kehamilan ektopik (nizar).docx

15
ETIOLOGI Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian besar penyebabnya masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai dengan pembuahan didalam ampula tuba falopii, dan dalam perjalanan kedalam uterus telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah. Risiko terjadinya kehamilan ektopik ini meningkat dengan adanya beberapa faktor, termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, operasi pada tuba, infeksi pelvis, penggunaan IUD, dan fertilisasi in vitro pada penyakit tuba. Faktor-faktor ini mungkin berbagi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme anatomis, fungsional, atau keduanya. Pastinya sangat sulit untuk menilai penyebab dari implantasi ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba (anonim, 2008) Normalnya, seperti disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopi dan berjalan kedalam tuba ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang mengganggu fungsi normal dari tuba fallopi selama proses ini meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik. Kehamilan ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de Gaaf yang baru pecah dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam folikel, atau apabila sel telur yang dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium. Kehami lan intraligamenter biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba atau kehamilan ovarial yang mengalami ruptur dan mudigah masuk di antara 2 lapisan ligamentum latum. Kehamilan servikal berkaitan dengan faktor multiparitas yang

Upload: nugroho-nizar

Post on 02-Feb-2016

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: kehamilan ektopik (nizar).docx

ETIOLOGI

Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian besar penyebabnya

masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai dengan pembuahan didalam

ampula tuba falopii, dan dalam perjalanan kedalam uterus telur mengalami hambatan

sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah.

Risiko terjadinya kehamilan ektopik ini meningkat dengan adanya beberapa faktor,

termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, operasi pada tuba,

infeksi pelvis, penggunaan IUD, dan fertilisasi in vitro pada penyakit tuba. Faktor-faktor

ini mungkin berbagi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme anatomis,

fungsional, atau keduanya. Pastinya sangat sulit untuk menilai penyebab dari implantasi

ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba (anonim, 2008)

Normalnya, seperti disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopi dan berjalan kedalam

tuba ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang mengganggu fungsi normal dari tuba

fallopi selama proses ini meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik. Kehamilan

ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de Gaaf yang baru pecah

dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam folikel, atau apabila sel telur yang

dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium. Kehamilan intraligamenter biasany

a terjadi sekunder dari kehamilan tuba atau kehamilan ovarial yang mengalami ruptur dan

mudigah masuk di antara 2 lapisan ligamentum latum. Kehamilan servikal berkaitan

dengan faktor multiparitas yang beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada

rahim termasuk seksio sesarea. Sedangkan kehamilan abdominal biasanya terjadi

sekunder dari kehamilan tuba walau ada yang primer terjadi di rongga abdomen

(Anonim, 2005).

salpingitis akut merupakan penyebab utama dari kehamilan ektopik. Sequel morfologik

berpengaruh pada setengah dari episode awal kehamilan ektopik. Tempat keluar ovum

pada ovulasi di ovarium juga disinyalir mempunyai peran dalam kehamilan ektopik.

Ovulasi yang berasal dari arah kontralateral dari ovarium telah dianggap sebagai

penyebab dari terlambatnya transport blastokist. Bagian dari tuba dimana terjadi

implantasi pada wanita dengan kehamilan ektopik adalah sama dengan posisi korpus

luteum yang berada di ipsilateral atau kontralateral. Jika transmigrasi adalah salah

satu faktor, hipotesis dari mereka adalah ada banyak insiden terjadinya kehamilan di

distal tuba dengan ovulasi dari kontralateral ovarium (Wiknjosastro, 2006),

Page 2: kehamilan ektopik (nizar).docx

TANDA DAN GEJALA

1.   Kehamilan ektopik belum terganggu

Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur sulit untuk

diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas. Amenorea atau

gangguan haid dilaporkan oleh 75-95% penderita. Lamanya amenore tergantung pada

kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore

karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Tanda-tanda kehamilan

muda seperti nausea dilaporkan oleh 10-25% kasus (Prawirohardjo, 2007).

Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah nyeri di perut

bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum mengalami ruptur. Kadang-

kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Keadaan ini

juga masih harus dipastikan dengan alat bantu diagnostik yang lain seperti ultrasonografi

(USG) dan laparoskopi (Prawirohardjo, 2007).

Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus atau ruptur

yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka pada setiap wanita dengan gangguan

haid dan setelah diperiksa

dicurigai adanya kehamilan ektopik harus ditangani dengan sungguh sungguh

menggunakan alat diagnostic yang ada sampai diperoleh kepastian diagnostik kehamilan

ektopik karena jika terlambat diatasi dapat membahayakan jiwa penderita (Prawirohardjo,

2007).

2.   Kehamilan ektopik terganggu

Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda dari perdarahan banyak

yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas. Gejala dan

tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba,

tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum

hamil (Prawirohardjo, 2007).

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau akut biasanya

tidak sulit. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu (KET).

Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya

disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan, tekanan darah dapat

menurun dan nadi meningkat serta perdarahan yang lebih banyak dapat menimbulkan

syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan dingin. Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam

Page 3: kehamilan ektopik (nizar).docx

satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke

bagian tengah atau keseluruh perut bawah dan bila membentuk hematokel retrouterina

menyebabkan defekasi nyeri (Prawirohardjo, 2007).

Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik

terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri Karena

pelepasan desidua. Perdarahan dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna coklat tua.

Frekuensi perdarahan ditemukan dari 51-93%.  Perdarahan berarti gangguan

pembentukan Hcg (human chorionic gonadotropin) (Prawirohardjo, 2007).

Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat dan pada pemeriksaan ditemukan

tanda-tanda syok serta perdarahan rongga perut. Pada pemeriksaan ginekologik

ditemukan serviks yang nyeri

bila digerakkan dan kavum Douglas yang menonjol dan nyeri raba.5 Pada

abortus tubabiasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai

ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retouterina dapat diraba sebagai tumor

di kavum Douglas (Prawirohardjo, 2007).

Kesulitan diagnosis biasanya   terjadi   pada   kehamilan   ektopik terganggu jenis atipik

atau menahun. Kelambatan haid tidak jelas, tanda dan gejala kehamilan muda tidak jelas,

demikian pula nyeri perut tidak nyata dan sering penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal

ini dapat terjadi apabila perdarahan pada kehamilan ektopik yang terganggu berlangsung

lambat. Dalam keadaan yang demikian, alat bantu diagnostik sangat diperlukan untuk

memastikan diagnosis (Prawirohardjo, 2007).

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pada saat pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan adanya perbesaran pada bagian

rahim dikarenakan adanya tumor/mola di daerah adneksa (wibowo, 2007).

2. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas

dingin (wibowo, 2007).

3. adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan

dan nyeri lepas dinding abdomen (wibowo, 2007).

4. Pada saat dilakkukan pemeriksaan ginekologis, didapatkan seviks yang teraba

lunak, adanya nyeri tekan, dan ditemukan nyeri pada uteris kanan dan kiri

(wibowo, 2007).

PATOFISIOLOGI

Page 4: kehamilan ektopik (nizar).docx

Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi struktur blastokis

yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida. Membran glikoprotein yang tebal ini

mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio dan endosalping. Blastokis harus

keluar dari zona pelusida sebelum terjadi implantasi. Normalnya, proses pengeraman

blastokis terjadi di kavum uteri, biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi dan

fertilisasi. Jika transportasi ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba falopii.

Penyebab gangguan transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada tuba,

seperti salpingitis kronis atau adhesi perituba. Salpingitis dapat memperburuk mekanisme

transportasi ovum melalui proses rusaknya myosalping dari dinding tuba dan melalui

kerusakan pada endosalping, yang akan mengurangi jumlah silia tuba (speroff, 2005).

Perubahan pada siklus endokrin yang mempengaruhi tuba fallopii dapat menyebabkan

aberasi dalam transportasi ovum, yang akan membawa pada proses pengeraman dan

implantasi blastokis di tuba. Steroid ovarium yang berperan menonjol adalah estradiol

(E2) dan progesteron (P4), kedua hormon ini berpengaruh kuat pada tuba fallopii,

mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi. Respon kuantitatif dan

kualitatif dari tuba terhadap hormon lain seperti katekolamin dan prostaglandin, juga

berubah terhadap kadar hormon steroid dalam darah yang bisa ditolerir. Perubahan siklik

pada struktur tuba dan fungsinya dipengaruhi oleh hormon steroid ovarium ini, yang

bekerja melalui reseptor sitoplasmik spesifik yang secara kimiawi sama dengan reseptor

yang ditemukan pada bagian lain dari traktus genitalia (speroff, 2005).

Hormon steroid ovarium mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui perubahan-

perubahan pada aktivitas adrenergik dan kepekaan, melalui perubahan-perubahan dalam

sintesis prostaglandin, degradasi, dan kepekaan, dan melalui pengaruh langsung pada

myosalping. Peningkatan aktivitas kontraksi dipercayai merupakan proses mediasi E2,

dimana P4 diperkirakan mempunyai pengaruh tersembunyi pada otot-otot tuba. Karena

itu, perubahan siklik dalam kadar hormon membawa kepada peningkatan tonus ismika

saat terjadi ovulasi dan selama 1 – 2 hari berikutnya. Ini adalah periode dimana ovum

tertahan di ampula dan tertunda untuk memasuki isthmus. Pengaruh P4 menjadi

berkembang pada awal fase luteal, transportasi ovum ditingkatkan melalui mekanisme

siliar, dan pergerakan blastokis menuju ke dalam kavum uteri, dimana implantasi normal

yang seharusnya terjadi (speroff, 2005).

Perbedaan sel-sel silia dari tuba falopii, termasuk siliogenesis, merupakan proses E2-

dependent yang berlawanan dengan P4. Penelitian dengan menggunakan transmisi

mikroskopik elektron (TEM) telah mencatat bahwa siliogenesis mengambil tempat

Page 5: kehamilan ektopik (nizar).docx

selama fase proliferasi, dan sel-sel silia matur hanya tampak pada pertengahan siklus.

Bersama-sama Desiliasi dan atrofi, peningkatan P4 postovulasi, dimana 10% sampai 20%

dari sel-sel mengalami kehilangan silianya. Selama fase folikuler berikutnya, sel-sel ini

memperlihatkan regenerasi silial. Verhage dkk. menyimpulkan bahwa siliogenesis adalah

satu proses yang sensitif terhadap kadar E2 rendah. Sesungguhnya, kadar E2 cukup tinggi

selama keseluruhan stadium siklus menstruasi manusia untuk mempertahankan sel-sel

silia. Selama fase luteal, meskipun, P4 dapat memblok pengaruh E2, dan fase

penyembuhan (recovery) memerlukan P4 withdrawal (speroff, 2005).

Pada mukosa tuba manusia, frekuensi denyut silia meningkat 18% selama fase luteal.

Setelah ovulasi, terjadi peningkatan yang kritis dalam ampula dan isthmus dan tergantung

pada adanya P4 dalam lingkungan E2 yang tinggi. Perubahan dari lingkungan hormonal

yang didominasi E2 ke lingkungan yang di dominasi P4 secara temporer membawa

kepada perubahan-perubahan ultrastruktural yang menghasilkan peningkatan frekuensi

denyut silia dalam hubungan dengan transportasi ovum. Paparan yang lebih lama

terhadap efek antagonis dari P4 diluar periode transport kemungkinan disebabkan regresi

silia (speroff, 2005).

Kadar E2 dan P4 preovulasi diharapkan akan memisahkan mekanisme transportasi ovum

kompleks dan berpotensi menunda transit ovum. Sebagai contoh, insiden yang tinggi dari

kehamilan tuba telah dilaporkan terjadi selama hiperstimulasi ovarium oleh gonadotropin

eksogen dan selama pemberian progesteron dosis rendah. Progesteron eksogen, yang

dihantarkan melalui oral atau melalui alat kontrasepsi dalam rahim, dapat mengurangi

resistensi tuba falopii terhadap implantasi ektopik melalui berbagai mekanisme. Silia

akan menghilang dan myosalping boleh jadi tidak bergerak. Sebagai tambahan, sekresi

tubal anionik, yang dapat memiliki fungsi lubrikasi bagi transpor ovum sama baiknya

dengan kualitas implantation-resisting lainnya. tidak ditemukan dari tuba (speroff, 2005).

Gangguan hormonal primer yang terjadi selama hiperstimulasi oleh ovarium masih belum

jelas. Kadar E2 sirkulasi yang tinggi mungkin berperan. Kemungkinan, kadar yang

meningkat bercampur dengan peningkatan P4 atau pengaruh-pengaruhnya pada tuba,

karena itu melemahkan transpor ovum. Laufer konsentrasi lokal yang tinggi dari P4

merupakan penyebab dari nidasi tuba selama pemberian induksi superovulasi.

peningkatan lokal kadar P4, sebagai hasil dari produksi kompleks oosit-korona-kumulus

multipel (OCCC), memungkinkan ovum mengalami implantasi ektopik melalui

pergantian dalam motilitas tuba (speroff, 2005).

Page 6: kehamilan ektopik (nizar).docx

Implantasi blastokis di tuba mungkin disertai dengan produksi hCG yang cukup untuk

mempertahankan korpus luteum. Tergantung kepada kadar produksi P4, dua akibat

mungkin terjadi. Penurunan kadar P4 akan membawa kepada menstruasi dan peningkatan

kontraksi myosalping, yang dapat mengeluarkan embrio ke ujung fimbria. Apakah

kehamilan ektopik akan tetap in situ, meskipun, produksi P4 trofoblast dapat membawa

kepada keadaan localized myosalpingeal quiescence. Pertumbuhan lebih lanjut dari

kehamilan akan menyebabkan ruptur tuba (speroff, 2005).

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

Gambar 1.1 gambaran mikroskopis kehamilan ektopik (Cotran, 2006).

Dinding tuba secara luas diinfiltrasi oleh villi korionik dan sel trofoblas.

Terlihat gambaran vili korionik yang belum dewasa

Stroma ovarium dengan folikel primordial

TERAPI LAMA

Page 7: kehamilan ektopik (nizar).docx

Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik terutama pada

KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiri

dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif

terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada

dua kemungkinan prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi linier, atau 2.

reseksi segmental. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan

apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada

tuba (Barnhart, 2006)

1. Salpingotomi linier

Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan pada

kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik

terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur ini dimulai dengan menampakkan,

mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen

tuba yang meregang. Insisi kemudian diperlebar melalui dinding antimesenterika hingga

memasuki ke dalam lumen dari tuba yang meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan

dilakukan pada sisi yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan

hati-hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah yang

cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk kehamilan

ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati dengan menggunakan sedotan atau dengan

menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila perlu, hindari jangan sampai terjadi

trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan melakukan

irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk

mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa (Barnhart, 2006)

Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada

tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa pada

terjadinya adhesi intralumen. Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus,

jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan

otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa jangan ada

sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa, karena sedikit saja dapat

menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang diikuti dengan terjadinya perlengketan

(Barnhart, 2006)

2. Reseksi segmental

Page 8: kehamilan ektopik (nizar).docx

Reseksi segmental dan reanastomosis telah diajukan sebagai satu alternatif dari

salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi, jadi

prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi berikutnya. Tujuan

lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik dilakukan

dengan mengunakan mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma pada

pembuluh darah tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan

untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan

dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum.

Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Dengan benang

absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan

(Barnhart, 2006)

3. Salpingektomi

Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami ruptur, karena

perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi. Hemoperitonium yang

luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius. Insisi

suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan, dan tuba yang meregang diangkat.

Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba

kemudian dieksisi dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu uteri,

hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan

benang yang dapat 0 digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji.

Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang yang dapat

diserap. Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom

pada ligamentum latum (Barnhart, 2006)

KOMPLIKASI

Komplikasi kehamilan ektopik dapat terjadi sekunder akibat kesalahan diagnosis,

diagnosis yang terlambat, atau pendekatan tatalaksana. Kegagalan penegakan diagnosis

secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan terjadinya ruptur tuba atau uterus, tergantung

lokasi kehamilan, dan hal ini dapat menyebabkan perdarahan masif, syok, DIC, dan

kematian (symonds, 2009).

Komplikasi yang timbul akibat pembedahan antara lain adalah perdarahan, infeksi,

kerusakan organ sekitar (usus, kandung kemih, ureter, dan pembuluh darah besar). Selain

itu ada juga komplikasi terkait tindakan anestesi (symonds, 2009).

Page 9: kehamilan ektopik (nizar).docx

Anonim. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu kebidanan dan Penyakit

Kandungan. Edisi III. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.

Anonim. 2005. Standar Tatalaksana Medis Rumah Sakit fatmawati. Kehamilan ektopik

Terganggu. Jakarta.

Barnhart K, Esposito M, Coutifaris C. 2006. An update on the medical treatment of

ectopic pregnancy. In: Current reproductive endocrinology. Obstet and Gyn

Clin of North America. 27: 653-667

Prawirohardjo,  S.  2007.  Kehamilan  Ektopik   dalam  Ilmu  Bedah  Kebidanan,  Jakarta

Pusat : Yayasan Bina Pustaka.

Robbins, Cotran. Atlas of Pathology. 1st edition. Saunders Inc. Philadelphia, 2006:325-

26.

Speroff L, Glass RH, Kase NG. 2005. Endocrinology of pregnancy: Clinical gynecologic

endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins. 275-335

Symonds EM. 2009. Complication of early pregnancy: abortion, extrauterine pregnancy

and hydatidiform mole. In: Essential obstetric and gynaecology. 2nd ed.

Churchill Livingstone, 88-92

Wibowo B. 2007. Kehamilan Ektopik. Dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta:

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Wiknjosastro, Hanifa. 2006. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi ketiga.Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta..hal 323-338.