kebijakan pengembangan irigasi rawa pasang...

75
79 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG SURUT DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK Elias Wijaya Panggabean 1) Bastin Yungga Angguniko 2) 1) 2) Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl. Patimura No.20 Gedung Heritage lt.3 Jakarta Selatan Email : [email protected], [email protected] ABSTRACT This paper provides an alternative policy in the development of tidal swamp irrigation through the model and simulation system. Improvement of irrigation networks, access farm roads, and grain prices were assessed using system dynamics approach model. The research conducted in Siak Kiri Tidal Irrigation Area, Riau, in 2014, shows that, first: revitalization of irrigation networks, which is based solely on the effective area and not based on potential area will further accelerate the pace of paddy land conversion to oil palm plantations. Second, the more efficient access to distribution of goods and connectivity region, the highers selling price of agricultural products and greater income obtained by farmers. Third, there is a relationship between the irrigation system condition and the adequacy of the water with the interest of farmers to develop rice cultivation. Therefore, agriculture and swamp irrigation improvement strategy must be analyzed comprehensively and systemically. Keywords: Tidal Irrigation, system dynamics, causal loop, model simulation, policy ABSTRAK Makalah ini memberikan alternatif kebijakan dalam pengembangan irigasi rawa pasang surut melalui model dan simulasi sistem. Peningkatan jaringan irigasi, jalan akses pertanian, dan jalan akses dan harga gabah dinilai menggunakan pendekatan sistem model dinamis. Penelitian yang dilakukan tahun 2014 di Daerah Irigasi Pasang Surut Siak Kiri, Riau, menunjukkan bahwa, pertama: kebijakan revitalisasi jaringan irigasi yang hanya berdasarkan luas efektif dan bukan berdasarkan areal potensial akan semakin mempercepat laju alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan sawit. Kedua, semakin efektif akses distribusi barang dan konektivitas wilayah, maka akan semakin tinggi harga jual produk pertanian dan semakin besar pendapatan yang diperoleh petani. Ketiga, hubungan berbanding lurus antara kondisi jaringan irigasi dan kecukupan air dengan minat petani mempertahankan eksistensi pertanian sawah. Oleh karena itu, strategi pengembangan pertanian dan irigasi rawa harus dianalisis secara komprehensif dan sistemik. Kata kunci: irigasi pasang surut, sistem dinamik, kausal loop, simulasi model, kebijakan PENDAHULUAN Program irigasi rawa pasang surut yang telah dimulai sejak tahun 1970-an sampai saat ini ternyata belum mempu memberikan hasil yang maksimal mendukung swasembada pangan nasional. Menurut data Kementerian Pertanian, produksi 62,56 juta ton gabah kering, hanya 1- 1.5% yang berasal dari sawah lahan rawa (Haryono, 2013 dalam Puslitbang Sosekling, 2014). Luas lahan rawa Indonesia 33,4 juta ha, yang terdiri dari lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha. Lahan pasang surut yang telah direklamasi 3,84

Upload: trinhtram

Post on 08-Mar-2019

275 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

79

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG SURUT DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK

Elias Wijaya Panggabean1)

Bastin Yungga Angguniko 2) 1) 2) Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Jl. Patimura No.20 Gedung Heritage lt.3 Jakarta Selatan Email : [email protected], [email protected]

ABSTRACT

This paper provides an alternative policy in the development of tidal swamp irrigation through the model and simulation

system. Improvement of irrigation networks, access farm roads, and grain prices were assessed using system dynamics

approach model. The research conducted in Siak Kiri Tidal Irrigation Area, Riau, in 2014, shows that, first: revitalization of

irrigation networks, which is based solely on the effective area and not based on potential area will further accelerate the

pace of paddy land conversion to oil palm plantations. Second, the more efficient access to distribution of goods and

connectivity region, the highers selling price of agricultural products and greater income obtained by farmers. Third, there is

a relationship between the irrigation system condition and the adequacy of the water with the interest of farmers to develop

rice cultivation. Therefore, agriculture and swamp irrigation improvement strategy must be analyzed comprehensively and

systemically.

Keywords: Tidal Irrigation, system dynamics, causal loop, model simulation, policy

ABSTRAK

Makalah ini memberikan alternatif kebijakan dalam pengembangan irigasi rawa pasang surut melalui model dan simulasi

sistem. Peningkatan jaringan irigasi, jalan akses pertanian, dan jalan akses dan harga gabah dinilai menggunakan

pendekatan sistem model dinamis. Penelitian yang dilakukan tahun 2014 di Daerah Irigasi Pasang Surut Siak Kiri, Riau,

menunjukkan bahwa, pertama: kebijakan revitalisasi jaringan irigasi yang hanya berdasarkan luas efektif dan bukan

berdasarkan areal potensial akan semakin mempercepat laju alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan sawit. Kedua,

semakin efektif akses distribusi barang dan konektivitas wilayah, maka akan semakin tinggi harga jual produk pertanian

dan semakin besar pendapatan yang diperoleh petani. Ketiga, hubungan berbanding lurus antara kondisi jaringan irigasi

dan kecukupan air dengan minat petani mempertahankan eksistensi pertanian sawah. Oleh karena itu, strategi

pengembangan pertanian dan irigasi rawa harus dianalisis secara komprehensif dan sistemik.

Kata kunci: irigasi pasang surut, sistem dinamik, kausal loop, simulasi model, kebijakan

PENDAHULUAN

Program irigasi rawa pasang surut yang telah dimulai sejak tahun 1970-an sampai saat ini ternyata belum mempu memberikan hasil yang maksimal mendukung swasembada pangan nasional. Menurut data Kementerian Pertanian,

produksi 62,56 juta ton gabah kering, hanya 1-1.5% yang berasal dari sawah lahan rawa (Haryono, 2013 dalam Puslitbang Sosekling, 2014). Luas lahan rawa Indonesia 33,4 juta ha, yang terdiri dari lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha. Lahan pasang surut yang telah direklamasi 3,84

Page 2: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

80

juta ha yang terdiri dari 0,94 juta ha oleh pemerintah dan sisanya oleh swadaya masyarakat (Suriadikarta, 2012).

Sementara menurut data Direktorat Irigasi dan Rawa (Kementerian PU, 2010), dari 1,8 juta ha rawa yang telah direklamasi, masih terdapat 38,2% yang belum dimanfaatkan. Kendala rendahnya kesuburan lahan dan tingginya hama (Alwi, 2014), dan pengelolaan jaringan irigasi tidak tepat (Noor, 2012), menjadi beberapa faktor penghambat pengembangan irigasi rawa pasang surut.

Kendala-kendala pengembangan irigasi pasang surut ini sangat mempengaruhi minat dan motivasi petani lokal untuk tetap bertahan pada komoditas tersebut. Dorongan ekonomi membuat lahan sawah dikonversi menjadi lahan perkebunan (Sa’ad et al, 2010). Banyaknya ditemukan lahan bongkor juga merupakan dampak dari sistem pengelolaan irigasi pasang surut yang tidak benar (Noor, 2012). Ketersediaan dan kesinambungan air irigasi menjadi syarat mutlak pertanian irigasi pasang surut. Apabila air irigasi tidak mencukupi, berdampak langsung pada penurunan motivasi petani dan beralih perkebunan (Panggabean, 2015).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya pengembangan pertanian lahan rawa sangat kompleks dari hulu (produksi) sampai ke hilir (paska panen). Kompleksitas permasalahan ini juga melibatkan multi-stakeholders dengan kepentingannya masing-masing yang saling terkait satu dengan lainnya (interdependent) dalam satu sistem.

Dalam menyediakan infrastruktur mendukung pengembangan pertanian lahan rawa, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat seringkali dihadapkan pada pemahaman kondisi lapangan yang kurang memadai. Akibatnya kebijakan yang diambil juga seringkali hanya pragmatis dan kurang mampu mengatasi persoalan dasar pengembangan pertanian rawa. Melalui pendekatan sistemik, dapat disusun konsep model pengembangan pertanian lahan rawa yang mengedepankan hubungan antar struktur sistem, dan mampu menganalisis perilaku sistem dan peramalan (forecasting) sistem dengan kebijakan yang diterapkan.

Dari penelitian Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Kementerian PU (2013), ditemukan kompleksitas permasalahan dalam pengembangan pertanian dengan irigasi rawa: 1) Keterbatasan jaringan irigasi pasang surut,

khususnya daerah pedalaman dengan akses yang sulit; 2) Sifat tanah dengan kadar pirit yang tinggi sehingga kurang subur ditanami. Keterbatasan jaringan irigasi dan suplai air tidak memadai akan menyulitkan pembersihan kadar pirit. Lahan menjadi tidak produktif dan dibiarkan terbengkalai (lahan bongkor). Lahan bongkor (Noor, 2012) telah banyak dialihfungsikan masyarakat menjadi lahan perkebunan sawit atau karet. 3) Keterbatasan akses ke lokasi juga menjadi hambatan. Sebagian besar mengandalkan jalur sungai, sedangkan akses jalan darat masih sangat terbatas. Mahalnya biaya menggunakan moda transportasi air menyulitkan petani menjual hasil produk pertanian ke luar daerah. 4) Maraknya gangguan hama dan tikus juga menurunkan produktivitas lahan. Biaya produksi yang cukup mahal membatasi kemampuan petani meningkatkan produksi pertanian rawa.

Pemerintah juga menghadapi kendala keterbatasan anggaran dalam membuka jaringan irigasi baru atau revitalisasi jaringan irigasi yang sudah ada (Balai Wilayah Sungai Sumatera III, 2014).

Dari fakta tersebut, terlihat bagaimana permasalahan pertanian irigasi rawa begitu kompleks yang saling kait-mengait. Untuk itu pendekatan komprehensif dan sebab-akibat sangat tepat dilakukan sebagai pendekatan analisis.

Untuk itu penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian: 1) faktor-faktor apa berpengaruh signifikan pada pengembangan rawa? dan 2) kebijakan elementer apa yang dapat ditempuh untuk mendorong pengembangangan pertanian irigasi rawa?

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan alternatif rekomendasi dalam pengembangan irigasi rawa pasang surut dengan pendekatan berpikir sistemik.

KAJIAN PUSTAKA

Tantangan Pengembangan Irigasi Pasang Surut

Lokasi penelitian Siak Kiri merupakan lahan rawa pasang surut dengan tipe A. Tipe A merupakan lahan yang terluapi minimum 4-5 kali dalam 14 hari siklus pasang purnama baik musim hujan maupun musim kemarau (Permen PU Nomor 5 tahun 2010).

Pembukaan rawa di Siak sudah dimulai sejak tahun 1980 melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut (P4S) (Noor, 2012 dalam

Page 3: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

81

Panggabean, 2014; Hidayat et al, 2010). Reklamasi rawa juga didampingi program transmigrasi penduduk dari Jawa ke luar Jawa (Septiyani, 2014).

Kendala yang dihadapi pertanian pasang surut diantaranya adalah tingkat kesuburan lahan rendah, faktor tingginya kemasaman tanah, pirit, kadar aluminium dan besi dan asam organik, serta miskin kation basa seperti Ca, K, Mg (Alwi dan BSI, 2014).

Rendahnya produktivitas lahan pasang surut juga disebabkan faktor kondisi lahan yang cukup berat untuk dikelola, keterbatasan tenaga kerja, rendahnya tingkat pengetahuan petani, kebiasaan pertanian subsistem, keterbatasan modal, infrastruktur irigasi rawa yang terbatas, serta tingginya tingkat serangan hama-penyakit pada tanaman (Alwi, 2014).

Orientasi petani menanam padi cenderung untuk dikonsumsi keluarga sendiri. Dengan rata-rata pemilikan sawah 2 ha pada dasarnya mereka tidak mampu menggarap seluruh lahan. Kurangnya tenaga kerja dan minimnya penggunaan teknologi pertanian membuat waktu tanam tidak serentak, sehingga lebih rentan diserang hama (Riyani, 2013).

Konsep System Thinking dan System Dynamics

Berpikir sistem (system thingking) adalah memahami fenomena sebagai struktur yang memiliki hubungan saling terkait (interdependent), bukan hubungan sebab-akibat searah atau linier (Gambar 1). Fenomena sosial adalah kumpulan proses interaksi yang saling terkait dan terus berlanjut seiring berjalannya waktu (dinamik). Konsep berpikir sistem mengenal struktur dan unsur-unsur pembentuk serta pola keterkaitan antar unsur (Senge, 1990).

Gambar 1. Linear Thinking vs Systems Thinking

Sumber: Kim, Daniel H., 1997

System Dynamics adalah proses analisis lebih lanjut dari System Thingking dengan penggambaran model dan perilakunya ke dalam persamaan matematis atau bahasa komputer, menguji perilaku model (simulasi) dan

mendapatkan struktur model yang sesuai dengan rencana keputusan/kebijakan yang diambil untuk merepresentasikan struktur model dunia nyata.

Proses pembuatan keputusan menyangkut dinamika sistem-sistem sosial yang kompleks (Forrester, 1989). Fenomena dinamis ini dimunculkan oleh adanya struktur fisik dan struktur pembuatan keputusan yang saling berinteraksi. Struktur fisik dibentuk oleh akumulasi (stock) dan jaringan aliran orang, barang, energi, dan bahan (flow). Sedangkan struktur pembuatan keputusan dibentuk oleh akumulasi (stock) dan jaringan aliran (flow) informasi yang digunakan oleh aktor-aktor (manusia) dalam sistem yang memiliki struktur umpan-balik (feedback structure).

Dalam metodologi System Dynamic dikenal struktur umpan-balik (feedback loop) menyatakan hubungan sebab-akibat variabel-variabel yang melingkar, bukan menyatakan hubungan korelasi-korelasi statistik. Ada dua macam lingkar umpan-balik yaitu: 1) lingkar umpan-balik positif (growth); 2) lingkar umpan-balik negatif (goal seeking)

Tahapan yang harus ditempuh dalam menggunakan pemodelan dengan metoda System Dynamics, seperti yang diilustrasikan dalam gambar berikut ini.

Gambar 2. Proses Pemodelan System Dynamics Sumber: Sterman, 1981

Prinsip pembuatan struktur model (Sterman, 1981) adalah: pembedaan keadaan yang diinginkan dan keadaan yang sebenarnya; struktur stock dan flow dalam kehidupan nyata harus dapat direpresentasikan di dalam model; struktur pembuatan keputusan di dalam model harus sesuai dengan praktek-praktek manajerial; model harus robust pada kondisi ekstrim. Pengujian model diperlukan untuk menguji validitas terhadap kondisi empiris untuk analisis kebijakan.

Berikut adalah secara garis besar kerangka pikir model pengembangan rawa berkelanjutan

Page 4: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

82

Gambar 3. Kerangka Konseptual

Sumber : hasil analisis, 2016

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan System Dynamics. Unit analisis dalam penelitian ini adalah daerah irigasi rawa pasang surut. Populasi penelitian adalah daerah irigasi rawa pasang surut Siak Kiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, yang sudah dibuka oleh pemerintah sejak era P4S tahun 1980.

Gambar 4. Lokasi Penelitian Siak Kiri - Riau

Sumber: Google Maps, 2016

Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan beberapa responden yang merupakan informan-informan kunci meliputi: 1) pejabat di Balai Wilayah Sungai Sumatera III 2) pengamat pengairan di DR. Siak Kiri 3) juru pengairan, beberapa orang petani setempat. Semantara itu data-data sekunder dalam mendukung analisis diperoleh dari data-data Proyek Irigasi Pasang Surut, data-data BPS dan dokumen-dokumen dari internet. Pemodelan pengembangan pertanian rawa dengan metode system dynamics diuraikan dalam variabel, indikator dan parameter sebagai berikut.

Tabel 1. Operasionalisasi Konsep

NO VARIABEL INDIKATOR PARAMETER

1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal peningkatan 1 (1995), luas areal peningkatan 2 (2005), luas target OP dan rehabilitasi, laju penyusutan areal jaringan irigasi

2. Anggaran revitalisasi jaringan irigasi rawa

Fraksi biaya operasi OP, Fraksi biaya rehabilitasi

3. Konstruksi dan perbaikan jaringan

Waktu konstruksi jaringan irigasi, Periode rehabilitasi jaringan irigasi

4. Penurunan kinerja jaringan Waktu penurunan kinerja jaringan , Luas penurunan areal sawah

2 Sub Model Lahan 1. Lahan sawah Luas lahan bukaan awal, Waktu pembukaan, Luas sawah terkonversi ke lahan sawit, Luas sawah terkonversi ke lahan palawija, Waktu konversi, Jumlah tenaga kerja sawah

2. Lahan sawit Luas sawah terkonversi ke lahan sawit, Luas palawija terkonversi ke lahan sawit, Waktu konversi, Jumlah tenaga kerja sawit

3. Lahan Palawija Luas sawah terkonversi ke lahan palawija, Luas palawija terkonversi ke lahan sawit, Waktu konversi, Jumlah tenaga kerja palawija, Luas lahan belum dimanfaatkan terkonversi ke palawija, Luas lahan palawija terkonversi ke permukiman

4. Lahan Permukiman Luas lahan palawija terkonversi ke permukiman, Jumlah tenaga kerja total, Jumlah populasi

5. Lahan belum dimanfaatkan Luas lahan bukaan awal, Waktu pembersihan awal, Luas lahan belum termanfaatkan tervonversi ke sawah, Luas lahan belum termanfaatkan tervonversi ke palawija

3 Sub Model Populasi 1. Tingkat kelahiran Rasio kelahiran, Populasi, Fraksi angkatan kerja, Jumlah tenaga kerja pertanian

Siak Kiri

Page 5: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

83

2. Tingkat kematian Rasio kematian, Populasi, Fraksi angkatan kerja, Jumlah tenaga kerja pertanian

3. Migrasi masuk Populasi, Jumlah KK, Rasio lahan per KK, Pendapatan per kapita, Efek income terhadap migrasi masuk

4. Migrasi keluar Populasi, Jumlah KK, Rasio lahan per KK, Pendapatan per kapita, Efek income terhadap migrasi keluar

4 Sub Model Produksi 1. Produksi sawah Luas sawah irigasi sederhana, Luas sawah irigasi lengkap, Total pendapatan dari sawah, Luas areal irigasi lengkap, Efek pH tanah, Produktivitas lahan

2. Produksi palawija Luas lahan palawija, Total pendapatan dari palawija

3. Produksi sawit Luas lahan sawit, Total pendapatan dari sawit

4. Aksesibilitas Efek aksesibilitas jalan, Harga gabah, Pendapatan dari sawah, Intensitas pertanaman

Sumber: Desain penelitian, 2013

Setelah model diformulasikan, perilaku sistem diuji dengan simulasi komputer menggunakan aplikasi Vensim. Simulasi tanpa intervensi kebijakan akan menggambarkan titik permasalahan atau keadaan yang tidak diinginkan. Selanjutnya simulasi dengan intervensi-intervensi kebijakan, khususnya bidang infrastruktur yaitu jaringan irigasi dan akses jalan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara administratif, daerah irigasi rawa Siak Kiri terdiri dari 12 desa dan dua kecamatan Bunga Raya dan Sabak Auh. Pembukaan daerah rawa di Siak Kiri dimulai pada tahun 1980 dengan sistem irigasi sisir yang merupakan bagian dari Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Pembagian lahan per kepala keluarga transmigran sebanyak 2 hektar, untuk rumah dan pekarangan, serta lahan pertanian. Jumlah penduduk pada awal dibuka sekitar 10.600 jiwa atau sekitar 2.800 KK.

Luas rawa yang pertama kali dibuka adalah 13.667 ha. Desain awal lahan sawah adalah seluas + 8.000 ha dengan pembuatan saluran-saluran drainase untuk mengeringkan lahan dan membuat pintu-pintu air secara terbatas dekat dengan permukiman. Proses pembangunan ini dilakukan secara bertahap setiap tahunnya.

Dalam kurun waktu tahun 1980-1990, terjadi permasalahan pirit dan gambut sehingga produksi padi sangat rendah. Pola tanam padi masih sebatas ditanami diantara tungkul kayu yang dipotong. Tahun 1984 terjadi banjir besar yang menggenani sebagian besar permukiman penduduk, sehingga banyak penduduk transmigran kembali ke daerah asalnya. Jumlah penduduk menjadi 7.145 jiwa.

Dalam kurun waktu 1990-1994, permasalahan pirit dan gambut sudah mulai

berkurang, tunggak kayu sudah habis dibakar, lapisan gambut sudah mulai menipis, petak-petak sawah sudah dibentuk, namun lahan masih sering tergenang dan banjir.

Selanjutnya pemerintah mulai menggalakkan pengembangan rawa melalui program Integrated Swamps Development Project-ISDP (World Bank, 2001) tahun 1995-2000. Program ini meliputi rehab dan konstruksi struktur tata air (saluran sekunder dan tersier) dan riset kecocokan tanaman serta sertifikasi lahan.

Keberhasilan program ini berdampak pada kembalinya transmigran yang sebelumnya pergi ditambah dengan penduduk baru dari daerah lain yang memperkenalkan sawit kepada penduduk transmigran (tahun 1995-1996).

Namun tantangan pengembangan rawa masih belum selesai, tahun 1997-1998 terjadi El-Nino (musim kemarau panjang) (Supari, 2014) yang menggagalkan panen.

Tahun 2001, dimulai membangun pintu-pintu baru di belakang permukiman dan perubahan fungsi saluran menjadi long storage dengan dimensi saluran sekunder semula 3 meter menjadi 8 meter dan saluran tersier semula 60-80 cm menjadi 3 meter.

Dalam kurun waktu tahun 2002-2006 Perkembangan kelapa sawit semakin marak terjadi. Tahun 2005-2006 dilakukan sertifikasi lahan bagi penduduk yang sudah kembali.

Tahun 2004-2007, petani mulai menggali saluran untuk menarik air dari daerah tangkapan air (catchment area), serta membangun jalan usaha tani. Tahun 2008 sampai saat ini, pemerintah mulai membangun saluran penangkap air dan penyediaan pintu-pintu air. Mulai terjadi peningkatan produksi padi (7 ton per hektar) kompetisi harga dengan sawit. Namun yang sering terjadi saat ini adalah konflik penggunaan air antara petani padi dengan petani sawah.

Page 6: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

84

Dari kronologis di atas ternyata sejak tahun 1980 sampai tahun 1994 sebenarnya reklamasi rawa belum berbentuk petak sawah beririgasi, karena jaringan irigasi yang belum memadai. Oleh sebab itu analisis system dynamics dalam penelitian ini akan dimulai dari tahun 1995, dimana jaringan irigasi dan petak sawah telah terbentuk.

Model System Thingking - Causal Loop

Causal loop Daerah Irigasi Rawa Siak Kiri terdiri dari empat sub model yaitu: 1) sub model irigasi, 2) sub model populasi, 3) sub model produksi dan 4) sub model lahan.

Gambar 5. Causal Loop Pengelolaan Rawa Siak Kiri Sumber: Hasil Analisis, 2014 Keterangan: Loop-1: produksi lahan irigasi pasang surut

akan dijual dan memberikan income bagi petani untuk peningkatan kesejahteraan petani. Kesejahteran yang terbangun akan menarik pendatang baik sebagai tenaga kerja atau investasi pertanian di lokasi tersebut (terjadi pertumbuhan populasi penduduk).

Loop-2: Kesejahteraan petani yang semakin membaik akan mendorong partisipasi petani dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Partisipasi petani akan membantu pemerintah dalam merevitalisasi infrastruktur irigasi, sehingga cakupan jaringan irigasi yang dapat direvitalisasi semakin luas.

Loop-3: Lahan sawah yang sudah direvitalisasi dan dimanfaatkan petani secara tidak langsung menjadi pencegahan konversi sawah menjadi lahan sawit.

Loop-4: Lahan rawa yang sebelumnya dibuka untuk lahan pertanian, namun karena dukungan jaringan irigasi kurang memadai menjadi lahan bokor. Lahan seperti ini telah

banyak dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Sehingga luas lahan sawah yang dapat direvitalisasi juga semakin berkurang.

Loop-5: Produktivitas lahan yang baik tidak serta merta menghasilkan income yang menguntungkan bagi petani apabila tidak didukung akses jalan usaha tani yang baik dan kemudahan untuk menjual. Terwujudnya kesejahteraan petani akan memperkuat modal usaha tani sehingga produktivitas lahan lebih dari satu kali tanam dapat dicapai.

Loop-6: Kemampuan modal usaha juga akan mempermudah daya jangkau petani untuk memperoleh pupuk dan obat-obatan sehingga produktivitas lahan dapat ditingkatkan.

Loop-7: Ketersediaan modal usaha tani juga akan menambah kemampuan petani untuk mengerjakan lahan sawah yang lebih luas.

Selanjutnya causal loop diinput dalam aplikasi komputer Vensim dengan model sebagai berikut.

Populasi

Petani

Ketersediaan

Tenaga Kerja

+

Kesejahteraan

Petani

+

Lahan sawah yang

dikerjakan

Produktivitas

Lahan

Modal Usaha Tani

+

Harga Produk

Pertanian

+

Akses Distribusi

+

Indeks

Pertanaman

+

Luas Revitalisasi

Jaringan Irigasi

Kesuburan Lahan

+

+

Partisipasi petani+

Jumlah ProdukPertanian yang

dijual

+

Loop 1 (+)

Loop 5 (+)

Loop 7 (+)

Income Petani

Anggaran Pembangunan

dan Revitalisasi Irigasi Loop 2 (+)

Loop 6 (+)

+

+

+

Anggaran Revitalisasi

Jalan Usaha Tani

+

+

+

waktu

revitalisasi

+

+

+

Lahan terkonversi-

-

+

Loop 3 (-)

Pembeli dari luar

+

+

Lahan belum

termanfaatkan

-

+

Loop 4 (-)

Page 7: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

85

Gambar 6. Sub-Model Irigasi Sumber: Data Diolah, 2014

Gambar 7. Sub-Model Populasi Sumber: Data Diolah, 2014

Coverage Area

Irgs AwalCoverage Area

Irigasi Lengkappembangunan

Target area

1995

Lama konstruksi

saluran

Area Sisa

Target 1995

<Time>

Target area

peningkt irigs

Area sisa target

peningkatanLama

konstruksipeningkatan

Coverage area

irigasi total

Target Irigasi

Lengkap

fraksi swh ckp air thd

coverage area irgs awal

<Lahan Sawah>

Penyusutan coverage area

Laju

penyusutan

Laju penyusutan

minimum

eff pemelharaan

AKNOP

Realisasi

anggaran OP

f effpemeliharaan

Coverage Area Irigasi

Lengkap as design

peningkatan 1

penurunan kinerja

perceived

<Time>

Target

Rehabilitasi

Rehabilitasi

tambahan

target rehab

waktu

rehab

penurunan

kinerja

tunda waktu

perceived

realisasi

anggaran rehab

periode

rehab

peningkatan 2

<Time>

<Time>

Intervensi

Anggrn OP

IntervensiAnggrnRehab

Populasi

Kelahiran

Kematian

Migrasi

Masuk

Migrasi

Keluar

Angkatan

Kerja

Fraksi Angktn

Kerja

harapan hidup

pendapatan per

kapita

migrasinormal

<migrasi

normal>

eff pendapatan to

in-migrs

eff pendapatan to

out-migrs

eff lahan to

out-migrs

jumlah KK

lahan per KK

pop per

KK

eff lahan to

in-migrs

tingkat

kelahiran

lahan per KK

normal

lahan

pertanian

eff income to

health

f lahanin-migrs

f lahan outmig

pendapatn

perkapita normal

Luas lahan per

KK total

<Total

Pendapatan>

f income

f income to inmigrs<Time>

<Lahan Sawah>

<Lahan

Palawija>

<Lahan Blm

Dimnfatkn>

kaps tng krj

f income hh

lahan produktif

per KK

<Lahan Sawit>

rasio pendapatan

tenaga kerja non

pertanian

tenaga kerja

pertanian

rasio lahan

<rasio lahan>

jatah

hidup

<pendapatan per

kapita>

<Pendapatan dari

non pertanian>

init pop

init KK

<tenaga kerja

pertanian>lahan per naker

penghasilan per bulan

naker non pertanian

penghasilan petani

per bulan<Pendapatan dari

Pertanian>

pendapatan per

bulan per KK

Page 8: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

86

Gambar 8. Sub-Model Produksi

Sumber: Data Diolah, 2014

<Time>

produktivitas kebun

palawija rata2

f prod

kebun

Total

Pendapatan

<Lahan Sawah>

<Lahan

Palawija>

intensitas

penanaman 2

produkitvitas sawah

irigasi lengkap

produktivitas sawah

irigasi sederhana

hsl panen swh irgs

lengkap

hsl panen swh irgs

awal

intensitas

penanaman 1

harga gabah

pendapatan dari

sawah irigasi lengkap

pendapatan dari sawah

irigasi sederhana

harga gabah

normaleff aksesibilitas

efek pH balance thd

prodktvts swhefek pH balance

awal

<Coverage Area

Irgs Awal>

<Target area

1995>

total pendapatan

dari sawah

f coverage

area

hsl panen norml

swh 1

hsl panen norml

swh 2

<Coverage Area

Irigasi Lengkap>

<total pendapatan

dari sawit>

<Time>

eff jalan

<Coverage Area Irigasi

Lengkap as design>

Pendapatan

dari Pertanian

Pendapatan dari

non pertanian

total pendapatan

dari palawija

fraksi pendapatan

non pertanian

f nonpertanian

<Time>

<Time>f hasil padi

harga TBS

produktivitas sawit

pendapatan dari

sawit

total pendapatan

dari sawit

<Lahan

Sawit>

total pendapatan

dari karet

pendapatan dari

karet

harga karetproduktivitas karet

lahan sawit

produktf

cummulative

knowledge effectlearning tab

<Time>

<lahan per naker>

<lahan palawija

minimum>

<tenaga kerja

pertanian>

lahan palawija per

naker

<satuan tenaga

kerja sawah>

surplus lahan

efek ketersediaan

lahan

-

<utilisasi naker>efek ketersediaan

naker

tab naker tab lahan

Page 9: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

87

Gambar 9. Sub-Model Lahan

Sumber: Data Diolah, 2014

Tabel 2. Variabel dan asumsi yang digunakan dalam sub-model irigasi

No Variabel/parameter Nilai Dimensi 1 Area target tahun 1995 8000 ha 2 Target irigasi lengkap 3600 ha 3 Lama konstruksi saluran 1 tahun 4 Lama konstruksi peningkatan 2 tahun 5 Fraksi sawah cukup air 0.1 tanpa

dimensi 6 Laju penyusutan min untuk

umur bangunan 25 tahun 1/25 ha/tahun

7 Periode rehab 5 tahun 8 Waktu rehab 1 tahun 9 Waktu delay penurunan

kinerja 1 tahun

10 Anggaran OP Irigasi akan maks apabila AKNOP = 1

1 tanpa dimensi

Sumber: Data Diolah, (2014)

Tabel 3. Variabel dan asumsi yang digunakan dalam sub-model populasi

No Variabel/parameter Nilai Dimensi

1 Migrasi normal 0.03 tanpa dimensi

2 Initial KK: Untuk 8000 ha, setiap KK memperoleh 1 ha kebun, 1 ha sawah, 0.25 ha pemukiman dan pekarangan

8000/2.25 tanpa dimensi

3 Initial populasi: Transmigran awal rata-rata mempunyai 1 orang anak

8000/2.25 tanpa dimensi

4 Populasi per KK 3.75 orang

5 Tingkat kelahiran 0.03 per tahun

6 Fraksi angkatan kerja 1/3 tanpa dimensi

7 Pendapatan per kapita normal: 2 kali UMR / 5 org

7.600.000 rupiah

8 Lahan per KK normal 2 ha

Sumber: Data Diolah, (2014)

Tabel 4. Variabel dan asumsi yang digunakan dalam

sub-model produksi No Variabel/parameter Nilai Dimensi

1 Intensitas penanaman I : Diasumsikan lahan di luar area irigasi lengkap, sawah tadah hujan dan varietas padi rawa lokal intensitas tanam 1x/thn. Masa tanam sekitar 6-8 bulan. Setelah panen diberokan sampai menjelang musim tanam berikutnya saat musim hujan

1 per tahun

2 Intensitas penanaman II 2 per tahun

3 Hasil panen normal sawah I: 35 kali 5 kaleng (1 kaleng =13 kg)

3000 kg

4 Hasil panen normal sawah II: Naik dari 4 ton ke 7 ton (tahun 2014)

7000 kg

5 Efek pH balance awal: Prod padi pH awal = 1 ton, produktivitas padi normal= 3 ton

1/3 tanpa dimensi

6 Efek pH balance terhadap tanpa

Lahan

Sawah

Lahan

PalawijaLahan

BukaanLahan Blm

Dimnfatkn

Lahan

Pemukiman

pembukaan

kebun baru

Pembukn sawah

barukonversi sawah

konversi kebun

tambahan

pemukiman

pembersihanlahan

wkt pembersihn

luas sawah yg

diharapkn

luas sawah

subsisten

satuan tenaga

kerja sawah

gap sawah

kebtuhn pangan

<Populasi>

kebtuhn pangan

per kapita

wkt buka sawah

satuan tenaga kerja

palawija

pot pembukn kebun

dari tenaga krj

wkt buka kebun

lahan

sawah pot

sawah kurang air

wkt konversi

<Coverage area

irigasi total>

Lahan

Sawitkebun

sawit baru

wkt konversi

kebun

konversi swh ke

palawija

wkt konvers

wkt mulaisawit

<Time>

<hsl panen norml

swh 1>

<Lahan Sawah>

lahan palawija

minimum

<tenaga kerja

pertanian>

<tenaga kerja

pertanian>

<jumlah KK>

kebutuhan lahan

pemukiman

kebutuhan tambahan

lahan pemukiman

satuan lahan

pemukiman

waktu pengalihan

<Lahan Sawit>

<init KK>

<Populasi>

penggunaan tenaga

kerja sawit

satuan tenaga

kerja sawit

penggunaan tenaga

kerja sawah

<satuan tenaga

kerja sawah>

penggunaan tenaga

kerja palawija

<Time>

f naker sawah

naker used

utilisasi naker

<penggunaan tenaga

kerja sawit>

<cummulative

knowledge effect>

<cummulative

knowledge effect>

utilisasi naker danketersediaan lahan jadi

penentu

<efek ketersediaan

lahan>

<efek ketersediaan

naker>

<efek ketersediaan

naker>

Page 10: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

88

produktivitas sawah: Melalui aktivitas flushing seiring dengan ritme tanam padi, konsentrasi pirit berkurang hingga pH menjadi relatif balance setelah 10 tahun. Produktivitas padi bergerak dari 1 ton/ hektar sampai normal 2275 kg/ hektar

dimensi

7 Efek jalan maksimal = 1 Kondisi saat ini (tahun 2014) belum maksimal

0.8 tanpa dimensi

8 Harga gabah normal 4000 rupiah/kg

9 Produktivitas karet: Dengan harga 7000/kg bisa memperoleh 3 juta/bulan

428 x 12

Rupiah/kg/ tahun

10 Produktivitas sawit: 1.2 ton x 2 kali panen x 12 bulan Harga sawit 1200/kg

2880 Rupiah/kg/ tahun

Sumber: Data Diolah, (2014)

Tabel 5. Variabel dan asumsi yang digunakan dalam

sub-model lahan No Variabel/parameter Nilai Dimensi

1 Lahan bukaan: 8000-Lahan Pemukiman-Lahan Palawija

ha

2 Waktu pembersihan 3 tahun

3 Waktu pembukaan kebun 1 tahun

4 Satuan tenaga kerja palawija 0.57 ha/org

5 Satuan lahan permukiman 0.05 ha/kk

6 Satuan tenaga kerja sawah: Tradisional = 0.57; dengan mekanisasi =1

0.57 1

ha/org

7 Waktu pengalihan 1 tahun

8 Waktu mulai kebun sawit 2002 tahun

9 Waktu konversi sawah ke sawit: 5/cummulative knowledge effect

tahun

11 Waktu konversi sawah ke palawija 2 tahun

12 Kebutuhan pangan (beras) per kapita

104.28 kg/org /thn

13 Luas sawah subsisten: Kebutuhan pangan/(hasil panen normal swh*0.7). Rendemen beras = 70% dari gabah

ha

14 Faktor tenaga kerja sawah tahun 2015

1 tanpa dimensi

15 Cummulative knowledge effect: Efek peningkatan pengetahuan petani yang mempengaruhi keinginan konversi ke sawit

1980=0.01 2002=0.03 2010=0.9 2015=1 2030=1

tanpa dimensi

16 Lahan permukiman: Tiap KK transmigran mendapat 0.25 ha untuk rumah dan pekarangan. Diasumsikan rumah dan halaman 0.1 ha, untuk tanaman pekarangan 0.15 ha masuk di kategori lahan palawija

ha

Sumber: Data Diolah, (2014)

Pemodelan Kondisi Eksisting Siak Kiri

Pembukaan rawa sudah dilakukan sejak tahun 1980, namun sampai tahun 1994 belum

optimal (Gambar 10). Pola penanaman padi adalah di antara tungggul kayu yang dipotong. Berarti lahan yang dibuka belum berbentuk petakan sawah, hanya sebatas lahan ladang yang ditanami padi. Peningkatan luas lahan signifikan baru terjadi dengan dibentuknya petak-petak sawah pada tahun 1995. Di sisi lain lahan palawija (jagung, ubi, dan kacang-kacangan) yang awal-awal dibuka cukup luas mengalami trend penurunan seiring dengan peningkatan lahan sawah. Lahan palawija ditanam pada lahan non sawah, sedangkan lahan ladang ditanam pada lahan sawah.

Gambar 10. Model Pemanfaatan Lahan 1980 – 2014 Sumber: Hasil Analisis, 2014

Tahun 2005 luas lahan sawah kembali meningkat signifikan lagi seiring dengan dibuatnya saluran-saluran baru dari catchment area (hutan), penyediaan pintu-pintu air, pembangunan tanggul dan jalan usaha tani. Peningkatan produktivitas lahan sampai 7 ton per hektar mulai terjadi pada tahun 2008. Harga gabah juga cukup menguntungkan (Rp.4000 per kg), karena akses jalan sudah mudah dilalui. Efeknya mendorong minat petani untuk menanam padi sampai saat ini.

Perkembangan kelapa sawit yang diperkenalkan tahun 1995 oleh pendatang, baru mulai marak terjadi tahun 2002. Model di atas juga memperlihatkan bahwa perkembangan sawit saat ini sudah sangat pesat terlihat dari luas sawit yang berada di atas sawah. Hal ini berarti sudah cukup banyak lahan yang pada awalnya sawah dialihfungsikan. Dampak perkembangan sawit ini juga menyebabkan hampir tidak ada lagi lahan yang belum termanfaatkan.

Pemanfaatan Lahan

5,000

3,750

2,500

1,250

0

1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 2008 2012

Time (Year)

ha

Lahan Sawah : Kondisi-Eksisting

Lahan Sawit : Kondisi-Eksisting

Lahan Palawija : Kondisi-Eksisting

Lahan Blm Dimnfatkn : Kondisi-Eksisting

Page 11: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

89

Gambar 11. Model Luas Layanan Irigasi Eksisting

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Dari area terlayani irigasi juga mengindikasikan hal yang sama dengan dinamika pemanfaatan lahan (Gambar 11). Program ISDP (1995-2002) sudah dibangun saluran irigasi dan pintu-pintu air. Luas lahan yang direvitalisasi hanya seluas 8000 hektar, sementara luas semula 13.667 hektar.

Tahun 2002 sampai sekarang, program revitalisasi jaringan irigasi semakin menurun jauh dari potensi lahan yang ada. Sebagai gambaran tahun 2014, dari luas yang direncanakan 3.426 hektar, hanya terealisasi sekitar 2.460 hektar karena keterbatasan anggaran pemerintah. Sebaliknya justru semakin meningkat alih fungsi lahan. Kebijakan yang ditempuh selama ini hanya sekedar upaya mengoptimalkan daerah irigasi rawa eksisting yang masih produktif. Itu juga hanya mampu meng-cover kurang lebih 50%.

Kebijakan revitalisasi atau pemeliharaan jaringan irigasi hanya pada areal produktif saja kontraproduktif dengan upaya mempertahankan eksistensi lahan sawah dari tekanan alih fungsi. Pada saat lahan tidak terjangkau air karena faktor tidak optimalnya fungsi saluran irigasi, maka sangat rentan diganti menjadi lahan sawit. Semakin tertunda revitalisasi dan pemeliharaan, semakin cepat juga lahan dialihfungsikan.

Model Business as Usual (BAU)

Gambar 12. Ketersediaan Lahan dengan Model BAU

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Gambar 12 dengan asumsi business as usual atau tidak ada intervensi kebijakan yang dilakukan, menunjukkan apabila kebijakan yang saat ini tetap akan dipertahankan, maka dapat dilihat pola perilaku penurunan luas lahan sawah dan peningkatan yang sangat signifikan dari perkebunan sawit. Lahan yang kosong sudah habis terkonversi menjadi sawit.

Gambar 13. Model Area Irigasi dengan Model BAU

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Pada Gambar 13, trend penurunan luas areal irigasi menunjukkan penurunan apabila revitalisasi hanya dilakukan pada lahan produktif saja. Lahan-lahan yang potensial yang belum terkonversi tidak direvitalisasi, saluran yang tidak dipelihara, pintu-pintu yang rusak tidak diganti, maka pemanfaatan menjadi perkebunan sawit semakin cepat.

Dengan pola kebijakan seperti ini juga akan berdampak pada penurunan luas areal irigasi produktif. Model BAU tersebut menunjukkan kemungkinan penurunan luas areal beririgasi sampai di bawah 2.000 hektar di tahun 2030 nanti. Padahal apabila revitalisasi

Area Terlayani Irigasi

8,000

6,000

4,000

2,000

0

1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 2008 2012

Time (Year)

ha

Coverage Area Irgs Awal : Kondisi-Eksisting

Coverage Area Irigasi Lengkap : Kondisi-Eksisting

Coverage Area Irigasi Lengkap as design : Kondisi-Eksisting

Pemanfaatan Lahan

5,000

3,750

2,500

1,250

0

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

Time (Year)

ha

Lahan Sawah : BAU

Lahan Sawit : BAU

Lahan Palawija : BAU

Lahan Blm Dimnfatkn : BAU

Area Terlayani Irigasi

8,000

6,000

4,000

2,000

0

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

Time (Year)

ha

Coverage Area Irgs Awal : BAU

Coverage Area Irigasi Lengkap : BAU

Coverage Area Irigasi Lengkap as design : BAU

Page 12: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

90

berdasarkan luas areal desain tahun 2002, luas areal beririgasi baik bisa mendekati 4.000 hektar.

Intervensi Kebijakan Revitalisasi dan Akses Jalan Usaha Tani • Skenario-1: dana revitalisasi ditambah

menjadi 80% berdasarkan luas coverage irigasi lengkap (eksisting)

• Skenario-2: dana revitalisasi ditambah menjadi 100% berdasarkan luas coverage as design 2002

• Skenario-3: skenario 2 ditambah dengan peningkatan akses jalan menjadi 100%.

Skenario-1

Pada skenario pertama diasumsikan terjadi peningkatan anggaran revitalisasi irigasi rawa sebesar 80% terhadap luas aral irigasi yang masih produktif (lengkap) eksisting, namun kondisi akses jalan belum maksimal (efek akses hanya 80%). Dari hasil simulasi terlihat terjadi perubahan trend luas lahan sawah yang meningkat cukup signifikan apabila dibanding dengan model sebelumnya (BAU).

Gambar 14. Model dengan Skenario Kebijakan

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Terjadi peningkatan luas sawah pada tahun 2030 sebesar 476 hektar. Sebaliknya dengan peningkatan luas sawah, maka terjadi trend penurunan luas kebun kepala sawit yang signifikan sebesar 454 hektar (Gambar 14). Artinya, ketersediaan air yang direpresentasikan oleh kinerja jaringan irigasi yang baik sangat sensitif mempengaruhi minat dan motivasi petani mengembangkan pertanian sawah. Dengan kebijakan ini juga luas areal irigasi bisa meningkat 537 hektar pada tahun 2030.

Skenario-2

Intervensi kebijakan diasumsikan dengan peningkatan anggaran revitalisasi mencapai 100% dan berdasarkan luas areal irigasi desain awal (luas areal yang sudah ditingkatkan pada tahun 2002). Dari hasil simulasi terlihat trend peningkatan lebih tinggi lagi pada luas areal sawah yang digarap sebesar 594 hektar dan diikuti trend penurunan luas areal sawit sebesar 689 ha. Berarti salah satu upaya yang efektif yang bisa dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempertahankan eksistensi irigasi pasang surut dari alih fungsi lahan adalah Kebijakan Revitalisasi Jaringan Irigasi pada Lahan-Lahan Potensial dan Lahan Bongkor atau Tidak Produktif.

Kebijakan seperti ini akan mendorong minat petani untuk mengembangkan pertanian pasang surut. Dari gambar coverage area terlayani (Gambar 14) juga menunjukkan bahwa luas terlayani akan jauh lebih banyak apabila menerapkan kebijakan dengan skenario kedua ini.

Skenario-3

Skenario ketiga diasumsikan skenario kedua ditambah dengan perbaikan akses jalan ke lokasi (akses jalan usaha tani), dengan pemberian

Area Terlayani Irigasi

4,000

3,000

2,000

1,000

0

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

Time (Year)

ha

Coverage Area Irigasi Lengkap : BAU

Coverage Area Irigasi Lengkap : Skenario-1

Coverage Area Irigasi Lengkap : Skenario-2

Coverage Area Irigasi Lengkap : Skenario-3

Lahan Sawah

3,500

2,625

1,750

875

0

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

Time (Year)

ha

Lahan Sawah : BAU

Lahan Sawah : Skenario-1

Lahan Sawah : Skenario-2

Lahan Sawah : Skenario-3

Lahan Sawit

5,000

3,750

2,500

1,250

0

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

Time (Year)

ha

Lahan Sawit : BAU

Lahan Sawit : Skenario-1

Lahan Sawit : Skenario-2

Lahan Sawit : Skenario-3

Page 13: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

91

efek akses menjadi 100%. Pada gambar causal loop terlihat kaitan antara harga gabah dengan akses transportasi. Semakin baik akses jalan, semakin mudah pembeli datang dan semakin baik harga jual yang bisa diterima oleh petani.

Saat ini kondisi akses jalan usaha tani sudah cukup memadai (efek akses 80%). Dari hasil simulasi terlihat perubahan perilaku grafik terjadi peningkatan namun tidak terlalu signifikan. Misalnya untuk lahan sawah terjadi peningkatan luas lahan sekitar 7 ha dan penurunan luas lahan sawit 17 hektar. Perbaikan akses jalan adalah faktor kedua yang paling penting dilakukan oleh Kementerian PUPR.

Skenario-4

Gambar 15. Model Skenario Kebijakan Harga Gabah

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Pada skenario keempat (Gambar 15) terlihat bahwa aksesibilitas sangat mempengaruhi harga gabah. Harga gabah yang tinggi akan mendorong minat petani untuk beralih ke lahan sawah. Disamping upaya perbaikan akses jalan oleh Kementerian PUPR, menjaga harga gabah juga bisa diintervensi pemerintah. Pada skenario ketiga harga gabah per kilogram adalah Rp.3500, sesuai kondisi saat ini. Apabila pemerintah bisa

mendorong harga gabah mencapai Rp.4000 per kilogram, maka akan terjadi peningkatan luas areal sawah yang dapat dikerjakan petani sebesar 50 hektar terhadap luas sawah pada skenario ketiga. Demikian halnya luas sawit, akan terjadi penurunan sebesar 23 hektar.

Gambar 16. Populasi dan Pendapatan Petani

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Populasi sangat erat kaitannya dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani. Dari Gambar 16 terlihat tren peningkatan populasi penduduk Siak dengan skenario-1 sampai dengan skenario-4 dan peningkatan pendapatan petani. Perbaikan jaringan irigasi, akses jalan dan harga gabah sangat menentukan motivasi petani bertahan pada pertanian irigasi pasang surut dan meningkatkan pendapatan petani.

Dari penelitian di Siak Kiri ini sedikit banyak bisa menjawab pertanyaan bahwa dari kurun waktu tahun 1980 sampai tahun 1995 (kurang lebih 15 tahun) relatif tidak ada progress yang signifikan dari program reklamasi rawa. Program ISDP (1995-2000) menjadi pintu masuk peningkatan jaringan irigasi rawa.

Lesson learned pertama yang bisa dipetik adalah pengembangan pertanian rawa memang membutuhkan waktu yang lama untuk pengolahan lahan layak ditanami dan untuk membuka akses masuk. Namun apabila pemerintah lebih concern untuk mengintensifkan program, waktu yang dibutuhkan akan bisa dipangkas lebih cepat.

Lesson learned kedua adalah terdapat dua faktor elementer yang mempengaruhi minat dan motivasi petani untuk tetap bertahan pada pertanian irigasi pasang surut, yaitu tersedianya air dan akses yang mudah dijangkau. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pilihan mengalihfungsikan

Lahan Sawah

3,500 ha

3,500 ha

1,750 ha

1,750 ha

0 ha

0 ha

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

Time (Year)

Lahan Sawah : BAU ha

Lahan Sawah : Skenario-1 ha

Lahan Sawah : Skenario-2 ha

Lahan Sawah : Skenario-3 ha

Lahan Sawah : Skenario-4 ha

Lahan Sawit

5,000 ha

6,000 ha

2,500 ha

3,000 ha

0 ha

0 ha

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

Time (Year)

Lahan Sawit : BAU ha

Lahan Sawit : Skenario-1 ha

Lahan Sawit : Skenario-2 ha

Lahan Sawit : Skenario-3 ha

Lahan Sawit : Skenario-4 ha

Populasi dan Pendapatan dari Sawah

35,000

500 B

17,500

250 B

0

0

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030

Time (Year)Populasi : Skenario-4

total pendapatan dari sawah : BAU

total pendapatan dari sawah : Skenario-1

total pendapatan dari sawah : Skenario-2

total pendapatan dari sawah : Skenario-3

total pendapatan dari sawah : Skenario-4

Page 14: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

92

lahan ke perkebunan yang lebih menguntungkan, menjadi realistis.

Lesson learned ketiga terkait dengan perkembangan kelapa sawit pada lahan-lahan produktif keengganan dan keterbatasan anggaran untuk merevitalisasi lahan dan jaringan irigasi potensial (tidak hanya lahan produktif) semakin mempercepat laju alih fungsi lahan. Oleh karena itu sangat dibutuhkan aturan yang jelas mengenai pemanfaatan lahan dan pembatasan alih fungsi lahan. Perda pembatasan alih fungsi lahan serta pemberian insentif bagi petani sawah sangat mendesak diterapkan.

KESIMPULAN

Maraknya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan perkebunan terjadi karena kebijakan pemerintah dalam melakukan revitalisasi atau pemeliharaan jaringan irigasi kurang tepat, hanya mengakomodasi luas efektif (produktif) yang setiap tahun terus menurun. Areal potensial atau yang terlanjur dialihfungsikan tidak ter-cover. Akses jalan usaha tani yang kurang memadai membuat harga jual produk pertanian menjadi rendah.

Dari hasil simulasi memperlihatkan eratnya hubungan antara kondisi jaringan irigasi dan kecukupan air dengan minat petani mengembangkan pertanian sawah pasang surut. Disamping itu harga jual gabah sangat erat kaitannya dengan kemudahan akses transportasi. Oleh sebab itu, kebijakan yang paling urgen yang harus dilakukan oleh Kementerian PU sesuai dengan tugasnya adalah revitalisasi (pemeliharaan dan rehabilitasi areal produktif dan potensial) secepat mungkin serta percepatan peningkatan akses jalan.

SARAN

Disamping kebijakan dari Kementerian PU, upaya pengembangan pertanian lahan rawa juga harus didukung kebijakan yang pro-petani seperti kemudahan memperoleh bibit unggul, kemudahan akses pupuk dan kemudahan memperoleh pinjaman bank.

Kebijakan preventif pembatasan alih fungsi lahan dengan penerapan Perda sangat perlu dilakukan demi mempertahankan keberadaan lahan pertanian, disamping tetap memperkuat kinerja jaringan irigasi dan akses jalan keluar-masuk.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Muhammad. 2014. Prospek Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Banjarbaru : Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.

Balai Wilayah Sungai Sumatera III. 2014. Peta Daerah Irigasi Rawa Siak Kiri. Pekanbaru

BSI. Busyra. Adri. Endrizal. 2014. Optimalisasi Lahan Sub Optimal Rawa Pasang Surut Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Peningkatan Idenk Pertanaman. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Palembang 2014. ISBN 979-587-529-9.

Forrester, Jay W., 1989. The Beginning of System Dynamics. Banquet Talk at The International Meeting of The System Dynamics Society. Jerman 13/07/1989.

Googlemaps. 2016. Peta Daerah Irigasi Rawa Siak Kiri.https://www.google.co.id/maps/place/Pekanbaru,+Pekanbaru+City,+Riau/@0.3393878,101.318778,10z/data=!4m5!3m4!1s0x31d5ab80690ee7b1:0x94dde92c3823dbe4!8m2!3d0.5070677!4d101.4477793?hl=en (diakses tanggal 14/10/2016).

Hidayat, Taufik. Nurmala, K. Pandjaitan. Arya Hadi Dharmawan. 2010. Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. Jurnal Sosiologi Pedesaan 4 (1). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Peraturan menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M/2010 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut. Jakarta

Kim, Daniel H. dan Lannon, Colleen, 1997. Applying Systems Archetypes. Pegasus.

Noor, Muhammad. 2012. Sejarah Reklamasi Rawa. Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan 4 April 2012. Bogor : Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan.

Panggabean, Elias Wijaya. 2014. Sistem Pengelolaan Irigasi Rawa Berkelanjutan. Prosiding Kolokium Strategi Penanganan Permasalahan Sosekling dalam Penyelenggaraan Infrastruktur PU dan Permukiman. Jakarta : Puslitbang Sosekling. Badan Litbang PU.

Panggabean, Elias Wijaya. 2015. Pengaruh Persepsi Petani terhadap Motivasi Mengembangkan Pertanian pada Irigasi

Page 15: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

93

Pasang Surut. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum. Vol.7 No. 2 juli 2015. Jakarta.

Puslitbang Sosekling. 2013. Pengembangan Potensi Rawa Berbasis Daya Dukung Masyarakat dan Lingkungan. Laporan Akhir. Jakarta : Puslitbang Sosekling. Badan Litbang PU.

Puslitbang Sosekling. 2014. Penyusunan Model Pengelolaan Teknologi Rawa Berkelanjutan. Laporan Akhir. Jakarta : Puslitbang Sosekling, Badan Litbang PU.

Riyani, Rita. Radian, Setia Budi. 2013. Pengaruh Berbagai Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Padi di Lahan Pasang Surut. Jurnal Sains Mahasiswa Pertanian 2 (2). UNTAN.

Sa'ad, Asmadi. Sabiham, Supiandi. Sutandi, Atang. Sumawinata, Basuki. Ardiansyah, M. 2010. Perubahan Penggunaan Lahan Pasang Surut Setelah Reklamasi Di Delta Berbak, Jambi. Jurnal Hidrolitan 1 (3)

Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization New York: Doubleday

Septiyani, Dewi. 2014. Para Transmigran Di Desa Rasau Jaya I Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat Tahun 1971-1979. Journal of Indonesian History 3 (1). Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Sterman, John D. 1981. Economic Vulnerability and The Energy Transition. Bahan Presentasi pada System Dynamics Research Conference Institute of Man and Science Tahun 1981, Rensselaerville, New York.

Supari. 2014. Sejarah Dampak El Nino di

Indonesia.https://www.researchgate.net/publication/287912080_Sejarah_Dampak_El-Nino_di_Indonesia (diakses 07/10/2016).

Suriadikarta, Didi A. 2012. Teknologi Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan 4 Mei 2012. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian..

World Bank, 2001. Integrated Swamps Development Project-ISDP. Implementation Completion Report.

Page 16: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

1

PROYEKSI DAYA DUKUNG LAHAN TERHADAP KEBUTUHAN RUMAH

DI KOTA TANGERANG SELATAN

Projection Power Neds To Suport Land House In The City Of South

Tangerang

Lia Yulia Iriani Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman

Badan Litbang Kementerian PUPR JL.Panyawungan Cileunyi Wetan,Kabupaten Bandung

Email: [email protected] ABSTRACT

South Tangerang city with an area of 147.19 km2, a total population of 1.40517 million inhabitants, the rate of growth of population of 3.63% per year. (BPS. 2014). This has resulted in an increase in the needs of housing, especially in urban areas, reaching 33,562 housing units. The highest number of backlog is in district of East Ciputat, 9,612 units as Pamulang 8,131 units, while for the smallest there is in Serpong amounting to 375 units. This condition requires a land, where the land use data in South Tangerang City mostly for housing and settlements are an area of 8.804.17 ha or 65.88% of 14.719 hectares. This raises problems of the city development is not balanced with the availability of land and high land prices. The Increased needs of the home, causing a decrease in the carrying capacity of the land. The research objective linkage mapping the housing needs of increasing the carrying capacity of the land. Descriptive research method through a case study approach and explanatory research draft, to analyze the relationship between one variable with another variable or how a variable affects the other variable. The expected results as policy recommendations for local authorities in the preparation of the development policy of housing and settlements.

Keywords: backlog , land, housing and settlement, policy, local governments

ABSTRAK

Kota Tangerang Selatan dengan luas 147,19 Km2, jumlah penduduk 1.405.170 jiwa, laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,63% /tahun. (BPS.2014). Hal ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan rumah terutama di perkotaan, mencapai 33.562 unit rumah. jumlah backlog tertinggi di Kecamatan Ciputat Timur sebanyak 9.612 unit, Kecamatan Pamulang 8.131 unit, sedangkan untuk backlog terkecil terdapat di Kecamatan Serpong yaitu 375 unit. Kondisi ini memerlukan lahan, dimana data penggunaan lahan di Kota Tangerang Selatan sebagian besar adalah untuk perumahan dan permukiman yaitu seluas 8.804.17 Ha atau 65,88 % dari 14.719 Ha. Hal ini menimbulkan permasalahan yaitu perkembangan kota yang tidak seimbang dengan ketersediaan lahan dan harga lahan yang tinggi. Peningkatan kebutuhan rumah, menyebabkan penurunan daya dukung lahan. Tujuan penelitian memetakan keterkaitan kebutuhan rumah yang semakin meningkat terhadap daya dukung lahan, Metode penelitian secara deskriptif melalui pendekatan studi kasus (case study approach), rancangan penelitian eksplanatori, untuk menganalisis hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya. Hasil yang diharapkan sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan pengembangan perumahan dan permukiman.

Kata Kunci: Kebutuhan rumah, lahan, perumahan dan permukiman, kebijakan, pemerintah daerah

PENDAHULUAN

Wilayah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dengan luas 147,19 Km2 posisi 1600 14’ – 1600 22’ BT, 60 39’ – 60 47’ batas admisitrasi, Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang, Sebelah Timur Provinsi DKI dan Kota Depok. Sebelah Selatan

Kabupaten Bogor dan Kota Depok, Sebelah Barat Kabupaten Tangerang. Wilayah terluas di Kota Tanggerang Selatan adalah Kecamatan Pondok Aren yaitu 2.988 Ha atau 20,30% dan luas yang paling kecil adalah Kecamatan Setu yaitu 1.480 Ha atau 10,06%. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2011-2031, pola pemanfaatan ruang terbagi dua yaitu kawasan lindung yang tidak diperbolehkan

Page 17: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

2

adanya bangunan dan kawasan budidaya, diperuntukkan sebagai kawasan terbangun termasuk untuk permukiman.

Pertumbuhan penduduknya sebesar 3,63% dalam satu tahun bertambah 48.594 jiwa (BPS, 2014). Hal ini mengakibatkan kebutuhan ruang semakin tidak terbatas, aktivitas masyarakat dari aspek ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan lainnya, berdampak pada meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan dan kebutuhan rumah.

Kebutuhan rumah di Kota Tangerang Selatan berhubungan dengan daya dukung lahan, mengandung dua komponen utama, yaitu ketersediaan potensi sumberdaya alam dan daya tampung lingkungan (Silalahi, 2011).

Sehubungan hal tersebut perkembangan perumahan di lokasi ini sangat pesat, selain didukung letak geografis DKI Jakarta, juga kebijakan pemerintah daerah kepada beberapa pengembang swasta yang turut mengembangkan Kota Tangerang Selatan yaitu Bumi Serpong Damai, Alam Sutra, Bintaro, Agung Sedayu Group, Bukit Serpong Mas, Paradise Serpong City.

Kebijakan pengembangan tersebut berhubungan dengan fisik tata guna lahan berupa pola ekstensifikasi terdapat di daerah pinggiran dan intensifikasi di daerah yang menjadi pusat kegiatan. (Supriadi, 2015).

Peruntukan lahan berdasarkan RTRW Kota Tangerang Selatan yaitu Perda No.15 tahun 2011, pola ruang untuk kawasan budidaya yang diarahkan adalah perumahan kepadatan rendah di Kecamatan Setu (158 jiwa/Ha) dan kepadatan tinggi, Kecamatan Serpong dan Ciputat Timur (303 jiwa/Ha).

Penggunaan lahannya sebagian besar untuk perumahan dan permukiman yaitu seluas 8.804.17 Ha atau 65,88 % dari 14.719 Ha. Kebun dan ladang menempati posisi kedua terluas dengan 2.126.11 Ha atau 14,44%.

Identifikasi Masalah

Pernyataan masalah (problem statement) dalam penelitian ini adalah kondisi kebutuhan rumah (backlog) yang terus meningkat , disebabkan oleh pertambahan penduduk sebesar 3.63 % per

tahun, perkembangan kota yang tidak seimbang dengan ketersediaan

lahan dan harga lahan yang tinggi dan peningkatan kebutuhan rumah, menyebabkan penurunan daya dukung lahan.

Pertanyaan penelitiannya adalah bagaimana backlog rumah berpengaruh terhadap daya dukung lahan di Kota Tangerang Selatan

Tujuan penelitian memetakan keterkaitan kebutuhan rumah yang semakin meningkat terhadap daya dukung lahan. Sasaran peneltian adalah terintegrasinya pemenuhan kebutuhan rumah (backlog) berdasarkan daya dukung lahan sebagai masukan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Kawasan Per-mukiman (RP3KP) Kota Tangerang Selatan.

Kebijakan Penyediaan Lahan

Kota Tangsel termasuk Wilayah Kerja Pembangunan (WKP) 1, meliputi kegiatan perumahan dan permukiman. industri, jasa, perdagangan, pertanian dan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Kebijakan pembangunan dan pengembangan Perumahan dalam peningkatan kualitas Rumah dan lingkungan sesuai pemanfaatan ruang adalah secara vertikal dan horizontal (Perda No.03 Tahun 2014).

Berdasarkan data penggunaan lahan di Kota Tangerang Selatan sebagian besar adalah untuk perumahan dan permukiman yaitu seluas 8.804.17 Ha atau 65,88 % dari 14.719 Ha. Kebun dan ladang menempati posisi kedua terluas dengan 2.126.11 Ha atau 14,44%. Data secara lengkap tercantum pada tabel 1.

Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan 1.405.170 jiwa terdapat 984,101 jiwa atau 70,03% merupakan penduduk usia kerja (PUK). Dari jumlah tersebut 638.659 jiwa diantaranya atau hampir 64,90% merupakan angkatan kerja . Laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,63% /tahun. (BPS, 2014).

Mata pencaharian masyarakatnya adalah pada sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13,24%, pengangkutan dan komunikasi 10,46 %, sektor bangunan 9,91 %, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 7,87 %, sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 7,60% dan sektor jasa sebesar 7,58 %. Secara lengap tercantum pada diagram 1.

Page 18: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

3

Tabel.1 Penggunaan Lahan Di Kota Tangerang Selatan

Jenis

Penggunaan

Lahan

Kecamatan

Jumlah Ciputat

Ciputat

Timur Pamulang

Pondok

Aren Serpong

Serpong

Utara Setu

Bandar Udara

Khusus - - 123,81 - - - - 123,81

Danau/Situ 0,53 28,31 34,26 6,50 27,24 12,88 18,02 127,74

Industri - 32,34 28,78 - 17,68 135,04 141,32 355,16

Kawasan

Pertahanan

dan Keamanan

- - - - 22,41 51,65 - 74,06

Kawasan

PUSPIPTEK - - - - - - 314,14 314,14

Kebun/Ladang 430,27 139,96 398,20 607,18 618,90 332,68 133,18 2.660,37

Pariwisata - - 50,73 - 32,74 206,86 - 290,33

Pendidikan - 13,72 - 41,56 - - 27,02 82,30

Perdagangan

dan Jasa 47,57 150,63 102,93 116,30 145,42 62,11 21,25 646,21

Permukiman

Kepadatan

Rendah

392,21 362,86 690,58 629,30 953,48 861,24 289,00 4.178,67

Permukiman

Kepadatan

Sedang

1.143,36 925,58 1.239,55 1.551,84 938,86 547,71 404,72 6.751,62

Sawah 120,34 88,34 121,71 30,69 46,16 2,88 68,69 478,81

Semak, Belukar 17,31 69,76 111,66 43,72 131,89 23,42 104,73 502,49

Tambak 3,77 3,55 23,87 2,98 0,98 11,50 33,65 80,30

Tanah Kosong 131,03 96,81 149,49 222,13 99,55 107,88 216,50 1.023,39

Jumlah 2.286,39 1.911,86 3.075,57 3.252,20 3.035,31 2.355,85 1.772,22 17.689,40

Sumber : RTRW Kota TangSel, 2011

Kebutuhan Rumah Saat Ini ( Backlog )

Hasil perhitungan backlog rumah di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2014 adalah mencapai 33.562 unit rumah. jumlah backlog rumah tertinggi di Kecamatan Ciputat Timur sebanyak 9.612 unit, Kecamatan Pamulang 8.131 unit sedangkan untuk backlog terkecil terdapat di Kecamatan Serpong yaitu 375 unit.

Hal ini karena terbatasnya luas lahan dan harga lahan tinggi, berpengaruh pada keterjangkauan masyarakat. Secara lengkap tercantum pada gambar 1.

Kebijakan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan adalah untuk membantu agar masyarakat dapat betempat tinggal secara layak dan melindungi

Page 19: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

4

0 20000 40000 60000

Aparatur Kelurahan

Industri rakyat

TNI & POLRI

Pensiunan (PNS, TNI & POLRI)

Petani

Pertukangan

Pengangguran

Buruh Industri

Buruh Tani

PNS

Pedagang Aparatur Kelurahan

Industri rakyat

TNI & POLRI

Pensiunan (PNS, TNI & POLRI)

Petani

Pertukangan

Pengangguran

Buruh Industri

Buruh Tani

PNS

Pedagang

0

5.000

10.000

Setu

Serp

on

g

Pam

ula

ng

Cip

uta

t

Ciputat…

Pondok…

Serpong…

1.320375

8.131

5.167

9.612

6.734

2.223

serta meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungannya.

Diagram 1. Mata Pencaharian Sumber : Dinas TKBP Kota Tangsel, 2014

Gambar 1. Grafik Backlog Kota Tangerang

Selatan

Sumber : Dinas TKBP Kota Tangsel, 2014

Kebijakan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan adalah untuk membantu agar masyarakat dapat betempat tinggal secara layak dan melindungi serta meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungannya.

Kebijakan ini dilatar belakangi dengan semakin meningkatnya permukiman kumuh di perkotaan yaitu dari 54000 Ha tahun 2004 menjadi 57.88 ,Ha tahun 2009. Kondisi kawasan kumuh perkotaan 37.407 Ha, dengan jumlah kekurangan rumah (backlog) mengalami peningkatan dari 7,4 juta unit pada akhir tahun

2009 menjadi 13, 5 juta pada akhir tahun 2014. (Ditjen CK, 2015).

Teori

Pengertian Daya dukung lahan merupakan penggunaan tanah dan data populasi yang sistematis, seluruh aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup membutuhkan ruang. Ada dua variabel dalam melakukan analisis daya dukung lahan yaitu potensi lahan yang tersedia termasuk luas lahan dan jumlah penduduk. (Bellemare, 2012).

Daya dukung lahan merupakan salah satu permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan rumah khususnya bagi MBR. Hal ini berkaitan dengan keterjangkauan daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan papan dan keterbatasan lahan apalagi di perkotaan (Syarif, 2011).

Ada enam sektor yang saling berhubungan dalam pemenuhan kebutuhan rumah di perkotaan yang harus ditangani pemerintah yaitu daya dukung lahan, infrastruktur, lingkungan, fasilitas umum, fasilitas sosial dan pembangunan ekonomi (Nurmadi, 2006).

Setiap tahun jumlah permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 ribu, dengan kemampuan membangun hanya 200.000, sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap tahun jumlah backlog meningkat sebanyak 700.000, hal ini berkaitan dengan berbagai aspek diantaranya daya dukung lahan (Prayitno, 2012).

Daya dukung lahan dalam pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR, terkait aspek pengelolaan pasar tanah, pembangunan infrastruktur dan peengembangan ekonomi (Limbong, 2013). Hal ini dimaksudkan penyediaan rumah didukung oleh kemampuan daya dukung lahan, yang berpengaruh diantaranya terhadap kegiatan ekonomi dimana tanah tersebut berada akan menentukan perkembangan harga pasar dan harga rumah itu sendiri.

Daya dukung lahan dalam menunjang penyediaan kebutuhan permukiman harus mempertimbangkan kestabilan pondasi, drainase, ketersediaan air tanah, kerentanan bencana ( Prilia, 2012).

Selain itu terdapat sepuluh parameter penentu kelas kesesuaian lahan untuk permukiman yaitu lereng, posisi jalur patahan, daya dukung lahan, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, sistem drainase, kedalaman air

Page 20: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

5

tanah, erosi, bahaya longsor, banjir. (Samsidar yulianti,etc. 2012. 5 ).

METODE PENELITIAN

Penelitian yang digunakan melalui pendekatan studi kasus (case study approach) yaitu Kota Tangerang Selatan Prov.Banten. Rancangan penelitian yaitu penelitian eksplanatori. Dimana pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan-hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya (Sugiyono, 2014).

Adapun variabel-variabel dibatasi sebagai berikut :

a. Daya dukung lahan (potensi lahan yang tersedia termasuk luas lahan dan jumlah penduduk

b. Kebutuhan rumah ( backlog), infrastruktur, lingkungan, fasilitas umum, fasilitas sosial dan pembangunan ekonomi).

Kedua variabel tersebut dikaji melalui pendekatan holistic approach, yang secara diagramatis, dapat terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pendekatan Studi Pengaruh backlog terhadap daya dukung lahan

Sumber : hasil analisis, 2016

Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dan informasi melalui:

a. Studi Literatur dan Survei Sekunder

Studi literatur dan survei sekunder merupakan kegiatan kajian literatur hasil litbang terkait penyediaan perumahan dan daya dukung lahan dan dari sumber lainnya.

Berdasarkan data sekunder terdapat hubungan variabel antara daya dukung lahan dengan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan

rumah. (Fitriansyah,2014). Hasil analisis daya dukung lahan berpengaruh secara signifikan terhadap struktur dan pertumbuhan ekonomi sebesar 27,67 %, kebutuhan rumah 36,33 %, sektor pertanian 18,28 %, sektor perdagangan 12,60 % dan sektor jasa-jasa sebesar 08,12 %, khususnya di Kab. Boyolali (Nur, 2013). Aspek kebijakan pemerintah dalam hal implementasi daya dukung lahan berpengaruh terhadap penyelesaian jumlah kekurangan rumah atau backlog. (Yulia, 2011).

Referensi yang diprioritaskan yaitu kajian mengenai definisi daya dukung lahan, aspek yang mempengaruhinya, indikator backlog, kebijakan penyediaan permukiman bagi MBR, kewenangan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan rumah dan data sekunder lainnya. b. Pengamatan langsung melalui survey

lapangan.

Kebijakan penyediaan lahan untuk perumahan bagi MBR sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Strategis dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) , koordinasi antar instansi terkait, data ketersediaan rumah tangga, data perkembangan penduduk dan kebutuhan rumah. kendala dan permasalahan .

c. Wawancara mendalam (in-depth interview)

Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi dari berbagai pihak, terkait instansi dan stakeholders yang berwenang menerapkan kebijakan penyediaan kebutuhan rumah untuk MBR di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten yaitu Dinas Tata Kota Bangunan dan Permukiman (2014), Bappeda, Badan Pertanahan nasional, Badan Keuangan dan Perbendaharaan Aset Daerah (BKPAD), Dinas PU Cipta Karya (2015), Perumnas.

Wawancara dan survei lapangan bertujuan untuk mendapatkan data instansional dan data lapangan terkait kebutuhan rumah dan kebijakan penyediaan lahan untuk MBR, faktor-faktor yang mempengaruhi backlog rumah yaitu pertambahan penduduk, kondisi rumah tangga, infrastruktur, fasilitas umum, fasilitas sosial. Dan data yang berhubungan dengan aspek daya dukung lahan serta faktor yang mempengaruhinya.

Analisis

Teknik analisis yang digunakan yaitu metode deskriptif. Metode ini akan

Page 21: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

6

Definisi -Daya dukung lahan

-Backlog

Hasil Litbang -kebijakan -aplikasi

Kondisi Existing di lokasi penelitian

Penentuan Indikator

Pengaruh daya dukung lahan terhadap kebutuhan rumah (backlog)

backlog

daya dukung lahan

menggambarkan secara mendalam tentang variabel keterkaitan antara kebutuhan rumah saat ini (backlog) dengan daya dukung lahan di Kota Tangerang Selatan.

Output yang diharapkan dari analisis ini adalah daftar indikator kebutuhan rumah yang berpengaruh terhadap daya dukung lahan

pembobotan melalui metode Analytical Network Process (ANP). (Bonnie, 2008).

ANP dipilih sebagai salah satu alat analisis karena indikator yang dibobotkan merupakan indikator yang saling berhubungan (dependence variable). Teknik Analisis tercantum pada gambar 3.

Gambar 3. Teknik Analisis

Sumber : Hasil analisis, 2016

Rumus perhitungan indikator yang saling mempengaruhi

N= jumlah sample

X1= indikator daya dukung lahan yaitu potensi lahan, luas lahan, lahan yang tidak diperbolehkan untuk dibangun an = indikator backlog yaitu jumlah rumah tangga dan jumlah rumah yang dimiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Lahan

Peruntukan lahan di Kota Tangerang Selatan 65,88 % untuk perumahan dan permukiman, terdapat lokasi lahan yang harus dilindungi dan tidak boleh dibangun yaitu kawasan konservasi, 500 m tepi waduk, 200 m

tepi mata air, 130 m pasang laut tertinggi dan terendah, 100 m tepi sungai, 50 m .

Berdasarkan aspek daya dukung lahan, luas terbangun Kota Tangerang Selatan mencapai kurang lebih 10.000 hektar. Bila dikomparasikan terhadap jumlah penduduk hingga tahun 2031 yaitu berkisar 3,6 juta jiwa maka dapat menampung penduduk kurang lebih 3 (tiga) juta jiwa. Hal ini melampaui standar daya tampung untuk pembangunan perumahan horizontal.

Daya dukung lahan dipengaruhi oleh jumlah rumah dan kepadatan penduduk terhadap kebutuhan perumahan, tercantum pada gambar berikut:

Page 22: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

7

17,76931,767

69,648

39,849

40,405

61,04332,45

292,931

Jumlah Rumah1 Setu 14,80

2 Serpong 24,04

3 Pamulang 26,82

4 Ciputat 18,38

19,089

32,142

77,779

45,016

50,017

67,77734,673

326,493

Jumlah KK1 KecamatanSetu 14,8068.235

2 KecamatanSerpong 24,04115.104

Gambar 4. Kepadatan Rumah Sumber : Dinas TKBP Kota Tangsel, 2014

Gambar 5. Jumlah Penduduk Kota Tangsel

Sumber : Dinas TKBP Kota Tangsel, 2014

Kondisi daya tampung sebagaimana tercantum pada gambar 3, tidak merata. Sehingga perlu direncanakan pencapaian daya tampung horizontal pada masing-masing kecamatan.

Apabila kebijakan Pemerintah Daerah Tangsel membangun penyediaan perumahan secara horizontal, sebagai salah satu solusi perlu ada penyebaran penduduk dari kecamatan padat ke wilayah kecamatan lainnya yang masih dapat menampung kelebihan jumlah penduduk tersebut. (Pusat Litbang Permukiman, 2015). Selain itu persepsi masyarakat terhadap kebutuhan rumah untuk tinggal di rumah horizontal masih terbatas . (Rosa Yulinda, 2015) .

Solusi lain berupa “penambahan” kapasitas daya tampung lahan dalam bentuk pengembangan perumahan vertikal, untuk lokasi yang padat penduduknya yaitu Kecamatan Pamulang, Pondok Aren, Ciputat Timur dan Serpong. Intensitas pembangunan

direncanakan mulai pada tahun 2023, 2024 dan 2025 sudah harus membangun secara vertikal. Sedangkan Kecamatan Serpong Utara, Ciputat dan Setu, secara berurutan pada tahun 2028, 2029 dan 2031 juga sudah harus membangun secara vertikal.

Kawasan yang tidak dapat dibangun perumahan

Kebijakan penyediaan perumahan berhubungan dengan lokasi yang tidak dapat dibangun yaitu kawasan lindung, meliputi sempadan sungai atau kali dan cagar budaya dengan luas kurang lebih 161,9 hektar. RTH mencapai jumlah sekitar 30 % terdiri dari RTH publik 20% dan RTH privat 10 %.

Kawasan Rawan Bencana Alam, meliputi rawan bencana banjir yaitu Kecamatan Pondok Aren, Kec. Ciputat, Kec. Pamulang.

Kawasan rawan bencana longsor, yaitu Kec. Pamulang, Kec.Setu Kec. Serpong dan Kec. Ciputat Timur.

Kawasan radiasi nuklir berpusat di kawasan Puspiptek Kecamatan Setu dengan sebaran radiasi meliputi seluruh wilayah kota dan sekitarnya. Pelaksanaan perlindungan kawasan ini diperlukan kerjasama dalam pengendalian pemanfaatan ruang oleh semua pemangku kepentingan di Kota Tangerang Selatan.

Pemenuhan Kebutuhan Rumah Layak Huni

Salah satu strategi pemenuhan kebutuhan rumah layak huni di Kota Tangerang Selatan berupa pengembangan kawasan perumahan baru pada areal tanah yang masih kosong baik yang dimiliki oleh pemerintah, swasta maupun lahan milik masyarakat.

Kebijakan konsep pengembangan rumah baru yaitu alokasi ruang untuk perumahan swadaya, perumahan formal, perumahan vertikal.

Potensi lahannya seluas 4.665,06 ha. dengan persebaran arahan permukiman di RTRW untuk kepadatan sedang berada di kecamatan serpong, kecamatan serpong utara, kecamatan setu. sedangkan untuk permukiman kepadatan tinggi berada di kecamatan pondok aren, kecamatan ciputat, kecamatan ciputat timur, kecamatan pamulang.

Penerapan strategi ini merupakan upaya meningkatkan kondisi rumah tidak layak huni atau rumah non permanen, strategi yang digunakan adalah pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau dengan

Page 23: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

8

menitikberatkan kepada masyarakat miskin dan berpendapatan rendah.

Selain hal tersebut diperlukan suatu kebijakan pengembangan sistem pembiayaan perumahan dan kawasan permukiman secara terpadu, yang menghubungkan seluruh komponen dan mekanisme pelaksanaan pembiayaan penyediaan kawasan dan pengadaan perumahan, meliputi : pengarahan pengumpuln dana, peran lembaga keuangan bidang perumahan dan kawasan permukiman.

Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya

Pada kawasan inilah permukiman dapat dikembangkan, akan tetapi melihat kondisi eksisiting di lokasi, tidak semua lahan budidaya dapat dikembangkan untuk permukiman. Hal ini dikarenakan banyak aktifitas yang sudah diterapkan, oleh karena itu dimasa yang akan datang pengembangan permukiman hanya dapat dilakukan pada lahan kosong yang sesuai untuk lahan perumahan.

Daya dukung air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kawasan budidaya, dan hingga tahun 2031 Kota Tangerang Selatan, dapat memenuhi kebutuhan air untuk jumlah penduduk hasil proyeksi daya tampung penduduk berdasarkan daya dukung cadangan air sebesar 7,1 juta jiwa.

Berdasarkan hal tersebut sebagai rekomendasi pengembangan kependudukan daya tampung Kota Tangerang Selatan dapat ditingkatkan dengan pengembangan vertikal sampai batas 7.100.000 jiwa atau setara dengan kepadatan 400 – 510 jiwa/ha.

Peningkatan Kualitas Perumahan dan Permukiman

Aspek penghasilan masyarakat Kota Tangerang Selatan 44,43%, menengah atas, 35,70% berpenghasilan rendah (MBR), dengan kondisi menyebar di setiap kecamatan. Kecamatan Ciputat merupakan MBR terbesar sebanyak 43,30% dan yang terendah berada di Kecamatan Serpong utara .

Jumlah masyarakat miskin sebanyak 19,87% atau 103.135 jiwa, yang paling tinggi berada di Kecamatan Setu 32,87% dan yang terendah berada di Kecamatan Pondok Aren sebesar 12,34%.

Dari data diatas diperlukan kebutuhan rumah berdasarkan segmentasi pendapatan.

Peningkatan kualitas permukiman yang mempengaruhi kebutuhan rumah di Kota

Tangerang Selatan, selain ditentukan berdasarkan aspek penghasilan masyarakat juga dipengaruhi oleh pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan pasar perumahan (pasar primer dan pasar sekunder),

Pelaksanaan kebijakan ini diaplikasikan melalui penyederhanaan perizinan, sertifikasi hak atas tanah, standarisasi penilaian kredit, dokumentasi kredit, dan pengkajian ulang peraturan perundang-undangan terkait, seperti tentang hak tanggungan dan pertanahan.

Pelembagaan pasar sekunder, diantaranya melalui upaya-upaya pelembagaan SMF (Secondary Mortgage Facilities), biro kedit, asuransi kredit, lembaga pelayanan dokumentasi kredit dan pemantapan lembaga sita jaminan.

Pengembangan pembangunan perumahan yang bertumpu kepada keswadayaan masyarakat meliputi, pelembagaan pembangunan perumah-an yang bertumpu pada kelompok masyarakat, pemberdayaan para pelaku kunci perumahan swadaya, pengembangan akses pembiayaan perumahan swadaya, melalui pengembangan pengaturan subsidi perumahan, subsidi pembiayaan perumahan, subsidi prasarana dan sarana dasar perumahan.

Kebaruan Hasil Penelitian ( novelty)

Hasil penelitian ini dalam penentuan kebaruan atau kemutakhiran ( state of the art) berdasarkan hasil kajian penelitian yang berhubungan dengan materi yang dikaji yaitu kepadatan penduduk berpengaruh terhadap daya dukung lahan perumahan khususnya untuk pulau-pulau kecil di lokasi penelitian sebesar 88,98 %. (Kuswara, 2013). Didalam mewujudkan kebutuhan rumah yang ramah lingkungan perlu didukung kebijakan tata guna lahan untuk peruntukan ruang terbuka hijau .(Handoko, 2011).

Daya dukung lahan dalam penyediaan perumahan untuk MBR perlu didukung kondisi masyarakat untuk berpartisifasi secara aktif sebagai subyek pembangunan. (Rianto, 2012). Dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR perlu mempertimbangkan faktor nilai tanah sesuai keterjangkauan, dimana harga tanah semakin meningkat terutama di perkotaan . ( Gabe, 2014).

Hal ini berhubungan dengan hasil analisis bahwa daya dukung lahan berdampak terhadap katalisator pembangunan perumahan dan

Page 24: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

9

ekonomi. (Mutaqi, 2012). Daya dukung lahan berpengaruh dalam penyediaan permukiman Rumah Kaki Seribu sebagai tempat tinggal Suku Arfak, Papua Barat merupakan bentuk kearifan lokal. (Putra, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis menyimpulkan bahwa daya dukung lahan berpengaruh terhadap kebutuhan rumah (backlog), secara lengkap tercantum pada gambar 6.

Gambar 6. Faktor yang Mempengaruhi Daya

Dukung Lahan

Sumber : Hasil analisis, 2016

Pengaruh Daya Dukung Lahan terhadap Kebutuhan Rumah (backlog)

Pemenuhan kebutuhan rumah terkait dengan pencapaian penyediaan kawasan permukiman yang layak huni. Hal ini berdampak kepada kebutuhan lahan dan ruang tempat tinggal semakin meningkat, dan ketersediaan lahan terbatas, dan adanya keinginan masyarakat untuk tinggal di dekat pusat-pusat kota.

Berdasarkan hasil analisis terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi daya dukung lahan , dalam pemenuhan kebutuhan rumah, sebagaimana tercantum pada gambar 5. Selain itu diperlukan keserasian antara pembangunan yang dilakukan dengan daya dukung fisik, sehingga dapat ditentukan kegiatan pembangun-an yang sesuai dengan daya dukung tersebut.

Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat indikator yang saling mempengaruhi antara daya dukung lahan dengan pemenuhan kebutuhan perumahan ( Prilia, 2012).

Tata guna lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya dukung, diperlukan adanya keserasian antara pembangunan yang dilakukan dengan daya dukung fisik. (Wulan Rian,etc.2015.73) Untuk mencapai keserasian tersebut, hal yang perlu dilakukan adalah mengetahui kemampuan daya dukung lingkungan fisik. Dengan diketahuinya daya dukung lingkungan fisik, maka dapat ditentukan juga kegiatan pembangunan yang sesuai dengan daya dukung kebutuhan perumahan khususnya bagi MBR (Nurdini,2011).

Daya dukung lahan diukur menurut kriteria ekologi, ekonomi, kepadatan permukiman,cagar alam, kepadatan penduduk, estetika (keindahan), rekreasi, psikologi (agar orang tetap tenang), ( Agusrianto, 2015).

Hasil litbang dan analisis data lapangan sebagai masukan dalam penentuan kebijakan penataan kawasan perumahan bagi seluruh golongan masyarakat dengan memanfaatkan lahan Secara proposional. Melalui pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan bebas kumuh.

Pengembangan Hunian Vertikal

Strategi ini merupakan salah satu bentuk penyediaan kebutuhan rumah bagi masyarakat Kota Tangerang Selatan melalui pengembangan hunian vertikal dengan memperhatikan daya dukung lahan, pertumbuhan penduduk, arah pembangunan permukiman secara bertahap mulai bergeser dari pola horizontal menjadi vertikal.

Alokasi ruang untuk rumah vertikal pada kawasan permukiman sebagaimana tercantum pada RTRW Kota Tangerang Selatan diperuntukkan sebagai kawasan permukiman dengan kepadatan tinggi, dengan kebijakan penempatan blok rumah susun luas lahan 4.500 m2 terdiri dari 3.000 m2 untuk lahan konstruksi bangunan dan 1.500 m2 untuk pembangunan sarana dan prasarana rumah susun.

Penyediaan rumah susun diarahkan untuk menjawab backlog Kota Tangerang Selatan pada kawasan padat penduduk yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Penertiban Penguasaan Tanah oleh Pihak Swasta.

Peruntukan tanah di Kota Tangerang Selatan berdasarkan Rencana Tata Ruang

Page 25: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

10

Wilayah yaitu Perda No.15 tahun 2011, pola ruang untuk kawasan budidaya yang diarahkan adalah perumahan kepadatan sedang dan tinggi, kawasan peruntukan pedagang dan jasa, perkantoran, industri, pariwisata, Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH), kawasan budidaya, pendidikan, Puspiptek.

Kondisi saat ini pengembang swasta dapat langsung membebaskan tanah dari pemilik di Kota Tangerang Selatan terdapat beberapa pengembang swasta, yaitu Bumi Serpong Damai, Alam Sutra, Bintaro, Agung Sedayu Group, Bukit Serpong Mas, Paradise Serpong City, dengan penguasaan tanah di atas 5 Ha.

Sehubungan hal tersebut salah satu usaha penertiban penguasaan tanah oleh pihak swasta melalui rencana Pemerintah Kota Tangerang mengeluarkan kebijakan kepemilikan tanah oleh swasta, dengan memberlakukan Peraturan Daerah.

Peraturan Daerah yang saat ini masih dalam taraf pembahasan dan 90 % sudah final, mewajibkan kepada pihak swasta untuk menyerahkan 40 % dari luas keseluruhan tanah yang telah dikuasai, dikelola Pemerintah Kota Tangerang dengan peruntukan untuk Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial. Kewajiban tersebut disatukan dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Disamping itu juga kewajiban pengembang untuk menyediakan hunian berimbang, usaha kecil menengah, dan 2 % lahan untuk pemakaman dengan konpensasi bentuk tanah atau uang diserahkan kepada Dinas Kebersihan dan Pemakaman.

Pencadangan Tanah

Pencadangan tanah atau konsolidasi tanah merupakan salah satu penyediaan tanah untuk pembangunan rumah, perumahan dan kawasan permukiman. (pasal 106 huruf b. UU No.1/2011). Konsolidasi tanah merupakan salah satu bentuk sumbangan tanah untuk pembangunan. (pasal 6 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991.

Di Kota Tangerang Selatan kebijakan konsolidasi tanah direncanakan menjadi kota atau permukiman baru, permukiman dengan tingkat pertumbuhan cukup pesat ( daerah pinggiran kota dan sepanjang jalan kota besar), bagian pinggir kota yang telah ada atau direncanakan sebagai jalan penghubung, permukiman padat dan tidak teratur (kumuh), berdasarkan RTRW direncanakan untuk pengembangan permukiman baru, permukiman dipinggiran kota yang penduduknya jarang dan

memiliki akses ke jalan utama serta diperkirakan akan berkembang menjadi wilayah permukiman baru.

Rencana pelaksanaan kebijakan konsolidasi tanah ini belum dilaksanakan secara terprogram baru tahap peruntukan untuk pertanian. Pelaksanaan konsolidasi tanah, tercantum pada gambar 7 berikut:

Gambar 7. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah

Sumber : Irwanto, 2016

Fase pelaksanaan konsolidasi tanah melalui tahap persiapan, kesepakatan, negosiasi dan perencanaan, implementasi. Prinsip dasar konsolidasi tanah adalah membangun tanpa menggusur, masyarakat berperan aktif serta menyumbangkan sebagian kecil tanahnya untuk fasum dan fasos, lingkungan tertata rapi, indah dan sehat, peningkatan nilai tanah.

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah

Rencana Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam peningkatan PAD, diantaranya melalui penetapan kebijakan penguasaan tanah yang tidak langsung dibebaskan oleh swasta tetapi dibeli dulu oleh pemerintah kota dan pihak swasta dapat membeli dari pemerintah, sehingga ada pertambahan nilai untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kebijakan ini masih dalam tarap koordinasi kesepakatan antara Satuan Perangkat Daerah (SKPD).

Selain itu melalui penertiban aset yaitu diberlakukannya Perda pengalihan aset dari swasta ke pemerintah dan aset perda induk antar kota dan kabupaten.

Kondisi dana APBD saat ini yang disiapkan untuk pembelian tanah 16 milyar rupiah sedangkan harga tanah semakin mahal yaitu tahun 2015 sekitar 2 juta s/d 15 juta rupiah/m2.

Page 26: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

11

P E R U M N A S

Jual Beli Langsung dengan PemilikLahan dengan metode Penurunan

Hak menjadi HGB

Pelepasan Hak dengan ganti rugi kepada pemilik lahan

Pelepasan hak dengan ganti rugikepada pemilik lahan melalui

Panitia Pengadaan Tanah

Lahan Perumnas

Hak Pengelolaan(HPL)

Hak GunaBangunan (HGB)

Hak Pakai

Hal ini terkait dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat rata-rata 3 % pertahun.

Mekanisme Pengadaan Tanah oleh Perumnas

Revitalisasi Perum Perumnas sebagai Badan Pelaksanan Penyediaan Perumahan Rakyat sekaligus Pengelola Bank Tanah untuk Perumahan, di Kota Tangerang Selatan, belum memungsi sesuai ketentuan pasal 3 da 4 PP No.83 tahun 2015. Perum Perumnas dapat menguasai lahan melalui Hak Guna Banguna, (HGB), Hak Pengelolaan (HPL) dan hak pakai. Secara rinci penguasaan tanah oleh Perumnas tercantum pada gambar 8 dan 9 :

Gambar 8. Penguasaan tanah melalui jual beli dan pelepasan hak Sumber : Irwanto, 2016

Gambar 9. Penguasaan tanah melalui HGB,HPL,HPK Sumber : Irwanto, 2016

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perkembangan perumahan dan permukiman sebagaimana tercantum pada RTRW Kota Tangerang Selatan, diarahkan pada wilayah Tangerang Selatan bagian barat. Pengembangan kawasan permukiman ini dilakukan dengan konsep pembangunan permukiman kepadatan sedang (rata – rata kapling bangunan 150 m2) dan permukiman kepadatan rendah (rata – rata kapling bangunan 200 m2).

Backlog rumah di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2014 mencapai 33.562 unit, hal ini

dipengaruhi oleh kemampuan daya dukung lahan, yang berpengaruh diantaranya terhadap kegiatan ekonomi dimana tanah tersebut berada akan menentukan perkembangan harga pasar dan harga rumah, dimana 35,70% berpenghasilan rendah (MBR), dengan kondisi menyebar di setiap kecamatan. Kecamatan Ciputat merupakan MBR terbesar sebanyak 43,30% dan yang terendah berada di Kecamatan Serpong utara . Hal ini diperlukan kebutuhan rumah berdasarkan segmentasi pendapatan.

Pengaruh daya dukung lahan terhadap kebutuhan rumah, secara teoritis dan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa harus keserasian dan keseimbangan antara pembangunan dengan kemampuan daya dukung lingkungan fisik , sesuai peruntukan sebagai lahan budidaya.

Saran

Diperlukan aplikasi kebijakan sesuai Perda No.15 tahun 2011 tentang RTRW, sesuai daya dukung lahan, untuk memenuhi kebutuhan perumahan, melalui pembangunan hunian vertikal sebagai solusi alternatif, karena keterbatasan lahan dan mahalnya harga lahan terutama di perkotaan.

Kebijakan pengadaan lahan dalam bentuk pencadangan tanah oleh pihak swasta, perlu penertiban, sehingga kebijakan pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan dalam menertiban kepemilikan tersebut akan dibatasi dan dikelola pemerintah berdasarkan Perda yang saat ini dalam tarap penyempurnaan di DPRD.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Pusat Litbang Permukiman, Kementerian PU-PR,

Dinas Tata Kota Bangunan dan Permukiman Kota Tangerang Selatan. serta Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dan kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam mendapatkan data dan informasi untuk kelengkapan materi tulisan sehingga selesainya tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agusrianto. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang menentukan Daya Dukung Lahan di Kabupaten Solok.

Page 27: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

12

https://scholar.unand.ac.id (Diakses 01 /06/ 2016.

Bonnie L. Yegidis. Weinbach. Robert Myers. Laura. 2008. Research Methods for Social Workers. Seventh Edition. USA : Allyn & Bacon.

Bellemare, Marc.F.2012. Insecure Land Rights and Share Tenancy. Madagascar : University of Wisconsin Press.

BPS. 2014. Banten dalam Angka. Banten : Badan Pusat Statistik.

Dinas Tata Kota Bangunan dan Permukiman Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. 2014. Penyusunan Dokumen Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Kawasan Permukiman (RP3KP).

Ditjen Cipta Karya. Kementerian PU-PR. 2015. Rencana Strategis. Jakarta.

Fitriansyah, Budi. 2014. Pengaruh Daya DukungLahan dan Pertumbuhan Sektor Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Dharmasraya. Tesis. Padang : Universitas Andalas.

Gabe, Rossa Turpuk,. Wendy Ivanal Hakim. 2014. Makna dan Nilai Tanah di Indonesia dalam Konteks Urban. Proceeding Seminar Nasional Rumah Tradisional, Mataram. 19-20 November 2014. Universitas Indonesia.

Handoko, Jarwa Prasetya. 2011. Optimalisasi Penerapan Kebijakan Ruang terbuka Hijau pada Perumahan sebagai Upaya Mewujudkan Perumahan yang Ramah lingkungan. Proceeding Seminar Nasional. Kerjasama PusatBlack’s Law Litbang Permukiman Kementerian PU dan Universitas Katolik Parahyangan. Bandung, 22-23 November 2011.

Irwanto, Herry. 2016. Bahan tayangan Perum Perumnas. Diskusi Teknik : Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman Kementerian PUPR. Bandung 30 Agustus 2016.

Kuswara. 2013. Daya Dukung Lahan untuk Pengembangan Perumahan di Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, dan pulau tunda. Jurnal Permukiman 8. April 2013. Pusat Litbang Permukiman Kementerian PU. Bandung.

Limbong Bernhard.2013.Bank Tanah. Pustaka Margareta. Jakarta.

Mutaqi Ahmad Saifudin. 2012. Pengembangan Perumahan Berbasis Infrastruktur Berkelanjutan. Proceeding Seminar Nasional. Kerjasama Pusat Litbang

Permukiman Kementerian PU dan Universitas Katolik Parahyangan. Bandung, 22-23 November 2011.

Nurmadi, Achmad. 2006. Manajemen Perkotaan : aktor, Organisasi, Pengelolaan Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta : Sinergi Publishing.

Nurdini Allis. 2011. Alternatif Penyediaan Tanah dan Hunian Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Perkotaan. Proceeding Seminar Nasional Kerjasama Pusat Litbang Permukiman Kementerian PU dan Universitas Katolik Parahyangan.Bandung, 22-23 November 2011.

Nur Hambara Nugraha .2013. Analisis Daya Dukung Lahan dan Struktur Ekonomi Kabupaten Boyolali. Skripsi. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Peraturan BPN No.4 tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah

Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan No. 15 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan.

Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan No. 03 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman

Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2015 tentang Perum Perumnas. Peraturan Presiden No 32 Tahun 2011 tentang

Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Prayitno Budi,Alfredo.Paramita Mahdatia. 2012. Perlindungan Hak Bermukim MBR dan Warga Miskin Perkotaan. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta.

Prilia Ayu. 2012. Pengaruh Kesesuaian Lahan untuk Permukiman terhadap Daya Dukung Lahan. Jurnal Universitas Taruma Negara. V (5) Juli www.prillygeoreathy.blogspot.co.id. (Diakses 23 Mei 2016).

Pusat Litbang Permukiman Kementerian PU-PR. 2015. Penyusunan Konsep Pedoman Penataan Kawasan Padat Huni Kumuh di Perkotaan. Laporan Akhir. Bandung.

Putra Petra. 2015. Pengaruh Daya Dukung Lingkungan terhadap Eksistensi Rumah Kaki Seribu ( Distrik Hingk.Kab.Pegunungan Arfak, Papua Barat. Proceeding Seminar Arsitektur Tradisional .Balai Pusat Perumahan Tradisional. Denpasar 21 Oktober 2015

Rianto Nanang.2012. Uji Coba Instrumen Pengukuran Perubahan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pasca

Page 28: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

13

Pembebasan Lahan untuk Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Permukiman. Jurnal Sosial ekonomi Pekerjaan Umum 4 (3) November 2012. Jakarta.

Rosa Yulinda. 2015. Public Perception of House in Cirebon. Journal of Human Settlements 7 (2) September 2015. Pusat Litbang Permukiman Kementerian PU-PR. Bandung.

Samsidar Yulianti, Indarti Komala Dewi, Bayu Wirawan. 2012. Daya Dukung Lahan untuk Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Program Studi PWK Fakultas Teknik Universitas Pakuan .Lampung. V (4) Mei. 2012.5

Silalahi M. Daud. 2011 Penegakan Hukum didalam Hukum Lingkungan di Indonesia. Bandung : PT.Alumni.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Research and Development. Bandung : Alfabeta..

Supriadi. 2015. Hukum Agraria. Jakarta : Sinar Grafika. . Syarif, Koto Zulfi.2011 Politik Pembangunan

Perumahan Rakyat di Era Reformasi. Jakarta : Housing and Urban Development Institute (HUD).

Wulan Rian,. Rani Widyahantari,. Heni suhaeni,. Puthut Samyahardja,. Wahyu Yodhakersa. 2015. Pengkajian Penyediaan Sarana Prasarana Permukiman Berdasarkan Daya Dukung. Jurnal Permukiman 10 November 2015. Bandung : Pusat Litbang Permukiman Kementerian PU-PR.

Yulia Lia Iriani. 2011. Substansi Pengaturan Penyediaan Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Era Otonomi Daerah. Proceeding Seminar Nasional Kerjasama Pusat Litbang Permukiman Kementerian PU dan Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 22-23 November 2011.

Page 29: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

94

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PELAKSANAAN PROYEK KONTRUKSI

PEMBANGUNAN BENDUNG

Aceng Maulana1)2),

Pasca Sarjana Universitas Katolik Parahyangan1) Pusat Litbang Jalan dan Jembatan2)

Jl. Merdeka No 10 Bandung1), Jl. AH. Nasution 264 Bandung2)

E-mail : [email protected]

ABSTRAK Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka pendek. Pelaksanaan proyek dihadapkan pada permasalahan diantaranya Contract Change Order yang akan menghasilkan amandemen kontrak. Penelitian ini merupakan studi kebijakan ataupun studi terapan yang tujuannya adalah untuk mengetahui atau merumuskan solusi terhadap permasalahan terkait Contract Change Order (CCO) terhadap Cost variant (perbedaan anggaran)dan Time variant (perbedaan waktu). Data yang digunakan adalah data dokumen kontrak pembangunan bendung X. Berdasarkan analisis dari semua amandemen dan Influence diagram dari semua faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain pada akhirnya bermuara kepada tiga variable yaitu : Perubahan nilai kontrak, Perubahan waktu penyelesaian kontrak, Perubahan administrasi kontrak, perubahan administrasi kontrak merupakan muara dari semua perubahan dalam kontrak dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kontrak. Amandemen yang paling sering terjadi adalah perubahan nilai kontrak yang disebabkan oleh eskalasi (penyesuaian harga) sebanyak empat kali, pekerjaan tambah kurang berdasarkan perhitungan MC sebanyak dua kali, dan perubahan desain sebanyak satu kali. Secara teknis kesemuanya itu yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan nilai kontrak adalah perubahan desain yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal, disusul eskalasi sebesar 5,64% dan akibat perhitungan MC sebesar 3,91%. Namun yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan waktu penyelesaian kontrak adalah kondisi cuaca ekstrem, pemindahan lokasi quarry dan penambahan lingkup kerja yang mengakibatkan penambahan waktu sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal, sedangkan perubahan desain hanya mengakibatkan penambahan sebesar 10,96% dari waktu kontrak awalnya. Kata kunci : Proyek Konstruksi, Amandemen, Penyesuaian Harga, perubahan waktu, penyelesaian kontrak

ABSTRACT The construction project is a series of activities carried out only one time and short term nature. Implementation of the project faced with the problems such Contract Change Order which will result in amendments to the contract. This study is a policy study or applied studies whose purpose is to find or formulate solutions to problems related to the Contract Change Order (CCO) of the Cost variant (different budgets) and Time variant (the time difference). The data used is the dam construction contract document data X. Based on an analysis of all amendments and Influence diagrams of all the factors that influence each other in the end boils down to three variables, namely: Changes in the value of the contract, the contract completion time change, change contract administration, change contract administration is the outcome of all the changes in the contract and the factors that cause changes in the contract. Amendment of the most common is the change in value of the contract caused by escalation (price adjustments) four times, additional work is less based on calculations MC twice, and design changes once. Technically all of the greatest influence and impact on changes in the value of the contract is the design changes that result in the addition of a contract value of 25.11% of the value of the initial contract, followed by escalation of 5.64% and a result of calculation by 3.91% MC. But the greatest influence and impact on the contractual completion timeline changes are extreme weather conditions, removal of quarry locations and additional scope of work that resulted in the addition time for 21.92% of the initial contract period, whereas only design changes resulted in an addition of 10.96% of time contract initially. Keywords: Project Construction, Amendment, price adjustments, changes in time, completion of contract

Page 30: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

95

PENDAHULUAN Proyek konstruksi merupakan suatu

rangkaian kegiatan yang mengolah sumber daya proyek menjadi elemen-elemennya. Proyek konstruksi memiliki 3 karakteristik yaitu: membutuhkan sumber daya (manusia, uang, mesin, metoda, material), bersifat unik, , dan membutuhkan organisasi (Ervianto, 2002).

Dalam pelaksanaan proyek konstruksi sering dihadapkan pada permasalahan, salah satunya adalah terjadinya perubahan-perubahan. Perubahan tersebut dapat terjadi pada tahap awal, tahap pertengahan, maupun tahap akhir proyek. Hana et al. (2002) mendefinisikan perubahan atau change order (CO) pada proyek konstruksi sebagai sebuah kejadian yang berakibat pada terjadinya modifikasi baik pada lingkup kerja, waktu pelaksanaan, atau biaya. Hal ini tidak dapat dihindari pada sebagian besar proyek akibat dari keunikan dari tiap proyek dan terbatasnya waktu dan uang dalam proses perencanaan. Akibat tidak dapat dihindarinya CO, Alaryan et al. (2014) menyatakan bahwa CO adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan pada industri konstruksi.

Menurut Hinze (2001) dan Abdel et al. (2012) sumber perubahan itu dapat disebabkan karena permintaan owner, kondisi lapangan yang tidak terduga, permintaan kontraktor, dan kesalahan konsultan dalam perancangan. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dan hal ini seringkali berkonsekuensi pada perubahan biaya dan perubahan waktu pelaksanaan proyek. Pada gilirannya penyesuaian yang dilakukan harus juga diakomodasi pada aspek administrasi dan kontrak berupa Contract Change Order (CCO)

Menurut Donald S. Barrie (1992), pengaruh change order pada pelaksanaan proyek dibagi menjadi 3 kategori antara lain: Biaya langsung, Perpanjangan waktu dan Biaya-biaya. Hanna (2002), menyatakan bahwa pengaruh change order pada suatu proyek konstruksi sering terjadi productivity loss, jika terjadi productivity loss akan terjadi penambahan waktu dan biaya proyek yang tidak sedikit. Menurut Schaufelberger (2002), jika terjadi change order akan terjadi penambahan tenaga kerja disertai dengan penambahan peralatan proyek

Terjadinya change order pada proyek konstruksi dapat memberikan dampak negatif secara langsung dan tidak langsung, baik bagi kontraktor maupun bagi pemilik. Dampak change order secara langsung adalah penambahan biaya item pekerjaan karena adanya penambahan volume dan material, konflik jadwal pelaksanaan, pekerjaan ulang,

meningkatkan overhead dan meningkatkan biaya tenaga kerja. Dampak change order secara tidak langsung adalah terjadinya perselisihan antara pemilik dan kontraktor (Hanna et al, 1999). Begitu kompleksnya dampak dari change order, sehingga sangat berpengaruh pada kinerja suatu proyek konstruksi. Dalam pelaksanaannya, proyek konstruksi ini diharapkan memiliki kinerja waktu proyek yang maksimal, dimana proyek dapat selesai tepat waktu, atau bahkan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan, mengingat ketepatan waktu ini sangat mempengaruhi penyerapan dana dan realisasi fisik di lapangan yang merupakan indikator kinerja dari Pemerintah

Seperti halnya proyek-proyek konstruksi

pada umumnya, pada proyek pembangunan

Daerah Irigasi X ini dalam perjalanan

pelaksanaan konstruksinya mengalami banyak

perubahan kontrak yang menyebabkan

perpanjangan waktu (time extension),

penambahan maupun pengurangan nilai (harga)

kontrak sebagai akibat dari perubahan (revisi)

desain karena alasan-alasan maupun penyebab-

penyebab lainnya. Semua proses prosedur,

dokumen-dokumen pendukung dan hasil dari

perubahan kontrak yang telah disetujui dan

disepakati dituangkan dalam dokumen

Amandemen Kontrak. Gumolili (2012)

menyatakan Penyebab terjadinya change order

bisa disebabkan oleh banyak faktor. Dalam

setiap proyek konstruksi penyebab dari

terjadinya change order tidak pernah sama, dan

tidak akan pernah sama .

Dalam proyek-proyek pemerintah, khususnya bidang sumber daya air sebagian besar menggunakan sistem Kontrak Harga Satuan Pekerjaan. Sistem kontrak ini dinilai paling mudah untuk dilaksanakan dan menganut pembagian risiko perubahan kontrak yang seimbang antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Dengan sistem Kontrak Harga Satuan pekerjaan, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan-perubahan kontrak baik perubahan waktu pelaksanaan maupun perubahan volume, desain dan nilai (harga) kontrak.

Dengan adanya Contract Change Order (CCO), memberikan dampak yang besar terhadap pelaksanaan kontrak konstruksi, khususnya proyek-proyek pemerintah bidang sumber daya air, seperti diantaranya anggaran proyek menjadi lebih besar dari rencana, waktu pelaksanaan mengalami perpanjangan, munculnya desain atau item pekerjaan baru

Page 31: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

96

yang semula belum direncanakan, dan sebagainya. Dari latar belakang permasalahan tersebut maka dilakukan suatu penelitian dengan mengangkat judul “Faktor Penyebab Terjadinya Contract Change Order (CCO) dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Proyek Konstruksi pada Pembangunan Bendung X

Berdasarkan latar belakang di atas dan melihat kondisi di lapangan secara langsung proyek pembangunan Bendung X, permasalahan yang teridentifikasi adalah sebagai berikut : 1. Terjadinya keterlambatan (penambahan

waktu penyelesaian) dalam pelaksanaan proyek dari waktu yang direncanakan.

2. Terjadinya penambahan biaya dari anggaran yang direncanakan.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisis faktor-faktor penyebab

terjadinya Contract Change Order (CCO) pada proyek Pembangunan Bendung X.

2. Mengetahui dampak atau akibat dari faktor-faktor tersebut terhadap cost variant (perbedaan biaya) dan time variant (perbedaan waktu).

TINJAUAN PUSTAKA

Kontrak dalam dunia konstruksi tercantum dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5), “Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 70 Tahun 2012, Pasal 1 ayat (22), juga terdapat pengertian mengenai kontrak, “Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana swakelola”.

Bentuk-Bentuk Kontrak Konstruksi

Pembagian jenis-jenis kontrak konstruksi terdapat dalam Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 50, yang bunyinya sebagai berikut.

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa meliputi:

a. Kontrak berdasarkan cara pembayaran; b. Kontrak berdasarkan pembebanan Tahun

Anggaran; c. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan;

dan

d. Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas:

a. Kontrak Lump Sum; b. Kontrak Harga Satuan; c. Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga

Satuan; d. Kontrak Persentase; dan e. Kontrak Terima Jadi (Turnkey).

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri atas:

a. Kontrak Tahun Tunggal; dan b. Kontrak Tahun Jamak.

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, terdiri atas:

a. Kontrak Pengadaan Tunggal; b. Kontrak Pengadaan Bersama; dan c. Kontrak Payung (Framework Contract).

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, terdiri atas:

a. Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal; dan

b. Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi. Ketentuan mengenai perubahan kontrak dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 terdapat pada pasal 87

Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan pada Kontrak yang meliputi:

a. Menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak;

b. Menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan;

c. Mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau

d. Mengubah jadwal pelaksanaan. Perubahan Kontrak yang disebabkan masalah administrasi, dapat dilakukan sepanjang disepakati kedua belah pihak.

Ketentuan mengenai Perubahan Kontrak dalam Permen PU No: 14/PRT/M/2013 pada dasarnya mengacu pada ketentuan Perubahan Kontrak pada Perpres No. 70 Tahun 2012, hanya saja dalam Permen PU No: 14/PRT/M/2013, terdapat penjelasan yang lebih terperinci.

Page 32: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

97

Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. Perubahan harga kontrak akibat adanya penyesuaian harga (eskalasi/de-eskalasi).

Istilah-Istilah Dalam Perubahan Kontrak

Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terjadinya perubahan kontrak merupakan hal yang umum terjadi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan konstruksi itu sendiri. Besarnya kemungkinan terjadinya perubahan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi menyebabkan perlunya pengaturan yang jelas mengenai perubahan kontrak konstruksi. Dalam hal perubahan kontrak konstruksi tersebut, terdapat tiga istilah yang sering digunakan, yaitu Adendum, Contract Change Order (CCO), dan Variation Order. Agar lebih mudah dipahami, berikut akan diberikan penjelasan mengenai definisi dari masing-masing istilah tersebut.

Adendum dan Amandemen

Dilihat dari arti katanya, addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. Pendapat lain menyatakan jika pada saat kontrak berlangsung ternyata terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam kontrak tersebut, dapat dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat akan hal yang belum diatur tersebut. Untuk itu ketentuan atau hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah dibuat. Pengaturan ini umum disebut dengan adendum atau amandemen.

Banyak pihak yang menganggap sama arti dari kata adendum dan amandemen. Dari segi arti katanya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online Version), definisi kata adendum dan amandemen memang terlihat mirip. Amandemen/amendemen berarti : 1. Usul perubahan undang-undang yang dibicarakan di Dewan Perwakilan Rakyat dsb: hak -; 2. penambahan pada bagian yang sudah ada.

Adendum : 1. Jilid tambahan (pada buku); lampiran; 2. ketentuan atau pasal tambahan, misal dalam akta. Jadi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata amandemen dan adendum sama-sama mengandung arti ‘penambahan’.

Berdasarkan arti kata tersebut diatas, dapat dilihat bahwa kata amandemen memiliki makna yang lebih luas dari adendum. Kata amandemen mengandung arti merubah, sedangkan kata adendum (berasal dari bahasa

inggris add) mengandung arti penambahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jika adendum merupakan bagian dari amandemen, dimana jika terjadi penambahan/pengurangan, maka otomatis terjadi perubahan. Dalam perkembangannya, istilah yang umum digunakan dalam kontrak konstruksi di Indonesia adalah adendum, seperti yang disebutkan dalam Permen PU No: 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi, Pasal 34 ayat (1).

Change Order

Dalam setiap proyek konstruksi sering kali terjadi perubahan atau yang biasa disebut dengan change order. Change order tersebut bisa terjadi sejak awal, pertengahan maupun pada akhir pekerjaan konstruksi. Menurut Fisk (2006) change order merupakan surat kesepakatan antara pemilik proyek dan kontraktor untuk menegaskan adanya revisi-revisi rencana, dan jumlah kompensasi biaya kepada kontraktor yang terjadi pada saat pelaksanaan konstruksi, setelah penandatanganan kontrak kerja antara pemilik dan kontraktor. Pendapat lain, yaitu menurut Schaufelbeger (2002), change order bisa didefinisikan sebagai modifikasi dari original contract. Pengertian Change Order menurut Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum (1999) adalah pekerjaan tambah kurang untuk menyesuaikan volume lapangan atau perubahan skedul tanpa merubah pasal-pasal kontrak. Berdasarkan pengertian tersebut, change order dapat didefinisikan sebagai suatu kesepakatan antara pemilik proyek dan kontraktor untuk merevisi pekerjaan (baik volume maupun skedul) sesuai dengan kondisi lapangan.

Change order contract adalah surat kesepakatan berupa perjanjian tertulis yang ditandatangani antara pemilik dan kontraktor setelah setuju untuk menegaskan adanya perubahan dan jumlah kompensasi biaya dan waktu pelaksanaan kepada kontraktor yang terjadi pada tahap pelaksanaan proyek, setelah penandatanganan kontrak kerja antara pemilik dan kontraktor (Sapulette, 2009).

Lebih lanjut, Untung Slamet menyatakan bahwa Adendum dan Amandemen Kontrak merupakan produk lanjutan dari CCO (Contract Change Order). Jika terjadi CCO berarti akan terjadi Adendum atau Amandemen Kontrak, sedangkan jika terjadi Adendum atau Amandemen Kontrak belum tentu telah terjadi CCO. Hal ini dikarenakan Adendum atau

Page 33: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

98

Amandemen bisa hanya merubah atau menambah isi atau pasal yang terdapat dalam kontrak tanpa merubah ruang lingkup pekerjaan, sehingga Adendum atau Amandemen tidak selalu diikuti dengan CCO.

Variation Order

Berdasarkan FIDIC dalam klausa 13, perubahan kontrak didefinisikan dalam bentuk istilah variasi (variation) fan penyesuaian (Adjusment). Variasi berarti semua perubahan terhadap Pekerjaan, yang diperintahkan atau disetujui sebagai suatu perubahan berdasarkan Klausula 13 [Variasi dan Penyesuaian]. Sedangkan penyesuaian merupakan bagian dari variasi yang dibagi dalam dua jenis yaitu penyesuaian akibat perubahan peraturan dan penyesuaian akibat perubahan biaya. Perubahan dalam penyesuaian berasal dari faktor eksternal proyek misalnya keterlambatan pekerjaan karena perubahan perundang-undangan dan perubahan biaya proyek akibat nilai tukar mata uang yang menurun. Menurut Amin et al(2013), Variation order dapat menimbulkan dampak terhadap biaya, waktu dan mutu. Berdasarkan dokumen kontrak beserta addendum kontrak. Lingkup perubahan akibat variation order terdiri dari: Perubahan lingkup kerja, pekerjaan tambah dan perpanjangan waktu. Dampak variation order terhadap biaya Perubahan nilai kontrak cenderung disebabkan oleh perubahan volume kerja yang dapat menimbulkan tambah kurang biaya pelaksanaan.

Amandemen Kontrak

Amandemen Kontrak adalah perubahan Kontrak atas dasar kesepakatan kedua belah Pihak yaitu Kontraktor dan Pengguna Jasa dan harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada sebenarnya CCO (Contract Change Order), Addendum dan Amandemen Kontrak adalah istilah yang sama, hanya Addendum dan Amandemen Kontrak merupakan produk lanjutan dari CCO (Contract Change Order). Jika terjadi CCO berarti akan terjadi Addendum atau Amandemen Kontrak, sedangkan jika terjadi Addendum atau Amandemen belum tentu telah terjadi CCO. Dilihat dari dasar alasannya Perpres 54 tahun 2010 Pasal 87 Ayat 1 tentang Perubahan Kontrak menyatakan, dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan Kontrak yang meliputi:

a. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak;

b. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan;

c. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau

d. mengubah jadwal pelaksanaan. Perka LKPP No. 2 tahun 2011 tentang

Standar Dokumen Pengadaan pada Bagian Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK) Klausul Addendum atau Perubahan Kontrak dalam hal ini diambil dari Standar Dokumen Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Metoda Pascakualifikasi.

Berdasarkan ketentuan di atas jelas dapat diketahui bahwa Perubahan kontrak dapat dilakukan dengan Adendum Kontrak. Artinya segala sesuatu perubahan pada kontrak dilakukan melalui Adendum Kontrak. Jenis Adendum Kontrak adalah:

1. Adendum akibat perubahan lingkup pekerjaan (CCO) atau sering disebut Adendum Tambah/Kurang, yang terbagi menjadi 4 (empat) jenis perlakuan, yaitu: a. Adendum Tambah/Kurang, nilai

kontrak tetap. b. Adendum Tambah/Kurang, nilai

kontrak bertambah. c. Adendum Tambah/Kurang, nilai

kontrak tetap, target/sasaran berubah.

d. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak bertambah, target/sasaran berubah.

2. Adendum akibat perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan atau sering disebut Adendum Waktu.

3. Adendum akibat penyesuaian harga/eskalasi atau sering disebut sebagai Adendum Penyesuaian Harga/Eskalasi atau sering disebut Adendum Harga/Nilai Kontrak. Basanya adendum jenis ini untuk kontrak tahun jamak (multy years contract) atau terdapat kenaikan harga bahan bakar minyak.

Prosedur Amandemen Kontrak Pada ProyekPembangunan Bendung X

Pembangunan Bendung X yang merupakan salah satu paket pekerjaan dalam proyek Pembangunan Daerah Irigasi (D.I.) adalah salah satu proyek PIRIMP yang sumber dananya berasal dari dana pinjaman (loan) Bank Pemerintah Jepang (JBIC/JICA). Oleh karena itu segala peraturan yang berkaitan dengan pendanaan mengikuti peraturan dari JBIC/JICA. Begitu pula peraturan tentang amandemen

Page 34: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

99

kontrak, terdapat prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa. Lingkup perubahan/amandemen kontrak yang disetujui oleh penyandang dana dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, seperti terlihat pada Gambar 1

Gambar 1 Lingkup Amandemen Kontrak

Sumber : Hartoyo, 2012

Sedangkan untuk prosedur pengajuan dan persetujuan amandemen, seperti terlihat pada Gambar 2 dan 3

Gambar 2 Alur Dokumen Amandemen Kontrak

Sumber : Hartoyo, 2012

Gambar 3 Alur Amandemen Berdasarkan Kontrak

Sumber : Hartoyo, 2012

Untuk prosedur pengajuan dan persyaratan pekerjaan tambah (additional work) dan klaim penyesuaian harga, dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5

Gambar 4 Prosedur Amandemen Pekerjaan Tambah

Sumber : Hartoyo, 2012

Lampiran Amandemen Pekerjaan Tambah (Additional Work)

a) Surat perintah PPK b) Surat Konfirmasi Kontraktor &

Usulan utk penambahan Waktu atau penambahan biaya.

c) Berita Acara Negosiasi berikut data pendukung

d) Surat usulan PPK ke Direktorat.

Page 35: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

100

e) Persetujuan Explanatory Note dari JICA.

Gambar 5 Alur Klaim Penyesuaian Harga

Sumber : Hartoyo, 2012

Lampiran Amandemen Klaim Penyesuaian Harga (Price Adjustment)

a) Surat pengajuan Kontraktor. b) LHP BPKP dan Surat Deputi

Investigasi BPKP. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi kebijakan ataupun studi terapan yang tujuannya adalah untuk mengetahui permasalahan terkait Contract Change Order (CCO) terhadap Cost variant (perbedaan anggaran)dan Time variant (perbedaan waktu), dengan pendekatan metode Influence Diagram. Data yang digunakan adalah data dokumen kontrak pembangunan bendung, dokumen amandemen kontrak, gambar konstruksi, schedule dan dokumen lainnya yang terkait dengan Amandemen. Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 6 Diagram Alir Metode Penelitian

Sumber : hasil penelitian, 2016

Karakterisasi sistem merupakan pendekatan kondisi dunia nyata yang berhubungan dengan suatu permasalahan digambarkan dalam sebuah sistem. Solusi dari permasalahan didefinisikan sebagai tujuan (goal). Proses mendeskripsikan suatu sistem membutuhkan pemahaman inti dan konsep yang digunakan dalam pendekatan sistem (system approach). Permasalahan dalam dunia nyata, biasanya sangat kompleks. Jika sistem dilihat dan dideskripsikan secara keseluruhan, maka permasalahan menjadi tercampur (involved) dan tidak teratur (unmanageable). Tidak semua fitur dunia nyata relevan sebagai solusi, sehingga penjelasan secara parsial biasa digunakan. Penjelasan secara parsial biasanya disebut sebagai karakterisasi sistem. Karakterisasi sistem hanya melibatkan fitur-fitur yang relevan membuat sebuah solusi. Karakterisasi sistem merupakan proses penyederhanaan (simplification) dan idealisasi (idealization).

Sebuah sistem didefinisikan sebagai sekumpulan objek yang saling berhubungan. Objek memiliki atribut-atribut yang dideskripsikan sebagai parameter dan variabel. parameter adalah atribut intrinsik sebuah objek. Sedangkan variabel adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan interaksi atau hubungan antar objek-objek dalam suatu sistem. Karakterisasi sistem dapat digambarkan dalam influence diagram. Influence

Mulai

Latar Belakang Penelitian Hasil survey lapangan mendapatkan permasalahan yang

ingin diteliti

Rumusan Masalah

Terjadinya penambahan waktu dan penambahan biaya dalam

pelaksanaan proyek melebihi dari yang direncanakan

Survey Lapangan

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya Contract

Change Order

2. Mengetahui dampak atau akibat dari faktor-faktor

Page 36: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

101

diagram sering digunakan untuk menggambarkan suatu pendekatan proses.

Influence diagram adalah representasi grafis dari suatu model keputusan yang digunakan untuk membantu perancangan model, pengembangan dan pemahaman. Kata influence merujuk pada ketergantungan suatu variabel pada tingkatan tertentu terhadap variabel yang lainnya. Ada 4 simbol utama yang digunakan untuk membuat influence diagram, yaitu :

a. Kotak (rectangle); menunjukkan variabel keputusan, kepastian, sesuatu yang dapat dikendalikan (decision, certainty, controllable).

b. Lonjong (oval); menunjukkan variabel ketidakpastian, sesuatu yang tidak dapat dikendalikan (uncertainty, uncontrollable).

c. Segi enam (hexagonal); menunjukkan variabel hasil, keluaran baik bersifat intermediate maupun final (result, output).

d. Garis panah (arrow); menunjukkan pengaruh hubungan, ketergantungan diantara variabel.

Proses Analisis Data Dalam melakukan analisis data, proses

awal yang dilakukan adalah membuat diagram kronologis terjadinya CCO pada setiap dokumen Amandemen I sampai dengan XVI. Dari setiap diagram kronologis amandemen I s/d XVI selanjutnya mencari (mengidentifikasi) penyebab awal yang mendasari terjadinya CCO (amandemen) tersebut. Penyebab awal inilah yang disebut dengan faktor independent, yaitu faktor atau variable yang tidak dipengaruhi/disebabkan oleh faktor atau variable lainnya.

Langkah selanjutnya adalah membuat Influence Diagram, dengan cara menggabungkan semua diagram alir kronologis amandemen yang sudah dibuat sebelumnya. Melalui Influence Diagram dapat diketahui adanya keterkaitan dan ketergantungan antara variabel penyebab amandemen yang satu dengan yang lainnya. Dari diagram ini semakin jelas teridentifikasi faktor-faktor apa saja yang menjadi faktor independent penyebab terjadinya CCO.

Tahap terakhir adalah mengetahui dampak/akibat dari faktor-faktor tersebut yang berpengaruh terhadap pelaksanaan proyek terutama pengaruhnya terhadap perbedaan waktu (time variant) dan perbedaan biaya (cost variant).

ANALISIS DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan pada proyek Pembangunan Bendung X, terjadi sampai 15 kali amandemen. Kejadian tersebut bukanlah sesuatu yang diinginkan semua pihak namun kejadian tersebut mengharuskan diadakannya perubahan untuk mencapai suatu tujuan dan untuk memperbaiki sesuatu yang dinilai masih kurang.

Dari keseluruhan kronologis terjadinya amandemen ke-1 sampai dengan ke-16, dapat digabungkan menjadi satu kesatuan sistem dalam bentuk Influence diagram, seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Mengacu pada Gambar 7, kejadian tersebut bermula atau diawali oleh sebanyak sepuluh faktor yang merupakan variabel yang bersifat bebas (independent), yaitu variabel yang tidak dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel lain, tapi justru mempengaruhi/menyebabkan timbulnya variabel lain, sehingga variabel inilah yang merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya CCO. Kesepuluh faktor penyebab terjadinya CCO adalah :

1. Kebijakan/Peraturan Pemerintah 2. Kondisi lapangan/lokasi pekerjaan 3. Kondisi cuaca 4. Perubahan kondisi alam pada Daerah

Aliran Sungai (DAS) 5. Penyelidikan tanah kurang detail 6. Inflasi 7. Kebijakan penyandang dana Loan dari

JICA (commitment charge) 8. Kebijakan penyedia jasa 9. Cash flow kontraktor tidak mampu

mengejar progress 10. Desain (shop drawing)

Terlihat pada Gambar 7, terdapat sembilan faktor penyebab yang merupakan variabel yang bersifat tidak pasti (uncertainty/uncontrollable), dan hanya satu faktor yang bersifat pasti (certainty/controllable) yaitu faktor desain (shop drawing).

Amandemen kontrak yang terjadi pada proyek Pembangunan Bendung X yang berpengaruh terhadap perubahan nilai kontrak, terbagi menjadi dua perubahan, yaitu perubahan penambahan dan pengurangan. Akan tetapi perubahan penambahan adalah yang paling dominan terjadi dan yang paling mempengaruhi terhadap perubahan nilai kontrak. Perubahan pengurangan hanya sebagian kecil terjadi dan tidak terlalu berpengaruh. Perubahan nilai kontrak dari setiap amandemen disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Page 37: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

102

Gambar 7, Influence Diagram Proses Terjadinya CCO

Sumber : Hasil Olahan Data Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X, 2016

Page 38: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

103

Tabel 1 Kronologis Perubahan Nilai Kontrak

Sumber : Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X, 2016

Dari alasan-alasan perubahan amandemen, berdasarkan Influence Diagram dapat dicari faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai

kontrak. Berikut Tabel 2 di bawah ini adalah faktor penyebab terjadinya CCO yang mengakibatkan perubahan nilai kontrak.

Tabel 2 Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Nilai Kontrak

Sumber : Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X, 2016

Dari Tabel 1 dan 2 di atas, terlihat bahwa terdapat tiga alasan yang mengakibatkan perubahan nilai kontrak yaitu :

1. Perubahan Desain, yaitu perubahan pada desain rencana struktur pondasi bendung setelah dilakukan penyelidikan tanah ulang, mengakibatkan penambahan sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal.

2. Eskalasi, sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak bahwa untuk proyek multi years dapat dilakukan penyesuaian harga (eskalasi), mengakibatkan penambahan sebesar 5,64% dari nilai kontrak awal.

3. Perhitungan Mutual Check (MC), mengakibatkan pengurangan sebesar 3,91% dari nilai kontrak awal. Pada saat dilakukan perhitungan MC, terjadi pengurangan volume pekerjaan dan pengurangan beberapa item pekerjaan yang tidak jadi dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena pada tahap perencanaan, desain terlalu boros dan kurang detail dalam melakukan pengukuran volume di lokasi pekerjaan.

Berdasarkan Tabel 2 di atas, faktor penyebab perubahan nilai kontrak dibagi menjadi dua, yaitu :

Page 39: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

104

1. Faktor yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak : a. Penyelidikan tanah yang kurang detail

pada saat tahap perencanaan b. Desain rencana (shop drawing) yang

kurang matang

c. Inflasi 2. Faktor yang mengakibatkan pengurangan

nilai kontrak : a. Kondisi lapangan/lokasi pekerjaan b. Desain rencana (shop drawing) yang

kurang detail dan teliti Perubahan waktu pelaksanaan kontrak

yang terjadi pada proyek Pembangunan Bendung X adalah perubahan penambahan waktu yang sebagian besar disebabkan oleh

faktor cuaca. Penambahan waktu penyelesaian kontrak dari setiap amandemen disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Kronologis Perubahan Waktu Kontrak

Sumber : Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X, 2016

Dari Tabel 3 di atas, penambahan waktu yang terjadi adalah sebesar 360 hari atau sebesar 32,88% dari waktu penyelesaian kontrak awal, dengan rincian alasan perubahan sebagai berikut :

1. Perubahan desain, mengakibatkan penambahan waktu sebesar 120 hari atau sebesar 10,96% dari waktu kontrak awal.

2. Pemindahan lokasi quarry, kondisi cuaca, perubahan desain dan penambahan lingkup pekerjaan, secara total mengakibatkan penambahan waktu sebesar 240 hari atau sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal.

Berdasarkan Influence Diagram dan Tabel 3, faktor penyebab terjadinya perubahan waktu penyelesaian kontrak seperti pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Waktu Kontrak

Sumber : Hasil olahan pada Dokumen proyek Pembangunan Bendung X, 2016

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah di lakukan pada ke enam belas amandemen, yang paling sering terjadi dan mengakibatkan amandemen itu terbit adalah adanya perubahan nilai kontrak yang disebabkan oleh eskalasi

(penyesuaian harga) sebanyak empat kali, pekerjaan tambah kurang berdasarkan perhitungan MC sebanyak dua kali, dan perubahan desain sebanyak satu kali.

Secara teknis kesemuanya itu yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan nilai kontrak adalah perubahan

Page 40: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

105

desain yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal, disusul eskalasi sebesar 5,64% dan akibat perhitungan MC sebesar 3,91%.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan nilai kontrak adalah sebagai berikut : 1. Perubahan desain disebabkan oleh faktor

penyelidikan tanah yang kurang detail; dan gambar desain yang kurang matang.

2. Eskalasi disebabkan oleh faktor inflasi. 3. Perhitungan MC disebabkan oleh faktor

kondisi lapangan/lokasi pekerjaan; dan gambar desain yang kurang detail dan teliti.

Disamping karena perubahan nilai kontrak, amandemen juga disebabkan oleh adanya perubahan waktu penyelesaian kontrak yang disebabkan oleh perubahan desain yang terjadi sebanyak dua kali, dan pemindahan lokasi quarry, kondisi cuaca yang ekstrem, dan penambahan lingkup kerja yang masing-masing terjadi hanya satu kali.

Namun yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan waktu penyelesaian kontrak adalah kondisi cuaca ekstrem, pemindahan lokasi quarry dan penambahan lingkup kerja yang mengakibatkan penambahan waktu sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal, sedangkan perubahan desain hanya mengakibatkan penambahan sebesar 10,96% dari waktu kontrak awalnya.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan waktu kontrak adalah sebagai berikut : 1. Kondisi cuaca ektrem disebabkan oleh

faktor cuaca, pemindahan lokasi quarry disebabkan oleh faktor adanya Kebijakan/Peraturan Pemerintah Daerah dan penambahan lingkup kerja disebabkan oleh faktor perubahan kondisi alam pada Daerah Aliran Sungai.

2. Perubahan desain disebabkan oleh faktor penyelidikan tanah yang kurang detail; dan gambar desain yang kurang matang.

Dari semua kesimpulan diatas secara teknis CCO terjadi karena adanya perubahan desain yang disebabkan oleh penyelidikan tanah yang kurang detail sehingga waktu dan biaya jadi bertambah. Solusi agar kejadian tidak terulang maka diperlukan perencanaan yang sedetail mungkin dan dilakukan feasibility study untuk meminimalisir terjadinya perubahan desain yang bisa mengakibatkan waktu dan penambahan biaya.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada pengelola Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk Cisanggarung, dan Civitas Akademika Universitas Katolik Parahyangan.

DAFTAR PUSTAKA Abdel, Rashid Ibrahim, El-Mikawi Mohamed A. &

Saleh Mohammed E. Abdel-Hamid. 2012. The Impact of Change Orders on Construction Projects Sports Facilities Case Study. Journal of American Science, 8(8) : 628 – 631.

Alaryan A., Emadelbeltagi, Elshahat A., Dawood M,

2014. Causes and Effects of Change Orders on Construction Projects in Kuwait. Int. Journal of Engineering Research and Applications 4 (7) : 01-08.

Amin, Jurisman., Said, Taufiq., dan Mubarak. 2013.

Penyebab Variation Order dan Dampak Pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi Jembatan (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi Jembatan di Provinsi Aceh). Jurnal Teknik Sipil, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2. ISSN 2302-0253.

Barrie, Donald S, and Paulson, Boyd C Jr. 1992. Professional Construction Management, third edition. Singapore : Mc Graw-Hill

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

tentang Perikatan. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/bw3.htm (diakses 05/10/2016).

Direktorat Bina Marga, Departemen Pekerjaan

Umum dan Kimpraswil, Bagian Proyek Peningkatan Sistim dan Kinerja Manajemen Pelaksana Tengah, Direktorat Bina Pelaksana Wilayah Tengah. 1999. Pedoman Praktis Kendali Mutu Pelaksanaan Proyek. Direktorat Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum dan Kimpraswil, Jakarta.

Echols, John M., dan Shadily, Hassan. 2014. Kamus

Inggris Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,.

Ervianto, Wulfram I. 2002. Manajemen Proyek

Konstruksi. Yogyakarta : Andi.

Page 41: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

106

Fakhrizal. 2013. Identifikasi Penyebab dan Dampak Contract Change Order Terhadap Biaya dan Kualitas Pada Proyek Gedung di Kota Padang. Artikel Program Studi Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Bung Hatta.

Fisk, Edward R, and Reynolds Wayne D. 2006.

Construction Project Administration, eight

edition. New Jersey : Prentice Hall.

Gumolili, Sandy A., dan Sompie, B. F., dan Rantung, J.P. 2012. Analisa Faktor-Faktor Penyebab Change Order dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Waktu Pelaksanaan Proyek Konstruksi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Media Engineering 2 (4) ISSN 2087-9334 : 247-256.

Hanna, A. S., Camlic, R., Peterson, P. A., Nordheim,

E. V. 2002. Quantitative Definition of projects Impacted by Change Orders. Journal of Construction Engineering and Management 128 (1).

Hanna, Award S., Russel, Jeffrey S., Gotzion, Timothy W., Nordheim, erik V. 1999. Impact of Change Order on Labor Efficiency for Mechanical Construction. Journal of Construc-tion Engineering and Management 125 :176-184.

Hartoyo. (2012). Amandemen Kontrak Loan dan

APBN. Hinze, J., "Construction Contracts", McGraw Hill,

Second Edition (2001) Knapp, Charless L. dan Nathan M. Crystal, 1993:2,

dalam Salim H.S. (2010). Hukum Kontrak. Sinar Grafika, Jakarta.

Perka LKPP No. 2 tahun 2011 tentang Standar

Dokumen Pengadaan pada Bagian Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK) Klausul Addendum atau Perubahan Kontrak.

Permen PU No: 14/PRT/M/2013 Tentang Standar

Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi.

Perpres No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Sapulette, Willem. 2009. Analisa Penyebab dan Pengaruh Change Order Pada Proyek Infrastruktur dan Bangunan Gedung di Ambon. Jurnal Teknologi 6 (2) :627 – 633.

Schaufelberger, John E., and Holm, Len. 2002.

Management of Construction Project A Constructor’s Perspective. New Jersey : Prentice Hall.

Schaufelberger, John E., and Holm, Len. 2002. Management of Construction Project A Constructor’s Perspective, New Jersey : Prentice Hall.

Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18

Tahun 1999. Wicaksono, Frans S. 2008. Panduan lengkap

membuat surat-surat kontrak. Jakarta : Visimedia.

Pengadaan.web.id. 2015. Pengadaan e-

procurment.http://pengadaaneprocurement.blogspot.com/2014/12/pengertian-cco-contract-change-order.html (diakses 08/04/2015).

Page 42: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

107

Page 43: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

SISTEM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI PADI SKALA KECIL DAN MENENGAH

INSTITUTIONAL DEVELOPMENT SYSTEM OF SMALL AND MEDIUM

SCALE AGROINDUSTRY RICE

Rosadi1, M.Yanuar J Purwanto2, Surjono H. Sutjahyo 3, Bambang Pramudya 4

1Mahasiswa S3 Program Studi Pengelolaan Sumbardaya Alam dan Lingkungan,

Institut Pertanian Bogor Email : [email protected]

2Dosen, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor

Email : [email protected]

3Guru Besar, Departemen Agronomi, Institut Pertanian Bogor Email : [email protected]

4Guru Besar, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Email : [email protected]

ABSTRACT

Agroindustrial development is a very strategic option in optimalizing agricultural sector. Agroindustry will give value-added, in increase incomes. The objective of this study is to built the institutionalized-model of small and medium scaled agroindustry development. This research is using systematic approach. Data analysis metod used in this study is intrepretative structural modelling (ISM). The successful indicator of small and medium scalerace agroindustry development are famers had increased, employment of farmers and maintained the fertile of wetland for farming. Therefore, efforts are needed to strengthen institutional joint venture and management of agroindustry, according to the skills of each farmers.

Kata kunci : agroindustry, interpretative structural modeling,

ABSTRAK

Pengembangan agroindustri adalah pilihan yang sangat strategis dalam mengoptimalkan sektor pertanian. Agroindustri dapat menciptakan nilai tambah sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun struktur pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem dan metoda analisis data dalam penelitian ini menggunakan interpretative structural modeling (ISM). Keberhasilan pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah ditunjukkan dengan meningkatnya pendapatan petani dan lapangan kerja petani meningkat serta dapat mempertahankan lahan subur sawah yang merupakan tempat bercocok tanam. Oleh karena itu perlu dibutuhkan upaya-upaya untuk menguatkan kelembagaan usaha bersama dan pengelolaan agroindustri sesuai dengan keterampilan petani masing-masing.

Kata kunci : Agroindustri, ISM

Page 44: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara agraris sehingga tidak bisa terlepas dari sektor pertanian. Sektor pertanian masih merupakan lapangan kerja terbesar penduduk Indonesia yaitu sebesar 32,87% pada bulan Agustus 2015 (BPS, 2016). Pembangunan di sektor pertanian masih banyak dilakukan di kawasan perdesaan dan merupkan sektor penyokong utama pertumbuhan ekonomi perdesaan. Pembangunan sektor pertanian di perdesaan yang dilaksanakan lebih banyak dikonsentrasikan pada kegiatan produksi atau budidaya, yaitu melalui pemanfaatan sumberdaya alam (on-farm) khususnya tanaman pangan, sedangakan pembangunan sektor pertanian off-farm seperti pengembangan industri hulu pertanian, industri hilir pertanian, kegiatan pemasaran, serta jasa-jasa pendukungnya kurang mendapatkan perhatian. Pembangunan sektor pertanian yang hanya budidaya saja dan tidak disertai dengan kegiatan off-farm secara sinergi, menyebabkan sumbangan sektor pertanian kurang optimal dalam pembangunan ekonomi nasional. Secara umum sistem pertanian di wilayah perdesaan sampai sekarang masih menjadi rantai terlemah dari sistem ekonomi nasional, hal ini dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto sektor pertanian yang relatif rendah dibandingkan dengan sektor yang lainnya yaitu 12,06% pada tahun 2014 (BPS, 2015). Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat. Produksi padi di Kabupaten Cianjur pada tahun 2015 mencapai 772.706 ton dengan produktivitas 5,77 ton/ha, dan menyumbang sebesar 7,12% terhadap produksi padi Jawa Barat (BPS, 2016). Potensi pengembangan produksi padi di Kabupaten Cianjur sangat besar karena didukung dengan sumberdaya air dan lahan. Daerah Irigasi yang ada di Kabupaten Cianjur sebanyak 22 Daerah Irigasi dengan luas areal 23.685 ha (DPSDAP, 2014). Penggunaan lahan pada masing-masing Daerah Irigasi di kabupaten Cianjur hamper semuanya digunakan untuk pertanian. Menurut Dewi Endang Purnama (2014) khusus penggunaan lahan di Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur sebesar 50,62% pertanian. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur merupakan kekuatan wilayah yang harus dikembangkan, sehingga dapat meningkatkan daya saing

wilayah tersebut, hal ini juga diungkapkan oleh Endang Purnama Dewi, et al (2014) tentang potensi daerah irigasi Cihea dilihat dari ketersediaan airnya. Tetapi berdasarkan pola ruang yang tertuang dalam RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2011-2031, Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur akan diprioritaskan menjadi kawasan industri strategis, hal tersebut akan berdampak terhadap penggunaan lahan yang sebagian besar adalah pertanian yang sudah mempunyai jaringan irigasi teknis. Implikasinya akan menurunnya tingkat pendapatan petani pada daerah tersebut. Terdapat beberapa indikator bahwa pembangunan sektor pertanian belum dapat berkontribusi dalam pengembangan wilayah Kabupaten Cianjur, diantaranya dilihat dari laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian mengalami penurunan dari 3,22% pada tahun 2012 menjadi 1,42% pada tahun 2014 (BPS, 2015), serta sektor pertanian belum berkembang ke arah industrialisasi pengolahan produk pertanian yang merupakan tahapan yang lebih maju dari pembangunan sektor pertanian, hal ini dapat dilihat dari distribusi PDRB sektor industri pengolahan di Kabupaten Cianjur hanya menyumbang sebesar 5,79%, relative lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor pertanian yaitu sebesar 34,44% pada tahun 2014 (BPS, 2015). Menurut Austin (1992) bahwa alasan diperlukan pengembangan industri pengolahan khususnya agroindustri adalah karena sektor pertanian membutuhkan industri ekstraktif yang mampu mengolah seluruh hasil-hasil pertanian dan sektor industri membutuhkan bahan baku dalam proses pengolahannya. Pengertian agroindustri pertama kali diungkap oleh Austin (1992), yaitu perusahaan yang memproses bahan nabati (berasal dari tanaman) atau hewani (berasal atau yang dihasilkan oleh hewan). Proses yang diterapkan mencakup pengubahan dan pengawetan melalui perlakuan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi. Produk agroindustri dapat merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi atau digunakan oleh manusia ataupun sebagai produk bahan baku industri lain (Mangunwidjaja dan Sailah, 2009). Dengan demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan mesin pertanian, industri input pertanian dan industri jasa sektor pertanian.

Page 45: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Menurut Eicher (1998), salah satu permasalahan yang terkait dengan upaya mewujudkan pembangunan perdesaan adalah pentingnya dukungan kelembagaan dalam hal ini dititik beratkan pada mekanisme pengaturan (rules of the game) baik dari dimensi yang bersifat regulatif (peraturan dan perundang-undangan), normatif (kesepakatan-kesepakatan), dan pengetahuan budaya lokal masyarakat. Menurut Syahyuti (2011) ada empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan. Pertama, lingkungan ekternal yaitu kondisi politik dan pemerintahan, sosiokultur, teknologi, kondisi perekonomian, berbagai kelompok kepentingan serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Kedua, motivasi kelembagaan yaitu kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Ketiga, kapasitas kelembagaan yaitu bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Keempat, kinerja kelembagaan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuannya, efisiensi penggunaan sumberdaya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan. Model kelembagaan untuk pengembangan agroindustri padi didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis dan empat dimensi kelembagaan (Kusnandar et al, 2013) yang mencakup beberapa subsistem, yaitu: 1) subsistem hulu, 2) subsistem usahatani, 3) subsistem hilir, 4) subsistem agroindustri, dan 5) subsistem sarana penunjang. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang sistem kelembagaan pengembangan agroindustri padi. Adapun tujuan penelitian ini adalah merumuskan stuktur kelembagaan pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah yang ada di Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur. Penelitian mengenai kelembagaan dan agroindustri pada sektor pertanian telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain: Candra Nuraini, et al (2016) menganalisis model kelembagaan pada agribisnis padi organik di Kabupaten Tasikmalaya, Saptana et al (2013) menjelaskan dalam penelitiannya tentang strategi transformasi kelembagaan gapoktan, Silmi Tsurayya dan Lindawati kartika (2015) melakukan penelitian tentang kelembagaan untuk peningkatan daya saing

komoditas cabai, Sutarto, et al (2010) melakukan kajian kelembagaan agribisnis wortel dalam rangka untuk mendukung pengembangan kawasan agropolitan Sothomadasih yang ada di Kabupaten Karanganyar, kajian kelembagaan juga telah dilakukan oleh Sandy Cahyono dan Dewi Sawitri Tjokropandojo (2014) yang memaparkan tentang peran kelembagaan dalam mendukung keberlanjutan pertanian sebagai basis pengembangan ekonomi lokal, sedangkan Kusnandar et al (2013) melakukan kajian tentang rancang bangun kelembagaan agribisnis padi organik dalam mendukung ketahanan pangan, serta Nofialdi et al (2012) melakukan kajian tentang model pemilihan kelembagaan usaha dalam pengembangan agroindustri dengan proses jejaring analitik. Sedangkan kajian tentang agroindustri padi telah dilakukan antara lain oleh : Endang Sriningsih, et al (2012) mengenai peran agroindustri padi dapat mendukung ketahanan pangan rumah tangga, Faqih Udin et al (2015) melakukan penelitian tentang investasi dan pemilihan teknologi pada agroindustri padi, dan Qadaruddin Fajri Adi (2015) mengkaji tentang pengembangan sistem jejaring agroindustri padi. Seluruh penelitian mengenai kelembagaan tersebut dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, sedangkan penelitian mengenai agroindustri padi tidak membahas tentang kelembagaan. Pada penelitian ini, peneliti menjelaskan tentang sistem pengembangan kelembagaan agroindustri padi dengan menggunakan teknik Intepretative Structural Modeling (ISM). METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur pada Kecamatan Bojongpicung, Haurwangi, dan Ciranjang pada bulan Januari sampai April tahun 2016. Metoda pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: (1) studi pustaka, (2) observasi lapangan, yakni melihat secara langsung agroindustri padi, dan (3) wawancara mendalam dengan pakar yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih menyeluruh tentang agroindustri padi dengan panduan kuisioner. Pakar yang terkait dalam penelitian pengembangan agroindustri padi dengan pertimbangan keberadaan, keterjangkauan, reputasi, dan pengalaman dibidangnya sebanyak 9 orang.

Page 46: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Secara ringkas, langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pemetaan struktur agroindustri padi yang

ada di lokasi penelitian. Berdasarkan observasi lapangan akan diperoleh gambaran mengenai agroindustri padi.

2. Identifikasi elemen kelembagaan agroindustri padi melalui pendapat pakar yang merupakan orang yang mempunyai pengalaman dalam pengembangan agroindustri padi dengan metode pemilihan pakar pada penelitian ini purposive sampling, dan melalui studi pustaka.

3. Analisis struktur kelembagaan agroindustri padi berdasarkan elemen-elemen pengembangan agroindustri padi yang telah teridentifikasi dengan menggunakan teknik Interpretative structural modelling (ISM).

ISM dibuat dengan tujuan untuk memahai prilaku sistem secara utuh setelah melakukan identifikasi hubungan antar sub elemen sistem dalam tiap elemen sistem (Eriyatno, 2003). Menurut Arie Dharmaputra Mirah (2014), Rachman Jaya et al (2011), Kusnandar et al (2012), Asep Indra Sukendar Permana et al (2015) langkah-langkah analisis dengan menggunakan ISM adalah sebagai berikut: Penyusunan sub elemen pada masing-masing elemen sistem pengembangan agroindustri padi. Kemudian melakukan analisis hubungan kontektual bahwa satu sub elemen (sub elemen i) mendukung keberadaan sub elemen yang lain (sub elemen j). Hubungan kontektual antara sub elemen ini diperoleh dari pendapat pakar yang memberikan pendapatnya melalui pengisian kuesioner. Informasi dari sistem yang dikaji kemudian distrukturisasi dalam bentuk Structural Self-interction Matrix (SSIM) yang menggambarkan hubungan kontekstual antar sub elemen dan elemen elemen sistem. Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X, dan O (Saxena et al. 1992). Pengertian dari simbol-simbol tersebut adalah:

V : kendala (1) mempengaruhi kendala (2), tapi tidak sebaliknya V: eij = 1 dan eij = 0

A : kendala (2) mempengaruhi kendala (1), tapi tidak sebaliknya A: eij = 0 dan eij = 1

X : kendala (1) dan kendala (2) saling berhubungan

X: eij = 1 dan eij = 1 O : kendala (1) kendala (2), tidak saling

mempengruhi O: eij = 0 dan eij = 0

Simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 tidak terdapat atau tidak ada hubungan kontekstual antara elemen i dan j dan sebaliknya (Eriyatno, 2003). Setelah SSIM terbentuk, kemudian dibuat tabel Reachability Matrix (RM) dengan mengganti simbol V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 atau 0.

RM yang telah memenuhi aturan transitivitas kemudian diolah untuk menetapkan level partition. Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema setiap sub elemen menurut jenjang vertikal dan horizontal. Berdasarkan RM, sub elemen dalam satu elemen dapat disusun menurut nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub elemen.

Secara garis besar klasifikasi sub elemen dikelompokan dalam empat sektor yaitu : Sektor 1; weak driver – weak dependence variables (Autonomus). Sub elemen yang termasuk dalam sektor ini pada umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sub elemen yang masuk pada sektor 1 jika; nilai DP ≤ 0,5X dan nilai D ≤ 0,5X. X adalah jumlah sub elemen. Sektor 2; weak driver – strongly dependence variables (Dependence). Umumnya sub elemen yang masuk pada sektor ini adalah sub elemen bebas. Sub elemen yang masuk pada sektor 2; jika nilai DP ≤ 0,5X dan nilai D > 0,5X. X adalah jumlah sub elemen. Sektor 3; strong driver – strongly dependent variables (Lingkage). Sub elemen yang termasuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk sektor 3; jika nilai DP > 0,5X dan nilai D > 0,5X. X adalah jumlah sub elemen. Sektor 4; strong driver – weak dependence variables (Independent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub elemen yang masuk sektor 4 jika: nilai DP > 0,5X dan nilai D ≤ 0,5X. X adalah jumlah sub elemen.

Page 47: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Pada penelitian ini, analisis ISM menggunakan bantuan aplikasi computer, secara rinci tahapan

analisis dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tahapan Analisis dalam Sofware ISM

Sumber : hasil olahan, 2016

PEMBAHASAN Hasil identifikasi elemen kelembagaan dari beberapa sumber diantaranya yaitu: Makmur Sianipar (2012), Erlina et al (2011), Fahrizal et al (2013), Enggar D Kartikasari et al (2015), Fahmi Riadi et al (2011), Hariyani Sambali et al (2014), I Putu Restu Wiana et al (2015) dan melalui wawancara dengan pakar secara mendalam, ditetapkan 3 (tiga) elemen dalam pengembangan kelembagaan agroindustri padi yaitu: (1) elemen pelaku, (2) elemen tujuan, dan (3) elemen kendala. Setiap elemen yang dikaji dijabarkan menjadi sejumlah sub elemen menggunakan masukan dari pakar, kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antar sub elemen. Strukturisasi system pengembangan kelembagaan agroindustri padi pada penelitian ini menggunakan teknik permodelan Intepretative Structural Modelling. Informasi yang penting untuk

memahami struktur sistem pengembangan kelembagaan agroindustri padi skala kecil dan menengah adalah hirarki sub-elemen di antara sub elemen yang lain, dan klasifikasi sub-elemen berdasarkan karakteristik yang dinyatakan dengan tingkat driver-power dan tingkat dependency.

Strukturisasi Elemen Kendala

Berdasarkan studi pustaka dan wawancara mendalam dengan pakar teridentifikasi elemen kendala sistem yang terdiri dari sub elemen kendala pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah sebagai berikut: lemahnya sistem kelembagaan usaha bersama (K1), lemahnya petani dapat mengakses modal pada lembaga keuangan (K2), tingkat kepemilikan lahan sawah yang sempit (<0,5 Ha) (K3), kurang adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan agroindustri (K4), belum adanya pembagian tugas proses sesuai dengan keterampilan

Program

Studi pustaka/Survey

pakar

Penentuan elemen,

sub elemen

Penentuan hubungan kontekstual

antara sub elemen pada setiap elemen

Pembuatan Matrix SSIM

untuk setiap elemen

Bentuk Reachability Matrix

(RM) setiap elemen

Uji Matrix dengan

aturan Transsitivity

OK Modifikasi SSIM

Ubah RM menjadi format

lower trianguler RM

Susun diagraph dari

lower triangular

Susun ISM dari setiap

elemen

Tentukan level melalui

pemilihan

Tetapkan Drive dan Drive

Power setiap sub elemen

Tentukan rank dan hirarki

dari setiap sub elemen

Tetapkan Drive Dependence

Matrix setiap elemen

Plot sub elemen pada empat

sektor

Klasifikasi sub elemen pada

4 peubah katagori

Ya

Tidak

Page 48: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

(K5), lembaga penyuluh belum efektif (K6), alih fungsi lahan sawah (K7), dan keterbatasan teknologi (K8).

Diagram struktur pengembangan agroindustri padi menunjukkan bahwa struktur hirarki sub elemen kendala pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah terdiri atas 4 tingkatan (4 level) seperti yang disajikan pada gambar 2B. Pada gambar 2B juga terlihat bahwa kendala utama dalam pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah adalah lemahnya kelembagaan usaha bersama (K-1), belum adanya pengelolaan proses sesuai dengan ketrampilan (K-5), dan keterbatasan teknologi (K-8). Lemahnya kelembagaan usaha bersama, belum adanya pengelolaan proses sesuai dengan keterampilan dan keterbatasan teknologi dalam pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah merupakan elemen kunci dan sekaligus merupakan kendala langsung yang mempengaruhi sub elemen kendala lainnya. Teratasinya sub elemen kunci tersebut akan memberikan kontribusi yang sangat berarti untuk keberhasilan sistem pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah.

Pada gambar 2A matrik driver power-dependence kuadran II menyatakan bahwa kendala (K-4) kurangnya dukungan pemerintah dalam pengembangan agroindustri, (K-6) lembaga penyuluh yang belum efektif, dan (K-7) alih fungsi lahan sawah merupakan peubah dependent, yang artinya memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap sub elemen kendala lainnya.

Hal ini berarti sub elemen kendala kurangnya dukungan pemerintah dalam pengembangan agroindustri, lembaga penyuluh yang belum efektif, dan alih fungsi lahan sawah dapat diatasi apabila sub elemen kendala lainnya dalam sistem pengembangan agroindustri dapat diselesaikan terlebih dahulu.

Elemen yang mempunyai kekuatan pengerak yang besar dan sedikit ketergantungan pada program pengembangan agroindustri padi adalah lemahnya kelembagaan usaha bersama (K-1), belum adanya pengelolaan proses sesuai dengan ketrampilan (K-5), dan keterbatasan teknologi (K-8). Dengan daya gerak yang besar dan ketergantungan terhadap sistem yang lemah, maka elemen lemahnya kelembagaan usaha bersama, belum adanya pengelolaan proses sesuai dengan ketrampilan, dan keterbatasan teknologi merupakan kendala yang harus segera diselesaikan. Ketiga kendala tersebut dapat diselesaikan jika dalam pengembangan agroindustri padi melibatkan pelaku yang mempunyai daya gerak yang besar untuk menyeselaikan lemahnya kelembagaan usaha bersama, pengelolaan proses dan teknologi yang masih terbatas. Keterlibatan petani dan kelompok usaha bersama dapat mendukung penyelesaian kendala dalam pengembangan agroindustri padi, karena petani dan kelompok usaha bersama mempunyai daya dorong yang besar untuk menyelesaikan kendala utama dalam pengembangan agroindustri padi ini dapat terlihat pada gambar 4A.

Gambar 2 Strukturisasi elemen kendala dalam pengembangan agroindustri padi skala kecil

dan menengah.

Sumber : hasil olahan, 2016

Page 49: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Strukturisasi Elemen Tujuan

Dalam merumuskan solusi yang terkait dengan sistem diperlukan pola pikir sibernatik (goal oriented), yaitu konsep berfikir sistem yang berorientasi pada tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada (Eriyatno 2003). Sesuai konsep tersebut teridentifikasi 7 (tujuh) elemen tujuan sistem pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah, yaitu (T-1) mewujudkan lembaga usaha bersama, (T-2) mengembangkan agroindustri padi, (T-3) memperluas lapangan kerja petani, (T-4) meningkatkan pendapatan petani padi, (T-5) meningkatkan usaha dan kerjasma, (T-6) meningkatkan diversifikasi produk pangan, dan (T-7) mempertahankan lahan subur sawah.

Berdasarkan analisis dengan menggunakan teknik ISM yang terlihat pada gambar 3B, sub elemen meningkatkan pendapatan petani (T-4), memperluas lapangan kerja petani (T-3), dan mempertahankan lahan subur sawah (T-7) merupakan elemen kunci dalam pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah, sehingga ketiga elemen tersebut perlu dikaji lebih hati hati karena elemen ini akan mendorong terpenuhinya tujuan yang lainnnya. Tercapainya tujuan peningkatan pendapatan petani, memperluas lapangan kerja petani, dan mempertahankan lahan subur sawah akan mendorong tercapainya tujuan mewujudkan kelembagaan usaha bersama, mengembangan agroindustri padi dan meningkatkan berusaha dan kerjasama.

Tercapainya tujuan-tujuan tersebut secara simultan akan mendorong tercapainya tujuan meningkatkan diversifikasi produk pangan. Hierarki sub elemen tujuan pada elemen tujuan pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah secara skematis dapat dilihat pada gambar 3B.

Gambar 3A terlihat bahwa tujuan seperti mewujudkan kelembagaan usaha bersama (T-1), mengembangkan agroindustri padi (T-2), dan meningkatkan berusaha dan kerjasama (T-5) adalah termasuk peubah linkages dari sistem. Setiap tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut akan menghasilkan sukses pada program pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah, sedangkan lemahnya perhatian terhadap tujuan-tujuan tersebut akan menyebabkan kegagalan program pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah.

Pada sektor IV (independent) yang terdapat pada gambar 3A, menyatakan bahwa tujuan seperti meningkatkan pendapatan petani (T-4), memperluas lapangan kerja petani (T-3), dan mengurangi lahan subur sawah (T-7) merupakan peubah bebas. Hal ini berarti mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dan punya sedikit ketergantungan terhadap program. Sedangkan sub elemen tujuan meningkatkan diversifikasi produk pangan (T-6) termasuk kategori peubah dependent, hal ini berarti tujuan diversifikasi produk pangan akan tercapai apabila semua sub elemen tujuan yang lainnya telah terpenuhi.

Gambar 3 Strukturisasi elemen tujuan pengembangan agroindustri padi skala kecil dan

menengah.

Sumber : hasil olahan, 2016

Page 50: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Strukturisasi Elemen Pelaku

Strukturisasi elemen pelaku pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah pada gambar 4B menunjukan bahwa petani (P-3) dan kelompok usaha bersama (P-1) berada pada level tertinggi, yang berarti bahwa berjalannya sistem pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah sangat di perlukan kelompok usaha bersama dan petani yang akan mendorong pelaku-pelaku yang lainnya untuk mendukung pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah. Pada level 2 adalah Dinas Koperasi dan UKM (P-9), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (P-8), Dinas Pertanian (P-5), lembaga penelitian (P-7), dan pemerintah desa (P-4), hal ini berarti elemen tersebut jika melibatkan diri dan mendorong berjalannya sistem

pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah, maka pelaku lain akan tertarik untuk melibatkan diri dalam pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah.

Sub elemen pelaku agroindustri dan lembaga keuangan berada pada level 1 dan sangat tergantung pada keterlibatan pelaku-pelaku yang ada dalam pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah. Artinya jika pelaku lainnya sudah melibatkan diri dalam pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah, maka pelaku agroindustri dan lembaga keuangan akan melibatkan diri dalam pengembangan program. Hierarki sub elemen pelaku pada elemen pelaku pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah secara skematis dapat dilihat pada gambar 4B.

Gambar 4 Strukturisasi elemen pelaku dalam pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah.

Sumber : hasil olahan, 2016

KESIMPULAN

Identifikasi elemen tujuan, kendala dan pelaku perlu dilakukan dalam rangka pengembangan agroindustri padi tersebut untuk mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan petani. Pemahaman hubungan antar elemen pada pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah tersebut dilakukan dengan menggunakan Intepretative Structural Modeling.

Keberhasilan pengembangan agroindustri padi dapat ditunjukan dengan meningkatnya pendapatan petani, lapangan kerja petani

yang luas, dan bisa mempertahankan lahan subur sawah. Untuk menjalankan program pengembangan agroindustri padi skala kecil dan menengah dibutuhkan pelaku yang mempunyai daya gerak yang besar yang dapat mendorong pelaku-pelaku yang lainnya ikut terlibat dalam pengembangan agroindustri padi, yaitu petani dan kelompok usaha bersama. Sedangkan kendala utama dalam pengembangan agroindustri padi yaitu lemahnya kelembagaan usaha bersama, belum adanya pengelolaan proses sesuai dengan keterampilan, dan teknologi yang terbatas.

UCAPAN TERIMAKASIH

Page 51: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Terimakasih kami sampaikan kepada rekan-rekan Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu terlaksananya penelitian ini dengan lancar dan baik.

DAFTAR PUSTAKA Austin JE. 1992. Agroindustrial Project

Analysis: Critical Design Factors. United States: The Johns Hopkins University Press.

Badan Pusat Statistik. 2015. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2015. Jakarta: BPS.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Daerah

Kabupaten Cianjur 2015. Cianjur: BPS. Badan Pusat Statistik. 2016. Penduduk 15

Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2015. Jakarta: BPS.

Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Jawa

Barat Dalam Angka 2016. Provinsi Jawa Barat: BPS.

Cahyono S dan Dewi S T. 2014. Peran

Kelembagaan Petani dalam Mendukung Keberlanjutan Pertanian sebagai Basis Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1.

Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan

Pertambangan. 2014. Data Kondisi Fisik Jaringan Irigasi. Cianjur: DPSDAP.

Dharmaputra A M. 2014. Penetapan Elemen

Kunci Pengembangan Agroindustri Peternakan dengan Interpretative Structural Modeling (ISM). Jurnal Zootek Vol 34 No 2:130-138.

Eicher Carl K. and John M. Staatz. 1998.

International Agricultural Development. United States: John Hopkins University Press.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan

Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: IPB Press.

Erlina, Endang G S, Machfud, Sukardi, Zainal M. 2011. Kajian Elemen-Elemen Pengembangan Agroindustri Bioetanol Berbasis Bahan Baku Potensial di Provinsi Lampung. Jurnal Bisnis & Manajemen Vol. 7 No. 2.

Fahrizal, Marimin, Mohamad Y, Yanuar J P,

Sumaryanto. 2014. Model Penunjang Keputusan Pengembangan Agroindustri Gula Tebu (Studi Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur). Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 24 (3):189-200.

Fajri Q A. 2015. Pengembangan Sistem Jejaring Agroindustri Beras Berpusat di Koperasi (Studi Kasus Koperasi Pandawa di Kota Malang) [Thesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadja Mada.

Indra A S P, Marimin, Gendut S. (2015).

Model Konseptual Strategi Pengembangan industri Kecil Menengah Berbasis Sumber Daya (Studi Kasus Pengembangan IKM di Pengalengan). Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol 25 (1):14-20.

Jaya R, Machfud, Muhammad Ismail. 2011.

Aplikasi Teknik ISM dan ME-MCDM Untuk Identifikasi Posisi Pemangku Kepentingan dan Alternatif Kegiatan Untuk Perbaikan Mutu Kopi Gayo. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 21 (1):1-8.

Kartikasari E D, Wike A P D, Rizky L R S.

2015. Analisis Elemen Kunci Untuk Pengembangan Usaha dengan Metode Interpretative Structural Modelling (ISM) (Studi kasus di KUD Dau Malang). Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI, Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015.

Kusnandar, Bekti W U, Sapja A. 2012. Model

Aliansi Strategis Agroindustri Skala Kecil (Kasus Kluster Industri Tahu). Jurnal Sepa Vo.9 No.1:74-82.

Kusnandar, Dwiningtyas P, Wiwit R, Agung

W. 2013. Rancang Bangun Model Kelembagaan Agribisnis Padi Organik

Page 52: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 14, No.1: 92-101.

Mangunwidjaja, D. dan I. Sailah. 2009.

Pengantar Teknologi Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta

Nofialdi, Irawadi J, Syafrida M, Marimin,

Yandra A, Sapta R. 2012. Model Pemilihan Tingkat Teknologi, Sumber Pembiayaan dan Kelembagaan Usaha Dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Nagari Dengan Proses Jejaring Analitik. E-Jurnal Agroindustri Indonesia Vol. 1 No. 2:75-81.

Nuraini C, Dwidjono HD, Masyuri, Jamhari.

2016. Model Kelembagaan pada Agribisnin padi Organik Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Agraris Vol. 2 No.1.

Purnama E D. 2014. Skenario

Pengembangan Wilayah Berbasis Daerah Irigasi: Kasus Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur [Thesis]. Bogor: Sekolah Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Purnama E D, Januar J P, Asep S. 2014.

Skenario Pengembangan Wilayah Berbasis Daerah Irigasi (Studi Kasus : DI Cihea Kabupaten Cianjur. Jurnal Irigasi Vol 9, No.2.

Restu P W, Mahatma T, Agung S W. 2015.

Sistem Pengembangan Bunag Hias. Jurnal Rekayasa dan Agroindustri, Vol 3, No. 1.

Riadi F, Machfud, Tajuddin B, Illah S. 2011.

Model Pengembangan Agroindustri Karet Alam Terintegrasi. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 21 (3):146-153.

Sambali H, Fredinan Y, Dietriech G B,

Mukhlis K. 2014. Analisis kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 9 No.1.

Saptana, Sri Wahyuni, Sahat M Pasaribu.

2013. Strategi Percepatan

Transpormasi Kelembagaan Gapoktan dan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis dalam Memperkuat Ekonomi di Perdesaan. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 10 No. 1.

Saxena J P, Sushil, P. Vrat. 1992. Hierarchy

and classi cation of program plan elements using interpretative structural modeling: a case of study of energy conservation in the Indian cement industry. System Practice. 5(6): 651-670

Sianipar M. 2012. Penerapan Intrepretative

Structural Modeling (ISM) Dalam Penentuan Elemen Pelaku Dalam Pengembangan Kelembagaan Sistem Bagi Hasil Petani Kopi dan Agroindustri Kopi. Jurnal Agrointek Vol. 6, No.1.

Sriningsih E, Tatang W, Ari W. 2012. Peran

Agroindustri Padi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Kecamatan Sumbang. Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. 12 No. 1:38-44.

Sutarto D, Padmaningrum, Agung W. 2010.

Kajian Kelembagaan Agribisnis Wortel untuk Mendukung Pengembangan Kawasan Agropolitan Suthomadansih di Kabupaten Karanganyar. Jurnal Caraka Tani Vol. 25, No. 1.

Syahyuti. 2011. Gampang-gampang Susah

Mengorganisasikan Petani. Kajian Teori dan Praktek Sosiologi Lembaga dan Organisasi. Bogor: Penerbit IPB Press.

Tsurayya S, Lindawati K. 2015. Kelembagaan

dan Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Cabai Kabupaten Garut. Jurnal Manajemen & Agribisnis Vol. 12 No. 1.

Udin F, Marimin, Sukardi, Agus B, Haryadi H.

2015. Investasi dan Pemilihan Penggilingan pada Agroindustri Padi dengan Pendekatan Fuzzy, Studi di Kabupaten Cianjur. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 25(1):23-34.

Page 53: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal
Page 54: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

1

STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN KANAL

BANJIR TIMUR DI KOTA SEMARANG

Integrated Stratetegic Arrangement Of The Riverbanks Settlement Of East

Flood Canal In Semarang City

Nino Heri Setyoadi

Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Balitbang PUPR

Jalan Laksda Adisucipto No.165 Yogjakarta 55281 Email : [email protected]

ABSTRACT

East Flood Canal handling of Semarang will not be effective without arranging illegal settlements on the riverbanks of east

flood canal. Settlements arrangement on the riverbanks of east flood canal should be a priority. Settlements arrangement on

the riverbanks has not been optimal. The pattern of arrangement is still sporadic, not well planed, and lack of effective

coordination. This paper is designed to provide policy advice and strategies to enhance effectiveness of the settelement

arrangement on the riverbanks of east flood canal. The data collection was done with secondary data documentation, indepth

interviews, and observations of the condition of settlement. To analyze the data, the methods used are the technique of multi-

criteria evaluation and analysis of qualitative data. In order to improve the effectiveness of the settlement arrangement,

priority locations starting from the village area of Peterongan, Kedungmundu and Lamper Tengah. For the area is dominated

by residential area, recommended strategy is relocating to the apartment. For the area is dominated by business activities,

strategy recommended is relocating to the center of street vendors or traditional markets. For the area with a combination of

residential and business activities, the recommended strategy is to integrate appartment with the center of street vendors or

traditional markets in an integrated area or to ensure ease of access between appartment with the center of street vendors or

traditional markets.

Keywords : settlements arrangement, illegal settlement, relocation, appartment and traditional market

ABSTRAK

Upaya penanganan Kanal Banjir Timur kota Semarang tidak akan efektif tanpa menata permukiman di bantaran kanal

banjir timur. Penataan permukiman di bantaran kanal banjir timur harus menjadi prioritas penanganan banjir kota

Semarang. Penanganan permukiman bantaran kanal banjir timur selama ini belum optimal. Pola penanganan masih

sporadis, belum terencana, dan belum terkoordinasi dengan efektif. Tulisan ini disusun untuk memberikan masukan

kebijakan dan strategi dalam meningkatkan efektifitas penanganan permukiman bantaran kanal banjir timur. Metode

pengumpulan data yang dilakukan berupa dokumentasi data sekunder, wawancara mendalam, dan pengamatan kondisi

permukiman. Analisis data menggunakan teknik multi criteria evaluation dan analisis data kualitatif. Untuk meningkatkan

efektifitas maka lokasi prioritas penanganan dimulai dari wilayah kelurahan Peterongan, Kedungmundu dan Lamper

Tengah. Untuk wilayah dengan dominasi hunian strategi yang dilakukan berupa relokasi ke rumah susun. Pada wilayah yang

di dominasi oleh kegiatan usaha, strategi yang dilakukan berupa relokasi ke sentra PKL/pasar tradisional. Wilayah dengan

kombinasi antara hunian dan kegiatan usaha strategi yang dilakukan adalah mengintegrasikan rumah susun dengan sentra

PKL/pasar tradisional di suatu kawasan terpadu atau dengan menjamin kemudahan akses antara rumah susun dengan

sentra PKL/pasar tradisional.

Kata Kunci : penanganan permukiman, permukiman ilegal, relokasi, rumah susun dan pasar tradisional

Page 55: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

2

PENDAHULUAN

Kanal Banjir Timur (KBT) merupakan bagian sistem pengendalian banjir/drainase kota Semarang yang dibangun pada tahun 1896 – 1903. KBT di bangun untuk melindungi wilayah Semarang bagian Timur serta kawasan Pelabuhan Semarang. KBT merupakan salah satu bagian dari sistem drainase Semarang Timur yang terdiri dari 5 segmen saluran meliputi KBT, kali Tenggang, kali Sringin, kali Babon dan kali Pedurungan. KBT memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) sebesar 3.704,80 ha. Kondisi KBT saat ini sudah tak mampu lagi menampung debit banjir yang ada. Terakhir pada akhir Maret 2015 lalu, KBT meluap hingga menggenangi daerah pemukiman di sekitarnya. Berkurangnya kapasitas KBT tersebut diakibatkan tingginya sedimentasi, pemanfaatan ruang sungai yang tidak tepat, serta banyaknya sampah (Adijaya et al, 2015)

Untuk mengembalikan fungsi utama KBT sebagai floodway di wilayah Semarang timur, ada beberapa upaya yang akan dilakukan. Berdasarkan rencana induk drainase kota Semarang, beberapa upaya tersebut meliputi ; pengerukan sedimen dan pembersihan saluran dari sampah dan tumbuhan liar, perbaikan tanggul di kanan kiri kali KBT dari Jalan Brigjen Sudiarto sampai muara, penurunan debit yang masuk ke KBT dengan membangun 4 embung masing–masing 2 embung di Kelurahan Sambiroto seluas 6,19 ha dan 0,49 ha, Kelurahan Mangunharjo seluas 0,2 ha, dan Kelurahan Jangli seluas 3,86 ha, dalam jangka panjang, setelah Kali Dombo-Sayung difungsikan, pintu air di Bendung Pucanggading ke Banjir Kanal Timur ditutup. Banjir Kanal Kebon Batur dibalik arah alirannya, semula dari Kali Dolok ke Kali Penggaron menjadi dari kali Penggaron ke Kali Dolok, dan kapasitas kali Dolok Hilir ditingkatkan, penataan bangunan-bangunan liar disepanjang sungai dan meningkatkan keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan drainase dan pengembangan prasarana pemanenan air hujan.

Berbagai upaya teknis tidak akan efektif tanpa adanya kesungguhan dalam menata permukiman ilegal di sepanjang KBT. Permasalahan utama dalam penanganan KBT berupa problem sosial permukiman ilegal di sepanjang bantaran KBT. Dalam data yang tercatat di Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah terdapat 4097 bangunan/bidang liar tersebar di sepanjang

KBT. Permukiman ilegal di bantaran KBT di dipadati penduduk dengan berbagai kegiatan sektor informal seperti PKL, pedagang barang bekas (BARITO), karaoke liar (Jl. Unta Raya), pengrajin bata dan ternak kerbau (Sambirejo) dan sektor formal buruh, nelayan (Tanjung Mas). Bangunan yang berada di bantaran KBT bersifat darurat, semi permanen dan permanen dengan ukuran yang bervariasi mulai dari 3 x 3 meter hingga 12 x 10 meter.

Dalam penanganan permukiman ilegal di KBT, pemerintah kota Semarang berencana untuk melakukan penataan menyeluruh dengan merelokasi warga dari bantaran KBT. Permukiman ilegal di KBT di setiap kelurahan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut perlu dipahami secara lebih obyektif supaya dapat dicapai kebijakan dan strategi penanganan yang lebih efektif. Dalam melakukan upaya penataan permukiman bantaran KBT, dibutuhkan strategi yang tepat meliputi pemilihan lokasi prioritas penanganan, strategi penanganan dan tahapan penanganan.

Selama ini, upaya penanganan permukiman bantaran KBT belum optimal yang ditunjukkan dengan beberapa hal. Pola penanganan masih sporadis dan belum terkoordinasi dengan baik sebagai contoh dalam penanganan kelurahan Pandean Lamper. Upaya penanganan permukiman liar bantaran KBT di Pandean Lamper selama ini terhambat oleh ulah para oknum aparat dan preman-preman yang menjadi backing kegiatan usaha seperti karaoke liar dan panti pijat. Selain itu sambungan instalasi listrik PLN juga telah menghambat upaya penertiban karena memanfaatkan program bantuan listrik untuk masyarakat. Untuk itu diperlukan penyatuan pemahaman dan koordinasi/kerjasama lebih intensif didalam jajaran pemerintah kota Semarang dan institusi lain seperti PLN, Kepolisian, dan sebagainya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, tulisan ini disusun untuk memberikan masukan kebijakan dalam meningkatkan efektifitas penanganan permukiman bantaran KBT. Dalam penanganan bantaran KBT kota Semarang membutuhkan strategi penanganan yang sistematis sehingga memberikan dampak perubahan yang signifikan. Pertama, strategi yang harus diputuskan berupa pemilihan lokasi prioritas penanganan. Lokasi prioritas tersebut harus menjadi wilayah

Page 56: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

3

percontohan yang memiliki dampak positif signifikan terhadap wilayah-wilayah bantaran KBT lainnya. Kedua, perumusan strategi penanganan berdasarkan karakteristik masing-masing permukiman bantaran KBT berbasiskan klusterisasi pemanfaatan bangunan/lahan dan jenis-jenis kegiatan usaha. Ketiga menyusun tahapan-tahapan penanganan agar para pelaksana dapat menjalankan upaya penataan secara efektif berdasarkan kemampuan dan sumberdaya yang tersedia.

METODE

Dalam menjawab tujuan penelitian, metode yang digunakan disesuaikan dengan masing-masing tujuan. Untuk memilih lokasi prioritas penanganan, metode yang digunakan berupa multi criteria evaluation (MCE) yang dikombinasikan dengan analisis data kualitatif. Pertimbangan pemilihan lokasi dengan MCE didasarkan pada aspek fisik permukiman dengan 3 (tiga) kriteria utama yang dipertimbangkan berupa ; luas wilayah permukiman, kondisi fisik bangunan/lahan, dan kompleksitas peruntukkan bangunan/lahan.

Asumsi dasar kriteria luas permukiman adalah semakin besar luas wilayah bangunan/lahan yang harus ditangani maka semakin besar resiko sosial dan tingkat kesulitannya. Asumsi dasar dari kondisi bangunan (darurat, semi permanen, permanen) adalah semakin permanen kondisi bangunan yang ada maka semakin besar resiko dan biaya untuk pembongkaran bangunan tersebut. Untuk kriteria peruntukkan bangunan asumsi dasarnya adalah untuk hunian murni atau usaha murni di asumsikan lebih mudah ditangani dibandingkan dengan campuran/kombinasi hunian dan ruang usaha. Penduduk yang murni menempati bantaran KBT cenderung membutuhkan hunian baru sebagai solusi seperti rumah susun. Peduduk yang hanya menggunakan bangunan untuk kios/toko lebih membutuhkan ruang usaha baru seperti sentra PKL atau pasar tradisional sesuai dengan jenis komoditas yang mereka jual belikan.

Selanjutnya hasil perhitungan lokasi prioritas selanjutnya di analisis secara kualitatif dengan melihat tingkat kesiapan warga KBT, tingkat dukungan masyarakat terdampak banjir, peran tokoh dan aparat pemerintah tingkat kelurahan/kecamatan sebagai ujung tombak pemerintah kota.

Perumusan strategi dan tahapan penanganan permukiman KBT menggunakan analisis data kualitatif. Pada tahap ini, data permukiman dibedakan berdasarkan jenis pemanfaatan bangunan/lahan dan kegiatan usaha. Adapun klusterisasi yang ditetapkan berupa kategori hunian murni, ruang usaha dan kombinasi antara hunian dan ruang usaha. Perbedaan kategori pemanfaatan bangunan/lahan dan kegiatan usaha tersebut mencerminkan perbedaan kebutuhan ruang dan fungsi yang memfasilitasi kegiatan dominan. Perumusan tahapan penanganan dirumuskan dengan melihat praktik-praktik terbaik proses relokasi diberbagai daerah seperti Surabaya, Bandung, dan sebagainya (bench marking). Dengan mempelajari praktik terbaik tersebut dan dikontekstualisasikan dengan kasus KBT Semarang diharapkan mendapatkan hasil yang positif.

Teknik pengambilan data menggunakan beberapa metode meliputi dokumentasi data sekunder, wawancara mendalam dan pengamatan lapangan. Dokumentasi data sekunder dilakukan di beberapa instansi seperti Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah, BBWS Pemali Juana dan Dinas PSDA ESDM kota Semarang. Wawancara mendalam dilakukan kepada lurah, tokoh warga KBT seperti ketua RT dan RW di kelurahan Pandeyan Lamper, Sambirejo, Kaligawe, Tambakrejo dan Sawah Besar kota Semarang. Sementara untuk pengamatan lapangan dilakukan di kelurahan tersebut dengan mengamati kondisi fisik bangunan, sarana prasarana maupun berbagai aktifitas warga bantaran KBT.

STUDI PUSTAKA

Karakteristik Permukiman Ilegal

Permukiman di bantaran sungai atau kanal banjir merupakan permukiman ilegal (squatters). Meskipun memiliki kesamaan pada ciri-ciri kondisi fisik bangunan dan pelayanan infrastruktur dasar, squatters dibedakan dengan permukiman kumuh (slums area). Dalam berbagai literatur karakteristik squatters ditekankan pada aspek legalitas kepemilikan lahan/bangunan dan pelayanan infrastruktur dasar. Squatters merupakan permukiman yang berasal dari invasi tanah secara paksa dengan melanggar aturan kepemilikan lahan yang berlaku (Navarro and Turnbull, 2013). Dalam UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Page 57: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

4

kawasan kumuh merupakan permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Kemunculan permukiman ilegal seringkali disebabkan oleh proses urbanisasi melalui jalur migrasi penduduk pedesaan ke kota untuk mendapatkan mata pencaharian yang dinilai lebih baik. Dengan keterbatasan ketrampilan yang dimiliki, maka penduduk desa tersebut tidak dapat diterima di sektor-sektor formal pekerjaan di perkotaan. Untuk mempertahankan hidup diperkotaan, mereka melakukan pekerjaan sektor informal seperti pedagang kaki lima, buruh serabutan, tukang becak dan sebagainya. Dengan pendapatan yang kecil, akses mereka ke perumahan formal sangat terbatas, sehingga membuat mereka melakukan okupasi ruang-ruang publik secara ilegal (Navarro and Turnbull, 2013). Dengan demikian fokus penanganan masalah squatters bukan pada kualitas lingkungan atau sarana prasarana namun pada aspek legalitas kepemilikan lahan (secure tenure).

Letak permukiman ilegal di pusat perkotaan yang strategis seringkali menjadi alasan penduduk tetap bertahan meski kondisi lingkungan permukiman terus menurun kualitasnya. Hasil penelitian Sulestianson dan Indrajati (2014) menunjukkan bahwa secara spasial lokasi permukiman kumuh secara spasial memiliki kedudukan penting terhadap kawasan sekitarnya, dekat dengan tempat bekerja penghuni, sehingga biaya transportasi menjadi murah. Dengan demikian mendekatkan tempat hunian dengan lokasi bekerja atau memudahkan aksesibilitasnya harus dipertimbangkan dalam penataan permukiman kumuh.

Penanganan Permukiman Ilegal

Dalam penanganan permukiman ilegal, peran pemerintah daerah sangat besar karena pemerintah daerah yang memiliki pengalaman dan kemampuan lengkap mengenai permukiman ilegal tersebut. Meskipun demikian, kemitraan dengan organisasi-organisasi komunitas yang bergerak dalam pengentasan kaum miskin kota menjadi penting. Peran pemimpin lokal seperti tokoh masyarakat berpotensi menjadi jembatan kemitraan antara pemerintah dan organisasi

komunitas dalam penanganan permukiman ilegal (Sikder et al, 2015).

Dalam penanganan permukiman ilegal, solusi yang dimunculkan supaya komprehensif dan berkelanjutan harus memperhitungkan konteks dan sumberdaya lokal yang tersedia (Sikder el al, 2015). Dengan demikian pelibatan aktor-aktor lokal dengan kemampuan dan sumberdaya yang mereka miliki harus diperhitungkan dalam penanganan permukiman ilegal. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan dukungan dan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk mengatasi berbagai hambatan dalam penanganan permukiman ilegal.

Terdapat suatu pemahaman umum bahwa proses permukiman kembali melalui relokasi berdampak negatif secara sosio kultural khususnya pada kasus-kasus seperti pembangunan bendungan besar. Proses relokasi telah mencerabut masyarakat dari akar dan ikatan sosial budaya yang sudah terbangun lama (Galipeau, et al, 2013). Selain itu dalam proses relokasi sangat penting memperhatikan dampak terhadap tingkat pendapatan. Upaya rehabilitasi dan restorasi pendapatan dan peningkatan kapasitas adaptasi harus dilakukan agar kondisi ekonomi warga yang direlokasi tidak menjadi lebih buruk dari kondisi sebelumnya (Modi, 2011). Kajian yang dilakukan oleh Rianto (2012) menunjukkan hasil yang sebaliknya, upaya rekolasi yang di dahului dengan tuntasnya pembebasan lahan justru meningkatkan kesejahteraan penduduk dilihat dari aspek pekerjaan, kepemilikan aset rumah tangga dan akses ke pelayanan publik.

Pengalaman peningkatan kulitas permukiman informal secara in situ di Cape Town Afrika Selatan tanpa dukungan lingkungan sekitar justru meningkatkan ketegangan antar komunitas. Keberhasilan proses peningkatan kualitas permukiman informal tidak saja terletak pada peningkatan kapasitas penduduk yang ditata, namun juga pada komunitas lingkungan sekitar dan infrastruktur dasarnya (Shortt dan Hammett, 2013). Dengan demikian, upaya penataan permukiman ilegal harus mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar yang menempati permukiman formal.

Pada kasus relokasi ruang usaha seperti pasar tradisional atau PKL maka beberapa kajian bisa menjadi rujukan. Penelitian oleh Hanifah dan

Page 58: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

5

Musaddun (2014) terkait relokasi PKL secara fisik dari sudut pandang pedagang dinilai berhasil makanala lokasi relokasi dekat dengan tempat tinggal dan sarana prasarana yang memuaskan. Keberhasilan secara fisik juga harus diikuti dengan keberhasilan secara ekonomi meliputi peningkatan omset dan keuntungan serta retribusi yang terjangkau. Sementara untuk faktor-faktor yang dapat menghambat proses relokasi PKL meliputi kurang akuratnya pendataan pedagang, kelayakan tempat usaha yang baru dan keterjangkauan sewa kios/los/lapak untuk pedagang (Dewi, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Permukiman Bantaran KBT

Permukiman di bantaran KBT berdasarkan data inventarisasi pendataan bangunan tahun

2015 oleh Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah di sepanjang bantaran KBT dan hasil survey yang sudah dilakukan meliputi 7 wilayah kecamatan yang terdiri dari 19 kelurahan. Perkiraan luasan wilayah bantaran tersebut secara keseluruhan seluas 144.898,70 m2. Kecamatan dengan permukiman bantaran paling luas KBT adalah Kecamatan Gayamsari dengan luasan sebesar 45.647 m2. Wilayah kedua adalah kecamatan Semarang Timur dengan luas 39.396 m2, kecamatan ketiga adalah kecamatan Pedurungan dengan luas 29.912 m2. Kemudian 4 kecamatan lain mempunyai luas lebih kecil dari pada ketiga kecamatan tersebut, yaitu kecamatan Semarang Selatan dengan luasan 14.669 m2, Tembalang dengan luasan wilayah 7.467m2, Semarang Utara dengan luasan 6.259m2, dan kecamatan Genuk seluas 1.548 m2. Gambaran secara spasial wilayah permukiman KBT dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Peta Permukiman KBT Sumber : PKPT, 2016

Page 59: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

6

Jumlah bangunan berdasarkan pendataan oleh Dinas PSDA dalam dokumen inventarisasi pendataan bangunan di bantaran Kanal Banjir Timur secara keseluruhan berjumlah 3.787 unit bangunan. Kecamatan dengan bangunan terdampak terbanyak adalah di Kecamatan Semarang Timur dengan jumlah 1616 unit bangunan, diikuti Kecamatan Gayamsari dengan 958 unit, dan Kecamatan Pedurungan dengan 521 unit bangunan. Kecamatan dengan unit bangunan di bantaran KBT paling sedikit ada di Kecamatan Genuk dengan 53 unit bangunan.

Berdasarkan data, jumlah bangunan di bantaran KBT terbagi menjadi beberapa kondisi rumah yaitu darurat (rumah non permanen) berjumlah 80 unit, rumah semi permanen 2.034 unit, dan rumah permanen 1.624 unit. Dari data tersebut, terlihat bahwa kebanyakan bangunan di bantaran KBT berupa bangunan permanen. Jumlah bangunan rumah permanen dan semi permanen terbanyak terdapat di Kecamatan Semarang Timur, sedangkan paling sedikit dijumpai pada Kecamatan Genuk. Bangunan-bangunan tersebut tidak hanya digunakan sebagai hunian rumah, beberapa diantaranya digunakan sebagai tempat usaha (kios, warung, bengkel, gudang dan sebagainya).

Gambar 2. Kondisi Bangunan Permukiman KBT

sumber : PKPT, 2016

Berdasarkan peruntukkan atau pemanfaatan lahan dan bangunan, terdapat 2 (dua) kategori besar yakni bangunan dan lahan yang dimanfaatkan hanya sebagai hunian dan bangunan/lahan yang dimanfaatkan sebagai hunian dan non hunian (ruang usaha, kios/toko, warung makan, tempat hiburan, fasum/fasos serta

lahan kosong). Warga KBT yang memanfaatkan bangunan dan lahan hanya sebagai hunian saja sejumlah 1869 KK yang tersebar di berbagai wilayah bantaran KBT. Mayoritas hunian ini berada di kecamatan Semarang Timur khususnya di kelurahan Pandean Lamper, kecamatan Pedurungan (Gemah), kecamatan Gayamsari (Sambirejo) dan Semarang Utara (Tanjung Mas). Sementara warga bantaran KBT yang memanfaatkan bangunan dan lahan untuk hunian dan ruang usaha serta yang murni sebagai tempat usaha memiliki beberapa variasi jenis usaha. Variasi jenis usaha tersebut meliputi kios/toko yang menjual berbagai macam kebutuhan dan jasa seperti menjual sembako, sayuran, pulsa dan aksesoris HP, elektronik, onderdil kendaraan, gas elpiji, bengkel kendaraan dan tukang cukur dan sebagainya. Berdasarkan wilayahnya, warga bantaran KBT yang bergantung dari berbagai jenis usaha penjualan barang dan jasa di KBT meliputi wilayah kecamatan Semarang Timur, Gayamsari, Semarang Selatan, Semarang Utara (PKPT, 2016).

Gambar 3. Peruntukkan Bangunan/Lahan KBT Sumber : PKPT, 2016

Pengidupan warga bantaran KBT Semarang dapat diamati dari peruntukkan bangunan dan lahan yang dimanfaatkan selama ini. Warga yang memanfaatkan bangunan dan lahan hanya sebagai hunian memiliki mata pencaharian yang bervariasi. Secara umum bekerja sebagai pemulung sampah, buruh serabutan, buruh pabrik, tukang batu, tukang becak, dan pengangguran. Khusus di wilayah Tanjung Mas banyak berprofesi sebagai nelayan atau pembudidaya ikan. Sebagaimana di jelaskan sebelumnya penghidupan warga yang memanfaatkan bangunan dan lahan untuk ruang usaha memiliki mata pencaharian bervariasi mulai

Page 60: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

7

dari pedagang, jasa, pengrajin industri kecil dan sebagainya (PKPT, 2016).

Strategi dan Tahapan Penanganan

Dalam penanganan bantaran KBT kota Semarang membutuhkan strategi penanganan yang sistematis sehingga memberikan dampak perubahan yang signifikan. Salah satu strategi yang harus diputuskan berupa pemilihan lokasi prioritas penanganan. Lokasi prioritas tersebut harus menjadi wilayah percontohan yang memiliki dampak positif signifikan terhadap wilayah-wilayah bantaran KBT lainnya. Dalam memilih lokasi prioritas terdapat beberapa pertimbangan utama berupa lokasi yang dipilih memiliki resiko minimal baik secara fisik, sosial dan ekonomi dan memiliki potensi keberhasilan paling tinggi.

Berdasarkan analisis multi kriteria evaluasi dan analisis data kualitatif maka dapat di susun lokasi prioritas penanganan dan tahapan per lokasi. Adapun lokasi-lokasi tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Pemilihan Lokasi Prioritas

Sumber : Dinas PSDA, 2015

Lokasi prioritas tahap I di kelurahan Peterongan, Kedungmundu dan Lamper Tengah. Ketiga kelurahan tersebut berada di kecamatan Semarang Selatan. Ketiga lokasi ini dipilih karena memiliki resiko sosial ekonomi lebih kecil dibanding wilayah lainnya. Selain itu ketiga wilyah tersebut memiliki kesamaan karakteristik berada di antara pusat kota dan wilayah Semarang atas. Pelaksanaan relokasi di wilayah ini diharapkan berjalan dengan lancar dan berhasil sehingga memberikan dampak signifikan kepada wilayah-wilayah lain untuk mengikuti proses yang sama.

Lokasi prioritas tahap II di kelurahan Terboyo Kulon, Tanjung Mas dan Bugangan. Ketiga wilayah ini memang berada di kecamatan yang berbeda-beda, namun memiliki karakteristik yang hampir sama. Ketiga wilayah tersebut berada di daerah pesisir sehingga pendekatannya akan berbeda dengan wilayah lainnya. Lokasi prioritas tahap III di kelurahan-kelurahan di wilayah kecamatan Gayamsari ditambah dengan kelurahan Karangtempel dan Pandean Lamper. Wilayah ini merupakan wilayah paling berat untuk di tangani berdasarkan data-data dalam tabel maupun dari pengalaman selama ini. Namun dengan asumsi tahap I dan II berjalan dengan sukses, diharapkan warga KBT di wilayah ini akan tergerak untuk mengikuti proses relokasi secara mantap. Lokasi prioritas tahap IV di kelurahan-kelurahan yang belum dilakukan relokasi di tahap I – III seperti Rejosari, Mlatiharjo, Kemijen, Pedurungan Kidul, Gemah dan Sendaguwo. Proses pelaksaan di wilayah terakhir ini diharapkan bisa lebih mudah karena diasumsikan pemerintah kota sudah berpengalaman matang dalam melaksanakan proses-proses relokasi.

Pada kelurahan-kelurahan yang warga bantaran KBT memanfaatkan bangunan/lahan dominan untuk hunian seperti di kelurahan Peterongan, Kedungmundu (kec. Semarang Selatan ), Terboyo Kulon (kec. Genuk), Pedurungan Kidul dan Gemah (kec. Pedurungan), Sendangguwo (kec. Tembalang) serta Tanjung Mas (kec. Semarang Utara) maka strategi penanganan yang dilakukan berupa relokasi ke rumah susun. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga bantaran KBT, mereka tidak memiliki hunian selain yang ditempati saat ini. Oleh karena itu jika hendak di relokasi maka solusinya hunian diganti dengan hunian seperti rumah susun. Pada kelurahan dimana warga bantaran KBT dominan memanfaatkan bangunan/lahan untuk ruang usaha seperti kios/toko dan gudang seperti kelurahan Lamper Tengah dan Sambirejo (kec. Semarang Selatan), Karangtempel, Rejosari, Bugangan, dan Kemijen (kec. Semarang Timur) maka perlu strategi relokasi ke sentra-sentra PKL baru atau pasar tradisional berbasis klusterisasi komoditas. Pada wilayah kelurahan dengan penggunaan campuran antara hunian dan ruang usaha seperti kelurahan-kelurahan di kecamatan Gayamsari dan sebagian Semarang Timur (kelurahan Pandean Lamper dan Mlatiharjo) maka dibutuhkan integrasi atau kemudahan akses

Page 61: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

8

Tahapan Aktifitas Hasil Yang Diharapkan

Perencanaan Pendataan dan pemetaan profil permukiman ilegal sepanjang KBT

Profil permukiman yang akurat untuk analisis pengambilan keputusan

Penyusunan Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP)

Dokumen LARAP yang legitimate

Penyusunan DED Rumah Susun dan Sentra PKL/Pasar Tradisional

DED Rusun dan Sentra PKL/Pasar Tradisional yang legitimate

Pelaksanaan Pembangunan rumah susun dan sentra PKL / Pasar Tradisional

Rusun dan Sentra PKL/Pasar Tradisional yang layak dan terjangkau

Sosialisasi rencana relokasi warga KBT Kesepakatan bulat seluruh pihak terkait rencana relokasi

Penyiapan calon penghuni dan pengelola rumah susun

Meningkatkan kapasitas adaptasi calon penghuni rusun dan kompetensi pengelola rusun

Persiapan pembongkaran bangunan (waktu jeda)

Semua properti warga yang akan di pindahkan sudah siap dipindahkan

Pelaksanaan rekolasi dan pembongkaran bangunan

Proses relokasi dan pembongkaran bangunan berlangsung kondusif

Penghunian dan Operasional Rusun dan Sentra PKL/Pasar

Pendayagunaan rumah susun dan sentra PKL/pasar tradisional yang dijalankan dengan program pemberdayaan sosial ekonomi

Meningkatnya kondisi penghidupan warga KBT dibandingkan ketika tinggal di KBT

Monitoring dan Evaluasi Pasca Relokasi

Melakukan evaluasi guna melihat perbaikan / peningkatan taraf penghidupan warga KBT

Rekomendasi perbaikan program pemberdayaan dan operasional rusun dan sentra PKL/pasar yang efektif

antara relokasi hunian dengan sentra PKL/Pasar. Jika masih terdapat lahan yang memungkinkan maka dapat di bangun rumah susun yang terintegrasi dengan ruang usaha seperti sentra PKL di dalam satu kawasan terpadu.

Upaya penanganan permukiman bantaran KBT dilaksanakan dengan memperhatikan

tahapan-tahapan yang jelas dan terukur. Tahapan-tahapan penanganan permukiman ilegal KBT meliputi tahap perencanaan, tahapan pelaksanaan relokasi, tahap penghunian rumah susun dan operasional sentra PKL/Pasar Tradisonal serta monitoring dan evaluasi pasca relokasi. Gambaran tahapan penanganan permukiman ilegal dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Tahapan Penanganan

Sumber : Analisis Peneliti, 2016

Pada kegiatan di setiap tahapan dibutuhkan strategi yang sesuai. Pada kegiatan pemetaan, aspek yang dipetakan meliputi kondisi fisik bangunan, karakteristik usaha, kependudukan, kepemilikan aset dan sebagainya. Pemetaan melibatkan peran tokoh setempat yang sudah mengenal baik karakteristik lokasi sehingga hasilnya akurat sebagai bahan analisis pengambilan keputusan. Pemetaan karakteristik usaha harus mampu mengidentifikasi jenis usaha, ikatan jenis usaha dengan lokasi, ikatan jenis usaha dengan pelanggan, dan jejaring antar komoditas. Jika dilihat dari data jenis usaha, kelompok usaha seperti penjual onderdil kendaraan, bengkel kendaraan, alat-alat dan perkakas rumah tangga dapat di satukan dalam satu sentra PKL. Jenis usaha lain yang dapat di satukan bersama dengan kelompok tersebut bisa

berupa usaha warung makan, konter hp/pulsa, dan warung barang pecah belah. Namun untuk jenis usaha penjualan satwa, pemotongan ayam, penjual ikan hias ditempatkan pada sentra PKL yang berbeda.

Dalam penyusunan LARAP dan DED dibutuhkan koordinasi yang efektif antar SKPD seperti Bappeda, Dinas Tata Kota, dan Dinas Pasar. Lokasi untuk relokasi penduduk dan kegiatan usaha harus mudah diakses oleh penduduk. Penyediaan transportasi murah dan khusus untuk warga relokasi akan sangat membantu mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Penyediaan sarana dan prasarana di rumah susun dan sentra PKL/pasar tradisional yang layak dan terjangkau akan memudahkan kegiatan rumah tangga dan usaha seperti listrik, air minum, sanitasi dan telekomunikasi.

Page 62: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

9

Pada proses sosialisasi rencana relokasi, melibatkan unsur SKPD terkait, Dinas PSDA Jateng dan BBWS Pemali Juana. Sosialisasi harus memanfaatkan semua kanal media yang otoritatif termasuk media sosial yang resmi. Peran penduduk sekitar KBT yang selama ini menjadi korban banjir guna memberikan dukungan terhadap proses relokasi juga penting dalam proses sosialisasi ini. Dengan dukungan dari warga kota terhadap proses relokasi akan meningkatkan legitimasi sekaligus kekuatan sosial politik bagi pemerintah kota Semarang.

Warga bantaran KBT juga harus disiapkan dahulu sebelum pindah ke rumah susun melalui pelatihan yang interaktif, simulasi penghunian dan kunjungan ke rusun yang beroperasi dengan optimal. Dengan penyiapan ini diharapkan warga bantaran KBT telah memiliki kapasitas adaptasi minimal untuk menghuni dan mendayagunakan rumah susun secara benar. Selain itu pemerintah kota juga harus menyiapkan calon pengelola rumah susun agar memiliki kompetensi minimal agar mampu mengelola rumah susun secara profesional.

Ketika proses relokasi akan berlangsung, dibutuhkan waktu jeda kepada warga agar dapat melakukan berbagai persiapan seperti mengemasi barang-barang dan dokumen penting. Pemerintah kota dapat menawarkan bantuan melalui petugas untuk ikut membantu pengemasan dan pemindahan barang-barang penting tersebut. Selain itu pemerintah kota dapat menyediakan jasa transportasi pemindahan secara gratis. Pendekatan budaya dapat dilakukan pada proses relokasi. Sebelum relokasi dan pembangkaran bangunan di bantaran KBT maka didahului dengan pendekatan budaya seperti kirab dan selamatan pindahan warga KBT. Pendekatan ini akan menghilangkan kesan bahwa relokasi dan pembongkaran bangunan merupakan “penggusuran yang tidak manusiawi”.

Pasca relokasi, untuk memastikan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan warga bantaran KBT maka harus dilakukan program pemberdayaan sosial ekonomi yang sistematis. Program ini dilakukan untuk memulihkan kondisi ekonomi khususnya tingkat pendapatan rumah tangga dan pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Pada tahap ini pemerintah kota dapat menggalang kemitraan dengan berbagai pihak seperti CSR sehingga

semakin banyak sumberdaya yang dapat membantu kesejahteraan warga pasca relokasi. Upaya tersebut disertai dengan monitoring dan evaluasi agar program pemberdayaan dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Lokasi prioritas penanganan bantaran KBT di susun secara bertahap dimulai dari lokasi-lokasi yang memiliki resiko sosial ekonomi paling kecil, kedekatan posisi geografis dan kesamaan karakteristik permukiman.

2. Pada wilayah yang di dominasi oleh hunian, maka strategi yang dilakukan berupa relokasi ke rumah susun yang dilengkapi dengan sarana prasarana permukiman yang layak, terjangkau dan kemudahan akses transportasi ke tempat bekerja/berusaha. Untuk wilayah dengan dominasi ruang usaha maka perlu strategi relokasi ke sentra-sentra PKL atau pasar tradisional baru berbasis klusterisasi komoditas. Sedangkan untuk wilayah dengan penggunaan campuran antara hunian dan ruang usaha dibutuhkan integrasi atau kemudahan akses antara relokasi hunian dengan sentra PKL/pasar tradisional.

3. Tahapan penanganan permukiman bantaran

KBT dimulai dari ; tahap perencanaan yang

meliputi kegiatan pemetaan profil

permukiman, penyusunan LARAP dan DED;

tahap pelaksanaan meliputi kegiatan

pembangunan rumah susun dan sentra

PKL/pasar tradisional, sosialisasi terpadu,

penyiapan calon penghuni dan pengelola

rumah susun, persiapan pembongkaran

bangunan, dan pelaksanaan relokasi dan

pembongkaran bangunan; tahap penghunian

dan operasional rumah susun dan sentra

PKL/pasar tradisional; tahap monitoring dan

evaluasi pasca relokasi.

Untuk meningkatkan keterpaduan seluruh strategi penanganan permukiman bantaran KBT maka dirokemendasikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kepemimpinan penanganan permukiman

bantaran KBT harus dilakukan oleh Walikota

Page 63: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

10

2. Semarang agar upaya penanganan berjalan

efektif dan berkelanjutan.

3. Perlu dibentuk kelompok kerja penanganan permukiman KBT yang berada langsung dibawah kendali Walikota terdiri dari unsur SKPD terkait seperti Bappeda, Dinas Tata Kota, Dinas Pasar dan Dinas PSDA ESDM kota Semarang. Kelompok kerja juga melibatkan Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah dan BBWS Pemali Juana.

4. Melakukan upaya kemitraan khususnya

dengan masyarakat dan swasta yang selama

ini dirugikan akibat banjir KBT untuk

meningkatkan dukungan upaya penanganan

permukiman KBT secara komprehensif.

Selain itu kemitraan dilakukan pada saat

relokasi dan pasca relokasi untuk

menggalang program-program

pemberdayaan bagi warga relokasi KBT yang

menghuni rumah susun dan memanfaatkan

sentra PKL/pasar tradisional.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada tim Advis Teknis PKPT : Penanganan Banjir kota Semarang, para informan dan nara sumber instansi Bappeda, Dinas PSDA ESDM kota Semarang, dan Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah.

A. DAFTAR PUSTAKA Adijaya et al, 2015. Penataan Kanal Banjir Timur

Semarang. Jurnal Karya Teknik Sipil 4 (4) :

313 - 323

Dewi, Mustika, 2015. Resistensi Pedagang

Terhadap Implementasi Kebijakan Relokasi

Pasar Waru Sidoarjo. Jurnal Politik Muda 4

(1) : 126-136

Dinas PSDA Provinsi Jateng, 2015. Dokumen

Inventarisasi Pendataan Bangunan di

Sepanjang Bantaran KBT Tahun 2015

Galipeau, et al, 2013. Dam-Induced Displacement

and Agricultural Livelihoods in China’s

Mekong Basin. Journal of Human Ecology 41

: 437 – 446

Hanifah dan Musaddun, 2014. Penilaian Tingkat

Keberhasilan Relokasi PKL di Kawasan

Pasar Waru dan Simpang Lima, Semarang.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 25 (3)

: 228-242

Modi, Renu, 2011. The Best and the Worst of the

World Bank: Involuntary resettlement and

the Mumbai Urban Transport Project

(MUTP), India. Journal of Development 54

(3) : 400–406

Navarro and Turnbull, 2013. Properti Rights and

Urban Development : Initial Quality Matters

Even When it No Longer Matters. Journal of

Real Estate and Financial Economy 49 : 1 –

22

[PKPT]. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kebijakan dan Penerapan Teknologi. 2016.

Laporan Advis : Kajian Dampak Rencana

Pembangunan Tanggul Laut dan Rencana

Penataan Permukiman Kumuh Bantaran

Kanal Banjir Timur (KBT) Dalam Rangka

Penanganan Banjir Kota Semarang

Republik Indonesia, 2011. Undang-undang Nomor

1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman

Rianto, Nanang, 2012. Ujicoba Instrumen

Pengukuran Perubahan Tingkat

Kesejahteraan Masyarakat Pasca

Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan

Infrastruktur Pekerjaan Umum Dan

Permukiman. Jurnal Sosial Ekonomi

Pekerjaan Umum 4 (3) : 197 – 206

Shortt and Hammett, 2013. Housing and Health in

an Informal Settlement Upgrade in Cape

Town, South Africa. Journal of Housing and

Built Environment 28 : 615–627

Sikder, Sujit Kumar et, al, 2015. Stakeholders

Participation for Urban Climate Resilience:

A Case of Informal Settlements

Regularization in Khulna City, Bangladesh.

Journal of Urban and Regional Analysis VII

(1) : 5 - 20

Sulestianson dan Indrajati, 2014. Penanganan

Permukiman Kumuh Dengan Karakteristik

dan Faktor Penyebab Kekumuhan (Studi

Kasus : Permukiman Kumuh di Kelurahan

Tamansari dan Kelurahan Braga). Jurnal

Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK ITB

3 (2) : 261 – 270

Page 64: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

PEMETAAN POTENSI KONFLIK ANTAR DESA DENGAN PEMERINTAH

UNTUK MENGANTISIPASI REVITALISASI DANAU RAWA PENING.

Mapping of Conflict Vulnerability in Supporting Revitalization Program

of Rawa Pening lake

Suryawan Setianto¹, Dwi Rini Hartati² ¹Balai Litbang Penerapan Teknologi Sumber Daya Air

Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang Kementerian PUPR Jalan Sapta Taruna Raya, Pasar Jumat Email: [email protected]

²Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi

Balitbang Kementerian PUPR Jalan Pattimura No. 20, Kebayoran Baru

Email: [email protected]

ABSTRACT

Lake Rawa Pening in Semarang Regency is one of 15 lakes that is in critical condition. Comprehensive solution is needed in order for the lake to maintain its function. This research aimed to provide description of the propensity of inter-village conflict surrounding the Rawa Pening lake so that any attempt to revitalize the lake would not suffer from it. This research utilized quantitative-descriptive approach added with spatial mapping using several layer of variables; economic vulnerability, accessibility and the possibility of being flooded. Data collection was conducted through survey to the targeted respondent. The result shows that out of 12 villages located around the lake, 8 of them are having mid level of conflict potential, and 4 are having low level of conflict potential. Therefore, revitalization activity could be carried out from the area which has low level of conflict potential.

Key word : conflict, lake, revitalization, rawa pening

ABSTRAK

Danau Rawa Pening di Kabupaten Semarang adalah salah satu dari 15 danau yang berada dalam status kritis. Diperlukan penanganan agar danau dapat berfungsi kembali sesuai tujuannya. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran potensi konflik antar desa di sekitar Rawa Pening sehingga kegiatan revitalisasi yang akan dikerjakan minim konflik. Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan metode riset yang dipakai adalah pemetaan spasial dengan lapisan beberapa variabel yaitu: kerentanan ekonomi, aksesibiltas dan kemungkinan tergenang. Pengumpulan data dilakukan dengan survey kepada responden yang telah ditentukan. Hasil yang diperoleh bahwa dari 12 desa yang berada di sekitar Rawa Pening, 8 desa potensi konfliknya pada tingkat sedang dan 4 desa pada tingkat rendah. Dengan demikian, kegiatan revitalisasi dapat dimulai dari desa yang tingkatan potensi konfliknya rendah.

Kata kunci: danau, konflik , revitalisasi, rawa pening

Pendahuluan

Danau dan situ merupakan sumber air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Adapun fungsi utamanya yaitu untuk menahan laju aliran air permukaan serta menampungnya dalam suatu area kawasan danau. Selain itu terdapat beberapa fungsi tambahan dari danau tergantung dari kondisi danau itu sendiri.

Perlindungan terkait danau sudah ramai diperbincangkan dalam kurun waktu satu dasawarsa ini, salah satunya melalui Konferensi Danau Sedunia. Selain itu, pada Konferensi Sedunia Pembangunan Berkelanjutan, air adalah salah satu sektor kunci dan perlu mendapatkan perhatian disamping sektor energi, kesehatan, pertanian dan keanekaragaman hayati. Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan

Page 65: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Konferensi Nasional Danau Indonesia pada tahun 2009, yang merumuskan daftar 15 danau dengan kondisi kritis, salah satunya Danau Rawa Pening yang berlokasi di Provinsi Jawa Tengah. Rawa Pening mempunyai luas kurang lebih 2.500 Ha dan mempunyai banyak fungsi antara lain untuk irigasi, pembangkit listrik, pengendali banjir, perikanan, pertanian, serta pariwisata. Kondisi Rawa Pening saat ini hampir 70% terutup gulma enceng gondok dan volume air sudah berkurang 30%. Diperlukan upaya revitalisasi agar danau Rawa Pening dapat berfungsi kembali pada titik optimum saat ini mengingat peran Rawa Pening yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini lah yang mendasari pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan di Danau Rawa Pening.

Upaya revitalisasi sendiri sering mendapat tantangan dari masyarakat yang tinggal di sekitar danau, mengingat saat ini keberadaan danau Rawa Pening memiliki dampak ekonomi dan sosial yang besar bagi masyarakat. Tantangan ini apabila dibiarkan dapat berujung pada munculnya konflik khususnya konflik penguasaan lahan dan dampaknya bisa berlangsung lama sehingga mengganggu proses konservasi. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana potensi konflik di desa yang berbatasan langsung dengan Danau Rawa Pening dengan menggunakan kerentanan sosial ekonomi dan teori konflik sebagai landasan konseptual.

Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah teridentifikasinya potensi konflik di desa sekitar Rawa Pening sehingga kegiatan revitalisasi dapat berjalan lancar dengan konflik yang seminimal mungkin. Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan oleh pemangku kepentingan yang terkait pengelolaan danau Rawa Pening.

Kajian pustaka

Untuk menjelaskan konsep kerentanan yang dimaksud dalam tulisan ini, akan diambil dari berbagai sumber. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kerentanan adalah menghasilkan akibat yang tidak dapat diduga. Bakornas mendeskripsikan kerentanan sebagai kondisi, atau karakteristik biologi, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu yang mengurangi kemampuan masyarakat tersebut mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Sedangkan International Strategy for Disaster Reduction (ISDR)

menjelaskan bahwa kerentanan juga ditentukan oleh faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Dari penjelasan di atas, tulisan ini akan melihat kerentanan dari perspektif sosial dan ekonomi. Kasmat Yusuf dkk (2015) dalam penelitiannya menjelaskan kerentanan sosial ekonomi dapat diartikan sebagai kerapuhan sosial ekonomi masyarakat terhadap bahaya atau bencana yang menyebabkan masyarakat berada pada kondisi rentan atau laten. Salah satu jenis kerentanan sosial adalah konflik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik social adalah pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.

Teori konflik saat ini sudah semakin berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat dunia. Temuan beberapa jurnal terbaru saat ini sudah menggabungkan teori konflik dengan teori-teori lain. Beberapa contohnya antara lain dilakukan oleh para peneliti dari Korea Selatan (Rhee dkk, 2015) yang menilai kerentanan sosial dengan pendekatan konflik. Sementara penelitian tentang konflik berdasarkan kelangkaan sumber daya air pernah dilakukan di Danau Chad yang berlokasi di benua Afrika (Okpara dkk, 2015). Dalam penelitian ini konflik akan dilihat dengan perspektif kerentanan sosial ekonomi melalui bagaimana aksesibilitas masyarakat ke lokasi sumber daya alam dan kemungkinan masyarakat kehilangan lahan sebagai mata pencaharian. Ketimpangan terhadap akses dan kontrol terhadap sumberdaya adalah salah satu jenis konflik structural (Sumardjo dkk, 2014).

Dalam menilai potensi konflik yang muncul akibat program revitalisasi, salah satu bentuk justifikasi yang digunakan adalah mengukur tingkat kerentanan masyarakat dalam menghadapi perubahan (the level of vulnerability). Kerentanan ini terdiri dari karakteristik seseorang atau kelompok, dan situasi mereka yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengantisipasi, mengatasi, melawan dan pulih dari dampak bahaya alam (Singh, 2014). Kerentanan juga bisa dilihat dari keadaan suatu wilayah terkait dengan kondisi atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan masyarakat tersebut dalam mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu (Habibi dan Buchori, 2013). Kerentanan sendiri dapat juga disusun menjadi sebuah indeks sebagai kumpulan

Page 66: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

parameter yang menjadi alat ukur potensi kerentanan tersebut. (Hermawan dkk, 2015).

Variabel yang bisa mempengaruhi kerentanan seperti umur, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, dan cacat bisa didetailkan dalam beberapa faktor. Faktor-faktor kerentanan tersebu meliputi (Habibi dan Buchori, 2013):

Kerentanan fisik: prasarana dasar, konstruksi, dan bangunan

Kerentanan ekonomi: kemiskinan, penghasilan, dan nutrisi

Kerentanan sosial: pendidikan, kesehatan, politik, hukum, dan kelembagaan

Kerentanan lingkungan: tanah, air, tanaman, hutan, dan lautan

Dari variabel dan faktor kerentanan di atas bisa disederhanakan dalam 2 kategori yaitu kerentanan dalam penghidupan/livelihood (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) dan kerentanan dalam aksesibilitas (kondisi fisik). Dalam kasus program revitalisasi ini dipakai lagi 1 kategori yaitu kemungkinan tergenang dimana ini juga akan berdampak pada kondisi fisik. Penelitian ini akan mengambil model seperti yang dilakukan di Danau Limboto dengan konsep kerentanan sosial ekonomi. (Yusuf dan Sune, 2015). Model ini dirasa relevan untuk digunakan mengingat karakteristik permasalahan yang serupa antara Danau Limboto dan Danau Rawa Pening.

Penelitian terkait dengan Rawa Pening sudah banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Beberapa yang pernah dilakukan antara lain terkait dengan valuasi ekonomi sumber daya alam Rawa Pening (Gerhard dan Susilowati, 2013), dari perspektif politik lingkungan(Seftyono, 2014), serta terkait status trofik Rawa Pening dan solusi pengelolaannya (Soeprobowati dan Seudy, 2014).

Dari berbagai macam penelitian terdahulu yang dilakukan di Rawa Pening, masih belum ada yang mengkaji dari perspektif konflik secara spasial dan digabungkan dengan kerentanan sosial ekonomi. Penelitian ini akan berfokus pada menghasilkan peta kerentanan konflik yang bisa dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan terkait dengan revitalisasi Rawa Pening.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dan tidak bertujuan untuk mencari hubungan antar variable.

Operasionalisasi konsep yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel 1.

Berdasarkan operasionalisasi konsep di atas, penyusunan peta spasial potensi konflik menggunakan teknik pelapisan/layer 2 definisi yaitu:

1. Pola penguasaan lahan Pola penguasaan lahan menunjukan

penguasaan masyarakat atas lahan di sekitar danau saat ini. Peta penguasaan lahan di-overlay dengan peta desa untuk menggabungkan data jumlah petani penggarap. Sebagian besar lahan di sekitar Rawa Pening merupakan tanah danau yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Setiap tipe penguasaan lahan memiliki tingkat konflik yang berbeda, dalam hal ini diberikan tingkatan dengan nilai skor dari 1 sampai dengan 5. Skor 5 sebagai skor potensi konflik tertinggi dan skor 1 sebagai skor potensi konflik terendah. Batas wilayah pola penguasaan lahan yang digeneralisasi per desa berdasarkan informasi dari responden. Hal yang perlu menjadi catatan adalah batas penguasaan lahan tidak dapat menjadi acuan yang akurat karena berpatokan pada garis ketinggian.

Tabel 1. Operasionalisasi Konsep

Sumber: Data diolah (2016)

Tabel 2. Tipe penguasaan lahan tanah waduk di sekitar Rawa Pening

Jenis Bobot Potensi Konflik

Keterangan

Tanah negara bebas

+ (3) Tanah patok merah merupakan tanah negara yang berada

Konsep Definisi Variabe

l Indikator

Pengu-asaan Lahan

Identifikasi pola penguasaan lahan berdasarkan kepemilikan

Kepe-milikan

HGB, HGU, Hak Milik (Pemerin-tah/ pribadi)

Potensi Konflik

- Pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan dengan akibat yang tidak dapat diduga

Live lihood, Aksesibi- Litas, Kemung-kinan Tergen-ang

- pendidika - jumlah

tanggungan - pekerjaan

utama - pekerjaan

sampinga - pendapatan - hutang

Page 67: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

(istilah lokal adalah tanah patok merah) ditanami padi dengan jumlah petani penggarap < 25 orang

di dalam batas patok merah (batas tanah waduk terluar) yang umumnya dibudidayakan oleh petani lokal untuk ditanami padi

Potensi vulnerabiliti : Petani penggarap sawah terancam kehilangan mata pencahariannya apabila area tanah waduk yang digarap tidak dapat digarap lagi.

Tanah negara bebas (istilah lokal adalah tanah patok merah) ditanami padi dengan jumlah petani penggarap antara 25 – 100 orang

++ (2)

Tanah negara bebas (istilah lokal adalah tanah patok merah) ditanami padi dengan jumlah petani penggarap lebih dari 100 orang

+++ (1)

Tanah milik warga yang masih dalam batas genangan terluar (maksimal ketinggian 463)

++++

Tidak masuk dalam

perhitungan tingkat konflik

Tanah milik warga ini merupakan tanah milik yang berbatasan langsung dengan tanah patok merah yang masih berada dalam area tergenang pada saat musim penghujan (maksimal genangan air di ketinggian 463) Potensi vulnerabiliti : Tanah yang merupakan tanah milik warga berpotensi tergenang di musim penghujan yang berpotensi petani kehilangan tanah sawahnya. Jika sawah ini tergenang diasumsikan potensi konflik akan tinggi karena harus melakukan ganti

prmbayaran atas lahan pribadi.

Sumber: Data diolah (2016)

2. Kerentanan/Vulnarebility a. Penghidupan/Livelihood

Masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap tanah waduk dianggap lebih rentan karena terancam kehilangan mata pencaharian apabila dilakukan normalisasi danau. Pengukuran vulnerability livelihood dilakukan dengan melihat acuan sebagai berikut: Tabel 3. Acuan pembobotan kerentanan penghidupan

Indikator Vulnerable Sedang

Tidak Vulnera

ble Skor 1 Skor 2 Skor 3

Pendidi-kan

Rendah tidak lulus SD atau lulusan SD

Sedang lulus atau tidak lulus SMP

Tinggi tidak atau lulus SMA

Jumlah Tanggung

an

Tinggi jumlah tang-gungan 9-11 orang

Sedang jumlah tang-gungan 5-8 orang

Rendah Tang-gungan 1-4 orang

Pekerjaan Utama

Petani Non Pertanian

-

Pekerjaan Sampi-ngan

tidak memiliki pekerjaan sampingan

memiliki pekerjaan sampingan

-

Pendapa-tan

Petani

orang dengan pendapa-tan >2 juta

orang dengan penda- patan 1-2 juta

orang dengan penda-patan 0-1 juta

Pendapatan Non

Pertanian

orang dengan pendapa-tan0-1 juta

orang dengan pendapa-tan1 juta 1-2 juta

orang dengan pendapatan > 2 juta

Hutang Ada Tidak ada Sumber: Data diolah (2016)

Semakin tinggi skor menunjukan semakin baik level kerentanannya, semakin rendah skor menunjukkan semakin rentan level kerentanannya. Selanjutnya skor dari tiap responden ditotal kemudian dibagi sesuai dengan jumlah responden. Dari nilai rata-rata itulah yang kemudian dijadikan acuan untuk mengidentifikasi apakah desa tersebut memiliki nilai vulnerability yang baik atau tidak. Nilai vulnerability dibagi di dalam 3 range kategori yaitu:

Kerentanan tinggi : skor 6-8

Page 68: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Kerentanan sedang : skor 9-11 Kerentanan rendah : skor 12-14

b. Aksesibilitas

Jarak antara rumah dengan sawah yang berada di wilayah waduk menentukan tingkat kerentanan petani penggarap tanah waduk. Dalam hal ini diasumsikan semakin jauh jarak lokasi sawah garapan terhadap rumah penggarap maka petani penggarap tersebut berada dalam kondisi semakin rentan. Tingkat kerentanan petani dalam hal ini dibagi dalam 3 kategori tingkat kerentanan berdasarkan jarak permukiman dengan tanah waduk garapan warga. Zonasi berdasarkan jarak permukiman terjauh dibandingkan jarak permukiman terdekat dengan batas sawah langsung yang berbatasan dengan genangan waduk, yaitu :

a. Zona 1 : < 400 meter dengan skor 3 b. Zona 2 : 400- <800 meter dengan skor 2 c. Zona 3 : 800 - 1200 meter dengan skor 1

c. Kemungkinan tergenang

Kemungkinan tergenang dihitung dari jarak antara sawah patok merah dengan batas air terendah. Semakin dekat semakin rentan, dengan asumsi lebih besar kemungkinan sawah tergenang maka lebih besar tingkat kerentanannya. Tingkat kerentanan petani dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan jarak sawah dengan batas terendah genangan (atau dalam hal ini diwakili dengan titik ketinggian 460). Pembagian zona diambil dari jarak tertinggi antara batas paling luar sawah tergenang (ketinggian 463) dengan batas air terendah (ketinggian 460), yaitu 1500 meter kemudian dibagi dalam 3 zona dengan jarak yang sama

a. Zona 1 : <500 meter dengan skor 1 b. Zona 2 : 500 <1000 meter dengan skor 2 c. Zona 3 : 1000-1500 meter dengan skor 3

Unit analisis penelitian ini adalah desa dengan lingkup pada lahan pasang surut. Lahan pasang surut di Rawa Pening adalah lahan yang terbentuk sebagai akibat dari proses naik turunnya permukaan air danau (Sittadewi, 2011). Populasi adalah seluruh penduduk yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani dari 12 yang berbatasan langsung dengan Danau Rawa Pening dan terletak pada 4 Kecamatan yaitu: Kecamatan Tuntang, Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa, dan Kecamatan Banyubiru. Jumlah total petani dari 12 desa tersebut adalah 5.294 orang. Dengan tingkat

kepercayaan 95% dan batas kesalahan 10% maka jumlah sampel yang diambil adalah 94 orang. Sampel diambil secara purposive, yaitu para petani yang menggarap lahan pasang surut dan menjadi pemanfaat utama dari keberadaan program revitalisasi Danau Rawa Pening serta memiliki/memanfaatkan lahan di sekitar Rawa Pening. Pengambilan sampel bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan/vulnerability di setiap desa. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April dan Juni tahun 2016.

Pengumpulan data primer diambil dari survey dengan warga pemanfaat lahan. Sedangkan data sekunder diambil melalui pengumpulan literasi terkait dengan penelitian dari berbagai sumber. Untuk teknik analisa data, penelitian ini menggunakan teknik pembobotan/scoring dan analisis spasial. Data hasil analisis kemudian dijabarkan secara spasial dalam bentuk peta dengan bantuan software.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Pemetaan a. Aspek Sosial

1. Tipologi penggunaan lahan di sekitar Rawa Pening

Penggunaan lahan dan ruang yang ada di

Danau Rawa Pening diatur melalui Perda Kabupaten Semarang no 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang tahun 2011-2031 dan Peraturan Desa tentang Pelestarian Lingkungan Hidup yang disusun oleh masing masing desa. Berdasarkan aturan tersebut kemudian dirumuskan penggunaan lahan yang ada di kawasan Danau Rawa Pening. Khusus untuk area persawahan atau lahan pemanfaatan pertanian, ada beberapa tipe pengelolaan lahan di kawasan Danau Rawa Pening. Tipe pengelolaan lahan tersebut antara lain tanah pathok merah/tanah PU/tanah Provinsi, tanah pathok hitam/tanah sanggem, tanah bengkok/bodho desa, tanah milik. Konsep-konsep penguasaan tanah tersebut adalah:

Tanah Pathok Merah / Tanah PU / tanah

Provinsi adalah tanah yang berada pada elevasi 462.05 dari permukaan air danau dan dikuasai sepenuhnya oleh negara. Tanah ini merupakan tanah yang akan terendam air ketika musim penghujan. Masyarakat bisa menggunakan tanah ini untuk satu kali tanam dengan catatan apabila musim penghujan sudah turun sebelum masa panen

Page 69: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

maka tidak bisa meminta ganti rugi kepada negara. Penggunaan tanah ini juga bebas dari akuisisi secara pribadi, tidak ada surat resmi mengenai ukuran tanah dan kepemilikan bahkan tidak ada pemungutan uang untuk pajak penggunaan lahan.

Gambar 1. Patok merah desa Tambakrejo tahun 2003 Sumber: BBWS Pemali Juawan, 2015

Gambar 2. Patok merah desa Tambakrejo tahun 2015 Sumber: BBWS Pemali Juawan, 2015

Gambar 3. Foto Udara Sawah di Area Patok Merah Desa Candirejo

Sumber: Dokumentasi peneliti, 2016

Tanah Pathok Hitam/Sanggem adalah tanah yang berada pada elevasi 462.30 dari permukaan air, dikuasai sepenuhnya oleh negara tetapi dikuasakan pemanfaatannya kepada penduduk. Secara teknis, lahan ini bisa ditanami antara 1 – 2 kali bergantung dari posisi tanah. Tanah ini tidak memiliki sertifikat dan tidak bisa diakusisi secara permanen oleh pengguna lahan tetapi pemanfaat lahan wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan pemakaian.

Tanah Bengkok/Bondho Desa adalah lahan yang dikuasai secara tradisional oleh desa dan kecamatan yang diolah atau

dipersewakan untuk penghasilan desa/kecamatan. Tanah ini bisa ditanami antara 1 – 2 kali.

Tanah milik adalah diperoleh melalui proses pembelian tanah yang digunakan untuk kepentingan pribadi, dibuktikan dengan surat kepemilikan lahan berupa sertifikat tanah atau Letter C atau Letter D atau SPT. Pemanfaatan lahan bisa untuk 1-2 kali tanam.

Untuk mengetahui gambaran tanah tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 4. Sketsa Tipologi Penggunaan Lahan sumber: Dinas PSDA (2016)

1. Pendidikan

Merujuk pada hasil temuan lapangan terkait pendidikan, ditemukan bahwa 45% responden memiliki tingkat pendidikan SD, kemudian 18% responden memiliki tingkat pendidikan SMP, 17% responden memiliki tingkat pendidikan SMA/STM/SMK/SPG. Sementara 15% responden tidak lulus SD dan 3% sisanya tidak sekolah. Hanya 2% responden yang mencapai pendidikan jenjang D3. Mengacu pada data temuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dilihat dari tingkat pendidikan responden mayoritas adalah lulusan SD, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden dari 12 desa di empat kecamatan tersebut masih rendah.

Page 70: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Grafik 1. Tingkat Pendidikan Responden Sumber: Data diolah, 2016

2. Pekerjaan

Berdasarkan temuan lapangan terkait pekerjaan responden, ditemukan bahwa pekerjaan utama mayoritas responden adalah petani yakni sebanyak 34%, diikuti buruh tani dan nelayan masing-masing sebanyak 24%. Sementara pekerjaan utama lainnya seperti perangkat desa sebanyak 5%, kemudian pedagang sebanyak 2%. Pekerjaan seperti buruh toko, guru olahraga, karyawan, operator perahu motor, pembuat kapal, pensiunan TNI dan serabutan masing-masing sebanyak 1%. Berdasarkan temuan tersebut maka disimpulkan jika pekerjaan utama responden adalah cukup beragam jenisnya.

Grafik 2. Pekerjaan Utama Responden Sumber: Data diolah, 2016

3. Pekerjaan Sampingan

Mengacu pada data pekerjaan utama sebelumnya, responden dalam penelitian juga memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian, tidak semua responden memiliki pekerjaan

sampingan. Jika dilihat pada grafik 3 maka dapat dikatakan bahwa pekerjaan sampingan responden sedikit lebih beragam jenisnya dibandingkan dengan pekerjaan utamanya. Dari grafik 3 terlihat bahwa pekerjaan sampingan petani tetap menjadi pilihan mayoritas responden dengan jumlah sebanyak 30 responden, kemudian diikuti dengan pekerjaan sampingan nelayan sebanyak 7 responden dan pencari eceng gndok dan ternak masing-masing sebanyak 5 responden. Untuk pekerjaan kuli bangunan, pedagang dan warung masing-masing sebanyak 4 responden. Kemudian ada pula pekerjaan sampingan jasa sewa perahu sebanyak 2 responden. Sedangkan pekerjaan sampingan lainnya seperti bengkel, buruh, buruh sawah, buruh tani, perangkat desa, pencari kayu bakar, parkir, pegawai kantor, pengrajin kerupuk, berkebun, pembuat keramba, pembesaran ikan, dan pengurus gapoktan masing-masing sebanyak 1 responden.

Grafik 3. Pekerjaan Sampingan Responden Sumber: Data diolah, 2016

b. Aspek Ekonomi

1. Pendapatan

Mengacu pada hasil temuan lapangan terkait pendapatan, ditemukan bahwa mayoritas pendapatan responden penelitian yang terdiri dari 12 desa dalam 4 kecamatan yakni Tuntang, Bawen, Ambarawa, dan Banyubiru menunjukkan bahwa sebanyak 52% responden memiliki pendapatan berkisar 0-1.000.000. Sementara 33% responden dengan pendapatan berkisar 1.000.001-2.000.000. Kemudian 15% sisanya merupakan responden dengan pendapatan berkisar 0-1.000.000. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden merupakan

Page 71: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

masyarakat dari kelas menengah ke bawah dilihat berdasarkan pendapatan yang didapat setiap bulannya. Aspek Ekonomi

Grafik 4. Pendapatan Responden Perbulan dari 4 Kecamatan

Sumber: Data diolah, 2016

2. Pengeluaran

Mengacu pada hasil temuan lapangan terkait pengeluaran responden, ditemukan bahwa sebanyak 48% responden memiliki pengeluaran setiap bulannya sebesar 0-1.000.000. Sementara 40% memiliki pengeluaran setiap bulannya sebesar 1.000.001-2.000.000. Kemudian 12% responden sisanya memiliki pengeluaran setiap bulannya sebesar >2.000.000. Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun pada data sebelumnya ditemukan bahwa mayoritas responden merupakan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah dengan besaran pendapatan 0-1.000.000, namun pengeluaran yang harus dikeluarkan setiap bulannya adalah lebih besar bila dibandingkan dengan pendapatan yakni dapat berkisar 1.000.001-2.000.000 setiap bulannya. Sementara pada responden dengan pendapatan >2.000.000 setiap bulannya, pengeluaran yang dikeluarkan dapat dikatakan hampir sama besarnya dengan pendapatan yang didapat.

Grafik 5. Pengeluaran Responden Perbulan dari 4 Kecamatan

Sumber: Data diolah (2016)

3. Kepemilikan Hutang

Apabila data sebelumnya menunjukkan bahwa persentase pengeluaran responden adalah cukup tinggi bila dibandingkan dengan besaran pendapatan setiap bulannya, akan tetapi hal tersebut tidak mendorong responden untuk melakukan pinjaman/hutang kepada sanak saudara/tetangga/bank. Berdasarkan hasil di lapangan ditemukan bahwa sebanyak 62% responden mengaku tidak memiliki hutang. Sementara 33% responden memiliki hutang, dan 5% responden sisanya mengaku akan melakukan pinjaman/hutang kepada sanak saudara/tetangga/bank tergantung pada situasi kondisi saat itu. Maka dapat disimpulkan, meskipun pengeluaran responden cenderung lebih besar dibandingkan dengan pendapatan setiap bulannya, hal ini tidak membuat responden melakukan pinjaman kepada sanak saudara/tetangga/bank. Sebagian besar responden mengaku jika mereka takut untuk melakukan pinjaman/hutang, karena takut tidak

mampu untuk melunasinya kelak.

Grafik 6. Kepemilikan Hutang Responden dari 4

Kecamatan Sumber: Data diolah, 2016

Potensi Konflik

Potensi konflik didapatkan dengan melakukan pelapisan dari 3 variabel yaitu tingkat kerentanan penghidupan/livelihood, aksesibilitas dan kemungkinan tergenang. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap tanah waduk dianggap lebih rentan karena terancam kehilangan mata pencaharian apabila dilakukan normalisasi danau. Hasil

Page 72: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

pengukuran vulnerability livelihood adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Tingkat Kerentan Penghidupan Sumber: Data diolah, 2016

Setelah didapatkan tingkat kerentanan penghidupan/livelihood kemudian dilakukan pelapisan dengan pola penguasaan lahan, aksesibilitas dan kemungkinan tergenang sehingga didapatkan hasil akhir peta potensi konflik danau Rawa Pening sebagai berikut:

Gambar 5. Peta Tipologi Kerentanan terhadap Konflik Berdasarkan Pola Penguasaan Lahan dan Tingkat Kerentanan Mata Pencaharian Penduduk

Sumber: Data diolah, 2016

Dari peta tipologi kerentanan terhadap konflik di atas, dapat ditafsirkan bahwa dari 12 desa yang menjadi lokasi penelitian tidak ada desa yang mempunyai potensi konflik tinggi.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil pemetaan peta tipologi kerentanan terhadap konflik didapatkan hasil bahwa dari 12 desa yang berbatasan langsung dengan rawa pening, 8 desa berada dalam

tingkatan potensi konflik sedang dan 4 desa pada tingkatan potensi konflik rendah. Hasil ini diperkuat dengan hasil survey dimana 56.38% penduduk tidak keberatan apabila lahan pasang

surutnya nanti tergenang akibat revitalisasi karena sadar bahwa tanah yang digarap sekarang adalah tanah negara

dan akan membawa manfaat yang lebih besar.

Dengan demikian, kegiatan revitalisasi yang akan dilakukan di Rawa Pening dapat dimulai dari desa yang tingkat potensi konfliknya rendah yaitu: Banyubiru, Kebondowo, Lopait, dan Kesongo agar konflik yang terjadi dapat diminimalisir.

Daftar Pustaka

Gerhard, G dan Susilowati, I. 2013. Valuasi

Ekomomi Sumberdaya Alam Rawa Pening Dan Strategi Pelestarianya Di Kabupaten

Semarang. Fakultas Ekonomika Dan

Bisnis). Habibi, Marbruno dan Buchori, Imam. 2013.

Model Spasial Kerentanan Sosial Ekonomi dan Kelembagaan terhadap Bencana Gunung Merapi. Jurnal Teknik PWK.

Hermawan, FX., Sapei, Asep, Dharmawan, Arya Hadi., Anna, dan Zuzy. 2015. Formulasi Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus: Provinsi Nusa Tenggara Timur). Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum.

Okpara, U. T., Stringer, L. C., Dougill, A. J., dan Bila, M. D. 2015. Conflicts about water in Lake Chad: Are environmental, vulnerability and security issues. Progress in Development Studies.

Rhee, S. H., Min, H. G., Yoon, S. S., Jung, N. S., dan Chang, W. S. 2015. Social Vulnerability Assessment by Resident's Conflict Analysis on Rural Development Project of

No Desa

Skor Kerentan

an Penghidu

pan

Tingkat Keren-tanan

Penghi-dupan

1 Banyubiru 9.50 Sedang 2 Kebondowo 11.25 Rendah 3 Asinan 10.50 Sedang 4 Kesongo 11.33 Rendah 5 Rowosari 10.62 Sedang 6 Bejalen 11.50 Rendah 7 Rowoboni 11.14 Rendah 8 Lopait 10.25 Sedang 9 Candirejo 11 Sedang 10 Tegaron 10.62 Sedang 11 Tuntang 10.83 Sedang 12 Tambakboyo 11.50 Rendah

Page 73: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal

Region Unit. Journal of Korean Society of Rural Planning.

Riyanto, Sutisna, Amiruddin Saleh, and Adi Firmansyah. Tipologi Konflik Berbasis Sumber Daya Pangan di Wilayah Perkebunan Sawit. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.

Seftyono, C. 2014. Rawa Pening dalam Perspektif Politik Lingkungan: Sebuah Kajian Awal. Indonesian Journal of Conservation.

Singh, Sapam Ranabir; Eghdami, Mohammad Reza; Singh, Sarjbeet. 2014. “The Concept of Social Vulnerability: A Review from Disasters Perspectives”. International Journal of Interdisclipinary and Multidisclipinary Studies (IJIMS).

Sittadewi, Euthalia Hanggari. 2011. Kondisi Lahan Pasang Surut Kawasan Rawa Pening dan Potensi Pemanfaatannya. Jurnal Teknologi Lingkungan.

Soeprobowati, T. R., dan Suedy, S. W. A. 2014. Status Trofik Danau Rawapening dan Solusi Pengelolaannya. Jurnal Sains dan Matematika.

Yusuf, K., dan Sune, N. 2015. Kajian Spasial Kerentanan Sosial Ekonomi Penduduk Sekitar Danau Limboto (Studi di Desa Iluta Kecamatan Batudaa, Desa Tabumela Kecamatan Tilango dan Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo). KIM Fakultas Matematika dan IP.

Page 74: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal
Page 75: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN IRIGASI RAWA PASANG …pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_8_No_2_2016.pdf · 1 Sub Model Irigasi Rawa 1. Areal irigasi rawa Luas reklamasi awal, luas areal