keadilan restoratif dan sistem peradilan

Upload: dendi-martadinata-siregar

Post on 05-Jul-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    1/15

    Keadilan restoratif dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

    Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, demikian disebutkan

    dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945 (Republik Indonesia, 2002:1). Negara Hukum bersandar pada keyakinan

    bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.

     Ada dua unsur dalam negara hukum, yaitu pertama, hubungan antara yang

    memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan

    berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah, dan

    kedua, norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal,

    melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide hukum.

    Usaha melindungi masyarakat dalam kehidupan yang damai, aman dan tertib atas

    segala gangguan dari pelaku pelanggar norma, maka salah satu sarana untuk

    menanggulanginya dengan hukum pidana. Menurut E. Utrecht (1968) dalam Faal

    (1991:4) bahwa hukum pidana merupakan hukum yang bersifat represif, hukum

    yang mempunyai sanksi istimewa, hukum ini tak kenal kompromi, walaupun

    seumpama si korban tindak pidana sudah memaafkan, mendamaikan dengan si

    pelaku dan atau sudah menerima nasib agar pelakunya dimaafkan atau tidak

    dituntut, namun hukum pidana itu bersikap tegas, hukum harus ditegakkan dan

    pelaku harus ditindak.

    Kekuatan hukum pidana tersebut diimbangi dengan berbagai kelemahan terkait

    sanksinya, yaitu bahwa sanksi pidana keras/kejam, operasionalisasi dan aplikasinya

    memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan membutuhkan biaya yang

    tinggi, mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang berefek samping negatif,

    bersifat pengobatan simptomatik (kurieren am sympton), hukum pidana hanya

    sebagian kecil dari sarana kontrol yang tidak mampu mengatasi masalah kejahatan

    sebagai masalah kemanusian yang sangat kompleks, sistem pemidanaan bersifat

    fragamentair dan individual/personal, serta keefektifan pidana masih tergantung

    pada banyak faktor, karenanya penggunaannya harus sebagai upaya terakhir 

    (ultimum remedium) (Arief, 1998:139-140).

    Berkaitan dengan hukum pidana, terkait pula pemidanaan, yaitu penjatuhan nestapaatau derita kepada pelaku tindak pidana, pemberitaan derita atau nestapa ini

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    2/15

    memiliki tujuan untuk pembalasan dan pencegahan. Dalam rangka penegakan

    hukum pidana, setiap penjatuhan pidana setidaknya memenuhi asas keadilan,

    kepastian dan kemanfaatan. Meskipun pada prakteknya tidak mudah, mengingat

    penjatuhan pidana yang tegas atau pasti belum tentu menjamin adanya keadilan

    dan kemanfaatan, begitu pula sebaliknya.

    Mengapa pemidanaan harus melihat asas keadilan dan asas kemanfaatan? Patut

    diperhatikan bahwa berangkat dari tujuan pemidanaan yang dalam literatur biasanya

    dikenal dengan 3R dan 1D yaitu Reformation, Restraint, Retribution dan Detterence

    (A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, 2010 : 42), maka apabila pemidanaan hanya

    memiliki asas kepastian tanpa memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan

    maka bisa saja tujuan pemidanaan di atas tidak dapat tercapai, reformasi

    (reformation) atau perbaikan pelaku tindak pidana tidak akan bisa dicapai apabila

    pemidanaan tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan baik bagi pelaku, korban

    atau masyarakat secara umum, begitu pula dengan tujuan pencegahan (detterence)

    yang dapat diartikan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan

    menunjukkan wibawa kepada pihak lain yang mungkin akan melakukan tindak

    pidana yang sama bisa saja tidak tercapai bila dalam pemidanaan tidak memberikan

    keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat umum. Sementara dua tujuanlainnya (restraint dan retribution) cenderung berkaitan dengan asas kepastian dalam

    pemidanaan.

    Norma hukum atau secara khusus hukum pidana dan pemidanaannya merupakan

    rumusan dari penguasa (negara), yang memiliki sifat imperatif atau memaksa

    (Sudikno Mertokusumo, 1999:16). Perumusan yang lahir dari penguasa (negara)

    pemidanaan harus memiliki wibawa agar dapat dipatuhi oleh masyarakat yang diatur 

    oleh norma hukum pidana tersebut, selain tentunya memberikan keadilan dan

    kemanfaatan kepada masyarakat secara umum. Namun pada perkembangannya

    norma hukum pidana sudah mengarah pada tahapan terlalu berlebihan, hampir 

    setiap peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dan ditetapkan memiliki

    sanksi pidana di dalamnya, sementara belum tentu semua peraturan perundangan-

    undangan membutuhkan sanksi pidana sebagai sarana imperatif dari ruang lingkup

    yang diaturnya. Sebagai contohnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

    Tahun 2009 Tentang Narkotika yang masih merumuskan sanksi pidana kepada parapelaku tindak pidana terkait narkotika dan psikotropika, sementara melihat fakta di

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    3/15

    lapangan para pengguna narkoba (narkotik dan obat-obatan terlarang) sebenarnya

    lebih membutuhkan rehabilitasi dibandingkan sanksi pidana penjara. Contoh seperti

    ini yang kemudian dapat digolongkan pada overkriminalisasi, dimana terlalu banyak

    perbuatan yang dirumuskan ke dalam perbuatan pidana dan harus dijatuhi sanksi

    pidana. Overkriminalisasi dapat menimbulkan ketakutan dan ketidakpercayaan

    masyarakat akan hukum dan aparaturnya karena bukan lagi keadilan yang didapat,

    namun nestapa dan derita semata.

     Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    pada alinea keempat tujuan negara Republik Indonesia salah satunya adalah

    melindungi segenap bangsa Indonesia. Makna yang bisa dipetik di sini adalah

    negara wajib melindungi setiap warga negaranya baik sebagai korban kejahatan,

    pelaku kejahatan, dan masyarakat luas dengan seadil-adilnya.

    Dengan berjalannya waktu dunia hukum terus mengalami perkembangan paradigma

    menyangkut peradilan pidana terutama di Indonesia. Banyak negara mulai

    meninggalkan cara kusut dan kuno dalam rangka penegakan hukum pidana yang

    tidak manusiawi menuju pada pendekatan yang humanis serta ujung pangkalnya

    yaitu memulihkan keadaan kembali kondisi semula sebelum terjadi kejahatan, tentu

    tanpa mengabaikan hak-hak asasi setiap warga negara. Pelaku maupun korban

    dalam kasus hukum pidana membutuhkan proyeksi yang sebanding dalam konteks

    keadilan yang proporsional. Pendekatan kekinian dalam sistem peradilan pidana

    tersebut adalah keadilan restoratif (restorative justice).

    Keadilan Restoratif dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

    Sebelumnya, perlu dipahami mengenai keadilan restoratif. Beragam definisi dan

    konsep tentang keadilan restoratif yang dikemukakan oleh para ahli. Daniel W. Van

    Ness mengemukakan sebagai berikut :

    There is no single accepted definition of restorative justice. Typically, however,

    definitions fall into one of two categories. The most restrictive category consists of 

     process-based definitions emphasizing the importance of encounters between the

    stakeholders in the crime and its aftermath. The most expansive category consists of 

     justice-based definitions emphasizing the outcome and/or value of restorative justice

    (Van Ness, 2005:3).

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    4/15

    Van Ness lebih lanjut mengemukakan bahwa bahwa dari kedua kategori definisi di

    atas dapat dikombinasikan sehingga ditemukan satu definisi yaitu, Restorative

     justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed 

    by criminal behaviour. It is best accomplished through inclusive and cooperative

     processes (Van Ness, 2005:3).

    Johnstone dalam Atalim (2013:143) menyatakan bahwa, “restorative justice is not a

    single coherent theory or perspetive on crime and justice, but a loose unifying term

    which encompasses a range of distict ideas, practice, and proposals”.

    Sementara itu Howard Zehr berpendapat bahwa, ”viewed through a restorative

     justice lens, “crime is a violation of people and relationship. It creates obligations to

    make things right. Justice involves the victim, the offender and the community in a

    search for solution which promote repair, reconciliation and reassurance” (Howard

    Zehr, 1990:181).

    Mark S. Umbreit, Betty Vos, Robert B. Coates dan Elizabeth Lightfoot mengatakan

    bahwa, “Restorative justice offers a very different way of understanding and 

    responding to crime. Instead of viewing the state as the primary victim in criminal 

    acts and placing victims, offenders, and the community in passive roles, restorative justice recognizes crime as being directed against individual people”  (Mark

    S.Umbreit, et.al, 2005:255).

     Ada beberapa istilah lain yang dipakai dengan makna yang mirip dengan keadilan

    restoratif. Misalnya keadilan prosedural, keadilan partisipatif, keadilan real , keadilan

    relasional, keadilan positif, dan keadilan transformatif. Istilah yang paling mirip atau

    memiliki makna yang sama adalah keadilan transformatif. M. Kay Harris dalam

     Atalim (2013:144) mengatakan, “restorative justice and transformative justice are two

    names for the same thing and prperly understood, the terms should be considered 

    interchangeable”. Beberapa praktisi bependapat pula bahwa istilah paling cocok bagi

    konsepsi ini bukan keadilan restoratif, melainkan pendekatan restoratif (Atalim,

    2013:144).

    Meskipun terdapat beragam pendapat dan pengertian, keadilan restoratif sebagai

    sebuah konsep dapat dimaknai sebagai sebuah pendekatan untuk keadilan yang

    berfokus pada kebutuhan korban, pelaku, serta masyarakat, bukan memuaskan

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    5/15

    prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum pelaku. Korban mengambil peran

    aktif dalam proses, sementara pelaku didorong untuk mengambil tanggung jawab

    atas tindakan mereka, masyarakat membantu memberikan pendapat serta solusi,

    dan dalam proses tersebut tetap melibatkan penegak hukum yang merupakan

    kepanjangan tangan dari negara.

    Harus diakui bahwa terdapat beranekaragam pemahaman dan definisi tentang

    keadilan restoratif. Keragaman ini tentu tidak hanya memperkaya khazanah teoritis

    tentang keadilan restoratif, melainkan sekaligus merefleksikan keragaman

    kepentingan dan ideologi yang terlibat dalam proses penegakkan keadilan restoratif 

    ketika ide tentang keadilan tersebut didiskusikan. Keragaman pemahaman

    konseptual dan praktik keadilan restoratif itu bukanlah sesuatu yang fatal sehingga

    ide tersebut layak untuk diterima. Keadilan restoratif harus dapat dilihat sebagai

    perangkat ide yang ingin melampaui penegakkan keadilan konvensional yang sudah

    mapan. Keadilan restoratif menantang kita untuk memikirkan “kejahatan”, “korban”,

    dan “reaksi terhadap pelaku” secara baru.

    Liebmann dalam Atalim (2013:145) merumuskan tujuan utama keadilan restoratif 

    yakni: “Restorative justice aims to restore the well-being of victims, offenders and 

    communities damaged by crime, and to prevent further offending ”. Pendekatan yang

    digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah mengupayakan proses mediasi

    antara korban dan pelaku, pertemuan dan dialog antara korban dan pelaku yang

    melibatkan keluarga dan masyarakat luas, dan menumbuhkan kesadaran dan

    tanggung jawab pelaku dan korban. Semangat utama keadilan resoratif adalah tidak

    terutama untuk mengadili dan menghukum pelaku, melainkan guna mereparasi dan

    merestorasi korban dan pelaku. Maka nilai keadilan terletak pada dialog (dialogue),

    kesepahaman (mutuality ), penyembuhan (healing ), perbaikan (repair ), penyesalan

    dan tobat (repentance), tanggung jawab (responsibility ), kejujuran (honesty ), dan

    ketulusan (sincerity ).

    Howard Zehr (1955) dalam Atalim (2013:145-146) membuat peta perbedaan antara

    keadilan restoratif dengan keadilan retributif yang bisa dirangkum dalam tabel

    berikut:

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    6/15

    Perbedaan Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif 

    Paradigma lama: Keadilan Retributif Paradigma baru: Keadilan Restoratif 

    1. Crime defined as violation of the state 1. Crime defined as violation of one personby another 

    2. Focus on estabilishing blame, on guilt, on

     past (did he/she do it ?)

    2. Focus on problem-solving, on liabilities

    and obligations, on future (what should be done ?)

    3. Adversarial relationshops and processnormative

    3. Dialogue and negotiations normative

    4. Imposition of pain to punish and deter/prevent 

    4. Restitutions as a means of restaring both parties; reconciliation/restorations as goal 

    5. Justice defined by intent and by prpcess:right rules

    5. Justice defined as right reationships: judge by the outcome

    6. Interpersonal, conflictual nature o crimeobscured, repressed: confict seen asindividual vs state

    6. Crime recognised as interpersonal conflict: value of conflict recognised 

    7. One social injury replaced by another 7. Focus on repair of social injury 

    8. Community on side line, represented abstractly by state

    8. Community as facilitator in restorative process

    9. Encouragement of competitive,individualistic values

    9. Encourage of mutuality 

    10. Action directed from state to offender:a. Victim ignored b. Offender passive

    10.Victim’s and offender’s role recognised inboth problem and solution:a. Victim rights/need recognised b. Offender encouraged to take

    responsibility 

    11. Offender accounteability defined astaking punishment 

    11.Offender accountability defined asunderstanding impact of action and helping decided how to make things right 

    12. Offence defined in purely legal terms,devoid of moral, social, economic, political dimensions

    12.Offence understood in whole context-moral, social, economic, political 

    13. ‘Debt’ owed to state and society inthe abstract 

    13.Debt/liability to victim recognised 

    14. Response focused on offender’s past behavior 

    14.Response focused on harmful consequences of offender’s behavior 

    15. Stigma of crime unremovable 15.Stigma of crime removable throughrestorative action

    16. No encouragement for repentanceand forgiveness

    16.Possibilities for repentance and forgiveness

    17. Dependence upon proxy proffesional 17. Direct involvement by participantsSumber: Atalim (2013:145-146)

    Tebel perbedaan antara pendekatan pengadilan kejahatan konvensional atau

    keadilan retributif dengan keadilan restoratif di atas menunjukkan sisi prosedur dan

    hasil yang berbeda. Dari sisi proses, keadilan retributif menekankan unsur eksklusi

    (tertutup), kepentingan tunggal (menghukum pelaku), penggunaan

    kekerasan/represi (kepolisian, penjara), dan pembalasan (menanggung akibat).

    Unsur-unsur ini berbeda dengan keadilan restoratif yang menekankan inklusi

    (terbuka terhadap semua pihak), keseimbangan kepentingan (korban, pelaku,

    komunitas/masyarakat), menuntut kesediaan dan sukarela (voluntary ), danberorientasi pada pemecahan masalah ( problem solving ).

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    7/15

    Dari sisi hasil dan tujuan yang ingin dicapai, kedua pendekatan ini menunjukkan

    tendensi yang berbeda. Hasil yang ingin dicapai oleh keadilan restoratif adalah

    kesatuan dalam pertemuan, perkembangan, reintegrasi, dan kebenaran secara

    menyeluruh. Ini berbeda dari tendensi yang ingin dicapai dalam keadilan retributif 

    yakni separasi (pemisahan), kesalahan dan kejahatan (harm), pengasingan(ostracism), kebenaran legal (legal truth). Keadilan restoratif bertujuan untuk

    mencapai keseimbangan antara berbagai kutub yang berbeda yakni antara model

    terapeutik dan retributif, antara hak-hak korban dan hak pelaku dan kewajiban untuk

    melindungi publik. Tetapi hasil ini hanya dapat dicapai apabila fasilitator atau

    mediator berperan secara tidak memihak, cakap, terampil, kedua belah pihak

    menerima tanggun jawab, putusan ang dicapai merupakan pilihan yang realistik dan

    rasional, tidak ada tekanan dan pemaksaan, pengakuan bahwa semua pihak yang

    telibat sama pentingnya, semua pihak terlibat secara aktif, proses komunikasi dan

    dialog yang konstruktif, saling percaya, dan solusi yang diambil merupakan

    kesepakatan bersama dan bukan atas dasar pemaksaan pihak-pihak tertentu.

    Prinsip dasar Keadilan Restoratif 

    Marian Liebmann dalam Atalim (2013:147) menguraikan prinsip-prinsip keadilan

    restoratif sebagai berikut:

    1. Dukungan dan pemulihan korban menjadi prioritas. Prioritas ini yang

    membedakan keadilan restoratif dengan sistem pengadilan kriminal

    konvensional. Meskipun tujuan sistem pengadilan kriminal kkonvensional

    bertujuan untuk mendukung dan memulihkan korban, fokus sistem pengadilankriminal konvensional justru hanya terletak pada pelaku kejahatan (offender ),

    pelanggar, atau orang yang bersalah. Pelaku kejahatan atau orang yang

    dianggap bersalah diincar, ditangkap, diborgol, dilumpuhkan, didakwa,

    dihukum, dipenjara, bahkan juga dihukum mati. Agen atau institusi yang terlibat

    dalam proses ini hanyalah polisi, jaksa, hakim, staf penjara, atau para

    eksekutor. Meskipun kepentingan korban dengan demikian dibela, alokasi

    perhatian dan penetapan orientasi dan tujuan hukum ke depan belumlah

    seimbang. Hukum bukanlah terutama untuk menghakimi melainkan untuk

    menyelaraskan tindakan dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat secara

    keseluruhan. Kepentingan korban dan masyarakat secara keseluruhan tidak

    dengan sendirinya ditegakkan dengan menghukum pelaku. Korban juga

    menghendaki agar harta bendanya kembali, mereka juga menghendaki agar 

    pertanyaan-pertanyaan dijawab, mereka menginginkan agar semua informasi

    tentang kejadian sesungguhnya diperoleh dengan cukup.

    2. Pelaku bertanggungjawab atas apa yang telah ia lakukan. Pelaku kejahatan

    memang perlu ‘dihukum’, tetapi ini tidak sama dengan memikul tanggungjawab

    atas apa yang telah ia lakukan. Memikul tanggungjawab mengandung

    pengakuan dan kesadaran bahwa ia telah melakukan kejahatan, menjelaskanapa yang sebetulnya terjadi dan menanggung akibat dari perbuatannya,

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    8/15

    termasuk mengembalikan kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya. Unsur 

    ini merupakan titik tolak keadilan restoratif.

    3. Dialog untuk mencapai kesepahaman. Ada banyak pertanyaan dari para

    korban yang tidak terjawab dalam proses pengadilan konvensional.

    Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa saya ? mengapa mobil atau rumah

    saya ? apa sesungguhnya terjadi ? apakah kejadian ini bisa terjadi lagi ?

    Hanya satu orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini yakni

    pelaku. Tetapi banyak pelaku pun tidak memahami bagaimana mereka bisa

    melakukan kejahatan. Apa yang terjadi pada korban dan pelaku sehingga

    kejahatan itu bisa terjadi ? Di sini dialog diperlukan. Dialog ini umumnya tidak

    terjadi untuk tidak mengatakan tidak mungkin – dalam pengadilan formal, tetapi

    merupakan proses inti dalam keadilan restoratif.

    4. Adanya upaya untuk menempatkan kejahatan yang sudah dilakukan pada

    posisi sebenarnya. Di sini apologi bisa terjadi. Tetapi yang dibutuhkan justru

    lebih dari itu, kejujuran. Situasi korban dan komunitas perlu dikembalikan dan

    diperbaiki. Langkah logis berikut sebagai bukti tanggung jawab pelaku dan

    masyarakat terhadap korban adalah mengupayakan agar semua hak, kondisi,

    dan situasi korban bisa kembali seperti semula. Tetapi banyak pelaku justru

    tidak memiliki kemampuan, keterampilan, miskin dan tidak mampu untukk

    memulihkannya secara material. Di sini peran masyarakat luas dan negara

    dibutuhkan. Dalam kasus pencuarian misalnya, seringkali kejahatan itu

    dilakukan pelaku untuk menyambung hidup. Kemiskinan yang dialami pelaku

    secara implisit menampakkan ketidakmampuan negara menyediakan lapangankerja, merumuskan kebijakan upah yang berpihak pada buruh, atau tidak

    adanya jaminan sosia dari negara bagi warga negara miskin. Sementara,

    korban pun tidak jaran justru menghendaki agar pelaku ‘membayar’ kejahatan

    yang ia lakukan dengan membantu orang lain yang lebih tidak beruntung.

    5. Pelaku berusaha untuk menghindari kejahatan serupa di masa depan. Sekali

    seorang pelaku mengakui kejahatan yang ia lakukan, umumnya ia tidak ingin

    mengulanginya lagi, dan kadang-kadang ini diperlukan untuk menghentikan

    kejahatan, tetapi kadang banyak pula problem yang mengitari pelaku

    kejatahatan, sehingga ia ‘terpakasa’ melakukan kejahatan lagi. Kemiskinan,

    gelandangna, broken home, minuman keras, dan sebagainya bisa menjadi

    faktor pemicu kejahatan. Ini berarti bahwa bantuan nyata dalam menyelesaikan

    persoalan-persoalan ini bisa mempromosikan gaya dan kualitas hidup yang

    berbeda dan menghindari kejahatan serupa di masa depan. Keadilan restoratif 

    menekankan usaha bersama dari berbagai macam sumber daya yang ada

    untuk mewujudkan tujun ini dan tidak menimpakan sepenuhnya kesalahan

    pada pelaku. Poin penting dari pendekatan restoratif adalah memotivasi pelaku

    untuk mengubah hidupnya sendiri. Tidak jarang benyak korban pun

    mendukung restorasi pelaku guna menghindari kejahatan di masa depan.

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    9/15

    6. Komunitas/masyarakat membantu mengintegrasikan baik korban maupun

    pelaku dalam masyarakat. Jelasa bahwa pelaku perlu diintegrasikan ke dalam

    masyarakat, terutama setelah hukuman penjara. Yang dibutuhkan oleh pelaku

    adalah akomodasi, pekerjaan, dan relasi yang positif sebagai anggota

    komunitas dan masyarakat. Di sisi lain, korban pun perlu diintegrasikan kedalam komunitas dan masyarakat, ia tidak perlu dialianasi atau disingkirkan,

    karena kejahatan yang dialaminya ini merupakan salah satu tujuan pokok dari

    dukungan terhadap korban. Di tanah air, yang dibutuhkan mungkin tidak hanya

    lembaga perlindungan saksi dan korban, tetapi juga perlindungan bagi pelaku.

    Organisasi-organisasi karitatif yang menyediakan pelayanan konsultasi,

    dialogis, dan psikologis tidak hanya terbatas pada korban, melainkan juga bisa

    diperluas sampai pada pelaku.

    Dalam konteks sistem peradilan pidana di Indonesia, dimana sistem peradilan

    pidana merupakan suatu sistem yang dibangun untuk menanggulangi danmengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima

    (Mardjono Reksodiputro, 2007:140). Sistem peradilan pidana ini sendiri terdiri dari

    para penegak hukum sebagai bagian dari negara yaitu kepolisian, kejaksaan dan

    pengadilan, dimana dalam rangka mencapai tujuan sistem peradilan pidana ada

    beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :

    1. Efisiensi kepolisian (angka pengungkapan kejahatan yang tinggi yang disertai

    penyidikan yang adil) merupakan prasyarat untuk administrasi pemasyarakatan

    yang baik, karena bila ini tidak terlaksana, maka : terpidana akan melihat

    dirinya sebagai “kambing hitam” yang tidak beruntung dan tidak akan maumengikuti secara sukarela program pembinaan yang ada dalam lembaga.

    2. Penggunaan yang berlebihan dalam penahanan sementara akan

    mengakibatkan lembaga pemasyarakatan menampung penghuni di atas batas

    kapasitasnya, dan hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan mengurangi

    masukan (input), menambah keluaran (output) dan mempersingkat

    penyidangan perkara.

    3. Mengurangi beban (penghuni) lembaga pemasyarakatan dapat pula dilakukan

    melalui seleksi yang ketat terhadap perkara yang memang akan diajukan kepengadilan dan juga dengan mempergunakan kemungkinan lain daripada

    pidana penjara (alternatives to imprisonment).

    4. Mencegah disparitas (perbedaan yang besar) dalam pidana yang dijatuhkan

    untuk perkara yang serupa, agar terpidana tidak merasakan dirinya

    diperlakukan secara tidak adil dan menimbulkan rasa permusuhan terhadap

    komponen-komponen sistem peradilan pidana, termasuk terhadap lembaga

    pemasyarakatan, yang akan menyukarkan pembinaannya.

    Maka dengan melihat beberapa pemikiran terkait tujuan dalam sistem peradilanpidana di atas, keadilan restoratif kemudian dapat menjadi salah satu alternatif 

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    10/15

    dalam penyelesaian perkara pidana. Namun sebagaimana diungkapkan oleh Eva

     Achjani Zulfa perkembangan konsep tentang keadilan restoratif apabila dikaitkan

    dengan sistem peradilan pidana menjadi kontraproduktif (2009:29), hal ini

    menunjukkan posisi dari keadilan restoratif yang memang berada di luar sistem

    peradilan pidana. Meskipun begitu, dalam rangka perkembangan pemikiran terkaitpemidanaan dan sistem peradilan pidana, keadilan restoratif patut dipertimbangkan

    sebagai alternatif untuk pidana yang sudah ada. Bahkan menurut A.Z. Abidin dan

     Andi Hamzah pencarian alternaif hukuman untuk pidana penjara sudah jauh

    dilakukan sejak usai Perang Dunia II ketika manfaat pidana penjara untuk perbaikan

    dan rehabilitasi penjahat ternyata tidak ada sama sekali (2010:21).

    Keadilan restoratif sendiri dalam korelasinya dengan sistem peradilan pidana dapat

    dilihat dari tiga model hubungan keadilan restoratif dengan sistem peradilan pidana

    yang dikemukakan dalan The Vienna Declaration On Crime and Justice 10-17 April

    2000 yaitu (Eva Achjani Zulfa 2009:33) :

    1. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana

    2. Di luar sistem peradilan pidana melalui lembaga / institusi lain di luar sistem

    3. Di luar sistem peradilan pidana dengan tetap melibatkan pihak penegak hukum

    Peluang Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia

     Ada beberapa bentuk keadilan restoratif pada prakteknya, yang  pertama adalah

    mediasi antara pelaku dengan korban, dimana antara korban kejahatan dan pelakukejahatan dipertemukan dengan mediator terlatih untuk mengembangkan rencana

    perbaikan kondisi yang rusak akibat kejahatan atau dikenal dengan Victim Offender 

    Mediation (Leena Kurki, 2005:294-295). Kemudian bentuk yang kedua adalah

    Family Group Conferencing  yang melibatkan kelompok masyarakat lebih besar,

    anggota keluarga dan pihak lain untuk memastikan pelaku memenuhi kesepakatan

    yang dibuat (Leena Kurki, 2005 :297).

    Namun setidaknya menurut Jennifer L. Llewellyn dan Robert Howse ada lima model

    atau pergerakan terkait keadilan restoratif :

    1. The informal justice movement emphasized informal procedures with a view to

    increasing access to and participation in the legal process. They focused on

    delegalization in an effort to minimize the stigmatization and coercion resulting 

    from existing practices.

    2. Restitution as a response to crime was rediscovered in the 1960’s. The

    movement focused on the needs of victims, maintaining that meeting the needs

    of victims would serve the interests of society more generally.

    3. The victim’s rights movement works to have the right of victims to participate in

    the legal process recognized.

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    11/15

    4. Reconciliation/conferencing movement – Van Ness and Strong cite two major 

    strands in this movement:

    a. victim/offender mediation – Originating from efforts of the Mennonite

    Central Committee, this process brings victim and offender together with a

    mediator to discuss crime in order to form a plan to address the situation.

    b. Family group conferencing movement in New Zealand – arising out of the

    Maori traditions in New Zealand.

    5. The social justice movement – Van Ness and Strong use this label to refer 

    generally to a number of different groups working for a vision of justice as

    concerned inherently with social well being  (Jennifer L. Llewellyn and Robert

    Howse,1998:14-15).

    Pada dasarnya metode mediasi dalam keadilan restoratif, mirip dengan metode

    mediasi yang digunakan dalam mediasi pada konflik-konflik umum di luar masalahhukum. Mediasi ini fokus kepada kemungkinan ekskalasi konflik tersebut, bukan

    pada jenis tindakan kriminalnya (Georg Zwinger, 2002:83). Dalam hal ini, artinya

    sekecil apapun konflik yang timbul akibat adanya tindak pidana atau tindak kriminal,

    metode mediasi urgen untuk dilakukan agar mengembalikan “kerusakan” yang

    terjadi antara pelaku dan korban, atau lebih luas tatanan sosial dan keadilan dalam

    lingkup masyarakat. Zwinger menguraikan tahapan pencegahan eksakalasi konflik

    melalui mediasi sebagaimana dituliskan dalam Restorative Justice Practice and its

    Relation to The Criminal Justice System (2002:83) :

    1. Moderation presumes that the parties will be able to come to terms with

    conflicts themselves after a few interventions. The mediator’s role is generally 

    limited to creating the setting for the encounter between the parties and by 

     placing significant issues on the foreground of their dialogue.

    2. Process mediation deals with deeply rooted mutual perceptions and modes of 

    behaviour. Rigid roles and relationships must be eased.

    3. In socio-therapeutic process mediation, interventions are therapeutically 

    enhanced. This should contribute to breaking existing neurotic ties to specific 

    roles and other psychotherapeutically indicated problem situation. This method 

    is particularly appropriate if the participants’ loss of face has already fundamentally affected their personal identity.

    4. In the negotiation process the mediator attempts to find an agreement 

    acceptable to all of the parties concerned which will make it possible to coexist.

    This strategy is appropriate if the parties are unable to co-operate in solving the

     problems directly.

    Dapat dilihat dari uraian tahapan di atas, bahwa ada penggalian persepsi yang

    saling menguntungkan di antara kedua pihak, sebelum kemudian mencapai

    kesepakatan di antara pihak-pihak yang berkonflik.

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    12/15

     Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam proses mediasi, khususnya dalam

    rangka pelaku kejahatan memberikan ganti kerugian yang dialami korban (Daniel

    W.Van Ness, 2005 :5) yaitu :

    The first is by offering an apology, a sincere admission and expression of regret for 

    their conduct.

     A second is restitution, where in the offender pays back the victim through financial 

     payments, return or replacement of property, performing direct services for the

    victim, or in any way that the parties agree.

    The third is through performing community service by providing free services to a

    charitable or governmental agency. These and other measures to repair harm (if an

    expansive definition of restorative justice is used) are considered restorative

    outcomes.

    Cara yang pertama dan yang kedua dapat dilakukan melalui musyawarah,

    sebagaimana di negara Indonesia lembaga musyawarah sering sekali digunakan

    sebagai sarana untuk mencapai kemufakatan. Sementara cara yang ketiga serupa

    dengan kerja sosial.

    Bagaimana kemudian praktek-praktek keadilan restoratif ini diterapkan di Indonesia?

    Hal ini kemudian dapat dilihat dari nilai dasar keadilan restoratif yang berasal dari

    nilai-nilai tradisional, pada ruang lingkup di Indonesia hal ini ditunjukkan dengan

    keberadaan lembaga musyawarah sebagai nilai dasar dari penerapan keadilan

    restoratif, dimana musyawarah dalam mufakat dipandang sebagai filosofi dasar dariIndonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila.

    Sila ke-4 Pancasila mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah pilihan

    melalui cara musyawarah. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil putusan

    untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat

    kekeluargaan, sehingga kalau di breakdown falsafah “musyawarah” mengandung 5

    (lima) prinsip sebagai berikut: pertama, conferencing  (bertemu untuk saling

    mendengar dan mengungkapkan keinginan); kedua, search solutions (mencari

    solusi atau titik temu atas masalah yang sedang dihadapi); ketiga, reconciliation

    (berdamai dengan tanggungjawab masing-masing); keempat, repair  (memperbaiki

    atas semua akibat yang timbul); dan kelima, circles (saling menunjang).

    Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa juga memiliki

    banyak masyarakat adat dengan norma-norma yang berlaku di daerah masing-

    masing, menarik kemudian melihat bagaimana masing-masing masyarakat adat

    menerapkan sanksi adat kepada pelaku kejahatan sebagaimana dikemukakan I

    Gede A.B. Wiranata sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulfa (2010:189-190) :

    1. Pengganti kerugian immateriil dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi

    gadis yang telah dicemarkan;

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    13/15

    2. Pembayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang

    sakti sebagai pengganti kerugian rohani;

    3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;

    4. Penutup malu, permintaan maaf;

    5. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;

    6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum (dalam

    hal ini orang yang dikenai sanksi diberikat pembatasan haknya sebagai

    anggota masyarakat adat).

    Menjadi pertanyaan pula bagaimana kemudian menerapkan praktek keadilan

    restoratif diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, untuk itu kita bisa

    belajar dari praktek-praktek di beberapa negara. Praktek keadilan restoratif oleh

    pihak kepolisian misalnya, di sejumlah negara polisi sudah mulai menggunakan

    proses pendekatan restoratif, khususnya dalam kasus-kasus terkait pidana anak.

    Sebagai contoh di New Zealand keberadaan The Children, Young Persons and

    Their Families Act of 1989 menciptakan alternatif restoratif bagi polisi yang

    kemudian dikenal sebagai bentuk praktek keadilan restoratif selain mediasi pelaku

    korban yaitu family group conferences (Daniel W.Van Ness, 2005:7). Salah satu

    tujuan dari dirumuskannya undang-undang ini adalah untuk mengesampingkan

    tindak pidana anak dari pengadilan, bahkan apabila sudah masuk dalam pengadilan,

    Undang-Undang ini menawarkan pada korban, pelaku dan keluarganya hukuman

    apa yang paling tepat untuk dijatuhkan.

    Di Indonesia sendiri praktek keadilan restoratif pada kasus pidana anak

    dimungkinkan untuk dilakukan dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun

    2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

    2014 tetang Perlindungan Anak, sebagaimana bahwa secara filosofis kedua

    undang-undang tersebut:

    1. agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin kepentingan

    terbaik terhadap abh sebagai penerus bangsa.

    2. substansi yang paling mendasar dalam uu ini adalah pengaturan secara tegas

    mengenai keadilan restoratif dan diversi.

    3. dengan maksud untuk: mengindari dan menjauhkan anak dari proses

    peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi ABH, dan anak dapat

    kembali kedalam lingkungan sosial yang wajar.

    4. peran serta semua pihak bertujuan untuk tercapainya keadilan restoratif, baik

    bagi ABH maupun bagi korban.

    Contoh berbeda untuk penggunaan praktek keadilan restoratif bagi jaksa, padadasarnya jaksa diberikan wewenang lebih untuk melakukan diskresi daripada polisi

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    14/15

    di negara-negara common law jaksa punya otoritas untuk mengesampingkan

    perkara. Tapi di negara-negara civil law pada beberapa peraturan perundang-

    undangan tertentu jaksa diperbolehkan memberikan pendekatan restoratif pada

    kasus-kasus tertentu (Daniel W.Van Ness, 2005 :8). Demikian pula dengan praktek

    keadilan restoratif yang dapat digunakan oleh hakim di pengadilan, hakim dapatmenggunakan pendekatan restoratif pada tahapan sebelum persidangan

    (pengesampingan perkara) dan bisa juga digunakan sebagai bagian dari persiapan

    hukuman (Daniel W.Van Ness, 2005 :8).

    Kesimpulan

    Pada dasarnya penerapan praktek keadilan restoratif di Indonesia memang cukup

    melekat dengan nilai-nilai dasar yang dimiliki warga negara Indonesia, khususnya

    terkait musyawarah dan bagaimana masyarakat adat di Indonesia sudah memiliki

    pendekatan restoratif dalam penjatuhan sanksi adatnya. Namun ini kemudian

    menghadapi hambatan dimana peradilan adat masih berbenturan dengan hukum

    positif. Sehingga dibutuhkan harmonisasi antara hukum adat dengan hukum positif 

    yang sudah berlaku di Indonesia, sebaiknya juga harus ada peraturan perundang-

    undangan yang mengatur dengan jelas tentang lembaga peradilan adat, mulai dari

    kewenangan, fungsi serta hubungannya dengan sistem peradilan pidana formal

    yang ada.

    Keadilan restoratif menjadi pilihan yang tepat sebagai sarana rekayasa sosial dalam

    pengendalian kejahatan. Penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan

    restoratif menempatkan kejahatan/pelanggaran semata-mata bukan hanya berkaitandengan hukum saja, melainkan permasalahan sosial yang kompleks, sehingga

    penyelesaiannya bukan hanya dengan mengedepankan sistem hukum saja,

    melainkan dengan pendekatan aspek kehidupan lain secara komprehensif. Dengan

    pendekatan keadilan restoratif, selain pelibatan korban dan pelaku, masyarakat

    diwajibkan untuk secara aktif (bertanggung jawab) dalam penyelesaian suatu

    perkara.

    Dibutuhkan pula rumusan yang jelas terkait kualifikasi tindak pidana apa saja yang

    dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif dan metode yang dipakai,

    ini dapat dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersendiri (UU SistemPeradilan Anak misalnya) atau dalam Rancangan KUHP dan KUHAP mendatang

    misalnya dalam tindak pidana ringan sehingga tidak muncul lagi rumusan yang

    mengarah pada ketidakadilan.

  • 8/15/2019 Keadilan Restoratif Dan Sistem Peradilan

    15/15

    DAFTAR PUSTAKA

     Abidin, A.Z. dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia,Jakarta, Yarsif Watampone.

     Atalim, S, 2013. Keadilan Restoratif Sebagai Kritik Inheren Terhadap PengadilanLegal-Konvensional, Jurnal Rechts Vinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, FHUniversitas Tarumanegara, Jakarta.

     Arief, Barda Nawawi, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan danPengembangan Hukum Pidana. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.

    Faal, M., 1991, Penyaringan Perkara Pidana oleh Kepolisian (Diskresi Kepolisian).Jakarta: P.T. Paradnya Paramitha.

    Kurki, Leena, 2005, “Evaluating Restorative Justice Practices” dalam Goerge Pavlich(ed.) Governing Paradoxes of Restorative Justice, Oregon, Glass House Press.

    Llewellyn, Jennifer L., and Robert Howse, 1998, Restorative Justice A Conceptual Framework , Tanpa Kota, Law Commision Of Canada.

    Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , Yogyakarta,Liberty.

    Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.

    Umbreit, Mark S., et.al., 2005, Restorative Justice in The Twentyfirst Century : ASocial Movement Full of Opportunities and Pitfalls, Marquette Law Review,Tanpa Kota, Marquette University Law School.

    Van Ness, Daniel W., 2005,  An Overview Of Restorative Justice Around The World ,Workshop 2: Enhancing Criminal Justice Reform, Including Restorative Justice,Bangkok, The International Centre for Criminal Law Reform and CriminalJustice Policy.

    Zehr, Howard, 1990, Changing Lenses :A New Focus for Crime and Justice, Ontario,Herald Press.

    Zulfa, Eva Achjani, 2009, Ringkasan Disertasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalamPraktek Penegakan Hukum Pidana), Jakarta, Fakultas Hukum UniversitasIndonesia.

     ______________, 2010, Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia, Jurnal Kriminologi Vol. 6 No.II, Jakarta, Universitas Indonesia.

    Zwinger, Georg, 2002, Restorative Justice Practice and its Relation to The Criminal Justice System, Papers from The Second Conference of the European Forumfor Victim-Offender Mediation and Restorative Justice 10-12 October 2002,Oostende.