akar ideologis kebijakan pendidikan

36
Akar Ideologis Problem Kebijakan Pendidikan (Arif Rohman) 1 AKAR IDEOLOGIS PROBL EM KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA ole h: Arif Rohman (Dosen FIP- UNY) Salah satu persoalan dasar yang menyebabkan masih buramnya kondisi pendidikan Indonesia adalah menyangkut problem kebijakan. Paling tidak ada tiga kelemahan berkaitan dengan kebijakan pendidikan kita, yaitu: elitisme perumusan kebijakan, distorsi implementasi, serta keseluruhan prosesnya cenderung bersifat instan. Sehingga dikesankan masyarakat terhadap seringnya perubahan kebijakan itu sebagai proses yang involutif semata. Hal ini mengindikasikan adanya kerapuhan dalam hal dasar -dasar ideologis terhadap kebijakan pendidikan yang digunakan. Oleh karenanya, pilihan ideologi menuju kebijakan yang mendorong tumbuhnya sikap kritis - partisipatoris menjadi sangat penting. Pendahuluan Kalangan ahli berpendapat bahwa potret pembangunan pendidikan Indonesia sampai saat ini masih belum menggembirakan. Paling tidak masih ada tiga persoalan dasar berkaitan dengan kebijakan pendidikan: pertama, pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih b erpusat pada elit kekuasaan dengan sistem top-down di satu sisi sementara partisipasi masyarakat relatif masih minimal di sisi lain. Meskipun sekarang ini sudah

Upload: siedul

Post on 23-Nov-2015

58 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

AKAR IDEOLOGIS PROBL EM KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIAoleh:Arif Rohman(Dosen FIP-UNY)Salah satu persoalan dasar yang menyebabkan masih buramnya kondisi pendidikan Indonesia adalah menyangkut problem kebijakan. Paling tidak ada tiga kelemahan berkaitan dengan kebijakan pendidikan kita, yaitu: elitisme perumusan kebijakan, distorsi implementasi, serta keseluruhan prosesnya cenderung bersifat instan. Sehingga dikesankan masyarakat terhadap seringnya perubahan kebijakan itu sebagai proses yang involutif semata. Hal ini mengindikasikan adanya kerapuhan dalam hal dasar -dasar ideologis terhadap kebijakan pendidikan yang digunakan. Oleh karenanya, pilihan ideologi menuju kebijakan yang mendorong tumbuhnya sikap kritis - partisipatoris menjadi sangat penting.

PendahuluanKalangan ahli berpendapat bahwa potret pembangunan pendidikan Indonesia sampai saat ini masih belum menggembirakan. Paling tidak masih ada tiga persoalan dasar berkaitan dengan kebijakan pendidikan: pertama, pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih b erpusat pada elit kekuasaan dengan sistem top-down di satu sisi sementara partisipasi masyarakat relatif masih minimal di sisi lain. Meskipun sekarang ini sudah memasuki era otonomi daerah, namun praktek dengan kultur birokrasi politik lama masih tetap men gemuka.

Kedua, banyaknya rumusan kebijakan pendidikan yang sudah dirancang secara rumit dan mahal ternyata ketika sampai pada tataran implementasi mengalami distorsi dan banyak penyimpangan. Aneka distorsi pemaknaan dan penyimpangan implementasi kebijakan di lapangan masih sering terjadi. Contoh paling nyata terhadap hal ini antara lain berkaitan dengan paket sekolah unggul dan life skill yang sekarang sudah menjadi bukti dari aneka bukti lain kegagalan kebijakan pendidikan Indonesia.

Ketiga, berbagai paket kebijakan tentang inovasi pendidikan hampir selalu dilakukan dengan serba cepat (instant) dan kurang mempertimbangkan berbagai implikasi secara matang. Contoh paling dekat terhadap hal ini adalah penghapusan Ebtanas untuk jenjang Sekolah Dasar pada awal t ahun 2002. Akibatnya semua paket kebijakan di atas menjadi sekedar proyek dan terkesan involutif semata.

Dari tiga kondisi tersebut yakni adanya elitisme, distorsi, serta proses yang serba instant dalam setiap perumusan dan impelemntasi kebijakan pendidik an secara akumulatif telah mendorong pada munculnya pandangan skeptis masyarakat. Beberapa kalangan masyarakat mengeluhkan bahwa seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan yang belum mampu menghasilkan perbaikan secara signifikan. Keluhan awam yang s ering muncul adalah terungkap dalam plesetan:Ganti menteri ganti kurikulum .

Pada bagian lain, Mochtar Buchori (1994:12 -13) melihat bahwa banyak tindakan pembanguan pendidikan yang diambil dan dilakukan belum berupa sebuah tindakan membangun yang sebenarn ya (genuine development act) , tetapi masih berupa tindakan membangun semu (pseudo-development act) serta tindakan membangun hanya bersifat nominal (nominal development act) . Hal ini menurutnya, disebabkan belum adanya sikap dasar pembangunan yang benar di bidang pendidikan.

Bahkan ditambahkan oleh Silberman (ONeil, 2001:8) bahwa gagalnya

perbaikan dan praktek pendidikan selama ini lebih dikarenakan sikap dan tindakan

tanpa pikir para pelaku pendidikan di semua tingkat. Hal ini jelas mengindikasikan masi h belum kokohnya dasar -dasar ideologis pendidikan di Indonesia. Aneka kebijakan yang mengarah kepada perbaikan pendidikan masih mendasarkan pada fondasi ideologis yang rapuh, atau dengan kata lain tidak jelas dasar-dasar ideologisnya.

Dengan mencermati pap aran tersebut, maka pertanyaan yang muncul adalah bagiamanakah sebuah kebijakan pendidikan bila dilihat dari kerangka akar ideologisnya? Mengapa pilihan terhadap sebuah dasar ideologis terhadap praktek pendidikan menjadi sangat penting? Alternatif apa saja yang patut menjadi dasar

ideologis pendidikan serta manakah diantara itu semua yang paling tepat dalam membangun pendidikan Indonesia masa depan?

Akar Ideologis Kebijakan Pendidikan.Pada umumnya praktek penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat dilatarbelakangi adanya pertimbangan -pertimbangan subyektif masing -masing masyarakatnya berupa preferensi nilai serta suatu prinsip yang dipilih. Aneka pertimbangan subyektif tersebut sebenarnya bisa dimengerti, mengingat praktek pendidikan merupakan bagia n dari bentuk aktualisasi atas keinginan -keinginan masyarakat dalam mewujudkan kehendaknya -- Edward Stevens dan George H.Wood (1987: 149) lebih memilih dengan istilah cita -cita sosial (social ideals).

Dengan merunut pertimbangan dari kehendak masyarakat atau cita -cita sosial (social ideals) di atas, maka praktek penyelenggaraan pendidikan --baik di sekolah maupun luar sekolah -- pada umumnya mempunyai dua peran penting yang berbeda. Pada satu sisi, proses pendidikan dapat melegitimasi bahkan melanggengkan formasi sosial yang ada (status quo); pada sisi lain justru sebaliknya pendidikan berperan membangun atau merubah tatanan sosial menuju yang lebih adil.

Kedua peran yang berlawanan tersebut sebenarnya m erupakan pantulan (reflection) dari kehendak serta cita -cita sosial yang berbeda dari suatu masyarakat. Menurut William F. ONeil (2001:8) perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan ideologi yang digunakan ole h masing-masing masyarakat. Dalam hal ini, pengertian Ideologi bila kita menengok pendapat Sargent dalam bukunya Contemporary Political Ideologies yang dikutip William F. ONeil (2001:32 -33), diartikan sebagai sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi berupaya menggambarkan mengenai karakteristik -karakteristik umum tentang alam dan masyarakat; serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakekat moral, politik, dan panduan-panduan perilaku lainny a yang bersifat evaluatif. Oleh karenanya, ia tidak sekedar memberi informasi tentang dunia ini sebenarnya tetapi juga merupakan petunjuk yang bersifat imperatif bagaimana seharusnya manusia/masyarakat bertindak.

Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat imperatif sekaligus evaluatif tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan sosial masyarakat dibangun. Dengan kata lain, ideologi sosial suatu masyarakat mempengaruhi formasi sosial yang hendak diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri.

Selanjutnya formasi sosial masyarakat yang hendak dibangun di atas pada dasarnya merupakan wadah bagi warganya untuk mengekspresikan segala tindakannya. Biasanya wadah formasi sosial diatur oleh adanya norma sosial (social norms) yang diciptakan secara kolektif. Norma sosial yang mengatur wadah formasi sosial tersebut banyak wujudnya seperti: kebiasaan (folkways), adat istiadat (customs atau mores), norma hukum (law), serta tabu (taboo). Kesemuanya itu dalam rangka memberikan kerangka acuan (term of reference) bagi tindakan- tindakan yang dilakukan oleh semua anggotanya (Soerjono Soekanto, 1982:176). Dengan harapan para anggotanya bisa bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan norma sosial yang telah disepakati.

Kedudukan norma sosial di atas memiliki dua fungsi: Pertam a, fungsi direktif yakni memberikan arah atau acuan yang benar bagi tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh kelompok. Kedua, fungsi konstraintif yakni membatasi atau memaksa terhadap semua tingkah laku anggota masyarakat tersebut agar tidak menyimpang dari acuan moral (terms of reference) kelompoknya. Dengan fungsi direktif dan konstraintif ini diharapkan muncul tindakan -tindakan moral yang memiliki kadar moralitas sebagaimana dikehendaki oleh mayoritas anggota masyarakat dalam semua lapisan.

Dalam perkembangan masyarakat, aneka macam norma sosial yang semakin mendapatkan tempat sebagai acuan formal dalam kehidupan kelompok adalah norma hukum. Seperti perundang -undangan dan keputusan -keputusan hasil kebijakan penyelenggara negara yang bersifat publik, sehingga dikenal dengan istilah kebijakan publik.

Kebijakan publik adalah semua perundang -undangan atau keputusan - keputusan yang bersifat mengikat kepada semua warga masyarakat atau negara. Suatu keputusan dikatakan mengikat apabila anggota -anggota masyarakat merasa bahwa mereka harus mentaati kewenangan yang ada (Ramlan Surbakti,1992:17).

Dalam hal ini Ramlan Surbakti secara implisit menyebut kebijakan publik dengan keputusan politik oleh karena semua kebijakan publik dihasilkan melalui proses politik.

Pertanyaannya, mengapa sebagian anggota masyarakat mentaati keputusan politik, sedangkan sebagian anggota yang lain tidak mentaatinya? Mengapa ada kelompok yang memberikan dukungan (legitimation) sementara kelompok lain menolak (delegitimation) terhadap keputusan-keputusan politik.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, paling tidak ada dua jawaban terhadap mereka yang mentaati peraturan. Pertama, para warga masyarakat merasa terikat pada kewenangan yang ada karena takut akan paksaan fisik dari penyelengga ra negara yang memiliki monopoli dalam penggunaan paksaan. Kedua, disamping alasan takut paksaan, ada alasan lain yakni karena tradisi, menguntungkan, serta kesadaran hukum.

Sedangkan bagi mereka yang membangkang atau menolak peraturan kemungkinan mendasa rkan diri pada salah satu alasan berikut: pertama, bahwa pemerintah sudah dianggap tidak lagi mempunyai kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan politik. Kedua, substansi keputusan atau kebijakan politik tersebut sangat merugikan dirinya (Ramlan Surba kti, 1992: 17-18).

Kebijakan politik yang memiliki daya ikat dan daya paksa terhadap semua warga negara atau warga masyarakat wujudnya banyak sekali. Ada kebijakan politik yang mengikat dalam dimensi kehidupan sosial warga. Ada pula kebijakan politik yang membatasi dalam dimensi kehidupan ekonomi, politik, serta kebudayaan anggota masyarakat. Pun pula ada kebijakan politik yang mengatur khusus pada dimensi kehidupan pendidikan masyarakat.

Dari uraian di atas akhirnya dapat digambarkan secara hirarkhis ske ma nilai dimulai dari nilai dasar yang paling dijunjung tinggi yaitu prinsip nilai yang mendasari lahirnya prinsip moral, prinsip moral mendasari lahirnya kebijakan- kebijakan sosial yang dalam hal ini menurut penulis adalah filsafat sosial, filsafat sosial melahirkan ideologi politik, yang akhirnya sampai pada wujudnya kebijakan pendidikan.

Secara skematis, dapat digambarkan kedudukan akar nilai, filsafat, dan ideologi pendidikan terhadap lahirnya kebijakan pendidikan. Dalam hal ini skema yang dipaparkan merupakan skema yang dibuat William ONeil (2001:42) dengan

sedikit penambahan penulis sebagai berikut:PRINSIP-PRINSIP NILAIPRINSIP MORAL (ETIKA MORAL)FILSAFAT/ IDEOLOGI SOSIALIDEOLOGI POLITIKIDEOLOGI PENDIDIKANKEBIJAKAN-KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Apa yang ideal ?

(Apakah yang memiliki kebaikan teringgi?)

Apa pengaruh yang ideal terhadap perilaku

manusia ?

(Perilaku apakah yang paling bermoral?)

Tindakan macam apa yang disyaratakan oleh prinsip moral tersebut b ila dilihat dalam kondisi sekarang/ riil? (Tindakan apa yang praktis?)

Kondisi-kondisi sosial politik seperti apa, lembaga-lembaga apa, serta hubungan antar lembaga yang seperti apakah yang perlu ada bagi penanaman kebijakan moral di atas?)

Pengetahuan macam apakah y ang diperlukan seseorang sehingga memiliki karakteristik sebagai warga negara yang diharapkan ?

Bagaimanakah peng etahuan-pengetahuan yang diperlukan itu dibagikan dan diberikan kepada orang-orang lain?

Beberapa Faham Ideologi PendidikanBeberapa faham ideologi pendidikan telah banyak dikemukakan para ahli, yang terakhir diantaranya diungkapkan oleh William F. ONeil. Pemetaan faham ideologi pendidikan yang disampaikan ONeil ini sebenarnya merupakan koreksi atas pemetaan yang telah dibua t oleh Theodore Brameld dalam bukunya Toward a Reconstructed Philosophy of Education , (1956). Brameld membagi ada empat

macam ideologi pendidikan yang dia sebut sendiri dengan istilah aliran filsafat pendidikan. Keempat ideologi tersebut adalah: Perenialisme, Esensialisme, Progresivisme, dan Rekonstruktivisme .

Menurut Perenialisme, sasaran yang perlu dicapai dalam pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip -prinsip tentang kenyataan, kebenaran, dan nilai yang abadi dan tak terikat ruang dan waktu. Ia menga jukan keberadaan pola -pola yang tak bisa berubah dan bersifat universal sejak jaman Yunani kuno sampai, abad pertengahan, dan abad dewasa ini atau sekarang yang melatari dan menentukan seluruh obyek serta peristiwa yang ada dalam kenyataan. Ia berakar dari tradisi filsafat Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.

Aliran Esensialisme berpandangan, bahwa alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya. Karenanya, tugas utama manusia adalah memahami hukum dan tatanan tersebut sehingga mereka bisa menghargai dan menyesuaikan diri dengannya. Menurut esensialisme, sasaran utama sekolah adalah untuk mengenakan siswa kepada karakter dasar alam semesta yang sudah tertata. Oleh karena itu, anak harus dikenalkan kepada warisan budaya sekaligus sebagai pelestari budaya.

Progresifisme berpendapat, tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, yang membuat siswa lebih efektif dalam menghadapi dan memecahkan problem dalam kehidupan s ehari-hari. Progresifisme menekankan pendidikan harus bersifat duniawi, eksperimentatif, eksploratif, aktif, dan evolusioner. Sehingga ia sering disebut faham eksperimentalisme . Faham ini ditopang oleh filsafat Pragmatisme Amerika.

Sedangkan faham Rekonstruktivisme menekankan bahwa sekolah semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan sosial yang demokratis. Orientasi utama sekolah haruslah pembangunan masyarakat.

Namun, akibat dari adanya beberapa kejanggalan atas pembagian ideologi pendidikan yang dilakukan oleh Brameld, terutama berkaitan dengan dasar penggolongan. Maka William F. ONeil mengajukan secara berbeda. Dalam hal ini ONeil (2001:24 -25) mengkritik teori penggolongan ideologi pendidikan dari

pendahulunya itu memiliki empat kelemahan uta ma: pertama, bahwa penggolongan yang telah dibuatnya hanya tepat untuk menggambarkan fenomena ideologi pendidikan tahun limapuluhan.

Kedua, Brameld terlalu menyederhanakan kekayaan dan keragaman di dalam wilayah filsafat/ ideologi pendidikan kontemporer. Ketiga, dasar penggolongan yang dipakai Brameld tidak sejajar. Perbedaan perenialisme, esensialisme, dan progresifisme didasarkan atas apa tujuan pendidikan? dan apa yang musti diajarkan?. Sedangkan rekonstruksionisme menekankan dasar penggolongannya pada apa hubungan yang tepat antara sekolah dengan masyarakat?Adapun kelemahan keempat pada teori penggolongan Brameld adalah belum adanya penjelasan kuat tentang keterkaitan antara aliran filsafat pendidikan dengan aliran filsafat. Misalnya tidak semua pragmatis pasti eksperimentalis dan tidak semua konservatis selalu esensialis.

Oleh karena itu ONeil (2001: 99 -129) membuat penggolongan baru yang lebih longgar yang meliputi tiga macam ideologi pendidikan, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritis-radikal.

Ideologi KonservatifFaham ideologi ini memandang, bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi penganut faham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau paling tidak m empengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu. Dengan demikian, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.

Dalam pandangan kaum ini, mereka yang menderita --seperti mereka yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas, dipenjara -- menjadi demikian disebabkan kesalahan mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata

bisa bekerja keras akhirny a mampu meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Sehingga dalam hal ini, kaum konservatif sangat menjunjung tinggi adanya harmoni serta menghindari konflik.

Ideologi LiberalPenganut ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk ur usan pendidikan, namun masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Sehingga tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan politik dan ekonomi. Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas sama sekali dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi -kondisi ekternal tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah internal melalui mereformasi diri secara kosmetik.

Seperti: pengadaan sarana prasarana yang memadai (ketercukupan ruang kelas, perpustakaan, laboratorium yang canggih, dan peralatan komputer yang komplit), menyeimbangkan rasio murid -guru, penciptaan metode pembelajaran baru (CBSA, modul, remedial learning, learning by doing, experiental learning, dll), penataan manajemen sekolah (MPMBS, competency based leadership, dll).

Penganut ideologi konservatif dan liberal, memandang sama bahwa pendidikan adalah apolitik dan excellent haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum liberal terutama tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik, budaya, serta gender. Bahkan pendidikan --menurut fungsionalisme struktural (salah satu aliran dalam ideologi liberal) -- justru dimaksud sebagai sara na untuk menstabilkan nilai dan norma masyarakat. Pendidikan merupakan media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai tata susila dan keyakinan agar masyarakat luas sebagai sistem berfungsi secara baik.

Ideologi liberalisme ini berakar pada cita -cita individualisme Barat. Menurut cita-cita ini gambara manusia ideal adalah manasia rasionalis liberal . Yakni,

semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual; baik tatanan alam maupun sosial dapat ditangkap oleh akal; serta individu -individu di duni a adalah atomistik dan otonom. Ideologi liberalisme ini juga dipengaruhi oleh positivisme. Seperti pendewaan terhadap metode scientific serta adanya pemisahan antara fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.

Ideologi Kritis-RadikalPendidikan bagi ka um kritis ini merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif, pendidikan diarahkan untuk menjaga status quo, sedang kaum liberal pendidikan diorientasikan untuk perubahan moderat; maka ideologi kritis ini menghendaki pendidikan sebagai sara na perubahan struktur secara fundamental dalam politik, ekonomi, serta gender. Bagi kaum kritis, diskriminasi kelas serta gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Sehingga kaum kritis -radikal ini sangat bertentangan dengan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender dalam masyarakat.

Pandangan kritis -radikal melihat, perhati an utama pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan sistem serta struktur yang tida k adil dan menindas. Pendidikan tidak mungkin bisa bersikap netral, obyektif, dan mengambil jarak dengan masyarakat (sebagaimana dianjurkan positivisme). Maka visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan beserta kelas dominan yang ada sebagai perwujudan atas pemihakan terhadap rakyat kecil, kelompok miskin, atau kelas tertindas umumnya dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil.

Dilihat dari ketiga ideologi pendidikan di atas, nampaknya para penentu kebijakan pendidikan di Indonesia masih terkesan samar -samar dalam memilih dan mendasarkan diri sebagai basis ideologis dalam setiap kebijakannya. Apologi yang muncul dari mereka biasanya mengatakan telah mendasarkan diri atas ideologi Pancasila. Padahal ideologi Pancasila belum terderifasi secara mantap menjadi ideologi pendidikan Pancasila. Ataupun juga, pemakaian ideologi pendidikan

Pancasila hanya sebatas simbolik namun substansinya masih dipertanyakan Akibatnya, basis ideologis yang digunakannya lagi -lagi menjadi kabur. sehi ngga sering terjadi konstruksi dan formulasi paradigma kebijakan yang dibangun juga menjadi tidak jelas serta kering akan argumentasi (lihat Suryadi dan Tilaar, 1994:

63-66).

Oleh karenanya, sangat wajar bahwa terhadap keseluruhan kebijakan pendidikan yang sering dibuat pemerintah cenderung bersifat involutif bahkan terkesan mengulang -ulang atau blunder. Bahkan yang paling menyedihkan adalah banyak kebijakan pendidikan yang dibuat oleh mereka demi memuaskan kelompok kepentingan tertentu bukan kepada pemberd ayaan bangsa secara keseluruhan.

Kebijakan Pendidikan: Suatu Pendekatan DilematisSecara teoritis, suatu kebijakan pendidikan dirancang dan dirumuskan untuk selanjutnya dapat diimplementasikan, sebenarnya tidak begitu saja dibuat. Kebijakan pendidikan yang dirumuskan secara hati -hati lebih-lebih yang menyangkut persoalan krusial atau pe rsoalan makro, maka hampir pasti perumusan kebijakan pendidikan tersebut dilandasi oleh suatu faham teori tertentu. Dalam proses perumusannya, para pemegang kewenangan dalam pengambilan kebijakan (decision maker) terlebih dahulu mempertimbangkan secara mas ak-masak (rasionalitas, proses, hasil, serta efek samping yang ada).

Menurut pandangan Hodgkinson, dalam semua jenis perumusan kebijakan selalu berkaitan dengan aspek metapolicy, karena akan menyangkut hakekat (substance), sudut pandang (perspective), sikap (attitude), dan perilaku (behaviour) yang tersembunyi maupun yang nyata dari aktor -aktor yang bertanggung jawab (Solichin Abdul Wahab, 1997:45). Metapolicy mempersoalkan mengapa dan bagaimana sebuah kebijakan (termasuk pendidikan) dipikirkan dan dirumusk an. Bahkan kajian metapolicy ini bisa mengarah kepada kajian yang bersifat filosofik.

Dalam bahasan ini, penulis tidak akan terlalu menelusuri dan mengupas lebih jauh sampai kepada kajian filosofik yang mendetail dari sebuah kebijakan, namun dalam hal ini catatan penting yang perlu diketengahkan dalam tulisan ini adalah

semua kebijakan termasuk dalam kebijakan pendidikan selalu dirumuskan dengan pertimbangan-pertimbangan filosifis dan teoritis tertentu.

Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumusk an dengan mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian ini menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori yang dianut oleh masing - masing penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling tidak ada dua pendekatan yang dapat direkomendasikan kepada para penentu/ berwenang dalam merumuskan suatu kebijakan pendidikan. Dua pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan tersebut adalah: (1) Social demand approach , dan (2) Man-power approach.

Social demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat. Pada pendekatan jenis ini para pengambil kebijakan akan terlebih dahulu menyelami dan mendeteks i terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang ditanganinya. Bahkan kalau perlu mereka melakukan hearing dan menangkap semua aspirasi dari bawah secara langsung.

Pada masyarakat yang sudah maju, proses penjaringan aspirasi dari masyarakat lapisan bawah (grass-root) bisa dilakukan melalui banyak cara, misalnya: melalui jajak pendapat, arus wacana yang berkembang, penelitian, atau dengan cara pemilihan umum. Sedangkan yang berlaku pada masyarakat yang masih belum maju, proses penjaringan aspirasi dari bawah biasanya melalui rembug deso, jagong, sarasehan, dan sebaginya.

Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata -mata merespon aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, akan tetap i juga merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan pendidikan diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun implementasi kebijakan pendidikan.

Dengan mencermati uraian tersebut, social demand approach dalam perumusan kebijakan dapat digolongkan ke dalam tipe perumusan kebijakan yang bersifat pasif. Artinya, suatu kebijakan baru dapat dirumuskan apabila ada tuntutan

dari masyarakat terlebih dahulu. Dengan demikian, para pejabat berw enang hanya bersifat menunggu dan hanya selalu menunggu. Namun dari sisi positif, model pendekatan ini lebih demokratis sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyakat, sehingga pada saat kebijakan tersebut diimplementasikan dimungkinkan akan mendapat dukunga n mayoritas dari masyarakat. Oleh sebab itu, dengan pendekatan jenis ini tingkat ketercapaian dari implementasi kebijakan relatif tinggi dan resiko kegagalannya akan rendah.

Pendekatan kedua adalah man-power approach, yakni sebuah pendekatan yang lebih menitik-beratkan kepada pertimbangan -pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai di masyarakat. Pendekatan man-power ini tidak melihat apakah ada permintaan dari masyarakat atau tidak, apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan suatu kebijakan pendidikan tertentu atau tidak; tetapi yang terpenting adalah menurut pertimbangan -pertimbangan rasioal dan visioner dari sudut pandang pengambil kebijakan.

Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yan g mampu menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya dan juga sebagai seorang visioner. Ia tidak hanya sekedar menjalankan tugas -tugas rutin dan ritual dalam memimpin masyarakatnya; akan tetapi ia juga bisa melihat jauh ke depan cita -cita yang akan dicapai masyarakatnya serta cara -cara untuk mencapainya.

Dengan kemampuan visoner dari sang pemimpin yang mampu melihat jauh ke depan cita-cita yang akan menjadi tujuan masyarakatnya, maka sang pemimpin tersebut bisa membuat langkah -langkah antisipasi dan adaptasi dalam mengarahkan masyarakatnya sesuai dengan arah yang benar, tanpa harus terlebih dahulu menunggu adanya tuntutan dari anggota -anggota masyarakatnya.

Dalam pendekatan man-power, pemerintah sebagai pemimpin suatu bangsa pada umumnya melihat bahwa suatu ba ngsa akan bisa maju manakala memiliki banyak warga yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang memadai. Dengan kata lain, memiliki kualitas sumberdaya manusia (human resources) yang dapat diandalkan. Salah satu indikator empirik dari penguasaan kualitas dari masing- masing warga bangsa adalah tingkat pendidikan formal para anggotanya. Oleh

karena itu pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan pendidikan dengan alasan-alasan sebagaimana di atas.

Beberapa catatan yang dapat dipetik dari man-power approach di atas adalah bahwa pendekatan ini secara umum lebih bersifat otoriter. Man-power approach pada umumnya kurang menghargai proses demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan, terbukti perumusan kebijakannya tidak diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan masyarakat, akan tetapi langsung saja dirumuskan sesuai dengan tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin visioner. Sehingga terkesan adanya cara-cara otoriter dalam pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya, pendekatan man-power lebih efisien dalam proses perumusannya serta lebih berdimensi jangka panjang.

Menuju Formulasi Kebijakan Pendidikan Kritis -PartisipatifDengan mendasarkan diri pada filsafat sosial yang berlanjut kepada filsafat dan ideologi politik sebagaimana dijelaskan di muka, maka terdapat implikasi beragamnya teori berkenaan dengan formulasi kebijakan pendidikan. Sebagaimana dikemukakan Hudson (Arif Rohman, 2002: 78 -81) yang telah mengelompokkan teori perumusan kebijakan pendidikan menjadi lima teori. Kelima teori tersebut menurut Hudson adalah: (a) teori radikal, (b) teori advokasi, (c) toeri transaktif, (d) teori sinoptik, dan (e) teori incremental.

Teori radikal (radical theory) menekankan kebebasan lembaga lokal dalam menyusun sebuah kebijakan pendidikan. Semua kebijakan pendidikan yang menyangkut penyelenggaraan dan perbaikan penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah diserahkan kepada daerah. Sehingga negara atau pemerintah pusat tidak perlu repot-repot menyusun sebuah rencana kebijakan pendidikan bila pada akhirnya kurang sesuai dengan kondisi lokal. Lebih -lebih kondisi masing -masing daerah memiliki tingkat keragaman dan kekhasan sendiri -sendiri yang tidak bisa disamakan satu sama lain.

Teori ini berasumsi bahwa tidak ada lembaga atau organ pendidikan lokal yang persis sama satu sama lain . Sehingga untuk menyusun kebijakan pendidikan

yang dianggap terbaik adalah diserahkan sepenuhnya kepada l embaga-lembaga lokal yang secara hakiki memiliki karakteristik yang relatif plural, serta yang mengetahui persoalan untuk dirinya sendiri. Hal ini amat relevan dengan semangat otonomi daerah yang sekarang sedamg bergulir. Dari sini nampak jelas bahwa teori radikal ini sangat menghargai desentralisasi dalam perumusan kebijakan pendidikan.

Teori advokasi (advocacy theory) agak berbeda dengan teori radikal di atas. Teori advokasi ini tidak menghiraukan perbedaan -perbedaan seperti karakteristik lembaga, lingkungan sosial dan kultural, lingkungan geografis, serta kondisi lokal lainnya. Kesemua macam corak karakteristik dan perbedaan lingkungan tersebut menurut teori ini hanyalah perbedaan yang didasarkan pada pengamatan empirik semata. Sebaliknya, teori advok asi ini lebih mendasarkan pada argumentasi yang rasional, logis, dan bernilai. Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat sangat perlu menyusun kebijakan pendidikan yang bersifat nasional demi kepentingan umum, serta demi melindungi lembaga -lembaga dan organ -organ pendidikan yang relatif masih marginal dibanding lembaga atau organ pendidikan lain yang sudah maju.

Teori advokasi bersumber dari akar teori konflik yang merekomendasikan pemberian kewenangan n egara atau pemerintah pusat untuk membatasi kelas atau kelompok-kelompok dominan yang bisa merugikan kelas marginal. Dalam hal ini pemerintah pusat harus mampu menyeimbangkan kemajuan pendidikan antar daerah. Dengan demikian ketimpangan pendidikan antar da erah bisa dieliminir.

Teori transaktif (transactive theory) menekankan bahwa perumusan kebijakan sangat perlu didiskusikan secara bersama terlebih dahulu dengan semua pihak. Proses pendiskusian ini perlu melibatkan sebanyak mungkin pihak -pihak terkait, termasuk dalam hal ini adalah dengan personalia lembaga pendidikan di tingkat lokal. Hasil dari proses diskusi tersebut kemudian dievolusikan atau digelindingkan terlebih dahulu secara perlahan -lahan.

Pada dasarnya, teori transaktif ini sangat menekankan har kat individu serta menjunjung tinggi kepentingan masing -masing pribadi. Keinginan, kebutuhan, dan nilai-nilai individu diteliti satu persatu dan diajak bersama dalam perumusan kebijakan pendidikan.

Teori sinoptik (synoptic theory) lebih menekankan bahwa d alam menyusun sebuah kebijakan supaya menggunakan metode berfikir sistem. Obyek yang dirancang dan terkena kebijakan, dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dengan tujuan yang sering disebut dengan misi. Oleh karena itu, teori ini sering juga disebut teori sistem, atau teori pendekatan sistem rasional , atau teori rasional komprehensif.

Teori inkremental (incremental theory) adalah teori yang menekankan pada perumusan kebijakan pendidikan yang berjangka pendek serta berusaha menghindari perencanaan ke bijakan yang berjangka panjang. Penekanan semacam ini diambil disebabkan karena masalah -masalah yang dihadapi serta performa dari para personalia pelaksana kebijakan dan kelompok yang terkena kebijakan sulit diprediksi. Setiap saat, setiap tahun, dan setia p periode waktu mengalami perubahan yang sangat kompleks.

Oleh karena itu menurut teori inkremental ini, amatlah sulit dan amatlah kurang cermat manakala sebuah kebijakan pendidikan yang berdimensi jangka panjang akan diterapkan pada suatu keadaan yang se lalu berubah. Kebijakan pendidikan yang paling tepat adalah kebijakan yang berjangka pendek yang relevan dengan masalah pada saat itu juga.

Demikianlah beberapa teori perumusan kebijakan pendidikan yang telah dideskripsikan panjang lebar. Tentu saja masing -masing teori yang ada tersebut memiliki kekhasan dan implikasi positif dan negatifnya sendiri -sendiri bila diterapkan. Ia hanya akan tepat atau memiliki banyak nilai positif manakala diterapkan pada konteks masalah yang relevan.

Namun tidak tertutup kemun gkinan bahwa satu masalah akan bisa dipecahkan dengan menggunakan beberapa teori secara eklektis-sinergis. Misalnya dalam mengatasi persoalan ketimpangan antar daerah soal mutu pendidikan yang menjadi problem bangsa Indonesia sejak tahun 1970 -an sampai sekarang, maka pemecahan kebijakan yang relevan adalah dengan menggunakan teori radikal, advokasi, dan sinoptik secara eklektis-sinergis. Aspek-aspek yang bisa ditangani dan diselesaikan oleh lembaga lokal hendaknya diserahkan kepada kreatifitas lokal,

sedangkan hal-hal yang mestinya ditangani pemerintah pusat supaya diupayakan pusat. Terhadap keseluruhan upaya tersebut dilakukan dalam kerangka sistem.

Dengan menggunakan teori secara eklektis -sinergis maka partisipasi lokal dan masyarakat pada umumnya diharapk an bisa meningkat secara signifikan serta daya kritis mereka dalam mempertimbangkan antara tuntutan dengan kemampuan juga akan semakin berkembang.

PenutupBerdasar paparan di muka maka dapat dipetik beberapa intisari sebagai kesimpulannya, diantaranya a dalah bahwa salah satu persoalan dasar yang menyebabkan masih buramnya kondisi pendidikan Indonesia adalah menyangkut problem kebijakan. Kebijakan yang semula diarahkan untuk menyelesaikan aneka problem pendidikan yang ada ternyata dalam dirinya terdapat p roblem tersendiri, sehingga pada gilirannya aneka problem pendidikan yang ada bukannya semakin terselesaikan tetapi justru semakin kompleks.

Paling tidak ada tiga kelemahan berkaitan dengan kebijakan pendidikan kita, yaitu: elitisme perumusan kebijakan yan g cenderung bersifat top-down meskipun di era otonomi daerah, distorsi implementasi, serta keseluruhan prosesnya cenderung bersifat instan. Sehingga dikesankan oleh masyarakat terhadap seringnya perubahan kebijakan itu sebagai proses yang involutif semata.

Salah satu penyebab terhadap hal tersebut adalah adanya kerapuhan dalam dasar-dasar ideologisnya. Bahkan landasan ideologis yang dipakai cenderung berganti-ganti dan tidak jelas. Akibatnya kebijakan pendidikan yang diambil menjadi kehilangan daya grege t dan konsistensinya. Oleh karenanya, pilihan ideologi menuju kebijakan yang mendorong tumbuhnya sikap kritis -partisipatoris menjadi sangat penting.

Secara teoritik, ada tiga kelompok faham ideologi pendidikan yang bersumber dari ideologi politik, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritis- radikal. Ketiganya memiliki kelemahan dan kelebihan beserta segenap implikasi yang ditimbulkannya. Termasuk pula implikasi pendekatan yang akan digunakan

dalam formulasi kebijakan apakah menggunakan man-power approach atau social demand approach . Untuk itu, dengan mempertimbangkan terhadap aneka ideologi, teori, dan pendekatan kebijakan yang ada secara kritis, kreatif dan konsisten dengan disertai semangat nasionalisme membangun pendidikan bangsa secara menyeluruh dan bukan untuk kepentingan tentatif apalagi sekedar proyek, maka diharapkan akan terwujud secara pelan tapi pasti berupa perbaikan kualitas pendidikan.

DAFTAR PUSTAKABuchori, Mochtar. 1994. Pendidikan dan Pembangunan . Yogyakarta: Tiara

Wacana.

ONeil, William F. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan . Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Rohman, Arif. 2002. Kebijakan Pendidikan: Ideologi, Proses Politik, dan Peran Birokrasi dalam Formulasi dan Implementasi Kebijakan Pendidikan. (Naskah buku yang sekarang sedang proses editing untuk penerbitan di Pustaka Pelajar Yogyakarta).

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta: Rajawali Press. Stevens, Edward and Wood, George H. 1987. Justice, Ideology, and Education .

New York: Random House.

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia

Widiasarana.

Suryadi, Ace dan Tilaar, H AR. 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan: SuatuPengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi KeImplementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.