kedaulatan negara atas ruang udara terhadap...
TRANSCRIPT
KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP
PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)
SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
NUR K HOLIFAH
NIM. 11160453000021
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2020 M/1441 H
i
KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA TERHADAP
PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)
SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
NUR KHOLIFAH
11160453000021
Pembimbing:
At ep Abdurof iq , M. S i
NIP. 19770317 200501 1 010
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2020 M/1441 H
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA
TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION
REGION (FIR) SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH”
telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Jumat, tanggal 15 Mei
2020 M /22 Ramadhan 1441 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah).
Jakarta, 15 Mei 2020 M
22 Ramadhan 1441 H
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Sri Hidayati, M.Ag (………………………... )
NIP. 19710215 199703 2 002
2. Sekretaris : Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag, M.Si (………………………... )
NIP. 19781230200112 2 002
3. Pembimbing : Atep Abdurrofiq, M.Si. ( ………………………...) NIP. 19770317 200501 1 010
4. Penguji 1 : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H.,
MA.
( ………………………...)
NIP. 19711212 199503 1 001
5. Penguji 2 : Dr. Rumadi, M.Ag. ( ………………………...)
NIP. 19690304 199703 1 001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini adalah hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang telah saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan sepenuhnya dari karya orang lain, maka saya bersedia
menempuh sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Mei 2020
Nur Kholifah
NIM. 11160453000021
iv
ABSTRAK
Nur Kholifah, NIM 11160453000021, “KEDAULATAN NEGARA
ATAS RUANG UDARA TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT
INFORMATION REGION (FIR) SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH
KHARIJIYYAH,” Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020
M. x ± 74 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penanganan masalah kedaulatan
negara atas ruang udara terhadap pelayanan navigasi Flight Information Region
(FIR) Singapura Perspektif Siyasah Kharijiyyah.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode pendekatan
yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data
yang diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada Badan atau Lembaga
Negara yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian yang hendak diteliti.
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui metode dokumentasi
atau pustaka (library research). Kemudian data dan informasi penelitian yang telah
terkumpul, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Dalam
hal ini data-data yang telah diperoleh baik hasil wawancara maupun data pustaka
dikumpulkan secara utuh, yang kemudian dilakukan penyelesaian dan analisis
secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kedaulatan negara atas ruang
udara adalah bersifat penuh dan eksklusif. Hal tersebut dikukuhkan dalam Pasal 1
sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, serta ketentuan lebih lanjut Pasal 9 diatur dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Indonesia.
Adapun dalam pelayanan navigasi FIR Singapura dalam perspektif Siyasah
Kharijiyyah dapat dibenarkan dalam konteks kemaslahatan ruang udara sehingga
tercapainya keselamatan penerbangan yang aman dan efisien serta untuk mencegah
terjadinya tabrakan antar pesawat. Namun dalam konteks kedaulatan negara terkait
dengan Flight Information Region (FIR) Singapura bukan hanya masalah “safety
and efficiency” tetapi juga masalah kedaulatan. Pelayanan memang bisa
didelegasikan melalui suatu nota kesepakatan anatara kedua belah pihak, namun
dalam pasl 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
disebutkan secara tegas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat
penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Sehingga perlu
dipahami, bahwa negara yang memiliki wilayah kedaulatan lah yang pertama kali
mempunyai kewajiban memiliki dan mengelola Flight Information Region (FIR).
Kata Kunci : Kedaulatan, Ruang Udara, Flight Information Region (FIR)
Singapura, Siyasah Kharijiyyah
Pembimbing : Atep Abdurofiq, M.Si.
Daftar Pustaka : 1944-2020
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat, anugerah, dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA
TERHADAP PELAYANAN NAVIGASI FLIGHT INFORMATION REGION
(FIR) SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH.” Shalawat serta
salam penulis limpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
memimpin umat Islam dari zaman Jahiliyyah menuju jalan yang diridhoi Allah
SWT. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang amat besar kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan para Wakil
Dekan.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu
memberi semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Dan satu hal yang paling istimewa dari beliau adalah tidak pernah
bosan untuk mendengarkan keluh kesah dan mengingatkan penulis selama
menjadi mahasisiwa Hukum Tata Negara.
4. Ibu Dr. Masyrofah, S.Ag., M. Si, Sekretaris Program Studi Hukum Tata
Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selalu memberi nasihat dan menyalurkan semangat kepada penulis dalam
hal apapun.
5. Bapak Dr. Rumadi Ahmad, M.A, Dosen Penasihat Akademik penulis dari
semester 1 sampai dengan semster 7 dan selanjutnya tugas beliau menjadi
Dosen Penasihat Akademik dilanjutkan oleh Ibu Ria Safitri M.Hum, yang
vi
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyusun
proposal skripsi sampai selesainya skripsi ini.
6. Bapak Atep Abdurofiq, M.Si, Dosen Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
tepat waktu.
7. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen Program Studi Hukum
Tata Negara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan
ikhlas, semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta
menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah.
8. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidyatullah Jakarta, Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, juga Pimpinan dan segenap staf
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang telah menyediakan fasilitas
yang memadai untuk studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi.
9. Keluarga Besar Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, khususnya Bapak Andy
Aron yang telah membantu penulis dalam memberikan informasi dan data
terkait penelitian ini.
10. Bapak Dr. Supri Abu, S.H., M.H dan Prof. Atip Latipul Hayat, S.H. L.L.M.,
Ph.D, yang telah membantu penulis dalam memberikan informasin dan data
terkait penelitian ini.
11. Keluarga tercinta penulis, Bapak Entus Tusiran dan Ibu Ucu Enong Ulfah,
Kakak Muhammad Riyan Sutanto, Sulecha dan Deni Setiawan, Adik-adik
penulis Fitri Khofifah, Rina Fathonah, Rizki Amaludin, dan Aisyah Naifah
Mahiroh serta Keluarga Besar penulis terkhusus Alm. H. Supran, Hj. Siti
Robiatul Adawiyah, Alm. Sanwito dan Tugini selaku Kakek dan Nenek
penulis yang selalu memberikan doa restu, semangat, motivasi, bimbingan,
dan dukungannya. Baik dukungan secara moriil maupun materiil kepada
vii
penulis mulai dari penulis di sekolah dasar sampai dengan Perguruan Tinggi
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Keluarga Besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidyatullah Jakarta
angkatan 2016 sekaligus teman-teman seperjuangan penulis Adin, Andi,
Bayu, Baskhoro, Bintang, Bustan, Fahmi, Fakhri, Fahriza, Fauzan, Jabbar,
Mapile, Maulana, Rais, Rendra, Rendro, Reza, Robi, Ubed, Ulil, Wildan
dan sepuluh bidadari HTN yaitu Ajeng Dwi Pramesti, Andriani Kasip,
Fadhilatur Rosyidah, Halimatur Rusyda, Husniyah, Inten Murnia Sari, Lis
Diana Putri, Miftahurrahmah, Silmi Nurtsin, dan Syifa Salsabila Nasution.
Tentunya juga teman-teman penulis lainnya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang telah berjuang bersama melewati suka dan duka
selama berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13. Keluarga Besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidyatullah Jakarta
angkatan 2013, 2014 dan 2015 sekaligus kakak senior penulis Bang Ikhsan
Binjo, Bang Dudu, Bang Ikhsan Togar, Bang Azmi, Bang Dimas, Bang
Aziz, Bang Tansa, Kak Hendri, Bang Ridwan, Bang Arlen, Bang Cagur,
Bang Nubli, Bang Wahyu, Bang Azka, Kak Fanny, Ka Atu, Kak Indar, Kak
Ika, Kak Lesnida, Kak Fatma,Kak Agilia, dan Kakak-kakak yang lain yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat
dukungan, dan bimbingannya kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.
14. Keluarga Besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidyatullah Jakarta
angkatan 2017, 2018 dan 2019 sekaligus adik tingkat penulis Dandy,
Risang, Harun, Rizki, Ikrar, Rama, Reyhan, Nurdin, Yaqin, Bahrun, Fikriya,
Nunus, Fira, Ulya, Karin, Caca, Aca, Khodijah, Lani, Sheila, Racil, Ameg,
Vina, Feli, dan Adik-adik yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis
sampai selesainya skripsi ini.
15. Pengurus HMPS Hukum Tata Negara, Keluarga Besar HMI dan KOHATI
Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum Cabang Ciputat, terkhusus
keluarga Besar HMI Hukum Tata Negara dan angkatan 2016, Dewan
Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Tangerang,
viii
Himpunan Mahasiswa Banten, dan Ikatan Mahasiswa Kebumen UIN
Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar
dan berproses dalam berorganisasi selama berkuliah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
16. Keluarga KKN 120 “VICTORY” Rosid, Reni, Oki, Alfi, Mita, Indah, Niko,
Bayan, Andini, Fachri, Dian, Diny, Adel, Rois, Rizki, dan Nizar yang telah
berjuang bersama melewati suka dan duka selama pelaksanaan kuliah kerja
nyata di Desa Muncung Kecamatan Kronjo.
17. Keluarga “Beluk” Beti Kamarini, Ckhris Aprilia, Dwi Suci Fachrunnisa, Eli
Yuniarti, Linawati, Mahita Febiandhika, Nurul Hidayati, Puji Rahayu, serta
Sindi Irnanda Subandi, Peri Susanto, Adam Hamid, Alif Bagus Pamuji,
Khamid Fauzan, Arif Prayitno dan Angling yang telah memberikan
semangat dan dukungan kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.
18. Kepada Kak Faiqah Nur Azizah, Kak Dwi Anggorowati, Kak Ahmad
Azharil, Kak Rizwan Darmawan, Kak Erdi Purnomo terkhusus kepada Kak
Athari Farhani, yang selalu memberikan semangat, motivasi dan
bimbingannya kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.
19. Kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat
dan dukungan kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.
Terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak
kepada penulis. Semoga bantuan yang telah diberikan dibalas dengan pahala oleh
Allah SWT dan menjadi amal jariyah. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
dan masyarakat luas pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Jakarta, 15 Mei 2020
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .................................... 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ............................................................................10
F. Sistematika Pembahasan.........................................................................13
BAB II TEORI KEDAULATAN NEGARA DAN UDARA DI ATAS
WILAYAH NEGARA
A. Teori Kedaulatan Negara .......................................................................14
B. Teori Kedaulatan Udara “Negara Kolong” atas Ruang Udara di atas
Wilayah Negara ......................................................................................18
C. Kedaulatan Negara di Udara ..................................................................21
D. Batas Wilayah Udara .............................................................................22
E. Kedaulatan Atas Wilayah Udara .............................................................24
F. Siyasah Kharijiyyah ...............................................................................26
BAB III PERKEMBANGAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)
DALAM HUKUM UDARA DI INDONESIA
A. Perkembangan Hukum Udara Di Indonesia ...........................................28
1. Pengertian Hukum Udara ...........................................................28
x
2. Sejarah Perkembangan Ruang Udara ..........................................29
3. Sejarah Perkembangan Hukum Udara Indonesia ........................31
B. Perkembangan Flight Information Region (FIR) Dalam Wilayah Udara di
Indonesia ................................................................................................32
1. Sejarah Flight Information Region (FIR) ....................................32
2. Pembentukan Flight Information Region (FIR) di Wilayah
Indonesia .....................................................................................35
C. Pendelegasian Flight Information Region (FIR) Singapura .....................37
1. Sejarah Pengelolaan Flight Information Region (FIR) Ruang Udara
Indonesia Oleh Negara Lain ........................................................37
2. Perjanjian Flight Information Region (FIR) anatara Indonesia
dengan Singapura ........................................................................38
BAB IV PELAYANAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)
SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH KHARIJIYYAH
A. Kedaulatan Negara atas Ruang Udara Indonesia ...................................44
B. Flight Information Region (FIR) Perspektif Hukum Positif.....................50
C. Analisis Pelaksanaan Pelayanan Flight Information Region (FIR) Singapura
Perspektif Siyasah Kharijiyah.................................................................53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................64
B. Saran ......................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................67
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedaulatan merupakan salah satu wujud eksistensi dari suatu negara.
Kedaulatan dapat diartikan sebagai hak mutlak atau kekuasaan tertinggi yang
dimiliki oleh suatu negara untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban di
wilayahnya tanpa ada intervensi dari negara lain. Kedaulatan dalam konteks ilmu
tata negara, I Wayan Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan
sebagai kekuasaan yang tertinggi, mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi,
dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain.1 Lebih lanjut,
Jean Bodin (1530-1596) menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri
khusus dari suatu negara dan tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang
dinamakan negara.2 Pikiran Jean Bodin yang dituangkan dalam tulisannya tersebut
menunjukkan betapa pentingnya suatu kedaulatan bagi pelaksanaan pemerintahan
dan sejak itu kedaulatan merupakan masalah sentral dalam pembahasan perangkat
negara modern dan teori dari hukum internasional.3
Konsep kedaulatan dalam praktiknya di Indonesia tertuang jelas dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang
menyatakan bahwa “Wilayah Negara meliputi wilayah darat, wilayah perairan,
dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh
sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya”.4 Kemudian, pada Pasal 5
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara juga disebutkan
1 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 8
2 Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Binacipta, 1996), h. 89
3 Eva Johan, Pengaturan Mengenai Pesawat Udara Militer Menurut Hukum Udara
Internasional, Perspektif, Vol. XV, No.3, 2010, h. 265
4 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
2
bahwa batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya,
serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau
trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara, serta berdasar pada
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.5
Berdasarkan pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara di atas, wilayah suatu negara terdiri dari tiga dimensi yaitu daratan,
perairan, dan ruang udara. Semua negara memiliki ruang udara, namun tidak semua
negara memiliki wilayah perairan (laut) atau dikatakan sebagai negara dua dimensi,
seperti Laos, Kamboja, Nepal, Kazakhstan, Swiss, Austria, Irak, Congo, Nigeria,
dan lain sebagainya, yang dalam istilah hukum internasional disebut landlocked
states. Sedang yang lengkap memiliki tiga dimensi yaitu Indonesia, Singapura,
Malaysia, Filipina, India, Pakistan, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Kanada,
Argentina, China, Korea, Jepang, dan lain sebagainya. Dengan demikian tidak
semua negara memiliki wilayah tiga dimensi dan tidak semua negara memiliki
wilayah perairan, namun tidak satupun negara di dunia ini yang tidak memiliki
daratan dan ruang udara.6
Sehubungan dengan hal tersebut, muncul lah prinsip yang menyatakan
bahwa “Setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan eksklusif”, dimana
prinsip ini kemudian menjadi pedoman bagi negara-negara dalam pengaturan
tentang kedaulatan di ruang udara di atas wilayahnya dan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang penerbangan. Adapun konsep negara atas ruang
udaranya berasal dari konsep hukum perdata Romawi yang berbunyi “Cujus est
solum, ejus ad coelum et ad inferos” yang berarti “Barang siapa memiliki sebidang
tanah maka dia memiliki segala yang berada diatasnya sampai ke langit dan segala
yang berada di dalam tanah”. Pengaruh prinsip ini bisa kita lihat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata pasal 571 yang berbunyi “Hak milik atas sebidang
5 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
6 E. Saefullah Wiradipradja, Wilayah Udara Negara (State Air Territory) di Tinjau dari
Segi Hukum Internasional dan Nasional Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 6 No. 4, Juli
2009, h. 498-499
3
tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya
dan di dalam tanah”.7
Berkaitan dengan kedaulatan ruang udara, dalam dunia internasional telah
disepakati melalui Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 bahwa “Negara mempunyai
kedaulatan yang bersifat lengkap dan eksklusif (penuh dan utuh) atas ruang udara
di atas wilayahnya”.8 Indonesia telah mengukuhkan prinsip tersebut dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan
bahwa “Negara Indonesia bardaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik
Indonesia”.9 Berdasarkan pasal tersebut diberikan pandangan bahwa perwujudan
dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial
adalah a) setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh
ruang udara nasionalnya dan b) tidak ada satupun kegiatan atau usaha di ruang
udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah
diatur dalam suatu perjanjian udara antara suatu negara dengan negara lain, baik
secara bilateral maupun multilateral.
Dalam ketatanegaraan Islam (siyasah) terkait dengan hubungan antar
negara dibahas dalam siyasah dauliyah. Istilah siyasah dauliyah merupakan ilmu
yang mengatur kewenangan suatu negara untuk mengatur hubungannya dengan
negara lain (antarnegara). Siyasah dauliyah memiliki beberapa tema kajian dalam
ruang lingkupnya, salah satu tema kajiannya adalah tentang hubungan internasional
atau disebut dengan siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah.10 Dimana dalam siyasah
7 E. Saefullah Wiradipradja, Wilayah Udara Negara (State Air Territory) di Tinjau dari
Segi Hukum Internasional dan Nasional Indonesia…, h. 499
8 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944
9 Pasal 5 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
10 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah), (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), h. 15
4
kharijiyyah as-syar’iyyah titik berat pembicaraannya ialah sekitar hubungan antar
negara dan orang-orang yang tercakup dalam hukum internasional.11
Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan atas wilayah udara negara
Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional,
pertahanan dan keamanan negara, sosial, budaya serta lingkungan udara. Untuk
mendukung pengaturan lalu lintas udara ini, maka dilakukan penetapan Flight
Information Region (FIR).12
Flight Information Region (FIR) disebut juga dengan “ruang udara yang
dilayani” merupakan suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya dengan suatu
pembagian wilayah udara yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan
keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negara-negara yang tergabung
dalam International Civil Aviation Organization (ICAO) dimana didalamnya
diberikan pelayanan lalu lintas/navigasi penerbangan. Yang dimaksud dengan
navigasi penerbangan adalah setiap kegiatan pemanduan terhadap pesawat terbang
dan helikopter selama beroperasi yang dilengkapi dengan fasilitas navigasi
penerbangan di dalam ruang udara yang dikuasai oleh negara Indonesia untuk
digunakan sebagi kegiatan operasi penerbangan dalam bentuk tatanan ruang udara
nasional. Sedangkan maksud dari ruang udara yang dilayani menurut ketentuan ada
dua kategori, yakni: ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya (FIR)
menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia dan ruang udara yang dilayani
berdasarkan perjanjian antara negara yang berbatasan yang ditetapkan oleh ICAO.13
Pengendalian lalu lintas udara untuk wilayah ruang udara di Indonesia
sendiri dibagi pada dua wilayah FIR, yakni FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang,
11 L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Tiara
Wacansa, 1994), hal. 1
12 Harry Purwanto, Rute Penerbangan di atas Alur Kepulauan Perspektif Indonesia,
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1, Universitas Gajah Mada, 2014, h. 10
13 Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Cetak Biru Transportasi Udara 2005-
2024 (Konsep Akhir), Ditjen Perhubungan Udara, Maret 2005, h. 111-119
5
yang dibantu FIR Singapura untuk wilayah di atas Batam, Matak, dan Natuna
(sektor A, B, dan C). Untuk sektor A, Indonesia mendelegasikan tanggung jawab
pelayanan navigasi dari permukaan laut hingga ketinggian 37 ribu kaki. Di sektor
B, pendelegasian meliputi pemukaan laut hingga ketinggian tak terbatas.
Sedangkan sektor C ditetapkan sebagai wilayah abu-abu (tidak termasuk dalam
perjanjian karena masih terkait persoalan perbatasan dengan Malaysia). Di sektor
A, FIR Singapura mendapat mandat untuk mengutip jasa navigasi penerbangan sipil
(Route Air Navigation Servises atau RANS fee) atas nama pemerintah Indonesia,
untuk selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Untuk wilayah di
sektor B dan C tidak dikenai Rans Charge karena masih membutuhkan pembahasan
lebih lanjut dengan berbagai pihak.14
Jika melihat kembali masalah kedaulatan suatu negara tidak terlepas dari
tiga mata rantai yaitu aspek politik, aspek hukum, dan aspek ekonomi. Dimana
aspek politik dan aspek ekonomi yang akan selalu menonjol, sedang aspek hukum
itu sendiri tertinggal. Padahal, untuk menyongsong masa depan yang ditandai
dengan kemajuan teknologi dirgantara akan banyak berhadapan dengan masalah
hukum udara. Misalnya bisa kita lihat wilayah kedaulatan udara NRI masih ada
yang tidak memiliki kedaulatan udara yang lengkap dan eksklusif, dalam artian
wilayah tersebut berada dibawah pengaturan Flight Information Region (FIR)
Singapura.
Pada tahun 2007, tercatat bahwa pihak Singapura pernah mengusir
penerbangan pesawat sipil yang melakukan penerbangan di daerah Pulau Batam
dan Kepulauan Anambas yang dikategorikan sebagai danger area. Pada tahun
selanjutnya, Kosekhanudnas mencatat bahwa militer Singapura sudah 18 kali
melanggar batas wilayah Indonesia, dimana pelatihan militer negara Singapura di
wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna dilakukan tanpa izin dari Indonesia
karena FIR di daerah tersebut berada dibawah kontrol Singapura. Kemudian
pelanggaran yang sama kembali meningkat pada tahun 2011, sebanyak 21 kali
14 Mahfud Fahrazi, Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan Riau
dan Natuna, JH Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 26 Issue 2, Mei
2019
6
kasus pelanggaran.15 Di wilayah Kepulauan Riau ini sendiri, FIR Singapura yang
sudah memegangnya selama puluhan tahun sering bertindak berlebihan (over
acting) dalam mengatur pesawat Indonesia di atas wilayah Indonesia sendiri dengan
mengatasnamakan keselamatan penerbangan (sebenarnya adalah bisnis
penerbangan) di Changi Airport untuk kepentingan Singapura sendiri. Semua
penerbang Indonesia yang sering atau yang pernah melaksanakan tugas di wilayah
ini pasti merasakan kejanggalan yang sangat tidak mengenakkan ini. Bergerak di
rumah sendiri, akan tetapi harus mendapat izin dan diatur mutlak oleh tetangganya
yang tinggal disebelah, dengan rumah yang jauh lebih kecil atau dari pavilumnya
sekalipun.16
Melihat fenomena di atas, sudah sepatutnya terbang di wilayah kedaulatan
sendiri dengan nyaman dan dihargai sesuai harkat dan martabat sebagai pemilik
yang sah dari wilayah udara tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan pernyataan-
pernyataan diatas, maka penulis menuangkan dalam bentuk penelitian skripsi yang
berjudul “Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara Terhadap Pelayanan
Navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura Perspektif Siyasah
Kharijiyyah”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait dengan Kedaulatan
negara dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam atas ruang udara terhadap
pelayanan navigasi flight information region (FIR) Singapura. Adapun identifikasi
masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
15 Ahmad Maulana Razzaq, Analisis Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dalam
Penanganan Pelanggaran Penerbangan di Wilayah Indonesia, (Makassar: SkripsiUniversitas
Hasanuddin, 2014), h. 59
16 Chappy Hakim, Berdaulat di Udara Membangun Citra Penerbangan Nasional, (Jakarta:
PT Kompas Media, 2010), h. 71
7
a. Kedaulatan Negara Terhadap Ruang Udara
b. Pelayanan Navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura di
Indonesia
c. Kedaulatan negara dalam prespektif Siyasah Kharijiyyah
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan,
banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu dijawab. Akan tetapi, untuk
mempermudah pembahasan dan penelitian skripsi ini, perlu diadakannya
pembatasan masalah agar pembahasan dari penelitian skripsi ini hanya berfokus
untuk menjawab satu permasalahan, yaitu Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara
Terhadap Pelayanan Navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura Perpektif
Siyasah Kharijiyyah.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik
beberapa substansi rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana Kedaulatan Negara atas Ruang Udara di Indonesia ?
b. Bagaimana Pelayanan Navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura
Perspektif Siyasah Kharijiyyah ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan tambahan literatur bagi ilmu
pengetahuan khususnya hukum tata negara dalam penanganan masalah kedaulatan
negara atas ruang udara terhadap pelayanan navigasi Flight Information Region
(FIR) Singapura Perspektif Siyasah Kharijiyyah. Selain itu penelitian skripsi ini
juga bertujuan:
a. Untuk mengetahui Kedaulatan Negara atas Ruang Udara di Indonesia;
b. Untuk mengetahui Pelayanan Navigasi Flight Information Region (FIR)
Singapura Perspektif Siyasah Kharijiyyah.
8
2. Manfaat Penelitian
Didalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga
mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis
pribadi, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Akademis
Penelitian skripsi ini dapat digunakan sebagai acuan bahan penelitian lebih
lanjut guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang kedaulatan negara
atas ruang udara terhadap pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR)
Singapura perspektif siyasah kharijiyyah.
b. Manfaat Teoritis
Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan kemanfaatan
secara khusus bagi pengembangan ilmu hukum tata negara dan secara umum
bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum itu sendiri.
c. Manfaat Praktis
1) Tulisan ini diharapkan sebagai pemberian pemahaman yang utuh atas
pemahaman kedaulatan negara atas ruang udara terhadap pelayanan
navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura perspektif siyasah
kharijiyyah.
2) Agar masyarakat menegetahui kedaulatan negara atas ruang udara terhadap
pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura perspektif
siyasah kharijiyyah.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Untuk membuktikan originalitas dari penelitian ini, penulis perlu untuk
melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian dan
perbedaan dari penelitian sebelumnya:
1. Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Jember pada tahun 2016 karya Miftahul Khoiriyah Al
Istiqomah dengan judul “Upaya Pengambilalihan Flight Information Region
Kawasan Kepulauan Riau Dan Natuna Oleh Indonesia Dari Singapura”.
Dalam skripsi ini, dibahas mengenai upaya yang dilakukan pemerintah
9
Indonesia untuk mengambil alih FIR di kawasan Riau dan Natuna dari
Singapura.17
2. Skripsi jurusan Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2018
karya Muhammad Fitrah Zulkarnain dengan judul “Flight Information
Region (FIR) Singapura Dan Dampaknya Terhadap Kedaulatan Dan
Keamanan Indonesia”. Dalam skripsi ini, dibahas mengenai latar belakang
terbentuknya FIR Singapura dan dampak FIR Singapura terhadap keamanan
dan kedaulatan Indonesia.18
3. Skripsi jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2016 karya Ignasius
Priyono dengan judul “Analisis Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam
Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Udara Pada Flight Information
Region (FIR) Singapura di Atas Kepulauan Riau”. Dalam skripsi ini dibahas
mengenai peluang dan tantangan serta strategi Indonesia melalui
pendekatan hukum internasional.19
4. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Kediri pada tahun 2019 karya
Mahfud Fahrazi dengan judul “Pengelolaan Flight Information Region Di
Wilayah Kepulauan Riau Dan Natuna”. Dalam Jurnal ini dibahas mengenai
dampak yang timbul dari pengelolaan FIR oleh Singapura atas wilayah
udara Kepulauan Riau dan Natuna serta upaya apa yang telah dilakukan oleh
17 Miftahul Khoiriyah Al Istiqomah, Upaya Pengambilalihan Flight Information Region
Kawasan Kepulauan Riau Dan Natuna Oleh Indonesia Dari Singapura, (Jawa Timur: Skripsi
Universitas Jember, 2016)
18 Muhammad Fitrah Zulkarnain, Flight Information Region (FIR) Singapura Dan
Dampaknya Terhadap Kedaulatan Dan Keamanan Indonesia, (Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2018)
19 Ignasius Priyono, Analisis Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam Upaya
Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Udara Pada Flight Information Region (FIR) Singapura di
Atas Kepulauan Riau, (Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2016)
10
pemerintah Indonesia untuk mengambil alih pengelolaan FIR oleh
Singapura atas wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna.20
5. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya pada
tahun 2019 karya Maulidya Tiarayu Putri dengan judul “Tinjauan Yuridis
Pengelolaan Flight Information Region (FIR) Kepulauan Natuna dan Riau
Oleh Singapura Serta Pengaruh Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”. Dalam Jurnal ini dibahas akibat hukum dari Perjanjian
Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Singapura dan
Malaysia yaitu Route Air Navigation Services (RANS I, II, dan III) yang
menyatakan tentang pengelolaan FIR wilayah udara atas Kepulauan Natuna
dan Riau dimiliki oleh Singapura dan Malaysia telah disepakati para pihak,
termasuk pemerintah Indonesia.21
Perbedaan dengan peneliti sebelumnya adalah dalam penelitian skripsi ini
akan dibahas mengenai kedaulatan negara atas ruang udara di indonesia dan
pelayanan navigasi flight information region (FIR) Singapura perspektif Siyasah
Kharijiyyah.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.22
Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menemukan jawaban terhadap suatu
20 Mahfud Fahrazi, Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan Riau
Dan Natuna, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Kediri, (2019)
21 Maulidya Tiarayu Putri, Tinjauan Yuridis Pengelolaan Flight Information Region (FIR)
Kepulauan Natuna dan Riau Oleh Singapura Serta Pengaruh Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya,
(2019)
22 Lexy J Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005),
h. 3
11
fenomena atau pertanyaan melalui aplikasi prosedur ilmiah secara sistematis
dengan menggunakan pendekatan kualitatif.23
2. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro Pendekatan yuridis empiris
adalah pendekatan kepustakaan yang berpedoman pada buku-buku, peraturan-
peraturan, atau literatur-literatur hukum serta bahan-bahan yang mempunyai
hubungan dengan pembahasan dalam penelitian yang hendak diteliti dan
pengambilan data langsung pada objek penelitian yang berkaitan.24 Dengan kata
lain pendekatan ini merupakan cara penelitian hukum yang menggunakan data
sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau
data lapangan.
3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data, yaitu
data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya.25
Dalam penelitian ini data primer yang digunakan yaitu melalui wawancara
langsung dengan Badan atau Lembaga Negara yang bersangkutan dengan
permasalahan penelitian yang hendak diteliti untuk mendapatkan suatu informasi
yang relevan dengan permasalahan penelitian.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber
yang telah ada. Data sekunder disebut juga dengan data tersedia atau sumber
tertulis. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-
23 Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 329
24 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001), h. 10
25 Lexy J Maleong, Metode Penelitian Kualitatif..., h. 157
12
bahan pustaka yaitu buku, perundang-undangan, jurnal, majalah ilmiah, dokumen
pribadi, dokumen resmi, arsip, dan lain-lain. Data ini berguna untuk melengkapi
data primer.26
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan dengan pertimbangan masalah yang hendak
diteliti. Teknis pengumpulan data penelitian disesuaikan dengan permasalahan
yang diteliti sehingga memiliki persinggungan yang logis antara permasalahan dan
upaya pengejaran terhadap kebenarannya. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara secara langsung kepada
Badan atau Lembaga Negara yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian
yang hendak diteliti. Selain itu juga melalui metode dokumentasi atau pustaka
library research yaitu dengan membaca dan mencatat dari buku-buku, peraturan
perundang-undangan, jurnal, artikel, surat kabar, majalah, internet dan lain
sebagainya.
5. Metode Analisis Data
Data dan informasi penelitian yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan analisis kualitatif. Dalam hal ini data-data yang telah
diperoleh baik hasil wawancara maupun data pustaka dikumpulkan secara utuh,
yang kemudian dilakukan penyelesaian dan analisis secara kualitatif dengan
berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan.
Selanjutnya dilakukan penyusunan data dalam pola tertentu melalui
pengorganisasian data dengan membuat maping (pemetaan). Hal ini dilakukan guna
mencari persamaan dan perbedaan klasifikasi atau kategori (variasi) yang muncul
dari data-data yang tersedia, sehingga dapat ditentukan tema-tema.
26 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), h. 82
13
Analogi dengan proses di atas, Koentjaraningrat menegaskan bahwa
langkah tersebut mampu memberikan deskripsi yang jelas dan akan tersusun
kedalam pola tertentu, heterogen, tema tertentu, atau pokok permaslahan tertentu.27
F. Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan Skripsi ini peneliti membuat sistematika pembahasan
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN yang merupakan gambaran umum isi penelitian
yang terdiri dari: latar belakang, identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, dan metodologi
penelitian, sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN TEORI KEDAULATAN NEGARA DAN UDARA DI
ATAS WILAYAH NEGARA berisi tentang teori kedaulatan negara, teori
kedaulatan udara “negara kolong” atas ruang udara di atas wilayah negara,
kedaulatan negara di udara, batas wilayah udara, kedaulatan atas wilayah udara, dan
Siyasah Kharijiyyah.
BAB III PERKEMBANGAN FLIGHT INFORMATION REGION
(FIR) DALAM HUKUM UDARA DI INDONESIA membahas tentang
perkembangan hukum udara di indonesia, perkembangan Flight Information
Region (FIR) dalam wilayah, dan pendelegasian Flight Information Region (FIR)
Singapura.
BAB IV PELAYANAN FIR SINGAPURA PERSPEKTIF SIYASAH
KHARIJIYYAH berisi mengenai kedaulatan negara atas ruang udara indonesia,
Flight Information Region (FIR) perspektif hukum positif, dan analisis pelaksanaan
pelayanan Flight Information Region (FIR) Singapura perspektif siyasah
kharijiyah.
BAB V PENUTUP berisi tentang uraian kesimpulan dan saran yang sesuai
dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.
27 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia,
1993), h. 209
14
BAB II
TEORI KEDAULATAN NEGARA DAN UDARA DI ATAS WILAYAH
NEGARA
A. Teori Kedaulatan Negara
Kata kedaulatan berasal dari kata sovereignty (Bahasa Inggris), sovranus
(Bahasa Italia). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari kata Latin superanus yang
berarti “yang tertinggi” (superme). Para sarjana dari abad menengah lazim
menggunakan pengertian yang serupa maknanya dengan istilah superanus itu, yaitu
summa potestas atau plenitude potestatis, yang berarti wewenang tertinggi dari
sesuatu kesatuan politik. Banyak sekali definisi untuk kata itu, tetapi istilah ini
selalu berarti otoritas pemerintahan dan hukum.1
Istilah kedaulatan sendiri dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari definisi
kata “daulat” adalah berasal dari Bahasa Arab yang berasal dari akar kata daulat
atau duulatan yang dalam makna klasiknya berarti pergantian atau peredaran.
Bahkan di dalam Al-Qur’an sendiri kata ini dipergunakan pada dua tempat, yaitu
pada ayat 140 surat Ali Imran dengan menggunakan kata kerja nudawiliha (kami
pertukarkan atau kami gantikan) dan ayat 7 surat Al-Hasyr dengan kata kerja
dulatan (beredar). Kalua pada ayat pertama terkandung muatan yang berkonotasi
politik, dimana di dalamnya memperlihatkan adanya pergantian kekuasaan, maka
pada ayat kedua lebih berkonotasi ekonomi, dimana Islam menginginkan adanya
perputaran roda ekonomi secara merata di antara kalangan masyarakat, tanpa
adanya monopoli oleh kelompok pemegang modal yang besar terhadap pemilik
modal yang kecil atau lebih.2
Selain pengertian yang bersifat doktrinal normatif seperti ini, istilah daulat
juga digunakan secara historis untuk pengertian “dinasti” atau kurun waktu
kekuasaan. Dengan pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian
kedaulatan itu dalam makna klasiknya berkaitan dengan gagasan mengenai
1 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 169
2 Hatamar Rasyid, Pengantar Ilmu Politik: Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2017), h. 168
15
kekuasaan tertinggi yang di dalamnya sekaligus terkandung dimensi waktu dan
proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifat alamiah.3
Pada abad ke-15 barulah kata kedaulatan itu tampil sebagai istilah politik
yang banyak dipergunakan terutama oleh para sarjana Prancis. Para sarjana Prancis
inilah yang kemudian mempopularisasi pemakaian kata kedaulatan (souvereinete).
Menurut Prof. Garner, Beaumanoir, dan Loyseau sebagai sarjana hukum yang
pertama kali menggunakan kata itu dalam abad ke-15.4
Jean Bodin ketika menulis buku tentang negara juga telah menggunakan
kata kedaulatan itu dalam hubungannya dengan negara, yakni sebagai ciri negara,
seperti atribut negara yang membedakan negara dari persekutuan-persekutuan
lainnya. Ia memandang kedaulatan kedaulatan dari aspek internnya., yaitu sebagai
kekuasaan tertinggi dalam sesuatu kesatuan politik. Sedangkan pengertian
kedaulatan ditinjau dari aspek eksternnya, yaitu aspek mengenai hubungan antara
negara, untuk pertama kali dipergunakan oleh Grotius yang lazim yang lazim
dianggap sebagai bapak hukum internasional.5
Bagi Bodin kedaulatan dipersonofikasi oleh raja. Raja yang berdaulat itu
tidak bertanggungjawab terhadap sipapun kecuali kepada Tuhan. Raja adalah
legibus Solutus. Raja adalah bayangan Tuhan. Kedaulatan sebagai “Summa in civics
ac sabditos legibusque solute potestes”, yang berarti kekuasaan supra dan negara
atas warga negara dan rakyatnya, yang tidak dibatasi hukum.6 Namun kedaulatan
menurut paham Bodin juga tidak mutlak semutlak-mutlaknya. Raja harus
menghormati ius naturale et gentium (hukum kodrat dan hukum anatar bangsa) dan
hukum konstitusional dari kerajaan, yakni leges imperii, misalnya hukum Salis
3 Hatamar Rasyid, Pengantar Ilmu Politik: Perspektif Barat dan Islam…, h. 169
4 Ni’matul Huda, Ilmu Negara..., h. 169
5 Ni’matul Huda, Ilmu Negara..., h. h. 170
6 Abu A’la Almaududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan,
1990), h. 237
16
tentang pergantian raja. Dengan ajaran kedaulatan seperti diuraikan di atas Bodin
meletakkan dasar filosofis daripada pengertian kedaulatan yang mutlak.
Ajaran kedaulatan yang mutlak dari Bodin diterima juga seorang absolutis
lainnya, yaitu Thomas Hobbes. Dalam ajaran Hobbes kedaulatan mencapai
derajatnya yang paling mutlak. Bagi Hobbes, adagium “Princeps legibus solutus
est” betul-betul menunjukkan keadaan raja di zamannya, raja berada di atas undang-
undang. Hobbes melanjutkan secara konsekuen teori Bodin dengan mengemukakan
bahwa para individu yang hidup dalam keadaan alamiah mereka kepada seorang
atau sekumpulan orang. Hobbes sendiri mengutamakan penyerahan itu kepada satu
orang yaitu raja. Penyerahan ini adalah mutlak. Sehingga orang yang menerimanya
berdaulat mutlak pula.7
Ajaran Bodin dan Hobbes kemudian dilanjutkan oleh Jhon Austin di
Inggris. Bagi Austin yang berdaulat adalah “legibus soluta”. Yang berdaulat adalah
“pembentuk hukum yang tertinggi” (supreme legislator) dan hukum positif adalah
hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu. Karena itu sebagai konsekuensinya,
yang berdaulat berada di atas hukum yang merupakan hasil ciptaannya sendiri.
Konsep kedaulatan tradisional itu memiliki beberapa ciri tertentu. Ciri itu
ialah kelanggengan (permanence), sifat tidak dapat dipisah-pisahkan (indisible),
sifatnya sebagai kekuasaan tertinggi (supreme), tidak terbatas dan lengkap
(complete). Dengan kelanggengan dimaksudkan sifat kedaulatan yang abadi yang
dimiliki negara selama negara itu masih ada. Sifat tidak dapat dipisah-pisahkan
menunjukkakan keadaan kedaulatan sebagai pengertian yang bulat dan tunggal.
Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi
dalam setiap negara. Kedaulatan tidak mengizinkan adanya saingan. Kedaulatan
tidak mengenal batas, karena membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang
lebih tinggi. Kedaulatan itu lengkap, sempurna, karena tiada manusia dan organisasi
yang diperkecualikan dari kekuasaan yang berdaulat.8
7 Ni’matul Huda, Ilmu Negara..., h. 170-171
8 Ni’matul Huda, Ilmu Negara..., h. 171
17
Penganut teori kedaulatan negara Jean Bodin dan Georg Jellinek
menyatakan bahwa kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan, seperti yang dikatakan
oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada
negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk
kepada negara. Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan
peraturan-peraturan hukum, hadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada
satu hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.9
Perlu diperhatikan pada hakikatnya teori kedaulatan negara itu atau Staats-
souvereiniteit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara,
entah kekuasaan itu sifatnya absolut, entah sifatnya terbatas, dan ini harus
dibedakan dengan pengertian ajaran Staats-absolutisme. Karena dalam ajaran
Staats-souvereiniteit itu pada prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan
tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi ini mungkin bersifat absolut tetapi
mungkin juga bersifat terbatas. Sedang dalam ajaran Staats-absolutisme dikatakan
bahwa kekuasaan negara itu sifatnya absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat
terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan
masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagi mempunyai
kepribadian.10
Menurut Georg Jellinek yang menciptakan hukum bukan Tuhan dan bukan
pula Raja, tetapi negara. Adanya hukum karena adanya negara. Jellinek mengatakan
bahwa hukum merupakan penjelmaan daripada kemauan negara. Negara adalah
satu-satunya sumber hukum. Oleh sebab itu kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh
negara.11 Diluar negara tidak ada satu orangpun yang berwenang menetapkan
hukum.
Menurut Jean Bodin terkait hukum adat kebiasaan, yaitu hukum tidak
tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara tetapi yang nyata berlaku
di masyarakat, tidak merupakan hukum. Sedangkan menurut Jellinek adat
9 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), h. 154
10 Soehino, Ilmu Negara…, h. 154
11 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 71
18
kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan oleh negara
sebagai hukum.12
Teori kedaulatan negara juga lahir sebagai reaksi atas kedaulatan rakyat,
namun melangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat.
Menurut paham ini, negaralah sumber dalam negara. Berdasarkan asumsi tersebut,
negara dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty, dan
property dari warganya. Warga negara beserta hak miliknya tersebut dapat
dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara. Mereka taat pada hukum, bukan
karena suatu perjanjian, melainkan karena kehendak negara.
Hal ini terutama diajarkan oleh paham Deutsche Publizisten Schule yang
memberikan kontruksi pada kekuasaan raja Jerman yang mutlak, pada suasana teori
kedaulatan rakyat. Kuatnya kedudukan raja karena mendapatkan dukungan yang
besar dari tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
1. Angkatan Perang (armee)
2. Golongan Industrial (junkertum)
3. Golongan Birokrasi (staf pegawai negara)
Dengan demikian, secara praktis dalam teori kedaulatan negara sebagaiman
yang telah dijelaskan di atas, rakyat tidak mempunyai kewenangan apa-apa dan
tidak memiliki kedaulatan. Wewenang tertinggi berada pada negara.13
B. Teori Kedaulatan Udara “Negara Kolong” atas Ruang Udara di atas
Wilayah Negara
1. Teori Kedaulatan Negara di Ruang Udara
Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat
utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum
internasional yang mengatur ruang udara. Ini dinyatakan dalam pasal 1 Konvensi
Chocago 1944 tentang penerbangan sipil internasional.
12 Soehino, Ilmu Negara…, h. 155
13 Jazim Hamidi, Mohamad Sinal, dkk, Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point Of The
State, (Jakarta: Salemba HUmanika, 2012), h. 6
19
Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh dari negara di ruang udara
nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan negara di laut
wilayahnya. Karena sifatnya yang demikian maka di ruang udara nasional tidak
dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat di laut territorial suatu negara.
Sifat tertutup ruang udara nasional dapat dipahami mengingat udara sebagai media
gerak amatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan negara kolong.14
Pelanggaran wilayah udara adalah suatu keadaan, di mana pesawat terbang
suatu negara sipil atau militer memasuki wilayah udara negara lain tanpa izin
sebelumnya dari negara yang memasukinya. Hal ini berarti pada dasarnya wilayah
udara suatu negara adalah tertutup bagi pesawat-pesawat negara lain. Penggunaan
dan control atas wilayah udaranya tersebut hanya menjadi hak yang utuh dan penuh
dari negara kolongnya.
2. Teori-teori Jarak/Batas Ketinggian Kedaulatan Negara atas Ruang
Udara
a. Penggolongan/Klasifikasi Umum (Makro)
1) Kedaulatan sampai ketinggian tidak terbatas.
2) Kedaulatan sampai ketinggian tidak terbatas, tetapi dibatasi oleh kewajiban
memberi “hak lintas damai” kepada pesawat udara negara lain.
3) Kedaulatan sampai jarak atau batas ketinggian tertentu.
4) Bahwa ruang udara adalah bebas, tetapi negara kolong (subjacent state)
boleh menetapkan pembatasan tertentu ruang udara di atas wilayah
teritorialnya atau menetapkan jalur-jalur tertentu yang boleh dan yang tidak
boleh dilintasi (untuk kepentingfan keamanan, sanitasi/kesehatan,
pelestarian lingkungan, dan lain sebagainya).
b. Penggolongan Klasifikasi Spesifik
1) Kedaulatan di ruang udara di atas wilayah negara sepenuhnya berlaku
sampai ketinggian tidak terbatas. Konvensi Paris (1919) berlaku sampai
Konvensi Chicago (1944), masing-masing pada Pasla 1, bias kita simpulkan
menyatakan berlakunya kedaulatan atas ruang udara sampai ketinggian
tidak terbatas ini.
14 T. May Rudy, Hukum Internasional II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 32
20
2) Kedaulatan pada prinsipnya sampai ketinggian tidak terbatas, tetapi dalam
masa damai harus mengijinkan lalu lintas pesawat-pesawat asing (hak lintas
damai) ruang udara di atas wilayahnya.
3) Sampai ketinggian yang masih ada gaya-tarik (gravitasi) bumi.
4) Kedaulatan di ruang udara terbatas sampai ketinggian pilot/penerbang
masih mampu menerbangkan pesawat udara tanpa menggunakan peralatan
khusu (pakaian khusus, masker, tabung oksigen, dan lain sebagainya).
5) Sampai ketinggian terbang yang bias dicapai oleh pesawat tempur
(ketinggian bias berubah/mengikat selaras dengan perkembangan/
kemajuan teknologi penerbangan).
6) Sampai ketinggian yang bias di deteksi oleh radar di darat.
7) Sampai ketinggian tertentu yang dihitung berdasar jarak dan jangkauan
tembakan artileri dari darat ke udara.
8) Sampai ketinggian pegunungan tertinggi di negara yang bersangkutan.
9) Sampai ketinggian bangunan yang paling tinggi di negara gtersebut.
10) Bahwa ruang udara bebas untuk lalu lintas pesawat udara negara lain, tetapi
boleh diadakan zona larangan terbang di atas area-area dan/atau lokasi-
lokasi tertentu pada wilayah negara kolong yang bersangkutan.
11) Bahwa berkedsulatan di ruang udara tidak tegak lurus di atas wilayah
territorial (daratan dan lautan/perairan), tetapi melebar ke atas, berbentuk
cerobong asap, Karena permukaan bumi adalah bilat dan bukan datar.
12) Ada pula pakar-pakar di masa lampau yang menetapkan batas ketinggian
tertentu berdasar kriteria subjektif (pemikiran sendiri), misalnya ketinggian
1000 m, 60 km, atau 300 km di atas permukaan bumi.15
C. Kedaulatan Negara Di Udara
Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi
(supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-
luasnya, baik ke dalam maupun ke luar, namun demikian tetap harus memerhatikan
15 T. May Rudy, Hukum Internasional II…, h. 33-34
21
hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya.
Indonesia sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara, bentuk
pemerintahan, organisasi kekuasaan ke dalam maupun ke luar, mengatur hubungan
dengan warganegaranya, mengatur penggunaan public domain, membuat undang-
undang dasar beserta peraturan pelaksanaannya, mengatur politik ke luar negeri
maupun dalam negeri, mengadakan hubungan internasional dengan negara lain,
melindungi warganegara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga
negara asing yang ada di wilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan
(stateless), mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan
pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan, maupun kegiatan sosial lainnya.
Menurut Konverensi Montevedeo Tahun 1933, negara berdaulat harus
memenuhi unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat
mengadakan hubungan internasional, mempunyai wilayah darat, laut, maupun
udara, walaupun persyaratan wilayah tidak merupakan persyaratan mutlak untuk
berdaulat. Negara berdaulat melaksanakan prinsip jurisdiksi territorial (territorial
jurisdiction principle) di samping prinsip-prinsip yurisdiksi lainnya.16
Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus
mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, laut, maupun udara,
namun demikian bukan berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab
dapat ditemukan di berbagai konvensi internasional memuat pengaturan wilayah
kedaulatan seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944, Konvensi
Montevedeo 1933, Piagam PBB (UN Charter), Konvensi Havana 1928, Konvensi
Jenewa 1958, Konvensi PBB 1982 (UNCLOS), dan Konvensi Wina 1961, dan lain-
lain.
Wilayah kedaulatan suatu negara dapat diperoleh karena penguasaan
(occupation), aneksisasi, pertumbuhan (accrestion), Cessie, kedaluwarsa, dan
perang. Perolehan wilayah karena penguasaan seperti Eastern Greenland yang
disengketakan oleh Denmark dan Swedia, Pulau Palmas yang disengketakan antara
Amerika Serikat dengan Belanda, Pulau Ligitan dan Sipadan yang disengketakan
16 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law), (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 253-254
22
antara Indonesia dengan Malaysia, sedangkan erolehan karena aneksisasi misalnya
Kuwait diserbu dan diduduki oleh Irak kemudian dijadikan provinsi ke-19, Korea
Utara diduduki Jepang pada 1910. Perolehan wilayah karena pertumbuhan
(accrestion) berdasarkan teori hukum Romawi yang gterjadi secara alamiah,
sedsangkan perolehan wilayah karena cessie misalnya Alaskan yang diberikan oleh
Uni Soviet kepada Amerika Serikat, Lotharingen diberikan oleh Prancis kepada
Jerman. Wilayah Kedaulatan Republik Indonesia diperoleh karena perang
kemerdekaan Indonesia dengan Belanda.17
D. Batas Wilayah Udara
Batas wilayah udara dibagi menjadi dua, yaitu batas wilayah udara secara
horizontal dan batas wilayah udara secara vertikal. Adapun mengenai
penjelasannya sebagai berikut:
1. Batas Wilayah Udara Secara Horizontal
Batas wilayah udara secara horizontal mengacu pada Pasal 2 Konvensi
Chicago 1944, yaitu di atas laut territorial sampai ketinggian tidak terbatas
sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Internasional (Permanent Court of
International Justice) serta mengingat posisi Indonesia di Khatulistiwa dan salaj
satu peserta Deklarasi Bogota 1976.18
2. Batas Wilayah Udara Secara Vertikal
Di dalam dunia penerbangan di samping wilayah udara berdasarkan
kedaulatan (sovereignty) juga dikenal adanya wilayah penerbangan untuk
keperluan operasi penerbangan. Wilayah penerbagan di Indonesia terdiri atas Flight
Information Region (FIR), Upper Information Region (UIR), dan lain-lain. Wilayah
udara ditetapkan berdasarkan pertimbangan keamanan nasional (national
sovereignty) sedangkan wilayah penerbangan berdasarkan pertimbangan
keselamatan penerbangan (safety consideration) yang disepakati secara
17 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law)..., h. 254-255
18 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law)…, h. 257-258
23
internasional berdasarkan keputusan Regional Air Navigation (RAN) Meeting di
Bnagkok setiap sepuluh tahun sekali, di mana Indonesia ikut menentukan, karena
itu kadang-kadang dapat terjadi wilayah kedaulatan udara tidak sejalan dengan
wilayah penerbangan.19
Di Indonesia wilayah udara diatur dalam Bab IV dari Pasal 5 sampai dengan
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.20 Menurut bab tersebut, Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara
Republik Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan di wilayah udara
Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan
tanggungjawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan,
perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta
lingkungan udara. Pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas,
pesawat udara Indonesia maupun pesawat udara asing dilarang terbang melalui
kawasan udara terlarang tersebut, namun larangan tersebut dapat bersifat permanen
dan menyeluruh. Di samping itu, ada kawasan wilayah udara yang hanya dapat
digunakan oleh pesawat udara negara (state aircraft).
Pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan Negara Republik
Indonesia tersebut diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah
tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan. Personel pemandu lalu
lintas penerbangan wajib menginformasikan pesawat udara yang melanggar
wilayah kedulatan dan kawasan udara terlarang dan terbatas kepada apparat yang
tugas dan tanggungjawabnya di bidang pertahanan negara. Dalam hal peringatan
dan perintah tidak ditaati, dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara
untuk ke luar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau kawasan udara
terlarang dan terbatas atau untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara
tertentu di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Personel pesawat udara,
19 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law)…, h. 258
20 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoneisa Nomor 4956.
24
pesawat udara, dan seluruh muatannya yang melanggar kawasan udara terlarang
diperiksa dan disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak ada pengaturan batas
wilayah udara secara vertical, karena itu dalam praktiknya mengikuti hukum
kebiasaan internasional sebagaimana dijelaskan di atas. Berdasarkan praktik hukum
kebiasaan internasional tersebut, maka kedaulatan Republik Indonesia secara
vertical juga tergantung pada kemampuan Indonesia mempertahankan kedaulatan
di udara.21
E. Kedaulatan Atas Wilayah Udara
Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan
suatu negara berdaulat yang digunakan untuk melakukan penerbangan, mulai
dibahas secara resmi dalam konferensi Paris 1910 yang berlangsung dari 10 Mei
dan berakhir 29 Juni 1910. Latar belakang Konferensi Paris 1910 adalah kenyataan
banyaknya penerbangan yang berlangsung di Eropa, tanpa memerhatikan
kedaulatan negara di bawahnya (negara kolong), karena pada saat itu belum ada
peraturannya. Balon bebas tinggal landas dari satu negara dan mendarat di negara
lain tanpa adanya izin dari negara yang bersangkutan akan membahayakan, apalagi
pesawat udara dapat digunakan untuk mengangkut militer, mata-mata yang dapat
mengancam keamanan nasional negara di bawahnya.
Von Zepplin melakukan penerbangan berangkat dari negaranya di Jerman
menuju Swiss tanpa memperoleh izin lebih dahulu. Demikian pula penerbangan
(aviator) Bleriot pada 1909 tinggal landas dengan pesawat melintasi kanal Inggris
dari Prancis ke Inggris Raya (Great Britian) tanpa menemui kesulitan. Antara bulan
April dan November 1908 paling sedikit terdapat dua puluh lima penerbang
(aviator) anggota angkatan perang yang diangkut dengan balon udara Jerman
melintasi perbatasan Prancis. Sebelumnya, pada November 1906, pemerintah
disamping Prancis membahas masalah penerbangan yang dianggap membahayakan
pertahanan keamanan nasional, disamping itu pemerintah Prancis juga berpendapat
21 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law)…, h. 259-260
25
bahwa penerbangan Internasional dapat dimanfaatkan untuk komersial, walaupun
para penerbang Jerman tersebut di atas dapat diterima oleh pejabat pemerintah
daerah tempat melakukan pendaratan di Prancis yang kadang-kadang juga terjadi
insiden. Duta besar pPerancis yang berada di Berlin memperingatkan pemerintah
Jerman bahayanya pelanggaran wilayah yang melintas perbatasan Prancis.
Pemerintah Jerman berjanji untuk segera mengambil langkah-langka pencegahan
terhadap penerbangan balon yang ke luar dari perbatasan Jerman. 22
Disusul pada Desember 1908, pemerintah Prancis menyampaikan undangan
Konferensi kepada negara-negara di Eropa untuk menghadiri Konferensi
diplomatik yang akan meletakkan dasar hukum pengaturan penerbangan
internasional. Konferensi tersebut terbatas pada negara-negara Eropa. Amerika
Serikat tidak diundang karena Amerika Serikat dianggap di luar Eropa yang tidak
mempunyai kepentingan penerbangan internasional di Eropa. Sementara itu,
pemerintah Prancis mengambi langkah-langkah pengaturan yang membatasi
pendaratan balon yang terus berlangsung sampai 1909. Tindakan yang sangat
penting tersebut dikeluarkan oleh Clemenceau karena banyaknya pendaratan balon-
balon asing di Prancis, sungguh-sungguh (serious) memprihatinkan. Pemerintah
daerah di Prancis di instruksikan untuk menahan balon-balon tersebut dan
menginterogasi maksud dan tujuan penerbangan dan sekaligus untuk menghimpun
bea masuk. Instruksi yang dikeluarkan oleh Presiden Prancis tersebut mewajibkan
para penerbang (aviator) membayar bea masuk, mewajibkan para pejabat daerah
menjelaskan maksud dan tujuan penerbangan dan secepatnya melaporkan ke
pemerintah pusat Prancis, bilamana ada pesawat udara yang memasuki wilayah di
daerah Prancis.23
22 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law)…, h. 11
23 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law)…, h. 12
26
F. Siyasah Kharijiyyah
Dalam ketatanegaraan Islam (siyasah) terkait dengan hubungan antar
negara dibahas dalam siyasah dauliyah. Istilah siyasah dauliyah merupakan ilmu
yang mengatur kewenangan suatu negara untuk mengatur hubungannya dengan
negara lain (antarnegara). Siyasah dauliyah memiliki beberapa tema kajian dalam
ruang lingkupnya, salah satu tema kajiannya adalah tentang hubungan internasional
atau disebut dengan siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah.24 Dimana dalam siyasah
kharijiyyah as-syar’iyyah titik berat pembicaraannya ialah sekitar hubungan antar
negara dan orang-orang yang tercakup dalam hukum internasional.25
Dalam hal ini, perjanjian disebut dengan istilah al-mu’ahadah. Menurut
bahasa perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau kelompok. akan tetapi
dalam siyasah dauliyah yang dimaksud dengan perjanjian adalah perjanjian antar
negara. Kesepakatan yang ditandatangani oleh dua negara atau dua kelompok
negara inilah yang dinamakan dengan perjanjian Internasional yang selanjutnya
disebut dengan siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah.26
Adapun kejadian penting yang menjadi dasar konsep dan teori hubungan
internasional di kalangan para ahli tata negara Islam adalah perjanjian Hudaibiyah
antara pemerintahan Muhammad di Madinah dan kekuasaan Quraisy di Makkah.
Perjanjian tersebut diangkat oleh para ahli hukum tata negara Islam sebagai konsep
hubungan internasional dalam bentuk genjatan senjata. Berdasarkan perjanjian
Hudaibiyah dirumuskan sejumlah dasar, asas, dan teknis praktis hubungan
internasional Islam.27
Siyasah kharijiyyah yang telah dijelaskan di atas bukan harga mati yang tak
dapat ditawar-tawar. Siyasah kharijiyyah dapat berbeda-beda antara satu negara
24 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah), (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), h. 15
25 L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Tiara
Wacansa, 1994), hal. 1
26 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah)..., h. 51-52
27 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah)..., h. 13
27
Islam dengan negara Islam lainnya dan dapat berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Faktor-faktor lain yang memungkinkan adanya perbedaan
dan perkembangan siyasah kharijiyyah yaitu perbedaaan orientasi politik, latar
belakang budaya, tingkat pendidikan, dan sejarah perkebangan Islam itu sendiri di
negara masing-masing.28 Dalam arti kata tidak ada aturan baku yang mengatur
ruang lingkup dari siyasah kharijiyyah.
28 Ridwan, Fiqh Politik Gagasan Harapan Dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press,
2007), h. 82
28
BAB III
PERKEMBANGAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) DALAM
HUKUM UDARA DI INDONESIA
A. Perkembangan Hukum Udara Di Indonesia
1. Pengertian Hukum Udara
Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai pengertian
hukum udara (air law). Mereka kadang-kadang menggunakan istilah hukum udara
(air law) atau hukum penerbangan (aviation law) atau hukum navigasi udara (air
navigation law) atau hukum transportasi udara (air transportation law) atau hukum
penerbangan (aerial law) atau hukum aeronautika penerbangan (aeronautical law)
atau udara-aeronautikada penerbangan (air-aeronautical law) saling bergantian
tanpa membedakan satu terhadap yang lain. Istilah-istilah aviation law atau air
navigation law atau air transportation law atau aerial law atau aeronautical law
atau air-aeronautical law pengertiannya lebih sempit dibandingkan denagn air
law.1
Kadang-kadang menggunakan istilah aeronautical law terutama dari
Bahasa Romawi. Dalam bukunya, Nicolas Matteesco Matte menggunakan istilah
air-aeronautical law, sedangkan dalam praktik pada umumnya menggunakan
istilah air law, tetapi dalam hal-hal tertentu menggunakan aviation law. Pengertian
air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi, administrasi,
perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkutan, manajemen, dan lain-
lain. Verschoor memberi definisi hukum udara (air law) adalah hukum dan regulasi
yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan,
kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia.2
1 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law), (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 3
2 Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law…, h. 4
29
2. Sejarah Perkembangan Ruang Udara
Batas wilayah negara terutama terhadap ruang udaranya, sejak zaman
dahulu telah menjadi suatu masalah yang selalu dipersoalkan, hal tersebut dapat
dilihat pada sebuah dalil hukum Romawi yang berbunyi: “Cujus est solumn, ejus
est usque ad coelom” yang berarti barang siapa yang memiliki sebidang tanah
dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan
tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada si dalam tanah.3
Berbagai macam pendapat dikemukakan oleh para ahli terhadap keberadaan
ruang udara suatu negara, namun tidak tercapai suatu kata sepakat dalam
menentukan batas ruang udara tersebut. Belum adanya kesepakatan pendapat
diantara para ahali dalam menentukan batas-batas terhadap ruang udara suatu
negara menimbulkan banyak teori mengenai status ruang udara. Ada yang
berpendapat bahwa ruang udara adalah bebas dan ada juga pendapat sebaliknya
bahwa ruang udara tidak bebas. Salah satu pendapat bahwa ruang udara adalah
bebas dikemukakan oleh Paul Fuchille dari Perancis, yang menyatakan bahwa
ruang udara suatu negara adalah bebas, siapapun berhak yterbang diatasnya tanpa
dibatasi, kalaupun dibatasi negara tersebut hanya berhak membatasi bagian bawah,
sedangkan bagian atas bebas sebagaimana berlaku dalam hukum laut. Namun
pendapat ini ditentang oleh Westlake dari Inggris yang menyatakan bahwa ruang
udara itu tidak bebas, seorang pemilik tanah berhak memiliki apa saja di atas tanah
tersebut, dan sebagai negara berdaulat, negara mempunyai kedaulatan mutlak dan
penuh atas ruang udara di atasnya dan berhak mengatur segala sesuatu di ruang
udara termasuk penerbangan.4
Dari pendapat para ahli tersebut pada akhirnya menghasilkan dua kelompok.
Kelompok pertama, menyatakan bahwa udara itu sifatnya bebas yang disebut
dengan kelompok penganut teori ruang udara bebas (The Air Freedom Theory).
Sedangkan kelompok kedua, menyatakan bahwa negara berdaulat atas ruang
3 Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, (Jakarta: Pusat Penelitian
Hukum Angkasa, 1972), h. 49
4 K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, (Bandung: Alumni,
1987), h. 52
30
udaran di atas wilayah negara yang disebut dengan kelompok penganut teori
kedaulatan di udara (The Air Sovereignty Theory). Pada perkembangan selanjutnya
terhadap kedua kelompok tersebut terbagi-bagi lagi dalam beberapa kelompok.5
Kelompok pertama yakni kelompok The Air Freedom Theory yang terbagi menjadi:
a. Kebebasan ruang udara tanpa batas;
b. Kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak-hak khusus negara
kolong (subjacent state)
c. Kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah territorial di
daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.
Sedangkan kelompok kedua yakni kelompok The Air Sovereignty Theory
terbagi menjadi:
a. Negara kolong (subjacent state) berdaulat penuh hanya terhadap suatu
ketinggian tertentu di ruang udara;
b. Negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak lintas damai
(freedom of innocent passage), bagi navigasi pesawat udara asing;
c. Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas (up to the sky, ad infinitum).
Kedua kelompok tersebut terus menerus mempertahankan pendapat
kelompoknya masing-masing. Sampai Perang Dunia I, dalam rangka kepentingan
hidup bersama dketertiban internasional, maka seiring dengan dicanangkannya
konvensi Perdamaian Versaille 1919 juga telah dibuat perjanjian internasional
mengenai penerbangan, yaitu Convention Relating to the Regulation of aerial
navigation, Paris 13 Oktober 1919 (Konvensi Paris 1919) yang khusus mengatur
tentang tata cara, status, ruang udara dunia, dengan protocol, Paris, 1 Mei 1920.
Konvensi ini diperbaharui dengan Protokol Paris, 15 Juni 1929, dan terakhir diganti
oleh Convention on Interntional Civil Aviation, Chicago, 7 Desember 1944
(Konvensi Chicago 1944).6 Hal yang utama dalam keseluruhan konvensi itu adalah
5 Priyatna Abdurrasyid, Mata Rantai Pembangunan Ilmu Teknologi dan Hukum
Kedirgantaraan Nasional Indonesia, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia, TNI AU dan Air Power Center of Indonesia, 2011), h. 15
6 Priyatna Abdurrasyid, Mata Rantai Pembangunan Ilmu Teknologi dan Hukum
Kedirgantaraan Nasional Indonesia…, h. 16
31
adanya pengakuan terhadap Teori Kedaulatan, yaitu tentang pengaturan bahwa
setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara
di atas wilayahnya.
3. Sejarah Perkembangan Hukum Udara Indonesia
Dalam perkembangannya hukum udara mengalami beberapa fase, yaitu:
a. Sebelum tahun 1910
Perkembangan baru Maxim, menurutnya hukum udara adalah hanya
sebatas/terbatas pada ruang udara dengan ketinggian tertentu, selebihnya adalah
bebas.
Contoh kasus:
Perusahaan kabel telepon memasang kabel telepon di tanah milik seseorang.
Pemilik tanah melarang perusahaan tersebut memasang kabet tersebut. Dengan
alasan prinsip sudah berubah, maka pengadilan tidak mengabulkan tuntutan pemilik
tanah tersebut.
Sebelum tahun 1910, prinsip tersebut digunakan untuk suatu negara, bahwa
negara memiliki ruang atau udara di atas wilayahnya tanpa batas. Akan tetapi
permasalahannya adalah tidak jelasnya penentuan batas tersebut.7
b. Sesudah tahun 1919
Pada tahun 1919 adanya Konverensi Paris 1919, menurut konverensi ini,
setiap negara diakui memiliki kedaulatan terhadap ruang udaranya atau terhadap
ruang udara di atas wilayahnya. Konverensi Paris ini tidak berlaku karena beberapa
negara kuat tidak meratifikasinya dan jumlah negara yang meratifikasi tidak
memenuhi syarat. Tetapi walau bagaimnana pun konvensi ini tetap merupakan cikal
bakal hukum udara.
The Chicago Convention on International Civil Aviation 1944, merupakan
lanjutan dari Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago ini merupakan:
1) Perjanjian yang menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara
negara-negara peserta;
2) Konstitusi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.8
7 T. May Rudy, Hukum Internasional II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 25
32
B. Perkembangan Flight Information Region (FIR) Dalam Wilayah Udara
Di Indonesia
1. Sejarah Flight Information Region (FIR)
Terbentuknya FIR tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan
penerbangan karena FIR merupakan bagian dari pengaturan penerbangan dan
masalah penerbangan tidak terbatas pada satu negara, dalam arti bahwa dunia
penerbangan akan selalu bersinggungan antara satu negara dengan negara lain,
sehingga untuk tercapai keselamatan dalam penerbangan perlu adanya pengaturan
terhadap lalu lintas atau navigasi penerbangan, dan hal itu berlaku secara
internasional.9
Perkembangan dari dunia penerbangan diawali pada tahun 1784 Lenoir,
seorang pembesar Polisi dari Paris, melarang penerbangan dengan balon udara
tanpa izin. Selanjutnya mengenai keselamatan penerbangan, pada tahun 1819
Count de Angles, Kepala polisi wilayah Seine, mengharuskan balon udara
dilengkapi dengan parasut dan melarang percobaan-percobaan dengan balon udara
selama musim panen.10 Dunia penerbangan semakin berkembang pesat, yaitu sejak
tanggal 17 Desember 1903 di Bukit Kill Devils, di kota Kitty Hawk, Negara
Bagian North Caroline, Amerika Serikat, pertama kali manusia berhasil terbang
dengan wahana bermotor yang lebih berat dari udara (Heavier than air powered
flight), tepatnya setelah Orville Wright berhasil mengangkasa dengan pesawat
udara yang ia rancang bersama saudaranya Wilbur Wright dengan nama “Flyer 01”,
selama 12 detik dengan ketinggian kurang lebih satu meter diatas tanah dan
menempuh jarak 36 meter.11
8 T. May Rudy, Hukum Internasional II..., h. 26
9 Priyatna Abdurrasyid, Mata Rantai Pembangunan Ilmu-Teknologi Dan Kedirgantaraan
Nasional Indonesia…, h. 23
10 E. Suherman, Hukum Udara Indonesia & Internasional, (Bandung: Alumni, 1983), h.
104
11 DEPANRI. Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua: Flight Information
Region. (Jakarta: Dewan Penerbangan dan Antariksa Penerbangan Republik Indonesia, 2003), h. 1
33
Sejak kejadian yang bersejarah tersebut, maka pada tahun 1910 telah
dipikirkan masalah-masalah penggunaan pesawat udara yang meliputi masalah
hukum dan masalah teknik maupun operasional seperti keselamatan penerbangan,
hubungan radio, pendaftaran pesawat udara, kelaikan, sertifikat baik untuk awak
pesawat udara maupun mesin pesawat udara, daerah terlarang, statistik, tukar
menukar informasi teknik penerbangan, ijin penerbangan, larangan membawa
bahan-bahan yang berbahaya, peralatan-peralatan radio, foto dan lain- lain.12
Konferensi tersebut diadakan di Paris yang juga mencatat bahwa negara
kolong (subjacent states) dibenarkan untuk membentuk zona- zona udara larangan
di atas wilayah negara yang melarang penerbangan internasional, mengakui
cabotage dan juga menetapkan pembentukan perusahaan penerbangan internasional
yang tergantung dari negara-negara terkait. Ketentuan-ketentuan tentang masalah
penerbangan tersebut lalu dibahas pada berbagai konvensi internasional tentang
penerbangan, seperti pada Konvensi Paris 1919 yang sangat mempengaruhi
pembentukan Konvensi Chicago 1944.13
Pada perkembangan selanjutnya, pembentukan FIR tidak dapat dilepaskan
juga dari sejarah pembentukan awalnya yang berasal dari pengendalian lalu lintas
udara atau Air Traffic Control (ATC). Hal ini dikemukakan oleh Kresno dalam
tulisannya mengenai Flight Information Region sebagai berikut:14
a. Pada tahun 1929, Archie W. League, seorang warganegara Amerika,
mendorongkan gerobaknya ke lapangan terbang Lambert di St. Louis City.
Gerobaknya berisi dua bendera (merah dan kotak-kotak), sebuah bangku
untuk duduk, sebuah buku catatan, makanan dan minuman untuk makan
12 K. Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), h. 52
13 Priyatna Abdurrasyid, Mata Rantai Pembangunan Ilmu-Teknologi Dan Kedirgantaraan
Nasional Indonesia…, h. 132
14 Evi Zuraida, Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilaliha Pelayanan Navgasi Penerbangan Pada Flight Information Region (FIR) Singapura di atas Wilayah Udara Indonesia
Berdasarkan Perjanjian antara Indonesia Singapura Tahun 1995, (Jakarta: Universitas Indonesia,
2012), h. 31-33
34
siang. Kegiatan yang dilakukan Archie di lapangan terbang yaitu
melambai- lambaikan bendera sebagai tanda, atau aba-aba yang diberikan
kepada setiap pesawat udara baik yang akan berangkat terbang ataupun
mendarat. Kegiatan tersebut memang tidak efisien untuk mengatur lalu
lintas udara namun tetap berguna mengingat pada waktu itu tidak banyak
pesawat udara yang terbang di atas wilayah ruang udara tersebut.
b. Pada tahun 1930, pertama kali dibangun menara pengendalian lalu lintas
udara (Airport Control Tower) yang layak, yaitu di Cleveland, Amerika
Serikat. Tower tersebut dilengkapi dengan lampu-lampu isyarat dan
pesawat radio dua arah (two-way radio-communication) yang berguna
untuk mengendalikan lalu lintas udara. Selanjutnya tahun 1935 dan 1936
diadakan suatu pertemuan antara pimpinan dari perusahaan-perusahaan
penerbangan yang ada pada saat itu dan dalam pertemuan itu dihasilkan
kesepakatan untuk membentuk En-route Centres atau pusat-pusat
pelayanan penerbangan lalu lintas udara, antara lain di Chicago dan
Cleveland. Peralatan dasar komunikasi yang digunakan terdiri dari
sambungan telepon, stasiun-stasiun darat yang dibangun pada lokasi-lokasi
tertentu di bawah jaringan rute penerbangan itu, ditempatkan petugas-
petugas yang mengamati dan mencatat waktunya, bila ada suatu pesawat
udara yang terbang melintasi stasiun itu, maka para petugasnya akan segera
melaporkannya melalui telepon kepada En-route Centres.
c. Tahun 1938 Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan Civil
Aeronautics Act atau Undang-Undang tentang Penerbangan Sipil Tahun
1938. Sejak ketentuan tersebut diberlakukan, maka semua petugas ATC
harus memiliki sertifikat atau izin dari pemerintah dan selain itu juga dalam
ketentuan tersebut mensyaratkan, bahwa semua penerbang harus
memperhatikan semua petunjuk yang dikeluarkan oleh petugas ATC.
Perkembangan awal dari tugas-tugas para ATC hanya berurusan dengan
pesawat udara yang dapat mereka lihat dari tempat tugasnya (tower) dan
setelah itu apabila pesawat udara sudah tidak dapat dilihat lagi oleh para
petugas ATC maka tugasnya selesai. Akan tetapi, seiring dengan
35
berjalannya waktu dan perkembangan teknologi pada saat itu, tugas-tugas
dari para petugas ATC tersebut mulai berubah dan tugas pengendalian lalu
lintas udara menjadi salah satu tugas yang sangat berat tanggung jawabnya.
Kesulitan yang dihadapi oleh petugas ATC saat itu adalah untuk
menentukan secara pasti posisi terbang suatu pesawat udara yang berada
dalam pemantauannya dan sebagai jalan satu-satunya untuk mengetahui
hal tersebut adalah dengan cara menanyakan kepada penerbang dan
mempercayai apa yang telah dikatakan oleh penerbang pada saat
mengoperasikan pesawat udaranya. Tetapi di sisi lain mengingat bahwa
pada waktu itu instrument atau alat yang digunakan masih sangat kuno,
maka penerbang pun tidak dapat mengetahui secara pasti posisi dari
keberadaan pesawat udaranya di ruang udara.
d. Pada tahun 1946 mulai ditemukan pertama kali peralatan radar yang
digunakan dalam navigasi penerbangan dan merupakan salah satu faktor
utama dan menjadi pendorong dalam penciptaan FIR di seluruh wilayah
udara di dunia, selain itu dengan adanya peralatan radar maka tugas-tugas
yang harus dikerjakan oleh para petugas ATC menjadi berubah secara
drastis. Peralatan radar yang pertama digunakan untuk keperluan
penerbangan sipil dipasang di Bandara Indianapolis, Amerika Serikat.
e. Selanjutnya, tahun 1956 telah terjadi sesuatu yang bersejarah dan berakhir
pada suatu revolusi di bidang penerbangan, yaitu mengenai mutlak
diperlukannya pengendalian lalu lintas udara yang memadai di seluruh
penjuru dunia dan dibentuknya FIR yang hampir merata pada wilayah
udara di setiap negapra, sebagai tempat yang dapat memberikan pelayanan
jasa pengendalian lalu lintas bagi semua pesawat udara yang akan terbang
melintasi berbagai wilayah udara di suatu negara.
2. Pembentukan Flight Information Region (FIR) di Wilayah Indonesia
Pada awalnya ruang udara Indonesia dibagi menjadi empat Flight
Information Region (FIR), yaitu Jakarta, Bali, Ujung Pandang, dan Biak. Kemudian
berdasarkan Supplement Aeronautical Information Publication (AIP) dari
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor 02 Tahun 2005 tanggal 14 April
36
2005 ruang udara Indonesia dibagi menjadi dua Flight Information Region (FIR),
yaitu Flight Information Region (FIR) Jakarta dan Flight Information Region (FIR)
Ujung Pandang terhitung mulai tanggal 12 Mei 2005.15
Maksud perubahan pembagian Flight Information Region (FIR) tersebut
untuk meningkatkan efisiensi dan lebih menjamin keselamatan penerbangan.
Dengan pembagian Flight Information Region (FIR) yang lebih terpusat akan
mempermudah koordinasi dan mengurangi dampak kerawanan pelayanan navigasi
penerbangan. Dalam mempersiapkan perubahan tersebut telah dilaksanakan studi
oleh Sofrey Avia dari Perancis pada tahun 1995 yang dituangkan dalam Air Traffic
Master Plan.
Adanya perubahan terhadap wilayah Flight Information Region (FIR)
membutuhkan dana yang tidak sedikit, disamping Sumber daya manusia (SDM)
yang harus terpenuhi juga diperlukan sarana dan prasarana yang lebih canggih guna
menyeimbangkan terhadap perkembangan terknologi penerbangan yang semakin
pesat. Pada saat ini teknologi yang digunakan untuk pelayanan dalam Flight
Information Region (FIR) menggunakan system aeronautical fix telecomunication
network yang dipasang di bandara-bandara, yang masih menggunakan teknologi
yang dikendalikan di darat. Seiring dengan perubahan wilayah Flight Information
Region (FIR) peralatan tersebut akan diperbaharui dengan system aeronautical
telecomunicatio network yang menggunakan teknologi satelit dan dikendalikan
secara terpusat.
Proses perubahan tersebut memerlukan proses yang cukup panjang, karena
memerlukan adanya publikasi kepada dunia penerbangan internasional. Apabila
terhadap perubahan tersebut pihak-pihak yang menggunakan wilayah udara
Indonesia tidak berkeberatan (dalam hubungannya dengan keselamatan
penerbangan), maka perubahan wilayah Flight Information Region (FIR) akan
15 Evi Zuraida, Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilaliha Pelayanan Navgasi
Penerbangan Pada Flight Information Region (FIR) Singapura di atas Wilayah Udara Indonesia
Berdasarkan Perjanjian antara Indonesia Singapura Tahun 1995…, h. 34
37
diajukan kepada ICAO untuk ditetapkan dan dipublikasikan ke seluruh masyarakat
penerbangan baik nasional maupun internasional.16
Ketentuan hukum tentang pembentukan Flight Information Region (FIR)
secara nasional telah diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan yakni, “Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara
atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah
melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk
kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan
negara, sosial budaya, serta lingkungan udara”.17 Selanjutnya pada ketentuan
pelaksanaannya, yaitu Peratura Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Keamanan dan Keselamatan Penerbangan dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal
73, Pasal 74 dan Pasal 75 mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk menetapkan
ruang udara guna kepentingan navigasi penerbangan.18
C. Pendelegasian Flight Information Region (FIR) Singapura
1. Sejarah Pengelolaan Flight Information Region (FIR) Ruang Udara
Indonesia Oleh Negara Lain
Seperti telah diuraikan di atas, batas Flight Information Region (FIR) ruang
udara Indonesia tidak sepenuhnya meliputi seluruh wilayah udara nasional.
Pendelegasian wilayah udara Indonesia kepada negara lain, pada awalnya dimulai
sewaktu dilaksanakan Regional Aviation Meeting I yang diselenggarakan di
Honolulu Hawai pada Tahun 1973. Pada pertemuan tersebut diputuskan bahwa
ruang udara di atas kepulauan Natuna dan Riau termasuk dalam Flight Information
16 Muhammad Fitrah Zulkarnain, Flight Information Region (FIR) Singapura Dan
Dampaknya Terhadap Kedaulatan Dan Keamanan Indonesia, (Skripsi: Universitas Hasanuddin
Makassar, 2018), h. 54-55
17 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indnesia Nomor
4956
18 Pasal 63, 64, 65, 73, 74 dan Pasal 75 Peratura Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4075
38
Region (FIR) Singapura dan untuk pengelolaannya di atas ketinggian 20.000 kaki
oleh Singapura sedangkan di bawah 20.000 kaki dikendalikan oleh Malaysia.
Setelah dilaksanakannya UNCLOS 1982, Indonesia diakui sebagai negara
kepulauan sehingga ruang udara di atas kepulauan Natuna dan Riau termasuk dalam
wilayah teritorial mengikuti ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UNCLOS yang menentukan
bahwa kedaulatan negara di ruang udara termasuk ruang udara di atas laut
territorial. Menurut Pasal 3 UNCLOS kedaulatan di laut territorial tidak melebihi
12 millaut, dengan demikian negara pantai, termasuk Indonesia mempunyai
kedaulatan atas ruang udara di atas laut territorial selebar 12 mil laut diukur dari
garis pangkal (baseline).19
2. Perjanjian Flight Information Region (FIR) anatara Indonesia dengan
Singapura
Dalam penerbangan internasional, konsep mengenai kedaulatan negara di
ruang udara merupakan dasar pembentukan hukum udara. Hal ini terjadi sejak
beberapa penerbangan dalam penerbanagn internasional mensyaratkan terlebih
dahulu adanya persetujuan dari negara yang dilalui, biasanya hak tersebut diberikan
berdasarkan perjanjian.
Dalam Bab 2 Annex 11 Konvensi Chicago 1944 ditentukan bahwa
pendelegasian ruang udara kepada negara lain tidak menyebabkan terganggunya
kedaulatan negara yang mendelegasikan. Di dalam pendelegasian tersebut
dibutuhkan suatu nota kesepakatan anatara kedua belah pihak yang berisi
persyaratan-persyaratan tentang pelayanan yang mencakup fasilitas dan tingkat
pelayanan yang yang akan diberikan. Dengan kata lain dalam pendelegasian suatu
ruang udara yang akan dikelola oleh negara lain diperlukan adanya perjanjian
internasional antara kedua negara.
Pada pertemuan Regional Air Navigation (RAN) kedua di Singapura tahun
1983, Indonesia berupaya mengubah hasil kesepakatan yang telah diputuskan pada
RAN pertama, akan tetapi tidak berhasil karena keberatan Indonesia tidak diterima
oleh negara lain.
19 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, (Jakarta: PT Bumi
Intitama Sejahtera, 2006), h. 122-123
39
Pada RAN III di Bangkok, Indonesia membuat suatu proposal tentang
pengembangan pelayanan navigasi penerbangan di atas kepulauan Natuna dan
membuat Working Paper (WP) Nomor 55 tentang kegiatan yang akan direncanakan
untuk dilaksanakan diatas Kepulauan Natuna dan akan meninjau ulang batas FIR.
Pertemuan tersebut menyepakati bahwa WP No. 55 dapat diterima, namun dengan
adanya counter paper oleh Singapura, maka ICAO menyarankan agar dibicarakan
secara bilateral antara Singapura dan Indonesia.20
Indonesia dan Singapura telah sepakat menandatangani Agreement Between
the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic
Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight
Information Region and the Jakarta Flight Information Region. Penandatanganan
dilakukan oleh Menteri Perhubungan Republik Indonesia dan Menteri Perhubungan
Singapura pada tanggal 21 September 1995 di Singapura.
Hal-hal pokok yang dicakup dalam perjanjian anatara Indonesia dan
Singapura adalah:21
a. Dasar penetapan batas yang diperjanjikan sesuai dengan ketentuan
UNCLOS 1982;
b. Ruang udara di atas Kepulauan Natuna diberi sebutan Sektor A, sector B,
dan Sektor C;
c. Indonesia mendelegasikan tanggungjawab pemberian pelayanan navigasi
penerbangan di wilayah sektor A kepada Singapura dari permukaan laut
sampai dengan ketinggian 37.000 kaki;
d. Indonesia mendelegasikan tanggungjawab pemberian pelayanan navigasi
penerbangan di wilayah sektor B kepada Singapura dari permukaan laut
sampai dengan ketinggian tidak terhingga (unlimited height);
e. Sektor C tidak termasuk di dalam perjanjian tersebut, namun perlu dicatat
bahwa penyelesaian pengaturan lalu lintas penerbangan di sektor C harus
diselesaikan antara Indonesia, Singapura, Malaysia; dan
20 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 124-125
21 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 125-127
40
f. Atas nama Indonesia, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi
penerbangan atau Routes Air Navigasi Service (RANS) Charges di wilayah
yurisdiksi Indonesia. Khususnya pada sektor A yang telah didelegasikan
tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan kepada
Singapura, selanjutnya hasil yang terkumpul akan diserahkan kepada
pemerintah Indonesia melalui PT (Persero) Angkasa Pura II, sedangkan
sektor B masih merupakan permasalahan yang harus dibahas antara
pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia.
Sebagai tindaklanjut terhadap perjanjian anatara Indonesia dan Singapura,
pada tanggal 10 Mei 1996 kedua negara membuat surat bersama (join letter) yang
ditujukan kepada ICAO Regional Office di Bangkok. Surat tersebut menyampaikan
perjanjian antara kedua negara dengan permohonan untuk mendapatkan
pengesahan dari ICAO. Malaysia menyampaikan keberatan terhadap persetujuan
anara Indonesia dan Singapura, sehingga permohonan persetujuan perjanjian belum
dapat diterima oleh ICAO.
Keberatan Malaysia mengacu kepada perjanjian antara Indonesia dan
Malaysia tentang Rejim Hukum Negara Nusantara dan Hak-hak Malaysia di Laut
Teritorial Perairan Nusantara dan Wilayah Republik Indonesia yang terletak di
antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat yang ditanda tangani pada tanggal 25
Februari 1982. Perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh Undang-undang RI Nomor
1 Tahun 1983. Dalam perjanjian tersebut Indonesia memberikan hak akses dalam
komunikasi kepada Malaysia di laut territorial, perairan Nusantara dan udara di
atasnya di wilayah antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat.
Pada dasarnya Malaysia telah mengaku asas negara kepulauan, dengan
mensyaratkan agar Malaysia tetap mendapatkan hak gtradisionalnya. Di sisi lain
peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-tikik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia belum dikirim untuk didaftarkan ke
Sekretariat PBB.22
22 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 127-128
41
Malaysia senantiasa menggunakan dasar-dasar hukum yang telah
diratifikasi. Pada pertemuan di Bandung pada tahun 1997 Malaysia merasa
keberatan apabila ruang udara yang telah diberikan hak akses dan komunikasinya
dikelola oleh Indonesia. Malaysia berpendapat bahwa pengaturan mengenai ruang
udara di wilayah tersebut terlebih dahulu menunggu persetujuan PBB tentang batas-
batas territorial Indonesia.
Melalui berbagai pendekatan, Indonesia mengadakan pertemuan formal
dengan Malaysia pada tanggal 25-28 Oktober1997di Malaysia. Pertemuan
dilanjutkan pada tanggal 23 Desember 1998 dan awal Maret 2000, akan tetapi
Malaysia selalu menunda pertemuan dan tidak pernah menghasilkan keputusan
apapun.
Dengan telah disepakatinya perjanjian mengenai batas FIR antara Indonesia
dan Singaura, Malaysia beranggapan bahwa hak dan akses komunikasi yang telah
diberikan Pemerintah Indonesia kepada Malaysia terganggu. Sehingga Malaysia
selalu mengajukan keberatan terhadap perjanjian tentang pengaturan kembali batas
FIR Jakarta dan FIR Singapura yang telah disepakati oleh Indonesia dan Singapura.
Menurut hukum nasional Indonesia perjanjian tersebut merupakan salah
satu bentuk perjanjian internasional yang dibuat oleh Negara Indonesia dengan
Singapura. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa perjanjian
internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam
hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik.23
Ketentuan mengenai Flight Information Region (FIR) berkaitan dengan
masalah keselamatan dan kelancaran penerbangan yang merupakan tanggung
jawab bersama seluruh bangsa-bangsa. Maka sebagai bangsa yang hidup dalam
masyarakat internasional dan sebagai Negara anggota ICAO Indonesia terkait
dengan ketentuan dari Anex 11 yang intinya suatu Negara dalam mendelegasikan
23 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 128-130
42
pengaturan lalu lintas udaranya harus dibentuk dalam suatu perjanjian antara kedua
Negara.
Masalah penerbangan merupakan masalah yang terletak dalam bidang
hukum publik walaupun dalam pengoperasian kegiatan penerbangan akan
dipengaruhi atau akan muncul permasalahan hukum privat. Dalam FIR ini masalah
hukum privat juga muncul berkaitan adanya kewajiban dari Negara Singapura
untuk memberikan kompensasi terhadap hilangnya peluang Indonesia dalam
memperoleh navigation and route charge di wilayah udara yang didelegasikan
kepada Singapura. Namun substansi utama dalam perjanjian ini adalah mengenai
batas FIR Jakarta dan FIR Singapura yang bertujuan dalam pengaturan lalu lintas
udara sehingga merupakan bidang hukum publik.
Menurut ketentuan Pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang apabila berkenaan masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan Negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilyah
negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi
manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru dan pinjaman dan
atau hibah dari luar negeri. Sedangkan Pasal 11 Ayat (1) menetapkan bahwa
pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi tersebut
akan disahkan dengan Keputusan Presiden.24
Apabila dilihat dari substansial perjanjian maka perjanjian antara Indonesia
dengan Singapura ini yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 7
Tahun 1996 telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 10 juncto Pasal 11 Undang-
Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Terutama
pabila dikaitkan dengan penjelasan Pasal 11 yang menyatakan bahwa untuk lain
perjanjian yang bersifat teknis. Perjanjian ini merupakan perjanjian bersifat teknis
sehingga dalam penandatanganannya dilakukan oleh menteri teknis yang terkait
dengan masalah ini yaitu Menteri Perhubungan.
24 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 130-131
43
Di dalam Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional ditetapkan bahwa perjanjian internasional berakhir apabila
terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian,
tujuan perjanjian tersebut telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang
mempengaruhi pelaksanaan perjanjian, salah satu pihak tidak melaksanakan atau
melanggar ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan
perjanjian lama, muncul norma-norma baru dalam hukum internasional, objek
perjanjian hilang dan terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Dalam perjanjian mengenai Flight Information Region (FIR) antara
Indonesia dan Singapura, ditetapkan perjanjian berakhir setelah lima tahun sejak
ditandatanganinya, sehingga perjanjian antara Indonesia dengan Singapura
mengenai batas FIR telah berakhir pada tanggal 21 September 2000. Perjanjian
tersebut belum ditinjau kembali disebabkan adanya keberatan yang diajukan oleh
Malaysia. Akan tetapi hal-hal yang diperjanjikan tetap dilaksanakan oleh kedua
negara tersebut.
Dengan demikian pengelolaan sebagian wilayah udara Indonesia oleh
negara lain tanpa disertai dengan perjanjian yang masih berlaku antara Indonesia
dengan negara pengelola, sebagaimana diamnatkan oleh ketentuan Anex 11.
Sehingga pengaturan Flight Information Region (FIR) ruang udara Indonesia,
terutama yang didelegasikan kepada negara lain, tidak sesuai dengan ketentuan
hukum Internasional.25
25 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia…, h. 131-133
44
BAB IV
PELAYANAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) PERSPEKTIF
SIYASAH KHARIJIYYAH
A. Kedaulatan Negara atas Ruang Udara Indonesia
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dalam teori kedaulatan udara
disebutkan bahwa kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah
teritorialnya bersifat utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang
pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara. Ini dinyatakan dalam pasal
1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.1
Menurut Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa “Setiap negara
di dunia memiliki kedaulatan yang bersifat penuh dan eksklusif atas ruang udara
yang berada di atas wilayah kekuasaannya”.2 Sebagai negara menurut Shawcross
dan Beaumont, “konsep kedaulatan adalah batu kunci di mana hampir semua
hukum udara dibangun, karena setiap penerbangan dalam penerbangan
internasional memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari banyak negara, yang
umumnya sudah ada perjanjian”.3
Kedaulatan yang bersifat "lengkap dan eksklusif" menimbulkan implikasi
teritorial dan hukum. Dari perspektif teritorial, konsep ini membenarkan bahwa
kedaulatan negara atas wilayah udara mereka sesuai dengan konsep kepemilikan di
properti pribadi dengan kepemilikan pemilik yang mengesampingkan orang lain.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi,
“Wilayah kekuasaan suatu negara adalah wilayah daratan dan lautan yang
berbatasan dengannya yang berada di bawah kedaulatan, perlindungan, atau mandat
1 T. May Rudy, Hukum Internasional II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 32
2 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944
3 Shawcross and Beaumont, Air Law, Fourth Edition, (London: Butterworth, 2005),
h. 1-26
45
dari negara tersebut”.4 Oleh karena itu, Negara teritorial dapat menolak izin
cabotage atau meminta penerapan hukum dan peraturannya oleh pesawat sipil asing
di wilayahnya, dan tunduk pada ketentuan Konvensi Chicago 1944.
Konsep ini diadopsi dari prinsip Romawi: “Cujus est solum, ejus est usque
ad coelum et ad inferos” (Barang siapa memiliki sebidang tanah maka dia memiliki
segala yang berada diatasnya sampai ke langit dan segala yang berada di dalam
tanah), yang tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak individu. Dalam
konteks hukum udara, prinsip ini menegaskan bahwa wilayah udara adalah wilayah
eksklusif, yang tidak tunduk pada kepemilikan individu termasuk Negara. Oleh
karena itu, konsep ini tidak memungkinkan untuk negara lain mengklaim suatu
kedaulatan negara atas wilayah udara negara lainnya. Namun, hukum udara modern
hanya mengadopsi konsep eksklusivitas wilayah udara, yang kemudian diberikan
kepada negara sebagai lembaga publik.5
Dari perspektif hukum, kedaulatan yang lengkap dan eksklusif memberi
kekuasaan kepada negara untuk membuat undang-undang, yang merupakan
wewenang untuk mengatur penggunaan wilayah udara termasuk mengizinkan atau
menolak pesawat asing untuk terbang di atas wilayah udaranya. Tidak seperti
kedaulatan teritorial, yang mungkin didelegasikan kepada orang lain dalam hal
pemanfaatannya, kedaulatan dalam arti hukum adalah kekuatan yang tidak dapat
dialihkan. Dalam konteks ini, eksklusivitas berarti bahwa hanya negara itu yang
dapat menggunakan kedaulatan di wilayah udara di atas wilayah nasionalnya.
Akibatnya, pesawat asing tidak diizinkan terbang di atas wilayah udara suatu negara
tanpa izin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa izin adalah kunci dari
kepemilikan kedaulatan negara di wilayah udara.
Sebagai hukum kebiasaan internasional modern, kedaulatan negara atas
wilayah udara melekat pada wilayah negara. Atas dasar ini, delegasi pengelolaan
wilayah udara serta dalam pengeolaan Flight Information Region (FIR) untuk
4 Pasal 2 Konvensi Chicago 1944
5 Atip Latipulhayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety issue
? The Case of Indonesia-Singapore, (Bandung: Jurnal Pusat Hukum Udara dan Luar Angkasa
Indonesia Fakultas Hukum Universitas Padjajaran), h. 3
46
membuat undang-undang, yang memberikan izin kepada pihak lain untuk
mengelola area tersebut.6
Sejalan dengan hal tersebut, mengenai kedaulatan negara atas wilayahnya
tentu Indonesia memiliki hak dan kewenangan atas pengelolaan wilayah negaranya.
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 43
Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Dalam Pasal 7 dijelaskan bahwa negara
Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di wilayah yurisdiksi yang
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
hukum internasional. Adapun dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Pemerintah dan
pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah
negara dan kawasan perbatasan.7
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai suatu wilayah geografis
strategis, karena diapit oleh dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta
dua samudera, yaitu samudra Pasifik dan samudera Hindia serta dilalui oleh garis
khatulistiwa (Equator). Wilayah geografis tersebut terdiri dari kepulauan sehingga
peran penerbangan menjadi sangat penting sebagai penghubung antar pulau bagi
negara Indonesia. Bentuk wilayah Indonesia yang unik serta berbatasan dengan
banyak negara tetangga berpotensi menimbulkan kerawanan dalam konteks
keuntuhan integritas wilayah negara.
Wilayah udara Indonesia terdiri dari wilayah atas daratan, laut teritorial
sejauh 12 mil, atas perairan kepulauan yaitu laut anatar pulau Indonesia dan atas
perairan pedalaman. Kemudian Indonesia juga memiliki wilayah yurisdiksi yaitu
zona tambahan maksimal 24 mil laut yang diukur dari garis dasar laut teritorial,
zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil dan landas kontinen yang tidak melebihi
350 mil laut. Khususnya wilayah udara di atas zona tambahan, zona ekonomi
6 Atip Latipul Hayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety
issue ? The Case of Indonesia-Singapore..., h. 4
7 Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177
47
eksklusif, dan landas kontinen adalah wilayah udara bebas. Adapun wilayah
tersebut dengan status hukumnya adalah:8
1. Ruang Udara di Atas Wilayah Daratan
Indonesia mempunyai perbatasan daratan dengan negara Malaysia
dan Papua Nugini serta Timor Leste. Sebagai negara kepulauan, wilayah
daratan dan perairan serta laut teritorial Indonesia merupakan satu kesatuan
geografis dalam dimensi horizontal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan
lainnya. Indonesia mempunyai kedaulatan yang penuh dan Utuh terhadap
ruang udara di wilayah kedaulatannya. kedaulatan yang penuh dan Utuh
terhadap ruang udara di atas daratan mempunyai sifat mutlak dan tidak
mengenal perkecualian.
2. Ruang Udara di Atas Perairan Kepulauan
Perairan Indonesia adalah laut yang berada di sebelah dalam garis
pangkal kepulauan negara Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau
jarak dari dari pantai. Indonesia mempunyai kedaulatan terhadap ruang
udara di atas perairan kepulauan, namun sebagai negara kepulauan harus
menyediakan Alur Laut kepulauan lintas kapal dan pesawat udara asing
yang syarat-syaratnya telah ditentukan dalam konvensi PBB tentang hukum
laut tahun 1982 (UNCLOS 1982). Berdasarkan konvensi ini, kedaulatan
Indonesia ini mengandung perkecualian, yaitu terdapat rezim ruang udara
di atas alur Laut kepulauan yang memberikan hak lintas bagi pesawat udara
asing dalam (hak lintas damai/innocent passage). Indonesia dapat
menangguhkan untuk sementara waktu hak lintas damai tersebut pada
bagian-bagian tertentu dari perairan kepulauan apabila dianggap perlu untuk
kepentingan keamanan dan pertahanan.
3. Ruang Udara di Atas Perairan Pedalaman
Perairan pedalaman (internal waters) atau disebut juga perairan
darat (inland waters) meliputi sungai, muara terusan, anak laut, danau,
terus-terusan, perairan di antara gugusan pulau-pulau dan perairan pada sisi
8 Mabesau, Dasar-Dasar Hukum Udara Bagi Pelaksana Operasi Udara TNI Angkatan
Udara, (Jakarta, 2006), h. 14
48
dalam garis dasar atau pangkal kepulauan. Kapal-kapal asing tidak
mempunyai hak untuk melakukan lintas damai di dalam perairan pedalaman
wilayah Indonesia. Sebagai negara kepulauan dapat melakukan penutupan
sebagai batas perairan pedalaman di lingkungan perairan kepulauan
(archipelagic waters). Didalam UNCLOS 1982 tidak secara jelas
menentukan status ruang udara di atasnya namun dapat dikatakan bahwa
karena letaknya merupakan bagian dari perairan kepulauan yang dibatasi
oleh garis lurus yang menghubungkan keduatepinya diukur pada waktu air
rendah, dan apabila tidak merupakan bagian dari alur laut kepulauan maka
ruang udara di atas perairan pedalaman sama dengan perairan kepulauan.
4. Ruang Udara di Atas Laut Territorial
Batas terluar laut teritorial Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982
adalah 12 mil laut ditarik dari garis dasar kepulauan yaitu suatu garis lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar dari bagian-bagian pulau-pulau
terluar. Indonesia mempunyai kedaulatan atas laut teritorial dan ruang udara
di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya. Pada laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi
Kapal asing Tetapi tidak berlaku hak lintas damai bagi pesawat udara asing.
5. Ruang Udara di Atas Selat Untuk Pelayaran Internasional
Dalam selat yang digunakan untuk playaran internasional antara satu
bagian laut lepas dengan lainnya, kapal dan pesawat udara asing mempunyai
hak lintas transit (right of transit passage). Selat Malaka merupakan selat
yang dipergunakan untuk pelayaran dan penerbangan international. Hak
lintas transit bagi kapal dan pesawat udara asing berlaku di Selat Malaka
termasuk pada bagian yang merupakan laut teritorial indonesia. Penggunaan
hak lintas transit melalui selat tersebut semata-mata untuk tujuan melintas
transit secara cepat dan tidak terputus. Pesawat udara dan transit harus:
a. Menaati peraturan negara yang ditetapkan International Civil
Aviation Organization (ICAO) sepanjang berlaku bagi pesawat
udara sipil, pesawat udara negara mematuhi ketentuan keselamatan
penerbangan sebagaimana mestinya.
49
b. Setiap waktu memonitor frekuensi yang ditujukan oleh otoritas
pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara
internsional oleh frekuensi radio darurat internasional yang tepat.
6. Ruang udara di atas Laut Kepulauan
Berdasarkan UNCLOS 1982 bahwa negara asing mempunyai hak
untuk melakukan terbang lintas bagi pesawat udaranya di atas ruang udara
alur laut kepulauan, sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam
UNCLOS 1982. Ditentukan bahwa, kapal dan pesawat udara yang melintas
melalui alur laut kepulauan tidak boleh menyamping lebih dari 25 mil laut
kedua sisi garis sumbu, selanjutnya bahwa kapal dan pesawat udara tersebut
tidak boleh berlayar atau terbang dekat dengan pantai kurang dari 10 persen
dan jarak antara 10 persen dari jarak antara titik-titik yang terdekat pada
pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut. Penentuan alur laut
dan apakah semua pesawat melintas (pesawat sipil dan negara) serta
bagaimana pelaksanaan penerbangannya berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan oleh Konvensi ternyata menimbulkan perbedaan persepsi yang
akhirnya dapat menimbulkan konflik antar negara.
7. Ruang Udara di Atas Zona Tambahan dan Ruang Udara di Atas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona tambahan adalah wilayah laut dengan lebar tidak melebihi 24
mil laut diukur dengan garis pangkal dari mana lebar laut teritorial Indonesia
diukur. Ruang udara di atas zona tambahan yang berada di luar laut teritorisl
Indonesia dan di ZEE, bebas dipergunakan oleh pesawat udara asing dengan
syarat, bahwa penerbangan itu tidak melanggar hak-hak negara Indonesia
dan tetap tunduk kepada aturan ICAO.
Di Indonesia sendiri terkait dengan regulasi tentang kedaulatan negara di
ruang udara diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan, serta ketentuan lebih lanjut Pasal 9 diatur dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara
Indonesia. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
50
Penerbangan disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat
penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.
Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh dari negara di ruang udara
nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan negara di laut
wilayahnya. Karena sifatnya yang demikian maka di ruang udara nasional tidak
dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat di laut territorial suatu negara.
Sifat tertutup ruang udara nasional dapat dipahami mengingat udara sebagai media
gerak amatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan negara kolong.9
B. Flight Information Region (FIR) Perspektif Hukum Positif
Flight Information Region (FIR) adalah masalah teknis dalam penerbangan
sipil yang berkontribusi besar untuk memenuhi standar keselamatan penerbangan.
Setiap negara setuju dan menerima semua persyaratan teknis mengenai pengelolaan
Flight Information Region (FIR). Namun, masalah kontroversial terletak pada
pengelolaan Flight Information Region (FIR) oleh negara-negara yang tidak
memiliki yurisdiksi teritorial atas wilayah udara.10
Flight Information Region (FIR) disebut juga dengan “ruang udara yang
dilayani” merupakan suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya dengan suatu
pembagian wilayah udara yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan
keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negara-negara yang tergabung
dalam International Civil Aviation Organization (ICAO) dimana didalamnya
diberikan pelayanan lalu lintas/navigasi penerbangan. Yang dimaksud dengan
navigasi penerbangan adalah setiap kegiatan pemanduan terhadap pesawat terbang
dan helikopter selama beroperasi yang dilengkapi dengan fasilitas navigasi
penerbangan di dalam ruang udara yang dikuasai oleh negara Indonesia untuk
digunakan sebagi kegiatan operasi penerbangan dalam bentuk tatanan ruang udara
nasional. Sedangkan maksud dari ruang udara yang dilayani menurut ketentuan ada
dua kategori, yakni: ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya menjadi
9 T. May Rudy, Hukum Internasional II, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 32
10 Atip Latipul Hayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety
issue? The Case of Indonesia-Singapore..., h. 6
51
tanggung jawab pemerintah Indonesia dan ruang udara yang dilayani berdasarkan
perjanjian antara negara yang berbatasan yang ditetapkan oleh ICAO.11
Definisi Flight Information Region (FIR) di atas sejalan dengan Annex 11
to the Convention on International Civil Aviation, yang mengatakan bahwa Flight
Information Region is an airspace of defined dimensions within which flight
information service and alerting service are provided.12
Dalam definisi tersebut terdapat dua layanan yang disediakan Flight
Information Region (FIR) yaitu layanan informasi penerbangan dan layanan
peringatan. Layanan informasi penerbangan mengacu pada layanan yang
disediakan untuk tujuan memberikan saran dan informasi yang berguna untuk
melakukan penerbangan, dan layanan peringatan didefinisikan sebagai layanan
yang disediakan untuk memberi tahu organisasi yang sesuai tentang pesawat yang
membutuhkan bantuan pencarian dan penyelamatan, dan membantu organisasi
sesuai kebutuhan.
Tujuan utama pembentukan Flight Information Region (FIR) adalah untuk
memberikan saran dan informasi yang berguna untuk penerbangan yang aman dan
efisien. Lebih khusus lagi, tujuan dari layanan lalu lintas udara adalah antara lain
untuk mencegah tabrakan antar pesawat, dan mempercepat dan memelihara aliran
lalu lintas udara yang teratur. Area dan batas dari masing-masing Flight
Information Region (FIR) telah ditentukan sedemikian rupa sehingga mencakup
semua wilayah yang dikontrol oleh masing-masing negara dengan tujuan untuk
mengontrol wilayah udara di wilayah tersebut, termasuk wilayah udara
internasional. Oleh karena itu, Flight Information Region (FIR) dapat mencakup
wilayah udara nasional (FIR nasional) dan internasional (FIR internasional), yang
pengendaliannya tunduk pada aturan dan standar internasional serta praktik ICAO.
Flight Information Region (FIR) Nasional adalah wilayah udara yang ditetapkan di
atas wilayah negara tempat layanan lalu lintas udara disediakan, sedangkan Flight
Information Region (FIR) Internasional menyediakan layanan lalu lintas udara di
11 Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Cetak Biru Transportasi Udara 2005-
2024 (Konsep Akhir), Ditjen Perhubungan Udara, Maret 2005, h. 111-119
12 Annex 11 to the Convention on International Civil Aviation
52
atas tempat-tempat yang tinggi atau di wilayah udara dari kedaulatan yang tidak
ditentukan.13
Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk menentukan sesuai dengan
ketentuan Annex 11 Konvensi dan untuk wilayah yang memiliki yurisdiksi, bagian-
bagian dari wilayah udara, dan aerodrome tempat layanan lalu lintas udara akan
disediakan. Suatu Negara dapat mendelegasikan kepada Negara lain tanggung
jawab untuk menetapkan dan menyediakan layanan lalu lintas udara di wilayah
informasi penerbangan, area kontrol atau zona kontrol yang membentang di atas
wilayah yang sebelumnya. Oleh karena itu, Flight Information Region (FIR) dapat
dibagi dalam dua bentuk yaitu dibentuk berdasarkan pertimbangan kedaulatan dan
didirikan berdasarkan perjanjian antara negara dan disetujui oleh ICAO.
ICAO membentuk sembilan Flight Information Region (FIR), termasuk
salah satunya adalah Flight Information Region (FIR) Natuna, yang merupakan
bagian dari Flight Information Region (FIR) di wilayah lautan Laut Cina Selatan
atau Flight Information Region (FIR) Singapura. Negara-negara anggota ICAO
yang memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan lalu lintas udara ke
bagian wilayah udara tersebut harus mengelola sedemikian rupa sehingga layanan
yang diberikan harus memenuhi ketentuan Annex 11 Konvensi. Ketika telah
ditentukan bahwa layanan lalu lintas udara akan disediakan, negara yang
bersangkutan harus menunjuk otoritas yang bertanggung jawab untuk menyediakan
layanan tersebut. Otoritas yang bertanggung jawab untuk mendirikan dan
menyediakan layanan dapat berupa negara atau badan lembaga negara yang sesuai.
Suatu Negara dapat mendelegasikan pengelolaan Flight Information Region
(FIR) di wilayahnya ke negara lain yang mampu menyediakan layanan lalu lintas
udara yang memenuhi standar keselamatan ICAO. Tidak ada persyaratan khusus
dalam Annex 11 tentang pendelegasian wewenang ini. Namun, dapat secara
implisit disimpulkan bahwa delegasi ini terkait dengan ketidakmampuan suatu
negara untuk menyediakan layanan lalu lintas udara sesuai dengan standar
keselamatan ICAO. Oleh karena itu, delegasi pengelolaan Flight Information
13 Atip Latipulhayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety
issue? The Case of Indonesia-Singapore..., h. 6-7
53
Region (FIR) sebagian besar terkait dengan pertimbangan keselamatan. Annex 11
menyatakan sebagai berikut “...tanggung jawab negara yang menyediakan terbatas
pada pertimbangan teknis dan operasional dan tidak melampaui yang berkaitan
dengan keselamatan dan ekspedisi pesawat terbang menggunakan wilayah udara
yang bersangkutan”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa “...jika satu negara
mendelegasikan ke negara lain tanggung jawab untuk penyediaan layanan lalu
lintas udara di wilayahnya, ia melakukannya tanpa mengurangi kedaulatan
nasionalnya”. Dengan kata lain, delegasi tidak ada hubungannya dengan kedaulatan
dan oleh karena itu delegasi dan negara-negara pemberi dapat mengakhiri
perjanjian di antara mereka setiap saat.14
C. Analisis Tentang Pelaksanaan Pelayanan Flight Information Region
(FIR) Perspektif Siyasah Kharijiyyah
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
menyatakan bahwa menyediakan layanan lalu lintas udara adalah bagian dari
tanggung jawab Indonesia dalam melaksanakan kedaulatannya atas wilayah udara.
Pada awalnya, Indonesia mengelola empat Flight Information Region (FIR) yaitu
Jakarta, Bali, Ujung Pandang, dan Biak. Flight Information Region (FIR) Jakarta
mencakup bagian barat Kalimantan dan Jawa bagian barat hingga Sumatra. Flight
Information Region (FIR) Bali mencakup pusat ke bagian timur Kalimantan dan
Jawa Timur ke Nusa Tenggara. Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang
meliputi Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau Aru. Flight Information Region (FIR)
Biak meliputi perairan teritorial Arafuru dan Papua.
Untuk tujuan layanan lalu lintas udara yang efisien dan efektif, Direktorat
Jenderal Penerbangan Sipil mengeluarkan Tambahan Publikasi Informasi
Aeronautika pada tanggal 14 April 2005, yang membagi wilayah udara Indonesia
menjadi dua Flight Information Region (FIR), yaitu Flight Information Region
(FIR) Jakarta dan Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang. Flight
Information Region (FIR) Jakarta masih mencakup Sumatra, bagian barat
14 Atip Latipulhayat, Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or safety
issue? The Case of Indonesia-Singapore..., h. 7
54
Kalimantan, dan bagian barat Jawa Tengah di selatan dan termasuk Pulau Natal di
Australia. Sementara itu Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang
mencakup wilayah Biak dan Flight Information Region (FIR) Bali sebelumnya
serta wilayah udara di atas Timor Leste dan sebagian dari Papua Nugini. Indonesia
telah mendirikan Air Nav Indonesia - perusahaan milik negara yang bertanggung
jawab untuk menyediakan layanan tersebut. Total area di bawah Flight Information
Region (FIR) Indonesia adalah 4.110.752 km2 dibandingkan dengan total area
wilayah udara Indonesia 5.193.252 km2, dengan total volume lalu lintas 9887
pergerakan/hari. Selain itu, Indonesia juga mengelola wilayah udara negara lain
yang layanan navigasinya didelegasikan ke Republik Indonesia dan wilayah udara
yang layanan navigasinya didelegasikan oleh ICAO ke Indonesia.
Pengendalian lalu lintas udara untuk wilayah ruang udara di Indonesia
sendiri dibagi pada dua wilayah Flight Information Region (FIR), yakni Flight
Information Region (FIR) Jakarta dan Flight Information Region (FIR) Ujung
Pandang, yang dibantu Flight Information Region (FIR) Singapura untuk wilayah
di atas Batam, Matak, dan Natuna.15 Dibantu dalam hal ini jika ada pesawat udara
baik pesawat Militer maupun pesawat Sipil yang melintas di kepulauan Riau,
Matak, dan Natuna harus meminta izin dan berkomunikasi kepada Singapura.
Untuk pelaksanaan pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR)
Singapura secara internasional mengacu pada pada Annex 11 of the Convention on
International Civil Aviation (ICAO), adapun secara khususnya Indonesia dan
Singapura telah sepakat menandatangani Agreement Between the Government of
the Republic of Indonesia and the Government of the Republic Singapore on the
Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and
the Jakarta Flight Information Region. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri
Perhubungan RI dan Menteri Perhubungan Singapura pada tanggal 21 September
1995 di Singapura.16 Perjanjian Indonesia dan Singapura tersebut diratifikasi oleh
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1996.
15 Mahfud Fahrazi, Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan Riau
dan Natuna, JH Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 26 Issue 2, Mei
2019
55
Namun dalam hal keberlakuan perjanjian bilateral antara Indonesia dan
Singapura terkait Flight Information Region (FIR) Singapura terdapat perbedaan
pandangan. Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia mengatakan bahwa,17 perjanjian bilateral anatara
Indonesia dan Singapura tahun 1995 itu belum berlaku, dengan alasan perjanjian
tersebut belum memenuhi syarat pemberlakuan yaitu terkait dengan persetujuan
oleh Convention on International Civil Aviation (ICAO).
Lebih lanjut Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengatakan bahwa yang
didelegasikan dalam perjanjian tahun 1995 adalah layanan lalu lintas udara dan
wilayah yang terkena dampaknya seperti yang disebutkan dalam pasal 2 dan tabel
dibawah ini.
Article 2
Airspace Delegation
1. Concurrent with the realignment of the boundary between the Singapore
FIR and the Jakarta FIR and subject to the existing procedures estabilished
in the Tanjung Pinang Control Area (zone), the Government of the Republic
of Indonesia will delegate to Singapore an airspace of 90nm from SINJON
(01o 13’24”N 103o 51’24” E) and up to 37.000 ft within the realigned
Jakarta FIR and south of Singapore, designated as Sector A, (as detailed in
Map 2), for the provision of air traffic service.
2. In the event that the Government of The Republic of Indonesia implements
the revision of is archipelagic boundaries in conformity with the provisions
of UNCLOS, and as a result any part of its revised archipelagic and
territorial water boundaries falls within sector B (as detailed in Map 2), the
Government of the Republic of Singapore will align its FIR boundary to take
16 Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, (Jakarta: PT Bumi
Intitama Sejahtera, 2006), h. 124
17 Andy Aron, Sekretaris Pertama Direktorat Hukum dan Perjanjian Kewilayahan
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Republik Indonesia, Interview
Online, Kebumen, 09 April 2020 pukul 10.30 WIB
56
into account that part of Indonesia’s revised archipelagic and territorial
water boundaries drawn in conformity with UNCLOS and falling within
Sector B. The Republic of Indonesianwill then delegate the area affected by
the realignment, from sea level to unlimited height, to the Republic of
Singapore. The northern boundary of Sector B (05o00’N 108o15’E, 05o00’E,
03o30’N 10 o30’E, 01 o29‘21”N 104 o34’41”E) accords with the FIR
boundary realignment proposal submited by the Government of the
Republic of Indonesia in its Working Paper 55 presented to the Third Asia-
Pacific Regional Air Navigation Meeting in April 1993.
Tabel 1 Airspace Delegation (MAP 2)
Dengan demikian bahwa pendelegasian Flight Information Region (FIR)
Singapura tidak mengenal sektor C, yang ada hanya Sektor A dan Sektor B seperti
yang terdapat pada Doc. 9673 Flight Information Region (FIR) Singapura.
57
Tabel 2 Doc. 9673 (APAC Regional Air Navigation Plan).
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia juga bersandar pada pandangan ICAO yang
menganggap bahwa pendelegasian Flight Information Region (FIR) kepada
Singapura tidak mengganggu kedaulatan negara Indonesia, sebagaimana yang
dijelaskan dalam resolusi majelis ICAO 40, negara tetap memiliki kedaulatan.
Karena secara hukum kedaulatan dan Flight Information Region (FIR) adalah dua
hal yang berbeda. Sehingga tidak ada korelasi antara keduanya.
Lain hal nya dengan Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) yang
menyatakan bahwa,18 Indonesia melakukan perjanjian dengan Singapura terkait
Flight Information Region (FIR) yaitu, Agreement between the Government of the
Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the
Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and
the Jakarta Flight Information Region tertanggal 21 September 1995. Flight
Information Region (FIR) ini berdasarkan RAN I tahun 1973. Perjanjian tersebut
di atas telah berlaku dengan diratifikasi berdasarkan Keppres No. 7 tahun 1996 oleh
18 Supri Abu, Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Interview Online, Kebumen, 13
April 2020 Pukul 16.00 WIB
58
Pemerintah Indonesia tertanggal 2 Pebruari 1996, dan sesuai dengan isi perjanjian
bahwa, perjanjian tersebut dapat ditinjau ulang setelah 5 (lima) tahun.
Indonesia dan Singapura sudah mengimplementasikan bunyi Pasal tentang
“kegiatan lain” tersebut berupa perjanjian Agreement between the Government of
the Republic of Indonesia and the Government of Singapore on Military in Areas 1
and 2 yang ditandatangani pada tanggal 21 September 1995. Perjanjian ini
diratifikasi oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 8 Tahun 1996.
Perjanjian tersebut hanya berlaku 5 tahun. Namun, Indonesia menghentikan MTA
tahun 2003, dikarenakan oleh tindakan Singapura yang cenderung banyak
melakukan pelanggaran di wilayah RI dan dalam setiap latihan bersama, Singapura
kerap mengikutsertakan pihak ketiga seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia
tanpa Izin. Selain itu, Indonesia mengijinkan Singapura untuk melaksanakan Sea
Trial (uji coba kapal berlayar di Laut), karena sejak Tahun 1973 Singapura
merupakan tempat perbaikan kapal hingga saat ini sehingga Indonesia mengijinkan
perairannya digunakan hanya untuk melaksanakan Sea Trial. Indonesia dan
Singapura juga pernah mencoba melakukan perjanjian bilateral yaitu, Perjanjian
kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) Indonesia dengan
Singapura ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampak Siring, Bali.
Berdasarkan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional,
bahwa Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang
apabila berkenaan dengan masalah politik, pertahanan dan keamanan negara.
Karena sampai saat ini DCA belum diratifikasi maka perjanjian tersebut belum
berlaku. Dalam pelaksanaannya Kementerian Luar Negeri RI masih ragu-ragu atas
perjanjian ini, sehingga penerbangan militer Singapura di wilayah tersebut
dibiarkan padahal laporan dari Kohanudnas terhadap pelanggaran di wilayah
tersebut telah dilaporkan.
Lebih lanjut Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) menyatakan bahwa
kewajiban pelayanan memang bisa didelegasikan sesuai pernyataan dalam Pasal
2.1.1 bahwa, “If one state delegates to another state the responsability for the
provision of air traffic services over its territory, it does so without derogation of
its national sovereignty”. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa jika suatu negara
59
mendelegasikan pelayanan navigasi penerbangan wilayah udaranya kepada suatu
negara, hal tersebut tidak akan mengurangi kedaulatan negara yang
mendelegasikan. Dengan kata lain bahwa negara yang menerima pendelegasian
tersebut hanya mengelola sebatas pada permasalahan teknis dan operasional
semata, dan tidak akan keluar dari konteks keselamatan penerbangan dan
kelancaran lalu lintas udara yang menggunakan wilayah udara dimaksud (namun
kenyataannya Singapura justru telah menetapkan wilayah udara Indonesia secara
sepihak sebagai wilayah latihan tanpa ada komunikasi terlebih dahulu dengan
Indonesia). Namun ICAO juga sudah mengatur bahwa, “Both the delegating and
providing States may terminate the agreement between them at any time”.
Memang, seluruh wilayah di bumi ini harus “dikapling-kapling” untuk
tujuan Flight Information Region (FIR), sehingga tidak ada ruang kosong untuk
pelayanan lalu lintas penerbangan internasional. Akan tetapi perlu dipahami, sekali
lagi bahwa negara yang memiliki wilayah kedaulatan lah yang pertama kali
mempunyai kewajiban memiliki Flight Information Region (FIR). Dalam hal ini
bagi yang berbatasan darat dengan negara lain, batas negara selalu identik dengan
batas Flight Information Region (FIR). Tetapi hal ini berbeda dengan yang
berbatasan dengan wiilayah internasional seperti Indonesia yang memiliki ruang
udara bebas. Sesuai dengan ketentuan ICAO harus dibicarakan secara regional
yang melibatkan negara disekitar untuk mencapai kesepakatan yang kemudian
harus disetujui oleh ICAO. Inilah yang menyebabkan luas negara tidak sama
dengan luas Flight Information Region (FIR). Jadi disini tidak hanya pertimbangan
keselamatan semata. Hal ini dijelaskan dalam Annex 11 Pasal 2.1.2 bahwa, “Those
portions of the airspace over the high seas or in airspace of undetermined
sovereignty where air traffic services will be provided shall be determined on the
basis of regional air navigation agreements”. Dengan demikian dasar awal
pemberian pelayanan lalu lintas udara adalah berdasarkan wilayah kedaulatan.
Dari persepektif Singapura, memang selalu menyatakan bahwa Flight
Information Region (FIR) bukan masalah kedaulatan tetapi hanya masalah “the
safety and efficiency” dan Flight Information Region (FIR) saat ini terbukti tidak
ada masalah bagi penerbangan sipil. Padahal dari segi teknis penerbangan sipil
60
Indonesia adalah sangat merugikan. Sebagai bukti, penerbangan dengan rute
Natuna-Batam/Tanjung Pinang atau sebaliknya harus menempuh jarak yang lebih
jauh karena harus menghindari wilayah “Danger Area” Singapura padahal di
wilayah Kedaulatan Indonesia.
Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa terkait dengan masalah Flight
Information Region (FIR) bukan hanya masalah “safety and efficiency” tetapi juga
masalah kedaulatan. Sebab wujud dari adanya kedaulatan salah satunya adalah
kemampuan untuk mengontrol sendiri ruang udara Indonesia dan hal ini sudah
menjadi Perintah Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan dan telah dirumuskan menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia
melalui Instruksi Presiden pada tanggal 8 September 2015.
Ketua Pusat Hukum Udara dan Luar Angkasa Indonesia Universitas
Padjajaran Bandung Prof Atip Latipulhayat, S.H. L.L.M., Ph.D. juga menyatakan
hal serupa dengan Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI). Beliau menyatakan
bahwa pengelolaan pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR) diatas
kepulauan Riau, Matak, dan Natuna oleh Singapura mengurangi bahkan
menghilangkan kedaulatan Indonesia atas ruang udara di wilayah itu, mengingat
Indonesia kehilangan kewenangan untuk mengatur lalu lintas udara serta
kehilangan keuntungan ekonomi di wilayah tersebut. Selain itu, juga menjadi
ancaman terhadap pertahanan dan keamanan di ruang udara Indonesia karena
pesawat militer Indonesia harus mendapatkan clearence dari otoritas Singapura
padahal pesawat tersebut terbang di atas kedaulatan udara Indonesia dan bertugas
untuk mengamankan penegakan kedaulatan di ruang udara.19
Dalam tema kajian hubungan internasional (siyasah kharijiyyah as-
syar’iyyah) pada siyasah dauliyah. Menurut bahasa perjanjian adalah kesepakatan
antara dua orang atau kelompok, akan tetapi dalam siyasah dauliyah yang dimaksud
dengan perjanjian adalah perjanjian antar negara. Kesepakatan yang ditandatangani
19 Atip Latipulhayat, Ketua Pusat Hukum Udara dan Luar Angkasa Indonesia Universitas
Padjajaran Bandung, Interview Online, Kebumen, 26 April 2020
61
oleh dua negara atau dua kelompok negara inilah yang dinamakan dengan
perjanjian Internasional (siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah).20
Para ahli hukum Islam, kecuali Ibn Hazam, bersepakat atas bolehnya
melakukan perjanjian dengan negara mana pun tanpa terbatas pada sektor militer.
Perjanjian genjatan senjata, umpamanya boleh dilakukan dengan negara mana pun
yang menyatakan perang untuk masa tertentu. Berbeda hal nya dengan Ibn Hazam
yang memiliki pendapat bertentangan dengan kebanyakan ahli hukum Islam. Ibn
Hazam melarang setiap perjanjian, kecuali perjanjian jizyah dengan ahli kitab dan
Majusi.
Ayat al-Quran yang membolehkan perjanjian internasional adalah firman
Allah Swt sebagai berikut:
ا تخافن من قوم نين و ام ليحب الخاى بذ اليهم على س واء ان اللها تخافن من قوم خيانة فان وام
ل يحب ال خاىنين )ٱلنفال:٥٨( بذ اليهم على سواء ان الله خيانة فان
Artinya: “Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya)
pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada
mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang
berkhianat”. (QS. Al-Anfal/8:58)
Adapun dari hadis tentang perjanjian internasional adalah kebiasaan Nabi
Muhammad Saw., yang melakukan banyak perjanjian dengan orang-orang yang
menyatakan berperang pada Madinah. Belaiu melakukan perjanjian damai dengan
Quraisy di Hudaibiyyah, Bani Dhamrah, Alaih, dan beberapa negara lain.
Perlu untuk diperhatikan bahwa perjanjian internasional dalam
ketatanegaraan Islam berbeda-beda, bergantung pada jenis perjanjian dan hubungan
yang ingin dibangun. Sebagai contoh, perjanjian perihal tapal batas antara dua
negara atau lebih. Perjanjian seperti itu memiliki batasan dan syarat tertentu yang
berbeda dengan perjanjian militer.
Adapun syarat sah perjanjian internasional berkaitan dengan dua hal yaitu,
aktor yang bertanggungjawab melaksanakan perjanjian dan tahap pelaksanaan
perjanian. Aktor dalam perjanjian internasional adalah kepala negara, wakil kepala
20 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah)..., h. 51-52
62
negara, dan atau yang mewakilinya atas nama negara yang telah mendapatkan
mandat dari negara. Setiap perjanjian internasional harus melalui ahap-tahap
tertentu agar sah dan mengikat. Tahap-tahap perjanjian internasional adalah sebagai
berikut:
a) Perundingan (al-mufawadhat);
b) Kesepakatan dan penandatanganan perjanjian (al-ittifaq wa at-tauqi’);
c) Pelaksanaan (at-tanfidz);
d) Pengumuman perjanjian.
Mayoritas ahli hukum tata negara Islam berpendapat bahwa tidak
terpenuhinya syarat perjanjian membatalkan perjanjian tersebut. Selain syarat sah
perjanjian para ahli hukum tata negara juga memberlakukan rukun perjanjian yaitu
pihak yang mengadakan perjanjian (al-aqidain), objek yang disepakati
(mahallul’aqd), dan diktum perjanjian (shigat al-‘aqd).21
Dari penjelasan di atas siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah menganalisis
bahwa dalam perjanjian bilateral antara Indonesia dan Singapura terkait dengan
pelayanan pelaksanaan navigasi Flight Information Region (FIR) sudah sesuai
dengan pelaksanaan perjanjian internasional Islam. Agreement between the
Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of
Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight
Information Region and the Jakarta Flight Information Region. Perjanjian tersebut
telah berlaku sejak ditandatanganinya oleh kedua pihak tertanggal 21 September
1995, dan telah diratifikasi berdasarkan Keppres No. 7 tahun 1996 oleh Pemerintah
Indonesia tertanggal 2 Pebruari 1996, dan sesuai dengan isi perjanjian bahwa,
perjanjian tersebut dapat ditinjau ulang setelah 5 (lima) tahun.
Dalam siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah pun untuk pelaksaan perjanjian
dimulai setelah ditandatangani, kecuali jika ditentukan waktu untuk memulai
pelaksanaannya. Akan tetapi dalam siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah pembicaraan
mengenai perjanjian ruang udara masih bersifat global tidak berbicara secara detail
seperti hukum internasional konvensional. Selain sebagai panduan global dalam hal
perjanjian internasional siyasah kharijiyyah as-syar’iyyah juga merupakan panduan
21 Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah)..., h. 53-59
63
moral dalam menepati perjanjian. Sebagaimana yang tertera dalam firman Allah
Swt:
م . . . . )ٱلنحل:٩١( اذا عاهدت واوفوا بعهد الله
Artinya: “Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji...”.
(QS. An-Nahl/16:91)
Sehingga penulis berpandangan bahwa terkait dengan perjanjian bilateral
antara Indonesia dan Singapura seharusnya sudah berlaku sejak diratifikasinya
perjanjian tersebut oleh Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 1996. Karena jika
perjanjian tersebut tidak berlaku maka dalam pendelegasian Flight Information
Region (FIR) terjadi kekosongan hukum. Padahal dalam pendelegasian tersebut
dibutuhkan suatu nota kesepakatan anatara kedua belah pihak yang berisi
persyaratan-persyaratan tentang pelayanan yang mencakup fasilitas dan tingkat
pelayanan yang akan diberikan. Dengan kata lain dalam pendelegasian suatu ruang
udara yang akan dikelola oleh negara lain diperlukan adanya perjanjian
internasional antara kedua negara.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kedaulatan negara atas ruang udara menurut Pasal 1 Konvensi Chicago
1944 tentang penerbangan sipil internasional adalah bersifat penuh dan
eksklusif. Sifat kedaulatan yang penuh dan eksklusif dari negara di ruang
udara nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan
negara di laut wilayahnya. Dengan demikian ruang udara nasional suatu
negara adalah tertutup, mengingat udara sebagai media gerak amatlah rawan
ditinjau dari segi kedaulatan, pertahanan dan keamanan negara kolong.
Untuk regulasi tentang kedaulatan negara di ruang udara Indonesia sendiri
lebih lanjut diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, serta ketentuan lebih lanjut
Pasal 9 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengamanan Wilayah Udara Indonesia.
2. Pelayanan navigasi Flight Information Region (FIR) Singapura perspektif
Siyasah Kharijiyyah dapat dibenarkan dalam konteks kemaslahatan ruang
udara sehingga tercapainya keselamatan penerbangan yang aman dan
efisien serta untuk mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat. Namun
dalam konteks kedaulatan negara terkait dengan Flight Information Region
(FIR) Singapura bukan hanya masalah “safety and efficiency” tetapi juga
masalah kedaulatan. Pelayanan memang bisa didelegasikan melalui suatu
nota kesepakatan anatara kedua belah pihak, namun dalam pasl 5 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan disebutkan secara tegas
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif
atas wilayah udara Republik Indonesia. Sehingga perlu dipahami, bahwa
negara yang memiliki wilayah kedaulatan lah yang pertama kali mempunyai
kewajiban memiliki dan mengelola Flight Information Region (FIR).
65
B. Saran
Berdasarkan pemaparan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran
terkai dengan upaya pengambilalihan Flight Information Region (FIR) Singapura
sebagai berikut:
1. Untuk delegasi Indonesia seharusnya memahami dan konsisten bahwa
masalah Flight Information Region (FIR) bukan hanya masalah “safety and
efficiency” tetapi juga masalah kedaulatan, karena salah satu wujud dari
adanya kedaulatan adalah kemampuan untuk mengontrol sendiri ruang
udara Indonesia dan hal ini sudah menjadi amanat pasal 458 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan telah dirumuskan
menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Instruksi Presiden pada
tanggal 8 September 2015.
2. Pengambilalihan Flight Information Region (FIR) adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sehingga proses ini harus
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan secara
berjadwal hasilnya dipublikasikan ke masyarakat luas.
3. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia harus
menindaklanjuti terkait dengan “Danger Area” oleh Singapura yang
dipergunakan latihan militer Singapura di wilayah Indonesia. Karena
penetapan wilayah tersebut tidak dilandasi dengan suatu perjanjian bilateral
antara Indonesia dan Singapura. Sehingga Indonesia harus melakukan
protes keras atas penetapan “Danger Area” tersebut.
4. Untuk Lembaga/serta Badan Organisasi yang bekerjasama menangani
masalah Flight Information Region (FIR) agar segera melakukan tinjauan
hukum nasional dan internasional terkait dengan regulasi penerbangan
(Perjanjian FIR Realignment 1995, Konvensi Chicago 1944 dan Standards
and Recomended Practices).
5. Untuk Lembaga/serta Badan Organisasi yang bekerjasama menangani
masalah Flight Information Region (FIR) agar segera melakukan koordinasi
terkait dengan Proposal for Amendment (PfA) Indonesia-Singapura.
66
6. Dalam langkah pengambilalihan secara teknis Indonesia dapat mencontoh
langkah Kamboja yang mengambil alih Flight Information Region (FIR)
dari Thailand. Dalam hal ini, Kamboja melakukan pendekatan tekhnis,
dimulai tahun 2000 Kamboja membangun pelayanan navigasi
internasionalnya. Selanjutnya, tahun 2001 membuat working paper ke
ICAO tentang rencana pengambilalihan Flight Information Region (FIR)
nya. Walaupun banyak negara dan organisasi penerbangan yang menentang
rencana tersebut, namun atas dasar kedaulatan, Kamboja akhirnya berhasil
mengendalikan sendiri wilayah udaranya pada tahun 2002.
67
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al-Qur’an al-Karim
Abdurrasyid, Priyatna. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat
Penelitian Hukum Angkasa. 1972.
_____ . Mata Rantai Pembangunan Ilmu Teknologi dan Hukum Kedirgantaraan
Nasional Indonesia. Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia, TNI AU dan Air Power Center of Indonesia.
2011.
Maududi, al, AbulA’la. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Bandung:
Mizan. 1990.
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2009.
DEPANRI. Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua: Flight Information
Region. Jakarta: Dewan Penerbangan dan Antariksa Penerbangan Republik
Indonesia. 2003.
Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Cetak Biru Transportasi Udara
2005-2024 (Konsep Akhir), Ditjen Perhubungan Udara. Maret 2005.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum
Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2011.
Hakim, Chappy. Berdaulat di Udara Membangun Citra Penerbangan Nasional.
Jakarta: PT Kompas Media. 2010.
Hamidi, Jazim. Mohamad Sinal, dkk, Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point
Of The State. Jakarta: Salemba Humanika. 2012.
68
Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.
Isjwara, Fred. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta, 1996.
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
1993.
Mabesau. Dasar-Dasar Hukum Udara Bagi Pelaksana Operasi Udara TNI
Angkatan Udara. Jakarta. 2006.
Maleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
2005.
Martono dan Ahmad Susiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik
(Public International and National Air Law). Jakarta: Rajawali Pers. 2016.
Martono, K. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2012.
_____ . Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa. Bandung: Alumni.
1987.
Nugroho, Yuwono Agung Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia. Jakarta: PT Bumi
Intitama Sejahtera. 2006.
Praja, Juhaya S. Pemikiran Ketatanegaraan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Rasyid, Hatamar. Pengantar Ilmu Politik: Perspektif Barat dan Islam. Jakarta:
Rajawali Pers. 2017.
Ridwan. Fiqh Politik Gagasan Harapan Dan Kenyataan. Yogyakarta: FH UII
Press. 2007.
Rudy, T. May. Hukum Internasional II. Bandung: PT Refika Aditama. 2006.
Shawcross and Beaumont. Air Law, Fourth Edition. London: Butterworth. 2005.
69
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. 1980.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum Jurimetri. Jakarta: GHia
Indonesia. 1998.
_____ . Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
2001.
Suherman, E. Hukum Udara Indonesia & Internasional. Bandung: Bandung:
Alumni. 1983.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2006.
Suntana, Ija. Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah). Bandung:
Pustaka Setia. 2015.
Widodo, L. Amin. Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional. Yogyakarta: Tiara
Wacansa. 1994.
Yusuf, Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan.
Jakarta: Kencana. 2014.
JURNAL
Fahrazi, Mahfud. Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan
Riau dan Natuna, JH Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam
Indonesia, Vol. 26 Issue 2. Mei 2019.
Johan, Eva. Pengaturan Mengenai Pesawat Udara Militer Menurut Hukum Udara
Internasional. Perspektif, Vol. XV, No.3. 2010.
Latipulhayat, Atip. Managing Flight Information Region (FIR) Sovereignty or
safety issue? The Case of Indonesia-Singapore. Bandung: Jurnal Pusat
Hukum Udara dan Luar Angkasa Indonesia Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran.
70
Purwanto, Harry. Rute Penerbangan di atas Alur Kepulauan Perspektif Indonesia,
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1. Universitas Gajah Mada. 2014.
Wiradipradja, E. Saefullah. Wilayah Udara Negara (State Air Territory) di Tinjau
dari Segi Hukum Internasional dan Nasional Indonesia. Jurnal Hukum
Internasional, Vol. 6 No. 4. Juli 2009.
_____ . Pengelolaan Flight Information Region Di Wilayah Kepulauan Riau Dan
Natuna. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Kediri. 2019.
Putri, Maulidya Tiarayu. Tinjauan Yuridis Pengelolaan Flight Information Region
(FIR) Kepulauan Natuna dan Riau Oleh Singapura Serta Pengaruh
Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal
Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya. 2019.
SKRIPSI
Razzaq, Ahmad Maulana. Analisis Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dalam
Penanganan Pelanggaran Penerbangan di Wilayah Indonesia. Makassar:
Skripsi Universitas Hasanuddin. 2014.
Zulkarnain, Muhammad Fitrah. Flight Information Region (FIR) Singapura Dan
Dampaknya Terhadap Kedaulatan Dan Keamanan Indonesia. Makassar:
Skripsi Universitas Hasanuddin. 2018.
Al Istiqomah, Miftahul Khoiriyah. Upaya Pengambilalihan Flight Information
Region Kawasan Kepulauan Riau Dan Natuna Oleh Indonesia Dari
Singapura. Jawa Timur: Skripsi Universitas Jember. 2016.
Priyono, Ignasius. Analisis Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam Upaya
Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Udara Pada Flight Information
Region (FIR) Singapura di Atas Kepulauan Riau. Makassar: Skripsi
Universitas Hasanuddin. 2016.
TESIS
Zuraida, Evi. Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilaliha Pelayanan Navgasi
Penerbangan Pada Flight Information Region (FIR) Singapura di atas
71
Wilayah Udara Indonesia Berdasarkan Perjanjian antara Indonesia
Singapura Tahun 1995. Tesis: Universitas Indonesia Jakarta. 2012.
UNDANG-UNDANG
Annex 11 to the Convention on International Civil Aviation
Konvensi Chicago 1944
Peratura Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan
Penerbangan
Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
INTERVIEW
Abu, Supri. Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Interview Online. Kebumen.
13 April 2020 Pukul 16.00 WIB.
Aron, Andy. Sekretaris Pertama Direktorat Hukum dan Perjanjian Kewilayahan
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian
Republik Indonesia. Interview Online. Kebumen. 09 April 2020 pukul 10.30
WIB.
Latipulhayat, Atip. Ketua Pusat Hukum Udara dan Luar Angkasa Indonesia
Universitas Padjajaran Bandung. Interview Online. Kebumen. 26 April
2020.
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
73
74