karya tulis ttg desa

Upload: hariyanto-had

Post on 07-Jan-2016

120 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Karya Tulis ttg desa

TRANSCRIPT

  • 1

    Efektivitas & Produktivitas Kinerja Aparatur Desa Dalam Mewujudkan Pengelolaan

    Keuangan Negara yang Transparan, Akuntabel, Efektif dan Efisien

    Semenjak era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, bangsa Indonesia telah maju

    selangkah lagi menuju era keterbukaan. Dalam era keterbukaan ini, masyarakat semakin

    menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan lebih dapat menyampaikan

    aspirasi yang berkembang yang salah satunya perbaikan terhadap sistem pengelolaan

    keuangan pada badan-badan pemerintah. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam

    sistem pemerintahan semakin meningkat pada era reformasi saat ini, tidak terkecuali

    transparansi dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah.

    Indonesia sebagai negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan

    menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan kontribusi, maka sistem pengelolaan

    keuangan negara harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku sesuai

    dengan aturan pokok yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah

    Indonesia secara bertahap telah melaksanakan perubahan yang mendasar mengenai

    pengelolaan keuangan negara, hal ini ditandai dengan paket regulasi keuangan sektor publik

    yang terdiri dari Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

    Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara, Undang-Undang

    Nomor. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

    Negara, Undang-Undang Nomor. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

    UndangUndang Nomor. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara menjadi momentum

    terciptanya aturan baru dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Hal ini dikarenakan

    Undang-Undang ini telah memberikan perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan

    negara, dimulai dari pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas asas umum

    pengelolaan keuangan negara, kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan,

    pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri keuangan

    dan menteri/pimpinan lembaga, susunan APBN dan APBD ketentuan mengenai penyusunan

    dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat

    dan bank sentral, pemerintah daerah / lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara

    pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan

    pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan

  • 2

    pertanggung jawaban pelaksanaan APBN dan APBD termasuk telah mengantisipasi

    perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada

    perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintah secara internasional.

    Di Indonesia sendiri dalam lingkungan pemerintahan mengacu pada sebuah standar, yaitu

    Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Standar tersebut di atur dalam Peraturan Pemerintah

    Nomor. 24 Tahun 2005 mengenai Standar Akuntansi Pemerintah yang saat ini telah berubah

    menjadi Peraturan Pemerintah Nomor. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah

    (SAP). Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang perubahan standar akuntansi dari

    yang sebelumnya akuntansi berbasis kas menuju akrual menjadi full akrual . Standar

    akuntansi pemerintahan tersebut merupakan prinsip-prinsip akuntansi dalam penyusunan dan

    penyajian laporan keuangan pemerintah. Sistem akuntansi pemerintahan disusun berdasarkan

    standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintahan diartikan sebagai

    serangkaian prosedur pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, dan pelaporan posisi

    serta operasi keuangan negara. Sejalan dengan otonomi daerah, sistem akuntansi pemerintah

    pada tingkat pemerintah pusat diatur dengan peraturan menteri keuangan, sedangkan pada

    tingkat pemerintahan daerah diatur dengan peraturan gubernur/ wali kota/ bupati.

    Dalam hubungan keuangan dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan

    memberikan kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan fungsinya secara efektif. Untuk

    melaksanakan fungsi tersebut harus ada dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai

    baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah

    maupun lain-lain penerimaan yang sah. Lalu bagaimana pengelolaan keuangan di tingkat

    desa ?

    Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa mengatur bahwa

    Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Desa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

    Desa dan Bantuan Pemerintah Desa. Aturan tersebut diperkuat dengan SK Menteri Dalam

    Negeri Nomor: 140/640SJ tanggal 22 Maret 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari

    pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Desa, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri

    Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 37 Tahun 2007 bertujuan untuk memudahkan

    dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan desa, sehingga tidak menimbulkan multitafsir

  • 3

    dalam penerapannya. Dengan demikian, desa dapat mewujudkan pengelolaan keuangan yang

    efektif dan efisien. Disamping itu diharapkan dapat diwujudkan tata kelola pemerintahan

    yang baik, yang memiliki tiga pilar utama yaitu, transparasi, akuntabilitas, dan partisipatif.

    Oleh karena itu, proses dan mekanisme penyusunan APBDesa yang diatur dalam Peraturan

    Menteri Dalam Negeri tersebut akan menjelaskan siapa yang akan bertanggung jawab, dan

    bagaimana cara pertanggung-jawabannya.

    Saat ini DPR-RI telah mengeluarkan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor.

    6 Tahun 2014 tentang Desa. Sejak disahkannya Undang-Undang baru ini, sampai dengan saat

    ini pemerintah belum menerbikan peraturan pemerintah yang menjadi pedoman untuk

    mengatur Keuangan Desa. Sedangkan peraturan pemerintah ini tidak bisa langsung

    diterapkan di setiap desa di seluruh Indonesia.

    Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 2014 ini dianggap menjadi tonggak sejarah yang

    penting bagi pemerintahan desa, karena hal tersebut menunjukkan adanya political will dari

    negara untuk memberdayakan desa dan meningkatkan kesejahteraan seluruh perangkat

    desanya. Salah satu komitmen dan political will tersebut yaitu, adanya alokasi anggaran dari

    APBN untuk pembangunan desa. Kebijakan ini dituangkan dalam pasal 71, setiap desa akan

    mendapatkan alokasi dana dari APBN sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang

    diterima kabupaten/ kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).

    Nilainya disesuaikan dengan kondisi geografis desa, jumlah penduduk dan angka kematian.

    Selama ini pendapatan asli desa yang terdiri dari: hasil usaha, hasil asset, swadaya dan

    partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa, bagian dari hasil pajak daerah

    dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana

    perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan

    dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

    Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan lain-lain

    pendapatan desa yang sah. Adanya pendapatan yang bersumber dari alokasi dana APBN

    tentu saja merupakan kebijakan baru yang positif dan merupakan poin penting bagi

    pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

    Desa menghadapi banyak masalah, antara lain kemiskinan, derajat kesehatan masyarakat

    yang memprihatinkan, tingkat pendidikan yang rendah, angka pengangguran yang cukup

    tinggi, rendahnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa, kerusakan lingkungan alam,

  • 4

    kerusakan infrastruktur, dan lain-lain. Dengan adanya tambahan pendapatan desa yang

    signifikan maka persoalan-persoalan tersebut akan terus ditangani dan dicarikan solusinya

    sesuai dengan prioritas dan kewenangan desa. Apalagi perencaaan, alokasi, pelaksanaan dan

    pertanggung-jawaban penggunaan dana dilaksanakan oleh desa itu sendiri, tentu saja ini

    merupakan aksi yang nyata untuk pemberdayaan masyarakat.

    Pengelolaan keuangan desa saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor.

    37 Tahun 2007 masih menggunakan metode pencatatan akuntansi single entry yang berbasis

    pada kas. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut bahwa hasil dokumen

    yang harus digunakan dalam pengelolaan keuangan desa tersebut meliputi:

    a. Buku kas umum;

    b. Buku kas pembantu perincian obyek penerimaan;

    c. Buku kas pembantu perincian obyek pengeluaran;

    d. Buku kas harian pembantu.

    Dokumen-dokumen tersebut harus dilampirkan dalam laporan pertanggung-jawaban yang

    setiap tahunnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Laporan pertanggung-jawaban

    tersebut kurang akuntabel dan transparan. Terlebih lagi dengan akan diterapkannya Undang-

    Undang Nomor. 6 Tahun 2014 di mana setiap desa akan mendapatkan alokasi dana dari

    APBN sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/ kota dalam

    APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK), desa akan dituntut untuk melakukan

    pencatatan dan memberikan pertanggung-jawaban pengelolaan keuangannya dengan

    mengikuti standar akuntansi yang terkandung dalam peraturan pemerintah yaitu Peraturan

    Pemerintah Nomor. 71 Tahun 2010.

    Jika desa tetap berbasis pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 37 Tahun 2007 di

    mana Peraturan Menteri Dalam Negeri ini mewajibkan desa untuk

    mempertanggungjawabkan sebatas laporan pertanggunjawaban, tidak secara spesifik

    menghasilkan laporan keuangan sehingga dikhawatirkan akan adanya manipulasi dari

    anggaran yang berasal dari alokasi dana dari APBN sebesar sepuluh persen tersebut. Disisi

    lain desa memiliki beberapa masalah yang perlu diperhatikan saat nantinya dana alokasi

    tersebut diberikan kepada desa. Seperti yang diungkapkan oleh Robert Endi Jaweng dalam

    diskusi Prospek Implementasi UU Nomor. 6/2014 yang dikutip dari

    ekonomi.kompasiana.com menyebutkan bahwa terdapat masalah dalam kapasitas

  • 5

    administrasi dan tata kelola aparat pemerintah desa yang masih minim. Kemudian sistem

    akuntabilitas dan pranata pengawasan yang masih lemah, termasuk belum kritisnya

    masyarakat atas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa.

    Disisi lain permasalahan yang muncul yaitu penempatan posisi sumber daya manusia yang

    tidak sesuai dengan keahlian ataupun dengan kompetensinya pada posisi bendahara ataupun

    bagian keuangan dari desa tersebut. Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil mini riset yang kami

    lakukan di 15 desa yang dipilih berdasarkan sample acak di wilayah kabupaten/ kota

    Bandung. Data tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini,

    NOMOR NAMA DESA KECAMATAN KABUPATEN /

    KOTA

    POSISI BAG.

    KEUANGAN

    1 Desa Manjahlega Rancasari Bandung Non Akuntansi

    2 Desa Ciburial Cimenyan Bandung Non Akuntansi

    3 Desa Cibeunying Cimenyan Bandung Non Akuntansi

    4 Desa Katapang Katapang Bandung Non Akuntansi

    5 Desa Bojongsoang Bojongsoang Bandung Non Akuntansi

    6 Desa Melatiwangi Cilengkrang Bandung Non Akuntansi

    7 Desa Mekarsaluyu Cimenyan Bandung Non Akuntansi

    8 Desa Ciburial Cicadas Bandung Non Akuntansi

    9 Desa Cinunuk Cileunyi Bandung Non Akuntansi

    10 Desa Cimenyan Cimenyan Bandung Non Akuntansi

    11 Desa Cipagalo Bojongsoang Bandung Non Akuntansi

    12 Desa Mekarsaluyu Cimenyan Bandung Non Akuntansi

    13 Desa Margajaya Ngamprah Bandung Non Akuntansi

    14 Desa Margassih Margaasih Bandung Akuntansi

    15 Desa Sekejati Buah Batu Bandung Akuntansi

    Tabel 1.1 Data Penempatan Posisi untuk Bag. Keuangan

    Dari 15 desa yang kami teliti terdapat 2 desa yang telah menempatkan posisi bendahara

    ataupun bagian keuangannya dengan orang yang sesuai dengan kompetensinya, yaitu lulusan

    akuntansi. Sedangkan 13 desa lainnya menempatkan orang yang tidak memiliki kompetensi

    akuntansi di bagian bendahara ataupun bagian keuangan. Jadi, sekitar 13% saja posisi di

    bagian keuangan yang telah diisi oleh orang yang sesuai dengan kompetensinya yaitu

    akuntansi, sedangkan sisanya sebesar 87% diisi oleh orang yang tidak memiliki kompetensi

    dalam akuntansi.

  • 6

    Grafik 1.1 Persentase Posisi yang Diisi oleh Akuntan & Non Akuntan di Wilayah Kabupaten/Kota

    Bandung

    Hal ini dapat menyebabkan laporan pertanggung-jawaban tidak akuntabel, dan berpotensi

    terjadinya kesalahan penyajian dalam membuat laporan pertanggung-jawaban terutama

    dengan hal yang berkaitan dengan keuangan.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penempatan pegawai di beberapa desa di

    Kabupaten Bandung yaitu faktor situsional, pendidikan dan kompetensi pegawai. Faktor

    situsional yaitu berkaitan dengan luas daerah di Kabupaten Bandung yang menyebabkan

    minimnya pegawai di desa-desa. Sedangkan pendidikan dan kompetensi pegawai pun turut

    manjadi hambatan dalam pelaksanaan penempatan pegawai. Masih adanya penempatan

    pegawai yang belum berpegang kepada prinsip The right man on the right place and the

    right man on the right job yang artinya penempatan orang orang yang tepat pada tempat

    dan untuk jabatan yang tepat.

    Selain itu, pengelolaan keuangan yang ada di pemerintahan tingkat desa pada nyatanya

    hanya dilakukan oleh kepala desa dan sekretaris desa saja. Masyarakat juga jarang sekali

    dilibatkan untuk mengetahui laporan keuangan dari desa. Hal ini dipandang tidak sesuai

    dengan job description yang seharusnya serta dianggap jika pengelolaan keuangan kurang

    akuntabel dan transparan.

  • 7

    Untuk menghadapi kendala-kendala yang dihadapi pemerintah dalam pengimplementasian

    Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 2014 tersebut, perlu dilakukannya langkah preventif untuk

    menghindari ancaman manipulasi pelaporan dan penyalahgunaan dana serta diberikan

    pengawasan memadai dan berkala, agar dana masyarakat yang dikelola dapat terpantau

    penggunaannya atau transparan, salah satunya dengan menggunakan media Laporan

    Keuangan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Namun untuk tingkat desa yang

    karakteristik pelaporannya lebih sederhana dibanding pemerintah pusat atau pemerintah

    daerah, belum terdapat standar pelaporan keuangan yang relevan dan sesuai dengan

    kondisi/keadaan desa, sedangkan bila menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan dinilai

    terlalu rumit untuk dijalankan oleh tingkat desa. Maka dari itu diperlukan Standar Akuntansi

    tingkat desa, sehingga terdapat keseragaman dalam membuat laporan keuangan desa-desa

    tersebut. Disisi lain, dengan adanya standar akuntansi pelaporan keuangan tingkat desa akan

    memudahkan Inspektorat dalam melakukan pengawasan atas pengelolaan dana yang

    diberikan dari pemerintah daerah. Laporan keuangan desa yang telah sesuai dengan standar

    pada akhirnya akan menjadi lebih akuntabel.

    Pengawasan atas pengelolaan dana serta produktivitas pekerja juga perlu diawasi dan

    diperketat dengan menggunakan satuan pengendalian internal tertentu. Dalam hal ini perlu

    adanya pengukuhan job description dan restrukturisasi entitas pemerintah khususnya desa

    guna menciptakan good goverment governance. Pemeriksaan yang dilakukan oleh

    Inspektorat Daerah merupakan bagian dari proses manajemen pemerintah, dan sebagai

    kegiatan wajib bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pengawasan internal di

    daerah. Dengan pemeriksaan yang dilaksanakan secara reguler tersebut, diharapkan akan

    mengurangi kesalahan manajemen di tingkat kecamatan, desa, maupun kelurahan, serta

    tercapainyan peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintah.

    Adapun hal-hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah yaitu penempatan pegawai yang

    tepat pada tempat dan untuk jabatan yang tepat. Penempatan pegawai terutama di bagian

    bendahara atau keuangan harus ditempati oleh orang yang memiliki latar belakang

    pendidikan atau dasar pengetahuan tentang ilmu keuangan yang termuthakhir agar tidak

    kesulitan dalam menyusun dan membuat laporan keuangan. Di desa sangat diperlukan

    sumber daya manusia yang memiliki latar belakang akuntansi untuk ditempatkan di bagian

    bendahara atau keuangan saat ini karena dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor. 6

  • 8

    Tahun 2014 di mana desa akan mendapatkan alokasi dana dengan jumlah yang cukup besar

    maka diperlukan orang yang dapat mengerti dan memahami pengelolaan keuangan yang baik

    agar tidak terjadinya penyalahgunaan dana dan dana yang diberikan dari pusat dapat

    dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

    Desa yang berada di wilayah kabupatan/ kota Bandung juga sebaiknya melakukan

    pengoptimalan penempatan pegawai. Pengoptimalan pegawai ini dilaksanakan dengan

    terlebih dahulu menentukan analisis jabatan, analisis beban kerja dan penentuan kualifikasi

    jabatan. Dalam optimalisasi penempatan pegawai sebaiknya dalam analisis jabatan dilakukan

    sesuai prosedur yang ada pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2005. Dalam

    praktinya satu sampai dua desa telah melakukan prosedur yang ada pada Peraturan Menteri

    Dalam Negeri seperti telah adanya uraian jabatan dan persyaratan jabatan. Tetapi kebanyakan

    desa yang ada di wilayah kabupaten/ kota Bandung telah ada uraian jabatan namun mereka

    tidak adanya pesyaratan untuk jabatan. Begitu juga dalam analisis beban kerja yang

    seharusnya mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008 yang dimana

    dalam pelaksanaannya sebaiknya melalui tahapan pengumpulan data, pengolahan data,

    penelaahan hasil olahan data, dan penetapan hasil analisis beban kerja. Sedangkan untuk

    kualifikasi jabatan / pekerjaan sebaiknya melaksanakan penempatan pegawai sesuai dengan

    persyaratan yang tercantum pada pasal 5 PP Nomor 13 tahun 2002 tentang pengankatan

    Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural. Secara keseluruhan agar pedoman tersebut

    dapat di ikuti dengan baik diperlukan adanya pihak yang mengawasi, apakah penempatan

    pegawai telah sesuai dengan prosedur pada peraturan atau tidak. Hal ini perlu dilakukan demi

    terciptanya optimalisasi penempatan pegawai.

    Penempatan pegawai yang tepat pada tempat dan jabatan yang tepat tidak hanya dilakukan

    di pemerintahan desa saja, tetapi hal ini sangat perlu diperhatikan oleh seluruh entitas

    pemerintah. Penempatan pegawai yang sesuai dengan kompetensinya harus secara merata

    dilakukan di seluruh pemerintahan baik pusat sampai dengan desa khususnya, terutama yang

    berkaitan di bidang akuntansi atau keuangan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan

    dalam penempatan pegawai seperti kesesuaian antara minat, bakat, pengetahuan,

    keterampilan, kompetensi, dan kemapuan dari pegawai dengan posisi yang akan ditempatkan

    kepada pegawai tersebut. Dengan penempatan pegawai yang sesuai dengan hal hal yang

    telah disebutkan sebelumnya diharpakan mampu meningkatkan kinerja dari pegawai

  • 9

    sehingga dapat terciptanya tujuan dari organisasi, selain itu dapat terciptanya efektivitas serta

    efisiensi dalam bekerja.

    Gambar 1.1 Optimalisasi Pegawai

    Pengelolaan keuangan di pemerintahan tingkat desa yang hanya dilakukan oleh kepala

    desa dan sekretaris desa seharusnya dilakukan oleh kepala desa dan dibantu oleh sebuah tim

    yang bernama Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD) sesuai dengan yang

    dinyatakan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 37 Tahun 2007 tentang

    Pengelolaan Keuangan Desa. Sehingga pengelolaan keuangan desa dilakukan secara

    transparan dan akuntabel.

    Selain itu, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan yang baik maka setiap aparatur desa

    terutama bagian keuangan, memerlukan pendidikan dan pelatihan mengenai cara pengelolaan

    keuangan di desa untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan keterampilannya. Dengan

    dilakukannya pendidikan dan pelatihan, maka setiap bagian dari setiap entitas dan desa

    khususnya dapat berperan aktif dalam mencapai pemerintahan desa yang transparan,

    akuntabel, efektif, dan efisien.

    Ide ini kami canangkan agar tercipta pemerintahan yang transparan, akuntabel serta

    partisipatif dimulai dari aparatur desa yang notabennya lebih dekat dengan masyarakat

    namun kurang diperhatikan, padahal sebenarnya banyak masalah yang timbul ditingkat desa

    terutama mengenai efektifitas dan produktivitas kinerja aparatur desa, serta permasalahan

    mengenai pelaporan pertanggung-jawabannya apalagi dengan adanya UU Nomor 6 tahun

    2014 dimana desa mendapat alokasi dana sebesar 10% dari APBN yang nilainya dibagikan

    berdasarkan kondisi geografis desa, jumlah penduduk dan angka kematian.

    Analisis

    Jabatan

    Analisis

    Beban Kerja

    Pelaksanaan

    Penempatan

    Penentuan

    Kualifikasi Jabatan

    Optimalisasi

    Pegawai

  • 10

    Elsa Oktaviana, Delima, dan Nisa Dwi Apriliani. 2014.