haemoglobin, ferritin, retinol and titer Ig G and 4) to evaluate the impact of biscuits fortification on antropometric nutritional status, anemia status (Hb), iron status (Fs), vitamin A status (Rs), and immune respons.

Randomized controlled trial was applied in this studi and conducted in 10 villages of Dramaga Sub District of Bogor regency. Two groups each 35 children treatment and control, were assigned to receive different intervention during 4 months. Data on Hb, Fs, Rs, and body weight, and food intake were collected before and after intervention. Total IgG data was collected before and after the subject received DPT boosters.

Hb concentration, ferritin and serum retinol, and total IgG increased significantly (p<0,05) after intervention. Children had IgG titer higher at the endline than the baseline. Fortified biscuits significanly (p<0,05) increased hemoglobin and total IgG of children underfive of Age.

Key words: fortified biscuit, nutritional status, hemoglobin, ferritin, retinol, and total immunoglobulin G

Page 7: Kep

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita adalah benar-benar asli karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.

Bogor, Nopember 2006

SUS WIDAYANI NRP.A326010021

Page 8: Kep

EFIKASI DAN PREFERENSI BISKUIT YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe)

DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI, STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN

ANAK BALITA

SUS WIDAYANI

Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor

pada Program Studi Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Page 9: Kep

Judul Penelitian : Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita

Nama Mahasiswa : SUS WIDAYANI NRP : A326010021 Program Studi : Gizi Masyarakat

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, M.S Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, M. S Ketua Anggota Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S Prof. Dr. Muhilal, APU

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Gizi Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S Dr. Ir. Khairil A. Notodiputra, M.S Tanggal Ujian: 29 Nopember 2006 Tanggal Lulus:

Page 10: Kep

RIWAYAT HIDUP

Sus Widayani dilahirkan di kota Solo, pada tanggal 21 September 1965,

sebagai anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Bapak Achmady Daryono

(Alm) dan Ibu Sunarmi. Pendidikan Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi

diselesaikan di Semarang pada tahun 1991. Pendidikan Sarjana Boga ditempuh di

Fakultas Teknik (FT, dahulu FPTK) Universitas Negeri Semarang (UNNES,

dahulu IKIP). Tahun 1997 penulis diterima pada Program Studi Gizi Masyarakat

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Tahun

2001 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor pada Program

Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor. Beasiswsa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Beasiswa

Program Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional Republik

Indonesia.

Pengalaman bekerja dimulai pada tahun 1985 sebagai guru Sekolah Dasar

di SD Negeri Pekunden Semarang. Pada tahun 1991 penulis bekerja sebagai Staf

Pengajar di Jurusan PKK Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (FPTK,

kini FT) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (IKIP, kini UPI). Pada

tahun 1995 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan

Teknologi Jasa dan Produksi Boga (TJP) pada Fakultas Teknik (FT) Universitas

Negeri Semarang (UNNES). Penulis menikah dengan Drs. Setyabudhi, M.Pd pada

tanggal 03 Nopember 1991 dan dikaruniai dua orang putra : Jj. Ivan Naufal Al

Virdiyan dan AA. Giananda Al Aurasesar.

Page 11: Kep

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadlirat Illahi Robbi,

berkat Rahmat, Ridho, dan Hidayah-Nya, perjalanan panjang studi ini dapat

mencapai tahap akhir. Salam dan shalawat disampaikan kepada junjungan Nabi

Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikut-Nya yang shaleh.

Pertama-tama penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada kedua

orang tua anak-anak balita di Kecamatan Dramaga yang mengijinkan anak-

anaknya menjadi subjek penelitian dan dengan ihklas mengijinkan pengambilan

sampel darah anaknya sebanyak tiga kali. Kesabaran, kejujuran, dan ketegaran,

serta keluguan mereka adalah buku teks kehidupan yang tidak pernah tersedia di

rak-rak perpustakaan.

Kepada komisi pembimbing yang diketuai Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief,

M.Sc. dengan tulus dan rendah hati penulis sampaikan rasa terima kasih yang

tidak terhingga karena bimbingan dan nasihat beliau baik lisan maupun melalui

SMS dalam pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi.

Pribadi beliau yang sarat ilmu, kesehariannya yang sederhana dan sikapnya yang

istiqomah, membuatnya melampaui batas sekedar seorang pembimbing. Beliau

adalah teladan, dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau selalu meluangkan

waktu untuk saya berkonsultasi.

Ucapan yang sama penulis sampaikan pula kepada Dr. Ir. Ahmad

Sulaeman, M.S. dan Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. yang banyak membimbing dan

memberikan dorongan moril yang tidak ternilai. Beliau berdua selalu meluangkan

waktu dan membimbing dengan sabar dan ikhlas. Nasihat bapak Ahmad lewat

SMS memacu saya untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih sekali

kepada bapak Budi yang dengan tulus ikhlas meninjau ke lapangan saat

pengambilan darah tahap akhir di Balai Desa Petir, semoga Allah SWT

melimpahkan pahala bagi beliau.

Kepada Prof. Dr. Muhilal, APU yang banyak membimbing mulai dari

konsultasi judul, pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian

disertasi termasuk pemberian berbagai pustaka, diucapkan terima kasih. Ide awal

Page 12: Kep

penelitian dan perbincangan masalah imunitas pada anak balita di kantor

Puslitbang Gizi mampu membuka wawasan penulis terhadap bidang tersebut.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir.

Hardinsyah, M.S selaku ketua proyek kerjasama PSKPG dan World Food

Program (WFP) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk

menggunakan sebagian sampel dan data base untuk kepentingan penelitian.

Kepada Ibu Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku ketua PSKPG saat itu, yang rela

membantu penulis, nasihat bu Ani baik lisan maupun melalui SMS, dan kebaikan

hati beliau tidak pernah akan saya lupakan. Dorongan moril yang begitu tulus dari

beliau Insya Allah tercatat sebagai amal shaleh.

Kepada Rektor UNNES dan Dekan FT serta Ketua jurusan TJP yang telah

memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti program Doktor di Institut

Pertanian Bogor, dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan

beasiswa BPPS, penulis ucapkan terima kasih.

Kepada Dr. Tan dan Dr. Ir. Endang S. Sunaryo, M.Sc selaku Manager R &

D di PT. Indofood Sukses Makmur yang telah membantu untuk penyelesaian

penelitian serta bingkisan terima kasih untuk responden, penulis mengucapkan

terima kasih. Nasihat bu Endang baik secara lisan, via telepon ataupun SMS yang

sampai sekarang masih saya ingat, begitu baik beliau, dengan ikhlas memberikan

bantuan terhadap penyelesaian disertasi. Semoga Allah membalas budi baik

beliau. Kepada Bapak Haris Divisi PT. Gizindo Prima Nusantara atas bantuan

sereal untuk responden di akhir penelitian, diucapkan banyak terima kasih

Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan Tim dokter Puskesmas

UPTD Kecamatan Dramaga, khususnya kepada dr. Maryanto yang telah bersedia

menerima dan mengijinkan serta membantu mengatur rantai vaksin dan

pelaksanaan pemberian booster DPT kepada responden melalui bidan desa, dr.

Egy, dr. Dini, dr. Deasy, dan bidan desa serta tenaga medis pengambil sampel

darah; serta para kader posyandu di Kecamatan Dramaga diucapkan terima kasih.

Terimakasih tulus kepada Bu: Hertik, Cicih, Aan, dan Tutik; Teh: Wiwit, Mumun,

Wiwin, dan Teh Neneng yang tulus ikhlas senantiasa mengantar mengunjungi

responden dan menemani berjalan menyusuri perdesaan dari pagi hingga malam.

Page 13: Kep

Semoga amalan baiknya mendapatkan pahala yang setimpal. Kenangan indah

dengan beberapa enumerator Hena SP, Dety S. Pd, Atik SP, Marhamah M.Si, dan

Ir. Agus M, dan bantuan tulus dari Dety S. Pd, M. Tahrir SP, M.Si, Dra. Wiwit

Estuti M. Si, dan Nurkhasanah, M.Si pada saat pemberian Booster DPT dan

pengambilan darah tahap akhir, diucapkan terima kasih tulus.

Kepada Prof. Dr. Satoto (Alm), dr. Edi Dharmana Ph. D, Sp. Par., Dr.

Endang, dan dr. Umi Kurniati, M.S yang telah memberikan kesempatan

berkonsultasi dan memberikan pustaka; Prof. Sukestyarna, Ph.D, dan Ir. Dahlan

M.Si yang membantu dalam pengolahan data. Terima kasih pula kepada Prof. Dr.

dr. Enud Sp. OG (K), dr. Nur Asikin Sp A (K), Mbak Eva dan Sri, Bu Ratna dan

Teh Ani. Teman-teman seangkatan Dr. Intje Picauly, S.Pi; Dr. Ir. Albiner Siagian;

dr. Yongky, dan Dra. Meda Wahini, M.Si serta dr. Novilia dari Bio Farma

Bandung dan Ir. M. Firdaus M. Si yang banyak memotivasi dan selalu menemani

penulis.

Hormat takzim kepada kedua orang tua tercinta yang telah membesarkan,

mendidik, dan membimbing, serta menghantarkan penulis hingga mencapai

kehidupan saat ini. Dari beliaulah penulis belajar banyak tentang makna

kesabaran, ketabahan, ketekunan, kesetiaan, dan kebenaran. Ucapan terima kasih

tidak lagi memiliki makna manakala membayangkan besar dan tulusnya cinta

beliau berdua. Semoga kerja ini diizinkan Allah menjadi amal shaleh seorang

anak kepada orang tua. Ibunda tersayang yang senantiasa mendoakanku setiap

detik dan malam dalam tahajutnya seta almarhum bapak yang dari dulu

menginginkan saya belajar di IPB menjadi sarjana pertanian. Penulis percaya

walaupun almarhum tidak sempat menyaksikan kelulusan ini, namun jiwa

almarhum yang suci Insya Allah mampu menyaksikan dari alam barzah.

Semangat hidup dan tanpa kenal lelah beliau selalu menanamkan belajar, belajar,

dan belajar. Dua ungkapan emas yang selalu penulis kenang ”Tholabul ilmi

faridhotun ala kuli muslimin wal muslimat” dan ”Tuntutlah ilmu walau sampai ke

negeri Cina”. Semoga jiwa bersih almarhum diampuni segala dosa dan masuk

syurga. Amin. Kakakku, Mbak Andjar dan teristimewa Mbak Nur yang senantiasa

membantu merawat dan mengasuh kedua putraku dari bayi sampai usia balita,

Page 14: Kep

serta adik-adikku: Soni, Hudi, dan Indah yang sekarang membantu merawat putra

pertamaku yang duduk di kelas 5 serta Uwa Agus dan Ceu Yayat; Bi Euis dan

Mang Wiwit, yang telah merawat dan mengasuh anak-anak; terima kasih yang

tidak terhingga atas doa-doa dan kerja kerasnya demi keberhasilan penulis.

Akhirnya secara rendah hati dan penuh kasih sayang penulis sampaikan

terima kasih yang dalam kepada suami tercinta Drs. Setyabudhi, M.Pd dan

permata hatiku: A Jj dan AA Gi yang selalu sabar, setia, penuh pengertian,

berdo’a sepanjang waktu dan nyaris tanpa keluhan. A Jj yang dibesarkan diantara

saudaranya, dalam usia anak-anak telah menunjukkan kedewasaan akan kenyataan

beratnya hidup yang harus dijalani tanpa ada bimbingan dan belaian ibu setiap

waktu. Sikap itulah yang menjadi motivasi terbesar terutama dalam menghadapi

stress-stress yang nyaris membuat frustasi.

Masih banyak nama yang telah berjasa yang tidak sempat disebutkan satu

persatu atas penyelesaian studi ini diucapkan terima kasih yang dalam. Kepada

mereka semuanya, diucapkan terima kasih semoga amal mereka dicatat sebagai

amal shaleh. Amin.

Bogor, 29 Nopember 2006

Page 15: Kep

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL........................................................................................ xvii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xix

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xx

PENDAHULUAN

Latar Belakang ..................................................................................... 1

Tujuan.................................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA

Gizi dan Kesehatan ............................................................................... 5

Status Gizi ............................................................................................ 7

Imunitas Anak Balita ............................................................................ 11

Peranan Vitamin A dan Imunitas ......................................................... 13

Peranan Zat Besi dan Imunitas ............................................................. 19

Sinergisme Vitamin A dan Zat Besi ..................................................... 23

Respons Imun ....................................................................................... 24

Respons Imun Non Spesifik .......................................................... 25

Respons Imun Spesifik ................................................................... 27

Antigen dan Antibodi ..................................................................... 29

Pembentukan Respons Imun ............................................................... 30

Imunoglobulin G (IgG) ....................................................................... 31

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Kerangka Pemikiran ............................................................................. 33

Hipotesis ............................................................................................... 36

Batasan Operasional ............................................................................. 36

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 38

Disain Penelitian ................................................................................... 38

Kerangka dan Cara Penarikan Contoh ................................................. 41

Page 16: Kep

Bahan Penelitian ................................................................................... 42

Analisis ................................................................................................. 42

Biskuit Fortifikasi ................................................................................. 43

Komposisi Biskuit ................................................................................ 43

Pelaksanaan Intervensi dan Pendistribusian Biskuit ............................ 44

Pengumpulan dan Pengukuran Data .................................................... 47

Pengolahan dan Pengendalian Kualitas Data ....................................... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biskuit Fortifikasi ................................................................................. 52

Keadaan Demografi Wilayah Penelitian .............................................. 52

Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Contoh................................. 54

Kepemilikan Kartu Sehat ...................................................................... 58

Pengetahuan Gizi Ibu ........................................................................... 58

Karakteristik Contoh............................................................................. 60

Riwayat Penyakit Anak Balita .............................................................. 63

Konsumsi Biskuit Fortifikasi pada Balita Contoh................................. 66

Konsumsi Zat Gizi Anak Balita ............................................................ 74

Konsumsi Vitamin A ..................................................................... 78

Konsumsi Zat Besi (Fe) ................................................................. 79

Status Gizi Antropometri ..................................................................... 80

Status Zat Gizi Mikro ........................................................................... 83

Hemoglobin (Hb) ........................................................................... 83

Ferritin Serum (Fs) ........................................................................ 87

Retinol Serum (Rs) ........................................................................ 89

Respons Imun (Imunoglobulin G)......................................................... 93

Morbiditas, Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun............ 96

Faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G............................................................................ 96

Hubungan Infeksi, Kadar Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun .......................................................................... 98

Page 17: Kep

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan................................................................................................ 103

Saran...................................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 104

LAMPIRAN ................................................................................................. 113

Page 18: Kep

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor menurut

Standar WHO/NCHS ....................................................................... 10

2 Jenis Data dan Frekuensi Pengumpulan Data .................................. 47

3. Gambaran Wilayah Kecamatan Dramaga ......................................... 53

4. Besar Keluarga Responden menurut Jumlah Anggota Keluarga ...... 55

5. Kepemilikan Rumah Keluarga Contoh............................................. 55

6. Keadaan Bangunan dan Penerangan Rumah Keluarga Contoh........

55

7. Keadaan Ventilasi Rumah Tangga Contoh....................................... 56

8. Sarana Septiktank Rumah Tangga Contoh........................................ 57

9. Sumber Air Rumah Tangga Contoh.................................................. 57

10. Kepemilikan Kartu Sehat dan Kartu Berobat.................................... 58

11. Pengelompokkan Pengetahuan Gizi Ibu menurut Kategori.............. 59

12. Karakteristik Balita Contoh Menurut Jenis Kelamin, Umur, Urutan

dalam Keluarga, Riwayat Lahir, Riwayat Penyakit, Imunisasi, dan

Kedatangan di Posyandu.................................................................. 61

13. Riwayat Penyakit Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi ..... 63

14. Rata-rata Skor Morbiditas Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi........................................................................................... 65

15. Konsumsi Biskuit pada Balita Contoh.............................................. 66

16. Tambahan Energi dan Zat Gizi Mikro Harian dari Biskuit Fortifikasi Setiap 100 gram terhadap Kecukupan Gizi Balita ............................ 68

17. Opini Ibu- ibu Balita tentang Biskuit Penelitian................................ 72

18. Rata-rata Konsumsi Total Harian Anak Balita Contoh..................... 75

19. Rata-rata Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi Anak Balita Contoh menurut

AKG 2004 ......................................................................................... 77

20. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Vitamin A Anak Balita 79

21. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Zat Gizi Besi (Fe) ...... 79

Page 19: Kep

Tabel Halaman

22. Sebaran Rata-rata BB dan TB Anak Balita ....................................... 81

23. Sebaran Rata-rata Status Gizi Anak Balita Indeks BB/TB

(WHO-NCHS, 1983) ........................................................................ 81

24. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Z-skor Status Gizi ..................... 82

25. Rata-rata Hb dan Uji Perbandingan Rata-rata .................................. 87

26. Rata-rata Ferritin Serum dan Hasil Perbandingan Rata-rata ............ 88

27. Rata-rata Retinol Serum dan Hasil Perbandingan Rata-rata ............ 93

28. Rata-rata Titer IgG Total dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata ..... 95

Page 20: Kep

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup ........................................ 6

2. Struktur Vitamin A, β-Carotene, dan Derivatnya ...................... 13

3. Transpor Vitamin A Intra Organ ................................................ 14

4. Skema Perjalanan Fe di dalam tubuh yang dimodifikasi ........... 20

5. Respons Imun Spesifik dan Non spesifik ................................... 25

6. Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan ................................... 31

7. Struktur Imunoglobulin G (IgG) ................................................ 32

8. Keterkaitan Biskuit Fortifikasi, Status Gizi, dan Imunitas ......... 35

9. Jumlah Contoh Anak Usia 18-38 bulan yang Diintervensi

Biskuit Fortifikasi ....................................................................... 39

10. Jumlah Contoh Anak Usia ≥ 24 bulan yang Dianalisis

Imunoglobulin G-nya ................................................................. 40

11. Kerangka dan Cara Penarikan Contoh Anak-anak ..................... 41

12. Biskuit Fortifikasi dan Non Fortifikasi ....................................... 44

13. Bagan Alir Tahapan Penelitian .................................................. 45

14. Grafik Penyebaran Pengetahuan Gizi Ibu menurut Skor ........... 60

15. Proporsi Anak Balita Contoh menurut Jenis Kelamin ............... 60

16. Rata-rata Konsumsi Biskuit Anak (Gram/Hari) menurut Minggu 68

17. Grafik Batang Alasan Balita Contoh Kurang mengkonsumsi

Biskuit ........................................................................................ 70

18. Grafik Batang Rata-rata Tingkat Konsumsi Gizi Awal dan Akhir

Intervensi..................................................................................... 76

19. Sebaran Hemoglobin (Hb) pada Awal dan Akhir Intervensi ..... 84

20. Sebaran Ferritin Serum (Fs) pada Awal dan Akhir Intervensi ... 87

21. Sebaran Retinol Serum (Rs) Anak Balita Contoh di Awal dan

Akhir Intervensi .......................................................................... 90

22. Sebaran Titer IgG Total (IU/mL) Awal dan Akhir Intervensi ... 94

23 Grafik Batang Peningkatan IgG Total Anak Balita ................... 97

Page 21: Kep

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Analisis Darah ............................................................................ 117

1. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin.......................................................... 117

2. Pemeriksaan Kadar Ferritin Serum ...................................................... 118

3. Pemeriksaan Kadar Retinol Serum ...................................................... 119

4. Pemeriksaan Imunoglobulin G............................................................. 120

Lampiran 2. Daftar Makanan yang dikonsumsi Anak Balita.......................... 121

Lampiran 3. Photo-photo Kegiatan Penelitian................................................ 123

Page 22: Kep

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini masih banyak kasus gizi buruk ditemukan dan menjadi salah

satu penyebab meningkatnya infeksi dan kematian pada anak balita yang masih

merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Kasus gizi buruk pada anak balita,

terutama diakibatkan oleh pola makan yang kurang baik yang menyebabkan anak

kekurangan beberapa zat gizi mikro, diantaranya vitamin A dan zat besi. Akibat

kekurangan zat gizi tersebut, anak mudah terserang penyakit infeksi bahkan

kematian.

Berdasarkan hasil laporan survei Departemen Kesehatan RI, angka

kematian anak balita (AKABA) di beberapa daerah di Indonesia umumnya

masih tinggi. Sebagai contoh di daerah Jawa Barat AKABA sebesar 50 per 1000

kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003).

Sementara itu kasus gizi buruk dan gizi kurang juga masih tinggi, sebagai contoh

di Kabupaten Bogor kasus gizi buruk tercatat sebesar 5,56 persen dan gizi

kurang sebesar 18,46 persen (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Gizi buruk pada anak balita menyebabkan meningkatnya penyakit

infeksi. Infeksi dan defisiensi zat gizi mikro berhubungan erat dengan

mekanisme pertahanan tubuh (Villamor dan Fawzi, 2005; Goldenberg, 2003).

Defisiensi zat gizi mikro dapat meningkatkan resiko infeksi dan penurunan

fungsi imun. Telah dilaporkan bahwa infeksi dan defisiensi gizi merupakan

penyebab beberapa kasus kematian anak-anak balita di seluruh dunia

(Oppenheimer, 2001).

Defisiensi zat gizi mikro dan kejadian infeksi di Indonesia relatif masih

tinggi yang diindikasikan dengan masih tingginya angka kematian ibu dan bayi

(ACC/SCN, 2002). Walaupun Indonesia dinyatakan bebas masalah xeropthalmia

pada tahun 1992, kita tetap perlu waspada sebab 50 persen anak balita masih

menunjukkan kadar vitamin A dalam serum <20 µg/dl (defisiensi sub klinis)

yaitu sebanyak 10 juta sub klinis dan 66 ribu bercak bitot yang semuanya

terancam kebutaan (Depkes RI, 2003). Masalah defisiensi zat besi juga masih

dialami oleh bangsa Indonesia. Prevalensi anemia pada anak balita yang

Page 23: Kep

2

dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001 ternyata meningkat, dari 40,5 persen dari

data tahun 1995 menjadi 47 persen pada tahun 2001 (Depkes RI, 2003).

Hasil studi terdahulu oleh Semba et al (1992) yang dilakukan tahun 1991

menunjukkan bahwa pemberian vitamin A dosis tinggi kepada anak balita

selama dua minggu dapat meningkatkan respons imun. Empat dari 8 studi

menunjukkan bahwa kematian anak meningkat karena penyakit infeksi

(Oppenheimer, 2001) dan 127 juta anak balita yang defisiensi vitamin A di Sub

Sahara beresiko meninggal (West, 2002 dan Aguayo, 2002).

Hasil meta analisis oleh Beaton et al. (1993) menunjukkan, bahwa

suplementasi vitamin A dosis tinggi dapat menurunkan 20-30% angka kematian

anak balita. Dilaporkan pula bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan

resiko morbiditas dan mortalitas anak dari beberapa penyakit infeksi, yakni

diare, campak, human immunodeficiency virus (HIV), dan malaria (Villamor dan

Fawzi, 2005). Suplementasi vitamin A berpengaruh terhadap peningkatan

konsentrasi retinol serum dan kekebalan mukosa (Aguayo et al. 2005) serta

berpengaruh terhadap penurunan infeksi (Malaba et al. 2005 dan Cusick et al.

2005).

Selain defisiensi vitamin A, penyebab kasus gizi buruk pada anak balita

yang sering menyebabkan penyakit infeksi, adalah defisiensi zat besi. Zat besi

(Fe) diyakini dapat meningkatkan kekebalan tubuh anak. Dilaporkan

suplementasi zat besi mampu menurunkan insiden infeksi (Kang dan Matsuo,

2004 dan Oppenheimer, 2001) serta dapat meningkatkan status hemoglobin dan

ferritin serum (Terlouw et al. 2004). Penelitian Gopaldas (2005), membuktikan

bahwa suplementasi zat besi (Fe) mampu menurunkan infeksi cacing penyebab

kesakitan dan kematian anak balita.

Berbagai studi di atas telah membuktikan, dampak suplementasi vitamin

A dosis tinggi dan zat besi dapat meningkatkan status gizi dan imunitas dengan

penurunan berbagai penyakit infeksi. Sebaliknya, kekurangan zat gizi mikro

menyebabkan rendahnya respons imun anak yang salah satunya ditandai dengan

rendahnya pembentukan imunoglobulin, khususnya imunoglobulin G (IgG).

Page 24: Kep

3

Semakin baik status gizi mikro anak semakin baik tingkat kekebalan tubuh anak

(Chandra, 1997).

Kekebalan tubuh terhadap penyakit tidak terlepas dari peran antibodi.

Antibodi tersebut dikenal dengan antitoksin yang pada umumnya merupakan

Imunoglobulin tipe G (IgG). Untuk meningkatkan kadar antitoksin diperlukan

pembentukan antibodi yang dapat diukur titernya dalam serum, yang salah

satunya pengukuran titer IgG Total. Pembentukan IgG seseorang akan mencapai

maksimum apabila didukung oleh status gizi mikro yang baik (Suyitno, 1985).

Respons imun yang normal memerlukan sejumlah proses terpadu yang

berlangsung, salah satunya adalah pembentukan sel B. Produk utama sel B

adalah imunoglobulin dalam proses respons imun humoral. Imunoglobulin

merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum

yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi (Kresno,

2001). Respons imun yang terkaitan dengan imunoglobulin tersebut dapat diukur

kadarnya dalam serum.

Banyaknya kasus gizi buruk pada anak balita mendorong World Food

Program (WFP) bekerjasama dengan Pusat Studi Kajian Pangan dan Gizi

(PSKPG) untuk melakukan intervensi berupa pemberian biskuit fortifikasi

kepada kelompok anak balita keluarga miskin di Kecamatan Dramaga

Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Biskuit ini telah difortifikasi dengan zat besi dan

vitamin A dalam dosis rendah. Untuk mengkaji pengaruh pemberian zat besi dan

vitamin A dosis harian rendah (dalam biskuit) dilakukan pengukuran-

pengukuran terhadap pembentukan imunoglobulin G (IgG) total. Dalam kajian

tersebut permasalahan yang ingin dilihat adalah: apakah pemberian vitamin A

dan zat besi dosis harian rendah yang difortifikasikan pada biskuit mampu

meningkatkan respons imun anak balita pada masyarakat kelompok miskin di

Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor?

Pemberian vitamin A dan zat besi dosis harian rendah tersebut

diharapkan dapat memberikan kecenderungan positif terhadap penurunan

prevalensi defisiensi gizi mikro sehingga dapat meningkatkan status gizi mikro

anak dan respons imun anak balita.

Page 25: Kep

4

Penanggulangan masalah gizi harus mendapatkan prioritas utama sesuai

visi pembangunan gizi “mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk

mencapai status gizi masyarakat/keluarga yang optimal” (Rencana Aksi, 2000).

Menurut IDRC/IAC (1996), salah satu strategi utama untuk melawan masalah

defisiensi gizi mikro adalah dengan fortifikasi pangan. No other technology

offers as large an opportunity to improve five…at such low cost and in such a

short time …fortification (World Bank, 1994).

Tujuan

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh

pemberian vitamin A dan zat besi dosis rendah harian yang difortifikasikan pada

biskuit terhadap status gizi dan respons imun anak balita.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan

asupan zat gizi anak balita;

2. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan

konsentrasi hemoglobin dan ferritin;

3. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan

retinol dalam serum;

4. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap status gizi anak

balita secara antropometri;

5. Mempelajari dampak pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan

Imunoglobulin G Total.

Page 26: Kep

TINJAUAN PUSTAKA

Gizi dan Kesehatan

Kesehatan dan gizi mempunyai peranan yang penting dalam

pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan derajat

kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan

konsumsi gizi yang memadai. Istilah gizi dan kesehatan bagaikan satu keping

uang logam yang tidak dapat dipisahkan, saling terikat seperti ikatan kimia yang

saling mempengaruhi. Gizi baik mampu merubah kehidupan anak, meningkatkan

pertumbuhan fisik, perkembangan mental, melindungi kesehatan dan sebagai

pondasi untuk masa depan anak (WHO, 1996).

Seorang anak sehat setidaknya dapat dilihat dari ada atau tidaknya

penyakit infeksi yang diderita. Salah satu penyebab infeksi adalah akibat dari

defisiensi satu atau beberapa zat gizi mikro. Penyebab dan konsekuensi dini

defisiensi zat gizi mikro pada anak balita berimplikasi pada masa remaja dan akan

beresiko pada generasi mendatang (IFPRI, 2000). Anemia defisiensi besi yang

berat selama masa kanak-kanak akan berdampak pada masa berikutnya. Anemia

akibat defisiensi zat gizi besi (IDA) dan defisiensi vitamin A atau kurang vitamin

A (VAD) pada kehamilan berimplikasi secara signifikan pada kelahiran anak

dengan simpanan zat besi yang rendah. Dengan adanya defisiensi vitamin A pada

anak-anak dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kema tian, selain berdampak

pada penglihatan.

Defisiensi zat gizi mikro juga dapat menyebabkan kehilangan berat badan,

kegagalan tumbuh pada anak dan penyebab penurunan cadangan zat gizi yang

berpengaruh terhadap penurunan imunitas (Tomkins dan Watson, 1993).

Defisiensi ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh

terhadap penyakit infeksi. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat awal kehidupan

anak akan berpengaruh di sepanjang kehidupannya (Gambar 1).

Page 27: Kep

6

Gambar 1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup yang Dimodifikasi (Allen dan Gillespie, 2001)

Lingkaran kurang gizi pada Gambar 1 menunjukkan beberapa masalah

defisiensi gizi, yakni penyebab dan konsekuensinya berpengaruh terhadap

rendahnya imunitas. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat ringan dapat

mengganggu kemampuan belajar, dan mengurangi produktifitas kerja, bahkan

dapat menyebabkan penyakit dan meningkatkan kematian, terutama bagi anak

balita (Soekirman, 2000). Manifestasi defisiensi zat gizi mikro sering nampak

kecil dan tidak spesifik, tetapi dapat merusak perkembangan dan meningkatkan

resiko morbiditas dan mortalitas (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001).

Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai

AKI Tinggi

AKB Tinggi

Remaja Kurang Gizi

Anak Kurang Gizi

Bayi Berat Badan Lahir Rendah Masa Tua

Kurang Gizi

Peningkatan resiko penyakit

Sering infeksi

Penurunan Kapasitas mental

Penurunan kapasitas mental

Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai

Penurunan kapasitas Merawat bayi

Gizi fetus tidak memadai

Wanita Kurang Gizi

Wanita Hamil, pertambahan BB rendah

Gangguan Perkembangan Mental

Imunitas Rendah

Morbiditas Meningkat

AKA Tinggi

Imunitas Rendah,

Morbiditas Meningkat

Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai

Pangan, Kesehatan dan Perawatan t idak memadai

Penurunan kapasitas mental

Imunitas Rendah,

Morbiditas Meningkat

AKABA Tinggi

Page 28: Kep

7

Integrasi gizi dan kesehatan tercermin dalam kecukupan semua zat gizi

dari intik konsumsi harian. Pada akhirnya kecukupan intik gizi turut menentukan

status gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan outcome dari

kesehatan masyarakat (IFPRI, 2000). Anak-anak yang kurang gizi akan memiliki

respons imun yang rendah.

Kebutuhan gizi bayi yang tidak tercukupi akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan di masa balita, yakni anak balita kurang gizi dan

masa remaja kurang gizi serta masa dewasa sampai tua pun akan tetap kurang

gizi. Wanita hamil yang kurang gizi akan melahirkan anak yang kurang gizi juga

dengan resiko bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Dampak

BBLR akan berlangsung disepanjang hidup anak, karena berat badan lahir yang

rendah itu erat kaitannya dengan kesakitan dan kematian bayi, serta pengaruh

buruk dari keadaan gizi tersebut pada usia selanjutnya. Kurang gizi di masa bayi

dan balita tidak dapat dikejar pada masa-masa berikutnya. Akibat dari kurang gizi

akan terjadi penurunan kapasitas mental, peningkatan resiko penyakit, gangguan

pertumbuhan bahkan kematian.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok

orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan utilisasi zat gizi makanan

yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi (nutritional status)

merupakan keadaan gizi seseorang atau tanda-tanda/penampilan yang diakibatkan

oleh zat gizi dapat terlihat melalui variabel tertentu (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Status gizi dapat diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau

sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-

ukuran gizi tertentu (Soekirman, 2000).

Status gizi tubuh dipengaruhi oleh kecukupan zat-zat gizi yang diperlukan

oleh tubuh. Status gizi yang baik terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat

gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan penggunaan zat gizi

tersebut untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan

Page 29: Kep

8

pemeliharaan kesehatan. Apabila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan

zat gizipun akan terganggu.

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih

zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat yang membahaya-kan, yakni

terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi menurut Almatsier (2002)

disebabkan faktor primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan

kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua

faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah

makanan dikonsumsi.

Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran

langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut

Supariasa, Bachtiar, dan Ibnu (2002) ada empat macam, yakni: secara

antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung

seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

Cara pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan

adalah penilaian status gizi secara antropometri, ya itu menggunakan ukuran tubuh

manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi badan

(TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks

antropometri yang digunakan antara lain BB/U, TB/U, dan BB/TB. Perbedaan

penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan

saling melengkapi keterbatasannya.

Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur

(TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relatif lama,

sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi

badan (BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif

mudah berubah (Roedjito, 1989) Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh

dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang sensitif terhadap

defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi

badan baru akan nampak pada saat yang cukup lama (Suharjo dan Riyadi, 1990).

Kelebihan indeks BB/U adalah: (a) dapat lebih mudah dan lebih cepat

dimengerti oleh masyarakat umum, (b) sensitif untuk melihat perubahan status

Page 30: Kep

9

gizi jangka pendek, dan (c) dapat mendeteksi kegemukan (overweight).

Kelemahannya adalah: (a) dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi

jika terdapat pembengkakan atau edema, (b) memerlukan data umur yang akurat,

dan (c) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian

atau gerakan anak pada saat menimbang (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Tinggi badan (TB) merupakan indikator antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB

tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang

sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu yang pendek.

Namun terdapat kelebihan indeks TB/U yaitu: (a) baik untuk menilai status gizi

masa lampau dan (b) alat ukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah, dan

mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya diantaranya adalah: (a) TB tidak cepat

naik (b) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak,

sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB, dan (c) ketepatan

umur sulit didapat (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Pengukuran antropometri yang terbaik menurut Soekirman (2000) adalah

menggunakan indikator BB/TB, karena ukuran ini dapat menggambarkan status

gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang

dikategorikan sebagai kurus (wasted). Diantara kelebihan indeks BB/TB adalah:

(a) bebas dari pengaruh umur dan ras, dan (b) dapat memberi gambaran proporsi

berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah: (a)

sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak, dan (b) sering

terjadi kesalahan membaca angka hasil pengukuran, terutama bila pembacaan

dilakukan oleh tenaga non profesional (Soekirman, 2000).

Dengan indikator BB/TB, berat badan berkorelasi linier dengan tinggi

badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti

pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan

anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini terutama

dapat dilihat setelah data hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan nilai

Z-skor.

Page 31: Kep

10

Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat

distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai

baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi

distribusi normal. Nilai Z-skor masing-masing anak dihitung dengan

menggunakan rumus (Gibson, 1990) sebagai berikut:

(Xi – Mi) Zsci = ————— Sbi

Keterangan: i = umur (bulan)

Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i

Xi = nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Mi = nilai baku median untuk umur bulan ke-i Sbi = nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i

Ada tiga nilai Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor BB/TB,

dan Z-skor TB/U. Penentuan Z-skor tersebut didasarkan pada referensi WHO/

NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing-masing individu kemudian

dibandingkan dengan distribusi baku rujukan WHO/NCHS (1983) dengan titik

batas (cut-off point) Z-skor adalah -2. Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai Z-

skor secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor Menurut Standar WHO-NCHS (1983)

Indikator Kriteria Standar BB/U Gizi Lebih

Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk

> 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD

TB/U Normal Pendek/Stunted

= - 2,0 SD < - 2,0 SD baku WHO-NCHS

BB/TB Gemuk Normal Kurus/Wasted Sangat Kurus

> 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD

Sumber: Jahari dkk, 2000

Page 32: Kep

11

Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai

keuntungan yaitu: (1) Batas ambang yang digunakan untuk masing-masing indeks

antropometri sama, misalnya untuk kategori KEP batas ambangnya di bawah –2

SD; (2) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat

dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri; (3) Dapat

dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi secara darurat untuk melihat

perbandingan antar waktu, antar wilayah, antar kelompok umur dan jenis kelamin;

(4) Dapat mengetahui populasi yang mengalami acute dan chronic undernutrition

yakni wasting dan stunting (Jahari dkk, 2000). Sedangkan kelemahan penilaian

dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing-masing indeks tidak sama.

Imunitas Anak Balita

Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan

lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi (Kresno, 2001).

Menurut Surono (2004), kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan

di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat

menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal

umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh

memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap

unsur-unsur pathogen tersebut.

Dalam keadaan sehat, respons imun berfungsi secara efisien sehingga

seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat

masuknya substansi asing (Kresno, 2001). Apabila ada kelainan dalam sistem

pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh dengan

respons imun yang efisien, tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu

respons imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai

penyakit.

Respons imun yang terjadi pada anak balita akan tergantung dari kondisi

tubuh anak. Selama anak mempunyai masalah (gangguan) gizi maka respons

imunnya juga akan terganggu. Defisiensi gizi termasuk gizi mikro dapat

menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas seluler pada perumbuhan anak

Page 33: Kep

12

(Bellanti dan Joseph, 1993). Menurut Kusmiyati dan Muis (2001), gizi mikro

mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya

defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respons imun.

Defisiensi zat gizi mikro memicu timbulnya atau meningkatnya kejadian

infeksi pada anak. Pada anak balita yang defisien zat gizi mikro, kejadian infeksi

meningkat dan angka kematian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan anak

yang gizinya baik. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh anak mempunyai cukup

kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan

gizi anak menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuhnya akan menurun, yang

berarti kemampuan tubuh dalam mempertahankan diri terhadap serangan infeksi

menjadi turun. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa kematian anak

akan lebih tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Infeksi cacing

pada anak yang gizinya buruk akan jauh lebih parah dibandingkan dengan anak

yang gizinya baik (Gopaldas, 2005).

Gizi buruk mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap produksi antibodi

di dalam tubuh (Kusmiyati dan Muis, 2001). Penurunan produksi antibodi akan

mengakibatkan mudahnya mikro organisme patogen atau infeksi masuk ke dalam

tubuh. Naiknya angka infeksi berhubungan langsung dengan bertambahnya

pemaparan inang terhadap sumber patogen dan juga naiknya angka infeksi

berhubungan dengan berkurangnya daya tahan akibat defisiensi salah satu atau

beberapa zat gizi.

Interaksi antara gizi dan kesehatan dipandang sebagai suatu siklus.

Pertahanan tubuh dan kemampuan mikro organisme patogen yang dapat

menimbulkan penyakit (virulensi) yang menghinggapi tubuh diilustrasikan

sebagai dua kekuatan yang dapat berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas.

Pada anak yang defisiensi zat gizi mikro, pertahanan tubuh akan menurun dan

tenaga virulensi patogen akan lebih kuat sehingga kesehatan anak terganggu dan

anak menderita infeksi. Karenanya, gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak,

meningkatkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta melindungi

kesehatannya (ACC/SCN, 2000).

Page 34: Kep

13

Peranan Vitamin A dan Kaitannya dengan Imunitas

Di dalam tubuh vitamin A terdapat dalam tiga bentuk, yakni retinol

(alkohol), retinal (aldehid), dan asam retinoat (asam). Struktur kimia vitamin A

disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar vitamin A disimpan di dalam hati

dengan kisaran antara 100-1000 µg per gram jaringan (Olson, 1991).

Gambar 2. Struktur Vitamin A, ß-Carotene, dan Derivatnya (Stipanuk, 2000)

Fungsi vitamin A adalah untuk penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan,

dan reproduksi (Linder, 1992). Vitamin A dapat mendorong diferensiasi sel epitel,

mendorong kelangsungan hidup sistem reproduktif, utilisasi siklus penglihatan

(Brody, 1994). Sel epithel yang melapisi permukaan mukosa merupakan benteng

pertahanan mekanis yang penting terhadap antigen. Sel epithel memiliki peran

penting dalam transport ion dan absorpsi serta sekresi cairan yang ditunjukkan

pada Gambar 3 (Williams & Wilkins, 2006 ).

Page 35: Kep

14

Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al. (2005), Cusick et

al. (2005), Baeten et al. (2004), Villamor et al. (2002), dan High et al. (2002),

menyimpulkan bahwa sel epithel merupakan komponen integral dari suatu

jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epithel, mikroba, sel-sel

imun, dan inflamatori host. Sel epithel pada permukaan mukosa berperan dalam

menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen baik yang

invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau

yang berdekatan dengan mukosa. Karenanya vitamin A esensial untuk

pertumbuhan dan perkembangan dan pemeliharaan fungsi sel epitel.

Gambar 3. Transpor Vitamin A Intra Organ yang Dimodifikasi (Williams & Wilkins, 2006)

Stipanuk (2000) menyebutkan vitamin A dan metabolismenya dalam

spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis, antara lain: (1) esensial untuk

penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam

diferensiasi seluler, proliferasi, dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga

berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid.

Defisiensi vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya

penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk, lapisan epitelium di

beberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel kornea, paru-paru, kulit, dan

mukosa intestin, dan dapat menurunkan sel goblet intestin dan permukaan vilus

(Linder, 1992). Menurunnya sel goblet dalam usus dapat menurunkan

Page 36: Kep

15

kemampuan sistem untuk menahan organisme patogen (Brody, 1994). Defisiensi

vitamin A nampak pada perubahan penglihatan: squamos metaplasia pada

konjungtiva dan kornea, berkurangnya/hilangnya sel goblet, keratinisasi dan

keratomalasia. Sel epithel menjadi rata, melebar dan berkurang jumlahnya, sel-sel

goblet berkurang dalam jumlah atau tidak ada (Muhilal, 2001).

Defisiensi vitamin A juga berpengaruh terhadap pembentukan derivat

asam retinoid, perubahan dalam keratin epidermis yang dapat meningkatkan

infeksi kulit dan penyakit infeksi, apoptosis, kerusakan neutrophil, penurunan

jumlah sel NK, aktivitas makrofag sebagai proses fagositosis, kerusakan limfosit

T , limfosit B dan respons antibodi (Semba, 1998).

Hasil studi meta-analisis dari 15 studi, menunjukkan bahwa defisiensi

vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak

(Thurnham et al., 2003). Disimpulkan bahwa retinol serum dapat menurunkan

infeksi klinis dan subklinis yang berpengaruh terhadap kesehatan anak. Defisiensi

vitamin A penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak-anak

balita di beberapa negara berkembang (Thurnham et al., 2003). Hal ini dapat

dipahami karena vitamin A esensial untuk kenormalan fungsi imun,

hematopoiesis, pertumbuhan, dan penglihatan (Maqsood et al., 2004). Defisiensi

vitamin A yang sering terjadi pada anak yang memiliki status sosial ekonomi yang

rendah, merupakan faktor resiko terhadap infeksi, meningkatkan kejadian anemia,

dan meningkatkan fase protein akut.

Menurut Semba (1998), vitamin A dan yang berhubungan dengan retinoid

memainkan peranan penting dalam pengaturan fungsi imun. Defisiensi vitamin A

berhubungan dengan kekebalan tubuh (immunity), yang berakibat pada angka

kesakitan (morbidity) dan kematian (mortality), misalnya kejadian pada buta senja

(nightblindness) dan xerophthalmia serta penyakit infeksi. Pada studi meta

analisis ditemukan konsep: sindrom defisiensi vitamin A berhubungan dengan

penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al., 2000). Anak-anak

yang defisiensi vitamin A akan mengalami perubahan pathologis dalam fungsi sel

T dan sel B, dan imunitas mukosa menjadi rentan infeksi subklinis seperti

penyakit diare (Semba, 2002). Infeksi subklinis sebagian besar terjadi pada anak

Page 37: Kep

16

gizi kurang dari keluarga miskin (Thurnham et al., 2003). Sesuai dengan hasil

penelitian tedahulu, hasil penelitian signifikan terhadap anak buta senja dengan

konsentrasi retinol serum rendah dibandingkan dengan yang tidak buta senja.

Defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap kekebalan mukosa. Permukaan

mukosa pada saluran tersebut merupakan rute paling penting untuk masuknya

mikroba pathogen ke dalam tubuh host (inang). Infeksi mukosa dengan mikroba

dapat mengakibatkan serentetan manifestasi penyakit yang bervariasi, dari infeksi

yang ringan sampai berhenti sendiri (sembuh) ataupun infeksi parah yang bersifat

kronis sehingga dapat melemahkan tubuh inang. Variasi manifestasi sangat

ditentukan oleh virulensi pathogen yang menginfeksi dan keefektifan respons

tubuh inang (Suyitno, 1985).

Limfosit B dan aktivasinya termasuk produksi imunoglobulin, dan

pertumbuhan membutuhkan retinol. Produksi imunoglobulin membutuhkan

retinol, termasuk dalam pemulihan respons imunoglobulin G (Chun et al., 1992).

Imunoglobulin pusat berperan dalam fungsi kekebalan dengan cara melekat pada

pathogen dengan tenaga baru dari sel efektor imun kemudian menghancurkan

pathogen tersebut. Asam retinoid trans dapat menambah produksi imunoglobulin

G (IgG) pada sel mononuklear dalam darah (Ballow et al., 1996). Defisiensi

vitamin A merusak kemampuan jumlah respons antibodi sel T melawan pathogen

(Wiedermann et al., 1993 dan Semba et al., 1994).

Pada percobaan yang dilakukan terhadap hewan, defisiensi vitamin A

berpengaruh pada metabolisme, ditunjukkan dengan hambatan pertumbuhan,

diferensiasi jaringan epithel sebagai fungsi sistem imun termasuk perubahan

organ morfologi, menurunkan respons antibodi terhadap beberapa pathogen

spesifik dan antigen, menurunkan CMI dan imunitas non-spesifik (IFPRI, 2000).

Defisiensi vitamin A dapat menurunkan proliferasi sel-T dan berkurangnya

produksi antibodi, khususnya pada perut (gut) dan paru-paru. Juga dapat

menurunkan berat tymus yang dihubungkan dengan bentuk atrophy pada

kekurangan vitamin A yang panjang durasinya (Suskind, 1984 dan Ross, 1992).

Menurut studi dan observasi Ahmed et al (1990) pada tikus defisiensi vitamin A

Page 38: Kep

17

dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur epithel dan saluran pernafasan,

serta destruksi villus dan infeksi dengan rotavirus yang relevan tinggi.

Sedangkan studi pada manusia, selama defisiensi vitamin A, respons host

untuk melawan organisme infeksi atau menyingkirkan antigen menjadi menurun.

Kondisi seperti ini dapat merusak respons imun host lebih besar dibandingkan

dengan penyakit yang parah. Kerusakan epithelium intestinal selama infeksi pada

anak defisien vitamin A lebih besar dibandingkan dengan anak yang cukup

vitamin A. Produksi antibodi biasanya tidak hilang, hanya terjadi penurunan

dalam merespons antigen.

Penurunan respons antibodi terhadap tipe antigen tertentu, terutama sel

heterologus, protein, dan polisakarida pada anak yang defisiensi vitamin A

(Pasatiempo et al., 1990; Pasatiempo et al., 1991); penelitian Kinoshita et al.,

(1991), Pasatiempo et al., (1990), Lavasa et al., (1988), Gershwin et al., (1984),

dan Krishnan et al., (1974) menyebutkan bahwa penurunan antibodi khususnya

IgG dan IgM terhadap antigen tetanus toxoid terjadi pada anak yang defisiensi

vitamin A. Walaupun respons antibodi rendah, tetapi produks kinetik antibodi

normal (Kinoshita et al., 1991) dan memori imunologis (IgG dan IgM)

berkembang secara normal selama defisien retinol serta sel memori diaktifkan

setelah dapat pemulihan vitamin A. Sirkulasi imunoglobin rendah responsnya

terhadap antigen disebabkan karena anak kurang gizi (Suskind, 1984).

Akibat kerusakan respons tersebut, akan terjadi penurunan CMI, fungsi

fagositosis, sel NK, dan limfosit. Penurunan respons host tersebut berhubungan

dengan metabolik pertahanan dikarenakan kekurangan vitamin A, seperti utilisasi

protein yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A.

Pendapat yang sejalan dikemukakan oleh Nauss (1986) dan Ross (1992),

bahwa defisiensi vitamin A dapat menyebabkan perubahan dalam jumlah organ

limfoid, jumlah sel, histologi, dan karakteristik limfosit. Namun hal tersebut

sangat tergantung dari durasi defisiensi vitamin A tersebut. Keadaan vitamin A

berpengaruh besar terhadap prevalensi infeksi atau dalam respons infeksi. Hal ini

disebabkan karena defisiensi vitamin A berefek pada fungsi sel NK yang berperan

mengatur formasi antibodi dan sekresi IFN. Pelepasan IFN dapat meningkatkan

Page 39: Kep

18

aktivitas sitotoksik dari sel NK yang mengatur produksi imunoglobulin

(Finkelman et al., 1990). Defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan

aktivitas sitotoksik sel NK pada limpa tikus (Bowman et al., 1990; Nauss and

Newberne, 1985), Setelah tikus normal kembali, maka aktivitas sitotoksik sel NK

limpa juga normal kembali (Bowman et al., 1990).

Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan

respons antibodi terhadap tetanus toxoid (Brown et al., 1980 dan Semba et al.,

1992). Perbaikan status vitamin A dapat menurunkan angka kematian sebesar

23% pada populasi yang defisien (Bowman et al.,1990). Hal ini dapat dipahami

karena perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas

sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium parah

(Griffin et al., 1990). Selain itu vitamin A berperan dalam penurunan infeksi

melalui perannya dalam peningkat-an (enhancher) diferensiasi sel ephitel dan

sebagai fungsi barier tubuh (Goldenberg, 2003). Vitamin A mengatur sintesis

keratin dengan squamos cell dan tampil dalam pemeliharaan integritas permukaan

ephitelial mukosa (Goldenberg, 2003).

Studi klinis dan eksperimental oleh Green dan Mellanby pada tahun 1920

dan 1930 yang dikutip oleh Oppenheimer (2001) membuktikan bahwa vitamin A

sebagai vitamin “anti infeksi”. Dalam jurnal yang sama, Scrimshaw tahun 1968

membuktikan bahwa ‘Tidak ada satupun defisiensi gizi yang konsisten sinergis

dengan penyakit infeksi daripada vitamin A. Pada tahun 1993, Beaton et al.

membuktikan secara klinis bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan 20-

30% mortalitas anak.

Vitamin A dan retinoid potensial untuk terapi terhadap imun. Penggunaan

terapi dengan vitamin A diawali dalam bidang Dermatologi dan Onkologi.

Vitamin A sebagai fungsi biologis penting untuk penglihatan, reproduksi dan

fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi seluler, dan proliferasi.

Vitamin A berperan penting dalam meningkatkan respons imun dan defisiensi

vitamin A dapat menyebabkan kerusakan respons imun dan fungsi limfosit

(Stipanuk, 2000).

Page 40: Kep

19

Peranan Zat Besi dan Imunitas

Besi merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan tubuh. Besi yang di

konsumsi sehari-hari dalam bentuk ionnya, yaitu Fe++ (fero) dan Fe+++.(feri). Besi

terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam

reaksi biokimia. Besi terdapat dalam enzim-enzim yang bertanggung jawab untuk

pengangkutan elektron (sitokrom), untuk pengaktifan oksigen (oksidase dan

oksigenase), dan untuk mengangkut oksigen (hemoglobin dan mioglobin).

Sebagian besar zat besi berada pada hemoglobin (Hb) di dalam sel darah merah

dan jaringan eritroid (Stipanuk, 2000).

Fungsi Fe dalam tubuh adalah untuk pembentukan sel darah merah,

pengangkutan O2 dan CO2, yang berperan dalam metabolisme energi. Sebagian

kecil besi terdapat dalam enzim jaringan yaitu sekitar 7 persen seperti sitokrom

(Brody, 1999). Zat besi berperan sangat penting dalam fungsi seluler, yakni

sintesis Hb dan metabolisme makrofag (Williams & Wilkins, 2006).

Metabolisme Fe tampaknya memang unik karena kecilnya pertukaran Fe

dengan lingkungan setiap harinya, yakni hanya 1 mg Fe yang harus diserap tubuh

untuk mempertahankan keseimbangan Fe karena ekskresi. Tubuh sangat efisien

dalam penggunaan Fe. Kurang lebih 1% sel darah merah yang didegradasi dan

dibentuk kembali setiap hari dalam jangka waktu hidup 120 hari. (Linder, 1992).

Skema metabolisme Fe pada manusia disajikan pada Gambar 4.

Sebelum diabsorpsi sebagian besar Fe dalam bentuk ferri direduksi

menjadi bentuk ferro. Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus dengan

bantuan transferrin (transferrin mukosa dan reseptor). Transferrin mukosa

mengangkut Fe dari saluran cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya ke

transferrin reseptor di dalam sel mukosa. Transferrin reseptor mengangkut Fe

melalui darah ke semua jaringan tubuh. Sebagian besar transferrin darah

membawa Fe ke sumsum tulang untuk membuat Hb yang merupakan bagian dari

sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan dan

kelebihannya disimpan sebagai ferritin dan hemosiderin di dalam hati, sumsum

tulang belakang, dan selebihnya di dalam limfa dan otot. Kekurangan besi akan

mengganggu pembentukan Hb dan dapat menyebabkan anemia.

Page 41: Kep

20

Gambar 4. Skema Perjalanan Fe di dalam Tubuh yang Dimodifikasi (Whitney & Rolfes, 1993:407)

Anemia adalah satu dari problem kesehatan masyarakat yang sebagian

besar disebabkan karena defisiensi zat gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah

jumlah zat besi dalam konsumsi makanan sehari-hari tidak mencukupi kebutuhan

tubuh karena bioavailability-nya rendah (Kodyat et al., 1991; Seshadri, 1997; Sari

et al, 2001; Ma et al., 2002). Hasil beberapa studi baik pada hewan percobaan

Sebagian hilang melalui sel usus halus yang dibuang

Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah &

mengikatkan ke transferrin

Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb

sel darah merah

Darah mengangkut Fe sebagai Hb

sel darah merah

Menyimpan kelebihan sebagai metalotionin

Sebagian hilang melalui darah

Sel mukosa usus halus: Fe melekat ke alat transport

transferrin reseptor

Fe dalam alat transport transferrin reseptor

Fe dibawa darah oleh transferrin

Fe diangkut Transferrin mukosa

Fe dalam saluran pencernaan

Kelebihan disimpan Sebagai Ferritin

Sebagian hilang dalam keringat, kulit, urin

Kelebihan disimpan Sebagai Ferritin dan

hemosiderin

Page 42: Kep

21

maupun manusia menunjukkan bahwa ketidaknormalan metabolisme besi

berhubungan dengan defisiensi vitamin dan inhibitor penyerapan besi dalam

makanan (Staab et al., 1984; Brune et al., 1989).

Masalah anemia gizi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan

defisiensi gizi besi masih terdapat sampai sekarang. Prevalensi anemia gizi besi

nasional baru dikumpulkan pada tahun 1989 melalui Survei Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT). Surve i secara nasional tahun 1992, bahwa anemia defisiensi besi

pada balita sebesar 55,5 persen dan menurun menjadi 40,5 persen (SKRT, 1995).

Sesuai dengan SKRT 1995 bahwa distribusi prevalensi defisiensi zat gizi bedsi di

Indonesia tersebar merata pada semua kelompok umur dan jenis kelamin

(Natakusuma, 1998).

Anak-anak paling rawan terhadap masalah kurang gizi besi karena

kebutuhan mereka akan zat gizi besi relatif lebih besar untuk keperluan akselerasi

pertumbuhan kira-kira sampai usia dua tahun. Prevalensi anemia khususnya pada

anak-anak kelompok rawan di Asia Tenggara sebesar 50-70 %. Satu penyebabnya

karena jumlah zat besi yang diserap dalam makanan tidak mencukupi kebutuhan

tubuh dan ketidakcukupan tersebut kemungkinan akibat dari tidak cukupnya intik

zat besi dan rendah nilai biologisnya (Sari et al., 2001).

Anemia gizi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak

mampu membawa oksigen yang diperlukan untuk pembentukan energi

(Chunningham, 1992). Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar Hb dalam

darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap jenis kelompok umur dan

jenis kelamin. Batas normal kadar Hb anak balita adalah 11 g/dL (WHO, 1996).

Anemia defisiensi besi menurunkan perkembangan fisik, kerusakan fungsi

imun, pertumbuhan lambat, dan meningkatkan kelelahan (Grantham dan Ani,

2001). Konsekuensi buruk akibat defisiensi besi pada anak balita antara lain:

meningkatkan kematian dan kesakitan, meningkatkan resiko kerusakan fungsi

kognitif, menurunkan imunitas seluler, gangguan pengaturan panas, defisit

pertumbuhan anak, dan menurunkan prestasi belajar jika anak telah masuk

sekolah, serta menurunkan produktifitas dan kapasitas fisik saat bekerja jika anak

telah dewasa. Anemia defisiensi besi dapat merusak fungsi imun manusia pada

Page 43: Kep

22

semua tingkat kehidupan. Tinjauan dari 21 studi, menunjukkan bahwa anemia

berhubungan erat dengan kematian anak dan infeksi (Allen dan Gillespie, 2001).

Anemia defisiensi besi sangat luar biasa terjadi di beberapa negara

berkembang, lebih dari 50% populasi dunia mempunyai tingkatan status gizi besi

rendah berdasarkan hasil uji klinis (Chandra, 1973 dan Kuvibidila, 1980). Angka

prevalensi anemia di Indonesia sekitar 20-30% pada balita, anak sekolah, dan

buruh berpenghasilan rendah (Karyadi, Muhilal, dan Hermana., 1990). Prevalensi

anemia gizi besi pada anak balita. yang dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001

sebesar 47% (Depkes, 2003).

Fakta membuktikan defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampu-

an individu melawan infeksi (Kang dan Matsuo, 2004). Beberapa studi

mengindikasikan bahwa dalam kondisi normal, status gizi besi berperan dalam

menjaga/mempertahankan responss imun. Menurut Oppenheimer (2001), angka

kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang

menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Insiden infeksi

pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen zat gizi

(Oppenheimer, 2001). Suplemen besi dapat meningkatkan status gizi besi (Hoa et

al, 2005).

Defisiensi besi memberikan kontribusi lanjut terhadap kerusakan fungsi

imun. Beberapa kerusakan sistem imun akibat defisiensi besi terjadi secara

bertahap. Tahap pertama cellular-synthesis, tahap kedua ketika terjadinya

mekanisme pencernaan atau membunuh antigen oleh leukosit, dan tahap

berikutnya waktu interaksi atau sinergisme antara sistem imun dan mikro

organisme. Peranan besi terhadap respons imun nampak pada fagositosis

(Ahluwalia et al, 2004), sel NK (Ravaglia et al, 2000) dan sel mediate respons

imun (Thibault et al, 1993; Ahluwalia et al, 2004).

Defisiensi besi berhubungan dengan ketidaknormalan respons imun dan

memperburuk penyakit infeksi (Oppenheimer, 2001). Lima dari sembilan studi

menunjukkan terjadi peningkatan angka malaria dan empat dari delapan studi

mengatakan terjadi peningkatan morbiditas dan penyakit infeksi yang lain.

Defisiensi besi merupakan penyebab kerusakan fungsional dari beberapa jaringan,

Page 44: Kep

23

dan menurunkan erythropoiesis, transport oksigen seluler, dan metabolisme

oksidatif dalam jaringan (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan zat besi

pada anak dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya penurunan

respons sel mediasi imunologik (Dijkhuizen & Wieringa, 2001), mempunyai efek

yang kuat terhadap penurunan aktivitas sel NK dan neutrofil (Palafox et al., 2003)

dan penurunan fungsi makrofag terhadap toksisitas mikro organisme (Sommer et

al., 1980).

Pencegahan dan penanggulangan defisiensi gizi besi dapat dilakukan

dalam bentuk intervensi gizi yang bertujuan untuk menurunkan penderita anemia,

meningkatkan kualitas produktifitas, meningkatkan prestasi sumberdaya manusia,

dan meningkatkan menurunkan angka kesakitan serta kematian ibu dan bayi

(Program Aksi, 2000). Program suplementasi besi diberikan kepada anak yang

defisiensi besi karena zat besi berperan penting untuk perkembangan otak

(Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Sebagian besar zat besi dalam tubuh digunakan

untuk pembentukan hemoglobin (Hb) yang disuplai ke pool plasma transferrin

melalui makrofag dengan sistem reticuloendothelial.

Sinergisme Vitamin A dan Zat Besi

Interaksi vitamin A dan zat besi dapat diketahui pada proses pembentukan

sel darah merah dalam jaringan limfoid dan sumsum tulang (hematopoiesis).

Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kerusakan hematopoiesis (Erdman,

1988). Konsentrasi retinol plasma yang rendah merupakan penyebab rendahnya

tingkat konsentrasi hemoglobin, serum ferritin, dan transferrin. Ketika intik besi

cukup tidak ditemukan kondisi seperti ketika defisiensi besi. Beberapa studi

menunjukkan indikasi terhadap efek defisiensi vitamin A terhadap kandungan

besi dan Hb serum. Observasi yang dilakukan ketika intik besi cukup, tidak

ditemukan korelasi seperti ketika intik besi rendah. Pada studi eksperimen

defisiensi vitamin A pada manusia secara sukarela oleh Hodges (1978) ditemukan

konsentrasi Hb menurun dalam pola yang serupa dengan plasma vitamin A dan

selama kelebihan vitamin A, nilai Hb meningkat pada plasma vitamin A.

Page 45: Kep

24

Defisiensi vitamin A pada hewan percobaan digambarkan, besi pada hati

dan limpa menurun bersamaan dengan menurunnya Hb pada serum. Interaksi

antara vitamin A dan besi nampak pada mekanisme, yakni terjadi kerusakan

mobilisasi besi dari hati dan/atau penggabungan besi ke dalam eritrosit,

rendahnya kadar retinol plasma pada anak dihubungkan dengan rendahnya

hemoglobin, dan kejenuhan transferrin ketika intik besi cukup (Panth et al., 1990).

Besi terakumulasi pada hati dan limpa pada defisiensi vitamin A (Staab et al.,

1984 dan Rodenburg et al., 1994). Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki

anemia (Olson, 1991).

Suplementasi vitamin A dapat meningkatkan status vitamin A dan

metabolisme zat besi pada ibu hamil dan anak usia sekolah dasar (Cohen et al.,

1973). Pada anak yang defisien vitamin A dan besi diberikan suplemen kombinasi

(zat besi dan vitamin A) ditemukan efektif menurunkan 40% anemia

dibandingkan suplementasi zat besi saja. Contoh penemuan lain yang tidak

spesifik terhadap suplementasi vitamin A pada program fortifikasi gula dengan

vitamin A di Guatemala berhasil meningkatkan status besi dari populasi (Cohen

dan Elin, 1974) dan percobaan fortifikasi MSG dengan vitamin A di Indonesia

meningkatkan tingkat hemoglobin anak-anak sebesar ~10 g (Muhilal, 1988).

Respons Imun

Berdasarkan responsnya, secara garis besar sistem pertahanan tubuh

terbagi menjadi dua, yaitu respons imun non-spesifik, yakni mencegah invasi

benda-benda asing melalui kulit, mukosa, dan permukaan tubuh; dan respons

imun spesifik yang terdiri dari pertahanan humoral dan seluler. Komponen

respons imun spesifik dan non-spesifik dapat dilihat pada Gambar 5.

Respons imun sangat tergantung pada kemampuan sistem imun untuk

mengenali antigen yang terdapat pada pathogen potensial dan kemudian

membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen

bersangkutan (Roitt, 1991).

Respons imun adalah sistem interaksi komplek yang menyesuaikan inang

(host) untuk membedakan substansi self dan non-self, kemudian menghancurkan

Page 46: Kep

25

atau menghilangkan invasi organisme, produk toksik, dan substansi biologis lain

yang berbahaya (Beisel, 1988). Respons imun menimbulkan interaksi antara

organ limfoid dan produk yang dikeluarkan sel tersebut dengan organ.

Gambar 5. Respons Imun Spesifik dan Non-spesifik

(Chandra, 1988)

Respons Imun Non-spesifik

Apabila mikro organisme dapat masuk dalam jaringan, pertama akan

dilawan oleh sistem imun non-spesifik, yang merupakan pertahanan terdepan

dalam menghadapi serangan berbagai mikro organisme dan dapat memberikan

respons langsung. Pertahanan non-spesifik tidak ditujukan terhadap mikro-

organisme tertentu. Pertahanan tersebut telah ada dalam tubuh dan siap berfungsi

sejak lahir yaitu kulit dan mukosa.

STIMULUS Bakteri, Virus, Sel Kanker

Bahan-bahan kimia

NON-SPESIFIK Mukosal, Fagositosis, Inflamasi

SPESIFIK Humoral, Cell Mediated

AKTIVASI RESPONS IMUN

PENGENALAN STIMULUS

PENGATURAN KEMBALI RESPONS IMUN

MEMORI

Page 47: Kep

26

Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah pertahanan

fisik dan kimiawi seperti ephitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada

permukaan ephitel (Kresno, 2001). Determinan yang berperan pada mekanisme

respons imun non-spesifik, adalah: (1) host/inang: ras, spesies, genetis individual,

umur, jenis kelamin, hormonal, dan status gizi; (2) fisik: kulit, membran mukus,

permukaan yang basah, perangkap anatomis, misalnya rongga nasal, pembersih

mekanis misalnya silia; (3) antimikroba aktif: sekresi keringat, sekresi kulit yang

bersifat antibakteri dan antifungus, sekresi membran mukus yang bersifat

antibakteri dan antivirus, substansi-substansi antimikroba jaringan misalnya

lisozim, dan sel-sel yang melakukan fagositosis (mikrofag dan makrofag); dan (4)

determinan lain yang dapat berpengaruh: pemberian kortison, antibiotik, dan

keadaan suhu.

Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya

antigen, bakteri misalnya adalah dengan cara menghancurkan bakteri dengan

proses fagositosis dan reaksi inflamasi. Untuk dapat terjadi proses fagositosis,

bakteri perlu mengalami opsonisasi oleh imunoglobulin agar mudah ditangkap

oleh fagosit. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator-mediator

tertentu oleh beberapa jenis sel, seperti histamin yang dilepaskan oleh basofil dan

mastosit; vasoactive amine yang dilepaskan oleh trombosit, dan anafilatoksin

yang berasal dari komponen komplemen.

Dalam sistem pertahanan fisik/mekanik; kulit, selaput lendir silia saluran

pernafasan, batuk, dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap

infeksi. Lapisan epidermis kulit sehat, dan mukosa yang utuh tidak dapat

ditembus oleh sebagian mikroba. Sebaliknya kulit yang rusak akibat luka bakar,

dana selaput lendir yang rusak akibat asap rokok akan meningkatkan resiko

infeksi. Tekanan oksigen di paru bagian atas dapat membantu hidup kuman

seperti tubercolosis (Beissel, 1988)..

Dalam pertahanan kimiawi, beberapa mikro-organisme dapat masuk lewat

tubuh melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut, pH asam dari keringat dan

sekresi sebaseus. Berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai efek

denaturasi protein membran sel kuman sehingga dapat mencegah infeksi melalui

Page 48: Kep

27

kulit. Zat-zat yang berperan dalam pertahanan ini umumnya antibodi, komplemen,

interferon, dan CRP (C Reactive Protein) yakni sebagai zat pelindung yang

bekerja secara non spesifik dalam pertahanan humoral.

Antibodi dan komplemen ditemukan dalam serum darah normal, dan

keduanya bekerjasama untuk dapat membunuh kuman dan menghancurkan

beberapa bakteri. Komplemen terdiri dari sejumlah besar protein dan berperan

dalam respons inflamasi. Komplemen diproduksi oleh hepatosit dan monosit

dengan spektrum aktivasi yang luas. Komplemen berperan sebagai opsonin yang

meningkatkan fagositosis dan menimbulkan lisis bakteri/parasit.

Interferon (IFN) adalah sitokin yang berupa glikoprotein yang dihasilkan

oleh berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas untuk respons

terhadap infeksi virus. Sel yang terinfeksi virus akan menunjukkan perubahan

pada permukaannya, yang akan dikenal dan dihancurkan oleh sel NK sehingga

penyebaran virus dapat dicegah. IFN dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel

NK), meningkatkan aktivasi sel T, makrofag, dan efek sitotoksik sel NK (Kresno,

2001).

Respons Imun Spesifik

Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non

spesifik, tetapi pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi,

komplemen, dan fagosit dengan sel-T makrofag. Antibodi akan muncul apabila

ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun spesifik mempunyai

kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing baginya. Dengan cara

mengenal tersebut akan terjadi sensitasi sel-sel sistem imun. Bila sel imun yang

sudah tersensitisasi tersebut terpapar dengan antigen yang sama, maka antigen

terakhir akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan. Karenanya sistem

ini disebut spesifik sebab hanya dapat menghancurkan antigen yang telah

dikenalnya. Limfosid merupakan inti dalam proses respons imun spesifik karena

sel-sel ini dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen intraselular maupun

ekstraselular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah (Kresno, 2001).

Mekanisme pertahanan respons imun spesifik banyak tergantung pada

pembentukan respons imun terhadap mikro organisme tertentu yang memberi

Page 49: Kep

28

rangsangan. Secara garis besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme,

yakni pertahanan selular dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi

terpenting yang berhubungan dengan mikroba (Surono, 2004). Kedua sistem

tersebut berasal dari satu sistem limfoid yang terdiri dari (1) komponen sentral

(sumsum tulang, timus, dan jaringan) yang terjadi peristiwa deferensiasi sel induk

limfoid menjadi limfosit-limfosit yang mampu bereaksi dengan antigen, dan (2)

komponen perifer (kelenjar limfe, limpa, dan jaringan limfoid di saluran cerna),

yang terjadi reaksi antara sel-sel limfosit dengan antigen.

• Imunitas Selular

Imunitas selular terdiri atas sel-sel limfoid yang mengalami sensitisasi

secara spesifik oleh antigen tertentu dan mampu bereaksi langsung dengan antigen

sehingga menimbulkan peristiwa sitotoksik, misalnya terhadap sel-sel asing pada

pencangkokan jaringan. Sel limfoid yang berperan adalah sel-T, yang dalam

perkembangannya dipengaruhi oleh timus dan merupakan 80% sel yang beredar

dalam tubuh. Sistem imun seluler mula-mula menjadi aktif karena stimulus

antigen yang ditangkap oleh sel-T yang kemudian mengeluarkan limfokin dan

mengadakan aktivasi makrofag. Sistem imunitas selular memegang peranan

penting dalam pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman

intra sel, contohnya virus, riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozoa (Kresno,

2001).

• Imunitas Humoral

Imunitas humoral terdiri atas kelompok sel-B yang berperan dalam sintesis

antibodi dan merupakan 20% dari seluruh limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang

oleh antigen, sel akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang

dapat membentuk antibodi. Antibodi ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh

seperti darah, cairan getah bening, dan lain- lain). Fungsi utama antibodi ini adalah

pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri, serta menetralisasi

toksik (Baratawidjaja dan Garna, 2002). Antibodi yang dilepas dapat ditemukan

dalam serum.

Terjadinya respons imun humoral oleh karena infeksi, imunisasi aktif

Page 50: Kep

29

dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan. Integritas respons

imun humoral pada manusia sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai

jenis kelas imunoglobolin di dalam serum atau mengukur naiknya titer antibodi

setelah diberi stimulus antigenis yang cukup (Kresno, 2001).

Dalam sistem imun humoral dikenal 5 kelas imunoglobulin (Ig), yakni:

IgG, Ig A, Ig M, Ig D, dan Ig E. Komponen-komponen yang berperan dalam

mekanisme sistem imun humoral, yakni: sel-B, antibodi, komplemen, dan leukosit

polimorfonuklear. Antibodi sangat penting untuk pertahanan terhadap infeksi

yang disebabkan oleh kuman ekstrasel, misalnya streptokok, pneumoko, dan

kuman bakteri (Kresno, 2001).

Antigen dan Antibodi

Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respons imun atau bahan

yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Secara fungsional antigen

dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen adalah bahan yang dapat

menimbulkan respons imun, sedangkan hapten adalah molekul yang dapat

bereaksi dengan antibodi yang sudah ada (preformed) secara langsung tetapi tidak

dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung (Bratawijaya dan Garna,

2002). Hapten dapat menjadi imunogen apabila sudah diikat oleh protein

pembawa (carrier), dalam fungsinya. Hapten akan dikenal oleh sel-B sedangkan

carrier oleh sel-T. Dalam imunisasi carrier sering digabung dengan hapten;

hapten membentuk epitop pada molekul carrier yang dikenal sistem imun dan

merangsang antibodi (Bratawijaya dan Garna, 2002).

Antibodi dapat dikenali dengan cara membekukan darah yang

meninggalkan serum dan mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan larut

tersebut adalah molekul antibodi yang digolongkan ke dalam protein yang disebut

globulin. Imunoglobulin dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel

B akibat kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan

mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Pembentukan antibodi diawali

dengan pengenalan antigen, pengolahan antigen, pelepasan zat-zat perantara, dan

pembuatan antibodi (Bernier, 1993).

Page 51: Kep

30

Pengenalan antigen merupakan tahap pertama pembentukan antibodi,

yakni diawali dari makrofag yang mula-mula mengenali antigen dengan perantara

reseptor pada membran plasmanya, kemudian antigen bergabung dengan antibodi

yang telah terbentuk sebelumnya untuk memulai peristiwa seluler yang mengarah

pada respons imun. Tahap kedua, pengolahan antigen yakni: antigen yang dibawa

ke sel-sel penginduksi dihancurkan oleh enzim-enzim lisozim dan beberapa bahan

dari antigen tersebut lalu dipaparkan kembali pada membran plasma. Ketiga,

pelepasan zat-zat perantara dengan cara makrofag dan sel-sel penginduksi lainnya

dan limfosit T-helper bekerja bersama-sama dan terjadi pelepasan zat-zat

perantara sehingga memicu terjadinya sel-sel jenis lain. Keempat, pembentukan

antibodi yang memerlukan empat jenis sel yaitu makrofag, sel-sel penginduksi

lainnya (sel dendreit dari kelenjar getah bening, limpa serta limfosit-B, limfosit T-

helper) (Bernier, 1993).

Pembentukan Respons Imun

Apabila tubuh diberikan imunogen akan terjadi respons imun. Perkenalan

pertama dengan suatu imunogen akan membangkitkan respons primer dan

pemberian ini tidak segera dapat ditemukan oleh antibodi dalam serum. Masa

antara pemberian imunogen dengan ditemukannya antibodi dalam serum disebut

periode laten atau periode induksi (Bellanti dan Joseph, 1993). Selama waktu

tersebut imunogen masih dikenal sebagai benda asing, selanjutnya diproses, dan

isyarat dikirimkan ke sel-sel yang ditugaskan untuk membentuk antibodi.

Bila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, akan terjadi satu respons

imun primer yang ditandai dengan munculnya imunoglobulin M (IgM) beberapa

hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah 7 hari. Tujuh hari

setelah pemaparan muncul IgG dalam serum (dapat dideteksi), kemudian kadar

IgM mulai menurun sebelum IgG mencapai puncaknya. Kadar IgG mencapai

puncaknya antara 10-14 hari setelah pemaparan antigen (Tizard, 1988). Kadar

antibodi kemudian berkurang tetapi biasanya IgG masih dapat dideteksi 4-5

minggu setelah pemaparan.

Apabila pemaparan antigen yang sama tersebut di atas terjadi lagi untuk

kedua kalinya, maka akan terjadi pembentukan respons imun sekunder (booster),

Page 52: Kep

31

IgM dan IgG cepat meningkat. Puncak kadar IgM pada respons sekunder

umumnya tidak melebihi puncaknya pada respons primer. Sebaliknya, kadar IgG

akan meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama (Gambar 6).

Gambar 6. Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan Sumber : Wibawan et al., 2003

Menurut Kresno (2001) ada tiga keadaan yang mengakibatkan kegagalan

sistem imun sebagai sistem pertahanan tubuh, yaitu: (1) respons yang tidak

memadai terhadap pathogen yang berakibat kepekaan terhadap infeksi, (2)

kegagalan dalam mengenal antigen, dan (3) respons berlebihan dan tidak

terkendali yang berakibat hipersensitivitas.

Imunoglobulin G (IgG)

Integritas respons imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar

berbagai jenis kelas imunoglobulin di dalam serum seseorang atau dengan

mengukur titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup. Sirisinha

(1974) sebagaimana dikutip Suyitno (1985), telah mempelajari lima kelas serum

imunoglobulin (IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE) pada sejumlah anak dengan KEP

yang diikuti terus-menerus semenjak anak-anak dirawat di rumah sakit sampai

keadaannya menjadi baik. Kadar rata-rata lima imunoglobulin itu naik di atas

kadar rata-rata imunoglobulin populasi kontrol. Kemudian semua kelas

imunoglobulin lambat- laun menurun kecuali IgG (Suyitno, 1985).

Imunoglobulin G merupakan komponen utama imunoglobulin dalam

serum dan IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena mempunyai reseptor

untuk fraksi Fc dari IgG sehingga mempererat hubungan fagosit dengan sel-sel

sasaran. IgG banyak ditemukan dalam serum dan kadar IgG meninggi dalam

Page 53: Kep

32

infeksi kronis dan penyakit autoimun. Imunoglobulin G (Gambar 7), dalam

keadaan normal menempati 80 persen dari semua imunoglobulin dalam serum

manusia (Roitt, 1991).

Gambar 7. Struktur Imunoglobulin G (IgG) Sumber: Tizard, 1988

Pada Gambar 7 ditunjukkan bahwa setiap molekul imunoglobulin terdiri

dari satu ekor rantai terminal-C (rantai peptida dengan gugus karboksil bebas)

yang mempunyai susunan urutan asam amino yang relatif konstan dan dua lengan

rantai terminal-N (gugus amino bebas) dengan susunan asam amino sangat

berubah-ubah (bagian variabel). Karena perubahan susunan asam amino tersebut

maka pada rantai ini merupakan tempat pengikatan antigen yang mengakibatkan

setiap molekul IgG berfungsi bivalen (Tizard, 1988). Bagian variabel tersebut

dibentuk oleh empat rantai polipeptida dasar yakni dua rantai berat dan dua rantai

ringan. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida.

Imunoglobulin G adalah kelas imunoglobulin yang terdapat dalam

konsentrasi tertinggi dalam serum darah; dan karena itu memainkan peran utama

dalam mekanisme pertahanan yang diperantarai oleh antibodi (Tizard, 1988). IgG

pada manusia disintesis kira-kira 35 ml/kg/hari dengan waktu paruh (half life)

sekitar 23 hari. Karena ukurannya yang relatif kecil, maka IgG lebih mudah keluar

dari pembuluh darah dibandingkan dengan molekul imunoglobulin yang lain.

Karenanya IgG cepat mengambil bagian utama dalam mekanisme pertahanan

pada ruang jaringan dan permukaan tubuh (Tizard, 1988).

Page 54: Kep

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Kerangka Pemikiran

Tingginya angka morbiditas dan mortalitas anak merupakan akibat

panjang dari rendahnya imunitas yang dapat disebabkan karena kurangnya

pembentukan IgG. Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas antara lain

karena defisiensi zat gizi mikro. Defisiensi zat gizi mikro pada anak-anak,

khususnya defisiensi zat besi dan vitamin A berakibat pada kerusakan sistem

imun dan penyebab terhambatnya pertumbuhan anak.

Defisiensi vitamin A dapat menurunkan respons antibodi termasuk IgG

(Kinoshita et al., 1991; Pasatiempo et al., 1990; Lavasa et al., 1988; dan Gershwin

et al., 1984; Krishnan et al., 1974), dan produksi antibodi (Suskind, 1984 dan

Ross, 1992). Defisiensi vitamin A berpengaruh pada kerusakan membran epithel

dan mempercepat kerusakan mukosa (Tomkins dan Watson, 1993), yakni

penyebab peradangan sehingga mengurangi dan melemahkan mekanisme

pertahanan dengan cara merusak permukaan epithel. Perusakan epithel seperti di

kulit (Squamous epithelium), permukaan mukosa paru-paru, gastrointestinal, dan

genitourinari. Permukaan epithel tersebut merupakan garis pertahanan pertama

untuk melawan infeksi, jasad renik, ataupun benda asing yang masuk ke dalam

tubuh.

Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al., (2005), Cusick et

al., (2005), Beaten et al., (2004), Villamor et al., (2002), dan High et al., (2002),

mengindikasikan bahwa sel epitel merupakan komponen integral dari suatu

jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epitel, mikroba, sel-sel

imun, dan inflamatori host. Sel epitel pada permukaan mukosa berperan dalam

menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen, baik yang

invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau

yang berdekatan dengan mukosa.

Defisiensi vitamin A menyebabkan rendahnya resistensi terhadap

kolonisasi dan invasi terhadap pathogen (Tomkins dan Watson, 1993). Demikian

juga defisiensi zat besi berpengaruh terhadap penurunan infeksi cacing (Gopaldas,

2005), menurunkan respons imunitas seluler, yakni penurunan pada organ limfoid

Page 55: Kep

34

(Candra, 1992). Penurunan imunitas dapat menstimulasi pertumbuhan pathogen.

Dengan pertumbuhan pathogen yang cepat dan pertahanan tubuh yang menurun

mengakibatkan keseimbangan tubuh terganggu sehingga anak mudah terkena

infeksi. Keseimbangan antara virulensi pathogen dan pertahanan tubuh

menentukan tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Infeksi secara

langsung berpengaruh pada status gizi dan akhirnya berpengaruh terhadap

perubahan kebiasaan makan, antara lain terjadinya penurunan nafsu makan dan

gangguan absorpsi sehingga intik zat gizi menjadi rendah.

Salah satu cara menurunkan defisiensi zat gizi mikro dan penyakit infeksi

dengan meningkatkan status gizi dan antibodi. Pemberian biskuit fortifikasi

kepada anak balita diharapkan dapat memberikan sumbangan gizi yang memadai

terhadap konsumsi harian anak, apabila daya akseptabilitas anak terhadap biskuit

fortifikasi tinggi. Artinya, anak mampu menerima, mau dan suka mengkonsumsi

biskuit tersebut. Akseptabilitas biskuit dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial

ekonomi keluarga, pengetahuan gizi ibu, dan kandungan gizi biskuit itu sendiri.

Tingginya akseptabilitas terhadap biskuit diharap dapat meningkatkan kualitas

konsumsi pangan anak. Kualitas makanan yang memadai akan berpengaruh

terhadap peningkatan intik gizi, peningkatan konsentrasi Hb, serum ferritin, dan

retinol. Peningkatan konsentrasi Hb, serum ferritin, dan retinol dapat

meningkatkan status gizi. Dengan status gizi yang baik, maka dapat meningkatkan

respons imun anak melalui pembentukan IgG. Keterkaitan respons imun, status

gizi dan fortifikasi biskuit disajikan pada Gambar 8.

Dengan mengacu pada berbagai pustaka yang ada dapat digambarkan

bahwa kekebalan terhadap penyakit melibatkan antibodi. Antibodi tersebut pada

umumnya merupakan tipe Imunoglobulin G. Untuk meningkatkan pembentukan

antibodi dapat diperoleh melalui booster DPT. Dengan dimasukkannya antigen ke

dalam tubuh seseorang akan terbentuk serokonversi. Serokonversi akan mencapai

maksimum yang bersifat protektif bila kadar IgG dalam serum mencapai 0,1

IU/ml. Hal ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor endogen dan eksogen dari

kehidupan seseorang. Dengan landasan tersebut meskipun seseorang telah

mendapatkan pemberian booster DPT akan memberikan hasil titer IgG terbentuk

Page 56: Kep

35

yang berlainan tergantung pada umur, riwayat penyakit, dan status gizi seseorang.

Gambar 8. Keterkaitan Biskuit Fortifikasi, Status gizi, dan Imunitas

Penanganan masalah defisiensi gizi mikro perlu dilakukan dengan tepat

dan cepat karena defisiensi gizi mikro sebagai penyebab terbesar penyakit infeksi

akan sangat berpengaruh terhadap mekanisme pertahanan tubuh. Apabila terjadi

penurunan sistem imunitas dan antibodi akibat defisiensi gizi mikro, maka

seseorang mudah terserang infeksi.

Penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan imunitas

anak. Respons imunitas akan meningkat apabila anak memiliki status gizi yang

baik. Gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan

fisik dan perkembangan mental, melindungi kesehatan, dan meletakkan fondasi

untuk masa depan dan produktivitas anak. Pengaruh intervensi terhadap

peningkatan respons imun dapat dilihat dari kadar imunoglobulin G (IgG) total.

Input

Proses

Output

Outcome

Respons Imun (Peningkatan Imunoglobulin G)

Pengetahuan Gizi Ibu

Sosial Ekonomi

Intik Konsumsi Anak

Biskuit Fortifikasi

Konsentrasi Hb, Serum Ferritin,

dan Retinol

Infeksi dan penyakit

Intik Vitamin A dan Fe

Pola Asuh Makan

Status Gizi Anak

Page 57: Kep

36

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah digambarkan pada Gambar 8,

maka dikemukakan hipotesis sebagai berikut:

1. Hipotesis pertama: Pemberian biskuit fortifikasi akan meningkatkan status

vitamin A, status besi, dan status gizi anak balita;

2. Hipotesis kedua: Makin baik status gizi mikro anak balita maka makin tinggi

kadar Imunoglobulin G dan ini berarti makin baik respons imun anak balita

Batasan Operasional

Efikasi : adalah kemanjuran biskuit fortifikasi yang dianjurkan dikonsumsi anak untuk meningkatkan status gizi antropometri, konsentrasi Hb, kadar ferritin (status besi), kadar retinol (status vitamin A), dan respons imun anak balita

Biskuit : adalah produk makanan kering yang dibuat dengan bahan dasar tepung

terigu, lemak, dan bahan lain dengan cara memanggangnya. Biskuit dalam penelitian ini berupa “biskuat energi” yang diproduksi oleh PT. Danone Biscuits Indonesia

Biskuit Fortifikasi: adalah biskuit yang telah ditingkatkan mutu gizinya dengan

menambahkan beberapa zat gizi mikro pada bahan makanan tersebut, Zat gizi mikro yang paling banyak ditambahkan yaitu vitamin A dan zat besi.

Intervensi : pemberian makanan tambahan kepada anak balita berupa biskuit

yang difortifikasi oleh beberapa zat gizi mikro. Anak dianjurkan mengkonsumsi biskuit sebanyak 54 gram (10 keping) perhari. Intervensi dilakukan selama 16 minggu

Infeksi dan Penyakit: adalah kondisi kesehatan anak selama intervensi yang

diamati secara seksama, penyakit apa saja dan lamanya yang pernah diderita anak sebelum dan sesudah penelitian, dinyatakan dalam skor morbidias. Pantauan kesehatan selalu dikontrol oleh dokter puskesmas dengan pemeriksaan 4 kali selama penelitian.

Skor Morbiditas: adalah skor yang dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan

dengan lama penyakit dengan memberi skor tinggi pada penyakit infeksi yang berdampak fatal. Penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, sariawan, dan mata diberi skor 10. Skor 50 untuk penyakit bronhitis, asma, dan ISPA. Skor 70 untuk penyakit campak dan 80 untuk diare dan muntaber yang dinilai beresiko fatal.

Anak Balita: adalah anak usia 2-4 tahun dari orang tua yang kurang mampu yang diberikan intervensi biskuit selama 16 minggu

Page 58: Kep

37

Fortifikan: adalah zat gizi yang ditambahkan pada biskuit yakni: vitamin A sebesar 243 mcg dan zat besi sebesar 4,32 mg. Penambahan vitamin A dan zat besi hampir mencapai 2/3 RDA.

Status Gizi Antropometri: menggunakan indeks BB/TB, dilakukan pengukuran

berat badan dan tinggi badan anak balita secara langsung. Data hasil pengukuran tersebut digunakan untuk menentukan Z-skor.

Konsumsi Pangan: adalah jumlah makanan yang masuk melalui mulut anak

balita selama 2x24 jam, yang diukur dengan menggunakan “Recall” dengan mengacu pada kuesioner yang telah dipersiapkan.

Hemoglobin (Hb) : adalah parameter dari status anemia anak yang diperoleh dari

analisis darah. dengan metode Drabkins. Cut off point anemia pada anak < 11g/dL.

Ferritin Serum (Fs) : adalah parameter dari status besi anak yang diperoleh dari

analisis serum dengan metode IRMA (cut off point status besi adalah < 12 µg/L)

Retinol Serum (Rs) : parameter dari status vitamin A anak yang diperoleh dari

analisis serum dengan metode HPLC (cut off point status vitamin A adalah < 20 µg/dL)

Respons Imun : dinilai dengan cara mengukur kadar imunoglobulin G (IgG)

Total terhadap Tetanus di dalam serum setelah anak diberi stimulus antigenis yang cukup (booster DPT).

Serum : diambil dari darah vena sebanyak 2 cc yang terdapat pada lengan “Vena

Cubiti”. Darah dibiarkan beberapa saat di suhu ruangan agar tidak lisis, kemudian disentrifugasi untuk mendapatkan serum sejumlah 1 cc.

Imunitas : munculnya dan meningkatnya antibodi untuk mempertahankan daya

tahan tubuh dengan cara melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Munculnya respons imunitas dideteksi dengan adanya imunoglobulin G.

Booster DPT : pemberian vaksin DPT ulang sebanyak 0,5 cc kepada anak balita

setelah 6 bulan mendapatkan imunisasi. Booster diberikan untuk mendeteksi antibodi dengan kemunculan imunoglobulin G.

Imunoglobulin G : komponen utama imunoglobulin dalam serum, kadarnya

sekitar 75% dari semua imunoglobulin dalam serum. Imunoglobulin yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pengukuran titer IgG total dengan metode ELISA.

Page 59: Kep

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yang

mencakup delapan (8) desa, yaitu: Desa Cikarawang, Desa Babakan, Desa

Ciherang, Desa Dramaga, Desa Sinarsari, Desa Neglasari, Desa Petir, dan Desa

Sukawening. Di kedelapan desa tersebut dilakukan pemberian biskuit fortifikasi

dan non fortifikasi.

Analisis serum dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi, untuk

hemoglobin (Hb) Ferritin (Fs), dan Retinol (Rs) dan untuk analisis Imunoglobuin

G (IgG) Total dilakukan di Laboratorium Endokrinologi Makmal Terpadu FKUI

Jakarta. Penelitian dilakukan selama 12 bulan yakni dari Oktober 2004-September

2005.

Disain Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain Eksperimen

bentuk percobaan acak terkontrol (randomized controlled trial). Syarat contoh

yang dipilih adalah anak-anak sehat dari keluarga miskin yang berusia 18-38

bulan, tidak berstatus gizi buruk, dan tidak sedang menderita penyakit yang

serius/kronis ataupun penyakit infeksi. Contoh penelitian dibagi secara acak dan

proporsional ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan (kelompok anak

yang menerima biskuit fortifikasi) dan kelompok plasebo (yang menerima biskuit

tanpa fortifikasi).

Besarnya ukuran contoh untuk masing-masing kelompok dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut (WHO, 1996) :

n = {(2 x s2 x (Zß + Za)2}/d2

n = ukuran sampel s = standar deviasi (SD) hemoglobin (1,0 g/dL) Zß = sebaran normal dengan kekuatan 80% (0,84) Za = sebaran normal dengan selang kepercayaan 95% (1,96). d = perbedaan rerata kadar hemoglobin antara dua kelompok (0.7 g/dL)

n = {(2 x 12 x (0,84 + 1,96)2}/0,72

n = 32

Page 60: Kep

39

Dari rumus tersebut diperoleh jumlah minimal 32 orang (untuk masing-

masing kelompok perlakuan dan plasebo), sehingga jumlah total contoh intervensi

biskuit adalah 64 anak.

Untuk menghindari kehilangan contoh sampai 10%, maka jumlah contoh

yang diperlukan setiap kelompok adalah 32 + (32 x 0.1) = 35 anak. Dengan

demikian, jumlah total contoh intervensi biskuit adalah 70 contoh, 35 contoh

kelompok perlakuan dan 35 contoh kelompok plasebo (Gambar 9)

Gambar 9. Jumlah Contoh Anak Usia 18-38 bulan yang Diintervensi

Biskuit Fortifikasi.

Unit contoh yang dipilih untuk pemberian biskuit adalah anak usia 18-38

bulan yang terdaftar pada Posyandu di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor

yang dipilih berdasarkan kriteria: (1) memiliki jumlah keluarga miskin terbanyak,

yang menunjukkan bahwa di kecamatan tersebut terdapat anak-anak balita yang

dapat dipilih dan berasal dari keluarga miskin; (2) memperoleh distribusi program

pemberian kapsul besi dan vitamin A dalam jumlah kecil; dan (3) kemudahan

dalam logistik saat pelaksanaan intervensi.

Untuk mengetahui perubahan hemoglobin, pemberian biskuit fortifikasi

dilakukan selama 16 minggu (WHO, 1996), mengingat pembentukan dan

degradasi sel darah merah setiap hari di dalam tubuh memiliki jangka waktu hidup

120 hari (Linder, 1992). Waktu pemberian intervensi dimulai dari bulan Oktober

2004 sampai dengan Februari 2005.

Pasca intervensi diambil sampel darah contoh sebanyak 2 cc, kemudian

contoh diberikan Booster DPT sebanyak 0,5 cc. Setelah dua minggu sejak

pemberian booster selanjutnya contoh diambil darahnya kembali dan sampai

pemberian booster kepada contoh tetap diberikan biskuit. Pelaksanaan

pengambilan darah dan pemberian booster DPT dilakukan pada bulan Juni 2005.

Besaran contoh pengambilan darah untuk analisis Imunoglobulin G menggunakan

Anak 18-38 bulan (n=70)

Kelompok Perlakuan (n=35) Kelompok Plasebo (n=35)

Page 61: Kep

40

uji klinis, yakni apabila selisih imunoglobulin G Total anak antara 2 kelompok 0,8

IU/mL dengan simpang baku selisih rata-rata 1,0 IU/mL dan a = 0.05 dengan taraf

kepercayaan 90% dan tingkat kegagalan 10% (Sastroasmoro dan Ismael, 2002),

dengan rumus:

(Zα + Zß) x S 2 n = --------------------

d Dimana,

Zα = 1.96 Zß = 0.842

2 (1.96 + 0.842) x 1,0

n = ------------------------- 0,8 n = 12,3. = 13

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperlukan 13 anak. Untuk

menghindari kegagalan analisis sampai 10%, maka contoh yang diperlukan

menjadi 13 + (13 x 0.1) = 14,3 dibulatkan menjadi 15 anak. Contoh dipilih dengan

mempertimbangkan usia (≥24 bulan) dan mengingat interval pemberian imunisasi

DPT terakhir. Pertimbangan usia dimaksudkan untuk mempermudah managemen

pengambilan darah dan berdasarkan Depkes (1997), pemberian booster DPT

sebaiknya kepada anak balita yang telah mendapatkan imunisasi DPT terakhir

enam bulan yang lalu dan tidak pernah memiliki riwayat kejang di waktu bayi.

Menurut kriteria tersebut, maka ukuran contoh anak yang dianalisis

Imunoglobin G-nya didapat sebesar 30 sampel yang terdiri dari 15 contoh

kelompok perlakuan dan 15 contoh kelompok plasebo (Gambar 10)..

Gambar 10. Jumlah Contoh Anak yang Dianalisis Imunoglobolin G-nya

Anak 24-42 bulan (n=30)

Fortifikasi Biskuit (n=15) Biskuit Plasebo (n=15)

Page 62: Kep

41

Kerangka dan Cara Penarikan Contoh

Kerangka penarikan contoh disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Kerangka dan Cara Penarikan Contoh Anak-anak

Kriteria : * Tingkat pendapatan rendah * Tidak menderita penyakit keras dan gizi kurang parah * Menandatangani surat penjanjian dan bersedia mengikuti penelitian

Wilayah Penelitian (Kecamatan Dramaga. di pinggiran Bogor)

Daftar Anak Usia 24-38 bulan (disensus oleh kader) Kelompok Miskin

Daftar anak terpilih 24-38 bulan

Anak usia 24-38 bulan (n = 35) Anak usia 24-38 bulan (n= 35) Hasil

pengacakan

Daftar anak yang dipilih 24-38 bulan (70 anak)

Anak usia 28-42 bulan (n = 35) Anak usia 28-42 bulan (n = 35)

Pemberian biskuit 16 minggu

Kelompok perlakuan Kelompok plasebo

Anak 28-42 bulan (n = 15)

Anak usia 28-42 bulan (n = 15)

Anak usia 28-42 bulan (n = 15)

Booster DPT 0,5 mg 2-3 minggu 2-3 minggu

Kriteria : • Mendapatkan imunisasi DPT

terakhir sebelum 1 tahun • Tidak mempunyai riwayat

kejang waktu bayi • Tidak sedang menderita

penyakit serius • Tidak sedang sakit saat di

booster DPT

Anak 28-42 bulan (n = 15)

Hasil Pengacakan

Page 63: Kep

42

Kerangka sampling anak-anak dibuat berdasarkan data sekunder di

posyandu yang dicatat oleh kader Posyandu. Apabila posyandu tidak memiliki

data terbaru (karena kader-kadernya tidak aktif), maka dilakukan sensus ulang

oleh peneliti, dibantu dengan kader dan enumerator terlatih. Sensus pada awal

pelaksanaan penelitian ini diperlukan untuk mendapatkan data terbaru mengenai

contoh berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Data hasil sensus dengan kriteria yang telah sesuai kemudian dientri ke

dalam komputer, kemudian contoh anak yang memenuhi syarat dipilih karena

adanya kriteria inklusif untuk dijadikan contoh penelitian. Dari data anak usia 18-

38 bulan yang memenuhi syarat, dipilih 70 anak secara acak dengan

menggunakan program komputer. Dari 70 anak yang terpilih, dibagi lagi menjadi

dua kelompok secara acak dan proporsional sebanyak 35 anak pada masing-

masing kelompok Kemudian, dari 70 anak yang telah diberi intervensi dari

biskuit dipilih secara purposive menjadi 30 anak terpilih yang masing-masing

kelompok sebanyak 15 anak untuk diambil darahnya untuk keperluan analisis

imunoglobulin.

Bahan Penelitian

Bahan utama yang dipakai dalam penelitian ini adalah biskuit fortifikasi

yang pengembangan produk dan produksi skala besar dilakukan di laboratorium

PT. Biskuit Danone Indonesia dengan formula khusus atas permintaan WFP.

Analisis

Analisis konsentrasi hemoglobin (Hb), kadar ferritin dan retinol dilakukan

di laboratorium Puslitbang Gizi Bogor. Metode yang digunakan unuk analisis Hb

adalah metode Drabkins (Dawiesah, 1989) dan kadar ferritin dengan metode

Imunometric Assay (IRMA) (Dawiesah, 1989). Sedangkan kadar retinol dianalisis

secara ekstraksi dengan kromatografi (Dawiesah, 1989).

Analisis Imunoglobulin dilakukan di Laboratorium terakreditasi, yakni

Makmal Terpadu FKUI, Jakarta. Metode yang digunakan dalam analisis IgG

adalah metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay “ELISA” (Kresno, 2001).

Metode ELISA cukup sensitif dan reagennya mempunyai half life yang lebih

Page 64: Kep

43

panjang dibandingkan dengan metode yang lainnya. Selain itu, tidak mengandung

bahaya radioaktif. Sebelum dilakukan analisa, serum disimpan dalam refrigerator

pada suhu – 800C selama dua bulan.

Biskuit Fortifikasi

Formula biskuit dirancang oleh WFP dan dibuat oleh industri makanan

komersial di Indonesia. Biskuit fortifikasi diperkaya dengan vitamin A dan zat

besi (Fe). Kandungan vitamin A dan zat besi yang ditambahkan pada biskuit

fortifikasi per 10 keping (54 g), masing-masing sebesar 243µg dan 4,32 mg atau

setara dengan 2/3 RDA. Komposisi biskuit terdiri dari bahan dasar utama tepung

terigu, gula, dan minyak nabati. Bahan pelengkap lain: sirup glukosa dan fruktosa,

susu bubuk skim, margarin, garam, soda kue, lesitin kedelai, dan pencita rasa

(vanilla).

Biskuit yang difortifikasi dengan vitamin dan mineral tersebut, diproduksi

secara khusus untuk United Nations-World Food Programme (UN-WFP) sebagai

program bantuan perbaikan gizi anak balita. Tujuannya untuk menurunkan

prevalensi defisiensi zat gizi mikro pada anak-anak balita.

Komposisi Biskuit

Kandungan vitamin A dan zat besi yang ditambahkan pada biskuit

fortifikasi dan plasebo untuk setiap 100 gram biskuit adalah sebagai berikut:

A. Biskuit Fortifikasi:

Vitamin A: 235,65 µg (109,1% AKG)

Zat Besi: 4,17 mg (96,5% AKG)

B. Biskuit Plasebo:

Vitamin A: 99,96 µg (25% AKG)

Zat Besi: 0,64 mg (8% AKG)

Kandungan gizi biskuit “A” (biskuit fortifikasi) jauh lebih banyak muatan

vitamin dan mineralnya jika dibandingkan dengan biskuit “B” (biskuit plasebo).

Foto biskuit fortifikasi dan non fortifikasi disajikan pada Gambar 12.

Page 65: Kep

44

Gambar 12. A. Biskuit Fortifikasi dan B. Biskuit Non Fortifikasi

Untuk menghindari kerusakan biskuit maka biskuit dikemas dalam

kemasan aluminium yang kedap udara, dan dimasukkan dalam kardus untuk

selanjutnya didistribusikan kepada kelompok penelitian. Biskuit untuk contoh

diberikan dalam kantong plastik berisi lima bungkus plastik yang berisi 14 keping

(76 gram). Pada kantong plastik ditempel kode identitas contoh dan kode desa

untuk menghindari kesalahan pengiriman.

Pelaksanaan Intervensi dan Pendistribusian Biskuit

Sebelum pelaksanaan intervensi, dilakukan sosialisasi mengenai

pemberian makanan tambahan (PMT) di wilayah penelitian dan penandatanganan

surat penjanjian (informed consent) oleh seluruh orang tua contoh dan

pengumpulan data dasar. Kemudian, terhadap masing-masing contoh diberikan

obat cacing berupa sirup anti cacing (Combantrin).

Intervensi terhadap contoh, yaitu pemberian biskuit yang difortifikasi zat

gizi mikro dan plasebo dilakukan dengan pemberian 10 keping (54 gram) biskuit

setiap hari kepada ibunya dari kedua kelompok perlakuan. Biskuit diberikan

setiap satu minggu pada kelompok sasaran, sekaligus mengumpulkan data

konsumsi biskuit tersebut. Masing-masing contoh diberi biskuit untuk 1 minggu

konsumsi (5 bungkus @ 14 keping atau 76 gram) yang diberikan oleh kader

posyandu terlatih. Pemberian biskuit diantar langsung oleh kader ke rumah

Page 66: Kep

45

masing-masing contoh pada hari distribusi selama 4 bulan intervensi. Gambar

selengkapnya mengenai tahapan penelitian disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Bagan Alir Tahapan Penelitian

Daftar Anak usia 24-38 bulan Di Kecamatan Dramaga

Dikelompokkan menjadi (2): Diberi Biskuit Fortifikasi (n=35) & Non

Fortifikasi (n=35) selama 16 minggu

Anak terpilih (n=70 anak), informed consent, sosialisasi,

pemberian obat cacing

Pemberian Biskuit Fortifikasi dan Plasebo selama tiga bulan dilanjutkan Pemeriksaan

Kesehatan dan Pemberian Booster DPT

Pengukuran TB, Penimbangan BB, Pemeriksaan Kesehatan & Pengambilan Sampel Darah

Pengukuran TB, Penimbangan BB, Pemeriksaan Kesehatan & Pengambilan Sampel darah

Pengukuran TB, Penimbangan BB, Pemeriksaan Kesehatan & Pengambilan Sampel darah

Page 67: Kep

46

Selain itu, terhadap ibu contoh juga diberikan pengarahan mengenai: (1)

cara pemberian biskuit kepada anaknya, yaitu 2-3 kali per hari, tergantung pada

umur anak (maksimal pemberian 10 keping biskuit/hari); (2) contoh tetap

diberikan makanan seperti biasanya; (3) pemberian biskuit bukan sebagai

pengganti makanan tetapi sebagai tambahan makanan (suplemen), serta (4) biskuit

tersebut tidak boleh diberikan kepada orang/anak lain selain contoh yang

bersangkutan.

Pada saat pembagian biskuit, kader melakukan wawancara terhadap

ibu/pengasuh contoh mengenai konsumsi biskuit dan manfaat yang dirasakan

serta masalah dan keluhan yang mungkin timbul selama intervensi. Untuk

kegiatan membagikan biskuit kepada anak-anak (melalui ibunya) setiap minggu,

diperlukan sekitar 16 orang kader (1 kader menangani 5-7 anak). Pengawasan

pembagian biskuit dilakukan dengan cara mengecek ulang langsung ke rumah

contoh oleh peneliti terhadap sekitar 20% contoh untuk memastikan bahwa

pembagian biskuit telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Untuk itu, dilakukan pertemuan dengan kader di ruang pertemuan Balai

Desa (di rumah kader) setiap minggu, satu hari sebelum kader membagikan

biskuit fortifikasi kepada anak-anak. Pertemuan mingguan dengan para kader

dilakukan untuk koordinasi kegiatan di lapang, perencanaan, pengawasan dan

pemecahan masalah yang muncul di lapang saat pembagian biskuit serta

memantau kesehatan contoh. Berdasarkan disain penelitian, pemberian biskuit

plasebo terhadap kelompok kontrol juga dilakukan dengan mekanisme yang sama.

Page 68: Kep

47

Pengumpulan dan Pengukuran Data

Jenis dan cara pengambilan data disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis Data dan Frekuensi Pengumpulan Data

No Data Frekuensi Waktu Pengumpulan

Metode Pengukuran

1. Keadaan umum Wilayah penelitian

1 kali Awal Catatan tertulis

2. Status sosial- ekonomi Keluarga

1 kali Awal Wawancara * Jumlah pengeluaran /bulan * Jenis pekerjaan * Kepemilikan barang

3. Umur anak 1 kali Awal Wawancara & pencatatan 4. Riwayat Penyakit

Anak 1 kali Awal Wawancara & pencatatan

5. Imunisasi 1 kali Awal Wawancara & pencatatan (dirujuk dengan KMS)

6. Konsumsi pangan Anak

4 kali Setiap bulan Selama 4 bulan

Pencatatan dan observasi

7 Konsumsi biskuit Fortifikasi

16 kali Setiap minggu Selama 4 bulan

Pencatatan dan observasi

8. Penerimaan biskuit Fortifikasi

16 kali Setiap minggu Selama 4 bulan

Wawancara, Pencatatan & observasi

9. Konsumsi vitamin Dan mineral

2 kali Awal dan akhir Wawancara & pencatatan

10. Keadaan Sanitasi Higiene

1 kali Awal Wawancara dan observasi * kondisi fasilitas air minum * kondisi fasilitas MCK * kondisi higiene Perorangan

11. Keadaan Kesehatan anak

2 kali Awal dan Akhir Pemeriksaan oleh dokter

12. Status gizi anak 2 kali Awal dan Akhir Penimbangan & pencattan

13. Imunitas 2 kali Awal dan Akhir Pemeriksaan IgG Total terhadap tetanus dengan metode ELISA di Lab Makmal Terpadu Imuno-endokrinologi FKUI

Pengolahan dan Pengendalian Kualitas Data

Data-data yang telah terkumpul dari kuesioner, wawancara, pemeriksaan,

pengukuran langsung, dan hasil analisis laboratorium diolah dan dianalisis dengan

menggunakan program Mic rosoft Excel XP, SPSS versi 12.00 dan Food

Processor Program.

Page 69: Kep

48

Data status gizi ditentukan secara antropometri dengan menggunakan

indeks pengukuran BB/TB. Indeks BB/TB lebih menggambarkan status gizi anak

balita saat ini (current nutritional status) dan indeks BB/TB merupakan indeks

yang dapat membedakan proporsi badan dan independen terhadap umur (Suhardjo

dan Riyadi, 1990). Data berat badan dan tinggi badan digunakan untuk

menentukan Z-skor.

Baku antropometri yang digunakan untuk menentukan status gizi adalah

WHO-NCHS (1983) dan sesuai anjuran PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi) pada

tahu 2000 tentang penggunaan baku antropometri status gizi. Ambang batas (cut

off point) kurang gizi anjuran WHO yaitu –2 SD. Klasifikasi status gizi indeks

BB/TB baku WHO-NCHS dengan Z-score adalah:

1. Gemuk : > 2,0 SD baku WHO-NCHS

2. Normal : - 2,0 SD s/d + 2,0 SD

3. Kurus/Wasted : < - 2,0 SD

4. Sangat kurus : < - 3,0 SD

Status gizi mikro dalam penelitian ini meliputi status anemia, status zat

besi, dan status vitamin A. Data status gizi mikro digali dengan cara pengambilan

serum intravena anak sebanyak 2,5 ml dengan mengacu ketentuan ethical

clearence Depkes RI.

Parameter status anemia dengan melihat konsentrasi hemoglobin. Status

anemia dikelompokkan berdasarkan WHO (1982) menjadi dua kelompok:

1. Normal (tidak anemia) jika konsentrasi Hb > 11 g/dL

2. Anemia jika konsentrasi Hb < 11 g/dL

Analisa Hb dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi Bogor dengan

menggunakan metode DRABKINS, yakni menggunakan reagen Drabkins dan

alkohol 70% untuk desinfektan. Prinsip kerja metode Drabkins adalah hemoglobin

akan diubah menjadi methemoglobin sianida. Methemoglobin sianida sangat

stabil dan mampu mengabsorsi sinar 540 nm sehingga Sianmet-Hb yang terbentuk

dapat diukur.

Status besi dilihat dari tingkat konsentrasi ferritin dalam serum (Fs) dan

dikelompokkan menjadi dua (Cook, 1994), yaitu :

Page 70: Kep

49

1. Normal jika konsentrasi Fs > 12 µg/L

2. Defisiensi jika konsentrasi Fs < 12 µg/L

Analisis ferritin dengan menggunakan metode Immunometric Assay

(IRMA), yakni ferritin merupakan suatu antigen yang dapat bereaksi dengan

antiserum dari antibodi. Analisis tersebut dilakukan di Laboratorium Puslitbang

Gizi Bogor.

Status vitamin A dilihat dari retinol dalam serum (Rs) dan

dikelompnokkan menjadi 4 kelompok (WHO, 1994), yaitu:

1. Defisiensi jika konsentrasi Rs < 10µg/dl;

2. Rendah (defisiensi vitamin A subklinis) jika konsentrasi Rs < 20 - 10µg/dl;

3. Marginal jika konsentrasi Rs 20 - 30 µg/dl;

4. Baik jika konsentrasi Rs > 30 µg/dL.

Analisis vitamin A dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi Bogor

dengan metode ekstraksi menggunakan HPLC. Standar yang digunakan untuk

analisis retinol adalah Concurrent Liquid-Chromatographic Assay of Retinol

(Thurnham, Smith, dan Flora, 1988).

Data konsumsi pangan digali dengan metode recall 24 jam , yang diambil

saat awal penelitian dan akhir penelitian. Recall konsumsi dilakukan secara

berulang, yakni 4 (empat) kali pengambilan data konsumsi dengan tujuan untuk

memperoleh data yang representatif dan dapat menggambarkan kebiasaan makan

anak balita. Menurut Sanjur (1997), recall konsumsi minimal dilakukan 2 kali dan

tanpa berturut-turut dapat menggambarkan asupan zat gizi lebih optimal dan

memberikan variasi yang lebih besar tentang intik harian individu. Data konsumsi

diolah dengan microsoft excel yang dikonversikan ke dalam satuan zat gizi

dengan berpedoman pada kandungan zat gizi dari daftar komposisi bahan

makanan (DKBM) tahun 1995 sebagai rujukan. Khusus makanan jajanan yang

tidak tercantum dalam DKBM, digunakan DKGJ yang disusun oleh Hardinsyah

dan Briawan (1990). Jumlah total masing-masing zat gizi dirata-ratakan untuk

memperoleh besarnya komposisi rata-rata zat gizi per orang per hari dan tingkat

kecukupan per hari. Tingkat kecukupan zat gizi diperoleh dengan

membandingkan data riil konsumsi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan

Page 71: Kep

50

(AKG) 2004. Penggolongan tingkat konsumsi dilakukan berdasarkan Depkes RI

(1996), dimana tingkat konsumsi dibagi menjadi dua dengan cut off point 70%,

yakni:

1. Cukup jika konsumsi > 70% AKG

2. Kurang jika konsumsi < 70% AKG

Data imunoglobulin G (IgG) diperoleh melalui pengambilan serum

intravena sebanyak 0,5 mg oleh petugas ahli medis. Data pengukuran titer IgG

dengan metode ELISA di laboratorium Makmal Terpadu Imunoendokrinologi

FKUI. Serum dalam darah memenuhi syarat atau protektif bilamana diperoleh

titer antibodi minimal > 0, 1 IU/ml. Titer IgG diklasifikasikan menjadi tiga

kelompok (Kunarti, 2004) yakni:

1. Titer IgG rendah jika titer antibodi 0,0 – 1,0 IU/ml

2. Titer IgG cukup jika titer antibodi >1,0 – 1,5 IU/ml

3. Titer IgG tinggi jika titer antibodi > 1,5 IU/ml

Untuk mengendalikan dan menjamin kualitas data yang digali oleh para

enumerator, maka dilakukan pelatihan terhadap enumerator dengan cara

mengujicoba kemampuan enumerator dalam penggalian data, yakni try out

kuesioner. Tujuan pelatihan adalah untuk menstandarisasi pemahaman kualitas

data yang dikumpulkan. Langkah- langkah yang dilakukan adalah:

1. Melakukan seleksi dan pelatihan enumerator; termasuk mengidentifikasi dan

mengatasi masalah yang mungkin muncul selama pengambilan data di

lapangan;

2. Melakukan kalibrasi alat ukur timbangan dan tinggi badan;

3. Memakai tenaga profesional untuk pengambilan darah anak balita dan sampel

darah dikirim ke laboratorium yang sudah terakreditasi, yakni Laboratorium

Makmal Terpadu FKUI;

4. Memakai tenaga profesinal untuk pengambilan vaksin DPT di Biofarma

Bandung, untuk menjaga vaksin tetap berkualitas bagus;

5. Memakai tenaga profesional untuk pemberian booster DPT kepada contoh;

6. Verifikasi data melalui pemantauan dan observasi, melakukan pemantauan

faktor bias penelitian antara lain konsumsi pangan, imunisasi, dan morbiditas.

Page 72: Kep

51

Observasi dilakukan dengan wawancara ulang 10% oleh peneliti untuk

memeriksa kembali (re-check) data yang dikumpulkan oleh enumerator;

7. Melakukan supervisi untuk mengatasi semua masalah yang muncul selama

pengumpulan data di lapangan, dan mengetahui efektivitas wawancara serta

kelengkapan data.

Data yang telah terkumpul diberi kode berdasarkan code book yang

disusun menurut pertanyaan dalam kuesioner. Kemudian dilakukan pembuatan

file data base yang berbentuk tabel yang terdiri dari beberapa kolom antara lain

no, peubah, arti peubah, dan nilai. Kemudian dilakukan editing data. Semua data

yang terkumpul kemudian dientri ke dalam komputer Microsoft Excel. Entri data

dilakukan oleh peneliti setelah dilakukan pemeriksaan atas kelengkapan dan

realibilitas data.

Untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan selama proses entri data

dilakukan cleaning data, untuk memeriksa kelengkapan dan kons istensi data yang

telah dientri ke dalam komputer. Cleaning data dilakukan dengan verifikasi data

oleh orang yang berbeda, yaitu dilakukan entri ulang (re-entry) atas 10% dari data

yang telah dientri. Entri ulang data dilakukan untuk membandingkan antara data

yang dientri pertama dan yang kemudian.

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik. Untuk mengetahui

perbedaan antara perlakuan dan kontrol dilakukan dengan uji pembeda yaitu Uji-t

dan untuk mengetahui peningkatan status gizi antropometri, konsentrasi Hb, status

besi, dan status vitamin A, serta IgG Total digunakan uji perbandingan rata-rata

(dengan membandingkan peningkatan delta dari kelompok perlakuan dan

plasebo).

Page 73: Kep

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biskuit Fortifikasi

Formula biskuit dirancang oleh WFP (World Food Programme) dan

diproduksi oleh PT Danone Biscuits Indonesia, salah satu industri terkenal yang

memproduksi makanan dan minuman komersial. Biskuit yang difortifikasi

bermerk “BISKUAT ENERGI” yang diperkaya dengan vitamin A dan zat besi.

Jumlah vitamin A dan zat besi (Fe) yang ditambahkan pada biskuit fortifikasi per

100 gram masing-masing sebesar 235,65 µg (109,1% AKG) dan 4,17 mg (96,5%

AKG).

Kandungan vitamin A dan za t besi biskuit fortifikasi, jika dibandingkan

dengan biskuat plasebo, muatan vitamin dan mineral biskuit fortifikasi jauh lebih

besar. Pemberian biskuit fortifikasi sebanyak 54 gram (10 keping biskuit) dapat

mencukupi hampir 2/3 AKG. Vitamin A pada 100 gram biskuit fortifikasi dapat

mencukupi 109,1% AKG anak balita dibandingkan dengan biskuit plasebo hanya

dapat mencukupi 25% AKG. Kandungan zat besi biskuit fortifikasi pun juga jauh

lebih besar, yakni 96,5% AKG dibandingkan dengan 8% AKG untuk tiap 100

gram biskuit tersebut.

Biskuat fortifikasi tersebut, diproduksi secara khusus untuk United

Nations-World Food Programme (UN-WFP) sebagai program bantuan perbaikan

gizi anak balita dan anak sekolah dasar dengan tujuan untuk menurunkan

prevalensi defisiensi za t gizi mikro pada kelompok usia tersebut.

Keadaan Demografi Wilayah Penelitian

Kondisi wilayah Bogor berbukit-bukit, terletak pada ketinggian 500 m di

atas permukaan air laut. Kecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan

dari 33 kecamatan di Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kecamatan

Dramaga 3743 ha, memiliki 10 desa, yakni: Desa Cikarawang, Desa Babakan,

Desa Dramaga, Desa Sukawening, Desa Ciherang, Desa Sinarsari, Desa

Neglasari, Desa Petir, Desa Purwasari, dan Desa Sukadamai. Secara lengkap

gambaran wilayah Kecamatan Dramaga disajikan pada Tabel 3.

Page 74: Kep

53

Tabel 3. Gambaran Wilayah Kecamatan Dramaga

Kondisi Wilayah Kecamatan Jumlah 1. Sebaran Penduduk menurut Tingkat Pendidikan (orang)

a. Belum sekolah b. Tidak tamat SD c. Tamat SD/Sederajat d. Tamat SLTP/Sederajat e. Tamat SLTA/Sederajat f. Tamat Akademi/Sederajat g. Tamat Perguruan Tinggi/Sederajat h. Buta Huruf

10.484 34.908 26.564 10.515 8.402 673 1.377 272

2. Sebaran Penduduk menurut Jenis Pekerjaan (orang) a. Pertanian b. Pengusaha c. Pengrajin d. Industri Kecil e. Buruh Industri f. Pertukangan g. Pedagang h. Pengemudi i. Pegawai Negeri Sipil j. TNI/POLRI k. Pensiunan l. Lain-lain

9.782 8 189 185 1.620 308 4.785 1.785 946 51 193 709

3. Sarana dan Prasarana Kesehatan a. Rumah Bersalin/BKIA (buah) b. Poliklinik (buah) c. Puskesmas dengan Tempat Perawatan (buah) d. Puskesmas (buah) e. Puskesmas Pembantu (buah) f. Jumlah Dokter (orang) g. Jumlah Paramedis (orang) h. Praktek Dokter (orang) i. Bidan Praktek (orang) j. Bidan Desa (orang) k. Dukun Sunat (orang) l. Dukun Bayi/Paraji (orang) m. Apotek (buah) n. Toko Obat (buah)

4 1 1 4 3 33 80 9 6 10 2 7 2

11 Sumber: Data Monografi Kecamatan Tahun 2005.

Tidak semua desa dipakai sebagai lokasi penelitian, ada dua desa yang

sulit sekali dijangkau dan atas dasar kemudahan dalam logistik maka kedua desa

tersebut tidak diikutkan dalam penelitian. Kedua desa yang tidak digunakan

adalah Desa Purwasari dan Desa Sukadamai.

Page 75: Kep

54

Sebagian besar tanah di kecamatan Dramaga dimanfaatkan untuk

persawahan kering (pekarangan, kebun, dan ladang), yakni sebesar 1.145 ha.

Sebelah Utara Kecamatan Dramaga terletak Desa Cikarawang yang berbatasan

dengan Kecamatan Rancabungur. Sebelah Selatan terdapat Desa Purwasari

berbatasan dengan Kecamatan Tamansari. Sebelah Barat terdapat Desa Babakan

yang berbatasan dengan IPB, Desa Neglasari dengan Kecamatan Ciampea, dan

Desa Purwasari dengan Kecamatan Tenjojaya. Sebalah Timur terdapat Desa

Sukawening yang berbatasan dengan Kecamatan Ciomas serta Desa Babakan dan

Desa Cikarawang berbatasan dengan Kodya Bogor.

Jumlah penduduk wilayah Dramaga 82.471 orang, terdiri dari 19.393

kepala rumah tangga. Kecamatan Dramaga memiliki 18.028 (46,7%) rumah

tangga miskin dengan jumlah anak balita sebesar 7.295 anak. Sebagian besar

penduduknya tidak tamat SD dan mata pencaharian penduduknya cukup

bervariasi mulai dari sektor pertanian, perdagangan, pegawai negeri, dan lain- lain.

Sebagian besar penduduk wilayah Kecamatan Dramaga bekerja sebagai petani

dan pedagang. Sebagian besar keluarga contoh berpenghasilan dibawah kebutuhan

fisik minimum.

Sarana dan prasarana kesehatan di Kecamatan Dramaga pada Tabel 3

tersebut tersedia cukup memadai, yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh

penduduk setempat dan cukup baik dalam melayani kebutuhan masyarakatnya.

Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Contoh

Pada umumnya keluarga contoh memiliki anggota keluarga berjumlah

lima orang. Baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo, sebagian

besar jumlah anggota keluarga termasuk pada kelompok 3-5 orang. Ada beberapa

keluarga yang memiliki anggota keluarga 6-8 orang. Banyaknya anggota keluarga

contoh disajikan pada Tabel 4.

Kepemilikan rumah keluarga contoh disajikan pada Tabel 5. Sebagian

besar status rumah adalah milik sendiri, baik pada kelompok perlakuan maupun

plasebo dan hanya sebagian kecil masing-masing (5,7%) keluarga contoh dari

kelompok perlakuan dan plasebo menempati rumah milik orang lain

Page 76: Kep

55

(sewa/kontrak rumah). Sebagian lagi keluarga contoh menempati rumah milik

orang tuanya.

Tabel 4. Besar Keluarga Contoh menurut Jumlah Anggota Keluarga

Kelompok Perlakuan Plasebo

Besar Keluarga Contoh (Orang)

n % n % 3-5 21 60,0 22 62,9 6-8 14 40,0 11 31,4 > 9 0 0 2 5,7

Total 35 100,0 35 100,0

Tabel 5. Kepemilikan Rumah dari Keluarga Contoh

Kelompok Perlakuan Plasebo Kepemilikan Rumah

n % n % Milik Sendiri 17 48,6 19 64,3

Milik Orang Tua 16 45,7 14 40,0 Milik Orang Lain 2 5,7 2 5,7

Total 35 100,0 35 100,0

Kondisi bangunan rumah dan penerangan ditampilkan pada Tabel 6.

Kondisi bangunan rumah pada kelompok perlakuan dan plasebo tidak berbeda.

Rata-rata rumah tangga contoh baik kelompok perlakuan maupun plasebo

menempati rumah dengan keadaan bangunan yang permanen atau semi permanen.

Tabel 6. Keadaan Bangunan dan Penerangan Rumah Keluarga Contoh

Kelompok Perlakuan Plasebo

Kondisi Rumah dan Penerangan

n % n % 1. Kondisi Bangunan: - Permanen 23 65,7 17 48,7 - Semi Permanen 11 31,4 14 40,0 - Tidak Permanen 1 2,9 5 14,3 Total 35 100,0 35 100,0 2. Penerangan Rumah: - Listrik 35 100,0 33 94,3 - Lampu minyak 0 0 2 5,7 Total 35 100,0 35 100,0

Sebagian besar rumah tangga contoh menggunakan listrik untuk

penerangan sehari-hari. Pada kelompok perlakuan 100% penerangan sehari-hari

Page 77: Kep

56

dengan menggunakan listrik. Pada kelompok plasebo masih ada sekitar 5,7%

rumah tangga contoh yang penerangannya menggunakan lampu minyak.

Ventilasi rumah keluarga contoh ditunjukkan pada Tabel 7. Ventilasi

dicerminkan dari sirkulasi udara sehari-hari, yakni dari perlakuan keluarga contoh

untuk membuka jendela pada pagi hari. Nampaknya sebagian besar keluarga

contoh kadang-kadang membuka jendela pada pagi hari kalau ingat, tetapi sering

kali lupa membuka jendela rumah. Bahkan ada jendela rumah keluarga contoh

yang susah untuk dibuka (ditutup mati) sehingga tidak bisa dibuka sama sekali.

Tabel 7. Keadaan Ventilasi Rumah Tangga Contoh

Kelompok Perlakuan Plasebo Keadaan

Ventilasi n % n %

Baik 11 31,4 2 5,7 Cukup Baik 20 57,2 19 54,3 Tidak Baik 4 11,4 14 40,0

Total 35 100,0 35 100,0

Kondisi ventilasi rumah pada kelompok perlakuan jauh lebih bagus

dibandingkan dengan kelompok plasebo. Pada kelompok plasebo masih ada

sekitar 40% keluarga yang ventilasi rumahnya tidak bagus, artinya masih banyak

warga yang tidak mau membuka jendela rumahnya. Hanya ada 5,7% rumah

tangga contoh kelompok plasebo yang selalu membuka jendela pada pagi hari

sehingga ventilasi rumah mernjadi baik .

Sarana kebersihan pada kelompok perlakuan lebih baik daripada kelompok

plasebo. Kepemilikan septiktank dan bak sampah sendiri di wilayah penelitian

belum menjadi prioritas utama (Tabel 8).

Sebagian besar keluarga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun

plasebo tidak memiliki sarana septiktank di rumah sendiri. Mereka selalu pergi ke

sungai atau jamban umum untuk keperluan buang air besar (BAB). Hanya

sebagian kecil saja keluarga contoh dari kelompok perlakuan dan plasebo yang

memiliki septiktank sendiri. Demikian pula kepemilikan bak sampah, sebagian

besar rumah tangga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo tidak

mempunyai bak penampungan sampah sendiri. Hanya sebagian kecil saja (17,2%)

Page 78: Kep

57

dari kelompok perlakuan dan 8,6% dari kelompok plasebo, yang memiliki bak

sampah sendiri. Rata-rata mereka membuang sampah di pekarangan rumah dan

sebagian kecil yang membuang sampah di sungai. Ketersediaan tempat sampah

lebih banyak dimiliki oleh kelompok perlakuan.

Tabel 8. Sarana Septiktank Rumah Tangga Contoh

Kelompok Perlakuan Plasebo

Sarana Kebersihan

n % n % 1. Septiktank : - Ada 13 37,2 6 17,2 - Tidak ada 22 62,8 29 82,8 Total 35 100,0 35 100,0 2. Bak (tempat) Sampah: - Ada 6 17,2 3 8,6 - Tidak ada 29 82,8 32 91,4 Total 35 100,0 35 100,0

Sumber air yang digunakan (Tabel 9) oleh rumah tangga contoh sebagian

besar dari mata air, yakni 71,5% dari kelompok perlakuan dan hanya 34,3% dari

kelompok plasebo. Sebagian kecil saja yang menggunakan air sungai masing-

masing 5,7% dari kelompok perlakuan dan plasebo.

Tabel 9. Sumber Air Rumah Tangga Contoh

Kelompok Perlakuan Plasebo Sumber Air yang

Digunakan n % n %

PAM 4 11,4 9 25,7 Sumur 4 11,4 12 34,3

Mata Air 25 71,5 12 34,3 Sungai 2 5,7 2 5,7 Total 35 100,0 35 100,0

Hanya sedikit warga yang menggunakan air PAM ataupun sumur baik dari

kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo. Sumber air dari mata air

dimanfaatkan secara bersama-sama oleh penduduk setempat di tempat-tempat

tertentu yang sudah mereka bangun secara gotong-royong. Namun ada sebagian

rumah tangga yang sudah mampu membuat saluran dari mata air ke masing-

masing rumah.

Page 79: Kep

58

Kepemilikan Kartu Sehat

Kepemilikan kartu sehat dan kartu berobat ditampilkan pada Tabel 10.

Rata-rata rumah tangga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo

tidak memiliki kartu sehat ataupun kartu miskin/berobat. Padahal keadaan rumah

tangga contoh sebagian besar termasuk dalam kategori rumah tangga miskin.

Hanya sebagian kecil saja rumah tangga contoh dari kelompok perlakuan dan

plasebo yang memiliki kartu sehat dan kartu miskin tersebut. Kartu sehat sebagian

besar dimiliki sejak tahun 2004. Hanya ada sebagian kecil saja yang telah

memiliki kartu sehat dari tahun 2000, 2002, dan 2003.

Demikian juga kepemilikan kartu berobat pada rumah tangga contoh tidak

merata. Sebagian besar mereka tidak memiliki kartu berobat, dan hanya masing-

masing 28,6% rumah tangga contoh yang memiliki kartu berobat dari kedua

kelompok..

Tabel 10. Kepemilikan Kartu Sehat dan Kartu Berobat

Kelompok Perlakuan Plasebo Kepemilikan Kartu

n % n % 1. Kartu Sehat - Ada 13 37,2 17 48,6 - Tidak ada 22 62,8 18 51,4 Total 35 100 35 100 2. Kartu Berobat - Ada 10 28,6 10 28,6 - Tidak ada 25 71,4 25 71,4 Total 35 100,0 35 100,0

Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi ibu dinilai dari banyaknya skor yang didapatkan ibu atas

jawaban pertanyaan tentang masalah gizi. Sebanyak 40 pertanyaan diberikan

kepada ibu balita yang berkaitan dengan pengetahuan gizi melalui kuesioner yang

dapat diisi sendiri oleh ibu ataupun dibacakan oleh enumerator berdasarkan

pedoman wawancara (protokol). Jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah 0.

Hasil jawaban ibu dikonversi menjadi skor pengetahuan gizi. Kategori

pengetahuan gizi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni rendah (skor <

60%) dengan batasan nilai < 24, skor sedang (skor 60% – 80%) yang bekisar dari

Page 80: Kep

59

nilai 24 sampai dengan 32, dan skor tinggi (skor > 80%) yang skornya > 32.

Skor pengetahuan ibu balita contoh pada awal intervensi berada dalam

taraf sedang (60%–80%) dengan skor rata-rata 30,3+3,9. Pada kelompok plasebo

skor rata-rata berkisar pada kategori sedang dan sedikit lebih tinggi daripada

kelompok perlakuan, yakni 30,5+3,5. Sedangkan pada kelompok perlakuan

sedikit lebih rendah, namun pengetahuan gizi ibu masih dalam kategori sedang

pula, dengan skor rata-rata 30,2+4,3. Penyebaran pengetahuan gizi ibu

ditampilkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Pengelompokan Pengetahuan Gizi Ibu pada Awal Intervensi Menurut Kategori

Kelompok Perlakuan Plasebo

Pengetahuan Gizi Ibu Balita Contoh

n % n % Rendah (< 60%) 1 2,8 3 8,4 Sedang (60% - 80%) 22 62,8 20 57,2 Tinggi (> 80%) 12 34,4 12 34,4 Jumlah 35 100,0 35 100,0

Sebagian besar pengetahuan gizi ibu balita dalam kategori sedang dan

hanya sebagian kecil saja ibu balita contoh baik dari kelompok perlakuan maupun

plasebo yang mempunyai pengetahuan gizi tinggi. Sebagian kecil lagi ibu balita

contoh memiliki pengetahuan gizi yang rendah, (2,8%) dari kelompok perlakuan

dan (8,4%) dari kelompok plasebo. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab benar oleh

ibu balita adalah masalah zat gizi mikro, meliputi sumber pangan dan manfaatnya.

Semakin rendah pengetahuan gizi ibu, dimungkinkan semakin tidak tahu

ibu balita untuk memberikan, mempersiapkan, dan menyajikan makanan yang

bergizi pada anak balitanya. Pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap kualitas

gizi anak (Wachs, 2005). Kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk

menerapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari-hari akan berakibat kurang

gizi (Suhardjo, 1989). Tiga puluh persen anak berstatus gizi buruk di Indonesia

dikarenakan rendahnya pengetahuan gizi ibu dan kesehatan (Azwar, 2000). Grafik

penyebaran pengetahuan gizi ibu menurut skor disajikan pada Gambar 14.

Page 81: Kep

60

Keterangan: PGI Plasebo = Pengetahuan Gizi Ibu Kelompok Plasebo PGI Perlakuan = Pengetahuan Gizi Ibu Kelompok Perlakuan Gambar 14. Grafik Penyebaran Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Skor

Karakteristik Contoh

Karakteristik balita contoh disajikan pada Tabel 12. Balita contoh dalam

penelitian ini 51,4% berjenis kelamin perempuan dan 48,6% berjenis kelamin

laki- laki. Proporsi anak balita menurut jenis kelamin disajikan pada Gambar 15.

48.651.4

Laki-laki Perempuan

Gambar 15. Proporsi Anak Balita Contoh Menurut Jenis Kelamin

Pada kelompok perlakuan anak laki- laki lebih banyak (57,2%) daripada

anak perempuan (42,8%). Sebaliknya pada kelompok plasebo anak perempuan

lebih banyak (60%) dari pada laki- laki (40%). Namun kondisi gender yang

demikian tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian.

Page 82: Kep

61

Tabel 12. Karakteristik Balita Contoh menurut Jenis Kelamin, Umur, Urutan dalam Keluarga, Riwayat Lahir, Riwayat Penyakit, Imunisasi, dan Kedatangan di Posyandu.

Kelompok Perlakuan Plasebo

Karakteristik Balita Contoh

n % n % 1. Jenis Kelamin

- Laki-laki - Perempuan

20 15

57,2 42,8

14 21

40,0 60,0

Total 35 100,0 35 100,0 2. Umur dalam Bulan

- < 30 - > 30

18 17

51,4 48,6

25 10

71,4 28,6

Total 35 100,0 35 100,0 2. Urutan Dalam Keluarga

- Pertama - Kedua - Ketiga - > 3

12 8 8 7

34,2 22,9 22,9 20,0

14 12 7 2

40,0 34,3 20,0 5,7

Total 35 100,0 35 100,0 3. Riwayat Lahir - Normal - Tidak Normal/kelainan

35 0

100,0

0

34 1

97,2 2,8

Total 35 100,0 35 100,0 4. Tempat Lahir - Rumah Sakit - Rumah - Dukun Bayi (Bidan)

0 22 13

0

62,8 37,2

1 30 4

2,8 85,2 12,0

Total 35 100,0 35 100,0 5. Imunisasi - Ya, lengkap - Ya, tidak lengkap

29 6

82,8 17,2

32 3

91,4 8,6

Total 35 100,0 35 100,0 6. Kehadiran di Posyandu - Selalu/rutin - Kadang-kadang

30 5

85,7 14,3

32 3

91,4 8,6

Total 35 100,0 35 100,0

Umur anak balita contoh dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni balita

contoh berumur < 30 bulan dan balita yang umurnya > 30 bulan. Banyaknya anak

menurut kelompok umur dari kedua kelompok tidak berbeda jauh, dengan

komposisi anak yang dalam kelompok umur < 30 lebih besar dibandingkan

dengan anak kelompoki umur > 30 bulan. Anak balita contoh yang berumur lebih

dari 30 bulan sebesar 51,4% dari kelompok perlakuan dan 71,4% dari kelompok

plasebo.

Page 83: Kep

62

Rata-rata urutan anak dalam keluarga sebagai anak pertama baik pada

kelompok perlakuan maupun plasebo. Besarnya persentase urutan anak dalam

keluarga untuk kedua kelompok sama, berturut-turut yakni: sebagian besar balita

contoh merupakan anak pertama, kedua, dan ketiga. Sebagian lagi mereka

merupakan anak yang urutanya lebih dari ketiga, yakni anak keempat, kelima dan

kesembilan.

Kondisi balita contoh saat dilahirkan sebagian besar berbadan normal,

97,2% dari kelompok plasebo dan bahkan 100% dari kelompok perlakuan. Hanya

2,8% balita contoh dari kelompok plasebo yang mengalami kelainan saat

kelahiran, yakni leher terlilit plasenta (kalung usus). Riwayat kelahiran balita

contoh sebagian besar normal dan pertolongan persalinan semuanya dilakukan

oleh dukun bayi pada masing-masing desa (paraji istilah setempat). Namun ada

2,8% kelahiran balita contoh yang akhirnya di bawa ke rumah sakit dan ditolong

oleh dokter karena kelainan. Adapun tempat kelahiran balita contoh sebagian

besar dilahirkan di rumah baik dari kelompok plasebo maupun kelompok

perlakuan. Pada kelompok plasebo hanya ada 2,8% balita contoh yang dilahirkan

di rumah sakit dikarenakan ada kelainan terlilit tali pusat saat kelahiran.

Semua balita contoh (100%) telah mendapatkan imunisasi pada waktu

bayi, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Namun ada beberapa anak

balita contoh baik kelompok perlakuan maupun plasebo yang imunisasinya tidak

lengkap. Hal tersebut tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian, karena semua

anak balita contoh telah mendapatkan imunisasi DPT seperti yang disyaratkan

pada pengambilan contoh. Sebagian besar (90,0%) balita contoh tidak pernah

merasakan panas yang berkelanjutan setelah diimunisasi BCG, Polio dan Campak,

dan hanya 10,0% balita contoh yang menderita demam setelah diimunisasi. Tetapi

panas yang dirasakan setelah diimunisasi paling lama sekitar dua hari saja. Pada

imunisasi DPT 100% anak balita merasakan panas tetapi panas yang dirasakan

tidak berkelanjutan (normal). Berarti balita contoh tersebut tergolong dalam

kondisi yang masih normal dan sehat. Jenis imunisasi yang sudah didapatkan

diantaranya: imunisasi BCG, Hepatitis, DPT, Polio, dan Campak.

Page 84: Kep

63

Untuk memantau pertumbuhan berat badan (BB) anak balita, kegiatan

posyandu dilakukan setiap satu bulan sekali dengan kegiatan utama berupa

penimbangan. Sebagian besar ibu balita contoh membawa anaknya ke posyandu

untuk penimbangan, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Hanya

sebagian kecil saja (8,6%) ibu balita contoh dari kelompok plasebo yang tidak

selalu datang ke posyandu dan 14,3% dari kelompok perlakuan.

Riwayat Penyakit Anak Balita

Untuk menggambarkan derajat kesehatan anak balita di wilayah penelitian

dilakukan studi morbiditas, yakni wawancara dan pemeriksaan kesehatan anak

sebelum intervensi dimulai dan setelah intervensi biskuit. Wawancara dan

pemeriksaan kesehaan dilakukan oleh peneliti dan dokter untuk menggali data

tentang penyakit yang diderita anak sebulan sebelum intervensi dan sesudah

pemberian biskuit. Menurut hasil laporan profil kesehatan Indonesia 2004,

penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare merupakan penyakit

yang banyak diderita anak balita dan menempati urutan pertama dan kedua, yakni

berturutan sebesar 22,8% dan 13,2% (Depkes RI, 2006). Sedangkan jenis penyakit

yang diderita anak balita sebelum dan setelah penelitian disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Riwayat Penyakit Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi Kelompok Perlakuan Kelompok Plasebo Jenis Penyakit

n % n % Awal intervensi 1. ISPA 2. Diare 3. Demam 4. Demam dan Pilek 5. Kulit (gatal)

5 3 4 6 2

14,3 8,6 11,4 17,1 5,8

6 4 4 5 1

17,1 11,4 11,4 14,3 2,9

Akhir intervensi 1. ISPA 2. Diare 3. Demam 4. Demam dan Pilek 5. Kulit (gatal)

0 1 0 2 1

0

2,9 0

5,8 2,9

1 2 1 4 1

2,9 5,8 2,9

11,4 2,9

Diare dan ISPA merupakan penyakit yang sering menjangkiti anak-anak

balita di wilayah penelitian. Kedua penyakit tersebut dikarenakan kondisi

lingkungan dan pengasuhan (caring) ibu terhadap anak kurang memperhatikan

Page 85: Kep

64

kebersihan sehingga tidak higienis. Penyakit lain yang sering menyertai ISPA dan

diare adalah demam.

Defisiensi vitamin A dan anemia dilaporkan berhubungan dengan infeksi

parasit yang dapat menyebabkan anak diare (Motarjemi, et al., 1993). Penyakit

diare mempunyai dampak besar setelah ISPA terhadap pertumbuhan anak-anak,

bahkan penyebab 13 juta kasus kematian anak-anak balita setiap tahunnya

(Motarjemi, et al., 1993).

Hasil studi meta-analisis dari 15 studi mengungkapkan bahwa defisiensi

vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak

(Thurnham, et al., 2003), dan defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap ISPA

(Mahalanabis, et al., 2004), dan terhadap saluran pencernaan (Thurnham, et al.,

2000).

Secara umum kondisi kesehatan anak balita sebulan sebelum intervensi

adalah baik, sebagian besar anak balita sehat, baik pada kelompok perlakuan

maupun plasebo. Keterangan mengenai penyakit anak-anak sebulan sebelum

dilakukan penelitian pada anak-anak balita yang diperiksa oleh tim dokter,

terdapat 14,3% dari kelompok perlakuan dan 17,1 % kelompok plasebo

menunjukkan gejala infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), yakni batuk disertai

nafas yang cepat dan pendek.

Sebelum intervensi ada 11,4% anak balita dari masing-masing kelompok

yang sakit panas (demam). Demam yang disertai pilek terjadi pada anak

kelompok perlakuan sebesar 17,1% dan 14,3% pada kelompok plasebo, serta

penyakit gatal sebesar 5,8% pada kelompok perlakuan dan 2,9% dari plasebo.

Kedua kelompok mendapat pengobatan sebagian besar dari Puskesmas

setempat untuk anak dengan gejala ISPA dan atau panas. Dua pertiga dari anak

yang menderita panas dibawa ke Puskesmas oleh orang tuanya dan semuanya

diberi parasetamol. Sepertiganya dibiarkan saja oleh orang tuanya dan diberi obat

dari warung.

Selain ISPA, penyakit diare sering dialami anak balita di daerah penelitian.

Sebulan sebelum intervensi, terdapat 8,6 % anak balita yang menderita diare pada

kelompok perlakuan dan 11,4 % pada kelompok plasebo. Dua pertiga anak balita,

Page 86: Kep

65

baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo, yang menderita diare dibawa ke

Puskesmas oleh orang tuanya dan diobati dengan garam oralit. Sepertiga lagi

dirawat sendiri oleh ibu balita dan diobati dengan larutan gula dan garam (LGG).

Setelah pemberian biskuit selama 16 minggu, ada 2,9 % anak balita

kelompok plasebo yang masih menderita ISPA. Beberapa anak balita pada

kelompok perlakuan dan plasebo berturut-turut menderita penyakit diare 2,9 dan

5,8 %, dan demam disertai pilek sebesar 5,8 % dan 11,4 %, serta penyakit kulit

(gatal) masing-masing 2,9 %. Semua anak yang sakit gatal dibawa ke Puskesmas

oleh orang tuanya dan semuanya diberi salep hidrocortison.

Untuk melihat pengaruh efikasi biskuit fortifikasi terhadap morbiditas

anak balita, dicari skor morbiditas. Skor morbiditas dihitung berdasarkan skor

penyakit dikalikan dengan lama penyakit dengan memberi skor yang tinggi pada

penyakit infeksi yang berdampak fatal. Untuk mengetahui besaran resiko suatu

penyakit digunakan skor yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan dokter.

Skor 10 untuk penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, sariawan,

dan mata. Skor 50 untuk penyakit bronchitis, asma, dan ISPA. Skor 70 untuk

penyakit campak serta 80 untuk diare dan muntaber yang dinilai beresiko fatal.

Rata-rata skor morbiditas anak balita ditampilkan pada Tabel 14.

Tabel 14. Rata-rata Skor Morbiditas Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi

Rata-rata Morbiditas Perlakuan Plasebo P

Awal 77,29 a 55,0 ab 0,08

Akhir 9,80 b 41,89 b 0,01*

Delta 67,49b 13,11 b 0,00*

* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05)

Berdasarkan tabel 14, skor morbiditas yang tinggi sebelum intervensi

cukup tinggi dan menurun setelah intervensi. Hal ini menandakan adanya dampak

positif dari pemberian biskuit fortifikasi terhadap kesehatan anak balita. Pada

kelompok perlakuan skor morbiditas nyata-nyata lebih tinggi penurunanya

dibandingkan dengan kelompok plasebo, delta penurunan pada kelompok

Page 87: Kep

66

perlakuan sebesar 67,49 dibanding 13,11 pada kelompok plasebo. Hasil uji-t

menunjukkan bahwa skor morbiditas kelompok perlakuan berbeda nyata (p<0,05)

dengan kelompok plasebo. Uji beda delta kelompok perlakuan dan plasebo

menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) pula.

Konsumsi Biskuit Fortifikasi pada Balita Contoh

Konsumsi biskuit oleh balita contoh disajikan pada Tabel 15. Biskuit

merupakan salah satu makanan yang sudah merakyat, acceptable dan disukai

anak-anak balita. Dari hasil wawancara dan pengamatan, sekitar 97,2 % balita

contoh menyukai biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. Hanya

2,8 % (1 anak balita contoh) yang tidak menyukai biskuit baik pada kelompok

perlakuan maupun dari kelompok plasebo.

Tabel 15. Konsumsi Biskuit pada Balita Contoh Kelompok

Perlakuan Plasebo

Konsumsi Biskuit oleh Balita n % n %

1. Kesukaan - Ya - Tidak

34 1

97,2 2,8

34 1

97,2 2,8

Total 35 100,0 35 100,0 2. Cara Makan - Dimakan Biasa - Dicelupkan ke air susu - Dicelupkan ke air putih - Dicelupkan ke air teh - Dimakan biasa + dicelupkan ke air putih

23 6 1 2 3

65,6 17,3 2,8 5,7 8,6

25 4 2 1 3

71,5 11,4 5,7 2,8 8,6

Total 35 100,0 35 100,0

3. Banyaknya Konsumsi - < 70%

- > 70%

1 34

2,9% 97,1

5 30

14,3% 85,7%

Total 35 100,0 35 100,0

Ketidaksukaan anak terhadap biskuit dikarenakan biskuit berasa manis,

sedangkan balita contoh tersebut tidak menyukai rasa manis. Anak-anak tersebut

cenderung menyukai rasa asin gurih. Untuk menghilangkan/menetralkan rasa

manis biskuit, setiap balita contoh yang tidak menyukai biskuit selalu

mengkonsumsi biskuit dengan cara biskuit dicelupkan ke air putih (cai herang).

Page 88: Kep

67

Sehingga ketidaksukaan balita contoh terhadap biskuit tersebut tidak

mempengaruhi konsumsi biskuit selanjutnya.

Cara anak balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit cukup bervariasi,

antara lain: biskuit dimakan biasa/langsung dimakan, biskuit terlebih dahulu

dicelupkan ke air putih, dicelupkan ke air susu, ataupun dicelupkan ke air teh. Ada

juga balita contoh yang mengkonsumsi biskuit dengan cara kombinasi, yakni

kadang biskuit dicelupkan ke air putih, kadangkala biskuit dimakan biasa secara

langsung.

Persentase cara makan biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun

plasebo sama. Sebagian besar anak balita contoh mengkonsumsi biskuit secara

langsung/biskuit dimakan biasa (digado menurut bahasa setempat), baik pada

kelompok perlakuan (65,6%) maupun kelompok plasebo (71,5%). Sebagian lagi

mengkonsumsi biskuit dengan dicelupkan ke air susu (17,3% pada kelompok

perlakuan dan 11,4% pada kelompok plasebo). Sisanya, 2,8% (kelompok

perlakuan) dan 5,7% (plasebo) biskuit dicelupkan ke air putih hanya 2,8% dan

8,6% dengan cara kombinasi.

Biskuit fortifikasi yang diberikan kepada anak-anak balita dianjurkan

dikonsumsi 54 gram (10 keping) setiap harinya Menurut hasil wawancara,

pantauan, dan catatan konsumsi biskuit harian, rata-rata konsumsi biskuit

fortifikasi harian sebesar 9,8 keping. Persentase banyaknya konsumsi biskuit

dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni konsumsi yang baik (> 70%), dan

kurang apabila konsumsi biskuit < 70%. Sebagian besar anak balita contoh, baik

pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo telah mengkonsumsi biskuit

sesuai dengan anjuran. Hanya ada 2,9% (1 anak balita) dari kelompok perlakuan

dan 14,3% (5 anak balita) dari kelompok plasebo yang konsumsinya kurang,

dikarenakan rasa biskuit kurang enak (tidak gurih) dan tekstur biskuit tidak renyah

serta cenderung menempel di gigi bila biskuit dikunyah.

Sejumlah biskuit yang dikonsumsi oleh anak balita memberikan tambahan

energi dan zat gizi mikro. Tambahan rata-rata energi dan zat gizi mikro dari

biskuit fortifikasi yang dikonsumsi anak balita per hari (dengan anjuran 54g

biskuit/10 keping) diperlihatkan pada Tabel 16.

Page 89: Kep

68

Berdasarkan tabel perhitungan gizi tersebut, rata-rata biskuit fortifikasi

yang dikonsumsi anak balita contoh per hari mengandung zat besi dan vitamin A

yang cukup tinggi berdasarkan persentase AKG Tahun 2004. Sumbangan vitamin

A dan zat besi (Fe) harian dari biskuit fortifikasi kepada anak balita contoh

berturut-turut sebesar 109,1% dan 96,5% AKG.

Tabel 16. Tambahan Energi dan Zat Gizi Mikro Harian dari Biskuit Fortifikasi Setiap 100 gram terhadap Kecukupan Gizi Balita

Jenis Zat Gizi Mikro Banyaknya % AKG

Energi (kkal) Besi (mg) Vitamin A (µg)

209,48+ 19,51 4,17 + 0,38

235,65 + 21, 94

14,4 96,5 109,1

Kalau diperhatikan lebih teliti bahwa persentase konsumsi biskuit pada

kelompok perlakuan lebih banyak apabila dibandingkan dengan kelompok

plasebo. Hal tersebut diakibatkan karena kandungan vitamin A pada biskuit

fortifikasi dapat meningkatkan dan memacu nafsu makan anak balita, disamping

biskuit fortifikasi rasanya lebih enak daripada biskuit plasebo. Konsumsi rata-rata

biskuit mingguan disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Rata-rata Konsumsi Biskuit Anak (Gram/Hari) Menurut Minggu Rata-rata konsumsi biskuit harian per gram menurut mingguan yang

nampak pada gambar 16 tidak banyak perbedaan dari minggu pertama sampai

Page 90: Kep

69

minggu terakhir intervensi. Perbedaan mencolok terjadi pada minggu ketiga

sampai minggu kelima. Pada kelompok perlakuan rata-rata konsumsi biskuit

mencapai 52,9 gram (9,8 keping), sementara pada kelompok plasebo rata-rata

konsumsi biskuit hanya mencapai 45,6 gram (8,4 keping).

Kalau dikaji lebih mendalam bahwa grafik rata-rata konsumsi biskuit pada

kedua kelompok sedikit ada perbedaan rata-rata konsumsinya. Pada kelompok

perlakuan rata-rata konsumsi biskuit hampir sesuai dengan yang dianjurkan dan

pada kelompok plasebo kurang dari anjuran. Namun keduanya mempunyai alur

yang sama dalam mengkonsumsi biskuit. Konsumsi biskuit semakin meningkat

walaupun pada minggu-minggu tertentu selalu terjadi penurunan konsumsi, tetapi

setelah terjadi penurunan konsumsi selalu diikuti peningkatan konsumsi pada

minggu-minggu berikutnya. Pada kelompok perlakuan, rata-rata konsumsi biskuit

tidak banyak mengalami perubahan, setelah terjadi peningkatan konsumsi,

diminggu-minggu berikutnya selalu stagnan konsumsinya.

Penurunan konsumsi diakibatkan karena anak bosan, yang diharuskan

mengkonsumsi biskuit setiap hari sebanyak 10 keping (54 gram). Selain itu,

karena biskuit juga dimakan oleh anggota keluarga yang lain (1,72%). Sedangkan

peningkatan konsumsi biskuit dikarenakan sebagian besar anak balita termasuk

kelompok miskin, yang tidak banyak memiliki makanan pilihan di rumahnya.

Selain itu, sebagian besar orang tua berpendapat, daripada perut anaknya lapar,

akhirnya orang tua berusaha sekeras mungkin dengan cara merayu dan membujuk

anaknya agar mau mengkonsumsi biskuit.

Rata-rata alasan menurunannya konsumsi biskuit pada anak balita contoh

yang dikarenakan bosan sekitar 2,23%. Alasan lain yang tidak dapat dihindarkan

adalah biskuit contoh dimakan oleh anggota keluarga yang lain, seperti kakak,

saudara (kakek, atau nenek bahkan juga bapak dari anak balita) sebesar 1,72%.

Sekitar 2,01% alasan anak tidak mau mengkonsumsi biskuit dikarenakan sakit,

seperti diare (10%), influenza (20%) dan gatal-gatal (2,8%), batuk (1,4%). Hanya

sebagian kecil saja (0,16%) balita contoh yang konsumsi biskuitnya kurang

dikarenakan orang tuanya lupa ataupun tidak sempat memberikan biskuit kepada

anaknya. Kelupaan orang tua memberikan biskuit kepada anaknya dikarenakan

Page 91: Kep

70

mereka sedang bepergian/di perjalanan ataupun sedang menginap di rumah

saudaranya. Ada 0,65% balita contoh yang tidak mengkonsumsi biskuit karena

bosan dengan rasa manis. Kebosanan balita contoh terhadap biskuit pada saat

harus mengkonsumsi, biasanya disebabkan karena di rumah ada makanan lain

ataupun karena saudara/tetangganya sedang hajatan. Rata-rata untuk alasan

kurang mengkonsumsi biskuit pada kelompok perlakuan dan plasebo disajikan

pada Gambar 17.

Gambar 17. Grafik Batang Alasan Balita Contoh Kurang Mengkonsumsi Biskuit Berdasarkan hasil wawancara dan rekapitulasi data konsumsi biskuit,

bahwa anak merasa bosan mengkonsumsi biskuit setiap hari merupakan alasan

tertinggi dalam penelitian ini. Kebosanan anak sebagian besar disebabkan ada

makanan lain di rumah (5,7%) dan anak terbiasa jajan (32,3%) sehingga perut

anak sudah terasa kenyang dan tidak mau lagi mengkonsumsi biskuit intervensi.

Frekuensi bosan yang dirasakan oleh anak selama pemberian hanya sebesar 18,3%

saja. Alasan berikutnya berturut-turut kalau anak berkurang dalam mengkonsumsi

biskuit karena sakit, biskuit dimakan kakak/anggota keluarga lain atau saudara,

dan orang tua lupa. Alasan paling sedikit dan hampir dapat diabaikan adalah anak

mulai tidak menyukai biskuit.

Pada minggu pertama pemberian biskuit ada 20,0% anak yang tidak mau

mengkonsumsi biskuit karena bosan 10%, biskuitnya dimakan kakaknya 4,3%,

Page 92: Kep

71

dan karena sakit 3,3%. Alasan lain sebab anak tidak mengkonsumsi biskuit karena

orang tua lupa sebesar 1,6% dan karena anak tidak suka sebesar 0,8%. Pada

minggu pertama pemberian biskuit merupakan masa tersulit atau masa awal

mengajak anak untuk mengenal dan menyukai biskuit sehingga anak mau

mengkonsumsi pada hari-hari berikutnya selama 4 bulan penelitian. Terbukti dari

hasil rekapitulasi data konsumsi biskuit bahwa persentase tertinggi anak kurang

mengkonsumsi biskuit jatuh pada minggu pertama.

Minggu kedua persentase balita contoh mengkonsumsi biskuit turun

menjadi 7,3% karena dimakan kakaknya sebesar 5,7% dan karena bosan 1,6%.

Pada minggu ketiga dan keempat persentase ketidakmauan mengkonsumsi biskuit

meningkat kembali sebesar 13,3% dan 15,0%. Penyebab tertinggi ketidakmauan

tersebut adalah anak sakit (6,7%) pada minggu keempat dan biskuit dimakan

kakak sebesar 5,0% pada minggu ketiga. Penyebab lain adalah balita contoh

merasa bosan masing-masing 4,3%. Pada minggu ketiga sampai minggu keenam

terjadi keterlambatan pengiriman dari kader masing-masing sebesar 1,6% dan

berikutnya hanya 0,8%. Namun pada minggu ketujuh sampai minggu terakhir

pengiriman, masalah logistik tersebut dapat ditangani dengan baik sehingga tidak

terjadi lagi keterlambatan pengiriman biskuit.

Minggu-minggu berikutnya persentase ketidakmauan mengkonsumsi

biskuit semakin menurun dan penyebab utama adalah anak bosan mengkonsumsi

biskuit. Tingkat kebosanan tertinggi jatuh pada minggu keenam, sebesar 5,8%.

Pada minggu-minggu berikutnya, tingkat kebosanan konsumsi biskuit dapat

diturunkan/diatasi dengan mengubah cara makan dan waktu pemberian serta

meningkatkan ketelatenan ibu balita contoh dalam memberikan biskuit kepada

anaknya. Ketidakmauan mengkonsumsi biskuit karena anak sakit terjadi pada

minggu pertama sampai minggu kesebelas. Minggu keduabelas sampai selesai

penelitian kondisi anak semakin sehat, tidak ada satu pun balita contoh yang sakit.

Rata-rata persentase sakit sebesar 2,9%. Persentase sakit tertinggi penyebab anak

kurang mengkonsumsi biskuit terjadi pada minggu keempat (6,7%).

Di akhir intervensi dilakukan wawancara terhadap ibu balita untuk

membangun opini tentang manfaat mengkonsumsi biskuit. Dari 70 balita contoh,

Page 93: Kep

72

hanya 3,3% ibu balita contoh yang mengatakan tidak tahu apakah biskuit tersebut

bermanfaat untuk anak. Sekitar 7,5% mereka mengatakan bahwa biskuit tersebut

tidak bermanfaat. Sebagian besar (89,2%) mengatakan bahwa biskuit penelitian

bermanfaat bagi balita contoh. Opini ibu balita contoh tentang biskuit disajikan

pada Tabel 17.

Tabel 17. Opini Ibu- ibu Balita tentang Biskuit Penelitian

No. Pendapat Ibu Balita Jumlah (n) %

1. Apakah anak ibu menyukai biskuit penelitian? a. Ya b. Tidak

68 2

97,2 2,8

2. Bagaimana pendapat ibu tentang biskuit tersebut? a. Baik b. Buruk c. Tidak Tahu

70 - -

100

- -

3. Bagaimana rasa dan aroma biskuit tersebut? a. Enak b. Tidak enak

68 2

97,2 2,8

4. Alasan ibu mengatakan biskuit penelitian baik a. Karena tambahan kandungan zat gizi b. Dapat meningkatkan selera makan c. Merangsang pertumbuhan anak d. Membuat anak sehat/jarang sakit e. Alasan lain? anak jadi jarang jajan

70 63 33 40 25

100 90,0 47,1 57,1 35,7

5. Apakah ibu setuju jika anaknya dianjurkan makan biskuit penelitian 10 keping perhari a. Ya b. Tidak

70 -

100 -

6. Alasan setuju: a. Baik untuk kesehatan b. Terkandung vitamin dan mineral c. Karena anaknya menyukai biskuit d. Tidak ada efek samping

70 70 68 30

100 100 97,2 42,9

7. Apakah ada manfaat yang dirasakan pada anak setelah mengkonsumsi biskuit a. Nafsu makan anak meningkat b. Anak menjadi lebih pinter c. Anak menjadi aktif dan lincah d. Anak menjadi jarang sakit e. Kulit anak menjadi halus (tidak gatal/kudis)

60 20 25 64 10

85,7 28,6 35,7 91,4 14,3

8. Apakah ada manfaat yang dirasakan bagi keluarga dengan adanya pemberian biskuit tersebut? a. Menghemat uang jajan b. Menghemat biaya kesehatan c. Makan menjadi lebih teratur d. Menjadi lebih peduli pada kesehatan anak e. Menjadi lebih tahu kebersihan anak

65 58 22 30 25

92,6 82,9 31,4 42,9 35,7

Page 94: Kep

73

Manfaat mengkonsumsi biskuit menurut ibu balita adalah dapat

meningkatkan nafsu makan sebesar 21,5%; meningkatkan berat badan 7,5%, serta

masing-masing sebesar 8,4% anak jarang sakit dan kulit menjadi lebih halus. Ada

pula yang berpendapat bahwa biskuit bermanfaat ganda sebesar 11,2%, yakni

untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan cepat bertambah. Sebagian lagi

29,9% dikatakan bahwa biskuit bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan,

berat badan cepat bertambah dan balita contoh jarang sakit. Hal ini sesuai dengan

dugaan bahwa kandungan vitamin A dan Fe dapat meningkatkan nafsu makan.

Sebagian besar (97,2%) mengatakan anak balitanya menyukai dan hanya

2,8% balita contoh yang tidak menyukai biskuit tersebut. Semua ibu balita (100%)

menerima baik biskuit tersebut dan setuju anak balitanya menjadi contoh

penelitian. Rasa biskuit sebagian besar balita contoh (97,2%) mengatakan enak

dan hanya 2,8% yang mengatakan tidak enak. Dari 2,8% yang mengatakan tidak

enak karena tidak menyukai rasa manis.

Ibu balita contoh mengatakan biskuit penelitian baik dan mau menerima

dengan alasan 100% mengatakan ada tambahan kandungan zat gizi, 90%

mengatakan dapat meningkatkan selera makan; dan 47,1% dapat merangsang

pertumbuhan anak; serta membuat anak sehat/jarang sakit sebesar 57,1%.

Pendapat ibu balita tentang pilihan biskuit penelitian, lebih baik daripada

biskuit lain, !00% menyatakan memilih biskuit penelitian sebab menghemat uang

jajan. Karena sebagian besar balita contoh terbiasa jajan di warung dari bangun

tidur. Semua ibu balita menyatakan setuju jika dianjurkan makan biskuit sebanyak

10 keping perhari. Alasan ibu- ibu setuju dengan anjuran tersebut 100%

mengatakan baik untuk kesehatan dan biskuit terkandung vitamin dan mineral;

97,2% anaknya menyukai biskuit, dan 42,9% menjawab tidak ada efek samping.

Banyak manfaat yang dirasakan oleh keluarga terutama ibu balita dengan

adanya pemberian biskuit penelitian. Sebagian besar ibu balita (92,6%)

menyatakan menghemat uang jajan dan 82,9% menyatakan menghemat biaya

kesehatan; 31,4% anak balita menjadi lebih teratur makan.

Alasan lain, orang tua lebih peduli pada kesehatan anak sebesar 42,9% dan

orang tua menjadi lebih tahu kebersihan anak 35,7%. Pemberian biskuit forifikasi

Page 95: Kep

74

membantu ibu untuk berhemat, maksudnya alokasi uang jajan anak dapat

dikumpulkan untuk menambah alokasi keperluan lain, misalkan biaya kesehatan,

biaya makan harian, ataupun ditabung.

Jika dikaji lebih mendalam, semua ibu balita contoh sangat menyukai

adanya intervensi gizi di wilayahnya, sebab sangat membantu sekali untuk

peningkatan makanan tambahan bagi anak balitanya. Dengan adanya /tersedianya

biskuit tersebut setiap hari di rumah mampu menurunkan minat jajan anak balita

di warung-warung terdekat.

Biasanya kondisi sebelum ada intervensi biskuit, anak selalu jajan setiap

bangun tidur, bahkan ada anak yang langsung lari ke warung setiap kali bangun

pagi. Kebiasaan jajan anak sangat dikeluhkan orang tua dan tidak bisa dihindari,

karena di rumah sering tidak tersedia makanan kecil. Karenanya ibu balita contoh

sering berharap agar anaknya selalu mendapatkan bantuan pangan yang serupa

untuk menghilangkan kebiasaan jajan anak.

Dengan adanya intervensi biskuit, sebagian ibu balita merasa gembira,

alokasi uang jajan anak dapat dimanfaatkan untuk menambah konsumsi harian

pangan keluarga, sehingga anak lebih teratur makan dan kualitas makanannya

juga lebih baik (bergizi). Selain itu, uang jajan juga dialokasikan untuk uang

kesehatan. Dengan adanya intervensi gizi tersebut anak dan anggota keluarga

menjadi lebih sehat.

Konsumsi Zat Gizi Anak Balita

Konsumsi zat gizi anak balita contoh digali dengan metode recall 24 jam

sebanyak empat kali dengan hari tidak berurutan. Tingkat konsumsi dikategorikan

baik jika konsumsi > 70% kecukupan dan konsumsi kurang jika < 70% kecukupan

(Depkes, 1996). Tingkat konsumsi zat gizi diperoleh dengan membandingkan data

konsumsi riil dengan angka kecukupan zat gizi.

Konsumsi zat gizi anak (pangan) pada tingkat individu dapat

diterjemahkan ke dalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin, dan mineral

perorang perhari (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Anak balita memerlukan

sejumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang harus mencukupi

Page 96: Kep

75

kebutuhan tubuh untuk melakukan aktivitas sehari-hari, pemeliharaan tubuh, dan

pertumbuhan tubuh.

Rata-rata konsumsi gizi anak balita menggambarkan konsumsi harian

anak-anak balita contoh di Kecamatan Dramaga. Sebagian besar anak-anak balita

mengkonsumsi makanan pokok (nasi) sebanyak dua kali sehari, yakni makan

siang dan makan sore (sebelum magrib). Makan pagi (sarapan) anak balita di

Kecamatan Dramaga pada umumnya berupa jajan dari warung atau tukang dagang

keliling, seperti lontong dan gorengan (bala-bala dan tempe goreng tepung) serta

bubur ayam atau pun lontong kacang (doclang). Rata-rata konsumsi gizi harian

disajikan pada Tabel 18 di bawah ini.

Tabel 18. Rata-rata Konsumsi Total Harian Anak Balita Contoh

Rata-rata Zat Gizi Kelompok Kandungan Zat Gizi Perlakuan (n=35) Plasebo (n=35)

a. Awal Intervensi 1. Energi (kkal) 2. Protein (g) 3. Lemak (g) 4. Karbohidrat (g) 5. Kalsium (mg) 6. Phosfor (mg) 7. Besi (mg) 8. Vitamin A (µg) 9. Vitamin B (mg) 10. Vitamin C (mg) 11. Zink (mg)

931,43 + 183,73

26,85 + 9,77 29,33 + 12,56

128,52 + 32,79 285,4 + 241,36

252,23 + 142,83 9,07 + 4,34

176,49 + 125,6 0,74 + 0,51 4,87 + 4,41 1,55 + 0,75

864,90 + 239,70 25,60 + 11,21 26,20 + 14,91 116,60 + 25,85

303,10 + 168,31 254,2 + 126,68

7,50 + 4,4 240,80 + 195,73

0,60 + 0,65 6,70 + 6,56 1,90 + 0,81

b. Akhir Intervensi

1. Energi (kkal) 2. Protein (g) 3. Lemak (g) 4. Karbohidrat (g) 5. Kalsium (mg) 6. Phosfor (mg) 7. Besi (mg) 8. Vitamin A (µg) 9. Vitamin B (mg)

10. Vitamin C (mg) 11. Zink (mg)

980,69 + 154,49

27,01 + 6,67 38,61+12,49

123,41+24,87 190,84 + 133,59 285,17 + 191,19

13,72 + 3,91 521,06 + 196,63

1,18 + 0,76 9,79 + 10,91 1,90 + 0,73

970,42 + 166,65

29,57 + 9,05 34,14+12,74

123,95+24,78 249,07 + 191,39 293,32 + 163,19

10,21 + 3,95 246,96 + 171,99

0,99 + 0,76 12,26 + 15,39

1,84 + 0,83

Konsumsi zat gizi pada akhir intervensi menunjukkan adanya peningkatan

intik energi, protein, lemak, dan karbohidrat, serta beberapa zat gizi mikro,

Page 97: Kep

76

seperti: phosfor, besi, vitamin A, B, dan C, serta zink. Konsumsi pada kelompok

perlakuan dan plasebo hampir berimbang, artinya ada sebagian zat gizi yang lebih

besar pada kelompok plasebo dan ada sebagian zat gizi yang lebih besar pada

kelompok perlakuan.

Untuk mengetahui kecukupan gizi terhadap anak balita maka konsumsi

gizi anak tersebut diterjemahkan ke dalam tingkat kecukupan gizi dengan acuan

angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG tahun 2004). Tingkat kecukupan

gizi anak batita contoh ditampilkan pada Gambar 18.

.

Gambar 18. Grafik Batang Rata-rata Tingkat Konsumsi Gizi Awal dan

Akhir intervensi

Grafik batang pada Gambar 18, menunjukkan adanya peningkatan

konsumsi gizi pada akhir intervensi baik pada kelompok perlakuan maupun

plasebo.

Di awal intervensi, ada beberapa jenis konsumsi zat gizi yang kurang dari

70% AKG antara lain konsumsi vitamin A, vitamin C, kalsium, serta zink pada

kelompok perlakuan dan plasebo. Tingkat konsumsi energi pun kurang dari 70%

pada kelompok plasebo Tingkat konsumsi energi dan zat gizi secara lengkap

disajikan pada Tabel 19..

Page 98: Kep

77

Tabel 19. Rata-rata Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi Anak Balita Contoh Menurut AKG 2004

Kelompok Perlakuan (n=35) Plasebo (n=35)

Jenis

Zat Gizi <70% AKG

>70% AKG

Rata-rata (%)+ SD

<70% AKG

>70% AKG

Rata-rata (%)+ SD

a. Awal 1.Energi (kkal) 2.Protein (g) 3.Vitamin A (µg) 4.Vitamin B (mg) 5.Vitamin C (mg) 6.Kalsium (mg) 7.Phosfor (mg) 8.Besi (mg) 9. Zink (mg)

13

(18,6) 3

(4,3) 24

(34,3) 9

(12,9) 35

(50,0) 28

(40,0) 11

(15,7) 8

(11,4) 35

(50,0)

22

(31,4) 32

(45,7) 11

(15,7) 26

(37,1) 0

(0,0) 7

(10,0) 24

(34,3) 27

(38,6) 0

(0,0)

74,8 + 14,9

116,8+ 43,1

51,2+ 36,2

145,9+102,6

12,4+ 11,1

56,3+ 48,8

100,1+ 57,8

112,9+ 54,9

15,7+ 7,5

20

(28,6) 9

(12,6) 21

(30,0) 19

(27,1) 34

(48,6) 20

(28,6) 10

(14,3) 13

(37,1) 35

(50,0)

15

(21,4) 26

(37,1) 14

(20,0) 16

(22,9) 1

(1,4) 15

(21,4) 25

(35,7) 22

(31,4) 0

(0,0)

69,1+ 18,9

111,6+ 48,1

67,6+ 55,6

130,5+116,1

16,3+ 16,3

61,3+ 33,4

102,4+ 50,1

93,7+ 50,7

18,9+ 8,2

b. Akhir 1.Energi (kkal) 2.Protein (g) 3.Vitamin A (µg) 4.Vitamin B (mg) 5.Vitamin C (mg) 6.Kalsium (mg) 7.Phosfor (mg) 8.Besi (mg) 9. Zink (mg)

6

(8,6) 2

(2,6) 15

(21,4) 3

(4,3) 32

(45,7) 31

(44,3) 11

(15,7) 5

(7,1) 35

(50,0)

29

(41,4) 33

(47,1) 20

(28,6) 32

(45,7) 3

(4,3) 4

(5,7) 24

(34,3) 30

(42,9) 0

(0,0)

78,5+ 12,4

117,4+ 28,9

83,0+ 54,7

236,6+ 152

27,3+ 24,5

38,2+ 26,7

114,5+ 76,2

171,2+ 47,8

18,9+ 7,3

9

(12,6) 2

(2,6) 20

(28,6) 7

(10,0) 31

(44,3) 28

(40,0) 8

(11,4) 6

(8,6) 35

(50,0)

26

(37,1) 33

(47,1) 15

(21,4) 28

(40,0) 4

(5,7) 7

(10,0) 27

(38,6) 29

(41,4) 0

(0,0)

77,6 + 13,3

128,6+ 39,4

70,6+ 49,1

198,9+151,5

30,7+ 38,5

49,8+ 38,3

117,3+ 65,3

127,6+ 49,3

18,4+ 8,3

Hanya ada beberapa zat gizi yang tingkat konsumsinya cukup (lebih dari

70% AKG), yakni fosfor, besi, vitamin B, dan protein pada kelompok perlakuan

dan plasebo serta energi pada kelompok perlakuan. Persentase tingkat kecukupan

Page 99: Kep

78

konsumsi energi dan protein lebih besar pada kelompok perlakuan daripada

kelompok plasebo.

Tingkat konsumsi gizi di akhir intervensi tidak jauh berbeda kondisinya

dengan awal intervensi. Pada kelompok perlakuan tingkat konsumsi gizinya lebih

baik daripada kelompok plasebo. Menurut hasil uji statistik ada perbedaan yang

signifikan (p<0,05) rata-rata tingkat kecukupan kalori, vitamin A dan zat besi

pada kelompok perlakuan dan plasebo.

Konsumsi Vitamin A

Jika dikaji lebih mendalam bahwa peningkatan zat gizi pada kelompok

perlakuan lebih tinggi daripada kelompok plasebo. Peningkatan konsumsi vitamin

A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan

kelompok plasebo. Menurut hasil uji beda, konsumsi vitamin A di awal intervensi

tidak berbeda nyata (p>0,05) antara kelompok perlakuan dan plasebo. Hal tersebut

dapat dikatakan bahwa konsumsi vitamin A pada awal intervensi antara kelompok

perlakuan dan plasebo dianggap sama menurut statistik, walaupun besarnya angka

berbeda. Pada akhir intervensi terjadi peningkatan konsumsi vitamin A pada

kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok

plasebo.

Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05)

konsumsi vitamin A diakhir intervensi pada kelompok perlakuan dan plasebo.

Konsumsi vitamin A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika

dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil uji perbedaan rata-rata, bahwa

delta peningkatan konsumsi vitamin A secara nyata lebih tinggi pada kelompok

perlakuan daripada kelompok plasebo, yakni 343,31+210,22 terhadap

6,17+260,04 (Tabel 20)

Biskuit fortifikasi secara nyata dapat meningkatkan konsumsi vitamin A

anak balita di wilayah Kecamatan Dramaga. Dengan adanya penambahan vitamin

A melalui biskuit fortifikasi diharapkan dapat meningkatkan status vitamin A

pada anak-anak balita di daerah penelitian.

Page 100: Kep

79

Tabel 20. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Vitamin A Konsumsi Vitamin A (µg) Perlakuan (n=35) Plasebo (n=35) p

Awal 176,49 +125,60 a 240,80+195,73 ab 0,148

Akhir 521,06+196,63a 246,96+171,99a 0,000*

Delta 343,31+210,22b 6,17+260,04b 0,000*

* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05)

Konsumsi Zat Besi (Fe)

Kalau diperhatikan Tabel 19 di atas tentang rata-rata konsumsi gizi harian,

konsumsi zat besi (Fe) juga terjadi peningkatan di akhir intervensi. Konsumsi Fe

pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok plasebo.

Menurut hasil uji beda, konsumsi Fe di awal intervensi tidak berbeda nyata

(p>0,05) antara kelompok plasebo dan perlakuan. Hal tersebut dapat dikatakan

bahwa konsumsi Fe pada awal intervensi antara kelompok plasebo dan perlakuan

dianggap sama menurut statistik, walaupun besarnya angka berbeda. Di akhir

intervensi terjadi peningkatan konsumsi Fe pada kelompok perlakuan secara nyata

lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo.

Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05)

konsumsi Fe di akhir intervensi pada kelompok plasebo dan perlakuan. Konsumsi

Fe secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan apabila dibandingkan

dengan kelompok plasebo. Hasil uji perbedaan rata-rata, bahwa delta peningkatan

konsumsi Fe secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada

kelompok plasebo yakni: 4,65+5,79 terhadap 2,80+5,34. (Tabel 21).

Tabel 21. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Zat Besi (Fe) Konsumsi Fe

(mg) Kelompok

Perlakuan (n=35) Kelompok Plasebo

(n=35) p

Awal 9,07+4,34a 7,50+4,4ab 0,092

Akhir 13,72+3,91a 10,21+3,95a 0,001*

Delta 4,65+5,79b 2,80+5,34b 0,000*

Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05)

Page 101: Kep

80

Delta peningkatan konsumsi Fe pada kelompok perlakuan berbeda nyata

(p<0,05), perbedaan secara nyata lebih tinggi terjadi pada kelompok perlakuan

dibandingkan dengan plasebo. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa

peningkatan konsumsi Fe pada anak balita kelompok perlakuan tersebut akibat

adanya penambahan Fe dari mengkonsumsi biskuit fortifikasi. Tambahan

konsumsi Fe harian dari biskuit sebesar 96,5% AKG. Biskuit fortifikasi ternyata

dapat meningkatkan konsumsi Fe anak balita di wilayah Kecamatan Dramaga.

Dengan adanya penambahan Fe melalui biskuit fortifikasi diharapkan dapat

meningkatkan konsentrasi Hb dan status besi (konsentrasi ferritin) pada anak-

anak balita di daerah penelitian.

Status Gizi Antropometri

Pengukuran status gizi dilakukan secara antropometri, artinya mengguna-

kan ukuran tubuh manusia. Parameter antropometri merupakan dasar penilaian

status gizi. Indeks antropometri yang digunakan adalah BB/TB. Data hasil

pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) diolah untuk menentukan

Z-skor. Penentuan Z-skor berdasarkan pada referensi WHO/NCHS untuk

menentukan status gizi anak balita contoh dengan cut-off point -2 Z-skor. Status

gizi indeks BB/TB untuk mengkonversi indeks BB/U dan TB/U dengan referensi

Z-skor, anak dikatakan pendek dan kurang gizi jika Z-skor nya kurang dari 2 SD

(Solon, et al., 2000). Sebaran rata-rata tinggi dan berat badan disajikan pada

Tabel 22.

Pada Tabel 22, menunjukkan bahwa hasil pengukuran berat badan anak

balita contoh berkisar 8,4–14,5 kg dengan rata-rata 11,3+1,4 kg sebelum

intervensi dan meningkat menjadi 12,0+1,5 kg diakhir pengukuran dengan kisaran

9,5 sampai dengan 14,5 kg pada kelompok perlakuan. Tinggi badan anak balita

contoh kelompok perlakuan berkisar dari 75,0 sampai dengan 93,2 cm dengan

rata-rata 85,8+4,1 cm diawal intervensi. Pada akhir intervensi terjadi peningkatan

tinggi badan meningkat menjadi 89,2+4,0 cm dengan kisaran tinggi badan dari

78,5 sampai dengan 95,5 cm.

Page 102: Kep

81

Tabel 22. Sebaran Rata-rata BB dan TB Anak Balita

Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (Cm) Waktu Intervensi Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran

1. Awal - perlakuan - plasebo

11,3+1,4 10,8+1,3

8,4–14,5 9,0–14,1

85,8+4,1 84,9+3,9

75,0–93,2 75,6–93,6

2. Akhir - perlakuan - plasebo

12,0+1,5 11,6+1,3

9,5–14,5 8,8–15,5

89,2+4,0 88,5+3,9

78,5–95,5 80,1–94,0

Menurut perhitungan Z-skor, rata-rata status gizi antropometri dengan

indeks BB/TB pada kelompok perlakuan didapatkan sebesar -0,5+1,0 diawal

intervensi dan stagnan diakhir intervensi, artinya tidak ada peningkatan status gizi

anak balita, namun status gizi tersebut masih dalam kategori baik/normal. Artinya

rata-rata proporsi badan anak normal, tidak kurus dan tidak gemuk. Demikian juga

status gizi antropometri pada kelompok plasebo juga kecil sekali peningkatannya.

Sebaran status gizi disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Sebaran Rata-rata Status Gizi Anak Balita Indeks BB/TB (WHO-NCHS, 1983)

Kelompok Perlakuan Plasebo

Status Gizi Anak Balita

n % n % 1. Awal

- Gemuk - Normal - Kurus/Wasted - Sangat Kurus

-

33 2 -

-

94,3 5,7 -

-

33 2 -

-

94,3 5,7 -

Total 35 100,0 35 100,0 2. Akhir

- Gemuk - Normal - Kurus/Wasted - Sangat Kurus

-

33 2 -

-

94,3 5,7 -

-

30 5 -

-

85,7 14,3

- Total 35 100,0 35 100,0

Secara umum status gizi antropometri dengan indeks BB/TB pada awal

intervensi didapatkan 5,7% anak balita contoh yang kurus (wasted), baik pada

kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo.

Page 103: Kep

82

Kondisi status gizi anak balita dari kedua kelompok sama, sebagian besar

(94,3%) berbadan normal. Tidak terdapat satu pun anak balita yang gemuk dan

sangat kurus. Menurut hasil statistik bahwa kondisi awal anak balita di kedua

kelompok sama, tidak berbeda nyata (p>0,05). Masing-masing hanya 5,7%; yakni

2 anak balita dari kelompok perlakuan dan plasebo yang berbadan kurus.

Di akhir intervensi, walaupun masih ada beberapa anak balita yang

termasuk kurus (wasted) tetapi rata-rata status gizi anak balita contoh tersebut

dalam kategori normal atau baik. Kondisi wasted yang terjadi pada anak

dikarenakan tubuh kekurangan sejumlah (satu atau beberapa) jenis zat gizi yang

dibutuhkan tubuh. Menurut Winarno (1995) tiga penyebab tubuh kekurangan zat

gizi karena: (1) jumlah zat gizi yang dikonsumsi kurang, (2) kualitas gizi rendah,

dan (3) gangguan penyerapan zat gizi oleh tubuh. Akar penyebab dari kekurangan

gizi karena faktor sosial ekonomi, seperti kebiasaan makan, kepercayaan,

kemiskinan (daya beli rendah), dan gangguan fungsi alat pencernaan.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji beda berpasangan (t-test) pada

Tabel 24, setelah 16 minggu pemberian biskuit kepada anak balita contoh ternyata

status gizi akhir berbeda tidak nyata (p>0,05) antara kelompok perlakuan dan

plasebo. Dengan demikian pemberian biskuit fortifikasi tidak dapat meningkatan

status gizi anak pada indeks BB/TB.

Tabel 24. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Z-Skor Status Gizi

Kelompok Z-Skor Awal Z-Skor Akhir

Delta

p

Perlakuan (n=35) -0,51 +0,97 -0,50+1,13 -0,01+1,07 0,512

Plasebo (n=35) -0,92 +0,90 -0,80+0,93 -0,07+0,66 1,000

Keterangan: p>0,05

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Rahman et.al.,

(2001), pemberian intervensi gizi tidak memberikan sumbangan yang signifikan

terhadap peningkatan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat

disimpulkan bahwa intervensi biskuit fortifikasi kurang dapat memberikan

sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan status gizi secara antropometri,

kareana.pemberian biskuit di daerah miskin ada kecenderungan menggantikan

Page 104: Kep

83

konsumsi harian sehingga konsumsi pangan anak menjadi berkurang. Disisi lain

pemberian biskuit sumbangannya sangat kecil terhadap peningkatan berat badan

anak karena muatan kalorinya kecil.

Status Zat Gizi Mikro

Zat gizi mikro terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam tubuh,

namun mempunyai peran yang sangat esensial untuk kesehatan tubuh. Zat yang

esensial tersebut wajib hadir dalam tubuh setiap hari. Apabila jumlah yang kecil

tersebut tidak terpenuhi, maka akan berpengaruh terhadap kesehatan. Zat gizi

mikro yang dikaji dalam penelitian ini adalah zat besi (Fe) dan vitamin A yang

ada kaitannya dengan respons imun. Kehadiran Fe dan viamin A akan berpengauh

terhadap keberadaan hemoglobin (Hb), ferritin serum (Fs) dan retinol serum (Rs)

anak.

Hemoglobin (Hb)

Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang esensial bagi tubuh. Besi

terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam

reaksi biokimia. Fungsi besi dalam tubuh untuk pembentukan sel darah merah,

pengangkutan O2 dan CO2, yang berperan dalam metabolisme energi. Apabila

tubuh kekurangan zat besi akan berakibat pada kerusakan fungsi imun, terutama

pada proses fagositosis dan sel mediate respons imun (Ahluwalia, et al., 2004),

serta penurunan kadar hemoglobin (Hb) dan Ferritin serum (Fs).

Pengelompokan Hb didasarkan pada kriteria anemia dan tidak anemia

(normal), yakni Hb <11 g/dL menunjukkan anemia dan Hb >11 g/dL

menunjukkan tidak anemia (WHO, 1996). Anemia adalah sebuah kondisi tidak

cukup sel darah merah dalam darah. Sel darah merah mengandung hemoglobin

yang membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Jika kadar Hb sangat

rendah, jaringan tubuh tidak memperoleh cukup oksigen. Pengukuran anemia

(status besi) pada anak balita dilakukan secara biokimiawi dengan pengambilan

darah intravena untuk diketahui konsentrasi Hb-nya.

Hasil pengukuran status Hb diawal intervensi terdapat 31,4% anak balita

contoh dari kelompok perlakuan yang anemia (Hb <11 g/L), sedangkan pada

Page 105: Kep

84

kelompok plasebo lebih tinggi persentase anak yang Hb-nya <11 g/L yakni

51,4%. Pada akhir intervensi, konsentrasi Hb anak berubah membaik, hanya

terdapat 8,6% pada kelompok perlakuan dan 31,4% pada kelompok plasebo yang

Hb-nya < 11 g/L. Sebaran Hb awal dan akhir diperlihatkan pada Gambar 19.

Gambar 19. Sebaran Hemoglobin (Hb) pada Awal dan Akhir intervensi

Tingginya angka anemia mengindikasikan masih relatif banyak anak balita

yang terancam anemia. Hal ini sesuai dengan perolehan data konsumsi Fe

sebelum intervensi yang kurang memadai terutama pada kelompok plasebo,

sehingga menyebabkan sebagian contoh termasuk dalam kelompok anemia. Intik

konsumsi besi yang memadai pun ada kemungkinan contoh terkena anemia

apabila terjadi gangguan penyerapan. Kondisi anemia pada anak akan

berpengaruh terhadap pembentukan imunoglobulin. Kondisi kadar Hb darah

Page 106: Kep

85

kurang dari normal menyebabkan kurangnya oksigen yang ditransportasi ke

beberapa sel tubuh maupun otak. Mengingat fungsi Hb adalah mengangkut

oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh (Sukirman, 2000; Djikhuizen dan

Wieringa, 2001).

Kekurangan Hb atau anemia menyebabkan kerusakan fungsional beberapa

jaringan tubuh. Kondisi yang demikian dapat menimbulkan gejala 5L, yakni

lemah, letih, lesu, lunglai, lelah. Akibatnya dapat menurunkan daya tubuh anak

yang rentan terhadap penyakit. Zat besi berperan penting dalam sistem imun dan

anemia menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya sel mediate respons

imunologik (Weiss et al., 1995). Anemia penyebab sejumlah ketidaknormalan

biologis dan merusak sel mediate imunitas dengan peningkatan infeksi (Terlouw

et al., 2004).

Anemia bagi anak balita akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangannya. Kebutuhan zat besi pada anak balita meningkat besar untuk

keseimbangan zat besi dalam tubuh sebagai pemeliharaan kesehatan, juga untuk

kebutuhan pertumbuhan dan ekspansi masa sel darah merah dan untuk mengcover

kehilangan zat besi dari kulit, genitourinary dan saluran gastrointestinal

(Zimmermann et al., 2005). Defisiensi besi dapat menurunkan performan fisik

yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi oksigen (Kang dan Matsuo, 2004).

Tingginya angka anemia anak balita contoh diakibatkan kandungan dan

bioavalabilitas Fe pada konsumsi harian sangat rendah, biasanya dari sumber

sereal dan kacang-kacangan (Zimmermann et al., 2005). Bioavailabilitas sangat

berperan terhadap kejadian anemia di beberapa negara berkembang (WHO, 2001).

Berdasarkan hasil pengolahan data konsumsi pangan bahwa sumber zat

besi sebagian besar berasal dari kacang-kacangan dan sayuran hijau sehingga

penyerapan zat besi menjadi rendah. Namun status besi dapat meningkat setelah

pemberian biskuit fortifikasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Stuijvenberg et.

al., (1999), bahwa pemberian biskuit fortifikasi dengan zat gizi mikro dapat

menurunkan kejadian anemia sebesar 29,6% menjadi 15,6%. Pemberian

suplementasi besi selama empat bulan dapat meningkatkan status hematologik dan

imunologik (Kang dan Matsuo, 2004).

Page 107: Kep

86

Penelitian pemberian zat besi pada biskuit fortifikasi selama 16 minggu

ternyata dapat meningkatkan konsentrasi Hb anak balita contoh. Kondisi anak

balita contoh yang anemia berubah, yakni terjadi adanya peningkatan konsentrasi

Hb, sehingga sebagian yang Hb-nya rendah menjadi meningkat. Hasil analisis Hb

disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Rata-rata Hb dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata

Hemoglobin (g/dL)

Kelompok Perlakuan (n=35)

Kelompok Plasebo (n=35) p

Awal 11,4 + 1,10a 11,1+1,11ab 0,331

Akhir 12,2 + 0,94a 11,3+0,87a 0,001*

Delta 0,67+1,11b 0,17+1,05b 0,000*

* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05) Data pada Tabel 25 menggambarkan rata-rata nilai Hb pada awal

intervensi pada kelompok perlakuan 11,4+1,10 g/dL dan untuk kelompok plasebo

11,1+1,11 g/dL. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai Hb kelompok

perlakuan dan plasebo pada awal intervensi (p = 0,331)

Pada akhir intervensi rata-rata nilai Hb kelompok perlakuan naik menjadi

12,2+0,94 g/dL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 11,3+0,87 g/dL. Ada

perbedaan signifikan antara nilai Hb kelompok perlakuan dengan nilai Hb

kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,001).

Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai Hb sebesar 0,67+1,11

g/dL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Hb sebesar

0,17+1,05 g/dL. Kenaikan delta nilai Hb kelompok perlakuan secara signifikan

lebih tinggi dari kelompok plasebo.

Kenaikan nilai Hb ini karena kenaikan asupan Fe dan vitamin A, yakni

kenaikan Fe dari 9,07+4,34 mg menjadi 13,72 +3,91 mg. Lebih tingginya

konsumsi vitamin A menurut Suharno et al. (1993) mempunyai kontribusi

terhadap naiknya nilai Hb. Penambahan konsumsi Fe dapat meningkatkan

konsentrasi Hb (Sari et al., 2001).

Page 108: Kep

87

Ferritin Serum (Fs)

Di dalam sel, zat besi berikatan kompleks dengan ferritin yang mudah

larut (soluble complex), khususnya di dalam limpa, hati, dan sumsum tulang.

Penyimpanan zat besi terbesar terdapat dalam eritrosit. Mobilisasi zat besi dari

penyimpanan intraseluler termasuk transfer zat besi dari ferritin ke transferrin.

Apabila tubuh kekurangan zat besi (deplesi) maka transpor besi dalam plasma

terganggu, terutama untuk pembentukan sel darah merah berkurang, sehingga

eritrosit menurun dan selanjutnya konsentrasi Hb akan menurun pula.

Kadar ferritin serum ada hubungannya dengan besi (Fe) cadangan dalam

tubuh. Ferritin serum merupakan indeks sensitif dari penurunan simpanan zat besi

(Ahluwalia et al., 2002). Defisiensi zat besi terjadi apabila konsentrasi ferritin

serum <12 µg/l (Ahluwalia, 2002). Pengelompokan kadar ferritin didasarkan pada

kriteria WHO (1994), berturut-turut yakni <12 µg/l untuk yang defisien Fe

(deplesi zat besi) dan >12 µg/l untuk yang normal. Berdasarkan pengelompokkan

tersebut sebaran ferritin serum (Fs) diperlihatkan pada Gambar 20.

Gambar 20. Sebaran Ferritin Serum (Fs) pada Awal dan Akhir intervensi

Page 109: Kep

88

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, anak balita contoh dengan kadar

ferritin <12 µg/L (deplesi besi) sebesar 34,3% pada kelompok perlakuan dan

28,6% pada kelompok plasebo pada awal intervensi. Hal tersebut menandakan

masih relatif banyak anak-anak balita yang mengalami deplesi penyimpanan zat

besi. Defisiensi zat besi sebagian besar terjadi karena ketidakhadiran zat besi di

dalam sumsum tulang. Selama infeksi terjadi penurunan konsentrasi ferritin dan

Hb. Defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas bakterisidal neutrofil dan

limfosit, kerusakan respons proliferasi limfosit dan antigen, dan respons yang

lambat terhadap antigen (Chandra, 1997). Hal tersebut membawa resiko besar

pada pertumbuhan dan perkembangan anak balita apabila tidak segera

mendapatkan perbaikan gizi besi (Fe). Anak yang deplesi besi rentan terhadap

anemia defisiensi besi. Secara klinis anak yang defisiensi besi sebagai manifestasi

dari anemia (Kang dan Matsuo, 2004)

Kondisi deplesi besi menurun pada akhir intervensi menjadi 17,1% pada

kelompok perlakuan dan 25,7% pada kelompok plasebo. Penurunan deplesi besi

lebih besar terjadi pada kelompok perlakuan daripada kelompok plasebo, yakni

17,2% terhadap 2,9%. Hasil analisis Fs disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26. Rata-rata Ferritin Serum dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata

Kadar Ferritin (µg/L)

Kelompok Perlakuan (n=35)

Kelompok Plasebo (n=35) p

Awal 17,23 +8,83a 18,21+9,36ab 0,106

Akhir 28,66+15,89a 26,48 +21,05a 0,003*

Delta 11,43+4,47b 8,27+4,55b 0,000*

* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda bermakna pada uji t (p<0,05)

Data pada Tabel 26 menggambarkan rata-rata nilai Fs pada awal intervensi

pada kelompok perlakuan 17,23+8,83µg/L dan untuk kelompok plasebo

18,21+9,36µg/L. Tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai Fs kelompok

perlakuan dan plasebo pada awal intervensi (p = 0,106).

Pada akhir intervensi rata-rata nilai Fs kelompbok perlakuan naik menjadi

28,66 + 15,89 µg/L, sedangkan kelompok plasebo menjadi 26,48 +21,05 µg/L.

Page 110: Kep

89

Ada perbedaan signifikan antara nilai Fs kelompok perlakuan dengan nilai Fs

kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,003).

Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai Fs sebesar 11,43+4,47

µg/L sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Fs sebesar

8,27+4,55 µg/L. Kenaikan delta nilai Fs kelompok perlakuan secara signifikan

lebih tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,000). Kenaikan nilai Fs ini karena intik

zat besi yang dapat diserap oleh anak. Pemberian suplementasi besi dapat

meningkatkan ferritin serum (Suharno et al., 1993).

Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa anak balita contoh kelompok

perlakuan cenderung lebih sehat daripada kelompok plasebo. Fakta membuktikan,

defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampuan individu terhadap resisten

infeksi (Kang dan Matsuo, 2004). Beberapa studi mengindikasikan bahwa dalam

kondisi normal, status gizi besi berperan dalam maintenance respons imun.

Dengan demikian, anak yang defisiensi besi secara langsung memiliki respons

imun yang kurang, karena defisiensi besi, infeksi, dan respons imun saling

berkaitan.

Anemia karena defisiensi besi yang tidak segera mendapatkan terapi akan

meningkatkan keparahan anemia (severe). Anemia yang parah dapat

menyebabkan berkembangnya plasmodium falciparum malaria karena sumsum

tulang berlarut- larut tertindas oleh residu parasit (Helleberg et al., 2005). Sesuai

dengan pendapat tersebut, Oppenheimer (2001) menggeneralisasikan angka

kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang

menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Menurutnya,

defisiensi besi saling berkaitan dengan ketidaknormalan fungsi imun, namun sulit

digambarkan relevansi dan tingkat keparahannya dalam studi observasi. Insiden

infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen

zat gizi besi (Oppenheimer, 2001).

Retinol Serum (Rs)

Defisiensi vitamin A merupakan masalah serius dan masih terus

berlangsung di beberapa negara berkembang. Defisiensi vitamin A pada anak-

Page 111: Kep

90

anak berhubungan dengan peningkatan keparahan infeksi dan peningkatan angka

kematian. Indikator defisiensi vitamin A antara lain dapat dilihat dari konsentrasi

retinol dalam serum (Sommer dan West, 1996; Baeten et al., 2004). Retinol serum

diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan defisiensi vitamin A pada

balita contoh. Kategori retinol serum (Rs) menurut WHO (1994), yakni

konsentrasi retinol serum anak balita berturut-turut <0,35 µmol/l (<10 µg/dl)

untuk defisiensi vitamin A dan <0,70 µmol/l (<20 µg/dl) untuk status vitamin A

rendah. Menurut Gamble et al., (2004), dikatakan defisien vitamin A jika retinol

serum <0,70 µmol/l.

Berdasarkan ketentuan WHO, maka pengelompokan kadar Rs

dikategorikan menjadi empat kelompok, yakni (1) <10 µg/dl, defisiensi vitamin

A; (2) <20-10 µg/dl, status vitamin A rendah (defisiensi vitamin A subklinis); (3)

20 - 30 µg/dl, status vitamin A marginal; dan (4) >30 µg/dL, status vitamin A

baik. Sebaran Rs anak balita contoh ditampilkan pada Gambar 21.

Gambar 21. Sebaran Retinol Serum (Rs) Anak Balita Contoh di Awal dan Akhir intervensi

Page 112: Kep

91

Sebaran nilai kadar retinol serum anak balita contoh berkisar antara (10,9-

47,2) µg/dl. Hanya terdapat 1,4% pada awal intervensi balita contoh yang

memiliki retinol 10,9 µg/dL dan hanya 1,4% pula yang memiliki Rs tinggi, yakni

42,7 µg/dl. Terdapat 5,6% anak balita contoh yang memiliki kadar Rs 11 µg/dL.

Berdasarkan kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa pada awal intervensi

sebagian besar anak balita memiliki kadar serum retinol yang rendah. Apabila

konsumsi anak balita khususnya intik vitamin A tidak diperhatikan dan tidak

tertangani dengan baik maka status vitamin A anak-anak tersebut akan terjatuh

pada defisiensi vitamin A, dan kecenderungan akan mengakibatkan buta senja

apabila konsentrasi retinolnya berkisar 11 µg/dl (Paracha et al, 2000).

Estimasi vitamin A didekati dengan plasma retinol (de Pee dan West,

1996), dan konsentrasi plasma retinol menurun bersamaan dengan penyakit

infeksi (Reddy et al., 1986; Thurnham dan Singkamani, 1991). Konsentrasi zat

gizi yang berkaitan dengan penyakit dapat dinilai dengan vitamin A (Filteau,

Morris, dan Abbott., 1993) dan status besi (Witte, 1991). Perbaikan status vitamin

A terhadap kelompok defisiensi dapat menurunkan mortalitas anak balita sebesar

23% (Beaten et al., 1992; Solon et al., 2000).

Sebaran Rs pada awal intervensi berdasarkan sebaran pada Gambar 21

tidak terdapat satupun anak balita yang serum retinolnya <10 µg/dL (defisien),

baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Demikian pula pada akhir

intervensi, tidak ada satupun terdapat anak yang defisiensi vitamin A. Namun

demikian sebagian besar anak balita memiliki serum retinol antara 10-< 20 µg/dL

(sub defisien), baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo pada awal

intervensi. Artinya sebagian besar anak balita mempunyai status vitamin A rendah

(52,9% pada kelompok perlakuan dan 31,4% pada plasebo). Terdapat 28,6% anak

balita yang memiliki vitamin A yang baik.

Vitamin A berperan penting dalam beberapa proses metabolik. Retinol

merupakan komponen esensial dari rodopsin, pigmen retina khususnya dalam

penglihatan. Vitamin A berfungsi dalam beberapa sel dan jaringan tubuh,

termasuk sel epithel dan sel-sel sistem imun (Blomhoff, 1994), berperan dalam

pengaturan diferensiasi dan proliferasi sel (Napoli, 1996).

Page 113: Kep

92

Berdasarkan hasil pemeriksaan status vitamin A secara klinis, bahwa anak

balita contoh di wilayah penelitian dapat diindikasikan memiliki masalah

defisiensi subklinis vitamin A. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan WHO bahwa

suatu masyarakat dikatakan memiliki masalah defisiensi vitamin A subklinis

apabila prevalensi serum retinol <0,70 µmol/L (<20 µg/dL) lebih dari 20%.

Masyarakat dikatakan bebas masalah KVA apabila status vitamin A pada anak

cukup dan prevalensinya <20% dengan serum retinol <0,70 µmol/L (Blomhoff et

al.,1992).

Setelah intervensi selama empat bulan, status vitamin A anak balita contoh

mengalami perbaikan. Sebagian besar anak balita contoh memiliki status vitamin

A marginal (retinol: 20 - 30 µg/dL) yakni 47,1% pada kelompok perlakuan dan

48,6% pada plasebo yang sebelumnya adalah defisiensi subklinis. Sebagian lagi

memiliki status vitamin A yang baik, yakni 44,1% pada perlakuan dan 42,8%

pada plasebo. Namun masih terdapat masing-masing 8,8% anak balita contoh

pada kelompok perlakuan dan plasebo yang memiliki status vitamin A rendah

(defisien). Dengan kondisi yang demikian, berdasarkan WHO (1994) berarti

wilayah penelitian telah terbebas dari masalah vitamin A. Meskipun demikian hal

tersebut masih tetap perlu pengawasan yang serius dari orang tua atua pengasuh

serta pihak-pihak terkait, seperti kader, bidan desa, Puskesmas, dan dinas

kesehatan wilayah setempat untuk tetap memantau kesehatan anak terutama suplai

kebutuhan vitamin A terhadap anak. Hal tersebut dimaksudkan agar status vitamin

A anak balita tetap baik, tidak jatuh pada kondisi defisiensi vitamin A.

Berdasarkan laporan WHO (1995) ada 254 juta anak sekolah beresiko

defisiensi vitamin A, dan 50%-nya dari Asia Tenggara. Defisiensi vitamin A di

beberapa negara turut bertanggung-jawab terhadap 1-2,5 juta kematian anak setiap

tahunnya dan lebih 500.000 kebutaan (Somer, 1982).

Nilai rata-rata retinol dan hasil uji disajikan pada Tabel 27. Data pada

Tabel ini menggambarkan rata-rata nilai Rs pada awal intervensi pada kelompok

perlakuan 19,13+4,87 µg/dL dan untuk kelompok plasebo 24,96+9,35 µg/dL.

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai Rs kelompok perlakuan dan

plasebo pada awal intervensi (p = 0,051).

Page 114: Kep

93

Tabel 27. Rata-rata Retinol Serum dan Hasil Uji Perbandingan Rata-Rata

Kadar Retinol (µg/dL)

Kelompok Perlakuan (n=35)

Kelompok Plasebo (n=35) P

Awal 19,13 +4,87a 24,96+9,35ab 0,051

Akhir 29,26+7,63a 29,35+7,70ba 0,176

Delta 10,12+7,84b 4,38+7,72b 0,00*

* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan

berbeda nyata pada uji t (p<0,05).

Pada akhir intervensi rata-rata kadar Rs kelompok perlakuan meningkat

menjadi 29,26+7,63 µg/dL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 29,35+7,70

µg/dL. Tidak ada perbedaan signifikan antara nilai Rs kelompok perlakuan

dengan nilai Rs kelompok plasebo pada akhir intervens i (p = 0,176).

Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan kadar Rs sebesar 10,12+7,84

µg/dL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Rs sebesar

4,38+7,72 µg/dL. Kenaikan delta nilai Rs kelompok perlakuan secara signifikan

lebih tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,00). Kenaikan nilai Rs ini karena

kenaikan asupan vitamin A hasil dari biskuit fortifikasi. Karenanya pemeliharaan

status vitamin A sangat perlu bagi anak balita (kelompok beresiko) sebab

defisiensi vitamin A sangat berpengaruh terhadap percepatan terjadinya infeksi

Respons Imun (Immunoglobulin G)

Respons imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap tetanus

pada sampel darah anak setelah pemberian booster DPT. Pengukuran titer IgG

total terhadap tetanus dianalisis dengan metode ELISA di laboratorium

terakreditasi, Laboratorium Endokrinologi Makmal Terpadu FKUI.

Hasil pengukuran titer imunoglobulin G (IgG) total terhadap tetanus dalam

darah yang dilakukan pada anak balita sebanyak 30 anak memberikan hasil yang

bervariasi. Titer IgG total terhadap tetanus berkisar antara 1,00 IU/ml sampai

1,725 IU/ml. Kriteria IgG total terhadap tetanus dikelompokkan menjadi tiga

(Kunarti, 2004) yakni: (1) 0,0 – 1,0 IU/ml adalah kadar titer IgG rendah, (2) >1,0

– 1,5 IU/ml adalah kadar titer IgG cukup, dan (3) >1,5 IU/ml adalah kadar titer

IgG tinggi.

Page 115: Kep

94

Pada Gambar 22 disajikan sebaran rata-rata titer IgG Total. Pada awal

intervensi, sebagian besar anak balita telah mempunyai titer yang cukup, hanya

ada 1(6,67%) pada kelompok perlakuan dan 2 (13,33%) pada kelompok plasebo

yang titernya IgG Totalnya rendah. Sebagian lagi anak balita telah memiliki titer

IgG Total yang tinggi.

Gambar 22. Sebaran Titer IgG Total (IU/mL) Awal dan Akhir intervensi

Pada akhir intervensi terjadi peningkatan titer IgG baik pada kelompok

perlakuan maupun kelompok plasebo. Tidak ada satupun anak balita contoh yang

memiliki kadar titer IgG yang rendah di akhir intervensi. Sebagian besar anak

balita contoh (86,67%) pada kelompok perlakuan dan 66,67% pada kelompok

plasebo memiliki titer IgG tinggi, dan hanya 13,33% saja anak balita dari

kelompok perlakuan memiliki titer IgG cukup. Namun pada kelompok plasebo,

anak balita yang memiliki titer IgG cukup masih relatif tinggi, yakni ada 33,33%

Peningkatan titer IgG disajikan pada Tabel 28.

Page 116: Kep

95

Pada Tabel 28, tampak bahwa titer IgG pada kelompok perlakuan di akhir

intervensi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok plasebo, artinya

peningkatan titer IgG pada kelompok perlakuan lebih besar daripada kelompok

plasebo. Titer IgG yang telah dimiliki anak pada awal intervensi sebagian besar

(90,0%) lebih dari 1,00 IU/ml, dan diakhir intervensi semua anak balita contoh

(100%) titer IgG-nya >1,00 IU/ml. Dengan memiliki titer IgG tersebut, mereka

telah cukup terlindungi sampai beberapa tahun mendatang dan ini perlu penelitian

lanjutan. Menurut Kunarti (2004) bahwa titer IgG yang tinggi mampu melindungi

anak selama kurang lebih lima tahun kedepan. Tingginya pembentukan titer IgG

diakibatkan karena semua anak balita contoh telah terpapar oleh imunisasi. Studi

yang dilakukan oleh Nelson (1978), Cellist, et al., (1989), Galazka dan

Kardymowitcz (1989) disebutkan titer tingkat 0,1 IU/ml adalah sangat protektif

dalam perlindungan terhadap penyakit infeksi.

Tabel 28. Rata-rata Titer IgG Total dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata

IgG Total (IU/mL)

Kelompok Perlakuan (n=35)

Kelompok Plasebo (n=35) p

Awal 1,4+0,2a 1,4+0,2ab 0,142

Akhir 1,6+0,1a 1,5+0,1a 0,006*

Delta 0,2+0,2b 0,1+0,2b 0,000*

* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda bermakna pada uji t (p<0,05)

Hasil penelitian di Rusia pada tahun 2000an yang dilakukan oleh Markina

et al., (2000), Nekrassova et al., (2000), Filonov et al., (2000), dan Magdei et al.,

(2000) diungkapkan bahwa status imunisasi merupakan faktor yang berperan

untuk terbentuknya titer imunoglobulin. Penelitian Setiawan et al., (1993) di

Jakarta, bahwa kadar protektif anak akan terbentuk setelah diimunisasi tiga kali

berkisar antara 68,3-81%.

Rata-rata dan hasil uji IgG yang disajikan pada Tabel 28 menggambarkan

rata-rata nilai IgG pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 1,4+0,1 IU/mL

dan untuk kelompok plasebo 1,4+0,1 IU/mL. Tidak ada perbedaan yang

signifikan antara nilai IgG kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi

Page 117: Kep

96

(p = 0,142). Sedangkan pada akhir intervensi rata-rata nilai IgG kelompok

perlakuan naik menjadi 1,6+0,1 IU/mL, sedangkan kelompok plasebo menjadi

1,5+0,1 IU/mL. Ada perbedaan signifikan antara nilai IgG kelompok perlakuan

dengan nilai IgG kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,006).

Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai IgG sebesar 0,2+0,2

IU/mL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai IgG sebesar

0,1+0,2 IU/mL.

Kenaikan delta nilai IgG kelompok perlakuan secara signifikan lebih

tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,000). Kenaikan nilai IgG ini diduga karena

kenaikan status vitamin A dan besi anak balita .

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan titer IgG pada

anak balita kelompok perlakuan tersebut diduga akibat adanya penambahan

vitamin A dan Fe dari mengkonsumsi biskuit fortifikasi. Kandungan vitamin A

dan Fe mampu meningkatkan antibodi anak, khususnya imunoglobulin G Total.

Mengingat sinergisme vitamin A dan zat besi dapat meningkatkan Hb, ferritin dan

retinol anak. Dengan peningkatan status gizi mikro anak dapat meningkatkan

respons imun anak. Dengan memiliki respons imun yang baik, anak menjadi tidak

mudah terinfeksi, sebab tubuh anak mampu merespons antigen yang menghampiri

tubuhnya. Kalaupun anak terpapar, kecenderungan kondisi anak tidak mudah

menjadi parah.

Morbiditas, Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun

Faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G

Pemberian imunogen/antigenis, baik dari imunisasi maupun booster akan

menimbulkan respons imun yang diawali pembentukkan serokonversi antibodi.

Banyaknya antibodi yang dihasilkan tergantung dari morbiditas dan status gizi

mikro anak. Respons imun dalm hal ini dinampakkan sebagai kekebalan tubuh

terhadap penyakit. Terjadinya respons imun melibatkan antibodi, antara lain

imunoglobulin G. Konsep pembentukkan titer IgG dari hasil studi pustaka

disajikan pada Gambar 23.

Page 118: Kep

97

Gambar 23. Faktor- faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G

Berdasarkan penjelasan tersebut, meskipun anak telah mendapatkan

pemberian booster, akan menghasilkan titer IgG yang berlainan sejalan dengan

faktor yang berpengaruh antara lain: (1) kualitas potensi vaksin, (2) imunisasi, (3)

interval waktu pemberian booster, (4) infeksi, (5) status vitamin A dan besi.

Kualitas potensi vaksin, iminisasi, dan interval waktu pemberian booster

kepada responden pada saat penelitian kondisinya disamakan. Vaksin DPT yang

diberikan kepada anak balita diambil dari PT. Biofarma Bandung yang memiliki

kualitas potensi yang baik. Pemeliharaan terhadap potensi vaksin dapat dilakukan

dengan cara pengelolaan yang baik dari vaksin didistribusi selama perjalanan dan

penyimpanan hingga vaksin sampai kepada sasaran. Vaksin yang diberikan

kepada anak dikenal sebagai antigen sehingga pertahanan awal akan terbentuk,

Respons Imun (Pembentukkan Titer Imunoglobulin G)

Interval Pemberian

Serokonversi Antibodi

Imunisasi dan Maternal antibodi

Infeksi dan penyakit

Intik Vitamin A dan Fe

Revaksinasi (Booster)

Status Vitamin A dan Besi (Fe)

Potensi vaksin, Rantai dingin

Page 119: Kep

98

yakni timbulnya respons imun non-spesifik humoral. Kekebalan yang terbentuk

akan mudah diukur.

Dosis booster yang diberikan kepada anak sama, yakni 0,5 mg. Pemberian

imunisasi berpengaruh terhadap pembentukkan antibodi anak. Pembentukkan

antibodi dengan imunisasi bersifat humoral maka jumlah dan dosis sangat

berperan untuk mempertahankan sampai titer yang terbentuk protektif.

Interval waktu pemberian booster berpengaruh terhadap terbentuknya

titer IgG. Interval yang terlalu pendek akan menyebabkan terjadinya proses

fagositosis. Sebaliknya, interval terlalu panjang dapat menyebabkan terjadinya

kelemahan sel yang memungkinkan terganggunya pembentukkan antibodi.

Interval pemberian dosis booster sampai dengan analisis imunoglobulin yakni 12

hari, dengan pertimbangan tepat pada pertengahan pembentukan IgG terbesar

pada interval waktu 10-14 hari setelah pemberian antigen.

Infeksi dapat muncul cepat apabila tubuh anak terjadi defisiensi zat gizi,

khususnya zat gizi mikro seperti defisiensi vitamin A dan za besi (Fe) diyakini

berpengaruh terhadap pertahanan tubuh anak. Anak yang defisiensi zat gizi akan

lebih mudah terpapar bila terkena penyakit.

Defisiensi vitamin A dan zat besi diyakini dapat berpengaruh terhadap

respons imun, namun bagian mana dari tubuh yang secara langsung dipengaruhi

perlu penelitian imunitas yang biayanya sangat mahal. Sampai saat ini belum

banyak penelitian ke arah tersebut. Pada penelitian yang dilakukan hanya sebatas

akibat dari penambahan vitamin A dan zat besi terhadap peningkatan titer

imunoglobulin G. Defisiensi vitamin A dan zat besi diyakini dapat menurunkan

respons terhadap infeksi. Defisiensi vitamin A dapat merubah permukaan

membran glikoprotein yang dapat mengganggu pengikatan antigen.

Hubungan Infeksi, Kadar Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun

• Infeksi

Infeksi dapat diakibatkan oleh lingkungan yang padat dan kumuh, yang

memberikan kontribusi personal higiene yang kurang sehingga dapat berpengaruh

terhadap tingginya angka infeksi. Infeksi dan defisiensi zat gizi merupakan

Page 120: Kep

99

problem yang umum dijumpai pada anak-anak. Defisiensi zat gizi memberi

peluang tubuh terhadap mudahnya terkena penyakit infeksi. Pada saat tubuh

terinfeksi, sistem imun sel menurun dan respons antibodi tidak memadai.

• Hemoglobin (Hb)

Kadar rata-rata Hb dari kedua kelompok berkisar antara 8,9-13,6 g/L.

Kadar rata-rata Hb pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi daripada

rata-rata Hb kelompok plasebo. Perbedaan kadar rata-rata Hb dari kedua

kelompok tersebut signifikan (p = 0,00).

Kondisi anemia pada anak akan berpengaruh terhadap pembentukan

imunoglobulin. Kondisi kadar Hb darah yang kurang dari normal dapat

menyebabkan kurangnya oksigen yang ditransportasikan ke beberapa sel tubuh

maupun otak, mengingat fungsi Hb adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke

seluruh sel tubuh (Sukirman, 2000; Djikhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan

Hb atau anemia menyebabkan kerusakan fungsional beberapa jaringan tubuh.

Kondisi yang demikian dapat menimbulkan gejala 5L, yakni lemah, letih, lesu,

lunglai, lelah. Akibatnya dapat menurunkan daya tahan tubuh anak balita sehingga

rentan terhadap penyakit. Zat besi berperan penting dalam sistem imun dan

anemia dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya sel mediate

respons imunologik (Weiss et al., 1995). Anemia penyebab sejumlah

ketidaknormalan bio logis dan merusak sel mediate imunitas dengan terjadinya

peningkatan infeksi (Terlouw et al., 2004).

• Ferritin Serum (Fs)

Delta Rata-rata konsentrasi ferritin pada kelompok perlakuan lebih tinggi

dibandingkan plasebo (11,43+4,47 terhadap 8,27+4,55) µg/L. Artinya intervensi

biskuit fortifikasi mampu meningkatkan status besi anak balita. Hal tersebut

terbukti secara statistik adanya peningkatan kadar ferritin anak balita. Zat besi

esensial untuk pertumbuhan/proliferasi bakteri dan mikroorganisme. Kehadiran

zat besi harus ada setiap hari dalam sumsum tulang untuk pembentukan Hb.

Penurunan kadar Fe plasma secara tiba-tiba dapat menyebabkan infeksi akut.

Artinya, banyak bakteri yang mempunyai kesanggupan mensekresi siderofore.

Page 121: Kep

100

Siderofore merupakan suatu sekret mikroorganisme yang sifatnya suka terhadap

Fe dari hemoglobin. Siderofore tersebut dapat mengikat Fe dalam media

sekitarnya sehingga meningkatkan dayaguna untuk bakteri/jamur, seperti escheria

coli, basilus subtilis, v. Cholera, pseudomanas B 10, streptomyces pilosus, dan

lain- lain.

Tubuh yang defisiensi Fe (deplesi) menyebabkan transport besi dalam

plasma terganggu, terutama untuk keperluan pembentukan darah merah (eritrosit)

berkurang. Apabila eritrosit berkurang/menurun maka konsentrasi Hb akan

menurun pula. Defisiensi zat besi sebagian besar terjadi karena ketidakhadiran zat

besi dalam makrofag di dalam sumsum tulang. Selama infeksi terjadi penurunan

konsentrasi Hb dan kadar ferritin. Defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas

bakterisidal neutrofil dan limfosit, kerusakan respons proliferasi limfosit dan

antigen, serta respons yang lambat terhadap antigen (Chandra, 1997).

• Serum Retinol (Rs)

Delta peningkatan kadar retinol dalam serum kelompok perlakuan secara

nyata lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo (10,12+7,84 terhadap 4,38+7,72)

µg/dL. Perbedaan delta tersebut secara statistik signifikan (p<0,05), artinya

intervensi biskuit fortifikasi dapat meningkatkan status vitamin A anak balita,

terbukti secara statistik adanya peningkatan kadar retinol. Vitamin A berperan

penting dalam beberapa proses metabolik tubuh. Retinol merupakan komponen

esensial dari rodopsin, pigmen retina khususnya dalam penglihatan. Vitamin A

berfungsi dalam beberapa sel dan jaringan tubuh, termasuk sel epithel dan sel-sel

sistem imun (Blomhoff, 1994), serta berperan dalam pengaturan diferensiasi dan

proliferasi sel (Napoli, 1996).

Vitamin A (retinaldehida) pada tingkat sel berfungsi dalam penglihatan

dan vitamin A (asam retinoat) dalam inti sel sangat diperlukan untuk membantu

ekspresi gen dan bersamaan dengan messenger RNA (mRNA) berfungsi dalam

pembentukan imunoglobulin (Wiedermann et al., 1993).

Page 122: Kep

101

• Imunoglobulin G (IgG)

Hubungan antara defisiensi vitamin A dan zat besi (Fe) serta status

vitamin A dan besi (status gizi mikro), infeksi, dan respons imun bersifat

sinergisme. Kondisi defisiensi vitamin A dan Fe akan menyebabkan peluang

terhadap penyakit infeksi meningkat dan akan memperberat jalannya penyakit

karena adanya penekanan respons imun. Interaksi antara infeksi, status gizi mikro,

dan respons imun terilustrasikan dalam: (1) Pada kondisi defisiensi: vitamin A

maka terjadi penurunan konsentrasi retinol serum yang dapat mengganggu

ekspresi gen dalam fungsinya membantu pembentukan imunoglobulin, demikian

juga pada kondisi defisiensi zat besi akan menyebabkan anemia yang dapat

mengganggu terbentuknya hemoglobin; (2) Pada kondisi infeksi: terjadi anemia

dan defisiensi vitamin A sehingga terjadi percepatan infeksi; (3) Pada respons

imun terjadi penurunan imunitas mukosa, gangguan fungsi fagosit, dan respons

antibodi (imunoglobulin G) tidak memadai (Suyitno, 1985).

Dalam interaksi terdapat hubungan yang erat antara status vitamin A dan

besi, infeksi, serta respons imun. Pada defisiensi vitamin A dan Fe maka respons

imun akan menurun serta frekuensi dan beratnya infeksi akan meningkat. Pada

infeksi akan memperberat defisiensi vitamin A dan Fe serta menurunkan respons

imun. Pada defisiensi respons imun penyebab kerentanan tubuh inang terhadap

penyakit. Apabila defisiensi vitamin A dan Fe terjadi bersamaan akan saling

memperberat dan kompeten respons imun juga dapat terganggu. Status gizi besi

berperan dalam maintenance respons imun. Dengan demikian, anak yang

defisiensi besi secara langsung memiliki respon imun yang tidak baik, karena

defisiensi besi, infeksi, dan respons imun saling berkaitan.

Anak yang IgGnya bagus, ternyata memiliki konsentrasi Hb yang baik,

kadar ferritin dan retinol yang baik juga. Dan anak tersebut selalu sehat serta

jarang terpapar infeksi. Sebaliknya anak yang sering sakit (terpapar infeksi)

ternyata memiliki konsentrasi Hb yang rendah dan kadar ferritin serta retinolnya

juga rendah dan imunoglobolinnya juga tidak tinggi.

Sesuai dengan pendapat tersebut, Oppenheimer (2001) menggeneralisasi-

kan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada

Page 123: Kep

102

anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal.

Menurutnya, defisiensi besi saling berkaitan dengan ketidaknormalan fungsi

imun, namun sulit digambarkan relevansi dan tingkat keparahannya dalam studi

observasi. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak

diberikan suplemen zat gizi (Oppenheimer, 2001).

Betapa besar pentingnya pengaruh vitamin A dan Fe terhadap

kesanggupan tubuh untuk menangkis mikroorganisme penyebab timbulnya

infeksi. Fungsi imunologi sangat penting, namun penelitian imunitas belum

banyak dilakukan, artinya belum sistematik dan komprehensif. Masih banyak

penelitian yang harus dilakukan dalam bidang ini.

1.4 1.4

1.6

1.5

1.3

1.35

1.4

1.45

1.5

1.55

1.6

1.65

Perlakuan Plasebo

Kad

ar Ig

G T

otal (IU

/mL)

Awal Akhir

Page 124: Kep

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian vitamin A dan zat besi (Fe) dosis rendah harian dapat

meningkatkan status vitamin A, status besi, dan respons imun anak balita. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian biskuit fortifikasi kepada anak

balita selama 16 minggu (4 bulan) di wilayah Kecamatan Dramaga Kabupaten

Bogor memberikan dampak sebagai berikut:

1. Intik konsumsi vitamin A dan zat besi (Fe) secara nyata meningkat lebih

tinggi (p<0,05).

2. Pasca intervensi, kadar hemoglobin dan ferritin secara nyata lebih tinggi

(p<0,05) pada kelompok perlakuan daripada plasebo. Peningkatan tersebut

dampak dari fortifikan vitamin A dan zat besi (Fe) yang dapat diserap oleh

anak.

3. Kadar retinol lebih tinggi peningkatannya (p<0,05) setelah pemberian biskuit

fortifikasi, yang dapat menunjukkan penyerapan vitamin A yang baik.

4. Tidak terdapat peningkatan status gizi anak secara antropometri (p>0,05) baik

pada kelompok perlakuan maupun plasebo.

5. Pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan respons imun anak balita yang

lebih tinggi (p<0,05) setelah pemberian biskuit fortifikasi.

Saran

1. Biskuit fortifikasi dapat digunakan sebagai makanan alternatif bagi anak balita

untuk meningkatkan status gizi mikro.

2. Untuk menghindari kebosanan anak terhadap biskuit maka perlu divariasikan

bentuk dan cita rasanya.

3. Perlu dilakukan penelitian efektifitas biskuit fortifikasi.

4. Perlunya dilakukan penelitian imunitas pada program-program bantuan

pangan pemerintah untuk anak balita.

Page 125: Kep

DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN. 2000. Fourth Report on the World Nutrition Situation. Geneva: ACC/SCN in collaboration with the International Food Policy Research Institute.

ACC/SCN. 2002. Ending Malnutrition by 2020: an Agenda for Change in the Mellinium. Final Report of the ACC/SCN’s Commission on Nutrition. Geneva.

Aguayo VM, Baker SK, Crespin X, Hamani H, dan Taibou AM. 2005.

Maintaining High Vitamin A Supplementation Coverage in Children: Lessons from Niger. Aguayo et al. 2005. Food and Nutrition Bulletin; 26(1):26-31.

Ahluwalia N, Sun J, Krause D, Mastro A, dan Handte G. 2004. Immune Fuction is

Impaired in Iro-deficient, Homebound, Older Women. Am J Clin Nutr; 79:516-21.

Ahmed F, Jones DB, dan Jackson AA. 1990. The Interaction of Vitamin A

Deficiency and Rotavirus Infection in The Mouse. Brit J Nutr 63: 363-373. Allen LH, Gillespie SR. 2001. What Works? A Review of the Efficacy and

Effectiveness of Nutrition Interventions. UN. ACC/SCN. ADB Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Baratawidjaja, Karnen dan Garna. 2002. Imunologi. Balai Penerbit FKUI, edisi 5.

Jakarta Beaton GH, Martorell R, L’Abbe KA, Edmonston B, McCabe G, Ross AC, dan

Harvey B. 1993. Effectiveness of Vitamin A Supplementation in The Control of Young Child Morbidity and Mortality in Developing Countries. ACC/SCN State of the Art Series: Nutrition Policy Discussion Paper No. 13. United Nations. Geneva.

Beaten JM, Richardson BA, Bankson DD, Wener MH, Kreiss JK, Lavreys L,

Mandaliya K, Bwayo JJ, dan McClelland RS. 2004. Use of Serum Retinol-binding Protein for Prediction of Vitamin A Deficiency: Effects of HIV-1 Infection, Protein Malnutrition, and The Acute Phase Response. Am J Clin Nutr; 79:218-25

Beisel WR. 1988. Nutrition, Infection, Specific Host Defense: A Complex

Interaction in Nutrition, Disease Resistance and Immune Function. Marcel Dekker Inc, New York.

Page 126: Kep

105

Bellanti JA dan Joseph VK. 1993. Prinsip-prinsip Imunologi dalam Imunologi. Penyunting Noerhayati Soeripto. Gajah Mada University Press, h 1-17. Yogyakarta.

Bernier GM. 1993. Antibodi dan Imunoglobulin, Struktur dan Fungsi. Penyunting

Noerhayati Soeripto. Gajah Mada University Press, h 96-113. Yogyakarta. Blomhoff R, Green MH, dan Norum KR. 1992. Vitamin A: Physiological and

biochemical processing. Ann Rev Nutr 12: 37-57. Bowman TA, Goonewardene IM, Pasatiempo AMG, Ross AC, and Taylor CE.

1990. Vitamin A deficiency decreases natural killer cell activity and interferon production in rats. J Nutr 120: 1264-1273.

Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry, Second Edition. Academic Press. New York. Brown KH, Rajan MM, Chakraborty J, Aziz KMA, dan Phil M. 1980 Failure of a

Large Dose of Vitamin A to Enhance The Antibody Response To Tetanus Toxoid in Children. Am J Clin Nutr 33: 212-217.

Brune M, Rossander L, Hallberg L. 1989. Iron Absorption and Phenolic

Compounds: Importance of Different Phenolic Structure. Eur J Clin Nutr. 43: 547-58.

Chandra RK. 1997. Nutrition and The Immune System: an Introduction.

American Journal of Clinical Nutrition, 66: 460S – 463S. Chandra RK. 1999. Nutrition and Immune Responses: What do we Know?.

Nutrition and Immune Function. National Academy Press, p: 205-220. Washington DC

Chandra R.K. 1973. “Reduced Bactericidal Capacity of Polymorphs in Iron

Deficiency”. Arch. Dis. Child, 48:863-866. Chandra R.K. 1992. Effect Vitamin and Trace-element Supplementation on

Immune Response and Infection in Elderly Subjects. Lancet; 340:1124:7. Cochran, WG. 1977. Sampling Techniques, 3rd edition. Wiley. New York. Cohen BE, dan Elin RJ. 1974. Vitamin A-Induced Nonspecific Resistance To

Infection. J Infect Dis 129: 597-600. Cohen BE, Cohen IK. Vitamin A: adjuvant and steroid antagonist in the immune

response. J Immunol 1973; 111:1376-80.

Page 127: Kep

106

Cook JD. 1994. Iron Deficiency Anaemia. Baillieres Clin Haematol. 7:787-804. Coutsoudis A, Kiepiela P, Coovadia HM, dan Broughton M. 1992. Vitamin A

Supplementation Enhances Specific IgG Antibody Levels and Total Lymphocyte Numbers While Improving Morbidity in Measles. Pediatr. Infect. Dis. J. 11(3): 203-209.

Cusick SE, Tielsch JM, Ramsan M, Jape JK, Sazawal S, Black RE, dan Stolfzfuz

R. 2005 Short-term Effects of Vitamin A and Antimalarial Treatment on Erythropoiesis in Severely Anemic Zanzibari Preschool Children. Am J Clin Nutr; 82:406-12.

Dawiesah SI. 1989. Petunjuk Laboratorium Penentuan Nutrient dalam Jaringan

dan Plasma Tubuh. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

DeLuca LM. 1991. Retinoids and Their Receptors in Differentiation, Embryo-

genesis, and Neoplasia. FASEP J5: 2924-2933. De Pee S, Dary O. 2002. Biochemical indicators of vitamin A deficiency: serum

retinol and serum retinol binding protein. J Nutr, 132(9 suppl):2895S-2901S

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2004

Menuju Indonesia Sehat 2010. Depkes RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2003. Gizi dalam Angka. Dirjen Kesehatan

Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1997. Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan

Pemberian Vaksin. Dirjen Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI.1996. Pedoman Pemantauan Status Gizi

melalui Posyandu. Jakarta. Dijkhuizen MA dan Wieringa FT. 2001. Vitamin A, Iron and Zinc Deficiency in

Indonesia, Micronutrient Interactions and Effects of Supplementation. Thesis Wageningen University,-With References-With Summaries in Dutch and Indonesian.

Erdman JW 1988. Nutrient interactions. Bodwell (Ed).dalam Koessler, et al.,1926.

The relation of anemia primary and secondary, to vitamin A deficiency. J. Am. Med. Assoc. 87:476. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel.

Page 128: Kep

107

Filonov VP, Zakharenko DF, Vitek CR, Romanovsky AA, Zukhovski VG. 2000. Epidemic Dhiphtheria in Belarus, 1992-1997. J Infect. Dis; 181 (suppl): S41-46.

Finkelman FD, Holmes J, Katona IM, Urban Jr JF, Beckmann MP, Park LS,

Schooley KA, Coffman RL, Mosmann TR, dan Paul WE. 1990. Lymphokine Control of In Vivo Immunoglobulin Isotype Selection. Annu Rev Immunol 8: 303-332.

Galazka AM. 1993. Modul I General Immunology. WHO. Genewa. Gershwin ME, German JB, dan Keen CL.1984. Nutrition and Immunology.

Principles and Practice. Humana Press. Totowa. New Jersey. Gibson R. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press.

Oxford.

Gillespie SR. 2000. Strengthening Capacity to Improve Nutrition. Paper prepared for the Asian Development Bank-IFPRI Regional Technical Assistance Project 5824 Nutrition Trends, Policies and Strategies in Asia and the Pacific. International Food Policy Research Institute. Washington DC.

Gillespie SR. 1997. Malnutrition in South Asia: A Regional Profile. UNICEF, Regional Office for South Asia.

Gillespie SR, Haddad L. 2001. Attacking the Double Burden of Malnutrition in Asia and the Pacific. Synthesis of the Regional Technical Assistance Project 5824 on Nutrition Trends, Policies and Strategies in Asia and the Pacific. Asian Development Bank. Manila.

Goodhart RS dan ME Shils. 1980. Modern Nutrition in Health and Disease. Lea & Febiger. Philadelphia.

Gopaldas T. 2005. Improved Effect of School Meals with Micronutrient

Supplementation and deworming. Grantham MS dan Ani C. 2001. A Review of Studies on The Effect of Iron

Deficiency on Cognitive Development in Children. Journal of Nutrition 131 (2S-2): 649S-666S; Discussion 666S-668S.

Griffin DE, Ward BJ, Lauregui E, Johnson RT, dan Vaisberg A. 1990. Natural

Killer Cell Activity During Measles. Clin exp Immunol 81: 218-224. Goldenberg IR. 2003. The Plausibility of Micronutrient Deficiency in

Relationship to Perinatal Infection. The American Society for Nutritional Sciences J. Nutr. 133:1645S-1648S.

Page 129: Kep

108

Hardinsyah dan Briawan.1990. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Hardinsyah, Amalia L dan Setiawan B. 2002. Fortifikasi Tepung dan Minyak

Goreng. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, Komisi Fortifikasi Nasional (KFN), ADB-Manila & Keystone Center-USA.

Helleberg M, Goka BQ, Akanmori BD, Obeng-Adjei G, Rodriques O, Kurtzhals

JAL. 2005. Bone marrow suppression and severe anaemia associated with persistent Plasmodium falciparum infection in African children with microscopically undetectable parasitaemia. Malar J. 2005; 4: 56. Published online 2005 December 1. doi: 10.1186/1475-2875-4-56. (http://www. pubmedcentral.gov/redirect3.cgi?&&reftype=extlink&artid=1315355&iid=18191&jid=98&&http://creativecommons.org/licenses/by/2.0 [18/09/06].

High KP, Legault C, Sinclair JA, Cruz J, Hill K, dan Hurd D. 2002. Low Plasma

Concentrations of Retinol and ∝-Tokopherol in Hematopoietic Stem Cell transplant Recipients: The Effect of Mucositis and The Risk of Infection. Am J Clin Nutr; 76:1358-66.

Hoa PT, Khan NC, Beusekom CV, Gross R, Conde Wl, dan Khoi HD. 2005. Milk

Fortified with Iron or Iron Supplementation to Improve Nutrition Status of Pregnant Women: An Intervention Trial from Rural Vietnam. Food and Nutrition Bulletin; 26(1):32-38.

Hodges RE. Sauberlich RE, Canham J.E. 1978. Haematopoietic studies in

Vitamin A Deficiency. Am J Clin Nutr, 31: 876-85. IDGR/IAC. 1996. Micronutrient Fortification of Foods; Current Practices,

Research, and Opportunities. The Micronutrient Initiative, International Agricultural Centre. Netherlands.

IFPRI, UNSSCN. 2000. The World Nutrition Situation: Nutrition Throughout the

Life Cycle. 4th Report P: 136 INACG. 2002. Anemia, Iron Deficiency, & Iron Deficiency Anemia. US.

America Jahari AB, Sandjaya, Sudiman, Soekirman, Juss’at, Latief, Atmarita. 2000. Status

Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis (Analisis Data Antropometri Susenas 1989-1999). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta.

Page 130: Kep

109

Jiang R, Ma J, Ascherio A, Stampfer MJ, Willett WC, dan Hu FB. 2004. Dietary Iron Intake and Blood Donations in Relation to Risk of Type 2 Diabetes in Men: A Prospective Cohort Study. Jiang et al. 2004. Am J Clin Nutr; 79:70-5.

Kang dan Matsuo 2004. Effects of 4 weeks Iron Supplementation on

Haematological and Immunological Status in Elite Female Soccer Players. Asia Pac J Clin Nutr; 13(4):353-358.

Kinoshita M, Pasatiempo AMG, Taylor CE, dan Ross AC. 1991. Immunological

Memory to Tetanus Toxoid is Established and Maintained In The Vitamin A-Depleted Rat. FASEB J 5: 2473-2481.

Kodyat, BA., Djokomoelyanto, D. Karyadi, Tarwotjo, Muhilal, Husaini, dan A.

Sukaton. 1991. Micronutrient Malnutrition Intervention Program An Indonesia Experience. Ministry of Health. Directorate General of Community Health. Directorate of Community nutrition.

Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Krishnan S, Bhuyan UN, Talwar GP, dan Ramalingaswami V. 1974. Effect of

Vitamin A and Protein-Calorie Undernutrition on Immune Responses. Immunol 27: 383-392.

Kunarti U. 2004. Pembentukan Titer Imunoglobulin G Difteri pada Anak Sekolah

(Studi Kasus di Kota Semarang). Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro semarang.

Kusmiyati DK dan Muis F. 2001. Pengaruh Gizi Terhadap Daya Tahan Tubuh.

Media Medika Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Vol 36:1.

Kuvibidila S.R, 1980. “Effect of Iron Deficiency Anemia on the Immune

Function” (Ph,D. thesis, Massachusetts Institute of Technology, Mass., USA).

Lartey A, Manu A, Brown KH, Peerson JM, Dewey KG. 1999. A randomized,

community based trial of the effect of improved, centrally proccessed complementary foods on growth and micronutrient status of Ghanaian infants from 6 to 12 mo of age. American Journal of Clinical Nutrition, 70: 391-404.

Lavasa S, Kumar L, Chakravarti RN, dan Kumar M. 1988. Early Humoral

Immune Response In Vitamin A Deficiency - An Experimental Study. Indian J exp Biol 26: 431-435.

Page 131: Kep

110

Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. UI. Press. Jakarta. Ma A, Chen X, Zheng M, Wang Y, Xu R, Li J. 2002. Iron Status and Dietary

Intake of Chinese Rregnant Women with Anaemia in the Third Trimester. 11(3): 171-175.

Mahalanabis et al. 2004 Randomized, Double-blind, Placebo-Controlled Clinical

Trial of The Efficacy of Treatment with Zinc or Vitamin A in Infants and Young Children with Severe Acute Respiratory Infection. Am J Clin Nutr; 79:430-6.

Malaba LC, Illif PJ, Nathoo KJ, Marinda E, Moulton LH, Zijenah LS, Zvandasara

P, Ward BJ, Zvitambo SG, dan Humphrey JH. 2005. Effect of Postpartum Maternal or Neonatal Vitamin A Supplementation on Infant Mortality among Infants Born to HIV-negatif Mothers in Zimbabwe. Am J Clin Nutr; 81:454-60.

Maqsood M, Dancheck B, Gamble MV, Palafox NA, Ricks MO, Briand K dan

Semba RD. 2004. Vitamin A deficiency and inflammatory markers among preschool children in the Republic of the Marshall Islands. Nutrition Journal, 3; 21:10.1186/1475-2891-3-21.

Magdei M, Melnic A, Benes O, Bukova V, Chicu V, Sohotski V. 2000.

Epidemiology and Control of Diptheria in the Republic of Moldova, 1946-1997. J Infect. Dis; 181 (suppl): S47-54.

Markina SS, Maksimova NM, Vitek CK, Bogatireva EY, Monisov AA. 2000.

Diptheria in the Russian Federation in the 1990s. J Infect. Dis; 181 (suppl): S27-34.

Martorrel R, 1995. Promoting Healthy Growth: Rational and Benefits. Dalam

Child Growth and Nutrition in Developing Countries. Andersen PP, Pelletier D, dan Alderman H. Cornell University Press. Ithaca and London.

Motarjemi Y, Kaferstein F, Moy G, dan Quevedo F. 1993. Contaminated

Weaning Food: a Major Risk Factor for Diarrhoea and Associated Malnutrition. WHO Bulletin OMS. Volume: 77: 79-92.

Muhilal, Murdiana A, Azis I, Saidin S, Jahari AB, Karyadi, D. 1988. Vitamin A

fortified monosodium glutamate and vitamin A status: A controlled field trial. American Journal of Clinical Nutrition 48: 1265-70.

Muhilal. 2001. The Consequences of Vitamin A Deficiency in Children. Gizi

Indonesia 25: 30-36.

Page 132: Kep

111

Natakusuma S. 1998. Strategi Fortifikasi Pangan. Makalah pada WKNPG VI tanggal 19 Februari. Jakarta: LIPI.

Nauss KM dan Newberne PM. 1985 Local and Regional Immune Function of

Vitamin A-Deficient Rats With Ocular Herpes Simplex Virus (HSV) Infections. J Nutr 115: 1316-1324.

Nauss KM. 1986. Influence of Vitamin A Status on The Immune System. In

Bauernfeind CJ, ed. Vitamin A Deficiency and its Control. NY: Academic Press, Inc., pp. 207-243.

Nekrassova LS, Chudnaya LM, Marievski VF, Oksiuk VG, Gladkaya E,

Bortnitska II. 2000. Epidemic Diphtheria in Ukraina. J Infect. Dis; 181 (suppl): S35-40.

Olson JA, 1991. Vitamin A. Di dalam: Machlin LJ, editor. Handbook of vitamin.

Ed ke-2. Dekker. Oppenheimer SJ. 2001. Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease.

Journal of Nutrition; 131:616S-635S Panth M, Shatrugna V, Yasodhara P, Sivakumar B. 1990. Effect of vitamin A

supplementation on haemoglobin and vitamin A levels during pregnancy. Brit. J. Nutr: 64; 2; 351-8.

Paracha PI, Jamil A, Northrop-Clewes CA, Thurnham DI. 2000. Interpretation of

Vitamin A Status in Apparently Healthy Pakistani Children by Using Markers of Subclinical Infection.. Am J Clin Nutr;72:1164-9.

Pasatiempo AMG, Kinoshita M, Taylor CE, dan Ross AC. 1990. Antibody

Production In Vitamin A-Depleted Rats Is Impaired After Immunization With Bacterial Polysaccharide or Protein Antigens. FASEB J 4: 2518-2527.

Pasatiempo AMG, Taylor CE, dan Ross AC. 1991. Vitamin A Status and The

Immune Response to Pneumococcal Polysaccharide: Effects of Age and Early Stages of Retinol Deficiency In The Rat. J Nutr 121: 556-562.

Phillips M dan Sanghvi TG. 1996. The Economic Analysis of Nutrition Projects:

Guiding Principle and Examples. HDD. World Bank. Ravaglia G, Forti P, Maioli F, Bastagli L, Facchini A, Mariani E, Savarino L,

Sassi Simonetta, Cucinotta D, dan Lenaz G. 2000. Effect of Micronutrien Status on Natural Killer Cell Immune Function in Healthy Free-living Subjects Aged ≥ 90 y. Am J Clin Nutr; 71:590-8.

Page 133: Kep

112

Rencana Aksi. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005. Pemerintah Republik Indonesia Bekerjasama dengan World Health Organization.

Riuwpassa F. 2005. Formulasi Biskuit Konsentrat Protein Ikan dan Probiotik

Sebagai Makanan Tambahan untuk Meningkatkan Antibodi IgA dan Pertumbuhan Anak Balita. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana. IPB.

Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Jurusan Gizi

Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor..

Robert AB, Sporn MB. 1984. Cellular Biology and Biochemistry of The

Retinoids. Dalam Sporn MB, Roberts AB, Goodman DS. Eds. The Retinoids, Vol.2 Orlando, FL: Academic Press, Inc., pp. 209-286.

Roedjito D. 1989. Kajian Penelitian Gizi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Roitt IM. 1991. Essential Immunology. Blackwell Scientific Publication. Oxford Ross AC. 1992. Vitamin A Status: Relationship to Immunity and The Antibody

Response. Proc Soc Exp Biol Med 200: 303-330. Ross AC dan Hammerling U G. 1994. Retinoids and The Immune System. Dalam

Sporn MB, Roberts AB, Goodman DS. The Retinoids: Biology, Chemistry, and Medicine. 2ed ed. Raven Press. New York.

Sanjur D. 1997. Assessing Food Consumption-Selected Issues in Data Collection

and Analysis. Cornell University.

Sari M, Bloem MW, Pee SD, Schultink WJ, Sastroamidjojo S. (2001). Effect of Iron Fortified Candies on the Iron Status of Children Aged 4-6 y in East Jakarta, Indonesia. Am. J. Clin. Nutr. 73:1034-1039.

Sastroasmoro S dan Ismail S. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed

2. CV. Sagung Seto. Jakarta

Scrimshaw NS, Taylor CE, Gordon JE. 1968. Interactions of Nutrition and Infection. Geneva: WHO

Semba RD, Muhilal , West KP Jr, Natadisastra G, Eisinger W, Lan Y, Sommer A.

2000. Hyporetinolemia and Acute Phase Proteins in Children with and without Xerophthalmia. Am J Clin Nutr; 72:146-53

Semba RD, Muhilal, Scott AL, Natadisastra G, Wirasasmita S, Mele L, Ridwan E,

West KP, dan Sommer A. 1992. Depressed Immune Response to Tetanus in Children with Vitamin A Deficiency. J. Nutr. 122: 101-107

Page 134: Kep

113

Semba RD. 1994. Vitamin A, Immunity, and Infection. Clin Infect Dis.; 19:489-499.

. 1998. The Role of Vitamin A and Related Retinoids in Immune

Function. Nuitrition Reviews; 56(1):S38-S48. .2002 Vitamin A, infection, and immune function.

In Nutrition and Immune Function. Edited by: Calder PC, Field CJ, Gill HS. CABI. Publishing, New York NY :151-169

Semba RD, Bloem MW. 2002. The anemia of vitamin A deficiency:

epidemiology and pathogenesis. Eur J Clin Nutr, 56:271-281. Seshadri S, Gopaldas T (1989) Impact of iron supplementation on cognitive

functions in preschool and school-aged children: the Indian experience. American Journal of Clinical Nutrition 50: 675-686.

Setiawan MS, Almusa D, dan Prijanto M. 1993. Kadar Antibodi Bayi yang

Mendapat Imunisasi Difteri, Pertusis, dan Tetanus di RSCM. Puskesmas dan Posyandu Bulletin Penelitian Kesehatan, 21(2):40-52.

Sharma JB, Jain S, Mallika V, Singh T, Kumar A, Arora R, Murthy N. 2004. A

Prospective, Partially Randomized Study of Pregnancy outcomes and Hematologic responses to oral and Intramuscular Iron Treatment in Moderately Anemic Pregnant Women. Am J Clin Nutr; 79:116-22.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan masyarakat.

Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Solon FS, Klemm RDW, Sanches L, Darnton-Hill I, Craft NE, Christian P, dan

West KP. 2000. Efficacy of Vitamin A-Fortified Wheat Flour Bun on The Vitamin A status of Filipino Schoolchildren. Am Soc Clin Nutr; 72; 3:738-44

Sommer A, Tarwotjo Ig, Muhilal, Djunaedi E, dan Glover J. 1980. Oral Versus

Intramuscular Vitamin A in The Treatment of Xeropthalmia. The Lancet. 3 : 557-560.

Sommer A. 1982. Field Guide to the Detection and Control of Xerophthalmia. Ed. World Health Organization. World Health Organization. Geneva.

Spears, Cheney C, dan Zerzan J. 2004. Low Plasma Retinol Concentrations

Increase The Risk of Developing Bronchopulmonary Dysplasia and Long-term respiratory Disability in Very- low-birth-weight Infants. Am J Clin Nutr; 80:1589-94.

Page 135: Kep

114

Staab DB, Hodges RE, Metkalf W, Smith JL. 1984. Relationship Between Vitamin A and Iron in Liver. J. Nutr. 114: 840-4

Stipanuk M. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Saunders Company. New York.

Stuijvenberg M E, Kvalsvig JD, Faber M, Kruger M, Kenoyer DG dan Benadé AJS. 1999. Effect of Iron-, Iodine-, and ß-carotene–fortified Biscuits on the Micronutrient Status of Primary School Children: A Randomized Controlled Trial. American Society for Clinical Nutrition: 69, No. 3, 497-503. http://www.ajcn.org/cgi/content/full/69/3/497 [29/01/07]

Suhardjo dan Riyadi H. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Peranian Bogor.

Suharno D, West CE, Muhilal, Karyadi D, Hautvast JGAJ. 1993. Supplementation

with Vitamin A and Iron for Nutritional Anaemia in Pregnant Women in West Java, Indonesia. Lancet; 342:1325-1328.

Sulabha, V. 1999. Anaemia and Pregnancy. IJM Diet & Nutrition. Nov-Dec

1999.26(6).p 25-29. http://www.Hsph.Harvard.edu/Organizations/health net/Sasia/forums/ Nutrition/S015.HTML-13k.[12/05/05]

Sunaryo ES. 2004. Pengaruh Pemberian L-Glutamin pada MPASI Pemulih

terhadap Mutu Protein, Profil Imunitas Seluler dan Pertumbuhan Bayi 6 Bulan yang Mengalami Berat Badan kurang. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.

Supariasa IDN, Bachtiar B, dan Ibnu F. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Surono IS. 2004. Probiotik. Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI. Jakarta. Suskind R. 1984. The Immune Response In The Malnourished Child. In Watson

RR. Ed. Nutrition, Disease Resistance and Immune Function. NY: Marcel Dekkar, Inc., pp. 149-163.

Suyitno H. 1985. Pengamatan Vaksinasi dalam Hubungannya dengan Berbagai

Tingkat Gizi. Depdikbud Dirjen Dikti. Direktorat Pembinaan Pene litian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Jakarta.

Terlouw DJ, Desai MR, Wannemuehler KA, Kariuki SK, Pfeiffer CM, Kager PA,

Shi YPKuile FO. 2004. Relation Between The Response to Iron Supplementation and Sickle Cell Hemoglobin Phenetype in Preshool Children in Western Kenya.. Am J Clin Nutr ;79:466-72.

Page 136: Kep

115

Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.

Tomkins A dan Watson F. 1993. Malnutrition and Infection. A Review.

Discussion by NS Scrimshaw. ACC/SCN Thibault H, Galan P, Selz F, et al. 1993. The Immune Response in Iron Deficient

Young Children: Effect of Iron Supplementation on Cell-Mediated Immunity. Eur J Pediatr; 152: 120-4.

Thurnham DI, McCabe GP, Northrop-Clewes CA, Nestel P.2003. Effects of

subclinical infection on plasma retinol concentrations and assessment of prevalence of vitamin A deficiency: meta-analysis. The Lancet, 362:2052-2058.

Thurnham DI, Smith E, dan Flora PS. 1988. Extraction Method for Soluble

Vitamins in Serum/Plasma Samples and Controls. Clinical Chemistry; 34(2):377-381.

Trihendradi C. 2005. Step by Step SPSS 13 Analisis Data Statistik. Andi

Yogyakarta. Underwood BA. 1984. Vitamin A in animal and human nutrition. Dalam Sporn

MB, Roberts AB, Goodman DS. eds. The Retinoids, Vol. 2. Orlando: Academic Press Inc., pp. 281-392.

UNICEF. 1990. Strategy for Improve Nutrition of Children and Women in

Developing Countries. New York. Unicef. Valentine S dan Tanumihardjo SA. 2005. One-time Vitamin A Supplementation

of Lactating Sows Enhances Hepatic Retinol in their Offspring Independent of Dose Size. Am J Clin Nutr; 81:427-33.

Villamor E, Msamanga G, Spiegelman D, Antelman G, Peterson KE, Hunter DJ,

dan Fawzi WW. 2002. Effect of Multivitamin and Vitamin A Supplements on Weight Gain During Pregnancy Among HIV-1-Infected Women. Am J Clin Nutr; 76:1082-90.

Villamor E dan Fawzi WW. 2005. Effects of Vitamin A Supplementation on

Immune Responses and Correlation with Clinical Outcomes Clinical. American Society for Microbiology, Vol. 18, No. 3, p. 446-464.

[WHO] World Health Organization. 1982. WHO Technical Report Series.

Geneva.

Page 137: Kep

116

[WHO] World Health Organization. 1983. Measuring Change in Nutritional Status. Geneva.

[WHO] World Health Organization. 1994. Antropometrics Measuerements.

WHO. Geneva. [WHO] World Health Organization. 1996. Indicators for assessing vitamin A

deficiency and their application in monitoring and evaluating intervention programmes. WHO/ NUT/96.10. Geneva.

Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, dan Tauffani TB. 2003. Diktat

Imunologi. Lab Imunologi Dept Kitwan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Wiedermann U, Hanson LA, Kahu H, Dahlgren UI.1993. Aberrant T-Cell

Functional in Vitro and Impaired T-Cell Dependent Antibody Respons in Vivo in Vitamin A Deficient Rats. Immunol; 80:581-86.

Williams L dan Wilkins. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease. Tenth

Edition. A Wolker Kluwer Company. New York. Winarno FG. 1995. Makanan Bayi dan Anak. PT Gramedia. Jakarta. World Bank. 1994. Enriching Lives: Overcoming Vitamin and Mineral

Malnutrition in Developing Countries. Washington D.C.

Page 138: Kep

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Darah

1. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin

a. Metode : Drabkins

b. Prinsip kerja : Hemoglobin oleh K3Fe(CN)6 dan KCN akan diubah menjadi

methemoglobin sianida (HiCN). Penambahan KH2PO4 untuk

mengatur pH larutan. Penambahan non ionic detergen untuk

mempercepat lisis eritrosit dan mengurangi kekeruhan HiCN.

c. Alat-alat : Spektrofotometer, Blood lancet/spuilt, disposibel, torniquet,

tabung reaksi, kapas, pipet sahli, dan pipet volumetrik 5 ml

d. Bahan : Sampel berupa darah EDTA atau darah kapiler reagent drabkins

dan alkohol 70%

e. Cara kerja

1. Ke dalam tabung kolorimeter dimasukkan 5,0 ml larutan Drabkins.

2. Dengan pipet hemoglobin diambil 20 ul darah (kapiler, EDTA atau oxalat),

sebelah luar ujung pipet dibersihkan, lalu darah itu dimasukkan ke dalam

tabung kolorimeter dengan membilasnya beberapa kali

3. Campurlah isi tabung dengan membalikkannya beberapa kali sehingga

hemoglobin berubah menjadi sianmethemoglobin

4. Baca dalam spektrofotometer pada gelombang 540 nm; sebagai blanko

digunakan larutan Drabkins

5. Kadar hemoglobin ditentukan dari perbandingan absorbansinya dengan

absorbansi standar sianmethemoglobin atau dibaca dari kurva tera.

f. Nilai Rujukan : 11-16 g/dl

Page 139: Kep

118

2. Pemeriksaan Kadar Ferritin Serum

a. Metode : IRMA (Immunometric Assay)

b. Prinsip : Adanya ferritin dalam contoh maupun standar merupakan suatu

antigen yang dapat bereaksi dengan antiserum dari antibodi dengan

membentuk reaksi antigen antibodi (Ag-Ab) dengan

menambahkan antigen perunut (125I Ferritin) akan terjadi reaksi

kompetisi dan membentuk ikatan Ag-Ab yang dibebaskan yang

berarti kadar ferritin dalam darah dapat ditentukan

c.Alat-alat : Gamma counter, rack shaker, spuilt disposible 5ml, tabung

sentrifuse, sentrifuse, mikropipet (10 ul, 100 ul, dan 200 ul),

dispenser

d. Bahan : Serum, ferritin assay buffer, buffer wash solution

e. Cara kerja :

1. Sediakan tabung ferritin Ab-coated yang berlabel A dan B untuk sampel

2. Masukn 10 ul serum pada tabung

3. Tambahkn 200 ul buffer ferritin dan dkocok pada rak pengocok selama 30

menit

4. Dekantasi secara menyeluruh dan tambahkan 2 ml buffer wash solution dan

tunggu 1-2 menit

5. Dekantasikan kembali secara menyeluruh dan biarkan selama 2-3 menit

6. Tambahkan 100 ul radioaktif ferritin (125I Ferritin –Ab) pada semua tabung

7. Homogenkan selama 30 menit pada rack shaker

8. Dekantasi secara menyeluruh, kemudian tambahkan 2 ml buffer was solution

dan tunggu 1-2 menit

9. Dekantasi secara menyeluruh dan tambahkan 2 ml buffer wash solution

kembali dan tunggu selama 1-2 menit dan dekantasikan secara menyeluruh

10. Dekantasikan kembali dan biarkan selama 2-3 menit.

11. Hitung dengan menggunakan Gamma counter

f. Nilai Rujukan : 5-143 ug/ml

Page 140: Kep

119

3. Pemeriksaan Kadar Retinol Serum

a. Metode : Ekstraksi (Concurrent Liquid-Chromatographic Assay of Retinol)

b. Bahan : serum, sodium dodecyl sulphate (SDS), alkohol, Butylated

hydroxytoluene (BHT)

c. Prosedur :

1. Masukkan 100 µL serum plasma dan tambahkan 100 µL SDS dan campur

sampai homogen

2. Tambahkan internal standar sebanyak 200 µL dan campur beberapa sampel

dalam tabung tertutup pada mixer vortex selama 1 menit

3. Tambahkan 1000 µL heptane yang mengandung 0,5 g/L BHT

4. Campur secara merata dalam tabung tertutup pada mixer vortex 3 menit

5. Senrifuse selama 10 menit pada 1000 rpm (2500 x g) pada suhu 100C

6. Pindahkan 700 µL pada tabung ukuran 100 x 17mm dari lapisan heptane paling

atas dan keringkan dengan dialiri cairan nitrogen pada suhu 400C

7. Setelah semuanya kering, susun kembali dengan fase aktif 100 µL yang

mengandung 0,01 g/L BHT

8. Campur dalam mixer vortex selama 15 detik

9. Masukkan sampel dalam botol kecil yang hampa udara dan tempatkan

sampling dalam korosel untuk dianalisis

10. Analisis selama 24 jam dan simpan dalam ruang gelap pada suhu 40C sampai

semua sampel siap dianalisis

11. Masukkan dalam HPLC dengan cara diinjeksikan sampel secara terpisah

sebanyak 50 µL dengan fase aktif 100 x 4,6 mm yang mengandung 0,01 g/L

BHT pada kolom cartridge 3 µL secara urut.

12. Deteksi retinol pada program monitor 325 nm dan 292 nm dan baca output

data kromatografi.

Page 141: Kep

120

4. Pemeriksaan Kadar Imunoglobulin G (IgG)

a. Metode : ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

b. Prinsip : Pengujian kadar IgG dengan menggunakan format mikrowell

c. Bahan : Anti-human IgG, IgG Standar, TMB, IgG speciment diluent,

Reagen asam sulfur terminasi (0,5N), wash buffer

d. Pengenceran : Masing-masing serum diencerkan dengan BPS (1:10.000)

kemudian diencerkan lagi dengan IgG (1:10)

e. Prosedur :

1. Semua reagen disimpan dalam suhu ruang sebelum digunakan

2. Masukkan 100 uL serum dalam masing-masing mikrowell

3. Inkubasi pada suhu ruangan selama 45 menit

4. Tuang dan bilas masing-masing mikrowell sebanyak 4 kali dengan wash

buffer dan reagen grade dengan perbandingan (1:15)

5. Inkubasi kembali pada suhu ruangan selama 45 menit

6. Tuang dan bilas masing-masing mikrowell sebanyak 4 kali dengan wash

buffer dan reagen grade dengan perbandingan (1:15)

7. Tambahkan 100 uL TMB dan inkubasi pada suhu ruang selama 15 menit

8. Terakhir reaksikan dengan 100uL dari 0,5 N asam sulfur

9. Baca dalam mikrowell reader pada gelombang 450 nm

Page 142: Kep

121

Lampiran 2. Daftar Makanan yang Dikonsumsi Anak Balita

No Kode Pangan Jenis Pangan Berat (Gram)

A. Kelompok Makanan Pokok 1 2 Nasi putih 50 2 585 Nasi uduk 200 3 583 Nasi goreng 100 4 534 Bubur ayam 50 5 583 Mie goreng 80 6 790 Mie goreng 20 7 54 Roti 30

B. Kelompok Lauk-pauk 8 615 tempe goreng 20 9 616 oreg tempe 25

10 614 tahu goreng 30 11 616 Tempe sayur 30 12 593 Oncom Merah Goreng Tepung 30 13 591 Oncom Hitam Goreng Tepung 20 14 594 Tumis Oncom Merah 30 15 592 Goreng Oncom Merah 30 16 677 Perkedel 20 17 634 ayam goreng 20 18 194 telur dadar 30 19 193 telur ceplok 50 20 221 Teri 10 21 242 ikan tongkol 25 22 241 ikan cue 25 23 216 japuh ikan asin 25 24 223 emas ikan goreng 50 25 639 mujaer goreng 30 26 160 Abon 5

C. Kelompok Sayur

27 693 sayur sup 50 28 274 sayur bayam 20 29 340 tumis kangkung 20 30 694 asam sayur 30 31 533 Bakso 20 32 129 Jengkol 10 33 349 Ketimun 50 34 547 gado-gado 50

Page 143: Kep

122

D. Kelompok Makanan Kecil 35 739 Tango 17 36 737 Biskuit warung 19 37 699 Chiki 18 38 697 Chitato 10 39 698 Chitos 18 40 601 Permen 10 41 574 mie remes 15 42 554 Sukro 17 43 46 Krupuk 10 44 543 es mambo 20 45 88 kacang bogor, rebus 25 46 587 agar-agar 5 47 577 Lopis 60 48 523 top coklat 15 49 46 kerupuk udang 25 50 528 Buras 70 51 523 Coklat 15 52 607 Siomay 50 53 532 Bakwan 50 54 549 ketan goreng 50 55 600 pisang goreng 50

E. Kelompok Buah

56 437 Mangga 100 57 452 pisang oli 50 58 446 Pepaya 50

F. Lain- lain

59 123 Kecap 15 60 471 Susu 20 61 519 The 50 62 473 kopi susu 100

Page 144: Kep

123

Lampiran 3. Photo-photo Kegiatan Penelitian

(a) (b)

Photo 1. (a) Peneliti dan (b) Enumerator Mewawancarai Ibu Balita Untuk Penyeleksian Contoh

(a) (b)

Photo 2. (a) Peneliti dan (b) Enumerator Melakukan Recall Konsumsi Pangan terhadap Ibu Balita

Page 145: Kep

124

(a) (b) Photo 3. (a) Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan (b) Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

Mensosialisasikan Biskuit Fortifikasi kepada Kader Posyandu di Kecamatan Dramaga

(a) (b) Photo 4. (a) Sosialisasi Biskuit dan (b) Perserta Sosialisasi Biskuit di Wilayah

Kecamatan Dramaga.

(a) (b) Photo 5. (a) dan (b) Pendistribusian Biskuit Fortifikasi dan non Fortifikasi di

Pusatkan di Balai Desa Petir Kecamatan Dramaga

Page 146: Kep

125

(a) (b) Photo 6. (a) Penimbangan Anak Balita Contoh (berani ditimbang sendiri) dan (b) Ditimbang dengan Digendong Ibunya (tidak berani ditimbang sendiri)

(a) (b) Photo 7. (a) dan (b) Pengukuran Tinggi Badan Anak Balita Contoh

(a) (b)

Photo 8. (a) Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan (b) Bapak Lurah Meninjau Kegiatan Penelitian pada saat Pengambilan Sampel Darah Anak Balita

Page 147: Kep

126

(a) (b) Photo 9. (a) dr. Deasy dan (b) dr. Egy Memeriksa Kesehatan Anak Balita sebelum

Pengambilan Sampel Darah dan Pemberian Booster DPT.

(a) (b) Photo 10. (a) dan (b) Pengambilan Sampel Darah Anak Balita oleh Tenaga Medis

(a) (b)

Photo 11. (a) Bidan Nike dan (b) Bidan Nunik Memberikan Booster DPT kepada Anak Balita

Page 148: Kep

127

(a) (b) Photo 12. (a) Contoh Alat Sentrifuse untuk Mendapatkan Serum (b) Tenaga Medis

Menganalisis Sampel Darah Anak Balita

(a) (b) Photo 13. (a) Pemusingan Sampel Darah Anak untuk Mendapatkan Serum

(b) Serum siap Dianalisis

Photo 14. HPLC, Alat dan Bahan untuk Menganalisis Vitamin A

Page 149: Kep

128

(a) (b) Photo 15. (a) Bahan dan (b) Peralatan untuk Menganalisis Imonoglobulin G

(a) (b) Photo 16. (a) Serum yang akan Dianalisis Imonoglobulin G-nya (b) Bahan-bahan

(enzim) yang Digunakan untuk Analisis Imonoglobulin G

(a) (b) Photo 17. (a) Peneliti dan (b) Analis sedang Menganalisis IgG Total di Laboratorium

Makmal Terpadu FKUI