kebakaran hutan

140
REVITALISASI PERAN KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT NELAYAN (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) A. J U F R I SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Upload: el-kira-prodcution

Post on 26-Nov-2015

81 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Penggunaan penginderaan jauh untuk mendeteksi kebakaran hutan

TRANSCRIPT

  • REVITALISASI PERAN KELEMBAGAAN PANGLIMA LAT DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT NELAYAN

    (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

    A. J U F R I

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

    2008

  • PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

    DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Lat Dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.

    Bogor, 25 Februari 2008

    A. J U F R I NRP. I 354060285

  • ABSTRACT

    A. JUFRI. Revitalization of the Role of Panglima Lat Institution in Fishermen Community Development. Under the Guidance of SAID RUSLI and NINUK PURNANINGSIH

    For the most of households in Gampong fishermen Telaga Tujuh community, catching fish in the sea have been their main source of income. In line with this, there has existed a number of traditional norms which must be obeyed by the member of fishermen community. To preserve their tradition, an institution which is called Panglima Lat was institution nalized. Panglima Lat acts as the head of adat in the community of Gampong Telaga Tujuh.

    Objectives of this have been to examine the role of Panglima Lat institution in social mapping and existing institutional arrangements, to evaluate community development programs related to the revitalization of the roles of Panglima Lat institution and the role of Panglima Lat institution in the fishermen community.

    The study results show of Panglima Lat plays a significant role in guiding the community Gampong Telaga Tujuh. Therefore, Panglima Lat institution is an important key to develop fishermen community in Gampong Telaga Tujuh, along the coastal area of Aceh. The activities to develop fish processing group arranged by Rehabilitation and Reconstruction Body Program of NAD-Nias, in Gampong Telaga Tujuh did not work well because the programs were top-down in nature. The involvement of Panglima Lat institution only in the inplemenlation. In the meantime, the activity of Panglima Lat institution in buying and selling traditional fishermens catch has been very effective in helping the traditional fishermen so that they can save time and money compared to if they have to go the fishing market at Langsa Town.

    Based on the problem identification, it can be concluded that the main problem is related to the role of Panglima Lat institution. Through Focus Group Discussion (FGD), the formulation of programs is conducted in a participative manner involving the elements of Panglima Lat, Panglima Lat Secretary, Pawang Lat, the government (Marine and Fishery Agency), and community and fishermen figures. From the activity, action program related to the role of Panglima Lat institution in Gampong Telaga Tujuh can be made with the aim of revitalizing Panglima Lat role and developing Panglima Lat personnel.

    ` Keywords: Revitalization, Panglima Lat Institution, and Fishermen Community.

  • RINGKASAN

    A.JUFRI, Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Lat Dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan. Di bawah bimbingan SAID RUSLI dan NINUK PURNANINGSIH.

    Kelembagaan Panglima Lat sebagai lembaga adat di masyarakat wilayah pesisir Aceh yang telah ada mulai dari masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637), masa penjajahan kolonial Belanda (1904-1942). Setelah indonesia merdeka perhatian pemerintah terhadap lembaga Panglima Lat terabaikan. Sehingga macam-macam peran Panglima Lat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, keberadaan lembaga Panglima Lat tetap terpelihara dalam masyarakat pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun program pengembangan peran Panglima Lat di kalangan masyarakat nelayan.

    Dalam pengumpulan data pengkaji menggunakan metode triangulasi. Metode triangulasi adalah tehnik pengumpulan data dengan memadukan berbagai tehnik-tehnik metode pengumpulan data. Dalam penelitian ini digunakan kegiatan diskusi kelompok, observasi dan wawancara. Untuk memperoleh data, baik berupa data primer maupun data sekunder, dilakukan dengan menggunakan tehnik; wawancara, observasi langsung, FGD, FRA, dan studi dokumentasi. Pengkaji menggunakan metode Participatory Rural Apparisal (PRA) untuk penyusunan program kegiatan. Metode ini dipakai oleh pengkaji guna menganalisis masalah, potensi, kebutuhan, situasi dan kondisi sosial yang ada di masyarakat Gampong Telaga Tujuh yang dominan penduduknya bermata pencaharian nelayan. Pengkaji juga secara bersama-sama mencari pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Disini pengkaji bertindak sebagai fasilitator program, sehingga peran dan tanggung jawabnya seperti mengumpulkan data, memfasilitasi diskusi kelompok maupun kegiatan lain dalam rangka bersama-sama menyusun program yang tepat.

    Gampong Telaga Tujuh (Pusong) berada di wilayah Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang beriklim tropis memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, dengan luas wilayah 600 hektar pada ketinggian dua meter diatas permukaan air laut. Penduduk Gampong Telaga Tujuh berjumlah 2.883 jiwa, laki-laki berjumlah 1.497 (51.93%) perempuan berjumlah 1.386 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 583 KK. Kepala keluarga yang tergolong katagori miskin di Gampong Telega Tujuh berjumlah 508 KK (86,62%), dan tergolong katagori sejahtera 78 KK (13,38%). Mata pencaharian penduduk Gampong Telaga Tujuh yang lebih dominan yaitu; sektor nelayan yang berjumlah 1.783 jiwa (90.0%), dan urutan selanjutnya pedagang berjumlah 152 jiwa (7.7%), sedangkan petani tambak yang mata pencaharian urutan ketiga sebagian telah mengalihkan profesi sebagai nelayan usaha budidaya udang/ikan sering gagal panen.

    Dalam kehidupan masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh mempunyai kelembagaan yang sangat berperan dimasyarakat nelayan adalah kelembagaan Panglima Lat. Panglima Lat merupakan kelembagaan adat dan karena berfungsi sebagai ketua adat bagi kehidupan nelayan di Gampong Telaga Tujuh, serta unsur penghubung pemerintah dan rakyat (nelayan) di tepi laut guna mengsuseskan program pembangunan perikanan dan program pemerintah lainnya, yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat yang bermukim di pesisir. Panglima Lat adalah pemimpin nelayan yang secara hukum adat laut bertugas mengkoordinasi satu atau lebih wilayah operasional nelayan, dan minimal satu pemukiman nelayan. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab

  • Panglima Lat di antaranya mengawasi dan memelihara pelaksana hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara-upacara adat laut, dan lainnya.

    Kegiatan pengembangan kelompok Usaha Pengolahan Ikan (UPI) dari program Badan Rehabilitasi dan Rekontuksi (BRR) NAD-Nias di Gampong Telaga Tujuh tidak dapat berjalan, disebabkan kegiatan yang dilaksanakan oleh BRR secara top down bukan bottom up. Keterlibatan kelembagaan Panglima Lat bukan pada awal kegiatan tetapi kegiatan telah dilaksanakan. Sedangkan Kegiatan dilaksanakan oleh kelembagaan Panglima Lat yaitu jual beli hasil tangkapan nelayan tradisional sangat tepat sasarannya, karena dapat membantu nelayan tradisional dalam menjual hasil tangkapan sehingga biaya untuk pengeluaran transportasi ke pasar ikan Kota Langsa tidak perlu dikeluarkan lagi.

    Peran Panglima Lat dapat digiatkan kembali setelah adanya perdamaian RI dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005. Sehingga macam-macam peran kelembagaan Panglima Lat di Gampong Telaga Tujuh dapat berjalan yaitu: Satu, peran Panglima Lat memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan istiadat. peran ini, tidak menjadi problema karena masyarakat nelayan pada umumnya mentaati ketentuan-ketentuan adat/hukum adat sebagai suatu kewajiban. Masyarakat nelayan Aceh pada umumnya menghormati dan mentaati hukum adat, menghormati hukum adat berarti demi kepentingan diri sendiri. Kedua, Peran Panglima Lat mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut. Hal ini bukan berarti Panglimat Lat harus melaut setiap hari. Bila ada hal yang terjadi dalam usaha penangkapan ikan dilaut seperti nelayan menggunakan alat tangkap trawl, maka nelayan tersebut akan melaporkan kepada Panglimat Lat. Laporan nelayan tersebut akan ditindak lanjut oleh Panglima Lat kepihak keamanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan untuk diambil tindakan/sanksi adat dan hukum Negara.

    Ketiga, peran Panglima Lat menyelesaikan perselisihan/sengketaan yang terjadi di antara sesama anggota nelayan atau kelompoknya. Sengketa yang sering terjadi di nelayan Gampong Telaga Tujuh yaitu sengketa dalam usaha penangkapan ikan dilaut, terutama dalam merebut fishing ground di laut. Untuk menyelesaikan perkara perselisihan dalam hukm adat lat. Keempat, peran Panglima Lat memutuskan dan menyelenggarakan upacara adat lat. Melaksanakan upacara adat lat seperti khanduri lat sebelumnya di adakan musyawarah oleh lembaga Panglima Lat bersama tokoh masyarakat, aparat gampong, dan seluruh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh. Upacara khanduri lat dipimpin oleh Panglima Lat setempat.

    Kelima, peran Panglima Lat menjaga/mengawasi agar pohon-pohon ditepi pantai jangan ditebang. Dalam peran ini, Panglima Lat tidak dapat berbuat banyak untuk menjegah masyarakat nelayan disebabkan oleh faktor ekonomi nelayan yang tidak setabil dalam usaha penangkapan ikan di laut. Pohon mangrove yang ditebang oleh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh di pergunakan untuk membuat rumah atau merehab rumah. Keenam, peran Panglima Lat merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan Pawang Lat dengan Pawang Lat lainnya. Peran ini, guna untuk pengembangan sumberdaya masyarakat nelayan. Hubungan tersebut, dari tingkat aparat gampong hingga Pemerintah Kota Langsa. Panglima Lat menjadi sebagai mitra Kepala Gampong, seperti dalam pembuatan surat izin berlayar, surat izin penangkapan ikan, dan lain-lainnya. Panglima Lat juga penghubung antara Pawang Lat dengan Pawang Lat lainnya seperti, informasi tetang daerah penangkapan ikan (fishing ground) dilaut.

    Lembaga pelaksana peran Panglima Lat adalah Pawang pukat, pawang jhareng, pawang kawe di Gampong Telaga Tujuh secara tidak langsung dalam

  • melaksanakan kegiatan di laut merupakan sebagai perpanjangan peran Panglima Lat. Peran Panglima Lat yang dijalankan oleh ketiga pawang tersebut di antaranya; satu, mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut, seperti kapal ikan yang melakukan usaha penangkapan ikan di laut menggunakan alat tangkap trawl (melanggar Pasal 8 Keppres 39 Tahun 1980) yang merusak ekosisteam dan menghilangkan regenerasi ikan untuk selanjutnya. Hal ini bila diketemukan diperairan Aceh oleh Pawang Lat akan melaporkan atau menginformasikan segera ke Panglima Lat.

    Identifikasi masalah dan penyebab yaitu; satu, Dalam mengkordinir setiap usaha penangkapan ikan oleh nelayan, Panglima Lat tidak dapat turun langsung ke daerah penangkapan ikan dilaut karena kelembagaan Panglima Lat tidak mempunyai armada kapal untuk operasional di laut. Dua, kondisi kepengurusan Panglima Lat seperti proses pergantian seseorang, baik Panglima Lat atau Sekretaris Panglima Lat berlangsung sering terjadi. Beberapa calon Panglima Lat atau Sekretaris Panglima Lat, bahkan ada yang dipaksakan meskipun tidak sesuai dengan syarat adat yang telah ditentukan. Penyebabnya adalah karena ada harapan bahwa lembaga Panglima Lat akan mendapat dana sangat besar pascatsunami, padahal dalam kenyataan tidak ada. Yang ada adalah kegiatan peran Panglima Lat mulai tidak ada ancaman lagi.Tiga, merupakan permasalahan utama kelembagaan Panglima Lat adalah kualitas sumberdaya manusia Panglima Lat yang rata-rata rendah.

    Alternatif pemecahan masalah diantaranya; satu, untuk melaksanakan peran Panglima Lat dalam mengkoordinir usaha penangkapan ikan diperairan laut Pemerintah Kota Langsa. Panglima Lat Gampong Telaga Tujuh perlu meningkatkan kerjasama dengan Polisi air (Airut), Syahbandar, Pawang Lat dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Kedua, menguatkan revitalisasi peran Panglima Lat dalam mengawasi hukum adat laut. Ketiga, penguatan hubungan kelembagaan Panglima Lat ini merupakan proses dalam pembangunan masyarakat nelayan di wilayah pesisir dan perlu adanya; mempromosikan program pembangunan yang berbasis pada masalah riil yang dihadapi masyarakat nelayan, memastikan akuntabilitas pelaksanaan program, menguatkan kapasitas Lembaga Otonom agar mampu menjadi lembaga yang dipercaya (credible), dapat dipertanggung jawabkan (accountable) dan berpegang teguh kepada tatanan adat. Keempat, peningkatkan SDM lembaga Panglima Lat seperti; pelatihan keterampilan untuk meningkatkan pengetahuan pengenalan Alat teknologi yang modern dalam kegiatan kenelayanan, pelatihan peningkatan manajemen kelembagaan Panglima Lat, pelatihan pengembangan jaringan kemitraan Panglima Lat, pelatihan sistem monitoring dan evaluasi.

    Untuk pengembangan peran kelembagaan Panglima Lat di susun program aksi dalam bentuk; pertama, program revitalisasi peran Panglima Lat yaitu; menguatkan peran kelembagaan dalam hal manajemen institusi, kapasitas SDM. Mengsosialisasikan peran Panglima Lat kepada masyarakat, khususnya nelayan dan genearsi muda tentang peraturan-peraturan dalam menegakkan dan memelihara hukm adat lat di wilayah pesisir. Kedua, peningkatan SDM Panglima Lat yaitu; Pelatihan alat teknologi penangkapan, penanganan, dan pengolahan ikan. Di samping itu, diberikan modal untuk kegiatan usaha nelayan

  • @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

    1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

    atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

    karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

    b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

    tulisan dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

  • REVITALISASI PERAN KELEMBAGAAN PANGLIMA LAT DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT NELAYAN

    (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota

    Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

    A. J U F R I

    Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Magister Profesional pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

    SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2008

  • Judul Tugas Akhir : Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Lat dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan

    (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

    Nama Mahasiswa : A. J U F R I Nomor Pokok : I 354060285

    Disetujui

    Komisi Pembimbing

    Ir. Said Rusli, MA K e t u a

    Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si A n g g o t a

    Diketahui

    Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

    Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

    Dekan Sekolah Pascasarjana

    Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS

    Tanggal Ujian : 25 Februari 2008 Tanggal Lulus :

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis, dilahirkan di Idi Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 16 Agustus 1971. Kedua orang tua merupakan suku Aceh, orang tua laki-laki bernama Usman M, dan ibu bernama Nazariah binti Abubakar Patha (almarhum). Penulis sendiri merupakan putra ke tiga diri tujuh bersaudara.

    Pada Tahun 1991, Penulis menamatkan SMA Ranto Perlak. Melanjutkan Perguruan Tinggi pada Universitas Abulyatama Aceh Tahun 1993, mengambil jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Agustus 2006 diterima pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB).

    Riwayat pekerjaan di Pemerintahan, menjadi CPNSD tahun 2002 ditempatkan pada Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan dan Kelautan Pemerintah Kota Langsa, kemudian Maret 2006 mendapat kepercayaan menjadi Pendamping BRR NAD-NIAS Kota Langsa. Sehubungan dengan panggilan IPB, penulis menyatakan mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada awal Agustus 2006 dan memperoleh Tugas Belajar pada Agustus 2006.

    Bogor, 25 Februari 2008

    A. J U F R I

  • P R A K A T A

    Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmat-Nya penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat (KPM) sebagai persyaratan menyelesaikan studi pada Progam Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dapat penulis selesaikan tepat waktunya. Judul KPM ini adalah Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Lat dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

    Penyusunan tugas akhir ini tidak akan terlaksana jika penulis lakukan sendiri, tetapi justru berkat bantuan semua pihak sehingga telah memudahkan pengumpulan data sampai kepenulisan. Sehubungan dengan dukungan dan jasa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimaksih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

    1. Ir. Said Rusli, MA, selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing. 3. Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS, selaku Dekan Sekolah

    Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). 4. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku Ketua Program Studi Magister Profesional

    Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB). 5. Dr. Endriatmo Soetarto, Selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing. 6. Ibu Dra. Neni Kusumawardhani, MS, Selaku Ketua Sekolah Tinggi

    Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. 7. Pemerintah Kota Langsa yang memberi Tugas Belajar dan bantuan lainnya. 8. Seluruh staf pengajar dan Sekretariat dengan pelayanan administrasi. 9. Pihak keluarga yang memberi dorongan moril. 10. Warga masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh dengan partisipasinya. 11. Kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam riset.

    Penulis sangat menyadari bahwa penyajian kajian ini masih banyak kekurangan. Guna menyempurnakannya, tentu memerlukan munculnya koreksi dan saran konstruktif dari pihak penelaah. Kritikan tersebut penulis harapkan secara lisan maupun tulisan, sehingga karya ilmiah akhir akan lebih sempurna dan bermanfaat bagi masyarakat nelayan di wilayah pesisir.

    Bogor, 25 Februari 2008

    A. J U F R I

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii

    DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... viii

    P E N D A H U L U A N ...................................................................................... 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

    Rumusan masalah ................................................................................... 6 Tujuan Kajian ........................................................................................... 6 Kegunaan Kajian ...................................................................................... 7

    TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Masyarakat Nelayan Wilayah Pessir ........................................................ 8

    Pengorganisasian ..................................................................................... 13 Kelembagaan dalam Masyarakat Nelayan .............................................. 15 Peran Kelembagaan Panglima Laot dalam Masyarakat Nelayan .......... 17 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 19

    METODE KAJIAN Proses dan Metode Kajian ....................................................................... 23

    Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 24 Metode Penyusunan Program .................................................................. 30

    PETA SOSIAL KOMUNITAS Data Geografis, Demografis, dan Kondisi Masyarakat ............................. 32

    Komposisi Penduduk ................................................................................ 34 Mata Pencaharian Penduduk .................................................................... 37 Kehidupan Rumah Tangga Nelayan ........................................................ 38

    Struktur Komunitas ................................................................................... 39 Kelembagaan dan Organisasi .................................................................. 42 Sumberdaya Lokal .................................................................................... 45

    EVALUASI KEGIATAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Deskripsi Program Pengembangan Kelompok Usaha

    Pengolah Ikan (UPI) .................................................................................. 47

  • Deskripsi Kegiatan Panglima Lat dalam Pengembangan

    Masyarakat Nelayan ................................................................................. 52

    ANALISIS KEGIATAN PANGLIMA LAT DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT NELAYAN

    Macam-Macam Peran Kelembagaan Panglima Lat ............................... 55 Lembaga Pelaksana Peran Panglima Lat ................................................ 64

    Performa Kelembagaan Panglima Lat .................................................... 65 Hubungan dengan Masyarakat Nelayan .................................................. 70

    Dukungan Stakeholders ............................................................................ 71

    STRATEGI PROGRAM REVITALISASI PERAN PANGLIMA LAT Proses Penyusunan Rencana Program ................................................... 73 Identifikasi Masalah dan Penyebab .......................................................... 74

    Alternatif Pemecahan Masalah ................................................................ 80 Program Aksi ............................................................................................ 91

    KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................ 97 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 100 LAMPIRAN .........................................................................................................102

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    1 Jadwal Pelaksanaan Kajian Lapangan Tahun 2007........................................ 24

    2 Kelengkapan Metode ......................................................................................... 28

    3 Jarak dan Waktu Ditempuh dari Gampong Telaga Tujuh ke Ibukota ................ 33

    4 Komposisi Penduduk Gampong Telaga Tujuh Berdasarkan Kelompok

    Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2007 ............................................................... 35

    5 Komposisi Penduduk Gampong Telaga Tujuh Menurut Jenis

    Mata Pencarian Tahun 2007 .............................................................................. 38

    6 Jalur Penangkapan Ikan .................................................................................... 56

    7 Nomenklatur Pedoman Keuneunong (Musim) Wilayah Aceh

    Tahun 1893 Masehi (1310 11 Hijriah) ............................................................ 76

    8 Peran Panglima Lat Sebelum Revitalisasi dan Sesudah Revitalisasi

    di Gampong Telaga Tujuh ................................................................................. 84

    9 Indentifikasi Masalah, Penyebab, Potensi Masalah, dan Alternatif

    Masalah Peran Kelembagaan Panglima Lat dalam Pengembangan

    Masyarakat Nelayan di Gampong Telaga Tujuh ............................................... 90

    10 Program Aksi Kelembagaan Panglima Lat dalam Pengembangan

    Masyarakat Nelayan di Gampong Telaga Tujuh ............................................... 95

  • DAFTAR GAMBAR

    Halaman 1 Bagan Kerangka Pikiran Kajian ..................................................................... 22

    2 Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Kota Langsa ................... 33

    3 Kapal Transportasi ke Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa ......................................................... 34 4 Piramida Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin GampongTelaga Tujuh ..................................................................... 36

    5 Piramida Pelapisan Sosial Penduduk Gampong Telaga Tujuh ....................... 41

    6 Pola Hubungan Jejaring Panglima Lat Gampong Telaga Tujuh

    Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa ....................................... 45 77 SSttuurruukkttuurr OOrrggaanniissaassii UUssaahhaa PPeellaayyaannaann PPeennggeemmbbaannggaann ((UUPPPP)) DDaammaaii SSeejjaahhtteerraa TTiinnggkkaatt KKeeccaammaattaann LLaannggssaa TTiimmuurr ................................................................ 5500

    88 Struktur Kepengurusan Kelembagaan Panglima Lat ........................................................................ 7766

    9 Penguatan Hubungan Kelembagaan Panglima Lat ...................................... 86

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1 Peta Kota Langsa ........................................................................................ 102 2 Hukum Adat Lat dalam Tata Cara Penangkapan Ikan dan Sanksi Adat di Wilayah Perairan Laut Aceh di Seluruh Daerah Tingkat II dalam Provinsi Aceh ............................................................................................... 103

    3 Kuesioner Nelayan Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa .............................................................................. 111

    4 Pedoman Wawancara Panglima Lat ........................................................ 113

    5 Pedoman Wawancara Sekretaris Panglima Lat ............................... ...... 115

    6 Pedoman Wawancara Tokoh Masyarakat/Aparat Gampong ...................... 117

    7 Pedoman Wawancara Unsur Dinas Terkait ................................................ 119

    8 Pedoman FGD ............................................................................................. 121

    9 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ............................................ ................... 122

  • 1

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Aceh dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai

    daerah modal bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

    Aceh juga sebagai provinsi yang kaya sumberdaya alam, namun mengalami

    ketertinggalan dalam pembangunan. Ketertinggalan Aceh disebabkan oleh

    kebijakan pemerintah yang sentralistik pada masa lalu. Kebijakan itu

    mengakibatkan konflik yang berkepanjangan1. Konflik yang terjadi antara

    Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia telah berlangsung selama

    hampir 30 Tahun sejak Tahun 1976 sampai dengan Tahun 2005.

    Berlarutnya konflik di Aceh, telah mengakibatkan timbulnya kerugian jiwa

    dan harta benda tidak sedikit. Lebih dari itu adat istiadat, instabilitas di berbagai

    aspek kehidupan begitu berpengaruh terhadap rasa aman masyarakat dan

    menghambat upaya pembangunan, dan menghambatnya peningkatan

    kesejahteraan rakyat Aceh.

    Tanggal 26 Desember 2004, penderitaan rakyat Aceh bertambah dengan

    terjadi bencana gempa bumi yang disusul oleh gelombang tsunami. Hal ini, telah

    menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun

    kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah menumbuhkan

    kesadaran yang kuat dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka

    untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelajutan, serta

    bermartabat yang permanen dalam Kerangka Negara kesatuan Republik

    Indonesia.

    Kemudian tanggal 15 Agustus 2005, dilakukan penandatangan perjanjian

    nota kesepahaman Memorandum of Understanding Between The Government

    of The Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement, (Nota

    Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh

    Merdeka), di Helsinki, Finlandia. Hal ini menandakan era baru sejarah perjalanan

    Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakat Aceh menuju keadaan yang damai,

    1 Dalam hal nama, Aceh pernah ditebalkan dengan gelar daerah modal atas sukacita Sukarno Presiden

    ketika Aceh menyumbang pesawat, senjata dan pejuang untuk Kemerdekaan Republik Indonesia. Sayangnya, sebagai pemodal atau pemegang saham, Aceh belum menikmati saham itu secara adil. Malah rakyat Aceh jatuh ke lembah nestapa yang berkepanjangan (Syarif Tahun 2001).

  • 2

    adil, makmur, sejahtera, dan martabat. Patut dipahami bahwa nota kesepahaman

    yang terwujud adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju

    pembangunan sosial, ekonomi dan politik di Aceh secara berkelanjutan

    (sustainable).

    Aceh disebut dengan sebutan Nanggroe Aceh Darussalam sesuai

    dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang

    pembentukan otonomi khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi

    Nanggroe Aceh Darussalam, atau secara resmi dengan dikeluarkannya Undang-

    Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, sekarang disebut dengan

    Pemerintahan Aceh. Pemerintahan Aceh, sebuah Daerah Istimewa yang terletak

    di ujung Pulau Sumatra. Tepatnya terletak di Barat laut Sumatra dengan

    kawasan seluas 57,365.57 km per segi, atau menempati 2.26 persen pulau

    Sumatra. Pemerintahan Aceh memiliki 119 pulau-pulau yang tersebar di Aceh,

    73 sungai yang besar dan 2 danau. Aceh dikelilingi oleh beberapa wilayah,

    sebelah Utara oleh Selat Malaka, sebelah Timur oleh Provinsi Sumatera Utara,

    dan disebelah Selatan dan Barat oleh Samudera Hindia. Ibukota Aceh adalah

    Banda Aceh yang dulunya dikenal dengan sebutan 'Kutaradja'.

    Ketertinggalan pembangunan di wilayah pesisir Aceh khususnya sektor

    kelautan memang terasa sekali terutama sejak pemerintah Orde Baru, di mana

    sentuhan pembangunan di wilayah pesisir nyaris terabaikan. Hal itu dapat dilihat

    dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang ditempuh rezim Orde Baru dengan

    menggunakan kebijakan pembangunan bertahap yang dikenal dengan Repelita I,

    II, III, IV dan V dalam kebijakan 25 Tahun Pembangunan Jangka Panjang

    Pertama. Dalam kebijakan pembangunan tersebut hampir tidak ditemukan

    perhatian pemerintah pada pembangunan sektor wilayah pesisir secara khusus.

    Akibatnya, nelayan menjadi warga negara yang sangat kurang menikmati

    pembangunan.

    Pekerjaan sebagai nelayan memerlukan adaptasi yang sinergi

    berbagai aspek. Adaptasi sebagai suatu proses dengan manusia yang

    menggunakan secara produktif dan efektif energi potensial yang ada

    dilingkungan. Proses ini bersifat interaktif antara lingkungan fisik, teknologi,

    organisasi sosial, ideologi dan karakteristik serta kebutuhan biopsikologi

    .................................................................................................................................i

  • 3

    individu. Komponen-komponen ini merupakan bagian dari sistem tertutup,

    sehingga perubahan pada suatu bagian akan berdampak pada bagian lain.

    Masyarakat nelayan Aceh adalah nelayan yang bertempat tinggal di

    wilayah pesisir yang mata pencahariannya sebagai penangkapan ikan di laut.

    Dalam kehidupan sosial kepada komunitas nelayan yang bermukim diwilayah

    pesisir terdapat norma-norma tradisi yang hidup dan berkembang hingga kini.

    Kebiasaan tersebut yaitu, tentang adat istiadat yang mengkultur dan menjadi

    rujukan bagi masyarakat nelayan wilayah pesisir Aceh. Adat istiadat yang

    berlaku umum bagi masyarakat nelayan Aceh wilayah pesisir diantaranya adat

    lat. Dalam memimpin Adat lat di wilayah pesisir Aceh di percayai oleh nelayan

    pada Panglima Lat, sehingga Panglima Lat sebagai orang yang memimpin

    lembaga adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat nelayan.

    Ketika rezim Orde Baru berkuasa, segala bentuk Organisasi Rakyat (OR)

    secara sistematis dimarginalkan, dipinggirkan agar tidak berdaya menghadapi

    pengaruh pusat kekuasaan yang dibangun. Demikian pula halnya organisasi

    rakyat dalam masyarakat nelayan di Aceh yang dikenal dengan sebutan

    Panglima Lat. Lembaga Panglima Lat pada zaman Sultan Iskandar Muda telah

    ada, menunjukan betapa tuanya keberadaan lembaga Panglima Lat dalam

    sistem hukum di Indonesia, khususnya di Aceh. (Hasibuan, dkk, 2003).

    Menurut C. Van Vollen Hoven Panglima Lat, dalam hasil duek pakat2

    adat lat/Panglima Lat Se-Aceh (Djuned, 2001), Panglima Lat sejak zaman

    dahulu sudah menjadi salah satu lembaga resmi yang diatur oleh Negara.

    Dikatakan sejak zaman dahulu di Aceh sudah ada peraturan sampai seberapa

    jauh nelayan dapat beroperasi untuk menangkap ikan di lautan. Pengaturan itu

    atas dasar surat yang diberikan Sultan kepada pembesar wilayah. Atas dasar itu

    dikeluarkan adat Lat dalam wilayahnya. Dari kutipan diatas, tampak bahwa

    kedudukan Hukm Adat lat (Hukum Adat Laut) yang kuat pada masa itu dan

    jelas dasar hukumnya berasal dari ketetapan Sultan.

    Hoesein Djajadininggrat dalam hasil duek pakat adat lat/Panglima Lat

    Se-Aceh (Djuned, 2001), mengatakan :

    Panglima Lat disebut juga Panglima Lat Lhk. Panglima Lat adalah

    2 Duek Pakat artinya bermusyawarah

  • 4

    kepala sebuah lhk (kuala) atau teluk yang mengepalai sejumlah pukat ikan dan dipilih dari pawang pukat dengan persetujuan kepala kenegerian.

    Kepala kenegerian dimaksud bila disesuaikan dalam sistem

    pemerintahan sekarang ini, ditinjau dari luas wilayah dan kekuasaan dapat

    disamakan dengan Camat (sebagai kepala wilayah). Persetujuan pengangkatan

    dari kepala kenegerian menunjukkan Panglima Lat dan lembaganya diakui

    keberadaan secara resmi oleh penguasa dalam sistem hukum yang berlaku. Ini

    berarti pada waktu itu keberadaan Panglima Lat di akui dan dilindungi oleh

    hukum dan negara (Djuned, 2001).

    Dalam perkembangan selanjutnya perhatian pemerintah terhadap

    lembaga Panglima Lat tampak terabaikan, meskipun keberadaan lembaga

    Panglima Lat tetap terjaga dalam masyarakat nelayan. Menurut Juned 2001, hal

    ini tampak masyarakat indonesia termasuk pemerintahnya ingin meninggalkan

    tradisi lama untuk cepat-cepat meraih kemajuan disegala bidang. Pandangan

    seperti itu setelah dilaksanakan ternyata menimbulkan persoalan. Untuk

    mencapai kemajuan tetap diperlukan kerangka sosial budaya dalam masyarakat

    yang telah ada. Kerangka sosial budaya itu antara lain berbentuk lembaga-

    lembaga adat. Lembaga adat tetap dibutuhkan dalam masyarakat, sebab tampa

    lembaga adat masyarakat akan kacau balau dan bergerak maju tampa tempat

    berpijak. Sebaliknya disadari pula masyarakat terus berkembang, oleh karena itu

    berubah pula nilainya. Perubahan nilai menyebabkan ditinggalkan karena tidak

    cocok lagi ketentuan adat yang ada dalam lembaga. Untuk menyusuaikan

    kebutuhan masyarakat yang telah berubah, maka perlulah ketentuan adat dalam

    lembaga itu dirubah pula. Hal tersebut perlu ditekankan sebab, mempertahankan

    (melestarikan) adat yang ditinggalkan masyarakat sama halnya dengan

    memasukkan adat itu ke dalam museum, di mana adat istiadat itu hanya untuk

    dibaca dan dikagumi. Bukan sebagai adat untuk mengatur masyarakat.

    Peran Lembaga Panglima Lat dalam masyarakat nelayan adalah

    seorang pemimpin yang mendapat legitimasi adat tersebut. Hampir semua aspek

    kenelayanan berada di bawah lembaga Panglima Lat, namum bukan berarti

    kepemimpinan Panglima Lat berjalan mulus tampa rintangan. Rintangan cukup

    banyak yang dihadapai oleh seorang Panglima Lat apalagi Aceh dalam kondisi

    komplit, malahan Panglima Lat menjadi korban dalam komplit tersebut.

  • 5

    Panglima Lat berada di luar struktur organisasi pemerintahan, tetapi

    bertanggung jawab kepada kepala daerah setempat (Gubernur, Bupati, Camat,

    Kepala Gampong/Keuchik). Wilayah kewenangan seorang Panglima Lat tidak

    mengacu pada wilayah administrasi pemerintahan, melainkan berbasis pada

    satuan lokasi tempat nelayan melabuhkan perahunya, menjual ikan atau

    berdomisili yang disebut Lhk. Lhk biasanya berupa pantai atau teluk, bisa

    mencakup wilayah seluas sebuah gampong, beberapa gampong,

    kecamatan/mukim, bahkan satu gugus kepulauan. Di masa lalu, kewenangan

    adat Panglima Lat meliputi wilayah laut dari pantai hingga jarak tertentu yang

    ditetapkan secara adat, yaitu ke darat sebatas ombak laut pecah dan ke laut

    lepas sejauh kemampuan sebuah perahu pukat mengelola sumber daya kelautan

    secara ekonomi. Seiring perkembangan teknologi perikanan, wilayah

    penangkapan ikan nelayan makin meluas dan melampaui batas-batas wilayah

    tradisional dalam lhk, melintasi batas antar kabupaten, propinsi bahkan hingga

    perairan internasional.

    Dengan di keluarkannya PERDA No. 2 Tahun 1990, dan selanjutnya

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah

    Aceh, BAB XIII, menjelaskan tentang Lembaga Adat pada Pasal 98,

    mengangkat kembali keberadaan lembaga Panglima Lat yang setelah sekian

    lama (semenjak konflik) hilang dari kerangka sistem hukum dalam negara,

    Lembaga Panglima Lat menjadi lembaga resmi dalam negara c/q, Provinsi

    Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan dikeluarkan undang-undang tersebut,

    menjadi sebagai payung hukum bagi Panglima Lat dalam melaksanakan

    perannya di masyarakat wilayah pesisir Aceh.

    Dalam menjalankan peran Panglima Lat di daerah pesisir tidak

    menyalahi aturan hukum kemaritiman, serta mempunyai dasar hukum untuk

    mengambil tindakan yang melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan

    oleh lembaga Panglima Lat atau hukum Negara. Seperti dalam Keppres Nomor

    39 Tahun 1980 melarang kapal ikan menggunakan alat tangkap trawl, begitu

    juga dengan peran kelembagaan Panglima Lat yang melarang kapal ikan

    menggunakan alat tangkap trawl. Hukum negara dan hukm adat lat sama-

    sama melarang kapal ikan yang menggunakan alat tangkap trawl beroperasi

    diperairan laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

  • 6

    Berdasarkan uraian diatas tersebut, maka perlu urgensi tentang kajian

    kelembagaan Panglima Lat karena, kurangnya kajiaan-kajian yang menelaah

    peran kelembagaan Panglima Lat dalam masyarakat nelayan Aceh. Kendatipun

    dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006, lembaga Panglima Lat telah

    diakui secara formal, tetapi upaya-upaya revitalitasinya masih belum banyak

    dilakukan, bahkan upaya dalam mengembangkan perikanan dan meningkatkan

    kesejahteraan nelayan, tampak mengabaikan peran lembaga Panglima Lat

    yang masa lampau telah mengtradisi dalam tatanan masyarakat nelayan di

    Nanggroe Aceh Darussalam.

    Maka rumusan pertanyaan kajian adalah : Bagaimana revitalitasi peran

    kelembagaan Panglima Lat dalam pengembangan masyarakat nelayan di

    Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur, Pemerintah Kota Langsa

    Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ?.

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan hasil evaluasi program pengembangan masyarakat dan

    pemetaan sosial yang telah dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh Kecamatan

    Langsa Timur, ada permasalahan pokok kajian yaitu Peran Panglima Lat

    Dalam Pengembangan Masyarakat nelayan Pesisir di Gampong Telaga Tujuh

    Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa?.

    Untuk menjawab pertanyaan pokok kajian tersebut, dapat dijabarkan ke

    dalam beberapa permasalahan spesifik sebagai berikut :

    1. Bagaimana peta sosial masyarakat di Gampong Telaga Tujuh dan tatanan

    kelembagaan yang berlaku sehubungan dengan peran Panglima Lat ?

    2. Bagaimana program-program pengembangan masyarakat yang berhubungan

    dengan revitalisasi peran kelembagaan Panglima Lat.

    3. Bagaimana program pengembangan peran Panglima Lat di kalangan

    masyarakat nelayan ?

    Tujuan Kajian

    Tujuan utama kajian peran Panglima Lat dalam pengembangan

    masyarakat nelayan adalah untuk :

    1. Mengkaji situasi masyarakat dan situasi sosial gampong Telaga Tujuh,

  • 7

    sehingga dapat di ketahui tatanan kelembagaan sehubungan dengan peran

    kelembagaan Panglima Lat.

    2. Mengevaluasi program-program pengembangan masyarakat yang

    berhubungan dengan revitalisasi pengembangan peran kelembagaan

    Panglima Lat.

    3. Menyusun program pengembangan peran Panglima Lat di kalangan

    masyarakat nelayan.

    Kegunaan Kajian

    1. Manfaat praktis, diharapkan dapat menjadi masukan untuk setiap instansi

    teknis atau dinas yang terkait dalam melaksanakan pengembangan

    masyarakat, dan pembangunan di wilayah pesisir, yang melibatkan Panglima

    Lat, dalam mengambil model kebijakan yang partisipatif, yang bertumpu

    pada warga masyarakat, serta dapat mendukung pembangunan sosial dalam

    membuat pertimbangan kebijakan agar lebih aplikatif.

    2. Manfaat strategis, diharapkan dapat memberikan kontribusi atas penyusunan

    strategi pelayanan sosial terhadap masyarakat dipesisir pantai yang

    melibatkan banyak pihak dan bertumpu pada kemampuan dan kearifan lokal.

    Dengan demikian perumusan kerangka kerja strategis penanganan masalah

    masyarakat di pesisir pantai tetap mempertimbangkan konteks lokal dalam

    perspektif pengembangan masyarakat nelayan.

    3. Manfaat akademis, diharapkan dapat memperkaya referensi tentang praktek-

    praktek pengembangan masyarakat nelayan di wilayah pesisir.

  • 8

    TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

    Masyarakat Nelayan Wilayah Pesisir

    Definisi wilayah pesisir di Indonesia masih belum jelas. Namun kalau kita

    mengacu pada definisi internasional, wilayah pesisir adalah wilayah peralihan

    antara laut dan daratan, ke darat mengcakup daerah yang masih terkena

    pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah

    paparan benua (Budiharsono, 2001).

    Wilayah pesisir dan lautan dari konsep wilayah bisa termasuk dalam empat

    jenis wilayah. Pertama, sebagai wilayah homogen yaitu; merupakan wilayah

    pesisir yang memproduksikan ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah

    dengan tingkat pendapatan penduduk yang tergolong dibawah garis kemiskinan.

    Kedua, sebagai wilayah nodal yaitu; wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah

    pesisir belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan

    seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (backyard), yang

    merupakan tempat membuang segala macam limbah. Sebagai wilayah belakang,

    wilayah pesisir sebagai input (pasar input) bagi inti, dan merupakan pasar bagi

    barang-barang jadi (output) dari inti. Ketiga, sebagai wilayah administrasi yaitu;

    wilayah pesisir dapat merupakan wilayah administrasi yang relatif kecil seperti

    kecamatan atau gampong, namun juga dapat berupa Kabupaten/Kota, pada

    Kabupaten/Kota yang merupakan pulau kecil. Keempat, sebagai wilayah

    perencanaan yaitu; batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologi.

    Karena menggunakan batasan kriteria ekologi tersebut, maka batas wilayah

    pesisir sering melewati batas-batas satuan wiayah admistratif (Budiharsono,

    2001).

    Nelayan adalah orang yang mata pencaharian utamannya dari usaha

    menangkap ikan di laut. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan

    kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung seperti para penebar dan

    perakit jaring, dan secara tidak langsung seperti juru mudi perahu layar, nakhoda

    kapal ikan bermotor, marsinis kapal, koki kapal penangkapan ikan sebagai mata

    pencaharian. Nelayan harus melengkapi dirinya tentang pengetahuan mengenai

    ciri-ciri dan cara hidup dari berbagai jenis ikan, nelayan harus mempunyai suatu

    Pengetahuan yang lebih teliti mengenai sifat-sifat laut, angin, arus, dan mengenai

  • 9

    bintang-bintang di langit untuk menjadi pedoman dalam mengemudikan

    perahu/kapal (Koentjaningrat, 1974). Pengetahuan nelayan tentang alam

    lingkungan, sebenarnya ada ciri kesamaan bagi nelayan tentang alam

    lingkungan, sebenarnya ada ciri kesamaan bagi nelayan Indonesia pada

    khususnya dan nelayan Asia Tenggara pada umumnya. Kesamaan itu sebagai

    berikut :

    Para nelayan sering menggunakan metode-metode ilmu gaib untuk menambahkan metode-metode teknologi yang nyata. Hal ini malahan mendapat kesan bahwa suku-suku bangsa nelayan secara lebih intensif mempergunakan metode ilmu gaib dalam ilmu dukun, bila dibandingkan dengan suku-suku bangsa yang hidup dari berburu. Hal ini mungkin karena mencari ikan itu rupanya merupakan suatu mata pencaharian hidup yang pada dasarnya mengandung lebih banyak bahaya dan resiko dari pada berburu, atau mata pencaharian hidup lain seperti bercocok tanam dan beternak (Koentjaningrat, 1974).

    Dalam himpunan masyarakat memiliki tingkatan lapisan sosial tersendiri.

    Tingkatan sosial itu juga ditemukan dalam masyarakat nelayan yang umumnya

    kelompok masyarakat ini adalah nelayan. Kusnadi (2002), menggambarkan

    bahwa penggolongan tingkatan sosial dalam masyarakat nelayan ini dapat

    ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat

    produksi atau peralatan penangkapan, seperti perahu, jaring, dan perlengkapan

    lainnya. Secara struktural, masyarakat nelayan ini dapat dibagi dua katagori,

    yaitu nelayan pemiliki alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh ini adalah

    masyarakat nelayan golongan bawah yang tidak memiliki alat-alat produksi,

    mereka hanya golongan masyarakat yang menyumbang jasa dan tenaganya

    dengan memperoleh hak yang sangat terbatas. Mereka indentik dengan buruh

    tani dalam masyarakat pertanian (agraris). Secara kuantitatif, dalam sebuah

    gampong nelayan di Aceh jumlah nelayan buruh lebih besar dibandingkan

    dengan nelayan golongan menengah ke atas yang memiliki alat-alat produksi

    penangkapan.

    Kedua, penggolongan masyarakat nelayan berdasarkan tingkat investasi

    modal. Berdasarkan tingkat investasi modal nelayan dibagi dalam dua golongan,

    yaitu nelayan besar dan nelayan kecil. Dikatakan nelayan besar karena modal

    yang diinvestasikan dalam usaha perikanan itu relatif lebih banyak dibandingkan

    dengan nelayan kecil yang hanya menjual jasa dan tenaga kepada nelayan yang

    bermodal besar dengan memperoleh upah harian, mingguan, atau secara

    bulanan.

  • 10

    Kemudian dari sudut pandang ketiga, penggolongan tingkatan sosial dalam

    masyarakat nelayan, ini juga terjadi akibat pengaruh teknologi yang membentuk

    masyarakat nelayan modern dan masyarakat nelayan tradisional. Disebut

    nelayan modern karena mereka menggunkan alat penangkapan teknologi

    canggih dibandingkan masyarakat tradisional yang menggunakan alat

    penangkapan secara alamiah. Secara kuantitatif, jumlah nelayan modern

    memang relatif lebih kecil dibandingkan nelayan tradisional. Namun dalam

    kedudukan sosialnya pengaruh nelayan modern atau nelayan besar (pemilik

    modal) ini jauh lebih besar terhadap nelayan tradisional atau nelayan kecil.

    Perbedaan-perbedaan tingkatan itu dalam masyarakat nelayan tidak hanya

    mengimplikasikan pada tingkatan pendapatan dan kemampuan atau

    kesejahteraan sosial-ekonomi meraka masing-masing, tapi dengan tingkatan itu

    meski mereka tergolong dalam suatu himpunan masyarakat nelayanlingkungan

    budaya geografis yang sama menggunakan sumberdaya laut untuk mencapai

    kebutuhan hidupnya namun mereka memiliki orientasi usaha dan perilaku yang

    berbeda-beda (Kusnadi, 2002).

    - Kondisi Ekonomi dan Pendidikan

    Keadaan sosial-ekonomi yang rendah memang sudah menjadi ciri umum

    kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Tingkat pendapatan

    mereka kalau dikalkulasikan hanya sedikit diatas petani kecil. Bahkan menurut

    Winahyu dan Santiasih dalam Mubyarto Dua Puluh Tahun Penelitian

    Gampongan seperti kutipan Kusnadi (2002), tingkatan kemiskinan masyarakat

    nelayan jika dibandingkan secara seksama dengan kelompok masyarakat

    disektor pertanian, maka masyarakat nelayan khususnya buruh dan nelayan

    kecil atau nelayan tradisional, mereka dapat digolongkan sebagai lapisan sosial

    yang paling miskin kondisi ekonominya.

    Secara fisik kondisi kemiskinan ini dapat dilihat dari gambaran umum

    tempat tinggal nelayan. Kampung-kampung nelayan akan sangat mudah

    diidentifikasikan sebagai perkampungan yang kumuh. Mereka hanya

    menempati rumah-rumah yang sangat sederhana dengan keterbatasan

    berbagai alat perabotan rumah tangga. Namun bukan berarti masyarakat di

    wilayah pesisir ini tidak ada yang menikmati kemewahan. Kemewahan dalam

    golongan masyarakat nelayan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang

  • 11

    memanfaatkan jasa-jasa nelayan. Mereka adalah kelompok pemilik

    perahu/motor bot dan pemilik modal yang memberikan pekerjaan kepada

    nelayan, dan memegang kendali atas pekerjaan tersebut. Mereka ini sering

    disebut dengan istilah toke atau Agen. Merekalah yang lebih banyak menikmati

    keuntungan dari hasil kerja nelayan. Mereka dapat hidup dengan mewah dari

    hasil keringat nelayan, sementara nelayannya tetap berkubang dengan

    kemiskinan.

    Masalah pendidikan masyarakat nelayan juga merupakan masalah

    tersendiri yang harus mendapatkan perhatian khusus. Dalam realitas nelayan

    di Indonesia ini masih banyak anak nelayan usia sekolah yang putus sekolah.

    Akibat ketidakberdayaan ekonomi orang tuanya, mereka harus meninggalkan

    bangku sekolah untuk mengikuti jejak orang tuannya menjadi nelayan. Lebih-

    lebih ketika musim paceklik datang, yaitu musim ketika nelayan tidak bisa turun

    kelaut. Pada musim ini tidak ada penghasilan yang dapat diandalkan untuk

    menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, selain menguras tabungan bagi yang

    mempunyai tabungan.

    Lain halnya dengan masyarakat yang hidup disektor pertanian.

    Umumnya, para petani memiliki pekerjaan sambilan yang menjadi sumber

    pengahasilan pengganti ketika musim paceklik tiba. Untuk mengisi waktu luang

    kerja setelah musim tanam tiba, keluarga petani biasanya melakukan

    pekerjaan lain, seperti beternak, membuat barang-barang kerajinan atau

    melakukan pekerjaan lainnya yang bersifat non pertanian. Dari hasil usaha itu

    petani dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

    Sedangkan bagi nelayan, terutama buruh nelayan tidak demikian.

    Sebagai contoh kasus kehidupan nelayan nelayan di Aceh, umumnya hanya

    semata-mata bekerja mencari ikan di laut. Bila musim Barat (musim tidak dapat

    melaut) merupakan masa-masa krisis bagi nelayan diwilayah Aceh khususnya

    Kabupaten Aceh Selatan. Sambil menunggu datangnya musim ikan kembali,

    mereka hanya membetulkan alat-alat tangkap ikan yang rusak dan mencari

    ikan yang terdekat dengan pantai untuk konsumsi keluarganya. Cara lain

    digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari selama musim

    paceklik adalah meminjam uang kepada toke/pemilik boat yang akan dibayar

    pada saat mereka melaut pada musim Timur nantinya.

  • 12

    Dalam kondisi ekonomi seperti itu, maka masalah pendidikan bagi

    masyarakat nelayan ini menjadi suatu kebutuhan yang amat berat mereka

    penuhi. Ketidak mampuan itu dapat dilihat dari pada contoh kasus keadaan

    perekonomian masyarakat nelayan sebagaimana yang telah diuraikan diatas

    tadi. Kesulitan ekonomi telah menyebabkan masalah pendidikan menjadi

    sesuatu yang terabaikan dalam kehidupan masyarakat nelayan, pendidikan

    bagi mereka bukanlah kebutuhan utama.

    - Ketidak Berpihakan Kebijakan Publik.

    Masalah yang masih krusial yang dihadapi komunitas nelayan Indonesia,

    terutama nelayan-nelayan kecil masih menggunakan peralatan tangkap

    tradisional. Banyak faktor yang membuat nelayan menjadi komunitas yang

    lemah dan serba kekurangan dibandingkan masyarakat yang hidup diwilayah

    pedalaman agraris (pertanian) dan perkotaan. Di antara faktor yang signifikan

    terhadap ketidak berdayaan masyarakat nelayan adalah sistem budaya yang

    dibangun dalam kebijakan pembangunan, tidak menghargai komunitas

    masyarakat nelayan. Sehingga komunitas nelayan menjadi komunitas yang

    secara kultural dipandang sangat rendah dalam segala aspek sosial. Dari sudut

    pandang ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik, mereka dianggap sebagai

    komunitas masyarakat yang tidak memiliki kemampuan terhadap semua itu.

    Pandangan tersebut secara kultural telah menjadi opini publik. (Hasibuan, dkk,

    2003)

    Ketidak berpihakan publik terhadap masyarakat nelayan ini dapat dilihat

    dari kurangnya perhatian dan kepedulian yang diberikan kepada mereka

    selama ini, terutama pemerintah. Lemahnya keberpihakan kebijakan

    pembangunan terhadap sumber daya laut juga telah mengakibatkan rendahnya

    kepedulian publik untuk ikut serta menjaga kelestarian hayati yang terkandung

    di dalamnya. Malah yang terjadi adalah penekanan-penekanan terhadap

    komunitas nelayan dengan pengoperasian peralatan tangkap modern (pukat

    harimau) yang jelas-jelas melanggar hukum, tidak hanya hukum adat tetapi

    juga hukum negara. Penggunaan alat tangkap yang merusak terus

    berlangsung dan mendapatkan perlindungan dari oknum-oknum aparat

    keamanan dengan menakut-nakuti para nelayan tradisional.

    Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketidak berpihakan publik

    terhadap masyarakat pesisir, yang mayoritas warganya berprofesi sebagai

  • 13

    nelayan, selain disebabkan kesalahan kebijakan pembangunan yang lebih

    berorientasi kedaratan selama puluhan Tahun belakang ini, juga ada

    pengaruhnya dengan pandangan publik secara kultural bahwa komunitas

    masyarakat nelayan yang mendiami wilayah pesisir adalah komunitas

    masyarakat yang memiliki kekurangan dalam segala hal dibandingkan dengan

    masyarakat yang mendiami wilayah perkotaan dan pedalaman yang menurut

    pandangan publik agak lebih maju dalam berbagai bentuk intraksi sosial dan

    budayanya.

    Pengorganisasian

    Organisasi komunitas merupakan perkumpulan orang dalam masyarakat

    yang mengelola kegiatan tertentu. Unsur ini merupakan wadah dimana unsur-

    unsur komunitas lainnya mengalami modifikasi atau menjadi lebih dinamis

    (Kolopaking dan Tonny, 2006)

    Kemampuan organisasi komunitas terletak pada solidaritas yang tinggi

    diantara anggota. Menurut Karter (1983) dalam Kolopaking dan Tonny, 2006,

    organisasi informal sebagai pusat kehidupan politik organisasi, hubungan

    berkelanjutan antar orang dibangun atas dasar persahabatan dan royalitas.

    Jaringan antar anggota memperhatikan bagaimana lingkungan dalam organisasi

    dikonstruksikan. Ini berarti bahwa perhatian lebih banyak tertuju pada segi-segi

    normatif dan budaya dari lingkungan seperti sistem kepercayaan, hak profesi,

    dan sumber-sumber legitimasi. lkatan jaringan antar para anggotanya

    menjembatani hubungan-hubungan mereka dalam organisasi.

    Mendukung pandangan di atas Swedberg (1990) dalam Kolopaking dan

    Tonny, 2006, menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan

    terlekat sebab diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seseorang

    terlekat dalam hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya

    tindakan sosial dan jumlah dari hasil institusional. Misalnya, apa yang terjadi

    dalam produksi, distribusi dan konsumsi banyak dipengaruhi oleh keterlekatan

    orang dalam hubungan sosial.

    Sedangkan organisasi sosial yang dimaksud berada di Desa/Kelurahan

    yang memiliki pimpinan, pengurus dan anggota penduduk, berdasarkan rasa

    pada kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial untuk meningkatkan kualitas

  • 14

    kehidupan dan penghidupan warga Desa/Kelurahan. Selanjutnya menurut Bakke

    dalam Sutarto, ( 1995) dikatakan bahwa :

    Organisasi sosial adalah suatu sistem yang kontinyu dari aktivitas orang-orang yang berbeda dan terkoordinasikan yang memakai, mengubah, dan memadu bersama-sama suatu perangkat khusus dari orang, barang, modal, pemikiran dan sumber-sumber alam ke dalam suatu ketunggalan, keseluruhan pemecahan masalah yang fungsinya adalah memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia tertentu dalam saling pengaruh dengan berbagai sistem lain dari aktivitas-aktivitas dan sumber-sumber manusia di dalam lingkungan khususnya."

    Sehubungan dengan pandangan di atas, maka organisasi sosial

    merupakan suatu sistem yang berlangsung secara kontinyu dan terkoordinasi

    dalam mengemban fungsi dan tugas pokoknya perlu ditingkatkan kesadaran

    akan hak dan kewajibannya dengan pemecahan masalah dapat memuaskan

    kebutuhan masyarakat berdasarkan aktivitas dan sumber-sumber masyarakat

    dilingkungan sosialnya. Keberhasilan ORSOS diupayakan untuk bersinergi

    dalam mengemban fungsi dan peranannya sampai sejauhmana dapat

    memberdayakan masyarakatnya secara individu keluarga dan masyarakat luas

    pada umumnya. Berkaitan dengan itu, maka menurut Triguno, (1996),

    mengatakan bahwa upaya untuk mencapai pengelolaan organisasi yang tingkat

    optimal, maka bawahan harus secara psikologis terlibat dalam aktiviias

    partisipasional , artinya dapat memiliki kecerdasan dan kehendak untuk

    melakukan aktivitas bersifat gotong-royong atau kerjasama mereka akan menjadi

    lebih kreatif. Untuk itu dalam praktek kepemimpinan (leadership), harus

    mengakui bahwa orang-orang atau bawahannya memiliki keterampilan dan

    kemampuan selain apa yang dapat mereka kerjakan dengan tangan. Karena

    dengan kemampuan untuk berpikir, dapat menciptakan ide-ide baru,

    memprakarsai prosedur baru serta cara-cara kerja mutakhir dalam pengelolaan

    organisasi yang optimal.

    Organisasi yang dibentuk melalui jalur birokratis yaitu Posyandu dan PKK

    tidak memiliki legitimasi dalam proses pengumpulan dana komunitas. Hubungan

    kader dengan partisipan lebih benuansa hubungan instrukif dari pada hubungan

    sosial timbal balik. Kekurangan dari organisasi ini adalah hanya sebagai simbol

    dan tidak memiliki arti yang signifikan dalam gerak pembangunan desa. Oleh

    karena itu organisasi akar rumput sering diabaikan (Kolopaking dan Tonny,

    2006).

  • 15

    Kelembagaan dalam Masyarakat Nelayan

    Kelembagaan dapat diartikan sebagai pranata ataupun sebagai organisasi.

    pranata terdiri dari norma-norma atau rules of games (aturan main) yang

    menjadi pedoman bagi warga masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan-

    kebutuhan tertentu (Soekanto, 1990). Kelembagaan sebagai organisasi tidak

    hanya mempunyai rules of games, tetapi juga mempunyai struktur, partisipan,

    sarana-prasarana (teknologi) dan tujuan yang ingin dicapai. Peran kelembagaan

    yang ada harus pula memungkinkan informasi yang diperlukan masyarakat untuk

    memberdayakan dirinya dapat mudah diperoleh. Sejumlah defenisikan

    kelembagaan, (Tony, 2006) menyimpulkan dalam empat katagori:

    1. Suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-

    aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam

    kehidupan masyarakat.

    2. Suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang

    mempertahankan nilai-nilai yang penting

    3. Himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu

    kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat

    4. Tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial

    lainnya

    institutions, whether organisations or not, are complexes of norms and behaviors that persist over time by serving collectively valued purposed, while organisations, whether institutions or not, are structures of recognized and accepted roles. (Uphoff, 1993).

    Dalam masyarakat nelayan di wilayah pesisir, untuk meningkatkan peran

    masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber daya alam, diperlukan

    kelembagaan sosial untuk mendorong peranan masyarakat secara kolektif.

    Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk

    melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian.

    Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan

    untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen

    wilayah pesisir dan laut. Selain itu, pengembangan kelembagaan sosial

    diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kegiatan masyarakat untuk selanjutnya

    akan berdampak pada jalannya kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat setempat.

  • 16

    Pengembangan kelembagaan dapat dilakukan dengan pembentukan

    embrio lembaga-lembaga sosial di berbagai bidang. Apabila lembaga serupa

    telah ada sebelumnya, maka lembaga-lembaga tersebut perlu diberdayakan.

    Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan kelembagaan di

    masyarakat Aceh adalah pengembangan jaringan sosial antara lembaga-

    lembaga baik dalam lingkungan gampong, antar gampong, maupun antar

    kecamatan. Selain itu, pemberian peranan yang lebih kepada lembaga-lembaga

    tersebut dalam proyek-proyek pembangunan akan makin memperkuat kapasitas

    lembaga-lembaga yang bersangkutan.

    Dalam masyarakat Aceh kelembagaan Panglima Lat merupakan

    kelembagaan dipesisir yang mengawasi dan memelihara hukum adat laut dan

    istiadat. Lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Aceh

    adalah: Tuha Peut, Imum Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Lat, Peutua

    Seuneubok, Haria Peukan, Syahbanda, dan lembaga-lembaga adat yang disebut

    dengan nama lain, tetapi mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan

    lembaga-lembaga adat (Pasal 2 ayat (1) Perda No. 2 Tahun 1990).

    Dalam Pasal 5 ayat (2) Perda Nomor 7 Tahun 2000, disebutkan dengan

    jelas lembaga-lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,

    antara lain: Imuem Mukim, Geusyik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imuem Meunasah,

    Keujruen Blang, Panglima Lat, Peutua Seuneubok, Haria peukan.

    Lembaga-lembaga itulah yang melaksanakan pembagian tugas dalam

    setiap gampong. Panglima Lat berfungsi; untuk membantu Keuchik di bidang

    kelautan, Peutua Suneubok untuk pimpinan urusan kehutanan-perkebunan dan

    perladangan, Keujreun Blang untuk membantu Keuchik dalam urusan pembagian

    pengairan dan persawahan, serta Haria Pekan untuk membantu Keuchik di

    bidang ketertiban, keamanan, kebersihan, serta mengutip retribusi pasar

    gampong. Dalam hal ini, Panglima Lat dibantu Syahbandar, yakni orang yang

    memimpin dan mengatur perahu, lalu lintas kapal/perahu (Pasal 1 ayat (13), (14),

    (15), (16), dan ayat (17) Perda Nomor 7 Tahun 2000).

  • 17

    Peran Kelembagaan Panglima Lat dalam Masyarakat Nelayan

    Menurut Sarbin & Allen, (1968), Biddle & Thomas, (1966) peran adalah

    pola tingkah laku yang sangat tergantung pada posisi sabjek saat melakukan

    interaksi sosial dengan objek. Peran yang berbeda membuat jenis tingkah laku

    yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam

    suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif independent (bebas) pada

    seseorang yang menjalankan peran tersebut.

    Kelembagaan Panglima Lat merupakan kelembagaan yang ada pada

    masyarakat pesisir. Panglima Lat adalah seorang pemimpin nelayan yang

    secara hukum adat laut bertugas mengkoordinasi satu atau lebih wilayah

    operasional nelayan, dan minimal satu pemukiman nelayan. Dengan demikian

    tugas dan tanggung jawab Panglima Lat di antaranya mengawasi dan

    memelihara pelaksana hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian

    sehubungan dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara-

    upacara adat laut, dan lainnya.

    Main (1992), dalam hasil penelitian menyebutkan bahwa Panglima Lat

    merupakan pimpinan tertinggi yang mengatur tentang usaha-usaha dan

    kegiatan-kegiatan yang dapat/boleh dilakukan oleh masyarakat nelayan. Menurut

    Snouck Hurgronye (1906), mengenai struktur Panglima Lat hanya ada dua

    tingkatan, yaitu Panglima Lat Lhk dan Panglima Lat. Sementara itu pada

    tingkat berikutnya Panglima Lat Lhk sering disingkat/disebut menjadi Panglima

    Lhk atau Panglima Lat, yang mempunyai wilayah tanggung jawab terbatas

    pada wilayah Lhk. Wilayah Lhk adalah suatu wilayah pesisir di mana nelayan

    berdomisili dan sebagian besar melakukan usaha penangkapan ikan atau

    bermata pencaharian utama menangkap ikan di laut. Wilayah tersebut dapat

    terdiri dari satu wilayah pantai yang melingkupi beberapa gampong atau wilayah

    satu kemukiman ataupun satu kepulauan yang berpenduduk jarang (Nyak Pha,

    2001).

    Tugas Panglima Lat tingkat Kabupaten/Kota antara lain adalah ;

    menyelesaikan sengketa tentang kegiatan mencari ikan di laut, perselisihan

    tentang adat (hukum adat) laut antara Panglima Lat Lhk dan Pawang Lat

    yang tidak terselesaikan pada tingkat Panglima Lat Lhk, dan perkara antara

    para nelayan yang tidak dapat diselesaikan oleh Pawang Pukat atau Pawang

  • 18

    Lat setempat ataupun oleh Panglima Lat Lhk. Tugas utama lainnya adalah

    mengatur kenduri lat bersamaan dengan nelayan dibawah koordinir Panglima

    Lat Lhk (Nyak Pha, 2001).

    Menurut Iksan dan Ishak (2005), tentang Peran (role) adalah komponen

    perilaku nyata yang disebut norma. Norma-norma adalah harapan dan

    kebutuhan perilaku yang sesuai dengan untuk suatu peranan tertentu. Tiap-tiap

    peran berhubungan dengan suatu identitas yang menggambarkan individu dalam

    hal, bagaimana mereka harus bertindak dalam situasi khusus. Bila seorang

    melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan maka seseorang

    akan menjalankan perannya. Dengan demikian yang dimaksud dengan peran

    Panglima Lat dalam masyarakat nelayan, adalah seorang pemimpin yang

    terdapat legitimasi adat tersebut. Hampir semua aspek kenelayanan berada

    dibawah Panglima Lat.

    Pada pasal 1 ayat 14 Peraturan Daerah (Nyak Pha, 2001) berisi tentang

    peran Panglima Lat dalam masyarakat nelayan. Panglima Lat adalah orang

    yang memimpin adat, dan kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan

    dan penyelesaian sengketa. Sementara itu, hasil musyawarah Panglima Lat Se-

    Aceh yang dilaksanakan pada tanggal 6-7 Juni 2000, menghasilkan enam

    keputusan tentang peran kelembagaan Panglima Lat yaitu :

    1. Melihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan istiadat.

    2. Mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut.

    3. Menyelesaikan perselisihan/sengketaan yang terjadi di antara sesama

    anggota nelayan atau kelompoknya.

    4. Memutuskan dan menyelenggarakan upacara adat Lat.

    5. Menjaga/mengawasi agar pohon-pohon ditepi pantai jangan ditebang.

    6. Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan

    Pawang Lat dengan Pawang Lat lainnya .

    Hubungan Panglima Lat dengan Pemerintah Kota Langsa Provinsi

    Nanggroe Aceh Darussalam terjalin baik. Selaku perangkat Pemerintahan

    Kecamatan yang letaknya sangat dekat dengan pantai, otamatis permasalah

    yang dihadapi adalah berhubungan dengan pekerjaan kenelayanan, atau

    berkaitan penggunaan sumber alam laut, seperti budidaya ikan (aqua culture)

    dan nelayan tangkap.

  • 19

    Kerangka Pemikiran

    Untuk kepentingan kajian ini; pertama, kelembagaan Panglima Lat

    diartikan sebagai lembaga adat terdiri dari norma-norma yang menjadi pedoman

    masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan tertentu. Kedua, kelembagaan

    Panglima Lat diartikan sebagai organisasi tradisi yang antara lain dicirikan oleh

    adanya struktur (Panglima Lat, Sekretaris, dan Pawang Lat) untuk mencapai

    tujuannya. Bila seorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan

    kedudukan maka seseorang akan menjalankan perannya. Dengan demikian

    Panglima Lat adalah seorang yang memimpin organisasi tradisi dan adat di

    masyarakat nelayan yang mendapat legitimasi adat.

    Dalam sejarah Panglima Lat sebagai pemimpin masyarakat di wilayah

    pesisir Aceh dapat di indentifikasi mulai dari masa pemerintahan Sultan Iskandar

    Muda, masa penjajahan kolonial Belanda, dan setelah indonesia merdeka. Pada

    masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637), kejayaan peran lembaga

    Panglima Lat/hukm Adat lat3 telah dikenal dengan kerajaan adalah Samudra

    Pasai. Pada awalnya lembaga Panglima Lat sebagai lembaga perpanjangan

    tangan Sultan untuk memungut pajak/cukai, dan mobilisasi masyarakat dalam

    perperangan. Dalam mengambil keputusan, Panglima Lat berkoordinasi dengan

    ''uleebalang'', yang menjadi penguasa wilayah administratif.

    Di masa penjajahan kolonial Belanda (1904-1942) terjadi pergeseran

    peran Panglima Lat, sebelumnya sebagai perpanjangan sultan menjadi

    lembaga adat dan mengatur kegiatan nelayan dalam kehidupan masyarakat

    pesisir. Struktur ini mulanya dijabat secara turun temurun, meski ada juga yang

    dipilih dengan pertimbangan senioritas dan pengalaman dalam bidang

    kemaritiman.

    Dalam perkembangan selanjutnya setelah indonesia merdeka perhatian

    pemerintah terhadap lembaga Panglima Lat terabaikan, Hal ini disebabkan,

    pemerintah ingin meninggalkan tradisi lama untuk meraih kemajuan disegala

    bidang di Indonesia. Pandangan tersebut tidak benar, untuk mencapai kemajuan

    diperlukan kerangka sosial dalam masyarakat yaitu lembaga adat, sebab tampa

    lembaga adat masyarakat akan semberaut bergerak maju tampa ada pedoman.

    3 hukm Adat lat maknanya hukum adat laut

  • 20

    Ketika rezim Orde Baru berkuasa, segala bentuk Organisasi Rakyat di

    Indonesia, secara sistematis dimarginalkan. Demikian pula halnya dengan

    organisasi masyarakat nelayan di Aceh yang dikenal sebutan Panglima Lat,

    sehingga macam-macam peran Panglima Lat tidak berjalan sebagaimana

    mestinya. Meskipun demikian, keberadaan lembaga Panglima Lat tetap

    terpelihara dalam masyarakat pesisir.

    Setelah dikeluarkan Perda Daerah Istimewa Aceh No. 2 Tahun 1990, pada

    Pasal 1, Panglima Lat adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaa-

    kebiasaan yang berlaku dalam penangkapan ikan di lautan, termasuk dalam hal

    ini mengatur tempat/areal penangkapan. Penebatan perahu dan penyelesaian

    sengketa bagi hasil. Pasal 1 tersebut, pertama-tama menegaskan Panglima Lat

    adalah orang yang memimpin Lembaga adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku

    dibidang penangkapan ikan di lautan. Perkataan pemimipn disinilah dalam

    hukum, mempunyai makna yang memelihara, menjaga atas dasar wewenang

    yang diberikan hukum. Artinya bila ada yang bertindak tidak menurut hukum

    orang tersebut harus diberi ganjaran, seperti melarang turun kelaut, memberi

    sanksi, dan sebagainya.

    Lembaga Panglima Lat bukan bagian dari struktur pemerintahan

    melainkan lembaga diluarnya, yaitu sebagai lembaga mitra yang membantu

    tugas-tugas pemerintahan dibidang pembangunan dan sebaliknya. Namum

    memperhatikan ketentuan Pasal 9 (1) Perda no. 2 Tahun 1990 tersebut, dapat

    disimpulkan, lembaga Panglima Lat dalam pengembangan peran tugas

    kelembagaan bertanggung jawab kepada pemerintah, yaitu kepada Gebernur

    Kepala Daerah, dan Bupati/Walikota, karena mereka sebagai pembina

    kelembaga Panglima Lat.

    Kelembagaan Panglima Lat pada dasarnya menjalankan peran yaitu;

    memelihara dan mengawasi hukum adat dan istiadat, Mengkoordinir setiap

    usaha penangkapan ikan di laut, menyelesaikan perselisihan/sengketaan

    sesama anggota nelayan, memutuskan dan menyelenggarakan upacara adat

    Lat, menjaga/mengawasi pohon-pohon ditepi pantai jangan di tebang, selain itu

    kelembagaan ini merupakan badan penghubung antara nelayan dengan

    pemerintah dan Pawang Lat lainnya. Panglima Lat dalam melaksanakan peran

    kelembagaannya bertumpu pada kreatifitas Panglima Lat dan sekretarisnya.

  • 21

    Kelembagaan Panglima Lat sebagai pengayom masyarakat nelayan, memiliki

    jalinan hubungan dengan berbagai pihak guna meningkatkan sumberdaya

    nelayan. Hubungan tersebut dari tingkat gampong hingga ke pemerintahan.

    Berbagai norma-norma tradisi adat yang mengkultur diselingkaran hidup

    masyarakat nelayan diwilayah pesisir (Stages a long the life cycle). Tuntutan adat

    bagi masyarakat nelayan harus dipenuhi, sehingga sadar atau tidak, mereka

    tunduk dan patuh. Sebagai elemem masyarakat gampong, nelayan tidak terlepas

    dari kepatuhan tersebut.

    Lembaga Panglima Lat adalah kunci utama yang perlu dicermati di

    wilayah pesisir Aceh, apabila berkeinginan untuk mengembangkan masyarakat

    nelayan Aceh. Panglima Lat adalah sosok pemimpin yang karismatik, sehingga

    nelayan merasa menyatu, tunduk dan patuh kepadanya. Dalam kegiatan

    berhubungan dengan nelayan, apabila Panglima Lat tidak di ikut sertakan akan

    membawa pengaruh negatif. Hal ini, yang sering tidak dilakukan oleh pihak luar

    dalam melaksana program pengembangan masyarakat nelayan.

    Panglima Lat sebagai pemimpin masyarakat nelayan Aceh, sangat besar

    pengaruhnya. Namun yang menjadi persoalan adalah kebijakan yang ditempuh

    oleh pengambil kebijakan (Pemerintah) dalam usaha meningkatkan taraf hidup

    nelayan yang cenderung mengabaikan aspek budaya setempat.

    Sedikitnya terdapat tiga faktor penghambat tidak terlaksananya peran

    kelembagaan Panglima Lat; Pertama, pemerintah dalam mengambil kebijakan

    tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat nelayan. Kedua, Juragan (Ureung

    poe hareukat) pemilik kapal nelayan, dalam pembagian hasil lebih

    menguntungkan dari pada nelayan pekerja (ureung mita hareukat). Ketiga,

    Pedagang Perantara (Toke Bangku) membeli hasil tangkapan nelayan dengan

    harga lebih murah dari harga pasaran. Ketika faktor tersebut yang kurang

    hubungan dengan kelembagaan Panglima Lat.

    Oleh karena itu, usaha yang dilakukan oleh pihak luar untuk

    mengembangkan kelembagaan guna mengangkat kehidupan masyarakat

    nelayan pada umumnya dan nelayan Aceh pada khususnya kurang memenuhi

    sasaran. Dalam melaksanakan dalam progaram pengembangan, kecendrungan

    pelaksanaannya bedasarkan patron yang datang dari atas (top down).

  • 22

    Tujuan dari program revitalisasi peran kelembagaan Panglima Lat di

    Gampong Telaga Tujuh adalah terwujudnya kembali macam-macam peran

    Panglima Lat yang diharapkan oleh masyarakat nelayan, lembaga (organisasi)

    pelaksanaan peran, norma-norma yang diharapkan untuk mengatur peran

    Panglima Lat, hubungan dengan masyarakat nelayan, dan dukungan

    stakeholder, sehingga secara tidak langsung terjamin sumber nafkah nelayan

    dan tatanan kehidupan nelayan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan revitalisasi

    peran lembaga Panglima Lat adalah penguatan pelaksanaan peran yang

    dilakukan oleh Panglima Lat dimasyarakat pesisir. Kerangka pikir dalam kajian

    dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Bagan Kerangka pikir Kajian

    Peran Kelembagaan Panglima Laot Pra Revitalisasi : Macam- macam Peran

    Panglima Laot Lembaga (organisasi)

    pelaksanakan peran Panglima Laot

    Norma-norma tradisi yang mengkultur peran Panglima Laot

    Hubungan dengan masyarakat nelayan

    Faktor-faktor penghambat terlaksananya peran Panglima Laot.

    Peran Kelembagaan Panglima Laot Pasca Revitalisasi : Macam-macam peran

    Panglima Laot Yang Diharapkan.

    Lembaga (organisasi) pelaksanaan peran yang diharapkan.

    Norma-Norma yang diharapkan untuk mengatur peran Panglima Laot.

    Hubungan dengan masyarakat nelayan yang diharapkan.

    Dukungan stakeholders yang diharapkan.

    Prog

    ram

    R

    evita

    lisas

    i

    Terjaminnya Sumber Nafkah Dan Tatanan Kehidupan Nelayan

    Keb

    ijaka

    n Pe

    mer

    inta

    h

  • 23

    METODE KAJIAN

    Proses dan Metode Kajian

    Tahap Proses Kajian. Kegiatan Kajian dilaksanakan melalui tiga tahap.

    Tahap pertama, Praktek Lapangan I dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh

    pada tanggal 26 Desember 2006 sampai dengan 14 Januari 2007. Kegiatannya

    adalah pemetaan sosial. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran

    yang komprehensif tentang situasi kependudukan, sistem sosial, struktur

    komunitas, organisasi kelembagaan, sumber dan potensi lokal dan masalah-

    masalah sosial yang ada di Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur,

    Pemerintah Kota Langsa.

    Tahap kedua, Praktek Lapangan II dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh

    pada tanggal 13 April sampai dengan 8 Mei 2007. Kegiatannya adalah mengenali

    dan mengevaluasi program-program atau kegiatan pengembangan masyarakat

    yang telah dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh tersebut.

    Tahap ketiga, ialah pelaksanaan kajian perencanaan program

    pengembangan masyarakat (Revitalisasi peran kelembagaan Panglima Lat) di

    Gampong Telaga Tujuh hingga laporan penulisan kajian, yang dilaksanakan

    pada tanggal 03 September sampai dengan tanggal 23 September 2007.

    Serangkaian kegiatan tersebut dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh

    Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, dan semua tahap kegiatan

    merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan saling melengkapi, artinya

    bahwa data yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua dipadukan dengan

    data tahap kegiatan pengkajian yang selanjutnya digunakan untuk menulis

    laporan kajian ini. Secara rinci jadwal pelaksanaan kajian pengembangan

    masyarakat dapat dilihat pada Tabel 1:

  • 24

    Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat

    2006

    TAHUN 2007

    2008

    BULAN

    No

    JENIS KEGIATAN

    12 1 4 7 8 9 10 11 12 1 2 3 1. Praktek Lapangan I 2. Praktek Lapangan II 3 Persiapan Kolokium 4. Penyusunan Provosal 5. Kajian Lapangan 6. Penyusunan KIA 7. Seminar dan Ujian 8. Penggandaan Laporan

    Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

    Jenis Data. Data yang digunakan dalam kajian lapangan ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer ialah data yang diperoleh dari

    sumber data responden atau informan diskusi kelompok dan juga dari hasil

    pengamatan langsung oleh pengkaji. Data sekunder ialah data yang diperoleh

    dari data statistik, literatur dan laporan-laporan dari instansi terkait serta data

    pendukung dari Gampong Telaga Tujuh, misalnya: data monografi Gampong,

    laporan Tahunan Gampong, data potensi Gampong, data dari buku administrasi

    para kepala dusun serta data dari dokumen lainnya yang dibutuhkan oleh

    pengkaji dalam kegiatan kajian.

    Perolehan data yang berupa data primer dari responden adalah data dari

    para Nelayan, Panglima Lat, Sekretaris Panglima Lat, dan Pawang Lat,

    terutama tentang peran masing-masing dalam kelembagaan Panglima Lat.

    Perolehan data dari informan adalah data dari para tokoh formal dan informal

    yang dapat digunakan sebagai pendukung data dari responden. Tokoh formal

    antara lain adalah; Kepala Gampong, Kepala Dusun, Perangkat Gampong, dan

    juga dari Pejabat instansi terkait tingkat Pemerintah Kota dan Kecamatan. Tokoh

    informal yang dijadikan sumber data antara lain para tokoh masyarakat, tokoh

    agama, tokoh adat dan warga masyarakat yang dianggap mampu memberikan

    data yang berkaitan dengan kajian.

  • 25

    Penetapan sumber data informan didasari atas pertimbangan

    penguasaannya terhadap materi kajian, ialah:

    1. Kegiatan peran Panglima Lat dalam pengembangan.

    2. Kegiatan kemitraan oleh pemilik modal dengan Nelayan.

    3. Program dan kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat pesisir.

    Pengumpulan Data. Untuk mendukung prosedur analisis data, dalam pengumpulan data pengkaji menggunakan metode triangulasi. Metode triangulasi

    adalah tehnik pengumpulan data dengan memadukan berbagai tehnik-tehnik

    metode pengumpulan data. Dimana dalam penelitian ini digunakan kegiatan

    diskusi kelompok, observasi dan wawancara. Untuk memperoleh data, baik

    berupa data primer maupun data sekunder, dilakukan dengan menggunakan

    tehnik:

    1. Wawancara

    Teknik wawancara adalah suatu cara perolehan data yang berkaitan dengan

    permasalahan kajian melalui kegiatan tatap muka yang dilakukan oleh

    pengkaji dengan tineliti (responden dan informan). Pertanyaan yang diajukan

    tidak harus terstruktur tetapi terpusat pada topik kajian. Wawancara disini

    bersifat mendalam adalah suatu proses temu muka berulang antara peneliti

    dan subyek tineliti, melalui cara ini pengkaji hendak memahami pandangan

    subyek tineliti tentang hidupnya, pengalamannya, permasalahan yang

    dihadapi dalam usahanya, harapan-harapan serta situasi dan kondisi sosial

    yang ada dilingkungannya.

    Sasaran wawancara dalam kajian adalah 15 orang responden nelayan,

    Panglima Lat (ketua), Sekretaris Panglima Lat, dan Pawang jhareng4 satu

    orang, Pawang Kawe5 satu orang dan Pawang Pukat6 satu orang.

    Sedangkan untuk informan yang diwawancara adalah pegawai Dinas

    Kelautan dan Perikanan Kota Langsa, pegawai Syahbandar Kuala Langsa,

    Kepala Gampong Telaga Tujuh, dan Tokoh masyarakat.

    2. Observasi Langsung (direct observation)

    Teknik pengumpulan data primer ini dilakukan juga secara pengamatan

    langsung. Pengumpulan data direct observation (pengamatan langsung) tidak

    4 Pawang jhareng artinya orang yang ahli penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring. 5 Pawang Kawe artinya orang yang ahli penangkapan ikan menggunakan alat tangkap pancing. 6 Pawang Pukat artinya orang yang ahli penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring lingkar.

  • 26

    menggunakan instrumen apapun kecuali alat komonikasi/dokumentasi.

    Teknis ini dilakukan khusus, jika ada indikasi data yang sulit terungkap atau

    kurang memuaskan dari hasil wawancara mendalam. Moleong (1977)

    mengemukakan alasannya bahwa tampaknya pengalaman langsung

    bersama objek penelitian atau pandangan mata merupakan alat yang ampuh

    untuk mengetes/menguji suatu kebenaran. Jika suatu data yang diperoleh

    melalui intrumen lain kurang meyakinkan, bisa saja peneliti menanyakannya

    kepada subjek, tetapi kebanyakan informasi justru kurang terfokus dan

    kurang akurat, maka untuk meyakinkan tentang keabsahan data tersebut,

    jalan yang lebih efektif dapat ditempuh dengan cara mengamati sendiri

    berarti melihat langsung peristiwanya.

    Pengamatan langsung dilakukan oleh peneliti dalam menyingkap pola tabiat

    tingkah laku dan kelakuan sehari-hari masyarakat nelayan, pengurus

    kelembagaan Panglima Lat, dan memonitoring keberadaan pemanfaatan

    dan kerusakan sumberdaya alam.

    3. Observasi Peran Serta

    Pengamatan berperan serta (penulis dengan masyarakat nelayan pesisir)

    dilakukan guna mengungkapkan secara pandangan mata terhadap peran

    kelembagaan Panglima Lat dan terhadap kegiatan yang telah dan sedang

    dikerjakan di gampong tersebut. Pengamatan peran serta dalam penyelesai

    kasus perselisihan penangkapan ikan di laut antara nelayan, laporan nelayan

    tetang aktifitas kegiatan dilaut, kegiatan jual beli hasil tangkapan nelayan

    tradisional oleh sekretaris Panglima Lat, dan kegiatan usaha pengolahan

    ikan (UPI) oleh nelayan di Gampong Telaga Tujuh. Namun diamati juga

    terhadap kegiatan lain yang berkaitan dengan peran kelembagaan Panglima

    Lat.

    4. Focus Group Discussion (FGD)

    Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan oleh pengkaji dalam

    rangka untuk mendapatkan gambaran data yang lebih akurat dan untuk

    menyusun rencana program kegiatan yang tepat guna mengatasi masalah

    yang ada berdasarkan data yang telah didapatkan sebelumnya. Menurut

    Sumardjo dan Saharudin (2006), Focus Group Discussion (FGD) merupakan

    suatu forum yang dibentuk untuk saling membagi informasi dan pengalaman

  • 27

    di antara para peserta diskusi dalam satu kelompok untuk membahas satu

    masalah khusus yang telah terdefinisikan sebelumnya.

    Dalam FGD peneliti berperan ganda yaitu sebagai fasilisator diskusi dan

    pengamat jalannya diskusi dalam menyusun program aksi yang di inginkan

    oleh masyarakat gampong Telaga Tujuh. Di ikut sertakan dalam Focus Group

    Discussion (FGD) yaitu; Nelayan, Panglima Lat, Sekretaris Panglima Lat,

    Pawang Lat,Tokoh Masyarakat, dan Dinas Kelautan dam Perikanan.

    5. Participatory Rural Appraisal (PRA) yaitu pengkajian peran Panglima Lat

    dalam pengembangan masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh.

    Dalam hal ini pengkaji menggunakan metode dimaksud adalah suatu

    kegiatan bersama-sama antara masyarakat dan peneliti dalam pemetaan

    suatu wilayah untuk mengindentifikasi masalah, potensi, dan kebutuhan

    masyarakat dalam upaya pengembangan masyarakat gampong Telaga

    Tujuh, sehingga bisa membuat perencanaan program dengan baik. Data

    skunder yang dibutuhkan yaitu peta gampong, data potensi gampong,

    dokumen, dan lain- lainnya yang dibutuhkan untuk analisis peneliti.

    6. Studi Dokumentasi

    Kegiatan pengumpulan data dari teknik studi dokumentasi yaitu; data

    pendukung yang ada di kantor Gampong Telaga Tujuh, dokumen/laporan

    Tahunan Gampong, dokumen/laporan Panglima Lat, kepala dusun, laporan

    dan data yang bersumber dari instansi terkait baik yang ada di tingkat

    Pemerintah Kota maupun Kecamatan.

    Peng