kebijakan legislatif pelapor tindak pidana ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya...

107
KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: UUF ROUF NIM : 1612048000006 K O N S E N T R A S I H U K U M K E L E M B A G A A N N E G A R A PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H / 2014 M

Upload: duongthu

Post on 25-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

KEBIJAKAN LEGISLATIF

DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

UUF ROUF

NIM : 1612048000006

K O N S E N T R A S I H U K U M K E L E M B A G A A N N E G A R A

PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1435 H / 2014 M

Page 2: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA DAN

SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum ( S.H)

Oleh:

Uuf Rouf

NIM : 1612048000006

Dibawah Bimbingan

Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1435 H / 2014 M

Page 3: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai
Page 4: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatulah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

Jakarta, Januari 2014

UUF ROUF

Page 5: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

ABSTRAK

UUF ROUF. 161248000006. Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan

Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.

Program Double Degree Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. x+ 97

Berbagai kasus serius dan terorganisir, seperti korupsi misalnya

menyebabkan dampak negatif dalam berbagai sektor. Permasalahan tersebut

mebutuhkan suatu solusi jitu untuk pencegahan dan pemberantasannya, yaitu dengan

cara mengikut sertakan pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang

bekerjasama (justice collaborator). Namun keadaan saat ini menunjukan bahwa

perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator belum

maksimal. Oleh karenanya penulis akan mengkaji kebijakan legislatif yang ideal

tentang perlindungan hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan

Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator). Tujuan penulisan penelitian

ini adalah bagaimana mengetahui subtansi hukum yang berkaitan dengan kebijakan

legislatif perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, baik

hukum ynag berlaku sekarang (ius contitutum) maupun hukum yang dicita-citakan

(ius contituendum) melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

Penulis menggunakan metode penelitian normatif, dengan pendekatan

perundang-undangan, konseptual, dan persepsional. Data-data yang diperoleh

keudian diolah dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif dan

komparatif dalam mengelaborasi pengaturan serta praktek perlindungan whistle

blower dan justice collaborator di negara lain sebagai bahan perbandingan dan

pembelajaran bagi Indonesia.

Perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator belum

maksimal, dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum menghapuskan

tuntutan terhadap whistle blower dan justice collaborator, dampaknya adalah para

whistle blower dan justice collaborator tidak mendapat perlindungan oleh hukum

sehingga turut dijadikan tersangka dalam kasus yang dilaporkannya. Dalam konsep

keadilan restoratif tidak mengenal metode pembalasan, akan tetapi lebih

menitikberatkan pada pemulihan. Kontribusi whistle blower dan justice collaborator

dalam mengungkap kasus tindak pidana serius dan terorganisir membedakannya

dengan kasus biasa, sehingga menjadi dasar untuk menghindarkannya dari

pemidanaan. Kebijakan teknis perlindungan hukum terhadap whistle blower dan

justice collaborator meliputi: kualifikasi dan syarat perlindungan hukum, jenis

perlindungan hukum, model perlindungan kolaboratif, model perlindungan

komprehensif, putusan yang bersifat integratif dan pembebasan bersyarat.

Kata kunci : Whistle Blower, Justice Collaborator, Restorative Justice

Pembimbing : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si

Daftar Pustaka : Tahun 1959 s.d Tahun 2013

Page 6: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat

dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad

Rasulullah Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri

tauladan yang baik bagi kita semua.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak

pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan

penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN

LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG

BEKERJASAMA”, tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai

pihak baik secara moril maupun materil.

Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak

ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada

lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta doa. Maka

dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM selaku dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

vii

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag.,M.A., dan Bapak Ismail Hasani, S.H.,

M.H., selaku ketua dan sekretaris Program Studi Double Degree Ilmu Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

sabar membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada

penulis sehingga penulisan skripsi ini selesai.

4. Bapak Dr. Alfitra S.H., M.H sebagai penguji I dan bapak Dedi Nursyamsi, S.H.,

M.Hum sebagai penguji II, penulis ucapkan terima kasih atas perbaikan dan

saran-saran yang membangun atas skripsi penulis.

5. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama

UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan

Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah banyak membantu dalam

mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi

ini.

6. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Program

Double Degree Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang

bermanfaat kepada penulis.

7. Ayahanda tercinta yang telah tiada KH. Abdul Mu’thi, semoga arwah ayahanda

berada di surga Jannah an-Nai’m “Allahumaj’al Qabrahu Raudhah Min Riyadil

Jinan Wa La Taj’al Qabrahu Hufrah Min Hifarin Niran”, dan Ibunda tercinta Siti

Aisyah, terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik

moril maupun materil, sujud abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya

selama ini “Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani

shagiira”. Kepada tetehku Aam Muthmainnah, adik-adikku tercinta Harun,

Kimah, Neneng, Ilham, Hamdun, Husnul, Lukman, Hafidh, dan Ridwan kalian

adalah motivasi dan inspirasiku.

Page 8: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

viii

8. Om Johar, Om Samiin, kakak ipar Kholid, dan seluruh keluarga besar Pondok

Pesantren Raudhatul Mubtadiin, terimakasih atas wejangan dan inspirasinya.

Tidak lupa pula untuk guruku sekaligus Om Bapak Dr. KH. A. Juaini Syukri, BA,

Drs. Lc, MA, terima kasih atas petuah dan bantuannya baik moril maupun

materiil, semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan di murahkan rizkinya.

9. Teman-teman seperjuangan jurusan Peradilan Agama kelas (A) angkatan 2009,

terimakasih atas kebersamaannya selama empat tahun kita saling mengenal dan

menjalin persahabatan bahkan persaudaraan.

10. Sahabat karibku Helmi, Farhan, Asep, Fajar, Waisul, Ihsan, Didin, Adi, Andre,

Nisa, Dewi, terimakasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga

persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi.

11. Especially Listiani Fansela, seorang yang telah banyak membantu dan

memberikan semangat kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya penulisan

skripsi ini.

Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan,

penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga kebaikan yang

telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah Swt.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada

semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah Swt, dan menjadi

penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan dalam bidang

hukum pada masa-masa berikutnya, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang pesat pada era globalisasi ini.

Jakarta, 30 Januari 2014

Penulis

Page 9: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN PANITIAN UJIAN ......................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................iv

ABSTRAK ........................................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ......................................................................................................vi

DAFTAR ISI .....................................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

B. Pembatasan Masalah .................................................................................... 6

C. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7

D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7

E. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 8

F. Metode Penelitian ........................................................................................ 9

G. Kerangka Teori ........................................................................................... 12

H. Sistematika Penulisan ................................................................................. 16

BAB II Tinjauan Teoretik Kebijakan Legislatif, dan Perlindungan Pelapor

Tindak Pidana serta Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

A. Kebijakan Hukum Pidana dan Kebijakan Legislatif .................................. 18

B. Bentuk-Bentuk Keadilan ............................................................................ 25

C. Kebijakan Penggunaan Hukum Pidana Dalam Pencegahan dan

Penanggulangan Tindak Pidana Serius dan Terorganisir ........................... 41

Page 10: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

x

D. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana .......................................... 44

E. Perlindungan Hukum Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ............................. 49

BAB III Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang

Bekerjasama dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Sebagai

Kebijakan Legislatif

A. Pengertian Perlindungan Hukum ................................................................ 55

B. Latar Belakang dan Sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006 ....... 57

C. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang

Bekerjasama................................................................................................ 59

BAB IV Analisis Kebijakan Legislatif Perlindungan Hukum Pelapor Tindak

Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

A. Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan

Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ................................................................ 67

B. Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang

Mengatur Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Pelaku Yang Bekerjasama ......................................................................... 72

C. Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Pelaku Yang Bekerjasama ......................................................................... 74

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ................................................................................................. 89

B. Saran-saran ................................................................................................. 90

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 91

Page 11: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, yang dinyatakan dengan jelas dan tegas

dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Dimuatnya konsep negara hukum dalam konstitusi negara Indonesia yang

merupakan sumber dari segala norma, menunjukkan bahwa Indonesia ingin

menjadikan hukum sebagai panglima di negaranya. Namun pada kenyataannya,

apa yang di idealkan (das sollen) tidak selalu sesuai dengan realita yang terjadi

dalam masyarakat (das sein).

Tingkat kejahatan tindak pidana serius dan terorganisir di Indonesia

selama dekade terakhir ini sangat memprihatinkan, misalnya tindak pidana

korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika,

terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan lain sebagainya.

Pada tahun 2012 saja, Indonesia menduduki peringkat ke-118 sebagai negara

paling korup dari 182 negara.1

Hal ini berarti, kondisi buruk korupsi di Indonesia masih belum banyak

berubah dari tahun ke tahun. Peningkatan korupsi di Indonesia kini tidak hanya

terjadi dari segi kuantitas, namun kualitas korupsi di Indonesia juga semakin

1 Transparency International, Corruption Perceptions Index 2012, Artikel diakses pada

tanggal 30 Nopember 2013 dari http://cpi.transparency.org/cpi2012/results/

Page 12: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

2

meningkat. Maraknya pemberitaan mengenai jual-beli perkara, mafia hukum,

mafia peradilan, mafia pajak, dan makelar kasus, mengindikasikan bahwa bahaya

laten korupsi telah menjangkiti aparat penegak hukum itu sendiri. Korupsi di

Indonesia saat ini menjadi semakin sistematis dan terorganisir karena melibatkan

para aparat penegak hukum.2 Hal ini menjadi sangat ironis, sebab aparat penegak

hukum yang seharusnya berfungsi menegakkan hukum justru mempermainkan

hukum demi keuntungan pribadi dan golongan.

Salah satu upaya revolusioner menanggulangi tindak pidana serius dan

terorganisir adalah dengan melibatkan peran pelapor tindak pidana (whistle

blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Whistle blower

diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu

dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

Sedangkan justice collaborator merupakan orang yang mengungkapkan

pelanggaran atau kejahatan yang turut dilakukannya.

Di Indonesia hakikat whistle blower dan justice collaborator sekilas

secara parsial telah diatur dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan

bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

(justice collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan

Bersama lima penegak hukum.

2 Mahfud Md., Pemberantasan Mafia Peradilan, Artikel diakses pada tanggal 30 Nopember

2013 dari http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahVisit&id=25

Page 13: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

3

Dalam Peraturan perundang-undangan tersebut, whistle blower dan justice

collaborator belum mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal.

Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice

collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang

berpotensi menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut

untuk melapor dan bekerjasama. Padahal, whistle blower dan justice collaborator

memiliki potensi dan peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus

serius dan terorganisir.

Kebijakan legislasi pada prinsipnya merupakan kebijakan yang

menentukan arah dan penguatan politik hukum nasional. Oleh karenanya

kebijakan legislasi tersebut harus mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup

dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan

legislasi tersebut, maka perlu adanya alternatif cara pandang baru untuk

menyelesaikan masalah-masalah sosial dan masalah hukum yang ada saat ini.

Perubahan paradigma ini menjadi penting mengingat perkembangan

pemikiran hukum, khususnya pemikiran hukum pidana telah mengalami

kemajuan ke arah pemikiran hukum modern. Fenomena ini berangkat dari asumsi

dasar bahwa konsep keadilan klasik dalam penegakan hukum khususnya hukum

pidana tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga dibutuhkan

konsep keadilan yang dapat menjadi alternatif, salah satu konsep keadilan tersebut

adalah konsep keadilan restoratif (restorative justice).

Page 14: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

4

Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan

pelibatan masyarakat, pelaku dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di

pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir baru yang

dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja

hukum.3

Lahirnya undang-undang kebijakan yang memfasilitasi kerja sama saksi

pelaku (justice collaborator) dengan penegak hukum diperkenalkan pertama kali

di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk

menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup

mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia). Untuk

kejahatan terorisme, penggunaan justice collaborator dipraktikkan di Italia

(1979), Portugal (1980), Irlandia Utara, Spanyol (1981), Prancis (1986) dan

Jerman (1989) sedangkan untuk kejahatan narkoba diterapkan di Yunani (1970),

Perancis, Luxemburg dan Jerman. Kemudian dalam negara-negara tersebut

terminologis justice collaborator dipergunakan berbeda seperti supergrasses

(Irlandia), pentiti atau pentito (Italia) yang berarti mereka telah bertobat atau

disebut Collaboratore della giustizia.

3 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), h.

65. Lihat juga Bismar Siregar, Rasa Keadilan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 50. Lihat juga

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1428

Page 15: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

5

Pada asasnya, whistle blower dan juga justice collaborator dapat berperan

besar untuk mengungkapkan praktik-praktik koruptif lembaga publik,

pemerintahan maupun perusahaan swasta. Hal ini dikemukakan oleh Abdul Haris

Semendawai dan kawan- kawan sebagai berikut:4

“Peran whistle blower di Indonesia perlu terus didorong,

disosialisasikan, dan diterapkan, baik diperusahaan, lembaga pemerintah, dam

isntitusi publik lain. Bagaimana peran whistle blower di Indonesia dibangun dan

dikembangkan memang membutuhkan waktu dan sebuah proses. Namun praktik

pelaporan dan perlindungan terhadap whistle blower bukan tanpa tantangan. Di

tengah minimnya perlindungan hukum Indonesia, seorang whistle blower dapat

terancam karena laporan atau kesaksiannya atas dugaan pelanggaran dan

kejahatan yang terjadi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan kemungkinan besar

akan memberikan perlawanan untuk mencegah whistle blower memberikan

laporan atau kesaksian. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka yang merasa

dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam. Untuk itu, agar

praktik pelaporan dan pengungkapan fakta oleh whistle blower dapat berjalan

lebih efektif, dibutuhkan perubahan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, SEMA Nomor

4 Tahun 2011 penting untuk diterapkan oleh semua hakim dalam memutus

perkara dan selalu dimonitor pelaksanaannya”.

Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa peran whistle blower dan justice

collaborator sangat penting, namun perlindungan hukum terhadap mereka masih

sangat lemah, oleh sebab itu penulis merekomendasikan solusi perlindungan

hukum whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan

pengaturan perlindungan dalam kebijakan legislatif hukum pidana. Solusi ini

diharapkan dapat menjadi masukan untuk perumusan Undang-undang khusus

tentang whistle blower dan justice collaborator, atau menjadi masukan revisi

4 Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, (Jakarta: Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban (LPSK), 2011), h. xiv-xv

Page 16: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

6

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang telah masuk dalam Program Legislasi

Nasional tahun 2013.

Oleh karena itu upaya untuk memperjuangkan optimalisasi perlindungan

hukum terhadap whistle blower dan justice callabolator dengan menggunakan

pendekatan restorative justice ini harus dimaknai sebagai upaya refilosofi

penegakan hukum pidana, atau dengan bahasa sederhana “kembali ke Khittoh”

falsafah bangsa Indonesia yaitu musyawarah mufakat.5 Dalam konteks inilah

penulisan penelitian skripsi ini penulis angkat dalam judul “Kebijakan Legislatif

Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Pelaku Yang Bekerjasama”.

B. Pembatasan Masalah

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah masalah kebijakan

perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, oleh

karena itu pendekatan yang digunakan terhadap masalah ini adalah pendekatan

yang berorientasi pada kebijakan.

Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak melebar dan meluas

serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka

dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan membatasi pembahasan hanya

5 Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, (Scottdale,

Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990), p. 181. Dalam Eva Achjani Zulfa, Keadilan

Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II

Agustus 2010), h. 188

Page 17: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

7

dalam ruang lingkup penelitian terhadap subtansi hukum yang berkaitan dengan

kebijakan legislatif perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator,

berupa Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan

korban.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas,

dalam penelitian skripsi ini dapat rumuskan beberapa masalah pokok sebagai

berikut:

1. Bagaimana kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap pelapor

tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No.

13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban?

2. Bagaimanakah konsep ideal perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan

saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative justice?

D. Tujuan Penelitian

Dengan adanya rumusan masalah di atas, diharapkan adanya suatu

kejelasan yang dijadikan tujuan bagi penulis dalam skripsi ini. Tujuan yang ingin

dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap

pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-

undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

Page 18: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

8

2. Untuk mengetahui konsep ideal perlindungan hukum terhadap pelapor tindak

pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative

justice.

E. Manfaat Penelitian

Terkait dengan tujuan di atas, maka penulisan penelitian skripsi ini

diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dan praktis sebagai berikut :

1. Sudut pandang teoritis hasil penelitian skripsi ini diharapkan dapat

memberikan sebuah sumbangan pemikiran dan sekaligus memberi manfaat

bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam perkembangan hukum

pidana di Indonesia yang berorientasi pada keadilan restoratif.

2. Dalam sudut pandang praktis, hasil penulisan penelitian skripsi ini diharapkan

memberi manfaat bagi arah kebijakan legislasi dalam memperbaharui

membuat undang-undang pidana pada umumnya dan khususnya terhadap

perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang

bekerjasama dengan pendekatan restorative justice.

3. Bagi Masyarakat Akademis diaharapkan penelitian skripsi ini merupakan

sumber referensi dan saran pemikiran bagi kalangan akademisi dan praktisi

hukum di dalam menunjang penelitian selanjutnya yang akan bermanfaat

sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.

Page 19: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

9

F. Metodologi Penelitian

Setiap penelitian ilmiah memiliki metode pendekatan penelitian.6

Penelitian mengenai kebijakan legislatif dalam perlindungan hokum terhadap

whistle blower dan justice collaborator ini menggunakan penelitian hukum

normatif. Adapun metode pendekatan yang diterapkan adalah melalui pendekatan

perundangan-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Analytical

and Conceptual Approach), dan pendekatan persepsional (perceptional approach)

dengan menggunakan penalaran deduktif dan/atau induktif guna mendapatkan

dan menemukan kebenaran obyektif.

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Adapun sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library

reserach) terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat

diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 7

1) Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative records), berupa

UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan dan peraturan

pelaksanaannya.

2) Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records),

berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan

6 Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka,

1997), h.1. Lihat juga Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 1996), h.144 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2006), h. 13

Page 20: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

10

hukum primer, seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam

seminar, artikel-artikel dan lain sebagainya.

3) Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan hukum yang

dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder seperti berasal dari kamus/leksikon, ensiklopedia dan

sebagainya.

Data kepustakaan yang merupakan data utama penelitian ini dikumpulkan

melalui metode sistematis guna memudahkan analisis permasalahan.8 Adapun

bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-

asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain

sebagainya. Data kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan

dalam bidang hukum pidana, khususnya mengenai kebijakan legislatif dalam

perlindungan terhadap hukum whistle blower dan justice collaborator. Adapun

lokasi penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat antara lain di

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum

Universitas Indonesia, Perpustakan Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta

perpustakaan lain yang menyediakan data sekunder yang sesuai dan diperlukan

dalam penelitian ini.

Sebagai akhir dari pengolahan data, data primair dan data sekunder yang

diperoleh dalam penelitian dideskripsikan sesuai dengan pokok permasalahan

8 Sudarwan Danim, Menjadi peneliti Kualitatif , (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51

Page 21: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

11

yang dikaji secara yuridis kualitatif. Deskripsi dilakukan terhadap isi maupun

struktur hukum positif yang berkaitan dengan kebijakan legislatif dalam

perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator.

Data yang telah dideskripsikan selanjutnya ditentukan maknanya melalui

metode interpretasi dalam usaha memberikan penjelasan atas kata atau istilah

yang kurang jelas maksudnya dalam suatu bahan hukum terkait pokok

permasalahan yang diteliti sehingga orang lain dapat memahaminya.9

Data yang telah dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok

permasalahan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan

argumentasi. Langkah sistematisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur

hukum atau hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum yang ada. Pada tahap

eksplanasi dijelaskan mengenai makna yang terkandung dalam aturan-aturan

hukum sehubungan dengan isu hukum dalam penelitian ini sehingga

keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.

Sedangkan pada tahap argumentasi diberikan penilaian terhadap data dari hasil

penelitian ini untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya.

Oleh karena itu, metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan

kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis

kualitatif. Adanya penerapan analisis yuridis kualitatif itu sangat membantu

9 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000),

h. 20. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang

Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 77. Lihat juga lihat juga Lilik Mulyadi,

Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan Prosedurnya, h. 22

Page 22: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

12

dalam proses memilih, mengelompokkan, membandingkan, mensintesakan, dan

menafsirkan secara sistematis untuk mendapatkan penjelasan dari suatu fenomena

yang diteliti.10

G. Kerangka Teori

Pada hakikatnya Indonesia telah mendasarkan dirinya sebagai Negara

hukum. Dalam konsep negara hukum secara umum, diidealkan bahwa yang harus

dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.11

Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yang

dianut oleh negara yang bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya

suatu negara. Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam

mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan

masyarakat atau antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.12

Bagi suatu kehidupan manusia yang baik, ada empat nilai yang merupakan

fodasi pentingnya, yaitu keadilan, kebenaran, hukum dan moral. Akan tetapi dari

keempat nilai tersebut, menurut filosof besar bangsa Yunani yaitu Plato, keadilan

10

Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan Prosedurnya, h.

22. Lihat juga Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit

Universitas Atma Jaya, 2007), h.54. 11

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta:

Bhuana Ilmu Populer, 2007), h.297. 12

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jakarta: UII Press, 2003), h.238

Page 23: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

13

merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato: “justice is the supreme

virtue which harmonize all other virtues”.13

Dalam konteks kebijakan legislatif, amandemen UUD 1945 telah

membawa perubahan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Salah

satu perubahan tersebut adalah bergesernya kekuasaan membentuk undang-

undang dari Presiden ke DPR sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1)

UUD 1945; “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang-undang”.

Berbicara mengenai kebijakan legislatif maka tidak dapat dipisahkan

dengan pembahasan politik hukum nasional, dimana kerangka pikir terhadap

kebijakan legislatif merupakan wujud dari penguatan politik hukum nasional itu

sendiri. Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengemukakan defenisi politik hukum

nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy)

yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu

pemerintahan negara tertentu, yang meliputi:14

a. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten.

b. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan-

ketentuan yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan

13

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2003), h.52. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum

Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), h.6 14

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 31.

Page 24: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

14

hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang

terjadi dalam masyarakat.

c. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan

anggotanya.

d. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit

pengambil kebijakan.

Defenisi politik hukum diatas merupakan defenisi politik hukum yang

paling komprehensif, disebabkan karena mencakup keseluruhan wilayah kerja

politik hukum yang meliputi:15

a. Teritorial berlakunya politik hukum.

b. Proses pembaruan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis

terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum

yang berdimensi ius constituendum.

Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, maka menurut Sudarto,

politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum

(dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui

sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat.16

Sehingga dalam melaksanakan

politik hukum pidana berarti mewujudkan peraturan-peraturan perundang-

15

Ibid, h. 32 16

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 13. Lihat juga M. arif

Amrullah, Politik Hukum Pidana; Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang

Perbankan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 18

Page 25: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

15

undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan

untuk masa-masa yang akan datang.

Dengan demikian, penal policy atau kebijakan hukum pidana atau politik

hukum pidana pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan

dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat udang-undang (kebijakan

legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif), dan dan pelaksana hukum

pidana (kebijakan eksekutif).17

Kebijakan legislatif adalah tahap yang sangat penting dalam sutau proses

pembuatan undang-undang, agar hukum senantiasa tidak tertatih-tatih mengejar

perkembangan masyarakat yang begitu pesat yang disertai dengan perubahan

informasi dan kecanggihan teknologi, maka kebijakan legislatif yang tercermin

dalam kebijakan program legislasi nasional tidak hanya dijadikan persoalan

politik yang menentukan arah pelaksanaan kekuasaan negara oleh eksekutif dan

legislatif, akan tetapi keputusan penentuan kebijakan legislasi harus berdasarkan

pada kepentingan umum yang berlandaskan hati nurani rakyat.

Terdapat dua konsep keadilan dalam hukum pidana yang mempengaruhi

perubahan fundamental dalam sistem hukum pidana, yaitu keadilan retributif

(retributive justice) dan keadilan restoratif (restorative justice). Kedua konsep ini

memiliki sejumlah perbedaan dalam melihat beberapa hal tentang konsep-konsep

dasar dalam hukum pidana (formil dan materiil) dan penyelenggaraan peradilan

17

M. Arif Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money laundering), (Malang:

Bayumedia Publishing, 2004), h. 81

Page 26: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

16

pidana.18

Secara filosofis, pentingnya kebijakan legislatif dalam perlindungan

hukum whistle blower dan justice collaborator telah melahirkan pergeseran

perspektif, dari perspektif retributive justice kepada restorative justice.

Penyelesaian perkara pidana dalam perspektif restorative justice ini dapat

memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan dan hak asasi manusia baik

dari pelaku maupun korban juga masyarakat, sehingga implikasinya perbaikan

situasi dan kondisi (harmonisasi) pasca terjadinya kejahatan dapat terwujud.

Dengan demikian pendekatan restorative justice ini dapat digunakan sebagai

solusi optimalisasi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator

dalam sistem peradilan pidana.

H. Sistematika Penulisan

Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi

penelitian tentang kebijakan legislative perlindungan hukum whistle blower dan

justice collaborator, maka penulis memberikan sistematika penulisan yang secara

garis besar berguna untuk pembaca. Sistematika penulisan ini dibagi menjadi lima

bab, disusun sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang

masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metodelogi penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.

18

Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,

2012), h. 157

Page 27: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

17

Bab II Tinjauan teoretik kebijakan legislatif, dan perlindungan pelapor

tindak pidana serta saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam bab ini menjelaskan

tentang kebijakan hukum pidana dan kebijakan legislatif, kebijakan penggunaan

hukum pidana dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana serius dan

terorganisir, perlindungan pelapor tindak pidana, dan perlindungan saksi pelaku

yang bekerjasama.

Bab III Perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang

bekerjasama dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 sebagai kebijakan

legislatif, dalam bab ini menguraikan tentang pengertian perlindungan hukum,

latar belakang dan sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006, dan

perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.

Bab IV Analisis kebijakan legislatif perlindungan hukum pelapor

tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, bab ini menjelaskan tentang

pentingnya perlindungan khusus terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku

yang bekerjasama, bentuk kebijakan legislatif dalam membuat undang-undang

yang mengatur perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang

bekerjasama, dan konsep ideal perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan

saksi pelaku yang bekerjasama.

Bab V Penutup, Bab ini menguraikan mengenai hasil penelitian berupa

simpulan dan saran.

Page 28: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

18

BAB II

TINJAUAN TEORETIK KEBIJAKAN LEGISLATIF, DAN PELAPOR

TINDAK PIDANA SERTA SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA

A. Kebijakan Legislatif dan Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan Legislatif terdiri dari dua susunan kata, yaitu Kebijakan dan

Legislatif. Kebijakan secara etimologi mempunyai beberapa arti seperti

kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi

garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan.1 Kebijakan

(policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau

kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan

itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan tersebut mempunyai

kekuasaan untuk melaksanakannya.2

Sedangkan istilah legislatif atau legislature mencerminkan salah satu

fungsi badan itu, yaitu Legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang

sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur berkumpul (untuk

membicarakan masalah-masalah publik). Nama lain lagi adalah Parliament, suatu

istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan. Sebutan lain

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 115 2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),

h. 20

Page 29: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

19

mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan

dinamakan people’s representative body atau Dewan Perwakilan Rakyat.3

Kebijakan legislatif menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu

perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan

dilakukan dengan menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan

atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau di programkan itu.4

Terlepas dari pengertian kebijakan telah penulis jelaskan diatas, dalam

konteks kebijakan hukum pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa istilah

kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Bertolak

dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula

disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah

politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal

policy, criminal lawl policy, atau strafrechtspolitiek. Oleh karena itu, pengertian

kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari

politik kriminal.5

Mencermati pengertian tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat

diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk

menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam

menanggulangi kejahatan.

3 Ibid, h. 315

4 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 1996), Cet. II, h. 59 5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1996), h. 24

Page 30: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

20

Apa yang disebut sebagai kejahatan juga mengalami pergeseran.

Munculnya istilah kriminalisasi dan dekriminalisasi menunjukkan bahwa

perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori jahat dan tidak jahat itu tidak

statis. Suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam

dengan pidana dalam undang-undang disebut kriminalisasi, sedangkan

dekriminalisasi adalah dihilangkannya sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.6

Dewasa ini muncul istilah white collar crime (korupsi), money laundering

(pencucian uang), terorisme, dan sebagainya yang tidak dikenal pada masa lalu.

Kondisi dan perubahan ekonomi dapat menyebabkan munculnya kejahatan baru.

Kejahatan merupakan sebagian perbuatan yang bertentangan dengan

kesusilaan.7 Kejahatan juga merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar

mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita.8 Perbuatan anti sosial itu

merupakan bentuk perilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku di

masyarakat. Perilaku yang menyimpang merupakan ancaman yang nyata atau

ancaman terhadap norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan

sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan

sosial dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban

sosial.9

6 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan

Hukum Pidana), (Bandung: Sinar Baru, 1983), h. 57 7 Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terj: Koesnoen, (Jakarta: Pembangunan, 1970),

h. 10 8 Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1981), h. 21

9 Saparinah Sadeli, Persepsi Orang Mengenai Perilaku Yang menyimpang, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1976), h. 56

Page 31: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

21

Berbicara tentang masalah politik hukum pidana, maka akan terkait

dengan politik hukum dan politik kriminal. Menurut Utrecht, politik adalah suatu

jalan (kemungkinan) untuk memberi wujud sungguh-sungguh kepada cita-cita.10

Sedangkan politik menurut Logemann adalah memilih beberapa macam cita-cita

sosial tertentu dan berusaha dengan segala daya yang ada untuk mencapai cita-

cita. Oleh karena itu, wajar apabila Hans Kelsen membedakan politik dalam dua

pengertian, yaitu politik sebagai etika dan politik sebagai tehnik. Politik sebagai

etika, berarti politik itu memilih dan menentukan tujuan-tujuan sosial mana yang

harus harus diperjuangkan, dan Politik sebagai tehnik berarti politik memilih dan

menentukan jalan-jalan apa dan mana harus ditempuh untuk merealisasi tujuan-

tujuan sosial.11

Bagaimana hubungan antara politik dan hukum? Dal konteks ini, Mahfud

MD berpendapat bahwa, hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang

sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), dan politik sebagai

independent variable (variabel berpengaruh).12

Dengan asumsi yang demikian itu,

Mahfud MD merumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan

atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula

pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat

konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.

10

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku

Ichtiar, 1962), h. 127 11

Ibid, h. 127 12

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 1-2

Page 32: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

22

Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat

imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai sub

sistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik,

baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi

dan penegakannya.

Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut : 13

1) Usaha untuk

mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi

pada suatu waktu. 2) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang

untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait

dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal

policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit, lebih

luas dan paling luas, yaitu :14

a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana

b. Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi

13

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 20 14

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana dafam Bab Kedudukan Undang-undang Pidana

Khusus dalam Sistem Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h. 113-114

Page 33: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

23

c. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui

perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk

menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, menurut Sudarto politik

hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam

tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem

nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu

dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai

agar hal tersebut dapat diperhitungkan dan agar dapat di hormati.15

Di dalam wacana teori hukum pidana, subtansi kebijakan formulatif

(kebijakan legislatif) bertitik tolak dari tiga pilar, yaitu : Berkaitan dengan

masalah tindak pidana (kriminalisasi), masalah pertanggungjawaban pidana, dan

masalah pidana dan pemidanaan.16

Tiga hal tersebut tiada lain merupakan bagian

dari politik kriminal, dalam kewenangan menetapkan hukum pidana ini banyak

ditentukan maupun dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor politik, budaya,

ekonomi maupun tujuan nasional pada umumnya.

Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha mewujudkan peraturan

15

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 23. Lihat juga Teguh Prasetyo

dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan

Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 13 16

M. Arif Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Perlindungan Korban Kejahatan

Ekonomi Di Bidang Perbankan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 12

Page 34: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

24

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.17

Oleh karena itu, apabila

mengabaikan informasi hasil penelitian dari kriminologi akan mengakibatkan

terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal law enforcement

policy, pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan

baik dan dapat memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang

(kebijakan legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif) dan pelaksanaan

hukum pidana (kebijakan eksekutif). Tahap formulasi adalah tahap penetapan

atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga

tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap

aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai

dari kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah

tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.

Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi menurut Barda Nawawi Arief

merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan

penanggulangan tindak pidana melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan

kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi

penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pada tahap

aplikasi dan eksekusi. 18

17

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 93 18

Ibid, h. 94

Page 35: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

25

Oleh karena itu tahap formulasi atau pembuatan peraturan perundang-

undangan pidana menduduki peranan penting karena pada dasarnya setiap

peraturan perundang-undangan itu sendiri akan mempengaruhi kehidupan

masyarakat, sehingga tidak dapat disangkal lagi kalau pembuatan undang-undang

merupakan proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai

pengaruh luas karena akan memberikan bentuk dan mengatur atau mengendalikan

masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan

mewujudkan tujuan tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa undang-

undang mempunyai dua fungsi yaitu : ungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai

dan fungsi instrumental. 19

B. Bentuk-Bentuk Keadilan

Teori keadilan memiliki variasi bentuk. Adapun bentuk-bentuk yang

paling umum dikenal di masyarakat adalah Utilitarian, Keadilan Retributif,

Keadilan Restoratif, dan Keadilan Distributif. Masing-masing bentuk tersebut

memiliki tokoh-tokoh yang berbeda sudut pandang dalam mendefinisikan

keadilan.

1. Utilitarian

Sudikno Mertokusumo menyebutkan:20

19

Ibid, h. 94 20

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta :Liberty, 2000),

Edisi Kelima, Cet. I, h. 80.

Page 36: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

26

“Teori utilistis yang dipelopori oleh Jeremy Bentham menentukan

bahwa hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam

jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number)”.

Dengan demikian, menurut teori utilistis dalam pandangan Bentham,

bahwa tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau

kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Lebih lanjut

dijelaskan Rasjidi dan Thania bahwa:

“Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk setiap

kejahatan dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah

dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu.

Pemidanaan hanya dapat diterima apabila memberikan harapan bagi

tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.21

Menurut pandangan utilitarian, keadilan merupakan maksimalisasi

kesejahteraan total atau setidaknya rata-rata bagi setiap individu yang

bersangkutan. Hukuman merupakan perlakuan yang buruk terhadap

seseorang, dan oleh karena itu tidak baik untuk diterapkan. Namun, hukuman

mungkin diperlukan agar dapat memaksimalkan seluruh kebaikan dalam

jangka panjang.

2. Keadilan Retributif

Keadilan retributif adalah teori keadilan yang menganggap bahwa

hukuman itu, jika proporsional, merupakan respons secara moral terhadap

21

Dewa Nyoman Nanta Wiranta, Faisal Abdullah dan Syamsul Bachri, Peran Hukum

Terhadap Penanganan Aksi Kerusuhan Sengket aPemilihan Kepala Daerah di Porvinsi Maluku Utara.

Suatu Kajian Perspektif Keadilan Restoratif, jurnal, diakses pada hari Jumat, 31 Januari 2014 melalui

www.pasca.unhas.ac.id/jurnal/files.

Page 37: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

27

kejahatan. Hal ini semata-mata demi kepuasan dan manfaat psikologis baik

bagi pihak yang dirugikan (korban) maupun masyarakat.

3. Keadilan Distributif

Prinsip-prinsip keadilan distributif merupakan prinsip-prinsip normatif

dirancang untuk memandu alokasi manfaat dan beban kegiatan ekonomi.

Prinsip yang relatif sederhana dari keadilan distributif adalah ketatnya

egalitarianisme, yang menjadi pendukung alokasi material ke semua anggota

masyarakat. John Rawls adalah salah satu tokoh penganut paham keadilan ini.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,

honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan

dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis,

bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang

berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.22

Adapun

teori bagi keadilan distributif ini dibagi lagi menjadi: teori egalitarianistis,

teori sosialistis, teori liberalistis, dan keadilan sosial

4. Keadilan Restoratif

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu

perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi

peradilan dari peradaban bangsa Arab Purba, bangsa Yunani, dan bangsa

22

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan

Nusamedia, 2004), h. 239.

Page 38: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

28

Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaian masalah tindak

pidana.23

Istilah umum tentang pendekatan restorative justice diperkenalkan

untuk pertama kali oleh Albert Eglash. Dalam tulisannya yang mengulas

tentang reparation dia mengatakan bahwa restorative justice adalah suatu

alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan

keadilan rehabilitatif.24

Dalam buku berjudul Keadilan Restoratif, Eva

Achjani Zulfa menyatakan bahwa restorative justice atau sering

diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan

yang muncul sejak era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara

pidana.25

Dalam kajian tatabahasa, kata “Restorative Justice” berasal dari dua

kata, yaitu kata “Restorative” atau “Restore” yang artinya adalah

memperbaiki atau memulihkan,26

dan kata “Justice” yang berarti keadilan,

peradilan, adil, hakim.27

23

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan

Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 103 24

Ibid, h. 103 25

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan

Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek penegakan Hukum Pidana, (Disertasi FH UI), h. 2 26

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005),

h. 482 27

I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta: Sinargrafika,

2003), Cet. III, h. 367. Lihat juga Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Amerika: West Pblishing

Co, 2009), Nhinty Edition, h. 942. Lihat juga Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-

Indonesia, h. 339

Page 39: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

29

Menurut terminologis, pengertian restorative justice banyak para

pakar yang menyatakannya, dalam kamus “Black’s Law Dictionary”

misalnya diartikan sebagai berikut :

An alternative delinquency sanction focused on repairing the harm

done, meeting the victim’s need, and holding the offender responsible for his

or her actions. Restorative justice sanctions use a balance approach,

producing the least restrictive dis position while stressing the offender’s

accountability and providing relief to the victim. The offender may be ordered

to make restitution, to perform community service, or to make amends in some

other way that the court order.28

Intinya adalah restorative justice merupakan sanksi alternatif bagi

pelaku kejahatan yang berfokus pada perbaikan kerusakan yang dilakukan,

memenuhi kebutuhan korban, dan menuntut pertanggungjawaban pelaku atas

perbuatannya. Sanksi keadilan restoratif menggunakan pendekatan yang

seimbang, menghasilkan disposisi yang paling ketat sementara tidak

mengabaikan pertanggungjawaban pelaku, dan memberikan bantuan kepada

korban kejahatan. Pelaku dapat dituntut untuk mengganti kerugian (ganti

rugi), kerja sosial, atau menebus kesalahan tersebut dengan cara lain atas

keputusan pengadilan.

Sedangkan menurut Dignan, restorative justice adalah :29

Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing

and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,

legal, social work, and counseling professionals and community groups.

Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing

28

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1428 29

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT.

Alumni, 1992), h. 15

Page 40: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

30

and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing

the harm, and the affected community.

Menurut Dignan, restorative justice adalah merupakan suatu konsep

kerja untuk menanggapi kesalahan-kesalahan dan konflik yang

penerimaannya sangat cepat dan didukung oleh hal-hal yang bersifat

pendidikan, hukum, kerja sosial, dan konsultan profesional juga komunitas-

komunitas. Restorative justice merupakan nilai dasar untuk pendekatan untuk

menanggapi kesalahan-kesalahan dalam penanganan dan konflik, dengan

fokus yang seimbang pada seseorang menderita (korban), orang- orang yang

menyebabkan penderitaan (pelaku), dan komunitas (masyarakat).

Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep

pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan

menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa

tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana

yang ada pada saat ini.30

PBB mendefinisikan restorative justice sebagai “a way of responding

to criminal behavior by balancing the need of the community, the victims an

the offenders”,31

intinya adalah sebuah penyelesaian terhadap prilaku pidana

dengan cara menyelaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban

dan pelaku.

30

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia, h. 3 31

Ibid, h. 4

Page 41: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

31

Dapat disimpulkan, bahwa pengertian restoratif justice atau keadilan

restoratif adalah suatu pendekatan yang lebih merujuk terhadap pencapaian

keadilan yang menekankan pada pemulihan (to restore) atas kerusakan yang

timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana, dengan melibatkan korban,

pelaku, masyarakat terkait serta pihak-pihak yang berkepentingan. Pemulihan

tersebut bukan hanya kepada diri korban, tetapi juga terhadap pelaku dan

masyarakat, dengan tujuan untuk mencari pemecahan dan sekaligus mencari

penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana

tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya dimasa mendatang.

Pada dasarnya, restorative justice sebagaimana telah disinggung

dimuka bukanlah konsep yang baru. Eksistensinya sama tuanya dengan

hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun upaya penanganan perkara

pidana, pendekatan restorative justice justru ditempatkan sebagai mekanisme

utama bagi penanganan tindak pidana, konsep restorative justice lahir dari

nilai-nilai masyarakat adat yang telah ada selama ini.32

Menurut Muladi bahwa harus diakui perkembangan konsep restorative

justice tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban

kejahatan (victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig seorang ahli

kriminologi pada tahun 1941 dan Mandelsohn pada tahun 1949.

Perkembangan ini melalui beberapa tahap, pertama tahap penal victimology/

32

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,

(Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), h. 188

Page 42: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

32

interactionist victimolgy, tahap kedua general victimolgy, tahap ketiga

berkembang pada tahun 1970-an menandai viktimolgi sebagai suatu disiplin

penelitian, dan tahap keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987

yang memperluas jangkauan definisi viktimologi sehingga mencakup korban

pelanggaran HAM sebagai isu sentral viktimologi dan mengeluarkan dari

definisi, korban bencana alam dan kecelakaan karena dipandang terlalu luas

dari sisi ilmiah.33

Wright mengatakan bahwa tujuan utama dari restorative justice adalah

pemulihan sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. hal ini berarti bahwa

proses penanggulanagan tindak pidana melalui pendekatan restorative justice

adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana yang bertujuan untuk

memulihkan keadaan yang didalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban

melalui cara-cara tertentu yang disepakati oleh para pihak yang terlibat

didalamnya.

Prinsip utama penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan

restorative justice merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar

alat untuk mendorong seseorang untuk melakukan kompromi terhadap

terciptanya kesepakatan, akan tetapi pendekatan dimaksud harus mampu

menembus ruang hati dan pikiran para pihak yang terlibat dalam proses

penyelesaian dalam memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu

33

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan

Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 122

Page 43: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

33

pemulihan dan sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang memulihkan dan

bersifat mencegah.34

Oleh karena itu, proses penyelesaian konflik dalam pendekatan

restorative justice bukan hanya ditujukan untuk pemulihan saja tetapi juga

bertujuan untuk mengurangi tindak pidana dan mencari sebab- sebab yang

mendasari timbulnya tindak pidana dimaksud sehingga dengan demikian

masyarakat atau pribadi lainnya dapat mencegah terulangnya kembali tindak

pidana dimaksud.

Upaya restorative justice adalah upaya yang menggunakan keadilan

restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu kesepakatan

anatara para pihak yang terlibat. PBB mengemukakan beberapa prinsip yang

mendasari program restorative justice, yaitu sebagai berikut :

1. That the response to crime should repair as much as possible the harm

suffered by the victime, yaitu penanganan terhadap tindak pidana harus

semaksimal mungkin membawa pemulihan bagi korban. Prinsip ini

merupakan salah satu tujuan utama manakala pendekatan restorative

justice dipakai sebagai pola pikir yang mendasari suatu upaya penanganan

tindak pidana.35

2. That offenders should be brought to understand that their behavior is not

acceptable and that it had some real consequences for the victim and

34

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan

Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 107 35

Eva Achjani Zulva, Keadilan Restoratif di Indonesia, h. 15

Page 44: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

34

community, yaitu pendekatan restorative justice dapat dilakukan hanya

jika pelaku menyadari dan mengakui kesalahnnya. Dalam proses

restoratif, diharapkan pelaku juga semakin memahami kesalahannya

tersebut serta akibatnya bagi korban dan masyarakat.36

3. That offender can and should accept responsibility for their action, artinya

ketika pelaku menyadari kesalahannya, pelaku dituntut untuk rela

bertanggungjawab atas kerusakan yang timbul akibat tindak pidana yang

dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan lain yang ditetapkan dalam

pendekatan restorative justice, tanpa adanya kesadaran atas kesalahan

yang dibuat, maka mustahil dapat membawa pelaku secara sukarela

bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya.37

4. That victims should have an opportunity to express their needs and to

participate in determining the best way for the offender to make

reparation. Eva Achjani Zulfa menyatakan bahwa prinsip ini terkait

dengan prinsip pertama, dimana proses penanganan perkara pidana dengan

pendekatan restorative justice membuka akses kepada korban untuk

berpartisipasi secara langsung terhadap proses penyelesaian tindak pidana

yang terjadi. Partisipasi korban tidak hanya dalam rangka menyampaikan

tuntutan atas ganti kerugian, karena sesungguhnya korban juga memiliki

posisi penting untuk mempengaruhi proses yang berjalan termasuk

36

Ibid, h. 16 37

Ibid, h. 17

Page 45: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

35

membangkitkan kesadaran pada pelaku sebagaimana dikemukakan pada

prinsip yang kedua. Konsep dialog yang diusung oleh pendekatan ini

memberikan suatu tanda akan adanya kaitan yang saling mempengaruhi

antara korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian terbaik sebagai

upaya pemulihan hubungan sosial diantara keduanya.38

5. That the community has a responsibility to contribute to this process,

artinya suatu uapaya restorative justice bukan hanya melibatkan korban

dan pelaku saja, akan tetapi juga melibatkan masyarakat. Masyarakat

memiliki tanggungjawab baik dalam penyelenggaraan proses ini maupun

dalam melaksanakan hasil kesepakatan, maka dalam upaya restorative

justice, masyarakat dapat berperan sebagai penyelenggara, pengamat

maupun fasilitator. Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat

juga merupakan bagian dari korban yang harus mendapatkan keuntungan

atas hasil proses yang berjalan.39

Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat

dalam konsep pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak

pidana antara lain sebagai berikut :

1. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)

Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh negara, kepada

tersangka selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih dahulu tentang

38

Ibid, h. 17 39

Ibid, h. 18

Page 46: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

36

prosedural-prosedural perlindungan hukum tertentu ketika dihadapkan pada

penuntutatan atau penghukuman. Proses peradilan (due process) haruslah

dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk memberi keseimbangan bagi

kekuasaan negara untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan hukuman dari

suatu putusan penghukuman. 40

Diantara proteksi- proteksi yang diidentifikasi yang telah diterima

secara internasional dan termasuk gagasan due process adalah hak untuk

diduga tak bersalah (presumption of innocence) dan hak untuk mendapatkan

persidangan yang adil (fair) serta hak untuk mendapatkan bantuan penasihat

hukum.

Dalam proses penyelesaian restorative justice, batas formal selalu

diberikan bagi tersangka setiap saat, baik selama dan setelah proses

restorative agar hak terangka mendapatkan pengadilan yang fair tetap terjaga.

Namun demikian jika tersangka diharuskan untuk melepaskan haknya dan

memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah proses restorative, maka kepada

tersangka harus diberi tahu tentang implikasi keputusannya memilih intervensi

restorative. Sebaiknya bila dalam putusan penyelesaian melalui pendekatan

restorative justice pelaku membebani tersangka terlalu berat, maka kepada

pelaku diberi perlindungan tambahan, tersangka dapat diperbolehkan untuk

40

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan

Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 125

Page 47: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

37

melakukan banding terhadap perjanjian apapun yang dicapai dalam proses

restorative justice berdasarkan alasan tidak bersalah.41

2. Perlindungan yang Setara

Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan

restorative justice, keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami

akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin,

agama, asal bangsa, dan kedudukan sosial lainnya.42

Terdapat keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan restorative

justice dalam menyelesaikan suatu masalah dan memberikan rasa keadilan

diantara para partisipan yang berbeda- beda, karena dapat saja salah satu pihak

mempunyai kelebihan kekuatan ekonomi, intelektual, politik atau bahkan

fisik, sehingga akan terjadi suatu ketidaksetraan diantara para pihak yang

berpartisipasi dalam suatu proses restorative justice.

Seorang pihak yang tidak berdaya mempunyai potensi untuk menerima

suatu perjanjian yang memberinya apa yang jauh lebih kecil dari apa yang

seharusnya dia dapatkan, sehingga dalam proses restorative justice diharapkan

seorang mediator harus bersikap adil dan netral dalam membimbing proses

mediasi untuk mencapai suatu negosiasi namun tidak juga menutup

41

Ibid, h. 126 42

Ibid, h. 128

Page 48: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

38

kemungkinan mediator akan tergoda untuk mendukung posisi pihak yang

lebih lemah atau yang lebih kuat.43

3. Hak- hak Korban

Dalam penyelesaian suatu masalah melalui pendekatan restorative

justice, hak-hak korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak

yang berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan hukum dalam

proses penyelesainya. Pada sistem peradilan pidana pada umumnya. ditengarai

bahwa korban tidak menerima perlindungan yang setara dari pemegang

wewenang sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dan

korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan

sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.44

Rowland berpendapat bahwa kepentingan- kepentingan korban sering

bersimpangan dengan kepentingan- kepentingan negara. Para pendukung

terhadap konsep perlindungan bagi hak- hak korban juga berpandangan adalah

jelas tidak adil bagi korban bila negara lebih mengindahkan kebutuhan-

kebutuhan material, psikologi, hukum bagi pelaku pelanggar, sementara

negara tidak memberikan tanggungjawabnya atas kehidupan yang layak bagi

korban. padahal tahap yang sangat mendasar dari proses penyelesaian masalah

khususnya advokasi adalah korban harus memperoleh kedudukannya untuk

berpartisipasi dalam proses, agar dapat melindungi kepentingan mereka,

43

Ibid, h. 129 44

Ibid, h. 130

Page 49: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

39

termasuk hak untuk memberikan kesaksian (testimony) pada tahapan

pemeriksaan kesalahan dan penjatuhan hukuman, hak untuk menerima

pemulihan, hak untuk diberi informasi atas sidang-sidang pengadilan dan hak

untuk diwakili oleh pengacara.45

4. Proporsionalitas

Gagasan fairness didalam sistem restorative justice didasarkan pada

konsensus persetujuan yang memberikan pilihan alternatif dalam

menyelesaikan masalah, sedangkan pengertian proporsionalitas adalah

berkaitan dengan lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus

dikenakan pada pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam peradilan

pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah

memenuhi suatu perasaan keadilan retributif (keseimbangan timbal balik

antara punish dan reward), sedangkan dalam pendekatan restorative justice

dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding terhadap pelanggar

yang melakukan pelanggaran yang sama. Beberapa korban mungkin hanya

menginginkan suatu permintaan maaf yang bersahaja, sementara korban-

korban lainnya mungkin mengharapkan restorasi penuh dari pelanggar.46

5. Praduga tidak bersalah

Negara memiliki beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan

tersangka. Sejak dan sampai beban pembuktian itu dilakukan, tersangka harus

45

Ibid, h. 131 46

Ibid, h. 131

Page 50: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

40

dianggap tidak bersalah. Dalam proses-proses restoratif, hak- hak tersangka

mengenai praduga tak bersalah dapat dikompromikan dengan cara, yaitu ;

tersangka memiliki hak untuk melakukan terminasi proses restorasi dan

menolak proses pengakuan bahwa ia bersalah, dan selanjutnya memilih opsi

proses formal dimana kesalahan harus dibuktikan, atau tersangka dapat

memperoleh hak untuk banding ke pengadilan dan semua perjanjian yang

disepakati dalam proses restorative justice dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan yang mengikat. Advokat atau penasihat hukum harus disediakan

setiap saat untuk memberikan informasi kepada tersangka atas implikasi

keikutsertaannya dalam suatu proses restorative yang menegaskan bahwa

keikutsertaan dalam proses restorative tidak boleh sebagai suatu pengakuan

formal atas kesalahan, dan bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuat dalam

proses itu harus tidak dapat diterima dalam suatu pemeriksaan pengadilan

formal.47

6. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasihat Hukum

Dalam proses restorative justice, advokat atau penasihat hukum

memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun kemampuan

pelanggar dalam melindungi haknya vis a vis bantuan penasihat hukum.

Dalam semua tahapan proses informal yang restoratif, tersangka daat memberi

47

Ibid, h. 135

Page 51: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

41

informasi melalui bantuan penasihat hukum mengenai hak dan kewajibannya

yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan.48

Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpastisipasi dalam

sebuah proses restorative justice, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas

namanya sendiri.

C. Kebijakan Penggunaan Hukum Pidana Dalam Pencegahan dan

Penanggulangan Tindak Pidana Serius dan Terorganisir

Kebijakan untuk melakuakan pencegahan dan penanggulanga kejahatan

termasuk pada kebijakan kriminal (criminal policy).49

Penggunaan kebijakan

hukum pidana merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk

menanggulangi kejahatan, namun kebijakan hukum pidana bukanlah satu-satunya

cara untuk menanggulangi kejahatan, bahkan keberadaan hukum pidana sebagai

sarana penanggulangan kejahatan pernah menjadi perdebatan, ada yang tidak

setuju ada juga yang setuju.

Kebijakan dengan menggunakan hukum pidana ini harus memiliki

pedoman pemidanaan, berkaitan dengan pemidanaan maka pedoman pemidanaan

dapat diartikan ketentuan dasar yang memberi arah/ melaksanakan pemidanaan

atau pemberian pidana atau penjatuhan pidana. Tujuan pemidanaan berarti arah

48

Ibid, h. 136 49

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada, 2007), h. 77

Page 52: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

42

yang “seharusnya” ingin dicapai dari penjatuhan pidana atau dapat diartikan juga

maksud yang hendak didapatkan dari pemberian pidana/pemidanaan.

Tujuan pemidanaan mengemban fungsi pendukung dari fungsi hukum

pidana secara umum yang ingin dicapai sebagai tujuan akhir adalah terwujudnya

kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (Social defence dan social welfare)

Tokoh yang tetap mempertahankan hukum pidana sebagai sarana

penanggulangan kejahatan antara lain Van Bammelen, Macx Ancel, Alf Ross dan

Ruslan Saleh. Tujuan pemidanaan secara khusus dapat dilihat dari pendapat

Roeslan Saleh, alasan masih diperlukannya hukum pidana adalah :50

Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan maupun hasil yang

akan dicapai semata-mata, tetapi juga harus dilihat seberapa jauh paksaan

boleh dilakukan untuk mencapai tujuan itu serta harus dipertimbangkan pula

antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-

masing.

Meskipun ada upaya perbaikan atau perawatan yang tidak berpengaruh sama

sekali bagi si terhukum, namun tetap harus ada reaksi atas pelanggaran-

pelanggaran norma.

Dari pendapat di atas sangat jelas terlihat bahwa tujuan hukuman/

pemberian pidana adalah di samping untuk si penjahat itu sendiri tetapi juga

untuk masyarakat secara umum agar taat terhadap norma hukum.

Alasan lain ditetapkannya tujuan pemidanaan/ pemberian pidana adalah

adanya keterbatasan dari sanksi pidana itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh

H.L. Packer yaitu :

“Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan

suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia

50

Ibid, h. 20-21

Page 53: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

43

merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara

manusiawi; ia merupakan pengancam apa bila digunakan secara sembarangan dan

secara paksa “(The criminal sanction is at once prime guarantor and prime

threatener of human freedom. Used providently and humanely it is guarantor;

used indiscriminately and coercively, it is threatener)”.51

Pernyataan di atas secara implisit menyarankan agar tujuan pemidanaan

ditetapkan sehingga pidana yang dijatuhkan dapat berfungsi sebagai penjamin

terhadap tujuan hukum pidana sebagai sarana untuk mencapai perlindungan dan

kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai penjamin tidak terjadi penurunan

derajat kemanusiaan/dehumanisasi dalam pelaksanaan pidana.

Sedangkan pendapat yang tidak setuju, penggunaan hukum pidana untuk

menanggulangi kejahatan telah menimbulkan berbagai kritik. Menurut Herbert L.

Packer ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa terhadap pelaku

kejahatan dan palanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana.

Menurut pendapat ini pidana merupakan pengalaman kebiadaban masa lalu yang

seharusnya dihindari. Pendapat demikian dapat dipahami, karena memang sejarah

hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni penuh dengan gambaran-gambaran

yang menurut ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. 52

51

Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 156 52

Ibid, h. 18

Page 54: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

44

D. Perlindungan Pelapor Tindak Pidana

1. Pengertian Pelapor Tindak Pidana

Pelapor tindak pidana dalam istilah hukum dikenal dengan whistle blower,

dalam perspektif etimologis kata whistle blower berasal dari kata Whistle yang

artinya peluit atau bunyi peluit, dan kata Blower yang artinya alat peniup atau

tukang tiup.53

Whistle blower diartikan sebagai peniup peluit, saksi pelapor,

pengadu, pembocor rahasia, saksi pelaku yang bekerja sama, pemukul kentongan,

dan pengungkap fakta.54

Secara terminologi, whistle blower ada beberapa pengertian mengenai hal

ini, menurut Roberta Ann Johnson : 55

There is an agreed- upon four parts definition of whistle blower. Where

four parts definition of whistle blower are : 1). An individual acts with the

intention of making information public. 2). There information is conveyed to

parties outside the organization who make it public and a part of public record.

3). The information has to do with possible or actual nontrivial wrongdoing in an

organization, and 4). The person exposing the agency is not a journalist or

ordinary citizen, but a member or former member of the organization.

Berdasarkan pendapat Roberta Ann Johnson ada empat bagian dari

pengertian whistle blower, yaitu : 1). Tindakan seseorang yang bertujuan untuk

memberikan informasi bagi publik; 2). Informasi tersebut diberitahukan kepada

pihak di luar organisasi yang akan mempublikasikan informasi tersebut dan

merupakan bagian dari berita publik; 3). Informasi tersebut berhubungan dengan

53

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005),

h. 71 54

Quentin Dempster, Para Pengungkap Fakta, (Jakarta: ELSAM, 2006), h. 6. 55

Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, (Colorado: Lynne

Rienner, 2003), p. 3- 4

Page 55: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

45

kemungkinan atau kepastian penyimpangan yang penting yang terjadi dalam

sebuah organisasi; 4). Orang yang mengungkap adanya penyimpangan dalam

organisasi tersebut bukan wartawan atau anggota masyarakat biasa, tetapi anggota

atau karyawan dari organisasi tersebut.

Menurut Mary Curtis, “whistle blower is one who reveals wrongdoing

within an organization to the public, or to those in positions of authority”.56

Menurut Mary Curse bahwa whistle blower adalah seseorang yang mengungkap

adanya penyimpangan yang terjadi dalam sebuah organisasi kepada publik atau

kepada pihak yang berwenang.

Menurut Geoffrey Hunt, “whistle blower is an employee who tells on an

employer, because he or she believed that the employer committed an illegal

act”.57

Dia menggambarkan bahwa whistle blower adalah seorang pegawai yang

melaporkan seorang pegawai yang mempekerjaannya, karena ia yakin bahwa

pegawai tersebut telah melakukan perbuatan yang ilegal.

Pengertian whistle blower menurut PP No. 71 Tahun 2000 adalah orang

yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai

terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor.

Dalam SEMA No. 04 Tahun 2011, secara jelas whistle blower diartikan

sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan

56

Mary Curtis, Whistleblower Mechanism: A Study of The Perceptions of User and

Responders, (Dallas: Institute of Internal Auditors, 2006), p. 4 57

Geoffrey Hunt, Whistleblowing, Commissioned Entry For Encyclopedia of Applied Ethics,

(California: Academic Press, 1998), p. 2

Page 56: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

46

merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.58

Namun demikian

yang terjadi dalam praktiknya adalah kadang whistle blower juga terlibat dan

memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat di simpulkan bahwa whistle blower

adalah seseorang pegawai atau karyawan dalam suatu organisasi yang

melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan ataupun praktik yang

menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasi tersebut.

Salah satu tokoh whistle blower yang populer adalah Dr. Jeffrey Wigand.

Ia adalah mantan Wakil Presiden Research pada Brown and Williamson Tobacco

di Amerika Serikat. Jeffrey dipecat karena mengungkap praktek manipulasi data

nikotin pada rokok yang diproduksi perusahaannya, tidak hanya di pecat ia pun

mendapat pelecehan dan ancaman terkait dengan tindakannya.

Di Indonesia istilah whistle blower menjadi populer dan banyak disebut

oleh berbagai kalangan dalam beberapa tahun terakhir. Istilah ini makin sering

digunakan sejak kasus Susno Duaji mencuat. Susno Duadji pada saat itu

mengungkap adanya mafia pajak dianggap sebagai whistle blower. Namun

demikian hingga kini belum ditemukan padanan yang pas dalam Bahasa

Indonesia untuk istilah tersebut.59

58

Lihat SEMA No. 4 tahun 2011 tentang tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana

(whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator). 59

Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, (Jakarta: LPSK, 2011), h. v

Page 57: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

47

2. Prinsip Pelapor Tindak Pidana

Dilihat dari tempat seseorang bekerja, pada umumnya seorang whistle

blower dapat berasal dari perusahaan swasta atau instansi pemerintah. Oleh

karena itu, seorang whistle blower dapat muncul dari perusahaan-perusahaan

swasta maupun dari lembaga-lembaga publik dan pemerintahan. Seorang whistle

blower selain dapat secara terbuka ditujukan kepada individu- individu dalam

sebuah organisasi atau skandal, dapat pula ditujukan kepada para auditor

internal.60

Seorang whistle blower seringkali dipahami sebagai saksi pelapor. Orang

yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana

kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Namun untuk

disebut sebagai whistle blower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua

kriteria mendasar.61

1) Seorang whistle blower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada

otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan

mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa

diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.

2) Seorang whistle blower merupakan orang dalam, yaitu orang yang

mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya

bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka

seorang whistle blower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan

atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu

mengungkapkan kejahatan yang terjadi.

60

Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 4 61

Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 1-2

Page 58: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

48

3. Praktik Pelapor Tindak Pidana

Di Amerika Serikat, dimana tingkat korupsi tidak terlalu tinggi, lebih

banyak orang yang melaporkan mengenai penyelewengan, penyimpangan, dan

penyalahgunaan wewenang daripada di negara-negara lainnya. Perlindungan yang

diberikan oleh Undang-undangan di Amerika telah menjadi jaminan bagi para

whistle blower untuk melaporkan pelanggaran- pelanggaran di tempat mereka

bekerja.

Di Amerika telah dibentuk lembaga advokasi yang bernama National

Whistle blower Center yang secara rutin sejak 1988 mengadvokasi para whistle

blower disamping itu juga terdapat sebuah lembaga bernama Government

Accountability Project (GAP) yang berdiri sejak tahun 1977 dan aktif

mengadvokasi para whistle blower dengan fokus kegiatan pada litigasi, advokasi,

medis, dan legislatif.62

Indonesia belum memiliki ketentuan khusus mengenai prosedur dan

mekanisme pengungkapan fakta oleh whistle blower. Selama ini mekanisme yang

digunakan masih mendasarkan pada perlindungan saksi sebagaimana yang diatur

dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban. Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara lain seperti Amerika

Serikat dan Australia yang telah memiliki aturan khusus yang menjamin

perlindungan terhadap pengungkap kejahatan publik. Meski demikian, sejalan

dengan perkembangan perekonomian dan kemajuan zaman, sudah selayaknya

62

Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, p. 157

Page 59: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

49

Indonesia mulai mengadopsi pentingnya jaminan perlindungan terhadap whistle

blower.63

Whistle blower adalah sosok penting dalam proses pengungkapan tindak

pidana serius dan terorganisir. Di Indonesia memang sudah memberi beberapa

saksi pengungkap kejahatan yang sangat berarti bagi upaya pemberantasan

korupsi demi mencipatakan pemerintahan yang baik dan bersih, namun peran

whistle blower tidak dihargai secara layak, bahkan jiwanya justru terancam dan

tertekan.

E. Perlindungan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

1. Pengertian Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

Dalam istilah hukum saksi pelaku yang bekerjasama dikenal dengan

istilah Justice Collaborator. Secara etimologis kata Justice Collaborator berasal

dari kata Justice yang artinya keadilan, peradilan, adil, hakim,64

dan kata

Collaborator yang mempunyai arti teman bekerjasama atau kerjasama.65

63

Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 81 64

I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta: Sinargrafika,

2003), Cet. III, h. 367. Lihat juga Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Amerika: West

Publishing Co, 2009), Nhinty Edition, h. 942. Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-

Indonesia, h. 339 65

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, h. 124

Page 60: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

50

Istilah Saksi Pelaku yang Bekerjasama ini dikenal dengan beragam istilah,

misalnya justice collaborator, cooperative whistle blowers, participant whistle

blower, collaborator with justice atau pentiti (italia).66

Secara terminologi, dalam sistem hukum Indonesia pengertian justice

collaborator diatur dalam peraturan bersama tentang Perlindungan Bagi Pelapor,

Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama, definisi Saksi Pelaku yang

Bekerjasama adalah :67

“Saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia

membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau

akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembaikan aset-aset atau hasil

suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat

penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan”.

Pengertian di atas pada dasarnya sejalan dengan pengertian menurut

Council of Europe Committee of Minister, bahwa yang dimaksud dengan

collaborator of justice adalah:68

“Seseorang yang juga berperan sebagai pelaku tindak pidana, atau

secara meyakinkan adalah merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan

secara bersama-sama atau kejahatan terorganisir dalam segala bentuknya, atau

merupakan bagian dari kejahatan terorganisir, namun yang bersangkutan

bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan

kesaksian mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau

terorganisir, atau mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang terkait dengan

kejahatan terorganisir maupun kejahatan serius lainnya”.

66

Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan

tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana, (Makalah

disampaikan pada Stadium General Fakultas Hukum UII, Jogjakarta, 17 April 2013), h. 7 67

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa

Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan

Korupsi Republik Indonesia dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia 68

Abdul Haris Semendawai, Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator dalam

Sistem Hukum Pidana di Indonesia, diakses pada tanggal 21 Nopember 2013 dari http://www.

elsam.or.id/downloads/1308812895_penanganan_dan_perlindungan__justice_collaborator_.pdf

Page 61: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

51

Dengan demikian, justice collaborator dapat diartikan sebagai individu

yang melaporkan kejahatan yang turut dilakukannya. Sebagai pihak yang terlibat

dalam suatu kejahatan, justice collaborator dapat menyediakan bukti penting

mengenai siapa yang terlibat dalam kejahatan itu, apa peran masing-masing

pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa

ditemukan. Adapun upaya untuk membujuk para orang dalam agar mau

bekerjasama dalam penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku lainnya dalam

tindak kriminal tersebut, para penuntut di berbagai negara menggunakan beberapa

jenis perangkat hukum.

2. Prinsip Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

Prinsip utama dalam justice collaborator, bahwa predikat justice

collaborator tidak bisa disematkan kepada pelaku utama. Tidak semua saksi

pelaku dapat menjadi justice collaborator, hanya saksi pelaku yang bukan pelaku

utama, mau mengakui dan mengembalikan hasil kejahatan secara tertulis,

kooperatif dengan penegak humum, bukan buronan, dan informasi yang

diungkapkan relevan.69

Spirit penerapan justice collaborator diletakan dalam konteks untuk dapat

membongkar kejahatan yang lebih besar, bukan sebagai alat negosiasi pihak-

pihak yang berkepentingan. Pada dasarnya ide justice collaborator ini diperoleh

69

Hukum Online, “Penerapan Justice Colloborator Harus Diperketat”, Artikel diakses pada

19 November 2013 dari http://hukumonline.com/berita/baca/penerapan-ijustice-collaborator-i-harus-

diperketat

Page 62: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

52

dari pasal 33, dan pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) United Nations Convention

Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan

Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Corruption 2003 (Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti

Korupsi).

Intinya dalam pasal 33, dan pasal 37 ayat (2) dan (3) ini bagi setiap

Negara peserta wajib melindungi dan mempertimbangkan memberikan

kemungkinan pengurangan hukuman dan memberikan kekebalan dari penuntutan

bagi orang yang memberikan kerjasama subtansial dalam penyelidikan atau

penuntutan (justice collaborator).

3. Praktik Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

Istilah justice collaborator atau collaborator with justice atau pentiti

merupakan suatu hal yang baru di Indonesia. Istilah ini bukanlah istilah hukum

karena tidak bisa ditemui dalam KUHAP, istilah ini berasal dari Negara yang

menganut sistem hukum anglo saxon, yaitu Amerika Serikat, namun istilah ini

sudah dipakai pada praktik hukum Indonesia.

Praktik justice collaborator pertama di Indonesia adalah Agus Tjondro

Prayitno, mantan anggota DPR Fraksi PDI-P periode 1999-2004 dalam kasus cek

perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda

Swaray Gultom tahun 1994. Pada tahun 2012, selain penghargaan berupa

pemberian remisi tambahan dan pembebasan bersyarat terhadap justice

Page 63: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

53

collaborator kasus korupsi diperoleh oleh Agus Condro, penghargaan juga

diperoleh oleh Mindo Rosalina Manulang, dan Sukotjo S. Bambang.70

Tidak semua orang mau menjadi justice collaborator karena mereka

kahawatir dengan keselamatan diri sendiri dan keluarga apabila sampai ia

mengungkap suatu kasus mengingat kasus tersebut sangat terorganisir. Maka ada

privilege khusus untuk justice collabolator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban dengan terbitnya SEMA Nomor 04 Tahun 2011. Selain itu, negara juga

mengapresiasi tersangka yang bersedia menjadi justice collaborator dengan

memberikan reward and punishment dalam bentuk keringanan hukuman, remisi,

dan kebebasan bersyarat, seperti pada kasus Agus Tjondro dimana dia divonis

lima belas bulan penjara yang kemudian menjadi bebas bersyarat setelah

menjalani dua pertiga masa tahanannya ditambah remisi 1,5 bulan.

Pemberian penghargaan pertama pada tahun 2013 terhadap justice

collaborator juga diberikan kepada Kosasih Abbas, terpidana kasus dugaan

korupsi Solar Home System di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,

dia mendapat penghargaan berupa pembebasan bersyarat. Selain Kosasih Abbas,

ada juga Vincentus Amin Sutanto, tersangka penggelapan pajak. Selain itu,

pemberian penghargaan diberikan kepada Thomas Claudius Ali Junaidi dalam

70

Arjun Alqindy Tumangger, “Justice Collaborator dalam Driving Simulator SIM di

Korlantas POLRI”, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada

http://legalscraw.wordpress.com/2013/ 08/30/justice-collaborator-dalam-driving-simulator-sim-di-

korlantas-polri

Page 64: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

54

putusan bernomor No. 920K/Pid.sus/2013, yang menjatuhkan vonis ringan

terhadap Thomas.71

Semestinya proses yuridis tidak menjadi ancaman serius bagi justice

collaborator ketika lembaga peradilan dapat memberlakukan reward

(peghargaan) berupa remisi, perlakuan khusus dan punishment (hukuman) bagi

justice collaborator. Dengan demikian, putusan yang berlandaskan keadilan

tentunya diharapkan dapat menentukan potret masa depan justice collaborator.72

Implementasi perlindungan tersebut sudah menunjukan kemajuan

perlindungan hukum dan kepastian hukum, akan tetapi masih sangat minim,

walaupun sebenarnya telah ada Peraturan Bersama, Surat Edaran Mahkamah

Agung No.4 tahun 2011, revisi Undang- undang No. 13 tahun 2006 diharapkan

menjadi solusi konkret atas persoalan ini.73

71

Maharani Siti Shopia,”LPSK Puji Keberanian Hakim Agung Vonis Ringan Justice

Collaborator”, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada hhtp://lpsk.go.id/page/51c1ad91b45e8 72

Rahardian FN dan Sularto Pujiyono, “Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak

Pidana Yang Bekerja Sama/Justice Collaborator (Telaah Yuridis Putusan No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/

Pn.Jkt.Pst Pengadilan Tipikor Jakarta)”, Diponegoro Law Review, No. 1, (Tahun 2012): h. 8 73

Majalah Kesaksian, Apresiasi Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Minim,

(Jakarta: LPSK, 2012), edisi II, h. 13

Page 65: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

55

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI

PELAKU YANG BEKERJASAMA DALAM UNDANG-UNDANG

NO. 13 TAHUN 2006 SEBAGAI KEBIJAKAN LEGISLATIF

A. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan adalah pemberian jaminan atas keamanan, ketentraman,

kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung atas segala bahaya yang mengancam

pihak yang dilindungi. Perlindungan hukum adalah hal perbuatan melindungi

menurut hukum.1

Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra mengemukakan bahwa hukum dapat

difungsikan tidak hanya mewujudkan kepastian, tetapi juga jaminan perlindungan

dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, namun juga

prediktif dan antisipatif.2

Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah suatu kondisi

subyektif yang menyatakan hadirnya keharusan pada diri sejumlah subyek untuk

segera memperoleh sejumlah sumberdaya guna kelangsungan eksistensi subyek

hukum yang dijamin dan dilindungi oleh hukum, agar kekuatannya secara

terorganisir dalam proses pengambilan keputusan politik maupun ekonomi,

1 Nurini Aprilianda, Perlindunga Hukum Terhadap Tersangka Anak dalam Proses

Penyidikan, (Malang: Tesis Program Studi Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya,

2001), h. 41 2 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1993), h. 123

Page 66: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

56

khususnya pada distribusi sumber daya, baik pada peringkat individu maupun

struktural.3

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan

kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.4

Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah Legal

Protection, dalam bahasa Belanda Rechtsbecherming. Kedua istilah tersebut juga

mengandung konsep atau pengertian hukum yang berbeda untuk memberi makna

sesungguhnya dari perlindungan hukum. Menurut Harjono, konsep perlindungan

hukum dari perspektif keilmuan hukum adalah :5

“Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan

menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,

ditunjukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu,

yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke

dalam sebuah hak hukum”.

Adapun yang dimaksud dengan hukum yang berlaku dalam hal ini adalah

hukum sebagai suatu sistem, yang menurut Lawrence M. Friedman dalam

operasinya memiliki tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu : Subtansi,

Struktur, dan Kultur. Maka perlindungan hukum adalah perbuatan melindungi hak

individu atau sejumlah individu yang kurang atau tidak mampu atau tidak berdaya

3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina

Ilmu, 1987), h. 2 4 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), dalam

Arif Awaludin, “Rekonstruksi Perlindungan Hukum Terhadap Penyingkap Korupsi (Studi Kasus

Budaya Hukum Aparatur Sipil Negara Dalam Menyingkap Birokrasi di Jawa Tengah)”, (Semarang:

Disertasi Undip, 2011), h. 75 5 Ibid, h. 77

Page 67: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

57

secara fisik dan mental, secara sosial, ekonomi dan politik, baik secara preventif

maupun represif, berdasarkan hukum yang berlaku dalam upaya mewujudkan

keadilan, kepastian, kemanfaatan, kedamaian, ketentraman, bagi segala

kepentingan manusia yang ada didalam masyarakat hukum.

B. Latar Belakang dan Sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006

Undang- undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban berlaku setelah diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 Lembaran

Negara Republik Indonesia No.64. Undang-undang ini merupakan perjuangan

panjang dan kebutuhan endesak bagi kalangan aktivis antikorupsi dan Hak Asasi

Manusia.Undang-undang No.13 Tahun 2006 ini juga merupakan lex spesialis

(ketentuan khusus) yang engatur perlindungan hukum bagi saksi dan/atau korban.

Pengaturan perlindungan dan tatacara pemberian perlindungan bagi saksi dan

korban, sebelumnya tersebar di beberapa peraturan dan di beberapa lebaga negara

yang diberikan kewenangan untuk memberikan perlindungan.

Pada bagian penjelasan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan:

“Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap

tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan

perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau

menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang

telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.

Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan

keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam

atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan

hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang

Page 68: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

58

memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu

tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau

takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di

Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur

perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari

berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa peraturan

perundang-undangan yang menekankan partisipasi masyarakat dalam

pengungkapan suatu tindak pidana antara lain:

1. Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang

Bersih dan Bebas dari KKN

2. Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo Undnag-undang No.20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3. Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

4. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdangan Orang

Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law)

yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses

peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi

muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan

Korban meliputi:

Page 69: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

59

1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban

2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan

4. Ketentuan pidana.

C. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang

Bekerjasama

Dalam sistem hukum Indonesia, perlindungan hukum whistle blower dan

justice collaborator diatur dalam tiga jenis peraturan yakni: Undang-Undang No.

13 Tahun 2006, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 dan Peraturan

Bersama. Walaupun ketiga peraturan ini memiliki berbagai permasalahan materil

dan formil yang merupakan penyebab lemahnya perlindungan hukum whistle

blower dan justice collaborator.6

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 13 tahun 2006, secara umum

mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang juga

termasuk saksi pelapor dan juga saksi pelaku yang bekerjasama, yaitu meliputi

hal-hal sabagai berikut :

a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang

akan, sedang, atau telah diberikannya.

6 Firman Wijaya, Whistle Blower dan justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, (Jakarta:

Penaku, 2012), h. 5

Page 70: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

60

Perlindungan ini mengacu pada kewajiban Negara untuk melindungi warga

negaranya terutama mereka yang dapat terancam keselamatannya baik fisik

maupun mental. Dalam hal ini termasuk pula hak utuk tidak disiksa atau

diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi (sesuai dengan konvensi

Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 7

Tahun 1998).7

b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan.

Perlindungan dan dukungan keamanan merupakan perlindungan utama yang

diperlukan saksi, untuk itu saksi berhak untuk ikut serta memilih dan

menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan tersebut.8

c) Memberikan keterangan tanpa tekanan.

Saksi dan korban harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya,

sesuai dengan apa yang telah terjadi. Dengan demikian keterangan yang

diberikan bukan keterangan karena adanya rasa takut.9

d) Mendapat penerjemah.

Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar berbahasa

Indonesia untuk memperlancar persidangan.

e) Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

7 Jovan Kurata Waruwu, Penerapan Perlindungan Saksi dalam Perkara Pidana yang

ditangani Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Tesis FH UI,

2006), h. 180 8 Ibid, h. 183

9 Ibid, h. 186

Page 71: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

61

Keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban harus diberikan secara bebas

di semua tingkat pemeriksaan, jadi tidak diperbolehkan adanya pertanyaan

yang bersifat bagi saksi dan korban.

f) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.

Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di

pengadilan, tetapi mereka tidak mengetahui perkembangan kasus yang

bersangkutan. Oleh sebab itu sudah seharusnya saksi mengetahui sejauh mana

kontribusi yang diberikannya itu dimanfaatkan oleh sistem peradilan.10

g) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.

Dihukum atau tidaknya seorang terdakwa seringkali tidak diketahui saksi dan

meninggalkannya dalam ketidaktahuan. Informasi ini penting diberikan pada

saksi, setidaknya sebagai tanda apresiasi pada kesediannya sebagai saksi

dalam proses tersebut.

h) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup

beralasan, dan mereka berhak diberitahu apabila seorang terpidana yang

dihukum penjara akan dibebaskan.

i) Mendapat identitas baru.

Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisir,

saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam

kasus-kasus tertentu, saksi dan korban dapat diberikan identitas baru.

10

Ibid, h. 182

Page 72: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

62

j) Mendapatkan tempat kediaman baru.

Pemberian tempat baru bagi saksi dan korban harus dipertimbangkan jika

keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan agar saksi dan

korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan.

k) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

Dalam banyak kasus, saksi tidak mempunyai cukup kemampuan untuk

membiayai dirinya mendatangi lokasi aparat yang berwenang, sehingga perlu

mendapat bantuan biayasa dari negara. Ketentuan ini memang sudah ada

sebenarnya untuk tingkat persidangan, tetapi sangat jarang diterapkan karena

berbagai alasan.

l) Mendapat nasihat hokum.

Hak ini diperlukan karena seringkali seorang saksi adalah orang awam dan

tidak mengetahui hukum beserta prosesnya, sehingga perlu mendapatkan

bimbingan dalam menjalani proses pidana.

m) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir.

Biaya hidup yang dimaksud adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi

yang dihadapi pada waktu memberikan keterangan, misalnya untuk biaya

makan sehari-hari.

Dalam pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana yang dimaksud

pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan atau korban tindak pidana dalam kasus-

kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pada pasal 5 ayat (2) menyebutkan

Page 73: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

63

bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu” antara lain tindak pidana

korupsi, narkotika/psikotropika, terorisme, dan tindak pidana lain yang

mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang

membahayakan jiwanya.11

Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi dan korban juga

termasuk saksi pelapor dan juga saksi pelaku yang bekerjasama dalam suatu

proses peradilan pidana meliputi hal-hal berikut ini :

a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara

tersebut diperiksa, tentunya setelah mendapat izin dari hakim.12

b. Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana

maupun perdata atas laporannya, kesaksian yang akan, sedang atau telah

diberikannya.13

c. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat

dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan

hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.14

Formulasi perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice

collaborator dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 ini semakin memperoleh

pijakan hukum dengan lahirnya Peraturan Bersama antara LPSK, Kejagung, Polri,

KPK dan MA. Dalam Peraturan Bersama ini cukup komprehensif dalam

mengatur bentuk perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator

Bentuk perlindungan yang diberikan bagi whistle blower dan justice

collaborator dalam Peraturan Bersama ini adalah sebagai berikut:

11

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

Anatara Norma dan Realita, h. 154 12

Liha pasal 9 ayat (1) UU no. 13 tahun 2006 13

Liha pasal 10 ayat (1) UU no. 13 tahun 2006 14

Liha pasal 10 ayat (2) UU no. 13 tahun 2006

Page 74: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

64

1) Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan:

a. Perlindungan fisik dan psikis;

b. Perlindungan hukum;

c. Penanganan secara khusus; dan

d. Penghargaan.

2) Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum sebagaimana

dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

3) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat

berupa:

a. Pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka,

terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal

Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan;

b. Pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan

tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan

atau diungkap;

c. Penundaan penuntutan atas dirinya;

d. Penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin

timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya;

dan/atau

e. Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan

wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya.

4) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa:

a. Keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan;

dan/atau

b. Pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang

Bekerjasama adalah seorang narapidana.

Sebagai upaya untuk mengatasi kekosongan hukum dalam melindungi

whistle blower dan justice collaborator. Mahkamah Agung menerbitkan Surat

Edaran No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle

Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam

Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Page 75: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

65

Untuk menentukan seseorang sebagai Pelapor Tindak Pidana, berdasarkan

SEMA tersebut ada beberapa pedoman yang harus ditaati dalam penanganan

kasus yang melibatkan Pelapor Tindak Pidana adalah sebagai berikut :

1) Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan

tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan

merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya

2) Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka

penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak

Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

Untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku Yang Bekerjasama,

berdasarkan SEMA tersebut harus mengikuti pedoman, yaitu :

1) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu

sebagaimana dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang

dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta

memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

2) Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan

telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga

Penyidikan dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana

dimaksud secara efektif pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih

besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.

3) Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang bekerjasama

sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang

akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana

berupa; menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau

menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara

terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Dalam memberikan perlakuan khusus dalam bentuk kerinaganan pidana

hakim wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

4) Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal-

hal sebagai berikut : (a) Memberikan perkara-perkara terkait yang

diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama

sejauh memungkinkan; dan (b) Mendahulukan perkara-perkara lain yang

diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2011

adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana

Page 76: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

66

pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat

terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap

stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-

nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan

berkelanjutan dan supremasi hukum.15

15

Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, h. 187

Page 77: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

67

BAB IV

ANALISIS KEBIJAKAN LEGISLATIF PERLINDUNGAN HUKUM

PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU

YANG BEKERJASAMA

A. Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan

Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

Indonesia memang sudah mempunyai Undang-undang perlindungan Saksi

dan Korban, akan tetapi perlindungan yang diberikan dalam undang-undang

tersebut belum dapat melindungi whistle blower dan justice collaborator secara

maksimal.Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut hanya memberikan

perlindungan sebatas terhadap saksi, korban, dan pelapor saja. Dalam praktiknya,

whistle blower dan justice collaborator berbeda dengan saksi atau pelapor biasa,

hal ini sesuai dengan prisip dan karakteristik whistle blower dan justice

collaborator, seperti dapat kita lihat dalam pembahasan sebelumnya.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tidak memberikan perlindungan

hukum maksimal whistle blower dan justice collaborator. Ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 bahkan menjadi dasar untuk

memidanakan whistle blower dan justice collaborator atas kasus yang

dilaporkannya.

Kebijakan legislatif dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, kelemahan subtansial undang-undnag tersebut

Page 78: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

68

terkait pelaksanaan pasal 10.1 Pasal tersebut belum mengakomodir perlindungan

hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator secara tegas, padahal

peran serta mereka dapat membantu mengungkapkan kasus tindak pidana

terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan kerjasama tersebut

merupakan kontribusi yang sangat besar dalam membantu upaya pemberantasan

tindak pidana terorganisir, sehingga tindak pidana tersebut akan terbongkar secara

masif dan signifikan.

Menurut Eddy O.S. Hiarij, dalam pasal 10 adalah bertentangan dengan

semangat whistle blower dan justice collaborator, karena pasal ini tidak

memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistle blower dan justice

collaborator, dimana yang bersangkutan akan tetap dijatuhi hukuman pidana

bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.2

Pasal 10 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menimbulkan permasalahan

penafsiran ketika ada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus

yang sama. Kedua ayat pada pasal tersebut menimbulkan pertentangan satu sama

lain ketika dipertemukan pada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada

kasus yang sama.

Pada ayat (1) dikatakan bahwa saksi yang melaporkan dan bersaksi tidak

dapat dipidana, namun pada ayat (2) dikatakan bahwa jika saksi adalah tersangka

pada kasus yang sama maka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana.

1 Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, (Jakarta: LPSK, 2011), h. 39

2 Eddy O.S. Hiarij, Legal Opinion: Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-undang

No. 13 tahun 2006, (Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Tahun 2010), h. 25

Page 79: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

69

Sementara, mandat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi

saksi dan korban bukan tersangka, sehingga masalah pada Pasal 10 ini kemudian

menimbulkan ambiguitas mengenai status perlindungan oleh Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban pada yang bersangkutan. Sebelum adanya SEMA

No. 4 Tahun 2011, tampak bahwa Pasal 10 tidak dapat membedakan whistle

blower dengan justice collaborator, sehingga pengadilan juga tidak dapat

memberikan perlakuan yang tepat.3

Selain undang-undang No. 13 Tahun 2006, Peraturan Bersama antara

LPSK dengan lima aparat penegak hukum juga masih memiliki kelemahan dari

segi materil, yakni sebagai berikut:

a. Tidak diatur perlindungan maksimal bagi whistle blower dan justice

collaborator berupa penghapusan tuntutan atas tindak pidana yang

dilakukannya

b. Keringanan pidana bagi whistle blower dan justice collaborator hanya

dijadikan pertimbangan Jaksa Agung atau Pimpinan KPK dan tidak memiliki

daya mengikat yang mewajibkan Jaksa Agung atau Pimpinan KPK untuk

memberi penghargaan berupa keringanan pidana

c. Tidak diatur secara jelas mengenai hubungan kolaborasi dan koordinasi antar

penegak hukum dalam memberikan perlindungan bagi whistle blower dan

justice collaborator.

3 Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, h. 186

Page 80: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

70

Di samping itu, Peraturan Bersama juga memiliki kelemahan dari segi

formil, yakni lingkup keberlakuan tidak mengikat bagi hakim di lingkungan

Mahkamah Agung. Peraturan Bersama ini hanya mengikat LPSK, KPK,

Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan HAM. Padahal

perlindungan whistle blower dan justice collaborator idealnya harus melibatkan

seluruh instansi penegak hukum. Dengan demikian, Peraturan Bersama belum

memberikan perlindungan hukum maksimal bagi whistle blower dan justice

collaborator.

Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 sebenarnya telah mengatur lebih lanjut

mengenai kriteria serta mekanisme penanganan perkara yang melibatkan whistle

blower dan justice collaborator. Namun, pada dasarnya ketentuan dalam SEMA

masih memiliki banyak kelemahan dari segi materil yakni:

a. Tidak diaturnya hak dan bentuk perlindungan bagi whistle blower dan justice

collaborator

b. Ketentuan keringanan pidana bagi whistle blower dan justice Collaborator

hanya dijadikan pertimbangan hakim dan tidak memiliki daya mengikat yang

mewajibka hakim untuk memberi keringanan pidana.

Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 juga memiliki kelemahan dari segi

formil yakni lingkup keberlakuan SEMA hanya mengikat kalangan Mahkamah

Agung, yakni hakim. Padahal perlindungan whistle blower dan justice

Collaborator idealnya harus melibatkan seluruh instansi penegak hukum.

Page 81: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

71

Di antara seluruh peraturan di atas, Peraturan Bersama merupakan

peraturan yang paling komprehensif dalam mengatur mengenai perlindungan

hukum whistle blower dan justice collaborator. Namun, Peraturan Bersama masih

memiliki beberapa kelemahan terkait tidak adanya perlindungan hukum bagi

whistle blower dan justice collaborator berupa penghapusan tuntutan pidana,

tidak diaturnya hubungan kerjasama antar instansi penegak hukum, dan lingkup

keberlakuannya yang belum mencakup nasional. Oleh karena itu, penulis menilai

bahwa perlu diadakan solusi terkait aspek legislasi (kebijakan legislatif) dan

implementasi dalam melindungi whistle blower dan justice collaborator.

Untuk itu diperlukan rumusan suatu peraturan perundang-undangan yang

dapat memberikan perlindungan secara khusus bagi whistle blower dan justice

collaborator. Peraturan perundang-undangan tersebut harus memberikan

penjelasan mengenai whistle blower dan justice collaborator, peraturan

perundang-undangan juga harus memberikan bentuk-bentuk perlindungan yang

kurang lebih sama dengan bentuk-bentuk perlindungan dalam Undang-Undang

No. 13 Tahun 2006, akan tetapi ketentuan pidana bagi whistle blower dan justice

collaborator yang juga tersangka dalam kasus yang sama harus di bedakan.

Page 82: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

72

B. Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang

Mengatur Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku

Yang Bekerjasama

Di negara‐negara yang sangat besar, konstitusinya menyatakan bahwa

keputusan badan legislatif merupakan ungkapan keinginan rakyat (kedaulatan

rakyat) dan bahwa badan legislatif merupakan badan pengambil keputusan yang

tertinggi. Sebagian besar badan legislatif memiliki tiga fungsi formal: (1) untuk

mewakili rakyat; (2) untuk menetapkan undang‐undang; dan (3) untuk mengawasi

badan eksekutif (perdana menteri atau presiden dan para menteri).4

Kewajiban untuk mengungkapkan suatu tindak pidana terorganisir, seperti

korupsi, penipuan, pencucian uang, narkoba dan psikotropika, terorisme

merupakan hal yang umum di banyak negara. Perlindungan whistle blower dan

justice collaborator merupakan konsekuensi logis dari kewajiban tersebut.

Namun, belum adanya mekanisme dan perlindungan yang memadai, serta

masih lemahnya penegakan hukum, merupakan masalah tersendiri bagi whistle

blower dan justice collaborator. Sebagai pengungkap skandal kejahatan publik,

sosok whistle blower dan justice collaborator belum memiliki perlindungan

hukum yang memadai.

Walaupun sudah terdapat beberapa peraturan yang secara eksplisit

mengatur perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator, seperti

4 Kelompok Kerja Kebijakan dan Manajemen Fakultas Kedokteran UGM , Pemerintah dan

Proses Kebijakan, diakses pada tanggal 8 Desember 2013 dari http://hpm.fk.ugm.ac.id/hpmlama/

images/chapter_5_6_7__8_mhp.pdf

69

Page 83: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

73

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Tindak Pidana

Pencucian Uang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Peraturan Bersama, dan SEMA tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana

(Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di

dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Hanya saja peraturan-peraturan tersebut

tidak secara jelas mengatur mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dapat

dilakukan. Serta bagaimana cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistle

blower dan justice collaborator.

Oleh karenanya, saat ini diperlukan adanya sebuah Undang-undang yang

secara khusus mengatur mengenai whistle blower dan justice collaborator.

Undang-Undang ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme pengungkapan

dan perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator untuk

mengungkap suatu penyalahgunaan wewenang yang membahayakan kepentingan

publik.

Orang cenderung tidak berani mengungkap kejahatan karena takut akan

adanya pembalasan, pemecatan, atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari

suatu jabatan tertentu atas tindakan pengungkapannya. Oleh karenanya, penting

bagi Indonesia untuk segera membentuk dan memiliki Undang-undang khusus

yang mengatur mengenai cara dan mekanisme perlindungan bagi whistle blower

dan justice collaborator.

Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice

collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang berpotensi

Page 84: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

74

menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut untuk

melapor. Padahal, whistle blower dan justice collaborator memiliki potensi dan

peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana serius

dan terorganisir.

Oleh sebab itu, penulis merekomendasikan solusi perlindungan hukum

whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan

pengaturan perlindungan. Solusi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk

membuat undang-undang yang secara khusus mengatur whistle blower dan justice

collaborator, atau paling tidak dapat menjadi masukan dalam revisi Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

C. Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Pelaku Yang Bekerjasama

Konsep sanksi pemidanaan dalam pendekatan restorative justice tidak

mengenal metode pembalasan, tetapi lebih kepada konsep pemulihan untuk tujuan

membuat segala sesuatunya menjadi benar. Beberapa konsep sanksi pidana yang

dikenal dalam pendekatan restorative justice adalah sebagai berikut : restitusi

(pengganti kerugian), program kerja sosial, dan konpensasi terhadap korban. 5

5 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan

Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 182

Page 85: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

75

Dalam konsep restorative justice tidak semua orang harus diperlakukan

sama dihadapan hukum (equality before the law),6 karena ada hal-hal yang

membedakan orang tersebut dengan orang lain (menjadi whistle blower dan

justice collaborator), sehingga atas perbedaannya itulah seseorang dapat tidak

dipidana dengan syarat bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang

diakibatkan perbuatan yang ia lakukan.

Oleh karena itu, konsep restorative justice yang bertujuan untuk

memulihkan kerugian yang diderita oleh korban (Negara atau Warga Negara) ini

sangat tepat untuk diterapkan terhadap whistle blower dan justice collaborator.

Dalam konsep restorative justice, yang di pulihkan adalah meliputi pemulihan

hubungan antara pihak korban dan pelak, pemulihan ini sangat penting dengan

alasan:

1) Dalam sitem pemidanaan konvensional, whistle blower dan justice

collaborator tidak diberikan ruang untuk dapat berpartisifasi langsung dalam

penyelesaian masalah mereka, sehingga partisifasi aktif whistle blower dan

justice collaborator yang semestinya mendapat penghargaan tidak menjadi

penting, yang pada akhirnya semuanya akan bermuara pada putusan

pemidanaan tanpa melihat esensi.

2) Whistle blower dan justice collaborator dapat membantu mengungkapkan

kasus tindak pidana terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan

6 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,

(Bandung: Alumni, 2006), h. 170

Page 86: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

76

kerjasamanya tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar dalam

membantu upaya pemberantasan tindak pidana terorganisir, seperti tindak

pidana korupsi yang semakin bermacam modus operandinya.

3) Penghapusan tuntutan terhadap whistle blower dan justice collaborator akan

menyebabkan para pihak berani mengungkapkan kasus tindak pidana

terorganisir yang dilakukannya. Sehingga, kasus tindak pidana terorganisir dan

rapih akan terbongkar secara masif dan signifikan.

Dalam hal ini, tanggung jawab yang dimiliki oleh whistle blower dan

justice collaborator terdiri atas:

1) Tanggung jawab untuk mengembalikan segala kerugian yang ia lakukan

terhadap korban, misalnya mengembalikan semua asset hasil korupsi.

2) Tanggung jawab untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk

membongkar kasus tindak pidana terorganisir yang ia laporkan atau ia ketahui

hingga ke akar-akarnya. Konsep ini merupakan upaya pemulihan kerugian

yang diderita oleh korban. Tanggung jawab whistle blower dan justice

collaborator dalam hal merestorasi kerugian korban inilah yang seharusnya

menggantikan pemidanaan bagi whistle blower dan justice collaborator.

Lemahnya perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator

ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu : pertama permasalahan riil yang

menunjukkan kenyataan bahwa whistle blower dan justice collaborator tidak

mendapatkan penghargaan dan perlindungan, bahkan turut dijadikan tersangka

Page 87: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

77

atas kasus yang dilaporkannya, kedua permasalahan materil dan formil dalam

berbagai peraturan.

Permasalahan riil yang selama ini terjadi, para whistle blower dan justice

collaborator di Indonesia turut dijadikan tersangka atas kasus yang

dilaporkannya, bahkan dikriminalisasi atas kasus lain. Contoh faktual adalah

kasus mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik

Indonesia, yaitu Komisaris Jenderal Susno Duadji. Kontribusi Susno Duadji

dalam mengungkap kejahatan korupsi, mafia hukum, dan mafia pajak tidak

diapresiasi oleh Negara. Susno Duadji malah diputus bersalah atas kasus yang

dilaporkannya sendiri. Dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa Negara tidak

memberikan perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator.

Perlindungan hukum bagi dalam whistle blower dan justice collaborator

harus mencakup aspek konseptual dan aspek teknis. Kedua aspek ini merupakan

suatu kesatuan. Sebab, konsep perlindungan hukum tanpa disertai teknis yang

jelas akan menghasilkan konsep yang abstrak, begitupun sebaliknya. Aspek

konsep dan teknis merupakan syarat afkumulatif yang harus ada dalam

perlindungan hukum ini.

Ide perlindungan whistle blower dan justice collaborator sesungguhnya

telah diamanatkan dalam pasal 33, dan pasal 37 ayat (1), (2), dan (3) United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam pasal (3) disebutkan :

Page 88: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

78

“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai

dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan

dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam

penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan

konvensi ini”.

Pemberian imunitas kepada whistle blower dan justice collaborator yang

membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan

terorganisir menimbulkan banyak pro dan kontra. Hal ini memang bukan tanpa

alasan, perdebatan tersebut didasarkan atas dua alasan, pertama orang yang

melakukan tindak pidana harus diberikan hukuman yang setimpal, kedua

dikhawatirkan terjadinya diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana lain.

Argumentasi di atas merupakan pengejawantahan prinsip equality before

the law dan prinsip non-impunity, prinsip tersebut merupakan elemen pokok dari

konsepsi HAM. Kedua prinsip ini menyatakan bahwa semua orang berkedudukan

sama di muka hukum, sehingga semua orang yang bersalah harus dihukum tanpa

ada pengecualian.7 Oleh karena itu, prinsip ini memandang bahwa whistle blower

dan justice collaborator tidak boleh dilindungi, melainkan harus dihukum seperti

pelaku tindak pidana terorganisir lainnya.

Prinsip equality before the law dan non-impunity, dalam konsep

restorative justice dapat dikecualikan penerapannya. Konsep restorative justice

menyatakan bahwa, tidak semua orang harus diperlakukan sama karena ada hal-

hal yang membedakan orang tersebut dengan orang lain, sehingga atas

7 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,

h.102

Page 89: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

79

perbedaannya itulah seseorang dapat saja tidak dipidana asalkan bertanggung

jawab untuk memulihkan kerugian yang diakibatkannya. Dalam hal ini, konsep

restorative justice sangat tepat diterapkan untuk melindungi whistle blower dan

justice collaborator.

Oleh karena itu, penulis menawarkan teknis perlindungan hukum bagi

whistle blower dan justice collaborator yang sesuai dengan konsep keadilan

restoratif (restorative justice), yaitu sebagai berikut :

1. Kualifikasi dan Syarat Perlindungan Hukum

Langkah pertama yang harus terpenuhi apabila seseorang dapat di

kualifikasikan sebagai whistle blower dan justice collaborator, kemudian

ingin mendapatkan perlindungan hukum dari Negara harus memenuhi kriteria

persyaratan sebagai berikut :

1) Merupakan individu yang pertama kali melaporkan adanya tindak pidana

terorganisir, sehingga dalam satu kasus terorganisir hanya satu orang saja

yang dapat dikualifikasikan sebagai whistle blower dan justice

collaborator, hal ini juga dimaksudkan agar setiap orang berlomba untuk

menjadi whistle blower dan justice collaborator.

2) Tidak merupakan pelaku utama atas tindak pidana serius dan terorganisir

yang ia laporkan, syarat ini bermaksud membongkar otak intelektual dan

memberantas kasus tindak pidanaserius dan terorganisir sampai tuntas.

3) Harus menyadari dan mengakui kesalahannya, ia harus menyadari atas

kerugian bagi korban yang ditimbulkan dari tindakannya tersebut,

Page 90: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

80

sehingga ia mau membuka informasi yang seluas-luasnya, dan tercapailah

tujuan dari restorative justice yaitu pemulihan bagi korban.

4) Bertanggungjawab atas kerusakan yang timbul akibat tindak pidana yang

dilakukannya tersebut, bukan atas paksaan atau ada unsur intervensi

politik dari pihak lain.

5) Bekerjasama secara kooperatif dengan aparat penegak hukum dalam

mengusut dan membongkar kasus tindak pidana terorganisir yang

dilaporkannya hingga ke akar-akarnya.

Kualifikasi dan syarat perlindungan tersebut merupakan bersifat

keseluruhan (akumulatif), kualifikasi dan syarat tersebut harus dapat terpenuhi

oleh seseorang yang ingin menjadi whistle blower dan justice collaborator,

sehingga berhak mendapatkan perlindungan hukum dan diberikan

penghargaan dari Negara atas jasanya tersebut.

2. Jenis Perlindungan Hukum

Apabila seseorang telah memenuhi kualifikasi dan syarat menjadi

whistle blower dan justice collaborator, kemudian ia behak mendapatkan

perlindungan hukum, maka yang bersangkutan akan diberikan perlindungan

hukum berupa perlindungan dari segala tuntutan pidana atau perdata.

Perlindungan dari segala tuntutan pidana atau perdata ini dimaksudkan agar

whistle blower dan justice collaborator tidak dituntut oleh pihak yang merasa

dirugikan atas laporan dan kesaksiannya. Perlindungan ini terdiri atas tiga

jenis, yaitu sebagai berikut :

Page 91: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

81

1) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas laporannya, ini penting

terkait dengan apresiasi dan penghargaan yang didapat oleh seorang

whistle blower dan justice collaborator dari Negara. Jangan sampai terjadi

whistle blower dan justice collaborator dilaporkan balik dan kemudian

dituntut atas pencemaran nama baik terhadapa apa yang ia laporkan

tersebut.

2) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas kasus yang

dilaporkannya, bentuk perlindungan hukum ini penting terkait dengan

tidak dapat dituntut dan tidak ikut dijadikan tersangka dalam kasus serius

dan terorganisir yang dilaporkannya.

3) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas kasus lain, misalnya

seorang whistle blower dan justice collaborator tidak dapat dituntut

dengan kasus lain, jangan sampai seorang whistle blower dan justice

collaborator dituntut dengan kasus lain.

Jenis perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice

collaborator dalam tiga model tersebut menjadi sangat urgent dalam suatu

proses pemberantasan tindak pidana serius dan terorganisir, karena dapat

menghambat dan membuat penanganan terhadap kasus tindak pidana serius

dan terorganisir tersebut menjadi semakin lama, dan tidak ada kepastian

hukum bagi seorang yang sudah dinyatakan sebagai whistle blower dan justice

collaborator.

Page 92: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

82

3. Model Perlindungan Kolaboratif

Perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator

seharusnya dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh aparat penegak hukum,

bukan hanya terpusat dilakukan oleh satu aparat penegak hukum saja.

Keseluruhan aparat penegak hukum tersebut yang paling utama adalah

Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK), kemudian Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan

Republik Indonesia dan Mahkamah Agung RI.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga utama

dalam proses perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice

collaborator, oleh karenanya dalam amandemen Undang-undang No. 13

tahun 2006 harus benar-benar mengakomodasi konsep restorative justice agar

semua yang terlibat dalam kasus meras adil.

Dengan sistem perlindungan kolaboratif, seorang whistle blower dan

justice collaborator yang melapor kepada aparat penegak hukum, tidak dapat

digugat balik atas pencemaran nama baik, turut dijadikan tersangka dalam

kasus yang ia laporkan, dan tidak dapat dituntut atas tindak pidana lain.

Sehingga proses kriminalisi terhadap whistle blower dan justice collaborator

tidak dapat dilakukan, karena seorang whistle blower dan justice collaborator

sudah memperoleh perlindungan hukum dari penegak hukum, hal ini juga

merupakan konsekuensi daripada penerapan konsep restorative justice.

Page 93: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

83

Dalam konsep restorative justice dikenal dengan prinsip due process

(penyelesaian yang adil) dan perlindungan yang setara. Kedua prinsip tersebut

harus menjadi batu pijakan aparat penegak hukum dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator.

4. Model Perlindungan Komprehensif

Model perlindungan hukum yang komfrehensif dari aparat penegak

hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator akan berdampak pada

kepastian hukum bagi sang whistle blower dan justice collaborator, dan akan

berdampak positif terhadap penegakan hukum dan pemberantasan tindak

pidana terorganisir. Model komfrehensif tersebut bersifat menyeluruh mulai

dari tahapan berikut ; Pertama, pada tahap pemberian laporan oleh seorang

whistle blower dan justice collaborator. Kedua, tahap penindaklanjutan

laporan yang terdiri atas penyelidikan, penyidikan, sampai pada pengadilan.

Ketiga, pada tahap penjatuhan putusan oleh pengadilan tehadap kasusnya

tersebut.

Perlindungan yang bersifat komfrehensif dari aparat penegak hukum

ini bertujuan untuk mejamin hak-hak seseorang setelah ia dinobatkan sebagai

whistle blower dan justice collaborator, dan juga bertujuan agar perlindungan

hukum berjalan maksimal demi tercapainya kepastian hukum. Oleh

karenanya, seorang whistle blower dan justice collaborator harus dilindungi

sejak tahap pelaporan hingga tahap penjatuhan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Page 94: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

84

5. Putusan Yang Bersifat Integratif

Putusan pengadilan merupakan tahap akhir dari proses peradilan,

terkait dengan whistle blower dan justice collaborator, maka putusan

pengadilan tersebut harus sesuai dengan konsep restorative justice, karena

memang sejak awal sang whistle blower dan justice collaborator sudah

mengikatkan diri, tunduk dan mengikitu setiap ketentuan yang berlaku

berdasarkan prinsip restorative justice.

Oleh karena itu, setiap putusan pengadilan terhadap kasus tindak

pidana serius dan terorganisir, hanya ada satu whistle blower dan justice

collaborator, maka putusan pengadilan tersebut harus memuat dan berisi dua

hal, yaitu Pertama, pemidanaan bagi aktor intelektual atau pelaku utama

kasus tindak pidana terorganisir. Kedua, pembebasan bersyarat terhadap

whistle blower dan justice collaborator, dengan ketentuan ia telah memenuhi

kualifikasi dan syarat mendapat perlindungan hukum dari Negara.

Sehingga pembebasan bersyarat bagi whistle blower dan justice

collaborator baru dapat diberikan apabila whistle blower dan justice

collaborator sudah terlebih dahulu melalui serangkaian proses persidangan di

pengadilan. Pembebasan bersyarat terhadap whistle blower dan justice

collaborator dilakukan ini harus dilakukan secara integratif, artinya

pembebasan bersyarat tersebut diintegrasikan kedalam putusan pengadilan

yang memidana terdakwa aktor intelektual atau pelaku utama dalam kasus

tindak pidana serius dan terorganisir tersebut.

Page 95: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

85

6. Pembebasan Bersyarat

Berdasarkan apa yang telah penulis jelaskan diatas, seorang whistle

blower dan justice collaborator dapat dibebaskan dengan pembebasan

bersyarat apabila ia tunduk, patuh dan melaksanakan ketentuan kualifikasi dan

syarat memperoleh perlindungan hukum dari Negara, ia juga telah melewati

proses persidangan di pengadilan. Putusan pengadilan yang dimaksud penulis

disini adalah putusan pengadilan yang bersifat tetap atau berkekuatan hukum

tetap (inkra, yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat dilakukan upaya

hukum terhadapnya. Ini merupakan penghargaan Negara yang patut didapat

oleh sang whistle blower dan justice collaborator, sehingga berdampak positif

terhadap pemberantasan kasus tindak pidana serius dan terorganisir, seperti

kasus korupsi di Indonesia ini yang akan terus terjadi.

Pemberian penghargaan kepada whistle blower dan justice

collaborator dengan pembebasan bersyarat memiliki kelebihan-kelebihan,

yaitu penghargaan dari Negara tersebut dapat mendorong para koruptor

misalnya, sebagai tindak pidana serius dan terorganisir akan banyak yang

tertarik menjadi whistle blower dan justice collaborator, sehingga tindak

pidana tersebut akan terungkap secara signifikan dan masif. Kemudian

dampaknya mereka yang akan berniat melakukan kejahatan serius dan

terorganisir, merasa takut karena rekan kerja mereka dapat melaporkannya

dan bekerjasama dengan aparat penegak hukum.

Page 96: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

86

Namun demikian, pembebasan bersayarat ini bukan merupakan

sesuatu yang sempurna, pada dasarnya terdapat kelemahan-kelemahnnya,

yaitu terhadap kasus serius dan terorganisir merupakan kejahatan luar biasa

(extra ordinary crime), ada sebagian kalangan yang berpandangan bahwa

pembebasan terhadap whistle blower dan justice collaborator tidak adil,

karena sudah merugikan masyarakat luas dan Negara. Kemudian pembebasan

terhadap whistle blower dan justice collaborator bertentangan dengan prinsip

non-impunity dan equality before the law.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa pembebasan

terhadap whistle blower dan justice collaborator ini memiliki beberapa

kekurangan. Namun kekurangan-kekurangan tersebut dapat diatasi, argumen-

argumen sebagai berikut :

1) Kerugian masyarakat dan negara sebagai akibat dari perbuatan tindak

pidana terorganisir seperti korupsi yang dilakukan oleh whistle blower dan

justice collaborator sangatlah besar. Namun bila menggunakan perspektif

kedepan (forward looking), maka kerugian ini dapat diatasi oleh kelebihan

dari adanya pembebasan terhadap whistle blower dan justice collaborator.

Dimana pembebasan tersebut akan berdampak pada :

a) Mendorong terungkapnya kasus tindak pidana serius dan terorganisir

dalam jumlah masif, dan dilakukan dengan berbagai modus

operandinya.

Page 97: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

87

b) Membuat orang yang akan berniat atau melakukan tindak pidana serius

dan terorganisir merasa takut untuk melakukan perbuatan tersebut.

Sehingga, kerugian masyarakat dan negara dapat dikompensasi melalui

keuntungan yang akan ditimbulkan oleh seorang whistle blower dan

justice collaborator.

2) Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan terorganisir harus diatasi

dengan cara luar biasa pula. Cara konvensional yang menekankan

pemidanaan sebagai pembalasan (retributive) terbukti tidak mampu

membuat efek jera bagi para pelaku tindak pidana terorganisir. Sehingga

dibutuhkan cara luar biasa yang menekankan pada pemulihan (restorative)

yaitu hukuman restoratif yang memberikan tanggung jawab kepada

whistle blower dan justice collaborator untuk memulihkan kerugian

masyarakat dan negara, pemulihan tersebut melalui pertanggungjawaban

mengembalikan kerugian masyarakat dan Negara, dan bekerja sama

dengan aparat penegak hukum dalam membongkar kasus tindak pidana

serius dan terorganisir yang dilaporkannya. Hukuman restoratif ini

merupakan pengganti dari hukuman penjara. Dalam hal ini whistle blower

dan justice collaborator dianggap sudah dihukum melalui hukuman

restoratif sehingga whistle blower dan justice collaborator dapat

dibebaskan dari pemidanaan.

3) Prinsip non-impunity yang diterapkan dalam hukum pidana konvensional

menyatakan bahwa whistle blower dan justice collaborator tidak dapat

Page 98: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

88

dibebaskan dari tuntutan pemidanaan. Namun, prinsip ini dapat

dikesampingkan dalam konsep restorative justice sebagai konsep baru

dalam hukum pidana yang lebih mengutamakan pemulihan kerugian

ketimbang menghukum whistle blower dan justice collaborator.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis menilai bahwa

pembebasan dapat diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator.

Pembebasan bagi whistle blower dan justice collaborator ini dimungkinkan

menurut konsep restorative justice yang menganggap bahwa sistem

pemidanaan dan pemenjaraan tidak relevan untuk diterapkan terhadap hal-hal

tertentu. Sehingga, restorative justice dan whistle blower serta justice

collaborator sebagai sesuatu yang baru pada abad ke-20 harus dipandang

sebagai suatu perkembangan yang harus diterapkan satu sama lain, mengingat

sistem hukum pidana konvensional yang berorientasi pada pembalasan sudah

tidak relevan diterapkan terhadap whistle blower dan justice collaborator.

Page 99: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

89

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisis yang penulis dapatkan, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap pelapor tindak

pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No. 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih sangat lemah,

indikasi ini dapat dilihat dari beberapa segi, pertama terkait permasalahan riil

yang terjadi, dan kedua terkait dengan permasalahan materil dan formil

kebijakan legislatif yang dijadikan dasar perlindungan masih parsial dan

belum komfrehensif.

2. Konsep ideal perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi

pelaku yang bekerjasama harus menggunakan pendekatan restorative justice,

dalam konsep restorative justice tidak mengenal metode pembalasan akan

tetapi lebih menekankan pada pemuliham. Teknis perlindungan hukum

terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama harus

meliputi antara lain sebagai berikut: 1). Kualifikasi dan syarat perlindungan

hukum, 2). Jenis perlindungan hukum, 3). Model perlindungan kolaboratif,

4).Model perlindungan komprehensif, 5).Putusan yang bersifat integratif dan

6).Pembebasan bersyarat.

Page 100: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

90

B. Saran-saran

Setelah penulis membaca, meneliti, menganalisa dan menyimpulkan maka

dengan ini penulis memberikan saran-saran kepada pihak yang berwenang sesuai

dengan kewenangannya yaitu sebagai berikut :

1. Bagi lembaga Legislatif atau Pemerintah, hendaknya membentuk peraturan

perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan

hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama

atau dengan cara merevisi Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang

perlindungan saksi dan korban, dalam amandemen undang-undnag tersebut

harus memuat materi yang menyatakan menghapuskan tuntutan pemidanaan

atas kasus yang dilaporkan oleh seorang pelapor tindak pidana dan saksi

pelaku yang bekerjasama.

2. Bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, agar memperluas kewenangan

dan penguatan kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam

melindungi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.

3. Bagi instansi pemerintah dan swasta, agar membentuk mekanisme pelaporan

whistle blower di institusi pemerintah maupun swasta demi menjaring

laporan dari masyarakat atau orang-orang yang tahu tentang tindak pidana

terorganisir. Dengan melibatkan dan meningkatkan peran serta masyarakat

dalam melaporkan tindak pidana terorganisir yang ia ketahui, maka akan

mempersempit gerak dan pelaku tindak pidana serius dan terorganisir yang

akan atau telah tejadi dengan bermacam-macam modus operandinya.

Page 101: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

91

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, Jakarta: Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011

----------, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang

Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan

Pidana, (Makalah disampaikan pada Stadium General Fakultas Hukum UII,

Jogjakarta, 17 April 2013)

----------, Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator dalam Sistem Hukum

Pidana di Indonesia, diakses pada tanggal 21 Nopember 2013 dari

http://www.elsam.or.id/downloads/1308812895

_penanganan_dan_perlindungan__justice_collaborator_.pdf

Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum Di Indonesia, Banjarmasin:

FH Universitas Lambung Mangkurat, 1980

Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Denpasar: Pustaka Larasan,

2012, Edisi I

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), Jakarta: Buana ilmu

Populer, 2004

Arjun Alqindy Tumangger, Justice Collaborator dalam Driving Simulator SIM di

Korlantas POLRI, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada

http://legalscraw.wordpress.com/2013/08/30/justice-collaborator-dalam-

driving- simulator-sim-di-korlantas-polri

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta: UII Press, 2003

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2003

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang

Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UUI Press, 2006

----------,Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta: UII

Press, 2010

Bambang Waluyo, Viktimologi : Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta: Sinar

Grafika, 2012

Page 102: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

92

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1996

----------,Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana

Penjara, Semarang: Badan Penerbit Undip, Cet. II, 1996

----------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada, 2007

----------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,

Bandung : PT. Citra Adhya Bakti, 2005

----------, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan Dalam

Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, No. 4 Tahun 1994

Bismar Siregar, Rasa Keadilan, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996

Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terj: Koesnoen, Jakarta: Pembangunan,

1970

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Amerika: West Pblishing Co, 2009,

Nhinty Edition

Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara

Pustaka, 1997

Denny Indrayana, Komisi Negara Independen, Evaluasi Kekinian dan Tantangan

Masa Depan, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga

negara, rekomendasi bagi pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW

dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007

----------, Pembagian Pengaturan Whistleblower dan Justice Collaborator Di Revisi

KUHAP dan Revisi Undang-undnag No. 13 Tahun 2006, Serta Peran

Strategis LPSK, Dalam seminar “Menyongsong Perspektif Baru

Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)”, Jakarta, 10 April 2013

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan Anatara Norma dan Realita, Jakarta: Rajawali Press, 2007

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku

Ichtiar, 1962

Page 103: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

93

Eddy O.S. Hiarij, Legal Opinion: Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-

undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

(Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Tahun 2010

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,

(Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010)

----------, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Pendekatan

Keadilan Restoratif dalam Praktek penegakan Hukum Pidana, (Disertasi FH

UI)

----------, LPSK, Sistem Peradilan Pidana Dan Upaya Perlindungan Korban,

Makalah dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan

oleh LPSK

----------, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana, (Makalah,

Jakarta, 2011)

----------, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, 2011

Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Calloborator Dalam Perspektif Hukum,

Jakarta: Penaku, 2012

Geoffrey Hunt, Whistleblowing, Commissioned Entry For Encyclopedia of Applied

Ethics, California: Academic Press, 1998

Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale,

Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990

Hukum Online, Penerapan Justice Colloborator Harus Diperketat, Artikel diakses

pada 19 November 2013 dari http://hukumonline.com/ berita/baca/penerapan-

ijustice-collaborator-i-harus-diperketat

I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, Jakarta:

Sinargrafika, 2003, Cet. III

I.S. Susanto, Pemahaman Kritis terhadap Realitas Sosial, dalam “Masalah- Masalah

Hukum” Semarang: FH Undip, Nomor 9, 1992

J.J. Von Schmid, Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Terj: Wiratno

dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, Jakarta: PT Pembangunan, 1959

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia,

2005

Page 104: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

94

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007

Komisi Yudisial, Keadilan Restoratif Dimulai dari Perkara Anak, (Buletin Komisi

Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012

Kuat Puji Prayitno, Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif

Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto), Jakarta: Jurnal

Dinamika Hukum, Vo. 12 No. 3 September 2012

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1993

Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan

Prosedurnya, Jakarta: Laporan Penelitian Pada Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010

M. Arif Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Perlindungan Korban Kejahatan

Ekonomi Di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2007

Maharani Siti Shopia, LPSK Puji Keberanian Hakim Agung Vonis Ringan Justice

Collaborator, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada

hhtp://lpsk.go.id/page/51c1ad91b45e8

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998

Majalah Kesaksian, Apresiasi Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Minim,

Jakarta: LPSK, 2012, edisi II

Mary Curtis, Whistleblower Mechanism: A Study of The Perceptions of User and

Responders, Dallas: Institute of Internal Auditors, 2006

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2008

Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Huku Buku I,

Jakarta: Alumni, 2000

----------, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional Di Masa Kini

dan Masa Akan Datang, Jakarta: Makalah, 1995

Moh. Busyro Muqoddas, Politik Hukum dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta:

UII Press, 1992

Page 105: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

95

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya

Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara

Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1992

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori -Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung :

Penerbit Alumni, 1998

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2003

Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, Yogyakarta: UII

Press, 2005

Nurini Aprilianda, Perlindunga Hukum Terhadap Tersangka Anak dalam Proses

Penyidikan, Malang: Tesis Program Studi Hukum, Program Pasca Sarjana

Universitas Brawijaya, 2001

O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

Terpidana, Bandung: Alumni, 2006

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1983

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In-Hill Co, 1989

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakartta: Kencana Prenada Media

Group, 2005

Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika,

Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember 1994

----------, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1987

Quentin Dempster, Para Pengungkap Fakta, Jakarta: ELSAM, 2006

Rahardian FN dan Sularto Pujiyono, Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku

Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/Justice Collaborator (Telaah Yuridis

Putusan No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ Pn.Jkt.Pst Pengadilan Tipikor Jakarta),

(Diponegoro Law Review, No. 1, Tahun 2012)

Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, Colorado: Lynne

Rienner, 2003

Page 106: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

96

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui

Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Saparinah Sadeli, Persepsi Orang Mengenai Perilaku Yang menyimpang, Jakarta:

Bulan Bintang, 1976

Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Sinar

Grafika, 2012

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2006

Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1983

----------, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990

----------, Kapita Selekta Hukum Pidana dafam Bab Kedudukan Undang-undang

Pidana Khusus dalam Sistem Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986

Sudarwan Danim, Menjadi peneliti Kualitatif , Bandung: Pustaka Setia, 2002

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 1993

----------, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2004

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 1996

Supriyadi Widodo Eddyono, Undang-Undang Perlindungan Saksi Belum Progresif

(Catatan Kritis Terhadap Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang

perlindungan Saksi dan Korban), Jakarta: ELSAM & Koalisi Perlindungan

Saksi, 2006

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2005

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1993

Page 107: KEBIJAKAN LEGISLATIF PELAPOR TINDAK PIDANA ...merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas ... Maraknya pemberitaan mengenai

97

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit

Universitas Atma Jaya, 2007

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana tertentu Di Indonesia, Jakarta: Refika

Aditama, 2001, Cet. V

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni,

2000

Yutirsa Yunus, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Collaborator:

Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta:

Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional, 2013

Peraturan Perundang- Undangan :

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,

Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor

Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam Perkara Tindak

Pidana Tertentu

Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention

Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi

2003)

Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang N0. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003