kebijakan pembaharuan agraria di indonesia “studi pilihan kebijakan landreform pada pola...

Download KEBIJAKAN PEMBAHARUAN AGRARIA DI INDONESIA  “Studi Pilihan Kebijakan Landreform  Pada Pola Kepemilikan Lahan Komunal”

If you can't read please download the document

Upload: dw-kristianto

Post on 28-Jul-2015

5.678 views

Category:

Documents


36 download

DESCRIPTION

KEBIJAKAN PEMBAHARUAN AGRARIA DI INDONESIA “Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan Komunal”

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS INDONESIAKEBIJAKAN PEMBAHARUAN AGRARIA DI INDONESIA Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan KomunalTESISDwi Kristianto NPM : 0806482346FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM PASCASARJANA KESEJAHTERAAN SOSIAL DEPOK DESEMBER 20101BAB 1 PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan sosial di Indonesia selayaknya diselesaikan dari akar masalahnya. Dengan sebagian besar penduduknya adalah petani dan nelayan maka permasalahan ketersediaan lahan di Indonesia merupakan masalah kunci sebagai salah satu pintu masuk menyelesaikan permasalahan sosial dan kemiskinan. Dewasa ini masalah pertanahan belum dapat dipecahkan sebagimana yang diharapkan, bahkan semakin rumit sejalan dengan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas masyarakat itu sendiri. Media massa cetak maupun elektronik telah melaporkan berbagai sengketa pertanahan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, dengan berbagai variasi masalah dan kecenderungan dampak buruk lainya. (Cholid, 2004). Disampaikan juga bahwa sesungguhnya negara memiliki mandat untuk mengelola seluruh sumber daya agraria, untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Seperti tercantum dalam pasal 33 ayat 3 amandemen keempat UndangUndang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Akan tetapi, dalam kurun waktu dekade terakhir ini, masalah pertanahan di Indonesia telah mencuat kepermukaan. Salah satu permasalahan dibidang pertanahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak, yaitu semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat. Perbedaan penguasaan dan kepemilikan atas tanah-tanah pertanian tiap tahunnya semakin tampak. Konsentrasi kepemilikan lahan pun semakin tajam. Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar-milik sendiri maupun menyewa2meningkat 2.6 persen per tahun dari 10.8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13.7 juta rumah tangga (2003). Untuk jumlah petani gurem saja, pada 1983persentasenya mencapai 40.8 persen. Pada 1993 meningkat menjadi 48.5 persen dan pada 2003 kembali meningkat menjadi 56.5 persen. Dari 24.3 juta rumah tangga petani berbasis lahan, terdapat 20.1 juta (82.7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin. Itu menunjukkan ketimpangan distribusi pemilikan tanah. Menurut Berita Resmi Statistik (Maret 2010) Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Pada Maret 2009, 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 64,23 persen (BPS 2010). Dari data tersebut artinya dari keseluruhan pengangguran di Indonesia, lebih dari setengahnya berada di wilayah perdesaan. Sensus pertanian tahun 1993 menunjukan bahwa 69% luas tanah pertanian dikuasai oleh 16% rumah tangga pedesaan, sementara 31% luas tanah pertanian sisanya dikuasai oleh sebagian besar petani kecil dan tunakisma (84% rumah tangga pedesaan). Fenomena tersebut semakin diperburuk dengan adanya fragmentasi tanah yang semakin tidak bisa dihindari, alih fungsi tanah pertanian ke-pengunaan non pertanian yang tidak terkendali, masalah lingkungan sebagai akibat eksploitasi yang berlebihan dan masalah lainnya. Maka dalam penelitian ini akan fokus mengkaji tentang Kebijakan Pembaharuan Agraria di Indonesia Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan Komunal. Sebagai upaya menjawab berbagai permasalahan pengelolaan sumberdaya agraria di Indonesia.31.2. Masalah Penelitian. Perlu disadari bersama bahwa akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan telah menjadi isu yang sangat penting, karena permasalahan ini tidak saja menyangkut faktor produksi namun menjadi faktor yang menentukan hubungan sosial dan perkembangan masyarakat. Satu hal yang menarik untuk dikaji adalah masalah ketimpangan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria khususnya lahan yang menyangkut masalah penguasaan, kepemilikan dan pengusahaanlahan. Kondisi tersebut telah menyebabkan ketimpangan pada pemanfaatan yang diikuti pada perbedaan tingkat kesejahteraan antara masyarakat yang mempunyai akses dan yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya lahan yang ada khususnya pada masyarakat agraris di daerah pedesaan. Dalam kebijakan redistrbusi lahan di Indonesia hal yang penting diperhatikan adalah bagaimana pola kepemilikan lahan masyarakat di Indonesia. Mengacu pada beberapa kajian menyimpulkan bahwa ada dua model kepemilikan lahan oleh masyarakat yaitu pola kepamilikan individu(private) dan kepemilikan kelompok/komunal. Pola kepemilikan ini mempengaruhi pola pengelolaan dan hubungan masyarakat dengan lahan. Sehingga apabila kebijakan landreform lahan ini tidak memperhatikan pola-pola kepemilikan dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya lahan ditakutkan program tersebut justru akan merusak struktur dan budaya masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya lahan. Masalah lain yang juga perlu diperhatikan dalam program pembaharuan agraria adalah bagaimana program pembaharuan agraria di Indonesia memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap penguasaan tanah adat yang dikuasai secara komunal dan turun-temurun, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Penggelolaan sumberdaya lahan yang terlalu pro terhadap investasi khususnya usaha produksi hutan (HPH/HTI), perkebunan skala besar dan pertambangan telah menghilangkan kesempatan masyarakat lokal memanfaatkan tanah dan hutan(sumberdaya agraria) yang meraka miliki. Berdasarkan latar belakang diatas dan tanpa mengesampingkan berbagai pokok-pokok masalah dalam pelaksanaan program pembaharuan agraria di Indonesia, penelitian ini akan membatasi pada: untuk41. Seperti apa pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal di Indonesia. 2. Pilihan kebijakan landreform seperti apa yang cocok diterapkan pada masyarakat komunal. Latar belakang budaya dan tradisi masyarakat dalam mengelola lahan harus menjadi dasar penentuan model landreform di Indonesia, kelompokmasyarakat yang memiliki kepemilikan secara komunal tentunya tidak sama dengan masyarakat yang pola kepemilikan lahannya secara individu. Penelitian ini diharapkan bisa memberi informasi pada operasionalisasi program landreform di Indonesia dan untuk memberikan hasil yang komprehensif dalam menjawab berbagai pertanyaan, maka penelitian ini akan mengacu pada penelitan dan studi yang pernah dilakukan sebelumnya.1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitan Kebijakan Pembaharuan Agraria di Indonesia Studi Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Lahan Komunal. adalah : 1. Memetakan berbagai pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal di Indonesia. 2. Merumuskan pilihan kebijakan landreform pada pola kepemilikan lahan komunal sebagai referensi program pembaharuan agraria di Indonesia.1.4. Manfaat Penelitian. 1.1.1. Manfaat Akademik. Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan dapat dijadikan salah satu pijakan informasi, referensi dan kajian bagi para akademisi serta pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk memperkaya kajian akademis dalam upaya pelaksanaan landreform di Indonesia. Selain itu penelitian ini untuk memperkaya kajian tentang isu-isu pembangunan sosial dalam pembangunan Indonesia.51.1.2. Manfaat Praktis. Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi akademis kepada para perancang, perencana dan pelaksana pembaharuan agraria dalam rangka pelasanaan landreform jika kebijakan tersebut benar akan dijalankan. 1.5. Metode Penelitian. Pendekatan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dipilihnya metode kualitatif dalam penelitian ini agar penelitian ini bisa mendapatkan gambaran tentang pengelolaan lahan komunal di Indonesia, bagaimana bentuk-bentuk penguasaan pemilikan dan pengelolaan lahan. Ada nilai dan norma-norma seperti apa yang berkembang pada masyarakat komunal sehingga distribusi aset dan kerjasama antar individu dalam kelompok komunal terjalin dengan baik. Diharapkan dengan metode ini akan didapat gambaran tentang pola kepemilikan komunal di Indonesia. Definisi umum tentang penelitian kualitatif adalah suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Ini berarti penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami yang berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang kepadanya. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris seperti studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksional dan visual yang menggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya dalam kehidupan individual dan kolektif (Denzin & Lincoln, 1994, hal.2).6Gambar: 1.1 Kerangka Operasioanal Penelitian1.6. Tipe Penelitian. Tipe eksploratif dipilih karena informasi berupa literatur, baik itu dari buku maupun sumber-sumber lain seperti hasil penelitan, artikel masih sangat minim sehingga tipe penelitian dipilih untuk mendapatkan informasi dan data sebanyak-banyaknya terkait dengan budaya pengelolaan lahan meliputi pola penguasaan, pemilikan dan pengusahaan lahan khususnya pada pola kepemilikan komunal sehingga dapat mendukung rumusan pilihan kebijakan yang akan dirumuskan dalam penelitian ini. Penelitian eksploratif atau yang bersifat menjelajah. Penelitian inidilakukan bila pengetahuan tentang gejala yang diteliti masih sangat kurang atau tidak ada sama sekali. Menurut Mantra, (2004) Dalam penelitian eksploratif, peneliti belum memiliki gambaran akan definisi atau konsep penelitian. Penelitian eksploratif seringkali digunakan untuk meneliti fenomena sosial dari suatu kelompok atau golongan tertentu, yang masih kurang diketahui orang. Kajian7tentang pola penguasaan, pemilikan, dan pengusahaan lahan secara komunal masih sangat sedikit, sehingga tipe penelitian eksploratif ini dipilih dalam penelitian ini.1.7. Ruang Lingkup Penelitian. Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, terdiri dari beraneka suku bangsa, kondisi tersebut mempengaruhi pola kepemilikan terhadap sumberdaya yang ada. Di beberapa tempat kepemilikan sumberdaya agraria /lahan dimiliki secara komunal, sedang di tempat lain kepemilikan sumberdaya agraria seperti petani di pulau Jawa kepemilikan lahan dimiliki secara individu. Untuk itu penelitian ini fokus mengkaji berbagai pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal di Indonesia, seperti apa tipe dan ciri-ciri pengelolaan lahan komunal di Indonesia. Fokus kajian tersebut ditujukan untuk merumuskan model pilihan kebijakan landreform di Indonesia dalam upaya mendorong kebijakan operasional program pembaharuan agraria di Indonesia khususnya pada wilayah-wilayah yang tidak mengenal kepemilikan individu.1.1.3. Teknik Pemilihan Informan. Definisi informan menurut Moleong (2006 , hal.132) adalah orang yang dapat memberi informasi tentang situasi dan kondisi dari latar penelitian. Menurutnya informan akan memberi pandangan dari segi orang tentang nilai, sikap, pandangan, proses dan kebudayaan yang menjadi latar dari lingkungan penelitian dilakukan. Dalam penelitian ini penentuan informan mengunakan model purposive. Purposive adalah pemilihan informan bertujuan yang dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah, tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2006, hal.228). Dasar dari pemilihan informan adalah individu-individu yang mengetahui dan memahami tentang program pembaharuan agraria di Indonesia baik itu pejabat pemerintah, peneliti/akademisi, penggiat program reforma agraria maupun masyarakat.8Tabel 1.1 Theoretical Sampling N O 1. 1. Diskripsi kepemilikan, pemanfaatan dan pengusahaan lahan komunal di Indonesia INFORMASI YANG DIBUTUHKAN 2 Pentingnya kajian sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam menentukan model landreform Bagaimana pola kepemilikan, pengelolaan dan pengusahaan lahan komunal di Indonesia. Diskripsi dan Model kepemilikan analisis terkait lahan komunal yang dengan model sesuai dengan karateristik kebijakan masyarakat landreform Indonesia. lahan pada Model pengelolaan pola lahan komunal yang sesuai dengan kepemilikan tanah komunal karateristik masyarakat Indonesia, dalam kerangka optimalisasi lahan. Mekanisme seperti apa yang dibuat untuk melakukan kontrol dalam menjaga distribusi lahan INFORMAN 3 1. Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN) 2. Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 3. Direktor Landreform Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 4. Tokoh Muda Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia. 5. Kepala Divisi Sumberdaya Alam Yayasan Kekal 6. Tokoh Muda Timor (Anggota Yayasan Kekal) 7. Tokoh Muda Suku Dani Wamena (Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua) 8. Project Leader FFI Kalimantan 9. Direktur Yayasan Titian Kalimantan Barat 10. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia(Planologi) JM L 42101.1.4. Unit Analisis. Unit analisis adalah berbagai bentuk atau pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan komunal dan seperti apa tipe dan ciri-ciri pengelolaan9lahan komunal di Indonesia. Selain itu juga opini model ideal dalam perspektif pemerintah, penelitian dan akademisi, lembaga riset dan NGO dalam upaya mendorong kebijakan operasional program Pembaharuan Agraria di Indonesia. Semua kajian akan didasarkan atau diklarifikasi dengan UUPA tahun 1960 dan paradigma Pembangunan Sosial. 1.1.5. Teknik Pengumpulan Data. Ada dua tenik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini, antara lain adalah: a. Studi Pustaka (library research) Studi pustaka bertujuan untuk memperoleh kerangka pemikiran atau konsep untuk penelitian ini. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh dari referensi yang bersumber dari berbagai literatur seperti buku-buku, jurnal, majalah, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian sebelumnya yang nantinya akan menjadi acuan dalam analisis. b. Wawancara Para Ahli (expert panel) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang akan memberikan jawaban atas pertanyaan (Moleong 1998, hal.135). wawancara ini merupakan wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang berisi butir-butir atau pokok pikiran mengenai hal-hal yang akan ditanyakan pada waktu wawancara berlangsung sehingga dapat menunjang dari data yang didapat. eknik pengumpulan data ini dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap informan. Informan dalam expert sampling terdiri dari orang yang diketahui mempunyai pengalaman atau keahlian dalam suatu bidang, oleh karena itu sempel ini dikenal juga dengan "panel of experts". Menurut Gerris&Locey (2010, hal.228) disampaikan bahwa: choosing an appropriate expert panel is critical for success. It is the first stage of the of delphi proses and regarded as the lynchipin of the method'10Yang dimaksud adalah, penentuan informan menjadi sangat penting karena hal ini sangat mempengaruhi hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan penelitian. Ada dua alasan kenapa expert sampling digunakan. Pertama, ini adalah cara terbaik untuk memperoleh sampel orang yang punya specific expertise. Dalam hal ini, expert sampling adalah hal yang khusus dari purposive sampling. Alasan kedua, adalah expert tersebut dapat digunakan sebagai bukti penguat validitas sampel yang dipilih mengunakan metoda non probabilistik lainya. Berdasarkan pada teknik pengumpulan data ini maka Interview langsung dilakukan terhadap: 1). Direktur Landreform BPN RI, dan Staf Ahli Kementerian Kehutanan Republik Indonesia 2). Penggiat Pembaharuan Agraria di Indonesia, 3). Akademisi Pemberharuan Agraria di Indonesia, 4). Tokoh Masyarakat yang mempunyai pengalaman dalam pola pengelolaan lahan komunal. 1.1.6. Teknik Analisis Data. Dalam menganalisis data, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, pengumpulan data mentah, dilanjutkan dengan transkrip data, Pembuatan koding, kategori data dan penyimpulan sementara. Setelah semua proses tersebut dilakukan selanjutnya dilakukan trianggulasi dari data yang diperoleh, tahap ini adalah kegiatan untuk check dan recheck antara satu sumber data dengan sumber data lainnya. Trianggulasi yang dilakukan, baik dalam hal sumber data, metode maupun teori. Tahap terakhir adalah penyimpulan akhir, langkah ini dilakukan karena data telah dianggap sudah jenuh, dimana ketika dilakukan penambahan data baru dari responden justru akan membuat tumpang tindih data (Irawan, 2006:89). Berbagai data dan temuan yang diperoleh, dikaji kembali secara berulang dan diverifikasi selama penelitian berlangsung hingga akhirnya sampai pada kesimpulan akhir. Analisis data dalam penelitian ini akan mengunakan metode analisisdeskriptif. Metode analisis ini dipilih untuk membuat analisis secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan pola kepemilikan lahan dan model-model landreform yang dikembangkan di Indonesia. Pendekatan11ini dipilih untuk menyajikan berbagai aspek yang terkait dengan program landreform dimana aspek ekonomi, sosial budaya dan politik dapat dipadukan dalam pelaksanaan program ini. 1.8. Sistematika Penulisan. BAB I Pendahuluan: Bab ini menyampaikan bagaimana menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesa malalui program landreform sebagai salah satu akar masalah kemiskinan. Kemudian bab ini akan menyampaikan Perumusan Masalah Pembaharuan Agraria yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, Tujuan penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika penulisan BAB II Kerangka Pemikiran: Pada bab ini berisi tentang konsep pembangunan, paradigma pembangunan nasional yang bertumpu padapertumbuhan ekonomi sampai paparan konsep paradigma pembangunan sosial, hubungan manusia dengan tanah dan meliputi hak akan tanah dan monopoli tanah hubungan dengan kesejahteraan. Bagian terakhir adalah berbagai hal yang menyangkut program landreform di Indonesia dan kajian literatur lainya yangdilakukan secara mendalam sehingga akan memperkaya dalam analis. BAB III Gambaran Umum Penelitian: Bab ini akan menyampaikan tentang pengelolaan tanah negara dan tanah ulayat (tanah ulayat dan hak ulayat serta istilah dan pengertian tanah negara). Inti yang ingin disampaikan dalam bab ini adalah berbagai model pola kepemilikan, pengelolaan, sistem pewarisan, pada masyarakat yang pengelolaan lahannya dilakukan secara komunal. Informasi ini akan digali dari studi pustaka meliputi laporan penelitian, buku, artikel dan sumber-sumber lain yang mendukung. BAB IV Hasil temuan lapangan: Meliputi hasil wawancara dan eksplorasi informasi terkait dengan pola-pola penguasaan, kepemilikan, dan pengelolaan lahan komunal serta gagasan tentang kebijakan landreform komunal dengan narasumber/responden yang sudah ditentukan. BAB V Hasil dan Pembahasan: Dalam bab ini berisi tentang analisis polapola penguasaan, kepemilikan, dan pengelolaan lahan komunal, dimana hasil temuan penelitian diinterpretasikan dengan gugus teori yang digunakan pada bab pada masyarakat12sebelumnya yaitu kajian berbagai model landreform di Indonesia, yang susuai dengan tujuan pembangunan sosial dan prespektif UUPA 1960. BAB VI Penutup: Bab ini berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi, yakni tentang kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian yang dilakukan, serta saran yang dapat direkomendasikan dari hasil analisis yang dilakukan.13BAB 2 KERANGKA PEMIKIRANPada bagian ini akan memaparkan tentang teori-teori yang melandasi penelitian ini, meliputi paradigma pembangunan nasional, paradigma pembangunan sosial, reforma agraria dan landreform.2.1. Paradigma Pembangunan Nasional Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pembangunan secara fisik tidak bisa lepas dari lahan dan ruang, maka lahan menjadi kunci dari proses sebuah pembangunan. Bagaimana menempatkan lahan sebagai modal pembangunan yang menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat dan kestabilan ekosistem, tergantung dari paradigma dan bagaimana menempatkan lahan sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk itu, bab ini akan menguraikan pemahaman kembali apa arti pembangunan yang sesungguhnya. Istilah pembangunan pada mulanya adalah sekadar terjemahan dari bahasa Inggris development. Sebelum Perang Dunia II, istilah pembangunan juga telah dipakai oleh tokoh pergerakan Indonesia. Akan tetapi makna yang dimaksudkan mungkin sedikit berbeda dari apa yang sekarang dimengerti secara umum. Saat itu, makna pembangunan mengacu pada tiga makna sekaligus antara lain(Wiradi, 2000, hal.152): (a) Membangkitkan semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka,membebaskan diri dari mentalitas bangsa penjajah. (b) Membangun susunan masyarakat baru yang bebas dari penindasan, adil dan demokratis. (c) Membangun secara fisik, bagi kesejahteraan rakyat. Tujuan pokok yang harus difasilitasi pemerintah melalui pembangunan untuk setiap individu masyarakatnya adalah : Kecukupan, Harga Diri dan Kebebasan dari Sikap Menghamba. a). Kecukupan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, sedangkan yang disebut sebagai kebutuhan dasar adalah segala sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan14menghentikan kehidupan seseorang. Kebutuhan dasar ini meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan, b). Harga Diri yaitu menjadi manusia seutuhnya yaitu adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan seterusnya, c). Kebebasan dari Sikap Menghamba adalah kemampuan untuk memilih nilai universal, kemerdekaan atau kebebasan di sini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini (Todaro dan Smith, 2006, hal.27-28) Pada awal kemerdekaan paradigma pembangunan nasional dipengaruhi oleh kondisi politik dunia di mana berakhirnya Perang Dunia II, dunia memasuki masa perang dingin. Kondisi tersebut berpengaruh pada tatanan politik dan ekonomi di Indonesia, antara tahun 1959-1965 dalam bayang-bayang perang dingin antara kubu kapitalis dan sosialis/komunis. Indonesia ingin keluar dari tarikan kedua kubu tersebut, hal ini ditandai dengan semboyan trisakti dan semangat berdikari; semboyan tersebut berimplikasi pada beberapa hal antara lain(Wiradi, 2000, hal.152): 1. Sangat selektif dalam mencari bantuan luar negeri 2. Sangat berhati-hati dalam melaksanakan business deal 3. Sangat berhati-hati dalam menyerap pengaruh asing (Pendidikan, seni budaya, dan lain-lain). Perubahan peta politik dan pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto berdampak pada arah dan cara pembangunan yang dijalankan. Paradigma pembangunan nasional pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto mengacu pada pembangunan yang bertumpu pada pembangunan ekonomi. Paradigma tersebut didasarkan pada teori pertumbuhan yang digagas oleh Rostow. Teorinya yang terkenal ialah teori lima tahapan pertumbuhan ekonomi (Rostow dalam Fakih, 1960). Dalam teori pembangunan ekonomi, pembangunan mengacu pada permasalahan kemiskinan yang dipecahkan dengan membantu orang-orang kaya. Berdasarkan ideologi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan, para15pengusahalah yang harus didukung supaya pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Menurut analisis teori ini, kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, orang-orang miskin pasti akan mendapatkan bagian juga, melalui penetesan ke bawah (trickle down effect), karena itu, semakin miskin sebuah masyarakat, semakin gencar upaya memberi fasilitas kepada pengusaha untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, pembangunan ekonomi nasional selama ini masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator utamanya adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Dalam siaran berita BPS (2007), bahwa 97,5 persen aset nasional dimiliki oleh 2,5 persen bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari keseluruhan dunia usaha. Ini menjadi bukti nyata bahwa pembangunan yang terlampau mengutamakan pada pembangunan ekonomi merugikan masyarakat kecil. Dari kondisi tersebut maka selayaknya kita perlu meninjau kembali konsep dan arah pembangunan dengan pendekatan yang dilakukan selama ini. Kritik terhadap kegagalan pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi ini telah melahirkan paradigma baru, yaitu paradigma pembangunan sosial, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi bukan diukur dari GNP saja tapi juga pemerataan pertumbuhan tersebut sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dapat dicapai, yang mensyararatkan pertumbuhan juga diikuti dengan pemerataan. 2.2. Paradigma Pembangunan Sosial Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menyejahterakan manusia walaupun dengan paradigma proses yang berbeda ketika banyak kalangan membahasnya. Proses pembangunan akan diawali dengan menggali sumbersumber daya yang ada, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan sumber daya melalui perencanaan kebijakan pembangunan hingga sampai pada keluaran (output) atau hasil yang akan dicapai (outcome).16Setiap negara menerapkan teori pembangunan yang berbeda dan dengan paradigma yang berbeda pula, baik itu didasarkan atas teori modernisasi ataupun teori dependensi. Jika ditelaah lebih lanjut terlihat bahwa selama ini Indonesia menganut strategi pembangunan yang berorientasi pada strategi trickle down effect yang memeratakan hasil pembangunan dilakukan dengan mempertinggi pertumbuhan ekonomi. Fenomena yang terjadi dewasa ini memperlihatkan bahwa strategi tersebut tidak memperlihatkan hasilnya karena pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh konglomerasi selalu membuat wadah-wadah kapital baru baru - tapi tetesan yang diharapkan tak kunjung mengucur. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa strategi pembangunan yang perlu dipertimbangkan untuk dapat diimplementasikan menurut (Widiowati, 2009), yaitu : 1. Strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity). 2. Strategi pembangunan, yang diarahkan pada perbaikan sumber daya manusia (human factor). 3. Strategi pembangunan yang berpusat pada rakyat. Strategi pembangunan ini merupakan strategi yang berorientasi pada manusianya (people centered development). Pendapat serupa berasal dari (Midgley, 2005, hal.139) tentang tujuan pembangunan, bahwa usaha untuk mendefinisikan hasil akhir dari pembangunan sosial ini lebih pada bagaimana cara mencapai sesuatu yang diinginkan yang bersifat material versus tujuan idealis pada konsep paham materialisme, kemajuan ke arah tercapainya tujuan-tujuan pembangunan sosial diukur dengan istilah kuantitatif. Pada pendekatan ini, indikator sosial juga secara luas dipergunakan untuk menentukan sejauh mana kebutuhan material dapat terpenuhi pada sisi lain konsep ideasional tentang tujuan pembangunan sosial jarang sekali didefinisikan dengan menggunakan indikator kuantitatif. Tetapi tujuan ini digambarkan dengan istilah abstrak dan melibatkan penjelasan deskriptif dan normatif yang melibatkan metode kualitatif tentang interaksi manusia, arti hidup dan partisipasi dalam pembuatan putusan pembangunan. Komponen spesifik atas "kehidupan yang serba lebih baik" itu, bertolak17dari tiga nilai pokok di atas, proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut (Todaro dan Smith, 2006, hal.28-29): 1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan. 2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. 3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghambat dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Untuk melengkapi konsep pembangunan nasional, pembangunan adalah upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya, dengan lima implikasi yang timbul dari proses pendefinisian tersebut (Bryant dan White dalam Ndraha, 1990, hal16): 1. Capacity. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimalmanusia, baik individu maupun kelompok. 2. Equity. Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan. 3. Empowerment. Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepadamasyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan yang memutuskan. 4. Sustainability. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri.185. Independence. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu dengan negara yang lain dan menciptakan hubungan salingmenguntungkan dan saling menghormati. Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilahkesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. (Midgley, et al 2000:xi) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai ...a condition or state of human well-being. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya (Suharto, 2008, hal.104). Orientasi pembangunan sosial itu menjadi mainstream secara global. Pembangunan sosial tidak hanya menjadi sebuah dimensi dalam pembangunan, tetapi juga menjadi cara pandang alternatif dalam pembangunan (yang umumnya dimaknai sebagai pembangunan ekonomi) untuk mencapai kesejahteraan rakyat (human well being). Ketika para kepala negara seluruh belahan dunia berkumpul di Copenhagen 1995 dalam World Summit on Social Development, merekamerumuskan tujuan secara bersama memperkuat tindakan nasional untuk mempromosikan pembangunan sosial dan sebuah komitmen global kepada pembangunan keberlanjutan. Mereka membangun komitmen untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan tenaga kerja yang produktif, mengurangipengangguran dan memperkuat integrasi sosial (Eko et al., 2005, hal.82). Pembangunan sosial, seperti halnya pembangunan manusia (human development) yang diusung oleh UNDP, dapat juga sebagai bentuk alternatif atas pembangunan yang selama ini mengutamakan pembangunan ekonomi. Ada keyakinan yang kuat bahwa kesejahteraan rakyat (human well being) tidaksemata diukur dari pertumbuhan ekonomi (material) tetapi juga diukur dengan indikator-indikator kesejateraan sosial. Karena itu pembangunan sosial juga hendak mengatasi korban-korban pembangunan ekonomi yang berideologi19developmentalism seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran, penggusuran, maupun kerentanan sosial yang lain. Inti dari pembangunan sosial adalah bagaimana pembangunan itu dapat memfasilitasi masyarakat untuk membangun dirinya sendiri, menyelesaikan masalah mereka sendiri, membangun semangat kemandirian, baik di dalam diri masyarakat maupun dalam komunitas mereka. Keberhasilan dari pendekatan ini adalah lahirnya masyarakat madani. 2.3. Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat Pembangunan adalah proses di mana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional/pranata mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikanperbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan apresiasi mereka sendiri (Korten1993, hal.110). Definisi ini mencakup asas keadilan, keberlanjutan dan kecakapan. Hanya rakyat sendiri yang bisa menentukan apa sebenarnya yang mereka anggap sebagai perbaikan dalam kualitas mereka. Pencapaian dan Elemen dalam People-Centred Development menyebutkan delapan kondisi utama yang harus dicapai oleh pelaksanaan people-centred development, yaitu: (1) rendahnya kemiskinan, (2) rendahnya pengangguran, (3) relatif ada kesetaraan, (4) demokratisasi dalam kehidupan politik, (5) kemerdekaan nasional yang sesungguhnya, (6) baiknya tingkat pendidikan masyarakat, (7) status perempuan yang relatif setara dengan laki-laki dan partisipasi perempuan, dan (8) keberlanjutan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masa depan (Seers. Dudley 1979 dalam Chasan. 2008). Pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah pembangunan yang berbasis masyarakat untuk membantu menyelesiakan permasalahan-permasalahan masyarakat, pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitaskehidupan dari masyarakat. Bukan sesuatu yang dirancang dari luar yang sering kali justeru meminggirkan kepentingan dan keberadaan dari masyarakat.202.4.Pembangunan Sebagai Pembebasan Perlu disadari bersama bahwa pembangunan yang telah dilakukan ternyata membuahkan banyak masalah baru yang jauh dari esensi dan tujuan pembangunan nasional yaitu kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, di beberapa negara berkembang juga menghadapi masalah yang sama. Meminjam istilah yang disampaikan oleh PBB dalam The Human Development Report 1996 bahwa buah dari pembangunan justru menghasilkan:a).Pengangguran (Jobless growth) : ada pembangunan tetapi tidak menciptakan peluang pekerjaan, padahal pekerjaan merupakan kebutuhan mendasar karena kalau manusia tidak bekerja kemanusiaannya akan hilang (dehumanization), dengan bekerja manusia bisa berkreasi untuk mendapat harkat dan martabat, b). Kekejaman (Ruthless growth) : pembangunan itu kejam karena justrupembangunan harus mengorbankan kelompok-kelompok tertentu, c). Tidak Mengakar (Rootless growth) : pembangunan telah membuat masyarakattercerabut dari akar budayanya atau pembangunan yang tidak berakar atau tidak berdampak pada masyarakat lokal, d) Kebisuan (Voiceless growth) :pembangunan tanpa suara, pembangunan yang tanpa peran serta masyarakat yaitu meniadakan peran masyarakat miskin dan kaum perempuan, e). Tanpa Masa Depan (Future-less growth) pembangunan yang tidak melihat masa depan pembangunan yang menghabiskan aset budaya, energi sosial dan merusak sumber daya alam. Kegelisahan tersebut coba dijawab oleh Sen. Menurut Sen pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan adalah sesuatu yang "bersahabat". Pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy) (Sen, 2000). Bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Salah satu penyebab dari langgengnya kemiskinan,21ketidakberdayaan maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Karena keterbatasan akses menyebabkan manusia mempunyai keterbatasan atau hampir tak ada pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial. Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Sen. Pembelajaran yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Masyarakat (konsorsium 27 jaringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, penyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut takmenguntungkan mereka (Budiantoro Setyo, 2003). Pendapat yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, adalah melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom) tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko dalam Budiantoro Setyo (2003) merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya). Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris ; yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat sehingga memungkinkan masyarakat mengembangkan kemampuan atas dasar kekuatan22sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens). Dengan demikian, yang dimaksud pembangunan sebagai pembebasan adalah: Pembangunan yang merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamika sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat. 2.5. Hubungan Manusia dengan Tanah Seperti dinyatakan oleh Singgih Praptodiharjo (1951) dalam Sinambela (1997), bahwa hubungan manusia dengan sumber daya tanah adalah hubungan yang bersifat mutlak, karena apa pun bentuk kegiatan pembangunan yang dikerjakan manusia selalu membutuhkan tanah. Tanah tidak dapat dipisahkan dengan manusia, bahkan tidak saja semasa hidupnya tetapi setelah meninggalpun masih membutuhkan tanah sebagai tempat pemakamanya. "Tanah adalah pusaka, tanah adalah sumber kekuatan dan jaminan hidup bagi bangsa sejak purbakala sampai ke akhir jaman"(Singgih Praptodiharjo (1951) dalam Sinambela (1997)). Kuatnya hubungan ini tergambar pada budaya berbagai suku bangsa di Indonesia dengan ungkapan-ungkapan antara lain: Pada orang Jawa, "sedumuk batuk senyari bumi, yen perlu den tohi wutahing ludiro", oleh orang Batak Karo mengatakan "Uissi la pernah maringat" dan Batak Toba, "Ulos la pernah maringat". Untuk orang lampung sebelah Utara justru lebih sakral. "Karena asal manusia adalah tanah, maka dia akan kembali ke tanah dan oleh karenanya tanah bagi orang Lampung merupakan hidup mati manusia itu", dan oleh orang Aceh, menyatakan bahwa tanah berasal dari Tuhan, tanah-tanah bebas yang belum digarap oleh manusia disebut "Haqqullah" sedang tanah-tanah yang telah digarap disebut "Haqquladam" (Singgih Praptodiharjo, 1951 dalam Sinambela,1997).23Ungkapan-Ungkapan tersebut di atas merupakan bukti bahwa hubungan masyarakat Indonesia dengan tanah sangat kuat, sakral dan merupakan pusaka bangsa bahkan akan mempertahankan sekali pun dengan pertumpahan darah. Tegasnya, berbicara mengenai tanah sama dengan membicarakan berbagai aspek kehidupan manusia (Jhon Salindeho; 1993: 3 dalam Sinambela 1997), sedang orang Papua tanah diartikan sebagai Ibu mereka. Tanah adalah suatu benda bernilai ekonomi, sekaligus magis-religiokonis menurut pandangan bangsa Indonesia; ia pula yang sering memberikan getaran di dalam kedamaian dan dering pula memberikan kegoncangan dalam masyarakat, lalu ia sering pula menimbulkan sendatan dalam pembangunan, (Sinambela 1997). Kondisi tersebut disadari oleh para pemimpin bangsa, karena itulah dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, sebagai berikut bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Hal yang berkaitan dengan pasal ini, kemudian diperjelas dan dijabarkan lagi dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya di lapangan. Dari uraian di atas, dapat dipahami bagaimana pentingnya tanah bukan hanya untuk manusia atau satu komunitas masyarakat tapi juga bagi sebuah bangsa. Permasalahan tanah menjadi masalah mendasar dalam setiap kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa. 2.5.1. Hak Atas Tanah Dalam pasal 4 UUPA telah telah diatur dasar pemberian hak-hak atas tanah baik kepada perorangan, kelompok masyarakat maupun kepada badan hukum dan pada pasal 16 - UUPA telah dijelaskan macam-macam hak atas sebagai dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) antara lain : a. hak milik, b. hak gunausaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut-hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Sementara, pasal 1624ayat 2 menjelaskan hak-hak atas ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) yaitu :Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah:a. hak guna air, b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, c. hak guna ruang angkasa. Selain hak-hak tersebut di atas, masih ada hak pengelolaan yang berasal dari hak pengusahaan tanah-tanah negara sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1953. Hak pengelolaan ini tidak ditemukan dalam UUPA, tetapi telah diatur dengan Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965, tentang : "Pelaksanaan konversi hak penguasaan atas tanah negara dan ketentuan-ketentuan tentang kebijaksanaan selanjutnya". Hak pengelolaan diberikan kepada instansiinstansi Pemerintah seperti Departemen-Departemen dan Lembaga-Lembaga Non Departemen serta Badan Milik Daerah yang selain dipergunakan sendiri juga dapat diberikan kepada pihak ketiga. Hak pegelolaan ini memberikan wewenang kepada pemegang hanya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan. Jangka waktu hak pengelolaan tidak terbatas dan berlaku sepanjang dipergunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Hak-hak yang dapat diberikan di atas hak pengelolaan adalah hak guna bangunan, hak pakai dan hak-hak lainya dengan jangka waktu tertentu. Namun demikian, apapun hak yang dimiliki oleh seseorang, masyarakat hukum atau badan-badan hukum, selalu ditandai hubungan yang kuat antara manusia dengan tanah yang dikuasainya sebagaimana tergambar pada ungkapanungkapan dan budaya beberapa suku masyarakat Indonesia. Sebaliknya, apa pun hak yang dimiliki dan betapapun kuatnya hubungan itu, harus mempunyai fungsi sosial sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUPA, tidak boleh dipergunakan semuanya, tetapi harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalau mendalami permasalahan hak tanah di Indonesia sebenarnya telah tertuang baik dalam UUD 1945 maupun UUPA 1960 dengan jelas mengatur25ketentuan tersebut, sehingga kepemilikan maupun hak terhadap sumber daya tanah, semua bermuara pada bagaimana hak tersebut memberikan jaminan untuk menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat. 2.5.2. Monopoli Tanah dan Kesejahteraan Dalam era pasar bebas, saat ini siapapun boleh memiliki tanah tanpa ada batasan luasan, ini dampak bahwa tanah dianggap sebagai komoditas. Saat ini tanah memiliki nilai baru, tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata melainkan juga sebagai alat untuk berspekulasi untuk keuntungan ekonomi. Tanah telah menjadi barang dagangan dimana transaksi ekonomi berlangsung dengan pengharapan akan margin atau rente perdagangan atas komoditas yang dipertukarkan itu. Kondisi ini sebenarnya muncul sebagai reaksi terhadap perebutan penarikan modal asing ke berbagai negara berkembang yang semakin marak belakangan ini. Beberapa negara seperti Vietnam, RRC, Malaysia, dan lain-lain saling berebut investor dengan cara memberikan fasilitas pengadaan tanah yang cepat dan murah. Akibatnya, Indonesia yang sangat giat menarik modal, terutama modal asing, merasa perlu pula memberikan fasilitas yang sama. Kalau tidak, beberapa pengamat mengatakan Indonesia akan kehilangan atau ditinggalkan investor. Oleh karena itu, sejak paruh kedua 1980-an, berbagai deregulasi terhadap peraturan yang sekiranya menghambat perolehan tanah, dihilangkan. Indonesia telah menempatkan kemudahan perolehan tanah sebagai suatu keunggulan komparatif dan menjadikan tanah sebagai komoditas strategis (Wiradi, 1996). Tentunya kondisi ini bukan kondisi yang diinginkan. Karena kondisi ini akan semakin menjadikan adanya ketimpangan dalam penguasaan dan kepemilikan tanah. Seperti dikutip dalam Wiradi (1996), dalam salah satu pidato Bung Hatta di Yogyakarta pada tahun 1946, terkandung suatu pandangan mengenai masalah pertanahan. Apabila diperinci, pesan itu terdiri dari 10 butir, 4 (empat) butir di antaranya relevan disebutkan di sini yaitu:26(1) Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak. (2) Tanah yang dipakai oleh kebun-kebun besar itu pada dasarnya adalah tanahtanah milik masyarakat. (3) Tanah tidak boleh menjadi "obyek perniagaan" yang diperjualbelikan sematamata untuk mencari keuntungan (dalam bahasa sekarang: tanah tidak boleh diperlakukan sebagai komoditi). (4) Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat dan negara, karena negara itu alat masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum.Jika diperhatikan, pesan-pesan Bung Hatta di atas (termasuk enam butir lainnya yang tak disebutkan di sini) ternyata serupa benar dengan jiwa dan isi pasal-pasal UUPA 1960. Jiwa UUPA jelas mengamanatkan tanah seharusnya tidak diperlakukan sebagai komoditi. Menurut Tjondronegoro (1996), disampaikan bahwa tanah adalah aset bukan komoditas. Yang dimaksud dengan komoditas adalah suatu barang atau ciptaan yang merupakan hasil produksi atau pemikiran yang dapat diperjualbelikan. Sebenarnya aset mempunyai kemiripan dengan komoditas dalam arti bisa diperjualbelikan. Akan tetapi beda dan kelebihan aset adalah dapat turut berperan aktif dalam proses produksi. Artinya juga aset turut membuat nilai tambah. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki komoditas. Tanah sebagai aset mempunyai ciri-ciri yang khas ditentukan oleh lokasi, komposisi, dan struktur partikel-partikel di dalamnya. Daya produksi itulah yang menjadikan tanah bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan begitu saja. Karena sukar diganti (replaced), oleh segenap bangsa tanah diperlakukan dan dilindungi secara khusus. Peperangan antar bangsa atau revolusi dalam masyarakat dapat meletus bila penguasaan atas tanah tidak diatur secara adil dan baik (Tjondronegoro, 1996). Bila dibandingkan dengan komoditas apapun, replacement value tanah memang lebih tinggi dan sukar disamakan dengan komoditas apapun. Menyamakan aset tanah dengan komoditas berarti menghapus berbagai ikatan27batin yang berakar dari tanah. Tjondronegoro menyimpulkan bahwa tanah bukan komoditas, melainkan aset Jiwa UUD 1945 khususnya pasal 33 dan UUPA No. 5 1960 mencerminkan kelebihan dan kekhususan asset ini. Baik dari sudut pandang legal maupun dari sudut pandang kebangsaan, tanah jangan sekali-kali disamakan dengan komoditas lain yang setiap saat bisa diperjualbelikan. Apabila tetap memandang tanah sebagai komoditas maka sebenarnya tidak ada gunanya lagi membanggakan, mempertahankan, dan memajukan tanah air atau memupuk rasa kebangsaan. Permasalahan penguasaan tanah ini sangat vital karena berpengaruh pada akses terhadap sumber-sumber kesejahteraan dan kontrol terhadap pemerataan hak terhadap seluruh masyarakat. Jika mengacu pada UUD 1945, negara berkewajiban untuk mendistribusikan sumber daya agraria khusunya tanah. Dari Undang-undang ini, telah ditulis pentingnya pembaharuan agraria dalam kerangka merombak struktur penguasaan tanah yang dimonopoli oleh beberapa orang untuk bisa didistribusikan kepada seluruh masyarakat, sesuai dengan konsep yang disusun dalam arah pembangunan bangsa. 2.6. 2.6.1 Reforma Agraria. Urgensi Reforma Agraria Pembangunan nasional yang telah dilakukan selama ini ternyata belum bisa menghadirkan kesejahteraan rakyat. Kemiskinan masih saja membelenggu sebagian besar penduduk Indonesia, wajar kiranya jika permasalahan kemiskinan semakin sulit dicari jalan keluarnya, sementara program pembangunan yang telah dilakukan hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yang sebenarnya secara ekonomi sudah sangat mapan. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani dengan sumber daya lahan yang di miliki, justru sebagian besar masyarakatnya tunakisma (landless) atau hanya menguasai tanah sempit yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup petani secara minimal. Padahal konstitusi telah mengamanatkan secara tegas bahwa negara harus menjadi pembela dan memastikan terpenuhinya kepentingan, kesejahteraan dan kedaulatan akan sumber daya. Di sinilah kenapa28Reforma Agraria (landreform) menjadi penting untuk dilakukan sebagai upaya menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesia dari akar masalahnya. Laporan sensus pertanian tahun 2003 menyampaikan bahwa saat ini jumlah petani di Indonesia paling tidak sekitar 44,3 juta jiwa. Dari jumlah itu, menurut Sensus Pertanian (SP) 2003, kaum tani yang menggarap tanah kurang dari 0,4 ha berjumlah 56,5 persen. Dari sensus ini juga menunjukkan semakin miskinnya petani Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6% per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003. Data BPS menunjukkan sejak 1960-2002 melalui landreform ala pemerintah telah didistribusikan 885 ribu hektar dan itu tidak lebih dari 2% dari total luas tanah pertanian. Namun tanah seluas itu dibagikan pada 1,3 juta keluarga petani atau 7% dari total rumah tangga pertanian. Tanah yang diredistribusikan itu hanya 52%, sehingga tanah objek landreform yang belum didistribusikan masih 48%. Hal di atas menunjukkan, di satu sisi kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan tanah guna kelangsungan hidupnya sangat tinggi, tetapi di sisi lain terdapat tanah dalam skala besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Selanjutnya, dapat dibandingkan akses kepemilikan tanah yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, misal hingga tahun 1993, perkebunan-perkebunan besar menguasai sekitar 3,80 juta hektar tanah, dalam hal ini oleh 1.206 perusahaan. Setiap perusahaan rata-rata menguasai 3.150 hektar. Jikadibandingkan dengan rata-rata luas usaha mayoritas kaum tani yang hanya 0,5 hektar (SP 1993) dan 0,4 hektar (SP 2003). Kalau membaca data-data tersebut di atas maka kehadiran pembaharuan agraria dalam konteks landreform perlu optimalisasi melalui model-model yang adaptif terhadap kondisi dominan masyarakat yang kebanyakan masih menganut sistem komunal. Permasalahan akses terhadap sumber daya agraria ini sangat berpengaruh pada proses produksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup29mereka, selain itu juga akan memberikan kontrol yang cukup berarti terhadap keberlanjutan usaha serta keberlangsungan hidup mereka sehari-hari. 2.6.2 Definisi Reforma Agraria Sumber daya Agraria adalah : bumi, air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang ada adalah karunia Tuhan yang pemanfaatanya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang ada dimuka bumi ini secara adil,bijaksana dan merata serta tidak melahirkan pertentangan antar manusia. Menurut Wiradi (2006;35) Reforma Agraria bersumber dari bahasa Spanyol yang berarti pengaturan kembali pengunaan tanah, atau yang secara luas dikenal dengan agraria reform dalam bahasa Inggris. Sedang istilah landreform mempunyai arti yang sangat luas dan berbeda-beda menurut pengertian tertentu yang berlainan pada setiap disiplin ilmu. Menurut King menunjukan bahwa pada umunya perbedaan pengertian dan definisi menyoroti 2 pengertian secara umum (King 1977) : 1. Landreform is a inveriably a more t, publiciy controlled change in the existing character of land ownership. 2. It normally attempt a diffusion of wealth and produstive capacity Bila dilihat dari arti tersebut, pada dasarnya landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Di Indonesia terdapat perbedaan antara agrarian reform dan landreform . Agrarian reform diartikan sebagai landreform dalam arti luas yang meliputi 5 program : 1. Pembaharuan Hukum Agraria; 2. Penghapusan hak-hak asing dan konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah; 3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; 4. Perombakan mengenal pemilikan dan penguasaan tanah serta hubunganhubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah; 5. Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan kemampuanya(Harsono 1973;2-3).30Program keempat dikenal sebagai landreform dalam arti sempit. Selanjutnya dalam pembahasan ini istilah landreform akan digunakan untuk mengarah ke program pemerintah menuju peraturan penguasaan tanah. Sementara Gunawan Wiradi (2001) menyampaikan bahwa pembaruan Agraria bukanlah gagasan baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun. Landreform yang pertama di dunia, terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelum Masehi. Slogan land-to-the-tillers (tanah untuk penggarap), itu sudahberkumandang 565 tahun sebelum Masehi! Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: landreform dijaman Romawi Kuno (134 SM); gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris, selama lebih 5 abad; dan Revolusi Perancis (1789 1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan landreform. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria dilakukan dimana-mana Amerika Latin. Selama perjalanan sejarah yang panjang itu, tentu saja konsepnya menjadi berkembang, sesuai dengan konteks waktu, kondisi fisik lingkungan alam dan sistem politik serta orientasi kebijakan pemerintah, di masing-masing negara. Meskipun demikian, inti pengertiannya tetap sama, yaitu: Suatu penataan kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu strutkur masyarakat yang adil dan sejahtera (Wiradi 2001). Wiradi (2001) juga menyampaikan bahwa istilah yang semula dipakai adalah landreform. Sesuai dengan kondisi sosial budayanya, dan orientasi pandangan ekonomi dari para perencananya di masing-masing negara, maka pola landreform di berbagai negara itu bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu: yang bersifat redistributif; yang bersifat kolekivist; dan yang campuran dari keduanya itu. (Di negara-negara sosialis, landreform nya bersifiat kolektivist; di Negaranegara non-sosialis pada umumnya bersifat redistributive) Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu baik di negara-negara Asia, Afrika, maupun31kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain). Jadi, landreform plus program-program penyiapan berbagai infrastruktur itulah yang kemudian diberi istilah dalam bahasa Inggris Agrarian Reform. Negara pertama yang berusaha menerapkan pembaruan agraria dengan paket lengkap seperti itu adalah Bulgaria yaitu pada tahun 1880-an (King, 1977, hal.34). Namun kemudian, Wiradi (2006) mempertegas bahwa istilah Agrarian Reform yang sering digunakan secara bergantian dengan Landreform itu, dirancukan lagi oleh mereka yang berpandangan bahwa (karena luasnya isi) Agrarian Reform itu pada hakekatnya sama dengan pembangunan pedesaan secara menyeluruh, maka berangsur-angsur istilah tersebut tergeser oleh istilah Agricultural Development. Akibatnya, intinya (yaitu Landreform) terabaikan. Karena itu sekarang, dalam lingkaran wacana dunia, istilah yang lebih populer digunakan adalah Reforma Agraria (bahasa Spanyol), untuk menghindari kerancuan istilah tersebut di atas. Pendapat lain mendefinisikan pembaharuan agraria sebagai upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria yang lebih sehat dan merata bagi masyarakat desa. Sering pembaharuan agraria juga diartikan sebagai landreform dalam arti luas, (Eko et.,al2005). Dengan kata lain program pembaharuan agraria adalam merupakan upaya pemerintah yang bekerjasama dengan masyarakat untuk mengubah struktur penguasaan tanah, memperbaiki tata guna tanah dan sumber daya alam yang menyertainya, dengan memperbaiki kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Dengan demikian menurut Eko pembaharuan agraria dapat dikonsepsikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam menguasai tanah dan sumber daya alam ke arah keadilan dan pemerataan, melalui mekanisme dan sistim politik yang demokratis dan terbuka, bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pengertian ini tidak sekedar perubahan32dari penguasaan tanah dan hubungan-hubungan sosial yang ada didalamnya, tetapi pembaharuan agraria harus pula mengakui keberadaan tanah-tanah adat hal yang sangat penting dalam pembaharuan agraria, sehingga kiranya sangat perlu diadakan peraturan yang khusus mengenai hal tersebut. Dalam perkembanganya program landreform terus mengalami modifikasi dan penyempurnaan, dari situlah mucul istilah landreform plus. Pada tahun 2006 pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan penguatan kelembagaan pada Badan Pertanahan Nasional melalui Perpres No.10 Tahun 2006, maka keluarnya kebijakan redistribusi tanah seluas 8,15 juta hektar yang dinyatakan Presiden SBY merupakan momentum politik berikutnya yang strategis dalam rangka perjuangan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pelaksanaan kebijakan redistribusi tanah ini akan dijalankan oleh Pemerintah dalam sebuah kerangka program terpadu yang disebut Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). PPAN ini bukanlah sekedar proyek bagi-bagi tanah, melainkan suatu program terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial dan peningkatankesejahteraan rakyat melalui penataan akses terhadap tanah sebagai basis untuk revitalisasi pertanian dan aktivitas ekonomi pedesaan (Winoto 2006 lihat Reforma Agraria: Kepastian yang Harus Dijaga lihat hal. 34 Napiri M 2006). Program terpadu ini mencakup dua komponen pokok. Pertama adalah redistribusi tanah untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber agraria. Kedua adalah upaya pembangunan lebih luas yang melibatkan multipihak untuk menjamin agar aset tanah yang telah diberikan tadi dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan. Yang terakhir ini mencakup pemenuhan hak-hak dasar dalam arti luas (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), penyediaan dukungan finansial, infrastruktur dan teknologi, peningkatan manajemen, pembukaan akses pasar, dll. Komponen yang pertama disebut sebagai asset reform, sedangkan yang kedua disebut access reform. Gabungan antara kedua jenis reform inilah yang diistilahkan dengan Landreform Plus sebagai ciri dasar yang membedakan PPAN ini dari program landreform yang pernah dilakukan pemerintah33sebelumnya. Landreform plus artinya landreform yang sesuai dengan kerangka undang-undang, ditambah dengan acces reform.(Napiri M, 2006). Untuk memahami definisi dari reforma agraria (Agraria reform) adalah suatu program yang dibuat untuk menghadapi masalah-masalah struktur agraria yang timpang. Sementara, landreform adalah bagian dari reforma agraria, landreform plus adalah program landreform yang bukan hanya membagi tanah saja tapi juga diikuti dengan program-program lain untuk mendorong pengelolaan lahan yang didistribusikan agar lebih produktif sehingga memunculkan inovasiinovasi baru dalam pengelolaannya. 2.6.3 Tujuan dan Prasyaratnya Dalam pelaksanaan landreform perlu dirumuskan tujuan dan prasyarat mengacu pada penyelesaian masalah dan visi dari pelaksanaan landreform. Dalam hal ini Wiradi menyampaikan bahwa tujuan pembaruan agraria adalah untuk membangun susunan masyarakat yang lebih adil. Jadi, awalnya, kebijakan landreform adalah lebih merupakan kebijakan sosial (pemeraatan) dan bukan kebijakan ekonomi (produksi). Namun kemudian, orang pun sadar bahwa untuk itu diperlukan adanya economic rationale yang dapat memberi alasan mengapa pembaruan agraria perlu dilakukan. Karena itu, khususnya setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria di berbagai negara pada umumnya, memasukkan berbagai aspek dalam pertimbangannya (sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya). Karena itu, selalu dipertimbangkan agar pembaruan agaria itu: (a) politically tolerable; (b) economically viable; (c) culturallyunderstandable; (d) socially acceptable; (e) legally justifiable; (f) technically applicable ( Wiradi, 2001). Tetapi perlu diingat bahwa pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak harus melahirkan suatu "quasi-reform" atau "pseudo-reform", yaitu suatu pembaruan yang "sopan" tetapi pada hakekatnya bukan pembaruan. Atau menurut istilah Lipton nicely-behaved non-landreform (Michael Lipton dalam David Lehmann (ed), 1974:269-81). Karena itu, bagaimanapun juga, "genuine reform" hanya bisa dilakukan jika ada "kemauan politik" (Michael Lipton, 1974). Atas dasar tujuan umum dan pertimbangan seperti itu, maka Wiradi (2001)34menegaskankan bahwa terutama di negara-negara non-sosialis, muatan konkrit dari pembaruan agraria adalah: (a) mengatur-ulang alokasi penyediaan tanah (b) menata-ulang status dan luas pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah (c) mengatur-ulang tata-cara perolehan tanah (d) menata-ulang penggunaan tanah Atas dasar pengalaman sejarah berbagai negara yang pernah melaksanakan pembaruan agraria, maka pakar-pakar dunia pada umumnya sepakat bahwa, agar suatu pembaruan agraria berpeluang untuk berhasil, diperlukan sejumlah prasyarat. Yang terpenting, antara lain adalah(King, 1977): (a) Kemauan politik dari pemerintah harus ada; (b) Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuat dan pro-reform, harus ada; (c) Data mengenai keagrariaan yang lengkap dan teliti, harus tersedia; (d) Elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Aparat birokrasi, bersih, jujur dan mengerti. Eko (2005) menyampaikan ada 3 tujuan yang hendak dicapai dalam pembaharuan agraria adalah keadilan agraria, yaitu keadaan di mana: (1) Tidak adanya konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta kekayaan alam yang menjadi hajat hidup orang banyak; (2) Terjaminnya kepastian hak penguasaan dan pemanfaatan rakyat setempat terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya; dan (3) Terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka. Menurut Napiri M, et.al. (2006), ada 5 (lima) tujuan utama yang hendak dicapai dari program landreform plus yang akan dilaksanakan pemerintah melalui pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dengan komponen asset reform, access reform yang kemudian diistilahkan dengan Landreform Plus, yaitu: (a). Menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan kekayaan alam lainnya sehingga menjadi lebih berkeadilan sosial, (b). Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, khususnya kaum tani dan rakyat miskin di perdesaan, (c). Mengatasi35pengangguran dengan membuka kesempatan kerja baru di bidang pertanian dan ekonomi perdesaan, (d). Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik, dan (e). Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektif untuk mengatasi sengketa dan konflik agraria. Pembaharuan agraria khusunya landreform bukan hanya membagi lahan tapi juga memberi peluang masyarakat untuk mengusahakan lahan tersebut secara produktif. Selain lima tujuan di atas, pemerintah juga menyatakan bahwa pelaksanaan PPAN diharapkan juga dapat mewujudkan ketahanan pangan dan energi, serta dapat memperbaiki dan menjaga kelestarian serta keberlanjutan lingkungan, sehingga pembaharuan agraria bisa benar benar dapat meningkatkan kualitas kehidupan dari masyarakat khusunya masyarakat petani. 2.6.4 Prinsip dan Landasan Landreform Di Indonesia prinsip dan landasan landreform beralasan Prinsip Hak Menguasai dari Negara. Dengan landreform diatur siapa-siapa yang berhak mempunyai hak milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah menjadi terlantar dan tanda bukti pemilikan atas tanah (Fauzi 1999). Jika diperinci, landasan landreform antara lain adalah : a. Adalah hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara bukan hak pemilikan dari negara (kolonial) seperti asas domain, tetapi sama dengan hak ulayat dalam hukum adat. Dalam kaitanya dengan itu, negara diberi wewenang untuk mengatur antara lain kekayaan itu menyejahterakan rakyat, antara lain dengan mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa (pasal 2 UUPA). b. Memberikan kewenangan pada negara untuk mengeluarkan tanda bukti pemilikan tanah, Pemegang hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin. Warga negara asing tak diberi hak yang demikian itu (prinsip nasionalitas-pasal 9 jo.21 ayat 1 UUPA). Pasal ini membatasi kewenangan warga negara asing untuk menguasai tanah Indonesia. Hal ini untuk mencegah beralihnya keuntungan sumber daya alam Indonesia, seperti tanah partikelir yang menyebabkan rakyat Indonesia harus36menjadi buruh tani di tanah milik warga negara asing. Pemilik adalah penguasa yang mengambil hasil kerja buruh tani. c. Luas tanah dengan status hak milik dibatasi luasnya, luas minimal maupun maksimal pemilikan tanah dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sistim persawahan tanah atau gadai tanah (pasal 7jo. Pasal 17 UUPA). Pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga petani tidak hidup dari luas tanah yang kecil. Terdapat korelasi yang saling menguatkan antara kecilnya produktivitas dengan kecilnya pemilikan atas tanah. Pemilikan tanah yang terlalu kecil, tidak hanya berakibat kecilnya pendapatan pemiliknya (baca:petani), juga secara mikro (nasional) merugikan karena rendahnya karena rendahnya produktivitas (pasal 13 jo pasal 17 UUPA). Pemilikan tanah yang tidak terbatas (tanpa batas maksimal) akan membuka peluang bagi sekelompok kecil orang menguasai tanah dalam luas yang sangat besar dan sebagian besar yang lain terpaksa hanya mengandalkan tenaga untuk menjadi buruh. Ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan senantiasa akrab dalam struktur masyarakat yang demikian. Sebaliknya, jika tanah didistribusikan kepada semua orang, setiap orang memperoleh tanah meski sedikit, memang lebih menjamin pemerataan tetapi resikonya adalah produktivitas menjadi rendah, atau rata dalam kemiskinan. d. Pemilikan yang berhak atas tanah haruslah menggarap sendiri tanahnya secara aktif (pasal 10 UUPA) sehingga dapat membawa manfaat bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan menimbulkan tanah terlantar (tanah guntai/absentee) atau meluasnya hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan yang memeras (pasal 10 ayat 1 jo. pasal 11 ayat 1). e. Panitia landreform akan mendaftar mereka yang mendapatkan pemilikan tanah, untuk selanjutnya mereka akan diberikan suatu tanda bukti pemilikan hak atas tanah. Alat bukti pemilikan itu, untuk menjamin kepastian hukum atas tanah. Selain berbagai hal diatas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia NOMOR IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan37Pengelolaan Sumber Daya Alam juga memberi landasan yang kuat tentang landreform . Beberapa yang menjadi pertimbangan kenapa landreform penting adalah terdapat : 1. bahwa sumber daya agraria dan sumber daya alam sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; 2. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam; 3. bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan danpemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik; 4. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; 5. bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik; 6. bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan; Untuk menterjemahkan hal tersebut maka Pemerintah telah menyusun beberapa Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Hak Atas Tanah. Ketentuan peraturan perundang-undangan tertinggi yang mengatur pengelolaan sumber daya alam dan agraria adalah Pasal 28 H UUD 1945 yang melindungi hak atas properti.38Dua pasal tersebut, bila dipahami secara eksplisit, bertujuan untuk melindungi hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya. Namun, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, yang melegitimasi Negara untuk mengatur dan mengelola pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 33 menyatakan bahwa: 1. Perekonomian kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam UndangUndang. Perdebatan di atas harus ditarik dalam sebuah pertanyaan apa sebenarnya dampak positif yang diharapkan dari Reforma Agraria? Karena itu Wiradi (2001) menyatakan bahwa secara umum yang diharapkan dari reforma agraria adalah: (a) Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat terutama kaum tani. (b) Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil. (c) Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan social euphoria dan family security sehingga para petani termotivasi untuk mengelola usaha taninya dengan lebih baik. (d) Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine, bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru). (e) Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi. disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas39Sementara pemerintah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) Kepala BPN RI juga menekankan empat prinsip di dalam menjalankan kebijakan, program dan proses pengelolaan pertanahan di masa depan, yaitu (Winoto dalam Napiri M et.al., 2006b): 1. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan. (Prosperity) 2. Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). (Equity) 3. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kepastian yang harus dijaga kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari. (Social Welfare) 4. Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. (Sustainability)2.6.5Model-Model Reforma Agraria Secara garis besar, pola reforma agraria itu secara normatif dapatdibedakan menjadi tiga model (dan masing-masing model itu tentu saja ada varian-variannya sendiri-sendiri), yaitu: (Cf. Ghose, 1983; Prosterman, et.al., 1987; juga J. Harris, 1982 dalam Wiradi 2001). y y y Kolektivisasi model sosialis Family Farm model kapitalis Family Farm model Neo-Populis. Atas dasar arah transaksinya model landreform dapat dibedakan dalam dua model yaitu : 40ycollective reform prinsipnya mengambil dari yang kecil untuk diberikan kepada yang besar.yredistributive reform. Mengambil dari yang besar untuk diberikan kepada yang kecil. Pola ini di bagi menjadi tiga kreteria teknis yaitu: (a) luas batas maksimum dan minimum ditentukan (b) batas luas maksimum ditentukan batas minimum diambangkan (c) luas batas masksimum dan minimum diambangkan Sedangkan atas dasar peran, baik dalam hal perencanaan program maupunpelaksanaan, dapat dibedakan dalam dua model yaitu : (a) reform-by-grace, dalam model ini peran negara sangat dominan. (b) reform-by-leverage, peran rakyat secara terorganisir melalui organisasiorganisasi tani sangat besar, dan jaminan oleh undang-undang nasional. Sekalipun sesuatu negara sudah menetapkan secara normatif memilih sesuatu model, namun dalam proses pelaksanaannya terjadi suatu perkembangan yang mengubah arah. Contoh-contohnya misalnya (lihat, R. King, 1977): y y Italia, semula memilih model (b), yang terjadi kemudian mirip model (a); Yugoslavia (sebagai negara sosialis), memakai model (a), namun yang berkembang kemudian adalah mirip model (c). y Jepang, sengaja atau tidak, semula pola landreform nya cenderung berciri (c), tapi kemudian menjadi (b).41Tabel 2.1 Pelaksanaan Landreform di Beberapa Negara (Italia, Mesir, India, Jepang) Mulai Negara Tahun Itali 1946 Objek Landreform tanah pemilikan luas, tetapi tidak digarap dan sedikit menghasilkanProgram InstrumenCara/Metode y pembelian tanah dari pemiliknya berdasarkan harga menurut pajak. y penerimaan tanah membayar harga asal 42% biaya peningkatan unit pertanian. 50% dibiayai oleh dana publik y dijual kepada pengarap biaya 40% dari bantuan Amerika. y +3. Kompensasi sebesar 70 kali dari pajak tahunan, dengan obligasi selama 30 tahun y penyitaan dan setelahnya menjualnya berdasarkan biaya yang keluar plus 15% tanan non kerajaan, selama masa 30 tahun lewat kompensasi pembayaran yang rendah dan pemberian tanah kecil.Mesir1953y penyitaan tanah dari kaum tuan tanah y distribusi tanah y pengembangan tanah y program pemindahan keluarga y pembukaan tanah pertanian melalui peningkatan dan pembaharuan tanah 1 tanah y redistribusi tanah penguasaan y pengaturan publik penyakapan 2 tanah yang y resettlement telah digarap y penetapan upah 3 pengusahaan minimum bagi tanah buruh tani berskala y penyediaan kredit besar pertanian (>200acre) y penguatan koperasi 4 tanah bekas pertanian milik y penataan kampung keluarga y reklamasi tanah kerajaan pentai dan padang tanpa pasir kompensasiIndia1952tanah tuan tanah (zamindari)y program penghapusan zamin y pengurangan sebagain penyakapan tuan tanah menjadi 1/3 atau atau kurang42Jepang1945Tanah penyakapany distribusi tanah distribusi tanahy sebagian tanah penyakapan diberikan kepada pengarap aktual melalui pembelian oleh pemerintah dan penjualan kembali y tanah dijual kepada pengarap pada harga fix berdasarkan harga dan sewa sebelum perang.Sumber: Eko , 2000. Bagaimana pola penerapan di Indonesia? Landreform yang pernah dicoba untuk dilaksanakan pada awal dekade 1960-an itu sebenarnya belum selesai. Bukan saja pelaksanaannya yang belum selesai, tapi juga bahkan design programnya pun sebenarnya belum tuntas. Penjabaran UUPA-1960 berupa UU No.56/1960 (yang dikenal sebagai UU landreform ) itu baru menyangkut pertanian rakyat. Sedangkan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, kelautan, kehutanan, dan lain-lain, belum sempat tergarap. Dengan demikian, tidak mudah untuk memberikan penilaian. Namun kalau dilihat dari isi UUPA1960 itu, jelas, semangatnya adalah semangat Neo-Populis (walaupun BK memakai istilah sosialisme Indonesia). Tetapi sayangnya, ciri ini sedikit dipudarkan oleh UU No.56/1960 yang menetapkan batas minimum penguasaan tanah seluas 2 ha, sehingga jumlah beneficiaries relatif kecil (29%) jika dibanding dengan negara-negara lain yang dianggap berhasil (misalnya, Jepang 71%; Korea Selatan 66%; Meksiko 66%; Peru 37%; Bolivia 34%; Vietnam 72%) (Lihat, Rehman Sobhan, 1993). Dengan demikian, tingkat ketimpangannya pun tetap tinggi (diukur dengan Indeks Gini, pada tahun 1973: 0.53). Apalagi sekarang, jelas kondisinya jauh lebih parah. Pilihan model yang dipilih akan sangat berpengaruh pada konsep dan teknik operasionalisasinya. Hal Ini menjadi arah ke mana dan bagaimana sumber daya agraria dikelola dalam konteks pembaharuan yang akan dilakukan.432.6.6Pendekatan Reforma Agraria untuk Indonesia Salah satu isu krusial dalam rangka membangun konsensus untukimplementasi agenda reforma agraria ini menyangkut model reforma agraria seperti apa yang akan dijalankan di Indonesia. Setiap negara memiliki model reforma agraria yang berlainan. Secara umum, ada model reforma agraria sosialis/komunis seperti yang diterapkan di Cina, Kuba, dan lain-lain. Dalam tipe idealnya, orientasi restrukturisasi dari model reforma agraria ini adalah hilangnya kelas sosial melalui penghapusan hak pemilikan pribadi atas tanah. Dan penggantinya adalah jenis kepemilikan kolektif dalam bentuk badan koperasi dan sejenisnya, yang sekaligus menjadi unit usaha tani yang bersifat kolektif pula. Sebaliknya, model reforma agraria kapitalis: orientasi restrukturisasi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan seluas mungkin bagi lahirnya kelaskelas kapitalis dan model yang lain adalah yang disebut sebagai neopopulis: orientasi restrukturisasi agraria ditujukan bukan untuk kolektivisasi ataupun pembentukan kelas pengusaha, melainkan untuk redistribusi penguasaan dan pemilikan tanah kepada rumah tangga petani (miskin). Menurut Soertarto (2006), menyampaikan bahwa model reforma agraria di Indonesia seperti dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, menganut model gabungan neopopulis dan kapitalis. Dalam model ini, redistribusi lahan kepada rumah tangga petani menjadi inti dari pelaksanaan reforma agraria. Namun, pada saat yang sama, ruang bagi perkebunan swasta juga tidak ditutup sama sekali dengan tetap diakuinya hak guna usaha ataupun hak lain. Rencana pembaruan agraria atas lahan seluas 8,15 juta hektar yang dialokasikan untuk rakyat (seluas 6 juta hektar) dan pengusaha (2,15 juta hektar) harus dilihat dalam rangka model gabungan semacam ini. Yang kemudian mesti dipikirkan dan disepakati adalah bagaimana skema alokasi semacam ini dapat terintegrasi secara utuh untuk menjamin akses petani bukan saja kepada tanah, melainkan juga kepada keseluruhan proses produksi dari hulu ke hilir.44Itu berarti menuntut untuk memikirkan organisasi produksi yang tepat untuk mengintegrasikan sektor perkebunan swasta dengan sektor perkebunan rakyat ini, sehingga pola eksploitatif ala Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di masa lalu tidak terulang. Pada saat yang sama petani dapat turut terlibat dalam manajemen usaha perkebunan dari hulu hingga ujung hilirnya (entah melalui kepemilikan saham, perwakilan koperasi dalam manajemen, pembentukan badan usaha milik petani, dan lain-lain). Kalau hal ini dapat dikaji dan ditemukan modelnya, barangkali itulah model reforma agraria ala Indonesia yang paling tepat dan handal di lapangan.Mengacu pendapat Soertarto (2006), pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia seperti dalam ketentuan Undang-Undang PokokAgraria, menganut model gabungan neopopulis dan kapitalis. Hal ini belum tuntas dalam cara dan mekanisme operasionalisasinya di lapangan, sehingga pihak swasta telah mencuri start dan akhirnya mempunyai kesempatan yang berlebih dibandingkan dengan masyarakat petani. Kondisi ini yang menimbulkan ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia sehingga tantangan dari para perancang, perencana dan pelaksana pembaharuan agraria di Indonesia dalam menemukan model yang tepat dan operasionalisasi pun handal.45BAB 3 POLA PEMILIKAN, PENGUASAAN DAN PENGELOLAAN TANAH DI INDONESIADi Indonesia terdapat perbedaan mengenai pola atau sistem pemilikan tanah antara di pulau Jawa dengan daerah-daerah lain seperti pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua serta pulau-pulau lainya. Pada masyarakat pulau Jawa, tanah dahulunya dimiliki oleh Kerajaan, sementara masyarakat diberikan hak untuk memanfaatkannya. Pengaruh hukum Belanda pada masa penjajahan telah berdampak pada model pemilikan, sehingga selain dikuasai raja-raja lahan juga dimiliki secara personal. Pada tahun 1811 di pulau Jawa pernah dilakukan pendataan tanah oleh pemerintahan Belanda, ini menjadi dasar pengelolaan dan pendataan tanah di Jawa. Sementara untuk di luar Pulau Jawa pemilikan lahan dimiliki secara komunal oleh suku, klan, atau komunitas pedesaan kecuali untuk tanah tempat tinggal. Dalam sistem ini tidak dikenal pemilikan secara porsonal, dalam pengelolaan dan pengaturanya berada ditangan kepala suku atau sesepuh disuatu kampung. Untuk mencari model landreform yang sesuai dengan pola pemilikan komunal di Indonesia maka dalam bab ini akan disampaikan tentang pola-pola pemilikan lahan dari beberapa daerah di Indonesia. Sebelumnya akan disampaikan bagaimana pengelolaan tanah negara dan tanah ulayat dalam kaitanya dengan pengelolaan lahan secara komunal.3.1. Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat 3.1.1. Tanah Negara Pengunaan istilah tanah negara ini bermula pada zaman Hindia Belanda. Sesuai konsep hubungan antara (Pemerintah Hindia Belanda) dengan tanah yang berupa hubungan pemilikan, maka dikeluarkan suatu pernyataan yang terkenal dengan nama Domeian Varklaring pada tahun 1870 dengan isi bahwa semua46tanah yang tidak bisa dibuktikan dengan hak eigendomnya adalah domein Negara (Sumardjono, 2005, hal. 60). Sementara menurut Abna & Sulaiman (2007) memahami asal usul dari tanah negara ini menurutnya kita harus mengembalikan ingatan kita kepada sejarah terbentuknya Indonesia. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht van Nederland Indie, sebelum datangnya kapal dengan bendara tiga warna ke nusantara, wilayah ini tidak kosong akan tata hukum. Menurutnya masyarakat di wilayah ini telah hidup teratur dalam masingmasing wilayah hukum adat (adatechtkringen) yang berjumlah 19 lingkaran. Artinya seluruh wilayah yang sekarang menjadi teritori Republik Indonesia telah terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah hukum adat itu, mulai dari Aceh, Batak, Minangkabau sampai ke Irian(Papua). Melalui kolonialisasi dengan kekuatan senjata, akhirnya Belanda dapat menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda, kecuali Aceh. Awalnya, karena seluruh tanah telah tebagi habis ke dalam wilayah hukum adat yang terbagi habis pula ke dalam tanah ulayat masyarakat hukum adat, tanah negara Hindia Belanda tidak ada. Setelah Indonesia merdeka, atas kekuatan dari Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, kekuasaan Belanda atas tanah beheer tersebut dilanjutkan oleh Pemerintah RI. Sementara menurut Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA Pasal III. (1). Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam Pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. (2). Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria. Menurut Undang-undang Pokok Agraria Bab II Bagian IV , Pasal 28. (1). Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau pertenankan. Dalam ayat dan pasal-pasal selanjutnya ditetapkan bahwa HGU diberikan atas tanah47dengan luas 5 hektar untuk waktu 25 tahun yang dapat diperpanjang, dapat beralih dan dialihkan, subyeknya WNI atau BHI, terjadi karena penetapan pemerintah, dan dapat dijadikan jaminan hutang (Abna & Sulaiman 2007). PP No. 8 Tahun 1953, LN. 1953-14. Pas. 1. Didalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: a. tanah Negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. Sementara dalam UUPA 1960 sebagai sumber hukum dalam pengelolaan sumbersumber agraria justru tidak ditemukan istilah tanah negara. UUPA 1960 hanya menyampaikan khusunya Pasal 2. UUPA : Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sedangkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 angka 3 tentang Pendaftaran Tanah. Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Dari redaksi Abna & Sulaiman (2007) tersebut mencoba mempertanyaan, apakah memang ada tanah yang di atasnya tidak melekat suatu hak tertentu, setidak-tidaknya pada suatu bidang tanah tententu akan melekat hak ulayat dari masyarakat hukum adat. Sementara kalau kita mengacu pada ketentuan UUD 1945 terdapat kerancuan pada istilah dikuasai oleh negara antara Pasal 33 ayat 2 dengan Pasal 33 ayat 3. Menurut Pasal 33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Istilah dikuasai oleh negara dalam pasal ini berarti dimiliki dan dikelola oleh negara secara langsung, yang sekarang dalam bentuk BUMN. Sementara makna48dikuasai oleh negara dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dijelaskan oleh Pasal 2 UUPA, sebagai Hak Menguasai Negara, yang sesuai dengan penjelasan Umum UUPA, istilah dikuasai dalam pasal ini tidak berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu. Kerancuan terhadap pemahaman makna dikuasai oleh negara seperti yang dimuat dalam UUD 45 dan UUPA itu, sering timbul salah faham bagi para penyelenggara negara, yang memandang bahwa hak menguasai negara atas tanah sama dengan hak negara atas cabang produksi yang diurus oleh Badan Usaha Milik Negara, yakni diartikan sebagai milik negara, yang kemudian disebut dengan istilah tanah negara. LMPDP mendefinisikan perbedaan pengertian menggenai tanah negara, yang menurutnya dapat dipahami dari adanya pendefinisian yang berbeda yaitu: a. Tanah yang langsung dikuasai Negara b. Tanah hak yang habis jangka waktunya c. Tanah yang belum pernah dilekati hak d. Tanah yang berupa hutan alam, cagar alam dan cagar budaya e. Tanah yang dikuasai dan atau digunkan instansi Pemerintah f. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara yaitu tanah-tanah yang bukan tanah hak (menurut UUPA), bukan anah ulayat, bukan tanah kaum, bukan tanah hak pengelolaan dan bukan pula tanah kawasan hutan g. Semua bidang tanah yang tidak diduduki, dikuasai oleh seseor