kebijakan legislatif pelapor tindak pidana ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN LEGISLATIF
DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
UUF ROUF
NIM : 1612048000006
K O N S E N T R A S I H U K U M K E L E M B A G A A N N E G A R A
PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H / 2014 M
KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA DAN
SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum ( S.H)
Oleh:
Uuf Rouf
NIM : 1612048000006
Dibawah Bimbingan
Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatulah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Jakarta, Januari 2014
UUF ROUF
ABSTRAK
UUF ROUF. 161248000006. Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan
Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
Program Double Degree Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. x+ 97
Berbagai kasus serius dan terorganisir, seperti korupsi misalnya
menyebabkan dampak negatif dalam berbagai sektor. Permasalahan tersebut
mebutuhkan suatu solusi jitu untuk pencegahan dan pemberantasannya, yaitu dengan
cara mengikut sertakan pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang
bekerjasama (justice collaborator). Namun keadaan saat ini menunjukan bahwa
perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator belum
maksimal. Oleh karenanya penulis akan mengkaji kebijakan legislatif yang ideal
tentang perlindungan hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan
Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator). Tujuan penulisan penelitian
ini adalah bagaimana mengetahui subtansi hukum yang berkaitan dengan kebijakan
legislatif perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, baik
hukum ynag berlaku sekarang (ius contitutum) maupun hukum yang dicita-citakan
(ius contituendum) melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Penulis menggunakan metode penelitian normatif, dengan pendekatan
perundang-undangan, konseptual, dan persepsional. Data-data yang diperoleh
keudian diolah dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif dan
komparatif dalam mengelaborasi pengaturan serta praktek perlindungan whistle
blower dan justice collaborator di negara lain sebagai bahan perbandingan dan
pembelajaran bagi Indonesia.
Perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator belum
maksimal, dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum menghapuskan
tuntutan terhadap whistle blower dan justice collaborator, dampaknya adalah para
whistle blower dan justice collaborator tidak mendapat perlindungan oleh hukum
sehingga turut dijadikan tersangka dalam kasus yang dilaporkannya. Dalam konsep
keadilan restoratif tidak mengenal metode pembalasan, akan tetapi lebih
menitikberatkan pada pemulihan. Kontribusi whistle blower dan justice collaborator
dalam mengungkap kasus tindak pidana serius dan terorganisir membedakannya
dengan kasus biasa, sehingga menjadi dasar untuk menghindarkannya dari
pemidanaan. Kebijakan teknis perlindungan hukum terhadap whistle blower dan
justice collaborator meliputi: kualifikasi dan syarat perlindungan hukum, jenis
perlindungan hukum, model perlindungan kolaboratif, model perlindungan
komprehensif, putusan yang bersifat integratif dan pembebasan bersyarat.
Kata kunci : Whistle Blower, Justice Collaborator, Restorative Justice
Pembimbing : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si
Daftar Pustaka : Tahun 1959 s.d Tahun 2013
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad
Rasulullah Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri
tauladan yang baik bagi kita semua.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak
pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan
penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN
LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG
BEKERJASAMA”, tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak baik secara moril maupun materil.
Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak
ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada
lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta doa. Maka
dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM selaku dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag.,M.A., dan Bapak Ismail Hasani, S.H.,
M.H., selaku ketua dan sekretaris Program Studi Double Degree Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
sabar membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada
penulis sehingga penulisan skripsi ini selesai.
4. Bapak Dr. Alfitra S.H., M.H sebagai penguji I dan bapak Dedi Nursyamsi, S.H.,
M.Hum sebagai penguji II, penulis ucapkan terima kasih atas perbaikan dan
saran-saran yang membangun atas skripsi penulis.
5. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama
UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan
Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah banyak membantu dalam
mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi
ini.
6. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Program
Double Degree Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang
bermanfaat kepada penulis.
7. Ayahanda tercinta yang telah tiada KH. Abdul Mu’thi, semoga arwah ayahanda
berada di surga Jannah an-Nai’m “Allahumaj’al Qabrahu Raudhah Min Riyadil
Jinan Wa La Taj’al Qabrahu Hufrah Min Hifarin Niran”, dan Ibunda tercinta Siti
Aisyah, terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik
moril maupun materil, sujud abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya
selama ini “Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani
shagiira”. Kepada tetehku Aam Muthmainnah, adik-adikku tercinta Harun,
Kimah, Neneng, Ilham, Hamdun, Husnul, Lukman, Hafidh, dan Ridwan kalian
adalah motivasi dan inspirasiku.
viii
8. Om Johar, Om Samiin, kakak ipar Kholid, dan seluruh keluarga besar Pondok
Pesantren Raudhatul Mubtadiin, terimakasih atas wejangan dan inspirasinya.
Tidak lupa pula untuk guruku sekaligus Om Bapak Dr. KH. A. Juaini Syukri, BA,
Drs. Lc, MA, terima kasih atas petuah dan bantuannya baik moril maupun
materiil, semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan di murahkan rizkinya.
9. Teman-teman seperjuangan jurusan Peradilan Agama kelas (A) angkatan 2009,
terimakasih atas kebersamaannya selama empat tahun kita saling mengenal dan
menjalin persahabatan bahkan persaudaraan.
10. Sahabat karibku Helmi, Farhan, Asep, Fajar, Waisul, Ihsan, Didin, Adi, Andre,
Nisa, Dewi, terimakasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga
persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi.
11. Especially Listiani Fansela, seorang yang telah banyak membantu dan
memberikan semangat kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya penulisan
skripsi ini.
Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan,
penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga kebaikan yang
telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah Swt.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada
semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah Swt, dan menjadi
penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan dalam bidang
hukum pada masa-masa berikutnya, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pesat pada era globalisasi ini.
Jakarta, 30 Januari 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIAN UJIAN ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................iv
ABSTRAK ........................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ......................................................................................................vi
DAFTAR ISI .....................................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Pembatasan Masalah .................................................................................... 6
C. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 8
F. Metode Penelitian ........................................................................................ 9
G. Kerangka Teori ........................................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan ................................................................................. 16
BAB II Tinjauan Teoretik Kebijakan Legislatif, dan Perlindungan Pelapor
Tindak Pidana serta Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
A. Kebijakan Hukum Pidana dan Kebijakan Legislatif .................................. 18
B. Bentuk-Bentuk Keadilan ............................................................................ 25
C. Kebijakan Penggunaan Hukum Pidana Dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Tindak Pidana Serius dan Terorganisir ........................... 41
x
D. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana .......................................... 44
E. Perlindungan Hukum Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ............................. 49
BAB III Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Sebagai
Kebijakan Legislatif
A. Pengertian Perlindungan Hukum ................................................................ 55
B. Latar Belakang dan Sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006 ....... 57
C. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama................................................................................................ 59
BAB IV Analisis Kebijakan Legislatif Perlindungan Hukum Pelapor Tindak
Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
A. Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan
Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ................................................................ 67
B. Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang
Mengatur Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi
Pelaku Yang Bekerjasama ......................................................................... 72
C. Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi
Pelaku Yang Bekerjasama ......................................................................... 74
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ................................................................................................. 89
B. Saran-saran ................................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum, yang dinyatakan dengan jelas dan tegas
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dimuatnya konsep negara hukum dalam konstitusi negara Indonesia yang
merupakan sumber dari segala norma, menunjukkan bahwa Indonesia ingin
menjadikan hukum sebagai panglima di negaranya. Namun pada kenyataannya,
apa yang di idealkan (das sollen) tidak selalu sesuai dengan realita yang terjadi
dalam masyarakat (das sein).
Tingkat kejahatan tindak pidana serius dan terorganisir di Indonesia
selama dekade terakhir ini sangat memprihatinkan, misalnya tindak pidana
korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika,
terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan lain sebagainya.
Pada tahun 2012 saja, Indonesia menduduki peringkat ke-118 sebagai negara
paling korup dari 182 negara.1
Hal ini berarti, kondisi buruk korupsi di Indonesia masih belum banyak
berubah dari tahun ke tahun. Peningkatan korupsi di Indonesia kini tidak hanya
terjadi dari segi kuantitas, namun kualitas korupsi di Indonesia juga semakin
1 Transparency International, Corruption Perceptions Index 2012, Artikel diakses pada
tanggal 30 Nopember 2013 dari http://cpi.transparency.org/cpi2012/results/
2
meningkat. Maraknya pemberitaan mengenai jual-beli perkara, mafia hukum,
mafia peradilan, mafia pajak, dan makelar kasus, mengindikasikan bahwa bahaya
laten korupsi telah menjangkiti aparat penegak hukum itu sendiri. Korupsi di
Indonesia saat ini menjadi semakin sistematis dan terorganisir karena melibatkan
para aparat penegak hukum.2 Hal ini menjadi sangat ironis, sebab aparat penegak
hukum yang seharusnya berfungsi menegakkan hukum justru mempermainkan
hukum demi keuntungan pribadi dan golongan.
Salah satu upaya revolusioner menanggulangi tindak pidana serius dan
terorganisir adalah dengan melibatkan peran pelapor tindak pidana (whistle
blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Whistle blower
diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu
dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Sedangkan justice collaborator merupakan orang yang mengungkapkan
pelanggaran atau kejahatan yang turut dilakukannya.
Di Indonesia hakikat whistle blower dan justice collaborator sekilas
secara parsial telah diatur dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan
bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
(justice collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan
Bersama lima penegak hukum.
2 Mahfud Md., Pemberantasan Mafia Peradilan, Artikel diakses pada tanggal 30 Nopember
2013 dari http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahVisit&id=25
3
Dalam Peraturan perundang-undangan tersebut, whistle blower dan justice
collaborator belum mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal.
Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice
collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang
berpotensi menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut
untuk melapor dan bekerjasama. Padahal, whistle blower dan justice collaborator
memiliki potensi dan peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus
serius dan terorganisir.
Kebijakan legislasi pada prinsipnya merupakan kebijakan yang
menentukan arah dan penguatan politik hukum nasional. Oleh karenanya
kebijakan legislasi tersebut harus mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup
dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan
legislasi tersebut, maka perlu adanya alternatif cara pandang baru untuk
menyelesaikan masalah-masalah sosial dan masalah hukum yang ada saat ini.
Perubahan paradigma ini menjadi penting mengingat perkembangan
pemikiran hukum, khususnya pemikiran hukum pidana telah mengalami
kemajuan ke arah pemikiran hukum modern. Fenomena ini berangkat dari asumsi
dasar bahwa konsep keadilan klasik dalam penegakan hukum khususnya hukum
pidana tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga dibutuhkan
konsep keadilan yang dapat menjadi alternatif, salah satu konsep keadilan tersebut
adalah konsep keadilan restoratif (restorative justice).
4
Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat, pelaku dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di
pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir baru yang
dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja
hukum.3
Lahirnya undang-undang kebijakan yang memfasilitasi kerja sama saksi
pelaku (justice collaborator) dengan penegak hukum diperkenalkan pertama kali
di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk
menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup
mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia). Untuk
kejahatan terorisme, penggunaan justice collaborator dipraktikkan di Italia
(1979), Portugal (1980), Irlandia Utara, Spanyol (1981), Prancis (1986) dan
Jerman (1989) sedangkan untuk kejahatan narkoba diterapkan di Yunani (1970),
Perancis, Luxemburg dan Jerman. Kemudian dalam negara-negara tersebut
terminologis justice collaborator dipergunakan berbeda seperti supergrasses
(Irlandia), pentiti atau pentito (Italia) yang berarti mereka telah bertobat atau
disebut Collaboratore della giustizia.
3 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), h.
65. Lihat juga Bismar Siregar, Rasa Keadilan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 50. Lihat juga
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1428
5
Pada asasnya, whistle blower dan juga justice collaborator dapat berperan
besar untuk mengungkapkan praktik-praktik koruptif lembaga publik,
pemerintahan maupun perusahaan swasta. Hal ini dikemukakan oleh Abdul Haris
Semendawai dan kawan- kawan sebagai berikut:4
“Peran whistle blower di Indonesia perlu terus didorong,
disosialisasikan, dan diterapkan, baik diperusahaan, lembaga pemerintah, dam
isntitusi publik lain. Bagaimana peran whistle blower di Indonesia dibangun dan
dikembangkan memang membutuhkan waktu dan sebuah proses. Namun praktik
pelaporan dan perlindungan terhadap whistle blower bukan tanpa tantangan. Di
tengah minimnya perlindungan hukum Indonesia, seorang whistle blower dapat
terancam karena laporan atau kesaksiannya atas dugaan pelanggaran dan
kejahatan yang terjadi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan kemungkinan besar
akan memberikan perlawanan untuk mencegah whistle blower memberikan
laporan atau kesaksian. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka yang merasa
dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam. Untuk itu, agar
praktik pelaporan dan pengungkapan fakta oleh whistle blower dapat berjalan
lebih efektif, dibutuhkan perubahan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, SEMA Nomor
4 Tahun 2011 penting untuk diterapkan oleh semua hakim dalam memutus
perkara dan selalu dimonitor pelaksanaannya”.
Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa peran whistle blower dan justice
collaborator sangat penting, namun perlindungan hukum terhadap mereka masih
sangat lemah, oleh sebab itu penulis merekomendasikan solusi perlindungan
hukum whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan
pengaturan perlindungan dalam kebijakan legislatif hukum pidana. Solusi ini
diharapkan dapat menjadi masukan untuk perumusan Undang-undang khusus
tentang whistle blower dan justice collaborator, atau menjadi masukan revisi
4 Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, (Jakarta: Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK), 2011), h. xiv-xv
6
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang telah masuk dalam Program Legislasi
Nasional tahun 2013.
Oleh karena itu upaya untuk memperjuangkan optimalisasi perlindungan
hukum terhadap whistle blower dan justice callabolator dengan menggunakan
pendekatan restorative justice ini harus dimaknai sebagai upaya refilosofi
penegakan hukum pidana, atau dengan bahasa sederhana “kembali ke Khittoh”
falsafah bangsa Indonesia yaitu musyawarah mufakat.5 Dalam konteks inilah
penulisan penelitian skripsi ini penulis angkat dalam judul “Kebijakan Legislatif
Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi
Pelaku Yang Bekerjasama”.
B. Pembatasan Masalah
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah masalah kebijakan
perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, oleh
karena itu pendekatan yang digunakan terhadap masalah ini adalah pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan.
Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak melebar dan meluas
serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka
dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan membatasi pembahasan hanya
5 Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, (Scottdale,
Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990), p. 181. Dalam Eva Achjani Zulfa, Keadilan
Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II
Agustus 2010), h. 188
7
dalam ruang lingkup penelitian terhadap subtansi hukum yang berkaitan dengan
kebijakan legislatif perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator,
berupa Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas,
dalam penelitian skripsi ini dapat rumuskan beberapa masalah pokok sebagai
berikut:
1. Bagaimana kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap pelapor
tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No.
13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban?
2. Bagaimanakah konsep ideal perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan
saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative justice?
D. Tujuan Penelitian
Dengan adanya rumusan masalah di atas, diharapkan adanya suatu
kejelasan yang dijadikan tujuan bagi penulis dalam skripsi ini. Tujuan yang ingin
dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap
pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-
undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
8
2. Untuk mengetahui konsep ideal perlindungan hukum terhadap pelapor tindak
pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative
justice.
E. Manfaat Penelitian
Terkait dengan tujuan di atas, maka penulisan penelitian skripsi ini
diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dan praktis sebagai berikut :
1. Sudut pandang teoritis hasil penelitian skripsi ini diharapkan dapat
memberikan sebuah sumbangan pemikiran dan sekaligus memberi manfaat
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam perkembangan hukum
pidana di Indonesia yang berorientasi pada keadilan restoratif.
2. Dalam sudut pandang praktis, hasil penulisan penelitian skripsi ini diharapkan
memberi manfaat bagi arah kebijakan legislasi dalam memperbaharui
membuat undang-undang pidana pada umumnya dan khususnya terhadap
perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang
bekerjasama dengan pendekatan restorative justice.
3. Bagi Masyarakat Akademis diaharapkan penelitian skripsi ini merupakan
sumber referensi dan saran pemikiran bagi kalangan akademisi dan praktisi
hukum di dalam menunjang penelitian selanjutnya yang akan bermanfaat
sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
9
F. Metodologi Penelitian
Setiap penelitian ilmiah memiliki metode pendekatan penelitian.6
Penelitian mengenai kebijakan legislatif dalam perlindungan hokum terhadap
whistle blower dan justice collaborator ini menggunakan penelitian hukum
normatif. Adapun metode pendekatan yang diterapkan adalah melalui pendekatan
perundangan-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Analytical
and Conceptual Approach), dan pendekatan persepsional (perceptional approach)
dengan menggunakan penalaran deduktif dan/atau induktif guna mendapatkan
dan menemukan kebenaran obyektif.
Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Adapun sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library
reserach) terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 7
1) Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative records), berupa
UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaannya.
2) Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records),
berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan
6 Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka,
1997), h.1. Lihat juga Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1996), h.144 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 13
10
hukum primer, seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam
seminar, artikel-artikel dan lain sebagainya.
3) Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan hukum yang
dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder seperti berasal dari kamus/leksikon, ensiklopedia dan
sebagainya.
Data kepustakaan yang merupakan data utama penelitian ini dikumpulkan
melalui metode sistematis guna memudahkan analisis permasalahan.8 Adapun
bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-
asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain
sebagainya. Data kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan
dalam bidang hukum pidana, khususnya mengenai kebijakan legislatif dalam
perlindungan terhadap hukum whistle blower dan justice collaborator. Adapun
lokasi penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat antara lain di
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum
Universitas Indonesia, Perpustakan Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta
perpustakaan lain yang menyediakan data sekunder yang sesuai dan diperlukan
dalam penelitian ini.
Sebagai akhir dari pengolahan data, data primair dan data sekunder yang
diperoleh dalam penelitian dideskripsikan sesuai dengan pokok permasalahan
8 Sudarwan Danim, Menjadi peneliti Kualitatif , (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51
11
yang dikaji secara yuridis kualitatif. Deskripsi dilakukan terhadap isi maupun
struktur hukum positif yang berkaitan dengan kebijakan legislatif dalam
perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator.
Data yang telah dideskripsikan selanjutnya ditentukan maknanya melalui
metode interpretasi dalam usaha memberikan penjelasan atas kata atau istilah
yang kurang jelas maksudnya dalam suatu bahan hukum terkait pokok
permasalahan yang diteliti sehingga orang lain dapat memahaminya.9
Data yang telah dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok
permasalahan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan
argumentasi. Langkah sistematisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur
hukum atau hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum yang ada. Pada tahap
eksplanasi dijelaskan mengenai makna yang terkandung dalam aturan-aturan
hukum sehubungan dengan isu hukum dalam penelitian ini sehingga
keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.
Sedangkan pada tahap argumentasi diberikan penilaian terhadap data dari hasil
penelitian ini untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya.
Oleh karena itu, metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan
kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis
kualitatif. Adanya penerapan analisis yuridis kualitatif itu sangat membantu
9 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000),
h. 20. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang
Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 77. Lihat juga lihat juga Lilik Mulyadi,
Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan Prosedurnya, h. 22
12
dalam proses memilih, mengelompokkan, membandingkan, mensintesakan, dan
menafsirkan secara sistematis untuk mendapatkan penjelasan dari suatu fenomena
yang diteliti.10
G. Kerangka Teori
Pada hakikatnya Indonesia telah mendasarkan dirinya sebagai Negara
hukum. Dalam konsep negara hukum secara umum, diidealkan bahwa yang harus
dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.11
Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yang
dianut oleh negara yang bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya
suatu negara. Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam
mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan
masyarakat atau antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.12
Bagi suatu kehidupan manusia yang baik, ada empat nilai yang merupakan
fodasi pentingnya, yaitu keadilan, kebenaran, hukum dan moral. Akan tetapi dari
keempat nilai tersebut, menurut filosof besar bangsa Yunani yaitu Plato, keadilan
10
Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan Prosedurnya, h.
22. Lihat juga Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, 2007), h.54. 11
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007), h.297. 12
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jakarta: UII Press, 2003), h.238
13
merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato: “justice is the supreme
virtue which harmonize all other virtues”.13
Dalam konteks kebijakan legislatif, amandemen UUD 1945 telah
membawa perubahan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Salah
satu perubahan tersebut adalah bergesernya kekuasaan membentuk undang-
undang dari Presiden ke DPR sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945; “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang”.
Berbicara mengenai kebijakan legislatif maka tidak dapat dipisahkan
dengan pembahasan politik hukum nasional, dimana kerangka pikir terhadap
kebijakan legislatif merupakan wujud dari penguatan politik hukum nasional itu
sendiri. Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengemukakan defenisi politik hukum
nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy)
yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan negara tertentu, yang meliputi:14
a. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten.
b. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan-
ketentuan yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan
13
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), h.52. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum
Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), h.6 14
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 31.
14
hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat.
c. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan
anggotanya.
d. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit
pengambil kebijakan.
Defenisi politik hukum diatas merupakan defenisi politik hukum yang
paling komprehensif, disebabkan karena mencakup keseluruhan wilayah kerja
politik hukum yang meliputi:15
a. Teritorial berlakunya politik hukum.
b. Proses pembaruan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis
terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum
yang berdimensi ius constituendum.
Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, maka menurut Sudarto,
politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum
(dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui
sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat.16
Sehingga dalam melaksanakan
politik hukum pidana berarti mewujudkan peraturan-peraturan perundang-
15
Ibid, h. 32 16
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 13. Lihat juga M. arif
Amrullah, Politik Hukum Pidana; Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang
Perbankan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 18
15
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan
untuk masa-masa yang akan datang.
Dengan demikian, penal policy atau kebijakan hukum pidana atau politik
hukum pidana pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan
dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat udang-undang (kebijakan
legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif), dan dan pelaksana hukum
pidana (kebijakan eksekutif).17
Kebijakan legislatif adalah tahap yang sangat penting dalam sutau proses
pembuatan undang-undang, agar hukum senantiasa tidak tertatih-tatih mengejar
perkembangan masyarakat yang begitu pesat yang disertai dengan perubahan
informasi dan kecanggihan teknologi, maka kebijakan legislatif yang tercermin
dalam kebijakan program legislasi nasional tidak hanya dijadikan persoalan
politik yang menentukan arah pelaksanaan kekuasaan negara oleh eksekutif dan
legislatif, akan tetapi keputusan penentuan kebijakan legislasi harus berdasarkan
pada kepentingan umum yang berlandaskan hati nurani rakyat.
Terdapat dua konsep keadilan dalam hukum pidana yang mempengaruhi
perubahan fundamental dalam sistem hukum pidana, yaitu keadilan retributif
(retributive justice) dan keadilan restoratif (restorative justice). Kedua konsep ini
memiliki sejumlah perbedaan dalam melihat beberapa hal tentang konsep-konsep
dasar dalam hukum pidana (formil dan materiil) dan penyelenggaraan peradilan
17
M. Arif Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money laundering), (Malang:
Bayumedia Publishing, 2004), h. 81
16
pidana.18
Secara filosofis, pentingnya kebijakan legislatif dalam perlindungan
hukum whistle blower dan justice collaborator telah melahirkan pergeseran
perspektif, dari perspektif retributive justice kepada restorative justice.
Penyelesaian perkara pidana dalam perspektif restorative justice ini dapat
memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan dan hak asasi manusia baik
dari pelaku maupun korban juga masyarakat, sehingga implikasinya perbaikan
situasi dan kondisi (harmonisasi) pasca terjadinya kejahatan dapat terwujud.
Dengan demikian pendekatan restorative justice ini dapat digunakan sebagai
solusi optimalisasi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator
dalam sistem peradilan pidana.
H. Sistematika Penulisan
Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi
penelitian tentang kebijakan legislative perlindungan hukum whistle blower dan
justice collaborator, maka penulis memberikan sistematika penulisan yang secara
garis besar berguna untuk pembaca. Sistematika penulisan ini dibagi menjadi lima
bab, disusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metodelogi penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.
18
Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), h. 157
17
Bab II Tinjauan teoretik kebijakan legislatif, dan perlindungan pelapor
tindak pidana serta saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam bab ini menjelaskan
tentang kebijakan hukum pidana dan kebijakan legislatif, kebijakan penggunaan
hukum pidana dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana serius dan
terorganisir, perlindungan pelapor tindak pidana, dan perlindungan saksi pelaku
yang bekerjasama.
Bab III Perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang
bekerjasama dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 sebagai kebijakan
legislatif, dalam bab ini menguraikan tentang pengertian perlindungan hukum,
latar belakang dan sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006, dan
perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.
Bab IV Analisis kebijakan legislatif perlindungan hukum pelapor
tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, bab ini menjelaskan tentang
pentingnya perlindungan khusus terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku
yang bekerjasama, bentuk kebijakan legislatif dalam membuat undang-undang
yang mengatur perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang
bekerjasama, dan konsep ideal perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan
saksi pelaku yang bekerjasama.
Bab V Penutup, Bab ini menguraikan mengenai hasil penelitian berupa
simpulan dan saran.
18
BAB II
TINJAUAN TEORETIK KEBIJAKAN LEGISLATIF, DAN PELAPOR
TINDAK PIDANA SERTA SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA
A. Kebijakan Legislatif dan Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan Legislatif terdiri dari dua susunan kata, yaitu Kebijakan dan
Legislatif. Kebijakan secara etimologi mempunyai beberapa arti seperti
kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan.1 Kebijakan
(policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau
kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan
itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan tersebut mempunyai
kekuasaan untuk melaksanakannya.2
Sedangkan istilah legislatif atau legislature mencerminkan salah satu
fungsi badan itu, yaitu Legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang
sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur berkumpul (untuk
membicarakan masalah-masalah publik). Nama lain lagi adalah Parliament, suatu
istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan. Sebutan lain
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 115 2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 20
19
mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan
dinamakan people’s representative body atau Dewan Perwakilan Rakyat.3
Kebijakan legislatif menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu
perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan
dilakukan dengan menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan
atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau di programkan itu.4
Terlepas dari pengertian kebijakan telah penulis jelaskan diatas, dalam
konteks kebijakan hukum pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa istilah
kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Bertolak
dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula
disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah
politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal
policy, criminal lawl policy, atau strafrechtspolitiek. Oleh karena itu, pengertian
kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari
politik kriminal.5
Mencermati pengertian tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat
diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk
menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam
menanggulangi kejahatan.
3 Ibid, h. 315
4 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 1996), Cet. II, h. 59 5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996), h. 24
20
Apa yang disebut sebagai kejahatan juga mengalami pergeseran.
Munculnya istilah kriminalisasi dan dekriminalisasi menunjukkan bahwa
perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori jahat dan tidak jahat itu tidak
statis. Suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam
dengan pidana dalam undang-undang disebut kriminalisasi, sedangkan
dekriminalisasi adalah dihilangkannya sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.6
Dewasa ini muncul istilah white collar crime (korupsi), money laundering
(pencucian uang), terorisme, dan sebagainya yang tidak dikenal pada masa lalu.
Kondisi dan perubahan ekonomi dapat menyebabkan munculnya kejahatan baru.
Kejahatan merupakan sebagian perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan.7 Kejahatan juga merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar
mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita.8 Perbuatan anti sosial itu
merupakan bentuk perilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Perilaku yang menyimpang merupakan ancaman yang nyata atau
ancaman terhadap norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan
sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan
sosial dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban
sosial.9
6 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana), (Bandung: Sinar Baru, 1983), h. 57 7 Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terj: Koesnoen, (Jakarta: Pembangunan, 1970),
h. 10 8 Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1981), h. 21
9 Saparinah Sadeli, Persepsi Orang Mengenai Perilaku Yang menyimpang, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 56
21
Berbicara tentang masalah politik hukum pidana, maka akan terkait
dengan politik hukum dan politik kriminal. Menurut Utrecht, politik adalah suatu
jalan (kemungkinan) untuk memberi wujud sungguh-sungguh kepada cita-cita.10
Sedangkan politik menurut Logemann adalah memilih beberapa macam cita-cita
sosial tertentu dan berusaha dengan segala daya yang ada untuk mencapai cita-
cita. Oleh karena itu, wajar apabila Hans Kelsen membedakan politik dalam dua
pengertian, yaitu politik sebagai etika dan politik sebagai tehnik. Politik sebagai
etika, berarti politik itu memilih dan menentukan tujuan-tujuan sosial mana yang
harus harus diperjuangkan, dan Politik sebagai tehnik berarti politik memilih dan
menentukan jalan-jalan apa dan mana harus ditempuh untuk merealisasi tujuan-
tujuan sosial.11
Bagaimana hubungan antara politik dan hukum? Dal konteks ini, Mahfud
MD berpendapat bahwa, hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang
sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), dan politik sebagai
independent variable (variabel berpengaruh).12
Dengan asumsi yang demikian itu,
Mahfud MD merumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan
atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
10
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku
Ichtiar, 1962), h. 127 11
Ibid, h. 127 12
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 1-2
22
Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat
imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai sub
sistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik,
baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi
dan penegakannya.
Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut : 13
1) Usaha untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu. 2) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait
dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal
policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit, lebih
luas dan paling luas, yaitu :14
a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana
b. Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi
13
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 20 14
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana dafam Bab Kedudukan Undang-undang Pidana
Khusus dalam Sistem Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h. 113-114
23
c. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, menurut Sudarto politik
hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam
tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem
nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu
dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai
agar hal tersebut dapat diperhitungkan dan agar dapat di hormati.15
Di dalam wacana teori hukum pidana, subtansi kebijakan formulatif
(kebijakan legislatif) bertitik tolak dari tiga pilar, yaitu : Berkaitan dengan
masalah tindak pidana (kriminalisasi), masalah pertanggungjawaban pidana, dan
masalah pidana dan pemidanaan.16
Tiga hal tersebut tiada lain merupakan bagian
dari politik kriminal, dalam kewenangan menetapkan hukum pidana ini banyak
ditentukan maupun dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor politik, budaya,
ekonomi maupun tujuan nasional pada umumnya.
Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha mewujudkan peraturan
15
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 23. Lihat juga Teguh Prasetyo
dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 13 16
M. Arif Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Perlindungan Korban Kejahatan
Ekonomi Di Bidang Perbankan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 12
24
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.17
Oleh karena itu, apabila
mengabaikan informasi hasil penelitian dari kriminologi akan mengakibatkan
terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal law enforcement
policy, pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan
baik dan dapat memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang
(kebijakan legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif) dan pelaksanaan
hukum pidana (kebijakan eksekutif). Tahap formulasi adalah tahap penetapan
atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga
tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap
aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai
dari kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah
tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.
Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi menurut Barda Nawawi Arief
merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan
penanggulangan tindak pidana melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan
kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi
penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pada tahap
aplikasi dan eksekusi. 18
17
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 93 18
Ibid, h. 94
25
Oleh karena itu tahap formulasi atau pembuatan peraturan perundang-
undangan pidana menduduki peranan penting karena pada dasarnya setiap
peraturan perundang-undangan itu sendiri akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat, sehingga tidak dapat disangkal lagi kalau pembuatan undang-undang
merupakan proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai
pengaruh luas karena akan memberikan bentuk dan mengatur atau mengendalikan
masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan
mewujudkan tujuan tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa undang-
undang mempunyai dua fungsi yaitu : ungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai
dan fungsi instrumental. 19
B. Bentuk-Bentuk Keadilan
Teori keadilan memiliki variasi bentuk. Adapun bentuk-bentuk yang
paling umum dikenal di masyarakat adalah Utilitarian, Keadilan Retributif,
Keadilan Restoratif, dan Keadilan Distributif. Masing-masing bentuk tersebut
memiliki tokoh-tokoh yang berbeda sudut pandang dalam mendefinisikan
keadilan.
1. Utilitarian
Sudikno Mertokusumo menyebutkan:20
19
Ibid, h. 94 20
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta :Liberty, 2000),
Edisi Kelima, Cet. I, h. 80.
26
“Teori utilistis yang dipelopori oleh Jeremy Bentham menentukan
bahwa hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam
jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number)”.
Dengan demikian, menurut teori utilistis dalam pandangan Bentham,
bahwa tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau
kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Lebih lanjut
dijelaskan Rasjidi dan Thania bahwa:
“Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk setiap
kejahatan dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah
dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu.
Pemidanaan hanya dapat diterima apabila memberikan harapan bagi
tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.21
Menurut pandangan utilitarian, keadilan merupakan maksimalisasi
kesejahteraan total atau setidaknya rata-rata bagi setiap individu yang
bersangkutan. Hukuman merupakan perlakuan yang buruk terhadap
seseorang, dan oleh karena itu tidak baik untuk diterapkan. Namun, hukuman
mungkin diperlukan agar dapat memaksimalkan seluruh kebaikan dalam
jangka panjang.
2. Keadilan Retributif
Keadilan retributif adalah teori keadilan yang menganggap bahwa
hukuman itu, jika proporsional, merupakan respons secara moral terhadap
21
Dewa Nyoman Nanta Wiranta, Faisal Abdullah dan Syamsul Bachri, Peran Hukum
Terhadap Penanganan Aksi Kerusuhan Sengket aPemilihan Kepala Daerah di Porvinsi Maluku Utara.
Suatu Kajian Perspektif Keadilan Restoratif, jurnal, diakses pada hari Jumat, 31 Januari 2014 melalui
www.pasca.unhas.ac.id/jurnal/files.
27
kejahatan. Hal ini semata-mata demi kepuasan dan manfaat psikologis baik
bagi pihak yang dirugikan (korban) maupun masyarakat.
3. Keadilan Distributif
Prinsip-prinsip keadilan distributif merupakan prinsip-prinsip normatif
dirancang untuk memandu alokasi manfaat dan beban kegiatan ekonomi.
Prinsip yang relatif sederhana dari keadilan distributif adalah ketatnya
egalitarianisme, yang menjadi pendukung alokasi material ke semua anggota
masyarakat. John Rawls adalah salah satu tokoh penganut paham keadilan ini.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan
dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis,
bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.22
Adapun
teori bagi keadilan distributif ini dibagi lagi menjadi: teori egalitarianistis,
teori sosialistis, teori liberalistis, dan keadilan sosial
4. Keadilan Restoratif
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu
perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi
peradilan dari peradaban bangsa Arab Purba, bangsa Yunani, dan bangsa
22
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), h. 239.
28
Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaian masalah tindak
pidana.23
Istilah umum tentang pendekatan restorative justice diperkenalkan
untuk pertama kali oleh Albert Eglash. Dalam tulisannya yang mengulas
tentang reparation dia mengatakan bahwa restorative justice adalah suatu
alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan
keadilan rehabilitatif.24
Dalam buku berjudul Keadilan Restoratif, Eva
Achjani Zulfa menyatakan bahwa restorative justice atau sering
diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan
yang muncul sejak era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara
pidana.25
Dalam kajian tatabahasa, kata “Restorative Justice” berasal dari dua
kata, yaitu kata “Restorative” atau “Restore” yang artinya adalah
memperbaiki atau memulihkan,26
dan kata “Justice” yang berarti keadilan,
peradilan, adil, hakim.27
23
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 103 24
Ibid, h. 103 25
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan
Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek penegakan Hukum Pidana, (Disertasi FH UI), h. 2 26
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005),
h. 482 27
I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta: Sinargrafika,
2003), Cet. III, h. 367. Lihat juga Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Amerika: West Pblishing
Co, 2009), Nhinty Edition, h. 942. Lihat juga Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-
Indonesia, h. 339
29
Menurut terminologis, pengertian restorative justice banyak para
pakar yang menyatakannya, dalam kamus “Black’s Law Dictionary”
misalnya diartikan sebagai berikut :
An alternative delinquency sanction focused on repairing the harm
done, meeting the victim’s need, and holding the offender responsible for his
or her actions. Restorative justice sanctions use a balance approach,
producing the least restrictive dis position while stressing the offender’s
accountability and providing relief to the victim. The offender may be ordered
to make restitution, to perform community service, or to make amends in some
other way that the court order.28
Intinya adalah restorative justice merupakan sanksi alternatif bagi
pelaku kejahatan yang berfokus pada perbaikan kerusakan yang dilakukan,
memenuhi kebutuhan korban, dan menuntut pertanggungjawaban pelaku atas
perbuatannya. Sanksi keadilan restoratif menggunakan pendekatan yang
seimbang, menghasilkan disposisi yang paling ketat sementara tidak
mengabaikan pertanggungjawaban pelaku, dan memberikan bantuan kepada
korban kejahatan. Pelaku dapat dituntut untuk mengganti kerugian (ganti
rugi), kerja sosial, atau menebus kesalahan tersebut dengan cara lain atas
keputusan pengadilan.
Sedangkan menurut Dignan, restorative justice adalah :29
Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing
and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,
legal, social work, and counseling professionals and community groups.
Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing
28
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1428 29
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT.
Alumni, 1992), h. 15
30
and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing
the harm, and the affected community.
Menurut Dignan, restorative justice adalah merupakan suatu konsep
kerja untuk menanggapi kesalahan-kesalahan dan konflik yang
penerimaannya sangat cepat dan didukung oleh hal-hal yang bersifat
pendidikan, hukum, kerja sosial, dan konsultan profesional juga komunitas-
komunitas. Restorative justice merupakan nilai dasar untuk pendekatan untuk
menanggapi kesalahan-kesalahan dalam penanganan dan konflik, dengan
fokus yang seimbang pada seseorang menderita (korban), orang- orang yang
menyebabkan penderitaan (pelaku), dan komunitas (masyarakat).
Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep
pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan
menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa
tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana
yang ada pada saat ini.30
PBB mendefinisikan restorative justice sebagai “a way of responding
to criminal behavior by balancing the need of the community, the victims an
the offenders”,31
intinya adalah sebuah penyelesaian terhadap prilaku pidana
dengan cara menyelaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban
dan pelaku.
30
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia, h. 3 31
Ibid, h. 4
31
Dapat disimpulkan, bahwa pengertian restoratif justice atau keadilan
restoratif adalah suatu pendekatan yang lebih merujuk terhadap pencapaian
keadilan yang menekankan pada pemulihan (to restore) atas kerusakan yang
timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana, dengan melibatkan korban,
pelaku, masyarakat terkait serta pihak-pihak yang berkepentingan. Pemulihan
tersebut bukan hanya kepada diri korban, tetapi juga terhadap pelaku dan
masyarakat, dengan tujuan untuk mencari pemecahan dan sekaligus mencari
penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana
tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya dimasa mendatang.
Pada dasarnya, restorative justice sebagaimana telah disinggung
dimuka bukanlah konsep yang baru. Eksistensinya sama tuanya dengan
hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun upaya penanganan perkara
pidana, pendekatan restorative justice justru ditempatkan sebagai mekanisme
utama bagi penanganan tindak pidana, konsep restorative justice lahir dari
nilai-nilai masyarakat adat yang telah ada selama ini.32
Menurut Muladi bahwa harus diakui perkembangan konsep restorative
justice tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban
kejahatan (victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig seorang ahli
kriminologi pada tahun 1941 dan Mandelsohn pada tahun 1949.
Perkembangan ini melalui beberapa tahap, pertama tahap penal victimology/
32
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,
(Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), h. 188
32
interactionist victimolgy, tahap kedua general victimolgy, tahap ketiga
berkembang pada tahun 1970-an menandai viktimolgi sebagai suatu disiplin
penelitian, dan tahap keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987
yang memperluas jangkauan definisi viktimologi sehingga mencakup korban
pelanggaran HAM sebagai isu sentral viktimologi dan mengeluarkan dari
definisi, korban bencana alam dan kecelakaan karena dipandang terlalu luas
dari sisi ilmiah.33
Wright mengatakan bahwa tujuan utama dari restorative justice adalah
pemulihan sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. hal ini berarti bahwa
proses penanggulanagan tindak pidana melalui pendekatan restorative justice
adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana yang bertujuan untuk
memulihkan keadaan yang didalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban
melalui cara-cara tertentu yang disepakati oleh para pihak yang terlibat
didalamnya.
Prinsip utama penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan
restorative justice merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar
alat untuk mendorong seseorang untuk melakukan kompromi terhadap
terciptanya kesepakatan, akan tetapi pendekatan dimaksud harus mampu
menembus ruang hati dan pikiran para pihak yang terlibat dalam proses
penyelesaian dalam memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu
33
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 122
33
pemulihan dan sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang memulihkan dan
bersifat mencegah.34
Oleh karena itu, proses penyelesaian konflik dalam pendekatan
restorative justice bukan hanya ditujukan untuk pemulihan saja tetapi juga
bertujuan untuk mengurangi tindak pidana dan mencari sebab- sebab yang
mendasari timbulnya tindak pidana dimaksud sehingga dengan demikian
masyarakat atau pribadi lainnya dapat mencegah terulangnya kembali tindak
pidana dimaksud.
Upaya restorative justice adalah upaya yang menggunakan keadilan
restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu kesepakatan
anatara para pihak yang terlibat. PBB mengemukakan beberapa prinsip yang
mendasari program restorative justice, yaitu sebagai berikut :
1. That the response to crime should repair as much as possible the harm
suffered by the victime, yaitu penanganan terhadap tindak pidana harus
semaksimal mungkin membawa pemulihan bagi korban. Prinsip ini
merupakan salah satu tujuan utama manakala pendekatan restorative
justice dipakai sebagai pola pikir yang mendasari suatu upaya penanganan
tindak pidana.35
2. That offenders should be brought to understand that their behavior is not
acceptable and that it had some real consequences for the victim and
34
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 107 35
Eva Achjani Zulva, Keadilan Restoratif di Indonesia, h. 15
34
community, yaitu pendekatan restorative justice dapat dilakukan hanya
jika pelaku menyadari dan mengakui kesalahnnya. Dalam proses
restoratif, diharapkan pelaku juga semakin memahami kesalahannya
tersebut serta akibatnya bagi korban dan masyarakat.36
3. That offender can and should accept responsibility for their action, artinya
ketika pelaku menyadari kesalahannya, pelaku dituntut untuk rela
bertanggungjawab atas kerusakan yang timbul akibat tindak pidana yang
dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan lain yang ditetapkan dalam
pendekatan restorative justice, tanpa adanya kesadaran atas kesalahan
yang dibuat, maka mustahil dapat membawa pelaku secara sukarela
bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya.37
4. That victims should have an opportunity to express their needs and to
participate in determining the best way for the offender to make
reparation. Eva Achjani Zulfa menyatakan bahwa prinsip ini terkait
dengan prinsip pertama, dimana proses penanganan perkara pidana dengan
pendekatan restorative justice membuka akses kepada korban untuk
berpartisipasi secara langsung terhadap proses penyelesaian tindak pidana
yang terjadi. Partisipasi korban tidak hanya dalam rangka menyampaikan
tuntutan atas ganti kerugian, karena sesungguhnya korban juga memiliki
posisi penting untuk mempengaruhi proses yang berjalan termasuk
36
Ibid, h. 16 37
Ibid, h. 17
35
membangkitkan kesadaran pada pelaku sebagaimana dikemukakan pada
prinsip yang kedua. Konsep dialog yang diusung oleh pendekatan ini
memberikan suatu tanda akan adanya kaitan yang saling mempengaruhi
antara korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian terbaik sebagai
upaya pemulihan hubungan sosial diantara keduanya.38
5. That the community has a responsibility to contribute to this process,
artinya suatu uapaya restorative justice bukan hanya melibatkan korban
dan pelaku saja, akan tetapi juga melibatkan masyarakat. Masyarakat
memiliki tanggungjawab baik dalam penyelenggaraan proses ini maupun
dalam melaksanakan hasil kesepakatan, maka dalam upaya restorative
justice, masyarakat dapat berperan sebagai penyelenggara, pengamat
maupun fasilitator. Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat
juga merupakan bagian dari korban yang harus mendapatkan keuntungan
atas hasil proses yang berjalan.39
Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat
dalam konsep pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak
pidana antara lain sebagai berikut :
1. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)
Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh negara, kepada
tersangka selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih dahulu tentang
38
Ibid, h. 17 39
Ibid, h. 18
36
prosedural-prosedural perlindungan hukum tertentu ketika dihadapkan pada
penuntutatan atau penghukuman. Proses peradilan (due process) haruslah
dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk memberi keseimbangan bagi
kekuasaan negara untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan hukuman dari
suatu putusan penghukuman. 40
Diantara proteksi- proteksi yang diidentifikasi yang telah diterima
secara internasional dan termasuk gagasan due process adalah hak untuk
diduga tak bersalah (presumption of innocence) dan hak untuk mendapatkan
persidangan yang adil (fair) serta hak untuk mendapatkan bantuan penasihat
hukum.
Dalam proses penyelesaian restorative justice, batas formal selalu
diberikan bagi tersangka setiap saat, baik selama dan setelah proses
restorative agar hak terangka mendapatkan pengadilan yang fair tetap terjaga.
Namun demikian jika tersangka diharuskan untuk melepaskan haknya dan
memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah proses restorative, maka kepada
tersangka harus diberi tahu tentang implikasi keputusannya memilih intervensi
restorative. Sebaiknya bila dalam putusan penyelesaian melalui pendekatan
restorative justice pelaku membebani tersangka terlalu berat, maka kepada
pelaku diberi perlindungan tambahan, tersangka dapat diperbolehkan untuk
40
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 125
37
melakukan banding terhadap perjanjian apapun yang dicapai dalam proses
restorative justice berdasarkan alasan tidak bersalah.41
2. Perlindungan yang Setara
Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan
restorative justice, keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami
akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin,
agama, asal bangsa, dan kedudukan sosial lainnya.42
Terdapat keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan restorative
justice dalam menyelesaikan suatu masalah dan memberikan rasa keadilan
diantara para partisipan yang berbeda- beda, karena dapat saja salah satu pihak
mempunyai kelebihan kekuatan ekonomi, intelektual, politik atau bahkan
fisik, sehingga akan terjadi suatu ketidaksetraan diantara para pihak yang
berpartisipasi dalam suatu proses restorative justice.
Seorang pihak yang tidak berdaya mempunyai potensi untuk menerima
suatu perjanjian yang memberinya apa yang jauh lebih kecil dari apa yang
seharusnya dia dapatkan, sehingga dalam proses restorative justice diharapkan
seorang mediator harus bersikap adil dan netral dalam membimbing proses
mediasi untuk mencapai suatu negosiasi namun tidak juga menutup
41
Ibid, h. 126 42
Ibid, h. 128
38
kemungkinan mediator akan tergoda untuk mendukung posisi pihak yang
lebih lemah atau yang lebih kuat.43
3. Hak- hak Korban
Dalam penyelesaian suatu masalah melalui pendekatan restorative
justice, hak-hak korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak
yang berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan hukum dalam
proses penyelesainya. Pada sistem peradilan pidana pada umumnya. ditengarai
bahwa korban tidak menerima perlindungan yang setara dari pemegang
wewenang sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dan
korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan
sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.44
Rowland berpendapat bahwa kepentingan- kepentingan korban sering
bersimpangan dengan kepentingan- kepentingan negara. Para pendukung
terhadap konsep perlindungan bagi hak- hak korban juga berpandangan adalah
jelas tidak adil bagi korban bila negara lebih mengindahkan kebutuhan-
kebutuhan material, psikologi, hukum bagi pelaku pelanggar, sementara
negara tidak memberikan tanggungjawabnya atas kehidupan yang layak bagi
korban. padahal tahap yang sangat mendasar dari proses penyelesaian masalah
khususnya advokasi adalah korban harus memperoleh kedudukannya untuk
berpartisipasi dalam proses, agar dapat melindungi kepentingan mereka,
43
Ibid, h. 129 44
Ibid, h. 130
39
termasuk hak untuk memberikan kesaksian (testimony) pada tahapan
pemeriksaan kesalahan dan penjatuhan hukuman, hak untuk menerima
pemulihan, hak untuk diberi informasi atas sidang-sidang pengadilan dan hak
untuk diwakili oleh pengacara.45
4. Proporsionalitas
Gagasan fairness didalam sistem restorative justice didasarkan pada
konsensus persetujuan yang memberikan pilihan alternatif dalam
menyelesaikan masalah, sedangkan pengertian proporsionalitas adalah
berkaitan dengan lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus
dikenakan pada pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam peradilan
pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah
memenuhi suatu perasaan keadilan retributif (keseimbangan timbal balik
antara punish dan reward), sedangkan dalam pendekatan restorative justice
dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding terhadap pelanggar
yang melakukan pelanggaran yang sama. Beberapa korban mungkin hanya
menginginkan suatu permintaan maaf yang bersahaja, sementara korban-
korban lainnya mungkin mengharapkan restorasi penuh dari pelanggar.46
5. Praduga tidak bersalah
Negara memiliki beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan
tersangka. Sejak dan sampai beban pembuktian itu dilakukan, tersangka harus
45
Ibid, h. 131 46
Ibid, h. 131
40
dianggap tidak bersalah. Dalam proses-proses restoratif, hak- hak tersangka
mengenai praduga tak bersalah dapat dikompromikan dengan cara, yaitu ;
tersangka memiliki hak untuk melakukan terminasi proses restorasi dan
menolak proses pengakuan bahwa ia bersalah, dan selanjutnya memilih opsi
proses formal dimana kesalahan harus dibuktikan, atau tersangka dapat
memperoleh hak untuk banding ke pengadilan dan semua perjanjian yang
disepakati dalam proses restorative justice dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan yang mengikat. Advokat atau penasihat hukum harus disediakan
setiap saat untuk memberikan informasi kepada tersangka atas implikasi
keikutsertaannya dalam suatu proses restorative yang menegaskan bahwa
keikutsertaan dalam proses restorative tidak boleh sebagai suatu pengakuan
formal atas kesalahan, dan bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuat dalam
proses itu harus tidak dapat diterima dalam suatu pemeriksaan pengadilan
formal.47
6. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasihat Hukum
Dalam proses restorative justice, advokat atau penasihat hukum
memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun kemampuan
pelanggar dalam melindungi haknya vis a vis bantuan penasihat hukum.
Dalam semua tahapan proses informal yang restoratif, tersangka daat memberi
47
Ibid, h. 135
41
informasi melalui bantuan penasihat hukum mengenai hak dan kewajibannya
yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan.48
Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpastisipasi dalam
sebuah proses restorative justice, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas
namanya sendiri.
C. Kebijakan Penggunaan Hukum Pidana Dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Tindak Pidana Serius dan Terorganisir
Kebijakan untuk melakuakan pencegahan dan penanggulanga kejahatan
termasuk pada kebijakan kriminal (criminal policy).49
Penggunaan kebijakan
hukum pidana merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk
menanggulangi kejahatan, namun kebijakan hukum pidana bukanlah satu-satunya
cara untuk menanggulangi kejahatan, bahkan keberadaan hukum pidana sebagai
sarana penanggulangan kejahatan pernah menjadi perdebatan, ada yang tidak
setuju ada juga yang setuju.
Kebijakan dengan menggunakan hukum pidana ini harus memiliki
pedoman pemidanaan, berkaitan dengan pemidanaan maka pedoman pemidanaan
dapat diartikan ketentuan dasar yang memberi arah/ melaksanakan pemidanaan
atau pemberian pidana atau penjatuhan pidana. Tujuan pemidanaan berarti arah
48
Ibid, h. 136 49
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada, 2007), h. 77
42
yang “seharusnya” ingin dicapai dari penjatuhan pidana atau dapat diartikan juga
maksud yang hendak didapatkan dari pemberian pidana/pemidanaan.
Tujuan pemidanaan mengemban fungsi pendukung dari fungsi hukum
pidana secara umum yang ingin dicapai sebagai tujuan akhir adalah terwujudnya
kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (Social defence dan social welfare)
Tokoh yang tetap mempertahankan hukum pidana sebagai sarana
penanggulangan kejahatan antara lain Van Bammelen, Macx Ancel, Alf Ross dan
Ruslan Saleh. Tujuan pemidanaan secara khusus dapat dilihat dari pendapat
Roeslan Saleh, alasan masih diperlukannya hukum pidana adalah :50
Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan maupun hasil yang
akan dicapai semata-mata, tetapi juga harus dilihat seberapa jauh paksaan
boleh dilakukan untuk mencapai tujuan itu serta harus dipertimbangkan pula
antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-
masing.
Meskipun ada upaya perbaikan atau perawatan yang tidak berpengaruh sama
sekali bagi si terhukum, namun tetap harus ada reaksi atas pelanggaran-
pelanggaran norma.
Dari pendapat di atas sangat jelas terlihat bahwa tujuan hukuman/
pemberian pidana adalah di samping untuk si penjahat itu sendiri tetapi juga
untuk masyarakat secara umum agar taat terhadap norma hukum.
Alasan lain ditetapkannya tujuan pemidanaan/ pemberian pidana adalah
adanya keterbatasan dari sanksi pidana itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh
H.L. Packer yaitu :
“Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan
suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia
50
Ibid, h. 20-21
43
merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara
manusiawi; ia merupakan pengancam apa bila digunakan secara sembarangan dan
secara paksa “(The criminal sanction is at once prime guarantor and prime
threatener of human freedom. Used providently and humanely it is guarantor;
used indiscriminately and coercively, it is threatener)”.51
Pernyataan di atas secara implisit menyarankan agar tujuan pemidanaan
ditetapkan sehingga pidana yang dijatuhkan dapat berfungsi sebagai penjamin
terhadap tujuan hukum pidana sebagai sarana untuk mencapai perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai penjamin tidak terjadi penurunan
derajat kemanusiaan/dehumanisasi dalam pelaksanaan pidana.
Sedangkan pendapat yang tidak setuju, penggunaan hukum pidana untuk
menanggulangi kejahatan telah menimbulkan berbagai kritik. Menurut Herbert L.
Packer ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa terhadap pelaku
kejahatan dan palanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana.
Menurut pendapat ini pidana merupakan pengalaman kebiadaban masa lalu yang
seharusnya dihindari. Pendapat demikian dapat dipahami, karena memang sejarah
hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni penuh dengan gambaran-gambaran
yang menurut ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. 52
51
Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 156 52
Ibid, h. 18
44
D. Perlindungan Pelapor Tindak Pidana
1. Pengertian Pelapor Tindak Pidana
Pelapor tindak pidana dalam istilah hukum dikenal dengan whistle blower,
dalam perspektif etimologis kata whistle blower berasal dari kata Whistle yang
artinya peluit atau bunyi peluit, dan kata Blower yang artinya alat peniup atau
tukang tiup.53
Whistle blower diartikan sebagai peniup peluit, saksi pelapor,
pengadu, pembocor rahasia, saksi pelaku yang bekerja sama, pemukul kentongan,
dan pengungkap fakta.54
Secara terminologi, whistle blower ada beberapa pengertian mengenai hal
ini, menurut Roberta Ann Johnson : 55
There is an agreed- upon four parts definition of whistle blower. Where
four parts definition of whistle blower are : 1). An individual acts with the
intention of making information public. 2). There information is conveyed to
parties outside the organization who make it public and a part of public record.
3). The information has to do with possible or actual nontrivial wrongdoing in an
organization, and 4). The person exposing the agency is not a journalist or
ordinary citizen, but a member or former member of the organization.
Berdasarkan pendapat Roberta Ann Johnson ada empat bagian dari
pengertian whistle blower, yaitu : 1). Tindakan seseorang yang bertujuan untuk
memberikan informasi bagi publik; 2). Informasi tersebut diberitahukan kepada
pihak di luar organisasi yang akan mempublikasikan informasi tersebut dan
merupakan bagian dari berita publik; 3). Informasi tersebut berhubungan dengan
53
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005),
h. 71 54
Quentin Dempster, Para Pengungkap Fakta, (Jakarta: ELSAM, 2006), h. 6. 55
Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, (Colorado: Lynne
Rienner, 2003), p. 3- 4
45
kemungkinan atau kepastian penyimpangan yang penting yang terjadi dalam
sebuah organisasi; 4). Orang yang mengungkap adanya penyimpangan dalam
organisasi tersebut bukan wartawan atau anggota masyarakat biasa, tetapi anggota
atau karyawan dari organisasi tersebut.
Menurut Mary Curtis, “whistle blower is one who reveals wrongdoing
within an organization to the public, or to those in positions of authority”.56
Menurut Mary Curse bahwa whistle blower adalah seseorang yang mengungkap
adanya penyimpangan yang terjadi dalam sebuah organisasi kepada publik atau
kepada pihak yang berwenang.
Menurut Geoffrey Hunt, “whistle blower is an employee who tells on an
employer, because he or she believed that the employer committed an illegal
act”.57
Dia menggambarkan bahwa whistle blower adalah seorang pegawai yang
melaporkan seorang pegawai yang mempekerjaannya, karena ia yakin bahwa
pegawai tersebut telah melakukan perbuatan yang ilegal.
Pengertian whistle blower menurut PP No. 71 Tahun 2000 adalah orang
yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai
terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor.
Dalam SEMA No. 04 Tahun 2011, secara jelas whistle blower diartikan
sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan
56
Mary Curtis, Whistleblower Mechanism: A Study of The Perceptions of User and
Responders, (Dallas: Institute of Internal Auditors, 2006), p. 4 57
Geoffrey Hunt, Whistleblowing, Commissioned Entry For Encyclopedia of Applied Ethics,
(California: Academic Press, 1998), p. 2
46
merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.58
Namun demikian
yang terjadi dalam praktiknya adalah kadang whistle blower juga terlibat dan
memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat di simpulkan bahwa whistle blower
adalah seseorang pegawai atau karyawan dalam suatu organisasi yang
melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan ataupun praktik yang
menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasi tersebut.
Salah satu tokoh whistle blower yang populer adalah Dr. Jeffrey Wigand.
Ia adalah mantan Wakil Presiden Research pada Brown and Williamson Tobacco
di Amerika Serikat. Jeffrey dipecat karena mengungkap praktek manipulasi data
nikotin pada rokok yang diproduksi perusahaannya, tidak hanya di pecat ia pun
mendapat pelecehan dan ancaman terkait dengan tindakannya.
Di Indonesia istilah whistle blower menjadi populer dan banyak disebut
oleh berbagai kalangan dalam beberapa tahun terakhir. Istilah ini makin sering
digunakan sejak kasus Susno Duaji mencuat. Susno Duadji pada saat itu
mengungkap adanya mafia pajak dianggap sebagai whistle blower. Namun
demikian hingga kini belum ditemukan padanan yang pas dalam Bahasa
Indonesia untuk istilah tersebut.59
58
Lihat SEMA No. 4 tahun 2011 tentang tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana
(whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator). 59
Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, (Jakarta: LPSK, 2011), h. v
47
2. Prinsip Pelapor Tindak Pidana
Dilihat dari tempat seseorang bekerja, pada umumnya seorang whistle
blower dapat berasal dari perusahaan swasta atau instansi pemerintah. Oleh
karena itu, seorang whistle blower dapat muncul dari perusahaan-perusahaan
swasta maupun dari lembaga-lembaga publik dan pemerintahan. Seorang whistle
blower selain dapat secara terbuka ditujukan kepada individu- individu dalam
sebuah organisasi atau skandal, dapat pula ditujukan kepada para auditor
internal.60
Seorang whistle blower seringkali dipahami sebagai saksi pelapor. Orang
yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana
kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Namun untuk
disebut sebagai whistle blower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua
kriteria mendasar.61
1) Seorang whistle blower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada
otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan
mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa
diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.
2) Seorang whistle blower merupakan orang dalam, yaitu orang yang
mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya
bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka
seorang whistle blower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan
atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu
mengungkapkan kejahatan yang terjadi.
60
Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 4 61
Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 1-2
48
3. Praktik Pelapor Tindak Pidana
Di Amerika Serikat, dimana tingkat korupsi tidak terlalu tinggi, lebih
banyak orang yang melaporkan mengenai penyelewengan, penyimpangan, dan
penyalahgunaan wewenang daripada di negara-negara lainnya. Perlindungan yang
diberikan oleh Undang-undangan di Amerika telah menjadi jaminan bagi para
whistle blower untuk melaporkan pelanggaran- pelanggaran di tempat mereka
bekerja.
Di Amerika telah dibentuk lembaga advokasi yang bernama National
Whistle blower Center yang secara rutin sejak 1988 mengadvokasi para whistle
blower disamping itu juga terdapat sebuah lembaga bernama Government
Accountability Project (GAP) yang berdiri sejak tahun 1977 dan aktif
mengadvokasi para whistle blower dengan fokus kegiatan pada litigasi, advokasi,
medis, dan legislatif.62
Indonesia belum memiliki ketentuan khusus mengenai prosedur dan
mekanisme pengungkapan fakta oleh whistle blower. Selama ini mekanisme yang
digunakan masih mendasarkan pada perlindungan saksi sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara lain seperti Amerika
Serikat dan Australia yang telah memiliki aturan khusus yang menjamin
perlindungan terhadap pengungkap kejahatan publik. Meski demikian, sejalan
dengan perkembangan perekonomian dan kemajuan zaman, sudah selayaknya
62
Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, p. 157
49
Indonesia mulai mengadopsi pentingnya jaminan perlindungan terhadap whistle
blower.63
Whistle blower adalah sosok penting dalam proses pengungkapan tindak
pidana serius dan terorganisir. Di Indonesia memang sudah memberi beberapa
saksi pengungkap kejahatan yang sangat berarti bagi upaya pemberantasan
korupsi demi mencipatakan pemerintahan yang baik dan bersih, namun peran
whistle blower tidak dihargai secara layak, bahkan jiwanya justru terancam dan
tertekan.
E. Perlindungan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
1. Pengertian Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
Dalam istilah hukum saksi pelaku yang bekerjasama dikenal dengan
istilah Justice Collaborator. Secara etimologis kata Justice Collaborator berasal
dari kata Justice yang artinya keadilan, peradilan, adil, hakim,64
dan kata
Collaborator yang mempunyai arti teman bekerjasama atau kerjasama.65
63
Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 81 64
I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta: Sinargrafika,
2003), Cet. III, h. 367. Lihat juga Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Amerika: West
Publishing Co, 2009), Nhinty Edition, h. 942. Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-
Indonesia, h. 339 65
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, h. 124
50
Istilah Saksi Pelaku yang Bekerjasama ini dikenal dengan beragam istilah,
misalnya justice collaborator, cooperative whistle blowers, participant whistle
blower, collaborator with justice atau pentiti (italia).66
Secara terminologi, dalam sistem hukum Indonesia pengertian justice
collaborator diatur dalam peraturan bersama tentang Perlindungan Bagi Pelapor,
Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama, definisi Saksi Pelaku yang
Bekerjasama adalah :67
“Saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia
membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau
akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembaikan aset-aset atau hasil
suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat
penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan”.
Pengertian di atas pada dasarnya sejalan dengan pengertian menurut
Council of Europe Committee of Minister, bahwa yang dimaksud dengan
collaborator of justice adalah:68
“Seseorang yang juga berperan sebagai pelaku tindak pidana, atau
secara meyakinkan adalah merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan
secara bersama-sama atau kejahatan terorganisir dalam segala bentuknya, atau
merupakan bagian dari kejahatan terorganisir, namun yang bersangkutan
bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan
kesaksian mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau
terorganisir, atau mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang terkait dengan
kejahatan terorganisir maupun kejahatan serius lainnya”.
66
Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan
tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana, (Makalah
disampaikan pada Stadium General Fakultas Hukum UII, Jogjakarta, 17 April 2013), h. 7 67
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia 68
Abdul Haris Semendawai, Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator dalam
Sistem Hukum Pidana di Indonesia, diakses pada tanggal 21 Nopember 2013 dari http://www.
elsam.or.id/downloads/1308812895_penanganan_dan_perlindungan__justice_collaborator_.pdf
51
Dengan demikian, justice collaborator dapat diartikan sebagai individu
yang melaporkan kejahatan yang turut dilakukannya. Sebagai pihak yang terlibat
dalam suatu kejahatan, justice collaborator dapat menyediakan bukti penting
mengenai siapa yang terlibat dalam kejahatan itu, apa peran masing-masing
pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa
ditemukan. Adapun upaya untuk membujuk para orang dalam agar mau
bekerjasama dalam penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku lainnya dalam
tindak kriminal tersebut, para penuntut di berbagai negara menggunakan beberapa
jenis perangkat hukum.
2. Prinsip Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
Prinsip utama dalam justice collaborator, bahwa predikat justice
collaborator tidak bisa disematkan kepada pelaku utama. Tidak semua saksi
pelaku dapat menjadi justice collaborator, hanya saksi pelaku yang bukan pelaku
utama, mau mengakui dan mengembalikan hasil kejahatan secara tertulis,
kooperatif dengan penegak humum, bukan buronan, dan informasi yang
diungkapkan relevan.69
Spirit penerapan justice collaborator diletakan dalam konteks untuk dapat
membongkar kejahatan yang lebih besar, bukan sebagai alat negosiasi pihak-
pihak yang berkepentingan. Pada dasarnya ide justice collaborator ini diperoleh
69
Hukum Online, “Penerapan Justice Colloborator Harus Diperketat”, Artikel diakses pada
19 November 2013 dari http://hukumonline.com/berita/baca/penerapan-ijustice-collaborator-i-harus-
diperketat
52
dari pasal 33, dan pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan
Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption 2003 (Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi).
Intinya dalam pasal 33, dan pasal 37 ayat (2) dan (3) ini bagi setiap
Negara peserta wajib melindungi dan mempertimbangkan memberikan
kemungkinan pengurangan hukuman dan memberikan kekebalan dari penuntutan
bagi orang yang memberikan kerjasama subtansial dalam penyelidikan atau
penuntutan (justice collaborator).
3. Praktik Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
Istilah justice collaborator atau collaborator with justice atau pentiti
merupakan suatu hal yang baru di Indonesia. Istilah ini bukanlah istilah hukum
karena tidak bisa ditemui dalam KUHAP, istilah ini berasal dari Negara yang
menganut sistem hukum anglo saxon, yaitu Amerika Serikat, namun istilah ini
sudah dipakai pada praktik hukum Indonesia.
Praktik justice collaborator pertama di Indonesia adalah Agus Tjondro
Prayitno, mantan anggota DPR Fraksi PDI-P periode 1999-2004 dalam kasus cek
perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda
Swaray Gultom tahun 1994. Pada tahun 2012, selain penghargaan berupa
pemberian remisi tambahan dan pembebasan bersyarat terhadap justice
53
collaborator kasus korupsi diperoleh oleh Agus Condro, penghargaan juga
diperoleh oleh Mindo Rosalina Manulang, dan Sukotjo S. Bambang.70
Tidak semua orang mau menjadi justice collaborator karena mereka
kahawatir dengan keselamatan diri sendiri dan keluarga apabila sampai ia
mengungkap suatu kasus mengingat kasus tersebut sangat terorganisir. Maka ada
privilege khusus untuk justice collabolator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban dengan terbitnya SEMA Nomor 04 Tahun 2011. Selain itu, negara juga
mengapresiasi tersangka yang bersedia menjadi justice collaborator dengan
memberikan reward and punishment dalam bentuk keringanan hukuman, remisi,
dan kebebasan bersyarat, seperti pada kasus Agus Tjondro dimana dia divonis
lima belas bulan penjara yang kemudian menjadi bebas bersyarat setelah
menjalani dua pertiga masa tahanannya ditambah remisi 1,5 bulan.
Pemberian penghargaan pertama pada tahun 2013 terhadap justice
collaborator juga diberikan kepada Kosasih Abbas, terpidana kasus dugaan
korupsi Solar Home System di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
dia mendapat penghargaan berupa pembebasan bersyarat. Selain Kosasih Abbas,
ada juga Vincentus Amin Sutanto, tersangka penggelapan pajak. Selain itu,
pemberian penghargaan diberikan kepada Thomas Claudius Ali Junaidi dalam
70
Arjun Alqindy Tumangger, “Justice Collaborator dalam Driving Simulator SIM di
Korlantas POLRI”, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada
http://legalscraw.wordpress.com/2013/ 08/30/justice-collaborator-dalam-driving-simulator-sim-di-
korlantas-polri
54
putusan bernomor No. 920K/Pid.sus/2013, yang menjatuhkan vonis ringan
terhadap Thomas.71
Semestinya proses yuridis tidak menjadi ancaman serius bagi justice
collaborator ketika lembaga peradilan dapat memberlakukan reward
(peghargaan) berupa remisi, perlakuan khusus dan punishment (hukuman) bagi
justice collaborator. Dengan demikian, putusan yang berlandaskan keadilan
tentunya diharapkan dapat menentukan potret masa depan justice collaborator.72
Implementasi perlindungan tersebut sudah menunjukan kemajuan
perlindungan hukum dan kepastian hukum, akan tetapi masih sangat minim,
walaupun sebenarnya telah ada Peraturan Bersama, Surat Edaran Mahkamah
Agung No.4 tahun 2011, revisi Undang- undang No. 13 tahun 2006 diharapkan
menjadi solusi konkret atas persoalan ini.73
71
Maharani Siti Shopia,”LPSK Puji Keberanian Hakim Agung Vonis Ringan Justice
Collaborator”, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada hhtp://lpsk.go.id/page/51c1ad91b45e8 72
Rahardian FN dan Sularto Pujiyono, “Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak
Pidana Yang Bekerja Sama/Justice Collaborator (Telaah Yuridis Putusan No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/
Pn.Jkt.Pst Pengadilan Tipikor Jakarta)”, Diponegoro Law Review, No. 1, (Tahun 2012): h. 8 73
Majalah Kesaksian, Apresiasi Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Minim,
(Jakarta: LPSK, 2012), edisi II, h. 13
55
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI
PELAKU YANG BEKERJASAMA DALAM UNDANG-UNDANG
NO. 13 TAHUN 2006 SEBAGAI KEBIJAKAN LEGISLATIF
A. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan adalah pemberian jaminan atas keamanan, ketentraman,
kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung atas segala bahaya yang mengancam
pihak yang dilindungi. Perlindungan hukum adalah hal perbuatan melindungi
menurut hukum.1
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra mengemukakan bahwa hukum dapat
difungsikan tidak hanya mewujudkan kepastian, tetapi juga jaminan perlindungan
dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, namun juga
prediktif dan antisipatif.2
Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah suatu kondisi
subyektif yang menyatakan hadirnya keharusan pada diri sejumlah subyek untuk
segera memperoleh sejumlah sumberdaya guna kelangsungan eksistensi subyek
hukum yang dijamin dan dilindungi oleh hukum, agar kekuatannya secara
terorganisir dalam proses pengambilan keputusan politik maupun ekonomi,
1 Nurini Aprilianda, Perlindunga Hukum Terhadap Tersangka Anak dalam Proses
Penyidikan, (Malang: Tesis Program Studi Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya,
2001), h. 41 2 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), h. 123
56
khususnya pada distribusi sumber daya, baik pada peringkat individu maupun
struktural.3
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan
kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.4
Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah Legal
Protection, dalam bahasa Belanda Rechtsbecherming. Kedua istilah tersebut juga
mengandung konsep atau pengertian hukum yang berbeda untuk memberi makna
sesungguhnya dari perlindungan hukum. Menurut Harjono, konsep perlindungan
hukum dari perspektif keilmuan hukum adalah :5
“Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,
ditunjukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu,
yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke
dalam sebuah hak hukum”.
Adapun yang dimaksud dengan hukum yang berlaku dalam hal ini adalah
hukum sebagai suatu sistem, yang menurut Lawrence M. Friedman dalam
operasinya memiliki tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu : Subtansi,
Struktur, dan Kultur. Maka perlindungan hukum adalah perbuatan melindungi hak
individu atau sejumlah individu yang kurang atau tidak mampu atau tidak berdaya
3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987), h. 2 4 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), dalam
Arif Awaludin, “Rekonstruksi Perlindungan Hukum Terhadap Penyingkap Korupsi (Studi Kasus
Budaya Hukum Aparatur Sipil Negara Dalam Menyingkap Birokrasi di Jawa Tengah)”, (Semarang:
Disertasi Undip, 2011), h. 75 5 Ibid, h. 77
57
secara fisik dan mental, secara sosial, ekonomi dan politik, baik secara preventif
maupun represif, berdasarkan hukum yang berlaku dalam upaya mewujudkan
keadilan, kepastian, kemanfaatan, kedamaian, ketentraman, bagi segala
kepentingan manusia yang ada didalam masyarakat hukum.
B. Latar Belakang dan Sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006
Undang- undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban berlaku setelah diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 Lembaran
Negara Republik Indonesia No.64. Undang-undang ini merupakan perjuangan
panjang dan kebutuhan endesak bagi kalangan aktivis antikorupsi dan Hak Asasi
Manusia.Undang-undang No.13 Tahun 2006 ini juga merupakan lex spesialis
(ketentuan khusus) yang engatur perlindungan hukum bagi saksi dan/atau korban.
Pengaturan perlindungan dan tatacara pemberian perlindungan bagi saksi dan
korban, sebelumnya tersebar di beberapa peraturan dan di beberapa lebaga negara
yang diberikan kewenangan untuk memberikan perlindungan.
Pada bagian penjelasan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan:
“Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap
tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau
menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang
telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan
hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang
58
memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu
tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau
takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur
perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari
berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa peraturan
perundang-undangan yang menekankan partisipasi masyarakat dalam
pengungkapan suatu tindak pidana antara lain:
1. Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih dan Bebas dari KKN
2. Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo Undnag-undang No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
4. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdangan Orang
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law)
yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses
peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi
muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan
Korban meliputi:
59
1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban
2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan
4. Ketentuan pidana.
C. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama
Dalam sistem hukum Indonesia, perlindungan hukum whistle blower dan
justice collaborator diatur dalam tiga jenis peraturan yakni: Undang-Undang No.
13 Tahun 2006, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 dan Peraturan
Bersama. Walaupun ketiga peraturan ini memiliki berbagai permasalahan materil
dan formil yang merupakan penyebab lemahnya perlindungan hukum whistle
blower dan justice collaborator.6
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 13 tahun 2006, secara umum
mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang juga
termasuk saksi pelapor dan juga saksi pelaku yang bekerjasama, yaitu meliputi
hal-hal sabagai berikut :
a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya.
6 Firman Wijaya, Whistle Blower dan justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, (Jakarta:
Penaku, 2012), h. 5
60
Perlindungan ini mengacu pada kewajiban Negara untuk melindungi warga
negaranya terutama mereka yang dapat terancam keselamatannya baik fisik
maupun mental. Dalam hal ini termasuk pula hak utuk tidak disiksa atau
diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi (sesuai dengan konvensi
Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 7
Tahun 1998).7
b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan.
Perlindungan dan dukungan keamanan merupakan perlindungan utama yang
diperlukan saksi, untuk itu saksi berhak untuk ikut serta memilih dan
menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan tersebut.8
c) Memberikan keterangan tanpa tekanan.
Saksi dan korban harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya,
sesuai dengan apa yang telah terjadi. Dengan demikian keterangan yang
diberikan bukan keterangan karena adanya rasa takut.9
d) Mendapat penerjemah.
Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar berbahasa
Indonesia untuk memperlancar persidangan.
e) Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
7 Jovan Kurata Waruwu, Penerapan Perlindungan Saksi dalam Perkara Pidana yang
ditangani Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Tesis FH UI,
2006), h. 180 8 Ibid, h. 183
9 Ibid, h. 186
61
Keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban harus diberikan secara bebas
di semua tingkat pemeriksaan, jadi tidak diperbolehkan adanya pertanyaan
yang bersifat bagi saksi dan korban.
f) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di
pengadilan, tetapi mereka tidak mengetahui perkembangan kasus yang
bersangkutan. Oleh sebab itu sudah seharusnya saksi mengetahui sejauh mana
kontribusi yang diberikannya itu dimanfaatkan oleh sistem peradilan.10
g) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
Dihukum atau tidaknya seorang terdakwa seringkali tidak diketahui saksi dan
meninggalkannya dalam ketidaktahuan. Informasi ini penting diberikan pada
saksi, setidaknya sebagai tanda apresiasi pada kesediannya sebagai saksi
dalam proses tersebut.
h) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup
beralasan, dan mereka berhak diberitahu apabila seorang terpidana yang
dihukum penjara akan dibebaskan.
i) Mendapat identitas baru.
Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisir,
saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam
kasus-kasus tertentu, saksi dan korban dapat diberikan identitas baru.
10
Ibid, h. 182
62
j) Mendapatkan tempat kediaman baru.
Pemberian tempat baru bagi saksi dan korban harus dipertimbangkan jika
keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan agar saksi dan
korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan.
k) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
Dalam banyak kasus, saksi tidak mempunyai cukup kemampuan untuk
membiayai dirinya mendatangi lokasi aparat yang berwenang, sehingga perlu
mendapat bantuan biayasa dari negara. Ketentuan ini memang sudah ada
sebenarnya untuk tingkat persidangan, tetapi sangat jarang diterapkan karena
berbagai alasan.
l) Mendapat nasihat hokum.
Hak ini diperlukan karena seringkali seorang saksi adalah orang awam dan
tidak mengetahui hukum beserta prosesnya, sehingga perlu mendapatkan
bimbingan dalam menjalani proses pidana.
m) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
Biaya hidup yang dimaksud adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi
yang dihadapi pada waktu memberikan keterangan, misalnya untuk biaya
makan sehari-hari.
Dalam pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan atau korban tindak pidana dalam kasus-
kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pada pasal 5 ayat (2) menyebutkan
63
bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu” antara lain tindak pidana
korupsi, narkotika/psikotropika, terorisme, dan tindak pidana lain yang
mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang
membahayakan jiwanya.11
Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi dan korban juga
termasuk saksi pelapor dan juga saksi pelaku yang bekerjasama dalam suatu
proses peradilan pidana meliputi hal-hal berikut ini :
a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara
tersebut diperiksa, tentunya setelah mendapat izin dari hakim.12
b. Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporannya, kesaksian yang akan, sedang atau telah
diberikannya.13
c. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.14
Formulasi perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice
collaborator dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 ini semakin memperoleh
pijakan hukum dengan lahirnya Peraturan Bersama antara LPSK, Kejagung, Polri,
KPK dan MA. Dalam Peraturan Bersama ini cukup komprehensif dalam
mengatur bentuk perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator
Bentuk perlindungan yang diberikan bagi whistle blower dan justice
collaborator dalam Peraturan Bersama ini adalah sebagai berikut:
11
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Anatara Norma dan Realita, h. 154 12
Liha pasal 9 ayat (1) UU no. 13 tahun 2006 13
Liha pasal 10 ayat (1) UU no. 13 tahun 2006 14
Liha pasal 10 ayat (2) UU no. 13 tahun 2006
64
1) Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan:
a. Perlindungan fisik dan psikis;
b. Perlindungan hukum;
c. Penanganan secara khusus; dan
d. Penghargaan.
2) Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum sebagaimana
dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat
berupa:
a. Pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka,
terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal
Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan;
b. Pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan
tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan
atau diungkap;
c. Penundaan penuntutan atas dirinya;
d. Penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin
timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya;
dan/atau
e. Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan
wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya.
4) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa:
a. Keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan;
dan/atau
b. Pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang
Bekerjasama adalah seorang narapidana.
Sebagai upaya untuk mengatasi kekosongan hukum dalam melindungi
whistle blower dan justice collaborator. Mahkamah Agung menerbitkan Surat
Edaran No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle
Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam
Perkara Tindak Pidana Tertentu.
65
Untuk menentukan seseorang sebagai Pelapor Tindak Pidana, berdasarkan
SEMA tersebut ada beberapa pedoman yang harus ditaati dalam penanganan
kasus yang melibatkan Pelapor Tindak Pidana adalah sebagai berikut :
1) Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan
tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan
merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya
2) Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka
penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak
Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.
Untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku Yang Bekerjasama,
berdasarkan SEMA tersebut harus mengikuti pedoman, yaitu :
1) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu
sebagaimana dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang
dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta
memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
2) Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan
telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga
Penyidikan dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana
dimaksud secara efektif pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih
besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
3) Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang bekerjasama
sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang
akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana
berupa; menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau
menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara
terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
Dalam memberikan perlakuan khusus dalam bentuk kerinaganan pidana
hakim wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
4) Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal-
hal sebagai berikut : (a) Memberikan perkara-perkara terkait yang
diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama
sejauh memungkinkan; dan (b) Mendahulukan perkara-perkara lain yang
diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2011
adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana
66
pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat
terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap
stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-
nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan
berkelanjutan dan supremasi hukum.15
15
Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, h. 187
67
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN LEGISLATIF PERLINDUNGAN HUKUM
PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU
YANG BEKERJASAMA
A. Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan
Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
Indonesia memang sudah mempunyai Undang-undang perlindungan Saksi
dan Korban, akan tetapi perlindungan yang diberikan dalam undang-undang
tersebut belum dapat melindungi whistle blower dan justice collaborator secara
maksimal.Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut hanya memberikan
perlindungan sebatas terhadap saksi, korban, dan pelapor saja. Dalam praktiknya,
whistle blower dan justice collaborator berbeda dengan saksi atau pelapor biasa,
hal ini sesuai dengan prisip dan karakteristik whistle blower dan justice
collaborator, seperti dapat kita lihat dalam pembahasan sebelumnya.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tidak memberikan perlindungan
hukum maksimal whistle blower dan justice collaborator. Ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 bahkan menjadi dasar untuk
memidanakan whistle blower dan justice collaborator atas kasus yang
dilaporkannya.
Kebijakan legislatif dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, kelemahan subtansial undang-undnag tersebut
68
terkait pelaksanaan pasal 10.1 Pasal tersebut belum mengakomodir perlindungan
hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator secara tegas, padahal
peran serta mereka dapat membantu mengungkapkan kasus tindak pidana
terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan kerjasama tersebut
merupakan kontribusi yang sangat besar dalam membantu upaya pemberantasan
tindak pidana terorganisir, sehingga tindak pidana tersebut akan terbongkar secara
masif dan signifikan.
Menurut Eddy O.S. Hiarij, dalam pasal 10 adalah bertentangan dengan
semangat whistle blower dan justice collaborator, karena pasal ini tidak
memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistle blower dan justice
collaborator, dimana yang bersangkutan akan tetap dijatuhi hukuman pidana
bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.2
Pasal 10 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menimbulkan permasalahan
penafsiran ketika ada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus
yang sama. Kedua ayat pada pasal tersebut menimbulkan pertentangan satu sama
lain ketika dipertemukan pada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada
kasus yang sama.
Pada ayat (1) dikatakan bahwa saksi yang melaporkan dan bersaksi tidak
dapat dipidana, namun pada ayat (2) dikatakan bahwa jika saksi adalah tersangka
pada kasus yang sama maka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana.
1 Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, (Jakarta: LPSK, 2011), h. 39
2 Eddy O.S. Hiarij, Legal Opinion: Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-undang
No. 13 tahun 2006, (Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Tahun 2010), h. 25
69
Sementara, mandat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi
saksi dan korban bukan tersangka, sehingga masalah pada Pasal 10 ini kemudian
menimbulkan ambiguitas mengenai status perlindungan oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban pada yang bersangkutan. Sebelum adanya SEMA
No. 4 Tahun 2011, tampak bahwa Pasal 10 tidak dapat membedakan whistle
blower dengan justice collaborator, sehingga pengadilan juga tidak dapat
memberikan perlakuan yang tepat.3
Selain undang-undang No. 13 Tahun 2006, Peraturan Bersama antara
LPSK dengan lima aparat penegak hukum juga masih memiliki kelemahan dari
segi materil, yakni sebagai berikut:
a. Tidak diatur perlindungan maksimal bagi whistle blower dan justice
collaborator berupa penghapusan tuntutan atas tindak pidana yang
dilakukannya
b. Keringanan pidana bagi whistle blower dan justice collaborator hanya
dijadikan pertimbangan Jaksa Agung atau Pimpinan KPK dan tidak memiliki
daya mengikat yang mewajibkan Jaksa Agung atau Pimpinan KPK untuk
memberi penghargaan berupa keringanan pidana
c. Tidak diatur secara jelas mengenai hubungan kolaborasi dan koordinasi antar
penegak hukum dalam memberikan perlindungan bagi whistle blower dan
justice collaborator.
3 Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, h. 186
70
Di samping itu, Peraturan Bersama juga memiliki kelemahan dari segi
formil, yakni lingkup keberlakuan tidak mengikat bagi hakim di lingkungan
Mahkamah Agung. Peraturan Bersama ini hanya mengikat LPSK, KPK,
Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan HAM. Padahal
perlindungan whistle blower dan justice collaborator idealnya harus melibatkan
seluruh instansi penegak hukum. Dengan demikian, Peraturan Bersama belum
memberikan perlindungan hukum maksimal bagi whistle blower dan justice
collaborator.
Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 sebenarnya telah mengatur lebih lanjut
mengenai kriteria serta mekanisme penanganan perkara yang melibatkan whistle
blower dan justice collaborator. Namun, pada dasarnya ketentuan dalam SEMA
masih memiliki banyak kelemahan dari segi materil yakni:
a. Tidak diaturnya hak dan bentuk perlindungan bagi whistle blower dan justice
collaborator
b. Ketentuan keringanan pidana bagi whistle blower dan justice Collaborator
hanya dijadikan pertimbangan hakim dan tidak memiliki daya mengikat yang
mewajibka hakim untuk memberi keringanan pidana.
Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 juga memiliki kelemahan dari segi
formil yakni lingkup keberlakuan SEMA hanya mengikat kalangan Mahkamah
Agung, yakni hakim. Padahal perlindungan whistle blower dan justice
Collaborator idealnya harus melibatkan seluruh instansi penegak hukum.
71
Di antara seluruh peraturan di atas, Peraturan Bersama merupakan
peraturan yang paling komprehensif dalam mengatur mengenai perlindungan
hukum whistle blower dan justice collaborator. Namun, Peraturan Bersama masih
memiliki beberapa kelemahan terkait tidak adanya perlindungan hukum bagi
whistle blower dan justice collaborator berupa penghapusan tuntutan pidana,
tidak diaturnya hubungan kerjasama antar instansi penegak hukum, dan lingkup
keberlakuannya yang belum mencakup nasional. Oleh karena itu, penulis menilai
bahwa perlu diadakan solusi terkait aspek legislasi (kebijakan legislatif) dan
implementasi dalam melindungi whistle blower dan justice collaborator.
Untuk itu diperlukan rumusan suatu peraturan perundang-undangan yang
dapat memberikan perlindungan secara khusus bagi whistle blower dan justice
collaborator. Peraturan perundang-undangan tersebut harus memberikan
penjelasan mengenai whistle blower dan justice collaborator, peraturan
perundang-undangan juga harus memberikan bentuk-bentuk perlindungan yang
kurang lebih sama dengan bentuk-bentuk perlindungan dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 2006, akan tetapi ketentuan pidana bagi whistle blower dan justice
collaborator yang juga tersangka dalam kasus yang sama harus di bedakan.
72
B. Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang
Mengatur Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku
Yang Bekerjasama
Di negara‐negara yang sangat besar, konstitusinya menyatakan bahwa
keputusan badan legislatif merupakan ungkapan keinginan rakyat (kedaulatan
rakyat) dan bahwa badan legislatif merupakan badan pengambil keputusan yang
tertinggi. Sebagian besar badan legislatif memiliki tiga fungsi formal: (1) untuk
mewakili rakyat; (2) untuk menetapkan undang‐undang; dan (3) untuk mengawasi
badan eksekutif (perdana menteri atau presiden dan para menteri).4
Kewajiban untuk mengungkapkan suatu tindak pidana terorganisir, seperti
korupsi, penipuan, pencucian uang, narkoba dan psikotropika, terorisme
merupakan hal yang umum di banyak negara. Perlindungan whistle blower dan
justice collaborator merupakan konsekuensi logis dari kewajiban tersebut.
Namun, belum adanya mekanisme dan perlindungan yang memadai, serta
masih lemahnya penegakan hukum, merupakan masalah tersendiri bagi whistle
blower dan justice collaborator. Sebagai pengungkap skandal kejahatan publik,
sosok whistle blower dan justice collaborator belum memiliki perlindungan
hukum yang memadai.
Walaupun sudah terdapat beberapa peraturan yang secara eksplisit
mengatur perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator, seperti
4 Kelompok Kerja Kebijakan dan Manajemen Fakultas Kedokteran UGM , Pemerintah dan
Proses Kebijakan, diakses pada tanggal 8 Desember 2013 dari http://hpm.fk.ugm.ac.id/hpmlama/
images/chapter_5_6_7__8_mhp.pdf
69
73
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Peraturan Bersama, dan SEMA tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di
dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Hanya saja peraturan-peraturan tersebut
tidak secara jelas mengatur mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dapat
dilakukan. Serta bagaimana cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistle
blower dan justice collaborator.
Oleh karenanya, saat ini diperlukan adanya sebuah Undang-undang yang
secara khusus mengatur mengenai whistle blower dan justice collaborator.
Undang-Undang ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme pengungkapan
dan perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator untuk
mengungkap suatu penyalahgunaan wewenang yang membahayakan kepentingan
publik.
Orang cenderung tidak berani mengungkap kejahatan karena takut akan
adanya pembalasan, pemecatan, atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari
suatu jabatan tertentu atas tindakan pengungkapannya. Oleh karenanya, penting
bagi Indonesia untuk segera membentuk dan memiliki Undang-undang khusus
yang mengatur mengenai cara dan mekanisme perlindungan bagi whistle blower
dan justice collaborator.
Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice
collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang berpotensi
74
menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut untuk
melapor. Padahal, whistle blower dan justice collaborator memiliki potensi dan
peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana serius
dan terorganisir.
Oleh sebab itu, penulis merekomendasikan solusi perlindungan hukum
whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan
pengaturan perlindungan. Solusi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk
membuat undang-undang yang secara khusus mengatur whistle blower dan justice
collaborator, atau paling tidak dapat menjadi masukan dalam revisi Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
C. Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi
Pelaku Yang Bekerjasama
Konsep sanksi pemidanaan dalam pendekatan restorative justice tidak
mengenal metode pembalasan, tetapi lebih kepada konsep pemulihan untuk tujuan
membuat segala sesuatunya menjadi benar. Beberapa konsep sanksi pidana yang
dikenal dalam pendekatan restorative justice adalah sebagai berikut : restitusi
(pengganti kerugian), program kerja sosial, dan konpensasi terhadap korban. 5
5 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 182
75
Dalam konsep restorative justice tidak semua orang harus diperlakukan
sama dihadapan hukum (equality before the law),6 karena ada hal-hal yang
membedakan orang tersebut dengan orang lain (menjadi whistle blower dan
justice collaborator), sehingga atas perbedaannya itulah seseorang dapat tidak
dipidana dengan syarat bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang
diakibatkan perbuatan yang ia lakukan.
Oleh karena itu, konsep restorative justice yang bertujuan untuk
memulihkan kerugian yang diderita oleh korban (Negara atau Warga Negara) ini
sangat tepat untuk diterapkan terhadap whistle blower dan justice collaborator.
Dalam konsep restorative justice, yang di pulihkan adalah meliputi pemulihan
hubungan antara pihak korban dan pelak, pemulihan ini sangat penting dengan
alasan:
1) Dalam sitem pemidanaan konvensional, whistle blower dan justice
collaborator tidak diberikan ruang untuk dapat berpartisifasi langsung dalam
penyelesaian masalah mereka, sehingga partisifasi aktif whistle blower dan
justice collaborator yang semestinya mendapat penghargaan tidak menjadi
penting, yang pada akhirnya semuanya akan bermuara pada putusan
pemidanaan tanpa melihat esensi.
2) Whistle blower dan justice collaborator dapat membantu mengungkapkan
kasus tindak pidana terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan
6 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
(Bandung: Alumni, 2006), h. 170
76
kerjasamanya tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar dalam
membantu upaya pemberantasan tindak pidana terorganisir, seperti tindak
pidana korupsi yang semakin bermacam modus operandinya.
3) Penghapusan tuntutan terhadap whistle blower dan justice collaborator akan
menyebabkan para pihak berani mengungkapkan kasus tindak pidana
terorganisir yang dilakukannya. Sehingga, kasus tindak pidana terorganisir dan
rapih akan terbongkar secara masif dan signifikan.
Dalam hal ini, tanggung jawab yang dimiliki oleh whistle blower dan
justice collaborator terdiri atas:
1) Tanggung jawab untuk mengembalikan segala kerugian yang ia lakukan
terhadap korban, misalnya mengembalikan semua asset hasil korupsi.
2) Tanggung jawab untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk
membongkar kasus tindak pidana terorganisir yang ia laporkan atau ia ketahui
hingga ke akar-akarnya. Konsep ini merupakan upaya pemulihan kerugian
yang diderita oleh korban. Tanggung jawab whistle blower dan justice
collaborator dalam hal merestorasi kerugian korban inilah yang seharusnya
menggantikan pemidanaan bagi whistle blower dan justice collaborator.
Lemahnya perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator
ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu : pertama permasalahan riil yang
menunjukkan kenyataan bahwa whistle blower dan justice collaborator tidak
mendapatkan penghargaan dan perlindungan, bahkan turut dijadikan tersangka
77
atas kasus yang dilaporkannya, kedua permasalahan materil dan formil dalam
berbagai peraturan.
Permasalahan riil yang selama ini terjadi, para whistle blower dan justice
collaborator di Indonesia turut dijadikan tersangka atas kasus yang
dilaporkannya, bahkan dikriminalisasi atas kasus lain. Contoh faktual adalah
kasus mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yaitu Komisaris Jenderal Susno Duadji. Kontribusi Susno Duadji
dalam mengungkap kejahatan korupsi, mafia hukum, dan mafia pajak tidak
diapresiasi oleh Negara. Susno Duadji malah diputus bersalah atas kasus yang
dilaporkannya sendiri. Dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa Negara tidak
memberikan perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator.
Perlindungan hukum bagi dalam whistle blower dan justice collaborator
harus mencakup aspek konseptual dan aspek teknis. Kedua aspek ini merupakan
suatu kesatuan. Sebab, konsep perlindungan hukum tanpa disertai teknis yang
jelas akan menghasilkan konsep yang abstrak, begitupun sebaliknya. Aspek
konsep dan teknis merupakan syarat afkumulatif yang harus ada dalam
perlindungan hukum ini.
Ide perlindungan whistle blower dan justice collaborator sesungguhnya
telah diamanatkan dalam pasal 33, dan pasal 37 ayat (1), (2), dan (3) United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam pasal (3) disebutkan :
78
“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan
dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam
penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan
konvensi ini”.
Pemberian imunitas kepada whistle blower dan justice collaborator yang
membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan
terorganisir menimbulkan banyak pro dan kontra. Hal ini memang bukan tanpa
alasan, perdebatan tersebut didasarkan atas dua alasan, pertama orang yang
melakukan tindak pidana harus diberikan hukuman yang setimpal, kedua
dikhawatirkan terjadinya diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana lain.
Argumentasi di atas merupakan pengejawantahan prinsip equality before
the law dan prinsip non-impunity, prinsip tersebut merupakan elemen pokok dari
konsepsi HAM. Kedua prinsip ini menyatakan bahwa semua orang berkedudukan
sama di muka hukum, sehingga semua orang yang bersalah harus dihukum tanpa
ada pengecualian.7 Oleh karena itu, prinsip ini memandang bahwa whistle blower
dan justice collaborator tidak boleh dilindungi, melainkan harus dihukum seperti
pelaku tindak pidana terorganisir lainnya.
Prinsip equality before the law dan non-impunity, dalam konsep
restorative justice dapat dikecualikan penerapannya. Konsep restorative justice
menyatakan bahwa, tidak semua orang harus diperlakukan sama karena ada hal-
hal yang membedakan orang tersebut dengan orang lain, sehingga atas
7 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
h.102
79
perbedaannya itulah seseorang dapat saja tidak dipidana asalkan bertanggung
jawab untuk memulihkan kerugian yang diakibatkannya. Dalam hal ini, konsep
restorative justice sangat tepat diterapkan untuk melindungi whistle blower dan
justice collaborator.
Oleh karena itu, penulis menawarkan teknis perlindungan hukum bagi
whistle blower dan justice collaborator yang sesuai dengan konsep keadilan
restoratif (restorative justice), yaitu sebagai berikut :
1. Kualifikasi dan Syarat Perlindungan Hukum
Langkah pertama yang harus terpenuhi apabila seseorang dapat di
kualifikasikan sebagai whistle blower dan justice collaborator, kemudian
ingin mendapatkan perlindungan hukum dari Negara harus memenuhi kriteria
persyaratan sebagai berikut :
1) Merupakan individu yang pertama kali melaporkan adanya tindak pidana
terorganisir, sehingga dalam satu kasus terorganisir hanya satu orang saja
yang dapat dikualifikasikan sebagai whistle blower dan justice
collaborator, hal ini juga dimaksudkan agar setiap orang berlomba untuk
menjadi whistle blower dan justice collaborator.
2) Tidak merupakan pelaku utama atas tindak pidana serius dan terorganisir
yang ia laporkan, syarat ini bermaksud membongkar otak intelektual dan
memberantas kasus tindak pidanaserius dan terorganisir sampai tuntas.
3) Harus menyadari dan mengakui kesalahannya, ia harus menyadari atas
kerugian bagi korban yang ditimbulkan dari tindakannya tersebut,
80
sehingga ia mau membuka informasi yang seluas-luasnya, dan tercapailah
tujuan dari restorative justice yaitu pemulihan bagi korban.
4) Bertanggungjawab atas kerusakan yang timbul akibat tindak pidana yang
dilakukannya tersebut, bukan atas paksaan atau ada unsur intervensi
politik dari pihak lain.
5) Bekerjasama secara kooperatif dengan aparat penegak hukum dalam
mengusut dan membongkar kasus tindak pidana terorganisir yang
dilaporkannya hingga ke akar-akarnya.
Kualifikasi dan syarat perlindungan tersebut merupakan bersifat
keseluruhan (akumulatif), kualifikasi dan syarat tersebut harus dapat terpenuhi
oleh seseorang yang ingin menjadi whistle blower dan justice collaborator,
sehingga berhak mendapatkan perlindungan hukum dan diberikan
penghargaan dari Negara atas jasanya tersebut.
2. Jenis Perlindungan Hukum
Apabila seseorang telah memenuhi kualifikasi dan syarat menjadi
whistle blower dan justice collaborator, kemudian ia behak mendapatkan
perlindungan hukum, maka yang bersangkutan akan diberikan perlindungan
hukum berupa perlindungan dari segala tuntutan pidana atau perdata.
Perlindungan dari segala tuntutan pidana atau perdata ini dimaksudkan agar
whistle blower dan justice collaborator tidak dituntut oleh pihak yang merasa
dirugikan atas laporan dan kesaksiannya. Perlindungan ini terdiri atas tiga
jenis, yaitu sebagai berikut :
81
1) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas laporannya, ini penting
terkait dengan apresiasi dan penghargaan yang didapat oleh seorang
whistle blower dan justice collaborator dari Negara. Jangan sampai terjadi
whistle blower dan justice collaborator dilaporkan balik dan kemudian
dituntut atas pencemaran nama baik terhadapa apa yang ia laporkan
tersebut.
2) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas kasus yang
dilaporkannya, bentuk perlindungan hukum ini penting terkait dengan
tidak dapat dituntut dan tidak ikut dijadikan tersangka dalam kasus serius
dan terorganisir yang dilaporkannya.
3) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas kasus lain, misalnya
seorang whistle blower dan justice collaborator tidak dapat dituntut
dengan kasus lain, jangan sampai seorang whistle blower dan justice
collaborator dituntut dengan kasus lain.
Jenis perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice
collaborator dalam tiga model tersebut menjadi sangat urgent dalam suatu
proses pemberantasan tindak pidana serius dan terorganisir, karena dapat
menghambat dan membuat penanganan terhadap kasus tindak pidana serius
dan terorganisir tersebut menjadi semakin lama, dan tidak ada kepastian
hukum bagi seorang yang sudah dinyatakan sebagai whistle blower dan justice
collaborator.
82
3. Model Perlindungan Kolaboratif
Perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator
seharusnya dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh aparat penegak hukum,
bukan hanya terpusat dilakukan oleh satu aparat penegak hukum saja.
Keseluruhan aparat penegak hukum tersebut yang paling utama adalah
Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK), kemudian Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia dan Mahkamah Agung RI.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga utama
dalam proses perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice
collaborator, oleh karenanya dalam amandemen Undang-undang No. 13
tahun 2006 harus benar-benar mengakomodasi konsep restorative justice agar
semua yang terlibat dalam kasus meras adil.
Dengan sistem perlindungan kolaboratif, seorang whistle blower dan
justice collaborator yang melapor kepada aparat penegak hukum, tidak dapat
digugat balik atas pencemaran nama baik, turut dijadikan tersangka dalam
kasus yang ia laporkan, dan tidak dapat dituntut atas tindak pidana lain.
Sehingga proses kriminalisi terhadap whistle blower dan justice collaborator
tidak dapat dilakukan, karena seorang whistle blower dan justice collaborator
sudah memperoleh perlindungan hukum dari penegak hukum, hal ini juga
merupakan konsekuensi daripada penerapan konsep restorative justice.
83
Dalam konsep restorative justice dikenal dengan prinsip due process
(penyelesaian yang adil) dan perlindungan yang setara. Kedua prinsip tersebut
harus menjadi batu pijakan aparat penegak hukum dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator.
4. Model Perlindungan Komprehensif
Model perlindungan hukum yang komfrehensif dari aparat penegak
hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator akan berdampak pada
kepastian hukum bagi sang whistle blower dan justice collaborator, dan akan
berdampak positif terhadap penegakan hukum dan pemberantasan tindak
pidana terorganisir. Model komfrehensif tersebut bersifat menyeluruh mulai
dari tahapan berikut ; Pertama, pada tahap pemberian laporan oleh seorang
whistle blower dan justice collaborator. Kedua, tahap penindaklanjutan
laporan yang terdiri atas penyelidikan, penyidikan, sampai pada pengadilan.
Ketiga, pada tahap penjatuhan putusan oleh pengadilan tehadap kasusnya
tersebut.
Perlindungan yang bersifat komfrehensif dari aparat penegak hukum
ini bertujuan untuk mejamin hak-hak seseorang setelah ia dinobatkan sebagai
whistle blower dan justice collaborator, dan juga bertujuan agar perlindungan
hukum berjalan maksimal demi tercapainya kepastian hukum. Oleh
karenanya, seorang whistle blower dan justice collaborator harus dilindungi
sejak tahap pelaporan hingga tahap penjatuhan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht).
84
5. Putusan Yang Bersifat Integratif
Putusan pengadilan merupakan tahap akhir dari proses peradilan,
terkait dengan whistle blower dan justice collaborator, maka putusan
pengadilan tersebut harus sesuai dengan konsep restorative justice, karena
memang sejak awal sang whistle blower dan justice collaborator sudah
mengikatkan diri, tunduk dan mengikitu setiap ketentuan yang berlaku
berdasarkan prinsip restorative justice.
Oleh karena itu, setiap putusan pengadilan terhadap kasus tindak
pidana serius dan terorganisir, hanya ada satu whistle blower dan justice
collaborator, maka putusan pengadilan tersebut harus memuat dan berisi dua
hal, yaitu Pertama, pemidanaan bagi aktor intelektual atau pelaku utama
kasus tindak pidana terorganisir. Kedua, pembebasan bersyarat terhadap
whistle blower dan justice collaborator, dengan ketentuan ia telah memenuhi
kualifikasi dan syarat mendapat perlindungan hukum dari Negara.
Sehingga pembebasan bersyarat bagi whistle blower dan justice
collaborator baru dapat diberikan apabila whistle blower dan justice
collaborator sudah terlebih dahulu melalui serangkaian proses persidangan di
pengadilan. Pembebasan bersyarat terhadap whistle blower dan justice
collaborator dilakukan ini harus dilakukan secara integratif, artinya
pembebasan bersyarat tersebut diintegrasikan kedalam putusan pengadilan
yang memidana terdakwa aktor intelektual atau pelaku utama dalam kasus
tindak pidana serius dan terorganisir tersebut.
85
6. Pembebasan Bersyarat
Berdasarkan apa yang telah penulis jelaskan diatas, seorang whistle
blower dan justice collaborator dapat dibebaskan dengan pembebasan
bersyarat apabila ia tunduk, patuh dan melaksanakan ketentuan kualifikasi dan
syarat memperoleh perlindungan hukum dari Negara, ia juga telah melewati
proses persidangan di pengadilan. Putusan pengadilan yang dimaksud penulis
disini adalah putusan pengadilan yang bersifat tetap atau berkekuatan hukum
tetap (inkra, yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat dilakukan upaya
hukum terhadapnya. Ini merupakan penghargaan Negara yang patut didapat
oleh sang whistle blower dan justice collaborator, sehingga berdampak positif
terhadap pemberantasan kasus tindak pidana serius dan terorganisir, seperti
kasus korupsi di Indonesia ini yang akan terus terjadi.
Pemberian penghargaan kepada whistle blower dan justice
collaborator dengan pembebasan bersyarat memiliki kelebihan-kelebihan,
yaitu penghargaan dari Negara tersebut dapat mendorong para koruptor
misalnya, sebagai tindak pidana serius dan terorganisir akan banyak yang
tertarik menjadi whistle blower dan justice collaborator, sehingga tindak
pidana tersebut akan terungkap secara signifikan dan masif. Kemudian
dampaknya mereka yang akan berniat melakukan kejahatan serius dan
terorganisir, merasa takut karena rekan kerja mereka dapat melaporkannya
dan bekerjasama dengan aparat penegak hukum.
86
Namun demikian, pembebasan bersayarat ini bukan merupakan
sesuatu yang sempurna, pada dasarnya terdapat kelemahan-kelemahnnya,
yaitu terhadap kasus serius dan terorganisir merupakan kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime), ada sebagian kalangan yang berpandangan bahwa
pembebasan terhadap whistle blower dan justice collaborator tidak adil,
karena sudah merugikan masyarakat luas dan Negara. Kemudian pembebasan
terhadap whistle blower dan justice collaborator bertentangan dengan prinsip
non-impunity dan equality before the law.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa pembebasan
terhadap whistle blower dan justice collaborator ini memiliki beberapa
kekurangan. Namun kekurangan-kekurangan tersebut dapat diatasi, argumen-
argumen sebagai berikut :
1) Kerugian masyarakat dan negara sebagai akibat dari perbuatan tindak
pidana terorganisir seperti korupsi yang dilakukan oleh whistle blower dan
justice collaborator sangatlah besar. Namun bila menggunakan perspektif
kedepan (forward looking), maka kerugian ini dapat diatasi oleh kelebihan
dari adanya pembebasan terhadap whistle blower dan justice collaborator.
Dimana pembebasan tersebut akan berdampak pada :
a) Mendorong terungkapnya kasus tindak pidana serius dan terorganisir
dalam jumlah masif, dan dilakukan dengan berbagai modus
operandinya.
87
b) Membuat orang yang akan berniat atau melakukan tindak pidana serius
dan terorganisir merasa takut untuk melakukan perbuatan tersebut.
Sehingga, kerugian masyarakat dan negara dapat dikompensasi melalui
keuntungan yang akan ditimbulkan oleh seorang whistle blower dan
justice collaborator.
2) Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan terorganisir harus diatasi
dengan cara luar biasa pula. Cara konvensional yang menekankan
pemidanaan sebagai pembalasan (retributive) terbukti tidak mampu
membuat efek jera bagi para pelaku tindak pidana terorganisir. Sehingga
dibutuhkan cara luar biasa yang menekankan pada pemulihan (restorative)
yaitu hukuman restoratif yang memberikan tanggung jawab kepada
whistle blower dan justice collaborator untuk memulihkan kerugian
masyarakat dan negara, pemulihan tersebut melalui pertanggungjawaban
mengembalikan kerugian masyarakat dan Negara, dan bekerja sama
dengan aparat penegak hukum dalam membongkar kasus tindak pidana
serius dan terorganisir yang dilaporkannya. Hukuman restoratif ini
merupakan pengganti dari hukuman penjara. Dalam hal ini whistle blower
dan justice collaborator dianggap sudah dihukum melalui hukuman
restoratif sehingga whistle blower dan justice collaborator dapat
dibebaskan dari pemidanaan.
3) Prinsip non-impunity yang diterapkan dalam hukum pidana konvensional
menyatakan bahwa whistle blower dan justice collaborator tidak dapat
88
dibebaskan dari tuntutan pemidanaan. Namun, prinsip ini dapat
dikesampingkan dalam konsep restorative justice sebagai konsep baru
dalam hukum pidana yang lebih mengutamakan pemulihan kerugian
ketimbang menghukum whistle blower dan justice collaborator.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis menilai bahwa
pembebasan dapat diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator.
Pembebasan bagi whistle blower dan justice collaborator ini dimungkinkan
menurut konsep restorative justice yang menganggap bahwa sistem
pemidanaan dan pemenjaraan tidak relevan untuk diterapkan terhadap hal-hal
tertentu. Sehingga, restorative justice dan whistle blower serta justice
collaborator sebagai sesuatu yang baru pada abad ke-20 harus dipandang
sebagai suatu perkembangan yang harus diterapkan satu sama lain, mengingat
sistem hukum pidana konvensional yang berorientasi pada pembalasan sudah
tidak relevan diterapkan terhadap whistle blower dan justice collaborator.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis yang penulis dapatkan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap pelapor tindak
pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih sangat lemah,
indikasi ini dapat dilihat dari beberapa segi, pertama terkait permasalahan riil
yang terjadi, dan kedua terkait dengan permasalahan materil dan formil
kebijakan legislatif yang dijadikan dasar perlindungan masih parsial dan
belum komfrehensif.
2. Konsep ideal perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi
pelaku yang bekerjasama harus menggunakan pendekatan restorative justice,
dalam konsep restorative justice tidak mengenal metode pembalasan akan
tetapi lebih menekankan pada pemuliham. Teknis perlindungan hukum
terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama harus
meliputi antara lain sebagai berikut: 1). Kualifikasi dan syarat perlindungan
hukum, 2). Jenis perlindungan hukum, 3). Model perlindungan kolaboratif,
4).Model perlindungan komprehensif, 5).Putusan yang bersifat integratif dan
6).Pembebasan bersyarat.
90
B. Saran-saran
Setelah penulis membaca, meneliti, menganalisa dan menyimpulkan maka
dengan ini penulis memberikan saran-saran kepada pihak yang berwenang sesuai
dengan kewenangannya yaitu sebagai berikut :
1. Bagi lembaga Legislatif atau Pemerintah, hendaknya membentuk peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan
hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama
atau dengan cara merevisi Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban, dalam amandemen undang-undnag tersebut
harus memuat materi yang menyatakan menghapuskan tuntutan pemidanaan
atas kasus yang dilaporkan oleh seorang pelapor tindak pidana dan saksi
pelaku yang bekerjasama.
2. Bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, agar memperluas kewenangan
dan penguatan kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
melindungi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.
3. Bagi instansi pemerintah dan swasta, agar membentuk mekanisme pelaporan
whistle blower di institusi pemerintah maupun swasta demi menjaring
laporan dari masyarakat atau orang-orang yang tahu tentang tindak pidana
terorganisir. Dengan melibatkan dan meningkatkan peran serta masyarakat
dalam melaporkan tindak pidana terorganisir yang ia ketahui, maka akan
mempersempit gerak dan pelaku tindak pidana serius dan terorganisir yang
akan atau telah tejadi dengan bermacam-macam modus operandinya.
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, Jakarta: Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011
----------, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang
Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan
Pidana, (Makalah disampaikan pada Stadium General Fakultas Hukum UII,
Jogjakarta, 17 April 2013)
----------, Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator dalam Sistem Hukum
Pidana di Indonesia, diakses pada tanggal 21 Nopember 2013 dari
http://www.elsam.or.id/downloads/1308812895
_penanganan_dan_perlindungan__justice_collaborator_.pdf
Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum Di Indonesia, Banjarmasin:
FH Universitas Lambung Mangkurat, 1980
Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Denpasar: Pustaka Larasan,
2012, Edisi I
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), Jakarta: Buana ilmu
Populer, 2004
Arjun Alqindy Tumangger, Justice Collaborator dalam Driving Simulator SIM di
Korlantas POLRI, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada
http://legalscraw.wordpress.com/2013/08/30/justice-collaborator-dalam-
driving- simulator-sim-di-korlantas-polri
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta: UII Press, 2003
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang
Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UUI Press, 2006
----------,Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta: UII
Press, 2010
Bambang Waluyo, Viktimologi : Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012
92
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996
----------,Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang: Badan Penerbit Undip, Cet. II, 1996
----------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada, 2007
----------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
Bandung : PT. Citra Adhya Bakti, 2005
----------, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan Dalam
Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, No. 4 Tahun 1994
Bismar Siregar, Rasa Keadilan, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terj: Koesnoen, Jakarta: Pembangunan,
1970
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Amerika: West Pblishing Co, 2009,
Nhinty Edition
Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 1997
Denny Indrayana, Komisi Negara Independen, Evaluasi Kekinian dan Tantangan
Masa Depan, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga
negara, rekomendasi bagi pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW
dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007
----------, Pembagian Pengaturan Whistleblower dan Justice Collaborator Di Revisi
KUHAP dan Revisi Undang-undnag No. 13 Tahun 2006, Serta Peran
Strategis LPSK, Dalam seminar “Menyongsong Perspektif Baru
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)”, Jakarta, 10 April 2013
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Anatara Norma dan Realita, Jakarta: Rajawali Press, 2007
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku
Ichtiar, 1962
93
Eddy O.S. Hiarij, Legal Opinion: Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-
undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
(Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Tahun 2010
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,
(Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010)
----------, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Pendekatan
Keadilan Restoratif dalam Praktek penegakan Hukum Pidana, (Disertasi FH
UI)
----------, LPSK, Sistem Peradilan Pidana Dan Upaya Perlindungan Korban,
Makalah dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan
oleh LPSK
----------, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana, (Makalah,
Jakarta, 2011)
----------, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, 2011
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Calloborator Dalam Perspektif Hukum,
Jakarta: Penaku, 2012
Geoffrey Hunt, Whistleblowing, Commissioned Entry For Encyclopedia of Applied
Ethics, California: Academic Press, 1998
Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale,
Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990
Hukum Online, Penerapan Justice Colloborator Harus Diperketat, Artikel diakses
pada 19 November 2013 dari http://hukumonline.com/ berita/baca/penerapan-
ijustice-collaborator-i-harus-diperketat
I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, Jakarta:
Sinargrafika, 2003, Cet. III
I.S. Susanto, Pemahaman Kritis terhadap Realitas Sosial, dalam “Masalah- Masalah
Hukum” Semarang: FH Undip, Nomor 9, 1992
J.J. Von Schmid, Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Terj: Wiratno
dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, Jakarta: PT Pembangunan, 1959
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia,
2005
94
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007
Komisi Yudisial, Keadilan Restoratif Dimulai dari Perkara Anak, (Buletin Komisi
Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012
Kuat Puji Prayitno, Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif
Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto), Jakarta: Jurnal
Dinamika Hukum, Vo. 12 No. 3 September 2012
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993
Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan
Prosedurnya, Jakarta: Laporan Penelitian Pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010
M. Arif Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Perlindungan Korban Kejahatan
Ekonomi Di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2007
Maharani Siti Shopia, LPSK Puji Keberanian Hakim Agung Vonis Ringan Justice
Collaborator, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada
hhtp://lpsk.go.id/page/51c1ad91b45e8
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998
Majalah Kesaksian, Apresiasi Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Minim,
Jakarta: LPSK, 2012, edisi II
Mary Curtis, Whistleblower Mechanism: A Study of The Perceptions of User and
Responders, Dallas: Institute of Internal Auditors, 2006
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008
Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Huku Buku I,
Jakarta: Alumni, 2000
----------, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional Di Masa Kini
dan Masa Akan Datang, Jakarta: Makalah, 1995
Moh. Busyro Muqoddas, Politik Hukum dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta:
UII Press, 1992
95
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1992
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori -Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung :
Penerbit Alumni, 1998
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2003
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, Yogyakarta: UII
Press, 2005
Nurini Aprilianda, Perlindunga Hukum Terhadap Tersangka Anak dalam Proses
Penyidikan, Malang: Tesis Program Studi Hukum, Program Pasca Sarjana
Universitas Brawijaya, 2001
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, Bandung: Alumni, 2006
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In-Hill Co, 1989
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakartta: Kencana Prenada Media
Group, 2005
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika,
Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember 1994
----------, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1987
Quentin Dempster, Para Pengungkap Fakta, Jakarta: ELSAM, 2006
Rahardian FN dan Sularto Pujiyono, Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku
Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/Justice Collaborator (Telaah Yuridis
Putusan No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ Pn.Jkt.Pst Pengadilan Tipikor Jakarta),
(Diponegoro Law Review, No. 1, Tahun 2012)
Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, Colorado: Lynne
Rienner, 2003
96
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Saparinah Sadeli, Persepsi Orang Mengenai Perilaku Yang menyimpang, Jakarta:
Bulan Bintang, 1976
Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006
Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1983
----------, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990
----------, Kapita Selekta Hukum Pidana dafam Bab Kedudukan Undang-undang
Pidana Khusus dalam Sistem Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986
Sudarwan Danim, Menjadi peneliti Kualitatif , Bandung: Pustaka Setia, 2002
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1993
----------, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2004
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1996
Supriyadi Widodo Eddyono, Undang-Undang Perlindungan Saksi Belum Progresif
(Catatan Kritis Terhadap Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang
perlindungan Saksi dan Korban), Jakarta: ELSAM & Koalisi Perlindungan
Saksi, 2006
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1993
97
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, 2007
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana tertentu Di Indonesia, Jakarta: Refika
Aditama, 2001, Cet. V
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni,
2000
Yutirsa Yunus, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Collaborator:
Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta:
Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2013
Peraturan Perundang- Undangan :
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor
Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam Perkara Tindak
Pidana Tertentu
Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi
2003)
Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang N0. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003