kekurangan energi protein

Upload: rahma-ismayanti

Post on 09-Jan-2016

182 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Gizi Masyarakat

TRANSCRIPT

  • i

    KEKURANGAN ENERGI PROTEIN

    MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH

    Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri, M.PH

    Oleh : Betrix Rifana K.I 130612607896/2013 Emma Dhara Marini 130612607872/2013 Putri Sarifatul Mila 130612607845/2013 Rahma Ismayanti 130612607891/2013

    UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

    PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT MARET 2015

  • ii

    DAFTAR ISI Halaman Sampul ................................................................................................ i Daftar Isi ............................................................................................................. ii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

    1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

    1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3 2.1 Kekurangan Energi Protein ......................................................................... 3

    2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein .................................................. 3 2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein ............................................ 3

    2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein .............. 4 2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein ................... 6 2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein ....................................16 2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein ............................................28

    2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein .......................................29 2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia ..............................................30 2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ..............................30 2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu ..........................................32 2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan ....................33

    2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein .................................................34

    BAB III PENUTUP ..........................................................................................38 3.1 Kesimpulan ..................................................................................................38

    Daftar Pustaka ....................................................................................................40

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang KEP (Kekurangan Energi dan Protein) atau Protein Energy Malnutrition

    merupakan salah satu gangguan gizi yang penting bagi banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. KEP terdapat terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Dari berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis.

    Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makro nutrien ke defisiensi mikro nutrien, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30 %) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Berbagai upaya untuk menanggulangi kejadian KEP antara lain pemberdayaan keluarga, perbaikan lingkungan, menjaga ketersediaan pangan, perbaikan pola konsumsi dan pengembangan pola asuh, melakukan KIE, melakukan penjaringan dan pelacakan kasus KEP, memberikan PMT penyuluhan, pendampingan petugas kesehatan, mengoptimalkan Poli Gizi di Puskesmas, dan revitalisasi Posyandu.

    Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun tetap saja kasus KEP bermunculan di setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kompleksnya penyebab KEP itu sendiri. Mengingat pentingnya pengetahuan akan KEP tersebut, maka kami menyusun makalah berjudul Kekurangan Energi Protein ini yang didalamnya memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan KEP itu sendiri.

  • 2

    1.2 Rumusan Masalah Berikut rumusan masalah yang terkait dengan makalah ini; 1. Apa definisi dari kekurangan energi protein ? 2. Apa saja jenis dari kekurangan energi protein ? 3. Apa tanda dan gejala kekurangan energi protein ? 4. Bagaimana pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein ? 5. Bagaimana penatalaksanaan kekurangan energi protein ? 6. Bagaimana pencegahan kekurangan energi protein ? 7. Bagaimana distribusi frekuensi kekurangan energi protein ? 8. Apa saja faktor resiko kekurangan energi protein ?

    1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini antara lain; 1. Mengetahui definisi dari kekurangan energi protein 2. Mengetahui jenis dari kekurangan energi protein 3. Mengetahui tanda dan gejala kekurangan energi protein 4. Mengetahui pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein 5. Mengetahui penatalaksanaan kekurangan energi protein 6. Mengetahui pencegahan kekurangan energi protein 7. Mengetahui distribusi frekuensi kekurangan energi protein 8. Mengetahui faktor resiko kekurangan energi protein

  • 3

    BAB II PEMBAHASAN

    2.1 Kekurangan Energi Protein

    2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan

    rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani, 2000).

    Sedangkan menurut Depkes RI (1999) Kurang Energi Protein (KEP) adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. KEP sendiri lebih sering dijumpai pada anak prasekolah (Soekirman, 2000).

    Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekurangan Energi Protein adalah keadaan kurang gizi yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang dan gangguan kesehatan.

    2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat

    beratnya KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan sedang dan KEP III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama penggolongan ini adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini di setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis.

    Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II (sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut umur.

  • 4

    Klasifikasi KEP menurut Depkes RI (1999) : Kategori Status BB/U

    (%Baku WHO-NCHS, 1983) KEP I (KEP Ringan) Gizi Sedang 70 % 79,9 % Median BB/U KEP II (KEP Sedang) Gizi Kurang 60 % 69,9 % Median BB/U KEP III (KEP Berat) Gizi Buruk < 60 % Median BB/U

    Sumber: Depkes RI (1999)

    Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:

    Klasifikasi

    Malnutrisi sedang Malnutrisi Berat

    Edema Tanpa edema Dengan edema

    BB/TB -3SD s/d -2 SD < -3 SD TB/U -3SD s/d -2 SD < -3 SD

    2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein Berikut beberapa tanda klinis dari Kekurangan Energi Protein (KEP): 1. Pada Rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee):

    rambut kusam dan kering; Rambut tipis dan jarang (thinness and aparseness); Rambut kurang kuat/ mudah putus (straightness); Kekurangan pigmen rambut (dispigmentation): berkilat terang, terang pada ujung, mengalami perubahan warna : coklat gelap/ terang, coklat merah/ pirang dan kelabu; Tanda bendera (flag sign) dikarakteristikkan dengan pita selang-seling dari terang/ gelapnya warna sepanjang rambut dan mencerminkan episode selang-seling.

    2. Sementara tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai anemia;

    3. Wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso labial; Pengeringan selaput mata (conjunction xerosis); Bintik bilot (Bilots sport); Pengeringan kornea (cornea xerosis).

  • 5

    4. Tanda-tanda pada mata, antara lain pada Selaput mata pucat; Keratomalasia, keadaan permukaan halus/ lembut dari keseluruhan bagian tebal atau keseluruhan kornea; Angular palpebritis. Sedangkan pada bibir terjadi Angular stomatitis; Jaringan parut angular; Cheilosis.

    5. Tanda-tanda pada lidah, Edema dari lidah; Lidah mentah atau scarlet; Lidah magenta; Atrofi papila (papilla atrophic).

    6. Tanda-tanda pada gigi: Mottled enamel; Karies gigi; Pengikisan (attrition); Hipolasia enamel (enamel hypoplasia); Erosi email (enamel erosion).

    7. Tanda-tanda pada gusi : Spongy bleeding gums, yaitu bunga karang keunguan atau merah yang membengkak pada papila gigi bagian dalam dan atau tepi gusi.

    8. Tanda pada Kulit, antara lain : Xerosis, yaitu keadaan kulit yang mengalami kekeringan tanpa mengandung air;Follicular hyperkeratosis; Petechiae. Bintik haemorhagic kecil pada kulit atau membran berlendir yang sulit dilihat pada orang kulit gelap; Pellagrous rash atau dermatosis (spermatitis). Lesi kulit pelagra yang khas adalah area simetris, terdemarkasi (batas) jelas, berpigmen berlebihan dengan atau tanpa pengelupasan kulit (exfoliasi); Flaky-paint rash atau dermatosis;Scrotal and vulval dermatosis; Lesi dari kulit skrotum atau vulva, sering terasa sangat gatal. Infeksi sekunder bisa saja terjadi.

    9. Sedangkan tanda-tanda pada kuku, diantaranya : Koilonychia, yaitu keadaan kuku bagian bilateral cacat berbentuk sendok pada kuku orang dewasa atau karena sugestif anemia (kurang zat besi). Kuku yang sedikit berbentuk sendok dapat ditemukan secara umum hanya pada kuku jempol dan pada masyarakat yang sering berkaki telanjang

    Marasmus

    1. sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit 2. wajah seperti orang tua 3. cengeng dan rewel 4. kulit keriput

    5. jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada sering disertai diare kronik dan penyakit kronik ,tekanan darah dan jantung serta pernafasan kurang.

  • 6

    Kwashiorkor 1. Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh, 2. wajah sembab dan membulat 3. mata sayu

    4. rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut dan rontok

    5. cengeng, rewel dan apatis 6. pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke coklatan di

    kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis) sering disertai penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.

    Marasmus-Kwashiorkor Gabungan dari marasmus dan kwashiorkor

    2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein Kekurangan Energi Protein mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan

    perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang mengalami kekurangan energi protein.

    Mengkaji status gizi sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Anamnesis

    Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan, riwayat operasi yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit

    keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat buang air besar atau buang air kecil, dan kebiasaan lain yang dapat mengganggu asupan makanan (Supariasa, 2002).

    b. Pengukuran antopometri Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan, dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalah-masalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah, 2001).

  • 7

    Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menetukan status gizi meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high), tebal lipatan kulit (pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan dan banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) (Fatmah, 2010). Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada adalah sebagai berikut: 1) Tinggi Badan

    Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki.

    2) Berat Badan Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan. Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi seseorang dengan mengetahui indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan timbangan injak seca.

    3) Tinggi Lutut Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau lansia. Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah, 2010). Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya dengan rumus persamaan Chumlea (1988):

    Tinggi Badan (laki-laki) = 64,19- (0,04-usia dalam tahun) +(2,02 tinggi lutut dalam cm)

  • 8

    Tinggi Badan (perempuan) = 84,88 - (0,24-usia dalam tahun) +(1,83 tinggi lutut dalam cm)

    4) Tebal lipatan kulit Pengukuran ketebalan lipatan kulit merupakan salah satu cara

    menentukan presentasi lemak pada tubuh. Lemak tubuh merupakan penyusun komposisi tubuh yang merupakan salah satu indikator yang bisa digunakan untuk memantau keadaan nutrisi melalui kadar lemak dalam tubuh .Pengukuran lipatan kulit mencerminkan lemak pada jaringan subkutan, massa otot dan status kalori. Pengukuran ini dapat juga digunakan untuk mengkaji kemungkinan malnutrsi, berat badan normal atau obesitas (Nurachmah, 2001)

    Untuk menentukan tebal lipatan kulit digunakan sebuah jangka lengkung (caliper) yang dijepit pada bagian-bagian kulit yang telah ditentukan. Adapun standar tempat pengukuran Skinfold menurut Heyward Vivian H dan Stolarczyk L.M. dalam Supariasa (2002) ada sembilan tempat, yaitu dada,subscapula, midaxilaris, suprailiaka, perut, trisep, bisep, paha, dan betis. Berikut menunjukkan tempat-tempat dan petunjuk pengukuran skinfold.

  • 9

    (Sumber: Supariasa, 2002) Hasil pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit pada empat sisi tubuh yakni trisep, bisep, suprailiaka, dan subskapula dapat digunakan untuk melihat presentase lemak tubuh melalui rumus matematis menurut Durmin & Wormersley dalam Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004). Persen lemak tubuh :

  • 10

    Sumber: Durmin & Wormersley Body Fat Assessed from total body Density and its estimation from skinfold Thickness dalam Budiharjo, Romi,

    & Prakosa (2004) Hasil dari persentase lemak tubuh berdasarkan rumus matematis dari Durmin & Wormersley kemudian dibandingkan dengan kategori nilai presentasi lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin dan umur pada tabel berikut (Morrow et al, 2005)

    Rumus persamaan prediksi persentasi total lemak tubuh yang ditemukan oleh Durmin & Wormersley dengan pengukuran tebal lemak bawah kulit berdasarkan empat titik pada tubuh ini telah banyak digunakan dalam penelitian luar maupun dalam negeri.

    Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) telah menggunakan persamaan Durmin & Wormersley tersebut untuk melihat pengaruh latihan fisik terhadap persentase lemak tubuh wanita lanjut usia di Yogyakarta.

    5) Lingkar lengan atas Lingkar lengan atas merupakan pengkajian umum yang digunakan untuk menilai status nutrisi. Pengukuran LLA dilakukan dengan menggunakan sentimeter kain (tape around). Pengukuran dilakukan pada titik tengah lengan yang tidak dominan (Nurachmah, 2001).

    6) Indeks Massa Tubuh (IMT) IMT merupakan indikator status gizi yang cukup peka digunakan untuk menilai status gizi orang dewasa diatas umur 18 tahun dan mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan persen lemak dalam tubuh (Fatmah,

  • 11

    2010). IMT juga merupakan sebuah ukuran berat terhadap tinggi badan yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam kategori Underweight (kekurangan berat badan), Overweight (kelebihan berat badan) dan Obesitas (kegemukan). Rumus atau cara menghitung IMT yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2) (Andaka,2008).

    Pengukuran berat badan menggunakan timbangan dengan ketelitian hingga 0,5 kg dengan pakaian seminimal mungkin dan tanpa alas kaki. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan dengan kepekaan 0,1 cm. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki. Status gizi ditentukan berdasarkan indeks IMT.

    7) Pemeriksaan Biokimia Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai biokimia seperti kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum transferin, kreatinin, hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini, bersama dengan hasil pemeriksaan antropometrik akan membantu memberi gambaran tentang status nutrisi dan respon imunologi seseorang (Arisman, 2004).

    Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status nutrisi kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin dan hematokrit, penurunan nilai limposit, serum albumin kurang dari 3,5 gram/dl dan peningkatan atau penurunan kadar kolesterol (Nurachmah, 2001). a. Hemoglobin dan Hematokrit

  • 12

    Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah pengukuran yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi berat, kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein.

    Pengukuran hemoglobin menggunakan satuan gram/desiliter dan hematokrit menggunakan satuan persen. Adapun kadar normal hemoglobin berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin menurut WHO dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah ini:

    b. Transferrin Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam mengkaji status protein viseral. Serum transferin dihitung menggunakan kapasitas total ikatan zat besi atau total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah, 2001) Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah miligram/desiliter. Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl.

    c. Serum Albumin Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan sintesa protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi kerja hepar, ginjal, dan saluran pencernaan.

    d. Keseimbangan nitrogen Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal tubuh

  • 13

    memperoleh nitrogen melalui makanan dan mengeluarkannya melalui urine dalam jumlah yang relatif sama setiap hari.

    Transferrin Serum = (8 X TIBC)-43 Ketika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari maka keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Bila nilai keseimbangan nitrogen yang negatif berlangsung secara terus menerus maka pasien beresiko mengalami malnutrisi protein (Nurachmah, 2001).

    8. Mini Nutritional Assesment Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang mempunyai resiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit. MNA ini merupakan metoda yang banyak dipakai karena sangat sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya. Penelitian yang dilakukan pada 200 pasien preoperasi gastrointestinal menunjukkan bahwa MNA dapat dilakukan oleh para klinis terlatih, mempunyai reprodusibilitas tinggi dapat menapis pasien yang mempunyai resiko menderita malnutrisi.

    Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan pasien dalam keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau malnutrisi berat. MNA mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assesment, dimana penjumlahan semua skor akan menentukan seorang pada status gizi baik, beresiko malnutrisi atau beresiko underweight (Darmojo,2010).

    9. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis adalah penilaian keadaan fisik yang berhubungan dengan adanya malnutrisi. Prinsip pemeriksaan yang digunakan adalah cephalo caudal atau head to feet yaitu dari kepala ke kaki. Tanda-tanda dan gejala gejala klinik defisiensi nutrisi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

  • 14

    Selain cara-cara diatas KEP juga dapat diketahui dengan mengamati timbulnya gejala. Salah satu gejala dari penderita KEP ialah hepatomegali, yaitu pembesaran hepar yang terlihat sebagai pembuncitan perut. Anak yang menderita tersebut sering pula terkena infeksi cacing. Kedua gejala pembuncitan perut dan infeksi cacing ini diasosiasikan dalam pendapat oleh para ibu-ibu di Indonesia bahwa anak yang perutnya buncit menderita penyakit cacingan dan bukan karena kurang energi protein (USU, 2004).

    Kejadian gizi buruk perlu didetekesi secara dini melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans (Krisnansari, 2010).

    Pada keadaan kekurangan energi protein terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuh seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Cairan

  • 15

    ekstra sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak dibandingkan tanpa edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel sehingga menimbulkan gangguan metabolik pada organ-organ seperti ginjal, otot dan pankreas. Dalam sel otot kadar natrium dan fosfor anorganik meninggi dan kadar magnesium menurun. Kelainan organ sering terjadi seperti sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem gastrointestinum (hepar, pankreas), jantung, ginjal, system endokrin sehingga gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan cermat.(Krisnansari, 2010)

    Keadaan kekurangan protein dalam tubuh apabila secara berlebihan dapat menyebabkan penyakit kekurangan energi kronik seperti marasmus dan kwashiorkor. Gejala penyakit tersebut yang paling spesifik adalah adanya oedem, ditambah dengan adanya gangguan pertumbuhan serta terjadinya perubahan-perubahan psikomotorik. Anak-anak yang menderita penyakit kekurangan engergi protein menjadi apatis, nafsu makan kurang, rewel, dan wajahnya bengkak berbentuk bulan. Terjadinya oedem mula-mula dianggap sebagai akibat turunnya kadar serum albumin. Hal ini selalu terjadi pada penderita kuashiorkor. Turunnya serum albumin akan menyebabkan turunnya tekanan osmotik darah, akibatnya terjadi perembesan cairan menerobos pembuluh darah masuk ke dalam jaringan tubuh, sehingga terjadi oedem (USU, 2004)

    Sedangkan penyakit lain akibat kekurangan energi protein adalah marasmus. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput (Krisnansari, 2010)

    Terdapat gejala lain seseorang terkena kekurangan energi protein, antara lain berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan LILA (lingkaran lengan atas) kurang dari 23,5cm. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran LILA pada kelompok wanita usia subur(WUS) adalah salah satu deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok beresiko KEK. Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun.

  • 16

    Ambang batas LILA pada WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5cm, apabila ukuran LILA kurang dari 23,5cm atau dibagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak (USU, 2004)

    Diagnosis KEP ditegakkan berdasarkan perubahan atau kelainan yang dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi, perubahan metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi pada komposisi cairan tubuh (laboratorium). Secara garis besar penegakkan diagnosis KEP dilapangan maupun dirumah sakit adalah berdasarkan (Krisnansari, 2010): 1. Jumlah asupan zat gizi rendah atau kurang seperti karbohidrat, lemak,

    dan protein. 2. Klinis sesuai dengan jenisnya. 2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein

    Pasien dengan KEP tidak kompleks (KEP tipe I dan KEP tipe II) seharusnya diobati di luar rumah sakit sejauh memungkinkan. Perawatan rumah sakit meningkatkan resiko infeksi silang dan situasi yang tidak umum, meningkatkan apatis dan anoreksia pada anak-anak, sehingga makannya akan sulit. Berikut penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein (KEP); a. KEP I (KEP ringan)

    Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe I (KEP ringan); 1. Penyuluhan gizi/nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana

    penderita rawat jalan) 2. Dianjurkan memberikan ASI eksklusif (bayi < 4 bl) dan terus

    memberikan ASI sampai 2 th 3. Bila dirawat inap untuk penyakit lain, maka makanan disesuaikan

    dengan penyakitnya agar tidak menyebabkan KEP sedang/berat dan untuk meningkatkan status gizi.

    b. KEP II (KEP sedang)

  • 17

    Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe II (KEP sedang); 1. Rawat jalan : Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan

    ASI, selalu dipantau kenaikan BB. 2. Tidak rawat jalan : Dapat dirujuk ke puskesmas untuk penanganan

    masalah gizi

    3. Rawat inap : Makanan tinggi energi dan protein dengan kebutuhan energi 20-50% di atas AKG. Diet sesuai dengan penyakitnya dan dipantau berat badannya setiap hari, beri vitamin dan penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh dari penyakitnya, tapi masih menderita KEP ringan atau sedang rujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah gizinya.

    c. KEP III (KEP Berat) Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di rumah sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan : a. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah

    utama) Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah penting yaitu :

    1. Mengatasi/mencegah hipoglikemia 2. Mengatasi/mencegah hipotermia

    3. Mengatasi/mencegah dehidrasi 4. Mengkoreksi gangguan keseimbangan elektrolit 5. Mengobati/mencegah infeksi 6. Mulai pemberian makanan 7. Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth) 8. Mengkoreksi defisiensi nutrien mikro 9. Melakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental 10. Menyiapkan dan merencanakan tindak lanjut setelah sembuh.

    b. Pengobatan penyakit penyerta.

  • 18

    Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat, yaitu : defisiensi vitamin A, dermatosis, parasit/cacing, diare melanjut, dan tuberkulosis obati sesuai pedoman pengobatan.

    c. Kegagalan pengobatan. d. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas. e. Tindakan pada kegawatan. Strategi pengobatan dibagi ke dalam 3 tingkat (Penny, 2004; WHO, 1999): a) Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari)

    Pada fase ini diusahakan mengatasi komplikasi berupa dehidrasi, hipoglikemia dan infeksi, bersamaan dengan dimulainya terapi nutrisi. Pada fase inisial terdapat 10 langkah yang harus diperhatikan, yaitu; 1. Pengobatan /Pencegahan Hipoglikemia

    Semua anak dengan malnutrisi berat berisiko mengalami hipoglikemia (kadar gula darah

  • 19

    Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak bisa dibangunkan atau mengalami kejang, berikan 5ml/kgbb glukosa 10% steril melalui intravena, kemudian diikuti dengan 50 ml glukosa atau sukrosa 10% (1 sdt dalam 3 sdm air) melalui NGT. Bila glukosa IV tidak bisa diberikan segera, berikan dulu lewat NGT. Bila pasien mulai sadar, segera mulai terapi dengan diet F-75 atau larutan glukosa (60g/l). Setiap anak dengan dugaan hipoglikemia harus diterapi juga dengan antibiotik spektrum luas . Pemantauan

    Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah dari ujung jari atau tumit setelah 30 menit. Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit. Bila gula darah turun lagi sampai < 50 mg/dL, ulangi pemberian 50 mL (bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap 30 menit sampai stabil. Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila < 36 C dan atau kesadaran menurun.

    Pencegahan

    Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi yang ada dikoreksi. Selalu memberikan makanan sepanjang malam. Catatan

    Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP berat menderita hipoglikemia dan atasi segera.

    2. Pengobatan/Pencegahan Hipotermia Bila suhu ketiak dan suhu dubur < 36oC maka dilakukan langkah sebagai berikut; 1. Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi

    bila perlu) 2. Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup

    kepala. Letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan menggunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu dan selimuti.

  • 20

    3. Berikan antibiotik (langkah 5) Pemantauan

    Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai > 36,5 C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit. Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari. Raba suhu anak. Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.

    Pencegahan

    Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (langkah 6). Sepanjang malam selalu beri makan. Selalu selimuti dan hindari basah. Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama)

    3. Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung (penanganan kegawatan) Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na dan kurang K untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan larutan garam khusus yaitu Resomal atau penggantinya. Tidaklah mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgbb setiap 30 menit selama 2 jam p.o. atau lewat pipa nasogastrik. Selanjutnya beri 5-10 mL/kgbb/jam untuk 4-10 jam berikutnya; jumlah tepat yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah. Ganti resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula khusus sejumlah, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil. Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6). Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik, dan anak mulai

  • 21

    kencing.

    Pemantauan

    Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap -1 jam selama 2 jam pertama kemudian tiap jam untuk 6-12 jam, dengan memantau denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing dan frekuensi diare/muntah. Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada KEP berat perubahan ini sering kali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan. Tanda kelebihan cairan : frekuensi pernafasan dan nadi meningkat, edema dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam. Pencegahan

    Bila diare encer berlanjut, teruskan pemberian formula khusus (langkah 6). Ganti cairan yang hilang dengan Resomal/pengganti sebagai pedoman, berikan Resomal/penganti sebanyak 50-100mL setiap kali buang air besar cair. Bila masih mendapat ASI teruskan.

    4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah. Defisiensi K dan Mg sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu, untuk pemulihan. Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan dalam terjadinya edema (jangan obati edema dengan pemberian diuretik). Berikan K 2-4 mEq/kgbb/hr (150-300 mg KCL/kgbb/hr), Mg 0,3-0,6 mEq/kgbb/hr (7,5-15 mg MgCl2/kgbb/hr). Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah Na (resomal/pengganti). Siapkan makanan tanpa diberi garam. Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 mL larutan pada 1 L formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.

  • 22

    5. Pengobatan dan Pencegahan Infeksi Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi seperti demam seringkali tidak tampak, karenanya pada semua KEP berat beri secara rutin antibiotika spektrum luas. Vaksinasi campak bila usia anak > 6 bulan dan belum pernah diimunisasi (bila keadaan anak sudah memungkinkan, paling lambat sebelum anak dipulangkan). Ulangi pemeberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik. Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5 mg/kgbb, setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotika spektrum luas guna mempercepat perbaikan mukosa usus dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerob dalam usus halus. Pilihan antibiotika spektrum luas, bila tanpa penyulit Kotrimoksazol 5 mL suspensi pediatri p.o. 2x/hari selama 5 hari (2,5 mL bila berat badan < 4 kg). Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit (hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), berikan Ampisillin 50mg/kgbb im/iv setiap 6 jam selama 2 hari, kemudian p.o. amoksisilin 15mg/kgbb setiap 8 jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgbb setiap 6 jam p.o. dan Gentamisin 7,5 mg/kgbb/i.m./i.v. sekali sehari selama 7 hari. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloamfenikol 25 mg/kgbb/i.m/i.v. setiap 6 jam selama 5 hari. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan obat malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotika, lengkapi pemberian hingga 10 hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.

    6. Mulai pemberian Makanan

  • 23

    Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati-hati karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostasis berkurang. Pemberian makanan harus segera dimulai setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal saja. Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas (tabel pemberian diet dan cairan). Berikan formula dengan cairan/gelas. Bila anak terlalu terlalu lemah, berikan dengan sendok/pipet. Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap). Bila masukan makanan < 80 Kkal/kgbb/hr, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan memberikan makanan lebih dari 100 Kkal/kgbb/hr pada fase stabilisasi ini. Pantau dan catat jumlah yang diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja dan berat badan harian. Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan-lahan berkurang dan berat badan mulai naik, tetapi pada penderita dengan edema, berat badannya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten.

    1. Perhatikan Tumbuh Kejar Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagi pendekatan secara gencar agar tercapai masukan makan yang tinggi dan pertambahan berat badan lebih dari 10 gram/kgbb/hari. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu, setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.

  • 24

    a. Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan.

    b. Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1 g per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2,9 g per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam.

    c. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.

    d. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari).

    Pemantauan pada masa transisi a. Frekuensi nafas

    b. Frekuensi denyut nadi Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 x/ menit dan denyut nadi > 25 x/ menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas. Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi; a. Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering b. Energi 150-220 Kkal/kgBB/hari c. Protein 4-6 g/kgBB/hari d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula

    karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar.

    Pemantauan setelah periode transisi Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan, timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan. Setiap minggu, kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hari). Bila kenaikan BB kurang (< 5 g/kgBB/hr) perlu re-evaluasi menyeluruhJika BB Sedang (5-10 g/kgbb/hr), maka perlu evaluasi mengenai masukan makanan sudah mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.

  • 25

    2. Koreksi Defisiensi Nutrien-mikro

    Semua KEP berat, menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya. Berikan setiap hari multivitamin, asam folat 1 mg/hr 95 mg pada hari pertama), seng (Zn) 2 mg/kgbb/hr, tembaga (Cu) 0,25mg/kgbb/hr. Bila berat badan mulai naik : Fe 3 mg/kgbb/hr atau sulfas ferrosus 10 mg/kgbb/hr. Vitamin A oral pada hari ke-1 Anak > 1 tahun : 200.000 SI

    6-12 bulan : 100.000 SI 0-5 bulan : 50.000 SI (jangan berikan bila pasti sebelumnya anak sudah mendapat vitamin A)

    b) Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu) Pada fase ini, terjadi peningkatan jumlah masukan nutrisi dan terjadi peningkatan berat badan. Selain itu stimulasi emosi dan fisik ditingkatkan, sedangkan ibu atau pengasuh dilatih untuk melanjutkan pengasuhan di rumah hingga persiapan anak dipulangkan. Seorang anak dianggap memasuki fase rehabilitasi bila nafsu makannya telah membaik. Sebaliknya bila pemberian makannya masih tetap melalui NGT maka ia belum bisa memasuki fase rehabilitasi (WHO, 1999). Kriteria pemindahan terapi nutrisi anak ke fase rehabilitasi: 1. Nafsu makan baik 2. Status mental membaik: tersenyum, dapat menerima rangsangan,

    tertarik terhadap lingkungan 3. Duduk, merangkak, berdiri atau berjalan (sesuai usia) 4. Suhu tubuh normal (36.537.5 C) 5. Tidak ada muntah dan diare 6. Tidak ada edema

  • 26

    7. Peningkatan berat badan > 5gr/kgbb/hari Berikut langkah-langkah dalam penatalaksanaan fase rehabilitasi; 1. Memberikan Stimulasi Sensorik dan Dukung Emosional

    Anak dengan KEP berat memiliki keterlambatan perkembangan mental dan perilaku yang bila tidak diobati akan menjadi masalah serius jangka panjang. Stimulasi fisik dan emosional yang dilalukan melalui program yang dimulai sejak rehabilitasi hingga pasien pulang, akan mengurangi risiko retardasi mental dan gangguan emosional.

    Wajah anak jangan ditutup; anak harus bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi disekelilingnya. Anak jangan dibungkus kain atau diikat untuk mencegah ia berpindah dari tempat tidurnya. Sangat penting keberadaan ibu atau pengasuh anak ini di rumah sakit dan ia didorong untuk terus memberi makan, menjaga anak agar tetap nyaman dan terus bermain dengannya jika memungkinkan. Setiap orang dewasa disekelilingnya harus berbicara berinteraksi, tersenyum kepada anak. Bial ada prosedur medis yang tidak nyaman (setelah penyuntikan atau pemasangan infus) sebaiknya orang tua atau pengasuhnya mendukung anak pada posisi yang nyaman.

    Lingkungan Suasana rumah sakit yang biasa tidak menunjang untuk pengobatan anak KEP.Ruang rawat inap yang dihias dengan dinding berwarna warni akan menarik perhatian anak. Jikalau memungkinkan staf dan pegawai ruang rawat tidak memakai seragam melainkan pakaian seharian.Apron yang berwarna boleh dipakai untuk melindungi baju mereka. Musik dari radio yang mengiringi dapat menambah susasana ceria di ruang rawat. Mainan yang aman,mudah dicuci dan sesuai berdasarkan usia dan perkembangan anak harus selalu tersedia.Pada dasarnya suasana di ruang rawat inap harus santai, ceria, dan menarik.

  • 27

    Kegiatan main anak Anak yang kekurangan gizi perlu berinteraksi dengan anak-anak lain pada saat rehabilitasi Setelah fase awal rehabilitasi,anak-anak ini perlu menghabiskan waktu yang lama dengan bermain dengan anak-anak lain sambil diawasi oleh ibu atau play guide. Aktivfitas ini tidak meninggikan resiko infeksi silang namun memberi keuntungan yang besar pada anak.Perawat atau sukarelawan harus bertanggungjawab menyediakan kurikulum untuk aktifitas main anak-anak. Aktifitas yang dijalankan bertujuan mengembangkan skill motorik dan bahasa. Waktu 15-30menit disediakan tiap hari untuk bermain dengan setiap anak secara individual.Skill baru harus didemonstrasikan terlebih dahulu oleh yang bersangkutan diikuti oleh anaknya. Effort dari anak harus selalu dipuji.

    2. Tindak Lanjut di Rumah Bila anak berat badannya sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makanan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah setelah penderita dipulangkan. Oleh karena itu Peragakan kepada orang tua pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat. Serta terapi bermain yang terstruktur. Sarankan agar membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur, pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster) serta pemberian vitamin A setiap 6 bulan. Orang tua harus diberi pengetahuan bagaimana cara mencegah rekurensi dari malnutrisi. Sebelum anak dipulangkan orang tua harus memahami penyebab dan cara mencegah malnutrisi yang meliputi feeding yang benar,dan stimulasi mental dan emosional yang berterusan. Pengetahuan tentang cara mengobati diare dan infeksi lain harus adequate sehingga penyuluhan harus diberi kepada orang tua. Aktifitas main (play activity) yang sesuai untuk anaknya juga harus diajarkan kepada ibunya.

  • 28

    Kriteria memulangkan pasien Seorang anak dikatakan sembuh dan dapat dipulangkan apabila BB/U > 80% atau BB/TB >90% menurut standard NCHS/WHO. Pada saat tertentu anak dapat dipulangkan sebelum mencapai standard diatas tetapi dipantau terus sebagai outpatient. Sebelum dipulangkan pasien harus diimunisasi mengikut ketentuan di Negara masing-masing.Orang tua harus diinformasikan untuk membawa anaknya untuk imunisasi ulang dan booster.

    Follow-up

    Pasien diinformasikan untuk kontrol seminggu sejak tanggal dia dipulangkan. Follow up lebih baik dilakukan di klinik yang khusus untuk anak kekurangan gizi daripada klinik pediatrik biasa. Bilamana mugkin volunteer diatur untuk melakukan homevisit dan mencari solusi mengatasi masalah sosial dan ekonomi keluarga pasien selain kounseling

    c) Fase tindak lanjut (6-26 minggu) Fase ini anak telah dipulangkan. Anak dan keluarga dipantau untuk mencegah adanya kekambuhan serta menilai adanya perkembangan fisik, mental dan emosi anak.

    2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein Pencegahan dari KEP pada dasarnya adalah bagaimana makanan yang

    seimbang dapat dipertahankan ketersediannya di masyarakat. Langkah- langkah nyata yang dapat dilakukan untuk pencegahan KEP adalah (Wayan, 2011): 1. Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan

    menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan (Puskesmas, Puskesmas Pembantu).

    2. Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping ASI (bagi balita).

    3. Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai. Hal ini dikarenakan kandungan zat gizi pada setiap jenis makanan ini berbeda-

  • beda dan tidasecara lengkap

    diperlukan konhamil dianjurkdan zat gizi lai

    4. Memperbaiki/tidak menurun

    5. Meningkatkan6. Meningkatkan

    sektor ekonom

    2.2 Distribusi FrekuHampir separu

    disebabkan oleh kekukondisi berisiko lebfrekuensi dan keparpemulihan tertunda. siklus yang berpotenstatus gizi (UNICEFseorang anak jugamenyebabkan kemamanak dibawah 5 tahu(tubuh pendek)

    29

    dak ada satu pun jenis makanan yang mengap, maka untuk memenuhi kebutuhan sebagia

    konsumsi makanan yang beragam. Bagi ibu murkan menambah jumlah konsumsi, karena ke lainnya pada ibu hamil dan menyusui meningkki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudaunkan status gizi.

    an peran serta masyarakat dalam program keluaan status ekonomi masyarakat melalui pembomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lakuensi Kekurangan Energi Protein ruh dari semua kematian pada anak di bkurangan gizi. Kekurangan gizi menempatkan

    ebih besar meninggal akibat infeksi umumarahan infeksi tersebut, dan memberikan k. Selain itu, interaksi antara gizi dan infeksi

    tensi mematikan, memperburuk penyakit danEF, 2015). Gizi buruk pada 1.000 hari pertga dapat menyebabkan pertumbuhan teampuan kognitif terganggu. Berikut peta perse

    ahun yang mengalami hambatan pertumbuha

    (Sumber: UNICEF, 2015)

    ngandung zat gizi gian besar zat gizi menyusui dan ibu

    kebutuhan energi gkat.

    dah terjadi supaya

    luarga berencana. berdayaan segala lain-lain)

    bawah 5 tahun an anak-anak pada m, meningkatkan

    kontribusi untuk si dapat membuat an memperburuk

    ertama kehidupan terhambat, yang sebaran mengenai han atau stunting

  • 2.2.1 Distribusi FKekurangan E

    tetapi hingga saa

    Energi Protein p

    satunya adalah Kkematian anak, m

    2015). Di Indonesia

    individu dengan protein yang palin

    2.2.2 Distribusi FDi dunia in

    sekaligus KEP y

    dengan data yankalangan anak

    menentukan peny

    literatur menunjukarena tingginya

    dengan berat laperbedaan berdas

    30

    si Frekuensi Berdasarkan Usia Energi Protein (KEP) bisa terjadi pada seaat ini yang menjadi sorotan utama dunia ada pada anak-anak, hal ini dikarenakan malnut KEP) diperkirakan berkontribusi dalam sepe, meskipun jarang terdaftar sebagai penyebab la

    a kurangnya konsumsi energi yang paling banan usia antara 16-18 tahun. Sedangkan kuraaling banyak pada individu dengan usia >56 tah

    (Sumber: Riskesdas, 2010) si Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin

    internasional, salah satu tolak ukur meng

    yaitu angka stunting (tubuh pendek), hampiang tersedia, tingkat stunting (tubuh pendek) laki-laki dibandingkan anak perempuan. nyebab fenomena ini masih sedang berlangsunjukkan bahwa stunting lebih tinggi di kalanga

    ya angka kelahiran prematur anak laki-laki ( ylahir rendah ) adalah alasan potensial untuasarkan jenis kelamin pada stunting (tubuh pen

    semua usia, akan

    dalah Kekurangan utrisi (yang salah ertiga dari semua langsung (WHO,

    anyak justru pada urangnya kosumsi

    ahun

    ngenai Malnutrisi

    pir semua negara

    k) lebih tinggi di . Analisis untuk

    ung , review awal

    gan anak laki-laki

    ( yang terkait erat ntuk menjelaskan endek).

  • Di Indonesia seenergi dan protekelamin laki-laki

    31

    (Sumber: UNICEF, 2015)

    sendiri berdasarkan data Riskesdas tahun 20tein paling banyak juga diderita oleh individki

    (Sumber: Riskesdas, 2010)

    2010 kekurangan

    vidu dengan jenis

  • 2.2.3 Distribusi FPada tahun 2013memiliki berat btetapi lambat. Andunia mengalampenurunan ini ter

    tahun 2015 berkterpenuhi.

    Sedangkan di Inmenurut ketiga in

    dan gizi kurang mpendek turun 0,8persen dari tahun

    32

    si Frekuensi Berdasarkan Waktu 13, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun d

    badan kurang. Prevalensi Gizi kurang terus ntara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang pada

    ami penurunan dari 25 persen menjadi 1terus berlanjut , sasaran MDG 1 ( prevalensi gerkurang hingga 50% dibanding tahun 199

    (Sumber: UNICEF, 2015) Indonesia, kecenderungan prevalensi status g indeks BB/U, TB/U dan BB/TB terlihat prevag meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. P,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi p

    un 2007 (Riskesdas, 2013).

    (Sumber: Riskesdas, 2013)

    di seluruh dunia s menurun , akan

    a balita di seluruh 15 persen. Jika

    i gizi kurang pada 990 ) tidak akan

    s gizi anak balita valensi gizi buruk

    . Prevalensi sangat

    i pendek naik 1,2

  • 2.2.4 Distribusi FAnak-anak dari stunting atau pert

    keluarga kaya. D

    miskin dalam hal

    Di India prevalenmiskin. Hal ini dtelah dicatat dalaselama periode danak di kuintil ter

    33

    si Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilri keluarga miskin beresiko dua kali lebih bertumbuhan terhambat dibanding anak-anak ya. Di Asia Selatan, kesenjangan antara anakal pengerdilan lebih besar daripada di daerah la

    (Sumber: UNICEF, 2015) lensi gizi juga menunjukkan ketidakadilan antai ditunjukkan dengan tidak adanya penurunanalam prevalensi underweight pada anak dari k dari sekitar 1993 sampai sekitar 2006. Seme

    terkaya menunjukkan penurunan sekitar seperti

    (Sumber: UNICEF, 2015)

    silan besar mengalami

    yang berasal dari ak-anak kaya dan lain.

    tara si kaya dan si an yang signifikan

    i kuintil termiskin

    mentara itu, anak-

    rtiga.

  • 34

    2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein Berdasarkan data distribusi frekuensi yang sudah disajikan dalam sudah sebelumnya, dapat disimpulkan bahwasanya Kekurangan Energi Protein dipengaruhi oleh banyak faktor. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan, dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung antara lain adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan ditingkat keluarga yang tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau (Suyadi, 2009). Masalah KEP dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor penentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah kemiskinan, yang menyebabkan terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sehingga mengakibatkan kemampuan untuk memperoleh pangan menjadi sangat rendah, penyakit infeksi yang berkaitan erat dengan kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal; kurangnya perhatian ibu terhadap balita karena bekerja; akses yang sulit terhadap sumber pelayanan kesehatan; dan kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat makanan bagi kesehatan anak, hal ini dikarenakan pendidikan ibu yang rendah. Menurut UNICEF (1998) pokok masalah timbulnya kurang gizi di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat, pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan. Sedangkan yang menjadi akarnya masalah adalah krisis ekonomi, politik dan sosial. Berikut peta konsep mengenai penyebab Kekurangan Energi Protein (KEP):

  • a. Penyebab LangsPenyakit InfeksiPenyakit infeksi

    dapat dijelaskan KEP terjadi kekukemampuan tubkemudian menyesehingga tubuh mPada anak yangdiperoleh dari ibusangat rentan sek

    Disamping itu an

    Penyakit Infeksi

    35

    gsung

    ksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang

    n melalui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pkurangan masukan energi dan protein kedalamubuh untuk membentuk protein baru berkyebabkan pembentukan kekebalan tubuh sel menderita rawan serangan infeksi (Jeliffe, 198ng berusia lebih dari 1 tahun perlindunganibunya melalui plasenta dan ASI sudah berakhisekali terkena sakit terutama penyakit infeksi

    anak yang sakit cenderung nafsu makannya me

    Penyebab KEP

    Langsung

    Kurangnya Konsumsi Energi dan Protein

    T

    PendiPenda

    J

    ng rendah. Hal ini u pada balita yang m tubuh sehingga

    erkurang, hal ini

    seluler terganggu,

    989) an antibodi yang hir sehingga anak

    si (Suyadi, 2009). menurun sehingga

    Tidak Langsung

    endidikan Orang Tuaendapatan KeluargaJumlah Anggota

    KeluargaJenis Kelamin

    Umur

  • 36

    menyebabkan masukan gizi kurang dan pada akhirnya akan berdampak pada status gizinya (Jalal, 1998). Konsumsi Energi dan Protein Konsumsi energi dan protein yang rendah secara otomatis akan menyebabkan Kekurangan Energi Protein (KEP) baik ringan, sedang ataupun berat.

    b. Penyebab Tidak Langsung

    Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi status gizi pada anak maupun keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka kemungkinan anak berstatus gizi baik semakin besar. Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan meningkatkan daya beli rumah tangga untuk mencukupi makanan bagi anggota keluarganya.

    Pendapatan Keluarga Di negara berkembang, termasuk Indonesia masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan merupakan akar masalah kesehatan dan gizi. Dikatakan bahwa rata-rata persen BB/U pada kelompok ekonomi rendah selalu lebih rendah daripada kelompok ekonomi tinggi. Hal ini karena pedapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang bergizi (Budiningsari, 1999) Jumlah Anggota Keluarga Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah anggota keluarga maka semakin baik pertumbuhan anaknya, dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP. Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil,

  • 37

    dan beresiko pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga kecil (Berg, 1986) Umur Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya pada usia 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningka tajam sedangkan asi sudah tidak mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare karena konsumsi pada makanan yang diberikan (Abunain dalam Lismartina 2000) Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang menentukan

    kebutuhan gizi, sehingga jenis kelamin berkaitan erat dengan status gizi balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada perempuan, karena laki-laki cenderung lebih aktif dan lebih kuat dibanding perempuan.

    Berdasarkan distribusi frekuensi yang telah disajikan sebelumnya, menunjukkan bahwa laki-laki beresiko lebih besar terkena KEP. Hal ini didukung denganhasil penelitian Lismartina (2001) bahwa kejadian KEP lebih besar pada anak laki-laki (25,9%) dibanding anak perempuan.

  • 38

    BAB III PENUTUP

    3.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, antara lain; 1. Definisi dari kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang

    dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang dan gangguan kesehatan.

    2. Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun

    1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II (sedang) dan KEP III (berat).

    3. Tanda dan gejala kekurangan energi protein antara lain; pada rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut kusam dan kering; rambut tipis dan jarang (thinness and aparseness); rambut kurang kuat/ mudah putus (straightness); tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai anemia; wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso labial; Edema dari lidah; lidah mentah atau scarlet; lidah magenta; atrofi papilla; karies gigi; pengikisan (attrition).

    4. pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein berdasarkan perubahan atau kelainan yang dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi, perubahan metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi pada komposisi cairan tubuh (laboratorium).

    5. Penatalaksanaan kekurangan energi protein bervariasi antara tiap jenis KEP, pada KEP berat terdapat 3 fase dalam penatalaksanaan yaitu Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari), Fase tindak lanjut (6-26 minggu, Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)

    6. Pencegahan kekurangan energi protein dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut; (1) Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan (2) Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping ASI (bagi balita). (3) Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai.

  • 39

    (4) Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya tidak menurunkan status gizi. (5) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam program keluarga berencana. (6) Meningkatkan status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan segala sektor ekonomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lain-lain)

    7. Distribusi frekuensi kekurangan energi protein didunia pada tahun 2013, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia memiliki berat badan kurang. Prevalensi Gizi kurang terus menurun , akan tetapi lambat. Antara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang pada balita di seluruh dunia mengalami penurunan dari 25 persen menjadi 15 persen.

    8. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan, dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung antara lain adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan ditingkat keluarga yang tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau

  • 40

    DAFTAR PUSTAKA

    Andaka. 2008. Normalkah Body Mass Index Bmi Anda? (Online), (http://www.andaka.com/normalkah-body-mass- index-bmi-anda.php.) diakses pada 3 Februari 2015

    Arisman . 2004. Gizi dalam daur Kehidupan.. Jakarta: EGC.

    Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Jakarta. Penerbit Rajawali.

    Budiharjo, S., Romi, M.M., & Prakosa, D. 2004. Pengaruh latihan fisik intensitas sedang terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu Kedokteran Vol. 36, No.4: 195-200.

    Darmojo, R.B. dan Subagio, H.W. 1998. Laporan penelitian pengamatan kebiasaan makan pada manusia usia lanjut: studi kasus pada 100 orang manula di Kelurahan Bergota Kota Madya Semarang. Semarang: Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro.

    Depkes RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia. Sehat 2010. Jakarta.

    Evelyn, Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga. Jelliffe DB, EFP Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assesment with Special

    Reference to Less Technically Developed Countries. Oxford: Oxford Universitas Press

    Krisnansari, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1, Januari 2010

    Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. 2005. Measurement and Evaluation in Human Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA (http://books.google.co.id/book)

    Nurachamah, E. 2001. Nutrisi dalam Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

    Pudjiadi. S. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta.

  • 41

    Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

    Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

    Soekirman. 2000. Besar dan karakteristik masalah gizi Di Indonesia. Jakarta : Akademi Gizi.

    Sulistya Hapsari. 2013. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein Dengan Kejadian Gizi Kurang Anak Usia 2-5 Tahun. KJURNAL GIZI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG VOLUME 2, NOMOR 1.

    Supariasa, IDN. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

    Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP. Jakarta: Universitas Indonesia

    UNICEF. 1998. The State on the World Children. Oxford Univ. Press.

    UNICEF. 2015. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under 5 and is widespread in Asia and Africa (Online), (http://data.unicef.org/nutrition/malnutrition) diakses pada 31 Maret 2015

    USU (Universitas Sumatera Utara). 2004. Kurang Energi Protein (Protein Energi Malnutrition). Medan: Universitas Sumatera Utara.

    Wayan, Sujana. 2011. Kekurangan Energi Protein (KEP), (Online) (http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10 diunduh 31 Maret 2015

    WHO. 2015. Malnutrition (Online) (http://www.who.int/) diakses pada 31 Maret 2015