kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten...

32
KEBIJAKAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN MAROS BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan produksi pangan menjadi prioritas program Nawacita Presiden Jokowi agar kedaulatan pangan tercapai di Indonesia. Setidaknya, ada 14 program pendukungnya, salah satunya adalah memberikan subsudi harga pupuk ke petani. Pemerintahpun memberikan anggaran yang cukup besar bila dibandingkan dengan anggaran subsidi pupuk non energi lainya dalam APBN 2017, yakni sebesar Rp 31 trilyun. Skema pemberian subsidi harga ini meneruskan kebijakan program pemerintahan sebelumnya, sehingga selama 14 tahun terakhir, total anggaran yang sudah dikeluarkan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 210 trilyun. Tujuannya untuk meringankan beban petani membeli harga pupuk sehingga pada akhirnya produksi bisa ditingkatkan. Namun sayangnya, banyak persoalan yang ditemukan dalam implementasi pupuk bersubsidi ini. Menurut hasil penelitian Pattiro tahun 2009 – 2011 dan Litbang KPK 2017, persoalannya berada pada aspek pendataan, penganggaran, penyaluran, dan pengawasan. Misalnya pada aspek pendataan, ditemukan Data Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang tidak valid, aspek penganggaran ditemukan ada biaya-biaya yang tidak termasuk komponen produksi dalam perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) menjadi dasar perhitungan nilai subsidi pupuk. Begitupun pada aspek penyaluran, dimana penjualan pupuk dengan harga diatas Harga Eceran Tertinggi (HET), penjualan pupuk kepada petani yang tidak terdaftar dalam RDKK serta pada aspek pengawasan, Komisi Pengawasn Pupuk dan Pestisida (KPPP) di tingkat provinsi dan kabupaten tidak menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Terkait dengan hal tersebut diatas, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bersama mitranya, melihat bahwa investasi pemerintah dengan tujuan program yang begitu baik dan anggaran yang cukup besar ini tidak berjalan efektif dan efisien dalam implementasinya. Oleh karenanya diperlukan koreksi dan perbaikan secara terus menerus sehingga tujuan akhir program dan kebijakan terkait pemenuhan hak atas pangan dapat tercapai. Proses koreksi dan evaluasi kebijakan dan program hendaknya dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat/petani sebagai penerima manfaat. Pelibatan masyarakat/petani dalam proses evaluasi merupakan bentuk pelibatan petani (partisipasi) dalam pembangunan. Dengan adanya pelibatan ini maka diharapkan evaluasi dan koreksi menjadi lebih bermakna yang pada akhirnya dapat meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas program dan kebijakan. Partisipasi penerima manfaat dalam melakukan evaluasi dan koreksi ini khususnya pada dampak sosial kebijakan dan program pemenuhan hak atas pangan kemudian dimaknai sebagai audit sosial.

Upload: vobao

Post on 06-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEBIJAKAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN MAROS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan produksi pangan menjadi prioritas program Nawacita Presiden Jokowi agar

kedaulatan pangan tercapai di Indonesia. Setidaknya, ada 14 program pendukungnya,

salah satunya adalah memberikan subsudi harga pupuk ke petani. Pemerintahpun

memberikan anggaran yang cukup besar bila dibandingkan dengan anggaran subsidi pupuk

non energi lainya dalam APBN 2017, yakni sebesar Rp 31 trilyun. Skema pemberian subsidi

harga ini meneruskan kebijakan program pemerintahan sebelumnya, sehingga selama 14

tahun terakhir, total anggaran yang sudah dikeluarkan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 210

trilyun. Tujuannya untuk meringankan beban petani membeli harga pupuk sehingga pada

akhirnya produksi bisa ditingkatkan.

Namun sayangnya, banyak persoalan yang ditemukan dalam implementasi pupuk

bersubsidi ini. Menurut hasil penelitian Pattiro tahun 2009 – 2011 dan Litbang KPK 2017,

persoalannya berada pada aspek pendataan, penganggaran, penyaluran, dan pengawasan.

Misalnya pada aspek pendataan, ditemukan Data Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok

(RDKK) yang tidak valid, aspek penganggaran ditemukan ada biaya-biaya yang tidak

termasuk komponen produksi dalam perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) menjadi

dasar perhitungan nilai subsidi pupuk. Begitupun pada aspek penyaluran, dimana penjualan

pupuk dengan harga diatas Harga Eceran Tertinggi (HET), penjualan pupuk kepada petani

yang tidak terdaftar dalam RDKK serta pada aspek pengawasan, Komisi Pengawasn Pupuk

dan Pestisida (KPPP) di tingkat provinsi dan kabupaten tidak menjalankan fungsi

pengawasan secara optimal.

Terkait dengan hal tersebut diatas, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

bersama mitranya, melihat bahwa investasi pemerintah dengan tujuan program yang begitu

baik dan anggaran yang cukup besar ini tidak berjalan efektif dan efisien dalam

implementasinya. Oleh karenanya diperlukan koreksi dan perbaikan secara terus menerus

sehingga tujuan akhir program dan kebijakan terkait pemenuhan hak atas pangan dapat

tercapai. Proses koreksi dan evaluasi kebijakan dan program hendaknya dapat dilakukan

dengan melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat/petani sebagai penerima

manfaat. Pelibatan masyarakat/petani dalam proses evaluasi merupakan bentuk pelibatan

petani (partisipasi) dalam pembangunan. Dengan adanya pelibatan ini maka diharapkan

evaluasi dan koreksi menjadi lebih bermakna yang pada akhirnya dapat meningkatkan

efektifitas dan akuntabilitas program dan kebijakan. Partisipasi penerima manfaat dalam

melakukan evaluasi dan koreksi ini khususnya pada dampak sosial kebijakan dan program

pemenuhan hak atas pangan kemudian dimaknai sebagai audit sosial.

Audit sosial digunakan sebagai metode melihat program pupuk subsidi karena merupakan

proses sistematik kritis untuk memeriksa bukti-bukti klain terhadap tujuan dan penerima

manfaat, relevansi sosial dan efek-efek yang ditimbulkan oleh intervensi institusi yang

hasilnya dikomunikasikan kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Audit sosial lebih

menekankan dampak perubahan sosial pada kelompok sasaran yang dilakukan secara

bersama-sama.

1.2 Tujuan

Tujuan dilaksanakannya audit sosial pupuk bersubsidi ini adalah

1. Mengukur manfaat sosial yang diperoleh sebagai hasil dari pelaksanaan program

pupuk bersubsidi

2. Menyuarakan dan memperkuat suara petani dalam perencanaan, implementasi dan

pengawasan pupuk bersubsidi

3. Mendorong dialog dan sinergi kerjasama antar pemangku kepentingan pupuk

bersubsidi secara berkelanjutan

4. Memberikan masukan kritis yang didasarkan pada kenyataan yang ada untuk

mendorong terjadinya perbaikan tatakelola program pemerintah.

1.3 Manfaat

Manfaat audit sosial pupuk bersubsidi bagi petani sebagai penerima manfaat dan

pemerintah sebagai pengambil dan pelaksana kebijakan yaitu:

1. Petani mempunyai ruang menyuarakan pendapatnya akan program pupuk

bersubsidi.

2. Pemerintah kabupaten mengetahui persoalan perencanaan, penerimaan,

penggunaan dan hasil pupuk bersubsidi yang diterima petani

3. Terbukanya ruang dialog dan klarifikasi bagi berbagai pihak tentang program pupuk

bersubsidi di tingkat kabupaten

1.4 Metodologi Audit Sosial

Metodologi audit sosial berupa pengumpulan data baik pada sumber primer maupun

sekunder. Pengumpulan data primer berupa:

1. Obersevasi lapangan, pengamatan kualitas lahan dan uji laboratorium kualitas

pupuk bersubsidi yang dilaksanakan oleh pelaksana audit di setiap kabupaten. Uji

laborataorium sampel kualitas pupuk bersubsidi dari etiap kabupaten dilakukan di

International Conservation Biotechnology Bogor (ICBB).

2. Survey. Survey ini dikhususkan dengan menentukan responden adalah rumah

tangga tani yang sampelnya diperoleh menggunakan metode Slovin selanjutnya

diproporsifkan untuk menentukan responden terpilih dalam setiap dusun. Total

jumlah responden dari 5 Kabupaten berjumlah….orang. Durasi pelaksaaan survey

Januari – Februari 2017.

3. Wawancara mendalam. Proses penggalian informasi yang lebih dalam untuk

mendapat penjelasan dari data survey diperoleh dari informan wawancara

mendalam berjumlah 22 orang untuk setiap kabupaten. Mereka terdiri dari petani

penerima pupuk bersubsidi 3 orang, petani bukan penerima pupuk bersubsidi 3

orang, Pengurus Kelompok Tani 4 orang, Kepala Desa 1 orang, Kepala Dusun 1

orang, Camat 1 orang, Pengurus Gapokta 1 orang, Pengecer Pupuk 2 orang,

Distributor Pupuk 1 orang, Penyuluh Pertanian 1 orang, Komisi Pengawas Pupuk dan

Pestisida 1 orang, Dinas Pertanian 1 orang, Kepala Daerah dan Anggota DPRD 1

orang. Total keseluruhan informan untk 5 kabupaten berjumlah 110 orang informan.

Waktu pelaksanaannya Februari – Maret 2017.

4. FGD di tingkat desa. Focus group discussion pada tingkat desa melibatkan petani,

pengurus kelompok dan aparat desa untuk mengklarifikasi data yang sudah

ditemukan pada hasil survey dan wawancara mendalam pandangan peserta

terhadap pupuk bersubsidi. selain itu, FGD ini juga melihat tren kecenderungan

pangan dan factor pendkung serta penghambat lain peningkatan produksi yang

dialami petani. FGD ini dilaksanakan pada bulan April 2017.

5. FGD tingkat kabupaten. Diskusi pada tingkat kabupaten ini bertujuan untuk

memaparkan hasil temuan audit pada tingkat kabupaten dan meminta klarifikasi

serta rekomendasi kepada para pihak terkait, terdiri dari Kepala Daerah, perwakilan

DPRD, Dinas Pertanian, Bapeda, Dinas Perdagangan, KP3, BPPT, PPL, pengecer,

Camat Kepala Desa, Pengurus Kelompok Tani, Pengurus Gapoktan dan Petani.

Sementara itu, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mempelajari dokumen :

1. Peraturan Presiden No 15 Tahun 2011 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai

Barang dalam Pengawasan

2. Peraturan Menteri Perdagagan No 15/M-DAG/Per/4/2013 tentang Pengadaan dan

Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian

3. Peraturan Menteri Keuangan No 68 / PMK.02/2016 tentang tata cara Penyediaan,

Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Pupuk

4. Peraturan Menteri Pertanian No 82/Permentan/SR.130/8/2013 tentang Pedoman

Pembinaan Kelompok Tani dan gabungan Kelompok Tani

5. Peraturan Menteri Pertanian No 69/Permentan/SR.310/12/2016 tentang Alokasi

dan Harga Eceran Tertinggi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2017.

6. Menteri Perindustrian RI Nomor 16/M-Ind/PER/3/2013 tentang Pewarnaan Pupuk

Bersubsidi.

7. Pelaksanaan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2016,

Direktoran Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementrian Pertanian

8. Pedoman Pelaksanaan Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi TA 2016

9. Pedoman Penguatan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Tahun 2016

10. Laporan hasil pihak ketiga berupa kajian, berita, artikel penelitian pupuk bersubsidi

1.5 Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Audit

Keseluruhan proses pelaksanaan pengumpulan data melalui program audit sosial pupuk

bersubsidi ini dilaksanakan mulai bulai Januari – Mei 2017 yang tersebar di 5 kabupaten

dalam 3 Provinsi, sebagai berikut:

1. Nusa Tenggara Timur

- Kabupaten Flores Timur, Kecamatan Wulanggintang Desa Boru dan Boru Kedang

- Kabupaten Sumba Timur, Kecamatan Kota Waingapu Desa Pambotanjara dan

Kecamatan Nggaha Oriangu Desa Tanatuku

2. Nusa Tenggara Barat

- Kabupaten Lombok Utara, Kecamatan Bayan Desa Bayan dan Desa Loloan

3. Sulawesi Selatan

- Kabupaten Maros, Kecamatan Simbang Desa Jenetesa dan Desa Samangki

- Kabupaten Luwu Utara Kecamatan Baebunta Desa Sasa dan Desa Baebunta

Laporan yang ditampilkan saat ini khusus Kabupaten Maros sebagai salah satu wilayah

yang dijalankan oleh KRKP melalui kemitraan dengan Perkumpulan KATALIS.

1.6 Keterbatasan Laporan

Data yang tertuang dalam laporan ini tentunya belum sepenuhnya sempurna dan bisa

mewakili temuan dalam program pupuk bersubsidi secara Nasional karena pertimbangan

yaitu

1. Pelaksanaan audit sosial ini terbatas pada 2 desa saja dalam cakupan wilayah

kabupaten, sehingga temuan ini belum mewakili karakteristik wilayah pertanian

dalam satuan kabupaten.

2. Tidak semua target informan dalam wawancara mendalam bisa diwawancarai

karena karena ada yang memang tidak ingin diwawancarai terutama pengecer dan

distributor.

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI

2.1. Gambaran Kabupaten

Kabupaten Maros merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian barat Propinsi

Sulawesi Selatan. Berbatasan dengan Kabupaten Pangkep di sebelah utara, Kota Makassar

dan Kabupaten Gowa di sebelah selatan, Kabupaten Bone di sebelah timur dan selat

Makassar di sebelah barat. Luas wilayah 1.619,11 km2 terdiri atas 14 kecamatan dengan

80 desa dan 23 kelurahan dengan jumlah penduduk pada tahun 2015 sebanyak 339.300

jiwa, laki-laki sebanyak 165.881 jiwa dan perempuan sebanyak 173.419 jiwa sedangkan

untuk Kecamatan Simbang sebanyak 23.419, laki-laki sebanyak 11.291 jiwa dan

perempuan sebanyak 12.128 jiwa (BPS Kabupaten Maros, 2015). Topografi wilayah sangat

bervariasi mulai dari dataran rendah dan berbukit. Wilayah dataran rendah berada pada sisi

Barat dan Utara, sedangkan wilayah dataran tinggi terdapat di bagian Timur. Wilayah

dataran rendah ketinggiannya antara 0 - 300 m di atas permukaan laut, sedangkan wilayah

berbukit 301 - 800 m di atas permukaan laut.

Kabupaten Maros termasuk salah satu sentra produksi tanaman pangan di Sulawesi

Selatan selain kawasan Bosowasipilu, khususnya padi dan kedelai. Luas panen dan

produksi padi masing-masing 53.904 ha padi sawah dengan produksi 386.858,7 ton dan

13.410 ha padi ladang dengan produksi 73.649,5 ton. Produktivitas padi sawah 77,1

kw/ha dan padi ladang 59,8 kw/ha. Di samping menghasilkan padi, kabupaten Maros juga

sebagai penghasil jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar (BPS

Kabupaten Maros, 2015)

Sedangkan luas lahan pertanian di Kecamatan Simbang adalah 4.643 ha padi sawah dan

450 ha padi ladang dengan produktivitas 68,3 kw/ha padi sawah dan 60,4 kw/ha padi

ladang. Produksi padi tahun 2014 di kecamatan Simbang 13.884,1 ton padi sawah dan

8.758 ton padi ladang (BPS Kabupaten Maros, 2015).

2.2 Gambaran Desa Lokasi Audit

Wilayah pelaksanaan program audit social kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten Maros

terletak di Desa Jenetaesa dan Samangki yang merupakan wilayah dari kecamatan

Simbang. Sekitar 15 KM dari kota Maros yang sebagian besar penduduknya bekerja di

sektor pertanian. Dari kota Maros, perjalanan darat baik mobil atau motor dapat ditempuh

sekitar 30 menit bila perjalanan normal.

Kondisi ketahanan pangan di dua desa wilayah program relatif baik. Kebijakan beras

subisidi untuk masyarakat miskin juga berjalan di kedua desa tersebut dan tercatat sekitar

5% dari total KK adalah penerima manfaat kebijakan subsidi beras yang merupakan

kebijakan Pemerintah Pusat. Selain padi, jenis pangan lain yang banyak tersedia adalah

jagung dan ubi jalar.

Kedua desa ini relatif mudah diakses. Apalagi bila dibandingkan dengan desa-desa lain

yang ada di Kabupaten Maros. Infrastruktur pertanian cukup memadai, baik ketersedian

benih, alat mesin pertanian, bendungan air, saluran irigasi, jalan tani dan yang lainnya

cukup tersedia. Pasar pun mudah diakses bahkan tak jauh dari lokasi ini ada tempat wisata

yang sudah cukup populer baik level propinsi Sulawesi Selatan maupun nasional yakni

Bantimurung. Jadi dalam aspek keterjangkauan, desa ini sudah lebih bagus.

Perkembangan inovasi yang tumbuh pada individu maupun kelompok tani di kedua desa

tersebut belum nampak secara signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan belum tumbuhnya

pengolahan pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan pupuk bagi petani. Bahan

pembuatan pupuk organik yang banyak tersedia belum diolah secara baik dan merata.

Masih sangat minim petani yang melakukan, petani lebih memilih menggunakan pupuk

kandang yang bersumber dari kotoran ayam potong tanpa melalui proses fermentasi.

Salah satu modal social yang bertahan secara tradisi di tingkat kelompok tani adalah

tudang sipulung. Tudang sipulung merupakan salah satu wadah bertemunya semua

stakeholder pengelolaan lahan pertanian terutama kelompok petani, pemerintah terkait

untuk membicarakan proses pengelolaan lahan pertanian seperti jadwal turun ke sawah,

waktu memulai hambur benih, varietas yang disepakati, waktu penanaman dan prediksi

hama yang bakal muncul dan waktu pembersihan saluran irigasi. Dalam tudang sipulung,

biasanya juga petani atau kelompok tani menyampaikan permasalahan yang dihadapi

terkait pertanian kepada pemerintah maupun kebijakan pertanian yang dianggap belum

berjalan dengan efektif seperti distribusi pupuk. Tudang sipulung juga menjadi media yang

efektif untuk saling berbagi informasi di antara petani.

Sesuai hasil survey (KRKP, 2017) ditinjau dari aspek status kepemilikan lahan pertanian

adalah 81.2% merupakan milik dari petani yang bersangkutan dan 12,9% merupakan milik

orang lain. Secara umum (89,4%) petani memiliki lahan kurang dari 1 hektar milik petani.

Tanaman yang dibudidaya di dua desa tersebut beragam namun sebagian besar

membudidayakan tanaman pangan, hanya 11,8% yang membudidayakan jenis palawija.

Sebagian besar petani telah bergabung dalam kelompok tani (93,5%) dan sebagian besar

adalah laki-laki (86,5%) atau perempuan hanya 13,5%. Rata-rata usia petani didominasi

oleh umur 36-55 tahun (54.5%) dan >55 tahun (31.2%). Tingkat pendidikan 77.1% petani

tidak sekolah atau hanya tamat SD. Dalam aktifitas selain bertani, 15.9% petani merupakan

pedagang dan 23.5% petani memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh/tukang dan

95.3% petani telah bekerja di sektor pertanian selama > 6 tahun.

BAB III

TEMUAN-TEMUAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PUPUK BERSUBSIDI

3.1. Pemahaman Pupuk Subsidi

Sosialisasi kebijakan pupuk bersubsidi kepada petani masih minim. Implikasinya petani

belum memahami kebijakan tersebut secara utuh. Secara umum petani memahami bahwa

pupuk tersebut berasal dari pemerintah. Tercatat 21.2% petani tidak pernah mendapatkan

sosialisasi pupuk bersubsidi kemudian 70% Informasi pupuk bersubsidi diperoleh melalui

pertemuan kelompok yang informasinya diberikan oleh pengurus kelompok. Sekitar 95.3%

petani memahami bahwa pupuk bersubsidi merupakan pupuk yang disubsidi pemerintah

dan dapat dibeli dengan harga yang lebih murah. Petani tidak memahami secara mendalam

terkait pupuk bersubsidi hal ini ditunjukkan dalam FGD kebijakan pupuk bersubsidi di

tingkat desa. Salah seorang tokoh masyarakat yang juga adalah petani menyampaikan hal

demikian “jadi petani di sini pak tidak tahu sesungguhnya bahwa pupuk ini disubsidi dan

berapa nilai subsidi per karung atau per kilonya. Akibatnya kita tidak tahu berapa bantuan

negara termasuk pilihan-pilihan subsidinya yang memungkinkan untuk membantu

mengurangi pengeluaran petani dalam operasionalnya” tutur Pak Mustari.

Demikian pula pada aspek manfaatnya masih banyak petani yang belum paham tentang

manfaat pupuk itu sendiri terhadap tanaman. Secara umum mereka hanya mengetahui

bahwa pupuk dapat menyuburkan tanaman. Pemahaman mendetail aspek kelebihan dan

kekurangan masing-masing jenis pupuk belum baik kecuali berdasarkan pengalaman

pemaiakaian/penggunaan semata. Sementara ada beberapa jenis pupuk yang disubsidi

oleh pemerintah diantaranya Za, SP36, UREA, NPK, dan Organik. NPK bermacam-macam

ada phonska, pelangi dan sebagainya. Minimnya pengetahuan petani terhadap pupuk,

mengakibatkan penggunaan di lapangan cukup beragam baik dari aspek jumlah, jenis

tanpa melihat kesesuaian antara tanaman dengan jenis pupuk ataupun unsur hara dari

tanah yang akan ditanami. Pada konteks lain juga menunjukkan bahwa minimnya tingkat

pemahaman petani terhadap manfaat dari setiap jenis pupuk bersubsidi adalah pertanda

tidak optimalnya kinerja dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL) dalam memberikan pelatihan

bagi kelompok tani.

Berbeda halnya di sampaikan oleh Bapak Siswan sebagai Direktur Katalis saat FGD Desa,

survey ini baru 30 % dari pengetahuan yang ada di desa atau pertanian karena petani

setiap hari bergelut dengan pertanian, maka dari itu pengetahuannya sangat bermanfaat,

hanya barangkali pengetahuannya tidak diolah sedemikian rupa sehingga kita masih jatuh

pada pola atau cara yang sama meskipun sudah banyak perubahan variabel. Dalam kondisi

petani yang terbiasa pada metode pertanian yang konvensional kemudian sulit untuk

melakukan transformasi pertanian yang menerapkan manajemen pengetahuan. Salah satu

keluhan penyuluh dalam memberikan edukasi kepada kelompok tani, setiap saat

perkembangan informasi dan pengetahuan berkembang pesat dan tak terlebih juga dalam

hal pertanian maka olehnya itu petani tidak hanya sebagai penerima manfaat dalam pupuk

bersubsidi akan tetapi sebagai peneliti terkhusus untuk lahan garapannya masing-masing

maupun kelompok untuk melakukan percobaan-percobaan yang mampu melahirkan

terobosan yang lebih baik yang dampingi oleh Petugas Penyuluh Lapang (PPL). Dengan hal

itu ketergantungan informasi petani tidak terfokus hanya dari luar saja akan tetapi petani

mampu lebih mandiri dan menciptakan pengetahuan yang lebih kontekstual terhadap

pengolahan sawah garapannya baik dalam aspek produksi maupun pemasaran yang

berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan.

Dalam penggunaan pupuk, petani masih mengandalkan feeling dalam menentukan takaran

per tanaman, termasuk mempertimbangkan jumlah pupuk yang tersedia yang

memungkinkan semua tanaman dapat diberi pupuk. Baik pupuk jenis urea, Za, maupun

SP36. “Untuk menentukan berapa porsi pupuk setiap tanaman, kami menggunakan

perasaan saja pak, “papar Tajuddin, seorang petani yang diwawancarai. Meskipun,

sesungguhnya penggunaan pupuk memiliki takaran tertentu untuk mencapai hasil yang

lebih baik. Paling musykil jika ketersediaan pupuk terbatas atau mengalami kelangkaan.

Pada saat memasuki masa pemupukan. Porsi pasti mengalami pula penurunan karena

pertimbangan utamanya lebih pada meratanya pupuk pada setiap tanaman. Di samping

pengetahuan kurang memadai, juga diperhadapkan pada ketiadaan pilihan lain. Alih-alih

penggunaan pupuk yang berimbang. Tak pernah terpikirkan.

3.2. Keputusan Penggunaan Pupuk Bersubsidi

Sebagian besar petani telah menggunakan pupuk bersubsidi. Sekitar 90.6% petani telah

menggunakan pupuk bersubsidi selama lebih dari 6 tahun. Hanya 21.2% keputusan

penerimaan pupuk bersubsidi, 18.2% keputusan penggunaannya di rumah tangga

dilakukan oleh responden bersama pasangan.

Penggunaan pupuk bersubsidi sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi petani.

Pengembangan pupuk organik belum menjadi alternative bagi petani dengan alasan karena

butuh waktu dan proses yang membutuhkan tenaga dan modal. Meskipun bahan dasarnya

mudah didapatkan di desa. Pilihan penggunaan pupuk bersubsidi juga disebabkan oleh

faktor instant sebab cukup beli dan langsung dimanfaatkan. Berbeda bila harus memilih

menggunakan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik pada tingkat kelompok tani

belum dikembangkan, sementara petani cenderung lebih memilih untuk mencontoh yang

sudah berhasil.

Boleh jadi keputusan penggunaan pupuk bersubsidi tak lagi pada aspek melihat efisiensi

operasional dan mutu hasil produksi. Rendahnya tingkat pendidikan kemungkinan memiliki

pengaruh terhadap kemandirian petani dalam mengambil keputusan termasuk dalam

menggunakan atau tidak menggunakan pupuk bersubsidi. Refleksi tidak terjadi. Baik dalam

konteks keluarga maupun kelompok tani kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan

petani atau aspek hasil yang didapatkan dalam satu musim tanam. Hal ini nampak dengan

bertahannya pola kehidupan petani pada aspek konsumsi. Umumnya setiap masa

pemupukan mereka tidak memiliki modal untuk menebus harga dari pupuk bersubsidi.

Akibatnya memilih jalan mengutang pada kelompok tani atau warga yang memiliki cukup

modal dan pada saat pembayaran tentu saja ada kenaikan harga dari harga pupuk yang

ditetapkan oleh pemerintah. Siklus ini sesungguhnya membuat petani tak berdaya. Bahkan

seorang petani mengungkapkan dalam FGD di Samangki, bahwa apabila petani hanya

mengandalkan hasil dari pertanian maka tak mungkin dapat menyekolahkan anaknya

sampai perguruan tinggi. Hal ini berbeda dengan situasi dua dekade sebelumnya dimana

petani masih bisa sejahtera. Namun ada banyak faktor pendukung. Bukan hanya faktor

pupuk semata. Lahan yang masih cukup luas, kemudian biaya operasional pengelolahan

pertanian akan lebih efisien karena mengandalkan apa yang tersedia seperti pupuk

kandang, pupuk bersubsidi dan masih tumbuhnya gotong royong dalam berbagai aktivitas

pertanian yang saat ini tergantikan oleh teknologi yang mengakibatkan semakin

membesarnya pengeluaran bagi petani.

Selain itu juga masayarakat tidak punya perencanaan yang matang dalam hal pemupukan

sejak awal musim tanam. Prinsip tiba masa tiba akal adalah fakta yang terjadi sehingga

karena desakan pemupukan dan ketidakadaan alternatif lain menjadikan petani mesti

menggunakan pupuk yang ada pada saat itu. Situasi inilah yang menjadi sulit seolah tidak

ada alternative lain selain pupuk bersubsidi melihat kondisi ekonomi para petani yang

rendah (minimnya biaya produksi) sehingga diperhadapkan pada pupuk subsidi dan pupuk

non subsidi untuk jenis yang sama tentu saja masyarakat petani akan memilih pupuk

subsidi karena relative lebih murah.

3.3. Perencanaan Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani

Partisipasi petani dalam penyusunan RDKK masih sangat kurang. Tercatat hanya 24,1%

responden yang menyatakan intens terlibat dalam penyusunan RDKK. Penyusunan RDKK

masih bersifat sekedar menggugurkan kewajiban atau memenuhi persyaratan formal untuk

implementasi dari kebijakan subsidi pupuk. Data RDKK menjadi rujukan pemerintah (pusat)

untuk mendistribusikan sejumlah pupuk bersubsidi ke wilayah tertentu, termasuk wilayah

lokasi program audit sosial. Meskipun pada kenyataannya, tidak semua data dalam RDKK

akan terealisasi. Disesuaikan lagi dengan kemampuan negara khususnya alokasi anggaran

untuk subsidi pupuk dalam APBN dan pertimbangan aspek pemerataan di sejumlah daerah

di Indonesia. Fakta menunjukkan, bahwa penyusunan RDKK umumnya melampaui dari

jumlah keluasan lahan.

RDKK yang dibuat umumnya fiktif, tidak sesuai pada data luasan lahan di lapangan bahkan

cenderung ada manipulasi data. Luas lahan dalam laporan terkadang lebih luas

dibandingkan di lapangan. Hal ini terungkap dalam FGD tingkat Kabupaten. Sebagaimana

diungkapkan oleh Bapak Haji Makmur, Kepala Desa Samangki, “kami sebenarnya

meragukan data-data yang ada dalam RDKK Pak. Umumnya hanya langsung diselesaikan

saja tanpa melihat lapangan sesungguhnya. Tidak ada pengukuran. Meskipun demikian

kami dalam keadaan tersandera untuk harus bertandatangan karena kalau tidak maka

pupuk akan terlambat akibat terlambat memasukkan RDKK. Ini memang masalah klasik

dan saya yakin juga terjadi pada hamper semua wilayah Indonesia. Hal ini pula yang

membuat partisipasi masyarakat sangat minim dalam penyusunan RDKK.”

Dari sejumlah kecil petani yang hadir dalam pertemuan penyusunan RDKK, juga dihadiri

oleh perempuan. Beberapa perempuan yang hadir di antaranya adalah sekaligus menjadi

kepala rumah tangga. Jadi praktis hadir mengingat tidak ada utusannya dari keluarganya.

Mereka juga berpartisipasi dalam kelompok tani yang ada. Peran PPL lebih dominan dalam

penyusunan RDKK.

Lebih jauh, dalam wawancara dengan salah satu petani di wilayah program yang selama ini

tercatat sebagai penerima manfaat, mengatakan bahwa RDKK kelompok tani (poktan)

dibuat/diperbaharui setiap tahun. Rekapan RDKK poktan ditandatangani oleh pihak

pemerintah desa. UPT BPP membuat rekapan RDKK desa untuk tingkat kecamatan yang

selanjutnya dilaporkan ke pemerintah kecamatan setempat. RDKK Asli diserahkan ke

pengecer, salinannya disimpan di UPT BPP, dipegang oleh penyuluh, dan disampaikan ke

masing-masing poktan. Dalam penggunaan pupuk subsidi, suami istri saling mendukung,

bahkan adalakalanya istri petani juga terlibat di sawah sebagaimana disampaikan oleh

salah seorang penyuluh pertanian1.

Secara umum (41,8%), aspirasi yang berkembang terkait pupuk bersubsidi dalam setiap

pertemuan lebih banyak karena masalah tempat distribusi, sasaran, kualitas, jumlah dan

waktu kedatangan pupuk. Petani mengeluhkan tempat pengecer (lini 4) yang dianggapnya

sangat sulit untuk diakses khususnya dari sisi ekonomi. Akibatnya membutuhkan biaya

ekstra untuk pengangkutan ke lokasi pertanian. Termasuk dikeluhkan jika mengambil di

rumah ketua kelompok tani. Umumnya masih membutuhkan biaya tambahan untuk

1 Wawancara mendalam terkait kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten Maros, Februari 2017. Selanjutnya pada FGD tingkat Kabupaten yang dihadiri oleh stakeholder kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten Maros, fakta tersebut terkonfirmasi sebagai sebuah kebenaran dan diakui oleh pihak pemerintah.

transportasi. Keluhan lain berupa ketepatan sasaran. Menurut petani, banyak penerima

pupuk yang seharusnya tidak berhak sesuai persyaratan yang ada namun faktanya tetap

memperoleh dengan melakukan manipulasi data misalnya data luas lahan.

Hasil FGD tingkat kabupaten ditemukan, adanya ketidaksesuaian antara RDKK yang telah

disusun dengan kebutuhan petani. Hal yang perlu diperbaiki adalah proses distribusinya,

kenapa proses distribusi pupuk bersubsidi ini tidak mencontoh misalnya, program BBM

yang bersubsidi yang sistemnya jelas. Sehingga kesalahan atau penyelewengan bisa

diantisipasi sampai di tingkat pengecer. Ataukah misalnya mengembangkan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) untuk terlibat dalam distribusi pupuk agar lebih mudah diawasi,

misalnya dari pabrik ke distributor dan dari distributor ke BUMDes. Selain itu, terdapat dana

desa yang bisa dialokasikan untuk memperkuat pengawasan tersebut, sebagaimana

disampaikan oleh Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa. Hal ini untuk

mengantisipasi masalah akses ke pengecer atau lini 4 yang selama ini dikeluhkan oleh

petani. Sehingga diharapkan BUMDes masuk menjadi salah satu pengecer sekaligus bisa

menebus pembayaran lebih awal agar petani tak terjerumus dalam praktik perijonan atau

rentenir untuk meminjam modal dalam membayar harga pupuk bersubsidi. BUMDes

disamping menjadi pengecer dapat pula mengelola usaha simpan pinjam dalam skala mikro

sehingga dapat membantu petani. Baik dari sisi akses menjangkau lokasi maupun akses

ekonomi untuk menebus pupuk bersubsidi. Ini hanya sumbang saran dari peserta, karena

ada pula peserta yang masih pesimis dengan optimalnya peran BUMDes jika saja diberikan

ruang itu. Masih ada dinamika dalam hal pengelolaan BUMDes termasuk didalamnya

dengan pemerintahan desa sebagai pemilik mayoritas.

Dalam aspek pengukuran luas lahan dan unsur hara dari lahan pertanian, petani pada

umumnya menyatakan bahwa tidak pernah dilakukan pengukuran untuk menentukan

jumlah atau takaran pemakaian pupuk bersubsidi termasuk kebutuhan bagi petani. Artinya

pada tingkat perencanaan telah terjadi pemborosan atau bertentangan dengan azas

kebijakan publik yakni pentingnya memperhatikan aspek efisiensi. Petani juga tidak pernah

menanyakan kualitas lahan ke pemerintah, padahal kualitas lahan dapat berkonsekuensi

terhadap penggunaan pupuk secara berimbang dan berkelanjutan.

3.4. Alokasi Pupuk Bersubsidi

Setiap musim tanam, petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Jenis pupuk bersubsidi yang

diterima responden didominasi pupuk urea, ZA dan SP-36. Secara berurut, survey

menunjukkan bahwa responden penerima pupuk bersubsidi jenis urea 99,4% responden,

ZA 99,1% responden, NPK ada 60% responden dan SP-36 terdapat 50,6% responden.

Sementara pupuk organik hanya 1,8%.

Pupuk subsidi tidak tersedia setiap saat pada tingkat pengecer atau lini IV. Dalam artian

setiap musim tanam atau pemupukan selalu habis atau disubstitusi ke daerah lain

berdasarkan peraturan yang ada. Secara umum petani mengungkapkan (79,4%) bahwa

pupuk bersubsidi dapat dibeli pada tingkat pengecer (lini 4) namun tidak tersedia setiap

saat. Dilihat dari tempat pembelian pupuk bersubsidi, 52,9% responden menyatakan bahwa

mereka memperoleh pada tingkat pengecer, 40% memperoleh di rumah ketua kelompok

tani. Konsekuensi dari tempat pembelian adalah terjadinya perubahan harga. Dalam

aturan, harga eceran tertinggi (HET) berlaku pada tingkat pengecer (lini 4). Artinya di luar lini

4 harga berpotensi di atas HET. Dari sisi pembayaran juga berbeda. Pada tingkat pengecer

harus dibayar tunai sementara pada tingkat ketua kelompok tergantung kesepakatan

bersama antara kelompok dan petani. Namun secara umum harganya melampaui HET

dengan pertimbangan secara umum pembayarannya beberapa waktu kemudian bahkan tak

jarang setelah panen. Belum lagi biaya perpindahan pupuk dari pengecer ke rumah ketua

kelompok tani.

Tabel 1. Disparitas harga pupuk bersubsidi

JENIS PUPUK HARGA BELI

RESPONDEN (Kg)

PERSENTASE

RESPONDEN

HET (Permentan 60/2015)

UREA Rp 1.900 - Rp 2.500 65.3 % Rp. 1.800,-

SP-36 Rp 2.600 - Rp 3.000 33.5 % Rp. 2.000,-

ZA Rp 1.500 - Rp 2.000 64.7 % Rp. 1.400,-

NPK Rp 2.300 - Rp 3.000 41.2 % Rp. 2.300,-

Organik Rp 500 - Rp 1.000 3.5 % Rp. 500,-

Diolah dari survey audit sosial kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten Maros, 2017

Berdasarkan tabel 1, secara umum menunjukkan bahwa petani membeli pupuk bersubsidi

di atas harga yang ditentukan (HET). Hal ini terjadi disebabkan mereka memiliki daya beli

yang rendah saat membutuhkan pupuk. Akibatnya mereka membeli dengan cara ijon atau

utang yang umumnya dibayar setelah penjualan panen padinya. Sebagian pula dengan

sistem barter dengan beras setelah masa panen. Sehingga terjadi disparitas harga diantara

petani.

Terkait perbedaan harga sesuai tabel 1, beberapa petani (7%) mengungkapkan bahwa

sesungguhnya tidak setuju karena di atas harga HET namun tidak memiliki pilihan lain

namun ada pula yang setuju (13,5%). Dengan gambaran tersebut, menunjukkan bahwa ada

kemungkinan subsidi pupuk tidak dinikmati pada tingkat petani karena kendala

kemampuan daya beli untuk menebus dengan tunai pembelian pupuk pada tingkat

pengecer2. Belum lagi harga gabah pasca panen yang tak menentu dan bahkan lebih

cenderung mengalami penurunan harga. Mayoritas dalam satu keluarga petani hanya

memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp. 1.ooo.ooo,- - 2.000.000,- dengan produktivitas

rata-rata 6 ton atau lebih per hektar dalam sekali musim tanam. Produktivitas rata-rata padi

sawah ditingkat desa wilayah program masih di bawah tingkat produktivitas padi sawah

secara umum di kabupaten Maros (7 ton lebih/hektar 3 ). Nilai ini sesungguhnya tidak

sebanding dengan tenaga, materi dan waktu yang telah digunakan oleh petani termasuk

dengan nilai ekonomi yang berkembang.

Dalam hal penggunaan pupuk pada tanaman, petani belum mempertimbangkan

penggunaan secara berimbang bahkan 37,1% responden tidak mengetahui penggunaan

2 Untuk lebih jelasnya, perhitungan manfaat subsidi pada tingkat petani dapat dihitung seandainya ada data jumlah pupuk (kg atau karung) dalam setiap masa tanam dengan alokasi belanja subsidi pupuk yang dialokasikan oleh pemerintah. Sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan bahwa model subsidi melalui produsen pupuk tidak efisien pada tingkat petani. 3 Data BPS Kabupaten Maros, 2015

pupuk secara berimbang. Hal ini menunjukkan kebijakan subsidi pupuk lebih

menitikberatkan distribusi tanpa disertai edukasi penggunaan yang tepat dan pertimbangan

unsur hara pada tanah. Di lain sisi tingkat ketergantungan petani terhadap penggunaan

pupuk bersubsidi sangat tinggi sehingga pengembangan alternatif yang diproduksi oleh

petani sendiri sudah tidak berkembang lagi. Tercatat, sekitar 92,9% petani tidak pernah lagi

membuat pupuk sendiri. Secara kasat mata dukungan pengembangan pupuk organik atau

kompos cukup tersedia di desa seperti kotoran ternak. Aspek pemberdayaan petani

sehingga bisa melakukan inovasi atas segala sumber daya yang tersedia belum nampak

baik dalam skala individu maupun kolektif.

3.4.1. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Pupuk Bersubsidi

Dalam menjalankan usahanya, distributor membuat laporan realisasi penyaluran pupuk

subsidi secara bulanan ke produsen yang ditembuskan ke pemerintah (Dinas Pertanian,

Dinas Perdagangan, dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) untuk masing-

masing di tingkat provinsi dan kabupaten) yang memuat rekap persediaan awal,

penebusan, penyaluran, dan persediaan akhir yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh

petugas dari KCD/UPT BPP.

Masalah utama yang dihadapi petani dalam hal distribusi pupuk adalah masih terjadinya

kelangkaan pada beberapa titik saat masa pemupukan akan dilakukan. Terjadinya

kelangkaan yang pernah terjadi secara umum di kabupaten Maros akhir tahun 2016, pihak

distributor menyampaikan akibat perubahan musim tanam dimana petani menanam lebih

awal, dan disaat yang bersamaan jadwal distribusi pupuk tidak mengalami perubahan

seperti tahun-tahun sebelumnya. Kelangkaan pupuk yang sering terjadi disebabkan di

lapangan disebabkan karena tidak serentaknya waktu tanam petani, seperti sistem tanam

benih langsung (tabela) lebih lambat dan hambur kiri kanan (hakika) daripada sistem

menanam langsung. Pada umunya bagi petani yang menggunakan sistem hakika tidak

dianjurkan oleh penyuluh karena menggunakan pupuk lebih banyak, begitu juga pada

penggunaan pupuk subsidi bukan pada tempatnya seperti memberi pupuk kepada

rumput/pakan ternak dan sebagian yang lain digunakan untuk tanaman di kebun, sehingga

timbullah persoalan kelangkaan pupuk di tingkat petani. Pada beberpa kasus, terjadi

penimbunan pupuk bersubsidi di tingkat pengecer dan diserahkan ke distributor, pupuk ini

nantinya akan dijual ke luar ke daerah industri seperti perkebunan yang harga sebelumnya

adalah harga subsidi menjadi harga non subsidi. Margin keuntungan lebih besar. Oleh

karena itu, petani pun yang semestinya mendapatkan pupuk berbsubsidi kekurangan dan

mencari ke daaerah lain bila waktu pemupukan telah tiba sedangkan stok pupuk tidak

tersedia.

Idealnya sebuah kebijakan dilakukan proses monitoring dan evaluasi sebagai rangkaian

proses manajemen untuk mencapai tujuan dari kebijakan sekaligus memastikan bahwa

implementasi berjalan sesuai road map yang telah disusun. Dalam kerangka tersebut,

pemerintah membentuk KPPP. Namun dalam praktiknya KPPP belum berjalan sesuai yang

diharapkan. Kehadirannya masih sekedar memenuhi regulasi yang ada. Peran legislator

sebagai pengawas kebijakan dan program pembangunan juga tidak berfungsi dalam hal

monitoring dan evaluasi. Kelembagaan yang ada umumnya menunggu laporan dari

masyarakat. Jika tidak ada laporan ataupun protes yang berkembang di publik atau secara

resmi disampaikan kepada lembaga terkait maka dianggap implementasinya berjalan

secara normal sebagaimana petunjuk yang ada. Akhirnya petani dalam menghadapi

persoalan yang ada, mereka berjalan sendiri dengan pengetahuan yang sangat minim pula.

Beberapa petani berharap pihak KPPP lebih efektif menjalankan fungsinya untuk selalu

terjun langsung ke lapangan. Tidak reaktif dan menunggu situasi yang berkembang. Pihak

petani berharap pula pengembangan kelembagaan KPPP sampai pada level kecamatan

atau bahkan desa sehingga mudah diakses. Sebab selama ini hanya ada di tingkat

kabupaten yang untuk menjangkaunya masih sangat sulit. Belum lagi efektifitas

kelembagaan KPPP seperti kantor khusus dan staf yang khusus pula. Belum memenuhi

standar selayaknya organisasi yang berfungsi untuk lakukan monitoring dan pengawasan.

Sedangkan Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan selama ini hanya menerima secara

formal laporan dari pengecer atau distributor tanpa ada monitoring ke lapangan untuk

memverifikasi kebenaran dari laporan yang ada.

Adapun pihak KPPP menganggap tidak efektifnya peran mereka disebabkan lemahnya

dukungan untuk dapat menjalankan tugasnya. Dukungan operasional berupa anggaran

masih sangat minim. Dana operasional hanya bersumber dari APBD untuk KPPP tingkat

Kabupaten. Sangat tergantung dengan komitmen pemerintah daerah dan kondisi finansial

daerah untuk memberi dukungan belanja operasional. Alih-alih untuk memperpanjang

institusi sampai ke level desa atau kecamatan dalam melakukan pemantauan, dalam

posisinya sekarang pada tingkat kabupaten saja masih riskan untuk dapat berperan secara

efektif. Sayangnya, dalam proses pengumpulan data, susunan kelompok kerja KPPP belum

terbentuk secara formal untuk tahun 2017 sehingga proses penggalian informasi dari pihak

KPPP masih sangat terbatas4.

3.4.2. Pelaksanaan

Kelompok tani (Poktan) / petani membeli/mengambil pupuk bersubsidi sesuai dengan

kebutuhan sebagaimana tertuang dalam RDKK poktan/petani. Setiap bulan, pengecer

membuat laporan kepada distributor dengan tembusan kepada pemerintah kabupaten

(Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan). Pengurus kelompok tani (poktan)

memediasi/memfasilitasi pengadaan pupuk subsidi bagi anggotanya. Pengurus mengambil

barang di pengecer, selanjutnya disalurkan ke anggota, disampaikan oleh petani sebagai

penerima manfaat. Jadi dalam hal pengambilan pupuk bersubsidi ada dua macam, boleh

petani yang langsung mengambil pada tingkat pengecer dan kedua melalui kelompok tani

yang selanjutnya pupuk tersebut diambil rumah ketua kelompok tani.

Andi Rijal5, salah seorang peserta FGD pada tingkat kabupaten mewakili Komisi III DPRD

Kabupaten Maros menyebutkan bahwa dalam hal penyaluran, proses tata

niaga/penyaluran pupuk bersubsidi yang kurang maksimal dari lini I - lini IV membuat

sebagian petani menjadi korban. Menurutnya, banyak hal yang perlu dibenahi dalam

4 Susunan KPPP Kabupaten Maros telah ditetapkan. Berjumlah 19 orang diketuai oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Maros, Bupati sebagai penasehat. KPPP mewakili unsur Pemerintah Daerah, Polres, Kejaksaan Negeri, KODIM. Tidak ada keterwakilan masyarakat seperti yang sebelumnya disampaikan saat FGD Pupuk Bersubsidi tanggal 19 April 2017 di Maros 5 Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Maros dari Fraksi Partai Amanat Rakyat. Ketua PAN Kabupaten Maros dijabat oleh Bapak M. Hatta Rahman yang juga adalah bupati Kabupaten Maros sejak 2010 sampai sekarang. Secara politik, Fraksi PAN cukup dominan dan kuat di kabupaten Maros. Ketua DPRD juga berasal dari Fraksi PAN. Jadi saran atau rekomendasi yang disampaikan oleh Andi Rijal berenergi kuat untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Maros khususnya instansi terkait, termasuk dukungan dalam alokasi anggaran dengan tetap memperhatikan aspek peencanaan dan kemampuan finansial daerah.

penyaluran pupuk bersubsidi, diantaranya, 1) tata niaga pupuk bersubsidi yang berdampak

pada harga diatas HET; 2) barang tersedia tetapi belum ditebus oleh petani/poktan, 3)

kasus akhir tahun 2016, petani menanam lebih awal sementara stock sudah habis, 4)

anggaran KPPP kurang optimal.

Pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi secara umum telah berjalan mulai level produsen

hingga penerima manfaat/petani. Kelancaran proses distribusi mempengaruhi hingga

waktu pemakaian pupuk pada level petani. Kunci pertama efektifitas kebijakan pupuk

bersubsidi yang menunjang produktivitas agar dapat digunakan tepat pada waktunya

adalah pada level tersebut. Selanjutnya di antara pengecer dan petani. Keterhubungan

antara pengecer dan petani terkait daya beli oleh petani. Makin minim kemampuan daya

beli petani maka sulit mengakses kebijakan tersebut. Rendahnya kemampuan daya beli

petani juga berbanding lurus dengan semakin membengkaknya pengeluaran untuk dapat

menebus pupuk bersubsidi. Sebuah ironi. Petani yang lemah secara ekonomi justeru

semakin terjerembab dalam sistem distribusi pupuk yang ada. Tidak ada pilihan lain selain

berhadapan dan berkompromi dengan utang, ijon ataupun sistem barter setelah proses

panen berlangsung. Belum lagi jika panen mengalami kegagalan atau harga gabah terjadi

penurunan.

3.4.3. Pengawasan Kebijakan Pupuk Bersubsidi

Pengawasan yang dilakukan terkait pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi belum satu

padu dalam semua stakeholder yang terlibat. Selama ini yang melakukan pengawasan

secara resmi hanya pihak KPPP yang merupakan perwakilan unsur Pemerintah Daerah yang

selama ini dari Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan, Perwakilan Kepolisian/Polisi

Resort, Perwakilan Kejaksaan Negeri dan TNI. Keberagaman unsur tersebut seharusnya

cukup efektif namun pada faktanya kurang maksimal. Mekanisme kerja yang terbangun

masih bersifat reaktif menunggu laporan atau adanya kekisruhan pada level petani atau

publik. Secara manajemen, yang melibatkan sumber daya beragam dan tenggang waktu

pekerjaan seharusnya sistem kelembagaan dan tugas pokok serta fungsinya lebih terarah.

Termasuk dukungan perangkat kelembagaan seperti sekretariat, dukungan staf teknis

maupun keuangan untuk operasional serta sistem pelaporan dan pengaduan oleh

masyarakat. Sayangnya perangkat tersebut kurang terpenuhi.

Dengan mekanisme dan perangkat yang seadanya, menunjukkan bahwa pengawasan yang

dikembangkan melalui KPPP masih terkesan memenuhi regulasi yang ada saja. Lemahnya

daya dukung KPPP, juga dikemukakan oleh Andi Rijal dari DPRD Kabupaten Maros karena

dukungan anggaran yang relatif kecil. Sementara pengawasan yang dilakukan oleh DPRD

biasanya saat melakukan reses. Sayangnya, pihak DPRD dalam kunjungan resesnya

kepada masyarakat umumnya masyarakat tidak menyampaikan masalah terkait kebijakan

pupuk bersubsidi. Pihak DPRD mengetahui bahwa ada persoalan dalam hal kebijakan

pupuk bersubsidi seperti kelangkaan hanya ketika petani atau kelompok tani

menyampaikan aspirasinya kepada legislator di kantor DPRD seperti yang pernah terjadi

pada akhir 2016.

Lebih jauh, Andi Rijal mengemukakan bahwa ke depan beberapa hal yang perlu dilakukan

adalah 1) pupuk bersubsidi (termasuk bibit) agar lebih cepat tersedia di lapangan, tersedia

sebelum musim tanam/masa pemakaian, 2) proses penyaluran pupuk bersubsidi berjalan

lancar 3) kantor pusat memberlakukan sanksi bagi distributor yang melanggar, 4)

pemerintah pusat menurunkan tim pengawas/pemantau untuk melihat langsung

bagaimana proses penyaluran pupuk subsidi sampai di tingkat pengecer dan

petani/poktan. Distribusi pupuk bersubsidi dalam hal pengawasan hanya di intens lakukan

oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten sedangkan pemerintah tingkat propinsi dan

pusat tidak pernah melihat langsung di lapangan proses distribusi tersebut sehingga untuk

mengatasi permasalahan yang ada mestinya ada kerja sama yang kuat dan konsisten

disetiap level pemerintah. Hal sama disampaikan oleh petani, bahwa dalam proses

distribusi pupuk bersubsidi kami belum pernah menyaksikan kehadiran seorang pengawas.

Padahal kami mendapati banyak problem yang terkadang bingung akan diungkap kepada

siapa. “Kami sebenarnya berharap kehadiran KPPP sampai pada level desa atau

kecamatan sehingga mudak diakses. Sebab kalau hanya di ibu kota Kabupaten sangat sulit

diakses dan kami juga tidak tahu alamatnya dimana termasuk keluhan dalam hal kualitas

pupuk”, pungkas Mustari, salah seorang petani dari Desa Jenetaesa.

Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pupuk bersubsidi mulai menjadi wacana di awal

2017. Untuk itu, sesuai informasi yang berkembang saat FGD di Kabupaten Maros (19 April

2017) Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan sedang

memikirkan untuk melibatkan NGO/Pers sebagai salah satu kelompok kerja dari KPPP

Kabupaten Maros sebagai bentuk penguatan fungsi kelembagaan. Meskipun demikian,

memasukkan pihak NGO/Pers belum serta merta akan memperkuat KPPP6. Di samping

ketepatan sumber daya manusia yang terpilih agar tidak terkesan menjadi legitimasi

simbolik masyarakat juga dukungan mekanisme kerja atau standar operasional procedure

(SOP), responsibilitas dan dukungan operasional serta partisipasi masyarakat untuk

melaporkan pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi. Saat

FGD ini dilakukan, Pihak Dinas Pertanian berjanji akan menggodok SOP KPPP setelah

melakukan koordinasi dengan semua stakeholder terutama pihak distributor, pengecer,

Dinas Perdagangan dan Pendapatan Daerah, kepolisian, NGO dan kelompok tani7.

3.5. Hasil Langsung

Data survey menunjukkan bahwa 81.8% responden masih tergantung hanya pada pupuk

bersubsidi dan 92.9% tidak pernah membuat pupuk sendiri sehingga Pupuk kimia menjadi

kebutuhan pokok petani saat ini, bahkan petani petani beranggapan bila padi yang tidak di

pupuk dengan pupuk kimia itu maka bisa jadi akan mengalami gagal panen atau tingkat

produktifitas menjadi menurun. Selanjutnya 48.8% responden mengungkapkan bahwa

keberadaan pupuk bersubsidi dirasa cukup mengurangi biaya pertanian dan juga dapat

meningkatkan produksi,

Secara umum, penggunaan pupuk bersubsidi mampu meningkatkan produktifitas komoditi

antara 3-19%. Tingkat produktifitas tertinggi pada lahan yang cukup subur yang sebelumnya

memang cukup produktif sehingga begitu ada intervensi penggunaan pupuk bersubsidi

6 Setelah terbit SK Susunan KPPP 2017, ternyata belum ada unsur masyarakat yang dilibatkan, penyampaian Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan saat FGD sewaktu masih berproses pengajuan anggota KPPP Kabupaten Maros. Saat laporan ini ditulis, penulis belum mendapatkan informasi memadai atas tidak adanya perwakilan masyarakat dalam struktur KPPP sebagaimana yang diinginkan oleh Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 7 Disampaikan oleh Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam forum FGD Kebijakan Pupuk Bersubsidi di kabupaten Maros pada 19 April 2017 yang dilaksanakan oleh Perkumpulan KATALIS bekerja sama KRKP dalam rangkaian dari program audit sosial

hasilnya semakin bagus. Sebaliknya pada lahan yang memang kurang baik pertumbuhan

produktifitasnya tidak terlalu besar. Sebaliknya pada lahan yang selama ini tingkat

produktifitasnya tinggi, melalui penggunaan pupuk bersubsidi perbedaan produktifitasnya

kurang signifikan dibandingkan sebelum adanya pupuk bersubsidi bahkan hanya naik

sekitar 0,6%. Gambaran ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak semua lahan harus

diintervensi melalui penggunaan pupuk bersubsidi dan tidak semua lahan yang diintervensi

pupuk bersubsidi dengan takaran yang sama. Prinsipnya setiap lahan membutuhkan

intervensi yang berbeda meskipun pada komoditas yang sama seperti padi. Situasi ini juga

menggambarkan bahwa dibutuhkan edukasi penggunaan pupuk yang bersubsidi kepada

masyarakat secara bijak agar tingkat produktifitas yang diharapkan dapat terjadi sekaligus

mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem dan lingkungan hidup secara luas.

Penggunaan pupuk pada lahan yang tak semestinya menimbulkan pemborosan anggaran

negara akibat bertambahnya pemakaian pupuk bersubsidi yang sesungguhnya tidak perlu.

3.6. Dampak Kebijakan Pupuk Bersubsidi

Pupuk bersubsidi telah menjadi pilihan utama bagi sebagian besar petani untuk kesuburan

tanaman dan produktifitas yang dihasilkan. Implikasinya, petani tidak memproduksi lagi

pupuk organik atau kompos yang banyak diterapkan sebelum kehadiran pupuk bersubsidi.

Kondisi ini juga menyebabkan petani makin tergantung atas keberadaan pupuk bersubsidi.

Persepsi petani terhadap keberadaan pupuk bersubsidi menyatakan puas yang ditunjukkan

dengan tingkat produktifitas yang dihasilkan (63%). Tetapi terdapat pula sekelompok petani

yang meragukan keberadaan pupuk bersubsidi untuk meningkatkan produktifitas

pertanian. Angkanya juga cukup signifikan, sebesar 10%. Sementara perempuan

menganggap kehadiran pupuk bersubsidi mampu mengurangi beban kerjanya selama ini.

Kemungkinan mereka adalah perempuan petani atau isteri petani yang terlibat dalam hal

proses pembuatan atau pengelolaan pupuk kompos sebelum adanya pupuk bersubsidi.

Sementara 58,2% perempuan mengatakan ada atau tidaknya pupuk bersubsidi tidak

berpengaruh terhadap beban kerjanya. Melihat komposisi demografi dari responden maka

perempuan tersebut umumnya tidak punya pengalaman bertani saat belum ada kebijakan

pupuk bersubsidi. Akibatnya persepsi mereka kurang dapat diandalkan dalam mengambil

perbandingan antara sebelum adanya pupuk bersubsidi dan setelah adanya pupuk

bersubsidi.

Dari aspek kesejahteraan, kehadiran pupuk bersubsidi belum menunjukkan dampak

terjadinya peningkatan kesejahteraan meskipun sesunggunya pupuk bersubsidi telah

mengurangi beban pengeluaran petani. Hal ini disebabkan peningkatan produktifitas belum

berbanding lurus dalam pemenuhan biaya operasional pertanian secara umum maupun

harga hasil pertanian. Termasuk luas lahan yang dimiliki atau diolah oleh petani. Hal ini

dapat dilihat dengan pendapatan yang umumnya diperoleh oleh petani dalam satu keluarga

dalam satu musim hanya berkisar antara Rp. 1.000.000 – 2.000.000.,Hal sama juga

ditunjukkan dengan makin rendahnya minat generasi muda untuk menjadi petani. Seolah

menjadi petani sama halnya memilih masa depan yang suram, sebagaimana diungkapkan

oleh Ketua KTNA Kecamatan Simbang.

Meningkatnya ketergantungan penggunaan pupuk bersubsidi dalam bercocok tanam dapat

beresiko terhadap masa depan ekosistem yang ada. Saat ini masalah yang telah ditemui di

antaranya kesulitan dalam mengendalikan hama yang kemungkinan disebabkan oleh

rusaknya rantai makanan dalam ekosistem. Akibatnya, petani mengurangi/menambah

takaran jenis pupuk tertentu sebagaimana diungkapkan oleh Camat Simbang dan Kepala

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan kabupaten Maros. Padahal penggunaan pupuk

bukan satu-satunya penyebab hasil panen melimpah namun masih dibutuhkan keuletan

dan kegigihan dari masing-masing petani dalam mengelola lahan serta merawat

tanamannya.

Umumnya petani dan stakeholder telah menyadari bahwa penggunaan pupuk bersubsidi

secara berkepanjangan dapat mengganggu kesuburan lahan untuk jangka panjang namun

petani tetap menggunakannya untuk meningkatkan hasil panennya. Penggunaan pupuk

organik dianggap berat, meskipun pengaruhnya dianggap sangat baik dalam pertumbuhan

tanaman dan keberlanjutan ekosistem.

4.7. Mekanisme Komplain

Sebagian besar petani memiliki keluhan atas pupuk bersubsidi terutama pada masalah

ketidaktepatan waktunya. Namun separuh dari yang memiliki keluhan tersebut tidak pernah

melakukan pengaduan. Hampir seluruh responden tidak mengetahui tempat pengaduan

yang disiapkan oleh Pemerintah, seandainya petani pendapatkan masalah terkait pupuk

bersubsidi. Akibatnya, petani hanya mengeluhkan kepada Ketua Kelompok tani, PPL, Dinas

terkait dan DPRD Kabupaten. Meskipun mereka sendiri tidak dapat menyelesaikan masalah

yang dikemukakan petani karena ketiadaan kewenangan maupun pengetahuan terkait

tempat pengaduan atas kebijakan pupuk bersubsidi. Hal ini Nampak dengan pengakuan

masyarakat bahwa di antara sejumlah yang menyampaikan masalah ke Kelompok Tani,

PPL, Dinas terkait dan DPRD lebih dari separuh (75,9%) diantaranya tidak atau kurang

menadapatkan respon yang memadai.

“Secara umum petani berharap adanya mekanisme complain yang dapat diakses hingga

desa. Selama ini petani berjalan sendiri, tanpa ada ruang yang terbuka untuk

menyampaikan keluhan, padahal ada banyak keluhan yang bersumber dari masyarakat”

papar Mustari, seorang petani yang sekaligus menjadi ketua KTNA Kecamatan Simbang,

Kabupaten Maros. Lebih lanjut dikatakan bahwa “KPPP akan bermanfaat ketika ada

usulan dari kelembagaan desa atau kecamatan yang memasukkan komplain ke KPPP tapi

ketika KPPP tidak mendapatkan informasi / pengaduan maka mereka menganggap tidak

ada masalah dan ini yang terjadi sewaktu kita sosialisasi ke anggota DPRD selaku anggota

KPPP dimana sempat mengatakan bahwa tidak ada laporan yang masuk. Masyarakat

menginginkan kejelasan dimana mau komplain karena saya lihat masyarakat bingung,

mereka hanya mencari kenalannya masing-masing, kalau ada kenalannya di DPRD maka

dia ke DPRD, kalau ada kenalan di kecamatanmaka dia ke kecamatan.”

Hal senada disampaikan oleh Rijal dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah Desa

dan Kelurahan bahwa seharusnya masyarakat dapat terkoneksi dengan penyelenggara

kebijakan pupuk bersubsidi sehingga jika ada masalah dapat terselesaikan. Sementara

Imran dari perwakilan NGO Kabupaten Maros sekaligus seorang akademisi

mengungkapkan bahwa seharusnya KPPP dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait

tidak hanya menunggu bola dalam artian menunggu laporan keluhan dari masyarakat

namun aktif mengunjungi petani untuk mengetahui implementasi kebijakan pupuk

bersubsidi yang terjadi di daerah. Apalagi tidak ada sistem complain yang dibangun pada

tingkat daerah termasuk bagaimana terkoneksi dengan pihak distributor dan penyalur.

Petani harusnya mendapatkan penjelasan yang memadai dan terverifikasi kebenarannya, di

samping penyelesaian masalah tentu saja.

Dalam catatan media, yang pernah melakukan aksi terkait kelangkaan pupuk bersubsidi di

DPRD dan Dinas Pertanian Kabupaten Maros adalah petani dari Kecamatan Bontoa. Lalu

Dinas Pertanian melakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Selatan,

kemudian mendapatkan penjelasan bahwa kelangkaan yang terajdi di kabupaten Maros

karena stok atau kebutuhan pupuk bersubsidi untuk quota kabupaten Maros sudah habis.

Mengingat belum adanya mekanisme komplain yang diterapkan terkait kebijakan pupuk

bersubsidi, petani secara umum menghendaki mekanisme komplan dapat berupa

pertemuan rutin yang dilakukan oleh instansi terkait dan sistem SMS atau telepon

pengaduan yang responsif. Kehadiran sistem komplain yang mudah diakses oleh petani dan

pemerintah desa serta terkoneksi dengan instansi terkait yang transparan dan akuntabel

terkait kebijakan pupuk bersubsidi bukan hanya diinginkan oleh petani namun juga menjadi

saran dari Pemerintah Desa, unsur NGO, DPRD bahkan hampir semua stakeholder.

Setidaknya bisa mengakhiri sengkarut pikiran petani, kelompok petani, pemerintah desa

serta instansi terkait yang selama ini bingung dalam mencarikan solusi yang timbul dari

pelaksanaan kebijakan tersebut.

BAB IV

KESIMPULAN & REKOMENDASI

4.1. Kesimpulan

Kebijakan pupuk bersubsidi bertujuan meringankan beban petani agar saat memerlukan

pupuk untuk tanamannya tetap tersedia dengan harga yang terjangkau. Berdasarkan

temuan dari audit sosial, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut,

1. Meskipun petani telah lama menikmati kebijakan pupuk bersubsidi, namun

pemahaman utuh atas kebijakan pupuk bersubsidi masih sangat rendah. Sangat

minim sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah atau penyelenggara kebijakan.

2. Penggunaan pupuk bersubsidi untuk tanaman merupakan keputusan yang diambil

oleh sebagian besar petani. Namun dalam praktiknya, petani masih minim edukasi

terkait penggunaan pupuk secara seimbang agar hasilnya dapat maksimal. Akibatnya,

perlakuan terhadap semua tanaman dan jenis lahan masih sama dalam memberikan

takaran pupuk.

3. Perencanaan pupuk bersubsidi dalam menentukan RDKK masih sekedar formalitas.

Akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara data dalam RDKK dengan kondisi di

lapangan yang sesungguhnya. Partisipasi petani dalam penyusunan RDKK juga masih

rendah. Konsekuensi dari kekurangakuratan data RDKK menyebabkan

ketidakefisienan jumlah pupuk yang disubsidi termasuk kemungkinan terjadnya

ketidaktepatan sasaran penerima manfaat melalui manipulasi data.

4. Fungsi manajemen seperti monitoring dan evaluasi tidak berjalan dengan efektif.

Kehadiran KPPP untuk pengawasan masih bersifat sekedar memenuhi persyaratan

regulasi. Sementara peran pemerintah propinsi dan pemeritah pusat dalam

melakukan monitoring dan evaluasi juga tidak terlihat. Akibatnya meskipun kebijakan

ini telah berlangsung lama namun setiap saat masih terkendala pada masalah yang

sama seperti kelangkaan pupuk saat dibutuhkan oleh petani. Ketidakefektifan

pengawasan membuat masalah yang timbul seperti kelangkaan, ketidaktepatan waktu

sulit dibenahi dan diurai permasalahannya.

5. Secara umum, penggunaan pupuk bersubsidi mampu meningkatkan produktifitas.

Sayangnya akibat minimnya edukasi penggunaan pupuk bersubsidi yang seimbang

termasuk pengetahuan unsur hara pada lahan masing-masing menunjukkan bahwa

tingkat produktifitas belum merata dengan baik. Umumnya yang terjadi peningkatan

produktiftas masih pada lahan yang cukup subur sementara pada lahan kritis atau

kurang subur maupun tingkat kesuburan tinggi pengaruh pupuk kurang signifikan

untuk meningkatkan produktifitas dibandingkan sebelum penggunaan pupuk

bersubsidi.

6. Tingkat ketergantungan petani terhadap pupuk bersubsidi sangat tinggi. Akibatnya

kemandirian petani dalam memproduksi pupuk organik tidak bisa berkembang.

Penggunaan pupuk secara berkepanjangan, di samping dapat meningkatkan

produktifitas juga berpotensi merusak siklus ekosistem seperti sulitnya pengendalian

hama tanaman. Peningkatan produktifitas juga belum memberikan dampak terhadap

peningkatan kesejahteraan masyarakat sebab di saat yang bersamaan harga gabah

tidak bersahabat/umumnya mengalami penurunan untuk menutupi biaya operasional

yang dikeluarkan oleh petani.

7. Masalah yang dihadapi masyarakat terkait pupuk bersubsidi di lapangan tidak

mendapatkan ruang penyelesaian maupun tempat pengaduan bagi petani maupun

pemerintahan pada tingkat desa. Akibatnya petani “terpaksa” menyelesaikan

masalahnya dengan cara sendiri meskipun tak pernah ada final atau penjelasan utuh

dari sejumlah masalah yang dihadapi seperti kelangkaan pupuk saat dibutuhkan.

4.2. Rekomendasi

Adapun rekomendasi dalam audit sosial kebijakan pupuk bersubsidi ini ialah;

1. Penyelenggara kebijakan pupuk bersubsidi penting melakukan sosialisasi baik kepada

penerima manfaat maupun stakeholder terkait.

2. Dibutuhkan pelatihan penggunaan pupuk yang berimbang bagi petani disertai

pendampingan yang terukur, baik dari sisi keterampilan petani maupun

perkembangan tanaman secara berbeda antara yang lahan yang sangat subur, lahan

subur dan lahan tidak subur untuk membuka pikiran bagi petani.

3. Perubahan mendasar dalam pengukuran luas lahan untuk pengisian data RDKK agar

lebih mendekati situasi lapangan yang ada. Kesesuaian data antara RDKK dengan

lapangan dapat mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan.

4. Pembenahan kelembagaan yang berfungsi untuk melakukan monitoring dan evaluasi

kebijakan, pengawasan disertai dukungan standar operasional dan dukungan

anggaran yang transparan dan akuntabel

5. Perlu memikirkan dan mengembangkan pemberdayaan kepada petani terutama untuk

mengurangi ketergantungan terhadap pupuk bersubsidi untuk tetap mempertahankan

atau meningkatkan produktifitas melalui penggunaan pupuk organik yang diproduksi

sendiri baik secara individual maupun kolektif. Termasuk didalamnya mengalihkan

subsidi dari budidaya ke pasca panen melalui keseimbangan harga yang

menguntungkan bagi petani untuk kesejahteraannya.

6. Penting ada sistem pengaduan/komplain yang mudah diakses oleh petani seperti

SMS/penggunaan telepon senter (call centre) yang responsive terhadap semua aduan

petani/stakeholder

LAMPIRAN & BIBLIOGRAFI

BAB I

PENDAHULUAN

1.3 Latar Belakang

Peningkatan produksi pangan menjadi prioritas program Nawacita Presiden Jokowi agar

kedaulatan pangan tercapai di Indonesia. Setidaknya, ada 14 program pendukungnya,

salah satunya adalah memberikan subsudi harga pupuk ke petani. Pemerintahpun

memberikan anggaran yang cukup besar bila dibandingkan dengan anggaran subsidi pupuk

non energi lainya dalam APBN 2017, yakni sebesar Rp 31 trilyun. Skema pemberian subsidi

harga ini meneruskan kebijakan program pemerintahan sebelumnya, sehingga selama 14

tahun terakhir, total anggaran yang sudah dikeluarkan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 210

trilyun. Tujuannya untuk meringankan beban petani membeli harga pupuk sehingga pada

akhirnya produksi bisa ditingkatkan.

Namun sayangnya, banyak persoalan yang ditemukan dalam implementasi pupuk

bersubsidi ini. Menurut hasil penelitian Pattiro tahun 2009 – 2011 dan Litbang KPK 2017,

persoalannya berada pada aspek pendataan, penganggaran, penyaluran, dan pengawasan.

Misalnya pada aspek pendataan, ditemukan Data Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok

(RDKK) yang tidak valid, aspek penganggaran ditemukan ada biaya-biaya yang tidak

termasuk komponen produksi dalam perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) menjadi

dasar perhitungan nilai subsidi pupuk. Begitupun pada aspek penyaluran, dimana penjualan

pupuk dengan harga diatas Harga Eceran Tertinggi (HET), penjualan pupuk kepada petani

yang tidak terdaftar dalam RDKK serta pada aspek pengawasan, Komisi Pengawasn Pupuk

dan Pestisida (KPPP) di tingkat provinsi dan kabupaten tidak menjalankan fungsi

pengawasan secara optimal.

Terkait dengan hal tersebut diatas, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) melihat

bahwa investasi pemerintah dengan tujuan program yang begitu baik dan anggaran yang

cukup besar ini tidak berjalan efektif dan efisien dalam implementasinya. Oleh karenanya

diperlukan koreksi dan perbaikan secara terus menerus sehingga tujuan akhir program dan

kebijakan terkait pemenuhan hak atas pangan dapat tercapai. Proses koreksi dan evaluasi

kebijakan dan program hendaknya dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak

termasuk masyarakat/petani sebagai penerima manfaat. Pelibatan masyarakat/petani

dalam proses evaluasi merupakan bentuk pelibatan petani (partisipasi) dalam

pembangunan. Dengan adanya pelibatan ini maka diharapkan evaluasi dan koreksi menjadi

lebih bermakna yang pada akhirnya dapat meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas

program dan kebijakan. Partisipasi penerima manfaat dalam melakukan evaluasi dan

koreksi ini khususnya pada dampak sosial kebijakan dan program pemenuhan hak atas

pangan kemudian dimaknai sebagai audit sosial.

Audit sosial digunakan sebagai metode melihat program pupuk subsidi karena merupakan

proses sistematik kritis untuk memeriksa bukti-bukti klain terhadap tujuan dan penerima

manfaat, relevansi sosial dan efek-efek yang ditimbulkan oleh intervensi institusi yang

hasilnya dikomunikasikan kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Audit sosial lebih

menekankan dampak perubahan sosial pada kelompok sasaran yang dilakukan secara

bersama-sama.

1.4 Tujuan

Tujuan dilaksanakannya audit sosial pupuk bersubsidi ini adalah

5. Mengukur manfaat sosial yang diperoleh sebagai hasil dari pelaksanaan program

pupuk bersubsidi

6. Menyuarakan dan memperkuat suara petani dalam perencanaan, implementasi dan

pengawasan pupuk bersubsidi

7. Mendorong dialog dan sinergi kerjasama antar pemangku kepentingan pupuk

bersubsidi secara berkelanjutan

8. Memberikan masukan kritis yang didasarkan pada kenyataan yang ada untuk

mendorong terjadinya perbaikan tatakelola program pemerintah.

1.3 Manfaat

Manfaat audit sosial pupuk bersubsidi bagi petani sebagai penerima manfaat dan

pemerintah sebagai pengambil dan pelaksana kebijakan yaitu:

4. Petani mempunyai ruang menyuarakan pendapatnya akan program pupuk

bersubsidi.

5. Pemerintah kabupaten mengetahui persoalan perencanaan, penerimaan,

penggunaan dan hasil pupuk bersubsidi yang diterima petani

6. Terbukanya ruang dialog dan klarifikasi bagi berbagai pihak tentang program pupuk

bersubsidi di tingkat kabupaten

1.4 Metodologi Audit Sosial

Metodologi audit sosial berupa pengumpulan data baik pada sumber primer maupun

sekunder. Pengumpulan data primer berupa:

6. Obersevasi lapangan, pengamatan kualitas lahan dan uji laboratorium kualitas

pupuk bersubsidi yang dilaksanakan oleh pelaksana audit di setiap kabupaten. Uji

laborataorium sampel kualitas pupuk bersubsidi dari etiap kabupaten dilakukan di

International Conservation Biotechnology Bogor (ICBB).

7. Survey. Survey ini dikhususkan dengan menentukan responden adalah rumah

tangga tani yang sampelnya diperoleh menggunakan metode Slovin selanjutnya

diproporsifkan untuk menentukan responden terpilih dalam setiap dusun. Total

jumlah responden dari 5 Kabupaten berjumlah….orang. Durasi pelaksaaan survey

Januari – Februari 2017.

8. Wawancara mendalam. Proses penggalian informasi yang lebih dalam untuk

mendapat penjelasan dari data survey diperoleh dari informan wawancara

mendalam berjumlah 22 orang untuk setiap kabupaten. Mereka terdiri dari petani

penerima pupuk bersubsidi 3 orang, petani bukan penerima pupuk bersubsidi 3

orang, Pengurus Kelompok Tani 4 orang, Kepala Desa 1 orang, Kepala Dusun 1

orang, Camat 1 orang, Pengurus Gapokta 1 orang, Pengecer Pupuk 2 orang,

Distributor Pupuk 1 orang, Penyuluh Pertanian 1 orang, Komisi Pengawas Pupuk dan

Pestisida 1 orang, Dinas Pertanian 1 orang, Kepala Daerah dan Anggota DPRD 1

orang. Total keseluruhan informan untk 5 kabupaten berjumlah 110 orang informan.

Waktu pelaksanaannya Februari – Maret 2017.

9. FGD di tingkat desa. Focus group discussion pada tingkat desa melibatkan petani,

pengurus kelompok dan aparat desa untuk mengklarifikasi data yang sudah

ditemukan pada hasil survey dan wawancara mendalam pandangan peserta

terhadap pupuk bersubsidi. selain itu, FGD ini juga melihat tren kecenderungan

pangan dan factor pendkung serta penghambat lain peningkatan produksi yang

dialami petani. FGD ini dilaksanakan pada bulan April 2017.

10. FGD tingkat kabupaten. Diskusi pada tingkat kabupaten ini bertujuan untuk

memaparkan hasil temuan audit pada tingkat kabupaten dan meminta klarifikasi

serta rekomendasi kepada para pihak terkait, terdiri dari Kepala Daerah, perwakilan

DPRD, Dinas Pertanian, Bapeda, Dinas Perdagangan, KP3, BPPT, PPL, pengecer,

Camat Kepala Desa, Pengurus Kelompok Tani, Pengurus Gapoktan dan Petani.

Sementara itu, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mempelajari dokumen :

11. Peraturan Presiden No 15 Tahun 2011 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai

Barang dalam Pengawasan

12. Peraturan Menteri Perdagagan No 15/M-DAG/Per/4/2013 tentang Pengadaan dan

Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian

13. Peraturan Menteri Keuangan No 68 / PMK.02/2016 tentang tata cara Penyediaan,

Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Pupuk

14. Peraturan Menteri Pertanian No 82/Permentan/SR.130/8/2013 tentang Pedoman

Pembinaan Kelompok Tani dan gabungan Kelompok Tani

15. Peraturan Menteri Pertanian No 69/Permentan/SR.310/12/2016 tentang Alokasi

dan Harga Eceran Tertinggi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2017.

16. Menteri Perindustrian RI Nomor 16/M-Ind/PER/3/2013 tentang Pewarnaan Pupuk

Bersubsidi.

17. Pelaksanaan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2016,

Direktoran Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementrian Pertanian

18. Pedoman Pelaksanaan Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi TA 2016

19. Pedoman Penguatan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Tahun 2016

20. Laporan hasil pihak ketiga berupa kajian, berita, artikel penelitian pupuk bersubsidi

1.5 Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Audit

Keseluruhan proses pelaksanaan audit sosial pupuk bersubsidi ini dilaksanakan mulai bulai

Januari – Mei 2017 yang tersebar di 5 kabupaten dalam 3 Provinsi, sebagai berikut:

4. Nusa Tenggara Timur

- Kabupaten Flores Timur, Kecamatan Wulanggintang Desa Boru dan Boru Kedang

- Kabupaten Sumba Timur, Kecamatan Kota Waingapu Desa Pambotanjara dan

Kecamatan Nggaha Oriangu Desa Tanatuku

5. Nusa Tenggara Barat

- Kabupaten Lombok Utara, Kecamatan Bayan Desa Bayan dan Desa Loloan

6. Sulawesi Selatan

- Kabupaten Maros, Kecamatan Simbang Desa Jenetesa dan Desa Samangki

- Kabupaten Luwu Utara Kecamatan Baebunta Desa Sasa dan Desa Baebunta

1.6 Keterbatasan Laporan

Data yang tertuang dalam laporan ini tentunya belum sepenuhnya sempurna dan bisa

mewakili temuan dalam program pupuk bersubsidi secara Nasional karena pertimbangan

yaitu

3. Pelaksanaan audit sosial ini terbatas pada 2 desa saja dalam cakupan wilayah

kabupaten, sehingga temuan ini belum mewakili karakteristik wilayah pertanian

dalam satuan kabupaten.

4. Tidak semua target informan dalam wawancara mendalam bisa diwawancarai

karena karena ada yang memang tidak ingin diwawancarai terutama pengecer dan

distributor.