kementerian euangan - · pdf filecita-cita bangsa dan menjadi penggerak ekonomi yang ......

420
1 Kementerian Keuangan

Upload: lytram

Post on 12-Feb-2018

538 views

Category:

Documents


37 download

TRANSCRIPT

1Kem

enterian Keuangan

2Ka

rena

Kita

Gar

da

3Kem

enterian Keuangan

“Jangan pernah lelah mencintai negeri ini”

— Sri Mulyani Indrawati

4Ka

rena

Kita

Gar

da

Tim PengarahHadiyanto

Tim PelaksanaKetua/Penanggung Jawab: Dini Kusumawati Wakil Ketua: Arief WibisonoSekretaris: Didit Hidayat

Kontributor:

Sarwa Edi, Paulus Hatigoran Pangaribuan, Untung Setyo Margono, Hiras Nomensen Pangaribuan, Teguh Iman Subagyo, Yanuar Calliandra, M. Mutfi Arkan, Puguh Hermawan, Hadi Nursahid, Hisyam Haikal, Diana Rulita, Muhith Afif Syam Harahap, Eva Maulina Aritonang, Yelly Metasari, Syahrial Saputra, Dina Amalia, Lenni Ika Wahyudiasti, Gustin Tjindarwasih, Pandu Rizky Fauzi, Muhammad Ulil Albab, Anggun Wibowo, Boru Sion, Niko Prastiya, Tang Dewi Sumawati, Casman, RM. Agus Ekawidjaja, Nurul Aini, Herliana W., Muslikhudin, Joko Susanto, Kawas Rolant Tarigan, Galih Shaha Dewa, Amalia Hanif, Hendy S. Yudhiyanto, Raymond Jackson Effendy, Rini Ariviani, Ferdha Hermanto, Dody Dharma Hutabarat, Sujarwo Adi, Fajar Sidik, Vina Eriyandi, Sigid Mulyadi, Ar Rizqiyatul Barokah, Margono Dwi Susilo

Editor:

Arief Wibisono, Wardjianto, Didit Hidayat, Endi Hazar, Candra Riasari, Agus Darmawan, Wisnandari Dwijowati, Alda Horison, Esti Dwi Apriliana, Alek Setiyawan, Sri Putri Siregar, Sofi Dinda Permata Sari, Dwi Retno, Eva Maulina Aritonang, Ogi Boi S. Sitohang, Sigid Mulyadi, Novri H.S. Tanjung, Aditya Rahmat, Indriani Natasya, Dhani Kurniawan, Hantony Muharman, Dwi Koriyanto, Noer Anggraeni, Hisyam Haikal, Rudy Novianto, Prama Wiratama, Cucu Pujasetia, Alijon Adit, Diniafini Saputri Siregar, Arif Musafa

Desain Cover dan Layout:

Wardah Adina, Alek Setiyawan

ISBN 978-602-71971-6-9

Tim Penyusun

5Kem

enterian Keuangan

Karena Kita Garda

Kisah Inspiratif Gerakan Nasional Revolusi Mental & Budaya Kerja Kementerian Keuangan RI

6Ka

rena

Kita

Gar

da

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam sejahtera untuk kita semua.

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada Kementerian Keuangan sehingga dapat terus menjalankan amanah membantu Presiden dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengelolaan dan menjaga keuangan negara.

Dengan posisi strategis dalam rangka ikut mewujudkan cita-cita bangsa dan menjadi penggerak ekonomi yang menjadi tulang punggung pembangunan bangsa, diperlukan komitmen para pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan dalam memegang dan menjaga nilai, memiliki integritas dengan iktikad menjaga profesionalisme, mampu bekerja secara sinergis, memiliki jiwa pelayan, dan selalu berikhtiar menuju kesempurnaan. Oleh karena itu, Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang diinstruksikan oleh Presiden Republik Indonesia serta budaya kerja menjadi sesuatu yang esensial.

Buku “Karena Kita Garda: Kisah Inspiratif Gerakan

Nasional Revolusi Mental dan Budaya Kerja

Kementerian Keuangan Republik Indonesia” ini disusun dari cerita dan contoh nyata perilaku jajaran Kementerian Keuangan dalam menjalankan tugasnya yang selalu dihadapkan pada berbagai tantangan, godaan, dan kesempatan. Petikan-petikan cerita ini diharapkan dapat dijadikan sebagai inspirasi bersikap dan berperilaku bagi seluruh pejabat/pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari di unit kerja masing-masing, sehingga pada akhirnya akan tertanam dan menjadi perilaku khas pejabat/pegawai Kementerian

Sambutan Menteri Keuangan

7Kem

enterian Keuangan

Keuangan dalam rangka mendukung pencapaian visi Kementerian Keuangan, menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif di abad ke-21.

Saya mengharapkan seluruh pejabat/pegawai Kementerian Keuangan membaca, memahami, menumbuhkan, dan mempraktikkan GNRM dan budaya kerja Kementerian Keuangan dengan sungguh-sungguh. Sebuah organisasi hanya dapat mencapai tujuannya sesuai visinya apabila ada kerja sama yang solid dan kontribusi yang penuh dari seluruh anggota organisasi. Demikian pula bagi Kementerian Keuangan. Setiap pejabat/pegawai Kementerian Keuangan merupakan aset berharga organisasi yang memberikan value added dan kontribusi yang berdampak pada pencapaian tujuan organisasi sesuai visinya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada seluruh penulis, editor, dan tim kerja yang telah berhasil menyusun buku ini. Diharapkan dengan adanya buku ini akan menjadi energi positif untuk terus berkarya bagi seluruh pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

8Ka

rena

Kita

Gar

da

Daftar Isi

12 Gerakan Nasional Revolusi Mental Menanam Nilai, Menyemai Budaya

16 Nilai-Nilai Kementerian Keuangan

26 Good Governance Aparatur Sipil Negara

28 Budaya Organisasi Budaya Kerja

30 Visi dan Misi Kementerian Keuangan

9Kem

enterian Keuangan

32 Integritas Tanpa Batas

40 Kami Adalah Fiskus, Bukan Gayus

46 Pilihan Hidup Berintegritas Adalah Jalan Kebahagiaan

53 Bukan Suatu Kebetulan

64 Terminal Tas

78 . . . . . .

84 Almost Dead Seorang PNS (Diselamatkan Balok Kayu Utusan Tuhan)

115 Amplop Cokelat

122 Catatan Kecil Reformasi Birokrasi

127 Maka Berutanglah Kita kepada Rakyat

133 Bakti Seorang Pramubakti

137 Snack Mas Herjuno

142 Profesional Is Me

148 Antara Kasihan, Empati, dan Tugas Negara

150 Yes, I Do

166 Tapal Batas Profesionalisme

172 Tantangan, Pengalaman, dan Keikhlasan

179 Karena Bukan Sekadar Pintar

188 Gelombang Laut Selatan, Siapa Takut?!

194 Melancarkan Kembali Arus Kontainer Ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok dengan IT Knowledge

200 Mencari Nilai dari Tumpukan Sampah Musim Dingin 2016

212 Hikmah Sebuah Pengorbanan

216 Pengabdian yang Indah

224 Ayahku Auditor, Ayahku Pahlawan

228 BekerDJA dalam Senyap

236 Success Story

240 . . . . . . . . . . . . . . .

244 Konsultasi dan Rasionalisasi

10Ka

rena

Kita

Gar

da

250 Sinergi Itu Memuda(h)kan

254 Indahnya Kebersamaan

259 Belajar pada Pemeriksa Pajak

273 Belajar Menjadi Pemenang

282 Yes, Sir, I’m Casman, Member of

Cast

290 Sepenggal Mozaik Pangkalan Sarana Operasi Pantoloan

296 Kebanggaan Jadi Bagian dari Kementerian Keuangan

299 Senyum Pengobat Lelah

302 Ledakan “Bom Atom” di Penghujung Tahun

319 Perkenalkan… Namaku Alika

322 1 + 1 = 27

11Kem

enterian Keuangan

376 Sempurnakan dengan Inovasi

380 Lahirnya Digital Signature

384 Perjuangan Jurusita Pajak Negara

390 Gaungnya Berhenti di Pagar Kantor

394 Telah Kusampaikan Pesanmu, Fakhri

400 Sejarah Layanan Setoran Penerimaan Negara

410 Ada Awan yang Lebih Tinggi

414 Hidup Terhormat Tidak Harus Menjadi Pemenang

326 Nafasku Melayani

330 Ditagih Malah Berterima Kasih

334 Bapak Loket 3

339 Sebuah Hati yang Sabar untuk Desa Mirit

347 Mari Tersenyum

349 Senyum dan Sapa dalam Dunia Kerja

353 Idealisme dalam Sebuah Kamera

358 Pengabdian di Ujung Peluru

364 Di Pintu Masuk Kubawa Harapanku

367 Hal Kecil untuk Mimpi yang Besar

370 Bapak Berseragam Biru

12Ka

rena

Kita

Gar

da

Dalam konteks Indonesia, istilah Revolusi Mental pertama kali dicetuskan oleh Presiden RI yang pertama yaitu Soekarno dalam pidato kenegaraan memperingati proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1957. Gagasan Revolusi Mental ini kemudian pada tahun 2014 digaungkan kembali oleh Presiden RI yang ketujuh, Joko Widodo. Presiden Joko Widodo menyerukan untuk memulai sebuah Gerakan Nasional Revolusi Mental untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.

Kita sudah terlalu lama membiarkan praktik-praktik dalam berbangsa dan bernegara dilakukan dengan cara-cara tidak jujur, tidak memegang etika dan moral, tidak bertanggung jawab, tidak dapat diandalkan, dan tidak bisa dipercaya. Dengan kata lain sebagai bangsa kita kehilangan nilai-nilai integritas.

Dalam bidang perekonomian kita tertinggal jauh dari negara-negara lain karena kita kehilangan etos kerja keras, daya juang, daya saing, semangat mandiri, kreativitas, dan semangat inovatif. Sebagai bangsa, kita krisis identitas. Karakter kuat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai semangat gotong-royong, saling bekerjasama demi kemajuan bangsa, meluntur. Kita harus mengembalikan karakter Bangsa Indonesia ke watak luhurnya, yaitu Gotong Royong.

Gerakan Nasional Revolusi Mental merupakan aksi nyata seluruh komponen bangsa dengan bersendikan tiga pilar sebagai tiga nilai utama, yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong. Integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang

Gerakan Nasional Revolusi MentalMenanam Nilai, Menyemai Budaya

13Kem

enterian Keuangan

diperbuat, berkata dan berlaku jujur, dapat dipercaya, berpegang teguh dengan prinsip-prinsip kebenaran, moral, dan etika. Etos kerja dapat diartikan sebagai sebuah sikap yang berorientasi pada hasil yang terbaik, semangat tinggi dalam bersaing, optimis, dan selalu mencari cara-cara yang produktif dan inovatif. Gotong-royong dapat diartikan sebagai sebuah keyakinan mengenai pentingnya melakukan kegiatan secara bersama-sama dan bersifat sukarela supaya kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan cepat, efektif, dan efisien.

Kementerian Keuangan sebagai jajaran birokrasi yang melayani, memiliki values yang diluncurkan pada tanggal 29 Juli 2011 oleh Menteri Keuangan pada saat Rapat Kerja Kemenkeu yang dihadiri oleh seluruh pejabat eselon I dan II yang selaras dengan nilai utama Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan.

Integritas memiliki makna berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral, dengan perilaku utama meliputi bersikap jujur, tulus, dan dapat dipercaya, serta menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal tercela. Profesionalisme memiliki makna bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Perilaku utama dari nilai profesionalisme adalah mempunyai keahlian dan pengetahuan yang luas serta bekerja dengan hati. Sinergi memiliki makna membangun dan memastikan hubungan kerja sama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan untuk

14Ka

rena

Kita

Gar

da

menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas, dengan perilaku utama yaitu memiliki sangka baik, saling percaya, dan menghormati, serta menemukan dan melaksanakan solusi terbaik. Adapun pelayanan memiliki makna memberikan pelayanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat, dan aman, dengan perilaku utama yaitu melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan dan bersikap proaktif dan cepat tanggap. Kesempurnaan memiliki makna senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik, dengan perilaku utama yaitu melakukan perbaikan terus-menerus serta mengembangkan inovasi dan kreativitas.

Setelah mencanangkan nilai-nilai Kementerian Keuangan, ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 127/KMK.01/2013 tentang Pencanganan Program Budaya di Lingkungan Kementerian Keuangan, yang meliputi:a. satu informasi setiap hari;b. dua menit sebelum jadual;c. tiga salam setiap hari;d. rencanakan, kerjakan, monitor, dan tindaklanjuti; dane. ringkas, rapi, resik, rawat, rajin.

15Kem

enterian Keuangan

Aksi nyata etos kerja Kementerian Keuangan pada Revolusi Mental diaplikasikan dalam lima program yaitu sebagai berikut. 1. Indonesia melayani, melalui peningkatan layanan

kepada stakeholders melalui layanan berbasis elektronik, pelaksanaan penilaian kinerja dan inovasi Kantor Wilayah/Kantor Pelayanan yang dilaksanakan rutin setiap tahun.

2. Indonesia bersih, melalui perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan Kementerian Keuangan, program penghijauan dan penanaman pohon di lingkungan Kementerian Keuangan.

3. Indonesia tertib, melalui peningkatan perilaku tertib penggunaan ruang publik, peningkatan sinergi penyediaan sarana dan prasarana penunjang perilaku tertib (mesin absen, mesin antrean pada Kantor Pelayanan), penerbitan laporan bulanan ketertiban pegawai.

4. Indonesia mandiri, melalui peningkatan peran koperasi yang dikelola oleh pejabat/pegawai Kementerian Keuangan, gerakan efisiensi, penyusunan buku budaya kerja Kementerian Keuangan;

5. Indonesia bersatu, melalui program Kemenkeu Mengajar, penguatan values, dan perilaku utama Kementerian Keuangan.

16Ka

rena

Kita

Gar

da

28-29 Juli 2011 2011 – 2012

Merumuskan Nilai-Nilai & Perilaku Utama Kementerian Keuangan

Membangun Komitmen

Sosialisasi dan Internalisasi Nilai-Nilai & Perilaku Utama Kementerian Keuangan

Membangun Guiding Team (Change Leader /

Change Champion/

Change Agent)

Penyelarasan & implementasi sistem organisasi & SDM

Develop toChange Attitude — Hearts & Minds

Menurut G. Everest, nilai-nilai manusia digolongkan menjadi 8 kelompok yang meliputi nilai-nilai ekonomis, nilai-nilai kejasmanian, nilai-nilai hiburan, nilai-nilai sosial, nilai-nilai watak, nilai-nilai estetika, nilai-nilai intelektual, dan nilai-nilai keagamaan. Manusia hidup dikelilingi oleh nilai dan akan selalu menemui penggunaan nilai dalam seumur hidupnya. Nilai-nilai ini pada akhirnya menjadi sebuah norma yang harus diikuti manusia agar dapat diterima oleh masyarakat.

Nilai-Nilai Kementerian Keuangan

Perjalanan Perubahan Budaya Kemenkeu

17Kem

enterian Keuangan

2013 - 2016

Internalisasi, Implementasi & Eksternalisasi

Efektivitas peran jajaran pimpinan & Guiding Team

Perumusan dan Implementasi Program Budaya (KMK 127/KMK.01/2013)

Implementasi program monitoring & evaluasi

Inspire to Affect Behavior

Kontinuitas penyelarasan & implementasi sistem organisasi & SDM

Implementasi melalui program learning &

development

18Ka

rena

Kita

Gar

da

Perumusan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan pada tanggal 27 s.d. 28 Juli 2011 dihadiri oleh Menteri Keuangan, Pejabat Eselon I, dan Pejabat Eselon II terpilih sejumlah 74 orang, dengan dibantu oleh Konsultan Independen.

Proses perumusan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan didasarkan pada praktik nyata yang ada di lapangan melalui proses penggalian, identifikasi, dan formulasi.

Kementerian Keuangan mengembangkan nilai-nilai Kementerian Keuangan dari hasil peleburan dan kontemplasi nilai-nilai yang sebelumnya telah diterapkan secara berbeda pada masing-masing eselon I. Peleburan ini penting untuk membangun kembali sinergi seluruh jajaran Kementerian Keuangan serta untuk menunjukkan kepada masyarakat perubahan yang diwujudkan oleh Kementerian Keuangan secara jelas dan menyeluruh.

Penerapan nilai-nilai utama Kementerian Keuangan ini menunjukkan warna spesifik bagi PNS di lingkungan Kementerian Keuangan berbeda dengan PNS lainnya terutama dalam hal karakter dan budaya kerja. Penerapan nilai-nilai ini juga merupakan bagian dari langkah Kementerian Keuangan sebagai penggerak reformasi birokrasi di Indonesia.

Unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan telah memiliki nilai-nilai budaya yang diterapkan pada lingkungan kerjanya masing-masing. Tingginya ego sektoral (silo) yang tumbuh dan berkembang pada masing-masing unit kerja. Transformasi Budaya Kementerian Keuangan perlu dilakukan karena sikap, cara pandang, dan perilaku-perilaku saat ini dinilai kurang kondusif dalam

19Kem

enterian Keuangan

menunjang pencapaian kinerja terbaik sesuai dengan visi Kementerian Keuangan. Di samping itu, faktor-faktor eksternal juga menjadi pendorong Kementerian Keuangan harus berubah serta kondisi-kondisi organisasi dan perilaku-perilaku yang saat ini dinilai sudah baik perlu untuk terus dijaga konsistensinya bahkan diperkuat.

Menteri Keuangan memberikan arahan kepada jajaran pejabat eselon I dan II untuk menggali nilai-nilai yang diyakini menjadi pendorong dalam bersikap dan berperilaku. Nilai (value) adalah prinsip-prinsip yang diyakini baik dan benar dalam menjalankan organisasi, yang mengarahkan perilaku anggota organisasi dan menjadi landasan dalam penetapan aturan, kebijakan dan sistem organisasi.

20Ka

rena

Kita

Gar

da

Hasil perumusan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan sebagai berikut.

Nilai-Nilai Makna Perilaku Utama

Integritas

(Integrity)

Berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.

1. Bersikap jujur, tulus dan dapat dipercaya

2. Menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal tercela

Profesionalisme

(Professionalism)

Bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi.

3. Mempunyai keahlian dan pengetahuan yang luas

4. Bekerja dengan hati

Sinergi

(Synergy)

Membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya yang ber-manfaat dan berkualitas.

5. Memiliki sangka baik, saling percaya dan menghormati

6. Menemukan dan melaksanakan solusi terbaik

Pelayanan

(Service)

Memberikan pelayanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat dan aman.

7. Melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan

8. Bersikap proaktif dan cepat tanggap

Kesempurnaan

(Continuous Improvement/

Excellence)

Senantiasa melakukan upaya perbaikan disegala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik.

9. Melakukan perbaikan terus menerus

10. Mengembangkan inovasi dan kreativitas

21Kem

enterian Keuangan

Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diluncurkan pada tanggal 29 Juli 2011 oleh Menteri Keuangan pada saat Rapat Kerja Kemenkeu yang dihadiri oleh seluruh pejabat eselon I dan II. Acara peluncuran Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diadakan secara interaktif untuk menumbuhkan semangat dan kesadaran baru. Peluncuran Nilai-Nilai Kementerian Keuangan juga dilakukan dalam acara yang lebih formal, masif, dan berkelanjutan.

Menindaklanjuti peluncuran nilai-nilai Kementerian Keuangan, diselenggarakan Workshop Change Leader pada tahun 2011 dilaksanakan di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 28 dan 29 November 2011 yang diikuti oleh 60 pejabat eselon II. Workshop Change Leader diselenggarakan kembali pada tahun 2012 di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 10, 11, dan 12 April 2012 yang diikuti oleh 91 pejabat Eselon II. Dengan demikian total Pejabat Eselon II sebagai Change Leader yang telah mengikuti workshop sejumlah 151 orang. Kegiatan ini menghasilkan contoh-contoh perilaku yang tertuang dalam Buku Panduan Perilaku Nilai-Nilai Kementerian Keuangan.

Sosialisasi tahun 2013 merupakan kegiatan lanjutan dari kick-off oleh Menteri Keuangan. Kegiatan sosialisasi tahun 2013 telah dilaksanakan di 4 kota yaitu:1. Medan, pada tanggal 9 Februari 2013. Dihadiri oleh

500 peserta yang merupakan Pejabat dan Pegawai di lingkungan instansi vertikal yang ada di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara dan dilaksanakan di Medan International Convention Center.

2. Jakarta I, pada tanggal 23 Februari 2013 dengan dihadiri oleh 700 peserta meliputi Pejabat dan Pegawai

22Ka

rena

Kita

Gar

da

di lingkungan instansi vertikal yang ada di Provinsi Kalimantan dan sebagian provinsi DKI Jakarta bertempat di Auditorum Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

3. Makassar, pada tanggal 9 Maret 2013 dengan dihadiri oleh 700 peserta meliputi Pejabat dan Pegawai di lingkungan instansi vertikal yang ada di Sulawesi, Ambon, dan Papua bertempat di Clerion Hotel Makassar.

4. Surabaya, pada tanggal 6 April 2013 dihadiri oleh 700 peserta meliputi Pejabat dan Pegawai di lingkungan instansi vertikal yang ada di Provinsi Jawa Timur bertempat di Grand City Surabaya.

Training of Trainer (ToT) bagi Change Agent bertujuan untuk membentuk Internal Trainers yang nantinya akan memberi pembekalan kepada Change Agent baru dan melaksanakan program-program dalam rangka internalisasi nilai-nilai Kementerian Keuangan. Sampai dengan saat ini sudah terdapat 2.027 Change Agent di lingkungan Kementerian Keuangan.

Peran Sebagai Change Agent:1) Berkomitmen tinggi untuk secara konsisten

menjalankan nilai-nilai budaya dan mendukung keberhasilan transformasi budaya Kemenkeu.

2) Menjadi panutan (Role Model).a) Menjalankan perilaku utama Kemenkeu.b) Memberikan dan menjadi contoh bagi seluruh

jajaran pegawai di unit kerja.c) Melakukan pembinaan (coaching) & tindakan

korektif segera setiap saat diperlukan.

23Kem

enterian Keuangan

3) Mengajak & ikut terlibat dalam menyusun & menerapkan program sosialisasi & internalisasi nilai-nilai budaya di unit kerja. a) Proaktif dan ikut terlibat dalam mengemas

program-program budaya di unit kerja.b) Melakukan sharing session di unit kerja.c) Mendorong dan memotivasi pegawai.d) Memfasilitasi proses sosialisasi/ internalisasi nilai-

nilai Kemenkeu.e) Memonitor perkembangan & ikut mencari solusi

terbaik untuk perbaikan.

Change Agent Sharing Session adalah kegiatan setiap tahun yang dilaksanakan oleh para change agent dan bertujuan untuk menginformasikan hal-hal berupa kiat-kiat baru dalam rangka implementasi nilai-nilai; menyelesaikan permasalahan dan kendala yang dihadapi change agent dalam menginternalisasi nilai-nilai; dan monitoring dan evaluasi kepada unit eselon I yang dipilih secara random.

Monitoring dan evaluasi telah dilaksanakan pada tanggal 19 s.d. 22 November 2012 yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana insan Kemenkeu pada umumnya telah mengetahui dan mampu menyebutkan nilai-nilai Kemenkeu, tahu dan paham makna nilai atau bahkan telah menjalankannya secara konsisten dalam bentuk perilaku; Komitmen serta peran jajaran pimpinan dan Change Agent

dalam melakukan sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Kemenkeu; efektivitas pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Kemenkeu di unit-unit kerja yang dikunjungi; dan iklim kerja di unit kerja.

24Ka

rena

Kita

Gar

da

Hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan bahwa 51 % pegawai memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai dan perilaku utama dan 82 % pegawai memahami makna nilai-nilai Kementerian Keuangan.

Selanjutnya, program budaya di lingkungan Kementerian Keuangan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 127/KMK.01/2013 tahun 2013. Program Budaya 2013 adalah sebagai berikut.

Adapun Struktur Tim Budaya di Lingkungan Kementerian Keuangan adalah sebagai berikut:

1 Satu Informasi Setiap Hari

Mendorong seluruh pegawai mencari informasi positif dan membaginya dengan pegawai lain untuk pengetahuan bersama

2 Dua Menit Sebelum Jadual

Melatih, membiasakan dan menumbuhkan kedisiplinan seluruh pegawai hadir di ruang/rapat kerja 2 menit sebelum rapat di mulai

3 Tiga Salam Setiap Hari

Mendorong seluruh Pegawai terbiasa memberikan pelayanan terbaik dan bersikap sopan serta santun, dengan memberikan salam sesuai dengan waktunya

4Rencanakan, Kerjakan, Monitor, dan Tindaklanjuti

Mendorong seluruh pegawai untuk melaksanakan tugas sehari-hari menerapkan etos kerja dan prisnsip manajemen/organisasi yang baik dengan senantiasa membuat perencanaan, mengerjakan dengan tuntas, memantau dan mengevaluasi dan menindaklanjuti hasil untuk perbaikan

5 Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin

Mendorong tumbuhnya kesadaran dan kepedulian pegawai akan pentingnya penataan ruang kantor dan dokumen kerja yang ringkas dan rapi

25Kem

enterian Keuangan

LEAD

Change Leaders

• Menetapkan arahan strategik • Memutuskan Nilai-Nilai Budaya Kerja & Perilaku Utama

Insan Kementerian Keuangan• Menyetujui program transformasi budaya• Menyelesaikan isu-isu strategis• Menjadi figur panutan (role model)

MONITOR & FACILITATE

Change Management Team

• Memfasilitasi perumusan program • Memonitor dan mengevaluasi implementasi program-program &

budaya• Memfasilitasi, memastikan efektivitas kelangsungan program-

program transformasi budaya• Menjadi figur panutan (role model)

FACILITATE & DELIVER

Change Agents

• Secara aktif menyosialisasikan, mempengaruhi lingkungan kerjanya untuk berperilaku sebagaimana diharapkan

• Secara proaktif mengidentifikasi dan menyelesaikan isu-isu implementasi

• Menjadi figur panutan (role model)

DELIVER

Change Targets

• Menjadikan nilai-nilai Kementerian Keuangan sebagai pegangan dalam bertindak & berperilaku

Tim Budaya Kementerian Keuangan

Menteri / Jajaran Eselon 1

Segenap Jajaran Kementerian Keuangan Memiliki Peran

Change Leader

Jajaran Pimpinan, Pegawai Terpilih/

Pemimpin Informal

Seluruh Jajaran Insan Kementerian Keuangan

Change Management

Team

Change Agent

Change Target

26Ka

rena

Kita

Gar

da

Buku budaya kerja ini menggambarkan wujud komitmen Kementerian Keuangan dalam menerapkan prinsip-prinsip Good Governance sebagai instansi pemerintah.

Asas Kepastian Hukum Bahwa dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.

Asas Tertib Penyelenggaraan NegaraAsas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

Asas Kepentingan UmumAsas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

Good GovernanceAparatur Sipil Negara

27Kem

enterian Keuangan

Asas KeterbukaanAsas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, bersikap jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

Asas ProporsionalitasAsas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.

Asas ProfesionalitasAsas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Asas AkuntabilitasAsas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaaraan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (rakyat) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

28Ka

rena

Kita

Gar

da

Budaya Organisasi merupakan sistem nilai bersama dalam suatu organisasi yang menjadi acuan bagaimana para pegawai melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita organisasi. Budaya organisasi memberi manfaat: i) menerjemahkan peran yang membedakan satu organisasi dengan organisasi yang lain karena setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda, sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan yang ada di dalamnya; ii) menjadi identitas bagi anggota organisasi, budaya yang kuat membuat anggota organisasi merasa memiliki identitas yang merupakan ciri khas anggotanya; iii) mendorong setiap anggota organisasi merasa untuk lebih mementingkan tujuan bersama di atas kepentingan individu; dan iv) menjaga stabilitas organisasi, komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi internal organisasi menjadi stabil.

Budaya OrganisasiBudaya Kerja

29Kem

enterian Keuangan

Budaya Kerja merupakan sikap dan perilaku individu dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Aktualisasi budaya kerja dapat dilihat pada hal-hal: i) pemahaman terhadap makna bekerja; ii) sikap terhadap pekerjaan atau apa yang dikerjakan; iii) sikap terhadap lingkungan pekerjaan; iv) sikap terhadap waktu; v) sikap terhadap alat yang digunakan untuk bekerja; vi) etos kerja; dan vii) perilaku ketika bekerja atau mengambil keputusan.

Budaya kerja akan memberikan manfaat dan kesempatan bagi seluruh pegawai untuk berperan, berprestasi, aktualisasi diri, mendapat pengakuan, penghargaan, kebanggaan bekerja, rasa ikut memiliki, dan bertanggung jawab, memperluas wawasan, serta meningkatkan kemampuan memimpin dan memecahkan masalah.

Manfaat budaya kerja bagi organisasi: i) meningkatkan kerja sama antarindividu, antarkelompok, dan antarunit kerja; ii) meningkatkan koordinasi antarindividu, antarkelompok, dan antarunit kerja; iii) mengefektifkan integrasi, sinkronisasi, keselarasan, dan dinamika yang terjadi dalam organisasi; iv) memperlancar komunikasi dan hubungan kerja; v) menumbuhkan kepemimpinan yang partisipatif; vi) mengeliminasi hambatan-hambatan psikologis dan kultural; dan vii) menciptakan suasana kerja yang menyenangkan sehingga dapat mendorong kreativitas pegawai.

30Ka

rena

Kita

Gar

da

Visi suatu organisasi menggambarkan posisi penting atau peluang besar yang mungkin diraih di masa depan dengan bekerja keras, sungguh-sungguh, dan konsisten dalam jangka panjang. Visi organisasi dapat memusatkan, mengarahkan, memotivasi, menyatukan, dan bahkan memberikan inspirasi suatu organisasi dalam mewujudkan tujuannya.

Misi adalah pernyataan tujuan jangka panjang yang membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya. Pernyataan misi mengidentifikasi cakupan operasional organisasi yang menggambarkan nilai dan prioritas suatu organisasi, sifat dan cakupan operasi saat ini, evaluasi potensi dan aktivitas masa depan yang menggambarkan arah dan masa depan organisasi.

Demikian halnya Kementerian Keuangan, sebagai instansi pemerintah juga memiliki Visi dan Misi sebagai berikut.

Visi dan MisiKementerian Keuangan

31Kem

enterian Keuangan

Visi:“Menjadi Penggerak Utama Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Inklusif di Abad ke-21”

Misi:a) Mencapai tingkat kepatuhan pajak, bea dan cukai yang

tinggi melalui pelayanan prima dan penegakan hukum yang ketat.

b) Menerapkan kebijakan fiskal yang prudent.c) Mengelola neraca keuangan pusat dengan risiko

minimum.d) Memastikan dana pendapatan didistribusikan secara

efisien dan efektif.e) Menarik dan mempertahankan talent terbaik di

kelasnya dengan menawarkan proposisi nilai pegawai yang kompetitif.

32Ka

rena

Kita

Gar

da

IntegritasTanpa Batas

Dari hati, terdengar melalui lisan, terlihat melalui perbuatan.

32Ka

rena

Kita

Gar

da

Makna dari Integritas yaitu

berpikir, berkata, berperilaku, dan

bertindak dengan baik dan benar

serta memegang teguh kode etik

dan prinsip-prinsip moral.

Perilaku utama dari nilai ini yaitu:1. Bersikap jujur, tulus, dan dapat

dipercaya.2. Menjaga martabat dan tidak

melakukan hal-hal tercela.

33Kem

enterian Keuangan

Seberapa pentingkah integritas itu? Jika pertanyaan tersebut ditujukan kepada pegawai Kementerian Keuangan, maka sebagian besar pegawai akan menjawab “sangat sangat penting”. Sebagian yang lain? Mereka akan menjawab “sangat penting”.

Lantas mengapa masih ada pegawai dari Kementerian Keuangan yang tertangkap karena kasus suap/penggelapan atau malahan tuduhan terorisme? Memang, adanya oknum-oknum tersebut merupakan sebuah pukulan bagi Kementerian Keuangan. Hal ini menandakan bahwa masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam sistem/manajemen di Kementerian Keuangan. Namun demikian, Kementerian Keuangan tidak patah semangat dalam usaha untuk memerangi segala bentuk kecurangan. Sehingga jawaban untuk pertanyaan di awal paragraf adalah mereka merupakan orang-orang yang perlu dikasihani karena mereka telah dibutakan mata hatinya dengan gemerlap dunia ini. Mereka terlena dengan itu semua, sehingga rela menggadaikan prinsip integritas yang telah dijaga selama ini.

Ibu Sri Mulyani Indrawati pernah menuliskan, “...kita akan tetap berdiri tegar, menatap dengan percaya diri, bahwa kita mampu membangun Kementerian Keuangan yang dapat dipercaya dan dibanggakan oleh rakyat dan bangsa Indonesia”. Dengan demikian, seberat apa pun tantangan untuk menerapkan prinsip integritas ini, setiap insan di Kementerian Keuangan akan berusaha sekuat tenaga untuk menaklukkan tantangan tersebut.

33Kem

enterian Keuangan

34Ka

rena

Kita

Gar

da

PNS Kementerian Keuangan tidak akan berkompromi dalam urusan integritas. Reputasi Kementerian Keuangan tergantung pada tindakan dan perilaku para pegawainya. Itu sebabnya kita semua perlu bertindak dan berperilaku yang benar secara moral, hukum, dan etika dalam setiap situasi. Perilaku yang demikian secara berkelanjutan dan seiring perjalanan organisasi akan membentuk budaya integritas di Kementerian Keuangan.

Integritas dalam bekerja adalah bertindak dan berperilaku menghindari situasi apa pun yang mungkin menciptakan konflik antara kepentingan pribadi PNS Kementerian Keuangan dengan kepentingan organisasi. Dengan berintegritas kita menciptakan iklim rasa saling percaya yang menjadi perisai terhadap praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. PNS Kemenkeu mematuhi hukum, peraturan, dan undang-undang di mana pun mereka berada.

PNS Kementerian Keuangan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kepentingan pribadi di luar pekerjaan tidak mengganggu kewajibannya terhadap organisasi Kementerian Keuangan. Semua pegawai di level apa pun menghindari situasi di mana kepentingan pribadi (langsung maupun tidak langsung), aktivitas di luar, atau kepentingan keuangan, bertentangan/tampak bertentangan/berpotensi bertentangan dengan kepentingan organisasi. PNS Kemenkeu harus dapat mengungkapkan semua keadaan yang mungkin dapat menyebabkan munculnya benturan kepentingan dimaksud.

Terkadang, PNS Kemenkeu dapat tergoda untuk memberi suap karena sepertinya ini adalah jalan termudah untuk menyelesaikan pekerjaan. Namun bagi PNS Kemenkeu, kelancaran pekerjaan atau yang dikenal dengan istilah “uang pelicin” tidak dapat dijadikan pembenaran untuk melakukan suap atau terlibat dalam bentuk perbuatan korupsi lainnya. PNS Kemenkeu tidak akan terlibat dalam tindakan suap dan/atau korupsi, baik sebagai pihak yang

34Ka

rena

Kita

Gar

da

35Kem

enterian Keuangan

memberi maupun sebagai pihak yang menerima karena suap (penyuapan) adalah tindakan melanggar hukum.

Segala bentuk korupsi tidak dapat ditoleransi dengan alasan apa pun. Korupsi merupakan perbuatan melanggar hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi dapat berupa penyuapan, penggelapan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Perubahan mungkin tidak nyaman bagi sebagian orang yang tak ingin berubah. Rambut di kepala sama hitam, isi otak tak akan tertebak. Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu. Biarlah mereka yang tak ingin berubah anggap saja bukan bagian dari kami. Lebih baik berpisah dari institusi ini. Hanya akan menjadi duri dalam daging, menjadi setitik nila dalam susu yang sebelanga. Melawan arus perubahan hanya akan merepotkan diri sendiri. Kembalikan saja semua pada hati nurani.

Masuknya era reformasi birokrasi yang menumbangkan pondasi-pondasi korupsi, kolusi, dan nepotisme membawa pengaruh pada dua kutub yang pro perubahan dan kontra perubahan. Perbedaan budaya organisasi yang berbeda awalnya membuat komunikasi dan hubungan personal di antara anggotanya terhambat. Masing-masing pihak merasakan adanya garis tak kasat mata yang selalu ada. Modernisasi yang gaungnya terasa besar harus mampu mengubah budaya-budaya yang kurang etis di masa lampau. Perlu ada dorongan motivasi dari seluruh pegawai yang masuk dalam alam reformasi birokrasi itu dengan kesadaran penuh. Perilaku PNS Kemenkeu yang berintegritas harus menunjukkan sikap jujur, tulus, dapat dipercaya, bertindak transparan, konsisten, menjaga martabat, tidak melakukan hal-hal tercela, bertanggung jawab atas hasil kerja, dan bersikap objektif.

Dalam upaya membangun budaya integritas dan semangat reformasi birokrasi, Kemenkeu memiliki peniup peluit dan

35Kem

enterian Keuangan

36Ka

rena

Kita

Gar

da

berakibat pada sanksi, bahkan sampai dibawa ke proses hukum dalam rangka membangun budaya integritas dimaksud. Kemenkeu telah meluncurkan ‘whistleblowing

system’ yang diberi nama WiSe pada tanggal 5 Oktober 2011. WiSe merupakan sistem berbasis internet yang diharapkan memudahkan masyarakat, pegawai maupun pejabat pemerintahan untuk melaporkan perbuatan-perbuatan yang berindikasi pelanggaran disiplin PNS di lingkungan Kemenkeu. Sistem ini merupakan komitmen Kemenkeu memerangi tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme karena sampai saat ini masih saja ada oknum pegawai Kemenkeu yang belum meninggalkan tindakan KKN tersebut. Dengan adanya WiSe ini diharapkan masyarakat dapat berperan memantau kinerja PNS Kemenkeu.

Sikap integritas dalam bekerja pada prinsipnya adalah muncul dari dalam diri setiap pegawai itu sendiri. Meskipun demikian, organisasi dapat mendesain lingkungan kerja sedemikian rupa sehingga dapat mendorong para pegawai untuk bekerja dengan penuh integritas.

Selain berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, pedoman untuk menjujung tinggi integritas dalam bekerja juga tercantum dalam perangkat kode etik pegawai pada masing-masing Unit Eselon I. Sebagai contoh, untuk Unit Ditjen Kekayaan Negara telah ditetapkan PMK Nomor 01/PM.06/2010 tentang Kode Etik Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam kedua peraturan tersebut akan mendatangkan sanksi bagi pegawai yang bersangkutan. Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, integritas juga menjadi salah satu nilai acuan untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila.

36Ka

rena

Kita

Gar

da

37Kem

enterian Keuangan

Di samping adanya perangkat peraturan yang mengatur disiplin pegawai dan kode etik pegawai, keberadaan Unit Kepatuhan Internal (UKI) pada masing-masing Unit Eselon I juga menjadi bentuk komitmen organisasi untuk mendorong terjaganya integritas pegawai dalam menjalankan pekerjaannya.

Secara umum, peran UKI adalah dalam rangka meminimalkan penyimpangan yang mungkin terjadi dan secara umum dibagi menjadi lima tugas, yaitu pemantauan pengendalian intern, tindak lanjut pengaduan masyarakat, pemantauan tindak lanjut rekomendasi laporan hasil pemeriksaan, pengendalian gratifikasi, dan penegakan disiplin dan/atau kode etik.

Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta peningkatan kualitas pelayanan publik, Kemenkeu mendorong pencanangan pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK)/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) pada seluruh unit di lingkungan Kemenkeu. Sasaran utama pembangunan ZI menuju WBK/WBBM adalah peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintah yang bersih dan bebas KKN, serta peningkatan pelayanan publik. Predikat ZI diberikan kepada instansi pemerintah yang berkomitmen mewujudkan WBK/WBBM. Sedangkan, predikat WBK diberikan kepada unit kerja yang memenuhi sebagian besar manajemen perubahan, penataan tata laksana, penataan sistem manajemen SDM, penguatan pengawasan, dan penguatan akuntabilitas kinerja. Predikat WBBM diberikan kepada unit kerja yang memenuhi sebagaian besar manajemen perubahan, penataan tata laksana, penataan sistem manajemen SDM, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, dan penguatan kualitas pelayanan publik. Sampai dengan tahun 2016, unit-unit di Kemenkeu yang telah berpredikat ZI menuju WBK/WBBM sebanyak 19 unit. Kemenkeu merupakan instansi pemerintah dengan jumlah unit berpredikat ZI menuju WBK/WBBM terbesar

37Kem

enterian Keuangan

38Ka

rena

Kita

Gar

da

dari total instansi pemerintah berpredikat ZI menuju WBK/WBBM sebanyak 52 unit.

“Integritas tanpa batas” hanya akan akan menjadi sebuah retorika ketika kita tidak menemukannya dalam keseharian PNS Kemenkeu. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam menerapkan integritas, misalnya budaya malu terlambat. Pembangunan sistem untuk menumbuhkan prinsip integritas telah dimulai sejak lama. Perlu kita segarkan kembali ingatan kita, presensi menggunakan sidik jari (fingerprint) baru dilaksanakan pada pertengahan tahun 2007. Sebelum itu, presensi dilakukan secara manual dengan menuliskan jam masuk dan jam pulang kantor pada buku presensi yang disediakan. Saat masih menggunakan presensi manual, integritas pegawai Kementerian Keuangan telah diuji. Dalam hal ini, tidak ada sistem yang mampu mendeteksi bahwa pegawai melakukan kecurangan terkait jam masuk dan jam pulang kantor. Sehingga pegawai benar-benar harus mengisi jam masuk dan jam pulang sesuai dengan kenyataan dan suara hatinya. Namun ternyata kecurangan terkait penulisan jam masuk dan jam kerja masih sering ditemui.

Lalu dimulailah era presensi menggunakan mesin pemindai sidik jari. Dengan adanya mesin ini, pegawai yang melakukan kecurangan tidak dapat lagi melakukan manipulasi terhadap jam masuk dan jam pulang kantor. Seperti lazimnya sebuah perubahan, tentunya muncul ketidaknyamanan bagi sebagian pegawai Kementerian Keuangan. Namun seiring berjalannya waktu, seluruh pegawai Kementerian Keuangan telah terbiasa dengan sistem tersebut.

Budaya malu terlambat ini menjadi bagian dari program internalisasi pada beberapa Unit Eselon I, misalnya pada Ditjen Pajak yang telah menerapkan kepada seluruh pegawai sejak tahun 2016. Budaya malu terlambat bertujuan untuk menumbuhkan rasa malu pada diri pribadi pegawai, tidak hanya ketika pegawai terlambat datang bekerja, tetapi

38Ka

rena

Kita

Gar

da

39Kem

enterian Keuangan39

Kementerian Keuangan

juga ketika pegawai terlambat menghadiri agenda yang telah ditentukan seperti rapat. Budaya malu terlambat ini di antaranya diwujudkan dengan pegawai yang terlambat hadir menuliskan alasan keterlambatan pada media yang disebut papan kejujuran. Meskipun terlihat sepele, kejujuran pegawai dalam mengungkapkan keterlambatan merupakan salah satu realitas kesatuan pikiran, perkataan, perilaku, dan tindakan yang dilakukan oleh pegawai dalam koridor kode etik dan prinsip moral.

40Ka

rena

Kita

Gar

da

Kami Adalah Fiskus,Bukan Gayus

Kebahagiaan kami adalah saat Allah berikan kesempatan kepada

kami untuk menjelaskan dan membuktikan kepada Wajib Pajak,

bahwa kami adalah pegawai pajak yang profesional.

Pagi itu udara Kota Bogor sangat dingin setelah semalaman diguyur hujan. Puluhan angkot kosong warna hijau saling serobot di jalan yang melingkari Kebun Raya. Bergegas aku menuju kantorku, KPP Pratama Bogor.

Setelah memarkir kendaraan, absen dengan sidik jari, masih ada waktu 30 menit sebelum pukul 07.30. Aku manfaatkan waktu untuk melaksanakan salat Dhuha, lalu ke kantin Bu Tinem di belakang kantor untuk sarapan. Selanjutnya, bismillah aku siap bekerja.

Briefing dengan seluruh karyawan, menerima dan membuat laporan, adalah rutinitas kami sehari-hari setiap akan mulai bekerja. Pada saat briefing ada telepon dari sekretaris kepala kantor. Ada Wajib Pajak yang datang dan complain masalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dia ingin bertemu dengan kepala kantor. Menjadi kesepakatan di kantor kami jika ada Wajib Pajak yang mau bertemu kepala kantor akan ditangani

Oleh: Sarwa Edi,Pegawai DJP

41Kem

enterian Keuangan

oleh kepala seksi terlebih dahulu, untuk mengetahui detail permasalahan yang diajukan.

Aku mengambil buku dan pena untuk membuat catatan, memeriksa name tag, dasi, semua sudah lengkap. Bergegas aku menuju lantai atas. Gedung KPP Pratama Bogor memang terkotak-kotak, ada beberapa gedung yang saling terpisah. Maklum, gedung KPP Pratama Bogor termasuk cagar budaya. Gedung depan yang dipakai untuk Tempat Pelayanan Terpadu, Seksi Pelayanan, Seksi Pengolahan Data dan Informasi, Subbagian Umum dan Kepala Kantor letaknya agak naik, di bawahnya ada basement yang dulu konon dipakai sebagai penjara dan tempat penyiksaan tawanan di zaman Jepang. Masih terlihat ruangan bawah tanah yang sempit dan hanya bisa dimasuki dengan cara membungkuk, dengan jeruji besi yang masih kokoh. Terbayang bagaimana beratnya nenek moyang kita dulu yang harus dipenjarakan di sana.

Sesampainya aku di ruang tunggu, aku melihat sosok laki-laki dengan setelan jas dan tas kulit yang terlihat mahal. Otakku langsung berpikir acak dengan analisis flowchart, “Ini paling orang penting atau pejabat.” Deretan kata arogansi yang sudah sering aku dengar langsung terbayang dalam benakku. Luapan kemarahan dan makian seperti: “Kalian orang pajak dibayar dengan uang rakyat”, “Kalian kerjanya ngapain, ngurus pajak gak pernah becus”, “You tahu siapa saya?” “Saya bisa memindahkan you besok pagi ke Papua sana”, “You tahu gak, saya sering ketemu Darmin.”

Hanya ucapan bismillah yang aku ulang-ulang dalam hati. Apa pun, siapa pun harus aku hadapi. Aku adalah pelayan masyarakat.

“Bapak siapa?” tanya salah seorang di antara mereka kepadaku.

“Saya Sarwa Edi, Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan. Bapak dari mana? Ada yang bisa kami bantu, Pak?” tanyaku basa-basi untuk membuka komunikasi.

42Ka

rena

Kita

Gar

da

Mereka menyebutkan nama lalu meminta penjelasan beberapa hal yang terkait dengan PBB.

Dari nada dan gaya bicara mereka, jelas mereka bukan orang-orang yang arogan. Alhamdulillah, dengan begini tidak akan menguras emosiku dalam memberikan penjelasan.

“Baik Pak, yang perlu kami jelaskan yang mana?”

Setelah memilah berkas asli dan fotokopi salah satu dari mereka menyerahkan beberapa salinan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang).

“Begini Pak Sarwa, tanah saya terdaftar PBB-nya dari tahun 2001. Selama itu saya selalu membayar. Ini bukti bayarnya,” sambil menyodorkan asli STTS (Surat Tanda Terima Sementara). “Tapi kemarin waktu saya membayar sesuai NOP ini, nama Wajib Pajaknya sudah berubah,” ungkapnya menjelaskan.

“Pernah terjadi pemindahan hak atas tanah ke orang lain, Pak?”

“Justru karena saya merasa tidak memindahkan hak atas tanah, saya jadi bingung, kok tiba-tiba berubah. Dasar perubahannya apa?”

“Baik Pak, saya coba analisis dulu untuk menjelaskan kenapa terjadi perubahan data Wajib Pajak. Untuk memudahkan analisis kita pindah ke ruang tamu seksi ekstensifikasi ya, Pak, agar bisa kita lihat data dan petanya.”

Setelah dilakukan analisis dengan melihat catatan pelayanan yang pernah diajukan dan Berita Acara Penelitian Lapangan yang dibuat tahun sebelumnya, ketemulah benang merah permasalahannya. Objek Pajak pernah dilakukan pembetulan yang diajukan tahun sebelumnya dengan dasar beberapa data surat pernyataan. Ini agak rumit. Harus ada penelitian yang mendalam untuk menjelaskan masalah ini, tapi inti permasalahannya cukup jelas.

43Kem

enterian Keuangan

“Baik Bapak-Bapak, secara garis besar objek ini telah dibaliknamakan tahun lalu dengan dasar pembetulan. Bapak kenal dengan Wajib Pajak yang tercatat sekarang?”

Mengalirlah cerita panjang lebar tentang orang yang membaliknamakan Objek Pajak. Kesimpulan sementara objek ini potensi sengketa.

“Baik Bapak, sementara hanya itu yang bisa kami jelaskan. Kami minta waktu sepekan untuk menjelaskan secara lebih detail tentang permasalahan tersebut. Bapak nanti bisa telepon ke nomor kantor ini.” Mereka mencatat nomor telepon kantor kami dan ekstensinya.

Hari berikutnya, giliran pihak “lawan” yang datang, empat orang langsung masuk ke ruangan kepala seksi. Salam “selamat siang” menggema di ruangan kami. Beberapa orang dari mereka menunjukkan wajah sangar.

Aku mencoba menenangkan diri dan menanyakan kepada mereka apa keperluannya.

“Saya mau ketemu kepala seksi yang mengurus PBB. PBB atas nama ini (menyebut nama Wajib Pajak) jangan dikutak-katik. Alamat saya di kompleks pejabat.”

“Kami di sini tidak ditugaskan mengutak-ngatik data, Pak. Kami ditugaskan untuk memperbaiki data; yang sudah benar kita pertahankan, yang belum pas kita sesuaikan dengan kondisi di lapangan dan sesuai dengan dokumen pendukungnya,” jawabku, mencoba berdiplomasi.

“Tolong ya, kita itu saling membutuhkan, kalau ada apa-apa telepon saya saja,” tuturnya sambil menyebut beberapa pejabat di Bogor yang katanya semua adalah temannya. Sementara tiga tamu yang lainnya tidak mau duduk, hanya berdiri sambil melotot.

Agar tidak menimbulkan masalah berkepanjangan, aku melaporkan semua kejadian tersebut kepada kepala kantor. Beberapa orang yang berhubungan dengan permasalahan itu

44Ka

rena

Kita

Gar

da

dikumpulkan, lalu berkas dan objek pajak diteliti bersama-sama.

Diam-diam kami melakukan pengecekan di lapangan, mengecek ke kelurahan, mencari info ke kecamatan dan tetangga sekitar.

Ketika semua data sudah cukup kuat, termasuk konfirmasi data ke kedua belah pihak, kami buatkan berita acara. Pembetulan data pun kami lakukan sesuai dengan dokumen yang paling valid. Butuh waktu tiga bulan lebih untuk menyelesaikan satu kasus ini.

Setelah itu kami buat Surat Pemberitahuan kepada kedua belah pihak bahwa proses balik nama atas Objek Pajak tidak sah, sesuai dengan dokumen-dokumen asli dan analisis lapangan. Awalnya keputusan itu masih belum bisa diterima oleh orang-orang yang membalik nama Objek Pajak. Namun, dokumen dan saksi justru mengalahkan mereka. Akhirnya Objek Pajak kembali kepada Wajib Pajak pertama.

Pada saat pengambilan SPPT, Wajib Pajak datang langsung ke kantor, tanpa pendamping seperti pada awal kedatangan. Sambil bercerita tentang kasus tanahnya, berkali-kali dia mengucapkan terima kasih.

“Pak Sarwa, sebagai tanda terima kasih kami, karena Bapak dan teman-teman Bapak sudah membantu saya, mohon diterima ungkapan terima kasih dari kami,” desaknya sambil menyodorkan satu amplop putih. Tebal.

“Bapak, kami menghargai ucapan terima kasih dari Bapak. Tetapi tidak usah memberikan apa pun kepada kami. Ini semua tugas kami, Bapak bisa melihat dan membaca di media bahwa DJP sedang berbenah. Kami semua sedang belajar bekerja profesional. Semua ini memang tugas kami. Cukuplah Bapak dengan kami sebagai saudara. Bahkan kami membutuhkan masukan dari Bapak untuk kebaikan institusi kami.”

45Kem

enterian Keuangan

Sambil merajuk dan minta nomor ponsel, dia masih mencoba mengangsurkan amplop tersebut. “Pak, tolong diterima, saya ikhlas bukan untuk mempengaruhi Bapak, tapi ungkapan terima kasih saya.”

“Mohon maaf, Pak, terima kasih sekali lagi. Kami sedang berusaha menegakkan etika dalam bekerja, jadi tolong dukung kami dengan tidak memberikan apa pun kepada kami.” Aku melihat Bapak itu kecewa. Dia benar-benar tulus. Tapi kami juga tulus melayani masyarakat. Karena kami memang dibayar pemerintah untuk itu.

Hari ini ada perasaan yang membuncah, Allah memberikan kesempatan untuk menjelaskan kepada Wajib Pajak yang diyakini bukan sekadar Wajib Pajak, seorang manajer dari perusahaan IT, bahwa kami adalah pegawai pajak yang profesional.

Biarlah semua orang bicara tentang Gayus, karena Gayus memang ada. Namun, kami ingin menunjukkan, bahwa tidak semua pegawai DJP seperti Gayus, masih banyak pegawai yang baik dan ingin hidup berkah, sama dengan yang lain. Kami adalah fiskus, bukan Gayus.

Biarlah semua orang bicara tentang Gayus, karena Gayus memang ada. Namun, kami ingin menunjukkan, bahwa tidak semua pegawai DJP seperti Gayus, masih banyak pegawai yang baik dan ingin hidup berkah, sama dengan yang lain. Kami adalah fiskus, bukan Gayus.

46Ka

rena

Kita

Gar

da

Tulisan ini berkisah tentang seorang pegawai DJBC yang sedang bergumul dalam pilihan antara memutuskan totalitas atau tidak sama sekali untuk bekerja dengan integritas. Sebenarnya kejadiannya sudah cukup lama dan menurut saya, kisah ini masih layak atau relevan untuk diangkat sebagai cerita inspiratif, khususnya bagi mereka atau teman-teman di DJBC yang sampai saat ini masih ragu-ragu untuk mengambil keputusan jalan hidup atau “way of life” menyatakan tidak sama sekali terhadap korupsi. Saya juga memberanikan diri untuk mengungkapkan true

story ini karena saya tahu betul bahwa sampai pada saat ini pun si pegawai masih tetap berkomitmen untuk tetap menjalankan hidup yang telah dipilihnya itu.

Memang harus diakui, bahwa untuk menjadi jujur atau istilah sekarang berintegritas, tidaklah mudah. Terlebih lagi kalau kondisinya tidak memungkinkan untuk menjadi orang jujur atau berintegritas lantaran penghasilan yang diterima masih belum bisa mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, lingkungan kerja yang tidak mendukung di mana semua orang atau mayoritas masih berbuat hal yang sama, pemimpin yang tidak memberikan teladan yang sepatutnya serta beragam dalih lainnya.

Pilihan Hidup Berintegritas Adalah Jalan Kebahagiaan

Oleh: Paulus Hatigoran Pangaribuan,Pegawai DJBC

47Kem

enterian Keuangan

Alasan-alasan di atas seringkali dijadikan pembenaran bagi seseorang untuk menyerah atau terpaksa memilih hidup yang sama dengan kebanyakan orang. Namun demikian, kisah di tengah-tengah bangsa ini membuktikan bahwa alasan terbesar sebenarnya ada di dalam diri orang itu sendiri. Sebagai contoh, bagaimana mungkin seorang Kepala SKK Migas yang penghasilannya kurang lebih 300 juta per bulan masih terkena virus korupsi? Saya tidak percaya penghasilan sebesar itu masih kurang.

Lantas apa permasalahannya? Apakah karena ada di jajaran birokrasi maka seseorang mau tidak mau akan terinfeksi virus korupsi? Bisa jadi hal ini senada dengan pernyataan mantan ketua BKPM, Theo Toemion, “Saya tersesat di birokrasi.” Maka, muncul anggapan bahwa wajarlah atau jangan heran kalau suatu saat orang yang baik-baik pada waktu masuk di birokrasi, lambat atau cepat ia akan terkena serangan virus “ganas” ini.

Baiklah, apa yang saya sampaikan di atas hanya sebagai prolog sebelum masuk ke dalam kisah inspiratif ini. Kisah ini berawal dari uang tips atau uang “terima kasih” yang diberikan oleh pengguna jasa kepada si pegawai (sebut saja Bang Polan) yang pada zaman itu dianggap wajar-wajar saja karena kebanyakan orang juga melakukan hal yang sama. Selanjutnya, lebih dari sekadar uang tips atau terima kasih karena Bang Polan pada waktu bertugas di Bidang Audit Kanwil DJBC Jakarta tahun 1999 sudah mulai berani bernegosiasi dengan auditee untuk mendapatkan “rezeki” tambahan. Sebenarnya apa yang dilakukan Bang Polan adalah hal yang biasa karena hal yang sama pun dilakukan oleh teman-teman sejawatnya. Di samping itu, apa yang dilakukannya mungkin bisa dikategorikan menjadi “hal yang baik” karena ia bisa memberikan penghasilan tambahan buat anggota tim yang lain. Hal ini dikuatkan dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga dari anggota timnya karena “rezeki” yang ia berikan dapat digunakan oleh si anggota tim untuk membiayai kuliah anaknya.

48Ka

rena

Kita

Gar

da

Seandainya apa yang dilakukan oleh Bang Polan adalah hal yang benar, tentunya Bang Polan tak perlu merasa bersalah. Namun nyatanya, Bang Polan justru merasa semakin tertekan atau tidak bahagia karena di dalam dirinya berkecamuk sebuah perasaaan bahwa meski di hadapan manusia ia dianggap sebagai pahlawan, namun di hadapan yang Maha Kuasa sesungguhnya ia adalah seorang pecundang yang tak berani mengatakan kebenaran atau kejujuran. Rasa bersalah ini terus saja menyelimuti Bang Polan, terlebih bila ia membandingkan dirinya dengan teman sejawatnya yang ternyata bisa hidup jujur dan tidak takut untuk melawan arus.

Selanjutnya, pada bulan April 2003 Bang Polan dimutasikan ke Kanwil DJBC Sumut. Masih sebagai auditor. Di tempat yang baru ini, tepatnya di tahun 2004, Bang Polan sudah tidak tahan lagi dengan perasaan bersalah yang menghantuinya. Pelan tapi pasti, di dalam dirinya mulai ada keberanian untuk bekerja dengan penuh kejujuran atau integritas. Namun, di saat timbul keberanian dan ada keinginan yang kuat untuk berubah, Bang Polan dihadapkan pada masalah lain. Anaknya yang pertama ternyata divonis autis sehingga harus menjalani terapi dan perlu penanganan khusus. Tentunya diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk itu. Setelah dihitung-hitung, penghasilan yang diterimanya bakal terkuras untuk membiayai pengobatan si buah hati. Dalam kondisi seperti ini, sebagian besar orang mengatakan bahwa wajarlah kalau Bang Polan harusnya menerima atau mencari “rezeki” yang lain.

Luar biasa, ternyata dalam kesulitan dan ujian hidup yang dialaminya ini, Bang Polan tetap memutuskan untuk bekerja tanpa mendapatkan ‘uang sabetan’ lagi. Keputusan ini disikapi Bang Polan dengan cara benar-benar menolak “rezeki” mingguan, bulanan atau ucapan terima kasih dalam bentuk apapun dari auditee setiap kali selesai mengaudit. Sudah barang tentu, keputusan ini membuat teman-temannya merasa heran. Bahkan ketua timnya,

49Kem

enterian Keuangan

sebut saja Bang Poltak, dengan rasa penasaran bertanya kepadanya, “Mengapa kalau dulu mau duit, sekarang tidak mau? Bukankah duit ini bisa dipakai untuk membantu orang yang susah?”

Bang Polan pun menjawab bahwa ia ingin berubah. “Kalau kita mau melakukan sesuatu yang benar caranya pun harus benar, Bang Poltak,” tambahnya lagi.

“Saya kasih kamu duit karena saya melihat kamu membutuhkannya untuk biaya pengobatan anak kamu!”.tukas Bang Poltak dengan argumennya.

Bang Polan pun dengan mantap menjawab “Saya yakin kalau saya melakukan yang benar maka ada jalan keluar buat anak saya, Bang.”

Luar biasa! Ini artinya Bang Polan menyakini bahwa untuk menolong si buah hati, ia tidak boleh mencarinya dari uang yang tidak ‘ jelas’.

Masih penasaran dengan sikap pegawai yang satu ini, suatu saat Bang Poltak menelpon Bang Polan dan meminta nomor rekeningnya untuk mentransfer jatah atau bagian Bang Polan. Entah bagaimana memang pada saat itu Bang Polan sebenarnya juga membutuhkan uang karena istrinya baru saja mengalami keguguran dan rahimnya harus dikuret. Apakah ini sebuah kebetulan atau sebuah jawaban?

Ternyata buat Bang Polan itu bukanlah kebetulan dan juga bukanlah jawaban. Keputusan untuk memilih gaya hidup sebagai pribadi yang berintegritas sudah bulat dan final sehingga dengan berteguh hati ia tetap menolak rayuan atau godaan tersebut. Keputusan ini kelihatannya konyol karena bagaimana bila suatu saat nanti Bang Polan ternyata membutuhkan uang tambahan, apakah ia harus kembali menerima uang sabetan? Tidakkah ini akan lebih memalukan? Hal inilah yang pernah disampaikan oleh sahabat karibnya, “Jangan sampai nanti kamu ternyata mau duit lagi lho!”

50Ka

rena

Kita

Gar

da

Seiring dengan berjalannya waktu, di bulan Juni 2008 Bang Polan ditempatkan sebagai Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) di KPU Tanjung Priok. Mungkin ada yang beranggapan bahwa ketika berdinas di Bidang Audit ‘rezekinya’ tidak seberapa sehingga lebih baik ditolak daripada bikin malu menerimanya. Namun, kini dengan ‘rezeki’ yang lebih besar sebagai PFPD, Bang Polan sebenarnya bisa saja mewujudkan impian untuk mengobati anaknya yang berkebutuhan khusus tersebut. Dalam perkembangannya, ternyata si anak bukanlah penyandang autis, melainkan tuna rungu. Dengan “rezeki” tambahan itu, semestinya Bang Polan dapat membeli alat bantu dengar yang lebih canggih sehingga akan menolong proses tumbuh kembang si buah hati. Bang Polan sekali lagi diuji dengan kisah seorang temannya yang memiliki anak bermasalah sama dan setelah dibelikan alat bantu dengar yang canggih, perkembangannya pun membaik. Luar biasa, kali ini pun Bang Polan tetap bersikukuh tak mau berpaling dari keputusannya untuk hidup berintegritas.

Kebahagiaan terbesar bukan karena kita memiliki materi yang cukup dan melimpah, jabatan tertentu yang tinggi, maupun apresiasi yang didapatkan. Namun ia datang dari pilihan-pilihan tepat yang sesuai dengan hati nurani kita, yaitu pilihan hidup berintegritas kendati ada harga yang harus dibayar untuk itu.

51Kem

enterian Keuangan

Selama berkarier sebagai PFPD, Bang Polan sama sekali tak pernah luluh dengan rayuan untuk mendapatkan ‘rezeki’ tambahan yang dapat mengubah nasibnya. Selain itu, Bang Polan pun dikenal tegas karena tidak bersedia berkompromi dengan pengguna jasa. Hal ini terlihat dari SPTNP/Notul yang diterbitkannya. Bahkan dalam bekerja, Bang Polan mencoba mengajak teman- teman sejawatnya untuk bekerja profesional dan memilih jalan tidak berkompromi dengan tawaran dari si penggun jasa. Atas ketegasannya ini, pernah suatu saat Bang Polan ditunggu sejumlah preman di kendaraannya dan hampir- hampir hendak dikeroyok oleh para preman tersebut karena mereka merasa terganggu akan sikap dan kebijakan yang diambil oleh Bang Polan.

Sikap dari Bang Polan ini berbuah aneka pertanyaan dari teman-temannya sesama PFPD, “Aku kasihan lihat kamu, Polan. Kamu sudah bekerja dengan tulus. Bagaimana seandainya nanti kamu dipindah jauh?” Atau komentar lainnya, “Aku nggak tega kalau kamu yang sudah bekerja seperti ini ternyata malahan dipindah jauh, Polan. Coba deh kamu cari orang yang bisa membela atau menolong kamu.”

Bukan tanpa alasan bila teman-teman Bang Polan berkata begitu karena cerita yang berkembang amat berbeda dari fakta sebenarnya. Kabar yang terdengar justru Bang Polanlah yang dituding sebagai biang kerok di kantornya. Sungguh ironis, bukan?

Menghadapi kondisi ini, Bang Polan hanya berserah kepada Tuhan dan ia tetap meyakini bahwa apabila institusi tidak mengapresiasi apa yang sudah dilakukannya, maka Bang Polan tetap mendapati sisi baik bahwa untuk membawa perubahan atau kebaikan, memang ada harga yang harus dibayar. Sebuah perubahan memang membutuhkan pengorbanan.

Hingga pada suatu hari di bulan Nopember 2011, Bang Polan dipanggil Sekretaris DJBC untuk di-interview tentang

52Ka

rena

Kita

Gar

da

visi, misi dan harapannya bagi DJBC. Dalam banyak hal Bang Polan bercerita tentang harapan dan mimpinya bahwa perubahan menjadi DJBC yang lebih baik adalah suatu harga mati yang tak dapat ditawar lagi. Dan akhirnya, tanpa terduga sebuah apresiasi diberikan oleh institusi tercinta ini melalui Sekretaris bahwa Bang Polan ditempatkan di bagian yang sesuai dengan karakter dan visinya. Hebatnya lagi, ia dimutasikan ke kantor yang masih memungkinkannya bisa melihat Monas setiap hari!

Sebagai penutup dari kisah ini, bahwa walaupun terkabulnya keinginan Bang Polan untuk ditugaskan di kantor yang dekat dengan domisili keluarganya merupakan kebahagiaan tersendiri baginya, namun kebahagiaan terbesar yang Bang Polan rasakan justru terbebasnya ia dari perasaan bersalah yang selama ini menghantui dan menderanya karena pilihan hidupnya sendiri. Kebahagiaan terbesar bukan karena kita memiliki materi yang cukup dan melimpah, jabatan tertentu yang tinggi, maupun apresiasi yang didapatkan. Namun ia datang dari pilihan-pilihan tepat yang sesuai dengan hati nurani kita, yaitu pilihan hidup berintegritas kendati ada harga yang harus dibayar untuk itu.

53Kem

enterian Keuangan

Bukan Suatu Kebetulan

Kontan berita itu dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Berbagai media elektronik menjadikan peristiwa itu sebagai breaking news. Wajah-wajah tegang, penuh kekhawatiran serasa tak percaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang biasa ditonton di televisi nun jauh di sana kini sedang beraksi di depan mata. Satu per satu dengan tertunduk dan penuh penyesalan para pejabat dikawal dari lantai empat ke lantai tiga Ruang Kepatuhan Internal Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok Jakarta. Setumpuk ponsel berbagai merek yang disita KPK teronggok di sudut ruangan, berdering bersahutan tiada henti seakan menanyakan bagaimana nasib ayah, ibu, suami, istri, anak, atau saudara mereka yang belum pulang. Tak sedikit ponsel-ponsel itu berhenti berdering karena low batt namun kebanyakan sengaja dimatikan tim IT KPK untuk di-download semua informasi di dalamnya.

Pasca penggerebekan itu, Unit Kepatuhan Internal menjadi salah satu pihak yang dipersalahkan oleh berbagai kalangan. Mengapa tidak melakukan pencegahan? Mengapa tidak diselesaikan internal saja? Mengapa…? Mengapa…? Seakan seluruh telunjuk mengarah ke hidung

Oleh: Untung Setyo Margono,Pegawai DJBC

54Ka

rena

Kita

Gar

da

Unit Kepatuhan Internal sebagai biang keladi. Kegiatanku mengawasi ruangan PFPD kala itu turut menjadi sasaran pelampiasan kekesalan beberapa pejabat termasuk intimidasi kekerasan fisik. Ah, inikah risiko dari sebuah tugas yang dulu tidak pernah aku minta? Aku yakin pasti ini semua bukan suatu kebetulan.

Aku bersyukur bisa bergabung dengan generasi pertama Unit Kepatuhan Internal yang memang dirancang untuk mereduksi berbagai penyimpangan. Generasi ini kumpulan dari orang-orang yang memiliki keberanian dan integritas yang patut ditiru, setidaknya kemauannya untuk berubah mengawal reformasi birokrasi. Sosok setengah baya, Pak Wahid misalnya, keberaniannya telah menginspirasi kami semua. Suatu saat, karena sepak terjangnya dianggap mengusik pihak tertentu dan ada intimidasi terhadap keselamatan jiwanya, maka dengan tegar ia sampaikan di hadapan para kepala bidang, ”Kalau saya nanti dibunuh, saya minta dicari siapa pembunuh saya. Kalau tidak, ruh saya akan menghantui Bapak-Ibu sekalian.”

Entah karena sabotase atau kecelakaan murni, beberapa waktu sebelumnya Pak Wahid pernah menunjukkan sebuah koran dengan gambar mobilnya yang terbakar habis di jalan tol.

Kelugasan pegawai kepatuhan internal yang bekerja tanpa canggung ini dilatarbelakangi oleh kehidupan mereka yang sederhana. Jauh sebelum reformasi, aku sering memergoki Mas Widodo di area parkir motor Gedung B Kantor Pusat. Di jok motor bebek bututnya terlihat sebuah kardus besar yang diikat dengan potongan karet dari ban bekas. Aku baru tahu ternyata lelaki sederhana ini menjajakan belut goreng ke teman-teman kantor dan sebagian dititipkannya di koperasi.

Lebih fenomenal lagi kisah Mas Raharjo yang empat tahun lebih senior dariku. Mas Raharjo pernah mengumpulkan botol plastik dan kaleng untuk ditimbang secara kiloan. Bahkan selama bertahun-tahun, sepulang kantor Mas

55Kem

enterian Keuangan

Raharjo tanpa malu memarkirkan motornya di ujung jalan kampung untuk mengumpulkan setiap rupiah yang halal dari para penumpang ojek yang ia lakukan. Memang pengalaman ini mungkin tidak sedahsyat kisah seorang kepala sekolah yang diliput TV swasta tengah bergelut dengan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk mengais rezeki halal. Namun, buat seorang pegawai duane, pengalaman ini sungguh luar biasa. Sangat kontras dengan penuturan orang tua kita tentang kehebatan DJBC masa lalu itu. Bagi seorang Mas Raharjo menjaga anak istri dari uang haram merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar. Memang gaji DJBC kala itu tak sebanding dengan besarnya godaan dan nama besar DJBC.

Aku jadi malu. Mungkin mertuaku dulu juga terpesona karena statusku sebagai pegawai DJBC. Bisa jadi, mertuaku yang seorang dokter di RSUD, membayangkan kehidupan istriku bakalan makmur seperti dua orang kerabatnya yang dulu pegawai DJBC. Beberapa bulan berlalu, istriku dan mertuaku baru menyadari bahwa penghasilanku ternyata pas-pasan. Lebih heran lagi rumah mertuaku kupenuhi dengan komputer dan laptop milik teman-teman kantor yang kuperbaiki untuk mencari tambahan penghasilan. Pernah di tengah malam, Yamaha Force One-ku hampir saja terperosok ke selokan di sekitar Ciledug karena aku sangat mengantuk. Malam itu aku baru saja mengantar pesanan tiga buah Toshiba Tecra 8000 dari teman kantor yang tinggal di kawasan Mugeni, Rawamangun.

Kadang terpikir di benakku mengapa aku harus sesusah-payah ini? Sementara tanpa sengaja, suatu hari pernah kutemukan buku tabungan bank di dalam tas laptop yang akan kuperbaiki. Buku itu milik teman seruanganku. Luar biasa, kulihat deretan mutasi kredit bernilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah di sana! Ah… mengapa aku ber-su’udzon kepadanya? Mungkin ia punya usaha lain. Aku tak boleh iri, karena setiap jiwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban dari mana hartanya diperoleh. Bukankah setiap tetesan keringat dari jerih payah usaha

56Ka

rena

Kita

Gar

da

yang halal akan menggugurkan dosa-dosa? Aku juga selalu ingat nasihat seniorku, ”Ketika kita menghindari yang haram, Allah akan ganti dengan yang lebih baik dari yang halal.”

Ah… itu semua masa lalu, aku sangat bersyukur dengan adanya reformasi birokrasi yang dibarengi remunerasi. Apalagi di Tanjung Priok masih ada tambahan tunjangan kantor modern yang diirikan oleh teman-teman yang belum menerima. Sungguh amat zalim bagi mereka yang tidak bersyukur atas perubahan ini. Penghasilan yang cukup pantas dibandingkan dengan jutaan rakyat Indonesia yang bergelut dengan besaran bernama Upah Minimum Regional (UMR).

Sayangnya, kejadian Jumat kelabu itu telah melukai hati rakyat. DJBC yang digaji untuk menjaga penerimaan negara justru menyelewengkannya. Ini merupakan beban berat yang harus diemban Unit Kepatuhan Internal. Sikap tegas Pak Wahid, Mas Raharjo, diriku, dan kawan-kawan bukan tanpa risiko. Pak Wahid diancam pihak eksternal. Mas Raharjo, karena sikap kritisnya terhadap pola penanganan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sempat bersitegang dengan kepala kantor. Aku sendiri harus berhadapan dengan puluhan pejabat yang merasa terusik dengan pelaksanaan tugasku. Uh… terkadang kami merasa putus asa dengan kenyataan ini. Ingin rasanya aku ber-uzlah, meninggalkan Tanjung Priok untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

***

Suara burung gagak hitam yang asing di telingaku membangunkanku dari tidurku. Hawa dingin yang tidak biasa kurasakan menyelimuti sekujur tubuh. Kubuka mata, kubuka jendela…

Alhamdulillah aku sadar, aku telah berada ribuan kilometer dari Tanjung Priok, dari tempat yang membelenggu para pegawainya dengan bermacam godaan yang

57Kem

enterian Keuangan

membutuhkan kekuatan iman. Itulah tidur pertamaku di Higashimurayama-shi Tokyo. Tekadku untuk bisa melanjutkan S2 di luar negeri ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Kutancapkan dalam relung hatiku yang terdalam bahwa ini bukan suatu kebetulan. Aku harus berhasil. Aku harus berhasil! Menjadi yang terbaik! Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan amanah dari uang rakyat yang menyekolahkanku melalui program PPSDM. Aku berjanji tidak akan melewatkan waktuku di negara matahari terbit ini hanya untuk sight seeing. Aku harus belajar banyak dari negara matahari terbit ini untuk membangun institusiku.

Lokasi kampusku cukup unik, terletak di sekitar Roppongi

Hills Minato-ku Tokyo, salah satu kawasan elite di Jepang. Persis di sebelah kampus terdapat landasan helikopter milik militer AS hingga pada saat tertentu aku dapat menyaksikan helikopter mendarat. Di lokasi ini pulalah aku berlindung ketika gempa berkekuatan 8,9 skala richter menghantam jepang pada tanggal 11 Maret 2011. Di sebelah kiri kampusku berbatasan dengan The National Art Center

Tokyo. Di kala musim dingin atau panas yang ekstrem aku dan teman-teman sering melewati terowongan menuju museum ini dari Stasiun Nogizaka.

Berkumpul dengan pelajar dari mancanegara membuat semangat belajarku terpacu. Perpustakaan yang bersih dan tenang menjadi tempat favoritku untuk belajar. Setiap waktu salat tiba, aku dan teman-teman dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, dan Benua Afrika segera ke student lounge di mana pihak kampus menyediakan musala. Tak jarang setiap Jumat aku menjadi imam dan khatib di kampus. Karena asyiknya membaca buku atau menyelesaikan tugas, seringkali aku pulang larut malam. Aku harus menuju stasiun dengan segera karena butuh satu setengah jam untuk mencapai asrama. Kesalahan perhitungan bisa berakibat fatal karena terpaksa harus menginap di stasiun kalau kehabisan kereta.

58Ka

rena

Kita

Gar

da

Sungguh pelajaran penting kuperoleh dari perjalananku ini. Mengapa kota ini begitu aman? Puluhan kali aku pulang sendirian larut malam dari Roppongi melalui Nogizaka ke Harajuku, Sinjuku, Takadanobaba hingga Hagiyama Eki (stasiun) tak pernah seorang pun menggangguku. Kuperhatikan sekililingku. Aku tertarik dengan sebuah tulisan berbahasa Inggris ”Surveillance Camera in Operation”. Mataku refleks menatap ke berbagai sudut ruangan dan ternyata puluhan kamera terpasang di tempat-tempat strategis. Karena inikah kota ini aman? Aku jadi teringat bahwa di Tanjung Priok pun ada kamera semacam ini. Namun, mengapa efeknya tak seperti di sini?

Suatu ketika handphone temanku terjatuh entah di mana. Atas nasihat senpai (kakak kelas), ia diminta melaporkannya ke koban (kantor polisi). Seminggu kemudian sebuah panggilan dari koban mengabarkan bahwa handphone-nya telah ditemukan. Sungguh luar biasa. Sebuah tas yang ketinggalan di kereta pun seringkali bisa ditemukan di lost

and found di stasiun kereta.

Pengalaman teman sebelah kamarku cukup membuatku berdecak kagum. Ketika pulang dari sebuah taman, ia ingin segera mandi dan istirahat. Betapa kagetnya ketika ia merogoh saku celana, kunci kamarnya tidak ditemukan. Ia hubungi pengelola Takasago Student House untuk meminjam kunci cadangan, ternyata petugas tersebut tidak ada di tempat. Ia lemas dan putus asa. Kepada siapa hendak meminta tolong? Bayangan mandi air hangat dan tidur di kasur empuk pun sirna sudah. Lengketnya keringat yang membasahi pakaian menjadi pelengkap penderitaannya. Satu-satunya solusi, ia kembali ke taman yang jaraknya cukup jauh terus menyisiri tempat-tempat yang pernah ia lalui. Hatinya diselimuti keraguan, mungkinkah bisa menemukan sebatang kunci di tengah-tengah taman rumput yang begitu luas?

Di tengah keputusasaan ia pun langsung menuju ke pengelola taman. Subhanallah setelah menjelaskan sana-

59Kem

enterian Keuangan

sini, petugas menunjukkan sebuah kunci miliknya. Makoto-ni Arigatou GozaiMashita, berkali-kali temanku mengucapkan terima kasih kepada petugas taman sebagai tanda rasa syukur. Ternyata terhadap hal-hal yang sepele orang Jepang sangat menaruh perhatian.

Aku tak habis pikir bagaimana masyarakat yang dikenal sebagai penyembah matahari ini bisa sebegitu tertib? Jangankan mencuri atau korupsi, barang temuan yang bukan haknya saja mereka kembalikan ke pihak yang berwajib. Sangat kontras dengan negaraku yang penduduknya beragama. Korupsi merajalela, jangankan mengembalikan barang temuan, barang yang hati-hati dijaga seringkali hilang dicopet orang. Sayang aku lupa menanyakan ke sensei (guru) apakah ketertiban bangsa Jepang ini bawaan sejak lahir atau melalui proses yang panjang. Artinya, kalau melalui proses, aku berharap suatu saat negaraku akan mencapai kondisi ini.

Tak terasa waktu berlalu. Keseriusanku belajar tak sia sia. Dari 8 mata kuliah yang harus kuambil semua memperoleh grade A. Hanya satu mata kuliah tambahan yang memperoleh B. Profesor Hirono Ryokichi yang mengajar mata kuliah Development Assistance By International

Organization sangat terkesan dengan presentasiku. Profesor senior ini mantan praktisi yang sudah melanglang buana ke berbagai negara. Beberapa kali menjadi chairman dalam pertemuan internasional. Ketika menanyakan asal usulku ternyata ia sudah pernah juga ke Semarang.

Awal mulanya aku sudah mengira bahwa mata kuliah ini pro paham globalisasi yang dimotori oleh badan-badan internasional. Aku jadi teringat dengan kritik-kritik Pak Syaiful (widyaiswara) yang selalu mengatakan paham globalisasi dengan gombalisasi. Dengan lantang kusampaikan di depan forum bahwa globalisasi dan free

trade lebih menguntungkan negara-negara maju dengan multinational cooperation-nya. Mereka mendikte berbagai kebijakan yang menguntungkan negara mereka, sementara

60Ka

rena

Kita

Gar

da

kami, developing and underdevelopping countries harus meratifikasi. Aku secara khusus juga mengkritik kebijakan negara Jepang. ”Japanese is very smart. You produce a lot of

cars. But I don’t find a lot of cars here as in my country. I don’t

find traffic jam here as in my country.” Profesor termanggut-manggut menyetujui kritikku lalu meminta izin menyalin materi presentasiku.

Impianku untuk memperoleh gelar Master of Public Policy

tinggal satu langkah lagi. Aku harus mempertahankan tesisku. Dengan mengadopsi metodologi Fisman and Wei (2004), aku mengambil judul ”Import Tax, Non-Tariff Barrier,

Customs Reform and Evasion: Evidence from Indonesia Singapore

Billateral Trade.” Beberapa peneliti berusaha membuat parameter yang bisa mewakili tingkat penghindaran Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) atau tax evasion. Salah satu dependent variable yang digunakan adalah menghitung level discrepancy antara pemberitahuan ekspor di negara pengekspor dengan pemberitahuan impor di negara pengimpor sebagai proxy tax evasion. Dalam tesisku ini aku menganalisis data ekspor dan impor antara Indonesia dengan Singapura. Hasilnya cukup mengejutkan. Hasil regresi sebelum dan sesudah reformasi ternyata tidak menunjukkan adanya penurunan tax evasion yang signifikan. Namun, untuk Non-Tariff Barrier terjadi penurunan yang signifikan yang barangkali dipicu oleh kepastian janji layanan, transparansi sistem dan prosedur perizinan, serta peluncuran INSW.

Berdasarkan simpulan ini salah satu saran yang kuajukan untuk mengurangi tax evasion adalah ”Deepening and

enhancing customs integrity”. Perlu tindakan-tindakan yang serius (kalau perlu radikal) untuk mengatasi masalah ini. Hongkong pada tahun 1974 mengganti seluruh polisi dan jaksa karena diduga terlibat korupsi. Tiongkok pada tahun 2007 telah mengeksekusi sekitar 4.800 orang karena terbukti korupsi. Memang extraordinary crime perlu disadarkan melalui extraordinary punishment yang extra

judicial. Tuhan sendiri mengajarkan dalam batas-batas

61Kem

enterian Keuangan

dan alasan tertentu seseorang patut mendapat hukuman potong tangan. Terkadang kita melihat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dari sisi pelaku tetapi tidak melihat pelanggaran HAM yang ditimbulkan dari tindakan pelaku yang jauh lebih masif.

Berbagai pertanyaan, sanggahan, dan komentar dari profesor dalam final defense telah kuselesaikan dengan baik. Sampai akhirnya sebuah email kuterima dari Academic

Support Team yang berisi:

Dear Students,

We are pleased to inform you that you are receiving Dean’s Award

on the graduation ceremony. To give you some instructions on the

procedures for receiving the Award, we would like to ask you to be

in front of Sokairou Hall at 14:15 on Friday, September 16.

Should you have any questions, please do not hesitate to contact us.

Best regards,

Academic Support Team

National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS)

Subhanallah! Alhamdulillah! Ku bersujud seketika setelah membaca kata demi kata dalam email itu. Bibirku tak henti-hentinya mengucapkan syukur atas kemudahan yang Allah berikan selama studi. Sementara aku tak kuasa menahan derasnya air mata yang terus mengalir membasahi sajadahku. Aku masih tak percaya bisa mencapai ini semua.

Dean Awards yang diimpikan oleh setiap student, tahun ini menjadi miliku. Aku terpilih menjadi salah satu dari delapan orang terbaik dari masing-masing jurusan. Aku juga berkesempatan berdiri di Sokairou Hall tempat di mana Pak Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan ceramah ilmiah pada tanggal 31 Mei 2012. Disaksikan para profesor dan perwakilan dari berbagai negara kami bersalaman dengan President GRIPS, Takeshi Siraishi, dan berfoto bersama Dean Tatsuo Oyama. Selama setahun ini, foto kami berdelapan terpampang di portal GRIPS alumni.

62Ka

rena

Kita

Gar

da

Terimakasih ya Allah, atas segala karunia-Mu. Kembali kuyakini bahwa semua ini bukan suatu kebetulan.

***

Sekembalinya ke Indonesia, tak kusangka aku ditempatkan sebagai Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) di KPU Tipe A Tanjung Priok Jakarta. Tempat di mana aku dulu mengawasi para pejabat. Kini aku merasakan betapa berat godaan sebagai PFPD. Batinku selalu bergolak antara menjunjung tinggi amanah dengan godaan materi yang merayu-rayu menjanjikan kenikmatan dunia. Kubayangkan hampir seratus orang PFPD mendapatkan godaan yang sama. Terjadi pertarungan sengit di setiap batin PFPD, pertarungan antara harimau baik dan jahat. Dan dapat dipastikan pemenangnya adalah harimau mana yang lebih banyak diberi makan tiap hari. Dari sini pula aku memperoleh jawaban mengapa tidak terjadi penurunan tax

evasion yang signifikan setelah reformasi. Semoga semua ini segera berlalu dengan upaya-upaya perbaikan yang terus dilakukan.

Aku sangat sedih mendengar kabar teman baikku yang selalu kujadikan teladan telah secara resmi meninggalkan DJBC untuk selamanya. Jabatan dan penghasilan yang besar sebagai kepala seksi di Tanjung Priok ternyata tak mampu menghalangi kecintaannya terhadap akhirat. Ia rela mejadi kasir di sebuah warung makan dengan penghasilan yang seadanya tetapi dipastikan halal. Sekarang kudengar ia menjadi guru SD di sebuah sekolah Islam dengan gaji sepersepuluh dari pendapatannya sebagai pejabat DJBC.

Ah, aku belum mampu mengikuti langkahnya. Sebagai pilihan, aku harus berbuat yang terbaik di DJBC untuk kelak ku pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sungguh, seandainya aku paham, sangat berat menjadi abdi negara karena ”Barang siapa ditunjuk sebagai pemimpin, kemudian ia meninggal dalam keadaan membohongi rakyatnya, maka ia tidak akan mencium bau surga”. Namun apa daya, sekarang aku berada di sini.

63Kem

enterian Keuangan

Aku yakin, mengapa Allah menggerakkan tangan-tangan di Bagian Kepegawaian sehingga aku ditempatkan di sini. Aku yakin ini bukan suatu kebetulan. Aku yakin siapa pun kita, apa pun posisinya sekarang, bukanlah suatu kebetulan menduduki jabatan itu, karena kelak semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah dilakukan. Wallahu a’lam.

Barang siapa ditunjuk sebagai pemimpin, kemudian ia meninggal dalam keadaan membohongi rakyatnya, maka ia tidak akan mencium bau surga.

64Ka

rena

Kita

Gar

da

Semua nama tokoh dalam cerita ini adalah samaran, namun

cerita yang disampaikan adalah yang sebenarnya.

Petugas yang satu ini sedang duduk di meja cokelat terbuat dari kayu sambil mengerjakan tumpukan dokumen yang harus segera diselesaikan. Ia akrab dipanggil Goby oleh teman-teman seruangannya. Kali ini ia begitu bersemangat menyelesaikan enam dokumen dengan permasalahan yang sama, semuanya menyangkut kesalahan uraian barang. ”Pak Goby, PNBP-nya sudah saya bayar!” teriak salah seorang pengurus yang biasa dipanggil dengan sebutan PPJK.

Posisi loket yang berjeruji dan letak lantai yang agak tinggi memang sedikit menyulitkan para pengguna jasa yang berurusan dengan administrasi manifest. Sementara itu pembangunan gedung yang belum selesai membuat lapangan parkir motor menjadi lokasi yang paling nyaman untuk minum kopi, merokok, makan gorengan sambil menunggu dokumen yang mereka urus akan diselesaikan hari itu juga.

Membayar PNBP sebesar 50 ribu rupiah adalah kewajiban

Terminal Tas

Oleh: Hiras Nomensen Pangaribuan,Pegawai DJBC

65Kem

enterian Keuangan

sebelum dilakukan perbaikan data dalam aplikasi manifest. Setelah memastikan kembali bahwa telah dilakukan perubahan pada aplikasi, pegawai PPJK yang berteriak tadi akan berlari dengan cepat ke arah gudang tempat barangnya tertahan.

Goby sedang membolak-balik halaman Majalah Warta Bea Cukai edisi April 2010 ketika mendadak dari arah belakang muncul seorang pelajar SMK yang sedang magang membawa nota dinas dan buku ekspedisi.

“Pak Goby, mau ngantar dokumen,” ujar si pelajar SMK pelan namun jelas terdengar. Keringat sedikit bercucuran dari dahinya.

“Oh, iya, Dek. Tanda tangan di sini ‘kan?”

”Iya Pak, sama tanggalnya juga ya, Pak.” Goby pun membubuhkan tanda tangannya.

“Terima kasih, Pak Goby,” ucap si pembawa nota dinas sambil berlalu meninggalkan ruangan dengan membawa kertas yang sama untuk diantarkan ke unit seksi yang lain.

Nota dinas yang diterima Goby perihal pemindahan pegawai. Ada enam orang yang dipindahkan. Namanya berada di urutan kedua setelah teman seruangannya yang juga ikut di-rolling. Tempat tugas yang baru bagi Goby adalah Pelayanan di Terminal yang berada di bawah pengawasan Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai. Tepat tanggal hari itu sudah setahun enam bulan Goby mengabdikan dirinya di Seksi Administrasi Manifest. Setelah sekian banyak isu rolling pegawai (istilah yang sering dibicarakan di kalangan pegawai), Goby harus meninggalkan tempat kerja yang sehari-harinya ia habiskan dengan duduk, mengetik, dan bergumul dengan dokumen setiap jamnya.

Tertulis dengan cetak tebal di bagian akhir nota dinas, Goby diwajibkan untuk melapor dan bertugas di unit kerja yang baru tiga hari terhitung dari tanggal yang ada di sudut

66Ka

rena

Kita

Gar

da

kanan atas nota dinas. Tanpa menunggu waktu, segera ia melapor kepada kepala seksinya untuk meminta izin meninggalkan unitnya yang lama.

***

“Hari yang baru, tempat kerja yang baru.” Goby berkata dalam hatinya. Ia memutar kunci motor matic dan membiarkannya menyala agar mesin motornya panas. Sambil menunggu motornya selesai ia panasi, Goby pun bersiap-siap dengan seragam yang selama menjadi pegawai belum pernah dipakainya. Setelan khas khusus untuk bertugas di lapangan berupa kemeja lengan panjang berwarna biru tua gelap. Sebelumnya sudah ada yang mengingatkannya bahwa untuk pegawai khusus di terminal penumpang menggunakan Pakaian Dinas Lapangan (PDL). Perlahan dihirupnya harum seragam barunya ini. Tercium bau khas pakaian yang cukup lama tersimpan di lemari. Bahkan Goby pun masih ingat kalau seragam itu pertama kali ia dapatkan 4 tahun yang lalu saat masih menjadi CPNS.

Diperiksanya lagi kelengkapan seragam yang ia kenakan. Sepatu dinas yang tersemir hingga mengilat, ikat pinggang baru, bivak yang telah disetrika malam sebelumnya, pin bertuliskan slogan ”Menjadi Lebih Baik” berwarna keemasan melekat di seragam baru, kartu identitas pegawai Kementerian Keuangan dan terakhir kartu pas khusus bandara yang diterbitkan oleh Administrator Bandara. Hmm… hari ini benar-benar penampilan istimewa Goby.

Goby juga mendapatkan informasi bahwa pintu masuk khusus petugas di terminal adalah melalui pintu ”Meeting

Point”. Pintu ini letaknya di lantai dasar dan berada di tengah-tengah terminal. Goby pun mengikuti panduan yang tertera pada papan kuning dan masuk melalui pintu khusus yang dijaga oleh beberapa petugas keamanan bandara. “Sepi sekali,” pikirnya.

Goby pun melihat sekelilingnya. Jam menunjukkan tepat pukul tujuh pagi dan belum terlihat seorang pun

67Kem

enterian Keuangan

di Terminal 2D. Terminal Kedatangan Internasional di Bandara Soekarno-Hatta terbagi atas dua terminal, terminal 2D dan 2E. Terminal 2E khusus penerbangan Garuda Indonesia dan Lion Air, sedangkan penerbangan selebihnya mendarat di terminal 2D. Begitu informasi yang didapatkan dari temannya di Seksi Administrasi Manifest yang sebelumnya pernah bertugas di terminal. ”Hmm… udaranya dingin banget,” gumam Goby sambil melipat kedua tangannya ke dalam jaket hitam yang dipakainya sejak berkendara dari rumah.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Jaket yang dipakai saja tidak cukup untuk menahan udara dingin yang menusuk tulangnya. Dari kejauhan hanya terlihat dua orang petugas kebersihan yang telah terbiasa dengan udara dingin, sibuk menyapu dan mengepel lantai. Memang ada perbedaan yang mencolok antara lantai yang sudah dibersihkan dengan alat khusus berbentuk bundar dan pengoperasiannya menggunakan mesin itu. Bayangan pantulan sinar lampu pada lantai yang telah dibersihkan terlihat dengan jelas. Sebaliknya, bagian lantai yang belum dibersihkan berwarna buram dan kasar.

Tok, tok, tok. Goby mengetuk pintu ruangan kepala seksinya.

“Iya, masuk,” terdengar sahutan dari dalam ruangan. Goby pun masuk.

“Selamat pagi, Pak. Nama saya Goby.”

“Oh iya, Goby, selamat pagi. Silakan duduk. Selamat datang di terminal.” “Siap, Pak,” jawab Goby dengan bersemangat.

Ada nama ‘Reynald’ tertera di sudut atas kantong seragam sang kepala seksi. “Nama saya Reynald,” ujar kepala seksi tersebut. Kalimatnya membuyarkan pandangan Goby yang terlihat jelas amat fokus ke arah badge nama pada seragam atasan barunya itu. ”Tapi, panggilan akrab saya Ray. Jadi, tidak usah sungkan-sungkan memanggil saya dengan nama

68Ka

rena

Kita

Gar

da

Ray,” tegas Pak Reynald penuh wibawa.

“Baik, Pak.”

“Hari ini kebetulan ada petugas kita yang sedang berhalangan, jadi saya minta bantuan Goby untuk cepat menyesuaikan diri dengan teman-teman yang lain ya. Jika ada yang perlu ditanyakan mengenai cara kerja di sini, bisa bertanya pada saya,” jelas Pak Ray. ”Nah, sekarang Goby bisa sarapan dulu di ruang sebelah, kita sudah menyediakan sarapan untuk semua pegawai yang dipotong setiap bulannya dari uang makan,” tambahnya lagi.

Pak Ray tampaknya mudah akrab dengan siapa saja. Sesaat setelah keluar dari ruangan Pak Ray, Goby pun masuk ke ruang makan yang posisinya tepat berada di sebelah ruangan Pak Ray. Ruang makan berisi dua buah kursi panjang dengan meja makan kecil di tengah. Di sudut ruangan ada sebuah televisi dan di sampingnya terdapat lemari kayu dengan enam belas nomor berurut pada setiap pintunya. Tampaknya lemari ini berfungsi sebagai semacam locker yang digunakan untuk menyimpan barang-barang pegawai.

“Dek, ayo sarapan dulu,” sapa ramah seorang pegawai berusia empat puluhan yang ada di sana. ”Kalau yang karetnya satu isinya telur, terus kalau karetnya dua isinya rendang tuh, Dek”.

“Iya, Pak, terima kasih. Tadi sebelum berangkat saya sudah sarapan di rumah,” jawab Goby.

“Oh, kalau gitu minum teh manis dululah di sini. Yang kemarin kena rolling-an ya, Dek?”

“Goby, nanti bantu teman-teman yang di E ya! Tadi saya lupa bilangin kamu.” Tiba-tiba Pak Ray telah berdiri di pintu ruang makan.

“Siap, Pak. Jadi, saya di E ya, Pak?” tanya Goby memastikan kembali.

69Kem

enterian Keuangan

“Pak, saya izin ke E dulu,” pamitnya pada Bapak yang tadi menawarinya sarapan.

Sambil berjalan ke arah terminal 2E, diperhatikannya conveyor belt yang berbentuk seperti huruf U di Terminal 2D. Ada lima buah conveyor belt di sana. Conveyor belt nomor lima dan enam dipisahkan oleh antrean imigrasi yang tepat berada di depan ‘Meeting Point ’. Terminal Kedatangan 2E dimulai dari conveyor belt nomor enam sampai nomor delapan. Salah satu alasan mengapa di terminal 2D lebih banyak conveyor belt-nya adalah karena jumlah penerbangan yang mendarat di terminal 2D lebih banyak dari terminal 2E.

Sesampainya di terminal 2E, Goby mendapati lima ruangan khusus untuk Bea Cukai di sana. Ada ruang kasir, ruang makan/dapur, ruang administrasi, ruang kasubsi dan gudang untuk barang-barang penumpang yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya. Di depan conveyor belt

nomor delapan, terdapat pemeriksaan Bea Cukai yang menggunakan tiga buah mesin X-ray. Dua buah mesin X-ray model lama dan satu buah mesin X-ray model baru (sepertinya sudah lama tidak digunakan karena bentuknya yang terlalu besar dan menyulitkan untuk memasukkan barang/bagasi).

Setelah meletakkan jaket yang dipakainya di ruang administrasi, Goby pun menemui seorang petugas yang berdiri tepat di belakang mesin X-ray yang letaknya berdekatan dengan ruang kasir. ”Pagi, Pak,” sapanya pada pegawai yang berseragam lengan panjang juga itu.

”Pagi, Goby. Tadi udah ketemu sama Pak Ray?”

“Sudah, Pak”

“Bagus. Saya Otto. Kita sama-sama pemeriksa barang di sini. Tugas kita di sini ada dua, memeriksa barang penumpang dan menerima CD. Tahu CD ‘kan?” Petugas bernama Otto itu memandangnya dengan sedikit ragu.

70Ka

rena

Kita

Gar

da

”Tahu, Pak. Sebelumnya saya sudah baca aturan tentang penumpang kok,” sahut Goby meyakinkan.

“Baguslah,” ujar Otto lega.

”Karena hari ini hanya ada Goby dan saya yang jaga, kita ganti-gantian memeriksa barang dan menerima CD-nya ya? Nanti Goby bisa memperhatikan saya waktu menerima CD dan memeriksa barang,” tuturnya lagi.

“Baik, Pak.”

“Nah, teman kita yang di P2 yang nanti menentukan barang-barang mana saja yang akan kita periksa. Pokoknya lihatin saya dulu aja deh,” jelas Otto menambahkan.

Tak berapa lama kemudian, terdengar pengumuman bahwa pesawat Garuda Indonesia dari Amsterdam mendarat. Setengah jam setelah pengumuman barulah terlihat penumpang keluar dari imigrasi dan menunggu bagasi di conveyor belt nomor tujuh. Seluruh penumpangnya adalah orang asing (istilah yang cocok dipanggil bule). Tampaknya para penumpang ini tergabung dalam rombongan sebuah tur perjalanan. Sekalipun beberapa penumpang sudah memperoleh barang bagasinya, mereka masih menunggu temannya yang lain yang belum mendapatkan bagasi. Baru setelah conveyor belt berhenti dan semua barang bagasi berada di troli, seorang pemandu tur berjalan ke arah Otto.

“Pagi, Pak Otto,” Sapa pemandu tur dengan akrab. Agaknya ia mengenali nama Otto dari seragam dinas yang dikenakan Otto.

“Pagi. Ada rombongan tur ke mana nih?” Tanya Otto.

“Mau ke Bali semua, Pak.”

“Okey, Sir and Mam, please your Customs Form,” Teriak Otto dengan bangganya karena bisa menggunakan bahasa Inggris dengan fasih.

“Good Morning, Sir. Please your hand carry, please.” “Good

71Kem

enterian Keuangan

“Morning, Mam. Please your hand bag, please.” “No baggage, hand

carry only.”

“Thank you, Sir.” “Thank you, Mam.”

Berulang-ulang Otto mengulangi kalimat tersebut dan terlihat senyum ramah para penumpang menanggapinya. Seluruhnya mengikuti panduan Otto dan dengan senang hati memasukkan barang bagasi mereka ke dalam mesin X-ray. Seluruh penumpang membalas keramahan Otto dengan senyuman. Agaknya mereka benar-benar merasakan kehangatan dan keramahan orang-orang Indonesia--termasuk Otto, dalam perjalanan wisata beberapa hari mereka di tanah air.

Petugas dari P2 memperhatikan dengan teliti warna-warna yang berjalan di layar mesin X-ray. Mengamati warna hijau, jingga, dan biru, sambil sesekali menekan tombol-tombol tertentu yang bermaksud untuk memperjelas benda yang mungkin terlihat samar-samar. Namun, pada penerbangan kali ini tidak ada seorang penumpang pun yang diperiksa. Umumnya penumpang yang mengikuti tur perjalanan sudah terlebih dahulu mendapat arahan dari pemandu tur tentang aturan mengenai barang-barang apa saja yang dilarang dibawa ke Indonesia.

Biasanya mereka hanya membawa barang-barang keperluan pribadi seadanya saja dan paling tidak suka membawa barang-barang yang berisiko membuat masalah selama dalam perjalanan.

Setelah penumpang yang terakhir memasukkan tas tangannya ke mesin X- ray, terdengar kembali pengumuman tentang pemberitahuan pendaratan Garuda Indonesia dari Singapura.

“Goby, CD yang dikumpulkan ini nanti diserahkan ke teman kita yang di administrasi untuk diarsipkan. Penumpang dari tur biasanya baik-baik semua. Mereka nggak suka bawa yang aneh-aneh.” Tutur Otto. ”Nah,

72Ka

rena

Kita

Gar

da

sebentar lagi penumpang yang dari Singapore biasanya banyak orang kita. Orang-orang kita sendiri ini yang biasanya suka bawa yang aneh-aneh. Diminta untuk memasukkan barangnya ke mesin X-ray saja banyak yang marah-marah, padahal kalau mereka di Singapore nggak ada juga yang berani macam-macam tuh!”

“Sewaktu saya nanti menerima CD, kalau ada barang yang mau diperiksa, diperiksa aja. Nanti membongkar barangnya hati-hati dan kalau bisa mintakan sama penumpangnya saja untuk membongkar barangnya sendiri. Nah, nanti tanyakan sama teman kita yang di P2, bagian di bagasinya yang mana yang perlu diperiksa. Jangan dibongkar semua karena terkadang penumpang tidak suka kalau kita mengacak-acak barangnya tanpa sebab yang tidak jelas,” tambah Otto panjang lebar plus wanti-wanti agar Goby berhati-hati saat memeriksa barang penumpang nanti.

“Siap, Pak Otto.”

Dan memang, terjadi pemandangan yang berbeda sekali dengan pemandangan yang sebelumnya. Dengan langkah terburu-buru seperti mengejar janji yang sudah terlambat, seorang eksekutif muda dengan setelan jas dan tas laptop memberikan Customs Form-nya kepada Otto.

“Selamat Pagi, Pak.” Sapa Otto. Tidak ada balasan kata atau bahkan senyum pun tidak dari si penumpang. Dengan cueknya penumpang ini memasukkan barang bawaannya ke mesin X-ray.

Beberapa penumpang yang kedatangannya ke Jakarta untuk kepentingan bisnis juga terlihat kurang ramah. Hanya sedikit penumpang yang membalas sapaan Otto. Namun, agaknya Otto tidak terlalu mempersoalkan apakah sapaannya dibalas atau tidak.

“Maaf, Bu, tentengannya tolong dimasukkan ke X-ray ya. Koper yang ini juga,” sapa Goby pada seorang penumpang.

Tidak ada responss. Sambil asyik bertelepon, seorang

73Kem

enterian Keuangan

perempuan setengah baya berjalan saja dengan santainya melewati Goby.

“Bu, tolong tentengan dan kopernya dimasukkan ke mesin X-ray dulu!”

Si ibu yang sedang asyik bertelepon-ria itu tetap tak peduli pada permintaan Goby.

“Bu! Tolong HP-nya dimatikan dulu. Tentengan sama kopernya dimasukkan ke X-ray ya,” kejar Goby sambil berlari memanggil si ibu yang hampir mendekati pintu keluar itu.

“Bentar ya, Mbak Yuli. Bapak ini dari tadi ngeganggu terus. Yang mana, Pak?!” tanyanya gusar.

“Tentengan sama kopernya, Bu.” Sahut Goby agak terengah-engah.

“’Kan tadi di Singapore sudah diperiksa, kenapa di sini diperiksa lagi sih, Pak?” protes si ibu. “Lagian pulang ke negeri sendiri, kok di scan-scan segala. Kan saya nggak ada bawa narkoba. Bapak udah lihat Customs Form saya belum? Ini green channel ‘kan? Ngga ada yang saya declare Pak, jadi untuk apa lagi tas sama koper saya diperiksa-periksa?”

“Bukan begitu, Bu. Kami hanya memastikan saja. Semua barang tentengan memang harus masuk mesin X-ray, sedangkan barang bagasi Ibu kita periksa secara random. Semua penumpang kami perlakukan sama, jadi mohon kerja samanya ya, Bu. Kalau memang tidak ada barang yang aneh-aneh, pasti ibu tidak berkeberatan bagasinya di-scan ‘kan, Bu?” Jelas Goby.

“Kopernya berat, Pak!” tukas si ibu cepat.

“Sini saya bantu, Bu.”

Untuk barang bagasi, petugas dari P2 yang melakukan pemeriksaan bagasi berada di belakang conveyor belt. Jika ada bagasi yang dicurigai dan memerlukan perhatian khusus,

74Ka

rena

Kita

Gar

da

petugas akan memberikan tanda khusus di bagasi tersebut. Tanda khusus inilah yang menjadi panduan bagi petugas pemeriksa barang untuk memastikan kembali bahwa barang tersebut perlu dilakukan pemeriksaan fisik atau tidak.

Petugas P2 melihat di mesin X-ray bahwa di tentengan terdapat tas dalam kondisi baru. Di dalam koper juga terlihat ada dua buah tas lagi seperti dalam keadaan baru. Petugas P2 meminta Goby untuk melakukan pemeriksaan fisik atas barang-barang yang dibawa penumpang paruh baya tersebut.

“Ibu, maaf, tentengan sama kopernya diperiksa dulu”

“Aduuhhh, Pak, kok saya dipersulit-sulit gini sih! Tadi disuruh masukkan ke mesin scan, sekarang mau dibongkar-bongkar lagi,” sahut si ibu kesal.

“Iya, Bu. Mohon maaf, kami melihat di mesin scan ada barang yang mencurigakan. Jadi kami perlu memeriksa secara detail barang yang Ibu bawa.”

“Terserah Bapaklah! Pokoknya saya nggak mau barang saya diacak-acak apalagi sampai rusak. Kalau ada apa-apa sama barang saya, Bapak yang tanggung jawab. Saya nggak mau tahu!”

“Iya, Bu. Saya pastikan barang Ibu aman selama dalam pemeriksaan saya.” Goby membantu ibu tersebut mengangkat kopernya ke meja tumbang. Sambil menunggu ibu tersebut membuka kunci koper, Goby membuka dan melihat isi dalam tas tentengan si penumpang.

“Tas ini baru ya, Bu?” tanyanya.

“Iyalah, Pak! Bapak nggak lihat labelnya? Bapak ini gimana sih? Emangnya Bapak nggak bisa bedain tas yang baru sama yang lama apa?”

Setelah membuka kopernya, ibu tersebut menunjukkan ada

75Kem

enterian Keuangan

dua tas lagi dalam kopernya dengan merek yang berbeda. Ketiga tas tersebut merupakan merek-merek yang ternama yang harganya selangit.

“Tas ini juga baru kok, Pak! Baru saya beli dari Singapore,” jelas si ibu bangga.

“Oh, harganya berapaan, Bu?”

“Beda-beda Pak. Kalau yang ini harganya kurang lebih delapan ribuan dollar gitulah. Tas ini saya pakai sendiri. Nah, kalau yang ini buat oleh-oleh keluarga saya di sini. Yang dua ini harganya kira-kira empat ribu dollar. Memangnya kenapa, Pak?”

“Hmm, boleh saya lihat paspor Ibu?” Meski enggan, si ibu itu pun menyerahkan paspornya pada Goby. Terlihat nama yang tertera di paspor tersebut, Angelica Riyani.

“Tadi Ibu Angelica sudah mengisi customs form-nya?”

“Sudah, Pak. Tadi saya kasih sama Bapak yang cerewet itu di sana.”

Goby pun menghampiri Otto dan meminta customs form atas nama Angelica Riyani. Dilihatnya pengisian customs form tersebut, satu pun tidak ada yang dicentang pada pilihan ”Ya”. Seluruhnya dicentang pada pilihan ”Tidak”.

“Sebelum Ibu mengisi customs form ini, apakah Ibu sudah membaca terlebih dahulu?”

“Sudah Pak, barang ini ‘kan barang pribadi saya semua.”

“Ibu Angel membeli dan membawa barang melebihi batas yang ditetapkan yaitu 250 dollar per orang.”

“Terus?”

“Untuk kelebihan tersebut, Ibu Angel harus membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor ke negara.”

“Pajak apaan, Pak? ‘Kan di situ nggak ada diberitahukan

76Ka

rena

Kita

Gar

da

kalau saya harus bayar pajak? Tadi pas di Singapore saya juga nggak ditanya-tanyain seperti ini. Selain saya, tadi banyak juga kok yang bawa tas seperti ini, nggak ada yang diperiksa, kenapa hanya saya saja yang diperiksa? Bapak diskriminasi dong namanya kalau begitu!”

“Bukan begitu, Bu ….”

“Bukan begitu bagaimana, Pak? Kalau batasannya 250 dollar, semua orang yang satu pesawat sama saya pasti juga belanja di Singapore. Pasti lebih, nggak mungkin nggak. Bapak periksa aja tuh semua barang bagasi mereka! Jadi Bapak jangan hanya nyuruh saya bayar pajak, mereka suruh bayar pajak juga. Itu baru adil namanya!”

“Iya ibu Angel, ibu bisa ikut saya ke ruang kasir sekarang. Nanti mengenai berapa jumlah pajak yang ibu harus bayar, kita hitung sama-sama di sana ya.”

“Ah, sudahlah, Pak. Saya buru-buru ini, saya ada janji sama anggota DPR siang ini.”

“Proses pembayarannya tidak lama, Bu. Setelah Ibu membayar pajaknya, Ibu nanti akan menerima bukti pembayaran dan Ibu dapat memastikan di kantor pajak bahwa pajak yang Ibu setorkan seluruhnya masuk ke kas negara.”

“Saya nggak percaya, Pak! Bapak satu intansi sama pegawai pajak yang baru tertangkap itu ‘kan? Kita baik-baik bayar pajak, eh bapak-bapak sekalian enak-enak makan uang kita.”

Sembari mengeluarkan dompet dari tas tangannya, beberapa lembar uang pecahan 100 dollar disodorkan kepada Goby.

“Udahlah, Pak, saya nggak mau lama-lama. Di sini aja.”

“ Maaf, Ibu, tidak bisa!”

“Pak Bea Cukai, saya kenal dekat dengan anggota DPR. Sudah baik saya mau ngasih uang ini sama Bapak. Udah,

77Kem

enterian Keuangan

Pak, terima saja, lumayan buat tambah- tambah penghasilan Bapak”.

“Mohon maaf, Bu. Gaji yang negara berikan kepada saya sudah lebih dari cukup.”

“Bapak jangan sok sucilah, semua orang juga tahu kok, Pak. Lagian ‘kan cuman ada Bapak dan saya di sini. Nggak ada yang lihat, Pak!”

“Sekali lagi mohon maaf, Bu.”

Sampai berulang kali, Bu Angelica terus menyodorkan uang kepada Goby dan berulang kali pula Goby berkukuh menolak. Bu Angelica pun mencoba menghubungi beberapa kenalan yang menurut pengakuannya anggota DPR.

Akhirnya setelah dilakukan perhitungan atas tas yang dibawa Bu Angelica, berdasarkan bahan baku pembuatnya, tas tersebut terkena pajak pertambahan nilai barang mewah yang menyebabkan nilai pajaknya semakin tinggi.

Setelah beberapa lama terjadi perdebatan, Bu Angelica memutuskan untuk tidak membayar pajak tersebut dan menerima selembar kertas yang menerangkan bahwa tas tersebut dititipkan kepada Bea Cukai dengan batas waktu pengambilan dan pembayaran adalah 30 hari. Tas-tas tersebut pun masuk ke dalam suatu ruang khusus penyimpanan milik Bea Cukai yang berisi barang-barang yang belum diselesaikan kewajiban pabeaannya.

Goby dan Otto terus saja bergantian memeriksa barang penumpang dan menerima CD. Mereka berdua tetap melaksanakan tugas dengan penuh senyum sekalipun setiap harinya banyak menghadapi perlakuan yang tidak sopan dari penumpang. Mereka sadar bahwa kesempatan terbuka begitu luas untuk dapat memperkaya diri, tapi mereka tidak lakukan karena mereka punya harga diri yang tidak bisa dibeli.

78Ka

rena

Kita

Gar

da

. . . . . .

Klender , Rawamangun 1994

Malam semakin menua, tertatih pelan menuju hari yang baru. Hening. Tiada lagi hiruk-pikuk keributan dari tetangga sebelah. Gang sempit berdebu di depan rumah tampak lengang setelah seharian menggeliat dalam terik matahari, bercampur keringat orang-orang yang sibuk mencari nafkah. Rumah-rumah petak di seputaran rumah seakan tertidur pulas, menyembuhkan lelah dalam getirnya hidup para penghuninya. Tukang minyak, sopir angkot, teman seprofesiku –tukang ojek, barangkali sudah terlempar dalam pusaran mimpi. Mimpi tentang hidup yang lebih baik. Mimpi memiliki rumah sendiri walau sekadar rumah sederhana tipe 21 berdinding batako, beratap asbes, bukan rumah petak kontrakan di gang sempit. Rumah yang ada halamannya, tempat istrinya akan menanam sayur-sayuran dan barangkali, bunga bakung. Maka ia akan memandanginya dari teras setelah lelah bekerja, sambil menghirup secangkir kopi pahit. Gambaran hidup yang begitu sempurna.

Kalau aku sendiri jarang bermimpi, tapi kalau mau disebut sebuah impian aku berharap punya motor yang sehat,

Oleh: Teguh Iman Subagyo,Pegawai DJBC

79Kem

enterian Keuangan

tidak suka mogok. Motorku sekarang, bebek keluaran tahun ‘74 memang paling hobi mogok. Bayangkan setelah lama antre, nangkring stand by menunggu penumpang dengan pose bak “The Doctor” Valentino Rossi, begitu dapat dan naik di boncengan, eh, malah motornya mogok. ”Gua kepret juga nih motor.“ Rutukku dalam hati, macam menteri kalau lagi dongkol. ”Astaghfirullahaladzim,” bisik malaikat mengingatkan. Sebenarnya aku juga maklum, dia sudah terlalu uzur. Boro-boro ngebut, jalan pelan-pelan saja sudah ngos-ngosan. Ibarat kakek tua bongkok disuruh menggendong dua cucunya yang sudah mulai besar-besar. Tersengal, batuk-batuk, nanjak dikit langsung loyo, menyerah minta ampun. Tapi bagaimanapun juga aku sayang banget sama dia, karena setelah bertahun-tahun meng-onthel sepeda butut, akhirnya kebeli juga sepeda motor. Sebuah lompatan kesejahteraan yang signifikan, sebuah quantum leap. Ini terjadi berkat sebuah ST (Surat tugas) audit ke luar kota, tepatnya ke Purwakarta. Sisa uang SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) kusisihkan untuk membeli motor seharga enam ratus ribu rupiah. Sebuah kemewahan, setelah kemana-mana nggowes sepeda onthel. Tentu bukan karena mengikuti lifestyle hidup sehat, Mas Bro. Tapi karena tuntutan hidup yang memaksa harus super ngirit. Bahkan Klender – Blok M seminggu sekali kulibas, demi sebuah pengajian istimewa seorang ustaz. Walaupun risikonya adalah dengkul serasa mau copot, hampir pingsan, tapi tetap kujalani dengan mencoba tetap tersenyum karena memang tidak ada pilihan.

Kupandangi wajah istriku yang tertidur pulas. Wajahnya cantiknya menampakkan gurat-gurat lelah. Mungkin tidak pernah terbayang harus mengarungi hidup yang sekeras ini ketika menerima pinanganku. Seorang anak muda dengan bekal gejolak semangat, lulusan sekolah ikatan dinas yang bergengsi –STAN/Prodip Keuangan dan bekerja di instansi yang juga tak kalah mentereng, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bagi kebanyakan orang mungkin yang terbayang adalah kehidupan yang mudah dan berkecukupan,

80Ka

rena

Kita

Gar

da

mengiringi karier yang meroket. Mungkin tak pernah terlintas dalam benak istriku untuk sekadar menjaga asap dapur, suami yang dicintai dan dibanggakan harus mencari tambahan penghasilan dengan menjadi tukang ojek. Lima ribu sampai sepuluh ribu hasil ngojek sehari. Dengan kecerdasan finansial sekelas trader di bursa saham Wall

Street, istriku melakukan akrobat finansial, mengonversikan selembar sepuluh ribuan menjadi sayur sup, tahu tempe, dan kadang beberapa kerat ikan. Agar hidangan sederhana ini tersaji mulus, tentu saja perlu tambahan skill negosiasi tingkat tinggi, agar tukang sayur merelakan ikannya dibeli setengah bungkus saja.

Kuambil air wudu sebelum berbaring di kasur tipis di lantai, di samping istriku. Sebait doa kupanjatkan, semoga doaku melesat naik dari sumpeknya kamar sempit rumah petak ini, menaiki tangga langit, melewati bintang, menembus galaksi, melintasi ruang dan waktu menuju arasy-Nya. Sebuah doa sederhana. “Ya Allah, kuatkan jiwa kami dalam menjalani hidup, mohon penjagaan-Mu agar jangan sampai ada makanan yang tak halal masuk dalam mulut kami. Sungguh kami lebih memilih mengunyah tanah daripada makan makanan yang tidak berkah.”

Dalam lelap, seakan aku melihat sahabat Rasulullah yang mulia sedang bersusah payah memasukan jari ke kerongkongannya, berusaha mengeluarkan sejumput makanan yang terlanjur tertelan, karena Beliau khawatir kehalalannya. Dalam gelap, dalam lelap, air mataku menitik pelan.

Dumai, 2013

Wajah-wajah beringas merangak, berteriak, berorasi menyampaikan tuntutan. Ratusan buruh pelabuhan memblokir jalan menuju Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Dumai. Asap hitam membumbung dari ban bekas yang dibakar pendemo. Terik matahari semakin menambah panas suasana. Dalam kantor, dalam suasana mencekam, dengan naluri mempertahankan

81Kem

enterian Keuangan

diri, kunci gudang senjata telah dibuka. Pegawai siap siaga mengantisipasi kondisi tak terduga. Senjata laras panjang, pistol, siap digunakan apabila situasi menjadi tidak terkendali.

Kapal-kapal pengangkut kebutuhan pokok dari Malaysia memang rutin masuk Pelabuhan Dumai untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang memang lebih dekat dengan Malaysia daripada ke Pulau Jawa. Ironi yang biasa terjadi di daerah-daerah perbatasan, hajat hidupnya lebih tergantung kepada negara tetangga daripada negeri sendiri. Kondisi yang melahirkan dilema bagi institusi DJBC. Karena bagaimanapun barang-barang dari luar negeri yang diimpor, masuk ke dalam negara Republik Indonesia harus memenuhi ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang jumlahnya tidak sedikit. Hal yang sulit diterima pedagang maupun penduduk perbatasan.

Memang sejak kedatanganku sebagai kepala kantor, konsolidasi internal menjadi agenda prioritas. Untuk masalah teknis pekerjaan, para kepala seksi kuberi keleluasaan untuk memutuskan, sepanjang sesuai aturan. Aku lebih menekankan pada dua hal dalam menjalankan tugas. Jangan pernah merendahkan orang dan jangan pernah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Tidak ada toleransi untuk kongkalikong, zero tolerance. Dan mungkin imbasnya adalah kapal-kapal yang mengangkut barang impor menjadi takut untuk merapat di pelabuhan, takut ditindak aparat Bea dan Cukai. Bongkar muat menjadi sepi, buruh dan kuli angkut bergejolak. Berita demo buruh menghiasi media. Dari koran lokal, koran nasional, bahkan TV nasional.

Soekarno-Hatta 2016

Bangunan Terminal 3 Ultimate Bandara Sokarno-Hatta terlihat begitu besar dan megah. Kalau semua berjalan sesuai rencana maka bulan Mei nanti akan diresmikan. Sebagai kepala kantor, harus kupastikan sarana dan fasilitas yang diperlukan petugas Bea dan Cukai sudah dimasukkan

82Ka

rena

Kita

Gar

da

dalam perencanaan dan dikerjakan dengan benar. Sebagai penjaga gerbang pintu masuk utama Indonesia, Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, mempunyai tanggung jawab yang berat, dari sisi pelayanan maupun pengawasan terhadap penumpang dan barang bawaannya. Para penyelundup narkoba menggunakan seribu satu muslihat untuk melewati pemeriksaan di bandara, sementara tuntutan pelayanan yang cepat dan profesional juga tak kalah gencarnya.

Ketiadaan aturan di tingkat pusat yang mensyaratkan operator bandara menyediakan hal-hal yang harus disiapkan untuk menunjang pelaksanaan tugas petugas Bea dan Cukai di bandara Internasional, semacam minimum

requirement, memaksa kantor pelayanan untuk berusaha merumuskan sendiri kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Epilog

Kucium tangan suamiku, kubisikkan pesan yang selalu disampaikan istri salafush shalih kepada suaminya ketika berangkat bekerja. ”Carilah rezeki yang halal karena kami akan sabar menghadapi kelaparan, tapi kami pasti tak ‘kan mampu bersabar menghadapi siksa api neraka”.

Dari teras rumah dinas, kutatap punggung suamiku yang menghilang masuk ke dalam mobil dinas. Mobil baru yang keren, elegan dan berkelas, sebuah mobil sport utility vehicle keluaran terbaru. Tiba-tiba darahku berdesir mengingat perjalanan panjang bersamanya. Laki-laki terbaik di muka bumi ini yang Allah kirimkan untukku, laki-laki yang selalu berkata apa adanya, berwatak tegas, yang kadang ketegasannya membuatku berurai air mata. Namun sungguh aku juga tahu sikap tegasnya adalah semata-mata untuk mendidikku, untuk tetap tegar menapaki jalan hidup yang kadang terasa sangat tidak mudah. Masih kuingat jelas episode yang sempat menguras air mataku, mengguncang ketegaranku dalam hari-hari mendampinginya. Kala itu, karena terlalu sering naik motor, dan mungkin juga karena kurang gizi, stamina suamiku akhirnya jebol juga. Terkapar,

83Kem

enterian Keuangan

tersengal, terbatuk muntah darah. Tergopoh kuantar ke rumah sakit, dan segores kenyataan menorehkan luka di hati. Rumah sakit menolak untuk merawat karena harus ada uang jaminan atau deposit –bahasa kerennya. Sesuatu yang tidak kami punyai. Ini adalah satu hal yang sulit kupahami. Suamiku, seorang PNS yang bekerja di tempat bergengsi, banyak duit kata orang, terkapar tidak berdaya di depan pintu rumah sakit yang tidak sudi merawatnya hanya karena kami terlalu miskin. Padahal paru-parunya bolong, muntah darah.

“Ya Allah, terima kasih atas segala yang Kau anugerahkan untuk keluarga kami. Jadikan kami hamba-Mu yang selalu bersyukur. Jadikan dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”

”Carilah rezeki yang halal karena kami akan sabar menghadapi kelaparan, tapi kami pasti tak ‘kan mampu bersabar menghadapi siksa api neraka”.

84Ka

rena

Kita

Gar

da

Almost Dead Seorang PNS(Diselamatkan Balok Kayu Utusan Tuhan)Oleh: Yanuar Calliandra dan M. Mufti Arkan,Pegawai DJBC

Berita dahsyatnya tsunami Aceh demikian mengharu biru. Bulan Desember 2004, seakan memberi tanda, bahwa akhir tahun Indonesia harus ditutup dengan duka yang teramat dalam. Masih segar dalam ingatan ketika Sherina Munaf menyanyikan lagu Indonesia Menangis karya Chossy Pratama yang diputar berulang-ulang di televisi, memberitakan kondisi di Serambi Mekkah, Banda Aceh, dengan syair dan gambar yang menyayat-nyayat hati:

Tuhan marahkah Kau padaku

Inikah akhir duniaku?

Kau hempaskan jari-Mu di ujung banda

Tercenganglah seluruh dunia

Dilanjutkan dengan syair introspeksi yang juga menghunjamkan perasaan:

Tuhan mungkin Kau kuabaikan

Tak ku dengarkan peringatan

Kusakiti Engkau sampai perut bumi

Maafkan kami ya Robbi

85Kem

enterian Keuangan

Lagu sedih itu ditutup dengan sebuah kalimat permohonan ampunan dengan irama yang seakan merintih, bersimpuh, dan menangis:

Oh… Tuhan ampuni kami

Ou… oh… Tuhan tolonglah kami

Tuhan ampuni kami

Tuhan tolonglah kami

Orang yang memiliki hati keras sekalipun akan meneteskan air mata, melihat peristiwa itu di televisi. Tak hanya Indonesia, dunia pun menangis pilu.

Beberapa pegawai DJBC ikut menjadi korban. Kantor Bea dan Cukai Aceh yang megah, hancur lebur hanya menyisakan gambar Ka’bah yang berada pada bagian depan pengimaman musala kantor.

Salah seorang pegawai Bea dan Cukai yang mengalami peristiwa dahsyat itu adalah Yanuar Calliandra. Yanuar seorang yang sangat ramah, selalu gembira, mudah tertawa, dan murah dalam menebar senyum. Teman-teman lebih sering memanggil dengan nama julukan daripada nama aslinya, karena tahu persis Beliau pasti tidak akan marah. Peristiwa tsunami membuat banyak perubahan pada diri Beliau menjadi semakin arif dan bijaksana menjalani episode hidupnya. Pada sebuah pertemuan yang mengharukan, cerita deras mengalir dari Beliau:

Sabtu malam, 25 Desember 2004

Malam minggu biasanya, di mess biru, mess karyawan Bea dan Cukai selalu ramai. Mess itu letaknya ± 15 m dari tepi laut. Di depan mess ada jalan aspal, kalau ke kiri menuju kota Banda Aceh, ke kanan menuju pantai Ulee Lheue yang jaraknya ± 500 m dari mess. Kantor Bea dan Cukai Aceh jaraknya ± 300 m dari mess. Di sebelah kanan mess terdapat lapangan bola, di depan mess ada 5 rumah dinas Pelindo

86Ka

rena

Kita

Gar

da

(PT Pelabuhan Indonesia), dan di belakang rumah dinas Pelindo tersebut adalah hamparan laut luas. Dari sana kita dapat melihat Pulau Beras, Pulau Nasi, hingga Pulau We yang letaknya di ujung barat NKRI.

Malam minggu ini, berbeda dengan malam minggu biasanya. Biasanya aneka permainan (PS, catur, dan gaple) seru dimainkan, untuk menghibur diri karena pegawai Bea dan Cukai ditempatkan jauh dari keluarga. Namun, entah kenapa malam minggu kali ini terasa sangat berbeda. Sepi, lengang, dan seperti tiada gairah. Akhirnya berdelapan orang kami berkeliling kota, menjelajahi Lheue – Blang Oi – Punge – Blang Padang – Pasar Aceh – Merduati – Lamprit. Di tengah jalan hujan turun, kami berteduh di depan asrama Brimob (brigade mobil) Lingkih. Setelah hujan reda kami melanjutkan perjalanan melalui Pante Pirak (pusat perbelanjaan) – rumah gubernur – Asrama Kodim Neusu – Setui – Lampaseh–lamjameh – sampai balik ke Ulee Lheue.

Sekembalinya ke mess, perutku keroncongan aku dan temanku, Lily, mencari roti bakar di lapangan bola samping mess. Aku bertemu Pak Dahlan, atau sering dipanggil Pak Abu, yang rumahnya terletak di depan tukang roti bakar. Pak Abu jarang sekali pulang ke rumah, dia tinggal di kantor karena selain membuka kantin kantor, Pak Abu juga tercatat sebagai penjaga malam di kantor. Namun malam itu, karena istrinya tinggal sendirian, anak-anaknya sedang main ke rumah saudara-saudaranya, Pak Abu pun menginap di rumah. Roti bakar selesai dibuat, kami pun langsung pulang ke mess. Roti bakar dimakan bersama-sama, setelah itu kami ngobrol sebentar dan masuk kamar masing-masing untuk istirahat. Aku sekamar dengan Tarwi, kami berdua tak langsung tidur, aku menceritakan hatiku yang sedang risau, tak tenang entah kenapa. Jam menunjukkan pukul 02.00 akhirnya kami berdua terlelap dalam tidur.

Minggu, 26 Desember 2004

Pagi itu aku masih tertidur lelap, tiba-tiba guncangan hebat

87Kem

enterian Keuangan

membangunkanku, terdengar teriakan dari luar kamar, “Gempa, gempa, gempa…” Saat itu aku memakai kaos bola warna hitam kesayanganku (AC Milan) dan celana pendek cokelat.

Semua penghuni mess juga penghuni rumah-rumah lainnya berhamburan keluar menuju jalan aspal, gempa begitu kuat hingga kami pun berusaha menghindari daerah yang berbahaya, khawatir pohon tumbang, tiang listrik/telepon roboh, ataupun bangunan mess kami yang roboh.Aku berusaha tetap berdiri namun kuatnya gempa membuatku tak kuasa berdiri, dan aku pun terpaksa duduk seperti yang lain.

Setelah gempa yang berlangsung ± 3 menit selesai, aku ambil air minum di sebuah kamar mess yang berubah fungi menjadi dapur, kemudian masuk kamar dan kuambil HP, waktu masih menunjukkan jam 08.15 WIB. Aku kirim SMS buat istriku tercinta, mengabarkan gempa yang baru saja aku alami.

Tiba-tiba gempa kembali terjadi, goncangannya lebih kecil dibanding gempa yang pertama. Kami pun kembali berkumpul di aspal. Marhan, rekan kami menenangkan hati kami, ”Biasanya gempa susulan tidak lebih besar dari gempa pertama”. Alip yang masih memegang secangkir kopi tersenyum sambil berkata, ”Mudah-mudahan ya, Pak.”

Aku dan Pak Edi mengambil sebatang rokok yang ditawarkan Rio, Pak Edi juga mengingatkan, ”Mudah-mudahan gempa tidak berasal dari laut, karena dikhawatirkan gempa tersebut disusul dengan gelombang dari arah laut.”

Bu Yono (ibu yang menyediakan katering kantor dan makan malam kami di mess) tinggal di rumah dinas Pelindo depan mess kami, mencemaskan suaminya, Ragil anak bungsunya dan Cipto anak sulungnya. ”Bapak lagi main tenis di kota ama anak-anak, kok gak ngasih kabar ya?” Setelah kami lihat HP ternyata sinyal sudah hilang.

88Ka

rena

Kita

Gar

da

Kulihat Pak Husin (kebetulan istri dan anaknya yang berumur 7 tahun baru datang 2 hari yang lalu dari Medan, anaknya libur sekolah dan ingin berakhir tahun di Aceh) beserta anak dan istrinya baru datang dari laut dengan mobil kantor (Kijang tahun ‘90-an) dan memarkir mobil tersebut di depan mess. Ternyata mereka baru saja mandi pagi di pantai (setiap minggu pagi, pantai Ulee Lheue selalu dipenuhi ratusan orang yang ingin rekreasi dan mandi di laut). Dengan senyum khasnya dan wajah yang bahagia karena ditemani keluarga, Pak Husin melewati kami menuju rumahnya untuk membilas anaknya yang baru mandi di laut.

Dari arah lapangan bola, Mashudi berjalan kaki bersama Erwan. Mereka baru saja olahraga pagi dengan jalan santai berdua. Erwan langsung pulang menuju rumahnya, sedangkan Mashudi bergabung dengan kami. Menurut Mashudi, ketika gempa terjadi Erwan sempat menitikkan air mata, teringat anak dan istri di rumah, “Mudah-mudahan gak terjadi apa-apa ya, Pak”, katanya.

Alip kemudian pergi ke kedai dekat mess membeli rokok. Dia mengabarkan bahwa tanah di sebelah kedai retak akibat gempa, kulihat kabel telepon bergelantungan di jalan lepas dari tiangnya.

Aku, Soleh, dan Tarwi melihat tanah retak tersebut, kemudian kami bertiga kembali ke mess, sebelumnya kami sempat menutup jalan dengan kayu, agar orang tidak lewat jalan tersebut karena banyak kabel yang bergelantungan di jalan.

Tsunami datang!

Tiba-tiba terdengar suara ribut dari arah pantai. Segera kami tahu, orang-orang yang lagi mandi di pantai Ulee Lheue berlarian meninggalkan pantai, membentuk rombongan (tampak seperti lomba lari marathon yang baru saja berangkat –start). Kudengar mereka serempak meneriakkan, ”Air… air… air!”

89Kem

enterian Keuangan

Tanpa dikomando, kami menuju motor yang diparkir di halaman mess. Tarwi dengan Pak Edi; Agung dengan Ari; Janu dengan Imam; Alip dengan Soleh; Marhan dengan mobil, meluncur sendirian.

Kunci motorku dibawa Bangbang, dan kulihat Bangbang dan Rio berlari menuju lapangan bola di samping mess.

Ilham mengingatkanku, ”Mas tengok Aan, kayaknya Masih di rumahnya”, aku pun segera ke belakang. Kulihat Aan mengunci pintu rumah dengan tas di tangan kirinya.

Di saat aku mau lari ke depan mess, kulihat Ilham lari ke belakang, nampaknya air sudah dekat dan tak mungkin melarikan diri ke tempat lain. Ilham, Aan, Ambang, dan aku, lari memanjat pagar tembok belakang mess yang tingginya 2 meter. Aku melihat beberapa orang. Pak Husin yang masih menggendong anaknya, istri Pak Husin, Heri, Bu Yono (dan beberapa orang lain yang tidak kulihat dengan jelas), menyelamatkan diri lari ke lantai dua yang ada di bagian belakang kamarku.

Tiba-tiba air datang begitu cepat, tingginya ± 2 meter, air menerjang pagar tembok tempat kami menyelamatkan diri.

Byurrrrrrrrrr! Robohlah pagar tembok itu, kami berempat jatuh bersama robohnya tembok. Kami tenggelam, tergilas air laut yang asin dan keruh karena bercampur dengan pasir dan tanah. Aku berusaha mencapai permukaan air, karena pagar tembok itu terhalang oleh mess yang masih berdiri kokoh, jadi arus dari laut tak begitu kuat menerjangku. Aku berusaha menggapai pohon yang ada di dekatku, aku berhasil memegang salah satu cabang pohon tersebut. Sementara waktu aku selamat, tapi air begitu cepat meninggi, menenggelamkan pohon tempatku bergantung.

Sabar, Nak…

Karena arus tidak begitu kuat, aku segera berinisiatif berenang ± 5 meter mendekati teman-teman yang ada di lantai dua. Aku sudah dekat dengan mereka, berusaha

90Ka

rena

Kita

Gar

da

meminta tolong kepada Pak Husin. Namun, itu tak mungkin dilakukan karena tangan Pak Husin yang kiri menggendong anaknya dan yang kanan memegang pagar besi yang ada di lantai dua. Akhirnya dengan sekuat tenaga aku berusaha, alhamdulillah aku berhasil memegang pagar besi di lantai dua tersebut. Namun air begitu cepat meninggi, dalam sekejap lantai dua pun terendam.

Aku sempat mendengar Pak Husin yang masih menggendong anaknya dengan keteguhan dan kasih sayang seorang ayah kepada anak perempuan semata wayangnya, suaranya dengan lembut menenangkan buah hatinya, ”Sabar, Nak ya, ‘kan ada Bapak. Sabar nak ya…” Seiring dengan tingginya air dan tenggelamnya lantai dua mess kami, suara lembut Pak Husin pun sayup-sayup hilang terendam air.

Balok kayu utusan Tuhan.

Kulihat balok atap mess sudah mulai lepas, aku berusaha menggapainya. Sekali lagi berkat pertolongan Allah, balok itu berhasil kugapai. Aku pegang kuat-kuat dengan tangan kiriku. Balok ini adalah modalku mengambang di atas air.

Subhanallah… Tak akan ada yang mampu melawan kehendak-Mu ya Allah. Kami sungguh kecil di hadapan-Mu. Tak ada yang mampu melawan kekuatan-Mu, tak akan ada yang bisa melawan takdir-Mu. Pohon itu, kesempatan untuk menggapai pagar besi di lantai dua dan balok kayu itu, aku yakin semua itu adalah berkat pertolongan-Mu ya Allah.

Ternyata keganasan air tak berhenti sampai di situ. Beberapa saat kemudian ombak setinggi ± 7 meter datang menghempas dan menenggelamkan diriku ke dalam air. Berkat kayu yang masih kupeluk dengan erat, aku tenggelam dalam air hanya 5-6 detik dan muncul lagi ke permukaan. Kalau tidak ada kayu, mungkin aku sudah tidak akan muncul ke permukaan air. Tenggelam dan terseret arus laut.

91Kem

enterian Keuangan

Allahhuakbar! Satu detik di permukaan, kembali ombak setinggi 7 meter menghantamku. Aku kembali tenggelam. Aku pasrah. Aku mulai susah bernafas karena terlalu lama tenggelam di dalam air. Aku mulai pasrah. Kuserahkan segalanya kepada Sang Pencipta. Mungkin saatnya aku harus menghadap panggilan-Mu ya Allah. Aku tak sanggup lagi bernafas melalui hidung.

Alhamdulillah ya Allah, Engkau memberi kelebihan kepada manusia berupa akal pikiran, dan Engkau beri aku ketenangan dalam keadaan seperti ini. Tiada daya upaya kami melainkan atas pertolongan-Mu ya Allah. Aku cepat berinisiatif untuk bernafas (menghirup udara ketika berada di permukaan air) dengan menggunakan mulut (seperti yang biasa aku lakukan ketika snorkeling di Sabang). Selanjutnya, ketika 1 detik di permukaan air aku mulai bernafas dengan mulut, alhamdulillah ketika tenggelam kembali ke dalam air selama 5-6 detik aku sudah menguasai pernafasanku. Ombak itu datang menghantam dan menenggelamkanku selama ± 10 kali.

Akhirnya ombak pun berhenti. Aku masih mengapung dengan balok kayu di tangan kiriku, terbawa arus menuju daratan (kota). Tak jauh dari tempatku mengapung, kulihat arus balik dari kota kembali ke laut begitu deras.

Tiba-tiba aku terhenti. Tenyata kayu dalam pelukanku tersangkut tumpukan kayu-kayu lain (puing-puing rumah yang hancur). Tanpa kusadari kayu-kayu yang ada di belakangku ikut tersangkut, mendorong dan menjepit tubuhku ke dalam tumpukan kayu di depannya. Aku segera berusaha melepaskan diri dari jepitan kayu-kayu itu. Tubuh dan kaki kananku sudah lepas dari jepitan, tetapi kaki kiriku susah sekali melepasnya. Aku terus berusaha dengan sisa tenaga yang ada. Alhamdulillah usahaku tak sia-sia, aku berhasil melepaskan seluruh tubuhku dari jepitan kayu.

Kucari kayu lain agar aku tetap bisa mengapung. Setelah kudapat, kupeluk erat kayu itu dengan tangan kiriku. Kuikuti arus menuju kota dan sedapat mungkin kuhindari

92Ka

rena

Kita

Gar

da

arus balik ke laut. Akhirnya aku merapat di atas seng (atap rumah) dan beristirahat di atas seng tersebut.

Matahari mulai menunjukkan sinarnya, hingga seng tempatku pun mulai terasa panas. Menyengat. Kuambil daun pintu yang terapung didekatku. Aku tarik ke atas seng dan aku duduk di atasnya. Ikan mulai bergelimpangan di atas air. Ular dan biawak pun berusaha keluar dari air, tak mampu bertahan di dalam air yang sangat keruh berwarna cokelat pekat karena bercampur dengan pasir dan lumpur.

Rokok dari mana?

Saat aku beristirahat di atas seng, kulihat sekelilingku. Kulihat sejauh mata memandang adalah hamparan air, atap penduduk (berupa seng), tumpukan kayu puing-puing rumah yang hanyut terbawa air dan lantai dua beberapa rumah yang masih berdiri kokoh. Aku memandang jauh ke arah pantai Ulee, tak nampak kantor tempat aku bekerja, tak nampak mess biru tempat aku berteduh dari panas dan hujan. Entah bagaimana nasib kedua gedung tersebut.

Sepuluh meter di depanku (arah utara), seorang nenek mengapung di atas kayu, kulihat sedikit luka di kepalanya, teriakan minta tolong keluar dari mulutnya. Semakin lama semakin lirih, akhirnya nenek itu terlihat pasrah. Kepalanya ditutup penggorengan menahan panas matahari.

Seratus meter arah barat (pantai Ulee Lheue), terdapat dua orang di atas kayu terbawa arus balik ke laut, akhirnya mereka tersangkut di sebuah pagar besi rumah berlantai dua. Air sudah menenggelamkan lantai 1 rumah tersebut. Mereka berusaha naik ke lantai dua dengan meniti pagar besi dan naik melalui tiang telepon yang roboh ke arah rumah tersebut. Tak lama kemudian tiga orang yang terdampar di atas pohon, ± 5 meter di depan rumah tersebut, berusaha naik ke lantai dua mengikuti jejak dua orang yang sudah berhasil menyelamatkan diri ke lantai dua. Dan mereka bertiga berhasil melakukannya.

93Kem

enterian Keuangan

Lima meter arah timur (arah kota), seorang kakek tua dengan sepatu boat setinggi lutut duduk di atas puing-puing kayu. Pandangannya kosong ke arah laut. Si kakek sempat mengingatkanku, kita sekarang berada di daerah Punge (± 3 km dari Ulee), masih mungkin ada bencana susulan dan kita pun belum tentu selamat dari bencana ini. Kulihat si kakek menyedot dalam-dalam rokok di mulutnya. Aku tak tahu bagaimana dan dari mana si kakek mendapat rokok dan korek yang masih bisa menyala dalam keadaan begini.

Arah selatan ± 10 orang masing-masing memegang jeriken 20 liter, duduk di atas rumah penduduk berlantai dua, mereka semua menghadap laut, khawatir akan datangnya gelombang air susulan.

Di beberapa tempat yang lain, kulihat dua sampai empat orang duduk di atas atap-atap rumah penduduk, semuanya memandang laut, dalam hati mereka dipenuhi dengan kehawatiran yang sama, yaitu datangnya gelombang air susulan.

Harus bergerak!

Aku mulai berharap, mudah-mudahan segera datang pertolongan/bantuan/evakuasi dari udara. Tempatku beristirahat sangat terbuka, sehingga mudah dilihat dari udara jika bantuan tiba. Selama 20 menit di atas seng, aku mulai tak tahan. Matahari mulai menyengat tubuhku. Aku pun ingat pesan si kakek, bahwa jika terus bertahan seperti ini, kita belum tentu selamat dari bencana. Aku tak mungkin lagi mengharapkan bantuan. Jika ingin selamat, aku harus berusaha sendiri.

Aku berhasil meyakinkan diriku sendiri, aku harus berusaha sendiri semaksimal mungkin. Tak boleh mengharapkan bantuan karena belum tahu kapan bantuan akan tiba, sementara kulihat seluruh kota sudah porak poranda. Semangatku untuk menyelamatkan diri begitu besar, aku tak akan menyerah dengan hamparan air, puing-puing kayu yang menggunung, seng yang sudah karatan,

94Ka

rena

Kita

Gar

da

serta tembok yang roboh. Kuputuskan untuk melanjutkan perjalananku dengan satu tujuan yaitu mencapai ujung air (daratan yang tidak terkena tsunami).

Aku mulai menceburkan diri ke air, aku melihat tak jauh dari tempatku ada sebuah jeriken. Aku berenang dan kugapai jeriken tersebut. Ternyata jeriken itu bekas tempat bensin jadi sangatlah licin. Namun, tidak ada pilihan lain. Hanya jeriken itu yang layak untuk dijadikan alat bantu terapung dan berenang.Aku berenang di pinggir puing-puing kayu, menghindari arus balik air ke laut. Setelah lima puluh meter berenang, aku putuskan untuk beristirahat di atas pohon mangga yang masih berdiri kokoh. Aku tak dapat melanjutkan berenanganku karena arus balik ke laut begitu deras. Tak mungkin aku berenang melawan arus tersebut. Aku beristirahat di atas pohon mangga, memandang ke laut, khawatir akan datangnya air susulan. Kudengar suara azan pertanda sudah waktunya salat Zuhur. Berarti sekarang sudah jam 12.30 WIB. Sudah empat jam aku terapung. Namun, harapanku untuk mencapai ujung air semakin besar karena dengan terdengarnya suara azan, berarti daratan tidak terlalu jauh.

Aku melanjutkan perjalananku dengan berjalan di atas tumpukan puing-puing kayu dan seng yang sudah membentuk gunung setinggi ± 4-5 meter. Aku bertemu si kakek. Dia berusaha mengingatkan seorang wanita berusia 35 tahun beserta seorang laki-laki berusia 15 tahun untuk tidak hanya duduk, tapi juga berusaha menyelamatkan diri.

Kemudian aku berjumpa dengan seorang laki-laki sedang membantu seseorang yang sedang terjepit tumpukan kayu. Aku pun berusaha membantunya, tetapi himpitan kayu begitu kuat, sementara tanganku penuh luka dan tenagaku sudah banyak terkuras. Tak sanggup aku menyelamatkan orang tersebut dari jepitan kayu. Dengan berat hati kutinggalkan orang itu. Terdengar di telingaku suaranya penuh iba, ”Tolong, tolong, jangan tinggalkan saya, Bang. Saya bisa mati, jangan bunuh saya, Bang.” Suaranya sungguh

95Kem

enterian Keuangan

menusuk hati, tetapi aku tak dapat menolongnya. Di tempat lain nampak seorang lelaki duduk lemas di atas kayu dengan kepala tertunduk. Ternyata kakinya juga terimpit kayu. Sekali lagi aku tak sanggup menolongnya.

Aku terus berjalan di atas tumpukan seng dan kayu yang penuh dengan paku karat. Kulewati dua keluarga (suami, istri, dan anaknya yang berusia 3 tahun) masing-masing memegang es batu di tangannya. Kulihat seorang ibu terus menangis melihat anaknya yang susah untuk bernafas, dadanya terasa sesak sekali terlalu banyak kemasukan air. Mereka hanya duduk pasrah, sesekali mereka menyedot es batu menghilangkan rasa kering di tenggorokan. Tak ada tanda-tanda orang itu akan beranjak dari tempatnya, menyelamatkan diri mencapai ujung air. Mungkin anak dan istrinya merasa tak sanggup untuk melewati tumpukan seng dan kayu. Mereka pun pasrah.

Kulanjutkan perjalananku, aku bertemu dengan seorang bapak dengan badan tegap berjalan menggandeng anaknya yang berusia 6 tahun dan kulihat sebuah kamera di pundak kirinya. Sesekali dia memotret anaknya dengan latar belakang tumpukan kayu dan seng. Ternyata Bapak itu adalah anggota kepolisian sektor Ulee Lheue. Pada saat kejadian, bapak itu bersama istri dan anak-anaknya sedang berada di rumahnya (± 3 km dari Ulee). Namun, badai telah memisahkan istri dan anaknya yang lain. Kami pun berjalan beriringan, aku di depan memandu jalan buat anaknya, dan bapak itu menjaga di belakang. Sampai di satu tempat aku bertemu dengan sekumpulan orang-orang, kira-kira ada dua puluh orang.

Sekelompok orang terdiri dari enam orang laki-laki duduk sambil ngobrol. Sebuah es batu ada di tengah-tengahnya. Seorang wanita yang masih menggendong anaknya yang berusia 2 tahun terus menangis karena terpisah dengan sang suami. Namu,n tak lama kemudian terjadi keajaiban. Suaminya muncul dan segera menghampiri anak dan istrinya. Mereka berpelukan dan menangis bahagia.

96Ka

rena

Kita

Gar

da

Sekelompok yang lain terdiri dari ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, dan beberapa pria dewasa. Sebagian berada di atap rumah penduduk, sebagian lagi duduk di atas puing kayu. Mereka makan kacang goreng dan cemilan yang masih terbungkus plastik untuk pengganjal perut.

Di ujung kulihat anak-anak dan ibu-ibu sedang antre ingin menyeberang ke puing kayu lainnya, dipandu oleh beberapa anak muda. Aku pun ikut membantu menyusun kayu-kayu, membuat jalan agar anak-anak dan ibu-ibu bisa menyeberang. Kami terhenti sejenak ketika di dekat kami mengambang jenazah seorang wanita tanpa busana berumur ±35 tahun. Kami angkat jenazah itu ke atas tumpukan kayu (agar mudah diketahui jika tim evakuasi tiba). Kami tutupi tubuhnya dengan tikar yang kami temukan di dekat jenazah.

Setelah berhasil membuat jalan untuk menyeberang, aku pun ikut meneruskan perjalananku bersama dengan mereka. Di antara anak-anak, kutemukan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun berdiri dengan wajah kebingungan. Kudekati anak itu, ”Pak, saya terpisah dengan Bapak dan Ibu, dan sekarang saya sendirian tak punya siapa-siapa lagi”, ucapnya sedih. Aku iba melihatnya dan mencoba menenangkannya.

Beberapa saat kami berjalan sampailah di suatu tempat.Banyak sekali orang berkumpul di atas puing dan atap rumah penduduk. Di bawah kulihat sekelompok orang mengais di air yang tingginya sepinggang orang dewasa, mencari sesuatu yang masih bisa dimakan atau diminum oleh dia dan keluarganya yang menunggu di atas rumah dan di atas puing-puing kayu. Ternyata di tempat itu adalah ujung puing kayu yang tingginya 3 meter dari permukaan air. Terlalu tinggi untuk dapat dilewati anak-anak, ibu-ibu, dan orang yang sudah tua.

Aku terus berusaha untuk dapat menuruni puing kayu dan seng itu. Satu-satunya jalan adalah merayap dan turun melalui daun pohon kelapa yang sudah miring. Aku pun

97Kem

enterian Keuangan

berhasil menuruni puing kayu itu, tetapi yang lain tak sanggup melakukannya. Ada beberapa orang dewasa yang menurutku sanggup menuruni puing-puing kayu itu, tetapi mereka tak tega meninggalkan anak, istri, dan keluarga yang lain, sehingga mereka memilih untuk tetap bersama, walau apapun yang terjadi. Aku bersyukur, di Banda Aceh aku sendirian. Istri dan anakku tinggal di Bekasi, orang tuaku tinggal di Situbondo. Seandainya aku berkumpul bersama keluargaku, pasti aku akan melakukan hal yang sama seperti orang-orang itu.

Kulanjutkan kembali perjuanganku untuk mencapai ujung air. Aku tak pernah putus asa. Tak kuhiraukan luka di sekujur tubuhku, tak kuhiraukan keringnya kerongkonganku, dan tak kuhiraukan tenagaku yang mulai habis. Matahari mulai tinggi, jam mungkin sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB, sudah 5 jam aku masih belum keluar dari hamparan air dan puing-puing. Aku yakin semua stasiun televisi pasti sudah memberitakan dahsyatnya Tsunami di Banda Aceh. Aku ingin segera memberi kabar kepada orang-orang yang mencintaiku dan yang kucintai. Aku tidak mau membuat mereka khawatir karena terlalu lama menunggu kabar tentang keadaanku.

Aku terus melangkah, air masih setinggi pinggangku. Sesekali kulihat sekeliling mencari sesuatu yang bisa dimakan atau diminum (tenggorokanku sudah terlalu kering, setetes air tawar sudah cukup untuk membasahi tenggorokanku). Kulihat tempat air (termos) yang mengapung di dekat tembok sebuah rumah. Aku berusaha mengambilnya. Begitu senang aku melihat termos itu masih tertutup rapat, kuangkat termos itu, ternyata termos itu begitu ringan dan tak ada setetes air tawar pun di dalamnya. Kuhampiri dapur sebuah rumah yang sedikit terbuka, di dalamnya amat berantakan. Aku intip melalui celah pintu, kulihat ada galon air mineral, tetapi galon itu berisi air yang berwarna hitam kecoklatan. Setetes air tawar pun tak berhasil kutemukan, tetapi aku tak pernah putus asa.

98Ka

rena

Kita

Gar

da

Dalam perjalananku selanjutnya, aku bertemu dengan seorang ibu muda dengan anak di pundaknya digandeng oleh sang suami. Sama sepertiku, mereka berusaha terus berjalan menuju daratan tempat air laut berujung.

Suara sirene ambulans semakin jelas terdengar. Kulihat beberapa orang yang nampak segar dengan pakaian yang rapi berjalan dari arah berlawanan. Berarti daratan semakin dekat dan orang-orang tersebut mungkin hendak berusaha membantu korban bencana tsunami.

Semangatku semakin bertambah, langkahku semakin tegar, air yang menggenang tinggal selututku. Aku berpapasan dengan seorang pemuda yang kulihat baru saja mengangkat jenazah seorang wanita yang ternyata wanita itu adalah tetangganya dan tak tahu di mana sang suami berada. Aku mencoba meminta air kepadanya dan ditunjukkannya sebuah warung, tak jauh di depanku. Aku bergegas menuju warung yang juga terendam air selututku. Isi warung berantakan hampir roboh. Aku mencoba memanggil pemiliknya, tapi tak ada jawaban. Mungkin warung ini sudah ditinggalkan pemiliknya. Karena tenggorokanku terasa kering sekali, aku pun memaksakan diri untuk mencari sesuatu yang bisa membasahi tenggorokanku. Sambil waspada, khawatir warung itu akan roboh, aku mengambil 5 buah jelly yang biasa dimakan anak-anak. Kumakan sebungkus. Alhamdulillah tenggorokanku sudah basah saat ini.

Ujung air 7 km dari mess!

Ternyata di belakang kedai tersebut adalah daratan. Yeah, air sudah berujung. Perjuanganku tak sia-sia. Dalam perjalanan mencapai daratan yang sudah nampak di depan mata, kubagikan empat buah jelly yang masih ada di tanganku kepada anak-anak. Aku bersyukur bisa keluar dari air dan menginjak daratan. Ketika pertama kali menginjak daratan, aku tak sanggup melangkah. Perih sekali. Kedua kaki terluka mulai dari telapak hingga atas mata kaki. Kedua tangan dan kepalaku pun penuh

99Kem

enterian Keuangan

dengan luka.

Aku melangkah dengan terpincang-pincang menahan rasa sakit, orang nampak berlalu-lalang. Sebagian searah denganku (para korban yang baru saja menyelamatkan diri), sebagian yang lain berlawanan arah denganku. Mereka berusaha melakukan pertolongan kepada korban yang selamat dan melakukan evakuasi jenazah.

Setelah sampai di jalan raya, aku baru sadar ternyata aku berada di samping Terminal Setui, berarti aku sudah terdampar sejauh ± 7 kilometer dari Ulee Lheue tempatku pertama kali terkena bencana tsunami. Semua pengungsi berjalan menuju arah yang sama yaitu Masjid Setui. Di jalan aku menemukan sandal yang beda kiri dan kanan, aku tanya tidak ada orang yang memiliki dan mereka menganjurkanku untuk memakai sandal itu, mengurangi rasa sakit di telapak kakiku.

Aku terus berjalan menuju masjid, kutemui seseorang dengan sebotol air mineral di tangannya. Aku mencoba meminta, alhamdulillah dengan senang hati disodorkannya air mineral tersebut kepadaku. Basah sudah tenggorokanku yang sudah kering sejak tadi.

Sampai di masjid, terlihat para pengungsi mulai dari anak-anak hingga orang tua. Mereka berkumpul berkelompok. Aku duduk di pagar majid, di depanku pengungsi warga Tionghoa-Indonesia (pedagang di ruko sepanjang jalan Setui). Mereka tidak terkena dampak langsung dari tsunami, tetapi mereka tetap waspada akan terjadinya tsunami susulan yang mungkin lebih dahsyat.

Bertemu keluarga calon istri teman…

Kemudian seseorang berusaha mendekatiku (dia iba melihat bajuku yang basah kuyup dan robek-robek, serta seluruh tubuhku yang penuh dengan luka). ”Bapak dari mana?” Kuceritakan semua kejadian yang aku alami. Bapak itu kaget, tercengang tak percaya atas apa yang aku alami.

100

Kare

na K

ita G

arda

”Di tempat kami yang jaraknya cukup jauh dari pantai, air begitu hebat dan dahsyat, apalagi di Ulee Lheue yang jaraknya sangat dekat dengan laut”. Kemudian aku minta tolong untuk diantar ke tempat Sherly (calon istri Firman, temanku di kantor). Aku tahu tempatnya tapi lupa nama jalannya. Dengan senang hati aku diantar ke tempat Sherly. Sesampai di rumah yang berpagar dan berdinding putih, aku turun. Kuyakin inilah rumah yang kumaksud. Tak lupa kuucapkan terima kasih atas bantuan Bapak tersebut.

Ternyata rumah tersebut tak sedikit pun tersentuh oleh air. Kulihat Ibu Sherly sedang menyapu di teras.

“Alhamdulillah, Bu, saya selamat dari bencana.”

”Oh, iya Nak,” Ibu Sherly terbengong melihat saya.

“Ibu Masih ingat saya?” tanyaku kembali.

Ternyata Ibu Sherly tak ingat siapa aku. Beruntung Sherly segera keluar rumah.

“Ma, itu ‘kan teman Bang Firman.”

Dengan tangis tersedu-sedu (tak tahu bagaimana nasib Firman), Sherly mempersilakan aku masuk. Kuceritakan semua kejadian yang kualami. Aku tak tahu bagaimana keadaan Firman (Firman tinggal bersama orang tuanya di daerah Peukan Bada yang letaknya ± 300 meter dari pantai). Menurut Sherly, pada saat gempa pertama, Firman menelepon dari rumahnya (seharusnya Firman bertugas sebagai pemeriksa haji). Namun, karena masih pagi, Firman belum berangkat. Setelah itu tak ada komunikasi dan tak tahu bagaimana keadaanya sekarang.

Kemudian Ibu Sherly mempersiapkan kaos, celana pendek, handuk, dan cairan pembunuh kuman untuk menghindari infeksi. Aku dipersilakan mandi. Ternyata dalam celana panjangku, masih terdapat dompet yang berisi KTP Merah Putih, dua kartu debit, dan dua lembar uang pecahan Rp50.000,00. Setelah mandi, Bobi (adik Sherly) memberiku

101Kem

enterian Keuangan

Betadine, kapas, dan gunting. Kubersihkan luka dengan kapas, kugunting kulitku yang terkelupas, dan kuolesi dengan Betadine.

Sepiring mie dan segelas air putih sudah disiapkan untukku. Terima kasih ya Allah, Engkau telah membantuku melalui hati mulia keluarga Sherly. Kemudian aku duduk berdua dengan Bapak Sherly. Hati kecilku ingin kembali ke masjid, barangkali aku bisa bertemu teman-teman mess-ku di sana. Aku mencoba minta izin untuk kembali ke masjid, tetapi Ibu Sherly melarangku, ”Gak usah kemana-mana, Nak Yanuar. Apapun yang terjadi, kita kumpul aja di sini.” Untuk sementara kuterima nasihat Ibu Sherly.

Gempa kecil kembali terjadi sebanyak 3 kali. Semua berhamburan keluar rumah. Akhirnya kami semua berkumpul di halaman rumah, dalam diam dan tatapan mata kosong. Kami tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

Trauma air…

Tak lama kemudian aku tersadar dari lamunanku, tampak di depan rumah, orang-orang berlarian panik sambil meneriakkan, “Air… air… air…” Aku trauma, teringat kejadian pagi tadi di mess-ku. Aku kurang sigap mendengar peringatan orang-orang dari pantai, aku tak mau mengulangi kesalahanku yang pertama.

Tak kuhiraukan lagi saran Ibu Sherly, aku segera lari dari rumah itu. Bahkan aku sampai lupa mengucapkan terima kasih. Aku lupa kakiku yang masih perih akibat luka di telapak kakiku. Yang ada di otakku hanyalah air yang begitu cepat, begitu tinggi, begitu dahsyat. Aku harus lari secepat mungkin. Lari, lari, dan terus berlari.

Aku sampai kembali ke Masjid Setui. Ternyata itu tadi hanya teriakan-teriakan orang yang sedang panik. Aku bingung tak tahu entah ke mana tujuanku selanjutnya. Kulihat sebagian orang masih bertahan di teras masjid,

102

Kare

na K

ita G

arda

sebagian berkumpul di halaman dan di pagar masjid. Tak ada yang kukenal dan tak ada yang mengenalku.

Aku duduk di pagar masjid. Sebagian orang berkelompok berjalan meninggalkan masjid menuju ke utara, menuju ke daerah yang lebih tinggi, menghindari datangnya air yang mungkin datang sewaktu-waktu.

Sekelompok pria memperhatikan aku, melihat luka-luka di sekujur tubuhku. “Ke pinggir jalan raya aja, Bang, setiap saat ambulans lewat mengangkut korban yang terluka seperti abang.” Salah seorang mencoba memberitahuku.

Namun, aku masih trauma. Aku tak mau kembali ke dalam kota. Aku tak sanggup membayangkan jika air datang kembali meluluhlantakkan kota ini. Tergulung ombak, terdampar tak tahu di mana, dikelilingi puing-puing, jenazah-jenazah, tangisan anak manusia yang kehilangan sanak saudara, jeritan minta tolong orang yang terjepit puing kayu. Oh, tidak. Tidak. Aku ingin segera berlari meninggalkan kota ini.

Melewati daerah GAM

Kemudian aku bertanya pada orang tersebut untuk menghindari air, sebaiknya aku mengungsi ke mana. Mereka menganjurkanku untuk mengikuti arus pengungsi yang lain. Mereka beriringan menuju Mata Ie atau Bukit Seulawah yang jaraknya 10 – 15 km. Dengan tekad bulat, walau kaki susah untuk berjalan, aku melangkah mengikuti rombongan pengungsi.

Setelah berjalan sejauh 200 meter, aku mulai ragu. Tak ada satu pun orang yang kukenal. Di benakku muncul ingatan bahwa di daerah Bukit Seulawah adalah sarang GAM. Baru saja aku lolos dari bencana tsunami, apakah aku harus berhadapan dengan mereka? Hatiku mulai ciut. Aku tak mau mati sia-sia. Akhirnya aku kembali ke masjid. Aku berkeliling masjid, mencari orang yang kukenal, tetapi usahaku sia-sia. Tak ada satu pun yang kukenal. Ya Allah,

103Kem

enterian Keuangan

mungkin ini semua adalah cobaan-Mu. Terima kasih ya Allah, Engkau masih mau mengingatkanku dengan semua peringatan dan cobaan yang Engkau turunkan. Akhirnya aku pasrah, aku tetap pada pendirianku semula, aku harus lari dari kota ini apapun yang akan terjadi.

Aku berjalan mengikuti rombongan pengungsi, kami beriringan, kebanyakan berjalan berkelompok bersama sanak saudara yang masih tersisa akibat bencana. Setelah berjalan ± 500 m, dua buah Bus Sahabat berhenti, para pengungsi berebut naik. Secara spontan aku pun ikut berebut naik bus. Aku belum tahu ke mana tujuan bus tersebut. Aku berdiri di pintu depan. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Aceh. Aku diam saja. Aku tetap yakin tujuan awak bus dan para pengungsi sama dengan tujuanku. Mencari tempat yang lebih tinggi.

Bus tersebut (kalau tidak salah Bus Sahabat tersebut mempunyai rute Aceh - Meulaboh - Tapak Tuan - Medan) sedang berada di Terminal Setui dan berusaha diselamatkan oleh awak bus ke tempat yang lebih tinggi. Pada saat bencana datang, air sudah menggenangi Terminal Bus Setui hingga 1 meter (setinggi ban bus). Bus tersebut terisi 20 orang pengungsi yang ternyata adalah 2 buah keluarga dan aku tak kenal siapapun. Bus berhenti di depan Stadion Harapan Bangsa (± 4km dari Terminal Setui).

Para pengungsi yang ada di bus bertanya kepada awak bus, kenapa berhenti di tempat ini, kenapa tidak langsung saja ke arah Mata Ie atau ke daerah Bukit Seulawah (tempat yang jelas tinggi dan aman dari air). Awak bus beralasan bahwa tempat ini sudah cukup aman dan mereka sedang menunggu perintah lebih lanjut dari perwakilan bus di Banda Aceh. Kami pun turun dan beristirahat. Beberapa orang berusaha mengajakku ngobrol, aku bersyukur mendapat teman baru. Mereka prihatin dengan keadaanku yang penuh luka dan sendiri. Tak ada siapapun saat ini.

Keinginan untuk segera menuju Bandara Iskandar Muda dan meneruskan perjalanan menuju Polonia, besar sekali.

104

Kare

na K

ita G

arda

Mereka semua berusaha membantuku, tetapi mereka mengkhawatirkan jalan menuju bandara yang harus melalui beberapa titik rawan GAM. Ada seseorang yang mereka kenal dan bersedia membantuku dengan motornya, tetapi bensinnya tinggal sedikit dan tak ada yang menjual bensin saat itu.

Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke dalam Stadion Harapan Bangsa. Di sana beberapa anggota Brimob yang di BKO-kan dari Pekanbaru bertugas menjaga stadion. Aku menghampiri anggota Brimob, berjalan sejauh ± 100 meter ke arah stadion. Kutunjukkan identitas yang masih ada di dompetku dan kuceritakan kejadian yang baru kualami. Aku juga mengutarakan keinginanku untuk menuju bandara, tetapi merekapun tak bisa menolongku. Komandan Brimob tersebut beserta 4 anak buahnya pada saat kejadian sedang berada di pos pantai Lampu’u dan tak tahu bagaimana nasibnya saat ini. Mereka hanya bisa menawarkan makanan dan tempat istirahat kepadaku, tanpa bisa mengantarku ke Bandara.

Tiba-tiba di jalan raya, mobil bergerak beriringan dengan lampu menyala dan klakson dibunyikan panik sekali. Ternyata tersebar isu bahwa air laut naik kembali. Bus Sahabat yang ada di depan stadion bersiap-siap mengikuti rombongan. Aku pun segera lari menuju bus. Aku tak mau mati konyol di sini. Aku terus berlari dengan pikiran jangan sampai ditinggal bus. Ternyata aku terjebak dalam pagar kawat, satu-satunya jalan aku harus melompati pagar kawat setinggi 1 meter. Aku melompat dengan pijakan balok kecil, terus berlari menuju bus yang mulai berjalan pelan. Alhamdulillah aku berhasil menggapai bus tersebut.

Hiruk pikuk, kacau balau, suasana saat itu. Semua panik ingin segera mencapai tempat yang lebih tinggi. Sesampai di perempatan menuju Mata Ie, jalan lebih kacau. Macet. Karena jalan yang kecil tak sanggup menampung jumlah kendaraan para pengungsi. Akhirnya perjalanan dilanjutkan menuju Perempatan Ketapang. Di tempat itulah

105Kem

enterian Keuangan

jenazah korban tsunami dikumpulkan. Banyak orang yang mencari sanak saudaranya di tempat itu. Namun, mereka langsung membubarkan diri begitu mendengar iring-iringan mobil yang akan menyelamatkan diri ke atas bukit. Mereka kocar-kacir meninggalkan tumpukan jenazah, berebut mencari tumpangan. Suasana di perempatan itu tambah kacau-balau. Jalanan macet, suara klakson mobil menambah hiruk pikuk suasana. Namun, lambat laun bus mulai berjalan merayap.

Menjelang magrib, sampailah bus yang kami tumpangi di pom bensin daerah Sileumeum di Bukit Selawah, terpisah dengan Bus Sahabat lain yang masih ada di belakang kami. Bahan bakar bus mulai menipis, sementara sepanjang jalan yang kami lalui tak satu pun yang menjual bahan bakar, demikian juga di pom bensin tempat kami berhenti. Aku cukup was-was, pom bensin tempat kami berhenti letaknya di tengah ladang dan dikelilingi bukit. Daerah ini masih termasuk daerah rawan, masih ada anggota GAM yang berkeliaran di daerah ini. Aku hanya bisa pasrah, kuserahkan semuanya kepada Sang Pencipta.

Tiba-tiba di jalan raya, mobil bergerak beriringan dengan lampu menyala dan klakson dibunyikan panik sekali. Ternyata tersebar isu bahwa air laut naik kembali. Bus Sahabat yang ada di depan stadion bersiap-siap mengikuti rombongan. Aku pun segera lari menuju bus.

106

Kare

na K

ita G

arda

Di saat-saat begini, kembali Allah menolongku melalui para pengungsi yang ada dalam bus beserta para awak busnya. Mereka sangat memperhatikan segala keperluanku, mulai dari makan, minum, rokok, dan tempat istirahat buatku. Bahkan seorang bapak memaksaku untuk menerima uang Rp20.000,00.

Kira-kira 2 jam kemudian awak bus memutuskan untuk bergabung dengan Bus Sahabat yang lain. Berarti kami harus kembali ke arah Banda Aceh. Mereka harus bergabung untuk memudahkan koordinasi menunggu petunjuk lebih lanjut dari perwakilan bus di Banda Aceh. Akhirnya bus berbalik arah dan meluncur menuju arah Banda Aceh. Bus berhenti di daerah Indrapuri dan bergabung dengan bus yang lain. Sebagian penumpang memutuskan untuk turun dan beristirahat di emperan toko. Aku sendiri tetap tinggal dan beristirahat di dalam bus.

Dalam lelap tidurku, beberapa kali gempa cukup besar mengguncang. Semua berhamburan berebut turun dari bus. Setelah tenang, sebagian pengungsi kembali lagi ke dalam bus. Tidur pun jadi tak nyenyak lagi, was-was akan gempa yang terjadi beberapa kali. Tiba-tiba terdengar bunyi sirene mobil pengawal DLLAJR (Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya) diikuti rombongan bus yang mengangkut jemaah haji asal Banda Aceh menuju Medan. Dalam benakku terpikir, berarti Bandara Iskandar Muda tidak dapat difungsikan karena jemaah haji yang biasanya harus berangkat melalui jalur udara, kali ini melalui jalur darat. Berarti untuk menuju kota Medan aku pun harus melalui jalur darat.

Senin, 27 Desember 2004

Menuju Medan…

Fajar menyingsing. Beberapa kendaraan yang mengangkut pengungsi lalu lalang. Sebagian menuju arah Medan, sebagian lagi kembali ke arah Banda Aceh. Mungkin mereka hanya menghawatirkan bencana tsunami di malam

107Kem

enterian Keuangan

itu dan mereka harus kembali mencari sanak saudara yang tak tahu entah dimana.

Beberapa pengungsi yang satu bus denganku, menuju kedai untuk menghangatkan tubuh dengan secangkir teh panas dan sepotong roti bakar. Mereka juga mengajakku untuk ikut bergabung, tetapi aku masih enggan. Pikiranku hanya tertuju kepada bagaimana secepatnya sampai di Medan. Aku meringis kesakitan menahan sakit akibat luka di sekujur tubuhku. Mudah-mudahan lukaku tidak infeksi atau terkena tetanus.

Perutku sudah mulai bernyanyi, aku segera menuju kedai dengan jalan terpincang-pincang. Kupesan segelas teh panas dan sepotong roti bakar. Hangatnya teh dan roti bakar mengakhiri nyanyian di perutku. Kemudian aku membersihkan tubuh seadanya di kamar mandi kedai tersebut. Aku kembali ke kedai untuk membayar. Ternyata sarapanku sudah dibayar oleh seorang pengungsi yang satu bus denganku. Walaupun cuma Rp1.500,00, tapi niat baik untuk membantuku sangat aku hargai dan hormati. Sementara aku masih duduk di kedai menghabiskan sisa teh. Tiba-tiba sebuah bus PM Toh berhenti di depan kedai, di-stop oleh 2 orang pemuda. Setahuku, bus PM Toh adalah bus jurusan Banda Aceh - Medan. Pikirku mungkin bus ini yang bisa segera membawaku ke Medan. Aku segera berlari menuju bus (aku lupa berterima kasih kepada awak bus Sahabat yang telah membawaku selama dalam pengungsian dan para pengungsi lain yang juga telah banyak membantuku). Aku mendapat tempat duduk paling belakang. Kutanyakan pada kondektur bus, ternyata tujuan bus ini hanya sampai Sigli.

Di sepanjang jalan banyak penumpang yang naik turun. Bus pun terisi sangat penuh, hingga tempat untuk berdiri pun susah didapat. Pagi itu hanya bus ini yang beroperasi, angkutan umum jarak dekat pun tak ada yang beroperasi. Hampir seluruh penumpang adalah penduduk asli Aceh. Kulihat seorang pemuda dengan tubuh dan potongan

108

Kare

na K

ita G

arda

rambut mirip anggota TNI/POLRI. Hal ini membuatku tenang karena merasa ada teman dan aku pun bisa menanyakan kepadanya bagaimana melanjutkan perjalanan dari Sigli ke Medan (aku masih menghawatirkan status darurat sipil yang berlaku di Provinsi NAD).

Pukul 11.00 sampailah kami di Sigli. Ternyata bus tidak bisa masuk terminal. Bus berhenti di pertigaan menuju arah Medan. Semua penumpang turun. Allahu akbar! Di pertigaan arah terminal banyak orang berkerumun, air masih menggenang. Baru kutahu, kota Sigli pun terkena bencana tsunami dan di pertigaan inilah air berujung. Banyak korban yang meninggal, hingga Bupati Sigli pun belum diketahui nasibnya saat itu, sementara istri bupati sudah ditemukan dalam keadaan meninggal.

Pikiranku untuk segera kembali ke rumah bertemu anak istriku semakin besar, aku berusaha mendekati orang yang mirip anggota TNI.

”Mas kalau mau ke Medan naik apa ya dari sini?” Tapi aku dibuat kaget mendengar jawabannya.

”Wah, Mas, saya baru kali ini menempuh perjalanan darat ke Medan dan saya juga sendirian, Mas”. Dari sanalah kami mengobrol, hingga aku tahu bahwa dia adalah korban tsunami yang juga akan mengungsi ke Medan. Namanya Rafli, umurnya 19 tahun, kuliah semester I di Universitas Syah Kuala, Fakultas Teknik Kimia. Di Banda Aceh dia tinggal bersama pamannya yang telah lebih dahulu meninggalkan Banda Aceh menuju Medan dengan mobil pribadinya. Akhirnya kami pun menjadi teman, bahkan seperti sahabat yang sudah lama saling mengenal.

Aku mencoba bertanya kepada kernet bus PMTOH yang kami tumpangi tadi. Ternyata bus itu pun berencana menuju Medan, setelah mereka mengganti tali kipas terlebih dahulu. Tak ada alternatif lain, hanya bus ini satu-satunya harapan untuk segera sampai di Medan. Para penumpang berebut naik kembali. Bus berangkat

109Kem

enterian Keuangan

menuju terminal bayangan (4 km dari pertigaan tadi), awak bus mengganti tali kipas di sana. Tak satu pun penumpang yang turun, padahal matahari panas menyegat. Aku dan Rafli duduk di pojok paling belakang. Kulihat ada wartel buka, letaknya di terminal bersebelahan dengan pos polisi. Aku pun memaksakan diri untuk keluar bus menuju wartel, mencoba menghubungi istriku. Kakiku sakit sekali, luka di sekujur tubuhku sudah membengkak, tetapi aku harus segera memberi kabar. Tak tega aku membiarkan istri, anakku, dan kedua orang tuaku kebingungan karena tak tahu apakah aku selamat dari bencana atau tidak. Sungguh mengecewakan, ternyata wartel hanya bisa untuk komunikasi lokal (Sigli dan sekitarnya). Kemudian aku mampir ke sebuah kedai membeli 2 botol air mineral dan permen sebagai bekal di perjalanan. Aku kembali ke dalam bus, Rafli bertanya kepadaku, ”Dari mana, Mas? Kok lama sekali.” Ternyata Rafli membawa HP dengan sisa baterai yang hampir habis. Sinyal pun tak ada. ”Kalau ada sinyal, Mas bisa pakai HP ini untuk mengirim SMS kepada keluarga”. Alhamdulillah senang sekali aku mendapat tawaran dari Rafli.

Setelah 1 jam mengganti tali kipas, bus langsung berangkat. Sepanjang perjalanan kulihat banyak rombongan hilir mudik. Mereka adalah warga di pesisir pantai yang akan mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, khawatir akan terjadinya tsunami susulan.

Jam 13.00 kami sampai di Matang-Bieureun, bus berhenti untuk makan siang. Matang terkenal dengan satainya, aku ingin sekali mencoba. Namun, mengingat persediaan uang yang terbatas, sementara perjalanan masih panjang, aku pun makan ala kadarnya. Kemudian perjalanan kami lanjutkan. Sekitar 2 km dari tempat kami makan, tanah di kiri kanan aspal sepanjang 3 km retak selebar 10-30 cm, beberapa tiang listrik roboh.

Perjalanan kami selanjutnya melalui pantai yang jaraknya ± 100 meter dari jalan raya. Permukaan laut tampak tenang,

110

Kare

na K

ita G

arda

tetapi di sepanjang jalan nampak pohon, rumah, tiang listrik, dan telepon luluh lantah, hancur berantakan, akibat terjangan badai tsunami.

Saya merasa was-was melalui jalan yang letaknya sangat dekat dengan laut. Trauma tergulung ombak masih membayang. Namun apa mau dikata, hanya inilah satu-satunya jalan yang harus dilalui untuk melanjutkan perjalanan ke Medan.

Selanjutnya, jalan menanjak menuju perbukitan. Di atas bukit terdapat komplek TNI yang nampak baru dibangun. Hampir seluruh bangunan kompleks terisi oleh para pengungsi. Sekitar jam 14.00 WIB sampailah kami di Terminal Bus Lhoukseumawe. Rafli menyalakan HP-nya, ternyata sudah ada sinyal dan Rafli-pun memberikan HP-nya untuk memberikan kesempatan kepadaku, mengirim SMS kepada istri dan orangtuaku. Kusampaikan bahwa aku lolos dari bencana tsunami, saat ini sedang dalam perjalanan darat menuju Medan. Kemudian Rafli pun segera mengirim SMS kepada orangtuanya, ternyata orang tua Rafli sedang berada di Medan dan akan segera berangkat ke Banda Aceh menjemput Rafli. Setelah tahu bahwa Rafli selamat dan sedang menuju ke Medan, orang tuanya tampak senang, bahagia, dan haru. Rencana menjemput ke Aceh pun dibatalkan.

Perjalanan dilanjutkan melewati daerah Idi, banyak penumpang yang turun. Sepanjang perjalanan Lhoukseumawe – Idi – Peureulak tampak tenda-tenda pengungsi berjejer di jalan raya. Masjid pun dipenuhi para pengungsi. Aku baru menyadari, bahwa bencana tsunami menerjang hampir seluruh daerah di Provinsi NAD.

Daerah Idi – Peureulak adalah daerah yang paling aku khawatirkan. Di daerah ini beberapa kali terjadi pembajakan dan penembakan terhadap bus umum yang lewat. Menjelang magrib, kami sudah melewati daerah Peureulak, hatiku merasa tenang. Daerah paling rawan sudah aku lewati.

111Kem

enterian Keuangan

Jam 20.00 bus berhenti di Langsa untuk makan malam. Aku dan Rafli turun dari bus dan segera mencari wartel. Aku menghubungi istriku di Bekasi dan orang tuaku di Situbondo. Betapa senang dan haru mereka mendengar suaraku, semakin yakin bahwa aku benar-benar telah selamat. Namun, aku tak bisa bicara banyak, uangku terbatas, istriku mengabarkan bahwa semua teman-teman mengkhawatirkan diriku, beberapa teman meninggalkan nomor HP untuk memudahkan aku menghubungi mereka jika ada kesulitan pada saat menyelamatkan diri dari bencana. Aku mencoba menghubungi seorang teman yang kebetulan sedang tugas di Medan, dia menginap di sebuah hotel. Betapa senang dan haru mereka mendengar suaraku, mereka menungguku dan tak sabar ingin melihat keadaanku.

Jam 22.30 sampailah kami di Medan. Kami turun di Jalan Gatot Subroto. Di tempat itu sudah menunggu orang tua dan keluarga Rafli. Kemudian mereka mengantarku ke hotel tempat teman aku menginap. Aku ragu memasuki hotel, dengan memakai kaos lusuh (2 hari belum ganti dan tidak mandi), sarung, sandal jepit, dan dihiasi dengan luka di seluruh tubuhku. Khawatir tidak diperbolehkan masuk hotel.

Kehawatiranku tak terbukti, teman-temanku –Nugroho (Jureng) dan Alromon (Ace) sudah menungguku di pintu lobi hotel. Aku disambut dengan rasa senang, gembira, dan haru. Namun, mereka tampak terkejut ketika melihat aku turun sendirian. Ternyata beredar isu bahwa aku selamat bersama dengan Tarwi, teman sekamarku di mess Banda Aceh.

Aku merasa sangat senang, gembira bertemu dengan teman-temanku, terasa lepas beban di hati ini. Aku yang tadinya tak tahu harus bagaimana dan ke mana di kota Medan dengan sisa uang di kantong Rp20.000,00. Aku tak tahu dan lupa nomor telepon dan alamat teman-teman di Medan (semua tersimpan di HP yang sudah tak ada lagi).

112

Kare

na K

ita G

arda

Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada Rafli yang telah bersamaku dan mengantarku hingga bertemu dengan teman-temanku. Berkat bantuannya, aku dapat segera menghubungi istri dan orang tuaku dengan HP-nya. Rafli juga mengucapkan terima kasih karena merasa tenang selama dalam perjalanan bersamaku.

Kemudian aku langsung diantar ke kamar yang ada di lantai 6. Di sana sudah disiapkan 2 set pakaian baru (untuk aku dan Tarwi) beserta obat luka. Aku pun membersihkan diri dengan berendam air panas. Luka di tubuhku terasa perih sekali. Kemudian aku dibawa ke rumah sakit, mengobati luka di sekujur tubuhku. Kami pun menuju RS Gleneagles, semua luka dibersihkan dan tak lupa diinjeksi anti-tetanus.

Ternyata 5 orang teman dari Banda Aceh sudah tiba terlebih dahulu di Medan sore tadi dengan menggunakan pesawat. Dan malam itu juga terdapat kabar bahwa kepala kantorku juga selamat. Alhamdulillah.

Selasa, 28 Desember 2004

Pukul 06.30 aku sudah berada di Bandara Polonia, satu jam lagi aku diantar Jureng berangkat ke Jakarta dengan pesawat Garuda. Pukul 09.30 mendaratlah kami di Bandara Soekarno-Hatta, kami langsung disambut dengan sebuah Kijang yang sudah menunggu di tangga pesawat. Ya Rabb syukur pada-Mu, aku masih diberikan kesempatan bertemu istri dan anak-anakku. Pujian bagi-Mu aku masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang aku cintai. Hanya dengan izin-Mu aku dapat melewati ujian dahsyat yang nyaris merenggut nyawaku… Beliau mengakhiri kisahnya.

Tiap Beliau menceritakan kisah ini di hadapan teman-teman juga para pegawai Bea dan Cukai, selalu membuat kita yang mendengarkan terbawa suasana haru yang menghunjam hati. Tersadar betapa kecilnya kita. Tersadar betapa ringkihnya kekuatan kita. Tiada yang bisa menjamin

113Kem

enterian Keuangan

kita bisa menyaksikan terbitnya matahari esok pagi. Tak ada yang bisa memberikan garansi kita masih bisa menghirup nafas esok hari.

Semua orang meyakini bahwa dirinya pasti mati. Semua berjalan menuju kematian. Dan semua juga sadar kematian bisa datang kapan saja, bahkan juga sering tiba-tiba. Namun, terkadang kita menjumpai para manusia ternyata banyak juga yang tidak benar-benar mempersiapkannya. Banyak dari kita lalai akan kematian, padahal kematian adalah pasti. Dan ketika kiamat (kematian) sudah di depan mata, buku suci menggambarkan bahwa mereka (para manusia) melihat hidup itu sebentar sekali, sekitar hanya dua jam saja. “…mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (An Nazi’at 79: 46).

Bahkan saking menyesalnya mereka (karena kurang amal baiknya), sampai mereka ingin menjadi debu saja. “…Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah” (An Naba’ 78: 40).

Marilah kita bersama isi setiap episode hidup kita yang sangat sebentar ini dengan kebajikan penuh makna. Nikmat kesempatan hidup yang diberikan Tuhan, semaksimal mungkin digunakan seluruh detiknya untuk mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan untuk alam semesta.

Teriring lantunan doa tulus, sepenuh hati, semoga para korban tsunami, (termasuk keluarga besar Bea dan Cukai*) diberikan kekuatan, kesabaran, dan kehidupan yang lebih baik. Para syuhada yang meninggal semoga ditempatkan di salah satu taman dari taman-taman di surga-Nya.

*Hingga tanggal 23 Januari 2005, dari 141 karyawan, 90 selamat, 30

dinyatakan meninggal, dan 21 tidak diketahui nasibnya.

114

Kare

na K

ita G

arda

Terima kasih khusus aku ucapkan kepada:1. Allah SWT yang telah memberikan kesempatan hidup

untuk yang kedua kali dan memberikan kesempatan untuk lebih bisa mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.

2. Keluarga Sherly, keluarga (yang aku lupa namanya) yang membantuku selama pengungsian, awak Bus Sahabat, awak Bus PMTOH, Rafli dan semua pihak yang telah membantuku di Banda Aceh.

3. Bapak Dirjen Bea dan Cukai beserta seluruh jajarannya.4. Jureng, Ace, Sad, Encep, Blake, Wondo, Gembung,

Budi, dan semua rekan beserta para tetangga yang telah banyak memberikan dukungan, baik moril maupun materiil.

115Kem

enterian Keuangan

Amplop Cokelat

Oleh: Puguh Hermawan,Pegawai DJPb

“Hati-hati di sana Le, gak usah neko-neko, manut wae sama atasan. Apapun yang kamu kerjakan di tempat orang, lakukan yang terbaik demi agama, nusa, dan bangsa yo, Le! Yang penting satu: jangan korupsi! Bu’e di rumah baik-baik saja. Mangkato, Le, nanti terlambat!”

Kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku, seperti baru kemarin Bu’e mengatakan itu, ketika aku berangkat untuk pertama kalinya meninggalkan Tanah Jawa. Tak kulihat wajah Bu’e yang sembap menahan perasaannya. Bukan tidak mau, hanya tak tega rasanya meninggalkan sosok yang telah merawatku sejak kecil itu seorang diri. Tak tega melihat matanya yang basah mulai menitikkan kristal-kristal cintanya. Aku tahu Beliau pun tak ingin aku melihatnya, sehingga cepat-cepat dihapus seolah-olah takut kupergoki Bu’e menangis. Aku sangat mengerti betapa berat dirinya melepas keberangkatanku, tapi aku juga tahu betapa besar pula rasa bangganya melihatku berangkat menuju tempat asing untuk mengabdi demi nusa, bangsa, dan agama, seperti yang selalu Beliau tanamkan dengan sederhana kepadaku sejak kecil.

Segera kulangkahkan kaki ini dengan sedikit tergesa.

116

Kare

na K

ita G

arda

Biarlah, biar semua orang mengira ketergesaanku karena takut ketinggalan kereta menuju kota pelabuhan keberangkatanku nanti. Biar aku dan Yang Maha Memiliki Hati saja yang tahu, bahwa ketergesaan ini karena ingin segera kulewati momen sendu ini. Dan tentunya aku tak ingin larut dalam kesedihan yang menyakitkan, sehingga Bu’e tahu bahwa aku pun amat berat meninggalkannya seorang diri.

Ingin rasanya ku berbalik dan memeluknya sekali lagi, menunjukkan perasaanku sesungguhnya. Inginku ungkapkan betapa kumencintainya dengan tulus, meski aku tahu cintaku kepada Bu’e tak mungkin cukup besar dibandingkan cintanya padaku.

***

“Tidak usah sok deh, kamu ‘kan masih pelaksana. Jangan mentang-mentang usia kamu masih muda ya!” dengan kumis melintang, muka meradang menahan amarah, bapak itu membanting kacamatanya di meja dengan keras.

“Sungguh, Pak, saya tidak berani.”

“Kamu ‘kan tidak perlu ngapa-ngapain, cukup ketik saja sesuai kesepakatan!”

“Tapi, Pak ...“

“Tidak usah tapi-tapian, habis waktu saya jika hanya berdebat dengan anak kemarin sore!”

Tanpa basa-basi Beliau meninggalkanku di ruangan itu sendiri. Tidak! Betapa pun Beliau adalah pemimpin di kantor ini, aku tidak ingin memenuhi permintaannya yang mungkin lebih tepat disebut perintah. Aku bimbang sejenak, meskipun akhirnya dengan berat kutinggalkan juga ruangan itu, kembali ke meja kerjaku.

Demi memikirkan kembali posisiku sebagai “anak kemarin sore” di kantor ini, aku pun memenuhi permintaan Beliau,

117Kem

enterian Keuangan

tentunya setelah melalui proses debat yang panjang dengan beberapa pegawai lain yang entah mengapa merasa terancam dengan gaya protesku. Sehingga angka-angka ajaib itu pun tercipta, entah dari mana aku sendiri tak mampu menjelaskan. Tugasku hanyalah memindahkan coretan tangan itu dalam format yang telah ditentukan. Paraf, tanda tangan, stempel, dan selesai sudah tugasku yang satu itu.

Alangkah terkejutnya aku, ketika seminggu kemudian si Bapak dengan kumis melintang mendatangiku dan memberikanku amplop cokelat yang tak perlu ditanyakan lagi isinya apa.

“Maaf, ini apa, Pak?” tanyaku curiga.

“Jatah kamu,” jawabnya polos.

“Maksudnya, Pak?” tanyaku lagi.

“Tidak usah basa-basi lah, ambil saja!” ujarnya enteng sambil meninggalkan ruanganku begitu saja.

Segera kuintip isi amplop cokelat yang memang tidak disegel itu. Segepok uang yang tidak sedikit!

Tidak, hal inilah yang paling kutakutkan dari kemarin. Menerima uang yang bukan hakku. Apalagi kutahu ini adalah uang kotor. Aku harus menolak uang ini, tapi bagaimana caranya? Apakah aku harus mengembalikannya kepada pimpinanku itu? Lalu mengatakan bahwa aku tidak bisa menerima hal ini?

Ah, itu sama saja aku bunuh diri. Bukankah baru kemarin aku berdebat dengannya tentang masalah integritas? Tentang arti sebuah loyalitas terhadap pekerjaan dan atasan? Dan hasilnya aku terancam masuk blacklist? Atau memang ini saatnya aku menegaskan teoriku tentang istilah “loyalitas buta”? Ah, begitu banyak pertanyaan yang dengan riang menari-nari di atas kebimbangan pikiranku.

Di satu sisi, hatiku ingin mempertahankan idealismeku,

118

Kare

na K

ita G

arda

tetapi di sisi lain otakku berpikir tentang masa depan yang bakal terancam jika aku menentang atasanku, secara terang-terangan pula. Sekarang uang dalam amplop ini pun menambah bebanku, bukan hanya beban pikiranku, tetapi juga kekalutan atas masa depanku.

Satu hal yang membuatku berani berpikir, bahwa idealisme ini harus tetap kupertahankan, yaitu keyakinan bahwa masih banyak orang baik di dunia ini. Masih banyak orang yang berharap kebusukan ini segera berakhir, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan tanpa kepentingan neko-neko seperti yang terjadi saat ini. Kuyakinkan diri untuk tetap memegang prinsip, bila tak dimulai dari sekarang, tak akan terjadi perubahan apa-apa. Kupaksakan pikiranku tertuju pada harapan akan perubahan besar pada instansi ini ke arah yang jauh lebih baik.

Tinggalkan kebusukan, pertahankan budaya lama yang santun, kembangkan budaya baru yang lebih beradab, temukan cara perubahan yang terbaik, fokuslah pada cita -cita, maka akan kaugapai masa depan yang engkau cita-citakan. Kata-kata dalam buku pengembangan diri yang pertama kali kubeli dengan honor magangku dulu, begitu jelas melekat di otakku. Bagai tersengat arus listrik yang mengejutkan, aku pun bersemangat menuju ke ruangan atasanku.

“Saya percaya Mas Wawan orang baik. Makanya uang itu saya serahkan ke Mas Wawan. Kalau saya serahkan ke orang lain, pasti akan diarahkan ke hal yang semakin tidak jelas. Memangnya Mas mau uang yang Mas bilang ‘kotor’ itu digunakan untuk berfoya-foya oleh orang yang tidak bertanggung jawab? Apakah tidak lebih berdosa nantinya kalau kita memberikan daging domba yang tak berdosa kepada buaya lapar yang malas mencari mangsa? Kalau Mas merasa uang itu bukan hak Mas, Mas bisa salurkan ke tempat yang menurut Mas tepat, karena Mas orang baik, maka Mas Wawan pasti tahu mana tempat-tempat yang dimaksud. Dan yang jelas, karena toh selama ini Mas

119Kem

enterian Keuangan

Wawan adalah tulang punggung kantor ini. Hampir semua seksi membutuhkan tenaga Mas, jadi bisa dikatakan ini adalah uang hasil keringat Mas Wawan juga.” ujar Si Bapak Kumis suatu hari.

Bagaikan disengat listrik kedua kalinya, aku pun lemas tak berkutik mendengar perkataan ‘enteng’ Beliau. Sehingga tulang belulangku seolah dicabuti dari tubuhku. Persendianku rasanya tak berdaya kugerakkan untuk kembali ke mejaku.

Ya Allah, benarkah yang kudengar tadi? Bapak-bapak berbaju cokelat yang selama ini kutentang memercayakan kepada diriku untuk menyalurkan uang ini ke tempat yang layak, tapi kemana?

Duhai Yang Maha Membolak-balikkan Hati, mengapa ujian ini begitu berat? Ini adalah uang pertama yang tak kuketahui asal-usulnya. Yang kutahu hanyalah dari pemahamanku yang sempit, bahwa ini di luar hak rutinku, di luar penghasilan normalku. Yang kupahami hanyalah ini bukan hakku. Namun mengapa atasanku tadi berkata bahwa ini hasil keringatku sendiri? Bukankah tanpa uang ini pun aku tetap harus menyelesaikan pekerjaanku, karena memang sudah kewajibanku?

Berhari-hari tak juga kunjung reda aku memikirkan nasib uang itu. Dengan takut-takut ada orang lain yang melihatnya, aku hanya meletakkan uang itu di laci dan menguncinya sembari menunggu kemantapan hatiku tentang keberadaan uang itu.

Ah, biarlah Allah yang akan menunjukkan kepada hatiku akan kuapakan uang dalam amplop cokelat itu.

Doaku hanya satu, “Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui yang benar dan yang salah. Jika memang uang ini adalah hakku, maka tunjukkanlah dengan cara-Mu bahwa uang ini memang berhak kupakai. Namun jika uang ini bukan hakku, maka tunjukkanlah dengan cara-Mu

120

Kare

na K

ita G

arda

bahwa uang ini tidak layak untuk kupergunakan.”

***

“Pulanglah Wan, Bu’e sakit keras, Pak Dhe-mu ndhak punya uang banyak untuk biaya operasi ibumu.”

Bagiku berita itu seperti petir di siang bolong. Sesaat aku tidak memberikan reaksi apa pun. Hanya bengong. Mengapa selama ini aku tak pernah dikabari bahwa penyakit Bu’e sudah terlalu parah? Kalau memang butuh operasi, mengapa tidak bilang dari dulu? Setidaknya aku bisa meminjam sana-sini untuk sekadar meringankan biaya operasi yang dibutuhkan. Ah, begitulah Bu’e, tak ingin merepotkan orang lain, bahkan kepada anaknya sendiri.

Ya Allah, ini semua kehendak-Mu. Aku hanya mampu meneteskan air mata dalam sujudku yang panjang di malam itu.

***

Dan kini aku telah berada di kamarku yang dulu. Lebih tepatnya kini menjadi kamar di mana Bu’e berbaring menanti mobil yang Pak Dhe pinjam dari tetangga untuk membawa Bu’e ke rumah sakit untuk dioperasi. Karena ternyata selama ini Bu’e bersikukuh untuk tetap dirawat di rumah, dengan alasan biaya penginapan di rumah sakit akan sangat mahal.

“Pulanglah Wan, Bu’e sakit keras, Pak Dhe-mu ndhak punya uang banyak untuk biaya operasi ibumu.”

121Kem

enterian Keuangan

Ampuni aku ya Allah, karena selama ini aku begitu lalai berbakti kepada orang tuaku sendiri. Aku telah meninggalkan Bu’e sendiri bersama Pak Dhe yang ternyata juga sedang kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri, apalagi ditambah kondisi Bu’e yang sakit-sakitan.

Baru kutahu bahwa uang yang kukirimkan setiap bulan itu sangat tidak mencukupi biaya rawat jalan Bu’e, karena biaya obat-obatan yang membumbung tinggi. Bu’e belum cerita detailnya, tapi dari sedikit penjelasan Pak Dhe, aku pun semakin terenyuh melihat kondisi Bu’e.

Lagi-lagi gerimis membasahi hatiku ketika Bu’e sempat menolak dibawa ke rumah sakit.

“Memangnya gajimu sudah cukup banyak untuk membawa Bu’e ke rumah sakit, Le?”

Lidahku mendadak kelu. Tak satu pun kata keluar menjawab pertanyaan Bu’e. Hanya ada satu dalam pikiranku. Bu’e harus sembuh. Bu’e harus segera dirawat di rumah sakit. Aku yakin, pasti akan ada jalan untuk mendapatkan biaya perawatan Bu’e. “Duh Gusti, paringi pitulungan.” desahku.

Mendadak terlintas olehku sebuah amplop cokelat yang sudah kumasukkan ke dalam ranselku. Berada di bawah tumpukan baju-baju yang sedianya aku bawa pulang. Dan tas itu, kini masih teronggok di kamar kosku. Namun, pergolakan di hati terjadi. Tak sudi kucelakai Bu’e dengan uang itu. Bu’e pasti juga tidak akan rela jika tahu asal-usul biaya pengobatannya.

Kubuang bayangan amplop cokelat yang memutari kepalaku. Hidup mati manusia sudah diatur oleh Yang Mahakuasa.

***

Sayup-sayup terngiang kalimat penuh cinta dari Bu’e, “Yang penting satu, jangan korupsi!”

122

Kare

na K

ita G

arda

Catatan Kecil Reformasi Birokrasi

Oleh: Hadi Nursahid, Pegawai DJPb

Anak itu terlihat menyedihkan. Matanya cekung, pandangannya nanar, bajunya lusuh, duduk di kursi reyot di pojok sebuah ruangan pengap. Tangannya menggenggam tali rafia kuning agar kipas angin noraknya bisa selalu diarahkan kepadanya. Dari mulutnya terdengar ocehan bait-bait lagu keikhlasan, igauan senandung zikir-zikir kesabaran. Seolah mencoba menghibur hatinya yang gundah.

Pekerjaan telah mengantarkannya untuk berkeliling Indonesia, dari satu pulau ke pulau lain, dari satu daerah ke daerah lain, suatu petualangan yang mengharu biru perasaan. Bertemu dengan bermacam budaya, bersua dengan berbagai adat, berkomunikasi dengan beragam bahasa.

Petualangan yang menggairahkan sebenarnya, tetapi perasaanya bergemuruh. Dia tidak menemukan lingkungan kerja yang sesuai dengan jiwanya. Dia tidak bisa mengekspresikan keyakinannya. Kreativitasnya terkungkung, idealismenya terpenjara, keyakinannya tertawan.

123Kem

enterian Keuangan

Sebenarnya dia adalah anak yang brilian, cerdas luar biasa. Dia tidak pernah beranjak dari peringkat tiga besar sejak dari SD sampai dengan kuliah. Dia dari keluarga yang sederhana di kampung yang jauh dari kota, tetapi cita-citanya menggelora. Penyakitnya hanya satu, dia terlalu fanatik dengan agamanya, terlalu memegang teguh keyakinanya, tidak mau kompromi dengan prin sipnya. Ya, dia terlalu keras, terlalu radikal, ‘tidak bisa bekerja sama’.

Ya, ‘tidak bisa bekerja sama’. ltulah istilah yang diberikan kepadanya atas sikapnya yang norak, tidak mau menerima pemberian dengan ikhlas dari bendahara yang dilayani. Alasannya mungkin sangat bodoh, “Ini sudah pekerjaan saya”, atau alasan yang ‘fundamentalis’ persis seperti ucapan calon teroris, “Agama saya mengharamkannya.” Padahal teman-temannya mau menerima dengan alasan yang lebih masuk akal, “Kita tidak meminta. Ini adalah bentuk ucapan terima kasih dari mereka yang sudah kita bantu.”

Padahal semua tahu dia selalu kena migrain berat setiap akhir bulan karena pusing mengatur gajinya yang tidak cukup. Selalu beralasan sok alim puasa Senin - Kamis untuk menghemat jatah makan. Selalu mabuk laut berat setiap pulang kampung karena harus naik kapal tua yang hanya ada jadwal seminggu sekali.

Yang lebih menyebalkan, ketika dia sudah berkeluarga, dia ikut menelantarkan keluarganya dengan alasan yang sulit diterima nalar, “Saya tidak mau ngasih makan bara api kepada keluarga saya’’. Dan yang lebih aneh, istrinya satu suara, seperti paduan suara ibu-ibu PKK dengan mengatakan “Suarniku, saya siap lapar, namun saya tidak siap masuk neraka’’. Keluarga yang aneh, keluarga yang tidak bisa bekerja sama.

Tapi itu dulu. Duluuu sekali. Dan kini sudah terkubur dalam-dalam. Pemuda itu sekarang kelihatan gagah. Rambutnya tertata, bajunya serasi dengan celana dan sepatunya, kelihatan rapi walaupun tidak mahal. Dan yang lebih mengherankan lagi, sekarang dia berdasi!

124

Kare

na K

ita G

arda

Ruangan kerjanya tidak kalah mentereng. Hebat luar biasa, selalu dingin seperti di pegunungan, berhiaskan bunga-bunga cantik yang tertata rapi. Tidak mahal memang, tapi kelihatan terawat, dan dipadu dengan pot-pot mungil yang estetis dengan warna sepadan. Alunan musik lembut yang menenangkan suasana, tidak ada suara keras, tidak ada keributan kecuali suara panggilan nomor antrean, selalu setia menemani hari-hari pengabdiannya.

Di teras depan dan belakang, tidak kalah rindang. Walaupun hanya berhiaskan bunga alang-alang liar yang ditanam di pot-pot besar dan dipadu dengan piper crocatum

ruiz, anthurium wave of love, dan aloe vera liin, tetapi karena ditata dengan apik, maka kelihatan sangat memikat laksana hotel-hotel berbintang.

Teman-temannya tidak kalah gagah. Senyuman selalu tersungging, semua kelihatan cerah. Langkahnya selalu penuh kemantapan, menandakan semangat yang membuncah. Kata-katanya tertata, emosinya terkontrol, semua kelihatan kompak. Jelas menunjukkan tim yang solid.

Ya, dia sekarang berada di lingkungan kerja yang berbeda 180 derajat. Gelombang reformasi birokrasi telah meluluhlantakkan peradaban jahiliah di Direktorat Jenderal Perbendaharaan, menghancurleburkan jaring-jaring koncoisme, merobohkan keangkuhan korupsi, mencabut akar-akar kesombongan KKN.

Aneh, bahkan sangat-sangat aneh, orang-orang seperti dia yang dulu dianggap tidak bisa bekerja sama, yang selalu ditempatkan di pojok-pojok kekuasaan yang tidak punya peran yang signifikan, sekarang justru dicari, dikejar, diburu, untuk menjalankan apa yang disebut roda reformasi birokrasi. Bahkan untuk memburu dan menangkap para spesies langka ini, cara yang dilakukan tidak kalah aneh, mereka harus mengikuti tes yang mereka sendiri tidak paham. Namun, sungguh ajaib, mereka yang lulus ternyata memang memiliki jenis gen kepribadian yang

125Kem

enterian Keuangan

sama, memiliki kromosom perilaku yang mirip, memiliki adrenalin semangat yang seragam. Sungguh tes yang sangat-sangat aneh.

Sekarang dia sudah mendapatkan apa yang dia cari, lingkungan kerja yang diidamkan, tidak ada lagi hiruk pikuk perebutan posisi. Di seksi manapun ditempatkan, tidak ada lagi istilah basah dan kering. Prestasi dihargai, kerja keras terbalas, inovasi diakui, kejujuran dibenarkan. Ya, nyaris sempurna.

Namun ada satu hal yang meresahkannya. Sudah berjam-jam dia merenung, melamunkan sesosok wanita yang sudah sepuluh tahun lebih setia mendampinginya. Dia tetap anggun seperti dulu, tetap santun dalam berkata, tetap tidak pernah mengeluh dengan seabrek pekerjaannya.

Dia wanita tercantik yang pernah dikenal, yang selalu setia menjaga kehormatannya, yang telah memberinya hadiah terindah berupa pahlawan-pahlawan kecil yang selama ini selalu mengalirkan semangat kepadanya, yang mengobati kelelahannya, yang meredam emosinya, yang selalu mendorongnya untuk segera pulang selepas bekerja.

Ya, dia memang wanita yang luar biasa. Kecantikannya tidak pernah pudar walaupun usianya sudah mendekati empat puluh. Dan sebelas tahun yang lalu, dia mengejutkan semua orang karena menikah secara tiba-tiba dengan pria yang hanya dia kenal lewat surat, yang berada jauh di pulau lain.

Sekarang dia harus berpisah dengan wanita luar biasa ini dan dengan pejuang-pejuang kecilnya. Hanya kontak via suara yang sering dilakukan. Memang tidak seharusnya mereka berpisah, tapi segala sesuatu ada risikonya, dan dia memilih memberikan pendidikan yang terbaik untuk pahlawan-pahlawan kecilnya, walaupun itu menuntut mereka dipisahkan lautan.

Namun, bukan perpisahan itu yang membikinnya

126

Kare

na K

ita G

arda

termenung karena itu sudah didiskusikan, diputuskan, dan disepakati, tinggal bertawakal kepada Allah. Yang membuatnya termenung adalah pesan dari istrinya saat kepulangan terakhirnya sekitar dua bulan yang lalu.

“Suamiku, kita sudah berhasil melewati masa-masa sulit, ketika kita terhimpit ekonomi, ketika kita tidak dipandang oleh orang lain. Sekarang keadaan sudah berubah, pintu-pintu rezeki sudah dibuka, jalan-jalan kemudahan sudah terbentang. Satu pertanyaanku suamiku, apakah kita bisa melewatinya, apakah kita sanggup lolos dari godaan kemewahan, apakah kita masih bisa istikamah dengan keyakinan kita?”

Semburat kuning muncul di balik pegunungan Donggala. Samar-samar tertutup dedaunan kayu hitam khas Sulawesi, ebenaceae . Suara azan Magrib terdengar sayup-sayup dari masjid kantor, menorehkan perasaan kerinduan pada Sang Khalik. Segera dia menghentikan lamunannya dan segera membasuh wajahnya untuk bersimpuh di hadapan-Nya untuk memohon kekuatan, baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya, untuk teman-temannya, dan untuk Direktorat Jenderal Perbendaharaan –tempatnya bernaung, “Semoga tetap istikamah dengan jalan yang sudah dipilh, semoga Allah memudahkannya. Amin.”

Memang tidak seharusnya mereka berpisah, tapi segala sesuatu ada risikonya, dan dia memilih memberikan pendidikan yang terbaik untuk pahlawan-pahlawan kecilnya.

127Kem

enterian Keuangan

Maka Berutanglah Kita kepada Rakyat

Oleh: Hisyam Haikal,Pegawai Itjen

Suatu hari di tahun 1993, seorang satpam Departemen Keuangan tergopoh-gopoh “menghalau” sebuah Datsun tua dari tempat parkir khusus pejabat eselon II. Mungkin terpikir dalam benak sang satpam, sungguh tak layak mobil bobrok begitu nangkring di sana. Hampir tak mungkin pula seorang pejabat eselon II punya mobil “seelok” itu. Maka ketika sesosok tubuh tinggi, berkulit putih, lengkap dengan kumis tebalnya, keluar dari Datsun itu, terkejutlah sang satpam. Beliau memang pejabat eselon II, tempat parkir itu memang jatahnya, dan “mobil bobrok” itu memang mobilnya.

Soleiman Abdullah nama lengkapnya. Kepala BAKUN, jabatan terakhirnya. Itulah Beliau, sang pemilik Datsun tua, yang masih ada sampai sekarang. Paling tidak, sampai saat saya bertemu kembali dengannya, sebulan lalu, pada suatu siang di atas gerbong kereta menuju Bandung. Perhatikan bagaimana kata “Soleiman” ditulis, bukan “Sulaiman” atau “Suleiman”. Seorang senior bilang, cara menulis nama Beliau adalah salah satu indikasi kedekatan seseorang dengan Beliau.

Cerita yang saya jadikan pembukaan tulisan ini, sungguh,

128

Kare

na K

ita G

arda

tak saya lebih-lebihkan sedikit pun. Memang begitulah adanya. Kesederhanaan memang sangat lekat dengan Beliau. Buat kami yang pernah jadi anak buahnya, kesederhanaan itu nyata, bukan gosip di dunia maya, atau khayalan kaum idealis utopis.

Pak Soleiman Abdullah, siapa yang tak kenal sosoknya? Buat para pegawai Itjen Kemenkeu tahun ‘70-an, ‘80-an, dan ‘90-an, nama itu tentu tak asing lagi, tapi mungkin berbeda buat generasi millennial Itjen, 2000-an. Mengenang Beliau, sungguh nostalgia terindah para perindu integritas, sekaligus pesona buat generasi muda yang merindukan sosok hidup bernama integritas.

Seorang kawan menyebutnya legenda. Legenda pada zamannya. Jauh sebelum hiruk pikuk tentang kode etik, Beliau sudah menjalankannya. Jauh sebelum orang berteriak-teriak tentang integritas, Beliau sudah patrikan kata itu di jantungnya. Jauh sebelum keluh kesah finger

print, kami sudah mengalaminya (secara manual). Jauh sebelum Standar Audit digalakkan, Beliau sudah menerapkan standar audit versi Pak Leman yang amatlah ketatnya.

Waktu itu, untuk sampai pada tahap melakukan audit bukanlah sesuatu yang mudah (sekarang pun mungkin masih begitu ya?). Kita harus meyakinkan betul bahwa audit memang benar-benar diperlukan dan menghasilkan sesuatu yang signifikan. Kalau Beliau tak bisa diyakinkan dengan itu, jangan harap kita bisa dinas luar. Dan ketika audit selesai, penyusunan laporan bagaikan ujian skripsi. Beliau bagaikan dosen penguji jenis killer dan kami bagaikan mahasiswa S1 yang bermandi peluh, gemetar berjuang mewujudkan cita-cita.

Hari-hari bersama Pak Leman adalah hari-hari yang menegangkan, sekaligus menyenangkan. Wibawa bagaikan melekat di dahinya. Gelegar suaranya menggetarkan setiap penghuni ruangan. Dialek khas Ambon-nya masih terngiang sampai sekarang. Sosoknya yang tinggi dengan

129Kem

enterian Keuangan

kulit putih dan kumis tebal, membuat para pegawai wanita tak ragu memasukkannya dalam kategori tampan. Bersaing dengan Tom Selleck atau Burt Reynolds pun Beliau sanggup.

Bukan itu saja. Perhatiannya kepada anak buah, sampai sekarang belum ada duanya. Beliau tahu betul siapa duduk di mana. Beliau paham betul siapa berasal dari mana. Beliau habiskan banyak waktu buat ngobrol dengan kami. Tentang daerah asal, tentang keluarga, tentang agama, tentang apapun. Lengkap dengan canda tawa. Kawan saya bilang, ini jenis pejabat langka yang patut dilestarikan.

Seorang kawan menyebutnya anugerah ketika saya bertemu dengan sosok Pak Leman. Sebulan lalu, dalam sebuah perjalanan penugasan ke Bandung dengan kereta, seorang kawan berbisik, “Ssst, itu Pak Leman …” Kami masih sibuk mencari nomor kursi ketika Beliau malah menyapa saya dan menyebut nama saya dengan jelas. Saya tak terkejut, Beliau memang hafal nama anak buahnya satu per satu. Tapi setelah hampir lima belas tahun tak bertemu, tentu hanya pria luar biasa yang hafal nama anak buahnya. Pak Leman mengajak saya duduk di kursi sebelah Beliau yang kebetulan kosong.

“Kita semua berutang kepada publik… semua yang kita terima sebagai pegawai, apalagi pejabat, pada saatnya nanti harus kita lunasi.”

130

Kare

na K

ita G

arda

Maka berlalulah tiga setengah jam dalam dialog yang begitu indah. Saya terpana mendengar suaranya yang sedikit pun tak berubah. Saya terharu, Beliau tak kehilangan ingatan tentang seluruh bekas anak buahnya. Saya kagum pada integritasnya yang tak juga luntur. Saya tersenyum, kebiasaan Beliau memvonis orang lain tak juga hilang. Ah, tentu Beliau juga manusia biasa, tak semua yang ada pada diri manusia kebaikan melulu. Ada juga satu dua hal yang menunjukkan sifat kemanusiaannya.

Satu kalimat dari Beliau –dalam perbincangan itu- yang begitu lekat di telinga saya dan tergores lekat dalam benak saya, “Kita semua berutang kepada publik… semua yang kita terima sebagai pegawai, apalagi pejabat, pada saatnya nanti harus kita lunasi.”

Saya tertegun, menelusuri seluruh yang melekat pada diri saya, semua yang saya miliki, dan semua yang saya terima dari negara, seumur karier saya. Berdasarkan teori Pak Leman, jelas saya berutang kepada publik.

Gaji dan tunjangan yang kita terima setiap bulan, yang jumlahnya bervariasi untuk setiap kita, itulah utang pokok kita kepada publik. Semakin besar gaji dan tunjangan kita, semakin besar yang dituntut publik dari kita, semakin menumpuk utang kita kepada publik, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun. Sejak kita jadi CPNS hingga pensiun kelak.

Fasilitas negara yang kita nikmati hari demi hari, itu pun utang yang mesti kita bayar. Itu bukan “makan siang gratis”. Pendingin udara yang kita nikmati, jernihnya air toilet, laptop kantor yang kita jinjing ke mana-mana, dan tak lupa kendaraan dinas yang membawa kita ke mana hendak pergi, semua itu dibayar dan dipinjamkan publik kepada kita. Semakin banyak yang kita nikmati, semakin menumpuk utang kita. Semua itu harus kita bayar, sekarang atau kelak, senyampang kita masih mampu, dan tahu cara melunasinya. Publik tak membayar kita mahal, hanya untuk membuat kita tertawa. Publik menuntut kerja keras, pemikiran, ide,

131Kem

enterian Keuangan

gagasan untuk perbaikan negeri. Publik menuntut keringat kita. Paling tidak, begitulah menurut teori Pak Leman.

Perjalanan dinas yang kita lakukan, publiklah yang membiayainya. Semakin sering kita melakukan perjalanan dinas, semakin besar utang kita kepada publik. Semakin mudah kita bolak-balik ke luar negeri dengan biaya negara, semakin besar yang dituntut publik dari kita. Harus selalu ada hasil dari setiap rupiah yang kita terima. Harus ada oleh-oleh dari setiap langkah perjalanan dinas kita. Publik tidak membelikan tiket kita hanya agar kita bisa melihat dunia lain. Publik tidak membayar biaya penginapan kita hanya agar kita bisa menikmati hotel mahal. Publik tidak menyelipkan lembaran rupiah (atau US$) di saku kita hanya agar kita bisa bersenang-senang di negeri orang. Semua itu harus kita bayar dengan apa yang publik butuhkan. Paling tidak, begitulah menurut teori Pak Leman.

Entah kita menyadarinya atau tidak, atau tidak peduli. Setiap hari, kerja kita hanya menumpuk utang. Utang kepada publik. Semakin tinggi jabatan yang kita duduki, semakin besar utang yang harus kita lunasi. Semakin banyak fasilitas yang kita nikmati, semakin menumpuk utang kita berpundi-pundi. Semakin antre tanda terima honorarium yang harus kita tanda tangani, semakin berderet utang kita menanti.

Maka kita harus membayarnya, sekarang atau segalanya akan terlambat. Melaksanakan setiap pekerjaan yang menjadi beban kita sesegera mungkin. Mencoba berkontribusi –sesuai kapasitas masing-masing- dalam setiap upaya pembangunan public trust. Mempertahankan benteng integritas dari setiap upaya pengkhianatan. Menjadikan kode etik sebagai pedoman dalam laku langkah. Itu hanya sebagian yang bisa kita lakukan dalam melunasi utang kita kepada publik.

Tapi seperti saya katakan, itu semua bila kita merujuk kepada teori Pak Leman. Lain halnya tentu kalau kita menganggap semua yang kita terima adalah hak kita, bukan

132

Kare

na K

ita G

arda

utang yang menuntut segera dilunasi.

Seperti kata Pak Leman, kita harus melunasinya, semua utang-utang itu. Sekaranglah saatnya, sebelum terlambat, sebelum kita dinyatakan gagal bayar, karena kita tak punya lagi daya, dana, waktu, dan kemampuan untuk melunasi utang.

Dengarlah senandung Chrisye melagukan lirik Taufik Ismail:

“Akan datang hari

mulut dikunci

kata tak ada lagi…”

Ketika hari itu datang, Tuhan pun menagih semua utang kita. Mungkin dengan cara yang tak terbayangkan oleh kita, yang merasa tak punya utang.

133Kem

enterian Keuangan

Bakti Seorang Pramubakti

Oleh: Diana Rulita,Pegawai DJA

Hari masih gelap ketika aku bergegas pergi. Selepas salat Subuh tadi, aku sudah siap memakai sepatuku dan mengikatnya dengan kencang. Aku tak ingin kejadian tempo hari terulang kembali ketika sebelah sepatuku terjatuh ke sisi rel kereta, sehingga aku terpaksa harus pulang kembali dengan hanya sebelah kaki yang memakai sepatu. Dengan sigap aku menerobos kerumunan orang-orang, agar bisa masuk ke dalam gerbong kereta yang akan mengangkutku. Kereta melaju kencang meninggalkan Kota Depok, menuju tempat kerjaku, DJA harapan.

Kupandangi rumah-rumah lewat jendela kereta, mungkin di dalam sana penghuninya masih bertabur mimpi atau masih melayani orang-orang terkasih. Namun, aku sudah di sini, berpacu dengan waktu, berharap agar kereta ini sampai dengan tepat waktu di kantor.

Pukul 06.30 kuhembuskan nafas dengan lega. Sampai di kantor lebih pagi membuatku lebih nyaman. Aku masih punya waktu untuk menunaikan kebiasaanku dengan lebih lapang. Kulipat mukena di musala, lalu menuju ke lantai atas, membuka pintunya, menyalakan lampu dan komputer, dan membereskan koran dan majalah yang datang setiap

134

Kare

na K

ita G

arda

hari.

Lantai tempatku bekerja masih sepi. Sambil sejenak membaca berita hari ini, lamunanku pun melayang…

Aku adalah seorang pramubakti pada unit kerjaku, dan ini sudah kujalani selama lebih kurang 18 tahun. Setiap ada rumor pengangkatan pegawai menjadi PNS berhembus, kunanti dengan harap-harap cemas, berharap namaku akan tercantum di selembar kertas itu. Selembar kertas yang akan mengubah nasibku menjadi lebih baik. Beberapa kali rumor itu ada, tetapi tak juga terealisasi sampai saat ini. Aku tak paham apa kendalanya. Meskipun demikian, aku tak pernah patah harapan, kujalani pekerjaanku tanpa turun semangat, berharap suatu hari nanti, Tuhan akan menjawab semua doa-doaku. Bila hal itu terjadi, aku akan mengenakan nametag yang akan kusematkan di dadaku, meskipun banyak pegawai yang sudah tak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan. Namun aku berjanji, aku akan selalu memakainya dengan bangga, tahu ‘kan betapa ingin dan lamanya aku menantikan hal itu.

Lamunanku terhenti ketika seseorang menyapaku,

Dan semua ini kukerjakan dengan senang hati, bahagia rasanya jika bisa membantu mereka mendapatkan kebutuhannya akan ilmu pengetahuan dan keterampilan.

135Kem

enterian Keuangan

“Pagi, Mbak, ada buku Akuntansi terbitan Ikatan Akuntan Indonesia, tidak?”

Perempuan manis berjilbab berdiri di depan mejaku. Sambil tersenyum aku menjawabnya,

“Eh, Mbak Riwa, sebentar ya Mbak, saya cari dulu.”

Jariku tangkas mengetik huruf demi huruf pada keyboard

komputer, menghafal kode buku lalu mencarinya dalam deretan rak buku satu demi satu.

“Oh, ini ada, Mbak, mau pinjem ya?”

“Iya saya mau pinjem, Mbak, tapi agak lama, soalnya buat kuliah. Boleh tidak, Mbak?” ucapnya sedikit memohon.

“Oh, mau minjam agak lama? Boleh kok, Mbak, silakan diisi formulir ini dulu ya,” aku berkata sambil memberikan selembar formulir kepadanya.

“Oke, Mbak, terima kasih ya,” serunya senang.

Setelah dia mengembalikan formulir yang telah diisinya kepadaku, segera kutukar dengan buku yang dimintanya.

“Baik, Mbak, semoga sukses yaa,” kataku yang disambutnya dengan senyuman.

Melihat mbak itu tersenyum, perasaanku ikut senang, melihat dia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Selepas dia pergi, aku kembali lagi pada kesibukan rutinku, merekam, melabel, dan menata buku-buku lagi.

Bersama rekan kerjaku yang sudah PNS, kami mengelola sebuah perpustakaan di organisasi tempat kami bekerja. Kami saling membantu dan bekerja sama dengan baik. Melayani permintaan peminjaman, perpanjangan, dan pemulangan buku-buku dari para pegawai, menjadi tugas rutin sehari-hari. Dan semua ini kukerjakan dengan senang hati, bahagia rasanya jika bisa membantu mereka mendapatkan kebutuhannya akan ilmu pengetahuan dan

136

Kare

na K

ita G

arda

keterampilan.

Tak terasa waktu cepat berlalu, kulihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul 16.45 WIB. Segera kubereskan segala peralatan pribadiku dan bersiap untuk pulang. Berpacu kembali dengan waktu dan kerumunan orang-orang, agar tidak ketinggalan kereta yang biasa kunaiki pada sore hari. Karena tugas yang lain sudah menantiku, yaitu tugas sebagai seorang istri dan juga seorang ibu.

Aku berbisik dalam hati ketika melangkah keluar menuju pintu gerbang Gedung Sutikno Slamet,

“DJA harapanku, esok pagi kita akan kembali bertemu.”

137Kem

enterian Keuangan

Snack Mas Herjuno

Oleh: Liilzam Nuur,Pegawai DJPK

Mendung hari ini cukup menggelapkan pagi. Perasaaan was-was menyelimuti saat tetesan air turun dari langit dan banyak kereta listrik masih menunggu antrean sinyal di Stasiun Tanah Abang. Hujan kali ini cukup membuat penumpang panik, terutama jika sampai terlambat hadir, tidak seperti biasa, saya pun tiba di kantor pukul 07.50, rekor terlambat flexi yang pertama setelah bekerja 169 hari sebagai CPNS di Kementerian Keuangan, kementerian yang kata kebanyakan orang merupakan kementerian yang prestige.

Bekerja di bagian pengadaan memang sesuatu yang tak terduga, tempat di mana kata beberapa orang merupakan lahan basah dan tempat lalu lalang uang syubhat, ingat kata paman dulu untuk berhati-hati di tempat yang melakukan pengadaan barang dan jasa, “Din, kalau besok kamu kerja jadi PNS, kalau bisa jangan milih tempat yang ngurusi pengadaaan, cari yang lain saja, jangan pilih yang banyak uang syubhat berseliweran, kalau uang itu kemakan nggak berkah untuk keluarga.” Dan mungkin sudah takdir Tuhan, penempatan awal di Bagian Pengadaan tak terelakkan, mau tak mau harus dituruti sebagai konsekuensi lulusan sekolah ikatan dinas, maka saya berusaha untuk menikmati

138

Kare

na K

ita G

arda

pekerjaan ini karena banyak yang masih belum saya ketahui, dan akhirnya saya bertemu beberapa orang yang hebat, salah satunya adalah Mas Herjuno, pria kalem dengan muka agak kejawa-jawaan sedikit Arab dan berbadan tinggi. Dari Beliau saya mendapatkan banyak pelajaran, terutama tentang integritas.

Saat itu, Rabu pagi saya melihat ada kardus besar dibalut dengan kertas apik berada di atas meja Beliau, padahal saat itu Beliau sedang Diklat Penatausahaan BMN. Karena penasaran, saya lihat kardus itu. Tertulis pengirim: Bapak Makmun Metro Jaya Abadi. Mungkin dengan adanya kardus semacam hadiah ini merupakan kabar gembira bagi Mas Herjuno, tanpa berpikir panjang saya kirim pesan singkat ke Beliau.

Tak lama kemudian Mas Herjuno menelepon, “Halo, Din, lagi di mana? Bisa minta tolong buka kardus tadi, isinya apa ya?” pinta Mas Herjuno agar saya membuka kardus hadiah.

“Iya, Mas, sebentar aku buka ini, isinya snack dan camilan, Mas, ada kerupuk rambak, keripik paru, kerupuk teripang, dan masih banyak lagi, Mas,” jawab saya tanpa ada yang aneh dari isi kardus tersebut.

“Minta tolong kardus tadi dikirim ke lantai 10 ya, ke Unit Layanan Gratifikasi dan Suap, langsung saja ke Mas Faisal, bilang dapat gratifikasi dari rekanan, soalnya kemarin Pak Makmun, PT Metro Jaya Abadi, itu menawarkan komputer dan nanti kalau sudah tanda tangan kontrak akan dapat fee 1% dari kontrak. Mas nggak suka cara-cara seperti itu. Ini juga pelajaran buat kamu, selanjutnya jangan mau menerima apapun dari rekanan, itu termasuk barang syubhat, panas kalau dimakan,” pesan Mas Herjuno kepada saya.

“Iya, Mas, segera saya antar ke Mas Faisal lantai 10,” jawab saya untuk segera mengantar kardus tersebut. Saya begitu salut dengan Mas Herjuno, sikap berintegritasnya patut ditiru, meski harga snack dan camilan tidak seberapa yang

139Kem

enterian Keuangan

namanya gratifikasi tetap gratifikasi, yang harus ditolak, dan sejak itu saya tahu ternyata di kantor saya terdapat Unit Layanan Gratifikasi dan Suap, unit yang menangani barang gratifikasi dan suap yang selanjutnya barang-barang tersebut akan dilaporkan ke KPK.

Sikap Mas Herjuno ini mengingatkan saya pada cerita dalam hadis nabi Muhammad SAW, ketika itu Rasulullah SAW menugaskan kepada seorang laki-laki untuk memungut zakat. Dalam menjalankan tugasnya, ternyata utusan itu menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai dari tugasnya, lelaki tersebut berkata, “Ya Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serahkan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.” Menanggapi sikap utusan tersebut, Rasulullah SAW bersabda, “Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihat, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah SAW naik mimbar dan berkhotbah, Amma Ba’du,

“Din, kalau besok kamu kerja jadi PNS, kalau bisa jangan milih tempat yang ngurusi pengadaaan, cari yang lain saja, jangan pilih yang banyak uang subhat berseliweran, kalau uang itu kemakan nggak berkah untuk keluarga”.

140

Kare

na K

ita G

arda

“Mengapa seseorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika pulang ia berkata, ‘Ini hasil tugasku, sedangkan ini adalah hadiah milikku?’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seseorang dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiamat akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor unta maka dia membawa untanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus mengeluh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.”

Cerita dalam hadis ini menjelaskan kepada kita, bahwa terdapat standar yang jelas dalam hal hadiah yang diterima karena peran atau jabatan, hakikatnya adalah gratifikasi dan hukumnya haram.

Berawal dari kisah Mas Herjuno yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri ini merupakan bukti bahwa masih banyak pegawai yang baik di institusi ini, pegawai yang siap untuk mengabdi kepada negeri, pegawai yang takkan mengkhianati negaranya dan bekerja sepenuh hati, serta tetap menjaga integritas.

141Kem

enterian Keuangan

142

Kare

na K

ita G

arda

ProfesionalIs Me

do the rightthing right

142

Kare

na K

ita G

arda

Makna dari Profesionalisme

yaitu bekerja tuntas dan akurat

atas dasar kompetensi terbaik

dengan penuh tanggung jawab dan

komitmen yang tinggi.

Perilaku utama dari nilai ini yaitu:1. Mempunyai keahlian dan

pengetahuan yang luas.2. Bekerja dengan hati.

143Kem

enterian Keuangan

Jika mendengar kata profesionalisme, sebagian besar dari kita akan berpikir tentang “the right man on the

right place”. Pendapat tersebut tidaklah salah, mengingat profesionalisme erat kaitannya dengan keahlian, keterampilan, dan kompetensi seseorang. Di dalam kehidupan Kementerian Keuangan, profesionalisme setiap pegawai adalah sebuah keharusan.

Kementerian Keuangan menyadari bahwa pencapaian tujuan organisasi bergantung pada profesionalisme PNS Kemenkeu dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, dalam berinteraksi dengan sesama rekan kerja, PNS Kemenkeu dituntut untuk bersikap saling percaya, tulus, ikhlas, saling mengingatkan dan memberikan masukan, solid, dan bersinergi untuk mencapai visi dan misi Kemenkeu.

PNS Kemenkeu melakukan setiap pekerjaan dengan iktikad baik dan tanggungjawab. Masing-masing individu merupakan bagian dari organisasi yang harus saling mendukung dan berkepentingan terhadap kemajuan organisasi. PNS Kemenkeu senantiasa berupaya untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi (keahlian, pengetahuan/knowledge, sikap/attitude) dengan bekerja memenuhi sasaran kerja yang ditentukan.

Salah satu upaya untuk mendukung agar setiap pegawai memiliki profesionalisme dalam bekerja, Kementerian Keuangan mengharuskan setiap pegawai untuk memiliki kontrak kinerja dalam satu tahun anggaran. Dengan demikian, setiap pegawai memiliki tujuan yang jelas dalam penyelesaian pekerjaannya. Penyelesaian kontrak kinerja pun dipantau dan dilaporkan secara rutin setiap tiga bulan agar setiap masalah yang muncul dalam penyelesaian pekerjaan dapat dideteksi dan ditangani dengan cepat.

143Kem

enterian Keuangan

144

Kare

na K

ita G

arda

144

Kare

na K

ita G

arda

Setiap kontrak kinerja menjadi tanggung jawab pegawai tersebut.

Untuk menumbuhkan sikap profesional, Kemenkeu melakukan analisis kompetensi dalam rangka identifikasi kompetensi yang dibutuhkan organisasi untuk memastikan kesesuaian standar kompetensi jabatan dengan tuntutan dan kebutuhan organisasi saat ini maupun ke depan. Kompetensi dikelompokkan dalam 4 (empat) cluster, yaitu: kemampuan berpikir (thinking), kemampuan bekerja (working), kemampuan berelasi (relating), dan kemampuan manajemen diri (self managing).

Profesionalisme PNS Kemenkeu juga dilakukan melalui pengembangan manajemen SDM berbasis kompetensi melalui Assessment Center untuk memperoleh informasi profil kompetensi PNS Kemenkeu. Hasil dari assessment

center dapat digunakan sebagai career and succession plan, training and development, manajemen talenta dan performance

management. Pada akhirnya, Kemenkeu berharap bahwa penempatan pegawai sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya (right man on the right place).

Kemenkeu menjunjung tinggi kesempatan yang setara dan keanekaragaman, yang merupakan aspek penting dalam kesuksesan organisasi. Setiap pegawai memiliki kesempatan yang setara untuk mengembangkan keterampilan dan bakatnya. Kemenkeu menyediakan pelatihan dan pendidikan keterampilan khusus untuk semua pegawai yang didukung oleh standar, prosedur, dan ketentuan internal organisasi.

Sebagaimana konsep manajemen ASN yang digagas oleh LAN, (salah satu fungsi LAN berdasarkan Pasal 44 UU Nomor 5/2014 adalah membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN berbasis kompetensi dan merencanakan dan mengawasi kebutuhan penididikan dan pelatihan pegawai ASN secara nasional), Pengembangan Aparatur Sipil Negara menurut UU ASN merupakan hak ASN. SDM Aparatur sebagai aset, sehingga perlu pengembangan (diklat, seminar, kursus, bahkan dimungkinkan pemagangan dan pertukaran ASN dengan

145Kem

enterian Keuangan145

Kementerian Keuangan

swasta). UU ASN juga mengamanatkan instansi Pemerintah wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi yang tertuang dalam Rencana Kerja Tahunan Instansi.

Strategi pengembangan pegawai di Kementerian Keuangan terhadap kompetensi maupun potensi pegawai sebagaimana diatur dalam KMK Nomor 130/KMK.01/2013 tentang Penataan Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan, terdiri dari: i) promosi yang ditujukan bagi pegawai yang memiliki kompetensi atau potensi dan kinerja tinggi; ii) capacity building yang terdiri dari special assignment, leadership development, pengkayaan pekerjaan, on the job

development, dan training; iii) freeze strategy yaitu program untuk mempertahankan pegawai pada jabatannya apabila pegawai tersebut berdasarkan hasil pemetaan kompetensi atau potensinya rendah/terbatas, tetapi berkinerja tinggi; iv) coaching adalah pemberian saran, bimbingan, bantuan, dan umpan balik kepada pegawai dalam mengatasi masalah kinerja karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan. Coaching dilaksanakan oleh atasan langsung; v) counseling merupakan proses pemberian saran, bimbingan, bantuan, dan umpan balik kepada pegawai agar mampu mengatasi masalah pribadi yang mengganggu kinerja dari counselor kepada counselee. Counseling merupakan proses bimbingan yang dilakukan oleh atasan atau senior kepada pegawai untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungannya, sehingga mampu mengambil langkah-langkah yang tepat, guna memecahkan masalah yang dihadapinya; vi) mentoring merupakan aktivitas supporting dan bimbingan yang menyediakan dukungan, petunjuk, persahabatan, dan penghargaan yang dilakukan mentor untuk mentee dalam rangka membantu mentee melakukan pekerjaannya lebih efektif, efisien, dan/atau untuk kemajuan dalam kariernya pada Kementerian Keuangan.

Sesama PNS Kemenkeu tidak melakukan penekanan atau intimidasi, penghinaan, pelecehan ataupun provokasi, dan tidak menimbulkan persaingan tidak sehat.

Sesuai dengan salah satu nilai utama Gerakan Nasional Revolusi Mental, PNS Kemenkeu memiliki etos kerja yang tinggi. Berdaya saing, optimis, inovatif, dan produktif.

146

Kare

na K

ita G

arda

146

Kare

na K

ita G

arda

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam pekerjaan, mereka berperilaku disiplin, tidak meninggalkan aktivitas kerja sebelum waktunya tanpa izin dari atasan, dan/atau tidak melakukan aktivitas lain untuk kepentingan pribadi atau pihak di luar organisasi tanpa izin selama jam kerja. PNS Kemenkeu wajib menjaga kerahasiaan dokumen dan informasi sesuai peraturan perundang-undangan.

Sikap profesional dalam keseharian dilakukan oleh atasan maupun bawahan. Atasan menjadi panutan yang baik dalam tindakan dan tutur kata, bersikap adil dan terbuka dengan bawahannya. Dalam mengambil kebijakan selalu berusaha melaksanakan koordinasi dan hubungan kerja sama yang harmonis. Memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan diri. Menilai kinerja bawahan secara objektif berdasarkan kriteria yang jelas. Tidak memanfaatkan posisi atau jabatan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau pihak lain. Sedangkan sebagai bawahan, bersikap hormat dan santun kepada atasan dan loyal kepada organisasi dalam setiap pelaksanaan tugas yang diberikan. Patuh dan konsekuen terhadap hukum, kebijakan, dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sudah ditetapkan. Tidak melakukan tindakan di luar kewenangannya. Selalu disiplin dalam melaksanakan setiap tugasnya. Mematuhi dan menghormati tugas dan petunjuk atasan yang tidak bertentangan dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.

PNS Kemenkeu harus berani menyampaikan tentang bagaimana perilaku yang tepat atau menanyakan jika mengetahui perilaku yang meragukan. Mengungkapkan masalah akan memberi organisasi kesempatan untuk menangani dan memperbaikinya.

PNS Kemenkeu memiliki sikap terbuka terhadap kemungkinan adanya perbedaan pendapat di dalam merumuskan suatu keputusan dan semua harus menghormati serta melaksanakan apa yang telah menjadi keputusan organisasi.

Kemenkeu berkomitmen untuk menjaga lingkungan kerja yang bebas dari diskriminasi dan pelecehan. Organisasi

147Kem

enterian Keuangan147

Kementerian Keuangan

tidak akan membiarkan terjadinya diskriminasi terhadap seseorang karena etnik, ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin, usia, keadaan cacat, atau alasan-alasan lainnya.

PNS Kemenkeu bebas dari penyalahgunaan narkoba dan minuman keras. PNS Kemenkeu dilarang menyalahgunakan pemakaian, kepemilikan, pendistribusian dan perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang (psikotropika) serta penyalahgunaan minuman keras.

Kemenkeu menghormati hak berpolitik PNS Kemenkeu. Setiap PNS Kemenkeu tidak diperkenankan berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas politik kepartaian dan secara organisasi, Kemenkeu bersikap netral.

Kemenkeu memandang media massa sebagai partner dalam mengembangkan reputasi organisasi dan memelihara relasi dengan media massa untuk menjangkau publik, meningkatkan citra, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-tujuan organisasi. Untuk itu Kemenkeu berusaha untuk selalu memberikan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Hanya PNS Kemenkeu yang sifat pekerjaannya berkaitan dengan media saja yang diperbolehkan untuk menjalin hubungan atau menanggapi pertanyaan dari media massa atas nama Kemenkeu.

Sikap profesional PNS Kemenkeu senantiasa hadir dan tercermin dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Berikut ini adalah penggalan kisah PNS Kemenkeu yang senantiasa bersikap profesional dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Dalam kisah-kisah ini, ingin disampaikan bahwa kami adalah orang-orang yang semangat bekerja dan senantiasa hadir pada saat yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Semoga.

148

Kare

na K

ita G

arda

Antara Kasihan, Empati, dan Tugas Negara

Oleh: Muhith Afif Syam Harahap,Pegawai DJP

Perlu keteguhan hati Jurusita Pajak pada saat melakukan

penyitaan. Karena itu adalah tugas besar dan tidak sepele.

Hari ini adalah perjumpaan kami yang ke sekian kali dengan Wajib Pajak penjual telepon seluler yang sudah dikenal luas di Kota Semarang. Mereka punya tunggakan pajak lumayan besar. Karena sering bertemu, aku sampai lupa menghitung entah perjumpaan ke berapa hari ini. Yang jelas, perjumpaan ini perjumpaan yang tak mudah buat mereka dan buat kami. Perjumpaan kami sudah berganti-ganti tempat, pernah di kantor kami atau di kantor mereka.

Saat itu, aku adalah pegawai yang baru diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan ditugaskan magang di salah satu KPP Pratama di Semarang untuk menunggu penempatan definitif. Aku sedang menemani Kepala Seksi Penagihan dan seorang jurusita senior di kantor kami.

Salah satu dari mereka adalah Pak Budi –sebut saja namanya demikian. Seperti hari-hari biasa, Pak Budi menyambut

149Kem

enterian Keuangan

kami dengan penuh kehangatan saat kami datang, meski kami sudah menyita sebuah mobil sedan miliknya. Tak terlihat raut mukanya seperti penunggak pajak lainnya. Ia tetap santun dan tak memperlihatkan sikap sinis maupun dendam. Menurutku hal itu bukan sandiwara. Aku merasa itu memang sifat kesehariannya yang asli. Para pegawainya juga bersikap sama.

Setelah berbasi-basi sebentar, Pak Budi lalu memulai pembicaraan tentang tunggakan pajaknya. “Saya mohon maaf, Pak, belum bisa melunasi utang pajak kami. Setahun ini kondisi perusahaan kami sedang tidak baik, tapi saya berkomitmen akan melunasinya,” ujarnya.

Pak Budi lalu melanjutkan cerita tentang kondisi perusahaan yang menyebabkannya tak bisa melunasi tunggakan meski sudah dilakukan tindakan penagihan aktif. Kalau tak salah, waktu itu ia juga menyampaikan kondisi keluarga yang sedang sakit dan butuh pengobatan intensif. Dia harus membuat prioritas, para pegawai, keluarga yang sedang sakit, atau tunggakan pajak.

Kemudian, setelah lebih kurang 60 menit bercakap-cakap, kami meninggalkan kantor Pak Budi. Aku lupa-lupa ingat apa saja poin yang menjadi kesepakatan dalam pertemuan itu. Aku hanya ingat satu poin. Beliau mempersilakan kami melelang mobil sedannya meski mengaku berat untuk melepaskannya. Entah karena mobil itu punya kenangan dan sejarah panjang buatnya atau hal lainnya. Hanya Pak Budi dan Tuhan yang tahu.

Kepala Seksi Penagihan yang kutemani di dalam mobil membagi pengalamannya kepadaku. Ia berkisah, “Saya sudah pernah dihadang puluhan preman ketika akan menyita harta penunggak pajak. Pernah minta bantuan polisi ketika mengeksekusi rumah pengusaha. Pernah dipandang sinis dan dihadapkan pada perbuatan tak mengenakkan lainnya. Namun, menghadapi orang seperti Pak Budi ini menurut saya lebih rumit dan tak mudah. Dihadang preman, kamu bisa minta bantuan polisi.

150

Kare

na K

ita G

arda

Diancam lewat telepon atau SMS, matikan HP, urusan beres. Tapi menyita harta orang yang sedang sulit, tetapi baik perilakunya dan menunjukkan kerendahan hati, itu susah.” Aku terdiam sejenak merenungkan perkataannya itu.

Setelah suasana hening beberapa saat, Kepala Seksi Penagihan melanjutkan, “Cuma satu hal yang selalu kuingat-ingat ketika akan bertemu Pak Budi. Bahwa perbuatanku adalah tugas negara dan penyitaan yang kulakukan adalah untuk kepentingan yang lebih besar. Kepentingan masyarakat Indonesia,” lanjutnya.

Memikirkan perkataannya membuatku tersadar. Bahwa akan selalu ada dilema pada saat penagihan aktif yang dilakukan. Antara kasihan, empati, dan tugas negara. Tetapi aku harus memilih. Dan pilihan itu harus diambil. Aku sudah bertekad, kalau suatu saat nanti berada pada posisi yang sama pada hari ini, aku akan berusaha untuk memperjuangkan sebuah pilihan. Untuk sebuah kepentingan. Kepentingan yang lebih besar.

“Cuma satu hal yang selalu kuingat-ingat ketika akan bertemu Pak Budi. Bahwa perbuatanku adalah tugas negara dan penyitaan yang kulakukan adalah untuk kepentingan yang lebih besar. Kepentingan masyarakat Indonesia.”

151Kem

enterian Keuangan

Yes, I Do

Oleh: DJP

Jelas ini bukan sengsara membawa nikmat. Namun dikatakan nikmat membawa sengsara pun rasanya terlalu kejam. Balige itu rumahku. Setidaknya dulu. Kota kecil di pinggiran Danau Toba yang menjadi latar belakang kenang-kenangan masa kecilku. Kali ini aku pulang. Bukan sekadar kunjungan beberapa hari yang beberapa tahun terakhir kulakukan, melainkan untuk menapaki jejak karier yang baru saja mulai kurintis.

Sebuah surat mengantarkanku pulang. Begitu kalau kata teman-teman sejawat yang juga ikut hijrah karena surat itu.

“Kamu asyik banget ya lokasinya. Pulang kampung.”

“Ciee, homebase nih yee...”

“Duh, andai aku seberuntung kamu bisa promosi ke kampung halaman.”

Komentar-komentar ini tidak bisa kumentahkan begitu saja dengan ungkapan ketidakpuasan yang nyata-nyata kurasakan. Balige dulu memang rumahku. Namun saat ini posisinya sudah digeser oleh kota lain. Kota di mana kekasihku tinggal. Kota di mana masa depan yang sudah

152

Kare

na K

ita G

arda

kami rencanakan bersama akan dirajut. Jakarta dengan segala keriuhannya yang dicaci, tapi gemerlapnya tetap dinanti. Klise. Aku tahu. Tapi hari ini hatiku memilih untuk mengesampingkannya dan menghabiskan bagian terpilu, berharap karenanya esok jadi lebih ringan untuk ditapaki.

***

“Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara Internasional Kualanamu Medan. Tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dengan Medan. Kami persilakan...” suara pramugari terdengar melalui speaker di atas tempat duduk.

Aku melirik jam tangan, sudah hampir tengah hari. Masih ada enam jam perjalanan lagi yang harus dilalui dengan minibus. “Setidaknya aku berada di tempat yang tidak asing bagiku,” batinku.

Perjalanan darat ini tak lepas dari iringan pepohonan tinggi di kiri dan kanan jalan. Daun-daun hijaunya melambai seakan mengucapkan selamat datang. Tebing curam di kiri dan di kanan jalan pun silih berganti menjadi tontonan yang membangkitkan rasa takjub. Melintasi Kota Parapat terhampar pemandangan birunya Danau Toba yang damai. Menebarkan rasa tenang yang mampu menghipnotis siapa pun yang memandang.

Aku terkenang hari-hariku sebelum berangkat. Sekali waktu aku dan kekasihku hanya duduk diam menonton kepulan asap bubur Cikini yang terhidang di hadapan kami. Entah hendak merayakan apa, asap panas bubur ini menari-nari di hadapan kami. Asap yang dulu tak kami hiraukan karena canda tawa berdua. Asap yang dulu dilirik saja pun tidak karena nikmatnya bersantap berdua. Malam ini, tak satu jemari pun meraih sendok dan menghalau asapnya. Kami hanya membisu menyaksikannya berlenggak-lenggok hingga sang asap lenyap entah ke mana. Digenggamnya tanganku erat dan dibisikkannya di telingaku, “Kita pasti

153Kem

enterian Keuangan

bisa melewatinya.”

Di kali lain ada seremonial informal dari rekan-rekan sekantor. Mereka beramai-ramai mengucapkan selamat untukku. Mengulang komentar rekan-rekan seangkatan yang menyatakan betapa beruntungnya diriku. Dukungan mereka mau tak mau kubalas dengan senyum lebar dan ucapan terima kasih waktu itu, meskipun hati menjerit tak ikhlas.

Roda kendaraan ini masih belum berhenti. Memasuki Lumban Julu, terbentang petak demi petak sawah yang menghijau. Di tengah persawahan tampak beberapa anak melompat-lompat mencoba naik ke atas punggung kerbau. Pemandangan singkat itu menggoreskan secuil senyum di wajahku.

Perjalanan masih berlanjut melewati jalanan Porsea yang semakin sempit karena dipadati para pedagang di sisi kiri dan kanan jalan. Mendekati Laguboti, alunan gondang dan lagu Batak menyambut. Lirik lagu yang sendu kembali menghanyutkanku dalam kegalauan. Bagaimana dengan kelanjutan kuliahku nanti? Mengapa aku harus terpisah jauh dengan kekasihku, Jakarta-Balige? Bagaimana dengan waktu-waktu kebersamaan kami, rencana pernikahan kami, keluarga yang akan kami bina, rumah idaman kami, masa depan kami?

Semakin mendekati akhir perjalanan, rasanya semakin berat. Sekilas terkenang ucapan kekasihku waktu itu, “Kita pasti bisa melewatinya. Ini rencana terbaik dari Tuhan. Kamu percaya ‘kan, kalau kita bisa bertahan?” Setetes air mata yang jatuh kuusap mantap. “Yes, I do!” batinku. Inilah tugas dan janji pengabdian bagi NKRI. Dengan sejumput semangat yang tersisa, kuayun langkah untuk berangkat melaksanakan tugas.

***

“Itu apa?” aku menunjuk tumpukan map kuning di atas

154

Kare

na K

ita G

arda

mejaku.

“Itu SP2 sama rencana pemeriksaannya,” jawab Rian, ketua timku.

“SP2 untuk Tim 1 sama Tim 2?” tanyaku lagi.

“Bukan. Tim 2 aja,” jawabnya.

“Tim 2 itu kan kita. Kita sama-sama baru diangkat jadi fungsional pemeriksa, masa segitu banyak?” ucapku dengan nada setengah protes, tetapi Rian hanya tersenyum.

Tumpukan SP2-nya saja sudah membuat keringat dingin. Getar-getir rasanya di hati, pesimis bisa menyelesaikannya dalam tenggat waktu yang diberikan.

***

Wilayah kerja KPP Pratama Balige sangat luas, meliputi empat kabupaten: Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, dan Samosir. Sampai-sampai perlu dua buah KP2KP di wilayah Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan untuk membantu memberikan pelayanan terbaik yang menjangkau setiap wajib pajak. Bahkan rencana untuk menambah satu buah KP2KP lagi di Samosir sudah bergulir sejak beberapa tahun belakangan demi optimalisasi pelayanan.

Topografi hampir keseluruhan wilayahnya berbukit. Perjalanan ke tempat wajib pajak seluruhnya dapat ditempuh melalui jalur darat. Namun ada beberapa tempat yang akan lebih cepat dicapai apabila menyeberangi Danau Toba. Tak jarang tim pemeriksa harus menelusuri lembah dan perbukitan dengan kontur jalanan yang berbatu sampai ke pelosok-pelosok. Pernah saat mengunjungi satu daerah yang sangat jauh, salah satu anggota tim berkelakar, ”Wah, bayar seribu lagi udah bisa sampe surga kita ini.” Candaan itu dibalas oleh semua yang mendengar dengan tawa yang sangat riuh.

155Kem

enterian Keuangan

Tak peduli cuaca sedang panas terik atau hujan, tugas tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Kabut dan dingin menjadi sahabat setiap perjalanan. Satu perjalanan bisa menghabiskan waktu satu hari. Sebagai satu-satunya anggota wanita dalam tim pemeriksa, bukan perkara mudah bagiku melakukan perjalanan darat yang panjang dengan frekuensi yang sangat tinggi. Jam demi jam dalam perjalanan panjang ini selalu menyiksa mata dan kepalaku. Belum lagi harus berhadapan dengan orang-orang yang kesukaannya mengepulkan asap rokok. Jadilah sakit kepala yang luar biasa menyerang dan melemahkan tubuh ini.

Perjalanan panjang itu terkadang membuahkan senyum bila kami menjumpai wajib pajak yang kooperatif. Namun tak jarang perjalanan panjang itu hanya menyisakan penat bila kami tidak menjumpai siapapun di lokasi tujuan atau wajib pajak malah menolak kedatangan kami.

Satu waktu kehadiran kami hanya disambut oleh anjing besar berbulu lebat dengan gonggongan yang memekakkan telinga padahal wajib pajak ada di dalam rumah tapi tidak mau keluar walau hanya sebentar. Di lain waktu kami harus berhadapan dengan ibu-ibu rumah tangga dengan rentetan kata-katanya yang berkecepatan sejuta kilometer per jam. Kata “pemeriksaan” terlalu berkonotasi negatif di benak mereka sehingga mereka tak rela jika suaminya harus diperiksa apalagi terkait pajak.

Selain itu banyak wajib pajak di wilayah kerja kami yang mengaku belum tahu kalau mereka harus membuat pembukuan, atau setidaknya pencatatan. Bahkan mereka mengaku tidak tahu bagaimana cara membuatnya. Bagaimana mau peduli pada pajak kalau pencatatan untung rugi saja tidak benar-benar rapi. Kondisi ini menjadi kendala bagi tim pemeriksa. Apa yang akan diperiksa? Tidak ada buku, catatan, juga dokumen bukti transaksi yang lengkap. Di sinilah setiap pemeriksa dituntut menggali potensi diri lebih dalam dan memaksimalkan kemampuannya. Terkadang manuver yang dilakukan

156

Kare

na K

ita G

arda

mendapat responss yang kurang mengenakkan.

“Salah kantor pajak dong. Kok nggak ngajari kami pembukuan.”

“Orang pajak ini nggak pernah kasih sosialisasi, tiba-tiba datang mau meriksa. Apa pulaknya ini?”

“Kami ini cuma tamatan SMA. Udah tua juga. Manalah ngerti-ngerti kami pajak itu.”

“Nggak tau kami ada aturan kayak gitu. Kantor pajak kenapa nggak ngasih tau? Aturannya setiap ada aturan yang baru ya kami dikasih taulah.”

“Lho, saya ‘kan udah bayar pajak. Kenapa harus diperiksa? Itu toko yang di sana, orang itu nggak pernah bayar pajak malah nggak kalian periksa. Kok kami aja yang kena?”

“Orang pajak inilah! Asyik merepotkan aja tiap hari. Kenapalah tahun-tahun yang udah lewat kalian periksa sekarang. Nggak tau lagi kami di mana kuitansi-kuitansinya. Dah hilanglah pasti itu. Tiap akhir tahun biasanya kami buang.”

Beragam alasan dan tanggapan diungkapkan wajib pajak dalam setiap kunjungan kami. Pada awalnya aku sempat heran. Bagaimana mungkin wajib pajak beranggapan bahwa pegawai DJP-lah yang bertanggung jawab untuk mengajari mereka cara membuat pembukuan dari A sampai dengan Z. Begitu juga tentang pihak yang menentukan tahun pajak mana yang akan diperiksa adalah mereka sendiri. Tantangan berat ini mau tak mau harus kuhadapi. “Yes, I do.” Ini adalah pengabdianku.

***

“Arrrgghhh...”

Semua pegawai geram tak terkecuali aku. Lagi-lagi pemadaman listrik. Tak hanya listrik yang padam, semangat pun ikut meredup. Keseriusanku mengerjakan

157Kem

enterian Keuangan

KKP terhenti. Layar hitam di depanku mengingatkanku akan sesuatu. Aku belum menyimpan dokumennya. Astaga. Tiba-tiba listrik menyala lagi. Cepat-cepat kunyalakan komputer. Setengah berharap kecanggihan teknologi menyelamatkan hasil kerjaku hari ini. Namun yang terlihat hanya layar biru. Berkali-kali kutekan tombol power, tapi tak ada yg berubah. Bahkan setelah mencabut semua kabel dan memasang ulang dengan teliti, tetap tak ada yang berubah. Masih biru.

“Data yang di dalamnya udah di-back up ‘kan, Kak?” tanya Valerie, Operator Console, sambil mengutak-atik komputerku.

“Belum,” jawabku singkat.

“Gimana ya...” raut wajah Valerie terlihat cemas.

“Maksudnya?” tanyaku dengan bola mata hampir lepas.

“Udah kucoba dari tadi, Kak, tapi datanya nggak bisa diselamatkan.”

Berita duka itu pun datang. Perjuangan selama berbulan-bulan ada di sana. Musnahnya empat KKP membuatku terduduk lemas. Sekarang sudah bulan Agustus. Tahun ini hanya tersisa empat bulan lagi.

Terbayang kembali hari Rabu, 22 Januari 2014, saat pertama kali aku memasuki kantor ini. Memulai argo pemeriksaan dari nol. Sebagai pemula, aku belum cukup cepat dalam menganalisis data dan menuangkannya ke dalam KKP. Dan sekarang di pertengahan Agustus ini, aku harus kembali memulai dari nol. Meratapi nasib tak ada gunanya sekarang. Kutegakkan kepalaku, kulipat rasa pesimisku, dan kukencangkan sabuk semangatku, “Yes, I do! Aku pasti bisa menyelesaikan tantangan ini!”

Jam baru menunjukkan pukul 07.30 tetapi aku sudah sibuk dengan keyboard, mouse, dan layar monitorku. Jarum jam sudah di angka 12, aku tetap mematung di kursi ini

158

Kare

na K

ita G

arda

mengadu jemari dan otak. Bahkan saat jingganya senja menyapa dari balik jendela di ujung ruangan, aku masih tegar di depan monitor berusaha merakit satu per satu bagian KKP dengan teliti. Adu kuat dengan lelah dan penat. Awalnya aku menang, tetapi saat kaki mulai melangkah pulang, hatiku langsung lemas.

“Yang, rasanya capek kali…” teriakku tertahan. Wajah kekasih hatiku yang kelihatan cemas terpampang di layar ponselku.

“Kenapa, Sayang?”

“Nggak siap-siap macamnya kerjaan ini...” sahutku mengadukan tentang kepenatan yang sudah tak bisa lagi kutampung sendiri.

“Sayang...” serunya lirih. Pertahananku runtuh. Air mata yang mulai menetes satu-satu menggambarkan kegundahan hatiku.

“Sayangku, semua orang pasti dapat porsi yang tepat. Nggak lebih, nggak kurang. Kalau sekarang Sayang mesti ngejalanin situasi yang kayak gini, ini bagian dari ketepatan porsinya itu. Sayang harus kuat.” Kata-katanya selalu bijaksana. Mataku makin basah. Aku ingin sekali memeluknya, tapi sekarang yang ada di depanku hanya wajahnya yang terpampang di layar ponsel. Aku tahu aku harus sabar.

“Semua indah pada waktunya,” seruku tertahan sambil mengusap mata yang masih basah. Mencoba tersenyum pada kekasihku agar dia tidak ikut-ikutan galau sepertiku. Atau mungkin sebenarnya akulah yang lebih butuh senyuman ini.

“Nah! Gitu dong, Sayang! Sabar ya. Semua indah pada waktunya.” Senyumnya menyemangatiku untuk tidak larut dalam keluh-kesah.

“Makasih, Yang, udah dengerin semuanya.”

159Kem

enterian Keuangan

“Iya,” kekasihku tersenyum lagi.

“Bobok yuk...” Aku mengangguk dan memberi ucapan selamat malam padanya. Ponsel kuletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Hampir setiap malam aku berbagi kisah dengannya melalui pembicaraan-pembicaraan panjang di telepon. Tawa, tangis, haru, rindu, semuanya pernah ada. Aku membaringkan badanku yang lelah di atas tempat tidur lalu memejamkan mata. Mengucap syukur dalam hatiku akan rahmat luar biasa dari-Nya. Seorang kekasih yang sempurna.

***

“Ini berkasnya, Sus. Tadi dari bawah saya disuruh naik ke sini,” kataku sambil menyerahkan beberapa lembar kertas yang kuperoleh dari bagian pendaftaran di lantai dasar.

Seorang suster jaga berpakaian putih hijau menerima dokumen yang kusodorkan. Setelah menelitinya sebentar, aku disuruh duduk di barisan kursi tunggu di dekat situ.

Belakangan ini sakit di bagian kepalaku semakin menjadi-jadi. Padahal biasanya hanya kumat sehabis perjalanan yang cukup panjang dan penuh asap rokok. Namun, seminggu terakhir rasanya tak sekalipun nyerinya hilang tuntas. Sesekali memang mereda sedikit, tetapi masih terasa sakit juga. Bahkan dalam perjalanan dari Balige menuju rumah sakit yang berlokasi di Kota Medan ini aku harus berjuang menahan pusing yang luar biasa. Namun tak ada pilihan lain. Aku harus bertemu dokter spesialis agar tindakan yang kudapatkan nanti tepat sasaran.

“Ibu Vanny Pardede!” Seorang suster memanggil namaku dengan cukup keras. Aku segera menuju ke arah pintu ruangan tempatnya berdiri.

“Silakan, Bu Vanny!” Aku memasuki ruangan periksa yang terkesan bersih dan terawat. Di balik meja, seorang dokter tersenyum hangat menatapku sembari mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

160

Kare

na K

ita G

arda

“Pagi, Bu! Silakan duduk!”

“Pagi, Dok!”

“Keluhannya apa, Bu?”

“Gini, Dok. Seminggu ini kepala saya rasanya sakit terus. Di ubun-ubun, di muka, daerah pelipis, kening, sama pipi, sakit semua, Dok. Apalagi di pipi sama kening.”

“Di ubun-ubun sakitnya terasa kayak gimana? Kayak diikat, ditimpa sesuatu yang berat, atau gimana?”

“Kayak denyut-denyut gitu, Dok. Sakit kali.”

“Baik.” Dokter mencatat keterangan yang kuberikan di salah satu kolom yang ada pada kertas yang tadi kuserahkan ke suster jaga. “Keluhan lainnya, Bu?” tanyanya lagi.

“Hidung saya sering tersumbat, Dok. Kayak pilek gitu. Tapi seringnya pagi-pagi pas baru bangun aja. Sering kedinginan juga sekarang sampai kadang-kadang bikin badan lemas,” jawabku.

“Baru seminggu ini aja atau sudah lama?”

“Udah dari awal tahun, Dok. Sekitaran Januari atau Februari. Waktu itu udah mulai pusing-pusing juga. Cuma karena masih sesekali aja, saya kira sakit kepala biasa. Tapi kok belakangan ini gejalanya makin berat. Jadinya saya mutusin buat cek ke dokter.”

“Hmm, gitu ya...” dokter cantik itu menuliskan lebih banyak catatan.

“Baik, Bu. Kalau dari keluhan yang Ibu sampaikan, saya perkirakan ini sinusitis. Untuk melihat seberapa parah bisa pake CT Head Scan. Kalau hasilnya udah keluar nanti bisa kita lihat tindakannya mesti gimana.”

Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Suster menggiringku ke lantai dasar, bagian radiologi. Setelah mengisi beberapa

161Kem

enterian Keuangan

formulir, petugas menyuruhku berganti pakaian dan mulai melakukan pemeriksaan.

***

“Kak, jeruk panasnya satu!” Aku menyerahkan uang lima puluh ribuan ke penjaga counter, seorang gadis berbadan mungil dengan senyum khas ala kasir.

“Oke. Ditunggu ya, Kak! Terima kasih!” katanya sambil menyerahkan sebuah nomor pesanan dan uang kembalian.

Aku memilih tempat duduk di sisi kafetaria rumah sakit yang berbatasan dengan area lobi, meletakkan nomor pesanan di meja dan menunggu pesanan jeruk panasku datang sambil memperhatikan sekeliling. Suhu di sini rasanya terlalu dingin untuk ditantang dengan aksi diam. Hidungku sudah mulai tersumbat sejak keluar dari ruangan radiologi tadi. Suhu yang terlalu rendah serta kain tipis yang membalut badanku ketika diperiksa menjadi penyebabnya. Kuperhatikan lobi yang cukup ramai. Banyak yang sedang sakit rupanya.

Pikiranku teralihkan ke Jakarta begitu melihat seorang ibu di kursi roda yang didorong masuk diiringi beberapa orang yang sepertinya adalah anggota keluarganya. Keramaian lobi malah membangkitkan rasa sepi di hatiku. “Seandainya dia ada di sini menemaniku, rasanya mungkin tak akan sesepi ini,” batinku.

“Silakan, Kak. Jeruk panasnya.” Suara pramusaji membuatku tersentak. Merasa malu karena kedapatan melamun, aku tersenyum.

“Terima kasih.”

Namun tetap saja, setelah seruputan pertama, lamunan tentang segala hal meluncur dalam pikiranku.

***

“Daerah gelap yang dominan ini artinya tingkat sinusitis

162

Kare

na K

ita G

arda

Ibu sudah parah.” Dokter menunjuk satu bagian di lembaran hasil CT Scan. “Ibu harus dioperasi sebelum semua makin parah.”

Aku menatap hasil pemeriksaan tadi pagi dengan perasaan campur aduk. Terkejut dengan diagnosis dokter dan solusi yang ditawarkannya, sedih karena harus mendengarnya saat sedang sendirian seperti ini, membuatku gelisah sekali.

“Ini harus segera dioperasi, Bu!” tegas Dokter Spesialis THT itu.

“Dok, saya baru tau kalau saya kena sinusitis. Kasihanlah sama saya, Dok. Apa iya operasi itu satu-satunya jalan buat ngobatin ini? Saya datang sendiri ke sini dan saya masih terkejut sama hasil check-up ini. Masa’ Dokter langsung nodong saya mau dioperasi atau nggak.” Aku berhenti sebentar untuk menarik nafas. Rasanya emosiku semakin tidak stabil. Dokter Mela memasang raut wajah simpati.

“Nggak ada cara lain, Dok?” tanyaku setelah agak tenang.

“Sinusitis ini bisa kambuh kapan aja kalau ada faktor pemicunya. Cuaca dingin, misalnya. Minum es, asap kendaraan, asap rokok, debu dan alergen lainnya juga bisa memicu. Apalagi kalau imun tubuh Ibu lagi lemah.”

Aku mendengarkan sambil menatap desk tag bernuansa hijau di depanku. Nama dan gelar dokter cantik ini tertera di sana.

“Ya udah, kalau gitu kita coba obat dulu seminggu. Saya kasih resepnya untuk ditebus. Pas obatnya habis, kita cek lagi kondisi Ibu. Kalau nggak ada perubahan atau malah makin parah, operasi pilihan terbaiknya. Namun keputusan tetap di tangan Ibu.” Mataku beralih ke wajah Dokter Mela yang sedang berusaha memasang raut wajah menenangkan.

“Minggu depan bisa datang lagi kan, Bu?” tanyanya.

“Saya nggak bisa janji, Dok. Saya jauh di Balige,” sahutku

163Kem

enterian Keuangan

ringkas.

“Kalau gitu saya kasih resep obat untuk dua minggu. Siapa tahu Ibu nggak bisa datang minggu depan, jadi bisa datang minggu depannya lagi aja.” Tanpa menunggu persetujuanku, Dokter Mela menggoreskan tinta pulpennya di selembar kertas putih kecil lalu menyerahkannya padaku. Tiba-tiba aku teringat tumpukan KKP yang harus kukerjakan ulang karena insiden mati listrik minggu lalu. Rasanya badanku makin lemas saja.

Dua minggu berlalu. Rasa sakit masih ada, walaupun tidak separah sebelumnya. Tumpukan KKP dan jauhnya jarak bersinergi mengendurkan semangatku untuk kembali memeriksakan diri. Penghujung Oktober pun berbuah manis. Delapan KKP telah selesai.

Memasuki bulan November sembilan Laporan Hasil Pemeriksaan berhasil di-gol-kan. Aku dan ketua tim berkeliling mengembalikan dokumen-dokumen yang kami pinjam dari wajib pajak.

“Bisa ketemu Kabag Keuangan?” tanya ketua timku pada seorang wanita muda yang duduk di balik meja informasi di kantor wajib pajak yang kami kunjungi.

“Bapak dari mana, Pak? Ada keperluan apa ya?” tanyanya balik dengan tatapan menyelidik.

“Dari kantor pajak, Bu. Mau ngembaliin berkas,” jawabku sambil tersenyum sopan.

Kami dipersilakan masuk ke ruangan Kepala Bagian Keuangan diantar petugas satpam. Setelah mengecek kelengkapan dan menandatangani bukti pengembalian dokumen, kami pun pamit dan menyalami Kabag Keuangan dan Kasubbag Akuntansi yang juga hadir di sana.

“Ini apa?” Tanganku refleks mendorong kembali tangan bapak kasubbag. Ada amplop putih tebal yang ditempelkan ke tanganku.

164

Kare

na K

ita G

arda

“Ucapan terima kasih aja, Bu. ‘Kan kami sudah dibantu urusan perpajakannya.” Kasubbag Akuntansi menjawab sambil menyodorkan amplop itu lagi ke tanganku.

Senyumku yang sempat hilang karena rasa terkejut berubah menjadi seringai lebar yang sangat tidak tulus.

“Nggak usah, Pak! Kami udah dibayar cukup sama negara untuk semua layanan kami ke wajib pajak.” Dengan suara yang meninggi, kuserahkan kembali amplop itu kepadanya.

“Kami nggak bisa nerima apapun dari wajib pajak, Pak!” tegas ketua timku.

Keduanya sempat terdiam. Kerutan di dahi mereka jelas menggambarkan keheranan. Tapi sorotan matanya seolah memancarkan sebuah harapan dan kebanggaan. Harapan akan negeri yang lebih baik.

“Terima kasih.” Kabag Keuangan tersenyum tulus mengakhiri pertemuan itu.

***

“Boru, cantik kali kau nakku.” Mama memegang kedua bahuku dari belakang saat aku sedang mematut-matut diri di depan cermin. Aku membalas pujian mama dengan

“Nggak usah, Pak! Kami udah dibayar cukup sama negara untuk semua layanan kami ke wajib pajak.” Dengan suara yang meninggi, kuserahkan kembali amplop itu kepadanya.

165Kem

enterian Keuangan

senyum dan pelukan hangat.

Aku memang cantik hari ini. Dengan kebaya mewah bernuansa emas, songket merah, dan benda-benda berkilau lain yang sedang menempel di tubuhku aku merasa bak dewi. Belum lagi pulasan make up yang aduhai glamornya. Mungkin sebenarnya bukan cuma benda-benda menawan ini yang membuatku cantik, tetapi juga rasa bahagia dan syukur yang teramat sangat pada Tuhan karena meskipun sempat tertunda hampir setahun lamanya, hari bahagia ini datang juga.

Ini adalah hari spesialku. Hari di mana aku akan mengikat janji sehidup semati dengan kekasih jiwaku. Kegalauan awal tahun lalu yang menggodaku untuk meragukan rencana Tuhan akan diriku, larut tak bersisa. Semua yang kudapat adalah yang kubutuhkan.

Siang kuabdikan diri demi janji pada NKRI. Namun malam selalu menjadi ajang uji ketegaran. Rindu teramat dalam sering terlukiskan dalam tetes-tetes air yang mengalir hangat di pipi. Menghitung tiap detik menuju perjumpaan berikutnya. Belum lagi sinusitis yang masih menghantuiku setiap kali aku lengah menjaga kesehatan.

Sekarang kami berdiri berdampingan di depan altar-Nya. Pendeta menggenggam dan mempertemukan tangan kananku dan kekasihku. Dengan penuh ketegasan namun tetap lembut, Pendeta bertanya. “Bersediakah Saudara saling menerima dalam pernikahan kudus? Bersediakah Saudara berjanji untuk setia dan saling mengasihi, baik pada waktu suka maupun pada waktu duka, baik pada waktu berkelimpahan maupun pada waktu kekurangan, sampai maut memisahkan?”

Tak ada jawaban lain yang lebih tepat. Ucapku mantap, “Yes, I do!”

166

Kare

na K

ita G

arda

Tapal Batas Profesionalisme

Oleh: Eva Maulina Aritonang,Pegawai DJBC

“Kita semua berdiri di tapal batas, di garda terdepan lalu lintas

ekspor dan impor! Kita memiliki tugas dan fungsi yang vital!

Nyawa taruhannya! Don’t ever think that you’ll be safe here! Kita

bukan PNS kebanyakan, kita Bea Cukai!”

Kalimat tersebut masih terngiang jelas ketika seorang perwakilan dari Direktorat Kepabeanan Internasional memberikan materi pada kegiatan On The Job Training CCPNS tahun 2013. Saat itu, semua CCPNS terlihat bersemangat, khas anak muda yang masih idealis. Hingga kabar mengenai mutasi ke daerah terpencil, tindakan penyelewengan dengan alasan perekonomian keluarga yang sering sekali ditemukan, mulai mematahkan semangat para calon pegawai Bea Cukai ini. Berangkat dari harapan orang tua yang mulai renta dan bermimpi anaknya menjadi PNS jujur yang menjadi tulang punggung keluarga, seakan musnah. Ditambah kabar mengenai gaji yang akan dirapel setelah enam bulan mengabdi sebagai CCPNS menambah kemelut, “Apakah pilihan untuk bergabung dengan bea dan cukai adalah jalan yang benar dan sudah digariskan Tuhan?”

167Kem

enterian Keuangan

Keagungan Bea dan Cukai mulai digaungkan kembali, fungsi utamanya mulai dibeberkan. ”Sebagai Bea Cukai, kita siap mengembangkan tugas sebagai Trade Facilitator, Industrial Assistance, Revenue Collector, dan Community

Protector” tambah perwakilan Kepabeanan Internasional tersebut.

Penjelasan itu terdengar begitu ‘keren’ di telinga dengan penggunaan bahasa Inggris di dalamnya. Semangat para CCPNS kembali membara, ”Sepertinya takdir Tuhan kali ini tidak meleset, saya berada di tempat yang membawa saya ke kasta yang lebih elegan”.

Bekerja beberapa bulan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di bawah Kementerian Keuangan, menjadi kabar yang menjanjikan bagi keluarga di kampung halaman. Banyak saudara yang tadinya menghilang, tiba-tiba datang mendekatkan anak perempuannya untuk dijadikan calon istri dengan bayangan tinggal di Jakarta dengan gaji suami yang tinggi. Kasta benar-benar meningkat. Namun, dari hati kecil terdalam kewajiban membuat orangtua bahagia belumlah teratasi. Gaji yang tak seberapa sebagai uang tunggu hidup di Jakarta, masih membuahkan utang di mana-mana.

Satu demi satu para sahabat yang berjuang bersama, mulai menghilang bermutasi ke daerah-daerah yang tidak pernah dibayangkan. Semangat makin menurun justru pada tahap yang hampir mendekati pengurangan huruf ‘C’ yang hanya tinggal sendiri di depan huruf P-N-S. Semua perasaan yang bercampur, mengaduk-aduk tapal batas pertahanan. Nyaris tak tertahankan hingga tiba hari pertemuan saya dengan seorang pegawai di Bandara Husein Sastranegara yang mengubah segalanya.

“Saya mah kerja baru dua tahun,” jelasnya malu-malu.

Semua yang duduk di hadapannya tak percaya. Perawakan Bu Ami memang masih terlihat seperti seorang gadis. Jika melihat postur tubuhnya yang langsing dan ideal, memang

168

Kare

na K

ita G

arda

tidak akan ada yang percaya bahwa ibu dari dua orang anak ini telah berumur 56 tahun.

“Maksudnya dua tahun lagi saya pensiun,” tambahnya malu-malu di sela-sela perbincangan kami.

Pertemuan kami terjadi kala saya bergabung dalam tim yang melakukan sosialisasi sistem Billing-Online dalam membantu pembayaran barang impor berdasarkan Custom

Declaration. Ibu Ami dengan cekatan mengambil posisi di depan monitor CRT (Cathode Ray Tube) gendut dengan model ‘ jadul’ yang cuma satu-satunya di ruang kantor seluas kurang lebih 3 x 3 meter itu. Jauh dari monitor zaman terbaru dengan model LCD (Liquid Crystal Display) yang banyak beredar di kantor pusat bahkan di depan meja kerja kita sekarang.

Ibu Ami yang bertugas sebagai pemeriksa barang, dengan cepat menghidupkan komputer, membuka link http://ceisa.customs.go.id/SSOService/, login dan langsung memilih menu BillingOnline. Beliau cukup kritis dan banyak bertanya dibandingkan dengan pegawai lainnya yang bahkan masih agak takut menggunakan komputer.

“Saya mah ‘kan nggak ngerti teknologi, jadi mumpung ada yang ngajarin, boleh yah bantuin saya sekalian saya belajar,” pinta Bu Ami setelah sebelumnya mengantarkan kami melakukan survei mesin ATM yang terkoneksi dengan sistem MPN (Modul Penerimaan Negara).

Ibu Ami yang berdandan sangat sederhana ini mengikuti setiap instruksi dan menghafalkannya dengan baik. Tak peduli internet yang hanya ditopang dengan sebuah modem pinjaman, tetikus yang sudah tidak terlalu sinkron, dan loading komputer yang mulai lemot, Bu Ami tetap tersenyum dan terus mendesak minta diajari banyak hal. Lagi, lagi, dan lagi.

Untuk sebuah keterbatasan, mungkin kita semua tidak akan kuat dan segera rihat di ruang makan untuk sekadar

169Kem

enterian Keuangan

minum kopi menenangkan diri, tetapi Bu Ami berbeda. Ia dengan profesionalnya tetap teguh belajar di umurnya yang sudah hampir renta ini. Tanpa sadar, semangatnya seolah menunjukkan bahwa tidak ada kata terlambat baginya untuk belajar, bahkan sampai ke liang lahat.

Kisah bu Ami, tidak sampai di situ. Di sela-sela training terdapat pesawat yang landing dari Malaysia. Bu Ami langsung sigap berdiri di depan mesin pemeriksa barang bawaan penumpang (X-Ray) dan bersiap melakukan pembongkaran koper. Travel bag berjenis Polo Classic besar yang terisi penuh tiba-tiba diangkat dan dibongkarnya hanya dengan menggunakan kedua tangannya yang mungil. Mungkin kita yang berumur lebih muda dibanding bu Ami, belum tentu bisa melakukan hal yang sama dengan Beliau. Tak terbayangkan bagaimana Bu Ami bekerja sehari-hari dengan jumlah jadwal pesawat setiap harinya.

Di sela-sela training, Bu Ami pun sempat berkisah mengenai keluarganya. Bu Ami adalah tulang punggung keluarga dengan anak-anak yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, sementara suaminya telah pensiun. Suami Bu Ami adalah seorang pensiunan dari PT Dirgantara Indonesia yang lokasi kantornya hanya berjarak beberapa puluh meter dari bilik kecil di bandara tempat Bu Ami bekerja.

Bu Ami tidak menjelaskan posisi pekerjaan suaminya di perusahaan industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia itu. Namun, dari kisah hidupnya, kita dapat menebak bagaimana perjuangan Bu Ami dalam membesarkan anak-anak dan tetap teguh berdiri sebagai istri serta sebagai pegawai DJBC sejatinya. Dengan gaji sebagai pegawai bergolongan IIIb ditambah hasil pensiun suaminya, entah bagaimana Bu Ami mengelola sistem keuangannya.

Dari sana, semua yang hadir menyadari sesuatu bahwa bekerja bukanlah melulu soal mencari uang, tetapi soal passion, soal profesionalitas. Semua pegawai DJBC memiliki

170

Kare

na K

ita G

arda

permasalahan dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Namun Bu Ami mengajarkan sesuatu yang lain. Bu Ami mengajarkan bagaimana bekerja dengan ikhlas, bekerja dengan profesional, bekerja dengan hati, kendati ia telah berada di usia yang memintanya menikmati masa tua bersama suami, anak, cucu, dan rumah yang nyaman baginya. Dengan senyumnya yang tidak pernah berhenti mengembang dalam melayani masyarakat dan negara, Beliau mengajarkan kepada kita satu hal, bahwa dalam profesionalisme tidak pernah ada tapal batas!

Dari sana, kalimat dari perwakilan Direktorat Kepabeanan Internasional hampir setahun yang lalu terdengar jelas kembali. ”Kita semua berdiri di tapal batas, di garda terdepan lalu lintas ekspor dan impor! Kita memiliki tugas dan fungsi yang vital! Nyawa taruhannya! Don’t ever think

”Kita semua berdiri di tapal batas, di garda terdepan lalu lintas ekspor dan impor! Kita memiliki tugas dan fungsi yang vital! Nyawa taruhannya! Don’t ever think that you’ll be safe here! Kita bukan PNS kebanyakan, kita Bea Cukai!”

171Kem

enterian Keuangan

that you’ll be safe here! Kita bukan PNS kebanyakan, kita Bea Cukai!”

Safe di sana bukan berarti aman dari segala risiko kerja, tapi juga mengingatkan kita bahwa menjadi pegawai DJBC butuh sebuah perjuangan yang jauh dari rasa nyaman. Kalimat Beliau tersebut bukan hanya menjadi doktrin dan kenangan on the job training. Sudah saatnya kalimat itu kita tanamkan dalam hati, bahwa peran kita tidaklah ringan. Namun, apakah itu akan menjadi senjata kita untuk mundur, melarikan diri dari profesionalitas diri yang setiap saat akan diuji?

Atau, kita akan meneladani Bu Ami?

172

Kare

na K

ita G

arda

Tantangan, Pengalaman, dan Keikhlasan

Oleh: Syahrial Saputra dan Dina Amalia,Pegawai DJBC

Sinar matahari yang bersih memancar dengan jelas masuk ke sela-sela jendela ruang kecil yang begitu sederhana, pertanda hari baru akan segera dimulai. Hari ini adalah hari ketiga Faridz (bukan nama sebenarnya) menjalankan tugasnya yang jauh dari hiruk-pikuk kesibukan kota. Dengan jarak 154 mil laut (atau sekitar 248 km) ke arah selatan kota Padang, daerah ini amat jauh dari kata kemajuan. Tak ada kegiatan hari ini, yang ada hanya kicauan burung di atas birunya laut yang sesekali mampir ke pepohonan di pinggir pantai yang bersih. Terkadang tampak beberapa lelaki yang keluar masuk dari bilik pondok yang sama dengan yang ditempati Faridz. Kapal yang ditunggu pun belum kunjung datang.

***

Sejak tahun 2012 PT Injatama memulai kegiatan ekspor batu bara yang lokasi pemuatannya di perairan Teluk Tinopo, Sikakap, Kepulauan Mentawai. Asal batu bara yang diekspor oleh PT Injatama adalah dari Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Sebenarnya lokasinya tidak begitu jauh dari provinsi tersebut, namun karena terkendala beberapa hal, kegiatan ekspor batu bara dimaksud tidak

173Kem

enterian Keuangan

bisa dilaksanakan tepat di garis pantai Pulau Sumatera. Salah satu penyebabnya adalah karena kapal yang akan mengangkut batu bara tersebut tidak bisa sandar lantaran kedalaman air lautnya tidak memadai untuk ukuran dan muatan kapal yang besar.

Oleh karena itulah, batu bara yang akan diekspor, diangkut melalui kapal tongkang dengan muatan ± 5000 MT ke kapal yang lebih besar yang bermuatan ± 50.000 MT di perairan Teluk Tinopo di mana kapal-kapal besar bisa melakukan lego jangkar di sana. Kegiatan muat itu sendiri bisa memakan waktu seminggu lebih.

Berdasarkan kondisi inilah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean B Teluk Bayur melaksanakan perannya sebagai pengawas keluarnya barang dari daerah pabean dan kewajiban pabean yang harus dilaksanakan, baik itu sarana pengakut atas ekspor tersebut maupun terkait barang dan proses pemuatan itu sendiri.

Teluk Tinopo, Kepulauan Mentawai. Sebuah nama daerah yang mungkin masih sangat asing di telinga pegawai Bea dan Cukai. Kawasan yang tidak mudah untuk diakses, baik melalui darat, laut, dan udara. Namun, kendati merupakan lokasi yang jauh dengan segala tantangan yang ada, di sinilah salah satu dari fungsi Bea dan Cukai itu sendiri berjalan dengan memaknai nilai-nilai dari Kementerian Keuangan sebagai landasannya.

Penjaga garis pantai barat Sumatera harus selalu siap melaksanakan tugas setiap kali datang surat perintah untuk mengawasi jalannya ekspor batu bara di sana. Biasanya dalam surat tugas tersebut ada dua orang pegawai yang ditugaskan dengan durasi 10 hari kerja atau sama dengan dua minggu untuk tiap surat tugas.

***

Semilir angin Samudera Hindia mengingatkan Faridz

174

Kare

na K

ita G

arda

kembali akan perjuangannya menuju ke lokasi pemuatan ini. Dua kali gagal berangkat lantaran badai yang terjadi di kota Padang itu belum cukup membuat perjalanan pertama Faridz ini penuh tantangan. Sudah barang tentu hal ini membuatnya merasa enggan untuk mengulanginya lagi.

Terjangan gelombang Samudera Hindia di akhir tahun memang sangat jauh berbeda dengan gelombang ketika pertengahan tahun yang biasanya lebih tenang. Jangan samakan gelombangnya dengan pantai yang ada di timur Pulau Sumatera atau utara Pulau Jawa! Jelas ini jauh dari kata sama. Perjalanan selama 16 jam mengarungi lautan luas bisa menjadi lebih melelahkan dengan memakan waktu lebih lama 8 jam jika terjadi cuaca buruk. Pengalaman buruk bahkan pernah terjadi beberapa tahun lalu ketika kapal yang membawa petugas Bea dan Cukai terdampar di daerah yang tidak dikenal yang memaksa pegawai berjalan berhari-hari untuk menemukan penduduk yang kemudian bisa mengantarkan ke lokasi untuk beristirahat.

Pengalaman-pengalaman orang sebelumnya terkadang terdengar mengerikan, tetapi bukan menjadi alasan untuk tidak melaksanakan tugas ini. Keterbatasan sarana transportasi sangat dirasakan oleh pegawai yang menjalani tugas di sana. Tidak ada jalan lain selain melalui laut itu sendiri, jalur udara dengan menggunakan pesawat baling-baling berpenumpang 12 orang hanya sampai ke ibu kota Kabupaten Mentawai yang masih sangat jauh dari lokasi pemuatan barang ekspor itu sendiri. Pesawat rute perintis ini terbangnya juga tidak setiap hari, hanya pada hari-hari tertentu saja.

MV Kirain Europe, kapal berbendera Malta, akhirnya tiba di lokasi pukul 04.00, pertanda kegiatan panjang akan segera dimulai. Pegawai Bea dan Cukai bersama dengan pegawai dari beberapa instansi lainnya seperti Petugas Karantina (yang berasal dari Sikakap, Kep. Mentawai), Kesyahbandaran (yang berasal dari Sikakap, Kep. Mentawai), dan Imigrasi (dari kota Padang) bersama-

175Kem

enterian Keuangan

sama menyelesaikan kewajiban awal dengan melakukan pemeriksaan sarana pengangkut dan barang bawaannya serta kru asing oleh pihak imigrasi. Tidak ada yang berbeda dengan aktivitas kedatangan kapal pada umumnya. Mungkin yang berbeda hanyalah ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak kembali ke kantor asal atau rumah, melainkan tetap harus berada di sana sampai pemuatan batu bara dari kapal tongkang ini ke dalam ‘perut besar’ MV Kirain Europe selesai.

Hari demi hari harus dilalui pegawai Bea dan Cukai dalam mengawasi pemuatan batu bara tersebut. Rasa bosan pasti akan selalu datang, tetapi rasa tanggung jawab akan tugas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan alasan pribadi. Bagaimana tidak, jika dibandingkan dengan kehidupan sehari-hari, akan terasa sangat berbeda. Bayangkan, lebih dari dua minggu akan kehilangan komunikasi dengan orang-orang yang kita cintai lantaran lokasi pemuatan tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan keluarga.

Kendala jaringan komunikasi masih terus terjadi. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada satu pun jaringan operator telepon seluler yang masuk ke sana. Bisa jadi, hanya bermodalkan Wi-Fi dari perusahan yang sangat terbatas kecepatannyalah satu satu cara untuk melihat dunia luar dari sana. Itu pun lebih sering putusnya koneksi dibandingkan dengan kondisi stabilnya.

Tantangan untuk menguji seberapa kuat pegawai Bea dan Cukai dalam menjalankan tugasnya tidak berhenti sampai di sini. Masih ada berbagai rintangan lainnya yang akan selalu sama dan berulang. Untuk mendapatkan persediaan makanan segar seperti sayuran, pegawai harus naik kapal nelayan selama empat jam menyusuri bibir pantai Kepulauan Mentawai sembari menatap luasnya paparan Samudera Hindia. Persedian makanan ini sendiri didapat dengan menunggu datangnya kapal dari Kota Padang.

Manusia adalah seorang pengemudi bagi dirinya sendiri, maka sebagai seorang abdi negara di lapangan, pegawai

176

Kare

na K

ita G

arda

Bea dan Cukai harus bisa menciptakan suasana nyaman selama menjalankan tugas di lokasi apapun. Ia harus mampu berinteraksi dengan lingkungannya, kendati hanya ada belasan kepala keluarga yang berada di Teluk Tinopo dengan latar belakang budaya yang amat jauh berbeda dari orang orang yang tinggal di daratan Pulau Sumatera baik, dari segi bahasa, kepercayaan, pola hidup, maupun makanannya.

Biasanya fase kebosanan akan segera dilalui bila kita mampu beradaptasi dengan cepat selama berada di sana. Para pegawai junior biasanya selalu membawa berbagai perangkat elektronik untuk membunuh kebosanan dengan memutar film kesukaan atau sekadar mendengarkan musik. Listrik yang hanya menyala beberapa jam dalam sehari bukan menjadi penghalang yang besar jika mampu menghadapi semuanya dengan penuh rasa tanggung jawab dan keikhlasan hati dalam melaksanakan tugas yang telah diembankan demi terlaksananya kegiatan kepabeanan yang baik.

Jumat, 17 Oktober 2014, tepat pukul 10.00 WIB pemuatan terakhir batu bara ke MV Kirain Europe oleh kapal tongkang yang kedelapan selesai dengan muatan akhir sebanyak 46.321,000 MT. Berdasarkan hasil akhir tersebutlah dibuatkan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) dan diserahkan oleh pihak eksportir pada saat yang bersamaan ke kantor pelayanan yang berjarak ratusan mil laut. Jarak yang terbentang memang amat panjang, namun dengan sinergi yang ada antar beberapa pihak terkait, hal tersebut bukan menjadi masalah. Koordinasi antara petugas yang berada di lapangan dengan pegawai yang bertugas di kantor selalu terjaga.

Akhirnya dokumen PEB-nya pun berhasil didaftarkan di KPPBC Teluk Bayur melalui Customs and Excise Information

System and Automation (CEISA) dengan nomor 003042 tanggal 17 Oktober 2014 pada pukul 19:31:21 WIB. Jumlah muatan baik neto mapun bruto yang tertera di

177Kem

enterian Keuangan

sana sesuai dengan laporan hasil pemuatan barang curah tersebut. Dengan negara tujuan India, melalui perusahan pelayaran PT GPI Shipping dan kapal MV Kirain Europe yang berbendera Malta, selanjutnya Outward Manifest-nya dilaporkan dengan nomor 000351 pada tanggal 17 Oktober 2014 dan kapal direncanakan keluar pada hari yang sama, pukul 23:50:00 WIB.

***

Tas ransel yang menemani tugas pertama Faridz sudah siap untuk kembali bersamanya mengarungi bibir-bibir Samudera Hindia ke tanah Minangkabau. Hari-hari yang terasa berat tetapi berkesan, telah dilalui. Ada banyak cerita baru yang telah menunggu yang mungkin belum pernah dialaminya ketika ia berdinas di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belasan tahun sebelumnya. Amanah baru yang diembannya menjadi seorang kasubsi pada salah satu seksi di KPPBC TMP B Teluk Bayur tersebut akhirnya mengantarkannya bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang baru. Hal-hal yang sebelumnya tak terlihat ke permukaan tetapi nyata adanya, akan selalu berjalan. Karenanya, ia meyakini bahwa tak harus menunggu hal-hal besar dan sesuatu yang bersinar untuk berkontribusi di instansi yang ia cintai ini. Namun, dengan keikhlasan dalam menjalankan amanah inilah yang nantinya membuat instansi ini bersinar.

178

Kare

na K

ita G

arda

Untuk mendapatkan persediaan makanan segar seperti sayuran, pegawai harus naik kapal nelayan selama empat jam menyusuri bibir pantai Kepulauan Mentawai sembari menatap luasnya paparan Samudera Hindia. Persedian makanan ini sendiri didapat dengan menunggu datangnya kapal dari Kota Padang.

179Kem

enterian Keuangan

Karena Bukan Sekadar Pintar

Oleh: Lenni Ika Wahyudiasti, Pegawai DJBC

Jarum jam baru bergeser sedikit dari pukul sembilan pagi ketika telepon di ruang layanan informasi kantor saya berdering. Segera saya angkat dengan sapaan khas kantor kami, KPPBC Tipe Madya Pabean Juanda, ” Selamat pagi, dengan Seksi PLI KPPBC Juanda di sini. Ada yang bisa kami bantu?”

Dari seberang, saya dengar suara seorang pria yang mengaku dari Kantor Pos Surabaya Selatan. Pria yang kemudian memperkenalkan diri sebagai manajer di kantor pos di kawasan Kendangsari tersebut menanyakan prosedur yang dilakukan Bea dan Cukai atas barang kiriman dari luar negeri. “Wah, tumben,” pikir saya.

Usut punya usut, akhirnya saya tahu permasalahan yang dihadapi si manajer tersebut. Rupanya ia baru saja mendapat komplain dari seorang pelanggannya berkenaan dengan kiriman pos si pelanggan ke luar negeri yang terpaksa harus dikirim kembali ke Indonesia karena alamat di negara tujuan tidak ditemukan. Karena PT Pos Indonesia bekerja sama dengan perusahaan jasa titipan di negara tujuan, maka barang kiriman tersebut ‘dipulangkan’ lagi ke Indonesia melalui perusahaan jasa titipan dimaksud. Sesampai di

180

Kare

na K

ita G

arda

Indonesia, ternyata barang kiriman itu dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor oleh petugas Bea dan Cukai di Indonesia. Maka, marahlah si pemilik barang itu, ”Ini barang saya sendiri dan asalnya dari dalam negeri, kok saya disuruh bayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor sih?!”

Mendapat komplain keras seperti itu, si manajer menjadi kelabakan dan serta-merta berinisiatif mencari informasi ke KPPBC terdekat. Maka, jadilah telepon di ruang saya berdering pagi itu. Bahkan, karena khawatir terjadi misinformation melalui telepon, ia bermaksud datang sendiri ke KPPBC Juanda untuk mendapatkan informasi langsung mengenai penanganan barang kiriman pos yang dipermasalahkan tersebut.

Keinginan itu terpaksa saya tolak dengan halus karena saya tak ingin ‘customer’ saya pagi itu bakal menghabiskan waktu sia-sia di KPPBC Juanda hanya untuk menunggu informasi saya, sementara saya belum menemukan solusinya. Sebagai upaya diplomasi, saya minta data barang kiriman yang dipermasalahkan beserta nomor telepon Kantor Pos Surabaya Selatan yang bisa saya hubungi. Selanjutnya, saya berjanji akan menghubungi si Manajer Kantor Pos setelah saya dapatkan informasi yang cukup mengenai barang kiriman dimaksud.

Bertugas di Seksi PLI memang membutuhkan kesabaran dan keterampilan berkomunikasi yang lebih. Menghadapi beragam sifat dan karakter pengguna jasa yang datang tiap hari dengan masalah mereka, benar-benar memerlukan kecerdasan bersikap dan kepedulian tinggi, termasuk kelihaian berdiplomasi ketika kita belum dapat memberikan jawaban memuaskan atas pertanyaan maupun problema yang mereka sodorkan. Selalu berupaya mencari kalimat yang menenteramkan agar mereka tak terlalu kecewa dan tak merasa dipersulit meski jawaban ‘pil pahit’ harus kami sampaikan ketika sebuah penolakan terpaksa terlontar dari mulut kami. Menjadi tugas kami yang berada di garda

181Kem

enterian Keuangan

terdepan pelayanan inilah, bagaimana menjadikan ‘pil pahit’ itu tak terlalu pahit ketika mereka terima.

“Berapa lama saya harus menunggu informasi tersebut, Bu?” tanya si Manajer. “Insya Allah pada hari ini, Pak. Saya usahakan secepatnya,” janji saya. “Mohon Bapak dapat bersabar menunggu karena saya harus berkoordinasi dengan beberapa unit terkait di kantor kami untuk itu. Silakan Bapak tinggalkan nomor telepon yang bisa kami hubungi, agar kami dapat segera menyampaikan informasi yang Bapak perlukan,” tambah saya lagi.

Berdasarkan data dari si manajer, saya segera menghubungi Kepala Seksi PKC untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan barang kiriman yang dipermasalahkan dan KPPBC mana yang menanganinya. Beberapa saat kemudian, Kepala Seksi PKC terkait datang ke ruang saya. Rupanya barang itu ‘pulang ke Indonesia’ melalui Bandara Soekarno-Hatta dan telah dibuatkan Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) oleh rekan-rekan di KPPBC Soekarno-Hatta.

“Bukan kantor kita kok yang menangani. Masuknya lewat Cengkareng, bukan Juanda. Suruh aja nanya ke Cengkareng,” kata Kepala Seksi PKC.

“Iya, Pak, nanti saya sampaikan begitu. Bapak kenal nggak, siapa Kasi PKC di sana yang menangani impor barang kiriman melalui PJT?” tanya saya. ”Sudahlah nggak usah repot-repot. Pokoknya suruh aja pihak Kantor Pos nelepon ke Cengkareng, ‘kan beres,” tukas Kepala Seksi PKC tanpa peduli. ”Lagipula ini ‘kan masalahnya Cengkareng, kenapa kita ikutan repot?” sambungnya lagi.

“Wah, kok begitu sih,” pikir saya kecewa. Melempar masalah ke lokasi kejadian sih boleh-boleh saja, tapi seyogianya terarah. Kasihan juga pihak Kantor Pos kalau mereka tidak diberitahu harus menghubungi siapa di KPPBC Soekarno-Hatta. Bisa-bisa, mereka bakalan ‘dilempar’ ke sana-sini kalau tidak berbekal data yang

182

Kare

na K

ita G

arda

jelas, batin saya lagi. Namun, saya tak ingin berdebat dan berbantahan. Akhirnya saya putuskan, “Baik, Pak, biar saya saja nanti yang mencari informasi ke KPPBC Soekarno-Hatta, supaya pihak Kantor Pos nggak merasa ‘di-pingpong’ karena tidak tahu harus menghubungi siapa ketika menelepon kesana.”

“Terserah aja kalau kamu mau capek dan repot,” komentar Kasi PKC menanggapi. Duh, makin sedih saya mendengar komentar apatis ini. Maka, saya hanya menimpali, “Saya memang digaji untuk capek dan repot kok, Pak.”

Berbekal informasi bahwa barang kiriman tersebut ternyata masuk melalui Bandara Soekarno-Hatta dan ditangani oleh KPPBC Soekarno-Hatta, segera saya mencari tahu, siapa Kasi PKC di sana yang menanganinya dan nomor telepon pejabat tersebut. Begitu dapat, segera saja saya hubungi pejabat dimaksud dan saya ceritakan permasalahannya. Alhamdulillah, Kasi PKC yang menangani di KPPBC Soekarno-Hatta bersedia membantu dan menyatakan siap dikonfirmasi.

Setelah itu, saya hubungi si Manajer Kantor Pos dan saya persilakan ia menghubungi langsung ke nomor ponsel Kasi PKC di KPPBC Soekarno-Hatta berdasarkan data PIBK yang ada. Singkat cerita, keesokan harinya saya mendapatkan laporan dari staf saya, bahwa Manajer Kantor Pos Surabaya Selatan menelepon untuk mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang cepat dan responsif dari KPPBC Juanda dan KPPBC Soekarno-Hatta.

“Tahu nggak, Bu, apa yang disampaikan Manajer Kantor Pos tadi?”

“Apa?”

“Manajer Kantor Pos tadi bilang, ‘Saya merasa surprise atas pelayanan yang diberikan oleh Bea Cukai. Benar-benar di luar perkiraan saya karena selama ini saya mengira bahwa berurusan dengan Bea Cukai pasti ruwet ujungnya.

183Kem

enterian Keuangan

Kejadian kemarin menyadarkan saya bahwa Bea Cukai benar-benar telah berubah. Pelayanannya sangat responsif, santun, dan transparan sekarang. Salut dan angkat topi untuk Bea Cukai yang terus berbenah diri dan berupaya memperbaiki kinerjanya!” jelas bawahan saya menirukan ucapan si Manajer Kantor Pos.” Wow, seneng banget denger apresiasi begitu, Bu!” ujarnya lagi penuh ekspresi.

“Subhanallah. Alhamdulillah!” Hanya itu yang terucap dari bibir saya. Senang dan lega menerima berita itu.

Lebih dari dua tahun lalu kejadian tersebut saya alami ketika masih bertugas di Seksi PLI KPPBC Juanda. Hanya peristiwa sederhana, tetapi dampaknya luar biasa buat saya dan teman-teman di Seksi PLI saat itu. Darinya kami belajar banyak hal.

Pelajaran pertama adalah betapa pentingnya melaksanakan pekerjaan dengan hati, meskipun bentuk pelayanan kita hanya sebatas memberikan layanan informasi kepada masyarakat. Melaksanakan pekerjaan dengan hati merupakan perwujudan nilai Profesionalisme yang dicanangkan sebagai nilai kedua dari Nilai-Nilai Kementerian Keuangan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011. Profesionalisme diwujudkan dalam bentuk keahlian dan memiliki pengetahuan yang luas serta mampu melaksanakan pekerjaan dengan hati.

Implementasinya adalah bekerja tuntas dengan hasil kualitas terbaik serta bekerja berorientasi pada outcome (dampak), bukan hanya output (hasil). Dengan demikian, sudah selayaknya kita tidak bekerja setengah-setengah ketika berupaya mencari solusi atas permasalahan yang disampaikan oleh pengguna jasa kepada kita. Bila kita tidak dapat mengatasi sendiri, maka kita perlu berkoordinasi dengan unit kerja yang lain sehingga pengguna jasa mendapatkan solusi yang jelas dan terarah. Dengan bekerja tuntas dalam memberikan informasi pada pengalaman saya tadi, pada akhirnya bukan hanya hasil (output) yang kami

184

Kare

na K

ita G

arda

dapatkan, tetapi juga dampak (outcome) dari kualitas layanan yang telah kami berikan. Output yang dihasilkan jelas berupa informasi penanganan barang kiriman pos tersebut melalui KPPBC Soekarno-Hatta, sedangkan outcome yang tak terduga adalah apresiasi tinggi dari pihak Kantor Pos atas kinerja pelayanan DJBC karena yang bersangkutan merasa puas atas pelayanan yang diberikan oleh KPPBC Juanda dan KPPBC Soekarno-Hatta.

Meski bertugas di Seksi PLI dituntut untuk banyak tahu, yang sering terjadi, kami harus melakukan koordinasi dengan unit terkait ketika menghadapi pertanyaan dari masyarakat. Maka, pelajaran kedua yang saya petik dari kejadian tersebut adalah betapa pentingnya Sinergi dalam mencari solusi terbaik atas permasalahan yang disampaikan masyarakat kepada kita. Sinergi adalah berkomitmen untuk membangun dan memastikan hubungan kerja sama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas.

Pengalaman sederhana menghadapi masalah Kantor Pos tersebut berbuah hikmah bahwa ‘sinergi cantik’ antara Seksi PLI dan Seksi PKC di KPPBC Juanda serta ‘sinergi manis’ dengan Seksi PKC di KPPBC Soekarno-Hatta menghasilkan pelayanan terbaik DJBC bagi Kantor Pos Surabaya Selatan berkaitan dengan ‘pemulangan kembali’ barang milik klien mereka. Melalui pengamalan nilai Sinergi tersebut, ‘sinergi indah’ yang terjalin telah menghasilkan solusi terbaik yang memuaskan pemangku kepentingan sekaligus berdampak pada citra institusi secara keseluruhan.

Pelajaran penting berikutnya adalah betapa pentingnya empati kita miliki ketika melayani pengguna jasa. Menurut Wikipedia, empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpati dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Melalui empati, kita berupaya menempatkan diri pada orang lain dan menciptakan

185Kem

enterian Keuangan

keinginan untuk menolong, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dengan orang lain.

Dengan memiliki empati dalam melayani pengguna jasa, kita bisa merasakan dan bersimpati atas kesulitan yang mereka hadapi. Membayangkan diri andai berada pada posisi mereka, menempatkan diri dalam situasi sulit yang mereka alami. Saya bayangkan diri saya sendiri ketika berkunjung ke sebuah kantor untuk suatu keperluan. Sebut saja, kantor “A”. Ketika tiba di kantor tersebut, tentu saya berharap urusan saya di kantor itu tuntas sesegera mungkin. Maka, bila kemudian saya harus menunggu berjam-jam dan ‘dilempar’ ke sana-sini tanpa ada kepastian, saya pasti bakal marah dan kesal. Ujung-ujungnya, saya akan melayangkan protes keras atas buruknya kinerja kantor tersebut.

Hal yang sama tentu juga akan dilakukan oleh masyarakat bila mereka mengalami kondisi yang tak menyenangkan ketika berurusan dengan petugas Bea dan Cukai di kantor manapun. Kalaupun tak sampai melayangkan protes keras, setidaknya mereka akan putus asa dan malas berurusan lagi dengan institusi kita ini. ‘Kapok’ kata orang Jawa dan ‘hopeless’ menurut orang Inggris. Bila demikian anggapan yang ada, masihkah kita berharap masyarakat akan percaya bahwa kita telah melakukan reformasi birokrasi secara besar-besaran dan pantas mendapatkan remunerasi yang memuaskan? Masihkah kita boleh bermimpi mendapatkan apresiasi tinggi atas meningkatnya kinerja dan prestasi DJBC dari hari ke hari?

Berbekal empati, kita dapat memberikan Pelayanan terbaik kepada masyarakat dan pengguna jasa yang menjadi pemangku kepentingan dari institusi kita ini. Pelayanan merupakan nilai keempat dari lima Nilai-nilai Kementerian Keuangan yang seyogianya kita terapkan dalam aktivitas kedinasan kita sehari-hari. Melayani

186

Kare

na K

ita G

arda

dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan merupakan implementasinya. Salah satu bentuknya adalah ‘mengarahkan kepada pihak yang lebih kompeten bila diri sendiri tidak memahami permasalahan’. Oleh karena itulah, ketika menghadapi kesulitan si Manajer Kantor Pos tersebut, kami di Seksi PLI KPPBC Juanda saat itu berusaha mendapatkan informasi lengkap mengenai keberadaan barang kiriman yang dipermasalahkan untuk selanjutnya mengarahkan yang bersangkutan kepada pejabat yang menangani di KPPBC Soekarno-Hatta.

Untuk menjadi pegawai DJBC yang mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, ternyata bukan sekadar keahlian di bidang kepabeanan dan cukai yang diperlukan. Bukan sekadar pintar yang menjadi bekal. Bukan sekadar pengetahuan luas yang perlu dimiliki. “Because smart is not enough,” kata orang Barat. Ada hal penting lainnya yang juga harus kita punyai selain itu. Kepedulian dan rasa tanggap, keramahan dan kesantunan dalam bersikap, menjadi hal penting yang tak dapat diabaikan. Oleh karena itu, saya sempat kecewa ketika ada pejabat yang enggan untuk tuntas melayani. Berpikir sempit bahwa karena masalah tersebut terjadi di kantor lain, maka KPPBC Juanda tak perlu bersimbah peluh menanganinya. Bahkan berprinsip dangkal, “Lempar saja masalahnya ke Cengkareng, beres sudah!” Duuh…

Kisah yang saya ceritakan di awal tulisan ini memang bukan kisah istimewa. Bukan kisah dramatis yang bakal memukau banyak orang. Bukan pula kisah mengharu-biru yang bisa menguras air mata dan emosi pembaca. Kisah ini hanyalah pengalaman sederhana saya yang bisa saja terjadi dan dialami pula oleh pegawai DJBC lainnya di belahan Indonesia manapun. Boleh jadi tak menarik, tetapi saya yakin, ada banyak hal yang bisa kita petik. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk senantiasa berpikir dan berbuat yang terbaik bagi DJBC dan sesama. Semoga pengalaman sederhana ini memotivasi kita untuk selalu meningkatkan integritas dan profesionalisme dalam bertugas.

187Kem

enterian Keuangan

Bila seluruh pegawai DJBC terinspirasi dan termotivasi untuk memberikan kontribusi terbaik bagi institusi ini, bukan mustahil DJBC akan menjadi salah satu institusi terbaik di negeri ini maupun di dunia Internasional suatu saat nanti. Mengapa tidak? Mari kita buktikan!

“Because smart is not enough”

188

Kare

na K

ita G

arda

Gelombang Laut Selatan, Siapa Takut?!

Oleh: Gustin Tjindarwasih, Pegawai DJBC

“Mbak, Pak Harto ke mana? Sesiang ini kok belum muncul?” tanyaku kepada salah satu staf Urusan Administrasi TU dan Kepegawaian pada suatu siang di awal tahun 2012.

“Belum pulang, Bu,” jawabnya.

“Apa…?” Aku terkejut. “Maksudmu?”

“Iya, Bu… belum pulang dari SPM,” jawabnya lagi.

Sontak aku kaget, ada rasa khawatir menyergap.

Pak Harto, lengkapnya bernama Suharto, saat itu masih menjabat sebagai pelaksana pemeriksa yang ditugaskan sebagai penanggung jawab tugas Urusan Administrasi TU dan Kepegawaian KPPBC Tipe A3 Cilacap (saat itu masih Tipe A3), salah satu unit yang berada di bawah tanggung jawabku ketika itu, merangkap sebagai pelaksana pemeriksa di Seksi P2.

Keterbatasan sumber daya manusia di KPPBC Cilacap membuat hampir semua pegawai pelaksana mendapatkan tugas rangkap. Jabatan eselon V belum ada, sehingga

189Kem

enterian Keuangan

beberapa pelaksana pemeriksa mendapat tugas rangkap sebagai penanggung jawab tugas eselon V, termasuk Pak Harto. Dari NIP-nya aku tahu, Pak Harto dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1960. Usia yang cukup senior, lebih dari 50 tahun.

Sehari sebelumnya, Pak Harto melapor kepadaku bahwa hari itu dia bertugas ke SPM. SPM atau Single Point Mooring

adalah suatu tempat di lautan lepas Samudera Indonesia, di sebelah selatan pantai Teluk Penyu Cilacap, dan termasuk wilayah kerja KPPBC Cilacap. SPM merupakan tempat berlabuh kapal-kapal besar yang membawa muatan minyak milik Pertamina yang tidak bisa sandar di Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap atau dermaga milik Pertamina, karena keterbatasan ukuran dan kedalaman dermaga. Importasi minyak Pertamina rata- rata menggunakan kapal besar yang mengharuskan kapal tersebut sandar di SPM. Tugas boatzoeking yang harus dilaksanakan oleh Bea Cukai mau tak mau harus dilakukan di SPM.

Menurut informasi teman-teman di Seksi P2, bukan hal mudah melakukan pemeriksaan kapal di SPM. SPM mungkin banyak dijumpai di berbagai tempat selain di wilayah kerja KPPBC Cilacap. Namun menurut informasi, kondisi yang penuh tantangan terberat adalah SPM di laut selatan ini. Butuh perjuangan untuk melaksanakannya. Gelombang besar dan tinggi khas laut selatan serta jarak yang jauh dari pantai sehingga tidak bisa ditempuh dengan speedboat kecil milik KPPBC Cilacap mengingat ganasnya gelombang, menjadi salah satu alasan.

Selama ini, apabila akan melakukan pemeriksaan kapal di SPM, pegawai KPPBC Cilacap selalu naik rib atau tugboat milik Pertamina yang cukup besar agar mampu dan aman menembus gelombang, bersama petugas dari imigrasi dan karantina. Perjalanan ditempuh selama minimal 2,5 jam dalam kondisi normal. Bila gelombang tinggi, memakan waktu yang lebih lama lagi.

Itu saja tantangannya? Ternyata tidak, untuk bisa naik ke

190

Kare

na K

ita G

arda

kapal, tangga monyet sudah menunggu untuk dipanjat di antara gelombang besar yang acapkali mencapai 4 meter lebih dan ayunan gelombang yang sewaktu-waktu dapat membenturkan rib atau tugboat dengan kapal yang diperiksa, bisa menjungkirbalikkan semuanya. Lengah sedikit saja bisa jatuh tersapu gelombang atau tergencet antara tugboat dan badan kapal. Sudah pasti nyawa menjadi taruhan. Semangat, keberanian, dan kondisi fisik prima mutlak menjadi modal dasar yang harus ada.

Hal itulah yang memunculkan rasa khawatir di hatiku. Dan hari itu sudah dua hari satu malam Pak Harto belum pulang dari SPM. Usia Pak Harto sudah lebih dari 50 tahun. Bukan usia yang tergolong muda untuk lincah meloncat ke tangga monyet di antara gelombang besar dan kapal yang terus bergoyang. Gerakan barangkali sudah tidak selincah dulu, refleks juga mungkin berkurang karena faktor usia. Kalau terjadi apa-apa? Aaah… Semoga saja tidak.

Sejak sekitar tahun 2010, bahkan sudah tidak ada lagi

Jiwa ikhlas berbaktilah yang meletupkan semangat diri seorang Suharto. Menurutnya, ada kenikmatan tersendiri bila mampu melaksanakan tugas di tengah tantangan yang orang lain tidak mau menghadapinya.

191Kem

enterian Keuangan

pegawai KPPBC Cilacap yang berani menentang ombak untuk melakukan boatzoeking di SPM, kecuali Pak Harto. Ya, hanya Pak Harto! Rata-rata usia dan kondisi fisik menjadi alasan, karena lebih dari 50 persen pegawai KPPBC Cilacap pada saat itu berusia 50 tahun ke atas, sehingga setiap ada kedatangan kapal dari luar daerah pabean dan sandar di SPM pasti hanya Pak Harto yang memeriksanya. Dari Bea Cukai hanya Pak Harto seorang diri. Melihat sisi prosedur pemeriksaan kapal, barangkali salah, tapi memaksakan orang yang usianya ‘senior’ untuk menantang ganasnya alam…?

Pernah soal keberanian itu kutanyakan padanya. Pak Harto hanya menjawab bahwa masalah usia adalah rahasia Yang Maha Esa. Bila ajal tiba, di manapun tidak akan tertunda. Bagi Pak Harto, menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya saat ini adalah hal utama. Bukan materi yang menjadi tujuan utama, karena dia tidak pernah mengharap imbalan apapun. Ikhlas bertugas demi negeri, demi Bea Cukai yang dicintai. Yang penting adalah kesiapan fisik dan mental.

Bila Pak Harto juga tidak berani melakukan pemeriksaan kapal di SPM, lantas siapa yang akan melakukannya? Lalu, bagaimana dengan tugas sebagai community protector? Jiwa ikhlas berbaktilah yang meletupkan semangat diri seorang Suharto. Menurutnya, ada kenikmatan tersendiri bila mampu melaksanakan tugas di tengah tantangan yang orang lain tidak mau menghadapinya.

Sampai sore masih terpikir di benakku masalah Pak Harto yang belum juga kembali. Terbayang kesederhanaan Pak Harto, semangat bekerjanya, semangat untuk maju, semangat melayani, suara merdunya saat menyanyi dangdut dalam berbagai acara kantor, dan juga bayangan keluarganya. Apa yang sebenarnya terjadi, gelombang yang terlalu tinggikah atau…

Dalam hati aku mendoakan keselamatannya. Hingga akhirnya sebelum jam pulang aku dengar siulan khas Pak

192

Kare

na K

ita G

arda

Harto di sekitar ruangan kantor. Aku pun keluar dan kutemui Pak Harto. Kutanyakan kondisinya dan apa yang terjadi.

“Alhamdulillah, Bu, sudah bisa pulang dengan selamat. Gelombang sangat tinggi saat saya dan teman-teman imigrasi, serta karantina mulai menaiki tangga monyet. Kapal bergoyang hebat, sehingga begitu kami naik, tugboat

segera meninggalkan lokasi. Kami tertahan, maka harus bermalam di kapal sampai gelombang tinggi mereda siang ini, dan kami dapat dijemput kembali oleh tugboat,” demikian cerita Pak Harto.

“Tanpa bekal pakaian dan bekal apapun, Pak?” tukasku dengan pertanyaan ‘khas wanita’.

Pak Harto hanya tertawa, lalu menjawab, ”Ya, Bu, tapi untuk makanan kami dijamu pihak kapal.”

Puji syukur ke hadirat-Mu Ya Allah, salah satu rekan kerja terbaikku bisa menjalankan tugas dan kembali dengan selamat.

Jerakah Pak Harto setelah itu?

Ternyata tidak. Sampai awal tahun 2014 ini, di usia yang makin bertambah, bahkan ketika Pak Harto telah mendapat promosi menjadi Kasubsi Intelijen KPPBC Tipe Madya Pabean C Cilacap pun tidak menyurutkan langkahnya melakukan boatzoeking di SPM Laut Selatan. Dan mulai pertengahan tahun 2013 lalu, sudah ada pegawai KPPBC Cilacap selain Pak Harto yang sanggup melaksanakan pemeriksaan kapal di SPM. Mereka adalah para pegawai muda yang baru ditempatkan atau dimutasikan di KPPBC Cilacap. Mudah-mudahan muncul semakin banyak lagi Suharto-Suharto lain yang berani mengarungi gelombang laut selatan, Samudera Indonesia, untuk menunaikan tugas sebagai Bea Cukai sejati. Semangat dan motivasi yang mengalir dalam diri Pak Harto semoga ditularkannya kepada anak-anak muda yang baru menapak karier di

193Kem

enterian Keuangan

KPPBC Cilacap ini.

Masalah jaminan keselamatan petugas yang melakukan pemeriksaan kapal sudah pernah dibicarakan dengan pemilik barang dan agen pelayaran. Penyediaan sarana-prasarana yang membantu menjamin keselamatan petugas semoga saja mendapat perhatian lebih dari pihak terkait. Upaya peningkatan semangat, motivasi, kesiapan fisik dan mental yang dilakukan KPPBC Cilacap semoga berhasil. Dengan demikian, akan semakin menambah keberanian khususnya pegawai dan generasi muda KPPBC Cilacap dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Seberat dan sebanyak apapun tugas itu!

Dan seperti Pak Harto, dengan lantang semua ‘kan mampu berseru, “Gelombang Laut Selatan, siapa takut?!”

194

Kare

na K

ita G

arda

Melancarkan Kembali Arus Kontainer Ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok dengan IT KnowledgeOleh: DJBC

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sebuah instansi besar. Di dalamnya terdapat banyak divisi dan spesialisasi disiplin ilmu yang diterapkan untuk mencapai visi dan misinya. Auditor, Pemeriksa Barang dan Unit K9 (Anjing Pelacak) adalah beberapa dari sekian banyak spesialisasi yang terdapat di instansi ini. Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai (IKC), tempat saya menjalankan tugas saat ini, juga merupakan salah satu unit eselon dua di institusi tercinta ini yang memiliki spesialisasi khusus dalam tugas pokok dan fungsinya di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Ada satu pengalaman yang masih saya ingat dan akan saya kisahkan di sini. Sebuah pengalaman tentang tugas yang pernah kami terima, serta tentang dua senior saya yang sampai saat ini masih bertugas di Direktorat IKC.

Saat itu saya baru sekitar satu tahun ditempatkan di Direktorat IKC. Suatu siang di tahun 2008, sekitar pukul 13.00, kami menerima telepon dari konsul KPU Tanjung Priok yang mengabarkan bahwa aplikasi ekspor berjalan lambat. Telepon dari KPU Tanjung Priok bagi kami adalah suatu hal besar, karena itu sama artinya dengan terhambatnya arus barang di pelabuhan terbesar

195Kem

enterian Keuangan

di Indonesia. Kami pun mulai melakukan pemeriksaan dan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya seperti tablespace, filesystem server serta faktor-faktor lain, tetapi saat itu belum ada error report yang muncul pada server KPU Tanjung Priok.

‘Bad Sector’, begitu istilah IT untuk kondisi di mana salah satu komponen hardisk pada server tidak bisa berfungsi atau rusak secara permanen. Akibatnya, data yang tersimpan dalam satu sektor tersebut tidak dapat dibaca sehingga membuat hang seluruh aplikasi. Error Message ini kami peroleh sekitar pukul 16.00 sore hari. Sementara itu aplikasi Ekspor di Tanjung Priok pun nyaris berhenti. Karena mesin server KPU Tanjung Priok masih dalam lisensi maintenance

dari perusahaannya, kami dapat mengonfirmasi kepada mereka untuk mendapatkan komponen penggantinya. Segera saya hubungi mereka dan meminta agar mereka bersiap untuk pemasangan komponen pengganti tersebut malam itu juga.

Tim kami berangkat dari kantor pusat sekitar pukul 20.00 WIB, saat pegawai lain mungkin sedang bercengkrama dengan keluarga mereka masing-masing. Keberangkatan kami ini berbekal surat tugas yang dibuat hari itu dan langsung mendapatkan tanda tangan direktur pada hari yang sama. Instruksi dari atasan kami saat itu sangat sederhana, “Paling lambat besok pagi aplikasi ekspor harus berjalan kembali!”

Tim yang berangkat terdiri dari satu orang administrator database, satu orang admin OS, satu orang administrator hardware serta seorang dari perusahaan yang memproduksi server untuk mengganti komponen server yang rusak. Ketika mobil yang kami tumpangi masih berada di luar kawasan pelabuhan, mulai terlihatlah situasi yang sedang kami hadapi. Puluhan kontainer mengular, semuanya berhenti dari arah pintu pelabuhan sampai tempat di mana mobil kami berada.

“Wah, kita tidak bisa melanjutkan perjalanan nih,” kata

196

Kare

na K

ita G

arda

pengemudi mobil yang kami tumpangi.

Akhirnya kami memutuskan berjalan kaki untuk mencapai Gedung KPU Tanjung Priok. Menurut salah satu anggota tim yang tinggal di Tanjung Priok, jarak yang kami tempuh saat itu sekitar satu kilometer.

Saat mengamati barisan kontainer yang mengular tersebut, saya lihat kebanyakan dari sopir kontainer-kontainer tersebut terlelap. Mungkin karena lamanya mereka menunggu. Ketika kami melewati kontainer demi kontainer yang berhenti tersebut, salah satu senior yang ikut berjalan kaki menuju KPU bahkan sempat menyeletuk, “Kalau bapak-bapak sopir kontainer ini tahu kita yang akan mengutak-atik server aplikasi ekspor di sini, bisa-bisa dipukuli nih kita!”

Kami yang mendengarnya hanya tertawa kecil sambil meneruskan langkah-langkah kami menuju gedung kantor. Sesampainya di KPU, kami langsung menuju ruang konsul dan disambut oleh rekan konsul KPU Tanjung Priok. Di sini kami mendapatkan penjelasan mengenai urutan kejadian dari awal aplikasi Masih dapat beroperasi sampai dengan berhenti sama sekali. Setelah cukup mendapatkan keterangan yang diperlukan, kami pun segera menuju ruang server. Saya melakukan backup database dan memindahkannya ke dalam PC setempat, untuk tindakan preventif apabila nantinya database pada server tidak dapat diakses ketika aplikasi dihidupkan kembali. Langkah selanjutnya kami pun mulai melakukan shutdown aplikasi, setelah sebelumnya memastikan terlebih dahulu tidak ada user aplikasi yang terkoneksi.

Setelah pengambilan file backup database selesai, kami melanjutkannya dengan shutdown aplikasi. Lantaran perlu dilakukan pergantian hardware, maka server harus dimatikan. Oleh karena itu, semua aplikasi di KPU Tanjung Priok (aplikasi Impor, Ekspor, Manifes dan BC23) harus dimatikan. Setelah semua aplikasi dimatikan, kami mematikan database tiap-tiap aplikasi. Beban kerja server

197Kem

enterian Keuangan

yang berat membuat kami menunggu agak lama untuk melakukan shutdown database. Maklumlah, ada sekitar seribu lima ratus dokumen PIB dan dua ribu dokumen PEB yang diproses tiap harinya di kantor ini.

Karena hingga setengah jam proses shutdown immediate tidak kunjung selesai, kami pun memeriksa background

process apa saja yang masih menggantung pada server. Setelah mendapatkan daftarnya, kami melakukan kill process secara manual pada tiap-tiap proses yang mengganggu shutdown database tersebut. Setelah kill proses selesai, mulai terlihat perkembangan proses shutdown pada alert log yang kami pantau. Tak lama kemudian database pun mati. Kondisi ini terjadi sekitar pukul 23.30 tengah malam.

Setelah aplikasi dan database mati, langkah yang kami lakukan selanjutnya adalah mematikan server secara fisik. Satu per satu tiap partisi server kami matikan. Selepas semua partisi server mati, kami melakukan langkah pamungkas, yaitu mematikan mesin server secara keseluruhan. Jujur, perasaan was-was senantiasa menghampiri setiap kali kami tiba di tahap ini. Dalam surat tugas apapun dan di kantor manapun, setiap melakukan langkah ini selalu terbayang risiko apabila mesin server

tidak dapat dinyalakan kembali secara normal. Apabila hal tersebut terjadi, tentu saja aplikasi pelayanan tidak akan dapat pulih kembali dan bisa dipastikan mungkin proses pelayanan akan dilakukan secara manual. Sebuah risiko tinggi untuk pelabuhan sebesar Tanjung Priok!

Mesin server telah dimatikan, sekarang tiba saatnya giliran tim dari perusahaan mesin server tersebut untuk melakukan pergantian hardware yang mengalami bad sector. Kami pun memantau apa yang mereka lakukan. Beberapa orang dari kami memanfaatkan waktu tersebut untuk beristirahat. Setelah penggantian hardware selesai sekitar pukul 02.00 dini hari, mereka mengonfirmasikannya kepada kami. Selepas itu, kami mulai melanjutkan tahapan-tahapan selanjutnya, yaitu menghidupkan server satu per satu mulai

198

Kare

na K

ita G

arda

dari mesin server, partisi server, kemudian database kami hidupkan kembali.

Saat itulah sebuah kekhawatiran kami terjadi. Ketika melakukan startup database, muncul error message bahwa database tidak dapat diakses. Namun setelah membaca error

message dan meneliti daftar filesystem pada server yang telah startup kembali, kami mendapati ada beberapa filesystem

server yang tidak ter-mounting secara otomatis sehingga menyebabkan database tidak dapat diakses. Akhirnya kami pun terpaksa melakukan mounting secara manual pada beberapa filesystem server tersebut.

Setelah error message pada database dapat kami hilangkan, kami melakukan startup aplikasi. Syukurlah, prosedur ini dapat kami lakukan dengan lancar. Selanjutnya, setelah semua aplikasi hidup kembali, kami melakukan tes pengiriman data dari mesin EDI ke mesin server yang baru saja kami hidupkan kembali, untuk menguji apakah pengiriman data dapat dilakukan. Setelah menunggu beberapa saat, terlihat loader pada aplikasi menunjukkan ada data PEB yang masuk ke aplikasi. Akhirnya kami pun dapat menarik napas dengan lega, karena itu berarti aplikasi telah berjalan kembali seperti semula.

Sekitar pukul setengah lima pagi, kami salat subuh di musala KPU Tanjung Priok yang terletak di lantai empat. Selesai salat, saya sempatkan untuk mengintip kehadiran pagi dari jendela musala. Tampak fajar mulai menyingsing di Pelabuhan Tanjung Priok. Banyaknya kapal di sekitar dermaga pelabuhan menyadarkan saya betapa pelabuhan ini mewakili lebih dari lima puluh persen volume aktivitas impor dan ekspor di Indonesia.

Kami pun berpamitan pulang, dan kembali melewati jalur saat kami berangkat. Alhamdulillah, tak tampak lagi barisan truk kontainer yang malam sebelumnya berderet mengular sepanjang jalur masuk pelabuhan. Mobil yang kami tumpangi pun dapat melaju dengan lancar. Dalam hati kecil saya terbesit sedikit rasa bangga lantaran pekerjaan

199Kem

enterian Keuangan

yang kami lakukan semalam dapat melancarkan kembali arus ekspor barang di pelabuhan terbesar di Indonesia. Bisa jadi para pegawai KPU Tanjung Priok sendiri tidak mengetahui siapa yang ditugaskan untuk memulihkan kondisi agar aplikasi ekspor dapat berjalan kembali seperti semula. Kami tak peduli mereka tahu atau tidak. Yang penting buat kami hanyalah kami dapat menjalankan tugas yang dilimpahkan kepada kami dengan baik, apapun peran dan fungsi kami.

Kami bukanlah ujung tombak seperti pemeriksa barang yang bersentuhan langsung dengan arus impor ataupun ekspor barang di lapangan. Kami juga bukan Unit K-9 yang bisa setiap saat mengendus keberadaan narkoba di setiap bandara dan pelabuhan. Tapi kami yakin, peran kami tidaklah kecil untuk instansi ini. Kami beraksi saat jam pelayanan tidak aktif, saat arus barang di pelabuhan ataupun bandara tidak sedang sibuk, ketika weekend ataupun di malam hari. Dan itulah tantangan profesionalitas kami.

Kami tak peduli mereka tahu atau tidak. Yang penting buat kami hanyalah kami dapat menjalankan tugas yang dilimpahkan kepada kami dengan baik, apapun peran dan fungsi kami.

200

Kare

na K

ita G

arda

Minus 5 derajat celcius, demikian aplikasi cuaca di smart-phone memberitahuku suhu udara di pagi buta itu. Sementara jarum jam menunjukkan pukul 03.55, aku bergegas menyusuri sepanjang jalan di antara Chifley Library dan University Oval menuju gedung tempat ku bekerja paruh waktu. Sudah hampir 2 pekan ini aku menjalani rutinitas sebagai cleaner professional untuk membersihkan salah satu gedung perkuliahan di kampus tempatku menempuh program studi master di Australia.

Profesional? Yup, karena untuk diterima sebagai cleaner, aku harus melalui serangkaian proses seleksi layaknya orang bekerja kantoran di Jakarta. Pertama, aku harus membuat police check (semacam SKCK) yang prosesnya dilakukan secara online dan cepat. Hanya hitungan jam, “SKCK” ini sudah jadi, dikirim melalui email dalam format PDF. Kedua, aku harus membuat Tax File Number atau TFN (semacam NPWP) yang juga prosesnya dilakukan secara online. Bedanya, notifikasi TFN dikirim via pos sebagai bentuk klarifikasi alamat pemohon.

Proses rekrutmen berlanjut dengan mengisi aplikasi online

sembari menyertakan CV dan 2 kontak referensi tempat

Mencari Nilai dari Tumpukan Sampah Musim Dingin 2016

Oleh: Pandu Fauzi, Pegawai Setjen

201Kem

enterian Keuangan

di mana aku sebelumnya bekerja. Berlanjut ke wawancara, online training, dan diakhiri dengan induction dan on-

site training. Pada sesi online training, bahkan terdapat komponen assessment yang harus dijawab dengan benar minimal 90 persen.

Melewati Chifley Library, kulirik sebentar perpustakaan yang memiliki jam operasional 24 jam tersebut. Tampak beberapa mahasiswa sedang khusyuk di depan komputer. “Astaga, mereka ini pada nggak tidur apa? Atau jangan-jangan pada nge-kos di Chifley” batinku. Memang begitulah sehari-harinya di perpustakaan ini, ada saja mahasiswa yang lembur mengerjakan tugas kuliah sampai pagi.

Selepas Chifley, pemandangan berganti menjadi jalan setapak yang lebih kecil, di kiri-kanan tumbuh pohon-pohon coolabah (pohon khas Australia), yang tidak terlalu besar sebenarnya, tapi cukup tinggi untuk ukuran pohon di Indonesia. Di sisi kanan, beberapa ekor kelinci sedang berkeliaran di rerumputan yang tertata rapih. Sementara di sisi kiri jalan terlihat seekor rakun betina sedang mencari makanan sambil menggendong anaknya dipunggung.

Akhirnya tiba juga di seberang jalan di mana gedung yang harus kubersihkan terletak. Jangan bayangkan seperti di Jakarta, dimana satu lantai dibersihkan oleh dua orang petugas cleaner, pria dan wanita yang bekerja seharian. Di sini kami harus membersihkan satu gedung, bukan satu lantai sendirian.

Di bangunan 4 lantai ini, pekerjaanku meliputi mengambil sampah dan mengganti kantong sampah dari setiap ruangan para dosen, staf, dan mahasiswa PhD. Kemudian membersihkan kamar mandi dan dapur beserta ruangan seminar dan ruangan kelas. Dan hari ini aku berencana untuk menghitung jumlah pasti ruangan kantor yang harus kubersihkan di gedung ini. Karena rasanya biar semengebut apapun dikerjakan, waktu 4 jam masih saja terasa kurang.

202

Kare

na K

ita G

arda

Tak peduli siapa kamu

“Rizky… Rizky…” Panggil seseorang mengagetkanku yang sedang membersihkan toilet di lantai 3. Dari suaranya pasti yang datang adalah Pak Haji Adang, supervisor di perusahaan tempat kami bekerja. Kami memanggilnya Pak Haji atau Bang Haji karena Beliau sudah berkesempatan pergi haji di tahun keduanya di Australia. Tanpa antrean panjang seperti di Indonesia katanya, tahun ini daftar, tahun depan sudah bisa langsung berangkat ke tanah suci.

Mengikuti istrinya yang kuliah program S3, Pak Haji Adang adalah tipikal pekerja keras dan suami yang tidak bisa diam berpangku tangan hanya dengan mengandalkan uang beasiswa istri. Setelah bekerja menjadi supervisor dari jam empat sampai jam delapan pagi, Pak Haji lanjut lagi bekerja sebagai day-time cleaner mulai jam delapan pagi sampai jam tiga sore. Tidak heran, dari 4 orang supervisor, Pak Haji adalah orang yang paling berpengaruh dan dikenal dekat dengan on-site manager.

Aku bergegas keluar dari toilet menuju sumber suara. Di depan pintu lift, sudah berdiri pria dengan perawakan tinggi besar, berkulit putih, dan berusia sekitar 45 tahunan. “Coba ikut saya ke dapur!” pintanya dengan intonasi suara besar khas orang Palembang.

“Ini tolong tutup tempat sampah dilap dan dibersihkan lagi!” katanya. “Astaga, sampai detail sekecil ini pun harus dibersihkan,” pikirku dalam hati. “Saya ingin supaya kamu diterima jadi pegawai tetap di sini, jangan cuma jadi pekerja lepas, makanya kerjanya harus benar-benar bersih supaya bos senang,” ujarnya seperti membaca pikiranku. “Apalagi keluarga sudah datang menyusul dari Indonesia ‘kan, jangan sampai posisimu diambil cleaner dari negara lain,” lanjutnya.

Begitulah Pak Haji, kadang teman-teman Indonesia yang bekerja sebagai cleaner menganggapnya terlalu cerewet, tapi maksud sebenarnya baik. Pak Haji pernah bercerita awal mula dia mencari pekerjaan di kota Canberra tidaklah

203Kem

enterian Keuangan

mudah. Beberapa kali berganti pekerjaan, akhirnya diterimalah ia di perusahaan ini dan dengan berbekal kerja keras akhirnya diangkat sebagai supervisor.

Pak Haji pernah menuturkan, dulu orang Indonesia yang bekerja di perusahaan ini sangat sedikit. Karyawan didominasi oleh orang dari Mongolia yang banyak merekomendasikan kawan-kawan senegaranya. Setelah Pak Haji masuk, dia berusaha untuk membawa kawan-kawan Indonesia untuk bisa bekerja di sini. Oleh karenanya, Pak Haji sangat ketat terhadap kawan-kawan Indonesia karena dia ingin menunjukkan kepada manajer bahwa orang Indonesia jauh lebih profesional, pekerja keras, dan bisa dipercaya.

Hasilnya memang luar biasa, dalam waktu satu tahun jumlah kawan-kawan Indonesia, baik mahasiswa atau pun yang sedang mendampingi pasangan studi yang diterima bekerja di perusahaan meningkat tajam. Bahkan dari 4 orang supervisor, dua diantaranya diisi oleh orang Indonesia. Selain Pak Haji, supervisor lainnya adalah Bang Rahmat, mahasiswa Ph.D yang juga seniorku di Kementerian Keuangan.

“Dengar Rizky, saya selalu katakan ke kawan-kawan kita, pokoknya saya tidak peduli siapa kamu di Indonesia. Saya hanya peduli bahwa kamu sekarang sedang membawa nama Indonesia bekerja di sini. Makanya kerja yang bagus, kerja dengan hati jangan asal-asalan,” demikian Pak Haji memulai kuliah subuhnya di pagi itu. “Siap, Pak!” jawabku singkat.

Karyawan tetap

“Good morning, mate!”, sapa seseorang di depan ruangan kebersihan tempatku menaruh berbagai peralatan. Jam menunjukkan pukul 07.50 pagi, 10 menit lagi menuju presensi jam kerja. Kali ini yang datang adalah Agi, wanita Mongolia yang menjadi supervisorku langsung. “Hi Agi, how is it going?” balasku.

204

Kare

na K

ita G

arda

“Did you see me last night on the class?” tanyanya. “Are you

taking financial report analysis class?” kataku kaget, karena tadinya kukira Agi ini mahasiswa Ph.D. “Yes, I saw you on

the class last night,” jawabnya. “What is your program?” Kataku lagi. “I am doing Master of Project Management, and you?”, katanya lagi. “Oh, I am in MBA program”, jawabku.

Demikianlah di minggu ketiga, aku bekerja baru kutahu kalau supervisorku adalah teman sekelas di salah satu mata kuliah. Dari percakapan kami aku juga baru tahu bahwa kami berada dalam satu program beasiswa yang sama, yakni Australia Awards. Bedanya Agi masuk lebih dulu satu semester ke kampus kami. Berbeda dengan Pak Haji, wanita yang memiliki dua anak ini lebih santai dalam berinteraksi dengan para cleaner, apalagi yang berstatus sesama mahasiswa. Karena Agi cukup tahu beban studi di kampus dan tuntutan profesionalisme untuk membagi waktu antara bekerja dan studi.

Pernah satu waktu dia mengatakan kepadaku harus memiliki strategi dalam membersihkan gedung ini. Dengan jumlah ruangan staf yang mencapai 130 ruangan, ditambah toilet, dapur, dan lain-lain maka waktu 4 jam tidak akan cukup kecuali disiasati dengan baik. Dia juga mengatakan kalau ada tugas kuliah, dia mengizinkan sekitar setengah jam untuk membaca atau mencicil tugas selama pekerjaan dapat dituntaskan dan tidak ada keluhan dari customers.

“I come with new contract, the manager has offered you a

permanent contract”, tutur Agi menjelaskan maksud kedatangannya. Aku membaca surat tersebut dan segera kutandatangani untuk keserahkan kembali kepadanya karena aku harus bergegas untuk menyiapkan tugas kuliah di hari itu. “Thank you Agi, here it is,” kataku sambil menyerahkan kembali beberapa lembar dokumen kontrak tersebut. Mulai hari ini aku resmi berstatus karyawan tetap. Artinya aku akan mendapatkan benefit tambahan superannuation (semacam BPJS ketenagakerjaan) dan hak cuti selama 25 hari setahun.

205Kem

enterian Keuangan

Mencari nilai

Beberapa hari setelah menandatangani kontrak karyawan tetap, aku sempat merefleksikan kembali apa sebenarnya yang aku cari dan aku inginkan dari bekerja paruh waktu di perusahaan ini. Kebiasaan merefleksikan banyak hal seperti ini sudah kumulai sejak kelas satu SMP, saat kedua orang tua kami memutuskan untuk bercerai setahun sebelumnya.

Tentu yang terlintas pertama kali adalah teori hierarki kebutuhan Maslow, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena datang ke Australia membawa keluarga dan anak, maka secara hukum diharuskan menyewa rumah yang memiliki dua kamar. Oleh karenanya, biaya sewa rumah sudah mengambil porsi 60 persen sendiri dari uang beasiswa. Sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan cara melakukan sharing kamar dengan mahasiswa lain yang belum berkeluarga atau tidak membawa keluarga. Namun aku dan istri memilih untuk tidak mengorbankan privasi hanya demi menghemat seratus sampai dua ratus dolar.

Kedua, teringat cerita mantan kepala biro kami tentang seorang Bapak tukang sapu di sebuah kampus. Alkisah, Bapak yang selalu giat dan gembira dalam pekerjaannya tersebut ditanya mengapa Bapak kelihatan senang sekali bekerja sebagai tukang sapu. Jawaban Bapak tersebut sungguh di luar dugaan penanyanya, “Oh, saya bukan tukang sapu sembarangan. Saya tukang sapu perpustakaan, Saudara tahu perpustakaan ini tempat belajar calon-calon pemimpin masa depan. Kalau para calon pemimpin ini merasa nyaman dan senang belajar di sini, maka saya sudah membantu mereka untuk membuat perubahan besar di masa yang akan datang.”

“Ah, betapa luar biasa sekali Bapak tukang sapu itu. Mungkin pendidikannya rendah tapi ketulusan hatinya mampu membuat dirinya menemukan sebuah value yang luhur,” batinku. Aku jadi tersenyum simpul, “Mungkin saat ini aku sedang membantu kawan-kawan penghuni gedung ini menjadi pemimpin di masa depan”, kataku dalam hati.

206

Kare

na K

ita G

arda

Pernah dalam satu obrolan makan siang dengan anak-anak muda penerima beasiswa LPDP mereka bertanya, “Mas Rizky kerja di Kemenkeu masih mau kerja jadi cleaner?” Aku hanya tersenyum, “Kemenkeu di Indonesia, Bro, di sini cuma mahasiswa biasa yang harus menafkahi dan mengajak jalan-jalan keluarga, ha..ha..,” jawabku. Belum lagi pertanyaan bagaimana bagi waktu dan mengerjakan tugas-tugas kuliah.

Sejak ada beasiswa LPDP, jumlah mahasiswa Indonesia yang studi di Canberra bertambah pesat. Senang sekali melihat banyak pelajar Indonesia yang mendapatkan kesempatan lebih luas dari negara untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Ibu Kota Australia ini. Bedanya, para penerima beasiswa Australia Awards hampir bisa dipastikan adalah para senior yang sudah bekerja lebih dari 3 atau 4 tahun dan sudah berkeluarga. Sementara banyak sekali penerima beasiswa LPDP di Canberra adalah anak-anak muda fresh-graduate. Tambah lagi, menurut mereka LPDP melarang untuk bekerja paruh waktu yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan, sedangkan Australia Awards tidak melarang penerima beasiswanya untuk bekerja.

Kuliah sambil bekerja bukan barang baru bagiku, dulu aku pun menyelesaikan pendidikan sarjana di program ekstensi UI sambil bekerja di siang hari. Tidak mudah memang, tapi di situ kedewasaan dan profesionalisme diuji. Ah, jadi teringat ucapan Begawan Ekonomi Indonesia, almarhum Sumitro Djojohadikusumo ketika ditanya pendapatnya tentang mahasiswa ekstensi UI, Beliau berkata, “Mahasiswa terbaik di kelas malam (ekstensi maksudnya) akan bisa mengalahkan mahasiswa terbaik di kelas pagi (reguler), tetapi mahasiswa yang terburuk di kelas malam sudah pasti jauh lebih buruk dari kelas pagi.”

Pernyataan yang masuk di akal, dengan tuntutan akademik yang relatif sama, mahasiswa terbaik di kelas malam pasti memiliki kerja keras dan manajemen waktu yang lebih baik dari mahasiswa di kelas pagi yang sebagian besar waktunya

207Kem

enterian Keuangan

hanya dituntut untuk belajar. Sementara mahasiswa terburuk di kelas malam hampir pasti tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari kelasnya.

Ujian Integritas

Pagi itu, kami hanya berangkat kerja berdua saja dari kawasan rumah di Belconnen. Mas Herman yang biasanya melengkapi kami sebagai “the three musketeers

from Belconnen” sedang cuti selama tiga hari untuk mempersiapkan ujian tengah semester. Seperti biasanya, selama belum memiliki kendaraan sendiri, aku menumpang mobil yang dikemudikan oleh Mas Widiarso. Mas Widiarso adalah salah seorang senior di Kemenkeu yang sedang mengambil program Ph.D di University of Canberra. Aku sendiri banyak belajar darinya, mulai dari masalah agama, belajar menyetir mobil, sampai belajar tentang segudang aktivitasnya di luar bangku kuliah. Eselon 4 adalah jabatan terakhirnya sebelum melanjutkan studi di Canberra. “Luar biasa, eselon 4 saja tidak malu menjadi cleaner apalagi aku yang cuma pelaksana biasa,” pikirku waktu itu.

Sepanjang perjalanan selama 10 menit itu, aku memikirkan strategi untuk bisa men-submit tugas mata kuliah foundation of management yang jatuh tempo jam 9 di pagi itu. “Ah, seandainya saja cuti, tinggal butuh waktu sekitar dua jam saja untuk merampungkannya,” batinku. Sebagai karyawan tetap aku memang telah memiliki hak cuti, namun dengan berat hati hak tersebut tidak kupakai di masa ujian ini. Pada saat diwawancarai dulu, bagian SDM perusahaan menanyakan apakah ada rencana cuti dalam 6 bulan ke depan dan bagaimana mengatur waktu jika ujian. Saat itu aku menjawab tidak akan cuti selama 6 bulan ke depan dan mengenai kuliah sambil bekerja, aku sudah punya pengalaman sebelumnya ketika menyelesaikan pendidikan sarjana.

Rasanya lebih berat menelan ludah sendiri dari pada bergulat dengan deadline tugas dan belajar di tengah ujian. Satunya kata dan perbuatan harus selalu dijunjung untuk

208

Kare

na K

ita G

arda

membangun kredibilitas dan reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya.

Pada mid-semester ini, ada dua mata kuliah yang diujiankan. Sementara satu mata kuliah menugaskan penulisan academic paper dan untuk mata kuliah foundation

of management ini tugasnya cukup unik, membuat story

telling video. Video semacam ini menurut dosen kami adalah instrumen yang cukup efektif bagi top manajemen untuk menyampaikan pesan yang dalam baik kepada internal dan eksternal stakeholders. Tema video bebas seputar manajemen dengan durasi sekitar lima menit plus-minus 30 detik.

Masalahnya adalah seumur-umur aku belum pernah membuat video dan menggunakan software pengolah video. Sekitar 2 minggu sebelum deadline pun, aku masih berkutat mempelajari berbagai blog dan video tutorial bagaimana menggunakan Windows Movie Maker. Tema yang terlintas dalam benak adalah “managing public sector”.

Untuk menerjemahkan pesan yang ingin kusampaikan, di bagian pendahuluan aku membuat semacam storyboard

kartun-kartun yang menceritakan buruknya layanan sebuah birokrasi. Dibagian kedua aku mewawancarai tiga orang teman dari berbagai negara menanyakan pendapat mereka tentang birokrasi dan apakah mereka berkeinginan untuk berkarier sebagai birokrat setelah menamatkan program MBA-nya. Dan karena jawaban mereka semua adalah tidak mau, maka di bagian ketiga aku melakukan counter argument. Caranya dengan menampilkan foto Donald Trump yang ketika itu masih sibuk-sibuknya berkampanye, sambil menambahkan caption, “Jika Anda tidak mau menjadi seorang public manager lalu mengapa seorang business leader seperti orang ini mati-matian mau menjadi seorang government leader, apakah untuk meraih popularitas, untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar, atau untuk membuat perubahan?”

Di bagian keempat, kutampilkan beberapa data hasil reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan

209Kem

enterian Keuangan

Kemenkeu Indonesia sebagai contoh birokrasi yang sedang menuju perubahan. Terakhir, kutampilkan slide-show foto-foto krisis ekonomi, perang, dan krisis kemanusian yang terjadi sebagai akibat para manajer publik yang mungkin tidak sebijak para mahasiswa kami dalam mengambil keputusan. Video ditutup dengan sebuah pernyataan singkat tentang manajemen perubahan, bahwa seperti telur perubahan indah hanya akan tercipta jika terjadi dari dalam, perubahan telur menjadi anak ayam tidak akan terjadi jika tekanan datang dari luar. Oleh karenanya, mari ambil bagian menjadi perubah masa depan dengan menjadi bagian dari pemimpin di sektor publik.

Setelah selesai bekerja, aku pun bergegas berlari menuju Chifley library, segera kucari tempat yang paling sepi di sana. Yang kurang adalah video editing untuk membuat dubbing, background music, dan penggalan cerita mengalir dengan smooth. Jam menunjukkan pukul 08.50, tanpa membuang tempo segera saja ku-submit video tersebut melalui situs Wattle yang diminta oleh dosen. Tepat pukul 08.55 proses mengunggah video selesai dilakukan. “Fyuuh… Alhamdulillah…,” ujarku.

Akhir di Musim Gugur

Kurang lebih tiga pekan, tiba-tiba aku menerima email dari Dr. Shari Read, dosen Foundation of Management, yang isinya sungguh di luar dugaan:

“Hi Rizky

I just wanted to tell you how much I enjoyed your video - it was

very moving, I thought I might even cry at one point! A very

important message

Thank you.

Shari”

Tidak henti-hentinya aku bersyukur kepada Tuhan atas apresiasi dosen tersebut, kemudian aku baru tahu bahwa

210

Kare

na K

ita G

arda

aku mendapat nilai High Distinction, video maker kedua terbaik untuk kategori tugas video story-telling tersebut.

Bulan demi bulan berlalu sejak aku menerima email dari Shari. Hari ini, musim gugur tahun 2017, manajemen mengumpulkan kami untuk menerima briefing tentang perubahan yang akan terjadi di semester depan. Sang Manajer mengatakan bahwa pihak kampus menginginkan adanya perubahan jam kerja, dari semula jam 04.00-08.00 menjadi jam 06.00-10.00 pagi. Sontak saja kegaduhan terjadi di dalam aula tempat briefing tersebut. Walaupun alasannya adalah untuk work-life balance dengan jam kerja yang lebih manusiawi. Namun perubahan jadwal kerja itu berarti banyak bagi para cleaners, ada yang bentrok dengan jadwal kuliah, ada yang harus mengantar anak ke sekolah, sampai ada pula yang terancam harus kehilangan

Saya tukang sapu perpustakaan, Saudara tahu perpustakaan ini tempat belajar calon-calon pemimpin masa depan. Kalau para calon pemimpin ini merasa nyaman dan senang belajar di sini, maka saya sudah membantu mereka untuk membuat perubahan besar di masa yang akan datang.

211Kem

enterian Keuangan

pekerjaan day-time kalau harus memilih tetap sebagai cleaner. Kemudian muncul pula tudingan-tudingan kalau alasan sebenarnya dari perubahan jam kerja tersebut adalah efisiensi. Jika dimulai dari jam 6 pagi, maka pihak kampus sebagai pengguna jasa akan menghemat beberapa dolar beban gaji karena selama ini mereka harus membayarkan rate lembur untuk kami yang bekerja mulai jam 4 pagi.

Untukku sendiri, apapun alasan perubahan jadwal tersebut kumaknai bahwa sudah rezekinya aku hanya akan bekerja sebagai cleaner sampai akhir bulan Juni 2017 ini. Dengan jam kerja seperti itu, pasti akan bentrok dengan jadwal perkuliahan. Artinya aku punya kesempatan untuk belajar lebih serius dan sungguh-sungguh di semester depan. Masalah rezeki tidak akan kemana, saat ini istriku sedang membangun reputasi sebagai koki andal yang menjual katering makanan khas Minang dan beberapa jajanan kuliner khas Indonesia lainnya. Hitung-hitung berlatih wirausaha.

Banyak hikmah yang kuperoleh selama bekerja paruh waktu sebagai cleaner, dari mulai pelajaran bagaimana perusahaan memotivasi sumber daya manusianya. Pemberian penghargaan employee of the month, penyampaian kartu ucapan selamat ulang tahun dari manajer, pesta barbeque akhir tahun, dan lain-lain. Sampai kepada mempelajari gaya kepimimpinan masing-masing supervisor, dan juga tentunya proses pengembangan dan pendewasaan diri.

Aku jadi lebih menghargai setiap profesi, apapun itu yang dijalankan dengan sepenuh hati dan profesional di bidangnya masing-masing. Kemampuan manajemen waktu dan membuat skala prioritas yang berkembang dan juga pertemanan dan persaudaraan yang semakin bertambah.

212

Kare

na K

ita G

arda

Hikmah SebuahPengorbanan

Oleh: Taufik, Pegawai DJPb

Pada suatu Jumat sore di tahun 2005 aku mendapat telepon yang mengabarkan bahwa pimpinan memerintahkan tim di mana aku menjadi salah satu anggotanya untuk menyampaikan laporan pelaksanaan pekerjaan kami pada hari Senin berikutnya. Artinya, kami harus menyelesaikan pekerjaan tersebut di akhir pekan. Segera aku telepon istri untuk mengabarkan penugasan tersebut. Istriku yang juga pegawai Ditjen Perbendaharaan memahami tugas penting yang akan tim kami kerjakan malam itu.

Dengan penuh semangat kami mencoba untuk menyelesaikan laporan tersebut malam itu, dengan harapan hari Sabtu dan Minggu kami dapat menghabiskan akhir pekan bersama keluarga. Kebetulan, pekan tersebut adalah pekan yang sangat sibuk buat kami. Namun sampai dengan pukul 02.00 Sabtu dini hari, kami belum menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kami semua sudah kehabisan tenaga akibat beban kerja yang berat di pekan itu. Kami sepakat untuk beristirahat dan berkumpul kembali pada pukul 10.00.

Tanpa menimbulkan suara, kubuka gembok pintu pagar rumah kontrakan. Aku dorong dengan hati-hati pintu

213Kem

enterian Keuangan

tersebut, kemudian kututup dan kukunci kembali. Hal yang sama kulakukan dengan pintu rumah. Aku tidak ingin menggangu istirahat sang istri yang sedang mengandung calon anak pertama kami. Masih membekas di ingatanku tepat dua tahun sebelumnya istriku mengalami keguguran di kehamilan pertamanya. Tentu saja aku tak ingin peristiwa tersebut terulang kembali. Perlahan kubuka pintu kamar, dan membaringkan diri di samping istri yang terlelap.

Satu setengah jam kemudian kami terbangun karena mendengar azan shubuh yang berkumandang dari masjid sebelah rumah. Istriku mernandangku sambil tersenyum dan berkata, “Alhamdulillah tidur nyenyak barusan, sampai gak tahu Abang pulang.”

Aku pun tersenyum dan bergegas untuk mempersiapkan diri agar tidak ketinggalan salat Subuh berjamaah di masjid itu. Selepas salat Shubuh, karena masih mengantuk kami kembali terlelap.

Sinar matahari yang menerobos jendela yang tertutup tirai membangunkan tidurku. Istriku sudah tak ada di sampingku. Sayup-sayup terdengar kesibukan dari arah dapur. “Pasti dia sedang sibuk menyiapkan sarapan,” batinku.

Aku bergegas meninggalkan kamar, dan menghampiri istriku yang sedang berdiri membelakangiku menghadap ke kompor. “Masak apa, Say?” tanyaku berbisik di telinganya. Rupanya istriku tidak menyadari kehadiranku sehingga dia sedikit terkejut. “Abis sarapan kita ke rumah mama yuk” ajak istriku dengan riang. Sebelumnya kami memang telah merencanakan untuk berkunjung ke rumah mertuaku yang masih satu kota dengan kami. Aku terdiam karena tidak tahu harus berkata apa. “Jadi kan, Bang?” tanya istriku dengan cemas.

Sambil meminta maaf aku sampaikan kepadanya bahwa aku harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan

214

Kare

na K

ita G

arda

yang tertunda dini hari tadi. Dengan mata berkaca-kaca istri berkata “Coba Abang bilang dari kemarin, ‘kan Dian bisa langsung ke rumah mama dari kantor.”

Beberapa saat kemudian aku masih terdiam, sementara istri terlihat berusaha menahan tangisnya. Pikiranku menerawang ke awal berdirinya Ditjen Perbendaharaan, saat ketua timku meminta komitmen aku dan anggota tim yang lain agar bersedia bekerja di luar jam kerja. Saat itu tim kami dipercaya pimpinan untuk melakukan proses pengadaan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN). SPAN sangat diharapkan untuk menjadi tulang punggung dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Kami sadar bahwa amanah pimpinan ini has dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,

“Iya deh, tapi jangan pulang malam ya. Dian ‘kan takut sendirian,” istriku berusaha mencairkan suasana sambil tersenyum, sedikit dipaksakan.

“Maaf ya, Say, harusnya pekerjaan itu selesai tadi malam, tapi kami semua kecapaian, lembur terus dari Senin. Daripada hasilnya berantakan, malu ‘kan sama Pak Dirjen,’’ sahutku.

Istriku kembali tersenyum. Namun kali ini senyum yang tulus. Tidak terlihat lagi air mata di pipinya. Aku membalas tersenyum dengan lega, dan kami pun melanjutkan sarapan kami yang sempat tertunda.

Sejujurnya, saat itu aku ingin sekali menelepon ketua tim untuk meminta izin tidak ikut bekerja di hari Sabtu itu. Ketua tim dan semua anggota tim kenal baik dengan istriku. Mereka semua mengetahui kondisi istriku yang tengah hamil muda, dan dikategorikan dokter sebagai kehamilan berisiko tinggi akibat antiphospholipid syndrome yang dideritanya. Aku beruntung memiliki istri yang sangat memahami pekerjaanku. Sehingga aku dapat melaksanakan tugas dari pimpinan dengan penuh tanggung jawab. Tidak

215Kem

enterian Keuangan

bisa kubayangkan, apa jadinya jika istriku tidak mau tahu dengan pekerjaanku, dan marah karena batalnya rencana mengunjungi mertua hari itu.

Pekan-pekan selanjutnya beban kerja di kantor tidak berkurang. Hampir setiap hari aku pulang larut malam, dan mendapati istriku sudah tertidur. Meskipun menurut pengakuannya dia takut tinggal sendirian di rumah, kenyataannya dia adalah seorang wanita yang sangat tegar.

Kehamilan anak pertama kami ini praktis dia jalani tanpa aku di sisinya. Setiap malam dia harus menyuntikkan sendiri obat yang diresepkan dokter ke perutnya. Obat suntik ini untuk meminimalisasi dampak negatif akibat sindrom yang dideritanya.

Seiring dengan kesibukan pekerjaanku saat itu, waktu berlalu dengan cepat. Sampai akhirnya pada bulan Juni 2006, tujuh pekan lebih cepat dari pada jadwal semula, dokter memutuskan untuk melakukan bedah caesar karena kehamilan istriku sudah memasuki masa kritis. Aku meminta izin cuti agar dapat mendampingi istri saat proses operasi dan masa pemulihannya di rumah sakit.

Namun demikian, setelah istri dan bayiku pulang ke rumah, aku kembali tenggelam dengan kesibukan di kantor. Istri dengan tabah mengasuh sendiri anak kami yang lahir prematur.

Waktu terus berlalu. Di awal tahun 2007 aku lulus seleksi program beasiswa Australian Development Scholarships

(ADS), dan sejak saat itu aku tidak terlibat secara aktif lagi dalam SPAN. Kuakui bahwa pengalamanku dalam SPAN telah mengembangkan pengetahuan dan keahlian yang menjadi kekuatanku dalam mendapatkan beasiswa. Tidak banyak yang kuberi-kan bagi SPAN, tapi justru SPAN-lah yang memberikan pengalaman yang sedemikian berharga. Demikian pula dengan istriku. Ia akhirnya berkembang menjadi seorang wanita yang tegar, juga karena SPAN.

216

Kare

na K

ita G

arda

Pengabdian yang Indah

Oleh: Muhammad Ulil Albab, Pegawai DJPb

Sore yang indah di ujung Malioboro. Di depan Gedung Agung yang berdiri anggun, kunikmati benar suasana damai bersama Lani, istriku tercinta. Duduk di bangku besi panjang ditemani para pedagang asongan yang sesekali datang menawarkan barangnya, kulihat sekumpulan orang berpakaian nyentrik, menjajarkan sepada onthel sambil berbagi canda.

Aku dan istriku hanya duduk saja, diam tanpa sepatah kata pun. Memang, sudah kebiasaan sejak menikah dua tahun yang lalu, paling tidak sebulan sekali atau bila ada waktu luang, kami sengaja datang ke tempat ini, tempat dimana kami bertemu untuk yang pertama kali. Hanya untuk sekadar duduk-duduk dan merenung tentang hidup, tentang masa depan, atau tentang apa pun sembari mengenang saat perjumpaan pertama dulu.

Dua tahun terasa begitu cepat. Perjumpaan kami waktu itu diawali ketika aku pulang membeli sesuatu dari Pasar Beringharjo. Saat itu aku mengalami sedikit musibah, Dompetku beserta semua isinya raib dimangsa copet. Tapi masih untung karena waktu itu isi dompetku hanya uang, SIM, dan STNK, sedangkan kartu ATM dan surat-surat

217Kem

enterian Keuangan

penting lainnya memang sengaja aku tinggalkan di rumah.

Dengan perasaan sedih dan gundah, ternyata cobaan bagiku masih ditambah lagi dengan ban sepeda motorku yang kempes, entah sengaja dikempeskan orang, ataukah kena paku atau benda tajam yang lain. Aku bingung harus bagaimana, karena tidak ada lagi uang sepeser pun yang aku bawa, bahkan untuk membayar parkir aku harus menahan rasa malu untuk meminta belas kasihan petugas parkir pasar agar aku bisa tidak membayar karcis parkirnya.

Aku keluar mendorong sepeda motorku menyusuri ruas Jalan Malioboro. Aku berniat untuk mencari tempat tambal ban. Namun ketika melewati ruas jalan di depan Gedung Agung, aku berhenti untuk beristirahat dan duduk di sebuah bangku besi panjang yang sebelumnya sudah ada seorang wanita yang duduk di situ sambil membaca buku. Wanita itu adalah Lani yang sekarang ini menjadi istriku. Dialah yang akhirnya menolongku dengan merninjamkan uangnya untuk menambal ban. Dari perjumpaan itulah aku mengenal dan akrab dengan Lani, dan akhirnya kupilih dia untuk menjadi pendamping hidupku.

“Mas, Mas Aldi, Mas …” Tiba-tiba buyar semua lamunanku. Istriku menyadarkanku.

“Eh, iya, Dik,” kataku sambil menengoknya.

“Tumben serius banget. Lagi nglamunin apa sih? Ayo mas pulang, udah hampir magrib nih,” pintanya.

Kami bergegas menuju parkiran yang letaknya tak jauh dari sudut Malioboro. Hampir satu jam kami singgah di sana, sepulang dari dokter kandungan untuk memeriksakan istriku dan janin yang dikandungnya, yang kini berusia delapan bulan. Dan tak sampai setengah jam akhirnya kami tiba di rumah mungil kami di seputaran Jalan Parangtritis. Kami menempatinya semenjak menikah.

Seperti biasanya, pagi ini aku sarapan ditemani istriku tercinta, dengan menu andalannya, nasi goreng lengkap

218

Kare

na K

ita G

arda

dengan bakso dan sosis yang rasanya sedikit keasinan. Namun tidak seperti biasanya, hari ini aku tidak dibawakan bekal oleh istriku. Aku sudah bilang padanya kalau nanti siang aku ada janji makan siang dengan teman SMA dulu.

“Dik, mas berangkat dulu ya,” pamitku.

Iya Mas, hati-hati yah,” kata istriku sambil mencium tanganku. Aku pun memakai jaket dan menggendong tas punggung hitam kesayanganku, kemudian meluncur ke kantor yang biasa aku tempuh selama sekitar lima belas menit.

***

Siang ini terasa lebih panas daripada biasanya. Aku menuju parkiran motor setelah beberapa menit yang lalu temanku baru saja pergi dengan rnobilnya.

Aku memang sudah cukup lama tidak bertemu dengannya. Setelah lulus SMA dia melanjutkan studinya ke ITB, dan sudah hampir setahun ini dia bekerja di perusahaan minyak asing yang berkantor di Amerika.

Setelah bertemu dengan temanku, aku sedikit teringat kenangan masa-masa di saat menjelang kuliah. Waktu itu aku lulus UMPTN dan diterima di Fakultas Teknik UGM, jurusan yang cukup bergengsi dan favorit waktu itu. Namun karena kondisi ekonomi keluarga kala itu yang sedang mengalami goncangan, akhirnya aku mengikuti kehendak orang tuaku untuk memilih melanjutkan studi di Program Diploma I STAN. Walaupun dengan berat hati akhirnya aku menuruti kemauan orang tuaku. Setahun kemudian aku lulus dengan baik dari STAN, dan bekerja di Direktorat Jenderal Perbendaharaan sampai saat ini.

Sudah hampir enam tahun aku mengabdi menjadi PNS Kementerian Keuangan. Selama ini aku merasa nyaman menjalaninya. Walaupun bayang -bayang mutasi selalu mengikuti, aku tidak terlalu mempedulikannya. Mungkin saja karena selama ini aku belum pernah merasakan

219Kem

enterian Keuangan

terkena mutasi. Semenjak lulus kuliah hingga sekarang aku berada di Yogyakarta, kota yang membesarkanku dan memberikan banyak warna pada hidupku.

Sesampai di parkiran motor aku segera bergegas memakai helmku. Tapi ketika aku hendak men-starter motorku tiba-tiba saja ponselku berdering. Dan kulihat ada satu pesan masuk dari Dodi, teman kantorku, “Al, ada SK mutasi, kayaknya ada narnamu,” Begitu bunyi pesan singkat Dodi yang sontak membuat darahku berdesir. Aku langsung bergegas kembali ke kantor dengan pikiran yang sudah melayang entah ke mana.

Keringat dinginku mengalir, napasku serasa terhenti di tenggorokan. Aku menemukan namaku tertulis di SK. “Benteng tempat macam apa itu?” pikiranku menerawang mencoba membayangkan kondisi kota kabupaten yang ada di SK itu.

“Gimana Al, si Fajar juga kena tuh, dia ke Tahuna,” ujar Dodi dengan mimik muka yang tegang.

“Gak tahu, Dod. Istriku sedang hamil tua dan skripsiku belum selesai. Mana dua minggu lagi sudah harus melapor di kantor baru.” Aku pun beranjak dari meja komputerku, dan menelepon istriku di rumah. Istriku menyuruhku agar sabar dan tetap tenang, meskipun dari suaranya aku tahu kalau dia pun merasa kaget perihal SK mutasi itu.

***

Seminggu telah lewat, dan selama itu juga aku tak henti-hentinya berdoa memohon petunjuk Allah. Aku juga telah berpikir masak-masak dengan memperhatikan pertimbangan istriku dan orang tua kami.

Tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Tampak ayahku masuk bersama ibuku.

“Gimana Al, sudah kau putuskan, berangkat atau tidak?” Tanya ayah dengan serius.

220

Kare

na K

ita G

arda

“Sudah, Yah,” jawabku setelah menoleh ke istriku. “Jadi gimana, Al?” timpal ibuku dengan wajah serius. “Aku akan berangkat, Bu,” jawabku tegas. “Terus istrimu bagaimana?” Tanya ibuku sambil mengelus perut istriku.

“Nanti aku akan berangkat sendiri dulu, Bu, sedangkan Lani biar di Yogya dulu sampai cucu ibu nanti lahir,” jawabku mantap.

“Kamu yakin keputusanmu, Al?” tanya ayah. “Ayah sebenarnya sudah menghubungi Om Faisal, kawan baik ayah. Di salah satu perusahaannya ada satu posisi manajer yang kosong, dan dia bilang kamu bisa mengisi posisi itu. Tidak masalah baginya meskipun kamu belum menyelesaikan S1-mu karena dia yakin kamu punya kemampuan” Ayah memberiku sebuah pilihan.

“Maaf, Yah, aku kurang tertarik dengan tawaran itu,” jawabku singkat.

“Atau kamu bisa bekerja di perusahaan ayah dulu untuk sementara,” bujuk ayahku.

“Aldi sudah mantap, Yah. Aku akan berangkat, karena inilah wujud pengabdianku kepada institusi dan negara ini. Karena sejak awal aku sudah yakin, bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Allah. Aku yakin, itu merupakan jalan terbaik bagi kita. Apabila kita ikhlas menjalaninya, Insya Allah kita selalu mendapatkan rida-Nya,” tegasku, tanpa bermaksud mengabaikan pilihan ayah.

“Amin ya Allah, semoga jalanmu dimudahkan, Nak,” ucap ibu sambal menyeka matanya yang sembap.

***

Akhirnya hari itu tiba juga. Hari di mana aku akan pergi untuk pertama kalinya ke luar Jawa. Untuk pertama kalinya aku akan meninggalkan keluargaku dalam waku yang relatif lama. Pagi itu sedikit mendung. Hujan

221Kem

enterian Keuangan

tadi malam menyisakan beceknya jalan dan basahnya dedaunan.

Aku berangkat ke Bandara Adisutjipto diantar istriku dan keluarga kami. Suasana haru menyelimuti. Namun bagiku, itu lebih sebagai suasana yang membanggakan. Bagaimana tidak, aku laksana prajurit yang akan dikirim ke medan pertempuran, dan dilepas oleh seluruh rakyat negeri ini.

Kru pesawat sudah memanggil para penumpang. Aku pun berpamitan kepada istriku dan orang tua kami. Untuk sementara istriku aku titipkan di rumah mertuaku, mengingat kondisinya yang sedang hamil tua. Tidak tega rasanya apabila menyuruhnya tinggal sendirian di rumah kami.

***

Hari ini Jumat, tanggal 26 Mei 2006. Kupandangi langit-langit kamarku yang sedikit pengap karena ventilasi udara yang kurang. Sudah dua minggu aku menginjakkan kakiku di Pulau Selayar. Pulau kecil di sebelah selatan Pulau Sulawesi yang daratannya didominasi oleh bukit-bukit dan bebatuan kapur. Benteng, ibu kota kabupaten, pun tak lebih besar daripada kota kecamatan yang aku tinggali di Yogyakarta. Listrik padam bak orang minum obat di sini, minimal tiga kali sehari. Kantor harus disuplai listriknya dari genset yang suaranya cukup memekakkan telinga.

Malam ini, suara gemerisik dahan pohon kelapa dan lolongan anjing liar mengantar kerinduanku akan keluarga dan kampung halamanku. Sampai akhirnya, suara jangkrik membuatku terlelap ditelan heningnya malam.

***

Brak, brak, brak! “Al, Al, Aldi...!” Aku terhenyak dari tempat tidurku setelah kudengar Bowo, teman kantorku, memanggilku sambil menggedor pintu kamar.

“Heh..., ada apa Bos pagi-pagi dah bikin onar,” tanyaku

222

Kare

na K

ita G

arda

sambil mengucek mata.

“Eh…, anu AI!” Sahut Bowo sedikit terengah-engah.

“Anu apa?” sahutku.

“Anu….. Ada gempa besar barusan di Yogya, aku baru aja lihat di TV.”

Bowo pelan-pelan menjelaskan.

“Apaa....!” Teriakku spontan. Jantungku seperti berhenti berdetak beberapa detik setelah mendengar kabar itu. Langsung kuraih ponselku, kuhubungi istriku. Tidak tersambung. Begitu juga dengan bapak, ibu, mertuaku, dan adik-adikku. Semuanya tidak bisa kuhubungi. Akhirnya aku hanya pasrah dan berdoa, semoga keluargaku di Yogya diberikan perlindungan Allah SWT.

***

Sudah dua hari satu malam aku tidak bisa menghubungi keluargaku di Yogya, Aku hanya bisa melihat berita di televisi sambil terus berdoa.

Saat tengah malam aku mengambil wudu dan melakukan salat malam. Setelah salam, tiba-tiba ada satu pesan masuk di HP-ku, dan setelah kubaca ternyata dari ibuku. “Nak, semoga SMS ini sampai. Alhamdulillah, keluarga semua selamat. Rumah kalian rata dengan tanah. Cucu pertama ibu, lahir sehari setelah gempa.”

“Alhamdulillah, ya Allah, Engkau telah melindungi keluarga kami,” Aku pun bersujud dan menangis. Badanku bergetar, hingga akhirnya semuanya gelap. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

“Pa...pa...pa...!” Aku teperanjat mendengar suara memanggilku.

223Kem

enterian Keuangan

“Papa ngelamun ya?” Ada suara yang mengagetkanku. Ternyata itu anakku, Ardhi, yang baru berumur tiga tahun.

“Eh, enggak kok, Nak.”

“Papa emang suka ngelamun kalau lagi duduk di situ,” sahut istriku sambil tersenyum kepadaku.

Kami bertiga kemudian pergi dari depan bangku besi panjang di depan Gedung Agung itu. Tempat yang sungguh berkesan dalam perjalanan hidupku. Kini aku sedang menempuh beasiswa S2 di Magister Manajemen UGM. Dan aku semakin percaya, bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya.

“Gak tahu, Dod. Istriku sedang hamil tua dan skripsiku belum selesai. Mana dua minggu lagi sudah harus melapor di kantor baru.”

224

Kare

na K

ita G

arda

Ayahku Auditor, Ayahku Pahlawan

Oleh: Hisyam Haikal, Pegawai Itjen

Namaku Tangguh, ah... sungguh itu tak penting. Aku sedang tak ingin bercerita tentang diriku. Ayahku, dia yang hendak kuceritakan. Lelaki yang menorehkan karakternya dalam namaku, Tangguh, sambil berharap aku bakal tumbuh setangguh dirinya.

Tak seperti ayah-ayah lainnya, ayahku tak selalu ada di rumah. Ketika kawan-kawanku –pada suatu sore yang indah- duduk di teras rumah menunggu ayah mereka pulang kerja, aku hanya bisa mengkhayalkannya. Hari itu, seperti hari kemarin, aku mencoret satu tanggal dalam kalender, ini hari ketujuh ayah tak pulang. Negara menugaskannya jauh ke seberang pulau. Pulau yang hanya bisa kutatap dalam peta nusantara di kamarku. Sejak bisa memegang pena, dan mengerti apa itu hari, tanggal, bulan dan tahun, aku selalu menghitung ketidakberadaan ayah di antara kami, keluarganya. Tahun lalu, seratus tujuh puluh enam hari ayah tak mengelus rambutku, tak mencium kepalaku, dan tak bisa membacakan dongeng menjelang tidurku. Tahun ini, ketika bulan delapan menjelang usai, sembilan puluh delapan hari kucatat, ia tak bersama kami.

Dulu, aku menyangka ayahku tentara, karena kupikir hanya

225Kem

enterian Keuangan

tentara yang seringkali pergi meninggalkan keluarganya. Tapi ternyata bukan, karena ia tak berseragam. Pada suatu malam, sambil mengelus rambutku, dan menemaniku tidur, ayah mengatakan padaku bahwa Beliau seorang auditor... Ah, asing sekali istilah itu.

Bagaimana aku mengatakan istilah seasing itu kalau kawan-kawan bertanya padaku. Ayah mereka tentara, dokter, hakim, polisi, pegawai kelurahan, buruh pabrik, penjaga toko, atau pedagang pasar. Tapi ayahku... seorang auditor, mendengarnya saja sudah tak sampai otakku.

Tapi malam itu semuanya menjadi jelas, ayah bercerita banyak padaku tentang pekerjaannya, tentang kawan-kawannya, juga tentang betapa besar risiko yang mesti dihadapinya. Tapi tahukah kawan, malam seperti itu adalah malam yang paling kubenci. Aku tahu, kalau ayah berlama-lama menemaniku menjelang tidur, berbicara ke sana ke mari, berulangkali mengelus rambutku, pasti besok Beliau pergi dan itu berarti akan lama sekali aku tak bersamanya. Aku tak senang, aku sedih, aku marah pada negara, mengapa negara tega memisahkan kami berlama-lama, membuatku bagai anak yatim, membuat cahaya di rumah kami bagaikan redup, dan membuat mendung di wajah ibu semakin tebal.

Tapi tidak, jangan sangka aku akan menangis. Ayah tak suka anak lelakinya menangis. Pesan itu tak pernah kulupa, aku harus jadi lelaki yang seutuhnya lelaki, tangis kubuang, dada kubusungkan, duka dan derita kusembunyikan, begitu katanya.

Sejak malam itu, aku mengerti, auditor itu pekerjaan mulia, auditor itu pahlawan. Betapa tidak, auditor itu menyelamatkan uang negara dari orang-orang jahat yang menginginkan uang itu menjadi milik pribadi mereka. Negara membutuhkan uang untuk membuat rakyatnya sejahtera, membangun jembatan, memperbaiki jalan yang rusak, membangun gedung sekolah, mengatasi bencana alam, membayar gaji para guru, membangun rumah sakit,

226

Kare

na K

ita G

arda

dan sebagainya. Ayahku dan teman-temannya para auditor berusaha menyelamatkan negara dari para penjahat, para koruptor, seperti yang sering kulihat di televisi. Entah apa jadinya kalau tak ada auditor. Aku tersenyum, kelak setelah besar nanti, bolehlah aku berharap jadi auditor seperti ayahku, pahlawanku.

Malam itu, ayah juga bercerita tentang betapa besar risiko yang dihadapi auditor. Suatu ketika teman-teman ayah, para auditor, harus menyeberangi sebuah pulau dengan kapal kecil, karena tak ada pesawat yang terbang ke sana. Kapal kayu yang ditumpangi tidaklah besar, tak sebanding dengan ombak besar yang menghadangnya. Maka selama beberapa jam, kapal itu dihajar ombak bergulung-gulung. Para penumpang, termasuk teman-teman ayah, berpegangan sebisanya pada tiang-tiang kapal, tak henti menyebut nama Tuhan, sambil membayangkan istri dan anak-anak mereka di rumah. Jantungku berdegup kencang, suatu saat ayahku mungkin mengalaminya. Air mata kutahan sebisanya. Lega hati kemudian karena cerita berakhir dengan indah, kapal berlabuh dengan selamat. Ayah menegaskan, itu hanya

Suatu ketika teman-teman ayah, para auditor, harus menyeberangi sebuah pulau dengan kapal kecil, karena tak ada pesawat yang terbang ke sana. Kapal kayu yang ditumpangi tidaklah besar, tak sebanding dengan ombak besar yang menghadangnya.

227Kem

enterian Keuangan

satu contoh, betapa dekat auditor dengan bahaya. Masih banyak cerita lain yang membuat jantungku mungkin akan berhenti mendengarnya.

Meskipun begitu, lanjut ayah, tidak sedikit orang yang memandang pekerjaan auditor dengan sinis, bahkan selalu memandangnya dengan negatif. Auditor tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mencari-cari kesalahan orang lain, mengganggu pekerjaan orang lain dan sering berbuat tidak baik dengan cara menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Aku tahu ayahku, dia tak mungkin begitu, aku tahu itu. Aku akan marah sekali kalau ada yang berani berkata begitu padaku. Malam itu aku memeluknya erat, sampai aku terlelap, seolah itu adalah malam terakhirku bersamanya.

Hari yang membahagiakan buatku adalah hari ketika ayahku pulang dari puluhan hari dinasnya. Bukan, bukan oleh-oleh yang kunantikan. Ibu sering mengingatkanku tentang itu, jangan bebani ayah dengan kewajiban membawa oleh-oleh. Sungguh, buatku oleh-oleh itu sangat tidak penting, memeluknya saja sudah cukup. Aku berdiri di depan pagar rumah, menanti sosok pahlawanku itu. Kujulurkan leherku panjang-panjang ke arah jalan raya. Aku merindukanmu auditorku. Pahlawanku.

228

Kare

na K

ita G

arda

BekerDJA dalam Senyap

Oleh: Anggun Wibowo, Pegawai DJA

Tumbuh Kembang dan Keluarga

Fajar itu tidak lah seperti pagi yang sama bagi keluarga Pak Sumaji. Selasa pon, hari kedua puluh tujuh di bulan Agustus tahun delapan puluh empat, seorang bayi mungil berjenis kelamin pria dianugerahkan oleh Yang Mahakasih untuk sebuah keluarga sederhana di tepi lintasan kali Bengawan pinggiran kota Sukoharjo. Rasa syukur, tetes air mata, dan rona bahagia memancar sempurna dari kedua wajah orang tua. Meskipun si bocah kecil mungkin bukan anak pertama, siapa yang menyangka kelak dia menjadi sumber inspirasi bagi sesama.

Masa kecilnya bukanlah sesuatu yang istimewa. Selayaknya anak yang lain, dia lebih suka bermain daripada belajar. Boro-boro ndengerin omongan orang tua. Lambat laun, bak bongkahan batu yang akhirnya bisa terkikis oleh tetesan air hujan terus menerus, setiap nasihat dan tutur kata orang tua akhirnya mampu diserap mewarnai kehidupan kesehariannya.

Dia tumbuh menjadi sosok dewasa yang tidak pernah bisa berkata tidak untuk keluarganya. Ikhlas, kerja keras, jujur,

229Kem

enterian Keuangan

entengan, dan santun adalah nilai-nilai wajib yang selalu ditanamkan keluarga. Tak ayal, kepribadian inilah yang mungkin menjadi modal suksesnya dalam merengkuh gelar sarjana dan master hukum dari sebuah universitas ternama di Yogyakarta.

Sukses kuliah, belum tentu mulus dalam karier. Menyandang gelar master kenotariatan ternyata hanya mampu menempatkannya sebagai karyawan sebuah kantor notaris di bilangan Surakarta dengan gaji tak seberapa. Dengan penghasilan pas-pasan, dia juga harus memberanikan diri untuk menyunting kekasih pujaan hati yang akhirnya menjadi istri setianya sampai dengan saat ini.

“Man jadda wa jadda.” Kersaning Gusti, setiap niat baik pasti dimudahkan tak terkecuali untuk sebuah mimpi berkeluarga di usia muda. Bahtera kecil bahagia sarat kesederhanaan akhirnya terwujud di tanggal 3 April 2010.

Antara Cita dan Realita

Seumur jagung menikah, secercah harapan dan sekaligus tantangan itu pun muncul. “Mas, ada pengumuman penerimaan PNS Keuangan nih, saya boleh ikut daftar gak?” Pinta istrinya. Belum juga sempat menjawab, sang istri pun menimpali lagi, “Sekalian mas daftar juga ya, aku urusin syarat-syaratnya.” Berkecamuk perasaan di dadanya. Tak terbayang olehnya jikapun nanti diterima, akan ditempatkan di mana?” Andai saja berdua diterima, jangan-jangan ngantornya berjauhan. Kalau salah satu saja yang diterima, nanti bagaimana? Apakah hidup terpisah jarak Solo dan Jakarta?

Tak terhenti di situ dilemanya. Mimpinya menjadi notaris bekerja di kantor sendiri, dihadapkan dengan impian bapak agar dia menjadi pegawai negeri. Di sela menimbang dan memilih, akhirnya tiba waktu untuk mengiyakan permintaan istrinya. Di benaknya, “Apa salahnya mencoba mendaftar, biar Allah yang memutuskan.” Tak disangka dan tak diduga, berawal dari keihlasan, si Mas dan istri lolos

230

Kare

na K

ita G

arda

dari semua tahapan yang dipersyaratkan Kemenkeu. Tepat 1 Desember 2010, mimpi bapak terwujud. Si Mas diangkat menjadi calon PNS DJA. Si Mas ditempatkan di DJA dan istri ditugaskan di DJP dengan lokasi masih sama-sama di Jakarta. Ternyata, ketakutan hidup berjauhan yang semula terbayang urung terbukti.

Satu setengah tahun berlalu, hidup bulan madu berdampingan dengan penghasilan double gardan yang lebih dari cukup harus berakhir. Selayaknya petir di siang bolong, 18 September 2011 sang istri diberikan amanah baru di Pangkalan Bun, pulau Kalimantan. Si Mas dihadapkan pada kenyataan pahit, “Resign atau hidup terpisah”. Di tengah bangunan fisik maupun spiritual rumah tangga yang sedang dikayuh, si Mas dan istri akhirnya bersepakat untuk jalanin aja dulu. Seperti kisah kasih pacaran anak remaja yang tidak tahu kemana akan berujung.

Sebulan sekali mereka bertemu. Kadang di Sukoharjo, selang di Jakarta dan tak jarang di Pangkalan Bun. Tak terhitung berapa tiket kereta dan tiket pesawat yang sudah menguap. Tak berhenti disitu, April 2012 Tuhan memanggil ayahanda tercinta. Ini membuat Si Mas harus semakin banyak berkorban karena Ibunda sebatang kara di kampung, sementara kakak dan adik perempuannya harus berbakti kepada suami di kota yang berbeda. Si Mas harus berpikir keras, meskipun ada kerapuhan namun tetap harus menjadi sosok yang tegar, pelindung bagi ibunya. Getir makin terasa. Tatkala hidup terpisah ribuan kilometer, sampai tahun ketiga pernikahan, si Mas yang sangat mendambakan kehadiran buah hati pun juga belum dikaruniai putra. Kembali, ikhlas dan nilai yang ditanamkan keluarga yang menguatkannya.

“Berprasangka baik kepada Allah itu menenangkan hati Mas,” ujarnya. Di tengah rasa kehilangan separuh jiwa dan keingininan untuk memiliki momongan yang harus dikonversi dengan rasa syukur dan keikhlasan, Allah

231Kem

enterian Keuangan

menyajikan kuasa-Nya dengan menghadirkan putri cantik yang lahir pada 23 Mei 2013. Laksana air hujan di tengah kemarau, kehadiran buah hati melupakan segala keresahan yang sebelumnya masih berkecamuk, meskipun jarak kembali masih memisahkan dan tak tahu entah berapa lama.

Sosok yang Berbeda

Perjumpaan saya dengan Si Mas dalam satu subbagian bermula sejak saya ditempatkan sebagai staf pada Unit Kepatuhan Internal pada tanggal 6 Agustus 2015 sepulang saya dari tugas belajar. Di tempat baru saya berusaha mengamati, mengenal dan menyesuaikan diri. Semua tampak seperti semestinya, bekerja normal, canda tawa riuh sampai ketegangan saat deadline sudah terasa di dua minggu pertama bekerja. Tapi, ada satu yang tidak biasa.

Di mataku si Mas adalah sosok yang berbeda. “Wow!” Itu impresi saya ketika mendapati informasi kalau dia hampir selalu menang dalam setiap penganugerahan employee of

the month di bagian kami. Di tahun itu pula dia dinobatkan sebagai pegawai terbaik bagian kami tahun 2015. Sosoknya sangat santun, kalem, bertutur seperlunya, tetapi bekerja tanpa lelah bagai kuda. Tidak seperti saya yang suka bicara dan bersendau gurau, si Mas sangat tenang dan irit bersuara. Tak ada riuh, gaduh apalagi keluh, dia bekerja keras setulus hati untuk semua pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Seringkali dia mengerjakan tugas dari Subbag lain yang kebetulan belum terselesaikan. Kadang kami justru bercanda, “Kantor ini cuma butuh bos-bos dan si Mas seorang”.

Tak jarang, ketika pekerjaannya sudah beres dan melihat saya masih ada yang dikerjakan, dia tak sungkan bertanya, “Mas, saya bisa bantu apa?”.

“What?!” Terbelalak dalam pikirku. “Kok ada ya, orang sebaik itu?” Semua permasalahan pribadi dan keluarganya yang selama ini menyelimuti seolah-olah tak menjadi beban

232

Kare

na K

ita G

arda

yang bisa memengaruhi kualitas caranya bekerja sebagai abdi negara. Hampir semua pekerjaan dan IKU dalam kontrak kinerja mampu dia selesaikan dengan baik bahkan sebelum tenggat waktunya.

Di saat dia harus izin mengunjungi keluarga di luar kota pun dengan baik dia mampu menggantikan waktu bekerjanya. Jikalau harus lembur dan pulang malam, itu bukanlah hambatan. Tampak benar, orang tuanya berhasil menjadikan dia sosok yang bertanggung jawab. Tak cukup kualitas kerjanya, pribadinya sungguh layak dijadikan contoh. Ketika panggilan azan berkumandang tak pernah terlihat berlama-lama, dia tinggalkan meja kerjanya untuk melangkah ke masjid. Salat berjamaah dan puasa senin-kamis pun seolah menjadi gaya hidup yang melekat didirinya.

Hari ke-22 Ramadhan 1437 Hijriyah

Ada satu peristiwa yang sangat berkesan bagi saya selama bekerja di DJA. Hari Rabu di bulan Juni 2016, tidak seperti biasa saya meniatkan untuk berangkat lebih pagi dengan harapan laporan pemantauan yang sudah saya kerjakan selama dua bulan dapat segera saya kerjakan dan selesai hari itu. Sudah terbayang saya bisa pulang kampung berlebaran tanpa ada beban berat di pundak.

05.30 pagi saya berangkat dari rumah mengendarai sepeda motor laki hadiah ulang tahun dari sang istri. Tas saya pun terisi penuh dengan baju ganti untuk malam itu dan baju kerja untuk esok harinya. Hari itu adalah hari ke-22 Ramadhan, dimana malamnya adalah malam ganjil ke-23. Sudah saya niatkan setelah selesai kantor dan bertarawih, saya akan lanjut iktikaf di masjid kantor.

Sesampainya di kantor, saya langsung menyalakan komputer dan menancapkan flashdisk berisi hasil lemburan saya di rumah.

“Ya Allah….astaghfirullahalazim,” ucapku tak percaya. File

233Kem

enterian Keuangan

pekerjaan pemantauan yang sudah hampir 80% selesai, tidak bisa di buka, corrupt terkena virus. Berkali-kali mencoba, berulang kali mencari file back up yang lain, yang ada hanyalah draf laporan yang belum ter-update. Hasil kerja lembur Sabtu-Minggu dan lemburan di rumah malam sebelumnya lenyap begitu saja.

“Bodohnya aku,” ucapku sambil menangis.

Pagi dengan harapan indah langsung sirna dalam sekejap mata. Selang beberapa waktu, rekan-rekan kantor mulai masuk ke dalam ruangan. Melihat saya lemas dengan mata yang sembap, mereka sibuk mencari tahu. “Kenapa Mas?”, “Ada apa, Mas?”, “Kok bisa, tadi gimana?”, mungkin itulah kalimat-kalimat yang mampu saya ingat. Semua berusaha menenangkan dan membantu. Ada yang langsung menghubungi Subdit TIP meminta bantuan siapa tahu bisa di-recovery file-nya. Dan, meskipun setelah dicoba pun ternyata tetap tidak bisa. Ada juga yang membantu menguatkan, meyakinkan saya kalau pasti bisa menyelesaiakan kembali secepatnya.

Tak terkecuali si Mas. Terdengar kalimat yang sama, persis seperti yang biasa saya dengar ketika dia menawarkan bantuan. “Sabar ya, Mas, saya bisa bantu apa?”, lirihnya. Saya pun menjawabnya, “Gak papa kok mas, saya coba ketik ulang aja, toh konsepnya masih ada semoga bisa kelar malam ini.” Melihat saya sibuk, dia terlihat tidak nyaman karena tidak bisa membantu. Sampai akhirnya dia menawarkan diri lagi, “Mas, nanti kalau lembur saya temenin seselesainya”. “Ya Allah,” terhenyak hati ini. Saya mencoba menolaknya dengan cara berterima kasih dan mengatakan, “Gak usah mas, gak papa.”

Tak terasa, waktu asar pun sudah lewat. Rekan-rekan kantor sudah bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing menantikan datangnya waktu berbuka. Si Mas pun pamit untuk pulang duluan karena ada yang harus dikerjakannya.

234

Kare

na K

ita G

arda

Sendiri…

Seorang diri saya bekerja di ruangan. Sampai akhirnya terdengar suara azan menandakan waktu berbuka telah tiba. Saya pun berbuka hanya dengan teh manis dan kerupuk yang ada di toples pojok meja. Saya pun melanjutkan tugas hingga tiba-tiba terdengar dering telepon masuk sesaat menjelang isya datang.

“Hallo, Assalamu’alaikum, Mas masih ada di kantor?”, sapanya.

“Wa’alaikumussalam, masih mas ini mau bersiap untuk salat isya,” jawabku.

“Tungguin ya mas, saya sudah di parkiran. Ini saya bawain nasi goreng dan gorengan untuk makan malam, sama ada juga untuk nanti kita sahur,” sambungnya.

“Ya Allah, Mas… Terima kasih banyak,” timpalku.

Tak percaya rasanya. Sungguh mulia hati si Mas ini. Saya iri, sungguh iri terbuat dari apa hatinya.

Sesampainya di ruangan, saya tak henti mengucapkan maaf dan terima kasih karena telah merepotkannya. Azan Isya pun berkumandang dan kami melangkah ke Al Amin untuk menunaikan salat isya dan tarawih berjamaah.

Setelah tarawih kami bergegas kembali ke ruangan kantor. Saya melanjutkan pekerjaan dan si Mas juga mengerjakan tugas lain entah apa, saya tidak begitu memperhatikan. Detik demi detik, menit demi menit terlewati. Tak terasa waktu berlalu, jam 9 malam, 11 malam dan sampai tiba jam 12 malam. Saya pun persilakan si Mas untuk pulang saja, kasihan. “Pulang aja mas, ini kayaknya masih lama. Soalnya, saya tak akan tidur sampai ini selesai, Mas”. Dia menjawab, “Gak papa, Mas, nanti sekalian iktikaf aja di masjid kalau udah selesai,” jawabnya.

Alhamdulillah, lewat pukul 01.15 dini hari, laporan yang

235Kem

enterian Keuangan

ditunggu-tunggu akhirnya kelar. Bahagia, bebas dan enteng rasanya. Melangkahkan kaki ke masjid untuk iktikaf dan berharap atas turunnya Lailatul Qadar, kembali saya sampaikan rasa terima kasih atas semua kebaikan dan bantuan si Mas. Seraya berucap, “Mas, kalau sudah gak puasa, sampeyan saya traktir ya dan gak boleh nolak loh.” Dia hanya menjawab, “Boleh, Mas, hehehe.”

***

Peristiwa itu, sungguh membuat saya merasa bangga dan bersyukur pernah kenal dan berteman dengan si Mas. Menurut saya, Dia adalah salah satu orang terbaik secara pribadi maupun sebagai rekan kerja sesama pegawai. Sedikit bicara banyak bekerja, profesional, dan sepenuh hati adalah kesehariannya yang patut kita teladani. Betapa berat beban hidup dan masalah keluarga yang ada, memberikan yang terbaik sebagai pegawai adalah suatu keharusan. Mungkin sepi ing pamrih rame ing gawe (baca: bekerja optimal tanpa pamrih) adalah falsafah Jawa yang tepat menggambarkan sosok si Mas dalam mendarmabaktikan dirinya untuk DJA.

“Berprasangka baik kepada Allah itu menenangkan hati Mas.”

236

Kare

na K

ita G

arda

Success Story

Oleh: Boru Sion, Pegawai DJKN

Nama saya Boru Sion, saya lahir di Jakarta tetapi dibesarkan di Kota Cirebon. Saya mengawali pendidikan dengan berpindah-pindah kota dikarenakan profesi ayah saya seorang Pegawai Negeri Sipil. Kemudian saya menamatkan pendidikan SMA saya di Medan, saya lulus dari SMA Negeri 1 Medan, kemudian melanjutkan kembali pendidikan saya di Universitas Diponegoro, Semarang mengambil pendidikan Strata-1 Ilmu Hukum dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Pada awal tahun 2010 saya melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil, kemudian saya diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara di Kementerian Keuangan.

Awal pertama saya masuk Direktorat Jenderal Kekayaan Negara saya diberi kesempatan untuk magang di Direktorat Lelang yaitu Subdirektorat Bina Profesi dan Jasa Lelang (BPJL). Pada saat itu saya merasa latar belakang pendidikan yang saya tekuni cukup pas dengan tugas dan fungsi yang saya lakukan. Latar belakang pendidikan saya adalah Ilmu Hukum dengan jurusan Perdata Dagang dan tugas dan fungsi pokok Direktorat Lelang menurut saya banyak terkait dengan permasalahan hukum terutama terkait Hak

237Kem

enterian Keuangan

Tanggungan dan Fidusia.

Selain saya, terdapat pula pegawai magang yang berlatar belakang pendidikan hukum sehingga kami diberikan tugas untuk melakukan knowledge sharing terkait Hak Tanggungan dan Fidusia. Kami diberikan waktu untuk mempersiapkan bahan kemudian memaparkan ilmu yang kami terima pada saat duduk di bangku kuliah kepada kepala subdit, kasi serta pelaksana di Subdit BPL. Pada saat pelaksanaan saya nervous sekali, karena saya anak magang belum punya kemampuan apa-apa sudah harus memaparkan di depan para pejabat. Untungnya, pelaksanaan knowledge sharing terkait Hak Tanggungan tersebut berjalan lancar dan kami bisa menjawab pertanyaan dari para pejabat serta teman-teman magang yang ikut memeriahkan acara knowledge sharing tersebut dengan baik.

Setelah acara knowledge sharing, para kepala seksi seakan ingin mengasah kemampuan kami para anak magang, kami pun diminta untuk membuat paper ringkas mengenai lelang. Paper tersebut diwajibkan menggunakan jurnal-jurnal resmi, dimana kita tahu bahwa jurnal resmi yang di-publish di Indonesia sangat minim yang berarti kami harus melihat jurnal-jurnal luar negeri. Kami diberikan waktu sebulan untuk membuatnya kemudian mempresentasikannya. Namun pada akhirnya saya tidak sempat mempresentasikan dikarenakan saya mendapatkan penugasan untuk diklat prajabatan.

Sebelum saya menyelesaikan diklat prajabatan, ternyata Surat Keputusan Penetapan Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sudah ditetapkan dan saya diputuskan untuk bergabung di Direktorat Penilaian. Pertama kali masuk Direktorat Penilaian, saya kaget ternyata banyak sekali pegawai yang memiliki latar belakang berbeda yang ditempatkan di direktorat ini. Kemudian saya mulai berpikir apa yang nantinya akan saya kerjakan dan apa yang dapat saya

238

Kare

na K

ita G

arda

perbuat untuk direktorat ini. Tak lama berselang, saya mendapatkan penugasan untuk menyusun peraturan-peraturan di bidang Penilaian. Saya berpikir, inilah kesempatan saya untuk menerapkan apa yang sudah saya ketahui sesuai dengan bidang keilmuan saya. Proses penyusunan peraturan tentunya membutuhkan pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan aspek hukum, di sinilah saya bisa berperan aktif. Salah satu proses penyusunan peraturan yang menjadi target penyelesaian pada waktu itu adalah Revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.06/2009 tentang Penilaian Barang Milik Negara. Penyusunan revisi peraturan menteri ini memerlukan waktu yang cukup relatif lama karena harus dilakukan harmonisasi dengan peraturan-peraturan lain yang terkait. Saya sangat berperan aktif dalam proses penyusunan revisi peraturan ini, hingga akhirnya pada tanggal 3 September 2015, akhirnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.06/2015 tentang Penilaian Barang Milik Negara, sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.06/2009, ditandatangani oleh Menteri Keuangan.

Sebagai pelaksana pada Direktorat Penilaian terutama pada Subdirektorat Standardisasi Penilaian Properti Khusus II, dimana tugas dan fungsi pokok Subdirektorat Standardisasi Penelaian Properti salah satunya adalah penyusunan standardisasi di bidang penilaian, peran aktif saya sampai saat ini sangat dibutuhkan dan akan selalu saya tingkatkan, sesuai dengan bidang keilmuan yang saya miliki. Harapan ini tentunya akan membantu organisasi dalam penyempurnaan penyusunan peraturan-peraturan di Bidang Penilaian, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen), Keputusan Direktur Jenderal (Kepdirjen), Surat Edaran (SE), maupun Buletin Teknis Penilaian (Bultek).

Selain berperan aktif penyusunan peraturan, sampai saat ini saya juga berperan aktif dalam penyusunan ISO 9001:2008 yang telah diterima oleh Direktorat Penilaian

239Kem

enterian Keuangan

pada tahun 2013 serta ISO liked yang akan dikembangkan pada kantor vertikal DJKN. Hal ini tentunya juga menjadi tantangan tersendiri buat saya.

Selain itu saya juga melaksanakan tugas sebagai tim penilai Direktorat Jenderal, untuk melakukan penilaian aset Barang Milik Negara, baik itu dalam rangka Pemanfaatan berupa Sewa, KSP, BGS, dan BSG, dan dalam rangka Pemindahtanganan berupa Penjualan, Tukar Menukar, Hibah, Pernyataan Modal Negara, serta dalam rangka penyusunan Neraca Pemerintah Pusat.

Saya berharap, kiprah saya di Direktorat Penilaian akan selalu membawa sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi organisasi, dan tentunya sebagai generasi muda Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, saya akan selalu siap membawa perubahan dalam lingkungan kerja saya.

240

Kare

na K

ita G

arda

. . . . . . . . . . . . . . .

Oleh: Niko Prastiya, Pegawai DJKN

Lulus dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pada akhir tahun 2010 dan langsung menjalani masa pengenalan dunia kerja melalui magang selama kurang lebih setahun di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta IV, saya bersyukur mendapat amanah untuk mengabdi di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara bersama ke lima orang lainnya yang juga mendapat penugasan pada Direktorat Hukum dan Humas. Bekerja di unit yang menangani kehumasan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara tidak pernah terpikirkan sebelumnya dalam benak saya, apalagi kesempatan tersebut saya dapatkan pada kesempatan penempatan pertama saya pada akhir tahun 2011.

Sewaktu pertama bergabung dengan Subdit Hubungan Masyarakat (Humas), saat itu jabatan eselon III belum terisi, dan tiga dari jabatan eselon IV hanya terisi oleh seorang pejabat eselon IV. Fungsi kehumasan saat itu belum berjalan sepenuhnya seperti belakangan ini. Website, Media Kekayaan Negara, dan layanan peliputan saat itu menjadi layanan dan produk kehumasan unggulan. Seiring dengan dinamika organisasi, jabatan-jabatan eselon mulai diisi sehingga fungsi kehumasan mulai berjalan lebih optimal.

241Kem

enterian Keuangan

Humas memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam suatu organisasi dibandingkan dengan fungsi teknis. Tidak hanya pada organisasi swasta, kehumasan pada instansi pemerintah mulai berkembang seiring dengan era keterbukaan informasi. Publikasi, sosialisasi, dan layanan informasi menjadi penting seiring dengan kesadaran masyarakat akan hak mereka untuk dapat mengakses informasi pada instansi pemerintah selaku badan publik yang dibiayai oleh “uang rakyat”.

Sejak bergabung dengan Subdit Humas, saya mendapat amanah untuk mengabdi pada Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi. Pada awal tahun 2012, saat itu saya bersama rekan satu seksi saya yang juga baru dalam dunia kehumasan, merintis pendirian Information Desk dan

Call Center (IDCC) dengan dikomando oleh Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi selaku atasan langsung. Saat itu, menjadi one stop service layanan pada Kantor Pusat DJKN merupakan misi dicanangkan sewaktu pendirian IDCC DJKN.

Berbagai persiapan pendirian IDCC satu per satu kami selesaikan saat itu, mulai dari penyusunan dan penandatanganan Service Level Agreement antara Direktur Hukum dan Humas sebagai penyedia layanan informasi dengan Sekretaris DJKN dan para Direktur selaku pemiliki informasi dihadapan Direktur Jenderal, koordinasi dalam hal penyediaan infrastruktur layanan IDCC, hingga penyelenggaraan pelatihan softskill bagi calon agent IDCC. Pada Oktober 2012 akhirnya saya memperoleh tambahan rekan satu seksi dari kantor vertikal sejumlah enam orang sehingga saat itu kami berdelapan menjadi generasi pertama agent IDCC.

IDCC DJKN yang diresmikan pada November 2012, saat itu memberikan layanan satu tempat, baik call

center maupun walk in. Dengan karakteristik organisasi DJKN yang memiliki tugas dan fungsi beraneka ragam, memberikan tantangan berat bagi saya selaku agent

242

Kare

na K

ita G

arda

agar mampu memberikan solusi maupun jawabatan atas setiap permasalahan pemohon informasi yang datang langsung maupun melalui telepon. Saya yang sejak kuliah lebih mendalami lelang dan piutang negara mengalami sedikit permasalahan dalam hal menghadapi permohonan informasi yang datang menanyakan permasalahan seputar Pengelolaan Kekayaan Negara. Hal ini menjadikan motivasi bagi diri saya untuk mampu menggali pengetahuan seputar Pengelolaan Kekayaan Negara, baik itu update knowledge dengan rekan sesama agent, maupun mengikuti sosialisasi yang diselenggarakan unit teknis terkait yang sering saya ikuti bersamaan dengan penugasan peliputan.

Keunikan pada Subdit Humas di sini terlihat dengan penugasan bersilang antarseksi antar pelaksana. Para agent IDCC juga mendapat penugasan peliputan, editing berita, resensi buku untuk perpustakaan, upload berita portal hingga penyusunan artikel untuk Media Kekayaan Negara. Hal ini tentunya mampu memberikan penyegaran bagi para agent yang sehari-harinya selain memberikan layanan informasi, juga menghadapi keluhan pemohon informasi melalui call center maupun walk in.

Tugas layanan informasi yang melekat pada Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi, mejadikan pelaksanaan amanat dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada DJKN melalui Direktur Hukum dan Humas selaku Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), dilaksanakan pada unit tersebut. Saya banyak membantu sebagai petugas informasi terkait permohonan informasi yang disampaikan kepada PPID DJKN. Kegiatan-kegiatan terkait layanan informasi melalui PPID antara lain penyusuan Daftar Informasi Publik dan Daftar Informasi Dikecualikan, sosialisasi layanan PPID DJKN kepada unit vertikal, pelaksanaan layanan informasi melalui PPID, hingga penanganan sengketa informasi yang berkolaborasi dengan Subdit Bantuan Hukum.

243Kem

enterian Keuangan

Penugasan saya sebagai petugas informasi ini memberikan motivasi bagi saya untuk lebih mendalami ilmu hukum oleh karena itu, sejak tahun lalu saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya di fakultas hukum salah satu universitas swasta di Jakarta. Saya menyadari pentingnya pendidikan guna menunjang pelaksanaan pekerjaan.

244

Kare

na K

ita G

arda

Konsultasi dan Rasionalisasi

Oleh: Pradita Agustina, Pegawai DJPK

Telepon di cubical sebelah berdering hampir setiap lima menit sekali, dan ini hari Senin. Sekilas tak tampak korelasinya tapi bagaimanapun, ternyata ada. Senin seringkali menjadi hari yang sibuk di sini. Pegawai mondar-mandir, mesin fax—walaupun sudah jarang—masih ada barang satu atau dua kali, bendelan surat diantar, mesin fotokopi berdesis, termasuk telepon yang berdering di sana sini: permintaan konsultasi dari berbagai daerah.

Sebagai institusi yang memiliki tugas untuk menciptakan hubungan keuangan pusat dan daerah yang seimbang, wajar rasanya jika kami memiliki stakeholder yang merupakan wakil pemerintah daerah dalam hal keuangan. Mencari kepastian akan apa, berapa, bagaimana dan kapan uang yang menjadi hak mereka bisa didapatkan dan digunakan demi keperluan daerahnya. Tak jarang keluh kesah, kekhawatiran, kebingungan dan apapun itu namanya dituangkan dalam suatu bentuk pertemuan bernama konsultasi.

Kembali lagi, ini hari Senin, telepon berdering memanggil pegawai yang bertugas menangani layanan konsultasi. Termasuk telepon yang kuangkat di pagi menjelang siang

245Kem

enterian Keuangan

ini, panggilan dari ruang pelayanan untuk menyambut kebingungan para perwakilan pemerintah salah satu daerah.

“Mas, ini Mas yang mau temui?”

“Dari mana, Mbak?”

“Rombongan DPRD Kota, tidak ada Kepala Seksi hari ini, Mas. Rapat semua.”

“Ya sudah. Ikut yuk, Mbak.”

Jadilah aku turut menemani Si Mas Konsultan ke ruang pelayanan terpadu, tempat kegiatan bernama konsultasi daerah dilakukan. ‘Tamu” kami bisa berasal dari berbagai tingkatan institusi daerah mulai dari dinas di kabupaten/kota, hingga DPRD Provinsi. Salah satu aturannya adalah tamu daerah yang merupakan perwakilan DPRD Kabupaten, Kota maupun Provinsi perlu didampingi oleh Kepala Seksi—atasan kami—saat konsultasi dilakukan. Sayangnya, kembali lagi, ini hari Senin dan seluruh Kepala Seksi di tempat kami sedang berjibaku dengan kesibukan untuk menyelesaikan tugas lainnya.

Mereka sudah duduk rapi menunggu di meeting room. Nampak wajah-wajah ramah namun meredam amarah—jika aku tidak salah tangkap. Kami mulai memasuki ruangan dan menebar senyum salam sapa di seluruh ruangan. Si Mas Konsultan menarik kursi dan duduk di ujung meja lonjong laiknya pemimpin rapat, dan aku duduk di sampingnya sembari menyiapkan tablet untuk menulis pokok rapat hari ini bak sekretaris.

“Silakan, Pak, bisa kita mulai saja,” Si Mas Konsultan membuka, lalu dilanjutkan dengan perkenalan diri pimpinan rombongan yang kemudian memperkenalkan rekan-rekannya yang lain. Bapak Pemimpin Rombongan itu mulai menjabarkan masalah yang dihadapi oleh daerahnya, menjelaskan sebab kedatangannya jauh-jauh dari pulau seberang ke gedung ini. Dibuka dengan

246

Kare

na K

ita G

arda

penjelasan keluh kesah yang disampaikan dengan ringkas dan jelas. Aku mulai melihat perubahan mimiknya ketika ia mulai berbicara tentang isu rasionalisasi anggaran yang didapatnya, yang berarti daerahnya akan mendapatkan ‘ jatah’ yang lebih sedikit.

“Tidak bisa seperti ini, Pak. Kami mohon penjelasan apakah kabar yang kami terima benar bahwa akan ada rasionalisasi anggaran?” Nada bicaranya mulai meninggi. Aku mulai merasa tegang, berspekulasi tentang skenario apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah akan ada kegiatan melempar kertas, mengacungkan tangan atau gebrakan meja?

“Pemerintah di pusat tidak akan mengerti kesulitan seperti apa yang kami temui di daerah. Salah sedikit saja masyarakat di daerah kami bisa saling ribut, protes keras. Seharusnya pemerintah pusat juga memikirkan hal seperti itu, tidak bisa main potong saja! Kami tidak akan pulang sebelum ada kepastian berapa sebenarnya alokasi untuk daerah kami dan benar tidaknya masalah rasionalisasi anggaran tersebut. Jika perlu menginap di sini, kami akan menginap.” Si Mas Konsultan masih diam dan manggut-manggut, mendengarkan setiap perkataan Pemimpin Rombongan sementara aku mulai pasi mengetik tak karuan pada layar tablet. Suasana dalam ruangan disela oleh sedetik keheningan, sebelum akhirnya si Mas Konsultan mulai angkat bicara dan aku mulai bisa merasa tenang. Setidaknya tidak ada acara gebrak meja untuk menampakkan kemarahannya.

“Sudah, Pak, itu saja? Apakah masih ada yang ingin disampaikan sebelum mulai saya tanggapi?” Si Mas Konsultan bertanya dengan tenang dan perlahan.

“Sudah, Pak. Itu saja dulu.” jawab Pemimpin Rombongan setelah memastikan rekan-rekannya tak ada yang ingin menambahkan keluhan.

“Baik, kalau begitu, Pak. Saya mohon izin untuk menanggapi.” Si Mas Konsultan mulai menjelaskan ini

247Kem

enterian Keuangan

dan itu dengan hati-hati, berbicara dalam intonasi rendah, lembut seperti sedang menjelaskan satu tambah satu kepada anak kecil, sabar dan tanpa emosi.

“Dan terkait rasionaliasi anggaran, kami tidak mendengar adanya isu tersebut. Jadi bisa dipastikan itu tidak benar adanya. Untuk alokasi yang pasti bagi daerah Bapak, saya mohon izin ke ruang kerja sebentar untuk mencetaknya. Bagaimana, Pak?” suasana sudah mulai cair kembali setelah penjelasan panjang tentang dana yang akan mereka dapatkan serta konfirmasi tentang rasionalisasi anggaran yang sebelumnya diributkan. Pemimpin rombongan dan rekan-rekannya sudah mulai tenang, tak ada lagi mimik tegang atau kemungkinan gebrakan meja.

“Mari, Mbak. Kita ambil datanya dahulu.”

Aku dan Si Mas Konsultan keluar dari ruangan dan pergi menuju lift.

“Serem juga ya, Mas. Sampai tidak mau pulang.” Aku mulai membahas kejadian tadi.

“Ya begitulah, Mbak. Sudah sering terjadi hal-hal seperti itu di sini. Amarah seperti itu tidak bisa dibalas dengan amarah lagi. Harus dengan kepala yang dingin.” Sedari di ruangan tadi aku tak bisa berhenti berpikir tentang betapa beragamnya bangsa ini, betapa terkadang begitu sederhananya pemikiran manusia. Haknya dikurangi sementara yang lain tidak, itu berarti ‘tidak adil’. Aku menyadari bahwa bangsa yang terdiri dari berbagai jenis suku, adat, kebiasaan, agama, kepentingan hingga cara berpikir yang berbeda-beda ini merupakan suatu tantangan menarik untuk bisa dihadapi.

Sisi lain profesionalisme jelas dibutuhkan oleh institusi ini. Tak hanya soal keakuratan dan kompetensi terbaik dalam bekerja; tak hanya pengetahuan tentang apa, berapa, dan bagaimana uang untuk daerah itu dihitung dan disalurkan, namun juga bagaimana menjelaskannya kepada para

248

Kare

na K

ita G

arda

stakeholder dengan cara yang tepat. Satu daerah merasa ini tak adil, daerah lainnya merasa terima saja yang ada—narimo ing pandum.

Kami kembali ke bawah, menyerahkan kertas berisi besaran alokasi dana untuk daerah yang bersangkutan. Berbincang satu dua topik, termasuk tentang kenyataan bahwa rombongan tersebut sudah pasti tidak jadi menginap karena jawaban yang mereka dapat sudah cukup memuaskan. Menutup perbincangan, saling berjabat tangan dan menebar senyum, kemudian berpamitan.

Ah, kata itu, yang terpampang di dinding kantor, di standing

banner, di majalah internal atau di website profesionalisme, ternyata memang benar penting eksistensinya. Aku bisa merasakannya di sini. Betapa untuk memegang teguh prinsip profesionalisme kita juga harus memahami apa yang kita hadapi dan menanganinya dengan kompetensi terbaik yang dimiliki.

Seharusnya pemerintah pusat juga memikirkan hal seperti itu, tidak bisa main potong saja! Kami tidak akan pulang sebelum ada kepastian berapa sebenarnya alokasi untuk daerah kami dan benar tidaknya masalah rasionalisasi anggaran tersebut. Jika perlu menginap di sini, kami akan menginap.

249Kem

enterian Keuangan

250

Kare

na K

ita G

arda

Sinergi ItuMemuda(h)kan

Synergy is better than my way or your way.It’s our way.

250

Kare

na K

ita G

arda

Makna dari Sinergi yaitu

membangun dan memastikan

hubungan kerjasama internal yang

produktif serta kemitraan yang

harmonis dengan para pemangku

kepentingan, untuk menghasilkan

karya yang bermanfaat dan

berkualitas.

Perilaku utama dari nilai ini yaitu:1. Memiliki sangka baik, saling

percaya dan menghormati.2. Menemukan dan melaksanakan

solusi terbaik.

251Kem

enterian Keuangan

Sinergi berasal dari bahasa Yunani, synergos, yang berarti bekerja bersama-sama. Sinergi adalah suatu bentuk dari sebuah proses atau interaksi yang menghasilkan suatu keseimbangan yang harmonis sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang optimum. Syarat utama penciptaan sinergi yakni kepercayaan, komunikasi yang efektif, feedback yang cepat, dan kreativitas.

Saat kita membicarakan Kementerian Keuangan maka kita tidak hanya sedang membicarakan satu institusi yang berkantor pusat di sekitar Lapangan Banteng, lebih dari itu kita sedang membicarakan puluhan ribu pegawai yang ditempatkan di ribuan kantor dari ujung Barat hingga ujung Timur Indonesia. Para pegawai Kemenkeu mempunyai latar belakang yang beragam. Keberagaman tersebut terlihat dari asal daerah, pendidikan, budaya, bahasa ibu, hingga hobi pegawainya. Namun Kemenkeu memandang keberagaman tersebut sebagai sumber daya dalam upaya pencapaian tujuan.

Kemenkeu mencoba untuk mengolah keberagaman tersebut melalui sinergi di antara para pegawai, kantor pelayanan, kantor wilayah, hingga kantor pusat. Pembangunan sinergi bukanlah hal mudah karena dibutuhkan rasa percaya di antara para pegawai. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa terkadang mereka lebih mementingkan kepentingan masing-masing daripada kepentingan bersama. Hal seperti inilah yang menjadi tantangan di Kemenkeu. Namun setiap tantangan yang muncul dapat dihadapi oleh Kemenkeu sehingga sinergi di Kemenkeu semakin baik dari waktu ke waktu.

Visi Kemenkeu untuk menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif di abad ke-21 tentu saja perlu kerja keras dari seluruh elemen. Agar bisa menyatukan seluruh elemen untuk bahu-membahu, perlu kepemimpinan dengan gaya manajemen sinergi. Kepemimpinan jenis ini dapat membangkitkan kepercayaan antarorang di dalam organisasi. Membangun komunikasi yang tidak ditunda-tunda untuk mencegah distorsi pesan serta membudayakan umpan balik yang cepat sebagai pola hubungan yang erat, baik secara vertikal

251Kem

enterian Keuangan

252

Kare

na K

ita G

arda

252

Kare

na K

ita G

arda

maupun horizontal. Pemimpin mendorong pegawai untuk mengenal satu sama lain melalui berbagai aktivitas sosial. Mereka diajak berperilaku baik yang tidak menimbulkan kecurigaan dan kekhawatiran pihak lain akan kehilangan posisi atau kariernya.

Salah satu prinsip sinergi adalah membangun kepercayaan dalam organisasi. Kondisi saling memercayai harus dibangun walaupun memerlukan waktu. Ini penting karena kepercayaan (trust) yang bijak dan cerdas adalah hal yang dapat mengubah sesuatu atau mewujudkan dinamika menuju perubahan yang diharapkan. Dalam organisasi Kemenkeu, kemampuan untuk membangun, menumbuhkan, menjaga dan mengembalikan semua kepercayaan para pemangku kepentingan maupun rekan kerja merupakan kunci sinergi.

Salah satu nilai utama Gerakan Nasional Revolusi Mental juga sejalan dengan semangat sinergi pegawai Kemenkeu, yaitu gotong royong. Terdiri dari bekerja sama, solidaritas tinggi, komunal, berorientasi kepada kemaslahatan, dan kewargaan.

PNS kemenkeu memiliki sangka baik, saling percaya dan menghormati, berkomunikasi dengan sikap terbuka, dan menghargai perbedaan, menemukan dan melaksanakan solusi terbaik, berorientasi pada hasil yang memberikan nilai tambah. Sikap baik sangka ini diterapkan tidak hanya dalam satu unit, tetapi dengan seluruh unit di lingkungan Kemenkeu. Salah satu bentuk sinergi dalam pelaksanaan tugas di lingkungan Kemenkeu adalah adanya SOP-Link yang mengatur pelaksanaan tugas beberapa unit dalam penyelesaian suatu pekerjaan agar tetap harmonis dan sinergis.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada stakeholders, beberapa Unit Eselon I melakukan sinergi guna mengoptimalkan dan mengefisienkan kualitas pelayanan. Sebagai contoh, adalah apa yang dilakukan oleh Ditjen Kekayaan Negara bersama dengan Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, dan Sekretariat Jenderal dalam menyediakan

253Kem

enterian Keuangan

layanan satu atap di bidang perbendaharaan, kekayaan negara, dan keuangan negara lainnya. Layanan satu atap atau yang kemudian dikenal dengan istilah co-location

ini merupakan bentuk sinergi yang dilakukan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada stakeholders Kemenkeu. Saat dimulai pada tahun 2015, co-location dilaksanakan pada 8 Kantor Wilayah (Kanwil) DJKN dan 12 Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Layanan tersebut saat ini telah diperluas menjadi 13 Kanwil dan 38 KPKNL. Program co-location ini merupakan amanah dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 669/KMK.01/2015 Tentang Layanan Bersama terkait Dengan Pelaksanaan Fungsi Perbendaharaan, Kekayaan Negara, dan Keuangan Negara Lainnya Di Daerah, yang kemudian diganti dengan KMK Nomor 834/KMK.01/2016.

Intisari dari sinergi adalah rasa kebersamaan antarpegawai dalam meraih tujuan yang sama. Banyak cara untuk membangun kebersamaan, salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan unit Ditjen Pajak. Ditjen Pajak menciptakan kegiatan rutin yang menjadi wadah bagi pegawai untuk berbagi wawasan yang menunjang pekerjaan sekaligus untuk mengingatkan kembali tentang visi dan nilai organisasi. Kegiatan ini menjadi bagian dari program internalisasi yang dilaksanakan oleh seluruh pegawai Ditjen Pajak yang disebut morning activity. Meskipun formatnya terus mengalami penyempurnaan, fungsi kegiatan ini tetap sama, yaitu sebagai wadah bagi pegawai untuk saling bertatap muka dan mengemukakan pendapat. “Tak kenal maka tak sayang”, ketika pegawai sering bertemu dan saling berbagi cerita motivasi maupun succes story dalam pelaksanaan tugasnya, maka dengan sendirinya rasa kebersamaan terbangun sehingga sinergi akan kuat terjalin.

Berikut adalah potongan kisah bagaimana sinergi menjadi energi utama para PNS Kemenkeu yang senantiasa bersemangat untuk selalu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

253Kem

enterian Keuangan

254

Kare

na K

ita G

arda

Indahnya Kebersamaan

Oleh: Tang Dewi Sumawati, Pegawai DJP

“Alhamdulillah...akhirnya selesai juga,” salah seorang anggota tim melontarkan rasa leganya.

“Eiiit..., besok masih ada lagi,” sahut yang lain.

“Iya... tapi paling tidak separuh target sudah diselesaikan dengan mulus,” kata sang Sekretaris Tim KPP.

Itulah ekspresi dari Tim KPP Pratama ketika sesi terakhir di hari pertama pelaksanaan ICV “DJP Maju, PasTI!” berakhir. Wajah-wajah yang kelihatan lelah dan mengantuk namun tetap ceria terpancar dari para peserta yang sudah mengikuti acara sejak pembukaan di sore hari setelah istirahat dan salat asar hingga di akhir sesi ketika jam dinding menunjukkan pukul 21.50 WIB.

“Wah hebat kawan-kawan kita, walaupun tidak ada kepala kantor mereka tetap tertib, antusias dan semangat.” Kata Sang Ketua Tim sambil berkemas-kemas.

“Iya... ya..., apalagi kalau ada bapak ya? Eh... lagipula kalau dipikir-pikir... sebenarnya apalah kita ini ya Pak? Cuma

255Kem

enterian Keuangan

TOT seadanya, tapi justru mereka yang antusias dan semangat sehingga diskusi dan permainannya menjadi hidup,” sambut salah seorang instruktur sambil mengemasi barang-barang panitia.

“Nah... ini yang luar biasa saat ini, bukan trainer-nya yang bagus, tapi pesertanya yang memang hebat! Jadi trainer-nya tinggal mengarahkan saja,” sahut sang Ketua Tim sambil meluruskan kaki di kursi.

“Memang sih... selama ini ‘kan kita bisa ngerasain, kawan-kawan di kantor kita itu luar biasa perubahannya. Sebagian besar sudah komitmen modern beneran, jadi enak aja kalau diajak kerja,” kata Sekretaris Tim sambil merapikan meja.

“Iya... iya... bener itu... Syukurlah kawan-kawan kita sudah mulai menikmati indahnya modernisasi walaupun masih ada beberapa yang masih belum modern dan masih kurang silaturahminya, mungkin mereka perlu waktu ya?” Sahut instruktur yang lain yang juga sedang berkemas-kemas.

“Yang penting kebersamaannya...,” itulah semangat Tim KPP yang diamanahi untuk melaksanakan ICV kali ini. Dengan persiapan yang sangat singkat, materi ICV yang harus disampaikan kepada peserta juga cukup banyak, ditambah lagi tidak bersama kepala kantor, maka harapan merasakan “kebersamaan” merupakan sesuatu yang realistis dan wajar. Yang terpenting adalah implementasinya kelak setelah balik ke kantor. Kalau “kebersamaannya” sudah didapat, nilai-nilai “DJP Maju, PasTI!” yang terdiri dari profesionalisme, integritas, teamwork, dan inovasi bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi para pegawai dan pastinya akan lebih mudah dilaksanakan karena sudah menjadi karakter, telah masuk ke dalam hati dan bukan hanya teori yang mudah dilupakan.

Acara ini seolah menjadi “oase” bagi sebagian besar peserta yang kala itu sehari-harinya harus menghadapi Wajib Pajak dengan pertanyaan dan muka sinis tentang “GT”. Bermacam-macam pertanyaan yang sering menyakitkan

256

Kare

na K

ita G

arda

hati dan tak kurang memicu kemarahan. Namun, kami tetap mencoba menjelaskan dengan tegas bahwa kami tidak seperti “GT”. Kami adalah orang-orang yang mencintai negeri ini dan yang pasti kami hanya takut kepada Allah SWT.

Beberapa pertanyaan yang sering terlontar dari wajib Pajak seperti, “Oh... ini ya... kantornya Gayus?”

Kalau seperti ini kawan-kawan menjawabnya dengan tegas, “Maaf, Pak, di sini Kantor Pelayanan Pajak, bukan kantornya Gayus, kalau kantornya Gayus di Jakarta... Ada yang bisa kami bantu, Pak?”

Ada lagi Wajib Pajak yang begitu masuk ruangan Seksi Pengawasan dan Konsultasi dan bertemu dengan AR dengan angkuhnya berkata,”Oh... ini ya kawan-kawannya Gayus?”

Kalau yang seperti ini kawan-kawan menjawabnya dengan sedikit sinis karena sudah sebal namun tetap harus menjaga etika kesopanan, “Maaf, Pak... memangnya Bapak kenal ya sama Gayus? Kalau kami nggak kenal tuh Pak... nggak pernah kenalan sama dia dan maaf ya Pak... kami tidak seperti dia...”

Di kesempatan lain sering Wajib Pajak datang dan marah-marah, namun sebenarnya mereka marah karena tidak paham. Pernah salah satu Wajib Pajak yang sedang berkonsultasi dengan AR berucap,”’Kan kalian yang makan uang pajak kami!” Untuk kasus yang semacam itu kami harus menjelaskan secara detail tentang sistem pembayaran pajak yang melalui bank, ATM, atau melalui kantor pos. Kami biasanya menjelaskan dengan tanya jawab.

Bapak selama ini bayar pajaknya di mana pak? Di kantor ini? Tidak ‘kan, Pak? Tadi bapak membayar di bank, kan? Apa pernah selama ini Bapak membayar pajak di Kantor Pajak? Tidak pernah ‘kan, Pak? Lalu coba Bapak jelaskan bagaimana caranya kami makan uang pajak Bapak?”

257Kem

enterian Keuangan

Umumnya mereka tidak bisa menjawab dan terdiam.

Dengan dialog seperti ini biasanya Wajib Pajak menyadari kekeliruannya selama ini, kadang ada yang diam saja kemudian minta maaf. Tidak jarang banyak juga di antara mereka yang berkilah macam-macam, membela diri, dan yang pasti enggan untuk minta maaf. Kalau yang seperti itu kami biarkan saja.

Hampir setiap hari di kala itu kami harus menghadapi respons masyarakat yang luar biasa karena derasnya pemberitaan media massa tentang “GT”. Di lapangan kami harus menghadapi sendiri Wajib Pajak yang seolah berada di atas awan dengan adanya kasus “GT” dan itu kami rasakan sangat melelahkan dan sangat menghabiskan energi. Rasa capek yang kami rasakan bukan hanya secara fisik, namun yang terlebih lagi adalah capek secara psikis.

Pagi yang cerah di hari kedua ICV, acara berlangsung lancar dan para peserta masih tetap antusias dan bersemangat. Di akhir sesi terdapat penampilan dari masing-masing kelompok berupa sandiwara, drama dan lainnya yang merupakan hasil inovasi dari para peserta yang sangat menarik, menyegarkan suasana, dan pastinya memotivasi para peserta untuk mengimplementasikan nilai-nilai “DJP Maju, PasTI!”. Akhirnya acara ditutup oleh Kepala Kantor yang akhirnya menyempatkan diri hadir ke lokasi selepas Rapim dan peserta kembali ke kantor dengan semangat baru.

Dari satu kegiatan ICV ini banyak sekali hal positif yang bisa dirasakan. Sekat-sekat antar seksi atau bagian di kantor, sedikit demi sedikit mulai terkikis, komunikasi antar seksi terjalin lancar, hubungan interpersonal semakin solid, dan para pegawai semakin kompak dalam menghadapi tugas yang semakin banyak dan menantang. Di samping itu tunas-tunas modernisasi mulai tumbuh subur dan semakin mewarnai DJP. Modernisasi yang sudah bergulir bak bola salju sudah tidak bisa dihalangi lagi lajunya, akan terus bergulir, dan akan dirasakan manfaatnya oleh negeri ini.

258

Kare

na K

ita G

arda

Namun perjuangan tidak pernah mudah. Pasti akan banyak halangan dan rintangan yang dihadapi. Namun dengan “kebersamaan”, insya Allah semua rintangan dan halangan tersebut akan lebih mudah diatasi dan diselesaikan. “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.” Dan memang kita harus yakin dengan janji-Nya bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan.

Dalam menjalani proses modernisasi yang sudah memasuki jilid II, yang terpenting kita tidak boleh terburu-buru mau melihat hasilnya, tapi dijalankan dulu prosesnya dengan benar pasti hasilnya akan maksimal. Teringat pesan almarhumah ibunda yang slalu menyemangati anak-anaknya agar tetap bersabar, istikamah menjalani kehidupan yang kadang kala tidak adil. Beliau sealu berpesan, “Wis tho, Nduk, mengko sing becik mesthi ketitik, sing olo ketoro, Gusti Allah ora sare” (sudahlah, Nak, nanti yang benar pasti kelihatan dan yang salah akan nampak, Allah SWT tidak tidur). Untuk itu kita harus merapatkan dan memperbaiki barisan dengan tetap semangat dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan tidak mudah.

Namun perjuangan tidak pernah mudah. Pasti akan banyak halangan dan rintangan yang dihadapi. Namun dengan “kebersamaan”, insya Allah semua rintangan dan halangan tersebut akan lebih mudah diatasi dan diselesaikan. “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.” Dan memang kita harus yakin dengan janji-Nya bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan.

259Kem

enterian Keuangan

Belajar pada Pemeriksa PajakOleh: DJP

30 Oktober 2010

Teman-teman, jangan lupa cek realisasi penerimaan masing-masing ya!” Instruksi atasan yang sudah biasa didengar Bonari setiap pagi sejak dia diangkat menjadi Account Representative (AR) di Seksi Pengawasan dan Konsultasi II KPP Pratama Pematang Siantar.

“Siap, Pak,” jawab Bonari. Segera dia membuka aplikasi Modul Penerimaan Negara (MPN) untuk melihat realisasi penerimaan pajak dari wajib pajak yang diawasinya. Tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya ke layar monitor. Kedua matanya fokus mengamati angka demi angka dalam tabel. Ada angka yang begitu mencolok di layar monitornya, realisasi penerimaan pajak masuk sebesar satu milyar rupiah. Diusapkannya kedua telapak tanggannya ke wajah tanda syukur, dia terlihat begitu gembira pagi itu.

Beberapa bulan sebelumnya...

1 April 2010

Pagi itu Bonari bergegas memasuki ruang kerjanya dan segera menyalakan komputer. Informasi yang disampaikan

260

Kare

na K

ita G

arda

temannya malam sebelumnya membuatnya datang lebih pagi ke kantor untuk memeriksa kebenaran informasi tersebut. Setelah komputer menyala, browser dibuka dan dia segera memilih website kepegawaian DJP yang sudah terdaftar di bookmark-nya. Di bagian atas sebelah kanan website, terpampang informasi baru dengan judul “Pengangkatan dan Pemindahan Account Representative di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak”, dan segera dibukanya file yang berisi informasi tersebut. Fitur search segera diaktifkannya dan diketikkannya namanya. Beberapa detik kemudian namanya ditemukan dalam

file tersebut. ‘Bonari Siagian, Account Representative KPP Pratama Pematang Siantar’

Ketika melihat namanya dalam daftar tersebut, hal pertama yang muncul dalam pikirannya adalah ‘Sanggup nggak ya aku jadi AR?’. Sebuah kekhawatiran yang sama dari beberapa temannya yang sudah lebih dahulu menjadi Account Representative. Kekhawatiran ini biasanya timbul karena para calon Account Representative merasa tidak yakin dengan pengetahuan teknis perpajakan yang dimilikinya. Walaupun sudah lebih dari 10 tahun bekerja di DJP, pengalamannya lebih banyak terkait pengolahan data. Teknis perpajakan jarang disentuhnya selama bekerja.

Meski terasa berat, penunjukan sebagai Account

Representative merupakan hal yang harus diterima oleh Bonari. Sudah menjadi kewajiban seluruh pegawai DJP untuk menaati perintah kedinasan dan bersedia ditempatkan di seluruh Wilayah Indonesia. Walaupun masih merasa kurang mahir dalam pengetahuan teknis perpajakan, dia akan berusaha mempelajarinya sembari menjalankan tugas sebagai Account Representative. Dia yakin bahwa ada banyak pegawai di kantor barunya nanti yang bisa menjadi teman diskusi dan konsultasi.

Dua minggu kemudian...

Bonari memandang ke sekeliling ruang kerja barunya, Seksi Pengawasan dan Konsultasi II KPP Pratama Pematang

261Kem

enterian Keuangan

Siantar. Dia sudah melapor kepada Kepala Belajar Pada Pemeriksa Pajak 252 Kantornya, dan segera diantarkan ke ruangan kerja barunya. Setelah berkenalan dengan rekan kerja barunya dan berdiskusi sejenak dengan Kepala Seksinya, dia memutuskan untuk ke ruang seksi lain untuk bersilaturahmi. Ketika berkeliling, matanya melihat ke papan nama ruangan yang terletak di ujung. Fungsional Pemeriksa, tulisan yang terpampang di papan nama itu. Dia agak ragu untuk masuk ke ruangan itu karena selama ini biasanya fungsional dikenal sebagai orang-orang yang jarang bergaul di kantor. Walaupun demikian, dia memutuskan untuk masuk ke ruangan dan memperkenalkan diri kepada para fungsional. Perkenalannya hanya sebentar saja, karena dia harus segera kembali ke ruang kerjanya dan memulai pekerjaan barunya.

Satu minggu setelahnya, saat makan siang...

Bonari sedang menunggu makanannya datang ketika seseorang yang berseragam sama dengannya memasuki rumah makan tersebut. Bonari segera mengenalinya sebagai Pak Rizaldi, salah satu ketua tim fungsional yang ada di kantornya. Ketika Pak Rizaldi selesai memesan makanan dan melihat sekeliling untuk mencari tempat duduk, dia melihat ke arah Bonari dan berjalan ke arahnya.

“Halo, Bon, makan di sini juga?” Tanya Rizaldi

“Iya, Pak,” balas Bonari.

“Udah dari tadi kau di sini?”

“Baru sepuluh menitanlah, Pak.”

“Udah mesan, kau?”

“Udah, Pak, lagi nunggu ini.”

“Duduk sinilah aku ya, biar sambil ngobrol kita.”

“Silakan, Pak.”

262

Kare

na K

ita G

arda

Tidak berapa lama kemudian, datanglah pesanan mereka. Mereka berdua pun segera memulai makan siang mereka. Sambil makan, mereka melanjutkan perbincangan.

“Jadi gimana, Bon, enaknya jadi AR?”

“Ya, gitulah, Pak, agak susah juga jadi AR ini, apalagi kalau ngomong sama Wajib Pajak. Taulah bapak kan, macam-macam karakter Wajib Pajak ini. Dari yang gampang dikonseling sampai yang bikin kepala awak sakit kalau udah datang ke kantor.”

“Hahaha, namanya juga manusia, Bon, macamlah karakternya itu, yang penting tenang aja, jangan bawa emosi, nggak bagus itu kalau kita ngadapinnya pakai emosi. Awak kan udah lumayan lama jadi fungsional, jadi udah biasa sama yang begitu. Dulu kau di seksi mana sebelum jadi AR?”

“Seksi Pengolahan Data dan Informasi, Pak”

“Oh, pantaslah, jarang kau ketemu Wajib Pajak, jadi masih belum biasa kau. Tenang aja, makin lama nanti biasa kok.”

“Iya, Pak, semoga aja bisa.”

“Kerjaan rutinmu gimana, udah bisa kau?”

“Ya lagi belajarlah, Pak, kalau soal administrasi sih aku udah lumayan paham, tapi kalau soal teknis pajak ini masih banyak aku bingungnya.”

“Ya tanyalah kawan-kawanmu seseksi kalau bingung, atau tanya atasanmu buat membimbing.”

“Udah sih, Pak, cuma karena masih baru masih belum terlalu paham aja.”

“Ingat, kalau kita ngadapin Wajib Pajak, jangan sampai kita nggak ngerti teknis yang lagi dibicarakan, nanti dia anggap remeh kau, susah nanti, gampang kau disetirnya waktu pembicaraan.”

263Kem

enterian Keuangan

“Iya, Pak.”

Selagi mereka berbicara, sebuah pemikiran terlintas di kepala Bonari. Bukankah fungsional itu orang-orang yang notabene sudah ahli dalam teknis perpajakan, karena bidang pekerjaan mereka sebagai fungsional memerlukan pengetahuan teknis perpajakan yang baik untuk membuat suatu ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan mereka, yang tentu saja harus memiliki dalil kuat agar dapat bertahan seandainya mendapat gugatan dari Wajib Pajak. Kenapa tidak belajar dari mereka juga tentang teknis perpajakan?

“ Pak, boleh aku minta tolong?”

“Apa itu, Bon?”

“Boleh aku kalau lagi nggak sibuk atau kalau ada hal yang aku nggak ngerti, aku bisa ke ruangan Bapak untuk konsultasi?

“Ya boleh ajalah, Bon, kenapa rupanya?”

“Nggak, Pak, aku cuman agak segan aja kalau masuk ke ruangan fungsional, takutnya ganggu kerjaan.”

“Alah, yang Kau pikirnya ruangan kami itu sarang singa? Masuk aja Kau, nggak ada yang keberatan.”

“Okelah, Pak, nanti aku main ke sana ya.”

Setelah perbincangan dan makan siang mereka selesai, mereka pun segera kembali ke kantor karena waktu menunjukkan sudah hampir pukul 13.00 siang. Dan sejak hari itu, hampir setiap hari Bonari datang ke ruangan fungsional untuk berbincang dengan Pak Rizaldi ataupun dengan fungsional lain untuk belajar dan berkonsultasi. Setelah sering berbincang dengan para fungsional, Bonari menyadari bahwa para fungsional bukanlah orang-orang yang sulit bergaul. Mereka hanya jarang berkomunikasi dengan pegawai lain karena pekerjaan mereka yang memang membutuhkan fokus dan konsentrasi. Malahan

264

Kare

na K

ita G

arda

dia melihat para fungsional ini sebagai orang-orang yang ramah dan senang bergurau. Dari seringnya dia berkonsutasi dengan para fungsional, pengetahuannya semakin bertambah dan dia pun semakin percaya diri dalam menjalankan pekerjaannya.

10 Oktober 2010

“Bon, ada Wajib Pajak-mu yang lagi diperiksa?” Pertanyaan itu diajukan oleh atasan Bonari ketika sedang berbincang dengan Bonari.

“Kayaknya ada, Pak, saya cek dulu sebentar ya.”

Bonari segera membuka file tempat dia menaruh catatan tentang Wajib Pajak yang ditanganinya. Dia meneliti daftar tersebut untuk beberapa saat.

“Ada beberapa, Pak, ada yang udah diusulin pemeriksaan dari waktu sebelum saya di sini, dan pemeriksaannya lagi berjalan.”

“Coba Kau cek lagi ya, mungkin masih ada potensi yang bisa digali selain dari pemeriksaan”

“Siap, Pak.” Sebelum mulai meneliti, Bonari memutuskan untuk bertanya dahulu kepada pelaksana di Seksi Pemeriksaan, untuk mengetahui fungsional mana yang memeriksa Wajib Pajak yang menjadi pengawasannya. Setelah menerima daftarnya dari pelaksana Seksi Pemeriksaan, diapun segera menelitinya. Setelah meneliti beberapa saat, perhatiannya tertuju pada salah satu nama Wajib Pajak, PT Gunung Sawita, ketua tim pemeriksanya Bapak Rizaldi. Maka diapun memutuskan untuk meneliti Wajib Pajak ini, berhubung dia sudah sering berkonsultasi dengan Pak Rizaldi dan merasa sudah cukup dekat, tentu lebih memudahkan untuk meminta pendapat dari Pak Rizaldi terkait Wajib Pajak tersebut. Tapi sebelumnya, dia memutuskan untuk meneliti Wajib Pajak tersebut lebih dahulu. Dan diapun segera membuka Sistem Informasi Perpajakan Modifikasi (SIPMOD) untuk melihat profilnya.

265Kem

enterian Keuangan

Dari profil tersebut dia mendapat info bahwa PT Gunung Sawita adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri perkebunan, mereka mempunyai pabrik kelapa sawit, tapi tidak memiliki kebun sawit sendiri, statusnya di KPP Pratama Pematang Siantar adalah cabang perusahaan, tapi kantor pusatnya yang berada di Medan hanya mengurusi masalah administrasi perusahaan saja. Setelah melihat profil tersebut, dia pun mulai bertanya-tanya potensi apa yang bisa digali dari sini, mengingat pengetahuannya tentang industri kelapa sawit masih minim. Setelah berpikir beberapa saat, dia pun memutuskan untuk datang ke Pak Rizaldi, dengan asumsi bahwa Pak Rizaldi mungkin bisa memeberikan ide tentang potensi apa yang bisa digali. Maka dia pun bergegas ke ruangan fungsional.

“Siang, Pak, lagi sibuk?” sapa Bonari ketika sampai di meja Pak Rizaldi.

“Biasalah Bon, lagi bikin kertas kerja pemeriksaan. Duduklah kau, ada apa?”

“Gini, Pak, PT Gunung Sawita Bapak yang meriksa kan?”

“Oh iya, kenapa?”

“Aku mau nanya, kalau industri kayak gini potensinya apa ya?”

“Oh, mungkin kau bisa tanya ke mereka tentang TBS kelapa sawit yang mereka beli. Kalau perusahaan kayak begini yang punya pabrik tapi nggak punya kebun, ‘kan mereka belinya dari luar. Nah, nggak semua yang mereka beli itu asalnya dari petani, tapi ada juga yang dari pedagang pengumpul. Di situ ada potensi pajak sebab perusahaan wajib memotong PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul itu. Kalau PT Gunung Sawita ini, dari info yang kudapat, salah satu pemasoknya itu koperasi. Nah, coba kau cek dulu itu.”

“Oke, Pak, saya cek dulu ya, nanti aku ke sini lagi.”

266

Kare

na K

ita G

arda

Bonari pun kembali ke ruangannya dan membuka kembali SIPMOD, membuka profil PT Gunung Sawita dan mengecek data pembayaran dan pelaporan pajak perusahaan tersebut, terutama PPh Pasal 22. Setelah meneliti, ia menyadari bahwa perusahaan itu belum pernah melakukan penyetoran PPh Pasal 22. Ketika dia sedang berpikir untuk menghubungi perusahaan tersebut, tiba-tiba telepon di ruang kerjanya berbunyi. Segera diangkatnya telepon itu.

“Selamat siang, dengan Seksi Waskon Satu, bisa dibantu?”

“Selamat siang, Pak. Bisa bicara dengan Pak Bonari?”

“Iya saya sendiri, ini dengan siapa?” “Saya Herry, Pak, dari PT Gunung Sawita.”

“Oh iya, ada apa, Pak?”

“Besok Bapak ada di kantor? Saya ingin ketemu dengan Bapak, ada yang mau saya konsultasikan.”

“Oh, silakan, Pak. Mau datang jam berapa besok?”

“Mungkin habis makan siang, Pak”

“Baik, Pak, saya tunggu besok.”

“Terimakasih, Pak.” ‘Kebetulan sekali’ kata Bonari dalam hati sambil menutup telepon.

11 Oktober 2010

Herry, pegawai PT Multi Agung yang ditunggu Bonari tiba pada pukul 13.10, sedikit terlambat dari waktu yang dijanjikan. Setelah memasuki ruangan dan menyapa Bonari, dia mengeluarkan beberapa dokumen dari tas, dan menyerahkannya kepada Bonari.

“Ini, Pak, SPT Masa PPh Pasal 21 , Pasal 23 dan Pasal 4 ayat (2) perusahaan kami bulan September 2010, mohon dicek dulu.”

267Kem

enterian Keuangan

“Oh, kenapa nggak langsung dilapor di TPT aja, Pak?”

“Udah biasa kok, Pak, dulu waktu sama AR yang lama, kami selalu minta diteliti dulu sebelum dilapor di TPT.”

“Oh begitu. Ya sudah, saya lihat sebentar ya.”

Bonari meneliti dokumen-dokumen itu selama beberapa menit, setelah itu menyerahkannya kembali kepada Herry.

“Oke, Pak, sudah lengkap semua.”

“Terima kasih, Pak. Saya langsung laporkan di TPT.” “Sebentar, Pak. Sebelumnya saya mau tanya, apakah perusahaan pernah memotong PPh Pasal 22?”

“Nggak pernah, Pak, kenapa ya?”

“Yang saya tahu, PT Multi Agung nggak punya kebun sendiri, Biasanya perusahaan seperti itu beli TBS kelapa sawitnya dari pedagang pengumpul atau sejenisnya. Kalau perusahaan Bapak seperti itu juga, seharusnya perusahaan memungut PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul.”

“Oh, nggak, Pak. Kalau perusahaan kami belinya langsung dari petani, nggak lewat pedagang, Pak.”

“Kalau memang beli dari petani langsung, bisa nggak Bapak minta ke petaninya copy SPPT 105 kebun punya mereka. Kalau memang mereka petani kelapa sawit, pasti mereka punya copy SPPT-nya.”

“Wah, nggak bisa, Pak, susah mintanya ke mereka kalau yang itu, pada nggak mau ngasih biasanya.”

“Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya, Pak, informasinya”

“Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu ya, Pak, mau lapor ke TPT dulu.”

“Silakan, Pak.”

268

Kare

na K

ita G

arda

Setelah pegawai itu berlalu, Bonari kembali berpikir kalau PPh Pasal 22 tadi nggak bisa dijadiin potensi, apakah masih memungkinkan ada potensi lain yang bisa digali. Ia pun memutuskan untuk kembali ke Pak Rizaldi untuk berkonsultasi lagi, dan bergegas ke ruangan fungsional.

“Cemana Bon, dapat dari PT Multi Agung?”

“Nggak, Pak, mereka bilang TBS-nya dibeli dari petani langsung, jadi nggak mungut PPh Pasal 22.”

“Udah kau tanya tentang SPPT petani kelapa sawit tempat mereka beli?”

“Udah, Pak. Mereka bilang nggak bisa minta SPPT ke petani.”

“Oh, ya udah, nanti biar kita periksa aja itu.”

“Kira-kira ada potensi yang lain nggak ya, Pak?”

“Kalau PPN mungkin ada.”

“PPN apa, Pak?”

“Coba kauhitung lagi PPN Masukannya. Berapa yang sudah mereka kreditkan?”

“Kayak gimana itu, Pak? Baru dengar aku.”

“Cobalah kaubaca KMK 575 tahun 2000. Di situ diatur Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Terutang Pajak dan Penyerahan Tidak Terutang Pajak. Intinya gini, Bon. Biasanya perusahaan sawit itu ada penyerahan yang dibebaskan dari PPN. Kalau benar ada, perusahaan nggak bisa dong ngreditin semua PPN Masukkannya, makanya harus dihitung ulang. Coba kau pelajari KMK itu.”

“Gitu ya, Pak. Oke deh, aku cari dulu KMK-nya.”

“Nggak usah, ini aku ada, kukirim aja ke email-mu ya.”

269Kem

enterian Keuangan

“Oh iya, makasih, Pak.” Bonari pun bergegas kembali ke ruangannya dan membuka email untuk mengunduh KMK yang dikirim oleh Pak Rizaldi.

Keesokan harinya, Bonari mulai melakukan analisis PPN PT Gunung Sawita. Dibukanya aplikasi SIPMOD untuk mengambil data Laporan SPT Masa PPN sejak tahun 2004. Dia mulai membuat rekapitulasi semua Pajak Keluaran PT Gunung Sawita. Ternyata memang benar, ada penyerahan yang dibebaskan dari PPN. Sementara, Pajak Masukan seluruhnya dikreditkan.

15 Oktober 2010

“Pak, ini ada surat imbauan pembetulan PT Gunung Sawita, mohon diparaf!” Kata Bonari sembari menyerahkan Surat Imbauan kepada Kepala Seksinya.

“Oh iya, Bon, untuk masa kapan aja imbauannya?”

“Januari sampai dengan Desember 2008, kecuali April, Pak. Soalnya lagi diperiksa.”

“Oh iya, berapa kira-kira potensinya?”

“Menurut hitungan saya sekitar 1 milyar, Pak.”

“Hmmm, bagus.”

Sore harinya surat imbauan tersebut sudah diantarkan kembali ke meja Bonari dan sudah ditandatangani oleh kepala Kantor. Bonari pun segera menelepon ke PT Gunung Sawita.

“Selamat sore, dengan PT Gunung Sawita, bisa dibantu?”

“Selamat pagi Mbak, saya Bonari dari KPP Pratama Pematang Siantar. Apakah saya bisa disambungkan dengan pegawai yang mengurusi pajak di PT Multi Agung?”

“Ditunggu sebentar ya, Pak.”

Tak lama kemudian, suara seorang laki-laki menyapanya di

270

Kare

na K

ita G

arda

telepon.

“Halo, selamat pagi.”

“Selamat pagi, Pak. Saya bicara dengan Bapak siapa?”

“Saya Rudi, Pak.”

“Apakah Pak Rudi yang mengurusi pajak PT Gunung Sawita?”

“Benar, Pak, ada apa?”

“Saya Bonari, AR KPP Pratama Pematang Siantar. Saya yang bertanggung jawab mengawasi pajak perusahaan Bapak. Saya mau menginformasikan imbauan terkait PPN?”

“Oh, masalahnya apa ya, Pak?”

“Terkait pengkreditan Pajak Masukan, Pak. Ada Pajak Masukan yang seharusnya tidak boleh dikreditkan karena terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN.”

“Masa sih, Pak? Selama ini nggak pernah ada masalah dengan PPN.”

“Ketentuannya sudah kami sebutkan di surat pemberitahuannya, Pak. Hari ini akan kami kirim.”

“Lho, tapi selama ini itu nggak pernah dipermasalahkan, Pak, kok sekarang jadi dipersoalkan?”

“Mungkin selama ini, AR sebelumnya belum sempat meneliti PPN-nya, Pak, jadi belum diimbau.”

“Ya sudah deh, Pak, saya pelajari surat imbauan dari Bapak dan saya diskusikan dulu dengan pimpinan saya.”

“Baik, Pak, silakan. Kalau begitu saya tunggu kabarnya ya, Pak. Selamat pagi.”

“Iya, selamat pagi.”

Setelah menutup telepon, Bonari pun kembali ke mejanya

271Kem

enterian Keuangan

untuk mengirimkan surat imbauan melalui faksimile dan ekspedisi pos.

30 Oktober 2010

Setelah meneliti daftar realisasi penerimaan, dia melihat bahwa Wajib Pajak yang melakukan pembayaran itu ternyata PT Gunung Sawita yang diimbaunya tempo hari. Perasaan gembiranya bertambah karena Wajib Pajaknya menepati janji dan usahanya menjadi tidak sia-sia. Segera dia mendatangi ruang kepala seksinya untuk memberitahukan kabar tersebut.

“Pak, di saya ada penerimaan masuk dari PT Gunung Sawita yang kita imbau kemarin. Nilainya sekitar satu milyar.”

“Oh, yang kemarin kau bikin itu ya? Kooperatif banget Wajib Pajak-nya. Bagus juga caramu berkomunikasi dengan WP.”

“Terima kasih, Pak. Mudah-mudahan bisa membantu realisasi penerimaan kantor. Apalagi sekarang sudah dekat akhir tahun dan realisasi kita masih lumayan jauh dari target. Ya sudah, Pak, saya balik ke meja dulu ya.”

“Oke, Bon, makasih ya.”

Sembari berjalan ke mejanya, Bonari berpikir dia juga harus berterima kasih kepada Pak Rizaldi atas informasi yang diberikannya. Setelah dia menyelesaikan pekerjaannya, sebelum istirahat dia segera datang ke ruangan fungsional.

“Siang, Pak Rizaldi.”

“Kenapa, Bon. Kayaknya senang kali kau?”

“Ini, Pak, Wajib Pajak yang kemarin aku konsultasikan ke Bapak masalah potensi PPN-nya itu, akhirnya dia bayar satu milyar dari pembetulan SPT.”

“Oh baguslah, itu dari pembetulan masa kapan aja?”

272

Kare

na K

ita G

arda

“Januari sampai dengan Desember 2008, Pak. Kecuali April, karena lagi diperiksa.”

“Apa kaubilang juga ke dia untuk betulin SPT tahun-tahun sebelumnya?”

“Sudah, Pak. Kemarin aku memang bikin imbauannya untuk tahun 2008 dulu. Yang lain masih mau kuteliti ulang.”

“Baguslah kalau begitu.”

“Iya, Pak. Ngomong-ngomong, makasih ya, Pak, atas konsultasi dan tambahan ilmunya. Kalau bukan karena bapak mungkin nggak bakal ketahuan kalau ada potensi kayak begini.”

“Nggak masalah, Bon, namanya juga kita rekan kerja, saling bantu ‘kan biasa. Lagipula kau ‘kan memang mau belajar, pasti adalah hasilnya kalau kita mau belajar.”

“Iya, Pak. Kalau gitu nggak masalah ‘kan kalau saya tetap sering konsultasi ke sini?”

“Ya nggak masalahlah, macam betul aja kau pakai nanya begitu.”

“Hahaha, makasih, Pak.”

“Sama-sama, Bon.”

Bonari berpikir bahwa dia begitu beruntung bisa belajar dari seorang fungsional pemeriksa. Pengalaman mereka melakukan pemeriksaan telah memperkaya pengetahuan mereka. Tidak tepat rasanya jika dia masih berpikir bahwa pemeriksa pajak itu orang-orang yang jarang bergaul. Kini pikirannya terbuka dan suasana hatinya menjadi lebih baik.

273Kem

enterian Keuangan

Belajar Menjadi Pemenang

Oleh: Lenni Ika Wahyudiasti, Pegawai DJBC

“Ada yang tahu perbedaan antara seorang winner dan loser?”

Suara pengajar Workshop Service Level Agreement (SLA) yang saya ikuti di Pusdiklat Bea dan Cukai siang ini mengejutkan kami, para peserta yang tengah berusaha melawan serangan kantuk di ‘ jam-jam rawan’ begini. Hening. Tak seorang pun berkomentar. Serbuan sang kantuk yang tadi menggila pun mendadak buyar.

Lantaran tak ada yang menjawab, akhirnya sang pengajar kembali berujar, “Perbedaannya adalah ketika menghadapi suatu kesalahan, seorang winner siap mengakui kesalahan atau bersedia menanggung kesalahan, sedangkan seorang loser akan selalu mencari orang lain yang bisa dipersalahkan.”

Uuups, begitukah?

Mendadak saya teringat peristiwa beberapa bulan sebelumnya. Sebuah momen saat saya terlibat dalam ‘insiden kecil’ menjelang penilaian Lomba Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan Tahun 2011 di KPPBC TMP Juanda.

274

Kare

na K

ita G

arda

Adakah saya telah memilih menjadi seorang ‘winner’ saat itu?

***

Hari itu adalah momen mendebarkan buat kami, para pegawai KPPBC TMP Juanda. Ya, kantor kami menjadi wakil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam Lomba Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan Tahun 2011. Sedari pagi seluruh pegawai telah berbenah dan siap menantikan kehadiran tim penilai yang dijadwalkan tiba pada pukul sembilan pagi.

Berminggu-minggu kami mempersiapkan diri menyambut momen penting ini. Pembentukan tim kerja, pembenahan sarana dan prasarana kantor, internalisasi ke seluruh pegawai hingga penyiapan presentasi kepala kantor pada acara puncak penilaian yang akan dihadiri oleh perwakilan pengguna jasa serta instansi terkait di sekitar KPPBC TMP Juanda telah kami lakukan berdasarkan arahan Tim Asistensi dari Bagian Organisasi dan Tatalaksana (OTL) Kantor Pusat DJBC.

Seorang rekan tergopoh-gopoh mendatangi saya yang tengah memeriksa persiapan rekan-rekan di sisi kanan gedung kantor pagi itu.

“Ada apa, Cha?”

“Itu, Mbak,” sahut Icha panik. “Pak Santoso (nama samaran) kok dateng? Dia ‘kan nggak kita undang? Gimana kalau dia bikin heboh pas acara penilaian nanti dengan testimoni miringnya?”

What?!

Belum habis keterkejutan saya atas berita yang dibawa Icha, mendadak sebuah pesan masuk ke ponsel saya. Dari kepala kantor.

“Mbak, barusan Pak Santoso SMS marah-marah ke saya.

275Kem

enterian Keuangan

Protes karena merasa nggak diundang untuk hadir di acara penting hari ini. Dia juga pingin kasih testimoni katanya. Tolong ditangani ya.”

Waduh!

Buru-buru saya menuju aula kantor, tempat puncak acara penilaian akan diadakan. Dari ujung lorong terlihat Pak Santoso, salah seorang pengurus asosiasi pengguna jasa yang sering berurusan dengan kami, tengah berdebat serius dengan panitia penerima tamu.

“Mbak Ika, gimana nih? Pak Santoso marah nggak kita undang,” bisik Bu Wayan yang bertugas menerima tamu.

“Biar saya coba redakan kemarahannya, Bu. Tolong siapkan aja goody bag untuk Beliau,” jawab saya tak kalah pelan.

Sejurus kemudian saya hampiri dan sapa lelaki separuh baya itu, “Selamat pagi, Pak San. Apa kabar?”

“Pagi, Mbak,” tukasnya cepat. “Iki piye to? KPPBC Juanda nggelar acara sepenting ini, kok bisa-bisanya saya nggak diundang?” Lanjutnya dengan nada tinggi. “Apa saya nggak dianggep ada, sehingga nggak dikasih kesempatan untuk ngasih testimoni di acara penilaian nanti?”

Saya tetap berusaha tenang ketika menanggapi protes kerasnya, “Maafkan saya, Pak. Memang saya yang salah. Saya kelupaan mengundang Bapak.”

“Saya udah SMS kepala kantor tadi, Mbak. Beliau saya protes karena nggak mengundang saya di acara ini,” murkanya lagi.

“Bukan kepala kantor yang salah, Pak. Saya yang khilaf. Saking banyaknya agenda yang harus saya tangani, nama Pak San jadi terlewat nggak dikirimi undangan,” dalih saya mencoba menenangkannya. Seram juga melihatnya marah-marah pagi-pagi begini. But, the show must go on! Saya harus bisa menenangkannya. “Kalau Pak San mau marah, sayalah

276

Kare

na K

ita G

arda

orang yang paling pantas Bapak marahi. Bukan yang lain. Sebab, sayalah yang mendapat amanah membagikan undangan. Monggo, kalau njenengan mau protes berat ke saya sekarang,” lanjut saya lagi.

“Wis-wis, Mbak. Saya maafkan kejadian ini,” ujar Pak Santoso akhirnya. “Tapi, lain kali jangan sampai terulang lagi kejadian kayak gini ya?” Pintanya lagi.

“Siap, Pak,” sahut saya cepat. ”Sekali lagi, maafkan kami ya?”

Sekilas saya lihat Pak Santoso mengangguk dan segera memasuki aula sambil menenteng goody bag cantik berisi suvenir cantik, buku profil kantor, janji layanan, kode etik, serta dua buku saku tanya-jawab masalah kepabeanan dan cukai dari kami. Alhamdulillaah, semoga kemarahannya segera menguap, batin saya sambil merapal doa.

Saya tak lagi memperhatikannya karena setelah itu kami segera bersiap menyambut kedatangan tim juri. Sesuatu yang tak terduga terjadi saat tiba sesi testimoni untuk kantor kami dari para pengguna jasa yang hadir.

“Para juri yang terhormat, izinkan saya memberikan testimoni pertama untuk kantor ini….”

Deg. Itu suara Pak Santoso!

Saya tercekat. Jantung saya berdebar tak keruan menantikan kelanjutan kalimatnya. Adakah ia akan memberikan testimoni yang menjatuhkan kami?

“Semula saya sempat pesimis, Kantor Bea Cukai Juanda akan berubah dan mutu pelayanannya membaik ketika ditetapkan menjadi kantor madya tahun lalu. Saya sempat ragu, benarkah Bea Cukai bisa berubah menjadi lebih baik? Namun, seiring dengan perjalanan waktu, ternyata apa yang dilakukan oleh kepala kantor dan segenap jajarannya benar-benar mengubah persepsi saya tentang kantor ini dan DJBC pada umumnya. Dengan kerja keras serta sejumlah kreativitas dan inovasi yang dilakukan,

277Kem

enterian Keuangan

KPPBC Juanda ternyata sanggup membuktikan, mampu berubah menjadi lebih baik dan memberikan pelayanan yang memuaskan pengguna jasa dan masyarakat. Saya setuju sekali bila kantor ini memilih motto SMART (Siap Melayani Anda dengan Responsif dan Transparan), sebab memang demikian yang diupayakan oleh seluruh pegawai. Untuk itulah, pada kesempatan ini saya sampaikan apresiasi setinggi-tingginya untuk seluruh pejabat dan pegawai KPPBC Juanda yang telah memberikan pelayanan luar biasa kepada kami. Semoga kualitas pelayanan yang diberikan dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan. Bravo Bea Cukai Juanda!”

Hati saya meleleh mendengarnya. Tak pernah terlintas sedikit pun di benak saya bahwa Pak Santoso—orang yang selama ini kami anggap amat vokal dan kami prediksi bakal memberikan testimoni miring lantaran hobi protesnya dalam setiap kesempatan berinteraksi dengan kami—akan memberikan testimoni luar biasa untuk kami. Orang yang selama ini kami khawatirkan akan ‘merusak’ acara kami, justru ‘menolong’ kami dengan testimoni terbaiknya!

Jangan Menilai Buku dari Sampulnya!

Rasa-rasanya benar pepatah Barat yang berujar ‘Don’t judge a

book by its cover!’. Jangan menilai buku dari sampulnya! Kita tak boleh menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya. Ada banyak hal yang harus kita ketahui dan kenali dari seseorang sebelum kita memberikan penilaian tentangnya.

Kuncinya adalah ‘berprasangka baik’. Saya yakin, apapun agama yang kita anut, pasti mengajarkan kepada kita agar senantiasa berprasangka baik kepada siapapun. Tak heran bila dalam ilmu hukum pun dikenal asas praduga tak bersalah sebagai perwujudan dari ajaran ‘berprasangka baik’ kepada orang lain, bahkan kepada seorang yang didakwa melanggar hukum sekalipun!

Lalu, bagaimana dengan nilai moral ‘berprasangka baik’ di institusi kita?

278

Kare

na K

ita G

arda

Nilai moral yang satu ini ternyata dijabarkan pula dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011 tentang Nilai-Nilai Kementerian Keuangan. Dalam keputusan tanggal 12 September 2011 tersebut disebutkan bahwa memiliki sangka baik, saling percaya, dan menghormati merupakan perilaku utama nilai SINERGI, nilai ketiga dari lima nilai moral yang dijunjung tinggi Kementerian Keuangan.

Hal ini menunjukkan bahwa perilaku ‘berprasangka baik’ memang ‘wajib ada’ di setiap sendi kehidupan. Tak terkecuali di Kementerian Keuangan. Sebagai pegawai DJBC yang notabene bagian dari Kementerian Keuangan, kita dituntut untuk senantiasa berprasangka baik kepada semua pihak, tanpa mengabaikan pengawasan dan kewaspadaan. Dengan memiliki persangkaan baik, kita tidak akan menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya. Artinya, siapapun yang datang dan membutuhkan pelayanan kita—tidak peduli apakah dia rapi ataupun belum mandi—akan kita layani dengan pelayanan terbaik yang bisa kita berikan.

Namun, hal sebaliknya berlaku ketika kita melayani masyarakat. Kita tak boleh memberlakukan prinsip ‘Don’t judge a book by its cover!’ kepada mereka yang tengah berinteraksi dengan kita. Artinya, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk mengabaikan penampilan kita ketika mereka berhadapan dengan kita. Oleh karena itu, kita wajib menciptakan kesan baik saat mereka berinteraksi dengan kita untuk pertama kalinya. Kita harus benar-benar memperhatikan penampilan saat melayani pengguna jasa. Perhatikan kebersihan diri dan pakaian, kerapian meja dan ruang kerja, pun cara berkomunikasi kita saat menyampaikan penjelasan!

Mengapa?

Sebab, penampilan yang bersih dan rapi akan mengundang persepsi baik dari pengguna jasa. Berkomunikasi dengan sikap assertive akan membuat nyaman pemangku

279Kem

enterian Keuangan

kepentingan yang menemui kita. Sikap hangat dan responsif akan memberikan nilai plus pelayanan kita yang berdampak pada perbaikan citra institusi secara keseluruhan.

Demikian halnya dengan insiden ‘tak diundangnya Pak Santoso yang terkenal vokal’ dalam momen penting KPPBC Juanda tadi. Bisa jadi keputusan tak mengundangnya tersebut adalah langkah keliru. Sebuah keputusan yang berawal dari ketakutan kami menerima ‘kritikan pedas’ yang dikhawatirkan menjatuhkan perolehan nilai kami dari tim juri. Sebuah kebijakan yang bermula dari keengganan untuk menerima ‘masukan’ dari orang yang kami vonis sebagai orang yang amat vokal dan acapkali mengundang perdebatan.

Adalah keliru bila kita tak berani menerima kritik dan saran. Adalah hal merugikan bila kita tak mau berbesar hati menampung masukan. Kita butuh bersinergi dengan siapapun menuju kesempurnaan kinerja. Segala bentuk saran dan kritikan amat dibutuhkan DJBC untuk menjadikan institusi ini terkemuka sebagaimana visi yang telah digadang-gadang. Karenanya, selain integritas dan profesionalisme, SINERGI menjadi salah satu kunci pencapaian visi. Bagi saya, bersinergi sama artinya dengan suatu ‘border management ’ yang bukan hanya bisa diterjemahkan sebagai pengelolaan perbatasan, tetapi juga sebagai seni mengelola segala bentuk batas/sekat yang ada, termasuk friksi dengan para pengguna jasa. Bukankah selain dijabarkan sebagai membangun dan memastikan hubungan kerja sama internal yang produktif, SINERGI juga diartikan sebagai membangun dan memastikan kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan?

Menjadi Pemenang atau Pecundang?

Di awal tulisan ini, telah saya sampaikan bahwa seorang pemenang (winner) adalah orang yang siap mengakui kesalahan yang terjadi, sedangkan seorang pecundang (loser) akan selalu mencari ‘kambing hitam’. Dalam insiden kecil di

280

Kare

na K

ita G

arda

atas, saya memang berupaya menyelesaikan masalah dengan ‘pasang badan’ sebagai orang yang patut dipersalahkan. Saya sodorkan diri sebagai sasaran kemarahan Pak Santoso dengan mengakui bahwa sayalah penyebab ketidaknyamanan yang ia terima. Padahal bila diusut-usut, sejatinya saya tak salah bila tak mengundang Pak Santoso, karena hasil rapat panitia memang memutuskan ia tak diundang pada hari ‘H’. Pak Santoso pun tak bisa dibilang keliru, karena kenekatannya hadir justru bermula dari niat tulusnya untuk memberikan testimoni terbaik bagi KPPBC Juanda yang sayangnya tak terpikir oleh kami lantaran kami terlanjur ‘tak berbaik sangka’ kepadanya. Barangkali satu-satunya ‘hal keliru’ hanyalah panitia sama sekali tak memperhitungkan kenekatan Pak Santoso hadir di hari ‘H’. Cuma itu.

Maka, bila kemudian saya berinisiatif ‘mengaku salah’, niat saya hanyalah mencari solusi agar Pak Santoso tak ‘mengamuk’ lagi. Mencari jawab agar kekecewaan pria berkacamata itu terobati sekaligus memperbaiki hubungan kami—KPPBC TMP Juanda—dengan pihak asosiasi yang digawanginya. Bagaimanapun caranya!

Alhamdulillah, ternyata langkah solutif itu bisa pula disebut sebagai implementasi nilai PELAYANAN yang tercermin dalam dua perilaku utamanya, yaitu ‘melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan’ serta ‘bersikap proaktif dan cepat tanggap’. Sikap ‘pasang badan’ yang saya lakukan ternyata dapat dikategorikan sebagai sikap proaktif dan cepat tanggap menghadapi komplain pengguna jasa. Pun tergolong sebagai bentuk respons yang berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan. Bukankah dengan ‘mengakui kesalahan tak mengundang’ Pak Santoso kemudian mempersilakannya hadir dan bertestimoni sesuai harapannya, sama artinya dengan melayani Pak Santoso hingga terpuaskan keinginan bertestimoninya?

Belajar bersikap menjadi seorang pemenang melalui respons

281Kem

enterian Keuangan

cepat tanggap tadi ternyata berbuah manis. Tanpa diduga, lelaki separuh baya itu kemudian memberikan apresiasi luar biasa untuk kinerja KPPBC Juanda. Adakah yang pernah mengira testimoni melegakan itu bakal terlontar dari pengurus asosiasi nan vokal sepertinya?

***

Kenangan tentang ‘insiden kecil’ itu plus materi workshop SLA yang saya terima siang ini menyadarkan saya bahwa peran sebagai pemenang atau pecundang adalah pilihan. Dan bersikap kstaria mengakui kesalahan —termasuk kelalaian yang tak diperbuat— hanyalah sebagian kecil dari kriteria seorang pemenang. Masih banyak kriteria pemenang yang dijabarkan oleh pengajar workshop siang ini.

Kantuk saya sudah sedari tadi pergi tanpa permisi. Kembali saya seriusi ulasan sang pemateri. Seorang pemenang bisa melihat jawaban di setiap masalah yang dihadapi, sedangkan pecundang hanya melihat masalah dalam setiap jawaban yang tersaji. Seorang pemenang akan melihat manfaat dari sebuah proses perubahan, sementara si pecundang hanya akan melihat sisi yang sakit dan melelahkan!

Waktu terus melaju dan sejarah pun siap mencatat para pembaharu. Akan ada ketidaknyamanan ketika kita menjatuhkan pilihan menjadi seorang pemenang, bukan pecundang. Namun, bila kita enggan keluar dari zona nyaman, akankah kita tetap bersikukuh tak melakukan perubahan? Takkan ada kenyamanan di zona tumbuh dan tak ada pertumbuhan di zona nyaman. Karenanya, mari belajar menjadi seorang pemenang dalam proses perubahan kebaikan institusi kita dan jangan pernah izinkan sejarah mencatat kita sebagai seorang pecundang!

Selamat berjuang menjadi seorang pemenang! Kita bisa!

282

Kare

na K

ita G

arda

Yes, Sir, I’m Casman, Member of Cast

Oleh: Casman, Pegawai DJBC

Mutasi dan promosi adalah kata ajaib yang selalu mampu menggoncangkan stabilitas hati setiap pegawai Bea dan Cukai, menghancurkan setiap rencana yang sudah tersusun, menguras setiap rupiah yang sudah dikumpulkan sedikit demi sedikit, dan tentunya memisahkan jarak dengan orang-orang yang kita cintai. Minimal itulah yang terlintas dalam pikiran sebagian besar pegawai Bea dan Cukai termasuk aku, seorang pegawai Bea dan Cukai yang harus meninggalkan kantor lamaku di Jakarta, KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok, menuju ke KPPBC TMP B Tanjungpinang. KPPBC yang menjadi kantor baruku, tempat di mana aku harus mengabdikan diriku sebagai seorang Kepala Subseksi Kepatuhan Pelaksanaan Tugas Pelayanan dan Administrasi. Hmm. Nama jabatan terpanjang yang pernah kutemui.

Di Tanjungpinang aku hidup sendiri. Hidup sebagai Bulok alias Bujangan Lokal harus kujalani karena proses perpindahan sekolah ketiga anakku yang masih duduk di bangku SD mengalami sedikit masalah sehingga akhirnya mereka bertiga harus tetap bersekolah di Jakarta bersama sang bunda. Di sini aku mencoba bersinergi dengan para ‘buloker’ lainnya dengan mengembangkan bermacam hobi

283Kem

enterian Keuangan

dan beraneka kegiatan. Kami pun mencoba mengisi waktu yang terus bergulir tanpa henti. Tetapi hal itu tak bisa membuatku mengisi kekosongan hari-hariku dan hatiku. Semua kegiatan yang dilakukan teman-teman ‘buloker’ lain menurutku hanya membuang waktu tanpa manfaat yang jelas, kegiatan yang menurutku dilakukan hanya untuk mengusir kegundahan yang terjadi sambil menunggu hadirnya UP.9 selanjutnya.

Terjun bebas. Itulah yang terjadi pada semangatku yang setiap waktu semakin berkurang seperti berkurangnya trombosit pada penderita demam berdarah. Drop, drop, and drop. Kekecewaan dan amarah yang tumbuh dalam kondisi itu menjadikan diriku sebagai seorang reaktor yang setiap langkah dan kinerjanya sangat diperngaruhi oleh lingkungan. Pada saat lingkungan bergerak lamban dan tidak mau memperbaiki dirinya maka begitulah aku adanya.

Eits tunggu… Itu dulu!

Dimulai dengan menjalankan tugas pendataan kompetensi pegawai secara menyeluruh ke setiap sudut wilayah di pulau Bintan ini dan bertemu dengan semua pegawai Bea dan Cukai di Kantor Tanjungpinang ini, kutemukan titik terang bahwa aku bisa melakukan sesuatu yang baik di sini. Aku bisa bermanfaat, dan yang pasti aku pun mulai merasakan bahwa kepergianku ke Tanjungpinang ini adalah karena aku orang yang terpilih, bukan terbuang. Jadi, aku harus memiliki semangat dan kinerja tinggi seperti harapan instansiku.

Aku melihat bahwa di tempat baruku ini, yang sebagian besar didominasi para senior, banyak kompetensi dan pengetahuan yang bisa aku sharing. Sesuatu yang dianggap biasa saja di kantor lamaku, menjadi lebih berguna di sini karena aku berbagi dengan teman-teman yang memang membutuhkannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Aku bertekad akan menerapkan semangat, pengetahuan, cara kerja, dan semua kebaikan yang pernah kudapatkan dari ‘Pesantren KPU Tanjung Priok’ di tempat ini. Dengan

284

Kare

na K

ita G

arda

nada bergurau, sambil tersenyum aku pun berkata, “Kalau aku tidak bisa pindah ke Priok, maka Priok yang akan aku pindahkan ke sini.” Dan secara riil banyak kegiatanku nantinya adalah hasil copy-paste dari kegiatan-kegiatan yang pernah kuikuti di KPU Tanjung Priok, tetapi belum pernah diadakan di sini.

Alhamdulillah. Semangatku telah kembali. Kembali berusaha menjadi lebih baik seperti motto yang selalu kuucapkan, “Trying to be better. Always.” Aku mulai memfokuskan diri pada dua hal yaitu peningkatan kompetensi para pegawai di kantor ini dan membantu hal-hal yang diperlukan dalam rangka perubahan menjadi kantor madya. Atau, dengan kata lain membantu memantaskan kantor ini menjadi kantor madya dengan segala tuntutan dan perubahannya.

Aku sadar bahwa kemampuanku sangat terbatas, tetapi aku berusaha agar semangatku tidak terbatas. Kemampuan dan pengalaman yang kumiliki pun sedikit, tidak sehebat teman-teman dan seniorku yang lain, tetapi aku bertekad untuk berbagi ilmu yang sedikit ini dengan yang lain, agar sesuatu yang sedikit bisa menjadi lebih bermakna. Bukankah air dan makanan yang sedikit itu lebih terasa nikmatnya bila kita berbagi dengan orang yang membutuhkan, dibandingkan dengan makanan dan minuman yang hanya terdiam di sebuah lemari etalase yang indah?

Alhamdulillah aku memiliki atasan dan kepala kantor yang memberi dukungan penuh atas implementasi ide-ide yang ada di otakku. Bahkan, mereka akan memberi bantuan yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya agar setiap kegiatan dapat berjalan lancar dan efektif. Satu pesan penuh makna yang selalu kuingat dari kepala kantorku adalah kalimat ”Bekerjalah di atas rata-rata!”. Tak pelak, pesan inilah yang terus kubawa dalam setiap langkahku untuk selalu menjadi lebih baik dan bekerja di atas rata-rata. Aku pun mulai mencoba tampil dalam kegiatan-kegiatan internal dari

285Kem

enterian Keuangan

posisi sebagai MC sampai menjadi presenter.

Dalam setiap kegiatan yang akan kulaksanakan, otomatis selalu terbersit dalam pikirku sebelumnya, apa yang membuat kegiatan ini bisa menjadi suatu kegiatan yang di atas rata-rata atau spesial dari yang biasa ada di sini. Sebagai contoh, dalam presentasi yang umum digunakan di kantor ini adalah presentasi dengan powerpoint. Aku mulai berpikir apa yang digunakan untuk presentasi selain powerpoint? Setelah beberapa waktu aku mencari dan mempelajarinya, aku memperkenalkan suatu program presentasi yang lain yaitu PREZI dengan multimedia berupa video dan foto sebagai bumbunya. Video dan foto yang juga diusahakan belum pernah diperlihatkan di sini, biasanya video dan foto motivasi yang lucu dan bagus. Mungkin program ini sesuatu yang sudah biasa di kantor-kantor besar lain, tapi di sini hal itu cukup unik. Setelah kugunakan maka program tersebut aku bagi dengan pegawai lain yang berminat mempelajarinya.

Setelah melewati beberapa kegiatan, kulihat mulai tampak semangat dan apresiasi yang besar dari para pegawai untuk sesuatu yang baru, unik dan lebih baik di kantor ini. Aku pun berpikir untuk memberi pelayanan yang lebih ke para pegawai dan berbagi sesuatu hal yang lebih lagi. Dengan kemampuanku saat ini kusadari betul bahwa aku tidak bisa sendiri melakukannya. Aku harus punya teman yang seide dan sevisi yang mau bersama-sama membangun kantor ini lebih baik dari sisi kompetensi dan motivasi.

Aku pun mulai mencari teman seperjuangan, hingga akhirnya kutemukan tiga orang pemuda yang memiliki semangat besar untuk maju. Tidak hanya bersemangat ingin belajar banyak ilmu dan keahlian, tetapi mereka juga memilki semangat yang tinggi untuk berbagi ilmu dan pengetahuan. Mereka adalah ADI (Agung, Dovan, dan Iedfi). Akhirnya kami pun bersepakat untuk membuat suatu forum yang berfungsi sebagai wadah saling berbagi pengetahuan dan keahlian antarpegawai Bea dan Cukai di

286

Kare

na K

ita G

arda

Tanjungpinang.

Setelah proses pencarian dan pembahasan bahkan lelang di beberapa Grup WA dan BB, disepakati nama tim ini adalah Customs Ability Sharing Team atau disingkat menjadi CAST. Aku ditunjuk sebagai koordnator utama tim, Agung sebagai koordinator bidang IT, Dovan koordinator di bidang bahasa, dan Iedfi sebagai koordinator bidang multimedia. Walaupun sudah terbentuk beberapa koordinator, secara kerja kami tetap terus berkolaborasi agar hasil yang dicapai maksimal. Dan seiring waktu kami mendapat semangat baru dengan bergabungnya adik-adik baru yang masih On

the Job Training dengan beragam keahlian mereka.

Kesibukan mulai menjalar dalam kehidupanku, tapi semangatku tak akan surut. Status ‘bulok’ yang dulu memperberat hidupku, mulai kunikmati karena aku bisa mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Kesibukan juga yang membuatku memilih tinggal di salah satu ruangan kantor agar dapat dengan mudah menyelesaikan tugas-tugasku di malam hari dan mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan tim. Aku tetap bersemangat dan harus terlihat selalu bersemangat karena aku harus menjaga semangat anggota timku.

Untuk menjaga semangat mereka, aku selalu berpesan bahwa semua kegiatan yang kita lakukan, tolak ukurnya bukan berapa banyak peserta yang hadir, tetapi berapa banyak pengetahuan yang kita dan pegawai lain dapat setelah kegiatan itu berakhir. Jadi, apabila ada suatu kegiatan dan hanya kita berempat saja yang hadir itu bukan suatu kegagalan, selama kita sendiri dapat mengambil manfaat yang maksimal dari kegiatan tersebut. Alhamdulillah mereka memahami hal itu dan kian bersemangat menjalaninya.

Pada saat perkenalan tim, aku minta ADI untuk mempresentasikan bidangnya masing-masing. Dan wow! Mereka dapat dengan lugas mempresentasikannya di depan para pegawai yang notabene lebih senior, pangkat

287Kem

enterian Keuangan

dan jabatan lebih tinggi dan kemampuan yang lebih hebat! Hal itu mendapat apresiasi langsung dari Kepala Seksi PLI yang dengan tegas menyatakan kekagumannya dan segera berencana membuat suatu kegiatan yang ‘memaksa’ setiap pegawai untuk berani berbicara di depan umum dan menyampaikan presentasi. Prinsipnya, kalau ‘anak-anak kecil’ ini saja bisa seperti itu, pasti yang lain juga bisa. Kulihat guratan semangat tergores jelas di wajah para pegawai yang hadir saat itu, semangat untuk maju, berkembang dan menjadi lebih baik lagi.

Bravo, guys!

Saat yang ditunggu pun tiba yaitu acara pertama mereka. Bidang bahasa membuat kegiatan perkenalan dalam bahasa Inggris yang diberi nama “Let’s Speak Up”. Mereka terlihat agak gelisah dan khawatir akan jumlah pegawai yang mau menghadiri acara ini lantaran meski waktu yang dijadwalkan telah lewat dari rencana, belum satu pun pegawai yang datang. Kembali kuingatkan mereka bahwa walaupun kami berempat, kami ‘kan tetap bergerak dengan semangat yang sama.

Akhirnya tanpa kami duga, 20 kursi yang kami persiapkan dalam formasi lingkaran kecil tidak hanya terisi penuh, tetapi kami pun harus menambah 12 kursi lagi sehingga menjadi lingkaran besar. Tampak begitu antusiasnya para peserta untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Apresiasi datang dari semua peserta terutama dari kepala kantor. Beliau berharap bahwa kegiatan seperti ini dapat diadakan secara rutin. Semua senang. Kami bahkan lebih senang lagi karena wajah-wajah bersemangat para pegawai membuat semangat kami kian bertambah.

Minggu selanjutnya giliran bidang IT yang membuat pelatihan mengenai beragam hal yang berhubungan dengan email dan sosial media. Peserta yang hadir tidak banyak. Hanya sekitar 15 orang. Menarikya, peserta dari pegawai kebanyakan justru ibu-ibu yang berumur di atas 50 tahun penuh semangat. Mereka pun tersenyum lebar ketika

288

Kare

na K

ita G

arda

selesai dan akhirnya mampu membuat email dan sosial media. Pengetahuan yang mungkin dianggap kecil, namun amat bermanfaat bagi orang yang tepat. Adapun kegiatan tim multimedia berupa lomba fotografi kami tunda karena baru akan kami laksanakan pada saat peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia.

Setelah kegiatan berjalan lancar, kami berempat mulai dipercaya untuk membantu kegiatan-kegiatan resmi internal kantor. Melalui sinergi dengan unit PLI, kami pun mulai membuat sesuatu yang lebih besar. Kami menggagas dan mengemas acara “Motivation Day” dengan format baru. Kami pun membuat rangkaian acara Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, mulai dari pembuatan banner, beraneka lomba, seperti Customs Tanjungpinang Idol, Customs Tanjungpinang Standup Comedy, Lomba Foto dan Lomba Pembuatan Banner. Rangkaian acara tersebut kami tutup dengan agenda bertajuk “Kedai Anti Korupsi”. Sesuatu yang berbeda yang belum pernah ada di sini.

Akhir tahun 2013 tim pun membantu menyelenggarakan acara coffee morning bertema “Refleksi Akhir Tahun KPPBC Tipe Madya Pabean B Tanjungpinang”. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut kami mencoba menayangkan video yang kami buat sendiri dengan program Adobe

Premiere Pro yang saat itu belum mahir kami lakukan dan belum kami miliki pula programnya. Namun demikian, dengan penuh semangat, kami coba menyelesaikannya bersama-sama dalam waktu dua hari. Mungkin hasilnya bukan yang terbaik atau seperti video bikinan tim profesional, tetapi minimal kami sudah melakukan sebuahn langkah maju kendati baru selangkah.

Banyak yang kami dapat dari rangkaian kegiatan yang kami lakukan bersama. Ilmu pengetahuan, keterampilan, keahlian, kebersamaan, senyuman, kesabaran dan tentunya semangat yang selalu terjaga. Di sini aku belajar bahwa sesuatu yang kecil itu tidak selalu kecil bila kita berikan pada orang yang tepat. Aku yakin bahwa setiap

289Kem

enterian Keuangan

orang pasti punya kelebihan yang bisa diberikan ke orang lain. Tergantung bagaimana orang tersebut mau menggunakannya. Di sini aku banyak belajar. Belajar untuk bersyukur, belajar untuk menerima dan diterima, belajar untuk melakukan yang terbaik dari waktu ke waktu, belajar bertahan dan belajar untuk memulai bergerak.

Aku akan terus menjaga agar semangat yang sudah benderang tidak lagi padam, kekompakan, dan kebersamaan akan terus melekat, kompetensi dan kemampuan maju terus ke depan, dan sikap terbaik ‘kan selalu merapat pada kebenaran. Hanya itulah yang bisa dan akan kulakukan. Hanya itulah yang ku punya dan ‘kan kuberikan. Semua itu karena aku mencintai negara ini, aku mencintai instansiku, aku mencintai kantorku, aku mencintai teman-temanku dan aku bertanggung jawab atas cintaku pada mereka. Aku dan timku akan terus bergerak mewujudkannya. Aku bangga bekerja bersama anggota timku ini. Dan akan kujaga tim ini dengan baik, karena tim adalah bagian dari diriku dan aku bagian dari tim.

“Yes, Sir, I’m Casman Member of Customs Ability Sharing

Team (CAST)”, yang akan terus berusaha melakukan yang terbaik, berusaha menjadi lebih baik dan akan terus berusaha “Bekerja di Atas Rata-Rata”.

Aku akan terus menjaga agar semangat yang sudah benderang tidak lagi padam, kekompakan, dan kebersamaan akan terus melekat, kompetensi dan kemampuan maju terus ke depan, dan sikap terbaik ‘kan selalu merapat pada kebenaran.

290

Kare

na K

ita G

arda

Sepenggal Mozaik Pangkalan Sarana Operasi Pantoloan

Oleh: RM Agus Ekawidjaja, Pegawai DJBC

Aku masih berdiri di dermaga Lhoktuan, memandangi satu per satu kapal yang berlabuh rapi di Teluk Bontang, lembut bergoyang searah arus laut Selat Sulawesi. Di kejauhan tampak asap putih mengepul lembut dari cerobong PT Pupuk Kaltim menandakan produksi pupuk urea, ammonium nitrate, dan produk turunannya sedang berlangsung. Pabrik Pupuk Kalimantan Timur adalah pabrik penghasil pupuk urea terbesar di wilayah Timur Indonesia. Amis hawa laut menerpa wajahku, membawa langkahku mendekati bolder yang berbaris rapi sepanjang dermaga tempat ditambatkannya tali-temali kapal saat bersandar. Aku pun duduk di atas bolder, Masih menatap permukaan laut yang mengemas seiring matahari memasuki peraduannya.

Suasana sore di dermaga ini menuntun ingatanku saat bertugas di Pangkalan Sarana Operasi (PSO) Tipe B Pantoloan, sebuah UPT yang berfungsi memberikan dukungan penyediaan sarana patroli laut, guna mendukung pelaksanaan tugas pengawasan di wilayah laut Sulawesi dan Kalimantan Timur. Merupakan kebanggaan tersendiri dapat bertugas dengan para awak kapal yang memiliki integritas tinggi di sana.

291Kem

enterian Keuangan

Masih segar di ingatanku pada tahun 2008, tahun kedua aku menjabat sebagai Kepala Seksi Nautika, kapal patroli BC 7001 yang dinakhodai Andi Ansar Pandita dan Komandan Patroli Semtje Takasihaeng berhasil menggagalkan penyelundupan Pakaian bekas sebanyak 2200 ballpress, yang diangkut oleh kapal kayu berjenis pinisi. Kepala Kanwil DJBC Sulawesi saat itu, Bapak Teguh Indarayana datang langsung ke Pangkalan Pantoloan untuk melakukan press release dan memberikan penghargaan kepada awak kapal Patroli BC 7001 atas prestasi tersebut.

Hal yang membuat aku semakin bangga terhadap mereka adalah cerita sang nakhoda. Ketika kapal penyelundup akan digiring ke pangkalan Pantoloan, nakhoda kapal penyelundup sempat menawarkan imbalan sejumlah uang yang sangat besar nominalnya jika kapal pinisi tersebut dilepaskan. Tetapi nakhoda dan awak kapal patroli dengan tegas menolaknya dan tetap membawa kapal tangkapan tersebut ke Pangkalan Pantoloan. Sebuah pembuktian tingginya integritas yang dimiliki para awak kapal patroli, walau di tengah laut jauh dari pengawasan tetapi komitmen awak kapal patroli dalam memberantas penyelundupan tetap dijunjung tinggi.

Hal lain yang membuat awak kapal patroli memiliki added

values dibandingkan pelaksana pemeriksa lainnya adalah sikap profesionalisme mereka dalam melaksanakan tugas. Seorang awak kapal patroli harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengoperasikan kapal patroli yang terdiri dari beberapa sistem, seperti sistem navigasi, komunikasi, kelistrikan, propulsi, dan masih banyak lainnya. Mereka juga harus memiliki kondisi fisik yang prima serta mental juang yang tinggi karena medan tugas mereka di laut amat berat, dengan kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi, kadang tenang tetapi tak jarang ombak disertai angin yang menderu hebat. Selain hal tersebut, syarat mutlak yang harus dimiliki seorang petugas Bea dan Cukai adalah pengetahuan tentang peraturan kepabeanan cukai dan tata laksana pemeriksaan sarana pengangkut.

292

Kare

na K

ita G

arda

Pada tahun 2007 jumlah awak kapal patroli hanya 76 orang saja dan baru seperempatnya yang telah mengikuti diklat DTSD Kepabeanan Cukai. Namun profesionalisme para awak kapal patut dibanggakan karena Pangkalan Sarana Operasi Tipe B Pantoloan selalu mampu menyiapkan kapal patroli yang laik laut beserta awak kapalnya untuk melaksanakan tugas patroli rutin Kanwil Sulawesi maupun patroli BKO Kanwil Kalbagtim dengan rata-rata waktu patroli selama 30 hari untuk setiap perintah patroli. Pelayanan yang diberikan Pangkalan Sarana Operasi Pantoloan berupa penyiapan kapal patroli kepada Kanwil Sulawesi, Kanwil Kalbagtim dan Kanwil Maluku dan Papua, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Pada bulan Februari tahun 2010, kapal patroli BC 5001 ditunjuk untuk melaksanakan tugas BKO Kanwil Kalbagtim ke wilayah perairan Tarakan dan Nunukan. Nakhoda dan awak kapal patroli BC 5001 telah berkumpul dan melakukan rapat terakhir untuk menentukan waktu keberangkatan dan disepakati waktu yang tepat bertolak dari pangkalan pada pukul 22.00 WITA. Pada waktu yang telah ditentukan, kapal patroli pun lepas tali dari dermaga. Namun baru sekitar 45 menit keberangkatan, diketahui bahwa motor penggerak utama kiri mengalami masalah dan nakhoda pun memohon izin untuk sandar di dermaga Donggala guna melakukan pemeriksaan dan perbaikan. Setelah dilakukan pemeriksaan dan perbaikan, disimpulkan bahwa kerusakan tidak dapat diperbaiki oleh awak kapal karena keterbatasan peralatan dan suku cadang. Karena itulah, aku pun memerintahkan agar kapal kembali ke dermaga PSO Pantoloan.

Tepat pukul 02.00 WITA kapal patroli BC 5001 kembali tambat di dermaga. Pada pukul 07.30 WITA Kasi Nautika, Nakhoda BC 5001, KKM dan teknisi darat melakukan rapat membahas kerusakan serta mencari alternatif pemecahan bila kerusakan tidak dapat diperbaiki. Rapat memutuskan agar kami tetap dapat memberikan pelayanan kepada Kanwil Kalbagtim. Kendati demikian, bila hingga pukul

293Kem

enterian Keuangan

12.00 WITA siang kerusakan tidak dapat diperbaiki maka akan dilakukan penggantian kapal patroli. Pemecahan masalah dilakukan secara komprehensif. KKM dan teknisi melakukan perbaikan mesin, nakhoda menyiapkan mental awak kapal patroli agar selalu bersemangat, sedangkan Seksi Nautika menyiapkan kapal dan awak kapal patroli pengganti. Akhirnya kapal patroli BC 5003 diberangkatkan sebagai pengganti kapal BC 5001 yang mengalami kerusakan pada sistem elektronika mesin penggerak utama. Pelayanan berupa penyediaan kapal patroli laik laut dan awak kapal yang siap selalu menjadi prioritas utama PSO Pantoloan, mengingat luas wilayah laut yang harus diawasi sepuluh kali lebih luas dibandingkan wilayah yang diawasi oleh pangkalan lainnya.

Pada bulan Mei tahun 2010 kota Palu mengalami krisis listrik akibat pasokan batu bara dari Kalimantan Timur mengalami keterlambatan. Hal ini menjadi isu nasional karena masyarakat kota Palu setiap malam melakukan unjuk rasa dan perusakan kantor PLN Palu. Salah satu pemicunya adalah kekecewaan masyarakat lantaran pada saat itu tengah berlangsung pertandingan final sepak bola Liga Champion.

Untuk meredakan kemarahan masyarakat yang makin memuncak, pihak PLN cabang Palu melakukan tindakan pembelian langsung batu bara dari Samarinda. Namun setelah tiga hari berlalu dari jadwal yang telah ditentukan, kapal tongkang pembawa batu bara tersebut ternyata belum juga tiba di Palu. Informasi yang didapat dari Samarinda, tongkang tersebut telah berangkat tiga hari sebelumnya, namun kapal tongkang tersebut tidak dapat dihubungi. Pihak PLN meminta bantuan kepada Lanal Palu dan Syahbandar Pantoloan untuk melakukan pencarian kapal tersebut. Komandan Lanal Palu pun melakukan koordinasi dengan pihak PSO Pantoloan karena kapal patroli yang selalu siap hanyalah milik Bea Cukai.

Setelah melakukan rapat koordinasi, tepat pukul 20.00

294

Kare

na K

ita G

arda

WITA kapal patroli BC 30003 yang dinakhodai Muzakir meluncur menuju Selat Sulawesi. Melalui kerja sama manis antara personel Angkatan Laut, Syahbandar dan awak kapal patroli Bea Cukai, akhirnya tongkang pembawa batu bara tersebut dapat ditemukan namun dalam keadaan mesin dan radio komunikasi yang rusak. PLN yang saat itu juga ikut dalam pencarian tongkang merasa amat senang. Mereka pun langsung mengabarkan kepada awak media di Palu bahwa besok pagi tongkang batu bara akan masuk Palu dan meminta agar hal ini dimuat menjadi berita utama pada koran lokal. Inilah salah satu contoh sinergi yang PSO Pantoloan lakukan, yaitu dengan tetap menjalin kerja sama yang baik antar instansi dalam gugus laut di Sulawesi Tengah.

PSO Pantoloan yang mulai beroperasi pada tahun 1990-an ini, di tahun 2008 mulai dibenahi dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung operasional kapal guna mempersiapkan kapal patroli dalam menunjang pelaksanaan tugas pengawasan kepabeanan dan cukai di wilayah laut timur Indonesia. Keberhasilan upaya ini dapat dibuktikan dengan diresmikannya hasil pekerjaan pengembangan dermaga, dok, bengkel dan gudang hasil tangkapan pada tahun 2010 oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

Hal lain yang tidak bisa diabaikan selain pengembangan sarana dan prasarana adalah pengembangan sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang dimiliki PSO Pantoloan merupakan modal dasar yang sangat menentukan keberhasilan tugas dan fungsi yang diemban. Keikutsertaan pegawai dalam diklat yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan teknis pelayaran dan kemampuan teknis kepabeanan dan cukai dapat meningkatkan kapabilitas secara kontinu guna pencapaian kesempurnaan dalam menunaikan kewajiban sebagai seorang abdi negara.

***

295Kem

enterian Keuangan

Suara guntur bergemuruh dan air hujan yang mulai menitik di wajahku, menyadarkanku dari lamunan sesaat akan kenangan bertugas di Pantoloan. Tak terasa bibirku membentuk senyum karenanya, mengiringi kedua kakiku yang berlari kecil menuju tempat parkir mobil dinasku. Dalam hati kecilku berharap, semoga PSO Pantoloan semakin maju dan dapat dicintai oleh seluruh pegawainya.

Mereka juga harus memiliki kondisi fisik yang prima serta mental juang yang tinggi karena medan tugas mereka di laut amat berat, dengan kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi, kadang tenang tetapi tak jarang ombak disertai angin yang menderu hebat.

296

Kare

na K

ita G

arda

Kebanggaan Jadi Bagian dari Kementerian Keuangan

Oleh: Nurul Aini, Pegawai DJBC

Adalah suatu pemikiran yang saya tanamkan di dalam diri, sejak Ibu Sri Mulyani menyampaikan speech di gelaran Wisuda Program Diploma I dan III PKN STAN pada 19 Oktober 2016 lalu, hingga hari ini. Beliau menyampaikan bahwa Kemenkeu bukan hanya yang ada di Jalan Dr. Wahidin, tetapi ada hingga Papua. Hati saya bergetar. Seketika saya menengok ke deretan kursi oranye di belakang pada saat itu, mencari-cari wajah kedua orang tua di antara ribuan pendamping wisudawan.

Ya, orang tua kami, saya dan empat ribuan wisudawan lainnya, harus siap menerima. Mereka juga harus dapat memahami bahwa kami sedang dan memang dipersiapkan untuk mengabdi pada negara betapapun jauhnya.

Dan diantara sekian banyak probabilitas, saya ditempatkan di ibukota, tepatnya di Sekretariat Jenderal. Rahasia Tuhan, saya bilang, dan persentase terbesar dari rahasia itu adalah doa serta bulir-bulir peluh orang tua.

Di bangku kuliah selama tiga tahun, saya hanya bisa mengawang seperti apa wujud Kemenkeu. Saya hanya mendapat informasi melalui mata kuliah, seminar, dan

297Kem

enterian Keuangan

cerita para dosen. Dalam hati saya membatin, apa yang bisa saya perbuat ketika sudah lulus dan bekerja. Apakah saya akan berperan besar bagi institusi ini? Hal ini memercik sedikit demi sedikit semangat dalam membentuk pola pikir bahwa saya harus memperbaiki diri agar bisa bermanfaat bagi organisasi yang menaungi saya nanti. Dan sekarang, ketika saya belum genap tiga bulan bergabung saat tulisan ini dibuat, semangat itu masih tetap ada meskipun sesaat saya merasa kecil. Layaknya CPNS pada umumnya, masa-masa ini menjadi masa adaptasi karena kuliah dan bekerja adalah dua dunia yang berkebalikan. Di masa ini pula saya, dan kawan-kawan lainnya, belum dipasrahkan kewajiban pekerjaan seperti pegawai lain. Bahkan dalam hari-hari tertentu, saya menghabiskan waktu dengan membaca buku dan hanya mengerjakan satu-dua jenis pekerjaan yang bisa diselesaikan kurang dari setengah jam.

Kemudian pertanyaan ini bergulir kembali di kepala saya.

Apakah saya akan berperan besar bagi institusi ini?

Akankah semangat itu terus ada dan terpelihara?

Namun, ada satu hal yang terlupa oleh saya bahwa waktu mempunyai peranan penting dalam berprosesnya seorang individu. Semua orang besar memulai segalanya dari nol dan tidak satu pun pekerjaan mudah yang diterima mereka sepelekan. Saya lupa bahwa semudah apapun pekerjaan yang saya terima merupakan satu bagian terkecil dari keseluruhan bagian tugas dan fungsi instansi ini. Apabila saya lalai dalam mengerjakan tugas, maka lingkaran terkecil ini akan putus dan lingkaran besar tidak lagi sempurna seperti semula. Saya meyakinkan diri sendiri bahwa saya tetap memiliki peranan meskipun masih amat sangat kecil dan belum berdampak secara signifikan.

Setiap orang punya gilirannya masing-masing untuk menjadi besar dan bermanfaat. Sekarang sedang giliran saya untuk belajar lagi dan memperkaya ilmu baru perihal pekerjaan.

298

Kare

na K

ita G

arda

Seperti yang Ibu Sri ungkapkan, ada gelaran wisuda yang sama, bahwa menjadi mahasiswa di PKN STAN adalah privilege karena setelah lulus kami akan menjadi bagian dari nama besar Kemenkeu. Namun menurut saya, privilege itu tidak serta-merta datang dengan mudah, melainkan bersama dengan kewajiban yang harus kami, para pendatang dan generasi baru, penuhi, yaitu kewajiban berupa kontribusi yang bermula dari semangat perbaikan setiap pribadi lalu mendorong kami mengambil peranan aktif dalam setiap perubahan menuju kebaikan.

Tidak perlu takut menjadi kecil karena dengan berkontribusi sekecil apapun itu, saya dan teman-teman sudah selangkah lebih maju, mendekati lingkaran lebih besar yang telah menunggu.

Setiap orang punya gilirannya masing-masing untuk menjadi besar dan bermanfaat.

299Kem

enterian Keuangan

Senyum Pengobat Lelah

Oleh: Herliana W, Mitra Kerja pada KPPN Banjarmasin

Sebagai seorang staf di bidang keuangan, tepatnya PPABP (Pejabat Pengelola Administrasi Belanja Pegawai), saya mau tidak mau harus sering berhubungan dengan yang namanya Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Setiap bulannya dua sampai tiga kali saya harus berurusan dengan KPPN untuk pengajuan belanja rutin gaji induk per bulan, uang makan, gaji susulan, ataupun kekurangan gaji pegawai pada satker tempat saya bertugas.

Satuan Kerja (Satker) tempat saya bertugas mempunyai jarak lebih kurang 150 km dari KPPN Banjarmasin. Hal ini tentu membuat saya dalam berurusan selalu terkendala masalah jarak dan faktor kelelahan. Belum lagi ketika berurusan di KPPN Banjarmasin saya harus mengantre karena terdapat 371 satker lain yang harus dilayani. Sabar merupakan kunci yang utama dalam menghadapinya.

Namun, sebagai sifat alami manusia yang selalu ingin urusan berjalan dengan cepat dan lancar, berbagai upaya pasti dilakukan dalam mencapai hal tersebut. Kadang terdapat tingkah laku dari satker-satker lain yang kurang sabar dalam mengantre giliran dipanggil para petugas front

office KPPN.

300

Kare

na K

ita G

arda

Beruntung, hal itu dapat terbaca oleh pihak KPPN Banjarmasin, dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan kepada para satker. Pada front office sudah diberikan keterangan loket 1 sampai dengan 8, untuk Loket Umum dan Loket Rekonsiliasi, juga untuk Customer Service. Ditambah lagi sekarang di Customer Service dan Loket Rekonsiliasi diberikan nomor antrean kepada para satker agar dalam pelayanan tidak terjadi perebutan pelayanan lagi. Para satker bisa mendapatkan pelayanan sesuai dengan nomor antrean tersebut.

Ketika pertama kali memasuki area parker KPPN Banjarmasin bisa terbaca tulisan ‘’ANDA MEMASUKI AREA BEBAS PUNGUTAN”. Di sini saya dapat melihat komitmen KPPN Banjarmasin untuk memberikan pelayanan yang bersih dan terbaik. Tulisan bermakna senada juga terdapat ketika memasuki ruang front office dengan adanya banner yang bertuliskan “PELAYANAN KAMI BEBAS DARI GRATIFIKASI”. Terpampang juga tulisan yang memotivasi, “TERIMA KASIH ATAS KESABARAN ANDA DALAM MENGANTRE”. ltu membuat saya merasa bisa lebih bersabar dan merasa KPPN juga sabar menantikan kedatangan saya. Padahal kalau seharian melayani satker yang begitu banyak, dan berbagai pengajuan gaji, maupun Ganti UP tentu membuat pusing. Dapat saya bayangkan, betapa memusingkan dan sangat membosankannya berada sebagai petugas front office.

Begitu nomor antrean sudah sampai gilirannya, saya akan disambut dengan senyum mengembang dari para petugas front office. Perjalanan yang tadinya sangat melelahkan dan membuat temperatur saya turun ke titik di bawah minus, bisa kembali normal. Benar kata orang, senyum bisa membuat keadaan lebih baik.

Tidak hanya itu, KPPN Banjarmasin menunjukkan pelayanan yang benar-benar prima dengan adanya kotak saran terhadap pelayanan yang diberikan oleh para petugas front office dan seluruh karyawan. Kotak saran diberikan

301Kem

enterian Keuangan

sesuai dengan warna dan klasifikasi kepuasan para satker, terdiri dari klasifikasi “sangat puas” sampai “kurang puas.” Saya kira di sinilah dapat terlihat komitmen KPPN Banjarmasin untuk selalu bisa memberikan pelayanan prima dan terbaik kepada para satker.

Saya hanya berpesan, tetaplah memberikan pelayanan yang prima dan terbaik kepada seluruh satker, dan selalu siap dengan senyuman yang terbaik sebagai penghilang rasa penat. Bravo KPPN Banjarmasin!

Di sini saya dapat melihat komitmen KPPN Banjarmasin untuk memberikan pelayanan yang bersih dan terbaik.

302

Kare

na K

ita G

arda

Ledakan “Bom Atom” di Penghujung Tahun

Oleh: Muslikhudin, Pegawai DJA

Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online

yang (SIMPONI) adalah sistem informasi yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran, yang meliputi Sistem Perencanaan PNBP, Sistem Billing dan Sistem Pelaporan PNBP. Sedangkan Sistem Billing SIMPONI adalah sistem yang merupakan bagian dari SIMPONI yang memfasilitasi penerbitan kode Billing dalam rangka pembayaran/penyetoran penerimaan negara meliputi pembayaran Setoran PNBP Migas, PNBP SDA Non Migas, PNBP K/L, Dividen BUMN serta Non Anggaran. Sistem SIMPONI bisa diakses di alamat : www.simponi.kemenkeu.go.id.

MPG G2 (SIMPONI) telah resmi di-launch pada tanggal 17 Februari 2015 (sudah digunakan untuk penyetoran negara mulai 28 Februari 2014-Soft Launching). Menteri Keuangan melalui Dirjen Perbendaharaan menerbitkan surat nomor S-5908/PB/2016 tanggal 26 Juli 2016 yang mengharuskan Setoran PNBP dan Non Anggaran harus melalui SIMPONI di seluruh Bank Persepsi. Saat ini, SIMPONI telah digunakan untuk melakukan 100 ribu transaksi pembayaran PNBP per hari dengan nilai rata-rata Rp500 Miliar.

303Kem

enterian Keuangan

Hari itu, Jumat tanggal 30 Desember 2016 merupakan hari kerja terakhir di 2016. Hari saatnya membuat resolusi guna menyambut tahun baru 2017. Namun tidak untuk para pengelola keuangan seperti Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja, Bendahara Penerimaan PNBP, para pekerja di perbankan, pengelola kas di Kementerian Keuangan. Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja harus menihilkan uang di kas dan harus disetor ke kas negara sesuai pedoman langkah-langkah akhir tahun dari Kementerian Keuangan (Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-44/PB/2016). Bendahara Penerimaan PNBP sibuk mengejar realisasi penerimaan PNBP yang menjadi IKU/KPI instansinya. Kementerian Keuangan sibuk memastikan agar Penerimaan Negara bisa tercapai dan angka defisit tidak melebihi 3% PDB.

Saya seperti biasa, datang pagi, sekitar jam 07.30 WIB kemudian menghidupkan komputer dan langsung memonitor SIMPONI melalui Manajemen FAQ. Manajemen FAQ adalah semacam helpdesk online (men-support tugas Pusat Layanan DJA) yang menyediakan informasi, bantuan, perbaikan (troubleshooting), dan petunjuk teknis terkait penggunaan sistem Billing serta pembayaran dan penyetoran PNBP. Manajemen FAQ digunakan sebagai sarana koresponsdensi (komunikasi) dua arah antara pengelola SIMPONI dengan User SIMPONI, yang bersifat dinamis, bukan statis.

Pagi itu, alhamdulillah, Manajemen FAQ berisi sekitar 10 pertanyaan dan bantuan yang sifatnya biasa, dan langsung kami (biasanya saya dan Mbak Pop) jawab dan tindak lanjuti. Namun sekitar jam 08.00 WIB secara bersamaan, seperti datangnya air bah, puluhan keluhan tentang tidak normalnya pembuatan Billing dalam SIMPONI datang bersama.

Saya: “ Mbak Pop, ini banyak amat keluhan gangguan jaringan SIMPONI”

Pop: “Masa’ Mas (sambil Lihat Manajemen FAQ). Iya ni, kok

304

Kare

na K

ita G

arda

banyak amat.”

Saya: “Piye ki Mbak? Yo wes, aku jawab, ‘ditindaklanjuti dan kami koordinasikan ya?’. Mbak Pop yang tulis di grup SIMPONI (merupakan grup WA SIMPONI untuk media komunikasi dan koordinasi Tim SIMPONI) ya.”

Pop: “Oke, Mas”.

Lalu Saya menjawab pertanyaan di SIMPONI dan Mbak Pop mem-follow up di grup SIMPONI.

Pop : “Bapak, Ibu, mohon informasinya apakah SIMPONI mengalami gangguan?”

Pri (Pri adalah salah satu motor SIMPONI. Beliau mendedikasikan sebagian besar waktu dan pikirannya dalam membangun, mengembangkan dan melakukan monev SIMPONI. Beliau sekarang menjabat sebagai Kepala Seksi Penerimaan Kementerian/Lembaga IIIb): “Informasi dari Puslay, dari tadi banyak telepon masuk ke Puslay menanyakan gangguan SIMPONI. Saya sendiri juga ditelepon dari Kementerian Perhubungan (sambil membuka SIMPONI), kok lama ya loading-nya?”

Saya: “Teman-teman di seluruh Direktorat PNBP juga sudah coba mengakses SIMPONI, tetapi tidak bisa dibuka. Teman-teman juga sudah banyak menerima komplain dari mitra Wajib Bayar/Wajib Setornya. Informasi dari kantor kesehatan Pelabuhan, sudah ada antrean Kapal terkait gangguan SIMPONI ini lho.”

David (Pak David adalah Kepala Seksi Penyajian Informasi Penganggaran, Direktorat Sistem Penganggaran dan menjadi PIC IT SIMPONI): “Berarti, SIMPONI tidak bisa dibuka dari internal maupun eksternal”.

Pri : “Gawat ini, mana ini akhir tahun pula. SIMPONI kayak kena Bom Atom ni. Mana sekarang adalah akhir tahun dan seperti biasanya merupakan transaksi dengan frekuensi tertinggi dan volume terbanyak dalam setahun.

305Kem

enterian Keuangan

Semua Wajib Bayar dan Wajib Setor akan mengakses SIMPONI. Seluruh satker, 23 ribu satker di seluruh Indonesia akan mengakses SIMPONI untuk keperluan pertanggungjawaban keuangan. Reputasi kita yang selama ini kita bangun dan jaga, bisa luluh lantak, karena SIMPONI yang down pada bulan Mei lalu saja, yang disebabkan karena listrik mati, recovery-nya tidak rampung dalam sehari.”

Pop: “Iya, Pak, udah banyak yang telepon yang masuk ke Puslay dan teman-teman PNBP. Mereka komplain sambil marah-marah. Mereka bilang, hari ini hari terakhir harus setor uang persediaan Pak”.

Fuad (Kepala Subdirektorat Data dan Dukungan Teknis, yang bersama-sama Bu Dwi, Kepala Subdirektorat Penerimaan Kementerian/lembaga II, sebagai Motor TIM SIMPONI): “Gimana ni pak David?”

David (bersama-sama dengan para pegawai (programmer) Subdit Teknologi Informasi Penganggaran): “ Kami sedang check Pak di Sistem SIMPONI-nya”

Pri: “ESDM (Kementerian ESDM) juga sudah ikut komplain. Sudah banyak kapal-kapal batu bara yang tertahan di pelabuhan”.

Saya : “KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) juga komplain.”

Pri : “Pak Fuad, kayaknya semua K/L dan semua satker sudah komplain, Pak. Gimana ni, Pak?”

Fuad: “Mas Pri dan teman-teman, coba tenangkan ke mitra K/L dan satkernya masing-masing bahwa kita akan segera tindaklanjuti. Pak David, gimana ni, udah ketemu penyebabnya?”

David: “Saya dan Tim IT DJA akan ke Pusintek. Secara simultan kami akan berkoordinasi dengan teman-teman di settlement MPN G2, baik itu Direktorat Sistem Informasi

306

Kare

na K

ita G

arda

dan Teknologi Perbendaharaan, Direktorat Sistem Perbendaharaan, Pusintek. Kami juga berkoordinasi dengan Biller MPN G2 lainnya, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Di sistem SIMPONI, kami belum menemukan penyebab gangguannya, Pak. Di Pusintek, kami semua akan berusaha mencari penyebabnya dan solusinya, Pak. Kami semua sudah satu komitmen, akan mengusahakan SIMPONI beroperasi normal secepatnya. Kalau tidak berhasil, tidak hanya reputasi SIMPONI yang hancur Pak, reputasi Kementerian Keuangan juga akan ikut babak belur.”

Fuad: “Mas Pri, kita ke ruang rapat ya, untuk konsolidasi. Yang lain agar berkoordinasi dengan stakeholder-nya masing-masing. Ruang rapat kita jadikan pusat koordinasi penangganan gangguan SIMPONI. Pak David mohon bersinergi dengan teman-teman IT Pusintek, DJPb dan lainnya untuk secepatnya mencarikan solusi.”

Pak Fuad, Pak Pri, sebagian anggota Tim SIMPONI dan perwakilan Pusat Layanan DJA ke ruang rapat besar Direkotrat PNBP lantai 17, yang untuk sementara langsung dijadikan pusat koordinasi penanganan gangguan SIMPONI. Sedangkan sebagian besar pegawai PNBP berkoordinasi dengan para stakeholder menyampaikan bahwa SIMPONI sedang dalam pengecekan dan Kementerian Keuangan akan mencarikan solusi yang tidak merugikan Wajib Bayar dan Wajib Setor.

Fuad: “Piye ki Mas Pri?”

Pri: “Gawat, Pak, gawat banget, Pak. SIMPONI kayak kena Bom Atom, Pak. Reputasi kita (SIMPONI) bisa hancur luluh lantak. Mana ini adalah puncak transaksi dari seluruh transaksi harian dalam setahun. Kalau hari ini SIMPONI tidak bisa membuat Billing, maka Wajib Bayar dan Wajb Setor akan tidak percaya lagi melakukan transkaksi pembayaran PNBP di SIMPONI.”

Saya: “Ini akan berdampak ke mana-mana, Pak. Gangguan “Bom Atom” SIMPONI ini bisa men-trigger para Wajib

307Kem

enterian Keuangan

Bayar dan Wajib Setor melakukan gugatan class action akibat kerugian materiil dan non materiil yang mereka tanggung. Kegagalan penyetoran sisa UP dan TUP seluruh satker di seluruh Indonesia bisa membuat seluruh Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga tidak akan mendapatkan opini WTP. Kalau ini terjadi, kayaknya Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tidak akan dapat mendapat opini WTP.”

Pop: “Pak, bagaimana kalau kita menerbitkan Surat Keterangan Gangguan saja?”

Pri: “Betul, Pak, beberapa Wajib Bayar dan Wajib Setor sudah memintanya.”

Fuad : “Baik, kita konsepkan saja. Oh ya, gangguan SIMPONI ini juga bisa menyebabkan target PNBP tidak tercapai. Bila iya, maka target defisit 3% PDB bisa terlewati. Apalagi target pajak dan bea cukai sudah hampir dipastikan tidak akan tercapai. Apalagi cut off perhitungan sementaranya rapat nanti malam dengan Ibu Menkeu.”

Fuad: “Ada draft surat gangguannya kan? Kita buat bersama sekarang saja.”

Pri: “Kita pernah buat untuk yang gangguan SIMPONI pada bulan Mei kemarin. Kita cari soft copy-nya saja.”

Saya: “Saya cari Pak, sekalian saya ambil contoh surat keterangan gangguan yang diterbitkan Ditjen Pajak, Pak.”

Kemudian Saya mencari contoh surat yang ada dan soft copy

draft surat gangguan. Kemudian langsung saya serahkan ke Mbak Pop yang dari tadi di depan laptop. Kami langsung berdiskusi untuk mengonsepkan surat gangguan dan sambil terus berkoordinasi dengan semua pemangku kepentingan.

Pri: “Ini ada WA dari Pak David.”

Fuad: “Gimana Mas Pri?”

Pri: “Ada capture percakapan Pak Bobby (Staf Ahli Menteri Keuangan) dengan Pak Herry (Kapusintek).”

308

Kare

na K

ita G

arda

Fuad : “Piye, piye Mas Pri?”

Pri : “ Menurut Pak Bobby, Beliau mendapat informasi dari Pak Iwan Ditjen Pajak, bahwa kabel Telkom putus karena Proyek MRT. Pak Herry menegaskan bahwa kabel FO internet di rumah Ibu Menkeu pernah mengalami gangguan juga karena proyek MRT. Pak Bobby memerintahkan Pak Herry untuk berkoordinasi dengan pihak Telkom dan meminta agar Kementerian Keuangan mengirimkan surat teguran ke Pemda DKI. Pak Herry menyampaikan bahwa Telkom akan segera memperbaiki dan menjadikannya prioritas utama, Pak.”

Fuad: “Mudah-mudahan sebelum Jumatan, SIMPONI sudah bisa normal kembali.”

Pri : “Amin. Iya, Pak. Wajib Bayar dan Wajib Setor menelepon terus.”

Pri : “Weiiits, ini ada WA dari Bu Dwi (Kepala Subdirektorat Penerimaan Kementerian/Lembaga II, sebagai PIC Tim SIMPONI di Direktorat PNBP, kebetulan saat itu sedang menjalankan ibadah umrah). Yang lagi umrah saja ikut mantau, Pak. Bu Dwi meminta saya menghubungi Pak Bobby karena tadi Pak Bobby menghubungi Bu Dwi. Namun, gagal berkomunikasi karena sinyalnya jelek. Ini nomor Pak Bobby, Pak. Pak Fuad saja yang menelepon Beliau.”

Fuad: “Udah, Mas Pri saja.”

Kemudian Pak Pri menghubungi Pak Bobby. Pak Bobby menanyakan kondisi Wajib Bayar dan Wajib Setor SIMPONI. Pak Pri menjelaskan bahwa semua K/L, semua satker, dan semua Wajib Bayar sedang galau dan was-was, tidak bisa melakukan penyetoran PNBP dan Non Anggaran. Pak Bobby berjanji akan membantu semaksimal mungkin agar penyetoran PNBP dan Non Anggaran di akhir tahun 2016 tidak terganggu. Selain itu, Pak Bobby memberikan arahan agar teman-teman PNBP terus berkoordinasi

309Kem

enterian Keuangan

dengan Wajib Bayar dan Wajib Setor serta menyampaikan kepada mereka bahwa Wajib Bayar dan Wajib Setor tidak akan dirugikan.

Fuad : “Piye, Mas Pri?”

Pri : “Pak Bobby memberi jaminan dan akan membantu. Pak Bobby memerintahkan semua sumber daya, programmer, dan infrastruktur di Kementerian Keuangan untuk difokuskan membantu SIMPONI.”

Fuad: “Sip.”

Pri: “Maaf Pak, ada email masuk ke Puslay, mengabarkan bahwa Pertamina mau menyetor, tapi tidak bisa membuat Billing. Mereka minta dispensasi setor langsung ke Rekening KUN, Pak. Setorannya 2,6 Triliun.”

Fuad: “Waduh, besar banget. Lumayan buat nambah penerimaan PNBP. Kita harus usahakan. Gimana Mas Pri?”

Pri: “Betul, Pak. Kita harus minta dispensasi Pak Rudi (Direktur Pengelolaan Kas Negara, DJPb).”

Pak Fuad: “Pak Pri, tolong ya!”

Pri kemudian berkoordinasi dengan teman-teman Direktorat PKN. Selain itu, Pak Pri minta tolong Bu Dwi untuk melobi agar Direktorat PKN mengizinkan Pertamina menyetorkan PNBP langsung ke Rekening KUN di Bank Indonesia tanpa melalui Bank Persepsi. Setelah dilakukan penjelasan secara komprehensif, akhirnya Pak Rudi memberikan izin Pertamina menyetorkan langsung ke Rekening KUN.

Tak terasa draft surat gangguan selesai, dan saatnya break untuk salat Jumat. Pak Fuad berpesan agar teman-teman PNBP terus berkoordinasi dengan mitra Wajib Bayar dan Wajib Setornya masing-masing. Tak lupa, agar kita semua berdoa agar SIMPONI cepat normal kembali. Setelah salat Jumat selesai, Pak Fuad tak lupa berpesan agar sebagian

310

Kare

na K

ita G

arda

teman-teman kembali ke ruang rapat yang kini difungsikan sebagai pusat penanganan gangguan SIMPONI. Sembari rapat tadi, Saya pun sambil berkordinasi. Ada teman dari Kementerian Luar Negeri, Mas Gian (Staf Kemenlu Bagian Penyetoran PNBP dan sisa UP/TUP), menghubungi dan menanyakan terus mengenai perkembangan SIMPONI.

Teman-teman di Kemenlu khawatir sekali kalau SIMPONI tidak segera kembali normal. Permasalahnya, penerimaan PNBPnya masih banyak yang belum disetorkan, begitu juga sisa uang persediaan dan tambahan uang persediaan di 131 satkernya di luar negeri. Sisa UP/TUP di kas Bendahara harus segera dinolkan. Uang persediaan dan PNBP di satker-satker luar negeri ini, pada tahun 2015 menjadi salah satu penyebab Laporan Keuangan Kemenlu turun opininya, dari Opini WTP menjadi WDP. Di sisi lain, Menlu Retno Marsudi memberikan pesan khusus agar Laporan Keuangan Kemenlu TA 2016 harus WTP.

Setelah membuat surat gangguan dan berkoordinasi dengan teman-teman Kemenlu, Saya turun untuk salat Jumat di lobi. Saya buka HP, ternyata ada WA Bu Dwi

Dwi: “Mas, emang Tax Amnesty perlu SIMPONI. Ini kok teman-teman DJP ikut-ikutan komplain SIMPONI karena tidak bisa diakses. Mereka mengeluh karena mengganggu program tax amnesty mereka.”

Saya: “Kayaknya perlu Bu.”

Dwi: “Kok bisa Mas?”

Saya: “Sesuai PP Nomor 1 Tahun 2013, terdapat jenis PNBP di Ditjen Pajak berupa penyampaian Surat Tagihan (Paksa) Pajak. Kayaknya, PNBP ini yang terkait Tax Amnesty, Bu.”

Kemudian HP saya tutup dan di-set silent untuk mendengarkan khutbah Jumat dan salat Jumat. Sehabis salat Jumat saya buka HP, ternyata ada missed call lebih dari tiga kali dari Bu Uya, Kasubdit di Biro Perencanaan Kemenlu yang bertanggung jawab atas semua setoran PNBP Kemenlu

311Kem

enterian Keuangan

dan WA (pesan dari Bu Dwi). Pesannya Bu Dwi: “Mas, nanti Bu Uya mau telepon, tolong dibantu ya.” Saya jawab WA Bu Dwi dan naik ke lantai 17, ruang kerja Direktorat PNBP. Sesampai di atas, saya langsung menghubungi Bu Uya.

Saya : “Assalamualaikum, Bu.”

Uya : “Wa’alaikumsalam, Mas.”

Saya: “Maaf Bu, tadi tidak saya angkat telepon dari Ibu. Sedang salat Jumat.”

Uya: “Gak papa. Mas, tolong kami dibantu. Kami perlu menyetorkan penerimaan PNBP dan Sisa UP/TUP dari 131 satker kami, dan semuanya di luar negeri.”

Saya: “Siap Bu.”

Alhamdulillah, setelah salat Jumat, SIMPONI sudah bisa diakses terbatas, hanya jaringan intranet Kementerian Keuangan. Kayaknya semua pengelola PNBP, Pegawai TIP, Pegawai PNBP dan stakeholder SIMPONI berdoa agar SIMPONI berfungsi normal kembali. Apalagi Bu Dwi, sebagai motor SIMPONI, pastinya berdoa dengan khusyuk untuk mendoakan SIMPONI di tanah suci.

Namun yang pasti, ini suatu hasil yang luar biasa, sinergi seluruh elemen di Kemenkeu mampu memperbaiki SIMPONI (walaupun baru bisa diakses di intranet Kemenkeu) akibat putusnya kabel Telkom tidak kurang dari 5 jam, padahal gangguan karena matinya listrik pada bulan Mei 2016 (dengan ada genset cadangan), membutuhkan waktu lebih dari satu hari.

Ketika SIMPONI sudah bisa diakses terbatas, para pegawai PNBP berkoordinasi dengan para mitra stakeholder-nya masing-masing. Para pegawai berusaha keras untuk membuatkan Billing PNBP kepada para Mitra, termasuk saya. Saya berkoordinasi dengan staf Bu Uya, Mas Gian.

312

Kare

na K

ita G

arda

Gian: “Mas, bisa dibantu? Saya mau melakukan penyetoran PNBP. Dari seluruh satker Kemenlu, sebagian besar satker di luar negeri.”

Saya: “Siap, Mas.”

Gian: “Selain PNBP, saya mau melakukan penyetoran sisa UP dan TUP dari seluruh satker Kemenlu, sebagian besar satker di luar negeri.”

Saya: “Siap, Mas. Tolong daftar setorannya dikirimkan/di-email ke email saya ya. Selain itu, tolong saya dikasih tahu nama user SIMPONI-nya beserta password-nya. Begitu juga daftar setoran PNBP-nya, Mas.”

Gian: “Waduh, daftar setoran PNBP dan UP/TUP masih dalam proses penghitungan, Mas. Belum fix juga dan masih di-compile.”

Saya: “Ya udah, gak papa. Yang sudah siap aja. Kita membuat Billing secara simultan saja.”

Gian: “Baru setoran PNBP dari Kedubes Singapura dan perhitungan UP/TUP KJRI Hongkong. Kedubes Singapura lumayan banyak PNBP-nya.”

Saya: “Ya udah, Mas, tolong dikirimkan. Jangan lupa username SIMPONI dan password-nya.”

Gian: “Username dan password-nya kemenluoke.”

Saya: “Hanya satukah?”

Gian: “Iya, Mas, hanya satu.”

Saya: “Ya, Mas” (dalam hati: “Cilaka ini, mau sampai kapan saya membuatkan Billing untuk setoran PNBP dan UP/TUP. Kalau satu satker saja rata-rata 15 setoran PNBP dan 15 setoran UP/TUP, maka sudah terbayang kapan selesainya. Belum lagi setiap ganti satker harus ganti edit profil, serta yang pastinya tidak bisa dibagi dengan orang lain.”)

313Kem

enterian Keuangan

Mulailah saya membuatkan Billing teman-teman di Kemenlu, alhamdulillah, walaupun SIMPONI bisa dibuka di jaringan intranet keuangan saja, tetapi masih cukup lambat. Sekitar jam 14.30 WIB, saya sudah membuat Billing setoran PNBP untuk Kedubes Singapura dan setoran UP/TUP KJRI Hongkong, ada sedikit berita baik di grup WA SIMPONI:

David: “Alhamdulillah SIMPONI terus mengalami progress. Kami terus berusaha agar SIMPONI kembali normal. Kami masih di Pusintek. Kami terus berkoordinasi dengan Pusintek, Direktorat Sistem Perbendaharaan, Direktorat Sistem Informasi dan Teknologi Perbendaharaan, dan teman-teman Kemenkeu lainnya.”

Pri : “Progress-nya gimana Pak?”

David: “Kami telah membuat alternatif alamat pembuatan Billing. Silakan Wajib Bayar dan Wajib Setor membuat Billing di node internet : 202.61.126.147. Tolong di-share ke Wajib Bayar dan Wajib Setor.”

Fuad: “Alhamdulillah. Teman-teman PNBP, mohon diteruskan ke mitranya masing-masing. Mas Pri, yuk kita menghadap Bu Direktur untuk melaporkan kondisi terakhir dan mengajukan surat keterangan gangguan SIMPONI.”

Pri: “Siap, Pak. Tadi, Bu Dwi juga telah mengomunikasikan dengan Pak Dirjen, dan Beliau secara prinsip setuju untuk menerbitkan surat gangguan, tetapi harus dibahas dengan Bu Direktur PNBP terlebih dahulu.”

Fuad: “Bagus kalau begitu, nanti kita sampaikan juga ke Bu Direktur. Ayo, Mas Pri.”

Pak Fuad dan Pak Pri kemudian melaporkan kondisi terakhir perkembangan SIMPONI ke Bu Direktur. Kondisi SIMPONI sekarang jauh lebih baik dari tadi pagi, di mana SIMPONI sama sekali tidak bisa diakses, baik dari intranet maupun dari internet. Sekarang Wajib Bayar dan

314

Kare

na K

ita G

arda

Wajib Setor sudah bisa membuat Billing PNBP di alamat alternatif, bukan di alamat utama SIMPONI. Dengan kondisi SIMPONI sudah bisa diakses, maka Bu Direktur PNBP memutuskan penerbitan surat gangguan di-hold dulu, menunggu perkembangan SIMPONI. Selain itu, Bu Direktur mengingatkan bahwa pembayaran PNBP dan Non Anggaran bisa dilakukan hari ini sampai jam 21.00 WIB dan besok hari Sabtu sampai jam 15.00 WIB. Hal ini sesuai dengan surat Menteri Keuangan nomor S-1105/MK.05/2016 tanggal 13 Desember 2016 tentang Perpanjangan Layanan Penyetoran Penerimaan Negara pada Bank/Pos Persepsi.

Di saat Pak Fuad dan Pak Pri melapor, para pegawai PNBP mengomunikasikan alamat alternatif ke para mitra stakeholder masing-masing. Termasuk saya, saya mengomunikasikan ke teman-teman di Kemenlu. Teman-teman Kemenlu akhirnya bisa membuat Billing di alamat alternatif dimaksud. Tugas pembuatan Billing-pun, Saya kembalikan lagi ke pengelola PNBP Kemenlu.

Kami terus berkoordinasi dan melakukan monitoring perkembangan SIMPONI, terutama melalui grup WA SIMPONI

David: “Karena ada keluhan masih lambat, maka kami akan menambah node internet, yaitu: 202.61.126.148 dan 202.61.126.149.”

Pri: “Lambat gimana?”

David: “Kami pantau dari sini (masih di Pusintek), Billing yang terbuat selama 1 jam pertama sudah mencapai 6.000 Billing setoran PNBP, Mas. Mudah-mudahan tambahan 2 node ini membantu.”

Kami terus melakukan monitoring dan terus mengomunikasikan alamat-alamat alternatif dengan para stakeholder. Alamat-alamat alternatif pembuatan SIMPONI juga dibuat Running Text, baik di aplikasi SIMPONI maupun

315Kem

enterian Keuangan

di website Ditjen Anggaran.

David: “Posisi jam 17.00 WIB, sudah 18.000 Billing setoran PNBP terbuat. InsyaAllah SIMPONI sudah normal.”

Dwi: “Alhamdulillah. Gimana Mas dengan notifikasinya? Apakah pengiriman NTPN-nya ada keterlambatan atau bermasalah?”

David: “Aman, Bu, tidak ada isu keterlambatan pengiriman NTPN dari settlement, Bu.”

Dwi: “Alhamdulillah. Teman-teman, mohon terus dipantau dan dimonitor ya.”

Fuad: “Mohon kita pastikan sampai magrib. kalau sampai magrib pembuatan Billing aman, kita bisa lanjutkan monitoring-nya di rumah masing-masing.”

Pri: ”Akhir tahun tidak jadi kelabu.”

Saya: ”Momen yang bikin kita jadi terharu.”

Sampai dengan salat Magrib, perfoma SIMPONI sudah kembali normal. Kami sudah bisa pulang sambil terus memantau perkembangannya. Saya pulang ke Bekasi dan sampai di rumah pukul 20.00 WIB. Sesampai di rumah, ternyata ada missed call dari Mas Gian Kemenlu. Selain missed call, Mas Gian mengirimkan WA.

Gian: “Mas, bisa diganggu?”

Saya: ”Silakan, Mas. Ada yang bisa dibantu?”

Gian: “Mas, untuk setoran UP harus menggunakan kurs yang mana ya?”

Saya: ”Sesuai pengaturan dalam PMK Nomor 160 Tahun 2015 tentang Tata Cara APBN pada Perwakilan RI di Luar Negeri, menggunakan kurs saat permintaan UP awal tahun anggaran.”

Gian: “Kalo ada selisih gimana?”

316

Kare

na K

ita G

arda

Saya: “Tidak masalah, akan diperhitungkan sebagai selisih kurang atau selisih lebih, Mas. BTW, gimana pembuatan Billing-nya?”

Gian: “Masih on process, Mas”

Saya: “Tidak ada kendalakan? Sekarang Mas Gian masih di kantorkah?”

Gian: “Tidak ada kendala, Mas. Kami di Kemenlu menginap di kantor. Mau memastikan bahwa penyetoran PNBP dan Non Anggaran sudah oke. Biar tidak menjadi temuan BPK lagi. Sesuai wanti-wanti Bu Menlu, Mas, hehehe.”

Saya: “Top markotoplah, Mas, sukses ya, Mas. Nanti kalau ada masalah, jangan sungkan-sungkan telepon atau WA saya Mas. Biasanya saya tidur agak malem. Kayaknya malam ini saya akan tidur lebih malam, Mas.”

Gian: “Siap, nanti kalau ada apa-apa, saya pasti ganggu Mas ya!”

Saya: “Siaap.”

Saya (begitu juga dengan para pegawai PNBP) masih terus memonitor perkembangan SIMPONI. Malam makin larut, bahkan sudah berganti hari. Dari tadi tidak ada keluhan terhadap SIMPONI, saatnya untuk tidur. Tiba-tiba di grup SIMPONI ada WA masuk.

Pri: “Ini jam 12 malam kok masih ada telepon terus-terusan, mau nanya akun pembayaran setoran PNBP dari jasa kebandarudaraan di Papua (luar biasa dedikasi Pak Pri, masih memonitor sampai jam 12 malam, secara, Pak Pri punya kebiasaan tidur jam 9 malam, hehehe. Masih kalah sama anak saya yang masih Balita, hahaha.)

Dwi: “Waduh, bukannya permasalahan pembuatan Billing

terkait jaringan sudah oke, Pak?” (Saya jadi berpikir Bu Dwi kok masih memonitor juga. Hebat. Oh iya, Beliau ‘kan lagi umrah, masih jam 5 sore waktu Saudi, hehehe.)

317Kem

enterian Keuangan

Pri: “Bukan, Bu, terkait akun saja. Ini dari teman-teman di bandara yang ada di Papua.”

Saya: “Luar biasa, berarti ini jam 02.00 WIT pagi waktu Papua. Luaaar biaasaa.”

Pri: ”Mereka mau memastikan Billing terbuat malam ini, besok tinggal setor di bank.”

Saya: ”Sama kayak di Kemenlu, pembuatan Billing

diselesaikan malam ini dan ada laporan dari Mas Gian bahwa pembuatan seluruh Billing dari seluruh satker di Kemenlu baru saja rampung. Rencananya, besok tinggal setor ke bank. Ayoo, tidur, tidur, tidur!”

Pri: “Ayo, kita tidur dengan nyenyak karena sudah selesai berurusan dengan ganguan ‘Bom Atom’ SIMPONI.”

Akhirnya, gangguan down “Bom Atom” aplikasi SIMPONI di pagi hari (tepatnya jam 8) di akhir tahun tidak menjadikan akhir tahun 2016 menjadi kelabu. Malah membuat akhir tahun 2016 membikin terharu dan saya yakin akan menjadi momen yang tak ‘kan lekang oleh waktu. “Bom Atom” berupa down-nya aplikasi SIMPONI karena putusnya kabel Telkom bisa dinetralisasi oleh sinergi dari semua unsur SIMPONI. Bom Atom itu tidak bisa menghancurkan kekuatan sinergi Tim SIMPONI. Sinergi dari seluruh level jabatan, mulai pejabat tinggi (Dirjen Anggaran dan Staf Ahli Menkeu) sampai pelaksana. Sinergi yang mencakup seluruh pemangku kepentingan, mulai dari Direktorat PNBP, Direktorat Sistem Penganggaran, Pusat Layanan DJA, Direktorat Sistem Perbendaharaan, Direktorat Sistem Informasi dan Teknologi Perbendaharaan, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Pusintek, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Telkom, Pertamina, Seluruh Kementerian/Lembaga, seluruh satker di seluruh Indonesia, serta Wajib Bayar/Wajib Setor.

Kekuatan sinergi menjadikan sesuatu yang agak mustahil dilakukan, bisa terjadi. Sinergi seluruh elemen di

318

Kare

na K

ita G

arda

Kemenkeu mampu memperbaiki down SIMPONI akibat putusnya kabel Telkom yang disebabkan Proyek MRT, tidak lebih dari 5 jam, padahal gangguan karena matinya listrik pada bulan Mei 2016 (walaupun ada genset cadangan), membutuhkan waktu lebih dari satu hari. Sinergi mampu mengubah suasana pagi yang penuh kekhawatiran dan kecemasan menjadi suasana yang penuh bangga karena SIMPONI beroperasi normal kembali sehingga semua Wajib Bayar, Wajib Setor dan 23 ribu satker di seluruh Indonesia dapat melakukan penyetoran PNBP dan sisa UP/TUP dengan lancar ke Rekening Kas Umum Negara melalui SIMPONI. Dan pastinya, SIMPONI membantu pencapaian PNBP, dengan capaian 107,05% dari target dalam APBN-P Tahun 2016 sebesar Rp245,08 Triliun.

Bom Atom bisa meluluh lantakkan Hiroshima-Nagasaki, tetapi tidak bisa meluluh lantakkan kekuatan Sinergi Tim SIMPONI (MPN G2).

Kekuataan sinergi menjadikan sesuatu yang agak mustahil dilakukan, bisa terjadi.

319Kem

enterian Keuangan

Oleh: Bagian Keuangan, Setditjen Kekayaan Negara

Perkenalkan…Namaku Alika

Aku terlahir prematur, hanya dikloning selama tiga bulan untuk hadir di dunia ini. Kehadiranku sangat diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh para stakeholder. Wajar saja, bukannya aku sombong tapi lebih disebabkan keunggulanku dari generasi sebelumnya. Kata orang aku lebih efisien dari pendahulu-pendahuluku, jika memanfaatkan aku, maka hanya dengan melakukan input satu kali sudah menghasilkan beberapa output. Selama ini aku juga tidak berdiam diri, aku terus berbenah mengembangkan diri untuk kesempurnaanku.

Bulan Februari lalu usiaku genap sudah satu tahun. Walaupun aku terbilang masih muda, tapi dengan percaya diri aku sudah menjejakkan kakiku dengan tegak bak seorang gadis cantik, menarik dan menawan, karena tanpa aku, para stakeholder kewalahan. Aku dilahirkan dari sinergi sebuah tim kecil di Bagian Keuangan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang secara konsisten dan berkesinambungan memonitor/mengawasi perkembangan hidupku. Tim kecil itu terdiri dari para inisiator, konseptor, analis, programmer, dokumenter, dan pihak yang mengimplementasikan, yang berupaya melakukan perbaikan, peningkatan pelayanan dan efisiensi. Tim kecil

320

Kare

na K

ita G

arda

inilah yang membuat grand design-ku sejak lahir hingga tumbuh dewasa nanti.

Awalnya aku dibuat untuk mendukung Aplikasi SAS (Sistem Aplikasi Satker) dan mengganti fungsi routing slip

sebagai monitoring berkas yang tadinya dikerjakan secara manual menjadi digital, sehingga dapat mendorong Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk lebih cepat melakukan input data ke dalam sistem dan mempersingkat proses pengajuan pembayaran dari PPK ke Bagian Keuangan.

Fitur andalanku adalah Paysis (Payroll System), yang dipakai untuk membuat daftar payroll (daftar pembayaran). Aku mampu menyimpan seluruh data referensi pegawai, seperti: Nama, NIP, Golongan, Nomor Rekening, NPWP, dan lainnya sehingga pembuatan daftar payroll dapat dilakukan dengan cepat, tepat, dan akurat. Bisa dibayangkan dengan jangkauan seluruh provinsi, daftar payroll yang dulunya hanya dibuat dengan Excel dan kondisi data yang tidak terpusat, maka PPK harus menambah atau melakukan update data pegawai secara manual, apalagi bila data tersebut tercecer atau belum tersedia. Sekarang bank dataku semakin banyak, lengkap, dan akurat sehingga dapat menambah manfaat, misalnya untuk membuat laporan perpajakan/Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Masa dan Bukti Potong Pajak. Tugas Bendahara Pengeluaran menjadi lebih ringan, cukup men-download data dari daftar nominatif pembayaran yang dihasilkan Paysis, sudah ada data bruto dan pajaknya dalam bentuk Excel, kemudian data Excel tersebut diolah untuk menghasilkan data .csv yang digunakan untuk di-upload ke SPT.

Keunggulanku lainnya yang patut aku banggakan adalah fitur monitoring berkas. Aku mempunyai kemampuan untuk mengetahui keberadaan posisi penyelesaian berkas terakhir dan mengukur ketepatan waktu penyelesaian berkas di semua lini, aku dapat memastikan berapa jumlah berkas yang memenuhi syarat untuk diproses dan berapa jumlah berkas yang ditolak, sehingga semuanya tercatat dengan

321Kem

enterian Keuangan

lengkap kapan masuk loket, kapan diproses, kapan ditolak, dan kapan selesai.

Sejalan dengan ceritaku di atas, berdasarkan grand design yang sempat aku intip, dapat aku simpulkan bahwa aku telah didukung oleh empat buah fitur, yaitu fitur paysis, fitur perpajakan, fitur monitoring berkas, dan fitur data realisasi anggaran terkini. Oh ya, masih ada loh satu fitur tambahan yang baru dan keren, yaitu fitur pembayaran honorarium tim. Dengan adanya fitur ini, tidak diperlukan lagi SPTJM (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak) pegawai. Jumlah tim yang diikuti oleh setiap pegawai sudah dapat dimonitor secara otomatis dan pengajuan berkas juga lebih mudah dan cepat.

Namun aku menyadari sepenuhnya, bahwa aku tidak bisa berlari kencang sendirian, aku juga perlu dukungan dari luar. Suatu saat nanti aku ingin sekali bisa berkolaborasi dengan aplikasi yang lebih eksis di unit kami, yaitu Aladin (Aplikasi Perjalanan Dinas) dan Aplikasi Perhitungan Biaya Mutasi dalam bentuk integrasi sistem. Dengan integrasi tersebut pasti aku akan menjadi lebih canggih dan semakin bermanfaat untuk organisasi. Semoga, aku yang lahir dari sebuah ide dan gagasan sederhana bisa menjadi inspirasi semua orang, bersedia dan akan sangat bangga jika ada yang mereplikasiku di tempat lain. Akulah Alika… Aplikasi Keuangan DJKN.

Awalnya aku dibuat untuk mendukung Aplikasi SAS (Sistem Aplikasi Satker) dan mengganti fungsi routing slip sebagai monitoring berkas yang tadinya dikerjakan secara manual menjadi digital.

322

Kare

na K

ita G

arda

1 + 1 = 27

Oleh: Siti Mulyanah, Pegawai DJPK

Bulan Juni 2016 reorganisasi DJPK. Wah, mutasi lagi! Benar ternyata. Hiks. Cukup satu tahun saja dipercaya untuk menangani Pengelolaan Risiko. Baru mulai suka, baru mulai belajar, dan baru saja bersemangat merencanakan hal-hal menyenangkan seputar ‘Risiko’, yaah... pindah lagi deh.

Saya sudah tahu sejak sebulan sebelumnya, karena Bapak Sekretaris (Pak Ses) membocorkan rahasia dalam sebuah rapat internal. Dan anehnya hanya saya yang dibeberkan. Sabda Beliau karena ada yang harus dikerjakan segera dan konon agar tidak terkejut nantinya.

Baiklah. Singkat cerita saya dilantik memegang tampuk Kasubbag Organisasi dan Tatalaksana. Di antara segudang tugas yang jelas ataupun blur, salah satunya adalah mengawal Inisiatif Strategis (IS) Reformasi Birokrasi Transformasi Kelembagaan (RBTK) DJPK.

Betul, Pak Ses. Saya memang terkejut! Bukan saja karena baru menangani tetapi karena kurang ilmu dan otak saya sudah lola (loading lama, kata anak-anak gen ‘Y’). Tentunya harap dimaklumi karena saya sudah tidak muda lagi (agak

323Kem

enterian Keuangan

segan mengaku tua). Kondisi itu ditambah pula bahwa saya hanya tamatan S1 (banyak yang lebih muda dari saya sudah S2 dan S3, luar biasa ya?!).

Alhamdulillah, nyali saya tidak ciut karena saya yakin 1+1=27. Maksudnya adalah jika kita mengerjakan sesuatu secara ‘berjamaah’/berkelompok/bekerja sama tidak akan ada yang sulit. Amin.

Cukuplah pembukaan kisah ini. Selanjutnya izinkan saya menceritakan kisah ini menggunakan nama asli teman-teman yang membantu saya. Sebagai ucapan terima kasih yang tidak terhingga dan harapan agar sinergi tetap terjaga.

Tugas Pertama: Integrasi 5 IS DJPK dengan

IS Kemenkeu

Bagaimana ya caranya menyelesaikan tugas ini? Permohonan bantuan diajukan kepada Pak Ses. Luar biasa Beliau benar-benar sangat membantu mencerahkan pandangan saya tentang apa itu IS, tidak lupa saya sebutkan bahwa CTO juga sangat-sangat membantu. Sayangnya hanya pandangan saja yang cerah. (Ingat 2 kondisi saya tadi ya: tidak muda lagi dan belum terlalu pintar!).

Dengan bantuan Pak Ses, tugas tersebut dibawa ke dalam pembahasan Rapat Pimpinan (Rapim). Lima eselon II di DJPK membantu menyusun dan mengoreksi sampai tuntas. Kepala yang hampir uzur ini saya manfaatkan sebaik-baiknya. Diskusi pimpinan terekam jelas dalam benak dan siap untuk diolah. Singkat cerita tuntas sudah tugas pertama. Siapa yang menyelesaikan? Hahaha! Bukan saya, tapi para pimpinan DJPK. Teman-teman CTO mungkin tahunya saya yang membuat. Terbongkar deh rahasia. Ya, namanya juga behind the scene!

Tugas Kedua: Perumusan IS Baru DJPK

Terjadi pergantian Menteri. Kebijakan baru. 5 IS DJPK dikembalikan untuk dipantau secara internal dan DJPK diminta mengusulkan 1 IS baru dengan salah satu

324

Kare

na K

ita G

arda

kriterianya adanya connecting the dot antarunit eselon I. Saat itu saya sudah 3 bulan menduduki tempat baru. Strategi tugas pertama tidak etis lagi saya gunakan. Setidaknya saya harus muncul dengan suatu gagasan untuk meminta persetujuan ataupun arahan dari Beliau.

Proses pencarian ide pun dimulai. Rekaman Rapim saya keluarkan melalui coretan pada 5 IS awal. Sedikit pengetahuan pengelolaan risiko ternyata sangat membantu. Terbayang bahwa akan ada risiko 5 IS tersebut tidak dapat dikawal dengan baik penyelesaiannya karena tidak lagi menjadi IS yang dipantau oleh Menteri. Berarti harus dicari strategi agar risiko tidak terjadi. Idenya adalah rumusan IS baru harus mencakup 5 IS lama. Tapi bagaimana ya?!

Langkah 1 noted. Langkah 2 mulai. Menuruni lift dari lantai 10 ke lantai 7. Mengetuk pintu ruangan para Analis Keuangan Pusat dan Daerah Bidang Dana Perimbangan. Perlu diketahui, sangat menyenangkan bicara dengan mereka. Menyenangkan karena mereka sangat terbuka dan tidak pelit ilmu. Banyak isu-isu yang ditawarkan untuk menjadi IS. Langkah 2 menghasilkan kumpulan isu strategis Kemenkeu yang terkait juga dengan DJPK.

Next! Outline langkah 1 dan 2 dituangkan dalam bahan paparan sederhana. Masih sangat mentah. Dibutuhkan satu usulan yang lebih nyata. Dengan bantuan bapak kabag, Beliau berhasil menghadirkan kasubdit yang sangat sibuk dan kasubdit baru saja promosi, para Jafung AKPD (Jabatan Fungsional Analis Keuangan Pusat dan Daerah).

Alhamdulillah, nyali saya tidak ciut, karena saya yakin 1+1=27. Maksudnya adalah jika kita mengerjakan sesuatu secara ‘berjamaah’/berkelompok/bekerja sama tidak akan ada yang sulit.

325Kem

enterian Keuangan

Jujur dalam pertemuan tersebut saya hanya menyampaikan permasalahan saya dalam menyelesaikan tugas perumusan IS baru DJPK. Selebihnya saya hanya mendengarkan diskusi yang luar biasa. Done! Rapat yang sangat efektif. Just

info, rapat ini tanpa surat undangan, hanya lewat telepon internal dan WhatsApp. Hasil rapat adalah: 1) Nama IS nya “Sinkronisasi Penganggaran Pusat dan Daerah”; 2) Latar belakang: banyak terjadi tumpang tindih penganggaran untuk kegiatan di daerah melalui DAK dan K/L; 3) Tujuan IS: efektivitas belanja APBN; 3) Connecting the dot: DJPK, DJA, K/L, dan Pemda.

Lapor Pak Ses bahwa telah dihasilkan nama, latar belakang, tujuan, dan hubungan sinergi IS baru! “Apakah Bapak menyetujuinya? Mohon arahan.” Ya, Beliau setuju!

Selanjutnya Beliau menugaskan untuk menyelesaikan sesuai format yang diinginkan CTO. Walhasil rapat berikutnya terjadi kembali. Kali ini peserta rapatnya adalah para Jafung AKPD ditambah seorang Kasi Hibah. Dan secara virtual melalui WhatsApp dengan anggota Tim 10. Suasana rapat sangat santai, kadang ditingkahi perdebatan seru mengundang Pak Ses untuk mengintip kegiatan kami sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum. Ah, kalian! Jadi juga draft IS charter-nya. Terima kasih semua.

Nota dinas meluncur menuju Sekretaris DJPK, dibahas dalam Rapim dan selesai. Pembahasan dengan CTO dibantu oleh bapak dan ibu kasubdit yang luar biasa. Akhirnya ditetapkan menjadi #IS 19: Sinkronisasi Penganggaran Pusat dan Daerah.

Energi positif yang saya dapatkan dari teman-teman sangat kuat. Energi positif itu bernama sinergi. Bayangkan, mereka semua membantu tanpa undangan resmi, hanya atas nama kerja sama. Terima kasih banyak, mari kita kawal realisasinya.

326

Kare

na K

ita G

arda

NafaskuMelayani

The best way to lose yourself is to lose yourself in the service of others.— Mahatma Gandhi

326

Kare

na K

ita G

arda

Makna dari pelayanan yaitu

memberikan pelayanan yang

memenuhi kepuasan pemangku

kepentingan yang dilakukan

dengan sepenuh hati, transparan,

cepat, akurat, dan aman.

Perilaku utama dari nilai ini yaitu:1. Melayani dengan berorientasi

pada kepuasan pemangku kepentingan.

2. Bersikap proaktif dan cepat tanggap.

327Kem

enterian Keuangan

Pada dasarnya setiap manusia adalah pelayan. Tidak ada manusia yang benar-benar menjadi bos. Orang lain selain diri kita adalah pelanggan kita. Seorang suami akan melayani kebutuhan sang istri dengan memberikan perhatian terbaik baginya. Sang istri memberikan pelayanan kepada sang suami melalui kelezatan makanan yang dimasak. Seorang bayi mungil memberikan layanan kepada orang tuanya melalui tawa riangnya. Melihat kenyataan tersebut, maka tidak sepantasnya kita bersikap seolah-olah bahwa kitalah yang memiliki kuasa atas orang lain. Namun justru sebaliknya, bahwa kita yang harus memuaskan orang lain.

Salah satu program yang diinstuksikan oleh Presiden Republik Indonesia pada Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah Gerakan Indonesia Melayani. Fokus dari gerakan ini, antara lain: peningkatan kapasitas sumber daya manusia Aparatur Sipil Negara, penyempurnaan standar pelayanan dan sistem pelayanan yang inovatif (e-government), peningkatan perilaku pelayanan publik yang cepat, transparan, akuntabel, dan responsif, serta penyederhanaan pelayanan birokrasi (debirokratisasi).

Dalam berbagai sektor privat maupun publik, pelayanan adalah kunci dalam mempertahankan loyalitas pelanggan. Semangat melayani di Kementerian Keuangan telah disesuaikan dengan kebutuhan pemangku kepentingan/stakeholders-nya. Setiap pegawai di Kemenkeu diharapkan mampu memberikan pelayanan yang cepat dan sepenuh hati sehingga mampu memberikan kepuasan bagi pelanggan.

Seringkali, ketidakpuasan stakeholders Kemenkeu bukan karena buruknya kualitas pelayanan yang diberikan, tetapi karena tidak bertemunya antara pelayanan yang kita

327Kem

enterian Keuangan

328

Kare

na K

ita G

arda

berikan dengan kebutuhan para stakeholders. Dan harus diakui, masyarakat sebagai pengguna jasa layanan memiliki kekuatan absolut untuk memutuskan. Namun demikian, tentunya tak berarti kita harus menyerahkan visi, misi, nilai, dan idealisme kita kepada stakeholders. Berfokus pada kebutuhan stakeholders berarti mempertemukan antara cita-cita dengan realita.

Kemenkeu selalu berupaya memperlakukan seluruh pengguna jasa layanan Kemenkeu dengan adil, jujur, dan dengan cara yang memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, serta memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik/good governance sebagai instansi pemerintah.

PNS Kemenkeu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berorientasi pada kepuasan stakeholders, menghindari arogansi kekuasaan, bersikap ramah dan santun, dan bersikap proaktif dan cepat tanggap.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Kemenkeu mengadakan penilaian Kantor Pelayanan Terbaik (KPT). Kegiatan ini merupakan kegiatan internal Kemenkeu yang dilakukan secara rutin satu tahun sekali dalam rangka mewujudkan good governance melalui perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan pada kantor pelayanan di lingkungan Kemenkeu. Penilaian KPT merupakan langkah strategis untuk melaksanakan evaluasi atas kinerja pelayanan publik yang dikemas sedemikian rupa untuk mendapatkan gambaran kinerja yang objektif dari kantor pelayanan di lingkungan Kemenkeu dan memberikan stimulus/motivasi berupa penghargaan. Instrumen penilaian KPT meliputi: penilaian kinerja (antara lain terdiri dari: manajemen perubahan; penataan sistem manajemen SDM; penguatan akuntabilitas kinerja; penguatan pengawasan; terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN; visi, misi, dan moto pelayanan; standar pelayanan dan maklumat pelayanan), inovasi, dan prestasi.

Untuk memberikan kepastian dalam pelayanan, PNS Kemenkeu selalu bekerja berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada. SOP merupakan mekanisme dan

328

Kare

na K

ita G

arda

329Kem

enterian Keuangan329

Kementerian Keuangan

prosedur yang baku sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing unit organisasi di lingkungan Kemenkeu. SOP disusun dalam rangka meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan Kemenkeu. Sampai dengan tahun 2017, jumlah SOP di Kemenkeu sebanyak 14.797 SOP Reguler, 86 SOP Layanan Unggulan, dan 70 SOP-Link.

Komitmen memberikan pelayanan untuk kepuasan seluruh stakeholders dilakukan seluruh unit di lingkungan Kemenkeu yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Berikut adalah kisah untuk menggambaran bagaimana budaya kerja PNS Kemenkeu dalam rangka memberikan pelayanan untuk kepuasan seluruh stakeholders Kemenkeu.

330

Kare

na K

ita G

arda

Ditagih Malah Berterima Kasih

Oleh: Joko Susanto, Pegawai DJP

Memercayakan pengurusan pajak kepada pihak lain walaupun itu sahabat karib tanpa disertai dengan pengawasan membuahkan kepahitan yang berbuntut pada penyeselan. Bak pepatah “Air susu dibalas dengan air tuba” dan apa daya “Nasi sudah menjadi bubur”, hikmahnya “Sebaik apapun disembunyikan, bau bangkai pasti akan tercium juga”.

Kami mendapatkan data bahwa PT Morat-Marit (bukan nama sebenarnya) mempunyai tunggakan pajak lebih dari Rp700 juta. Angka tersebut jelas sangat signifikan bagi penerimaan pajak selevel Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama.

Tagihan itu muncul karena ada transaksi penjualan aset perusahaan berupa tanah dan/atau bangunan. Lokasinya yang sangat strategis membuat harga pasarnya pun meroket dari tahun ke tahun. Perkembangan perusahaan yang kurang menguntungkan secara ekonomis menyebabkan manajemen memutuskan aset itu terpaksa dilepas. Namun tetap mempertahankan usahanya.

Dengan melakukan berbagai usaha untuk menawarkan

331Kem

enterian Keuangan

aset perusahaan, baik melalui iklan maupun penawaran langsung, akhirnya ada pihak yang tertarik untuk membeli aset tersebut. Untuk mempercepat proses pengalihan hak maka perusahaan menggunakan jasa notaris. Yang dipilih adalah teman baik pemilik perusahaan yang berprofesi sebagai notaris. Hal tersebut dilakukan karena kepercayaan saja dan supaya komunikasi terjalin dengan harmonis.

Waktu terus berlalu tanpa pernah kompromi menunggu siapapun. Perusahaan penjual aset sudah senang menerima jumlah uang yang tidak bisa dibilang sedikit. Tanah dan bangunan telah berpindah tangan. Urusan kewajiban pajak sudah dipercayakan. Perusahaan sudah berkonsentrasi memikirkan rencana pasca pelepasan aset. Belum lagi dibingungkan nasib para karyawan yang telah puluhan tahun mengabdi di perusahaan. Maka urusan jual beli tersebut sudah dianggap closed. Beres. Termasuk urusan yang timbul dan berhubungan dengan kewajiban pajak.

Tiba-tiba perusahaan penjual aset bagaikan terkena petir di siang bolong ketika mendapat surat teguran dari kantor pajak. Perusahaan itu ditegur karena memiliki utang pajak lebih dari Rp700 juta! “Bukankah itu transaksi jual beli tanah dulu. ‘Kan sudah beres. Kok masih dikirimi tagihan?” Kilah manajemen perusahaan.

Manajemen melakukan konfirmasi kepada notaris yang dahulu diserahi amanah untuk pengurusannya. Berkali-kali dia mengelak dan meyakinkan bahwa urusan pajak sudah tidak bermasalah. Namun ketika Notaris itu diminta bukti pembayaran berupa Surat Setoran Pajak (SSP), ia tidak pernah bisa menunjukkannya. “Masih tersimpan rapi, tapi terselip entah di mana,” elaknya.

Walaupun jangka waktu penagihan terlewati utang pajak tersebut tetaplah belum terbayar. Suatu saat Kantor Wilayah DJP meminta nama-nama penunggak pajak terbesar di masing-masing KPP untuk diumumkan di surat kabar. Kantor kami pun mengirimkan nama-nama yang bertengger di urutan teratas daftar penunggak pajak

332

Kare

na K

ita G

arda

terbesarnya. PT Morat-Marit termasuk dalam kandidat nama penunggak pajak yang dikirimkan tersebut.

Waktu yang ditentukan pun tiba. Nama-nama penunggak pajak itu terpampang di salah satu surat kabar andalan yang ada di Jawa Timur. PT Morat-Marit muncul di daftar penunggak pajak terbesar. Pihak perusahaan pun mengetahuinya. Mereka mengaku sangat malu dan dirugikan dengan pengumuman itu. Secara kasat mata, jelas ada kekhawatiran para kliennya makin menjauh. Apa mau dikata, memang nyata-nyata mereka mempunyai utang pajak.

Ada hikmah di balik setiap peristiwa. Tindakan penagihan tersebut ternyata dapat membuka tabir penggelapan uang yang dilakukan notaris. Kalau tidak ada surat tagihan dari kantor pajak, mungkin pelaku penggelapan uang pajak akan melenggang dan merasa bebas.

Tagihan memang istilah yang kurang disenangi, apalagi menyangkut pajak. Kasus ini agak istimewa, penagihan mampu menyingkap kriminalitas. Oknum notaris itu pun akhirnya mengakui bahwa pajak atas transaksi dimaksud memang belum dibayarkan. Karena pelaku utamanya merupakan teman akrab pemilik perusahaan, maka kasus ini akan diselesaikan secara kekeluargaan oleh mereka sendiri.

PT Morat-Marit muncul di daftar penunggak pajak terbesar. Pihak perusahaan pun mengetahuinya. Mereka mengaku sangat malu dan dirugikan dengan pengumuman itu.

333Kem

enterian Keuangan

Belajar dari efek (positif) penagihan di atas, maka sekalian berfungsi untuk mengejar target penerimaan pajak, peran jurusita sangatlah strategis. Terlepas apakah kejadian di atas sebuah kebetulan atau tidak, yang jelas aspek positifnya masih banyak. Meski kurang senang ditagih, tetapi wajib pajak malah berterima kasih. “Untung ditagih, Pak,”begitu katanya berulang kali. “Kalau tidak ditagih kantor pajak, saya tidak tahu kalau ditipu kawan,” tambahnya.

Selayaknya kita tetap bersemangat menegakkan kebijakan guna menopang kuatnya peran dan fungsi pajak. Siapa sangka ditagih kok malah berterima kasih. Tagihan pajak lancar dan wajib pajak pun senang.

Sumber: Buku Berkah DJP, Untaian Kisah Perjuangan Penagihan Pajak

334

Kare

na K

ita G

arda

Bapak Loket 3

Oleh: Kawas Rolant Tarigan, Pegawai DJP

Saya bekerja di KPP Pratama Karawang Utara dan ditempatkan pada Seksi Pelayanan di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT). Saya selalu “siap” di loket 3. Sebagai ujung tombak yang bekerja di garis depan, banyaklah Wajib Pajak yang mengenal saya. Mereka bahkan memanggil saya dengan panggilan khusus: Bapak Loket 3.

Ya, begitulah nama panggilan yang mereka sematkan pada saya. Saya tidak tersinggung, bahkan gembira atas kreativitas para Wajib Pajak tersebut. Hal itu membuat saya terkait dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab yang diamanatkan oleh negara. Bagi saya itu trademark keren dan menyenangkan.

Siang itu, saya memanggil antrean selanjutnya. Kemudian datang seorang lelaki berwajah sangar yang sudah tidak asing lagi bagi saya. Dia memang sering datang dengan segepok SPT dari berbagai perusahaan Wajib Pajak yang semuanya nihil. Kami membahasakannya dengan “CV NIHIL JAYA” untuk SPT yang dibawa para calo. SPT yang demikian tidak pernah berisi angka dan pada kolom-kolomnya, hanya berisi tulisan NIHIL. Sebenarnya buat saya hal itu merupakan fenomena menyedihkan karena

335Kem

enterian Keuangan

kebanyakan Wajib Pajak jenis ini merupakan rekanan instansi tertentu.

Saat berhadapan dengan lelaki berwajah sangar itu saya spontan teringat pada Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 32 UU KUP, bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan (mengisi, menandatangani, termasuk pelaporan SPT) yang dilakukan oleh bukan pengurus Wajib Pajak yang bersangkutan harus menggunakan Surat Kuasa Khusus. Mungkin Pasal ini bisa menjadi alat yang tepat untuk menanganinya.

Dia datang ke loket 3, lalu menyodorkan setumpuk SPT. Seperti biasa, setelah saya memberikan salam, mulailah pembicaraan fokus pada keperluan orang tersebut.

“Pak, untuk pelaporan SPT yang bukan kepunyaan Bapak atau SPT titipan, Bapak harus menyertakan Surat Kuasa.”

Di luar dugaan, nada suaranya kemudian meninggi nyaris menjadi bentakan, “Ah, jangan mempersulit, kemarin-kemarin juga bisa. Di kantor lain masih bisa kok. Kamu jangan macam-macam.”

Saya membalas dengan penegasan, “Peraturan ini kita terapkan berdasarkan Undang-Undang, silakan Bapak baca ketentuannya di KUP atau konsultasikan dengan AR Bapak.”

“Ah, kamu jangan mengada-ada,” sambarnya lagi, “Udah terima saja, jangan mempersulit persoalan.”

“Tentu tidak bisa, Pak. Begitulah peraturannya, dan ini juga untuk tertib administrasi, supaya Wajib Pajak yang bersangkutan sebisa mungkin melaporkan sendiri SPT-nya tidak melalui perantara. Maaf, Pak, SPT-nya tidak bisa saya terima.”

“Kamu mau melawan saya?” tantangnya sambil tangannya menggebrak meja.

“Kamu masih muda tidak usah cari masalah. Kamu ini,

336

Kare

na K

ita G

arda

orang mana? Hah, orang mana? Kamu pendatang ‘kan? Saya ini orang asli. Hati-hati, ya!” Suaranya sudah menjadi teriakan yang menarik perhatian orang-orang di TPT kami yang kecil. Mereka hanya diam dan menonton. Teman-teman di loket lainnya juga diam, mungkin masih terpukau oleh teriakan lelaki sangar di depan loketku. “Orang mana kamu?”

Perasaan gentar muncul dalam hati. Namun, entah bagaimana, kesadaran membuat keberanian saya kembali menyeruak mengalahkan rasa gentar yang datang. Masih dengan suara rendah dan sebisa mungkin saya buat agar terkesan ramah, “Saya orang Medan, Pak. Saya memang pendatang di sini, tapi saya melaksanakan tugas sebagaimana aturan yang berlaku.”

“Hmm, orang Medan. Jauh ya, hati-hati kamu. Awas ya, berani?” Dia mengancam sambil merapikan berkas-berkas SPT yang dibawanya sebelum pergi.

Sesaat setelah kejadian itu TPT rasanya senyap sekali. Jantung saya berdebar, keringat mengucur. Jujur saja, saya benar-benar shock, saya pergi ke toilet, cuci muka, menenangkan diri. Saat itu saya memang masih “orang baru” di Karawang. Sebagai anak kampung, saya ketakutan menghadapi ancaman Bapak itu, walaupun tetap berusaha kelihatan tegar.

Hampir dua minggu saya tidak percaya diri untuk berpergian sendiri, untuk makan, belanja, jalan, di parkiran, atau di taman. Saya gelisah. Saya merasa takut dan waswas meski tidak mampu menetapkan sebenarnya saya takut terhadap apa. Saya hanya tahu bahwa semenjak kejadian siang itu nyawa saya menjadi tidak aman, hidup saya menjadi tidak nyaman. Saya selalu merasa diikuti dan diintai. Setiap saat saya dimangsa oleh kegelisahan, takut, dan waswas. Saat masa-masa kalut itu sering muncul bisikan, “Ngapain kamu nyusahin diri sendiri,” atau “Grade-mu rendah,” atau “Capek? Ngapain capek-capek menjaga TPT,” dll. Untunglah bisikan-bisikan tak meracak di hati,

337Kem

enterian Keuangan

dan saya bersyukur di dalam doa dan persekutuan dengan para sahabat setia, selalu dikuatkan.

Sekarang dua tahun telah berlalu setelah kejadian itu. Ternyata sampai detik ini saya aman-aman saja. Justru setelah kejadian siang itu, saya tidak pernah bertemu Bapak itu lagi. Wajahnya pun sirna dari ingatan saya.

Siang yang lain saya dengan sabar mengurusi NPWP para pensiunan yang tak bisa berbahasa Indonesia. Saya yang punya lidah Batak harus belajar bahasa Sunda halus, “Ieu, Pak, punten NPWP-na, hatur nuhun atos ngadamel NPWP.”

Lain waktu lagi saya harus “ngotot”menolak amplop dari Wajib Pajak, mulai dari yang tipis sampai agak tebal; mulai dari Wajib Pajak yang berpakaian dinas, sipil, aparat, sampai yang bercelana pendek; mulai dari Wajib Pajak yang punya bengkel sampai pabrik baja.

Kadang harus mengalami suka-duka mengurus SPMKP dan SPMIB ke KPPN.

Pernah beberapa kali trademark keren saya diganti oleh teman-teman dan saudara-saudara saya menjadi ‘Gayus’. Padahal saya lebih senang dipanggil “Bapak Loket 3.”

“Mau ketemu siapa, Neng?”

“Itu... ehm... Bapak Loket 3.”

Tak apalah nama saya dilupakan oleh para Wajib Pajak.

Yang paling membekas di hati saya adalah saat seorang Wajib Pajak datang pada loket saya dan berkata, “Sekarang kantor Pajak udah beda ya, Pak! Saya senang lho kalau ke kantor ini.”

Wah, pernyataan itu benar-benar sangat menghibur saya.

Menjadi petugas TPT mengajarkan saya bagaimana cara untuk terus tetap tersenyum kepada para Wajib Pajak,

338

Kare

na K

ita G

arda

meski badan saya dalam keadaan lelah, meski hati saya sedang dirundung badai. Kadang saya cukup memejamkan mata, mengingat berkah Sang Khalik dan bersyukur, tak terasa bibir saya sudah melengkungkan senyuman.

Hidup tak selamanya seindah kebun bunga, akan datang saat-saat badai untuk menguji ketangguhan kita, dalam pekerjaan, dalam keluarga. Jadi, keputusannya ada pada kita, bagaimana tetap tersenyum di tengah badai walaupun angin topan dengan keras melanda hidupmu. Dan TPT, bagiku menjadi tempat belajar untuk selalu tersenyum. Senyum sebagai ekspresi rasa syukur dari dalam hati.

Menjadi petugas TPT mengajarkan saya bagaimana cara untuk terus tetap tersenyum kepada para Wajib Pajak, meski badan saya dalam keadaan lelah, meski hati saya sedang dirundung badai.

339Kem

enterian Keuangan

Sebuah Hati yang Sabar untuk Desa MiritOleh: Galih Shaha Dewa, Pegawai DJBC

“Pak Haji dataang!”

Seperti sebuah kode datangnya orang-orang berseragam yang akan mengangkut semua rokok ilegal yang ada di setiap warung. Ada yang takut dan berusaha menyembunyikan sesuatu, tetapi ada juga yang lantas berkata, “Wis ora dodolan rokok bodong maning, Pak. Wis kapok. (Sudah tidak jualan rokok ilegal lagi, Pak. Sudah jera).”

Itulah yang terjadi hampir di setiap kegiatan Operasi Pasar Barang Kena Cukai yang kami laksanakan. Operasi Pasar Barang Kena Cukai atau yang cukup disebut Operasi Pasar adalah suatu kegiatan pengawasan terhadap peredaran Barang Kena Cukai di pasaran. Sasaran utama dari pengawasan tersebut adalah mencari keberadaan rokok ilegal yang marak beredar di masyarakat. Kantor Bea Cukai Cilacap melaksanakan Operasi Pasar yang merupakan salah satu fungsi pengawasan untuk keberadaan rokok ilegal dalam wilayah pengawasannya yang meliputi seluruh Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kebumen.

Dengan luas wilayah pengawasan tersebut dibutuhkan

340

Kare

na K

ita G

arda

pegawai yang profesional dalam melaksanakan tugas operasi pasar. Pak Rasikun salah satunya. Kasubsi Penindakan dan Sarana Operasi yang sudah bertahun-tahun memimpin pelaksanaan tugas operasi pasar ini berperawakan tinggi besar dan berkumis tebal. Sosoknya mencerminkan seorang pengawas yang garang dan menakutkan. Bisa dipastikan apabila beliau bertemu dengan pengedar/penjual rokok ilegal, maka mereka tak akan pernah berani lagi untuk melakukan kegiatan di wilayah pengawasan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Cilacap.

***

Jumat pagi aku mendapatkan tugas dari Pak Rasikun untuk membuat nota dinas usulan pelaksanaan operasi pasar kepada kepala kantor. Operasi pasar kami usulkan untuk dilaksanakan minggu depan selama dua hari, yaitu hari Selasa dan Rabu. Walaupun sudah sering mengikuti Operasi Pasar, tapi tetap saja aku masih merasa grogi. Ada sedikit perasaan takut apabila nantinya dalam pelaksanaan terjadi hal-hal yang berbahaya. Karena aku pernah mendengar cerita tentang pelaksanaan Operasi Pasar yang akhirnya berujung konflik dengan warga lantaran terjadi kesalahpahaman. Ujung-ujungnya, petugas Bea Cukai diusir dan pulang dengan tangan hampa.

Hari Selasa pun tiba juga. Petugas yang ditunjuk untuk melaksanakan Operasi Pasar tiba di kantor pagi-pagi sekali. Mereka adalah Pak Rasikun, Pak Purnomo, Pak Basarudin, dan aku. Hanya aku yang memakai Pakaian Dinas Harian (PDH), sementara mereka bertiga tidak berseragam. Ini berkaitan dengan tugasku nanti ketika pelaksanaan operasi pasar yang akan menunjukkan Surat Tugas Operasi Pasar ketika terjadi penindakan dan membuat Surat Bukti Penindakan. Dengan berseragam, kehadiranku akan lebih mudah dikenali sebagai petugas Bea Cukai.

Target lokasi Operasi Pasar kali ini adalah pasar tradisional di daerah Mirit, Kabupaten Kebumen. Pasar-pasar

341Kem

enterian Keuangan

tradisional di daerah Mirit biasanya hanya ramai di hari-hari tertentu. Pasar Mirit hanya buka pada hari pasaran Manis, dan hari ini adalah hari Selasa Manis. Dengan begitu, kami berharap hari ini bisa bertemu dengan sales yang mengedarkan rokok ilegal di Pasar Mirit. Berbekal Surat Tugas, Surat Bukti Penindakan, alat-alat deteksi pita cukai, dan aneka stiker larangan menjual rokok ilegal, berangkatlah kami pada pukul 07.00 WIB.

Dengan mengendarai mobil pribadi milik Pak Rasikun, kami berempat pun meluncur ke Mirit. Kenapa mobil pribadi padahal ini adalah tugas kantor? Ya… menurut pengalaman, kalau memakai mobil kantor (plat merah), para penjual ataupun pemilik warung yang kami datangi akan curiga dan langsung menolak bekerja sama. Dengan pengalaman seperti itu maka diputuskan untuk memakai mobil pribadi di setiap operasi pasar. Perjalanan Cilacap – Mirit cukup lama, yaitu sekitar dua jam. Terkadang aku sampai terkantuk-kantuk menunggu kapan kami tiba. Sesampainya di pasar kami langsung berpencar mencari lapak yang menjual rokok atau tembakau iris. Sembari memperhatikan merek-merek rokok yang dijual, aku juga mengajukan beberapa pertanyaan kepada para penjual itu berkaitan dengan keberadaan rokok ilegal di Pasar Mirit.

Setelah sejam berputar-putar mengelilingi pasar dan mengunjungi tiap lapak penjual rokok dan tembakau iris, kami tidak menemukan satupun yang menjual rokok ilegal. Sepertinya penyuluhan yang dilakukan teman-teman dari Seksi KIP cukup berhasil. Hal ini terbukti dengan adanya informasi dari para penjual rokok di pasar itu mengenai keberadaan pedagang/sales yang menawarkan rokok ilegal dan mereka menolak untuk membeli kemudian menjual kembali. Para penjual itu sudah tahu bahwa rokok tersebut ilegal.

Operasi Pasar selanjutnya mengunjungi warung-warung yang ada di wilayah Kecamatan Mirit. Masih mengendarai mobil, kami mendatangi setiap warung yang ada. Kali ini,

342

Kare

na K

ita G

arda

aku tidak ikut turun dari mobil, tetapi hanya berdiam diri di dalam mobil sambil mengamati para seniorku dalam menjalankan tugas sekaligus berjaga-jaga apabila nantinya terjadi penindakan.

“Nuwun sewu, Pak, arep tuku rokok sing murah-murah ana (Permisi Pak, mau beli rokok yang murah ada)?” tanya Pak Rasikun.

“Rokok Murah? S--su (menyebut merek tertentu) apa?” tanya pemilik warung.

“Udu, Pak, anu sing mereke E--NK (menyebut merk rokok ilegal tertentu) ana (Bukan, Pak, yang merek E--NK ada)?” tanya Pak Rasikun lagi.

“E--NK? Sih udud apa kuwe? Anu merek anyar apa kepriwe? (E--NK? Itu rokok apa? Merk baru yah?)” Si pemilik warung balik bertanya.

“Ya ora sih, Pak, wis mandan lawas koh mereke. Nek ora ana ya sing merek … (menyebut merek rokok ilegal lainnya) ana apa ora? (ya nggak sih, Pak, udah lama juga kok mereknya. Kalau nggak ada ya yang merek … ada apa nggak?)” tanya Pak Rasikun lagi.

“Waduh ora ana loh, Pak, merek-merek kaya kuwe. Kene dodolane sing wis terkenal bae sing genah akeh peminate. Sing resmi-resmi baelah, Pak, sing wis ana bandrole (Waduh nggak ada loh, Pak, merek-merek seperti itu. Saya jualannya yang sudah terkenal saja yang jelas banyak peminatnya. Yang resmi-resmi ajalah, Pak, yang sudah ada bandrolnya),” kata pemilik warung.

“Ooh, ya wis, Pak, kesuwun ya (Ooh, ya sudah, Pak, terima kasih, ya),”ucap Pak Rasikun lagi.

Begitulah sekelumit percakapan antara Pak Rasikun dengan pemilik warung. Dalam operasi pasar ada kalanya kami bisa langsung menemukan rokok ilegal karena memang terlihat dan dipajang di etalase, tetapi kadang harus bertanya

343Kem

enterian Keuangan

terlebih dahulu untuk memastikan apakah rokok tersebut legal atau ilegal.

Semua berjalan lancar sampai kami tiba di sebuah warung di dekat pertigaan jalan. Ketika aku menuliskan daftar barang yang akan dibawa, pemilik warung mulai protes sehingga terjadi perselisihan. Pemilik warung tidak mau barangnya disita karena jumlahnya cukup banyak dan dia akan rugi besar. Aku coba menjelaskan bahwa memang beginilah prosedurnya, rokok ilegal tersebut harus dibawa ke kantor untuk nantinya dimusnahkan bersama dengan barang hasil penindakan cukai lainnya.

Si pemilik warung mulai emosi.

“Mbok ya aja mung wong cilik bae sing di angel-angeli. Wong aku dodolan bener-bener ya dijukuti barange (Jangan hanya orang kecil yang dipersulit. Aku ‘kan jualan dengan benar, malah diambil barangnya),” ujar si pemilik warung.

“Iya, Pak, Bapak jualannya sudah benar, tapi barang yang Bapak jual ini kan ilegal. Sebagai aparat penegak hukum, kami harus menyita barang-barang tersebut agar nantinya tidak lagi ada di masyarakat, Pak. Dengan adanya rokok ilegal ini Bapak akan merugikan perusahaan yang sudah resmi yang sudah memiliki izin.” Aku sekali lagi mencoba menjelaskan.

“Lah ya terus kenangapa sing ditangkep udu pabrike bae? Malah sing nang warung-warung sing dijukuti. Ujare njenengan aku tuku kiye udud karo godong apa? Karo duit, Mas! Pancen jumlahe ora sepiraa tapi kene kan wong cilik, Mas. Duit satus ewu kuwe kerasa banget, Mas. Lah kiye malah ududku se abreg-abreg dijukuti kabeh sih lah kepriwe? (Kalau begitu kenapa yang ditangkap bukan pabriknya? Malah yang ada diwarung yang diambil. Kamu kira saya beli rokok ini pakai daun? Pakai uang, Mas! Memang jumlahnya tidak seberapa tapi kita ini orang kecil, Mas, uang seratus ribu itu sangat terasa. Lah ini malah rokok saya sebanyak ini diambil semua terus bagaimana?)”

344

Kare

na K

ita G

arda

protesnya.

Mendengar perbincangan kami, Pak Rasikun datang menenangkan suasana.

“Nggih, Pak, nuwun sewu yah. Barang yang Bapak jual itu barang ilegal. Kami sebagai petugas yang tugasnya menertibkan hal-hal semacam ini. Kami pun sudah berusaha semaksimal mungkin. Kami sudah sosialisasi ke kecamatan, ke kelurahan, bahkan langsung ke pasar. Ketemu langsung sama penjualnya. Dengan begitu kami berharap bahwa informasi tersebut disebarluaskan. Jadi bisa saling membantu. Begitu, Pak,” jelas Pak Rasikun panjang lebar.

Pak Rasikun berbicara lagi melanjutkan penjelasannya mengenai rokok ilegal dengan tinjauan dari berbagai sudut pandang. Berbicara soal pengalaman, Pak Rasikun memang sudah kenyang dengan asam-garamnya dunia Operasi Pasar. Beliau mampu meyakinkan pemilik warung bahwa apa yang dilakukan Bea Cukai adalah demi melindungi masyarakat dan industri dalam negeri yang berkaitan dengan Barang Kena Cukai. Beliau juga bisa meredakan emosi pemilik warung hanya dengan rangkaian kalimat bijaknya sampai akhirnya yang bersangkutan tak menolak saat rokok ilegalnya dibawa ke Kantor Bea Cukai Cilacap. Kami pun tak perlu melakukan pemaksaan dan kekerasan.

Setelah semua urusan administrasi selesai, aku menyerahkan berkas-berkas penindakan kepada Pak Rasikun untuk selanjutnya diteliti dan ditandatanganinya. Tak lama kemudian, Pak Rasikun pun menyerahkan halaman kedua SBP yang sudah dibuat kepada pemilik warung.

“Kiye, Pak, nek mengko salese teka ngeneh maning kiye kertase diwehna bae nggo bukti bahwa barange wis dijiot nang Bea Cukai. Terus mengko sampeyan njaluk ganti rugine nang salese kae mau. (Ini, Pak, kalau nanti sales-nya datang ke sini lagi, ini kertasnya diberikan saja untuk bukti

345Kem

enterian Keuangan

bahwa barangnya sudah diambil sama Bea Cukai. Terus nanti kamu minta ganti ruginya ke sales tadi),” jelas Pak Rasikun.

“Ooh iya, Pak, kaya kuwe yah? Ya wis, Pak, ngapurane ya, Pak. Anu, aku kan ora ngerti sih, nek ngerti ya ora dodolan rokok kaya kuwe maninglah. Untunge sepira oraa malah dadi kena kasus kaya kiye. Kapok wislah ora dodolan kaya kuwe maning, Pak. (Ooh iya, Pak, seperti itu yah? Ya sudah, Pak, saya mohon maaf. Kan saya tidak tahu. Kalau tahu, ya tidak jualan rokok seperti itu lagilah. Untungnya tidak seberapa malah jadi kena kasus seperti ini. Kapok sudah tidak jualan seperti itu lagi, Pak.)” kata pemilik warung.

Selama perjalanan pulang aku masih merenungi kejadian tadi. Apa jadinya kalau akhirnya terjadi pemaksaan dan kekerasan? Karena menurutku apa yang dilakukan Pak Rasikun sangatlah benar. Selama kita masih bisa melakukan diplomasi dengan baik, maka kekerasan tidak lagi diperlukan.

“Geh, Lih, kalau kamu kerja di lapangan hal-hal kaya tadi itu udah biasa, Lih. Kamu harus siap. Siap dimarah-marahi, dicaci-maki. Kuncinya kamu itu sabar. Anak muda biasane grasa-grusu (ceroboh) ngerasa dia udah bener tapi cara melaksanakannya salah. Kamu harus bisa memposisikan dirimu di tempat orang yang kamu beri sosialisasi. Jangan kamu udah emosi aja dari awal, jangan! Itu salah. Di baik-baikin dulu, dikasih tahu tugas kita itu gimana, dijelasin dikit- dikit yang penting sananya ngerti. kalau sananya udah ngerti kan enak kita mau gimana dia pasti paham. Yang jelas kuncinya sabar,” jelas Pak Rasikun panjang lebar.

“Iya, Pak. Siap!” jawabku.

***

Hari itu aku mendapatkan satu lagi pelajaran yang sangat berharga, yaitu kesabaran. Walaupun kita berada pada posisi bawah kita harus bersikap tegas, kita tetap harus

346

Kare

na K

ita G

arda

bisa menjaga diri. Tetap tegas tapi juga harus sabar. Seperti Pak Rasikun ini. Beliau mencontohkan bahwa dengan kesabaran dalam menghadapi emosi pemilik warung, Beliau bisa meyakinkan bahwa rokok yang dijualnya itu ilegal dan harus disita. Ujung-ujungnya pemilik warung pun akhirnya dengan sukarela merelakan rokok ilegal miliknya untuk dibawa ke KPPBC Cilacap.

Mendadak aku jadi teringat motto KPPBC Cilacap, Bekerja dengan CINTA. Cinta datang dari hati, dan Pak Rasikun telah membuktikannya.

“Iya, Pak, Bapak jualannya sudah benar, tapi barang yang Bapak jual ini kan ilegal. Sebagai aparat penegak hukum, kami harus menyita barang-barang tersebut agar nantinya tidak lagi ada di masyarakat, Pak. Dengan adanya rokok ilegal ini Bapak akan merugikan perusahaan yang sudah resmi yang sudah memiliki izin.”

347Kem

enterian Keuangan

Mari Tersenyum

Oleh: Amalia Hanif, Pegawai Setjen

Hal yang sering membuat saya berpikir keras, bukankah senyum adalah sedekah, bukankah senyum menarik sekian banyak otot di wajah yang bias membuat kita awet muda, bukankah senyum adalah ciri khas keramahan bangsa Indonesia?

Beberapa waktu yang lalu saya, dengan 2 orang teman berjalan bersama dari Gedung Djuanda I ke Gedung Djuanda II. Di tengah perjalanan kami bertemu seorang Bapak Ramah yang tersenyum kepada kami sembari berkomentar, “Lho..kok tingginya…” sambil menunjuk kami. Kami bertiga membalas komentar tersebut dengan tertawa. Tinggi badan kami memang njomplang. Saya yang tinggi semampai (baca: semeter tak sampai) berjalan beriring dengan teman yang tinggi menjulang, dan satu lagi teman dengan tinggi rata-rata kebanyakan orang. Well… komentar yang singkat, tapi berhasil membuat kami semua tersenyum bahkan tertawa.

Saya bandingkan dengan pengalaman saya yang lain. Pernah suatu ketika saya melintas di lantai Ground Gedung Djuanda I dan berpapasan dengan teman yang sudah sering saya temui. Saya bilang teman karena kami bekerja pada

348

Kare

na K

ita G

arda

instansi yang sama. Saya yakin dia pegawai, sama seperti saya, meskipun saya tidak tau nama Beliau dan unit kerja Beliau. Saat itu saya menyapa dengan tersenyum dan sedikit mengangguk. Dan anda tahu … tidak ada balasan senyum apalagi sapaan dari Beliau. Wow! Apakah membalas senyuman orang yang tidak anda kenal adalah sebuah dosa?

Hal yang sangat sepele, sekadar tersenyum, sekadar menyapa. Namun memiliki banyak makna. Salah satu nilai-nilai Kementerian Keuangan adalah sinergi. Pengalaman yang saya ceritakan pertama jelas mencerminkan sinergi, meskipun tidak mengenal dekat, tetapi menyapa, menunjukkan keakraban, kekeluargaan. Pengalaman yang kedua justru sebaliknya.

Hal yang sering membuat saya berpikir keras, bukankah senyum adalah sedekah? Bukankah senyum menarik sekian banyak otot di wajah yang bisa membuat kita awet muda? Bukankah senyum adalah ciri khas keramahan bangsa Indonesia? Kenapa masih banyak yang enggan tersenyum? Padahal kita satu atap, satu instansi, satu pintu?

Lewat curhatan kecil ini, saya ingin mengajak keluarga besar Kementerian Keuangan untuk murah senyum. Mari bangun sinergi diawali dengan senyum. Mari menebar senyum, kecuali… saat anda sedang dimarahi atasan.

Hal yang sering membuat saya berpikir keras, bukankah senyum adalah sedekah? Bukankah senyum menarik sekian banyak otot di wajah yang bisa membuat kita awet muda? Bukankah senyum adalah ciri khas keramahan bangsa Indonesia?

349Kem

enterian Keuangan

Senyum dan Sapa dalam Dunia Kerja

Oleh: Yelly Metasari, Pegawai Setjen

Pertemuan pertama

Saya: “Pagi, Mas.” (senyum menyapa tukang kebun yang sedang mencabuti rumput di taman depan pintu masuk kantor).

Tukang Kebun: “Pagi, Neng.” (membalas senyum saya).

Pertemuan kedua

Suatu pagi di taman air mancur dekat parkiran mobil kantor.

Tukang Kebun: “Pagi, Neng.” (senyum menyapa)

Saya: “Pagi, Mas. Waw, bunganya bagus. Ini bunga apa namanya?” (saya menghampiri tukang kebun yang sedang menyiram bunga di pinggiran taman).

Tukang kebun: “Ini namanya bunga jam 10, Neng. Soalnya mekarnya jam 10 ke atas doang , hehehe...”

Saya: “Wah, pantesan, kalau saya lewat pagi hari belum mekar, tapi kalau saya lewat sini siang hari, bunganya mekar dengan cantiknya, warna warni, Mas.”

350

Kare

na K

ita G

arda

Tukang kebun: “Iya, Neng” (sambil tersenyum)

Saya: ”Ya sudah, saya duluan, mas. Mari…” (pamit menuju gedung kantor)

Dari pembicaraan sederhana saya pagi itu dengan tukang kebun yang biasa merawat bunga bunga di taman kantor, terlihat bahwa tukang kebun itu punya sikap yang ramah dan ternyata dia sangat memperhatikan lawan bicaranya. Setelah pertemuan pertama, berlanjut ke pertemuan berikutnya, seperti suatu hari di parkiran mobil.

Tukang kebun: “Pagi, Neng.”

Saya: “Pagi, Mas.”

Tukang kebun: “Di sebelah sana masih ada parkiran yang kosong, Neng.” (sambil memegang sapu, mas tukang kebun menunjukkan tempat parkir kosong).

Saya: “Owh, iya, makasih, mas.” (sambil tersenyum manis).

Lihat, saya sangat terbantu. Karena datang agak terlambat, parkiran sudah penuh. Namun karena diberikan informasi ada satu tempat parkir di depan, sangat membantu saya pada hari itu. Modal awal saya hanya senyum dan sapa. Lihat kekuatannya, awalnya saya yang senyum duluan dan menyapa tukang kebun itu, pada hari pertama bertemu, tidak ada alasan atau keinginan bagi saya untuk meminta bantuan kepada tukang kebun itu, hanya sekadar menyapa dan tersenyum saja. Namun, berikutnya, ia langsung membantu dengan memberikan informasi yang membantu saya. Dan sampai saat ini, setiap kali saya bertemu dengan tukang kebun itu, pasti kamu saling bertegur sapa atau sekadar tersenyum satu sama lain.

Kadang terasa berat memang untuk memberikan sebuah senyuman dan menyapa orang lain, terlebih kepada orang yang kita tidak sukai. Padahal dengan satu senyuman, akan menghapus permusuhan, menenangkan hati, dan membangkitkan semangat bagi mereka yang tulus

351Kem

enterian Keuangan

memberikan senyumannya. Dalam dunia kerja, sebuah senyuman dan menyapa terlebih dahulu akan bermakna bahwa kita menghargai rekan kerja kita.

Marilah kita mulai budaya kerja yang sederhana ini di lingkungan kita terlebih dahulu, menyapa orang di sekitar dan memberikan senyum yang tulus dan hangat. Tebarkan pikiran positif, perasaan yang baik, kesehatan yang baik, dan kesuksesan pada orang- orang di sekitar kita. Biasakan untuk tersenyum dan menyapa ketika kita bertemu dan memulai percakapan dengan rekan kerja atau atasan kita. Bahkan saat menghadapi permasalahan dalam pekerjaan pun, usahakan untuk mengahadapinya dengan tersenyum.

Ketika kita sampai di kantor, jangan langsung duduk lalu menyalakan komputer, kemudian sibuk dengan pekerjaan. Saking seriusnya melakukan satu pekerjaan, rekan kerja kita yang baru datang tidak terlihat oleh mata. Jangankan menyapa, menolehkan kepala dan tersenyum menyambutnya saja sering tidak kita lakukan.

Bekerja bukan hanya menulis huruf atau angka saja, tetapi bagaimana kita dapat berinteraksi dengan rekan kerja. Mulailah dengan senyum dan menyapa terlebih dahulu minimal satu rekan kerja setiap pagi sebelum memulai pekerjaan dan sibuk di depan komputer kita. Ajaklah ia tersenyum, tanyakan bagaimana harinya dan selingi dengan candaan.

Dengan cara ini kita akan berbagi energi positif dan kita dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik, lebih bersemangat, dan bertanggung jawab.

Kebiasaan untuk tersenyum dan menyapa perlu dibudayakan agar menjadi bagian dari “karakter baik” setiap orang, sehingga kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun, karakter itu telah menjadi kebiasaan yang enjoy

untuk dilaksanakan, bukan sekadar kamuflase yang mudah berubah menurut situasi dan kondisi tertentu.

352

Kare

na K

ita G

arda

Rasulullah SAW bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR Tirmizi dan Abu Dzar).

Tersenyumlah dengan hati yang ikhlas, maka kita akan mendapatkan kebaikan setelahnya.

“Sudahkan anda tersenyum dan menyapa rekan kerja anda hari ini?”

Bekerja bukan hanya menulis huruf atau angka saja, tetapi bagaimana kita dapat berinteraksi dengan rekan kerja.

353Kem

enterian Keuangan

Idealisme dalam Sebuah Kamera

Oleh: Hendy S. Yudhiyanto, Mantan Pegawai DJPb

Hampir setiap kali aku melihat kamera, memegang, dan mengoperasikannya, hatiku seakan dipenuhi dengan berjuta rasa bangga. Bukan karena aku adalah seorang fotografer yang mahir menggunakan kamera, kemudian membuat foto-foto yang memesona. Aku bahkan nyaris tidak pernah peduli dengan detail tentang apa yang namanya angle atau sudut pandang, pencahayaan, diafragma, ataupun terminologi-terminologi lainnya yang berkaitan dengan fungsi kamera. Meskipun memang tidak benar-benar buta tentang pemotretan, aku hanya sesekali menggunakan kamera, itu pun untuk maksud-maksud yang amat fungsional dan pragmatis sifatnya, seperti mendokumentasikan suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh kantor, atau mengabadikan seremoni pernikahan handai-tolan.

Bapak, panggilanku untuk ayahanda tercinta, adalah sosok yang pertama kali memperkenalkan aku dengan ‘binatang’ yang belakangan aku ketahui dan kusebut sebagai kamera itu. Aku ingat, waktu itu aku masih duduk di kelas akhir Sekolah Dasar, dan bapak mulai akrab dengan ‘mainan’ barunya itu, sebuah kamera semi profesional bermerek Yashica. Lucunya, kami tidak menyebutnya sebagai ‘kamera’

354

Kare

na K

ita G

arda

atau ‘Yashica’ sesuai dengan mereknya, melainkan “Kodak”, brand lain yang lazim kami pakai untuk menyebut kamera. ltu sama kasusnya dengan ketika kami menyebut ‘Honda’ untuk sepeda motor, atau ‘Swallow’ untuk sandal jepit.

Yang saya tahu kemudian, Bapak memperlakukan kodak, eh, kameranya itu sebagai salah satu harta yang paling berharga miliknya. Momen penting apa pun waktu itu tidak akan pernah terlewatkan tanpa jepretan kamera bapak. Salah seorang (walau bukan orang pertama atau satu-satunya pilihan, karena ada satu karib bapak yang telah lebih dulu berkecimpung dalam jagad perkameraan) yang akan diminta dan dipercaya untuk mengabadikan suatu acara adalah bapak. Dari situ, Beliau memperoleh bayaran, sebagai tambahan untuk pendapatan keluarga kami.

Bagiku dan bagi kami sekeluarga, Bapak, bernama Slamet Wahyudi, seorang pendidik, adalah seorang pejuang yang “tidak bisa diam”. Apapun dilakukannya asalkan membawa manfaat positif bagi keluarga, masyarakat, atau bahkan kehidupan. Menjadi pemotret seperti itu contohnya. Buat keluarga, jelas, pendapatan kami bertambah selepas bapak menerima bayaran atas jerih payahnya. Di lain pihak, masyarakat diuntungkan dengan keberadaan bapak dan kameranya. Tidak seperti pemotret yang satunya, bapak tidak pernah mematok tarif yang memberatkan bagi pengguna jasanya. Bapak selalu menerapkan prinsip win-win

solution. Biasanya Beliau memberitahukan kepada kliennya mengenai item apa saja dan berapa biaya yang dikeluarkan, kemudian mempersilakan kliennya itu untuk menawar sebelum harga akhirnya disepakati bersama.

Di samping itu, barangkali karena Beliau adalah seorang pendidik, Beliau tak lupa untuk menjadikan momen yang menjadi objek pemotretannya itu sebagai ajang pelatihan bagi siapa saja yang hendak memahami dan menguasai tentang bagaimana pemotretan itu dilakukan. Bapak tidak pernah merasa sayang untuk menggunakan seluruh perlengkapan memotretnya dalam rangka menyukseskan

355Kem

enterian Keuangan

program pelatihannya. Aku ingat betul, bapak akan senantiasa membawa tiga kameranya, dari yang saku, entry level, sampai Yashica kesayangannya. Tak heran kalau kemudian beberapa ‘muridnya’ cukup percaya diri dan mampu untuk membuka jasa pemotretan, sama seperti yang bapak lakukan. Aku adalah salah satu muridnya. Ketika ada waktu luang dikala aku masih duduk di bangku SMP dan SMA, bapak selalu mengajakku untuk menyertainya saat diminta melakukan pemotretan.

Itulah salah satu alasan yang membuatku sangat menghormati bapak. Tak hanya dalam hal itu saja, bapak juga akan selalu menerapkan prinsip yang sama manakala pekerjaannya berhubungan dengan orang lain. Sebagai pendidik, Beliau telah berhasil mencatatkan diri sebagai guru yang baik, dan itu terbukti dengan kepercayaan yang kini diberikan kepadanya untuk menciptakan banyak guru-guru lain yang baik di area Jawa Tengah. Selain itu, ada beberapa forum wirausaha yang bapak ciptakan sebagai media pembelajaran bagi warga sekitar. Sewaktu aku masih belum sekolah sampai dengan aku berada di kelas-kelas awal sekolah dasar, bapak menjadikan ruang tamu di rumah kami yang saat itu tak terlalu luas sebagai gudang dan display sepatu. Para pembeli, yang kebanyakan adalah rekan-kerja bapak, dapat mendapatkannya dengan cara mengangsur. Banyak di antara mereka yang membeli alas kaki itu dari bapak, lalu menjualnya kembali. Namun entah mengapa, usaha bapak itu tak berlangsung lama.

Namun aku mengenal bapak sebagai orang yang seperti tak mengenal kata ‘menyerah’. Entah berapa macam lagi upaya yang kemudian dilakukannya. Aku ingat, Beliau pernah membuka usaha penyablonan, cuci dan cetak foto hitam-putih, sampai dengan penyewaan properti buat resepsi. Hanya, satu hal yang patut disayangkan, bahwa dari sudut pandang bisnis, bapak tidak pernah memberikan standar tinggi pada kegiatan-kegiatan wirausaha yang pernah ditekuninya. Diluar prinsipnya untuk menjadikan bisnisnya sebagai media untuk belajar, Beliau ternyata

356

Kare

na K

ita G

arda

tidak memberikan cukup atensi dalam menjalankan usaha-usahanya itu. Pilihan yang diambilnya itu menjadi sangat beralasan karena beliau tidak ingin terganggu dalam memfokuskan diri untuk mengemban tanggung jawab utamanya sebagai seorang pendidik. Di dalam pandangan beliau, dan itu sesuai dengan pilihan dan prinsip yang diyakininya, bisnisnya itu adalah benar-benar sebagai ‘kesibukan sampingan’ yang dilakukan untuk sekadar memberikan ‘penghasilan tambahan’ sehingga tak pantas kalau sampai mengganggu tugas pokoknya sebagai guru.

Prinsip terakhir itulah yang berulang-ulang kali ditularkan bapak kepada anak-anaknya, termasuk diriku. Dalam banyak kesempatan beliau senantiasa berpesan agar kami dapat selalu menjalankan tugas yang diamanatkan dengan sebaik-baiknya. “Le, kamu harus bekerja dengan baik. Jangan neko-neko. Kamu mestilah berterima kasih kepada negara dengan menjaga sebaik-baiknya tugas dan tanggung-jawab yang diamanatkan kepadamu,” katanya suatu ketika.

Belakangan aku juga baru mengetahui, bahwa satu lagi alasan kenapa bapak mencari penghasilan tambahan adalah agar Beliau tidak sampai sekali pun berpikir untuk mengkhianati amanatnya. Aku benar-benar tahu kalau bapak sangat pantang untuk mendapatkan imbalan dengan cara memanfaatkan statusnya sebagai seorang guru. Dengan didasari oleh idealisme itulah pada satu waktu bapak pernah berujar kepadaku begini:

“Le, kalau pengen kuliah di STAN, mbok kamu jangan ambil Pajak atau Bea Cukai. Aku khawatir kamu akan menghadapi banyak sekali godaan di sana.”

Padahal, entah karena paling beken atau kenapa, dua spesialisasi itulah yang waktu itu aku dan teman-teman favoritkan. Namun, pesan dari bapak tersebut memaksaku untuk membuat pilihan lain, sampai akhirnya aku mengambil spesialisasi Anggaran.

Tiga tahun kemudian setelah aku berhasil lulus dan bersiap

357Kem

enterian Keuangan

diri untuk ditempatkan dan bertugas di kantor, bapak selalu mengulang-ulang pesan klasiknya agar aku bekerja dengan sebaik-baiknya, taat aturan, tidak neko- neko, menjadi pegawai yang ‘bersih’. Sampai akhirnya aku memberitahu Beliau kalau aku harus pergi ke Banjarmasin yang menjadi tempat bertugas pertamaku. Bapak senang karena aku tidak ditempatkan di daerah yang terlalu jauh. Sebelumnya Beliau khawatir bila aku ditugaskan di tempat yang jauh, seperti ke Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat, edt) atau Maluku.

Dan inilah pesan perpisahan Beliau yang takkan pernah kulupa, “Le, jaga dirimu baik-baik. Jaga nama baik keluarga. Kerjalah dengan sebaik-baiknya sesuai aturan, jangan berbuat yang tidak benar, dan jangan mengambil yang yang bukan menjadi hakmu”. Yang juga takkan kulupa, bapak memberiku sebuah kamera merek Ricoh beserta sebuah blitz yang kompatibel. Kamera sederhana itu telah acapkali aku gunakan ketika membantu bapak memotret.

Setelah di Banjarmasin aku memang tak banyak memanfaatkan kamera itu untuk mencari tambahan penghasilan yang halal atau merintis usaha pemotretan, sebagaimana yang bapak inginkan, dan seperti yang dulu bapak dan aku lakukan. Meskipun begitu, aku merasa bahwa kamera itu laksana kaca benggala. Seolah-olah aku selalu bercermin dengan pantulan pesan-pesan kebaikan yang terlihat dari sana. Idealisme yang bapak titipkan membuat kamera itu memiliki kebanggaannya sendiri, jauh lebih besar dan tinggi dari pada puluhan fitur dan gambar-gambar indah yang mampu ia tawarkan.

***

(Teruntuk Bapak Slamet Wahyudi, ayahanda yang selalu aku banggakan, dan Almh. Ibu Siti Maryati, ibundaku yang luar biasa menjaga amanah).

358

Kare

na K

ita G

arda

Pengabdiandi Ujung Peluru

Oleh: Raymond Jackson Effendy, Pegawai DJPb

“Cita-cita kami untuk memberikan pengabdian terbaik bagi institusi dan masyarakat, untuk membuat pintu KPKN tetap terbuka melayani, untuk membuat komputer dan mesin printer KPKN tetap berbunyi, dan untuk membuat SPM tetap diproses. Tidak akan mungkin dipatahkan hanya oleh tragedi kemanusiaan ini. Dan bahaya peluru yang mengancam nyawa kami.”

(untuk teman-temanku para pahlawan pengabdi di KPKN Ambon 1999-2002)

Senin, 18 Januari 1999 (30 Ramadhan 1420 H)

Hari terasa berbeda. Suasana riuh rendah menyeruak di mana-mana. Jalanan terasa lebih sempit oleh lalu-lalang kendaraan yang seperti tak ada habis-habisnya. Di mana-mana pertokoaan Mardika dan Ambon Plaza seakan tak mampu menahan gelombang massa yang berbelanja. Maklumlah, besok adalah Hari Raya Idhul Fitri 1 Syawal 1420 H. Hari kemenangan yang dinanti-nantikan oleh umat muslim setelah sebulan berpuasa. Keceriaan tampak di semua wajah, tak peduli tua, muda, anak, dan orang tua. Kota Ambon berhias oleh aktivitas penduduknya yang

359Kem

enterian Keuangan

tengah bersiap merayakan, takbiran, hingga esok hari.

Selasa, 19 Januari 1999 (1 syawal 1420 H) pukul 05.30

WIT

Inilah hari kemenangan yang dinanti-nantikan. Sejak menjelang fajar menyingsing, gema takbir dan tahmid membahana menggemakan kebesaran Allah. Suasana pagi itu sungguh menyejukkan hati dan menenteramkan jiwa yang melihatnya. Keberagaman Indonesia dalam lingkup kecil nyata di kehidupan desa kami yang dihuni oleh mayoritas Kristen. Kami menyapa dengan senyum dan salam dalam kekerabatan dan kehangatan kepada saudara-saudara kami umat muslim yang bertempat tinggal di “Kampong Kusu-kusu’” agak di atas bukit, yang akan melaksanakan Salat ld.

Sambil menunggu saat saudara-saudara kami selesai salat untuk bersilaturahmi dengan mereka aku bercengkrama dengan anak dan istriku. Setelah itu, semua penduduk desa kami turut larut dalam silaturahmi dalam tradisi “pela gandong.”

Selasa, 19 Januari 1999 (1 syawal 1420 H) pukul 13.00

WIT

Suasana mendadak sangat hening. Kota Ambon seakan menjadi kota mati tanpa aktivitas manusia. Bahkan bunyi dedaunan jatuh di jalanan pun bisa didengar. Keanehan yang sempurna untuk menunjukkan ketidaklaziman.

Sekonyong-konyong di sana sini terjadi kekacauan. Dari kejauhan Kota Ambon, yang membelah Teluk Ambon itu, mulai tampak menyala-nyala oleh api. Semula kami mengira ini kebakaran biasa akibat arus pendek atau ledakan kompor. Namun, setelah melihat bahwa kebakaran itu makin meluas dan tersebar lokasinya, kami pun paham telah terjadi sesuatu yang tidak lazim. Kekacauan pun mulai meluas ke mana-mana. Kendaraan mulai tidak teratur dan terkendali jalurnya. Orang-orang berlarian ke sana-ke mari

360

Kare

na K

ita G

arda

sambil menunjuk-nunjuk nyala api di Kota Ambon yang semakin membesar dan meluas.

“Su kaco, su kaco,” begitu teriak mereka.

Siang hingga malam hari itu Ambon terang benderang oleh nyala api. Aksi balas-membalas bakar rumah telah membuat pemandangan Ambon layaknya Roma yang dibakar oleh Nero. Dari berita televisi malam itu kami pun tahu telah terjadi kerusuhan massa.

Hari-hari setelah tanggal 19 Januari 1999 hingga

Oktober 2002

Hari-hari selanjutnya setelah itu adalah gelap dan penuh teror, ketakutan, dan kecemasan. Tak ada keceriaan setelah itu.

Semua jalur transportasi terputus. Ambon telah terkotak-kotak sesuai domisili warga dan agamanya. Jalur transportasi darat praktis terputus. Satu -satunya cara untuk mencapai kantor adalah harus dengan menyeberangi Teluk Ambon dengan menggunakan speed boat. Benda terapung yang panjangnya 4 meter itu disesaki 22 penumpang.

Selama perjalanan suasana terasa mencekam. Risiko perang laut yang lebih terbuka dan penyerang yang bersenjata lebih lengkap bisa saja terjadi kapan saja. Tidak jarang perahu kami yang lambat karena sarat penumpang ditembaki dengan senapan otomatis oleh perahu penyerang yang lebih kecil dan ringan dengan mesin kapasitas besar. Akibatnya kami hanya bisa menunduk dan berdoa sampai tembakan mereda, kemudian saling memperhatikan apakah ada korban yang tertembak. Kesulitan lainnya adalah biaya tinggi untuk ongkos transportasi, yang bisa mencapai Rp50.000,00 sampai dengan Rp75.000,00 per hari. Sangat berat untuk gaji dan TKPKN ketika itu.

***

Setiap kali istriku melihatku pergi meninggalkan pintu

361Kem

enterian Keuangan

rumah, dia berharap melihatku masuk lagi melalui pintu yang sama, dalam keadaan yang sama. Tak sesaat pun dia berhenti berdoa agar aku utuh berdiri di hadapannya ketika pulang kantor. Setiap kali aku tiba di rumah dia segera memeluk dan menangis di pelukanku sambil memindaiku dari ujung rambut hingga kaki.

Ketika malam beranjak dewasa, kepekatan malam berganti dengan hiasan cahaya mortir dan peluru yang saling berbalasan. Di antara bias-bias cahaya itu, langit di atas kota Ambon tampak menangis menyaksikan kenyataan di bawahnya. Malam hari, boleh jadi adalah saat yang paling sulit untuk dilewati dan tidak diinginkan kedatangannya. Mata sulit dipejamkan, kegelisahan me menuhi sebagian pikiran, berharap fajar segera datang.

Lelaki dewasa diharuskan untuk ikut berjaga malam di pos keamanan. Memang, penyerangan sering dilakukan pada malam hari. Sebelum ke pos jaga, aku biasa memandangi bidadari kecilku yang telah terlelap. Senyum kecilnya memunculkan kedamaian dan keteduhan, sesuatu yang hilang saat ini.

Pernah kami bertiga bersama penduduk yang lain harus berlari ke tengah hutan di malam gelap karena ada isu penyerangan. Sambil menggendong bidadari kecilku dan menggenggam erat tangan istriku yang tengah hamil yang tampak terengah-engah karena tidak biasa menaiki bukit terjal, kami berlari sekuat tenaga. Aku merasa seperti memiliki tenaga moto GP-nya Valentino Rossi karena bisa menaiki bukit itu secepatnya. Kejadian itu tentu saja membuat aku harus memiliki kekuatan ekstra untuk bekerja esok hari, kalau tidak ingin terserang kantuk hebat dan kelelahan.

Ketika tengah malam telah lewat, dentuman sejata berat dan kabar tentang korban jiwa telah menjadi berita biasa yang muncul di harian-harian terbitan Ambon, Pasko Maluku dan Suara Maluku, serta televisi lokal TV Ambon. Ribuan nyawa yang meregang seakan-akan tak berarti.

362

Kare

na K

ita G

arda

Saat keadaan semakin tak terkendali, Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Anggaran Ambon mengungsi ke Pangkalan Angkatan Laut di Halong, kemudian memutuskan untuk mengungsi lagi ke Manado. Aku diberi tawaran oleh Kepala Kanwil untuk ikut mengsungsi dengan keluarga. Tapi setelah berbicara dengan istri, dan mempertimbangkan banyak hal, tawaran itu kami tolak. Jadi aku dan keluarga bersama-sama dengan rekan-rekan pegawai asal Ambon lainnya tetap tinggal dan berkantor di KPKN Ambon (sekarang KPPN Ambon, edt.), yang kami tempuh dengan speed boat dan naik angkutan kota.

***

Siang juga memunculkan sisi terornya sendiri. Ambon telah menjadi ajang perang kota. Dari balik gedung-gedung bertingkat yang telah kosong, para sniper siap menggelontorkan timah panas mereka yang mematikan untuk mengeksekusi kami. Ancaman para sniper ini yang sesungguhnya amat berisiko. Bukan saja karena mereka tidak terlihat oleh kami, namun juga karena posisinya di gedung-gedung bertingkat memungkinkan mereka leluasa dapat mengeksekusi kami kapan saja,

Keadaan memanas, ancaman kematian karena tembakan setiap waktu bisa mengancam nyawa kami. Itu sama sekali tidak memudarkan semangat untuk tetap masuk kantor dan memberikan layanan. Beberapa kali, kami para pegawai KPKN Ambon, ketika hendak pulang kantor tiba-tiba keadaan memanas. Jalur transportasi darat pun terputus. Maka satu-satunya jalan adalah dengan berjalan kaki memutar dan menaiki bukit pandan. Kami semua harus menunduk karena di atas kepala kami peluru dari sniper berseliweran ke sana kemari. Ada beberapa rekan seperjalanan yang tidak beruntung. Mereka harus meregang nyawa karena tertembak. Sungguh pengalaman yang mengerikan!

Akhirnya, hal yang kutakutkan terjadi. Desaku tak luput dari serangan perusuh. Beruntung, topografi desaku yang

363Kem

enterian Keuangan

memanjang di tepi pantai, membuat warga punya cukup waktu untuk mengungsi. Aku bersama-sama dengan penduduk yang lainnya pun mengungsi ke desa seberang. Ada sebelas orang penduduk desa kami yang meninggal pada penyerangan hari Jumat itu.

Kilatan-kilatan peluru di langit kelam sungguh memilukan. Tak ada kebanggan untuk nilai kemanusiaan yang terkoyak atas nama agama. Sungguh kekejaman terbesar dari manusia yang melakukannya dengan dalih apapun. Karena agama justu mengajarkan kedamaian dan kasih sayang. Perang juga telah menerobos batas-batas adat yang paling sakral, pela gandong yang lama menjadi ikon persaudaraan di Maluku. Perang mengambil semuanya tanpa sisa, meninggalkan bara merah dalam hati para korban.

Tragedi kemanusiaan itu memang telah mengambil semua milik kami tanpa sisa. Nyawa, harta, hubungan persaudaraan, dan senyum keceriaan anak-anak kami. Tapi ia tak dapat mengambil hal yang paling esensial dari semangat hidup kami, semangat untuk tetap melaksanakan tugas di antara desingan peluru dan ratap tangis suami-istri yang menahan kami untuk tetap tinggal di rumah.

Kami melakukannya atas dasar komitmen yang bernama layanan prima. Agar KPKN tetap eksis dan memberikan layanan kepada mitra kerja. Meskipun untuk melakukannya, nyawa kami adalah taruhannya. Kawan-kawan yang gugur layak kami sebut pahlawan. Karena semangat mereka, KPKN tetap eksis.

Aku pun masih punya cerita tentang bagaimana harus naik pesawat Her cules berdesakan dengan tentara untuk ikut diklat di Gadog, atau naik kapal kayu KM Teratai ke Manado, dilanjutkan dengan perjalanan darat selama tiga hari ke Makassar untuk ikut prajabatan.

***

(In memoriam: para pengabdi terbaik KPKN Ambon 1999-2002)

364

Kare

na K

ita G

arda

Di Pintu Masuk Kubawa Harapanku

Oleh: Rini Ariviani, Pegawai DJA

Kesibukan di pagi buta merupakan pemandangan yang akrab denganku. Ucapan selamat tinggal istri dan anakku membawa kesejukan buatku. Tergambar harapan di mata mereka bahwa aku akan kembali ke rumah dengan sejuta cerita indah. Harapan mereka adalah semangat buatku untuk melalui hari dengan pengabdian tanpa keluhan.

Sebagai pegawai yang bertugas di “pintu masuk” DJA, aku harus selalu siap menerima berbagai macam perilaku orang. Aku hanya bertekad memberikan segala yang terbaik dengan harapan hasil yang terbaik bagi organisasi yang nantinya secara tidak langsung bermanfaat buat masyarakat.

Aku pun harus siap kalau waktu tidak selalu berpihak kepadaku. Waktu sangat berharga buatku. Tak ada kesempatan untuk bermain-main. Aku pun harus berbagi keceriaan dan kesulitan dengan teman-temanku sesama penjaga “pintu masuk” DJA. Bila kami tidak sanggup berbagi, maka hasilnya adalah kemarahan stakeholders

bahkan bisa berdampak buruk pada nama baik DJA.

Hari ini kami tak henti-hentinya kedatangan tamu yang

365Kem

enterian Keuangan

mewakili instansinya untuk mengusulkan alokasi anggaran. Sepanjang hari tak henti tamu berdatangan. Sampai tak terasa di luar, matahari sudah menghilang sehingga terang siang sudah berganti malam. Sebagian pegawai sudah meninggalkan ruangan masing-masing. Gedung kantor menyisakan kami berlima di “pintu masuk”.

Mataku nanar menatap jam yang tergantung anggun di dinding. Jarum jam menunjuk ke angka 10. Malam sudah larut. Terbayang olehku wajah anak balitaku yang sangat menggemaskan. Hari ini adalah hari ketiga dalam minggu ini aku selalu bertempur dengan perasaan waswas, apakah kereta terakhir jurusan Bogor masih sempat memberikan tempatnya buatku. Hari ketiga juga aku kehilangan momen bermain bersama anakku.

Tiba-tiba sesosok lelaki muncul di hadapanku ketika aku hendak mengunci pintu. Kuhela nafas panjang dan berat. Dugaanku tepat, lelaki tersebut adalah orang yang sangat membutuhkan bantuanku untuk menyelesaikan pengajuan anggaran agar pembangunan terus berjalan.

Aku terjebak dalam dua pilihan yang sama sulitnya. Anakku seolah memanggilku. Perasaan rindu terus membayangiku. Komitmen yang telah aku ikrarkan menyadarkanku. Aku tak boleh kalah dengan perasaan rinduku. Tugas harus tuntas dilaksanakan tanpa berkecuali. Suatu saat anakku akan mengerti. Akan kuceritakan pekerjaanku kepadanya dengan kepala tegak. Anakku akan berjalan di sampingku dengan perasaan bangga.

Kulayani stakeholders malam itu dengan perlakuan sama ketika aku masih memiliki tenaga lebih di pagi hari. Lelahku hilang melihat senyum lega dan puas di wajah lelaki itu. Hanya bisa berucap syukur dalam hati bahwa aku masih bisa memberikan kontribusi walau mungkin bagaikan sebutir pasir dalam bangunan besar.

Kupandangi teman-temanku yang menampilkan kelelahan di pelupuk matanya. Perasaan senasib dan sepenanggungan

366

Kare

na K

ita G

arda

membuat kami tetap menunggu teman satu tim yang masih menyelesaikan pekerjaannya.

Perjuangan kami hari ini telah selesai. Kami tersenyum satu dengan yang lainnya. Ada sebentuk haru menyelinap di dadaku, merasakan betapa kami satu tim selalu bahu membahu dalam menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi. Kami akan tertawa bersama ketika semua orang yang kami layani merasa puas dan gembira. Itulah yang selalu membuatku kuat dan tak pernah terpikir untuk menyerah.

Kami berpisah malam ini untuk kembali esok hari dengan harapan baru bahwa esok segala sesuatu akan berjalan dengan baik. Harapan bahwa esok kami akan terus kuat melalui kesulitan dan memberikan yang terbaik buat DJA.

Aku berlari menuju stasiun kereta dengan harapan anak istriku masih terjaga menungguku. Aku akan mengucapkan terima kasih atas harapan dan energi positif yang diberikan selama ini.

Aku terjebak dalam dua pilihan yang sama sulitnya. Anakku seolah memanggilku. Perasaan rindu terus membayangiku. Komitmen yang telah aku ikrarkan menyadarkanku. Aku tak boleh kalah dengan perasaan rinduku. Tugas harus tuntas dilaksanakan tanpa berkecuali.

367Kem

enterian Keuangan

Hal Kecil untuk Mimpi yang Besar

Oleh: Ferdha Hermanto, Pegawai DJKN

Saya, Ferdha Hermanto, lulusan Prodip III Akuntansi STAN tahun 2007. Mulai bergabung pertama kali dalam keluarga besar Direktorat Penilaian dh. Direktorat Penilaian Kekayaan Negara (PKN) pada tahun 2008. Tugas pertama saya di Direktorat Penilaian adalah menjadi Sekretaris Direktur. Tugas yang sebenarnya bukan keahlian saya, tetapi merupakan posisi yang tepat bagi pegawai baru untuk memahami tugas fungsi organisasi serta standing position Direktorat PKN di antara unit eselon II lain di DJKN.

Sekretaris Direktur, sebuah awal pengabdian.

Pada awal bertugas sebagai sekretaris direktur, kondisi persuratan di Direktorat PKN masih diadministrasikan secara manual. Bukan sebuah kondisi ideal bagi organisasi sebesar DJKN. Kondisi pada saat itu memang belum tersedia aplikasi persuratan resmi dari Pusintek tersebut, saya berinisiatif membuat aplikasi penomoran surat sederhana berbasis microsoft access. Aplikasi persuratan sederhana tersebut setidaknya menambal kekosongan sistem persuratan yang belum ada dan terus dipergunakan di Direktorat Penilaian hingga diimplementasikannya SMART oleh Direktorat Penilaian dan seluruh unit eselon

368

Kare

na K

ita G

arda

II di Lingkungan DJKN pada bulan September 2015 lalu.

Tata Usaha Direktorat, never ending task.

Seiring dengan proses transformasi kelembagaan di lingkungan DJKN, Direktorat PKN berubah menjadi Direktorat Penilaian. Lingkup pekerjaan menjadi lebih luas, tidak hanya terbatas pada kekayaan negara saja. Struktur organisasi internal Direktorat Penilaian berubah menjadi lebih baik. Lebih menggambarkan fungsi Direktorat Penilaian sebagai pembuat kebijakan, standardisasi, dan pembinaan di bidang Penilaian. Peta strategi, balance

scorecard, IKU, dan manajemen risiko perlahan tapi pasti mulai diimplementasikan di setiap unit di lingkungan Kementerian Keuangan tak terkecuali Direktorat Penilaian.

Tugas baru sebagai pelaksana Subbagian Tata Usaha mengharuskan saya untuk ikut serta mengawal implementasi dari setiap tools pengukuran kinerja di Direktorat Penilaian. Selain tugas utama di Subbagian Tata Usaha, saya diberikan kesempatan untuk belajar mengenai Penilaian. Mengikuti Diklat Penilaian dan turut aktif melakukan Penilaian BMN menjadi sebuah pembelajaran praktis bagi saya hingga terpenuhinya syarat-syarat formal untuk diangkat menjadi Penilai.

Pada saat bertugas di subbagian tata usaha ini pula, saya diberikan kesempatan untuk berkontribusi turut serta menyusun buku pedoman penilaian hak ruang terbuka. Bersama dengan pegawai dari Subdirektorat Penilaian Usaha, menyelesaikan sebuah buku pedoman yang menjadi cikal bakal beberapa pengaturan di bidang Penilaian.

Penilaian Bisnis, kembali ke khitah.

Pada tahun 2012, seolah menjadi awal pemantapan bagi saya di Direktorat Penilaian untuk kembali menekuni bidang akuntansi dan keuangan. Penilaian bisnis merupakan bidang yang paling banyak bersinggungan dengan ilmu akuntansi yang selama ini saya peroleh di kampus STAN.

369Kem

enterian Keuangan

Ditempatkan di Seksi Penilaian Bisni I dan bertemu teman sejawat dan atasan yang mempunyai passion terhadap finance, meyakinkan saya untuk tetap di jalur penilaian bisnis dalam pengembangan karier saya ke depan.

Mendapatkan bekal ilmu dalam DTSS Penilaian Usaha Dasar, DTSS Studi Kelayakan Bisnis, Pelatihan Advance

Concept of Public Private Partnership dan diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam Penilaian dan Analisis Kelayakan Bisnis Proposal Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara, Highest and Best Use Analysis, Perhitungan tool fee pemanfaatan BMN, membuat saya lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas yang akan diberikan berikutnya.

Selain hal tersebut, untuk terus meningkatkan kompetensi di bidang accounting, saya saat ini sedang mengikuti perkuliahan di Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk) Universitas Indonesia dan Certified Professional Management

Accountant (CPMA) Review yang memperoleh sertifikasi tersebut, dapat lebih memberikan kontribusi lebih besar bagi Direktorat Penilaian dan DJKN pada umumnya.

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan PAK RUU

tentang Penilai

Memperoleh sertifikasi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah L4 di tahun 2011 dan mulai bertugas aktif di tahun 2012 hingga saat ini, saya diberi tanggung jawab untuk melaksanakan seluruh pengadaan barang/jasa pada Direktorat Penilaian. Tugas tambahan yang cukup menyita waktu dan tenaga khususnya di akhir tahun. Secara tidak langsung, Pejabat Pengadaan Barang/Jasa bertanggung jawab atas penyerapan anggaran direktorat khususnya akun belanja bahan.

Selain hal tersebut, sejak tahun 2012 hingga saat ini, saya mendapatkan amanah untuk menjadi anggota tim Panitia Antarkementerian (PAK) RUU tentang Penilai. Sebuah kesempatan untuk melihat Penilai sebagai profesi dan

370

Kare

na K

ita G

arda

standing position-nya dalam menstabilkan perekonomian Indonesia.

Bagi saya, berkontribusi bagi organisasi tidak selalu berhubungan dengan hal-hal besar. Tugas-tugas kecil yang diberikan dan diselesaikan secara istikamah adalah perjalanan menuju impian besar. The best view comes after the

hardest climb. Keep climbing to the top.

The best view comes after the hardest climb. Keep climbing to the top.

371Kem

enterian Keuangan

Bapak Berseragam Biru

Oleh: Pradita Agustina, Pegawai DJPK

Jika bukan dengan hati,

iri dengki terpatri,

atau hanya demi gaji,

bisakah disebut melayani?

Jalan sekitaran belantara beton pagi hari selalu menjadi pemandangan menarik untuk diresapi. Gelandangan, tukang sapu jalanan, pengamen, kernet Kopaja, tukang ojek, pedagang asongan, karyawan, pegawai negeri hingga pejabat berbalut setelan rapi, semua kembali membangun paginya dengan berbagai rutinitas yang menyiratkan tanggung jawab dan harapan—entah harapan yang baru atau harapan seperti hari-hari sebelumnya. Semua orang termasuk kami, salah satu pelayan masyarakat, berjibaku dengan urusannya masing-masing. Berpacu dengan waktu, meninggalkan sejenak seribu permasalahan rumah di sibuknya pagi untuk berfokus pada tujuan terdekat: sampai kantor tepat waktu. Atau paling tidak, sampai pada waktu yang cukup tepat untuk tidak mendapatkan potongan tunjangan. Ah, sampai di kantor pada waktu yang tepat selalu menjadi suatu kepuasan kecil tersendiri. Setelah ini, bolehlah satu atau dua masalah rumah kembali menyusup di sela pikir.

372

Kare

na K

ita G

arda

Pukul setengah delapan pagi aku sudah duduk manis di kursiku, sementara Bapak Berseragam Biru itu masih saja mondar-mandir ke sana ke mari. Tak sadar seragam birunya sudah basah hasil dari tengkuknya yang kian berpeluh. Aku bisa bayangkan bagaimana lelah betisnya berjalan dari cubical satu ke cubical lain, lelah tangannya menopang nampan, membawa galon penuh berisi air, membagikan minuman untuk setiap pegawai, menurut untuk setiap permintaan tolong untuk membelikan ini dan itu, mengantar ini dan itu. Usianya mungkin menyentuh 40 tahunan—atau mungkin 50? Anaknya mungkin sudah besar. Atau mungkin sudah punya cucu? Aku tak tahu pasti. Tapi aku bisa pastikan bahwa dia adalah salah satu office boy

paling rajin seantero kantor.

“Berapa orang di sini?”

“Dua ya, Pak.” Bapak Berseragam Biru lalu menaruh dua gelas air minum di meja kami. Terima kasih adalah satu-satunya kata yang bisa kuucapkan untuk membuatnya merasa dihargai, setidaknya untuk saat ini. Aku lalu mulai menyeruput air mineral yang ada di dalamnya. Cukup segar rasanya untuk menutup pertempuran singkat pagi hari di jalanan ibu kota.

Satu dari ribuan cabang pikiranku mulai menjalar, merambat ke dalam setiap rongga di kepala yang ditemuinya, persis seperti pohon anggur.

Satu, bagaimana caranya ia bisa tiba di sini? Mengadu nasib di ibukota? Rasanya akan menarik jika aku bisa bertanya tentang kehidupannya. Kehidupan orang lain, entah yang lebih buruk atau lebih baik, rasanya selalu menyenangkan untuk didengar. Untuk dipahami. Lagipula, terkadang lebih baik atau lebih buruknya kehidupan seseorang hanyalah ilusi dalam kepalamu saja.

Dua, apa yang ada di dalam pikiran Bapak itu? Ia harus melayani puluhan pegawai—yang lebih tinggi jabatannya, lebih hebat pendidikannya, lebih besar gajinya, dan sebagian

373Kem

enterian Keuangan

lebih muda umurnya—dengan sikap ‘manut’. Seandainya saja saya lebih berpendidikan? Seandainya saja saya tak harus menjadi OB? Ah, pikiran-pikiran itu. Lambang kenaifan manusia.

Tiga, apakah ia merasa jengah pada megah? Apakah ia lelah? Manusia seringkali terpana melihat sesuatu yang nampak megah, menghamba pada sesuatu yang mewah. Berharap mereka bisa menjadi satu dari ribuan orang yang merasa beruntung bisa merasakan kemewahan, hingga akhirnya nurani semakin lengah. Mendadak lupa mana benar mana salah, mana baik mana buruk, mana penting mana receh.

Terakhir, dari mana datangnya senyum itu? Di tengah ribuan alasan untuk menyusupkan secuil dengki ke dalam hati, di sela peluh yang kian deras menembus baju di tubuhnya, di belantara cabang pemikiran yang kembali mengarah pada berbagai permasalahan yang mungkin dideranya. Bagaimana caranya ia bisa menyunggingkan senyum walau hanya segaris?

Ya, aku bisa melihat lelah itu dari butiran keringatnya. Aku bisa melihat lelah-pada-megah-nya dari mata itu. Mata sayu yang sudah puluhan tahun melihat, menjadi saksi bisu pada sebab dari rasa lelahnya. Ternyata ada satu hal yang bisa aku lihat darinya. Ia tak kehilangan nuraninya. Mata sayu itu, mata yang menggambarkan kelelahannya, sama sekali tak menyembunyikan senyumnya. Senyum kemurnian. Murni keikhlasan. Murni pelayanan. Ia masih bisa tersenyum saat harus berjalan menadah nampan berisi sepuluh gelas air.

Melayani dengan hati.

Salah satu nilai yang sudah sepatutnya terpatri dalam benak setiap pemangku kewajiban untuk melayani, memberi makna keikhlasan dalam setiap tindak tanduk untuk mengabdi pada khalayak: para pemangku kepentingan. Hal kecil, yang bisa saja hanya dilambangkan dengan sebuah senyum saat melayani bisa menjadi hal yang besar bagi

374

Kare

na K

ita G

arda

orang lain. Satu senyum dari seorang pemegang kewajiban, bisa menjadi suatu image yang baik bagi seluruhnya. Pelayanan yang baik, pelayanan yang memuaskan. Hal inilah yang berhasil kupelajari dari seorang Bapak Berseragam Biru, Bapak Pemegang Nampan berisi sepuluh gelas air, Bapak Pemurah Senyum yang berada di salah satu tempat untuk melayani masyarakat. Tempat berisi banyak pelayan masyarakat yang memegang teguh salah satu nilai esensial dalam dunia ke-pegawai-negeri-an: pelayanan. Mudah rasanya menemukan makna melayani di tempat ini—Kementerian Keuangan, tempat yang mengedepankan pelayanan untuk para pemangku kepentingannya.

Dari sini, bahkan dari seorang Bapak Berseragam Biru, aku belajar memahami bahwa melayani sejatinya harus dengan hati. Bukan dengan mematri iri atau dengki, mengomparasi kehidupan sendiri dengan teman atau bahkan orang yang tak dikenali. Melayani bukan hanya demi gaji yang masuk di pagi hari saat kerja satu bulan terpenuhi. Bukan untuk berbangga atau demi harga diri, mengabdikan pribadi agar nama mendapat nilai yang lebih tinggi.

Namun, melayani dengan nurani, hingga rasa puas mampu meresap ke dalam hati, dan bisa disebut sebagai pelayanan untuk negeri.

Dari sini, bahkan dari seorang Bapak Berseragam Biru, aku belajar memahami bahwa melayani sejatinya harus dengan hati. Bukan dengan mematri iri atau dengki, mengomparasi kehidupan sendiri dengan teman atau bahkan orang yang tak dikenali.

375Kem

enterian Keuangan

376

Kare

na K

ita G

arda

Sempurnakandengan Inovasi

There’s a way to do it better. Find it!—Thomas Edison

376

Kare

na K

ita G

arda

Makna dari kesempurnaan yaitu

senantiasa melakukan upaya

perbaikan di segala bidang untuk

menjadi dan memberikan yang

terbaik.

Perilaku utama dari nilai ini yaitu:1. Melakukan perbaikan terus

menerus.2. Mengembangkan inovasi dan

kreativitas.

377Kem

enterian Keuangan

Selalu ada cara lebih baik untuk melakukan sesuatu hal, tugas kita hanyalah menemukannya. Kira-kira seperti itulah terjemahan dari perkataan Edison di atas. Telah banyak inovasi yang dilakukan terkait pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan, mulai dari presensi pegawai hingga penghargaan kepada pegawai. Semua itu terlahir karena adanya keinginan untuk mencapai kesempurnaan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi.

Sebuah inovasi haruslah menuju ke arah yang lebih baik. Namun jika menuju ke arah yang lebih buruk, kita harus mencermati ulang terkait inovasi tersebut. Terjadinya kesalahan dalam pengaplikasian sebuah inovasi tidak dapat dihindarkan. Selalu ada proses adaptasi terhadapnya. Tugas kita adalah percaya terhadap inovasi tersebut dan memberikan kritik dan saran untuk memperbaikinya di kemudian hari.

Kesempurnaan dalam melaksanakan sebuah pekerjaan bukanlah hal yang mustahil untuk didapatkan. Kita hanya memerlukan adanya keberanian untuk mencoba cara-cara baru serta memperbaiki sudut pandang kita.

Kemenkeu selalu berusaha untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Inovasi pelayanan terus dilakukan untuk mencapai kesempurnaan. PNS Kemenkeu terus dipacu agar senantiasa berwawasan ke depan dan adaptif, melakukan perbaikan terus-menerus, mengembangkan inovasi dan kreativitas, serta peduli terhadap lingkungan. Inovasi dimaksudkan untuk mempersingkat waktu dan simplifikasi layanan.

Inovasi yang terus dilakukan untuk memberikan manfaat bagi para pemangku kepentingan merupakan dedikasi yang tinggi dari seluruh PNS Kemenkeu. Berbagai inovasi dan

377Kem

enterian Keuangan

378

Kare

na K

ita G

arda

378

Kare

na K

ita G

arda

terobosan yang dihasilkan merupakan wujud kepedulian dan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk mewujudkan Kemenkeu yang lebih baik. Di samping itu, inovasi yang dilakukan akan menunjukkan bahwa PNS Kemenkeu memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Walaupun tantangan yang dihadapi begitu berat, semangat perubahan tidak akan pernah terhenti, sebagaimana ungkapan Gede Prama dalam bukunya ‘Inovasi atau Mati’, “Siapapun dan dimanapun ia berada, ia tidak akan pernah bisa mengelak dari empat “I”, yaitu: Inovasi, Inovasi, Inovasi, dan Inovasi. Mahluknya memang satu (inovasi), namun ia mesti dilakukan selama kita masih bernafas.”

Dalam rangka mengetahui sejauh mana keberhasilan dan perkembangan reformasi birokrasi Kemenkeu serta sebagai upaya perbaikan layanan untuk mencapai kesempurnaan, Kemenkeu setiap tahun melakukan survei atas penyelenggaraan layanan pada unit-unit organisasi di lingkungan Kemenkeu. Peningkatan kualitas dan kinerja pelayanan publik yang pada gilirannya akan meningkatkan pula public trust terhadap organisasi dan aparatur Kemenkeu. Dari pelaksanaan survei dimaksud, diharapkan akan diperoleh data dan informasi kondisi pelayanan serta harapan para pengguna layanan/stakeholders sebagai dasar pengambilan kebijakan peningkatan kualitas layanan ke depan. Unsur atau indikator kinerja layanan yang disurvei sesuai dengan UU Pelayanan Publik, antara lain: i) keterbukaan/kemudahan akses informasi; ii) informasi layanan; iii) kesesuaian prosedur dengan ketentuan yang ditetapkan; iv) sikap pegawai; v) kemampuan dan keterampilan pegawai; vi) lingkungan pendukung; vii) akses terhadap kantor layanan; viii) waktu penyelesaian layanan; ix) pembayaran biaya sesuai aturan/ketentuan yang ditetapkan; x) pengenaan sanksi/denda atas pelanggaran terhadap ketentuan layanan; dan xi) keamanan lingkungan dan layanan.

Semangat perubahan yang dibangun melalui serangkaian inovasi menjadi aksi nyata Gerakan Nasional Revolusi Mental dan modalitas dalam upaya perubahan menuju perbaikan yang terus digelorakan di Kementerian

379Kem

enterian Keuangan

Keuangan untuk kemajuan bangsa Indonesia tercinta. Berikut adalah pengalaman, kisah, atau inovasi PNS Kemenkeu yang terus membangkitkan semangat untuk memberikan pelayanan terbaik untuk kemajuan ibu pertiwi, Indonesia.

379Kem

enterian Keuangan

380

Kare

na K

ita G

arda

Lahirnya Digital Signature

Oleh: Dody Dharma Hutabarat,dikisahkan oleh Windasena Winarno, Pegawai DJPb

“Risiko yang dihadapi tidak main-main. Nilainya setara dengan nominal SP2D yang diterbitkan dan nasib pegawai Ditjen Perbendaharaan di depan hukum”.

Begitulah landasan utama yang menjadi semangat pengembangan tanda tangan elektronik pada arsip data komputer (ADK) Surat Perintah Membayar (SPM) yang diimplementasikan dalam bentuk PIN PPSPM.

Dengan APBN yang sudah berada pada angka di atas 1.000 triliun sejak tahun 2011, aspek keamanan menjadi hal yang membutuhkan perhatian tinggi. Tidak optimalnya sistem pengamanan atas transaksi keuangan negara akan menimbulkan risiko yang tinggi, yaitu setara dengan nominal SP2D yang diterbitkan dan harus dapat dipertanggungjawabkan para pihak terkait di lingkungan Ditjen Perbendaharaan di depan hukum. Hal ini terutama juga terkait dengan aspek keamanan pegawai KPPN di depan hukum sebagai pegawai yang berada pada garda terdepan dalam pencairan dan penyaluran dana APBN.

Sebelum tahun 2012, pelaksanaan pengamanan pada data

interchange dari satker kepada KPPN yang menggunakan

381Kem

enterian Keuangan

ADK SPM dilaksanakan dengan beberapa mekanisme yaitu (1) pencocokan antara ADK SPM dengan hardcopy SPM sesuai dengan checklist kelengkapan berkas SPM; (2) pencocokan tanda tangan Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM) dengan spesimen tanda tangannya yang terdapat pada KPPN; dan (3) pemeriksaan identitas petugas pengantar SPM dan Kartu Identitas Pengantar SPM (KIPS) dan kesesuaiannya dengan data pada aplikasi di KPPN.

Adalah pegawai Ditjen Perbendaharaan bernama Dody Dharma Hutabarat yang pada saat itu menjabat sebagai kepala seksi pada Direktorat Transformasi Perbendaharaan yang melihat adanya potensi perbaikan keamanan pada aspek data interchange. Pada saat itu, terdapat celah risiko untuk timbulnya suatu tindakan kesalahan dan bahkan kecurangan yang dapat terjadi di antaranya yaitu berupa pemalsuan atas tanda tangan PPSPM oleh pengantar SPM dengan ADK SPM yang juga dapat dibuat oleh pengantar SPM tanpa persetujuan PPSPM, dengan demikian jelas terlihat pada saat itu bahwa ADK SPM yang diproses KPPN memiliki celah keamanan yang dapat dieksploitasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Bergerak dari alasan tersebut, Dody bersama dengan stafnya berupaya untuk memperbaiki celah keamanan pada data interchange tersebut dengan berlandaskan pada tiga kriteria pengamanan pada dokumen elektronik yaitu keaslian, intergritas, dan tidak terbantahkan. Menggunakan prinsip ini, Dody mengusulkan agar ADK SPM dapat dilengkapi dengan tanda tangan elektronik yang dapat membuktikan keaslian ADK SPM yang benar-benar berasal dari PPSPM berkenaan, ADK tersebut juga tidak mengalami perubahan dalam perjalanannya sejak sejak dihasilkan oleh aplikasi SPM (integritas) dan ADK tersebut dapat menjadi alat bukti yang tidak dapat dibantah oleh PPSPM berkenaan. Dalam tanda tangan elektronik pada ADK SPM, Dody mengembangkan mekanisme yang menggunakan teknologi Personal Identification Number

(PIN), di mana PIN ini akan menjadi bagian dari ADK SPM

382

Kare

na K

ita G

arda

sebagai tanda tangan elektronik PPSPM dan disebut sebagai PIN PPSPM. Bagaimana PIN ini akan membantu dalam optimalisasi pengamanan data interchange ADK SPM? Dalam kajiannya, ayah satu anak ini menyebutkan bahwa PIN PPSPM ini akan bekerja layaknya PIN pada kartu ATM, yaitu bersifat rahasia, dapat diperbaharui sewaktu-waktu, dan penggunannya serta penyalahgunaannya (bila terjadi) merupakan tanggung jawab pribadi PPSPM sepenuhnya. Dengan demikian, keamanan pegawai KPPN di hadapan hukum dapat terlindungi.

Dalam pengembangannya, Dody beserta staf nya terlebih dahulu melakukan kajian “Penerapan Electronic Signature

Pada Surat Perintah Membayar Sebagai Langkah Peningkatan Keamanan Transaksi Keuangan Elektronik Pemerintah” yang dirampungkan pada Mei 2011. Kajian ini diselesaikan melalui studi pustaka, wawancara dengan pegawai KPPN, dan juga diskusi yang melibatkan para pegawai Ditjen Perbendaharaan yang tergabung dalam Tim Penyempurnaan Koneksitas Sistem Perbendaharaan dengan Perbankan Dalam Rangka Implementasi Penyelesaian Transaksi SP2D Secara Elektronik. Selanjutnya, hasil kajian tersebut dilanjutkan dengan pembangunan aplikasi SMS Gateway yang merupakan perangkat lunak yang mendistribusikan pesan-pesan terkait PIN PPSPM, dan aplikasi injeksi PIN yang akan digunakan untuk menambahkan PIN PPSPM sebagai tanda tangan elektronik ke dalam ADK SPM dengan melibatkan tim pengembang aplikasi dari Direktorat Sistem perbendaharaan. Sebagai landasan implementasi dari PIN PPSPM juga telah diterbitkan peraturan Direktur Jenderal perbendaharaan Nomor PER-19/PB/2012 tentang Petunjuk Teknis Penerapan Tanda Tangan Elektronik Pada Arsip Data Komputer Surat Perintah Membayar pada 11 Mei 2012. Dengan demikian, proses implementasi PIN PPSPM ini membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu satu tahun dari semenjak diselesaikannya kajian hingga fase implementasi sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal

383Kem

enterian Keuangan

Perbendaharaan tersebut.

Manfaat dari penerapan PIN PPSPM ini dapat dirasakan hingga saat ini yang masih digunakan sejalan dengan implementasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara, khususnya dengan menutup celah risiko untuk timbulnya suatu tindakan kesalahan atau bahkan kecurangan yang dapat terjadi atas ADK SPM yang pada masa sebelumnya dapat dibuat oleh pengantar SPM tanpa persetujuan PPSPM.

Dalam melakukan implementasi tanda tangan digital ini diakui tidaklah mudah. Dalam kajiannya ayah satu anak ini juga menyebutkan bahwa dalam implementasinya, PIN PPSPM sebagai tanda tangan digital pejabat merupakan suatu proses bisnis baru di lingkungan pemerintahan yang memerlukan perubahan mind set dan kebiasaan para pihak di dalamnya. Para PPSPM yang sebelumnya tidak terlibat dalam pembuatan ADK SPM, sudah harus mulai memahami apa isi dari ADK yang disampaikan dan bertanggung jawab atas ADK tersebut, sehingga dapat meminimalisir risiko kecurangan yang dapat terjadi akibat dari penyalahgunaan ADK SPM. Sehingga, diakui pula bahwa dukungan unsur pimpinan Ditjen perbendaharaan dan juga Kemenkeu sangatlah diperlukan, yang akan diperkuat pula dengan sosialisasi dan aktivitas manajemen perubahan lainnya khususnya terhadap para pemangku kepentingan terkait.

Ke depannya, berbagai inisiatif pengembangan dan penyempurnaan proses bisnis menuju Kemenkeu yang lebih baik perlu mendapat dukungan, sehingga Dody-Dody lainnya yang mencurahkan segenap tenaganya untuk dapat meningkatkan pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan Negara.

Sumber: Buku Catatan Inspirasi Transformasi, Inovasi, Dan Terobosan

Untuk Inspirasi Perubahan

384

Kare

na K

ita G

arda

Perjuangan Jurusita Pajak Negara

Oleh: Sujarwo Adi, Pegawai DJP

Teman, ini adalah kisahku. Kisah satu dari puluhan ribu pegawai DJP yang mengabdi untuk bangsa tercinta ini sebagai petugas pajak. Tugas utamaku dan juga 31.877 orang karyawan lainnya adalah menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak. Aku dan para petugas pajak lainnya, ditempatkan di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, pada unit-unit kerja mulai dari KPP Wajib Pajak Besar (Large Tax Payer Office) yang hanya ada di Jakarta hingga unit-unit Kantor Pelayanan dan Penyuluhan Perpajakan (KP2KP) yang berada di pelosok-pelosok Indonesia.

Kedua orang tuaku memberi namaku Sujarwo Adi. Aku memulai karier di DJP sebagai tenaga honorer yang kemudian diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2005 dan memulai penugasan pertamaku di KPP Ambon. Awal tahun 2007, aku mendapat penugasan sebagai Pelaksana di KPP Pratama Sorong yang ditempatkan di Seksi Pelayanan dan kemudian dipindahtugaskan ke Seksi Penagihan. Nah, di Seksi Penagihan inilah, langkah kakiku pada akhirnya membawaku menjadi Jurusita Pajak Negara (JSPN) sejak tahun 2011.

385Kem

enterian Keuangan

Dari tempat yang berada ribuan kilometer dari ibu kota negara Indonesia ini, aku ingin berbagi kisah. Kisahku sebagai seorang Jurusita yang bertugas di ujung Timur Indonesia, yaitu di Provinsi Papua Barat tepatnya di KPP Pratama Sorong. Daerah yang menurut gurauan teman-teman, “lebih banyak ularnya daripada Wajib Pajak-nya.” Dalam tulisan kecil ini, aku ingin berbagi bahwa berjuang menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak demi negara tercinta dapat dilakukan di belahan Indonesia manapun dalam kondisi apapun dan bahkan tanpa alas kaki yang layak sekalipun.

Sebagai seorang Jurusita, tugas utamaku adalah menagih piutang pajak negara dari Wajib Pajak yang menunggak membayar pajak. Bukan perkara mudah untuk menagih dan mencairkan piutang pajak. Terdapat beberapa tahapan penagihan pajak mulai dari mengirimkan surat teguran, menyampaikan surat paksa, melakukan penyitaan sampai dengan pelelangan. Semua tindakan penagihan pajak tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, mengingat Wajib Pajak atau Penanggung Pajak pasti akan melakukan upaya hukum, jika tindakan kita tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Selama menjadi Jurusita, aku dan rekan-rekan berhasil menyita berbagai jenis harta penunggak pajak, antara lain: tanah, bangunan, uang tunai, mobil, sepeda motor, bahkan alat-alat berat seperti dump truck, tronton, excavator, dan buldoser pernah kami sita.

Perjuanganku dalam melakukan upaya penagihan pajak sampai dengan penyitaan harta Wajib Pajak, sering kali tidak hanya mendapatkan tantangan dari Wajib Pajak, namun juga dari aparat pemerintah lainnya. Namun, menurutku hal itu wajar saja karena mungkin mereka tidak atau belum mendapat informasi dengan tepat. Menjadi Jurusita, tidak hanya membutuhkan pengetahuan tentang peraturan perpajakan saja. Dibutuhkan kesabaran,

386

Kare

na K

ita G

arda

kemampuan berkomunikasi, dan jeli dalam melihat peluang. Dengan keterbatasan pengetahuan, informasi tentang objek sita, alat-alat berat misalnya, seringkali harus dikonfirmasikan kepada pihak-pihak yang ahli dalam bidangnya. Aku dan Jurusita lainnya harus dibantu (menyewa) ahli mesin berat untuk memastikan bahwa harta penunggak pajak tersebut merupakan barang yang layak dan memiliki nilai jual dalam pelelangan.

Dalam lamunanku, sering aku berpikir, bahwa tugasku sebagai Jurusita ini tidak jauh beda dengan agen treasury

asset di negara-negara maju yang harus mencari aset-aset penting. Memang benar, sebagai Jurusita salah satu tugasku adalah mencari objek sita berupa harta atau aset penunggak pajak. Dibutuhkan strategi dan kiat-kiat khusus. Pencarian aset harus dimulai dengan melakukan pencarian informasi ke berbagai wilayah dan tentu saja harus bekerja sama dengan pihak-pihak lain baik internal maupun eksternal DJP seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan sumber-sumber informal lainnya termasuk informasi masyarakat. Dalam hal ini, kemampuan investigasi sangat diperlukan untuk dapat mengendus dan menemukan aset-aset yang disembunyikan oleh Penunggak Pajak.

Salah satu kisahku dan rekan-rekan di Seksi Penagihan, adalah pada saat kami harus berjuang bahu membahu untuk mencari objek sita dari dua penunggak pajak terbesar di KPP Pratama Sorong. Penunggak pajak tersebut adalah badan usaha yang bergerak di bidang pengusahaan hutan. Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan dari berbagai sumber, diperoleh informasi A1, bahwa penunggak pajak memiliki potensi objek sita berupa kayu-kayu yang bernilai tinggi (merbau), tetapi berada di area penimbunan kayu gelondongan (log pond) di pedalaman Kabupaten Bintuni. Jumlahnya cukup membuat kami bergairah yaitu sebanyak 13.935 batang atau 59.337 m3 kayu dengan diameter antara 64 cm-200 cm.

387Kem

enterian Keuangan

Berdasarkan informasi tersebut, maka aku dan rekan-rekan segera melakukan survei lapangan yaitu ke tempat penimbunan kayu log pond di Kabupaten Bintuni. Sebagai gambaran, perjalanan yang harus kutempuh harus menggunakan dua jenis moda transportasi yaitu pesawat udara dari Sorong ke Manokwari dengan lama perjalanan 45 menit dan dilanjutkan dengan menggunakan moda transportasi darat yang terbagi dalam dua etape. Etape pertama Manokwari-Bintuni dengan lama perjalanan sekitar delapan jam dan etape kedua yaitu Bintuni menuju ke distrik Mogoy (steenkool) yang harus ditempuh selama kurang lebih enam jam. Sengaja aku menggunakan istilah “etape” dalam perjalanan darat ini, karena memang perjalanan ini hanya dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda (4x4) dengan ban-ban kasarnya yang siap menggaruk tanah. Menggunakan mobil biasa, tidak kusarankan, jika tidak ingin menjadi “orang hutan”. Oh ya, jika menggunakan mobil 4x4 sewaan, maka harga sewanya berkisar Rp5 juta untuk sekali jalan.

Dalam pelaksanaan survei tersebut, aku dan rekan-rekan berkoordinasi dan memperoleh bantuan dari KPP Pratama Manokwari. Kami diizinkan untuk menggunakan mobil dinas lapangan KPP Pratama Manokwari, namun baru menempuh satu jam perjalanan, mobil dinas telah terhenti dan menyerah oleh ganasnya lumpur pedalaman Papua Barat. Tidak ada pilihan lain, kecuali tetap harus meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Perjalanan menuju lokasi yang berada di tengah hutan tersebut harus aku lakukan selama kurang lebih dua jam.

Lelah karena berjalan kaki seketika hilang setelah aku dan rekan-rekan tiba di lokasi log pond dan berhasil menemukan objek sita yang kami cari. Namun, perjuangan pada hari itu belumlah berakhir. Aku dan rekan-rekan harus berjalan kembali di tengah hutan yang menjadi “paru-paru dunia” ini untuk kembali ke Bintuni dan itu harus kami tempuh selama sebelas jam. Perjalanan panjang itu harus kami lalui tanpa bekal makanan dan minuman yang cukup,

388

Kare

na K

ita G

arda

karena bekal yang telah dipersiapkan terpaksa kami tinggal di mobil saat terjebak lumpur. Dengan bekal makanan secukupnya dan selalu berdoa mengharapkan langit akan mencurahkan hujan, aku dan rekan-rekan berjalan kembali ke Bintuni. Setengah perjalanan dilalui, tantangan baru dalam perjalanan kembali muncul. Sepatuku jebol dan kondisi kaki yang mulai lebam. Menyadari bahwa Bintuni masih jauh di depan, maka aku memutuskan memakai kaos untuk membungkus kaki sebagai pengganti alas kaki. Sepatu jebol dan kaki yang lebam karena ganasnya medan tidak membuat semangat kami padam karena tugas ini memang harus kami tuntaskan.

Sukses melakukan survei ke lokasi log pond, langkah selanjutnya adalah menyiapkan strategi khusus untuk melakukan penyitaan. Berbekal pengalaman sebelumnya, kami melakukan persiapan dengan matang. Perbekalan yang cukup dan kendaraan yang benar-benar cocok untuk menembus ganas dan liarnya alam harus dipersiapkan. Untuk itu, tidak ada pilihan kecuali menyewa kendaraan dengan biaya sewa sebesar Rp10 juta. Setelah persiapan dinilai cukup, maka kegiatan penyitaan segera kami lakukan. Seperti napak tilas perjalan sebelumnya, kami melakukan perjalanan menuju lokasi objek sita. Dalam menjalankan misi ini, tidak lupa aku berkoordinasi dengan kepala suku dan meminta bantuan ahli greader (Ahli penilai kayu di bidang industri dan kehutanan). Setibanya di lokasi, aku mendapatkan informasi dan fakta baru, bahwa objek sita ternyata tidak hanya berada di log pond, tetapi juga di log yard-log yard yang berada di tengah hutan. Karena ganasnya alam, aku merasakan benar-benar sulit untuk mencari objek sita yang berada di tengah-tengah hutan belantara. Dibutuhkan dua sampai lima jam perjalanan kaki untuk mencapai satu log yard ke log yard lainnya, yang ketika malam tiba bahkan tangan sendiri pun aku tak bisa melihatnya.

389Kem

enterian Keuangan

Perjuanganku dan rekan-rekan melakukan labeling atas objek sita kami lakukan selama lima belas hari, tanpa mengenal hari libur dan dengan fasilitas yang seadanya. Kami melaksanakannya dengan riang karena kami yakin bahwa pekerjaan yang kami lakukan adalah pekerjaan mulia bagi negara dan bukan pekerjaan yang sia-sia. 15 hari berlalu di tengah hutan, aku dan rekan-rekan berhasil melakukan labeling kayu di log yard messi, simpang sagu, TPK-34, kali dara, dll.

Dengan biaya yang dikeluarkan oleh kantor sebesar Rp91 juta, aku dan rekan-rekan berhasil menyita kurang lebih 22.000 m3 kayu log yang apabila dihitung dengan harga pasar antara Rp1,2 juta s.d. Rp1,5 juta per m3, maka kayu yang kami sita ditaksir bernilai antara Rp30 miliar s.d. Rp33 miliar.

Berhasil melakukan penyitaan atas objek sita, pekerjaanku dan rekan-rekan belumlah berakhir, karena kami masih harus mengawal proses penagihan dan pencairan tunggakan pajak ini sampai dengan proses lelang dilaksanakan.

Teman, itulah sepenggal kisahku. Kisah sebagai seorang Jurusita Pajak Negara yang telah membuat hari-hariku terasa selalu bermakna.

Dengan biaya yang dikeluarkan oleh kantor sebesar Rp91 juta, aku dan rekan-rekan berhasil menyita kurang lebih 22.000 m3 kayu log, yang apabila dihitung dengan harga pasar antara Rp1,2 juta s.d. Rp1,5 juta per m3, maka kayu yang kami sita ditaksir bernilai antara Rp30 miliar s.d. Rp33 miliar.

390

Kare

na K

ita G

arda

Gaungnya Berhenti di Pagar Kantor

Oleh: Fajar Sidik, Pegawai DJPb

Ba’da magrib, langkah kaki ini kupercepat. Setapak demi setapak dilalui bersama asap knalpot pekat dan desingan suara mesin mobil yang saling bersahutan. Malam itu sengaja tapakku langsung kuarahkan pada suatu kios kecil, kumuh, dihiasi kain bercorak di hampir semua sudutnya. Langsung kuhampiri seorang lelaki kecil, berambut ikal, berkulit gelap dengan logat Padang-nya yang cukup kental.

“Ambil celana yang kemarin, Pak!” ucapku tanpa basa-basi.

Lalu Uda, begitu biasanya disapa, bergerak menilik helai demi helai tumpukan pakaian di hadapannya.

“Pulang kerja, Mas? Kerja di mana?” Dua pertanyaan sekaligus dia lontarkan sambil memilah pakaian yang kuminta.

“Yap, benar, Da!” Jawabku singkat. “Kerja di Keuangan,” lanjutku. “PNS?” Kembali tanya si Uda.

“Kebetulan begitu, Da,” tukasku merendah. “Bayar berapa?” Balasnya dengan yakin.

Mendengar pertanyaan itu, sejenak aku terdiam. Ternyata,

391Kem

enterian Keuangan

gaung reformasi birokrasi yang kami rasakan, belum menyentuh masyarakat umum. Ternyata, semangat perubahan itu, belum mampu mengubah persepsi masyarakat secara keseluruhan. Ternyata, seluruh dari kita, memiliki tanggung jawab untuk menebarkan semangat perubahan itu.

“Murni kok, Da,” jawabku dengan sedikit kaget.

Kemudian, obrolan kami terus berkembang. Uda memang memiliki pengalaman pahit karena beberapa kali gagal memasukkan anaknya menjadi PNS meski telah menabur uang di mana-mana. Sehingga sangatlah wajar jika dia bersikap sangat apatis dengan birokrasi di negeri ini.

“Kalau Kementerian Keuangan insya Allah bersih, Da,” belaku. “Bahkan keponakan Menteri Keuangan saja gak lolos kok!” Paparku bangga.

Pernyataan ini kuungkapkan mengingat desas-desus bahwa keponakan Menteri Keuangan yang sedang menjabat saat itu, gagal pada tahap wawancara. Dengan sedikit semringah anganku melayang dan berucap, “Berarti aku lebih pintar dari keponakannya Menteri ya,” selorohku sambil mesam-mesem sendiri.

Masih dengan wajah kecutnya, si Uda tetap tidak percaya. Sejenak aku berpikir, dengan cara apa bisa meyakinkannya bahwa aku dan seluruh PNS Kementerian Keuangan, masuk tanpa menyogok, tanpa koneksi siapapun. Kami masuk dengan niat tulus, iktikad yang kuat, dan komitmen yang mengakar untuk membangun bangsa ini lebih baik. Untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa birokrasi itu tidak rumit, tidak korup, tidak seperti yang mereka bayangkan selama ini. Karena kami, seluruh pegawai Kementerian Keuangan, telah berubah dan akan terus ikut dalam arus perubahan tersebut.

Di akhir obrolan, aku mencoba meyakinkannya kembali.

392

Kare

na K

ita G

arda

“Uda yang baik, yakinlah, ada kekuatan lebih dahsyat dari kekuatan uang atau pun sihir nepotisme. Kekuatan itu bersumber dari jiwa kita. Bersama keyakinan dan lantunan doa-doa yang terus mengiringi kita,” ajarku padanya.

Dengan sedikit menganggukkan kepala, penjahit renta ini menatap kosong ke wajahku. Nyaris tak mampu berucap apapun. Hanya raut kebingungan yang ada. Bingung karena masih tetap tidak percaya jika ada orang yang jadi PNS tanpa menyogok, karena menyuap, atau koneksi nyokap. Tapi yang pasti, keyakinannya sedikit goyah dengan pernyataan-pernyataanku. Aku sendiri berharap, persepsi si Uda dan uda-uda lainnya yang bertebaran di negeri ini, lambat laun berubah dan optimis membangun bangsa ini dengan kesucian niat.

Sambil berlalu, ceritaku pada Pemilik Bumi, masih banyak hal yang belum kami lakukan. Reformasi birokrasi hanya bergema di dalam gedung-gedung tua kantorku. Gaungnya terhenti di portal-portal mobil dekat pintu keluar yang sejurus kemudian obrolan tentangnya digantikan musik pop, rock, atau dangdut. Mungkin masih ada sedikit keengganan bagi sebagian kami untuk mengatakan dengan lantang bahwa kami telah berubah, kami tidak seperti dulu lagi. Masa-masa di mana pegawai Ditjen Perbendaharaan mendapatkan tip satu sampai dengan dua persen dari setiap SPM yang masuk. Zaman di mana amplop beterbangan di mana-mana. Kami katakan dengan tegas dan jelas bahwa masa itu telah berlalu. Kami ingin melayani Anda, wahai masyarakat. Melayani dengan ketulusan jiwa. Karena kami digaji dari santunan pajak yang Anda berikan.

Lihatlah di kantor-kantor kami, baik KPPN ataupun Kanwil, terpampang dengan jelas bahwa kami menolak gratifikasi. Masih tidak cukupkah itu! Lihat juga proses bisinis kami yang telah berbasis teknologi informasi. Kini penerbitan SP2D hanya satu jam. Belum lagi layanan unggulan lainnya yang ditawarkan. ltu semua untuk kalian. Ya, kalian rakyat Indonesia yang dengan rutin membayar

393Kem

enterian Keuangan

pajak, dari golongan ekonomi terendah hingga tertinggi melakukan hal serupa. Bukan hanya PPh saja, setiap produk yang kalian beli di mal-mal, mini market, hingga di kaki lima, itu semua telah dikenakan pajak. Karenanya, kami berkomitmen melayani kalian semua. Bersama tiap aliran darah ini.

Bantulah kami dengan doa-doa Anda. Karena kami juga ingin melihat negeri ini sejahtera. Kami ingin cerita tentang kemiskinan, anak-anak telantar, pendidikan mahal, dan kesehatan tidak terjangkau, hanya menjadi sejarah negeri ini. Anak, cucu kita hanya mampu melihat sejarah itu dari foto dan film yang ada saat ini. Karena dengan perubahan yang kami lakukan, diharapkan mampu juga menginspirasi unit lain untuk melakukan hal yang sama.

“Semoga saja,” desahku sambil membuka pintu kamar kos.

Mungkin masih ada sedikit keengganan bagi sebagian kami untuk mengatakan dengan lantang bahwa kami telah berubah, kami tidak seperti dulu lagi.

394

Kare

na K

ita G

arda

Telah Kusampaikan Pesanmu, Fakhri

Oleh: Vina Eriyandi, Pegawai DJPb

Semburat cahaya kuning keemasan di ufuk langit sore ini berbias menimpa barisan bukit yang terlentang pasrah di seberangnya. Sungai kecil yang bersembunyi di baliknya dengan setia mengalirkan sedikit air ke muara. Beriak riang seperti anak kecil yang mendapat hadiah ulang tahun dari ayahnya. Ribuan pohon sawit berbaris rapi menyapa orang yang lalu lalang di hadapannya laksana serdadu yang sedang diinspeksi pasukan oleh komandan upacara. Daunnya melambai-lambai tetimpa hembusan angin musim kemarau.

Pemandangan sore di musim kemarau memang sangat menakjubkan.

Aku sangat menikmatinya. Ada kerinduan yang dalam pada kampung halaman ketika menyaksikan keindahan alam ini. Memang baru setahun aku merantau ke luar pulau Jawa. Tapi rasanya seperti sudah puluhan tahun. Aku masih ingat bagaimana wajah ibu ketika melepas kepergianku di bandara.

Air matanya meleleh dan Beliau tidak sanggup untuk sekadar menyekanya. Kukatakan pada ibu dan bapak

395Kem

enterian Keuangan

bahwa aku akan baik-baik saja. Ibu dan bapak tahu bahwa kepergianku hanya semata-mata menjalankan tugas. Bahwa ini adalah konsekuensi yang harus aku ambil sebagai seorang pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Ibu dan bapak lebih paham.

Tiba-tiba “Hei....!” Suara yang sangat aku kenal membuyarkan lamunanku. Suara Fakhri, teman sekantorku. Nama lengkapnya Muhammad Fakhri. Fakhri adalah pegawai yang cerdas. Dia adalah salah satu lulusan terbaik Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Dia pernah bercerita kepadaku bahwa hasil tes IQ-nya di atas rata-rata.

“Hampir mendekati Einstein,” ungkapnya.

Soal pekerjaan, dia memang ahlinya. Walaupun baru dua tahun lulus dari STAN, dia telah menguasai sebagian besar pekerjaan di KPPN. Kami berdua ditempatkan di seksi yang sama di KPPN ini. Aku sering bertanya tentang banyak hal kepadanya.

“Ayo, kita harus segera bersiap-siap. Acaranya sudah mau dimulai,” ujar Fakhri. Aku segera menyusulnya mencari kursi yang kosong di podium. Kami pun duduk bersebelahan. Acara Grand Launching KPPN Percontohan segera dimulai. Di atas panggung terpampang baliho dengan tulisan “KPPN Percontohan didedikasikan untuk layanan cepat, tepat, dan transparan.”

“Hari ini saya resmikan KPPN Percontohan sebagai upaya untuk menyukseskan Reformasi Birokrasi. Anda sebagai stakeholders diharapkan turut-serta dalam proses ini. Tidak ada lagi korupsi, tidak ada lagi gratifikasl, dan anda dapat membawa pulang SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana, edt) satu jam setelah SPM diajukan dengan benar,” demikian kata-kata sambutan bapak Sartori sebagai wakil Dirjen Perbendaharaan dalam acara pagi itu. Tepuk tangan dari seluruh yang hadir turut mengiringi bunyi bel sebagai tanda diresmikannya KPPN Percontohan.

396

Kare

na K

ita G

arda

Hari-hari kami lalui dengan penuh semangat. Tumpukan pekerjaan kami habiskan. Jumlah pegawai yang berkurang hampir setengahnya, menjadikan proporsi pekerjaan semakin bertambah untuk setiap orangnya. Tetapi itu tidak menjadi masalah. Aku melihat dengan langsung bagaimana Fakhri dengan cekatan memproses SPM menjadi SP2D, menyelesaikan SKPP dan membuat laporan realisasi. Dia sangat bersemangat.

Dedikasi dan kesetiaan Fakhri sudah teruji. Sebelum masuk STAN, dia telah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Jawa Tengah lewat jalur prestasi. Ketika keluar dari STAN dia rupanya ditawari bekerja pada salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Namun dia menolak.

“Aku hanya ingin berbakti pada negara. Hanya itu, Sarni,” katanya suatu hari.

“Lihatlah apa yang telah kita perbuat sekarang? Kita telah melakukan perubahan besar. Kau tahu, Sarni, banyak sekali pihak yang meragukan proses yang sedang kita lakukan sekarang. Namun kita bisa melaluinya,” terangnya berapi-api. Aku hanya tersenyum.

Fakhri menjelaskan kepadaku bahwa begitu banyak sikap pesimisme yang ditunjukkan berbagai pihak terhadap proses Reformasi Birokrasi. Deretan keluhan yang disampaikan masyarakat atas buruknya kinerja pemerintah menjadi acuan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih belum mereda. Sistem pelayanan yang begitu panjang dan terkesan lamban, diperparah dengan buruknya kompetensi aparat. Mungkin ini adalah salah satu penyebab mengapa perumusan reformasi ini begitu panjang. Butuh waktu lima tahun untuk menyempurnakan Program Reformasi birokrasi ini. “Birokrasi di Indonesia sudah mengalami penyakit akut. Susah untuk disembuhkan,” begitu penilaian sebagian besar orang terhadap birokrasi.

Aku masih ingat bagaimana satu tahun yang lalu KPPN

397Kem

enterian Keuangan

membutuhkan waktu satu hari untuk menyelesaian pekerjaan rutinnya. Tidak ada kejelasan apakah SPM yang diajukan bisa dibayarkan. Tidak ada monitoring terhadap pekerjaan yang telah dilakukan. Tidak ada evaluasi atas kinerja pegawai. Semua serba tidak jelas. Fakhri pernah bercerita kepadaku bahwa dahulu perlakuan KPPN terhadap satker semata-mata untuk mengharapkan “sesuatu”.

“Ah, sudahlah aku tidak ingin mengenang masa-masa itu. Sungguh memalukan!” Itulah kata-kata yang keluar dari mulutnya ketika kutanya tentang perlakuannya terhadap satker pada masa lalu.

“Jika kau bekerja pada zaman itu dan ditempatkan di tempat ‘basah’ dan mindset-mu amburadul, kuyakin kau akan cepat kaya. Dan kau tidak akan berada di sini sekarang, tetapi di penjara,” Fakhri menasihatiku. Aku beruntung mengenal Fakhri saat ini. Dia pernah merasakan bagaimana beratnya godaan bekerja di KPPN pada zaman dahulu. Bagaimana dia mampu bertahan walau dengan kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan. Bagaimana dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak tergoda dengan rayuan-rayuan yang menyesatkan. Sekali lagi, dedikasinya telah teruji dengan baik. Aku harus lebih banyak belajar kepadanya. Jika ada orang alim yang tidak tergoda karena bertapa di atas gunung, itu biasa. Namun jika dia tidak tergoda padahal dia berada di hiruk pikuknya kota, maka hal itu adalah sesuatu yang sangat baru luar biasa!

Semuanya begitu cepat berlalu. Akan terjadi perubahan yang dinamis dari zaman ke zaman. Paradigma lama akan pudar, paradigma baru akan bersinar. Perubahan- perubahan menuju ke arah kebaikan senantiasa memerlukan proses yang terus-menerus, Hari ini kusaksikan bagaimana perubahan itu berjalan. Mindset

kami telah menuju ke arah yang lebih baik, dedikasi kami telah meningkat, pengetahuan kami telah mendalam, skill kami telah mumpuni.

398

Kare

na K

ita G

arda

Hari ini kusaksikan senyuman lebar bendahara-bendahara satker yang datang ke kantor kami. Samar-samar kudengar seseorang dari mereka berbisik pada teman di sampingnya, “Sekarang KPPN beda ya? Pegawainya masih muda, ganteng-ganteng lagi.” Aku hanya tersenyum.

Tiba-tiba nada dering telepon seluler mengagetkanku. Kuterima SMS dari Arif, teman kantor. Pesan SMS yang tertulis, “Fakhri di rumah sakit, kamu cepat ke sini.” Aku tercekat. Dengan seribu pertanyaan yang masih bergelayutan aku berangkat ke rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, aku disambut oleh teman-teman yang lain. Mereka sudah datang terlebih dahulu. Fakhri tergolek lemah dengan selang infus di tangannya. Wajahnya lemah. Dia kelihatan senang aku datang. Kuraih tangannya.

“Terima kasih telah datang, Sarni. Kau sahabatku yang paling baik. Aku tidak tahu kenapa aku biasa berada di sini,” bisiknya lirih. Air matanya meleleh. “Tenanglah, Fakhri. Kamu akan sembuh,” aku berusaha menenangkan.

“Entahlah, Sarni. Semoga saja,” Fakhri putus asa.

“Tolong, Sarni. Aku tidak menyerah. Aku masih ingin mengabdi kepada negara. Meneruskan reformasi yang tengah kita jalankan. Aku titipkan padamu. Kau harus menjadi pegawai yang baik. Taat peraturan dan memegang teguh kode etik. Tolong jangan kau nodai komitmen kita untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Tolong, Sarni. Lanjutkan perjuangan para pendahulu kita. Buktikan pada semua orang bahwa kita bisa melakukannya. Katakan kepada mereka bahwa pejuangan ini tidak akan pernah berakhir. Teruslah berjuang sampai maut menjemputmu, ketika nyawa sudah sampai di tenggorokan. Ingatlah, akan selalu ada yang mencatat apa yang engkau perbuat,” Fakhri berkata semakin lirih.

Kurasakan genggaman tangannya melemah. Matanya perlahan-lahan menutup. Kuperiksa nadinya sudah tidak

399Kem

enterian Keuangan

berdetak. Aku memanggil dokter dan perawat. Namun semuanya terlambat. Fakhri sudah tiada. Teman-teman yang lain segera masuk dan melihat keadaan Fakhri. Aku menangis.

Hari ini, tepat satu tahun Fakhri meninggalkan kami semua. Di depan meja kerja yang berantakan ini aku panjatkan sepotong doa, “Semoga pengabdiannya, pengorbanannya, dedikasinya, serta kerja kerasnya menjadi amal saleh di sisi Tuhan Yang Maha Esa.”

Tak terasa air mataku meleleh. Aku rasa pesan yang dia katakan sesaat sebelum meninggal bukan hanya untukku saja, tetapi untuk semua yang terlibat dalam proses reformasi ini. Semoga Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat melahirkan Fakhri-Fakhri baru yang akan senantiasa membawa kepada perbaikan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Tolong, Sarni. Aku tidak menyerah. Aku masih ingin mengabdi kepada negara. Meneruskan reformasi yang tengah kita jalankan. Aku titipkan padamu. Kau harus menjadi pegawai yang baik. Taat peraturan dan memegang teguh kode etik.

400

Kare

na K

ita G

arda

Sejarah Layanan Setoran Penerimaan Negara

Oleh: Sigid Mulyadi, Pegawai DJPb

Jakarta, tahun 1945 s.d. 1988

Di akhir tahun 1959, umur saya kira-kira dua puluhan tahun. Sebagai pengusaha muda dan wajib pajak yang bijak, setiap tahun saya membayar pajak. Saya selalu datang langsung ke Kantor Kas Negara atau yang dikenal waktu itu dengan nama S’Land. Beberapa tahun berikutnya, tepatnya pada awal tahun 1965, saya datang kembali ke kantor itu, tapi dengan papan nama Kantor Bendahara Negara (KBN). Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1975, saat saya kembali akan membayar pajak, kantor itu berubah nama menjadi Kantor Kas Negara. Tepat di samping Kantor Kas Negara berdiri Kantor Perbendaharaan Negara (KPN).

Pada era itu, setiap akan membayar pajak, saya mengisi formulir dengan tulisan tangan. Di Kantor Kas Negara ada dua loket: penerimaan dan pengeluaran. Untuk membayar pajak, saya harus antre di loket penerimaan. Saya juga pernah beberapa kali mengantre di loket pengeluaran, untuk menerima pembayaran dari pengadaan barang suatu instansi dimana saya selaku rekanan. Semuanya serba uang tunai. Setiap kali saya ke Kantor Kas Negara, saya selalu membawa koper untuk menyimpan uang.

401Kem

enterian Keuangan

Saya sudah tahu kapan waktu yang tepat untuk menghindari kerumunan orang di kantor itu. Saya tidak pernah datang pada awal bulan. Kantor Kas Negara akan dipenuhi oleh orang atau bendahara yang mengantre mengambil gaji pegawai negeri. Pernah juga satu masa, para pensiunan juga mengantre di kantor tersebut.

Setelah saya menyerahkan formulir dan sejumlah uang pajak, formulir akan diperiksa oleh petugas. Uang juga akan dihitung. Petugas akan membubuhkan tanda tangan dan teraan berupa cap stempel, sebagai bukti uang saya telah masuk ke kas negara. Beberapa lembar formulir tersebut diserahkan kembali kepada saya. Beberapa tahun kemudian, bukti teraan sudah menggunakan mesin.

Tak hanya pajak, saya juga pernah menyetorkan kelebihan pembayaran kontrak pengadaan. Beberapa kali saya juga bertemu dengan kawan saya -seorang bendahara penerimaan di suatu instansi- untuk menyetorkan PNBP. Saya juga melihat beberapa orang importir membayarkan bea masuk barang impornya di Kantor Kas Negara.

Suatu kali, saya mendapat kesempatan masuk ke dalam Kantor Kas Negara. Semua pegawai bekerja dengan tekun dan teliti. Ada yang menghitung uang dan memasukkan ke dalam amplop. Sepertinya untuk gaji pegawai atau uang pensiunan. Ada juga yang membuat laporan pada buku yang cukup besar. Mereka mencatat angka-angka dan menghitungnya dengan kalkulator. Ada beberapa mesin ketik di meja kerja. Banyak sekali tumpukan berkas di kantor ini. Maklum juga, bukti setoran dan perintah pembayaran semuanya harus mereka arsipkan. Di satu sudut di dekat ruang kepala kantor, saya melihat ruangan dengan pintu besi yang sangat kuat. Tanpa sengaja saya melihat beberapa pegawai masuk ke dalam ruangan itu. Dari pintu yang sedikit terbuka, saya menyaksikan tumpukan uang di sana.

***

402

Kare

na K

ita G

arda

Jakarta, tahun 1988

Sejak tahun 1988, Pemerintah mulai mengenalkan kepada wajib pajak untuk membayar pajak melalui bank yang telah ditunjuk. Pemerintah menyebutnya sebagai penerapan giralisasi.

Ini tentu kabar yang menggembirakan bagi saya. Saya tak perlu lagi datang ke Kantor Kas Negara yang hanya ada satu di suatu kota. Dengan beralih ke bank, ada beberapa pilihan bank di kota saya. Saya juga lebih senang pergi ke bank. Ada teller cantik yang melayani pembayaran pajak. Pastinya, mereka lebih menarik. Tapi kabarnya, masih tahap uji coba, belum berlaku di seluruh daerah. Begitu kata teller itu, di mana saya mulai akrab dengannya.

Hampir setiap pulang kerja, saya menjemputnya untuk makan malam, nonton atau sekadar bercengkerama. Kami mulai saling tertarik. Setelah sekian tahun pencarian, akhirnya saya menemukan tambatan hati.

Sayang, usia saya tak lagi muda, sudah hampir lima puluh tahun. Sementara, ia berumur tiga puluhan tahun. Saya sudah merasa, hubungan kami tak akan mulus. Dan benar, ketika saya datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk melamar, orang tuanya tidak begitu saja menyetujui. Ada saja alasan untuk mengulur-ulur waktu. Saya tahu, sebab utamanya adalah umur saya.

***

Jakarta, pertengahan tahun 1989 s.d. 1999

Di kala saya kembali berkunjung ke Kantor Kas Negara untuk bertemu dengan seorang kenalan pegawai disitu, saya melihat banyak sekali perubahan. Kantor Kas Negara telah dikosongkan, para pegawai bergabung ke kantor KPN yang dulu. Papan nama berubah menjadi Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN).

Didepan kantor ada tulisan pengumuman yang agak

403Kem

enterian Keuangan

panjang yang jika saya simpulkan kira-kira seperti ini:

“Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 12 Juni 1989 Nomor 645/KMK.10/1989, KKN dan KPN dilebur menjadi Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN).”

Setelah ketemu dan berbasa-basi, kenalan saya itu bercerita: Departeman Keuangan telah melakukan perombakan organisasi. Katanya, ini dampak dari penggunaaan jasa perbankan dan giralisasi.

Tak ada lagi setoran tunai dan pembayaran tunai melalui KPKN. Penyetoran pajak dan pembayaran atas tagihan harus melalui bank yang ditunjuk. Sejak saat itu, KPKN bermitra dengan beberapa bank di kota tersebut. Ada yang disebut sebagai bank persepsi, yaitu bank yang dapat menerima penyetoran penerimaan Negara dan ada juga bank operasional, yaitu bank yang menyalurkan dana ke rekening penerima pembayaran.

Suatu waktu, saat saya mengurus pencairan dana proyek yang saya kerjakan, saya mendapat kesempatan masuk ke dalam ruangan KPKN. Saya melihat mesin yang canggih. Seorang pegawai sedang mengoperasikan mesin yang dapat mencetak tanda teraan pada setiap lembar surat setoran pajak. Saya penasaran dan mencoba bertanya tentang mesin itu. Satu di antara pegawai menjelaskan, mesin itu bernama TEC ST-2000. Katanya memang mesin pintar, karena selain teraan, mesin itu bisa menghasilkan laporan harian dan mingguan.

Tiba-tiba ada yang menimpali pembicaraan kami. Katanya, sayang sekali, mesin itu input datanya masih manual. Coba kalau ada data file atau disket dari bank. Sehingga bisa langsung diproses, tidak perlu lagi rekam manual oleh pihak KPKN.

***

Jakarta, 30 Desember 1999 s.d. tahun 2006

404

Kare

na K

ita G

arda

Rupanya, dengan pertimbangan seperti pemikiran orang di atas, yang kemudian mendorong Pemerintah melakukan perbaikan sistem. Dengan makin banyaknya jumlah setoran penerimaan Negara, tidak mungkin KPKN harus kembali meng-input satu per satu surat setoran dan mencetak teraan. Kemudian dengan perkembangan teknologi informasi, dibuatlah satu aplikasi yang bisa membaca data dari bank persepsi.

Dengan Surata Edaran Bersama DJA, DJP, dan DJBC tanggal 30 Desember 1999, mulailah diberlakukan Sistem Penatausahaan Penerimaan Setoran Pendapatan Negara dengan Sistem Internal Check. Sejak saat itu, bank persepsi menggunakan suatu aplikasi untuk mencetak Daftar Nominatif Penerimaan (DNP) dan mengirimkan DNP tersebut ke KPKN bersama Laporan Harian Penerimaan (LHP) dan disket data. Disket tersebut menjadi data input pada aplikasi KPKN.

Kalau dulu setiap setoran harus dilakukan peneraan dan itu baru dianggap masuk ke kas Negara. Maka dengan sistem baru tersebut berubah, tak lagi diperlukan tanda teraan. Namun diganti dengan apa yang disebut DNP di atas. Penerimaan negara yang disetor wajib pajak dianggap telah masuk kas negara apabila datanya tercantum di dalam DNP yang ditandatangani oleh pejabat bank dan disahkan oleh pejabat KPKN.

Begitulah, penjelasan seorang kawan dari Kantor Pusat DJA saat ngopi bareng pagi itu.

Dia bilang aplikasi yang digunakan oleh bank persepsi disebut aplikasi Sistem Penerimaan Negara (SISPEN). Tapi tempo hari ada petugas bank yang bercerita pada saya, sebenarnya tidak hanya SISPEN, bank persepsi juga harus meng-input data ke aplikasi Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) dan Sistem Electronic Data

Interchange (EDI). MP3 untuk pajak dan EDI untuk bea cukai.

405Kem

enterian Keuangan

Pada sekitar tahun 2004, saya melintas di depan kantor KPKN. Papan nama kantor itu telah berubah menjadi KPPN. Unit eselon satunya pun berganti menjadi Ditjen Perbendaharaan, yang sebelumnya Ditjen Anggaran. Dari berita koran saya mengetahui, dengan berlakunya UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, Departemen Keuangan melakukan perubahan organisasi dan itu menjadi awal dimulainya reformasi birokrasi.

***

Jakarta, pertengahan tahun 2006

Bagi wajib pajak seperti saya, sejatinya tak ada yang berubah. Karena seperti sebelumnya, wajib pajak menyetorkan pajak melalui teller. Berbeda dengan pihak bank. Mereka lebih senang dengan sistem baru ini.

Teller cantik itu bercerita, sekarang lebih enak karena cukup satu aplikasi, yang sebelumnya ada tiga aplikasi. Orang Departeman Keuangan menyebutnya dengan Sistem Penerimaan Negara (SiPN). Katanya masih tahap uji coba. Rencana akan diberlakukan tahun depan.

Barangkali, karena saya adalah wajib pajak yang taat membayar pajak, tepat peringatan Hari Oeang ke-60 pada tanggal 30 Oktober 2006, saya diundang turut serta dalam acara tersebut. Bersamaan dengan itu, saya ikut menyaksikan acara soft launching Sistem Modul Penerimaan Negara (MPN) oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Rupanya yang semula SiPN berganti nama menjadi MPN. Dan terhitung mulai 1 Januari 2007 seluruh transaksi penerimaan Negara harus menggunakan MPN.

***

Jakarta, tahun 2007

Mulai beberapa tahun yang lalu, Pemerintah menerapkan kebijakan konfirmasi surat setoran. Tujuannya, untuk memberikan keyakinan bahwa bukti setor tersebut tidak

406

Kare

na K

ita G

arda

dimanipulasi dan setoran sudah masuk ke kas Negara. Memang, pada masa lampau, pemalsuan surat setoran banyak terjadi. Malah, para petugas Bank atau Kantor Pos sering ikut terlibat. Dengan sistem manual saat itu, manipulasi menjadi hal yang mudah dan gampang dilakukan.

Untuk suatu keperluan yaitu persyaratan mengikuti lelang dimana setiap peserta lelang wajib melampirkan bukti setor SSP pajak terakhir yang telah dikonfirmasi KPPN, mengantarkan saya untuk kembali berurusan dengan KPKN yang telah berganti menjadi KPPN.

Siang itu, saya datang ke KPPN untuk melakukan konfirmasi SSP. Saya terkejut dengan perubahan kantor ini. Semuanya sudah tertata dengan rapi dengan tampilan layout kantor yang sangat berbeda dengan yang dulu. Sekarang sudah seperti di bank. Dengan nomor antrean dan cukup dilayani di front office. Ada papan informasi tentang layanan KPPN, SOP dan waktu penyelesaian layanan.

Saya kemudian diterima dengan ramah oleh seorang petugas FO. Saya sampaikan maksud saya. Dengan cepat dia melayani saya. Saat saya selipkan amplop, buru-buru dia menolak dan dengan tersenyum, ia menunjuk ke arah tulisan besar di kantor itu: “Tidak Menerima Gratifikasi”. Saya malu dan cepat-cepat minta maaf. Dengan sedikit basa-basi, saya bertanya soal MPN yang dulu pernah saya dengar saat mengikuti soft launching. Saya begitu penasaran dengan kata itu. Dan sepertinya pertemuan dengan petugas FO itu menjadi anugerah untuk segera melenyapkan rasa ingin tahu saya itu.

Dengan senang hati, pegawai lulusan STAN itu menjelaskan kepada saya begini,

“MPN merupakan suatu sistem penerimaan negara yang terpadu. Dengan perkembangan teknologi informasi, dimungkinkan seluruh penerimaan negara disajikan secara real time melalui jaringan sistem informasi yang terhubung

407Kem

enterian Keuangan

secara online dengan Bank Persepsi.”

MPN mengintegrasikan tiga sistem penerimaan yang selama ini berjalan, yaitu MP3 oleh Ditjen Pajak, EDI oleh Ditjen Bea dan Cukai, dan SISPEN.

Tujuan MPN adalah untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor dan menyediakan data penerimaan yang relevan dan reliable yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Dengan Sistem MPN, bank yang menerima setoran pajak maupun non pajak cukup melakukan peng-input-an satu kali dan akan langsung masuk ke database yang telah terkoneksi dengan Kementerian Keuangan. Surat setoran penerimaan Negara yang telah diproses melalui MPN akan memperoleh Bukti Penerimaan Negara (BPN) yaitu dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi atas transaki penerimaan negara dengan salah satu cetakannya berupa Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN merupakan bukti pengesahan suatu setoran masuk ke kas Negara. NTPN bersifat unik dan tak akan pernah ganda. Sehingga dapat digunakan sebagai parameter proses rekonsiliasi data penerimaan antar departemen maupun unit-unit eselon I di Kementerian Keuangan.

Saya terharu mendengar penjelasan pegawai itu. Sebagai pelaku sejarah pembayar pajak, saya tahu persis bagaimana kondisi masa lalu yang masih serba terbatas dengan layanan penyetoran pajak dan pelaporannya yang masih manual. Dulu, gara-gara data yang tidak terhubung, saya pernah harus mondar-mandir antara Kantor Kas Negara dan Kantor Pajak untuk menyelesaikan laporan pajak saya.

Sebenarnya keterharuan saya tidak semata-mata karena penjelasan pegawai itu tetapi juga karena melihat sendiri perubahan yang terjadi di kantor itu. Saya begitu bangga, reformasi birokrasi telah betul-betul dilaksanakan di KPPN.

408

Kare

na K

ita G

arda

***

Jakarta, Februari s.d. November 2014

Inilah puncak keberuntungan saya sebagai wajib pajak yang bijak. Saya menjadi saksi sejarah modernisasi sistem penerimaan Negara. Saya diundang ikut menyaksikan launching MPN G2 di Jakarta. Tepatnya Launching Transaksi Perdana Setoran Penerimaan Negara Melalui MPN G-2 pada tanggal 27 Februari 2014.

Transaksi perdana ini dilakukan pada tiga lokasi, yaitu Jakarta, Pasuruan, dan Banjarmasin, dan disaksikan langsung secara streaming oleh Dirjen Perbendaharaan, Dirjen Anggaran, serta para pejabat lainnya dan pihak perbankan yang terlibat. Layanan sistem MPN G-2 dalam launching tersebut dilakukan oleh Bank BRI. Dalam arahannya, Dirjen Perbendaharaan menyampaikan bahwa MPN G-2 akan meningkatkan kualitas layanan pemerintah di bidang setoran penerimaan Negara.

Hal terpenting yang membedakan antara layanan Sistem MPN G-2 dengan sistem MPN sebelumnya adalah menyangkut fleksibilitas, akurasi, kecepatan, keamanan dan akuntabilitas. Sebelumnya, transaksi penerimaan Negara harus di setor langsung ke loket pembayaran yang telah ditentukan. Melalui layanan sistem MPN G-2, wajib pajak dan wajib bayar dapat melakukan pembayaran kapan saja dan di mana saja dengan berbagai pilihan cara, baik melalui teller (Over The Counter), ATM (Automatic Teller Machine), EDC (Electronic Data Capture), maupun internet banking. Dengan sistem ini, Pemerintah mengharapkan kepercayaan publik terhadap layanan pembayaran setoran negara akan terus meningkat.

Begitulah pemahaman saya dari beberapa penjelasan yang disampaikan saat launching tersebut.

Dan sekarang saya tak lagi mencari-cari blangko SSP untuk menyetorkan pajak. Saya cukup membawa kode billing atau

409Kem

enterian Keuangan

malah saya bisa membayarnya sendiri melalui ATM dengan memasukan kode billing. Tentu sebelumnya saya harus membuat kode billing dengan mengakses portal billing. Sangat mudah dan menghemat waktu saya. Saya tak perlu lagi antre di depan teller karena sudah ada fasilitas internet

banking untuk membayar pajak. Meskipun sesekali saya tetap menyetorkannya melalui teller untuk sekadar menatap wajah teller yang ayu dan menawan itu. Wajahnya seperti mengingatkan saya pada seorang wanita di masa silam.

Memang saya tak lagi muda, sudah tiga per empat abad umur saya. Namun kenangan dengan seorang teller di masa lalu selalu menghantui saya. Anak muda sekarang menyebutnya sebagai cinta pertama. Namun sebuah cinta yang tak sampai. Suatu kali, saat ia meng-input data pajak ke aplikasi, tubuhnya tersedot masuk ke dalam aplikasi dan lenyap. Begitu penjelasan orang tuanya. Meski akhirnya saya tahu, dia diungsikan bapaknya ke luar negeri dan menikah dengan seorang pria pilihan orang tuanya. Sejak saat itu, saya sangat kehilangan. Dan sekarang, setiap kali melihat seorang teller, saya selalu mengingatnya. Senyum manisnya begitu menggetarkan hati saya. Hingga kini.

***

Jakarta, hari ini

Saya menutup cerita dan penjelasan saya soal MPN. Gadis itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Seorang gadis yang sedang melakukan riset tentang sejarah layanan penerimaan Negara untuk keperluan skripsi. Saya merasa seperti sudah lama mengenal gadis itu. Saya mengenal senyum itu. Saya makin terkejut ketika melihat kalung liontin yang ia pakai. Bukankah itu kalung liontin yang saya hadiahkan kepada seorang gadis yang saya cintai di masa lalu?

410

Kare

na K

ita G

arda

Ada Awan yang Lebih Tinggi

Oleh: Ar Rizqiyatul Barokah, Pegawai DJA

Rasa penat datang ketika akan ujian kuliah atau tugas kuliah menumpuk, hingga muncullah perasaan ingin segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Tak terasa keinginan itu pun telah terpenuhi, dan di sinilah saya menjadi salah satu abdi negara di Direktorat Jenderal Anggaran. Manusia dapat berganti rasa dan saya pun demikian. Ketika bekerja, muncul kembali rasa ingin belajar di bangku akademis karena saya merasa ilmu yang saya miliki tidak cukup untuk dapat berkontribusi dengan lebih di institusi ini, mengingat jurusan saya waktu kuliah adalah Matematika.

Puji syukur kepada Allah SWT, tanpa maksud untuk menyombongkan diri, saya lolos tahapan-tahapan seleksi beasiswa SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening

the Reforming Institution) dan sampailah saya pada tahap wawancara.

“Kalau saya lihat sepertinya perjalanan hidup kamu terlalu mulus, khususnya terkait pendidikan. Dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), kamu selalu mendapat peringkat pertama. Bahkan pada saat kuliah S1, kamu menjadi lulusan terbaik di tingkat Departemen

411Kem

enterian Keuangan

Matematika dan di tingkat Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia (UI). Saya khawatir, jika ada momen di mana kamu tidak dapat menjadi yang terbaik atau bahkan drop, misalkan ketika kamu S2 nanti. Saya juga khawatir bagaimana kamu melewatinya karena kamu belum pernah berada dalam kondisi itu sebelumnya”, komentar salah satu pewawancara.

Sesaat setelah mendengar komentar itu, saya terdiam seraya merefleksikan diri, tetapi saya sadar bahwa saya tidak dapat berdiam lama dan harus meresponss komentar itu.

“Saya tidak dapat mengelak mengenai apa yang Bapak sampaikan tentang kekhawatiran itu. Saya pun pernah merasakan khawatir seperti itu ketika saya akan kuliah S1 di UI, yang notabene merupakan salah satu kampus terbaik. Saya yang berasal dari Tegal, sebuah kota kecil, sangat khawatir saat itu apakah saya dapat bersaing dengan mahasiswa-mahasiswi terbaik bangsa, terutama yang berasal dari kota-kota besar di mana pendidikannya lebih maju. Akan tetapi, saya dapat membuktikan bahwa seorang mahasiswi yang berasal dari kota kecil pun mampu menjadi lulusan terbaik, dan kali ini, saya juga ingin membuktikan kembali bahwa seorang mahasiswi yang berasal dari negara yang bukan termasuk kategori negara maju juga mampu menjadi lulusan terbaik bersaing dengan mahasiswa-mahasiswi dari berbagai negara di kampus yang berada di negara maju”, jawab saya dengan yakin agar saya mendapatkan beasiswa SPIRIT itu, meskipun sebenarnya saya juga khawatir dengan apa yang saya sampaikan tersebut.

Namun demikian, keyakinan saya jauh lebih tinggi daripada kekhawatiran saya. Banyak hal yang dapat mendukung keyakinan itu. Motivasi dalam diri kuat karena keinginan untuk membuat orang tua bangga, yang mana orang tua sangat mengedepankan pendidikan. Saya juga memersepsikan bahwa mendapatkan hasil nilai yang memuaskan menjadi salah satu bukti tanggung jawab

412

Kare

na K

ita G

arda

saya sebagai seorang mahasiswi. Kata-kata motivasi, “Tetapkanlah targetmu setinggi langit, sehingga ketika jatuh, kamu akan tetap berada di awan-awan”, juga turut andil dalam keyakinan itu. Awan itu tinggi dan saya sadar bahwa menjadi lulusan terbaik ketika S1 itu juga sudah termasuk tinggi. Mungkin akan ada pertanyaan, “Bagaimana mungkin kamu mau menetapkan target lebih tinggi lagi, bahkan untuk mempertahankan pun sulit”? Pertanyaan semacam itu tidak menggoyahkan tekad saya karena saya percaya bahwa masih ada awan yang lebih tinggi yang mampu diraih dengan kemauan yang kuat.

Sekali lagi, tanpa bermaksud sombong, pun dengan segala keraguan apakah saya akan membagi kisah ini, saya akhirnya menuliskan kisah ini dengan harapan mampu menginspirasi. Syukur alhamdulillah, saya berhasil menjadi lulusan terbaik dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi dan berhasil mendapatkan penghargaan tesis terbaik di Asian Public Policy Program (APPP), Hitotsubashi University di Tokyo, Jepang pada tahun 2016. Bukankah ini awan yang lebih tinggi?

Untuk menjadi lebih buruk mudah sekali, tetapi untuk menjadi lebih baik pun bukan hal yang sangat sulit, bahkan ketika kondisi sudah sangat baik. Komitmen perbaikan itu keharusan. Layaknya apa yang disuarakan oleh masyarakat terhadap para tokoh politik, “Kami butuh bukti, bukan janji”. Pernyataan itu pun perlu diterapkan dalam diri. Bukan hanya janji-janji dalam diri akan menjadi lebih baik, melainkan implementasi bertahap pun perlu berjalan beriringan hingga target perubahan ke arah lebih baik tercapai. Jika setiap orang menjadi lebih baik, Indonesia yang lebih baik pun merupakan suatu keniscayaan.

413Kem

enterian Keuangan

Untuk menjadi lebih buruk mudah sekali, tetapi untuk menjadi lebih baik pun bukan hal yang sangat sulit, bahkan ketika kondisi sudah sangat baik. Komitmen perbaikan itu keharusan.

414

Kare

na K

ita G

arda

Hidup Terhormat Tidak Harus Menjadi Pemenang

Oleh: Margono Dwi Susilo, Pegawai DJKN

Kisah ini telah cukup lama, tetapi akan saya ceritakan kembali karena saya senantiasa teringat pada Beliau. Lagi pula di tahun 2017 ini DJKN akan melakukan inventarisasi dan penilaian aset, sehingga momentumnya tepat.

Selepas subuh HP saya berbunyi, tanda SMS masuk. Tidak seperti biasa, saya belum membukanya. Pagi itu tidak ada firasat khusus sehingga HP pun tidak langsung saya buka. Pikir saya, “Ah, paling iklan promo dari provider.” Saya pun berangkat ke kantor. Justru saat tiba di kantor teman-teman sudah berbisik, ada yang meninggal. Saya pun masih biasa saja, karena menurut statistik, setiap hari ada ribuan nyawa dijemput malaikat maut. Kematian adalah orkestra, dia selalu mengalun, sehingga akhirnya orang menganggap hal biasa. Namun salah seorang staf saya dengan mimik serius mengatakan “Pak Margono, Pak Sulaiman sudah meninggal dunia, tadi selepas subuh jam 6 di rumah sakit di Banda Aceh.” Barulah saya merinding, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” semua makhluk pasti mati, tetapi kematian teman sekantor yang tempat duduknya hanya dua meter dari tempat duduk saya tetaplah meninggalkan rongga di hati.

Saya tercenung sejenak. Akhirnya beberapa teman meminta

415Kem

enterian Keuangan

saya menuliskan obituary untuk dia. Saya setuju dengan satu pertimbangan, almarhum orang biasa, ia bukan pejabat tinggi, artis atau politikus, pastilah tidak ada satu pun tulisan di media yang dibuat khusus untuk mengenangnya. Setidaknya tulisan saya mengisi kekosongan tersebut.

Tahun 1955, tepat dua tahun setelah Darul Islam (DI/TII) meletus di Aceh, lahirlah anak manusia yang diberi nama Sulaiman. Lahir di Tibang, Pidie, daerah yang paling panas jika terjadi konflik di Aceh. Tidak seperti layaknya anak Aceh waktu itu yang puas dengan pendidikan pesantren, Sulaiman kecil mampu menyelesaikan Sekolah Dasar tahun 1969. Berbekal ijazah SD tersebut, tahun 1981 Sulaiman diangkat menjadi CPNS di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan ditempatkan pada Kantor Lelang Negara Klas I Banda Aceh. Barulah Sulaiman resmi menjadi PNS tahun 1983 dengan pangkat juru muda golongan IA. Menurut teman sejawatnya, job description Sulaiman adalah pesuruh, dengan tugas riil mengantarkan surat. Sesuai ketentuan waktu itu setiap pegawai yang berpendidikan SD harus mengikuti penyetaraan ijazah. Lewat program KPAA Sulaiman mampu mendapatkan ijazah setingkat SLTA.

Tahun 1991, Kantor Lelang Negara klas I Banda Aceh dilepas dari DJP dan digabung dengan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Di bawah bendera BUPLN Sulaiman sempat menduduki jabatan Bendahara Rutin setidaknya sampai tahun 1998 dengan pangkat golongan IIb. Pangkat terakhir yang disandangnya adalah golongan IIIa dengan jabatan sebagai pelaksana.

Saya datang ke Banda Aceh tahun 2008. Saat itu DJKN tengah hiruk pikuk dengan program nasional penertiban BMN. Sebagai koordinator tingkat KPKNL Banda Aceh, saya tahu persis almarhum cukup berperan dalam tim penertiban BMN, walaupun saya dan Beliau memahami bahwa keberadaannya dalam tim bukanlah anggota inti. Namun dalam posisi ini butuh kebesaran hati. Sulaiman tahu persis bahwa masa “keemasannya” telah hampir

416

Kare

na K

ita G

arda

berakhir, sehingga ia tidak pernah menuntut. Jika petugas lain selalu ingin mendapatkan penugasan lama dengan SPPD banyak, ia cukup puas dengan jatah yang lebih kecil. Sekali lagi ia tahu perannya. Saya harus menceritakan ini karena karakter manusia berbeda. Ada sementara pegawai lain yang mengharapkan penugasan dan SPPD walau perannya hampir nihil dalam tim. Dan Sulaiman bukan tipe yang ini.

Semua orang yang mengenalnya menyatakan bahwa Sulaiman pegawai yang tidak bermasalah dan sama sekali tidak ingin membuat masalah. Sulaiman sejauh pengamatan saya dan kesaksian teman-teman, sangat santun, lembut, dan penyabar. Tidak ada kesan ambisius padanya. Tidak pernah sekalipun ia berapi-api menuntut hak. Sulaiman tahu bahwa hak selalu bergandengan dengan kewajiban. Saya pernah membaca buku kepribadian karangan Dale Carnagie atau buku-buku manajemen karya Covey junior maupun senior. Kesimpulan saya, Sulaiman adalah antitesis dari petunjuk yang ada dalam buku-buku tersebut. Sulaiman adalah cermin dari generasi yang narimo ing pandum, pasrah pada takdir Tuhan. Orang Korea menyatakan “jika Yin telah terlalu maju, maka Yin harus rela melambat agar Yang bisa menyusul.” Sulaiman adalah sebentuk kerelaan untuk disusul oleh generasi muda. Kerelaan tanpa geram. Untuk menjadi seperti ini butuh kebesaran hati. Banyak sekali di antara kita – golongan tua -- yang marah dan emosi karena prestasi dan kariernya disusul oleh generasi muda yang lebih energik dan pandai, tanpa bisa instropeksi diri, bahwa zaman telah berubah. Sulaiman tentu bukan futurolog yang pandai membaca tanda zaman. Justru dari kebesaran hatinya ia mampu menempatkan diri, pada pojok yang tentu tidak populer. Ia tidak menunjukkan kesan marah dan sakit hati tatkala generasi muda (seperti saya) mengunggulinya dalam karier dan penghasilan. Baginya hidup sudah ada yang mengatur.

Sulaiman meninggal tidak dengan tiba-tiba. Diabetes melitus (darah manis) memaksanya untuk bedrest cukup lama. Saat

417Kem

enterian Keuangan

ia sakit, saya bersama rekan-rekan sempat membesuk ke rumahnya. Kondisinya memang sudah mengkhawatirkan. Pada kondisi kritis ini keluarga masih yakin bahwa penyakit ini ada yang membikin (baca: guna-guna). Sehingga terapi yang dilakukan adalah non medis, alternatif. Rupanya dugaan keluarga salah. Kesadaran ini baru terbit saat dokter memvonis “amputasi” kaki. Sulaiman nampak pasrah, toh bulan Desember 2011 ini ia akan pensiun dari PNS. Tetapi takdir berkehendak lain, pada 21 Juli 2011, Tuhan memisahkan dia dari kita, selamanya.

Akhirnya saya harus mengatakan, almarhum Sulaiman bukanlah generasi emas, tetapi dari Sulaiman kita harus belajar, bahwa untuk hidup terhormat tidak harus menjadi pemenang. Selamat jalan Pak Leman.

Semua orang yang mengenalnya menyatakan bahwa Sulaiman pegawai yang tidak bermasalah dan sama sekali tidak ingin membuat masalah.

418

Kare

na K

ita G

arda

419Kem

enterian Keuangan

420

Kare

na K

ita G

arda

www.kemenkeu.go.id