kecap_auw elyzabeth d.a_12.70.0060_b3

42
Acara III FERMENTASI SUBSTRAT PADAT FERMENTASI KECAP LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Auw, Elyzabeth D.A 12.70.0060 Kelompok B3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Upload: james-gomez

Post on 14-Sep-2015

3 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kecap merupakan panganan khas tradisional. proses pembuatannya melalui dua tahapan penting yaitu tahapan fermentasi moromi dan fermentasi koji. kecap memiliki warna hitam dan rasa yang manis.

TRANSCRIPT

FERMENTASI SUBSTRAT PADATFERMENTASI KECAP

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:Auw, Elyzabeth D.A12.70.0060Kelompok B3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

2015Acara III2

2

1.HASIL PENGAMATAN1.1.Hasil Pengamatan KecapHasil pengamatan Kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan KecapKelompokBahan&PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan

B1Kedelai hitam0,5% inokulum++++++++

B2Kedelai putih0,75% inokulum----

B3Kedelai hitam0,75% inokulum+++++++

B4Kedelai putih1% inokulum----

B5Kedelai hitam1% inokulum+++++++++

Keterangan :WarnaRasa+++:sangat hitam+++:sangat kuat++:hitam++:kuat+:kurang hitam+:kurang kuat AromaKekentalan+++:sangat kuat+++:sangat kental++: kuat++:kental+:kurang kuat+:kurang kental

Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa pada kelompok B1 bahan dan perlakuan yang digunakan adalah kedelai hitam 0,5% inokulum, pada kelompok B2 adalah kedelai putih 0,75% inokulum, pada kelompok B3 adalah kedelai hitam 0,75% inokulum, pada kelompok B4 adalah kedelai putih 1% inokulum dan pada kelompok B5 adalah kedelai hitam 1% inokulum. Pada kelompok B1 aroma yang dihasilkan adalah kurang kuat dengan warna kurang hitam, rasa sangat kuat dan sangat kental. Pada kelompok B2 dan B4 tidak dihasilkan kecap. Pada kelompok B3 aroma yang dihasilkan adalah sangat kuat dengan warna hitam, rasa kurang kuat dan kurang kental. Pada kelompok B5 aroma yang dihasilkan adalah kuat dengan warna sangat hitam, rasa kuat dan kental.

1

2.PEMBAHASANKecap adalah termasuk ke dalam salah satu produk pangan yang tradisional. Dimana proses pembuatan kecap yaitu dengan memfermentasi kedelai hitam atau putih atau kacang-kacangan yang akan menghasilkan cairan dengan warna coklat sampai kehitaman (Rahman, 1992). Biasanya, mikroorganisme yang dimanfaatkan dalam proses pembuatan kecap, keberadaannya sudah alami (ada di lingkungan) seperti khamir, bakteri atau kapang. Kecap memiliki pH yang agak rendah yaitu sekitar 4,9-5,0 selain itu kecap memiliki sifat yang baik bagi pencernaan. Kemudahan kecap dalam dicerna oleh pencernaan disebabkan karena adanya berat molekul kecap yang rendah. Kelarutan dari kecap adalah 90% (dalam air) namun dengan perbandingan rasio nitrogen total dan nitrogen amino sebesar 45%. Kecap mengandung protein dalam bentuk peptida dan juga asam amino (Kasmidjo, 1990).

Hasil olahan fermentasi banyak dijumpai di negara Asia seperti pembuatan tempe, brem, wine, kecap dan oncom. Di Indonesia, kecap yang biasa dibuat ada dua jenis yaitu kecap manis dan juga kecap asin. Perbedaan kedua jenis kecap tersebut adalah pada rasa yang ditimbulkan seperti manis dan asin, namun kecap manis lebih sering digunakan untuk konsumsi (Kurniawan, 2008). Pada proses pembuatannya, kecap akan melalui dua tahapan fermentasi yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi. Proses fermentasi pertama yaitu fermentasi koji, dimana fermentasi ini dilakukan untuk mencampur kedelai dengan penambahan inokulum seperti Aspergillus oryzae. Saat proses fermentasi berlangsung, mikroorganisme tersebut akan menghasilkan enzim protease, amilase dan enzim yang lain. Dengan terbentuknya enzim tersebut maka bahan baku kedelai akan diubah menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti perubahan protein menjadi asam amino, amilase yang mengubah atau menghidrolisa pati menjadi bentuk gula sederhana. Adanya nutrisi yang ada tersebut selanjutnya akan digunakan untuk fase moromi oleh bakteri (Yeong Wu, et al., 2010).

3

Proses pembuatan kecap dari bahan kedelai menurut Santoso (1994) terdiri dari beberapa tahapan seperti : PensortiranPada tahapan ini, kedelai hitam atau kedelai kuning disiapkan dan dipilih atau disortir. Dengan penyortiran ini maka akan dihasilkan kualitas akhir yang baik juga. PencucianPada tahapan ini, kedelai dicuci agar kotoran yang ikut dapat dihilangkan. Perebusan awalProses ini bertujuan untuk membuat biji kedelai menjadi lunak sehingga akan mudah saat dilakukan pemisahan dengan kulit arinya. PenirisanPada proses ini dilakukan pemisahan antara air dengan kedelai setelah direbus. PenjamuranProses penjamuran dilakukan saat kedelai sudah dalam kondisi agak dingin. Jika proses penjamuran dilakukan pada saat kedelai masih panas, maka akan berakibat jamur yang ditambahkan ke kedelai akan mati. Proses ini merupakan salah satu proses yang penting dalam pembuatan kecap. Jika proses penjamuran berhasil, maka akan tumbuh jamur berwarna putih pada kedelai dan menyerupai tempe. PenggaramanPada tahapan ini, biji kedelai direndam dalam larutan garam dengan konsentrasi 20%. Saat proses penggaraman ini, harus dilakukan juga proses penjemuran dibawah sinar matahari sambil tetap diaduk agar biji kedelai dengan larutan garam menjadi merata. Penyaringan awalPenyaringan awal ini bertujuan untuk mendapatkan filtrat yang terpisah dari ampasnya. Sehingga filtrat akan siap untuk diolah lebih lanjut menjadi kecap. PemasakanPada tahapan ini, filtrat ditambah dengan air dan dimasak sampai mendidih. Saat dimasak, ditambahkan juga gula jawa dan bumbu seperti ketumbar, cengkeh, kayu manis, pala dan lainnya. Selama proses pemasakan, harus tetap diaduk sampai tidak muncul buih lagi. Penyaringan AkhirPada proses terakhir ini, kecap kembali disaring untuk memisahkan dengan endapan yang dimungkinkan berasal dari bumbu-bumbu.

Langkah-langkah yang dilakukan saat praktikum, sesuai dengan langkah-langkah tersebut diatas. Langkah pertama yang digunakan dalam proses pembuatan kecap ini yaitu dengan merendam kedelai selama 12 jam sebelum digunakan. Setelah 12 jam direndam, kedelai dicuci hingga bersih dan dikeringkan atau ditiriskan. Dengan adanya perendaman ini bertujuan agar saat proses pengupasan kulit ari menjadi lebih mudah, tetapi proses perendaman tidak boleh dilakukan terlalu lama. Hal ini akan menyebabkan total padatan dalam kedelai menjadi berkurang (Suhaidi, 2013).

Gambar 1. Perendaman Kedelai Selama 12 jam

Langkah selanjutnya adalah merebus kedelai hingga matang. Langkah tersebut sesuai dengan teori Peppler & Perlman (1979) bahwa dengan perebusan maka akan dapat membuat biji kedelai lunak, protein inhibitornya rusak, zat-zat antinutrisi diinaktifkan, dapat membunuh bakteri dan juga mengurangi bau langu pada kedelai. Selain itu, menurut Rahayu et al. (1993) dengan dilakukan perebusan maka akan membuat kapang mudah menembus biji kedelai yang sebelumnya sudah dilunakkan dengan pemasakan sehingga kapang juga akan mudah dalam mengkonsumsi protein sebagai pertumbuhannya.

Setelah dilakukan perebusan, kedelai ditiriskan hingga kering dan kemudian diletakkan dalam besek yang sudah disemprot dengan alkohol dan dialasi dengan daun pisang. Lalu ditambahkan inokulum, inokulum yang ditambahkan untuk kelompok B1 adalah sebesar 0,5%, B2 dan B3 ditambahkan 0,75% inokulum, B4 dan B5 ditambahkan inokulum 1%. Pemberian alkohol pada daun pisang dan besek bertujuan untuk meminimalkan kontaminasi silang baik dari besek, tampah maupun daun pisang. Sedangkan inokulum yang digunakan sesuai dengan teori Santoso (1994) bahwa inokulum komersial yang digunakan adalah jenis Rhizopus sp. Setelah ditambah inokulum, kedelai dalam besek selanjutnya diinkubasi selama 3 hari.

Gambar 2. Penirisan Kedelai

Gambar 3. Penambahan Inokulum

Dalam fermentasi kecap, ada kapang yang berperan seperti Aspergillus oryzae, Aspergillus niger, Aspergillus soyae dan Rhizopus sp, sedangkan bakteri yang berperan adalah Lactobacillus delbrueckii dan ragi Hansenula sp. Penambahan inokulum adalah saat kedelai masih hangat atau bersuhu 35-400C dimana suhu tersebut merupakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan kapang. Sedangkan waktu inkubasi 3 hari adalah waktu yang tepat untuk kapang melakukan fermentasi dengan baik. Jika inkubasi atau waktu fermentasi terlalu singkat maka tidak dihasilkan enzim. Namun semakin panjang waktu fermentasi juga kurang baik karena enzim yang dihasilkan semakin banyak dan dapat mempengaruhi citarasa yang kurang pas. Saat proses inkubasi sebaiknya tetap terkena udara, karena fermentasi pada jamur berlangsung secara aerob (Astawan & Astawan, 1991). Menurut Kasmidjo (1990), faktor yang berpengaruh pada fermentasi tahap pertama atau tahap koji ini antara lain suhu, aerasi dan kadar air sehingga akan mencegah tumbuhnya mikroba kontaminan seperti Mucor sp. atau bakteri lain seperti proteolitik yang dapat mempengaruhi hasil akhir kecap. Pada tahapan koji, terjadi proses pemecahan protein pada kedelai. Selain itu, kadar air dalam kedelai harus rendah hal ini bertujuan agar tidak tumbuh bakteri pembusuk seperti Bacillus subtilis yang menyebabkan lendir di permukaan. Namun suhu kedelai saat didinginkan tidak boleh terlalu dingin cukup hangat saja. Hal ini dikarenakan kondisi suhu yang hangat akan membuat pertumbuhan jamur di permukaan kedelai menjadi lebih optimal (Atlas, 1984).

Gambar 4. Proses Inkubasi Dalam Besek Selama 3 hari

Menurut jurnal Pembuatan Miso dengan Memanfaatkan Edamame (Kajian Konsentrasi Koji dan Suhu Inkubasi), proses pembuatan miso diawali dengan tahapan koji, beras yang sudah disterilisasi kemudian diletakkan diatas nampan. Dengan dilakukan penambahan ragi tempe pada proses fermentasi akan meningkatkan terpecahnya protein menjadi asam-asam amino. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi koji yang diberikan, maka N-amino juga semakin meningkat, enzim yang dihasilkan dari metabolisme kapang juga akan semakin tinggi. Saat proses inkubasi, pada suhu terkontrol (350C), N-amino cenderung akan meningkat dibandingkan inkubasi pada suhu ruang sekitar 280C. Jadi dapat dikatakan bahwa suhu akan berpengaruh pada aktivitas mikroba terutama jenis Rhizopus sp. yang menghasilkan enzim protease. Menurut penelitian (Susilowati, 2010) pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim protease adalah pada suhu 300C sampai 40C produksi protease akan mengalami peningkatan.

Setelah proses inkubasi selesai, kedelai yang terbentuk menjadi tempe kemudian dipotong-potong untuk dikeringkan di dehumidifier selama 2-4 jam. Adanya pengeringan tersebut bertujuan agar kapang yang ada pada kedelai dapat mudah dihilangkan. Dengan pengeringan maka kadar air kedelai dapat diturunkan sehingga jamur yang masih hidup akan terhambat pertumbuhannya (Rahayu et al., 1993). Kedelai yang sudah dikeringkan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah toples plastik dan ditambah dengan larutan garam 20% lalu direndam selama 1 minggu. Namun setiap hari harus dijemur dan diaduk. Tahapan perendaman dengan larutan garam ini biasa disebut dengan tahapan moromi atau brine fermentation. Tujuannya selain memberi rasa asin adalah untuk mengekstrak senyawa sederhana dari hasil hidrolisa saat tahap fermentasi jamur atau tahap koji. Dengan perlakuan perendaman dapat berfungsi juga sebagai media selektif yaitu media untuk mencegah tumbuhnya mikroba yang berbahaya namun pertumbuhan khamir dan bakteri masih tetap mungkin dalam pembentukan aroma yang khas (Tortora et al., 1995).

Gambar 5. Proses Pengeringan dengan Dehumidifier

Gambar 6. Larutan Garam 20% Untuk Merendam Kedelai

Menurut jurnal Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam dan Waktu Fermentasi Terhadap Kualitas Kecap Ikan Lele, terdapat hubungan antara konsentrasi larutan garam dengan kadar protein. Dari hasil dikatakan bahwa semakin besar konsentrasi larutan garam maka kadar protein yang dihasilkan akan semakin kecil kadar . Pada hasil pengamatan jurnal, dengan konsentrasi larutan garam 3% akan dihasilkan kadar protein yang lebih besar dari pada konsentrasi larutan garam 5% dan 9%. Hal tersebut disebabkan karena aktivitas enzim protease (enzim bromelin) terhambat pada konsentrasi larutan garam yang semakin tinggi dan akan berakibat pada menurunnya proses terpecahnya protein menjadi asam amino. Penggunaan larutan garam dalam pembuatan kecap adalah untuk:1. Mencegah bertumbuhnya mikroba yang tidak diinginkan, namun tidak untuk bakteri asam laktat halofilik yang berperan dalam menentukan cita rasa dan aroma spesifik pada kecap.2. Menghilangkan rasa pahit yang disebabkan terurainya protein ikan oleh enzim protease.3. Garam dapat digunakan untuk pengawet dan memberi rasa asin pada kecap.4. Menciptakan kondisi anaerobik pada media fermentasi.

Kedelai yang direndam harus tertutupi semua dengan larutan garam, hal ini bertujuan agar sisa-sisa jamur dapat dimatikan. Dengan matinya jamur, maka kedelai akan mudah dalam melakukan penyerapan air garam sehingga kedelai akan menghambat pertumbuhan jamur (Kasmidjo, 1990). Penggunaan konsentrasi garam yang tinggi sekitar 20% sesuai dengan teori yang diungkapkan Astawan & Astawan (1991) bahwa dengan perendaman larutan garam pada konsentrasi tinggi akan menekan pertumbuhan kontaminan karena terjadi penarikan air dari bahan pangan atau terbentuk tekanan osmotik yang tinggi. Pada tahap penjemuran diperlukan pengadukan. Pengadukan ini bertujuan untuk meratakan permukaan substrat agar terkena larutan garam seluruhnya, lalu untuk memberi udara agar pertumbuhan bakteri dan khamir dapat dirangsang saat proses fermentasi berlangsung (Tortora et al., 1995). Hasil perendaman pada tahap moromi akan membuat larutan air garam menjadi kekeruhan dan akan membentuk miselium berwarna putih pada bagian permukaan. Hal tersebut sesuai dengan yang terjadi saat praktikum, bahwa saat proses perendaman dari hari ke hari larutan semakin menjadi keruh (Peppler & Perlman, 1979).

Gambar 7. Proses Penjemuran Kedelai dalam Larutan Garam

Menurut jurnal Effect of temperature on moromi fermentation of soy sauce with intermittent aeration kecap merupakan makanan fermentasi di Malaysia yang sudah dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Di Malaysia, proses pembuatan kecap juga melalui tahapan moromi, dimana tahapan tersebut biasanya dilakukan pada wadah besar dan disimpan dibawah sinar matahari selama 3-4 bulan. Pada proses moromi ini, ada tiga mikrob yang memainkan peran pentingnya untuk menghasilkan kecap dengan kualitas yang baik. Gula sederhana dari tahapan koji akan dimetabolisme oleh Pediococcus halophilus menjadi asam laktat dan asam asetat (Iwasaki et al., 1993). Selama tahapan moromi ini, akan dihasilkan juga senyawa ethanol oleh Zygosaccharomyces rouxii pada kondisi aerob dan anaerob (Hamada et al., 1989). Peningkatan konsentrasi dari etanol akan meningkatkan juga jumlah sel yeast yang dihasilkan pada fermentasi moromi (Roling et al., 1996). Kemudian untuk pembentukan warna, semakin lama waktu fermentasi maka akan semakin berwarna coklat. Pada suhu 450C setelah satu hari fermentasi, warna dari brine atau larutan garam menjadi semakin gelap. Sedangkan pada suhu 250C warna brine menjadi semakin gelap setelah fermentasi moromi hari kedua. Namun kandungan etanol pada suhu 450C akan rendah karena Zygosaccharomyces rouxii akan tumbuh optimum pada suhu berkisar 25-27,50C (Hamada et al., 1989; Sasaki and Nunomura, 2003). Pada jurnal tersebut, kandungan total dari nitrogen merupakan salah satu parameter penting yang digunakan dalam menentukan kulitas akhir kecap (Chou and Ling, 1998). Selama proses fermentasi berlangsung, terbentuknya nitrogen disebabkan karena hidrolisis dari kedelai. Proses aerasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan produksi kecap. Hal ini disebabkan frekuensi pengadukan yang kurang dan rendahnya ketersediaan oksigen sehingga yeast tidak bisa hidup saat tahapan fermentasi moromi (Sluis et al., 2001).

Setelah proses perendaman dan penjemuran selesai, dilakukan penyaringan untuk memisahkan dengan ampasnya. Cairan yang dibutuhkan adalah 250 ml untuk selanjutnya dimasak dengan air 750 ml. Setelah dimasak sampai mendidih, ditambahkan bumbu-bumbu seperti gula jawa 1 kg, kayu manis 20 g, ketumbar 3 g, laos 1 jentik dan bunga pekak 1 biji. Untuk kelompok B1 dan B2 ditambah cengkeh 1 gram, kelompok B3 dan B4 ditambah daun serai 1 batangnamun dihancurkan dahulu dan untuk B5 ditambahkan pala 1 buah (diparut). Setelah dimasak, larutan disaring, ditempatkan dalam wadah dan selanjutnya dilakukan pengujian sensori meliputi aroma, warna, rasa dan kekentalan. Menurut Prabandari (1995), gula merah berfungsi untuk menambah rasa dan memberikan warna hitam pada kecap. Selain itu menurut Elbashiti et al. (2010) dengan adanya penambahan bumbu-bumbu dapat meningkatkan citarasa dari kecap.

Gambar 8. Penyaringan Kedelai dengan Cairannya

Gambar 9. Pengambilan Filtrat 250 ml dan Penambahan Air 750 ml

Gambar 10. Proses Pemasakan Kecap

Gambar 11. Penambahan Bumbu-Bumbu

Gambar 12. Pemasakan Kecap dengan Bumbu

Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa pada kelompok B1 bahan dan perlakuan yang digunakan adalah kedelai hitam 0,5% inokulum, pada kelompok B2 adalah kedelai putih 0,75% inokulum, pada kelompok B3 adalah kedelai hitam 0,75% inokulum, pada kelompok B4 adalah kedelai putih 1% inokulum dan pada kelompok B5 adalah kedelai hitam 1% inokulum. Pada kelompok B1 aroma yang dihasilkan adalah kurang kuat dengan warna kurang hitam, rasa sangat kuat dan sangat kental. Pada kelompok B2 dan B4 tidak dihasilkan kecap. Pada kelompok B3 aroma yang dihasilkan adalah sangat kuat dengan warna hitam, rasa kurang kuat dan kurang kental. Pada kelompok B5 aroma yang dihasilkan adalah kuat dengan warna sangat hitam, rasa kuat dan kental. Terbentuknya warna yang hitam pada kecap sesuai dengan teori Kasmidjo (1990) bahwa warna yang terbentuk disebabkan karena reaksi pencoklatan dari beberapa komponen yang ikut ditambahkan (bumbu-bumbu) seperti yang dikatakan oleh Kasmidjo (1990). Bakteri dan khamir yang berperan dalam proses fermentasi antara lain Lactobacillus delbrueckii juga Hansenula sp. saat proses fermentasi, bakteri-bakteri tersebut akan menghasilkan asam organik seperti asam laktat, asam asetat, asam fosfat dan asam suksinat. Dimana asam tersebut berperan dalam pembentukan citarasa, umur simpan dan warna kecap. Namun jika fermentasi dilakukan oleh khamir maka akan dihasilkan 4-etilfenol, 4-etilguakol, dan 2-fenil etanol, dimana senyawa tersebut berfungsi untuk membentuk citarasa khas dari kecap (Astawan & Astawan, 1991).

Gambar 13. Hasil Kecap Akhir Kelompok B1, B3 dan B5

Kecap kedelai memiliki senyawa bioaktif yang dapat menambah citarasa dan aroma. Fungsi dari kecap sendiri adalah dapat bersifat antikarsinogenik, antioksidan dan juga antimikroba (Kyu Choi et al., 2011). Aroma yang terbentuk pada kecap disebabkan karena penggunaan bahan baku dan hasil dari fermentasi bakteri. Seperti gula merah semakin banyak penambahan gula merah maka semakin tinggi juga aroma, warna, tingkat kemanisan dan kekentalan kecapnya (Feng et al, 2013).

Untuk penilaian atribut dari segi aroma, terdapat perbedaan. Pada kelompok B3 dengan inokulum 0,75% memiliki aroma yang sangat kuat dibandingkan dengan penggunaan inokulum 0,5% dan 1% oleh kelompok B1 dan B5. Aroma yang dihasilkan pada kecap, disebabkan karena adanya penambahan bumbu dan komponen yang memiliki sifat volatil saat proses fermentasi berlangsung. Selain itu penambahan inokulum akan berpengaruh pada aroma kecap. Semakin banyak inokulum yang ditambahkan maka semakin kuat aroma yang dihasilkan pada kecap karena kandungan volatilnya juga ikut bertambah (Apriyantono & Gono, 2004). Hasil yang didapatkan kurang sesuai dengan teori yang ada karena seharusnya pada penambahan inokulum sebesar 1% seharusnya aroma semakin kuat. Ketidaksesuaian hasil dapat disebabkan karena adanya faktor waktu fermentasi atau penambahan bumbu yang dapat menutupi aroma asli. Terjadinya reaksi asam dengan alkohol dalam menghasilkan ester juga dapat berpengaruh pada aroma (Liu, 1997). Pembentukan aroma ini terjadi karena asam organik, asam suksinat yang dihasilkan oleh khamir dimana asam tersebut berasal dari pemanfaatan gula reduksi. Gula reduksi akan bereaksi dengan asam lemak dan dihasilkan ester yang dapat mempengaruhi pembentukan aroma.

Menurut jurnal Isolation and Identification of Aspergillus oryzae and the Production of Soy Sauce with New Aroma pada tahapan fermentasi koji akan dihasilkan enzim amilase. Strain yang biasa digunakan adalah A.oryzae pada suhu 25-300C (Sooriyamoorthy et al., 2004; Waites et al., 2001). Sedangkan pada tahapan moromi, digunakan kombinasi antara kedelai fermentasi dan larutan garam (Sugiyama, 1984). Langkah yang dilakukan yaitu dengan mengisolasi beras kontaminan, gandum dan kedelai dengan menggunakan metode agar cawan. Dari hasil persiapan koji, dilakukan inkubasi pada suhu 300Cs elama 72 jam. Setelah 24 jam, suhu panas pada tahapan ini meningkat menjadi 350C. Namun untuk A.oryzae, akan mulai tumbuh pada awal inkubasi 36 jam dan kemudian akan tumbuh dengan cepat. Ciri yang dapat ditemukan adalah perubahan warna jamur menjadi putih lalu kekuningan dan muncul warna kuning kehijauan yang dominan saat inkubasi. Perubahan tersebut disebabkan karena ada aroma volatil yang dilepaskan. Saat melakukan tahapan koji ini, perlu aerasi agar jamur dapat tumbuh jika tidak ada oksigen maka jamur akan mati (Shankar & Mulimani, 2007). Kemudian pada tahapan fermentasi moromi, A.oryzae akan dihidrolisis dan menghasilkan gula juga asam amino yang berbeda. Selama moromi, terjadi perubahan warna menjadi coklat gelap dan terbentuk aroma baru. Aroma glutamat dan pembentukan aroma baru disebabkan karena adanya penambahan dill atau thyme.

Berdasarkan atribut sensori yang dinilai, untuk warna yang dihasilkan pada kelompok B1, B3 dan B5 rata-rata berwarna hitam. Munculnya warna hitam kecoklatan pada hasil akhir kecap menurut Peppler & Perlman (1979) adalah karena penambahan sejumlah bumbu seperti gula jawa. Pernyataan lain juga ditambahkan oleh Astawan & Astawan (1991) bahwa proses fermentasi dalam larutan garam juga dapat berpengaruh pada hasil akhir warna kecap, munculnya perubahan warna tersebut disebabkan oleh terjadinya reaksi pencoklatan dari gugus amino dengan gula pereduksi. Senyawa gula pereduksi tersebut diperoleh dari adanya interaksi mikroorganisme saat proses fermentasi. Warna yang sangat hitam didapatkan oleh kelompok B5 dengan penambahan inokulum 1%. Hal ini sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1991) bahwa semakin banyak inokulum yang digunakan maka interaksi mikroorganisme dalam menghasilkan gula pereduksi semakin banyak pula dan hal tersebut akan mempengaruhi warna gula. Begitu juga dengan kelompok B1 dan B3 sesuai dengan persentase inokulum yang ditambahkan. Reaksi Maillard merupakan terjadinya reaksi antara gugus amino dari suatu amino bebas, protein dengan gugus karbonil dari suatu karbohidrat saat diberikan perlakuan panas atau disimpan pada waktu yang lama. Selain itu terjadinya perubahan warna dapat disebabkan karena ada reaksi antara asam amino dengan gula sebagai hasil dari aktivitas enzim amilase. Dimana enzim tersebut akan menghidrolisis karbohidrat pada kedelai dan berpengaruh pada terbentuknya pencoklatan yang mempengaruhi warna kecap (Husaini, 2000). Atribut selanjutnya yang dianalisis adalah rasa. Rasa yang sangat kuat dihasilkan oleh kelompok B1 dengan penggunaan kedelai hitam dan inokulum sebesar 0,5%, B3 dengan rasa kurang kuat dan penambahan inokulum sebesar 0,75% dan B5 rasa kuat dengan penambahan inokulum sebesar 1%. Saat proses fermentasi berlangsung, bakteri asam laktat atau BAL akan tumbuh dan hal ini akan berpengaruh pada rasa manis kecap. Saat proses fermentasi dalam larutan garam, pH akan mengalami penurunan karena metabolisme dari BAL akan menghasilkan asam laktat. Terjadinya penurunan pH akan membuat ragi mampu untuk bertumbuh sehingga akan dihasilkan rasa yang khas. Namun adanya garam dan penambahan bumbu lain juga berpengaruh pada terbentuknya rasa kecap (Rahayu et al., 2005). Astawan & Astawan (1991) juga menambahkan bahwa proses fermentasi dalam larutan garam juga dapat berpengaruh pada hasil akhir rasa atau warna kecap, hal tersebut disebabkan saat proses fermentasi terbentuk gula pereduksi dimana senyawa tersebut diperoleh dari adanya interaksi mikroorganisme. Namun pada hasil tidak sesuai dengan teori karena seharusnya semakin banyak inokulum yang ditambahkan maka gula pereduksi yang terbentuk akan semakin banyak dan rasa kecap akan semakin kuat.

Atribut terakhir yang dianalisa adalah kekentalan, dimana pada kelompok B1 terbentuk kecap yang sangat kental dengan penggunana kedelai hitam dan inokulum sebesar 0,5%, B3 dengan kekentalan kurang kental dan penambahan inokulum sebesar 0,75% dan B5 dengan kekentalan kental dan penambahan inokulum sebesar 1%. Terbentuknya kekentalan disebabkan karena adanya penambahan gula jawa sebanyak 1 kg. Hal tersebut sesuai dengan teori, dimana menurut Kasmidjo (1990) gula jawa berperan dalam menentukan kekentalan yang terbentuk pada kecap. Selain itu menurut Rahayu et al. (2005) proses pemasakan juga berkontribusi dalam menentukan kekentalan kecap. Semakin lama proses pemasakan kecap maka akan semakin banyak pula air yang ikut teruapkan sehingga akan membuat kecap menjadi bertambah kental.

Pada kelompok B2 dan B5 yang menggunakan bahan kecap dari kedelai putih dan penambahan inokulum sebesar 0,75% dan 1% tidak berhasil dilakukan. Ketidakberhasilan tersebut terjadi pada saat tahapan koji atau tahapan membuat kapang tempe pada kedelai putih. Hal ini dapat disebabkan karena proses penjamuran dilakukan pada saat kedelai masih panas, hal ini akan berakibat jamur yang ditambahkan ke kedelai akan mati. Padahal proses ini merupakan salah satu proses yang penting dalam pembuatan kecap. Jika proses penjamuran berhasil, maka akan tumbuh jamur berwarna putih pada kedelai dan menyerupai tempe (Santoso, 1994). Selain penyebab tersebut, penyebab lain yang dimungkinkan adalah kadar air yang masih tinggi pada kedelai putih. Kedelai putih sudah tidak memiliki kulit ari yang dapat digunakan untuk menahan air yang terserap ke kedelai, berbeda dengan kedelai hitam yang masih ada kulit arinya sehingga dapat dimungkinkan penyerapan air pada kedelai hitam lebih sedikit dibandingkan kedelai putih. Menurut Atlas (1984) kadar air dalam kedelai harus rendah hal ini bertujuan agar tidak tumbuh bakteri pembusuk seperti Bacillus subtilis yang menyebabkan lendir di permukaan. Namun suhu kedelai saat didinginkan tidak boleh terlalu dingin cukup hangat saja. Hal ini dikarenakan kondisi suhu yang hangat akan membuat pertumbuhan jamur di permukaan kedelai menjadi lebih optimal.

Kemudian dari hasil pengamatan pada tahap koji, pada kelompok B3 dihasilkan tekstur tempe yang lebih rapat dengan konsentrasi inokulum 0,75% dibandingkan kelompok lainnya. Terbentuknya tempe yang tidak rapat atau kurang bagus pada kelompok lain disebabkan karena adanya proses pengadukan ragi yang tidak merata (Rizal, 1999). Sedangkan pada tahap moromi, dihasilkan warna kecoklatan pada kedelai yang sudah direndam dengan larutan garam. Pada kelompok dengan penggunaan kedelai hitam dan penambahan inokulum sebesar 1% memiliki hasil cairan yang lebih berwarna coklat dibandingkan dengan penggunaan inokulum sebesar 0,5 % dan 0,75%. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang ada bahwa penggunaan bumbu dan inokulum akan berpengaruh terhadap proses fermentasi terutama pada hasil akhir kecap (Astawan & Astawan, 1991). Pernyataan sama juga ditambahkan Masashi (2006) bahwa konsentrasi ragi akan memberikan pengaruh terhadap jumlah etanol dan asam laktat yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi ragi yang ditambahkan maka semakin cepat terjadinya proses fermentasi. Namun pembentukan etanol dan asam laktat yang terlalu banyak dapat membuat kecap memiliki sensori yang kurang baik.

Gambar 14. Tahapan Koji

Menurut jurnal Enzyme production and growth of Aspergillus oryzae S. on soybean koji fermentation dari sifat fisik pada tahapan koji, pH awal koji adalah 6,32 lalu turun menjadi 6,12 namun pada akhir fermentasi pH meningkat menjadi 6,97. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas metabolit mikroba terutama dalam produksi protein ekstra seluler (Liang Y, 2009). Turunnya aktivitas enzim pada awal kultivasi disebabkan karena kenaikan suhu saat proses fermentasi. Kemudian untuk hasil produksi enzim, pada enzim netral protease dan alkalin protease, aktivitasnya meningkat setelah 24 jam fermentasi. Aktivitas enzim alkaline protease sangat meningkat terutama pada akhir fermentasi. Pada hasil pertumbuhan A.oryzae S., dapat tumbuh pada tahap fermentasi koji. Semakin rendah kadar air dalam koji maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan miselia (Narahara, 1982). Semakin meningkatnya aktivitas enzim maka A.oryzae S. juga akan bertumbuh.

18

25

3.KESIMPULAN Proses pembuatan kecap terdiri dari pensortiran, pencucian, perebusan awal, penirisan, penjamuran, penggaraman, penyaringan awal, pemasakan dan penyaringan akhir. Perendaman kedelai dalam air bertujuan agar saat proses pengupasan kulit ari menjadi lebih mudah. Perebusan bertujuan untuk membuat biji kedelai lunak, protein inhibitornya rusak, zat-zat antinutrisi diinaktifkan, dapat membunuh bakteri dan juga mengurangi bau langu pada kedelai. Perebusan membuat kapang mudah menembus biji kedelai. Pemberian alkohol pada daun pisang dan besek bertujuan untuk meminimalkan kontaminasi silang baik dari besek, tampah maupun daun pisang. Inokulum komersial yang digunakan adalah jenis Rhizopus sp. Faktor yang berpengaruh pada fermentasi tahap pertama atau tahap koji ini antara lain suhu, aerasi dan kadar air . Penambahan inokulum adalah saat kedelai masih hangat atau bersuhu 35-400C. Waktu inkubasi 3 hari tepat untuk kapang melakukan fermentasi. Kadar air dalam kedelai harus rendah agar tidak tumbuh bakteri pembusuk seperti Bacillus subtilis yang menyebabkan lendir di permukaan. Pengeringan bertujuan agar kadar air kedelai dapat diturunkan sehingga jamur yang masih hidup akan terhambat pertumbuhannya.

Brine fermentation bertujuan untuk memberi rasa asin adalah untuk mengekstrak senyawa sederhana dari hasil hidrolisa saat tahap fermentasi jamur atau tahap koji.20

Perendaman larutan garam pada konsentrasi tinggi akan menekan pertumbuhan kontaminan. Pengadukan bertujuan untuk meratakan permukaan substrat agar terkena larutan garam dan memberi udara agar pertumbuhan bakteri dan khamir dapat dirangsang saat proses fermentasi. Selama proses perendaman, larutan garam berubah menjadi keruh. Gula merah berfungsi untuk menambah rasa dan memberikan warna hitam pada kecap. Penambahan bumbu-bumbu dapat meningkatkan citarasa dari kecap. Semakin banyak inokulum yang ditambahkan maka semakin kuat aroma yang dihasilkan pada kecap karena kandungan volatilnya juga ikut bertambah. Terjadinya perubahan warna kecap disebabkan karena reaksi antara asam amino dengan gula sebagai hasil dari aktivitas enzim amilase. Enzim amilase akan menghidrolisis karbohidrat pada kedelai dan berpengaruh pada terbentuknya pencoklatan yang mempengaruhi warna kecap. Terjadinya penurunan pH membuat ragi mampu untuk bertumbuh sehingga akan dihasilkan rasa yang khas. Gula jawa berperan dalam menentukan kekentalan yang terbentuk pada kecap. Terbentuknya tempe yang tidak rapat atau kurang bagus disebabkan karena adanya proses pengadukan ragi yang tidak merata. Semakin besar konsentrasi ragi yang ditambahkan maka semakin cepat terjadinya proses fermentasi.

Semarang, 20 Juni 2015Praktikan :Asisten Dosen : Abigail Sharon Effendy Frisca MeliaAuw, Elyzabeth D.A 12.70.0060

21

22

4.DAFTAR PUSTAKAApriyantono, A dan Gono D. Y. (2004). Perubahan Komponen Volatil Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. VOl XV, No 2.Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York.Chou CC, Ling MY (1998). Biochemical changes in soy sauce prepared with extruded and traditional raw materials. Food Res. Int. 31: 487- 492. Chuenjit, C; Pao, C.H; Shyang, C.S. (2012). Enzyme production and growth of Aspergillus oryzae S. on soybean koji fermentation. SciVerse ScienceDirect. APCBEE Proceedia 000-000Elbashiti, T.; A. Fayyad; and A. Elkichaoui. (2010). Isolation and Identification of Aspergillus oryzae and the Production of Soy Sauce with New Aroma. Pakistan Journal of Nutrition 9 (12): 1171-1175.Feng J., Zhan X.-B., Zheng Z.-Y., Wang D., Zhang L.-M., Lin C.-C. (2013). New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci., 31: 292305.Hamada T, Ishiyama T, Motai H (1989). Continuous fermentation of soy-sauce by immobilized cells of Zygosaccharomyces rouxii in an airlift reactor. Appl. Microbiol. Biotechnol. 31: 346-350.Husaini. (2000). Optimasi Pendayagunaan Komoditas Pangan yang Kurang Termanfaatkan. Lokakarya Pengembangan Pangan Alternatif, KMRT, HKTI & BPPT. Jakarta Iwasaki K-I, Nakajima M, Sasahara H (1993). Rapid continuous lactic acid fermentation by immobilised lactic acid bacteria for soy sauce production. Proc. Biochem. 28: 39-45.Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan Serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.Kurniawan, Ronny. (2008). Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam dan Waktu Fermentasi terhadap Kwalitas Kecap Ikan Lele. Jurnal Teknik Kimia Vol.2, No.2 April 2008.Kyu Choi, U, Yeon-Shin Jeong, O-Jun Kwon, Jon-Dae Park, and Young-Chan Kim. (2011). Comparative Study of Quality Characteristics of Korean Soy Sauce Made with Soybeans Germinated Under Dark and Light Conditions. Int. J. Mol. Sci. 2011, 12, 8105-8118.

Liang Y, Pan L, Lin Y. (2009). Analysis of extracelular proteins of Aspergillus oryzae grown on soy sauce koji. Biosci Biotechnol Biochem;73:192-5.23

Liu, K. (1997). Soybeans: Chemistry, Technology and Utilization. Aspen Publishers Inc. New York Masashi, Kasuga. (2006). Method of Brewing Soy Sauce. http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.html .Diakses pada tanggal 20 Juni 2015. Narahara H, Koyama Y, Yoshida T, Pichangkura S, Ueda R, Taguchi H. (1982). Growth and enzyme production in solid-state culture of Aspergillus oryzae. J Ferment Technol;60:311-9.Peppler, H.J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.Prabandari, Ending. (1995). Cara Membuat Kecap . Semarang : Balai Pustaka.Rahayu, E. ; R. Indrati; T. Utami; E. Harmayani & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food & Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta.Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.Rizal, Syarief. (1999). Wacana Tempe Indonesia. Surabaya: Penerbit Universitas Katolik Widya Mandala.Rling WFM, Apriyantono A, Verseveld HWV (1996). Comparison between traditional and industrial soy sauce (kecap) fermentation in Indonesia. J. Ferment. Bioeng. 81: 275-278. Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.Sasaki M, Nunomura N (2003). Fermented foods/soy(soya) sauce. In: Caballero B, Trugo L, Finglas PM (eds). Encyclopedia of Food Sciences and Nutrition, 2nd edn., Academic Press, London, pp. 2359- 2369.Shankar, S. and V. Mulimani, 2007. "-Galactosidase production by Aspergillus oryzae in solid-state fermentation. Bioresour. Technol., 98: 958-961. Sluis CVD, Tramper J, Wijffles RH (2001). Enhancing and accelerating flavor formation by salt tolerant yeasts in Japanese soy sauce processes. Trends Food Sci. Technol. 12: 322-327Sooriyamoorthy, S., K. Silva, M. Gunawardhane and C. Liieperuma. (2004). Isolation and identification of indigenous Aspergillus oryzae for saccharification of rice starch. Trop. Agric. Res., 16: 121-127.

Sugiyama, S., (1984). Selection of micro-organisms for use in the fermentation of soy sauce. Food Microbiol., 1: 339-347.Suhaidi, Ismed. (2003). Pengaruh Lama Perendaman Kedelai dan Jenis Zat Penggumpal Terhadap Mutu Tahu. Universitas Sumatera Utara. USU Digital Library.Susilowati, A. (2010). Pengaruh Aktifitas Proteolitik Aspergillus sp-K3 dalam Perolehan Asam-Asam Amino sebagai Fraksi Gurih Melalui Fermentasi Garam pada kacang Hijau (Phaseolus raditus L.). Jurnal Rubik Teknologi (19)1:81-92 Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.Wahyuhapsari, R., dan Wardani A.K. (2013). Pembuatan Miso dengan Memanfaatkan Edamame (Kajian Konsentrasi Koji dan Suhu Inkubasi). Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol 1. No.1 p.157-167, Oktober 2013 157.Waites, M., N. Morgan, J. Rockey and G. Higton. (2001). Industrial microbiology/an introduction, Blackwell Science Ltd. USA.Yeong Wu, T., Seng Kan, M., Fong Siow, L., and Palniandy, L.K. (2010). Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration. African Journal of Biotechnology Vol. 9(5), pp.702-706, 1 February, 2010.

24

5.LAMPIRAN5.1.Jurnal5.2.Laporan Sementara

26