keberadaan perusahaan rokok di indonesia

41
Keberadaan Perusahaan Rokok di Indonesia Keberadaan Perusahaan Rokok di Indonesia Antara Kepentingan, Tekanan Ekonomi, dan Tanggung jawab Sosial Pertumbuhan pasar yang semakin hari semakin bersaing telah menjadikan kekayaan materil dan keuntungan komersil sebagai tujuan dasar dari sebuah perusahaan. Pendekatan ekonomi menjadikan perusahaan semakin agresif dan tidak mengenal waktu istirahat untuk berkompetisi memperluas jaringan usahanya. Pada jaman saat ini tidak usah diragukan lagi bahwa ekonomi merupakan motivator yang sangat kuat dan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Konflik-konflik inilah yang menimbulkan dilema antara pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai etis yang berlaku dan tekanan ekonomi demi keberlangsungan perusahaan. Seorang idealis yang berprinsip kepentingan moral adalah suatu yang penting dapat ditaklukan semata-mata karena alasan ekonomi dan menolak semua prinsipnya mengenai tanggung jawab sosial. Tetapi banyak pula yang perusahaan yang keuangannya sudah solid, mengalokasikan keuntungannya atas nama tanggung jawab sosial dengan menyumbangkan dana kepada karyawan ataupun masyarakat. Sebuah pertanyaan muncul dikala pertimbangan ekonomi untuk mencari keuntungan komersil menjadi keputusan yang sangat mendasar dibandingkan pertimbangan moral dan tanggung jawab sosial. Kini masyarakat semakin berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.

Upload: susanna-hartanto

Post on 26-Dec-2015

142 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Keberadaan Perusahaan Rokok di IndonesiaKeberadaan Perusahaan Rokok di IndonesiaAntara Kepentingan, Tekanan Ekonomi, dan Tanggung jawab Sosial

Pertumbuhan pasar yang semakin hari semakin bersaing telah menjadikan kekayaan materil dan keuntungan komersil sebagai tujuan dasar dari sebuah perusahaan. Pendekatan ekonomi menjadikan perusahaan semakin agresif dan tidak mengenal waktu istirahat untuk berkompetisi memperluas jaringan usahanya. Pada jaman saat ini tidak usah diragukan lagi bahwa ekonomi merupakan motivator yang sangat kuat dan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Konflik-konflik inilah yang menimbulkan dilema antara pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai etis yang berlaku dan tekanan ekonomi demi keberlangsungan perusahaan.

Seorang idealis yang berprinsip kepentingan moral adalah suatu yang penting dapat ditaklukan semata-mata karena alasan ekonomi dan menolak semua prinsipnya mengenai tanggung jawab sosial. Tetapi banyak pula yang perusahaan yang keuangannya sudah solid, mengalokasikan keuntungannya atas nama tanggung jawab sosial dengan menyumbangkan dana kepada karyawan ataupun masyarakat. Sebuah pertanyaan muncul dikala pertimbangan ekonomi untuk mencari keuntungan komersil menjadi keputusan yang sangat mendasar dibandingkan pertimbangan moral dan tanggung jawab sosial. 

Kini masyarakat semakin berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.

Sebagai negara negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, Indonesia menjadi pangsa bisnis yang besar. Selain itu sumber daya alamnya juga melimpah dan cocok untuk mengembangkan bisnis di berbagai bidang. Hal ini membuat berbagai perusahaan tumbuh pesat di Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan rokok. Banyak perusahaan rokok skala kecil atau besar yang berkembang di Indonesia. Namun keberadaan perusahaan rokok ini menjadi dilematis karena menimbulkan dampak yang positif dan negatif.

Page 2: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

I. Kepentingan dan Tekanan Ekonomi Keberadaan perusahaan rokok skala besar maupun kecil di Indonesia memang menimbulakan banyak kontroversi. Di satu sisi, keberadaan perusahaan rokok memberikan keuntungan secara finansial bagi negara, dan banyak menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, keberadaan perusahaan rokok dengan produk dan pemasarannya meningkatkan konsumsi masyarakat Indonesia akan rokok dan menurunkan kualitas hidup atau merusak kesehatan masyarakat. Karena kita tahu, rokok mengandung banyak zat bersifat racun bagi tubuh manusia. 

Paling tidak perusahaan rokok di Indonesia memiliki keterkaitan dengan tiga departemen yang sejauh ini memiliki kewenangan mengeluarkan segenap regulasi kepada perusahaan rokok di Indonesia. Pertama, Departemen Keuangan yang sangat berkepentingan atas pendapatan negara dari hasil cukai rokok, sehingga kebijakan apapun yang mempengaruhi sektor anggaran negara Departemen keuangan selalu terlibat. 

Kedua, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) karena memiliki kepentingan agar industri rokok di Indonesia dapat terus berkembang, Deperindag beranggapan bahwa selain padat modal industri rokok juga padat tenaga kerja. Masalah tenaga kerja juga mempunyai keterkaitan dengan departemen tenaga kerja karena ketika terjadi pemogokan besar-besaran tenaga kerja perusahaan rokok, maka dengan segera pemerintah melalui departemen tenaga kerja ikut sibuk untuk menahan agar eskalasi kasus itu tidak semakin membesar. 

Ketiga, Departemen Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Makanan dan Minuman (Ditjen POM) yang memiliki kewenangan untuk mengawasi peredaran produk rokok di masyarakat, Ditjen POM pula yang ikut aktif dalam pengaturan iklan tentang produk rokok di media massa. Apapun kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kinerja industri rokok, pemerintahpun sadar bahwa industri rokok merupakan salah satu pemasukan yang besar bagi pendapatan negara industri rokok, namun sambil meminimalisir ekspalitas rokok bagi kesehatan. 

Dalam kabar UGM Online Edisi 84/V/21 Juli 2009, dituliskan bahwa masyarakat Indonesia mengkonsumsi rokok 178,3 miliar batang rokok per tahun. Angka ini merupakan angka tertinggi kelima di dunia, setelah Cina (1297,3 miliar batang), AS (462,5 miliar batang), Rusia (375 miliar batang), dan Jepang (299,1 miliar batang). Sebenarnya pemerintah sudah

Page 3: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

memberikan banyak aturan yang ketat untuk menekan konsumsi rokok di kalangan masyarakat. Seperti misalnya dalam hal komunikasi periklanan. Dalam dunia periklanan ada tiga produk yang selalu menimbulkan kontroversi, yaitu: alkohol, rokok dan kondom. Karena itu dibuatlah peraturan-peraturan yang membatasi gerak periklanan ketiga produk tersebut. Bahkan, WHO organisasi kesehatan dunia yang bernaung dibawah payung Perserikatan Bangsa Bangsa menghimbau supaya perusahaan-perusahaan tidak lagi memanfaatkan dana dari produsen-produsen rokok bagi keperluan kegiatan sponsorship. (Media Indonesia, 14 Juli 1996).

Pemerintah Indonesia pun membuat sejumlah rambu-rambu atau aturan-aturan yang membatasi ruang gerak iklan rokok di media massa, walaupun peraturan-peraturan itu dibuat dengan "setengah hati". Karena di satu sisi peraturan itu dibuat untuk membatasi ruang gerak industri rokok dengan alasan kesehatan, tapi di sisi lain pemerintah juga mengharapkan industri ini sebagai sumber pemasukan negara di saat keadaan ekonomi Indonesia kurang menguntungkan. Hal ini mungkin sangat bisa dimengerti karena penerimaan negara dari cukai rokok pada tahun 2000 mencapai angka sebesar 10,16 triliun rupiah -belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPh). Bahkan pada tahun 2006 mencapai angka sekitar 40 triliun rupiah.(www.depkeu.go.id)

Namun tetap saja para produsen rokok dan biro iklan akhirnya berusaha mencari celah-celah dari peraturan yang ada itu dan dibutuhkan kreativitas yang tinggi untuk mengatasi hal tersebut agar asap pabrik tetap mengepul. Dengan proses kreatif yang baik maka iklan rokok dapat ditampilkan tanpa menyalahi peraturan-peraturan sehingga masyarakat luas dan pemerintahpun dapat tersenyum simpul serta biro iklan dapat tetap bernapas lega tanpa kuatir disomasi oleh berbagai pihak. Menurut AC Neilsen sampai tahun 1999 lalu belanja iklan produk rokok di media sebesar 313,1 miliar rupiah, bahkan sampai bulan Maret 2000 lalu saja sudah menghabiskan dana sebesar 114.9 miliar rupiah. Suatu jumlah yang menggiurkan untuk biro iklan merupakan tantangan bagi biro iklan untuk memacu kreativitas memadukan billing dan peraturan pemerintah.

Bahkan dalam peraturan pemerintah nomor 81 tahun 1999 dengan sangat jelas ditulis pada salah satu pasal, yaitu pasal 18 yang pada intinya melarang iklan produk rokok, baik untuk media cetak maupun media luar ruang menggambarkan (dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya) rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok. Sedangkan untuk pembagian sample (sampling) dijelaskan pada pasal 21 yang berbunyi : “Setiap orang yang memproduksi rokok dan atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia dilarang

Page 4: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

melakukan promosi dengan memberikan secara cuma-cuma atau hadiah berupa rokok atau produk lainnya dimana dicantumkan bahwa merek dagang tersebut merupakan rokok.”

Bukan hanya itu saja, pemerintahpun akhirnya mengeluarkan peraturan nomor 38 tahun 2000 sebagai perubahan dari peraturan sebelumnya yang menambahkan bahwa penayangan iklan rokok di media elektronik (televisi/radio) dapat dilakukan pada pukul 21:30 sampai pukul 05:00 waktu setempat. Tidak tanggung-tanggung, tiga lembaga sekaligus ikut memantau pelanggaran pelanggaran iklan rokok yang telah dilakukan oleh perusahaan rokok yaitu YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Lembaga Riset AC Nielsen, dan POM (Pengawasan Obat dan Makanan).

Dengan tekanan yang tinggi seperti itu, biro iklan membantu perusahaan rokok untuk memasarkan produknya dengan berbagai cara. Tanggung jawab secara moral biro iklan kepada masyarakat pun terkadang terabaikan agar mereka dapat bertahan di tengah persaingan ekonomi yang ketat. Selain tekanan ekonomi dalam negeri, kondisi perekonomian dunia yang kurang stabil juga semakin menekan keberadaan biro iklan. Mereka tetap saja membuat masyarakat Indonesia semakin konsumtif dengan iklan mereka. Meskipun terkadang dilakukan strategi pemasaran dalam bentuk kegiatan sosial kepada masyarakat namun tetap saja tujuannya untuk menguatkan pemasaran dan posisi produk di pihak konsumen.

Hampir semua iklan produk rokok dengan bahasa-bahasa simboliknya mengajak audience untuk bermimpi, melayang dan membayangkan suatu kesenangan atau kenikmatan yang pada akhirnya mau mengkonsumsi produk yang ditawarkan seperti iklan rokok Gudang Garam Surya dengan slogan citra ekslusifnya atau iklan produk rokok S.T. Dupont dengan slogannya Cool, Calm and Confidence. Hal itu dilakukan berulang-ulang dengan media yang benar-benar menyentuh masyarakat yaitu media luar ruang yang memenuhi hampir setiap sudut kota sehingga mengaburkan antara batas-batas seni dan kehidupan sehari-hari sehingga ada beberapa hal yang perlu ditinjau, seperti yang ditulis Mike Featherstone dalam bukunya Postmodernisme dan Budaya Konsumen (Maret, 2001, hal. 48 - 62) yang intinya sebagai berikut :1. Hal yang terus menerus ada dalam budaya konsumen untuk unsur-unsur tradisi kebuasan pra-industri yaitu tradisi penyelesaian dengan cara pemghambur-hamburan dan penghancuran kelebihan barang atau produk yang dijalankan melalui pemberian hadiah, event-event yang konsumtif serta konsumsi yang sangat menyolok serta menjadikan pertumbuhan ekonomi yang penuh untuk memunculkan pertumbuhan yang tanpa henti.2. Transformasi dan penggantian dari kebuasan tersebut menjadi image

Page 5: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

media, desain, periklanan, rock-video, sinema.3. Hal yang terus menerus ada serta transformasi tersebut dalam tempat-tempat konsumsi tertentu seperti tempat berlibur, stadion olah raga, taman-taman utama, department store dan pusat-pusat perbelanjaan.4. Penggantian unsur-unsur tradisi kebuasan pra-industri dan penyatuannya ke dalam konsumsi yang mencolok yang dilakukan oleh negara dan berbagai perusahaan, baik dalam bentuk tontonan untuk masyarakat umum yang bersifat 'prestise' dan/atau pun\ manajemen dan administrasi kelas tinggi yang sifatnya istimewa.

Baru-baru ini, adanya kepentingan khusus dan tekanan ekonomi juga disinyalir muncul dalam politik pemerintahan pada kasus penghilangan ayat undang-undang yang mengatur tentang tembakau yaitu Undang-Undang Kesehatan pasal 113 ayat 2 "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masyarakat sekelilingnya.". Hal tersebut diketahui karena pada bagian penjelasan pasal 113 masih terdiri dari tiga ayat termasuk penjelasan tentang ayat 2, namun ayat 2 nya sendiri tidak ada dalam dokumen undang-undang yang akan disahkan. Tentu saja perhatian tentang siapa dalang dibalik kasus tersebut mengarah pada kalangan industri rokok dengan kekuatan ekonomi yang besar melalui tangan kanan mereka di ranah politik karena undang-undang itu kemungkinan besar akan sangat mengganggu bisnis mereka jika disahkan.

II. Etika danTanggung jawab Sosial PerusahaanEtika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok perusahaan dan media sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral mempunyai nilai dan level kontekstualisasi pada tingkat individu, kelompok, komunitas atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika pada level tertentu sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang disepakati. Dalam menentukan kualitas etika yang ditegakkan, dilema moral atau pilihan moral selalu mempunyai masalah yang tidak begitu saja diselesaikan secara simplistik. Pilihan-pilihan etis harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang menjadi prinsip utama tindakan etis (AG. Eka Wenats Wuryanta, 2007)

Etika dalam level tertentu adalah etika dalam profesi. Ketika berada dalam

Page 6: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

konteks situasional selalu juga memperhatikan profesionalisme. Nilai etis dalam konteks profesionalisme akan menghasilkan kode etik. Arahan etika dalam kode etik didasarkan dalam dua dasar utama, yaitu prinsip tanggung jawab sosial dan kesejahteraan bersama. Pola dua dasar utama ini akan berbenturan dengan nilai atau prinsip nilai yang berkembang sampai sekarang. Mana yang harus didahulukan etika personal atau etika perusahaan, mana yang harus diutamakan kepentingan publik atau kepentingan individual. 

Dilema-dilema etis dan pengembangan etika perusahaan yang muncul sekarang juga serta merta menumbuhkan masalah sejauh mana akhirnya kita harus membuat aturan dan norma etika bisa dilakukan atau dilaksanakan dalam praktek hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, diperlukan juga lembaga-lembaga publik yang mengontrol, mengawasi dan menjadi ”anjing penjaga” sejauh mana etika perusahaan dapat dieksekusi secara bersama-sama. 

Tentunya masalah pendidikan juga menjadi penting dalam usaha membuat aturan atau norma etika bisa dijalankan dan diaplikasikan dalam hidup sehari-hari.Dalam hal pemasaran rokok, terdapat empat permasalahan etika yang menjadi dilematis:1. Etika humas adalah etika yang mengatur perilaku humas yang bisa bermuka dua. Di satu sisi, PR berfungsi sebagai institusi yang melayani kepentingan publik dan di sisi lain, PR berfungsi sebagai mata dan mulut perusahaan yang terkait. Keduanya mempunyai kepentingan yang berbeda. Kedua kepentingan tersebut juga bisa bertabrakan satu sama lain. Masalahnya adalah bagaimana praktisi PR bisa menempatkan diri dalam konteks kepentingan yang berbeda tersebut.2. Etika periklanan adalah etika yang mengatur profesionalis periklanan. Ada beberapa isu yang muncul dalam kerangka etika periklanan, yaitu sejauh mana iklan bisa dipertanggung jawabkan ketika produk yang ditawarkan adalah produk yang berbahaya, sejauh mana praktisi periklanan mampu menjadi ”pengarah tersembunyi” yang dimungkinkan dalam dunia periklanan, bagaimana pertanggung jawaban etis pada konteks periklanan yang mendorong labelisasi atau stereotip yang muncul dalam dunia periklanan, bagaimana praktisi periklanan mampu melaksanakan dan konsisten dalam melaksanakan privasi konsumen, isu lainnya adalah isu dalam periklanan yang mampu ”menodong” konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai pilihan selain tindakan mengkonsumsi, isu lainnya adalah iklan yang mengelabui konsumen.3. Etika konsumen lebih mau menyatakan bahwa konsumen punya hak untuk mendapatkan kompensasi yang memadai dalam seluruh hasil komunikasi atau media massa modern.

Page 7: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

4. Etika bisnis, yang lebih menekankan pada hal prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran dalam persaingan usaha agar tetap dinamis dan berjalan secara fair atau sehat.

Dilema-dilema etis dalam perusahaan modern semakin juga diperumit dengan masalah tekanan ekonomi yang memang menjadi arahan pokok etika perusahaan yang ada sekarang. Perkembangan etika aplikatif tentunya selalu harus memperhatikan aspek komunitas atau kepentingan publik. Akhirnya tidak mengherankan apabila sekarang berkembang model tanggung jawab perusahaan.

Tanggung jawab sosial dunia bisnis tidak saja berorientasi pada komitmen sosial yang menekankan pada pendekatan kemanusiaan, belas kasihan, keterpanggilan religi atau keterpangilan moral, dan semacamnya, tetapi menjadi kewajiban yang sepantasnya dilaksanakan oleh para pelaku bisnis dalam ikut serta mengatasi permasalahan sosial yang menimpa masyarakat. Fenomena inilah yang menyulut wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate sosial responsibility (CSR). Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekadar aktivitas ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan bisnis), melainkan juga tanggung jawab sosial termasuk lingkungan. 

Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategicstakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. (Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari "A Promise of Gold Rating : Sustainable CSR" Tanggal 23 Agustus 2006, diambil dari www.menlh.go.id)

Bahkan untuk menggalakkan program tanggung jawab sosial perusahaan ini pemerintah menyusun peraturan melalui undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam

Page 8: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Dalam ranah norma kehidupan modern, kita dilingkupi dengan sejumlah norma yakni norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa mengabaikan kewajiban dan pertanggung jawaban hukumnya, pada domain lain perusahaan juga terikat pada norma sosial sebagai bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli CSR sesungguhnya bergerak dalam kerangka ini, di mana perusahaan secara sadar memaknai aneka prasyarat tadi dan masyarakat sekaligus bisa menakar komitmen pelaksanaannya.

Menurut Muhammad Arief Effendi (2007) dalam muhariefeffendi.wordpress.com, ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).

Dari sisi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerja sama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.

Perusahaan rokok pun tidak ikut ketinggalan dalam program CSR-nya. Karena ini menjadi jalan pemasaran dan pencitraan mereka di masyarakat karena semakin ketatnya regulasi periklanan rokok. Hal tersebut dapat kita lihat pada program sosial PT Sampoerna dengan Sampoerna Foundation-nya yang memberikan beasiswa kepada siswa siswi berprestasi mapun Djarum Bakti Lingkungan yang mendukung program pelestarian lingkungan. Namun yang agak ironis ketika melihat dukungan perusahaan rokok tersebut dalam hal pembinaan olahraga. Beberapa perusahaan rokok besar membangun fasilitas olahraga dengan alasan meningkatkan pembinaan atlet nasional sejak dini, bahkan ada yang mendukung liga super olahraga sepak bola.

Page 9: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Secara logis, tujuan utama olahraga adalah kesehatan, namun mengapa justru pendonor dana terbesar olahraga di negara ini adalah perusahaan rokok yang produknya sangat tidak baik untuk kesehatan. Banyak terjadi kontroversi dalam hal tersebut ketika CSR dilakukan oleh perusahaan rokok. 

Beberapa tahun belakangan telah tercapai kesadaran bahwa CSR bisa dimaknai dengan jelas, walaupun definisinya masih sangat beragam. Perbedaan definisi itu ini diketahui hanyalah merupakan perbedaan penekanan dan artikulasi, namun secara substansi tidaklah berbeda. Crane, dkk (2008) menyatakan bahwa salah satu substansi yang diterima secara bulat adalah bahwa CSR itu berarti melakukan internalisasi eksternalitas. Eksternalitas adalah dampak positif dan negatif aktivitas perusahaan yang ditanggung oleh pihak lain namun tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan perusahaan, sehingga tidak tercermin dalam harga produk. Berabagai pakar CSR tidak bisa menerima adanya perusahaan yang mengaku ber-CSR namun tidak melakukan manajemen yang optimal atas eksternalitas. Konsekuensinya, apabila peusahaan hendak dianggap berkinerja sosial yang tinggi, maka ia berturut-turut harus memastikan tiga hal: dampak negatifnya telah ditekan hingga seminimal mungkin, dampak residual (dampak negatif yang masih tersisa setelah ditekan) telah dikompensasi dengan proporsional, dan dampak positifnya telah dikelola semaksimal mungkin.

Dengan pengertian yang demikian, sangatlah sulit buat siapapun untuk menyatakan bahwa industri rokok bisa dianggap memiliki kinerja CSR yang baik. Pengertian substansial ini belum tampak dalam “Indah Tapi Berbisa”. Penulisnya menyamakan CSR dengan sponsorship; sosiolog Imam Prasodjo dikutip menyamakan CSR dengan “...memberikan timbal balik bagi masyarakat”, Mary Assunta dari SEATCA menyatakan bahwa CSR adalah jalan bagi industri rokok untuk membangun citra positif; dan kutipan atas pernyataan Janoe Arijanto dari Dentsu Straat memberi kesan bahwa CSR itu “Ujung-ujungnya cuma duit.” (Koran Tempo edisi 27/11/08)

Jika sebuah perusahaan rokok coba-coba untuk membuat klaim bahwa mereka adalah perusahaan yang bertanggung jawab sosial, kita bisa menimbangnya dengan keharusan internalisasi eksternalitas di atas. Yang pertama-tama harus diperiksa adalah apakah memang dampak negatif dari produksnya telah ditekan hingga batas terendah yang mungkin? Belum tampak ada upaya masif dari industri rokok untuk mencegah anak-anak dan remaja merokok dengan menghilangkan akses mereka ke produk rokok dan berbagai iklannya. Industri ini juga sama sekali tak serius melindungi bukan perokok. Ini menunjukkan bahwa industri rokok tak mungkin mengkompensasi eksternalitas negatifnya, alias tak mungkin ber-CSR.

Page 10: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Bahkan menurut Jalal (2006) dalam www.csrindonesia.com, ketika kita melihat bagaimana upaya perusahaan rokok untuk membagi keuntungannya pada masyarakat luas melalui CSR, apabila perusahaan tidak meminimumkan dan mengkompensasi dampak negatifnya terlebih dahulu, namun langsung terjun dalam kegiatan amal, itu disebut greenwash alias pengelabuan citra. Tampaknya inilah yang banyak terjadi pada industri rokok di manapun, termasuk di Indonesia.

III. KesimpulanKeberadaan perusahaan rokok di Indonesia yang berkembang pesat memberikan dampak secara positif dan negatif. Di satu sisi, keberadaan perusahaan rokok memberikan keuntungan secara financial bagi negara, dan banyak menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, keberadaan perusahaan rokok dengan produk dan pemasarannya meningkatkan konsumsi masyarakat Indonesia akan rokok dan menurunkan kualitas hidup atau merusak kesehatan masyarakat. Karena kita tahu, rokok mengandung banyak zat bersifat racun bagi tubuh manusia. 

Perkembangan industri rokok di Indonesia pun menjadi kontroversial karena maraknya kampanye global tentang anti rokok. Namun Indonesia sendiri adalah salah satu negara yang memiliki industri rokok terbesar di dunia. Masyarakatnya pun menjadi target pasar yang potensial bagi produsen rokok. Bahkan keberadaan industri rokok ini memberikan pemasukan pendapatan negara yang sangat besar. Kepentingan dan tekanan ekonomi pun muncul disini dan menjadi masalah yang dilematis untuk dipecahkan. Dengan tekanan ekonomi yang tinggi, biro iklan membantu perusahaan rokok untuk memasarkan produknya dengan berbagai cara. Tanggung jawab secara moral biro iklan kepada masyarakat pun terkadang terabaikan agar mereka dapat bertahan di tengah persaingan ekonomi yang ketat. Selain tekanan ekonomi dalam negeri, kondisi perekonomian dunia yang kurang stabil juga semakin menekan keberadaan biro iklan.

Pemerintah pun berupaya untuk mengurangi aktivitas pemasaran industri rokok di Indonesia melalui peraturan-peraturan ketat bagi regulasi periklanan khususnya untuk produk rokok. Namun hasil nya belum konkrit

Page 11: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

karena adanya dilema antara faktor ekonomi dan tanggung jawab sosial pemerintah kepada warganya. Pemerintah hanya bisa menengahi, dengan mendukung program anti rokok namun tetap menerima keuntungan dari cukai rokok. Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Sosial Responsibility (CSR). CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan.

CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat

Profitabilitas maupun tanggung jawab sosial, keduanya merupakan tujuan yang hendak dicapai perusahaan. Sekalipun sangat disadari bahwa kedua hal ini sebenarnya terkadang saling bertentangan. Para pelaku bisnis tentunya berharap perusahaan dapat meningkatkan profitabilitas, namun hal ini tentunya akan menjadi konflik kepentingan bagi stakeholder lainnya yang menginginkan optimalisasi keberadaan perusahaan, terutama yang terkait dengan tanggung jawab sosialnya. Dengan kata lain, selalu terdapat pertentangan antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab sosial. 

diolah dari berbagai macam sumber. sumber :   http://danisetiawanku.blogspot.com/2010/01/keberadaan-perusahaan-rokok-di.html

IKLAN ROKOK

Page 12: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Perusahaan Rokok Lakukan Standar GandaPermohonan untuk menghilangkan iklan rokok bukan untuk melawan industri rokok.

SELASA, 28 APRIL 2009, 16:04 WIB

Ita Lismawati F. Malau, Eko Huda S

Mahkamah Konstitusi (Antara)

BERITA TERKAIT

Butet: Larangan Iklan Rokok Bagai Amputasi MK Kembali Sidangkan Gugatan Iklan Rokok Sidang Gugatan UU MA Digelar Hari ini Pagawai DKI Banyak Tertangkap Basah Merokok Penerapan Sanksi Hukum Perokok Molor

VIVAnews - Perusahaan rokok dinilai tidak menjalankan etika bisnis yang baik. Ahli

dari Tobacco Control Support Center, Kartono Muhammad mengatakan perusahaan

rokok telah melakukan standar ganda.

Demikian disampaikan Kartono Muhammad, ahli yang diajukan pemohon dalam

persidangan uji materiil Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran yang jadi dasar hukum penayangan iklan rokok di Mahkamah Konstitusi,

Jakarta, Selasa 28 April 2009.

"Untuk produk yang diekspor ke luar, peringatan bahaya akibat rokok juga disampaikan

Page 13: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

melalui gambar. Akan tetapi untuk produk yang dijual di dalam negeri hanya dengan

tulisan kecil saja" kata Kartono dihadapan Majelis Hakim Konstitusi. 

Dia mengatakan permohonan untuk menghilangkan iklan rokok bukan untuk melawan

industri rokok maupun para petani tembakau yang menghasilkan bahan baku rokok.

Tapi, melainkan untuk melindungi anak-anak agar tidak tidak merokok.

Menurut dia langkah ini tidak akan mematikan industri rokok di Indonesia. "Di Amerika

yang memberlakukan peraturan secara ketat terhadap pun industri rokoknya tidak

mati," kata dia.

Permohonan uji materi Undang-undang penyiaran diajukan oleh Komisi Nasional

Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Jawa Barat dan dua anak

Indonesia, Alfie serta Faza.

Mereka meminta Mahkamah menyatakan Pasal 46 ayat (3) huruf c Undang-undang

Penyiaran bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 28C ayat (1)

UUD 1945.

Komnas meminta agar frasa yang berbunyi, 'Siaran iklan niaga dilarang melakukan

promosi rokok yang memperagakan wujud rokok' dihapus. Jika Mahkamah mengabulkan

permohonan Komisi Anak itu, maka iklan rokok di media massa akan dilarang.

• VIVAnews

MK Kembali Sidangkan Gugatan Iklan RokokBerdasarkan penelitian, sebanyak 31,5 persen remaja mengaku mulai merokok di usia 15 tahun

SELASA, 28 APRIL 2009, 06:57 WIB

Elin Yunita Kristanti

Page 14: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Stop Merokok (doc Corbis)

BERITA TERKAIT

Pagawai DKI Banyak Tertangkap Basah Merokok Penerapan Sanksi Hukum Perokok Molor 200 Sekolah di DKI Deklarasikan Antirokok "Presiden dan DPR Sudah Lakukan Tugasnya" "Penjarakan Saja Enam Bulan"

VIVAnews - Mahkamah Konstitusi kembali menyidangkan gugatan uji materiil Pasal 46

ayat (3) huruf c UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran hari ini, Selasa 28 April 2009

pukul 10.00. Sidang hari ini mengagendakan  mendengarkan keterangan saksi atau ahli

dari pemohon dan pemerintah. 

Uji materiil pasal tersebut diajukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak. Komisi

menggugat aturan yang menjadi dasar iklan rokok di media massa tersebut. Selain

Komnas Anak, pemohon uji materiil ini adalah Lembaga Perlindungan Anak (LPA)

Provinsi Jawa Barat dan dua anak Indonesia, Alfie serta Faza.

Pasal yang digugat itu berbunyi, 'Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok

yang memperagakan wujud rokok.' Saat mendaftarkan gugatan ke Mahkamah

Konstitusi, Wakil Ketua Perlindungan Anak, Muhammad Joni mengatakan komisi hanya

akan menggugat sebatas frasa, 'yang memperagakan wujud rokok.'

Jika permohonan uji materiil ini dikabulkan, pasal itu jadi berbunyi, 'Siaran iklan niaga

dilarang melakukan promosi rokok.' 

Berdasarkan penelitian  Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.

Page 15: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Hamka yang dilakukan pada 353 responden murid SMP dan SMU di DKI Jakarta pada

2007, sebanyak 31,5 persen mengaku mulai merokok pada usia 15 tahun.

Yang mengejutkan, 1,9 persen responden mengaku mulai merokok sejak berusia empat

tahun. Menurut  Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi perokok dini

dipengaruhi tayangan iklan dan kegiatan yang disponsori rokok.

• VIVAnews

01 Mei 2011 | 08:03 | Internasional Ukuran Huruf   

Digugat rumah sakit, perusahaan rokok AS menang perkara 

 

Ilustrasi (Foto: lexisnexis.com)

Washington - Enam perusahaan rokok besar di Amerika Serikat memenangkan perkara gugatan 37 rumah sakit di Missouri, yang menuntut kompensasi karena merawat pasien yang sakit akibat merokok dan karena kondisi ekonomi pasien banyak yang tidak membayar.

Menurut bbc.co.uk, Sabtu (30/4), dalam gugatannya, ke-37 rumah sakit mengklaim perusahaan-perusahaan rokok itu menebar penyakit dan rumah sakit menerima akibatnya karena harus merawat banyak orang yang sakit karena rokok, sebagian pasien bahkan tidak

Page 16: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

membayar. Ganti rugi yang diminta, sebesar US$455 juta atau sekitar Rp4 triliun.

Menurut kubu rumah sakit, sesuai etika medis, mereka harus merawat setiap pasien tanpa melihat kemampuan membayar. Sebaliknya, perusahaan rokok dituding memanipulasi kandungan nikotin di produk mereka dan menyesatkan konsumen tentang bahaya merokok.

Namun, juri di pengadilan di St Louis menolak klaim penggugat. "Tidak ada bukti, termasuk pengakuan dari saksi mata yang diajukan penggugat, bahwa rumah sakit mengalami kerugian secara finansial seperti yang mereka klaim," ujar wakil perusahaan rokok mengutip pandangan juri.

Perusahaan Rokok Vs Perusahaan Obat

OPINI | 09 June 2010 | 10:24 223  19   1 dari 2 Kompasianer menilai Menarik

Membaca kutipan dari diskusi pada peluncuran buku “Nicotine War” sangat menggugah keinginan untuk berbagi pandangan tentang persaingan antara perusahaan rokok dan perusahaan obat yang menjadi topik dalam diskusi tersebut.

Mengenal industri rokok

Ads  

Untuk memahami permasalahannya mari kita lihat ‘habitat’ masing-masing perusahaan tersebut. Rokok sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu dan sejalan dengan perkembangan peradaban maka rokok yang pada awalnya merupakan produk sederhana, diproses sendiri oleh perokok sebelum dihisap, lalu berkembang menjadi produk industri dengan masuknya teknologi pengolahan

Page 17: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

tembakau dan pembuatan rokok. Industri rokok kemudian berkembang menjadi salah satu industri yang menghasilkan keuntungan besar bagi pemiliknya.

sumber:madurachannel.com

Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh perusahaan rokok yang tidak dimiliki oleh kebanyakan industri lain selain judi dan pornografi adalah kecanduan atau adiksi yang ditimbulkan oleh nikotin, zat aktif yang terkandung dalam tembakau. Kecanduan/adiksi membuat seorang perokok sulit untuk melepaskan kebiasaan tersebut sehingga ia akan menjadi konsumen seumur hidup.  Dalam ilmu pemasaran dapat dikatakan bahwa produk rokok memiliki siklus hidup yang sangat panjang yang berbeda dengan produk lain. Siklus yang dimaksud disini adalah mulai dari seseorang mengenal suatu produk, menggunakan secara terus menerus dan kemudian beralih ke produk lain.

Mengenal kecanduan/adiksi

Kecanduan/adiksi rokok dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV termasuknicotine-related disorder jadi kecanduan nikotin memiliki kaitan dengan proses mental. Mengapa demikian? Secara singkat dapat digambarkan bahwa nikotin memiliki kemampuan mempengaruhi ‘pusat kenikmatan’ di dalam otak. Otak yang biasa terpapar nikotin akan menanggapi keberadaan nikotin sebagai ‘reward‘ sehingga pada saat kadar nikotin berkurang makan otak akan mengirimkan sinyal pada tubuh untuk mendapatkan nikotin. Nikotin yang masuk akan menghilangkan sinyal tersebut dan menimbulkan perasaan nikmat.  Proses demikian terjadi terus menerus mirip dengan proses pada timbulnya rasa lapar dan haus.

‘Perang yang sesungguhnya‘

Page 18: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Dalam nalar bisnis, semua upaya pemasaran dan penjualan bertujuan agar pelanggan selalu membeli produk yang ditawarkan melalui upaya-upaya untuk meningkatkan kesetiaan pelanggan (customer loyalty) atau bahkan tergantung dengan produk itu dalam memenuhi kebutuhannnya. Nah, dalam hal rokok, produsen tidak perlu repot lagi menciptakan kesetiaan, tinggal mengendalikan agar produk tersebut terjangkau dan mudah didapat. Semuanya akan beres.

Lalu bagaimana dengan perusahaan obat? Seperti layaknya perusahaan yang bermotif keuntungan, perusahaan obat juga selalu mencari peluang agar dapat membuat dan menjual obat yang diproduksi. Dalam istilah bisnis, kecanduan nikotin merupakan suatu captive market (pasar dimana konsumen tidak banyak memiliki pilhan untuk mengobati kecanduannya) yang harus dimanfaatkan. Dengan asumsi jumlah pencandu rokok yang mencapai ratusan juta orang di seluruh dunia maka produk anti nikotin memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Meski jumlah itu masih harus dikurangi dengan yang hardcore(yang sudah tidak ingin menghilangkan kecanduannya), nilainya masih sangat besar. Maka dengan memanfaatkan kemajuan iptek yang ada muncullah beberapa produk yang diklaim memiliki kemampuan untuk mengatasi kecanduan nikotin tersebut.

Kebalikan dari industri rokok yang sudah memiliki pelanggan setia, industri obat anti nikotin masih harus berjuang untuk sukses. Selain upaya memperkenalkan produk tersebut, perusahaan yang membuat obat anti-nikotin juga bukan tidak mungkin menghadapi upaya-upaya tandingan dari produsen rokok.

Untuk menghasilkan keuntungan yang terus menerus maka perusahan harus mampu menghadapi semua rintangan yang ada. Industri rokok menghadapi tantangan yang tidak ringan mulai dari makin tingginya kesadaran akan kesehatan sampai dengan peraturan atau undang-undang yang membatasi kegiatan merokok sampai upaya untuk melakukan promosi. Di Indonesia dan juga luar negri kita bisa lihat betapa kreatifnya mereka dalam menyiasati rintangan yang ada. Hal ini merupakan naluri mereka untuk bertahan.

Di pihak lain, perusahaan obat anti nikotin juga melakukan hal yang sama, mereka akan menggunakan upaya-upaya pemasaran yang kreatif untuk meningkatkan kesadaran perokok agar dapat menghilangkan kecanduannya. Adanya gerakan anti rokok, bisa dilihat berkah bagi perusahaan ini dan tentu saja tidak ada salahnya jika mereka juga bisa menjadi pelopor gerakan ini. Inilah serunya ‘perang’ antara perusahaan rokok dan perusahaan obat.

Akhirnya sebagai penonton kita hanya bisa berharap agar ‘perang’ yang terjadi selalu menggunakan cara-cara yang baik sesuai dengan etika bisnis dan

Page 19: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

menerapkan ethical marketing practices karena keputusan ada di tangan perokok untuk tetap lanjut atau berniat menghilangkan kecanduan tersebut dengan segala konsekuensinya.

Salam damai,

"Ada Kepentingan di Balik Iklan Antirokok"Produsen menargetkan adanya perubahan pola konsumsi nikotin dari rokok ke obat nikotin.

SABTU, 19 JUNI 2010, 09:53 WIB

Elin Yunita Kristanti

Stop Merokok (doc Corbis)

Page 20: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

BERITA TERKAIT

Karena Iklan, Jumlah Perokok Remaja Meroket MUI: Darah Babi Kuatkan Fatwa Haram Rokok Bisikan Siswa SD Minta Walikota Stop Merokok Rokok Sumbang 99% Cukai, Bagaimana Jika Haram Rokok Haram, APBN Juga Haram

VIVAnews - Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Joko Susanto

mengatakan, kampanye antirokok harus diwaspadai, karena kampanye itu justru

digalang oleh produsen nikotin. 

Kemudian, ia menceritakan kepentingan perusahaan besar yang ingin memanfaatkan

kampanye antirokok. 

“Saya tidak suka rokok, tapi kampanye antirokok itu tidak semata-mata berkaitan

dengan kesehatan. Ada kepentingan ekonomi global untuk mengubah pola konsumsi

nikotin,” katanya dalam bedah buku “Nicotine War” karya Wanda Hamilton bersama

budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan advokat Gabriel Mahal, di sebuah toko

buku di Surabaya, Jumat 18 Juni 2010. 

Dalam bedah buku yang dipandu sastrawan Lan Fang itu, dia mengatakan kampanye

antirokok patut diwaspadai, karena produsen nikotin menargetkan adanya perubahan

pola konsumsi nikotin dari rokok kepada obat nikotin.

“Jadi, dari aspek kesehatan sebenarnya tidak ada perubahan, karena itu para ahli

kesehatan dan agama juga patut mewaspadai kampanye antirokok itu. Kampanye itu

akan tetap menjerumuskan perokok pada konsumsi nikotin juga,” katanya.

Oleh karena itu, katanya, kampanye antirokok yang tidak diwaspadai secara politis

akan 'membunuh' petani tembakau dan justru akan memperkaya negara-negara maju

yang akan terus memperbanyak produksi obat nikotin.

“Kampanye antirokok itu perlu konsensus, bukan hanya dibilang haram atau merusak

kesehatan. Kampanye antirokok tanpa konsensus akan mudah ditunggangi kepentingan

ekonomi global yang ‘mematikan’ petani kita sendiri,” katanya.

Dalam kesempatan itu, advokat Gabriel Mahal membantah dirinya pernah menjadi

Page 21: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

penasihat sebuah perusahaan rokok. Sebaliknya, dikatakan dirinya justru pernah

menjadi konsultan bagi petani tembakau.

“Saya perokok dan saya tahu merokok itu ada risikonya. Risiko itu ada pada semua

barang, bukan hanya rokok. Kkarena itu saya heran mengapa hanya rokok yang

dipersoalkan. Saya yakin ada agenda global di balik kampanye antirokok itu,” katanya.

Senada dengan itu, budayawan Cak Nun menyatakan bangsa Indonesia harus jeli

dengan polemik rokok, sebab bila polemik itu mengandung banyak kepentingan.

“Kita jangan gampang mengeluarkan fatwa haram, apalagi hanya dilakukan

sekelompok orang seperti MUI yang bukan perokok. Ada empat hal yang tidak boleh

dibisniskan yakni agama, pendidikan, kesehatan, dan budaya,” katanya. (sj)

Laporan: Tudji Martudji | Surabaya 

• VIVAnews

JABODETABEKRabu, 09 Juni 2010 , 07:24:00

Ditunggangi Kepentingan Farmasi Asing

JAKARTA – Pengamat ekonomi politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Revrisond Baswir mengingatkan masyarakat tidak menerima mentah-mentah kampanye anti tembakau yang kian gencar belakangan ini. Pasalnya, lanjut Revrisond, kampanye itu tidak serta merta urusan kesehatan namun telah diboncengi oleh kepentingan besar industri farmasi.

“Perusahaan farmasi multinasional melihatnya sebagai peluang bisnis, karenanya tidaklah mengherankan bila WHO dan gerakan anti rokok juga ngotot soal FCTC. Namun sayangnya ini bukan kebenaran murni. Karenanya masyarakat harus jeli menyikapinya,” kata ekonom  dari UGM Yogyakarta itu dalam peluncuran buku Nicotine Wae di Pusat Studi Jepan, Universitas Indonesia.

Sementara peneliti dari Institut Global Justice Salamuddin Daeng mengajak masyarakat untuk mengkritisi kampanye anti tembakau yang semakin gencar. Sikap ini perlu, guna menetralisir kepentingan asing yang menumpang dibalik kegiatan tersebut.

"Kebijakan Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau  (FCTC) tidak lepas dari kepentingan ekonomi asing terhadap bangsa lain, termasuk Indonesia. Itu bentuk lain kolonialisme yang mengikuti kapitalisme global. Karenanya masyarakat, khususnya generasi muda harus lebih kritis dan harus menolak,” ujar Salamuddin.

Ekonom Revrisond mengingatkan masyarakat agar waspada dan berfikir kritis dalam menilai kampanye anti rokok. Ini fenomena pertarungan perusahaan farmasi raksasa melawan perusahaan

Page 22: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

rokok dalam memperebutkan perokok dan yang menjadi korban salah satunya petani tembakau.  "Masyarakat perlu melihat secara jernih permasalahan yang ada. Karena informasi yang diungkapkan tentang tembakau tidak selalu benar," tambahnya.

Disisi lain, Budayawan Muhamad Sobary mengajak masyarakat melawan kampanye anti rokok dengan gigih. Perlawanan ini harus dilakukan karena kampanye rokok yang ada saat ini ujung-ujungnya adalah kolonialisme ekonomi. Bangsa lain tidak puas melihat kemandirian ekonomi Indonesia selepas penjajahan. "Saya sejak kecil tidak merokok tapi membela petani tembakau. Karenanya, masyarakat harus melawan meskipun itu kecil-kecil tapi konstan. Jangan hanya mengandalkan pemerintah yang lemah. Contohlah Prita," ujarnya.

Sobary juga mengharapkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) mengambil peran memperjuangkan kepentingan masyarakat yang lemah dan tertindas.

Sementara itu, Pengamat Prakarsa Bebas Tembakau, Gabriel Mahal mengatakan agenda golbal pengontrolan atas tembakau terdapat kepentingan besar dari bisnis perdagangan obat-obatan yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NTR). ”Sangat kuat indikasinya. Dibalik kepentingan kesehatan publik ada motif kepentingan bisnis perdagangan produk NRT tersebut,” ujarnya. (Esy/JPNN)

Rokok Menjadi Ajang Korporasi Kepentingan

Ketika para penggiat anti tembakau masih sibuk mengampanyekan bahaya

tembakau dan menekan pemerintah untuk membuat regulasi pengontrolan yang ketat,

sesungguhnya korporasi internasional yang mendapat keuntungan bisnis. Dari agenda

ini, justru mereka sibuk menghitung peluang keuntungan dari bisnis tersebut. Hal

inilah yang coba dikritisi oleh Wanda Hamilton dalam bukunya yang berjudul "Nicotine

War, Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat".

Wanda dalam buku tersebut bercerita mengenai fakta-fakta di balik agenda global

pengontrolan atas tembakau, bahwa terdapat kepentingan besar bisnis perdagangan

obat-obatan yang dikenal dengan Nicotine Replacement Theraphy (NRT). Di sana,

sangat kuat kesan dan indikasi bahwa kepentingan kesehatan publik melalui kampanye

bahaya tembakau hanyalah bungkus dari motif kepentingan bisnis perdagangan produk

NRT.

Page 23: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

"Pada tahun 1980-an, badan-badan kesehatan masyarakat sudah bersiaga penuh

untuk melancarkan serangan terhadap perilaku merokok sebagai isu kesehatan publik.

Perusahaan farmasi justru melihat ini sebagai peluang emas untuk menawarkan

produk-produk nikotin mereka sendiri sebagai alat bantu berhenti merokok dan jelas

tak ada yang lebih menguntungkan dibandingkan kenyataan bahwa lembaga kesehatan

dunia ikut membantu memasarkan obat-obatan berhenti merokok sebagai bagian dari

program pemberantasan merokok," ujar Hamilton dalam diskusi dan bedah bukunya di

Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Sabtu (12/6).

Sementara itu, dalam pandangan pakar ekonomi UGM, Drs. Revrisond Baswir,

M.B.A., saat ini bangsa Indonesia sebenarnya tengah dijajah bukan pada sektor riil,

tetapi pada mindset atau cara pandang seseorang dalam melihat persoalan. Dalam

kaitannya dengan merokok dan kesehatan, riset mengenai kampanye anti merokok saat

ini bukan lagi berdasarkan pikiran ilmiah, tetapi untuk kepentingan kelompok korporasi

yang ingin merebut emas.

"Perebutan emas nikotin adalah mengenai bagaimana cara manusia

mengonsumsinya. Perusahaan farmasi mengamati bagaimana cara manusia menikmati

rokok. Kemudian, mereka sembari mempersiapkan produk pengganti dan merebut

pasar dari masyarakat yang mengkonsumsi rokok tersebut," katanya.

Dalam pandangannya, masalah pro merokok atau tidak merokok kini menjadi tidak

relevan lagi manakala terdapat korporasi kepentingan. "Mau merokok atau tidak

sebenarnya sama-sama memiliki kepentingan korporasi, tetapi yang harus menjadi

perhatian kita adalah bagaimana kepentingan itu didasarkan untuk rakyat banyak dan

menyangkut kebijakan secara nasional termasuk kebijakan ekonomi negara," imbuhnya.

(Humas UGM/ Agung)

Inilah Bisnis Dibalik Kampanye Anti Rokok

Page 24: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Sabtu, 12 Juni 2010 15:15:00YOGYA (KRjogja.com) - Ketika

para pegiat anti tembakau masih sibuk mengampanyekan bahaya tembakau dan menekan pemerintah untuk membuat regulasi pengontrolan yang ketat, korporasi internasional yang mendapat keuntungan bisnis dari agenda ini justru sibuk menghitung peluang keuntungan dari bisnis tersebut. Hal inilah yang coba dikritisi oleh Wanda Hamilton dalam bukunya yang berjudul 'Nicotine War, Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat'.

Dalam bukunya tersebut, Wanda bercerita mengenai fakta-fakta di balik agenda global pengontrolan atas tembakau, terdapat kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obatan yang dikenal dengan Nicotine Replacement Theraphy (NRT). Disana sangat kuat kesan dan ada indikasi bahwa kepentingan kesehatan publik melalui kampanye bahaya tembakau hanyalah bungkusan dari motif kepentingan bisnis perdagangan produk NRT.

"Pada tahun 1980-an, badan-badan kesehatan masyarakat sudah bersiaga penuh untuk melancarkan serangan terhadap perilaku merokok sebagai isu kesehatan publik. Perusahaan farmasi justru melihat ini sebagai peluang emas untuk menawarkan produk-produk nikotin mereka sendiri sebagai alat bantu berhenti merokok. Dan jelas tak ada yang lebih menguntungkan dibandingkan kenyataan bahwa lembaga kesehatan dunia ikut membantu memasarkan obat-obatan berhenti merokok sebagai bagian dari program pemberantasan merokok," ujarnya dalam diskusi dan bedahbukunya di Gedung FIB UGM, Sabtu (12/6).

Sementara itu, dalam pandangan pakar ekonomi UGM, Revrisond Baswir, saat ini bangsa Indonesia sebenarnya tengah dijajah bukan pada sektor riil tetapi dari 'mindset' atau cara pandang seseorang dalam melihat persoalan. Dalam kaitannya dengan merokok dan kesehatan, kini riset mengenai kampanye anti merokok bukan lagi berdasarkan pikiran ilmiah tetapi untuk kepentingan kelompok korporasi yang ingin merebut emas.

"Perebutan emas nikotin adalah mengenai bagaimana cara manusia mengkonsumsinya. Perusahaan farmasi mengamati bagaimana cara manusia menikmati rokok, kemudian mereka sembari mempersiapkan produk pengganti dan merebut pasar dari masyarakat yang mengkonsumsi rokok tersebut," katanya.

Dalam pandangannya, masalah pro merokok atau tidak merokok kini menjadi tidak relevan lagi manakala terdapat korporasi kepentingan. "Mau merokok atau tidak sebenarnya sama-sama memiliki kepentingan korporasi. Tetapi yang harus menjadi perhatian kita adalah bagaimana kepentingan itu didasarkan untuk rakyat banyak dan menyangkut kebijakan secara nasional termasuk kebijakan ekonomi negara," imbuhnya. (Ran)Peluncuran Buku Nicotine WarKampanye Antitembakau Harus Usulkan Alternatif

Suasana bedah buku (Foto : Rani Dwi Lestari)

Page 25: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

(en)9 Juni 2010 - 11:6 WIB

Hervin Saputra/ Angga Haksoro

VHRmedia, Jakarta – Rencana memberlakukan aturan larangan

memproduksi tembakau, harus mempertimbangkan nasib petani

dan buruh pabrik rokok. Tanpa usulan alternatif, kampanye

antitembakau akan menyebabkan 6 juta petani tembakau dan buruh

rokok kehilangan mata pencaharian.

 

Hal tersebut diungkapkan pengamat prakarsa bebas tembakau,

Gabriel Mahal, dalam bedah buku “Nocotine War” karya penulis

Amerika Serikat, Wanda Hamilton, di kampus Universitas Indonesia,

Selasa (8/6).

 

Menurut Gabriel Mahal, jika larangan menjual tembakau dijadikan

undang-undang, pemerintah harus menyediakan lapangan

pekerjaan untuk 6 juta masyarakat yang menggantungkan hidup dari produksi rokok dan tembakau.

“Banyak sekali kepentingan Indonesia dengan tembakau. Pemerintah harus memberi alternatif,”

kata Gabriel Mahal.

 

Buku Nocotine War mengungkap kepentingan bisnis di balik kampanye antitembakau. Wanda

Hamilton menulis 3 perusahaan farmasi besar Amerika Serikat yang menyokong kampanye

antitembakau World Health Organization (WHO). Menurut Wanda, perusahaan farmasi juga

mendanai sejumlah perguruan tinggi terkemuka untuk meneliti bahaya nikotin.

 

Gabriel mengatakan, kampanye antitembakau seharusnya jujur dan bebas dari kepentingan bisnis

perusahaan farmasi. Misalnya, dengan tidak melebih-lebihkan jumlah kematian yang disebakan

rokok. “Jangan jadi propaganda yang menakutkan,” ujarnya. (E1)

Indonesia Jadi Rebutan Industri Rokok dan ObatRabu, 9 Juni 2010 | 08:40 WIB

Page 26: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

ilustrasi

TERKAIT: Perokok, Sayangi Jantungmu Merokok Itu Cantik dan Bebas? Awas, Sperma Rusak karena Rokok Bahaya Nyata dari Rokok WHO : Wanita Diincar Jadi Pecandu Baru!

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia menjadi ajang "peperangan" antara industri rokok dan obat. Terjadi perebutan pasar dan sumber daya. Hal itu terungkap dalam peluncuran buku sekaligus diskusi bertajuk "Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat" di Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (8/6/2010).Buku itu merupakan terjemahan dari hasil riset dan kajian Wanda Hamilton, aktivis Fight Ordinances and Restrictions to Control and Eliminate Smoking (FORCES) International. Forces merupakan organisasi yang aktif mengampanyekan kemerdekaan merokok sebagai hak.Buku itu mengungkapkan dengan gamblang motif-motif yang mendasari larangan dan pembatasan produk tembakau secara global. Ada kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obat yang dikenal dengan nicotine replacement therapy di balik agenda pengontrolan atas tembakau. Berbagai anggapan pakar medis mengenai dampak merokok bagi kesehatan juga dipertanyakan kebenarannya.Salah satu pembicara, yaitu pengamat ekonomi Revrison Baswir, membedah buku itu dari sisi ekonomi politik, yakni bagaimana industri mengeruk keuntungan dari sebuah aktivitas, yakni merokok. Jaringan perusahaan farmasi berkepentingan terhadap kampanye antirokok. "Buku ini bukan pro dan kontra rokok dari sisi kesehatan," ujarnya.Pembicara lainnya, peneliti dari Institute for Global Justice, Salamuddin Daeng, beranggapan senada. Perang dagang bukan merupakan fenomena baru. Pertarungan memperebutkan pasar sering terjadi. Dia melihat industri rokok termasuk yang mampu mengembangkan industri dengan baik, yakni menguasai dari

Page 27: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

hulu hingga hilir. Petani tembakau, misalnya, telah terintegrasi dan ketergantungan terhadap industri rokok amat tinggi.Budayawan Mohamad Sobari mengatakan, kekuatan kapitalis dan kolonialis selalu mencengkeram negara yang pemerintahan dan parlemennya lemah serta medianya kurang peduli. "Seharusnya, kehidupan kita tidak boleh diintervensi oleh kekuatan luar," ujarnya.Sobari juga menyatakan keprihatinannya akan nasib petani tembakau yang akan terpengaruh. Menurut dia, petani tembakau merupakan konteks nyata dan riil yang tidak bisa dipinggirkan.Para pembicara tersebut sempat mendapatkan beberapa tanggapan dari mahasiswa peserta diskusi yang khawatir buku itu dijadikan alat pembenaran untuk terus merokok.Sebagian mahasiswa ada yang berpendapat, industri rokok sendiri sebetulnya selama ini mengakui bahwa produknya berbahaya. Hal itu terbukti dengan pencantuman dampak kesehatan pada kemasan rokok. (INE)SEMARANG METRO

17 Juni 2010

Ramai-ramai Gugat Bahaya RokokMEROKOK dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan

janin. Sebaris kalimat itu biasa kita lihat pada setiap bungkus, reklame dan iklan rokok. Dan selama

ini sebagian besar dari kita percaya begitu saja kebenaran kalimat itu. Tapi bagaimana jika ternyata

itu sebuah kebohongan besar?

Sebuah buku dari penulis Amerika, Wanda Hamilton mengungkapkan hal itu. Ia menulis pernyataan

400 ribu kematian prematur setiap tahun di Amerika akibat rokok adalah kebohongan besar. Hal itu

lebih bersifat prediktif dan belum pernah terbuktikan Semuanya ditiupkan para perusahaan farmasi

dunia agar produk mereka laku keras di pasaran.

Betapa mencengangkan! Terlebih ditambah fenomena pengharaman rokok oleh salah satu

organiasi keagamaan di tanah air. “Sementara aktivis anti tembakau sibuk berkoar tentang bahaya

rokok, korporasi internasonal sibuk menghitung keuntungan yang diperolehnya,” kata Gabriel Mahal.

Gabriel adalah advokat dan pengamat prakarsa bebas tembakau di Jakarta. Selasa (15/6), ia

menjadi salah satu pembicara dalam bedah buku Nicotine War:Perang Nikotin dan Para Pedagang

Obat karya Wanda Hamilton di Gedung Pasca Sarjana Undip. Diskusi itu bagian dari roadshow di 5

Universitas Negeri di 5 kota besar. Sebuah monolog dari aktor Teater Gandrik Yogyakarta, Whani

Darmawan, menjadi pembuka diskusi yang diikuti ratusan peserta itu.

Ancaman Begitu hebatnya korporasi obat itu menanamkan wacana bahaya rokok, hingga mampu

memaksa Pemda mengeluarkan perda larangan merokok di tempat umum. “Jika tidak dihentikan,

Page 28: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

kampanye itu akan mengancam perusahaan rokok lokal dan kehidupan enam juta buruh pabrik dan

petani tembakau kita,” lanjutnya.

Yang menggugat kebenaran racun rokok bukan Gabriel seorang. Setidaknya dalam forum hasil

kerja sama digelar Fakultas Ilmu Budaya Undip itu, ikut menggugat pengusaha jamu Jaya Suprana,

budayawan Mohammad Sobari, dan praktisi media Triyanto Triwikromo.

Jaya Suprana sendiri mengaku ragu akan berbagai macam bahaya merokok. Tapi jika pun benar,

menurutnya hal itu merupakan resiko perokok sendiri. Merokok atau tidak merokok baginya adalah

hak asasi. Tidak perlu diatur dalam regulasi. “Lagipula, masing-masing manusia memiliki

metabolisme kekebalan tubuhnya sendiri. Tidak ada standar kesehatan bagi semua orang,” katanya.

M Sobari mengungkapkan, rokok sudah menjadi bagian kebudayaan Indonesia yang tidak bisa

terpisahkan. Budaya merokok telah melahirkan satu produk tersendiri yakni rokok kretek. Jika rakyat

Indonesia begitu emosional mengetahui Reog dan Wayang diklaim milik bangsa lain. Tapi mengapa

ketika salah satu produk budaya kita mau dihapuskan, malah tenang-tenang saja,” tanyanya pada

ratusan hadirin yang terdiam. (Anton Sudibyo-52)

Pengamat: Kampanye Antirokok Digalang Produsen NikotinFriday, 18 June 2010 07:32 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Joko Susanto MSc, menilai kampanye antirokok perlu diwaspadai, karena kampanye itu justru digalang oleh produsen nikotin."Saya tidak suka rokok, tapi kampanye antirokok itu tidak semata-mata berkaitan dengan kesehatan, sebab ada kepentingan ekonomi global untuk mengubah pola konsumsi nikotin," katanya di Surabaya, Kamis.

Pengamat strategi politik luar negeri dari Unair itu mengemukakan hal tersebut dalam bedah buku "Nicotine War" karya Wanda Hamilton bersama budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan advokat Gabriel Mahal SH.Dalam bedah buku yang dipandu sastrawan Lan Fang itu, ia mengatakan kampanye antirokok patut diwaspadai, karena produsen nikotin menargetkan adanya perubahan pola konsumsi nikotin dari rokok kepada obat nikotin.

"Jadi, dari aspek kesehatan sebenarnya tidak ada perubahan, karena itu para ahli kesehatan dan agama juga patut mewaspadai kampanye antirokok itu, karena kampanye itu akan tetap menjerumuskan perokok pada konsumsi nikotin juga," katanya.

Oleh karena itu, katanya, kampanye antirokok yang tidak diwaspadai secara politis akan "membunuh" petani tembakau dan justru akan memperkaya negara-negara maju yang akan memproduksi obat nikotin itu. "Kampanye antirokok itu perlu konsensus, bukan hanya dibilang haram atau merusak kesehatan, karena kampanye antirokok tanpa konsensus akan mudah

Page 29: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

ditunggangi kepentingan ekonomi global yang 'mematikan' petani kita sendiri," katanya.

Dalam kesempatan itu, advokat Gabriel Mahal SH membantah dirinya pernah menjadi penasihat sebuah perusahaan rokok, namun dirinya justru pernah menjadi konsultan bagi petani tembakau. "Saya perokok dan saya tahu merokok itu ada risikonya, tapi risiko itu ada pada semua barang, bukan hanya rokok, karena itu saya heran mwngapa hanya rokok yang dipersoalkan. Saya yakin ada agenda global di balik kampanye antirokok itu," katanya.

Senada dengan itu, budayawan Cak Nun menyatakan bangsa Indonesia harus jeli dengan polemik rokok, sebab bila polemik itu mengandung banyak kepentingan. "Kita jangan gampang mengeluarkan fatwa haram, apalagi hanya dilakukan sekelompok orang seperti MUI yang bukan perokok. Ada empat hal yang tidak boleh dibisniskan yakni agama, pendidikan, kesehatan, dan budaya," katanya. Bedah buku "Nicotine War" itu digelar di sejumlah kota yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.

Mitos Fatwa Haram Rokok???

OPINI | 14 June 2010 | 07:10 155  10   1 dari 1 Kompasianer menilai Menarik

Sejak kepulangan dari Bedah Buku “Nicotine War” karya Wanda Hamilton di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM (Sabtu, 12 Juni 2010), aku dilanda kebinggungan yang tak menentu. Common sense-ku runtuh oleh uraian para pembicara yang mengatakan,

“Kampanye anti tembakau yang saat ini semarak dilakukan oleh berbagai kalangan tak lebih sebagai propaganda perusahaan farmasi yang hendak mendapatkan emas

Page 30: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

nicotin dari sisi lain, lewat penjualan berbagai produk berhenti merokok. Ancaman-ancaman kesehatan bahwa merokok menyebabkan kanker, jantung, impoten, gangguan kehamilan dan berbagai penyakit ganas lainnya hanyalah propaganda yang tak benar sepenuhnya.”

Ads  

Sehabis acara belum ada kesimpulan yang kudapat. Kecuali sebuah warning emosional dari seorang Kepala Desa dari Daerah Temanggung, “Tembakau atau Mati. Jika ada yang mau mengusik mata pencaharian kami, maka bersiap-siaplah menghadapi tragedi yang lebih dasyat dari Koja Jakarta.” Maklumlah bagi rakyat di desanya, tembakau merupakan sandaran perekonomian. Bukan tak mau beralih dengan tanaman lain. Pernah beberapa kali mereka mencoba menanam tanaman lain. Hasilnya, mati sebelum panen, harga jatuh, yang semuanya berujung kerugiaan. Hingga mereka berkeyakinan, “Tanah Temanggung tercipta untuk tembakau.”

Kebinggunganku tidak akan runyam seperti ini, jika tak ada fatwa haram dari Muhammadiyah. Aku bisa menerima bahwa alasan penyakit-penyakit mengerikan yang tertera di bungkus dan papan iklan rokok hanyalah kampanye berlebihan. Bapakku seorang perokok berat, namun masih sehat-sehat saja. Banyak teman-temanku menghabiskan sekian batang rokok perhari, namun tetap saja lebih kuat dariku ketika bermain sepakbola di lapangan. Malahan, kalau kita baca sejarah kemunculan rokok, pada mulanya kehadiran tembakau dan cengkeh yang kemudian dimodifikasi menjadi rokoh adalah sebagai  obat yang manjur menyembuhkan beberapa penyakit.

Namun, ketika wilayah agama sudah masuk dalam masalah ini, konsekuensinya teramat besar. Ada punisment and reward, dosa dan pahala dan surga dan neraka. Apalagi ketika kukonfirmasi lagi kepada Prof. Yunahar Ilyas, Ketua PP. Muhammadiyah, beliau mengatakan,

” Yang pro rokok, sadar atau tidak telah mendukung kapitalisme industri rokok (Philip Morris,  BAT dan Cina Indonesia). Muhammadiyah  bukan organisasi kemaren sore yang gampang terjebak, kita mengeluarkan fatwa secara murni, hanya dengan kepentingan menyelamatkan umat dari bahaya rokok.” (SMS langsung dari Prof. Yuhanar di hp-ku tertanggal 12 Juni 2010 jam 11.28).

Page 31: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Aku sebenarnya enjoy-enjoy aja dengan rokok. Aku sendiri bukanlah perokok. Pernah waktu SMP nyoba-nyoba. Tapi setiap kali main bola nafasku terengah-engah. Hingga aku memutuskan untuk tak menyentuh barang yang telah membuat pemilik Grup Djarum Robert Budi dan Michael Hartonobertengger di puncak daftar orang-orang terkaya di Indonesia dengan nilai kekayaan US$7 miliar itu.

Kalau dikembalikan kepada free choice, aku tentu akan memilih tidak merokok. Karena bagiku merokok tidak ada manfaatnya. Namun, bagi beberapa orang, rokok adalah sumber inspirasi. Pikiran buntu kalau tidak menghisap rokok. Beberapa filsuf dan tokoh-tokoh terkenal yang pernah kubaca biografinya adalah perokok berat. Salah satunya, Grand Old Man Agus Salim yang terkenal dengan kisah cerutu saat sidang PBB.

Di London pada sebuah perjamuan diplomatik lebih dari 50 tahun lalu, seorang lelaki bertubuh pendek dan kurus untuk ukuran orang Eropa memantik rokok dan mengepulkan asap dari mulutnya. Dia mengenakan fez hitam, juga songkok di atas rambut putihnya. Aroma asap kretek merebak ke seisi ruangan itu. Seorang diplomat bule menghampirinya, ”Apakah gerangan rokok yang sedang Tuan isap itu?” tanyanya. ”Inilah Yang Mulia,” tutur lelaki itu,  ”yang menjadi alasan mengapa Barat menjajah dunia.”

Apabila thesis yang disampaikan oleh Wanda Hamilton, sang penulis “Nicotine War” benar adanya, maka larangan merokok atas asumsi kesehatan bisa dimentahkan. Mungkin dari serangan bahwa rokok telah membuat ekonomi keluarga beberapa orang terganggu karena belanja rokok menempati peringkat teratas dalam beberapa rumah tangga, bisa menjadi pegangan kedua untuk menguatkan larangan peredaran rokok. Namun dilihat dari sumbangsih yang diberikan oleh  rokok baik yang didapatkan oleh para petani tembakau-cengkeh dan orang-orang yang bekerja di industri rokok yang konon berjumlah 6 jutaan orang, sumbangan sekian triliyun untuk devisa negara, belum lagi beasiswa-beasiswa yang amat membantu para siswa dan mahasiswa untuk meneruskan pendidikan, serta sponsor-sponsor dan iklan-iklan yang dinikmati hasilnya oleh berbagai lapisan masyarakat, maka sisi mudharat dan manfaat yang selalu menjadi acuan para ulama untuk membuat fatwa menjadi lebur begitu saja.

Terlepas dari perdebatan perang industri rokok dan industri farmasi, tentu penjelasan para dokter sangat dibutuhkan dalam ini. Tentu penjelasan yang kita butuhkan adalah penjelasan ilmiah bukan didasarkan pada kepentingan tertentu dan subjektivitas. Kalau misalnya, ketakutan-ketakutan kesehatan akan bahaya rokok benar-benar terbukti salah sebagaimana yang disampaikan oleh Wanda Hamilton dan beberapa koleganya, maka telah terjadi sebuah pembohongan publik yang

Page 32: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

akan membuat kredibilitas dokter dipertanyakan. Semakin mengukuhkan akan keberadaan Mafia dokter dan dunia farmasi yang mulai dibuka lewat beberapa publikasi belakangan ini.

Di sisi lain, kalaupun Muhammadiyah tetap dengan keyakinannya bahwa rokok itu haram, maka yang dikejar bukan para perokok saja. Tidak cukup membuat Muktamar Satu Abad Muhammadiyah sebagai muktamar bebas asap rokok, tapi juga harus memikirkan nasib 6 juta manusia yang mengantungkan hidupnya dari industri rokok, harus memikirkan sumber pemasukan baru bagi kas negara jika kehilangan dana akibat pelarangan rokok, harus memikirkan nasib siswa dan mahasiswa yang mengantungkan biaya pendidikannya dari beasiswa industri rokok.

Selain itu, Muhamamdiyah juga harus memberikan penjelasan yang memadai terkait program-program kesehatannya yang dibiayai oleh funding-funding yang ditenggarai sebagai team ilmiah dan propaganda dari industri farmasi. Ditambah lagi, komitmen fatwa haram harus dibarengi sebuah upaya nyata perang terhadap hal-hal menguntungkan yang diberikan oleh industri rokok. Sangat miris, kalau seandainyaUniversitas-Universitas Muhammadiyah masih menerima dengan senang hati dana-dana dari industri rokok.

Terlepas dari tudingan-tudingan mirip terhadap Muhammadiyah, sebenarnya pembicaraan yang diangkat Bedah Buku yang diadakan oleh Spasi Media itu juga dipenuhi dengan kejanggalan-kejanggalan. Rangkaian diskusi  pada tanggal 8 hingga 17 Juni 2010 yang secara marathon diselenggarakan di 5 Universitas Negeri (UI, UNPAD, UGM, UNDIP, dan UNAIR) di 5 kota besar ini tidak satupun menghadirkan pembicara dari kalangan kesehatan. Apakah apatisme mereka terhadap dunia kedokteran Indonesia melatarbelakangi hal itu? Ataukah ini hanya bagian promosi, agar bedah buku berlangsung dengan sukses tanpa ada perlawanan berarti? Kalau sikap apatis ini yang mendominasi, maka kita tentu juga berharap, para pengusung kampanye ini untuk tidak memakai jasa dokter ketika sakit. Karena sangat aneh ketika para dokter bersepakat merokok merusak kesehatan, jika ada penemuan berseberangan dengan penelitian yang sudah ada. Artinya, ketika kebenaran umum yang berkembang di masyarakat, merokok merusak kesehatan, maka kita tentu mempertanyakan sejauhmana validitas penelitian yang dilakukan oleh Wanda Hamilton yang menjadi buku pegangan para pengusung pro rokok ini. Apalagi setelah penulis coba telusuri di berbagai media internasional, sangat sulit untuk mendapatkan informasi detail tentang siapa sebenarnya Wanda Hamilton. Ditambah juga, ketika penulis mencoba mencari edisi inggris buku “Nicotine War” di beberapa situs penjualan buku, tidak penulis temukan buku tersebut.

Page 33: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Kedua, saat diskusi berlangsung penanya didominasi oleh orang-orang yang pro rokok. Ada petani rokok, ada kepala desa yang sumber pendapatan pendudukannya dari bertanam tembakau, dan perokok yang mensosialisasi sebuah penemuan baru, merokok aman. Artinya, dominasi orang-orang yang punya kepentingan terhadap keberadaan rokok begitu dominan. Apalagi tidak ada penjelasan memadai terkait dengan bagaimanakah korelasi antara petani dan industri rokok.

Pertanyaan sejauhmana posisi tawar mereka terhadap harga tembakau hanya ditimpali dengan jawaban emosional dari Ketua Asosiasi Petani Tembakau Jateng. Jangan-jangan diskusi ini hanya merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan elit yang berkoar-koar atas nama rakyat. Tudingan ini bukan tanpa pijakan. Data-data yang didapatkan oleh Muhammadiyah menunjukkan bahwa kebanyakan buruh-buruh perkebunan tembakau masih terjerat dalam kemiskinan dan upah yang rendah.

Ketiga, para pembicara terlalu sering membahas hubungan perang anti tembakau dengan kapitalisasi. Padahal, kalau mau jujur, produk rokok yang banyak beredar di Indonesia kebanyakan adalah produk impor. Atau kalaupun perusahaannya ada di Indonesia, pemiliknya sudah berpindah tangan kepada pihak asing. Kalau memang perang anti rokok sangat terkait dengan kapitalisasi internasional, kenapa perlawanan terhadap rokok dilakukan begitu massif di negara-negara maju tempat para kapiltalis itu berada???

Anomali-anomali ini tentu sebenarnya bisa kita jawab dengan hati nurani masing-masing. Banyak orangtua yang melarang anak-anaknya untuk merokok. Bahkan tokoh sekaliber Syafi’i Ma’arif-pun membuat sebuat tulisan khusus karena kekecewaannya terhadap perilaku merokok anaknya. Rokok memang tidak bisa kita hubungkan dengan kematian. Karena kematian tidak ada hubungannya sakit. Orang yang sehat, segar bugar-pun bisa mati kalau memang ajal sudah sampai. Tapi lebih kepada perilaku hidup sehat dan pola hidup hemat menghambur-hamburkan uang untuk sekedar refreshing karena ketagihan.

Mau ada penelitian yang mengatakan rokok itu menyehatkan, namun sampai detik ini saya masih percaya rokok itu merusak. Saya menyaksikan batuk-batuk aneh dari teman-teman yang gila rokok. Ya, semua terserah kita. Setiap orang punya pilihan dan bertanggung jawab dengan pilihannya itu. Tapi jangan sampai berteriak bahwa kampanye anti rokok adalah permainan kapitalis farmasi, tapi tetap saja membeli rokok-rokok impor yang ujung-ujungnya semakin memperkaya kapitalis rokok. Sama saja boongnya.

Page 34: Keberadaan Perusahaan Rokok Di Indonesia

Tentu pilihan terbaik menurut penulis adalah jangan merokok. Karena kita tidak akan terjebak dalam pertarungan dua kepentingan ini. Melihat konsistensi dan keseharian para ulama Muhammadiyah, penulis berkeyakinan bahwa fatwa haram benar-benar dilandasi semangat untuk menyelamatkan umat. Berbeda sekali dengan para pembicara saat diskusi yang hadir dengan penuh topeng-topeng kepentingan dan kepalsuan.

Saat ini kita tak butuh orang-orang pintar yang bicara berapi-api, tapi butuh sebuah tauladan. Ketika kata tak sesuai dengan perbuatan, buat apa mengikuti orang-orang seperti itu…