kehendak bebas manusia terhadap perbuatan baik...
TRANSCRIPT
KEHENDAK BEBAS MANUSIA TERHADAP PERBUATAN BAIK DAN
BURUK MENURUT MUH}AMMAD ‘ABDUH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Ali Dafir
NIM 1112033100041
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1440 H
i
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk memperdalam pemikiran salah satu tokoh teolog yang berpengaruh di dunia Islam dan mempunyai peran penting dalam pembaharuan Islam yakni Muh}ammad ‘Abduh, terutama dalam persoalan perbuatan-perbuatan manusia yang pada hakikatnya perbuatan manusia adalah perbuatan manusia itu sendiri, kehendak Tuhan, dan kebebasan manusia dalam perbuatannya. Metode penilitian yang digunakan adalah metode diskriptif analisis. Metode ini digunakan untuk menjelasakan serta mengelaborasi pemikiran-pemikiran Muh}ammad ‘Abduh yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia. Mengenai teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitiannya tentang perbuatan baik dan perbuatan buruk menurut Muh}ammad ‘Abduh adalah library research dengan menggunakan data primer yang berasal dari salah satu karya Muh}ammad ‘Abduh sendiri dan ditunjang dengan data sekunder. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa pemikiran Muhammad ‘Abduh mengenai persoalan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia tidak terlalu identik dengan pemikiran-pemikiran kaum Asy‘ari>ah dan juga tidak begitu identik dengan pemikiran kaum Mu‘tazilah. Akan tetapi pemikiran Muh}ammad ‘Abduh mengenai perbuatan manusia lebih maju dari pemikiran kaum Mu‘tazilah dan lebih rasional dengan Asy‘ari>yah. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari pendapat Muh}ammad ‘Abduh dengan Mu‘tazilah mengenai perbuatan manusia, keduanya sependapat mengenai perbuatan manusia merupakan perbuatan manusia itu sendiri, akan tetapi Muhammad ‘Abduh tidak sependapat dengan Mu‘tazilah jika manusia mempunyai kebebasan yang mutlak, bagi Muh}ammad ‘Abduh kebebasan dan kehendak manusia dibatasi dengan kekuatan alam. Muh}ammad ‘Abduh juga mengatakan bahwa akal selain mengenal adanya Tuhan juga mengenal sifat sifat Tuhan, pendapat yang ini berbeda dengan pendapat Mu‘tazilah. Muh}ammad ‘Abduh juga berbeda pendapat dengan aliran Asy‘ari>ah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya perbuatan Tuhan, manusia melakukan hanya dengan keterpaksaan saja. Bagi Muh}ammad ‘Abduh manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, akan tetapi Muh}ammad ‘Abduh mempunyai pendapat yang sama dengan kaum Asy‘ari>ah mengenai kausalitas, bagi Muh}ammad ‘Abduh kekuatan alam dapat membatasi kebebasan manusia.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Alla>h yang telah melimpahkan rahmat dan
hidaya-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, berjudul:
KEHENDAK BEBAS MANUSIA TERHADAP PERBUATAN BAIK DAN
BURUK MENURUT MUH}AMMAD ‘ABDUH. Salawat dan salam penulis
curah- limpahkan kepada Nabi Muh}ammad SAW., pembawa semangat
pencerahan melalui agama Islam.
Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan untaian terima kasih
dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu penulis
menyelesaikan skripsi ini.
1. Dr. Arrazy Hasyim, M.A. selaku dosen pembimbing penulis skripsi ini
yang telah dengan telaten, sabar, dan ikhlas membimbing penulis serta
banyak meluangkan waktu, tenaga, dan Pikiran demi memberikan
masukan serta nasehat, dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag selaku ketua jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
Negeri Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Abdul Hakim Wahid, SHI, MA. Selaku sekretaris Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
5. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. Dosen Pembimbing Akademik yang
senantiasa membimbing, membantu, dan meluangkan waktunya untuk
memberikan arahan, saran-saran, serta pengalaman yang luas dalam
keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si. yang telah banyak membantu penulis
selama kuliah.
7. Seluruh jajaran dosen yang ada di Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada
penulis semasa kuliah.
8. Bapak dan Ibu, Ramli (Alm) yang tak pernah lelah untuk mendoakan di
setiap waktu pada masa hidupnya, ibu (Rahwiyah) yang tidak pernah lelah
untuk selalu memberi nasehat serta motivasi dan dukungan tiada henti
yang diberikan kepada penulis.
9. Kepada istri tercinta Ainiatul Kori’ah yang selalu menemani dan
memberikan semangat yang tinggi kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada seluruh saudara tercinta, Nur Hasiyah, Junaidi Ramli, Yani
Suryani, dan Ettun Efendi, yang selalu memberikan semangat serta nasehat
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2012 yang tak jarang
penulis jadikan acuan, pandangan, dan segala hal yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari.
iv
12. Teman-teman (FORMAD Jadebotabek) Forum Mahasiswa Madura yang
tidak dapat disebutkan satu persatu tidak mengurangi rasa terimakasih
yang selalu memotivasi kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
13. Teman-teman Lingkaran “Strong Ciputat” (AFIC dan lainnya): Amien
Tohari, S.Sos (2009), Sulaiman S.Sos, Bahrur Rosi, S.Ag., dan Moh. Halil
S.Sos, dan Abd Syakur S.Th.I (2010), Saniman (2013), Gazali (2015),
Rohim, Fauzan NI, Sufriyadi, Ainul Y, Sugianto, Sukri dan Alim (2016),
Fauzan Ir, Qusairi, Gufron, Farid, Fadlun, Zainul Ar, Mujiburrahman,
Raden Andi, dan Samsul (2017), Deni, Ruslan dan Wawan (2018).
Segala bantuan dan motivasi yang telah mereka berikan kepada penulis
dengan tulus, semoga Alla>h SWT. memberikan pahala yang berlipat kepada
mereka semua.
Penulis juga menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam
menyusun skripsi ini, maka dari itu penulis sangat berharap saran dan kritik yang
lebih baik dari penulisan skripsi ini. Demikian, semoga skripsi ini dapat
memberikan kontribusi yang bermanfaat kepada pembaca khususnya kepada
penulis sendiri.
Jakarta, 09, Oktober 2018
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................ 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 9
F. Metode Penelitan ......................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II KEHENDAK BEBAS MANUSIA DALAM
DISKURSUS TEOLOGI ISLAM
A. Pengertian Baik dan Buruk ......................................................... 15
B. Pandangan Mu‘tazilah Terhadap Kehendak Bebas
Manusia ...................................................................................... 21
C. Pandangan Asy‘ari>yah ............................................................... 29
BAB III BIOGRAFI MUH}AMMAD ‘ABDUH DAN
KARYANYA
vi
A. Riwayat Hidup Muh}ammad ‘Abduh ........................................... 36
B. Muh}ammad ‘Abduh Sebagai Teolog Pembaharu Islam ............. 40
C. Kritik Terhadap Taklid ................................................................ 42
D. Karya-Karya Muh}ammad ‘Abduh .............................................. 45
BAB IV KEHENDAK BEBAS MANUSIA TERHADAP
PERBUATAN BAIK DAN BURUK MENURUT
MUH}AMMAD ‘ABDUH
A. Pengertian Baik dan Buruk ......................................................... 48
B. Kehendak Bebas Manusia Dalam Menentukan Perbuatan
Baik dan Buruk ........................................................................... 50
C. Antara Fatalis dan Freewill ......................................................... 57
D. Kritik Terhadap Qadariah dan Jabari>yyah .................................. 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 65
B. Saran-Saran ................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... 73
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan - ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
h} ha dengan titik di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
Sh es dan ha ص
d} de dengan titik di bawa ض
t} te dengan titik di bawah ط
z} zet dengan titik di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap ‘ ع
kanan
viii
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qi ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
apostrog ’ ء
Y Ye ي
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
◌ A< fath}ah
◌ I< kasrah
◌ U< d}hammah
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
a> a dengan topi di atas سا
i> i dengan topi di atas سى
u> u dengan topi di atas سو
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan dengan sempurna.
Tidak ada makhluk yang mempunyai akal kecuali manusia itu sendiri. Dengan
demikian manusia dengan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan, untuk
membedakan derajat manusia bukan lagi dilihat dari seberapa besar
ketaqwaannya, akan tetapi dilihat seberapa besar kekuatan akalnya.1 Ini
dikarenakan manusia sudah diberikan akal yang kuat maka setiap apa yang
diperbuat oleh manusia merupakan perbuatan manusia itu sendiri.
Segala perbuatan manusia tidak lepas dari dua konsep baik dan buruk.
Manusia yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan yang baik (surga).
Sebaliknya, setiap manusia yang melakukan keburukan akan mendapatkan
balasan yang buruk (neraka). Namun setelah semakin jauh mempelajarinya dan
semakin dalam pengetahuan mengenai perbuatan manusia perihal yang baik dan
yang buruk bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain, tidak jarang yang baik pada
1 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah, (Jakarta:
Universitas Indonesia UI-press, 1987), h. 48
2
saat dikerjakan belum tentu baik pada akhirnya. Begitu pula yang dipandang
buruk waktu dilakukan belum tentu buruk juga (dampak) setelahnya.2
Perbuatan baik dan buruk manusia merupakan salah satu kajian pokok.
Tema ini menjadi perbincangan dan perdebatan yang serius di antara para teolog
Islam. Yang menjadi persoalan sampai saat ini mengenai perbuatan baik dan
buruk manusia – hal yang merupakan topik pembahasan dalam ilmu kalam oleh
para teolog – melibatkan tiga pendapat utama yang berbeda antara satu golongan
dengan golongan yang lainnya.
Pertama, pendapat yang memandang bahwa semua yang dilakukan oleh
manusia adalah ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, segala perbuatan manusia terjadi
di bawah kuasa Tuhan. Manusia sama sekali tidak memiliki kekuasaan (kendali)
atas seluruh perbuatannya. Oleh karena itu, pandangan ini membawa pada sebuah
konsekuensi: manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya dan tentu tidak
mendapatkan balasan dari apa yang telah diperbuatnya.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan dan manusia keduanya
sama-sama melakukan perbuatan di dalamnya. Pandangan ini memberi penegasan
bahwa ada kehendak diri manusia dalam tindakannya di satu sisi. Tetapi di sisi
lain, pada tindakan manusia itu, juga ada kehendak dan kuasa Tuhan di sisi lain.
Sebagai konsekuensinya, manusia mengambil tanggung jawab – walaupun tidak
2 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid, Terjemahan, Firdaus A.N, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1965), h. 85
3
sepenuhnya – dalam tindakannya. Berdasarkan hal tersebut, Tuhan dan manusia
sama-sama akan mendapatkan suatu balasan.
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa segala perbuatan yang
dilakukan oleh manusia murni merupakan ciptaan manusia itu sendiri dan Tuhan
tidak melakukan apa-apa di dalamnya. Ini merupakan kebalikan dari pendapat
yang pertama yang menyebutkan bahwa segala tindakan manusia tak lain adalah
kehendak dan kuasa Tuhan. Sebagai konsekuensinya menurut pandangan ketiga
ini, manusia akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang telah
dilakukannnya.3 Pendapat-pendapat di atas dapat ditemukan dalam beberapa
golongan di dalam Islam yang sama-sama membahas tentang kebebasan manusia
dan kehendak Tuhan.
Salah satu golongan dalam perdebatan kebebasan manusia dan kehendak
Tuhan yang – pandangan-pandangannya (dengan tekanannya pada pandangan
rasional) di satu sisi banyak melahirkan pendukung dan di sisi lain juga banyak
ditentang – adalah Mu‘tazilah. Menurut golongan ini, manusialah yang
menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri. Seluruh perbuatan manusia – yang
baik maupun yang buruk – berada (murni) di dalam kehendak bebas manusia
tanpa campur tangan kekuasaan Tuhan. Konsekuennya tegas. Manusia berhak
3 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Tentang Persamaan dan
Perbedaanya dengan al-Asy`ari>, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 102
4
mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya dan mendapatkan siksa dari
perbuatan jahatnya.4
Golongan ini juga memiliki keyakinan yang kuat bahwa di dalam diri
manusia terkandung dua unsur yakni unsur kebaikan dan unsur keburukan. Dua
unsur ini mewarnai perbuatan manusia. Dengan dua unsur ini, maka segala
kebaikan dan keburukan (dari perbuatan manusia) murni datang dari manusia
sendiri. Dengan demikian menjadi jelas bahwa kelompok Mu’tazilah meletakkan
tanggung jawab perbuatan manusia pada manusia sendiri.
Tetapi, pendapat golongan Mu‘tazilah mengenai perbuatan manusia ini
ditolak oleh Asy‘ari>yah. Kelompok ini mengambil jalan lain untuk menyelesaikan
persoalan perbuatan manusia ini yang menjadi tema dalam pembicaraan para
teolog Islam dengan teorinya yang dikenal dengan teori kasb (sesuatu perbuatan).
Golongan ini mengatakan Alla>h SWT yang menciptakan perbuatan, sedangkan
manusia tidak menciptakan perbuatan, tetapi hanya melakukannya dan berkuasa
untuk memperoleh kasb (suatu perbuatan).5 Selain aliran Mu‘tazilah dan
Asya‘ri>yah, Muh{ammad ‘Abduh juga membahas persoalan perbuatan manusia.
Pandangan Muh}ammad ‘Abduh mengenai persoalan perbuatan manusia
berbeda dengan Asy‘ari>yah. Muh{ammad ‘Abduh cenderung kepada konsep
penciptaan sifat Tuhan. Ia yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia,
Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan
4 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010), h.170
5 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, h. 250
5
sunan atau hukum alam yang diciptakannya sendiri untuk mengatur alam ini.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rasyi>d Rid}a> yang dikutip oleh Harun
Nasution, Tuhan tidak bertindak sebagai raja absolut yang memberi upah kepada
siapa yang ia sukai dan memberi hukum kepada siapa yang ia kehendaki.6
Memberi manusia kemauan dan daya untuk berbuat adalah salah satu sunnah
Alla>h. Bagi Muh}ammad ‘Abduh sunnah Alla>h adalah hukum alam yang mengatur
perjalanan alam, hukum alam dengan sebab dan akibatnya.7
Pandangan Muh}ammad ‘Abduh mengenai keadilan Tuhan mengaitkan
dengan hukuman dan balasan baik dengan sifat pemurah Tuhan. Balasan baik
diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan dapat
melipatgandakan balasan kebaikan yang dibuat oleh manusia. Tetapi dalam soal
kejahatan Tuhan tidak menambahkan siksaan sebagai balasannya. Dalam arti ini,
dalam kejahatan yang dilakukan oleh manusia balasan dari Tuhan satu lawan
satu.8
Muh}ammad ‘Abduh lebih jauh berpendapat bahwa Tuhan memberikan
tiga kekuatan kepada manusia yang tidak dimiliki oleh hewan. Di antaranya:
ingatan, khayal, dan fikiran. Dengan kekuatan ingatan yang ada di dalam diri
manusia dapat mengingat atau melihat rupa kejadian yang sudah berlalu kemudian
dilampaui oleh kejadian-kejadian yang lain yang menutupi kejadian tersebut.
Begitulah ingatan itu dapat mendatangkan kembali apa-apa yang selama ini
6 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 77
7 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 77
8 Harun Nasution, Muh}ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 79
6
disenangi ataupun yang dibenci, yakni apa-apa yang serupa atau pun berlawanan
dengan yang dihadapi manusia itu dengan jalan mengingat sesuatu dengan apa
yang menyerupainya sebagaimana dengan pandangan yang sama.
Kekuatan khayal yang ada di dalam diri manusia dapat menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi yakni segala keadaan-keadaan yang
mempengaruhi manusia itu. Sehingga peristiwa itu seakan-akan tampak
sebagaimana yang pernah dilihat. Kemudian khayal tersebut dapat
menggambarkan kelezatan atau kesakitan di zaman yang akan datang dengan
membandingkannya dengan apa-apa yang telah berlalu. Sehingga kemudian hati
tertarik untuk mengejarnya atau menjauhkan diri dari padanya. Karena itu,
manusia berlindung kepada fikiran untuk mengatur cara-cara yang baik untuk
mencapainya supaya tidak salah dalam melangkah untuk menentukan apa yang
akan diperbuat karena bagi Muh{ammad ‘Abduh kekuatan daya fikir manusialah
yang dapat mengontrol dan menetukan kehidupan kebahagiaan atau celakanya
manusia.9
Dari uraian di atas, dapat ditemukan dua hal dalam pandangan Muh}}ammad
‘Abduh mengenai perbuatan manusia. Pertama, Tuhan membatasi kehendak-Nya
sendiri terhadap perbuatan manusia melalui sunnah atau hukum alam yang dibuat-
Nya. Kedua, manusia sebagai pelaku dari semua perbuatannya sehingga manusia
akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.
9 Muh}ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid, h. 91-93
7
Pandangan Muh}ammad ‘Abduh – dengan menekankan pada daya pikir
yang mengontrol perbuatan manusia sehingga manusia bertanggung jawab atas
tindakannya – merupakan pandangan penting yang menimbulkan dampak moral
pertanggungjawaban pada diri manusia. Pandangan ini penting diketahui oleh kita
semua sebagai umat Islam sehingga menyadari betapa pentingnya menggunakan
daya pikir.
Alasan penulis memilih Muh}ammad ‘Abduh karena dia adalah seorang
tokoh terkemuka pembaharu Islam yang memberi kebebasan kepada manusia
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan kemajuan zaman dan
juga sesuai dengan yang dibenarkan oleh akal yang bersesuaian dengan kebenaran
wahyu. Hal ini dikarenakan menurutnya akal dan wahyu tidak pernah
bertentangan.
Berangkat dari alasan tersebut, penulis ingin sekali mengangkat tema
tersebut, yakni mengenai perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia
menurut pandangan Muh}ammad ‘Abduh. Dalam hal ini, penulis mengangkat
judul: KEHENDAK BEBAS MANUSIA DALAM PERBUATAN BAIK DAN
BURUK MENURUT MUH}AMMAD ‘ABDUH.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Sangat banyak penulis yang meneliti pemikiran Muh}ammad ‘Abduh. Demi
konsistensi pembahasan yang akan dibahas oleh penulis dengan tujuan
mempermudah gambaran kerangka yang lebih jelas mengenai penelitian ini, maka
8
diberikan batasan hanya pada perbuatan baik dan buruk menurut teolog Mesir
yaitu Muh}ammad ‘Abduh.
Adapun yang menjadi penelitian pokok pada penulisan ini dapat
disebutkan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Muh}ammad ‘Abduh tentang kebebasan
manusia terhadap perbuatan baik dan buruk?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas dapat
diketahui bahwa tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Mempelajari lebih dalam pengetahuan yang telah didapati serta
mengungkapkan secara detail mengenai pandangan baik dan buruk
manusia menurut Muh}ammad ‘Abduh
2. Memberikan gambaran lebih luas mengenai baik dan buruk menurut
Muh{ammad ‘Abduh
3. Untuk memenuhi tugas akhir proses belajar di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin, yaitu berupa penulisan karya
ilmiah/skripsi yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai dokumentasi
dan referensi kepada semua pihak, khususnya para peneliti yang sesuai
dengan pembahasan ini.
9
D. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat dari penulisan ini sebagai berikut:
1. Penulis dapat memahami lebih dalam dan memperkaya dalam
memperluas khazanah keilmuan teoritis khususnya mengenai baik
dan buruk menurut Muh}ammad ‘Abduh
2. Menambahkan bahan bacaan perpustakaan di lingkungan sekitar
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian atas pemikiran Muh}ammad ‘Abduh ini bukan suatu hal yang
baru, tapi telah berlangsung sejak lama. Pemikiran Muh}ammad ‘Abduh
mengundang perhatian banyak orang, sehingga tidak sedikit tokoh yang
sesudahnya menulis kembali dan mengkaji pemikirannya, lebih-lebih mahasiswa
yang menyelesaikan tugas akhirnya dengan penelitian terhadap Muh}ammad
‘Abduh. Demi kepentingan tinjauan pustaka, penulis akan sampaikan beberapa
penelitian pemikiran Muh}ammad ‘Abduh yang ditulis sebelum skripsi ini.
“Penafsiran Ayat Poligami Menurut Muh}ammad ‘Abduh”, ditulis oleh
Muh}ammad Syukri Assidikki, jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Jakarta
(2007) adalah salah satu penelitian atas pemikiran Muh}ammad ‘Abduh. Skripsi
tersebut membatasi penelitiannya pada pemikiran Muh}ammad ‘Abduh mengenai
10
poligami, ayat-ayat tentang poligami dan penafsiran Muh}ammad ‘Abduh tentang
ayat poligami dalam tafsir Al-Manar. Ia tidak menyinggung sama sekali mengenai
perbuatan baik dan buruk manusia.
“Pendekatan Reformasi dalam Tafsir Al-Qur’an: Study Tafsir Muh}ammad
‘Abduh”, yang ditulis oleh Mustofa Hulayin, jurusan Tafsir Hadits Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
(2012). Skripsi ini juga memberi fokus pada pemikiran Muh}ammad ‘Abduh.
Hanya saja ia memberi perhatian pada pokok-pokok reformasi yang dilakukan
oleh Muh}ammad ‘Abduh dalam Tafsir Al-Manar.
“Pandangan Al-Qur’an Tentang Iman Kepada Allah Menurut Tafsir
Almanar”. Skripsi ini ditulis oleh Yuli Nurlaily jurusan Tafsir Hadits Fakultas
Ushuluddin, Jakarta (2002). Di dalamnya tidak menyinggung mengenai perbuatan
baik dan buruk hanya saja membahas tentang penafsiran Muh}ammad ‘Abduh atas
ayat-ayat keimanan kepada Alla>h.
“Konsep Tuhan Dalam Al-Quran: Telaah Atas Penafsiran Muh}ammad
‘Abduh Terhadap Surat Al-ikhlas ayat 1-4”, yang ditulis oleh H. Ansoriyah di
dalam skripsi ini membahas mengenai tauhid secara umum saja dan implikasinya
dalam kehidupan mengenai menafsirkan dalam surat Al-Ikhlas ayat 1-4.
“Tobat dalam Tinjauan Sayyid Quthub dan Muh}ammad ‘Abduh”, yang
ditulis oleh Shadiqul Amin, jurusan Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin Jakarta,
(2002), membahas perbandingan penafsiran tobat antara Muh{ammad ‘Abduh dan
11
Sayyid Quthub. Skripsi ini hanya membandingkan dalam lingkup tobat manusia
antara Muh}ammad ‘Abduh dengan Sayyid Quthub tidak membahas secara khusus
tentang perbuatan manusia dalam kebaikan dan keburukan.
“Pandangan Muh}ammad ‘Abduh tentang kiamat (Study Analisis Ayat-ayat
Kiamat Dalam Tafsir al-Manar)”, yang ditulis oleh Imam Syah Putra jurusan
Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin Jakarta, (2003). Di dalam skripsi ini
menganalisa tentang penafsiran ayat-ayat mengenai kiamat menurut Muh{ammad
‘Abduh dalam Tafsir Al-Manar.
“Landasan Penegakan Syariat Islam Menurut Perspektif Muh}ammad
‘Abduh dalam Tafsir Al-Manar”, yang ditulis oleh Subandi jurusan Tafsir Hadits
fakultas Ushuluddin Jakarta, (2005), yang di dalamnya hanya mengulas pemikiran
Muh}ammad ‘Abduh tentang perlunya penegakan syariat Islam dalam Tafsir Al-
Manar.
“Al-Hirabah Dalam Kajian Tafsir Al-Manar”, ditulis oleh Saiful Lutfi
jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin (2005), yang membahas penafsiran
Muh}ammad ‘Abduh tentang Al-Riddah dalam tafsir Al-Manar. Dalam skripsi ini
tidak menyinggung sama sekali mengenai perbuatan baik dan buruknya.
Buku karya dari Harun Nasution yang diberi judul Muh}ammad ‘Abduh dan
teologi Rasional Mu’tazilah. Dalam buku ini menjelaskan pemikiran kalam secara
umum Muh}ammad ‘Abduh. Buku ini memang sudah sedikit menyinggung
12
mengenai perbuatan baik dan buruk, akan tetapi buku ini hanya menekankan
kepada pembaca mengenai pola pikir Muh}ammad ‘Abduh secara umum.
Dari buku dan judul skripsi yang telah disebutkan di atas, sejauh yang
penulis ketahui sampai saat ini belum ada yang membahas tentang perbuatan baik
dan buruk menurut Muh}ammad ‘Abduh secara khusus, sehingga penulis tidak
ragu lagi untuk menulis dan menyelesaikan penelitian ini.
F. Metode Penilitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library
research) yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai macam literatur yang
relavan kemudian menelaahnya dengan masalah yang ada. Mengenai buku yang
menjadi rujukan utama dalam penulisan skripsi ini salah satunya adalah karya
Muh}ammad ‘Abduh sendiri yang berjudul Risalah Tauhid yang diterjemahkan
oleh H. Firdaus cetakan kedua yang menjadi sumber primer penulisan skripsi ini.
Selain itu, yang menjadi sumber data sekunder dalam penelitian tentang
Muh}ammad ‘Abduh berupa buku, artikel, jurnal, dan juga majalah yang ada
hubungannya dengan skripsi ini.
Metode pembahasan yang digunakan merupakan metode deskriptif analisis.
Deskriptif adalah menggambarkan secara jelas terkait dengan masalah yang akan
diteliti yaitu perbuatan baik dan buruk menurut Muh}ammad ‘Abduh. Sedangkan
analisis adalah menyelidiki setiap masalah untuk memperoleh pemahaman yang
lebih luas. Metode ini digunakan untuk menjelaskan serta mengelaborasi pikiran-
13
pikiran Muh}ammad ‘Abduh yang berkenaan dengan judul skripsi ini. Lalu
menyajikan hasil penelitian melalui sumber-sumber pustaka primer maupun
sekunder dengan menggunakan karangan-karangan Muh}ammad ‘Abduh dan yang
berkaitan dengan pembahasan perbuatan manusia.
Teknik penulisan penelitian skripsi ini berpedoman pada ketentuan yang
ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu buku
Pedoman Akademik Program Strata Satu 2012/2013, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta”, yang diterbitkan oleh UIN Press tahun ajaran 2012/2013. Pedoman
transliterasi.
G. Sistematika Penulisan
Supaya dapat gambaran yang lebih luas tentang apa yang akan diuraikan
oleh penulis dalam penelitian ini, maka perlu kiranya penulis uraikan susuanan
kepenulisan skripsi ini yang terdiri dari lima bab, sebagaimana berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari lima pasal pembahasan: latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, studi kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Dengan menjelaskan beberapa poin yang menyangkut pembahasan yang akan
diulas pada bab-bab berikutnya, seperti penggambaran mengenai perbuatan baik
dan buruk, dan tata cara kepenulisan yang sudah ditentukan oleh pedoman
kepenulisan.
14
Bab II merupakan penjelasan para ahli teolog Islam yang bersinggungan
dengan apa yang akan menjadi penjelasan inti dari penelitian ini, yaitu perbuatan
baik dan buruk di mana sampai saat ini pembahasan mengenai baik dan buruk
yang dilakukan oleh manusia masih belum selesai, baik dari golongan Mu‘tazilah,
Asyari>yah, maupun Jabari>yah.
Bab III membahas tentang biografi Muh}ammad ‘Abduh yang terdiri dari
riwayat hidup, mulai dari masa kecilnya, perjuangan-perjuangan yang sampai
dengan menciptakan karya-karya dan pengikutnya. Seperti yang telah diketahui
bersama bahwa Muh}ammad ‘Abduh telah berhasil merubah pola pikir ummat
Islam yang sudah lama terjerumus ke dalam paham jumud. Dengan
perjuangannya Muh}ammad ‘Abduh berhasil merubah pola pikir seluruh ummat
Islam khususnya di Mesir.
Bab IV merupakan pembahasan inti yang akan diteliti oleh penulis yaitu
perbuatan baik dan buruk menurut Muh}ammad ‘Abduh. Perbuatan baik dan buruk
Muh}ammad ‘Abduh sudah menjadi panutan dalam hubungan antara manusia
dengan manusia dan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Bab V merupakan bab terakhir dari penyusunan skripsi ini yang memuat
mengenai kesimpulan dari seluruh bab-bab pembahasan sebelumnya dan ditutup
dengan saran-saran untuk kebaikan kesemua pihak.
15
BAB II
KEHENDAK BEBAS MANUSIA DALAM DISKURSUS TEOLOGI ISLAM
A. Pengertian Baik dan Buruk
Sebelum memasuki pada pembahasan kehendak bebas manusia terhadap
perbuatan baik dan buruk menurut Muh}ammad ‘Abduh, perlu kiranya terlebih
dahulu bahas mengenai pengertian baik dan buruk itu sendiri. Terdapat beberapa
macam mengenai kata baik. Di dalam bahasa arab, pengertian baik di antaranya
adalah khair, s}hala>h dan h}asan
1. Khair
Kata khair adalah istilah yang menunjukkan tentang kebaikan. Lawan kata
dari baik dalam hal ini adalah jelek atau syarr dalam bahasa arabnya.1 Kata ‘baik’
(dengan pengertian khair) yang mempunyai lawan kata syarr ini merupakan
‘baik’ dalam pengertian kesempurnaan secara fisik. Adapun bentuk plural (kata
jamak) dari kata khair ini adalah khuyu>r yang artinya banyak kebaikan,
sebagaimana syair yang digubah oleh Nami>r Ibn Taulab:
والقيت الخيور واخطأتني خطوب جمة وعلوت قرني
1 Muh}ammad Ibn Mukarram Al-Ifriqi> Al-Misri>, Lisan Al-‘Arab, (Beyrouth: Dar Ihya' Al-
Turats Al-'Arabi, 1408 H) h. 1298
16
(Wala>qaitu al-khuyu>ra wa akht}oatni> khutu>bu jammatun wa ‘alaitu kirni>)
yang artinya:
Aku mendapatkan banyak kebaikan namun, beberapa keadaan
menyalahkanku dan kemudian aku mengungguli musuhku.2
Selain mengandung arti kebaikan (dalam pengertian kesempurnaan
secara fisik), kata Khair juga mengandung arti ‘memilihkan kebaikan atas orang
lain’. Tetapi berbeda dengan kata khair yang berarti baik (kesempurnaan secara
fisik), bentuk plural dari kata khair (yang mengandung arti ‘memilihkan kebaikan
atas orang lain ini’) ini adalah akhyar (kebaikan-kebaikan) dan Khiyar (kebaikan-
kebaikan). Sebagaimana ayat al-Qur’an yang dikutip oleh Muh}ammad Ibn
Mukarram Al-Ifri>qi> al-Mis}ri> di dalam kitabnya yang berjudul Lisan al-‘Ara>b
“lahum al-khairat” yang artinya: (bagi merekalah kebaikan-kebaikan). Kata al-
khairat (kebaikan) dalam ayat tersebut adalah bentuk plural dari kata Khairat
yang berarti (kelebihan dari segala sesuatu).
Abu Ishaq juga menyumbangkan pendapat bahwa apa yang dimaksud
dengan potongan ayat yang menyebutkan: فيهنخيراتحسان (fi>hinna khairo>tun h{asa>n)
adalah: kebaikan akhlaq dan kesempurnaan fisik, namun Abu Mansu>r mengatakan
bahwa antara lafadh الخیراة (al-khaira>h) dan الخیارة (al-khaya>rah) adalah sama di
kalangan ahli bahasa.3
2 Muh}ammad Ibn Mukarram Al-Ifriqi> Al-Misri>, Lisan Al-‘Arab, h. 1298
3 Muh}ammad Ibn Mukarram Al-Ifriqi> Al-Misri>, Lisan Al-‘Arab, h. 1298
17
Ibn Buzurjah berpendapat pula:
واألخيرون منالشرارة والخيارةقلواهماألشرون
(Qulu>humu al-asyarru>na wa al-ahyaru>na min al-assarra>rati wa al-
khaya>rati) yang artinya:
“orang arab mengatakan merekalah orang-orang yang jelek dari
kejelekannya dan merekalah orang-orang yang baik dari kebaikannya.4
Pendapat ini memperkuat syair yang digubah Namir Ibn Taulab yang
meletakkan kata khair pada kebaikan-kebaikan berupa fisik atau kebaikan yang
memang diberikan dari semula.
2. H{asan
H{asan adalah lawan kata dari qabi>h. Al-Azhari> menyampaikan bahwa al-
h}usn merupakan (kata) sifat dari lafadh h}asana dan h}asuna. Begitu juga dengan
kata h}a>sin adalah kata sifat dari kata yang dua tersebut. Al-Lihyali> turut
mengatakan: احسنأنكنتحاسنا (uh}sun in kunta h}a>sinan): berbuat baiklah engkau bila
pada dasarnya engkau adalah orang baik. Kemudian kalimat yang berbunyi:
lelaki yang baik dan bagus wataknya (wa rajulun h}asanun basanun) ورجلحسنبحسن
ikut pada aturan kata h}asana yang telah disebutkan sebelumnya.5
4 Muh}ammad Ibn Mukarram Al-Ifriqi> Al-Misri>, Lisan Al-‘Arab, h. 1298
5 Muh}ammad Ibn Mukarram Al-Ifriqi> Al-Misri>, Lisan Al-‘Arab, h. 877
18
Berdasarkan hadits yang dikutip oleh Muh}ammad Ibn Mukarram Al-
Ifri>qi> Al-Misri> di dalam kitabnya yang berjudul Lisan al-‘Arab mengatakan:
(aha>sanakum akhla>qa>n al-muwa>tt}iun akna>fa>n) أحاسنكم أخالقا الموطئون اكنافا
“paling baiknya akhlak kamu sekalian adalah orang yang lembut
perangainya serta dermawan”.6
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa h}asan mempunyai
makna baik dalam lingkup tingkah laku antar manusia dengan manusia.
3. S}halah
Dalam hal ini, kata ‘baik’ dapat diartikan sebagai perdamaian. Adapun
lawan katanya adalah kerusakan. Sebagaimana yang dipakai oleh Abu> Zaid di
dalam gubahan syairnya yang indah:
(<fakaifa biitroki> ‘ idza> ma> syatamtani) فكيفبإطراقىإذاماشتمتني
“Lantas bagaimana dengan keluargaku bila engkau mencelaku sedang di sisi lain
tidak ada perdamaian setelah pencelaan kepada orang tuaku”.7
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘baik’ mengandung
beberapa arti di antaranya; elok, patut, teratur, tidak ada celanya. Sedangkan
6 Muh}ammad Ibn Mukarram Al-Ifriqi> Al-Misri>, Lisan Al-‘Arab, h, 877
7 Muh}ammad Ibn Mukarram Al-Ifriqi> Al-Misri>, Lisan Al-‘Arab, h. 2479
19
pengertian buruk adalah rusak atau busuk karena sudah lama.8 Secara etimologi,
kata ‘baik’ merujuk pada hal-hal (sesuatu) yang mengandung keindahan,
kebijaksanaan dalam diri kita antara hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan Tuhan dalam melakukan suatu hal. Sedangkan buruk
merupakan sebaliknya dari kebaikan (kata baik) itu sendiri.
Secara umum kata ‘baik’ mempunyai arti yang beragam. Pertama, kata
‘baik’ merujuk pada segala ihwal perbuatan yang memiliki hubungan dengan
kesempurnaan. Apa-apa yang sempurna itu berarti ‘baik’. Dalam pengertian di
sini, dikatakan baik jika segala perbuatan seseorang dilakukan dengan sempurna.
Kedua, yang disebut baik merujuk pada ihwal perbuatan yang menjadikan
pelakunya senang dan puas setelah melakukan perbuatan tersebut. Dalam
pengertian ini, dapat pula disimpulkan bahwa kata baik erat kaitannya dengan
aspek nuansa psikologis sang pelaku berupa perasaan senang, bahagia atau puas
atas tindakan atau perbuatan mereka.
Ketiga, perbuatan baik ialah perbuatan yang mengandung nilai kebenaran
dalam dirinya dan diyakini oleh sang pelaku. Kebenaran itu dapat membawa
dampak baik yakni memberikan rahmat terhadap apa yang telah diperbuat. Kata
rahmat dapat mengandung arti taufik yakni pertolongan untuk amal kebaikan.
Sebagaimana bisa kita temukan di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 64:
8 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, edisi keempat, (Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 10270).
20
“Kalau tidak ada karunia Alla>h dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu
tergolong orang yang rugi” (Q.S. Al-Baqarah ayat 64)
Selaras dengan ini, kata rahmat yang mengandung pengertian taufik
(pertolongan untuk amal kebaikan) juga ditemukan di dalam QS an-Nur (24:10).
“Dan andaikata tidak ada kurnia Alla>h dan rahmat-Nya atas dirimu dan
(andaikata) Alla>h bukan Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu
akan mengalami kesulitan-kesulitan)”.
QS an-Nur (24:14),
“Sekiranya tidak ada kurnia Alla>h dan rahmat-Nya kepada kamu semua di
dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena
pembicaraan kamu tentang berita bohong itu”.
21
QS an-Nur (24:20),
“Dan Sekiranya tidaklah karena kurnia Alla>h dan rahmat-Nya kepada
kamu semua, dan Alla>h Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu
akan ditimpa azab yang besar”.
Sedangkan yang disebut buruk merupakan kebalikan dari arti kebaikan.
Pertama, perbuatan buruk merujuk pada segala ihwal perbuatan yang jauh dari
kesempurnaan di waktu mengerjakan. Kedua, perbuatan buruk adalah perbuatan
yang menimbulkan ketidaksenangan dalam melakukannya. Ketiga perbuatan
buruk adalah perbuatan yang tidak memiliki kebenaran dan tidak memberikan
rahmat (taufik) dan menimbulkan ketidaksenangan baik terhadap yang
melakukannya dan juga kepada orang lain.9
Dari pengertian baik dan buruk yang telah disebutkan di atas dapat kita
simpulkan bahwa perbuatan baik merupakan suatu pekerjaan yang dapat
memberikan kesempurnaan, kesenangan, kepantasan, kepatutan dan sesuai dengan
apa yang diharapkan. Sebaliknya, buruk adalah merupakan kebalikan darinya.
B. Pandangan Mu‘tazilah Terhadap Kehendak Bebas Manusia
9 Asmaran, Pengantar Study Akhlaq, (Jakarta: Raja Granfindo Persada, 1994), h. 25
22
Aliran Mu‘tazilah merupakan aliran yang didirikan oleh Wa>ṣil Ibn ‘Aṭa>’.
Ia lahir pada tahun 81 H di Madinah dan meninggal pada tahun 131 H. Wa>ṣil Ibn
‘Aṭa>’ disebut sebagai Syaikh al-Mu‘tazilah wa Qadi>muha yaitu kepala Mu‘tazilah
yang tertua.10 Aliran ini merupakan aliran yang bersifat filosofis karena aliran ini
dalam menghadapi persoalan-persoalan yang berada di dalam Islam lebih
mengedepankan akal, sehingga aliran ini disebut dengan aliran rasionalis Islam.11
Dalam pemberian nama bagi aliran Mu‘tazilah terdapat beberapa
perbedaan. Al-Syahrastāni> mengatakan bahwa pemberian nama Mu‘tazilah
dimulai dari kejadian yang dilakukan oleh Wa>ṣil Ibn ‘Aṭa>’ yang berbeda pendapat
dengan H{asan al-Basri> di mana Wa>ṣil Ibn ‘Aṭa>’ yang selalu mengikuti pelajaran-
pelajaran H{asan al-Basri> di Masjid Basrah kemudian diwaktu pelajaran
berlangsung yang dipinpin oleh H{asan al-Basri> datanglah seseorang yang
menanyakan mengenai pelaku dosa besar yang dilontarkan kepada H{asan al-Basri>
diwaktu pelajaran berlangsung.
Sebagian aliran berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir
termasuk juga dengan H{asan al-Basri>, sebagian lagi berpendapat bahwa pelaku
dosa besar itu masih mukmin.12 Namun berbeda dengan pendapat Wa>ṣil Ibn ‘Aṭa>’,
waktu H{asan masih berfikir mengenai pertanyaan yang dilontarkan oleh muridnya
yang lain Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ menjawab terlebih dahulu dengan mengatakan bahwa
10 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 5,
(Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1996), h. 44
11 Harun Nasution, Teologi Islam:, h. 40
12 Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Cet, 1, (Jakarta: Yayasan Wakaf Pramadina, 1992), h. 169
23
pelaku dosa besar bukanlah kafir atau mukmin, tetapi pelaku dosa besar berada di
posisi antara keduanya yaitu tidak mukmin dan juga tidak kafir. Dengan
pendapatnya yang demikian, Wa>ṣil Ibn ‘Aṭ >a’ menjauhkan diri dari H{asan al-Basri>
dan pergi ke Masjid lain. Di sana Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ mengulangi pendapat yang
sama. Dengan terjadinya peristiwa ini, H{asan al-Basri> mengatakan Wa>ṣil Ibn
‘At}a>’ menjauhkan diri dari kita. Berdasarkan itu, Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ dan teman-
temannya disebut Mu‘tazilah.13
Di samping itu Ahmad Amin berpendapat bahwa nama Mu‘tazilah sudah
dipakai jauh sebelum adanya peristiwa antara Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ dan gurunya, yaitu
H{asan al-Basri>. Sebelumnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi dipakai
oleh golongan orang yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian-pertikaian
politik yang terjadi di zaman ‘Utsma>n Ibn ‘Affa>n dan ‘Ali Ibn Abi> T{ali>b.14
Menurut al-Bagda>di> pemberian nama Mu‘tazilah berawal dari diusirnya
Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ dan temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Ba>b oleh H{asan al-Basri> dari
majelisnya karena terjadi pertikaian antara mereka mengenai pelaku dosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari H{asan al-Basri>. Menurut mereka orang yang
melakukan dosa besar tidak mukmin dan juga tidak kafir. Dengan demikian
mereka dan teman-temannya disebut kaum Mu‘tazilah.15
13 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 40
14 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 41
15 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 41
24
Dalam sejarah perdebatan ilmu kalam, golongan Mu‘tazilah tidak hanya
menyandang satu nama saja. Selain disebut (dengan nama) Mu‘tazilah, kelompok
ini juga menyebut dirinya dengan beberapa nama lain. Misalnya, mereka
menyebut golongannya sendiri sebagai Ahl al-Adil yang dapat diartikan sebagai
golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan. Selain itu, mereka juga
menyebut dirinya dengan Ahl al-Tauh}i>d wa al-’Adl, yang artinya golongan yang
mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.16
Disebabkan pandangannya yang menganut (atau sejalan dengan) paham
free will (kehendak bebas) maka lawan-lawan kalangan Mu’tazilah ini memberi
atau menjulukinya dengan beberapa sebutan seperti (disebut) al-Qadari>ah, al-
Mu‘attilah (karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat), dan
juga disebut Wa‘idiah (karena pendapat mereka tentang ancaman-ancaman Tuhan
terhadap orang yang tidak patuh).17
Salah satu keistimewaan bagi Mu‘tazilah ialah cara mereka membentuk
madhzhabnya yang mengutamakan akal dari pada al-Qur’an dan Hadits. Hal-hal
yang sudah diterangkan oleh al-Qur’an dan Hadits ditimbang kembali dengan aqal
manakala keterangan al-Qur’an dan keterangan Hadits tidak berkesesuaian dengan
aqal maka kaum Mu‘tazilah membuang keterangan tersebut.
Akal bagi kaum Mu‘tazilah di atas dari Qur’an dan hadits, sebagai contoh:
kaum Mu‘tazilah menolak adanya bangkit dari kubur dan siksa kubur karena kata
16 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44
17 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44
25
mereka mustahil orang yang sudah mati dan terbaring dalam tanah yang begitu
sempit dibangunkan kemudian disuruh duduk, bagi Mu‘tazilah itu bertentangan
dengan akal dan setiap yang bertentangan dengan akal Mu‘tazilah membuanganya
sekalipun itu sudah diterangkan oleh hadits sahih.18
Adapun ajaran-ajaran yang dibawa Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ dapat dijelaskan
sebagai berikut. Pertama, tentang paham posisi di antara dua posisi atau yang
disebut al-manzilah bain al-manzilatain. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa
besar bukanlah (atau tidak dikategorikan sebagai) kafir, dan juga bukan (tidak
dikategorikan) mukmin. Melainkan orang yang telah melakukan dosa besar adalah
(disebut) fasiq. Bagi Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’, orang yang melakukan dosa besar memiliki
(dalam dirinya) sifat baik hanya saja nama pujian tidak dapat diberikan kepada
yang fasiq dengan keadaan dosa besarnya tersebut. Tetapi sekali pun ia tidak
dapat menyandang predikit pujian atau baik tersebut, ia juga tidak dapat
menyandang predikat kafir. Sebab sekalipun ia melakukan dosa besar, dirinya
masih mengucapkan lafadz syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
baik pula. Orang yang fasiq ini akan kekal di dalam neraka jika ia mati sebelum
bertobat sekalipun siksaannya lebih ringan dari orang kafir.19
Ajaran yang kedua adalah paham Qadariah. Tuhan, kata Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’,
bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan zalim. Tuhan tidak
mungkin menginginkan manusia berbuat suatu hal yang bertentangan dengan
yang sudah diperintahkan-Nya. Dengan demikian manusia sendirilah yang
18
Siradjuddin Abbas, I‘itiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, Cst. 21, Jakarta 1996, h. 178 19 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 45
26
mewujudkan segala perbuatannya, perbuatan yang baik maupun perbuatan yang
buruk. Untuk mewujudkan perbuatan itu, Tuhan memberikan daya dan kekuatan
kepadanya. Atas segala perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh manusia
tersebut maka manusia dapat memperoleh balasan.20
Ajaran yang ketiga, Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ meniadakan sifat-sifat Tuhan. Dalam
arti ini, apa-apa yang disebut dengan sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang
mempunyai wujud tersendiri, melainkan sifat yang merupakan esensi Tuhan. lebih
lanjut dari keterangannya, mereka mengatakan Tuhan mendengar dengan zat-Nya,
Tuhan melihat dengan zat-Nya, dan Tuhan berkata dengan zat-Nya, mereka
meyakini kalau Tuhan memakai sifat maka itu berarti Tuhan dua, yaitu zat dan
sifat.21 Al-Syahrastani mengatakan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan berasal dari
Jahm, karena Jahm berpendapat bahwa sifat-sifat yang berada di dalam diri
manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena itu akan membawa kepada
istilah arabnya al-tajassum. Berbeda dengan Mu‘tazilah, Jahm memberi sifat
berkuasa.22
Secara keseluruhan dari ajaran Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ disebut dengan pancasila
Mu‘tazilah, ketiga diantaranya adalah al-wa’d wa al-Wa’id (janji baik dan
ancaman), al-Amr bi al-Ma‘ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (memerintah orang
untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat), dan al-‘adl (keadilan
20 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 45
21 Siradjuddin Abbas, I‘itiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, Cst. 21, Jakarta 1996, h. 188
22 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 46
27
Tuhan). Dua di antaranya adalah posisi di antara dua posisi yang sudah disebutkan
di atas, dan peniadaan sifat Tuhan.23
Adapun mengenai perbuatan baik dan buruk dalam persoalan ini, golongan
Mu‘tazilah berpandangan bahwa perbuatan baik dan buruk perlu dilihat dari
esensi dari segala perbuatannya. Ini dicontohkan seperti mencuri pada esensinya
adalah buruk. Sedangkan menolong esensinya baik. Oleh sebab itu adil, jujur,
bijaksana atau perbuatan lainnya merupakan baik pada zatnya sendiri. Sebaliknya
segala perbuatan yang esensinya buruk akan menimbulkan keburukan setiap kali
kita menyaksikan perbuatan itu. Oleh sebab itu, manusia tidak diperbolehkan
menyifati Tuhan dengan kebohongan-kebohongan karena sepanjang esensinya
kebohongan itu buruk dan Tuhan tidak mungkin melakukan keburukan.24
Di atas sudah dijelaskan bahwa Wa>s}il Ibn ‘At}a>’ adalah pemimpin
Mu‘tazilah yang tertua, pemimpin kedua setelah Wa>ṣil Ibn ‘At}a>’ adalah Abu al-
Hudtail al-‘Alla>f. Menurutnya untuk mengetahui adanya Tuhan dan untuk
mengetahui perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk manusia cukup
dengan menggunakan akalnya karena Tuhan mewujudkan yang baik bukan yang
terbaik.25 Sekali pun menurut Al-Ghazali di dalam kitabnya, Mu‘tazilah
23 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 46
24 Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran ‘Itizal Dalam Perkembangan Pikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,1982) h. 68
25 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Cet. 5, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Pres), 1985), Jilid II, h. 33
28
berpandangan bahwa tindakan yang berasal dari Tuhan adalah suatu yang
maujud.26
Menurut Al-Mufi>d, Mu‘tazilah mempunyai lima dasar-dasar agama, di
antaranya adalah: (1) keesaan Tuhan, (2) pahala dan hukuman, (3) keadilan, (4)
posisi di antara dua posisi, dan (5) menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan.27
Dengan lima ajaran tersebut Mu‘tazilah dapat memperkuat pendapat-
pendapatnya yang salah satun pendapat Mu‘tazilah mengenai pebuatan baik dan
buruk yang dilakukan oleh manusia. Ajaran dasar yang pertama tujuannya untuk
membela kemurnian paham kemahaesaan Tuhan. Mereka mengatakan Tuhan
tidak mempunyai sifat, namun Tuhan mempunyai esensi. Jika aliran Jabari>yah
mengatakan bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan Tuhan semenjak azali
maka Tuhan bersifat tidak adil karena dengan demikian Tuhan sudah memberi
ketentuan sejak azali kepada orang yang berbuat jahat.28
Apa bila memang demikian maka Tuhan tidak adil karena keadilan
menurut kaum Mu‘tazilah meletakkan tanggung jawab manusia atas perbuatan-
perbuatannya. Bagi Mu’tazilah, Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak
menciptakan perbuatan manusia. Dengan dasar keadilan tersebut Mu‘tazilah
menolak pandangan golongan Jabari>yyah yang belakangan ini banyak dianut oleh
26 Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah: Kerancuan Para Filosof, Kitab Filsafat Klasik
Paling Kontrovesrsial, terjemah Ahmad Maimun, cet, 5, (Bandung: Penerbit Marja, 2016), h. 105
27 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, buku pertama, (Bandung: Mizan Media Utama (MMU) 1996), h. 151.
28 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jilid II, h. 35.
29
kaum Asy‘ari> yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak
mempunyai kebebasan.29
C. Pandangan Asy‘ari>yah
Pada abat ke III Hijriyah muncul suatu aliran sebagai reaksi dari firqoh-
firqoh yang dianggap sesat, aliran tersebut bernamakan Ahl al-Sunnah wa al-
Jama>ah, aliran ini dikepalai oleh dua tokoh besar, yakni Abu> al-H{asan ‘Ali bin
Ismail al-Asy‘ari> dan Abu> Mansur al-Maturidi.30 Abu> al-H{asan ‘Ali bin Ismail al-
Asy‘ari> adalah keturunan dari Abu> Mu>sa> al-Asy‘ari>. Lahir di kota Basrah pada
tahun 260 H / 873 M, kemudian meninggal pada tahun 330 H /943 M.31 Menurut
cacatan sejarah, al-Asy‘ari> mendalami pokok-pokok ajaran Mu‘tazilah selama 40
tahun dan memahami berbagai aspek positif dan negatif dari aliran rasional itu.
Lalu pada akhirnya al-Asy‘ari> bertaubat dan mendirikan aliran baru yang
mengambil jalan dari golongan Hanbaliah dengan orientasi rasional yang diwarisi
29 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), h.169
30 Siradjudiin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, (Cet. Ke 21, Radar Jaya, Jakarta, 1996), h. 30
31 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, h.201
30
Mu‘tazilah. Aliran yang dibangun mempunyai nama Ahli al-Sunnah wa al-
Jama>ah.32
Dengan keluarnya al-Asy‘ari> dari aliran Mu‘tazilah menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai faktor apa yang mendorong al-Asy‘ari> untuk
meninggalkan paham Mu‘tazilah tersebut. Timbullah kemudian berbagai tafsir
untuk memberikan penjelasan pada hal ini. Menurut Hammudah Ghurabah,
ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-Asy‘ari> dari Al-Juba>’i> menimbulkan
persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaian yang memuaskan bagi al-
Asy‘ari>, persoalan yang tidak memuaskan seperti persoalan mengenai orang orang
mukmin, kafir, dan anak kecil yang mati muda misalkan.33
Menurut Ah}mad Mah{mud Subh}i> hal itu timbul karena al-Asy‘ari>
menganut mahzab Sya>fi‘i, sementara Sya>fi‘i> mempunyai perbedaan pendapat
mengenai teologi dengan ajaran-ajaran Mu‘tazilah, semisal Sya>fi‘i> berpendapat
bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan juga Tuhan dapat
dilihat di akhirat nanti. Mc Donald dari kalangan kaum orientalis berpendapat
bahwa darah Arab padang pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy‘ari> yang
mungkin membawanya kepada perubahan mazhab itu. Arab Padang Pasir bersifat
tradisional dan fatalistis sedang kaum Mu‘tazilah bersifat rasional dan percaya
pada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.34
32 H.A. Muin Umar, Agama-agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press
1988), h.446
33 Harun Nasution, Teologi Islam. h. 68
34 Harun Nasution, Teologi Islam. h. 68
31
Di dalam sejarah ada yang mencatat bahwa al-Asy‘ari> keluar dari
golongan Mu‘tazilah ketika Mu‘tazilah sedang mengalami kemunduran dan
kelemahan, ketika Al-Mutawakkil memberikan sikap penghargaan dan
penghormatan kepada Ibn H>}anbal lawan dari Mu‘tazilah yang terbesar di waktu
itu kemudian al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mu>n mengenai
penerimaan aliran Mu‘tazilah sebagai mazhab negara dan Ibn Hanbal menjadi
golongan yang dekat dengan pemerintah, sedangkan golongan Mu‘tazilah menjadi
jauh dari Dinasti Bani’Abbas. Dalam kejadian itu menimbulkan konflik internal di
dalam golongan Mu‘tazilah itu sendiri, sehingga para pemuka-pemuka Mu‘tazilah
keluar dari barisannya, seperti Abu> ‘Isya Al-Warra>q dan Abu> Al-H}usain Ah}mad
Ibn Al-Rawandi>.
Dalam keadaan begitulah al-Asy‘ari> keluar dari golongan Mu‘tazilah
kemudian membangun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang
berpegang kuat kepada hadits, yaitu aliran Ahli al-Sunnah wa al-Jama>ah.35
Al-Asy‘ari> kemudian menentang pendapat-pendapat Mu‘tazilah, salah
satunya pendapat al-Asy‘ari> yang berbeda dengan Mu‘tazilah mengenai keadilan
Tuhan. Menurut al-Asy‘ari> kekuasaan Tuhan bersifat mutlak. Tuhan dapat berbuat
sekehendak-Nya. Seandainya Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam
surga bukanlah Ia bersifat zalim, atau kalau Tuhan memasukkan seluruh manusia
ke dalam neraka bukan berarti Tuhan tidak adil.
35 Harun Nasution, Teologi Islam, (aliran-aliran sejarah analisa perbandingan), cet. 5,
Jakarta: Universitas Indonesia (UI Pres), 1986, h. 69
32
Termasuk juga beda pendapat mengenai posisi di antara dua posisi. Bagi
al-Asy‘ari> orang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, tetapi
karena telah melakukan dosa ia menjadi fasiq, karena al-Asy‘ari> masih
membedakan antara orang yang beriman dengan yang atheis.
Mengenai persoalan kebebasan kehendak manusia, al-Asy‘ari>
menggunakan teori kasb. Kasb menurut aliran Qadariah yang dianut oleh kaum
Mu‘tazilah merupakan perbuatan yang dilakukan atau yang ditentukan oleh
manusia itu sendiri, bukan ciptaan dan kehendak Tuhan. Sedangkan menurut
kaum Jabari>yyah, setiap yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak
Tuhan secara mutlak, artinya manusia dalam melakukan sesuatu atas paksaan dari
Tuhan.36
Dengan berbedanya pendapat antara kaum Jabari>yyah dengan kaum
Qodariah, al-Asy‘ari> mengambil jalan tengah untuk menyeimbangkan dari
keduanya dengan menggunakan teori kasb, menurutnya manusia tidak dapat
menciptakan perbuatannya sendiri, melainkan manusia hanya dapat melakukan
kasb.37
al-Asy‘ari> berpendapat bahwa sang pencipta (Kholiq) berbeda dengan
yang diciptakan (Makhluq). Jika kholiq merupakan pencipta yang dapat
menciptakan segala sesuatu termasuk kehendak manusia itu sendiri, sementara
36 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, terjemah:
Abul Ghaffar, (Jakarta, Pustaka Azzam 2014), h. 338
37 A. Kadir Sobur. “Teologi ‘Poros Tengah’ Satu Kajian Terhadap al-Ibad dalam Pemikiran Kalam Asy‘ari”,( media akademika, Forum Ilmu dan Budaya Islam, Vol. 17, No. 3, Juli 2002), h. 203
33
yang diciptakan (makhluq) yang di sini al-Asy‘ari> mengatakan muktasib, yaitu
yang mengusahakan usahanya sendiri.38
al-Asy‘ari> juga tidak sependapat dengan Mu‘tazilah mengenai kehendak
Tuhan yang hanya menghendaki perbuatan-perbuatan yang baik, karena jika
demikian ini bertolak belakang dengan kesepakatan kaum muslimin yang sudah
meyakini apa yang sudah menjadi kehendak Tuhan maka akan terjadi dan apa
yang tidak dikehendaki oleh Tuhan tidak akan terjadi.
Menurut al-Asy‘ari> perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan
perbuatan Tuhan. Semua perbuatan manusia apabila Tuhan sudah berkehendak
untuk sesuatu maka sesuatu tersebut niscaya akan terjadi, termasuk juga perbuatan
baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia terwujud karena ada kehendak
Tuhan. kemudian Asy‘ari> juga mempersoalkan mengenai sifat-sifat Tuhan,
Asy‘ari> menepis pernyataan Mu‘tazilah yang mengatakan Tuhan mengetahui
dengan zat-Nya, sementara kata Asy‘ari> mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-
Nya, karena jika demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan juga Tuhan sendiri
adalah pengetahuan, padahal kata Asy‘ari> Tuhan bukan pengetahuan, melainkan
yang mengetahui.39
Keterangan lebih lanjut dari Asy‘ari>, ia mengatakan untuk menetapkan
hukum haram dan pahala, menetepkan hal-hal yang terjadi di dalam gaib, dan
38 Abu H{asan bin Ismail al-Asy‘ari>, AL-Ibanah An Ushul Ad Diyanah, Maktabah Darul
Bayan, 1903, h. 9
39 Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam dari Tauhid Menuju Keadilan, Cet. Ke 1, Fajar Inter Pratama Mandiri, Jakarta, 2016, h.119
34
segeala yang berkaitan dengan agama hanya dapat ditetapkan oleh syariat dari
Tuhan atau dengan cara petunjuk Tuhan dan Rasul, karena agama punya Tuhan
bukan punya akal.40
Bagi Asy‘ari>yah fungsi akal dipakai untuk meneliti seabagai alat pelaksana
buan untuk menentukan suatu hukum, karena baginya yang sebanarnya yang
dapat menetukan hukum adalah al-Qur’an dan sunnah. Akan tetapi kaun Asy‘ari>
bukan berarti tidak mengakui bahwa akal dapat mengenali wujud dan sifat-sifat
Tuhan. Mereka juga mengakui bahwa di dalam al-Qur’an banyak ayat yang
menyuruh kepada manusia untuk mempergunakan akalnya dan merendahkan
orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya. Sekalipun mereka mengakui
hal yang demikian bukan berarti akal dapat menentukan yang halal dan yang
haram.41
Kemudian, al-Asy‘ari menyusun tentang I’itiqad Ahlussunnah wal
Jama’ah yang disusun menjadi enam bagian, diantaranya:
1. Tentang ke-Tuhanan.
2. Tentang Malaikat-malaikat.
3. Tentang Kitab-kitab Suci.
4. Tentang Rasul-rasul
5. Tentang Hari Akhir
6. Tentang Qadha dan Qadar.
40
Siradjuddin Abbas, I‘itiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, Cst. 21, Jakarta 1996, h. 185 41
Siradjuddin Abbas, I‘itiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, Cst. 21, Jakarta 1996, h. 184
35
I’itiqad mengenai ke-Tuhanan ini Asy‘ari> mengatakan bahwa ia percaya
bahwa Tuhan itu benar keadaannya dan Ia mempunyai banyak sifat. Dan yang
wajib diketahui oleh orang yang berakal dan baligh ada dua puluh. Diantara, (1)
Wujud. (2) Qidam (3) Baqa>’. (4) Muh}a>lafatuhu Lilhawa>ditsi. (5) Qiya>muhu
Binafsihi. (6) Wahda>niyah. (7) Qudrat. (8) ‘Ira>dah. (9) ‘Ilmu (10) Haya>t. (11)
Sama’. (12) Bashar. (13) Kala>m. (14) Kamuhu Qo>diran. (15) Kaumuhu Muri>dan.
(16) Kaumuhu ‘A<liman. (17) Kaumuh Hayyan. (18) Kaumuhu Sami>‘an. (19)
Kaumuhu Bashi>ran. (20) Kaumuh Mutakalliman.42 Siradjuddin Abbas
menyebutkan satu lagi di luar yang dua puluh itu, yaitu “harus” bagi Tuhan.
artinya, Tuhan boleh mengerjakan atau tidak. Kemudian ia menyampaikan bahwa
orang yang tidak mengetahui sifat yang 20 ini niscaya ia tidak akan mengerti dan
tidak akan yakin hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan atau ketuhanan Yang Maha
Esa.43
Lalu kemudian aliran ini dikembangkan oleh salah satu pengikutnya, yakni
Muh}ammad Ibn Al-Tayyib Ibn Muh{ammad Abu> Bakr Al-Baqilla>ni, sekalipun ia
memperoleh ilmu tidak secara langusng dari al-Asy‘ari> melainkan dari muridnya
Ibn Muja>hid dan Abu> Al-H{asan Al-Bahi>li>, dan meninggal di Bagdad pada tahun
1013 M.44
42
Siradjuddin Abbas, I‘itiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah , Jakarta 1996, h. 37 43
Siradjuddin Abbas, I‘itiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah , Jakarta 1996, h. 45 44 Harun Nasution, Teologi Islam, (Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan), cet. 5,
Jakarta: universitas Indonesia (UI Pres), 1986, h. 72
36
BAB III
BIOGRAFI MUH}AMMAD ‘ABDUH DAN KARYANYA
A. Riwayat Hidup Muh}ammad ‘Abduh
Muh}ammad bin ‘Abduh bin H}asan Khair Alla>h yang kerap dipanggil Syeh
Muh{ammad ‘Abduh, lahir di Mesir pada tahun 1849 tepatnya di desa Mahallat
Nashr, kabupaten al-Buhairah.1 Ayahnya adalah ‘Abduh bin H}asan khair Alla>h,
yang mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Ibunya mempunyai
silsilah keturunan dengan Khalifah kedua, yaitu Umar bin Khattab. Dalam sejarah
ada yang mencatat ‘Abduh H}asan mempunyai dua istri sehingga Muh{ammad
‘Abduh sejak kecil merasakan sulitnya hidup dalam keluarga poligami.2
Muh{ammad ‘Abduh yang dilahirkan oleh keluarga yang taat pada agama
ia diserahkan oleh orang tuanya untuk belajar mengaji Al-Qur’an, sehingga hafal
kitab suci itu seluruhnya yang pada waktu itu Muh}ammad ‘Abduh masih berumur
12 tahun.3
Menginjak usia 14 Tahun, Muah}ammad ‘Àbduh hijrah ke Thantha pada
sebuah lembaga pendidikan Masjid al-Ahmad milik lembaga al-Azhar. Setelah
dua tuhan tinggal di Thanta Muh}ammad ‘Abduh merasa bosen dengan sistem
1 Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan (Ilmu Kalam Tematik,
Klasik, dan Kontemporer), Cet. Ke 1, Fajar Inter Pratama Mandiri, 2016, h. 135 2 Dikompilasi oleh Din Wahid, Bahan Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam.
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, semester ganjil 2016-2017, h. 36
3 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 7
37
pendidikan yang lebih menekankan hafalan karena sistem ini tidak memberikan
kebebasan kepada murid-muridnya untuk mengembangkan pikirannya. Dengan
sebab kebosanan itu Muh}ammad ‘Abduh pulang dan memilih untuk bertani di
kampungnya. Karena didesak orang tuanya Muh}ammad ‘Abduh kembali lagi ke
Thatha, akan tetapi sebelum ia ke Thantha Muh}ammad ‘Abduh belajar ke
pamannya, yaitu Syeikh Darwisy Khadr seorang pengikut tarekat as-Syadziliah.4
Kemudian Muhammad Abduh memutuskan untuk pergi lagi ke Thanta.
Nanun, tidak lebih dari tiga bulan Muhammad hijrah ke Kairo. Waktu
Muh{ammad ‘Abduh belajar di Al Azhar, pada tahun 1869 datang seorang
mujaddi>d, yaitu Sayyid Jamal al-Di>n Al ‘Afgha>ni> yang sangat terkenal di dunia
Islam sebagai pembaharu dan kealimannya. Muh{ammad ‘Abduh bertemu dengan
Sayyid Jamal al-Di>n Al ‘Afgha>ni> ketika Muh{ammad ‘Abduh datang ke rumahnya
bersama H}asan Al-tawi>l, dalam pertemuan itu diwarnai dengan diskusi mengenai
tasawuf dan tafsir.5 Sejak itulah Muh{ammad ‘Abduh tertarik pada Sayyid Jamal
al-Di>n Al ‘Afgha>ni> karena ilmunya yang dalam dan cara berfikirnya yang modern.
Pengetahuan yang diperoleh di Al Azhar dan juga semangat yang
dijunjung oleh Sayyid Jamal al-Di>n Al ‘Afgha>ni> selain itu juga Muh{ammad
‘Abduh memiliki cara berfikir yang lebih maju banyak mempelajari
perkembangan jalan kaum pikiran rasionalis Islam sehingga Muh{ammad ‘Abduh
dituduh meninggalkan mazhab al-Asy‘ari> oleh guru-gurunya di Al Azhar.
4 Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan, h. 135
5 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 7
38
Pada tahun 1877 Muh{ammad ‘Abduh menyelesaikan kuliahnya, atas usaha
perdana menteri Mesir Riadi Pasja Muh{amad ‘Abduh diangkat menjadi dosen di
Universitas Darul Ulum, di samping itu juga menjadi dosen di Al Azhar. Tidak
puas dengan jabatan yang ia peroleh, Muh{amad ‘Abduh terus memperjuangkan
cita-citanya yaitu menghidupkan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan
zaman serta ingin melenyapkan cara-cara lama yang fanatik.6
Namun, setelah kurang lebih dari dua tahun menjalankan tugasnya
sebagai dosen dengan cita-cita yang digenggamnya, maka pada tahun 1879
pemerintah mesir berganti dengan yang lebih kolot dan fanatik, yaitu lengsernya
Chedive Ismail dari singgasana digantikan oleh Taufiq Pasya anaknya sendiri,
pemerintahan yang baru inilah membuat Muh{amad ‘Abduh dipecat dari
jabatannya dan Sayyid Jamal al-Di>n Al ‘Afgha>ni> diusir dari Mesir.7
Namun, berkat ketajaman ilmu yang dimiliki oleh Muh{ammad ‘Abduh ia
masih diberi tugas kembali oleh pemerintah menjadi pemimpin majalah al-Waqa’i
Al-Mishri>jah, ada banyak peluang lagi bagi Muh{ammad ‘Abduh untuk
menyampaikan isi hatinya, dengan menulis artikel-artikel yang aktual dan
mempunyai nilai yang tinggi tentang ilmu-ilmu agama, filsafat, kesusastraan dan
lain sebagainya. Selain itu, Muh{ammad ‘Abduh sebagai direktur majalah
mempunyai kesempatan yang tinggi untuk mengkritik pemerintah yang
menyangkut dengan nasib rakyat, pendidikan dan berlangsungnya proses belajar
mengajar.
6 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 9
7 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 9
39
Pada tahun 1882 di mana perwira-perwira tinggi yang tadinya dipenjara
berbelot setia pada pemerintah dan kemudian melakukan pemberontakan,
pemberontakan tersebut dipimpin oleh Arabi Pasya dimana Muh{ammad ‘Abduh
dianggap menjadi penasehatnya. Namun setelah pemberontakan dapat diredam,
Muh{ammad ‘Abduh dibuang ke Syiria. Di sana Muh{ammad ‘Abduh masih
mempunyai kesempatan untuk mengajar pada perguruan tinggi Sulthanijah kurang
lebih selama satu tahun. Kemudian pada awal tahun 1884 Muh{ammad ‘Abduh
diminta datang ke Paris oleh Sayyid Jamal al-Di>n Al ‘Afgha>ni>.8
Bersama Sayyid Jamal al-Di>n Al ‘Afgha>ni> keduanya menyusun
pergerakan di Paris, suatu gerakan yang bernama al-Urwatul al-Wustqa, gerakan
kesadaran umat Islam sedunia. Dengan majalah itu, Muh{ammad ‘Abduh
menuangkan pemikirannya kembali ke seluruh dunia Islam supaya umat Islam
bangkit kembali dan merubah pola pikir yang fanatik dan membangun
kebudayaan dunia, menunjukkan pengaruhnya pada kalangan Islam dengan waktu
yang singkat membuat kaum imperialis menjadi gempar dan cemas. Akhirnya
Inggris melarang majalah tersebut masuk ke Mesir dan India.
Pada tahun 1884 setelah majalah itu terbit yang baru dengan 18 nomor,
pemerintah Prancis melarangnya terbit, tapi waktu itu kebetulan Muh{ammad
‘Abduh sudah diperbolehkan pulang ke Mesir dan Sayyid Jamal al-Di>n Al
‘Afgha>ni> sedang mengembara di Eropa dan terus ke Moskow. Setelah kembali ke
Mesir Muh{ammad ‘Abduh diberi jabatan penting oleh pemerintah, pada saat itu
8 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 10
40
masyarakat sangat menghormati dan menunggu kedatangannya untuk melanjutkan
kembali yang ditinggalkannya sebelum ia diusir oleh pemerintah.
Pada taggal 3 Juni 1899, Muh{ammad ‘Abduh diberikan jabatan mufti
Mesir yang paling tinggi. Selain itu Muh{ammad ‘Abduh pernah diangkat menjadi
anggota majlis perwakilan. Ia juga pernah diangkat menjadi Hakim Mahkamah.
Waktu menjabat, Muh{ammad ‘Abduh terkenal sebagai seorang hakim yang adil.
Pada tahun 1905 waktu Muh{ammad ‘Abduh berada di kedudukan paling tinggi ia
meninggal dunia.9
B. Muh}ammad ‘Abduh Sebagai Teolog Pembaharu Islam
Kepercayaan terhadap kekuatan akal membuat Muh{ammad ‘Abduh
berkeyakinan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan
perbuatan. Dalam hal ini, Muh{ammad ‘Abduh lebih dekat dengan Mu‘tazilah
daripada Asy‘ari>yah. Kalau Asy‘ari>yah mengatakan bahwa setiap perbuatan
manusia adalah perbuatan Tuhan, maka Mu‘tazilah mengatakan bahwa setiap
perbuatan manusia merupakan perbuatan manusia itu sendiri. Begitu juga dengan
Muh{ammad ‘Abduh ia mengatakan manusia dengan kekuatan akalnya dapat
menentukan apa yang akan ia perbuat.
Harun Nasution mengatakan di dalam bukunya yang berjudul Muh{ammad
‘Abduh dan Teologi rasional Mu‘tazilah bahwa para penulis yang menulis
9 Dikompilasi oleh Din Wahid, Bahan Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam. Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, semester ganjil 2016-2017, h. 62
41
tentang Muh{ammad ‘Abduh dari kata pengantar sampai kepada kesimpulan tidak
ada yang membahas teologi Muh{ammad Àbduh secara spesifik dan terperinci. Di
dalam pendahuluannya Harun Nasution menulis pendapat Adams yang
mengatakan bahwa ajaran-ajaran teologi Muh{ammad ‘Abduh pada dasarnya tidak
banyak berbeda dengan teologi pada umumnya, teologi Muh{ammad ‘Abduh
termasuk dalam teologi Ahl al-Sunnah. Begitu pula pendapat Horten, ia
mengatakan Muh{ammad ‘Abduh dalam banyak hal mengikuti Ahl al-sunnah
secara ekstrim. Adapun pendapat Mc donald yang juga ditulis oleh Harun
Nasution bahwa Muh{ammad ‘Abduh menampakkan dirinya sebagai Maturidi,
tanpa menyebut-nyebut nama Maturidi. Hourani juga melihat teologi Muh{ammad
‘Abduh mempunyai corak ekletik yang di dalamnya terdapat pengaruh Ahl al-
Sunnah, terutama Al-Ghza>li dan Al-Ma>turi>di>, serta pengaruh Mu‘tazilah. Michel
dan Abd Al-Ra>ziq dalam hal sifat-sifat Tuhan menilai Muh{ammad ‘Abduh
sebagai pengikut Asy‘ari> dan dalam hal pembelaannya yang kuat terhadap
kebebasan memberi kritik sebagi Mu‘tazilah Modern. Jomier melihat adanya
pendapat-pendapat Mu‘tazilah dalam pemikiran Muh{ammad ‘Abduh. Usman
Amin, Gardet dan Anawati, Caspar dan Kerr sependapat bahwa sebagian
pemikiran Muh{ammad ‘Abduh bercorak Mu‘tazilah.10
Sulaiman menilai Muh{ammad ‘Abduh lebih tinggi dalam memberi
kedudukan kepada akal daripada kaum Mu‘tazilah. Kedourie mengatakan bahwa
10 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan teologi Rasional Mu‘tazilah, (Jakarta:
Universitas Indonesia UI-press, 1987), h. 3
42
Muh{ammad ‘Abduh adalah seorang yang tidak percaya pada agama, bahkan
menuduh sebagai heterodoks.11
Perbedaan-perbedaan pendapat antara para penulis Muh{ammad ‘Abduh
tentang corak teologinya yang sebenarnya menimbulkan banyak pertanyaan.
Mengetahui corak teologi yang sebenarnya sangatlah penting untuk mengetahui
relevansi pemikiran-pemikiran pembaharuannya dengan zaman kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi yang pesat di abad kedua puluh itu.
C. Kritik terhadap Taklid
Faham jumud yang berada di kalangan Islam merupakan faktor terhadap
kemunduran di dunia Islam itu sendiri. Karena dipengaruhi faham jumud ummat
Islam tidak mau menghendaki perubahan bahkan tidak mau menerima perubahan.
Faham ini sengaja dibawa ke dalam tubuh Islam oleh orang-orang luar Arab
dengan tujuan untuk merampas kekuasaan politik di dunia Islam.12
Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan dianggap
akan membuat kesadaran terhadap rakyat. Rakyat diwarisi kebodohan supaya
mudah diperintah. Sengaja mereka bawa ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan
membuat rakyat berada dalam keadaan statis, ummat Islam dipengaruhi supaya
terus terusan taklid kepada ulama-ulama terdahulu dan menyerahkan segala-
11 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. h. 4
12 Dikompilasi oleh Din Wahid, Bahan Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam, h. 62
43
galanya kepada qoda dan qodar. Lama kelamaan faham jumud menyebar luas ke
dunia Islam.
Muh{ammad ‘Abduh sebagai ‘Abduh Al-Wahha>b, ia berpendapat
masuknya berbagai macam pendapat dan doktrin dari orang-orang yang jahil ke
dalam Islam yang membuat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya,
ajaran-ajaran asing dan salah itu harus dikeluarkan dari tubuh Islam dan kembali
kepada ajaran Islam yang semula dan bahkan bagi Muh{ammad ‘Abduh tidak
cukup hanya kembali kepada yang semula karena zaman dan suasana ummat
Islam berbeda dengan yang sebelumnya.
Dengan demikian ajaran Islam perlu penyesuaian dengan situasi modern.
Untuk itu, kata Muh{ammad ‘Abduh, perlunya pintu ijtihad dibuka. Bahkan ia
mengatakan ijtihad bukan hanya boleh melainkan penting dan harus diadakan bagi
orang yang mempunyai cukup syarat. Sementara bagi yang belum cukup
syaratnya, mereka harus mengikuti jejak para mujtahid yang disetujuai
pahamnya.13
Beda halnya denga ibadat, karena ibadat merupakan hubungan antara
manusia dengan Tuhannya bukan hubungan antara manusia dengan manusia dan
ini tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Dengan demikian taklid kepada
ulama lama tidak perlu lagi dipertahankan bahkan taklid harus dilawan karena
menurut Muh{ammad ‘Abduh taklid inilah yang membuat ummat Islam berhenti
berfikir dan akal mereka semakin tumpul. Selain dari itu taklid menghambat
13 Dikompilasi oleh Din Wahid, Bahan Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam, h. 36
44
perkembangan bahasa Arab, syariat, perkembangan sistem pendidikan dan
sebagainya.
Muh{ammad ‘Abduh mengatakan pembukaan ijtihad dan pemberantasan
taklid menjunjung kepercayaan pada kekuatan akal. Islam memandang akal
mempunyai kedudukan tinggi. Oleh karena itu Islam bagi Muh{ammad ‘Abduh
adalah agama yang rasional karena akal mempunyai kedudukan yang tinggi.
Bagi Muh{ammad ‘Abduh kepercayaan kepada kekuatan akal merupakan
dasar peradaban suatu bangsa karena jika akal lepas dari ikatan tradisi akan dapat
memikirkan dan memperoleh jalan yang membawa pada kemajuan. Muh{ammad
‘Abduh jug berpendapat bahwa manusia dapat mewujudkan perbuatannya dengan
kemauan dan usahanya sendiri akan tetapi ia juga tidak melupakan bahwa di
atasnya ada kekuasaan yang lebih tinggi.
Konsekuensi dari pendapat Muh{ammad ‘Abduh adalah ummat Islam harus
mempelajari dan mengedepankan ilmu pengetahuan, selain itu ummat Islam harus
lebih mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, di samping ilmu
agama ilmu-ilmu modern harus dipelajari agar ulama-ulama Islam mengerti
kebudayaan modern.
Melalui ajaran dan karangan-karangannya Muh{ammad ‘Abduh dapat
mempengaruhi dunia Islam terutama di dunia Arab dan karangan-karangan
Muh{ammad ‘Abduh sendiri telah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Turki, Urdu dan Indonesia.14
14 Bahan Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam. Dikomplikasi oleh Din Wahid, h. 68
45
D. Karya-karya Muh}ammad ‘Abduh
Dalam masa hidupnya, M}uhammad ‘Abduh kerap menulis buku yang
bercorak agamis, dari sekian banyak buku yang ia tulis di antaranya yang populer
adalah Risalah al-Tauhid yang isinya merupakan kumpulan dari ceramah-
ceramahnya di Beirut pada tahun 1885.15 Di dalamnya membahas tentang
menjauhnya dengan perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di antara aliran-
aliran teologi terdahulu.
Karya lainnya yang berisikan tentang teologi adalah Ha>syiah ‘ala Syarh
Al-Dawwa>ni> Li al-‘Aqa>id Al-Adudiah yang ditulis pada tahun 1876. M}uhammad
‘Abduh menyatakan pendapat-pendapat dan sikapnya dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan ajaran teologi yang ia alami. Kalau dalam Risalah Tauhid ia
mengatakan akan kenetralannya dalam menghadapi perbedaan, maka di dalam
Hãsyaiah ia bersikap mengemukakan pendangannya sendiri.16
Ia juga menulis al-Islam wa al-Nashra>niyah Ma’a al-‘ilm wa-al-
Madaniyah. Ditulis pada tahun 1902, buku ini memperbandingkan pandangan
antara Islam dan Kristen mengenai peradaban, ilmu, dan keadaan dalam watak
terhadap kedua agama itu, penyakit yang berada dalam tubuh Islam dan
bagaimana cara mengobatinya. Pada bagian terakhir berisikan tentang kesan dan
15 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. h. 5
16 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. h. 6
46
tanggapan terhadap buku yang tersebut baik dari kalangan Kristen maupun
Islam.17
Karya yang paling besar adalah Tafsi>r Al-Mana>r. Ditulis pada tahun 1899,
buku ini pada mulanya menjadi bahan mata kuliah di Al-Azhar. Kemudian
diteruskan dan dirapihkan oleh murid setianya, yakni Rasyi>d Ridha> setelah
dikoreksi dan disepakati oleh Muh{ammad ‘Abduh lalu diluncurkan melalui
majalah Al-Manar.
Ar-Raddu ‘Ala Al-Dahriyyah. Ditulis pada tahun 1886, buku ini berisikan
tentang penolakan terhadap pemikiran-pemikiran yang materialis yang memang
sudah ada sejak jaman Jahiliyah. Syarah Balaghah, ditulis pada tahun 1885 Syar
Maqamat Badi’izzaman Al-Hamadani, ditulis pada tahun 1889.
Tafsir al-Manar, buku ini pada awalnya merupakan bahan mata kuliah di
Al-Azhar mulai tahun 1899. Ditulis dan dirapikan kembali oleh Rasyi>d Ridha>,
setelah diteliti dan disetujui oleh Muh{ammad ‘Abduh lalu kemudian disiarkan
melalui majalah Al-Manar. Mata kuliah Tafsir baru sampai surat Annisa ayat 125
Muh{ammad ‘Abduh meninggal dunia, selanjutnya Tafsir Al-Manar diteruskan
oleh Rasyi>d Ridha> sampai selesai.
Ia juga kerap menulis bulletin bersama gurunya Sayyid Jamal al-Di>n Al
‘Afgha>ni>. Al-Urwah al-Wustqa, untuk menyadarkan dan mempersatukan
17 Lul Luk Nur Mufidah, Islam Akal dan Peradaban Perspektif Muh{ammad ‘Abduh,
(Jurnal Kontemplasi, 1 Juni 2009), h. 83-84
47
pemikiran umum di seluruh negeri muslim untuk mengusir penjajah Barat.
Majalah tersebut diterbitkan di Paris ketika keduanya masa pengasingan.
48
BAB IV
KEHENDAK BEBAS MANUSIA TERHADAP PERBUATAN BAIK DAN
BURUK MENURUT MUH}AMMAD ‘ABDUH
A. Pengertian Baik dan Buruk
Muh}ammad ‘Abduh tidak terlalu dalam mengulas mengenai batasan baik
dan buruk, hanya saja ia mengatakan bahwa baik dan buruk dapat dibagi menjadi
dua bagian. Pertama baik dan buruk yang diberikan khusus kepada manusia,
kedua baik dan buruk yang diberikan kepada manusia dan binatang.1 Artinya
manusia sebagai makhluk yang berakal harus dapat membedakan dengan akalnya
di antara yang baik dengan yang buruk.
Pengertian baik dan buruk yang tidak mengandung ciri-ciri perbedaan
antara manusia dan binatang adalah perbuatan yang menyenangkan, enak
dipandang, indah didengar atau bekas yang dirasakan. Sementara pengertian baik
dan buruk yang diberikan khusus untuk manusia adalah melihat pada makna yang
dilakukan. Perbuatan yang berakibat menyakitkan adalah buruk, seperti memukul,
melukai, dan semua perbuatan yang menyakitkan adalah buruk.
Perbuatan baik adalah yang berakibat menyenangkan, seperti makan
karena lapar, minum karena haus dan semua perbuatan manusia yang
menimbulkan kelezatan adalah baik. Pengertian baik dan buruk semacam ini yang
1 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 86l
49
tidak dapat dibedakan antara manusia dengan binatang karena binatang juga dapat
merasakan dan membedakan hal yang demikan.2
Berbeda dengan perbuatan manusia yang mempunyai upaya baik karena
mengedepankan manfaatnya, sementara yang buruk karena melihat kerusakan
yang ditimbulkannya. Pengertian baik dan buruk seperti ini yang diberikan khusus
kepada manusia, yaitu karena mengedepankan manfaat yang ditariknya bukan
melihat apa yang sedang dilakukan bersamaan dengan waktu3. Di sinilah bagi
Muh{ammad ‘Abduh keutamaan akal dan rahasia nikmat dalam pemberian rahmat
berfikir terhadap manusia, karena di antara yang baik yang berbentuk kelezatan
itu bisa saja buruk jika dilihat pada akibatnya yang membuat kerusakan, seperti
makan dan minum yang berlebih-lebihan dan memperturutkan hawa nafsu yang
melewati batas kebutuhan.
kemudian di antara manusia yang mempunyai tujuan yang benar dan
mempertimbangkan dengan adil dan juga sudah menempuh jalan kebenaran
mereka telah sepakat bahwa perbuatan-perbuatan manusia ada yang baik dan juga
ada yang buruk. Dengan demikian mereka juga akan sepakat bahwa yang baik
ialah apa yang lebih kekal faidahnya dan yang buruk adalah barang yang dapat
merusak bagi kepentingan perseorangan maupun kepentingan umum dan bagi
siapa saja yang berhubungan dengannya.4 Artinya Muh}ammad ‘Abduh
mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk yang mempunyai akal dituntut
2 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid,. h. 84
3 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid,. h. 87
4 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 93
50
untuk berbuat hal-hal yang lebih berfaidah sekalipun dilakukan dengan penuh
kesakitan karena dengan bekal akal manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat
segala hal. Di sini Muh}ammad ‘Abduh mengatakan pengertian perbuatan dari
baik adalah bila mengedepankan makna yang ada, sementara pengertian buruk
adalah hal-hal yang dapat merusak setelah melakukannya.
B. Kehendak Bebas Manusia Dalam Menentukan Perbuatan Baik dan
Buruk
Manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan perbuatan baik atau
perbuatan buruk, segala perbuatan yang hendak dikerjakan oleh setiap manusia
jika manusia ingin berbuat suatu apapun hal yang terlebih dahulu yang harus
diperhatikan adalah manfaat setelah melakukan bukan melihat bersamaan dengan
waktu yang dilakukan. Seringkali Muh{ammad ‘Abduh mengatakan bahwa yang
baik waktu dilakukan terkadang tidak melahirkan manfaat setelahnya bahkan yang
ada hanyalah (melahirkan) kemudharatan dan kerusakan-kerusakan. Begitu pula
halnya dalam menentukan keburukan. Buruk pada waktu melakukan terkadang
melahirkan kebaikan dikemudian hari.5
Lalu bagaimana manusia dapat menentukan pilihannya, apakah manusia
akan melakukan kebaikan pada saat melakukan perbuatannya dengan tanpa
memikirkan pada akibatnya dikemudian? Ataukah manusia memilih untuk
5 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 85
51
melakukan keburukan pada saat ia melakukan saja kemudian menimbulkan
kesakitan setelahnya,? Apakah manusia sudah dapat menentukan di antara yang
baik dengan yang buruk? Dan bagaimana manusia dapat mengetahui bahwa hal
yang dilakukan itu mengandung hal yang buruk yang diyakini pada waktu lain
atau kemudian akan berubah menjadi kebaikan? Bagaimana manusia dapat
mengetahui bahwa yang baik pada waktu dilakukan akan menjadi hal buruk pada
akibat yang dilakukan itu.
Dengan demikian Muh{ammad ‘Abduh menekankan kepada manusia untuk
menggunakan akal sehatnya supaya dapat menentukan mana yang sebenarnya
baik dan mana yang sebenarnya buruk, karena bagi Muh}ammad ‘Abduh hanya
makhluk yang berakal yang dapat menentukan di antara keduanya dan amat
sedikit hewan-hewan lain yang menyertai manusia dapat melakukannya.6
Akal bagi Muh{ammad ‘Abduh dapat memilah dan memilih antara yang
baik dan yang buruk. Sekalipun suatu perbuatan baik pada waktu dilakukan, akal
manusia bagi Muh{ammad ‘Abduh sudah dapat mengetahui (menerka) bahwa
(perbuatan) itu akan menimbulkan keburukan jika itu secara terus-menerus
dilakukan. Begitu pula dengan keburukan yang dilakukan bahkan sebelum
melakukannya, akal yang sehat sudah dapat mengetahui bahwa itu akan menjadi
baik di kemudian hari.7
6 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 87
7 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 5, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2011), h. 51
52
Harun Nasution di dalam bukunya mengatakan ada empat persoalan pokok
keagamaan yang selalu menjadi persoalan di dalam teologi Islam, diantaranya
adalah: (1) akal dapat mengetahui Tuhan, (2) akal dapat mengetahui kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan, (3) akal dapat mengetahui kebaikan dan kejahatan,
dan (4) akal juga dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban
menjauhi perbuatan jahat.
Ada beberapa aliran yang mempersoalkan masalah pokok tersebut, salah
satunya al-Asy‘ari>. Versi Harun Nasution mengenai empat persoalan ini, al-
Asy‘ari> hanya mengatakan poin pertama saja yang dapat diketahui oleh akal, yaitu
“mengetahui Tuhan” ketiga diantaranya harus diketahui oleh wahyu. Berbeda
dengan kaum Maturidiyah Samarkand, mereka mengatakan hanya satu poin saja
yang tidak dapat diketahui dengan akal, yaitu mengetahui kewajiban berbuat baik
dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. Adapun menurut Maturidiyah bukhara
hanya dua poin saja yang dapat diketahui oleh akal, yaitu “mengetahui Tuhan”
dan “mengetahui kebaikan dan kejahatan”.8
Dalam persoalan pokok ini pendapat Muh{ammad ‘Abduh dengan
Mu‘tazilah mempunyai kesamaan, bahkan Muh}ammad ‘Abduh lebih maju dalam
memberikan kedudukan terhadap akal. Kalau Mu‘tazilah mengatakan akal dapat
mengetahui Tuhan, Muh{ammad ‘Abduh mengatakan akal dapat mengetahui
8 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 55
53
Tuhan dan juga sifat-sifat-Nya, Muh{ammad ‘Abduh juga mengatakan akal dapat
mengetahui adanya hidup di akhirat, dan akal dapat membuat hukum-hukum.9
Harun Nasution membandingkan kesamaan dan perbedaan pendapat antara
Muh}ammad ‘Abduh, Mu‘tazilah, Asy‘ari>ah, Ma>turi>di>ah Samarkand, dan
Ma>turi>di>ah Bukhara. Hasil dari perbandingan tersebut, ia menyimpulkan bahwa
yang paling banyak memposisikan akal lebih jauh digunakan dalam persolan
agama adalah Muh}ammad ‘Abduh. Di bawahnya ada Mu‘tazilah, Ma>turi>di>ah
Samarkand, Ma>turi>di>ah Bukhara, dan yang berada di posisi paling bawah adalah
al-Asy‘ari>.10 Artinya, Harun Nasution berpendapat bahwa kaum al-Asy‘ari>
meyakini bahwa fungsi akal hanya mengetahui Tuhan, sementara untuk
mengetahui yang lain harus dengan wahyu termasuk juga mengetahui sifatnya
tidak cukup dengan akal.
Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan apa yang disampaikan oleh
Harun Nasution. Penulis lebih condong dengan pendapat Siradjuddin Abbas yang
mengatakan di dalam bukunya yang berjudul I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama>ah. Ia
menyampaikan bahwa paham kaum Ahlussunnah Waljama>ah yang telah disusun
rapi oleh al-Asy‘ari> terbagi enam bagian. Di antaranya adalah tentang ke-
Tuhanan. Di dalam paham ke-Tuhanan ini membahas tentang sifat-sifat Tuhan. Ia
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai banyak sifat, tetapi yang wajib diketahui
oleh orang Islam yang sudah baligh dan berakal ada dua puluh sifat.11 Artinya,
9 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 56
10 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. h. 57
11 Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jamaah, Cet. Ke 5, Jakarta, 1996, h. 37
54
kaum al-Asy‘ari> juga membahas mengenai sifat-sifat Tuhan sama dengan
pendapat Muh}ammad ‘Abduh yang mengatakan sifat-sifat Tuhan dapat diketahui
oleh akal. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Harun
Nasution bahwa al- Asy‘ari> hanya mempercayai bahwa akal dapat mengetahui
adanya Tuhan saja tidak dengan sifat-sifatnya. Bahkan Harun Nasution di dalam
perbandingannya itu tidak memasukkan I’tiqad (paham) al-Asy‘ari> yang satu ini.
Dengan demikian, Harun Nasution sudah menghilangkan sebagian paham ke-
Tuhanan al-Asy‘ari> sebagaimana yang disampaikan oleh Siradjuddin Abbas.
Karena Muh{ammad ‘Abduh percaya terhadap adanya Tuhan dan
diimbangi dengan ketebalan iman, maka Muh{ammad ‘Abduh tidak sepenuhnya
mengagung-agungkan akal. Ada pendapatnya yang mengatakan bahwa kebaikan
tidak selamanya berjalan seiring dengan akal.12 Dalam hal ini, patut dimengerti
bahwa Muh}ammad ‘Abduh membedakan antara akal orang Khawwa>s} dengan akal
orang awam. Dalam kaitan ini yang dimaksud oleh Muh}ammad ‘Abduh dengan
kebaikan tidak selamanya beriringan dengan kebenaran akal, ialah akal orang
awam, akal yang masih tumpul.
Dengan demikian, Muh{ammad ‘Abduh selalu menekankan kepada
manusia supaya selalu mengasah akalnya sekalipun ia mengatakan perbedaan akal
orang Kahwwa>s} dengan yang awam tidak hanya disebabkan oleh perbedaan
pendidikan melainkan disebabkan oleh pembawaan alami. Bahkan di dalam buku
Risalah yang dikutip Harun Nasution ada pernyataan Muh{ammad ‘Abduh yang
12 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 88
55
menegaskan bahwa manusia semuanya sama, tidak ada perbedaan antara mereka
kecuali dalam amal, dan tidak ada yang lebih mulia kecuali karena ketinggian akal
dan pengetahuan, dan yang mendekatkan manusia kepada Tuhan hanyalah
kesucian akal dari keraguan, bahkan ia mengatakan perbedaan manusia baginya
bukan dilihat dari ketaqwaannya, melainkan dilihat pada kekuatan akalnya.13
Muh{ammad ‘Abduh memberikan contoh terhadap keduanya, antara yang
baik dan yang buruk waktu dilakukan dan manfaat setelahnya. Baik waktu
dilakukan seperti halnya makan, minum, atau kesenangan-kesenangan yang
dilakukan, setiap orang mesti mengatakan makan adalah perbutatan baik bagi
orang yang sedang merasakan lapar, minum merupakan perbuatan kebaikan bagi
orang yang haus, akan tetapi makan dan minum akan menjadi buruk jika kebaikan
yang serupa dilakukan terus menerus tanpa memikirkan batas kebutuhan.
Dalam hal ini yang baik dikatakan buruk karena masanya terlalu singkat
dibanding dengan lamanya penderitaan yang akan ditanggung setelahnya akibat
dari membiarkan kenikmatan yang ia lakukan dengan terus-menerus bahkan ada
yang sampai diakhiri dengan kematian yang paling buruk keadaannya. Hal yang
demikian Muh{ammad ‘Abduh menyebutnya perbuatan buruk.14
Demikian juga dengan orang yang sedang melakukan keburukan, yakni
bekerja dengan terus menerus, berjuang melawan hawa nafsu, bekerja yang tidak
mengenal lelah untuk mengais rezeki di hari mudanya guna untuk ketenangan di
13 Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. h. 48
14 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 87-88
56
waktu badan mulai lemah yang akan menyebabkan kebaikan di hari tuanya nanti,
dan membatasi kesenangan-kesenangan supaya tidak menimbulkan penyakit yang
dapat mengganggu kehidupan. Hal ini yang dimaksud pengertian baik dan buruk
yang tidak dapat dibedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, karena
binatang juga dapat merasakan kebaikan dan keburukan tersebut.15
Pernyataan yang dipandang baik diberikan juga kepada hal-hal yang
membahayakan. Manusia mengerahkan segenap energinya untuk mencari yang
selama ini menjadi rahasia Tuhan, seolah olah orang yang sedang melakukan
pencarian itu tidak mempedulikan kesulitan-kesulitan yang menghalanginya
sedikit pun karena dibandingkan kelak atas usahanya itu dengan kelezatan atau
kepuasan yang akan dicapainya nanti. Hal yang juga membahayakan yang
dipandang baik oleh akal manusia menurut Muh{ammad ‘Abduh adalah
menghadapi musuhnya, apakah musuh itu dalam dirinya sendiri atau dari jenis
lainnya ketika mau menolong orang di sekitarnya yang sedang dalam keadaan
bahaya misalnya, sekalipun dengan jalan mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk
itu, ketika ia menolongnya seolah-olah ia melihat kehidupannya, sekalipun
akalnya tidak menentukan jalan yang demikian. Ini Muh{ammad ‘Abduh
menyebutnya amal yang baik.16
Contoh lain yang diberikan oleh Muh{ammad ‘Abduh adalah di mana ketika
manusia melihat seorang raja dilihat dari postur tubuhnya yang buruk karena ada
sebagian anggota tubunya yang cacat sehingga setiap manusia lain yang
15 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 87
16 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 88
57
melihantanya akan mengatakan suatu keburukan. Tetapi kelakuan raja dapat
memberikan manfaat yang baik kepada rakyatnya, maka keburukan yang dilihat
oleh mata akan tertutupi oleh kebaikan yang dapat dirasakan manfaatnya.17 Ada
yang baik karena memandang manfaat yang ditariknya dan ada yang buruk karena
melihat kerusakan yang ditimbulkannya. Akal dan pikiran yang sehat sudah
mengenal dan dapat membedakan barang yang merusak dan yang berguna.
Perbedaan yang demikianlah yang dapat menetukan ciri mana yang utama dan
mana yang rendah.18 Dengan demikian Muh}ammad ‘Abduh mengatakan
perbuatan baik yang sebenarnya baik adalah perbuatan yang mengandung makna
kebaikan di dalamnya, begitu juga dengan menentukan keburukan. Dan untuk
mengetahui makna tersebut dapat ditentukan oleh kekuatan akal.
C. Antara Fatalis dan Free Will
Sepanjang sejarah dalam pemikiran Islam, diskursus tentang teologi
menempati posisi paling utama dalam kajian para ilmuan dan intelektual Islam.
Sesuai dengan apa yang telah dipahami bersama bahwa perdebatan mengenai
kalam (teolgi) telah muncul sejak terbunuhnya ‘Usma>n bin Affa>n.19 Kholifah
ketiga. Sampai saat ini perdebatan ini masih belum selesai dan masih terbilang
hangat, karena setelah perdebatan itu semua kembali kepada dirinya sendiri.
seperti perdebatan Mu‘tazilah, Asy‘ari, dan aliran lainnya, mereka tetap
bersekukuh dengan pendagannya sendiri.
17 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 85
18 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 85
19 Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Pramadina, 1997), h. 2
58
Dalam sistem teologi, kaum Mu‘tazilah menggunakan sistem kebebasan
dalam kehendak manusia. Dalam pengertian ini, manusia dapat melakukan apa
saja sesuai dengan kemauannya sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kaum Mu‘tazilah menganut paham Qadariyyah atau yang disebut dengan free will,
juga dilihat dari keterangan-keterangan para pemuka Mu‘tazilah melalui
karangannya banyak mengandung tentang kebebasan dan kekuasaan manusia atas
perbuatan-perbuatannya.20
Keterangan yang dipaparkan di atas dengan lugas mengatakan bahwa
kehendak dalam perbuatan manusia merupakan kehendak manusia itu sendiri
tanpa campur tangan Tuhan di dalamnya. Ini berbeda dengan pendapat kaum
Jabariyyah yang banyak dianut oleh al-Asy‘ari>. Argumen-argumen yang
digunakan Mu‘tazilah untuk memperkuat pahamnya menggunakan argumen
rasional dan mengutip keterangan Al-Qur’an. Yang digunakan oleh kaum
Mu‘tazilah mengenai kebebasan manusia dalam berkehendak ketika melihat
manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya
menyatakan terima kasihnya kepada yang berbuat kebaikan itu. Begitupun
sebaliknya, manusia melahirkan perasaan ketidaksenangannya terhadap
perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak baik terhadap manusia yang
melakukannya, bukan melahirkan ketidaksenangannya kepada Tuhan.21 Itu salah
satu teori yang digunakan oleh kaum Mu‘tazilah untuk mengatakan bahwa
20 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 103
21 Harun Nasution, Teologi Islam: h. 105
59
manusia dapat melakukan apa saja dalam berkehendak dan itu murni dari manusia
itu sendiri bukan kemauan Tuhan.
Selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak
manusia dalam artian jika seseorang menginginkan untuk berbuat sesuatu maka
perbuatan itu pasti terjadi. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang tidak ingin
berbuat sesuatu maka itu tidak akan terjadi. Karena bagi kaum Mu‘tazilah jika
kehendak manusia pada hakikatnya adalah kehendak Tuhan, sesuatu yang ingin
dilakukan oleh manusia tidak akan terjadi sekalipun manusia menginginkan itu
terjadi. Begitu juga dengan perbuatan akan terus terjadi sekalipun manusia tidak
menginginkan dan tidak menghendaki perbuatan tersebut22
Keterangan selanjutnya dari kaum Mu‘tazilah bahwa perbuatan jahat
manusia terhadap manusia lain. Apabila dibenarkan perbuatan manusia
merupakan perbuatan Tuhan dan manusia tidak ikut andil di dalam perbuatannya,
maka perbuatan jahat tersebut adalah perbuatan Tuhan. Jika memang demikian
yang terjadi, itu berarti Tuhan bersifat zalim. Hal ini jauh dari kebenaran logika,
kata kaum Mu‘tazilah. Dari itu jelas Mu‘tazilah mengatakan bahwa perbuatan
manusia adalah murni perbuatan manusia itu sendiri tanpa ada campur tangan
Tuhan di dalamnya apalagi atas kehendak Tuhan secara mutlak.
Pemuka Mu‘tazilah turut mengatakan, jika memang perbuatan manusia
merupakan perbuatan Tuhan (bukan murni perbuatan manusia itu sendiri), maka
hilanglah makna dari ayat yang berbunyi jazâʹan bima kanu ya‘malun. ‘Àbd al-
22 Harun Nasution, Teologi Islam: h. 107
60
Jabbar menginginkan supaya ayat tersebut tidak mengandung dusta, maka
perbuatan-perbuatan manusia haruslah betul-betul perbuatan manusia bukan lagi
kehendak Tuhan.23
Beralih kepada aliran Jabariyyah yang banyak dianut oleh kaum
Asy‘ari>yah. Mereka memandang manusia sangatlah lemah dan dengan
kelemahannya manusia hanya dapat bergantung kepada kekuasaan dan kehendak
Tuhan. Perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, manusia
tidak ikut andil di dalamnya. al-Asy‘ari> menggunakan teori ini dengan teori yang
disebut kasb. Kata al-Asy‘ari> manusia hanya memperoleh kasb. al-Asy‘ari>
mengertikan iktisab adalah sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan sehingga menjadi perolehan atau disebut kasb bagi orang yang dengan
dayanya perbuatan dapat ditimbulkan.24
Harun Nasution di dalam buku Teologi Islam menyampaikan, term
“diciptakan” dan “memperoleh” mengandung kompromi antara kelemahan
manusia diperbanding dengan kekuasaan mutlak Tuhan dan pertanggung jawaban
manusia atas perbuatannya. Kata-kata “timbul yang memperoleh” membayangkan
kepasifan dan kelemahan manusia, kasb atau perolehan mengandung arti
kepasifan tanggung jawab manusia atas perbuatannya, tetapi keterangan bahwa
23 Harun Nasution, Teologi Islam. h. 106
24 Harun Nasution, Teologi Islam. h. 108
61
kasb itu adalah ciptaan Tuhan menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya
manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.25
Pendapat al-Asy‘ari> yang dikutip oleh Harun Nusution, pendapat yang
demikin dapat dilihat dari uraiannya mengenai perbuatan-perbuatan involunter
dari manusia. Dalam perbuatan-perbuatan involunter terdapat dua unsur,
penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak, yang dimaksud
penggerak adalah yang sebenarnya yaitu Tuhan dan yang digerakkan adalah
manusia. Gerak mestilah manusia karena gerak menghendaki jasmani dan Tuhan
tidak mungkin mempunyai wujud jasmani.
Begitu pun dengan Al-kasb serupa dengan gerak involunter juga
mempunyai dua unsur, pembuat dan yang memperoleh perbuatan. Maksud Al-
kasb di sini pembuat yang sebenarnya adalah Tuhan, sedangkan yang memperoleh
perbuatan adalah manusia. Tuhan bukan sebagian dari yang memperoleh
perbuatan, karena Al-kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan, sementara
Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.26
Dari penjelasan al-Asy‘ari> di atas dapat dikatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan perbuatan-perbuatan manusia dan semua perbuatan manusia atas
kehendak Tuhan, dan yang dimaksud timbulnya perbuatan-perbuatan dari manusia
dengan perantaraan daya yang diciptakan merupakan daya yang sebenarnya
merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan. Dengan demikian al-Asy‘ari>
25 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 108
26 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 109
62
mengatakan bahwa segala perbuatan manusia tidak diciptakan oleh manusia
sendiri melainkan diciptakan oleh Tuhan.27
D. Kritik terhadap Qadariah dan Jabariyyah
Muh{ammad ‘Abduh di dalam bukunya yang berjudul Risalah Tauhid
menyinggung pendapat dari dua golongan yang berselisih paham perihal
perbuatan-perbuatan manusia, yakni golongan Qadariah dan Jabariyyah. Di antara
keduanya ada yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan yang
mutlak terhadap segala perbuatannya. Dengan pengertian ini, segala perbuatan
manusia murni merupakan atau berasal dari kehendak manusia itu sendiri.
Golongan ini secara tegas mengatakan bahwa Tuhan tidak ikut andil di dalamnya.
Pendapat ini adalah pendapat golongan Qadariah.28 Dengan kata lain, golongan
Qadariah membenarkan adanya free will (kehendak bebas) di dalam perbuatan
manusia.
Berkebalikan dari golongan pertama, golongan kedua bernama Jabarii>yah.
Golongan ini mempunyai pendapat yang sama sekali berbeda dari pandangan
(kelompok) Qadariah. Jika tadi kaum Qadariah mengatakan segala bentuk
perbutan manusia adalah ciptaan mutlak (atau berasal sepenuhnya dari kehendak)
manusia itu sendiri, maka kaum Jabari>yyah mengatakan sebaliknya bahwa segala
27 Ibnu Qoyyum al-Jauziyah, Qadha dan Qadhar, Ulasan Tuntas Malasah Takdir,
(Jakarta: Pustaka Azam, 2004) h. 338
28 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 33
63
perbuatan manusia pada hakikatnya merupakan perbuatan Tuhan. Jika golongan
Qadariah membenarkan adanya free will (kehendak bebas) dalam perbuatan
manusia, Jabari>yyah berpendapat bahwa setiap hal ihwal apapun menyangkut
perbuatan manusia, sesungguhnya semua itu semata-mata hanyalah kehendak
Tuhan (bukan kehendak manusia). Dengan hal ini, manusia hanyalah bertindak
secara terpaksa.29 Jika Qadariah membenarkan free will dan menolak fatalis,
Jabariyyah membenarkan fatalis dan menolak free will.
Muh{ammad ‘Abduh tidak sependapat dan mengemukakan kritiknya
terhadap pandangan dari kedua aliran tersebut. Pertama, kritik diajukan
Muh{ammad ‘Abduh kepada pandangan dan keyakinan aliran Jabari>yyah. Dia
mengatakan bahwa pandangan-pandangan dari Jabari>yyah itu dapat meruntuhkan
syariat, menghapus hukum taklif, dan membatalkan hukum akal yang logis yang
sesungguhnya dia anggap sebagai tiang Iman.30
Sedangkan kritik berikutnya pada pendapat aliran Qadariah dari
Muh{ammad ‘Abduh. Menurutnya, pandangan aliran Qadariah adalah suatu
penipuan. Sekalipun kritik itu begitu keras, tetapi Muh{ammad ‘Abduh tidak
sependapat dengan tuduhan syirik yang diberikan kepada aliran Qadariah.
Beranjak dari kritik pada kedua pandangan di atas, Muh{ammad ‘Abduh
melangkah pada pendapatnya tentang adanya dua perkara besar yang dapat
membimbing segala perbuatan manusia. Pertama, manusia mempunyai usaha
29 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 33
30 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 79
64
yang bebas dengan kemauan dan kehendaknya kepada kebahagiaan (free will).
Kedua, kudrot (kuasa) Allah tempat kembalinya segala mahluk. Di antara tanda
kudrot (kuasa) kekuasaan Allah ialah Ia sanggup memisahkan manusia dari apa
yang dikehendakinya dan tidak ada seorangpun yang sanggup menolong manusia
dalam apa yang tidak mungkin dicapainya.31
Pandangan ini bisa dianggap sebagai jalan tengah. Sebab di satu sisi, dia
membenarkan adanya kehendak bebas (free will) dari manusia atas tindakannya
(pandangan yang khas dari Qadariah). Sementara pandangan yang lain, dia
membenarkan pula bahwa Tuhan adalah tempat kembalinya seluruh mahluk.
Tuhan adalah kholiq, yang berarti pencipta. Sedangkan mahluk adalah kata Arab
yang berarti yang diciptakan. Membenarkan pandangan Jabari>yyah, dia
mengatakan bahwa Tuhan sanggup memisahkan manusia (mahluk) dari apapun
yang dikehendakinya.
31 Muh{ammad ‘Abduh, Risalah Tauhid. h. 80
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
Satu, Muh}ammad ‘Abduh memberikan ciri khusus kepada manusia mengenai
perbuatan baik dan perbuatan buruk. Perbuatan baik yang diberikan khusus
kepada manusia adalah perbuatan yang lebih kekal faidahnya. Sedangkan
perbuatan buruk adalah perbuatan yang menimbulkan kerusakan setelahnya.
Adapun perbuatan baik dan perbuatan buruk yang tidak hanya diberikan kepada
manusia saja adalah persoalan perbuatan yang sudah nyata keberadaannya.
Kedua, Muh}ammad ‘Abduh meyakini bahwa manusia dengan kekuatan
akalanya dapat berkehendak bebas dalam menentukan perbuatan-perbuatannya.
Tiga, Muh}ammad ‘Abduh mempunyai pandangan yang sama dengan Mu‘tazilah
yang mengatakan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri,
akan tetapi Muh}ammad ‘Abduh tidak sependapat dengan Mu‘tazilah mengenai
kebebasan manusia yang mutlak, bagi Muh}ammad ‘Abduh kebebasan dan
kehendak manusia dibatasi oleh kekuatan alam yang disebut dengan sunnah
Alla>h, hal ini Muh}ammad ‘Abduh mempunyai pandangan yang sama dengan al-
Asy‘ari>. Akan tetapi, ia tidak sependapat mengenai perbuatan manusia adalah
perbuatan Tuhan. Dengan kata lain, Muh}ammad ‘Abduh mengambil sebagian
66
pendapat mereka yang dianggapnya benar, dan menjauhkan pendapat mereka
yang dianggap salah.
B. Saran-Saran
Pada bagian akhir pembahasan skripsi ini penulis ingin menyampaikan
beberapa saran, di antaranya sebagai berikut:
1. Manusia hanya dapat dianjurkan untuk melakukan segala hal
perbuatan yang mengandung kebaikan, dan tidak sepenuhnya
menyalahkan Tuhan dalam penciptaan perbuatan manusia baik
perbuatan yang buruk maupun perbuatan yang baik.
2. Penelitian mengenai pemikiran kalam cenderung tidak sama
dengan pemikiran al-Asy‘ari>> dan Mu‘tazilah. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya penelitian lebih dalam mengenai persoalan
kalam tersebut lebih-lebih pemikiran Muh{ammad ‘Abduh.
3. Dapat memperluas pengetahuan tentang persoalan kalam yakni
perbuatan-perbuatan manusia.
71
DAFTAR PUSTUKA
‘Abduh, Muh{ammad, Risalah Tauhid, Terjemahan Firdaus A.N, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1965)
Abbas, Siradjudiin, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, (Cet. Ke 21, Radar Jaya,
Jakarta, 1996)
al-Asy‘ari>, Abu H{asan bin Ismail, AL-Ibanah An Ushul Ad Diyanah, Maktabah
Darul Bayan, 1903
Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah: Kerancuan Para Filosof, Kitab Filsafat Klasik
Paling Kontrovesrsial, terjemah Ahmad Maimun, cet, 5, (Bandung:
Penerbit Marja, 2016)
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir,
terjemah: Abul Ghaffar, (Jakarta, Pustaka Azzam 2014)
al-Jauziyah, Ibnu Qoyyum, Qadha dan Qadhar, Ulasan Tuntas Malasah Takdir,
(Jakarta: Pustaka Azam, 2004)
Al-Misri>, Al-Ifriqi>>, Mukarram, Ibn Muh}ammad, Lisan Al-‘Arab, (Beyrouth: Dar
Ihya' Al-Turats Al-'Arabi, 1408 H)
Asmaran, Pengantar Study Akhlaq, (Jakarta: Raja Granfindo Persada, 1994)
Burhanuddin, Nunu, Ilmu Kalam dari Tauhid Menuju Keadilan, Cet. Ke 1, Fajar
Inter Pratama Mandiri, Jakarta, 2016
Hossein Nasr, Seyyed, dan Leaman, Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
buku pertama, (Bandung: Mizan Media Utama (MMU) 1996)
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Tentang Persamaan dan
Perbedaanya dengan al-Asy`ari>, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1997)
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, edisi keempat, (Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 10270)
Majid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Cet, 1, (Jakarta: Yayasan
Wakaf Pramadina, 1992)
72
Majid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Pramadina, 1997)
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Cet. 5, Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Pres), 1985), Jilid II
Nasution, Harun, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah, (Jakarta:
Universitas Indonesia UI-press, 1987)
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Cet. 5, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1996)
Nur Mufidah, Lul Luk, Islam Akal dan Peradaban Perspektif Muh{ammad
‘Abduh, (Jurnal Kontemplasi, 1 Juni 2009)
Sobur, Kadir “Teologi ‘Poros Tengah’ Satu Kajian Terhadap al-Ibad dalam
Pemikiran Kalam Asy‘ari”,( media akademika, Forum Ilmu dan Budaya
Islam, Vol. 17, No. 3, Juli 2002),
Sou’yb, Joesoef, Peranan Aliran ‘Itizal Dalam Perkembangan Pikiran Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna,1982)
Wahid, Din, Bahan Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam. Ushuluddin, UIN
Syarif Hidayatullah, semester ganjil 2016-2017