kehamilan ektopik (nizar).docx
TRANSCRIPT
ETIOLOGI
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian besar penyebabnya
masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai dengan pembuahan didalam
ampula tuba falopii, dan dalam perjalanan kedalam uterus telur mengalami hambatan
sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah.
Risiko terjadinya kehamilan ektopik ini meningkat dengan adanya beberapa faktor,
termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, operasi pada tuba,
infeksi pelvis, penggunaan IUD, dan fertilisasi in vitro pada penyakit tuba. Faktor-faktor
ini mungkin berbagi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme anatomis,
fungsional, atau keduanya. Pastinya sangat sulit untuk menilai penyebab dari implantasi
ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba (anonim, 2008)
Normalnya, seperti disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopi dan berjalan kedalam
tuba ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang mengganggu fungsi normal dari tuba
fallopi selama proses ini meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik. Kehamilan
ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de Gaaf yang baru pecah
dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam folikel, atau apabila sel telur yang
dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium. Kehamilan intraligamenter biasany
a terjadi sekunder dari kehamilan tuba atau kehamilan ovarial yang mengalami ruptur dan
mudigah masuk di antara 2 lapisan ligamentum latum. Kehamilan servikal berkaitan
dengan faktor multiparitas yang beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada
rahim termasuk seksio sesarea. Sedangkan kehamilan abdominal biasanya terjadi
sekunder dari kehamilan tuba walau ada yang primer terjadi di rongga abdomen
(Anonim, 2005).
salpingitis akut merupakan penyebab utama dari kehamilan ektopik. Sequel morfologik
berpengaruh pada setengah dari episode awal kehamilan ektopik. Tempat keluar ovum
pada ovulasi di ovarium juga disinyalir mempunyai peran dalam kehamilan ektopik.
Ovulasi yang berasal dari arah kontralateral dari ovarium telah dianggap sebagai
penyebab dari terlambatnya transport blastokist. Bagian dari tuba dimana terjadi
implantasi pada wanita dengan kehamilan ektopik adalah sama dengan posisi korpus
luteum yang berada di ipsilateral atau kontralateral. Jika transmigrasi adalah salah
satu faktor, hipotesis dari mereka adalah ada banyak insiden terjadinya kehamilan di
distal tuba dengan ovulasi dari kontralateral ovarium (Wiknjosastro, 2006),
TANDA DAN GEJALA
1. Kehamilan ektopik belum terganggu
Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur sulit untuk
diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas. Amenorea atau
gangguan haid dilaporkan oleh 75-95% penderita. Lamanya amenore tergantung pada
kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore
karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Tanda-tanda kehamilan
muda seperti nausea dilaporkan oleh 10-25% kasus (Prawirohardjo, 2007).
Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah nyeri di perut
bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum mengalami ruptur. Kadang-
kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Keadaan ini
juga masih harus dipastikan dengan alat bantu diagnostik yang lain seperti ultrasonografi
(USG) dan laparoskopi (Prawirohardjo, 2007).
Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus atau ruptur
yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka pada setiap wanita dengan gangguan
haid dan setelah diperiksa
dicurigai adanya kehamilan ektopik harus ditangani dengan sungguh sungguh
menggunakan alat diagnostic yang ada sampai diperoleh kepastian diagnostik kehamilan
ektopik karena jika terlambat diatasi dapat membahayakan jiwa penderita (Prawirohardjo,
2007).
2. Kehamilan ektopik terganggu
Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda dari perdarahan banyak
yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas. Gejala dan
tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba,
tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum
hamil (Prawirohardjo, 2007).
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau akut biasanya
tidak sulit. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu (KET).
Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya
disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan, tekanan darah dapat
menurun dan nadi meningkat serta perdarahan yang lebih banyak dapat menimbulkan
syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan dingin. Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam
satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke
bagian tengah atau keseluruh perut bawah dan bila membentuk hematokel retrouterina
menyebabkan defekasi nyeri (Prawirohardjo, 2007).
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik
terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri Karena
pelepasan desidua. Perdarahan dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna coklat tua.
Frekuensi perdarahan ditemukan dari 51-93%. Perdarahan berarti gangguan
pembentukan Hcg (human chorionic gonadotropin) (Prawirohardjo, 2007).
Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat dan pada pemeriksaan ditemukan
tanda-tanda syok serta perdarahan rongga perut. Pada pemeriksaan ginekologik
ditemukan serviks yang nyeri
bila digerakkan dan kavum Douglas yang menonjol dan nyeri raba.5 Pada
abortus tubabiasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai
ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retouterina dapat diraba sebagai tumor
di kavum Douglas (Prawirohardjo, 2007).
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik terganggu jenis atipik
atau menahun. Kelambatan haid tidak jelas, tanda dan gejala kehamilan muda tidak jelas,
demikian pula nyeri perut tidak nyata dan sering penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal
ini dapat terjadi apabila perdarahan pada kehamilan ektopik yang terganggu berlangsung
lambat. Dalam keadaan yang demikian, alat bantu diagnostik sangat diperlukan untuk
memastikan diagnosis (Prawirohardjo, 2007).
PEMERIKSAAN FISIK
1. Pada saat pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan adanya perbesaran pada bagian
rahim dikarenakan adanya tumor/mola di daerah adneksa (wibowo, 2007).
2. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas
dingin (wibowo, 2007).
3. adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan
dan nyeri lepas dinding abdomen (wibowo, 2007).
4. Pada saat dilakkukan pemeriksaan ginekologis, didapatkan seviks yang teraba
lunak, adanya nyeri tekan, dan ditemukan nyeri pada uteris kanan dan kiri
(wibowo, 2007).
PATOFISIOLOGI
Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi struktur blastokis
yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida. Membran glikoprotein yang tebal ini
mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio dan endosalping. Blastokis harus
keluar dari zona pelusida sebelum terjadi implantasi. Normalnya, proses pengeraman
blastokis terjadi di kavum uteri, biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi dan
fertilisasi. Jika transportasi ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba falopii.
Penyebab gangguan transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada tuba,
seperti salpingitis kronis atau adhesi perituba. Salpingitis dapat memperburuk mekanisme
transportasi ovum melalui proses rusaknya myosalping dari dinding tuba dan melalui
kerusakan pada endosalping, yang akan mengurangi jumlah silia tuba (speroff, 2005).
Perubahan pada siklus endokrin yang mempengaruhi tuba fallopii dapat menyebabkan
aberasi dalam transportasi ovum, yang akan membawa pada proses pengeraman dan
implantasi blastokis di tuba. Steroid ovarium yang berperan menonjol adalah estradiol
(E2) dan progesteron (P4), kedua hormon ini berpengaruh kuat pada tuba fallopii,
mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi. Respon kuantitatif dan
kualitatif dari tuba terhadap hormon lain seperti katekolamin dan prostaglandin, juga
berubah terhadap kadar hormon steroid dalam darah yang bisa ditolerir. Perubahan siklik
pada struktur tuba dan fungsinya dipengaruhi oleh hormon steroid ovarium ini, yang
bekerja melalui reseptor sitoplasmik spesifik yang secara kimiawi sama dengan reseptor
yang ditemukan pada bagian lain dari traktus genitalia (speroff, 2005).
Hormon steroid ovarium mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui perubahan-
perubahan pada aktivitas adrenergik dan kepekaan, melalui perubahan-perubahan dalam
sintesis prostaglandin, degradasi, dan kepekaan, dan melalui pengaruh langsung pada
myosalping. Peningkatan aktivitas kontraksi dipercayai merupakan proses mediasi E2,
dimana P4 diperkirakan mempunyai pengaruh tersembunyi pada otot-otot tuba. Karena
itu, perubahan siklik dalam kadar hormon membawa kepada peningkatan tonus ismika
saat terjadi ovulasi dan selama 1 – 2 hari berikutnya. Ini adalah periode dimana ovum
tertahan di ampula dan tertunda untuk memasuki isthmus. Pengaruh P4 menjadi
berkembang pada awal fase luteal, transportasi ovum ditingkatkan melalui mekanisme
siliar, dan pergerakan blastokis menuju ke dalam kavum uteri, dimana implantasi normal
yang seharusnya terjadi (speroff, 2005).
Perbedaan sel-sel silia dari tuba falopii, termasuk siliogenesis, merupakan proses E2-
dependent yang berlawanan dengan P4. Penelitian dengan menggunakan transmisi
mikroskopik elektron (TEM) telah mencatat bahwa siliogenesis mengambil tempat
selama fase proliferasi, dan sel-sel silia matur hanya tampak pada pertengahan siklus.
Bersama-sama Desiliasi dan atrofi, peningkatan P4 postovulasi, dimana 10% sampai 20%
dari sel-sel mengalami kehilangan silianya. Selama fase folikuler berikutnya, sel-sel ini
memperlihatkan regenerasi silial. Verhage dkk. menyimpulkan bahwa siliogenesis adalah
satu proses yang sensitif terhadap kadar E2 rendah. Sesungguhnya, kadar E2 cukup tinggi
selama keseluruhan stadium siklus menstruasi manusia untuk mempertahankan sel-sel
silia. Selama fase luteal, meskipun, P4 dapat memblok pengaruh E2, dan fase
penyembuhan (recovery) memerlukan P4 withdrawal (speroff, 2005).
Pada mukosa tuba manusia, frekuensi denyut silia meningkat 18% selama fase luteal.
Setelah ovulasi, terjadi peningkatan yang kritis dalam ampula dan isthmus dan tergantung
pada adanya P4 dalam lingkungan E2 yang tinggi. Perubahan dari lingkungan hormonal
yang didominasi E2 ke lingkungan yang di dominasi P4 secara temporer membawa
kepada perubahan-perubahan ultrastruktural yang menghasilkan peningkatan frekuensi
denyut silia dalam hubungan dengan transportasi ovum. Paparan yang lebih lama
terhadap efek antagonis dari P4 diluar periode transport kemungkinan disebabkan regresi
silia (speroff, 2005).
Kadar E2 dan P4 preovulasi diharapkan akan memisahkan mekanisme transportasi ovum
kompleks dan berpotensi menunda transit ovum. Sebagai contoh, insiden yang tinggi dari
kehamilan tuba telah dilaporkan terjadi selama hiperstimulasi ovarium oleh gonadotropin
eksogen dan selama pemberian progesteron dosis rendah. Progesteron eksogen, yang
dihantarkan melalui oral atau melalui alat kontrasepsi dalam rahim, dapat mengurangi
resistensi tuba falopii terhadap implantasi ektopik melalui berbagai mekanisme. Silia
akan menghilang dan myosalping boleh jadi tidak bergerak. Sebagai tambahan, sekresi
tubal anionik, yang dapat memiliki fungsi lubrikasi bagi transpor ovum sama baiknya
dengan kualitas implantation-resisting lainnya. tidak ditemukan dari tuba (speroff, 2005).
Gangguan hormonal primer yang terjadi selama hiperstimulasi oleh ovarium masih belum
jelas. Kadar E2 sirkulasi yang tinggi mungkin berperan. Kemungkinan, kadar yang
meningkat bercampur dengan peningkatan P4 atau pengaruh-pengaruhnya pada tuba,
karena itu melemahkan transpor ovum. Laufer konsentrasi lokal yang tinggi dari P4
merupakan penyebab dari nidasi tuba selama pemberian induksi superovulasi.
peningkatan lokal kadar P4, sebagai hasil dari produksi kompleks oosit-korona-kumulus
multipel (OCCC), memungkinkan ovum mengalami implantasi ektopik melalui
pergantian dalam motilitas tuba (speroff, 2005).
Implantasi blastokis di tuba mungkin disertai dengan produksi hCG yang cukup untuk
mempertahankan korpus luteum. Tergantung kepada kadar produksi P4, dua akibat
mungkin terjadi. Penurunan kadar P4 akan membawa kepada menstruasi dan peningkatan
kontraksi myosalping, yang dapat mengeluarkan embrio ke ujung fimbria. Apakah
kehamilan ektopik akan tetap in situ, meskipun, produksi P4 trofoblast dapat membawa
kepada keadaan localized myosalpingeal quiescence. Pertumbuhan lebih lanjut dari
kehamilan akan menyebabkan ruptur tuba (speroff, 2005).
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Gambar 1.1 gambaran mikroskopis kehamilan ektopik (Cotran, 2006).
Dinding tuba secara luas diinfiltrasi oleh villi korionik dan sel trofoblas.
Terlihat gambaran vili korionik yang belum dewasa
Stroma ovarium dengan folikel primordial
TERAPI LAMA
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik terutama pada
KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiri
dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif
terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada
dua kemungkinan prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi linier, atau 2.
reseksi segmental. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan
apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada
tuba (Barnhart, 2006)
1. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan pada
kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik
terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur ini dimulai dengan menampakkan,
mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen
tuba yang meregang. Insisi kemudian diperlebar melalui dinding antimesenterika hingga
memasuki ke dalam lumen dari tuba yang meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan
dilakukan pada sisi yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan
hati-hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah yang
cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk kehamilan
ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati dengan menggunakan sedotan atau dengan
menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila perlu, hindari jangan sampai terjadi
trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan melakukan
irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk
mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa (Barnhart, 2006)
Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada
tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa pada
terjadinya adhesi intralumen. Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus,
jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan
otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa jangan ada
sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa, karena sedikit saja dapat
menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang diikuti dengan terjadinya perlengketan
(Barnhart, 2006)
2. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis telah diajukan sebagai satu alternatif dari
salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi, jadi
prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi berikutnya. Tujuan
lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik dilakukan
dengan mengunakan mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma pada
pembuluh darah tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan
untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan
dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum.
Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Dengan benang
absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan
(Barnhart, 2006)
3. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami ruptur, karena
perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi. Hemoperitonium yang
luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius. Insisi
suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan, dan tuba yang meregang diangkat.
Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba
kemudian dieksisi dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu uteri,
hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan
benang yang dapat 0 digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji.
Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang yang dapat
diserap. Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom
pada ligamentum latum (Barnhart, 2006)
KOMPLIKASI
Komplikasi kehamilan ektopik dapat terjadi sekunder akibat kesalahan diagnosis,
diagnosis yang terlambat, atau pendekatan tatalaksana. Kegagalan penegakan diagnosis
secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan terjadinya ruptur tuba atau uterus, tergantung
lokasi kehamilan, dan hal ini dapat menyebabkan perdarahan masif, syok, DIC, dan
kematian (symonds, 2009).
Komplikasi yang timbul akibat pembedahan antara lain adalah perdarahan, infeksi,
kerusakan organ sekitar (usus, kandung kemih, ureter, dan pembuluh darah besar). Selain
itu ada juga komplikasi terkait tindakan anestesi (symonds, 2009).
Anonim. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu kebidanan dan Penyakit
Kandungan. Edisi III. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.
Anonim. 2005. Standar Tatalaksana Medis Rumah Sakit fatmawati. Kehamilan ektopik
Terganggu. Jakarta.
Barnhart K, Esposito M, Coutifaris C. 2006. An update on the medical treatment of
ectopic pregnancy. In: Current reproductive endocrinology. Obstet and Gyn
Clin of North America. 27: 653-667
Prawirohardjo, S. 2007. Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Bedah Kebidanan, Jakarta
Pusat : Yayasan Bina Pustaka.
Robbins, Cotran. Atlas of Pathology. 1st edition. Saunders Inc. Philadelphia, 2006:325-
26.
Speroff L, Glass RH, Kase NG. 2005. Endocrinology of pregnancy: Clinical gynecologic
endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins. 275-335
Symonds EM. 2009. Complication of early pregnancy: abortion, extrauterine pregnancy
and hydatidiform mole. In: Essential obstetric and gynaecology. 2nd ed.
Churchill Livingstone, 88-92
Wibowo B. 2007. Kehamilan Ektopik. Dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
Wiknjosastro, Hanifa. 2006. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi ketiga.Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta..hal 323-338.