keadilan restoratif dan sistem peradilan
TRANSCRIPT
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
1/15
Keadilan restoratif dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, demikian disebutkan
dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Republik Indonesia, 2002:1). Negara Hukum bersandar pada keyakinan
bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.
Ada dua unsur dalam negara hukum, yaitu pertama, hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan
berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah, dan
kedua, norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal,
melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide hukum.
Usaha melindungi masyarakat dalam kehidupan yang damai, aman dan tertib atas
segala gangguan dari pelaku pelanggar norma, maka salah satu sarana untuk
menanggulanginya dengan hukum pidana. Menurut E. Utrecht (1968) dalam Faal
(1991:4) bahwa hukum pidana merupakan hukum yang bersifat represif, hukum
yang mempunyai sanksi istimewa, hukum ini tak kenal kompromi, walaupun
seumpama si korban tindak pidana sudah memaafkan, mendamaikan dengan si
pelaku dan atau sudah menerima nasib agar pelakunya dimaafkan atau tidak
dituntut, namun hukum pidana itu bersikap tegas, hukum harus ditegakkan dan
pelaku harus ditindak.
Kekuatan hukum pidana tersebut diimbangi dengan berbagai kelemahan terkait
sanksinya, yaitu bahwa sanksi pidana keras/kejam, operasionalisasi dan aplikasinya
memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan membutuhkan biaya yang
tinggi, mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang berefek samping negatif,
bersifat pengobatan simptomatik (kurieren am sympton), hukum pidana hanya
sebagian kecil dari sarana kontrol yang tidak mampu mengatasi masalah kejahatan
sebagai masalah kemanusian yang sangat kompleks, sistem pemidanaan bersifat
fragamentair dan individual/personal, serta keefektifan pidana masih tergantung
pada banyak faktor, karenanya penggunaannya harus sebagai upaya terakhir
(ultimum remedium) (Arief, 1998:139-140).
Berkaitan dengan hukum pidana, terkait pula pemidanaan, yaitu penjatuhan nestapaatau derita kepada pelaku tindak pidana, pemberitaan derita atau nestapa ini
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
2/15
memiliki tujuan untuk pembalasan dan pencegahan. Dalam rangka penegakan
hukum pidana, setiap penjatuhan pidana setidaknya memenuhi asas keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Meskipun pada prakteknya tidak mudah, mengingat
penjatuhan pidana yang tegas atau pasti belum tentu menjamin adanya keadilan
dan kemanfaatan, begitu pula sebaliknya.
Mengapa pemidanaan harus melihat asas keadilan dan asas kemanfaatan? Patut
diperhatikan bahwa berangkat dari tujuan pemidanaan yang dalam literatur biasanya
dikenal dengan 3R dan 1D yaitu Reformation, Restraint, Retribution dan Detterence
(A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, 2010 : 42), maka apabila pemidanaan hanya
memiliki asas kepastian tanpa memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan
maka bisa saja tujuan pemidanaan di atas tidak dapat tercapai, reformasi
(reformation) atau perbaikan pelaku tindak pidana tidak akan bisa dicapai apabila
pemidanaan tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan baik bagi pelaku, korban
atau masyarakat secara umum, begitu pula dengan tujuan pencegahan (detterence)
yang dapat diartikan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan
menunjukkan wibawa kepada pihak lain yang mungkin akan melakukan tindak
pidana yang sama bisa saja tidak tercapai bila dalam pemidanaan tidak memberikan
keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat umum. Sementara dua tujuanlainnya (restraint dan retribution) cenderung berkaitan dengan asas kepastian dalam
pemidanaan.
Norma hukum atau secara khusus hukum pidana dan pemidanaannya merupakan
rumusan dari penguasa (negara), yang memiliki sifat imperatif atau memaksa
(Sudikno Mertokusumo, 1999:16). Perumusan yang lahir dari penguasa (negara)
pemidanaan harus memiliki wibawa agar dapat dipatuhi oleh masyarakat yang diatur
oleh norma hukum pidana tersebut, selain tentunya memberikan keadilan dan
kemanfaatan kepada masyarakat secara umum. Namun pada perkembangannya
norma hukum pidana sudah mengarah pada tahapan terlalu berlebihan, hampir
setiap peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dan ditetapkan memiliki
sanksi pidana di dalamnya, sementara belum tentu semua peraturan perundangan-
undangan membutuhkan sanksi pidana sebagai sarana imperatif dari ruang lingkup
yang diaturnya. Sebagai contohnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika yang masih merumuskan sanksi pidana kepada parapelaku tindak pidana terkait narkotika dan psikotropika, sementara melihat fakta di
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
3/15
lapangan para pengguna narkoba (narkotik dan obat-obatan terlarang) sebenarnya
lebih membutuhkan rehabilitasi dibandingkan sanksi pidana penjara. Contoh seperti
ini yang kemudian dapat digolongkan pada overkriminalisasi, dimana terlalu banyak
perbuatan yang dirumuskan ke dalam perbuatan pidana dan harus dijatuhi sanksi
pidana. Overkriminalisasi dapat menimbulkan ketakutan dan ketidakpercayaan
masyarakat akan hukum dan aparaturnya karena bukan lagi keadilan yang didapat,
namun nestapa dan derita semata.
Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada alinea keempat tujuan negara Republik Indonesia salah satunya adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia. Makna yang bisa dipetik di sini adalah
negara wajib melindungi setiap warga negaranya baik sebagai korban kejahatan,
pelaku kejahatan, dan masyarakat luas dengan seadil-adilnya.
Dengan berjalannya waktu dunia hukum terus mengalami perkembangan paradigma
menyangkut peradilan pidana terutama di Indonesia. Banyak negara mulai
meninggalkan cara kusut dan kuno dalam rangka penegakan hukum pidana yang
tidak manusiawi menuju pada pendekatan yang humanis serta ujung pangkalnya
yaitu memulihkan keadaan kembali kondisi semula sebelum terjadi kejahatan, tentu
tanpa mengabaikan hak-hak asasi setiap warga negara. Pelaku maupun korban
dalam kasus hukum pidana membutuhkan proyeksi yang sebanding dalam konteks
keadilan yang proporsional. Pendekatan kekinian dalam sistem peradilan pidana
tersebut adalah keadilan restoratif (restorative justice).
Keadilan Restoratif dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sebelumnya, perlu dipahami mengenai keadilan restoratif. Beragam definisi dan
konsep tentang keadilan restoratif yang dikemukakan oleh para ahli. Daniel W. Van
Ness mengemukakan sebagai berikut :
There is no single accepted definition of restorative justice. Typically, however,
definitions fall into one of two categories. The most restrictive category consists of
process-based definitions emphasizing the importance of encounters between the
stakeholders in the crime and its aftermath. The most expansive category consists of
justice-based definitions emphasizing the outcome and/or value of restorative justice
(Van Ness, 2005:3).
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
4/15
Van Ness lebih lanjut mengemukakan bahwa bahwa dari kedua kategori definisi di
atas dapat dikombinasikan sehingga ditemukan satu definisi yaitu, Restorative
justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed
by criminal behaviour. It is best accomplished through inclusive and cooperative
processes (Van Ness, 2005:3).
Johnstone dalam Atalim (2013:143) menyatakan bahwa, “restorative justice is not a
single coherent theory or perspetive on crime and justice, but a loose unifying term
which encompasses a range of distict ideas, practice, and proposals”.
Sementara itu Howard Zehr berpendapat bahwa, ”viewed through a restorative
justice lens, “crime is a violation of people and relationship. It creates obligations to
make things right. Justice involves the victim, the offender and the community in a
search for solution which promote repair, reconciliation and reassurance” (Howard
Zehr, 1990:181).
Mark S. Umbreit, Betty Vos, Robert B. Coates dan Elizabeth Lightfoot mengatakan
bahwa, “Restorative justice offers a very different way of understanding and
responding to crime. Instead of viewing the state as the primary victim in criminal
acts and placing victims, offenders, and the community in passive roles, restorative justice recognizes crime as being directed against individual people” (Mark
S.Umbreit, et.al, 2005:255).
Ada beberapa istilah lain yang dipakai dengan makna yang mirip dengan keadilan
restoratif. Misalnya keadilan prosedural, keadilan partisipatif, keadilan real , keadilan
relasional, keadilan positif, dan keadilan transformatif. Istilah yang paling mirip atau
memiliki makna yang sama adalah keadilan transformatif. M. Kay Harris dalam
Atalim (2013:144) mengatakan, “restorative justice and transformative justice are two
names for the same thing and prperly understood, the terms should be considered
interchangeable”. Beberapa praktisi bependapat pula bahwa istilah paling cocok bagi
konsepsi ini bukan keadilan restoratif, melainkan pendekatan restoratif (Atalim,
2013:144).
Meskipun terdapat beragam pendapat dan pengertian, keadilan restoratif sebagai
sebuah konsep dapat dimaknai sebagai sebuah pendekatan untuk keadilan yang
berfokus pada kebutuhan korban, pelaku, serta masyarakat, bukan memuaskan
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
5/15
prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum pelaku. Korban mengambil peran
aktif dalam proses, sementara pelaku didorong untuk mengambil tanggung jawab
atas tindakan mereka, masyarakat membantu memberikan pendapat serta solusi,
dan dalam proses tersebut tetap melibatkan penegak hukum yang merupakan
kepanjangan tangan dari negara.
Harus diakui bahwa terdapat beranekaragam pemahaman dan definisi tentang
keadilan restoratif. Keragaman ini tentu tidak hanya memperkaya khazanah teoritis
tentang keadilan restoratif, melainkan sekaligus merefleksikan keragaman
kepentingan dan ideologi yang terlibat dalam proses penegakkan keadilan restoratif
ketika ide tentang keadilan tersebut didiskusikan. Keragaman pemahaman
konseptual dan praktik keadilan restoratif itu bukanlah sesuatu yang fatal sehingga
ide tersebut layak untuk diterima. Keadilan restoratif harus dapat dilihat sebagai
perangkat ide yang ingin melampaui penegakkan keadilan konvensional yang sudah
mapan. Keadilan restoratif menantang kita untuk memikirkan “kejahatan”, “korban”,
dan “reaksi terhadap pelaku” secara baru.
Liebmann dalam Atalim (2013:145) merumuskan tujuan utama keadilan restoratif
yakni: “Restorative justice aims to restore the well-being of victims, offenders and
communities damaged by crime, and to prevent further offending ”. Pendekatan yang
digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah mengupayakan proses mediasi
antara korban dan pelaku, pertemuan dan dialog antara korban dan pelaku yang
melibatkan keluarga dan masyarakat luas, dan menumbuhkan kesadaran dan
tanggung jawab pelaku dan korban. Semangat utama keadilan resoratif adalah tidak
terutama untuk mengadili dan menghukum pelaku, melainkan guna mereparasi dan
merestorasi korban dan pelaku. Maka nilai keadilan terletak pada dialog (dialogue),
kesepahaman (mutuality ), penyembuhan (healing ), perbaikan (repair ), penyesalan
dan tobat (repentance), tanggung jawab (responsibility ), kejujuran (honesty ), dan
ketulusan (sincerity ).
Howard Zehr (1955) dalam Atalim (2013:145-146) membuat peta perbedaan antara
keadilan restoratif dengan keadilan retributif yang bisa dirangkum dalam tabel
berikut:
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
6/15
Perbedaan Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif
Paradigma lama: Keadilan Retributif Paradigma baru: Keadilan Restoratif
1. Crime defined as violation of the state 1. Crime defined as violation of one personby another
2. Focus on estabilishing blame, on guilt, on
past (did he/she do it ?)
2. Focus on problem-solving, on liabilities
and obligations, on future (what should be done ?)
3. Adversarial relationshops and processnormative
3. Dialogue and negotiations normative
4. Imposition of pain to punish and deter/prevent
4. Restitutions as a means of restaring both parties; reconciliation/restorations as goal
5. Justice defined by intent and by prpcess:right rules
5. Justice defined as right reationships: judge by the outcome
6. Interpersonal, conflictual nature o crimeobscured, repressed: confict seen asindividual vs state
6. Crime recognised as interpersonal conflict: value of conflict recognised
7. One social injury replaced by another 7. Focus on repair of social injury
8. Community on side line, represented abstractly by state
8. Community as facilitator in restorative process
9. Encouragement of competitive,individualistic values
9. Encourage of mutuality
10. Action directed from state to offender:a. Victim ignored b. Offender passive
10.Victim’s and offender’s role recognised inboth problem and solution:a. Victim rights/need recognised b. Offender encouraged to take
responsibility
11. Offender accounteability defined astaking punishment
11.Offender accountability defined asunderstanding impact of action and helping decided how to make things right
12. Offence defined in purely legal terms,devoid of moral, social, economic, political dimensions
12.Offence understood in whole context-moral, social, economic, political
13. ‘Debt’ owed to state and society inthe abstract
13.Debt/liability to victim recognised
14. Response focused on offender’s past behavior
14.Response focused on harmful consequences of offender’s behavior
15. Stigma of crime unremovable 15.Stigma of crime removable throughrestorative action
16. No encouragement for repentanceand forgiveness
16.Possibilities for repentance and forgiveness
17. Dependence upon proxy proffesional 17. Direct involvement by participantsSumber: Atalim (2013:145-146)
Tebel perbedaan antara pendekatan pengadilan kejahatan konvensional atau
keadilan retributif dengan keadilan restoratif di atas menunjukkan sisi prosedur dan
hasil yang berbeda. Dari sisi proses, keadilan retributif menekankan unsur eksklusi
(tertutup), kepentingan tunggal (menghukum pelaku), penggunaan
kekerasan/represi (kepolisian, penjara), dan pembalasan (menanggung akibat).
Unsur-unsur ini berbeda dengan keadilan restoratif yang menekankan inklusi
(terbuka terhadap semua pihak), keseimbangan kepentingan (korban, pelaku,
komunitas/masyarakat), menuntut kesediaan dan sukarela (voluntary ), danberorientasi pada pemecahan masalah ( problem solving ).
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
7/15
Dari sisi hasil dan tujuan yang ingin dicapai, kedua pendekatan ini menunjukkan
tendensi yang berbeda. Hasil yang ingin dicapai oleh keadilan restoratif adalah
kesatuan dalam pertemuan, perkembangan, reintegrasi, dan kebenaran secara
menyeluruh. Ini berbeda dari tendensi yang ingin dicapai dalam keadilan retributif
yakni separasi (pemisahan), kesalahan dan kejahatan (harm), pengasingan(ostracism), kebenaran legal (legal truth). Keadilan restoratif bertujuan untuk
mencapai keseimbangan antara berbagai kutub yang berbeda yakni antara model
terapeutik dan retributif, antara hak-hak korban dan hak pelaku dan kewajiban untuk
melindungi publik. Tetapi hasil ini hanya dapat dicapai apabila fasilitator atau
mediator berperan secara tidak memihak, cakap, terampil, kedua belah pihak
menerima tanggun jawab, putusan ang dicapai merupakan pilihan yang realistik dan
rasional, tidak ada tekanan dan pemaksaan, pengakuan bahwa semua pihak yang
telibat sama pentingnya, semua pihak terlibat secara aktif, proses komunikasi dan
dialog yang konstruktif, saling percaya, dan solusi yang diambil merupakan
kesepakatan bersama dan bukan atas dasar pemaksaan pihak-pihak tertentu.
Prinsip dasar Keadilan Restoratif
Marian Liebmann dalam Atalim (2013:147) menguraikan prinsip-prinsip keadilan
restoratif sebagai berikut:
1. Dukungan dan pemulihan korban menjadi prioritas. Prioritas ini yang
membedakan keadilan restoratif dengan sistem pengadilan kriminal
konvensional. Meskipun tujuan sistem pengadilan kriminal kkonvensional
bertujuan untuk mendukung dan memulihkan korban, fokus sistem pengadilankriminal konvensional justru hanya terletak pada pelaku kejahatan (offender ),
pelanggar, atau orang yang bersalah. Pelaku kejahatan atau orang yang
dianggap bersalah diincar, ditangkap, diborgol, dilumpuhkan, didakwa,
dihukum, dipenjara, bahkan juga dihukum mati. Agen atau institusi yang terlibat
dalam proses ini hanyalah polisi, jaksa, hakim, staf penjara, atau para
eksekutor. Meskipun kepentingan korban dengan demikian dibela, alokasi
perhatian dan penetapan orientasi dan tujuan hukum ke depan belumlah
seimbang. Hukum bukanlah terutama untuk menghakimi melainkan untuk
menyelaraskan tindakan dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat secara
keseluruhan. Kepentingan korban dan masyarakat secara keseluruhan tidak
dengan sendirinya ditegakkan dengan menghukum pelaku. Korban juga
menghendaki agar harta bendanya kembali, mereka juga menghendaki agar
pertanyaan-pertanyaan dijawab, mereka menginginkan agar semua informasi
tentang kejadian sesungguhnya diperoleh dengan cukup.
2. Pelaku bertanggungjawab atas apa yang telah ia lakukan. Pelaku kejahatan
memang perlu ‘dihukum’, tetapi ini tidak sama dengan memikul tanggungjawab
atas apa yang telah ia lakukan. Memikul tanggungjawab mengandung
pengakuan dan kesadaran bahwa ia telah melakukan kejahatan, menjelaskanapa yang sebetulnya terjadi dan menanggung akibat dari perbuatannya,
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
8/15
termasuk mengembalikan kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya. Unsur
ini merupakan titik tolak keadilan restoratif.
3. Dialog untuk mencapai kesepahaman. Ada banyak pertanyaan dari para
korban yang tidak terjawab dalam proses pengadilan konvensional.
Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa saya ? mengapa mobil atau rumah
saya ? apa sesungguhnya terjadi ? apakah kejadian ini bisa terjadi lagi ?
Hanya satu orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini yakni
pelaku. Tetapi banyak pelaku pun tidak memahami bagaimana mereka bisa
melakukan kejahatan. Apa yang terjadi pada korban dan pelaku sehingga
kejahatan itu bisa terjadi ? Di sini dialog diperlukan. Dialog ini umumnya tidak
terjadi untuk tidak mengatakan tidak mungkin – dalam pengadilan formal, tetapi
merupakan proses inti dalam keadilan restoratif.
4. Adanya upaya untuk menempatkan kejahatan yang sudah dilakukan pada
posisi sebenarnya. Di sini apologi bisa terjadi. Tetapi yang dibutuhkan justru
lebih dari itu, kejujuran. Situasi korban dan komunitas perlu dikembalikan dan
diperbaiki. Langkah logis berikut sebagai bukti tanggung jawab pelaku dan
masyarakat terhadap korban adalah mengupayakan agar semua hak, kondisi,
dan situasi korban bisa kembali seperti semula. Tetapi banyak pelaku justru
tidak memiliki kemampuan, keterampilan, miskin dan tidak mampu untukk
memulihkannya secara material. Di sini peran masyarakat luas dan negara
dibutuhkan. Dalam kasus pencuarian misalnya, seringkali kejahatan itu
dilakukan pelaku untuk menyambung hidup. Kemiskinan yang dialami pelaku
secara implisit menampakkan ketidakmampuan negara menyediakan lapangankerja, merumuskan kebijakan upah yang berpihak pada buruh, atau tidak
adanya jaminan sosia dari negara bagi warga negara miskin. Sementara,
korban pun tidak jaran justru menghendaki agar pelaku ‘membayar’ kejahatan
yang ia lakukan dengan membantu orang lain yang lebih tidak beruntung.
5. Pelaku berusaha untuk menghindari kejahatan serupa di masa depan. Sekali
seorang pelaku mengakui kejahatan yang ia lakukan, umumnya ia tidak ingin
mengulanginya lagi, dan kadang-kadang ini diperlukan untuk menghentikan
kejahatan, tetapi kadang banyak pula problem yang mengitari pelaku
kejatahatan, sehingga ia ‘terpakasa’ melakukan kejahatan lagi. Kemiskinan,
gelandangna, broken home, minuman keras, dan sebagainya bisa menjadi
faktor pemicu kejahatan. Ini berarti bahwa bantuan nyata dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan ini bisa mempromosikan gaya dan kualitas hidup yang
berbeda dan menghindari kejahatan serupa di masa depan. Keadilan restoratif
menekankan usaha bersama dari berbagai macam sumber daya yang ada
untuk mewujudkan tujun ini dan tidak menimpakan sepenuhnya kesalahan
pada pelaku. Poin penting dari pendekatan restoratif adalah memotivasi pelaku
untuk mengubah hidupnya sendiri. Tidak jarang benyak korban pun
mendukung restorasi pelaku guna menghindari kejahatan di masa depan.
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
9/15
6. Komunitas/masyarakat membantu mengintegrasikan baik korban maupun
pelaku dalam masyarakat. Jelasa bahwa pelaku perlu diintegrasikan ke dalam
masyarakat, terutama setelah hukuman penjara. Yang dibutuhkan oleh pelaku
adalah akomodasi, pekerjaan, dan relasi yang positif sebagai anggota
komunitas dan masyarakat. Di sisi lain, korban pun perlu diintegrasikan kedalam komunitas dan masyarakat, ia tidak perlu dialianasi atau disingkirkan,
karena kejahatan yang dialaminya ini merupakan salah satu tujuan pokok dari
dukungan terhadap korban. Di tanah air, yang dibutuhkan mungkin tidak hanya
lembaga perlindungan saksi dan korban, tetapi juga perlindungan bagi pelaku.
Organisasi-organisasi karitatif yang menyediakan pelayanan konsultasi,
dialogis, dan psikologis tidak hanya terbatas pada korban, melainkan juga bisa
diperluas sampai pada pelaku.
Dalam konteks sistem peradilan pidana di Indonesia, dimana sistem peradilan
pidana merupakan suatu sistem yang dibangun untuk menanggulangi danmengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima
(Mardjono Reksodiputro, 2007:140). Sistem peradilan pidana ini sendiri terdiri dari
para penegak hukum sebagai bagian dari negara yaitu kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan, dimana dalam rangka mencapai tujuan sistem peradilan pidana ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
1. Efisiensi kepolisian (angka pengungkapan kejahatan yang tinggi yang disertai
penyidikan yang adil) merupakan prasyarat untuk administrasi pemasyarakatan
yang baik, karena bila ini tidak terlaksana, maka : terpidana akan melihat
dirinya sebagai “kambing hitam” yang tidak beruntung dan tidak akan maumengikuti secara sukarela program pembinaan yang ada dalam lembaga.
2. Penggunaan yang berlebihan dalam penahanan sementara akan
mengakibatkan lembaga pemasyarakatan menampung penghuni di atas batas
kapasitasnya, dan hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan mengurangi
masukan (input), menambah keluaran (output) dan mempersingkat
penyidangan perkara.
3. Mengurangi beban (penghuni) lembaga pemasyarakatan dapat pula dilakukan
melalui seleksi yang ketat terhadap perkara yang memang akan diajukan kepengadilan dan juga dengan mempergunakan kemungkinan lain daripada
pidana penjara (alternatives to imprisonment).
4. Mencegah disparitas (perbedaan yang besar) dalam pidana yang dijatuhkan
untuk perkara yang serupa, agar terpidana tidak merasakan dirinya
diperlakukan secara tidak adil dan menimbulkan rasa permusuhan terhadap
komponen-komponen sistem peradilan pidana, termasuk terhadap lembaga
pemasyarakatan, yang akan menyukarkan pembinaannya.
Maka dengan melihat beberapa pemikiran terkait tujuan dalam sistem peradilanpidana di atas, keadilan restoratif kemudian dapat menjadi salah satu alternatif
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
10/15
dalam penyelesaian perkara pidana. Namun sebagaimana diungkapkan oleh Eva
Achjani Zulfa perkembangan konsep tentang keadilan restoratif apabila dikaitkan
dengan sistem peradilan pidana menjadi kontraproduktif (2009:29), hal ini
menunjukkan posisi dari keadilan restoratif yang memang berada di luar sistem
peradilan pidana. Meskipun begitu, dalam rangka perkembangan pemikiran terkaitpemidanaan dan sistem peradilan pidana, keadilan restoratif patut dipertimbangkan
sebagai alternatif untuk pidana yang sudah ada. Bahkan menurut A.Z. Abidin dan
Andi Hamzah pencarian alternaif hukuman untuk pidana penjara sudah jauh
dilakukan sejak usai Perang Dunia II ketika manfaat pidana penjara untuk perbaikan
dan rehabilitasi penjahat ternyata tidak ada sama sekali (2010:21).
Keadilan restoratif sendiri dalam korelasinya dengan sistem peradilan pidana dapat
dilihat dari tiga model hubungan keadilan restoratif dengan sistem peradilan pidana
yang dikemukakan dalan The Vienna Declaration On Crime and Justice 10-17 April
2000 yaitu (Eva Achjani Zulfa 2009:33) :
1. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana
2. Di luar sistem peradilan pidana melalui lembaga / institusi lain di luar sistem
3. Di luar sistem peradilan pidana dengan tetap melibatkan pihak penegak hukum
Peluang Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia
Ada beberapa bentuk keadilan restoratif pada prakteknya, yang pertama adalah
mediasi antara pelaku dengan korban, dimana antara korban kejahatan dan pelakukejahatan dipertemukan dengan mediator terlatih untuk mengembangkan rencana
perbaikan kondisi yang rusak akibat kejahatan atau dikenal dengan Victim Offender
Mediation (Leena Kurki, 2005:294-295). Kemudian bentuk yang kedua adalah
Family Group Conferencing yang melibatkan kelompok masyarakat lebih besar,
anggota keluarga dan pihak lain untuk memastikan pelaku memenuhi kesepakatan
yang dibuat (Leena Kurki, 2005 :297).
Namun setidaknya menurut Jennifer L. Llewellyn dan Robert Howse ada lima model
atau pergerakan terkait keadilan restoratif :
1. The informal justice movement emphasized informal procedures with a view to
increasing access to and participation in the legal process. They focused on
delegalization in an effort to minimize the stigmatization and coercion resulting
from existing practices.
2. Restitution as a response to crime was rediscovered in the 1960’s. The
movement focused on the needs of victims, maintaining that meeting the needs
of victims would serve the interests of society more generally.
3. The victim’s rights movement works to have the right of victims to participate in
the legal process recognized.
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
11/15
4. Reconciliation/conferencing movement – Van Ness and Strong cite two major
strands in this movement:
a. victim/offender mediation – Originating from efforts of the Mennonite
Central Committee, this process brings victim and offender together with a
mediator to discuss crime in order to form a plan to address the situation.
b. Family group conferencing movement in New Zealand – arising out of the
Maori traditions in New Zealand.
5. The social justice movement – Van Ness and Strong use this label to refer
generally to a number of different groups working for a vision of justice as
concerned inherently with social well being (Jennifer L. Llewellyn and Robert
Howse,1998:14-15).
Pada dasarnya metode mediasi dalam keadilan restoratif, mirip dengan metode
mediasi yang digunakan dalam mediasi pada konflik-konflik umum di luar masalahhukum. Mediasi ini fokus kepada kemungkinan ekskalasi konflik tersebut, bukan
pada jenis tindakan kriminalnya (Georg Zwinger, 2002:83). Dalam hal ini, artinya
sekecil apapun konflik yang timbul akibat adanya tindak pidana atau tindak kriminal,
metode mediasi urgen untuk dilakukan agar mengembalikan “kerusakan” yang
terjadi antara pelaku dan korban, atau lebih luas tatanan sosial dan keadilan dalam
lingkup masyarakat. Zwinger menguraikan tahapan pencegahan eksakalasi konflik
melalui mediasi sebagaimana dituliskan dalam Restorative Justice Practice and its
Relation to The Criminal Justice System (2002:83) :
1. Moderation presumes that the parties will be able to come to terms with
conflicts themselves after a few interventions. The mediator’s role is generally
limited to creating the setting for the encounter between the parties and by
placing significant issues on the foreground of their dialogue.
2. Process mediation deals with deeply rooted mutual perceptions and modes of
behaviour. Rigid roles and relationships must be eased.
3. In socio-therapeutic process mediation, interventions are therapeutically
enhanced. This should contribute to breaking existing neurotic ties to specific
roles and other psychotherapeutically indicated problem situation. This method
is particularly appropriate if the participants’ loss of face has already fundamentally affected their personal identity.
4. In the negotiation process the mediator attempts to find an agreement
acceptable to all of the parties concerned which will make it possible to coexist.
This strategy is appropriate if the parties are unable to co-operate in solving the
problems directly.
Dapat dilihat dari uraian tahapan di atas, bahwa ada penggalian persepsi yang
saling menguntungkan di antara kedua pihak, sebelum kemudian mencapai
kesepakatan di antara pihak-pihak yang berkonflik.
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
12/15
Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam proses mediasi, khususnya dalam
rangka pelaku kejahatan memberikan ganti kerugian yang dialami korban (Daniel
W.Van Ness, 2005 :5) yaitu :
The first is by offering an apology, a sincere admission and expression of regret for
their conduct.
A second is restitution, where in the offender pays back the victim through financial
payments, return or replacement of property, performing direct services for the
victim, or in any way that the parties agree.
The third is through performing community service by providing free services to a
charitable or governmental agency. These and other measures to repair harm (if an
expansive definition of restorative justice is used) are considered restorative
outcomes.
Cara yang pertama dan yang kedua dapat dilakukan melalui musyawarah,
sebagaimana di negara Indonesia lembaga musyawarah sering sekali digunakan
sebagai sarana untuk mencapai kemufakatan. Sementara cara yang ketiga serupa
dengan kerja sosial.
Bagaimana kemudian praktek-praktek keadilan restoratif ini diterapkan di Indonesia?
Hal ini kemudian dapat dilihat dari nilai dasar keadilan restoratif yang berasal dari
nilai-nilai tradisional, pada ruang lingkup di Indonesia hal ini ditunjukkan dengan
keberadaan lembaga musyawarah sebagai nilai dasar dari penerapan keadilan
restoratif, dimana musyawarah dalam mufakat dipandang sebagai filosofi dasar dariIndonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila.
Sila ke-4 Pancasila mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah pilihan
melalui cara musyawarah. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil putusan
untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat
kekeluargaan, sehingga kalau di breakdown falsafah “musyawarah” mengandung 5
(lima) prinsip sebagai berikut: pertama, conferencing (bertemu untuk saling
mendengar dan mengungkapkan keinginan); kedua, search solutions (mencari
solusi atau titik temu atas masalah yang sedang dihadapi); ketiga, reconciliation
(berdamai dengan tanggungjawab masing-masing); keempat, repair (memperbaiki
atas semua akibat yang timbul); dan kelima, circles (saling menunjang).
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa juga memiliki
banyak masyarakat adat dengan norma-norma yang berlaku di daerah masing-
masing, menarik kemudian melihat bagaimana masing-masing masyarakat adat
menerapkan sanksi adat kepada pelaku kejahatan sebagaimana dikemukakan I
Gede A.B. Wiranata sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulfa (2010:189-190) :
1. Pengganti kerugian immateriil dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi
gadis yang telah dicemarkan;
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
13/15
2. Pembayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang
sakti sebagai pengganti kerugian rohani;
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4. Penutup malu, permintaan maaf;
5. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum (dalam
hal ini orang yang dikenai sanksi diberikat pembatasan haknya sebagai
anggota masyarakat adat).
Menjadi pertanyaan pula bagaimana kemudian menerapkan praktek keadilan
restoratif diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, untuk itu kita bisa
belajar dari praktek-praktek di beberapa negara. Praktek keadilan restoratif oleh
pihak kepolisian misalnya, di sejumlah negara polisi sudah mulai menggunakan
proses pendekatan restoratif, khususnya dalam kasus-kasus terkait pidana anak.
Sebagai contoh di New Zealand keberadaan The Children, Young Persons and
Their Families Act of 1989 menciptakan alternatif restoratif bagi polisi yang
kemudian dikenal sebagai bentuk praktek keadilan restoratif selain mediasi pelaku
korban yaitu family group conferences (Daniel W.Van Ness, 2005:7). Salah satu
tujuan dari dirumuskannya undang-undang ini adalah untuk mengesampingkan
tindak pidana anak dari pengadilan, bahkan apabila sudah masuk dalam pengadilan,
Undang-Undang ini menawarkan pada korban, pelaku dan keluarganya hukuman
apa yang paling tepat untuk dijatuhkan.
Di Indonesia sendiri praktek keadilan restoratif pada kasus pidana anak
dimungkinkan untuk dilakukan dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tetang Perlindungan Anak, sebagaimana bahwa secara filosofis kedua
undang-undang tersebut:
1. agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin kepentingan
terbaik terhadap abh sebagai penerus bangsa.
2. substansi yang paling mendasar dalam uu ini adalah pengaturan secara tegas
mengenai keadilan restoratif dan diversi.
3. dengan maksud untuk: mengindari dan menjauhkan anak dari proses
peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi ABH, dan anak dapat
kembali kedalam lingkungan sosial yang wajar.
4. peran serta semua pihak bertujuan untuk tercapainya keadilan restoratif, baik
bagi ABH maupun bagi korban.
Contoh berbeda untuk penggunaan praktek keadilan restoratif bagi jaksa, padadasarnya jaksa diberikan wewenang lebih untuk melakukan diskresi daripada polisi
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
14/15
di negara-negara common law jaksa punya otoritas untuk mengesampingkan
perkara. Tapi di negara-negara civil law pada beberapa peraturan perundang-
undangan tertentu jaksa diperbolehkan memberikan pendekatan restoratif pada
kasus-kasus tertentu (Daniel W.Van Ness, 2005 :8). Demikian pula dengan praktek
keadilan restoratif yang dapat digunakan oleh hakim di pengadilan, hakim dapatmenggunakan pendekatan restoratif pada tahapan sebelum persidangan
(pengesampingan perkara) dan bisa juga digunakan sebagai bagian dari persiapan
hukuman (Daniel W.Van Ness, 2005 :8).
Kesimpulan
Pada dasarnya penerapan praktek keadilan restoratif di Indonesia memang cukup
melekat dengan nilai-nilai dasar yang dimiliki warga negara Indonesia, khususnya
terkait musyawarah dan bagaimana masyarakat adat di Indonesia sudah memiliki
pendekatan restoratif dalam penjatuhan sanksi adatnya. Namun ini kemudian
menghadapi hambatan dimana peradilan adat masih berbenturan dengan hukum
positif. Sehingga dibutuhkan harmonisasi antara hukum adat dengan hukum positif
yang sudah berlaku di Indonesia, sebaiknya juga harus ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur dengan jelas tentang lembaga peradilan adat, mulai dari
kewenangan, fungsi serta hubungannya dengan sistem peradilan pidana formal
yang ada.
Keadilan restoratif menjadi pilihan yang tepat sebagai sarana rekayasa sosial dalam
pengendalian kejahatan. Penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan
restoratif menempatkan kejahatan/pelanggaran semata-mata bukan hanya berkaitandengan hukum saja, melainkan permasalahan sosial yang kompleks, sehingga
penyelesaiannya bukan hanya dengan mengedepankan sistem hukum saja,
melainkan dengan pendekatan aspek kehidupan lain secara komprehensif. Dengan
pendekatan keadilan restoratif, selain pelibatan korban dan pelaku, masyarakat
diwajibkan untuk secara aktif (bertanggung jawab) dalam penyelesaian suatu
perkara.
Dibutuhkan pula rumusan yang jelas terkait kualifikasi tindak pidana apa saja yang
dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif dan metode yang dipakai,
ini dapat dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersendiri (UU SistemPeradilan Anak misalnya) atau dalam Rancangan KUHP dan KUHAP mendatang
misalnya dalam tindak pidana ringan sehingga tidak muncul lagi rumusan yang
mengarah pada ketidakadilan.
-
8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan
15/15
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A.Z. dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia,Jakarta, Yarsif Watampone.
Atalim, S, 2013. Keadilan Restoratif Sebagai Kritik Inheren Terhadap PengadilanLegal-Konvensional, Jurnal Rechts Vinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, FHUniversitas Tarumanegara, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan danPengembangan Hukum Pidana. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.
Faal, M., 1991, Penyaringan Perkara Pidana oleh Kepolisian (Diskresi Kepolisian).Jakarta: P.T. Paradnya Paramitha.
Kurki, Leena, 2005, “Evaluating Restorative Justice Practices” dalam Goerge Pavlich(ed.) Governing Paradoxes of Restorative Justice, Oregon, Glass House Press.
Llewellyn, Jennifer L., and Robert Howse, 1998, Restorative Justice A Conceptual Framework , Tanpa Kota, Law Commision Of Canada.
Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , Yogyakarta,Liberty.
Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Umbreit, Mark S., et.al., 2005, Restorative Justice in The Twentyfirst Century : ASocial Movement Full of Opportunities and Pitfalls, Marquette Law Review,Tanpa Kota, Marquette University Law School.
Van Ness, Daniel W., 2005, An Overview Of Restorative Justice Around The World ,Workshop 2: Enhancing Criminal Justice Reform, Including Restorative Justice,Bangkok, The International Centre for Criminal Law Reform and CriminalJustice Policy.
Zehr, Howard, 1990, Changing Lenses :A New Focus for Crime and Justice, Ontario,Herald Press.
Zulfa, Eva Achjani, 2009, Ringkasan Disertasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalamPraktek Penegakan Hukum Pidana), Jakarta, Fakultas Hukum UniversitasIndonesia.
______________, 2010, Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia, Jurnal Kriminologi Vol. 6 No.II, Jakarta, Universitas Indonesia.
Zwinger, Georg, 2002, Restorative Justice Practice and its Relation to The Criminal Justice System, Papers from The Second Conference of the European Forumfor Victim-Offender Mediation and Restorative Justice 10-12 October 2002,Oostende.