karya tulis
DESCRIPTION
ipaTRANSCRIPT
MENGUNGKAP MAKNA AKAN
SAKRALNYA UPACARA NGABEN
DI BALI
KARYA TULIS
Disusun guna melengkapi dan memenuhi
Salah satu syarat mengikuti
ujian akhir semester
Tahun Pelj. 2009 / 2010
Nama : Hafith Adnan Saputra
NIS : 5802
Kelas : XI IPA 2
PMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA
SMA NEGERI KEBAKKRAMAT
KARANGANYAR
MENGUNGKAP MAKNA AKAN
SAKRALNYA UPACARA NGABEN
DI BALI
KARYA TULIS
Disusun guna melengkapi dan memenuhi
Salah satu syarat mengikuti
ujian akhir semester
Tahun Pelj. 2009 / 2010
Nama : Hafith Adnan Saputra
NIS : 5802
Kelas : XI IPA 2
PMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA
SMA NEGERI KEBAKKRAMAT
KARANGANYAR
PENGESAHAN
Laporan Karya Tulis Study wisata ke Pulau Bali ini telah disetujui dan
disahkan pada :
Hari :
Tanggal :
Oleh :
Pembimbing II Pembimbing I
Drs. Budi Darmasto Siti Sudarsih. Spd, Mpd
NIP. 196309141994121002 NIP. 195701021986032002
Mengetahui,
Kepala SMA Negeri Kebakkramat
Karanganyar
Drs. Sri Wardoyo. B.Sc. MT
Pembina
NIP. 195601141981031012
MOTTO
1. Keberhasilan tak akan diraih jika tak ada perbuatan
2. “Optimis” motivasi meraih prestasi
3. Berjuang meraih prestasi, tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas
4. Tak ada kata tidak bisa jika kita belum mencoba
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dalam waktu
yang relatif singkat saya berusaha menyelesaikan karya tulis ini. Semoga dengan kehadiran
karya tulis ini dapat membantu untuk memudahkan para teman-teman dalam memahami
tentang upacara adat ngaben yang merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara pitra
yajna yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Pancan
Mahabhuta kepada asalnya.
Saya menyadari sepenuhnya atas keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki serta masih langkanya literatur atau bahan pustaka yang dimiliki, sehingga
masih banyak mempunyai kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini. Oleh karena itu,
Saya mengharapkan sumbangan-sumbangan pemikiran, kritik dan saran dari semua pihak
demi kesempurnaan karya tulis ini yaitu dengan tema “Mengungkap Makna Akan Sakralnya
Upacara Ngaben di Bali”.
Akhirnya Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas semua
sumbangan yang diberikan, baik berupa saran maupun kritik.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................................
HALAMAN MOTO ................................................................................................................
KATA PENGANTAR .............................................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Rumusan Masalah
BAB II METODOLOGI PENULISAN ................................................................................
A. Tujuan Penulisan
A. 1. Tujuan Umum
B. 2. Tujuan Khusus
B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
C. Metode Penulisan
D. Sistematika Penulisan
BAB III KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA PULAU BALI .................
BAB IV MENGUNGKAP MAKNA AKAN SAKRALNYA UPACARA
NGABEN DI PULAU BALI ..................................................................................
BAB V PENUTUP ................................................................................................................
A. Kesimpulan
B. Saran dan Kesan
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................
LAMPIRAN – LAMPIRAN ..................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya
telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau
Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang
menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan
waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
Didalam perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti
terhadap seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin,
juga perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa
pasien, semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan
kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.
Jadi mati adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-
masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara
tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang
memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut
kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang
kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang
berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal
dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan
kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
B. Identifikasi Masalah
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak
bisa ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar yaitu : Ngaben
berasal dari kata Ngabehin, artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dana
berlebihan, orang tidak akan berani ngaben. Anggapan keliru ini kemudian
mentradisi. Akhirnya banyak umat Hindu yang tidak bisa ngaben, lantaran biaya yang
terbatas. Akibatnya leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan
dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka timbulah beberapa permasalahan, antara
lain :
Apa sesungguhnya ngaben itu ?
Apakah ngaben selalu menggunakan dana yang besar ?
Apakah tidak ada jenis ngaben yang dapat dilakukan dengan penyediaan dana
yang kecil ?
Mengapa tidak semua orang dapat diaben ?
Apakah landasan filosofi dari upacara ngaben?
Apa maksud dan tujuan diadakannya upacara ngaben?
Dari beberapa penelusuran terhadap berbagai lontar di Bali, ngaben ternyata
tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-
ngaben jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian,
terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan
sawa wedhana. Semua jenis ngaben ini, akan saya coba uraikan dalam makalah ini
sehingga pembaca mendapatkan gambaran, bila ngaben tidak selalu merupakan
pemborosan. Ngaben juga bisa dilakukan secara sederhana. Banyak sastra yang
mengatakan semua jenis ngaben tersebut merupakan suatu yang utama. Sebab itu
merupakan usaha penyucian sehingga kembali ke asalnya.
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan karya tulis ini tidak terlalu luas dan langsung terpusat pada
pokok – pokok permasalahan, maka perlu adanya pembatasan masalah yakni :
Mendekripsikan pengertian ngaben, kemudian
A. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memberikan gambaran
secara ringkas dan jelas tentang segala sesuatu mengenai Upacara adat Ngaben. Secara garis
besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di
alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan memutuskan
keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan
dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra.
Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan /
Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma
dapat selamat dapat pergi kea lam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bias ditunda-tunda,
mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Agama Hindu di India sudah menerapkan
cara ini sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada upacara
yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu
apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di
Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini.
Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin
dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari baik)
menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun. Tetapi sebenarnya dengan
mengambil jenis ngaben sederhana yang telah ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben
akan dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang penting
tujuan utama upacara ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu setahun untuk
diaben, sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah meninggal) harus dipendhem
(dikubur) disetra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan,
sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha
Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem ini.
B. Pengertian
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun
dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui
pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal,
kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin
sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut
Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar
adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal
dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada
suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan
sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.
Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di
pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada
upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan
hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke
alam pitara.
Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang
berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti
menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara
membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon.
Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata
basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal
sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di
Tunon ini.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu.
Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi
“ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi
menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum
perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti
“menuju api”.
Adapun yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang
mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma
sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).
Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api
Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang
mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput
karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”.
Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya
dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang
Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya
(Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih
mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang
tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya.
Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara
Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan
Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.
Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api
sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira
(badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca
Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur
Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa
sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan
untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan
dari “Ngaben”.
C. Landasan Filosofis
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu
manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana
Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara
ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam
pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana
Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).
Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu
prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan
yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah,
kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah
angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang
menjadikan rambut, kuku.
Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut : sari-sari
Panca Maha Bhuta yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang
disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas) , kyasa
(sepet) dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia, dimana
didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang (Ovum / sel
telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur
melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas
(kakere) dan ari-ari.
Percampuran kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun
kedalamnya. Konon atma ini masuk kedalam unsur kama yang bercampur ini, ketika ibu dan
bapak dalam keadaan lupa, dalam asyiknya menikmati rasa. Disamping Panca Maha Bhuta
yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari
Panca Maha Bhuta itu. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi
Suksma Sarira, yakni Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu
disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia.
Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara adalah alam
keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat merekam
dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-
bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atma (roh) yang akan pergi ke alam pitra.
Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan
badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma
Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan,
lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma (roh).
Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya , perlu badan kasarnya di upacarakan untuk
mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta.
Demikian juga bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan
memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.
Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan
kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya akan
mendaptkan Neraka, seperti dijelaskan : “Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi
salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro haro
gering mrana ring rat, etemahan gadgad”
Artinya
“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamnya tidak diupacarakan diaben, sungguhnya
akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)
….”(lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).
Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca
Sradha atau lima keyakinan itu adalah :
1. Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta
isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua
ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan
kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya
alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara
tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan
manusia ke asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham
Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu adalah
mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses menyatunya Atma
dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep Agama Hindu
adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman / Tuhan), dimana
Tuhan merupakan asal semua kehidupan.
2. Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia
yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes kecil
(atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada
asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.
3. Karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan
suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala.
Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (Asubha
karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan menjadi beban atma
akan kembali keasalnya. Lebih-lebih buah karma yang buruk. Ia merupakan beban
atma yang akan menghempaskan ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia
perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan
dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa,
ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara
Ngaben itu, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
4. Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau
lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Adalah
sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan
upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atma untuk dapat
kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara
kelepasan lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
5. Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua
manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma
harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi
harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah
menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa
Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma
bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa
(kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).
D. Unsur Metafisika dalam Ngaben
Setelah mengetahui maksud dan tujuan serta landasan filosofis. Penulis akan mencoba
mengungkapkan unsur metafisika yang terdapat dalam upacara ngaben. Berangkat dari
ontologi (metafisika umum) yang berusaha menjawab persoalan dan menggelar gambaran
umum tentang struktur yang ada atau realitas berlaku mutlak untuk segala jenis realitas (yang
ada). Realitas yang mendasar yang diyakini sebagai sumber dan makna itu oleh Sontag
(1970:4) disebut sebagai “prinsip utama” ( the first principle ). Setiap filsuf atau aliran dalam
memahami prinsip pertama menggunakan cara-cara yang berbeda, oleh karena itu dalam
pemikiran filsafat kita menemukan beberapa model pendekatan, dari yang tradisional sampai
yang paling kontemporer. Pendekatan itu berkembang dari model pemikiran kosmosentris,
theosentris, antroposentris, logosentris, dan ke gramatologisentris. Masing-masing memiliki
watak, titik pijak, perspektif, dan orientasi yang berbeda.
Telah ditetapkan bahwa dalam upacara ngaben dianggap sebagai “simbolis pengantar
atma (jiwa) ke alam pitra (baka)”. Proses pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip
utama yang lalu dituangkan melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben. Oleh
karena itu “proses pengantaran atma (jiwa) ke alam pitra (baka)” tersebut merupakan prinsip
pertama dalam ontologi upacara ngaben.
E. Dasar Hukum
Ngaben merupakan salah satu upacara adat Umat Hindu yang masuk ke dalam ruang
lingkup upacara Pitra Yajna. Dimana yang dimaksud dengan Pitra Yajna adalah persembahan
suci kepada leluhur. Pitra Yajna berasal dari kata Pitr yang artinya leluhur, yajna yang berasal
urat kata yaj yang berarti berkorban. Leluhur dimaksud adalah Ibu Bapak, kakek, buyut, dan
lain-lain yang merupakan garis lurus ke atas, yang menurunkan kita. Kita ada karena ibu dan
Bapak. Ibu dan Bapak ada karena Kakek dan Nenek, begitu seterusnya. Jadi kita ada atas jasa
mereka. Kita telah berhutang kepada mereka. Hutang kepada leluhur disebut Pitra Rna.
Hutang ini harus dibayar, membayar utang kepada leluhur dengan melaksanakan pitra yajna.
Jadi pitra yajna merupakan suatu pembayaran hutang kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi
dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu.
Upacara menghormati leluhur dalam Agama Hindu di kenal dengan istilah Sradha.
Hal ini dijelaskan dalam Menawa Dharma Sastra sebagai berikut : “Upacara Pitra Yajna yang
harus kamu lakukan Hendaknya setiap harinya melakukan sraddha dengan
mempersembahkan nasi atau dengan air dan susu, dengan umbi-umbian . Dan dengan
demikian Ia menyenangkan para leluhur.” (M.D.S.I.82).
Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa
sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan
umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya,
juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan
jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt
saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-
potong atau jadi abu akibat ledakan.
Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan
mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg
dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan
nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg
meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk
melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari
meninggalnya.
Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan
ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh
kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu.
Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah
prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain
bergambar unsur2 penyucian roh.
Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan
dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah
biasanya berbentuk padma sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan
dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon
pisang ditumpuk berbentuk lembu.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau
orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah
pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh.
Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah
tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg
menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1
jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi
sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan
sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben
di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal
gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada
keluarganya meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan
karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali
merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga
yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena
hubungannya dengan leluhurnya.
Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di
dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila
sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.
Sumber : www.badungkab.go.id, baliguide.biz, id.wikipedia.org
F. Jenis – jenis Ngaben Sederhana
1. Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali
masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti
yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang
didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan
dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini.
Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat
merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda
prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di
aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah)
itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
2. Ngaben Mitra Yajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci.
Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama
Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap
lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak
disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya,
maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna.
Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam
Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari
dengan tidak memilih dewasa (hari baik).
3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan
huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum
pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura
Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya
dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku
ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama
dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
4. Pranawa Bhuwanakosa.
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brighu. Dimana
Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam,
disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
5. Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya
(mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan,
lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta.
Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan
dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung
cendana 18 potong.
Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat,
ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi
yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan,
dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat
diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.
F. Ngaben Sarat
Ngaben Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat
dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat ini memerlukan dukungan
dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan
baik terhadap sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem.
Ngaben sarat terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan
ngaben sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka
maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang
lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang
panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis
ngaben ini disebut Ngaben Sarat.
G. Kondisi Umat Hindu dimasa lalu
Pada masa lalu, lebih-lebih sebelum masa kemerdekaan, umat Hindu kondisinya
sangat lemah. Sebagai masyarakat Agraris mereka berpenghasilan sangat rendah. Pemahaman
terhadap Agama Hindu sangat rendah. Lebih-lebih ketika itu, ajaran Agama masih tabu untuk
dipelajari secara umum. Motto away wera yang disalahtafsirkan menghantui pikiran umat.
Akibatnya pemahaman Agama Hindu sangat rendah. Pengertian Ngaben disalah artikan
dimana Ngaben adalah identik dengan Ngabehin. Kalau tidak mempunyai dana yang besar
umat tidak akan berani ngaben. Umat tidak mengenal ada bentuk ngaben sederhana. Lalu
mereka jarang sekali ngaben. Kalau toh ada ngaben mereka pasti golongan mekel, golongan
menak, keluarga Puri, atau Geria.
Sewaktu-waktu umat kebanyakan juga ikut ngaben. Namun secara kolektif, baik
dengan cara ngiring (ikut / numpang) pada puri atau pun geria; kadang kala dari masyarakat
yang berpikiran agak maju, melaksanakan ngaben kolektif yang disebut Ngagalung. Biasanya
disponsori oleh banjar. Akibat dari semua itu, sawa leluhur lama terpendam. Bertahun-tahun
bahkan puluhan tahun. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip ngaben.
H. Kondisi umat Hindu masa sekarang.
Masyarakat sekarang telah measuki era Industrialisasi. Khususnya Bali adalah Industri
Pariwisata. Masyarakat Industri adalah masyarakat yang penuh dengan kesibukan. Pendapatan
masyarakat semakin meningkat. Pemahaman terhadap ajaran agama juga semakin meningkat,
pelaksanaan upacara menjadi semakin semarak. Dengan pendapatan yang tinggi maka
semakin bergairah dalam melaksanakan ibadah agamanya. Bagi Agama Hindu melaksanakan
upacara agama termasuk ngaben kelihatan makin semarak saja. Setiap orang mati kebanyakan
diaben. Ada yang mengambil ngaben sederhana dan ada juga yang mengambil jenis
pengabenan sarat.
Disisi lain akibat dari dampak pengaruh industri pariwisata, adalah penyempitan
waktu. Hidup gotong royong seperti masa lalu mulai terancam. Kalau ada tetangga yang
ngaben, tanpa diundang dia datang untuk membantu bekerja. Tapi sekarang tanpa di undang
ia tidak akan datang. Kalau toh diminta paling-paling bisa membantu 1 s/d 2 kali saja.
Syukurlah masyarakat Hindu di Bali masih mempunyai Banjar. Banjar adalah suatu lembaga
adat yang andal untuk mempertahankan kebersamaan dan gotong-royong. Melalui banjar
umat Hindu yang ngaben dapat mengharapkan bantuan warganya. Hanya beberapa kali
mereka dapat meminta gotong-royong banjar. Ternyata lembaga banjar ini masih sangat
efektif untuk membantu pelaksanaan ngaben.
I. Jenis-jenis Ngaben Sarat :
Jenis-jenis Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu
Sawa Prateka dan Sawa Wedhana. Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru meninggal
disebut Sawa Prateka. Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru
meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan. Bila disimpulkan yaitu begitu atma
atau urip meninggalkan badan, sawanya lalu diupacarakan di rumah seperti dimandikan,
diperciki tirta pemanah, dihidangkan saji tarpana, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali
sementara pada badannya terdahulu. Jadi di rumah betul sawanya yang diupakarakan. Inilah
yang disebut Sawa Prateka.
Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dikubur (di pendhem) lalu di aben disebut
Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah
mendapatkan upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra
namanya makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan
setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya
sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin.
Sawa yang telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi
tawulan ini diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau
yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari
orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben
jenis ini juga disebut Sawa Rsi.
J. Pembagian Ngaben Menurut Caranya
Selain pembagian ngaben menurut jenis ngaben diatas baik ngaben sederhana maupun
ngaben sarat, adapula pembagian ngaben dilihat dari cara pelaksanaannya yaitu :
1. Ngaben Langsung
Ngaben Langsung Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang itu
meninggal. Ini biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan mampu untuk urusan
ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari persiapannya membutuhkan waktu yang
agak lama, minimal kira-kira 10 hari, itupun jika “hari baik” berdasarkan hitungan kalerder
Bali sudah dapat ditentukan / dipilih. Sementara itu biasanya mayat dari orang yang
meninggal akan diawetkan terlebih dahulu, baik dengan cara pembekuan (es), atau dengan zat
kimia lainnya.
2. Ngaben Massal (ngerit)
Seperti namanya ngaben masal dilakukan secara bersama-sama dengan banyak orang.
Di masing-masing desa di Bali biasanya mempunyai aturan tersendiri untuk acara ini. Ada
yang melakukan setiap 3 tahun sekali, ada juga setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya.
Bagi masyarakat yang kurang mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan
biaya, sangat bisa diminimalkan. Biasanya mereka yang mempunyai keluarga meninggal
dunia, akan di kubur terlebih dulu. Pada saat acara ngaben masal inilah, kuburan itu digali
lagi untuk mengumpulkan sesuatu yang tersisa dari mayat tersebut. Sisa tulang atau yang lain,
akan dikumpulkan dan selanjutnya dibakar.
Prosesi upacara ngaben selanjutnya, setelah pembakaran mayat, abunya kemudian
dibuang ke laut. Dilanjutkan dengan upacara penjemputan arwah di laut tersebut, sebelum
akhirnya ditempatkan di pura keluarga masing-masing. Disinilah biasanya seperti dijelaskan
dihalaman lain tentang pura keluarga masyarakat hindu di Bali, disamping fungsinya untuk
memuja tuhan juga untuk memuja para leluhurnya.
K. Hari Baik atau Dewasa Ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya
pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan alam besar
(Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap kehidupan manusia serta akibat
dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul diperhatikan oleh setiap umat Hindu dalam
melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yajna, dalam hal ini ngaben.
Bergeraknya matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan
penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar
terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan
pesasihan dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa,
khususnya dewasa ngaben sarat.
Bila kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke utara ke
selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta
kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
L. Upacara Adat Ngaben di Desa Trunyan Bali.
Terletak di pinggir Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit, Desa Trunyan memiliki
banyak keunikan sebagai sebuah desa kuna dan Bali Aga (Bali asli). Konon ada sebuah pohon
Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu mendorong Ratu Gede
Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem
Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin
dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu.
Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari
Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-
orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama
kelamaan menjadi Trunyan. Desa ini berada di Kecamatan Kintamani, Daerah Tingkat II
Bangli. Ternyata tidak semua umat Hindu di Bali melangsungkan upacara ngaben untuk
pembakaran jenasah. Di Trunyan, jenasah tidak dibakar, melainkan hanya diletakkan di tanah
pekuburan. Trunyan adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa Bali Aga (Bali asli).
Trunya memiliki banyak keunikan dan yang daya tariknya paling tinggi adalah keunikan
dalam memperlakukan jenasah warganya.
Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa Trunyan, ketiga jenis
kuburan itu di- klasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan
cara penguburan yaitu :
1. Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik yang disebut
Setra Wayah.
Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak
cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau
kecelakaan).
2. Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan
orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh
dan tidak cacat.
3. Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang
meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal secara tidak wajar misalnya
kecelakaan, bunuh diri).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau
kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan
dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan harus
menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur,
namun cara penguburannya unik yaitu dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah yang telah
diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm.
Sebagian badannya dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah
tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk
semacam kerucut, digunakan untuk memagari jenasah. Di Setra Wayah ini terdapat 7 liang
lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa
cacat terletak di bagian hulu dan masih ada 5 liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu
untuk masyarakat biasa.
Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang
lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah
lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan
tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang. Meski tidak
dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara kematian tradisi desa Trunyan pada prinsipnya
sama saja dengan makna dan tujuan upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di
Bali lainnya. Upacara dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang
tuanya. Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan perilaku
yang baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada waktu orang tua meninggal
serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk upacara kematian.
PENUTUP
Dari semua uraian dan penjelasan Upacara Ngaben, sebagai penutup dapatlah disimpulkan
sebasgai berikut :
Ngaben adalah upacara pemberian beya atau bekal bagi roh untuk kembali kepada asalnya,
dan pembakaran mayat, tawulan atau awak-awakan Sawa (jenasah) untuk mempercepat
proses kembalinya unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya.
Ngaben dapat dibagi dua yakni ngaben sarat dan ngaben sederhana yakni ngaben yang
dilakukan dengan cara sangat sederhana. Ngaben ini terdiri dari : Mitra Yajna, Pranawa,
Swasta, dll. Ngaben sarat adalah ngaben yang penuh sarat dengan perlengkapan-perlengkapan
upakara bebanten dan peralatan lainnya. Ngaben sarat ini terdiri dari dua jenis yakni sawa
prateka dan sawa wedhana.
Kendatipun ada perbedaan dalam materi, maupun manfaat kedua jenis ngaben ini sama saja
(utama juga ia, wenang ingangge der sang catur janma).
Upacara ngaben dilandasi oleh pemikiran akan hakekat kehidupan sebagai manusia, yang
berasal dari Tuhan untuk kembali kepada Tuhan.
Untuk tercapainya tujuan Ngaben dengan semaksimal telah ditentukan adanya hari-hari baik
(dewasa).
Semua peralatan dan sarana Ngaben terutama sekali pada Ngaben Sarat, adalah merupakan
simbol-simbol yang bermakna.
Ngaben adalah merupakan swadharma pretisantana untuk menunukkan rasa bakti yang
mendalam terhadap leluhurnya.
Meninggal yang tidak wajar dalam umat Hindu dikenal dengan istilah Salah Pati (dicari mati
seperti contohnya : kecelakaan), dan Ulah Pati (mencari mati seperti contohnya bunuh diri).
Demikianlah penjelasan tentang upacara ngaben yang merupakan suatu proses ritual yang
dilakukan oleh masyarakat bali. Dari penjelasan di atas kita dapat melihat penjelasan
etimologi dan terminologi, maksud, tujuan, landasan folosofis dan unsur metafisika dalam
upacara dan proses ngaben.
http://dewaarka.wordpress.com/2009/06/15/upacara-adat-ngaben-umat-hindu-bali/
14.50