kehamilan ektopik terganggu
DESCRIPTION
Presentasi Kasus KETTRANSCRIPT
Responsi
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
Oleh :
Pembimbing :
dr. Uki Retno Budihastuti, Sp.OG(K)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang
wanita yang dapat menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut.
Keadaan gawat ini dapat menyebabkan suatu kehamilan ektopik terganggu.
Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang sering dihadapi oleh
setiap dokter, dengan gambaran klinik yang sangat beragam. Hal yang perlu
diingat adalah bahwa pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan
gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian
bawah dapat mengalami kehamilan ektopik terganggu (1).
Berbagai macam kesulitan dalam proses kehamilan dapat dialami para
wanita yang telah menikah. Namun, dengan proses pengobatan yang dilakukan
oleh dokter saat ini bisa meminimalisir berbagai macam penyakit tersebut.
Kehamilan ektopik diartikan sebagai kehamilan di luar rongga rahim atau
kehamilan di dalam rahim yang bukan pada tempat seharusnya, juga
dimasukkan dalam kriteria kehamilan ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi
pada cornu uteri. Jika dibiarkan, kehamilan ektopik dapat menyebabkan
berbagai komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian (2).
Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin yang
sekarang masih banyak dipakai. Diantara kehamilan-kehamilan ektopik, yang
terbanyak terjadi di daerah tuba, khususnya di ampulla dan isthmus. Pada kasus
yang jarang, kehamilan ektopik disebabkan oleh terjadinya perpindahan sel telur
dari indung telur sisi yang satu, masuk ke saluran telur sisi seberangnya (3,4).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kehamilan Ektopik
1. Definisi
Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari
bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan
“berada di luar tempat yang semestinya”. Apabila pada kehamilan ektopik
terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil
tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu (4,7)
2. Etiologi
Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari
indung telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor resiko
yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah (3,4,6):
a. Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada
motilitas saluran telur.
b. Riwayat operasi tuba.
c. Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang.
d. Kehamilan ektopik sebelumnya.
e. Aborsi tuba dan pemakaian IUD.
f. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom.
g. Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahan-
perubahan pada endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi,
gerakan ovum ke uterus terlambat.
h. Operasi plastik pada tuba.
i. Abortus buatan.
3. Patofisiologi
Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum
yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat
kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah
dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat dari hal ini
(3,4,5):
a. Kemungkinan “tubal abortion”, lepas dan keluarnya darah dan jaringan
ke ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya
terjadi pada kehamilan ampulla, darah yang keluar dan kemudian masuk
ke rongga peritoneum biasanya tidak begitu banyak karena dibatasi oleh
tekanan dari dinding tuba.
b. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai
akibat dari distensi berlebihan tuba.
c. Faktor abortus ke dalam lumen tuba.
Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus
dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat terjadi secara spontan
atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga
banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian (1).
4. Insiden
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur
antara 20 – 40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Namun, frekuensi
kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan
ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas (1).
5. Variasi Kehamilan Ektopik
a. Kehamilan Abdominal
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan
ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium
ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen
amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih
tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada
kehamila intrauterin. Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan,
infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), emboli paru
atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada
kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding
tuba secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di
sekitarnya, namun juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba.
Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan
implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen.
Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio
sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika
vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks
kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut,
meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan
suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus antara
kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3)
bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu, 4) letak janin
abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion antara plasenta dan janin. MRI
dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang jauh lebih baik daripada
USG.
Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup
sebesar 10-25%, namun angka malformasi kongenital pada bayi
ekstrauterin cukup tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya 50%-nya
dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan kongenital yang
ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah, kranium dan
ekstremitas. Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman
kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat
dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk diresorbsi dapat
mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak
janin yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan
mudah mencapai janin dan berkembang biak dengan subur. Selanjutnya,
janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat
ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat
merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang
telah dilaporkan, janin yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi
lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama lebih dari 15
tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi. Penyulit
utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat
implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti
miometrium. Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia,
dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup
besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula.
Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi
implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal
tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering
mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in
situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa
dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan
berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ,
plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan. Komplikasi-
komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan
abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta
preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan -hCG serum.
Pemberianpencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadar
methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan,
karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan
akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan
sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat
implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik.
b. Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878,
Spiegelberg merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba
pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi harus menempati
posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan melalui
ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam
dinding kantong gestasi. Secara umum faktor risiko kehamilan ovarium
sama dengan faktor risiko kehamilan tuba. Meskipun daya akomodasi
ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba,
kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal.
Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik
kehamilan tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan
ovarium pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum atau
perdarahan korpus luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani
dengan pembedahan yang sering kali mencakup ovariektomi. Bila hasil
konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial ovarium masih mungkin
dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan untuk terminasi
kehamilan ovarium yang belum terganggu.
c. Kehamilan Serviks
Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup
jarang. Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan
telah diajukan. Burg mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan
transpor zigot yang terlalu cepat, yang disertai oleh belum siapnya
endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa instrumentasi dan
kuretase mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium
tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5
kasus kehamilan serviks mengindikasikan adanya hubungan antara
kehamilan serviks dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada
sindroma Asherman. Hubungan serupa juga tercermin pada fakta bahwa
Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka kehamilan
serviks yang tertinggi di antara negara-negara lain. Kehamilan serviks
juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada
kehamilan serviks, endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan
berkembang dalam jaringan fibrosa dinding serviks. Lamanya kehamilan
tergantung pada tempat nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis
servikalis, semakin besar kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin
besar pula tendensi perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa
sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan
hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu.
Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik
lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia
gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi
dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan serviks
sering kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung
sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium.
Bila perdarahan tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus
dilakukan. Hal ini menjadi dilema, terutama bila pasien ingin
mempertahankan kemampuan reproduksinya. Beberapa metode-metode
nonradikal yang digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain
pemasangan kateter Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang
desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter
Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan balon
kateter segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan.
Selanjutnya vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan
penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis (hemostatic
suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi angiografik arteri uterina
adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil
yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di
Italia24. Sebelum kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan
fibrin, gel atau kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut,
perdarahan yang terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti
pada kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi
kehamilan serviks. Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang
pertama kali digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan.
Namun pada umumnya methotrexate hanya memberikan hasil yang baik
bila usia gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat
diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun intraamnion.
d. Kehamilan Ektopik Heterotipik
Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan
intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade
yang lalu insidens kehamilan heterotipik adalah 1 dalam 30,000
kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya sekarang telah
meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat
perkembangan teknik-teknik reproduksi. Kemungkinan kehamilan
heterotipik harus dipikirkan pada kasus-kasus sebagai berikut: 1) assisted
reproduction technique, 2) bila hCG tetap tinggi atau meningkat setelah
dilakukan kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus uteri melampaui
tingginya yang sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2
korpus luteum, 5) bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan
intrauterin.
6. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda; dari
perdarahan yang banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai
terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosanya.
Gejala dan tanda tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi
dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Perdarahan pervaginam
merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini
menunjukkan kematian janin. Kehamilan ektopik terganggu sangat
bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam
rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang
samar-samar sehingga sulit untuk membuat diagnosanya (1).
7. Diagnosis
Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara
ditegakkan, antara lain dengan melihat (5,6,8):
a. Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada
atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri
bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah
yang terkumpul dalam peritoneum.
b. Pemeriksaan fisik
i. Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah
adneksa.
ii. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan
ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut
tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding
abdomen.
iii. Pemeriksaan ginekologis
Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada
uteris kanan dan kiri.
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+).
Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah
dapat meningkat.
ii. USG : - Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri
- Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri
- Adanya massa komplek di rongga panggul
iii. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
dalam kavum Douglas ada darah.
iv. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
v. Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan
kantong gestasi di luar uterus.
8. Penanganan
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih
dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan
ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan bedah.
a. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1)
kehamilan -hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak ada ektopik
dengan kadar perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter
massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan
ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
b. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima
tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan
hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas
jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum
Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi
yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-
penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan
intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah
yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian
methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi
kehamilan ektopik secara medis.
i. Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk
terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada
penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas,
dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik,
methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga
menyebabkan terminasi kehamilan tersebut.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis
multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2
(intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah
sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari
ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke
dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular),
dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis
multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba
dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9.
Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi
tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis
tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk
kehamilan ektopik yang belum terganggu.
ii. Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena
selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-
pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.
iii. Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan
alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko
dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa
hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada
umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka
kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup
tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.
c. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan
kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu.
Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus
dilakukan secepat mungkin.
i. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil
konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di
sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear
sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di
perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera
terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan
yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan
elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit
kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat
ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum
terganggu.
ii. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali
bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal
prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara
salpingostomi dan salpingotomi.
iii. Salpingektomi
Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1)
kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak
menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi,
4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5)
pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut
pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan
heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang
dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu.
Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi
dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars
ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars
interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk
menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi,
bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting,
dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria
tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan.
Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
iv. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat
dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan
menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor
atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari
implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi
berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan
cairan bertekanan.
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu (4,7):
a. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu
telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini
merupakan indikasi operasi.
b. Infeksi
c. Sterilitas
d. Pecahnya tuba falopii
e. Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya
embri
10. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971)
melaporkan 1 kematian dari 826 kasus, dan Willson dkk (1971) 1 diantara
591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi.
Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120
kasus. Penderita mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk
mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan untuk hamil
akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan
ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan
jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan
berkisar antara 0 – 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan
adalah sekitar 50% (1,2,7).
11. Diagnosa Banding
Diagnosa banding (6,7,8):
a. Infeksi pelvic
b. Kista folikel
c. Abortus biasa
d. Radang panggul,
e. Torsi kita ovarium,
f. Endometriosis
BAB III
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
Tanggal 23 Oktober 2013
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. M
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Alamat : Grogolan, Pucangan, Sukoharo
Status Pernikahan: Menikah 1 kali, 17 tahun
HPMT : 24 Agustus 2013
HPL : 31 Mei 2014
UK : 8 minggu
Tanggal Masuk : 19 Oktober 2013
No.CM : 01224428
Berat badan : 56 kg
Tinggi Badan : 154 cm
B. Keluhan Utama
Nyeri perut
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Datang seorang G5P3A1, 35 tahun, kiriman RSUD Surakarta dengan
keterangan observasi abdominal pain dengan PP test (+), suspek KET.
Pasien mengeluh nyeri di seluruh lapang perut sejak kira-kira 3 hari sebelum
masuk RSDM. Nyeri perut dirasakan terus menerus. Nyeri perut dirasakan
bertambah berat 3 jam sebelum masuk RSDM. Pasien juga mengeluh keluar
flek darah dari jalan lahr. Flek dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk RSDM.
Pasien merasa hamil 2 bulan. Riwayat trauma (-).
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sesak nafas : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal
Riwayat Minum Obat Selama Hamil : Disangkal
Riwayat operasi : Disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Mondok : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal
F. Riwayat Fertilitas
Baik
G. Riwayat Obstetri
I laki – laki (meninggal usia 6 tahun)
II laki – laki 16 tahun, spontan
III wanita 15 tahun, spontan
IV wanita (IUFD)
V hamil sekarang
H. Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Belum pernah periksa
I. Riwayat Haid
Menarche : 14 tahun
Lama menstruasi : 7 hari
Siklus menstruasi : 28-35 hari
J. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, 17 tahun saat pasien berusia 18 tahun
K. Riwayat Keluarga Berencana
Pasien memakai KB spiral/ IUD, selama 10 tahun dan baru dilepas 6 bulan
yang lalu
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Interna
Keadaan Umum : Lemah,tampak sakit sedang, gizi kesan cukup
Tanda Vital
Tensi : 90 /60 mmHg
Nadi : 120 x / menit
Frek. napas : 24 x/menit
Suhu : 36,3 0C
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, Pharinx hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax :
Cor :
Inspeksi : IC tidak tampak
Palpasi : IC tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada ka = ki
Palpasi : Fremitus raba dada ka = ki
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen:
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Palpasi : Distended, NT (+) seluruh lapang perut, nyeri tekan Mc burney (-)
Perkusi : Redup
Auskultasi : Peristaltik (+) menurun
Genital : Darah (+)
Ekstremitas : Oedema Akral Dingin
- - + +- - + +
B. Status Obstetri
Pemeriksaan Dalam :
Inspekulo : vulva / uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio livide, OUE tertutup, darah (+), discharge (-).
VT : vulva / uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio lunak, OUE tertutup, corpus uteri kepalan tangan,
ante flexi, slinger pain (+), cavum Douglas menonjol. Darah
(+)
III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah:
Jenis Pemeriksaan
19/10/’13
HematologiRutinHemoglobin 4,3Hematokrit 13Leukosit 22,1Trombosit 203Eritrosit 1,53Golongan darah AIndex EritrositMCVMCHMCHCRDW
HDWMPVPDWHitung JenisEosinofilBasofilNetrofilLimfositMonositHemostasisPT 16aPTT 26,1INR 37Kimia KlinikGDS 223Kreatinin 1,2Ureum 37Bilirubin TotalBilirubin DirekBilirubi IndirekAlbuminAnalisa Gas DarahpHBEPCO2PO2HematokritHCO3Total CO2ElektrolitNatrium darah 134Kalium darah 4,5Chlorida darah 107
HBsAg nonreaktifTes Kehamilan positif
UrinWarnaKejernihanBerat jenispHLeukositNitritProtein
GlukosaKetonUrobilinogenBilirubinEritrositMikroskopis urinLeukositLeukositEpitelEpitel skuamosEpitel transisionalEpitel bulatSilinderHylineGranulatedLekositBakteriYeast like cellMukusSpermaKonduktivitas
B. Ultrasonografi (USG) tanggal 19 Oktober 2013 :
Vesica urinaria terisi cukup, Tampak uterus membesar ukuran 4x6x8 cm3,
endometrial line (+), Tak tampak GS intrauterine, tampak GS
ekstrauterine dengan CRL ukuran 2,06 cm, UK: 8+5 minggu, DJJ (+),
tampak hematokel retro uterina (+)
Kesimpulan : kehamilan ektopik terganggu
IV. DIAGNOSA AWAL
Kehamilan Ektopik Terganggu
V. PROGNOSA
Buruk
VI. RENCANA PENGOBATAN
Laparotomy emergensi
Konsul anestesi
Cek laborat lengkap
Infus 2 jalur
O2 3 lpm
Pasang DC BC
Tranfusi 4 PRC
VII. LAPORAN OPERASI
Laparotomi eksplorasi emergency dilakukan pada 19 Oktober 2013 dan
dilakukan salphingectomi dekstra.
Diagnosa post operasi : ruptur pars ampularis tuba dekstra
VIII. DIAGNOSA AKHIR
Ruptur pars ampularis tuba dekstra
BAB IV
ANALISA KASUS
A. Analisa kasus diagnosa
1. Kehamilan ektopik terganggu
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada kasus ini ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan adanya nyeri perut yang dirasakan di seluruh lapang perut, selain
nyeri juga dikeluhkan keluar flek darah dari jalan lahir, flek sejak 2 hari
sebelum masuk RSDM, selain itu pasien merasa hamil 2 bulan, riwayat
trauma disangkal. Pasien memakai KB spiral/IUD sejak 10 tahun yang lalu
dan dilepas 6 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum pasien lemah, tampak sakit sedang, gizi kesan cukup, TD : 90/60,
nadi : 124 x/ menit, konjungtiva anemis, abdomen tegang/ distended, nyeri
tekan (+) pada seluruh lapang perut, perilstatik usus menurun, dan akral
dingin. Dari pemeriksaan genital didapatkan slinger pain (+), cavum
douglasi menonjol, dari inspekulo darah (+). Pemeriksaan usg menunjukkan
tampak gestacional sack ekstra uterin dengan CRL 2,06 cm, UK : 8+5
minggu, DJJ (+), tampak hematokel retro uterina. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb : 4,3 , Hct : 13, AL : 22,1, AT : 203, AE : 1,53.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang di atas menyokong
diagnosis KET.
B. Analisa kasus penatalaksanaan
Pada umumnya penatalaksanaan kehamilan ektopik adalah dengan
laparotomy. Banyak pertimbangan dalam laparotomy, seperti kondsi penderita,
keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik,
kondisi anatomi organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro operator dan
kemampuan teknologi fertilisasi invitro. Hasil pertimbangan ini menentukan
apakah pasien ini akan dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba atau
konservatif (salpingostomi atau reanastomosis tuba) apabila penderita dalam
keadaan syok lebih baik dilakukan salpingotomi. Pada kasus ini dari
pemeriksaan fisik pasien didapatkan ku lemah, tampak sakit sedang, gizi kesan
baik, tensi 90/60, nadi 124 x/menit, konjungtiva anemis, nyeri tekan abdomen di
seluruh lapang, dinding perut tegang, akral dingin, tanda-tanda tersebut
mengarah pada syok hipovolemik, dan pada pasien ini dilakukan laparotomy
eksplorasi emergensi, dari hasil laparotomy emergensi didapatkan rupture pars
ampularis ruba dekstra, sesuai teori dilakukan salphingoekstomi dekstra, yang
terbaik untuk penderita dalam kondisi syok, dengan pertimbangan pasien sudah
memiliki anak ynag cukup (3 orang), dan apabila tidak dilakukan tindakan ini
akan membahayakan kondisi ibu ( menyebabkan kematian), dilakukan resusitasi
cairan durante operasi, literature menunjukkan dengan diagnosis dini dan
persediaan darah yang cukup angka kematian akibat kehamilan ektopik
cenderung turun. Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan
ektopik bersifat bilateral, sebagian perempuan menjadi steril setelah mengalami
kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Untuk ibu dengan anak yang sudah
cukup sebaiknya dilakukan salpingektomi bilateral, tentunya dengan persetujuan
suami-istri.
Dalam literature disebutkan kasus kehamilan ektopik di pars ampularis
tuba yang belum pecah bisa dilakukan kemoterapi untuk mencegah tindakan
invasive. Kriteria kasus yang dapat diobati dengan kriteria ini adalah kehamilan
di pars ampularis tuba belum pecah, diameter kantong gestasi <= 4 cm,
perdarahan dalam rongga perut <= 100 ml, dan tanda vital baik dan stabil. Obat
yang digunakan adalah metotreksat 1 mg/kg intravena, dan factor sitrovorum <=
0,1 mg/kgbb intramuscular selang seling selama 8 hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. dr. Hanifa W, dkk., IlmuKebidanan, Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1992, Hal. 323-334.
2. www.medica store.com/kehamilan ektopik,kehamilan luar kandungan/page:1-4
3. Prof. dr. Hanifa W. DSOG, dkk, Ilmu Kandungan,Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999, Hal 250-255.
4. www.medica store.com/kehamilan ektopik/page:1-4
5. Antonius Budi. M, Kehamilan Ektopik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2001.
6. Arif M. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 2001. Hal. 267-271.
7. Prof. Dr. Rustam. M, MPH, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal.226-235.
8. Dr. I. M. S. Murah Manoe, SpOG, dkk, Pedoman Diagnosa Dan Terapi Obstetri dan
Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 1999. Hal. 104-1