karya tulis

40
MENGUNGKAP MAKNA AKAN SAKRALNYA UPACARA NGABEN DI BALI KARYA TULIS Disusun guna melengkapi dan memenuhi Salah satu syarat mengikuti ujian akhir semester Tahun Pelj. 2009 / 2010 Nama : Hafith Adnan Saputra NIS : 5802 Kelas : XI IPA 2 PMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR

Upload: onisiswoko

Post on 19-Jun-2015

719 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ipa

TRANSCRIPT

Page 1: kARYA tULIS

MENGUNGKAP MAKNA AKAN

SAKRALNYA UPACARA NGABEN

DI BALI

KARYA TULIS

Disusun guna melengkapi dan memenuhi

Salah satu syarat mengikuti

ujian akhir semester

Tahun Pelj. 2009 / 2010

Nama : Hafith Adnan Saputra

NIS : 5802

Kelas : XI IPA 2

PMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA

SMA NEGERI KEBAKKRAMAT

KARANGANYAR

Page 2: kARYA tULIS

MENGUNGKAP MAKNA AKAN

SAKRALNYA UPACARA NGABEN

DI BALI

KARYA TULIS

Disusun guna melengkapi dan memenuhi

Salah satu syarat mengikuti

ujian akhir semester

Tahun Pelj. 2009 / 2010

Nama : Hafith Adnan Saputra

NIS : 5802

Kelas : XI IPA 2

PMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA

SMA NEGERI KEBAKKRAMAT

KARANGANYAR

Page 3: kARYA tULIS

PENGESAHAN

Laporan Karya Tulis Study wisata ke Pulau Bali ini telah disetujui dan

disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Oleh :

Pembimbing II Pembimbing I

Drs. Budi Darmasto Siti Sudarsih. Spd, Mpd

NIP. 196309141994121002 NIP. 195701021986032002

Mengetahui,

Kepala SMA Negeri Kebakkramat

Karanganyar

Drs. Sri Wardoyo. B.Sc. MT

Pembina

NIP. 195601141981031012

Page 4: kARYA tULIS

MOTTO

1. Keberhasilan tak akan diraih jika tak ada perbuatan

2. “Optimis” motivasi meraih prestasi

3. Berjuang meraih prestasi, tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas

4. Tak ada kata tidak bisa jika kita belum mencoba

Page 5: kARYA tULIS

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dalam waktu

yang relatif singkat saya berusaha menyelesaikan karya tulis ini. Semoga dengan kehadiran

karya tulis ini dapat membantu untuk memudahkan para teman-teman dalam memahami

tentang upacara adat ngaben yang merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara pitra

yajna yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Pancan

Mahabhuta kepada asalnya.

Saya menyadari sepenuhnya atas keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan

yang dimiliki serta masih langkanya literatur atau bahan pustaka yang dimiliki, sehingga

masih banyak mempunyai kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini. Oleh karena itu,

Saya mengharapkan sumbangan-sumbangan pemikiran, kritik  dan saran dari semua pihak

demi kesempurnaan karya tulis ini yaitu dengan tema “Mengungkap Makna Akan Sakralnya

Upacara Ngaben di Bali”.

Akhirnya Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas semua

sumbangan yang diberikan, baik berupa saran maupun kritik.

Penulis

Page 6: kARYA tULIS

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................................

HALAMAN MOTO ................................................................................................................

KATA PENGANTAR .............................................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah

C. Pembatasan Masalah

D. Rumusan Masalah

BAB II METODOLOGI PENULISAN ................................................................................

A. Tujuan Penulisan

A. 1. Tujuan Umum

B. 2. Tujuan Khusus

B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

C. Metode Penulisan

D. Sistematika Penulisan

BAB III KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA PULAU BALI .................

BAB IV MENGUNGKAP MAKNA AKAN SAKRALNYA UPACARA

NGABEN DI PULAU BALI ..................................................................................

BAB V PENUTUP ................................................................................................................

A. Kesimpulan

B. Saran dan Kesan

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................

LAMPIRAN – LAMPIRAN ..................................................................................................

Page 7: kARYA tULIS

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya

telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau

Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang

menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan

waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.

Didalam perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti

terhadap seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin,

juga perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa

pasien, semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan

kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.

Jadi mati adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-

masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara

tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang

memiliki peradaban budaya.

Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut

kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang

kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang

berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal

dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan

kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.

B. Identifikasi Masalah

Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak

bisa ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar yaitu : Ngaben

berasal dari kata Ngabehin, artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dana

berlebihan, orang tidak akan berani ngaben. Anggapan keliru ini kemudian

mentradisi. Akhirnya banyak umat Hindu yang tidak bisa ngaben, lantaran biaya yang

terbatas. Akibatnya leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan

dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.

Page 8: kARYA tULIS

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka timbulah beberapa permasalahan, antara

lain :

Apa  sesungguhnya ngaben itu ?

Apakah ngaben selalu menggunakan dana yang besar ?

Apakah tidak ada jenis ngaben yang dapat dilakukan dengan penyediaan dana

yang kecil ?

Mengapa tidak semua orang dapat diaben ?

Apakah landasan filosofi dari upacara ngaben?

Apa maksud dan tujuan diadakannya upacara ngaben?

Dari beberapa penelusuran terhadap berbagai lontar di Bali, ngaben ternyata

tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-

ngaben jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian,

terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan

sawa wedhana. Semua jenis ngaben ini, akan saya coba uraikan dalam makalah ini

sehingga pembaca mendapatkan gambaran, bila ngaben tidak selalu merupakan

pemborosan. Ngaben juga bisa dilakukan secara sederhana. Banyak sastra yang

mengatakan semua jenis ngaben tersebut merupakan suatu yang utama. Sebab itu

merupakan usaha penyucian sehingga kembali ke asalnya.

C. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan karya tulis ini tidak terlalu luas dan langsung terpusat pada

pokok – pokok permasalahan, maka perlu adanya pembatasan masalah yakni :

Mendekripsikan pengertian ngaben, kemudian

Page 9: kARYA tULIS
Page 10: kARYA tULIS
Page 11: kARYA tULIS
Page 12: kARYA tULIS

A. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memberikan gambaran

secara ringkas dan jelas tentang segala sesuatu mengenai Upacara adat Ngaben. Secara garis

besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di

alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan memutuskan

keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan

dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra.

Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan /

Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma

dapat selamat dapat pergi kea lam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bias ditunda-tunda,

mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Agama Hindu di India sudah menerapkan

cara ini sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada upacara

yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu

apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di

Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini.

Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin

dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari baik)

menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun. Tetapi sebenarnya dengan

mengambil jenis ngaben sederhana yang telah ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben

akan dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang penting

tujuan utama upacara ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu setahun untuk

diaben, sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah meninggal) harus dipendhem

(dikubur) disetra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan,

sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha

Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem ini.

Page 13: kARYA tULIS

B. Pengertian

Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun

dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui

pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal,

kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin

sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut

Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.

Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar

adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal

dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada

suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan

sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.

Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di

pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada

upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan

hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke

alam pitara.

Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang

berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti

menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara

membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.

Page 14: kARYA tULIS

Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon.

Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata

basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal

sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di

Tunon ini.

Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu.

Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi

“ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi

menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum

perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti

“menuju api”.

Adapun yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang

mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma

sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).

Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api

Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang

mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput

karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”.

Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya

dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang

Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya

(Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih

mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang

tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya.

Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara

Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan

Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.

Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api

sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira

(badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca

Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur

Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa

sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan

untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan

dari “Ngaben”.

Page 15: kARYA tULIS

C. Landasan Filosofis

Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu

manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana

Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara

ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam

pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana

Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).

Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu

prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan

yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah,

kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah

angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang

menjadikan rambut, kuku.

Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut : sari-sari

Panca Maha Bhuta yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang

disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas) , kyasa

(sepet) dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia, dimana

didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang (Ovum / sel

telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur

melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas

(kakere) dan ari-ari.

Percampuran kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun

kedalamnya. Konon atma ini masuk kedalam unsur kama yang bercampur ini, ketika ibu dan

bapak dalam keadaan lupa, dalam asyiknya menikmati rasa. Disamping Panca Maha Bhuta

yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari

Panca Maha Bhuta itu. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi

Suksma Sarira, yakni Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu

disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia.

Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara adalah alam

keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat merekam

dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-

bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atma (roh) yang akan pergi ke alam pitra.

Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan

badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma

Page 16: kARYA tULIS

Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan,

lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma (roh).

Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya , perlu badan kasarnya di upacarakan untuk

mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta.

Demikian juga bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan

memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.

Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan

kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya akan

mendaptkan Neraka, seperti dijelaskan : “Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi

salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro haro

gering mrana ring rat, etemahan gadgad”

Artinya

“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamnya tidak diupacarakan diaben, sungguhnya 

akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)

….”(lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).

Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca

Sradha atau lima keyakinan itu adalah :

1. Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta

isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua

ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan

kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya

alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara

tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan

manusia ke asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham

Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu adalah

mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses menyatunya Atma

dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep Agama Hindu

adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman / Tuhan), dimana

Tuhan merupakan asal semua kehidupan.

2. Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia

yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes kecil

(atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada

asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.

3. Karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan

suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala.

Page 17: kARYA tULIS

Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (Asubha

karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan menjadi beban atma

akan kembali keasalnya. Lebih-lebih buah karma yang buruk. Ia merupakan beban

atma yang akan menghempaskan ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia

perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan

dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa,

ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara

Ngaben itu, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.

4. Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau

lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Adalah

sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan

upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atma untuk dapat

kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara

kelepasan lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.

5. Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua

manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma

harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi

harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah

menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa

Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma

bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa

(kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).

D. Unsur Metafisika dalam Ngaben

Setelah mengetahui maksud dan tujuan serta landasan filosofis. Penulis akan mencoba

mengungkapkan unsur metafisika yang terdapat dalam upacara ngaben. Berangkat dari

ontologi (metafisika umum) yang berusaha menjawab persoalan dan menggelar gambaran

umum tentang struktur yang ada atau realitas berlaku mutlak untuk segala jenis realitas (yang

ada). Realitas yang mendasar yang diyakini sebagai sumber dan makna itu oleh Sontag

(1970:4) disebut sebagai “prinsip utama” ( the first principle ). Setiap filsuf atau aliran dalam

memahami prinsip pertama menggunakan cara-cara yang berbeda, oleh karena itu dalam

pemikiran filsafat kita menemukan beberapa model pendekatan, dari yang tradisional sampai

yang paling kontemporer. Pendekatan itu berkembang dari model pemikiran kosmosentris,

theosentris, antroposentris, logosentris, dan ke gramatologisentris. Masing-masing memiliki

watak, titik pijak, perspektif, dan orientasi yang berbeda.

Page 18: kARYA tULIS

Telah ditetapkan bahwa dalam upacara ngaben dianggap sebagai “simbolis pengantar

atma (jiwa) ke alam pitra (baka)”. Proses pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip

utama yang lalu dituangkan melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben. Oleh

karena itu “proses pengantaran atma (jiwa) ke alam pitra (baka)” tersebut merupakan prinsip

pertama dalam ontologi upacara ngaben.

E. Dasar Hukum

Ngaben merupakan salah satu upacara adat Umat Hindu yang masuk ke dalam ruang

lingkup upacara Pitra Yajna. Dimana yang dimaksud dengan Pitra Yajna adalah persembahan

suci kepada leluhur. Pitra Yajna berasal dari kata Pitr yang artinya leluhur, yajna yang berasal

urat kata yaj yang berarti berkorban. Leluhur dimaksud adalah Ibu Bapak, kakek, buyut, dan

lain-lain yang merupakan garis lurus ke atas, yang menurunkan kita. Kita ada karena ibu dan

Bapak. Ibu dan Bapak ada karena Kakek dan Nenek, begitu seterusnya. Jadi kita ada atas jasa

mereka. Kita telah berhutang kepada mereka. Hutang kepada leluhur disebut Pitra Rna.

Hutang ini harus dibayar, membayar utang kepada leluhur dengan melaksanakan pitra yajna.

Jadi pitra yajna merupakan suatu pembayaran hutang kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi

dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu.

Upacara menghormati leluhur dalam Agama Hindu di kenal dengan istilah Sradha.

Hal ini dijelaskan dalam Menawa Dharma Sastra sebagai berikut : “Upacara Pitra Yajna yang

harus kamu lakukan Hendaknya setiap harinya melakukan sraddha dengan

mempersembahkan nasi atau dengan air dan  susu, dengan umbi-umbian . Dan dengan

demikian Ia menyenangkan para leluhur.” (M.D.S.I.82).

Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa

sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan

umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya,

juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan

jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt

saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-

potong atau jadi abu akibat ledakan.

Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan

mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg

dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan

nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg

meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk

Page 19: kARYA tULIS

melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari

meninggalnya.

Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan

ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh

kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu.

Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah

prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain

bergambar unsur2 penyucian roh.

Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan

dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah

biasanya berbentuk padma sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan

dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon

pisang ditumpuk berbentuk lembu.

Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau

orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah

pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh.

Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah

tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg

menggunakan angin.

Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1

jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi

sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan

sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben

di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal

gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada 

keluarganya meninggal.

Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan

karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya.  Secara umum, orang Bali

merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga

yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena

hubungannya dengan leluhurnya.

Page 20: kARYA tULIS

Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di

dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila

sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

Sumber : www.badungkab.go.id, baliguide.biz, id.wikipedia.org

F. Jenis – jenis Ngaben Sederhana

1. Mendhem Sawa

Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali

masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti

yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang

didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan

dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini.

Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat

merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda

prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di

aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah)

itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).

2. Ngaben Mitra Yajna

Page 21: kARYA tULIS

Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci.

Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama

Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap

lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak

disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya,

maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna.

Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam

Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari

dengan tidak memilih dewasa (hari baik).

3. Pranawa

Page 22: kARYA tULIS

Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan

huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum

pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura

Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya

dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku

ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama

dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.

4. Pranawa Bhuwanakosa.

Page 23: kARYA tULIS

Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brighu. Dimana

Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam,

disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.

5.   Swasta

Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya

(mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan,

lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta.

Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan

dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung

cendana 18 potong.

Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat,

ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi

yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan,

dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat

diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.

F. Ngaben Sarat

Ngaben Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat

dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat ini memerlukan dukungan

dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan

baik terhadap sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem.

Ngaben sarat terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan

ngaben sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka

maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang

lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang

panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis

ngaben ini disebut Ngaben Sarat.

G. Kondisi Umat Hindu dimasa lalu

Pada masa lalu, lebih-lebih sebelum masa kemerdekaan, umat Hindu kondisinya

sangat lemah. Sebagai masyarakat Agraris mereka berpenghasilan sangat rendah. Pemahaman

terhadap Agama Hindu sangat rendah. Lebih-lebih ketika itu, ajaran Agama masih tabu untuk

dipelajari secara umum. Motto away wera yang disalahtafsirkan menghantui pikiran umat.

Akibatnya pemahaman Agama Hindu sangat rendah. Pengertian Ngaben disalah artikan

Page 24: kARYA tULIS

dimana Ngaben adalah identik dengan Ngabehin. Kalau tidak mempunyai dana yang besar

umat tidak akan berani ngaben. Umat tidak mengenal ada bentuk ngaben sederhana. Lalu

mereka jarang sekali ngaben. Kalau toh ada ngaben mereka pasti golongan mekel, golongan

menak, keluarga Puri, atau Geria.

Sewaktu-waktu umat kebanyakan juga ikut ngaben. Namun secara kolektif, baik

dengan cara ngiring (ikut / numpang) pada puri atau pun geria; kadang kala dari masyarakat

yang berpikiran agak maju, melaksanakan ngaben kolektif yang disebut Ngagalung. Biasanya

disponsori oleh banjar. Akibat dari semua itu, sawa leluhur lama terpendam. Bertahun-tahun

bahkan puluhan tahun. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip ngaben.

H. Kondisi umat Hindu masa sekarang.

Masyarakat sekarang telah measuki era Industrialisasi. Khususnya Bali adalah Industri

Pariwisata. Masyarakat Industri adalah masyarakat yang penuh dengan kesibukan. Pendapatan

masyarakat semakin meningkat. Pemahaman terhadap ajaran agama juga semakin meningkat,

pelaksanaan upacara menjadi semakin semarak. Dengan pendapatan yang tinggi maka

semakin bergairah dalam melaksanakan ibadah agamanya. Bagi Agama Hindu melaksanakan

upacara agama termasuk ngaben kelihatan makin semarak saja. Setiap orang mati kebanyakan

diaben. Ada yang mengambil ngaben sederhana dan ada juga yang mengambil jenis

pengabenan sarat.

Disisi lain akibat dari dampak pengaruh industri pariwisata, adalah penyempitan

waktu. Hidup gotong royong seperti masa lalu mulai terancam. Kalau ada tetangga yang

ngaben, tanpa diundang dia datang untuk membantu bekerja. Tapi sekarang tanpa di undang

ia tidak akan datang. Kalau toh diminta paling-paling bisa membantu 1 s/d 2 kali saja.

Syukurlah masyarakat Hindu di Bali masih mempunyai Banjar. Banjar adalah suatu lembaga

adat yang andal untuk mempertahankan kebersamaan dan gotong-royong. Melalui banjar

umat Hindu yang ngaben dapat mengharapkan bantuan warganya. Hanya beberapa kali

mereka dapat meminta gotong-royong banjar. Ternyata lembaga banjar ini masih sangat

efektif untuk membantu pelaksanaan ngaben.

I. Jenis-jenis Ngaben Sarat :

Jenis-jenis Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu

Sawa Prateka dan Sawa Wedhana. Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru meninggal

disebut Sawa Prateka. Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru

meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan. Bila disimpulkan yaitu begitu atma

atau urip meninggalkan badan, sawanya lalu diupacarakan di rumah seperti dimandikan,

Page 25: kARYA tULIS

diperciki tirta pemanah, dihidangkan saji tarpana, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali

sementara pada badannya terdahulu. Jadi di rumah betul sawanya yang diupakarakan. Inilah

yang disebut Sawa Prateka.

Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dikubur (di pendhem) lalu di aben disebut

Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah

mendapatkan upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra

namanya makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan

setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya

sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin.

Sawa yang telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi

tawulan ini diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau

yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari

orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben

jenis ini juga disebut Sawa Rsi.

J. Pembagian Ngaben Menurut Caranya

Selain pembagian ngaben menurut jenis ngaben diatas baik ngaben sederhana maupun

ngaben sarat, adapula pembagian ngaben dilihat dari cara pelaksanaannya yaitu :

1. Ngaben Langsung

Ngaben Langsung Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang itu

meninggal. Ini biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan mampu untuk urusan

ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari persiapannya membutuhkan waktu yang

agak lama, minimal kira-kira 10 hari, itupun jika “hari baik” berdasarkan hitungan kalerder

Bali sudah dapat ditentukan / dipilih. Sementara itu biasanya mayat dari orang yang

meninggal akan diawetkan terlebih dahulu, baik dengan cara pembekuan (es), atau dengan zat

kimia lainnya.

2. Ngaben Massal (ngerit)

Seperti namanya ngaben masal dilakukan secara bersama-sama dengan banyak orang.

Di masing-masing desa di Bali biasanya mempunyai aturan tersendiri untuk acara ini. Ada

yang melakukan setiap 3 tahun sekali, ada juga setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya.

Bagi masyarakat yang kurang mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan

biaya, sangat bisa diminimalkan. Biasanya mereka yang mempunyai keluarga meninggal

dunia, akan di kubur terlebih dulu. Pada saat acara ngaben masal inilah, kuburan itu digali

Page 26: kARYA tULIS

lagi untuk mengumpulkan sesuatu yang tersisa dari mayat tersebut. Sisa tulang atau yang lain,

akan dikumpulkan dan selanjutnya dibakar.

Prosesi upacara ngaben selanjutnya, setelah pembakaran mayat, abunya kemudian

dibuang ke laut. Dilanjutkan dengan upacara penjemputan arwah di laut tersebut, sebelum

akhirnya ditempatkan di pura keluarga masing-masing. Disinilah biasanya seperti dijelaskan

dihalaman lain tentang pura keluarga masyarakat hindu di Bali, disamping fungsinya untuk

memuja tuhan juga untuk memuja para leluhurnya.

K. Hari Baik atau Dewasa Ngaben

Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya

pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan alam besar

(Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap kehidupan manusia serta akibat

dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul diperhatikan oleh setiap umat Hindu dalam

melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yajna, dalam hal ini ngaben.

Bergeraknya matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan

penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar

terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan

pesasihan dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa,

khususnya dewasa ngaben sarat.

Bila kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke utara ke

selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta

kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.

L. Upacara Adat Ngaben di Desa Trunyan Bali.

Terletak di pinggir Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit, Desa Trunyan memiliki

banyak keunikan sebagai sebuah desa kuna dan Bali Aga (Bali asli). Konon ada sebuah pohon

Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu mendorong Ratu Gede

Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem

Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin

dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu.

Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari

Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-

orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama

kelamaan menjadi Trunyan. Desa ini berada di Kecamatan Kintamani, Daerah Tingkat II

Bangli. Ternyata tidak semua umat Hindu di Bali melangsungkan upacara ngaben untuk

pembakaran jenasah. Di Trunyan, jenasah tidak dibakar, melainkan hanya diletakkan di tanah

Page 27: kARYA tULIS

pekuburan. Trunyan adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa Bali Aga (Bali asli).

Trunya memiliki banyak keunikan dan yang daya tariknya paling tinggi adalah keunikan

dalam memperlakukan jenasah warganya.

Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa Trunyan, ketiga jenis

kuburan itu di- klasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan

cara penguburan yaitu :

1.   Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik yang disebut

Setra Wayah.

Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak

cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau

kecelakaan).

2.   Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan

orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh

dan tidak cacat.

3.   Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang

meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal secara tidak wajar misalnya

kecelakaan, bunuh diri).

Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau

kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan

dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan harus

menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur,

namun cara penguburannya unik yaitu dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah yang telah

diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm.

Sebagian badannya dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah

tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk

semacam kerucut, digunakan untuk memagari jenasah. Di Setra Wayah ini terdapat 7 liang

lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa

cacat terletak di bagian hulu dan masih ada 5 liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu

untuk masyarakat biasa.

Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang

lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah

lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan

tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang. Meski tidak

dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara kematian tradisi desa Trunyan pada prinsipnya

sama saja dengan makna dan tujuan upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di

Page 28: kARYA tULIS

Bali lainnya. Upacara dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang

tuanya. Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan perilaku

yang baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada waktu orang tua meninggal

serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk upacara kematian.

PENUTUP

Dari semua uraian dan penjelasan Upacara Ngaben, sebagai penutup dapatlah disimpulkan

sebasgai berikut :

Ngaben adalah upacara pemberian beya atau bekal bagi roh untuk kembali kepada asalnya,

dan pembakaran mayat, tawulan atau awak-awakan Sawa (jenasah) untuk mempercepat

proses kembalinya unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya.

Ngaben dapat dibagi dua yakni ngaben sarat dan ngaben sederhana yakni ngaben yang

dilakukan dengan cara sangat sederhana. Ngaben ini terdiri dari : Mitra Yajna, Pranawa,

Swasta, dll. Ngaben sarat adalah ngaben yang penuh sarat dengan perlengkapan-perlengkapan

upakara bebanten dan peralatan lainnya. Ngaben sarat ini terdiri dari dua jenis yakni sawa

prateka dan sawa wedhana.

Kendatipun ada perbedaan dalam materi, maupun manfaat kedua jenis ngaben ini sama saja

(utama juga ia, wenang ingangge der sang catur janma).

Upacara ngaben dilandasi oleh pemikiran akan hakekat kehidupan sebagai manusia, yang

berasal dari Tuhan untuk kembali kepada Tuhan.

Untuk tercapainya tujuan Ngaben dengan semaksimal telah ditentukan adanya hari-hari baik

(dewasa).

Semua peralatan dan sarana Ngaben terutama sekali pada Ngaben Sarat, adalah merupakan

simbol-simbol yang bermakna.

Ngaben adalah merupakan swadharma pretisantana untuk menunukkan rasa bakti yang

mendalam terhadap leluhurnya.

Meninggal yang tidak wajar dalam umat Hindu dikenal dengan istilah Salah Pati (dicari mati

seperti contohnya : kecelakaan), dan Ulah Pati (mencari mati seperti contohnya bunuh diri).

Demikianlah penjelasan tentang upacara ngaben yang merupakan suatu proses ritual yang

dilakukan oleh masyarakat bali. Dari penjelasan di atas kita dapat melihat penjelasan

etimologi dan terminologi, maksud, tujuan, landasan folosofis dan unsur metafisika dalam

upacara dan proses ngaben.

http://dewaarka.wordpress.com/2009/06/15/upacara-adat-ngaben-umat-hindu-bali/

14.50