kedaulatan negara atas ruang udara terhadap...

85
KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh: NUR KHOLIFAH NIM. 11160453000021 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP

PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)

SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

NUR K HOLIFAH

NIM. 11160453000021

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2020 M/1441 H

Page 2: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

i

KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP

PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)

SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

NUR KHOLIFAH

11160453000021

Pembimbing:

At ep Abdurof iq , M. S i

NIP. 19770317 200501 1 010

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2020 M/1441 H

Page 3: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA

TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

REGION (FIR) SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH”

telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Jumat, tanggal 15 Mei

2020 M /22 Ramadhan 1441 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum Tata Negara

(Siyasah).

Jakarta, 15 Mei 2020 M

22 Ramadhan 1441 H

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Sri Hidayati, M.Ag (………………………... )

NIP. 19710215 199703 2 002

2. Sekretaris : Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag, M.Si (………………………... )

NIP. 19781230200112 2 002

3. Pembimbing : Atep Abdurrofiq, M.Si. ( ………………………...) NIP. 19770317 200501 1 010

4. Penguji 1 : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H.,

MA.

( ………………………...)

NIP. 19711212 199503 1 001

5. Penguji 2 : Dr. Rumadi, M.Ag. ( ………………………...)

NIP. 19690304 199703 1 001

Page 4: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini adalah hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi

Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang telah saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan jiplakan sepenuhnya dari karya orang lain, maka saya bersedia

menempuh sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Mei 2020

Nur Kholifah

NIM. 11160453000021

Page 5: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

iv

ABSTRAK

Nur Kholifah, NIM 11160453000021, “KEDAULATAN NEGARA

ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT

INFORMATION REGION (FIR) SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH

KHARIJIYYAH,” Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020

M. x ± 74 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penanganan masalah kedaulatan

negara atas ruang udara terhadap pelayanan navigasi Flight Information Region

(FIR) Singapura Perspektif Siyasah Kharijiyyah.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode pendekatan

yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data

yang diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada Badan atau Lembaga

Negara yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian yang hendak diteliti.

Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui metode dokumentasi

atau pustaka (library research). Kemudian data dan informasi penelitian yang telah

terkumpul, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Dalam

hal ini data-data yang telah diperoleh baik hasil wawancara maupun data pustaka

dikumpulkan secara utuh, yang kemudian dilakukan penyelesaian dan analisis

secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kedaulatan negara atas ruang

udara adalah bersifat penuh dan eksklusif. Hal tersebut dikukuhkan dalam Pasal 1

sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan, serta ketentuan lebih lanjut Pasal 9 diatur dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Indonesia.

Adapun dalam pelayanan navigasi FIR Singapura dalam perspektif Siyasah

Kharijiyyah dapat dibenarkan dalam konteks kemaslahatan ruang udara sehingga

tercapainya keselamatan penerbangan yang aman dan efisien serta untuk mencegah

terjadinya tabrakan antar pesawat. Namun dalam konteks kedaulatan negara terkait

dengan Flight Information Region (FIR) Singapura bukan hanya masalah “safety

and efficiency” tetapi juga masalah kedaulatan. Pelayanan memang bisa

didelegasikan melalui suatu nota kesepakatan anatara kedua belah pihak, namun

dalam pasl 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

disebutkan secara tegas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat

penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Sehingga perlu

dipahami, bahwa negara yang memiliki wilayah kedaulatan lah yang pertama kali

mempunyai kewajiban memiliki dan mengelola Flight Information Region (FIR).

Kata Kunci : Kedaulatan, Ruang Udara, Flight Information Region (FIR)

Singapura, Siyasah Kharijiyyah

Pembimbing : Atep Abdurofiq, M.Si.

Daftar Pustaka : 1944-2020

Page 6: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena

berkat rahmat, anugerah, dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA

TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION REGION

(FIR) SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH.” Shalawat serta

salam penulis limpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah

memimpin umat Islam dari zaman Jahiliyyah menuju jalan yang diridhoi Allah

SWT. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,

arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih yang amat besar kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, Rektor

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan para Wakil

Dekan.

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu

memberi semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini. Dan satu hal yang paling istimewa dari beliau adalah tidak pernah

bosan untuk mendengarkan keluh kesah dan mengingatkan penulis selama

menjadi mahasisiwa Hukum Tata Negara.

4. Ibu Dr. Masyrofah, S.Ag., M. Si, Sekretaris Program Studi Hukum Tata

Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang

selalu memberi nasihat dan menyalurkan semangat kepada penulis dalam

hal apapun.

5. Bapak Dr. Rumadi Ahmad, M.A, Dosen Penasihat Akademik penulis dari

semester 1 sampai dengan semster 7 dan selanjutnya tugas beliau menjadi

Dosen Penasihat Akademik dilanjutkan oleh Ibu Ria Safitri M.Hum, yang

Page 7: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

vi

telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyusun

proposal skripsi sampai selesainya skripsi ini.

6. Bapak Atep Abdurofiq, M.Si, Dosen Pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam

membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

tepat waktu.

7. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen Program Studi Hukum

Tata Negara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan

ikhlas, semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta

menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah.

8. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidyatullah Jakarta, Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama

UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, juga Pimpinan dan segenap staf

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang telah menyediakan fasilitas

yang memadai untuk studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi.

9. Keluarga Besar Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, khususnya Bapak Andy

Aron yang telah membantu penulis dalam memberikan informasi dan data

terkait penelitian ini.

10. Bapak Dr. Supri Abu, S.H., M.H dan Prof. Atip Latipul Hayat, S.H. L.L.M.,

Ph.D, yang telah membantu penulis dalam memberikan informasin dan data

terkait penelitian ini.

11. Keluarga tercinta penulis, Bapak Entus Tusiran dan Ibu Ucu Enong Ulfah,

Kakak Muhammad Riyan Sutanto, Sulecha dan Deni Setiawan, Adik-adik

penulis Fitri Khofifah, Rina Fathonah, Rizki Amaludin, dan Aisyah Naifah

Mahiroh serta Keluarga Besar penulis terkhusus Alm. H. Supran, Hj. Siti

Robiatul Adawiyah, Alm. Sanwito dan Tugini selaku Kakek dan Nenek

penulis yang selalu memberikan doa restu, semangat, motivasi, bimbingan,

dan dukungannya. Baik dukungan secara moriil maupun materiil kepada

Page 8: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

vii

penulis mulai dari penulis di sekolah dasar sampai dengan Perguruan Tinggi

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Keluarga Besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidyatullah Jakarta

angkatan 2016 sekaligus teman-teman seperjuangan penulis Adin, Andi,

Bayu, Baskhoro, Bintang, Bustan, Fahmi, Fakhri, Fahriza, Fauzan, Jabbar,

Mapile, Maulana, Rais, Rendra, Rendro, Reza, Robi, Ubed, Ulil, Wildan

dan sepuluh bidadari HTN yaitu Ajeng Dwi Pramesti, Andriani Kasip,

Fadhilatur Rosyidah, Halimatur Rusyda, Husniyah, Inten Murnia Sari, Lis

Diana Putri, Miftahurrahmah, Silmi Nurtsin, dan Syifa Salsabila Nasution.

Tentunya juga teman-teman penulis lainnya yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu yang telah berjuang bersama melewati suka dan duka

selama berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

13. Keluarga Besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidyatullah Jakarta

angkatan 2013, 2014 dan 2015 sekaligus kakak senior penulis Bang Ikhsan

Binjo, Bang Dudu, Bang Ikhsan Togar, Bang Azmi, Bang Dimas, Bang

Aziz, Bang Tansa, Kak Hendri, Bang Ridwan, Bang Arlen, Bang Cagur,

Bang Nubli, Bang Wahyu, Bang Azka, Kak Fanny, Ka Atu, Kak Indar, Kak

Ika, Kak Lesnida, Kak Fatma,Kak Agilia, dan Kakak-kakak yang lain yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat

dukungan, dan bimbingannya kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.

14. Keluarga Besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidyatullah Jakarta

angkatan 2017, 2018 dan 2019 sekaligus adik tingkat penulis Dandy,

Risang, Harun, Rizki, Ikrar, Rama, Reyhan, Nurdin, Yaqin, Bahrun, Fikriya,

Nunus, Fira, Ulya, Karin, Caca, Aca, Khodijah, Lani, Sheila, Racil, Ameg,

Vina, Feli, dan Adik-adik yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis

sampai selesainya skripsi ini.

15. Pengurus HMPS Hukum Tata Negara, Keluarga Besar HMI dan KOHATI

Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum Cabang Ciputat, terkhusus

keluarga Besar HMI Hukum Tata Negara dan angkatan 2016, Dewan

Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Tangerang,

Page 9: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

viii

Himpunan Mahasiswa Banten, dan Ikatan Mahasiswa Kebumen UIN

Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar

dan berproses dalam berorganisasi selama berkuliah di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

16. Keluarga KKN 120 “VICTORY” Rosid, Reni, Oki, Alfi, Mita, Indah, Niko,

Bayan, Andini, Fachri, Dian, Diny, Adel, Rois, Rizki, dan Nizar yang telah

berjuang bersama melewati suka dan duka selama pelaksanaan kuliah kerja

nyata di Desa Muncung Kecamatan Kronjo.

17. Keluarga “Beluk” Beti Kamarini, Ckhris Aprilia, Dwi Suci Fachrunnisa, Eli

Yuniarti, Linawati, Mahita Febiandhika, Nurul Hidayati, Puji Rahayu, serta

Sindi Irnanda Subandi, Peri Susanto, Adam Hamid, Alif Bagus Pamuji,

Khamid Fauzan, Arif Prayitno dan Angling yang telah memberikan

semangat dan dukungan kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.

18. Kepada Kak Faiqah Nur Azizah, Kak Dwi Anggorowati, Kak Ahmad

Azharil, Kak Rizwan Darmawan, Kak Erdi Purnomo terkhusus kepada Kak

Athari Farhani, yang selalu memberikan semangat, motivasi dan

bimbingannya kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.

19. Kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat

dan dukungan kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.

Terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak

kepada penulis. Semoga bantuan yang telah diberikan dibalas dengan pahala oleh

Allah SWT dan menjadi amal jariyah. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca

dan masyarakat luas pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Jakarta, 15 Mei 2020

Penulis

Page 10: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii

ABSTRAK ........................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan ................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .................................... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................... 8

E. Metodologi Penelitian ............................................................................10

F. Sistematika Pembahasan.........................................................................13

BAB II TEORI KEDAULATAN NEGARA DAN UDARA DI ATAS

WILAYAH NEGARA

A. Teori Kedaulatan Negara .......................................................................14

B. Teori Kedaulatan Udara “Negara Kolong” atas Ruang Udara di atas

Wilayah Negara ......................................................................................18

C. Kedaulatan Negara di Udara ..................................................................21

D. Batas Wilayah Udara .............................................................................22

E. Kedaulatan Atas Wilayah Udara .............................................................24

F. Siyasah Kharijiyyah ...............................................................................26

BAB III PERKEMBANGAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)

DALAM HUKUM UDARA DI INDONESIA

A. Perkembangan Hukum Udara Di Indonesia ...........................................28

1. Pengertian Hukum Udara ...........................................................28

Page 11: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

x

2. Sejarah Perkembangan Ruang Udara ..........................................29

3. Sejarah Perkembangan Hukum Udara Indonesia ........................31

B. Perkembangan Flight Information Region (FIR) Dalam Wilayah Udara di

Indonesia ................................................................................................32

1. Sejarah Flight Information Region (FIR) ....................................32

2. Pembentukan Flight Information Region (FIR) di Wilayah

Indonesia .....................................................................................35

C. Pendelegasian Flight Information Region (FIR) Singapura .....................37

1. Sejarah Pengelolaan Flight Information Region (FIR) Ruang Udara

Indonesia Oleh Negara Lain ........................................................37

2. Perjanjian Flight Information Region (FIR) anatara Indonesia

dengan Singapura ........................................................................38

BAB IV PELAYANAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)

SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH

A. Kedaulatan Negara atas Ruang Udara Indonesia ...................................44

B. Flight Information Region (FIR) Perspektif Hukum Positif.....................50

C. Analisis Pelaksanaan Pelayanan Flight Information Region (FIR) Singapura

Perspektif Siyasah Kharijiyah.................................................................53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................64

B. Saran ......................................................................................................65

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................67

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................72

Page 12: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedaulatan merupakan salah satu wujud eksistensi dari suatu negara.

Kedaulatan dapat diartikan sebagai hak mutlak atau kekuasaan tertinggi yang

dimiliki oleh suatu negara untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban di

wilayahnya tanpa ada intervensi dari negara lain. Kedaulatan dalam konteks ilmu

tata negara, I Wayan Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan

sebagai kekuasaan yang tertinggi, mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi,

dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain.1 Lebih lanjut,

Jean Bodin (1530-1596) menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri

khusus dari suatu negara dan tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang

dinamakan negara.2 Pikiran Jean Bodin yang dituangkan dalam tulisannya tersebut

menunjukkan betapa pentingnya suatu kedaulatan bagi pelaksanaan pemerintahan

dan sejak itu kedaulatan merupakan masalah sentral dalam pembahasan perangkat

negara modern dan teori dari hukum internasional.3

Konsep kedaulatan dalam praktiknya di Indonesia tertuang jelas dalam

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang

menyatakan bahwa “Wilayah Negara meliputi wilayah darat, wilayah perairan,

dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh

sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya”.4 Kemudian, pada Pasal 5

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara juga disebutkan

1 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional,

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 8

2 Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Binacipta, 1996), h. 89

3 Eva Johan, Pengaturan Mengenai Pesawat Udara Militer Menurut Hukum Udara

Internasional, Perspektif, Vol. XV, No.3, 2010, h. 265

4 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

Page 13: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

2

bahwa batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya,

serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau

trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara, serta berdasar pada

peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.5

Berdasarkan pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang

Wilayah Negara di atas, wilayah suatu negara terdiri dari tiga dimensi yaitu daratan,

perairan, dan ruang udara. Semua negara memiliki ruang udara, namun tidak semua

negara memiliki wilayah perairan (laut) atau dikatakan sebagai negara dua dimensi,

seperti Laos, Kamboja, Nepal, Kazakhstan, Swiss, Austria, Irak, Congo, Nigeria,

dan lain sebagainya, yang dalam istilah hukum internasional disebut landlocked

states. Sedang yang lengkap memiliki tiga dimensi yaitu Indonesia, Singapura,

Malaysia, Filipina, India, Pakistan, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Kanada,

Argentina, China, Korea, Jepang, dan lain sebagainya. Dengan demikian tidak

semua negara memiliki wilayah tiga dimensi dan tidak semua negara memiliki

wilayah perairan, namun tidak satupun negara di dunia ini yang tidak memiliki

daratan dan ruang udara.6

Sehubungan dengan hal tersebut, muncul lah prinsip yang menyatakan

bahwa “Setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan eksklusif”, dimana

prinsip ini kemudian menjadi pedoman bagi negara-negara dalam pengaturan

tentang kedaulatan di ruang udara di atas wilayahnya dan dalam peraturan

perundang-undangan di bidang penerbangan. Adapun konsep negara atas ruang

udaranya berasal dari konsep hukum perdata Romawi yang berbunyi “Cujus est

solum, ejus ad coelum et ad inferos” yang berarti “Barang siapa memiliki sebidang

tanah maka dia memiliki segala yang berada diatasnya sampai ke langit dan segala

yang berada di dalam tanah”. Pengaruh prinsip ini bisa kita lihat dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata pasal 571 yang berbunyi “Hak milik atas sebidang

5 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

6 E. Saefullah Wiradipradja, Wilayah Udara Negara (State Air Territory) di Tinjau dari

Segi Hukum Internasional dan Nasional Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 6 No. 4, Juli

2009, h. 498-499

Page 14: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

3

tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya

dan di dalam tanah”.7

Berkaitan dengan kedaulatan ruang udara, dalam dunia internasional telah

disepakati melalui Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 bahwa “Negara mempunyai

kedaulatan yang bersifat lengkap dan eksklusif (penuh dan utuh) atas ruang udara

di atas wilayahnya”.8 Indonesia telah mengukuhkan prinsip tersebut dalam Pasal 5

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan

bahwa “Negara Indonesia bardaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik

Indonesia”.9 Berdasarkan pasal tersebut diberikan pandangan bahwa perwujudan

dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial

adalah a) setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh

ruang udara nasionalnya dan b) tidak ada satupun kegiatan atau usaha di ruang

udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah

diatur dalam suatu perjanjian udara antara suatu negara dengan negara lain, baik

secara bilateral maupun multilateral.

Dalam ketatanegaraan Islam (siyasah) terkait dengan hubungan antar

negara dibahas dalam siyasah dauliyah. Istilah siyasah dauliyah merupakan ilmu

yang mengatur kewenangan suatu negara untuk mengatur hubungannya dengan

negara lain (antarnegara). Siyasah dauliyah memiliki beberapa tema kajian dalam

ruang lingkupnya, salah satu tema kajiannya adalah tentang hubungan internasional

atau disebut dengan siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah.10 Dimana dalam siyasah

7 E. Saefullah Wiradipradja, Wilayah Udara Negara (State Air Territory) di Tinjau dari

Segi Hukum Internasional dan Nasional Indonesia…, h. 499

8 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944

9 Pasal 5 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

10 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah), (Bandung:

Pustaka Setia, 2015), h. 15

Page 15: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

4

kharijiyyah as-syar’iyyah titik berat pembicaraannya ialah sekitar hubungan antar

negara dan orang-orang yang tercakup dalam hukum internasional.11

Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan atas wilayah udara negara

Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional,

pertahanan dan keamanan negara, sosial, budaya serta lingkungan udara. Untuk

mendukung pengaturan lalu lintas udara ini, maka dilakukan penetapan Flight

Information Region (FIR).12

Flight Information Region (FIR) disebut juga dengan “ruang udara yang

dilayani” merupakan suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya dengan suatu

pembagian wilayah udara yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan

keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negara-negara yang tergabung

dalam International Civil Aviation Organization (ICAO) dimana didalamnya

diberikan pelayanan lalu lintas/navigasi penerbangan. Yang dimaksud dengan

navigasi penerbangan adalah setiap kegiatan pemanduan terhadap pesawat terbang

dan helikopter selama beroperasi yang dilengkapi dengan fasilitas navigasi

penerbangan di dalam ruang udara yang dikuasai oleh negara Indonesia untuk

digunakan sebagi kegiatan operasi penerbangan dalam bentuk tatanan ruang udara

nasional. Sedangkan maksud dari ruang udara yang dilayani menurut ketentuan ada

dua kategori, yakni: ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya (FIR)

menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia dan ruang udara yang dilayani

berdasarkan perjanjian antara negara yang berbatasan yang ditetapkan oleh ICAO.13

Pengendalian lalu lintas udara untuk wilayah ruang udara di Indonesia

sendiri dibagi pada dua wilayah FIR, yakni FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang,

11 L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Tiara

Wacansa, 1994), hal. 1

12 Harry Purwanto, Rute Penerbangan di atas Alur Kepulauan Perspektif Indonesia,

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1, Universitas Gajah Mada, 2014, h. 10

13 Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Cetak Biru Transportasi Udara 2005-

2024 (Konsep Akhir), Ditjen Perhubungan Udara, Maret 2005, h. 111-119

Page 16: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

5

yang dibantu FIR Singapura untuk wilayah di atas Batam, Matak, dan Natuna

(sektor A, B, dan C). Untuk sektor A, Indonesia mendelegasikan tanggung jawab

pelayanan navigasi dari permukaan laut hingga ketinggian 37 ribu kaki. Di sektor

B, pendelegasian meliputi pemukaan laut hingga ketinggian tak terbatas.

Sedangkan sektor C ditetapkan sebagai wilayah abu-abu (tidak termasuk dalam

perjanjian karena masih terkait persoalan perbatasan dengan Malaysia). Di sektor

A, FIR Singapura mendapat mandat untuk mengutip jasa navigasi penerbangan sipil

(Route Air Navigation Servises atau RANS fee) atas nama pemerintah Indonesia,

untuk selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Untuk wilayah di

sektor B dan C tidak dikenai Rans Charge karena masih membutuhkan pembahasan

lebih lanjut dengan berbagai pihak.14

Jika melihat kembali masalah kedaulatan suatu negara tidak terlepas dari

tiga mata rantai yaitu aspek politik, aspek hukum, dan aspek ekonomi. Dimana

aspek politik dan aspek ekonomi yang akan selalu menonjol, sedang aspek hukum

itu sendiri tertinggal. Padahal, untuk menyongsong masa depan yang ditandai

dengan kemajuan teknologi dirgantara akan banyak berhadapan dengan masalah

hukum udara. Misalnya bisa kita lihat wilayah kedaulatan udara NRI masih ada

yang tidak memiliki kedaulatan udara yang lengkap dan eksklusif, dalam artian

wilayah tersebut berada dibawah pengaturan Flight Information Region (FIR)

Singapura.

Pada tahun 2007, tercatat bahwa pihak Singapura pernah mengusir

penerbangan pesawat sipil yang melakukan penerbangan di daerah Pulau Batam

dan Kepulauan Anambas yang dikategorikan sebagai danger area. Pada tahun

selanjutnya, Kosekhanudnas mencatat bahwa militer Singapura sudah 18 kali

melanggar batas wilayah Indonesia, dimana pelatihan militer negara Singapura di

wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna dilakukan tanpa izin dari Indonesia

karena FIR di daerah tersebut berada dibawah kontrol Singapura. Kemudian

pelanggaran yang sama kembali meningkat pada tahun 2011, sebanyak 21 kali

14 Mahfud Fahrazi, Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan Riau

dan Natuna, JH Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 26 Issue 2, Mei

2019

Page 17: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

6

kasus pelanggaran.15 Di wilayah Kepulauan Riau ini sendiri, FIR Singapura yang

sudah memegangnya selama puluhan tahun sering bertindak berlebihan (over

acting) dalam mengatur pesawat Indonesia di atas wilayah Indonesia sendiri dengan

mengatasnamakan keselamatan penerbangan (sebenarnya adalah bisnis

penerbangan) di Changi Airport untuk kepentingan Singapura sendiri. Semua

penerbang Indonesia yang sering atau yang pernah melaksanakan tugas di wilayah

ini pasti merasakan kejanggalan yang sangat tidak mengenakkan ini. Bergerak di

rumah sendiri, akan tetapi harus mendapat izin dan diatur mutlak oleh tetangganya

yang tinggal disebelah, dengan rumah yang jauh lebih kecil atau dari pavilumnya

sekalipun.16

Melihat fenomena di atas, sudah sepatutnya terbang di wilayah kedaulatan

sendiri dengan nyaman dan dihargai sesuai harkat dan martabat sebagai pemilik

yang sah dari wilayah udara tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan pernyataan-

pernyataan diatas, maka penulis menuangkan dalam bentuk penelitian skripsi yang

berjudul “Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara Terhadap Pelayanan

Navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura Perspektif Siyasah

Kharijiyyah”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik

kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait dengan Kedaulatan

negara dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam atas ruang udara terhadap

pelayanan navigasi flight information region (FIR) Singapura. Adapun identifikasi

masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut:

15 Ahmad Maulana Razzaq, Analisis Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dalam

Penanganan Pelanggaran Penerbangan di Wilayah Indonesia, (Makassar: SkripsiUniversitas

Hasanuddin, 2014), h. 59

16 Chappy Hakim, Berdaulat di Udara Membangun Citra Penerbangan Nasional, (Jakarta:

PT Kompas Media, 2010), h. 71

Page 18: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

7

a. Kedaulatan Negara Terhadap Ruang Udara

b. Pelayanan Navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura di

Indonesia

c. Kedaulatan negara dalam prespektif Siyasah Kharijiyyah

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan,

banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu dijawab. Akan tetapi, untuk

mempermudah pembahasan dan penelitian skripsi ini, perlu diadakannya

pembatasan masalah agar pembahasan dari penelitian skripsi ini hanya berfokus

untuk menjawab satu permasalahan, yaitu Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara

Terhadap Pelayanan Navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura Perpektif

Siyasah Kharijiyyah.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik

beberapa substansi rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana Kedaulatan Negara atas Ruang Udara di Indonesia ?

b. Bagaimana Pelayanan Navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura

Perspektif Siyasah Kharijiyyah ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan tambahan literatur bagi ilmu

pengetahuan khususnya hukum tata negara dalam penanganan masalah kedaulatan

negara atas ruang udara terhadap pelayanan navigasi Flight Information Region

(FIR) Singapura Perspektif Siyasah Kharijiyyah. Selain itu penelitian skripsi ini

juga bertujuan:

a. Untuk mengetahui Kedaulatan Negara atas Ruang Udara di Indonesia;

b. Untuk mengetahui Pelayanan Navigasi Flight Information Region (FIR)

Singapura Perspektif Siyasah Kharijiyyah.

Page 19: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

8

2. Manfaat Penelitian

Didalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga

mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis

pribadi, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Akademis

Penelitian skripsi ini dapat digunakan sebagai acuan bahan penelitian lebih

lanjut guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang kedaulatan negara

atas ruang udara terhadap pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR)

Singapura perspektif siyasah kharijiyyah.

b. Manfaat Teoritis

Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan kemanfaatan

secara khusus bagi pengembangan ilmu hukum tata negara dan secara umum

bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum itu sendiri.

c. Manfaat Praktis

1) Tulisan ini diharapkan sebagai pemberian pemahaman yang utuh atas

pemahaman kedaulatan negara atas ruang udara terhadap pelayanan

navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura perspektif siyasah

kharijiyyah.

2) Agar masyarakat menegetahui kedaulatan negara atas ruang udara terhadap

pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura perspektif

siyasah kharijiyyah.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Untuk membuktikan originalitas dari penelitian ini, penulis perlu untuk

melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian dan

perbedaan dari penelitian sebelumnya:

1. Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Jember pada tahun 2016 karya Miftahul Khoiriyah Al

Istiqomah dengan judul “Upaya Pengambilalihan Flight Information Region

Kawasan Kepulauan Riau Dan Natuna Oleh Indonesia Dari Singapura”.

Dalam skripsi ini, dibahas mengenai upaya yang dilakukan pemerintah

Page 20: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

9

Indonesia untuk mengambil alih FIR di kawasan Riau dan Natuna dari

Singapura.17

2. Skripsi jurusan Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2018

karya Muhammad Fitrah Zulkarnain dengan judul “Flight Information

Region (FIR) Singapura Dan Dampaknya Terhadap Kedaulatan Dan

Keamanan Indonesia”. Dalam skripsi ini, dibahas mengenai latar belakang

terbentuknya FIR Singapura dan dampak FIR Singapura terhadap keamanan

dan kedaulatan Indonesia.18

3. Skripsi jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Politik Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2016 karya Ignasius

Priyono dengan judul “Analisis Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam

Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Udara Pada Flight Information

Region (FIR) Singapura di Atas Kepulauan Riau”. Dalam skripsi ini dibahas

mengenai peluang dan tantangan serta strategi Indonesia melalui

pendekatan hukum internasional.19

4. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Kediri pada tahun 2019 karya

Mahfud Fahrazi dengan judul “Pengelolaan Flight Information Region Di

Wilayah Kepulauan Riau Dan Natuna”. Dalam Jurnal ini dibahas mengenai

dampak yang timbul dari pengelolaan FIR oleh Singapura atas wilayah

udara Kepulauan Riau dan Natuna serta upaya apa yang telah dilakukan oleh

17 Miftahul Khoiriyah Al Istiqomah, Upaya Pengambilalihan Flight Information Region

Kawasan Kepulauan Riau Dan Natuna Oleh Indonesia Dari Singapura, (Jawa Timur: Skripsi

Universitas Jember, 2016)

18 Muhammad Fitrah Zulkarnain, Flight Information Region (FIR) Singapura Dan

Dampaknya Terhadap Kedaulatan Dan Keamanan Indonesia, (Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2018)

19 Ignasius Priyono, Analisis Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam Upaya

Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Udara Pada Flight Information Region (FIR) Singapura di

Atas Kepulauan Riau, (Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2016)

Page 21: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

10

pemerintah Indonesia untuk mengambil alih pengelolaan FIR oleh

Singapura atas wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna.20

5. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya pada

tahun 2019 karya Maulidya Tiarayu Putri dengan judul “Tinjauan Yuridis

Pengelolaan Flight Information Region (FIR) Kepulauan Natuna dan Riau

Oleh Singapura Serta Pengaruh Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia”. Dalam Jurnal ini dibahas akibat hukum dari Perjanjian

Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Singapura dan

Malaysia yaitu Route Air Navigation Services (RANS I, II, dan III) yang

menyatakan tentang pengelolaan FIR wilayah udara atas Kepulauan Natuna

dan Riau dimiliki oleh Singapura dan Malaysia telah disepakati para pihak,

termasuk pemerintah Indonesia.21

Perbedaan dengan peneliti sebelumnya adalah dalam penelitian skripsi ini

akan dibahas mengenai kedaulatan negara atas ruang udara di indonesia dan

pelayanan navigasi flight information region (FIR) Singapura perspektif Siyasah

Kharijiyyah.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.22

Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menemukan jawaban terhadap suatu

20 Mahfud Fahrazi, Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan Riau

Dan Natuna, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Kediri, (2019)

21 Maulidya Tiarayu Putri, Tinjauan Yuridis Pengelolaan Flight Information Region (FIR)

Kepulauan Natuna dan Riau Oleh Singapura Serta Pengaruh Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya,

(2019)

22 Lexy J Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005),

h. 3

Page 22: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

11

fenomena atau pertanyaan melalui aplikasi prosedur ilmiah secara sistematis

dengan menggunakan pendekatan kualitatif.23

2. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

yuridis empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro Pendekatan yuridis empiris

adalah pendekatan kepustakaan yang berpedoman pada buku-buku, peraturan-

peraturan, atau literatur-literatur hukum serta bahan-bahan yang mempunyai

hubungan dengan pembahasan dalam penelitian yang hendak diteliti dan

pengambilan data langsung pada objek penelitian yang berkaitan.24 Dengan kata

lain pendekatan ini merupakan cara penelitian hukum yang menggunakan data

sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau

data lapangan.

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data, yaitu

data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya.25

Dalam penelitian ini data primer yang digunakan yaitu melalui wawancara

langsung dengan Badan atau Lembaga Negara yang bersangkutan dengan

permasalahan penelitian yang hendak diteliti untuk mendapatkan suatu informasi

yang relevan dengan permasalahan penelitian.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber

yang telah ada. Data sekunder disebut juga dengan data tersedia atau sumber

tertulis. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-

23 Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,

(Jakarta: Kencana, 2014), h. 329

24 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2001), h. 10

25 Lexy J Maleong, Metode Penelitian Kualitatif..., h. 157

Page 23: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

12

bahan pustaka yaitu buku, perundang-undangan, jurnal, majalah ilmiah, dokumen

pribadi, dokumen resmi, arsip, dan lain-lain. Data ini berguna untuk melengkapi

data primer.26

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk

memperoleh data yang diperlukan dengan pertimbangan masalah yang hendak

diteliti. Teknis pengumpulan data penelitian disesuaikan dengan permasalahan

yang diteliti sehingga memiliki persinggungan yang logis antara permasalahan dan

upaya pengejaran terhadap kebenarannya. Adapun teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara secara langsung kepada

Badan atau Lembaga Negara yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian

yang hendak diteliti. Selain itu juga melalui metode dokumentasi atau pustaka

library research yaitu dengan membaca dan mencatat dari buku-buku, peraturan

perundang-undangan, jurnal, artikel, surat kabar, majalah, internet dan lain

sebagainya.

5. Metode Analisis Data

Data dan informasi penelitian yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis

dengan menggunakan analisis kualitatif. Dalam hal ini data-data yang telah

diperoleh baik hasil wawancara maupun data pustaka dikumpulkan secara utuh,

yang kemudian dilakukan penyelesaian dan analisis secara kualitatif dengan

berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan.

Selanjutnya dilakukan penyusunan data dalam pola tertentu melalui

pengorganisasian data dengan membuat maping (pemetaan). Hal ini dilakukan guna

mencari persamaan dan perbedaan klasifikasi atau kategori (variasi) yang muncul

dari data-data yang tersedia, sehingga dapat ditentukan tema-tema.

26 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2002), h. 82

Page 24: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

13

Analogi dengan proses di atas, Koentjaraningrat menegaskan bahwa

langkah tersebut mampu memberikan deskripsi yang jelas dan akan tersusun

kedalam pola tertentu, heterogen, tema tertentu, atau pokok permaslahan tertentu.27

F. Sistematika Pembahasan

Dalam pembahasan Skripsi ini peneliti membuat sistematika pembahasan

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN yang merupakan gambaran umum isi penelitian

yang terdiri dari: latar belakang, identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, dan metodologi

penelitian, sistematika pembahasan.

BAB II KAJIAN TEORI KEDAULATAN NEGARA DAN UDARA DI

ATAS WILAYAH NEGARA berisi tentang teori kedaulatan negara, teori

kedaulatan udara “negara kolong” atas ruang udara di atas wilayah negara,

kedaulatan negara di udara, batas wilayah udara, kedaulatan atas wilayah udara, dan

Siyasah Kharijiyyah.

BAB III PERKEMBANGAN FLIGHT INFORMATION REGION

(FIR) DALAM HUKUM UDARA DI INDONESIA membahas tentang

perkembangan hukum udara di indonesia, perkembangan Flight Information

Region (FIR) dalam wilayah, dan pendelegasian Flight Information Region (FIR)

Singapura.

BAB IV PELAYANAN FIR SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH

KHARIJIYYAH berisi mengenai kedaulatan negara atas ruang udara indonesia,

Flight Information Region (FIR) perspektif hukum positif, dan analisis pelaksanaan

pelayanan Flight Information Region (FIR) Singapura perspektif siyasah

kharijiyah.

BAB V PENUTUP berisi tentang uraian kesimpulan dan saran yang sesuai

dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.

27 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia,

1993), h. 209

Page 25: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

14

BAB II

TEORI KEDAULATAN NEGARA DAN UDARA DI ATAS WILAYAH

NEGARA

A. Teori Kedaulatan Negara

Kata kedaulatan berasal dari kata sovereignty (Bahasa Inggris), sovranus

(Bahasa Italia). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari kata Latin superanus yang

berarti “yang tertinggi” (superme). Para sarjana dari abad menengah lazim

menggunakan pengertian yang serupa maknanya dengan istilah superanus itu, yaitu

summa potestas atau plenitude potestatis, yang berarti wewenang tertinggi dari

sesuatu kesatuan politik. Banyak sekali definisi untuk kata itu, tetapi istilah ini

selalu berarti otoritas pemerintahan dan hukum.1

Istilah kedaulatan sendiri dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari definisi

kata “daulat” adalah berasal dari Bahasa Arab yang berasal dari akar kata daulat

atau duulatan yang dalam makna klasiknya berarti pergantian atau peredaran.

Bahkan di dalam Al-Qur’an sendiri kata ini dipergunakan pada dua tempat, yaitu

pada ayat 140 surat Ali Imran dengan menggunakan kata kerja nudawiliha (kami

pertukarkan atau kami gantikan) dan ayat 7 surat Al-Hasyr dengan kata kerja

dulatan (beredar). Kalua pada ayat pertama terkandung muatan yang berkonotasi

politik, dimana di dalamnya memperlihatkan adanya pergantian kekuasaan, maka

pada ayat kedua lebih berkonotasi ekonomi, dimana Islam menginginkan adanya

perputaran roda ekonomi secara merata di antara kalangan masyarakat, tanpa

adanya monopoli oleh kelompok pemegang modal yang besar terhadap pemilik

modal yang kecil atau lebih.2

Selain pengertian yang bersifat doktrinal normatif seperti ini, istilah daulat

juga digunakan secara historis untuk pengertian “dinasti” atau kurun waktu

kekuasaan. Dengan pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian

kedaulatan itu dalam makna klasiknya berkaitan dengan gagasan mengenai

1 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 169

2 Hatamar Rasyid, Pengantar Ilmu Politik: Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2017), h. 168

Page 26: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

15

kekuasaan tertinggi yang di dalamnya sekaligus terkandung dimensi waktu dan

proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifat alamiah.3

Pada abad ke-15 barulah kata kedaulatan itu tampil sebagai istilah politik

yang banyak dipergunakan terutama oleh para sarjana Prancis. Para sarjana Prancis

inilah yang kemudian mempopularisasi pemakaian kata kedaulatan (souvereinete).

Menurut Prof. Garner, Beaumanoir, dan Loyseau sebagai sarjana hukum yang

pertama kali menggunakan kata itu dalam abad ke-15.4

Jean Bodin ketika menulis buku tentang negara juga telah menggunakan

kata kedaulatan itu dalam hubungannya dengan negara, yakni sebagai ciri negara,

seperti atribut negara yang membedakan negara dari persekutuan-persekutuan

lainnya. Ia memandang kedaulatan kedaulatan dari aspek internnya., yaitu sebagai

kekuasaan tertinggi dalam sesuatu kesatuan politik. Sedangkan pengertian

kedaulatan ditinjau dari aspek eksternnya, yaitu aspek mengenai hubungan antara

negara, untuk pertama kali dipergunakan oleh Grotius yang lazim yang lazim

dianggap sebagai bapak hukum internasional.5

Bagi Bodin kedaulatan dipersonofikasi oleh raja. Raja yang berdaulat itu

tidak bertanggungjawab terhadap sipapun kecuali kepada Tuhan. Raja adalah

legibus Solutus. Raja adalah bayangan Tuhan. Kedaulatan sebagai “Summa in civics

ac sabditos legibusque solute potestes”, yang berarti kekuasaan supra dan negara

atas warga negara dan rakyatnya, yang tidak dibatasi hukum.6 Namun kedaulatan

menurut paham Bodin juga tidak mutlak semutlak-mutlaknya. Raja harus

menghormati ius naturale et gentium (hukum kodrat dan hukum anatar bangsa) dan

hukum konstitusional dari kerajaan, yakni leges imperii, misalnya hukum Salis

3 Hatamar Rasyid, Pengantar Ilmu Politik: Perspektif Barat dan Islam…, h. 169

4 Ni’matul Huda, Ilmu Negara..., h. 169

5 Ni’matul Huda, Ilmu Negara..., h. h. 170

6 Abu A’la Almaududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan,

1990), h. 237

Page 27: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

16

tentang pergantian raja. Dengan ajaran kedaulatan seperti diuraikan di atas Bodin

meletakkan dasar filosofis daripada pengertian kedaulatan yang mutlak.

Ajaran kedaulatan yang mutlak dari Bodin diterima juga seorang absolutis

lainnya, yaitu Thomas Hobbes. Dalam ajaran Hobbes kedaulatan mencapai

derajatnya yang paling mutlak. Bagi Hobbes, adagium “Princeps legibus solutus

est” betul-betul menunjukkan keadaan raja di zamannya, raja berada di atas undang-

undang. Hobbes melanjutkan secara konsekuen teori Bodin dengan mengemukakan

bahwa para individu yang hidup dalam keadaan alamiah mereka kepada seorang

atau sekumpulan orang. Hobbes sendiri mengutamakan penyerahan itu kepada satu

orang yaitu raja. Penyerahan ini adalah mutlak. Sehingga orang yang menerimanya

berdaulat mutlak pula.7

Ajaran Bodin dan Hobbes kemudian dilanjutkan oleh Jhon Austin di

Inggris. Bagi Austin yang berdaulat adalah “legibus soluta”. Yang berdaulat adalah

“pembentuk hukum yang tertinggi” (supreme legislator) dan hukum positif adalah

hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu. Karena itu sebagai konsekuensinya,

yang berdaulat berada di atas hukum yang merupakan hasil ciptaannya sendiri.

Konsep kedaulatan tradisional itu memiliki beberapa ciri tertentu. Ciri itu

ialah kelanggengan (permanence), sifat tidak dapat dipisah-pisahkan (indisible),

sifatnya sebagai kekuasaan tertinggi (supreme), tidak terbatas dan lengkap

(complete). Dengan kelanggengan dimaksudkan sifat kedaulatan yang abadi yang

dimiliki negara selama negara itu masih ada. Sifat tidak dapat dipisah-pisahkan

menunjukkakan keadaan kedaulatan sebagai pengertian yang bulat dan tunggal.

Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi

dalam setiap negara. Kedaulatan tidak mengizinkan adanya saingan. Kedaulatan

tidak mengenal batas, karena membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang

lebih tinggi. Kedaulatan itu lengkap, sempurna, karena tiada manusia dan organisasi

yang diperkecualikan dari kekuasaan yang berdaulat.8

7 Ni’matul Huda, Ilmu Negara..., h. 170-171

8 Ni’matul Huda, Ilmu Negara..., h. 171

Page 28: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

17

Penganut teori kedaulatan negara Jean Bodin dan Georg Jellinek

menyatakan bahwa kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan, seperti yang dikatakan

oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada

negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk

kepada negara. Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan

peraturan-peraturan hukum, hadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada

satu hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.9

Perlu diperhatikan pada hakikatnya teori kedaulatan negara itu atau Staats-

souvereiniteit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara,

entah kekuasaan itu sifatnya absolut, entah sifatnya terbatas, dan ini harus

dibedakan dengan pengertian ajaran Staats-absolutisme. Karena dalam ajaran

Staats-souvereiniteit itu pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan

tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi ini mungkin bersifat absolut tetapi

mungkin juga bersifat terbatas. Sedang dalam ajaran Staats-absolutisme dikatakan

bahwa kekuasaan negara itu sifatnya absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat

terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan

masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagi mempunyai

kepribadian.10

Menurut Georg Jellinek yang menciptakan hukum bukan Tuhan dan bukan

pula Raja, tetapi negara. Adanya hukum karena adanya negara. Jellinek mengatakan

bahwa hukum merupakan penjelmaan daripada kemauan negara. Negara adalah

satu-satunya sumber hukum. Oleh sebab itu kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh

negara.11 Diluar negara tidak ada satu orangpun yang berwenang menetapkan

hukum.

Menurut Jean Bodin terkait hukum adat kebiasaan, yaitu hukum tidak

tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara tetapi yang nyata berlaku

di masyarakat, tidak merupakan hukum. Sedangkan menurut Jellinek adat

9 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), h. 154

10 Soehino, Ilmu Negara…, h. 154

11 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 71

Page 29: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

18

kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan oleh negara

sebagai hukum.12

Teori kedaulatan negara juga lahir sebagai reaksi atas kedaulatan rakyat,

namun melangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat.

Menurut paham ini, negaralah sumber dalam negara. Berdasarkan asumsi tersebut,

negara dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty, dan

property dari warganya. Warga negara beserta hak miliknya tersebut dapat

dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara. Mereka taat pada hukum, bukan

karena suatu perjanjian, melainkan karena kehendak negara.

Hal ini terutama diajarkan oleh paham Deutsche Publizisten Schule yang

memberikan kontruksi pada kekuasaan raja Jerman yang mutlak, pada suasana teori

kedaulatan rakyat. Kuatnya kedudukan raja karena mendapatkan dukungan yang

besar dari tiga golongan, yaitu sebagai berikut:

1. Angkatan Perang (armee)

2. Golongan Industrial (junkertum)

3. Golongan Birokrasi (staf pegawai negara)

Dengan demikian, secara praktis dalam teori kedaulatan negara sebagaiman

yang telah dijelaskan di atas, rakyat tidak mempunyai kewenangan apa-apa dan

tidak memiliki kedaulatan. Wewenang tertinggi berada pada negara.13

B. Teori Kedaulatan Udara “Negara Kolong” atas Ruang Udara di atas

Wilayah Negara

1. Teori Kedaulatan Negara di Ruang Udara

Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat

utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum

internasional yang mengatur ruang udara. Ini dinyatakan dalam pasal 1 Konvensi

Chocago 1944 tentang penerbangan sipil internasional.

12 Soehino, Ilmu Negara…, h. 155

13 Jazim Hamidi, Mohamad Sinal, dkk, Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point Of The

State, (Jakarta: Salemba HUmanika, 2012), h. 6

Page 30: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

19

Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh dari negara di ruang udara

nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan negara di laut

wilayahnya. Karena sifatnya yang demikian maka di ruang udara nasional tidak

dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat di laut territorial suatu negara.

Sifat tertutup ruang udara nasional dapat dipahami mengingat udara sebagai media

gerak amatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan negara kolong.14

Pelanggaran wilayah udara adalah suatu keadaan, di mana pesawat terbang

suatu negara sipil atau militer memasuki wilayah udara negara lain tanpa izin

sebelumnya dari negara yang memasukinya. Hal ini berarti pada dasarnya wilayah

udara suatu negara adalah tertutup bagi pesawat-pesawat negara lain. Penggunaan

dan control atas wilayah udaranya tersebut hanya menjadi hak yang utuh dan penuh

dari negara kolongnya.

2. Teori-teori Jarak/Batas Ketinggian Kedaulatan Negara atas Ruang

Udara

a. Penggolongan/Klasifikasi Umum (Makro)

1) Kedaulatan sampai ketinggian tidak terbatas.

2) Kedaulatan sampai ketinggian tidak terbatas, tetapi dibatasi oleh kewajiban

memberi “hak lintas damai” kepada pesawat udara negara lain.

3) Kedaulatan sampai jarak atau batas ketinggian tertentu.

4) Bahwa ruang udara adalah bebas, tetapi negara kolong (subjacent state)

boleh menetapkan pembatasan tertentu ruang udara di atas wilayah

teritorialnya atau menetapkan jalur-jalur tertentu yang boleh dan yang tidak

boleh dilintasi (untuk kepentingfan keamanan, sanitasi/kesehatan,

pelestarian lingkungan, dan lain sebagainya).

b. Penggolongan Klasifikasi Spesifik

1) Kedaulatan di ruang udara di atas wilayah negara sepenuhnya berlaku

sampai ketinggian tidak terbatas. Konvensi Paris (1919) berlaku sampai

Konvensi Chicago (1944), masing-masing pada Pasla 1, bias kita simpulkan

menyatakan berlakunya kedaulatan atas ruang udara sampai ketinggian

tidak terbatas ini.

14 T. May Rudy, Hukum Internasional II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 32

Page 31: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

20

2) Kedaulatan pada prinsipnya sampai ketinggian tidak terbatas, tetapi dalam

masa damai harus mengijinkan lalu lintas pesawat-pesawat asing (hak lintas

damai) ruang udara di atas wilayahnya.

3) Sampai ketinggian yang masih ada gaya-tarik (gravitasi) bumi.

4) Kedaulatan di ruang udara terbatas sampai ketinggian pilot/penerbang

masih mampu menerbangkan pesawat udara tanpa menggunakan peralatan

khusu (pakaian khusus, masker, tabung oksigen, dan lain sebagainya).

5) Sampai ketinggian terbang yang bias dicapai oleh pesawat tempur

(ketinggian bias berubah/mengikat selaras dengan perkembangan/

kemajuan teknologi penerbangan).

6) Sampai ketinggian yang bias di deteksi oleh radar di darat.

7) Sampai ketinggian tertentu yang dihitung berdasar jarak dan jangkauan

tembakan artileri dari darat ke udara.

8) Sampai ketinggian pegunungan tertinggi di negara yang bersangkutan.

9) Sampai ketinggian bangunan yang paling tinggi di negara gtersebut.

10) Bahwa ruang udara bebas untuk lalu lintas pesawat udara negara lain, tetapi

boleh diadakan zona larangan terbang di atas area-area dan/atau lokasi-

lokasi tertentu pada wilayah negara kolong yang bersangkutan.

11) Bahwa berkedsulatan di ruang udara tidak tegak lurus di atas wilayah

territorial (daratan dan lautan/perairan), tetapi melebar ke atas, berbentuk

cerobong asap, Karena permukaan bumi adalah bilat dan bukan datar.

12) Ada pula pakar-pakar di masa lampau yang menetapkan batas ketinggian

tertentu berdasar kriteria subjektif (pemikiran sendiri), misalnya ketinggian

1000 m, 60 km, atau 300 km di atas permukaan bumi.15

C. Kedaulatan Negara Di Udara

Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi

(supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-

luasnya, baik ke dalam maupun ke luar, namun demikian tetap harus memerhatikan

15 T. May Rudy, Hukum Internasional II…, h. 33-34

Page 32: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

21

hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya.

Indonesia sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara, bentuk

pemerintahan, organisasi kekuasaan ke dalam maupun ke luar, mengatur hubungan

dengan warganegaranya, mengatur penggunaan public domain, membuat undang-

undang dasar beserta peraturan pelaksanaannya, mengatur politik ke luar negeri

maupun dalam negeri, mengadakan hubungan internasional dengan negara lain,

melindungi warganegara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga

negara asing yang ada di wilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan

(stateless), mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan

pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan, maupun kegiatan sosial lainnya.

Menurut Konverensi Montevedeo Tahun 1933, negara berdaulat harus

memenuhi unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat

mengadakan hubungan internasional, mempunyai wilayah darat, laut, maupun

udara, walaupun persyaratan wilayah tidak merupakan persyaratan mutlak untuk

berdaulat. Negara berdaulat melaksanakan prinsip jurisdiksi territorial (territorial

jurisdiction principle) di samping prinsip-prinsip yurisdiksi lainnya.16

Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus

mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, laut, maupun udara,

namun demikian bukan berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab

dapat ditemukan di berbagai konvensi internasional memuat pengaturan wilayah

kedaulatan seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944, Konvensi

Montevedeo 1933, Piagam PBB (UN Charter), Konvensi Havana 1928, Konvensi

Jenewa 1958, Konvensi PBB 1982 (UNCLOS), dan Konvensi Wina 1961, dan lain-

lain.

Wilayah kedaulatan suatu negara dapat diperoleh karena penguasaan

(occupation), aneksisasi, pertumbuhan (accrestion), Cessie, kedaluwarsa, dan

perang. Perolehan wilayah karena penguasaan seperti Eastern Greenland yang

disengketakan oleh Denmark dan Swedia, Pulau Palmas yang disengketakan antara

Amerika Serikat dengan Belanda, Pulau Ligitan dan Sipadan yang disengketakan

16 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law), (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 253-254

Page 33: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

22

antara Indonesia dengan Malaysia, sedangkan erolehan karena aneksisasi misalnya

Kuwait diserbu dan diduduki oleh Irak kemudian dijadikan provinsi ke-19, Korea

Utara diduduki Jepang pada 1910. Perolehan wilayah karena pertumbuhan

(accrestion) berdasarkan teori hukum Romawi yang gterjadi secara alamiah,

sedsangkan perolehan wilayah karena cessie misalnya Alaskan yang diberikan oleh

Uni Soviet kepada Amerika Serikat, Lotharingen diberikan oleh Prancis kepada

Jerman. Wilayah Kedaulatan Republik Indonesia diperoleh karena perang

kemerdekaan Indonesia dengan Belanda.17

D. Batas Wilayah Udara

Batas wilayah udara dibagi menjadi dua, yaitu batas wilayah udara secara

horizontal dan batas wilayah udara secara vertikal. Adapun mengenai

penjelasannya sebagai berikut:

1. Batas Wilayah Udara Secara Horizontal

Batas wilayah udara secara horizontal mengacu pada Pasal 2 Konvensi

Chicago 1944, yaitu di atas laut territorial sampai ketinggian tidak terbatas

sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Internasional (Permanent Court of

International Justice) serta mengingat posisi Indonesia di Khatulistiwa dan salaj

satu peserta Deklarasi Bogota 1976.18

2. Batas Wilayah Udara Secara Vertikal

Di dalam dunia penerbangan di samping wilayah udara berdasarkan

kedaulatan (sovereignty) juga dikenal adanya wilayah penerbangan untuk

keperluan operasi penerbangan. Wilayah penerbagan di Indonesia terdiri atas Flight

Information Region (FIR), Upper Information Region (UIR), dan lain-lain. Wilayah

udara ditetapkan berdasarkan pertimbangan keamanan nasional (national

sovereignty) sedangkan wilayah penerbangan berdasarkan pertimbangan

keselamatan penerbangan (safety consideration) yang disepakati secara

17 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law)..., h. 254-255

18 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law)…, h. 257-258

Page 34: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

23

internasional berdasarkan keputusan Regional Air Navigation (RAN) Meeting di

Bnagkok setiap sepuluh tahun sekali, di mana Indonesia ikut menentukan, karena

itu kadang-kadang dapat terjadi wilayah kedaulatan udara tidak sejalan dengan

wilayah penerbangan.19

Di Indonesia wilayah udara diatur dalam Bab IV dari Pasal 5 sampai dengan

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.20 Menurut bab tersebut, Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara

Republik Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan di wilayah udara

Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan

tanggungjawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan,

perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta

lingkungan udara. Pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas,

pesawat udara Indonesia maupun pesawat udara asing dilarang terbang melalui

kawasan udara terlarang tersebut, namun larangan tersebut dapat bersifat permanen

dan menyeluruh. Di samping itu, ada kawasan wilayah udara yang hanya dapat

digunakan oleh pesawat udara negara (state aircraft).

Pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan Negara Republik

Indonesia tersebut diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah

tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan. Personel pemandu lalu

lintas penerbangan wajib menginformasikan pesawat udara yang melanggar

wilayah kedulatan dan kawasan udara terlarang dan terbatas kepada apparat yang

tugas dan tanggungjawabnya di bidang pertahanan negara. Dalam hal peringatan

dan perintah tidak ditaati, dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara

untuk ke luar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau kawasan udara

terlarang dan terbatas atau untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara

tertentu di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Personel pesawat udara,

19 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law)…, h. 258

20 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoneisa Nomor 4956.

Page 35: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

24

pesawat udara, dan seluruh muatannya yang melanggar kawasan udara terlarang

diperiksa dan disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak ada pengaturan batas

wilayah udara secara vertical, karena itu dalam praktiknya mengikuti hukum

kebiasaan internasional sebagaimana dijelaskan di atas. Berdasarkan praktik hukum

kebiasaan internasional tersebut, maka kedaulatan Republik Indonesia secara

vertical juga tergantung pada kemampuan Indonesia mempertahankan kedaulatan

di udara.21

E. Kedaulatan Atas Wilayah Udara

Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan

suatu negara berdaulat yang digunakan untuk melakukan penerbangan, mulai

dibahas secara resmi dalam konferensi Paris 1910 yang berlangsung dari 10 Mei

dan berakhir 29 Juni 1910. Latar belakang Konferensi Paris 1910 adalah kenyataan

banyaknya penerbangan yang berlangsung di Eropa, tanpa memerhatikan

kedaulatan negara di bawahnya (negara kolong), karena pada saat itu belum ada

peraturannya. Balon bebas tinggal landas dari satu negara dan mendarat di negara

lain tanpa adanya izin dari negara yang bersangkutan akan membahayakan, apalagi

pesawat udara dapat digunakan untuk mengangkut militer, mata-mata yang dapat

mengancam keamanan nasional negara di bawahnya.

Von Zepplin melakukan penerbangan berangkat dari negaranya di Jerman

menuju Swiss tanpa memperoleh izin lebih dahulu. Demikian pula penerbangan

(aviator) Bleriot pada 1909 tinggal landas dengan pesawat melintasi kanal Inggris

dari Prancis ke Inggris Raya (Great Britian) tanpa menemui kesulitan. Antara bulan

April dan November 1908 paling sedikit terdapat dua puluh lima penerbang

(aviator) anggota angkatan perang yang diangkut dengan balon udara Jerman

melintasi perbatasan Prancis. Sebelumnya, pada November 1906, pemerintah

disamping Prancis membahas masalah penerbangan yang dianggap membahayakan

pertahanan keamanan nasional, disamping itu pemerintah Prancis juga berpendapat

21 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law)…, h. 259-260

Page 36: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

25

bahwa penerbangan Internasional dapat dimanfaatkan untuk komersial, walaupun

para penerbang Jerman tersebut di atas dapat diterima oleh pejabat pemerintah

daerah tempat melakukan pendaratan di Prancis yang kadang-kadang juga terjadi

insiden. Duta besar pPerancis yang berada di Berlin memperingatkan pemerintah

Jerman bahayanya pelanggaran wilayah yang melintas perbatasan Prancis.

Pemerintah Jerman berjanji untuk segera mengambil langkah-langka pencegahan

terhadap penerbangan balon yang ke luar dari perbatasan Jerman. 22

Disusul pada Desember 1908, pemerintah Prancis menyampaikan undangan

Konferensi kepada negara-negara di Eropa untuk menghadiri Konferensi

diplomatik yang akan meletakkan dasar hukum pengaturan penerbangan

internasional. Konferensi tersebut terbatas pada negara-negara Eropa. Amerika

Serikat tidak diundang karena Amerika Serikat dianggap di luar Eropa yang tidak

mempunyai kepentingan penerbangan internasional di Eropa. Sementara itu,

pemerintah Prancis mengambi langkah-langkah pengaturan yang membatasi

pendaratan balon yang terus berlangsung sampai 1909. Tindakan yang sangat

penting tersebut dikeluarkan oleh Clemenceau karena banyaknya pendaratan balon-

balon asing di Prancis, sungguh-sungguh (serious) memprihatinkan. Pemerintah

daerah di Prancis di instruksikan untuk menahan balon-balon tersebut dan

menginterogasi maksud dan tujuan penerbangan dan sekaligus untuk menghimpun

bea masuk. Instruksi yang dikeluarkan oleh Presiden Prancis tersebut mewajibkan

para penerbang (aviator) membayar bea masuk, mewajibkan para pejabat daerah

menjelaskan maksud dan tujuan penerbangan dan secepatnya melaporkan ke

pemerintah pusat Prancis, bilamana ada pesawat udara yang memasuki wilayah di

daerah Prancis.23

22 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law)…, h. 11

23 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law)…, h. 12

Page 37: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

26

F. Siyasah Kharijiyyah

Dalam ketatanegaraan Islam (siyasah) terkait dengan hubungan antar

negara dibahas dalam siyasah dauliyah. Istilah siyasah dauliyah merupakan ilmu

yang mengatur kewenangan suatu negara untuk mengatur hubungannya dengan

negara lain (antarnegara). Siyasah dauliyah memiliki beberapa tema kajian dalam

ruang lingkupnya, salah satu tema kajiannya adalah tentang hubungan internasional

atau disebut dengan siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah.24 Dimana dalam siyasah

kharijiyyah as-syar’iyyah titik berat pembicaraannya ialah sekitar hubungan antar

negara dan orang-orang yang tercakup dalam hukum internasional.25

Dalam hal ini, perjanjian disebut dengan istilah al-mu’ahadah. Menurut

bahasa perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau kelompok. akan tetapi

dalam siyasah dauliyah yang dimaksud dengan perjanjian adalah perjanjian antar

negara. Kesepakatan yang ditandatangani oleh dua negara atau dua kelompok

negara inilah yang dinamakan dengan perjanjian Internasional yang selanjutnya

disebut dengan siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah.26

Adapun kejadian penting yang menjadi dasar konsep dan teori hubungan

internasional di kalangan para ahli tata negara Islam adalah perjanjian Hudaibiyah

antara pemerintahan Muhammad di Madinah dan kekuasaan Quraisy di Makkah.

Perjanjian tersebut diangkat oleh para ahli hukum tata negara Islam sebagai konsep

hubungan internasional dalam bentuk genjatan senjata. Berdasarkan perjanjian

Hudaibiyah dirumuskan sejumlah dasar, asas, dan teknis praktis hubungan

internasional Islam.27

Siyasah kharijiyyah yang telah dijelaskan di atas bukan harga mati yang tak

dapat ditawar-tawar. Siyasah kharijiyyah dapat berbeda-beda antara satu negara

24 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah), (Bandung:

Pustaka Setia, 2015), h. 15

25 L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Tiara

Wacansa, 1994), hal. 1

26 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah)..., h. 51-52

27 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah)..., h. 13

Page 38: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

27

Islam dengan negara Islam lainnya dan dapat berkembang seiring dengan

perkembangan zaman. Faktor-faktor lain yang memungkinkan adanya perbedaan

dan perkembangan siyasah kharijiyyah yaitu perbedaaan orientasi politik, latar

belakang budaya, tingkat pendidikan, dan sejarah perkebangan Islam itu sendiri di

negara masing-masing.28 Dalam arti kata tidak ada aturan baku yang mengatur

ruang lingkup dari siyasah kharijiyyah.

28 Ridwan, Fiqh Politik Gagasan Harapan Dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press,

2007), h. 82

Page 39: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

28

BAB III

PERKEMBANGAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) DALAM

HUKUM UDARA DI INDONESIA

A. Perkembangan Hukum Udara Di Indonesia

1. Pengertian Hukum Udara

Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai pengertian

hukum udara (air law). Mereka kadang-kadang menggunakan istilah hukum udara

(air law) atau hukum penerbangan (aviation law) atau hukum navigasi udara (air

navigation law) atau hukum transportasi udara (air transportation law) atau hukum

penerbangan (aerial law) atau hukum aeronautika penerbangan (aeronautical law)

atau udara-aeronautikada penerbangan (air-aeronautical law) saling bergantian

tanpa membedakan satu terhadap yang lain. Istilah-istilah aviation law atau air

navigation law atau air transportation law atau aerial law atau aeronautical law

atau air-aeronautical law pengertiannya lebih sempit dibandingkan denagn air

law.1

Kadang-kadang menggunakan istilah aeronautical law terutama dari

Bahasa Romawi. Dalam bukunya, Nicolas Matteesco Matte menggunakan istilah

air-aeronautical law, sedangkan dalam praktik pada umumnya menggunakan

istilah air law, tetapi dalam hal-hal tertentu menggunakan aviation law. Pengertian

air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi, administrasi,

perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkutan, manajemen, dan lain-

lain. Verschoor memberi definisi hukum udara (air law) adalah hukum dan regulasi

yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan,

kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia.2

1 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law), (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 3

2 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public

International and National Air Law…, h. 4

Page 40: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

29

2. Sejarah Perkembangan Ruang Udara

Batas wilayah negara terutama terhadap ruang udaranya, sejak zaman

dahulu telah menjadi suatu masalah yang selalu dipersoalkan, hal tersebut dapat

dilihat pada sebuah dalil hukum Romawi yang berbunyi: “Cujus est solumn, ejus

est usque ad coelom” yang berarti barang siapa yang memiliki sebidang tanah

dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan

tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada si dalam tanah.3

Berbagai macam pendapat dikemukakan oleh para ahli terhadap keberadaan

ruang udara suatu negara, namun tidak tercapai suatu kata sepakat dalam

menentukan batas ruang udara tersebut. Belum adanya kesepakatan pendapat

diantara para ahali dalam menentukan batas-batas terhadap ruang udara suatu

negara menimbulkan banyak teori mengenai status ruang udara. Ada yang

berpendapat bahwa ruang udara adalah bebas dan ada juga pendapat sebaliknya

bahwa ruang udara tidak bebas. Salah satu pendapat bahwa ruang udara adalah

bebas dikemukakan oleh Paul Fuchille dari Perancis, yang menyatakan bahwa

ruang udara suatu negara adalah bebas, siapapun berhak yterbang diatasnya tanpa

dibatasi, kalaupun dibatasi negara tersebut hanya berhak membatasi bagian bawah,

sedangkan bagian atas bebas sebagaimana berlaku dalam hukum laut. Namun

pendapat ini ditentang oleh Westlake dari Inggris yang menyatakan bahwa ruang

udara itu tidak bebas, seorang pemilik tanah berhak memiliki apa saja di atas tanah

tersebut, dan sebagai negara berdaulat, negara mempunyai kedaulatan mutlak dan

penuh atas ruang udara di atasnya dan berhak mengatur segala sesuatu di ruang

udara termasuk penerbangan.4

Dari pendapat para ahli tersebut pada akhirnya menghasilkan dua kelompok.

Kelompok pertama, menyatakan bahwa udara itu sifatnya bebas yang disebut

dengan kelompok penganut teori ruang udara bebas (The Air Freedom Theory).

Sedangkan kelompok kedua, menyatakan bahwa negara berdaulat atas ruang

3 Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, (Jakarta: Pusat Penelitian

Hukum Angkasa, 1972), h. 49

4 K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, (Bandung: Alumni,

1987), h. 52

Page 41: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

30

udaran di atas wilayah negara yang disebut dengan kelompok penganut teori

kedaulatan di udara (The Air Sovereignty Theory). Pada perkembangan selanjutnya

terhadap kedua kelompok tersebut terbagi-bagi lagi dalam beberapa kelompok.5

Kelompok pertama yakni kelompok The Air Freedom Theory yang terbagi menjadi:

a. Kebebasan ruang udara tanpa batas;

b. Kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak-hak khusus negara

kolong (subjacent state)

c. Kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah territorial di

daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.

Sedangkan kelompok kedua yakni kelompok The Air Sovereignty Theory

terbagi menjadi:

a. Negara kolong (subjacent state) berdaulat penuh hanya terhadap suatu

ketinggian tertentu di ruang udara;

b. Negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak lintas damai

(freedom of innocent passage), bagi navigasi pesawat udara asing;

c. Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas (up to the sky, ad infinitum).

Kedua kelompok tersebut terus menerus mempertahankan pendapat

kelompoknya masing-masing. Sampai Perang Dunia I, dalam rangka kepentingan

hidup bersama dketertiban internasional, maka seiring dengan dicanangkannya

konvensi Perdamaian Versaille 1919 juga telah dibuat perjanjian internasional

mengenai penerbangan, yaitu Convention Relating to the Regulation of aerial

navigation, Paris 13 Oktober 1919 (Konvensi Paris 1919) yang khusus mengatur

tentang tata cara, status, ruang udara dunia, dengan protocol, Paris, 1 Mei 1920.

Konvensi ini diperbaharui dengan Protokol Paris, 15 Juni 1929, dan terakhir diganti

oleh Convention on Interntional Civil Aviation, Chicago, 7 Desember 1944

(Konvensi Chicago 1944).6 Hal yang utama dalam keseluruhan konvensi itu adalah

5 Priyatna Abdurrasyid, Mata Rantai Pembangunan Ilmu Teknologi dan Hukum

Kedirgantaraan Nasional Indonesia, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan

Arbitrase Nasional Indonesia, TNI AU dan Air Power Center of Indonesia, 2011), h. 15

6 Priyatna Abdurrasyid, Mata Rantai Pembangunan Ilmu Teknologi dan Hukum

Kedirgantaraan Nasional Indonesia…, h. 16

Page 42: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

31

adanya pengakuan terhadap Teori Kedaulatan, yaitu tentang pengaturan bahwa

setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara

di atas wilayahnya.

3. Sejarah Perkembangan Hukum Udara Indonesia

Dalam perkembangannya hukum udara mengalami beberapa fase, yaitu:

a. Sebelum tahun 1910

Perkembangan baru Maxim, menurutnya hukum udara adalah hanya

sebatas/terbatas pada ruang udara dengan ketinggian tertentu, selebihnya adalah

bebas.

Contoh kasus:

Perusahaan kabel telepon memasang kabel telepon di tanah milik seseorang.

Pemilik tanah melarang perusahaan tersebut memasang kabet tersebut. Dengan

alasan prinsip sudah berubah, maka pengadilan tidak mengabulkan tuntutan pemilik

tanah tersebut.

Sebelum tahun 1910, prinsip tersebut digunakan untuk suatu negara, bahwa

negara memiliki ruang atau udara di atas wilayahnya tanpa batas. Akan tetapi

permasalahannya adalah tidak jelasnya penentuan batas tersebut.7

b. Sesudah tahun 1919

Pada tahun 1919 adanya Konverensi Paris 1919, menurut konverensi ini,

setiap negara diakui memiliki kedaulatan terhadap ruang udaranya atau terhadap

ruang udara di atas wilayahnya. Konverensi Paris ini tidak berlaku karena beberapa

negara kuat tidak meratifikasinya dan jumlah negara yang meratifikasi tidak

memenuhi syarat. Tetapi walau bagaimnana pun konvensi ini tetap merupakan cikal

bakal hukum udara.

The Chicago Convention on International Civil Aviation 1944, merupakan

lanjutan dari Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago ini merupakan:

1) Perjanjian yang menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara

negara-negara peserta;

2) Konstitusi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.8

7 T. May Rudy, Hukum Internasional II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 25

Page 43: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

32

B. Perkembangan Flight Information Region (FIR) Dalam Wilayah Udara

Di Indonesia

1. Sejarah Flight Information Region (FIR)

Terbentuknya FIR tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan

penerbangan karena FIR merupakan bagian dari pengaturan penerbangan dan

masalah penerbangan tidak terbatas pada satu negara, dalam arti bahwa dunia

penerbangan akan selalu bersinggungan antara satu negara dengan negara lain,

sehingga untuk tercapai keselamatan dalam penerbangan perlu adanya pengaturan

terhadap lalu lintas atau navigasi penerbangan, dan hal itu berlaku secara

internasional.9

Perkembangan dari dunia penerbangan diawali pada tahun 1784 Lenoir,

seorang pembesar Polisi dari Paris, melarang penerbangan dengan balon udara

tanpa izin. Selanjutnya mengenai keselamatan penerbangan, pada tahun 1819

Count de Angles, Kepala polisi wilayah Seine, mengharuskan balon udara

dilengkapi dengan parasut dan melarang percobaan-percobaan dengan balon udara

selama musim panen.10 Dunia penerbangan semakin berkembang pesat, yaitu sejak

tanggal 17 Desember 1903 di Bukit Kill Devils, di kota Kitty Hawk, Negara

Bagian North Caroline, Amerika Serikat, pertama kali manusia berhasil terbang

dengan wahana bermotor yang lebih berat dari udara (Heavier than air powered

flight), tepatnya setelah Orville Wright berhasil mengangkasa dengan pesawat

udara yang ia rancang bersama saudaranya Wilbur Wright dengan nama “Flyer 01”,

selama 12 detik dengan ketinggian kurang lebih satu meter diatas tanah dan

menempuh jarak 36 meter.11

8 T. May Rudy, Hukum Internasional II..., h. 26

9 Priyatna Abdurrasyid, Mata Rantai Pembangunan Ilmu-Teknologi Dan Kedirgantaraan

Nasional Indonesia…, h. 23

10 E. Suherman, Hukum Udara Indonesia & Internasional, (Bandung: Alumni, 1983), h.

104

11 DEPANRI. Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua: Flight Information

Region. (Jakarta: Dewan Penerbangan dan Antariksa Penerbangan Republik Indonesia, 2003), h. 1

Page 44: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

33

Sejak kejadian yang bersejarah tersebut, maka pada tahun 1910 telah

dipikirkan masalah-masalah penggunaan pesawat udara yang meliputi masalah

hukum dan masalah teknik maupun operasional seperti keselamatan penerbangan,

hubungan radio, pendaftaran pesawat udara, kelaikan, sertifikat baik untuk awak

pesawat udara maupun mesin pesawat udara, daerah terlarang, statistik, tukar

menukar informasi teknik penerbangan, ijin penerbangan, larangan membawa

bahan-bahan yang berbahaya, peralatan-peralatan radio, foto dan lain- lain.12

Konferensi tersebut diadakan di Paris yang juga mencatat bahwa negara

kolong (subjacent states) dibenarkan untuk membentuk zona- zona udara larangan

di atas wilayah negara yang melarang penerbangan internasional, mengakui

cabotage dan juga menetapkan pembentukan perusahaan penerbangan internasional

yang tergantung dari negara-negara terkait. Ketentuan-ketentuan tentang masalah

penerbangan tersebut lalu dibahas pada berbagai konvensi internasional tentang

penerbangan, seperti pada Konvensi Paris 1919 yang sangat mempengaruhi

pembentukan Konvensi Chicago 1944.13

Pada perkembangan selanjutnya, pembentukan FIR tidak dapat dilepaskan

juga dari sejarah pembentukan awalnya yang berasal dari pengendalian lalu lintas

udara atau Air Traffic Control (ATC). Hal ini dikemukakan oleh Kresno dalam

tulisannya mengenai Flight Information Region sebagai berikut:14

a. Pada tahun 1929, Archie W. League, seorang warganegara Amerika,

mendorongkan gerobaknya ke lapangan terbang Lambert di St. Louis City.

Gerobaknya berisi dua bendera (merah dan kotak-kotak), sebuah bangku

untuk duduk, sebuah buku catatan, makanan dan minuman untuk makan

12 K. Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2012), h. 52

13 Priyatna Abdurrasyid, Mata Rantai Pembangunan Ilmu-Teknologi Dan Kedirgantaraan

Nasional Indonesia…, h. 132

14 Evi Zuraida, Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilaliha Pelayanan Navgasi Penerbangan Pada Flight Information Region (FIR) Singapura di atas Wilayah Udara Indonesia

Berdasarkan Perjanjian antara Indonesia Singapura Tahun 1995, (Jakarta: Universitas Indonesia,

2012), h. 31-33

Page 45: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

34

siang. Kegiatan yang dilakukan Archie di lapangan terbang yaitu

melambai- lambaikan bendera sebagai tanda, atau aba-aba yang diberikan

kepada setiap pesawat udara baik yang akan berangkat terbang ataupun

mendarat. Kegiatan tersebut memang tidak efisien untuk mengatur lalu

lintas udara namun tetap berguna mengingat pada waktu itu tidak banyak

pesawat udara yang terbang di atas wilayah ruang udara tersebut.

b. Pada tahun 1930, pertama kali dibangun menara pengendalian lalu lintas

udara (Airport Control Tower) yang layak, yaitu di Cleveland, Amerika

Serikat. Tower tersebut dilengkapi dengan lampu-lampu isyarat dan

pesawat radio dua arah (two-way radio-communication) yang berguna

untuk mengendalikan lalu lintas udara. Selanjutnya tahun 1935 dan 1936

diadakan suatu pertemuan antara pimpinan dari perusahaan-perusahaan

penerbangan yang ada pada saat itu dan dalam pertemuan itu dihasilkan

kesepakatan untuk membentuk En-route Centres atau pusat-pusat

pelayanan penerbangan lalu lintas udara, antara lain di Chicago dan

Cleveland. Peralatan dasar komunikasi yang digunakan terdiri dari

sambungan telepon, stasiun-stasiun darat yang dibangun pada lokasi-lokasi

tertentu di bawah jaringan rute penerbangan itu, ditempatkan petugas-

petugas yang mengamati dan mencatat waktunya, bila ada suatu pesawat

udara yang terbang melintasi stasiun itu, maka para petugasnya akan segera

melaporkannya melalui telepon kepada En-route Centres.

c. Tahun 1938 Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan Civil

Aeronautics Act atau Undang-Undang tentang Penerbangan Sipil Tahun

1938. Sejak ketentuan tersebut diberlakukan, maka semua petugas ATC

harus memiliki sertifikat atau izin dari pemerintah dan selain itu juga dalam

ketentuan tersebut mensyaratkan, bahwa semua penerbang harus

memperhatikan semua petunjuk yang dikeluarkan oleh petugas ATC.

Perkembangan awal dari tugas-tugas para ATC hanya berurusan dengan

pesawat udara yang dapat mereka lihat dari tempat tugasnya (tower) dan

setelah itu apabila pesawat udara sudah tidak dapat dilihat lagi oleh para

petugas ATC maka tugasnya selesai. Akan tetapi, seiring dengan

Page 46: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

35

berjalannya waktu dan perkembangan teknologi pada saat itu, tugas-tugas

dari para petugas ATC tersebut mulai berubah dan tugas pengendalian lalu

lintas udara menjadi salah satu tugas yang sangat berat tanggung jawabnya.

Kesulitan yang dihadapi oleh petugas ATC saat itu adalah untuk

menentukan secara pasti posisi terbang suatu pesawat udara yang berada

dalam pemantauannya dan sebagai jalan satu-satunya untuk mengetahui

hal tersebut adalah dengan cara menanyakan kepada penerbang dan

mempercayai apa yang telah dikatakan oleh penerbang pada saat

mengoperasikan pesawat udaranya. Tetapi di sisi lain mengingat bahwa

pada waktu itu instrument atau alat yang digunakan masih sangat kuno,

maka penerbang pun tidak dapat mengetahui secara pasti posisi dari

keberadaan pesawat udaranya di ruang udara.

d. Pada tahun 1946 mulai ditemukan pertama kali peralatan radar yang

digunakan dalam navigasi penerbangan dan merupakan salah satu faktor

utama dan menjadi pendorong dalam penciptaan FIR di seluruh wilayah

udara di dunia, selain itu dengan adanya peralatan radar maka tugas-tugas

yang harus dikerjakan oleh para petugas ATC menjadi berubah secara

drastis. Peralatan radar yang pertama digunakan untuk keperluan

penerbangan sipil dipasang di Bandara Indianapolis, Amerika Serikat.

e. Selanjutnya, tahun 1956 telah terjadi sesuatu yang bersejarah dan berakhir

pada suatu revolusi di bidang penerbangan, yaitu mengenai mutlak

diperlukannya pengendalian lalu lintas udara yang memadai di seluruh

penjuru dunia dan dibentuknya FIR yang hampir merata pada wilayah

udara di setiap negapra, sebagai tempat yang dapat memberikan pelayanan

jasa pengendalian lalu lintas bagi semua pesawat udara yang akan terbang

melintasi berbagai wilayah udara di suatu negara.

2. Pembentukan Flight Information Region (FIR) di Wilayah Indonesia

Pada awalnya ruang udara Indonesia dibagi menjadi empat Flight

Information Region (FIR), yaitu Jakarta, Bali, Ujung Pandang, dan Biak. Kemudian

berdasarkan Supplement Aeronautical Information Publication (AIP) dari

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor 02 Tahun 2005 tanggal 14 April

Page 47: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

36

2005 ruang udara Indonesia dibagi menjadi dua Flight Information Region (FIR),

yaitu Flight Information Region (FIR) Jakarta dan Flight Information Region (FIR)

Ujung Pandang terhitung mulai tanggal 12 Mei 2005.15

Maksud perubahan pembagian Flight Information Region (FIR) tersebut

untuk meningkatkan efisiensi dan lebih menjamin keselamatan penerbangan.

Dengan pembagian Flight Information Region (FIR) yang lebih terpusat akan

mempermudah koordinasi dan mengurangi dampak kerawanan pelayanan navigasi

penerbangan. Dalam mempersiapkan perubahan tersebut telah dilaksanakan studi

oleh Sofrey Avia dari Perancis pada tahun 1995 yang dituangkan dalam Air Traffic

Master Plan.

Adanya perubahan terhadap wilayah Flight Information Region (FIR)

membutuhkan dana yang tidak sedikit, disamping Sumber daya manusia (SDM)

yang harus terpenuhi juga diperlukan sarana dan prasarana yang lebih canggih guna

menyeimbangkan terhadap perkembangan terknologi penerbangan yang semakin

pesat. Pada saat ini teknologi yang digunakan untuk pelayanan dalam Flight

Information Region (FIR) menggunakan system aeronautical fix telecomunication

network yang dipasang di bandara-bandara, yang masih menggunakan teknologi

yang dikendalikan di darat. Seiring dengan perubahan wilayah Flight Information

Region (FIR) peralatan tersebut akan diperbaharui dengan system aeronautical

telecomunicatio network yang menggunakan teknologi satelit dan dikendalikan

secara terpusat.

Proses perubahan tersebut memerlukan proses yang cukup panjang, karena

memerlukan adanya publikasi kepada dunia penerbangan internasional. Apabila

terhadap perubahan tersebut pihak-pihak yang menggunakan wilayah udara

Indonesia tidak berkeberatan (dalam hubungannya dengan keselamatan

penerbangan), maka perubahan wilayah Flight Information Region (FIR) akan

15 Evi Zuraida, Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilaliha Pelayanan Navgasi

Penerbangan Pada Flight Information Region (FIR) Singapura di atas Wilayah Udara Indonesia

Berdasarkan Perjanjian antara Indonesia Singapura Tahun 1995…, h. 34

Page 48: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

37

diajukan kepada ICAO untuk ditetapkan dan dipublikasikan ke seluruh masyarakat

penerbangan baik nasional maupun internasional.16

Ketentuan hukum tentang pembentukan Flight Information Region (FIR)

secara nasional telah diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

tentang Penerbangan yakni, “Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara

atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah

melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk

kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan

negara, sosial budaya, serta lingkungan udara”.17 Selanjutnya pada ketentuan

pelaksanaannya, yaitu Peratura Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang

Keamanan dan Keselamatan Penerbangan dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal

73, Pasal 74 dan Pasal 75 mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk menetapkan

ruang udara guna kepentingan navigasi penerbangan.18

C. Pendelegasian Flight Information Region (FIR) Singapura

1. Sejarah Pengelolaan Flight Information Region (FIR) Ruang Udara

Indonesia Oleh Negara Lain

Seperti telah diuraikan di atas, batas Flight Information Region (FIR) ruang

udara Indonesia tidak sepenuhnya meliputi seluruh wilayah udara nasional.

Pendelegasian wilayah udara Indonesia kepada negara lain, pada awalnya dimulai

sewaktu dilaksanakan Regional Aviation Meeting I yang diselenggarakan di

Honolulu Hawai pada Tahun 1973. Pada pertemuan tersebut diputuskan bahwa

ruang udara di atas kepulauan Natuna dan Riau termasuk dalam Flight Information

16 Muhammad Fitrah Zulkarnain, Flight Information Region (FIR) Singapura Dan

Dampaknya Terhadap Kedaulatan Dan Keamanan Indonesia, (Skripsi: Universitas Hasanuddin

Makassar, 2018), h. 54-55

17 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indnesia Nomor

4956

18 Pasal 63, 64, 65, 73, 74 dan Pasal 75 Peratura Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang

Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4075

Page 49: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

38

Region (FIR) Singapura dan untuk pengelolaannya di atas ketinggian 20.000 kaki

oleh Singapura sedangkan di bawah 20.000 kaki dikendalikan oleh Malaysia.

Setelah dilaksanakannya UNCLOS 1982, Indonesia diakui sebagai negara

kepulauan sehingga ruang udara di atas kepulauan Natuna dan Riau termasuk dalam

wilayah teritorial mengikuti ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UNCLOS yang menentukan

bahwa kedaulatan negara di ruang udara termasuk ruang udara di atas laut

territorial. Menurut Pasal 3 UNCLOS kedaulatan di laut territorial tidak melebihi

12 millaut, dengan demikian negara pantai, termasuk Indonesia mempunyai

kedaulatan atas ruang udara di atas laut territorial selebar 12 mil laut diukur dari

garis pangkal (baseline).19

2. Perjanjian Flight Information Region (FIR) anatara Indonesia dengan

Singapura

Dalam penerbangan internasional, konsep mengenai kedaulatan negara di

ruang udara merupakan dasar pembentukan hukum udara. Hal ini terjadi sejak

beberapa penerbangan dalam penerbanagn internasional mensyaratkan terlebih

dahulu adanya persetujuan dari negara yang dilalui, biasanya hak tersebut diberikan

berdasarkan perjanjian.

Dalam Bab 2 Annex 11 Konvensi Chicago 1944 ditentukan bahwa

pendelegasian ruang udara kepada negara lain tidak menyebabkan terganggunya

kedaulatan negara yang mendelegasikan. Di dalam pendelegasian tersebut

dibutuhkan suatu nota kesepakatan anatara kedua belah pihak yang berisi

persyaratan-persyaratan tentang pelayanan yang mencakup fasilitas dan tingkat

pelayanan yang yang akan diberikan. Dengan kata lain dalam pendelegasian suatu

ruang udara yang akan dikelola oleh negara lain diperlukan adanya perjanjian

internasional antara kedua negara.

Pada pertemuan Regional Air Navigation (RAN) kedua di Singapura tahun

1983, Indonesia berupaya mengubah hasil kesepakatan yang telah diputuskan pada

RAN pertama, akan tetapi tidak berhasil karena keberatan Indonesia tidak diterima

oleh negara lain.

19 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, (Jakarta: PT Bumi

Intitama Sejahtera, 2006), h. 122-123

Page 50: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

39

Pada RAN III di Bangkok, Indonesia membuat suatu proposal tentang

pengembangan pelayanan navigasi penerbangan di atas kepulauan Natuna dan

membuat Working Paper (WP) Nomor 55 tentang kegiatan yang akan direncanakan

untuk dilaksanakan diatas Kepulauan Natuna dan akan meninjau ulang batas FIR.

Pertemuan tersebut menyepakati bahwa WP No. 55 dapat diterima, namun dengan

adanya counter paper oleh Singapura, maka ICAO menyarankan agar dibicarakan

secara bilateral antara Singapura dan Indonesia.20

Indonesia dan Singapura telah sepakat menandatangani Agreement Between

the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic

Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight

Information Region and the Jakarta Flight Information Region. Penandatanganan

dilakukan oleh Menteri Perhubungan Republik Indonesia dan Menteri Perhubungan

Singapura pada tanggal 21 September 1995 di Singapura.

Hal-hal pokok yang dicakup dalam perjanjian anatara Indonesia dan

Singapura adalah:21

a. Dasar penetapan batas yang diperjanjikan sesuai dengan ketentuan

UNCLOS 1982;

b. Ruang udara di atas Kepulauan Natuna diberi sebutan Sektor A, sector B,

dan Sektor C;

c. Indonesia mendelegasikan tanggungjawab pemberian pelayanan navigasi

penerbangan di wilayah sektor A kepada Singapura dari permukaan laut

sampai dengan ketinggian 37.000 kaki;

d. Indonesia mendelegasikan tanggungjawab pemberian pelayanan navigasi

penerbangan di wilayah sektor B kepada Singapura dari permukaan laut

sampai dengan ketinggian tidak terhingga (unlimited height);

e. Sektor C tidak termasuk di dalam perjanjian tersebut, namun perlu dicatat

bahwa penyelesaian pengaturan lalu lintas penerbangan di sektor C harus

diselesaikan antara Indonesia, Singapura, Malaysia; dan

20 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 124-125

21 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 125-127

Page 51: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

40

f. Atas nama Indonesia, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi

penerbangan atau Routes Air Navigasi Service (RANS) Charges di wilayah

yurisdiksi Indonesia. Khususnya pada sektor A yang telah didelegasikan

tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan kepada

Singapura, selanjutnya hasil yang terkumpul akan diserahkan kepada

pemerintah Indonesia melalui PT (Persero) Angkasa Pura II, sedangkan

sektor B masih merupakan permasalahan yang harus dibahas antara

pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia.

Sebagai tindaklanjut terhadap perjanjian anatara Indonesia dan Singapura,

pada tanggal 10 Mei 1996 kedua negara membuat surat bersama (join letter) yang

ditujukan kepada ICAO Regional Office di Bangkok. Surat tersebut menyampaikan

perjanjian antara kedua negara dengan permohonan untuk mendapatkan

pengesahan dari ICAO. Malaysia menyampaikan keberatan terhadap persetujuan

anara Indonesia dan Singapura, sehingga permohonan persetujuan perjanjian belum

dapat diterima oleh ICAO.

Keberatan Malaysia mengacu kepada perjanjian antara Indonesia dan

Malaysia tentang Rejim Hukum Negara Nusantara dan Hak-hak Malaysia di Laut

Teritorial Perairan Nusantara dan Wilayah Republik Indonesia yang terletak di

antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat yang ditanda tangani pada tanggal 25

Februari 1982. Perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh Undang-undang RI Nomor

1 Tahun 1983. Dalam perjanjian tersebut Indonesia memberikan hak akses dalam

komunikasi kepada Malaysia di laut territorial, perairan Nusantara dan udara di

atasnya di wilayah antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat.

Pada dasarnya Malaysia telah mengaku asas negara kepulauan, dengan

mensyaratkan agar Malaysia tetap mendapatkan hak gtradisionalnya. Di sisi lain

peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis

Titik-tikik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia belum dikirim untuk didaftarkan ke

Sekretariat PBB.22

22 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 127-128

Page 52: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

41

Malaysia senantiasa menggunakan dasar-dasar hukum yang telah

diratifikasi. Pada pertemuan di Bandung pada tahun 1997 Malaysia merasa

keberatan apabila ruang udara yang telah diberikan hak akses dan komunikasinya

dikelola oleh Indonesia. Malaysia berpendapat bahwa pengaturan mengenai ruang

udara di wilayah tersebut terlebih dahulu menunggu persetujuan PBB tentang batas-

batas territorial Indonesia.

Melalui berbagai pendekatan, Indonesia mengadakan pertemuan formal

dengan Malaysia pada tanggal 25-28 Oktober1997di Malaysia. Pertemuan

dilanjutkan pada tanggal 23 Desember 1998 dan awal Maret 2000, akan tetapi

Malaysia selalu menunda pertemuan dan tidak pernah menghasilkan keputusan

apapun.

Dengan telah disepakatinya perjanjian mengenai batas FIR antara Indonesia

dan Singaura, Malaysia beranggapan bahwa hak dan akses komunikasi yang telah

diberikan Pemerintah Indonesia kepada Malaysia terganggu. Sehingga Malaysia

selalu mengajukan keberatan terhadap perjanjian tentang pengaturan kembali batas

FIR Jakarta dan FIR Singapura yang telah disepakati oleh Indonesia dan Singapura.

Menurut hukum nasional Indonesia perjanjian tersebut merupakan salah

satu bentuk perjanjian internasional yang dibuat oleh Negara Indonesia dengan

Singapura. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa perjanjian

internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam

hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan

kewajiban di bidang hukum publik.23

Ketentuan mengenai Flight Information Region (FIR) berkaitan dengan

masalah keselamatan dan kelancaran penerbangan yang merupakan tanggung

jawab bersama seluruh bangsa-bangsa. Maka sebagai bangsa yang hidup dalam

masyarakat internasional dan sebagai Negara anggota ICAO Indonesia terkait

dengan ketentuan dari Anex 11 yang intinya suatu Negara dalam mendelegasikan

23 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 128-130

Page 53: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

42

pengaturan lalu lintas udaranya harus dibentuk dalam suatu perjanjian antara kedua

Negara.

Masalah penerbangan merupakan masalah yang terletak dalam bidang

hukum publik walaupun dalam pengoperasian kegiatan penerbangan akan

dipengaruhi atau akan muncul permasalahan hukum privat. Dalam FIR ini masalah

hukum privat juga muncul berkaitan adanya kewajiban dari Negara Singapura

untuk memberikan kompensasi terhadap hilangnya peluang Indonesia dalam

memperoleh navigation and route charge di wilayah udara yang didelegasikan

kepada Singapura. Namun substansi utama dalam perjanjian ini adalah mengenai

batas FIR Jakarta dan FIR Singapura yang bertujuan dalam pengaturan lalu lintas

udara sehingga merupakan bidang hukum publik.

Menurut ketentuan Pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional pengesahan perjanjian internasional dilakukan

dengan undang-undang apabila berkenaan masalah politik, perdamaian,

pertahanan, dan keamanan Negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilyah

negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi

manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru dan pinjaman dan

atau hibah dari luar negeri. Sedangkan Pasal 11 Ayat (1) menetapkan bahwa

pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi tersebut

akan disahkan dengan Keputusan Presiden.24

Apabila dilihat dari substansial perjanjian maka perjanjian antara Indonesia

dengan Singapura ini yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 7

Tahun 1996 telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 10 juncto Pasal 11 Undang-

Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Terutama

pabila dikaitkan dengan penjelasan Pasal 11 yang menyatakan bahwa untuk lain

perjanjian yang bersifat teknis. Perjanjian ini merupakan perjanjian bersifat teknis

sehingga dalam penandatanganannya dilakukan oleh menteri teknis yang terkait

dengan masalah ini yaitu Menteri Perhubungan.

24 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 130-131

Page 54: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

43

Di dalam Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional ditetapkan bahwa perjanjian internasional berakhir apabila

terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian,

tujuan perjanjian tersebut telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang

mempengaruhi pelaksanaan perjanjian, salah satu pihak tidak melaksanakan atau

melanggar ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan

perjanjian lama, muncul norma-norma baru dalam hukum internasional, objek

perjanjian hilang dan terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Dalam perjanjian mengenai Flight Information Region (FIR) antara

Indonesia dan Singapura, ditetapkan perjanjian berakhir setelah lima tahun sejak

ditandatanganinya, sehingga perjanjian antara Indonesia dengan Singapura

mengenai batas FIR telah berakhir pada tanggal 21 September 2000. Perjanjian

tersebut belum ditinjau kembali disebabkan adanya keberatan yang diajukan oleh

Malaysia. Akan tetapi hal-hal yang diperjanjikan tetap dilaksanakan oleh kedua

negara tersebut.

Dengan demikian pengelolaan sebagian wilayah udara Indonesia oleh

negara lain tanpa disertai dengan perjanjian yang masih berlaku antara Indonesia

dengan negara pengelola, sebagaimana diamnatkan oleh ketentuan Anex 11.

Sehingga pengaturan Flight Information Region (FIR) ruang udara Indonesia,

terutama yang didelegasikan kepada negara lain, tidak sesuai dengan ketentuan

hukum Internasional.25

25 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 131-133

Page 55: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

44

BAB IV

PELAYANAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) PERSPEKTIF

SIYASAH KHARIJIYYAH

A. Kedaulatan Negara atas Ruang Udara Indonesia

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dalam teori kedaulatan udara

disebutkan bahwa kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah

teritorialnya bersifat utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang

pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara. Ini dinyatakan dalam pasal

1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.1

Menurut Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa “Setiap negara

di dunia memiliki kedaulatan yang bersifat penuh dan eksklusif atas ruang udara

yang berada di atas wilayah kekuasaannya”.2 Sebagai negara menurut Shawcross

dan Beaumont, “konsep kedaulatan adalah batu kunci di mana hampir semua

hukum udara dibangun, karena setiap penerbangan dalam penerbangan

internasional memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari banyak negara, yang

umumnya sudah ada perjanjian”.3

Kedaulatan yang bersifat "lengkap dan eksklusif" menimbulkan implikasi

teritorial dan hukum. Dari perspektif teritorial, konsep ini membenarkan bahwa

kedaulatan negara atas wilayah udara mereka sesuai dengan konsep kepemilikan di

properti pribadi dengan kepemilikan pemilik yang mengesampingkan orang lain.

Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi,

“Wilayah kekuasaan suatu negara adalah wilayah daratan dan lautan yang

berbatasan dengannya yang berada di bawah kedaulatan, perlindungan, atau mandat

1 T. May Rudy, Hukum Internasional II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 32

2 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944

3 Shawcross and Beaumont, Air Law, Fourth Edition, (London: Butterworth, 2005),

h. 1-26

Page 56: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

45

dari negara tersebut”.4 Oleh karena itu, Negara teritorial dapat menolak izin

cabotage atau meminta penerapan hukum dan peraturannya oleh pesawat sipil asing

di wilayahnya, dan tunduk pada ketentuan Konvensi Chicago 1944.

Konsep ini diadopsi dari prinsip Romawi: “Cujus est solum, ejus est usque

ad coelum et ad inferos” (Barang siapa memiliki sebidang tanah maka dia memiliki

segala yang berada diatasnya sampai ke langit dan segala yang berada di dalam

tanah), yang tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak individu. Dalam

konteks hukum udara, prinsip ini menegaskan bahwa wilayah udara adalah wilayah

eksklusif, yang tidak tunduk pada kepemilikan individu termasuk Negara. Oleh

karena itu, konsep ini tidak memungkinkan untuk negara lain mengklaim suatu

kedaulatan negara atas wilayah udara negara lainnya. Namun, hukum udara modern

hanya mengadopsi konsep eksklusivitas wilayah udara, yang kemudian diberikan

kepada negara sebagai lembaga publik.5

Dari perspektif hukum, kedaulatan yang lengkap dan eksklusif memberi

kekuasaan kepada negara untuk membuat undang-undang, yang merupakan

wewenang untuk mengatur penggunaan wilayah udara termasuk mengizinkan atau

menolak pesawat asing untuk terbang di atas wilayah udaranya. Tidak seperti

kedaulatan teritorial, yang mungkin didelegasikan kepada orang lain dalam hal

pemanfaatannya, kedaulatan dalam arti hukum adalah kekuatan yang tidak dapat

dialihkan. Dalam konteks ini, eksklusivitas berarti bahwa hanya negara itu yang

dapat menggunakan kedaulatan di wilayah udara di atas wilayah nasionalnya.

Akibatnya, pesawat asing tidak diizinkan terbang di atas wilayah udara suatu negara

tanpa izin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa izin adalah kunci dari

kepemilikan kedaulatan negara di wilayah udara.

Sebagai hukum kebiasaan internasional modern, kedaulatan negara atas

wilayah udara melekat pada wilayah negara. Atas dasar ini, delegasi pengelolaan

wilayah udara serta dalam pengeolaan Flight Information Region (FIR) untuk

4 Pasal 2 Konvensi Chicago 1944

5 Atip Latipulhayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety issue

? The Case of Indonesia-Singapore, (Bandung: Jurnal Pusat Hukum Udara dan Luar Angkasa

Indonesia Fakultas Hukum Universitas Padjajaran), h. 3

Page 57: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

46

membuat undang-undang, yang memberikan izin kepada pihak lain untuk

mengelola area tersebut.6

Sejalan dengan hal tersebut, mengenai kedaulatan negara atas wilayahnya

tentu Indonesia memiliki hak dan kewenangan atas pengelolaan wilayah negaranya.

Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 43

Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Dalam Pasal 7 dijelaskan bahwa negara

Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di wilayah yurisdiksi yang

pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

hukum internasional. Adapun dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Pemerintah dan

pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah

negara dan kawasan perbatasan.7

Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai suatu wilayah geografis

strategis, karena diapit oleh dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta

dua samudera, yaitu samudra Pasifik dan samudera Hindia serta dilalui oleh garis

khatulistiwa (Equator). Wilayah geografis tersebut terdiri dari kepulauan sehingga

peran penerbangan menjadi sangat penting sebagai penghubung antar pulau bagi

negara Indonesia. Bentuk wilayah Indonesia yang unik serta berbatasan dengan

banyak negara tetangga berpotensi menimbulkan kerawanan dalam konteks

keuntuhan integritas wilayah negara.

Wilayah udara Indonesia terdiri dari wilayah atas daratan, laut teritorial

sejauh 12 mil, atas perairan kepulauan yaitu laut anatar pulau Indonesia dan atas

perairan pedalaman. Kemudian Indonesia juga memiliki wilayah yurisdiksi yaitu

zona tambahan maksimal 24 mil laut yang diukur dari garis dasar laut teritorial,

zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil dan landas kontinen yang tidak melebihi

350 mil laut. Khususnya wilayah udara di atas zona tambahan, zona ekonomi

6 Atip Latipul Hayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety

issue ? The Case of Indonesia-Singapore..., h. 4

7 Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177

Page 58: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

47

eksklusif, dan landas kontinen adalah wilayah udara bebas. Adapun wilayah

tersebut dengan status hukumnya adalah:8

1. Ruang Udara di Atas Wilayah Daratan

Indonesia mempunyai perbatasan daratan dengan negara Malaysia

dan Papua Nugini serta Timor Leste. Sebagai negara kepulauan, wilayah

daratan dan perairan serta laut teritorial Indonesia merupakan satu kesatuan

geografis dalam dimensi horizontal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan

lainnya. Indonesia mempunyai kedaulatan yang penuh dan Utuh terhadap

ruang udara di wilayah kedaulatannya. kedaulatan yang penuh dan Utuh

terhadap ruang udara di atas daratan mempunyai sifat mutlak dan tidak

mengenal perkecualian.

2. Ruang Udara di Atas Perairan Kepulauan

Perairan Indonesia adalah laut yang berada di sebelah dalam garis

pangkal kepulauan negara Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau

jarak dari dari pantai. Indonesia mempunyai kedaulatan terhadap ruang

udara di atas perairan kepulauan, namun sebagai negara kepulauan harus

menyediakan Alur Laut kepulauan lintas kapal dan pesawat udara asing

yang syarat-syaratnya telah ditentukan dalam konvensi PBB tentang hukum

laut tahun 1982 (UNCLOS 1982). Berdasarkan konvensi ini, kedaulatan

Indonesia ini mengandung perkecualian, yaitu terdapat rezim ruang udara

di atas alur Laut kepulauan yang memberikan hak lintas bagi pesawat udara

asing dalam (hak lintas damai/innocent passage). Indonesia dapat

menangguhkan untuk sementara waktu hak lintas damai tersebut pada

bagian-bagian tertentu dari perairan kepulauan apabila dianggap perlu untuk

kepentingan keamanan dan pertahanan.

3. Ruang Udara di Atas Perairan Pedalaman

Perairan pedalaman (internal waters) atau disebut juga perairan

darat (inland waters) meliputi sungai, muara terusan, anak laut, danau,

terus-terusan, perairan di antara gugusan pulau-pulau dan perairan pada sisi

8 Mabesau, Dasar-Dasar Hukum Udara Bagi Pelaksana Operasi Udara TNI Angkatan

Udara, (Jakarta, 2006), h. 14

Page 59: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

48

dalam garis dasar atau pangkal kepulauan. Kapal-kapal asing tidak

mempunyai hak untuk melakukan lintas damai di dalam perairan pedalaman

wilayah Indonesia. Sebagai negara kepulauan dapat melakukan penutupan

sebagai batas perairan pedalaman di lingkungan perairan kepulauan

(archipelagic waters). Didalam UNCLOS 1982 tidak secara jelas

menentukan status ruang udara di atasnya namun dapat dikatakan bahwa

karena letaknya merupakan bagian dari perairan kepulauan yang dibatasi

oleh garis lurus yang menghubungkan keduatepinya diukur pada waktu air

rendah, dan apabila tidak merupakan bagian dari alur laut kepulauan maka

ruang udara di atas perairan pedalaman sama dengan perairan kepulauan.

4. Ruang Udara di Atas Laut Territorial

Batas terluar laut teritorial Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982

adalah 12 mil laut ditarik dari garis dasar kepulauan yaitu suatu garis lurus

yang menghubungkan titik-titik terluar dari bagian-bagian pulau-pulau

terluar. Indonesia mempunyai kedaulatan atas laut teritorial dan ruang udara

di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang

terkandung didalamnya. Pada laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi

Kapal asing Tetapi tidak berlaku hak lintas damai bagi pesawat udara asing.

5. Ruang Udara di Atas Selat Untuk Pelayaran Internasional

Dalam selat yang digunakan untuk playaran internasional antara satu

bagian laut lepas dengan lainnya, kapal dan pesawat udara asing mempunyai

hak lintas transit (right of transit passage). Selat Malaka merupakan selat

yang dipergunakan untuk pelayaran dan penerbangan international. Hak

lintas transit bagi kapal dan pesawat udara asing berlaku di Selat Malaka

termasuk pada bagian yang merupakan laut teritorial indonesia. Penggunaan

hak lintas transit melalui selat tersebut semata-mata untuk tujuan melintas

transit secara cepat dan tidak terputus. Pesawat udara dan transit harus:

a. Menaati peraturan negara yang ditetapkan International Civil

Aviation Organization (ICAO) sepanjang berlaku bagi pesawat

udara sipil, pesawat udara negara mematuhi ketentuan keselamatan

penerbangan sebagaimana mestinya.

Page 60: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

49

b. Setiap waktu memonitor frekuensi yang ditujukan oleh otoritas

pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara

internsional oleh frekuensi radio darurat internasional yang tepat.

6. Ruang udara di atas Laut Kepulauan

Berdasarkan UNCLOS 1982 bahwa negara asing mempunyai hak

untuk melakukan terbang lintas bagi pesawat udaranya di atas ruang udara

alur laut kepulauan, sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam

UNCLOS 1982. Ditentukan bahwa, kapal dan pesawat udara yang melintas

melalui alur laut kepulauan tidak boleh menyamping lebih dari 25 mil laut

kedua sisi garis sumbu, selanjutnya bahwa kapal dan pesawat udara tersebut

tidak boleh berlayar atau terbang dekat dengan pantai kurang dari 10 persen

dan jarak antara 10 persen dari jarak antara titik-titik yang terdekat pada

pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut. Penentuan alur laut

dan apakah semua pesawat melintas (pesawat sipil dan negara) serta

bagaimana pelaksanaan penerbangannya berdasarkan syarat-syarat yang

ditentukan oleh Konvensi ternyata menimbulkan perbedaan persepsi yang

akhirnya dapat menimbulkan konflik antar negara.

7. Ruang Udara di Atas Zona Tambahan dan Ruang Udara di Atas Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Zona tambahan adalah wilayah laut dengan lebar tidak melebihi 24

mil laut diukur dengan garis pangkal dari mana lebar laut teritorial Indonesia

diukur. Ruang udara di atas zona tambahan yang berada di luar laut teritorisl

Indonesia dan di ZEE, bebas dipergunakan oleh pesawat udara asing dengan

syarat, bahwa penerbangan itu tidak melanggar hak-hak negara Indonesia

dan tetap tunduk kepada aturan ICAO.

Di Indonesia sendiri terkait dengan regulasi tentang kedaulatan negara di

ruang udara diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan, serta ketentuan lebih lanjut Pasal 9 diatur dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara

Indonesia. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Page 61: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

50

Penerbangan disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat

penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.

Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh dari negara di ruang udara

nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan negara di laut

wilayahnya. Karena sifatnya yang demikian maka di ruang udara nasional tidak

dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat di laut territorial suatu negara.

Sifat tertutup ruang udara nasional dapat dipahami mengingat udara sebagai media

gerak amatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan negara kolong.9

B. Flight Information Region (FIR) Perspektif Hukum Positif

Flight Information Region (FIR) adalah masalah teknis dalam penerbangan

sipil yang berkontribusi besar untuk memenuhi standar keselamatan penerbangan.

Setiap negara setuju dan menerima semua persyaratan teknis mengenai pengelolaan

Flight Information Region (FIR). Namun, masalah kontroversial terletak pada

pengelolaan Flight Information Region (FIR) oleh negara-negara yang tidak

memiliki yurisdiksi teritorial atas wilayah udara.10

Flight Information Region (FIR) disebut juga dengan “ruang udara yang

dilayani” merupakan suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya dengan suatu

pembagian wilayah udara yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan

keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negara-negara yang tergabung

dalam International Civil Aviation Organization (ICAO) dimana didalamnya

diberikan pelayanan lalu lintas/navigasi penerbangan. Yang dimaksud dengan

navigasi penerbangan adalah setiap kegiatan pemanduan terhadap pesawat terbang

dan helikopter selama beroperasi yang dilengkapi dengan fasilitas navigasi

penerbangan di dalam ruang udara yang dikuasai oleh negara Indonesia untuk

digunakan sebagi kegiatan operasi penerbangan dalam bentuk tatanan ruang udara

nasional. Sedangkan maksud dari ruang udara yang dilayani menurut ketentuan ada

dua kategori, yakni: ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya menjadi

9 T. May Rudy, Hukum Internasional II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 32

10 Atip Latipul Hayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety

issue? The Case of Indonesia-Singapore..., h. 6

Page 62: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

51

tanggung jawab pemerintah Indonesia dan ruang udara yang dilayani berdasarkan

perjanjian antara negara yang berbatasan yang ditetapkan oleh ICAO.11

Definisi Flight Information Region (FIR) di atas sejalan dengan Annex 11

to the Convention on International Civil Aviation, yang mengatakan bahwa Flight

Information Region is an airspace of defined dimensions within which flight

information service and alerting service are provided.12

Dalam definisi tersebut terdapat dua layanan yang disediakan Flight

Information Region (FIR) yaitu layanan informasi penerbangan dan layanan

peringatan. Layanan informasi penerbangan mengacu pada layanan yang

disediakan untuk tujuan memberikan saran dan informasi yang berguna untuk

melakukan penerbangan, dan layanan peringatan didefinisikan sebagai layanan

yang disediakan untuk memberi tahu organisasi yang sesuai tentang pesawat yang

membutuhkan bantuan pencarian dan penyelamatan, dan membantu organisasi

sesuai kebutuhan.

Tujuan utama pembentukan Flight Information Region (FIR) adalah untuk

memberikan saran dan informasi yang berguna untuk penerbangan yang aman dan

efisien. Lebih khusus lagi, tujuan dari layanan lalu lintas udara adalah antara lain

untuk mencegah tabrakan antar pesawat, dan mempercepat dan memelihara aliran

lalu lintas udara yang teratur. Area dan batas dari masing-masing Flight

Information Region (FIR) telah ditentukan sedemikian rupa sehingga mencakup

semua wilayah yang dikontrol oleh masing-masing negara dengan tujuan untuk

mengontrol wilayah udara di wilayah tersebut, termasuk wilayah udara

internasional. Oleh karena itu, Flight Information Region (FIR) dapat mencakup

wilayah udara nasional (FIR nasional) dan internasional (FIR internasional), yang

pengendaliannya tunduk pada aturan dan standar internasional serta praktik ICAO.

Flight Information Region (FIR) Nasional adalah wilayah udara yang ditetapkan di

atas wilayah negara tempat layanan lalu lintas udara disediakan, sedangkan Flight

Information Region (FIR) Internasional menyediakan layanan lalu lintas udara di

11 Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Cetak Biru Transportasi Udara 2005-

2024 (Konsep Akhir), Ditjen Perhubungan Udara, Maret 2005, h. 111-119

12 Annex 11 to the Convention on International Civil Aviation

Page 63: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

52

atas tempat-tempat yang tinggi atau di wilayah udara dari kedaulatan yang tidak

ditentukan.13

Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk menentukan sesuai dengan

ketentuan Annex 11 Konvensi dan untuk wilayah yang memiliki yurisdiksi, bagian-

bagian dari wilayah udara, dan aerodrome tempat layanan lalu lintas udara akan

disediakan. Suatu Negara dapat mendelegasikan kepada Negara lain tanggung

jawab untuk menetapkan dan menyediakan layanan lalu lintas udara di wilayah

informasi penerbangan, area kontrol atau zona kontrol yang membentang di atas

wilayah yang sebelumnya. Oleh karena itu, Flight Information Region (FIR) dapat

dibagi dalam dua bentuk yaitu dibentuk berdasarkan pertimbangan kedaulatan dan

didirikan berdasarkan perjanjian antara negara dan disetujui oleh ICAO.

ICAO membentuk sembilan Flight Information Region (FIR), termasuk

salah satunya adalah Flight Information Region (FIR) Natuna, yang merupakan

bagian dari Flight Information Region (FIR) di wilayah lautan Laut Cina Selatan

atau Flight Information Region (FIR) Singapura. Negara-negara anggota ICAO

yang memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan lalu lintas udara ke

bagian wilayah udara tersebut harus mengelola sedemikian rupa sehingga layanan

yang diberikan harus memenuhi ketentuan Annex 11 Konvensi. Ketika telah

ditentukan bahwa layanan lalu lintas udara akan disediakan, negara yang

bersangkutan harus menunjuk otoritas yang bertanggung jawab untuk menyediakan

layanan tersebut. Otoritas yang bertanggung jawab untuk mendirikan dan

menyediakan layanan dapat berupa negara atau badan lembaga negara yang sesuai.

Suatu Negara dapat mendelegasikan pengelolaan Flight Information Region

(FIR) di wilayahnya ke negara lain yang mampu menyediakan layanan lalu lintas

udara yang memenuhi standar keselamatan ICAO. Tidak ada persyaratan khusus

dalam Annex 11 tentang pendelegasian wewenang ini. Namun, dapat secara

implisit disimpulkan bahwa delegasi ini terkait dengan ketidakmampuan suatu

negara untuk menyediakan layanan lalu lintas udara sesuai dengan standar

keselamatan ICAO. Oleh karena itu, delegasi pengelolaan Flight Information

13 Atip Latipulhayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety

issue? The Case of Indonesia-Singapore..., h. 6-7

Page 64: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

53

Region (FIR) sebagian besar terkait dengan pertimbangan keselamatan. Annex 11

menyatakan sebagai berikut “...tanggung jawab negara yang menyediakan terbatas

pada pertimbangan teknis dan operasional dan tidak melampaui yang berkaitan

dengan keselamatan dan ekspedisi pesawat terbang menggunakan wilayah udara

yang bersangkutan”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa “...jika satu negara

mendelegasikan ke negara lain tanggung jawab untuk penyediaan layanan lalu

lintas udara di wilayahnya, ia melakukannya tanpa mengurangi kedaulatan

nasionalnya”. Dengan kata lain, delegasi tidak ada hubungannya dengan kedaulatan

dan oleh karena itu delegasi dan negara-negara pemberi dapat mengakhiri

perjanjian di antara mereka setiap saat.14

C. Analisis Tentang Pelaksanaan Pelayanan Flight Information Region

(FIR) Perspektif Siyasah Kharijiyyah

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

menyatakan bahwa menyediakan layanan lalu lintas udara adalah bagian dari

tanggung jawab Indonesia dalam melaksanakan kedaulatannya atas wilayah udara.

Pada awalnya, Indonesia mengelola empat Flight Information Region (FIR) yaitu

Jakarta, Bali, Ujung Pandang, dan Biak. Flight Information Region (FIR) Jakarta

mencakup bagian barat Kalimantan dan Jawa bagian barat hingga Sumatra. Flight

Information Region (FIR) Bali mencakup pusat ke bagian timur Kalimantan dan

Jawa Timur ke Nusa Tenggara. Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang

meliputi Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau Aru. Flight Information Region (FIR)

Biak meliputi perairan teritorial Arafuru dan Papua.

Untuk tujuan layanan lalu lintas udara yang efisien dan efektif, Direktorat

Jenderal Penerbangan Sipil mengeluarkan Tambahan Publikasi Informasi

Aeronautika pada tanggal 14 April 2005, yang membagi wilayah udara Indonesia

menjadi dua Flight Information Region (FIR), yaitu Flight Information Region

(FIR) Jakarta dan Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang. Flight

Information Region (FIR) Jakarta masih mencakup Sumatra, bagian barat

14 Atip Latipulhayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety

issue? The Case of Indonesia-Singapore..., h. 7

Page 65: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

54

Kalimantan, dan bagian barat Jawa Tengah di selatan dan termasuk Pulau Natal di

Australia. Sementara itu Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang

mencakup wilayah Biak dan Flight Information Region (FIR) Bali sebelumnya

serta wilayah udara di atas Timor Leste dan sebagian dari Papua Nugini. Indonesia

telah mendirikan Air Nav Indonesia - perusahaan milik negara yang bertanggung

jawab untuk menyediakan layanan tersebut. Total area di bawah Flight Information

Region (FIR) Indonesia adalah 4.110.752 km2 dibandingkan dengan total area

wilayah udara Indonesia 5.193.252 km2, dengan total volume lalu lintas 9887

pergerakan/hari. Selain itu, Indonesia juga mengelola wilayah udara negara lain

yang layanan navigasinya didelegasikan ke Republik Indonesia dan wilayah udara

yang layanan navigasinya didelegasikan oleh ICAO ke Indonesia.

Pengendalian lalu lintas udara untuk wilayah ruang udara di Indonesia

sendiri dibagi pada dua wilayah Flight Information Region (FIR), yakni Flight

Information Region (FIR) Jakarta dan Flight Information Region (FIR) Ujung

Pandang, yang dibantu Flight Information Region (FIR) Singapura untuk wilayah

di atas Batam, Matak, dan Natuna.15 Dibantu dalam hal ini jika ada pesawat udara

baik pesawat Militer maupun pesawat Sipil yang melintas di kepulauan Riau,

Matak, dan Natuna harus meminta izin dan berkomunikasi kepada Singapura.

Untuk pelaksanaan pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR)

Singapura secara internasional mengacu pada pada Annex 11 of the Convention on

International Civil Aviation (ICAO), adapun secara khususnya Indonesia dan

Singapura telah sepakat menandatangani Agreement Between the Government of

the Republic of Indonesia and the Government of the Republic Singapore on the

Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and

the Jakarta Flight Information Region. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri

Perhubungan RI dan Menteri Perhubungan Singapura pada tanggal 21 September

1995 di Singapura.16 Perjanjian Indonesia dan Singapura tersebut diratifikasi oleh

Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1996.

15 Mahfud Fahrazi, Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan Riau

dan Natuna, JH Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 26 Issue 2, Mei

2019

Page 66: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

55

Namun dalam hal keberlakuan perjanjian bilateral antara Indonesia dan

Singapura terkait Flight Information Region (FIR) Singapura terdapat perbedaan

pandangan. Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian

Luar Negeri Republik Indonesia mengatakan bahwa,17 perjanjian bilateral anatara

Indonesia dan Singapura tahun 1995 itu belum berlaku, dengan alasan perjanjian

tersebut belum memenuhi syarat pemberlakuan yaitu terkait dengan persetujuan

oleh Convention on International Civil Aviation (ICAO).

Lebih lanjut Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengatakan bahwa yang

didelegasikan dalam perjanjian tahun 1995 adalah layanan lalu lintas udara dan

wilayah yang terkena dampaknya seperti yang disebutkan dalam pasal 2 dan tabel

dibawah ini.

Article 2

Airspace Delegation

1. Concurrent with the realignment of the boundary between the Singapore

FIR and the Jakarta FIR and subject to the existing procedures estabilished

in the Tanjung Pinang Control Area (zone), the Government of the Republic

of Indonesia will delegate to Singapore an airspace of 90nm from SINJON

(01o 13’24”N 103o 51’24” E) and up to 37.000 ft within the realigned

Jakarta FIR and south of Singapore, designated as Sector A, (as detailed in

Map 2), for the provision of air traffic service.

2. In the event that the Government of The Republic of Indonesia implements

the revision of is archipelagic boundaries in conformity with the provisions

of UNCLOS, and as a result any part of its revised archipelagic and

territorial water boundaries falls within sector B (as detailed in Map 2), the

Government of the Republic of Singapore will align its FIR boundary to take

16 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, (Jakarta: PT Bumi

Intitama Sejahtera, 2006), h. 124

17 Andy Aron, Sekretaris Pertama Direktorat Hukum dan Perjanjian Kewilayahan

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Republik Indonesia, Interview

Online, Kebumen, 09 April 2020 pukul 10.30 WIB

Page 67: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

56

into account that part of Indonesia’s revised archipelagic and territorial

water boundaries drawn in conformity with UNCLOS and falling within

Sector B. The Republic of Indonesianwill then delegate the area affected by

the realignment, from sea level to unlimited height, to the Republic of

Singapore. The northern boundary of Sector B (05o00’N 108o15’E, 05o00’E,

03o30’N 10 o30’E, 01 o29‘21”N 104 o34’41”E) accords with the FIR

boundary realignment proposal submited by the Government of the

Republic of Indonesia in its Working Paper 55 presented to the Third Asia-

Pacific Regional Air Navigation Meeting in April 1993.

Tabel 1 Airspace Delegation (MAP 2)

Dengan demikian bahwa pendelegasian Flight Information Region (FIR)

Singapura tidak mengenal sektor C, yang ada hanya Sektor A dan Sektor B seperti

yang terdapat pada Doc. 9673 Flight Information Region (FIR) Singapura.

Page 68: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

57

Tabel 2 Doc. 9673 (APAC Regional Air Navigation Plan).

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar

Negeri Republik Indonesia juga bersandar pada pandangan ICAO yang

menganggap bahwa pendelegasian Flight Information Region (FIR) kepada

Singapura tidak mengganggu kedaulatan negara Indonesia, sebagaimana yang

dijelaskan dalam resolusi majelis ICAO 40, negara tetap memiliki kedaulatan.

Karena secara hukum kedaulatan dan Flight Information Region (FIR) adalah dua

hal yang berbeda. Sehingga tidak ada korelasi antara keduanya.

Lain hal nya dengan Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) yang

menyatakan bahwa,18 Indonesia melakukan perjanjian dengan Singapura terkait

Flight Information Region (FIR) yaitu, Agreement between the Government of the

Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the

Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and

the Jakarta Flight Information Region tertanggal 21 September 1995. Flight

Information Region (FIR) ini berdasarkan RAN I tahun 1973. Perjanjian tersebut

di atas telah berlaku dengan diratifikasi berdasarkan Keppres No. 7 tahun 1996 oleh

18 Supri Abu, Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Interview Online, Kebumen, 13

April 2020 Pukul 16.00 WIB

Page 69: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

58

Pemerintah Indonesia tertanggal 2 Pebruari 1996, dan sesuai dengan isi perjanjian

bahwa, perjanjian tersebut dapat ditinjau ulang setelah 5 (lima) tahun.

Indonesia dan Singapura sudah mengimplementasikan bunyi Pasal tentang

“kegiatan lain” tersebut berupa perjanjian Agreement between the Government of

the Republic of Indonesia and the Government of Singapore on Military in Areas 1

and 2 yang ditandatangani pada tanggal 21 September 1995. Perjanjian ini

diratifikasi oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 8 Tahun 1996.

Perjanjian tersebut hanya berlaku 5 tahun. Namun, Indonesia menghentikan MTA

tahun 2003, dikarenakan oleh tindakan Singapura yang cenderung banyak

melakukan pelanggaran di wilayah RI dan dalam setiap latihan bersama, Singapura

kerap mengikutsertakan pihak ketiga seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia

tanpa Izin. Selain itu, Indonesia mengijinkan Singapura untuk melaksanakan Sea

Trial (uji coba kapal berlayar di Laut), karena sejak Tahun 1973 Singapura

merupakan tempat perbaikan kapal hingga saat ini sehingga Indonesia mengijinkan

perairannya digunakan hanya untuk melaksanakan Sea Trial. Indonesia dan

Singapura juga pernah mencoba melakukan perjanjian bilateral yaitu, Perjanjian

kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) Indonesia dengan

Singapura ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampak Siring, Bali.

Berdasarkan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional,

bahwa Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang

apabila berkenaan dengan masalah politik, pertahanan dan keamanan negara.

Karena sampai saat ini DCA belum diratifikasi maka perjanjian tersebut belum

berlaku. Dalam pelaksanaannya Kementerian Luar Negeri RI masih ragu-ragu atas

perjanjian ini, sehingga penerbangan militer Singapura di wilayah tersebut

dibiarkan padahal laporan dari Kohanudnas terhadap pelanggaran di wilayah

tersebut telah dilaporkan.

Lebih lanjut Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) menyatakan bahwa

kewajiban pelayanan memang bisa didelegasikan sesuai pernyataan dalam Pasal

2.1.1 bahwa, “If one state delegates to another state the responsability for the

provision of air traffic services over its territory, it does so without derogation of

its national sovereignty”. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa jika suatu negara

Page 70: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

59

mendelegasikan pelayanan navigasi penerbangan wilayah udaranya kepada suatu

negara, hal tersebut tidak akan mengurangi kedaulatan negara yang

mendelegasikan. Dengan kata lain bahwa negara yang menerima pendelegasian

tersebut hanya mengelola sebatas pada permasalahan teknis dan operasional

semata, dan tidak akan keluar dari konteks keselamatan penerbangan dan

kelancaran lalu lintas udara yang menggunakan wilayah udara dimaksud (namun

kenyataannya Singapura justru telah menetapkan wilayah udara Indonesia secara

sepihak sebagai wilayah latihan tanpa ada komunikasi terlebih dahulu dengan

Indonesia). Namun ICAO juga sudah mengatur bahwa, “Both the delegating and

providing States may terminate the agreement between them at any time”.

Memang, seluruh wilayah di bumi ini harus “dikapling-kapling” untuk

tujuan Flight Information Region (FIR), sehingga tidak ada ruang kosong untuk

pelayanan lalu lintas penerbangan internasional. Akan tetapi perlu dipahami, sekali

lagi bahwa negara yang memiliki wilayah kedaulatan lah yang pertama kali

mempunyai kewajiban memiliki Flight Information Region (FIR). Dalam hal ini

bagi yang berbatasan darat dengan negara lain, batas negara selalu identik dengan

batas Flight Information Region (FIR). Tetapi hal ini berbeda dengan yang

berbatasan dengan wiilayah internasional seperti Indonesia yang memiliki ruang

udara bebas. Sesuai dengan ketentuan ICAO harus dibicarakan secara regional

yang melibatkan negara disekitar untuk mencapai kesepakatan yang kemudian

harus disetujui oleh ICAO. Inilah yang menyebabkan luas negara tidak sama

dengan luas Flight Information Region (FIR). Jadi disini tidak hanya pertimbangan

keselamatan semata. Hal ini dijelaskan dalam Annex 11 Pasal 2.1.2 bahwa, “Those

portions of the airspace over the high seas or in airspace of undetermined

sovereignty where air traffic services will be provided shall be determined on the

basis of regional air navigation agreements”. Dengan demikian dasar awal

pemberian pelayanan lalu lintas udara adalah berdasarkan wilayah kedaulatan.

Dari persepektif Singapura, memang selalu menyatakan bahwa Flight

Information Region (FIR) bukan masalah kedaulatan tetapi hanya masalah “the

safety and efficiency” dan Flight Information Region (FIR) saat ini terbukti tidak

ada masalah bagi penerbangan sipil. Padahal dari segi teknis penerbangan sipil

Page 71: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

60

Indonesia adalah sangat merugikan. Sebagai bukti, penerbangan dengan rute

Natuna-Batam/Tanjung Pinang atau sebaliknya harus menempuh jarak yang lebih

jauh karena harus menghindari wilayah “Danger Area” Singapura padahal di

wilayah Kedaulatan Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa terkait dengan masalah Flight

Information Region (FIR) bukan hanya masalah “safety and efficiency” tetapi juga

masalah kedaulatan. Sebab wujud dari adanya kedaulatan salah satunya adalah

kemampuan untuk mengontrol sendiri ruang udara Indonesia dan hal ini sudah

menjadi Perintah Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan dan telah dirumuskan menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia

melalui Instruksi Presiden pada tanggal 8 September 2015.

Ketua Pusat Hukum Udara dan Luar Angkasa Indonesia Universitas

Padjajaran Bandung Prof Atip Latipulhayat, S.H. L.L.M., Ph.D. juga menyatakan

hal serupa dengan Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI). Beliau menyatakan

bahwa pengelolaan pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR) diatas

kepulauan Riau, Matak, dan Natuna oleh Singapura mengurangi bahkan

menghilangkan kedaulatan Indonesia atas ruang udara di wilayah itu, mengingat

Indonesia kehilangan kewenangan untuk mengatur lalu lintas udara serta

kehilangan keuntungan ekonomi di wilayah tersebut. Selain itu, juga menjadi

ancaman terhadap pertahanan dan keamanan di ruang udara Indonesia karena

pesawat militer Indonesia harus mendapatkan clearence dari otoritas Singapura

padahal pesawat tersebut terbang di atas kedaulatan udara Indonesia dan bertugas

untuk mengamankan penegakan kedaulatan di ruang udara.19

Dalam tema kajian hubungan internasional (siyasah kharijiyyah as-

syar’iyyah) pada siyasah dauliyah. Menurut bahasa perjanjian adalah kesepakatan

antara dua orang atau kelompok, akan tetapi dalam siyasah dauliyah yang dimaksud

dengan perjanjian adalah perjanjian antar negara. Kesepakatan yang ditandatangani

19 Atip Latipulhayat, Ketua Pusat Hukum Udara dan Luar Angkasa Indonesia Universitas

Padjajaran Bandung, Interview Online, Kebumen, 26 April 2020

Page 72: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

61

oleh dua negara atau dua kelompok negara inilah yang dinamakan dengan

perjanjian Internasional (siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah).20

Para ahli hukum Islam, kecuali Ibn Hazam, bersepakat atas bolehnya

melakukan perjanjian dengan negara mana pun tanpa terbatas pada sektor militer.

Perjanjian genjatan senjata, umpamanya boleh dilakukan dengan negara mana pun

yang menyatakan perang untuk masa tertentu. Berbeda hal nya dengan Ibn Hazam

yang memiliki pendapat bertentangan dengan kebanyakan ahli hukum Islam. Ibn

Hazam melarang setiap perjanjian, kecuali perjanjian jizyah dengan ahli kitab dan

Majusi.

Ayat al-Quran yang membolehkan perjanjian internasional adalah firman

Allah Swt sebagai berikut:

ا تخافن من قوم نين و ام ليحب الخاى بذ اليهم على س واء ان اللها تخافن من قوم خيانة فان وام

ل يحب ال خاىنين )ٱلنفال:٥٨( بذ اليهم على سواء ان الله خيانة فان

Artinya: “Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya)

pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada

mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang

berkhianat”. (QS. Al-Anfal/8:58)

Adapun dari hadis tentang perjanjian internasional adalah kebiasaan Nabi

Muhammad Saw., yang melakukan banyak perjanjian dengan orang-orang yang

menyatakan berperang pada Madinah. Belaiu melakukan perjanjian damai dengan

Quraisy di Hudaibiyyah, Bani Dhamrah, Alaih, dan beberapa negara lain.

Perlu untuk diperhatikan bahwa perjanjian internasional dalam

ketatanegaraan Islam berbeda-beda, bergantung pada jenis perjanjian dan hubungan

yang ingin dibangun. Sebagai contoh, perjanjian perihal tapal batas antara dua

negara atau lebih. Perjanjian seperti itu memiliki batasan dan syarat tertentu yang

berbeda dengan perjanjian militer.

Adapun syarat sah perjanjian internasional berkaitan dengan dua hal yaitu,

aktor yang bertanggungjawab melaksanakan perjanjian dan tahap pelaksanaan

perjanian. Aktor dalam perjanjian internasional adalah kepala negara, wakil kepala

20 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah)..., h. 51-52

Page 73: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

62

negara, dan atau yang mewakilinya atas nama negara yang telah mendapatkan

mandat dari negara. Setiap perjanjian internasional harus melalui ahap-tahap

tertentu agar sah dan mengikat. Tahap-tahap perjanjian internasional adalah sebagai

berikut:

a) Perundingan (al-mufawadhat);

b) Kesepakatan dan penandatanganan perjanjian (al-ittifaq wa at-tauqi’);

c) Pelaksanaan (at-tanfidz);

d) Pengumuman perjanjian.

Mayoritas ahli hukum tata negara Islam berpendapat bahwa tidak

terpenuhinya syarat perjanjian membatalkan perjanjian tersebut. Selain syarat sah

perjanjian para ahli hukum tata negara juga memberlakukan rukun perjanjian yaitu

pihak yang mengadakan perjanjian (al-aqidain), objek yang disepakati

(mahallul’aqd), dan diktum perjanjian (shigat al-‘aqd).21

Dari penjelasan di atas siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah menganalisis

bahwa dalam perjanjian bilateral antara Indonesia dan Singapura terkait dengan

pelayanan pelaksanaan navigasi Flight Information Region (FIR) sudah sesuai

dengan pelaksanaan perjanjian internasional Islam. Agreement between the

Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of

Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight

Information Region and the Jakarta Flight Information Region. Perjanjian tersebut

telah berlaku sejak ditandatanganinya oleh kedua pihak tertanggal 21 September

1995, dan telah diratifikasi berdasarkan Keppres No. 7 tahun 1996 oleh Pemerintah

Indonesia tertanggal 2 Pebruari 1996, dan sesuai dengan isi perjanjian bahwa,

perjanjian tersebut dapat ditinjau ulang setelah 5 (lima) tahun.

Dalam siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah pun untuk pelaksaan perjanjian

dimulai setelah ditandatangani, kecuali jika ditentukan waktu untuk memulai

pelaksanaannya. Akan tetapi dalam siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah pembicaraan

mengenai perjanjian ruang udara masih bersifat global tidak berbicara secara detail

seperti hukum internasional konvensional. Selain sebagai panduan global dalam hal

perjanjian internasional siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah juga merupakan panduan

21 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah)..., h. 53-59

Page 74: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

63

moral dalam menepati perjanjian. Sebagaimana yang tertera dalam firman Allah

Swt:

م . . . . )ٱلنحل:٩١( اذا عاهدت واوفوا بعهد الله

Artinya: “Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji...”.

(QS. An-Nahl/16:91)

Sehingga penulis berpandangan bahwa terkait dengan perjanjian bilateral

antara Indonesia dan Singapura seharusnya sudah berlaku sejak diratifikasinya

perjanjian tersebut oleh Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 1996. Karena jika

perjanjian tersebut tidak berlaku maka dalam pendelegasian Flight Information

Region (FIR) terjadi kekosongan hukum. Padahal dalam pendelegasian tersebut

dibutuhkan suatu nota kesepakatan anatara kedua belah pihak yang berisi

persyaratan-persyaratan tentang pelayanan yang mencakup fasilitas dan tingkat

pelayanan yang akan diberikan. Dengan kata lain dalam pendelegasian suatu ruang

udara yang akan dikelola oleh negara lain diperlukan adanya perjanjian

internasional antara kedua negara.

Page 75: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

64

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kedaulatan negara atas ruang udara menurut Pasal 1 Konvensi Chicago

1944 tentang penerbangan sipil internasional adalah bersifat penuh dan

eksklusif. Sifat kedaulatan yang penuh dan eksklusif dari negara di ruang

udara nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan

negara di laut wilayahnya. Dengan demikian ruang udara nasional suatu

negara adalah tertutup, mengingat udara sebagai media gerak amatlah rawan

ditinjau dari segi kedaulatan, pertahanan dan keamanan negara kolong.

Untuk regulasi tentang kedaulatan negara di ruang udara Indonesia sendiri

lebih lanjut diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, serta ketentuan lebih lanjut

Pasal 9 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang

Pengamanan Wilayah Udara Indonesia.

2. Pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura perspektif

Siyasah Kharijiyyah dapat dibenarkan dalam konteks kemaslahatan ruang

udara sehingga tercapainya keselamatan penerbangan yang aman dan

efisien serta untuk mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat. Namun

dalam konteks kedaulatan negara terkait dengan Flight Information Region

(FIR) Singapura bukan hanya masalah “safety and efficiency” tetapi juga

masalah kedaulatan. Pelayanan memang bisa didelegasikan melalui suatu

nota kesepakatan anatara kedua belah pihak, namun dalam pasl 5 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan disebutkan secara tegas

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif

atas wilayah udara Republik Indonesia. Sehingga perlu dipahami, bahwa

negara yang memiliki wilayah kedaulatan lah yang pertama kali mempunyai

kewajiban memiliki dan mengelola Flight Information Region (FIR).

Page 76: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

65

B. Saran

Berdasarkan pemaparan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran

terkai dengan upaya pengambilalihan Flight Information Region (FIR) Singapura

sebagai berikut:

1. Untuk delegasi Indonesia seharusnya memahami dan konsisten bahwa

masalah Flight Information Region (FIR) bukan hanya masalah “safety and

efficiency” tetapi juga masalah kedaulatan, karena salah satu wujud dari

adanya kedaulatan adalah kemampuan untuk mengontrol sendiri ruang

udara Indonesia dan hal ini sudah menjadi amanat pasal 458 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan telah dirumuskan

menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Instruksi Presiden pada

tanggal 8 September 2015.

2. Pengambilalihan Flight Information Region (FIR) adalah Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sehingga proses ini harus

diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan secara

berjadwal hasilnya dipublikasikan ke masyarakat luas.

3. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia harus

menindaklanjuti terkait dengan “Danger Area” oleh Singapura yang

dipergunakan latihan militer Singapura di wilayah Indonesia. Karena

penetapan wilayah tersebut tidak dilandasi dengan suatu perjanjian bilateral

antara Indonesia dan Singapura. Sehingga Indonesia harus melakukan

protes keras atas penetapan “Danger Area” tersebut.

4. Untuk Lembaga/serta Badan Organisasi yang bekerjasama menangani

masalah Flight Information Region (FIR) agar segera melakukan tinjauan

hukum nasional dan internasional terkait dengan regulasi penerbangan

(Perjanjian FIR Realignment 1995, Konvensi Chicago 1944 dan Standards

and Recomended Practices).

5. Untuk Lembaga/serta Badan Organisasi yang bekerjasama menangani

masalah Flight Information Region (FIR) agar segera melakukan koordinasi

terkait dengan Proposal for Amendment (PfA) Indonesia-Singapura.

Page 77: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

66

6. Dalam langkah pengambilalihan secara teknis Indonesia dapat mencontoh

langkah Kamboja yang mengambil alih Flight Information Region (FIR)

dari Thailand. Dalam hal ini, Kamboja melakukan pendekatan tekhnis,

dimulai tahun 2000 Kamboja membangun pelayanan navigasi

internasionalnya. Selanjutnya, tahun 2001 membuat working paper ke

ICAO tentang rencana pengambilalihan Flight Information Region (FIR)

nya. Walaupun banyak negara dan organisasi penerbangan yang menentang

rencana tersebut, namun atas dasar kedaulatan, Kamboja akhirnya berhasil

mengendalikan sendiri wilayah udaranya pada tahun 2002.

Page 78: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

67

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Al-Qur’an al-Karim

Abdurrasyid, Priyatna. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat

Penelitian Hukum Angkasa. 1972.

_____ . Mata Rantai Pembangunan Ilmu Teknologi dan Hukum Kedirgantaraan

Nasional Indonesia. Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan

Arbitrase Nasional Indonesia, TNI AU dan Air Power Center of Indonesia.

2011.

Maududi, al, AbulA’la. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Bandung:

Mizan. 1990.

Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2009.

DEPANRI. Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua: Flight Information

Region. Jakarta: Dewan Penerbangan dan Antariksa Penerbangan Republik

Indonesia. 2003.

Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Cetak Biru Transportasi Udara

2005-2024 (Konsep Akhir), Ditjen Perhubungan Udara. Maret 2005.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum

Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2011.

Hakim, Chappy. Berdaulat di Udara Membangun Citra Penerbangan Nasional.

Jakarta: PT Kompas Media. 2010.

Hamidi, Jazim. Mohamad Sinal, dkk, Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point

Of The State. Jakarta: Salemba Humanika. 2012.

Page 79: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

68

Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.

Isjwara, Fred. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta, 1996.

Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

1993.

Mabesau. Dasar-Dasar Hukum Udara Bagi Pelaksana Operasi Udara TNI

Angkatan Udara. Jakarta. 2006.

Maleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

2005.

Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik

(Public International and National Air Law). Jakarta: Rajawali Pers. 2016.

Martono, K. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada. 2012.

_____ . Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa. Bandung: Alumni.

1987.

Nugroho, Yuwono Agung Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia. Jakarta: PT Bumi

Intitama Sejahtera. 2006.

Praja, Juhaya S. Pemikiran Ketatanegaraan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2010.

Rasyid, Hatamar. Pengantar Ilmu Politik: Perspektif Barat dan Islam. Jakarta:

Rajawali Pers. 2017.

Ridwan. Fiqh Politik Gagasan Harapan Dan Kenyataan. Yogyakarta: FH UII

Press. 2007.

Rudy, T. May. Hukum Internasional II. Bandung: PT Refika Aditama. 2006.

Shawcross and Beaumont. Air Law, Fourth Edition. London: Butterworth. 2005.

Page 80: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

69

Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. 1980.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum Jurimetri. Jakarta: GHia

Indonesia. 1998.

_____ . Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.

2001.

Suherman, E. Hukum Udara Indonesia & Internasional. Bandung: Bandung:

Alumni. 1983.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

2006.

Suntana, Ija. Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah). Bandung:

Pustaka Setia. 2015.

Widodo, L. Amin. Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional. Yogyakarta: Tiara

Wacansa. 1994.

Yusuf, Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan.

Jakarta: Kencana. 2014.

JURNAL

Fahrazi, Mahfud. Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan

Riau dan Natuna, JH Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam

Indonesia, Vol. 26 Issue 2. Mei 2019.

Johan, Eva. Pengaturan Mengenai Pesawat Udara Militer Menurut Hukum Udara

Internasional. Perspektif, Vol. XV, No.3. 2010.

Latipulhayat, Atip. Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or

safety issue? The Case of Indonesia-Singapore. Bandung: Jurnal Pusat

Hukum Udara dan Luar Angkasa Indonesia Fakultas Hukum Universitas

Padjajaran.

Page 81: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

70

Purwanto, Harry. Rute Penerbangan di atas Alur Kepulauan Perspektif Indonesia,

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1. Universitas Gajah Mada. 2014.

Wiradipradja, E. Saefullah. Wilayah Udara Negara (State Air Territory) di Tinjau

dari Segi Hukum Internasional dan Nasional Indonesia. Jurnal Hukum

Internasional, Vol. 6 No. 4. Juli 2009.

_____ . Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan Riau Dan

Natuna. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Kediri. 2019.

Putri, Maulidya Tiarayu. Tinjauan Yuridis Pengelolaan Flight Information Region

(FIR) Kepulauan Natuna dan Riau Oleh Singapura Serta Pengaruh

Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal

Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya. 2019.

SKRIPSI

Razzaq, Ahmad Maulana. Analisis Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dalam

Penanganan Pelanggaran Penerbangan di Wilayah Indonesia. Makassar:

Skripsi Universitas Hasanuddin. 2014.

Zulkarnain, Muhammad Fitrah. Flight Information Region (FIR) Singapura Dan

Dampaknya Terhadap Kedaulatan Dan Keamanan Indonesia. Makassar:

Skripsi Universitas Hasanuddin. 2018.

Al Istiqomah, Miftahul Khoiriyah. Upaya Pengambilalihan Flight Information

Region Kawasan Kepulauan Riau Dan Natuna Oleh Indonesia Dari

Singapura. Jawa Timur: Skripsi Universitas Jember. 2016.

Priyono, Ignasius. Analisis Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam Upaya

Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Udara Pada Flight Information

Region (FIR) Singapura di Atas Kepulauan Riau. Makassar: Skripsi

Universitas Hasanuddin. 2016.

TESIS

Zuraida, Evi. Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilaliha Pelayanan Navgasi

Penerbangan Pada Flight Information Region (FIR) Singapura di atas

Page 82: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

71

Wilayah Udara Indonesia Berdasarkan Perjanjian antara Indonesia

Singapura Tahun 1995. Tesis: Universitas Indonesia Jakarta. 2012.

UNDANG-UNDANG

Annex 11 to the Convention on International Civil Aviation

Konvensi Chicago 1944

Peratura Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan

Penerbangan

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

INTERVIEW

Abu, Supri. Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Interview Online. Kebumen.

13 April 2020 Pukul 16.00 WIB.

Aron, Andy. Sekretaris Pertama Direktorat Hukum dan Perjanjian Kewilayahan

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian

Republik Indonesia. Interview Online. Kebumen. 09 April 2020 pukul 10.30

WIB.

Latipulhayat, Atip. Ketua Pusat Hukum Udara dan Luar Angkasa Indonesia

Universitas Padjajaran Bandung. Interview Online. Kebumen. 26 April

2020.

Page 83: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

72

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 84: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

73

Page 85: KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51199/1/NUR KH… · ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION

74