kasus uu

5
Kasus Seorang apoteker A telah bekerja sebagai apoteker penanggung jawab di sebuah PBF X, apoteker A juga bekerja sebagai apoteker pendamping pada malam hari di sebuah apotek di kota yang sama, apoteker A ini juga merupakan PSA apotek tersebut. Dalam kesehariannya, terkait pengadaan perbekalan farmasi , apotek yang dikelolanya bekerjasama dengan PBF tempat ia bekerja untuk mendistribusikan perbekalan farmasi ke klinik dan rumah sakit- rumah sakit. Dari kerjasama ini, apoteker A mendapatkan fee 1% faktur penjualan dan ia juga dapat mengendalikan semua yang terkait administrasi di apotek. Bagaimanakah kajian saudara terhadap kasus tersebut di atas, ditinjau dari sisi etika profesi apoteker dan peraturan perundang-undangan kefarmasian yang berlaku di Indonesia? Pendapat saya, Apoteker A berhak melakukan praktek kegiatan kefarmasian terutama sebagai penanggung jawab di PBF X, kegiatan ini sesuai dengan UU no 36 tahun 2009 Pasal 108 ayat 1 “Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat

Upload: ummu-afifah

Post on 14-Feb-2016

276 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

UNDANG-UNDANG

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus uu

Kasus

Seorang apoteker A telah bekerja sebagai apoteker penanggung jawab di sebuah PBF X,

apoteker A juga bekerja sebagai apoteker pendamping pada malam hari di sebuah apotek di kota

yang sama, apoteker A ini juga merupakan PSA apotek tersebut. Dalam kesehariannya, terkait

pengadaan perbekalan farmasi , apotek yang dikelolanya bekerjasama dengan PBF tempat ia

bekerja untuk mendistribusikan perbekalan farmasi ke klinik dan rumah sakit-rumah sakit. Dari

kerjasama ini, apoteker A mendapatkan fee 1% faktur penjualan dan ia juga dapat

mengendalikan semua yang terkait administrasi di apotek.

Bagaimanakah kajian saudara terhadap kasus tersebut di atas, ditinjau dari sisi etika

profesi apoteker dan peraturan perundang-undangan kefarmasian yang berlaku di Indonesia?

Pendapat saya,

Apoteker A berhak melakukan praktek kegiatan kefarmasian terutama sebagai

penanggung jawab di PBF X, kegiatan ini sesuai dengan UU no 36 tahun 2009 Pasal 108 ayat 1

“Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,

pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep

dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan”. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga

kesehatan farmasi, ayat tersebut dipertegas dalam PP 51 tahun 2009 pasal 1 Ayat 3 “Tenaga

Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker

dan Tenaga Teknis Kefarmasian”. Pekerjaan kefarmasian ini terdapat pada ayat 1 “Pekerjaan

Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan

obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

tradisional”.

Page 2: Kasus uu

Apoteker A yang merupakan PSA di apotik daerah tersebut juga bekerja di apotiknya

sebagai apoteker pendamping, hal ini masih tetap diperbolehkan, karena apoteker A hanya

bekerja sebagai apoteker pendamping, bukan sebagai penanggung jawab apotik. Dimana peran

apoteker pendamping cukup membantu dalam meringankan tugas apoteker penanggung jawab di

apotik seperti yang tertera pada PP no 51 tahun 2009 Pasal 20 “Dalam menjalankan Pekerjaan

kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker

pendamping dan atau Tenaga Teknis Kefarmasian”. Semua pekerjaan kefarmasian ini tidak

melanggar hukum yang sudah ada saat ini selama segala tanggung jawab dan tugas yang telah

bebankan sudah dilaksanakan sesuai prosedur pelayanan kefarmasian yang baik, permenkes no

889 tahun 2011 juga menyatakan apoteker yang bertugas sebagai APJ boleh menjadi aping di

instalasi farmasi lain, peraturan ini terdapat pada pasal 18 ayat 3 “SIPA bagi Apoteker

pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan

kefarmasian”. Selama apoteker tidak merangkap menjadi aping lebih dari tiga tempat maka tidak

akan melanggar hukum, sehingga Apoteker A memilih tugas sebagai apoteker pendamping di

malam hari dimungkinkan waktu tersebut apoteker A sudah tidak memiliki tugas penanggung

jawab di tempat PBF X atau jam kerjanya sudah berakhir, sehingga tidak akan melalaikan

tugasnya sebagai penanggung jawab di PBF tersebut.

Apoteker A melakukan pengadaan perbekalan farmasi dan mengendalikan administrasi

sepenuhnya apotik yang secara jelas itu adalah tugas APJ apotik tersebut, pernyataan ini

dipertegas oleh PP no 51 tahun 2009 Pasal 51 ayat 1 “Pelayanan Kefarmasian di Apotek,

puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”.

walau memiliki jabatan sebagai pemilik apotik(PSA), tetapi apoteker A tidak memiliki

hak untuk melakukan kegiatan kefarmasian walau memiliki gelar seorang apoteker, dikarenakan

apoteker A hanya sebagai apoteker pendamping yang tidak boleh bertugas sebagai penanggung

jawab apotik terutama dalam penyaluran perbekalan farmasi, hal ini juga dipertegas pada pasal

25 ayat 2 “Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik modal

maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang

bersangkutan”, disebabkan surat tanda registrasi apoteker (STRA) sudah digunakan di PBF

sebagai penanggung jawab, ini sesuai dengan PP NO 51 tahun 2009 Pasal 54 ayat 1 “Apoteker

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik di 1

elisa, 10/03/15,
Harusnya diganti pasal 25 ayat 2 PP 51 2009
elisa, 10/03/15,
Dalam undang-undang juga kurang spesifik karena tidak dijelaskan dia apa atau sbg karena Cuma apoteker dan yang d maksdkan bukan pelayanan tapi pengadaanCari pasal pengadaan
Page 3: Kasus uu

(satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Hal ini juga dipertegas pada

PERMENKES no 889 tahun 2011 pasal 18 ayat 1 “SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di

fasilitas pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas

kefarmasian”, Sehingga setiap pengadaan perbekalan farmasi oleh apotik harus disetujui oleh

apoteker penanggung jawab, bukan oleh apoteker pendamping atau pemilik apotik sekalipun,

Apotik yang dikelola bekerja sama untuk mendistribusikan perbekalan farmasi ke klinik

dan rumah sakit, sebagai seorang APJ di PBF tersebut sudah menjadi tugasnya dalam

menyalurkan perbekalan farmasi tersebut, dalam PERMENKES N0 34 TAHUN 2014 Pasal 14

ayat 1 juga dikatakan “Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab

yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan

penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13”. Namun, apabila

apoteker X meminta fee 1% menunjukkan bahwa kegiatan penyaluran barang bukan merupakan

protab dari PBF melainkan kerja sampingan apoteker X, sehingga apoteker X mencukupi

kebutuhan perbekalan farmasi di klinik dan rumah sakit dengan memesankannya melalui

apotiknya, kegiatan ini tidak dilegalkan, selain apoteker x di apotiknya hanya sebagai caping

yang jelas bahwa surat pemesanan obat hanya boleh ditandatangani oleh APJ apotik tersebut.

Namun, apabila pesanan obat tetap dilayani kemungkinan prosedur pemesanan ini

tanpasepengetahuan oleh direktur PBF tersebut, hal ini akan menjadi transaksi yang illegal tanpa

adanya bukti fraktur yang resmi, kejadian seperti ini dapat saja terjadi mengingat apoteker X

juga merupakan APJ di pbf tersebut, akan tetapi pembelian obat tanpa adanya bukti fraktur resmi

dapat dikenai sanksi pidana bila terbukti serta akan sangat merugikan klinik dan dan rumah sakit

apabila obat tidak laku atau habis, karena PBF hnya melayani returd(pengembalian) obat dengan

fracture resmi

KESIMPULAN

Apoteker X berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di instalasi lain seperti apotik

sebagai aping asal tidak lebih dari 3 tempat, apoteker X tidak berhak melakukan

pengadaan/pemesanan serta mendistribusikan perbekalan farmasi dan mengendalikan secara

penuh administrasi di apotik karena itu adalah tugas APJ apotik tersebut.