kasus uu
DESCRIPTION
UNDANG-UNDANGTRANSCRIPT
Kasus
Seorang apoteker A telah bekerja sebagai apoteker penanggung jawab di sebuah PBF X,
apoteker A juga bekerja sebagai apoteker pendamping pada malam hari di sebuah apotek di kota
yang sama, apoteker A ini juga merupakan PSA apotek tersebut. Dalam kesehariannya, terkait
pengadaan perbekalan farmasi , apotek yang dikelolanya bekerjasama dengan PBF tempat ia
bekerja untuk mendistribusikan perbekalan farmasi ke klinik dan rumah sakit-rumah sakit. Dari
kerjasama ini, apoteker A mendapatkan fee 1% faktur penjualan dan ia juga dapat
mengendalikan semua yang terkait administrasi di apotek.
Bagaimanakah kajian saudara terhadap kasus tersebut di atas, ditinjau dari sisi etika
profesi apoteker dan peraturan perundang-undangan kefarmasian yang berlaku di Indonesia?
Pendapat saya,
Apoteker A berhak melakukan praktek kegiatan kefarmasian terutama sebagai
penanggung jawab di PBF X, kegiatan ini sesuai dengan UU no 36 tahun 2009 Pasal 108 ayat 1
“Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga
kesehatan farmasi, ayat tersebut dipertegas dalam PP 51 tahun 2009 pasal 1 Ayat 3 “Tenaga
Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian”. Pekerjaan kefarmasian ini terdapat pada ayat 1 “Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional”.
Apoteker A yang merupakan PSA di apotik daerah tersebut juga bekerja di apotiknya
sebagai apoteker pendamping, hal ini masih tetap diperbolehkan, karena apoteker A hanya
bekerja sebagai apoteker pendamping, bukan sebagai penanggung jawab apotik. Dimana peran
apoteker pendamping cukup membantu dalam meringankan tugas apoteker penanggung jawab di
apotik seperti yang tertera pada PP no 51 tahun 2009 Pasal 20 “Dalam menjalankan Pekerjaan
kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker
pendamping dan atau Tenaga Teknis Kefarmasian”. Semua pekerjaan kefarmasian ini tidak
melanggar hukum yang sudah ada saat ini selama segala tanggung jawab dan tugas yang telah
bebankan sudah dilaksanakan sesuai prosedur pelayanan kefarmasian yang baik, permenkes no
889 tahun 2011 juga menyatakan apoteker yang bertugas sebagai APJ boleh menjadi aping di
instalasi farmasi lain, peraturan ini terdapat pada pasal 18 ayat 3 “SIPA bagi Apoteker
pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan
kefarmasian”. Selama apoteker tidak merangkap menjadi aping lebih dari tiga tempat maka tidak
akan melanggar hukum, sehingga Apoteker A memilih tugas sebagai apoteker pendamping di
malam hari dimungkinkan waktu tersebut apoteker A sudah tidak memiliki tugas penanggung
jawab di tempat PBF X atau jam kerjanya sudah berakhir, sehingga tidak akan melalaikan
tugasnya sebagai penanggung jawab di PBF tersebut.
Apoteker A melakukan pengadaan perbekalan farmasi dan mengendalikan administrasi
sepenuhnya apotik yang secara jelas itu adalah tugas APJ apotik tersebut, pernyataan ini
dipertegas oleh PP no 51 tahun 2009 Pasal 51 ayat 1 “Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”.
walau memiliki jabatan sebagai pemilik apotik(PSA), tetapi apoteker A tidak memiliki
hak untuk melakukan kegiatan kefarmasian walau memiliki gelar seorang apoteker, dikarenakan
apoteker A hanya sebagai apoteker pendamping yang tidak boleh bertugas sebagai penanggung
jawab apotik terutama dalam penyaluran perbekalan farmasi, hal ini juga dipertegas pada pasal
25 ayat 2 “Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik modal
maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang
bersangkutan”, disebabkan surat tanda registrasi apoteker (STRA) sudah digunakan di PBF
sebagai penanggung jawab, ini sesuai dengan PP NO 51 tahun 2009 Pasal 54 ayat 1 “Apoteker
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik di 1
(satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Hal ini juga dipertegas pada
PERMENKES no 889 tahun 2011 pasal 18 ayat 1 “SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di
fasilitas pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas
kefarmasian”, Sehingga setiap pengadaan perbekalan farmasi oleh apotik harus disetujui oleh
apoteker penanggung jawab, bukan oleh apoteker pendamping atau pemilik apotik sekalipun,
Apotik yang dikelola bekerja sama untuk mendistribusikan perbekalan farmasi ke klinik
dan rumah sakit, sebagai seorang APJ di PBF tersebut sudah menjadi tugasnya dalam
menyalurkan perbekalan farmasi tersebut, dalam PERMENKES N0 34 TAHUN 2014 Pasal 14
ayat 1 juga dikatakan “Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan
penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13”. Namun, apabila
apoteker X meminta fee 1% menunjukkan bahwa kegiatan penyaluran barang bukan merupakan
protab dari PBF melainkan kerja sampingan apoteker X, sehingga apoteker X mencukupi
kebutuhan perbekalan farmasi di klinik dan rumah sakit dengan memesankannya melalui
apotiknya, kegiatan ini tidak dilegalkan, selain apoteker x di apotiknya hanya sebagai caping
yang jelas bahwa surat pemesanan obat hanya boleh ditandatangani oleh APJ apotik tersebut.
Namun, apabila pesanan obat tetap dilayani kemungkinan prosedur pemesanan ini
tanpasepengetahuan oleh direktur PBF tersebut, hal ini akan menjadi transaksi yang illegal tanpa
adanya bukti fraktur yang resmi, kejadian seperti ini dapat saja terjadi mengingat apoteker X
juga merupakan APJ di pbf tersebut, akan tetapi pembelian obat tanpa adanya bukti fraktur resmi
dapat dikenai sanksi pidana bila terbukti serta akan sangat merugikan klinik dan dan rumah sakit
apabila obat tidak laku atau habis, karena PBF hnya melayani returd(pengembalian) obat dengan
fracture resmi
KESIMPULAN
Apoteker X berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di instalasi lain seperti apotik
sebagai aping asal tidak lebih dari 3 tempat, apoteker X tidak berhak melakukan
pengadaan/pemesanan serta mendistribusikan perbekalan farmasi dan mengendalikan secara
penuh administrasi di apotik karena itu adalah tugas APJ apotik tersebut.