kekeringan tahun 2014: normal ataukah ekstrim?

7
KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September 2014 menghentak kembali bahwa kebakaran lahan dan hutan masih terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan di musim kemarau tahun 2014. Hasil deteksi hotspot dari satelit Terra/Aqua yang diakuisi oleh stasiun bumi Lapan menunjukkan bahwa puncak hotspot terjadi pada tanggal 14 September 2014, dengan propinsi terbanyak adalah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pada tanggal tersebut jumlah hotspot di Indonesia sudah melebihi 1400 hotspot. Berita kekeringan juga diberitakan di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur juga membuat hangat berita kekeringan di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kekeringan tahun 2014 normal ataukah ekstrim? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan Lapan yang memanfaatkan data keantariksaan terutama penginderaan jauh sebagai berikut: Berdasarkan kondisi iklim global yaitu kondisi anomali suhu permukaan laut di Nino 3.4 yang biasa digunakan sebagai Indikator kejadian Elnino menunjukkan bahwa kondisi El Nino masih normal namun ada kecenderungan lemah hingga akhir tahun 2014. Secara regional, indikator fenomena lain yang berpengaruh pada curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat adalah dipole mode index yang juga masih menunjukkan kondisi normal hingga akhir tahun 2014. Sementara itu, secara lokal dalam lingkup nasional, kondisi curah hujan di wilayah Indonesia lebih dipengaruhi oleh kondisi suhu permukaan laut di perairan Indonesia. Data MODIS dari satelit Terra/Aqua yang diterima dari stasiun bumi LAPAN Pare- pare pada bulan Agustus 2014 (Gambar 1) menunjukkan bahwa kondisi suhu permukaan laut di wilayah Laut Jawa, perairan sebelah selatan Pulau Jawa, dan perairan bagian timur Indonesia cukup dingin (25°- 28° Celcius). Hal ini mengindikasikan kurangnya penguapan untuk pembentukan awan konvektif, sehingga curah hujannya cenderung berkurang. Berdasarkan kondisi suhu permukaan laut Indonesia, potensi menurunnya curah hujan terjadi di wilayah P. Jawa, P. Kalimantan bagian selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua bagian selatan, Bali dan Nusa Tenggara.

Upload: lythuy

Post on 13-Jan-2017

228 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

* Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin

Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan

bulan September 2014 menghentak kembali bahwa kebakaran lahan dan hutan masih terjadi di wilayah

Sumatera dan Kalimantan di musim kemarau tahun 2014. Hasil deteksi hotspot dari satelit Terra/Aqua

yang diakuisi oleh stasiun bumi Lapan menunjukkan bahwa puncak hotspot terjadi pada tanggal 14

September 2014, dengan propinsi terbanyak adalah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pada

tanggal tersebut jumlah hotspot di Indonesia sudah melebihi 1400 hotspot.

Berita kekeringan juga diberitakan di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Jawa Tengah, Yogyakarta,

dan Jawa Timur juga membuat hangat berita kekeringan di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah

apakah kekeringan tahun 2014 normal ataukah ekstrim? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan hasil

kegiatan penelitian dan pengembangan Lapan yang memanfaatkan data keantariksaan terutama

penginderaan jauh sebagai berikut:

Berdasarkan kondisi iklim global yaitu kondisi anomali suhu permukaan laut di Nino 3.4 yang biasa

digunakan sebagai Indikator kejadian Elnino menunjukkan bahwa kondisi El Nino masih normal namun

ada kecenderungan lemah hingga akhir tahun 2014. Secara regional, indikator fenomena lain yang

berpengaruh pada curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat adalah dipole mode index yang juga

masih menunjukkan kondisi normal hingga akhir tahun 2014. Sementara itu, secara lokal dalam lingkup

nasional, kondisi curah hujan di wilayah Indonesia lebih dipengaruhi oleh kondisi suhu permukaan laut

di perairan Indonesia. Data MODIS dari satelit Terra/Aqua yang diterima dari stasiun bumi LAPAN Pare-

pare pada bulan Agustus 2014 (Gambar 1) menunjukkan bahwa kondisi suhu permukaan laut di wilayah

Laut Jawa, perairan sebelah selatan Pulau Jawa, dan perairan bagian timur Indonesia cukup dingin (25°-

28° Celcius). Hal ini mengindikasikan kurangnya penguapan untuk pembentukan awan konvektif,

sehingga curah hujannya cenderung berkurang. Berdasarkan kondisi suhu permukaan laut Indonesia,

potensi menurunnya curah hujan terjadi di wilayah P. Jawa, P. Kalimantan bagian selatan, Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua bagian selatan, Bali dan Nusa Tenggara.

Gambar 1. Suhu permukaan laut di perairan Indonesia berdasarkan data Aqua MODIS bulan Agustus

2014 dari stasiun bumi LAPAN Pare-pare (Sumber: http://modis-

catalog.lapan.go.id/monitoring/infokatalog)

Pengaruh berkurangnya curah hujan pada bulan September 2014 tampak pada hasil analisis data MODIS

dari satelit Terra/Aqua yang berupa kondisi tingkat kehijauan vegetasi dan kondisi titik panas (hotspot)

sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan. Indeks kehijauan vegetasi Normalyzed Difference

Vegetation Index (NDVI) dari data MODIS periode 16 harian (30 Agustus - 14 September 2014) pada

Gambar 2 menunjukkan adanya tingkat kehijauan yang rendah (berwarna kuning) di wilayah P. Jawa

terutama di wilayah sepanjang pantai utara, sebagian wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah

Bali dan Nusa Tenggara juga teridentifikasi mengalami tingkat kehijauan yang rendah. Sementara itu,

tingkat kehijauan yang rendah juga nampak terlihat di wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan

Selatan, serta di wilayah Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dan Riau, dan di wilayah Sulawesi Selatan.

Adanya tingkat kehijauan yang rendah ini dapat mengindikasikan adanya potensi kekeringan tanaman

pangan di wilayah sentra produksi padi di P. Jawa serta di Sulawesi Selatan. Sedangkan dari sisi

kebakaran hutan, adanya tingkat kehijauan yang rendah berindikasi meningkatnya kemudahan

terjadinya kebakaran hutan/lahan.

Gambar 2. Tingkat kehijauan vegetasi dari indeks NDVI menggunakan data MODIS-Aqua periode (30

Agustus - 14 September 2014) (Sumber: http://modis-catalog.lapan.go.id/monitoring/infokatalog).

Berdasarkan data MODIS yang diterima oleh stasiun bumi LAPAN Pare-pare periode tanggal 1-28

September 2014, akumulasi hotspot tertinggi terdapat di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, kemudian

di Provinsi Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Secara timeseries harian, akumulasi hotspot

tertinggi terjadi pada tanggal 14 September 2014, selanjutnya pada 16, 25, dan 20 September 2014

(Gambar 3)

Gambar 3. Akumulasi hotspot periode 1 - 28 September 2014 berdasarkan data MODIS dari stasiun bumi

LAPAN Pare-pare.

Selain hotspot dari data MODIS, untuk pemantauan kondisi kebakaran lahan/hutan, juga bisa digunakan

informasi curah hujan dari satelit QMorph. Sistem peringatan dini yang dibuat adalah dengan

mengasumsikan jika tidak terjadi curah hujan berturut-turut selama satu minggu maka dapat memicu

adanya kebakaran lahan dan hutan. Lapan dalam hal ini juga memantau kondisi akumulasi curah hujan

tujuh hari secara kontinu. Gambar 4 menunjukkan akumulasi curah hujan dari data QMorph selama 7

hari periode 16 – 23 September 2014, nampak sebagian wilayah Kalimantan Tengah dan Sumatera

Selatan, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, serta Sulawesi Selatan dan Tenggara yang berwarna putih tidak

mengalami hujan pada periode tersebut.

Gambar 4. Akumulasi curah hujan di wilayah Indonesia periode 16-23 September 2014 berdasarkan data

QMorph.

Terkait dengan potensi kekeringan untuk tanaman pangan, Lapan telah mengembangkan sistem

monitoring tingkat rawan kekeringan di lahan sawah wilayah Pulau Jawa dan Bali berdasarkan indeks

vegetasi dari data MODIS serta curah hujan dari data satelit Tropical Rainfall Measurement Mission

(TRMM). Berdasarkan hasil analisis data periode tanggal 29 Agustus - 5 September 2014 dapat

ditunjukkan bahwa di wilayah P. Jawa dan Bali berpotensi mengalami kekeringan tingkat sedang hingga

ringan seperti yang terlihat pada Gambar 5 dengan warna jingga dan kuning. Hal ini perlu kewaspadaan

dan tindak lanjut di lapangan agar tidak meningkat menjadi kering berat dan puso.

Gambar 5. Tingkat rawan kekeringan di lahan sawah yang dianalisis dari data MODIS dan TRMM.

Prediksi Curah Hujan Periode September - Oktober 2014

Berdasarkan hasil prediksi curah hujan dari data outgoing longwave radiation (OLR) menunjukkan bahwa

curah hujan di wilayah Indonesia pada bulan September 2014 berada sedikit di bawah normal dengan

perbedaan sekitar 0-10 mm yang tidak berpengaruh signifikan terhadap curah hujan normalnya pada

musim kemarau seperti biasanya (Gambar 6). Curah hujan di bawah normal ini diprediksikan tidak akan

berlangsung lama karena pada bulan Oktober 2014 curah hujan akan berlangsung seperti kondisi

biasanya (normal) bahkan ada beberapa wilayah yang sedikit di atas normal terutama di wilayah

equator. Sementara itu di Pulau Jawa, walaupun tampak di bawah normal pada bulan Oktober, curah

hujan sudah nampak dengan kisaran antara 50-150 mm per bulan sehingga mencukupi kebutuhan curah

hujan minimum untuk tanaman pangan terutama di Jawa Barat yang berada di atas 100 mm.

Gambar 6. Estimasi curah hujan pada bulan September dan Oktober 2014

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil analisa dan pengamatan dari data penginderaan jauh dan keantariksaan lainnya

dapat disimpulkan bahwa kondisi musim kemarau pada tahun 2014 masih dalam kisaran normal namun

cenderung pada kondisi sedikit di bawah normal. Kondisi kemarau 2014 tidak perlu di khawatirkan

namun kewaspadaan kekeringan antisipasi masih perlu dilakukan terutama di Pulau Jawa dan wilayah-

wilayah yang rawan kebakaran lahan/hutan. Khusus untuk kebakaran lahan/hutan, curah hujan tidak

terjadi berturut-turut selama satu minggu saja, sudah dapat memicu adanya kebakaran lahan dan hutan.

Lapan dalam hal ini juga memantau kondisi akumulasi curah hujan tujuh hari secara kontinu. Gambar 6

menunjukkan akumulasi curah hujan dari data QMorph selama 7 hari periode 16 – 23 September 2014,

nampak sebagian wilayah Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan yang berwarna putih tidak

mengalami hujan pada periode tersebut. Kekeringan yang terjadi ddi beberapa wilayah Indonesia

terutama Sumatera dan bagian barat Kalimantan merupakan efek Siklon Kalmaegi dan Siklon Fung Wong

yang terjadi pada pertengahan hingga akhir September 2014.