karya tulis ttg desa
DESCRIPTION
Karya Tulis ttg desaTRANSCRIPT
-
1
Efektivitas & Produktivitas Kinerja Aparatur Desa Dalam Mewujudkan Pengelolaan
Keuangan Negara yang Transparan, Akuntabel, Efektif dan Efisien
Semenjak era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, bangsa Indonesia telah maju
selangkah lagi menuju era keterbukaan. Dalam era keterbukaan ini, masyarakat semakin
menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan lebih dapat menyampaikan
aspirasi yang berkembang yang salah satunya perbaikan terhadap sistem pengelolaan
keuangan pada badan-badan pemerintah. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam
sistem pemerintahan semakin meningkat pada era reformasi saat ini, tidak terkecuali
transparansi dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah.
Indonesia sebagai negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan
menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan kontribusi, maka sistem pengelolaan
keuangan negara harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku sesuai
dengan aturan pokok yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah
Indonesia secara bertahap telah melaksanakan perubahan yang mendasar mengenai
pengelolaan keuangan negara, hal ini ditandai dengan paket regulasi keuangan sektor publik
yang terdiri dari Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara, Undang-Undang
Nomor. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara, Undang-Undang Nomor. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
UndangUndang Nomor. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara menjadi momentum
terciptanya aturan baru dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Hal ini dikarenakan
Undang-Undang ini telah memberikan perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan
negara, dimulai dari pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas asas umum
pengelolaan keuangan negara, kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan,
pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri keuangan
dan menteri/pimpinan lembaga, susunan APBN dan APBD ketentuan mengenai penyusunan
dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dan bank sentral, pemerintah daerah / lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara
pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan
pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan
-
2
pertanggung jawaban pelaksanaan APBN dan APBD termasuk telah mengantisipasi
perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada
perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintah secara internasional.
Di Indonesia sendiri dalam lingkungan pemerintahan mengacu pada sebuah standar, yaitu
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Standar tersebut di atur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor. 24 Tahun 2005 mengenai Standar Akuntansi Pemerintah yang saat ini telah berubah
menjadi Peraturan Pemerintah Nomor. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP). Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang perubahan standar akuntansi dari
yang sebelumnya akuntansi berbasis kas menuju akrual menjadi full akrual . Standar
akuntansi pemerintahan tersebut merupakan prinsip-prinsip akuntansi dalam penyusunan dan
penyajian laporan keuangan pemerintah. Sistem akuntansi pemerintahan disusun berdasarkan
standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintahan diartikan sebagai
serangkaian prosedur pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, dan pelaporan posisi
serta operasi keuangan negara. Sejalan dengan otonomi daerah, sistem akuntansi pemerintah
pada tingkat pemerintah pusat diatur dengan peraturan menteri keuangan, sedangkan pada
tingkat pemerintahan daerah diatur dengan peraturan gubernur/ wali kota/ bupati.
Dalam hubungan keuangan dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan
memberikan kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan fungsinya secara efektif. Untuk
melaksanakan fungsi tersebut harus ada dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai
baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah
maupun lain-lain penerimaan yang sah. Lalu bagaimana pengelolaan keuangan di tingkat
desa ?
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa mengatur bahwa
Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Desa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa dan Bantuan Pemerintah Desa. Aturan tersebut diperkuat dengan SK Menteri Dalam
Negeri Nomor: 140/640SJ tanggal 22 Maret 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari
pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Desa, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 37 Tahun 2007 bertujuan untuk memudahkan
dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan desa, sehingga tidak menimbulkan multitafsir
-
3
dalam penerapannya. Dengan demikian, desa dapat mewujudkan pengelolaan keuangan yang
efektif dan efisien. Disamping itu diharapkan dapat diwujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik, yang memiliki tiga pilar utama yaitu, transparasi, akuntabilitas, dan partisipatif.
Oleh karena itu, proses dan mekanisme penyusunan APBDesa yang diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri tersebut akan menjelaskan siapa yang akan bertanggung jawab, dan
bagaimana cara pertanggung-jawabannya.
Saat ini DPR-RI telah mengeluarkan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor.
6 Tahun 2014 tentang Desa. Sejak disahkannya Undang-Undang baru ini, sampai dengan saat
ini pemerintah belum menerbikan peraturan pemerintah yang menjadi pedoman untuk
mengatur Keuangan Desa. Sedangkan peraturan pemerintah ini tidak bisa langsung
diterapkan di setiap desa di seluruh Indonesia.
Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 2014 ini dianggap menjadi tonggak sejarah yang
penting bagi pemerintahan desa, karena hal tersebut menunjukkan adanya political will dari
negara untuk memberdayakan desa dan meningkatkan kesejahteraan seluruh perangkat
desanya. Salah satu komitmen dan political will tersebut yaitu, adanya alokasi anggaran dari
APBN untuk pembangunan desa. Kebijakan ini dituangkan dalam pasal 71, setiap desa akan
mendapatkan alokasi dana dari APBN sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang
diterima kabupaten/ kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).
Nilainya disesuaikan dengan kondisi geografis desa, jumlah penduduk dan angka kematian.
Selama ini pendapatan asli desa yang terdiri dari: hasil usaha, hasil asset, swadaya dan
partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa, bagian dari hasil pajak daerah
dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana
perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan lain-lain
pendapatan desa yang sah. Adanya pendapatan yang bersumber dari alokasi dana APBN
tentu saja merupakan kebijakan baru yang positif dan merupakan poin penting bagi
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Desa menghadapi banyak masalah, antara lain kemiskinan, derajat kesehatan masyarakat
yang memprihatinkan, tingkat pendidikan yang rendah, angka pengangguran yang cukup
tinggi, rendahnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa, kerusakan lingkungan alam,
-
4
kerusakan infrastruktur, dan lain-lain. Dengan adanya tambahan pendapatan desa yang
signifikan maka persoalan-persoalan tersebut akan terus ditangani dan dicarikan solusinya
sesuai dengan prioritas dan kewenangan desa. Apalagi perencaaan, alokasi, pelaksanaan dan
pertanggung-jawaban penggunaan dana dilaksanakan oleh desa itu sendiri, tentu saja ini
merupakan aksi yang nyata untuk pemberdayaan masyarakat.
Pengelolaan keuangan desa saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor.
37 Tahun 2007 masih menggunakan metode pencatatan akuntansi single entry yang berbasis
pada kas. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut bahwa hasil dokumen
yang harus digunakan dalam pengelolaan keuangan desa tersebut meliputi:
a. Buku kas umum;
b. Buku kas pembantu perincian obyek penerimaan;
c. Buku kas pembantu perincian obyek pengeluaran;
d. Buku kas harian pembantu.
Dokumen-dokumen tersebut harus dilampirkan dalam laporan pertanggung-jawaban yang
setiap tahunnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Laporan pertanggung-jawaban
tersebut kurang akuntabel dan transparan. Terlebih lagi dengan akan diterapkannya Undang-
Undang Nomor. 6 Tahun 2014 di mana setiap desa akan mendapatkan alokasi dana dari
APBN sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/ kota dalam
APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK), desa akan dituntut untuk melakukan
pencatatan dan memberikan pertanggung-jawaban pengelolaan keuangannya dengan
mengikuti standar akuntansi yang terkandung dalam peraturan pemerintah yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor. 71 Tahun 2010.
Jika desa tetap berbasis pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 37 Tahun 2007 di
mana Peraturan Menteri Dalam Negeri ini mewajibkan desa untuk
mempertanggungjawabkan sebatas laporan pertanggunjawaban, tidak secara spesifik
menghasilkan laporan keuangan sehingga dikhawatirkan akan adanya manipulasi dari
anggaran yang berasal dari alokasi dana dari APBN sebesar sepuluh persen tersebut. Disisi
lain desa memiliki beberapa masalah yang perlu diperhatikan saat nantinya dana alokasi
tersebut diberikan kepada desa. Seperti yang diungkapkan oleh Robert Endi Jaweng dalam
diskusi Prospek Implementasi UU Nomor. 6/2014 yang dikutip dari
ekonomi.kompasiana.com menyebutkan bahwa terdapat masalah dalam kapasitas
-
5
administrasi dan tata kelola aparat pemerintah desa yang masih minim. Kemudian sistem
akuntabilitas dan pranata pengawasan yang masih lemah, termasuk belum kritisnya
masyarakat atas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa.
Disisi lain permasalahan yang muncul yaitu penempatan posisi sumber daya manusia yang
tidak sesuai dengan keahlian ataupun dengan kompetensinya pada posisi bendahara ataupun
bagian keuangan dari desa tersebut. Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil mini riset yang kami
lakukan di 15 desa yang dipilih berdasarkan sample acak di wilayah kabupaten/ kota
Bandung. Data tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini,
NOMOR NAMA DESA KECAMATAN KABUPATEN /
KOTA
POSISI BAG.
KEUANGAN
1 Desa Manjahlega Rancasari Bandung Non Akuntansi
2 Desa Ciburial Cimenyan Bandung Non Akuntansi
3 Desa Cibeunying Cimenyan Bandung Non Akuntansi
4 Desa Katapang Katapang Bandung Non Akuntansi
5 Desa Bojongsoang Bojongsoang Bandung Non Akuntansi
6 Desa Melatiwangi Cilengkrang Bandung Non Akuntansi
7 Desa Mekarsaluyu Cimenyan Bandung Non Akuntansi
8 Desa Ciburial Cicadas Bandung Non Akuntansi
9 Desa Cinunuk Cileunyi Bandung Non Akuntansi
10 Desa Cimenyan Cimenyan Bandung Non Akuntansi
11 Desa Cipagalo Bojongsoang Bandung Non Akuntansi
12 Desa Mekarsaluyu Cimenyan Bandung Non Akuntansi
13 Desa Margajaya Ngamprah Bandung Non Akuntansi
14 Desa Margassih Margaasih Bandung Akuntansi
15 Desa Sekejati Buah Batu Bandung Akuntansi
Tabel 1.1 Data Penempatan Posisi untuk Bag. Keuangan
Dari 15 desa yang kami teliti terdapat 2 desa yang telah menempatkan posisi bendahara
ataupun bagian keuangannya dengan orang yang sesuai dengan kompetensinya, yaitu lulusan
akuntansi. Sedangkan 13 desa lainnya menempatkan orang yang tidak memiliki kompetensi
akuntansi di bagian bendahara ataupun bagian keuangan. Jadi, sekitar 13% saja posisi di
bagian keuangan yang telah diisi oleh orang yang sesuai dengan kompetensinya yaitu
akuntansi, sedangkan sisanya sebesar 87% diisi oleh orang yang tidak memiliki kompetensi
dalam akuntansi.
-
6
Grafik 1.1 Persentase Posisi yang Diisi oleh Akuntan & Non Akuntan di Wilayah Kabupaten/Kota
Bandung
Hal ini dapat menyebabkan laporan pertanggung-jawaban tidak akuntabel, dan berpotensi
terjadinya kesalahan penyajian dalam membuat laporan pertanggung-jawaban terutama
dengan hal yang berkaitan dengan keuangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penempatan pegawai di beberapa desa di
Kabupaten Bandung yaitu faktor situsional, pendidikan dan kompetensi pegawai. Faktor
situsional yaitu berkaitan dengan luas daerah di Kabupaten Bandung yang menyebabkan
minimnya pegawai di desa-desa. Sedangkan pendidikan dan kompetensi pegawai pun turut
manjadi hambatan dalam pelaksanaan penempatan pegawai. Masih adanya penempatan
pegawai yang belum berpegang kepada prinsip The right man on the right place and the
right man on the right job yang artinya penempatan orang orang yang tepat pada tempat
dan untuk jabatan yang tepat.
Selain itu, pengelolaan keuangan yang ada di pemerintahan tingkat desa pada nyatanya
hanya dilakukan oleh kepala desa dan sekretaris desa saja. Masyarakat juga jarang sekali
dilibatkan untuk mengetahui laporan keuangan dari desa. Hal ini dipandang tidak sesuai
dengan job description yang seharusnya serta dianggap jika pengelolaan keuangan kurang
akuntabel dan transparan.
-
7
Untuk menghadapi kendala-kendala yang dihadapi pemerintah dalam pengimplementasian
Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 2014 tersebut, perlu dilakukannya langkah preventif untuk
menghindari ancaman manipulasi pelaporan dan penyalahgunaan dana serta diberikan
pengawasan memadai dan berkala, agar dana masyarakat yang dikelola dapat terpantau
penggunaannya atau transparan, salah satunya dengan menggunakan media Laporan
Keuangan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Namun untuk tingkat desa yang
karakteristik pelaporannya lebih sederhana dibanding pemerintah pusat atau pemerintah
daerah, belum terdapat standar pelaporan keuangan yang relevan dan sesuai dengan
kondisi/keadaan desa, sedangkan bila menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan dinilai
terlalu rumit untuk dijalankan oleh tingkat desa. Maka dari itu diperlukan Standar Akuntansi
tingkat desa, sehingga terdapat keseragaman dalam membuat laporan keuangan desa-desa
tersebut. Disisi lain, dengan adanya standar akuntansi pelaporan keuangan tingkat desa akan
memudahkan Inspektorat dalam melakukan pengawasan atas pengelolaan dana yang
diberikan dari pemerintah daerah. Laporan keuangan desa yang telah sesuai dengan standar
pada akhirnya akan menjadi lebih akuntabel.
Pengawasan atas pengelolaan dana serta produktivitas pekerja juga perlu diawasi dan
diperketat dengan menggunakan satuan pengendalian internal tertentu. Dalam hal ini perlu
adanya pengukuhan job description dan restrukturisasi entitas pemerintah khususnya desa
guna menciptakan good goverment governance. Pemeriksaan yang dilakukan oleh
Inspektorat Daerah merupakan bagian dari proses manajemen pemerintah, dan sebagai
kegiatan wajib bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pengawasan internal di
daerah. Dengan pemeriksaan yang dilaksanakan secara reguler tersebut, diharapkan akan
mengurangi kesalahan manajemen di tingkat kecamatan, desa, maupun kelurahan, serta
tercapainyan peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintah.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah yaitu penempatan pegawai yang
tepat pada tempat dan untuk jabatan yang tepat. Penempatan pegawai terutama di bagian
bendahara atau keuangan harus ditempati oleh orang yang memiliki latar belakang
pendidikan atau dasar pengetahuan tentang ilmu keuangan yang termuthakhir agar tidak
kesulitan dalam menyusun dan membuat laporan keuangan. Di desa sangat diperlukan
sumber daya manusia yang memiliki latar belakang akuntansi untuk ditempatkan di bagian
bendahara atau keuangan saat ini karena dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor. 6
-
8
Tahun 2014 di mana desa akan mendapatkan alokasi dana dengan jumlah yang cukup besar
maka diperlukan orang yang dapat mengerti dan memahami pengelolaan keuangan yang baik
agar tidak terjadinya penyalahgunaan dana dan dana yang diberikan dari pusat dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Desa yang berada di wilayah kabupatan/ kota Bandung juga sebaiknya melakukan
pengoptimalan penempatan pegawai. Pengoptimalan pegawai ini dilaksanakan dengan
terlebih dahulu menentukan analisis jabatan, analisis beban kerja dan penentuan kualifikasi
jabatan. Dalam optimalisasi penempatan pegawai sebaiknya dalam analisis jabatan dilakukan
sesuai prosedur yang ada pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2005. Dalam
praktinya satu sampai dua desa telah melakukan prosedur yang ada pada Peraturan Menteri
Dalam Negeri seperti telah adanya uraian jabatan dan persyaratan jabatan. Tetapi kebanyakan
desa yang ada di wilayah kabupaten/ kota Bandung telah ada uraian jabatan namun mereka
tidak adanya pesyaratan untuk jabatan. Begitu juga dalam analisis beban kerja yang
seharusnya mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008 yang dimana
dalam pelaksanaannya sebaiknya melalui tahapan pengumpulan data, pengolahan data,
penelaahan hasil olahan data, dan penetapan hasil analisis beban kerja. Sedangkan untuk
kualifikasi jabatan / pekerjaan sebaiknya melaksanakan penempatan pegawai sesuai dengan
persyaratan yang tercantum pada pasal 5 PP Nomor 13 tahun 2002 tentang pengankatan
Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural. Secara keseluruhan agar pedoman tersebut
dapat di ikuti dengan baik diperlukan adanya pihak yang mengawasi, apakah penempatan
pegawai telah sesuai dengan prosedur pada peraturan atau tidak. Hal ini perlu dilakukan demi
terciptanya optimalisasi penempatan pegawai.
Penempatan pegawai yang tepat pada tempat dan jabatan yang tepat tidak hanya dilakukan
di pemerintahan desa saja, tetapi hal ini sangat perlu diperhatikan oleh seluruh entitas
pemerintah. Penempatan pegawai yang sesuai dengan kompetensinya harus secara merata
dilakukan di seluruh pemerintahan baik pusat sampai dengan desa khususnya, terutama yang
berkaitan di bidang akuntansi atau keuangan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam penempatan pegawai seperti kesesuaian antara minat, bakat, pengetahuan,
keterampilan, kompetensi, dan kemapuan dari pegawai dengan posisi yang akan ditempatkan
kepada pegawai tersebut. Dengan penempatan pegawai yang sesuai dengan hal hal yang
telah disebutkan sebelumnya diharpakan mampu meningkatkan kinerja dari pegawai
-
9
sehingga dapat terciptanya tujuan dari organisasi, selain itu dapat terciptanya efektivitas serta
efisiensi dalam bekerja.
Gambar 1.1 Optimalisasi Pegawai
Pengelolaan keuangan di pemerintahan tingkat desa yang hanya dilakukan oleh kepala
desa dan sekretaris desa seharusnya dilakukan oleh kepala desa dan dibantu oleh sebuah tim
yang bernama Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD) sesuai dengan yang
dinyatakan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 37 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa. Sehingga pengelolaan keuangan desa dilakukan secara
transparan dan akuntabel.
Selain itu, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan yang baik maka setiap aparatur desa
terutama bagian keuangan, memerlukan pendidikan dan pelatihan mengenai cara pengelolaan
keuangan di desa untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan keterampilannya. Dengan
dilakukannya pendidikan dan pelatihan, maka setiap bagian dari setiap entitas dan desa
khususnya dapat berperan aktif dalam mencapai pemerintahan desa yang transparan,
akuntabel, efektif, dan efisien.
Ide ini kami canangkan agar tercipta pemerintahan yang transparan, akuntabel serta
partisipatif dimulai dari aparatur desa yang notabennya lebih dekat dengan masyarakat
namun kurang diperhatikan, padahal sebenarnya banyak masalah yang timbul ditingkat desa
terutama mengenai efektifitas dan produktivitas kinerja aparatur desa, serta permasalahan
mengenai pelaporan pertanggung-jawabannya apalagi dengan adanya UU Nomor 6 tahun
2014 dimana desa mendapat alokasi dana sebesar 10% dari APBN yang nilainya dibagikan
berdasarkan kondisi geografis desa, jumlah penduduk dan angka kematian.
Analisis
Jabatan
Analisis
Beban Kerja
Pelaksanaan
Penempatan
Penentuan
Kualifikasi Jabatan
Optimalisasi
Pegawai
-
10
Elsa Oktaviana, Delima, dan Nisa Dwi Apriliani. 2014.