kegagalan imunisasi: kesenjangan komunikasi

193

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi
Page 2: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

Kegagalan Imunisasi:

Kesenjangan Komunikasi Antara Petugas Kesehatan & Masyarakat

Etnik Aceh - Kabupaten Aceh Utara

Basunanda Wirabaskara Siti Khodijah Parinduri

Gurendro Putro

Penerbit

Unesa University Press

Page 3: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

ii

Basunanda Wirabaskara, dkk

Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

Antara Petugas Kesehatan & Masyarakat Etnik Aceh - Kabupaten Aceh Utara

Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97 Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang Gedung C-15Surabaya Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598 Email: [email protected]

[email protected]

Bekerja sama dengan: PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749

xv, 177 hal., Illus, 15.5 x 23

ISBN: 978-979-028-942-0

copyright © 2016, Unesa University Press

SUSUNAN TIM

All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik

cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 4: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

iii

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil

kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan

Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,

dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)

Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc

Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes

Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes

drg. Made Asri Budisuari, M.Kes

dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH

drs. Kasno Dihardjo

dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK

Sekretariat : Mardiyah, SE. MM

Dri Subianto, SE

Page 5: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

iv

Koordinator Wilayah:

1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.

Klaten, Kab. Barito Koala

2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung

Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan

3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah

Selatan

4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru

5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong

Selatan

6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba

Barat

7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.

Sumenep, Kab. Aceh Timur

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.

Bantaeng

9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.

Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke

10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar

11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu

Raijua, Kab. Tolikara

12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,

Kab. Muna

Page 6: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

v

KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Page 7: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

vi

Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan

Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, MKes

Page 8: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

vii

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM ............................................................................... iii KATA PENGANTAR ........................................................................ v DAFTAR ISI ..................................................................................... vii DAFTAR TABEL............................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1

I. 1. LATAR BELAKANG ......................................................... 1

I. 2. Pertanyaan Penelitian ................................................... 6

I. 3. TUJUAN ......................................................................... 6

I. 4. Metode .......................................................................... 7

I. 4.1. Penentuan Lokasi ................................................ 7

I. 4. 2. Informan Penelitian ............................................ 8

I. 4. 3. Cara Pengumpulan data ..................................... 8

I. 4. 4. Sistematika Buku ................................................ 10

BAB II SELASAR KA’BAH DALAM NAUNGAN KURMA .................. 12

II. 1. Jejak-jejak Sejarah di Aceh Utara ................................. 15

II. 1. 1. Jejak Samudera Pasai ...................................... 17

II. 1. 2. Jejak Cut Meutia ............................................. 22

II. 1. 3. Jejak Penjajahan Jepang ................................. 24

II. 2. Aceh dan Kenangan-kenangan Masa Lalu ................... 25

II. 2. 1. Tsunami ........................................................... 25

II. 2. 1. 1. Wardan ............................................ 25

II. 2. 1. 2. Meuda ............................................. 28

II. 2. 1. 3. Rajak ................................................ 31

II. 2. 1. 4. Tengku Imam ................................... 34

II. 2. 2. Darurat Militer ................................................ 36

II. 2. 3. Kriminal Akidah ............................................... 42

Page 9: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

viii

II. 3. Penghidupan Dan Karakteristik

Masyarakat Aceh Utara ............................................... 53

II. 3. 1. Steriotype Serambi Mekah ............................... 49

II. 3. 2. Bahasa Aceh sebagai Bahasa Sehari-hari ......... 57

II. 3. 3.Tiga Dusun, Pemilahan Demografis dan

Pemilahan Sosial ............................................... 61

II. 3. 4.Pendidikan Formal Versus

Pendidikan Agama ........................................... 63

II. 3. 4. 1. Pendidikan Sekolah ........................... 63

II. 3. 4. 2. Pendidikan Agama di Dayah ............. 66

II. 3. 5. Kehidupan Sosial Ekonomi ................................ 70

II. 3. 5. 1. Gaya Hidup dan Mentallitas Kerja .... 70

II. 3. 5. 2. Solidaritas Ekonomi .......................... 77

II. 3. 5. 3. Kendala yang Dihadapi Petani dan

Nelayan Pasca Tsunami .................... 77

II. 3. 5. 4. Dampak Lingkungan .......................... 81

II. 3. 5. 5. Peluang Usaha di

Bawah Hukum Syariat ...................... 82

II. 3. 6. Pengambilan Keputusan ................................... 85

II. 3. 6. 1. Tingkat Desa ...................................... 85

II. 3. 6. 2. Tingkat Rumah Tangga ...................... 89

BAB III MENILIK KESEHATAN DESA SAWANG .............................. 93

III. 1. Potret Balita ............................................................... 93

III. 1. 1. Cakupan Balita Ditimbang ............................. 94

III. 1. 2. Apa Kabar Imunisasi? ................................... 97

III. 1. 3. Kisah ASI Eksklusif di Desa Sawang .............. 100

III. 1. 4. Dalam Kemandirian Anak Desa Sawang ........ 103

III. 2. Potret Kesehatan Lingkungan ..................................... 108

III. 2. 1. Sumber Air Bersih .......................................... 108

III. 2. 2. Saluran Pembuangan Air Limbah .................. 110

III. 3. Potret Penyakit Tidak Menular ................................... 110

Page 10: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

ix

III. 3. 1. Mengenal Diabetes Melitus

bagi Desa Sawang ........................................ 111

III. 4. Potret Perilaku Kesehatan, Merokok .......................... 114

III. 5. Serba-Serbi Pelayanan Kesehatan ............................... 116

III. 5. 1. Puskesmas ...................................................... 116

III. 5. 2. Pustu .............................................................. 118

III. 5. 3. Bidan Desa ..................................................... 120

III.6 Arti Sakit Bagi Masyarakat Desa Sawang .................... 121

III. 7. Kepercayaan pada Sesuatu yang

Mempunyai Daya Penyembuh ................................... 123

III. 7. 1. Obat Gampong (obat tradisional) .................. 124

III. 7. 2. Rajah .............................................................. 126

III. 7. 2. 1. Rajah Suum (Rajah untuk Demam

Anak maupun Dewasa) ..................... 127

III. 7. 2. 2. Rajah Diganggu Oleh Jin ................... 128

III. 7. 3. Pengobatan Modern ...................................... 130

III. 8. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat,

Posyandu .......................................................... 131

BAB IV. IMUNISASI, TAK KENAL MAKA TAK SAYANG ................ 136

IV. 1. Nilai Anak .................................................................... 136

IV. 2. Akses Informasi dan Pemahaman Masyarakat

tentang Kesehatan. ..................................................... 142

IV. 3. Akses Imunisasi dan Kesehatan .................................. 145

IV. 4. Pro Kontra Imunisasi ................................................... 150

IV. 4. 1. Imunisasi di Mata Petugas Kesehatan .......... 150

IV. 4. 1. 1. Kendala dalam Upaya

Klarifikasi Haram .............................. 150

IV. 4. 1. 2. Kendala Program Imunisasi .............. 154

IV. 4. 2. Imunisasi di Mata para Tengku ..................... 157

IV. 4. 2. 1. Tengku Imam atau Imam Desa ........ 157

IV. 4. 2. 2. Tengku Sulaiman .............................. 158

Page 11: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

x

IV. 4. 2. 3. Tengku Rohman ............................... 160

IV. 4. 3. Imunisasi di Mata Orang Tua ........................ 161

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................... 166

V. 1. Dilakukan Sosialisasi dengan

Melibatkan Para Tengku .......................................... 166

V. 2. Penertiban Acara TV ................................................. 167

V. 3. Meleburkan Para Petugas Kesehatan

dalam Kehidupan Sosial Masyarakat ....................... 168

V. 4. Penelitian tentang Vaksin yang Menimbulkan

Efek Demam yang Berlebihan ................................ 169

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 171

GLOSARIUM .................................................................................. 173

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................... 175

TENTANG PENULIS ........................................................................ 176

Page 12: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Jumlah dan Cakupan Balita Ditimbang

di Posyandu Desa SawangJanuari-Mei Tahun 2015. .. 94

Tabel 3.2 Data 10 Penyakit Terbesar di Puskesmas Samudera

pada Bulan Januari-April 2015 ............................... 111

Page 13: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

xii

Page 14: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Orang Aceh Tempoe Doeloe ............................. 13

Gambar 2.2 Lambang Kerajaan Samudera Pasai .................. 17

Gambar 2.3 Batu-batu Nisan Kuno di Lokasi Tambak ........... 19

Gambar 2.4 Masjid dan Islamic Center di Lokasi Kerajaan

Samudera Pasai ................................................. 20

Gambar 2.5 Pembangunan Museum yang Terhenti ........... 21

Gambar 2.6 Rumah Cut Meutia ............................................ 22

Gambar 2 6 Makam Cut Meutia ........................................... 23

Gambar 2 7 Goa Jepang ........................................................ 25

Gambar 2 8 Gelombang Tsunami ......................................... 26

Gambar 2 9 Sandar di Bawah Pohon Kelapa......................... 28

Gambar 2.10 Gelombang Besar .............................................. 29

Gambar 2.11 Menunggu di Pantai .......................................... 30

Gambar 2.12 Ombak Menerjang ............................................ 32

Gambar 2.13 Pantai Sawang ................................................... 33

Gambar 2.14 Pekan di Tanah pasir ......................................... 43

Gambar 2.15 Lhokseumawe dari Sawang ............................... 46

Gambar 2.16 Nongkrong di Kedai ........................................... 47

Gambar 2.17 Nonton TV di Kedai ........................................... 48

Gambar 2.18 Selasar Ka’bah dalam Naungan Kurma ............. 50

Gambar 2.19 Pengungsi Burma dan Bangladesh .................... 51

Gambar 2.20 Aturan Syariat di Masjid Baiturrahim, Lhoksukon . 54

Gambar 2.21 Goyang Duma di Tanah Serambi ....................... 55

Gambar 2.22 Manok Siyam, Sang Ayam Aduan ...................... 56

Gambar 2.23 Naik Lagi!! .......................................................... 58

Gambar 2.24 Membidik Masa Depan ..................................... 59

Gambar 2.25 Ada yang Meninggal .......................................... 62

Gambar 2.26 Menuntut Ilmu Selaju Sepeda ........................... 64

Gambar 2.27 Peringatan Isra’ Mi’raj ...................................... 68

Gambar 2.28 Ngaji, Belajar Agama ......................................... 69

Page 15: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

xiv

Gambar 2.29 Seperti Memagari Lautan ................................. 72

Gambar 2.30 Gadis Aceh dalam Busana Muslimah ................ 34

Gambar 2.31 Pemuda Aceh .................................................... 75

Gambar 2.32 Tambak dan Gubuk di Ladang .......................... 80

Gambar 2.33 Gubuk untuk Menunggu Tambak ..................... 81

Gambar 2.34 Sun Set di Pantai Sawang .................................. 83

Gambar 2.35 Senja Pengrajin Pandan .................................... 84

Gambar 2.36 Mandi di Sumur ................................................ 88

Gambar 2.37 Gadis Manyam Emas......................................... 90

Gambar 2.38 Pesta Perkawinan Adat Aceh ............................ 91

Gambar 3.1 Balita di Desa Sawangsedang bermain dan

digendong di depan rumah di pagi hari ............ 93

Gambar 3.2 Ibu dan kader posyandu sedang mencoba

menimbang balita ............................................ 95

Gambar 3.3 Alat Penimbangan Bayi di Puskesmas .............. 96

Gambar 3.4 Buku Pencatatan Imunisasi Desa Sawang ........ 98

Gambar 3.5 Anak-anak Menggunakan Peralatam Tajam ..... 105

Gambar 3.6 Balita Buang Air Kecil di Depan Rumah ............ 106

Gambar 3.7 Sumur sebagai sumber air bersih ..................... 109

Gambar 3.8 Air minum dari sumur yang berwarna

kekuning-kuningan ........................................... 109

Gambar 3.9 Genangan Air Limbah ....................................... 110

Gambar 3.10 Hidangan makanan saat kenduri pernikahan ... 114

Gambar 3.11 Bapak Menggendong anaknya sambil merokok. .. 115

Gambar 3.12 Puskesmas Kecamatan Samudera .................... 118

Gambar 3.13 Pustu Desa Sawang ........................................... 119

Gambar 3.14 Tanaman Obat Demam Bagi Anak .................... 125

Gambar 3.15 Oen Hasan Tanaman Obat Demam Bagi Anak . 126

Gambar 3.16 Peralatan untuk meurajah ................................ 130

Gambar 3.17 Kader Posyandu dan Ibu yang membawa balita ... 132

Gambar 4. 1 Anak – anak momong adik mereka .................. 136

Gambar 4. 2 Kelereng Permainan Anak - Anaik .................... 137

Page 16: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

xv

Gambar 4.3 Anak yang sudah tidak sekolah

mencari uang untuk kebutuhannya sendiri ...... 138

Gambar 4. 4 Jajan ................................................................... 139

Gambar 4.5 Gaya Pemuda Aceh ........................................... 140

Gambar 4.6 Muda mudi di obyek Wisata ............................. 141

Gambar 4.7 Ngopi dan Nonton Sinetron .............................. 142

Gambar 4.8 Peristiwa Parang ................................................ 145

Gambar 4.9 Aktivitas Gotong Royong ................................... 149

Gambar 4.10 Nilai-nilai agama ditanamkan

secara rutin sejak anak-anak ............................. 153

gambar 4.11 Menutup pintu untuk orang lain, Trauma konflik . 154

Gambar 4.12 Tengku Imam ..................................................... 158

Gambar 4.13 Anak – Anak menjadi urusan para ibu .............. 161

Gambar 4.14 Senja di Balik Pagar ........................................... 165

Page 17: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Indonesia memiliki aneka ragam kekayaan alam, budaya, dan

penduduknya. Indonesia menjadi negara yang memiliki potensi besar

dalam memanfaatkan keanekaragamannya. Riset etnografi

merupakan salah satu cara mengenal aspek budaya Indonesia yang

memiliki keterkaitan dengan kesehatan masyarakat. Riset ini

memberikan peluang besar dalam mewujudkan kebijakan-kebijakan

yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat dan

menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai kekuatan dan peluang

penyelesaian masalah kesehatan.

Masalah kesehatan tidak terlepas dari faktor sosial budaya dan

lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada.

Faktorpengetahuan budaya seperti konsepsi mengenai berbagai

pantangan, hubungan sebab akibat, antara makanan dan kondisi

sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan dapat

membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Hal

tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali.1

Riset ini dilakukan untuk menggali setiap potensi yang ada di

masyarakat dalam rangka meningkatkan status kesehatan serta

menjadi bahan masukan bagi petugas kesehatan dan stakeholder yang

berperan dalam penyusunan kebijakan kesehatan. Melalui riset ini

dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan petugas kesehatan

dalam menemukan kesesuaian program kesehatan dengan kondisi

masyarakat.

1Protocol penelitian

Page 18: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

2

Riset etnografi digunakan secara luas pada beberapa

penelitian yang ada hubungannya dengan penyakit, termasuk:

menggali pengalaman sakit (Nichter, 1987), penggunaan ’explanatory

model’ pada penyakit dan penyerapan terhadap penyakit baru

kedalam kerangka kerja ’to observe record keeping’ (Allen, 1998).

Menyoroti praktek-praktek ritual dikamar operasi (Macqueen, 1995).

Penelitian tentang peran perawat dalam menolong persalinan di

masyarakat (Rapport &Maggs, 1997).2

Pada Etnis Laut di Kabupaten Indragiri Hilir kasus kematian

bayi yang tinggi disebabkan oleh kepercayaan bahwa penyakit yang

menyerang disebabkan oleh keteguran, kelintasan dan tekene yang

disebabkan mahluk gaib. Pengobatan tersebut dilakukan oleh dukun

atau pengobat tradisional dengan cara tradisional yang beresiko

menambah parahnya penyakit.3

Keanekaragaman persepsi mengenai sehat dan sakit, yang

berimplikasi pada pemilihan cara perawatan kesehatan, umumnya

ditentukan oleh kebudayaan, yang berisi: pengetahuan, kepercayaan,

nilai, dan norma dalam kehidupan masyarakat. Lebih jelasnya,

kebudayaan menentukan apa yang menyebabkan seseorang

menderita sakit (etiologi penyakit) akibat dari kelakuannya, serta

mengapa perawatan kesehatan mengikuti cara-cara tertentu. Oleh

karena itu, gagasan-gagasan budaya dapat menjelaskan makna

hubungan timbal balik antara gejala-gejala sosial dari penyakit dan

perawatan kesehatan dengan gejala biologis dan biomedis. Hubungan

antara gejala sosialbudaya dengan gejala biologis dan biomedis dapat

2 Setyowati, Etnografi Sebagai Metode Pilihan dalam Penelitian Kualitatif di Keperawatan 3 Nuraini, S., Syahputra, A., Saputra, F., Budisuari, M.A. 2014.Tangis Budak dari Negeri Seribu Jembatan. Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB.

Page 19: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

3

disebut sebagai gejala bio-budaya.4Gejala-gejala ini yang kemudian

harus disesuaikan dengan pembangunan kesehatan masyarakat.

Pembangunan kesehatan jangka panjang secara ringkas

dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN). Pembangunan bidang kesehatan merupakan upaya untuk

memenuhi satu hak dasar rakyat, sesuai dengan UU nomor 36 tahun

2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak

atas kesehatan.5

Masyarakat dan unsur lainnya harus diikutsertakan dalam

bentuk pemberdayaan dan kemitraan mengelola kehidupan

lingkungan yang layak sehingga konsep sehat secara paripurna dapat

tercapai. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan diutamakan bagi

penduduk rentan yakni ibu, bayi, anak, usia lanjut dan keluarga miskin

yang dilaksanakan melalui peningkatan upaya pokok pembangunan

kesehatan.6

Imunisasi sebagai salah satu upaya preventif kesehatan

masyarakat dalam meningkatkan kesehatan bayi dan investasi di masa

yang akan datang. Tematik imunisasi ini dipilih berdasarkan kondisi

lapangan yang ditemukan dengan hasil studi data sekunder yang

diperoleh di awal. Imunisasi menjadi bagian dari upaya preventif

dalam mencegah terjadinya penyakit menular seperti TBC anak,

campak, difteri, pertusis, tetanus dan polio di masyarakat serta

meningkatkan imunitas bayi yang rentan terserang penyakit. Imunisasi

merupakan salah satu program nasional dari Kementerian Kesehatan

dalam mencegah terjadinya serta penularan penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi.

4 Rianto, Nurcahyo Tri. Etnografi Kesehatan 5 IPKM 2013 6 IPKM 2013

Page 20: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

4

Kementerian kesehatan membagi program imunisasi pada bayi

dikelompokkan menjadi beberapa jenis vaksinasi yaitu BCG, HB0, DPT

dan HB1, DPT3 dan HB3, Polio 3 dan campak. Adanya penurunan

jumlah imunisasi pada bayi perlu mendapat perhatian dari pelaksana

program, mengingat peningkatan status kesehatan bayi sangat

dipengaruhi dari kekebalan bayi terhadap penyakit yang akan

dimunculkan, akibat ketidaklengkapan imunisasinya.7

Sebagian besar kabupaten/kota di provinsi Aceh belum dapat

mencapai target yang ditetapkan pada tahun 2013 yaitu 90%. Capaian

Provinsi Aceh untuk DPT1 dan HB1 mencapai 92.341 (87%), DPT3 dan

HB3 86.603 (81%), cakupan imunisasi campak bayi mencapai 85.264

(80%) sementara yang drop out DPT1 sampai campak adalah 7.7%.

Imunisasi BCG sampai saat ini masih mencapai 92.167 (87%), Polio4

mencapai 88.693 (83%) dan imunisasi dasar lengkap 78.225

(73%).8Aceh yang telah memiliki target cakupan imunisasi sebanyak

90%, pada pelaksanaannya mencapai target imunisasi dasar lengkap

sebanyak 73%. Aceh menjadi salah satu provinsi yang perlu

meningkatkan upaya pencapaian target imunisasi.

Aceh Utara dalam melakukan upaya preventif melalui

imunisasi tercatat pada tahun 2013 memperoleh capaian imunisasi

BCG 1-.40 (85%), DPT dan HB1 10.726 (87.6%), DPT3 dan HB3 9.880

(80.7%), Polio4 10.422 (84.5%) dan campak 9.916 (80.9%). Capaian

imunisasi di Aceh Utara menunjukkan bahwa capaian Aceh Utara

masih dibawah dari capaian Provinsi Aceh sendiri.9

Suatu kelurahan telah mencapai target Universal Child

Immunization (UCI) apabila lebih dari 80% bayi di desa tersebut

mendapat imunisasi dasar lengkap dalam waktu 1 tahun. Pada tahun

2013 dilaporkan kabupaten Aceh Utara telah mencapai 7 Profil Kesehatan Aceh Tahun 2013 8 Profil Kesehatan Aceh Tahun 2013 9 Profil Dinas Kesehatan Aceh Utara tahun 2013

Page 21: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

5

Desa/Kelurahan UCI sebesar 647 (75.9%) dari 852 Desa/Kelurahan.

Dari 31 Puskesmas yang telah mencapai UCI 100% adalah Puskesmas

Nisam antara, Banda Baro, Geuredong, Tanah Pasir, Nibong dan

Seunuddon.

Berdasarkan data dia atas menunjukkan bahwa capaian

imunisasi belum mencapai target berdasarkan penghitungan. Selain

pencapaian yang belum memenuhai target, kondisi di lapangan juga

menyatakan bahwa adanya pengakuan dari pihak puskesmas terkait

dengan kendala dalam pelaksanaan imunisasi.

Aceh Utara terdiri dari beberapa kecamatan, salah satunya

ialah kecamatan Samudera yang dikenal sebagai salah satu wilayah

peninggalan Samudera Pasai, yaitu kerajaan tertua Islam yang dikenal

memiliki banyak peninggalan budaya kerajaan Samudera Pasai.

Kecamatan Samudera memiliki satu Puskesmas sebagai fasilitas

kesehatan bagi masyarakat di Kecamatan Samudera dan memiliki satu

Puskesmas Pembantu sebagai akses terdekat bagi desa yang berada

cukup jauh dari Puskesmas. Selain itu,adajuga Polindes yang belum

dimanfaatkan sebagai fasilitas kesehatan, karena bidan desa yang

bertugas tidak menempati Polindes tersebut dan tempat tinggalnya di

desa lain.

Salah satu desa yang berada di Kecamatan Samudera ialah

Desa Sawang yang merupakan salah satu desa yang memiliki jumlah

penduduk terbanyak yaitu dengan jumlah 367 KK dan terdiri dari

sekitar 1500 jiwa. Desa Sawang menjadi salah satu rekomendasi

kepala puskesmas Samudera sebagai tempat untuk melihat fenomena

yang terjadi mengenai cakupan imunisasi yang rendah serta kondisi

kesehatan yang terjadi.

Berdasarkan pengalaman petugas kesehatan yang telah

bertugas menyatakan bahwa adanya isu yang beredar mengatakan

bahwa imunisasi “haram” dan penolakan masyarakat akan imunisasi

Page 22: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

6

menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat sulit menerima

imunisasi, sehingga peneliti akan menggali lebih dalam mengenai hal

tersebut. Unsur keagamaan yang dikaitkan sebagai salah satu faktor

penghambat penerimaan masyarakat terhadap program kesehatan

menjadi perlu dikaji lebih dalam.

Oleh karena itu peneliti menjadikan imunisasi sebagai tematika

dari penelitian ini dalam menemukan rekomendasi terbaik bagi

kesehatan masyarakat Desa Sawang maupun petugas kesehatan.

I. 2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas pertanyaan penelitian ini adalah

1. Bagaimana gambaran aspek budaya yang ada di Aceh Utara?

2. Bagaimana gambaran situasi kesehatan masyarakat Aceh Utara?

3. Bagaimana aspek kebudayaan masyarakat memberikan pengaruh

terhadap rendahnya cakupan imunisasi di Aceh Utara?

I. 3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini ialah

1. Memperoleh gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya

masyarakat Aceh Utara

2. Memperoleh gambaran situasi kesehatan meliputi Kesehatan Ibu

dan Anak (KIA), penyakit tidak menular (PTM), Penyakit menular

(PM), dan Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang

dilaksanakan di Aceh Utara.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis kebudayaan dalam rangka

memahami masalah rendahnya cakupan imunisasi pada etnik

Aceh Utara di Kabupaten Aceh Utara, kecamatan Samudera, desa

Sawang.

Page 23: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

7

4. Menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk

penyelesaian permasalahan kesehatan berbasis budaya Aceh

Utara.

I. 4.Metode

I. 4.1. Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi dilakukan berdasarkan ranking Indeks

Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) rendah tahun 2013,

dimana Aceh Utara menduduki ranking 424 di Indonesia. Datalain

yang mendukung status kesehatan masyarakat yang masih dalam

status kesehatan rendah. Berdasarkan studi literatur ditentukan

Kabupaten Aceh Utara sebagai sasaran lokasi penelitian di Kecamatan

Samudera.

Dasar pemilihan lokasi ditentukan berdasarkan hasil diskusi

dengan pihak Dinas Kesehatan Aceh Utara, yaitu berada di Kecamatan

Samudera yang dikenal sebagai salah satu daerah di Aceh Utara

dikenal dengan peninggalan kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Melalui Puskesmas Samudera, ditentukan Desa Sawang sebagai lokasi

penelitian yang dipilih berdasarkan jumlah penduduk terbanyak di

Kecamatan Samudera, yaitu sekitar 1.500 jiwa, dianggap sebagai salah

satu desa yang memiliki permasalahan dalam cakupan imunisasi dan

masyarakat yang masih terikat dengan budaya setempat sehingga

dianggap mampu menggambarkan unsur kebudayaan yang

berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Aceh, kabupaten Aceh

Utara Kecamatan Samudera Desa Sawang selama 35 hari (24 April-28

Mei 2015) dengan metode penelitian kualitatif yang menggunakan

desain eksploratif. Dalam penelitian ini, peneliti langsung ke lapangan

mencari data melalui informan yang terkait dengan tema penelitian.

Menurut Spradley (1997) etnografi adalah suatu kebudayaan

yang mempelajari kebudayaan lain, etnografi merupakan suatu

Page 24: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

8

bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori

etnografi, dan berbagai macam deskriptif kebudayaan.10

I. 4. 2. Informan Penelitian

Informan penelitian ini adalah masyarakat desa Sawang yang

dianggap dapat memberikan informasi mengenai keadaan sosial

budaya dan gambaran terkait dengan permasalahan kesehatan

masyarakat desa Sawang. Teknik pengambilan dilakukan secara

purposif, yaitu sengaja memilih informan dengan kriteria tertentu.11

I. 4.3. Cara Pengumpulan data

Peneliti merupakan instrumen dari penelitian itu sendiri yang

perlu didukung oleh pedoman untuk mencari data. Instrumen

pendukung tersebut ialah pedoman indepth interview, buku catatan

harian (logbook), kamera foto, video dan perekam suara. Cara

pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi

partisipatif), wawancara mendalam, dokumentasi serta penelusuran

referensi dan data sekunder.12

Observasi partisipatif adalah proses dimana sebagai peneliti,

fokusnya adalah dirinya sendiri secara keseluruhan dalam situasi

sosial. Dengan demikian peneliti akan lebih dekat dengan masyarakat

ketika mereka berespon terhadap kehidupan, dan tidak hanya

mendengar apa yang mereka katakan tetapi mengambil semuanya

dari yang respon terkecil mereka terhadap situasinya (Goffman,

10Ningsi, Ngeolima, R., Hamzah, S., Handayani, L. Rekam Jejak Terengi. Etnik Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 11 Ningsi, Ngeolima, r., Hamzah, s., Handayani, l. Rekam Jejak Terengi. Etnik Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 12 Protokol Penelitian hal 17

Page 25: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

9

1989).13 Observasi Partisipatif dilakukan melalui kegiatan peneliti

dengan hidup dan tinggal di salah satu rumah masyarakat serta

mengikuti berbagai kegiatan masyarakat selama penelitian

berlangsung.

Wawancara dilakukan ketika masyarakat sedang tidak bekerja

sehingga menciptakan situasi yang nyaman saat melakukan

wawancara. Wawancara dilakukan dengan melakukan janji maupun

secara langsung saat bertemu dan dalam kondisi yang memungkinkan

untuk diwawancara dengan mengupayakan tidak ada pihak ketiga

sebagai sumber informasi saat wawancara.

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh

Utara, Puskesmas Samudera dan referensi buku-buku serta hasil

penelitian yang berhubungan dengan topik penelitian. Penelusuran

data sekunder, referensi dan pustaka atau bahan dokumen lain yang

berkaitan dengan substansi penelitian menjadi data pendukung

penelitian. Data yang telah dikumpulkan mempunyai nilai penting bagi

peneliti. Data yang berhasil dikumpulkan baik data primer dan

sekunder selama penelitian berlangsung di Desa Sawang pada etnik

Aceh Utara, dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif

deskriptif.

Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

triangulasi data, yaitu digunakan variasi sumber data yang berbeda

dengan melihat kembali dan membandingkan informasi yang

diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda dalam metode

kualitatif yang dilakukan dengan (a) membandingkan data hasil

pengamatan dengan wawancara yang dilakukan, (b)membandingkan

apa yang dikatakan orang di depan umum dengan yang dikatakan

secara pribadi, (c) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang

13 Setyowati. Etnografi Sebagai Metode Pilihan dalam Penelitian Kualitatif di Keperawatan

Page 26: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

10

situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (d)

membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat serta pandangan orang lain dan (e) membandingkan hasil

wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Hasil dari

perbandingan yang diharapkan adalah berupa kesamaan atau alasan-

alasan terjadinya perbedaan.14

Kelemahan dalam penelitian ini adalah waktu penelitian yang

dilakukan selama 35 hari (24 April – 28 Mei 2015) dalam menggali

informasi dari masyarakat sehingga memberikan ruang pada beberapa

bagian penelitian yang kurang mendalam. Waktu yang diestimasikan

selama 35 hari membatasi peneliti untuk melakukan eksplorasi pada

banyak topik pembahasan sehingga memungkinkan peneliti hanya

menggali informasi secara mendalam pada beberapa bagian saja.

1.4.4 Sistematika Buku

Bagian ini merupakan deskripsi mengenai struktur/isi buku

sehingga memudahkan pembaca mengetahui susunan isi secara

ringkas. Buku ini terdiri atas enam bab yang berisi deskripsi dan

analisis yang dilakukan berdasarkan ruang lingkup kajian dan tidak

keluar dari wilayah studi yang direncanakan. Keenam bab tersebut

dideskripsikan secara umum sebagai berikut: 1. Bab 1 menjelaskan tentang gambaran umum atas studi yang

dilakukan, latar belakang, masalah, pertanyaan penelitian,

tujuan, metode, dan sistematika buku.

2. Bab 2 menjelaskan tentang sejarah, asal-usul, serta

perkembangan yang terjadi pada masyarakat Etnik Aceh Utara.

3. Bab 3 menjelaskan tentang situasi kesehatan yang dikaitkan

dengan budaya masyarakat etnik Aceh Utara yang dijelaskan

melalui konsep sehat sakit yang dipahami oleh masyarkat,

14 Moelong dan Bardiansyah dalam Syafrina Ulfah, 2007

Page 27: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

11

kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap memiliki daya

penyembuh, health seeking behaviour yang ada di Etnik Aceh

Utara, kejadian kesakitan, potret balita, upaya kesehatan

berbasis masyarakat, Potret Penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi.

4. Bab 4 menjelaskan secara lebih mendalam mengenai potret

penerimaan imunisasi pada masyarakat etnik Aceh Utara yang

dapat dilihat melalui analisis unsur budaya dan kesehatan yang

ada di masyarakat Desa Sawang.

5. Bab 5 menjelaskan mengenai uraian singkat atas kesimpulan

yang diperoleh dari hasil penelitian yang menjawab dari

pertanyaan penelitian dan beberapa rekomendasi yang

ditawarkan dalam menanggapi hasil studi yang telah dilakukan

dalam upaya memeperkuat dan meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat etnik Aceh Utara.

Dalam buku ini penulisan nama-nama tokoh disamarkan

dengan nama alias. Hal ini untuk menjaga privasi dan kerahasiaan para

informan dan tokoh-tokoh yang diceritakan.

Page 28: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

12

BAB II

SELASAR KA’BAH DALAM NAUNGAN KURMA

Serambi Mekah di bawah Undang-undang Syariat. Sejak abad

ke 13 Aceh menjadi negara Islam di bawah pemerintahan Kerajaan

Samudera Pasai. Peri kehidupan bermasyarakat dijalankan dengan

syariat Islam. Ketika Kerajaan Samudera Pasai runtuh pada abad ke 16

sistem syariat ini terus berlanjut di bawah kepemimpinan para

pemimpin agama Islam atau Tengku.

Ketika masa penjajahan Belanda, Zentgraaff15 mencatat bahwa

perlawanan yang dilakukan orang-orang Aceh dalam Perang Aceh

(1873-1904) di samping dipimpin oleh para bangsawan dan

uleebalang juga dipimpin oleh para Tengku. Dalam buku itu pula

Zengraaff menggambarkan bagaimana perempuan Aceh yang cantik-

cantik sangat berani memimpin perlawanan terhadap penjajahan

Belanda. Keberanian para perempuan Aceh itu melebihi keberanian

para pemimpin laki-lakinya yang juga sangat berani. Para perempuan

itu memimpin perlawanan dengan bersembunyi di gunung-gunung.

“...bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang

serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh; dan

kaum wanita Aceh, melebihi kaum wanita bangsa-bangsa

lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan

merekapun melampaui kaum lelaki Aceh yang sudah

dikenal bukanlah lelaki lemah, dalam mempertahankan

cita-cita bangsa dan agama mereka.” (Zentgraaff, 1938)

15 Zentgraaff adalah mantan tentara Belanda yang pernah bertugas di aceh dan beralih profesi menjadi wartawan dengan jabatan terakhir sebagai redaktur di harian Java Bode.

Page 29: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

13

Gambar 2.1

Orang Aceh Tempoe Doeloe

Foto : repro buku “Atjeh”

Page 30: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

14

Demikianlah Aceh pada masa dahulu. Di bawah hukum syariat

para laki-laki gagah berani dan para perempuan tidak kalah berani

dalam membela bangsa dan agama Islam. Semangat itu ditanamkan

oleh para ibu sejak anak masih di dalam buaian.

Pada masa itu para ibu di aceh menina bobokan anak mereka

dengan lagu “Do Da Idi”, lagu rakyat aceh untuk menimang-nimang

bayi. Berbeda dengan lagu nina bobo dari daerah lain yang biasanya

berisi syair untuk melenakan bayi supaya tidur atau pernyataan

memberi perlindungan kebada bayi supaya terhindar dari penyakit

dan gangguan, lagu “Do Da Idi” menanamkan semngangat untuk

berperang membela bangsa tanpa rasa takut, iklas dengan nama

Allah.

“…

Beurijang rayek muda seudang

Tajak bantu prang ta bela Nangroe

Wahe aneuk bek ta duk le

Beudoh sare ta bela bangsa

Bek ta takot keu darah ile

Adak pih mate po ma ka rela

...” (lagu rakyat Aceh)

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti:

“…

Cepatlah besar anakku sayang, tumbuh menjadi

pemuda

Supaya bisa ikut berperang membela Negara

Wahai anakku, janganlah duduk dan berpangku tangan

lagi

Mari bangkit bersama membela bangsa

Janganlah takut jika darah mengalir

Walaupun engkau mati, ibu sudah rela

... ”

Page 31: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

15

Kondisi mental kultural orang Aceh masa lalu yang hebat itu sekarang

nyaris tidak kelihatan bekasnya.

Perubahan orientasi syariat Islam ini terjadi ketika Snouck

Hurgronje menjadi penasehat Gubernur Jenderal kolonial sejak 1898

untuk menaklukkan Aceh. Setelah gagal menghapus syariat Islam

dengan perang selama empat puluh tahun, Snouck Hurgronje

menyarankan pemerintah kolonial untuk tidak mencampuri urusan

agama dan memberikan kebebasan pada masyarakat Aceh untuk

mengembangkan agamanya. Hanya manifestasi politik Islam itu yang

dirubah di bawah panduan kebijakan pemerintah kolonial.

Tahun 1905 Perang Aceh berakhir dengan korban limapuluh

ribu tentara kolonial dan seratus ribu penduduk, serta satu juta orang

terluka. Tahun 1912 muncul Syarekat Islam yang merupakan partai

politik Hindia Belanda pertama yang berdasarkan prinsip-prinsip

Islam16.

Dengan strategi ini syariat Islam tidak lagi menyerang

pemerintah kolonial tetapi menyerang masyarakat Aceh sendiri.

Banyak larangan dikeluarkan oleh para Tengku. Orang Aceh tidak

boleh begini-begitu, perempuan Aceh tidak boleh melakukan banyak

hal. Orang Aceh menjadi sibuk menertibkan mereka sendiri untuk

tidak melanggar ‘syariat Islam’ yang dijalankan di bawah panduan

pemerintah kolonial. Meminjam istilah yang diungkapkan seorang

pemuda di Desa Sawang sekarang ini, Aceh adalah ‘tempat dengan

banyak larangan’.

II. 1. Jejak-jejak Sejarah di Aceh Utara

Memasuki Kabupaten Aceh Utara saya mulai mencari-cari

bekas-bekas peninggalan sejarah Aceh yang masyhur terdengar

sampai ke setiap bangku sekolah di seluruh Indonesia.

16 Sumber: wikipedia.org, diakses 26-6-2015.

Page 32: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

16

“Kalau di sini ada bangunan bersejarah gak, Bang?”

“Kalau bangunan bersejarah gak ada, kalau makam ada.. , ”

Begitu obrolan saya dengan orang-orang di Aceh Utara yang

saya jumpai. Beberapa kali saya mencoba menelisik sejarah melalui

bangunan yang ada, jawaban mereka hampir sama. Tidak ada

bangunan bersejarah masa lalu. Yang masih ada adalah makam.

Makam Malikussaleh di kecamatan Samudera dan makam Cut Mutia

di Lhoksukhon.

Kalau dilihat sejarahnya, Aceh Utara merupakan pusat

kerajaan Islam terbesar dan pertama di Indonesia. Ketidak adaan

bangunan bersejarah itu cukup mengherankan bagi saya. Seperti

apakah Kerajaan Samudera Pasai waktu itu? Seperti apakah

masyarakat Aceh ini? Apa yang telah terjadi? Bermacam pertanyaan

muncul sehingga sekarang tidak ada lagi bekas dan peninggalan

kerajaan besar Islam yang tersisa.

Di Aceh Utara ini ada keturunan Ampeun. Mereka adalah

keturunan saudagar kaya yang sekarang sering menjual propertinya

untuk memenuhi gaya hidupnya karena hanya harta itu warisan yang

dia miliki. Mentalitas kerja sebagai saudagar tidak mereka warisi. Di

samping itu ada keturunan Sayid dari Gujarad. Mereka adalah

keturunan bangsawan pada masa kasultanan Islam. Keturunan

bangsawan dari masa sebelum islam adalah para teuku (bangsawan

laki-laki) dan cut (bangsawan perempuan). Keturunan Tengku adalah

mereka yang melek ilmu agama Islam. Status Tengku ini sebenarnya

tidak diwariskan tetapi bisa diraih dengan mengikuti pendidikan di

Dayah atau pesantren selama setidaknya delapan tahun. Biasanya

bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun.

Tiga status sosial yang secara tradisional menempati status

sosial atas ini dalam praktek sehari-hari bisa dibilang sudah ‘tidak ada’.

Entah sudah bergeser atau karena sistem pengetahuannya tidak

Page 33: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

17

terwariskan, yang jelas dalam peri kehidupan masyarakat sudah

tidaklah nampak. Mungkin juga karena secara ekonomi kehidupan

mereka relatif sama. Hanya para Tengku yang secara sosial masih eksis

menjadi panutan dan didengarkan omongannya di masyarakat

meskipun tauladannya tidak sebesar dulu.

II. 1. 1. Jejak Samudera Pasai

Kerajaan Samudera Pasai yang berdiri tahun 1297 merupakan

kerajaan Islam pertama dan terbesar di Indonesia. Pada masa

kerajaan ini, yaitu pada periode abad ke 13-16, Samudera Pasai

menjadi penghasil rempah-rempah terbesar di dunia dan menguasai

perdagangan di nusantara. Pelabuhan Samudera Pasai ramai

dikunjungi pedagang dan saudagar dari seluruhdunia. Nama kerajaan

tersebut, Samudera, kemudian menjadi nama baru bagi pulau tempat

kerajaan tersebut berada. Disebut oleh orang-orang Portugis

dengan lafal Sumatra17.

Gambar 2.2

Lambang Kerajaan Samudera Pasai

Foto : Wirabaskara

17 Kesultanan Samudera Pasai, melayuonline.com.

Page 34: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

18

Makam Meurah Silu, yang ketika menjadi raja pertama

kerajaan Samudera Pasai bergelar Sultan Malik Ash Shalih terletak di

Desa Beringin, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.

Masyarakat di sini menyebutnya Malikussaleh. Makam ini terletak

tidak jauh dari pantai. Dikenal sebagai makam pemimpin Islam yang

suci dunia-akhirat, sebagaimana diwartakan oleh juru kunci kepada

setiap peziarah yang datang. Ketika tsunami melanda Aceh air laut

yang akan menerjang makam ini terbelah sehingga makam tidak

diterjang tsunami dan tidak mengalami kerusakan. Kejadian ini

semakin meyakinkan masyarakat tentang kesucian Malikussaleh.

Di sekitar komplek makam Malikussaleh ini tersebar makam

raja-raja dan panglima kerajaan Samudera Pasai. Terdapat setidaknya

dua belas kompleks makam raja-raja dan panglima yang masih terjaga

dan dipagari sebagai Benda Cagar Budaya.

Kompleks-kompleks makam tersebut tersebar di desa-desa di

wilayah selatan Kecamatan Samudera, yang dibelah dari timur ke

barat oleh jalan Medan Banda Aceh. Di luar kompleks-kompleks

makam yang sudah dipagari tersebut terdapat banyak makam tidak

dikenal yang mempunyai bentuk batu nisan yang sama dengan yang

ada di dalam kompleks-kompleks.

Makam-makam yang ada di luar pagar kompleks-kompleks ini

tidak dirawat oleh warga, bahkan cenderung tidak dianggap sama

sekali. “Itu makam orang-orang Turkey, bukan makam orang sini,”

kata Pak Syam ketika dia mulai bercerita tentang sejarah pembuatan

tambak di Desa Sawang ini.

“Pertama kali orang membuat tambak itu tahun enam

puluhan di Blang Nibong. Itu, di kampung sebelah situ.

Dekat saja. Dia orang miskin, tidak punya sawah untuk

digarap. Lalu dia menggarap tanah hutan—tanah yang

tidak ada pemiliknya—untuk dijadikan tambak. Lalau dia

menanam bandeng. Bibitnya dia cari di laut. Kalau di Desa

Page 35: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

19

Beringin lebih lama lagi. Mungkin sebelum itu sudah ada.

Ketika saya lahir sudah ada tambak-tambak di sana.

Kemudian sekitar tahun tujuh puluh tujuh orrang ramai

membuat tambak di sini. Dulunya tambak-tambak itu

adalah sawah. Karena hasil tambak jauh lebih banyak dari

hasil sawah orang membuatnya menjadi tambak.”

Di wilayah Utara Kecamatan Aceh utara ini masyarakat banyak

membuat tambak karena letaknya yang dekat dengan laut. Beberapa

kompleks makam yang tidak terletak di tengah kampung sudah

dikelilingi oleh tambak. Pada waktu masyarakat membuat tambak ini

mereka banyak menemukan pecahan keramik dan gerabah serta batu

nisan yang tidak mereka kenal. Pecahan keramik dan gerabah serta

batu-batu nisan itu disingkirkan saja ke pinggir bersama tanah yang

dijadikan pematang tambak. Selang beberapa tahun ada juga batu

nisan yang tiba-tiba muncul di tengah tambak dan dibiarkan saja.

Sebuah nisan yang sekarang berada di dalam komplek makam Balee

Batee bahkan dulu dipakai orang untuk mengasah parang sehingga

meninggalkan bekas cekungan untuk mengasah. Makam-makam kuno

itu sepertinya profan saja bagi masyarakat di Aceh Utara.

Gambar 2.3

Batu-batu Nisan Kuno di Lokasi Tambak

Foto : Wirabaskara

Masyarakat di Desa Sawang sebagaimana masyarakat Aceh

Utara pada umumnya adalah masyarakat yang tinggal di atas tanah di

mana dulu berdiri kerajaan Islam besar bernama Samudera Pasai.

Page 36: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

20

Meskipun tinggal di atas tanah yang sama tetapi masyarakat sekarang

sudah ‘putus mata rantai’ dengan tradisi moyangnya. Keahlian dan

kemampuan yang dulu tentulah ada dan maju pada masa Kasultanan

Samudera Pasai sekarang tidak ada lagi. Sebuah desa bernama Blang

Pande di Kecamatan Tanah Pasir mungkin menjadi satu-satunya desa

yang masih mewarisi keahlian menjadi pande besi.

Orang-orang tua tidak menceritakan sejarahnya pada anak-

cucu. Sekarang tidak ada lagi yang tahu cerita tentang leluhur mereka

dari jaman Kerajaan Samudera Pasai. Apa lagi cerita dari masa

kerajaan Hindu. Ada beberapa orang yang tahu sedikit tentang

informasi Kerajaan Samudera Pasai tetapi pengetahuan mereka

sebatas apa yang bisa dicari di google. Pengetahuan itu bukan mereka

dengar dari cerita-cerita orang tua. Tidak ada tradisi lisan yang

menceritakan sejarah masa lalu mereka secara turun-temurun.

Gambar 2.4 Masjid dan Islamic Center di Lokasi Kerajaan Samudera Pasai

Foto: Wirabaskara

Page 37: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

21

Putus sudah pengetahuan mereka dengan sejarah masa lalu

yang mempunyai nama besar. Tidak ada lagi yang diketahui kecuali

bahwa rakyat Aceh semuanya beragama Islam, yang dibawa dan

disebarkan pertama kali oleh Sultan Malikussaleh—raja pertama

Kerajaan Samudera Pasai.

Perhatian pemerintah daerah terhadap peninggalan ini

sebenarnya sudah ada. Di atas tanah yang diperkirakan tempat

berdirinya Kerajaan Samudera Pasai dibangun masjid dan Islamic

Center serta sebuah musium besar sedang dibangun. Desain kedua

bangunan ini sepertinya tidak ada unsur Aceh massa lalunya.

Kontemporer saja.

Gambar 2.5

Pembangunan Museum yang Terhenti

Foto: Wirabaskara

Page 38: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

22

II. 1. 2. Jejak Cut Meutia

Gambar 2. 6

Rumah Cut Meutia

Foto: Wirabaskara

Dalam sejarah perjuangan melawan penjajah di Indonesia

Aceh menyumbangkan beberapa nama pahlawan besar. Di samping

Cut Nya’ Dhien, Cut Meutia adalah nama pejuang perempuan yang

masih dikenal masyarakat. Cut Meutia lahir pada tahun 1870 di Desa

Pirak, Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara. Beliau wafat

dalam pertempuran dengan pasukan Marsose Belanda pimpinan

Sersan Mosselman di hulu Sungai Peutoe pada tanggal 25 Oktober

1910. Atas keputusan para pengikutnya beliau dimakamkan di Gunong

Lipeh yang merupakan tempat kejadian18.

Rumah Cut Meutia masih berdiri dengan cantik dan terpelihara

sebagai cagar budaya di Aceh Utara. Makamnya yang dulunya

bernisan batu bundar sebesar bola juga sudah dipugar. Batu bundar

yang menjadi nisan di makam-makam kuno khas masyarakat Aceh

18 Sebagaimana tertulis dalam prasasti di depan monumen rumah kediaman Cut Meutia.

Page 39: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

23

Utara sudah berubah menjadi makam yang bagus seperti makam raja-

raja Kerajaan Samudera Pasai.

Gambar 2. 6

Makam Cut Meutia

Foto: atjehliterature.blogspot.com

Hanya peninggalan rumah dan makam Cut Meutia itu yang

masih ada dan diketahui masyarakat di Aceh Utara pada umumnya.

Cerita perjuangannya tidak banyak yang tahu, kecuali bahwa beliau

adalah pahlawan nasional yang berjuang melawan penjajahan

Belanda.

Cerita perjuangan kemerdekaan yang masih kuat diingat oleh

orang-orang Aceh Utara adalah ketika Bung Karno sebagai presiden

pertama Repoeblik Indonesia datang ke Aceh untuk minta bantuan.

Oleh masyarakat Aceh Bung Karno diberi uang dan pesawat untuk

menjalankan diplomasi dengan luar negeri. Karena inilah Aceh

menjadi daerah istimewa.

Page 40: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

24

Tidak terlalu jelas kenapa peristiwa ini begitu diingat oleh

masyarakat. Mungkin di samping karena peristiwanya belum terlalu

lama juga karena kekecewaan yang dalam masyarakat Aceh pada

pemerintah Indonesia. Besarnya bantuan yang diberikan masyarakat

Aceh pada awal berdirinya Republik Indonesia ini menunjukkan

harapan yang besar dari masyarakat Aceh atas masa depan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Apa lacur ternyata pemerintah Jakarta

berkhianat. Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer. Status darurat

militer diberlakukan. Konflik yang terjadi memporak-porandakan

tatanan masyarakat dan meninggalkan trauma yang dalam.

II. 1. 3. Jejak Penjajahan Jepang

Masa penjajahan Jepang adalah masa yang paling sulit dalam

ingatan masyarakat Aceh Utara. Pada masa ini makanan sangat mahal.

Pihak penjajah Jepang membeli semua padi yang ada dan

membuangnya ke laut. Semua padi yang ada harus boleh dibeli oleh

Jepang. Kalau tidak boleh, dipaksa.

Masyarakat kelaparan. Uang yang dipunyai tidak bisa

digunakan untuk membeli bahan pangan karena tidak ada persediaan.

Orang memakan apa saja yang bisa dimakan, dari mulai talas sampai

jantung pohon pisang.

Masa penjajahan ini meninggalkan sebuah situs yang dibangun

di atas bukit Blang Panyang, Lhokseumawe. Jepang membangun

Sebuah goa pertahanan di atas bukit itu. Masyarakat sekarang

menyebutnya Goa Jepang.

Pemerintah daerah membangun komplek situs Goa Jepang itu

menjadi taman wisata. Banyak warga yang mengunjungi taman ini

pada hari libur. Banyak juga yang berpacaran di sini, sambil

memandang pelabuhan Lhokseumawe di bawahnya. Pemandangan

matahari terbenam juga tampak dari taman ini ketika hari cerah.

Page 41: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

25

Gambar 2. 7

Goa Jepang

Foto: Wirabaskara

II. 2. Aceh dan Kenangan-kenangan Masa Lalu

II. 2. 1. Tsunami

II. 2. 1. 1. Wardan

Wardan adalah seorang pemuda yang menjadi tuna netra sejak

usia tujuh bulan. Usianya enam belas tahun ketika pagi itu, 26

desember 2004, dia dan ke tiga adiknya bermain di pantai. Seperti

biasanya yang dilakukan oleh banyak orang di Desa Sawang, Aceh

Utara pada hari minggu pagi.

Air laut surut tiba-tiba! Begitu yang dia ketahui dari teriakan

orang-orang di pantai. Sejenak kemudian air laut naik tinggi. Dia tahu

itu dari suara histeris orang-orang yang berlarian panik. Dia

menggandeng tangan ketiga adiknya dan ikut lari. Pikirannya kosong.

Hal seperti ini belum pernah terjadi. Dia tidak punya pengalaman

Page 42: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

26

apapun untuk harus bagaimana. Dia tidak punya pengalaman yang

bisa dijadikan referensi.

Gambar 2. 8

Gelombang Tsunami

Foto: Wirabaskara

Jalan-jalan di desa, nalurinya sudah kenal benar. Dia hanya

berlari secepat mungkin seperti suara orang-orang yang berlarian

sambil berteriak-teriak histeris. Sampai sekarang dia tidak tahu apa

yang diteriakkan oleh orang-orang pada waktu itu. Pikirannya kosong.

Panik. Dia hanya memikirkan keselamatan adik-adiknya. Berlari

secepat-cepatnya. Bergandengan tangan dengan adik-adiknya. Erat-

erat.

Dia sedang akan melewati desanya menuju tambak-tambak di

selatan desa ketika dia merasakan lumpur hangat merambat di

kakinya. Hangat dia rasakan setinggi mata kaki. Sekejap kemudian

ombak besar menghempasnya. Pegangan tangan mereka terlepas

oleh kuatnya hempasan ombak naik. Sebagai anak pantai, meski tidak

bisa melihat, sedikit-sedikit Wardan bisa berenang. Kuatnya arus

ombak naik menenggelamkannya beberapa kali. Airnya hangat. Entah

berapa teguk air dia minum, yang jelas banyak karena dia muntah

setelahnya.

Tersangkut pada rumpun bambu dia memeluk sebatang pokok

yang besar. Memeluknya erat-erat. Pelukan paling erat yang pernah

Page 43: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

27

dia lakukan. Seperti pelukan anak kecil di kaki ibunya karena tidak

mau ditinggal pergi.

Ketika air surut pelan-pelan dia turun. Dia mendatangi suara

adik perempuannya yang memanggil tidak jauh dari situ. Rupanya

adiknya berhasil memeluk erat sebatang pohon kelapa. Dua adik laki-

lakinya terhempas jauh darinya diselamatkan oleh nasib. Orang-orang

yang selamat sudah mulai saling menolong ketika suara orang-orang

histeris lagi. Terjadi gelombang pasang ke dua!

Dia menopang adik perepmpuannya di pundaknya menaiki

pohon kelapa. Untunglah dia bisa memanjat pohon kelapa. Di atas

pohon kelapa dia mendengar suara seorang nenek memanggil

namanya meminta tolong. “Wardan, tolong saya..,” suara itu masih

terngiang sampai sekarang.

“Bukannya tidak sayang, Bang tapi kek mana. Kondisi saya kek

gini,” begitu Wardan menceritakan kondisinya waktu itu sebagai

seorang tuna netra. Kepanikan yang dia alami tanpa dia bisa melihat

apa yang sedang terjadi dan pikiran dia tentang keselamatan adik-

adiknya memaksanya berhadapan dengan situasi yang sangat jauh

dari kemampuannya. Dia tidak bisa menolong nenek itu. Akhirnya

nenek itu menjadi salah satu korban meninggal. Tenggelam diterjang

gelombang pasang ke dua.

Air belum surut benar ketika ayahnya datang naik perahu

motor sampai di bawah pohon kelapanya. Waktu tsunami itu terjadi

ayahnya sedang melaut jauh mencari ikan. Setelah mengikat

perahunya di pokok pohon kelapa ayahnya menyuruhnya turun.

Kemudian berjalan kaki mereka mencari ibu dan adik-adiknya yang

lain. Lupa dengan perahu yang ditambat. Sejak itu ayahnya sudah

tidak melaut lagi. Matanya sudah tidak jelas melihat karena katarak.

Page 44: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

28

Gambar 2. 9

Sandar di Bawah Pohon Kelapa

Foto: Wirabaskara

II. 2. 1. 2. Meuda

Meuda. Enam bulan yang lalu dia meminang Meutia, gadis

yang dia kenal di perantauan, Medan. Dia masih bekerja di

perantauan waktu meminang Meutia dan merencanakan untuk segera

menikah. Empat bulan setelah pinangannya diterima dia pulang ke

Sawang, kampung halaman mereka. Malam minggu ketika apel ke

rumah Meutia, kekasihnya itu mengajaknya ke pantai besok minggu

paginya.

“Jangan ke pantai, karena saya akan melaut,” Meuda menolak

ajakan kekasihnya itu karena dia sekarang melaut untuk mencari ikan

sebagai mata pencahariannya.

Page 45: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

29

“Ya sudah, kalau begitu saya akan ke pantai sendiri, menunggu Abang

pulang.”

Keesokan paginya, minggu, 26 desember 2004, ketika berlabuh

jam enam pagi Meuda tidak menjumpai kekasihnya ada di antara

kerumunan orang yang sejak jam empat pagi menunggu nelayan

berlabuh, para pedagang ikan. Karena tubuhnya sangat letih Meuda

memutuskan untuk pulang dan tidur. Baru saja terlelap dia terbangun

oleh hiruk pikuk suara orang-orang yang berteriak menyuruh warga

kampung untuk lari karena air laut sudah naik sampai ke kampung.

Meski mendengar suara gemuruh Meuda tidak percaya teriakan

orang-orang. Dia mengira suara gemuruh itu adalah suara rombongan

sepeda motor karena beberapa hari sebelumnya Pak Geucik, sebutan

untuk kepala desa, bilang bahwa akan ada rombongan motor yang

datang ke desa.

Gambar 2. 10

Gelombang Besar

Foto: Wirabaskara

Tergagap Meuda menyelamatkan diri ketika ternyata air laut

benar-benar naik menenggelamkan Desa Sawang. Dia memanjat

pohon kelapa. Air menerjang sampai ketinggian empat meter di

Page 46: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

30

kampung. Di pantai air bahkan menerjang lebih dari tujuh meter

tingginya. Terlihat dari sebuah perahu yang tersangkut di pohon

cemara besar yang ada di pantai.

Ketika air sudah surut keadaan sangat sepi. Senyap dan mati.

Turun dari pohon kelapa Meuda mengira hanya dirinya seorang yang

selamat dari musibah itu. Berselang dari keheningan itu mulai

terdengar suara orang muncul satu demi satu dari kejauhan. Orang-

orang dengan wajah kosong itu mulai berkumpul mendapati kampung

mereka yang habis luluh lantak. Hanya pohon-pohon kelapa dan

beberapa pohon besar yang bertahan. Beberapa rumah panggung

terlihat bisa bertahan. Selainnya itu, semua hilang dibawa tsunami.

Gambar 2. 11

Menunggu di Pantai

Foto: Wirabaskara

Page 47: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

31

Ada seratus delapan puluh19 korban meninggal dunia di

kampungnya. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua dan anak-

anak. Salah satu korban itu adalah Meutia, kekasih hatinya yang

ditemukan empat hari setelah tsunami. Tersangkut di rumpun bambu

dengan perhiasan dan gelang-gelang yang masih dipakai. Gambaran

gelang-gelang yang dipakai kekasihnya itu masih kuat dalam ingatan

Meuda. Ternyata kekasihnya itu benar datang ke pantai untuk

menunggunya. Jam tujuh pagi, setelah dia pulang dan tidur.

Itulah kenangan terakhir Meuda tentang mantan kekasihnya.

Masih tergambar jelas dan detail dalam ingatan, lebih dari sepuluh

tahun setelah kejadian. Sampai saat ini, di usianya yang empat puluh

tahun Meuda masih membujang.

II. 2. 1. 3. Rajak

Lain Meuda, lain Rajak. Hari minggu pantai ramai dengan

wisatawan. Pagi itu dia dan banyak anak-anak Desa Sawang sedang

bermain sepak bola di pantai. Seperti biasanya hari minggu, pantai

tampak ceria.

Semua kegiatan di pantai sejenak berhenti ketika air laut tiba-

tiba surut. Surut sejauh mata memandang. Ada yang bilang dua

kilometer, ada yang bilang tiga kilometer. Ikan-ikan dan udang

menggelepar-gelepar kehilangan air. Perahu-perahu nelayan yang

sedang mencari ikan tidak jauh dari pantai tiba-tiba sandar di dasar

laut. Banyak orang-orang yang lari ke tengah mengambil ikan-ikan

yang ditinggal surut oleh air laut. Rajak hanya diam termangu melihat

itu semua. Tidak biasanya air surut sejauh itu dan dalam waktu yang

sangat singkat.

19 Ada juga yang bilang korbannya dua ratus jiwa, ada pula yang bilang korbannya adalah tiga ratus jiwa. Tidak usah diperdebatkan mana yang benar karena bukan itu pokok bahasannya.

Page 48: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

32

Di titik terjauh air surut, muncul gelombang besar air laut yang

menjulang tinggi. Sampai kelihatan oleh orang-orang di kampung.

Seperti raksasa besar yang melihat mangsa kecil-kecil. Raksasa itu

kemudian menghempas turun menjadi ombak pasang besar. Merayap

cepat ke arah daratan.

Ketika air kembali naik orang berlarian ke arah daratan. Ke

arah desa. Rajak tetap diam karena mengira air hanya akan kembali

naik sampai di garis pantai. Seperti sedia kala. Pikirannya berubah

ketika melihat ombak yang naik tinggi seperti raksasa itu menghempas

turun. Menerjang ke arah daratan. Perahu-perahu nelayan yang

sandar di dasar laut terbalik diterjang gelombang naik.

Gambar 2. 12

Ombak Menerjang

Foto: Wirabaskara

Rajak spontan berbalik arah dan lari ke arah tambak-tambak di

selatan desa. Itulah tempat paling jauh untuk menyelamatkan diri

yang ada dalam pikirannya. Dalam larinya berkali-kali Rajak menoleh

ke belakang melihat ombak tinggi yang beberapa langkah di

belakangnya. Lebih tinggi dari orang dewasa. Bergerak semakin

mendekat. Ketika melewati jalan desa dia membatalkan niatnya untuk

Page 49: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

33

lari ke arah tambak-tambak di selatan desa. Dia ingat adik-adiknya di

rumah.

Spontan dia berbelok arah ke arah barat. Ke arah rumahnya.

Niatnya mendadak dibatalkan karena dari arah barat ombak datang

dengan kekuatan yang lebih besar dari ombak yang mengejarnya.

Rajak tidak bisa lari ke mana-mana lagi. Pohon jambu besar

yang ada di pinggir jalan di dekatnya dengan cepat dia raih dan dia

panjat setinggi-tingginya. Dari atas pohon jambu dia melihat desanya

habis disapu air laut. Air laut yang berwarna keruh dan seperti

berminyak.

Air sudah mulai surut. Jalan desa sudah kelihatan. Orang-orang

sudah mulai turun dari atas pohon dan mencari keluarga mereka.

Rajak pun demikian pula. Dia turun dari pohon jambu dan berlari

pulang.

Hanya dalam beberapa ayunan kaki Rajak sampai di halaman

rumahnya. Rajak melihat adik perempuannya masih mencengkeram di

atas pohon. “Adik-adik di mana?” tergesa Rajak bertanya pada

adiknya. Tidak terpikir olehnya rumah tembok milik orang tuanya yang

seharusnya ada di depan matanya sudah hilang.

Adiknya hanya diam menunjuk ke arah bawah. Di arah yang

ditunjuk adiknya Rajak melihat lengan kecil adik bungsunya tersangkut

pada sampah tsunami. Rajak bergegas mengangkat jasad kecil adik

bungsunya. Di bawahnya dia melihat kaki adiknya yang lebih besar,

juga tersangkut oleh sampah yang sama.

Rajak baru mau mengangkat jasad adik ke duanya ketika tiba-

tiba terdengar suara menderu. Lebih pelan dari yang tadi. Orang-

orang panik lagi akan datangnya ombak susulan. Kakinya tergores luka

ketika dia bergegas menyelamatkan diri lagi. Ombak datang menyapu

desa untuk yang ke dua kalinya. Lebih dasyat dan lebih tinggi

menerjang kampung karena sudah tidak ada lagi rumah-rumah dan

Page 50: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

34

pohon-pohon yang menghalangi. Karena ombak susulan inilah korban

meninggal di Desa Sawang menjadi besar.

II. 2. 1. 4. Tengku Imam

Lain Meuda lain Rajak, lain pula Tengku Imam yang menjadi

Imam Desa di Desa Sawang. Minggu pagi sebelum memulai kegiatan

rutin terjadi gempa hebat. Semua orang berhamburan ke luar rumah.

Gempa itu terjadi sebentar saja.

Setelah semua kembali tenang Tengku Imam memulai rutinitas

minggunya. Dia kayuh sepedanya ke meunasah, balai pertemuan dan

pengajian di desa. Melenggang dengan sepeda Tengku Imam

mengayuh ke arah timur menyusuri jalan desa.

Pengajian rutin minggu pagi yang dia pimpin pagi itu hampir

saja berjalan normal ketika mereka semua di dalam meunasah

mendengar dua20 kali suara ledakan hebat. Kemudian terdengar suara

menderu seperti mesin diesel besar di dalam tanah.

“Itu suara apa, Pak?” Bertanya seorang muridnya.

“Itu suara mobil Ford Rider,” Tengku Imam yang juga tidak tahu suara

apa itu mencoba menenangkan murid-muridnya supaya pengajian

bisa berjalan normal.

“Tapi suara mobil Ford Rider tidak seperti itu,” seorang muridnya berani

berbeda pendapat.

Suara menderu itu terdengar semakin besar dan semakin

dekat. Pengajian tiba-tiba bubar. Anak-anak lari berhamburan ke luar.

Tengku Imam tidak kalah terburu. Dia pancal sepedanya kuat-kuat ke

arah barat. Pulang ke rumahnya. Dia memikirkan keselamatan

keluarganya. Belum sampai ke rumahnya dari arah barat air laut

datang menerjang apa saja. Sekilas Tengku Imam melihat anak-anak

20 Beberapa orang bilang suara ledakan terdengar tiga kali.

Page 51: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

35

dan istrinya sudah dibantu tetangga naik ke atas atap rumah

panggungnya dengan berpegangan pada pohon pepaya.

Air laut seperti menyongsongnya dari arah barat. Bergegas

Tengku Imam meninggalkan sepedanya diterjang air pasang. Berlari ke

arah selatan sambil sesekali menoleh ke belakang. Pikirannya

berkecamuk, kalau benar ini air laut naik maka habislah semua orang.

Dengan berlinangan air mata Tengku Imam berdoa, “ya Allah

lindungilah semua hambamu, ya Allah.” Tengku Imam tidak hanya

mendoakan keluarganya tapi semua orang!

Melewati tambak-tambak milik warga di selatan desa tambak-

tambak itu membantu pelarian Tengku Imam. Terjangan air pasang itu

terhenti setiap kali melewati tambak-tambak. Air pasang akan mengisi

dulu tambak-tambak itu sampai luber baru kemudian meneruskan

penerjangannya. Terjangan air pasang itu juga tidak hanya ke arah

daratan, ke arah selatan. Air pasang itu bergerak menyamping dulu

untuk saling mengisi. Setelah rata baru menerjang ke selatan.

Air sudah mulai surut tapi Tengku Imam tidak sabar untuk

menunggunya selesai. Pikirannya berkecamuk, bagaimana nasib anak-

anak dan istrinya di rumah. Ketika air sudah di bawah pinggang

Tengku Imam mulai berjalan menembus arus surutnya air. Melewati

daerah yang lebih rendah dan tambak-tambak Tengku Imam berenang

sekuat tenaga. Kepalanya bergemuruh memikirkan anak-anak dan

istrinya.

Sampai di rumah anak-anak dan istrinya sudah tidak ada.

Mereka sudah diangkut oleh bus ke pengungsian. Waktu itu semua

kendaraan yang lewat di jalan propinsi yang melintasi Kecamatan

Samudera diharuskan untuk membantu mengangkut pengungsi dari

desa-desa yang diterjang tsunami.

Begitulah kenangan warga Desa Sawang tentang desa mereka.

Hantaman bencana tsunami yang menerjang sebelas tahun lalu masih

Page 52: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

36

jelas tergambar dalam ingatan mereka. Teriakan-teriakan orang

histeris membaca takbir dan syahadat mengingatkan mereka akan

datangnya hari akhir. Hukuman dari Allah datang karena manusia

telah banyak berbuat dosa! Syariat Islam harus ditegakkan!

Pengalaman ini menghantui kehidupan warga yang sudah

berjalan normal. Ketika ada angin besar atau suara bergemuruh

mereka masih khawatir. Ada peringatan dari Allah lagi. Hukum syariat

ditegakkan supaya orang tidak lagi berbuat dosa. Supaya Allah tidak

menjatuhkan hukumannya lagi.

Pasca tsunami banyak orang terjangkit kolera dan desentri di

pengungsian. Mereka susah diajari hidup sehat dengan menjaga

kebersihan. Mereka tetap buang air besar di parit, sebagaimana

kebiasaan mereka di kampung untuk mandi dan buang air besar di

tempat terbuka. Begitulah aturan untuk orang Islam di Desa Sawang.

Setahun setelah tsunami itu pohon-pohon sudah mulai

bersemi. Desa sudah nampak hijau. Orang-orang tinggal di rumah-

rumah bantuan NGO asing. Rumah-rumah tembok sederhana dengan

dua kamar. Banyak bantuan dari NGO masuk ketika itu. Beberapa

pemuda bekerja menjadi asisten bagi staf NGO.

Selain perumahan ada juga bantuan untuk usaha. Pertanian,

nelayan, dan perikanan tambak. Kehidupan mulai pulih berjalan,

meski tsunami masih menyisakan bekas bagi para petani dan nelayan

di Desa Sawang. Semua bantuan untuk usaha itu sekarang sudah

habis. Tanpa bekas. Segala sektor ekonomi berjalan sebagaimana

biasanya, sesuai kapasitasnya.

II. 2. 2. Darurat Militer

“Kalau sekarang keadaan sudah aman, tidak seperti jaman

darurat militer,” begitu lelaki berusia empatpuluh tahun itu memulai

ceritanya tentang keadaan di Desa Sawang di masa darurat militer. Dia

Page 53: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

37

mulai ceritanya ketika hanya tinggal kami berdua duduk di gubuk yang

ada di pantai. Siang mulai menjemput ketika satu demi satu pemuda

yang bersama kami ngobrol bercanda dan berolok-olok sejak pagi

mulai pergi. Sepertinya saya baru saja mencairkan suasana

‘ketegangan’ yang ada. Kecurigaan mereka terhadap saya sudah

mencair dengan canda di antara kami tadi.

“Dulu GAM tinggal di pantai ini. Jumlah mereka ada lima ratus

orang.” Laki-laki itu melanjutkan ceritanya tentang GAM di Desa

Sawang yang mendapatkan senjata dari Bandung.

“Dulu GAM punya intel di tentara, sehingga sebelum

diputuskan ‘darurat militer’ oleh Megawati mereka sudah

tahu. Waktu itu mereka sempat membeli seribu21 pucuk

senjata dari Bandung. Sehari sebelum diputuskan ‘darurat

militer’ mereka pesta di pantai dengan menyembelih

beberapa ekor kerbau. Ketika tentara datang dan

mengepung lokasi GAM sudah tidak ada. Tentara-tentara

itu hanya mendapati jejak-jejak sepatu.”

21 Angka seribu ini sepertinya ‘perumpamaan’ saja. Semacam hiperbola. Variasi pasti ada, sebagaimana ciri dalam cerita folklore. Sebenarnya masih perlu diakukan cek dan recek terhadap angka ini tetapi karena keterbatasan waktu belum sempat dilakukan. Pertimbangan saya adalah angka ini tidak terlalu signifikan terhadap tema penelitian. Keterbatasan waktu memuat saya lebih fokus pada trauma-trauma akibat pemberlakuan “darurat militer” ini pada masyarakat.

Page 54: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

38

Gambar 2. 13

Pantai Sawang

Foto: Wirabaskara

GAM dulu muncul tahun 1975/1976 karena Exxon

memenangan hak eksplorasi gas bumi di Lhokseumawe. Mereka

menolak orang luar mengeksplorasi kekayaan alam di Aceh.

Pada masa konflik—darurat militer, posisi TNI, GAM, dan

masyarakat serba saling ketakutan. TNI takut sama GAM, GAM takut

sama TNI, dan masyarakat takut sama kedua-duanya. “Pada waktu itu

posisi kami warga desa serba sulit. Kami seperti semut yang mati di

antara dua gajah yang bertarung,” Pak Syam memulai ceritanya pada

suatu siang di kedai kopi.

Kebanyakan masyarakat takut berpergian jauh karena harus

melewati pos penjagaan TNI yang ada di setiap kampung. Tentara

GAM tidak membuat pos penjagaan. Mereka berpindah-pindah.

Keduanya memakai seragam loreng yang sama. Masyarakat

membedakannya dengan senjata yang mereka panggul. Pasukan GAM

biasa memanggul AK 47, sedang pasukan TNI memanggul M16.

Page 55: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

39

Patroli GAM dan patroli TNI sering lalu lalang di kampung-

kampung, termasuk di Desa Sawang dengan naik sepeda motor.

Jumlah setiap kelompok patroli itu sekitar sepuluh sampai limabelas

orang. Satu batalion, berboncengan naik sepeda motor. Orang yang

membonceng dengan posisi siaga. Sambil melihat kiri kanan siap

menembak.

Meskipun begitu, antara pasukan TNI dan pasukan GAM saling

tahu jadwal patroli masing-masing sehingga mereka bisa saling

menghindar. Di Desa Sawang tidak pernah terjadi kontak senjata

antara keduanya. Kontak senjata paling dekat terjadi di desa tetangga.

Kontak senjata itu terjadi karena ada pasukan GAM yang berani

menghadang patroli pasukan TNI. Pasukan GAM yang berasal dari

daerah-daerah tertentu memang dikenal pemberani dan tak punya

rasa takut. Bahkan pasukan GAM dari daerah-daerah ini berani

menghadang patroli pasukan TNI sendirian.

Pada masa darurat militer itu banyak pemuda dari Desa

Sawang yang merantau. Kebanyakan mereka merantau ke Medan

atau Malaysia. Menjadi buruh illegal karena untuk mengurus

legalitasnya terlalu mahal. Berbeda dengan para migran dari Jawa

yang bekerja sangat rajin, orang-orang Aceh yang menjadi buruh

migran itu bekerja dengan lebih santai. “Karena niat mereka

sebenarnya bukan bekerja tetapi melarikan diri dari situasi konflik di

daerahnya,” begitulah cerita TengkuSulaiman yang pada waktu itu

sedang merantau sehingga melihat perbedaan antara perantauan dari

Aceh dan dari Jawa di Medan dan sekitarnya.

Ketika konflik banyak pengusaha pertanian/tambak di Aceh

asal daerah lain diusir. Karena diusir mereka menjual murah

tambaknya pada orang lokal. Sampai sekarang masih ada orang-orang

yang menjadi korban konflik dan menyimpan dendam.

Page 56: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

40

Jaman konflik orang tidak bebas berpendapat. Kalau ada orang

yang ngomong miring sedikit saja, malam harinya dia akan hilang.

Pada waktu itu tidak ada rasa aman pada masyarakat.

“Dulu orang kampung kalau salah ngomong akan dianggap

GAM. Di sisi lain orang Aceh dan GAM mencurigai

pendatang sebagai intel militer. Orang yang salah

mengibarkan bendera atau posisi bendera terbalik maka

mayatnya akan ada di bawah tiang bendera itu pada

malam harinya.” (wawancara dengan Andre)

Akibat dari adanya konflik bersenjata di Desa Sawang ini dulu

sering ada orang kerasukan. Banyak orang kerasukkan di pantai atau

bahkan di dayah. Mereka kerasukan korban konflik. Di samping itu

juga banyak hantu orang-orang yang menjadi korban konflik tersebut.

Akibatnya orang tidak berani ke pantai sendirian. Dayah menjadi sepi.

Untuk mengatasi hal itu masyarakat sering melakukan ritual doa

keliling kampung dengan dipimpin oleh Tengku. Sudah beberapa

tahun ini tidak pernah ada lagi yang kerasukan ataupun melihat hantu.

Konflik yang mulai tahun 78 dan berkecamuk hebat pada

tahun 90 sampai tsunami telah memberikan trauma pada masyarakat.

Masih banyak orang-orang Aceh yang dulu menjadi korban konflik ini

yang menyimpan dendam. Hal ini bisa menjadi sebab potensi konflik

yang serius yang tidak berkesudahan.

Trauma konflik ini membuat masyarakat mempunyai keingin

tahuan yang tinggi terhadap pendatang. Gerak-gerik pendatang selalu

diikuti. Orang-orang akan menyelidik dengan bertanya pada orang

yang sudah pernah berhubungan dengan pendatang itu. Orang-orang

asing yang masuk ke desa dicurigai sebagai intel. Pedagang tempat

tidur kayu yang berkeliling dengan sepeda dicurigai sebagai intel

ketika masuk ke kampung karena masyarakat melihat usahanya tidak

masuk akal.

Page 57: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

41

“Dia membawa tempat tidur itu keliling kampung-

kampung naik sepeda itu untungnya berapa? Tidak

mungkin dia orang yang mencari uang.”

Begitulah kecurigaan masyarakat terhadap orang asing yang

kegiatannya dianggap tidak masuk akal. bagi mereka bekerja dengan

penghasilan sehari tujuhpuluh ribu saja tidak masuk akal untuk hidup,

apa lagi berjualan tempat tidur kayu yang keuntungannya jelas kurang

dari itu dan belum tentu laku!

Trauma konflik militer ini juga berdampak pada kurangnya

kesiagaan masyarakat terhadap bencana. Ketika tsunami terjadi

banyak orang tidak waspada. Meskipun terdengar tiga kali dentuman

besar dan suara gemuruh ombak naik banyak yang tidak mengira

bahwa itu adalah hal yang tidak seharusnya terjadi. “Waktu itu masih

darurat militer. Ketika masa darurat militer baku tembak biasa

terjadi.” Suara-suara itu dikira suara pertempuran besar. Orang-orang

yang tinggal di desa-desa yang agak jauh dari pantai, yang tidak

terkena dampak tsunami banyak bertanya pada para pengungsi yang

lewat tentang apa yang terjadi. Mereka tidak percaya ketika diberi

tahu bahwa air laut naik. “Mana ada air laut naik?”

Setelah tsunami pemerintah berdamai dengan GAM. Status

darurat militer dihapus. Provinsi Aceh diberi hak otonomi khusus.

Partai lokal diperbolehkan. Mantan anggota GAM mendirikan Partai

Aceh dan dua kali menang pemilu. Partai Aceh memegang sebagian

besar jabatan di pemerintahan dan DPRD. Sayangnya kondisi ini tidak

menyelesaikan semua masalah. Gosip beredar. Orang-orang dari

Partai Aceh hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri dan

kelompoknya.

Meskipun sebagian besar masyarakat senang dengan keadaan

sekarang yang lebih damai tetapi potensi konflik masih ada. Mantan

anggota GAM yang tidak mendapat kedudukan dalam sistem

demokrasi baru ini bersitegang dengan mantan anggota GAM yang

Page 58: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

42

menjabat. Konflik baru muncul. Kadang-kadang diwarnai baku tembak

dan culik-menculik. Mantan anggota GAM yang duduk di kursi

pemerintahan dituduh lalai dengan mandat perjuangan. Para pejabat

pemerintahan Kabupaten Aceh Utara banyak yang tinggal di kota

Lhokseumawe dan melalaikan kewajiban. Partai Rakyat Aceh yang

merupakan partai lokal tandingan mulai mendapat simpati

masyarakat untuk bisa lebih amanah dalam memegang mandat.

Para pejabat meminta militer untuk menjaga keamanan

mereka. Jadilah mantan anggota GAM yang melakukan perlawanan

terhadap elit pemerintah yang dulu merupakan kawan seperjuangan

ini kini berhadapan dengan militer. Dua orang anggota militer diculik

dan dibunuh sebelum kami masuk ke Aceh Utara ini. Para penculik itu

tidak mengendara mobil. Mereka hanya berjalan aki saja menculik dua

orang anggota militer.

Militer melakukan ‘penertiban’. Sekian pucuk senjata

ditemukan di Aceh Utara dalam sebuah operasi militer. Berita seperti

itu muncul di TV nasional, di samping berita penculikan dua anggota

militer dan operasi pembersihan ladang-ladang ganja. Akibatnya

konflik horisontal antar mantan anggota GAM ini menjadi konflik

perlawanan dengan pemerintah pusat.

Keadaan memang membuat keder bagi orang luar untuk

masuk. Bahkan para sopir mobil rental dari Banda Aceh-Medan yang

pasti lewat Aceh Utara tidak berani lewat malam hari. Mereka yang

dari Banda Aceh selalu menjadwalkan sampai di Medan sore hari.

Menginab di Medan dan baru pulang esok harinya.

II. 2. 3. Kriminal Akidah

Pernah ada kelompok Islam aliran keras masuk ke Desa

Sawang dan minta ijin pada Tengku untuk bisa tidur di masjid. Alasan

mereka masuk ke Desa Sawang adalah untuk belajar tentang agama

Islam di Desa Sawang dan mengajak masyarakat untuk lebih taat

Page 59: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

43

beribadah. Dilihat dari pakaian dan perangainya mereka bukanlah

orang Islam dari aliran yang sama dengan Islam di Desa Sawang.

Kelompok ini berasal dari berbagai etnis—tidak hanya orang Aceh.

Tengku tidak memberikan ijin pada mereka untuk tidur di masjid.

Mereka tetep bersikukuh untuk bisa tinggal di Desa Sawang. Mereka

minta untuk diperbolehkan mendirikan tenda di halaman masjid.

Karena bersikeras untuk tinggal mereka diusir dan dikejar oleh massa.

Aliran agama dari luar seperti ini tidak bisa masuk Desa

Sawang karena masyarakatnya tegas menolak. Norma agama di

bawah kepemimpinan para Tengku memang masih kuat dalam

membentengi desa dari ajaran yang berbeda. Banyaknya Tengku di

Desa Sawang menjadi salah satu penyebab kuatnya penjagaan norma

agama ini.

Gambar 2. 14

Pekan di Tanah pasir

Foto: Wirabaskara

Kondisi yang agak longgar terjadi di Kecamatan Tanah Pasir

karena di sana ada pasar yang ramai oleh warga dari berbagai desa

dan kecamatan di sekitarnya. Banyaknya orang yang datang

Page 60: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

44

berkegiatan di pasar inilah yang membuat orang-orang di sana

terbiasa dengan kepercayaan atau keyakinan yang berbeda. Dulu di

Kecamatan Tanah Pasir ini pernah ada kelompok Islam aliran yang

berbeda cara beribadahnya dengan masyarakat Aceh pada umumnya.

Ketika pemimpin kelompok ini meninggal dunia para pengikutnya

diharuskan oleh masyarakat untuk kembali masuk Islam seperti dulu.

ODEK. Begitulah masyarakat menyebut NGO asing tersebut.

Penyebutan itu tidaklah tepat benar tetapi digunakan karena lafal

orang Aceh lebih mudah mengucapkannya. Issu yang beredar tentang

NGO itu telah membangkitkan trauma masyarakat seluruh Aceh.

Terjadi penembakan di kantor NGO tersebut di Kecamatan

Matangkuli, Aceh Utara. Masyarakat melakukan perlawanan dan

penolakan yang khas dalam kasak-kusuk. Kondisi sosial di Aceh Utara

menjadi diam membara.

Dalam issu yang beredar tentang ODEK ini masyarakat tidak

mengetahui dengan jelas lembaga tersebut berasal dari mana,

dananya dari mana, dan ke Aceh mau menjalankan program apa?

ODEK akhirnya menjadi terlarang karena dia bekerja mencari

anggota ke desa-desa dengan target setiap desa minimal empat puluh

orang. Setiap anggota akan digaji dua juta per bulan tanpa kerja.

Mereka hanya harus mencari anggota baru dari desanya. Setelah

terkumpul banyak orang mereka kemudian merencanakan

membangun gereja. Karena inilah masyarakat di Aceh Utara menolak.

Masyarakat yang sudah mendengar issu kristenisasi yang

dilakukan ODEK ini menolak untuk bergabung. Mereka tidak mau

“menjual agama”. Karena masalah ekonomi, kemiskinan, beberapa

orang mau bergabung. NGO ini mendanai program apapun yang

diajukan anggotanya dengan syarat minta foto kopi KTP sampai

terkumpul empatpuluh foto kopi KTP sebagai syarat untuk

membangun gereja. Program ini sebenarnya sudah mulai di Banda

Page 61: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

45

Aceh lima tahun lalu, hanya saja masuk ke Kabupaten Aceh Utara

baru-baru ini saja.

Ketika surat permohonan ijin untuk masuk ke desa sampai di

tangan Pak Geucik sepontan masyarakat menolaknya. Identitas

lembaga ODEK tidak jelas dan issu kristenisasi yang dilakukannya

menjadi penyebab kenapa masyarakat Desa Sawang menolaknya. Ini

adalah kriminal akidah. Sebuah pelanggaran serius terhadap syariat

Islam. Mereka tidak mau menukar agama mereka dengan uang.

NGO ini diusir ke luar dari Aceh. Masyarakat yang terlanjur

bergabung disadarkan untuk kembali ke jalan syariat.

II. 3. Penghidupan Dan Karakteristik Masyarakat Aceh Utara

Desa Sawang terletak sekitar dua puluh kilometer jauhnya dari

kota Lhokseumawe, ke arah barat. Sekitar duapuluh kilometer ke arah

timur terletak kota Lhoksukon yang merupakan ibu kota provinsi Aceh

Utara. Masyarakat Desa Sawang lebih memilih pergi ke Lhokseumawe

dari pada ke Lhoksukon karena Lhokseumawe menawarkan fasilitas

yang lebih bagus dan beragam. Fasiitas pendidikan, agama, toko-toko,

kuliner, dan tempat wisata untuk anak muda ada di Lhokseumawe.

Bahkan tempat untuk nongkrong, pacaran dan balap liar juga ada.

Para pejabat pemerintah Kabupaten Aceh Utara kebanyakan tinggal di

kota Lhokseumawe. Bahkan kantor bupati dan beberapa kantor

pemerintah Kabupaten Aceh Utara masih berada di kota ini.

Jarak sekitar duapuluh kilometer ini secara sosial jauh bagi

masyarakat di Desa Sawang karena kebanyakan dari mereka tidak bisa

pergi ke kota Lhokseumawe tanpa niat yang besar. Mereka harus

punya kendaraan atau ada pinjaman kendaraan serta uang untuk

membeli bensin dan sedikit uang saku.

Page 62: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

46

Gambar 2. 15

Lhokseumawe dari Sawang

Foto: Wirabaskara

Secara sosial pengaruh kultur Kota Lhokseumawe tidaklah

begitu kuat karena interaksi sosial dengan kota Lhokseumawe

sangatlah jarang. Belum tentu sebulan sekali mereka pergi ke kota

Lhokseumawe. Bahkan banyak yang nyaris tidak pernah berpergian

sejauh itu.

Untuk dapat menangkap siaran TV mereka harus memasang

parabola. Tidak semua orang mempunyai TV dengan parabola.

Masyarakat Desa Sawang sebagaimana kebiasaan yang ada di seluruh

Provinsi Aceh pada umumnya mempunyai kebiasaan ‘minum kopi’.

Banyak kedai kopi bisa dijumpai di desa kecil ini. Beberapa kedai yang

cukup besar juga menyediakan barang-barang kelontong. Untuk desa

dengan masalah ekonomi sebagai masalah yang paling besar—

menurut pandangan para Tengku dan keluhan dari banyak orang, gaya

hidup nongkrong di kedai ini termasuk konsumtif.

Para lelaki biasa duduk istirahat atau nongkrong di kedai-kedai

ini. Mereka tidak selalu minum kopi yang direbus khas Aceh—bukan

diseduh. Banyak juga yang minum beragam minuman instan yang

diseduh, aneka minuman dalam kemasan gelas plastik, atau juga es

Page 63: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

47

sirup. Di sinilah para lelaki biasa ngobrol sambil merokok yang

kebanyakan mereka beli secara ketengan. Jarang orang membeli

rokok sebungkus.

Gambar 2. 16

Nongkrong di Kedai

Foto: Wirabaskara

Beberapa kedai ini memasang TV untuk ditonton

pelanggannya. Di sinilah mereka menonton sinetron-sinetron dan

acara favorit mereka. Kadang-kadang ada juga orang yang hanya ikut

duduk saja tanpa membeli minuman atau rokok ketengan. Tidak

punya uang. Itulah masalah yang banyak terjadi. Di buku catatan

hutang pemilik kedai bisa tertulis daftar hutang yang panjang dari

para pelanggannya. Kadang-kadang orang yang hanya duduk-duduk

saja menjadi membeli sebatang rokok secara bon. Kalau mau

menghindari memperpanjang daftar dalam buku bon mereka akan

menarik diri dari pergaulan kedai ini.

Kebiasaan ngopi dan merokok di kedai ini sudah berlangsung

sejak lama. Dulu kedai kopi menjadi pasar. Informasi dan transaksi

hasil bumi terjadi di kedai kopi. Sekarang orang di kedai kopi dibuat

nyaman dengan kursi-kursi dan tv sehingga nyaman meski hanya

Page 64: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

48

untuk duduk nongkrong dan ngobrol. Dulu kedai kopi banyak di tepi

laut dan di gunung. Minum kopi sebelum berangkat ke laut dilakukan

para nelayan supaya tidak ngantuk. Di gunung kebiasaan itu dilakukan

untuk mengusir hawa dingin.

Gambar 2.17

Nonton TV di Kedai

Foto: Wirabaskara

Di Desa sawang kedai-kedai ini punya pangsa pasar sendiri.

Ada kedai khusus tokoh desa dan Tengku-Tengku, ada kedai khusus

orang tua, dan ada kedai yang menjadi langganan anak muda.

Pengkategorian kedai-kedai ini terjadi secara alamiah yang

dipengaruhi oleh pemiliknya. Di kedai Pak Geucik secara alami akan

didatangi oleh para Tengku dan elit desa. Kedai yang pemiliknya relatif

muda secara alami didatangi oleh para pemuda. Meskipun begitu

pengkategorian ini tidaklah terlalu ketat. Kadang-kadang ada pemuda

yang nongkrong di kedai Pak Geucik karena letaknya yang dekat

rumah, kadang-kadang ada pemuda lain yang ikut nongkrong di situ

karena melihat ada teman di situ, atau ada Tengku yang mampir

nongkrong di kedai anak muda, dan seterusnya.

Di samping itu seseorang akan cenderung menghindar duduk

satu kedai dengan saudaranya atau orang tuanya. Hal ini tidak baik

karena disamping buku hutang satu keluarga akan ngumpul di satu

Page 65: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

49

kedai tetapi yang lebih penting adalah ketidak bebasan ngomong

ketika ada saudara atau orang tuanya di situ. Seseorang akan berada

dalam keadaan kikuk ketika ada saudara atau—apa lagi—orang

tuanya. Dia akan menjaga omongannya karena takut kalau ‘salah

omong’, dalam artian mengatakan sesuatu yang tidak pas secara

moral.

Jadi mereka malu duduk satu kedai dengan keluarga. Jarang

orang bercanda dengan abangnya atau adiknya. Biasanya saudara

yang lebih tua akan menegur adiknya kalau ngomong atau

berkelakuan yang tidak pantas. Orang tua harus disegani. Karena

itulah para pemuda biasanya baik-baik ketika di rumah. Lain bila

dengan orang lain atau teman sebaya. Mereka bisa bicara dan

bercanda lepas. Begitulah norma agama ditegakkan.

Menggunakan peci pada saat upacara keagamaan adalah suatu

kepantasan. Demikian juga sarung. Orang-orang dengan posisi sosial

tertentu akan diingatkan untuk menggunakan sarung dan peci, supaya

pantas dengan statusnya. Rambut yang sedikit kepanjangan akan

diingatkan untuk dipotong. Rambut masuk kategori kepanjangan

ketika kulit kepalanya sudah tidak kelihatan. ‘Seperti

perempuan’, kata mereka. Begitulah norma agama ditegakkan, secara

hierarkis. Masalah pelanggaran kecil mereka saling mengingatkan.

Masalah besar diingatkan dan diselesaikan oleh Tengku. Tindakan

kriminal dan asusila diselesaikan oleh massa.

II. 3. 1. Steriotype Serambi Mekah

“Where are you from?”

“Moslem.”

“Country?”

“Moslem.”

“Myanmar?”

Page 66: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

50

Menggelelngkan kepala, laki-laki itu kemudian menjawab, “Burma,”

sambil menepuk dadanya, kemudian memegang pundak lelaki di

sebelahnya, “Bangla.”

Gambar 2. 18

Selasar Ka’bah dalam Naungan Kurma

Foto: Wirabaskara

Begitulah ketika saya mulai mencoba berkomunikasi dengan

para pengungsi dari Burma dan Banglades yang ada di pantai Kuala

Cangkul, Kecamatan Lapang, Kabupaten Aceh Utara. Mereka

sebenarnya mau menjadi buruh imigran illegal ke Malaysia tapi tidak

boleh masuk. Setelah terombang-ambing selama tiga bulan di laut

akhirnya 584 orang pengungsi itu mendarat di Aceh Utara—jarak yang

sebenarnya bisa mereka tempuh selama duapuluh tujuh hari. Enam

orang dari mereka meninggal selama tiga bulan teromabang-ambing

di laut, sampai akhirnya mendarat di langsa, Aceh Timur. Karena tidak

ada tempat yang lapang untuk menampung mereka kemudian

dipindah ke Kuala Cangkul.

“Assalamualaikum,” begitu mereka mengucap salam setiap

ada orang yang lewat di dekat mereka. Berita tentang kedatangan

mereka menarik banyak warga sekitar untuk melihat. Ratusan orang

Page 67: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

51

datang melihat sore itu, jumat 15 Mei 2015. Setiap ditanya dan tidak

mengerti mereka menjawab, “Moslem.” “No Melayu, no English,”

begitu mereka menjelaskan pada saya. “Moslem, Indonesia Moslem,”

lelaki itu menjelaskan sambil mendekatkan dua jari telunjuknya.

Sebuah jawaban dari komunikasi tarzan di antara kami menjelaskan

pada saya bahwa solidaritas sesama muslim lah yang mereka

harapkan dari setiap jawaban “Moslem” dari mereka. Para pengungsi

itu tahu bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas

penduduknya beragama Islam.

Gambar 2. 18

Pengungsi Burma dan Banglades

Foto: Wirabaskara

Hari ke empat para pengungsi itu di Aceh Utara, para

pengungsi yang berasal dari banglades dipindahkan ke Lhokseumawe

untuk dikembalikan ke negaranya karena mereka mengungsi tanpa

ada alasan yang kuat. Sementara tiga ratusan pengungsi asal Burma

tetap di Kuala Cangkul karena mereka di kampungnya sana ada perang

agama. Pemilahan dan keputusan ini dibuat dari komunikasi antara

Page 68: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

52

panitia yang mengurusi pengungsi dengan salah seorang pengungsi

yang masih muda yang bisa bahasa Melayu.

Pada hari ke empat ini pula datang lagi pengungsi dari daerah

yang sama, mendarat di Langsa, Aceh Timur sebanyak delapan ratusan

orang. “Panglima TNI di Jakarta menginstruksikan untuk tidak lagi

membawa mereka mendarat di wilayah Indonesia. Kalau mau

menolong di perbatasan laut saja,” begitu cerita seorang pemuda

yang mengikuti berita di TV.

“Mereka itu orangnya bau, karena banyak makan bawang

bombai.” “Kemarin ada dua atau tiga orang dari mereka yang melepas

gelang pitanya dan lari dari lokasi tapi ditangkap oleh warga dan

dikembalikan. Mereka itu orangnya susah diatur.” “Mereka senang

tinggal di Aceh, dikasih makan.” Begitulah realitas pengungsi Rohingya

dari Myanmar ini diperbincangkan oleh masyarakat di Aceh Utara

yang melihatnya selama beberapa hari. Pada umumnya masyarakat

tidak ada yang menganggapnya sebagai pengungsi Rohingya dari

Myanmar. Pemahaman mereka diperoleh dari cerita yang beredar

dari mulut ke mulut bahwa mereka adalah pengungsi dari Burma dan

Banglades yang mengungsi ke Aceh karena konflik agama. Steriotype

yang terbentuk atas para pengungsi ini cenderung paten dalam

anggapan masyarakat di Desa Sawang.

Serambi Mekah. Julukan yang melekat pada Aceh ini

mengarahkan steriotype orang luar dalam memandang masyarakat

Aceh. Diberlakukannya Syariat Islam menjadi hukum di Aceh setelah

tsunami semakin memperkuat steriotype ini. Masyarakat Aceh adalah

masyarakat yang tertutup terhadap pengaruh dari luar karena mereka

ketat memegang hukum syariat.

Baru-baru ini ada banyak demonstrasi di Banda Aceh.

Masyarakat menuntut ditegakkannya hukum syariat yang semakin

hari semakin longgar. Unsur politik dalam masalah ini adalah

Page 69: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

53

perseteruan antara Partai Aceh dengan Partai Rakyat Aceh. Begitu

cerita seorang pemuda ketika kami ngobrol di warung kopi pada suatu

siang. Memang kalau tidak mendengar dari pemuda itu saya tidak

tahu masalah itu. Ketika di Banda Aceh bulan lalu saya juga tidak

mendengar maupun melihat ada demonstrasi sama sekali. Bukan

masalah benar atau tidaknya demonstrasi ini yang menjadi pokok

bahasan saya tetapi bahwa longgarnya penegakan aturan hukum

syariat sudah mulai meresahkan beberapa orang.

Hukum syariat memang menjadi norma yang kuat dipegang

masyarakat untuk mengatur desa. Di bawah kepemimpinan para

Tengku di desa hukum syariat itu ditegakkan melalui norma sosial

yang berlaku. Ketika ada pihak luar yang masuk ke desa oleh

masyarakat akan disaring dengan hukum syariat itu. Sesuatu yang

berbau kafir akan dengan tegas ditolak. Kriminal akidah adalah

kejahatan yang serius di kampung.

Secara permukaan memang terlihat masyarakat memegang

hukum syariat dengan taat. Ketika lebih dalam melihat, seperti

diceritakan oleh Imam Desa, hukum syariat itu sebenarnya hanya

pagar yang tegas membentengi masyarakat di kampung dari

kejahatan akidah dan rongrongan orang kafir. Dia menjadi bemper

yang kuat untuk membendung kejahatan akidah dari luar desa.

Di dalam desa sendiri orang menjalani hidup mereka dengan

aturan yang lebih longgar. Misalnya ada larangan memainkan

keyboard di dalam kampung. ‘Musik itu haram’. Dalam acara pesta

perkawinan masyarakat dilarang menanggap organ tunggal sebagai

hiburan seperti di kota-kota lain di wilayah Indonesia. Pertunjukan

organ tunggal atau band musik secara resmi diperbolehkan ketika

perayaan tujuh belas Agustus di lapangan kota Lhokseumawe. Hanya

di lapangan. Di luar itu tidak boleh. Kadang-kadang ada juga

pertunjukan musik dari artis-artis Jakarta yang sedang populer.

Page 70: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

54

Kadang juga pertunjukan itu dibatalkan beberapa hari menjelang

pertunjukan. Masyarakat Desa Sawang tidak tahu kenapa dibatalkan.

Gambar 2. 20

Aturan Syariat di Masjid Baiturrahim, Lhoksukon

Foto: Wirabaskara

Kalau pertunjukan rafa’i boleh. Sejenis musik dengan iringan

rebana khas Aceh. Dalam pertunjukan rafa’i ini dipertontonkan

‘tarian’ orang yang menusuk dirinya dengan pisau tajam tanpa terluka.

Pertunjukan ini biasa digelar pada acara-acara perayaan di desa. Desa

sawang dulu punya kelompok rafa’i tapi karena alat-alat musik

rafa’inya sudah rusak kelompok rafa’i di Desa Sawang fakum. Tidak

ada biaya untuk memperbaikinya.

Di luar masalah organ tunggal, musik diputar di dalam

kampung. Orang menonton sinetron yang diiringi soundtrack. Meski

tidak banyak dan jarang tapi kadang ada orang yang memutar musik

keras-keras, bahkan musik dangdut. Ayu Ting-ting adalah nama

penyanyi dangdut yang sedang populer. “Goyang Duma” lantunan Cita

Citata adalah lagu dangdut yang menggema di seantero Aceh. “Kalau

muter lagu itu tidak apa-apa, asal tidak bergoyang saja. Kalau

Page 71: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

55

bergoyang hanya boleh sebatas kepala saja,” begitulah aturan tentang

musik yang ‘haram’ dijalani oleh masyarakat Kampung Sawang.

Dalam kenyataannya meskipun jarang tetapi berjoget dalam

iringan lagu dangdut yang diputer keras-keras itu terjadi juga, yaitu

ketika dalam sebuah pesta perkawinan sound sistem mendendangkan

irama “Goyang Dumang”. Memang hanya satu-dua laki-laki bujang

yang berani berjoget dalam irama ini, tapi mereka mendapat support

dan keceriaan dari anak-anak, perempuan, dan pemuda yang lain.

Semua orang tertawa. “Kalau berjoget dengan iringan keyboard, itu

yang dilarang,” begitulah larangan berjoget mereka jalani.

Gambar 2. 21

Goyang Duma di Tanah Serambi

Foto: Wirabaskara

Ketika waktu Maghrib menjelang semua aktifitas warga

berhenti. Orang-orang yang bekerja pulang. Kedai-kedai tutup.

Saatnya untuk sholat Maghrib. Begitu pula setiap jumatan dan ketika

ada pengajian. Saat waktu beribadah tidak boleh ada aktiitas duniawi.

Bukan berarti tidak ada orang yang tidak menjalankan ibadah. Mereka

yang tidak ikut ibadah tidak menampakkan diri. Tidak patut dilihat

orang. Apalagi saat Maghrib atau jumatan karena itu ibadah wajib.

Kalau saat pengajian bisa dijumpai beberapa orang duduk-

duduk di depan kedai yang tutup. Pintu kedai yang dibuka sedikit

Page 72: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

56

melayani orang-oang yang membeli rokok untuk menemani obrolan

mereka. Kedai yang buka sedikit di malam hari pengajian wajib bagi

seluruh warga kampung yang diadakan di meunasah seperti ini akan

dimarahi oleh Imam Desa kalau ketahuan.

Gambar 2. 22

Manok Siyam, Sang Ayam Aduan

Foto: Wirabaskara

Sabung ayam juga terjadi di bawah naungan hukum syariat ini.

Manok Siyam adalah istilah lokal untuk ayam Bangkok. Sore hari para

pemuda berkumpul di tempat yang telah disepakati. Sudut-sudut

belakang kampung yang tidak dilalui orang menjadi tempat yang

biasanya dipilih. Mereka tidak berangkat ramai-ramai menuju TKP.

Sendiri-sendiri atau berdua saja. Ayam jago juga tidak ditenteng

sebagaimana layaknya orang berangkat sabung ayam, dengan

bangga. Mereka membawa ayam aduan dengan dibungkus karung.

“Kalau ada yang tanya, apa itu? Dijawab saja, pohon kelapa,” seloroh

Isak, seorang pemuda yang ayam jagonya mati pada musim flu burung

beberapa bulan lalu. “Taruhannya gak banyak, paling seratus ribu,”

lanjutnya. Sabung ayam ini berlangsung sebentar saja. Hanya dua atau

Page 73: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

57

tiga jam. Mereka akan bubar menjelang adzan maghrib jam tujuh

sore.

Ketika musim flu burung beberapa bulan yang lalu semua

ayam aduan mati. Sekarang beberapa orang mulai memelihara lagi

anakan ayam bangkok. “Kalau di sini harga anakan yang masih kecil

lima puluh ribu, tapi ayamnya gak bagus,” begitu Isak menceritakan

dulu membeli ayam jago yang baru menetas di Banda Aceh seharga

seratus ribu. Ayam jago kebanggaannya yang ikut mati dimakan flu

burung musim lalu.

Begitulah hukum syariat dijalankan oleh masyarakat di Desa

Sawang. Ada gradasi dalam pelaksanaan suatu aturan atau larangan.

Para Tengku dan kaum agamis akan dengan tegas menjalankan apa

yang diwajibkan dan tidak melakukan apa yang dilarang oleh syariat.

Melanggar aturan ini adalah suatu ketidak pantasan bagi golongan ini.

Untuk golongan yang lebih longgar mereka menjalani aturan

tersebut dengan lebih longgar. Tidak apa-apa bagi mereka tidak

mengikuti pengajian wajib bagi warga kampung yang diadakan

seminggu sekali. Hanya saja mereka tidak menampakkan ketidak

hadirannya dalam pengajian ini. Sembunyi di sudut-sudut gelap

kampung atau di dalam rumah.

II. 3. 2. Bahasa Aceh sebagai Bahasa Sehari-hari

Ketika awal kedatangan kami di Desa Sawang Pak Geucik,

sebutan untuk kepala desa di aceh, bilang bahwa warganya

kebanyakan tidak bisa berbahasa Indonesia. Perbandingannya

mungkin sekitar 30 : 70. Hanya 30% yang bisa berbahasa Indonesia.

Mereka adalah tamatan SMA atau kuliah dan yang pernah merantau.

Tingkat pendidikan di sini relatif rendah. Banyak yang hanya tamatan

SD.

Page 74: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

58

Banyak folklore berkembang terkait masalah keterbatasan

berbahasa Indonesia ini. Dengan seting waktu pada masa darurat

militer mereka menceritakan bagaimana orang Aceh banyak dihajar

oleh TNI karena keterbatasan mereka berbahasa Indonesia. Salah satu

contoh folklore itu misalnya:

Ada orang kampung yang disuruh oleh aparat TNI

untuk memanjat pohon kelapa. Ketika turun orang

kampung itu ditanya oleh aparat TNI,

“Masih kuat gak?”

“Kuat, Pak...”

“Naik lagi!”

Ketika turun orang kampung itu bilang, “kuat, Pak...”

“Naik lagi!”...

Gambar 2. 23

Naik Lagi!!

Foto: Wirabaskara

Begitulah orang kampung itu disuruh naik pohon kelapa lagi

dan lagi, sampai mati gemetaran. “Kuat” dalam Bahasa Aceh berarti

tubuh sudah gemetaran karena kelelahan.

Page 75: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

59

Anak-anak kecil kebanyakan belum bisa berbahasa Indonesia.

Ketika memasuki usia SD mereka baru berkenalan dengan Bahasa

Indonesia. Menginjak kelas empat SD baru mereka bisa agak lancar

berbahasa indonesia dan diajak berkomunikasi dengan Bahasa

Indonesia, meski masih sepatah-sepatah.

Gambar 2. 24

Membidik Masa Depan

Foto: Wirabaskara

Orang-orang yang tidak lancar berbahasa Indonesia pada

awalnya kurang percaya diri ketika diajak berbahasa Indonesia.

Kemampuan berbahasa Indonesia mereka memang masih setengah-

setengah. Mereka berbicara dalam bahasa campuran antara Bahasa

Indonesia dan bahasa daerah.

Orang dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang lancar

menjadi ‘perhatian’. “Mungkin mereka orang Aceh juga, mungkin

orang luar.” Kalau dia orang Aceh kemungkinan besar mereka pernah

lama merantau ke luar Aceh seperti Medan atau tinggal bersama

orang dari etnis lain. Mereka yang telah lulus sarjana atau menempuh

perguruan tinggi pun jika belum pernah merantau kemampuan

berbahasa Indonesianya sama pada level ini. Hal ini karena Bahasa

Indonesia sangat jarang mereka gunakan, bahkan di sekolah-sekolah.

Page 76: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

60

Dalam kesehariannya masyarakat Desa Sawang seperti

masyarakat di Kabupaten Aceh Utara pada umumnya berbicara

dengan bahasa daerah. Di rumah, di kampung, di kantor, dan di

sekolah mereka berbicara dalam bahasa daerah. Berbicara dalam

Bahasa indonesia dengan sesama orang Aceh adalah lucu dan kikuk.

Bahasa Indonesia mereka sangat medok dengan dialek Aceh

yang sangat kental. Kosa kata bahasa Indonesia mereka juga sangat

terbatas. Ketika berbicara Bahasa Indonesia mereka masih banyak

menggunakan istilah bahasa lokal karena keterbatasan kosa kata

Bahasa Indonesia tersebut. Istilah-istilah serapan dari bahasa asing

juga susah mereka ucapkan dengan benar karena istilah-istilah

tersebut tidak pernah dipakai dalam perbincangan sehari-hari mereka.

Seorang pemuda yang kuliah di politeknik dengan terbata-bata

mengatakan jurusan ‘kuitansi’ untuk mengatakan “akuntansi” bisa

terjadi. Termasuk kata “imunisasi”. Banyak yang seperti belum pernah

mendengar. Mengucap ulang pun sulit bagi lidah mereka.

Di samping itu kesalahan yang banyak terjadi adalah

pemaknaan mana subyek dan mana obyek. Hal ini disebabkan karena

ketidak jelasan pemahaman mereka tentang arti awalan dan akhiran

serta fungsi kata penghubung. Misalnya, “saya bertanya pada orang”

dengan “saya ditanyai orang” sulit mereka bedakan. Mereka

cenderung menganggap tokoh yang disebutkan di muka sebagai

subyek pelaku dan tokoh yang disebutkan di belakang sebagai obyek

penderita. Hal ini karena dalam dialek mereka, mereka mengatakan

dengan “saya ada tanya sama orang” atau “orang ada tanya sama

saya”.

Akibat lain dari ketidak pahaman tentang arti imbuhan dan

kata sambung ini adalah kerancuan tentang kalimat dengan makna

positif atau negatif. Kadang-kadang mereka mengatakan suatu kalimat

negatif dengan makna positif atau sebaliknya. Misalnya dalam

Page 77: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

61

percakapan saya dengan seorang pemuda umur dua puluh tujuh

tahun,

“Di sini orang miskin kawin dengan orang miskin, orang

kaya kawin dengan orang kaya,” pemuda itu bercerita.

“Kalau orang kaya kawin dengan orang miskin ada gak?”

Saya bertanya lebih jauh.

“Kalau orang kaya yang kawin dengan orang miskin itu

tidak ada. Mungkin ada tapi tidak banyak. Orang kaya

kawin dengan orang miskin, laki-lakinya yang kaya. Kalau

perempuannya yang miskin, itu tidak ada.”

Dalam kalimat terakhirnya, yang dia maksud adalah “perempuannya

yang kaya” tetapi dia mengatakan “perempuannya yang miskin”.

Rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia pada masyarakat

Desa Sawang ini menjadi kendala yang besar dalam komunikasi antara

orang luar, NGO, maupun aparat pemerintah dengan masyarakat.

Seperti pada kasus di pengungsian pasca tsunami 2004 lalu. Para

pengungsi tetap buang air besar sembarangan sehingga banyak yang

terjangkit kolera dan disentri. Di sana masyarakat tetap buang air

besar seperti kebiasaan mereka di kampung meskipun sudah diajarkan

untuk perperilaku hidup sehat. Omongan para petugas yang

disampaikan dengan bahasa Indonesia mungkin sulit dimengerti, dan

seandainya dimengerti pun dalam prakteknya harus seperti apa

mereka tetap tidak tahu.

II. 3. 3. Tiga Dusun, Pemilahan Demografis dan Pemilahan

Sosial

Tingkat keterbukaan masyarakat Desa Sawang secara umum

dibedakan menjadi dua, Sawang barat dan Sawang timur. Di Sawang

timur—yang merupakan ‘koalisi’ antara dusun Sawang Timur dengan

Sawang Tengah—orang relatif lebih terbuka. Banyak yang pernah

merantau. Kebanyakan para perantauan itu bekerja ke Medan atau

Page 78: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

62

menjadi TKI illegal ke Malaysia. Di antara mereka bahkan ada yang

bisa sedikit berbahasa Jawa karena berinteraksi dengan orang Jawa

ketika di Medan atau berinteraksi dengan transmigran asal Jawa di

Aceh.

Di Sawang Barat masyarakatnya lebih tertutup, meskipun

sebenarnya ada juga masyarakat Sawang Barat yang merantau. Di

wilayah ini orang yang berbicara dengan bahasa non Aceh akan

dicemooh. Mereka lebih ketat dalam menolak budaya dari luar. Lokasi

Pustu Sawang ada di wilayah barat ini.

Gambar 2. 25

Ada yang Meninggal

Foto: Wirabaskara

Hubungan sosial antara kedua wilayah ini tidak terlalu erat.

Mungkin karena secara geografis memang berjauhan—sekitar satu

kilometer—atau mungkin juga disebabkan karena pembagian

Page 79: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

63

kelompok solidaritas yang dilakukan masyarakat di Desa Sawang.

Sekitar tiga ratus lima puluhan KK terlalu banyak untuk berorganisasi

sosial dan berkumpul dalam satu kegiatan atau gotong royong.

Ketika ada kematian, upacara kenduri akan dilakukan selama

tujuh hari berturut-turut dengan mengundang kelompok masyarakat

yang berbeda. Tetangga dari dusun Sawang barat, Sawang tengah,

dan sawang Timur datang dalam kelompok dan hari yang berbeda.

Ketika ada upacara duek pakat mereka saling mendatangi dan

menyumbang tapi untuk pesta pernikahannya terjadi tidak saling

mengundang dan tidak saling mengunjungi, meski tidak secara total.

Perbedaan aspirasi politik juga menambah ketidak harmonisan ini.

Ketidak harmonisan ini memang tidaklah terlalu keras. Hubungan

formal masih bisa dijaga.

II. 3. 4. Pendidikan Formal Versus Pendidikan Agama

II. 3. 4. 1. Pendidikan Sekolah

“Hari ini saja saya tidak masuk sekolah,” begitu cerita Amel

anak kelas 1 SMP di Desa Sawang. Sedangkan siang itu dia masih

menggenakan seragam putih biru.

“Kenapa tidak masuk sekolah?”

“Malas. Sekolahnya tidak bagus, bosan.”

“Tidak dimarahi sama gurunya?”

“Tidak takut.”

Begitulah Amel menceritakan keadaan di sekolahnya. Jumlah

murid di kelasnya sekitar dua puluhan. Setiap hari ada saja murid yang

tidak masuk sekolah. Kadang lebih dari separo murid yang tidak masuk

sekolah. Guru-gurunya juga setali tiga uang. Guru-guru itu bercerita

kepada para murid bahwa gaji mereka belum dibayarkan, jadi mereka

malas mengajar.

Issue korupsi kepala sekolah beredar di lingkungan sekolah,

dan meluber ke desa. Uang tunjangan yang dijanjikan empat ratus

Page 80: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

64

lima puluh ribu per anak hanya diberikan lima puluh ribu saja. Itu pun

untuk bulan ini tidak ada. Kalau ada murid yang menanyakan dijawab

oleh guru, “uangnya dibawa tuyul.”

Sekolahnya memang masih baru, sekitar dua-tiga tahun.

Sebenarnya ada sekolah bagus di kampung-kampung lain, tapi oleh

para pemuda anak-anak di sini tidak boleh sekolah di kampung lain.

Harus di kampung sendiri biar sekolah di kampung bisa maju.

Gambar 2. 26

Menuntut Ilmu Selaju Sepeda

Foto: Wirabaskara

Pendidikan di Kampung Sawang memang tidak terlalu

dianggap penting oleh banyak masyarakatnya. Banyak yang hanya

lulusan SD atau SMP. Untuk kalangan anak muda sekarang memang

relatif sudah banyak yang sudah lulus SMA dibandingkan jaman dulu.

Bahkkan sedikit di antara pemuda itu sampai bangku kuliah. Ada juga

yang lulusan kuliah tapi tidak bekerja seperti yang diharapkan sebagai

seorang sarjana. Doni yang lulus FKIP sempat menjadi guru honorer

dengan gaji jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Page 81: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

65

Karena tidak bisa menjadi guru PNS dia keluar dan bekerja serabutan

seperti pemuda lain yang tidak kuliah. Kejadian ini menjadi

pembenaran bagi para orang tua dan para pemuda untuk tidak

sekolah tinggi-tinggi, kalau toh menganggur juga.

Birokrasi uang adalah stereotype yang dilekatkan pada orang-

orang pemerintah Aceh oleh masyarakatnya. Meskipun sudah lulus

sarjana mereka harus membayar untuk menjadi pegawai negri. Andre

yang punya saudara yang kuliah kebidanan di Medan bercerita bahwa

untuk bisa kerja praktek di wilayah provinsi Aceh saudaranya itu

membayar delapan juta. Di kalangan masyarakat juga beredar issue

bahwa untuk bisa menjadi pegawai pemerintah mereka harus

menyogok. Karena itulah sedikitnya warga Desa Sawang yang menjadi

pegawai--hanya satu atau dua yang jadi pegawai--dimaklumi.

“Minat sekolah anak-anak tergantung dari kesadaran orang

tua masing-masing,” begitu pandangan Wardan yang tidak pernah

sekolah karena tuna netra. Pandangannya ada benarnya, meski tidak

mutlak seperti itu. Seperti halnya kasus tentang orang Aceh yang

pemalas, kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang karena

‘diturunkan’ dari orang tua-orang tua terdahulu. Apa yang dilakukan

orang-orang sekarang—dan apa yang dilakukan anak-anak—adalah

duplikasi dari apa yang dilakukan orang tua mereka dahulu.

Kecenderungan anak sekolah membolos sekolah atau bahkan

mogok berhenti sekolah karena berbagai alasan. Kebanyakan alasan

mereka membolos sekolah atau berhenti sekolah adalah karena

adanya rasa bosan di sekolah dan malu karena tidak bisa menuruti

standar pergaulan. Alasan yang dibuat anak-anak sekolah ini misalnya

minta uang saku sejumlah tertentu atau sepeda motor. Jumlah kasus

seperti ini tidak banyak. Kebanyakan pemuda tamat SMA, meski ada

juga beberapa anak yang putus SMP. Setelah tamat SMA kebanyakan

tidak melanjutkan kuliah entah karena tidak ada biaya atau tidak

berminat kuliah. “Untuk apa kuliah?”

Page 82: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

66

Menurut Wardan alasan tidak ada biaya ini tidak cukup kuat

untuk tidak sekolah. Kalau niatnya untuk sekolah kuat orang bisa

bekerja sepulang sekolah. Begitulah pendapatnya sebagai pemuda

yang tidak bisa mengikuti pendidikan formal karena menyandang tuna

netra sejak bayi. Dalam sudut pandangnya kesempatan sekolah bagi

teman-temannya yang normal sebenarnya adalah peluang yang

sangat mahal.

Ada juga anak sekolah yang meminta sepeda motor dengan

ancaman mogok sekolah, merusak barang-barang di rumah, atau

bahkan bunuh diri. Orang tua terpaksa menuruti. Ada yang dengan

menjual sapi, sawah atau tambak. Seekor sapi besar bisa terjual

sampai dua belas juta, tapi sapi rata-rata harganya tuju atau delapan

juta rupiah. Pemenuhan keinginan anak untuk punya sepeda motor ini

tidak serta merta membuat anak benar-benar menyelesaikan

sekolahnya. Bisa jadi sekolah anaknya menjadi semakin jauh sampai

ke tempat-tempat nongrong atau tempat wisata di kota

Lhokseumawe. Sekedar nongkrong, pacaran atau bahkan balap liar

dengan taruhan, sampai akhirnya benar-benar tidak berangkat

sekolah. Putus.

II. 3. 4. 2. Pendidikan Agama di Dayah

Peribahasa Aceh mengatakan ‘rejeki Tengku iup on kay, rejeki

orang bangsat lam batee’, yang berarti rejeki Tengku ada di bawah

daun, rejeki orang biasa (yang tidak taat agama) ada di dalam batu.

Peribahasa ini menggambarkan kemudahan seseorang dalam mencari

rejeki ketika menjadi Tengku. Ibarat kata hanya tinggal mengambilnya

di bawah daun. Sedangkan orang biasa harus kerja keras untuk

mendapatkan rejeki. Entah kerja di tambak, ke laut, atau ke sawah.

Mereka harus bekerja keras, ibarat memecah batu untuk mengambil

rejeki di dalamnya.

Page 83: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

67

Menjadi Tengku bukanlah hal yang sulit diraih. Orang yang

sudah melek agama, menjalankan shalat lima waktu dan menjalankan

rukun islam, mereka sudah dipanggil Tengku oleh masyarakat. Para

Tengku biasa dimintai tolong oleh masyarakat untuk memimpin doa-

doa dalam setiap upacara, seperti kenduri, duek pakat, tahlil, atau

lainnya. Untuk jasa ini mereka dibayar lima puluh sampai seratus ribu

rupiah. Orang biasa harus kerja di sawah, di tambak, atau di laut untuk

mendapat rejeki yang sama.

Ada motif ekonomi dalam penegakan ibadah dan pengajian

yang dilakukan para Tengku karena dari pengajian dan berbagai

upacara keagamaan seperti inilah para Tengku mendapatkan

rejekinya. Seorang Tengku akan mendapatkan honor dua ratus ribu

setiap menjadi imam dalam sholat jumat. Jadi dalam sebulan dia bisa

mendapat delapan ratus ribu dari ibadah jumatan ini. Kalau dirata-

rata, ditambah honor dari memimpin berbagai upacara keagamaan,

seorang Tengku bisa mendapat penghasilan dua juta per bulan tanpa

harus kepanasan di bawah terik matahari atau membanting cangkul.

Seorang Tengku yang populer di kampung-kampung honor

untuk mengisi pengajian bisa sampai satu setengah juta, seperti dalam

kasus pengajian peringatan Isra Mi’raj malam tanggal 11 mei 2025

lalu. Tengku yang diundang untuk mengisi ceramah adalah Tengku

dari kampung tetangga yang populer di kampung-kampung. Di

samping popularitas Tengku tersebut tidak dipakainya Tengku dari

kampung sendiri untuk mengisi ceramah malam itu adalah karena

masyarakat di kampung Sawang sudah biasa mendengar ceramah

para Tengku tersebut.

Page 84: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

68

Gambar 2. 26

Peringatan Isra’ Mi’raj

Foto: Wirabaskara

Di samping itu menjadi Tengku adalah status yang terpandang

karena ketaatannya menjalankan agama. Omongan mereka didengar

dan dianut oleh seluruh warga. Karena inilan menjadi Tengku banyak

dicita-citakan oleh anak-anak dan para orang tua.

Mereka lebih mementingkan anak mereka untuk mengaji,

belajar pada para Tengku di desa atau mondok di dayah terkenal yang

jauh. Dayah adalah pesantren tradisional di Aceh. Sistem pendidikan

di dayah ini adalah pendidikan informal yang tidak disetarakan dengan

pendidikan formal. Mereka memilih pendidikan agama di dayah ini

supaya menjadi orang yang agamanya kuat. Tidak kafir.

Banyak pemuda yang dulu malas-malasan menyelesaikan SD-

nya. Amin, misalnya, yang dengan malas-malasan akhirnya lulus SD

tahun 1999. Itu sudah istimewa menurutnya karena ketika setelah

kelas tiga SD, setelah bisa baca tulis, dia sudah malas-malasan sekolah.

Dalam seminggu dia paling hanya berangkat dua atau tiga kali saja.

Page 85: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

69

Selain itu dia tidak pernah sampai sekolah. Mungkin ke tambak atau

entah main di mana.

Gambar 2. 27

Ngaji, Belajar Agama

Foto: Wirabaskara

Teman satu kelasnya waktu itu berjumlah empat puluh orang.

Ketika lulus SD tahun 1999 hanya dua orang yang melanjutkan ke

SMP. Selainnya itu mereka bekerja ke laut, ke sawah, atau ke tambak.

Empat tahun kemudian Amin disuruh orang tuanya untuk mondok ke

dayah. Waktu itu untuk mendaftar dia membayar seratus tigapuluh

ribu, uang gedung per tahun seratus lima puluh ribu, dan uang

bulanan lima belas ribu. Setelah lewat enam tahun, ketika sudah kelas

tujuh dia sudah tidak harus bayar lagi karena dia sudah ikut mengajar

adik kelasnya. Dia belajar di dayah selama sepuluh tahunan.

Memang banyak yang milih belajar ngaji di dayah-dayah atau

pesantren yang dikenal bagus meski jauh dari rumah. Mereka bisa

mondok di dayah untuk belajar mengaji paling rendah delapan tahun

Page 86: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

70

atau bahkan sampai limabelas tahun. Mereka yang memilih belajar

mengaji ini biasanya ditempuh setelah lulus SD atau SMP. Mereka

tidak melanjutkan pendidikan sekolahnya tetapi memilih belajar ngaji

biar bisa menjadi Tengku. Status sosial yang tinggi dan realistis dari

pada bercita-cita menjadi pegawai. Untuk menjadi pegawai orang

harus nyogok. Begitulah anggapan orang-orang. Kadang-kadang anak

tidak ingin menjadi Tengku tapi tidak melanjutkan sekolah melainkan

belajar ngaji di dayah karena paksaan orang tuanya. Kalau lulus SMA

kebanyakan sudah malas mengaji. Anak-anak perempuan setelah

selesai sekolah akan mengaji. Selesai mengaji mereka akan pulang dan

menikah. Untuk laki-laki kebanyakan kerja atau merantau ke Malaysia.

Selesai belajar di dayah selama sepuluh atau lima belas tahun

mereka tidak bisa langsung menjadi Tengku karena sudah banyak

Tengku yang lebih senior. Dia akan bekerja seperti pemuda yang lain,

bahkan merantau menjadi TKI illegal ke Malaysia.

Belajar mengaji di dayah selama sepuluh atau lima belas tahun

ini juga membuat kenapa para pemuda di sini relatif terlambat

menikah. Ketika lulus SD atau SMP umur dua belas atau lima belas

mereka menempuh pendidikan di dayah selama sepuluh atau lima

belas tahun. Keluar dari dayah umurnya sudah akhir dua puluhan atau

tiga puluh tahun.

II. 3. 5. Kehidupan Sosial Ekonomi

II. 3. 5. 1.Gaya Hidup dan Mentallitas Kerja

“Masyarakat Desa Sawang ini keturunan bangsawan jadi

malas disuruh kerja. Ketika rekonstruksi Aceh pasca

tsunami banyak tenaga buruh bangunan dari luar Aceh.

Orang sini mana mau kerja kek gitu?”

Begitulah Andre menceritakan kenapa Orang Aceh tidak mau

kerja jadi buruh bangunan dengan upah delapan puluh ribu per hari.

Orang luar Aceh itu mungkin hanya dibayar limapuluh ribu per hari.

Page 87: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

71

Orang-orang Aceh yang sekarang bekerja sebagai buruh bangunan itu

karena kepepet.

Kenyataan bahwa orang Aceh itu pemalas diakui banyak

orang, dari orang biasa sampai tokoh-tokohnya. “Orang Aceh, tidak

hanya di Sawang ini, tapi di seluruh Aceh itu pada umumnya

pemalas,” begitu TengkuSulaiman menceritakan kesimpulan dari

pengalamannya mengelana selama tiga bulan tanpa membawa uang

sampai ke Riau. Dari pengalamannya TengkuSulaiman melihat orang-

orang dari etnis lain yang sudah tidak ada di rumah setelah subuh.

Mereka baru pulang bekerja setelah sore.

”Orang Aceh mana ada yang begitu. Mereka bangun

siang. Setelah itu nongkrong di warung, minum kopi dan

merokok. Siang mereka pulang untuk makan. Setelah itu

tidur lagi,” begitu TengkuSulaiman melihat etnisnya.

Kebiasaan para pemuda yang hanya nongkrong-nongkrong,

minum kopi, merokok, dan ngobrol menghabiskan waktu sampai larut

malam memang kebiasaan yang diwariskan dari para orang tua. Para

orang tua sejak dulu memang tidak memberikan contoh kegigihan

dalam bekerja.

Begitu pula dalam pandangan Imam Desa melihat diri dan

sekitarnya. Kebanyakan orang sehari-hari hanya menikmati waktu

tanpa ada yang bermanfaat. Kebiasaan ini mungkin menjadi salah satu

sebab kenapa keadaan sosial ekonomi masyarakat di Desa Sawang

pada khususnya relatif miskin, bahkan dibandingkan dengan desa-

desa lain di kabupaten Aceh Utara.

Seorang bapak muda yang dalam beberapa hari ini saya lihat

sedang membuat pagar yang mengelilingi pekarangan rumahnya

akhirnya berkesempatan ngobrol. Dia berencana menanam lada di

pekarangan rumahnya yang luasnya sekitar seribu meter persegi itu.

Ada yang sudah memberinya bibit. Sebenarnya luas pekarangan

Page 88: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

72

rumahnya tiga atau empat kali lebih luas dari yang dia pagari. Dia

hanya memagari semampunya biar cepat selesai. “Kalau memagari

semua, itu seperti memagari lautan,” begitu perumpamaan dia.

Pekarangan harus dipagari untuk menanam supaya tanaman tidak

dimakan kambing atau sapi.

Gambar 2. 28

Seperti Memagari Lautan

Foto: Wirabaskara

Kepada Pak Syam saya memberikan contoh apa yang terjadi di

Wonosobo, Jawa tengah di mana orang berhitung sejak sangat dini

ketika berencana membangun rumah. Di Wonosobo ini ketika orang

berencana membangun rumah umur tiga puluh maka ketika dia

berumur dua puluh dua mulai menanam sengon, sehingga ketika tiba

waktunya dia membangun rumah dia sudah punya kayu. Atau ketika

seseorang merencanakan menikahkan anaknya maka setahun

sebelumnya sudah dihitung. Dia akan menanam ubi kayu yang akan

dipanen delapan bulan. Ubi kayu akan ditanam yang banyaknya

tertentu dengan kisaran hasil panen sepuluh juta. Padi juga disiapkan

untuk panen pada waktu yang berdekatan. Sehingga ketika tiba

Page 89: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

73

waktunya dia mengadakan pesta pernikahan dia sudah punya uang

dan beras, dan mungkin juga kambing atau sapi.

Cerita yang saya sampaikan memang sangat kontras dengan

yang terjadi di Desa Sawang. Di sini sering terdengar kalimat, “hana

peng,” yang berarti “tidak ada uang” sehingga perkawinan diundur-

undur. Dengan contoh yang saya sampaikan dari Wonosobo itu

meskipun “hana peng” tetapi acara tetap bisa dilakukan, dengan

perencanaan.

Komentar Pak Syam pendek saja. “Di sini orang tua tidak

memberi contoh seperti itu.” Jadi apa yang terjadi ini sudah turun-

temurun. Mereka malas bekerja dan suka nongkrong di kedai kopi

sejak para orang tua mereka dahulu. Masyarakat tidak punya referensi

untuk melakukan strategi seperti yang dilakukan masyarakat di

Wonosobo. Jadi yang dilakukan ketika berbenturan dengan masalah

“biaya” mereka larinya ke Malaysia. Menjadi buruh migran illegal.

Kerja, langsung dapat uang banyak. Kalau bekerja di Malaysia mereka

bisa menyimpan uang tiga juta rupiah setiap bulannya. Dalam lima

atau sepuluh tahun merantau di Malaysia mereka bisa membawa

pulang seratus atau dua ratus juta rupiah. Ketika pergi ke Malaysia

belum memungkinkan mereka tidak menempuh alternatif lain yang

sebanding hasilnya.

“Na peng na ineung, hana peng hana ineung” adalah ujaran

yang populer di kalangan pemuda di Desa Sawang. Dalam bahasa

Indonesia berarti “ada uang ada perempuan, tidak ada uang tidak ada

perempuan”. Para pemuda di sini memang relatif terlambat kawin

untuk ukuran orang desa. Mereka bisa membujang sampai umur tiga

puluhan. Salah satu sebabnya adalah karena mas kawin bagi

perempuan Aceh dirasa mahal bagi mereka. Seorang perempuan biasa

meminta mas kawin sepuluh, dua belas, bahkan sampai limabelas

manyam emas. Untuk harga satu manyam setara dengan tiga gram

emas sekarang sekitar satu setengah juta rupiah. Jumlah itu adalah

Page 90: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

74

jumlah yang sangat banyak bagi warga Desa Sawang yang kurang

produktif.

Gambar 2. 30

Gadis Aceh dalam Busana Muslimah

Foto: Wirabaskara

Sebenarnya tidak semua perempuan aceh memasang mahar

sebesar itu. Ada juga perempuan yang bisa dimahari dengan dua atau

tiga manyam emas untuk diperistri. Mereka adalah perempuan-

perempuan dari kelas ekonomi yang kekurangan. Perempuan-

perempuan dari kelas sosial ini kurang dilirik para pemuda karena

gengsi mereka.

Orang Aceh gengsinya tinggi. Mereka sangat menjaga

penampilan mereka. Pakaian bagus dan kendaraan baru adalah

kebanggaan para pemuda untuk memikat lawan jenisnya. Di balik

penampilan itu apapun dikorbankan. Ketika seorang pemuda sudah

bersolek maka tidak kelihatanlah nasib mereka sebenarnya.

Page 91: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

75

Gambar 2. 30

Pemuda Aceh

Foto: Wirabaskara

Kebanyakan para pemuda ini tidak mau bekerja dengan gaji

delapanratus ribu atau bahkan satu setengah juta per bulan. Uang

segitu bahkan untuk kebutuhan sendiri saja tidak cukup. Kalau ada

yang menerima pekerjaan seperti itu, tidak akan berlangsung lama.

“Untuk sendiri saja gak cukup, apa lagi keluarga?” Karena inilah

banyak pemuda di kampung yang memilih menganggur kebingungan

untuk memenuhi gaya hidup mereka.

Karena pertimbangan inilah banyak pemuda yang menjadi

tenaga kerja illegal ke Malaysia. Illegal karena mereka tidak mampu

mengurus legalitasnya yang lebih dari dua juta untuk tiga bulan.

Setelah itu harus mengurus perpanjangan. Dalam tiga atau lima tahun

bekerja di Malaysia mereka akan bisa membawa pulang uang sampai

seratus juta. Itu kalau beruntung. Kalau tidak beruntung dan

ditangkap kepolisian Malaysia mereka akan ditahan selama beberapa

bulan dan kemudian dipulangkan. Resiko ini menjadi pertimbangan

penting ketika seseorang memutuskan berangkat ke Malaysia.

Seorang pemuda menceritakan beberapa waktu lalu ada

mahasiswi dari Medan kerja praktek lapangan di desa. Ketika didekati

oleh seorang pemuda desa, pemuda itu tertawa dalam hati

mendengar pandangan sang mahasiswi, “kalau menikah dengan

Page 92: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

76

Orang Aceh itu kebutuhan biologisnya terjamin tetapi kebutuhan

ekonominya terancam.”

Pekerjaan dengan penghasilan pas-pasan seperti ke sawah, ke

tambak, ke laut, atau menjadi buruh kasar kadang mereka lakukan

tanpa ada keyakinan menatap masa depan. Hanya sekedar untuk

menutup hutang di kedai dan jajan sehari-hari. Ketika sudah menikah

seorang pemuda akan mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi

nafkah keluarganya. Ketika itulah mau tidak mau mereka harus

bekerja setiap hari.

Pak Mulia tidak membeli sepeda motor karena menurut dia

orang kalau punya sepeda motor akan malas kerja. Dia akan main ke

sana ke sini saja dengan sepeda motornya itu. Dia memilih

mengunakan uangnya untuk modal menyewa tambak-tambak milik

warga yang tidak dirawat. Dia sekarang punya delapan petak tambak.

Tujuh petak diantaranya menyewa dan satu petak milik sendiri. Kalau

ada uang banyak dari hasil tambak dia gunakan untuk membeli emas

atau lembu untuk tabungan. Dia juga sudah gunakan tabungannya

untuk membantu biaya orang tuanya naik haji.

Dalam pandangan masyarakat orang kaya itu kalau dia punya

tambak banyak dan sudah naik haji. Naik haji adalah indikator status

ekonomi seseorang sebagai orang kaya.

“Kalau belum naik haji maka ‘kekayaan’ harta mereka

masih sebatas untuk dirinya sendiri. Seperti itu belum

masuk kategori kaya. Ada yang satu keluarga punya

sepeda motor dua atau tiga tapi dia masih mengambil

beras miskin. Itu tidak kaya,” begitu penjelasan Isak.

Page 93: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

77

II. 3. 5. 2. Solidaritas Ekonomi

Kadang-kadang terjadi sebuah keluarga kehabisan beras dan

belum ada rejeki. Ketika hal seperti ini terjadi mereka akan minta pada

tetangga. Begitulah mereka saling tolong untuk mengatasi masalah.

Saling minta beras ini sering terjadi. Kadang-kadang juga berhutang

beras ke kedai kalau masalah kehabisan beras ini tidak segera

terselesaikan sementara untuk minta lagi mereka malu.

Kebiasaan saling membantu ini terjadi sejak masa lajang.

Mereka biasa saling memberi uang pada teman yang kelihatan tidak

punya uang. Sekedar limaribu atau sepuluh ribu rupiah. Kalau tidak

ada uang lebih mungkin hanya sekedar berbagi rokok atau traktir

minum kopi di kedai.

Seorang pemuda bisa berhutang di kedai sampai ratusan ribu

untuk minum kopi dan membeli rokok ketengan. Kadang pemilik kedai

menegor orang yang punya hutang kalau terlalu lama gak bayar atau

ketika punya sedikit uang malah jajan di kedai lain. Jadi ada uang atau

tidak ada uang pemilik kedai akan menuntut para pelanggan untuk

jajan di kedai miliknya.

II. 3. 5. 3. Kendala yang Dihadapi Petani dan Nelayan Pasca

Tsunami

“Aceh ini tanahnya paling subur. Tanam kayu tumbuh, tanam

tai juga tumbuh.” Begitulah masyarakat Aceh menggambarkan

kesuburan tanahnya. Batang-batang kayu yang mereka tanam (untuk

membuat pagar) akan tumbuh, bahkan tai (musang) pun bisa

tumbuh—karena musang makan biji-bijian.

Sayangnya kesuburan tanah tersebut tidaklah dimanfaatkan

secara maksimal. Sistem pertanian masih mengandalkan air hujan.

Ketika memasuki musim kemarau di mana hujan sudah jarang turun

mereka harus menyirami tanaman dengan air sumur yang dibuat di

Page 94: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

78

dekat ladang. Ketika musim kemarau benar-benar datang kebanyakan

sawah dan ladang ini dibiarkan kosong tidak digarap.

Dari dua tokoh agama paling berpengaruh di Desa Sawang

diperoleh pendapat yang sama dalam melihat permasalahan yang

paling utama yang terjadi di desa, yaitu “ekonomi”. Di samping

mentalitas kerja yang kurang, kemiskinan ini juga disebabkan oleh

kondisi tanah sawah dan tambak yang ‘bermasalah’.

“Tanah tidak seperti dulu. Sekarang tanah sudah bergaram.”

Panenan padi jauh berkurang. Kalau sebelum tsunami sawah bisa

menghasilkan sepuluh sampai lima belas karung sekarang hanya

menghasilkan tiga karung. Butir-butir padi tidak lagi padat. Dari

sepuluh kilogram padi hanya menjadi lima atau enam kilogram beras.

Pohon kelapa miskin berbuah. Tambak-tambak tidak lagi

menguntungkan untuk memelihara udang.

“Tambak sudah kena virus,” begitu ungkapan warga melihat

tambak-tambak yang coba ditanami udang habis dalam seminggu, dua

minggu, atau tiga minggu. Hanya satu-dua yang bisa bertahan sampai

panen. Itupun dalam waktu yang lebih lama dan panenan yang tidak

lagi melimpah.

Di samping dampak tsunami yang oleh masyarakat dianggap

menjadi penyebab berkurangnya hasil pertanian dan perikanan di

Desa Sawang ada juga anggapan bahwa berkurangnya hasil ikan dari

laut dan tambak disebabkan oleh limbah yang dibuang ke laut oleh PT.

Exxon dan PT. Arun. Dugaan ini tidaklah populer di kalangan

masyarakat Desa Sawang. Hanya satu-dua orang saja yang mempunyai

pemikiran ini.

“Sebelum tsunami hasil udang di laut bagus. Tambak juga

bagus. Sekarang udang jarang di laut dan tambak juga

susah untuk udang. Mungkin efek dari limbah itu,“ begitu

Page 95: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

79

dugaan Andre yang lulusan S1 dan pernah kerja untuk

NGO asing pasca tsunami.

Masyarakat juga tidak ada yang tahu kemungkinan kegagalan

tambak itu karena kendala teknis. Secara teknis tambak sekarang ini

banyak yang gagal karena saluran masuk dan keluar air tidak lancar.

Hanya ada satu saluran saja untuk masuk dan keluarnya air di tambak-

tambak itu. Akibatnya sirkulasi air tambak tidak lancar. Tambak-

tambak itu mendapatkan kendala untuk mendapatkan air baru dari

laut yang bersih. Siklus air keluar akan terkendala oleh air pasang

sehingga air yang seharusnya mengalir ke luar dari tambak akan

berbalik masuk ke tambak lagi.

Ketidak lancaran sirkulasi air ini mengakibatkan menumpuknya

bibit penyakit di dalam tambak. Terlebih lagi tidak semua tambak ada

saluran airnya. Tambak-tambak yang tidak mempunyai saluran air ini

harus menggunakan pompa air setiap dua minggu untuk mengisi

menggantikan air yang meresap ke dalam tanah dan menguap.

Tambak yang tanpa saluran air ini akan menumpuk jauh lebih banyak

bibit penyakit bagi ikan atau udang yang ditebar di dalamnya. Untuk

ikan bandeng, nila, atau kakap yang banyak dipelihara mungkin masih

tahan terhadap bibit-bibit penyakit tersebut tetapi untuk udang yang

membutuhkan lingkungan yang terjaga bersih dan sehat akan

berpotensi besar untuk gagal.

Akibatnya banyak warga yang malas mengerjakan tambaknya

lagi. Mereka menyewakan tambak-tambak itu. Dua juta sampai lima

juta per sepuluh tahun. Ada juga yang menggadaikannya sepuluh juta.

Setiap petaknya, luasnya sekitar dua ribu meter persegi. Untuk

tambak-tambak yang tidak terjangkau oleh air mereka harus

menyewa pompa air untuk mengisinya. Sewa pompa air tigapuluh

lima ribu per jam. Butuh waktu lima sampai sepuluh jam untuk

mengisinya. Dua minggu sekali.

Page 96: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

80

Kebanyakan tambak sekarang ditanami ikan bandeng, nila.

Sedikit yang masih mencoba menanam udang. Ada yang khusus

menanam udang dalam satu petak tambak dan ada yang mencampur

udang dengan ikan lain. Ikan dan udang yang dipelihara di tambak

kebanyakan tidak dikasih makan. “Kalau ikan di tambak dikasih

makan, kalau orang tahu mereka tidak suka. Rasanya kurang enak.”

Gambar 2. 32

Tambak dan Gubuk di Ladang

Foto: Wirabaskara

Tidak banyak bibit yang ditanam setiap petak ukuran seribu

sampai duaribu meter persegi itu. Di salah satu petaknya Pak Mulia

menanam limaratus ekor bibit bandeng. Ada juga dia pernah

menanam tujuh ratus bibit ikan kakap. Bulan Januari kemarin banjir

menerjang tambak-tambaknya yang siap panen. Semuanya delapan

petak. Dia kehilangan tujuh belas juta untuk modal mengerjakan

tambak-tambaknya itu. Dia iklas saja. Tidak ada kekecewaan di

wajahnya. Untuk modal tambaknya sekarang dia menggunakan semua

Page 97: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

81

tabungannya. Tabungannya yang berupa emas dan lembu itu sekarang

sudah habis untuk modal tambak-tambaknya.

II. 3. 5. 4. Dampak Lingkungan

Di Desa Sawang ini sebenarnya hanya ada seekor nyamuk,

tetapi temannya sangat banyak. Sebagai daerah pesisir dengan suhu

udara yang panas, hal ini sebenarnya wajar saja. Seperti halnya

daerah-daerah pesisir di seluruh Indonesia yang suhu udaranya panas

nyamuk bisa hidup dan berkembang biak dengan baik.

Gambar 2. 33

Gubuk untuk Menunggu Tambak

Foto : Wirabaskara

Apa lagi di Desa Sawang ini. Banyaknya tambak yang ada di

sekitar desa oleh masyarakat dianggap menjadi penyebabnya.

Nyamuk berkembang biak di tambak-tambak itu. Ketika selesai panen

tambak akan dikeringkan dan diberi racun untuk membunuh bibit

penyakit di dalam tambak supaya ikan atau udang yang akan ditanam

Page 98: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

82

nantinya tidak terserang penyakit. Setelah diracun dan didiamkan

selama beberapa hari tambak akan diisi air. Pada saat itulah nyamuk

akan berkembang biak secara besar-besaran di tambak yang baru diisi

air itu. Pada saat bibit ikan atau udang ditebar, jentik-jentik nyamuk

itulah makanan mereka. Apa lagi udang, jentik-jentik nyamuk sangat

disukai oleh udang. Jadi jentik-jentik nyamuk itu memang dipelihara.

Ketika ikan atau udang sudah berumur tiga atau empat minggu baru

bisa diberi pakan tambahan, kalau pakan alami di dalam tambak

seperti lumut tidak banyak.

II. 3. 5. 5. Peluang Usaha di Bawah Hukum Syariat

“Tempat dengan banyak aturan.” Pada awalnya saya tidak

terlalu memberi perhatian ketika seorang pemuda mengatakan hal itu

dalam obrolan di warung pada suatu siang. Di malam harinya dalam

obrolan lain saya mendapat cerita yang menjelaskannya dari Rudi.

Tahun 1994 pantai sangat ramai karena dibuka untuk wisatawan. Pada

awalnyya dia membantu kakaknya berjualan makanan dan minuman

kemasan. Keuntungan yang lumayan membuatnya kemudian memilih

untuk berjualan sendiri. Di samping itu dia juga membuat sumur untuk

mandi bilas bagi wisatawan setelah mandi di laut. Dia masih kecil

ketika itu, tapi dia sudah bisa membayari orang untuk menunggu

sumurnya dengan bagi hasil 2:1.

Di jalan masuk ke pantai para pemuda membikin pos yang

menarik iuran bagi wisatawan yang mau masuk. Hasil dari tiket masuk

ini dibagi untuk yang menjaga dan kampung untuk membangun

manasah serta berbagai keperluan kampung.

Pagi, Minggu 24 desember 2004 tsunami melanda. Itu adalah

hukuman dari Allah kepada masyarakat yang banyak melanggar

aturan agama. Para Tengku di desa merasa perilaku wisatawan

semakin tidak terkendali. Mereka mendekati maksiat. Pasangan

muda-mudi mulai banyak yang mojok di sudut-sudut pantai.

Page 99: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

83

Keputusan diambil oleh para tetua desa. Pantai ditutup. Masyarakat

menerima keputusan ini karena memang seperti itulah seharusnya.

Mereka yang dulu mencari nafkah di pantai dengan menjual makanan,

menyewakan sumur untuk mandi bilas, dan para pemuda kampung

yang membuat portal untuk menarik tiket masuk dari para wisatawan

mengiklaskan usahanya.

Gambar 2. 33

Sun Set di Pantai Sawang

Foto : Wirabaskara

Di desa lain ada contoh wisata pantai yang menerapkan

peraturan. Mereka membuat garis pembatas untuk memisahkan

wisatawan laki-laki dan perempuan seperti di masjid. Hal itu untuk

menjauhkan wisatawan dari mendekati maksiat. Para Tengku tetap

merasa akan sangat kesulitan untuk mengatur wisatawan. Jangankan

orang lain, warga sendiri pun sulit untuk diatur oleh mereka. Pantai di

Desa Sawang tetap ditutup. Para pemuda dan anak-anak yang mencari

penghidupan di pantai taat dengan keputusan itu. Mereka rela

melepaskan sumber penghasilan itu.

Page 100: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

84

Dulu orang banyak yang membuat kerajinan dari pandan hutan

untuk mengisi kegiatan ketika pekerjaan ke sawah sela. Ketika jeda

masa tanam dengan masa panen orang-orang mencari pandan hutan

yang banyak tumbuh di pantai. Daun-daun pandan itu kemudian

mereka olah dan di simpan. Setelah selesai kegiatan di sawah, pada

musim kemarau mereka membuat kerucut untuk memasak nasi dan

tikar-tikar dengan bermacam motif yang banyak dibeli pedagang dari

berbagai daerah. Waktu itu ketika musim kemarau di mana sawah

tidak bisa ditanami masyarakat masih bisa mendapat penghasilan.

Gambar 2. 35

Senja Pengrajin Pandan

Foto : Wirabaskara

Sekarang hanya tinggal satu-dua orang yang masih membuat

kerajinan dari daun pandan itu. Daun pandan sudah sulit didapat.

Pandan hutan yang banyak tumbuh di pantai sudah dibersihkan warga

supaya pantai tidak lagi kondusif untuk mojok pasangan-pasangan

muda-mudi yang berwisata ke pantai. Supaya orang-orang tidak bisa

lagi mendekati maksiat di pantai.

Sistem pengetahuan yang agamis masyarakat yang taat pada

para Tengku sebagai pemimpin agama memang menjadi fatalistik

Page 101: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

85

karena tidak dibarengi kecukupan wawasan dan ilmu dunia. Tsunami

yang terjadi sebelas tahun yang lalu adalah hukuman Allah karena

Desa Sawang membiarkan wisatawan mendekati maksiat. Maka dari

itu pantai ditutup dari wisatawan untuk mencegah jatuhnya hukuman

Allah lagi.

Tsunami, petir yang menyambar-nyambar, angin ribut, dan

berbagai bencana alam yang terjadi adalah tanda-tanda.

Menunjukkan hari kiamat sudah dekat. Penjelasan ilmu alam

bukannya tidak dipercaya, tetapi bukan seperti itu yang telah

dikatangan Tengku-Tengku. Ketika saya menjelaskan pada Wardan

tentang apa itu awan, bagai mana air menguap, dan bagaimana terjadi

hujan, dia mengangguk-angguk. Lain ketika saya mencoba

menjelaskan bagaimana tsunami terjadi. “Bukannya saya tak percaya

ilmu pengetahuan, Bang. Tsunami, petir yang menyambar-nyambar,

itu adalah tanda bahwa hari kiamat sudah dekat. Itu kata Tengku-

Tengku di kampung.” Dia menolak penjelasan ilmiah dari saya karena

sudah punya referensi yang dikatakan oleh para Tengku di kampung.

Apa yang dia dengar adalah tidak benar kalau berbeda dengan apa

yang telah diomongkan oleh para Tengku.

II. 3. 6. Pengambilan Keputusan

II. 3. 6. 1. Tingkat Desa

Di tingkat desa terdapat tiga tokoh yang mempunyai otoritas

dan berperan dalam pengambilan keputusan yang bersifat publik atau

menyangkut harkat masyarakat di kampung. Ke tiga tokoh itu adalah

Pak Geucik atau Kepala Desa atau Kepala Kampung. Sebutan “desa”

dipakai secara resmi dan administrasi pemerintahan. Secara sosial

kultural masyarakat menyebutnya “kampung”. Secara administratif

pemerintahan desa Pak Geucik berperan dalam hal menyutujui dan

mengeluarkan surat-surat dan perijinan. Secara sosial Pak Geucik

Page 102: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

86

berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di

kampung yang meliputi sengketa atau konflik antar warga.

Penyelesaian konflik dan masalah secara kekeluargaan di

tingkat desa oleh Pak Geucik secara resmi memang diperkenankan di

Kabupaten Aceh Utara. Dalam menyelesaikan perselisihan antar

warga ini kadang keputusan Pak Geucik tidak diterima oleh warga

yang bersengketa. Ketika terjadi ketidak terimaan seperti ini

permasalahan baru dilimpahkan ke Polsek Samudera.

Sebagai contoh misalnya perselisihan kepemilikan atas ternak

sapi. Masyarakat di Desa Sawang dan desa-desa lainnya memiliki

kebiasaan melepas ternak sapi mereka dan hanya mengandangkannya

pada masa-masa tertentu seperti masa tanam padi atau panen.

Karena berkeliaran selama berbulan-bulan dan gerombolan sapi ini

saling bercampur kadang-kadang ada sapi yang hilang atau mati.

Pemilik sapi yang hilang atau mati ini kadang-kadang mengklaim

bahwa bukan sapinya yang hilang atau mati sehingga dia tetap

menghitung jumlah sapinya seperti semula. Salah satu sapinya tentu

saja menimbulkan sengketa karena ada pemilik lain yang meyakini

bahwa sapi tersebut adalah miliknya. Keputusan Pak Geucik dalam

menyelesaikan sengketa ini kadang tidak diterima oleh pihak yang

kalah sehingga penyelesaian dilimpahkan ke Polsek Samudera. Di

tangan aparat Polsek Samudera keputusan pasti dituruti. Aparat

Polsek Samudera biasanya memutuskan dengan cara menaruh

gerombolan sapi ke dua belah pihak yang bersengketa secara terpisah.

Kemudian sapi yang disengketakan akan dilepas di tengah dan disuruh

memilih sendiri rombongannya. Rombongan yang dipilih oleh sapi

itulah yang diputuskan sebagai pemiliknya.

Tokoh ke dua dalam pengambilan keputusan di tingkat desa

adalah Tengku Raja. Dia adalah Tengku yang memimpin masjid

sehingga kadang disebut juga dengan Tengku Masjid. Karena masjid di

Desa Sawang ini dipakai oleh empat kampung, yaitu Sawang, Puuk,

Page 103: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

87

Matang Ulim, dan Blang Nibong maka kepemimpinan Tengku Raja ini

meliputi keempat kampung tersebut. Tengku Raja memegang otoritas

dalam menyetujui tanggal perkawinan atau ijab seseorang dan Tengku

Raja ini pula nantinya yang akan menikahkannya.

Tokoh ke tiga adalah Tengku Imam atau Imam Desa. Tengku

Imam ini memegang otoritas dalam menyetujui tanggal pesta

perkawinan dan berbagai upacara atau perayaan agama di kampung.

Tengku Imam ini pula yang memimpin setiap upacara adat keagamaan

yang diadakan di kampung. Masing-masing kampung yang ada di

bawah kepemimpinan Tengku Raja tersebut di atas mempunyai

Tengku Imam sendiri-sendiri. Warga yang diayomi oleh Tengku Imam

ini sama dengan warga yang diayomi Pak Geucik. Satu kampung.

Ketiga tokoh inilah yang memegang kunci keputusan untuk

menerima atau menolak suatu program atau kelompok dari luar untuk

masuk ke desa. Ke tiganya adalah laki-laki. Saringan pertama untuk

mempertimbangkan suatu kelompok diterima masuk ke desa adalah

“dari mana” dan “tujuannya apa?”

Ketidak jelasan atas kedua pertanyaan tersebut akan

mengundang kecurigaan orang yang akan masuk ke desa sebagai

“intelijen” atau “orang yang akan melakukan kriminal akidah.” Nama

pemerintah manjadi jaminan awal bagi masyarakat desa untuk

menerima kehadiran orang atau program ke desa. Masyarakat relatif

tidak ada penolakan dengan pemerintah meskipun ada trauma

“Darurat Militer” yang menggores dalam.

Di samping Tengku Imam dan Tengku Raja, para Tengku juga

menjadi panutan yang ditaati oleh masyarakat. Informasi yang masuk

ke masyarakat akan disaring oleh informasi yang mereka peroleh dari

para Tengku. Misalnya informasi tentang tsunami secara ilmiah,

bahwa tsunami yang terjadi merupakan gejala alam. Informasi tentang

tsunami sebagai gejala alam seperti ini meskipun sering mereka

Page 104: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

88

dengar tetapi tidak mereka percayai karena berbenturan dengan

informasi dari para Tengku yang mengatakan bahwa tsunami terjadi

sebagai hukuman dari Allah karena manusia telah banyak berbuat

maksiat.

Hal seperti itu juga yang mungkin terjadi di pengungsian pasca

tsunami 2004 lalu. Para pengungsi tetap buang air besar di sembarang

tempat meskipun para relawan kesehatan sudah berkali-kali

menyarankan untuk berperilaku sehat. Di samping kemungkinan

kendala bahasa yang tidak dimengerti oleh masyarakat ada baiknya

penyampaian informasi seperti itu dilakukan dengan melibatkan para

Tengku supaya informasi yang disampaikan didengar oleh masyarakat.

Gambar 2. 36

Mandi di Sumur

Foto : Wirabaskara

Dalam tradisi Islam mereka hanya menuruti apa yang

dikatakan oleh para Tengku di desa. Melibatkan para Tengku untuk

Page 105: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

89

menyampaikan informasi ini dibutuhkan untuk menghindari benturan

informasi dengan tafsir atas syariat Islam yang dijalankan sehari-hari.

Dalam kasus tersebut Masyarakat di Desa Sawang meyakini bahwa

sebagai orang Islam mereka tidak boleh mandi atau buang air besar di

kamar mandi/WC yang tertutup. Mereka harus melakukannya di

tempat yang terbuka, sehingga kalaupun membuat kamar mandi

mereka membuat kamar mandi yang terbuka.

Masyarakat di Desa sawang biasa mandi di tempat yang

terbuka. Mereka membalut tubuhnya dengan kain sarung atau jarit

untuk menutupi aurat ketika mandi di tempat yang terbuka. Aturan

yang diyakini adalah orang Islam tidak boleh telanjang meskipun di

dalam kamar mandi yang tertutup rapat karena malaikat masih bisa

melihat. Sehingga telanjang di dalam kamar mandi akan tetap terlihat

auratnya oleh malaikat.

II. 3. 6. 2. Tingkat Rumah Tangga

Sebuah rumah tangga dimulai ketika seorang laki-laki mampu

membayar mas kawin kepada seorang perempuan. Mas kawin itu

berupa sepuluh manyam emas. Bisa kurang bisa lebih, tergantung dari

status sosial ekonomi keluarga perempuan. Satu manyam setara

dengan tiga gram emas yang harganya kurang lebih satu setengah juta

rupiah. Di samping manyam emas tersebut ada pula seperangkat alat

sholat atau barang remeh-temeh lain yang menyertainya sebagai mas

kawin. Barang ini jarang dibahas karena jauh lebih mudah dipenuhi

dari pada manyam emas yang diminta. Kalau tidak ada manyam emas

harus ada “uang hangus” yang besarnya setara. Misalnya uang hangus

sepuluh juta.

“Perempuan Aceh itu mahal,” begitulah perbincangan para

bujang. Mas kawin yang diminta keluarga perempuan bisa membuat

seorang laki-laki kalang kabut. Kalau keluarga laki-laki tidak bisa

mengadakan permintaan tersebut maka dia harus mencari sendiri.

Page 106: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

90

Bekerja dan mengumpulkan uangnya selama bertahun-tahun. Itu pun

belum tentu terkumpul. Malaysia adalah alternatif yang melegakan

bagi yang mampu berangkat ke sana.

Gambar 2. 37

Gadis Manyam Emas

Foto : Wirabaskara

Setelah siap dengan maharnya perkawinan bisa dilaksanakan.

Ijab dulu saja. Pestanya bisa langsung diadakan setelah ijab atau

waktu lain menurut kemampuan dan kesiapan keluarga perempuan.

Seminggu sebelum hari pesta tuan rumah akan mengadakan upacara

duekpakat. Secara harafiah duek pakat ini berarti duduk dalam

kesepakatan.

Pada acara yang diadakan selepas mahrib ini tetangga akan

berdatangan untuk sekedar menikmati kue dan minuman yang

disajikan dan kemudian membayar kue yang dimakannya. Besaran

sumbangan ini suka rela, tergantung kemampuan pemberi. Setiap

sumbangan akan dicatat oleh empat orang kasir. Dua orang kasir laki-

laki bertugas menerima pembayaran dari kelompok laki-laki dan dua

orang kasir perempuan menerima pembayaran dari kelompok

perempuan. Kelompok laki-laki duduk terpisah dari kelompok

Page 107: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

91

perempuan. Dalam sebuah acara duek pakat di Desa Sawang biasa

terkumpul tiga sampai lima juta. Di desa-desa lain yang lebih sejahtera

bisa terkumpul sampai dua puluhan juta.

Pada keramaian acara seperti ini laki-laki bertugas

membersihkan tempat, memasang tenda dan berbagai peralatan,

memasak masakan dalam porsi besar dengan panci besar, menyajikan

hidangan, dan berbagai pekerjaan yang membutuhkan tenaga berat

lainnya. Sedang perempuan bertugas meracik bumbu dan bahan

masakan, memasak masakan yang ringan-ringan seperti kue-kue,

mempersiapkan makanan untuk disajikan, dan mencuci piring.

Kalau upacara ijab dipimpin oleh laki-laki, yaitu Tengku Raja.

Sedangkan dalam upacara adat perkawinan ini akan dipimpin oleh

seorang perempuan yang dituakan. Beliaulah yang akan memimpin

setiap prosesi dalam pesta tersebut.

Gambar 2. 38

Pesta Perkawinan Adat Aceh

Foto : Wirabaskara

Demikianlah rumah tangganya menjadi sah secara agama dan

adat. Suami akan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi

keluarganya. Suami harus berkerja. Sering juga perempuan membantu

berkerja menggarap sawahnya sendiri atau menjadi buruh tani. Di luar

Page 108: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

92

waktu berkerja itu perempuan bertanggung jawab mengurusi

keperluan rumahnya. Dari mulai mencari kayu bakar, belanja, mencuci

pakaian, memasak, sampai mengurusi anak. Suami kadang-kadang

membantu pekerjaan itu tapi hanya sedikit saja. Laki-laki lebih banyak

menggunakan waktu luangnya untuk nongkrong di kedai.

Orang yang sudah menikah dan masih tinggal di rumah orang

tua hidup dalam satu tungku. Dapur keluarga dalam satu rumah

menjadi satu, tidak memisah tiap keluarga inti. Kalau ada keluarga inti

yang mau membuat dapur atau tungku sendiri dia harus memisah

rumah. Kalau ada masa sulit ekonomi bila sebuah keluarga kehabisan

bahan makanan mereka akan mengeluh pada tetangga yang dekat

untuk diberi uang atau beras. Kalau tidak mengeluh, orang lain tidak

akan tahu kalau keluarganya kehabisan bahan makanan jadi tidak

dibantu. Solidaritas seperti ini sudah terbangun sejak masa lajang. Di

kalangan pemuda lajang mereka saling memberi ketika ada kawan

yang tidak punya uang. Sekedar rokok ketengan atau jajan di kedai.

Kadang juga mereka saling mengasih uang, sekedar lima ribu atau

sepuluh ribu.

Page 109: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

93

BAB III

MENILIK KESEHATAN DESA SAWANG

III. 1. Potret Balita

Desa Sawang menjadi salah satu desa di Kecamatan Samudera

yang memiliki potret jumlah balita yang cukup banyak, berdasarkan

data yang diberikan oleh bidan desa kepada peneliti, pada tahun 2015

terdiri dari sejumlah 33 ibu hamil, 31 ibu bersalin, 30 bayi, 218 balita,

328 WUS22, dan 370 PUS23. Artinya, dari jumlah sasaran kelompok

umur tersebut terdapat 21% nya merupakan kelompok balita dan 25%

dari kelompok umur tersebut merupakan bayi dan balita24. Saat

melakukan observasi banyak ditemukan balita yang sedang bermain,

berada di ayunan anak maupun digendong di Desa Sawang. ”Disini

lebih banyak anak-anak, pemuda-pemudinya malah sedikit”(Agis).

Dunia penuh dengan keceriaan anak dapat ditemukan disini.

Gambar 3.1

Balita di Desa Sawangsedang bermain dan digendong di depan rumah di pagi

hari.

Sumber: Khodijah

22 Singkatan dari Wanita Usia Subur 23 Singkatan dari Pasangan Usia Subur 24 Data diperoleh dari catatan bidan desa

Page 110: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

94

III. 1. 1. Cakupan Balita Ditimbang

Indikator program yang dihitung untuk penimbangan Balita

ditimbang adalah D/S dimana D adalah jumlah balita ditimbang berat

badannya di sarana pelayanan kesehatan termasuk posyandu di suatu

wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Sedangkan S adalah jumlah

semua balita yang ada di seluruh posyandu yang melaporkan di suatu

wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Pada tahun 2013 tercatat

bahwa cakupan D/S yang ditimbang di Kabupaten Aceh Utara

sebanyak 45.807 balita (83.7%).25Sedangkan menurut IPKM, cakupan

balita ditimbang di Aceh Utara sebanyak 52.0% yang dapat diartikan

bahwa setiap sepuluh balita, 5 balita melakukan penimbangan di Aceh

Utara.26 Melihat secara langsung di Desa Sawang, Peneliti menemukan

beberapa hal yang perlu digali kembali.

Penimbangan balita dilakukan di Posyandu Desa Sawang dan

biasanya dilakukan di meunasah27. Kegiatan penimbangan dilakukan

oleh kader kepada balita dan dilakukan pencatatan setiap bulannya

sehingga diperoleh data hasil penimbangan berat badan setiap

bulannya yang dapat dievalusi oleh bidan desa.

Tabel 3.1 Tabel Jumlah dan Cakupan Balita Ditimbang di Posyandu Desa Sawang pada bulan Januari-Mei Tahun 2015.

Bulan Jumlah ditimbang D/S

Januari 248 96 38%

Februari 248 96 38%

Maret 248 100 40%

April 248 100 40%

Mei 248 27 10%

Sumber: Pencatatan bidan Desa Sawang.

Melalui hasil pencatatan di posyandu Desa Sawang pada

tahun 2015 ditemukan bahwa pada bulan Januari balita di Desa 25 Profil Kesehatan Aceh Utara 2013 26 IPKM Tahun 2013 27 Balai tempat kegiatan masyarakat

Page 111: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

95

Sawang yang mengalami peningkatan berat badan sebanyak 83 balita

sedangkan yang mengalami berat badan turun sebanyak 13 balita.

Pada bulan Februari diperoleh 87 balita mengalami peningkatan berat

badan dan sebanyak 9 balita mengalami berat badan turun. Pada

bulan Maret diperoleh 93 balita mengalami peningkatan berat badan

dan sebanyak 7 balita mengalami berat badan turun. Di Bulan April

terjadi peningkatan berat badan pada 91 balita dan terjadi penurunan

berat badan pada 9 balita.

Berdasarkan pencatatan tersebut. Jumlah rata-rata balita yang

ditimbang di posyandu dan puskesmas sebanyak 98 balita, sedangkan

pada pelaksanaan posyandu yang dilaksanakan pada bulan Mei

tercatat 27 balita yang melakukan penimbangan di posyandu.

Cakupan penimbangan balita di Desa Sawang ialah sebanyak 40%

pada bulan April, namun terjadi penurunan angka menjadi 10% pada

bulan Mei, yaitu saat peneliti sedang berada di Desa Sawang.28

Gambar 3.2

Ibu balita sedang menimbang balita yang ketakutan.

Sumber: Dokumentasi peneliti

28 Berdasarkan perhitungan cakupan D/S melalui data yang diperoleh dari bidan Desa Sawang .

Page 112: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

96

Kegiatan penimbangan dilakukan setiap pelaksanaan kegiatan

Posyandu. Desa Sawang memiliki timbangan yang disediakan untuk

kegiatan posyandu setiap bulannya serta dikelola oleh kader.

Peralatan timbangan dalam kondisi yang baik. Penimbangan dilakukan

oleh kader dan dilanjutkan pencatatan oleh petugas puskesmas.

Dalam pelaksanaan penimbangan berat badan balita ini dilakukan

pencatatan oleh petugas puskesmas, sedangkan kader dan ibu balita

tidak melakukan pencatatan serta tidak dilakukan pengisian KMS29

untuk ibu balita.

Gambar 3.3

Alat Penimbangan Bayi di Puskesmas

Sumber: Dokumentasi peneliti

Penimbangan tidak hanya dilakukan di Posyandu, beberapa

masyarakat pergi ke puskesmas dan melakukan penimbangan balita

sekaligus dengan program imunisasi balita yang diselenggarakan oleh

Puskesmas Samudera. Pencatatan jumlah balita ditimbang merupakan

hasil dari pencatatan balita ditimbang di Posyandu Desa Sawang

ditambah dengan penimbangan balita di Puskesmas Samudera.

29 Kartu Menuju Sehat

Page 113: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

97

III. 1. 2. Apa Kabar Imunisasi?

Imunisasi merupakan pemberian vaksin terhadap bayi agar

tidak terkena penyakit infeksi yang berbahaya. Imunisasi bertujuan

untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan anak

akibat penyakit infeksi.30 Itulah alasan mengapa imunisasi dilakukan di

seluruh daerah di Indonesia, termasuk Provinsi Aceh. Selain itu,

program prioritas yang ditentukan oleh provinsi Aceh di sektor

kesehatan ialah kesehatan ibu dan anak, gizi, pemberantasan

penyakit menular dan termasuk imunisasi.

Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan yang ada di Dinas

Kesehatan Provinsi Aceh, capaian cakupan imunisasi untuk DPT1 dan

HB1 mencapai 92.341 (87%), DPT3 dan HB3 86.603 (81%), cakupan

imunisasi campak bayi mencapai 85.264 (80%) sementara yang drop

out DPT1 sampai campak adalah 7.7%. Imunisasi BCG sampai saat ini

masih mencapai 92.167 (87%), Polio4 mencapai 88.693 (83%) dan

imunisasi dasar lengkap 78.225 (73%).31Provinsi Aceh memiliki target

cakupan imunisasi sebanyak 90%32, akan tetapi pelaksanaannya masih

belum mencapai angka tersebut, imunisasi dasar lengkap yang telah

tercatat di kabupaten Aceh Utara yaitu 73%, selisih 17% untuk

mencapai target 90%.

Kabupaten Aceh Utara dalam melakukan upaya preventif

melalui imunisasi tercatat pada tahun 2013 memperoleh capaian

imunisasi BCG 1-.40 (85%), DPT dan HB1 10.726 (87.6%), DPT3 dan

HB3 9.880 (80.7%), Polio4 10.422 (84.5%) dan campak 9.916

(80.9%).33 Capaian imunisasi di Aceh Utara menunjukkan bahwa

capaian Aceh Utara masih dibawah dari capaian Provinsi Aceh sendiri.

30 Profil Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2013 31Profil Kesehatan Aceh Tahun 2013 32 Profil Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2013 33 Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun 2013

Page 114: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

98

Target cakupan imunisasi Desa Sawang di tahun 2015 ialah

80%.34 Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan yang dilakukan

oleh bidan Desa Sawang di Puskesmas Samudera pada tahun 2015

pada bulan Januari-April diperoleh hasil capaian cakupan imunisasi di

Desa Sawang sebagai berikut, untuk capaian imunisasi HB0 sebesar

9.1 %, capaian imunisasi BCG sebesar 9.1 %, capaian imunisasi DPT

sebesar 0%, capaian imunisasi Polio 1 sebesar 25%, capaian imunisasi

Polio 4 sebesar 9.1 % dan capaian imunisasi Campak sebesar 9.1 %.35

Angka tersebut menunjukkan adanya range yang cukup jauh antara

target dan capaian di lapangan.

Pencatatan dan pelaporan dilakukan setiap bulannya kepada

Puskesmas Samudera oleh bidan desa yang bertugas. Bidan Desa yang

berada di Sawang terdiri dari satu orang bidan desa dan satu orang

kepala pustu yang juga dapat memberikan pelayanan kesehatan

kepada masyarakat di Desa Sawang. Kegiatan imunisasi tercatat

merupakan kegiatan imunisasi yang dilakukan di posyandu maupun di

Puskesmas Samudera. Pencatatan dilakukan di buku kuning bidan dan

dilaporkan kepada puskesmas setiap bulannya untuk dilakukan

pencatatan dan pelaporan setiap bulannya oleh Puskesmas Samudera.

Gambar 3.4

Buku Pencatatan Imunisasi Desa Sawang

Sumber: Dokumentasi peneliti

34 Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun 2013 35 Data Imunisasi 40 Desa Puskesmas Samudera tahun 2015

Page 115: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

99

Berdasarkan hasil pencatatan tersebut tidak ditemukan bayi yang

memperoleh imunisasi secara lengkap di desa Sawang. Namun

berdasarkan informasi yang disampaikan oleh bidan desa, terdapat

bayi yang memperoleh imunisasi secara lengkap.

“Ada imunisasi yang lengkap.Ada yang mau emang mau,

enggak usah kita bilang, kadang kan datang sendiri gitu.

Kadang ada yang lagi demam kan kita enggak berani. Imunisasi

lengkap ada, tapi catatannya di buku kuning, di puskesmas

bukunya”(Bidan Desa).

Peneliti pun mendatangi puskesmas untuk menemukan data

masyarakat Desa Sawang yang memperoleh imunsasi lengkap, namun

menurut pengamatan terhadap buku tersebut tidak ditemukan balita

yang telah melakukan imunisasi lengkap tercatat.Sedangkan

berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada beberapa informan

yang memiliki anak balita maupun yang telah tumbuh dewasa, tidak

ditemukan anak yang telah memperoleh imunisasi lengkap.

“Ya cuman timbang aja enggak ada suntik,kan suntik enggak dikasih

sama Ayahnya.”36 (Ibu N)

“Kalau posyandu ikut-ikut cuman enggak di kasih suntiknya itu,kasih

vitaminya aja udah cukup.”(Ayah R)

“Ya belum ni.ya kan kek kemaren rencana mau dibawak pas

imunisasi di laksanakan di menasah yakan?ya tau-taunya imunisasi

udah siap kadang – kadang kek kemaren mau dibawak udah cuaca

agak mendung yakan udah engak berani lagi saya bawak karna takut

sama petir.dia pun kemaren udah tidur gitu.” (Bu F)

Dalam pelaksanaanya, imunisasi dilakukan oleh bidan dan

petugas kesehatan dari puskesmas. Petugas kesehatan sendiri

mengalami beberapa kendala dan tantangan dalam melaksanakan

imunisasi sehingga capaian yang diperoleh belum mencapai target dan

36

Disuntik diartikan sebagai imunisasi bagi masyarakat Desa Sawang.

Page 116: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

100

menjadi salah satu fokus utama bagi puskesmas dalam mengatasinya

agar memperoleh peningkatan cakupan imunisasi di Desa Sawang.

Beberapa upaya yang dilakukan ialah melakukan imunisasi

door to door, “. Tiap bulan saya adakan bagi yang mau tetap mau kan,

ada program sweeping37 ke rumah-rumah juga. Tapi gimana kita buat

kok enggak mau ya tetap nggak mau gitu.” Begitulah bidan desa

mengupayakan imunisasi dapat berjalan dan terlaksana di Desa

Sawang.

Masyarakat Desa Sawang sendiri menyatakan bahwa beberapa

kali kegiatan posyandu masih kurang dalam hal sosialisasi ataupun

pengumuman kepada masyarakat sehingga beberapa ibu pun datang

terlambat dan tidak mengikuti imunisasi. Selain itu, beberapa juga

mengatakan bahwa adanya larangan dari suami untuk tidak

diimunisasi yang menggunakan suntik. “Ya cuman timbang aja enggak

ada suntik, kan suntik enggak diberi ijin sama Ayahnya.”(Nisa) Alasan

lainnya bagi masyarakat yang tidak mengikuti imunisasi ialah

banyaknya bekerja yang membuat ibu tidak mungkin membawa

anaknya ke posyandu karena sibuk mengurus kedua anaknya di rumah

yang masih bayi dan balita.

III.1.3. Kisah ASI Eksklusif di Desa Sawang

ASI38 merupakan investasi besar bagi perkembangan balita

dalam memenuhi kebutuhan nutrisi balita. ASI merupakan makanan

khusus bayi dalam memenuhi kebutuhan kalori, asam lemak, laktosa

dan asam amino dalam proporsi yang tepat. ASI juga memberikan

perlindungan pada bayi baru lahir karena kaya akan imunoglobulin

sebagai antibodi yang diperlukan untuk kekebalan tubuhnya.39

37Sweeping yang dimaksudkan ialah melakukan imunisasi secara aktif dengan berkeliling desa dari rumah ke rumah untuk melakukan imunisasi. 38 Singkatan dari Air Susu Ibu 39 Suhardjo.Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak.Yogyakarta:2000

Page 117: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

101

Bagi masyarakat Desa Sawang, pemberian ASI merupakan

salah satu hal penting yang dipercaya baik untuk kesehatan, selain itu

adanya perintah menyusui dalam Al-Qur’an40 juga turut mendorong

perilaku menyusui anak di Desa Sawang. “Iya 2 tahun dulu disusuin.

Kan ada juga dalam Al-Qur’an ya. Waktu berhentiinnya macem-

macem caranya”(KR)

ASI bagi Ibu Fifi yang memiliki anak berusia 6 bulan memilih

menggunakan susu formula di awal kelahiran anaknya disebabkan

karena ASI tidak keluar di 7 hari pertama kelahiran anaknya sehingga

harus menggunakan susu formula selama tujuh hari. Namun setelah

itu Ibu Fifi melanjutkan dengan pemberian ASI. Lain hal nya dengan Bu

Fifi, Ibu Faiz dapat langsung memberikan ASI setelah melahirkan,

namun karena terhambat dengan pekerjaannya sebagai guru sehingga

ia sedang mencoba membiasakan anaknya agar bisa meminum susu

formula, walaupun setelah dicoba ternyata anaknya muntah. Alasan

beliau ialah karena Bu F harus bekerja setiap pagi ke sekolah sehingga

tidak bisa memberikan ASI terus menerus, sedangkan anaknya pun

akan dirawat oleh adiknya di rumah sampai ia pulang dari sekolah.

“ASI lah. Kalau dia dikasih susu kan muntah, karna kan

saya sekolah, pengen nya sih kan dua-duanya dia mau

karena dia maunya ASI ya apa boleh buat kan. Karna

udah pernah saya coba kasih kemaren sekali disuruh

sama ayahnya kan. Pas di minum muntah dia.”(Bu F)

ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa makanan

minuman lain sampai bayi berusia 6 bulan, air susu ibu merupakan

makanan dan minuman terbaik untuk bayi usia 0-6 bulan karena

mengandung unsur gizi yang dibutuhkan guna perlindungan,

pertumbuhan dan perkembangan bayi. Pemberian ASI harus tetap

40 Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 233(Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyususi secara sempurna.)

Page 118: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

102

dilanjutkan sampai bayi usia 2 tahun walaupun bayi sudah makan.41

Pemberian ASI eksklusif harus dilakukan selama 6 bulan. Persentase

bayi yang diberi ASI eksklusif di Provinsi Aceh pada tahun 2012

mencapai 27%.42Cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Aceh Utara pada

tahun 2013 sebesar 55,27%. 43

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa

ibu, semua ibu menyatakan memberikan ASI kepada anaknya namun

juga memberikan tambahan lain selain ASI. Hal ini tentunya

menggagalkan program ASI eksklusif yang baik untuk pertumbuhan

dan perkembangan bayi dan balita. Informan Ibu K menyatakan

bahwa sejak usia 1 bulan anaknya telah diberikan pisang dan nasi.

Begitu juga dengan Bu N, ibu muda berusia 17 tahun yang memiliki

anak berusi 3 bulan pun telah memberikan bubur instan kemasan

untuk anaknya.

“Pas lahir ada sebulan dia makan nasi pisang terus

saya kasih,Ya siap sebulan itu udah enggak mau lagi

dia nasi pisangnya,jadi saya kasih bubur sun aja.Apa

susu enggak ada susu. ASI terus dari pertama dia.” (Bu

N)

Masyarakat menilai bahwa anak-anak membutuhkan asupan

lain selain ASI sebagai sumber makanan bagi anaknya. Kebiasaan

memberikan pisang setelah lahir pun dilakukan oleh para ibu dan jika

anaknya tidak menerima pisang dan nasi tersebut, maka akan diganti

dengan makanan pengganti lainnya yang dianggap dapat

mengenyangkan bayi seperti bubur instan kemasan dan biskuit.

Salah seorang bidan yang bertugas di Pustu Desa Sawang pun

mengatakan bahwa dalam meningkatkan cakupan ASI eksklusif masih

mengalami kesulitan. Setiap kali membantu persalinan, Bu Dhea akan

menyampaikan kepada para ibu untuk tidak memberikan pisang

41 Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun 2013 hal 19 42 Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2012 43 Profil Kesehatan Aceh Utara tahun 2013

Page 119: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

103

kepada anaknya, namun tetap saja diberikan oleh para ibu. Suatu

ketika ada ibu yang datang membawa anaknya karena mencret,

kemudian bu Dhea pun mengatakan itulah akibatnya jika anak bayi

diberi pisang. Para ibu pun biasanya akan memberikan jawaban yang

relatif sama yaitu menjawab bahwa anaknya akan menangis terus

menerus jika tidak diberi makanan. Meskipun begitu, sebagai bidan

yang berada di Desa Sawang bu Dhea terus memberikan edukasi

mengenai ASI eksklusif kepada masyarakat, terutama para ibu.

Menurut paparan bu Dhea, masih ada ibu yang menurut dan

merasakan manfaatnya sehingga menjadi percontohan bagi bu Dhea

kepada ibu-ibu yang lain.

III.1.4. Dalam Kemandirian Anak Desa Sawang

Pola pengasuhan merupakan salah satu hal penting dalam

membangun dan mendidik generasi selanjutnya.Balita sebagai masa

emas dalam mendidik anak dan membentuk perilaku anak yang dapat

melekat hingga masa pertumbahannya menjadi seorang remaja

maupun dewasa. Selain membangun perilaku sehat sejak kecil,

merupakan investasi bagi Desa Sawang sendiri dalam menghasilkan

generasi yang sehat dan berkualitas. Ahli mengemukakan bahwa gizi

kurang pada masa bayi dan anak-anak mengakibatkan kelainan yang

sulit atau tidak dapat disembuhkan dan menghambat dalam

perkembangan selanjutnya.44

Sawang sebagai desa yang ramai akan balita, hampir 25% dari

penduduknya, memiliki banyak cara dalam melakukan pola asuh

terhadap anak-anaknya yang dapat diamati. Pola asuh tersebut pun

beragam dan dipengaruhi oleh aktivitas orang tuanya.“Biasanya anak-

anak makan-makan snack gak makan nasi, tapi si Mirah mau. Makan

terus, susu,roti.”(Ibu Mirah)

44Stoch&Smythe, 1963 dalam Suhardjo.Pemberian Makanan Tambahan pada Bayi dan Anak.Yogyakarta:Kanisius.2000.hal 13

Page 120: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

104

Dengan sepedanya, Mirah setiap hari mengayuhkan sepeda di

depan rumahnya. Bersama temannya ia selalu bermain di sekitar

rumah yang mudah dipantau oleh ibunya. Setiap pagi setelah selesai

mandi, ia bersama temannya akan bermain dengan sepedanya. Setiap

hari, kecuali ia dan keluarganya pergi. Ayah Mirah bekerja jauh dari

Desa Sawang, dan biasanya pulang seminggu sekali atau dua minggu

sekali. Setiap kali ayahnya pulang, merupakan waktu penting yang

digunakan untuk acara keluarga. Mirah tumbuh dalam pantauan

ibunya, saat makan, mandi dan bermain. Ibu Mirah menjaga sekaligus

mendidik Mirah pada masa pertumbuhannya. Mirah menyukai jajan,

menjadi alasan ibu Mirah membuka kedai yang menjual khusus

jajanan anak-anak. Hal ini selain dapat memantau makanan atau

minuman anak, ibu Mirah juga merasa tidak perlu lagi mengantar

anaknya jajan saat sedang sibuk di rumah.“Karena si Mirah suka jajan

makanya buka kedai ini, jadi kalau lagi nyuci ga susah ngatar-ngantar

lagi. Kan bilang mak jajan, waktu kita ada kerjaan”(Ibu Mirah)

Zuleha sudah terbiasa tidur bersama Wati45 , begitu juga

kakak-kakaknya. Zuleha merupakan anak bu geuchik yang memiliki

tanggung jawab menghadiri dan membantu pada setiap pelaksanaan

kenduri di Desa Sawang. Selain itu, bu geuchik46 juga sebagai kader

Posyandu dan memiliki kesibukan sehari-hari menjaga kedai. Belum

lagi pekerjaan rumah tangga, seperti menyuci, memasak dan

menyetrika. Memang sejak anak perempuannya yang kedua, ketiga

dan Zuleha dirawat oleh Wati, bahkan anak-anaknya tidak mau tidur

bersama ibunya. Zuleha tumbuh dan kembang bersama Wati, pada

siang hari biasanya Zuleha datang ke kedei dan bermain di kedei

berjumpa ayah dan ibunya.

”Zuleha ga mau itu tidur sama saya, waktu itu pernah

saya bilang kan nanti dibelikan ini itu kalau mau tidur

45 Sebutan terhadap kakak ibunya (tante) 46 Panggilan kepala desa di Desa Sawang

Page 121: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

105

sama saya, tapi tetap saja tidak mau. Kakak-kakaknya

dulu juga gitu.”(bu geuchik)

Zuleha dididik dengan kemandirian sehingga ia tumbuh

menjadi anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan melakukan

segala sesuatunya sendiri. Pola makan yang biasa dilakukan ialah saat

merasa lapar, Zuleha akan meminta makan pada Wati saat lapar. Ia

sangat menyukai makan sendiri dengan menggunakan tangannya, saat

akan disuap oleh kakaknya, ia justru akan marah dan tidak mau

makan. Begitu juga dengan makanan lainnya, seperti mangga, ia akan

mengambil pisau dan mengupasnya sendiri. Zuleha pun tanpa rasa

takut menggunakan pisau, meskipun telah dilarang, Zuleha akan

menolak dan tetap menggunakan pisau tersebut dan hal tersebut

menjadi sesuatu yang biasa bagi masyarakat. Saat ditanyakan kepada

salah satu informan yang biasa menjaga anak dikatakan bahwa

menjadi hal yang biasa.

Gambar 3.5

Anak-anak Menggunakan Peralatam Tajam

Sumber:Dokumentasi peneliti

Zuleha melihat dan meniru perilaku orang dewasa sehingga ia

melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain yang ia lihat. Perilaku

membuang air kecil pun dilakukan karena mengikuti apa yang

Page 122: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

106

dilakukan oleh kakaknya. Saat dirasa kesulitan memperoleh air47,

Zuleha akan langsung membuang air di halaman rumahnya. Perilaku

membuang air kecil di halaman tersebut menjadi salah satu perhatian

peneliti dalam pola pengajaran perilaku hidup bersih dan sehat.

Zuleha tidak mencuci tangannya setelah buang air kecil di halaman,

setelah itu Zuleha akan kembali melakukan aktivitas seperti makan

dan minum.

Sumber air memang diperoleh dari sumur sehingga anak-anak

perlu memperoleh air dengan bantuan orang dewasa. Pada beberapa

kesempatan saat di rumah bu geuchik, Zuleha bermain dengan kakak

dan teman-temannya di rumah tanpa pengawasan orang tua. Kakak

Zuleha yang biasa menjaganya di rumah berusia 8 tahun dan 13 tahun.

Minul yang masih berusia 8 tahun memiliki aktivitas sekolah dan

bermain setiap harinya. Sedangkan Selvi sekolah dan melakukan

pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Saat

Wati memiliki kegiatan lain untuk dilakukan, maka Zuleha akan tinggal

di rumah dan diasuh oleh kakak-kakaknya. Pola asuh yang diterima

pun lebih banyak melalui apa yang diberikan oleh kakak-kakaknya dan

Wati.

Gambar 3.6

Balita Buang Air Kecil di Depan Rumah

Sumber: Dokumentasi peneliti

47karena sumber air di kamar mandi harus diambil dengan timba air di sumur

Page 123: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

107

Minul merupakan anak keempat dari lima bersaudara yang

berusia 8 tahun. Setiap pagi, ayah dan ibunya sudah berangkat ke

kedai sehingga ia terbiasa untuk bangun sendiri. Setiap hari Senin,

Minul tidak berangkat ke sekolah karena ada upacara. “Kalau Senin

dia memang gak ke sekolah, malas ada upacara.”(bu geuchik) Selain

hari senin, Minul akan bangun pagi dan berangkat ke sekolah.

Sebelum berangkat, Minul mencuci muka dan langsung menggunakan

pakaian sekolahnya, berangkat dengan sepedanya dan terkadang

bersama temannya. Minul tidak mandi dan sikat gigi di pagi hari,

cukup dengan mencuci muka Minul berangkat ke sekolah, lagi

kemandiriannya memutuskan untuk tidak mandi, sikat gigi dan

sarapan.

Kakaknya bernama Selvi, sekolah di SMP Sawang yang dapat

dilalui dengan berjalan kaki setiap harinya. Selvi setiap paginya

berangkat bersama temannya dan beberapa kali dibangunkan oleh

temannya yang mengajak Selvi berangkat sekolah bersama. Selvi

mandi dan berangkat sekolah bersama teman-temannya. Ketika Selvi

bangun lebih pagi, ia akan mencuci piring terlebih dahulu.

Keduanya berangkat ke sekolah tanpa sarapan pagi. Biasanya

setiap sekolah akan diberikan uang jajan dan anak-anak akan membeli

makanan atau minuman di sekolahnya. Kebiasaan sarapan pagi belum

biasa dilakukan oleh anak-anak begitu juga para orang tua yang belum

menjadikan sarapan sebagai kebiasaan. “Kadang-kadang kue, ga ada

lauk malas masak.”(RIKA)Sedangkan informan bu geuchik mengatakan

“ Kalau gak ada Siti, disini biasanya gak masak pagi, disini gak makan

pagi.”(bu geuchik)

Mengenai makan, Minul tidak menyukai ikan ataupun ayam.

Ketika makanan yang tersedia adalah ikan, Minul akan ke kedei

mengambil telur dan menggorengnya sendiri sebelum makan. Hampir

setiap hari Minul memakan menu telur tanpa sayur, karena ia pun

tidak menyukai sayur. Lain lagi dengan adiknya. Zuleha menyukai ikan,

ia biasa makan sedikit-sedikit namun berulang kali, dalam sehari saja

Page 124: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

108

ia dapat makan nasi sampai lima kali dengan jadwal makan yang tidak

teratur, kapan lapar disitulah makan atau saat melihat kakaknya

makan ia pun ingin ikut makan.

Kemandirian mereka membuat mereka makan dengan jadwal

sesuka hati, bahkan terkadang tidak makan, hanya jajan makanan di

kedei seperti mie atau memakan buah-buahan yang dapat langsung

dipetik dari pohon. Salah satu yang mendukung kebiasaan hidup sehat

di Desa Sawang ialah banyaknya ditemukan buah-buahan di Desa

Sawang. Saat sedang berbuah pohon mangga, setiap hari anak-anak

pun akan makan mangga yang diambil langsung dari pohonnya, begitu

juga dengan pohon jambu dan buah lainnya. Anak-anak akan

mengambil buah dan saling berbagi dengan temannya saat bermain.

Buah menjadi makanan konsumsi sehari-hari secara gratis dan sehat.

Jumlah yang dimakan pun lebih dari satu buah.

III. 2. Potret Kesehatan Lingkungan

Lingkungan tidak dapat dilepaskan dari kesehatan, menurut

teori H.L Blum menyatakan bahwa lingkungan menjadi salah satu

faktor mempengaruhi derajat kesehatan manusia.

III.2.1. Sumber Air Bersih

Air menjadi salah satu kehidupan yang tak dapat dilepaskan

dari kehidupan desa Sawang, dari kegiatan personal hygiene sampai

kegiatan menyiram tanaman di ladang menjadikan air sebagai

kebutuhan. Sumber air bersih yang tersedia di Desa Sawang ialah air

sumur yang digunakan untuk kebutuhan personal hygiene, memasak,

mencuci, air minum, bahkan menyiram tanaman di ladang-ladang

masyarakat. Setiap rumah memiliki sumur sebagai sumber utama air

bersih. Sumur yang digunakan merupakan sumur cincin dengan

kedalaman sekitar 5 meter. Air diambil menggunakan timba. Air yang

yang diperoleh beragam, ada yang beruntung dengan air yang jernih

dan tidak berwarna, namun ada juga yang memperoleh air sumur

yang berwarna kekuning-kuningan.

Page 125: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

109

Gambar 3.7

Sumur sebagai sumber air bersih

Sumber:Dokumentasi peneliti

Air sumur digunakan sebagai sumber air minum, air akan di

masak dengan kayu bakar dan siap diminum oleh masyarakat. Air

tersebut pun ada yang berwarna dan ada yang jernih, bergantung

pada kondisi sumur. Pada musim kemarau, jumlah air akan menjadi

lebih sedikit, namun kebutuhan air selalu ada untuk masyarakat.

Sebagian masyarakat pun mulai menggunakan air isi ulang sebagai

sumber air minum sehari-hari. Harga air isi ulang yang dijual di desa

Sawang ialah Rp5.000,00 sampai dengan Rp6.000,00 per galon.

Gambar 3.8

Air minum dari sumur yang berwarna kekuning-kuningan.

Sumber: Dokumentasi peneliti

Page 126: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

110

III.2.2. Saluran Pembuangan Air Limbah

Setiap rumah menghasilkan air limbah rumah tangga, begitu

juga setiap kamar mandi yang menghasilkan air limbah. Kebiasaan

mandi di alam terbuka mengahasilkan genangan-genangan air hasil

pakai, begitu juga air yang dibuang dari kamar mandi hasil kegiatan

mandi dan mencuci. Setiap rumah di Desa Sawang memiliki halaman

ataupun tanah kosong di sekitar rumah. Air limbah dibuang di tanah

terbuka dan tidak ada pembuatan saluran pembuangan air limbah. Air

dibiarkan mengalir dan menghasilkan genangan berwarna dan berbau.

Gambar 3.9

Genangan Air Limbah

Sumber: Dokumentasi peneliti

Genangan air tersebut menjadi salah satu penemuan yang

selain mengganggu estetika alam juga dapat menjadi sumber

penyebaran penyakit. Genangan yang berada di sekitar rumah dimana

anak-anak menggunakannya sebagai area bermain dapat menjadi

salah satu faktor penyebaran penyakit.

III.3. Potret Penyakit Tidak Menular

Gaya hidup, pola makan, kebiasaan merokok dan asupan gizi

mempengaruhi status kesehatan masyarakat, termasuk menjadi salah

satu faktor pendorong penyakit tidak menular. Penyakit tidak menular

menjadi salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian dan

meningkatkan angka kesakitan pada masyarakat.

Page 127: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

111

Tabel 3.2 Data 10 Penyakit Terbesar di Puskesmas Samudera pada

Bulan Januari-April 2015

No. Penyakit Januari Februari Maret April

1. ISPA 124 127 155 130

2. Dispepsia 150 162 168 156

3. DM 90 100 82 88

4. Gastritis 87 89 95 98

5. Hipertensi 80 98 180 145

6. Hipotensi 76 72 80 66

7. Remathoid Arthritis 70 64 70 75

8. Dermatitis 66 57 60 71

9. Conjuntivitis 65 80 86 89

10. Asma Bronchial 50 70 68 69 Sumber: Data Puskesmas Samudera bulan Januari-April tahun 2015

Berdasarkan hasil pencatatan data kunjungan di Puskesmas

Samudera menunjukkan bahwa penyakit ISPA, Dispepsia, DM,

Gastritis, Hipertensi, Hipotensi, Remathoid Arthritis, Dermatitis,

Conjuntivitis, dan Asma Bronchial merupakan sepuluh penyakit

terbanyak yang dijumpai di Puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara

dengan informan, penyakit tidak menular yang banyak ditemukan di

Desa Sawang ialah diabetes melitus.“Diabetes, banyak itu dulu yang

meninggal karena kencing manis disini. Klo orang Aceh bilangnya

darah manih.”(RIKA)

III.3.1. Mengenal Diabetes Melitus bagi Desa Sawang

Berdasarkan IPKM 2013 menunjukkan skor prevalensi diabetes

melitus ialah 1.1. Diabetes melitus disebut juga sebagai salah satu

penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat.

Diabetes melitus memiliki cerita tersendiri bagi masyarakat

desa sawang. Kenangan mengenai kerabat dan keluarga yang terkena

penyakit diabetes melitus menjadi pelajaran mengenai diabetes

melitus. Melalui pengalaman keluarga yang terserang penyakit

diabetes melitus dan kemudian meninggal, masyarakat mengenal

Page 128: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

112

faktor penyebab diabetes yang salah satunya ialah karena konsumsi

makanan yang manis secara berlebihan.

Pengetahuan tentang diabetes pun baik, saat ditanya kepada

Pak Geuchik mengenai Diabetes Melitus, ia pun mampu menjelaskan

bahwa jika terkena penyakit diabetes saat kadar gulanya lebih dari

200 dan menyebutkan pantangan-pantangan. “Ayah berapa

gulanya?kalau diabetes diatas 200 itu diabetes, kalau dibawah 200 itu

normal. Kurangi makan nasi kalau diabetes”(Pak geuchik). Pak geuchik

sendiri terkena penyakit diabetes sejak 2 tahun lalu. Tubuhnya

semakin kurus diakibatkan diabetes. Banyak orang pada saat itu

mengatakan bahwa umurnya tidak lama lagi, karena kebanyakan

orang di Desa Sawang yang terkena diabetes melitus mengalami

kematian.“Ada disini yang kena darah manih, tapi meninggal semua.

Biar pantang juga gak sembuh”(RIKA)

”Kata orang-orang itu banyak itu yang bilang ke pak geuchik

bentar lagi itu karena sudah kurus, tapi sekarang

Alhamdulillah sekarang udah sembuh. Kalau diabetes gak

boleh banyak makan nasi, sekarang pak geuchik makannya

sedikit gak banyak kayak dulu. Lihatkan foto pak geuchik?

Dulu besar badannya.”(Bu Geuchik)

Masyarakat beranggapan bahwa penyakit diabetes melitus

adalah salah satu penyakit yang akan berakhir dengan kematian dan

sangat sulit untuk memperoleh kesembuhan. Informan Rajak yang

ayahnya mengalami kematian akibat penyakit diabetes pun

mengetahui mengenai diabetes melitus yang lebih dikenal kencing

manis atau darah manih dalam bahasa Aceh sebagai penyakit yang

mengakibatkan kematian.

“Gak sembuh. Meninggal. 1 tahun lebih, karena kan kami

pengobatannya pun kurang. Sempat ke dokter.

Berobatnya gratis, dua kali ke dokter. Gulanya turun. Yang

namanya penyakit gula ini kan gak sanggup pantang,

bawaannya laper aja. Karena itu ga berpantang, terus

kambuh lagi bawa ke rumah sakit. Alhamdulillah sembuh.

Page 129: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

113

Pulang lah ke kampung. Beberapa bulan kemudian

kambuh lagi. Yang dulunya badan gemuk tiba-tiba kurus.”

Pengobatan yang dilakukan oleh ayah Rajak ialah melalui obat

tradisional yang diperoleh dari informasi masyarakat dari mulut ke

mulut, namun tidak memberikan kesembuhan pada kondisi ayahnya.

Setelah itu dibawa ke rumah sakit, sempat mengalami kesembuhan

dan setelah beberapa bulan kembali kambuh dan meninggal. “Orang

bilang oh ini obatnya, kami kasih, gak sembuh kan, kami cari, jumpa

orang lagi kami kasi.apa yang orang bilang kami kasi.” (Rajak)

Pencegahan diabetes dapat dilakukan masyarakat dengan

berperilaku sehat, tidak merokok, makanan bergizi dan seimbang,

atau pun bisa diet, membatasi diri dengan makanan tertentu atau

kegiatan jasmani yang memadai.48Perilaku prventif yang dilakukan

oleh masyarakat ialah melalui cara memasak dan memilih jenis beras

yang akan dimasak. Menurut informan mengatakan bahwa dengan

memasak di api akan lebih baik bagi penderita diabetes, karena airnya

dapat dibuang. Sedangkan jenis beras yang baik untuk dipilih ialah

jenis beras bulog. “Kayak pak geuchik tu kan masak nasinya di api, gak

di kosmos. Airnya dibuang.Pak geuchik kan kena darah manih”(RIKA)

Makanan menjadi salah satu hal yang sulit dihindari di Desa

Sawang, dalam beberapa acara masyarakat, makanan merupakan

bagian terpenting. Setiap acara memiliki prosesi dimana akan

dihidangkan makanan-makanan yang manis. Salah satunya adalah

kenduri pernikahan dimana akan dihidangkan aneka makanan manis

yang dihias dan dihidangkan. Kebiasaan memakan makanan manis

menjadi salah satu faktor resiko terhadap kejadian penyakit diabetes

melitus.

48 Bustan, MN.Epidemiologi Penyakit Tidak Menular.2007.Jakarta :Rineka Cipta, hal:115

Page 130: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

114

Gambar 3.10

Hidangan makanan saat kenduri pernikahan

Sumber: Dokumentasi peneliti

III.4. Potret Perilaku Kesehatan, Merokok

Mayoritas masyarakat Desa Sawang mengonsumsi rokok

setiap harinya. IPKM Aceh Utara terhadap perilaku merokok di aceh

Utara sendiri ialah 27,9249. Merokok dilakukan dimana saja, di dalam

rumah maupun di luar rumah. Kegiatan merokok dapat dilakukan

ketika sedang duduk bersama di kedai maupun saat berjalan dan

bahkan saat sedang menggendong anak.

Bagi pemuda, rokok merupakan identitas diri sebagai pemuda

di Desa Sawang. Salah satu informan merupakan pemuda Desa

Sawang berusia 26 tahun mengakui bahwa ia memulai merokok sejak

lulus SMA, alasannya ialah karena teman-temannya merokok dan jika

tidak merokok akan dianggap seperti wanita.

“Ngerokok, dulu gak pernah merokok. Tamat SMA

kemaren. Itu pun gak candu. Kalau sekarang mau buang

pun bisa. Paling 3 batang. Gak kuat lah merokoknya.

Kadang-kadang kan pening. Merokok pun kalau bergaul

sama kawan-kawan aja. Dibilang inilah itulah. Lambang

kepemudaan klo gak merokok dibilang tante. Kalau keluar

49 Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2013.

Page 131: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

115

sama kawan-kawan. Klo beli rokok perbungkus jarang

lah.”(Rajak)

Rokok tersedia di kedei-kedei tempat pemuda maupun

masyarakat berkumpul, biasanya dijual dalam bentuk per batang.

Tidak sulit untuk memperoleh rokok karena selain dijual perbatang,

kedei juga akan memberikan jika dibayar belakangan.50

Gambar 3.11

Bapak Menggendong anaknya sambil merokok.

Sumber : Dokumentasi peneliti

Merokok memang menjadi sebuah kebiasaaan bagi

masyarakat, namun seharusnya bukan menjadi kebiasaan balita untuk

mengisap asap rokok. Ancaman asap rokok terhadap balita

merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan karena dapat

berpengaruh terhadap kesehatan anak di masa depan. Tercemar asap

rokok dari perokok pasif dari orang tua atau orang dewasa serumah

atau di lingkungannya.Keterpaparan rokok tentunya tidak disadari

oleh orang tua dapat berpengaruh terhadap kesehatan anaknya.51

Rokok merupakan konsumsi masyarakat berbagai kalangan,

anak muda sampai para lanjut usia. Bagi pemuda, saat duduk di kedai

merokok merupakan identitas sebagai pemuda. Selain pemuda, para

50 Boleh berhutang terlebih dahulu. 51 Bustan, MN.2007..Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta :Rineka Cipta, hal:206

Page 132: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

116

bapak dan tokoh masyarakat pun mengonsumsi rokok sebagai

konsumsi sehari-hari. Tengku dan pak geuchik juga mengonsumsi

rokok dalam kesehariannya. Saat pengajian ibu-ibu dilaksanakan,

Tengku pun menyampaikan isi dari pengajian sambil mengisap rokok,

terhitung 3 batang telah dihisap selama 2 jam pengajian berlangsung.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa sebelum pengajian dimulai, ibu-ibu

akan menyediakan satu bungkus rokok untuk Tengku. Konsumsi rokok

rata-rata per hari mencapai 3-6 batang rokok. Rokok yang dikonsumsi

pun beraneka ragam.

Selain rokok buatan pabrik, ditemukan juga masyarakat yang

masih menggunakan rokok daun. Nenek Iam merupakan salah

seorang nenek yang biasa menggunakan rokok daun. Selain itu,

ditemukan juga pada acara-acara keagaamaan seperti acara dakwah52

yang dilaksanakan pada malam hari anak-anak laki-laki bermain-main

dengan daun rokok tersebut. Dalam hal ini, tidak ada orang dewasa

yang melarang. Saat ditanya kepada salah seorang ayah yang juga

perokok, mengenai apakah ia mengizinkan anaknya untuk merokok

ayahnya pun tertawa dan menyatakan belum membolehkan karena

belum bisa menghasilkan uang sendiri. “Belum punya uang ko udah

mau merokok, belum boleh lah.”

III.5. Serba-Serbi Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan menjadi perhatian penting peneliti, sebab pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor yang mendukung derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang ada di Desa Sawang terdiri dari fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas Kecamatan Samudera, Puskesmas Pembantu Sawang dan Bidan Desa.

III.5.1. Puskesmas

Fasiltas kesehatan di Kecamatan Samudera ialah Puskesmas Samudera yang terletak di tepi jalan raya. Ruangan pelayanan

52 Acara Isra Mi’raj

Page 133: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

117

kesehatan yang ada di Puskesmas ialah ruang KIA53, KB54, MTBS55, poli pria, poli wanita, jiwa, dan imunisasi Di Puskesmas ini terdapat poli wanita dan poli pria, maksudnya ialah pelayanan kesehatan sama seperti poli umum namun pada pelaksanaannya di Aceh Utara khususnya Puskesmas Samudera dilakukan pemisahan. Poli pria digunakan sebagai tempat pelayanan poli umum untuk pria saja sedangkan poli wanita merupakan poli umum yang digunakan khusus untuk wanita. Begitulah Aceh menyimpan keistimewaan dalam memisahkan laki-laki dan permpuan dalam kegiatan sehari-harinya, termasuk pelayanan kesehatan.

Berjalan menuju puskesmas, kita akan menemukan seorang ibu berjualan tepat di depan puskesmas, menjual air mineral dan jajanan anak-anak seperti permen dan snack ringan. Memasuki puskesmas, pasien harus melepas alas kaki untuk menjaga kebersihan puskesmas, disediakan pula rak sandal dan sepatu namun lebih banyak yang melepasnya di depan pintu masuk puskesmas. Sebelum melakuakan pemeriksaan pasien akan melakukan pendaftaran di meja pendaftaran yang telah tersedia.

Puskesmas Samudera dipimpin oleh seorang perempuan yang

berasal dari kota Medan, beliau menjabat sebagai kepala Puskesmas

Samudera. Meskipun telah lama di Aceh, kepala puskesmas mengakui

kemampunnya berbahasa Aceh masih belum begitu lancar. Hal ini

berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukandi desa-desa yang

justru mengharuskan menggunakan bahasa Aceh.

Puskesmas Samudera biasa dikenal dengan sebutan Puskesmas Geudong. Masyarakat datang berobat secara gratis karena menggunakan kartu JKRA56 ataupun sekarang telah ada JKN57. Hal ini justru menyebabkan angka kunjungan semakin meningkat dan

53 Kesehatan Ibu dan Anak 54 Keluarga Berencana 55 Manajemen Terpadu Balita Sakit 56 Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh 57 Jaminan Kesehatan Nasional

Page 134: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

118

masyarakat banyak yang berobat.Upaya preventif menjadi perhatian penting bagi puskesmas dalam menjalankan program-programnya.

Gambar 3.11

Puskesmas Kecamatan Samudera Sumber : Dokumentasi peneliti

Puskesmas Samudera memberikan pelayanan kesehatan pada hari Senin sampai dengan hari Jumat, sedangkan di hari Sabtu hanya ada petugas piket yang menunggu di Puskesmas. Masyarakat sudah mengetahui jadwal tersebut sehingga jika akan ke puskesmas haruslah pada hari Senin-Jumat. Begitu juga dengan kegiatan yang dilakukan di Desa Sawang yang melibatkan petugas kesehatan, tidak dilakukan pada hari Sabtu.

III.5.2. Pustu Pustu, Puskesmas Pembantu merupakan salah satu fasilitas

kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Sawang. Pustu Desa Sawang telah ada sejak tahun 2000 hingga saat ini masih berdiri dan mengalami beberapa renovasi. Di pustu tersebut tinggal seorang bidan yang juga merupakan kepala pustu. Pelayanan kesehatan yang diberikan ialah 08.00-16.45 dengan jumlah petugas pustu terdiri dari delapan orang. Namun, karena adanya kepala pustu yang tinggal di pustu menyebabkan pelayanan kesehatan tetap Petugas pustu akan bekerja secara bergantian yaitu setiap 3 hari sekali.

Page 135: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

119

“Ganti-ganti. Karena pasiennya juga ga rame. karena kondisi jalannya juga jelek kali. Mereka kan dari lhokseumawe. Jauh.. Sebenarnya setiap hari. Cuma ka Dhea kasi dispensasi kan. Supaya ga capek kali.”(Bidan Dhea)

Kunjungan pasien ke Pustu berasal dari beberapa desa, tidak hanya Desa Sawang, pasien juga datang dari Desa Puuk dan Blang Nibong. Kunjungan rata-rata yang ada ialah 25 orang menurut pencatatan yang dilakukan oleh kepala pustu. Pasien bisa datang di pagi hari, siang hari maupun malam hari karena bidan tetap menerima pelayanan kesehatan.

Gambar 3.13

Pustu Desa Sawang Sumber: Zakir

Bidan Dhea telah menjadi kepala Pustu dan tinggal di Desa Sawang sejak tahun 2008. Pelayanan kesehatan yang ada di Pustu diberikan secara gratis, namun persediaan obat yang tidak mencukupi menyebabkan bidan desa memungut biaya untuk memenuhi kebutuhan obat pasien jika obat dari puskesmas habis.

Page 136: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

120

“Persediaan obat kurang. Kadang saya beli sendiri nanti pasiennya bayar. Kadang saya memberitahu pasiennya mereka yang beli obatnya sendiri. Makanya kadang bayar disini kalautidak ada obat.Kan kasihan,sudah datang kesini tapi tidak ada obatnya.” (Bidan Dhea)

Adanya Pustu memudahkan akses bagi masyarakat Desa Sawang dalam memperoleh pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Masyarakat dapat datang untuk berobat dan tidak dipungut biaya. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat bahwa jika dilakukan berobat di pagi hari atau siang hari gratis, namun jika di malam hari bayar. Begitu pula disampaikan oleh Bidan Dhea bahwa untuk pengobatan di malam hari dikenakan biaya jika obat puskesmas tidak tersedia.

III.5.3. Bidan Desa

Bidan Desa merupakan salah satu petugas kesehatan yang bertanggung jawab terhadap upaya kesehatan yang dilakukan di desa Sawang. Bidan Desa Sawangyang bertugas saat ini telah 4 tahun mengabdi di Desa Sawang, “kakak sudah 4 tahun.”(Bides).

Bidan Desa Sawangyang bertugas sehari-hari tinggal di desa lain, sedangkan polindes yang disediakan tidak dimanfaatkan sebagai fasilitas kesehatan. Bangunan Polindes terletak di Desa Sawangtepat di depan kuburan sudah dipenuhi oleh tanaman liar yang membuat polindes harus memperoleh sedikit perbaikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala puskesmas, Kepala puskesmas sendiri menyadari bahwa mengalami kesulitan dalam menemukan bidan yang mau tinggal di polindes tersebut, berbagai alasan bidan, seperti tidak bisa tinggal sendiri karena masih lajang, atau sudah berkeluarga dan begitu juga pak geuchik tidak dapat memaksa bidan untuk tinggal di polindes.

Berada di desa lain tentunya menyebabkan bidan desa tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat. Selain itu, bidan desa juga tidak melakukan pelayanan pengobatan kepada masyarakat. Masalah penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Desa Sawangdilakukan di pencatatan pustu sehingga bidan desa tidak memiliki data

Page 137: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

121

tersebut.“Gak tahu ya, karena kakak disitu kan ga buka pengobatan”(Bidan Desa).

Bidan desa melaksanakan upaya kesehatan seperti posyandu yang dilakukan setiap bulannya. Pada beberapa bulan ini, bidan desa sedang hamil dan digantikan oleh bidan desa lain untuk penyelenggaraan posyandu. Pelaksanaan posyandu dilakukan oleh para kader melalui arahan bidan desa. Bidan desa menghubungi salah satu kader posyandu dan mengatakan bahwa posyandu tetap dilaksanakan dan akan digantikan oleh bidan desa lain. Bidan desa pun menghubungi kader posyandu dan meminta untuk membelikan jajanan biscuit untuk diberikan kepada balita yang datang ke posyandu.

III.6 Arti Sakit Bagi Masyarakat Desa Sawang

Masyarakat Desa Sawangmerasakan sakit bukan menjadi penghalang untuk bekerja, sakit ringan yang biasa dirasakan dan didefinisikan bagi masyarakat ialah sakit kepala, sakit perut, sakit kaki, demam, dan batuk sebagai penyakit yang dapat disembuhkan dengan sendirinya. Ada yang membiarkannya dan percaya akan sembuh sendiri, makan atau minum obat gampong, ada yang dilakukan dengan Rajah, dan ada pula yang membeli obat warung. Penyakit-penyakit yang dianggap ringan biasanya masyarakat lebih banyak memilih untuk tidak mendatangi petugas kesehatan. Disamping jadwal petugas kesehatan yang tidak selalu ada, masyarakat pun memiliki kepercayaan akan penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya.

Lain hal nya dengan penyakit yang sudah dianggap berat dan perlu pengobatan serius bagi masyarakat akan dibawa ke fasilitas kesehatan. Masyarakat menjadikan beberapa penyakit sebagai penyakit berat seperti penyakit diabetes melitus dan typus. Penyakit diabetes melitus dianggap sebagai penyakit yang berujung pada kematian bagi penderitanya. Masyarakat yang mengalami diabetes melitus akan mendatangi fasilitas kesehatan seperti puskesmas ataupun rumah sakit terdekat yaitu R.S cut meutia yang terletak di Lhokseumawe. Selain memperoleh pengobatan medis, masyarakat juga akan menggunakan obat gampong sebagai penyembuh.

Page 138: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

122

“Ya kalau sakit ringan sih kek kepala,paling minum

paramek udah sembuh kan,sama sakit perut biasa. Kalau

sakit berat ya gula,tipes,kangker jarang sih,ya dibawak ke

rumah sakit cut muetia kok emang udah berat kek

gitu.”(RIKA)

TengkuSulaiman yang dijumpai di sebuah kedei mengatakan

bahwa penyebab sakit ialah gaya hidup masyarakat sawang sendiri

bukan berasal dari makanan yang dimakan. Kebiasaan masyarakat

duduk-duduk di kedai.

“Penyakit yang biasa diderita oleh masyarakat ialah

reumatik. Hal tersebut terjadi disebabkan beberap

kebiasaaan masyarakat, yaitu begadang bahkan tidak

tidur, baru tidur di pagi harinya, tidak ada olahraga,

banyak meminum kopi, makan tidak teratur, duduk-

duduk di kedei sambil merokok. Hal ini menyebabkan

tidak adanya pembakaran racun dalam tubuh di malam

hari. Sedangkan kebiasaan minum kopimenyebabkan gas

bertambah.” (Tengku S)

Sakit lainnya yang dipercaya oleh masyarakat ialah konsep

sakit berdasarkan kepercayaan personalistik seperti diganggu jin.

Penyakit diganggu jin dapat ditunjukkan dengan perilaku seperti orang

kesurupan. Terdapat salah satu masyarakat yang pernah mengalami

sakit tersebut yang ditunjukkan dengan gejala sering mengalami

pingsan, tiba-tiba berlari masuk ke sumur, meminta darah orang dan

merasa kesakitan. “Merasuk setan, pingsan, lari, turun ke sumur.

Diminta darah orang.”(Bu N) Awalnya didiagnosa kanker payudara,

namun akhirnya dapat sembuh dengan Rajah dan dipercaya bahwa

penyakit yang dialami merupakan penyakit yang disebabkan oleh

gangguan jin. “Di rumah sakit dibilang kanker, padahal bukan,

termasuk jin anak bajeung. I taptap (digigit dalamnya). Orang lain iri

nengok anaknya.”Salah seorang informan yang merupakan seorang

ibu yang melakukan Rajah kepada anaknya ”Gak bisa kalo sakit hantu.

Dibawa ke langsa. Ke orang yang meuRajah.”

Page 139: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

123

Penyakit karma yaitu penyakit gila yang dianggap disebabkan

karena dosa kepada ibunya. Masyarakat percaya bahwa penyebab

sakit manusia yaitu berkaitan juga dengan sistem kepercayaan. Sakit

yang disebabkan karena doa seorang ibu yang dianggap punya

kekuatan dikabulkan menjadi salah satu faktor terjadinya penyakit

gila.

“Dia kan waktu masih muda marah uangnya dihabisin

sama kakaknya yang mau kawin. Dia ngamuk pohon

pisang ditebang semua, kata ibunya biar aja aku mau

lihat. Kan didengar sama Allah doa seorang ibu kan. Itu

kata orang-orang yang dulu.” (RIKA)

Konsep sehat-sakit yang diyakini oleh masyarakat Desa

Sawangpun tidak terlepas dari konsep kepercayaan unsur religi.

Konsep sakit yang dipercaya oleh amsyarakat Desa Sawangmemiliki

pola pencarian pengobatan yang berbeda sehingga memiliki

pembagian tokoh yang mampu membantu dalam proses

penyembuhan. Namun, dalam kedua pengobatan tersebut

kepercayaan kepada Allah swt sebagai satu keyakinan yang tidak

dapat dipisahkan.

III. 7. Kepercayaan pada Sesuatu yang Mempunyai Daya

Penyembuh

Sehat dan sakit merupakan kuasa Allah swt. Masyarakat Desa

Sawang memiliki kepercayaan bahwa segala penyakit memiliki

penyembuhnya sesuai dengan yang disampaikan dalam Islam.

Penyembuhan yang dipercaya bagi masyarakat Desa Sawang terdiri

dari beberapa cara, yang dapat dilakukan dengan salah satu cara

pengobatan ataupun melalui kombinasi beberapa cara pengobatan.

Pola pencarian pengobatan (Health seeking behavior) yang

diyakini oleh masyarakat dapat memberikan kesembuhan terhadap

penyakit yang diderita terdiri dari obat gampong, Rajah, dan

Page 140: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

124

pengobatan medis. Meskipun terdapat beberapa pola pencarian

pengobatan di masyarakat Desa Sawang, namun setiap pola pencarian

pengobatan masyarakat menjadikan keyakinan kepada Allah swt.

sebagai syarat utamanya karena setiap kesembuhan merupakan atas

izin Allah swt.

III. 7. 1. Obat Gampong (obat tradisional)

Obat Gampong merupakan ramuan obat tradisional yang telah

diwariskan turun temurun, merupakan kepercayaan masyarakat

setempat hasil dari percakapan mulut ke mulut. Masyarakat memilih

obat gampong sebagai pengobatan pertama dalam pola pencarian

kesehatan beberapa penyakit tertentu. Obat gampong yang dipercaya

bagi masyarakat bersumber dari tanaman sekitar yang dipercaya

memiliki khasiat dalam tubuh. Beberpa obat gampong yang dipercaya

oleh masyarakat ialah:

Oen mulu digunakan sebagai obat panas. Obat ini dibuat dengan

cara daun diremas dengan air kemudian diberi gula sedikit dan

diminum untuk menghilangkan demam. Tanaman ini dipercaya dapat

menurunkan demam. Tanaman ini memililiki bunga berwarna putih

seperti bunga melati. Selain diminum, daun juga dapat digunakan

dengan menumbuk daun tersebut dan menempelkannya. Oen mulu

memberikan rasa dingin sehingga dapat menurunkan demam yang

merupakan rasa panas.

Page 141: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

125

Gambar 3.14 Oen MuluTanaman Obat Demam Bagi Anak

Sumber: Dokumentasi peneliti

Oen Hasan merupakan daun dari tanaman yang digunakan

sebagai pagar di rumah masyarakat. Selai itu oen hasan juga dapat

digunakan sebagai obat demam dan obat batuk. Cara

menggunakannya ialah dengan meremas daun dengan air. Setelah

diperoleh air hasil remasan yang disaring kemudian dapat diminum

langsung atau dapat juga hasil remasan digunakan sebagai kompres.

“Kok obat panas sih biasanya (daun mulu ) untuk menurunkan panas

anak.Itu pertama daunya di remes dengan air lalu disaring yang

diminum hanya airnya saja.Dan ada juga yang memakai tepung

kanji,digosok di badannya anak- anak yang sakit panas.”(Nek T)

Page 142: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

126

Gambar 3.15 Oen Hasan Tanaman Obat Demam Bagi Anak

Sumber: Dokumentasi peneliti

III. 7. 2. Rajah

Rajah merupakan salah satu cara pengobatan yang dipercaya

dapat memberikan penyembuhan terhadap sakit. Bagi masyarakat

Desa Sawang rajah merupakan pengobatan yang pertama kali

dilakukan dalam pencarian pengobatan, termasuk pada pengobatan

anak yang panas, disebut dengan rajahsuum. Rajahsuum dapat

dilakukan oleh orang tuanya sendiri atau orang-orang yang dipercaya

dapat melakukannya. Rajah yang dilakukan di masyarakat ialah

meminta kesembuhan kepada Allah swt melalui doa-doa dan air.

Kepercayaan bahwa air yang telah didoakan memiliki khasiat terhadap

kesembuhan.

Rajah dilakukan untuk beberapa kondisi, ada yang melakukan

rajah untuk gejala demam, ada pula rajah untuk mengobati masalah

kesurupan atau diganggu jin bahkan ada juga Rajah yang dilakukan

untuk melihat jodoh. Rajah dipercaya sebagai salah satu upaya

pengobatan yang diperoleh dari Allah swt. sehingga tidak ada

pantangan ataupun syarat, selain itu kesembuhan merupakan

Page 143: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

127

kehendak Allah. Masyarakat Desa Sawang pun dapat melakukan

beberapa kali rajah hingga memperoleh kesembuhan.

III. 7. 2. 1. Rajah Suum (Rajah untuk Demam Anak maupun Dewasa)

Penyakit demam merupakan hal yang biasa terjadi pada anak-

anak karena hampir semua penyakit memiliki gejala dengan terjadinya

demam, begitu juga dengan rajah suum. Rajah suum dapat dilakukan

oleh orang tuanya atau orang-orang yang dianggap pintar meurajah.

Rajah suum dilakukan dengan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an

kepada air yang sudah disiapkan. Ayat-ayat yang dibacakan ialah surat

Al Fatihah, surat Al Nas, Al Falaq, Al-Ikhlas, dan doa-doa lain yang

dibacakan sesuai dengan permintaan untuk disembuhkan dari sakit.

Salah seorang nenek yang biasa melakukan Rajah suum bertahun-

tahun pun mengatakan bahwa raja suum bukanlah dikhususkan untuk

anak-anak melainkan semua umur, ketika panas diRajah.

“Oo kalau do’a untuk orang sakit panas mau anak-anak

atau orang udah dewasa doa sih sama saja semua

doa’a.Ya doa’a ada dalam Al-qur’an. Seperti al-fatihah dan

do’a yang di pakek oleh Nabi Ibrahim waktu mau dibakar

sama orang firaun dulu “kunna yanaa”. Ya yang pertama

kan kita mohon bagi yang sakit kan biar sembuh kalau

panas biar dingin. Habes itu Bismillahirahmanirrahim.

Bismillah dengan nama Allah tetap urat beuteutap darah

gure geumeulake bak shiah,shiah geumeulake bak

Nabi,Nabi geumeulake bak Allah beu euk tawa peutre

beugisa sijuk beujeut ban leupi sikeuleupi ban

timah,berkat do’a tuwan patimah berkat kalimah Lailah

hailllauhlah muhammadur rasulullah SAW. Ya itulah do’a

saya pakai untuk orang-orang yang sakit panas.”

Beberapa informan mengatakan bahwa dengan dirajah anak-

anak biasanya sembuh, ada yang dengan sekali rajah ada pula yang

beberapa kali rajah. Namun demikian, para ibu biasanya memberikan

Page 144: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

128

obat gampong selain rajah. Jika tidak sembuh juga, ibu akan

membawanya ke fasilitas kesehatan tanpa meninggalkan Rajah.

III. 7. 2. 2. Rajah Diganggu Oleh Jin

Berbeda dengan Rajah suum, ada pula salah seorang ahli rajah

di Desa Sawangyang dipercaya memiliki kemampuan untuk melakukan

rajah dalam mengobati penyakit akibat diganggu jin. Bu N merupakan

seorang ibu yang memiliki aktivitas sehari-hari pergi ke ladang. Ia

memiliki dua orang anak. Anaknya yang pertama baru saja menikah

tahun 2014 lalu di usianya yang ke 18 tahun dan anaknya yang kedua

masih berusia sekitar 7 tahun.

Berdasarkan hasil wawancara, menurut Bu N ia baru memiliki

kemampuan melakukan rajah sekitar satu tahun yang lalu

menyatakan bahwa kemampuannya melakukan Rajah berawal dari

kejadian anaknya yang mengalami sakit parah. Ketika itu ia telah

membawa anaknya ke dokter, pada dokter pertama dikatakan bahwa

anaknya terkena kanker, namun kemudian ia membawa anaknya ke

dokter lain, dan dokter kedua pun mengatakan bahwa anaknya tidak

dapat disembuhkan secara medis. Dokter tersebut justru

menyarankan untuk membawa anaknya ke dukun kampung. “Satu

dokter bilang kanker, satu dokter bilang gabisa ini, obat kampong aja.”

Akhirnya Bu N pun melakukan pengobatan ke beberapa dukun,

setelah sepuluh dukun ternyata tidak sembuh juga. Suatu malam ia

berdoa kepada Allah setelah solat untuk kesembuhan anaknya karena

kini kedua anaknya sakit sedangkan uang sudah tidak ada lagi.

Bagi Bu N pengobatan ke fasilitas kesehatan lebih membantu

dibandingkan harus ke dukun. Ketika akan berobat ke fasilitas

kesehatan atau rumah sakit dapat diperoleh dengan gratis sedang

ketika berobat ke dukun harus menyiapkan banyak uang karena

dukun akan meminta bayarannya di awal. “Kalo ke dokter kan gratis

untuk berobat. Minta dukun2 kan susah, ditanya dulu anaknya perlu

sembuh? Ada uang 1 juta, dua juta.. Susah. Udah sepuluh dukun gak

Page 145: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

129

sembuh.”Akhirnya setelah menghabiskan banyak uang, Bu N pun

berdoa kepada Allah swt untuk kesembuhan anaknya karena uangnya

telah habis.

“Termasuk setan, jin.. sedih uang udah habis, berobat

sekitar setahun ga sembuh-sembuh. Ayahnya susah kan,

gak ada uang berobat anak. Sesudah solat berdoa minta

sama Allah. Terjadi satu malam anak saya sakit berat,

uang 7 ribu rupiah. Mama adik mau meninggal kata anak

saya.”

Setelah mengalami masa sulit, Bu N pun berdoa kepada Allah,

hingga saat suatu hari anaknya semakin parah dan ia pun memperoleh

kemampuan untuk melakukan rajah kepada anaknya di rumahnya

setelah solat subuh.Kemampuan ini yang kemudian menjadi

keyakinan bahwa apa yang telah ditemukan merupakan obat yang

diperoleh melalui pertolongan Allah.

“Waktu kejadian mamak yang meuajah, satu malam aku

tidur kan aku mimpi orang datang. Malam mimpi, bangun

mimpi, aku satu buah jeruk. Aku ambil aku tengok untuk

berobat anaknya terjadilah aku berobat mendoakan anak

tengok buah jeruknya. Dan menemukan mata cincin,

dipakai anak yang di dayah gak tau dari mana. Air sesudah

solat subuh saya suruh anak keluar, dia takut. Di depan

rumah keluar anaknya diambil, dicabut anaknya. Ini kan di

dalam air. Airnya dipakai untuk orang sakit.”(Bu N)

Saat ini Bu N dikenal masyarakat sebagai salah satu orang yang

pandai meurajah di Desa Sawang. Masyarakat sekitar yang mengalami

sakit karena gangguan jin berobat kepada beliau dan bahkan terdapat

pasien yang datang dari jauh untuk dirajah. Berawal dari meurajah

anaknya sendiri, kini Bu N telah menjadi orang yang meurajah di Desa

Sawang.

Rajah dilakukan di rumah Bu N dengan peralatan air dan biji

pala yang digenggam untuk dapat melihat penyakit yang diderita oleh

Page 146: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

130

pasiennya. Beberapa pasien pun ada yang membawa jerigen sebagai

tempat air yang sudah diberikan doa untuk dimandikan atau diminum

beberapa hari ke depan setelah dirajah. Proses rajah biasanya

berlangsung sekitar 30 menit. Air yang didoakan merupakan air sumur

yang belum dimasak namun telah diberikan doa oleh Bu N.

“Dikasi air, dibawa jeregen, bisa digosok atau diminum.

Obat disuru baca sebelum minum.

Bismillahirrahmanirrahim, segala syarat, segala hikmat

segala doa Ya Allah yang lun bersyarat. 7 hari berturut-

turut. Kehendak Allah. Ini kan melalui Allah.”

Gambar 3.16

Peralatan untuk meurajah

Sumber : Dokumentasi peneliti

Selain jin, Bu N mengatakan bahwa ada juga yang datang

untuk melihat jodoh. Saat melakukan rajah akan ada doa yang

berbeda saat melakukan rajah untuk melihat jodoh. Rajah ini

dilakukan seperti biasa dan Bu N akan melihat melalui buah

jeruk. Namun, tidak banyak masyarakat yang datang untuk

Rajah jodoh.

III. 7. 3. Pengobatan Modern

Pengobatan medis dilakukan dengan membeli obat di warung

ataupun pergi ke fasilitas kesehatan. Fasilitas Kesehatan yang tersedia

adalah Pustu dan Puskesmas Samudera. Kedei menjadi tempat utama

bagi kaum pria dalam beraktivitas sehari-hari, semua kalangan ada

Page 147: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

131

disana. Kedei bukan hanya sebagai tempat membeli keperluan sehari-

hari, fungsi kedei juga menjadi tempat berkumpul para pemuda saat

tidak bekerja atau tempat berbincang-bincang yang ditemani oleh

rokok dan secangkir kopi atau stroop58. Ada juga kedei yang difasilitasi

dengan TV, sehingga dapat berkumpul dan nonton bareng. Sungguh

menjadi media untuk saling mengenal, bahkan berita pun dapat

diperoleh di kedai saat terjadi diskusi antar pengunjung kedei.

Salah satu kedei juga menjual obat, sebut saja kedai yang

menjual obat sakit gigi dan banyak penduduk yang datang membeli

obat tersebut, meskipun datang di malam hari karena dipercaya

manjur. Obat tersebut dibeli pemilik kedei di toko obat yang berada di

daerah kota bagi masyarakat setempat, yaitu biasa disebut geudong.

Harga obat yang dijual adalah Rp 1.000,00 per tablet dan dalam 1

minggu akan habis sekitar 30 tablet. Pemilik kedai pun mengatakan

bahwa tidak semua orang bisa membeli obat tersebut, hanya

langganan yang sudah dikenal oleh penjual di toko obat, seperti

pemilik kedei X ini. Konsumsi obat masyarakat Desa Sawang dapat

diperoleh fasilitas kesehatan maupun dibeli di kedei-kedei.

III. 8. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat, Posyandu

Posyandu dilakukan di Desa SawangKabupaten Aceh Utara

setiap bulannya, tutur seorang kader posyandu yang sedang menyapu

meunasah. Posyandu dilakukan setiap bulan di tanggal 16, namun

sering disesuaikan kembali dengan masyarakat jika akan dilaksanakan

acara di masyarakat, atau tanggal 16 jatuh pada hari Minggu, maka

dilakukan di hari selanjutnya. Posyandu biasa dilakukan pada pukul

09.00-12.00 WIB. Tepat hari ini, tanggal 19 Mei dilakukan Posyandu di

meunasah desa Sawang. Pada pukul 09.30 meunasah masih terlihat

kosong, ternyata ada seorang kader yang sedang menunggu kader

lainnya untuk mempersiapkan posyandu. Kami pun berjalan menuju

meunasah dan memulai menyapu meunasah dan tak lama kader

58 Minuman berwarna seperti sirup

Page 148: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

132

lainnya pun datang dan seorang ibu yang membawa bayinya yang

berusia 6 bulan. Tikar dan timbangan pun dikeluarkan oleh kader dari

ruangan penyimpanan di meunasah.

Gambar 3.17 Kader Posyandu dan Ibu yang membawa balita sedang menunggu petugas

puskesmas di meunasah. Sumber: Dokumentasi peneliti

Seluruh kader sudah berkumpul dan menunggu petugas

kesehatan yang akan datang. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB,

namun petugas kesehatan yang menggantikan bidan desa belum juga

datang. Kader tidak ada yang menggunakan HP untuk dapat

menghubungi bidan desa pada saat itu, sehingga peneliti pun

membantu menghubungi bidan dan menanyakan petugas kesehatan

yag belum juga datang, tak lama kemudian datang dua orang

berpakaian putih membawa termos dan tas perlengkapan.

Setelah petugas Posyandu datang maka pengumuman pun

disampaikan oleh salah seorang bapak yang sedang bekerja di sekitar

meunasah. Pengumuman disampaikan dengan menggunakan bahasa

Aceh Utara dan disertai sedikit lelucon, karena terlihat para ibu

tertawa mendengarnya. Pengumuman melalui pengeras suara di

meunasah memang dilakukan ketika petugas puskesmas datang dan

hanya boleh diumumkan oleh laki-laki. “Kata bu geuchik klo

perempuan yang umumkan haram kan ya.” Sebut salah seorang warga

Page 149: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

133

sehingga para ibu hamil, ibu-ibu yang memiliki balita pun langsung

datang setelah pengumuman tersebut terdengar. Ada pula yang

datang karena melihat ibu-ibu yang berbondong-bondong berjalan

menuju meunasah. “ Ibu-ibu yang lain pada ke posyandu, kan malu ya

kalau gak ke posyandu sendiri” ujar salah satu ibu muda yang saat

ditanya mengetahui kegiatan posyandu tersebut dari mana.

Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) merupakan salah satu

bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang

dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk

memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada masyarakat

guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan anak

balita.59 Posyandu sebagai salah satu upaya kesehatan masyarakat

bersumberdaya masyarakat. Kegiatan ini merupakan program yang

melibatkan masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai subjek dan

juga sasarannya. Berjalannya posyandu merupakan peran besar

masyarakat itu sendiri, sedangkan petugas kesehatan ialah sebagai

fasilitator dalam hal ini.

Kader menjadi bagian penting dalam berjalan atau tidaknya

kegiatan posyandu di masyarakat. Kader posyandu di Desa

Sawangsendiri terdiri dari lima orang sedangkan yang masih aktif ialah

sebanyak 4 orang. Satu kader telah menikah dan pindah ke Banda

Aceh bersama suaminya. Ke-empat kader sudah menjadi kader kurang

lebih selama 4 tahun. Saat ditanya mengapa masih bertahan menjadi

kader, salah satu kader pun menjawabnya.

“Saya udah bilang sama Bu Rima mau berhenti, cape tapi

ga digaji, setahun baru dikasih uangnya tapi kata Bu Rima

jangan dulu turun, nanti.. nanti terus, ya jadi saya masih

jadi kader”(tertawa).

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan masih

menempatkan masyarakat sebagai objek, bukan sebagai subjek

59 Buku Pegangan Kader Posyandu Tahun 2012 hal 2

Page 150: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

134

pembangunan kesehatan. Bila masyarakat berperan aktif, seharusnya

berbagai masalah kesehatan yang timbul dewasa ini tidak perlu

terjadi.60

Waktu menunjukkan pukul 10.00 kegiatan posyandu pun

dimulai. Para kader menyambut ibu-ibu yang berdatangan dan mulai

menimbang bayi satu persatu. Kondisinya ramai oleh berbagai suara,

dari suara anak-anak yang menangis, suara percakapan ibu-ibu dan

suara petugas kesehatan yang sedang menjelaskan kepada ibu bayi.

Peserta yang hadir ialah para ibu yang membawa bayinya dan ibu

hamil. Jumlah peserta yang hadir berdasarkan pencatatan petugas

puskesmas adalah sebanyak 28 orang yang terdiri dari bayi dan ibu

hamil.

Posyandu dikenal dengan kegiatan lima meja, dimulai dengan

pendaftaran, penimbangan, pencatatan, pemberian edukasi, dan

pelayanan kesehatan.61 Kegiatan Posyandu kali ini difasilitasi oleh

petugas kesehatan yang menggantikan bidan Desa Sawangyang

sedang cuti hamil. Petugas kesehatan tersebut banyak bertanya

kepada kader terkait perlengkapan yang ada dan lebih banyak ibu-ibu

yang aktif menimbang dan melaporkan agar dicatat kepada petugas

kesehatan. Petugas kesehatan pun melakukan pemeriksaan pada ibu

hamil terlebih dahulu kemudian suntik imunisasi. Sedangkan untuk

penimbangan dan pemberian polio dilakukan oleh kader.

Pencatatan pun dilakukan oleh petugas kesehatan dalam

secarik kertas buku catatan petugas kesehatan. Ibu hamil yang

diperiksa memperoleh buku KIA, sedangkan para ibu yang membawa

bayinya tidak diberikan KMS sebagai pencatatan untuk kesehatan

bayi. Kartu Menuju Sehat ialah alat untuk mencatat dan mengamati

perkembangan kesehatan anak yang mudah dilakukan oleh para ibu

60 IPKM 2013 61 Panduan Pegangan Kader Posyandu Tahun 2012

Page 151: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

135

sehingga para ibu mengetahui kondisi kesehtan anaknya62.Kartu

Menuju Sehat merupakan slah satu cara dalam mengetahui

pertumbuhan dan perkembangan balita. Dalam pelaksanaannya,

posyandu di Desa Sawangada peserta yang memperoleh edukasi dan

tidak memperoleh edukasi, bahkan memungkinkan peserta yang tidak

masuk dalam pencatatan.

Kegiatan Posyandu berakhir pada pukul 12.00 WIB, seluruh ibu

pun pulang secara berbondong-bondong. Setiap anak memperoleh 1

biskuit sepulang dari posyandu. Bidan posyandu sebelumnya memang

telah menitipkan kepada kader agar membeli biskuit seharga

Rp20.000,00 untuk para peserta posyandu. Pembagian biscuit

dilakukan oleh kader posyandu. Seluruh peserta posyandu

mendapatkan biscuit meskipun usianya masih dibawah 6 bulan. Hal

tersebut tentunya menjadi perhatian penting dan bertolak belakang

dengan program ASI eksklusif yang seharusnya ibu tidak memberikan

makanan apapun sebelum berusia 6 bulan.

62 Suhaardjo. .2000.Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak.Yogyakarta:Kanisius.hal:120

Page 152: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

136

BAB IV

IMUNISASI, TAK KENAL MAKA TAK SAYANG

IV. 1. Nilai Anak

Di Desa Sawang masih banyak keluarga yang mempunyai

banyak anak. Lima atau tujuh anak adalah biasa. Jumlah anak paling

banyak yang saya dengar adalah sembilan anak. Dipelihara sendiri

tanpa pembantu. Salah satu akibat dari banyak anak ini adalah

kemampuan anak-anak dalam momong adik-adik mereka yang masih

balita ketika ibu sedang bekerja.

Gambar 4. 1

Anak-anak Momong Adik-adik Mereka

Foto : Wirabaskara

Salah satu sebab banyaknya jumlah anak ini adalah pentingnya nilai

anak laki-laki di mata masyarakat. Seorang ibu muda yang baru punya

satu anak perempuan berumur tigabelas bulan bilang rencananya

hanya akan punya anak tiga saja. Satu perempuan dan dua adiknya

nanti laki-laki. “Anak laki-laki paling tidak dua, Bang.” Kalau nanti

anaknya lahir ada yang perempuan dia akan terus punya anak sampai

setidaknya punya dua anak laki-laki.

Page 153: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

137

Demikian juga Pak Mulia. Ketiga anaknya perempuan. Kelas

empat SD, kelas dua SD, dan paling kecil tiga tahun. Dia masih ingin

punya anak laki-laki. “Anak laki-laki setidak-tidaknya jumlahnya sama

dengan anak perempuan.” Jadi dia masih ingin punya tiga anak laki-

laki lagi. Istrinya sekarang berumur tiga puluh tiga tahun. Perempuan

paling tua yang melahirkan anak di Desa Sawang umurnya lima puluh

tahun, tapi itu jarang. Kebanyakan umur di bawah lima puluh tahun.

“Sekitar empat puluh lah.”

Gambar 4. 2

Kelereng, Permainan Anak-anak

Foto : Wirabaskara

Anak laki-laki menduduki nilai penting untuk mewarisi ilmu

yang dimiliki ayahnya. Ilmu agama bisa menjadi modal sosial jika

dikuasai laki-laki. Dia bisa menjadi seorang Tengku. Pada perempuan,

dia bisa saja menjadi seorang ‘umi’, mengajar agama pada anak-anak.

Status ‘umi’ ini hanya bisa melekat pada perempuan lajang. Ketika

Page 154: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

138

menikah seorang ‘umi’ akan meninggalkan statusnya dan menjadi ibu

rumah tangga.

Anak yang masih sekolah sepenuhnya menjadi tanggung jawab

orang tuanya. Semua kebutuhan sekolah, uang saku, dan uang jajan

harus dipenuhi. Semua kebutuhan itu menjadi tanggung jawab ayah,

bahkan ketika anak minta sepeda motor.

Tanggung jawab orang tua terhadap anaknya berkurang ketika

anak berhenti atau selesai sekolah. Bahkan ketika anak berhenti

sekolah setelah lulus SD atau SMP. Kala anak tidak melanjutkan

pendidikan ke Dayah atau pesantren maka anak harus mencari uang

sendiri untuk kebutuhan pribadinya. Orang tua hanya menyediakan

makan saja.

Gambar 4. 3

Anak yang Sudah Tidak Sekolah Mencari Uang untuk Kebutuhannya Sendiri

Foto : Wirabaskara

Menangis adalah senjata ampuh bagi anak kecil. Seperti

kebanyakan orang tua di daerah lain di Indonesia, di Desa Sawang

Page 155: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

139

orang tua tidak tahan ketika anak mereka menangis. Hal ini membuat

orang tua cenderung menuruti semua permintaan anak mereka. Anak

kecil dan balita kebanyakan hanya meminta jajan pabrikan, dari snack

sampai mie instan. Kebutuhan jajan anak termasuk tinggi karena bisa

mencapai lebih dari limaribu rupiah setiap harinya.

Gambar 4. 4

Jajan

Foto : Wirabaskara

Ketidak tegaan pada anak yang menangis ini dimulai sejak bayi.

Orang tua sangat menghindari situasi yang membuat bayinya

menangis, termasuk imunisasi. Imunisasi dihindari karena membuat

bayi menangis.

Kebiasaan anak dituruti kemauannya ini terbawa sampai ketika

mereka memasuki usia sekolah. Meski tidak lagi menangis ketika

permintaan mereka tidak bisa dipenuhi oleh orang tuanya mereka

melakukan ‘pemberontakan’. Mereka membolos sekolah sebagai

bentuk protes. Misalnya tidak diberi uang saku untuk jajan di sekolah

mereka tetap berangkat sekolah dari rumah tetapi tidak sampai di

sekolah. Mereka menghabiskan waktu jam sekolah di rumah teman

atau main saja.

Page 156: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

140

Gambar 4. 5

Gaya Pemuda Aceh

Foto : Wirabaskara

Pada usia SMA63 permintaan semakin besar. Beberapa kasus

terjadi anak SMA minta kendaraan bermotor dengan merk tertentu

sesuai keinginannya. Anak-anak SMA yang memaksa minta sepeda

motor ini akan mogok sekolah kalau tidak dibelikan. Ada juga yang

berani memaksa orang tuanya dengan ancaman bersenjatakan parang

atau dengan merusak barang-barang yang ada di rumah. Menuruti

keinginan anak SMA ini bukan menjadi jaminan bahwa anak tersebut

akan menyelesaikan SMAnya. Dengan sepeda motor baru

kebanggaannya anak SMA akan meninggalkan sekolah dan bisa main

ke tempat yang lebih jauh. Pacaran atau ikut balap liar di kota

Lhokseumawe.

63 Ada juga satu kasus anak yang kuliah di Politeknik yang mogok kuliah karena permintaan sepeda motor barunya tidak dituruti. Dia meninggalkan kuliahnya yang sudah berjalan dua tahun dengan beasiswa dari pemerintah.

Page 157: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

141

Gambar 4. 6

Muda-mudi di Obyek Wisata

Foto : Wirabaskara

IV. 2. Akses Informasi dan Pemahaman Masyarakat tentang

Kesehatan.

Sinetron menjadi hiburan favorit masyarakat desa Sawang

sebagaimana masyarakat di desa-desa lain di Indonesia. Mereka yang

tidak mempunyai TV dengan antena parabola akan menonton di

rumah tetangga atau di kedai kopi. “Manusia Harimau” adalah

sinetron paling populer saat ini.

Dari sinetron inilah masyarakat membangun konstruksi

pemahaman mereka atas realitas luas di luar desanya. Hantu-hantu

dalam sinetron horor adalah hantu yang mereka takuti ketika malam

hari. Hantu-hantu tradisional sudah tidak ada karena tidak dipercaya

oleh syariat Islam. Grandong adalah hantu yang ditakuti oleh orang

yang takut hantu karena setiap hari muncul di layar kaca.

Page 158: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

142

Gambar 4. 7

Ngopi dan Nonton Sinetron

Foto : Wirabaskara

Dulu sinetron dengan judul “Putri yang Ditukar” menjadi

favorit di sini. Cerita dalam sinetron tersebut di mana bayi yang baru

lahir bisa ditukar di rumah sakit membentuk konstruksi pemahaman

masyarakat tentang realitas rumah sakit yang sebenarnya. Cerita

dalam sinetron itulah satu-satunya ‘realitas’ yang dialami masyarakat

tentang rumah sakit. Hadir setiap hari dari senin sampai jumat selama

lebih dari dua jam dalam kurun waktu setahun lebih.

Akibatnya masyarakat tidak percaya dengan rumah sakit.

Mereka beranggapan kalau melahirkan di rumah sakit anak mereka

bisa dipertukarkan oleh dokter atau bidan. Mereka menghindari

rumah sakit karena tidak ingin hal itu menimpa pada mereka.

Di samping sinetron, masyarakat juga bergerak berdasar isu-

isu. Isu-isu yang berkaitan dengan hukum syariat bisa jadi diyakini

kebenarannya sebagai syariat itu sendiri. Mengenai imunisasi memang

ada isu yang menyebar di masyarakat desa bahwa vaksin untuk

Page 159: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

143

imunisasi itu mengandung babi. Karena itulah ada wacana imunisasi

haram.

Karena ada yang menghembuskan isu bahwa vaksin imunisasi

itu dibuat dari lemak babi. Bagi orang Islam yang haram itu babi dan

anjing. Prinsip Islam di Aceh kalau darah ini sudah kotor maka tidak

bisa hilang. Kalau anak diimunisasi/diinjeksi dengan babi mereka takut

akan mengalir darah kotor itu pada keturunannya dan darah kotor

tersebut akan diturunkan. Mereka takut mengalir dosa dalam darah

keturunan mereka.

Meskipun ada tetapi issu vaksin yang mengandung babi itu

sangat sedikit warga yang pernah dengar. Para Tengku di desa bahkan

juga belum pernah mendengar issu vaksin yang mengandung babi

tersebut. Ada Tengku yang pernah mendengar issu tersebut karena

ditanyai oleh ibu-ibu ketika pengajian. Karena tidak tahu-menahu

tentang imunisasi dan vaksin para Tengku cenderung meletakkan

masalah imunisasi itu di luar otoritasnya. Masalah imunisasi itu adalah

otoritas para ibu.

Isu haram yang lebih diyakini oleh masyarakat adalah issu

tentang tupperware.Tupperware dilarang digunakan karena isu

mengandung babi ini. Masyarakat tidak menggunakan tupperware

karena dianggap haram, Menurut saya tidak digunakannya

tupperware ini lebih disebabkan karena harganya yang terlalu mahal

dari pada karena isu mengandung babi tersebut.

Sedangkan isu vaksin imunisasi yang mengandung babi

sebenarnya tidak terlalu diperdulikan masyarakat. Bahkan sebagian

besar masyarakat tidak tahu apa itu imunisasi, apa lagi terkait isu

vaksin yang mengandung babi. Pengetahuan masyarakat tentang

imunisasi ini sebatas suntik atau tetes pada bayi, sebatas pada apa

yang bisa mereka lihat.

Banyaknya orang tua yang tidak mengimunisasi bayi mereka

lebih disebabkan oleh isu-isu yang beredar berkenaan masalah

Page 160: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

144

dampak imunisasi tersebut di kampung. Banyak kasus terjadi

imunisasi yang disuntikkan di lengan atas bisa menimbulkan bengkak

dan demam panas dingin pada anak selama tiga sampai lima hari.

Akibatnya imunisasi ini dihindari ketika anak masih bayi. Kasihan

anaknya yang masih bayi. Di samping kasihan hal yang penting yang

menjadi kekhawatiran orang tua atas kasus demam pada bayi setelah

imunisasi ini adalah kekhawatiran kalau nanti terjadi step pada bayi

mereka.

Kalau sudah masuk SD ada imunisasi dari sekolah. Itulah yang

menjadi sebab kenapa mereka tidak memberikan imunisasi,

khususnya yang disuntikkan di lengan pada anak bayi mereka. Anak

laki-laki Mak Leyla yang mendapat imunisasi yang disuntikkan di

lengan atas ini di sekolah puang manangis karena bengkak. Oleh Mak

Leyla lengan anaknya itu dikompres dengan botol yang diisi air hangat.

“kalau sudah SD dia sudah kuat, kalau masih bayi kasihan.”

Imunisasi ini pada umumnya menjadi otoritas ibu sepenuhnya.

Ayah pada umumnya tidak tahu menahu. Tapi ketika terjadi bengkak

dan demam ayah juga ikut khawatir. Kadang sang ayah mendatangi

kader posyandu dan marah-marah karena anak bayinya bengkak dan

demam setelah diimunisasi di posyandu. Bahkan pernah ada seorang

ayah dari dusun barat yang murka mendatangi bidan sambil

membawa parang. Isu yang berkembang di dusun timur “pernah ada

yang membunuh bidan.”

Selama ini tidak ada sosialisasi yang jelas tentang imunisasi ke

masyarakat. Petugas kesehatan jarang memberikan penjelasan yang

memadai tentang imunisasi itu. Penjelasan tentang efek demam yang

wajar terjadi pada bayi setelah diimunisasi itu seperti apa dan

bagaimana tidak pernah disampaikan oleh bidan yang turun ke desa.

“Bidan hanya memberikan imunisasi dan sudah, giliran yang lain,”

cerita Ibu Fatimah ketika mengimunisasikan bayinya. Jadi demam

sebagai efek imunisasi itu tidak dianggap wajar oleh masyarakat.

Page 161: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

145

Jangankan efek demam, tentang kenapa bayi yang diimunisasi

menangis pun masyarakat juga tidak tahu.

Gambar 4. 8

Peristiwa “Parang”, Issue Utama yang Menggambarkan Hubungan

Masyarakat dengan Petugas Kesehatan

Foto : Wirabaskara

IV. 3. Akses Imunisasi dan Kesehatan

Posyandu yang diadakan sebulan sekali tanggalnya tidak

menentu karena kadang-kadang bertabrakan hari dengan hari jumat

atau hari sembahyang, hari sabtu dan minggu di mana puskesmas

libur, atau bertabrakan dengan acara di kampung sehingga harus

diundur.

Page 162: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

146

Sosialisasi untuk kegiatan posyandu pun juga menghadapi

kendala. Ibu-ibu kader posyandu tidak bisa membuat pengumuman.

Perempuan tidak boleh membuat pengumuman menurut aturan

syariat. Para kader posyandu harus minta tolong pada laki-laki untuk

membuat pengumuman. Sering kali permintaan tolong itu hanya

diiyakan tapi tidak segera dilaksanakan sehingga lupa. Akibatnya

banyak warga dan ibu-ibu sering kali tidak tahu ketika ada posyandu.

Setiap kali posyandu petugas kesehatan dari puskesmas

datang untuk memberikan imunisasi. Kebanyakan orang tua dengan

balita tidak datang ke posyandu ini karena bermacam alasan yang

membuat mereka malas ke posyandu. Alasan yang membuat para ibu

dengan balita malas datang ke posyandu itu datang dari pihak

puskesmas dan dari pihak masyarakat sendiri.

Dari pihak puskesmas antara lain karena petugas kesehatan

dari puskesmas tidak membawa vaksin yang cukup dan tidak

membawa obat untuk penurun panas setelah imunisasi. Masyarakat

disuruh membeli sendiri obatnya. Untuk membeli obat, mereka tidak

punya uang. Sedang penyebab dari masyarakat misalnya adanya rasa

malu bagi ibu muda yang baru punya anak pertama. Mereka malu

memperbincangkan kehamilan, kelahiran dan anak bayinya itu. Di

samping itu tidak semua warga masyarakat Desa Sawang tahu jadwal

imunisasi itu karena kendala sosialisasi pelaksanaan posyandu.

Pada kegiatan imunisasi di Desa Sawang tanggal 19 Mei 2015

kemarin hanya duapuluh tujuh balita yang melakukan penimbangan

dari lebih duaratus balita di Desa Sawang. Selama kegiatan posyandu,

tidak ada bayi yang disuntik meskipun vaksin sudah tersedia di dalam

termos yang dibawa oleh bidan petugas kesehatan yang bertugas.

Bidan menanyakan kepada beberapa ibu yang hadir, “sudah

melakukan suntik apa?” Sang ibu pun kebingungan dan akhirnya bidan

menunjukkan bagian-bagian tempat imunisasi dan mencoba menerka

suntik apa yang belum. Ternyata bayi memang belum ada diberikan

vaksin imunisasi suntik, ada juga yang akan melanjutkan suntik BCG

Page 163: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

147

dan ada yang akan melakukan suntik DPT setelah ibu berdiskusi

panjang dengan bidan.

Setelah terjadi kesepakatan antara ibu dan bidan untuk

disuntik, bidan pun menanyakan apakah memiliki obat panas? Karena

saat itu stok obat di puskesmas sudah habis sehingga bidan tidak

membawa, ketika ditanya ke pustu apakah ada persediaannya

ternyata pun tidak ada. Bidan menyarankan untuk membeli sendiri

dan setelah disuntik harus langsung diberikan obat tersebut. Setelah

itu kedua ibu pun kembali ragu dan menyatakan kendalanya membeli

obat yaitu tidak ada uang dan membelinya harus ke Geudong.

Jaraknya tidak terlalu jauh namun jika naik RBT sekitar Rp 8.000,00

dan jika dihitung ongkos pulang pergimya yaitu Rp 16.000,00.

Akhirnya bidan pun menyatakan, “Bulan depan saja kalau begitu ya,

saya bawa obatnya, tapi kalau saya lagi yang menggantikan, kalau

yang lain nanti saya pesankan.” Alhasil, hari ini tidak ada suntik-

menyuntik.

Biasanya kebanyakan orang tua dengan balita datang ke

posyandu karena ada pemberian makanan tambahan seperti bubur

kacang hijau. Sekitar tujuh puluh hingga delapan puluh bungkus bubur

kacang hijau akan habis dibagikan.

“Kalau ada pembagian makanan tambahan seperti ini

banyak yang datang, apa lagi kalau ada pembagian susu

formula. Mereka yang tidak kebagian susu formula akan

marah,”

Begitu penjelasan Bu Geucik selaku ketua kader posyandu. “Ketika ada

pemberian makanan tambahan atau susu formula mereka datang

untuk minta jatah pembagian itu tanpa mau untuk diimunisasi

anaknya,” lanjut Bu Geucik.

Imunisasi juga merupakan bagian dari kegiatan posyandu yang

dilakukan di meunasah. Pelaksanaan imunisasi dilakukan oleh bidan

desa yang bertanggung jawab dan para kader.

Page 164: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

148

“Kalau tidak disuruh saya sebenarnya malas,” begitu Bu

Geucik menuturkan keberatannya menjadi ketua kader posyandu.

Sebagai kader posyandu posisi mereka serba sulit. Mereka menjadi

pelaksana di kampung untuk kegiatan posyandu yang memberikan

pelayanan imunisasi. Ketika terjadi kasus bengkak dan demam mereka

menjadi orang-orang yang dituntut tanggung jawabnya oleh

masyarakat, sementara mereka tidak tahu-menahu.

Pak Mulia, warga Desa Sawang yang menikah dengan

perempuan dari Desa Tanah Teudong bercerita bahwa di Tanah

Teudong bidan Pustunya tidak menginap. Mereka pulang setelah

selesai kerja. Hal itu tidak masalah bagi pelayanan kesehatan di

desanya karena di sana sudah banyak orang yang menjadi bidan dan

buka praktek di desa. Mereka bekerja sebagai bidan desa di desa lain

dan pulang ke rumah untuk membuka praktek di desanya. Masyarakat

di desanya itu lebih suka pergi ke bidan-bidan desa yang buka praktek

di rumah itu meskipun harus membayar dari pada ke bidan Pustu.

Mereka lebih percaya dengan bidan-bidan yang sudah mereka kenal

dan menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka.

Petugas bidan desa di Polindes jarang datang ke desa. Bidan

PTT tidak mau tinggal karena alasan lajang dan Pak Geucik juga tidak

dapat memaksa. Polindes yang seharusnya juga menjadi rumah dinas

bidan desa pun kosong tidak terpakai. Hal ini tidak terlalu menjadi

masalah karena di Desa Sawang ini ada Pustunya. Mayoritas petugas

puskesmas juga tinggal di kota Lhokseumawe yang sudah lebih

heterogen dan menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya.

Bu Dhea yang menjadi bidan Pustu Sawang tinggal di Pustu.

Dia biasa membantu persalinan atau mengobati orang sakit. Dalam

kehidupan sehari-hari bidan Pustu itu membatasi pergaulan dengan

masyarakat sekitar hanya sebatas urusan kesehatan, kehamilan dan

melahirkan.

Pelayanan yang diberikan Bu Dhea cukup baik karena di desa-

desa lain ada bidan yang ‘nakal’ dengan menganjurkan operasi cesar

Page 165: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

149

pada ibu yang mau melahirkan. Biaya untuk operasi cesar ini meliputi

ambulan 1 juta dan biaya operasi 7 juta. Di Desa Sawang Bu Dhea

dikenal sabar. Dia selalu berusaha menangani kelahiran secara

normal. Istri Andre waktu mau melahirkan anak pertamanya periksa

ke bidan Dhea ketika merasa akan melahirkan. Karena oleh Bidan

Dhea dibilang masih lama istrinya merasa kurang puas. Dia

memeriksakan kehamilannya ke dokter spesialis. Oleh dokter spesialis

dibilang waktunya sudah dekat. Kemudian istrinya mencari pelayanan

untuk melahirkan ke bidan yang lebih senior dari Bidan Dhea yang

masih ada hubungan saudara.

Gambar 4. 9

Aktivitas Gotong Royong, Mempererat Hubungan Sosial dan Persaudaraan

Foto : Wirabaskara

Ini juga menjadi alasan kenapa warga desa di Tanah Teudong

memilih melakukan pemeriksaan ke bidan lokal (warga setempat)

yang buka praktek di desa itu meskipun harus membayar. Pemilihan

ini didasarkan pada perasaan kenal dan dekat secara sosial dengan

bidan lokal. Mereka saling kenal dan terlibat dalam aktivitas sosial

sehari-hari. Kedekatan sosial ini tidak terjadi pada bidan desa atau

bidan Pustu yang berasal dari luar desa.Ada jarak sosial di antara

Page 166: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

150

mereka. Jarak sosial ini walau bagaimanapun juga memunculkan

perasaan tidak nyaman meskipun pelayanan yang diberikan gratis.

IV. 4. Pro Kontra Imunisasi

Kenyataan atas penolakan masyarakat terhadap imunisasi di

Desa Sawang diakui oleh pihak petugas kesehatan maupun warga

masyarakat, baik para Tengku maupun masyarakat biasa. Hanya saja

ada perbedaan dalam melihat sebab-sebab yang menjadi dasar

penolakan masyarakat terhadap imunisasi tersebut.

IV. 4. 1. Imunisasi di Mata Petugas Kesehatan

IV. 4. 1. 1. Kendala dalam Upaya Klarifikasi Haram

Aceh Utara dalam melakukan upaya preventif melalui

imunisasi tercatat pada tahun 2013 memperoleh capaian imunisasi

BCG 1-.40 (85%), DPT dan HB1 10.726 (87.6%), DPT3 dan HB3 9.880

(80.7%), Polio4 10.422 (84.5%) dan campak 9.916 (80.9%). Capaian

imunisasi di Aceh Utara menunjukkan bahwa capaian Aceh Utara

masih dibawah dari capaian Provinsi Aceh sendiri.64 Melalui hasil

observasi imunisasi dalam posyandu yang dilaksanakan pada tanggal

19 Mei 2015, dari 27 balita hanya 2 bayi yang melakukan imunisasi

polio dan tidak ada imunisasi lainnya. Sedangkan dari wawancara dan

observasi selama di lapangan sangat langka dijumpai bayi yang

melakukan imuniasasi lengkap.

Pelayanan kesehatan masyarakat primer merupakan salah satu

fokus kementerian kesehatan saat ini dalam meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan yang kini menjadi prioritas

bagi Desa Sawangialah Imunisasi, PHBS, Gizi dan KIA begitulah tutur

kepala Puskesmas Samudera.

“Peralatan, kartu KMS ada, peralatan penyimpanan

vaksin, dibawa bidan desa dengan termos masing-masing,

64 Profil Dinas Kesehatan Aceh Utara tahun 2013

Page 167: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

151

peralatann dan SDM cukup, namun kesadaran masyarakat

dianggap belum maksimal.”

Imunisasi haram, begitulah yang disampaikan oleh petugas

puskesmas yang telah menjumpai masyarakat untuk melakukan

imunisasi. Berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan oleh petugas

sendiri, beberapa menolak dengan alasan imunisasi haram sambil

menyampaikan beberapa hadist. Dalam hal ini, petugas pun

menyampaikan alasan-alasan sesuai dengan alasan medis dan tak

membantah berkaitan dengan hadist yang disampaikan. Namun

masyarakat tetap pada pendirian imunisasi haram.

Imunisasi merupakan salah satu permasalahan yang belum

juga terpecahkan bagi petugas kesehatan. Hal ini juga menjadi catatan

bagi kepala puskesmas kepada petugas kesehatan. Imunisasi haram,

hal tersebut menjadi ancaman yang dirasakan sulit bagi petugas

kesehatan dalam melaksanakan imunisasi. Selain cara pandang

imunisasi haram, pengetahuan akan imunisasi, pengambilan

keputusan pada suami, perbedaan realita dengan konsep imunisasi

dan masih adanya petugas kesehatan yang tidak mempercayai

imunisasi menjadi kendala dalam menyukseskan imunisasi.

“Dinas juga buat seminar seminar, buat rapat, Tengku-

Tengku juga diundang, orang yang paham tentang

imunisasi, paham tentang agama untuk menjelaskan

bahwa imunisasi itu tidak haram.”

Sebelumnya telah dilakukan seminar yang diselenggarakan

oleh dinas kesehatan aceh utara terkait vaksin haram. Dalam seminar

tersebut mendatangkan para Tengku dan ahli di bagian imunisasi yang

menjelaskan bahwa imunisasi tidak haram. Namun, ketika petugas

kesehatan turun dan menyampaikan kepada masyarakat, masih

belum mampu.

Pihak Puskesmas menganggap para ibu sudah memiliki

pengetahuan akan pentingnya imunisasi, namun keputusan tetap ada

pada sang suami. Penyuluhan pun telah diupayakan agar suaminya

Page 168: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

152

datang, namun tetap mengalami kesulitan karena biasanya suaminya

bekerja. Meskipun sang istri telah mengetahui baiknya imunisasi,

tetap saja akhirnya anaknya tidak diimunisasi karena tidak

diperbolehkan oleh suami.

“Kami juga menjelaskan kalau ini tidak haram, cuma kami

kan menjelaskan ke masyarakat gak sepandai Tengku-

Tengku menjelaskan. Jadi kan kalau udah keluar hadis,

kami juga gak bisa bantah.”

Begitulah kesulitan yang dihadapi petugas kesehatan dalam

berkomunikasi dengan masyarakat di desa-desa. Ketika omongan

mereka berbenturan dengan omongan para Tengku komunikasi

menjadi terkunci. Ada kekhawatiran para petugas kalau salah omong,

dalam arti apa yang mereka omongkan bertentangan dengan moral

agama masyarakat. Secara sosial kesalahan seperti ini memang bisa

berakibat fatal untuk bisa tetap masuk ke lingkungan desa.

“Disini agamanya kuat, agamanya sangat kuat, jadi

salah-salah ngomong tentang agama kena arak kita”

Di samping masalah kuatnya agama yang dipegang oleh

masyarakat, para petugas kesehatan juga mengalami kendala bahasa

untuk berkomunikasi dengan warga. Meski mereka mengerti ketika

ada yang berbicara dalam bahasa aceh tetapi mereka kesulitan ketika

harus menyampaikan sesuatu dalam bahasa Aceh.

“Kendalanya memang di bahasa. Saya paham.Kalau ada

yang ngomong saya ngerti apa maksudnya tapi

bagaimana menyampaikannya ke mereka itu saya gak

bisa.”

Page 169: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

153

Gambar 4. 10

Nilai-nilai Agama Ditanamkan Secara Rutin Sejak Masa Anak-anak

Foto : Wirabaskara

Dalam pelaksanaannya tidak sedikit tantangan yang dihadapi

oleh petugas. Pintu rumah warga yang segera ditutup ketika didatangi

petugas kesehatan yang akan melakukan imunisasi dari pintu ke pintu

sudah menjadi hal biasa. Ada juga yang mengatakan, “hana peng,”

karena imunisasi tidak menjadi sesuatu yang dianggap

menguntungkan di hadapan masyarakat. Hal-hal seperti ini adalah

contoh-contoh reaksi masyarakat ketika apa yang dilakukan dan

diomongkan oleh petugas kesehatan tidak selaras dengan ajaran para

Tengku.

Page 170: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

154

Gambar 4. 11

Menutup Pintu untuk Orang Lain, Trauma Konflik

Foto : Wirabaskara

IV. 4. 1. 2. Kendala Program Imunisasi

Petugas kesehatan mengupayakan peningkatan cakupan

imunisasi melalui beberapa cara. Kegiatan posyandu merupakan salah

satu sarana dalam memberikan imunisasi kepada masyarakat.

Kegiatan Posyandu dilakukan setiap bulannya di tanggal 16, jika ada

perubahan maka dapat dikomunikasikan kembali. Namun, kepala

puskesmas memberikan kebijakan untuk seluruh posyandu dilakukan

di tanggal 16 setiap bulannya. Dalam kegiatan posyandu tersebut

Page 171: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

155

dilakukan pemberian imunisasi dan pemeriksaan ibu hamil serta

kegiatan variasi lainnya. Posyandu saja belum mampu menjaring

banyak orang, hingga akhirnya petugas pun melakukan imunisasi dari

pintu ke pintu. Upaya tersebut masih memerlukan dukungan berbagai

pihak sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam memberikan

opini di masyarakat seperti Tengku maupun pak geuchik.

Selain masalah yang bersifat sosial yang dihadapi para petugas

kesehatan mereka menghadapi juga masalah fisik. Muncul efek

samping yang di luar kewajaran akibat vaksin imunisasi. Efek fisik itu

misalnya pertumbuhan badan anak menjadi terhambat.

“Kayak mana ya dokter, masyarakat keluhannya itu

memang betul. Setelah imunisasi pertumbuhan badannya

makin gak meningkat, itu banyak, rata-rata. Jadikan kita

bilang bukan karena imunisasi, mungkin…”

Penelitian tentang masalah ini juga sudah lama dilakukan tapi

belum ada hasil yang bisa dijadikan pedoman untuk mengatasi

masalah.

“Pertumbuhannnya memang agak terganggu setelah

diimunisasi. Kita juga gak tau itu salahnya di mana. Ya kita

juga kan gak bisa nyalahkan vaksin kita. Jadi kira-kira

mana yang masih bagus kualitasnya, mana yang expired

itu sudah disisihkan, teliti ini sudah berapa tahun ya, 8

tahun.”

Di samping kendala pertumbuhan anak masyarakat juga

mengeluhkan anak mereka yang justru terlihat sakit-sakitan setelah

mendapat imunisasi. Di mata masyarakat anak-anak yang tidak

mendapat imunisasi justru terlihat lebih sehat.

“Karena setelah disuntik mereka lihat anaknya ko kayak

anak semakin sakit. Dibandingkan dengan anak-anak yang

tidak diimunisasi, lebih sehat anak-anak yang tidak

diimunisasi itu.”

Page 172: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

156

Sementara para orang tua melihat bahwa dampak imunisasi

yang diberikan secara suntik menimbulkan bengkak dan demam pada

bayi. Akibatnya banyak yang menolak imunisasi yang diberikan secara

suntik. Pro dan kontra suntik imunisasi menjadi masalah bagi petugas

kesehatan dalam meningkatkan cakupan imunisasi di desa Sawang.

Masalah tubuh bayi yang akan menjadi demam sebagai salah satu

tanda bekerjanya vaksinasi dalam tubuh bayi pun menjadi catatan

tersendiri bagi petugas kesehatan. Sejak awal, petugas puskesmas

sudah memberi peringatan kepada ibu sebelum disuntik bahwa jika

anaknya menjadi demam itu adalah sebagai reaksi dan membuat

kesepakatan tak tertulis agar nantinya tidak malah menyalahkan bidan

yang memberi suntikan.

Reaksi keras orang tua juga terjadi akibat dampak imunisasi ini.

Peristiwa yang menjadi preseden di Desa Sawang ini merupakan reaksi

seorang ayah akibat anaknya yang menjadi sakit setelah imunisasi.

Saat itu anaknya mengikuti imunisasi 2 kali suntik yaitu di

bagian lengan dan paha. Petugas menjelaskan agar bekas suntikan

bagian paha dikompres. Mayoritas masyarakat yang belum lancar dan

terbiasa dengan bahasa Indonesia tidak menghiraukan himbauannya

sehingga paha anak tersebut tidak dikompres. Akhirnya paha anaknya

semakin membengkak dan sang ayah pun mencari pertolongan bidan.

Kesal terhadap pelayanan yang diberikan bidan, ditambah lagi

bidan desa yang tidak tinggal di tempat membuatnya semakin marah

dan mencari bidan yang memberikan imunisasi kepada anaknya.

Bukan hanya bidan desa, salah satu kader posyandu pun ditegur

dengan tebasan parang di pekarangan rumahnya.

“Jadi keluarganya meninggal saat tsunami. Menikah lagi

punya anak satu. Mungkin karena sayang kali sama

anaknya, ya.Saya juga salah kemarin sendiri. Kan sekali

suntik langsung dapet BCG dan DPT mungkin dengan

bahasa saya juga yang kurang dimengerti, nanti setelah

disuntik dikompres ya bu. Dia ga kompres jadi bengkak,

Page 173: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

157

dia bawa lagi ke bidan praktek Bu Uli habis tu kan udah

turun, tapi suaminya udah sempat marangi pagar kader

itu, ditebas.”

Reaksi masyarakat yang seperti ini menjadi referensi bagi para

tenaga kesehatan yang masuk ke kampung-kampung untuk sebisa

mungkin ‘tidak berbuat salah’. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan akibat amarah warga.

IV. 4. 2. Imunisasi di Mata para Tengku

IV. 4. 2. 1. Tengku Imam atau Imam Desa Ngobrol dengan Tengku Imam di warung Pak Geucik, siang, 28

April 2015. Sebagai imam desa dia adalah orang nomor dua di desa,

setelah Pak Geucik sebagai kepala desa. Dalam urusan agama dan

adat Islam dia adalah orang nomor satu di desa.

Tentang imunisasi Tengku Imam tidak tahu imunisasi itu apa

dan untuk apa, obat yang dipakai apa dan dari mana dia juga tidak

tahu. Bahwa adat atau agama melarang imunisasi juga tidak. Dia ada

dengar ada ibu-ibu yang menolak ketika ditawari imunisasi oleh bidan

untuk bayinya di puskesmas, tetapi bahwa imunisasi itu haram adalah

tidak.

Bu Imam tidak mengimunisasi anaknya yang paling kecil

sekarang umur dua tahun. Dia hanya diimunisasi sekali ketika umur

enam bulan karena disuruh bidan. Ketia anaknya itu umur tiga bulan

sakit panas dan diperiksakan ke Puskesmas Gedung. Waktu itu

anaknya diberi suntikan dan dia dibilangi sama Bidan untuk imunisasi

anaknya. Umur enam bulan dia membawa anaknya ke Puskesmas

Gedung untuk imunisasi yang disuntik di lengan kiri atas (DPT).

Page 174: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

158

Gambar 4. 12

Tengku Imam

Foto : Wirabaskara

Setelah itu dia tidak mengimunisasi anaknya karena ‘malas’.

Anaknya selalu menangis ketika dibawa ke Posyandu karena melihat

jarum suntik. Akibatnya dia memutuskan untuk tidak membawa

anaknya ke Posyandu dan tidak diimunisasi.

IV. 4. 2. 2. TengkuSulaiman

“Imunisasi bukan satu hal yang sangat menguntungkan,

tidak imunisasi bukan satu hal yang merugikan.”

(TengkuSulaiman, 2015)

TengkuSulaiman adalah Tengku yang dianggap paling pintar di

Desa Sawang. Dia adalah orang yang sering dimintai tolong oleh warga

di Desa Sawang dan di desa-desa sekitarnya bila ada masalah. Pada

Pemilu 2014 lalu dia mencalonkan diri sebagai caleg dari PAN tapi

kalah karena ada calon lain yang mencalonkan diri untuk ke tiga

kalinya. Karena sudah dua kali gagal untuk kesempatan Pemilu 2014

kemarin warga mufakat memberikan suara mereka untuk calon lain

tersebut sehingga jadi. “Kalau sampai gagal lagi kan kasihan,” begitu

pertimbangan warga. Sedangkan suara warga tidak bisa dipecah

karena akan mengakibatkan ke duanya tidak akan jadi. Keputusan

Page 175: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

159

tersebut demi mempertimbangkan paling tidak ada wakil rakyat dari

kampung mereka.

“Seringya dokter atau petugas kesehatan itu tidak terbuka.

Mereka itu seringnya menutup-nutupi,” begitu TengkuSulaiman

memulai ceritanya. Sebagai seorang tamatan SMP dia relatif banyak

tahu tentang obat-obatan. Dia tahu diazepam itu untuk apa, dan juga

beberapa jenis obat lain. Pengetahuannya itu dia dapatkan dari rasa

ingin tahunya yang dulu pernah bercita-cita mendirikan apotek.

Karena terbentur masalah ‘argo’ selepas SMP dia hanya melanjutkan

belajar di pondok pesantren di Aceh Barat.

Pengalamannya di rumah sakit Cut Mutia ketika mengantar

anak bungsunya yang sekarang berumur tiga tahun, dokter tidak

terbuka dengan apa yang akan dia lakukan terhadap anaknya. Dia

melihat dokter membawa serum imunisasi dengan sembunyi-

sembunyi. Unrtuk memberi keleluasaan pada dokter tersebut

TengkuSulaiman meninggalkan dokter itu mendekati anaknya dalam

gendongan istrinya. Sesaat kemudian TengkuSulaiman masuk lagi dan

bertanya pada istrinya apakah tadi dokter memberikan suntikan

imunisasi. Istrinya mengiyakan.

Pada saat itu dia tidak bertanya pada dokter karena dari

pengalamannya dokter biasanya tidak suka jika ditanyai. Mereka ketus

atau bahkan marah tanpa ada jawaban yang jelas. Pengalaman

dengan dokter yang seperti ini didapatkan oleh TengkuSulaiman

karena dia biasa dimintai tolong oleh warga Kampung Sawang dan

sekitarnya bila ada kasus kesehatan yang serius khususnya terkait

masalah depresi.

Sebenarnya dokter bisa bilang bahwa mereka juga tidak tahu

bagi dia sudah tidak masalah. Dia bisa mengerti. Ini malah dilakukan

dengan sembunyi-sembunyi. Meski ditolerir tetapi hal ini tidak

berkenan di hati sang Tengku.

Page 176: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

160

Terhadap ke tiga anaknya TengkuSulaiman tidak memberikan

imunisasi. Pun seandainya oleh istrinya anak-anaknya diimunisasi dia

juga tidak tahu. Itu sepenuhnya urusan istrinya dan dia sama sekali

tidak masalah atas keputusann istrinya. “Memberikan imunisasi tidak

banyak untungnya, tidak memberikan imunisasi juga tidak ada

ruginya,’’ begitu TengkuSulaiman mengatakan pendiriannya dalam

bahasa Aceh. ‘’Imunisasi bukanlah sesuatu yang sangat penting

asalkan kita bisa menjaga kesehatan,’’ begitu dia melanjutkan.

IV. 4. 2. 3. Tengku Rohman

Berbeda dengan para Tengku di Desa Sawang, Imunisasi

memang dianggap haram bagi Tengku Rohman. Imunisasi sempat

menjadi perdebatan di Indonesia bahwa vaksinasi meningitis yang

diberikan untuk jemaah haji mengandung minyak babi boleh

dipergunakan atau tidak untuk alasan kesehatan. Imunisasi inilah yang

menjadi pembahasan bagi ulama di Aceh dan sepakat untuk tidak

menggunakan vaksinasi tersebut. Hal ini berdasarkan pertimbangan

bahwa apa yang diharamkan adalah haram kecuali dalam keadaan

terdesak ataupun untuk mengobati sedangkan vaksinasi merupakan

pencegahan. Hal ini menjadi dasar bahwa imunisasi yang diberikan

kepada jemaah haji merupakan haram dan para Tengku tidak

memperbolehkannya.

Saat ditanya mengenai imunisasi balita, Tengku pun

menjelaskan bahwa imunisasi merupakan salah satu program yang

diberikan untuk kemaslahatan umat. Segala kebijakan yang dilakukan

untuk kemaslahatan umat tentunya Tengku akan mendukung asalkan

bahan yang digunakan merupakan bahan yang memang halal.

Sejauh ini Tengku mendukung adanya program imunisasi

untuk balita karena memang dipercaya telah menurunkan angka

kesakitan beberapa penyakit. Salah satunya ialah penyakit campak

yang ketika dahulu merupakan penyakit yang sangat banyak didierita

oleh masyarakat, setelah adanya imunisasi kini campak jarang

Page 177: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

161

ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, Tengku pun menyatakan bahwa

ia memberikan tanggapan positif terhadap program imunisasi anak.

IV. 4. 3. Imunisasi di Mata Orang Tua

Secara umum masalah anak-anak sepenuhnya menjadi urusan

ibunya. Termasuk untuk urusan imunisasi. Banyak para bapak yang

bilang bahwa anak mereka tidak diimunisasi. Ketika ditanya lebih jauh

mereka sebenarnya tidak tahu apakah anak mereka diimunisasi atau

tidak. Itu urusan ibu-ibu. Penyuluhan kesehatan, posyandu, dan

semua informasi yang disampaikan pada para ibu tidak sampai pada

para bapak. Itu berarti sepenuhnya urusan ibu-ibu. Ibu-ibu baru bilang

pada suaminya kalau anak mereka membutuhkan biaya yang harus

dialokasikan di luar biaya kebutuhan sehari-hari.

Gambar 4. 13

Anak-anak Menjadi Urusan Para Ibu

Foto : Wirabaskara

Pak Mulia punya anak tiga. Dia bilang ketiga anaknya

diimunisasi. Anak yang paling tua kelas empat SD tiga kali diimunisasi.

Imunisasi itu dilakukan sekali ketika lahir dan dua kali di sekolah.

Anaknya yang ke dua kelas dua SD sudah dua kali diimunisasi. Sekali

Page 178: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

162

ketika lahir dan sekali di sekolah. Anak bungsunya umur tiga tahun

baru sekali diimunisasi.

Salah seorang bapak muda memahami imunisasi sebagai

upaya pencegahan penyakit, jadi bisa dilakukan pencegahan sendiri di

rumah tanpa harus di suntik saat bayi. Ketika sudah besar di sekolah

pun akan memperoleh imunisasi sehingga anaknya pun tidak

diperbolehkan disuntik. “Kalau imunisasi itu kan untuk mencegah gitu

kan. Ya bisalah kita jaga sendiri.”

Para bapaklah yang kebanyakan melarang istri mereka untuk

memberi imunisasi pada bayi mereka. Ketika diimunisasi biasanya

anak akan menangis. Di samping itu gejala demam pada bayi yang

ditimbulkan akibat imunisasi membuat para orang tua menolak

bayinya diimunisasi. Bagi para orang tua tidak memberikan imunisasi

pertimbangannya adalah kasihan pada anaknya.

Ketidak tahuan masyarakat tentang apa dampak imunisasi dan

manfaatnya menjadi penyebabnya. Beberapa warga yang tahu

sebatas bahwa imunisasi itu untuk mencegah penyakit beranggapan

bahwa pencegahan itu bisa dilakukan di rumah. Kenyataan ini

diperkuat bahwa penyakit-penyakit yang dicegah oleh imunisasi tidak

berjangkit di Desa Sawang.

“Kalau orang tua-tua yang anaknya sudah banyak,

mereka anaknya tidak imunisasi. Kalau anaknya baru satu

seperti saya, ikut imunisasi. Ada juga beberapa ibu yang

dilarang memberi imunisasi oleh suaminya karena

kasihan anaknya menangis kalau diimunisasi.”

Begitulah penuturan Bu Fatimah tentang imunisasi di desanya.

Hanya orang tua dari keluarga muda saja yang tahu imunisasi. Para

orang tua generasi sebelumnya yang anaknya sudah sudah banyak

tidak tahu imunisasi. Anak Bu Fatimah yang berumur tigabelas bulan

sudah lima kali imunisasi. Masih kurang satu kali lagi besok kalau

umurnya dua tahun. Untuk buku catatan imunisasi dia tidak ada. Dia

hanya mengingat saja. Biasa bidan yang mau memberi imunisasi pada

Page 179: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

163

anaknya bertanya dulu, “yang di suntik di paha sudah belum?” “Yang

ditetes sudah belum?” Begitulah para ibu mengingat imunisasi untuk

anak mereka. Mereka tidak terlalu tahu imunisasi yang diberikan itu

imunisasi apa saja. Imunisasi biasa diberikan di posyandu. Biasanya Bu

Geucik sebagai ketua kader posyandu yang memerintahkan imunisasi

itu.

Penyuluhan atau sosialisasi dari petugas kesehatan di Desa

Sawang baru sekali diadakan. Penyuluhan itu diadakan beberapa

waktu lalu sebelum kedatangan kami tim peneliti dari kementrian

kesehatan. Sebulan sebelumnya kami survey ke desa Sawang diantar

oleh dokter kepala Puskesmas Samudra. Pada kesempatan itu Bu

dokter menghubungi Pak Geucik untuk memperkenalkan kami

sekaligus meminta bantuan untuk diadakan pertemuan dengan warga.

Para petugas kesehatan dalam penyuluhan itu menyampaikan materi

dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Aceh. Kalau ada warga yang

belum paham apa yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia ada

petugas kesehatan lain yang akan menjelaskan dengan Bahasa Aceh.

Acara itu mendadak dibubarkan ketika ada angin besar melanda.

Sebelum itu belum pernah ada penyuluhan atau sosialisasi dari

petugas kesehatan

Sebagian ibu yang mengetahui pentingnya imunisasi untuk

kesehatan, namun mayoritas tetap tidak mau anaknya disuntik.

Imunisasi dianggap sebagai pencegahan agar anak tidak sakit. Di sisi

lain imunisasi juga dianggap sebagai salah satu penyebab demam dan

penghambat pertumbuhan. Terdapat beberapa kasus yang

menunjukkan bahwa anak yang diimunisasi justru jadi mudah sakit.

Ada juga anggapan bahwa imunisasi dan tidak imunisasi sama saja,

karena dari beberapa anaknya yang mengikuti imunisasi dan tidak

mengikuti imunisasi sama-sama sehat.

Sebagian besar ibu memilih untuk hanya memberikan

imunisasi polio yang diberikan dengan tetes dan menghindari

imunisasi dengan suntik. Alasan utamanya ialah khawatir anak

Page 180: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

164

menjadi demam dan suami pun tidak mengizinkan karena alasan

tersebut. Selain itu terdapat juga pandangan bahwa setelah disuntik

justru menjadi mudah sakit, dan pada anak yang tidak disuntik justru

tetap sehat dan tidak sakit.

Emaknya Fifi. Fifi adalah anak pertamanya berusia enam

setengah bulan. Tidak pernah imunisasi ataupun dibawa ke posyandu.

Pada waktu kelahiran anaknya itu dia tidak tahu apakah anaknya

diimunisasi atau tidak. Bidan yang menolong kelahirannya pun juga

tidak memberi tahu harus imunisasi. Ketika ada jadwal posyandu dia

diundang. Kakak ipar dia adalah kader posyandu. Ketika tiba waktunya

posyandu dia juga disamperin oleh tetangga tetapi dia tidak pernah

ikut untuk kegiatan ke posyandu. Berat badan anaknya dia tidak tahu

karena tidak pernah ditimbang. Bayinya memang terlihat montok

karena diberi asi. Sekarang sudah diberi makanan tambahan berupa

bubur instan. dia tidak pernah membawa anaknya ke Posyandu

karena dia malu, masih anak pertama.

Demikianlah sebagian besar orang tua di Desa Sawang yang

tidak memberikan imunisasi kepada bayi mereka disebabkan oleh

beberapa hal. Sebab pertama adalah karena tidak tahu. Hal ini biasa

terjadi pada orang tua yang pendidikannya rendah dan tidak bisa

berbahasa Indonesia sehingga pergaulan mereka dengan dunia luar

juga sangat terbatas. Sebab ke dua adalah orang tua menolak

memberikan imunisasi karena melihat akibat demam pada bayi yang

diimunisasi sehingga bayi menjadi rewel selama beberapa hari. Para

orang tua ini beranggapan bahwa untuk pencegahan penyakit bissa

dilakukan dengan menjaga kesehatan bayi di rumaah. Sebab yang ke

tiga adalah adanya rasa malu orang tua, terutama ibu muda yang baru

mempunyai satu anak.

Page 181: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

165

Gambar 4. 14

Senja di Balik Pagar

Foto : Wirabaskara

Page 182: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

166

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Keterlibatan para Tengku dalam mobilisasi dan pergerakan

sosial ekonomi masyarakat ini sangatlah perlu. Tantangannya adalah

keterbatasan pengetahuan umum para Tengku ini. Langkah pertama

perlulah kiranya dibuat rumusan informasi yang akan disampaikan

tersebut menurut syariat Islam dan perlunya menjalankan syariat

Islam tersebut, bukan hanya tahu dan memahami saja tanpa ada

praktiknya.

Beberapa rekomendasi untuk mengatasi masalah imunisasi

secara khusus dan masalah kesehatan pada umumnya ini antara lain :

V. 1. Dilakukan Sosialisasi dengan Melibatkan Para Tengku

Salah satu hal yang menyebabkan ketidak berhasilan program

imunisasi pada bayi ini disebabkan adanya kesenjangan komunikasi.

Kemampuan berbahasa Indonesia masyarakat Sawang yang

terbatas—bahkan banyak orang tua dan anak-anak yang tidak bisa

berbahasa Indonesia—menjadi ‘communication bug’ dalam masalah

ini. Keengganan petugas kesehatan di tingkat desa seperti bidan desa

atau bidan Pustu untuk tinggal di desa tempat tugasnya dan hidup

bersosialisasi menjadi bagian dari masyarakat memperlebar jarak

untuk saling memahami.

Kebanyakan orang tua yang tidak tahu tentang imunisasi.

Pengetahuan mereka kebanyakan hanya sebatas suntik atau tetes

untuk bayi mereka. Bila petugas kesehatan tidak menawari imunisasi

untuk bayi mereka, mereka cenderung tidak membawa bayi mereka

untuk imunisasi. Jadi tidak ada kesadaran untuk memberikan

imunisasi pada bayinya.

Page 183: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

167

Jadi ketidak lancaran program imunisasi ini karena tidak

adanya sosialisasi dan penjelasan kepada warga. Sosialisasi dan

penjelasan di sini dalam artian sampai bisa membuat warga

masyarakat mengerti apa itu imunisasi, apa efeknya dan tujuannya

untuk apa.

Untuk melakukan sosialisasi dan penyadaran masyarakat ini

sangat perlu melibatkan para Tengku di desa. Para Tengku itulah yang

nantinya omongannya akan didengarkan dan dianut oleh warganya.

Peran Tengku di sini adalah untuk menghindari benturan informasi

terkait dengan aturan syariat yang dipegang teguh oleh warga.

Informasi yang berlawanan dengan hukum syariat yang disampaikan

oleh para Tengku akan bisa meruntuhkan informasi itu sendiri di mata

masyarakat desa. Masyarakat akan menolak informasi tersebut dan

mengingatnya sebagai sesuatu yang terlarang.

V. 2. Penertiban Acara TV

Sosialisasi dan penyadaran tentang kesehatan bagi masyarakat

sangatlah perlu dilakukan. Tingkat pendidikan masyarakat yang

rendah mengakibatkan dipegangnya informasi tentang kesehatan ini

dari issu-issu atau acara TV. Sering kali informasi ini adalah informasi

yang kontra produktif bagi kesehatan masyarakat itu sendiri. Banyak

juga yang bahkan tidak ada informasi apapun terkait kesehatan

masyarakat.

Lepas tangannya pemerintah terhadap pendidikan secara luas

juga sudah saatnya dikoreksi. Acara-acara yang ditayangkan TV

seharusnya lebih bernuansa informasi dari pada cerita khayalan yang

menyesatkan. Pada masyarakat yang tinggal di desa-desa dengan

tingkat pendidikan yang relatif masih kurang hal ini berdampak

negatif. Masyarakat cenderung mencari pembenaran atas ketidak

mampuan dan keterbatasan yang dialaminya dari acara TV, bukan

meningkatkan kemampuan untuk bisa memenuhi standar hidup yang

lebih baik. Yang dipilih adalah yang jauh lebih mudah.

Page 184: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

168

Acara-acara TV yang menjadi favorit di desa-desa seharusnya

ditertibkan demi mempertimbangkan kultur masyarakat pedesaan.

Ketika acara TV seperti sinetron itu menyajikan cerita yang tidak benar

atau tidak mungkin terjadi di dunia nyata bagi masyarakat pedesaan

acara itu menyebarkan “dusta”. Dia memberikan informasi palsu pada

masyarakat. Sayangnya sebagian masyarakat tidak tahu bahwa cerita

dalam sinetron itu tidak benar sehingga menganggapnya sebagai

informasi yang benar.

Hal seperti ini bisa berdampak kontra produktif dalam

pembangunan. Pihak produser dan stasiun TV tentu saja tidak bisa

diharapkan dalam hal ini. Mereka hanya bekerja mencari uang

sebanyak mungkin. Pemerintahlah yang seharusnya mengambil

tanggung jawab.

Sosialisasi tentang imunisasi atau tentang bagaimana

menyikapi isu lemak babi akan sangat efektif bila disisipkan dalam

serial sinetron. Disampaikan dengan benar dan mudah dimengerti

secara bertanggung jawab. Informasi-informasi ini jika disampaikan

dalam serial sinetron favorit akan terserap sampai ke kampung-

kampung dan akan menjadi referensi masyarakat dalam berpikir dan

memutuskan sesuatu.

V. 3. Meleburkan Para Petugas Kesehatan dalam Kehidupan

Sosial Masyarakat

Bidan desa di Kabupaten Aceh Utara banyak yang tidak

menginap di desa. Mereka bahkan ada yang jarang datang ke Pustu.

Terlebih lagi para bidan PTT juga sama. Wacana bidan desa yang tidak

tinggal di desa ini muncul juga di film lokal berbahasa Aceh yang VCD-

nya beredar dan menjadi hiburan banyak masyarakat di Desa Sawang,

terutama yang tidak bisa bahasa Indonesia. Mungkin ada baiknya

mempertimbangkan asal bidan untuk menjadi bidan desa. Bidan desa

yang ditugaskan dari desa setempat atau desa terdekat sehingga

Page 185: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

169

mereka mau menetap di desa. Seperti Bidan Dhea yang menginap di

Pustu Sawang karena dia dari desa yang dekat.

Di samping itu bidan dan tenaga medis lainya sebaiknya

membaur dalam kehidupan sosial masyarakat setempat. Untuk ini

mental untuk menjadi tenaga medis di pedesaan harus dibangun sejak

masa pendidikan. Sistim atau kurikulum pendidikan para tenaga

medis pedesaan harus mempersiapkan untuk hal ini.

V. 4. Penelitian tentang Vaksin yang Menimbulkan Efek

Demam yang Berlebihan

Mereka yang tahu tentang imunisasi juga banyak yang

menolak imunisasi untuk bayi mereka karena efek bengkak dan

demam yang membuat bayi rewel. Para orang tua ini mengandalkan

imunisasi untuk anak mereka kalau sudah masuk SD. Pihak SD biasa

memberikan imunisasi pada siswa mereka dari kelas satu, dua, dan

tiga. Anak usia SD dianggap lebih mampu menghadapi bengkak dan

demam akibat imunisasi.

Memang ada kecenderungan warga untuk menolak imunisasi

untuk anak mereka karena mereka tidak tahu anaknya mau diapakan.

“Kalau ada apa-apa nanti siapa yang bertanggung jawab?”

Kekhawatiran paling mendasar para orang tua bila bayinya diimunisasi

adalah terjadinya bengkak dan demam antara tiga sampai lima hari.

Hal ini banyak terjadi terutama untuk imunisasi BCG yang disuntikkan

di lengan atas. Ketakutan mereka adalah kalau nanti terjadi step pada

bayinya. Step atau panas yang tinggi pada bayi memang merupakan

hal yang serius karena berpotensi menimbulkan kelainan permanen

pada bayi. Di samping itu ketika terjadi demam maka selama tiga

sampai lima hari tersebut bayi akan rewel, dan itu sangat merepotkan

bagi orang tua.

Penanganan atas masalah ini adalah merupakan hal yang

serius untuk dilakukan oleh pemerintah jika memang program

Page 186: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

170

imunisasi lengkap ini masih dianggap perlu untuk dilanjutkan.

Timbulnya bengkak dan demam selama tiga sampai lima hari setelah

imunisasi adalah efek yang berlebihan. Hal ini juga tidak hanya terjadi

di Desa Sawang tetapi juga di desa-desa di berbagai pelosok Indonesia

yang pada tahun ini menjadi lokasi untuk penelitian etnografi dari

Kementrian Kesehatan.

Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah yang

sebenarnya terjadi dengan vaksin ini. Apakah telah terjadi kerusakan

pada vaksin karena perjalanan jauh untuk mencapai desa-desa yang

terpencil itu? Ataukan masyarakat yang hidup di daerah terpencil

tidak cocok dengan vaksin yang dipakai untuk masyarakat yang lebih

mudah dijangkau karena pola konsumsinya atau gaya hidupnya? Atau

ada hal yang lain yang menyebabkan vaksin tersebut menimbulkan

efek yang berlebihan?

Muncul dan berkembangnya penolakan masyarakat atas

program imunisasi—termasuk berkembangnya wacana bahwa

imunisasi itu haram, jika ada—adalah reaksi masyarakat atas resiko

efek vaksin yang berlebihan tersebut. Tidak memperdulikan masalah

efek vaksin yang berlebihan tersebut dan menimpakan semua beban

dan resiko pada para orang tua demi suksesnya program imunisasi

adalah kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak bijaksana.

Page 187: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

171

PUSTAKA

Kemenkes RI,“Protokol Riset Khusus Budaya Kesehatan”, 2015.

Ratnawati, Atik Tri., dkk., “Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu

Sosial Budaya”, Kepel Press, Yogyakarta, 2005.

Nuraini, S., Syahputra, A., Saputra, F., Budisuari, M.A. Tangis Budak

dari Negeri Seribu Jembatan. Etnik Laut, Kabupaten Indragiri

Hilir. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB.

2014.

Kresno, Sudarti, “Aspek Sosial Budaya dalam Kesehatan”, Universitas

Indonesia, Jakarta, 2005.

Faisal, Sanapiah, “Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi”, YA3,

Malang, 1990.

Kementrian Kesehatan RI, “Sistem Kesehatan nasional”, Kementrian

Kesehatan RI, Jakarta, 2009.

Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2013

Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2012

Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Utara tahun 2013

Spradley, James P., “Metode Etnografi”, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta,

1997.

Ningsi, Ngeolima, r., Hamzah, s., Handayani, l. Rekam Jejak Terengi.

Etnik Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi

Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014.

Ahimsa Putra, Heddy Shri, “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial

Budaya”, Kepel Press, Yogyakarta, 2005.

Emzir, “Metodologi Penelitian Kualitatif, Analisis Data”, PT.

Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.

Page 188: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

172

Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi”, PT. Rineka Cipta,

Jakarta, 1990.

Foser dan Anderson, “Antropologi Kesehatan”, UI Press, Jakarta, 2011.

Ulfah, Syafrina,“Analisis Pelaksanaan Fungsi Koordinasi dalam

Program Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD)”,

Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas

Sumatera Utara,Medan, 2013.

Linda, Maas T., “Kesehatan Ibu dan Anak: Persepsi Budaya dan

Dampak Kesehatannya”, Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatra Utara, 2004.

Kerajaan Samudera Pasai,

http://melayuonline.com/ind/history/dig/63, diakses 25

Juni 2015

NN, “Christiaan Snouck Hurgronje”,

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Cristian_Snouck_Hurgronje,

diakses 26 juni 2015.

Zentgraaff, H.C., “Atjeh”, Koninklijke Drukkerij De Unie, Batavia, 1938.

Syamsyudin, T., dkk. “Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa

Aceh”, Proyek Penelitian dan Pencatatan kebudayaan

Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Data Imunisasi 40 Desa Puskesmas Samudera tahun 2015

NN, “7 Jenis Virus yang Dapat Dicegah Melalui Imunisasi”,

http://gusdwi.info/7-jenis-virus-yang-dapat-dicegah-

melalui-imunisasi-bayi-dan-anak.html, diakses 24 Juni 2015.

Suhardjo,“Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak”, Kanisius,

Yogyakarta, 2000.

Bustan, MN., “Epidemiologi Penyakit Tidak Menular”, Rineka Cipta,

Jakarta, 2007.

Buku Pegangan Kader Posyandu Tahun 2012

Page 189: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

173

GLOSARIUM

ASI : Air Susu Ibu ASI eksklusif : Pemberian ASI saja tanpa makanan minuman lain sampai bayi berusia 6 bulan Balita : Bayi dibawah lima tahun Boh krut : Buah jeruk purut Dakwah : Acara ceramah Islam Dayah : Pesantren Door to door : Dari rumah ke rumah secara langsung. Darah mameh : Kencing Manis, Penyakit Diabetes Melitus. Duek pakat : Acara desa sebelum kenduri, yaitu mendatangi rumah yang akan kenduri dan mengadakan musyawarah Gampong : Kampong Geuchik : Kepala desa Grandong : Hantu yang ditakuti oleh orang yang takut

hantu karena setiap hari muncul di layar kaca Hana peng : Tidak punya uang Haram : Tidak diperbolehkan dalam hukum Islam Imunisasi : Pemberian vaksin untuk kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat I taptap : Digigit Jak u pasi : Ayo ke pantai Jep ie : Minum Air JKN : Jaminan Kesehatan Nasional JKRA : Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh Kader Posyandu : Masyarakat penggerak kegiatan posyandu KB : Keluarga Berencana Kedei : Warung tempat membeli kebutuhan sehari-hari dan duduk-duduk mengobrol. KIA : Kesehatan Ibu dan Anak KMS : Kartu Menuju Sehat sebagai pencatatan

Page 190: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

174

kesehatan ibu hamil dan balita Meunasah : Balai tempat kegiatan masyarakat MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit Oeun mulu : Daun mulu Oen pulot : Daun pandan Oen Ranup : Daun sirih Polindes : Pos Persalinan Desa Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu Pustu : Puskesmas Pembantu Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat Rajah : Pengobatan dengan doa RBT : Jasa antar dengan motor Stroop : Minuman berwarna, sirup Suum : Panas Sweeping : Melakukan imunisasi secara aktif dengan berkeliling desa dari rumah ke rumah untuk melakukan imunisasi. Tangkai : Obat-obatan untuk ibu hamil/anak-anak yang sudah di kasih do’anya. Tengku : Sebutan tokoh agama Islam di Aceh UKBM : Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat Umi : Guru mengaji Vaksin : Bahan antigenik yang digunakan untuk

menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme

alami atau “liar” WUS : Wanita Usia Subur

Page 191: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

175

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebuah perjalanan yang penuh tantangan ketika kami dari Tima Riset Etnografi Kesehatan bisa sampai ke Desa Sawang, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Issu-issu yang kami dengar sebelum berangkat dan ketika mengurus perijinan sempat membuat kami menumpuk keberanian untuk tetap pada rencana, Penelitian di Aceh Utara.

Terima kasih yang tak terhingga sebelumnya kami sampaikan kepada segenap jajaran Pemerintah Daerah Aceh Utara, Dinas Kesehatan Aceh Utara, Camat Samudera, Puskesmas Samudera, Pustu Sawang, Pak Geucik Sawang, dan seluruh masyarakat Desa Sawang yang baik menerima kami selama lebih dari satu bulan di sana.

Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada seluruh staff PUSHUM Surabaya yang telah membiayai penelitian ini. Teman-teman tim REK 2015 yang saling mengisi dalam workshop perencanaan maupun workshop penulisan di Surabaya. Semoga barokah.

Untuk warga Desa Sawang pada khususnya saya begitu berharap hasil penelitian ini dapat memberikan paling tidak satu langkah menuju kebaikan.

Salam berusaha dan salam sejahtera,

Tim REK Aceh Utara 2015

Page 192: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

176

TENTANG PENULIS

Basunanda Wirabaskara.

Menyelesaikan pendidikan-nya di

Jurusan Antropologi UGM,

Yogyakarta pada tahun 1998.

Setelah itu banyak melakukan

penelitian, baik kuantitatif maupun

kualitatif. Latar belakang

pendidikannya di Jurusan

Antropologi UGM menjadi dasar yang kuat untuk menjadi seorang

etnografer. Berbagai penelitian etnografi pernah dilakukan. Kombinasi

dengan minatnya dalam bidang fotografi membuatnya menjadi

seorang etnofotografer. Metode etnofotografi ini memang belum

banyak dikenal luas, tetapi metode ini adalah metode etnografi yang

didukung dengan data foto yang mampu menyampaikan hal-hal yang

tidak terlihat dan tidak terkatakan dalam metode etnografi.

Siti Khodijah Parinduri, SKM. Anak

ketiga dari empat bersaudara. Lahir di

Bogor, 14 Oktober 1991 dari pasangan

M. Zuhdi Parinduri dan Khairani

Nasution. Lulus dari SMA Negeri 1

Bogor, merantau menempuh

pendidikan Ilmu Kesehatan

Masyarakat di Universitas Sumatera

Utara peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan dan lulus

tahun 2014. Kini melanjutkan studi di Universitas Indonesia di Fakultas

Kesehatan Masyarakat peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan.

Menulis merupakan ekspresi diri dalam menebarkan ilmu dan

manfaat. Mencintai Indonesia dan menularkannya melalui tulisan.

Page 193: Kegagalan Imunisasi: Kesenjangan Komunikasi

177

Meraih gelar doktor di Program Pascasarjana Universitas Airlangga

tahun 2003-2008. Pernah bekerja di Kantor Wilayah Departemen

Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1991-2001. Kemudian

pindah menjadi peneliti di Badan Litbangkes Kemeterian Kesehatan RI

tahun 2001 sampai sekarang. Sebagai Peneliti di Pusat Humaniora

Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura

No.17 Surabaya.

Gurendro Putro. Lahir di Surakarta,

19 Juni 1967. Pendidikan SDN

Wotsogo IV lulus 1980,

Menyelesaikan pendikan SMPN I

Jatirogo tahun 1983, Melanjutkan

SMAN I Tuban lulus tahun 1986.

Menyelesaikan studi Ilmu Kesehatan

Masyarakat di Universitas Airlangga

tahun 1990, kemudian melanjutkan

S2 Program Pascasarjana Universitas

Airlanga tahun 1994-1996.