kemampuan koneksi matematis ditinjau dari gaya …lib.unnes.ac.id/32123/1/4101413078.pdf9. seluruh...

71
KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DITINJAU DARI GAYA BELAJAR SISWA KELAS X PADA MODEL PEMBELAJARAN REACT Skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika oleh Siti Nur Asiyah 4101413078 JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017

Upload: dinhmien

Post on 07-Apr-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DITINJAU

DARI GAYA BELAJAR SISWA KELAS X PADA

MODEL PEMBELAJARAN REACT

Skripsi

disusun sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

oleh

Siti Nur Asiyah

4101413078

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2017

ii

iii

iv

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

� Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama ada komitmen

bersama untuk menyelesaikannya.

� Sebuah tantangan akan menjadi beban jika hanya dipikirkan,

Sebuah cita-cita akan menjadi beban jika hanya angan-angan,

Namun jika diraih dengan segala upaya, usaha dan doa sebuah cita-cita akan

menjadi kesuksesan.

PERSEMBAHAN

� Untuk kedua orang tua tercinta, Ibu dan

Bapak yang selalu mendoakan dan

memberikan dukungan baik moral

maupun material.

� Untuk sahabat-sahabat.

� Untuk keluarga besar dan teman-teman

seperjuangan Pendidikan Matematika

angkatan 2013.

vi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Kemampuan Koneksi Matematis Ditinjau dari Gaya Belajar Siswa Kelas X Pada

Model Pembelajaran REACT” dengan baik. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan

bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh rasa

hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang,

2. Prof. Dr. Zaenuri Mastur, S.E., M.Si., Akt, Dekan Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang,

3. Drs. Arief Agoestanto, M.Si., Ketua Jurusan Matematika Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang,

4. Ardhi Prabowo, S.Pd., M.Pd., Dosen Wali yang telah memberikan bimbingan

dan arahan,

5. Drs. Amin Suyitno, M.Pd., Dosen Pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, arahan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini,

6. Muh. Fajar Safaatullah, S.Si., M.Si., Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini,

7. Drs. Sudarto, M.Pd. selaku Kepala SMA N 3 Pati dan Siti Saudah, S.Pd.

selaku guru pamong yang telah membantu pelaksanaan penelitian guna

menyusun skripsi ini,

8. Bambang Eko Susilo, S. Pd., M. Pd., Dosen Penguji yang telah memberikan

arahan dan saran untuk memperbaiki skripsi ini,

vii

9. Seluruh Dosen Jurusan Matematika FMIPA Unnes atas segala ilmu yang

diberikan selama perkuliahan,

10. Siswa kelas X dan XI SMA N 3 Pati yang telah bersedia menjadi sampel

penelitian guna menyusun skripsi ini, dan

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

memberikan dorongan, motivasi dan doa.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun

pembaca. Terima kasih.

Semarang, Juni 2017

Penulis

viii

ABSTRAK

Asiyah, Siti Nur. 2016. Kemampuan Koneksi Matematis Ditinjau dari Gaya Belajar Siswa Kelas X Pada Model Pembelajaran REACT. Skripsi, Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Amin Suyitno, M.Pd., Pembimbing II: Muh. Fajar Safaatullah, S.Si., M.Si.

Kata Kunci: Kemampuan Koneksi Matematis; REACT; Gaya Belajar.

Permasalahan pada pembelajaran materi trigonometri adalah siswa masih cenderung kurang memahami dalam menyelesaikan soal kontekstual dan berkaitan dengan bidang ilmu lain yang sudah diacak dengan soal lain (non-kontekstual). Upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dapat digunakan model REACT. Di samping itu, tinggi dan rendahnya kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis tidak hanya bergantung pada proses pembelajarannya namun juga dari gaya belajar siswa.

Tujuan penelitian ini mengetahui (1) apakah hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model REACT mencapai kriteria ketuntasan belajar, (2) apakah hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model REACT lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Ekspositori, (3) apakah ada perbedaaan hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi matematis antara siswa yang memiliki gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik, dan (4) apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gaya belajar siswa terhadap hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi matematis siswa. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan populasi siswa kelas X dan terpilih dua kelas sebagai sampel. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, tes koneksi matematis, angket gaya belajar, dan dokumentasi. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 3 Pati Kabupaten Pati tahun ajaran 2016/ 2017 sebanyak 370 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kemampuan koneksi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model REACT dapat memenuhi ketuntasan belajar secara individual dan klasikal; (2) rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan penerapan model pembelajaran REACT lebih dari rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan model pembelajaran Ekspositori; (3) ada perbedaaan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis berdasarkan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Rata-rata kemampuan siswa yang memiliki gaya belajar visual pada aspek koneksi matematis lebih dari rata-rata kemampuan siswa yang memiliki gaya belajar auditorial dan kinestetik pada aspek koneksi matematis; (4) ada interaksi antara model pembelajaran REACT dan gaya belajar terhadap kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis. Rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan gaya belajar visual pada kelompok model pembelajaran REACT adalah yang terbaik di antara kelompok siswa yang lain.

.

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. iv

PRAKATA ..................................................................................................... v

ABSTRAK ..................................................................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Pembatasan Masalah ............................................................................. 9

1.3 Rumusan Masalah ................................................................................. 9

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 10

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 10

1.6 Penegasan Istilah ................................................................................... 12

1.6.1 Model Pembelajaran REACT ..................................................... 12

1.6.2 Kemampuan Siswa pada Aspek Koneksi Matematis ................. 12

1.6.3 Kriteria Ketuntasan Belajar ......................................................... 12

1.6.3 Gaya Belajar Siswa ..................................................................... 13

x

1.7 Sistematika Penulisan Skripsi ............................................................... 13

1.7.1 Bagian Awal ............................................................................... 13

1.7.2 Bagian Isi .................................................................................... 13

1.7.3 Bagian Akhir ............................................................................... 14

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori .................................................................................... 15

2.1.1 Belajar ......................................................................................... 15

2.1.2 Teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran Model REACT... 16

2.1.3 Model Pembelajaran REACT dan Ekspositori ............................ 21

2.1.4 Kemampuan Koneksi Matematis ................................................ 31

2.1.5 Gaya Belajar ................................................................................ 35

2.1.6 Materi Ajar ................................................................................. 40

2.2 Kerangka Berpikir ............................................................................... 43

2.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 47

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Populasi ............................................................................................... 48

3.2 Sampel dan Teknik Sampling .............................................................. 48

3.3 Metode dan Desain Penelitian .............................................................. 49

3.4 Variabel Penelitian .............................................................................. 52

3.5 Prosedur Penelitian ............................................................................... 52

3.5.1 Tahap Persiapan .......................................................................... 52

3.5.2 Tahap Analisis Data .................................................................... 54

3.5.3 Tahap Pembuatan Kesimpulan .................................................... 55

xi

3.6 Instrumen Penelitian ............................................................................ 55

3.7 Data dan Metode Pengumpulan Data ................................................... 57

3.7.1 Metode Angket atau Kuesioner ................................................... 57

3.7.2 Metode Tes ................................................................................ 56

3.7.3 Metode Non-Tes .......................................................................... 58

3.8 Penyusunan Instrumen Penelitian ........................................................ 60

3.8.1 Instrumen Tes Kemampuan Siswa pada Aspek Koneksi

Matematis ................................................................................... 60

3.8.2 Instrumen Angket Gaya Belajar ................................................. 61

3.9 Teknik Analisis Instrumen Penelitian .................................................. 61

3.9.1 Instrumen Tes Kemampuan Siswa pada Aspek Koneksi

Matematis ................................................................................... 62

3.9.2 Instrumen Angket Gaya Belajar .................................................. 69

3.10 Teknik Analisis Tes Kemampuan Siswa pada Aspek Koneksi

Matematis ........................................................................................... 70

3.10.1 Uji Persyaratan Analisis Data .................................................. 70

3.10.2 Uji Ketuntasan Belajar ............................................................. 73

3.10.3 Uji Kesamaan Dua Rata-Rata (t-test)....................................... 76

3.10.4 Uji Analisis Varians Satu Jalur (One Way Anava)................... 78

3.10.5 Uji Analisis Varians Dua Jalur (Two Ways Anava) ................. 80

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 82

4.1.1 Pelaksanaan Pembelajaran Model REACT ................................ 83

xii

4.1.2 Pelaksanaan Pembelajaran Model Ekspositori ........................... 88

4.2 Hasil Penelitian .................................................................................... 95

4.2.1 Hasil Analisis Data Awal ........................................................... 97

4.2.2 Uji Persyaratan Analisis Data ..................................................... 98

4.2.3 Pengujian Hipotesis ................................................................... 99

4.3 Pembahasan ......................................................................................... 109

4.3.1 Pembahasan Ketuntasan Belajar Siswa ....................................... 110

4.3.2 Pembahasan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa pada

Pembelajaran Model REACT dan Ekspositori........................ 111

4.3.3 Pembahasan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Ditinjau dari

Gaya Belajar Siswa.................................................................. 113

4.3.4 Pembahasan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa pada Ditinjau

dari Gaya Belajar pada Pembelajaran Model REACT dan

Ekspositori............................................................................... 114

BAB V. PENUTUP

5.1 Simpulan .............................................................................................. 121

5.2 Saran .................................................................................................... 122

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 124

LAMPIRAN ................................................................................................... 128

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Data Rata-Rata Nilai Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2014/ 2015 dan 2015/

2016 SMA Negeri Mata Pelajaran Matematika Program Peminatan IPA

Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/ Kota............................... 3

1.2 Persentase Penguasaan Materi Trigonometri dan Geometri Soal Matematika

Ujian Nasional SMA/MA Tahun Pelajaran 2014/ 2015 ..................... 6

2.1 Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Piaget ....................................... 18

2.2 Implementasi Model REACT dengan Pembelajaran .......................... 26

3.1 Desain Penelitian ................................................................................. 50

3.2 Desain Dua Faktor ............................................................................... 51

3.3 Interpretasi terhadap Reliabilitas ......................................................... 66

3.4 Interpretasi Daya Pembeda .................................................................. 67

3.5 Interpretasi Taraf Kesukaran ............................................................... 68

3.5 Nama-nama Validator Instrumen Penggolongan Gaya Belajar ........... 70

3.6 Ringkasan Analisis Varians .................................................................. 79

3.7 Ringkasan Anava Dua Jalur ................................................................ 80

4.1 Hasil Tes Kemampuan siswa pada aspek Koneksi Matematis berdasarkan

Model Pembelajaran ............................................................................ 96

4.2 Hasil Tes Kemampuan siswa pada aspek Koneksi Matematis berdasarkan

Gaya Belajar ........................................................................................ 96

4.1 Hasil Tes Kemampuan siswa pada aspek Koneksi Matematis berdasarkan

Gaya Belajar dengan Pembelajaran Model RREACT dan Ekspositori....... 96

xiv

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman

2.1 Bagan Skema Kerangka Berpikir ........................................................ 46

4.1 Hasil Pekerjaan Salah Satu Siswa dengan Gaya Belajar Visual Kelas

Eksperimen pada Tes Kemampuan Koneksi Matematis ..................... 115

4.2 Hasil Pekerjaan Salah Satu Siswa dengan Gaya Belajar Visual Kelas

Eksperimen pada Tes Kemampuan Koneksi Matematis ..................... 116

4.3 Hasil Pekerjaan Salah Satu Siswa dengan Gaya Belajar Visual Kelas

Eksperimen pada Tes Kemampuan Koneksi Matematis ..................... 117

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Penggalan Silabus ............................................................................... 128

2. Kisi-kisi Soal Uji Coba ....................................................................... 132

3. Lembar Soal Uji Coba ......................................................................... 137

4. Rubrik Penskoran Soal Uji Coba Tes Koneksi Matematis .................. 140

5. Tahapan Pengukuran Uji Coba Postest Tes Koneksi Matematis ......... 156

6. Analisis Validitas Butir Soal Uji Coba ................................................ 164

7. Analisis Reliabilitas Butir Soal Uji Coba ........................................... 169

8. Analisis Daya Pembeda Butir Soal Uji Coba ...................................... 172

9. Analisis Taraf Kesukaran Butir Soal Uji Coba ................................... 174

10. Data Nilai Ulangan Akhir Semester Gasal Kelas X Tahun Pelajaran 2016/

2017...................................................................................................... 177

11. Uji Normalitas Data Awal ................................................................... 178

12. Uji Homogenitas Data Awal ................................................................ 183

13. RPP Kelas Eksperimen Pertemuan ke-1 .............................................. 185

14. RPP Kelas Eksperimen Pertemuan ke-2 .............................................. 197

15. RPP Kelas Kontrol Pertemuan ke-1 ..................................................... 210

16. RPP Kelas Kontrol Pertemuan ke-2 ..................................................... 218

17. LKS Kelas Eksperimen Pertemuan ke-1.............................................. 227

18. LKS Kelas Eksperimen Pertemuan ke-2.............................................. 231

19. LKS Kelas Kontrol Pertemuan ke-1 .................................................... 235

20. LKS Kelas Kontrol Pertemuan ke-2 .................................................... 238

xvi

21. Tugas Individu Kelas Eksperimen Pertemuan ke-1 ............................ 240

22. Tugas Individu Kelas Eksperimen Pertemuan ke-2 ............................. 241

23. Tugas Individu Kelas Kontrol Pertemuan ke-1.................................... 242

24. Tugas Individu Kelas Kontrol Pertemuan ke-2.................................... 243

25. Pedoman Wawancara Validitas Muka .................................................. 244

26. Hasil Wawancara Validitas Muka ........................................................ 250

27. Validasi Instrumen Tes Uji Coba Koneksi Matematis......................... 255

28. Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Koneksi Matematis ........................... 260

29. Soal Tes Kemampuan Koneksi Matematis........................................... 262

30. Rubrik Penskoran Tes Kemampuan Koneksi Matematis ..................... 264

31. Tahapan Pengukuran POSTEST tes Koneksi Matematis .................... 273

32. Data Nilai Tes Koneksi Matematis Kelas Kontrol dan Pengelompokkan Gaya

Belajar Siswa........................................................................................ 280

33. Data Nilai Tes Koneksi Matematis Kelas Eksperimen dan Pengelompokkan

Gaya Belajar Siswa .............................................................................. 281

34. Uji Normalitas Data Nilai Tes Koneksi Matematis.............................. 282

35. Uji Homogenitas Data Nilai Tes Koneksi Matematis .......................... 287

36. Uji Hipotesis I (Uji Ketuntasan Belajar Individual) ............................ 289

37. Uji Hipotesis I (Uji Ketuntasan Belajar Klasikal)................................ 291

38. Uji Hipotesis II (Uji t-test) ................................................................... 293

39. Uji Hipotesis III (Uji one-way ANOVA) ............................................. 295

40. Uji Lanjut Hipotesis III (Uji Scheffe)................................................... 296

41. Uji Hipotesis IV (Uji two-way ANOVA) ............................................. 299

xvii

42. Uji Lanjut Hipotesis IV (Uji LSD) ....................................................... 301

43. Kisi-kisi Angket Gaya Belajar VAK .................................................... 304

44. Angket Gaya Belajar VAK ................................................................... 309

45. Pedoman Penskoran Angket Gaya Belajar VAK.................................. 313

46. Lembar Validasi Instrumen Angket Gaya Belajar VAK ...................... 315

47. Tabel Weiner ........................................................................................ 321

48. Daftar Nama Siswa Kelas Uji Coba .................................................... 322

49. Daftar Nama Siswa Kelas Kontrol....................................................... 323

50. Daftar Nama Siswa Kelas Eksperimen ................................................ 324

51. Surat Keputusan Dosen Pembimbing................................................... 325

52. Surat Izin Obsevasi .............................................................................. 326

53. Surat Izin Penelitian ............................................................................. 327

54. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ............................... 328

55. Dokumentasi ........................................................................................ 329

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Peningkatan kualitas pendidikan

dilakukan dengan memperkuat empat pilar yang dirumuskan oleh UNESCO yaitu,

(1) Learning to know (belajar untuk mengetahui), (2) Learning to do (belajar

untuk melakukan), (3) Learning to be (belajar untuk menjadi pribadi yang utuh),

dan (4) Learning to live together (belajar hidup bersama).

Matematika merupakan pengetahuan universal yang mendasari

perkembangan teknologi modern. Pembelajaran matematika dalam Kurikulum

2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu

menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach) meliputi mengamati,

menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua pelajaran

(Permendikbud No. 65 Tahun 2013). Selain itu, dalam kurikulum 2013 siswa

dimotivasi untuk mengecek informasi baru dengan yang sudah ada dalam ingatan

(Permendikbud No. 81A Tahun 2013). Menurut The National Council of Teachers

of Mathematics (NCTM, 2000) merumuskan tujuan pembelajaran matematika

1

2

meliputi belajar untuk berkomunikasi matematis (mathematical comunication),

belajar untuk bernalar matematis (mathematical reasoning), belajar untuk

memecahkan masalah matematis (mathematical problem solving), belajar untuk

mengkoneksikan ide matematis (mathematical connection), dan belajar untuk

merepresentasikan ide-ide matematis (mathematical representation). Berdasarkan

pada tujuan belajar matematika Permendikbud No. 65 dan 81A tahun 2013 serta

NCTM (2000), kemampuan koneksi matematis menjadi salah satu tujuan yang

harus dicapai pada saat pembelajaran matematika di kelas.

Beberapa penelitian telah mengungkapkan tentang pentingnya belajar

mengkoneksikan konsep matematika bagi siswa, menurut Mhlolo (2012)

kemampuan koneksi matematis antar ide-ide dalam matematika dapat

membangun representasi matematis siswa. Selain itu, menurut Karakoc (2015)

koneksi dengan kehidupan nyata dapat meningkatkan motivasi belajar siswa,

mengembangkan keterampilan penalaran dan penyelesaian masalah serta

meningkatkan kinerja dan prestasi siswa dalam matematika. NCTM (2000)

mengungkapkan perlunya mengembangkan pemahaman dan penggunaan

keterkaitan (koneksi) matematika dalam ide atau pemikiran matematis siswa.

NCTM (2000) menyatakan bahwa program pembelajaran di sekolah mulai dari

Pra-Taman Kanak-Kanak sampai dengan kelas XII memungkinkan siswa untuk

mengenali dan menggunakan koneksi ide-ide dalam matematika dan

menyusunnya untuk menghasilkan suatu hubungan yang koheren, serta mengenali

dan menawarkan matematika dalam konteks-konteks permasalahan di luar

matematika.

3

Berdasarkan hasil penelitian Mhlolo (2012) dan Karakoc (2015) maka

dapat dikatakan bahwa koneksi matematis adalah bagian yang sangat penting

dalam belajar matematika. Hal ini karena pada dasarnya salah satu tujuan belajar

matematika bagi siswa adalah agar siswa mempunyai kemampuan atau

keterampilan dalam memecahkan masalah atau soal-soal matematika, sebagai

sarana untuk mengasah penalaran yang cermat, logis, kritis, analitis, dan kreatif.

Suatu hal yang sangat memprihatinkan bila melihat fakta bahwa siswa mengalami

kesulitan saat menghadapi soal-soal matematika.

Berdasarkan data Balitbang Kemendikbud (2014/ 2015 dan 2015/ 2016)

yang diperlihatkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 1.1 Data Rata-Rata Nilai Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2014/ 2015 dan

2015/ 2016 SMA Negeri Mata Pelajaran Matematika Program Peminatan IPA

Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/ Kota Pati

Nilai UjianMatematika

Tahun Pelajaran

2014/ 2015 2015/ 2016

Nasional 60,35 59,17Provinsi Jawa

Tengah54,78 50,33

Kabupaten Pati 65,07 52,98

Sumber: Balitbang 2015-2016

Dari Tabel 1.1 diperoleh nilai rata-rata Ujian Nasional SMA Negeri mata

pelajaran matematika program peminatan IPA pada tahun 2015 secara berturut-

turut adalah 60,35 untuk tingkat Nasional; 54,78 untuk tingkat Provinsi Jawa

Tengah; dan 65,07 untuk tingkat Kabupaten Pati. Nilai rata-rata Ujian Nasional

4

SMA Negeri mata pelajaran matematika program peminatan IPA pada tahun 2016

secara berturut-turut adalah 59,17 untuk tingkat Nasional; 50,33 untuk tingkat

Provinsi Jawa Tengah; dan 52,98 untuk tingkat Kabupaten Pati. Rata-rata nilai

Ujian Nasional SMA Negeri mata pelajaran matematika program peminatan IPA

pada tahun 2015 dibandingkan dengan rata-rata nilai Ujian Nasional SMA Negeri

mata pelajaran matematika program peminatan IPA pada tahun 2016 untuk

tingkat Nasional mengalami penurunan rata-rata 1,18 dari 60,35 menjadi 59,17.

Rata-rata nilai Ujian Nasional SMA Negeri mata pelajaran matematika program

peminatan IPA pada tahun 2015 dibandingkan dengan rata-rata nilai Ujian

Nasional SMA Negeri mata pelajaran matematika program peminatan IPA pada

tahun 2016 untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan rata-rata

4,45 dari 54,78 menjadi 50,33. Rata-rata nilai Ujian Nasional SMA Negeri mata

pelajaran matematika program peminatan IPA pada tahun 2015 dibandingkan

dengan rata-rata nilai Ujian Nasional SMA Negeri mata pelajaran matematika

program peminatan IPA pada tahun 2016 untuk tingkat Kabupaten Pati

mengalami penurunan rata-rata 12,09 dari 65,07 menjadi 52,98. Secara umum

dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata Ujian Nasional SMA Negeri mata

pelajaran matematika program peminatan IPA pada tahun 2015 dibandingkan

nilai rata-rata Ujian Nasional SMA Negeri mata pelajaran matematika program

peminatan IPA pada tahun 2016 mengalami penurunan nilai rata-rata di tingkat

Nasional, Provinsi Jawa Tengah, dan Kabupaten Pati. Nilai rata-rata Ujian

Nasional SMA Negeri mata pelajaran matematika program peminatan IPA pada

tahun 2015 dibandingkan nilai rata-rata Ujian Nasional SMA Negeri mata

5

pelajaran matematika program peminatan IPA pada tahun 2016 mengalami

penurunan nilai rata-rata terbesar di tingkat Kabupaten Pati.

Berdasarkan studi pendahuluan (wawancara) pada tanggal 4 Februari 2017

dengan seorang guru di SMA Negeri 3 Pati bahwa kegiatan pembelajaran

matematika di sekolah menggunakan kurikulum 2013 revisi 2016. Model

pembelajaran Ekspositori, PBL, DL, dan PjBL merupakan model pembelajaran

yang digunakan oleh guru kelas X di SMA Negeri 3 Pati. Namun dalam

pelaksanaan pembelajaran, guru masih sering menggunakan model pembelajaran

Ekspositori dan jarang menggunakan variasi model pembelajaran. Guru juga

menggunakan media dan alat peraga yang tersedia di sekolah untuk membantu

proses pembelajaran. Berdasarkan informasi dari guru, siswa masih cenderung

kurang memahami dalam menyelesaikan soal kontekstual dan berkaitan dengan

bidang ilmu lain yang sudah diacak dengan soal lain (non-kontekstual) namun

masih dapat ditingkatkan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai ulangan harian siswa

yang belum mencapai KKM yaitu 67. Dengan kata lain, kemampuan siswa di

SMA Negeri 3 Pati masih cenderung kurang.

Penelitian Rumasoreng, dkk (2014) menyatakan bahwa siswa tidak mampu

dalam hal penguasaan konsep, perpaduan antar konsep, keterampilan dalam

menyelesaikan soal setara UN yang memuat materi trigonometri. Agninditya, dkk

(2014) menyatakan bahwa kesulitan siswa dalam materi trigonometri adalah

ketika diberikan soal uraian dan kesalahan yang sering dilakukan adalah

merumuskan masalah yang ada pada suatu soal uraian atau soal cerita karena

konsep yang belum tepat. Berikut merupakan persentase penguasaan materi

6

trigonometri dan geometri soal matematika ujian nasional SMA/MA tahun

pelajaran 2014/ 2015 didapat dari Balitbang 2014/ 2015.

Tabel 1.2 Persentase Penguasaan Materi Trigonometri dan Geometri Soal

Matematika Ujian Nasional SMA/MA Tahun Pelajaran 2014/ 2015

2014/ 2015SMA Negeri 3 Pati 59,82Kabupaten Pati 45,19Provinsi Jawa Tengah 40,59Nasional 51,52

Sumber:Balitbang 2014/ 2015

Menurut Ozbay (2015) bahwa pembelajaran kontekstual melalui model

pembelajaran REACT yang berpusat pada siswa merupakan pilihan yang tepat

untuk membangun koneksi antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana

pengetahuan dapat dimanfaatkan, karena banyak siswa yang termotivasi untuk

mengembangkan kemampuan matematika yang mereka miliki. Selain itu, menurut

Permendikbud Nomer 65 Tahun 2013 untuk mendorong kemampuan siswa untuk

menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok sesuai

dengan prinsip-prinsip pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual

melalui model pembelajaran yang dipilih juga dapat dijadikan faktor yang

mungkin dapat mempengaruhi peningkatan kemampuan siswa pada aspek koneksi

matematis.

Berdasarkan penelitian Ültay (2014) menyatakan bahwa model

pembelajaran REACT berpengaruh terhadap perubahan konseptual siswa dan

efektif memperbaiki konsep dalam mengembangkan pemahaman koneksi

matematis. Menurut Crawford (2001) bahwa model pembelajaran REACT yang

7

dijabarkan oleh COR (Center of Occupational Research) ada lima langkah yang

harus tampak yaitu: Relating (mengaitkan), Experiencing (mengalami), Applying

(Menerapkan), Cooperating (Bekerjasama), dan Transferring (Mentransfer).

Dengan demikian, faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kemampuan siswa

pada aspek koneksi matematis adalah penerapan model pembelajaran.

Berdasarkan fenomena yang telah dijabarkan di atas kemudian muncul

pertanyaan, model pembelajaran seperti apa yang dapat melatih kemampuan

siswa dalam mengkoneksikan konsep, melibatkan aktivitas siswa secara

optimal, dan membuat pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan

menyenangkan. Karena, penerapan model pembelajaran REACT dapat

menjadikan siswa termotivasi, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/

masalah yang disimulasikan, selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan

yang telah dimiliki siswa, pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa, serta

siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran sehingga dapat

meningkatkan kemampuan pada aspek koneksi matematis. Oleh karena itu, upaya

untuk meningkatkan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dapat

digunakan model pembelajaran REACT.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi dan rendahnya

kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis siswa tersebut, termasuk di

dalamnya faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern meliputi tingkat

kecerdasan, kemampuan awal siswa, sikap siswa, bakat, minat, motivasi siswa

terhadap suatu pelajaran, aktivitas, dan cara (gaya) belajar. Sedangkan faktor

ekstern meliputi lingkungan belajar, sarana prasarana pendukung, guru, dan

8

metode mengajar yang diberikan. Faktor-faktor tersebut sering kali menjadi

penghambat dan pendukung keberhasilan siswa, di antaranya adalah gaya belajar

siswa. Menurut DePorter dan Hernacki (2008: 110) gaya belajar adalah

kecenderungan seseorang dalam menerima, menyerap dan memproses informasi.

Setiap siswa memiliki kecenderungan cara belajar yang berbeda-beda yaitu ada

yang lebih senang belajar dengan melihat gambar-gambar, ada juga siswa yang

lebih senang belajar dengan mendengarkan penjelasan dari orang lain atau

berdiskusi, dan ada pula yang senang belajar dengan melakukan aktivitas

menggerakkan anggota tubuh atau memanipulasi suatu objek dan praktik.

Menurut Widyawati (2016) untuk mengetahui kemampuan pada aspek koneksi

matematis yang terdapat dalam diri masing-masing siswa, gaya belajar merupakan

salah satu faktor penentu keberhasilan siswa. Berdasarkan pendapat Widyawati

(2016) tersebut, alasan peneliti meninjau dari gaya belajar, karena setiap siswa

memiliki cara berfikir yang berbeda-beda dalam memecahkan masalah, hal ini

diduga dipengaruhi oleh gaya belajarnya. Di dalam penelitian ini digunakan gaya

belajar milik DePorter (2008) yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik,

dikarenakan melalui penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan banyak peneliti

yang menggunakan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik atau biasa

dikenal VAK.

Dari uraian di atas, akan dilakukan penelitian tentang kemampuan koneksi

matematis ditinjau dari gaya belajar siswa kelas X pada model pembelajaran

Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT).

9

1.2 Pembatasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Populasi dalam penelitian ini adalah kelas X SMA Negeri 3 Pati.

2. Kemampuan matematika yang akan dilihat hasilnya adalah kemampuan

pada aspek koneksi matematis siswa.

3. Soal-soal yang dipilih dalam penelitian ini adalah yang berkaitan dengan

aspek koneksi matematis.

4. Gaya belajar yang dipilih dalam penelitian ini adalah Visual, Auditorial,

dan Kinestetik.

5. Pembanding dalam penelitian ini adalah Kriteria Ketuntasan Minimal yang

ditetapkan oleh sekolah.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi matematis siswa

yang mendapatkan model pembelajaran REACT dapat mencapai kriteria

ketuntasan belajar?

2. Apakah hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi matematis siswa

antara yang mendapatkan model pembelajaran REACT lebih baik dari

pada siswa yang mendapatkan model pembelajaran Ekspositori?

3. Apakah ada perbedaan hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi

matematis siswa yang memiliki gaya belajar visual, auditorial, dan

kinestetik?

10

4. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gaya belajar

siswa terhadap hasil belajar pada aspek koneksi matematis siswa?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui apakah hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi

matematis siswa yang mendapatkan model pembelajaran REACT mencapai

kriteria ketuntasan belajar.

2. Untuk mengetahui apakah hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi

matematis siswa antara yang mendapatkan model pembelajaran REACT

lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan model pembelajaran

Ekspositori.

3. Untuk mengetahui apakah ada perbedaaan hasil belajar pada aspek

kemampuan koneksi matematis siswa yang memiliki gaya belajar visual,

auditorial, dan kinestetik.

4. Untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan

gaya belajar siswa terhadap hasil belajar pada aspek kemampuan koneksi

matematis siswa.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:

1) Bagi peneliti

(1) Menambah wawasan peneliti tentang pelaksanaan model pembelajaran

REACT.

11

(2) Mengetahui keefektifan model pembelajaran REACT terhadap

pencapaian kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis.

(3) Menjadi pengalaman bagi peneliti dalam memilih model pembelajaran

yang tepat sesuai materi/ silabus matematika.

2) Bagi Siswa

(1) Mendapatkan pengalaman tentang penerapan model pembelajaran

REACT.

(2) Dapat meningkatkan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis.

(3) Menumbuhkan semangat belajar siswa agar proses pembelajaran

matematika menjadi efektif, menarik, dan menyenangkan serta mudah

untuk memahami materi yang dipelajari.

3) Bagi Guru

(1) Memberikan alternatif model pembelajaran yang berbeda dari biasanya.

(2) Memiliki pengalaman menerapkan model pembelajaran REACT yang

dapat digunakan oleh guru untuk mengembangkan kemampuan siswa

pada aspek koneksi matematis.

4) Bagi Sekolah

(1) Memperoleh hasil pengembangan ilmu dan mengetahui kemampuan

siswa pada aspek koneksi matematis sehingga dapat menjadi acuan

dalam menentukan arah kebijakan untuk kemajuan sekolah.

(2) Memberikan kontribusi yang baik dalam rangka perbaikan proses

pembelajaran guna meningkatkan kemampuan siswa pada aspek

koneksi matematis.

12

1.6 Penegasan Istilah

Penegasan istilah dilakukan untuk memperoleh pengertian yang sama

tentang istilah dan membatasi ruang lingkup permasalahan sesuai dengan tujuan

dalam penelitian ini.

1.6.1 Model Pembelajaran REACT

Model pembelajaran REACT ini harus memiliki lima unsur, yaitu:

Relating (mengaitkan), Experiencing (mengalami), Applying (Menerapkan),

Cooperating (Bekerjasama), dan Transferring (Mentransfer).

1.6.2 Kemampuan Siswa pada Aspek Koneksi Matematis

Siswa menunjukkan kemampuan koneksi matematis ketika memberikan

bukti bahwa mereka dapat memenuhi indikator koneksi matematis sebagai

berikut.

1) Memahami hubungan antar konsep matematika,

2) Memahami hubungan antar topik matematika,

3) Memahami dan mampu menggunakan matematika dalam bidang ilmu lain,

dan

4) Memahami dan mampu menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-

hari.

1.6.3 Kriteria Ketuntasan Belajar

Dalam penelitian ini, kriteria ketuntasan belajar yang digunakan adalah

ketuntasan belajar individual dan klasikal. Kriteria ketuntasan belajar individual

ditandai dengan siswa yang telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Sedangkan, kriteria ketuntasan belajar klasikal ditandai dengan banyaknya siswa

13

yang telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sekurang-kurangnya

75%. KKM yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah 67.

1.6.4 Gaya Belajar Siswa

Gaya belajar adalah cara yang sering dilakukan oleh seorang siswa dalam

menangkap atau menanggapi informasi, cara mengingat, berpikir berinteraksi

dengan orang lain, dan memecahkan persoalan. Pada penelitian ini, gaya belajar

yang digunakan adalah gaya belajar gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik.

1.7 Sistematika Penulisan Skripsi

Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian awal,

bagian isi, dan bagian akhir, yang masing-masing diuraikan sebagai berikut.

1.7.1 Bagian Awal

Bagian awal terdiri dari halaman judul, halaman persetujuan, halaman

pengesahan, motto dan persembahan, abstrak, kata pengantar, daftar isi, daftar

tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran.

1.7.2 Bagian Isi

Bagian ini merupakan bagian pokok skripsi yang terdiri dari 5 bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan

skripsi.

BAB II Landasan Teori dan Hipotesis membahas teori yang melandasi

permasalahan skripsi serta penjelasan yang merupakan landasan teoritis yang

diterapkan dalam skripsi, pokok bahasan yang terkait dengan pelaksanaan

14

penelitian, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

BAB III Metode Penelitian meliputi metode dan desain penelitian, variabel

penelitian, populasi, sampel dan teknik sampling, prosedur penelitian,

instrumen penelitian, data dan metode pengumpulan data, teknik analisis

instrumen , dan teknik analisis data.

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan berisi pelaksanaan penelitian, hasil

penelitian dan pembahasan hasil penelitian.

BAB V Penutup berisi tentang simpulan dan saran yang diajukan dalam

penelitian.

1.7.3 Bagian Akhir

Bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran – lampiran.

15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Belajar

Sebagai landasan mengenai apa yang dimaksud dengan belajar, terlebih

dahulu akan dikemukakan beberapa definisi dari para ahli mengenai belajar.

Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang, seseorang dikatakan belajar bila

dapat diasumsikan dalam diri orang itu menjadi suatu proses kegiatan yang

mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku (Hudojo, 1988). Menurut Slavin,

belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman.

Menurut Gagne, belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku setiap

orang dan belajar itu mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan

oleh seseorang. Menurut Hamalik (2004), belajar bukan satu tujuan tetapi

merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan. Jadi, belajar merupakan langkah-

langkah atau prosedur yang ditempuh.

Menurut Rifa’i (2011), belajar mengandung tiga unsur utama, yaitu

sebagai berikut.

1. Belajar berkaitan dengan perubahan perilaku. Untuk mengukur apakah

seseorang telah belajar, maka diperlukan perbandingan antara perilaku

sebelum dan setelah mengalami kegiatan belajar. Apabila terjadi perbedaan

perilaku, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang telah belajar. Perilaku

15

16

tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk seperti menulis, membaca,

berhitung.

2. Perubahan perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses pengalaman.

Perubahan perilaku karena pertumbuhan dan kematangan fisik, seperti tinggi

dan berat badan, dan kekuatan fisik, tidak disebut sebagai hasil belajar.

3. Perubahan perilaku karena belajar itu bersifat relatif permanen. Lamanya

perubahan yang terjadi pada diri seseorang adalah sukar untuk diukur.

Biasanya perubahan perilaku dapat berlangsung selama satu hari, satu

minggu, satu bulan, atau bahkan bertahun-tahun.

Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar

adalah suatu usaha untuk memperoleh pengetahuan dan perubahan dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan serta perubahan

aspek-aspek lain. Tetapi perubahan itu dapat berupa sesuatu yang baru, mungkin

juga perubahan itu hanya penyempurnaan atau pengembangan terhadap hal-hal

yang dipelajari.

2.1.2 Teori Belajar yang Mendukung Model pembelajaran REACT

2.1.2.1 Teori Belajar Piaget

Menurut teori Piaget perkembangan kognitif manusia itu tumbuh secara

kronologis (menurut urutan waktu) melalui empat tahap tertentu yang berurutan.

Anak yang sedang ada pada tahap tertentu menunjukan kepandaian khusus

tertentu pula. Berpegang kepada teori belajar piaget ini, bila kita menginginkan

perkembangan mental anak lebih cepat dapat masuk tahap yang lebih tinggi

supaya anak diperkaya dengan banyak pengalaman.

17

Pada teori belajar milik Piaget, terdapat tiga dalil pokok yaitu:

1. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap yang beruntun yang

selalu dengan urutan yang sama,

2. Tahap-tahap itu didefinisikan dengan pengurutan, pengekalan,

pengelompokan, pembuatan hipotesis, dan penarikan kesimpulan, dan

3. Proses akomodasi dan asimilasi.

Dalam teorinya, Piaget mengatakan bahwa seorang individu dapat

mengikat, memahami, memberikan respon terhadap stimulus disebabkan

bekerjanya schemata yang merupakan hasil interaksi antara individu dan

lingkungan. Anak bukanlah suatu objek penerima pengetahuan yang pasif,

melainkan mereka dengan aktif melakukan pengaturan pengalaman mereka ke

dalam struktur mental yang kompleks. Kemudian Piaget menyatakan bahwa

perkembangan kognitif terjadi ketika anak sudah membangun pengetahuan

melalui eksplorasi aktif dan penyelidikan pada lingkungan fisik dan sosial di

lingkungan sekitar. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat dua teori yang

dikemukakan oleh Piaget, yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi adalah

proses memasukan informasi ke dalam skema yang telah dimiliki. Proses ini agak

bersifat subjektif, karena seseorang cenderung memodifikasi pengalaman atau

informasi yang agak atau sesuai dengan keyakinan yang telah dimiliki

sebelumnya. Sedangkan akomodasi merupakan proses mengubah skema yang

telah dimiliki dengan informasi baru. Akomodasi itu melibatkan kegiatan

pengubahan skema, atau gagasan yang telah dimiliki karena adanya informasi atau

skema baru. Skema itu dikembangkan terus selama dalam proses akomodasi.

18

Tabel 2.1. Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Menurut Rifa’i (2011), implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran

adalah (1) tatkala guru mengajar hendaknya menyadari bahwa banyak siswa

remaja yang belum dapat mencapai tahap berpikir operasional formal secara

sempurna, kondisi ini membuat konsekuensi pada penyusunan kurikulum,

hendaknya tidak terlalu formal atau abstrak, karena hal ini justru akan

mempersulit siswa remaja tatkala menyerap materi pembelajaran; (2) kondisi

pembelajaran diciptakan dengan nuansa eksplorasi dan penemuan, sehingga siswa

mempunyai kesempatan untuk mengembangkan minat belajarnya sesuai dengan

kemampuan intelektualnya; dan (3) metode pembelajaran yang digunakan

hendaknya lebih banyak mengarah pada konstruktivisme, artinya siswa lebih

Tahapan Umur KarakteristikSensorimotor

Praoperasional

Operasional kongkret

Operasional formal

0-2 tahun

2-7 tahun

7-11 tahun

11-15 tahun

Mulai memanfaatkan meniru, mengingat, dan berpikir. Mulai mengenali bahwa benda-benda tidak terjangkau apabila mereka tersembunyi. Bergerak dari tindakan refleks yang diarahkan pada tujuan.Perkembangan bahasa bertahap dan kemampuan untuk berpikir suatu bentuk simbolis. Mampu berpikir logis. Memiliki kesulitan melihat sudut pandang orang lain.Mampu menyelesaikan masalah logis. Memahami hukum kekekalan dan mampu mengklasifikasikan menurut urutan. Memahami reversibilitasMampu menyelesaikan masalah abstrak dalam model logis. Berpikir menjadi lebih ilmiah. Mengembangkan isu-isu sosial..

19

banyak dihadapkan pada penyelesaian masalah yang lebih menekankan pada

persoalan-persoalan aktual yang dekat dengan kehidupan mereka, kemudian

mereka diminta menyusun hipotesis tentang mencari solusinya. (4) Setiap akhir

pembelajaran dalam satu pokok bahasan, siswa diminta untuk membuat mind

map.

Implementasi teori Piaget dalam penelitian ini adalah bahwa tahap

perkembangan kognitif pada siswa SMA sudah sampai pada tahap operasional

formal yang mana anak sudah mampu menyusun adanya kolaborasi antar siswa

maka diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan penalaran siswa terhadap

suatu konsep sehingga siswa mampu menyelesaikan masalah-masalah

kontekstual. Selain itu, teori ini mendukung penggunaan model pembelajaran

REACT dalam menyelesaikan suatu masalah.

2.1.2.2 Teori Belajar Vygotsky

Trianto (2010) mengemukakan bahwa teori Vigotsky ini lebih menekankan

aspek sosial pada pembelajaran. Menurut Vygotsky, proses pembelajaran akan

terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari,

namun tugas-tugas tersebut masih berada pada dalam jangkauan mereka.

Teori ini berpandangan bahwa kemampuan kognitif berasal dari hubungan

sosial budaya. Vigotsky mengemukakan beberapa ide mengenai zone of proximal

developmental (ZPD). Zone of Proximal Developmental (ZPD) adalah

serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara sendirian, tetapi dapat

dipelajari dengan bantuan orang dewasa atau anak yang lebih mampu (Rifa’i,

2011). ZPD menunjukkan adanya pengaruh aspek sosial, terutama pengaruh

20

instruksi atau pengajaran terhadap kemampuan kognitif anak. Menurut Vigotsky,

pengaruh kegiatan kolaboratif pada pembelajaran terbentuk secara kolektif di

dalam hubungan antara anak-anak dan kemudian menjadi fungsi mental bagi

masing-masing individu dan pemikiran muncul dari argumen.

Menurut Vygotsky, sebelum mengajar seorang guru hendaknya dapat

memahami ZPD siswa batas bawah sehingga bermanfaat untuk menyusun struktur

materi pembelajaran. Implikasinya guru lebih akurat tatkala menyusun strategi

mengajarnya, sehingga tidak selalu memberikan bimbingan pada siswa. Untuk

mengembangkan pembelajaran yang berkomunitas, seorang guru perlu

memanfaatkan tutor sebaya di dalam kelas.

Dalam penelitian ini, hubungan teori Vygotsky dengan proses pembelajaran

adalah siswa diarahkan untuk berinteraksi dengan siswa lain untuk menemukan

materi baru dengan panduan guru hal ini sangat erat dengan model pembelajaran

REACT.

2.1.2.3 Teori Polya

Menurut Polya dalam pemecahan masalah ada empat langkah yang harus

dilakukan. Keempat tahapan ini lebih dikenal dengan See (memahami masalah),

Plan (menyusun rencana), Do (melaksanakan rencana) dan Check (menguji

jawaban). Berikut adalah gambaran umum dari kerangka Polya (dalam Hudojo,

2003).

1) Pemahaman pada masalah (identifikasi tujuan), siswa dituntut untuk benar-

benar memahami apa yang menjadi tujuan pemecahan masalah.

21

2) Membuat rencana penyelesaian masalah, misalnya dilakukan dengan

membagi masalah ke sub masalah kemudian mencari hubungan antara

informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui.

3) Melaksanakan rencana (menyelesaikan rencana yang telah tertuang pada

tahap sebelumnya).

4) Lihatlah kembali (ujilah solusi yang telah didapatkan).

Implementasi teori Polya dalam penelitian ini adalah saat siswa menghadapi

suatu masalah dalam menyelesaikan LKS dan soal, siswa dapat menyelesaikan

masalah tersebut dengan menggunakan empat langkah pemecahan masalah yaitu

See (memahami masalah), Plan (menyusun rencana), Do (melaksanakan rencana)

dan Check (menguji jawaban).

2.1.3 Model Pembelajaran REACT dan Ekspositori

2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran REACT

Dalam CORD (1999) kurikulum dan pengajaran berdasarkan model

REACT akan terstruktur untuk mendorong lima bentuk pembelajaran yang

penting, yaitu: Berkaitan, Mengalami, Menerapkan, Bekerja sama, dan

Mentransfer.

Sedangkan menurut Crawford (2001) sejumlah model pembelajaran telah

dikembangkan dalam psikologi kognitif, salah satunya yaitu REACT. Model ini

berfokus pada pengajaran dan belajar dalam konteks-prinsip dasar

konstruktivisme. REACT adalah akronim dari Relating, Experiencing, Applying,

Cooperating, dan Transferring.

22

1. Relating (Mengaitkan) adalah tahapan pembelajaran kontekstual yang paling

kuat. Hal ini juga merupakan jantung konstruktivisme. Dalam kegiatan

Relating (Mengaitkan) siswa diajak belajar dengan mengaitkan materi yang

sedang dipelajarinya dengan konteks pengalaman kehidupan nyata atau

pengetahuan yang sebelumnya. Guru menggunakan tahapan ini ketika

menghubungkan konsep baru untuk sesuatu hal yang asing bagi siswa,

sehingga guru menghubungkan apa yang siswa sudah tahu dengan informasi

baru.

2. Experiencing, setelah kegiatan Relating yaitu menghubungkan informasi baru

dengan pengalaman hidup atau pengetahuan sebelumnya, kegiatan

Experiencing (Mengalami) membawa siswa untuk menerapkan informasi

tersebut ke dalam kelas. Namun pendekatan ini tidak mungkin jika siswa

tidak memiliki pengalaman yang relevan atau pengetahuan sebelumnya. Guru

dapat mengatasi kendala ini dan membantu siswa mengkonstruksi

pengetahuan baru dengan mengambil tempat di dalam kelas. Tahapan ini

dilakukan melalui kegiatan eksplorasi dan penemuan-penemuan. Kegiatan

yang dilakukan dapat berupa kegiatan pemecahan masalah dan praktek di

laboratorium. Kegiatan ini juga dapat dilakukakan dengan menunjukan benda

sederhana (bentuk nyata) atau alat peraga untuk model abstrak sebagai

konsep konkret.

3. Applying didefinisikan sebagai penerapan pembelajaran dengan

menempatkan konsep untuk digunakan. Jelas, siswa menerapkan konsep

ketika mereka terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah dan proyek-proyek

23

yang diberikan. Guru juga dapat memotivasi kebutuhan untuk memahami

konsep dengan menetapkan latihan yang realistis dan relevan. Latihan-latihan

ini dapat ditemukan di semua buku pelajaran. Hal ini memiliki dua fokus

utama: Mereka menimbulkan situasi yang sangat realistis, dan mereka

menunjukkan kegunaan konsep akademis di beberapa bidang kehidupan

seseorang. Keduanya penting untuk aplikasi masalah menjadi motivasi. Jika

tugas terlalu mudah, siswa dapat menjadi bosan, atau meyakinkan mereka

sudah menguasai materi yang telah dipelajari, dan kehilangan motivasi untuk

belajar konsep-konsep baru. Jika tugas terlalu sulit, siswa tidak dapat

membuat kemajuan yang signifikan, dan mereka dapat menjadi yakin mereka

tidak mampu menguasai konsep. Oleh karena itu hendaknya sebuah tugas

yang ada, di antaranya adalah "menantang tapi masuk akal," adalah salah

satu di mana siswa dapat membuat kemajuan yang sah saat membangun (atau

memperkuat) konsep-konsep yang baru.

4. Cooperating, Banyak latihan menyelesaikan masalah, terutama ketika mereka

melibatkan situasi yang realistis, yang kompleks adalah fokus dari kegiatan

ini. Siswa bekerja secara individual terkadang tidak dapat membuat kemajuan

yang signifikan dalam periode kelas atas masalah ini. Mereka bisa menjadi

frustasi kecuali guru memberikan langkah demi langkah panduan. Di sisi lain,

siswa bekerja dalam kelompok kecil bisa sering menangani masalah-masalah

yang kompleks dengan sedikit bantuan dari luar. Guru dapat menyelesaikan

persoalan ini dalam hal latihan menyelesaikan masalah dengan menggunakan

tahapan bekerja sama, yaitu belajar dalam konteks berbagi, merespons, dan

24

berkoneksi dengan siswa lainnya. Saat bekerja dengan rekan-rekan mereka

dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian besar siswa bisa mengajukan

pertanyaan tanpa merasa malu. Mereka juga akan lebih mudah menjelaskan

pemahaman konsep mereka kepada orang lain atau mengusulkan pemecahan

masalah untuk kelompok. Dengan mendengarkan pendapat orang lain dalam

kelompok, siswa mengevaluasi dan merumuskan sendiri pendapat-pendapat

yang didapat. Mereka belajar untuk menghargai pendapat orang lain karena

kadang-kadang strategi yang berbeda terbukti menjadi pendekatan yang lebih

baik untuk masalah ini. Ketika sebuah kelompok berhasil dalam mencapai

tujuan bersama, anggota kelompok akan mendapatkan kepercayaan diri dan

motivasi lebih tinggi daripada ketika siswa bekerja sendiri.

5. Tansferring, dalam pembelajaran tradisional, peran utama guru adalah untuk

menyampaikan fakta dan prosedur. Sedangkan peran siswa harus menghafal

fakta-fakta dan mempraktekkan prosedur dengan keterampilan kerja, latihan

dan presentasi. Siswa yang dapat mengingat dan mengulangi fakta dan

prosedur dengan tepat maka pada hasil tes akhirnya juga akan

baik. Sebaliknya, di kelas konstruktivis atau kontekstual, peran guru diperluas

termasuk untuk menciptakan berbagai pengalaman belajar dengan fokus pada

pemahaman yang lebih daripada menghafal. Guru dalam pembelajaran

kontekstual menggunakan tahapan yang dibahas di atas (yang mengaitkan,

mengalami, menerapkan, dan kerja sama) dan mereka menetapkan berbagai

tugas untuk memfasilitasi pemahaman dalam belajar. Selain keterampilan

kerja dan kemampuan menjelaskan (presentasi), mereka menetapkan

25

pengalaman, kegiatan dan masalah yang realistis di mana siswa memperoleh

pemahaman awal dan memperdalam pemahaman mereka tentang konsep.

Siswa yang belajar dengan pemahaman juga dapat belajar untuk mentransfer

pengetahuan. Mentransfer adalah tahapan pengajaran yang kita definisikan

sebagai penggunaan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi yang belum

tercakup dalam kelas.

Dari penjelasan di atas mengenai model pembelajaran REACT, secara

garis besar dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran REACT dalam

penelitian ini dilaksanakan dengan langkah sebagai berikut:

1. Relating (Mengaitkan) adalah tahapan pembelajaran kontekstual dengan

mengaitkan dengan pengetahuan yang sebelumnya dan mengaitkan dengan

permasalahan kehidupan nyata.

2. Experiencing, setelah kegiatan Relating yaitu menghubungkan informasi baru

dengan pengalaman hidup atau pengetahuan sebelumnya, kegiatan

Experiencing (Mengalami) dalam penelitian ini adalah siswa melakukan

pencarian dan penyelidikan yang dilakukan oleh siswa secara aktif untuk

menemukan konsep yang dipelajari, dalam penelitian ini kegiatan

Experiencing muncul dalam pengerjaan LKS.

3. Applying didefinisikan sebagai tahapan penerapan sebagai pembelajaran

dengan menempatkan konsep untuk digunakan dalam menyelesaikan suatu

masalah. Jelas, siswa menerapkan konsep ketika mereka terlibat dalam

kegiatan penyelesaian masalah dan latihan-latihan yang diberikan. Contohnya

saat mengerjakan LKS, siswa dihadapkan pada konsep-konsep sebelumnya.

26

4. Cooperating, belajar dengan berkelompok dan bekerjasama. Ketika sebuah

kelompok berhasil dalam mencapai tujuan bersama, anggota kelompok akan

mendapatkan kepercayaan diri dan motivasi lebih tinggi daripada ketika siswa

bekerja sendiri.

5. Tansferring, adalah kegiatan di mana pembelajaran fokus pada pemahaman

daripada mengingat. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk

melakukan transfer pengetahuan matematika dalam menyelesaikan masalah

matematika.

Tabel 2.2 Implementasi Model Pembelajaran REACT

REACT PENERAPANNYA1. Relating (Mengaitkan) adalah tahapan

pembelajaran kontekstual yang paling kuat. Hal ini juga merupakan jantung konstruktivisme. Dalam kegiatan Relating (Mengaitkan) siswa diajak belajar dengan mengaitkan materi yang sedang dipelajarinya dengan konteks pengalaman kehidupan nyata atau pengetahuan yang sebelumnya.

a. Siswa menyebutkan contoh kegunaan trigonometri dalam kehidupan sehari-hari.

b. Siswa menyampaikan pendapatnya dan memberikancontoh lain yang dalam kehidupan sehari-hari tentang konsep trigonometri.

c. Siswa diminta untuk membuat contoh lain tentang masalahyang berkaitan dengan materi trigonometri di lingkungan sekitar mereka.

2. Experiencing (Mengalami) membawa siswa untuk menerapkan informasi tersebut ke dalam kelas dengan melakukan pencarian dan penyelidikan yang dilakukan oleh siswa secara aktif. Tahapan ini dilakukan melalui kegiatan eksplorasi dan penemuan-penemuan (discovery). Kegiatan yang dilakukan dapat berupa kegiatan penyelesaian masalah dan praktek di laboratorium. Kegiatan ini juga dapat dilakukakan dengan menunjukan contoh konkret (kontekstual) atau

a. Siswa mengamati contohkegunaan trigonometri ditunjukan oleh guru.

b. Siswa mengerjakan kegiatan awal pada LKS yang diberikan oleh guru, untuk menemukan konsep dasar yang akan dipelajari. (misalnya: menemukan konsep perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku dan sudut istimewa, fungsi trigonometri, aturan sin, cos,

27

menemukan suatu konsep dasar yang akan dipelajari.

tan, dll.)

3. Applying didefinisikan sebagai tahapan penerapan sebagai pembela-jaran dengan menempatkan konsep untuk digunakan. Jelas, siswa menerapkan konsep ketika mereka terlibat dalam kegiatan penyelesaian masalah dan proyek-proyek yang diberikan. Guru juga dapat memotivasi kebutuhan untuk memahami konsep dengan menetapkan latihan yang realistisdan relevan. Latihan-latihan ini dapat ditemukan di semua buku pelajaran. Hal ini memiliki dua fokus utama: Mereka menimbulkan situasi yang sangat realistis, dan mereka menunjukkan kegunaan konsep akademis di beberapa bidang kehidupan seseorang. Oleh karena itu hendaknya sebuah tugas yang ada, di antaranya adalah "menantang tapi masuk akal," adalah salah satu di mana siswa dapat membuat kemajuan yang sah saat membangun (atau memperkuat) konsep-konsep yang baru.

a. Siswa menyelesaikan soal tentang koneksi matematisyang telah disediakan pada LKS (misalnya: soal tentang perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku dan sudut istimewa, masalah nyata perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku dan sudut istimewa, dll)

4. Cooperating, merupakan kegiatan yang meliputi latihan penyelesaianmasalah dengan menggunakan tahapanbekerja sama, yaitu belajar dalam konteks berbagi, merespons, dan berkoneksi dengan siswa lainnya. Saat bekerja dengan rekan-rekan mereka dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian besar siswa bisa mengajukan pertanyaan tanpa merasa malu. Mereka juga akan lebih mudah menjelaskan pemahaman konsep mereka kepada orang lain atau mengusulkan penyelesaian masalah untuk kelompok.

a. Siswa bekerja sama dan berdiskusi untuk menghimpun berbagai konsep dari trigonometri yang sudah dipelajari (perbandingan segitiga siku-siku dan sudut istimewa, fungsi trigonometri, aturan sin, cos, tan, dll) serta memikirkan secara cermat strategi penyelesaian yang berguna untuk koneksi matematis (perbandingan segitiga siku-siku dan sudut istimewa, fungsi trigonometri, aturan sin, cos, tan, dll) yang diberikan pada lembar kerja

28

yang sudah disediakan.5. Tansferring, di kelas konstruktivis

atau kontekstual, peran guru diperluas termasuk untuk menciptakan berbagai pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman yang lebih daripada menghafal. Guru dalam pembelajaran kontekstual menggunakan tahapanyang dibahas di atas (yang mengaitkan, mengalami, menerapkan, dan kerja sama) dan mereka menetapkan berbagai tugas untuk memfasilitasi pemahaman dalam belajar. Mentransfer adalah tahapanpengajaran yang kita definisikan sebagai penggunaan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi yang belum tercakup dalam kelas.

a. kelompok mempresentasikan hasil diskusinya, disini guru memberikan motivasi kepada siswa berupa pemberian hadiah / bonus bagi kelompok atau individu yang mempresentasikan hasil diskusinya dengan baik dan aktif dalam diskusi berupa nilai tambah.

b. Guru memberi kesempatan kepada siswa dari kelompok lain untuk memberikan tanggapan terhadap hasil diskusi kelompok penyaji dengan sopan.

c. Guru mengkonfirmasi hasil presentasi semua kelompok

2.1.3.2 Pengertian Model Pembelajaran Ekspositori

Model pembelajaran Ekspositori adalah model pembelajaran yang hampir

sama dengan model pembelajaran ceramah dalam hal pemusatan kegiatan kepada

guru sebagai pemberi informasi atau bahan pelajaran (Suherman, 2003). Menurut

Sanjaya (2006) model pembelajaran Ekspositori adalah model pembelajaran yang

menekankan kepada proses bertutur. Peran siswa dalam model ini adalah

menyimak untuk menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Namun,

pada model pembelajaran Ekspositori dominasi guru banyak berkurang karena

guru tidak terus menerus berbicara. Guru hanya berbicara pada awal pelajaran,

menerangkan materi dan contoh soal, serta pada waktu-waktu tertentu yang

diperlukan saja. Selain menerangkan, peran guru juga memeriksa pekerjaan siswa

secara individual, menjelaskan ulang tentang materi pelajaran terkait secara

individual maupun klasikal. Pada model pembelajaran Ekspositori siswa belajar

29

lebih aktif daripada model ceramah. Siswa dapat mengerjakan latihan soal sendiri,

berdiskusi, tanya jawab dengan siswa lain, atau menyampaikan pendapat

jawabannya atas suatu permasalahan (soal) di papan tulis. Tujuan utama

pembelajaran model pembelajaran Ekspositori adalah memindahkan

pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai pada siswa (Dimyati dan Mudjiono,

2013).

Menurut Sanjaya (2011), langkah-langkah dalam pelaksanaan model

pembelajaran Ekspositori, sebagai berikut.

a. Persiapan (preparation)

Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima

pelajaran. Dalam model pembelajaran Ekspositori, tahap persiapan

merupakan tahapan yang sangat penting. Keberhasilan pelaksanaan

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Ekspositori sangat

tergantung pada tahap persiapan. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam

tahap persiapan: (a) berikan sugesti yang positif dan hindari sugesti yang

negatif; (b) mulailah dengan mengemukakan tujuan yang harus dicapai; dan

(c) bukalah file dalam otak siswa.

b. Penyajian (presentation)

Tahap penyajian adalah tahapan penyampaian materi pelajaran sesuai dengan

persiapan yang telah dilakukan. Yang harus dipikirkan guru dalam penyajian

ini adalah bagaimana agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap

dan dipahami oleh siswa. Karena itu, ada beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam pelaksanaan tahap ini: (a) penggunaan bahasa; (b)

30

intonasi suara; (c) menjaga kontak mata dengan siswa; dan (d) menggunakan

joke-joke yang menyegarkan.

c. Korelasi (correlation)

Tahap korelasi adalah tahapan menghubungkan materi pelajaran dengan

pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa

dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah

dimilikinya. Tahap korelasi dilakukan untuk memberikan makna terhadap

materi pelajaran, baik makna untuk memperbaiki struktur pengetahuan yang

telah dimilikinya maupun makna untuk meningkatkan kualitas

kemampuan berpikir dan kemampuan motorik siswa.

d. Menyimpulkan (generalization)

Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti (core) dari materi

pelajaran yang telah disajikan. Tahap menyimpulkan merupakan tahapan

yang sangat penting dalam model pembelajaran Ekspositori, sebab melalui

tahap menyimpulkan siswa akan dapat mengambil inti sari dari proses

penyajian.

e. Mengaplikasikan (application)

Tahap aplikasi adalah tahapan unjuk kemampuan siswa setelah mereka

menyimak penjelasan guru. Tahap ini merupakan tahapan yang sangat

penting dalam proses pembelajaran Ekspositori, sebab melalui tahap ini guru

dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi

pelajaran oleh siswa. Teknik yang biasa dilakukan pada tahap ini: (a) dengan

31

membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan; dan (b)

dengan memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran.

2.1.4 Kemampuan Koneksi Matematis

Koneksi berasal dari kata dalam bahasa Inggris connection yang berarti

hubungan atau kaitan. Koneksi matematis dapat diartikan sebagai kemampuan

dalam menghubungkan atau mengaitkan matematika. Kemampuan koneksi

matematis (mathematical connection) dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

menghubungkan ide-ide matematik.

Standar kurikulum dan evaluasi untuk matematika sekolah (NCTM : 1989)

telah mengidentifikasi bahwa koneksi (connection) merupakan proses yang

penting dalam pmbelajaran matematika dan menyelesaikan masalah matematika.

Koneksi matematis memegang peranan yang penting dalam upaya meningkatkan

pemahaman matematika. Orang yang telah memahami suatu kaidah berarti

mampu menghubungkan beberapa konsep.

Menurut Ruseffendi (1991), agar siswa dalam belajar matematika lebih

berhasil, siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan,

baik kaitan antara dalil dan dalil, antara teori dan teori, antara topik dan topik,

maupun antara cabang matematika (aljabar dan geometri misalnya). Sehingga jika

suatu topik diberikan secara tersendiri, maka pembelajaran akan kehilangan satu

momen yang sangat berharga dalam usaha meningkatkan prestasi siswa dalam

belajar matematika secara umum. Melalui koneksi matematis, dengan suatu

materi siswa dapat menjangkau beberapa aspek untuk penyelesaian masalah, baik

32

di dalam maupun di luar sekolah yang pada akhirnya secara tidak langsung siswa

memperoleh banyak pengetahuan yang dapat menunjang peningkatan kualitas

pendidikan.

Selain itu, dengan melihat hubungan antara konsep matematika dan

relevansinya dengan kehidupan sehari-hari, siswa akan mengetahui banyak

manfaat dari matematika. Dengan mengetahui manfaat dari matematika tersebut

akan menumbuhkan dan meningkatkan sikap positif siswa terhadap matematika.

Seperti yang diungkapkan oleh Ruseffendi (1991), agar siswa tertarik atau

berminat terhadap matematika, paling tidak siswa harus dapat melihat

kegunaannya dan keindahannya. Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah

diuraikan tersebut, dapat dikatakan bahwa dengan koneksi matematis, siswa akan

memperoleh pemahaman lebih mendalam, wawasan pengetahuan yang lebih luas,

serta peningkatan sikap positif terhadap matematika. Untuk itu guru perlu

memberikan perhatian terhadap koneksi matematis agar siswa dapat memahami

matematika secara terintegrasi yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi

belajar siswa dalam pelajaran matematika.

Menurut NCTM (2000), koneksi matematis diilhami oleh karena ilmu

matematika tidaklah terpartisi dalam berbagai topik yang saling terpisah, namun

matematika merupakan satu kesatuan. Selain itu matematika juga tidak bisa

terpisah dari ilmu selain ilmu matematika dan masalah-masalah yang terjadi

dalam kehidupan. Tanpa koneksi matematis maka siswa harus belajar dan

mengingat terlalu banyak konsep dan prosedur matematika yang saling terpisah.

Dalam NCTM (2000), apabila siswa mampu mengkaitkan ide-ide matematik

33

maka pemahaman matematikanya akan semakin dalam dan bertahan lama karena

mereka mampu melihat keterkaitan antar ide-ide matematik, dengan konteks antar

topik matematika, dan dengan pengalaman hidup sehari-hari.

Ada dua tipe umum koneksi matematis menurut NCTM (1989), yaitu

modeling connections dan mathematical connections. Modeling connection

merupakan hubungan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata

atau dalam disiplin ilmu lain dengan representasi matematikanya, sedangkan

mathematical connections adalah hubungan antara dua representasi yang

ekuivalen, dan proses penyelesaian dari masing-masing representasi. Keterangan

NCTM tersebut mengindikasikan bahwa koneksi matematis terbagi kedalam tiga

aspek kelompok koneksi, yaitu sebagai berikut.

(1) Aspek koneksi antar topik matematika.

(2) Aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain.

(3) Aspek koneksi dengan dunia nyata siswa/ koneksi dengan kehidupan sehari-

hari.

NCTM (2000) menyatakan bahwa program pembelajaran di sekolah mulai

dari Pra-Taman Kanak-Kanak sampai dengan kelas XII seharusnya

memungkinkan siswa sebagai berikut.

(1) Mengenali dan menggunakan koneksi antar ide-ide atau gagasan dalam

matematika.

(2) Memahami bagaimana keterkaitan atau koneksi ide-ide dalam matematika

dan menyusunnya untuk menghasilkan suatu hubungan yang koheren.

34

(3) Mengenali dan menawarkan matematika dalam konteks-konteks

permasalahan di luar matematika.

Sedangkan menurut Jihad (2008), menyatakan bahwa koneksi matematis

(Mathematical Connection) merupakan kegiatan yang meliputi:

(1) mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur,

(2) memahami hubungan antar topik matematika,

(3) menggunakan matematika dalam bidang lain atau kehidupan sehari-hari,

(4) memahami representasi ekuivalen konsep yang sama,

(5) mencari koneksi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, dan

(6) menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika

dengan topik lain.

Berdasarkan NCTM (1989) dan Jihad (2008), dapat disimpulkan koneksi

matematis adalah salah satu komponen kemampuan untuk mencapai pemahaman

siswa terhadap matematika melalui kegiatan yang meliputi mencari hubungan

antar konsep matematika, hubungan antar topik matematika, hubungan

matematika dengan ilmu yang lain dan hubungan matematika dengan kehidupan

sehari-hari. Koneksi dimunculkan dengan melibatkan siswa secara aktif dalam

proses pembelajaran.

Berdasarkan kajian pustaka NCTM (1989) dan Jihad (2008), dalam penelitian

ini sebagai indikator koneksi dengan empat aspek kemampuan koneksi matematis

siswa, yaitu sebagai berikut.

(1) Aspek koneksi antar konsep matematika.

35

(2) Aspek koneksi antar topik matematika.

(3) Aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain.

(4) Aspek koneksi dengan dunia nyata siswa/ koneksi dengan kehidupan

sehari-hari.

Siswa menunjukkan kemampuan koneksi matematis ketika mereka

memberikan bukti bahwa mereka dapat memenuhi indikator koneksi matematis

sebagai berikut.

(1) Memahami hubungan antar konsep matematika.

(2) Memahami hubungan antar topik matematika.

(3) Memahami dan mampu menggunakan matematika dalam bidang ilmu lain.

(4) Memahami dan mampu menggunakan matematika dalam kehidupan

sehari-hari.

2.1.5 Gaya Belajar Siswa

Menurut Nasution (2003), gaya belajar merupakan cara yang konsisten

yang dilakukan oleh seorang siswa dalam menangkap stimulus atau informasi,

cara mengingat, berpikir dan memecahkan soal. Dryden mengatakan individu

memiliki keunikan masing-masing, maka setiap mereka memiliki gaya belajar

yang berbeda. Dengan melayani setiap gaya belajar individu dan

mendayagunakan secara optimal fungsi kerja otak merupakan kunci utama

revolusi pembelajaran.

Ahli NLP (Neuro Linguistic Programming) menyatakan bahwa mereka

sering bisa mengetahui gaya belajar yang disukai murid dengan memperhatikan

gerakan mata dan mendengarkan pembicaraan mereka. Barbara Prashning

36

mengatakan pelajar bergaya taktil umumnya bisa dikenali dari kecenderungan

mata mereka menatap ke atas saat mereka merenungkan suatu pertanyaan.

Penelitian Dunn (1978) menemukan sebagai berikut.

1. Hanya 30% siswa mengingat 75% dari apa yang didengar di kelas regular.

2. 40% menguasai apa yang dibaca dan dilihat. Terdiri atas dua tipe, yang

memproses informasi dalam bentuk teks atau gambar.

3. 15% belajar paling baik adalah secara faktual. Dengan menangani bahan-

bahan, menulis, menggambar dan terlibat dalam pengalaman nyata.

4. 15% lainnya bersifat kinestetik. Dengan tindakan fisik, ia dapat belajar

dengan baik. Terlibat dalam pengalaman nyata yang dapat diterapkan

langsung dalam hidup mereka

Seorang pelajar visual biasanya duduk tegak dan mengikuti penyaji

dengan matanya. Seorang pelajar auditorial sering mengulang dengan lembut

kata-kata yang diucapkan penyaji, atau sering menganggukkan kepalanya saat

fasilitator menyajikan informasi lisan. Pelajar tipe ini sering “memainkan sebuah

kaset dalam kepalanya” saat ia mencoba mengingat informasi. Jadi, mungkin ia

akan memandang ke atas saat ia melakukannya. Seorang pelajar kinestesis sering

menunduk saat ia mendengarkan serta suka bermain-main dengan benda saat ia

mendengarkan: mengklik pulpennya, bermain dengan kertas, atau bermain dengan

bola koosh sambil mendengarkan seseorang berbicara.

Menurut DePorter (2008: 112) mengkategorikan gaya belajar seseorang

dilihat dari kecenderungan perilakunya menjadi tiga kategori yaitu visual,

auditorial, dan kinestetik.

37

Gaya belajar merupakan kombinasi dari empat faktor, yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimana anda menyerap informasi dengan mudah. Apakah efektif dengan

melihat, mendengar, bergerak atau menyentuh.

2. Bagaimana anda mengatur dan memproses informasi. Apakah didominasi

oleh otak kanan atau otak kiri, analitis atau global.

3. Kondisi yang mempermudah anda menyerap dan menyimpan informasi

secara emosi, sosial, fisik dan lingkungan.

4. Bagaimanana anda mengeluarkan informasi, mungkin berbeda diantara

menyerap atau menyimpannya.

Kita bisa mengenali gaya belajar anak melalui tingkah lakunya. DePorter

(2008: 116-120) dalam buku Quantum Learning mengurai dengan detail

kebiasaan orang-orang yang memiliki gaya belajar VAK, yaitu sebagai berikut.

1) Visual

Banyak ciri-ciri atau perilaku lain yang merupakan petunjuk kecenderungan

belajar. Untuk orang-orang yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) rapi dan teratur, (b) berbicara dengan

cepat, (c) perencana dan pengatur jangka panjang yang baik, (d) teliti dan

detail terhadap sesuatu, (e) mementingkan penampilan, baik dalam hal

pakaian maupun presentasi, (f) pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata

yang sebenarnya dalam pikiran mereka, (g) mengingat apa yang dilihat,

daripada didengar, (h) mengingat dengan asosiasi sosial, (i) biasanya tidak

terganggu oleh keributan, (j) mempunyai masalah untuk mengingat intruksi

verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali meminta bantuan orang untuk

38

mengulanginya, (k) pembaca cepat dan tekun, (l) lebih suka membaca

daripada dibacakan, (m) membutuhkan pandangan dan tujuan yang

menyeluruh untuk memastikan sesuatu dan memilih bersikap waspada ketika

merasa tidak siap mental untuk menerima suatu masalah atau proyek, (n)

mencorat-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat

(mungkin kalau siswa, ketika guru berceramah), (o) lupa menyampaikan

pesan lisan kepada orang lain, (p) sering menjawab pertanyaan dengan

jawaban singkat ya atau tidak, (q) lebih suka melakukan demonstrasi daripada

berpidato, (r) lebih suka seni daripada musik, (s) seringkali mengetahui apa

yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata, dan (t) kadang-

kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.

2) Auditorial

Untuk orang-orang yang memiliki kecenderungan gaya belajar Auditorial

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) berbicara kepada diri sendiri saat

bekerja, (b) mudah terganggu oleh keributan, (c) menggerakkan bibir mereka

dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca, (d) senang membaca

dengan keras dan mendengarkan, (e) dapat mengulangi kembali dan

menirukan nada, irama, dan warna suara, (f) merasa kesulitan untuk menulis,

tetapi hebat dalam bercerita, (g) berbicara dalam irama yang terpola, (h)

biasanya pembicara yang fasih, (i) lebih suka musik daripada seni

(menggambar, memahat), (j) belajar dengan mendengarkan dan mengingat

apa yang didiskusikan daripada yang dilihat, (k) suka berbicara, suka

berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar, (l) mempunyai masalah

39

dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong

sesuatu menjadi beberapa bagian agar sesuai satu sama lain, (m) lebih pandai

mengeja dengan keras daripada menuliskannya, dan (n) lebih suka gurauan

lisan daripada membaca komik.

3) Kinestetik

Untuk orang-orang yang memiliki kecenderungan gaya belajar kinestetik

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) berbicara dengan perlahan, (b)

menanggapi perhatian fisik, (c) menyentuh orang untuk mendapatkan

perhatian mereka, (d) berdiri dekat ketika berbicara dengan orang, (e) selalu

berorientasi pada fisik dan banyak bergerak, (f) mempunyai perkembangan

awal otot-otot yang besar, (g) belajar melalui memanipulasi dan praktik, (h)

menghafal dengan cara berjalan dan melihat, (i) menggunakan jari sebagai

penunjuk ketika membaca, dan (j) banyak menggunakan isyarat tubuh, (k)

tidak dapat duduk diam untuk waktu lama.

Pada penelitian ini, gaya belajar yang digunakan adalah gaya belajar

milik DePorter walaupun banyak gaya belajar lain yang dikemukakan oleh para

ahli. Alasan memilih gaya belajar DePorter adalah, secara umum tipe gaya belajar

yang dikemukakan DePorter mencakup tipe-tipe gaya belajar yang dikemukakan

oleh para ahli lainnya, di samping itu pada penelitian-penelitian sebelumnya

ditemukan bahwa banyak peneliti yang menggunakan tipe-tipe dan indikator gaya

belajar DePorter untuk mengetahui jenis gaya belajar siswa.

40

2.1.6 Materi Ajar

Materi Perbandingan dan fungsi trigonometri merupakan materi yang

banyak aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan materi yang cocok

digunakan dalam penelitian ini. Materi yang dipilih yaitu perbandingan

trigonometri pada segitiga siku-siku dan nilai perbandingan trigonometri pada

sudut istimewa (Kemendikbud, (2016: 121-143)). Berikut uraian sub materi

trigonometri.

Perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku

1. Panjang sisi-sisi suatu segitig

Panjang sisi dihadapan sudut dinamakan a

Panjang sisi dihadapan sudut dinamakan b

Panjang sisi dihadapan sudut dinamakan c

Panjang sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku mempunyai hubungan

2. Besar sudut pada segitiga

Jumlah ketiga sudut dalam segitiga adalah

3. Perbandingan pada sisi-sisi segitiga

a.

b.

c

A

b

Ca

B

41

c.

d.

e.

f.

Nilai perbandingan trigonometri sudut istimewa

1. Sudut

2. Sudut dan

B

CD

A

1

1

Perhatikan persegi ABCD dengan sisi-

sisi 1 satuan panjang. Sehingga dengan

memanfaatkan aturan Phythagoras

diperoleh panjang diagonal .

Sekarang perhatikanlah segitiga siku-

siku ABC siku-siku di B. Karena

persegi maka besarnya ,

sehingga diperoleh:

2

BA

2

C

T

2

1

42

Pandang segitiga sama sisi ABC dengan panjang sisi adalah 2 satuan panjang.

Jika dari ditarik garis tinggi CT yang tegak lurus pada sisi AB maka diperoleh

.

Perhatikan segitiga siku-siku BTC yang siku-siku di T. Dengan menggunakan

aturan Pythagoras diperoleh panjang .

Maka diperoleh:

Masih dengan segitiga yang sama , sekarang perhatikan untuk .

Perbandingan trigonometri akan diperoleh:

3. Sudut dan Perhatikan lingkaran pada sumbu kartesius

di samping yang memiliki jari-jari 1 satuan

panjang. Perhatikan jari-jari yang

membentuk sudut terhadap .

r

43

Jika r membentuk sudut maka r berimpit dengan sumbu x, sehingga

perbandingan trigonometrinya diperoleh:

Untuk sudut maka jari-jari r akan berhimpit dengan sumbu y, sehingga

untuk perbandingan trigonometrinya diperoleh:

2.2 Kerangka Berpikir

Siswa mempunyai kemampuan pada aspek koneksi matematis yang kurang,

khususnya pada materi trigonometri. Siswa masih mengalami kesulitan dalam

mengerjakan soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dikarenakan pola

pikir siswa SMA Negeri 3 Pati masih menunggu bimbingan dari guru. Oleh

karena itu, diperlukan adanya variasi baru dalam pembelajaran yang diharapkan

mampu meningkatkan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis. Variasi

44

tersebut dapat berupa penerapan model pembelajaran dan model pembelajaran

yang dapat menunjang kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis siswa.

Model pembelajaran Relating, Experiencing, Applying, Cooperating,

Transferring (REACT) merupakan salah satu pembelajaran berupa model yang

telah dikembangkan dalam psikologi kognitif, yang berfokus pada pengajaran dan

belajar dalam pendekatan ilmiah. Melalui model REACT siswa dituntut

melakukan pemahaman materi melalui permasalahan di sekitar yang

menunjukkan konsep trigonometri, kemudian siswa diminta untuk menemukan

jawaban dari persoalan pada lembar kerja siswa yang telah diberikan, dan

mendiskusikan kembali mengenai kesimpulan berdasarkan materi pembelajaran.

Di samping proses pembelajaran, pada dasarnya ada beberapa faktor yang

mempengaruhi tinggi dan rendahnya kemampuan siswa pada aspek koneksi

matematis matematika siswa tersebut, termasuk di dalamnya faktor intern dan

faktor ekstern. Faktor-faktor tersebut sering kali menjadi penghambat dan

pendukung keberhasilan siswa, diantaranya adalah gaya belajar siswa. Oleh

karena itu, guru juga harus memperhatikan tipe-tipe gaya belajar siswa untuk

menyesuaikan pembelajaran yang harus dilakukan. Tipe-tipe gaya belajar yang

digunakan yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik.

Dampak bagi kelompok siswa yang diberi pembelajaran dengan model

REACT adalah siswa mendapat gambaran materi yang akan dibahas dengan

mengaitkan materi trigonometri dengan konteks kehidupan nyata, sehingga dapat

memunculkan pemahaman siswa terhadap persoalan yang dihadapi. Selain itu,

45

siswa dapat aktif dalam belajar untuk mengembangkan kemampuan siswa pada

aspek koneksi matematis dengan berdiskusi dan bekerja sama dalam kelompok.

Dalam penelitian ini diduga bahwa kemampuan siswa pada aspek koneksi

matematis dalam materi trigonometri pada penerapan model REACT lebih dari

kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis pada penerapan model

Ekspositori. Selain itu, telah dijelaskan di atas bahwa kemampuan siswa pada

aspek koneksi matematis tidak hanya dipengaruhi oleh proses pembelajarannya

saja namun juga fakor gaya belajar, oleh karena itu dalam penelitian ini diduga

bahwa kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis yang memiliki gaya

belajar visual lebih dari kemamampan koneksi matematis siswa yang memiliki

gaya belajar auditorial dan kinestetik. Dalam penelitian ini kemampuan siswa

pada aspek koneksi matematis diduga dipengaruhi oleh model pembelajaran dan

gaya belajar, maka peneliti menduga bahwa ada interaksi antara model

pembelajaran dengan gaya belajar terhadap kemampuan siswa pada aspek koneksi

matematis siswa, sehingga ada paling sedikit satu perbedaan kemampuan siswa

pada aspek koneksi matematis kelompok siswa yang diberi model pembelajaran

REACT dan model pembelajaran Ekspositori ditinjau dari gaya belajarnya.

46

Gambar 2.1 Bagan Skema Kerangka Berpikir

1. Kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan menggunakan pembelajaran dengan model REACT mencapai kriteria ketuntasan belajar.

2. Rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan penerapan model pembelajaran REACT lebih dari rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan model pembelajaran Ekspositori.

3. Ada perbedaaan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis kelas XSMA Negeri 3 Pati berdasarkan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik.

4. Ada interaksi antara strategi belajar dengan REACT dan Gaya Belajar terhadap kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis kelas X SMA Negeri 3 Pati.

Sumber Masalah:1. Daya serap penguasaan materi Trigonometri pada aspek koneksi matematis

mengalami penurunan 2. Kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis masih rendah.3. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami dan menyelesaikan soal kontekstual

Kelompok Eksperimen dengan model pembelajaran REACT

Kelompok Kontrol dengan model pembelajaran Ekspositori

Dampak bagi siswa:1. Siswa diberi gambaran materi yang akan

dibahas dengan mengaitkan materi dengan konteks kehidupan nyata sehingga dapat memunculkan pemahaman siswa.

2. Siswa dapat aktif dalam belajar untuk mengembangkan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis.

3. Siswa aktif berdiskusi dan bekerja sama dalam kelompok.

Dampak bagi siswa:1. Siswa dapat aktif dalam belajar untuk

mengembangkan kemampuan siswa pada pemahaman konsep.

2. Siswa belum aktif berdiskusi dan bekerja sama dalam kelompok.

Tes Kemampuan siswa pada aspek

koneksi matematis

Visual

Auditorial

Kinestetik

47

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan

menggunakan pembelajaran dengan model REACT mencapai kriteria

ketuntasan belajar.

2. Rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis kelas X

SMA Negeri 3 Pati dengan penerapan model pembelajaran REACT

lebih dari rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis

dengan model pembelajaran Ekspositori.

3. Ada perbedaaan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis

kelas X SMA Negeri 3 Pati berdasarkan gaya belajar visual, auditorial,

dan kinestetik.

4. Ada interaksi antara model pembelajaran REACT dan gaya belajar

siswa kelas X SMA Negeri 3 Pati.

121

BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang penerapan model pembelajaran

REACT dalam pembelajaran matematika dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Kemampuan koneksi matematis siswa kelas X SMA Negeri 3 Pati yang

memperoleh model pembelajaran REACT dapat memenuhi ketuntasan belajar

secara individual dan klasikal.

2) Rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis kelas X SMA

Negeri 3 Pati dengan penerapan model pembelajaran REACT lebih dari rata-

rata kemampuan koneksi matematis dengan model pembelajaran Ekspositori.

3) Ada perbedaaan kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis kelas X

SMA Negeri 3 Pati berdasarkan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik

pada model pembelajaran REACT. Rata-rata kemampuan siswa pada aspek

koneksi matematis yang memiliki gaya belajar visual lebih dari rata-rata

kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis yang memiliki gaya belajar

auditorial dan kinestetik pada model pembelajaran REACT.

4) Ada interaksi antara model pembelajaran REACT dan Gaya Belajar terhadap

kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis kelas X SMA Negeri 3 Pati.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa ada perbedaan

rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan gaya

belajar visual pada kelompok model pembelajaran REACT dibandingkan

121

122

rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan gaya

belajar auditorial dan kinestetik pada kelompok model pembelajaran REACT

serta rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan gaya

belajar visual, auditorial, dan kinestetik pada kelompok model pembelajaran

Ekspositori. Karena rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi

matematis dengan gaya belajar visual pada kelompok model pembelajaran

REACT berbeda signifikan dengan rata-rata kemampuan siswa pada aspek

koneksi matematis dengan gaya belajar auditorial dan kinestetik pada

kelompok model pembelajaran REACT dan berbeda signifikan dengan rata-

rata kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan gaya belajar

visual, auditorial, dan kinestetik pada kelompok model pembelajaran

Ekspositori, sehingga rata-rata kemampuan siswa pada aspek koneksi

matematis dengan gaya belajar visual pada kelompok model pembelajaran

REACT adalah yang terbaik di antara kelompok rata-rata kemampuan siswa

pada aspek koneksi matematis dengan gaya belajar auditorial dan kinestetik

pada kelompok model pembelajaran REACT dan kelompok rata-rata

kemampuan siswa pada aspek koneksi matematis dengan gaya belajar visual,

auditorial, dan kinestetik pada kelompok model pembelajaran Ekspositori.

5.2. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, saran yang dapat direkomendasikan oleh

peneliti antara lain sebagai berikut.

1) Guru hendaknya melaksanakan pembelajaran di kelas dengan menerapkan

model pembelajaran Relating, Experiencing, Applying, Cooperating,

123

Transferring (REACT) pada materi trigonometri dan geometri sebagai salah

satu alternatif model pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan

koneksi matematis siswa.

2) Dalam menerapkan model pembelajaran REACT yang memiliki lima langkah

pembelajaran dengan satu kali diskusi, guru hendaknya lebih cermat

mengatur waktu pembelajaran dan mengelola kelas dengan baik sehingga

proses pembelajaran dapat berlangsung sesuai alokasi waktu serta tujuan

pembelajaran dapat tercapai.

3) Dalam menerapkan model pembelajaran REACT, guru hendaknya

memberikan pengertian dan arahan kepada siswa terkait masalah-masalah

yang diberikan kepada siswa yang memungkinkan adanya beragam proses

penyelesaian dan hasil penyelesaian masalah serta selalu memberikan

motivasi bagi siswa untuk yakin terhadap kemampuan siswa sendiri.

4) Guru diharapkan untuk tetap melatih dan mengembangkan kemampuan

koneksi matematis siswa, baik menggunakan model pembelajaran REACT

ataupun model pembelajaran yang lain.

124

DAFTAR PUSTAKA

Agninditya, F., Sunandar & Purwati, H. 2014. Analisis Kesalahan dan Kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Uraian Pokok Bahasan Trigonometri Kelas X IPS di SMAN 1 Rembang. Prosiding Mathematics and Sciences Forum. Semarang: 4.

Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan(Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2013. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi 2). Jakarta : Bumi Aksara.

BSNP. 2013. Implementasi Kurikulum 2013 Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik. Jakarta.

CORD. 1999. Teaching Mathematics Contextually.Amerika: United States of America

Crawford, M.L. 2001. Teaching Contextually: Research, Rationale, and Techniques for Improving Student Motivation and Achievment in Mathematics and Science. Waco, Texas, USA: CORD CCI Publishing, Ic.

Depdikbud. 1975. Pedoman Binun Pembentukan Istilah. Jakarta: Depdikbud.

DePorter, Bobbi. 2002. Quantum Learning. Boston: Allyn Bacon.

DePorter, Bobbi, Reardon Mark, Singer Sarah dan Nourie. 2008. QuantumLearning. Editor, Hernacki, Mike. Diterjemahkan oleh Ary Nilandari. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka.

Dimyati dan Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Cetakan ke-lima.Jakarta: Rineka Cipta.

Djarwanto, PS dan Subagyo, Pangestu. 1993. Statistik Induktif. Edisi ke-empat. Yogyakarta: BPFE.

Dunn, Rita and Shirley A. Griggs. 1978. Practical Approaches to Using Learning Styles in Higher Education. London: Bergin and Garvey.

124

125

Fleming, N. D and Mills, C. 1992. Helping Students Understand How They Learn. The Teaching Professor, Volume 7 No. 4, Magma Publications, Madison, Wisconsin, USA.

Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Hudojo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.

Jihad, Asep. 2008. Pengembangan Kurikulum Matematika. Yogyakarta: Multi Pressindo.

Karakoc, Gökhan dan Cengiz Alacacı. 2015. Real World Connections in High School Mathematics Curriculum and Teaching. Turkish Journal of Computer and Mathematic Education, 6(1):31-46.

Kemendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kemendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemendikbud. 2016. Matematika Siswa Kelas X Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2016. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kolb, D. 1984. Experiental Learning. New Jersey: Prentice-hall.imc.

Mhlolo, Michael K., Hamsa Venkat and Marc Schäfer. 2012. The nature and quality of the mathematical connections teachers make. 33(1):9.

Nasution, S. 2003. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar.Jakarta: Bumi Aksara.

NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standars for School Mathematics.Reston, VA: NCTM.

NCTM.2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

OECD. 2014. PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with they know. Volume: 1.

126

Ozbay, Ali Şükrü dan Mustafa Naci Kayaoğlu. 2015. The Use of REACT Strategy for the Incorporation of the Context of Physics into the Teaching English to the Physics English Prep Students. Journal of History Culture and Art Research. 4(3).

Polya, G. 1957. How to Solve It: A New Aspect of Mathematics Method. New Jersey: Princeton University Press.

Rifai, A dan Anni, C.T. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang: UPT Unnes Press.

Rohman, Nur., et. Al. 2014. Eksperimentasi Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik dan Problem Based Learning pada Operasi Bilangan Bulat Ditinjau dari Gaya Belajar Siswa. Tesis Prodi Magister Pendidikan Matematika, PPs Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Rumasoreng, M. I. & Sugiman. 2014. Analisis Kesulitan Matematika Siswa SMA/MA dalam Menyelesaikan Soal Setara UN di Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 1 (1):22—34.

Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetesinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:Tarsito.

Ruseffendi, R.E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetesinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:Tarsito.

Siegel,S. 1994. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia

Slavin, R.E. 1995. Research on Cooperative Learning and Achievement: What We Know, What We Need to Know. USA: Johns Hopkins University

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 2001. Statistika nonparametik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualiatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.

Suherman, Erman. 2003. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA.

Suherman, H.E, dkk. 2003. Model pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan

127

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia.

Sukestiyarno. 2013. Olah Data Penelitian Berbantuan SPSS. Semarang: UNNES Press.

Sukmadinata. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Jakarta:Bumi Aksara.

Ültay, Neslihan. 2014. Determination Of Student Teachers’ Views About React Strategy. Articles Ümmü Gülsüm Durukan Giresun University. Ahmet Kelesoglu Education Faculty Meram:8.

Umar, Husein. 1998. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Utami, Wiwik Sri, dkk. 2016. React (Relating, Experiencing, Applying, Cooperative, Transferring) Strategy to Develop Geography Skills. Journal of Education and Practice. 7(17).

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Widyawati, Santi. 2016. Pengaruh Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau dari Gaya Belajar pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar Siswa Kelas IX SMP di Kota Metro. Institut Agama Islam Ma’arif (IAIM) NU Metro. 1(1):18-20.