kebijakan bahasa dan pendidikan · kebijakan bahasa dan pendidikan makalah ... salah satu pengaruh...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN BAHASA DAN
PENDIDIKAN
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Perkembangan
Mutakhir Metodologi Pengajaran Bahasa yang dipresentasikan di hadapan
dosen pengampu matakuliah
Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd
OLEH:
KELAS C
KELOMPOK VII:
FERNANDES ARUNG SARMADAN
JUMADIL
PROGRAM PASCASARJANA-DOKTORAL
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN BAHASA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun oleh
Fernandes Arung, Sarmadan, dan Jumadil dalam Matakuliah Isu-Isu Kritis
dalam Pendidikan dengan topik pembahasan “Kebijakan Bahasa dan
Pendidikan”.
Hadirnya makalah ini di hadapan kita karena bantuan beberapa
pihak. Kepada dosen pengampu Matakuliah Isu-Isu Kritis dalam
Pendidikan, Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd. kami menghaturkan terima
kasih yang tak terhingga atas pencerahan ilmu dan motivasi kepada kami.
Kepada teman-teman S3 PB-C Angkatan 2016 terima kasih atas
kerjasama, kebersamaan, dan kekeluargaan yang dibangun. Semoga
kerjasama ini dapat terjalin sampai tujuan dan mimpi-mimpi kita menjadi
nyata.
Tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan kami yang tidak
pernah lepas dari kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan. Makalah yang
ada di tangan Anda belumlah sempurna seperti apa yang kita harapkan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan, saran, dan kritikan
yang konstruktif demi perbaikan dan penyesuaiannya. Semoga makalah
sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin!
Jakarta, Januari 2017
Penyusun
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Language Policy Concept 3
Language Policy in Southeast Asia 4
B. Education 9
A. Perspective 10
B. Issues 15
BAB III PENUTUP 20
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Penggunaan bahasa secara umum dapat dikatakan begitu penting
dan urgen sehingga mendominasi segi-segi kehidupan manusia. Kendati
demikian, sikap skeptis terhadap penggunaan dan upaya untuk menyadari
„seandainya tidak ada bahasa‟ apakah yang mungkin akan terjadi.
Sehubungan dengan hal ini, secara khusus di Indonesia, memberikan
warna baru bagi pendidikan khususnya dalam hal kebijakan bahasa
(Language Policy). Salah satu pengaruh dari kebijakan bahasa dapat
terlihat nyata pada ranah pendidikan. Namun demikian, masyarakat umum
tidak menyadari mengapa dan bagaimana suatu bahasa digunakan dalam
rangka memediasi kepentingan nasional dan etnik minoritas.
Secara politis, di Indonesia terdapat tiga buah bahasa, yaitu bahasa
nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan
bahasa diambil untuk menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, para
pemimpin perjuangan Indonesia berdasarkan kenyataan bahwa bahasa
Melayu telah sejak berabad-abad yang lalu telah digunakan secara luas
sebagai lingua franca di seluruh Nusantara dan sistemnya cukup
sederhana, telah menetapkan dan mengangkat bahasa Melayu itu
menjadi bahasa persatuan untuk seluruh Indonesia dan memberinya
nama Bahasa Indonesia. Peristiwa pengangkatan bahasa Indonesia yang
terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam satu ikrar yang disebut
Soempah pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi
negatif dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah
penuturnya lebih banyak. Kemudian penetapan bahasa Indonesia menjadi
bahasa negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun tidak
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, para pengambil keputusan dalam
menentukan kebijaksanaan bahasa yang menetapkan fungsi-fungsi
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dapat
melakukannya dengan mulus. Bahasa Indonesia ditetapkan sesuai
1
dengan kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara,
sebagai lambang kebanggaan nasional, dan sebagai alat komunikasi
nasional kenegaraan atau intrabangsa. Bahasa daerah berfungsi sebagai
lambang kedaerahan dan alat komunikasi intrasuku. Bahasa asing
berfungsi sebagai alat komunikasi antarbangsa dan alat penambah ilmu
pengetahuan. Pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan bahasa oleh
para pemimpin negara untuk menetapkan suatu bahasa yang akan
digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan biasanya juga berkaitan
dengan keinginan untuk memajukan suatu bangsa, dan salah satunya
pada lini pendidikan.
Tujuan kebijaksanaan bahasa adalah dapat berlangsungnya
komunikasi kenegaraan dan komunikasi intrabangsa dengan baik, tanpa
menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang dapat mengganggu
stabilitas bangsa. Kebijaksanaan untuk mengangkat satu bahasa tertentu
sebagai bahasa nasional dan sekaligus sebagai bahasa negara atau
mengangkat satu bahasa nasional dan mengangkat satu bahasa lain
sebagai bahasa negara boleh dilakukan asal tidak membuat bahasa-
bahasa lain yang ada di dalam negara itu menjadi tersisih atau membuat
para penuturnya menjadi resah yang pada akhirnya dapat menimbulkan
gejolah politik dan gejolak sosial. Selain memberi keputusan mengenai
status, kedudukan, dan fungsi suatu bahasa, kebijaksanaan bahasa harus
pula memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang
biasa disebut korpus bahasa. Korpus bahasa ini menyangkut semua
komponen bahasa, yaitu fonologi, morfologi, kosakata, serta sistem
semantik. Komponen ini harus juga diperhatikan agar kebijaksanaan
kebahasaan itu bersifat menyeluruh dan tuntas. Selanjutnya segala
masalah kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan kebijaksanaan
harus segera dirumuskan dalam bentuk perencanaan bahasa yang
merupakan usaha untuk memengaruhi fungsi, struktur, dan akuisisi
bahasa, serta ragam bahasa dalam suatu komunitas berbahasa.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Language Policy Concept
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Kebijakan Bahasa
merupakan usaha suatu pemerintah atau lembaga resmi untuk
menentukan bagaimana bahasa-bahasa yang ada digunakan dalam
upaya untuk memperkuat keterampilan berbahasa yang dibutuhkan
sebagai bagian dari tuntutan suatu bangsa dan untuk memenuhi hak-hak
individu atau kelompok pengguna bahasa.
Menurut Cooper, „Language policy is a systematic, rational, theory-
based effort at the societal level to modify the linguistic environment with a
view to increasing aggregate welfare. It is typically conducted by official
bodies or their surrogates and aimed at part or all of the population living
under their jurisdiction‟1. Di sini ia menyatakan bahwa Kebijakan Bahasa
itu merupakan usaha secara sistematis, rasional, dan berdasarkan teori
pada level sosial dalam memodifikasi lingkungan linguistik dengan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan.
Setiap komunitas atau Negara memiliki pertimbangan-pertimbangan
tertentu dalam menerapkan Kebijakan Bahasa. Pertimbangan-
pertimbangan tersebut dapat merupakan pertimbangan yang murni untuk
kepentingan Negara atau bahkan untuk kepentingan pribadi maupun
golongan. Oleh sebab itu, Rappa & Wee mengatakan „the challenge for
nation-states, where language policies are concerned, is to find a judicious
balance between the desire to maintain a sense of tradition or authenticity,
and the need to accommodate the products of rational activity‟2. Dengan
kata lain, tantangan bagi suatu Negara adalah untuk mencari
keseimbangan yang bijak antara keinginan untuk memperbaiki kesan
tradisi atau keaslian, dan kebutuhan untuk mengakomodir produk-produk
aktifitas yang rasional. Berikut akan dipaparkan beberapa konsep 1Definisi Cooper tentang Kebijakan Bahasa yang kemudian diparafrase oleh Francois Grin (2003)
2 Pernyataan Rappa & Wee dalam bukunya yang bertema tentang kebijakan bahasa dan
modernisasi di Asia Tenggara.
3
Kebijakan Bahasa di beberapa Negara seperti Asia Tenggara dan
beberapa Negara lainnya.
Language Policy in Southeast Asia
Berikut beberapa gambaran perihal Kebijakan Bahasa di negara-
negara Asia Tenggara.
a) Indonesia
Bahasa Indonesia pada dasarnya telah mengalami beberapa kali
pengaruh kebijakan. Dimulai pada abad ke-7 dimana bahasa Indonesia
bermula dari bahasa Melayu dan digunakan sebagai Lingua Franca.
Kemudian pada abad 16-17, bahasa Melayu berkembang pesat dan
menjadi bahasa tulis resmi yang digunakan dalam kerajaan-kerajaan dan
Agama sehingga meluas menjadi bahasa sehari-hari dan bahasa
perdagangan. Pada saat kedatangan Islam pertama kali di Indonesia,
bahasa Melayu mengalami perubahan penulisannya sehingga menjadi
bahasa Arab-Melayu yang dibakukan sebagai bahasa Indonesia dan
ditulis dalam buku atau kitab Bahasa Melayu. Kemudian pada tahun 1947,
diubah menjadi Ejaan Suwandi atau yang disebut dengan Ejaan Republik
Indonesia dan bertahan selama 25 tahun sampai pada masa Orde Baru
mengubahnya menjadi Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
pada bulan Agustus 1972. Lebih lanjut, pemerintah mendirikan suatu
badan penerbit yang diberi nama Commissie Voor De Volkslectuur pada
tahun 1908 yang kemudian diubah menjadi Balai Pustaka pada tahun
1917. Penggunaan bahasa Indonesia dan resmi ditetapkan sebagai
bahasa nasional atau persatuan pada momen Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928 dan kemudian dituangkan dalam UUD 1945
dalam pasal 36 bahwa „Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara‟.
Setelah kemerdekaan, pemerintah menggelar Kongres Bahasa Indonesia
untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan yang berkaitan tentang
perkembangan, kebijakan, penggunaan dan pengajaran bahasa di
Indonesia dalam aspek sosial, ekonomi, politik budaya, agama, dan lain-
4
lain. Kongres ini sendiri diadakan sekali dalam lima tahun dan sempat
terhenti hingga tahun 1954 yang kembali diadakan di kota Solo.
Hal ini membuktikan bahwa Indonesia benar-benar menghargai
bahasa Indonesia sebagai bahasa Persatuan dan meyakini bahwa
dengan bahasa Indonesia maka ragam budaya, suku, adat-istiadat, dan
bahasa dapat dipersatukan melalui penggunaan bahasa Indonesia.
Sehubungan dengan hal ini, polemik mulai muncul ketika
penggunaan bahasa tidak hanya tertuju pada bahasa Indonesia tetapi
juga pada penggunaan bahasa asing. Hal ini dilandasi oleh asumsi bahwa
bangsa Indonesia harus memiliki daya saing global dalam Ilmu
Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS). Tuntutan untuk menguasai
bahasa asing sudah sejak lama dicanangkan yang berbuntut pada
diterimanya bahasa asing seperti bahasa Inggris secara formal dalam
kurikulum pendidikan di Indonesia dan menambah tiga (3) penggunaan
bahasa di Indonesia yakni bahasa Indonesia, bahasa Daerah, dan bahasa
asing. Secara yuridis, penggunaan ketiga bahasa tersebut diatur dalam
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, bab VII pasal 33 yang
menyatakan: (1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi
bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, (2) Bahasa daerah dapat
digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan
apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau
keterampilan tertentu, dan (3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai
bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung
kemampuan berbahasa asing peserta didik.
b) Malaysia
Bahasa Melayu merupakan bahasa resmi yang digunakan di
Malaysia setelah kemerdakaanya dari Inggris pada tahun 1957 dimana
saat itu, bahasa Inggris menjadi bahasa yang umum bagi rakyat Malaysia.
Pada tahun 1971, pemerintah Malaysia mendirikan „Kebijakan Pendidikan
Nasional‟, sehingga berangsur-angsur, penggunaan bahasa Inggris mulai
berkurang dan hal ini dituangkan dalam undang-undang yang menyatakan
5
„All national schools would have to use BM as the medium of instruction
for all subjects, except English. Hal ini menyebabkan kekuatiran bagi
sebagian besar unsur pemerintahan sehubungan dengan visi mereka di
tahun 2020 dimana visi tersebut mengamanhkan bahwa jika bangsa
Malaysia ingin mencapai kemajuan dalam globalisasi maka masyarakat
Malaysia harus memiliki kecakapan dalam berbahasa Inggris. Berangkat
dari pemikiran inilah sehingga pada tahun 2003 pemerintah Malaysia
kembali mempertimbangkan bahasa Inggris dalam sistem pendidikan
mereka dengan menggunakannya dalam sekolah-sekolah pemerintah
secara khusus pada mata pelajaran Matematika dan sains dan pada
tahun 2009 untuk pertama kalinya pemerintah mengadakan ujian
Matematika dan sains dalam bahasa Inggris. Keadaan ini justru menuai
pro dan kontra baik di kalangan masyarakat maupun di kalanga
pemerintah sendiri. Akan tetapi, pemerintah saat itu berpikir bahwa
selama kebanyakan referensi mata pelajaran menggunakan bahasa
Inggris, maka pelajar harus menguasai bahasa Inggris dan selain itu,
dengan bekal kemampuan berbahasa Inggris maka suatu negara pasti
mengalami perkembangan dalam ekonomi dan teknologi. Atas dasar
inilah, maka bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa kedua di Malaysia.
c) Singapura
Sejak diberikannya aturan oleh Britania pada tahun 1959, maka
terdapat empat (4) bahasa resmi di Singapura, yaitu bahasa Inggris,
Mandarin, Melayu, dan Tamil. Bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa
resmi yang digunakan dalam segala lini untuk memediasi komunikasi
formal di antara beberapa etnik yang ada sedangkan tiga bahasa resmi
lainnya digunakan sebagai bahasa ibu bagi kelompok etnik besar seperti
China, Melayu, dan India. Ironisnya, setelah mendapatkan kemerdekaan
pada tahun 1965, tidak satupun etnik China menggunakan bahasa
Mandarin sebagai bahasa pengantar mereka di rumah dan hanya 60%
etnik India menggunakan bahasa Tamil sehingga, bahasa Melayu lah
yang mereka katakan sebagai pengantar di rumah.
6
Pada tahun 1966, para orang tua dapat memilih salah satu bahasa
resmi (Bahasa Inggris, Mandarin, Melayu, atau Tamil) tersebut dalam
pendidikan sebagai bahasa pengantar. Namun demikian, semua pelajar
harus memepelajari salah satu bahasa resmi tersebut di sekolah di luar
dari pilihan utamanya. Misalnya, siswa harus mempelajari bahasa Inggris
ketika mereka tinggal di lingkungan yang tidak menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa sehari-hari mereka sehingga mereka memilih
bahasa resmi lainnya dalam proses pembelajaran. Berjalannya waktu,
pemerintah meminta semua sekolah harus mengajarkan Matematika dan
sains dalam bahasa Inggris. Melihat kondisi ini, kebanyakan orang tua
mengehentikan anak-anak mereka untuk bersekolah di sekolah-sekolah
yang menggunakan bahasa Melayu dan Tamil, sedangkan sekolah-
sekolah yang menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar
mengalami penurunan dalam kuantitas siswa sekitar 10%3.
Dengan sangat responsif, pemerintah kemudian mengambil
kebijakan pendidikan bilingual dengan sedikit modifikasi dengan konsep,
semua siswa mempelajari semua mata pelajaran mereka dengan instruksi
bahasa Inggris, tetapi mereka juga dituntut untuk menguasai bahasa
kedua mereka dalam bahasa resmi yang digunakan di rumah masing-
masing.
d) Thailand
Kebijakan bahasa di Thailand agak sedikit unik namun kompleks.
Jika dibandingkan dengan tiga negara yang telah disebutkan sebelumnya.
Uniknya bahwa perbedaan budaya di antara 70 bahasa yang digunakan
sangat membuat pemerintah Thailand untuk menentukan sikap perihal
bahasa mana yang tepat digunakan sebagai bahasa pemersatu. Semua
bahasa yang ada seakan ingin menunjukkan identitas masing-masing
untuk dijadikan sebagai bahasa nasional Thailand.
3 Proceedings of the 4th International Symposium on Bilingualism, diterbitkan oleh Cascadilla
Press.
7
Bermula dari sistem pendidikan berbasis Budha, Negara Thailand,
yang kemudian disebut dengan Siam, berubah menjadi sistem pendidikan
modern dan inilah awal dimana bahasa Thai memberikan kesan awal
untuk dijadikan sebagai bahasa pemersatu. Walaupun bahasa Thai
digunakan sebagai bahasa nasional saat itu, akan tetapi, dukungan
secara eksplisit terhadap kebijakan ini masih sangat minim, dan hal itu
nampak pada penggunaan bahasa Thai dalam pemerintahan, pendidikan,
dan media massa. Pada tahun 1940, memang telah dinyatakan bahwa
bahasa Thai merupakan bahasa Nasional. Akan tetapi, dalam undang-
undang tahun 1997 maupun 2007, tidak pernah disebutkan sedikitpun
tentang bahasa nasional. Nanti setelah tiga tahun kemudian, tepatnya
pada tanggal 7 Februari 2010, Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva
melegalkan sebuah penggunaan bahasa nasional yang baru yang
merupakan konsep dari Royal Institute of Thailand bekerja sama dengan
pemerintah saat itu, Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dan
menuangkannya ke dalam Undang-undang yang menyatakan bahwa
„Setiap warga Negara harus fasih dalam bahasa Thai dalam rangka
mencapai kesatuan dan komunikasi nasional. Aturan ini juga menuntut
warga untuk mempelajari bahasa asing yang lainnya seperti bahasa
Inggris dan Mandarin sebagai fokus utama serta bahasa-bahasa yang
digunakan oleh Negara-negara tetangga. Hadirnya pernyataan undang-
undang tersebut justru mengakibatkan Thailand masuk dalam tuntutan
deklarasi hak asasi Negara-negara persemakmuran yang menyatakan
“Merupakan kebijakan dari pemerintah untuk memberikan pilihan apakah
masyarakat akan memilih sistem pendidikan bilingual atau monolingual
bagi anak-anak muda yang bahasa ibunya berbeda dengan bahasa
nasionalnya seperti bahasa Thai, demikian pula bagi warga asing yang
masuk ke Thailand dalam rangka pekerjaan. hal ini juga disetujui oleh
UNESCO yang dengan beberapa penelitiannya tentang pembelajaran
bahasa sehingga meminta Thailand untuk melakukan pembelajaran
8
bahasa secara bertahap. Dimulai dari bahasa ibu, setelah itu bahasa
nasional, lalu kemudian bahasa asing.
B. Education
Sebelum kita masuk pada pembicaraan dan diskusi yang menarik
tentang kebijakan pendidikan di Indonesia, maka perlu kiranya dicermati
penjelasan harfiah tentang apa itu „kebijakan‟ dan juga apa itu
„pendidikan‟. Kita akan lihat dulu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Daring), bahwa kebijakan berasal dari kata dasar „bijak‟, yaitu 1) selalu
menggunakan akal budinya; pandai; mahir; 2) pandai bercakap-cakap;
petah lidah. Adapun kebijakan itu sendiri berarti 1) kepandaian;
kemahiran; kebijaksanaan; 2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan
sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai
garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis
haluan. Sedangkan, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses,
cara, perbuatan mendidik. Oleh karena itu (masih dalam KBBI), kebijakan
pendidikan adalah kebijakan suatu pemerintah untuk mengatur pendidikan
dalam negaranya.
Terkait dengan kebijakan pendidikan dalam pendidikan kaitannya
dengan makalah ini sekiranya kita perlu memikirkan dan mengambil
hikmah atas dunia pendidikan di Indonesia saat ini, baik itu ditinjau dari
segi proses maupun hasilnya. Apa yang kita lihat pada wajah pendidikan
kita? Pertanyaan ini yang semestinya menjadi bahan renungan untuk
kemudian diambil hikmahnya. Kita melihat dalam proses bahwa siswa
masih terkesan dipaksakan dan dituntut bersaing dengan temannya untuk
mendapatkan nilai yang terbaik, berkompetisi untuk tampil lebih hebat dari
temannya, serta mendapatkan juara di kelasnya. Oleh karena itu, hasil
9
pendidikan atas proses tersebut sehingga lahirlah generasi muda
Indonesia yang pintar, cerdas, berprestasi secara kogntif, tetapi
disayangkan miskin hatinya. Ilmu pengetahuan yang mereka di peroleh
dalam proses pendidikan tidak mengandung hikmah-hikmah
kemanusiaan, etika, moral, serta berkribadiaan dan berkarakter rendah.
Proses pendidikan kita ibarat alur novel, alurnya adalah alur
campuran (maju-mundur). Bahkan tidak enaknya jika kita menyebutnya
alur mundur. Keadaan yang diharapkan adalah terciptanya dunia
pendidikan di tanah air yang beriklim sehat, sarana prasarana yang
memadai, kurikulum yang progresif, kompetensi guru yang handal,
pemerataan akses pendidikan, birokrasi pendidikan yang profesional
sepertinya hanyalah mimpi belaka. Kapankah hal ini akan menjadi
kenyataan. Sekiranya, lagi-lagi kita perlu mengevaluasi orientasi
pendidikan kita, manakah yang menjadi prioritas untuk saat ini, manakah
yang penting di masa sekarang, serta nasib pendidikan itu di masa depan.
Tahun berapakah pendidikan Indonesia ke depan duduk di singgasana
kesejahteraan. Paradigma pendidikan Indonesia seutuhnya yang beriman
dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sekiranya harus menjadi
landasan utama, menjadi pijakan awal dalam meningkatkan kualitas
pendidikan di tanah air sehingga tujuan pendidikan nasional dapat dicapai
dengan maksimal. Langkah awal sangat menentukan langkah berikutnya,
seperti kata bijak “Tak mudah memang melangkahkan kaki, tapi ingatlah
perjalanan sejauh ribuan kilometer pun dimulai dari satu langkah”.
1. Perspective
Lanjutan dari bagian pendahuluan di atas bahwa perspektif atau
sudut pandang kita terhadap dunia pendidikan di Indonesia dengan segala
tantangannya yang besar saat ini perlu disesuaikan dan lebih
dimantapkan dahulu orientasinya agar indikator-indiktor pencapain dapat
direncanakan dengan baik. Sudah barang tentu orientasi itu perlu kiranya
secara konseptual dan filosofis mengacu dan berlandas nilai-nilai dasar
10
Pancasila. Kita tidak boleh menjauh dari konsep-konsep dan nilai-nilai
luhur Pancasila, sebab jika kita menjauh dari Pancasila, maka pendidikan
kita akan kehilangan identitasnya.
Diperlukan kerjasama, bahu membahu segenap elemen bangsa
Indonesia. Kita sebagai bangsa Indonesia harus berpikir, bertindak, dan
mengevaluasi hal-hal dan segala sesuatunya yang sudah berjalan, serta
memikirkan bagaimana idealnya pendidikan kita saat ini dan di masa yang
akan datang. Semboyan yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara
kiranya mesti terpatri dalam diri setiap individu bangsa Indonesia, yakni
“Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri
Handayani”, yang berarti seseorang ketika di depan memberikan suri
teladan, di tengah-tengah membangkitkan semangat, serta memberikan
dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Makna semboyan
tersebut sangatlah relevan dengan nilai-nilai Pancasila. Namun demikian,
hari ini, seberapa besarkah konsistensi kita untuk konsekuen dalam
menerapkan falsafah dan nilai-nilai Pancasila itu untuk kemudian
menyerap dalam sendi-sendi pendidikan di Indonesia.
Secara historis, sosiologis, maupun kultural kita bangsa Indonesia
memiliki sumber daya yang spektakuler untuk mewadahi,
mengakomodasi, dan mewujudkan suatu sistem pendidikan yang
berkualitas dan mencapai tujuan pendidikan nasional yang lebih baik.
Indonesia kaya akan sumber daya alam, beragam suku bangsa, bahasa,
serta adanya nilai-nilai kearifan lokal di setiap daerah. Tidak ada satu
pernyataan pun yang dapat membantah realitas ini. Namun demikian,
karena ketidakmampuan kita dalam memanajemen sumber daya itu,
sehingga ada bias yang tercipta. Ketidakmampuan kita merawat bangsa
dan negara „yang seksi‟ ini yang anggap saja kita lengah atas keadaan ini
yang kemudian dimanfaatkan oleh bangsa dan negara lain untuk
mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, serta mengeksploitasi
seksinya Indonesia dengan sangat rakusnya.
11
Mengobati penyakit yang sudah lama dan terus-menerus kambuh
ini, tidak ada jalan lain selain memperbaiki dan menata sistem pendidikan
kita sekarang ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memperhatikan
dunia pendidikannya. Berkaca dari negara lain kiranya bukanlah hal yang
memalukan untuk dilakukan. Kita mungkin masih mengingat Bom Atom
yang diledakakan di Hiroshima 6 Agustus 1945 dan Nagasaki 9 Agustus
1945 di Jepang yang dilakukan oleh Amerika pada Perang Dunia II yang
menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa. Jepang lumpuh pada saat itu,
menyerah. Perhatian serius pemerintah Jepang pascabom atom, yakni
oleh Kaisar Hirohito yang bertanya “Berapa jumlah guru yang tersisa?”.
Kaisar Hirohito melihat seorang guru seperti melihat sebuah masa depan
cerah untuk Jepang. Reaksi yang ditunjukkan oleh Kaisar Hirohito adalah
untuk memberikan motivasi dan memerintahkan lima hal, yaitu: 1) guru
harus melaksanakan pendidikan yang bermutu, 2) guru harus disiplin dari
murid, 3) guru harus lebih pintar dari murid, 4) pendidikan itu harus bisa
menuntun industri, dan 5) Saya akan kirimkan sebagian Anda ke luar
negeri, pelajari dengan benar dan bawa pulang ke Jepang. Berdasarkan
instruksi tersebut, maka kita dapat menyimpulkan betapa bernilainya
seorang guru di mata Kaisar Hirohito. Sangat bernilainya guru saat itu,
seperti betapa bernilainya guru saat ini. Jepang menjadi negara maju
seperti saat ini tak lepas dari pengaruh dan campur tangan guru. Tanpa
guru, mungkin Jepang saat ini akan tetap terpuruk dan takkan menjadi
salah satu negara yang ditakuti oleh negara lain.
Bagaimana di Indonesia? Konteks masalah pendidikan di Indonesia
sekiranya tidaklah separah dan serumit masalah Jepang seperti yang
diceritakan di atas. Hanya saja, butuh komitmen dan integritas seluruh
komponen bangsa untuk memajukan dunia pendidikan di tanah air
tercinta. Sekiranya tanggung jawab terhadap pendidikan tidak hanya kita
bebankan kepada guru, sebab pendidikan itu tidak hanya dilaksanakan
oleh guru di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan di
masyarakat. Meskipun demikian, guru tidak boleh lalai dengan tugas
12
pokok dan tanggung jawabnya. Mentang-mentang ada pernyataan bahwa
tanggung jawab itu tidak hanya pada guru, lantas kemudian guru tidak lagi
giat belajar dan meningkatkan kompetensi. Sekali lagi hal ini perlu
diperhatikan oleh guru. Di sisi lain, guru juga harus diberikan independensi
untuk menjalankan tugas profesionalnya dalam membimbing, mendidik,
mengajar peserta didiknya. Saat ini ada ketakutan dari pihak guru itu
sendiri dimana ketika mereka melakukan didikan yang tujuannya positif,
terkadang menjadi boomerang bagi mereka. Sampai ada yang
dikasuskan, bahkan dipidana penjara karena mendidik siswanya yang
bandel. Oleh karena itu, pemerintah secara konstitusi perlu memberikan
perlindungan atas profesionalisme guru.
Yang perlu dilakukan saat ini adalah konsistensi dan sikap
konsekuen dari pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang Dasar
1945, khususnya Bab XIII yang mengatur pendidikan dan kebudayaan
sebagai payung hukum kebijakan pendidikan di tanah air. UUD 1945
Pasal 31 (ayat 1) dinyatakan bahwa Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan; (ayat 2) Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (ayat 3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang; (ayat 4) Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; dan (ayat 5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia4. Dan, hal yang
digarisbawahi atas UUD 1945 tersebut adalah upaya penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan keimanan dan
4 UUD 1945, Pasal 31.
13
ketakwaan serta akhlak mulia. Dalam pasal 32 pun sudah diamanahkan
pada (ayat 1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (ayat 2) Negara
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.
Lahirnya UUD 1945 tersebut menurut kami bahwa para konseptor
pendiri bangsa sudah memikirkan secara ainul yakin dan haqul yakin jika
seseorang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia, niscaya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan akan ada
dalam setiap individu-individu bangsa Indonesia. Kita perlu merefleksi,
menghayati, dan menerapkan amanah UUD 1945 untuk memperbaiki
jalannya system pendidikan kita yang belum terarah dengan tepat. In sha
Allah jika kita konsisten menerapkan apa yang diamanahkan dalam UUD
1945 yang berorientasi iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia sekiranya menjadi sunrise cahaya baru untuk
mencerahkan wajah pendidikan yang sebelumnya gelap.
Namun demikian, di balik itu ada skeptis yang lagi-lagi muncul jika
ditinjau bahwa adanya budaya epistemik yang berbeda dalam produksi
ipteks dan pemanfaatan pengetahuan itu sendiri. Maksud dari pernyataan
tersebut adalah pesat dan tumbuhnya berbagai macam produk ipteks
(sebagai produk-produk luar negeri yang masuk di Indonesia) ternyata
belum diimbangi dengan kemampuan praktis, manajemen, serta
kompetensi aplikatif atas sistem produksi yang digunakan dan terus
berjalan. Dampak secara simultan yang positif masih jauh dari kenyataan.
Artinya bahwa belum ada balance antara dua sisi tersebut. Sebagai
contoh, misalnya di daerah-daerah di Indonesia telah disediakan komputer
lengkap dengan perangkat internetnya. Akan tetapi, oleh karena ilmu
pengetahuan dan skill yang masih terbatas untuk mengaplikasikan
perangkat-perangkat tadi sehingga fasilitas tersebut seolah sia-sia. Atau
14
mungkin program-program yang ada sekarang ini dilakukan tidak didahului
oleh analisis kebutuhan.
Belum lagi adanya indikasi-indikasi penyelewengan dalam proyek-
proyek pendidikan, sistem „geng‟ dalam proyek-proyek pendidikan, korupsi
yang terjadi secara sistematis dan tidak sistematis, program pendidikan
yang tidak enaknya jika dikata bahwa hanya sebatas menghabiskan
anggaran, beda rezim beda kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum,
penempatan jabatan yang tidak sesuai kompetensi, kapasitas, maupun
kapabilitas, artinya semau penguasa yang dikaitkan dengan politik, dan
sebagainya. Perspektif pendidikan di Indonesia tidak dapat pula
dilepaskan dengan kesepakatan-kesepakatan kerjasama (MoU) antara
pemerintah Indonesia dengan negara lain, baik itu kerjasama bilateral,
regional, maupun internasional yang secara langsung maupun tidak
langsung menghambat progress mutu pendidikan nasional.
2. Issues
Baiklah, dari sekian isu-isu yang ada seputar dunia pendidikan di
tanah air, seperti yang disebutkan sebelumnya, yakni terciptanya dunia
pendidikan di tanah air yang beriklim sehat, sarana prasarana yang
memadai, kurikulum yang progresif, kompetensi guru yang handal,
pemerataan akses pendidikan, birokrasi pendidikan yang professional,
tetapi ada satu hal yang menurut kami harus dan wajib menjadi perhatian
kita saat ini adalah tanggapan kita terhadap isu-isu SARA yang sengaja
dihembuskan oleh pihak dan kelompok tertentu dengan tujuan yang dapat
diketahui bersama, yakni untuk memecah belah kerukunan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan yang bertujuan meningkatkan iman
dan takwa, serta akhlak mulia sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 32
untuk diimplementasikan dalam dunia pendidikan perlu kita sediakan
ruang yang representatif dan sehat untuk membicarakannya.
Program revelosi mental sebagai bagian Nawacita yang
dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sekiranya dapat menjadi angin
15
segar yang memberikan sedikit nafas lega untuk membangkitkan
optimisme bangsa Indonesia, khususnya sektor pendidikan yang
kualitasnya masih jauh ketinggalan dari negara-negara yang lain. Tercatat
data dan informasi tahun 2015 berdasarkan Survey yang dilakukan oleh
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) bahwa
dari 76 negara yang disurvey kualitas pendidikannya, Indonesia berada
diurutan 69. Dalam survey tersebut menempati urutan 5 besar, yakni 1)
Singapura, 2) Hong Kong, 3) Korea Selatan, 4), Jepan, dan 5) Cina5.
Adapun Finlandia yang kita ketahui juga memiliki mutu pendidikan tinggi
berada di posisi 6. Indonesia hanya masih unggul sedikit dari Ghana yang
berada diurutan buncit. Rangking tersebut menunjukkan bahwa Asia
sedang dalam tren positif laju pertumbuhan pendidikannya, tetapi
Indonesia sebagai bagian dari Asia masih cukup memiriskan hati.
Kebijakan apa yang perlu dilakukan menyikapi fakta tersebut?
Sekiranya hal yang dapat dilakukan adalah dengan kembali kepada
amanah konstitusi yang tertera dengan jelas dalam UUD 1945 Pasal 31
dan 32. Salah satu upaya dan kita nyata yang perlu dilakukan adalah
meningkatkan budaya literasi. Literasi atau budaya baca tulis akan
menjadi jalan alernatif yang efektif untuk mendorong dan memajukan
kualitas pendidikan nasional. Bahkan jika berasumsi bahwa negara atau
bangsa yang budaya literasinya kuat, maka negara atau bangsa tersebut
akan menjadi bangsa yang hebat karena memiliki kualitas pendidikan
yang tinggi. Bung Hatta pernah melontarkan kata-kata ampuh yang
dikemudian hari menjadi salah satu kutipan unggulan dari penggambaran
sosoknya. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan
buku aku bebas.” Dengan membaca pula seseorang akan menjadi cerdas,
arif, dan bijaksana ketika dapat mengambil hikmah atas bacaannya.
Perlu diketahui bahwa literasi di Indonesia saat ini mengalami
kondisi yang sangat memprihatinkan. Hasil penelitian literasi Internasional
5 http://www.sikerok.com/ranking-pendidikan-dunia-tahun-2015-indonesia-ke-berapa, diakses
30 Januari 2017.
16
yang dirilis Central Connecticut State University menempatkan budaya
literasi Indonesia masuk ke urutan 64 dari 65 negara yang diteliti. Itu
artinya Indonesia menempati rangking kedua terburuk dari bawah tentang
budaya literasi. Hasil penelitian UNESCO pada tahun 2011 membuat
penelitian yang dari hasil penelitiannya dari 1000 orang Indonesia hanya
satu yang memiliki minat baca yang baik jadi jika dibuat ke bentuk
presentase budaya literasi di Indonesia sekitar 0,001. Begitu buruknya
budaya literasi di negara kita. Adapun Kantor Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia mencatat 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun
gemar menonton televisi, tetapi tidak suka membaca buku6.
Hal tersebut terjadi karena ada indikasi bahwa Indonesia
mengalami apa yang disebut IT Shock (Kaget dengan IT). Saat Anda naik
kendaraan umum atau menunggu penerbangan di bandara, coba
perhatikan orang-orang di sekeliling Anda, apa yang mereka lakukan?
Coba amati juga apa yang anak-anak kecil, baik itu anak maupun
keponakan Anda, lakukan di tengah acara keluarga, saat mereka sudah
bosan berlarian ke sana kemari? Sepertinya, mayoritas dari Anda akan
memiliki jawaban yang sama: mereka sibuk dengan gadget-nya. Kondisi
tersebut mungkin merupakan cerminan dari ketidakakraban orang
Indonesia dengan buku. Tak heran jika data UNESCO tahun 2012
menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanyalah
0,001. Itu artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau
membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, berarti di antara 250 juta
penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Hal ini
sangat berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia
yang mencapai 88,1 juta pada 20147.
Banyak hal yang dapat dilakukan dalam peningkatan budaya
literasi tersebut, seperti aksi penerjemahan buku-buku ipteks dari bahasa
6 http://saprasupra.blogspot.co.id/2016/08/buruknya-budaya-literasi-di-indonesia.html, diakses
30 Januari 2017. 7 http://www.femina.co.id/trending-topic/peringkat-literasi-indonesia-nomor-dua-dari-bawah,
diakses 30 Januari 2017.
17
asing ke bahasa Indonesia. Salah satu kerjasama di bidang pendidikan
adalah penerjemahan karya-karya seni dan sastra Cina ke dalam bahasa
Indonesia, buku-buku bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, buku-
buku bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, ipteks berbahasa
Jerman ke dalam bahasa Indonesia, serta buku-buku luar negeri yang lain
yang diketahui dapat memberikan kontribusi positif pada peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia. Di sisi lain, karya-karya buku dari
penulis-penulis Indonesia sekiranya dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa Asing. Tercatat dalam kegiatan "Frankfurt Book Fair" (FBF) 2015
pada 13-18 Oktober 2015 di Frankfurt, Jerman, ada 200 buku Indonesia
yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman dan Belanda8. Selain itu,
produksi buku yang bermuatan religius, nasionalisme, jiwa patriotisme,
nilai-nilai luhur bangsa, cerita rakyat, dongeng, pantun, peribahasa-
peribahasa daerah, puisi-puisi yang menentramkan jiwa perlu digalakkan.
Tentunya untuk merealisasikan itu harus didukung dengan dana atau
anggaran yang memadai. Kiranya untuk mewujudkannya, lagi-lagi
wujudkan amanah UUD 1945 Pasal 31 (ayat 4) tentang prioritas anggaran
pendidikan 20%.
Literasi yang dikedepankan saat ini harus berorientasi pada
pengembangan karakter. Anak-anak usia dini dan siswa di pendidikan
dasar harus dibiasakan membaca buku, buku yang bacaannya
disesuaikan dengan tingkat kognitif, hobi, serta minat dan bakat mereka.
Contohnya, di anak di level pendidikan SD membaca atau diceritakan
sebuah cerita anak yang mengandung nilai-nilai budi pekerti. Cerita
„Bayan Budiman‟ misalnya, yaitu suatu cerita yang menceritakan seekor
burung Bayan berhati baik yang ingin membalas kebaikan budi tuannya.
Burung Bayan tersebut bersedia tinggal di rumah Tuannya yakni seorang
saudagar. Nilai-nilai yang dapat dipetik dari cerita tersebut bahwa
kebaikan seseorang harus dibalas pula dengan kebaikan, tidak
8 http://www.antaranews.com/berita/493696/indonesia-pamerkan-ratusan-buku-terjemahan-di-
frankfurt, diakses 30 Januari 2017.
18
menghianati kepercayaan yang diberikan, serta menebarkan kebaikan di
manapun kita berada.
Untuk menunjang ketersediaan buku di sekolah, maka di rumah,
sekiranya ada perpustakaan keluarga. Mengawali literasi kiranya dapat
dibudayakan dari lingkungan keluarga. Di pintu, di kamar mandi, ada
objek-objek literasi yang dapat dibaca oleh siapa saja yang melihat,
seperti di kamar mandi disediakan novel sebagai bahan bacaan, pesan
„Salam‟ di pintu rumah, di kulkas ada teks bacaan „Bersih itu Sehat‟, dan
sebagainya. Menceritakan dongeng kepada anak-anak di rumah,
menyediakan fasilitas perpustakaan keluarga, di mana pihak keluarga tadi
membangun tradisi sehabis membaca ada acara minum es kelapa muda,
makan pisang goreng, serta strategi lainnya yang tujuannya untuk
membudayakan tradisi membaca.
Di masyarakat, disediakan taman baca, yang didesain sedemikian
rupa untuk meningkatkan keinginan dan minat baca masyarakat. Oleh
karena itu, pada akhirnya, sekali lagi kita perlu menegaskan bahwa
pendidikan itu tidak hanya menjadi tugas guru-guru di sekolah, tetapi
menjadi tugas kita bersama, baik itu orang tua siswa di rumah, sepupu,
bibi, paman, saudara, kakak, ustadz, ulama, kyia, habib, pastur,
biarawan/biarawati, romo, uskup, bhiksu, pandita, bante, pedanda,
sulinggih, jiao sheng, tokoh masyarakat, pejabat, tentara, polisi, tukang
bakso, petani, pengusaha, politikus, dan lain sebagainya, sekiranya dapat
menjadi guru yang baik, menjadi contoh teladan bagi anak-anak kita.
Contoh tersebut sebenarnya tidak cukup hanya dengan kata-kata, tetapi
harus ditunjukkan dengan perbuatan dan kerja nyata.
19
BAB III
PENUTUP
Kebijakan bahasa dan pendidikan dilakukan dalam upaya
menjadikan kehidupan bahasa dan pendidikan tetap berpayung pada
konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait
dengan kebijakan bahasa, pemerintah bertanggungjawab pada
perlindungan, pembinaan, dan pengembangan bahasa Indonesia, bahasa
daerah, serta pemantapan penggunaan bahasa asing untuk tujuan
peningkatan kualitas sumber daya manusia di kancah globalisasi. Adapun
terkait kebijakan pendidikan, melihat rendahnya kualitas pedidikan di
Indonesia yang salah satu indikatornya adalah literasi yang berada di level
bawah dari sekian negara-negara yang menjadi objek penelitian atau
survey, maka sekiranya pemerintah perlu mendorong kegiatan literasi
kepada segenap elemen masyarakat Indonesia.
20
DAFTAR PUSTAKA
Dixon, L. Quentin. 2005. The Bilingual Education Policy in Singapore: Implications for Second Language Acquisition. Proceedings of the 4th International Symposium on Bilingualism. Somerville, MA: Cascadilla Press.
Grin, Francois. 2003. Language Policy Evaluation and the European Charter for Regional or Minority Languages. New York: Palgrave Macmillan
Rappa, Antonio L. & Wee, Lionel. 2006. Language Policy and Modernity in Southeast Asia - Malaysia, the Philippines, Singapore, and Thailand. USA: Springer.
Undang-Undang Dasar 1945.
http://www.sikerok.com/ranking-pendidikan-dunia-tahun-2015-indonesia-ke-berapa, diakses 30 Januari 2017.
http://saprasupra.blogspot.co.id/2016/08/buruknya-budaya-literasi-di-indonesia.html, diakses 30 Januari 2017.
http://www.femina.co.id/trending-topic/peringkat-literasi-indonesia-nomor-dua-dari-bawah, diakses 30 Januari 2017.
http://www.antaranews.com/berita/493696/indonesia-pamerkan-ratusan-buku-terjemahan-di-frankfurt, diakses 30 Januari 2017.