kelimpahan relatif hama dan musuh alami dalam sistem pertanian

Upload: andriani-diah-irianti

Post on 09-Oct-2015

144 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Laporan Pengendalian Hayati

TRANSCRIPT

  • KELIMPAHAN RELATIF HAMA DAN MUSUH ALAMI DALAM

    SISTEM PERTANIAN

    Oleh :

    Zahro Rohayati B1J011167

    Aurida Fauziyah B1J011173

    Zinatul Uthbah B1J012001

    Faikotu Syarifah B1J012002

    Yopi Sulistyono B1J012006

    Andriani Diah I B1J012011

    Yani Yuliani B1J012017

    Hanifah B1J012018

    Surati Dwi F B1J012023

    Titin Atinah B1J012024

    Kelompok : 16

    Rombongan : IV

    Asisten : Rizkita Dinda Pandhani

    LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

    KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

    FAKULTAS BIOLOGI

    PURWOKERTO

    2014

  • I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Pengendalian hayati merupakan salah satu solusi dalam masalah hama pertanian

    yang seharusnya lebih banyak dipraktekkan di lapangan karena lebih ramah

    lingkungan dan dapat mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida. Menurut

    Norris (2003), mendefinisikan pengendalian hayati sebagai penggunaan

    parasitoid, predator, patogen, antagonis atau populasi kompetitor untuk menekan

    populasi hama, membuat hama menjadi lebih sedikit kelimpahannya dan lebih

    sedikit merusak daripada seharusnya bila agens hayati tidak ada. Prinsip

    pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi,

    yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alami (agen pengendali biologi),

    seperti predator, parasit dan patogen.

    Lahan pertanian adalah sekumpulan ekosistem yang tidak hanya meliputi

    lahan pertanaman (agroekosistem) tetapi juga ekosistem diluarnya, seperti

    tumbuhan liar, jalan raya, perkampungan dan lainnya. Lahan pertanian modern

    struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat sangat bervariasi

    dari satu lanskap ke lanskap yang lain. Lanskap pertanian yang sangat sederhana

    misalnya, hanya terdiri atas satu jenis pertanaman (monokultur) dan tumbuhan

    iiar, sedangkan lanskap penanian yang kompleks tidak hanya terdiri atas berbagai

    pertanaman (polikultur), tetapi juga rerdapat banyak tumbuhan liar (Yaherwandi

    et al., 2007). Van Emden (1991) menyatakan peningkatan keanekaragaman

    habitat dalam lanskap pertanian dapat meningkatkan keanekaragaman dan

    kelimpahan serangga hama dan serangga bemanfaat dan seringkali kerusakan

    tanaman oleh hama berkurang. Selanjutnya Kruess and Tschamtke (2000)

    menambahkan bahwa tipe dan kualitas habitat, susunan spasial dan keterhubungan

    (connectivity) antar habitat di dalam suatu lanskap dapat mempengaruhi

    keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Keanekaragaman stuktur lanskap

    pertanian tidak hanya mempengaruhi keanekaragarnan hama dan musuh alami di

    dalam pertanian, tetapi juga kelimpahan dan keefektifannya. Menurut Smith

    (1983) hama adalah semua organisme atau agens biotik yang merusak tanaman

    dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan manusia. Hama dalam arti

  • yang luas adalah makhluk hidup yang mengurangi kualitas dan kuantitas beberapa

    sumber daya manusia yang berupa tanaman atau binatang yang dipelihara yang

    hasil dan seratnya dapat diambil untuk kepentingan manusia.

    Berbicara soal tentang sistem pertanian, ekosistem sawah tentu identik

    dengan ekosistem pertanian yang tak lain merupakan sistem ekosistem sederhana

    juga monokultur. Ekosistem persawahan jika ditinjau dari segi teoritik adalah

    jenis ekosistem yang tidak stabil. Ada banyak faktor yang mempengaruhi

    kestabilan dari ekosistem sawah ini antara lain interaksi antara komponen

    ekosistem di dalam sawah itu sendiri. Komponen dalam ekosistem sawah

    mencakup semua komponen abiotik dan biotik yang ada di dalam lingkungan

    sawah itu sendiri mulai dari tanah, bebatuan, padi, hama, predator dan masih

    banyak lagi lainnya. Ekosistem sawah bisa dibagi menjadi dua yakni parasitoid

    dan juga predator (Herlinda, 2005).

    B. Tujuan

    Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui kelimpahan

    organisme dalam sistem pertanian.

  • II. TINJAUN PUSTAKA

    Ekosistem pertanian adalah ekosistem yang sederhana dan monokultur

    jika dilihat dari komunitas, pemilihan vegetasi, diversitas spesies serta resiko

    terjadinya ledakan hama dan penyakit (Santosa dan Joko, 2007). Dari sudut

    pandang usahatani padi, serangga secara umum dikelompokkan menjadi serangga

    hama, serangga berguna dan serangga netral. Organisme berguna,yaitu serangga

    yang berperan sebagai musuh alami baik sebagai parasitoid maupun predator,

    serangga penyerbuk, dan dekomposer. Serangga netral kerap menjadi mangsa

    predator, sehingga peranannya sangat besar dalam menjaga keseimbangan

    ekosistem sawah. Keragaman jenis serangga mempunyai peran yang sangat

    penting dalam ekosistem padi sawah. Keanekaragaman hayati serangga

    berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Ekosistem

    alami umumnya telah terjadi kestabilan populasi hama dan tanam, tidak hanya

    menekan populasi hama, tetapi juga berpengaruh pada kerapatan populasi musuh

    alami. Rendahnya kepadatan populasi musuh alami pada saat bera karena mangsa

    (hama) juga rendah (Widiarta et al., 2006)

    Upaya peningkatan produksi padi dihadapkan pada kendala dan masalah,

    antara lain serangan hama. Hama utama pada tanaman padi adalah penggarek

    batang dan wereng batang coklat. Untuk mengendalikan hama, umumnya petani

    menggunakan insektisida yang belebihan sehingga berdampak negatif terhadap

    bioekologi lahan sawah. Menurut Wan Jaafar et al., (2013), penggunaan peptisida

    seperti fipronil dan cartap hidroclorid dapat menurunkan populasi musuh alami.

    Penggunaan peptisida terhadap bioekologi sawah akan berdampak buruk karena

    dapat menyebabkan terjadinya biological explosion dan terganggunya

    keseimbangan alami dengan berbagai konsekuensi negative lainnya seperti hama

    sasaran menjadi resisten dan berkembang karena adanya efek resurjensi, musuh

    alami terbunuh sehingga pertumbuhan populasi hama meningkat, penggunaan

    peptisida juga dapat mencemari lingkungan dan biota air serta merusak

    lingkungan, karena itu dianjurkan dengan menggunakan teknik pengendalian

    secara terintegrasi dengan mengutanakan lingkungan sehat dan meningkatkan

    peran serangga berguna seperti musuh alami (Kartohardjono, 2011).

  • Musuh alami memiliki peran dalam menurunkan populasi hama sampai

    pada tingkat populasi yang tidak merugikan (Santosa dan Joko, 2007).

    Pengendalian hama secara hayati dengan menggunakan musuh alami memiliki

    beberapa keuntungan, yaitu mencegah lingkungan oleh bahan kimia dari

    insektisida serta bersifat permanen, efisien, berkelnjutan, tidak mengganggu dan

    merusak keragaman hayati, dan kompartetibel dengan cara pengendalian lainnya

    (Wood 1971; Debach 1973). Menekan populasi hama agar tidak menimbulkan

    kerusakan dapat dilakukan dengan mengelola komponen biotik dan

    lingkungannya. Beberapa komponen biotik yang dapat mengurangi populasi hama

    adalah varietas padi tahan hama dan musuh alami hama seperti parasitoid,

    predator, patogen (jamur, bakteri, dan virus), nematode dan jasad renik lainnya

    (Debach, 1973).

  • III. MATERI DAN METODE

    A. Materi

    Alat-alat yang digunakan dalam acara praktikum ini adalah penggaris, tali

    rafia sepanjang 8 m dan kamera.

    Bahan yang digunakan adalah tanaman padi di area persawahan belakang

    kampus Biologi.

    B. Metode

    1. Area pesawahan yang akan diamati kelimpahan hama dan musuh alaminya

    ditentukan terlebih dahulu.

    2. Tali raffia sepanjang 8 m, dibuat bentuk petakan persegi sehingga masing-

    masing panjangnya sekitar 2 m. Petakan tersebut digunakan sebagai tempat

    pengamatan kelimpahan hama dan musuh alami bagi sistem pertanian.

    3. Setiap oraganisme yang ada dalam area petakan tersebut diamati, dicatat dan

    dihitung jumlah maupun jenisnya. Organisme yang diamati dapat berupa

    serangga, kutu, capung, lab-laba, keong mas dan lain-lain.

    4. Setiap organisme dikelompokkan ke dalam kelompok hama, musuh alami atau

    lainnya.

    5. Jumlah individu per hektar dihitung, dengan menggunakan rumus berikut:

    Jumlah Individu Per Hektar =

    Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000

    Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei

  • IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Hasil

    Gambar Hasil Pengamatan

    Gambar 1. Belalang (Valanga sp.)

    Gambar 2. Wereng (Nilaparvata

    lugens)

    Tabel 1. Data Pengamatan Kelimpahan Relatif Hama dan Musuh Alami

    dalam Sistem Pertanian

    No. Organisme Jumlah

    1 Kepik Leher 1

    2 Kepik 2

    3 Belalang 5

    4 Wereng 2

    Total 10

    Perhitungan:

    Jarak tanaman = 0,163 m

    Jumlah Individu Per Hektar

    = Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000

    Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei

    = 1,25 x 10.000

    0,163 x 2

    = 38, 34 individu/hektar

  • B. Pembahasan

    Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, kelimpahan organisme

    dalam sistem pertanian dapat didefinisikan sebagai banyaknya organisme atau

    melimpahnya organisme yang menghuni suatu area pertanian yang membentuk

    satu komunitas, dimana organisme itu mempunyai peran masing-masing.

    Kelimpahan ini kemungkinan diakibatkan karena adanya sumber makanan

    (sumber nutrisi) yang tersedia secara terus menerus serta kondisi suatu area

    pertanian yang mendukung jalannya sistem rantai makanan yang melibatkan

    semua organisme yang berada di area pertanian tersebut Kelimpahan jenis

    serangga sangat ditentukan oleh aktifitas reproduksinya yang didukung oleh

    lingkungan yang cocok dan tercukupinya kebutuhan sumber makanannya.

    Kelimpahan dan aktifitas reproduksi serangga di daerah tropik sangat dipengaruhi

    oleh musim , karena musim berpengaruh kepada ketersediaan sumber pakan dan

    kemampuan hidup serangga yang secara langsung mempengaruhi kelimpahan

    (Erawati dan Sih Kahono, 2010).

    Menurut Baiquni (2007), ada beberapa cara mendeteksi dan sekaligus

    menaksir populasi serangga yang ada pada sistim pertanian, yaitu sbagai berikut:.

    1. Pengamatan langsung

    (1) Pemeriksaan satu tumbuhan

    Tumbuhan dengan secara acak dipilih. Serangga besar terdapat di

    tumbuhan diamati. Tumbuhan tersebut diamati serangga yang besar dan

    bergerak dengan cepat. Semua daun (permukaan atas dan bawah), tangkai

    daun, batang, bunga, dan buahnya diperiksa. Hasil pengamatan mengenai

    jenis serangga yang diperkirakan ada dan jumlahnya, stadium yang ada serta

    keadaan lainnya ditabelkan.

    (2) Perhitungan untuk suatu jarak

    Penaksiran populasi dilakukan menurut kenampakan dengan berjalan

    menempuh suatu jarak yang telah ditentukan sambil membolak-balik bagian

    tumbuhan. Cara ini baik dilakukan untuk tumbuhan stadium muda dengan

    mengamati serangga yang tidak begitu aktif atau yang cepat menjatuhkan diri.

    Cara yang digunakan untuk serangga aktif cukup dengan mengetuk tumbuhan

    dan menghitung serangga yang terbang atau meloncat.

  • Kedua cara di atas sangat bersifat individual tergantung kepada

    kemampuan pengamat. Faktor angin juga dapat berpengaruh pada hasil

    perhitungan. Konversi harga relatif ke harga absolut dapat dilakukan sebagai

    berikut :

    Jumlah Individu Per Hektar

    = Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000

    Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei

    2. Lembar penutup tanah

    Lembar penutup tanah dibuat dari kain putih atau yang berwarna terang

    dengan panjang dan lebar yang sama dengan ukuran 0,5 sampai 1 m , kedua tepi

    kain dilekatkan pada tongkat kayu bergaris tengah 2-3 cm untuk

    menggulungnya. Tempat pengambilan sampel ditentukan, dan sampel diperoleh

    dengan merentangkan kain penutup di antara dua baris tumbuhan. Kedua baris

    tumbuhan dipegang dan diguncangkan ke arah kain sebanyak 10 sampai 15 kali

    sehingga serangga berjatuhan. Serangga ini dapat langsung dihitung jumlahnya

    sambil diidentifikasi atau dikumpulkan ke dalam botol pengawet untuk

    pengerjaan selanjutnya. Cara ini baik untuk menangani serangga yang bergerak

    lambat serta tumbuhan masih rendah dan muda sehingga tidak terjadi kerontokan

    daun atau bunga. Harga absolut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus

    yang telah diberikan.

    3. Jala ayun

    Alat ini paling umum digunakan untuk mengambil contoh populasi

    serangga karena dengan alat ini dapat ditangkap serangga dalam jumlah relatif

    besar, waktu singkat, dan biaya tidak besar. Jala ayun terdiri dari bagian jala

    berbentuk kerucut, gelang kawat besar atau besi dan sebuah tangkai. Garis

    tengah jala 38 cm dengan kedalaman 75 cm, panjang tangkai 60 sampai 90 cm

    dengan garis tengah 2,2 cm.

    Terdapat berbagai cara untuk mengayun jala ini, misalnya ayunan

    sepanjang satu baris tumbuhan dan setiap ayunan berbentuk huruf S. Dapat juga

    dilakukan ayunan sepanjang dua baris tumbuhan dengan cara ayunan huruf S.

    Tidak hanya ayunan berbentuk huruf S ada juga ayunan yang berbentuk angka 8.

    Meskipun metoda jala ayun merupakan salah satu metoda yang paling mudah

  • dilaksanakan, tetapi penafsiran yang didapatkan tidaklah terlalu teliti. Beberapa

    faktor lingkungan sangat mempengaruhi hasil tangkapan :

    - Suhu yang memberikan pengaruh pada pergerakan serangga

    - Suhu dan Kelembaban Udara yang memberikan pengaruh pada posisi

    tumbuhan dan serangga

    - Kecepatan Angin yang berpengaruh pada tempat bersembunyi serangga

    - Posisi Matahari yang berpengaruh kepada perilaku serangga

    - Ukuran tumbuhan yang berpengaruh pada pelaksanaan ayunan

    - Kerapatan dan Tekstur Daun yang berpangaruh pada pelaksanaan ayunan

    4. Jala pengisap atau alat penghisap

    Tidak hanya perangkap yang mampu menghisap udara sehingga serangga

    tersedot ke dalamnya, ada juga alat pengambil sampel yang bernama D-Vac yang

    boleh juga dianggap semacam jala yang dapat menghisap udara. Hal ini

    merupakan jala dengan bingkai logam dihubungkan kepada blower dengan

    lorong lentur yang terbuat dari karet atau bahan kedap lainnya. Blower

    digerakkan dengan mesin penggerak kecil dan keseluruhan alat ini dapat dibawa

    di punggung. Cara pengambilan sampel mempunyai pola yang sama dengan jala

    ayun. Alat ini sangat cocok untuk mengambil serangga kecil. Segi yang kurang

    menguntungkan adalah harga dan perawatannya yang mahal.

    5. Kotak fumigasi (absolut)

    Kotak atau kandang fumigasi dapat berupa kotak sampah plastik yang

    besar dan diberi lubang untuk fumigasi atau dibuat khusus dari kerangka metal

    yang dibungkus dengan lembaran kayu, plastik, atau seng serta diberi lubang

    untuk fumigasi. Tinggi kandang sedikit melebihi tinggi tumbuhan dan perlu

    disediakan alas yang sedikit lebih luas dari dasar kandang. Landasan dapat terdiri

    dari dua belahan yang dapat disatukan di dasar tumbuhan.

    Pengambilan sampel dilakukan dengan menutupkan kandang atau kotak

    di atas landasan tumbuhan. Fumigasi dilakukan dengan aerosol yang berisi

    pyretrin 20%. Serangga yang berada di kandang atau kotak berjatuhan dalam

    waktu 5 sampai 8 detik. Kotak diangkat dan serangga dikumpulkan untuk

    diidentifikasi dan dihitung.

    6. Ekstraksi tumbuhan utuh

  • Cara ini diperlukan sebuah sangkar kasa dengan ukuran 1,8 x 1,8 x 1,8 m

    yang berkerangka metal. Salah satu sisi sangkar diberi zipper untuk masuk satu

    dua orang. Sangkar ditempatkan pada lokasi yang dikehendaki. Pengambil

    sampel masuk ke dalam sangkar membawa alat pengumpul serangga (aspirator),

    pemotong tumbuhan, dan kantung plastik. Semua serangga di dinding sangkar

    diambil sampai habis, kemudian tumbuhan dipotong dan dimasukkan ke dalam

    kantung plastik dan diikat erat. Serasah dan daun jatuhan juga dikumpulkan

    dalam plastik lainnya. Sangkar dibiarkan untuk satu dua jam lagi sehingga sisa

    serangga yang keluar dari persembunyiannya masih dapat dikumpulkan lagi.

    7. Mengektraksi serangga dari tanah

    Sangat sulit untuk dapat mengumpulkan serangga yang berada di dalam

    tanah, karena kepadatan dari tanah dan biasanya serangga di dalam tanah tidak

    dapat dengan mudah untuk dilihat atau diambil. Teknik untuk mengumpulkan

    serangga dari dalam tanah menjadi lebih kompleks, rumit, dan mahal. Walaupun

    demikian mengambil sampel serangga dari dalam tanah sangat penting karena

    lebih dari 90% spesies serangga menghabiskan sekurang-kurangnya satu tahapan

    hidup di dalam atau pada permukaan tanah. Cara yang paling umum digunakan

    untuk mengumpulkan serangga dari tanah adalah dengan menggunakan Berlese

    funnel, menyaring, dan mengambangkan. Semua teknik tersebut memerlukan

    sampel tanah terlebih dahulu. Sampel tanah diambil dengan menggunakan bor

    tanah atau sekop.

    Berlese furnel merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan

    untuk mengumpulkan serangga dari dalam tanah. Teknik ini, aslinya

    dikembangkan oleh seorang ahli serangga Italia A. Berlese pada awal tahun

    1990, menggunakan air panas di sekeliling furnel untuk memanaskan dan

    mengeringkan sampel tanah yang terdapt di dalam furnel. A. Tullgreen, orang

    Swedia, mengganti sumber panas ini dengan lampu pijar yang diletakkan di atas

    sampel tanah. Modifikasi yang lain untuk efisiensi telah dikembangkan, tetapi

    semuanya memiliki satu prinsip yang sama, yaitu membuat kondisi lingkungan

    menjadi tidak sesuai bagi serangga sehingga memaksa mereka untuk keluar dari

    tanah atau memberikan suatu bentuk perangsangan bagi serangga untuk keluar

    dari dalam tanah. Bila menggunakan teknik ini, hal yang harus diperhatikan

  • adalah pencegahan kematian serangga sebelum ia meninggalkan tanah. Biasanya

    pemanasan dilakukan secara bertahap sehingga serangga dapat terhindar dari

    kekeringan. Teknik ini tidak dapat digunakan untuk mengambil serangga yang

    berada dalam tahap tidak aktif seperti, telur, pupa, atau serangga-serangga yang

    dorman.

    Teknik pengayakan (penyaringan) merupakan suatu teknik yang sangat

    mekanik. Kelebihan dari teknik ini bila dibandingkan dengan menggunakan

    Berlese furnel adalah tidak tergantung kepada pergerakan dari serangga.

    Pengayakan kering atau basah dapat digunakan untuk mengumpulkan serangga.

    Ayakan yang digunakan adalah ayakan bertingkan dimulai dari ayakan kasar

    sampai ayakan halus. Metoda ini sangat mengandalkan ukuran tubuh dari

    serangga (Herlinda, 2010).

    Metoda pengambangan merupakan metoda yang didasarkan kepada

    prinsip bahwa partikel yang memiliki gravitasi lebih rendah dari mediumnya

    akan mengambang pada permukaan medium. Serangga pada umumnya dapat

    mengambang di atas permukaan air. Efisiensi dari metoda ini dapat ditingkatkan

    dengan menambahkan garam, seperti magnesium sulfat pada medium.

    8. Berbagai perangkap khusus

    (1) Perangkap cahaya (lampu)

    Perangkap ini khusus digunakan untuk

    serangga dewasa yang tertarik pada sinar.

    Serangga yang tertangkap dibunuh dengan air

    campur minyak tanah atau dengan sianida.

    Perangkap cahaya merupakan perangkap

    yang paling banyak digunakan terutama

    untuk menangkap serangga ham dari

    kelompok ngengat (Lepidoptera) dan nyamuk (Diptera : Culicidae). Hal ini

    karena banyak ngengat (terutama spesies dari kelompok Noctuidae) dan

    serangga lain yang tertarik dengan panjang gelombang cahaya yang pendek,

    makalampu ultra violet banyak digunakan pada perangkap cahaya

    (2) Perangkap dengan menggunakan umpan

  • Perangkap tipe ini mengandalkan kepada kemampuan mencium dan

    mengecap dari serangga. Umpan yang paling umum digunakan adalah makanan.

    Kairomone merupkan aroma dari makanan yang menyebabkan serangga tertarik

    atau merubah perilakunya disebut kairomone. Penarik lain yang sering

    digunakan adalah sex pheromone (feromon sex). Serangga yang tertarik oleh

    senyawa ini selanjutnya dapat dibunuh dengan menggunakan kertas berpelekat

    atau sianida.

    (3) Perangkap Malaise

    Perangkap ini merupakan suatu perangkap yang tidak menggunakan

    umpan dan mengandalkan kepada kebiasaan terbang serangga yang biasanya

    mengarah ke atas. Perangkap ini pada dasarnya merupakan suatu tenda yang

    terbuat dari jala halus yang terbuat dari katun atau nilon yang berfungsi untuk

    menangkap serangga yang terbang. Pada bagian puncak tenda terdapat wadah

    untuk menampung serangga.

    (4) Suatu lembaran alumunium atau kain (karton) diberi perekat khusus dan

    direntangkan di tempat yang diperkirakan dilewati serangga terbang.

    (5) Perangkap Pitfall merupakan qlat penangkap serangga yang merayap di

    tanah, terdiri dari tabung yang ditanam di tanah, corong, dan pelindung

    digunakan untuk menangkap serangga-serangga yang bergerak di permukaan

    tanah. Serangga yang melewatinya akan tergelincir masuk ke tabung. Serangga

    yang tertangkap dibunuh dengan formalin. Masalah yang banyak muncul dari

    penggunaan perangkap ini adalah curahan air hujan yang dapat menyebabkan air

    pada wadah penangkap meluap dan serangga yang tertangkap hilang, dengan

    menggunakan suatu struktur yang dapat mencegah curahan air hujan, masalah ini

    dapat diatasi (Van Mele, 2004).

    Berdasarkan hasil praktikum, jarak antar tanaman padi adalah sebesar

    0.163 m, sedangkan jumlah individu per hektarnya adalah 38,34 individu/hektar.

    Hewan yang berada disekitar petak yang kelompok kami buat yaitu ada kepik

    leher 1 ekor, kepik 2 ekor, belalang 5 ekor dan wereng 1 ekor. Organisme yang

    terdapat di sawah ada yang berperan sebagai predator, parasitoid, parasit dan

    musuh alami. Musuh alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai

    pada tingkat populasi yang tidak merugikan (Arifin et al., 1997). Hal ini terbukti

  • dari setiap pengamatan dilahan pertanian, khususnya padi, beberapa jenis musuh

    alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan

    ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya

    ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat

    komponen, interaksi antar komponen ekosistem (Baehaki, 1991). Menurut Iriadi

    (1990) mendeskripsikan dengan sederhana bagaimana faktor biotik dan abiotik

    dapat mempengaruhi populasi serangga. Pengukuran faktor lingkungan serangga

    dilakukan dengan cara menghitung besarnya kelimpahan dan nilai diversitas dari

    pohon dan tumbuhan bawah, suhu dan kelembaban udara.

    Kelimpahan serangga berhubungan erat dengan perbandingan antara

    kelahiran dan kematian pada suatu waktu tertentu. Kelahiran dipengaruhi antara

    lain oleh cuaca, makanan dan taraf kepadatannya. Kematian terutama dipengaruhi

    oleh cuaca dan musuh alami. Kepadatan dapat mengakibatkan emigrasi yang

    dapat berarti sebagai kurangnya individu di suatu lokasi yang dianggap suatu

    kematian. Cuaca berpengaruh langsung terhadap tingkat kelahiran dan kematian,

    secara tidak langsung cuaca mempengaruhi hama melalui pengaruhnya terhadap

    kelimpahan organisme lain termasuk musuh alaminya. Semua makhluk hidup

    dalam ekosistem alami berada dalam keadaan seimbang dan saling mengendalikan

    sehingga tidak terjadi hama. Keragaman jenis dalam ekosistem alamiah sangat

    tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan fauna tanah

    yang beragam. Sistem pertanaman yang beranekaragam berpengaruh kepada

    populasi spesies hama (Riyani, 1992). Menurut Irawan (2002), ada 6 faktor yang

    saling berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu :

    a) Waktu, kelimpahan komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas

    tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari

    pada komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan

    dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.

    b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin

    kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin

    tinggi keragaman jenisnya.

    c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang

    sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup,

  • namun persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu

    memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau

    sebaliknya.

    d) Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis

    persaingan yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu

    memperbesar kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi

    keragaman. Apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah

    dapat menurunkan keragaman jenis.

    e) Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu

    lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil, lebih memungkinkan

    keberlangsungan evolusi.

    f) Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang

    tinggi.

    Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan kelimpahan jenis

    dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting

    dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam akibat

    turut campur tangan manusia (Chan et al., 2006). Hambatan lingkungan

    merupakan faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan

    fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu dalam populsi organisme.

    Faktor tersebut menghalangi suatu organisme untuk dapat berkembang sesuai

    dengan potensi biotiknya. Faktor-faktor ligkungan tersebut ada dua yaitu faktor

    yang berasal dari luar populasi (faktor ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti

    makanan, peredasi dan kompetisi dan faktor abiotik seperti iklim, tanah, air dan

    faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor intrinsik) seperti persaingan

    intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan sosial (Nasution dan

    Rustiadi 1990).

    Artropoda predator (serangga dan laba-laba) dalam ekosistem persawahan

    merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama

    padi (wereng coklat dan penggerek batang). Hal ini disebabkan predator memiliki

    kemampuan untuk beradaptasi di ekosistem efemeral tersebut (Irsan , 2003).

    Artropoda predator yang telah terbukti efektif mengendalikan hama padi adalah

    laba-laba pemburu, misalnya Pardosa pseudoannulata dan kumbang Carabidae,

  • dilaporkan bahwa ekosistem sawah yang kompleks menyediakan beragam tipe

    habitat. Berbagai tipe habitat itu dapat mendukung spesies laba-laba

    berkoeksistensi di dalamnya. Rendahnya Indeks dominasi di tanaman padi

    berpengaruh terhadap tertingginya kemerataan spesies artropoda predator di

    ekosisem tersebut (Kartohardjono, 1988).

  • V. KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasan dapat disimpulkan : .

    1. Jarak antar tanaman padi adalah sebesar 0,163 m dan jumlah individu per

    hektarnya adalah 38,34, diantaranya kami amati, terdapat kepik leher 1 ekor,

    kepik 2 ekor, belalang 5 ekor dan wereng 2 ekor.

  • DAFTAR REFERENSI

    Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas

    artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah.

    Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12.

    Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat.

    Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian

    Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9.

    Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Praktek Unggulan

    Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan.

    Department of Industry Tourism and Resources, Australia.

    Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily.

    2006. Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology 4:

    2138-2152.

    Debach, P. 1973. Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and

    Hall Ltd., London 884pp.

    Erawati, Nety Virgo, Sih Kahono. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan

    Belalang dan Kerabatnya (Orthoptera) pada Dua Ekosistem Pegunungan di

    Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Vol 7 (2) :100-115.

    Herlinda S. 2005. Jenis dan kelimphan parasitoid Plutella xylostella L.

    (Lepidoptera: lutellidae) di Sumatera Selatan. Agria 1(2):7883.

    Herlinda S. 2010. Spore density and viability of entomopathogenic fungal isolates

    from Indonesia, and its virulence against Aphis gossypii (Glover)

    (Homoptera: Aphididae).Tropical Life Sciences Research. 21(1):1321.

    Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian.

    Laporan Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial

    Ekonomi Pertanian.

    Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan sawah ke indutri dengan metode sewa

    ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di Kecamatan Cibitung, Kabupaten

    Bekasi, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.

    Kartohardjono, A. 2011. Penggunaan Musuh Alami Sebagai Komponen

    Pengendalian Hama Padi Berbasis Ekologi. Pengembangan Inovasi

    Pertanian 4(1) : 29-46.

    Kruess, A. and T. Tschamtke. 2000. Spesies dchness and parasitism in a

    fragmented landscape: experiments and field studies with insects on Vicia

    sepium. Oecolagia lZ2: 129-137

    Nasoetion, L.I. dan E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke

    penggunaan non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah

  • Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15 Februari 1990;

    PAU Studi Sosial-UGM.

    Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan dari pertanian ke lahan perumahan

    dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di wilayah

    Dati II Kodya Bogor, Propinsi Jawa Barat.

    Santosa, Sartono J. dan Joko Salistyo. 2007. Peranan Musuh Alami Hama Utama

    Padi Pada Ekosistem Sawah. Jurnal Inovasi Pertanian 6(1): 1-10.

    Van Emden, H.F. 1991. Plant diveNity and natural enemy efficiency in

    ecosystems. Pages 63 - 80 in: Mackkaue, M., L.E. Ehte. & J. Roland, eds.

    Critical Issws in Biological Control. Alheneum Press. Creat Brilain.

    Van Mele, P. dan N.T.T. Cuc, 2004. Semut Sahabat Petani : meningkatkan hasil

    buah-buahan dan menjaga kelestarian lingkungan bersama semut

    rangrang (Alih bahasa oleh: Rahayu, S.). World Agroforestry Centre

    (ICRAF), 61 p.

    Wan Jaafar, Wan N., Norida M., Nur Anura A. and Dzolkhifli Omar. 2013.

    Evaluation On The Effect of Insecticides on Biodiversity of Anthopod in

    Rice Ecosytem. Acta Biologica Malaysiana 2(3): 115-123.

    Widiarta, I Nyoman, Deda K., dan Suprihanto. 2006. Keragaman Arthropoda pada

    Padi Sawah dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu. J.HPT Tropika 6(2) :

    61-69.

    Wood, B. J. 1991. Development of Integrated control Progams For Pests of

    Tropical Perenial Crop in Malaya. p. 422-457. In CB. Huffaker (Ed.).

    Biological Control. Plenum Press, New York.

    Yaherwandi, S. Manurwoto, D. Buchori, P. Hidayat, dan L.B. Prasetyo. 2007.

    Keanekaragaman hymenoptera parasitoid pada struktur landskap pertanian

    berbeda di daerah aliran sungai (DAS) Cianjur, Jawa Barat. Jurnal HPT

    Tropika, 1 (1): 10-20.